Tinjauan Hukum Tindak Pidana Narkotik Menurut Uu No. 35th 2009 Dan Persfektif Hukum Jenis Katinon...

35
PERSFEKTIF HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIK MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN TINJAUAN HUKUM TERHANDAP JENIS KATINON DALAM KATAGORI NARKOTIK SERTA ANALISA HUKUMNYA By Timur Abimanyu, SH.MH Latar Belakang Hukum adalah untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan antara pribadi didalam masyarakat, 1 dimana negara menjamin serta mewujudkan tanpa merugikan pihak/masyarakat yang lain. Dengan hukum pidana untuk memungkinkan terselenggaranya kehidupan bersama antar manusia, dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan masyarakat umum. Dimana publik dari hukum pidana justru mengemuka dalam fakta bahwa sifat dapat dipidananya suatu perbuatan tidak akan hilang dan tetap ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses penuntutan berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatan itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana mengabaikan terhadap kepentingan para pihak. 2 Pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvorderingsrecht) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya salah satu bidang saja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi 1 Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 142.D 2 Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. Hal. 5.

Transcript of Tinjauan Hukum Tindak Pidana Narkotik Menurut Uu No. 35th 2009 Dan Persfektif Hukum Jenis Katinon...

PERSFEKTIF HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIK MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN TINJAUAN HUKUM TERHANDAP

JENIS KATINON DALAM KATAGORI NARKOTIK SERTA ANALISA HUKUMNYA

By Timur Abimanyu, SH.MH

Latar Belakang

Hukum adalah untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan antara pribadi didalam masyarakat, 1dimana negara menjamin serta mewujudkan tanpa merugikan pihak/masyarakat yang lain. Dengan hukum pidana untuk memungkinkan terselenggaranya kehidupan bersama antar manusia, dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan masyarakat umum. Dimana publik dari hukum pidana justru mengemuka dalam fakta bahwa sifat dapat dipidananya suatu perbuatan tidak akan hilang dan tetap ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses penuntutan berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatan itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana mengabaikan terhadap kepentingan para pihak.2

Pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvorderingsrecht) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya salah satu bidang saja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional (berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai sepenuhnya.

Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap peredaran narkotika dan terhadap narkotik jenis baru seperti katinon tersebut ?Karena pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan.Ilmu hukum pidana menyebut ketentuan ini sebagai asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang mempunyai makna tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Francis Bacon seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex priusquam feriat (undang-undang harus memberikan

1 Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 142.D

2 Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. Hal. 5.

peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni juga mencakup pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya bila ancaman pidana yang tercantum terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegah, maka menghukum dapat dibenarkan. 3Hukum pidana harus lebih terang daripada sinar matahari, hukum pidana harus bersifat rigit, tidak absurt, jika hanya menarik turun-turunan, maka jelas ini pemikiran hukum yang keliru. Pemikiran hukum tidak boleh dipaksakan dengan logika analogi dengan membanding-bandingkan. Posisi Katinona pada awalnya adalah Psikotropika.Penyalahgunaan psikotropika4 mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap psikotropika menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan psikotropika dan upaya pemberantasan peredaran gelap. 5

Tujuan dan MaksudBertujuan untuk mengetahui secara mendalam/spesifik tindak pidana narkotika dan pengaturan hukum terhadap narkotika jenis katinon, untuk mengetahui apakah jenis ketinon dapat memidanakan seseorang karena telah menggunakannya, walaupun dalam undang-undang tindak pidana belum diatur secara jelas. Apakah katinon tergolong sejenis narkotik atau bukan !

Kerangka Teori dan KonseptualDengan didasari oleh Kerangka teori dan konsep dari UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam pasal 1 ayat 1adalah : “ Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”.

Landasan Hukum

Nilai-nilai yang terkandung adalah terdapat dalam Pancasila, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

3 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta :Pradnya Paramita, Cet.16,2007), 84. 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta

Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085);

5 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Pasal 1,Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini, 2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini, 3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika, 4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkot ika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.

Nomor 3085), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 dan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Metode PenelitianPenulis menggunakan data primair yang terdiri dari bahan-bahan Pengetahuan informasi yaitu data-data kepustakan, serta bahan Pengetahuan Hukum primair yaitu produk-produk hukum undang-undangan tentang tindak pidana narkotika dan media cetak/elektronik.

Perumusan Masalah Terdapat permasalahan pada pemahaman filsafat hukum Pancasila yaitu : 1. Apakah upaya penindakan terhadap pelaku tindak pidana narkotika terhadap narkotika jenis

katinon dapat dibenarkan ? mengingat jenis katinon belum secara eksplisit belum diatur secara tegas didalam penjelasan UU No. 35 Tahun 2009 tersebut ?

2. Apakah Upaya Rehabilitasi terhadap pengguna narkotika6 jenis katinon yang dilakukan aparat penegak hukum dapat dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia ?

Pengertian Tindak Pidana Narkotika Secara UmumNarkotika adalah zat yang sangat dibutuhkan di bidang kedokteran dan untuk penggunaannya secara legal dibawah pengawasan dokter dan apoteker. Dengan adanya undang-undang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya: “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan”.

Pendapat Ikin A.Ghani “Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan”.

Dan Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: “Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain”.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1 : ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,

6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention

Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkot ika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.”

Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia maupun dunia Internasional adalah terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam ‘lembah hitam’ narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan ‘lingkaran setan’ bernama narkoba, telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi muda yang kehilangan masa depan karena perangkap ‘makhluk’ yang disebut narkoba ini. Kita tahu bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari keluarga, ketika keluarga hancur, rapuh pula bangunan bangsa di negeri ini.

Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara pasal 1 angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka 14 undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sebagaimana yang diamanatkan dalam konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

Pengertian penyalahguna yang diatur dalam pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian penyalahgunaan Narkotika, yaitu pengunaan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.7 Pengertian tersebut, juga tersirat dari pendapat Dadang Hawari, yang menyatakan bahwa ancaman dan bahaya pemakaian Narkotika secara terus-menerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun psikis yang sangat kuat terhadap pemakaianya, dan secara sederhana dapat disebutkan bahwa penyalahgunaan Narkotika adalah pola penggunaan Narkotika yang patologik sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atas teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli Narkotika.

7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Pasal 4, Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah, mel indungi , dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

Beberapa Macam Sanksi Dalam Undang-Undang Narkotika. Pengertian Sanksi Pidana, sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.

Jenis-jenis Sanksi Pidana, yang secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu: a. Pidana Pokok, 1. Pidana mati, 2. Pidana Penjara, 3. Pidana Kurungan, 4. Pidana Tutupan dan

5. Pidana Dendab. Pidana Tambahan, 1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu, 2. Perampasan Barang Tertentu dan

3. Pengumuman Putusan Hakim c. Teori Pemidanaan :

Pemidanaan berasal dari kata “pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”.Sudarto, mengemukakan: “pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa “ cap “ oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat “jahat”. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.”

d. Syarat-syarat pemidanaan : Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan. Baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan.

Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan.

Menurut pakar hukum pidana Sudarto, mengemukakan sebagai berikut: “syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asa legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan”.

Tujuan dari unsur Pemidanaan adalah untuk menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan suatu paradoxalitiet yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: “pemerintah

Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarahkan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serabgan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara menyearang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu”.

Pada umunya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu :

1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen), yang menyatakan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mampunyai tujuan tertentu yang bermafaat. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat kejahatan (quia peccatum est) melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccetur). Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

3. Teori gabungan, Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu: a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking), b. Bersifat memperbaiki (verbetering/ reclasering), c. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken) dan f. Pengaturan Sanksi Pidana Mati Dalam Undang-Undang Narkotika.

Jelas sekilas dari uraian diatas, bahwa dalam upaya melakukan pemberantasan peredaran narkotik, pemerintah telah perupaya dan bekerja keras untuk melakukan penndakan tegas tehadap para bandar narkoba dan para pegunanya. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 telah melakukan upaya pencegahan terhadap peredaran narkotik di Indonesia dengan memberikan sangsi yang tegas, bahkan sampai kepada hukuman mati. Akan tetapi Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tersebut, belum menjelskan secara explisit terhadap narkotik jenis baru yaitu katinon, hanya berupa penggolongan dan katagori pada kelas I.

Kasus yang marak terjadi :” Akibat tindakan penggerebekan pada pesta narkoba di rumah Rafi Ahmad 8sangat

menggegerkan pada masyarakat Indonesia, dimana pada awal mulanya Rafi dikatakan negatif, akan tetapi pada penelitian selanjutnya dikatakan positif. Karena yang dipakai oleh Rafi adalah narkoba jenis baru yaitu katinon. Sejak merebaknya katinon sebagai narkoba, masyarakat pucuk gunung geger, baik masyarakat puncak ataupun masyarakat Baturaden dari hasil penlitian Badan Narkotika Nasional (BNN)”.

Tanaman khat (katinon)9 yang katanya berasal dari luar negeri, karena tanaman khat mengandung

8 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Bagian 2, Ed.1-3, jilid 2, 2007).

9 UU No. 35 Tahun 2009, Pasal 8, (1) Narkot ika Golongan I di larang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, (2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk

zat khatinon10 yang diatur dalam UU no 35 tahun 2009 (belum diatur secara jelas dan terperinci), dimana zat tersebut termasuk narkotika golongan satu. Jika kita mau menganalisa dan meneliti terhadap pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan.

Pengaturan dan Kebijakan Terhadap Pengguna NarkotikaTerhadap Pengedar Narkotika :Pada Pasal 1 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 menjelaskan :1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.

4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.

Dalam Pasal 48 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 Pengaturan prekursor adalah bertujuan untuk:a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;11

b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; danc. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.

Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika Pasal 49 Undang Undang No. 35 Tahu 2009:1. Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam Prekursor

Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.2. Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

10 Barda Nawani Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Kencana, Ed.Revisi,Cet.2,2007), 253.

11 Kuffal, Upaya Paksa Penangkapan, Penahanan,Penggeledahan dan Penyitaan, (Malang : UMM, Pers, Cet.1, 2007),136.

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yaitu merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden an bertanggung jawab kepada Presiden.BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, yang mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota, merupakan instansi vertikal (diatur dalam pasal 64 s/d pasal 66 UU No. 35 Tahun 2009.Dalam Pasal 113 ayat (1) dan (2) UU No. 35 Tahun 2009 mengatur bahwa : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Dan dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Begitu pula ketentuan dalam Pasal 114 ayat (1) dan (2) UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan terhadap hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Sanksi terhadap Pengguna/pecandu Narkotika :Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Maksud dari Pasal 53 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 adalah dalam rangka upaya :

1. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.

3. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aturan Rehabilitasi12 terdapat dalam Pasal 54 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 yaitu bagi Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dan dalam Pasal 55 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 yaitu:

1. Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau

3. lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 56 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 :

(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.(1) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat

dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

12 UU. No. 35Tahun 2009, BAB IX. PENGOBATAN DAN REHABILITASI, Bagian Kesatu, Pengobatan, Pasal 53, (1)Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan dalam Pasal 57 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 : Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Penegasan pada Pasal 58 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 : Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

Ancaman hukuman bagi pecandu/pengguna diatur dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Jika merujuk Bab IX tentang Pengobatan dan Rehabilitasi, bagian kedua tentang Rehabiliatsi Pasal 54 yaitu Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan pasal 55 yaitu :

(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dari atauran pasal 55 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009, bahwa pecandu narkotika melalui keluarganya, masih diberi kesempatan oleh Undang-Undang untuk memilih perawatan rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial (pendekatan keagamaan/membangun spritual).13

Perlu dikaji kembali bahwa pengaturan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 terhadap Jenis Narkotika yang Baru (katinon) belum diatur secara jelas dan terperinci, hanya diatur mengenai

13 UU No. 35 Tahun 2009, Bagian Kedua: Rehabilitasi, Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 : (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabi l i tas i sosial yang di tunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang di tunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

katagori bahwa katinon tergolong narkotika golongan satu. Diatur dalam Pasal 6 ayat a yaitu Narkotika Golongan I. Dan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan uraian diatas dan dengan sejak berlakunya Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka berdasarkan Pasal 153 yang menyatakan bahwa, dengan berlakunya Undang-Undang ini : a.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan

b.   Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Menurut pendapat AR Sujono dan Bony Daniel dalam bukunya menyatakan bahwa, Undang-Undang 35 Tahun 2009  tidak menghapus esensi Undang-Undang 5 Tahun 1997, tetapi hanya golongan I dan II yang dikriminalisasikan sebagai narkotika dan tidak lagi psikotropika. Dengan demikian, jelaslah bahwa letak Katinon adalah Narkotika, tidak perlu kita menanyakan kepada ahli kimia ataupun lainnya, karena Katinon sudah diatur. Lalu mengapa ada BNN menyatakan Katinon unsur baru, padahal sudah terlebih dahulu sebagai psikotropika.

Pertanyaannya ? dalam kasus Rafi Ahmad yang juga menyebar luas karena adanya efek samping yaitu pembakaran Katinon di sejumlah daerah adalah, mengapa pada awal penangkapan Rafi A dikatakan negatif, dan pada hari berikutnya dinyatakan oleh BNN Rafi Positif hanya saja yang digunakan adalah Katinon sehingga tidak terdeteksi. Adalagi yang ikutt ikutan menyatakan tetapi tidak berdasar seperti :Badan Pengawas obat dan makanan (BPOM) yang menyatakan, unsur senyawa katinon yang disebut sebagai narkoba jenis baru dalam kasus penggrebekan pesta narkoba di rumah Raffi Ahmad memang tidak lazim, dikatakan senyawa ini dapat menimbulkan efek euforia terhadap pemakainnya.14

Dari uraian diatas bahwa Katinon jelaslah, bukan jenis baru karena sejak tahun 1997 sudah di kriminalisasikan menjadi Psikotropika, dan pada tahun 2009 diangkat derajatnya menjadi Narkotika. Pertanyaan yang mendasar kembali lagi terjadi yaitu apakah BNN tidak mengetahui bahwa Katinon jenis Psikotropika dan sejak 2009 menjadi Narkotika ? bukannya peraturan sakti BNN adalah UU 35 Tahun 2009 dan UU 5 Thun 1997, kemudian mengapa baru sekarang melakukan penyitaan dan pembakaran daun katinon di sejumlah daerah, bukankah tumbuhan tersebut sudaah ilegal sejak tahun 1997 dan lebih diperkuat sejak tahun 2009, kemana saja BNN ? Inilah bahayanya jika aparat penegak hukum tidak cermat mempelajari hukum, tentunya akan salah menerapkan hukum.

14 .Http ://www.kakus.co.id/thread/510c16cc542acf1419000015/narkoba-jenis-baru-uotkatinonquot-berasal-dari-tumbuhan-sirih-arab.

Perlu diketahui dengan seksama bahwa penyebutan katinona yang selama ini adalah sebagai narkotika adalah salah kaprah. Hal ini karena Golongan 1 Psikotropika mengatur KATINONA dengan nama kimia (±) -4-etil-2,5-dimektosi-α. Katinona, (bahasa Inggris: Cathinone) atau benzoyletanamina (dipasarkan dengan nama haggigat di Israel) atau bisa juga disebut Neropedron (bahasa Inggris: Nerophedrone) adalah zat monoamina alkaloid yang terkandung dalam tumbuhan semak Catha edulis (khat) dan secara kimiawi mirip dengan efedrina, katin, dan zat amfetamin lainnya. Peneliti dari Fakultas Farmakologi, Universitas Jenewa, Swiss, yang bernama Kalix P, dalam jurnalnya yang berjudul Pharmacology and Toxicology, edisi Februari 1992 mengatakan bahwa zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin. Katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Katinona kemungkinan merupakan kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis. Tidak seperti amfetamin lainnya, katinona tergolong ke dalam kelompok fungsional keton. Zat amfetamin lainnya yang juga berbagi struktur dengannya adalah antidepresan buprofiona dan stimulan metkatinona.

Pandangan dunia internasional, katinona tergolong ke dalam obat-abatan terlarang Golongan I di bawah Konvensi Zat Psikotropika. Sejak 1993, DEA menetapkan katinona sebagai zat adiktif Golongan I dalam Undang-Undang Pengawasan Psikotropika. Sementara di Indonesia, katinona tercantum dalam lampiran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai Narkotika Golongan I pada urutan ke-35 dari daftar tersebut.

Dimana penjualan tumbuhan khat memang secara hukum dilegalkan di beberapa negara, namun juga ilegal di beberapa negara lainnya. Katinona sintetik (buatan) juga sering digunakan sebagai bahan utama yang digunakan sebagai campuran dalam mengkonsumsi obat-obatan terlarang, misalnya bath salts di Amerika Serikat. Katinona secara struktural terkait dengan metkatinona, sama seperti amfetamina yang terkait dengan metamfetamina. Katinona berbeda dengan amfetamin, ia memiliki atom keton oksigen (C=O) dalam posisi β di rantai samping. Alkohol yang terkandung dalam senyawa katin secara stimulan kurang kuat. Konversi biofisiologikal dari katinona ke katin dapat dilakukan pada daun khat. Daun khat segar memiliki rasio pengonversian dari katinona ke katin yang lebih besar daripada daun yang kering, sehingga memiliki efek psikoaktif yang lebih kuat.Katinona dapat diekstraksi dari Catha edulis, atau disintesis dari α-bromo propiofenona (lebih mudah dibuat dari propiofenona). Arnold Brossi dalam bukunya tahun 1991 menyatakan katinona, seperti halnya amfetamin, memiliki potensi yang kuat dalam merangsang sistem saraf pusat (SSP). Sebagian besar efek diperkirakan berasal dari dua phenylalkylamines : katinona dan katin yang secara struktural mirip dengan amfetamin. Katinona adalah turunan metkatinona, yang ditemukan secara alami dalam tanaman khat. Ini jenis obat terlarang dapat dengan mudah diproduksi oleh oksidasi pseudoefedrin di laboratorium bawah tanah. Dalam katinona struktur kimianya hampir identik dengan amfetamin kecuali bahwa molekul hidrogen dijatuhkan dan digantikan oleh molekul oksigen. Setelah pemberian oral dalam bentuk kapsul, kadar serum puncak katinona dicapai dalam waktu satu jam. Katinona juga merupakan konstituen yang paling kuat yang terkandung dalam tanaman khat dan memiliki struktur kimia yang sangat mirip dengan amfetamin.Penggunaan katinona yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, gelisah, lekas marah, insomnia, halusinasi dan serangan panik. Pengguna kronis beresiko terkena gangguan kepribadian dan menderita infark miokard. Mefedrona, yaitu turunan katinona yang tidak terbentuk secara alami, lebih potensial untuk melepaskan serotonin dibandingkan dengan katinona atau metkatinona, sehingga efek penggunaannya setara dengan ekstasi. Orang-orang yang

menggunakan obat-obatan ini bisa diuji serum atau uji urin untuk membuktikan kandungan katinona dan norepedrina; metabolit utamanya.

Analisa faktor internal terhadap kebijakan UU No. 35 Tahun 2009 :Kebijakan pemberlakuan secara internal dari undang-undang ini adalah mengenai jenis Narkotika Golongan I dimana dalam undang-undang tersebut belum terurai secara jelas keberadaan jenis katinon, karena di negara swiss bahwa keberadaan katinon sudah diketahui sejak tahun 1992, yangmengatakan bahwa zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin, dimana katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Dengan demikian katinona kemungkinan merupakan kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis. Jelaslah kebijakan pemberlakuan dari UU No. 35 Tahun 2009, adalah kurang cermatnya penafsiran terhadap katinon yang dikatakan sebagai narkotika jenis baru.Jika memang demikian maka perlu dikaji kembali mengenai kebijakan secara internal, terhadap apara penegak hukum (BNN) yang salah menafsirkan jenis katinon ini, hal ini berakibat fatal jika salah penafsiran dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena hak-hak dari pihak yang diduga sebagai pecandu telah dikesampingakan karena aparat penegak hukum (BNN) telah salah menggunakan pasal-pasal didalam implementasi penggrebekan, penangkapan sampai upaya rehabilitasi.15

Kaitan dengan upaya rehabilitasi, juga terkesan otoriter tanpa memperhatikan kaidah-kaidah atau norma huku yang berlaku dalam hal ini UU No. 35 Tahun 2009, karena didalam undang-undang tersebut pada Bab IX tentang Pengobatan dan Rehabilitasi, bagian kedua tentang Rehabiliatsi Pasal 54 yaitu Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan pasal 55 yaitu : (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dari Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa bagi pecandu narkotika diberi dua pilihan yaitu bagi Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan

15 UU No. 35 Tahun 2009, Pasal 56, (1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.(2)Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Pasal 57, Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Dan Pasal 59, (1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, atau Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dengan demikian amanat undang-undang terebut orang tua wali dari pecandu masih diberi kesempatan untuk memilih hendak dilakukan rehabilitasi bagi anaknya yang dianggap pecandu tersebut. Akan tetapi pada implementasinya aparat penegak hukum (BNN) telah salah menafsirkan kebijakan pemberakukan dari UU No. 35 Tahun 2009, alhasil cenderung dan seakan-akan telah melanggar hak asasi manusia.

Analisa faktor eksternal terhadap kebijakan UU No. 35 Tahun 2009 :Didasari kebijakan pemberlakuan secara eksternal dari undang-undang tersebut, terhadap jenis Narkotika Golongan I, yang sebenarnya katinon bukanlah jenis baru, dimana Golongan 1 Psikotropika mengatur KATINONA dengan nama kimia (±) -4-etil-2,5-dimektosi-α. Katinona dalam bahasa Inggris: Cathinone atau benzoyletanamina (dipasarkan dengan nama haggigat di Israel) atau bisa juga disebut Neropedron dalam bahasa Inggris: Nerophedrone adalah zat monoamina alkaloid yang terkandung dalam tumbuhan semak Catha edulis (khat) dan secara kimiawi mirip dengan efedrina, katin, dan zat amfetamin lainnya. Universitas Jenewa, Swiss, yang bernama Kalix P, dalam jurnalnya yang berjudul Pharmacology and Toxicology, edisi Februari 1992 mengatakan bahwa zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin. Katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Katinona kemungkinan merupakan kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis dan katinona tergolong ke dalam kelompok fungsional keton. Zat amfetamin lainnya yang juga berbagi struktur dengannya adalah antidepresan buprofiona dan stimulan metkatinona.

Pandangan secara internasional, katinona tergolong ke dalam obat-abatan terlarang Golongan I di bawah Konvensi Zat Psikotropika. Sejak 1993, DEA menetapkan katinona sebagai zat adiktif Golongan I dalam Undang-Undang Pengawasan Psikotropika. Penjualan tumbuhan khat memang secara hukum dilegalkan di beberapa negara, namun juga ilegal di beberapa negara lainnya. Katinona sintetik (buatan) juga sering digunakan sebagai bahan utama yang digunakan sebagai campuran dalam mengkonsumsi obat-obatan terlarang, misalnya bath salts di Amerika Serikat. Katinona secara struktural terkait dengan metkatinona, sama seperti amfetamina yang terkait dengan metamfetamina. Katinona berbeda dengan amfetamin, ia memiliki atom keton oksigen (C=O) dalam posisi β di rantai samping dan alkohol yang terkandung dalam senyawa katin secara stimulan kurang kuat.Konversi biofisiologikal dari katinona ke katin dapat dilakukan pada daun khat. Daun khat segar memiliki rasio pengonversian dari katinona ke katin yang lebih besar daripada daun yang kering, sehingga memiliki efek psikoaktif yang lebih kuat.Katinona dapat diekstraksi dari Catha edulis, atau disintesis dari α-bromo propiofenona (lebih mudah dibuat dari propiofenona).

Arnold Brossi dalam bukunya tahun 1991 menyatakan katinona, seperti halnya amfetamin, memiliki potensi yang kuat dalam merangsang sistem saraf pusat (SSP). Sebagian besar efek diperkirakan berasal dari dua phenylalkylamines : katinona dan katin yang secara struktural mirip dengan amfetamin. Katinona adalah turunan metkatinona, yang ditemukan secara alami dalam tanaman khat. Ini jenis obat terlarang dapat dengan mudah diproduksi oleh oksidasi pseudoefedrin di laboratorium bawah tanah. Dalam katinona struktur kimianya hampir identik dengan amfetamin

kecuali bahwa molekul hidrogen dijatuhkan dan digantikan oleh molekul oksigen. Setelah pemberian oral dalam bentuk kapsul, kadar serum puncak katinona dicapai dalam waktu satu jam. Katinona juga merupakan konstituen yang paling kuat yang terkandung dalam tanaman khat dan memiliki struktur kimia yang sangat mirip dengan amfetamin.

Dari uraian ini, terlihat bahwa aparat penegak hukum (BNN) telah salah menafsirkan keberadaan katinon yang katanya narkotik jenis baru, akan tetapi pada fakta kenyataannya bahwa katinon ini sudah ada sejak tahun 1991, dengan penafsiran bahwa narkotik ini jenis baru adalah suatu penerapan kebijakan yang sangat keliru, atas dasar tersebutlah bahwa bahwa apa yang diamanatkan oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang katinon termasuk dalam golongan satu harus diperjelas pengaturan hukumnya.

Kesimpulan :

- Hukum adalah untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan antara pribadi didalam masyarakat, dimna negara menjamin serta mewujudkan tanpa merugikan pihak/masyarakat yang lain. Dengan hukum pidana untuk memungkinkan terselenggaranya kehidupan bersama antar manusia, dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan masyarakat umum. Pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvorderingsrecht) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht).

- Karena pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan. Ilmu hukum pidana menyebut ketentuan ini sebagai asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang mempunyai makna tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Francis Bacon seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni juga mencakup pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya bila ancaman pidana yang tercantum terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegah, maka menghukum dapat dibenarkan. Bertujuan untuk mengetahui secara mendalam/spesifik tindak pidana narkotika dan pengaturan hukum terhadap narkotika jenis katinon, untuk mengetahui apakah jenis ketinon dapat memidanakan seseorang karena telah menggunakannya, walaupun dalam undang-undang tindak pidana belum diatur secara jelas. Apakah katinon tergolong sejenis narkotik atau bukan !

- Pengertian Tindak Pidana Narkotika Secara Umum adalah Narkotika adalah zat yang sangat dibutuhkan di bidang kedokteran dan untuk penggunaannya secara legal dibawah pengawasan dokter dan apoteker. Dengan adanya undang-undang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya: “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan”.

- Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara pasal 1 angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka 14 undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Amanat dalam konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

- Pengertian Sanksi Pidana, sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.

- Dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu: a.Pidana Pokok, (1. Pidana mati, 2. Pidana Penjara, 3. Pidana Kurungan, 4. Pidana Tutupan dan 5. Pidana Denda), b. Pidana Tambahan, (1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu, 2. Perampasan Barang Tertentu dan 3. Pengumuman Putusan Hakim ), c. Teori Pemidanaan : Pemidanaan berasal dari kata “pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”. Dan syarat-syarat pemidanaan : yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan. Baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan.

- Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan. Dan tujuan dari unsur Pemidanaan adalah untuk menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan suatu paradoxalitiet yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: “pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarahkan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serabgan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara menyearang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu”.

- Undang-undang No. 35 Tahun 2009 telah melakukan upaya pencegahan terhadap peredaran narkotik di Indonesia dengan memberikan sangsi yang tegas, bahkan sampai kepada hukuman

mati. Akan tetapi Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tersebut, belum menjelskan secara explisit terhadap narkotik jenis baru yaitu katinon, hanya berupa penggolongan dan katagori pada kelas I. Akan tetapi tanaman khat (katinon) yang katanya berasal dari luar negeri, karena tanaman khat mengandung zat khatinon yang diatur dalam UU no 35 tahun 2009 (belum diatur secara jelas dan terperinci), dimana zat tersebut termasuk narkotika golongan satu. Jika kita mau menganalisa dan meneliti terhadap pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan.

- Rehabilitasi 1 6 Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Maksud dari Pasal 53 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 adalah dalam rangka upaya : 1. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, 2. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri, 3. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Aturan Rehabilitasi terdapat dalam Pasal 54 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 yaitu bagi Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.17

- Pada Pasal 55 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 yaitu: 1. Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, 2. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau, 3. lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

- Penegasan pada Pasal 58 Undang Undang No. 35 Tahu 2009 : Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Merujuk Bab IX tentang Pengobatan dan Rehabilitasi, bagian kedua tentang Rehabiliatsi Pasal 54 yaitu Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan pasal 55 yaitu : (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang

16 Zulkarnain, Praktek Peradilan Pidana : Panduan Parktis Kemahiran Hukum Acara Pidana, (Malang: In-Trans Publishing, Cet.2, 2007),182.

17 Suharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindakan Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung : Refika Adtama, Editor aep Gunarsa, 2007), 169.

ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dari atauran dalam pasal 55 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009, bahwa pecandu narkotika melalui keluarganya, masih diberi kesempatan oleh Undang-Undang untuk memilih perawatan rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial (pendekatan keagamaan/membangun spritual).

- Perlunya mengkaji kembali terhadap kebijakan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 mengenai Jenis Narkotika yang Baru (katinon) belum diatur secara jelas dan terperinci, hanya diatur mengenai katagori bahwa katinon tergolong narkotika golongan satu. Diatur dalam Pasal 6 ayat a yaitu Narkotika Golongan I. Dan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jelas bahwa katinon bukan jenis baru karena sejak tahun 1991 dan mulai diketahui pada masyarakat Internasional pada Tahun 1997 sudah di kriminalisasikan menjadi Psikotropika, dan pada tahun 2009 diangkat derajatnya menjadi Narkotika. Pertanyaan yang mendasar kembali lagi terjadi yaitu apakah BNN tidak mengetahui bahwa Katinon jenis Psikotropika dan sejak 2009 menjadi Narkotika ? bukannya peraturan sakti BNN adalah UU 35 Tahun 2009 dan UU 5 Thun 1997, kemudian mengapa baru sekarang melakukan penyitaan dan pembakaran daun katinon di sejumlah daerah, bukankah tumbuhan tersebut sudaah ilegal sejak tahun 1997 dan lebih diperkuat sejak tahun 2009, kemana saja BNN ? Inilah bahayanya jika aparat penegak hukum tidak cermat mempelajari hukum, tentunya akan salah menerapkan hukum.

- Berdasarkan penelitian dari Fakultas Farmakologi, 18Universitas Jenewa, Swiss, yang bernama Kalix P, dalam jurnalnya yang berjudul Pharmacology and Toxicology, edisi Februari 1992 mengatakan bahwa zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin. Katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Katinona kemungkinan merupakan kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis. Tidak seperti amfetamin lainnya, katinona tergolong ke dalam kelompok fungsional keton. Zat amfetamin lainnya yang juga berbagi struktur dengannya adalah antidepresan buprofiona dan stimulan metkatinona.

- Pandangan secara internasional, katinona tergolong ke dalam obat-abatan terlarang Golongan I di bawah Konvensi Zat Psikotropika. Sejak 1993, DEA menetapkan katinona sebagai zat adiktif Golongan I dalam Undang-Undang Pengawasan Psikotropika. 19Sementara di Indonesia, katinona tercantum dalam lampiran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai Narkotika Golongan I pada urutan ke-35 dari daftar tersebut. 20

- Analisa kebijakan internal terhadap kebijakan UU No. 35 Tahun 2009 : dimana kebijakan pemberlakuan secara internal dari undang-undang ini adalah mengenai jenis Narkotika

18 Terence Ingman, The English Legal Proses, (London:Blackstone, 1977), 28.19 Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip-Prinsip Implementasi Hukum di Indonesia, Ed.1,

Cet.3, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Ed.1,Cet.3, 2007), 137.20 Harahap,Yahyah.M, Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman, makalah disampaikan

pada seminar yang diselenggarakan PP IKAHI DKI dan Bandung,(Jakarta, 2002),13.

Golongan I dimana dalam undang-undang tersebut belum terurai secara jelas keberadaan jenis katinon, karena di negara swiss bahwa keberadaan katinon sudah diketahui sejak tahun 1992, yang mengatakan bahwa zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin, dimana katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Dengan demikian katinona kemungkinan merupakan kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis. Jelaslah kebijakan pemberlakuan dari UU No. 35 Tahun 2009, adalah kurang cermatnya penafsiran terhadap katinon yang dikatakan sebagai narkotika jenis baru. Dan dalam upaya merehabilitasi, juga terkesan otoriter tanpa memperhatikan kaidah-kaidah atau norma huku yang berlaku dalam hal ini UU No. 35 Tahun 2009, karena didalam undang-undang tersebut pada Bab IX tentang Pengobatan dan Rehabilitasi, bagian kedua tentang Rehabiliatsi Pasal 54 yaitu Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan pasal 55 yaitu : (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

- Dalam rangka upya penegakan hukum (BNN) terkesan dalam melaksanakan kebijakan dan kewenangannya telah salah menafsirkan keberadaan katinon yang katanya narkotik jenis baru, yang pada fakta hukumnya bahwa katinon ini sudah ada sejak tahun 1991, dengan penafsiran bahwa narkotik ini jenis baru adalah suatu penerapan kebijakan yang sangat keliru, atas dasar tersebutlah bahwa bahwa apa yang diamanatkan oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang katinon termasuk dalam golongan satu harus diperjelas pengaturan hukumnya.

- Amanat dari Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 bahwa bagi pecandu narkotika diberi dua pilihan yaitu bagi Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, atau Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dengan demikian amanat undang-undang terebut orang tua wali dari pecandu masih diberi kesempatan untuk memilih hendak dilakukan rehabilitasi bagi anaknya yang dianggap pecandu tersebut. Akan tetapi pada implementasinya aparat penegak hukum (BNN) telah salah menafsirkan kebijakan pemberakukan dari UU No. 35 Tahun 2009, alhasil cenderung dan seakan-akan telah melanggar hak asasi manusia.

- Amanat UU No. 35 Tahun 2009 berdasarkan kebijakan eksternal adalah didasari kebijakan pemberlakuan secara eksternal dari undang-undang tersebut, terhadap jenis Narkotika Golongan I, yang sebenarnya katinon bukanlah jenis baru, Cathinone atau benzoyletanamina (dipasarkan dengan nama haggigat di Israel) atau bisa juga disebut Neropedron dalam bahasa Inggris: Nerophedrone adalah zat monoamina alkaloid yang terkandung dalam tumbuhan semak Catha edulis (khat) dan secara kimiawi mirip dengan efedrina, katin, dan zat amfetamin lainnya.

Universitas Jenewa, Swiss, mengatakan bahwa zat kationa adalah bentuk alami dari amfetamin. Katinona menginduksi pelepasan dopamina dari preparasi striatal yang di pra-labelkan dengan dopamina atau prekursornya. Katinona kemungkinan merupakan kontributor utama bagi efek stimulan Catha edulis dan katinona tergolong ke dalam kelompok fungsional keton. Zat amfetamin lainnya yang juga berbagi struktur dengannya adalah antidepresan buprofiona dan stimulan metkatinona. Pandangan dunia internasional terhadap katinona tergolong ke dalam obat-abatan terlarang Golongan I di bawah Konvensi Zat Psikotropika. Sejak 1993, DEA menetapkan katinona sebagai zat adiktif Golongan I dalam Undang-Undang Pengawasan Psikotropika. Penjualan tumbuhan khat memang secara hukum dilegalkan di beberapa negara, namun juga ilegal di beberapa negara lainnya. Katinona sintetik (buatan) juga sering digunakan sebagai bahan utama yang digunakan sebagai campuran dalam mengkonsumsi obat-obatan terlarang, misalnya bath salts di Amerika Serikat. Katinona secara struktural terkait dengan metkatinona, sama seperti amfetamina yang terkait dengan metamfetamina. Katinona berbeda dengan amfetamin, ia memiliki atom keton oksigen (C=O) dalam posisi β di rantai samping dan alkohol yang terkandung dalam senyawa katin secara stimulan kurang kuat.Konversi biofisiologikal dari katinona ke katin dapat dilakukan pada daun khat. Daun khat segar memiliki rasio pengonversian dari katinona ke katin yang lebih besar daripada daun yang kering, sehingga memiliki efek psikoaktif yang lebih kuat.Katinona dapat diekstraksi dari Catha edulis, atau disintesis dari α-bromo propiofenona (lebih mudah dibuat dari propiofenona).

DAFTAR PUSTAKA

---------------Ammiruddin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Bagian

2, Ed.1-3, jilid 2, 2007).---------------Abraham H. Maslow. (1993). Motivasi dan Kepribadian. Jakarta: PT. Pustaka

Binawan Presindo.Adam Podgorecki dan Cristoper J. Welan. (1987). Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum.

Jakarta: Bina Aksara.Allport, GW, ( 1996 ), Psikologi Sosial, Edisi 5 ( terjemahan, Andriyanto & Soekirno), Jakarta,

Erlangga.

---------------Adji, Oemar Seno, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta : Erlangga, 1985.Atmasasmita, Romli. Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana

Indonesia, Disertasi, 1996.Arif, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana

Penjara, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996. Arief Barda Nawawi, (1994). Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana Menyongsong

Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia Semarang: Universitas Diponegoro.---------------Arief Barda Nawawi. (1997). Kebijakan Hukum Pidana. Semarang: universitas

Diponegoro.---------------Arief Budiman, 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT. Gramedia

Pustaka Utama.---------------Ashshofa, Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta.Arikunto, Suharsimi. ( 1998 ). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta.Arikunto, Suharsimi. (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. (1996). Pengantar Psikologi: Jilid 2. Jakarta:

Penerbit Erlangga. --------------Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2001. ---------------Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Bandung : PT.

Citra Aditya Bakti. 2002. Barda Nawani Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Kencana, Ed.Revisi,Cet.2,2007).--------------Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan,

Buku Kelima. Jakarta: PPKPH universitas Indonesia, 2007.--------------Chazawi, Adami, Kejahatan Terhada Harta Benda Malang : Bayu Media, 2006.--------------Duta Masyarakat. 31 maret. 2007.--------------E. Utrecht, Hukum Pidana II, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1965.Fleming, Matthew H. Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, an Economic

Taxonomy, Draft for comment, , University College London, 2005. --------------Friedman, Lawrence M. American Law. New York: WW. Norton Company, 1984.--------------Garner, Brian A. Black Law Dictionary, Eighth Edition, minessota: West-Thompson

bussiness, 2004.Greenberg, Theodore S. Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction

Based Asset Forfeiture, The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank 1818 H Street NW Washington DC, 2009.

Hatrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability). Jakarta : PT Radja Grafindo Persada, 1996.

Hendrastanto, Dkk. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Bina AksaraHMA Kuffal. 2007. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press.

Hulsman. 1984. Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Jakarta: CV. Rajawali.Harahap,Yahyah.M, Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman, makalah

disampaikan pada seminar yang diselenggarakan PP IKAHI DKI dan Bandung,(Jakarta, 2002). Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet. 1, 2008). --------------Hamdan, Plitik Hukum Pidana Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997.

Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip-Prinsip Implementasi Hukum di Indonesia, Ed.1, Cet.3, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Ed.1,Cet.3, 2007).--------------J.E. Jonkers, 1987, Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta.--------------Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

Nasional, 2008.Kuffal, Upaya Paksa Penangkapan, Penahanan,Penggeledahan dan Penyitaan,

(Malang : UMM, Pers, Cet.1, 2007).--------------Kansil, C.ST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai

Pustaka, 1989.--------------Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: BP

Undip. 1999. --------------Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika,

cet. IV.--------------Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2003--------------Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 2004. --------------Mardani.2007.Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta:Rajawali Pers.--------------Makarao, taufik, et.al.2003 Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.Nasution, Bismar (2007). ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di

Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional.P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Bandung :

Sinar Baru, 1989.Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia Bandung : Refika Aditama,

2003.--------------Prodjodikoro, Wiryono. 1990. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur.--------------Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.--------------Pijiyono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung. Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga.

Jakarta: PPKPH Universitas Indonesia, 2007.-------------Soejono. Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta,

1996. Soerodibroto, Soenarto. KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamag AgungDan

Hoge Raad, Edisi 4. Jakarta: Rajawali Pers, 1998. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia

Indonesia.Suharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindakan Pidana

Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung : Refika Adtama, Editor aep Gunarsa, 2007). Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta:Penerbit Iberty,

Cet. IV,1982).Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV.

Rajawali. Hal. 5.-------------Sunarso, siswantoro.2004.Penegakan Hukum Psikotropika. Jakarta:Rajawali Pers.-------------Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

-------------Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali.

Saleh, Roeslan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Jakarta : Aksara Baru, 1987.

------------- --Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta :Pradnya Paramita, Cet.16,2007).Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya lengkap pasal

demi pasal Bogor : Politeia, 1996.Soetami, Siti, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,(Bandung:Refika Aditama,

Editor :Aep Gunarsa, 2007). -------------Sugandhi, R., KUHP dan Penjelasannya Surabaya : Usaha Nasional, 1981.---------------Terence Ingman, The English Legal Proses, (London:Blackstone, 1977).-------------Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2000.

Zulkarnain, Praktek Peradilan Pidana : Panduan Parktis Kemahiran Hukum Acara Pidana, (Malang: In-Trans Publishing, Cet.2, 2007).http://ahmadtholabi.wordpress.com/2009/12/13/menanggulangi-penyalahgunaan-narkobahttp://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/12/hukum-pidana-dalam-tindak-pidana.htmlhttp://ferli1982.wordpress.com/2011/01/04/perkembangan-uu-narkoba-dari-waktukewaktu.-------------Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang  narkotika pasal 1.