TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER
Transcript of TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER
TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT ALZHEIMER
Oleh
MULIANI
197808062003122001
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
i
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara
nugraha-Nya/karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan dr. I Nyoman Gede Wardana, M.
Biomed., selaku Ketua Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk membuat tulisan ini. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Denpasar, Maret 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL LUAR UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................................. i DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ................................................................................................................. iv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ....................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 3 2.1. Anatomi Hippocampus. ........................................................................................ 3 2.2. Demensia. ............................................................................................................. 6 2.3. Penyakit Alzheimer (PA). ..................................................................................... 7 2.3.1. Faktor risiko penyakit Alzheimer (PA). ............................................................... 7 2.3.2. Hippocampus pada Penyakit Alzheimer. .............................................................. 9 2.3.3. Patogenesis dan Mekanisme Penyakit Alzheimer ................................................ 10 2.3.4. Gejala dan Tanda Penyakit Alzheimer. ................................................................ 14 2.3.5. Diagnosis Dini Penyakit Alzheimer ..................................................................... 15 2.3.6. Diagnosis Banding Penyakit Alzheimer ............................................................... 17 2.3.7. Penanganan Penyakit Alzheimer .......................................................................... 18 2.3.8. Evaluasi Penanganan Penyakit Alzheimer ........................................................... 20 BAB III SIMPULAN .......................................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 23
iii
DAFTAR GAMBAR
2.1 Hippocampus potongan coronal. ................................................................................... 3 2.2 Anatomi Hippocampus .................................................................................................. 4 2.3 Mikrostruktur Anatomi Hippocampus. DG: Gyrus Dentatus; SUB: Subiculum; CA: Cornu Ammonis. ................................................................................. 5 2.4 Jalur Perforant. DG: gyrus dentatus; SUB: subiculum; CA: cornu ammonis; EC: entorhinal cortex .................................................................................................... 6 2.5 Atrofi Hippocampus Kanan Dan Kiri Pada Penderita PA Berusia 85 Tahun. .............. 10 2.6 Faktor-Faktor yang Diduga Terlibat dalam Terjadinya PA ........................................... 11 2.7 Peranan NMDA Reseptor pada PA. LTD: Long-Term Depression; LTP: Long Term Potentiation ................................................................................................. 13
iv
DAFTAR TABEL
2.1 Perbedaan antara demensia, delirium dan depresi ......................................................... 18
v
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
WHO : World Health Organization. > : Lebih dari. DG : Gyrus Dentatus. EC : Cortex Entorhinal. CA : Cornu Ammonis. PA : Penyakit Alzheimer. BPSD : Behavioral Neuropsychological Symptoms Of Dementia. EOAD : Early Onset Alzheimer Disease. AβPP : Amyloid Β Protein Precursor. PS1 : Presenilin 1. PS2 : Presenilin 2. APOE e4 : Apolipoprotein E. APP : Amyloid Precursor Protein. NFTs : Neurofibrillary Tangles. NMDA : N-Methyl-D-Aspartate. LTP : Long Term Potentiation. AMPA : Α-Amino-3-Hydroxy-5-Methyl-4-Isoxazolepropionic Acid. LTD : Long Term Depression. PSD95 : Post-Synaptic Density Protein 95. BDNF : Brain Derived Neurotrophic Factor. mRNA : Messenger Ribonucleic Acid. Aβ : Amyloid β MCI : Mild Cognitive Impairment. MRI : Magnetic Resonace Imaging. PET : Positron Emission Tomography. ACA : Asymptomatic Cerebral Amyloidosis. CN : Cidera Neuronal. AChEI : Acetyl-Cholinesterase Inhibitor.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Peningkatan fasilitas kesehatan mengakibatkan peningkatan kesehatan dan
pertambahan usia harapan hidup seseorang sehingga jumlah lansia akan
meningkat. Adanya peningkatan jumlah ini berarti terjadi peningkatan frekuensi
penyakit-penyakit yang umumnya terjadi pada lansia, salah satunya adalah
demensia.
Demensia telah menjadi beban sosial, ekonomi dan kesehatan bagi
Negara-negara Asia Timur (Menkes RI, 2016). Demensia merupakan suatu
sindrom penurunan fungsi kognitif yang disertai dengan hilangnya kemampuan
melakukan aktivitas sehari-hari (Wu et al., 2015). Berdasarkan laporan WHO
(World Health Organization) tahun 2012, prevalensi demensia di dunia
diperkirakan mencapai 35 juta orang. Jumlah ini hampir meliputi seperempat
jumlah penduduk di Asia Timur dan diperkirakan terjadi peningkatan jumlah
sebanyak 2 kali lipat setiap 20 tahun (Wu et al., 2015). Saat ini diperkirakan setiap
detik dapat ditemukan tujuh kasus demensia baru di dunia, dan sebagian besar
orang dengan demensia ini tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan
menengah termasuk Indonesia (Perdossi, 2015). Salah satu bentuk demensia yang
sering ditemukan adalah Alzheimer (Ellison, 2015; Perdossi, 2015).
Alzheimer merupakan gangguan penurunan fungsi otak yang berpengaruh
pada emosi, daya ingat dan pengambilan keputusan. Masyarakat mengenal
penyakit ini dengan sebutan pikun. Alzheimer sering terjadi pada usia lebih dari
2
(>) 65 tahun, namun dapat mengenai pula seseorang dengan usia berkisar 40
tahun. Diperkirakan jumlah penderita Alzheimer di Indonesia mencapai satu juta
orang di tahun 2013. Jumlah tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya dan
dalam 20 tahun peningkatannya mencapai kurang lebih dua kali lipat. Persentase
peningkatan Alzheimer per tahun pada usia 69 tahun, 70-74 tahun, 75-79 tahun,
80-84 tahun dan > 85 tahun secara berurutan: 0,5%, 1%, 2%, 3%, dan 8%
(Menkes RI, 2016).
Masalah yang sering terjadi pada demensia Alzheimer ini adalah sulitnya
deteksi dini karena pikun sudah umum terjadi di kalangan lansia walaupun
sebenarnya telah terjadi sejak usia muda dan penatalaksanaan yang kurang
memadai sehingga kualitas hidup optimal tidak tercapai (Perdossi, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alzheimer’s Association, Alzheimer
berdampak terhadap kesehatan masyarakat (tingginya insiden, prevalen, angka
mortalitas), biaya kesehatan, sosial dan karir. Dementia dan pencegahan penyakit
Alzheimer telah menjadi prioritas utama dalam masalah kesehatan masyarakat
(Gavurova et al., 2018). Karena itu, penulis ingin menulis lebih banyak tentang
demensia Alzheimer agar jenis ini dapat dikenali lebih awal dan bisa mendapatkan
penanganan yang tepat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hippocampus.
Hippocampus sangat berperan dalam proses belajar dan daya ingat.
Memori terutama dimediasi oleh Hippocampus termasuk struktur-struktur di
sekitarnya, yaitu: subiculum, gyrus dentatus (DG), parasubiculum, presubiculum
dan cortex entorhinal (EC) (Kocahan and Dogan, 2017). Hippocampus
merupakan perluasan bagian temporal cortex cerebri, terletak di subkortikal dan
berbentuk huruf S pada ujung lobus temporalis. Bagian frontal Hippocampus
adalah amygdala sementara itu juga merupakan bagian posterior dari lobus
limbik. Hippocampus berperan penting dalam proses belajar, memori dan navigasi
spasial (Anand and Dhikav, 2012). Hippocampus dapat dilihat pada gambar 2.1
dan 2.2.
Gambar 2.1 Hippocampus potongan coronal (Blanken et al., 2017).
4
Gambar 2.2 Anatomi Hippocampus (Anand and Dhikav, 2012).
Hippocampus dibagi menjadi head, body dan tail. Terdapat 4 daerah yang
termasuk Hippocampus proper (cornu ammonis/ CA), yaitu CA1, CA2, CA3 dan
CA4. Subiculum terletak berlawanan dengan CA1 dan menghubungkan
Hippocampus dengan entorhinal cortex (Anand and Dhikav, 2012).
5
Gambar 2.3 Mikrostruktur Anatomi Hippocampus. DG: Gyrus Dentatus;
SUB: Subiculum; CA: Cornu Ammonis (Anand and Dhikav, 2012).
Jalur Perforant menjelaskan tentang hubungan Hippocampus dari dan ke
berbagai daerah otak. Jalur tersebut dimulai dengan ditransmisikannya input dari
EC ke DG (lapisan II). Proses ini penting dalam pattern recognition dan encoding
memori. Axon EC dari lapisan II dan IV diproyeksikan ke sel-sel granula dan
pyramidal dari CA1 serta subiculum. Gyrus dentatus akan meneruskan informasi
yang diterima oleh EC menuju CA3 (lapisan III) dan neuron CA1. Axon CA1
kemudian menuju subiculum dan lapisan dalam EC. Dapat pula terjadi Shaffer’s
collateral dari CA3 menuju CA1. Bagian ini sangat berperan dalam pembentukan
ingatan dan emosi dari sirkuit Papez. Konduksi sirkuit bersifat stimulasi dan
terlibat dalam plastisitas neuron. Stimulasi tersebut kembali menuju CA3 dan
disebut juga sebagai recurrent collateral (RC) yang sangat diperlukan dalam
6
memegang ingatan, sementara DG penting untuk memproses informasi dari EC ke
CA3. Skema jalur Perforant dalam dilihat pada gambar 2.4 (Anand and Dhikav,
2012).
Gambar 2.4 Jalur Perforant. DG: gyrus dentatus; SUB: subiculum; CA:
cornu ammonis; EC: entorhinal cortex (Anand and Dhikav, 2012).
Terganggunya jalur Perforant penting dalam degenerasi berat pada
Penyakit Alzheimer (PA) (Anand and Dhikav, 2012)
2.2. Demensia.
Demensia merupakan suatu sindrom penurunan fungsi intelektual yang
mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari dan disertai pula dengan
gangguan perilaku tanpa delirium ataupun gangguan psikiatri mayor (Perdossi,
2015).
Gangguan yang terjadi dapat dibedakan menjadi gangguan kognisi
maupun non kognisi. Gangguan kognisi berupa turunnya kemampuan mengingat
dalam mempelajari hal-hal baru. Ini sering menjadi keluhan utama penderita.
7
Ingatan lama juga terganggu pada tahap lanjut. Terjadi pula disorientasi dan
penurunan kemampuan membuat keputusan (Perdossi, 2015).
Gangguan non kognisi terdiri dari adanya perubahan perilaku yang disebut
kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD).
Perubahan ini meliputi agitasi, tindakan agresif dan non agresif (wandering,
disinhibisi, sundowning syndrome dan sebagainya). Keadaan yang sering terjadi
adalah depresi, gangguan tidur, delusi dan halusinasi. Dapat pula terjadi kelainan
motorik berupa sulit berjalan dan berbicara (Perdossi, 2015).
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan riwayat neurobehavior,
pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan kognisi. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan dari likuor serebrospinalis namun hal ini masih diteliti
dan belum digunakan secara umum di klinik (Perdossi, 2015). Salah satu jenis dan
penyebab demensia yang sering mengenai lansia adalah demensia Alzheimer
(PA), yaitu sebesar 60-80% (Perdossi, 2015; Gavurova et al., 2018).
2.3. Penyakit Alzheimer (PA).
Penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan pengambilan
keputusan disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer umumnya
mengenai lansia berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015).
2.3.1. Faktor risiko penyakit Alzheimer (PA).
Beberapa faktor risiko yang telah diketahui, antara lain: usia, jenis
kelamin, riwayat penyakit dalam keluarga, disabilitas intelektual, genetik,
8
psikososial dan vascular (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017). Usia, jenis
kelamin, genetik, riwayat penyakit keluarga, disabilitas intelektual dan Sindrom
Down termasuk dalam faktor risiko penyakit Alzheimer yang tidak dapat
dimodifikasi. Usia merupakan faktor risiko terpenting PA (Perdossi, 2015).
Peningkatan risiko PA seiring dengan peningkatan usia, yaitu sebanyak
dua kali lipat tiap 5 tahun pada usia diatas 65 tahun bahkan 50% individu diatas
85 tahun mengalami demensia (Perdossi, 2015). Berdasarkan onsetnya, PA dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: awal atau disebut pula Penyakit Alzheimer
Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/ EOAD) yang terjadi pada individu
berusia kurang dari 60 tahun dan lambat (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan,
2017).
Prevalensi PA awitan dini adalah sebesar 6-7% dan 13% dari kelompok
ini diakibatkan karena adanya mutasi gen autosomal, seperti amyloid ß protein
precursor (AßPP) pada kromosom 21 (10-15%), presenilin 1 (PS1) pada
kromosom 14 (30-70)% kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1 (kurang
dari 5%) (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017).
Penyakit Alzheimer onset lambat lebih banyak berhubungan dengan faktor
genetik, yaitu sebanyak 58-79% (Kocahan and Dogan, 2017). Diduga faktor
genetik berhubungan dengan lingkungan. Dikatakan bahwa gen Apolipoprotein E
(APOE e4) meningkatkan risiko PA terutama pada wanita berusia 55-65 tahun
namun risiko menurun pada usia yang lebih tua. Penyakit ini lebih banyak diderita
oleh wanita dibandingkan pria namun wanita memiliki angka harapan hidup yang
lebih tinggi daripada pria (Perdossi, 2015).
9
Berikut merupakan faktor risiko PA yang dapat dimodifikasi, yaitu
vaskular (hipertensi, hiperkolesterolemia, obesitas, merokok, diabetes mellitus dan
stroke), metabolik, kekurangan asam folat dan vitamin B dan gaya hidup yang
tidak sehat (makanan tidak bervariasi dan sehat, kurang beraktivitas, kurang sayur
dan buah, dan sebagainya) (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017; Gevurova
et al., 2018). Faktor psikososial, seperti rendahnya pendidikan, aktivitas sosial,
jejaring sosial juga meningkatkan risiko PA (Kocahan and Dogan, 2017).
2.3.2. Hippocampus pada Penyakit Alzheimer.
Hippocampus merupakan struktur yang paling awal dipengaruhi dan
memiliki gejala terberat pada PA walaupun sel-sel dalam locus ceruleus, nuclei
batang otak, formatio reticularis, amygdala, substantia nigra, striatum,
hypothalamus, thalamus, claustrum dan beberapa daerah pada cortex cerebri juga
terkena (Anand and Dhikav, 2012; Kocahan and Dogan, 2017). Tipe-tipe sel
neuron yang terkena bervariasi, tergantung dari ekspresi neurotransmitter,
neuromodulators dan neuropeptida. Penyakit ini juga mempengaruhi sel-sel lain,
seperti: oligodendroglia, astrocytes, pembuluh darah, microglia dan plexus
choroideus. Sel-sel ini nantinya akan mengalami degenerasi (Kocahan and Dogan,
2017).
Atrofi sel-sel Hippocampus, terutama terjadi di bagian frontal-temporal
horn sehingga timbul gejala-gejala neurokognitif, seperti penurunan memori dan
pembelajaran spatial. Oligomers Aβ menurunkan densitas Hippocampus dan
10
neuron yang telah dipisahkan pada kultur (Kocahan and Dogan, 2017). Atrofi
Hippocampus dapat dilihat pada gambar 2.5
Gambar 2.5 Atrofi Hippocampus kanan dan kiri pada penderita PA berusia
85 tahun (Anand and Dhikav, 2012).
2.3.3. Patogenesis dan Mekanisme Penyakit Alzheimer.
Penyakit Alzheimer diduga terjadi akibat pengaruh dari Aβ-amyloid,
oligomer Aβ, presenilin, disregulasi Ca2+, tau protein dan lisosom (Kocahan and
Dogan, 2017).
Teori Aβ amyloid merupakan hal yang paling mungkin mendasari
terjadinya PA namun deposisi Aβ memiliki hubungan lemah dengan atrofi neuron
dan gangguan fungsi kognitif (Kocahan and Dogan, 2017). Mutasi gen-gen
autosomal (AβPP, PS1 dan PS2) mengakibatkan peningkatan produksi dan
agregasi β-amyloid (Pattni, tt) sehingga terjadi penumpukan β-amyloid di otak
(Hudson et al., 2011; Pattni, tt.). Pemecahan cell-surface protein amyloid
precursor protein (APP) tipe I oleh enzim proteolitik menyebabkan bentuk Aβ
bervariasi. Penumpukan Aβ peptida dalam otak berhubungan dengan timbulnya
amyloid plaques, neurofibrillary tangles (NFTs), hilangnya sinapsis, kematian
11
sel-sel neuron dan demensia (Hudson et al., 2011; Pattni, tt; Armstrong, 2011;
Kocahan and Dogan, 2017).
Gambar 2.6 Faktor-Faktor yang Diduga Terlibat dalam Terjadinya PA
(Kocahan and Dogan, 2017).
Plak amyloid yang timbul di sekitar perubahan struktural mampu
mengubah fungsi otak sementara hilangnya sinapis di tahap awal PA
mengakibatkan disfungsi sinaptik, penurunan jumlah dendritic spines dan densitas
sinaps dalam Hippocampus serta cortex. Kehilangan dendritic spines meningkat
seiring dengan peningkatan usia. Kondisi tersebut, bila berlangsung terus-menerus
akan memperburuk status mental dan fungsi kognitif penderita karena itu atrofi
progresif dendritic spines merupakan indikator perkembangan PA yang akurat
(Kocahan and Dogan, 2017).
Fungsi sinapsis juga ditekan dengan adanya peningkatan atau disregulasi
Ca2+ yang berlangsung lama sehingga terjadi sinaptotoxicity dan atrofi. Keadaan
ini berpengaruh terhadap fungsi belajar dan mengingat pada PA (Kocahan and
Dogan, 2017).
12
Glutamat, yang merupakan salah satu neurotransmitter eksitasi pada
susunan saraf pusat, berperan sebagai perantara dalam plastisitas dan transmisi
neuron, proses belajar dan mengingat. Penyakit Alzheimer berhubungan erat
dengan perubahan signal glutamat. Jaringan saraf dipengaruhi oleh tingginya
kepadatan neuron glutamanergik. Awalnya, degenerasi timbul pada neuron
pyramidal dari neocortex pada lapisan V dan III, serta glutamate-innervated
cortical dan neuron Hippocampus. Penghambatan reseptor glutamat, yaitu N-
methyl-D-aspartate (NMDA), akan menghambat progresivitas Penyakit
Alzheimer. Memantine (antagonis NMDA reseptor) dan fibroblast growth factor
(mengganti ekspresi reseptor NMDA pada neuron cortical dan hippocampal)
mencegah terjadinya keracunan glutamat (Kocahan and Dogan, 2017). Reseptor
NMDA memediasi plastisitas sinapsis, fungsi belajar dan ingatan jangka panjang.
Plastisitas sinaptik penting dalam proses belajar dan memori. Terbukanya reseptor
NMDA dan tingginya aktivitas sinaptik mengakibatkan transmisi sinaptik Long
Term Potentiation (LTP) dan perubahan ekspresi reseptor post sinaptik AMPA (α-
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) secara permanen. Aktivasi
reseptor NMDA berpengaruh terhadap plak Aβ. Reseptor tersebut berikatan
dengan Aβ baik secara langsung maupun tidak langsung, memediasi aktivitas Aβ
yang berhubungan dengan plastisitas dan transmisi sinaptik. Reseptor ini juga
merupakan target Aβ sehingga Aβ memediasi fungsi reseptor NMDA (Kocahan
and Dogan, 2017).
13
Gambar 2.7 Peranan NMDA Reseptor pada PA. LTD: Long-Term
Depression; LTP: Long Term Potentiation (Kocahan and Dogan, 2017).
Berbeda halnya dengan NMDA, hiperfosforilasi beberapa asam amino
mengakibatkan protein dipecah dari mikrotubulus, mengganggu transport struktur,
kelaparan neuron dan kematian sel. Hiperfosforilasi tau protein berperan penting
dalam perubahan neurofibrillary intrasel, patogenesis PA dan taupathies
(Kocahan and Dogan, 2017).
Tau memediasi transfer Fyn, yaitu suatu Sre kinase menuju dendritic
compartment. Fyn akan memfosforilasi NMDA sehingga memfasilitasi interaksi
dengan post-synaptic density protein 95 (PSD95). Berdasarkan penelitian yang
melibatkan APP transgenic (APP), kompleks PSD95 menimbulkan efek toksik
dengan Aβ sehingga terjadi penurunan daya ingat, peningkatan excitoxicity dan
kematian (Kocahan and Dogan, 2017).
Brain derived neurotrophic factor (BDNF) termasuk neurotrofin yang
mempengaruhi fungsi kognitif, perilaku, belajar dan memori (daya ingat). Faktor
ini merupakan mediator penting bagi kehidupan neuron, plastisitas sinaptik dan
diferensiasi seluler. Ekspresi BDNF mRNA (messenger Ribonucleic Acid) di
nucleus basalis Meynert, neocortex dan Hippocampus pada PA terlihat rendah.
14
Penurunan fungsi kognitif timbul akibat inhibisi asetilkolin. Penghambatan terjadi
karena atrofi neuron kolinergik di forebrain pada PA. Keadaan tersebut
disebabkan adanya peningkatan diferensiasi, ketahanan hidup neuron kolinergik di
basal forebrain dan terutama induksi sekresi asetilkolin oleh BDNF (Kocahan and
Dogan, 2017).
Fungsi kuantitatif seperti cadangan otak berpengaruh terhadap patogenesis
PA, misalnya lingkungan akan merangsang regulasi BDNF dan neurogenesis
sehingga mendorong terjadinya plastisitas neuron. Aktivitas santai, intelektual
(bermain, membaca, mengerjakan tugas) dan sosial juga menurunkan risiko PA
(Kocahan and Dogan, 2017).
2.3.4. Gejala dan Tanda Penyakit Alzheimer.
Karakteristik PA ditandai dengan adanya perubahan ekspresi
neurotransmitter, penurunan jumlah neutrofil, synaptotoxicity, penumpukan
deposit protein Aβ (Amyloid β atau plak amyloid atau senilis) yang
mengakibatkan hilangnya dendritic spine, atrofi dan kematian sel-sel neuron
dalam jumlah besar pada fase akhir penyakit (Kocahan and Dogan, 2017).
Penurunan memori dan fungsi kognitif lain pada tahap awal, berhubungan
dengan perubahan dalam cortex Hippocampus dan entorhinal. Sekitar 80% neuron
mati dalam perjalanan PA yang bermanifestasi pada perubahan fungsi kognitif
dan tanda-tanda lain (Kocahan and Dogan, 2017).
Penyakit Alzheimer ditandai dengan penurunan memori episodik secara
progresif dan fungsi kortikal lain. Tahap selanjutnya, mulai terjadi ketergantungan
15
dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan gangguan perilaku. Kelainan motorik
dapat terjadi di tahap akhir (Perdossi, 2015).
Gambaran khas PA berupa adanya plak Aβ di ekstraseluler dan
neurofibrillary tangles dalam intraseluler, kematian sel-sel neuron dan hilangnya
sinapsis. Semua ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif yang berkembang
progresif (Kocahan and Dogan, 2017).
Terlihat degenerasi neuron dan neurofibrillary tangles dalam lapisan II
sampai IV pada pemeriksaan histologi. Plak neural sering terlihat pada lapisan III,
sementara lapisan V dan VI memiliki neurofibrillary tangles yang relatif lebih
sedikit dibandingkan lapisan II dan IV. Hilangnya neuron-neuron pada lapisan II
akan merusak jalur proyeksi EC menuju Hippocampus. Tractus efferent dari
Hippocampus menuju cortex dihambat oleh degenerasi neuron dalam lapisan IV
secara progresif. Kerusakan neuron pada lapisan IV dan II dalam EC
mengakibatkan perubahan patologi pada daerah yang berhubungan erat dengan
formasi Hippocampus (Kocahan and Dogan, 2017).
2.3.5. Diagnosis Dini Penyakit Alzheimer.
Terdapat fase transisi antara proses penuaan normal dengan awal
dimulainya PA, sebelum tanda-tanda klinis terlihat. Fase ini terjadi selama
beberapa tahun dan dikenal sebagai mild cognitive impairment (MCI) yang
ditandai dengan adanya keluhan memori subjektif dari keluarga serta gangguan
fungsi kognisi. Kondisi ini hanya sedikit mempengaruhi fungsi intelektual
16
penderita sehingga aktivitas sehari-hari masih dapat dilakukan dengan baik dan
belum terlihat tanda-tanda demensia (Perdossi, 2015).
Kelainan fungsi kognisi dapat mengenai berbagai fungsi (eksekutif dan
bahasa) ataupun hanya satu fungsi. Kurang lebih 10% pasien dengan MCI
berkembang menjadi demensia per tahunnya (Perdossi, 2015).
Diagnosis berdasarkan gejala klinis akurat pada 90% kasus namun tetap
dibutuhkan biopsi otak. Ditemukannya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan β-
amiloid42) serta neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau) pada
biopsi otak merupakan diagnosis pasti penyakit Alzheimer. Pemeriksaan biomarka
neuroimaging dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI struktural dan
fungsional) dan likuor serebrospinalis (β-amiloid dan protein tau) juga dapat
dilakukan untuk diagnosis dini fase pre-demensia (MCI) dan preklinik PA (Perdossi,
2015).
Adanya amiloidosis serebral cidera neuronal (peningkatan kadar protein
tau dalam likuor serebrospinalis atau hipometabolisme) dan atau terdapat
penurunan amiloid-ß42 pada Positron Emission Tomography (PET) sken atau
atrofi pada MRI kepala cenderung berkembang menjadi PA (Perdossi, 2015).
Reisa Sperling menggolongkan pre-klinik PA menjadi tiga tahap. Tahap 1
(asymptomatic cerebral amyloidosis/ ACA) ditandai dengan adanya amiloidosis
serebral (positif PET amiloid dan atau penurunan kadar amiloid ß42 likuor
serebrospinalis) tanpa cidera neuronal. Disebut tahap 2 bila terdapat ACA
ditambah cidera neuronal (CN). Tingkat 3 ditandai dengan adanya ACA dan CN
disertai tanda-tanda penurunan fungsi kognisi. Diagnosis dini dengan terapi aktif
17
akan memperlambat penurunan fungsi kognisi, risiko salah diagnosis serta
penanganan yang tidak tepat (Perdossi, 2015).
2.3.6. Diagnosis Banding Penyakit Alzheimer.
Gangguan perilaku yang terjadi pada PA harus dibedakan dari delirium
dan depresi walaupun ketiganya dapat terjadi bersamaan. Tabel 2.1 berikut ini
menunjukan perbedaan antara PA, delirium dan depresi (Perdossi, 2015).
18
Tabel 2.1 Perbedaan antara demensia, delirium dan depresi (Perdossi, 2015). Gejala Demensia Delirium Depresi Awitan Perlahan Akut Bertahap Durasi Bulan/tahun Jam/ hari/ minggu Minggu/ berapa bulan Perjalanan Bertahap progresif Fluktuasi, memburuk pada
malam hari, periode lucid Memburuk pada pagi dan membaik pada malam hari
Alertness Normal Fluktuasi Tidak tertarik, sering menjawab tidak tahu
Orientasi Biasanya disorientasi waktu dan tempat
Selalu terganggu Biasanya normal
Memori Terganggu memori baru dan terkadang memori jangka panjang
Gangguan memori baru Memori baru mungkin terganggu, memori lama utuh
Pikiran Lambat dan perseveratif
Sering beda dari kenyataan Lambat, preokupasi, sedih dan putus asa
Persepsi Sering normal, halusinasi visual 30-40%
Halusinasi visual dan auditori sering
20% dengan mood congruent halusination
Emosi Apatetik, labil dan iritabel
Iritabel, agresif atau ketakutan
Mendatar, sedih, tidak responsif. Mungkin iritabel
Tidur Terganggu, wandering atau konfusi malam
Konfusi malam Terbangun pagi dini
Lainnya Penyakit fisik lain jelas Gangguan mood sebelumnya atau riwayat keluarga
2.3.7. Penanganan Penyakit Alzheimer.
Sampai saat ini, penanganan-penanganan yang diberikan masih belum
dapat menyembuhkan PA, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mencegah
penyakit ini (Qiu et al., 2009). Efektivitas pencegahan ditentukan oleh usia
penderita (Gavurova et al., 2018). Pencegahan yang dapat dilakukan, berupa
pencegahan primer, sekunder (diagnosis dini) dan tersier. Pencegahan primer
dilakukan terhadap faktor risiko (metabolik dan vaskular) dan pelindung. Upaya
pencegahan primer terutama dilakukan pada faktor nutrisi, aktivitas fisik
19
(olahraga teratur), pelatihan fungsi kognisi dan sosial serta evaluasi dan
penanganan faktor risiko metabolik dan vaskular (Qiu et al., 2009; Perdossi,
2015). Faktor nutrisi bisa berupa memakan makanan yang bervariasi dan sehat,
tetap aktif sehingga kekuatan otot dan berat badan tetap terjaga, banyak
mengkonsumsi buah dan sayur, diet rendah lemak yang bersaturasi, minum air
secukupnya, berhenti merokok, batasi asupan garam, gula dan alkohol (Perdossi,
2015). Diharapkan upaya pencegahan dapat memperlambat onset terjadinya PA
(Qiu et al., 2009).
Pencegahan sekunder dilakukan dengan diagnosis dini pada lansia
sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah hilangnya kemampuan
penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup
penderita (Qiu et al., 2009).
Penanganan tersier Demensia Alzheimer berupa penanganan psikososial
dan farmakologis. Penanganan psikososial meliputi berbagai fungsi seperti fungsi
kognisi dan perilaku. Penanganan ini dinilai tiap tahun sebanyak 2 kali. Tujuan
penanganan ini adalah untuk mempertahankan dan memperlambat penurunan
fungsi kognisi serta meningkatkan kualitas hidup (Qiu et al., 2009; Perdossi,
2015). Keluarga perlu dilibatkan sejak awal penanganan PA sehingga kondisi
penderita sebelum dan setelah penanganan dapat diketahui (Perdossi, 2015).
Penanganan farmakologis bisa dilakukan dengan memberikan penguat
kognisi, seperti obat golongan acetyl-cholinesterase inhibitor (AChEI) untuk PA
ringan sampai sedang, donepezil 10 mg untuk PA ringan sampai sedang,
memantin untuk demensia sedang hingga berat, rivastigmin 6-12 mg/hari selama
20
26 minggu dan galantamin (aman untuk perbaikan fungsi kognisi pada lansia
dengan PA berat). Donepezil 10 mg/hari juga efektif untuk mengatasi PA sedang
sampai berat setelah pemberian selama 52 minggu (Qiu et al., 2009; Perdossi,
2015).
Dapat diberikan penanganan alternatif, seperti ginkgo biloba (dosis 240
mg/hari selama 24 minggu untuk perbaikan fungsi kognisi, perilaku dan aktivitas
sehari-hari), asam lemak omega 3 (untuk PA yang sangat ringan). Pemberian
asam folat, vitamin B12, B6 dan E tidak disarankan sebagai terapi alternatif bagi
PA karena memiliki lebih banyak efek samping lebih banyak dibandingkan
manfaatnya (Perdossi, 2015).
2.3.8. Evaluasi Penanganan Penyakit Alzheimer.
Penanganan Alzheimer perlu dievaluasi minimal 2 kali dengan interval
waktu 6 bulan. Beberapa hal yang perlu dievaluasi antara lain: kemandirian
penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari, peningkatan fungsi kognisi,
kemampuan beradaptasi dan mempelajari ketrampilan. Kondisi fisik dan psikis,
efek samping obat, riwayat penyakit, faktor psikososial dan lingkungan juga
penting dievaluasi (Perdossi, 2015).
21
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa PA termasuk salah
satu tipe demensia yang paling banyak mengenai lansia. Faktor risiko PA ada
yang dapat dimodifikasi dan ada pula yang tidak. Faktor usia, genetik dan jenis
kelamin merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi.
Penyakit Alzheimer dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan onsetnya, yaitu
awitan dini dan lambat. Onset dini biasanya disebabkan karena mutasi gen AßPP,
PS1 dan PS2 sehingga terjadi penumpukan protein β amyloid dan penurunan fungsi
hyppocampus. Gen APOE e4 meningkatkan risiko PA. Penyakit Alzheimer awitan dini
umumnya terjadi pada wanita usia muda atau kurang dari 60 tahun.
Faktor risiko PA yang dapat dimodifikasi antara lain: vaskular, nutrisi dan gaya
hidup. Pencegahan primer dilakukan dengan memodifikasi faktor risiko, seperti misalnya
asupan nutrisi yang bervariasi dan adekuat serta aktivitas fisik teratur.
Mekanisme terjadinya Penyakit Alzheimer dipengaruhi oleh Aβ-amyloid,
oligomer Aβ, presenilin, disregulasi Ca2+, tau protein dan lisosom. Aktivasi reseptor
NMDA meningkatkan plak Aβ sementara tingginya ekspresi BDNF akan menurunkan
PA karena faktor ini penting bagi kehidupan neuron, plastisitas sinaptik dan diferensiasi
seluler.
Gejala klinis PA antara lain penurunan memori dan fungsi kortikal dengan
progresif, diikuti penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari,
gangguan perilaku dan motorik. Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis
22
dan bila perlu dapat ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti biopsi otak,
MRI, PET sken dan likuor cerebrospinalis.
Perlu dilakukan pencegahan baik primer, sekunder (diagnosis dini) dan
tersier (terapi aktif) untuk memperlambat penurunan fungsi kognisi, salah
diagnosis serta penanganan yang tidak tepat (Perdossi, 2015). Pencegahan primer
dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, nutrisi dan aktivitas fisik. Pencegahan
tersier meliputi terapi farmakologis, psikososial dan alternatif. Penanganan PA
penting dievaluasi sebanyak 2 kali dalam setahun.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anand KS and Dhikav V. 2012. Hippocampus in health and disease: An
overview. Ann Indian Acad Neurol, 15(4): 239–246. doi: 10.4103/0972-
2327.104323.
Armstrong, RA. 2011. The Pathogenesis of Alzheimer’s Disease: A Reevaluation
of the “Amyloid Cascade Hypothesis”. International Journal of Alzheimer’s
Disease.
Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. 2016.
Menkes: Lansia Yang Sehat, Lansia Yang Jauh Dari Demensia. Available
from: http://www.depkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-
yang-sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html. Diakses: 21 July 2016.
Blanken AE., Hurtz S., Zarow C., Biado K., Honarpisheh H., Somme J., Brook J.,
Tung S., Kraft E., Lo D., Denise WNg., Vinters HV., Apostolova LG. 2017.
Associations between hippocampal morphometry and neuropathologic
markers of Alzheimer's disease using 7 T MRI. NeuroImage: Clinical, 15: 56-
61. https://doi.org/10.1016/j.nicl.2017.04.020.
Ellison JM. 2015. Alzheimer’s or Dementia: What’s The Difference? Available
from: http://www.brightfocus.org/alzheimers/article/alzheimers-or-dementia-
whats-difference. Diakses: July 20th, 2016.
Gavurova, B., Kovac, V., Jarcuskova, D. 2018. Development of Regional in
Disparities in Alzheimer’s Disease Mortality in the Slovak Republic from
1996 to 2015. International Journal of Alzheimer’s Disease.
https://doi.org/10.1155/2018/3149495.
Hudson, AP., Balin, BJ., Crutcher, K., Robinson, S. 2011. New Thinking on The
Etiology and Pathogenesis of Late-Onset Alzheimer’s Disease. International
Journal of Alzheimer’s Disease.
Kocahan, S and Dogan, Z. 2017. Mechanism of Alzheimer’s Disease pathogenesis
and prevention: the brain, neural pathology, N-methyl-D-aspartate Receptors,
24
Tau Protein and other risk factors. Clinical Psychopharmacology and
Neuroscience, 15(1):1-8.
Pattni, KAM. tt. Beta-Amyloid Sebagai Patogenesis Pada Penyakit Alzheimer.
Available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/6103/4594.
Access: July 25th, 2016.
Perdossi. 2015. Panduan Praktik Klinik: Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia.
Qiu, CX., Kivipelto, M., von Strauss, E. 2009. Epidemiology of Alzheimer’s
Disease: Occurrence, Determinants, And Strategies Towards Intervention.
Dialogues in Clinical Neuroscience, 11(2): 111-28.
Wu, YT., Brayne, C., Matthews, FE. 2015. Prevalence of Dementia in East Asia:
A synthetic Review of Time Trends. Int J Geriatr Psychiatry, 30: 793-801.