TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PAKET...
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PAKET...
i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
PAKET AQIQAH “PAK AMIN”
DI BERGAS KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum
Oleh:
Rima Septiana Sari
214-14-027
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
ii
iii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Rima Septiana Sari
NIM : 214 14 027
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
PELAKSANAAN AQIQAH “PAK AMIN” DI BERGAS
KABUPATEN SEMARANG
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 21 Maret 2019
Pembimbing
Drs. Machfudz, M.Ag.
NIP. 19610210 198703 1 006
iv
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA Jl. TentaraPelajar No. 02 Telp (0298) 323706, 323433 Salatiga
Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail: [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PAKET
AQIQAH
“PAK AMIN” DI BERGAS KABUPATEN SEMARANG
Oleh:
RIMA SEPTIANA SARI
NIM: 214 14 027
Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 27 Maret
2019 dan dinyatakan LULUS, sehingga dapat diterima sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.).
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si.
Sekertaris Sidang : Drs. Machfudz, M.Ag.
Penguji I : Dra. Siti Muhtamiroh, M .Si.
Penguji II : Yahya, S.Ag., M.H.I.
Salatiga, 27 Maret 2019
Dekan Fakultas Syariah
Dr. Siti Zumrotun M.Ag.
v
NIP. 19670115 199803 2 002
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rima Septiana Sari
NIM : 214 14 027
Jurusan : Hukum Ekonomi Syari‟ah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
AQIQAH “PAK AMIN” DI BERGAS KABUPATEN
SEMARANG.
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 27 Maret 2019
Yang menyatakan
Rima Septiana Sari
NIM: 214 14 027
vi
MOTTO
“Barang siapa yang melakukan perbuatan baik, ia akan
mendapatkan pahala (dalam perbuatan itu) dan pahala orang
yang menirunya tidak dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan
barang siapa yang melakukan perbuatan yang jelek, ia akan
menanggung dosa dan orang-orang yang menirunya dengan
tidak dikurangi dosanya sedikitpun”
(H.R Imam Muslim )
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Alm. Bapak (Sunaryo), Ibu (Isti
Sulistyanti). Teruntuk Ibu saya yang telah memberikan motivasi
terbesar dalam hidupku yang tak mengenal lelah dan mendoakanku
serta menyayangiku, terimakasih atas semua perjuangan, pengorbanan,
keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.
2. Ketiga Kakakku tersayang, Rika Noervitasari, Toriq Arifianto, Taufik
Ajis Irfanto walaupun tidak ada ucapan yang keluar tetapi aku yakin
pasti didalam batinmu selalu mendoakanku selalu.
3. Rini Sunaryanti Bulikku tersayang, yang selalu mensupport dan
mengingatkan setiap hari sampai skripsi ini selesai.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
atas rahmat dan karuninnya-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai strata satu Hukum Ekonomi Syariah yang berjudul: TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AQIQAH “PAK AMIN” DI
BERGAS KABUPATEN SEMARANG.
Shalawat serta salam mudah-mudahan Penulis menyadari dalam menyusun
penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak mulai dari masa perkuliahan sampai dalam penyusunannya. Oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syar‟iah Intitut Agama
Islam Negeri Salatiga.
3. Ibu Heni Satar, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Fakultas Syariah
Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah yang telah mengizinkan penulis untuk
membahas judul skripsi ini.
4. Ibu Lutfiana Zahriani, S.H., M.H. selaku Kepala Lab. Fakultas Syari‟ah
Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
ix
5. Bapak Drs. Machfudz, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik Institut
Agama Islam Negeri Salatiga dan juga selaku Dosen Pembimbing Skripsi
6. yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dukungannya untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.
7. Keluarga tercinta Ibu, Bulik, dan Saudara, dan Keluargaku yang tak henti-
hentinya selalu mendoakan dan memberikan semangat.
8. Sahabat-sahabat tercinta Ucik, Yu Apra, Siti Nur, Ekaprat, Mas Dun, Rofah
yang telah berbagi suka, duka, bahagia serta mengisi hari-hariku selama
menempuh S1.
9. Teman-teman senasib seperjuangan Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2014
Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang telah memberikan semangat dan
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada semua narasumber yang berkenan memberikan informasi.
11. Seluruh jajaran Akademis Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas
Syariah yang tidak bisa penulis sebutkan semuannya terima kasih banyak telah
banyak membantu penyusunan skripsi ini.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan Konstribusi dan dukungan yang cukup besar sehingga penulis
dapat menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan dan senantiasa mendapatkan
maghfiroh, dilingkupi rahmat dan cita-cita-Nya.
x
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan baik dari segi materi ataupun skripsi. Sehingga saran,
dan kritik serta perbaikan yang membangun dari pembaca akan penulis terima
dengan kerendahan hati. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 27 Maret 2019
Penulis
Rima Septiana Sari
NIM. 214 14 027
xi
ABSTRAK
Sari, Rima Septiana. 2019. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Paket
Aqiqah “Pak Amin” Di Bergas Kabupaten Semarang. Skripsi. Jurusan Hukum
Ekonomi Syari‟ah Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing, Drs. Machfudz, M.Ag.
Kata Kunci : Paket Aqiqah, Hukum Islam.
Aqiqah merupakan penyembelihan hewan kurban untuk kelahiran bayi
laki-laki atau perempuan ketika berusia tujuh hari atau pada usia 14 hari atau pada
usia dua puluh satu hari, juga dilakukan pencukuran rambut dan pemberian nama
yang baik.. Pelaksanaan paket aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang
yaitu dengan cara pembeli melakukan pemesanan terhadap pemilik usaha dan
barangnya belum diketahui. Dari latar belakang tersebut penulis fokus meneliti
tentang 1. Bagaimana pelaksanaan paket aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten
Semarang? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan paket
aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang?
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan oleh penyusun adalah
penelitian kualitatif dan pendekatannya menggunakan yuridis sosiologi, yaitu
pengolahan data yang didasarkan pada hasil studi lapangan dan dipadukan dengan
studi kepustakaan, sehingga nantinya diperoleh data yang akurat. Adapun tekhnik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan
dokumentasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan paket aqiqah
Pak Amin, diutamakan adalah pembelian paket bukan memprioritaskan pembelian
(ekor) kambing sebagaimana telah disebut pada hadits Abu Daud hadits Shahih
Nomor 2456. Dalam pemesanannya menggunakan akad istishna‟ karena pembeli
melakukan pemesanan kepada pemilik usaha dengan memesan barang yang belum
ada kriteria barangnya. Tahapan pembayaran bisa dilakukan dengan dibayar lunas
ataupun pembayaran sebagai uang muka dengan jumlah 50% atau lebih, kemudian
50% atau kurangnya dari kekurangan tersebut harus dibayarkan pada saat barang
dikirim. Berdasarkan tinjauan hukum Islam pelaksanaan paket aqiqah Pak Amin
tersebut tidak sesuai dengan hadits Abu Daud hadits Shahih Nomor 2456. Pada
tahapan pemesanan akad yang digunakan sesuai dengan akad istishna‟ karena
pembeli melakukan pemesanan sesuai yang diinginkan dan tidak terpatok pada
menu yang ditawarkan. Saat pembayaran juga sudah sesuai dengan perjanjian
antara pemilik usaha dengan pembeli.
xii
xiii
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umat Islam di Indonesia tidak sedikit yang belum memahami hukum
Islam, terutama menyangkut hukum-hukum yang sunnah. Karena itu umat
Islam banyak yang melupakan bahkan meninggalkan sunnah-sunnah
Rasulullah SAW, seperti dalam masalah aqiqah. Aqiqah juga merupakan
realisasi rasa syukur kita atas anugerah, sekaligus amanah yang diberikan
Allah SWT, yang merupakan perbuatan yang terpuji. Mengingat saat ini
sunnah tersebut mulai jarang dilaksanakan oleh kaum muslimin. Dalam
kondisi apapun ibadah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya serta setiap
saat perlu meningkatkan pengetahuan agama, khususnya pengetahuan agama
yang berkaitan dengan konsep Islam tentang kehidupan berkeluarga dan
kegiatan itu sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah S.A.W.
Islam merupakan agama rahmatan lil „alamin yang mengatur segala
aspek dan sendi-sendi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan opini yang
dibagun sebagai misi risalah pengutusan Rasulullah sebagai penutup
kenabian. Risalah tersebut tidak hanya dikhususkan untuk Bangsa Arab atau
kabilah-kabilah tertentu, namun lebih luas yaitu untuk seluruh manusia baik
dari zaman beliau hingga ke akhir zaman kelak. Di samping itu, Rasulullah
juga merupakan model atau uswatun hasanah yang harus dicontoh oleh
manusia khususnya umat Islam dalam setiap perkataan, perilaku dan sifat-
sifatnya. Perkataan, perilaku dan sifat-sifat Rasulullah ini disebut sebagai
2
sunah yang dikhabarkan dari mulut ke mulut oleh orang-orang lintas generasi
dan lintas masa hingga pada saat ini sangat mudah bagi kita menemukannya
di dalam kitab-kitab yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu. Di antara
sunah Rasulullah adalah tentang aqiqah dan permasalahannya, dimana
Rasulullah sendiri pernah beraqiqahuntuk cucu-cucu beliau yaitu Hasan dan
Husain buah hati dari Fatimah anak beliau dengan Ali bin Abi Thalib dengan
menyembelih hewan berupa kibas dalam satu riwayat atau kambing dalam
riwayat lainnya.
Aqiqah merupakan salah satu ajaran Islam yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa
kita petik di dalamnya. Bahkan aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati
wajib). Aqiqah berasal dari kata al-aqqu yang berarti memotong. Pendapat
lain menyebutkan bahwa aqiqah asalnya adalah rambut dikepala bayi yang
baru lahir. Kambing yang dipotong disebut aqiqah karena rambut bayi
tersebut dipotong ketika kambing itu disembelih.1Sedangkan aqiqah adalah
menyembelih hewan qurban untuk kelahiran bayi laki-laki atau perempuan
ketika berusia tujuh hari atau pada usia empat belas hari atau pada usia dua
puluh satu hari, juga dilakukan pencukuran rambut dan pemberian nama yang
baik.2
Semula proses aqiqah sangatlah melibatkan dan merepotkan banyak
warga sekitar mulai dari proses pembelian kambing, penyembelihan,
pemasakan daging, hingga membagikan kepada masyarakat. Namun pada
1Hetti Restianti, Antara Aqiqah dan Qurban, (Bandung: Titian Ilmu, 2013), hal.8.
2Fatkhur Rahman, Pintar Ibadah, (Surabaya: Pustaka Mrdia, 2010), hal. 190.
3
zaman modern ini, orang memilih cara yang instan dalam melaksanakan
proses aqiqah yaitu dengan cara memesan melalui layanan jasa aqiqah sesuai
paket yang ditawarkan dan harga yang ditentukan. Dalam hal ini pesan-
memesan menurut syariat Islam terdapat dua cara, yang pertama yaitu sistem
inden (bai‟ al-salam) kemudian yang kedua (bai‟ al-istisna‟). Keduanya
merupakan bagian macam akad jual beli dengan memesan yang ada dalam
syariat Islam tersebut yang telah diatur dalam Fatwa DSN-MUI Nomor
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam dan Nomor 06/DSN-
MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna‟.3
Seseorang yang menerapkan akad salam dalam jual beli maka dapat
dikatakan transaksinya menjadi sah karena telah memenuhi rukun dan syarat
dalam jual beli yang meliputi obyek, subyek serta pelaksanaan akad tersebut.
Dalam melaksanakan aqiqah tidak hanya penyedia layanan aqiqah saya yang
mengetahui tentang syarat tersebut, namun sebagai pemesan juga harus
memahami tata cara pelaksanaan akad salam dan mengetahui persyaratan
hewan yang akan dipilih supaya dapat melakukan pemesanan yang benar.
Persyaratan tersebut sesungguhnya untuk melatih kita agar senantiasa
memakan sesuatu yang baik, sesuai dengan firman Allah (Q.S Al-Baqarah:
172)4
ون يآي ها الذين ءامن وا كلوا من طيبات ما رزق ناكم واشكروا للو ان كنتم اياه ت عبد
3Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media, 2013), hal. 117-122.
4Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, (Bandung: CV Diponegoro, 2012), h. 48.
4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah”.
Pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) telah memuat
aturan mengenai ketentuan dalam melaksanakan akad bai‟ istishna‟ dalam
buku II tentang akad bagian ketiga pasal 1085, pada ayat pertama yang
bertuliskan setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satu pihak pun
boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati. Pada
ayat kedua dijelaskan bahwa apabila objek dari barang pesanan tidak sesuai
dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan
(khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pesanan.
Salah satu penyedia jasa katering tersebut adalah aqiqah Pak Amin
Bergas. Pelanggan dapat memesan langsung ataupun melalui media telepon.
Berkenaan harga telah termuat dalam daftar paket menu yang berbeda-beda
sesuai jumlah tusuk sate maupun olahan masakan yang telah disediakan oleh
pemilik jasa aqiqah. Berkenaan dengan modal barang berupa kambing yang
dikelola oleh pihak kedua yaitu Pak Din sebagai pemilik ternak kambing,
sehingga pemesan tidak dapat melihat secara langsung kondisi kambing yang
akan diolah dan dijadikan obyek akad. Calon pemesan hanya mengetahui
harga paket serta hasil akhir dari pengolahan kambing tersebut. Jual beli
dalam hukum Islam dapat dikatakan adanya hak khiyar yaitu pilihan untuk
melanjutkan ataupun membatalkan dikarenakan adanya kecacatan pada obyek
5Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 108, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum
Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM), 2009). h. 42.
5
yang dijual, atau pada perjanjian pada waktu berakad, atau disebabkan oleh
faktor yang lainnya. Dalam akad pemesanan ba‟i al-istishna dijelaskan secara
jelas mengenai spesifikasi obyek akad yang dipesan, namun pembayarannya
boleh di awal, tengah, ataupun akhir, baik sekaligus maupun bertahap.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang realisasi pemesanan pada paket aqiqah Pak Amin Bergas. Maka
penulis akan melakukan penelitian skripsi ini dengan judul “TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PAKET AQIQAH “PAK
AMIN” DI BERGAS KABUPATEN SEMARANG”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
mengenai pokok masalah yang akan penulis bahas yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan katering paket aqiqah “Pak Amin” di Bergas
Kabupaten Semarang?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan katering paket
aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan pokok diatas tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan katering paket aqiqah “Pak Amin” di
Bergas Kabupaten Semarang.
6
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan katering
paket aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas
adalah:
1. Secara teoritis
Diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi pemikiran
bagi pengembangan ilmu syari‟ah di bidang muamalat, khususnya dalam
hukum ekonomi syari‟ah
2. Secara praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang dapat memberikan
informasi mengenai penelitian terhadap jenis usaha katering paket
aqiqah Pak Amin bergas dalam perspektif hukum Islam.
b. Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat untuk memenuhi tugas
akhir guna memperoleh gelar S.H., pada Fakultas Syari‟ah di IAIN
Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari pemahaman yang kurang tepat terhadap judul
diatas maka perlu ditegaskan kembali pengertian kata penting yang terdapat
pada judul penelitian tersebut, diantaranya sebagai berikut :
1. Hukum Islam adalah seperangkat peraturan atau nrma yang dirumuskan
oleh para mujtahid yang berdasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah
tentang tingkah laku mukallaf untuk diterapkan pada perbuatan manusia
7
yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanan
hukum Islam.6
2. Pelaksanaan adalah suatu tindakan dari sebuah rencana yang sudah
disusun secara matang dan terperinci.
3. Paket yaitu sejumlah barang (buku dan sebagainya) yang dibungkus
menjadi satu yang dikirimkan atau dijual secara keseluruhan sebagai satu
kesatuan.7
4. Katering ialah menyiapkan dan menyajikan makanan dan minuman untuk
umum.8
5. Aqiqah ialah menyembelih binatang. Secar istilah, aqiqah ialah memotong
atau menyembelih kambing berhubungan dengan kelahiran anak.9
F. Tinjauan Pustaka
Untuk menghasilkan suatu hasil penelitian yang komprehensif, dan
tidak adanya pengulangan dalam penelitian, dan juga untuk mempermudah
pembahasan skripsi ini, penyusun berusaha mencari referensi yang relevan
dengan topik yang diangkat oleh penulis.
Skripsi Dewi Nur Ainiyah dengan judul “Pengaruh Label Halal
Aqiqah Siap Saji Yayasan Nurul Hayat Cabang Gresik Terhadap Minat Beli
Masyarakat Gresik”. Tahun 2014. Penelitian tersebut fokus mengenai
pengaruh label Halal pada aqiqah siap saji Nurul Hayat di lingkungan
6Moh Rifa‟i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), h. 57.
7Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
8 Diakses dari http://www.berkahcatering.web.id/article/august-01st-2015, pada tanggal
15 Mei 2018, pukul 16:47 9 Ismail Al-Amir As-San‟ani bin Muhammad, terj. Ali Nur Medan dkk, Subulus Salam
Sharh Bulughul Maram, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009), h.585.
8
masyarakat gresik dalam minat pemesanan dengan kesimpulan bahwa label
halal aqiqah siap saji Yayasan Nurul Hayat cabang Gresik sangat
berpengaruh pada minat beli masyarakat.10
Skripsi Amilia Afnani, dengan judul “Pengaruh Kualitas Produk
Terhadap Kepuasan Konsumen dan Minat Rekomendasi Konsumen pada
Produk Katering Aqiqah Yayasan Nurul Hayat”. Tahun 2012. Tulisan
tersebut membahas tentang bagaimana kualitas produk, kepuasan, dan minat
rekomendasi konsumen saling berhubungan satu sama lain. Dapat
disimpulkan bahwa kualitas produk, kepuasan konsumen, dan minat
rekomendasi yang sangat berpengaruh positif.11
Skripsi Jeshinta Fathania Putri, dengan judul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Praktik Pemesanan Paket Aqiqah di Pusat Sate Luwes Bandar
Lampung ”. Tahun 2017. Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana
praktik pemesanan produk paket aqiqah serta bagaimana tinjauhan hukum
islam pada praktik tersebut. Sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa sesuai
dengan analisa hukum islam terkait jual beli,akad, ataupun khiyar dan aqiqah
terhadap praktek pemesanan produk aqiqah di pusat sate luwes Bandar
Lampung telah memenuhi dan sesuai dengan syariat Islam. Maka praktik
10
Dewi Nur Ainiyah, Pengaruh Label Halal Aqiqah Siap Saji Yayasan Nurul Hayat
Cabang Gresik Terhadap Minat Beli Masyarakat Gresik, (Gresik: Skripsi, 2014). 11
Amilia Afnani, Pengaruh Kualitas Produk Terhadap Kepuasan Konsumen dan Minat
Rekomendasi Konsumen pada Produk Katering Aqiqah Yayasan Nurul Hayat, (Yogyakarta:
Skripsi, 2012).
9
pemesanan produk paket aqiqah yang diterapkan Pusat Sate Luwes Bandar
Lampung adalah Mubah (boleh).12
Selanjutnya yang membedakan skripsi diatas dengan skripsi penulis
yaitu, pada kenyataanya terdapat kesenjangan antara realita dan idealitas
mengenai pada hewan/objek untuk aqiqah di jasa pemesanan katering paket
aqiqah Pak Amin Bergas yaitu kurang terpenuhinya rukun dan syarat pada
hewan yang akan dijadikan aqiqah tersebut. Untuk pihak pemesan tidak dapat
melihat langsung hewan yang akan dipilih dikarenakan penyedia jasa katering
Pak Amin hanya menawarkan menu,sedangkan spesifikasi pada hewan
berada pada pemilik ternak yaitu Pak Din. Untuk itu penulis mengangkat
tema tersebut untuk dijadikan bahan skripsi, dengan harapan dikemudian hari
rukun dan syarat tersebut dapat terpenuhi.
G. Metode Penelitian
Untuk melakukan penelitian yang baik, maka dibutuhkan metode yang
jelas. Agar dalam penelitian ini dapat memberikan hasil yang maksimal,
maka penulis mencoba memakai metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu field research (penelitian
lapangan). Dinamakan studi lapangan karena tempat penelitian ini
dilapangan kehidupan. Penulis meneliti langsung terhadap pelaksanaan
usaha katering paket aqiqah Pak Amin Bergas dengan metode deskriptif
kualitatif. Karena itu data yang dianggap adalah data yang diperoleh dari
12
Putri, Jeshinta Fathania, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemesanan Paket
Aqiqah, (Lampung: Skripsi, 2017)
10
lapangan penelitian.13
Pada hakikatnya penelitian lapangan merupakan
metode untuk menemukan secara khusus dan realitas tentang apa yang
terjadi di masyarakat jadi mengadakan penelitian mengenai beberaga
masalah aktual yang kini telah berkecamuk dan mengekspresikan dalam
bentuk gejala atau proses.14
Pendekatan ini menggunakan pendekatan
yuridis sosiologi yaitu analisa deskriptif kualitatif (pengolahan data yang
didasarkan pada hasil studi lapangan yang kemudian dipadukan dengan
data yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga nantinya diperoleh
data yang akurat. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai
instrumen kunci, berpartisipasi penuh sekaligus pengumpul data,
sedangkan instrumen yang lain sebagai penunjang
2. Sumber data
Adapun sumber data yang berhasil dikumpulkan penulis secara garis
menjadi dua, diantaranya adalah:
a. Sumber data primer
Data yang diperoleh langsung dari subjek yang diteliti.15
Dalam hal
ini data primer yang diperoleh peneliti besumber dari pemilik katering
paket aqiqah Pak Amin Bergas dan pemilik ternak kambing Pak Din
Bandungan, serta pembeli paket aqiqah.
13
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 5. 14
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka. 1989),
h.5. 15
Moh. Pabundu Tika, Metodologi Riset Bisnis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h.57.
11
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang menjadi bahan
penunjang dan melengkapi suatu analisis. Data sekunder ini dipeoleh
dari buku-buku yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitin ini.
3. Metode pengumpulan data
Dalam usaha menghimpun data untuk penelitian ini digunakan
beberapa metode, yaitu:
a. Observasi, adalah metode pengamatan data dengan pengamatan
langsung terhadap tempat yang dijadikan objek penelitian yaitu
padapemilik ternak kambing Pak Din Bandungan.
b. Wawancara (interview), adalah metode pengumpulan data dengan cara
melakukan wawancara secara langsung kepada pemilik dan orang-
orang yang bekerja di tempat yang akan diteliti sesuai dengan
bidangnya.
c. Dokumentasi, adalah metode pengumpulan data dengan melihat
keadaan langsung objek yang akan diteli.
4. Analisis data
Setelah data diperoleh, selanjutnya data tersebut akan dianalisa.
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode kualitatif. Analisis kualitatif ini dipergunakan dengan cara
menguraikan dan merinci kalimat-kalimat sehingga dapat ditarik
kesimpulannya dengan jelas. Dalam menganalisa data digunakan kerangka
12
berfikir yaitu deduktif dan induktif.
Metode deduktif yaitu, mengambil dan menganalisis data yang
bersifat umum untuk dapat memberi ketegasan bahwa didalam yang umum
itu terdapat bukti yang khusus. Yakni aplikasi dari nash terhadap terhadap
pemesanan dikatering paket aqiqah Pak Amin Bergas.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan uraian singkat mengenai hal-hal
yang akan dilaporkan secara sistematis, untuk memberi jaminan bahwa
pembahasan dalam penelitian ini benar-benar terarah pada tercapainya tujuan
pembahasan, maka penulis membuat sistematika pembahasan sedemikian
rupa agar dapat mempermudah permasalahan terhadap masalah yang
disajikan. Adapun sistematika penulisan proposal skripsi meliputi:
BAB I :Bab ini merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II :Bab ini merupakan bab yang membahas tentang landasan
teori, yang meliputi pengertian jual beli, ba‟i istishna‟, ba‟i
as salam, khiyar terhadap pelaksanaan katering paket
aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang.
BAB III : Bab ketiga ini merupakan hasil penelitian. Dalam bab ini
membahas tentang letak geografi, kondisi ekonomi,budaya,
13
serta agama, kemudian menjelaskan tentang Pelaksanaan
Paket Aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang.
BAB IV :Bab ini merupakan analisis data terhadap pokok
permasalahan yang ada dilapangan dengan yang ada diteori
Bab ini menjelaskan tentang amalisis pelaksanaan usaha
dan tinjauan hukum Islam terhadap Pelaksanaan Paket
Aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang.
BAB V : Bab ini merupakan penutup. Pada bab terakhir dari
pembahasan skripsi yang berisi kesimpulan sebagai
jawaban dari rumusan masalah yang sudah dipaparkan pada
bab sebelumnya yang juga disertai dengan saran-saran yang
relevan dengan permasalahan dan kritik yang membangun
yang diharapkan penulis.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM JUAL BELI ISTISHNA’
A. Jual beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang/harta kepada
pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai‟, al-Tijarah,
dan al-Mubadalah,sebagaimana Allah SWT berfirman:
ي رجون تارة لن ت ب ور Artinya: “Mereka mengharapkan tijarah perdagangan yang
tidak akan rugi” (Fathir: 29).
Perkataan jual beli terdiri dari dua kata jual dan beli. Kata jual
menunjukkan adanya perbuatan menjual,sedangkan beli menunjukkan
adanya perbuatan membeli. Dengan demikian perkataan jual beli
menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, satu pihak
penjual dan pihak lain membeli. Maka dalam hal ini terjadilah peristiwa
hukum jual beli.16
Jual beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang
sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli.
Jual beli secara bahasa ialah pertukaran. Pertukaran harta dengan harta
lain secara sukarela dengan ganti yang disetujui.
16
Suhrawadi. K Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 128.
15
Berdasarkan pendapat Hendi Suhendi dalam bukunya yang berjudul
“Fiqh Muamalah” bahwa jual beli ialah pertukaran harta (benda) dengan
harta berdsarkan cara khusus yang dibolehkan, antara kedua belah pihak
atas dasar saling rela atau ridha atas pemindahan kepemilikan sebuah harta
(benda), dan memudahkan milik dengan berganti yang dapat dibenarkan
yaitu berupa alat tukar yang sah dalam ketentuan syara‟ dan disepakati.17
Sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya yang berjudul
Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa, pengertian jual beli secara istilah adalah
pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara
keduanya. Atau, dengan pengertian lain, memindahkan hak milik dengan
hak milik lain berdasarkan persetujuan dan hitungan materi.18
2. Hukum Jual Beli
Transaksi jual beli merupakan aktifitas yang dibolehkan dalam Islam,
baik disebut dalam Al-Qur‟an, al-Hadits maupun ijma‟ ulama. Adapun
dasar hukum jual beli adalah:
a. Sebagaimana disebut dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah
ayat 275:
نكم بالباطل اال ان تكون تارة عن ت نكم يآي ها الذين ءامن وا ال تاء كلو اموالكم ب ي راض م اهلل كان بكم رحيما وال ت قت لوا ان فسكم ان
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
17
HendiSuhendi, FiqhMuamalah, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada), 2007. h. 68. 18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h . 121.
16
b. Adapun landasan hukum jual beli yang berdasarkan dari hadits
Rasulullah SAWadalah sebagaimana sabdanya:19
ا الب يع عن ت راض ان
Artinya: “Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan”
Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual
beli. Ijma‟ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia
berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan
kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun
harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya. Sehingga dengan
disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk
merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia tidak akan dapat hidup
sendiri tanpa berhubungan dengan bantuan orang lain.20
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli merupakan suatu akad yang dipandang sah apabila telah
memenuhi syarat dan rukun jual beli.
Rukun jual beli adalah adanya ijab dan qabul. Ijab dan qabul tidak
diwajibkan jika obyek akad (barang) merupakan sesuatu yang kurang
bernilai (haqir), tetapi cukup dengan mu‟athah (saling memberi tanpa ijab
dan qabul) sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat.21
Menurut jumhur ulama‟ rukun jual beli itu ada empat:
a. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
19
HR. Ibnu Majah II/737 Nomor 2185 dan Ibnu Hibban Nomor 4967 20
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Magista Insani Press 2011). h. 54. 21
Sulaiman Ahmad Yahya, Ringkasan Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013), h. 750.
17
b. Sighat (lafal ijab dan qabul)
c. Ada barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti barang22
Yang disebut dengan syarat dalam jual beli adalah komitmen yang
dijalin antara satu pihak dari beberapa pihak yang mengadakan transaksi
dengan lainnya untuk mengambil manfaat dari barang tersebut.23
Ulama‟ berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ali
Hasan dalam bukunya yang berjudul “Berbagai Transaksi dalam Islam”
bahwa, syarat jual beli adalah sebagai berikut:
1. Syarat orang yang brakad
Aqid atau pihak yang melakukan perikatan, yaitu penjual dan
pembeli.24
Ulama fiqh sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual
beli harus memenuhi syarat:
a. Berakal. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil
yang belum berakal hukumnya tidak sah.25
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang melakukan
akad jual beli itu, harus telah akil baligh dan berakal. Apabila
orang yang berakad itu masih mumayyiz, maka akad jual beli itu
tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.26
b. Orang yang melakukan akad itu,adalah orang yang berbeda.
22
Ibid. 23
Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 373. 24
Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam.(Bandung: Diponegoro, 1992). h.
79. 25
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.
74. 26
Ibid.,
18
2. Syarat yang terkait dengan ijab dan qabul
a. Jangan ada yang memisah, pembeli jangan diem saja setelah
penjual menyatakan ijab dalam satu tempat.
b. Ada kemufakatan ijab qabul pada barang yang saling ada kerelaan
diantara mereka berupa barang yang dijual dan harga barang.27
3. Syarat barang yang diperjual belikan adalah sebagai berikut:
a. Hendaknya barang tersebut sudah diketahui oleh penjual dan
pembeli baik dengan cara melihat ataupun dengan sifatnya.
b. Hendaknya barang yang diperjualbelikan memiliki manfaat yang
bersifat mubah secara aslinya bukan disebabkan karena adanya
kebutuhan tertentu.
c. Hendaknya barang tersebut milik si penjual atau dia sebagai orang
yang menggantikan kedudukan pemiliknya (wakil).
d. Hendaknya barang tersebut bisa diserahterimakan
Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas,
para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat lain, yaitu:
1) Jual beli itu terhindar dari cacat
2) Apabila barang yang diperjualbelikan itu benda bergerak, maka barang
itu boleh langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual.
3) Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad
mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
27
Sayyid Sabid.Op.Cit,. h. 50.
19
4) Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum jual beli.28
4. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, yaitu jual beli yang sah menurut
hukum dan batal menurut hukum, dari segi obyek jual beli dan segi pelaku
jual beli.29
Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah dalam
bukunya yang berjudul Fiqh Al-Iman Ja‟far ash-Shadiq‟ Ardh wa Istidal
juz 3 dan 4 bahwa, jual beli terbagi menjadi beberapa macam. Diantaranya
ialah sebagai berikut:
1. Jual beli fudhuli, yaitu jual beli yang ijab atau qabulnya dilakukan oleh
orang yang bukan berkepentingan langsung maupun wakilnya.
2. Jual beli nasi‟ah, yaitu barang yang diperjual-belikan diserahkan saat
itu juga, sedangkan harganya diserahkan belakangan.
3. Jual beli salam, yaitu harganya diserahkan saat itu juga sementara
barangnya belakangan
4. Jual beli ash-sharf, yaitu khusus berkenaan dengan emas dan perak.
5. Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan keuntungan tertentu
6. Jual beli muwadha‟ah, yaitu jual beli dengan kerugian tertentu.
7. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli sesuai dengan modal.30
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli yaitu:31
28
Mustad Ahmad. Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka al-Kaustar), 2003. h. 30. 29
Hendi Suhendi, Op. Cit., h.75. 30
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Al-Iman Ja‟far ash-Shadiq „Ardh wa Istidal juz 3
dan 4, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2009), h. 46.
20
a. Jual beli benda yang kelihatan pada waktu melakukan akad jual beli
benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan
pembeli.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian adalah jual
beli salam (pesanan)
c. Jual beli barang yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli
yang dilarang agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih
gelapsehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga
bagian yaitu dengan lisan, dengan perantara, dengan perbuatan.32
1) Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan oleh banyak orang.
2) Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau
surat menyurat sama halnya dengan ijab qabul dengan ucapan.
3) Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan
istilah mu‟atah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab
dan qabul.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, membolehkan segala
macam transaksi jual beli kecuali ada beberapa jual beli yang dilarang oleh
Islam.
Sedangkan untuk jual beli yang dilarang sebenarnya, sudah dapat
diketahui bahwa Allah telah memperbolehkan kepada hamba-hambanya
31
Sohari Sahrani, Fikih Muamalah,( Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 71. 32
Hamzah Ya‟qub. Op. Cit. h.79.
21
untuk melakukan jual beli, akan tetapi selama akad transaksi tersebut tidak
menyebabkan tertundanya amalan yang lebih bermanfaat dan lebih penting.
Jual beli yang dilarang sangat beragam, akan disebutkan beberapa
jenis jual beli yang menurut pandangan ulama fiqh. Diantara jual beli yang
dilarang adalah sebagai berikut:
a) Ba‟i al-ma‟dum merupakan bentuk jual beli atas objek transaksi yang
tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan.
b) Ba‟i Makjuz al-taslim merupakan akad jual beli dimana objek transaksi
tidak bisa diserahterimakan.
c) Ba‟i Dain (jual beli hutang), biasanya dilakukan dengan orang yang
memiliki beban hutang atau orang lain, baik secara kontan ataupun
tempo. Transaksi ini identik dengan riba, yakni meminta tambahan
waktu dengan adanya tambahan pembayaran.
d) Ba‟i al-gharar, ialah jual beli yang mengandung unsur resiko dan akan
menjadi beban salah satu pihak dan mendatangkan kerugian finansial.
B. Jual Beli Istishna’
1. Pengertian Jual Beli Istishna‟
Ba‟i al-istishna‟ merupakan suatu perjanjian jual beli atau kontrak
pesanan yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan pengeluar,
dengan tujuan untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu. Ba‟i al-
22
istishna‟ biasanya diaplikasikan pada perusahaan dengan memberikan
spesifikasi barang yang akan ditempah atau dipesan. Kontrak pesanan ini
ialah suatu kontrak jual beli dimana pembeli membuat pesanan kepada
penjual agar membuat suatu barang yang diinginkan, dan dibuat pada
waktu tertentu dengan harga dan cara bayar yang ditetapkan saat kontrak
berlangsung. Kontrak jual beli seperti ini disamakan juga dengan kontrak
upah, karena melibatkan kerja dan bahan mentah.33
Ba‟i al-istishna‟ hampir sama dengan ba‟i as-salam, yaitu suatu
kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu
tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang
disepakati bersama sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan
diserahkan kemudian.
Jual beli pesanan/ al-istishna‟ merupakan akad jual beli dalam bentuk
pesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni‟), dan
penjual (pembuat, shani‟).34
Maka jual beli pesanan / ba‟i istishna‟
merupakan akad jual beli antara pemesan (mustashni) dengan menerima
pesanan (shani‟) atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu,
contohnya untuk barang-barang industri ataupun property. Spesifikasi
dengan harga barang pemesanan haruslah sudah disepakati pada awal
33
Hulwati, Ekonomi Islam, Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah
di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia edisi I, (Padang: Ciputat Press Group, 2006), h. 87. 34
Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syari‟ah
edisi I, Cet I (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 327.
23
akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai waktu pada masa yang akan datang.
Ba‟i al-istishna‟ adalah akad jual beli antara pemesan/pembeli dimana
barang yang akan diperjualbelikan dibuat lebih dahulu dengan kriteria
yang jelas. Istishna‟ hampir sama dengan ba‟i as-salam. Bedanya, hanya
terletak pada cara pembayarannya. Pada as-salam pembayarannya harus
dimuka dan segera, sedangkan istishna‟ pembayarannya boleh diawal,
ditengah, atau diakhir, baik sekaligus maupun jalan bertahap.
2. Dasar Hukum Jual Beli Pesanan / al-istishna‟
a. Al-Qur‟an An-Nisa:29
نكم بالباطل اال ان تكون تارة عن يآي ها الذين ءامن وا ال تاء كلو اموالكم ب ي نكم وال ت قت لوا ان فسكم ان اهلل كان بكم رحيما ت راض م
Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”35
Ayat ini memerintahkan untuk tidak memakan harta sesama
dengan cara yang bathil, sedangkan hubungan dengan istishna‟ adalah
dalam pengaplikasiannya kita dilarang untuk bertransaksi dengan cara
merugikan orang lain atau tidak saling meridhoi antara kedua pihak,
akan tetapi kita harus „an taroodin (saling meridhoi) dalam istishna‟.
b. As-Sunnah
Hadits Nabi:
35
Depag RI, Op. Cit.,
24
رهاعن اب سعيدالدري( ارقطن وغي ال ضر ر وال ضرار )رواه ابن ماجو والدArtinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun
orang lain” (H.R. Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang
lain dari Abu Sa‟id al-Khudri).36
Dalam istishna‟ hadits ini dikutip karena menurut hadits ini kita
dilarang memadharatkan diri sendiri maupun orang lain, kaitannya
dengan istishna‟ adalah bahwa dalam istishna‟ pun unsur ini dihindari
agar tidak ada pihak yang dimudharatkan. Oleh karena itu, maka
istishna‟ ini tidak bertentangan dengan hadits ini, maka hukum
istishna‟ ini boleh.
c. Pendapat Ulama tentang Jual Beli Istishna'
a. Ulama Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika didasarkan pada
qiyas dan kaidah umum maka akad istishna‟ tidak boleh dilakukan,
karena akad ini mengandung jual beli yang tidak ada (bay‟
ma‟duun) seperti akad salam. Jual beli barang yang tidak ada tidak
dibolehkan berdasarkan larangan Nabi SAW untuk menjual
sesuatu yang tidak dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu akad
ini tidak dapat dikatakan sebagai akad jual beli, karena merupakan
jual beli yang tidak ada.37
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad istishna‟ boleh
berdasarkan dalil istishna‟ yang ditunjukkan dengan kebiasaan
masyarakat melakukan akad ini sepanjang masa tanpa ada yang
36
H.R. Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa‟id al-Khudri. 37
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj.Abdul Hayyie al-Kattani, h. 271.
25
mengingkarinya, sehingga menjadi ijma‟ tanpa ada yang
menolaknya. Menggunakan konsep dalil seperti ini masuk dalam
makna hadits yang artinya “Umatku tidak akan bersepakat dalam
kesesatan”.
b. Ulama Syafi‟iyah
Ulama Syafi‟iyah juga tidak membenarkan akad istishna‟
seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah. Namun demikian
ulama Syafi‟iyah membolehkan akad istishna‟ ini dengan
menyamakan dengan akad salam. Diantara syarat utamanya adalah
menyerahkan seluruh harga barang dan majlis akad. Mereka juga
menyatakan bahwa harus ditentukan waktu penyerahan barang
pesanan sebagaimana dalam akad salam, jika tidak maka akad itu
akan menjadi rusak. Selain itu mereka juga mensyaratkan tidak
boleh menentukan pembuatan barang ataupun barang yang dibuat.
Begitupun juga syarat-syarat yang lain.38
Menurut Wahbah al Zuhaili dalam kitab al Asybah As-Suyuti
menjelaskan bahwa istishna‟ menurut madzhab Syafi‟i disahkan
semua, baik waktu penyerahan barang ditentukan ataupun tidak
yaitu dengan melakukan akad salam, dengan ketentuan penyerahan
barang secara langsung ditempat akad. Akad istishna‟ secara
kontan seperti ini adalah sah menurut mereka.39
d. Rukun dan Syarat Jual Beli al-istishna
38
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al Mu‟jam al- Kabiir dan Ibnu Abi Khaitsamah dari
abi basar al-Ghifari secara Marfu‟ 39
Wahbah al-Zuhaili, (Makkah: Maktabah Nazzar al baz, 1997), h. 89.
26
a. Rukun Jual Beli al-istishna‟
Transaksi jual beli al-istishna‟ merupakan suatu jenis khusus
dari akad jual beli as-salam. Dengan demikian itu, ketentuan jual
beli al-istishna‟ mengikuti ketentuan dan atauran akad ba‟i as-
salam. Maka dari itu, pelaksanaan jual beli istishna‟ harus
memenuhi sejumlah rukun, yaitu sebagai berikut:40
1) Muslam atau pembeli
2) Muslam Alaih atau penjual
3) Modal atau uang
4) Muslam Fiih atau Barang
5) Sighat atau Ucapan
b. Syarat Jual Beli al-istishna‟
Agar ba‟i al-istishna‟ menjadi sah, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yaitu sebagai berikut:41
1) Barang (mashnu‟). Diantaranya adalah agar mashnu‟ tahu barang
yang menjadi objek kontrak harus diperinci sedemikian rupa untuk
menghilangkan ketidakjelasan mengenai barang. Perincian itu
meliputi:
a) Jenis, misalnya mashnu‟ itu berupa mobil, pesawat, atau yang
lain
b) Tipe, apakah mashnu‟ berupa mobil kijang, pesawat boeing,
rumah tipe RSS, atau lainnya
40
Anwar, Hukum Perjanjian Syariah edisi I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 256. 41
Ibid., h. 258.
27
c) Kualitas, bagaimana spesifikasi teknisnya dan hal lainnya.
d) Kuantitas, berapa jumlah unit atau berat mashnu‟ tersebut.
2) Harga. Harga harus ditentukan berdasarkan aturan yaitu:
a) Harus diketahui semua pihak
b) Bisa dibayarkan waktu akad secara cicilan, atau ditangguhkan
pada waktu tertentu pada masa yang akan datang
Harga tidak bisa dinaikkan atau diturunkan karena perubahan
harga bahan baku atau perubahan biaya tenaga kerja. Perubahan
harga dimungkinkan atas kesepakatan bersama bila terjadi
perubahan biaya tenaga kerja. Perubahan harga dimungkinkan atas
kesepakatan bersama bial terjadi perubahan material mashnu‟ atau
karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diramalkan.
Para ulama Hanafiyah menentukan tiga syarat bagi keabsahan
akad istishna‟ yang jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi
maka akad itu akan rusak. Jika rusak maka ia dimasukkan dalam
kelompok jual beli fasid yang perpindahan kepemilikannya dengan
penerimaan barang adalah secara tidak baik sehingga tidak boleh
dimanfaatkan dan digunakan serta wajib menghilangkan sebab
ketidak absahannya itu guna menghormati aturan aturan syariat.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:42
1. Menjelaskan jenis tipe, kadar, dan bentuk barang yang dipesan,
karena barang yang dipesan merupakan barang dagangan
42
Wahbah, Op. Cit., h. 271.
28
sehingga harus diketahui informasi mengenai barang itu secara
baik.
2. Barang yang dipesan harus barang yang biasa dipesan
pembuatnya oleh masyarakat, seperti perhiasan, sepatu, wadah,
alat keperluan, hewan, dan alat transportasi lainnya.
3. Tidak menyebutkan batas waktu tertentu jika kedua pihak
menyebutkan waktu tertentu penyerahan barang yang dipesan,
maka rusaklah akad itu dan berubahlah menjadi akad salam.
e. Hukum istishna‟
Yang dimaksud dengan hukum istishna‟ disini adalah akibat yang
ditimbulkan oleh akad istishna‟. Akad istishna‟ memiliki beberapa
hukum43
a) Hukum istishna‟ dilihat dari akibat utamanya adalah ditetapkannya
hak kepemilikan barang yang akan dibuat (dalam tanggungan) bagi
pemesan, dan ditetapkannya hak kepemilikan harga yang
disepakati bagi pembuat barang.
b) Bentuk akad istishna‟. Akad istishna‟ adalah akad yang tak lazim
(tidak mengikat) sebelum proses pembuatan barang dan setelahnya,
baik bagi pemesan maupun pembuat barang.
c) Jika pembuat barang membawa barang pesanan kepada pemesan,
maka hak khiyar pembuat barang menjadi hilang, karena dengan
43
Ibid., h. 273.
29
kedatangannya kepada pemesan dengan membawa barang itu
berarti ia rela bahwa barang tersebut milik pemesan.
d) Hak pemesan tidak terkait dengan barang yang dipesan kesuali jika
pembuat menunjukkan kepada pemesan.
C. Jual Beli Salam
1. Pengertian Jual Beli Salam
Jual beli pesanan (indent) dalam fiqh Islam disebut as-salam ( سلمال )
bahasa penduduk Hijaz atau as-salaf ( السلف ) bahasa penduduk.
Sedangkan secara terminologi para ulama fiqh mendefinisikan “menjual
suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang
yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal
terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.44
Sedangkan dalam jual beli tidak semua barang yang diinginkan
selalu tersedia baik jenisnya atau jumlahnya, oleh sebab itu tertutup
kemungkinan bahwa sewaktu-waktu menjual atau membeli barang yang
tidak hadir sewaktu akad terjadi. Jual beli seperti ini disebut dengan salam
(indent). Yaitu menjual sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih
berada) dalam tanggungan dan pembayaran segera. Para fuqaha
memberikan istilah terhadap barang pesanan dengan “al-mahawij”
barang-barang yang mendesak.45
Mardani memberikan contoh dengan perkataan aslama ath-thauba
lil-khiyaat, artinya ia memberikan atau menyerahkan pakaian untuk
44
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 143. 45
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 242.
30
dijahit. Dikatakan salam karena orang yang memesan menyerahkan harta
pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan
uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang. Salam termasuk jual-
beli yang sah jika memenuhi persyaratan keabsahan jual beli pada
umumnya.46
Transaksi salam sangat popoler pada zaman Imam Abu Hanifah (80-
150 AH/699-767 AD). Imam Abu Hanifah meragukan keabsahan kontrak
tersebut yang mengarah kepada perselisihan. Oleh karena itu, beliau
berusaha menghilangkan kemungkinan adanya perselisihan dengan
merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan
jelas didalam kontrak, seperti komoditi, mutu, kuantitas, serta tanggal, dan
tempat pengiriman.47
Terdapat beberapa pendapat lagi tentang pengertian salam, diantaranya
yang dikutip oleh Ismail Nawawi dari pendapat Zuhaily mengatakan
bahwa jual beli sistem pesanan (bai‟ al-salam) adalah transaksi jual beli
barang pesanan diantara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam
ilaih). Imam Nawawi juga mengutip pendapat dari Al-Jazairi yakni
mengemukakan bahwa jual beli dengan sistem indent (salam) ialah jual
beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu
tertentu.48
46
Mardani, Op. Cit., h. 113. 47
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.
91. 48
Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik & Kontemporer,, (Bogor: Ghasa Indonesia,2012), h.
214.
31
Menurut Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa DSN No. 05/DSN-
MUI/IV/2000. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga terlebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Sedangkan menurut Bank Indonesia, salam adalah akad jual beli barang
pesanan (muslim fiih) antara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam
ilayhi). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dan
pembayaran dilakukan dimuka.49
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah
jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaannya
dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.50
2. Dasar Hukum Jual Beli Salam
Salam diperbolehkan Rasulullah SAW, dengan beberapa syarat
yang harus dipenuhi dengan berlandaskan pada firman Allah SWT dan
Rasulullah SAW.51
a. Al-Qur‟an surat Al-Baqarah 282 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganblah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwakepada Allah
49
Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syari‟ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 132. 50
KHES Pasal 20 ayat (34). 51
Daftar Istilah dalam “Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syari‟ah”,
(Bogor: Bank Syari‟ah, 2002), h. 10.
32
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu‟amalahmu itu), kecuali jika mu‟amalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu jual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”.52
b. Hadits Rasulullah yang artinya
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Nabi SAW, memasuki kota Madinah
sedang penduduknya melakukan salaf (jual beli salam) pada tamar
dua tahun atau tiga tahun, Nabi bersabda, “siapa saja yang
melakukan jual beli salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran
(takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu””.53
c. Dalil Ijma‟
Ibnu Mundzir mengatakan bahwa semua ulama sepakat bahwa salam
hukumnya boleh dilakukan. Dalam Mausu‟ah al-Um, Imam Syafi‟i
berkata mengenai ijma‟ ulama tentang kebolehan salam sebagai
berikut: “......salaf/salam boleh sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW,
dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama sebagaimana saya ketahui”.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
a. Rukun Salam
52
Depag RI, Op. Cit., 53
Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz II Terjemahan Ahmad Sunarto, (Surabaya: Al-
Hidayah, tt), h. 30.
33
Dalam melaksanakan jual beli salam, maka harus dipenuhi
beberapa rukun. Adapun rukun jual beli salam menurut Wahbah Az-
Zuhaily yaitu:54
1) Muslam ( المسلم ) atau pembeli
2) Muslam Ilayhi ( المسلم اليه) atau penjual
3) Modal atau uang
4) Muslam Fihi ( مسلم فيهال ) atau barang
5) Sighot ( الصيغة ) atau ucapan
Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain
hanafiyah terdiri dari:55
1) Orang yang berakat harus baligh dan berakal,
2) Objek jual beli salam, yaitu barang yang dipesan harus jelas ciri-
cirinya, waktu harus jelas, dan harganya harus jelas, serta
diserahkan pada saat akad.
3) Ijab dan qabul.
b. Syarat Ba‟i as Salam
Selain beberapa rukun yang harus dipenuhi, jual beli salam juga
mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun.
Berikut ini akan diuraikan syarat dari rukun-rukun diatas:
1) Pihak yang berakad
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pembeli (muslam)
dan penjual (muslam ilaih) yakni kedua pihak yang bersangkutan
54
Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 109. 55
Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 149.
34
telah „aqil dan baligh (cakap hukum), serta tercapai ridho kedua
belah pihak dan tidak ingkar janji.56
2) Modal transaksi ba‟i as-salam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal ba‟i as-
salam adalah sebagai berikut:57
a) Modal harus diketahui
Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas,
dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah
bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.
b) Penerimaan pembayaran salam
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam
dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksud agar
pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak
dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi,
pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang
yang harus dibayar dari muslam ilayhi (penjual). Hal ini untuk
mencegah praktik riba melalui mekanisme salam.
c) Al-Muslam Fihi (Barang)
Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-
muslam fihi atau barang yang ditransaksikan dalam ba‟i al-
salam adalah sebagai berikut:58
(1) Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
56
Ifham, Bedah Akad Pembiayaan Syariah, (Depok: Herya Media, 2015), h. 352. 57
Antonio, Op. Cit., h. 109. 58
Ibid., h. 110.
35
(2) Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibar kurangnya pengetahuan tentang macam
barang tersebut, tentang klasifikasi kualitas, serta
mengenai jumlah.
(3) Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
Kebanyakan ulama mensyariatkan penyerahan barang
harus ditunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab
Syafi‟i membolehkan penyerahan segera.
(4) Bolehnya menentukan tanggal waktu dimasa yang akan
datang untuk penyerahan barang.
(5) Tempat penyerahan, pihak-pihak yang berkontrak harus
menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus
diserahkan. Jika kedua pihak yang berkontrak tidak
menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim
ketempat yang menjadi kebiasaan, misalnya pada tempat
dimana si penjual atau bagian pembelian si pembeli.
(6) Penjualan muslam fihi sebelum diterima, jumhur ulama
melarang penjualan ulang muslam fihi oleh muslam ilaihi
sebelum diterima oleh muslam. Para ulama sepakat,
muslam ilaih tidak boleh mengambil keuntungan tanpa
menunaikan kewajiban dan juga menyerahkan muslam
fihi. Imam malik setuju jumhur ulama tersebut bila
muslam fihi itu berbentuk makanan. Tetapi jika muslam
36
fihi itu bukan berbentuk makanan, Imam Malik
membolehkan penjualan kembali barang tersebut sebelum
diterima pembelinya asalkan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:59
(a) Jika barang tersebut lalu bisa dijual kembali kepada
muslam ilayhi, harga penjualannya haruslah sama
dengan harga kontrak semula atau lebih rendah.
(b) Jika barang tersebut dijual ke pihak ketiga, harga
jualnya boleh lebih tinggi atau lebih rendah dari
semula tergantung kualitas,
(7) Penggantian barang (muslam fihi) dengan barang yang
lain. Para ulama melarang penggantian muslam fihi
dengan barang lainnya. Penukaran atau penggantian
barang al-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun
belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik muslam
ilayhi, tetapi sudah menjadi milik muslam (fi al-dhimmah).
Bila barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki
spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya,
para ulama membolehkannya. Hal demikian tidak
dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit
yang lain untuk barang yang sama. Madzhab Maliki hanya
menyetujui pelarangan penggantian tersebut bila muslam
59
Djamil, Op. Cit., h. 136.
37
fihi itu adalah makanan. Madzhab ini membolehkan
muslam fihi selain makanan dengan beberapa syarat
tertentu:60
(a) Jika pembeli yang menghendaki muslam fihi tersebut
sedangkan barang pengganti itu dibuat muslam ilayhi,
maka kualitas muslam ilayhi yang telah disepakati
agar tidak timbul kemungkinan riba al-fadl.
(b) Al-Muslam harus mengambil sendiri barang pengganti
supaya tidak mengarah kepada pertukaran hutang
dengan hutang. Hubungan antara barang pengganti
dengan harga harus bebas dari riba.
d) Harga
Harga jual dan waktu penyerahannya harus jelas dan
dicantumkan dalam perjuanjian serta tidak boleh berubah.61
e) Lain-lain
Selain beberapa syarat rukun diatas, terdapat syarat lain
yang tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan atau
perbedaan dalam perjanjian akad, misalnya:
(1) Berkaitan dengan penyerahan, mulanya penjual harus
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas
dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual menyerahkan
barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak
60
Ibid., 61
Ifham, Op. Cit., h. 353.
38
boleh meminta tambahan harga. Jika penyual menyerahkan
kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya
maka ia (pembeli) tidak boleh menuntut pengurangan harga
(diskon). Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat
dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan
jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, namun penjual
tidak boleh menuntut tambahan harga. Jika semua atau
sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela
menerimanya maka ia memiliki dua pilihan, yakni
membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya, atau
menunggu sampai barang tersedia.62
(2) Pembatalan kontrak, pada dasarnya pembatalan salam boleh
dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.63
(3) Biaya administrasi, pembeli (muslam) dapat dibebani biaya
administrasi sehubungan dengan pengelolaan fasilitas.64
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 101-103, syarat
ba‟i as-salam yaitu:65
1) jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas
barang yang sudah jelas.
62
Ibid., h. 356. 63
Ibid., h. 357. 64
Ibid., 65
KHES Pasal 101-103.
39
2) kuantitas barang dapat diukur dengan takaran,timbanagn atau meteran.
3) sepesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna
oleh para pihak.
4) Ba‟i as-salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang dijual,
waktu dan tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas.
5) Pembayaran barang dalam ba‟i as-salam dapat dilakukan pada waktu
dan tempat yang disepakati.
4. Perbedaan Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap
ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya,
yaitu:66
a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang,
yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual
dapat dijual, yang mana dalam jual beli biasa tidak perlu.
c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat
ditentukan kuantitas dan kualitasnya yang dijual yang dalam jual beli
biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang
dilarang oleh Al-Qur‟an dan hadist.
d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat
kontrak, yang mana dalam jual beli biasa pembayaran dapat ditunda
atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
66
Mardani, Op.Cit., h. 116.
40
D. Khiyar
1. Pengertian Khiyar
Allah SWT membolehkan jual beli yang sesuai dengan hukum Islam
dan ketetapan-Nya. Terjadinya interaksi antara penjual dan pembeli yang
saling berhubungan yaitu dengan adanya khiyar (memilih) dengan tujuan
agar antara penjual dan pembeli tidak terjadi sengketa apabila terdapat
masalah dalam transaksi jual beli dikemudian hari.
Secara terminologi, Uama fiqh mendefinisikan al-khiyar yaitu:67
لغاء ر االمرين من االمضاء اواال اليار ىو طلب خي Artinya: “khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara,
melangsungkan atau meninggalkan (jual beli)”.
Khiyar secara syar‟i adalah hak orang yang berakad dalam
membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-sebab secara
syar‟i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan ketika
berakad.68
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 20 ayat
8 khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau
membatalkan akad jual beli yang dilakukan.69
Dapat disimpulkan bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan
jual beli atau membatalkannya, karena ada cacat pada barang yang dijual
atau pada perjanjian pada waktu akad karena sebab yang lain. Tujuan
67
Sabiq, Fiqh Sunnah, ahli bahasa oleh H. Kamaluddin A. Marzuki jilid 12, (Bandung:
Al-Ma‟arif, 1987), h. 100. 68
Azzam, Fiqh Mu‟amalat penerjemah Nadirsyah Hawari cetakan pertama, (Jakarta:
Amzah, 2010), h.99 69
KHES Pasal 20 ayat 8
41
dengan diadakannya khiyar adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai,
karena mereka sama-sama rela atau setuju.70
2. Dasar Hukum Khiyar
a. Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 29
نكم بالباطل اال ان تكون تارة عن يآي ها الذين ءامن وا ال تاء كلو اموالكم ب ي نكم وال ت قت لوا ان فسكم ان اهلل كان بكم رحيما ت راض م
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali
dengan jalan perniagaan berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu”.71
b. Dalil yang menjelaskan tentang khiyar:
ث نا اي وب نافع عن ابن عمر رضي اهلل ث نا حاد بن زيد حد عمان حد ث نا اب و الن حدعان باليار ملم ي ت فرقا اوي قول احدها ع هما قال: قال النب صلى اهلل عليو وسلم الب ي ن
ا قال او يكون ب يع خيار. )رواه البخاري ومسلم( لصاحبو اخت ر وربArtinya: “Meriwayatkan Abu Nu‟man, meriwayatkan Hamad bin
Zaidin, meriwayatkan Ayub bin Ibnu Umar RA berkata
bahwa Nabi SAW bersabda: “ Dua pihak yang saling jual
beli, salah satunya menggunakan hak pilih (khiyar)
terhadap pihak lain, selama keduanya belum berpisah
kecuali mengenai jual beli dengan khiyar”.( H.R. Bukhari
Muslim).72
3. Macam-macam Khiyar
Khiyar itu sendiri boleh bersumber dari kedua belahpihak yang
berakad, seperti khiyar ash-sharth dan khiyar at-ta‟yin, ada pula khiyar
70
Muslich, Op.Cit., h. 216. 71
Depag RI, Op.Cit., h.195. 72
Al Bukhori, Hadits Nomor 1981, h. 802.
42
yang bersumber dari syara‟ seperti khiyar al-„aib,khiyar ar-ru‟yah dan
khiyar al-majlis.73
a. Khiyar ash-sharth
Yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang
berakadatau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau
membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan. Misalnya pembeli mengatakan “saya membeli barang ini
dari engkau dengan syarat, saya berhak memilih antara meneruskan
atau membatalkan akad selama satu minggu”.74
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar ini
diperbolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari
unsur penipuan yang mungkin terjadi dapi pihak penjual. Khiyar ash-
sharth, menurut mereka hanya berlaku transaksi yang mengikat kedua
belah pihak, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikatan dagang dan
rahn (jaminan hutang). Untuk transaksi yang sifatnya tidak mengikat
kedua belah pihak, seperti hibah, pinjam meminjam, perwakilan
(wakalah), wasiat, khiyar seperti ini tidak berlaku. Tenggang waktu
pada khiyar ash-sharath menurut jumhur ulama fiqh harus jelas.
Apabila tenggang waktu tidak jelas atau bersifat selamanya, maka
khiyar tidak sah.75
b. Khiyar at-ta‟yin
73
Haroen, Op. Cit., h. 130. 74
Ibid., h.132. 75
Ibid.,
43
Yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang
berbeda kualitas dalam jual beli. Misalnya dalam pembelian keramik,
ada yang berkualitas super dan ada juga yang berkualitas sedang. Akan
tetapi pembeli tidak mengetahui secara pastimana keramik yang
berkualitas super dan mana yang berkualitas sedang. Untuk menentukan
pilihan itu ia menentukan bantuan dari pakarnya. Khiyar seperti ini
menurut Hanafi adalah boleh. Dengan alasan bahwa produk sejenis
yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas seperti itu yang
tidak diketahui oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang
yang ahli. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari
sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ini diperbolehkan.76
Akan tetapi jumhur ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar
al-ta‟yin yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah ini. Alasan mereka
dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan
harus jelas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam proses khiyar ini
menurut mereka kelihatan bahwa identitas barang yang akan dibeli
belum jelas. Oleh sebab itu, ia termasuk dalam jual beli al-ma‟dum
(tidak jelas identitasnya) yang dilarang syara‟.77
Ulama Hanafiyah yang membolehkan khiyar al-ta‟yin
mengemukakan tiga syarat untuk sah, yaitu:78
76
Ibid., h. 131. 77
Ibid,. 78
Sahroni, Hassanuddin, Fikih Muamalah; Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
dalam Ekonomi Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), h. 126.
44
1) Pilihan dilakukan terhadap barangsejenis yang berbeda kualitas dan
sifatnya.
2) Barang itu berbeda sifat dan nilainya.
3) Tenggang waktu harus ditentukan, yaitu menurut Imam Abu
Hanifah tidak lebih dari tiga hari, menurut Hanafiyah hanya
berlaku dalam transaksi yang bersifat pemindahan hak milik yang
berupa materi dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual
beli.
c. Khiyar al-„aib
Adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi
kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada
obyek yang diperjual belikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya
ketika akad berlangsung.79
Misalnya seseorang membeli telur ayam satu
kilogram, kemudian satu butir diantaranya sudah busuk atau ketika telur
dipecahkan sudah menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya belum
diketahui, baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini,
menurut para pakar fiqh ditetapkan hak khiyarbagi pembeli.80
Dan
seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Aisyah RA
bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh
berdiri didekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu
diadukan kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan ke penjual.81
Dasar Hukum khiyar al-„aib sebagai berikut:
79
Ibid., h.118. 80
Haroen, Op. Cit., h. 136. 81
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.84.
45
نو 82 عا وفيو عيب اال ب ي ل لمسلم باع من اخيو ب ي المسلم اخوالمسلم اليArtinya: “sesama muslim itu bersaudara: tidak halal bagi seorang
muslim menjual barang kepada muslim lain, padahal pada
barang itu terdapat cacat/‟aib”.
Penyebab khiyar al-„aib adanya cacat barang yang dijualbelikan
(ma‟qud alih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak
sesuai dengan maksud, atau orang yang akad tidak meneliti
kecacatannya pada saat akad.83
Khiyar al-„aibini, menurut kesepakatan
ulama fiqh berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang
diperjualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.84
Cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabillah adalah seluruh unsur yang merusak obyek
jual beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang.
Tetapi menurut ulama Malikiyah dan Safi‟iyah seluruh cacat yang
menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang
diinginkan daripadanya.85
d. Khiyar ar-ru‟yah
Yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau
batalnya jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia
lihat ketika akad berlangsung.86
82
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Hadits Shohih Nomor 2237,( Lidwah Pustaka
Kitab Sembilan). 83
Syafe‟i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 116. 84
Haroen, Op.Cit., h. 136. 85
Ibid,. 86
Ibid., h. 137.
46
Akad seperti ini, menurut madzhab Hanafi, Maliki, Zahiri boleh
terjadi disebabkan obyek yang akan dibeli tidak ada di tempat
berlangsungnya atau karena sulit dilihat. Khiyar ar-ru‟yah berlaku sejak
pembeli melihat barang yang akan dibeli.87
Sedangkan madzhab Syafi‟i
menyatakan jual beli barang yang ghaib tidak sah, baik disebutkan
sifatnya waktu akad ataupun tidak.
e. Khiyar al-majlis
Yang dimaksud dengan khiyar al-majlis adalah hak pilih bagi
kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama
keduanya masih berada dalam majlis akad (di ruang toko) dan belum
berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila
kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau
salah seorang diantara mereka telah melakukan pilihan menjual
ataumembeli. Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi
yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi,
seperti jual beli dan sewa menyewa.
Terkait keabsahan khiyaral-majlis terdapat perbedaan pendapat
ulama. Ulama Safi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa masing-
masing pihak yang melakukan akad berhak mempunyai khiyaral-majlis
selama mereka masih dalam majlis akad. Sekalipun akad telah sah
dengan adanya ijab dan qabul, selama keduanya masih dalam majlis
akad, maka masing-masing pihak berhak untuk melanjutkan atau
87
Ibid.,
47
membatalkan jual beli itu, karena akad jual beli ketika itu dianggap
masih belum mengikat. Akan tetapi, apabila setelah ijab dan qabul
masing-masing pihak tidak menggunakan hak khiyarnya dan mereka
berpisah badan, maka jual beli itu dengan sendirinya menjadi pengikat,
kecuali apabila masing-masing pihak sepakat menyatakan bahwa
keduanya masih berhak dalam jangka waktu tiga hari untuk
membatalkan jual beli itu.88
88
Ibid. h. 131.
48
BAB III
PELAKSANAAN PAKET AQIQAH “PAK AMIN”
DI BERGAS KABUPATEN SEMARANG
A. Letak Geografis Bergas Kabupaten Semarang
Katering Paket Aqiqah Pak Amin berlokasi di Desa Gebugan, Kecamatan
Bergas, Kabupaten Semarang. Desa Gebugan termasuk dalam salah satu
Desa/ Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.
Desa ini berbatasan dengan dengan Kelurahan Langensari dan Desa Gogik di
sebelah utara, Desa Pagersari di Kelurahan Wujil di bagian Timur. Desa
Munding dan PTPN.XVIII di sebelah selatan, dan di bagian barat berbatasan
dengan PTPN.XVII. Desa Gebugan, Kecamatan Bergas terletak di daerah
dataran tinggi, dengan ketinggian ±550-900 meter dari permukaan air laut.89
B. Kondisi Bergas Kabupaten Semarang
1. Ekonomi
Masyarakat Desa Gebugan kebanyakan bekerja sebagai petani dan
buruh pabrik. Biasanya yang bekerja sebagai petani ialah ibu-ibu atau
bapak-bapak yang usianya sudah berkepala tiga keatas. Ada pula yang
bekerja di pabrik akan tetapi ketika hari libur mereka pergi ke sawah atau
ladang untuk bertani. Ada beberapa warga yang bekerja sebagai guru,
dokter, maupun polisi ataupun profesi lainnya dan mereka dianggap oleh
warga lain bahwa derajatnya lebih tinggi. Pemuda di sana setelah lulus
89 Wawancara dengan petugas Kecamatan Bergas
49
sekolah mereka bekerja di pabrik dan hanya beberapa saja yang
melanjutkan ke perguruan tinggi.
2. Budaya
Di Desa Gebugan sendiri terdapat tingkatan bahasa yang
digunakan sebagai pembeda, misalnya seorang anak ketika berbicara
dengan yang lebih tua harus menggunakan bahasa Jawa halus atau yang
sering disebut bahasa krama. Zaman sekarang dengan zaman dahulu
berbeda. Dulu ketika anak muda lewat di depan orang tua mereka harus
menundukkan badan akan tetapi sekarang anak muda yang lewat di depan
orang tua mereka jarang menundukkan badan di depan mereka seolah-olah
mereka lewat didepan orang yang sebaya dengannya. Makanan tradisional
pun juga jarang ditemui pada zaman sekarang karena masyarakat sudah
memasuki zaman moderen sehingga mereka menggunakan cara-cara yang
instan (siap saji dan praktis). Sehingga kita dapat menemui makanan
tradisional pada saat ada acara tertentu.
Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan sejak zaman
dahulu dan diturun-temurunkan kepada generasi selanjutnya dan tradisi
tersebut. Dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan yang telah dimiliki
daerah tersebut. Disana juga masih mempunyai tradisi dari zaman dahulu
dilakukan hingga sampai sekarang masih di uri-uri/masih dilestarikan oleh
warga. Tradisi yang masih dilestarikan yaitu seperti upacara pernikahan,
mitoni, brokohan, upacara kematian, bersih desa, kadeso, dan nyadran.
50
3. Agama
Masyarakat desa Gebugan merupakan masyarakat Jawa yang
tinggal di lereng gunung Ungaran, mayoritas agama yang dianut
masyarakat desa Gebugan adalah agama Islam dan minoritasnya adalah
agama kristen. Di Desa Gebugan sendiri sudah terdapat masjid maupun
mushola sebagai sarana ibadah bagi masyarakat di desa tersebut yang
memeluk agama Islam. Sedangkan sarana ibadah bagi umat agama lain
belum terfasilitasi.
C. Paket Aqiqah Pak Amin
1. Sejarah
Awal mulanya dari sejarah ini ialah, dahulu sekitar 5 tahun yang lalu
tepatnya pada tahun 2013 pemilik sekaligus pengelola usaha Aqiqah yang
bernama Pak Amin ini dahulu hanyalah seorang blantik kambing, pada
waktu itu beliau hanya membeli 2-3 kambing untuk dijual kembali ke
pedagang yang membutuhkan jasanya tersebut.Dari hasil jualnya tersebut
beliau bisa mengambil keuntungan 100 ribu hingga 150 ribu tergantung
jenis kambing yang dibelinya.
Suatu ketika beliau bertemu teman lamanya yang bernama Pak Din.
Pak Din adalah sesorang yang memiliki usaha dalam hal jual beli
kambing milik pribadi (juragan kambing). Beliau juga memiliki kambing
yang sehat ataupun tidak sehat (bisa disebabkan oleh virus,faktor
alam,ataupun cacat sejak lahir). Kemudian Pak Amin mengadakan bisnis
51
dengan Pak Din. Dalam hal ini, Pak Din sebagai pemasok sedangkan Pak
Amin sebagai pemilik usaha ataupun pengelola usaha.
Pak Amin mulanya mendapat pesanan dalam sebuah acara kemudian
beliau membelinya di Pak Din dengan harga dan spesifikasi yang telah
ditentukan. Secara tidak langsung, disitulah beliau mempromosikan hasil
olahannya dan satu per satu orang memesannya. Pak Amin sendiri juga
sebagai pemasok daging mentah ke warung sate ataupun ke warung
makan lainnya. Beliau juga menerima pesanan hajatan lainnya ataupun
saat Hari Raya Kurban. Tiap orang yang ingin memesan juga dapat
disesuaikan dengan kantongnya. Dari situlah pak amin mulai mendapat
pelanggan.
Dalam perkembangannya hingga sekarang, jenis usaha katering paket
aqiqah Pak Amin Bergas ini sangat statis. Walaupun tidak selalu
mendapat pesanan dalam hajatan, beliau bisa mendapat pemasukan dari
hasil pemasok daging mentah ke warung makan langganannya.
Katering yang dikelola Pak Amin memiliki pemasok kambing yaitu
dari Pak Din selaku rekan bisnis Pak Amin atau sebagai teman lamanya.
Penyembelihan kambing dilakukan di rumah pemilik usaha, disana juga
terdapat kandang dan tempat penyembelihan berupa satu lubang yang
berfungsi sebagai tempat darah. Penyembelihan dilakukan pada waktu
yang ditentukan tergantung permintaan pembeli. Jika acara aqiqah
dilaksanakan pada pagi atau siang hari, maka kambing dipotong pada sore
52
hari sebelumnya. Namun jika pemesan mengadakan aqiqah sore atau
malam hari, maka kambing disembelih pada esok hari.
2. Prosedur Pemesanan
a. Pemesan akan diberitahu menu paket dan harga tiap paket yang akan
dipandu oleh pihak pemilik usaha untuk menjelaskan berapa porsi
pada paket yang akan dipilih.
b. Pemesan akan menyetujui porsi yang telah dipilih dalam paket
pilihannya tersebut.
c. Pembeli melakukan pembayaran dengan membayaran diawal akad
ataupun membayar uang muka yang kemudian akan dilunasi pada
waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak.
d. Pemilik usaha ataupun karyawannya memintai identitas pemesan
seperti nama yang akan diaqiqahi, alamat, serta nomor telepon.
3. Paket Menu
a. Paket Istimewa yang akan mendapat 450 tusuk sate ± 2 panci gulai
untuk 140 porsi dengan harga Rp. 1.950.000,-
b. Paket Super yang akan mendapat 300 tusuk sate ± 1 panci gulai untuk
100 porsi dengan harga Rp. 1.700.000,-
c. Paket Hemat yang akan mendapat 250 tusuk sate ± 1 panci gulai untuk
60 porsi dengan harga Rp. 1.450.000,-
53
4. Pembayaran
Pembeli bisa melakukan proses pembayaran pada saat awal
transaksi, ditengah, ataupun diakhir saat barang diterima. Hal tersebut
telah dilaksanakan pada akad pemesanan yang pembayarannya dilakukan
di awal transaksi pada usaha katering paket aqiqah Pak Amin. Pemilik
usaha juga memberikan dispensasi bagi pembeli yang belum bisa
melunasi sepenuhnya dengan syarat saat akad melakukan pembayaran
50% atau lebih dari harga yang telah disepakati. Selanjutnya sisa
kekurangan dapat dilunasi pada saat pengiriman barang tanpa meminta
harga tambahan atas hal tersebut.
Jika pembeli melakukan pembatalan atau penundaan pemesanan,
pemilik usaha memberikan syarat bahwa pemesan harus memberikan
informasi kepada pemilik usaha dengan waktu 2 hari sebelum tanggal
penyerahan pesanan. Adapun saat pembatalan, pemesan harus
memberitahukan jauh-jauh hari agar uang dapat dikembalikan tanpa
adanya potongan biaya.
5. Pengelolaan
Seperti halnya dalam usaha katering paket aqiqah Pak Amin, beliau
tidak menggunakan spesifikasi jenis kambing yang terdapat pada syari‟at
Islam. Usaha katering paket aqiqah Pak Amin Bergas dilakukan dengan
akad pemesanan yakni jual beli istishna‟ sebagaimana proses akad yang
terjadi dengan jual beli sesuatu dengan penawaran sesuai kriteria, harga
tertentu, dan akan diserahkan pada tempo waktu tertentu. Sesuai dengan
54
definisi bahwa istishna‟ adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang
bisa dibayarkan di awal (uang muka) , ditengah, ataupun di akhir ketika
barang diantarkan.
6. Pengemasan
Jika mendapati kekurangan dalam penakaran pada porsi, pemilik
usaha menambahkan atau mengambil daging yang dijual untuk keperluan
lain. Yang perlu dipahami bahwa maksud aqiqah adalah menyembelih
kambing, dua bagi anak laki-laki, dan satu bagi anak perempuan. Aqiqah
mesti dengan penyembelihan dengan maksud untuk aqiqah bukan maksud
untuk konsumsi biasa.
7. Pengiriman
Pengiriman barang yang dilaksanakan oleh usaha katering paket
aqiqah Pak Amin dilaksanakan sesuai kesepakatan oleh kedua belah pihak.
Dan diakhiri dengan pihak pembeli yang pada awal akad membayar uang
muka, harus melunasinya saat itu juga dan menandatangani kwitansi atau
surat bukti pembayaran saat barang telah dikirim.
55
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
PAKET AQIQAH “PAK AMIN”
DI BERGAS KABUPATEN SEMARANG
A. Pelaksanaan Paket Aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten Semarang
Salah satu acara penting untuk menanamkan nilai-nilai rohaniah kepada
anak yang masih suci ialah dengan mengadakan aqiqah. Aqiqah merupakan
salah satu ajaran islam yang di contohkan Rasulullah SAW. Aqiqah
mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa kita petik didalamnya.
Dilaksanakan pada hari ketujuh dalam kelahiran seorang bayi. Dengan aqiqah
diharapkan sang bayi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir dan batin.
Ditumbuhkan dan dikembangkan lahir dan batinnya dengan nilai-nilai
ilahiyah.
Perkembangan era modern ini masyarakat sudah banyak yang
melaksanakan sunnah dengan mengaqiqahi anak mereka yang baru lahir.
Namun kesadaran mereka dalam menentukan syarat yang harus terpenuhi
sangatlah kurang, mereka hanya asal memesan dengan cara instan, dengan
prinsip saling percaya, ataupun mengikuti zaman. Fenomena yang terjadi saat
ini, banyak pemilik usaha yang meraup keuntungan secara besar dengan cara
melakukan kecurangan.
Bahkan Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam
masalah jual beli, maupun dalam seluruh macam mu‟amalat. Keduanya
dilakukan atas dasar suka sama suka antara kedua belah pihak. Seorang
56
muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, sebab
keikhlasan dalam beragama nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha
duniawi.
Tetapi sesuai realitanya pelaksanaan paket aqiqah Pak Amin Bergas
banyak terdapat praktik yang menyimpang yang tidak sesuai dengan syarat
syah nya suatu obyek. Seperti halnya dalam usaha katering paket aqiqah Pak
Amin, beliau tidak menggunakan spesifikasi jenis kambing yang terdapat
pada syari‟at Islam. Bahkan cara memotongnya pun sembarangan (tidak
mengikuti sendi ataupun ruasnya dengan tidak memecahkan). Kepala, kulit,
dan kakinyapun dijual secara terpisah.
Usaha paket aqiqah Pak Amin Bergas dilakukan dengan akad pemesanan
yakni jual beli istishna‟ sebagaimana proses akad yang terjadi dengan jual
beli sesuatu dengan penawaran sesuai kriteria, harga tertentu, dan akan
diserahkan pada tempo waktu tertentu. Sesuai dengan definisi bahwa istishna‟
adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang bisa dibayarkan di awal (uang
muka) , ditengah, ataupun di akhir ketika barang diantarkan.
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Paket Aqiqah “Pak
Amin” di Bergas Kabupaten Semarang
Selanjutnya dari tahapan pemesanan, pembayaran, pengelolaan,
pengemasan, dan pengiriman barang tersebut dengan aturan hukum islam
terkait akad jual beli istishna‟, khiyar, dan aqiqah yang telah dijelaskan di bab
II. Berikut analisis dari tahapan-tahapan di atas:
57
a. Tahap Pemesanan
Terdapat beberapa syarat dalam akad jual beli istishna‟ yang
harus dipenuhi oleh pemesan (muslam) dan penjual (muslam ilaih),
yaitu kedua belah pihak yang bersangkutan telah cakap hukum (aqil
dan baligh), tercapainya keridhoan antar kedua pihak dan tidak ada
unsur ingkar janji. Bahwasannya yang terjadi pada praktik diawal ialah
customer sebagai sorang pemesan dan usaha katering paket aqiqah Pak
Amin sebagai pemilik usaha dan keduanya telah mencapai kesepakatan
bersama. Dari syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fi‟hi
(barang yang ditransaksikan) dalam ba‟i al istishna‟ adalah harus
spesifik, harus bisa diidentifikasi dengan jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut mengenai pengelompokan kualitas maupun jumlahnya. Pihak
usaha katering paket aqiqah Pak Amin tidak menyebutkan spesifikasi
dengan rinci. Namun harga tiap paket, jenis menu, serta jumlah porsi
yang akan didapat telah dijelaskan oleh pihak pemilik usaha. Seperti
paket istimewa yang terdiri dari 450 tusuk sate ± 2 panci gulai untuk
140 porsi dengan harga Rp. 1.950.000, paket super dengan 300 tusuk
sate ± 1 panci gulai untuk 100 porsi dengan harga Rp. 1.700.000, paket
hemat yang akan mendapat 250 tusuk sate ± 1 panci gulai untuk
jumlah porsi 60 dengan harga Rp. 1.450.000.
Selanjutnya ada spesifikasi lainnya yang tidak disebutkan
semuanya oleh pemilik usaha, seperti harga awal modal kambing, usia
58
dan keadaan kambing, beratnya karena telah menjadi rahasia
perusahaan. Menanggapi adanya hal tersebut islam memberikan
adanya hak khiyar bagi customer yang ingin melakukan pemesanan.
dengan batas spesifikasi barang tersebut yang belum bisa dilihat secara
menyeluruh oleh pemesan, maka berlakulah khiyar al-ru‟yah yaitu hak
pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlangsung atau batal jual beli
yang dilakukan terhadap suatu obyek yang dilihat ketika akad
berlangsung tersebut. Adanya syariat dalam Islam yang menyatakan
bahwa khiyar al-ru‟yah seperti yang diungkapkan oleh Jumhur Ulama
fiqh yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, Zahiriyah, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
90من اشت رى شيئا ل ي ره ف هوبا ليار اذا راه Artinya: “Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum
pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika
melihatnya”. (HR ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
Akad seperti ini menurut mereka boleh terjadi disebabkan obyek
yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad, atau
karena sulit dilihat.
b. Tahap Pembayaran
Syarat mengenai pembayaran akad istishna‟ ini dalam syariat
Islam proses pembayaran bisa dibayarkan pada saat awal transaksi,
ditengah, ataupun diakhir saat barang diterima. Hal tersebut telah
90
Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 137.
59
dilaksanakan pada akad pemesanan yang pembayarannya dilakukan di
awal transaksi pada usaha katering paket aqiqah Pak Amin. Pemilik
usaha juga memberikan dispensasi bagi pembeli yang belum bisa
melunasi sepenuhnya dengan syarat saat akad melakukan pembayaran
50% atau lebih dari harga yang telah disepakati. Selanjutnya sisa
kekurangan dapat dilunasi pada saat pengiriman barang tanpa meminta
harga tambahan atas hal tersebut.
Jika pembeli melakukan pembatalan atau penundaan pemesanan,
pemilik usaha memberikan syarat bahwa pemesan harus memberikan
informasi kepada pemilik usaha dengan waktu 2 hari sebelum tanggal
penyerahan pesanan. Adapun saat pembatalan, pemesan harus
memberitahukan jauh-jauh hari agar uang dapat dikembalikan tanpa
adanya potongan biaya. Hal tersebut diperbolehkan sebagaimana Islam
memberikan hak khiyar ash-sharath yakni hak pilih yang ditetapkan
bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain
untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam
tenggang waktu yang telah ditentukan. Menurut Jumhur Ulama fiqh
harus jelas mengenai tenggang waktu dalam khiyar ash-sharath.
Apabila tenggang waktu tidak jelas atau bersifat selamanya, maka
khiyar tidak sah.
c. Tahap Pengelolaan
Dalam pengelolaan kambing yang dikelola oleh pihak usaha
katering paket aqiqah Pak Amin tidak memperhatikan kriteria atau
60
spesifikasi hewan yang akan digunakan. Mereka tidak berpatokan
dalam syaraiat Islam. Bahkan dalam pemotongan tulang-tulang hewan
juga diperselisihkan oleh ulama‟ yaitu:
1) Menurut madzhab Syafi‟i dan Hambali disunahkan untuk tidak
memotong-motong tulang hewan sembelihan aqiqah. Hikmahnya
adalah tafa‟ulan (sebagai do‟a) agar anak yang diaqiqahi kelak
tidak menderita patah tulang. Diantara dalilnya adalah riwayat dari
Aisyah radhiyallahu‟anha:
ر منها عظم يطبخ جدوال وال يكسArtinya: “(Daging aqiqah itu) sepenggal-penggal, dan
tulangnya tidak dipecah”. (Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah, No.24263)
2) Menurut madzhab Maliki, tulang tersebut boleh dipotong-potong
atau dibiarkan utuh. Imam Maliki dalam “Al-Muwaththo”
menjelaskan bahwa aqiqah itu sepertihalnya qurban, karena itu
diperbolehkan memotong-motong tulangnya. Pendapat ini juga
didukung oleh Imam Ibnu Hamz, pemuka ulama‟ madzhab Dhohiri,
beliau menjelaskan, tidak ada satupun hadits yang shahih yang bisa
dijadikan dalil mengenai pelarangan hal tersebut, termasuk riwayat
dari Aisyah.
d. Tahap Pengemasan
Dalam hal pengemasan barang jika mendapati kekurangan
dalam penakaran pada porsi, pemilik usaha menambahkan atau
mengambil daging yang dijual untuk keperluan lain. Yang perlu
61
dipahami bahwa maksud aqiqah adalah menyembelih kambing, dua
bagi anak laki-laki, dan satu bagi anak perempuan. Aqiqah mesti
dengan penyembelihan dengan maksud untuk aqiqah bukan maksud
untuk konsumsi biasa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:
قتو عن سلمان بن عامر الضب قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم, مع الغالم عقي 91فاىر ي قوا عنو دما واميطوا عنو االذى
Artinya: “Dari Salman bin „Amir Adh Dhabbi, ia berkata,
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Pada
(setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka
sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan
darinya.”
Dalam hadits disebutkan keluarkanlah darahnya, maksudnya
adalah sembelihlah. Sehingga aqiqah dengan hanya sekedar membeli
daging tidak dibenarkan. Yang benar haruslah hewan aqiqah itu
disembelih, tidak hanya dengan sekedar membeli daging kambing
yang lainnya lalu dibagikan pada orang lain.
e. Tahap Pengiriman
Pengiriman barang yang dilaksanakan oleh usaha katering paket
aqiqah Pak Amin dilaksanakan sesuai kesepakatan oleh kedua belah
pihak. Dan diakhiri dengan pihak pembeli yang pada awal akad
membayar uang muka, harus melunasinya saat itu juga dan
menandatangani kwitansi atau surat bukti pembayaran saat barang
telah dikirim. Maka apabila barang pesanan tersebut telah diterima
91
HR. Bukhari No. 5472
62
oleh pembeli sesuai dengan perjanjian di awal akad, berakhirlah jual
beli istishna‟ ini karena semua syarat rukun istishna‟ telah terpenuhi.
Berdasarkan uraian diatas maka pelaksanaan produk aqiqah
pada usaha katering paket aqiqah Pak Amin adalah tidak sah. Bahkan
praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita
dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang
dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan
yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu‟alaihi wa
sallam bersabda:
ارقا لقيل يارسول اهلل اوليس قد احل اهلل الب يع قال ب لى ولكن هم ان التجارىم الفجب ون ويلفون وياثون ث ون ف يكذ يد
Artinya: “sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang
fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan
bertanya, “bukankah Allah telah menghalalkan praktek
jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab,
“Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan
barang dagangannya kemudian berdusta, mereka
bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan
keji”. (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari
Maktabah Asy Syamilah)
Selanjutnya hadits yang menjelaskan bahwa dalam jual beli
harus disertai dengan kejujuran, dalam pelaksanaan usaha katering
paket aqiqah Pak Amin tidak menjelaskan secara detail spesifikasi
kambing yang akan disembelih. Hal ini berlawanan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Rofa‟ah bin Rafi‟ Al-Bazzar dan al-Hakim
ditegaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika ditanya
salah seorang sahabat mengenai pekerjaan yang paling baik.
63
Rasulullah SAW menjawab: “usaha tangan manusia sendiri, serta jual
beli yang diberkati” dengan kata lain, jual beli yang jujur tanpa
diiringi dengan kecurangan. Diperkuat lagi dengan hadis riwayat At-
tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: “pedagang yang jujur dan dapat
dipercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, Siddiqin,
dan Syuhada”.
Dalam hal ini pelaksanaan usaha katering paket aqiqah pak
Amin Bergas belum sesuai dengan hadis tersebut karena tidak
didasarkan atas kejujuran. Sedangkan menurut para ulama‟ prakek
jual beli diperbolehkan karena praktek tersebut sudah dipraktekkan
sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini dengan tidak
menyalahi aturan dalam hukum Islam. Oleh sebab itu, pada dasarnya
jual beli dihukumkan mubah jika dilakukan sesuai dengan tuntutan
syari‟at Islam. Dan dihukumi haram jika salah satu rukun dan syarat
belum terpenuhi atau menyimpang dari ajaran syari‟at Islam.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pelaksanaan usaha katering
paket aqiqah Pak Amin, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Paket Aqiqah “Pak Amin” di Bergas Kabupaten
Semarang.
Pada pelaksanaan paket aqiqah Pak Amin yang diutamakan adalah
pembelian paket bukan memprioritaskan pembelian (ekor) kambing
sebagaimana telah disebut pada hadits Abu Daud hadits Shahih Nomor
2456. Dalam pemesanannya menggunakan akad istishna‟ karena
pembeli melakukan pemesanan kepada pemilik usaha dengan
memesan barang yang belum ada kriteria barangnya. Tahapan
pembayaran bisa dilakukan dengan dibayar lunas ataupun pembayaran
sebagai uang muka dengan jumlah 50% atau lebih, kemudian 50% atau
kurangnya dari kekurangan tersebut harus dibayarkan pada saat barang
dikirim.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap Pelaksanaan Paket Aqiqah “Pak
Amin” di Bergas Kabupaten Semarang.
Berdasarkan tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan paket
aqiqah Pak Amin tersebut tidak sesuai dengan hadits Abu Daud hadits
Shahih Nomor 2456. Pada tahapan pemesanan akad yang digunakan
sesuai dengan akad istishna‟ karena pembeli melakukan pemesanan
65
sesuai yang diinginkan dan tidak terpatok pada menu yang ditawarkan.
Saat pembayaran juga sesuai dengan perjanjian antara pemilik usaha
dengan pembeli.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah syarat dan rukun istishna‟.
Dalam syari‟at, aqiqah ada hal-hal yang harus dipenuhi:
1. Jumlah kambing untuk anak laki-laki dua ekor, dan perempuan
satu ekor. Bukan jumlah tusuk sate atau menu paket.
2. Kambing aqiqah sama dengan kambing untuk kurban
3. Jual beli meski dengan akad istishna‟ boleh tetapi
spesifikasinya harus jelas.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan kepada usaha katering
paket aqiqah Pak Amin maupun masyarakat:
1. Diharapkan kepada usaha katering paket aqiqah Pak Amin agar
meningkatkan pemahamannya terhadap segala aspek yang berkaitan
dengan fiqh muamalah, dan harus terbuka dengan pembeli terkait
infomasi dalam spesifikasi kambing aqiqah maupun rukun dan syarat
yang harus terpenuhi.
2. Diharapkan untuk konsumen harus menjadi konsumen yang cerdas
dalam melakukan pemilihan katering paket aqiqah yang pada zaman
ini sudah banyak bisnis aqiqah secara praktis dan mudah ditemukan
namun belum tentu memenuhi syari‟at Islam, agar tidak mudah tertipu
oleh pemilik atau pengelola usaha.
66
DAFTAR PUSTAKA
Afnani, Amilia. 2012. Pengaruh Kualitas Produk Terhadap Kepuasan Konsumen
dan Minat Rekomendasi Konsumen pada Produk Katering Aqiqah
Yayasan Nurul Hayat. Yogyakarta: Skripsi.
Ainiyah, Dewi Nur. 2014. Pengaruh Label Halal Aqiqah Siap Saji Yayasan Nurul
Hayat Cabang Gresik Terhadap Minat Beli Masyarakat Gresik.
Gresik: Skripsi.
al-Fauzan, Saleh. 2006. Al-Mulakhkhasul Fiqhi. Jakarta: Gema Insani.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syariah dan Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syariah edisi I. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Ascarya. 2009. Akad&Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Mu‟amalah penerjemah Nadirsyah
Hawari cetakan pertama. Jakarta: Amzah.
Daftar istilah dalam “Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah.
2002. Bogor: Bank Syariah.
Djamil. Fathurrahman. 2013. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Djuwaini, Dimyaudin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Depag RI. 2012. Al-Qur‟an dan Terjemahan. Bandung: CV Diponegoro.
Hadits Riwayat Bukhori Nomor 1981.
Hadits Riwayat Bukhori Nomor 5472.
67
Haroen, H Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Http://www.berkahcatering.web.id/article/august-01st-2015, diakses pada tanggal
15 Mei 2018, pukul 16:47.
Huda, Qomarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Magista Insani Press.
Hulwati. 2006. Ekonomi Islam, Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan
Obligasi Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia edisi I.
Padang: Ciputat Press Group.
Ifham, Ahmad. 2015. Bedah Akad Pembiayaan Syariah. Depok: Herya Media.
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Hadits Shohih Nomor 2237. Lidwah
Pustaka Sembilan.
Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani bin Muhammad. 2009. Subulus Salam Syarah
Bulughul Maram Diterjemahkan oleh: Ali Nur Medan dkk. Jakarta:
Darus Sunnah Press.
Kamil, Fauzan. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syari‟ah edisi ICet. I. Jakarta: Kencana Prenada Media GrouP.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Koentjaraningrat. 1989. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 108, 20(34), 101-103, 20(8). 2009.
Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani
(PPHIM).
Lubis, Suhrawardi K, Wajid, Farid. 2012. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
68
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqh Muamalah Klasik & Kontemporer. Bogor: Ghasa
Indonesia.
Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media.
Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2009. Fiqh Al-Iman Ja‟far ash-Shadiq „Ardh wa Istidal
juz 3 dan 4. Jakarta: Penerbit Lentera.
Muslich, Ahmad Wardi. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta: AMZAH.
Putri, Jeshinta Fathania. 2017. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik
Pemesanan Paket Aqiqah. Lampung: Skripsi.
Tika, Moh Pabundu. 2006. Metodologi Riset Bisnis. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rahman, Fatkhur. 2010. Pintar Ibadah. Surabaya: Pustaka Media.
Rifa‟i, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra.
Restianti, Hetti. 2013. Antara Aqiqah dan Qurban. Bandung: Titian Ilmu.
Sabiq. 1987. Fiqh Sunnah, ahli bahasa oleh H. Kamaluddin A. Marzuki jilid 12.
Bandung: Al-Ma‟arif.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah, ahli bahasa oleh H. Kamaluddin A. Marzuki
jilid 12. Bandung: Al-Ma‟arif.
Sahrani, Sohari. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sahroni, Oni, Hassanuddin. 2016. Fikih Muamalah; Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
69
Yahya, Sulaiman Ahmad. 2013. Ringkasan Fiqh Sunnah. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Ya‟qub, Hamzah. 1992. Kode Etik Dagang Menurut Islam.Bandung:
Diponegoro.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Kandang Kambing Pak Din
2. Kambing Ternak Milik Pak Din
3. Kambing yang mengalami kecacatan
4. Proses Penyembelihan
5. Proses Pengeletan Kambing
6. Proses Pemasakan
7. Kepala dan kaki kambing dijual terpisah
8. Proses Pengemasan