TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4675/1/baru...
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4675/1/baru...
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR
08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA
BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN
BOYOLALI
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
INTAN PRATIWI
NIM: 21414067
PROGAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO
MENGETAHUI TUJUAN ANDA DAN KEINGINAN
UNTUK MENCAPAINYA, TIDAK AKAN MEMBAWA
ANDA DEKAT KEPADANYA, HANYA TINDAKAN
YANG MAMPU BERBUAT DEMIKIAN
(GEORGE ELD)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta sebagai motivator terbesar dalam hidupku yang
tak mengenal lelah dan mendoakan aku serta menyayangiku, terima kasih atas
semua pengorbanan, keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.
2. Ketiga adik-adiku yang telah memberikan dukungan yang berunsur bullyan
untuk segera menyelesaikan skripsiku.
vii
Kata Pengantar
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat – Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai
dengan yag di harapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah
diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi ini.
Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi, kekasih, spirit
perubahan Rasulullah SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat – sahabatnya,
syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan.
Penulisan Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H), Progam Studi Hukum Ekonomi
Syari‟ah, Fakultas Syari‟ah, yang berjudul : “Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap
Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku Di Pertokoan Pasar Karanggede
Kabupaten Boyolali” Penulis mengakui bahwa dalam menyususn penulisan skripsi
ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah
penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima kasih
kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. A, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.
viii
3. Ibu Evi Ariyani, M. H, selaku Ketua Progam Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah
IAIN Salatiga.
4. Ibu Luthfiana Zahriani, M. H. Selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan penulisan
skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan yang
diharapkan.
5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi
Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu
memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
halangan apapun.
6. Para informan di Pasar Karanggede yang telah berkenenan saya wawancarai.
7. Sahabat – sahabatku Jama‟ah Rasan-Rasan yang selalu memberikan semangat
dalam menyelesaikan skripsi.
8. Teman – temanku yang budiman Nurcahyo Andri S. Pd., Fuad S. Pd., dan
Ario Hermawan yang telah membantuku banyak dalam menyelesaikan
skripsi.
9. Teman – teman Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2014 di IAIN
Salatiga yang telah banyak memberikan cerita selama menempuh pendidikan
di IAIN Salatiga.
10. Bapak Lurah dan Bapak Ibu Perangkat Desa Bandung yang telah memberikan
pengertian kepada saya dispensasi waktu dan tenaga dalam bekerja guna
menyelesaiakan skripsi.
ix
11. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun memberikan
kontribusi hebat dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balsan yang
lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa mendapatkan
maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya, Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini maaih jauh dari
sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisisnya,
sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan skripsi ini, sehingga mudah dipahami.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri dan u mumnya bagi pembaca.
Salatiga, 24 September 2018
Penulis.
INTAN PRATIWI
NIM.2141406
x
ABSTRAK
Pratiwi, Intan. 2018. Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Terhadap Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku Di Pertokoan
Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Progam Studi Ekonomi Syari‟ah.
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Lutfiana Zahriani, SH.MH
Kata Kunci: Hukum Islam, Klausula baku, Perlindungan Konsumen.
Perkembangan ekonomi bisnis membuat perubahan pranata hukum terutama terkait dengan
keberadaan konsumen. Dalam pembuatan perjanjian konsumen pada posisi tawar yang rendah
sehingga adanya suatu perlindungan hukum. Pada saat konsumen berhadapan dengan pelaku usaha
dalam kontek penandatangan perjanjian baku yang mengandung klausula baku maka posisinya
menjadi lemah. Pencantuman klausula baku dalam perjanjian baku yang mengalihkan tanggung
jawab pelaku usaha kepada konsumen yang tentunya berimplikasi pada perlindungan konsumen
membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di
Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-
Undang No.08 Th.1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di Pertokoan Pasar
Karanggede Kabupaten Boyolali. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan klausula baku
yang diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan
hukum Islam dan Undang-Undang No.08 Th.1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) dengan metode pengumpulan data
wawancara. Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis
sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau
lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta yang kemudian menuju
pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah, dengan jenis penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan beberapa pertokoan di Pasar
Karanggede Kabupaten Boyolali telah memberlakukan aturan klausula baku yang berbunyi
“Memecahkan Berarti Membeli”, “Membuka Segel Berarti Membeli”, dan “Barang Yang Sudah
Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan”.Tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede
Kabupaten Boyolali ada yang telah sesuai dan ada yang belum sesuai, Dari lima toko yang telah
diteliti, hanya ada dua toko yang telah sesuai baik itu menurut hukum Islam maupun UUPK, yaitu
Toko PAS dan Toko Buku Pepak, karena dalam bertransaksi telah ada unsur sukarela antara pelaku
usaha dan konsumen, dan dalam penempatan tulisan klausula baku cukup jelas. Dan yang telah
sesuai dengan hukum Islam tetapi belum sesuai menurut UUPK adalah Toko A3 dan Toko Salwa,
telah sesuai karena telah ada unsur sukarela tetapi dalam segi penulisan klausula baku kurang jelas.
Sedangkan pada Toko KN Jaya belum sesuai baik itu secara hukum Islam maupun UUPK, karena
tidak ada tulisan yang menyebutkan bahwa apabila ada kerusakan barang dagangan yang disebabkan
konsumen maka konsumen harus membelinya.
xi
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ............................................................................ ii
PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan Penleitian ........................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6
E. Penegasan Istilah ............................................................................ 7
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9
G. Metode Penelitian........................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan..................................................................... 17
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Konsumen.................................... 18
B. Pengertian Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ............................... 21
C. Pengertian Klausula Baku .............................................................. 25
D. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat
Terhadap Produk ............................................................................ 26
xii
E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung
Jawab Mutlak Pada Klausula Baku ................................................ 32
F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No.08 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ................................................... 42
BAB III ATURAN KLAUSULA BAKU YANG DIBERLAKUKAN DI
PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI
A. Wawancara dengan Pelaku Usaha Berkaitan Aturan
Klausula Baku yang Diberlakukan di Pertokoan
Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali .......................................... 51
B. Respon Konsumen Terhadap Aturan klausula Baku
di Pertokoan Pasar Karanggede ..................................................... 55
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN U NDANG-UNDANG
NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA
KLAUSULA BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE
KABUPATEN BOYOLALI ................................................................... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 64
B. Saran ............................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Nota Pembimbing Skripsi
2. Surat Penunjukkan Skripsi
3. Lembar Konsultasi
4. Surat Keterangan Lulus Ujian Komperehensif
5. Foto Penulis Bersama Informan
6. Daftar Nilai SKK
7. Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin banyaknya jumlah pertumbuhan penduduk, tentu menjadikan
kebutuhan semakin meningkat, terutama dalam hal kebutuhan ekonomi.
Kebutuhan ini bisa dikatakan kebutuhan wajib yang harus dipenuhi guna
bertahan hidup karena tidak bisa dipungkiri bahwasannya kebutuhan ini harus
dipenuhi setiap harinya.
Kemudian didukung pula dengan adanya perkembangan
perekonomian, khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan yang
mana telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telah memperluas ruang gerak arus
transaksi barang dan/atau jasa untuk melintasi batas-batas wilayah suatu
negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan menjadi bervariasi,
baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi tersebut memang menguntungkan bagi para konsumen karena
kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan
2
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas
bisnis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha
melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang
merugikan konsumen.
Salah satu bentuknya yaitu pelaku usaha dalam menerapkan adanya
klausula baku, Keberadaan klausula baku ini memang dianggap sebagai media
untuk mempermudah transaksi jual beli yang dilakukan antara produsen
dengan konsumen, akan tetapi ternyata klausula ini disalah gunakan produsen
dengan memberikan persyaratan yang sangat merugikan bagi konsumen
antara lain dalam perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian
penitipan barang, maupun perjanjian jula beli secara konvensional dan melalui
e-commerce (Agus dkk, 2015: 123).
Para pelaku usaha kebanyakan dalam meminimalisir kerugian, mereka
menerapkan klausula baku tersebut, seperti halnya di toko-toko sekitar Pasar
Karanggede, beberapa toko di sana yang menjual barang-barang yang mudah
rapuh/ pecah sudah pasti ada klausul seperti tulisan “Memecahkan Berarti
Membeli” dan “Membuka Segel Berarti Membeli” .
Pada kasus klausula baku yang berbunyi “Membuka Segel Berarti
Membeli” merupakan tindakan pelaku usaha yang membatasi hak konsumen,
3
padahal konsumen berhak mengetahui kualitas dan kuantitas suatu barang
yang akan dibelinya, sedangkan dalam kasus klausula baku yang berbunyi
“Memecahkan Berarti Membeli” dan melimpahkan seluruh kerugiannya
kepada konsumen merupakan suatu yang tidak adil, apalagi konsumen
tersebut merusakkan barang tanpa di sengaja.
Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur
mengenai masalah klausula baku, akan tetapi beberapa pelaku usaha tidak
menerapkan peraturan tersebut dalam membuat klausula baku, bahkan
diantara mereka tidak tahu kalau ada peraturan yang mengatur klausula baku,
kemudian dipengaruhi lagi dengan minimnya pengetahuan konsumen akan
hal-hal tersebut, kebanyakan konsumen mereka tidak mengetahui adanya hak-
hak konsumen, didukung dengan keadaan yang seperti itu membuat pelaku
usaha tidak perlu repot memperhatikan peraturan.
Namun ada juga beberapa konsumen yang merasa dirinya dirugikan
akan adanya klausula-klausula tersebut, dan mereka tidak bisa menuntut apa-
apa karena memang tulisan klausula tadi sudah tertera di sana, maka dari itu
perlunya ditegaskan adanya penerapan undang-undang, agar pelaku usaha
mengetahui penerapan peraturan dalam tokonya yang sesuai maupun yang
tidak sesuai dengan peraturan undang-undang.
4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang biasanya disingkat
dengan UUPK merupakan upanya pemerintah untuk memberikan jaminan
perlindungan kepada para konsumen, namun Jauh sebelum diberlakukannya
UUPK, secara yuridis formal prinsip product liability sebenarnya telah diatur
dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata, walaupun dengan catatan, ruang
lingkup materinya tidak se-ekstensif ketentuan yang diatur dalam UUPK.
Pada KUHPerdata secara umum apabila ada seorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum (PMH) maka seseorang tersebut diwajibkan untuk
memberikan ganti kerugian. Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan lima
syarat suatu perbuatan dapat masuk dalam kategori perbuatan melawan
hukum, yaitu:
1. Adanya perbuatan,
2. Perbuatan tersebut melawan hukum,
3. Adanya kerugian,
4. Adanya kesalahan, dan
5. Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan
melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkannya.
Jadi apabila seseorang melakukan sesuatu tindakan perbuatan melawan
hukum, maka seseorang tersebut harus mengganti kerugian, dalam hal ini bisa
di kaitkan dengan penerapan klausula baku karena dalam klausula baku
ditegaskan seakan-akan semua kerugian atas barang di limpahkan kepada
5
konsumen dengan membelinya, baik kesalahan tersebut dilakukan secara
sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis
akan meneliti lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan klausula baku yang
sesuai dan boleh diberlakukan baik itu menurut hukum Islam maupun
peraturan perundang-undangan.
Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan
judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR
08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU
DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada analisa latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan
Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 08
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula
baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali?
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di
Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula
baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar bermanfaat bagi
pengembangan pengetahuan dan keilmuan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan
memberikan pengembangan terhadap studi hukum tentang
perlindungan konsumen di Indonesia khususnya terkait dengan
klausula baku.
b. Sebagai sarana dalam rangka meningkatkan kreatifitas dalam
membuat tulisan ilmiah.
c. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di IAIN Salatiga.
7
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat praktis ditujukan sebagai pemberian manfaat atau
sumbangsih yang akan diperoleh dari penelitian ini bagi
masyarakat ataupun komunitas publik secara keseluruhan
atau stakeholder tertentu secara khusus.
b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat
dalam mendapatkan pengetahuan terhadap klausula baku,
hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha dan
penyelesaian penyelesaian sengketa.
c. Mengembangkan penalaran,membentuk pola pikir dinamis
dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
d. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan
selama di bangku perkuliahan dengan kenyataan di
lapangan.
E. Penegasan Istilah
Untuk membatasi dan menghindari kesalahfahaman arti pada judul
penelitian ini, maka penulis akan menegaskan istilah-istilah yang
berhubungan dengan konsep-konsep pokok arti judul dalam penelitian ini
yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
8
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU
DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI”
sebagai berikut:
1. Hukum Islam (syari'at Islam) adalah rangkaian dari kata “hukum” dan
kata “Islam” untuk mengetahui arti hukum Islam perlu diketahui lebih
dahulu arti kata “Hukum”. Hukum yaitu seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat itu dan
mengikat seluruh anggotanya. Hukum Islam artinya seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini serta mengikat untuk semua
yang beragama Islam (Syarifuddin, 1997:4-5).
2. Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang akan digunakan sebagai dasar penelitian ini, yang mana
menjelaskan mengenai hak-hak dan jaminan konsumen.
3. Tanggung Jawab Mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
( UU NO.32 Th. 2009).
4. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
9
perjanjian yang mengikat atau wajib dipenuhi oleh konsumen. (UU
NO.8 Th. 1999).
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka atau kajian pustaka berkedudukan sangat penting
dalam sebuah penelitian, karena penggunaan teori untuk dijadikan kerangka
pemikiran tidak akan dapat dilakukan jika tidak ada tinjauan pustaka. Hanya
perlu diperhatikan bahwa dalam tinjauan pustaka tidak perlu menguraikan
penjelasan yang panjang lebar, sehingga tampak seperti memindahkan
pendapat orang secara keseluruhan ke dalam tinjauan pustaka, tanpa sedikit
pun pemilihan substansi uraian-uraiannya (Saebani, 2008: 160).
Berikut adalah penelitian terdahulu yang membahas tentang
perlindungan konsumen:
1. SKRIPSI tahun 2017 yang di tulis oleh Rokhana Puji Astuti ( Institut
Agama Islam Negeri Salatiga) dengan judul “TINJAUAN HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP SYSTEM PROMO
(STUDI KASUS TOKO JAKARTA PONSEL, SALATIGA)”. Dengan
rumusan masalah bagaimana penerapan sistem promo di Toko Jakarta
Ponsel Salatiga, kemudian bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap
sistem promo di Toko Jakarta Ponsel Salatiga, serta bagaimana tinjauan
Undang-Undang No.8 Th 1999 tentang perlindungan konsumen terhadap
10
sistem promo di Toko Jakarta Ponsel Salatiga. Dalam penelitian tersebut
di simpulkan bahwa dalam penerapan sistem promo di Toko Jakarta
Ponsel Salatiga menggunakan media brosur yaitu yang pertama dengan
melakukan promosi besar-besaran dengan harga yang sangat murah, yang
kedua dengan penurunan harga secara temporer yaitu dengan cara di
lakukan menurunkan harga barang tertentu dalam jangka waktu tertentu
atau waktu yang telah ditentukan. Yang ketiga, pemberian hadiah yaitu
yang pembeli membeli barang tertentu di Toko Jakarta Ponsel dan
mendapatkan hadiah secara cuma-cuma. Adapun tinjauan hukum Islam
terhadap bisnis yang dilakukan toko tersebut boleh, akan tetapi
bertentangan dengan syariat Islam, karena ada pihak yang terdzolimi.
Sedangkan tinjauan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap system promo tersebut, konsumen
berhak mendapatkan perlindungan konsumen yang menjamin adanya
kepastian hukum.
2. SKRIPSI tahun 2015 yang tulis oleh Anur Janatin Na‟im (Institut Agama
Islam Negeri Tulungagung) dengan judul “PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM JUAL-BELI PERUMAHAN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999 DAN FATWA DEWAN
SYARIAH NASIONAL NO.06/DSN-MUI/IV/2000 (STUDI KASUS DI
PERUM TAMAN NIRWANA KEDIRI)”. Dengan rumusan masalah
bagaimana pelaksanaan jual-beli di Perum Taman Nirwana Kediri dan
11
bagaimana hubungan perlindungan konsumen dalam jual-beli di Perum
Taman Nirwana dengan Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000. Hasil penelitian ini
di simpulkan bahwa, pertama dalam pelaksanaan jual-beli di Perum
Taman Nirwana Kediri, pembeli di beri kebebasan untuk memilih
objeknya dan pembayaran boleh dilakukan baik secara tunai maupun
kredit. Yang kedua ketentuan Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 belum
sepenuhnya terlaksana. Yang ketiga pelaku usaha di Perum Taman
Nirwana Kediri dalam transaksi jual-beli rumah telah melanggar ketentuan
Undang-Undang No. 08 Tahun 1999, sehingga pelaku usaha harus
dikenakan sanksi yang tegas. Dan juga melanggar ketentuan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000, karena hak-hak konsumen
yang belum terpenuhi terutama dalam fasilitas umum dan kontruksi
bangunan yang kurang bagus.
3. Jurnal Privat Law tahun 2015 yang tulis oleh Danty Listiawati
(Universitas Sebelas Maret Surakarta) dengan judul “KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN STANDARD DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN”. Yang rumusan
masalahnya mengenai kedudukan klausula eksonerasi dalam perjanjian
standart serta kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen. Yang
disimpulkan bahwa keberadaan klausula eksonerasi dalam perjanjian tidak
lepas dari asas kebebasan berkontrak. Artinya para pihak bebas membuat
12
perjanjian apa saja, termasuk bebas menentukan isi, luas dan bentuk
perjanjian(Listiawati,http://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb/article/view/
508, diakses 12 Januari 2018).
4. Jurnal Hukum Forum Akademika tahun 2014, yang ditulis oleh Taufik
Yahya, Dwi Suryahartati, dan Firya Oktaviarni (dosen Universitas Jambi).
dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JASA PERPARKIRAN DI
KOTA JAMBI” dan dengan rumusan masalah Bagaimana Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 3 Tahun 2010 tentang Retribusi
pelayanan parkir di Kota Jambi serta Bagaimanakah Model Perjanjian
Jasa Perparkiran yang memenuhi konsep-konsep Keseimbangan dan
Kepastian Hukum. Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor. 3 Tahun 2010 tentang Retribusi
Pelayanan Parkir di tepi jalan umum belum diterapkan dengan maksimal.
Dibuktikannya masih ada titik parkir yang disinyalir merupakan titik
parkir tidak terdaftar di kantor pengelolaan parkir pasar Jambi. mengenai
nilai retribusi yang diharapkan menjadi kekuatan peningkatan PAD Kota
Jambi tidak begitu mendapat perhatian khususnya dari para juru parkir
yang berkewajiban menyetorkan dana parkir, karena masih terjadi
tunggakan-tunggakan pembayaran parkir oleh juru parkir di tiap titik
parkir, dan juga Klausula Baku yang terdapat dalam karcis Parkir di Kota
Jambi masih menyandang klausula eksonerasi yang merugikan konsumen.
13
klausula tersebut bertentangan dengan konsep penitipan barang menurut
KUHPerdata. Dengan demikian klausula tersebut adalah cacat hukum, dan
dapat dinyatakan bahwa sedari awal tidak pernah ada hubungan hukum
antara pihak-pihak yang berkaitan terhadap kontrak tersebut (Yahya dkk,
http://ji.unbari.ac.id/index.php/ilmiah/article/view/357, diakses 12 Januari
2018).
Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi perbedaan dalam penelitian adalah pada fokus masalah
bagaimana pelaksanaan klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede
Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah faktor yang sangat penting dalam
sebuah penulisan penelitian dan harus di tulis secara rinci. Adapun metode
yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis, artinya
suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat
atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk
14
menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada
akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah ( Soekanto, 1982: 10).
Dan jenis penelitiannya adalah kualitatif. Penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati (Moleong, 1998: 4).
2) Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai instrument
sekaligus pengumpul data, yang mana penulis hanya berperan sebagai
pengamat partisipan, dan kehadiran peneliti tidak ketahui statusnya
sebagai peneliti oleh subjek atau informan dan juga tempat objek
penelitian.
3) Lokasi Penelitian
Penulis memilih lokasi penelitian di Pasar Karanggede, dikarenakan
lokasi tersebut merupakan Pasar terbesar dan pusat kegiatan ekonomi
utama di daerah Jalan Raya Sruwen-Wonosegoro.
4) Sumber Data
Adapun dalam penelitian ini, sumber data yang diperlukan penulis
sebagai berikut:
15
1. Data Primer
Data yang diperoleh peneliti dengan cara melakukan
wawancara terhadap informan yaitu pelaku usaha dan konsumen di
Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder, atau data tangan kedua adalah data
yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh
peneliti dari subjek penelitiannya. (Azwar, 1998:91).
Adapun data tersebut adalah Kitab suci Al-Quran, Hadist, kitab
undang-undang hukum Perdata, kitab undang-undang hukum
Dagang, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, buku-buku tentang klausula baku, buku-buku tentang
perlindungan konsumen, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum yang dituangkan dalam majalah ataupun jurnal
hukum.
5) Prosedur Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari lapangan dalam penelitian ini
penulis menggunakan pedoman wawancara secara langsung kepada
informan yaitu pelaku usaha dan konsumen. Tujuannya agar data yang
diperoleh tidak jauh menyimpang dari yang diharapkan dalam
penelitian ini serta untuk memperoleh data secara lengkap.
16
6) Analisis Data
Kemudian penulis mengolah data yang didapat dari hasil penelitian
lapangan sehingga penulis dapat mengetahui apakah prinsip klausula
baku yang diterapkan di Pertokoan Pasar Karanggede telah sesuai
dengan hukum Islam serta ketentuan-ketentuan sebagaimana di atur
dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
7) Pengecekan Keabsahan Temuan
Adapun dalam pengecekan keabsahan penelitian ini, penulis
berusaha sesering mungkin mendatangi lokasi penelitian agar
menghasilkan penelitian dengan maksimal.
17
H. Sistematika Penulisan
Agar pembaca mudah memahami kerangka penulisan ini, maka
penulis memberi gambaran yang lebih jelas sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI meliputi pengertian konsumen dan pelaku usaha,
hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, prinsip-prinsip tanggung
jawab dan tanggung gugat terhadap produk, dasar hukum Islam dan UUPK
tentang prinsip tanggung jawab mutlak, tujuan, asas dan manfaat Undang-
Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB III HASIL PENELITIAN meliputi aturan klausula baku yang
diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali
BAB IV PEMBAHASAN meliputi tinjauan hukum Islam dan Undang-
Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai
klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
BAB V PENUTUP meliputi kesimpulan dan penyampaian saran saran.
18
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Konsumen merupakan pemakai barang/ jasa, yang dibedakan menjadi dua
yaitu konsumen perantara dan konsumen akhir. Konsumen perantara adalah
konsumen yang membeli produk/barang tidak untuk dikonsumsi sendiri,
tetapi untuk dijual lagi. Sedangkan pengertian konsumen akhir dijelaskan
dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
2. Hak Konsumen
Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan
oleh presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yang disampaikan dalam
Kongres Gabungan Negara-Negara Bagian di Amerika Serikat, kemudian di
masukan dalam progam konsumen European Economic Community (EEC) di
mana hak-hak konsumen meliputi:
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan
b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi
19
c. Hak untuk memperoleh ganti rugi
d. Hak atas penerangan
e. Hak untuk didengar
Menurut Ernes Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus
memenuhi tiga syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan
manusia, hak itu diakui oleh masyarakat, dan hak itu dinyatakan demikian,
dan arena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga Negara. Jika tidak
memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak itu bukanlah hak yang
sempurna, tetapi merupakan hak yang semu (quasright) (Sutedi, 2008:50).
Sedangkan di Indonesia, hak-hak konsumen telah terkandung dalam
pasal 4 undang-undang perlindungan konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan / atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan
barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau
jasa yang digunakan;
20
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta
tidak deskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian,
apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau sebagaimana mestinya;
i. Hak – hak yang diatur dalam peraturan perundang – undangan
lainnya.
Selain hak-hak konsumen diatas, ada dua hak konsumen yang
berhubungan dengan pertanggungjawaban produk, yaitu hak untuk
mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta
aman, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian, jika barang yang dibelinya
itu cacat, rusak atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan
ganti kerugian yang pantas.
3. Kewajiban Konsumen
Konsumen memiliki hak yang dapat diberikan apabila kewajibannya
sebagai konsumen telah terpenuhi, adapun mengenai kewajiban konsumen
dijelaskan dalam pasal 5 UUPK, yakni sebagai berikut:
21
a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
atau jasa;
c. Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
B. Pengertian, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha
Secara umum pelaku usaha dapat diartikan sebagai orang yang
melakukan usaha bisnis yang tujuan utamanya mencari untung. Istilah
pelaku usaha dipakai dalam Undang-Undang No.08 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 butir 3 menyatakan pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan badan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi (Mansyur, 2007:33).
22
2. Hak Pelaku Usaha
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen merupakan landasan hukum paling pertama dan utama
dalam penyelesaian permasalahan konsumen yang menderita kerugian
akibat pelaku usaha yang kurang menyadari hak dan kewajiban
mereka dalam menjalankan usahanya. Pelaku usaha sudah sepantasnya
mengerti dan memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban yang
dimiliki dalam menjalankan usahanya, sehingga tidak ada pihak lain
yang menderita kerugian akibat kelalaian dan itikad tidak baik yang
sering mereka lakukan. Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 6
antara lain sebagai berikut :
e. Hak Untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang di perdagangkan;
f. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
g. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
h. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/jasa yang diperdagangkan;
23
i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang –
undangan lainnya.
3. Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha dalam UUPK memiliki kewajiban untuk
beritikad baik didalam melakukan atau menjalankan kegiatan
usahanya. Sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal tersebut
tentu saja disebabkan oleh karena kemungkinan akan terjadi kerugian
bagi konsumen yang dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi
oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen adalah saat melakukan
transaksi dengan produsen (Dewi, 2015:58).
Dalam hal ini, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk untuk
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur karena ketiadaan
informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu
cacat informasi yang akan sangat merugikan konsumen. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikatakan sebagai
pelaku usaha itu tidak hanya terbatas pada produsen yang
memproduksi dan menghasilkan barang, melainkan seorang
distributor, dan juga pedagang dapat juga disebut seorang pelaku
usaha.
24
Kewajiban pelaku usaha sebagimana tercantum di dalam Pasal 7
Undang –Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen antara lain adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsummen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan/ atau di
perdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan
mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan
jaminan dan garansi atas barang yang dibuat dan
diperdagangkan;
f. Memberikan kompensasi, ganti-rugi dan penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan jasa yang diperdagangkan;
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila
barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
perjanjian.
25
C. Pengertian Klausula Baku
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan defenisi
klausula baku dalam Pasal 1 ayat 10 yaitu: Setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Berdasarkan pengertian klausula baku menurut UUPK, dapat
disimpulkan bahwa klausula baku terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Dalam bentuk perjanjian
Dalam hal ini, suatu perjanjian telah disiapkan terlebih dahulu
konsepnya oleh salah satu pihak, umumnya produsen. Perjanjian ini selain
memuat aturan-aturan umum yang tercantum dalam suatu perjanjian,
memuat pula persayaratan-persyaratan khusus baik berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan/atau berakhirnya
perjanjian itu.
Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu
perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-
syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya memuat ketentuan
tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat syarat berakhirnya, syarat-
syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditangggung dan
atau berbagai persyaratan lain yang pada umumnya menyimpang dari
ketentuan yang umumnya berlaku. Berkaitan dengan masalah berlakunya
26
ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau ditunjuk oleh
perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-
jaminan tertentu dari suatu produk (Fuady, 2007: 76).
2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan
Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk bentuk lain, yaitu syaratsyarat
khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda
penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang
diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas
tertentu yang termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk yang
bersangkutan (Nasution, 2007:99-100).
D. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat Terhadap
Produk
Tanggung jawab produk dan tanggung gugat produk merupakan dua
istilah yang mempunyai arti hampir sama, perbedaannya terletak pada
darimana datangnya tuntutan atau gugatan dan pihak mana yang harus
tanggung jawab.
Tanggung jawab dan tanggung gugat produk dalam kontek
perlindungan konsumen merupakan hubungan yang bersifat kausal antara
perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, artinya tanggung
27
jawab pelaku usaha timbul jika produk yang ditawarkan pelaku usaha tersebut
merugikan konsumen.
Secara theoritik prinsip-prinsip yang ada dalam mewujudkan tanggung
gugat produk antara lain ( Mansyur, 2007:60-61):
a. Pertanggungjawaban Kontraktual (Contractual Liability)
Artinya hubungan yang timbul dari pelaku usaha dengan
konsumen adalah berdasarkan hubungan perjanjian(contract),
karenanya pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk
yang dipasarkan juga berdasarkan kontrak, artinya tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha, atas
kerugian yang dialamikonsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.
Dalam konteks ini, dasar gugatan konsumen/pembeli mendasarkan
pada wanprestasi dari suatu perjanjian.
b. Pertanggungjawaban Produk (Produk Liability)
Artinya adalah pertanggungjawaban produk terjadi manakala
setiap produk yang sampai di tangan konsumen, yang karena
hubungan langsung, jika menimbulkan kerugian bagi konsumen,
maka produsen harus bertangggungjawab. ketentuan umum
mengenai pertanggungjawaban seseorang atas kerugian yang
28
ditimbulkan oleh benda dapat kita temukan dalam pasal 1367 ayat
(1) kitab undang-undang hokum perdata yang berbunyi
“seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
di bawah pengawasannya”
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian mengenai
pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum orang lain,
bahwa ketentuan pasal 1367 ayat 1 kitab undang-undang hokum
perdata menyaratkan adanya kesalahan dalam diri orang yang
dimintakan pertanggungjawaban tersebut, meskipun perbuatan
melawan hokum yang menerbitkan kerugian tersebut bagi orang
lain, bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
dimintakan pertanggungjawaban tersebut ( Widjaja dan Kartini,
2005:197-198).
c. Pertanggungjawaban Professional (Professional Liability)
Artinya adalah pertanggungjawaban berdasarkan profesi,
dalam hal ini jika profesi berupa jasa. Pertanggungjawaban
professional dapat ditempuh melalui dua cara:
a) Jika hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan
konsumen, dalam hal ini pemberi jasa dan peneima jasa,
29
yang jasanya tersebut tidak terukur, maka
pertangggungjawabannya bagi pelaku usaha mendasarkan
pada tanggung jawab perdata secara langsung (strick
liability).
b) Jika hubungan perjanjian pelaku usaha dengan konsumen,
dalam masa prestasinya berupa jasa yang dapat diukur,
maka tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan pada
perjanjian (contractual liability).
d. Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability)
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam
memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen),
maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kelasalahan (fault
liability) atau liability based of fault adalah prinsip yang cukup
umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan
sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika
ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
30
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability princple), sampai ia dapat membuktikan ia bersalah.
Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.
c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion nonliability principle)
hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan
pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah “Memecahkan Berarti Membeli”,
“Membuka Segel Berarti Membeli”, dalam hal ini, pelaku usaha tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Substansi hokum
perlindungan konsumen mengalami perubahan, dari hokum yang
berkarakteristik represif, dalam bentuk prinsip tanggung jawab tanggung
jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) ke prinsip tanggung jawab
yang berpihak atau responsif terhadap kepentingan konsumen, dalam bentuk
tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal ini dilakukan dalam rangka
menghadapi perkembangan perdagangan yang terus mengglobal untuk
melindungi hak-hak konsumen.
31
Adapun alasan-alasan yang memperkuat penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak yang di dasarkan pada Prinsip Social Theory (Barkatullah,
2008:175).
3. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan
yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada
setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia
akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya
kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang
preminya dimasukan ke dalam perhitungan harga dari barang
hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.
4. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur
kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian
kompleks pada perusahaan besar (industry) bagi seorang
konsumen/korban/penggugat secara individual.
Namun, ada pengecualian – pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya,
absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualian.
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan
sebagai klausula baku dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya
32
dalam perjanjian pengiriman barang, barang yang akan dikirimkan itu hilang
atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya
dibatasi ganti rugi sebesar sepuluh kali harga barang yang rusak tersebut.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha.
Dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasararkan pada peraturan
perundang – undangan. Pembuktian inilah yang nantinya akan terlihat
kelemahannya, ketika menggunakan pasal 19 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan kerugian
yang dialami oleh konsumen.
E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung Jawab
Mutlak Pada Klausula Baku
Pada dasarnya semua hukum muamalah adalah boleh kecuali ada dalil
yang melarangnya, karena tujuan dari muamalah adalah memperhatikan
kemaslahatan manusia, maka segala sesuatu yang akan mewujudkan sebuah
kemaslahatan adalah boleh. Berinteraksi dengan akad-akad baru yang tidak
dikenal sebelumnya juga sah melalui qiyas, istihsan, ijma‟, atau kebiasaan
yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip syariat (urf‟).
33
Ijtihad para ulama terbagi menjadi dua pendapat mengenai prinsip membuat
berakad ini, artinya dalam memilih aturan-aturan tertentu untuk menjadi
sebuah akad antara dua pihak atau memilih jenis akad tertentu yang tergolong
baru di samping akad-akad yang telah dikenal sejak dulu (Mahfudh, 1994:27).
Adapun dasar hukum Islam mengenai tanggung jawab mutlak pada klausula
baku sendiri masih bersifat umum, berikut beberapa ayat Al-Qur‟an dan
Hadist yang dijadikan landasan hukum Islam mengenai tanggung jawab
mutlak pada klausula baku.
1. Landasan Al-Qur‟an
a. Surat Al An‟am 164
ر ر ى رثا رإل ر ررك ها رول رتزر روازرة روز ر رأخ رعلي سب ركل رن ف س رإلا و رل رت رفيه رت تلفون ر ربا ركن ت ف ي نبكئ
Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang
kamu perselisihkan.”
Maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang akan kembali kepada
diri mereka masing-masing, dan juga seseorang tidak akan memikul atau
menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. hadist ini
di jadikan penulis sebagai dasar hukum Islam secara umum mengenai
34
tanggung jawab mutlak, yang pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam
itu berdasarkan atas perbuatan individu saja.
b. An-Nisa Ayat 29
ر ن رأ لا رإ ل اط ال ب ر ن ي ر ل وا رأ وا ل أ ك ت ر وا رل ن رآ ين ا رالاذ ي ه ا رأ ي ر ر راللاه نا رإ ر س ف ن رأ وا ل ت ق رت رول ر ن ر اض رت ن رع رتارة ون ت
ا يم ررح ر ان كArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”
Dalam Islam, kerugian atau bahaya fisik yang diderita oleh konsumen
karena cacat produk atau penipuan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan,
oleh karena itu pelaku usaha/produsen harus bertanggung jawab atas
perbuatannya itu. Tanggung jawab jika dihubungkan dengan penyebab adanya
ganti rugi (dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (Muhammad &
Alimin, 2014:235-239):
1) Ganti Rugi Karena Perusakan (Dha-man Itlaf) adalah ganti rugi akibat
dari perusakan barang. Ganti rugi itlaf tidak hanya berhubungan dengan
kerusakan harta benda saja, tetapi juga menyangkut jiwa dan anggota
tubuh manusia;
35
2) Ganti Rugi Karena Transaksi (Dhaman „Aqdin) adalah terjadinya suatu
aqad atau transaksi sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung
jawab;
3) Ganti Rugi Karena Perbuatan (Dhaman Wadh‟u Yadin) adalah ganti rugi
akibat dari kerusakan barang yang masih berada di tangan penjual apabila
barang belum diserahkan dalam sebuah aqad yang sah dan ganti rugi
karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa izin;
4) Ganti Rugi Karena Penahanan (Dhaman al-Hailulah) adalah ganti rugi
pada jasa penitipan barang (alwadi) jika terjadi kerusakan atau hilang,
baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan karena kelalaian atau
kesengajaan orang yang dititipi.
5) Ganti Rugi Karena Tipu daya (Dhaman al-Maghrur) adalah ganti rugi akibat
tipu daya. Dhaman al-maghrur sangat efektif diterapkan dalam perlindungan
konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain
pelakunya harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuatannya itu.
5. Landasan Hadist
Nabi Muhammad SAW telah melarang adanya penipuan dalam jual
beli, dan juga melarang jual beli mulamasah dan munaba-dzah, seperti yang
dijelaskan dalam hadist berikut:
36
رعب د راللاه ر ن ردين ر الك رعن نا ر ب ث نا رعب د راللاه ر ن ريوسف رأخ ررضي رحدا رعب د راللاه ر ن رعم ار رعن رأناه ري دع رف رال ب يوع رف قال ر رللنابك رصلاى راللاه رعلي ه روسلا ل رذك هما رأنا رر ت راللاه رعن إذا راي
ف قل رل رخلة ر
Jika kamu berjual beli katakanlah Maaf, namun jangan ada penipuan.
[HR. Bukhari No.1974].
Telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Yusuf] telah
mengabarkan kepada kami [Malik] dari ['Abdullah bin Dinar] dari ['Abdullah
bin 'Umar radliallahu 'anhu] bahwa ada seorang laki-laki menceritakan kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa dia tertipu dalam berjual beli. Maka
Beliau bersabda: "Jika kamu berjual beli katakanlah "Maaf, namun jangan ada penipuan".
سة روال مناذة رف رال ب ي ع ر رعن رال مل ن هى رالناب رصلاى رالله رعلي ه روسلا
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang mulamasah dan munaba-
dzah dalam jual beli.”
Adapun maksud dari mulamasah yaitu seseorang berkata, “apabila
engkau menyentuh pakaianku atau aku menyentuh pakaianmu, maka wajib
dijual. Ada juga yang mengatakan menyetentuh barang dengan mata tertutup
kemudian apa yang tersentuh wajib dijual.” Sedangkan munabadzah yaitu dua
orang menjadikan lemparan sebagai tanda jadi jual beli tanpa ada transaksi
lisan (tawar menawar) (Baqi, 2010:437).
Salah satu hak konsumen dalam Islam adalah hak untuk memilih yang
dikenal dengan istilah khiyar. Melalui hak khiyar ini, Islam memberikan
37
ruang yang cukup luas bagi konsumen dan produsen untuk mempertahankan
hak-hak mereka dalam perdagangan apakah melanjutkan aqad/ transaksi
bisnis atau tidak. Para ulama‟ membagi hak khiyar menjadi tujuh macam
yaitu:
1. Khiyar Majlis adalah hak untuk memilih melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis selama masih berada dalam satu
tempat (majlis) (Al-Jaziri, 2001:41).
2. Khiyar Syarath adalah hak untuk memilih melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis sesuai dengan waktu yang disepakati
atau syarat yeng telah ditetapkan bersama.
3. Khiyar Aibi adalah hak untuk membatalkan transaksi bisnis apabila
obyek transaksi cacat sekalipun tidak ada perjanjian sebelumnya.
Cacat yang dapat dijadikan alasan untuk mengembalikan barang
adalah cacat yang dapat menyebabkan turunnya harga.
4. Khiyar Tadlis terjadi jika penjual mengelabui pembeli. Dalam hal
ini pembeli memiliki hak Khiyar selama tiga hari (As-Sabatin,
2009:312).
5. Khiyar Ru‟yah adalah hak pilih untuk melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis yang dilakukan terhadap suatu objek
yang belum dilihat pada saat transaksi dilaksanakan. Untuk sahnya
transaksi jual beli/binis disyaratkan barang dan harganya diketahui
38
dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Maka tidak sah menjual
atau membeli sesuatu yang tidak jelas, karena hal itu akan
mendatangkan perselisihan.
6. Khiyar Al-Ghabn Al-Fahisy (khiyar al-murtarsil) jika penjual dan
pembeli merasa ditipu maka ia memiliki hak khiyar untuk menarik
diri dari transaksi jual beli/bisnis dan membatalkan transaksi
tersebut. Khiyar jenis ini pada suatu saat bisa menjadi hak penjual
dan pada saat yang lain bisa juga menjadi hak pembeli.
7. Khiyar Ta‟yin adalah memberikan hak kepada pembeli untuk
memilih barang yang dia inginkan dari sejumlah atau kumpulan
barang yang dijual kendatipun barang tersebut berbeda harganya,
sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia kehendaki
(Al-Jaziri, 2001:316).
Dalam hukum Islam kewajiban-kewajiban konsumen tidak dijelaskan
secara spesifik, namun demikian sebagai bentukkeseimbangan dan keadilan
penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut;
1. Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa;
2. Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang
dan/atau jasa yang akan dibeli atau digunakan;
3. Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati dan
dilandasi rasa saling rela merelakan (taradhin), yang terealisasi
dengan adanya ijab dan qabul (sighah) ;
39
4. Mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang terkait dengan
perlindungan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen selain memberikan hak
kepada konsumen, konsumen juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 5, yaitu :
1. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Kewajiban-kewajiban konsumen seperti yang diatur pada Pasal 5 tidak
dijelaskan secara spesifik dalam hukum Islam, tetapi bila melihat tujuan
pengaturan itu untuk kemaslahatan konsumen dan pelaku usaha, maka
pengaturan itu sesuai dengan hokum Islam dan maqashid al syari‟ah, yaitu
untuk mewujudkan mashlahah (kebaikan). Sedangkan dalam undang-undang
perlindungan konsumen, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam
Bab V tentang ketentuan pencantuman klausula baku yang hanya terdiri dari
40
satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua
macam larangan yang diberlakuakan bagi para pelaku usaha yang membuat
perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang
dibuat olehnya (Widjaja&Yani, 2000:54).
Dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa para pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan
mengakibatkan:
1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
41
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Selanjutnya dalam pasal 18 ayat 2 dijelaskan bahwa Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Jadi sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan
pasal 18 ayat 1 dan 2, maka setiap ketentuan klausula baku yang telah
ditetapkan dalam bentuk dokumen atau perjanjian oleh pelaku usaha
batal demi hukum.
42
Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan
dalam pasal 3, maka pada pasal 4 undang-undang tentang
perlindungan konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha
untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-
undang tentang perlindungan konsumen ini.
Jadi pada prinsipnya undang-undang perlindungan konsumen tidak
melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat
klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha
perdagangan barang/jasa, selama klausula tersebut tidak
mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1, dan
tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, disebutkan "segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen" maksudnya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu
antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta
membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan
43
menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab.
Sedangkan dalam Pasal 3 disebutkan mengenai tujuan dari perlindungan
konsumen yang dibagi dalam tiga bagian utama yaitu :
a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang
dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya.
b) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-
unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk
mendapatkan informasi itu.
c) Menumbuhkan kesadaran pelaku perlindungan konsumen sehingga
bertanggung jawab.
Usaha mengenai pentingnya tumbuh sikap jujur dan perlindungan
konsumen yang dijamin undang-undang ini adalah adanya kepastian
hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya
atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri
44
sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.
Di samping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan perkara
sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya,
kesehatan, keselamatan tubuh atau keamanan/kehilangan jiwa konsumen
dalam pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.
Karena sebelum adanya undang-undang ini, konsumen umumnya
lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar, oleh karena
itu sangat dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi
kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ditetapkan beberapa
asas yang mengayomi serta memberikan perlindungan baik kepada
pelaku usaha maupun konsumen. Asas-asas dalam undang-undang
perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas Manfaat
Maksudnya adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
45
keseluruhan. Menyimak asas di atas dapat dimaknai pembentuk undang-
undang tentang perlindungan konsumen ternyata sependapat dengan teori
Jeremy Betham melalui penganalogian yang mengajarkan bahwa
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan adalah memberikan juga kebahagiaan yang terbesar
untuk jumlah yang terbanyak sebagaimana tujuan hukum yang
dikemukakannya.
2. Asas Keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil. Keadilan artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
bagian atau haknya. Asas keadilan yang dianut oleh pembentuk undang-
undang tentang perlindungan konsumen ini adalah justifikasi dari apa yang
diperkenalkan oleh Aristoteles melalui teori etis yang maknanya bahwa
keadilan jangan dipandang sebagai penyamarataan melainkan bukan
penyamarataan yang kemudian dalam teorinya dijabarkan lebih lanjut
mengenai keadilan distributif dan komutatif.
46
3. Asas Keseimbangan
Maksudnya untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun
spiritual. Pengembang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi jauh
lebih besar serta mempunyai posisi tawar yang dominan sudah seharusnya
memperhatikan posisi tawar yang lemah dari pembeli.
Asas keseimbangan dapat diproyeksikan lebih ke bawah lagi
sehingga dapat dikemukakan asas yang lebih rinci yaitu, asas perlindungan
konsumen yaitu asas untuk melindungi konsumen terhadap mutu produk
barang/jasa dari produsen yang tidak tanggung jawab misalnya
membahayakan kesehatan, mutu di bawah standar, penipuan atau pemaksaan
kehendak karena secara ekonomis produsen lebih kuat. Asas kebebasan
berkontrak yang merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan agar
tidak terjadi pemaksaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang
terutama sekali produsen tertentu kepada konsumen. Asas perlindungan
terhadap kepentingan publik/umum yaitu masyarakat umum yang awam
dalam hukum perlu dilindungi terhadap itikad buruk pelaku usaha umumnya
atau produsen khususnya, sehingga perlu adanya syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh perusahaan yang akan menawarkan produknya kepada
masyarakat. Melalui asas keseimbangan ini undang-undang perlindungan
konsumen berupaya memberikan keseimbangan kedudukan dari ketiga unsur
47
yang ada yaitu antara konsumen, produsen dan pemerintah yang tujuannya
adalah mewujudkan tujuan bersama yaitu kesejahteraan umum/rakyat.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas ini adalah ditarik dari uraian tentang tanggung jawab produsen
terhadap produksinya, karenanya konsumen berhak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap pemasaran barang dan jasa yang membahayakan bagi
kesehatan dan keamanan tubuh manusia. Selanjutnya jika ditinjau dari
tanggung jawab produk (product liability) dulu orang berkata biarkanlah
pembeli yang harus waspada (caveat emptor) kini sudah menjadi
kebalikannya biarkanlah penjual yang harus waspada (caveat vendor),
merupakan tanggung jawab pelaku usaha atas produknya yang
membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen.
5. Asas Kepastian Hukum
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyalahgunaan perlindungan
konsumen serta menjamin kepastian hukum. Asas ini berkaitan dengan teori
utilitas dikatakan bahwa dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat
48
kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan karena apabila kepastian
hukum terabaikan maka ketertiban niscaya akan terganggu (Macmudin,
2001:27).
49
BAB III
ATURAN KLAUSULA BAKU YANG DIBERLAKUKAN DI
PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI
Klausula Baku merupakan perjanjian sebelah pihak yang dibuat oleh
pelaku usaha tanpa membuat persetujuan dengan konsumen dan dituangkan
dalam bentuk akta tertulis. Klausula baku merupakan klausula yang
mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sepenuhnya
tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada penjual atau pelaku
usaha.
Dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position konsumen pada
prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha, maka undang-undang tentang
perlindungan konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan
perjanjian baku dan/atau pencantum an klausula baku dalam setiap dokumen
atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. undang-undang perlindungan
konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi
merumuskan klausula baku sebagai (Widjaja&Yani, 2000:54):
“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen.”
50
Secara umum klausula baku yang diberlakukan pada swalayan-
swalayan berbentuk tulisan yang dibuat oleh pihak pengelola usaha, mereka
membuat isi dari klausula tersebut tanpa sepengetahuan konsumen. Begitu
juga dengan pelaksanaan klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede,
beberapa toko disana membuat klausula baku secara tertulis yang ditempel di
rak, di etalase dan tertulis di struk belanja. Di beberapa Pertokoan Pasar
Karanggede kebanyakan menerapkan klausula baku yang berbunyi
“Memecahkan Berarti Membeli”, “Membuka Segel Berarti Membeli”, dan
“Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan”
Pasar Karanggede merupakan pasar pusat ekonomi yang tersebesar
pada jalur Jalan Raya Sruwen-Wonosegoro, di Pasar Karanggede tidak pernah
sepi, setiap jam selalu ada kegiatan ekonomi, mulai dari pasar pagi yaitu jam
12 malam, dan pasar normal juga sampai jam 12 malam, jadi di Pasar
Karanggede kegiatan ekonominya 24 jam tidak berhenti.
Disana terdapat sekitar 10 toko swalayan yang besar dan satu
Indomaret dan Alfamart. Belum lagi ada banyak kios-kios kecil disekitarnya.
Di dukung pula dengan adanya terminal bus, maka menjadikan suasana pasar
bertambah ramai.
Penulis telah meneliti lima toko di Pasar Karanggede dan
mewawancarai beberapa konsumen baik itu yang pernah mengalami kejadian
51
maupun yang hanya mengetahui adanya pelaksanaan klausula baku di
Pertokoan Pasar Karanggede. Berikut hasil penelitian dan wawancara penulis:
A. Wawancara dengan Pelaku Usaha Berkaitan Aturan Klausula Baku yang
Diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali
1. Toko PAS di Pasar Karanggede
Toko PAS merupakan salah satu toko di Pasar Karanggede yang telah
berdiri pada tahun 2014 yang lalu, yang mana menyediakan kebutuhan pokok
dan kebutuhan-kebutuhan penunjang lainnya, toko tersebut termasuk toko yang
selalu ramai pengunjung, karena di toko tersebut menjual beberapa perlengkapan
mulai dari kebutuhan anak-anak sampai dengan orang dewasa, kebutuhan pribadi
maupun kebutuhan umum rumah tangga, seperti baju, sepatu, alat tulis, make up,
gucci, jam dinding, dan aneka piring, gelas hias untuk kado.
Rina seorang pegawai mengatakan bahwa Toko PAS mempunyai 9
(sembilan) karyawan yang jam kerjanya di bagi kedalam dua shift. Shift pertama
pukul 07.00 – 15.00 dan shift kedua pukul 14.30 – 20.30. Hari kerjanya terdiri
dari 6 (enam) hari kerja dengan hari libur digilir sesuai aturan yang ada. Rina
juga menceritakan tentang pendapat dan pengalaman kejadian mengenai klausula
baku yang berbunyi “Memecahkan Berarti Membeli” sebagai berikut:
“ Ya soalnya barangnya itu riwin mbak, seperti kaca terus plastic kalau jatuh
kan gampang pecah gampang rusak, ya untuk meminimalisir itu makanya di
tulisi kata-kata itu mbak, ya biar konsumen ada tanggung jawabnya juga sih
mbak, jadi kalau memecahkan atau merusakan ya harus membeli. Tetapi kita
juga memberitahu dengan cara baik-baik, sopan, ramah jadi mau tidak mau ya
pembelinya harus membeli. Pernah bebrapa kali kejadian mbak,kalau
52
pembelinya baik ya langsung mau membeli mbak, tetapi ada juga yang
pembeli itu malah marah-marah dan mengata-ngatai karyawan mbak, ya tetap
saja pembeli tersebut mau tidak mau harus membelinya”
Pada toko PAS tulisan klausula baku “Memecahkan Berarti Membeli” ini di
letakkan dan tulis secara jelas di depan barang-barang yang mudah pecah, jadi
pihak toko menganggap bahwa apa yang dilakukannya sudah benar karena sudah
memberi peringatan kepada konsumen secara jelas.
2. Toko A3 Karanggede
Toko A3 ini juga merupakan toko yang menyediakan kebutuhan pokok, akan
tetapi di Toko A3 lebih lengkap dengan tambahan perabotan rumah tangga,
berikut hasil wawancara dengan mbak Sari, anak pemilik Toko A3 Pasar
Karanggede terkait klausula baku yang berbunyi “Memecahkan Berarti
Membeli”.
“Kita ambil gimana ya mbak ya, padahal kan kita disini jualan, dan barang
yang mudah pecah itu barang yang dari keramik atau gelas-gelas itu ya, iya itu
tidak apa-apa kalau barang tersebut sudah pecah dari pas pengiriman, maka
pihak sana masih mau menerima pengembalian, tetapi kalau barang sudah ada
di toko dan pecah ya otomatis pihak sana tidak mau lah mbak. Dan juga kami
mengambil laba itu sangat sedikit ya kita tidak mau rugi mbak, misalkan
konsumen gak mau ganti, masak mau dikasihkan karyawan, ya itu nggak
mungkin, karena karyawan hanya mengawasi saja dan bukan yang
memecahkan barang tersebut. Itu sudah sering kejadian mbak, bahkan jika
yang memecahkan karyawan pun juga wajib mengganti, tapi alhamdulillah
konsumen disini baik-baik semua, mereka langsung mau membeli barang
tersebut”
Pada Toko A3 terdapat klausula baku yang berbunyi “Memecahkan Berarti
Membeli” dan tulisan itu dibuat sangat kecil sekali, bahkan apabila tidak
diperhatikan, maka konsumen tidak akan tahu kalau ada tulisan tersebut, dan
53
dengan adanya wawancara dengan penulis pihak toko mau memperbaruhi tulisan
tersebut agar lebih jelas dan konsumen bisa lebih berhati-hati dengan adanya
peringatan.
3. Toko SALWA Karanggede
Toko SALWA merupakan toko yang menyediakan aneka kado dan fashion.
yang letakya tepat di lantai dua pasar tradisional Karanggede. Berikut hasil
wawancara penulis dengan Irma, salah satu pegawai toko terkait klausula baku
yang berbunyi “Memecahkan Berarti Membeli”.
“ Kami sudah meletakkan barang-barang yang mudah pecah itu di etalasi
sendiri mbak, dan sudah ada peringatan di sana, jadi apabila pengujung mau
lihat-lihat ya harus berhati-hati biar tidak terjadi yang tidak diinginkan mbak,
pernah kejadian, tapi pelanggan tetap mau mengganti kok mbak, jadi saya kira
ya tidak apa-apa peraturan tersebut di berlakukan, soalnya saya juga kurang
begitu tahu tentang aturan-aturan itu”
Di Toko SALWA ini juga tulisan yang tertera hanyalah tulisan kecil yang di
letakkan di depan etalase, alasannya karena barang tersebut sudah ada di dalam
etalase dan itu dianggap aman, maka kejadian konsumen memecahkan itu sangat
minim sekali.
4. Toko KN JAYA
Toko KN JAYA merupakan toko yang menyediakan perabotan dan kebutuhan
rumah tangga, akan tetapi di toko tersebut tidak ada klausula baku yang berbentuk
tulisan, padahal di toko tersebut lebih banyak perabotan yang terbuat dari kaca
daripada toko-toko sebelumnya. kemudian penulis mewawancarai Siti, yaitu salah
54
satu kasir di Toko KN JAYA, berikut penjelasan Siti mengenai tidak adanya
tulisan klausula baku yang berbunyi “Memecahkan Berarti Membeli” yang
diletakan di Toko KN JAYA.
“Di toko sini, memang belum ada tulisan-tulisan tersebut, tetapi pihak kami
telah memberikan tulisan-tulisan peringatan agar konsumen berhati-hati, yang
digantungkan diatas, dan tulisan itu sangat jelas, jadi kami kira itu sudah
cukup membuat para konsumen mengerti, dan untuk konsumen yang
memecahkan atau merusakan suatu barang baik itu sengaja maupun tanpa
sengaja, kebanyakan konsumen sudah sadar diri dan mau mengganti atau
membeli barang tersebut, karena itu sudah hukum alam, jika dia yang
membuat kesalahan maka dia wajib bertanggungjawab”.
Dari hasil penelitian di Toko KN JAYA, penulis memang tidak menemukan
adanya tulisan klausula baku yang berbunyi “Memecahkan Berarti Membeli, akan
tetapi disana terdapat banyak tulisan yang berisi peringatan terhadap konsumen
yang berbunyi “Awas Barang Mudah Pecah” pada barang-barang yang mudah
pecah, dan peringatan “Mohon tidak diduduki” yang diletakan diatas sofa. dan dari
pihak toko pun tidak ada rencana untuk memberikan tulisan klausula baku
tersebut, karena menurut mereka informasi peringatan tersebut dinilai sudah
cukup.
5. Toko Buku PEPAK
Toko buku Pepak merupakan satu-satunya toko buku bacaan baik itu bacaan
umum, majalah, pelajaran, kitab-kitab pesantren, dan buku tulis yang ada di Pasar
Karanggede, di toko ini terdapat klausula baku yang berbunyi “Membuka Segel
55
Berarti Membeli” yang ditempelkan pada meja tempat buku-buku tersebut
diletakkan. berikut wawancara penulis dengan pihak pemilik toko secara langsung.
“Alasan adanya tulisan tersebut agar pembeli tidak seenaknya membuka-buka
buku, karena apabila buku sudah dibuka plastiknya, maka bukunya cepet
kotor dan rusak, jadi untuk mengantisipasi saja, tapi ada juga beberapa buku
yang saya sediakan contohnya mbak. Namun sejauh ini baru satu kali
mengalami kejadian seperti itu, dan itu saja yang merusakan hanya anak kecil,
setelah saya jelaskan, kemudian ibunya langsung meminta maaf dan bersedia
membeli buku tersebut”.
Di Toko Pepak memang sudah ada beberapa contoh buku, karena disana
menjual banyak buku dan tidak semuanya buku itu ada contohnya, jadi untuk
meminimalisir kerusakan buku, pemilik toko mengantisipasinya dengan
menerapkan klausula baku tersebut.
Dari penelitian dan wawancara yang telah penulis lakukan, penulis dapat
menyimpulkan bahwa peraturan klausula baku yang dilaksanakan oleh pelaku
usaha di Pertokoan Pasar Karanggede adalah bentuk dari antisipasi pelaku usaha
atas kerugian yang nantinya akan merugikannya, dan agar konsumen lebih bisa
berhati-hati dalam melihat barang-barang di toko, dan juga agar konsumen
mempunyai rasa tanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya.
B. Respon Konsumen Terhadap Aturan klausula Baku di Pertokoan Pasar
Karanggede
Selain dengan pelaku usaha, penulis juga mewawancarai konsumen,
baik itu konsumen yang pernah mengalami kejadian maupun belum. Yang pertama
hasil wawancara dari Mbak Lina umur 25 tahun, dia pernah mengalami kejadian
56
tersebut secara langsung di Toko A3, Lina mengaku tidak sengaja memecahkan
sebuah asbak yang terbuat dari kaca dan dia bersedia mengganti dengan membeli
asbak tersebut, karena itu memang kesalahannya, dari pihak toko pun meminta
ganti rugi dengan baik-baik jadi dia merasa sungkan apabila mau menyangkal atau
marah kepada pihak toko dan menurutnya aturan tersebut boleh-boleh saja, karena
kalau tidak begitu, konsumen tidak berhati-hati dan menyepelekan barang-barang
yang ada ditoko.
Wawancara yang kedua yaitu dengan mbak Sannah, berumur 28 tahun
dia mengatakan bahwa dia pernah mengetahui beberapa tulisan peringatan di
Pertokoan Pasar Karanggede, dan tanggapannya mengenai adanya klausula baku
yang berbunyi “Membuka segel berarti membeli” membuat dirinya tidak jadi
membeli barang tersebut.
Wawancara ketiga dengan Ratna, Pegawai BMT di Pasar Karanggede,
dia tidak pernah mengalami kejadian tersebut, tetapi mengetahui adanya tulisan
klausula baku yang berbunyi “Memecahkan Berarti Membeli” di Toko A3 dan
tanggapannya mengenai tulisan itu, dia membenarkan adanya aturan berupa
klausula tersebut untuk meminimalisir kerugian pihak toko.
Wawancara yang keempat, yaitu dengan mas Saiful, berumur 26 tahun,
dia juga belum pernah mengalami kejadian memecahkan ataupun membuka segel
suatu barang sehingga dia disuruh menggantinya. tetapi dia faham mengenai
aturan tersebut, dia mengatakan bahwa pembeli adalah raja, dan juga penjual dan
57
pembeli harus ada ikatan saling suka, yang namanya pembeli itu harus dilayani,
missal mau membeli suatu produk, maka penjual harus memperlihatkan secara
detail barang tersebut, dan juga dalam klausula baku yang berbunyi “Memecahkan
Berarti Membeli”, kalau ada unsure ketidaksengajaan juga sebaiknya jangan serta
merta pembeli disuruh mengganti keseluruhan kerugian atas barang, tetapi dibagi
dengan adil antara penjual dan pembeli, agar keduanya sama-sama tidak merasa
terlalu dirugikan.
Wawancara yang kelima, yaitu dengan Septi, Resa dan Fina, mereka
merupakan murid sma yang sering belanja di Toko PAS, Mereka tahu adanya
tulisan klausula baku “Memecahkan Berarti Membeli” yang diterletak di etalase
paling depan di toko, karena diletakan begitu jelas dan ditulis dengan ukuran yang
cukup besar, setahu mereka itu hanya peringatan biasa dari toko, bukan aturan
yang diatur dalam undang-undang dan hukum. menurut mereka itu boleh
dilakukan oleh pihak toko, agar toko tidak rugi.
Dari hasil wawancara dengan konsumen, penulis dapat menyimpulkan bahwa
beberapa konsumen tidak merasa keberatan akan adanya klausula baku yang
berbunyi “Memecahkan Berarti Membeli” dan “Membuka Segel Berarti Membeli”
yang diterapkan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali, karena
mereka menyadari bahwa para pihak pelaku usaha tidak mau rugi, namun
beberapa dari mereka juga merasa dirugikan karena membuat mereka tidak bisa
mengetahui informasi lebih lanjut atas barang yang akan di belinya.
58
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI PERTOKOAN PASAR
KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI
Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini serta mengikat
untuk semua yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen atau yang sering disebut dengan UUPK merupakan undang-undang yang
dibuat dengan tujuan melindungi konsumen, Dengan diundangkannya UUPK, maka
bersama itu pula tercipta suatu kepastian hukum yang diberikan secara khusus kepada
konsumen, termasuk dalam penerapan aturan klausula baku.
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian di Pertokoan Pasar
Karanggede Kabupaten Boyolali, setelah penulis melakukan penelitian di beberapa
toko dan mewawancari konsumen, penulis dapat mengetahui bahwa beberapa pelaku
usaha yang terdapat di Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali ini telah menerapkan
aturan klausula baku di tokonya yang meliputi “Memecahkan Berarti Membeli” dan
“Membuka Segel Berarti Membeli”.
59
Dari beberapa toko yang penulis teliti ada yang telah menerapkan sesuai hukum
Islam dan Undang – Undang Perlindungan Konsumen, namun masih ada juga yang
belum sesuai dengan hukum Islam dan Undang – Undang Perlindungan Konsumen.
Berikut hasil analisis penulis mengenai tinjauan hukum Islam dan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen di beberapa Toko Pasar Karanggede Kabupaten
Boyolali:
1. Toko PAS
Toko PAS dapat dikatakan bahwa dalam kasus klausula baku berbunyi
“Memecahkan Berarti Membeli” yang diberlakukan disana telah sesuai dengan
hukum Islam dan UUPK, karena :
a. Pelaku usaha atau pegawai Toko PAS meminta dengan cara baik-
baik atas tanggung jawab ganti rugi barang yang telah dipecahkan
oleh konsumen, sehingga konsumen merasa tidak terimidasi dan
mengganti kerugian tersebut secara suka rela. Yang artinya pada
kasus di toko pas, sudah memenehui unsur kerelaan seperti yang
dijelaskan dalam surah An-Nisa‟ ayat 29 yaitu dalam jalan
perniagaan berlaku suka sama-suka diantara pelaku usaha dan
konsumen.
b. Dari segi UUPK, karena tulisan klausula baku di tulis secara jelas
dan setiap pengunjung pasti dapat melihatnya maka telah sesuai
dengan aturan penulisan klausula baku yang dijelaskan dalam Pasal
18 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
60
menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula
baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
2. Toko A3 dan Toko Salwa
Toko A3 dan Toko Salwa dalam kasus klausula baku yang berbunyi
“Memecahkan Berarti Membeli” juga sudah sesuai dengan hukum Islam tetapi
belum sesuai dengan UUPK, karena:
a. Pelaku usaha meminta ganti kerugian dengan cara yang baik, dan
pihak konsumen pun merasa bahwa dirinya bersalah, jadi pihak
konsumen dengan kesadaran dan kerelaan penuh bersedia mengganti
atas kerugian barang tersebut.
b. Dalam pencantuman klausula baku di kedua toko ini bisa dikatakan
kurang jelas, karena walaupun sudah ada tulisan klausula baku
“Memecahkan Berarti Membeli”, tulisan tersebut diletakan didepan
etalase kaca dan penulisannya kecil sekali, jadi penulisan klausula
baku tersebut belum sesuai dengan undang-undang perlindungan
konsumen dan konsumen tidak wajib mengganti rugi atas barang
tersebut, seperti yang dijelaskan pada UUPK pasal 18 ayat 3 yang
berbunyi “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal
demi hukum”.
61
Ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti”. Jadi dalam hal ini pihak konsumen boleh menolak apabila di
suruh tanggung jawab atas kerugian barang tersebut.
3. Toko KN Jaya
Toko KN Jaya belum bisa dikatakan sesuai dengan hukum Islam dan
UUPK karena tulisan klausula baku “Memecahkan Berarti Membeli” tidak
dicantumkan pada barang yang mudah pecah, maka konsumen yang
memecahkan barang dengan tidak sengaja akan merasa tidak harus tanggung
jawab sepenuhnya terhadap barang tersebut, misalkan kerugian barang
tersebut bisa dibagi antara pelaku usaha dan konsumen, karena tidak ada
tulisan klausula “Memecahkan Berarti Membeli”. Tetapi ternyata pada Toko
KN Jaya atas barang yang dipecahkan adalah tanggung jawab mutlak ada
pada konsumen, maka konsumen akan merasa bahwa itu tidak adil dan
akhirnya konsumen tidak sepenuhnya rela untuk bertanggung jawab atas
barang tersebut. Dan itu bertentangan dengan hukum jual beli dalam islam
yang menyebutkan bahwa dalam jual beli harus ada perasasaan saling
sukarela, dan juga asas keadilan yang disebutkan dalam undang-undang
perlindungan konsumen yang mana asas keadilan dimaksudkan agar
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
62
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Keadilan
artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau
haknya.
4. Toko Buku Pepak
Pada Toko Buku Pepak dalam menerapkan klausula baku “Membuka
Segel Berarti Membeli” dapat dikatakan sudah memenuhi hukum Islam dan
UUPK, karena:
a. Pelaku usaha di Toko Buku Pepak ini tergolong ramah, menurut
keteranganya dia juga meminta pertanggung jawaban atas
barangnya yang dijualnya dengan cara baik-baik, jadi konsumen
merasa segan dan dihargai, sehingga konsumen memberikan ganti
rugi atas barang dengan ikhlas dan penuh kerelaan.
b. Pihak pelaku usaha menyediakan contoh buku yang telah di buka
segelnya sebagai informasi dan pengetahuan kepada konsumen
sebelum membeli buku. Jadi apa yang di lakukan pelaku usaha
telah memenuhi hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 Poin
C Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan
bahwa “Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang atau jasa”.
63
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa toko yang menerapkan aturan klausula
baku yang telah sesuai dengan hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah Toko PAS dan Toko Buku Pepak, karena dalam bertransaksi telah
ada unsur sukarela antara pelaku usaha dan konsumen, dan dalam penempatan tulisan
klausula baku cukup jelas. Dan yang telah sesuai dengan hukum Islam tetapi belum
sesuai menurut UUPK adalah Toko A3 dan Toko Salwa, telah sesuai karena telah ada
unsur sukarela tetapi dalam segi penulisan klausula baku kurang jelas. Sedangkan
pada Toko KN Jaya belum sesuai baik itu secara hukum Islam maupun UUPK,
karena tidak ada tulisan yang menyebutkan bahwa apabila ada kerusakan barang
dagangan yang disebabkan konsumen maka konsumen harus membelinya.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian penulis menarik kesimpulan bahwa:
1. Beberapa pertokoan di Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali
memberlakukan aturan klausula baku yang berbunyi “Memecahkan
Berarti Membeli”, “Membuka Segel Berarti Membeli”, dan
“Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan”.
2. Tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di
Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali ada yang telah
sesuai dan ada yang belum sesuai, Dari lima toko yang telah
diteliti, hanya ada dua toko yang telah sesuai baik itu menurut
hukum Islam maupun UUPK, yaitu Toko PAS dan Toko Buku
Pepak, karena dalam bertransaksi telah ada unsur sukarela antara
pelaku usaha dan konsumen dalam bertransaksi, dan dalam
penempatan tulisan klausula baku “Memecahkan Berarti Membeli”
di Toko PAS, dan tulisan klausula baku “Membuka Segel Berarti
Membeli” di Toko Pepak cukup jelas sesuai dengan ketentuan
pasal 18 UUPK. Dan yang telah sesuai dengan hukum Islam tetapi
65
belum sesuai menurut UUPK adalah Toko A3 dan Toko Salwa,
telah sesuai karena telah ada unsur sukarela tetapi dalam segi
penulisan klausula baku kurang jelas dikarenakan tulisan tersebut
sangat kecil dan tidak mudah terlihat oleh konsumen, jadi belum
sesuai dengan ketentuan larangan pencantuman klausula baku pada
pasal 18 UUPK. Sedangkan pada Toko KN Jaya belum sesuai baik
itu secara hukum Islam maupun UUPK, karena tidak ada tulisan
yang menyebutkan bahwa apabila ada kerusakan barang dagangan
yang disebabkan konsumen maka konsumen harus membelinya.
B. Saran-saran
1. Bagi pelaku usaha
Pihak toko sebaiknya dapat memberikan informasi lebih lanjut kepada
konsumen terkait barang yang ditawarkan kepada konsumen, dan juga
meletakan peringatan yang ditujukan konsumen secara jelas dan mudah
dimengerti.
2. Bagi konsumen
Dalam jual beli konsumen sebaiknya lebih berhati-hati dalam melihat-
lihat barang, agar tidak terjadi kerugian baik itu dari pihak konsumen
maupun pelaku usaha.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abib, Agus Saiful, Doddy Kridasaksana, & Heru Nuswanto. 2015. Penerapan
Klausula Baku Dalam Melindungi Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli
Melalui E-Commerce. Dinamika Sosbud , (online), Volume 17 Nomor 2: 122
– 136, (http://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb/article/view/508, diakses 12
Januari 2018).
Iryani, Eva. 2017. Hukum Islam Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, (online), Vol.17 No.2
(http://ji.unbari.ac.id/index.php/ilmiah/article/view/357, diakses 12 Januari
2018).
Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Colombus: PT Remaja
Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta : UII.
Soeroso. 2011. Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan Aplikasi
Hokum. Jakarta: Sinar Grafika.
Widjaja, Gunawan & Kartini Muljadi. 2005. Perikatan Yang Lahir Dari Undang-
Undang. Jakarta: PT Rajagrafindo.
Sutiyoso, Bambang. 2016. Interpretasi Putusan Kontrak Bisnis Dan Problematika Di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Patrik, Purwahid . 1986. Asas Itikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian.
Semarang: Fakultas Hukum Undip.
Khairandy, Ridwan. 2004. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta:
Fakultas Hokum Universitas Indonesia.
Machmudin, Dudu Duswara. 2001. Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa. Bandung:
Refika Aditama.
Yahya, Mukhtar &Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung:Alma‟arif.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalah (Sistem Transaksi Dalam
Fiqih Islam). Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Muhammad & Alimin. 2004. Etika & Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi
Islam. Yogyakarta: BPFE.
67
Abdurrahman Al-Jaziri. Tanpa Tahun. Fiqih Empat Mazdhab Bagian Muamalah II.
Terjemahan Oleh H. Chatibul Umam & Abu Hurairah. 2001. Yogyakarta:
Darul Ulum Press.
As-Sabatin, Yusuf. 2009. Bisnis Islam Dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis.
Bogor:Al-Azhar Press.
https://www.mutiarahadits.com/80/98/75/tipu-daya-yang-dilarang-dalam-jualbeli.htm
: Tipu Daya yang Dilarang Dalam Jual Beli.
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKIS.
Sutedi, Andrian. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Bogor : Ghalia Indonesia.
Barkatullah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis
Dan Perkembangan Pemikiran. Banjarmasin:FH Unlam Press.
Simbiring, Sentosa. 2006. Himpunan Undang-Undang Perlindungan Dan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Terkait. Bandung: Nuansa Aulia.
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
LAMPIRAN-LAMPIRAN