TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

30
TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER Oleh MULIANI 197808062003122001 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2019

Transcript of TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

Page 1: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

 

 

 

Oleh

MULIANI

197808062003122001

 

 

 

FAKULTAS KEDOKTERAN 

UNIVERSITAS UDAYANA 

2019 

Page 2: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara

nugraha-Nya/karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan dr. I Nyoman Gede Wardana, M.

Biomed., selaku Ketua Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk membuat tulisan ini. Penulis

menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran

sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, Maret 2019

Penulis

Page 3: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

ii 

 

DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL LUAR UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................................. i DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ................................................................................................................. iv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ....................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 3 2.1. Anatomi Hippocampus. ........................................................................................ 3 2.2. Demensia. ............................................................................................................. 6 2.3. Penyakit Alzheimer (PA). ..................................................................................... 7 2.3.1. Faktor risiko penyakit Alzheimer (PA). ............................................................... 7 2.3.2. Hippocampus pada Penyakit Alzheimer. .............................................................. 9 2.3.3. Patogenesis dan Mekanisme Penyakit Alzheimer ................................................ 10 2.3.4. Gejala dan Tanda Penyakit Alzheimer. ................................................................ 14 2.3.5. Diagnosis Dini Penyakit Alzheimer ..................................................................... 15 2.3.6. Diagnosis Banding Penyakit Alzheimer ............................................................... 17 2.3.7. Penanganan Penyakit Alzheimer .......................................................................... 18 2.3.8. Evaluasi Penanganan Penyakit Alzheimer ........................................................... 20 BAB III SIMPULAN .......................................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 23

Page 4: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

iii 

 

DAFTAR GAMBAR

2.1 Hippocampus potongan coronal. ................................................................................... 3 2.2 Anatomi Hippocampus .................................................................................................. 4 2.3 Mikrostruktur Anatomi Hippocampus. DG: Gyrus Dentatus; SUB: Subiculum; CA: Cornu Ammonis. ................................................................................. 5 2.4 Jalur Perforant. DG: gyrus dentatus; SUB: subiculum; CA: cornu ammonis; EC: entorhinal cortex .................................................................................................... 6 2.5 Atrofi Hippocampus Kanan Dan Kiri Pada Penderita PA Berusia 85 Tahun. .............. 10 2.6 Faktor-Faktor yang Diduga Terlibat dalam Terjadinya PA ........................................... 11 2.7 Peranan NMDA Reseptor pada PA. LTD: Long-Term Depression; LTP: Long Term Potentiation ................................................................................................. 13

Page 5: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

iv 

 

DAFTAR TABEL

2.1 Perbedaan antara demensia, delirium dan depresi ......................................................... 18

Page 6: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

WHO : World Health Organization. > : Lebih dari. DG : Gyrus Dentatus. EC : Cortex Entorhinal. CA : Cornu Ammonis. PA : Penyakit Alzheimer. BPSD : Behavioral Neuropsychological Symptoms Of Dementia. EOAD : Early Onset Alzheimer Disease. AβPP : Amyloid Β Protein Precursor. PS1 : Presenilin 1. PS2 : Presenilin 2. APOE e4 : Apolipoprotein E. APP : Amyloid Precursor Protein. NFTs : Neurofibrillary Tangles. NMDA : N-Methyl-D-Aspartate. LTP : Long Term Potentiation. AMPA : Α-Amino-3-Hydroxy-5-Methyl-4-Isoxazolepropionic Acid. LTD : Long Term Depression. PSD95 : Post-Synaptic Density Protein 95. BDNF : Brain Derived Neurotrophic Factor. mRNA : Messenger Ribonucleic Acid. Aβ : Amyloid β MCI : Mild Cognitive Impairment. MRI : Magnetic Resonace Imaging. PET : Positron Emission Tomography. ACA : Asymptomatic Cerebral Amyloidosis. CN : Cidera Neuronal. AChEI : Acetyl-Cholinesterase Inhibitor.

Page 7: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan fasilitas kesehatan mengakibatkan peningkatan kesehatan dan

pertambahan usia harapan hidup seseorang sehingga jumlah lansia akan

meningkat. Adanya peningkatan jumlah ini berarti terjadi peningkatan frekuensi

penyakit-penyakit yang umumnya terjadi pada lansia, salah satunya adalah

demensia.

Demensia telah menjadi beban sosial, ekonomi dan kesehatan bagi

Negara-negara Asia Timur (Menkes RI, 2016). Demensia merupakan suatu

sindrom penurunan fungsi kognitif yang disertai dengan hilangnya kemampuan

melakukan aktivitas sehari-hari (Wu et al., 2015). Berdasarkan laporan WHO

(World Health Organization) tahun 2012, prevalensi demensia di dunia

diperkirakan mencapai 35 juta orang. Jumlah ini hampir meliputi seperempat

jumlah penduduk di Asia Timur dan diperkirakan terjadi peningkatan jumlah

sebanyak 2 kali lipat setiap 20 tahun (Wu et al., 2015). Saat ini diperkirakan setiap

detik dapat ditemukan tujuh kasus demensia baru di dunia, dan sebagian besar

orang dengan demensia ini tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan

menengah termasuk Indonesia (Perdossi, 2015). Salah satu bentuk demensia yang

sering ditemukan adalah Alzheimer (Ellison, 2015; Perdossi, 2015).

Alzheimer merupakan gangguan penurunan fungsi otak yang berpengaruh

pada emosi, daya ingat dan pengambilan keputusan. Masyarakat mengenal

penyakit ini dengan sebutan pikun. Alzheimer sering terjadi pada usia lebih dari

Page 8: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

(>) 65 tahun, namun dapat mengenai pula seseorang dengan usia berkisar 40

tahun. Diperkirakan jumlah penderita Alzheimer di Indonesia mencapai satu juta

orang di tahun 2013. Jumlah tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya dan

dalam 20 tahun peningkatannya mencapai kurang lebih dua kali lipat. Persentase

peningkatan Alzheimer per tahun pada usia 69 tahun, 70-74 tahun, 75-79 tahun,

80-84 tahun dan > 85 tahun secara berurutan: 0,5%, 1%, 2%, 3%, dan 8%

(Menkes RI, 2016).

Masalah yang sering terjadi pada demensia Alzheimer ini adalah sulitnya

deteksi dini karena pikun sudah umum terjadi di kalangan lansia walaupun

sebenarnya telah terjadi sejak usia muda dan penatalaksanaan yang kurang

memadai sehingga kualitas hidup optimal tidak tercapai (Perdossi, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alzheimer’s Association, Alzheimer

berdampak terhadap kesehatan masyarakat (tingginya insiden, prevalen, angka

mortalitas), biaya kesehatan, sosial dan karir. Dementia dan pencegahan penyakit

Alzheimer telah menjadi prioritas utama dalam masalah kesehatan masyarakat

(Gavurova et al., 2018). Karena itu, penulis ingin menulis lebih banyak tentang

demensia Alzheimer agar jenis ini dapat dikenali lebih awal dan bisa mendapatkan

penanganan yang tepat.

Page 9: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hippocampus.

Hippocampus sangat berperan dalam proses belajar dan daya ingat.

Memori terutama dimediasi oleh Hippocampus termasuk struktur-struktur di

sekitarnya, yaitu: subiculum, gyrus dentatus (DG), parasubiculum, presubiculum

dan cortex entorhinal (EC) (Kocahan and Dogan, 2017). Hippocampus

merupakan perluasan bagian temporal cortex cerebri, terletak di subkortikal dan

berbentuk huruf S pada ujung lobus temporalis. Bagian frontal Hippocampus

adalah amygdala sementara itu juga merupakan bagian posterior dari lobus

limbik. Hippocampus berperan penting dalam proses belajar, memori dan navigasi

spasial (Anand and Dhikav, 2012). Hippocampus dapat dilihat pada gambar 2.1

dan 2.2.

 

 Gambar 2.1 Hippocampus potongan coronal (Blanken et al., 2017).

Page 10: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

 Gambar 2.2 Anatomi Hippocampus (Anand and Dhikav, 2012).

 

  Hippocampus dibagi menjadi head, body dan tail. Terdapat 4 daerah yang

termasuk Hippocampus proper (cornu ammonis/ CA), yaitu CA1, CA2, CA3 dan

CA4. Subiculum terletak berlawanan dengan CA1 dan menghubungkan

Hippocampus dengan entorhinal cortex (Anand and Dhikav, 2012).

 

Page 11: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

 Gambar 2.3 Mikrostruktur Anatomi Hippocampus. DG: Gyrus Dentatus;

SUB: Subiculum; CA: Cornu Ammonis (Anand and Dhikav, 2012).

Jalur Perforant menjelaskan tentang hubungan Hippocampus dari dan ke

berbagai daerah otak. Jalur tersebut dimulai dengan ditransmisikannya input dari

EC ke DG (lapisan II). Proses ini penting dalam pattern recognition dan encoding

memori. Axon EC dari lapisan II dan IV diproyeksikan ke sel-sel granula dan

pyramidal dari CA1 serta subiculum. Gyrus dentatus akan meneruskan informasi

yang diterima oleh EC menuju CA3 (lapisan III) dan neuron CA1. Axon CA1

kemudian menuju subiculum dan lapisan dalam EC. Dapat pula terjadi Shaffer’s

collateral dari CA3 menuju CA1. Bagian ini sangat berperan dalam pembentukan

ingatan dan emosi dari sirkuit Papez. Konduksi sirkuit bersifat stimulasi dan

terlibat dalam plastisitas neuron. Stimulasi tersebut kembali menuju CA3 dan

disebut juga sebagai recurrent collateral (RC) yang sangat diperlukan dalam

Page 12: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

memegang ingatan, sementara DG penting untuk memproses informasi dari EC ke

CA3. Skema jalur Perforant dalam dilihat pada gambar 2.4 (Anand and Dhikav,

2012).

 Gambar 2.4 Jalur Perforant. DG: gyrus dentatus; SUB: subiculum; CA:

cornu ammonis; EC: entorhinal cortex (Anand and Dhikav, 2012).

Terganggunya jalur Perforant penting dalam degenerasi berat pada

Penyakit Alzheimer (PA) (Anand and Dhikav, 2012)

2.2. Demensia.

Demensia merupakan suatu sindrom penurunan fungsi intelektual yang

mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari dan disertai pula dengan

gangguan perilaku tanpa delirium ataupun gangguan psikiatri mayor (Perdossi,

2015).

Gangguan yang terjadi dapat dibedakan menjadi gangguan kognisi

maupun non kognisi. Gangguan kognisi berupa turunnya kemampuan mengingat

dalam mempelajari hal-hal baru. Ini sering menjadi keluhan utama penderita.

Page 13: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

Ingatan lama juga terganggu pada tahap lanjut. Terjadi pula disorientasi dan

penurunan kemampuan membuat keputusan (Perdossi, 2015).

Gangguan non kognisi terdiri dari adanya perubahan perilaku yang disebut

kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD).

Perubahan ini meliputi agitasi, tindakan agresif dan non agresif (wandering,

disinhibisi, sundowning syndrome dan sebagainya). Keadaan yang sering terjadi

adalah depresi, gangguan tidur, delusi dan halusinasi. Dapat pula terjadi kelainan

motorik berupa sulit berjalan dan berbicara (Perdossi, 2015).

Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan riwayat neurobehavior,

pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan kognisi. Pemeriksaan

laboratorium didapatkan dari likuor serebrospinalis namun hal ini masih diteliti

dan belum digunakan secara umum di klinik (Perdossi, 2015). Salah satu jenis dan

penyebab demensia yang sering mengenai lansia adalah demensia Alzheimer

(PA), yaitu sebesar 60-80% (Perdossi, 2015; Gavurova et al., 2018).

2.3. Penyakit Alzheimer (PA).

Penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan pengambilan

keputusan disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer umumnya

mengenai lansia berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015).

2.3.1. Faktor risiko penyakit Alzheimer (PA).

Beberapa faktor risiko yang telah diketahui, antara lain: usia, jenis

kelamin, riwayat penyakit dalam keluarga, disabilitas intelektual, genetik,

Page 14: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

psikososial dan vascular (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017). Usia, jenis

kelamin, genetik, riwayat penyakit keluarga, disabilitas intelektual dan Sindrom

Down termasuk dalam faktor risiko penyakit Alzheimer yang tidak dapat

dimodifikasi. Usia merupakan faktor risiko terpenting PA (Perdossi, 2015).

Peningkatan risiko PA seiring dengan peningkatan usia, yaitu sebanyak

dua kali lipat tiap 5 tahun pada usia diatas 65 tahun bahkan 50% individu diatas

85 tahun mengalami demensia (Perdossi, 2015). Berdasarkan onsetnya, PA dapat

diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: awal atau disebut pula Penyakit Alzheimer

Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/ EOAD) yang terjadi pada individu

berusia kurang dari 60 tahun dan lambat (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan,

2017).

Prevalensi PA awitan dini adalah sebesar 6-7% dan 13% dari kelompok

ini diakibatkan karena adanya mutasi gen autosomal, seperti amyloid ß protein

precursor (AßPP) pada kromosom 21 (10-15%), presenilin 1 (PS1) pada

kromosom 14 (30-70)% kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1 (kurang

dari 5%) (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017).

Penyakit Alzheimer onset lambat lebih banyak berhubungan dengan faktor

genetik, yaitu sebanyak 58-79% (Kocahan and Dogan, 2017). Diduga faktor

genetik berhubungan dengan lingkungan. Dikatakan bahwa gen Apolipoprotein E

(APOE e4) meningkatkan risiko PA terutama pada wanita berusia 55-65 tahun

namun risiko menurun pada usia yang lebih tua. Penyakit ini lebih banyak diderita

oleh wanita dibandingkan pria namun wanita memiliki angka harapan hidup yang

lebih tinggi daripada pria (Perdossi, 2015).

Page 15: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

 

 

Berikut merupakan faktor risiko PA yang dapat dimodifikasi, yaitu

vaskular (hipertensi, hiperkolesterolemia, obesitas, merokok, diabetes mellitus dan

stroke), metabolik, kekurangan asam folat dan vitamin B dan gaya hidup yang

tidak sehat (makanan tidak bervariasi dan sehat, kurang beraktivitas, kurang sayur

dan buah, dan sebagainya) (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017; Gevurova

et al., 2018). Faktor psikososial, seperti rendahnya pendidikan, aktivitas sosial,

jejaring sosial juga meningkatkan risiko PA (Kocahan and Dogan, 2017).

2.3.2. Hippocampus pada Penyakit Alzheimer.

Hippocampus merupakan struktur yang paling awal dipengaruhi dan

memiliki gejala terberat pada PA walaupun sel-sel dalam locus ceruleus, nuclei

batang otak, formatio reticularis, amygdala, substantia nigra, striatum,

hypothalamus, thalamus, claustrum dan beberapa daerah pada cortex cerebri juga

terkena (Anand and Dhikav, 2012; Kocahan and Dogan, 2017). Tipe-tipe sel

neuron yang terkena bervariasi, tergantung dari ekspresi neurotransmitter,

neuromodulators dan neuropeptida. Penyakit ini juga mempengaruhi sel-sel lain,

seperti: oligodendroglia, astrocytes, pembuluh darah, microglia dan plexus

choroideus. Sel-sel ini nantinya akan mengalami degenerasi (Kocahan and Dogan,

2017).

    Atrofi sel-sel Hippocampus, terutama terjadi di bagian frontal-temporal

horn sehingga timbul gejala-gejala neurokognitif, seperti penurunan memori dan

pembelajaran spatial. Oligomers Aβ menurunkan densitas Hippocampus dan

Page 16: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

10 

 

 

neuron yang telah dipisahkan pada kultur (Kocahan and Dogan, 2017). Atrofi

Hippocampus dapat dilihat pada gambar 2.5

 

 Gambar 2.5 Atrofi Hippocampus kanan dan kiri pada penderita PA berusia

85 tahun (Anand and Dhikav, 2012).

2.3.3. Patogenesis dan Mekanisme Penyakit Alzheimer.

Penyakit Alzheimer diduga terjadi akibat pengaruh dari Aβ-amyloid,

oligomer Aβ, presenilin, disregulasi Ca2+, tau protein dan lisosom (Kocahan and

Dogan, 2017).

Teori Aβ amyloid merupakan hal yang paling mungkin mendasari

terjadinya PA namun deposisi Aβ memiliki hubungan lemah dengan atrofi neuron

dan gangguan fungsi kognitif (Kocahan and Dogan, 2017). Mutasi gen-gen

autosomal (AβPP, PS1 dan PS2) mengakibatkan peningkatan produksi dan

agregasi β-amyloid (Pattni, tt) sehingga terjadi penumpukan β-amyloid di otak

(Hudson et al., 2011; Pattni, tt.). Pemecahan cell-surface protein amyloid

precursor protein (APP) tipe I oleh enzim proteolitik menyebabkan bentuk Aβ

bervariasi. Penumpukan Aβ peptida dalam otak berhubungan dengan timbulnya

amyloid plaques, neurofibrillary tangles (NFTs), hilangnya sinapsis, kematian

Page 17: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

11 

 

 

sel-sel neuron dan demensia (Hudson et al., 2011; Pattni, tt; Armstrong, 2011;

Kocahan and Dogan, 2017).

Gambar 2.6 Faktor-Faktor yang Diduga Terlibat dalam Terjadinya PA

(Kocahan and Dogan, 2017).

Plak amyloid yang timbul di sekitar perubahan struktural mampu

mengubah fungsi otak sementara hilangnya sinapis di tahap awal PA

mengakibatkan disfungsi sinaptik, penurunan jumlah dendritic spines dan densitas

sinaps dalam Hippocampus serta cortex. Kehilangan dendritic spines meningkat

seiring dengan peningkatan usia. Kondisi tersebut, bila berlangsung terus-menerus

akan memperburuk status mental dan fungsi kognitif penderita karena itu atrofi

progresif dendritic spines merupakan indikator perkembangan PA yang akurat

(Kocahan and Dogan, 2017).

Fungsi sinapsis juga ditekan dengan adanya peningkatan atau disregulasi

Ca2+ yang berlangsung lama sehingga terjadi sinaptotoxicity dan atrofi. Keadaan

ini berpengaruh terhadap fungsi belajar dan mengingat pada PA (Kocahan and

Dogan, 2017).

Page 18: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

12 

 

 

Glutamat, yang merupakan salah satu neurotransmitter eksitasi pada

susunan saraf pusat, berperan sebagai perantara dalam plastisitas dan transmisi

neuron, proses belajar dan mengingat. Penyakit Alzheimer berhubungan erat

dengan perubahan signal glutamat. Jaringan saraf dipengaruhi oleh tingginya

kepadatan neuron glutamanergik. Awalnya, degenerasi timbul pada neuron

pyramidal dari neocortex pada lapisan V dan III, serta glutamate-innervated

cortical dan neuron Hippocampus. Penghambatan reseptor glutamat, yaitu N-

methyl-D-aspartate (NMDA), akan menghambat progresivitas Penyakit

Alzheimer. Memantine (antagonis NMDA reseptor) dan fibroblast growth factor

(mengganti ekspresi reseptor NMDA pada neuron cortical dan hippocampal)

mencegah terjadinya keracunan glutamat (Kocahan and Dogan, 2017). Reseptor

NMDA memediasi plastisitas sinapsis, fungsi belajar dan ingatan jangka panjang.

Plastisitas sinaptik penting dalam proses belajar dan memori. Terbukanya reseptor

NMDA dan tingginya aktivitas sinaptik mengakibatkan transmisi sinaptik Long

Term Potentiation (LTP) dan perubahan ekspresi reseptor post sinaptik AMPA (α-

amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) secara permanen. Aktivasi

reseptor NMDA berpengaruh terhadap plak Aβ. Reseptor tersebut berikatan

dengan Aβ baik secara langsung maupun tidak langsung, memediasi aktivitas Aβ

yang berhubungan dengan plastisitas dan transmisi sinaptik. Reseptor ini juga

merupakan target Aβ sehingga Aβ memediasi fungsi reseptor NMDA (Kocahan

and Dogan, 2017).

Page 19: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

13 

 

 

Gambar 2.7 Peranan NMDA Reseptor pada PA. LTD: Long-Term

Depression; LTP: Long Term Potentiation (Kocahan and Dogan, 2017).

Berbeda halnya dengan NMDA, hiperfosforilasi beberapa asam amino

mengakibatkan protein dipecah dari mikrotubulus, mengganggu transport struktur,

kelaparan neuron dan kematian sel. Hiperfosforilasi tau protein berperan penting

dalam perubahan neurofibrillary intrasel, patogenesis PA dan taupathies

(Kocahan and Dogan, 2017).

Tau memediasi transfer Fyn, yaitu suatu Sre kinase menuju dendritic

compartment. Fyn akan memfosforilasi NMDA sehingga memfasilitasi interaksi

dengan post-synaptic density protein 95 (PSD95). Berdasarkan penelitian yang

melibatkan APP transgenic (APP), kompleks PSD95 menimbulkan efek toksik

dengan Aβ sehingga terjadi penurunan daya ingat, peningkatan excitoxicity dan

kematian (Kocahan and Dogan, 2017).

Brain derived neurotrophic factor (BDNF) termasuk neurotrofin yang

mempengaruhi fungsi kognitif, perilaku, belajar dan memori (daya ingat). Faktor

ini merupakan mediator penting bagi kehidupan neuron, plastisitas sinaptik dan

diferensiasi seluler. Ekspresi BDNF mRNA (messenger Ribonucleic Acid) di

nucleus basalis Meynert, neocortex dan Hippocampus pada PA terlihat rendah.

Page 20: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

14 

 

 

Penurunan fungsi kognitif timbul akibat inhibisi asetilkolin. Penghambatan terjadi

karena atrofi neuron kolinergik di forebrain pada PA. Keadaan tersebut

disebabkan adanya peningkatan diferensiasi, ketahanan hidup neuron kolinergik di

basal forebrain dan terutama induksi sekresi asetilkolin oleh BDNF (Kocahan and

Dogan, 2017).

Fungsi kuantitatif seperti cadangan otak berpengaruh terhadap patogenesis

PA, misalnya lingkungan akan merangsang regulasi BDNF dan neurogenesis

sehingga mendorong terjadinya plastisitas neuron. Aktivitas santai, intelektual

(bermain, membaca, mengerjakan tugas) dan sosial juga menurunkan risiko PA

(Kocahan and Dogan, 2017).

2.3.4. Gejala dan Tanda Penyakit Alzheimer.

Karakteristik PA ditandai dengan adanya perubahan ekspresi

neurotransmitter, penurunan jumlah neutrofil, synaptotoxicity, penumpukan

deposit protein Aβ (Amyloid β atau plak amyloid atau senilis) yang

mengakibatkan hilangnya dendritic spine, atrofi dan kematian sel-sel neuron

dalam jumlah besar pada fase akhir penyakit (Kocahan and Dogan, 2017).

Penurunan memori dan fungsi kognitif lain pada tahap awal, berhubungan

dengan perubahan dalam cortex Hippocampus dan entorhinal. Sekitar 80% neuron

mati dalam perjalanan PA yang bermanifestasi pada perubahan fungsi kognitif

dan tanda-tanda lain (Kocahan and Dogan, 2017).

Penyakit Alzheimer ditandai dengan penurunan memori episodik secara

progresif dan fungsi kortikal lain. Tahap selanjutnya, mulai terjadi ketergantungan

Page 21: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

15 

 

 

dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan gangguan perilaku. Kelainan motorik

dapat terjadi di tahap akhir (Perdossi, 2015).

Gambaran khas PA berupa adanya plak Aβ di ekstraseluler dan

neurofibrillary tangles dalam intraseluler, kematian sel-sel neuron dan hilangnya

sinapsis. Semua ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif yang berkembang

progresif (Kocahan and Dogan, 2017).

Terlihat degenerasi neuron dan neurofibrillary tangles dalam lapisan II

sampai IV pada pemeriksaan histologi. Plak neural sering terlihat pada lapisan III,

sementara lapisan V dan VI memiliki neurofibrillary tangles yang relatif lebih

sedikit dibandingkan lapisan II dan IV. Hilangnya neuron-neuron pada lapisan II

akan merusak jalur proyeksi EC menuju Hippocampus. Tractus efferent dari

Hippocampus menuju cortex dihambat oleh degenerasi neuron dalam lapisan IV

secara progresif. Kerusakan neuron pada lapisan IV dan II dalam EC

mengakibatkan perubahan patologi pada daerah yang berhubungan erat dengan

formasi Hippocampus (Kocahan and Dogan, 2017).

2.3.5. Diagnosis Dini Penyakit Alzheimer.

Terdapat fase transisi antara proses penuaan normal dengan awal

dimulainya PA, sebelum tanda-tanda klinis terlihat. Fase ini terjadi selama

beberapa tahun dan dikenal sebagai mild cognitive impairment (MCI) yang

ditandai dengan adanya keluhan memori subjektif dari keluarga serta gangguan

fungsi kognisi. Kondisi ini hanya sedikit mempengaruhi fungsi intelektual

Page 22: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

16 

 

 

penderita sehingga aktivitas sehari-hari masih dapat dilakukan dengan baik dan

belum terlihat tanda-tanda demensia (Perdossi, 2015).

Kelainan fungsi kognisi dapat mengenai berbagai fungsi (eksekutif dan

bahasa) ataupun hanya satu fungsi. Kurang lebih 10% pasien dengan MCI

berkembang menjadi demensia per tahunnya (Perdossi, 2015).

Diagnosis berdasarkan gejala klinis akurat pada 90% kasus namun tetap

dibutuhkan biopsi otak. Ditemukannya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan β-

amiloid42) serta neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau) pada

biopsi otak merupakan diagnosis pasti penyakit Alzheimer. Pemeriksaan biomarka

neuroimaging dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI struktural dan

fungsional) dan likuor serebrospinalis (β-amiloid dan protein tau) juga dapat

dilakukan untuk diagnosis dini fase pre-demensia (MCI) dan preklinik PA (Perdossi,

2015).

Adanya amiloidosis serebral cidera neuronal (peningkatan kadar protein

tau dalam likuor serebrospinalis atau hipometabolisme) dan atau terdapat

penurunan amiloid-ß42 pada Positron Emission Tomography (PET) sken atau

atrofi pada MRI kepala cenderung berkembang menjadi PA (Perdossi, 2015).

Reisa Sperling menggolongkan pre-klinik PA menjadi tiga tahap. Tahap 1

(asymptomatic cerebral amyloidosis/ ACA) ditandai dengan adanya amiloidosis

serebral (positif PET amiloid dan atau penurunan kadar amiloid ß42 likuor

serebrospinalis) tanpa cidera neuronal. Disebut tahap 2 bila terdapat ACA

ditambah cidera neuronal (CN). Tingkat 3 ditandai dengan adanya ACA dan CN

disertai tanda-tanda penurunan fungsi kognisi. Diagnosis dini dengan terapi aktif

Page 23: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

17 

 

 

akan memperlambat penurunan fungsi kognisi, risiko salah diagnosis serta

penanganan yang tidak tepat (Perdossi, 2015).

2.3.6. Diagnosis Banding Penyakit Alzheimer.

Gangguan perilaku yang terjadi pada PA harus dibedakan dari delirium

dan depresi walaupun ketiganya dapat terjadi bersamaan. Tabel 2.1 berikut ini

menunjukan perbedaan antara PA, delirium dan depresi (Perdossi, 2015).

Page 24: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

18 

 

 

Tabel 2.1 Perbedaan antara demensia, delirium dan depresi (Perdossi, 2015). Gejala Demensia Delirium Depresi Awitan Perlahan Akut Bertahap Durasi Bulan/tahun Jam/ hari/ minggu Minggu/ berapa bulan Perjalanan Bertahap progresif Fluktuasi, memburuk pada

malam hari, periode lucid Memburuk pada pagi dan membaik pada malam hari

Alertness Normal Fluktuasi Tidak tertarik, sering menjawab tidak tahu

Orientasi Biasanya disorientasi waktu dan tempat

Selalu terganggu Biasanya normal

Memori Terganggu memori baru dan terkadang memori jangka panjang

Gangguan memori baru Memori baru mungkin terganggu, memori lama utuh

Pikiran Lambat dan perseveratif

Sering beda dari kenyataan Lambat, preokupasi, sedih dan putus asa

Persepsi Sering normal, halusinasi visual 30-40%

Halusinasi visual dan auditori sering

20% dengan mood congruent halusination

Emosi Apatetik, labil dan iritabel

Iritabel, agresif atau ketakutan

Mendatar, sedih, tidak responsif. Mungkin iritabel

Tidur Terganggu, wandering atau konfusi malam

Konfusi malam Terbangun pagi dini

Lainnya Penyakit fisik lain jelas Gangguan mood sebelumnya atau riwayat keluarga

2.3.7. Penanganan Penyakit Alzheimer.

Sampai saat ini, penanganan-penanganan yang diberikan masih belum

dapat menyembuhkan PA, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mencegah

penyakit ini (Qiu et al., 2009). Efektivitas pencegahan ditentukan oleh usia

penderita (Gavurova et al., 2018). Pencegahan yang dapat dilakukan, berupa

pencegahan primer, sekunder (diagnosis dini) dan tersier. Pencegahan primer

dilakukan terhadap faktor risiko (metabolik dan vaskular) dan pelindung. Upaya

pencegahan primer terutama dilakukan pada faktor nutrisi, aktivitas fisik

Page 25: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

19 

 

 

(olahraga teratur), pelatihan fungsi kognisi dan sosial serta evaluasi dan

penanganan faktor risiko metabolik dan vaskular (Qiu et al., 2009; Perdossi,

2015). Faktor nutrisi bisa berupa memakan makanan yang bervariasi dan sehat,

tetap aktif sehingga kekuatan otot dan berat badan tetap terjaga, banyak

mengkonsumsi buah dan sayur, diet rendah lemak yang bersaturasi, minum air

secukupnya, berhenti merokok, batasi asupan garam, gula dan alkohol (Perdossi,

2015). Diharapkan upaya pencegahan dapat memperlambat onset terjadinya PA

(Qiu et al., 2009).

Pencegahan sekunder dilakukan dengan diagnosis dini pada lansia

sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah hilangnya kemampuan

penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup

penderita (Qiu et al., 2009).

Penanganan tersier Demensia Alzheimer berupa penanganan psikososial

dan farmakologis. Penanganan psikososial meliputi berbagai fungsi seperti fungsi

kognisi dan perilaku. Penanganan ini dinilai tiap tahun sebanyak 2 kali. Tujuan

penanganan ini adalah untuk mempertahankan dan memperlambat penurunan

fungsi kognisi serta meningkatkan kualitas hidup (Qiu et al., 2009; Perdossi,

2015). Keluarga perlu dilibatkan sejak awal penanganan PA sehingga kondisi

penderita sebelum dan setelah penanganan dapat diketahui (Perdossi, 2015).

Penanganan farmakologis bisa dilakukan dengan memberikan penguat

kognisi, seperti obat golongan acetyl-cholinesterase inhibitor (AChEI) untuk PA

ringan sampai sedang, donepezil 10 mg untuk PA ringan sampai sedang,

memantin untuk demensia sedang hingga berat, rivastigmin 6-12 mg/hari selama

Page 26: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

20 

 

 

26 minggu dan galantamin (aman untuk perbaikan fungsi kognisi pada lansia

dengan PA berat). Donepezil 10 mg/hari juga efektif untuk mengatasi PA sedang

sampai berat setelah pemberian selama 52 minggu (Qiu et al., 2009; Perdossi,

2015).

Dapat diberikan penanganan alternatif, seperti ginkgo biloba (dosis 240

mg/hari selama 24 minggu untuk perbaikan fungsi kognisi, perilaku dan aktivitas

sehari-hari), asam lemak omega 3 (untuk PA yang sangat ringan). Pemberian

asam folat, vitamin B12, B6 dan E tidak disarankan sebagai terapi alternatif bagi

PA karena memiliki lebih banyak efek samping lebih banyak dibandingkan

manfaatnya (Perdossi, 2015).

2.3.8. Evaluasi Penanganan Penyakit Alzheimer.

Penanganan Alzheimer perlu dievaluasi minimal 2 kali dengan interval

waktu 6 bulan. Beberapa hal yang perlu dievaluasi antara lain: kemandirian

penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari, peningkatan fungsi kognisi,

kemampuan beradaptasi dan mempelajari ketrampilan. Kondisi fisik dan psikis,

efek samping obat, riwayat penyakit, faktor psikososial dan lingkungan juga

penting dievaluasi (Perdossi, 2015).

 

Page 27: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

21 

BAB III

SIMPULAN

Berdasarkan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa PA termasuk salah

satu tipe demensia yang paling banyak mengenai lansia. Faktor risiko PA ada

yang dapat dimodifikasi dan ada pula yang tidak. Faktor usia, genetik dan jenis

kelamin merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi.

Penyakit Alzheimer dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan onsetnya, yaitu

awitan dini dan lambat. Onset dini biasanya disebabkan karena mutasi gen AßPP,

PS1 dan PS2 sehingga terjadi penumpukan protein β amyloid dan penurunan fungsi

hyppocampus. Gen APOE e4 meningkatkan risiko PA. Penyakit Alzheimer awitan dini

umumnya terjadi pada wanita usia muda atau kurang dari 60 tahun.

Faktor risiko PA yang dapat dimodifikasi antara lain: vaskular, nutrisi dan gaya

hidup. Pencegahan primer dilakukan dengan memodifikasi faktor risiko, seperti misalnya

asupan nutrisi yang bervariasi dan adekuat serta aktivitas fisik teratur.

Mekanisme terjadinya Penyakit Alzheimer dipengaruhi oleh Aβ-amyloid,

oligomer Aβ, presenilin, disregulasi Ca2+, tau protein dan lisosom. Aktivasi reseptor

NMDA meningkatkan plak Aβ sementara tingginya ekspresi BDNF akan menurunkan

PA karena faktor ini penting bagi kehidupan neuron, plastisitas sinaptik dan diferensiasi

seluler.

Gejala klinis PA antara lain penurunan memori dan fungsi kortikal dengan

progresif, diikuti penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari,

gangguan perilaku dan motorik. Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis

Page 28: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

22 

 

dan bila perlu dapat ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti biopsi otak,

MRI, PET sken dan likuor cerebrospinalis.

Perlu dilakukan pencegahan baik primer, sekunder (diagnosis dini) dan

tersier (terapi aktif) untuk memperlambat penurunan fungsi kognisi, salah

diagnosis serta penanganan yang tidak tepat (Perdossi, 2015). Pencegahan primer

dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, nutrisi dan aktivitas fisik. Pencegahan

tersier meliputi terapi farmakologis, psikososial dan alternatif. Penanganan PA

penting dievaluasi sebanyak 2 kali dalam setahun.

 

Page 29: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

23 

DAFTAR PUSTAKA

Anand KS and Dhikav V. 2012. Hippocampus in health and disease: An

overview. Ann Indian Acad Neurol, 15(4): 239–246. doi: 10.4103/0972-

2327.104323.

Armstrong, RA. 2011. The Pathogenesis of Alzheimer’s Disease: A Reevaluation

of the “Amyloid Cascade Hypothesis”. International Journal of Alzheimer’s

Disease.

Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. 2016.

Menkes: Lansia Yang Sehat, Lansia Yang Jauh Dari Demensia. Available

from: http://www.depkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-

yang-sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html. Diakses: 21 July 2016.

Blanken AE., Hurtz S., Zarow C., Biado K., Honarpisheh H., Somme J., Brook J.,

Tung S., Kraft E., Lo D., Denise WNg., Vinters HV., Apostolova LG. 2017.

Associations between hippocampal morphometry and neuropathologic

markers of Alzheimer's disease using 7 T MRI. NeuroImage: Clinical, 15: 56-

61. https://doi.org/10.1016/j.nicl.2017.04.020.

Ellison JM. 2015. Alzheimer’s or Dementia: What’s The Difference? Available

from: http://www.brightfocus.org/alzheimers/article/alzheimers-or-dementia-

whats-difference. Diakses: July 20th, 2016.

Gavurova, B., Kovac, V., Jarcuskova, D. 2018. Development of Regional in

Disparities in Alzheimer’s Disease Mortality in the Slovak Republic from

1996 to 2015. International Journal of Alzheimer’s Disease.

https://doi.org/10.1155/2018/3149495.

Hudson, AP., Balin, BJ., Crutcher, K., Robinson, S. 2011. New Thinking on The

Etiology and Pathogenesis of Late-Onset Alzheimer’s Disease. International

Journal of Alzheimer’s Disease.

Kocahan, S and Dogan, Z. 2017. Mechanism of Alzheimer’s Disease pathogenesis

and prevention: the brain, neural pathology, N-methyl-D-aspartate Receptors,

Page 30: TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER

24 

 

Tau Protein and other risk factors. Clinical Psychopharmacology and

Neuroscience, 15(1):1-8.

Pattni, KAM. tt. Beta-Amyloid Sebagai Patogenesis Pada Penyakit Alzheimer.

Available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/6103/4594.

Access: July 25th, 2016.

Perdossi. 2015. Panduan Praktik Klinik: Diagnosis dan Penatalaksanaan

Demensia.

Qiu, CX., Kivipelto, M., von Strauss, E. 2009. Epidemiology of Alzheimer’s

Disease: Occurrence, Determinants, And Strategies Towards Intervention.

Dialogues in Clinical Neuroscience, 11(2): 111-28.

Wu, YT., Brayne, C., Matthews, FE. 2015. Prevalence of Dementia in East Asia:

A synthetic Review of Time Trends. Int J Geriatr Psychiatry, 30: 793-801.