TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA...

87
TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA SEBAGAI ALASAN MENIKAH Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI) Oleh : DEDE SAEPULOH 204043203076 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M

Transcript of TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA...

Page 1: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA

SEBAGAI ALASAN MENIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI)

Oleh :

DEDE SAEPULOH 204043203076

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1432 H/2011 M

Page 2: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA

SEBAGAI ALASAN MENIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI)

Oleh :

DEDE SAEPULOH 204043203076

Di Bawah Bimbingan

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP:150169102

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1432 H/2011 M

Page 3: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 14 Februari 2011 M 11 Rabi’ul Awal 1432 H

Dede Saepulloh

Page 4: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat

dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi

Muhammad SAW.

Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian

syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana

Syariah (S.HI) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat

mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua, seluruh keluarga dan pihak-

pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan

ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Sekretaris Program

Studi yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan

Skripsi ini.

Page 5: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

iv

3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H.

Ahmad Yani, MA. Sekretaris Program Non Reguler.

4. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktunya memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur

dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.

5. Segenap pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya

yang tak bosan-bosanya melayani penulis dalam proses penulisan sekripsi ini.

6. Segenap pengurus dan pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri

Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data-data yang

diperlukan.

7. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda

atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta

dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya

yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis

persembahkan skripsi ini. untuk kedua orangtua .

8. Kakak dan adikku yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih

untuk semua perhatian dan kasih sayangnya.

Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari

segala Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala

kelemahan dan kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

Page 6: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

v

khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa

meridloi setiap langkah kita. Amin.

Jakarta, 14 Februari 2011 M

11 Rabi’ul Awal 1432 H

Dede Saepulloh

Page 7: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... ii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 9

D. Metode Penelitian ............................................................. 10

E. Review Studi Terdahulu .................................................. 12

F. Sistematika Penulisan ...................................................... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA

A. Pengertian Zina................................................................ 15

B. Sebab-Sebab Dan Akibat Perzinahan ............................... 17

C. Sanksi Perilaku Zina ........................................................ 24

BAB III PERKAWINAN MENURUT HUKM ISALM DAN HUKUM

POSITIF

A. Pengertian Perkawinan .................................................... 31

B. Dasar Hukum Perkawinan ............................................... 38

C. Rukun Dan Syarat Perkawinan ........................................ 40

Page 8: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

vii

D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ..................................... 46

BAB IV KETENTUAN ZINA DALAM TINJAUAN FIQIH DAN

HUKUM POSITIF

A. Zina Dijadikan Alasan Seseorang Untuk Melakukan

Perkawinan ...................................................................... 52

B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI ........................... 58

C. Status Hukum Anak Hasil Perbuatan Zina ...................... 64

D. Analisa Penulis ............................................................... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................... 72

B. Saran-Saran ..................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 75

Page 9: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk yang mulia, yang

berbeda dengan mahluk lainnya. Karena Allah telah melebihkan manusia

dengan adanya akal pikiran dan nafsu seksual sehingga bisa memilih mana

yang benar dan mana yang salah. Allah menciptakan manusia juga dengan

saling berpasangan dengan adanya ikatan tali pernikahan yang sah melalui

prosedur yang telah ditentukan oleh utusan-utusannya agar terjalin kehidupan

yang sakinah mawadah wa rahmah

Fiman Allah Qs adz dzariyat 51 : 49

ąǒŃɄŁȉ ĉnjȰNJȭ ŃȸŇȵŁȿ ŁȺǐȪLjȲŁǹnjȸŃɆŁDZŃȿŁȁ Ǡ LjȷȿłȀĉLjȭLjǾŁǩ ŃȴNJȮĉLjȲŁȞLjȱ Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah.

Allah SWT menyerukan manusia agar melakukan sunnahtullah berupa

pernikahan seperti dalam firman-Nya : Qs An-Nur : 32

ɂŁȵǠŁɅɉǟ ǟɀłǶŇȮŃȹLjǕŁȿ ĆǒǟŁȀLjȪNJȥ ǟɀłȹɀNJȮŁɅ ǐȷnjǙ ŃȴNJȮŇǝǠŁȵnjǙŁȿ ŃȴNJȭŇǻǠŁǤŇȝ ŃȸŇȵ ŁƙŇǶŇȱǠĉŁȎȱǟŁȿ ŃȴNJȮŃȺŇȵ ŃȸŇȵ łȼĉLjȲȱǟ łȴnjȾnjȺŃȢłɅŅȴɆŇȲŁȝ ŅȜŇȅǟŁȿ łȼĉLjȲȱǟŁȿ ŇȼŇȲŃȒLjȥ

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Page 10: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

2

Jalinan kasih sayang antara kedua jenis manusia laki-laki dan

perempuan adalah sudah menjadi ketentuan Allah SWT. Rasa ingin mencintai

dan ingin dicintai oleh pasangan jenis sudah menjadi Kodrat Iradat-Nya,

karena manusia diciptakan oleh Allah bukan hanya sekedar diciptakan saja

tetapi disertai dengan akal pikiran beraneka ragam sifat dan karakteristiknya.

Rasa kasih sayang antar kedua jenis manusia yang diaplikasikan melalui jalan

pernikahan yang sah adalah keinginan semua pihak dengan tujuan

mendapatkan Ridho-Nya serta mendapatkan keturunan darinya

Firman Allah Q.s An-Nisa :1

ɃłȃǠĉŁȺȱǟ ǠŁȾĉłɅLjǕ ǟĆ ǠŁȾŃȺŇȵ ŁȨLjȲŁǹŁȿ ňǥŁǼŇǵǟŁȿ LJȄǐȦŁȹ ŃȸŇȵ ŃȴNJȮLjȪLjȲŁǹ ɃŇǾĉLjȱǟ łȴNJȮĉŁǣŁǿ ǟɀNJȪĉŁǩǟ ǠŁȶłȾŃȺŇȵ ĉLjǬŁǣŁȿ ǠŁȾŁDZŃȿŁȁ

ɍǠŁDZnjǿĉŁǩǟŁȿ ăǒǠŁȆnjȹŁȿ ǟńƘŇǮLjȭŁȼĉLjȲȱǟ ǟɀNJȪ ŃȴNJȮŃɆLjȲŁȝ LjȷǠLjȭ ŁȼĉLjȲȱǟ ĉLjȷnjǙ ŁȳǠŁǵŃǿɉǟŁȿ Ňȼnjǣ LjȷɀNJȱĆǒǠŁȆŁǩ ɃŇǾĉLjȱǟ ǠńǤɆŇȩŁǿ

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.

Pernikahan yang sah merupakan dambaan setiap orang tua, dimana

ketika pernikahan tersebut orangtualah yang merupakan wali utama dari

pernikahan tersebut sebagai tanggungan terakhir orang tua terhadap anak.

Adapun yang disebut wali secara umum adalah seseorang yang karena

kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang

Page 11: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

3

lain.1 Mengenai kedudukan wali nikah itu sendiri sebagai unsur akad nikah,

menurut Imam Syafi’i wali itu sebagai unsur nikah kapanpun dan dalam

kondisi bagaimanapun. Menurutnya setiap pernikahan tanpa wali adalah tidak

sah dan karenanya batal demi hukum. Demikian pula menurut Imam Malik

dan Imam Hanbali2.

Nabi Saw bersabda :

ŁȴŁȞǐȲŁȍ Ĉǃǟ NJȯŃɀłȅŁǿ LjȯǠĆLjȩ :ɂŇȱŁɀnjǣɍŇǟ ŁdzǠLjȮnjȹLjɍ Artinya : Tidak sah nikah kecuali dengan wali

Pernikahan yang dilakukan antar kedua jenis anak manusia merupakan

naluri Ilahiyah untuk berkembang biak dan melakukan regenerasi yang akan

mewarisi tugas mulia dalam rangka mengembangkan amanat Allah sebagai

khalifah dimuka bumi ini yang akan terus menerus hingga akhir jaman3.

Proses modernisasi yang tidak dilandasi dengan agama telah

membawa integritas manusia menurun. Anak manusia sudah tidak lagi

memikirkan oleh siapa ia dilahirkan dan dikandung selama sembilan bulan,

setiap keinginannya hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa

memperdulikan orang lain bahkan orang tuanya sekalipun. Al-Qur’an

menjelaskan bahwa ridhonya Allah ada pada ridhonya orang tua. Dengan

1Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat

dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Mudia, 2006), cet, ke-1, h. 69. 2Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),

cet, ke-1,h.44 3Abbas Ahmad Sudirman, pengantar pernikahan (analisa perbandingan madzhab),

(Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), Cet, ke-1, h. 2

Page 12: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

4

proses modernisasi ini juga menyebabkan tidak patuhnya atau tidak taatnya

anak manusia terhadap hukum atau norma-norma yang mengatur manusia

untuk hidup lebih bermoral dan beradab yang membedakan manusia dengan

mahkluk lain ciptaan-Nya

Hubungan seks misalnya, yang dijadikan sebagai ungkapan kasih

sayang untuk mempersatukan yang dipersatukan. Merupakan curahan dari

semua keakraban antara dua anak manusia, dua pribadi yang bertekad untuk

hidup bersama. Bersama dalam suka maupun duka (karena itulah muncul

istilah bersetubuh – menjadi satu tubuh), ia adalah milik saya dan saya adalah

miliknya, ia adalah saya dan saya adalah dia.4 Perzinahan merupakan salah

satu contohnya. Banyak kaum muda-mudi melakukan hal tersebut demi

kepuasaan keinginannya, bahkan ada juga yang sudah lanjut usia pun ikut-

ikutan demi memenuhi kebutuhan biologisnya.

Hubungan biologis atau hubungan badan antara lawan jenis yang tidak

didahului dengan akad nikah yang sah merupakan suatu perbuata dosa besar

yang sangat dilarang oleh Agama. Rasulullah mengajarkan manusia agar

menjauhi dari perbuatan zina.

Firman Allah : Qs Al-Isra 17 : 32

4 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia,1991), Cet, ke– 1, h. 92

Page 13: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

5

ǠŁȹĉnjȂȱǟ ǟɀłǣŁȀǐȪŁǩ ɍŁȿ ɎɆnjǤŁȅ ĆǒǠŁȅŁȿ DŽǦŁȊŇǵǠLjȥ LjȷǠLjȭ łȼĉŁȹnjǙ Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Penyalauran cinta dan kasih sayang yang di ekspresikan melalui

bersetubuh tanpa adanya ikatan pernikahan terlebih dahulu merupakan

perbuatan zina. Menurut KUHP Pasal 284 Zina adalah persetubuhan yang

dilakukan oleh laki-laki yang bukan dengan istrinya atau suaminya dengan

dasar suka-sama suka. Sedangkan menurut para Fuqaha (ahli hukum Islam)

mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan

zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan

karena shubhat, dan atas dasar syahwat5.

Pasangan dua sejoli yang mengungkapkan rasa cinta dan kasih

sayangnya melalui bersetubuh tanpa didahului dengan perkawinan yang sah

merupakan perbuatan dosa besar setelah syirik (mempersekutukan Allah) dan

membunuh. Nabi Saw bersabda :

ňǻŃɀłȞŃȆŁȵ njȸŃǣ ĈǃǟŇǼŃǤŁȝ NJǬŃɅŇǼŁǵ . LjȯǠLjȩ : LjȯǠLjȩ Ĉǃǟ ŁǼŃȺŇȝ łȴLjȚŃȝLjǟ njǢŃȹƋǾȱǟ ŊɃLjǟ ŁȴŁȞǐȲŁȍ Ĉǃǟ NJȯŃɀłȅŁǿ łǨǐȱLjǠŁȅ

Łǩ ǐȷLjǟ ʼnȴNJǭ LjȯǠLjȩ ŊɃLjǟ ʼnȴNJǭ łǨǐȲNJȩ LjȯǠLjȩ ŅȴŃɆŇȚŁȞLjȱ ŁȬŇȱLjǽ ǐȷLjǟ łȼLjȱ łǨǐȲNJȩ LjȰLjȩ ŁȬLjȪLjȲŁǹŁɀłȽŁȿ ǟŋǼnjȹ Ĉǃ LjȰŁȞŃDzŁǩ ǐȷLjǟ NJȰłǪǐȪŁȬŁȞŁȵ ŁȴŁȞǐȖłɅ ǐȷLjǟ LjǦLjȥǠŁǺŁȵ łȻǟŁǼLjȱŁȿ ŁȫnjǿǠŁDZ LjǦLjȲŃɆŇȲŁǵ ɂnjȹǟŁȂłǩ ǐȷLjǟ ʼnȴNJǭ łǨǐȲNJȩ LjȯǠLjȩ)ȼɆȲȝ ȨȦǪȵ (

Artinya: “diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : aku pernah

bertanya kepada Rasulullah Saw : “Wahai Rasullulah Saw apakah dosa yang paling besar disisi Allah Swt?, Raullulah Saw kemudian bersabda : “engkau menjadikan sesuatu atau beranggapan bahwa

5 Ali Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-1, hal.

37

Page 14: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

6

ada sesuatu yang sebanding dengan Allah, sedangkan Dia-lah yang menciptakan kamu”. Aku kemudian berkata : “sesungguhnya dosa yang demikian memang besar, kemudian apalagi?”, Rasullullah Saw bersabda: “kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir fakir lantaran dia makan bersamamu”. Aku bertanya lagi: “kemudian apalagi?”, Rasullullah Saw kemudian bersabda : “engkau berzina dengan istri tetanggamu” (H.R Muttafaqun ‘Alaih)

Menurut para ulama bahwa hukuman bagi pelaku zina yang belum kawin

adalah 100 kali dera. Sesuai dengan firman Allah SWT (Qs. An-Nur: 23/2)

ɄnjȹǟĉŁȂȱǟŁȿ NJǦŁɆnjȹǟĉŁȂȱǟ ǠŁȶnjȾnjǣ ŃȴNJȭǐǾłǹǐǖŁǩ ɍŁȿ ňǥŁǼǐȲŁDZ LjǦLjǝǠŇȵ ǠŁȶłȾŃȺŇȵ ňǼŇǵǟŁȿ ĉLjȰNJȭ ǟȿłǼŇȲŃDZǠLjȥ ɄŇȥ džǦLjȥǐǕŁǿ ǐȷnjǙ ŇȼĉLjȲȱǟ njȸɅŇǻ

njȳŃɀŁɆǐȱǟŁȿ ŇȼĉLjȲȱǠnjǣ LjȷɀłȺŇȵŃǘłǩ ŃȴłǪŃȺNJȭ ŁƙnjȺŇȵŃǘłȶǐȱǟ ŁȸŇȵ džǦLjȦŇǝǠLjȕ ǠŁȶłȾŁǣǟLjǾŁȝ ŃǼŁȾŃȊŁɆǐȱŁȿ njȀŇǹɇǟ

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (Qs. An-Nur: 23/2)

Di Indonesia khususnya yang mayoritas penduduknya beragama

Islam perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan yang merusak norma-

norma asusila di masyarakat. Tetapi hal tersebut acap kali masih sering

dilakukan oleh kaum muda mudi yang sedang dimabuk asmara, kendati orang

tua dari salah satu pihak atau kedua-duanya tidak menyetujui hubungan

mereka dikarenakan berbagai hal, baik itu karena faktor usia mereka yang

masih di bawah umur untuk menikah ataupun ketidak inginan orang tua

memiliki suami atau istri dari anaknya ataupun karena adat setempat yang

Page 15: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

7

melarang hubungan mereka sampai kepelaminan, yang akhirnya pun mereka

melakukan zina terlebih dahulu sebelum menikah untuk mendapatkan restu

dari orang tuanya dan pihak pengadilan bahkan dari adat pun sekalian

Pernikahan melalui jalur zina terlebih dahulu dikalangan masyarakat

sudah lama menjadi trend. Pernikahan semacam ini disebut sebagai nikah

MBA (merit by accident) di Jakarta atau di ibukota besar lainnya.

Permasalahan seperti ini sering terjadi dan sudah tidak asing lagi, mereka

melangsungkan resepsi pernikahan dengan meriah walaupun dengan perut

yang agak membesar

Masyarakat yang demikian merupakan obyek dari skripsi yang penulis

angkat. Yaitu golongan yang menganggap ringan terhadap had zina dari

hukum Islam atau tidak mengetaui tentang hukum Islam, khususnya tentang

had zina sehingga banyak dari mereka yang menggunakan cara ini untuk

menikahkan calon istri atau suaminya.

Dari uraian diatas maka penulis memilih judul “Tinjauan Fiqih Dan

Hukum Positif Terhadap Zina Sebagai Alasan Menikah”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Pernikahan yang sah merupakan dambaan setiap orang tua, dimana

pasangan muda mudi ini telah direstui oleh kedua orang tuanya, maka

terjadilah pernikahan yang sah yaitu adanya pelamar dan yang dilamar dan

Page 16: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

8

sampai ke akad pernikahan. Tetapi tidak jarang pasangan muda mudi yang

ingin hubungannya sampai kepelaminan terjanggal dengan tidak

direstuinya hubungan mereka baik itu karena faktor usia, keturunan,

ataupun lain sebagainya maka merekapun melakukan zina terlebih dahulu

supaya mendapatkan restu.

Dari urain latar belakang masalah diatas, dan supaya pembahasan

lebih terarah maka penulis membatasi masalah pada beberapa bidang

diantaranya :

a. Perkawinan yang didahului dengan zina

b. Zina yang dijadikan alasan untuk menikah dan mendapatkan restu

orang tua.

c. Dampak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut terhadap lingkungan

sekitar tempat pelaku zina tinggal

2. Perumusan masalah

Adapun permasalahan yang penulis maksud dalam skripsi ini adalah :

Dalam fiqih tidak disebut kebolehan zina dibuat alasan perkawinan,

tapi kenyataan di lapangan banyak zina dijadikan alasan dalam melakukan

suatu perkawinan. Dari permasalahan tersebut maka penulis merumuskan

permasalahan sebagai berikut :

a. Mengapa zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan

perkawinan?

Page 17: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

9

b. Bagaimana status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum

meikah?

c. Bagaimana status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat

imam mazhab?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukan,

maka tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui tujuan dan maksud perkawinan yang didahului

dengan zina

b. Untuk mengetahui status alasan zina dijadikan alasan seseorang untuk

melakukan perkawinan.

c. Mengetahui status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum

meikah dan

d. Untuk mengetahui status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan

pendapat imam mazhab.

2. Manfaat penelitian

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara Akademis

Secara akademis adalah untuk menambah pengetahuan dan

penjelasan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para remaja pada

Page 18: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

10

khususnya tentang restu nikah dari orang tua akibat zina dengan calon

istri atau suami.

b. Secara Praktis

Secara praktis adalah dapat memberikan penjelasan kepada

masyarakat tentang hukum pernikahan yang didahului dengan

perjinahan dan hukum orang tua yang memberikan restu nikah yang

didahului dengan zina menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.

D. Metode Penelitian

Metode yang penulis tempuh untuk memperoleh penjelasan dalam

menganalisa masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) yakni dengan cara mengumpulkan beberapa

sumber pustaka yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi

ini yang kemudian dianalisa data-datanya.

Adapun jenis sumber data yang digunakan didalam penulisan skripsi

ini antara lain :

1. Sumber data primer yang meliputi KUHP (Perdata), UU No.1 tahun 1974

dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) serta dalil-dalil yang terdapat dalam

Al-Qur’an, Hadist, dan ketentuan-ketentuan fiqh.

2. Sumber data sekunder yaitu berupa buku-buku yang ada hubungannya

dengan penulisan ini.

Page 19: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

11

3. Selain itu penulis juga mengambil data dari media masa maupun artikel-

artikel yang kesemuanya berhubungan dengan permasalahan-

permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini.

Metode penyajian dan analisa dalam penulisan ini bersifat komperatif

dan indukatif. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara Hukum

Islam dan Hukum Positif yang membahas tentang permasalahn yang ada.

Sedangkan metode indukatif yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang

bertitik tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik atau diambil

kesimpulan yang bersifat umum.

Adapun untuk mempermudah didalam penulisan skripsi ini, penulis

menempuh cara penguraian masalah bab perbab yang masing-masing bab

terdiri dari beberapa sub bahasan yang dimaksudkan untuk mempermudah

penulis dalam menjabarkan permasalahan-permasalahan yang ada, dan

kemudian penulis akan dengan mudah mengkorelasikan masalah yang satu

dengan yang lainnya, sehingga dalam penulisan ini mendapatkan gambaran

dan penjelasan yang utuh.

Teknik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman

kepada buku: “Pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi UIN syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2007”

Page 20: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

12

E. Studi Pustaka

Dalam review study terdahulu penulis menemukan beberapa judul

yang hampir sama dengan penulis buat, tetapi ada beberapa masalah yang

belum tersentuh atau belum diangkat dari judul-judul terdahulu. Untuk lebih

jelasnya penulis coba sebutkan beberapa judul yang hampir sama dengan

penulis kerjakan diantaranya : karya Wahyudi Abdullah “pandangan

masyarakat terhadap perkawinan hamil di luar nikah” dan karya Marfudi

“Sanksi hukum menyetubuhi wanita di luar nikah menurut Hukum Islam dan

Hukum Positif”.

Dari review study terdahulu, memang tidak sedikit mahasiswa di

fakultas syari’ah dan hukum menulis tentang tema tersebut, tetapi mengenai

hukum dan sanksi tentang cara mendapatkan restu nikah dan wali yang

memberikan restu nikah menurut Hukum Positif dan Hukum Islam belumlah

dijadikan sebagai judul karya tulis, padahal menurut penulis fenomena

semacam ini sering kali terjadi sepeti di kota-kota besar bahkan di pelosok-

pelosok pedesaan. Sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat tema ini

dan menjelaskannya dalam penulisan ini.

Untuk membantu menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini,

penulis mencoba mengkomplikasikan antara Hukum Islam dan Hukum Positif

agar permasalahan-permasalahan ini yang masih terjadi di tengah-tengah

kehidupan masyarakat sekarang ini terjawab dan mendapatkan hikmah dari

tulisan ini.

Page 21: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

13

F. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab

terdiri dari beberapa sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan

jalannya penulisan, sehingga dalam penulisan ini mendapatkan gambaran dan

penjelasan yang utuh.

Untuk lebih jelasnya sistematika pembahasan skripsi ini penulis

memberikan gambaran sebagai berikut :

BAB Pertama, memuat tentang pendahuluan yang berisikan latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, study pustaka terdahulu dan sistematika penulisan

BAB Kedua, merupakan tinjauan teoritis Tinjauan Hukum Islam dan

Hukum Positif terhadap zina sebagai alasan menikah. Pada Bab ini membahas

tentang Pengertian Zinah, Sebab-sebab serta akibat perzinahan, sanksi

perilaku zina, dan pola pembuktian atas perilaku zina.

BAB Ketiga, Membahas tentang hukum perkawinan menurut Hukum Islam

dan Hukum Positif yang terdiri dari pengertian perkawinan, hikmah dan

tujuan perkawinan, dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat, dan rukun

perkawinan

BAB Keempat, membahas mengenai zina yang dijadikan alasan seseorang

untuk melakukan perkawina, status anak dalam perkawinan wanita amil

sebelum meikah dan status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat

imam mazhab.

Page 22: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

14

BAB Kelima, bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang

merupakan jawaban dari rumusan masalah secara komprehensif seluruh

pembahasan dan memberikan saran-saran yang konstuktif.

Page 23: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Zina

Dalam pembahasan mengenai pengertian Zina ada baiknya Penulis

menjelaskan dua macam pengertian Zina yatu; menurut etimologi dan

terminologi.1 Zina menurut etimologi adalah perbuatan bersetubuh yang tidak

syah. sedangkan menrut terminogi adalah diartikan sebagai perbuatan seorang

laii-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan yang

menurut naluriah kemanusiaan perbuatan itu dianggap wajar, namun

diharamkan oleh syara.

Pengertian Zina dalam pandangan umum mazhab, seperti ulama

Malikiyah mendefinisikan zina adalah seorang mukallaf mewath’i

(menyetubuh) faraj yang bukan miliknya secara sah dan dilakukan dengan

sengaja. Sementara ulama Syafi’iyah memandang lain yaitu zina ialah

memasukan zakar ke faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri

memasukan hawa nafsu.2

Senada pengertian di atas Ibnu Rusyd mengatakan bahwa zina dalam

hukum Islam ialah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan

1 Risalah Nasikun, Tafsir Ahkam; Beberapa Perbuatan Pidana Dalam Hukum Islam,

(Yogyakarta:CV Bina Ilmu, 1984), h.44. 2 A. Djazli, Fiqih Zinayah (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h.35.

Page 24: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

16

yang sah, bukan karena pernikahan yang meragukan (subhat) dan bukan

karena kepemilkan hamba.3

Sedangkan Wabah Al-Zuhaili menyatakan bahwa pengertian zina dalam

bahasa dan hukum adalah sama, yaitu persetbuhan seorang laki-laki dengan

seorang perepuan pada faraj (vagina) tanpa kepemlikan maupun nikah

subhat.4

Dari sekilas penjelasan diatas dapat Penulis sarikan definisi sebagai

berikut ; Zina ialah memasukan hasafah dalam faraj dilakukan di luar nikah

atau tanpa akad, dan itu melanggar aturan dan norma agama dan hukum yang

sah, syafi’i mengatakan sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang

halal. Berdasarkan hadis yang berbunyi:

5ȯɎƩǟ ȳȀƷɍ ȳǟȀƩǟ

Artinya : Yang haram itu tidak bisa mengharamkan (membuat haram) sesuatu yang halal

Dengan demikain nampak jelas pengertian zina dalam berbagai definisi,

sebagaimana pandangan dari ulama mazhab itu, yang sedikitnya harus

memiliki dukungan tiga unsur yaitu; Pertama, Al-Amil, Al-Ma’mul ‘Alaih

dan dengan tidak adanya nikah yang syah. Al-‘Amil artinya seorang yang

melakukan perzinahan, baik laki maupun perempuan. Sedangkan Al-Ma’mul

3 Ibnu Rusyd,. Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasid, (Semarang: Toha Putera, Tth), Jilid 2, h.324.

4 Wabah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Isami Wa Adlatuhu (Damaskus: Daar Fikr, 989), Jilid VI, Cet 3, h. 45

5 Muhammad Jawad Mughniyah,. Fiqih Lima Mazhab,. (Jakarta:Lentera, 2004), h.332.

Page 25: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

17

Alaih artinya, alat fital yang digunakan untuk berzina, baik milik laki-laki

(penis) ataupun perempuan (vagina), tidak dilakukan dengan pernikahan yang

sah maksudnya melakukan persetubuhan bukan merupakan pasangan suami

istri bagi masing-asing pihaknya atau dengan kata lain melakukan senggama

diluar perkawinan.6

Walapun dari pandapat para ulama mazhab berbeda dalam mendefinisikan

zina tetapi mereka sepakat terhadap unsur yaitu wathi’ haram dan sengaja atau

ada i’tikad jahat. Adapun kadar perstubuhan yang dianggap zina ialah wathi’

haram yaitu maksudnya kelamin laki-laki (penis) ke dalam faraj (vagina)

wanita, misalnya sebagaimana masuknya timba kedalam sumur, meskipun

masuknya hanya sedikit saja, maka sudah digolongkan pada pengertian

persetubuhan.

B. Sebab-Sebab dan Akibat Perzinaan

Di bawah ini akan menjelaskan perzinaan dilihat dalam 2 bentuk

penjelasan, yaitu: 1) sebab-sebab timbulnya perzinahan; dan 2) akibat dari

perzinaan.7

6 Asyhari Abul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,

(Jakarta: Andes Utama 1996), Cet III, h.13. 7 Muhamad Wahyuni Nafsi dkk, ed, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H.

Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IUPHI dan Paramadina, 1995), h.405.

Page 26: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

18

1. Sebab-Sebab Timbulnya Perzinaan

Seks ialah fitrah alamiyah bagi setiap manusia baik laki-laki ataupun

perempuan.8

Manusia antara laki-laki dan perempuan dibekali oleh dorongan

seksual yang berbeda sifatnya, dimana antara yang satu salig

membutuhkan dengan yang lainya. Pada masa kanak-kanak dorongan

seksualitas ini khusnya yang berhubungan dengan seks belum terlaksana.

Tetapi setelah usia remaja dimana organ-organ seksualitas ini telah mulai

matang maka kebutuhan seks itu merupakan kebutuhan yang alami, yaitu

sebagai kebutuhan semangat kebutuhan dasar seks yang pada saat itu

memerlukan sambutan dari luar. Hanya dalam kehidupan masyarakat

pelaksanaan seksualitas ini diatur. Bila pelaksanaan perbuatan seks

dilakukan di luar norma-norma yang diatur, maka perbuaan itulah yang

disebut persetubuhan di luar nikah atau perzinahan.9

Menurut agama bersetubuh diluar akad perkawinan merupakan

perbuatan zina. Perilaku ini sangat melanggar hukum yang tentu saja dan

sudah seharusnya diberi hukuman maksial, mengingat akibat yang

ditimbulkan sangatlah buruk, lagi pula mengndang kejahatan dan dosa.

Lain lagi dengan hubungan (free sex) dan segala bentuk hubungan

8 Dari diskusi publik tentang Cinta Menurut Erik From, 9 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung

Agung), h.27.

Page 27: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

19

kelamin lainnya di luar ketentuan agama adalah perbuatan yang

membahanyakan dan mengancam keutuhan masyarakat di samping

perbuaatan yang sangat nista.

Sebagaimana dalam firman allah swt, pada surat al-Isra ayat 32:17

ĆǒǠŁȅŁȿ DŽǦŁȊŇǵǠLjȥ LjȷǠLjȭ łȼʼnȹnjǙ ǠŁȹĉnjȂȱǟ ǟɀłǣŁȀǐȪŁǩ ɍŁȿ ɎɆnjǤŁȅ)Ďč( Aritnya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Pada kasus seks misalnya pemerkosaan bayak melibatkan faktor-

faktor yang melatar belakangi timbulnya perbuatan jahat, ini berarti sudah

jelas-jelas kita rasakan melalui tanyangan-tanyangan acara berbau seks

yang sangat berlebihan, pornografi dalam segala bentuknya yang paling

kotor beredar secara luas atupun pengaruh obat-obatan, di samping

penyebab-penyebab lainnya yang dapat mengikis habis nilai-nilai spirital

rusaknya mentalitas kaum muda yang pada akhirnya banyak kasus-kasus

pergaulan bebas ini hasil dari dampak dari faktor-faktor diatas. Disamping

ditinjau dari pengaruh modernisasi yang kurang terkontrol dengan baik

sehingga melairkan keburukan, ada faktor lain yang menyebabkan

perzinahan yang timbul atau bersumber dari dalam diri pelaku

diantaranya:10

10 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.

Page 28: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

20

a. Berkenaan dengan keimanan dalam beragama pada dirinya. Ini

merupakan salah satu faktor pengaruh seseorang pelaku berbuat

kejahatan. Biasanya seseorang yang tidak memiliki keimanan atau

ekstrimnya seseorang itu, tidak memiliki agama akan mudah sekali

untuk terjerumus ke dalam lembah kemiskinan. Karena tidak ada

sesuatu dalam dirinya yang menghalangi untuk berbuat kejahatan.

Berbeda jika seserang memiliki keimanan pada dirinya. Ini sesuai yang

di ungkapkan oleh Zakiah Daradjat, bahwa seseorang yang

keimanannya telah menguasainya, walaupun yang terjadi tidak akan

mengganggu atau mempengaruhunya. Ia yakin bahwa keimanan itu

akan membawanya kapada ketentraman dan ketenangan bathin.11

b. Berkenan dalam kepridadian. Kepribadian seseorang akan

mempengaruhi segala tindak-tanduknya dimana pribadi ini biasanya

menyangkut kejiwaan seseorang. Jika terdapat kekacauan pada

kejiwaan seseorang maka tidak heran apaila timbul keinginan orang

tersebut utuk melakukan perbuatan kejahatan yang diakibatkan oleh

apa saja yang menimpa dirinya itu.

c. Zaman moderen misalnya; media elektronik yang menayangkan atau

mensajikan melalui media televisi yang menampilkan filem-filem yang

berbau porno. Iklan yang menampilkan adegan atau dialog yang

11 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.

Page 29: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

21

memancing knotasi porno. Kemudian musik-musik yang membawa

pada dunia khayalan, bahkan sekarang lebih marak lagi dengan adanya

VCD atau Internet yang menghasilkan filem-filem porno dan

menapilkan seseorang dalam keadaan telanjang.

d. Melalui media surat kabar. Berita-berita surat kabar mulai dari gosip

sampai kenyataan dapat dilihat di surat kabar ataupun majalah-majalah

yang didalamnya dapat dilihat gambar-gambar porno yang

memperlihatkan kemulusan dan kemolekan tubuh seorang wanita.

Pornografi dalam berbagai bentuknya memang besar pengaruhnya,

banyak kasus persetubuhan di luar pekawinan karena si pelaku

terpengaruhi oleh adegan filem-filem porno, gambar porno atau materi

pornografi lainnya yang baru saja dinikmatinya.12

2. Akibat Dari Perzinahan

Hubungan seksual berlainan jenis tidak dapat dipisahkan, karena ini

merupakan tuntutan biologi untuk membangun keturunan dan juga

merupakan rahmat tuhan yang tidak ternilai. Bagi makhluk selain manusia

melakukan hubungan seks tidak dipermasalahkan akibat hukum yang

dihasilkan. Sedangkan bagi manusia hubungan seks akan berakibat fatal

12 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h. 33.

Page 30: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

22

apabila tidak melalui jalan yang semestinya karena ada akibat hukum yang

dihasilkan.13

Hubungan seks sangat erat kaitannya dengan perkawinan, maka dari

itu harus di awali dari perkawinan itu, baik laki-laki dan perempuan

dihalalkan untuk bersetubuh. Tanpa diawali dengan perkawinan maka

seorang laki-laki dan perempuan diharamkan untuk bersetubuh.

Dari keterangan diatas penulis ingin mengungkapkan bahwa akibat

dari persetubuhan di luar perkawinan ialah:

a. Perzinaan akan mengakibatkan langsung terjadinya penyakit-penyakit

menular yang sangat membahayakan, dan itu akan turun-menurun dari

anak ke anak ke cucu dan seterusnya, misalnya penyakit sphilis,

gonorhoe, Iympogranuloma ingunale, geanuloma venereum dan

ulcusmole.

b. Hubungan seks di luar perkawinan merupakan salah satu sebab

terjadinya pembunuhan, karena sifat atau rasa cemburu memang sudah

menjadi watak manusia yang alami. Bahkan sangat sedikit laki-laki

yang baik atau perempuan yang mulia yang bisa merelakan begitu saja

penyelewengan hubungan kelamin.

c. Hubungan seks di luar perkawinan mengakibatkan rusaknya rumah

tangga, menghilangkan harkat keluarga, memutuskan tali perkawinan

13 Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, (Bairut: Daar Fikr. 1983), h.150.

Page 31: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

23

dan membuat buruknya pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Hal

ini tak kurang menyebabkan sang anak sering memilih jalan yang

sesat, melakukan penyelewengan dan melanggar hukum.

d. Dalam perzinaan terselip unsur menyia-nyiakan keturunan dan

pemilikan harta/warisan kepada selain orang yang berhak atasnya,

yakni pewarisan harta seorang pelaku kepada anak-anak jadah (anak

hasil perzinaan)

e. Hubungan seks di luar perkawinan merupakan pembebanan yang

justru menimpa diri pezina itu sendiri, dimana dengan hamilnya

wanita yang dizinahinya, maka sang pezina terpaksa mendidik atau

mengasuh anak yang secara hukum bukan anaknya.

f. Hubaungan seks di luar perkawinan ialah hubungan kelamin sesaat

yang tak bertanggung jawab, perbuatan semacam ini merupakan

prilaku binatang yang semestinya dihindari oleh setiap manusia yang

menyadarinya.

g. Selain merupakan sarana penyaluran kebutuhan biologis (insting seks)

perkawinan juga merupakan pencegah penyaluran pada jalan yang

tidak dikehendaki agama. Perkawinan mengandung arti larangan

menyaurkan potensi seks dengan cara-cara di luar ajaran agama atau

menyimpang. Itulah sebabnya agama mearang pergaulan bebas, dansa-

dansa, gambar-gambar porno dan nyanyian-nyanyian yang

merangsang seksualitas serta cara-cara lain yang dapat mendorong

Page 32: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

24

hawa nafsu atau menjerumuskan orang kepada kejahatan seksual yang

tidak dibenarkan oleh agama. Dengan larangan ini dimaksudkan agar

rumah tangga tidak dirasuki oleh hal-hal yang dapat melemahkannya

sehingga suatu keluarga tidak dilandai broken home.

h. Hubungan seks di luar perkawinan adalah salah satu di antara sebab-

sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran

peradaban, menularkan penyakit-penyakit yang sangat mebahanyakan,

mendrong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek

perkawinan, dengan demikian zina merupakan sebab utama dari pada

kemelaratan, peborosan, kecabulan dan pelacuran.14

C. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Zina

Dalam Islam zina dikenal dua ketentuan yaitu; pertama, zina muhson

kedua, zina gair muhson. Zina muhsn ialah pezina yang pelakunya telah

memenuhi syarat; pezina telah dewasa, pezina orang yang berakal sehat,

pezina termasuk orang yang merdeka, pezina trakat, sebagai perhelah

melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang sah. Sedangng telah encukan

zina goir muhson ialah; pezina yang pelakunya tidak mencukupi persyarataan

muhson.15

14 Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, h.37. 15 Asyari Abdul Ghafar,. Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah

Hamil (Jakarta: Andres Utama 1996). Cet III, h.13.

Page 33: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

25

Pada sanksi pezina bagi pelaku zina baik laiki-laki maupun perempuan

dibedakan menjadi dua macam, yakni; rajam dan dera ditambah dengan

hukuman pengasingan. Sanksi bagi orang yang merdeka berbeda dengan

orang yang tidak merdeka (budak atau hamba sahaya).16

1. Rajam

Rajam merupakan hukuman para pelaku pezina baik laki-laki maupun

perempun dilempari batu kerikil (koral) sampai mati.17 Penggunaan batu

kecil itu dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit

demi sedikit agar berlangsung lama rasa sakit dari penyiksaan tersebut.

Hukuman itu setimpal dengan kejahatan yang ia perbuat. Hukuman rajam

itu dilakukan di depan umum untuk peringatan bagi masyarakat, sebagai

perhatian dan pembelajaran bagi uamat pada umumnya. Sanksi atau

hukuman rajam ini hanya di peruntukan kepada para pelaku pezina yang

mencukupi syarat-syarat zina itu.

2. Dera dan pengasingan

Hukuman dera atau cambuk dilaksanakan sampai batas maksimal 100

kali deraan, pelaksanaan hukuman ini tidak mempunyai motif pembuuhan.

16 Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) Cet. Ke.

2, h. 29 17 Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid II (Kudus: Menara Kudus,1983), h.138

Page 34: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

26

Jadi unsurnya berbeda dengan pelaksanaan hukuman rajam karena

bermotif untuk membunuh kepada terhukum.18

Pada dasarnya hukuman dera itu, tidak menutup kemungkinan bagi

orang-orang yang dikenakan hukuman tersebut mati dalam

pelaksanaannya. Bahkan mereka mati dalam keadaan sebelum target

seratus kali dilaksanakan.19

Pelaksannan hukuman dera diatas berdasarkan firman Allah SWT

dalam surat An-Nur ayat 4:24

ŁɅ ŁȸɅŇǾƋȱǟŁȿ ǟɀNJȲŁǤǐȪŁǩ ɍŁȿ DŽǥŁǼǐȲŁDZ ŁƙnjȹǠŁȶLjǭ ŃȴłȽȿłǼŇȲŃDZǠLjȥ ĆǒǟŁǼŁȾłȉ ŇǦŁȞŁǣŃǿLjǖnjǣ ǟɀłǩǐǖŁɅ ŃȴLjȱ ʼnȴNJǭ ŇǧǠŁȺŁȎŃǶłȶǐȱǟ LjȷɀłȵŃȀ LjȷɀNJȪŇȅǠLjȦǐȱǟ łȴłȽ ŁȬŇǞLjȱȿNJǕŁȿ ǟńǼŁǣLjǕ DŽǥŁǻǠŁȾŁȉ ŃȴłȾLjȱ)ď(

Artinya: dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik- baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Ketentuan hukum ini menurut pendapat para ulama, Imam Abu

Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Al-Qurtubi dan lain-

lain bahwa berlaku bagi para pezina yang bukan muhson. Sedangkan

18 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu rusy, Bidayatul

Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani,2002), Cet. Ke-2, h.608

19 Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.101.

Page 35: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

27

pezina yang bukan muhson mendapatkan hukuman seratus kali dera

(cambuk) serta dienakan pua hukuman pengasingan selama satu tahun.20

Dalam sanksi hukum tambahan pada (hukuman pengasingan) para

fuqaha berbeda pendapat:21

a. Menrut Imam Malik: dalam hukuman pengasingan (buang) hukuman

dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak.

b. Menurut Imam Ahmad Ibnu Hambal menyetujui hukuman

pengasingan selama satu tahun sebagai hukman tambahan terhadap

hukuman dera.

c. Imam Abu Hanifah terhadap hukuman pengasingan sebagai hukuman

tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang

menangani perkara.

d. Sedangkan pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat

Imam Ahmad, yang juga diantaranya Imam Syafi’i Al-Qurtubi, Atho,

Thowus, dan para khulafa rassyidun mengatakan perlunya diberikan

hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhson.

Melihat dari penjelasan di atas yang diberikan oleh para fuqaha maka

pada dasarnya seluruh umat menyetujui hukuman pengasingan bagi

pelaku laki-laki dengan memperhatikan beberapa bukti agar hukuman

20 Muhammad bin Ismail Al- Bukhari,. Saheh Bukhori (Bairut Daar wa Mathlabi as-

syu’ab), jilid III, h.177 21 Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.103.

Page 36: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

28

dapat diterapkan atau dijatuhkan terhadap pelaku, bukti-bukti tersebut

adalah Iqrar atau pengakuan dari orang yang berbuat.

Menurut pendapat Fathurrahman dalam bukunya mengungkapkan

bahwa hadis-hadis peradilan agama menyatakan bahwa pengakuan adalah

pernyataan seorang baik berupa ucapan atau tulisan dan lain sebagainya

bahwa orang lain mempunyai hak atas sesuatu yang berada dalam diri atau

suatu pernyataan (delik) suatu perbuatan pidana.22

Perbuatan ini dibenarkan berdasarkan firman Allah SWT surat Al-

Imran ayat 81:3

Łȿ ǠŁȶŇȱ ŅȧĉŇǼŁȎłȵ džȯɀłȅŁǿ ŃȴNJȭĆǒǠŁDZ ʼnȴNJǭ ňǦŁȶǐȮŇǵŁȿ LJǡǠŁǪŇȭ ŃȸŇȵ ŃȴNJȮłǪŃɆŁǩǓ ǠŁȶLjȱ ŁƙĉnjɆnjǤʼnȺȱǟ ŁȧǠLjǮɆŇȵ łȼƋȲȱǟ LjǾŁǹLjǕ ǐǽnjǙLjȩ ǠŁȹŃǿŁȀǐȩLjǕ ǟɀNJȱǠLjȩ ɃnjȀŃȍnjǙ ŃȴNJȮŇȱLjǽ ɂLjȲŁȝ ŃȴłǩǐǾŁǹLjǕŁȿ ŃȴłǩŃǿŁȀǐȩLjǕLjǕ LjȯǠLjȩ łȼʼnȹłȀłȎŃȺŁǪLjȱŁȿ Ňȼnjǣ ʼnȸłȺŇȵŃǘłǪLjȱ ŃȴNJȮŁȞŁȵ LjȯǠ

Ljȥ ŁȸɅŇǼŇȽǠʼnȊȱǟ ŁȸŇȵ ŃȴNJȮŁȞŁȵ ǠŁȹLjǕŁȿ ǟȿłǼŁȾŃȉǠ)ēČ( Artinya: Dan ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi:

"Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".

Agar pengakuan dapat dijadikan sebagai bukti untuk menetapkan

adanya suatu delik hendaknya dipenuhi tiga syarat yaitu:

22 Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),

h.17.

Page 37: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

29

a) Pengakuan harus benar, artinya diyakan oleh orang yang sehat

pikirannya atau dan tidak dalam keaaan terpaksa

b) Pengakuan itu baik berupa lisan atau tulisan hendaknya dikemukakan

secara tegas jelas dan terperinci.

c) Berdasarkan kesaksian 4 orang saksi yang adil. Eikian menurut

kebanyakan para ulama23.

Firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 15:4

Ňȵ LjǦŁȊŇǵǠLjȦǐȱǟ ŁƙŇǩǐǖŁɅ ɄŇǩɎȱǟŁȿ ǟȿłǼnjȾŁȉ ǐȷnjǚLjȥ ŃȴNJȮŃȺŇȵ DŽǦŁȞŁǣŃǿLjǕ ʼnȸnjȾŃɆLjȲŁȝ ǟȿłǼnjȾŃȊŁǪŃȅǠLjȥ ŃȴNJȮŇǝǠŁȆnjȹ Ńȸ ɎɆnjǤŁȅ ʼnȸłȾLjȱ łȼƋȲȱǟ LjȰŁȞŃDzŁɅ ŃȿLjǕ łǧŃɀŁȶǐȱǟ ʼnȸłȽǠƋȥŁɀŁǪŁɅ ɂʼnǪŁǵ ŇǧɀłɆłǤǐȱǟ ɄŇȥ ʼnȸłȽɀNJȮĈȆŃȵLjǖLjȥ)ČĐ(

Artinya: Dan terhadap Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,

hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.

Kejahatan pidana dalam Islam, sudah ditentukan sanksi hukumnya.

Ketentuan ini mempunyai tujuan agar manusia tidak terjerumus dalam

perbuatan yang di murkai Allah. Berkaitan dengan menyetubuhi wanita di

luar perkawinan yang penulis bahas dalam skripsi ini. Syyaid sabiq

mengungkapkan bahwa alasan perbuatan tersebut merupakan tindakan

pidana yakni:

23 Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,

1997),h.20.

Page 38: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

30

a. Perbuatan zina dapat menghilangkan nasab artinya secara otomatis

menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya meninggal.

b. Zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya kepada

orang yang melakukannya seperti penyakit kelamin dan sebagainya.

c. Zina merupakan salah satu sebab timbulnya pembunuhan, oleh karena

rasa cemburu merupakan insting yang ada pada manusia,

d. Zina dapat menghancurkan rumah tangga dan meruntuhkan

eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat memutuskan hubungan

keluarga termasuk anak-anaknya.

e. Zina hanya ssekedar hubungan bersifat sementara, dan tidak ada masa

depan dan kelanjutannya sebab hakikat dari perbuatan zina sama saja

dengan perbuatan binatang24.

24 Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.340-341.

Page 39: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

31

BAB III

PERKAWINAN MENURUT

FIQIH DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Perkawinan

Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup

bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara

anragik atau tidak ada aturan. Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan

martabat manusia yang mulia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan

diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa

pernikahan.1

Allah SWT telah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat, yakni

keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis (kelaminnya)-nya. Dalam

rangka itu, Allah pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada secara

berjodoh-jodohan. Ada siang ada malam, ada besar ada kecil, ada bumi ada

langit, ada surga ada neraka dan ada pria dan wanita. Dalam kaitannya tentang

jodoh pada manusia dan binatang, Allah berfirman:

}ɁǟǿɀȊȱǟ: ĤĤ {

Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang

1 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta:CV. Haji Masagung, 1991), Cet. II, H.10

Page 40: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

32

ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Al-Syura : 11)

Kemudian kepada manusia Allah berfirman Surat Fathir ayat 11.

}ȀȕǠȥ :ĤĤ {

Artinya: Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani, Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. (al-Fathir : 11)

Dalam praktiknya naluri untuk melakukan perjodohan itu sendiri di

kalangan manusia tidak selamanya berjalan dengan sesuai tuntunan Allah. Hal

ini ada kalanya memang belum sempat atau tidak mendapatkan dakwah

agama secara komprehensif atau memang karena kerakusan mereka itu

sendiri, di mana nafsu kebinatangan menguasai dirinya. Dari sini lalu ada

manusia yang yang mempunyai puluhan istri atau gundik (selir). Siapa yang

mempunyai harta dan kekuasaan dapat memperistri sekian banyak wanita

untuk memuaskan nafsu seksualnya semata-mata. Hal-hal seperti ini

sebetulnya bertentangan dengan kehormatan manusia. Karena itu Islam

berkepentingan untuk mengaturnya. Sebagai agama yang menjunjung tinggi

keberadaan fitrah manusia, Islam justru menganjurkan manusia untuk hidup

Page 41: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

33

berpasang-pasangan. Namun hal itu harus dilakukan secara terhormat dan

mulia.

Maka Allah menurunkan hukum perkawinan secara berangsur-angsur tapi

mengandung signifikansi. Pada zaman Nabi Adam a.s di mana jumlah

manusia masih sedikit, aturan perkawinan yang ditetapkan Allah sangat

sederhana, misal seorang kakak boleh menikah dengan adik kandungnya.

Waktu terus berjalan hingga datang Rasul terakhir, yaitu Muhammad saw.

Hukum perkawinan telah berkembang lebih jauh. Bukan hanya umat manusia

dilarang menikahi adik kandungnya, tetapi semua perempuan yang tergolong

muhrim diharamkan untuk dinikahi atau dikawini oleh laki-laki. Begitu juga

jumlah istri dibatasi, di mana jumlah maksimal hanya empat orang serta harus

dilakukan dengan ketentuan syarat-syarat yang ketat2.

Pengertian nikah atau ziwaj dalam bahasa arab diartikan dengan kawin.

Kalimat nikah atau tazwij diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-

Jarizi dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga

macam makna nikah, yaitu3 :

1. Makna Lughawi menurut Bahasa

Menurut bahasa nikah adalah

ćǒǐȓŁɀȱǐǟŁɀłȽŁȿ Łȿ ŊȴʼnȒȱǟ

2 Abdul Aziz Syaikh bin Abdurahman, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka

Al Kautsar,1993), h. 17 3 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 2-3

Page 42: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

34

(bersenggama atau bercampur). Selanjutnya dikatakan :

ŇǨŁǶLjȭǠŁȹĆ ǠŁDzŃȉLjɍǐǟ łǿ ŃǨLjȲŁɅǠŁȶŁǩǟLjǽŇǟ ʼnȴŁȒŃȹǟŁȿ ǠŁȾłȒŃȞŁǣ ɂLjȱŇǟ LJȐŃȞŁǣ Artinya: Terjadinya perkawinan antara kayu-kayu apabila kayu-kayu

itu saling condong dan bercampursatu dengan yang lain”. Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab

akad adalah sebab bolehnya bersenggama.

2. Makna Ushuli atau Makna Menurut Syar’i

Para ulama berbeda pendapat tentang makna ushuli dan makna syar’i.

Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha’

(bersenggama). Dalam pengertian majaz nikah adalah akad. Bila kita

menemui kalimat nikah dalam al-qur’an atau hadist itu berarti watha atau

bersengama (apabila tidak ditunjukkan lain).4 Pengetian ini dapat dijumpai

dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 22 :

}ǒǠȆȺȱǟ :ĥĥ{

Artimya :“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (al-Nisa: 22).

Pendapat kedua mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah

akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’. Pengertian ini adalah

4 Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan.t.t), Jilid 3, h. 109. lihat pula al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), cet ke 3. h. 249

Page 43: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

35

kebalikan dari pengertian menurut makna luhgawi (menurut bahasa).

Pengertian pendapat kedua ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an Surat

Al-Baqarah ayat 230.

}ǥȀȪǤȱǟ :čĎċ { Artinya :“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang

kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”(Q.S Al-Baqarah 230).

Pendapat ketiga mengatakan bahwa hakikat dari nikah adalah

musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’. Sebab untuk

memaknai syarat nikah, kadang-kadang makna watha’.

3. Makna fiqh (menurut ahli fiqh)

Para ulama ahli fiqh juga berbeda pendapat tentang makna nikah ini.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut pendapat ahli

fiqh berarti: “akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami

dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri

dan seluruhnya”.

Berdasarkan beberapa pendapat, pengertian nikah adalah sebagai berikut :

Pertama, golongan Hanafiah mendefinisikan nikah sebagai :

Page 44: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

36

łdzǠLjȮnjȺȱǟ łȼʼnȹLjǠnjǣ ŅǼǐȪŁȝ łǼŃɆŇȦłɅ ŁȬǐȲŇȵ ŇǦŁȞŃǪNJƫǐǟ ǟńǼŃȎLjȩ 5 Artinya: Nikah itu adalah akad yang memfaedahkah memiliki,

bersenang-senang dengan sengaja

Kedua, golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai :

ǠLjȮnjȺȱǟ łdz łȼʼnȹLjǠnjǣ łǼǐȪŁȝ łȸʼnȶŁȒŁǪŁɅ łȬǐȲŇȵ ąǒǐȓŁȿ ŇȘǐȦLjȲnjǣ ǠLjȮŃȹŇǟ LJdz LJǰŃɅnjȿŃȂŁǩŃȿLjǟ ǠŁȶłȽǠŁȺŃȞŁȵŃȿLjǟ 6 Artinya: Nikah adalah lafadz yang mengandung ketentuan hukum

kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya.

Ketiga, golongan Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai :

ǠLjȮnjȺȱǟ łdz łȼʼnȹLjǠnjǣ ɂLjȲŁȝŅǼǐȪŁȝ ňǻʼnȀŁDzłȵ ŇǦŁȞŃǪłȵ ŇǽƌǾLjȲʼnǪȱǟ ňǦʼnɆŇȵŁǻLjǠnjǣ LJǢnjDZŃɀłȵłȀŃɆLjȡ ǠŁȾŁǪŁȶŃɆŇȩ ňǦŁȺōɆŁǤnjǣ7 Artinya: Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum

semata-mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dinikahinya.

Keempat, golongan Hanabilah mendefinisikan nikah sebagai:

ŅǼǐȪŁȝŁɀłȽ ŇȘǐȦLjȲnjǣ LJǴLjȮŃȹŇǟ LJǰŃɅnjȿŃȂŁǩŃȿLjǟ ɂLjȲŁȝ ŇǦŁȞLjȦŃȺŁȵ njțǠŁǪŃȶŇǪŃȅŇɍǐǟ8 Artinya: Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau

tawwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama zaman dahulu

memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara

seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula

5 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3 6 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3 7 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. 8 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3.

Page 45: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

37

dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan nikah tersebut terhadap hak dan

kewajiban suami istri yang timbul.

Para ulama Mutakhirin, dalam mendefinisikan nikah telah memasukkan

unsur hak dan kewajiban suami istri kedalam pengertian nikah. Muhammad

Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai :

țŅǼǐȩĆ łǼŃɆŇȦłɅ ƋȰŇǵ ňǥŁȀŃȊłȝ ŁȸŃɆŁǣ njȰłDZʼnȀȱǟ ŇǥĆǒǟŃȀŁȶǐȱǟŁȿ ǠŁȶłȾŁȹłȿǠŁȞŁǩŁȿ łǼnjDzŁɅŁȿ ǠŁȶnjȾŃɆLjȮŇȱǠŁȵ ŃȸŇȵ njȧŃɀNJȪłǵ ǠŁȵŁȿ ŇȼŃɆLjȲŁȝ ŃȸŇȵ ňǧǠŁǤnjDZǟŁȿ 9

Artinya: Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan

mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing”.

Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung aspek akibat hukum

yaitu saling mendapat hak dan kewajiban, serta bertujuan mengadakan

pergaulan yang dilandasi tolong menolong.

Definisi perkawinan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia

ada pada pasal 1 Undang–Undang Nomor 1 tahun 1974 serbagai berikut :

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 10

Dan pada pasal 5 KHI sebagai berikut : ”Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah allah dan melaksanakannnya merupakan ibadah.” 11

9 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. 10 Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia ..., Op.Cit, h.141 11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ..., Op.Cit, h. 114

Page 46: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

38

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya perkawinan adalah

sarana legal yang diperkenankan oleh negara dengan tata cara yang sudah

ditetapkan oleh negara.

B. Dasar Hukum Perkawinan

Kehidupan berkeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah, baik menurut

agama maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini akan

tercipta kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang

didambakan oleh setiap insan yang normal.

Dalam agama Islam dasar perkawinan telah digariskan dalam Al-Qur’an

dan Hadits. Dasar hukum perkawinan dalam Al-Qur’an dan Hadits antara lain

adalah An-Nisa ayat 21:

} ǒǠȆȺȱǟ :čČ{ Artinya :Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal

sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (Al-Nisa’: 21)

Atau surat Ar-Rum 21 :

} ȳȿȀȱǟ:čČ {

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

Page 47: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

39

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Al-Rum : 21)

Atau surat Asy-Syura: 11

}ɁǟǿɀȊȱǟ: ĤĤ {

Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Al-Syura : 11)

Atau surat Ar-Ra’du : 38

} ǼȝȀȱǟ :Ďē{

Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (Al-Ra’du : 38)

Adapun berdasarkan perkawinan dari hadis dapat dilihat dari sabda

Rasulullah SAW yang berbunyi:

łdzǠLjȮōȺȱǟĆ ɂŇǪʼnȺłȅ ŃȸŁȶLjȥ ŁǢŇȡŁǿ ŃȸŁȝ ɂŇǪʼnȺłȅ ŁȄŃɆLjȲLjȥ ɂōȺŇȵ }łȻǟŁȿŁǿ ŅȴŇȲŃȆłȵ{ Artinya: Nikah adalah sunahku barang siapa yang benci pada sunahku

bukanlah termasuk golongan umatku. (H.R Muslim)12

12 Imam Bukhari, SOHIH AL-BUKHARI, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh,

Jami’ al-Huquq, Mahfudhah, 2004 M/1425 H), Cet. I, h. 725. lihat juga Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 7

Page 48: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

40

Dari dasar hukum perkawinan di atas baik dari Al-Quran maupun Hadits

dapat dipahami bahwa perkawinan daam pandangan Islam merupakan

sunatullah dan sunah Rasul. Sunatullah berarti menurut qudrah dan iradah

Allah dalam pencaiptaan alam ini, sedangkan Rasul berarti suatu tradisi yang

telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri maupun untuk umatnya.

C. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Rukun berarti adalah kata mufrad dari kata jama’ “arkaan”, artinya asas

atau sendi atau tiang. Yaitu sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan)

dan tidaknya apabila ditinggalkan sesuatu pekerjaan ibadah dan sesuatu itu

termasuk di dalam pekerjaan itu. Lain dengan “syarat” yang menentukan sah

atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk di

dalamnya13.

Syarat sah nikah merupakan dasar sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat

ini terpenuhi, amal pernikahan itu sah dan akan menimbulkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban pernikahan. Berikut adalah bentuk sederhana dari syarat

dan rukun nikah. Rukun didefinisikan sebagai rukun perkawinan menurut

Islam adalah :

1. Calon pengantin pria

2. Calon pengantin wanita

13 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h.

300-301

Page 49: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

41

3. Wali nikah

4. Dua orang saksi

5. Sighat (akad) ijab kabul14

Menurut Zuhdi Muhdlor syarat-syarat perkawinan untuk calon pengantin

pria adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, tidak terkena halangan

perkawinan, cakap bertindak hukum untuk berumah tangga, tidak sedang

mengerjakan haji atau umrah, belum mempunyai empat orang istri.

Sedangkan untuk pengantin wanita adalah beragama Islam, perempuan, jelas

orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terkena halangan perkawinan, di

luar iddah (bagi janda), tidak sedang mengerjakan haji atau umarah. 15

Adapun syarat bagi seorang wali adalah laki-laki, baligh, waras akalnya,

tidak dipidana, tidak dipaksa, adil, tidak sedang dalam ihram atau haji.16

Sedangkan menurut Zuhdi Muhdhor syarat untuk wali adalah beragama Islam,

14 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah:Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani,

1989), Cet III, h.30, Lihat juga Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, Uu Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam. (Bandung, Mizan, 1994), Cet III, h. 52.

15 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Mizan, 1994), Cet. III, h. 52. Menurut Alhamdani, Syarat-syarat bagi calon suami adalah bukan mahram dari calon istri, Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri, Orangnya tertentu jelas orangnya, Tidak sedang menjalankan ihram haji, Dan syarat bagi calom istri, Tidak ada halangan syar’i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam masa iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya, Tidak sedang dalam berihram, lihat juga H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30

16 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30

Page 50: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

42

laki-laki, adil (tidak fasiq), mempunyai hak atas perwaliannya, tidak terkena

halangan untuk menjadi wali, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.17

Para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam

perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Disyaratkan juga

bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat

mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan

lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara.

Syafi’i berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat ingin menikah

dan masih gadis maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi

jika ia janda maka hak mengawinkan itu ada pada keduanya wali tidak boleh

mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita tidak

boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun pengucapan akad adalah

hak wali.

Akad yang diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali,

walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan. Sementara itu Hanafi

mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih

sendiri suaminya dan boleh pela melakukan akad nikah sendiri, baik dia

perawan atau janda.18

17 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..,Op.Cit, h. 52. 18 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab –Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,

Hambali- (Jakarta, Lentera, 2001), Cet. VII, h. 318. Tentang hal baligh, para ulama mahzab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita. Sebab hamil hanya akan bisa terjadi oleh karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma dalam laki-laki. Imamiyah, maliki, syafi’i

Page 51: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

43

Kemudian syarat-syarat seorang saksi adalah laki-laki, baligh, waras

akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas atau tidak dipaksa, tidak

sedang menjalankan ihram atau haji, memahami bahasa yang dipergunakan

untuk ijab qabul. Menurut Zuhdi Muhdar syarat seorang saksi adalah dua

orang laki-laki, beragama Islam, mengerti maksud akad perkawinan, hadir

pada saat ijab kabul berlangsung.19

Untuk saksi akad nikah, Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan tidak sah

tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua

orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa

disyaratkan harus adil. Namun mereka (Syafi’i dan Hanafi) bersepakat bahwa

kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki tidak sah.

Mengenai akad pernikahan para ulama mahzhab sepakat bahwa

pernikahan dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan

kabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau seperti

pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali. Dan dianggap tidak sah

hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa disertai adanya akad.

dan hambali mengatakan tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan hanafi menolaknya, sebab menurut beliau bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain diseluruh tubuh.

Syafi’i dan Hambali mensyaratkan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan bagi perempuan tujuh belas tahun. Pendapat hanafi daam usia baligh adalah batas usia maksimal sedangkan usia minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun untuk enak perempuan. Sebab menurut imam hanafi pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengeluarkan sperma, menghamili atau meneluarkan mani (diluar mimpi), sedangkan bagi perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil atau haid.

19 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..., Op.Cit.,h. 52

Page 52: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

44

Para ulama mahzab juga sepakat bahwa akad nikah itu sah bila dilakukan

dengan redaksi atau lafadz “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari

pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima”

atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya20.

Menurut mahzhab Syafi’i21 bahwa redaksi akad dalam pernikahan harus

merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu

menurut beliau tidak sah22. Berbeda dengan pendapat dari imam Abu

Hanifah23 yang berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala

20 Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, ( Jakarta, Lentera Basritama,

1999), h.309 21 Munculnya mazhab Imam Syafi’i di mulai pada tahun 198 H/ 815 M, yaitu pada saat

beliau berusia 48 tahun (setelah belajar kurang lebih 40 tahun). Imam Syafi’i mendapat izin dari gurunya – Imam Malik – untuk berfatwa sendiri dalam Ilmu Fiqh dan tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik dan Imam Hanafi (sic). Imam Malik memberikan izin kepada Imam Syafi’i untuk berfatwa sendiri karena dengan ilmu yang dimilikinya ia telah dianggap mampu untuk itu. Dengan izin tersebut, Imam Syafi’i mulai berfatwa pada tahun 198 H, diawali dengan menyusun kitab-kitab yang dikarangnya sendiri. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. ke-6, h. 13. Imam Syafi’i mengatakan yang menjadi sumber (pokok) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah barulah qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah hadits dari Rasulullah SAW sudah shahih sanadnya maka itulah Sunnah. Ijma’ lebih besar dari kabar dari orang seorang. Hadits-hadits itu diartikan menurut dzahir lafadznya, tetapi kalau artinya banyak, maka yang dekat kepada yang dzahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan dengan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang didahulukan. Hadits Munqathi’ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW) tidak diterima, kecuali munqathi’ yang dikatakan oleh Sahabat Said Ibnu Al-Musayyab. “Asal” tidak diqiyaskan kepada “asal”. Asal tidak ditanya “Kenapa dan bagaimana ?”. Hal ini boleh ditanyakan kepada Furu’ “Kenapa ?”. Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu adalah suatu dalil (hujjah).

Pengetahuan untuk beristinbat Imam Asy-Syafi’i itu adalah dari Kitab Suci (Al-Qur’an), Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas”. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. VI, h.120.

22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309 23 Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthi (80-150

H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80H; artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada kekuasaan Abbasiah.

Page 53: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

45

redaksi yang menyatakan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz

al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’

(pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan). Sepanjang

akad tersebut menunjukkan qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah24.

Selanjutnya para ulama mazhab juga bersepakat bahwa orang yang

melakukan akad itu harus pasti dan tentu orangnya, sehingga dipandang tidak

sah akad nikah dalam kalimat yang berbunyi, ”saya mengawinkan kamu

dengan salah seorang di antar kedua wanita ini,” atau “saya nikahkan diri

saya dengan salah satu diantara kedua laki-laki ini” tanpa ada kepastian yang

manakah diantara kedua itu yang dinikahi.25

Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan beberapa syarat perkawinan. Disebutkan sebagai berikut;

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan keduan calon mempelai.26

Cara ijtihad yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah) merujuk

kepada Al-Quran apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada sunah Rasulullah saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila tidak mendapatkannya dalam Al-Quran. Apabila tidak mendapatkan dalam Al-Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat yang mana saja yang aku kehendaki, aku tidak akan pindah dari sahabat yang satu kesahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat ibrahim, al-sya’bi, dan ibn al-Musayyab, serta yang lainnya, akau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.” Lihat : (Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, 1987:91)

24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309. 25 Ibid., h. 312. Terdapat perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengenai

syarat untuk menyegerakan akad. Imam Syafi’i mensyaratkan untuk menyegerakan akad, artinya qabul harus segera dilakukan segera setelah akad secara langsung dan tidak terpisah. Sedangkan Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan. Menurut Hanafi, kalau ada laki-laki yang mengirim surat lamaran kepada seorang perempuan lalu si perempuan tadi menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan,”saya nikahkan diri saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya tersebut tidak ada di tempat maka akad tersebut menurut Imam Hanafi adalah sah.

26Aspek kerelaan atau tidak adanya intervensi dari luar bagi pihak calon pasangan suami istri juga penting karena perkawinan adalah bagian dari urusan pihak calon suami istri, bukan

Page 54: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

46

2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 20 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat hanya dari orang tua yang masih hidup.

Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal atau tidak dapat

menyatakan kehendaknya maka diperkenankan untuk menggunakan wali

nikah. Orang yang memelihara atau orang yang mempunyai hubungan

keturunan dengan yang bersangkutan.

D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan

Allah swt menciptakan alam tentu mempunyai tujuan tertentu, begitu juga

halnya dengan tingkah laku manusia. Dua faktor yang mempengaruhi tingkah

laku manusia, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah

niat atau motifasi, sedangkan faktor eksternal adalah tujuan. Berbicara tujuan

berarti terkait dengan persoalan kepentingan. Karena kepentingan adalah

pemenuhan kebutuhan hidup. Tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah

yang mendorong manusia untuk melakukan suatu aktifitas.

Kepentingan hidup manusia secara sosiologis ada yang bersifat primer dan

ada yang bersifat sekunder. Kepentingan yang bersifat primer (daruriyyat) ini

urusan orang tua. Orang tua yang bijaksana tidak akan memaksakan kehendaknya. Karena itu meskipun orangtua mempunyai hak untuk mengawinkan anak-anaknya ia perlu meminta pertimbangan anaknya tentang pilihannya bahkan lebih bijaksana jika ia menanyakan terlebih dahulu apakah si anak sudah mempunyai calon pendamping hidup bagi dirinya. Hal ini karena anak-anaklah yang akan menjalani pernikahan itu. Di sisi lain sang anak juga perlu meminta pertimbangan kepada orang tua tentang pilihannya. Semua adalah bagian untuk mencapai kehidupan yang harmonis antara anak menantu dan mertua serta sebaliknya. Kerelaan merupakan faktor dominan yang cukup penting.

Page 55: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

47

merupakan tujuan utama yang dipelihara oleh hukum Islam. Lima

kepentingan yang harus dipelihara yaitu, pemeliharaan agama, jiwa, akal,

keturunan, dan harta.27 Perkawinan termasuk usaha melindungi kepentingan

pemeliharaan yang keempat yaitu pemeliharaan keturunan. Tujuannya adalah

agar pemeliharaan kemurnian darah dapat terus terjaga dan kelanjutan umat

manusia dapat diteruskan28.

Adapun tujuan perkawinan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Antara lain

adalah29 :

1. Untuk mendapatkan ketenangan hidup

Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21,

} ȳȿȀȱǟ:čČ {

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Al-Rum : 21)

27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. X, h. 56

28 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, h. 56

29 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h.15-16

Page 56: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

48

2. Untuk menjaga diri dan pandangan mata.

ŃȸŁȝ ŇǼŃǤŁȝ Ĉǃǟ njȸŃǣǟ ňǻŃɀłȞŃȆŁȵ ŁɂŇȑŁǿ ćǃǟ łȼŃȺŁȝ LjȯǠLjȩ : LjȯǠLjȩ NJȯŃɀłȅŁǿ Ĉǃǟ ɂƋȲŁȍ ćǃǟ ŇȼŃɆLjȲŁȝ ŁȴƋȲŁȅŁȿ : ǠŁɅ ŁȀŁȊŃȞŁȵ łǡǠŁǤʼnȊȱǟ njȸŁȵ ŁțLjǠȖŁǪŃȅǟ łȴNJȮŃȺŇȵ LjǥĆǒǠŁǤȱǐǟ ŃǯʼnȿŁȂŁǪŁɆǐȲLjȥ łȼʼnȹŇǠLjȥ ŊȐLjȡLjǟ ŁȎŁǤǐȲŇȱnjȀ łȸŁȎŃǵLjǟŁȿ njǯŁȀLjȦǐȲŇȱ ,ŃȸŁȶLjȥ ŃȴLjȱ ŃȜŇȖŁǪŃȆŁɅ ŇȼŃɆLjȲŁȞLjȥ njȳŃɀʼnȎȱǠnjǣ łȼʼnȹŇǠLjȥ łȼLjȱ ĄǒǠŁDZnjȿ. }ĆłȻǟŁȿŁǿ ŅȴŇȲŃȆłȵ{30

Artinya: “Dari abdullah bin mas’ud r.a. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda“ Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk kawin, maka hendaklah ia kawin karena sesuungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap hal-hal yang dilarang agama), dan memelihara kemaluan (farj). Barang siapa tidak sanggup maka berpuasalah, karena puasa itu sebagaia perisai bagi dirinya” (H.R Muslim)

3. Untuk mendapatkan keturunan.

Bahwasanya rasulullah menyuruh kita untuk kawin dan melarang

hidup membujang atau tidak kawin.

Beliau bersabda:

LjȷǠLjȭ NJȯŃɀłȅŁǿ Ĉǃǟ ɂƋȲŁȍ ćǃǟ ŇȼŃɆLjȲŁȝ ŁȴƋȲŁȅŁȿ ǠŁȹłȀłȵǐǖŁɅ ŇǥĆǒǠŁǤȱǐǠnjǣ ǟŃɀłDZʼnȿŁȂŁǩ ŁǻŃȿłǻŁɀȱǐǟ ŃɂĉnjȹŇǠLjȥ ŅȀŇǭǠLjȮłȵ łȴNJȮnjǣ ĆǒǠŁɆnjȺǐȡLjɍǐǟ ŁȳŃɀŁɅ ǐǦŁȵǠŁɆŇȪȱǐǟ. }łȻǟŁȿŁǿ łǼŁȶŃǵLjǟ {31

Artinya :“Kawinilah yang beranak (bibitnya banyak sehingga dapat mempunyai banyak anak) lagi penyayang , karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu diakhirat” (H.R riwayat Ahmad dari Anas Bin Malik).

Sedangkan tujuan perkawinan menurut Undang-undang perkawinan,

antara lain, yakni :

30 Imam Muslim, SAHIH MUSLIM, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh, Jami’ al-

Huquq, mahfudhah 2001 M/1422 H), h. 343 31 Imam al-Shon’ani, Subulus Salam: Syarah Bulugh al-Maram, (Daru al-Fikr, Bairut

Lebanon, 1991 M/1411 H), Juz III, h. 214 - 215

Page 57: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

49

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal.

2. bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, disamping

harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Asas monogami, yaitu seorang suami beristri satu orang, kecuali jika

dibenarkan menurut hukum agama dan undang-undanguntuk

berpoligami (beristri lebih dari satu orang).

4. Bahwa calon suami-istri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada

perceraian.

5. Karena tujuan perkawinan untuk membina keluarga yang bahagia,

kekal, dan sejahtera maka undang-undang perkawinan memnganut

asas mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat

dilakukan atas alasan yang kuat dan dilakukan didepan sidang.

6. Hak dan kedudukan suami istri yang seimbang, baik dalam kehidupan

rumah tangga maupun dalam pergaulan dimasyarakat sehingga segala

sesuatu yang menyangkut kepentingan keluarga dapat diputuskan oleh

suami dan istri32.

32 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h. 20-21

Page 58: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

50

Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa perkawinan mempunyai

banyak manfaat. Kemudian, karena itulah Islam menganjurkan dan

memberikan kabar gembira yang positif kepada orang yang hendak kawin.

Dengan perkawinan tersebut diharapkan orang tersebut menjadi baik

perilakunya, masyarakatpun menjadi baik bahkan seluruh umat manusia

menjadi baik.

Maka banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu ikatan

perkawinan baik ditinjau dari segi sosial, psikologi maupun kesehatan.

Menurut Djamaan Nur, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul,

hikmah nikah antara lain : menyalurkan naluri sex, jalan untuk mendapatkan

keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan

untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan

menghubungkan tali silahturahmi antara dua keluraga besar dari suami dan

istri33.

Husein Muhamad menjelaskan bahwa Imam Ghazali setidaknya

menyebutkan tiga hal mengapa perkawinan menjadi peristiwa yang begitu

penting. Pertama, perkawinan adalah cara atau ikhtiar manusia melestarikan

dan mengembangbiakkan keturunannya dalam rangka melanjutkan kehidupan

manusia di bumi. Menurut al-Ghazali tujuan ini adalah maksud paling utama

perkawinan. Kedua, perkawinan menjadi cara manusia menyalurkan hasrat

33 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat ..., Op.Cit., h. 10

Page 59: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

51

seksual dan menjaga alat kelamin. Al-Ghazali kemudian merujuk poin ini

pada hadis Rasulullah yang artinya, siapa yang nikah, dia telah menjaga

separuh agamanya, maka jagalah yang separuh lain.

Menurut Imam Al-Ghazali yang dimaksud agama dalam hadis ini adalah

lebih kepada kondisi terjaganya moralitas. Dengan begitu perkawinan bukan

semata-mata memenuhi kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga

menjaga alat-alat produksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan

ditempat yang salah. Ketiga, perkawinan merupakan wahana rekreasi dan

tempat orang menumpahkan keresahan hati dan membebaskan diri dari

kesulitan hidup secara terbuka kepada pasangannya.34

34 http://www.rahima.or.id/SR/14-05/Tafsir.htm, Rabu, 25 April 2007

Page 60: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

52

BAB IV

ZINA DIJADIKAN ALASAN DALAM PERKAWINAN DALAM TINJAUAN

FIQIH DAN HUKUM POSITIF

A. Zina dijadikan Alasan Seseorang untuk Melakukan Perkawinan

Ketentuan perkawinan dengan perzinaan terdapat perbedaan,

perkawinan merupakan benih masyarakat dan asal ujudnya. Ia merupakan

undang-undang alami yang berlaku bagi seluruh alam, dan merupakan sunnah

dari makhluk Tuhan yang memberikan kepada hidup ini nilai dan harga.

Perkawinan merupakan tempat memadu kasih dan cinta yang benar, dan

wadah tolong menolong dalam hidup dan tempat kerja sama membina

keluarga satu membangun dunia.

Jika laki-laki dan perempuan zina telah berbuat dengan sungguh-

sungguh, minta ampun kepada Allah, menyesal, membersihkan diri dari dosa

dan mulai dengan hidup yang bersih lagi menjauhkan diri dari dosa, maka

allah akan menerima taubatnya, dan memasukan mereka dengan rahmat-nya

kedalam hamba-hambanya yang baik, kedua pelaku zina yang melakukan

perbuatan zina atas dasar suka sama suka seharusnya dinikahkan.1

Hal ini sesuai dengan firman allah surat An-Nur ayat 3;

1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media

Grup, 2008), cet, 3 h. 125

Page 61: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

53

Artimya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Annur Ayat: 3)

Berdasarkan isi dari surat an-nuur diatas, orang yang berzina tentu

hanya bisa menikah dengan ornag yang berzina juga atau dengan orang

musyrik. Jika orang yang berzina tidak dinikahkan tentu semakin terbuka

kesempatan bagi mereka untuk mengulangi perbuatan zinanya apakah dengan

pelaku yang sama atau dengan orang lain lagi.2 Dalam hadis yang artinya

“Dari Abu Hurairah r.a dia berkata, rasulullah SAW telah bersabda: laki-

laki yang berzina yang dijatuhi hukuman cambuk tidak boleh menikah kecuali

dengan pelaku zina juga.”3

Golongan Hanafi, Syafi’I dan Maliki mengatakan: boleh laki-laki zina

kawin dengan perempuan zina dan sebaliknya perempuan zina boleh kawin

dengan laki-laki zina. Zina menurut mereka tidak menghalangi sahnya akad

nikah (perkawinan).4

2 M. Abduh Malik, Perilaku Zina; Pandangan Hokum Islam Dan Kuhp, (Jakarta:

Bulan Bintang, 2003), h. 164. 3 As-San’ani, Subul Al-Salam Jilid III, h. 127-128 4 M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: Bumi Aksara: 1994),. Cet.

Ke-1 h. 67

Page 62: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

54

Dari pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, dapat

dijelaskan bahwa dengan diperbolehkannya menikah bagi laki-laki zina

dengan perempuan zina, maka perkawinan merekapun sah seperti perkawinan

yang dilakukan oleh orang yang bukan pelaku zina. Karena tidak terdapat

larangan yang nyata dari al-qur’an dan hadis mengenai hal itu. Dari sudut

sosiologis, pendapat mereka sangat menguntungkan pihak wanita karena

dapat menutup aibnya5.

Alasan mereka yang membolehkan menikahi perempuan zina sebagai

berikut:

1. Firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 24.

} النساء ĦĨ {

Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami. Kecuali budak-budak yang kamu miliki (allah menetapkan hokum itu) sebagai ketetapan-nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina…. (an-Nisa Ayat:24)

5 M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, , , h. 67

Page 63: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

55

Dalam surat an-nisa’ ayat 23-24 perempuan hamil karena zina tidak

disebutkan dalam golongan perempuan-perempuan yang haram dinikahi,

maka boleh hukumnya menikahi mereka.

2. Hadis Aisyah Binti Abu Bakar R.A, ketika Rasulullah SAW ditanyakan

tentang seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian

lelaki itu berniat menikahinya, maka nabi bersabd yang artinya

“permulaan perzinaan tetapi akhirnya adalah pernikahan, dan yang

haram itu tidak mengharamkan yang halal”. (H.R Al-Daruquthni)

Perzinaan itu hukumnya haram, tetapi tidak mengharamkan perbuatan

yang halal yaitu menikah.

3. Seperma zina itu tidak dihargai karena dengan alasan tidak ditetapkannya

ketentuan anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Sebda

rasulullah SAW yang artinya:“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata,

rasulullah SAW bersabda: anak itu dinasabkan kepada ibunya (pemilik

firsy), sedangkan laki-laki pezina tidak memiliki apa-apa”. (H.R Al-

Tirmidzi).6

Dari pembahasan diatas, telah jelas bahwa pria yang berzina tidak ada

larangan untuk menikahi wanita yang berzina, sehingga tidak ada sesuatu

yang menghalangi kebolehan pernikahan seorang wanita yang hamil akibat

zina dengan pria yang menzinahinya hingga ia hamil, dan akad nikah yang

6Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Sunah Al-Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr,

1994), Jilid II, h.385.

Page 64: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

56

dilakukan adalah sah, yang berakibat pada halalnya hubungan diantara

mereka.

Hukum perdata mengatur tentang perkawinan bagi pelaku zina dalam

pasal 32, yang menyatakan bahwa:

“Barang siapa dengan putusan hakim telah dinyatakan salah karena berzina, sekali-kali tidak diperbolehkan kawin dengan kawan berzinanya” Yang di maksud di sini adalah apabila kedua pelaku zina yang salah

satu atau keduanya sudah beristri atau bersuami sesuai dengan pasal 284

KUHP, di nyatakan bersalah oleh hakim karena melakukan perbuatan zina,

maka kedua pelaku tersebut tidak boleh melakukan perkawinan. Apabila

mereka melaksanakan perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah7.

Tetapi apabila tidak ada pernyataan bersalah dari hakim karena

perbuatan zina. Maka mereka (laki-laki dan perempuan pezina) dapat

melangsungkan perkawinan, dan status perkawinan mereka dianggap sah.

Dalam undang-undang No1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak

terdapat pasal yang mengatur secara khusus tentang status perkawinan yang

dilaksanakan oleh pelaku zina. Hal ini berarti undang-undang No. 1 tahun

1974 tentang perkawinan menganggap sah perkawinan yang dilaksanakan

oleh kedua pelaku zina, karena dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974

tentang perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah

7 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serata Komentar-Komentarnyalenkap pasal demi pasal (Bogar, Politeria 1983), h.284

Page 65: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

57

apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu8.

Kedua pelaku (laki-laki dan perempuan) zina tidak termasuk dalam

dua orang yang dilarang untuk melangsungkan perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan masalah ini dalam pasal 53:

1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.

2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Perkataan “dapat dikawinkan” dalam ayat (1) diatas berarti boleh

dinikahkan dan boleh tidak. Jika kedua pelaku zina tersebut bujang dan gadis

dan mereka melakukan perbuatan zina tersebut atas dasar suka sama suka

sepanjang tidak ada halangan syar’I mereka dinikahkan dalam keadaan biasa

maka seharusnya mereka dinikahkan untuk menghindarkan kemungkinan

mereka berdua akan mengulangi perzinaan kembali.9

Dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 KHI tentang:

perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina, maka dapat kita ambil

8 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &

kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), 9 M. Abduh Malik, Perilaku Zina : Pandangan Hokum Islam dan KUHP, (Jakarta:

Bulan Bintang, 2003), h.168.

Page 66: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

58

kesimpulan bahwa status perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua pelaku

zina menurut Kompilasi Hukum Islam dianggap sah.

B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI

1. Status Perkawinan Wanita Hamil

Status perkawinan wanita hamil dalam Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia disebutkan pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 yaitu ;

a. Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria

menghamilinya.

b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir. Pasal 53 ayat

2 KHI menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil itu benar-benar

dilangsungkan ketika wanita itu dalam keadaan hamil Sedangkan

kelahiran bayi yang dalam kandungannya tidak perlu ditunggu.Dalam

KHI perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina tidak mengenal

iddah, oleh karena itu tidak mengakibatkan adanya masa iddah. Namun

perkawinan wanita hamil seperti Pasal 53 ayat 1, hanya boleh

dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya10.

10 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media

Grup, 2008), cet, 3 h. 128

Page 67: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

59

Untuk mengetahui siapakah laki-laki yang menghamili wanita itu sangat

sulit, apalagi dihubungkan dengan pembuktian menurut hukum Islam harus

disaksikan oleh empat orang saksi. Pembuktian itu semakin sulit apabila

kemungkinan dan usaha secara sengaja menutup-nutapi, atau orang yang

pernah menzinahi beberapa orang. pasal 53 ayat 1 dan 2 tersebut semacam

ada sikap yang tidak konsisten. Dikatakan demikian, karena apabila

berpedoman kepada Pasal 53 ayat 2 KHI. tersebut temyata hanya berpedoman

kepada formalitasnya safa, yaitu karena wanita hamil tersebut belum perah

menikah. maka ketentuan yang berlaku bagin^i adalah hak kegadisan, walau

keoyataannya wanita itu telah hamil.

Tetapi muncul ungkapan lain yang sebenamya tidak mampu membawa

aspirasi terdahulu, yaitu wanita hamil itu hanya boleh dikawinkan dengan

laki-laki yang menghamilinya. Pada hal wanita yang dihukumkan gadis itu,

dia boleh dikawinkan dengan setiap laki-laki yang diingininya sccara bebas.

Inilah gambaran kurang konsistennya.

Kemudian Pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa, dengan dilangsungkannya

perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang

setelah anak yang dikandung lahir. Adanya ketentuan bahwa perkawinan

tersebut tidak perlu di ulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan

terdahulu telah dinyatakan sah11.

11 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &

kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 245-246

Page 68: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

60

2. Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil Menurut KHI

Dengan kebolehan wanita hamil melangsungkan perkawinan seperti Pasal

53 ayat 1, 2 dan 3 KHI, maka timbul satu masalah penting, yakni pada

penentuan nasab anak yang dilahirkan. Untuk mengantisipasi hal terscbut,

KHI sebenamya tidak menyodorkan konsep redaksi yang tegas untuk

memberikan penyelesaian hukumnya.

Tetapi apabila dipahami dari Pasal 99 poin a, KHI menyatakan bahwa

"anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah", bahwa pasal

ini berarti mengakui kawin hamil. Pemahaman ini diambil dari teks Pasal

tersebut "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam", ini memberikan

isyarat bahwa ada wanita hamil. Kemudian dalam masa hamilnya dia kawin

dengan laki-laki, lalu dalam masa perkawinan tersebut lahir anak, anak

tersebut dmyatakan anaknya. Dengan demikian, jelas kawin hamil telah

dinyatakan boleh sebelumnya,

Mengenai status nasab anak yang lahir juga dapat menjadi anak yang sah

dari laki-laki yang mengawimnya, Hal ini dipahami dari teks "anak yang sah"

yaitu anak sah dari suami ibunya. Jika demikian, berarti anak tersebut

mempunyai nasab kepada suami ibunya12.

Status nasab anak dalam perkawinan juga telah diatur dalam Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 92. Undang-

12 Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan No 1 / 1974, ( Jakarta: Tinta Mas,

1996), h. 125

Page 69: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

61

Undang ini merupakan dasar hukum dalam melangsungkan perkawinan di

Indonesia.

3. Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang

Perkawinan Wanita Hamil

Menyoroti pendapat para imam mazhab tentang keabsahan perkawinan

wanita hamil dan menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia tampak keduanya masih bias dikatakan se^alan. Hal ini apabila

mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut

adalah kebolehan perkawinan wanita hamil.

Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil

dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat

Imam Hanafi yang mengaitkan nasab anak kepada pemilik bibit secara

umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang

yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan

kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang

menyebabkan lahirya anak tersebut13.

Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang

mengawini wanita hamil tersebut Dengan demikian, penulis melihat bahwa

pembuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mencerminkan sikap kehati-

hatian, terikat sepenuhnya dengan hokum Islam, tetapi tidak mengacu kepada

13 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &

kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 263

Page 70: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

62

fiqh mazhab tertentu. Jika melihat kepada pendapat imam mazhab dan KHI

yang berlaku di Indonesia, maka dalam hal status perkawinan wanita hamil

dengan lakilaki, KHI lebih bersifat kehati-hatian, yang hanya membolehkan

kawin dengan laki-laki yang mcnghamilmya.

Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dalam keadaan hamil

tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada status anak.

Karena menurut Imani Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan

dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu

apabila perkawmannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak

tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari

enam bulan, maka nasab anak rersebut dihubungkan kepada ibunya.

Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia kehamilanya, mi

berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki

maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang

mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang

mengajLtkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi

membolehkan kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.

DaliI Yang Dipergunakan Para Ulama dalam Mendukung Pendapatnya

Para ulama menggunakan dalil Alquran dalam menentukan hokum status

perkawinan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, yaitu

memahami AIquran pada surah An-Nur ayat 2. Sedangkan Imam Malik dan

Imam Ahmad bin Hanbal tidak memahami ayat tersebut, tetapi

Page 71: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

63

memberlakukan dalil lain. Karenanya terjadilah perbedaan dalam menentukan

hukum status perkavinan wanita hamiL Hanbal

Disamping dalil Alquran, para ulama menggunakan hadis Nabi

Muhammad SAW. baik dalam menentukan status perkawinan, status nasab

anak maupun akibat hukum yang timbul. Baik Imam Hanafi dan Syafi'I

yang membolehkan perkawinan wanita hamil, maupun Imam Malik dan

Imam Abroad bin Hanbal yang melarang perkawinan wanita hamil,

mereka menggunakan dalil atau alasan dari hadis-hadis Nabi SAW. Tetapi

hadts-hadis yang dipergunakan berbeda bunyinya, sehingga berbeda pula

kesimpulan hukumnya.

Di samping kedua dalil tersebut (Alquran dan hadis) para ulama

mempergunakan ijtihad. Penggunaan ijtihad tampak terlihat ketika

menentukan status nasab anak. Jumhur ulama berijtihad dengan

memahami lafaz "nikah" dalam ard secara istilahi sedangkan Imam Hanafi

memahami dalam arti hakiki.

Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam mendukung

pendapat dan nya itu sesuai dengan dasar-dasar istinbath hukum Islam

yang ditetapkan oleh konsensus ulama. Memperhatikan dalil-dalil atau

alasan yang dipergunakan oleh para ulama dan KHI, maka pendapat ulama

dan KHI yang membenarkan perkawinan wanita hamil, walaupun dengan

laki-laki yang menghamilinya, maka janganlah kawin hamil semakin

terbiasa, tetapi semestinya rasa tabu bagi pelakunya. Sebenamya pendapat

Page 72: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

64

para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka yang

telah terlanjur hamil sebelum menikah. Ini bukan berarti memberikan

peluang untuk hamil sebelum menikah (berbuat zina), sebab perbuatan

zina suatu perbuatan yang sangat jahat dan dosa besar.

C. Status Hukum Anak Hasil Perbuatan Zina

Dalam kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan,

diterima sebagai pembawa bahagia. Tetapi adakalanya anak bukan terlahir

dari kedua orang tua yang sama, sebutlah si istri seorang janda dan ia

membawa anak dari suami pertama. Atau sebaliknya si pria seorang duda

membawa anak dari istri terdahulu, dan dari perkawinan itu terjadilah

hubungan antara anak yang bersaudara kandung disamping anak saudara tiri.

Kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama dimata kedua orang

tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan pembagian harta

waris.

Masih tentang kedudukan anak. Akan terjadi kemungkinan si anak lahir

dari hubungan diluar pernikahan. Banyak factor penyebab denikian sekarang

ini. Anak seperti itu sering disebut “ anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak

dikenal dalam masyarakat yang beriman kepada tuhan. Walaupun kehadiran

Page 73: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

65

sia anak tanpa hubungan perkawinan yang menjadi sebab adalah “orang

tuanya”.14

Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang erat

dengan ibu dan bapaknya ( double unilateral / bilateral), sehingga kalau salah

satunya meninggal dunia maka yang satu akan menjadi ahli waris terhadap

yang lainnya.15Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai

buah perkawinan maka , firman Allah SWT:

}٢٣٣: البقرة {

Artinya: ”…. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian

kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….”. (Al-Baqarah: 233).

Menurut pandangan Islam anak yang lahir dari rahim seorang perempuan

mempunyai hubungan nasab dengan perempuan yang mengandung dan

melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil,

baik dalam perkawinan atau dalam perzinaan. Kalau kita menggunakan kata

“anak sah’ sebagai ganti “nasab” maka bagi seorang ibu, setiap anak yang

dilahirkannya adalah anak sah; karena hubungan nasab antara ibu dengan

anak berlaku secara alamiah.

14 Mulyana W. Kusumah (penyuting), Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV.

Rajawali, 1986),. Cet., h.5. 15 H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan

Muda Mudi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), Cet. Ke-1, h.46.

Page 74: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

66

Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan

karena hubungan suami istri didalam perkawinan yang sah, maka nasab atau

hokum nasab anak tersebut mengikuti kedua orang tuanya.

Untuk masalah anak zina hokum Islam tidak membatasinya apakah pelaku

zina itu salah satunya atau kedua-keduanya terikat perkawinan dengan orang

lain atau tidak. Karen setiap anak yang lahir diluar perkawinan yang sah maka

hukum dari anak tersebut juga tidak sah. Karena dalam Islam yang dinamakan

zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh

akad yang sah.

Para ulama telah sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinaan tetap

mempunyai hubungan keturunan dengan ibu (matrilineal).16 Anak hasil zina

tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak

memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinainya, mengaku bahwa

yang dikandung itu adalah anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena

anak tersebut hasil hubungan diluar nikah. Karena dalam hokum perdata Islam

setatus anak tersebut abadi dan permanent tidak bisa diubah karena

perkawinan, jadi anak itu tidak berbapak.

Untuk anak yang lahir dari perempuan akibat perbuatan zina, mempunyai

hubungan nasab dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang

yang berhubungan nasab dengan ibu itu, sedangkan dengan laki-laki yang

16 H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan

Muda Mudi,, h.46.

Page 75: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

67

berzina dengan si ibu yang menyebabkan lahirnya anak itu, ia tidak

mempunyai hubungan basab. Dengan demikian status anak dalam kandungan

sebelum terjadinya pernikahan, dengan suminya sudah jelas yakni bernasab

kepada ibunya dan tidak bernasab kepada laki-laki manapun.

Untuk masalah ini para ulama mazhab berpendapat bahwa paling

sedikit batas usia kandungan adalah enam bulan. Ukuran tersebut di ambil

dari firman Allah:

Dalam ayat pertama di terangkan bahwa hamil dan di sapih itu

berlangsung bersama-sama dalam masa 30 bulan. Sedangkan dalam ayat

kedua di terangkan bahwa masa sapih saja lamanya dua tahun. Jadi, di

kurangi, lalu di peroleh hasilnya, bahwa masa hamil saja berlangsung dalam

enam bulan, berdasarkan ayat kedua tadi.17

Ini berarti jika ada anak yang di lahirkan tiga bulan setelah orang tuanya

akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat di nisbatkan kepada ayahnya

sebagai anak yang sah.18

Namun demikian, terdapat perbedaan di antara ulama dalam hal tenggang

waktu enam bulan itu di hitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul.

1) Imam Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa jika seorang laki-laki

mengawini seorang perempuan yang belum pernah dikumpuli atau sudah

pernah, dalam waktu kurang dari enam bulan, kemudian wanita itu

17 Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, alih Bahasa Dra. Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.18.

18 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1994), Cet. Ke-III,h.221.

Page 76: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

68

melahirkan anak setelah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak

tersebut tidak dapat di pertalikan nasabnya kepada laki-laki yang

menyebabkannya lahir:

Jadi menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I perhitungan enam bulan itu

di mulai dari waktu berkumpul bukan dari masa akad nikah.19

2) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap

di anggap beada dalam ranjang suaminya sehingga karenanya anak yang

di lahirkan itu tetap dapat di pertalikan nasabnya kepada bapaknya sebagai

anak sah.20 Imam Abu Hanaifah memandang masalah tersebut dari segi

yuridis formal bukan dari segi adanya kemungkinan bersetubuh

sebagaimana dasar pemikiran Imam dan Imam Syafi’i.

Jadi, jika dalam suatu perkawinan yang belum dukhul kemudian

setelah enam bulan dari akad nikah wanita tersebut melahirkan, maka anak

tersebut tetap di hubungan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkan

wanita itu hamil.

Dalam Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

kedudukan seorang anak di atur dalam Bab IX tentang kedudukan anak,

pasal 42-44.

Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

19 bnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (cairo: Dar Al-Kutub Al-Hadis, 1975), Juz II, h. 268. 20 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h.269.

Page 77: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

69

Pasal 43 : (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawianan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.(2) kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 44 : (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan

Berdararkan ketetapan-ketetapan tersebut anak sah menurut UU No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang lahir dalam atau sebagai

akaibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seornag wanita yang telah

mengandung karena berbuat zina, kemudian dia kawin sah dengan pria yang

menzinainya, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari

perkawinan wanita itu dengan pria yang menzinainya.21

D. Analisis Penulis

Perzinaan merupakan permasalahan yang sensitif, karena terkait dengan

persoalan perempuan sebagai korban utama dan persoalan hubungan negara

dan agama. perzinaan sejauh ini hanya diselesaikan dengan penetapan

pernikahan (itsbat nikah), di mana penetapan tersebut harus bersamaan

dengan sanksi hukum. Sedangkan ketentuan dasar tetang pencatatan dalam

khazanah fiqhiyah Indonesia adalah hal yang baru. Model pernikahan seperti

ini sebelumnya tidak ada. Mereka yang beragama Islam yang hendak kawin

21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama. (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.133-134.

Page 78: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

70

sebelum adanya undang-undang nomor 1 tahun 1974 perkawinan, cukup

dengan melangsungkan ijab kabul dihadapan penghulu. Pencatatan ini

bersumber dari pandangan bahwa pencatatan perkawinan merupakan

kebijakan publik, yang erat kaitannya dengan kepentingan umum (dalam hal

ini kepentingan negara untuk mengaturnya). Konsep yang digunakan adalah

maslahah mursalah, yakni suatu cara pengambilan keputusan hukum (ijtihad)

yang didasarkan pada kepentingan umum, dimana dikembangkan pertama kali

oleh mahzab Maliki dan Syafi’i.

Hal ini kembali ditegaskan oleh ketua MUI, K.H.Ali Yafie yang

mengatakan bahwa masalah pencatatan dalam perkawinan merupakan

masalah yang penting dalam undang-undang. Meski hal itu tidak bersumber

langsung pada agama, namun karena memiliki unsur kesejahteraan

(kemashlahatan) umat atau masyarakat ulama memasukkannya kedalam salah

satu unsur ketentuan dalam perkawinan.22

Unsur pencatatan ini juga diberlakukan di negara-negara Islam. Para

ulama tersebut, menurut K.H.Ali Yafie bersepakat bahwa unsur pencatatan

dalam perkawinan adalah bermanfaat bagi manusia. Hal ini kembali diperkuat

dengan fatwa resmi MUI yang yang termaktub dalam himpunan fatwa

desember 1977, bahwa prosedur pernikahan bagi umat Islam di Indonesia

22 Ratna Batara Munti, Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam

Indonesia, (Jakarta LBH APIK, 2005), Cet. I, h. 38

Page 79: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

71

harus sesuai dengan ajaran Islam (KHI) dan ketentuan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal ini termasuk soal pencatatan.

Page 80: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bagian ini penulis akan menyimpulkan dari semua rumusan

permasalahan diantaranya:

1. Zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawinan terdapat banyak

faktor yang mendasarinya menyangkut sekripsi ini diantaraya yang paling

berpengaruh adalah tidak ada restunya dari pihak orang tua untuk melakukan

pernikahan secara syah, namun selain itu kurang kuatnya dasar pengetahuan

agama dan moral masyarakat dewasa ini.

2. Tentang status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil, para

imam mazhab berbeda pendapat, Imam Svafi'i menetapkan bahwa anak itu

dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika karena kehamilan di

atas enam bulan, tetapi jika lama kehamilan di bawah dari enam bulan, maka

nasab anak dihubungkan kepada ibunya ibunya, Sedangkan Imam Hanafi

menasabkan kepada laki-laki yang menghamilinya, Adapun menurut KHI

anak tersebut diakui dalam perkawinan, karena lahir dalam perkawinan yang

sah

3. Tentang status perkawinan wanita hamil, KHI sejalan dengan pendapat Imam

Hanafi dan Imam Syafi'i yang membolehkan perkawinan wanita hamil dengan

Page 81: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

73

laki-laki. Namun kebolehan perkawinan dalam KHI itu khusus dengan laki-

lakj yang menghamili wanita tersebut

B. Saran-saran

Beberapa saran untuk perbaikan kehidupan masyarakat yang menjunjung

tinggi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh negara, khususnya pada persoalan

hubungan perzinaan sebagai alasan untuk restu orang tua adalah sebagai berikut:

1. Dampak negatif zina secara umum dapat menimbulkan gejala ketidakpastian

hukum dalam Islam. perzinaan juga menimbulkan keresahan masyarakat

karena terjadi ketidak teraturan nasab bagi anak. Keresahan masyarakat juga

bisa terjadi akibat problem ekonomi seorang istri dari perzinaan yang

ditelantarkan laki-laki pezina karena tidak bertanggung jawab. Dalam situasi

seperti ini, pezina perempuan akan menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-

anaknya dan tentu saja hal ini akan menjadi masalah sosial karena konstruksi

hubungan para pezina di masyarakat secara umum akan membentuk

kerusakan nilai moral dan etika dalam sosial sehingga tidak mempunyai

kemampuan dasar untuk membangun keluarga. Hukum Islam tidak hanya

terbatas pada persoalan-persoalan perdata melainkan juga persoalan-persoalan

pidana. Ketimpangan akomodasi hukum Islam ini harus segera dipikirkan

bagaimana mengkompilasikannya sehingga hukum Islam akan terlihat utuh.

dan juga supaya menjadi boemerang tersendiri bagi muda-mudi yang hendak

menikah tanpa jalan zina terlebih dahulu

Page 82: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

74

2. Pengaruh perzinaan juga mengakibatkan pemahaman masyarakat bahwa

permasalahan-permasalahan yang berkaikan dengan perempuan terutama

dalam keluarga harus diselesaikan dengan cara baik-baik bukan dengan

penyelesaian hukum. Dan perempuan akan selalu divonis sebagai pihak yang

bersalah dan bukan sebagai pihak korban yang dirugikan.

Page 83: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

75

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II

Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I, Juz I

Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993)

Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007

Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi 2,

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008) Cet. Ke-6

Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001)

Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat (Jakarta: Pranada Media Group, 2006), Cet II,

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid II

Page 84: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

76

Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI 1993)

Mohammad Anwar, Pegangan Sosiologi, (Bandung CV. Armico, 1996), Cet.I

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3,

Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Pasal 4 ayat (3)

UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III

Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid, 2

Page 85: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

Bab X

Nilai perkawinan

Dinegara republik Indonesia yang tercinta ini, berdasarkan data statistik perkawinan, tahun yang tertinggi jumlah perkaranya adalah pada tahun 1979, dimana tercatat 289.000 perkara pada data statistic pengadilan agama, pada direktorat pembinaan badan peradilan agama – departemen agama RI.

Dari data tersebut dapat kita perkirakan, kira-kira setelah dikurangi perkara waris, wakaf dan hibah, maka tnggal 250.000,-perkara yang menyangkut perceraian karena umumnya perkara di Pengadilan Agama memang yang dominan adalah perkara perceraian.

Nah kalau kita asumsikan tiap pasangan yang bercerai itu mempunyai anak dua saja. Maka berarti tiap dua tahun terdapat satu juta anak yang hancur lahir batinya akibat bapak ibunya bercerai. Imbas jumlah tersebut, kalau kita coba menghitungnya sejak tahun 1979 saja, maka berarti sekarang tahun 2007 sudah muncul ke permukaan sebagai berikut :

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan atau dilaksanakan, karena nikah salah satu yang harus di lakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.

Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus di lakukan.pertama, menurut alquran ; kedua, menurut hadist, ketiga menurut akal.

Menurut Qur’an

Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf : 189. Menyatakan bahwa tujuaan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga di larang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang di akui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Dan kedua,dalam surat Al-Ruum : 21 terkandung makna ada tiga yang dituju, satu perkawinan yakni :

a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau di namakan sikin, karena bila di arahkan keleher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam ;

b. Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda di mana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahma/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluap luap.

Page 86: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA

c. Rahmah yang berarti saying. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawadahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka, tetapi rahmah (sayang). Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta (mawadah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gossip.

Menurut Hadist

Ada dua hal yang di tuju perkawinan menurut hadist. Pertama, untuk menundukan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi Muhamad mengajurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Kedua, sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kwalitas itu sangat diperlukan.

Menurut Akal

Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan : pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau

diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus di urus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan.

Kedua, bila manusia banyak tentunya harus di wujudkan ketertiban atau keteraraturan,

terutama yang berkaitan,dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak di ketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapih tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana.

Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang

atau benda yang di perlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus di lakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.

Page 87: TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4758/1/DEDE... · BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA ... BAB IV KETENTUAN ZINA