TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA...
Transcript of TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA...
TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA
SEBAGAI ALASAN MENIKAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI)
Oleh :
DEDE SAEPULOH 204043203076
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1432 H/2011 M
TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP ZINA
SEBAGAI ALASAN MENIKAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.HI)
Oleh :
DEDE SAEPULOH 204043203076
Di Bawah Bimbingan
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP:150169102
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1432 H/2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 14 Februari 2011 M 11 Rabi’ul Awal 1432 H
Dede Saepulloh
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi
Muhammad SAW.
Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian
syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.HI) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua, seluruh keluarga dan pihak-
pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan
ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Sekretaris Program
Studi yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan
Skripsi ini.
iv
3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H.
Ahmad Yani, MA. Sekretaris Program Non Reguler.
4. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur
dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.
5. Segenap pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya
yang tak bosan-bosanya melayani penulis dalam proses penulisan sekripsi ini.
6. Segenap pengurus dan pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data-data yang
diperlukan.
7. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda
atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta
dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya
yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis
persembahkan skripsi ini. untuk kedua orangtua .
8. Kakak dan adikku yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih
untuk semua perhatian dan kasih sayangnya.
Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari
segala Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala
kelemahan dan kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
v
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa
meridloi setiap langkah kita. Amin.
Jakarta, 14 Februari 2011 M
11 Rabi’ul Awal 1432 H
Dede Saepulloh
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 9
D. Metode Penelitian ............................................................. 10
E. Review Studi Terdahulu .................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ...................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA
A. Pengertian Zina................................................................ 15
B. Sebab-Sebab Dan Akibat Perzinahan ............................... 17
C. Sanksi Perilaku Zina ........................................................ 24
BAB III PERKAWINAN MENURUT HUKM ISALM DAN HUKUM
POSITIF
A. Pengertian Perkawinan .................................................... 31
B. Dasar Hukum Perkawinan ............................................... 38
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan ........................................ 40
vii
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ..................................... 46
BAB IV KETENTUAN ZINA DALAM TINJAUAN FIQIH DAN
HUKUM POSITIF
A. Zina Dijadikan Alasan Seseorang Untuk Melakukan
Perkawinan ...................................................................... 52
B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI ........................... 58
C. Status Hukum Anak Hasil Perbuatan Zina ...................... 64
D. Analisa Penulis ............................................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 72
B. Saran-Saran ..................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk yang mulia, yang
berbeda dengan mahluk lainnya. Karena Allah telah melebihkan manusia
dengan adanya akal pikiran dan nafsu seksual sehingga bisa memilih mana
yang benar dan mana yang salah. Allah menciptakan manusia juga dengan
saling berpasangan dengan adanya ikatan tali pernikahan yang sah melalui
prosedur yang telah ditentukan oleh utusan-utusannya agar terjalin kehidupan
yang sakinah mawadah wa rahmah
Fiman Allah Qs adz dzariyat 51 : 49
ąǒŃɄŁȉ ĉnjȰNJȭ ŃȸŇȵŁȿ ŁȺǐȪLjȲŁǹnjȸŃɆŁDZŃȿŁȁ Ǡ LjȷȿłȀĉLjȭLjǾŁǩ ŃȴNJȮĉLjȲŁȞLjȱ Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.
Allah SWT menyerukan manusia agar melakukan sunnahtullah berupa
pernikahan seperti dalam firman-Nya : Qs An-Nur : 32
ɂŁȵǠŁɅɉǟ ǟɀłǶŇȮŃȹLjǕŁȿ ĆǒǟŁȀLjȪNJȥ ǟɀłȹɀNJȮŁɅ ǐȷnjǙ ŃȴNJȮŇǝǠŁȵnjǙŁȿ ŃȴNJȭŇǻǠŁǤŇȝ ŃȸŇȵ ŁƙŇǶŇȱǠĉŁȎȱǟŁȿ ŃȴNJȮŃȺŇȵ ŃȸŇȵ łȼĉLjȲȱǟ łȴnjȾnjȺŃȢłɅŅȴɆŇȲŁȝ ŅȜŇȅǟŁȿ łȼĉLjȲȱǟŁȿ ŇȼŇȲŃȒLjȥ
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
2
Jalinan kasih sayang antara kedua jenis manusia laki-laki dan
perempuan adalah sudah menjadi ketentuan Allah SWT. Rasa ingin mencintai
dan ingin dicintai oleh pasangan jenis sudah menjadi Kodrat Iradat-Nya,
karena manusia diciptakan oleh Allah bukan hanya sekedar diciptakan saja
tetapi disertai dengan akal pikiran beraneka ragam sifat dan karakteristiknya.
Rasa kasih sayang antar kedua jenis manusia yang diaplikasikan melalui jalan
pernikahan yang sah adalah keinginan semua pihak dengan tujuan
mendapatkan Ridho-Nya serta mendapatkan keturunan darinya
Firman Allah Q.s An-Nisa :1
ɃłȃǠĉŁȺȱǟ ǠŁȾĉłɅLjǕ ǟĆ ǠŁȾŃȺŇȵ ŁȨLjȲŁǹŁȿ ňǥŁǼŇǵǟŁȿ LJȄǐȦŁȹ ŃȸŇȵ ŃȴNJȮLjȪLjȲŁǹ ɃŇǾĉLjȱǟ łȴNJȮĉŁǣŁǿ ǟɀNJȪĉŁǩǟ ǠŁȶłȾŃȺŇȵ ĉLjǬŁǣŁȿ ǠŁȾŁDZŃȿŁȁ
ɍǠŁDZnjǿĉŁǩǟŁȿ ăǒǠŁȆnjȹŁȿ ǟńƘŇǮLjȭŁȼĉLjȲȱǟ ǟɀNJȪ ŃȴNJȮŃɆLjȲŁȝ LjȷǠLjȭ ŁȼĉLjȲȱǟ ĉLjȷnjǙ ŁȳǠŁǵŃǿɉǟŁȿ Ňȼnjǣ LjȷɀNJȱĆǒǠŁȆŁǩ ɃŇǾĉLjȱǟ ǠńǤɆŇȩŁǿ
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
Pernikahan yang sah merupakan dambaan setiap orang tua, dimana
ketika pernikahan tersebut orangtualah yang merupakan wali utama dari
pernikahan tersebut sebagai tanggungan terakhir orang tua terhadap anak.
Adapun yang disebut wali secara umum adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang
3
lain.1 Mengenai kedudukan wali nikah itu sendiri sebagai unsur akad nikah,
menurut Imam Syafi’i wali itu sebagai unsur nikah kapanpun dan dalam
kondisi bagaimanapun. Menurutnya setiap pernikahan tanpa wali adalah tidak
sah dan karenanya batal demi hukum. Demikian pula menurut Imam Malik
dan Imam Hanbali2.
Nabi Saw bersabda :
ŁȴŁȞǐȲŁȍ Ĉǃǟ NJȯŃɀłȅŁǿ LjȯǠĆLjȩ :ɂŇȱŁɀnjǣɍŇǟ ŁdzǠLjȮnjȹLjɍ Artinya : Tidak sah nikah kecuali dengan wali
Pernikahan yang dilakukan antar kedua jenis anak manusia merupakan
naluri Ilahiyah untuk berkembang biak dan melakukan regenerasi yang akan
mewarisi tugas mulia dalam rangka mengembangkan amanat Allah sebagai
khalifah dimuka bumi ini yang akan terus menerus hingga akhir jaman3.
Proses modernisasi yang tidak dilandasi dengan agama telah
membawa integritas manusia menurun. Anak manusia sudah tidak lagi
memikirkan oleh siapa ia dilahirkan dan dikandung selama sembilan bulan,
setiap keinginannya hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa
memperdulikan orang lain bahkan orang tuanya sekalipun. Al-Qur’an
menjelaskan bahwa ridhonya Allah ada pada ridhonya orang tua. Dengan
1Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Mudia, 2006), cet, ke-1, h. 69. 2Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
cet, ke-1,h.44 3Abbas Ahmad Sudirman, pengantar pernikahan (analisa perbandingan madzhab),
(Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), Cet, ke-1, h. 2
4
proses modernisasi ini juga menyebabkan tidak patuhnya atau tidak taatnya
anak manusia terhadap hukum atau norma-norma yang mengatur manusia
untuk hidup lebih bermoral dan beradab yang membedakan manusia dengan
mahkluk lain ciptaan-Nya
Hubungan seks misalnya, yang dijadikan sebagai ungkapan kasih
sayang untuk mempersatukan yang dipersatukan. Merupakan curahan dari
semua keakraban antara dua anak manusia, dua pribadi yang bertekad untuk
hidup bersama. Bersama dalam suka maupun duka (karena itulah muncul
istilah bersetubuh – menjadi satu tubuh), ia adalah milik saya dan saya adalah
miliknya, ia adalah saya dan saya adalah dia.4 Perzinahan merupakan salah
satu contohnya. Banyak kaum muda-mudi melakukan hal tersebut demi
kepuasaan keinginannya, bahkan ada juga yang sudah lanjut usia pun ikut-
ikutan demi memenuhi kebutuhan biologisnya.
Hubungan biologis atau hubungan badan antara lawan jenis yang tidak
didahului dengan akad nikah yang sah merupakan suatu perbuata dosa besar
yang sangat dilarang oleh Agama. Rasulullah mengajarkan manusia agar
menjauhi dari perbuatan zina.
Firman Allah : Qs Al-Isra 17 : 32
4 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1991), Cet, ke– 1, h. 92
5
ǠŁȹĉnjȂȱǟ ǟɀłǣŁȀǐȪŁǩ ɍŁȿ ɎɆnjǤŁȅ ĆǒǠŁȅŁȿ DŽǦŁȊŇǵǠLjȥ LjȷǠLjȭ łȼĉŁȹnjǙ Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Penyalauran cinta dan kasih sayang yang di ekspresikan melalui
bersetubuh tanpa adanya ikatan pernikahan terlebih dahulu merupakan
perbuatan zina. Menurut KUHP Pasal 284 Zina adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh laki-laki yang bukan dengan istrinya atau suaminya dengan
dasar suka-sama suka. Sedangkan menurut para Fuqaha (ahli hukum Islam)
mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan
zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan
karena shubhat, dan atas dasar syahwat5.
Pasangan dua sejoli yang mengungkapkan rasa cinta dan kasih
sayangnya melalui bersetubuh tanpa didahului dengan perkawinan yang sah
merupakan perbuatan dosa besar setelah syirik (mempersekutukan Allah) dan
membunuh. Nabi Saw bersabda :
ňǻŃɀłȞŃȆŁȵ njȸŃǣ ĈǃǟŇǼŃǤŁȝ NJǬŃɅŇǼŁǵ . LjȯǠLjȩ : LjȯǠLjȩ Ĉǃǟ ŁǼŃȺŇȝ łȴLjȚŃȝLjǟ njǢŃȹƋǾȱǟ ŊɃLjǟ ŁȴŁȞǐȲŁȍ Ĉǃǟ NJȯŃɀłȅŁǿ łǨǐȱLjǠŁȅ
Łǩ ǐȷLjǟ ʼnȴNJǭ LjȯǠLjȩ ŊɃLjǟ ʼnȴNJǭ łǨǐȲNJȩ LjȯǠLjȩ ŅȴŃɆŇȚŁȞLjȱ ŁȬŇȱLjǽ ǐȷLjǟ łȼLjȱ łǨǐȲNJȩ LjȰLjȩ ŁȬLjȪLjȲŁǹŁɀłȽŁȿ ǟŋǼnjȹ Ĉǃ LjȰŁȞŃDzŁǩ ǐȷLjǟ NJȰłǪǐȪŁȬŁȞŁȵ ŁȴŁȞǐȖłɅ ǐȷLjǟ LjǦLjȥǠŁǺŁȵ łȻǟŁǼLjȱŁȿ ŁȫnjǿǠŁDZ LjǦLjȲŃɆŇȲŁǵ ɂnjȹǟŁȂłǩ ǐȷLjǟ ʼnȴNJǭ łǨǐȲNJȩ LjȯǠLjȩ)ȼɆȲȝ ȨȦǪȵ (
Artinya: “diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : aku pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw : “Wahai Rasullulah Saw apakah dosa yang paling besar disisi Allah Swt?, Raullulah Saw kemudian bersabda : “engkau menjadikan sesuatu atau beranggapan bahwa
5 Ali Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-1, hal.
37
6
ada sesuatu yang sebanding dengan Allah, sedangkan Dia-lah yang menciptakan kamu”. Aku kemudian berkata : “sesungguhnya dosa yang demikian memang besar, kemudian apalagi?”, Rasullullah Saw bersabda: “kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir fakir lantaran dia makan bersamamu”. Aku bertanya lagi: “kemudian apalagi?”, Rasullullah Saw kemudian bersabda : “engkau berzina dengan istri tetanggamu” (H.R Muttafaqun ‘Alaih)
Menurut para ulama bahwa hukuman bagi pelaku zina yang belum kawin
adalah 100 kali dera. Sesuai dengan firman Allah SWT (Qs. An-Nur: 23/2)
ɄnjȹǟĉŁȂȱǟŁȿ NJǦŁɆnjȹǟĉŁȂȱǟ ǠŁȶnjȾnjǣ ŃȴNJȭǐǾłǹǐǖŁǩ ɍŁȿ ňǥŁǼǐȲŁDZ LjǦLjǝǠŇȵ ǠŁȶłȾŃȺŇȵ ňǼŇǵǟŁȿ ĉLjȰNJȭ ǟȿłǼŇȲŃDZǠLjȥ ɄŇȥ džǦLjȥǐǕŁǿ ǐȷnjǙ ŇȼĉLjȲȱǟ njȸɅŇǻ
njȳŃɀŁɆǐȱǟŁȿ ŇȼĉLjȲȱǠnjǣ LjȷɀłȺŇȵŃǘłǩ ŃȴłǪŃȺNJȭ ŁƙnjȺŇȵŃǘłȶǐȱǟ ŁȸŇȵ džǦLjȦŇǝǠLjȕ ǠŁȶłȾŁǣǟLjǾŁȝ ŃǼŁȾŃȊŁɆǐȱŁȿ njȀŇǹɇǟ
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (Qs. An-Nur: 23/2)
Di Indonesia khususnya yang mayoritas penduduknya beragama
Islam perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan yang merusak norma-
norma asusila di masyarakat. Tetapi hal tersebut acap kali masih sering
dilakukan oleh kaum muda mudi yang sedang dimabuk asmara, kendati orang
tua dari salah satu pihak atau kedua-duanya tidak menyetujui hubungan
mereka dikarenakan berbagai hal, baik itu karena faktor usia mereka yang
masih di bawah umur untuk menikah ataupun ketidak inginan orang tua
memiliki suami atau istri dari anaknya ataupun karena adat setempat yang
7
melarang hubungan mereka sampai kepelaminan, yang akhirnya pun mereka
melakukan zina terlebih dahulu sebelum menikah untuk mendapatkan restu
dari orang tuanya dan pihak pengadilan bahkan dari adat pun sekalian
Pernikahan melalui jalur zina terlebih dahulu dikalangan masyarakat
sudah lama menjadi trend. Pernikahan semacam ini disebut sebagai nikah
MBA (merit by accident) di Jakarta atau di ibukota besar lainnya.
Permasalahan seperti ini sering terjadi dan sudah tidak asing lagi, mereka
melangsungkan resepsi pernikahan dengan meriah walaupun dengan perut
yang agak membesar
Masyarakat yang demikian merupakan obyek dari skripsi yang penulis
angkat. Yaitu golongan yang menganggap ringan terhadap had zina dari
hukum Islam atau tidak mengetaui tentang hukum Islam, khususnya tentang
had zina sehingga banyak dari mereka yang menggunakan cara ini untuk
menikahkan calon istri atau suaminya.
Dari uraian diatas maka penulis memilih judul “Tinjauan Fiqih Dan
Hukum Positif Terhadap Zina Sebagai Alasan Menikah”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Pernikahan yang sah merupakan dambaan setiap orang tua, dimana
pasangan muda mudi ini telah direstui oleh kedua orang tuanya, maka
terjadilah pernikahan yang sah yaitu adanya pelamar dan yang dilamar dan
8
sampai ke akad pernikahan. Tetapi tidak jarang pasangan muda mudi yang
ingin hubungannya sampai kepelaminan terjanggal dengan tidak
direstuinya hubungan mereka baik itu karena faktor usia, keturunan,
ataupun lain sebagainya maka merekapun melakukan zina terlebih dahulu
supaya mendapatkan restu.
Dari urain latar belakang masalah diatas, dan supaya pembahasan
lebih terarah maka penulis membatasi masalah pada beberapa bidang
diantaranya :
a. Perkawinan yang didahului dengan zina
b. Zina yang dijadikan alasan untuk menikah dan mendapatkan restu
orang tua.
c. Dampak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut terhadap lingkungan
sekitar tempat pelaku zina tinggal
2. Perumusan masalah
Adapun permasalahan yang penulis maksud dalam skripsi ini adalah :
Dalam fiqih tidak disebut kebolehan zina dibuat alasan perkawinan,
tapi kenyataan di lapangan banyak zina dijadikan alasan dalam melakukan
suatu perkawinan. Dari permasalahan tersebut maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a. Mengapa zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan
perkawinan?
9
b. Bagaimana status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum
meikah?
c. Bagaimana status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat
imam mazhab?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukan,
maka tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui tujuan dan maksud perkawinan yang didahului
dengan zina
b. Untuk mengetahui status alasan zina dijadikan alasan seseorang untuk
melakukan perkawinan.
c. Mengetahui status anak dalam perkawinan wanita amil sebelum
meikah dan
d. Untuk mengetahui status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan
pendapat imam mazhab.
2. Manfaat penelitian
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Secara Akademis
Secara akademis adalah untuk menambah pengetahuan dan
penjelasan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para remaja pada
10
khususnya tentang restu nikah dari orang tua akibat zina dengan calon
istri atau suami.
b. Secara Praktis
Secara praktis adalah dapat memberikan penjelasan kepada
masyarakat tentang hukum pernikahan yang didahului dengan
perjinahan dan hukum orang tua yang memberikan restu nikah yang
didahului dengan zina menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
D. Metode Penelitian
Metode yang penulis tempuh untuk memperoleh penjelasan dalam
menganalisa masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) yakni dengan cara mengumpulkan beberapa
sumber pustaka yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi
ini yang kemudian dianalisa data-datanya.
Adapun jenis sumber data yang digunakan didalam penulisan skripsi
ini antara lain :
1. Sumber data primer yang meliputi KUHP (Perdata), UU No.1 tahun 1974
dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) serta dalil-dalil yang terdapat dalam
Al-Qur’an, Hadist, dan ketentuan-ketentuan fiqh.
2. Sumber data sekunder yaitu berupa buku-buku yang ada hubungannya
dengan penulisan ini.
11
3. Selain itu penulis juga mengambil data dari media masa maupun artikel-
artikel yang kesemuanya berhubungan dengan permasalahan-
permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini.
Metode penyajian dan analisa dalam penulisan ini bersifat komperatif
dan indukatif. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara Hukum
Islam dan Hukum Positif yang membahas tentang permasalahn yang ada.
Sedangkan metode indukatif yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang
bertitik tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik atau diambil
kesimpulan yang bersifat umum.
Adapun untuk mempermudah didalam penulisan skripsi ini, penulis
menempuh cara penguraian masalah bab perbab yang masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bahasan yang dimaksudkan untuk mempermudah
penulis dalam menjabarkan permasalahan-permasalahan yang ada, dan
kemudian penulis akan dengan mudah mengkorelasikan masalah yang satu
dengan yang lainnya, sehingga dalam penulisan ini mendapatkan gambaran
dan penjelasan yang utuh.
Teknik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman
kepada buku: “Pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi UIN syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007”
12
E. Studi Pustaka
Dalam review study terdahulu penulis menemukan beberapa judul
yang hampir sama dengan penulis buat, tetapi ada beberapa masalah yang
belum tersentuh atau belum diangkat dari judul-judul terdahulu. Untuk lebih
jelasnya penulis coba sebutkan beberapa judul yang hampir sama dengan
penulis kerjakan diantaranya : karya Wahyudi Abdullah “pandangan
masyarakat terhadap perkawinan hamil di luar nikah” dan karya Marfudi
“Sanksi hukum menyetubuhi wanita di luar nikah menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif”.
Dari review study terdahulu, memang tidak sedikit mahasiswa di
fakultas syari’ah dan hukum menulis tentang tema tersebut, tetapi mengenai
hukum dan sanksi tentang cara mendapatkan restu nikah dan wali yang
memberikan restu nikah menurut Hukum Positif dan Hukum Islam belumlah
dijadikan sebagai judul karya tulis, padahal menurut penulis fenomena
semacam ini sering kali terjadi sepeti di kota-kota besar bahkan di pelosok-
pelosok pedesaan. Sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat tema ini
dan menjelaskannya dalam penulisan ini.
Untuk membantu menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini,
penulis mencoba mengkomplikasikan antara Hukum Islam dan Hukum Positif
agar permasalahan-permasalahan ini yang masih terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat sekarang ini terjawab dan mendapatkan hikmah dari
tulisan ini.
13
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan
jalannya penulisan, sehingga dalam penulisan ini mendapatkan gambaran dan
penjelasan yang utuh.
Untuk lebih jelasnya sistematika pembahasan skripsi ini penulis
memberikan gambaran sebagai berikut :
BAB Pertama, memuat tentang pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, study pustaka terdahulu dan sistematika penulisan
BAB Kedua, merupakan tinjauan teoritis Tinjauan Hukum Islam dan
Hukum Positif terhadap zina sebagai alasan menikah. Pada Bab ini membahas
tentang Pengertian Zinah, Sebab-sebab serta akibat perzinahan, sanksi
perilaku zina, dan pola pembuktian atas perilaku zina.
BAB Ketiga, Membahas tentang hukum perkawinan menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif yang terdiri dari pengertian perkawinan, hikmah dan
tujuan perkawinan, dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat, dan rukun
perkawinan
BAB Keempat, membahas mengenai zina yang dijadikan alasan seseorang
untuk melakukan perkawina, status anak dalam perkawinan wanita amil
sebelum meikah dan status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat
imam mazhab.
14
BAB Kelima, bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang
merupakan jawaban dari rumusan masalah secara komprehensif seluruh
pembahasan dan memberikan saran-saran yang konstuktif.
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Zina
Dalam pembahasan mengenai pengertian Zina ada baiknya Penulis
menjelaskan dua macam pengertian Zina yatu; menurut etimologi dan
terminologi.1 Zina menurut etimologi adalah perbuatan bersetubuh yang tidak
syah. sedangkan menrut terminogi adalah diartikan sebagai perbuatan seorang
laii-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan yang
menurut naluriah kemanusiaan perbuatan itu dianggap wajar, namun
diharamkan oleh syara.
Pengertian Zina dalam pandangan umum mazhab, seperti ulama
Malikiyah mendefinisikan zina adalah seorang mukallaf mewath’i
(menyetubuh) faraj yang bukan miliknya secara sah dan dilakukan dengan
sengaja. Sementara ulama Syafi’iyah memandang lain yaitu zina ialah
memasukan zakar ke faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri
memasukan hawa nafsu.2
Senada pengertian di atas Ibnu Rusyd mengatakan bahwa zina dalam
hukum Islam ialah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan
1 Risalah Nasikun, Tafsir Ahkam; Beberapa Perbuatan Pidana Dalam Hukum Islam,
(Yogyakarta:CV Bina Ilmu, 1984), h.44. 2 A. Djazli, Fiqih Zinayah (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h.35.
16
yang sah, bukan karena pernikahan yang meragukan (subhat) dan bukan
karena kepemilkan hamba.3
Sedangkan Wabah Al-Zuhaili menyatakan bahwa pengertian zina dalam
bahasa dan hukum adalah sama, yaitu persetbuhan seorang laki-laki dengan
seorang perepuan pada faraj (vagina) tanpa kepemlikan maupun nikah
subhat.4
Dari sekilas penjelasan diatas dapat Penulis sarikan definisi sebagai
berikut ; Zina ialah memasukan hasafah dalam faraj dilakukan di luar nikah
atau tanpa akad, dan itu melanggar aturan dan norma agama dan hukum yang
sah, syafi’i mengatakan sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang
halal. Berdasarkan hadis yang berbunyi:
5ȯɎƩǟ ȳȀƷɍ ȳǟȀƩǟ
Artinya : Yang haram itu tidak bisa mengharamkan (membuat haram) sesuatu yang halal
Dengan demikain nampak jelas pengertian zina dalam berbagai definisi,
sebagaimana pandangan dari ulama mazhab itu, yang sedikitnya harus
memiliki dukungan tiga unsur yaitu; Pertama, Al-Amil, Al-Ma’mul ‘Alaih
dan dengan tidak adanya nikah yang syah. Al-‘Amil artinya seorang yang
melakukan perzinahan, baik laki maupun perempuan. Sedangkan Al-Ma’mul
3 Ibnu Rusyd,. Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasid, (Semarang: Toha Putera, Tth), Jilid 2, h.324.
4 Wabah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Isami Wa Adlatuhu (Damaskus: Daar Fikr, 989), Jilid VI, Cet 3, h. 45
5 Muhammad Jawad Mughniyah,. Fiqih Lima Mazhab,. (Jakarta:Lentera, 2004), h.332.
17
Alaih artinya, alat fital yang digunakan untuk berzina, baik milik laki-laki
(penis) ataupun perempuan (vagina), tidak dilakukan dengan pernikahan yang
sah maksudnya melakukan persetubuhan bukan merupakan pasangan suami
istri bagi masing-asing pihaknya atau dengan kata lain melakukan senggama
diluar perkawinan.6
Walapun dari pandapat para ulama mazhab berbeda dalam mendefinisikan
zina tetapi mereka sepakat terhadap unsur yaitu wathi’ haram dan sengaja atau
ada i’tikad jahat. Adapun kadar perstubuhan yang dianggap zina ialah wathi’
haram yaitu maksudnya kelamin laki-laki (penis) ke dalam faraj (vagina)
wanita, misalnya sebagaimana masuknya timba kedalam sumur, meskipun
masuknya hanya sedikit saja, maka sudah digolongkan pada pengertian
persetubuhan.
B. Sebab-Sebab dan Akibat Perzinaan
Di bawah ini akan menjelaskan perzinaan dilihat dalam 2 bentuk
penjelasan, yaitu: 1) sebab-sebab timbulnya perzinahan; dan 2) akibat dari
perzinaan.7
6 Asyhari Abul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,
(Jakarta: Andes Utama 1996), Cet III, h.13. 7 Muhamad Wahyuni Nafsi dkk, ed, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IUPHI dan Paramadina, 1995), h.405.
18
1. Sebab-Sebab Timbulnya Perzinaan
Seks ialah fitrah alamiyah bagi setiap manusia baik laki-laki ataupun
perempuan.8
Manusia antara laki-laki dan perempuan dibekali oleh dorongan
seksual yang berbeda sifatnya, dimana antara yang satu salig
membutuhkan dengan yang lainya. Pada masa kanak-kanak dorongan
seksualitas ini khusnya yang berhubungan dengan seks belum terlaksana.
Tetapi setelah usia remaja dimana organ-organ seksualitas ini telah mulai
matang maka kebutuhan seks itu merupakan kebutuhan yang alami, yaitu
sebagai kebutuhan semangat kebutuhan dasar seks yang pada saat itu
memerlukan sambutan dari luar. Hanya dalam kehidupan masyarakat
pelaksanaan seksualitas ini diatur. Bila pelaksanaan perbuatan seks
dilakukan di luar norma-norma yang diatur, maka perbuaan itulah yang
disebut persetubuhan di luar nikah atau perzinahan.9
Menurut agama bersetubuh diluar akad perkawinan merupakan
perbuatan zina. Perilaku ini sangat melanggar hukum yang tentu saja dan
sudah seharusnya diberi hukuman maksial, mengingat akibat yang
ditimbulkan sangatlah buruk, lagi pula mengndang kejahatan dan dosa.
Lain lagi dengan hubungan (free sex) dan segala bentuk hubungan
8 Dari diskusi publik tentang Cinta Menurut Erik From, 9 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung
Agung), h.27.
19
kelamin lainnya di luar ketentuan agama adalah perbuatan yang
membahanyakan dan mengancam keutuhan masyarakat di samping
perbuaatan yang sangat nista.
Sebagaimana dalam firman allah swt, pada surat al-Isra ayat 32:17
ĆǒǠŁȅŁȿ DŽǦŁȊŇǵǠLjȥ LjȷǠLjȭ łȼʼnȹnjǙ ǠŁȹĉnjȂȱǟ ǟɀłǣŁȀǐȪŁǩ ɍŁȿ ɎɆnjǤŁȅ)Ďč( Aritnya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Pada kasus seks misalnya pemerkosaan bayak melibatkan faktor-
faktor yang melatar belakangi timbulnya perbuatan jahat, ini berarti sudah
jelas-jelas kita rasakan melalui tanyangan-tanyangan acara berbau seks
yang sangat berlebihan, pornografi dalam segala bentuknya yang paling
kotor beredar secara luas atupun pengaruh obat-obatan, di samping
penyebab-penyebab lainnya yang dapat mengikis habis nilai-nilai spirital
rusaknya mentalitas kaum muda yang pada akhirnya banyak kasus-kasus
pergaulan bebas ini hasil dari dampak dari faktor-faktor diatas. Disamping
ditinjau dari pengaruh modernisasi yang kurang terkontrol dengan baik
sehingga melairkan keburukan, ada faktor lain yang menyebabkan
perzinahan yang timbul atau bersumber dari dalam diri pelaku
diantaranya:10
10 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.
20
a. Berkenaan dengan keimanan dalam beragama pada dirinya. Ini
merupakan salah satu faktor pengaruh seseorang pelaku berbuat
kejahatan. Biasanya seseorang yang tidak memiliki keimanan atau
ekstrimnya seseorang itu, tidak memiliki agama akan mudah sekali
untuk terjerumus ke dalam lembah kemiskinan. Karena tidak ada
sesuatu dalam dirinya yang menghalangi untuk berbuat kejahatan.
Berbeda jika seserang memiliki keimanan pada dirinya. Ini sesuai yang
di ungkapkan oleh Zakiah Daradjat, bahwa seseorang yang
keimanannya telah menguasainya, walaupun yang terjadi tidak akan
mengganggu atau mempengaruhunya. Ia yakin bahwa keimanan itu
akan membawanya kapada ketentraman dan ketenangan bathin.11
b. Berkenan dalam kepridadian. Kepribadian seseorang akan
mempengaruhi segala tindak-tanduknya dimana pribadi ini biasanya
menyangkut kejiwaan seseorang. Jika terdapat kekacauan pada
kejiwaan seseorang maka tidak heran apaila timbul keinginan orang
tersebut utuk melakukan perbuatan kejahatan yang diakibatkan oleh
apa saja yang menimpa dirinya itu.
c. Zaman moderen misalnya; media elektronik yang menayangkan atau
mensajikan melalui media televisi yang menampilkan filem-filem yang
berbau porno. Iklan yang menampilkan adegan atau dialog yang
11 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.
21
memancing knotasi porno. Kemudian musik-musik yang membawa
pada dunia khayalan, bahkan sekarang lebih marak lagi dengan adanya
VCD atau Internet yang menghasilkan filem-filem porno dan
menapilkan seseorang dalam keadaan telanjang.
d. Melalui media surat kabar. Berita-berita surat kabar mulai dari gosip
sampai kenyataan dapat dilihat di surat kabar ataupun majalah-majalah
yang didalamnya dapat dilihat gambar-gambar porno yang
memperlihatkan kemulusan dan kemolekan tubuh seorang wanita.
Pornografi dalam berbagai bentuknya memang besar pengaruhnya,
banyak kasus persetubuhan di luar pekawinan karena si pelaku
terpengaruhi oleh adegan filem-filem porno, gambar porno atau materi
pornografi lainnya yang baru saja dinikmatinya.12
2. Akibat Dari Perzinahan
Hubungan seksual berlainan jenis tidak dapat dipisahkan, karena ini
merupakan tuntutan biologi untuk membangun keturunan dan juga
merupakan rahmat tuhan yang tidak ternilai. Bagi makhluk selain manusia
melakukan hubungan seks tidak dipermasalahkan akibat hukum yang
dihasilkan. Sedangkan bagi manusia hubungan seks akan berakibat fatal
12 Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h. 33.
22
apabila tidak melalui jalan yang semestinya karena ada akibat hukum yang
dihasilkan.13
Hubungan seks sangat erat kaitannya dengan perkawinan, maka dari
itu harus di awali dari perkawinan itu, baik laki-laki dan perempuan
dihalalkan untuk bersetubuh. Tanpa diawali dengan perkawinan maka
seorang laki-laki dan perempuan diharamkan untuk bersetubuh.
Dari keterangan diatas penulis ingin mengungkapkan bahwa akibat
dari persetubuhan di luar perkawinan ialah:
a. Perzinaan akan mengakibatkan langsung terjadinya penyakit-penyakit
menular yang sangat membahayakan, dan itu akan turun-menurun dari
anak ke anak ke cucu dan seterusnya, misalnya penyakit sphilis,
gonorhoe, Iympogranuloma ingunale, geanuloma venereum dan
ulcusmole.
b. Hubungan seks di luar perkawinan merupakan salah satu sebab
terjadinya pembunuhan, karena sifat atau rasa cemburu memang sudah
menjadi watak manusia yang alami. Bahkan sangat sedikit laki-laki
yang baik atau perempuan yang mulia yang bisa merelakan begitu saja
penyelewengan hubungan kelamin.
c. Hubungan seks di luar perkawinan mengakibatkan rusaknya rumah
tangga, menghilangkan harkat keluarga, memutuskan tali perkawinan
13 Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, (Bairut: Daar Fikr. 1983), h.150.
23
dan membuat buruknya pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Hal
ini tak kurang menyebabkan sang anak sering memilih jalan yang
sesat, melakukan penyelewengan dan melanggar hukum.
d. Dalam perzinaan terselip unsur menyia-nyiakan keturunan dan
pemilikan harta/warisan kepada selain orang yang berhak atasnya,
yakni pewarisan harta seorang pelaku kepada anak-anak jadah (anak
hasil perzinaan)
e. Hubungan seks di luar perkawinan merupakan pembebanan yang
justru menimpa diri pezina itu sendiri, dimana dengan hamilnya
wanita yang dizinahinya, maka sang pezina terpaksa mendidik atau
mengasuh anak yang secara hukum bukan anaknya.
f. Hubaungan seks di luar perkawinan ialah hubungan kelamin sesaat
yang tak bertanggung jawab, perbuatan semacam ini merupakan
prilaku binatang yang semestinya dihindari oleh setiap manusia yang
menyadarinya.
g. Selain merupakan sarana penyaluran kebutuhan biologis (insting seks)
perkawinan juga merupakan pencegah penyaluran pada jalan yang
tidak dikehendaki agama. Perkawinan mengandung arti larangan
menyaurkan potensi seks dengan cara-cara di luar ajaran agama atau
menyimpang. Itulah sebabnya agama mearang pergaulan bebas, dansa-
dansa, gambar-gambar porno dan nyanyian-nyanyian yang
merangsang seksualitas serta cara-cara lain yang dapat mendorong
24
hawa nafsu atau menjerumuskan orang kepada kejahatan seksual yang
tidak dibenarkan oleh agama. Dengan larangan ini dimaksudkan agar
rumah tangga tidak dirasuki oleh hal-hal yang dapat melemahkannya
sehingga suatu keluarga tidak dilandai broken home.
h. Hubungan seks di luar perkawinan adalah salah satu di antara sebab-
sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran
peradaban, menularkan penyakit-penyakit yang sangat mebahanyakan,
mendrong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek
perkawinan, dengan demikian zina merupakan sebab utama dari pada
kemelaratan, peborosan, kecabulan dan pelacuran.14
C. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Zina
Dalam Islam zina dikenal dua ketentuan yaitu; pertama, zina muhson
kedua, zina gair muhson. Zina muhsn ialah pezina yang pelakunya telah
memenuhi syarat; pezina telah dewasa, pezina orang yang berakal sehat,
pezina termasuk orang yang merdeka, pezina trakat, sebagai perhelah
melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang sah. Sedangng telah encukan
zina goir muhson ialah; pezina yang pelakunya tidak mencukupi persyarataan
muhson.15
14 Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, h.37. 15 Asyari Abdul Ghafar,. Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah
Hamil (Jakarta: Andres Utama 1996). Cet III, h.13.
25
Pada sanksi pezina bagi pelaku zina baik laiki-laki maupun perempuan
dibedakan menjadi dua macam, yakni; rajam dan dera ditambah dengan
hukuman pengasingan. Sanksi bagi orang yang merdeka berbeda dengan
orang yang tidak merdeka (budak atau hamba sahaya).16
1. Rajam
Rajam merupakan hukuman para pelaku pezina baik laki-laki maupun
perempun dilempari batu kerikil (koral) sampai mati.17 Penggunaan batu
kecil itu dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit
demi sedikit agar berlangsung lama rasa sakit dari penyiksaan tersebut.
Hukuman itu setimpal dengan kejahatan yang ia perbuat. Hukuman rajam
itu dilakukan di depan umum untuk peringatan bagi masyarakat, sebagai
perhatian dan pembelajaran bagi uamat pada umumnya. Sanksi atau
hukuman rajam ini hanya di peruntukan kepada para pelaku pezina yang
mencukupi syarat-syarat zina itu.
2. Dera dan pengasingan
Hukuman dera atau cambuk dilaksanakan sampai batas maksimal 100
kali deraan, pelaksanaan hukuman ini tidak mempunyai motif pembuuhan.
16 Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) Cet. Ke.
2, h. 29 17 Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid II (Kudus: Menara Kudus,1983), h.138
26
Jadi unsurnya berbeda dengan pelaksanaan hukuman rajam karena
bermotif untuk membunuh kepada terhukum.18
Pada dasarnya hukuman dera itu, tidak menutup kemungkinan bagi
orang-orang yang dikenakan hukuman tersebut mati dalam
pelaksanaannya. Bahkan mereka mati dalam keadaan sebelum target
seratus kali dilaksanakan.19
Pelaksannan hukuman dera diatas berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat An-Nur ayat 4:24
ŁɅ ŁȸɅŇǾƋȱǟŁȿ ǟɀNJȲŁǤǐȪŁǩ ɍŁȿ DŽǥŁǼǐȲŁDZ ŁƙnjȹǠŁȶLjǭ ŃȴłȽȿłǼŇȲŃDZǠLjȥ ĆǒǟŁǼŁȾłȉ ŇǦŁȞŁǣŃǿLjǖnjǣ ǟɀłǩǐǖŁɅ ŃȴLjȱ ʼnȴNJǭ ŇǧǠŁȺŁȎŃǶłȶǐȱǟ LjȷɀłȵŃȀ LjȷɀNJȪŇȅǠLjȦǐȱǟ łȴłȽ ŁȬŇǞLjȱȿNJǕŁȿ ǟńǼŁǣLjǕ DŽǥŁǻǠŁȾŁȉ ŃȴłȾLjȱ)ď(
Artinya: dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik- baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Ketentuan hukum ini menurut pendapat para ulama, Imam Abu
Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Al-Qurtubi dan lain-
lain bahwa berlaku bagi para pezina yang bukan muhson. Sedangkan
18 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu rusy, Bidayatul
Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani,2002), Cet. Ke-2, h.608
19 Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.101.
27
pezina yang bukan muhson mendapatkan hukuman seratus kali dera
(cambuk) serta dienakan pua hukuman pengasingan selama satu tahun.20
Dalam sanksi hukum tambahan pada (hukuman pengasingan) para
fuqaha berbeda pendapat:21
a. Menrut Imam Malik: dalam hukuman pengasingan (buang) hukuman
dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak.
b. Menurut Imam Ahmad Ibnu Hambal menyetujui hukuman
pengasingan selama satu tahun sebagai hukman tambahan terhadap
hukuman dera.
c. Imam Abu Hanifah terhadap hukuman pengasingan sebagai hukuman
tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang
menangani perkara.
d. Sedangkan pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat
Imam Ahmad, yang juga diantaranya Imam Syafi’i Al-Qurtubi, Atho,
Thowus, dan para khulafa rassyidun mengatakan perlunya diberikan
hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhson.
Melihat dari penjelasan di atas yang diberikan oleh para fuqaha maka
pada dasarnya seluruh umat menyetujui hukuman pengasingan bagi
pelaku laki-laki dengan memperhatikan beberapa bukti agar hukuman
20 Muhammad bin Ismail Al- Bukhari,. Saheh Bukhori (Bairut Daar wa Mathlabi as-
syu’ab), jilid III, h.177 21 Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.103.
28
dapat diterapkan atau dijatuhkan terhadap pelaku, bukti-bukti tersebut
adalah Iqrar atau pengakuan dari orang yang berbuat.
Menurut pendapat Fathurrahman dalam bukunya mengungkapkan
bahwa hadis-hadis peradilan agama menyatakan bahwa pengakuan adalah
pernyataan seorang baik berupa ucapan atau tulisan dan lain sebagainya
bahwa orang lain mempunyai hak atas sesuatu yang berada dalam diri atau
suatu pernyataan (delik) suatu perbuatan pidana.22
Perbuatan ini dibenarkan berdasarkan firman Allah SWT surat Al-
Imran ayat 81:3
Łȿ ǠŁȶŇȱ ŅȧĉŇǼŁȎłȵ džȯɀłȅŁǿ ŃȴNJȭĆǒǠŁDZ ʼnȴNJǭ ňǦŁȶǐȮŇǵŁȿ LJǡǠŁǪŇȭ ŃȸŇȵ ŃȴNJȮłǪŃɆŁǩǓ ǠŁȶLjȱ ŁƙĉnjɆnjǤʼnȺȱǟ ŁȧǠLjǮɆŇȵ łȼƋȲȱǟ LjǾŁǹLjǕ ǐǽnjǙLjȩ ǠŁȹŃǿŁȀǐȩLjǕ ǟɀNJȱǠLjȩ ɃnjȀŃȍnjǙ ŃȴNJȮŇȱLjǽ ɂLjȲŁȝ ŃȴłǩǐǾŁǹLjǕŁȿ ŃȴłǩŃǿŁȀǐȩLjǕLjǕ LjȯǠLjȩ łȼʼnȹłȀłȎŃȺŁǪLjȱŁȿ Ňȼnjǣ ʼnȸłȺŇȵŃǘłǪLjȱ ŃȴNJȮŁȞŁȵ LjȯǠ
Ljȥ ŁȸɅŇǼŇȽǠʼnȊȱǟ ŁȸŇȵ ŃȴNJȮŁȞŁȵ ǠŁȹLjǕŁȿ ǟȿłǼŁȾŃȉǠ)ēČ( Artinya: Dan ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi:
"Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".
Agar pengakuan dapat dijadikan sebagai bukti untuk menetapkan
adanya suatu delik hendaknya dipenuhi tiga syarat yaitu:
22 Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
h.17.
29
a) Pengakuan harus benar, artinya diyakan oleh orang yang sehat
pikirannya atau dan tidak dalam keaaan terpaksa
b) Pengakuan itu baik berupa lisan atau tulisan hendaknya dikemukakan
secara tegas jelas dan terperinci.
c) Berdasarkan kesaksian 4 orang saksi yang adil. Eikian menurut
kebanyakan para ulama23.
Firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 15:4
Ňȵ LjǦŁȊŇǵǠLjȦǐȱǟ ŁƙŇǩǐǖŁɅ ɄŇǩɎȱǟŁȿ ǟȿłǼnjȾŁȉ ǐȷnjǚLjȥ ŃȴNJȮŃȺŇȵ DŽǦŁȞŁǣŃǿLjǕ ʼnȸnjȾŃɆLjȲŁȝ ǟȿłǼnjȾŃȊŁǪŃȅǠLjȥ ŃȴNJȮŇǝǠŁȆnjȹ Ńȸ ɎɆnjǤŁȅ ʼnȸłȾLjȱ łȼƋȲȱǟ LjȰŁȞŃDzŁɅ ŃȿLjǕ łǧŃɀŁȶǐȱǟ ʼnȸłȽǠƋȥŁɀŁǪŁɅ ɂʼnǪŁǵ ŇǧɀłɆłǤǐȱǟ ɄŇȥ ʼnȸłȽɀNJȮĈȆŃȵLjǖLjȥ)ČĐ(
Artinya: Dan terhadap Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Kejahatan pidana dalam Islam, sudah ditentukan sanksi hukumnya.
Ketentuan ini mempunyai tujuan agar manusia tidak terjerumus dalam
perbuatan yang di murkai Allah. Berkaitan dengan menyetubuhi wanita di
luar perkawinan yang penulis bahas dalam skripsi ini. Syyaid sabiq
mengungkapkan bahwa alasan perbuatan tersebut merupakan tindakan
pidana yakni:
23 Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1997),h.20.
30
a. Perbuatan zina dapat menghilangkan nasab artinya secara otomatis
menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya meninggal.
b. Zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya kepada
orang yang melakukannya seperti penyakit kelamin dan sebagainya.
c. Zina merupakan salah satu sebab timbulnya pembunuhan, oleh karena
rasa cemburu merupakan insting yang ada pada manusia,
d. Zina dapat menghancurkan rumah tangga dan meruntuhkan
eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat memutuskan hubungan
keluarga termasuk anak-anaknya.
e. Zina hanya ssekedar hubungan bersifat sementara, dan tidak ada masa
depan dan kelanjutannya sebab hakikat dari perbuatan zina sama saja
dengan perbuatan binatang24.
24 Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.340-341.
31
BAB III
PERKAWINAN MENURUT
FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Perkawinan
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara
anragik atau tidak ada aturan. Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan
martabat manusia yang mulia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa
pernikahan.1
Allah SWT telah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat, yakni
keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis (kelaminnya)-nya. Dalam
rangka itu, Allah pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada secara
berjodoh-jodohan. Ada siang ada malam, ada besar ada kecil, ada bumi ada
langit, ada surga ada neraka dan ada pria dan wanita. Dalam kaitannya tentang
jodoh pada manusia dan binatang, Allah berfirman:
}ɁǟǿɀȊȱǟ: ĤĤ {
Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
1 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta:CV. Haji Masagung, 1991), Cet. II, H.10
32
ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Al-Syura : 11)
Kemudian kepada manusia Allah berfirman Surat Fathir ayat 11.
}ȀȕǠȥ :ĤĤ {
Artinya: Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani, Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. (al-Fathir : 11)
Dalam praktiknya naluri untuk melakukan perjodohan itu sendiri di
kalangan manusia tidak selamanya berjalan dengan sesuai tuntunan Allah. Hal
ini ada kalanya memang belum sempat atau tidak mendapatkan dakwah
agama secara komprehensif atau memang karena kerakusan mereka itu
sendiri, di mana nafsu kebinatangan menguasai dirinya. Dari sini lalu ada
manusia yang yang mempunyai puluhan istri atau gundik (selir). Siapa yang
mempunyai harta dan kekuasaan dapat memperistri sekian banyak wanita
untuk memuaskan nafsu seksualnya semata-mata. Hal-hal seperti ini
sebetulnya bertentangan dengan kehormatan manusia. Karena itu Islam
berkepentingan untuk mengaturnya. Sebagai agama yang menjunjung tinggi
keberadaan fitrah manusia, Islam justru menganjurkan manusia untuk hidup
33
berpasang-pasangan. Namun hal itu harus dilakukan secara terhormat dan
mulia.
Maka Allah menurunkan hukum perkawinan secara berangsur-angsur tapi
mengandung signifikansi. Pada zaman Nabi Adam a.s di mana jumlah
manusia masih sedikit, aturan perkawinan yang ditetapkan Allah sangat
sederhana, misal seorang kakak boleh menikah dengan adik kandungnya.
Waktu terus berjalan hingga datang Rasul terakhir, yaitu Muhammad saw.
Hukum perkawinan telah berkembang lebih jauh. Bukan hanya umat manusia
dilarang menikahi adik kandungnya, tetapi semua perempuan yang tergolong
muhrim diharamkan untuk dinikahi atau dikawini oleh laki-laki. Begitu juga
jumlah istri dibatasi, di mana jumlah maksimal hanya empat orang serta harus
dilakukan dengan ketentuan syarat-syarat yang ketat2.
Pengertian nikah atau ziwaj dalam bahasa arab diartikan dengan kawin.
Kalimat nikah atau tazwij diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-
Jarizi dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga
macam makna nikah, yaitu3 :
1. Makna Lughawi menurut Bahasa
Menurut bahasa nikah adalah
ćǒǐȓŁɀȱǐǟŁɀłȽŁȿ Łȿ ŊȴʼnȒȱǟ
2 Abdul Aziz Syaikh bin Abdurahman, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka
Al Kautsar,1993), h. 17 3 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 2-3
34
(bersenggama atau bercampur). Selanjutnya dikatakan :
ŇǨŁǶLjȭǠŁȹĆ ǠŁDzŃȉLjɍǐǟ łǿ ŃǨLjȲŁɅǠŁȶŁǩǟLjǽŇǟ ʼnȴŁȒŃȹǟŁȿ ǠŁȾłȒŃȞŁǣ ɂLjȱŇǟ LJȐŃȞŁǣ Artinya: Terjadinya perkawinan antara kayu-kayu apabila kayu-kayu
itu saling condong dan bercampursatu dengan yang lain”. Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab
akad adalah sebab bolehnya bersenggama.
2. Makna Ushuli atau Makna Menurut Syar’i
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ushuli dan makna syar’i.
Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha’
(bersenggama). Dalam pengertian majaz nikah adalah akad. Bila kita
menemui kalimat nikah dalam al-qur’an atau hadist itu berarti watha atau
bersengama (apabila tidak ditunjukkan lain).4 Pengetian ini dapat dijumpai
dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 22 :
}ǒǠȆȺȱǟ :ĥĥ{
Artimya :“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (al-Nisa: 22).
Pendapat kedua mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah
akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’. Pengertian ini adalah
4 Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan.t.t), Jilid 3, h. 109. lihat pula al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), cet ke 3. h. 249
35
kebalikan dari pengertian menurut makna luhgawi (menurut bahasa).
Pengertian pendapat kedua ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 230.
}ǥȀȪǤȱǟ :čĎċ { Artinya :“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”(Q.S Al-Baqarah 230).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa hakikat dari nikah adalah
musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’. Sebab untuk
memaknai syarat nikah, kadang-kadang makna watha’.
3. Makna fiqh (menurut ahli fiqh)
Para ulama ahli fiqh juga berbeda pendapat tentang makna nikah ini.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut pendapat ahli
fiqh berarti: “akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami
dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri
dan seluruhnya”.
Berdasarkan beberapa pendapat, pengertian nikah adalah sebagai berikut :
Pertama, golongan Hanafiah mendefinisikan nikah sebagai :
36
łdzǠLjȮnjȺȱǟ łȼʼnȹLjǠnjǣ ŅǼǐȪŁȝ łǼŃɆŇȦłɅ ŁȬǐȲŇȵ ŇǦŁȞŃǪNJƫǐǟ ǟńǼŃȎLjȩ 5 Artinya: Nikah itu adalah akad yang memfaedahkah memiliki,
bersenang-senang dengan sengaja
Kedua, golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai :
ǠLjȮnjȺȱǟ łdz łȼʼnȹLjǠnjǣ łǼǐȪŁȝ łȸʼnȶŁȒŁǪŁɅ łȬǐȲŇȵ ąǒǐȓŁȿ ŇȘǐȦLjȲnjǣ ǠLjȮŃȹŇǟ LJdz LJǰŃɅnjȿŃȂŁǩŃȿLjǟ ǠŁȶłȽǠŁȺŃȞŁȵŃȿLjǟ 6 Artinya: Nikah adalah lafadz yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya.
Ketiga, golongan Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai :
ǠLjȮnjȺȱǟ łdz łȼʼnȹLjǠnjǣ ɂLjȲŁȝŅǼǐȪŁȝ ňǻʼnȀŁDzłȵ ŇǦŁȞŃǪłȵ ŇǽƌǾLjȲʼnǪȱǟ ňǦʼnɆŇȵŁǻLjǠnjǣ LJǢnjDZŃɀłȵłȀŃɆLjȡ ǠŁȾŁǪŁȶŃɆŇȩ ňǦŁȺōɆŁǤnjǣ7 Artinya: Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
semata-mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dinikahinya.
Keempat, golongan Hanabilah mendefinisikan nikah sebagai:
ŅǼǐȪŁȝŁɀłȽ ŇȘǐȦLjȲnjǣ LJǴLjȮŃȹŇǟ LJǰŃɅnjȿŃȂŁǩŃȿLjǟ ɂLjȲŁȝ ŇǦŁȞLjȦŃȺŁȵ njțǠŁǪŃȶŇǪŃȅŇɍǐǟ8 Artinya: Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau
tawwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama zaman dahulu
memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula
5 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3 6 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3 7 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. 8 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3.
37
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan nikah tersebut terhadap hak dan
kewajiban suami istri yang timbul.
Para ulama Mutakhirin, dalam mendefinisikan nikah telah memasukkan
unsur hak dan kewajiban suami istri kedalam pengertian nikah. Muhammad
Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai :
țŅǼǐȩĆ łǼŃɆŇȦłɅ ƋȰŇǵ ňǥŁȀŃȊłȝ ŁȸŃɆŁǣ njȰłDZʼnȀȱǟ ŇǥĆǒǟŃȀŁȶǐȱǟŁȿ ǠŁȶłȾŁȹłȿǠŁȞŁǩŁȿ łǼnjDzŁɅŁȿ ǠŁȶnjȾŃɆLjȮŇȱǠŁȵ ŃȸŇȵ njȧŃɀNJȪłǵ ǠŁȵŁȿ ŇȼŃɆLjȲŁȝ ŃȸŇȵ ňǧǠŁǤnjDZǟŁȿ 9
Artinya: Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing”.
Dari pengertian ini berarti perkawinan mengandung aspek akibat hukum
yaitu saling mendapat hak dan kewajiban, serta bertujuan mengadakan
pergaulan yang dilandasi tolong menolong.
Definisi perkawinan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia
ada pada pasal 1 Undang–Undang Nomor 1 tahun 1974 serbagai berikut :
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 10
Dan pada pasal 5 KHI sebagai berikut : ”Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah allah dan melaksanakannnya merupakan ibadah.” 11
9 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3. 10 Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia ..., Op.Cit, h.141 11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ..., Op.Cit, h. 114
38
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya perkawinan adalah
sarana legal yang diperkenankan oleh negara dengan tata cara yang sudah
ditetapkan oleh negara.
B. Dasar Hukum Perkawinan
Kehidupan berkeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah, baik menurut
agama maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini akan
tercipta kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang
didambakan oleh setiap insan yang normal.
Dalam agama Islam dasar perkawinan telah digariskan dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Dasar hukum perkawinan dalam Al-Qur’an dan Hadits antara lain
adalah An-Nisa ayat 21:
} ǒǠȆȺȱǟ :čČ{ Artinya :Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (Al-Nisa’: 21)
Atau surat Ar-Rum 21 :
} ȳȿȀȱǟ:čČ {
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
39
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Al-Rum : 21)
Atau surat Asy-Syura: 11
}ɁǟǿɀȊȱǟ: ĤĤ {
Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Al-Syura : 11)
Atau surat Ar-Ra’du : 38
} ǼȝȀȱǟ :Ďē{
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (Al-Ra’du : 38)
Adapun berdasarkan perkawinan dari hadis dapat dilihat dari sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi:
łdzǠLjȮōȺȱǟĆ ɂŇǪʼnȺłȅ ŃȸŁȶLjȥ ŁǢŇȡŁǿ ŃȸŁȝ ɂŇǪʼnȺłȅ ŁȄŃɆLjȲLjȥ ɂōȺŇȵ }łȻǟŁȿŁǿ ŅȴŇȲŃȆłȵ{ Artinya: Nikah adalah sunahku barang siapa yang benci pada sunahku
bukanlah termasuk golongan umatku. (H.R Muslim)12
12 Imam Bukhari, SOHIH AL-BUKHARI, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh,
Jami’ al-Huquq, Mahfudhah, 2004 M/1425 H), Cet. I, h. 725. lihat juga Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 7
40
Dari dasar hukum perkawinan di atas baik dari Al-Quran maupun Hadits
dapat dipahami bahwa perkawinan daam pandangan Islam merupakan
sunatullah dan sunah Rasul. Sunatullah berarti menurut qudrah dan iradah
Allah dalam pencaiptaan alam ini, sedangkan Rasul berarti suatu tradisi yang
telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri maupun untuk umatnya.
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun berarti adalah kata mufrad dari kata jama’ “arkaan”, artinya asas
atau sendi atau tiang. Yaitu sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan)
dan tidaknya apabila ditinggalkan sesuatu pekerjaan ibadah dan sesuatu itu
termasuk di dalam pekerjaan itu. Lain dengan “syarat” yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk di
dalamnya13.
Syarat sah nikah merupakan dasar sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat
ini terpenuhi, amal pernikahan itu sah dan akan menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pernikahan. Berikut adalah bentuk sederhana dari syarat
dan rukun nikah. Rukun didefinisikan sebagai rukun perkawinan menurut
Islam adalah :
1. Calon pengantin pria
2. Calon pengantin wanita
13 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h.
300-301
41
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Sighat (akad) ijab kabul14
Menurut Zuhdi Muhdlor syarat-syarat perkawinan untuk calon pengantin
pria adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, tidak terkena halangan
perkawinan, cakap bertindak hukum untuk berumah tangga, tidak sedang
mengerjakan haji atau umrah, belum mempunyai empat orang istri.
Sedangkan untuk pengantin wanita adalah beragama Islam, perempuan, jelas
orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terkena halangan perkawinan, di
luar iddah (bagi janda), tidak sedang mengerjakan haji atau umarah. 15
Adapun syarat bagi seorang wali adalah laki-laki, baligh, waras akalnya,
tidak dipidana, tidak dipaksa, adil, tidak sedang dalam ihram atau haji.16
Sedangkan menurut Zuhdi Muhdhor syarat untuk wali adalah beragama Islam,
14 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah:Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani,
1989), Cet III, h.30, Lihat juga Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, Uu Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam. (Bandung, Mizan, 1994), Cet III, h. 52.
15 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Mizan, 1994), Cet. III, h. 52. Menurut Alhamdani, Syarat-syarat bagi calon suami adalah bukan mahram dari calon istri, Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri, Orangnya tertentu jelas orangnya, Tidak sedang menjalankan ihram haji, Dan syarat bagi calom istri, Tidak ada halangan syar’i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam masa iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya, Tidak sedang dalam berihram, lihat juga H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
16 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
42
laki-laki, adil (tidak fasiq), mempunyai hak atas perwaliannya, tidak terkena
halangan untuk menjadi wali, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.17
Para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam
perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Disyaratkan juga
bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat
mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan
lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara.
Syafi’i berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat ingin menikah
dan masih gadis maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi
jika ia janda maka hak mengawinkan itu ada pada keduanya wali tidak boleh
mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita tidak
boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun pengucapan akad adalah
hak wali.
Akad yang diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali,
walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan. Sementara itu Hanafi
mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pela melakukan akad nikah sendiri, baik dia
perawan atau janda.18
17 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..,Op.Cit, h. 52. 18 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab –Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali- (Jakarta, Lentera, 2001), Cet. VII, h. 318. Tentang hal baligh, para ulama mahzab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita. Sebab hamil hanya akan bisa terjadi oleh karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma dalam laki-laki. Imamiyah, maliki, syafi’i
43
Kemudian syarat-syarat seorang saksi adalah laki-laki, baligh, waras
akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas atau tidak dipaksa, tidak
sedang menjalankan ihram atau haji, memahami bahasa yang dipergunakan
untuk ijab qabul. Menurut Zuhdi Muhdar syarat seorang saksi adalah dua
orang laki-laki, beragama Islam, mengerti maksud akad perkawinan, hadir
pada saat ijab kabul berlangsung.19
Untuk saksi akad nikah, Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan tidak sah
tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa
disyaratkan harus adil. Namun mereka (Syafi’i dan Hanafi) bersepakat bahwa
kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki tidak sah.
Mengenai akad pernikahan para ulama mahzhab sepakat bahwa
pernikahan dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan
kabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau seperti
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali. Dan dianggap tidak sah
hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa disertai adanya akad.
dan hambali mengatakan tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan hanafi menolaknya, sebab menurut beliau bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain diseluruh tubuh.
Syafi’i dan Hambali mensyaratkan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan bagi perempuan tujuh belas tahun. Pendapat hanafi daam usia baligh adalah batas usia maksimal sedangkan usia minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun untuk enak perempuan. Sebab menurut imam hanafi pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengeluarkan sperma, menghamili atau meneluarkan mani (diluar mimpi), sedangkan bagi perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil atau haid.
19 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..., Op.Cit.,h. 52
44
Para ulama mahzab juga sepakat bahwa akad nikah itu sah bila dilakukan
dengan redaksi atau lafadz “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari
pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima”
atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya20.
Menurut mahzhab Syafi’i21 bahwa redaksi akad dalam pernikahan harus
merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu
menurut beliau tidak sah22. Berbeda dengan pendapat dari imam Abu
Hanifah23 yang berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala
20 Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, ( Jakarta, Lentera Basritama,
1999), h.309 21 Munculnya mazhab Imam Syafi’i di mulai pada tahun 198 H/ 815 M, yaitu pada saat
beliau berusia 48 tahun (setelah belajar kurang lebih 40 tahun). Imam Syafi’i mendapat izin dari gurunya – Imam Malik – untuk berfatwa sendiri dalam Ilmu Fiqh dan tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik dan Imam Hanafi (sic). Imam Malik memberikan izin kepada Imam Syafi’i untuk berfatwa sendiri karena dengan ilmu yang dimilikinya ia telah dianggap mampu untuk itu. Dengan izin tersebut, Imam Syafi’i mulai berfatwa pada tahun 198 H, diawali dengan menyusun kitab-kitab yang dikarangnya sendiri. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. ke-6, h. 13. Imam Syafi’i mengatakan yang menjadi sumber (pokok) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah barulah qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah hadits dari Rasulullah SAW sudah shahih sanadnya maka itulah Sunnah. Ijma’ lebih besar dari kabar dari orang seorang. Hadits-hadits itu diartikan menurut dzahir lafadznya, tetapi kalau artinya banyak, maka yang dekat kepada yang dzahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan dengan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang didahulukan. Hadits Munqathi’ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW) tidak diterima, kecuali munqathi’ yang dikatakan oleh Sahabat Said Ibnu Al-Musayyab. “Asal” tidak diqiyaskan kepada “asal”. Asal tidak ditanya “Kenapa dan bagaimana ?”. Hal ini boleh ditanyakan kepada Furu’ “Kenapa ?”. Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu adalah suatu dalil (hujjah).
Pengetahuan untuk beristinbat Imam Asy-Syafi’i itu adalah dari Kitab Suci (Al-Qur’an), Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas”. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. VI, h.120.
22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309 23 Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthi (80-150
H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80H; artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada kekuasaan Abbasiah.
45
redaksi yang menyatakan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz
al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’
(pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan). Sepanjang
akad tersebut menunjukkan qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah24.
Selanjutnya para ulama mazhab juga bersepakat bahwa orang yang
melakukan akad itu harus pasti dan tentu orangnya, sehingga dipandang tidak
sah akad nikah dalam kalimat yang berbunyi, ”saya mengawinkan kamu
dengan salah seorang di antar kedua wanita ini,” atau “saya nikahkan diri
saya dengan salah satu diantara kedua laki-laki ini” tanpa ada kepastian yang
manakah diantara kedua itu yang dinikahi.25
Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan beberapa syarat perkawinan. Disebutkan sebagai berikut;
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan keduan calon mempelai.26
Cara ijtihad yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah) merujuk
kepada Al-Quran apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada sunah Rasulullah saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila tidak mendapatkannya dalam Al-Quran. Apabila tidak mendapatkan dalam Al-Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku mengambil pendapat yang mana saja yang aku kehendaki, aku tidak akan pindah dari sahabat yang satu kesahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat ibrahim, al-sya’bi, dan ibn al-Musayyab, serta yang lainnya, akau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.” Lihat : (Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, 1987:91)
24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309. 25 Ibid., h. 312. Terdapat perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengenai
syarat untuk menyegerakan akad. Imam Syafi’i mensyaratkan untuk menyegerakan akad, artinya qabul harus segera dilakukan segera setelah akad secara langsung dan tidak terpisah. Sedangkan Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan. Menurut Hanafi, kalau ada laki-laki yang mengirim surat lamaran kepada seorang perempuan lalu si perempuan tadi menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan,”saya nikahkan diri saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya tersebut tidak ada di tempat maka akad tersebut menurut Imam Hanafi adalah sah.
26Aspek kerelaan atau tidak adanya intervensi dari luar bagi pihak calon pasangan suami istri juga penting karena perkawinan adalah bagian dari urusan pihak calon suami istri, bukan
46
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 20 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat hanya dari orang tua yang masih hidup.
Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal atau tidak dapat
menyatakan kehendaknya maka diperkenankan untuk menggunakan wali
nikah. Orang yang memelihara atau orang yang mempunyai hubungan
keturunan dengan yang bersangkutan.
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan
Allah swt menciptakan alam tentu mempunyai tujuan tertentu, begitu juga
halnya dengan tingkah laku manusia. Dua faktor yang mempengaruhi tingkah
laku manusia, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
niat atau motifasi, sedangkan faktor eksternal adalah tujuan. Berbicara tujuan
berarti terkait dengan persoalan kepentingan. Karena kepentingan adalah
pemenuhan kebutuhan hidup. Tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah
yang mendorong manusia untuk melakukan suatu aktifitas.
Kepentingan hidup manusia secara sosiologis ada yang bersifat primer dan
ada yang bersifat sekunder. Kepentingan yang bersifat primer (daruriyyat) ini
urusan orang tua. Orang tua yang bijaksana tidak akan memaksakan kehendaknya. Karena itu meskipun orangtua mempunyai hak untuk mengawinkan anak-anaknya ia perlu meminta pertimbangan anaknya tentang pilihannya bahkan lebih bijaksana jika ia menanyakan terlebih dahulu apakah si anak sudah mempunyai calon pendamping hidup bagi dirinya. Hal ini karena anak-anaklah yang akan menjalani pernikahan itu. Di sisi lain sang anak juga perlu meminta pertimbangan kepada orang tua tentang pilihannya. Semua adalah bagian untuk mencapai kehidupan yang harmonis antara anak menantu dan mertua serta sebaliknya. Kerelaan merupakan faktor dominan yang cukup penting.
47
merupakan tujuan utama yang dipelihara oleh hukum Islam. Lima
kepentingan yang harus dipelihara yaitu, pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.27 Perkawinan termasuk usaha melindungi kepentingan
pemeliharaan yang keempat yaitu pemeliharaan keturunan. Tujuannya adalah
agar pemeliharaan kemurnian darah dapat terus terjaga dan kelanjutan umat
manusia dapat diteruskan28.
Adapun tujuan perkawinan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Antara lain
adalah29 :
1. Untuk mendapatkan ketenangan hidup
Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21,
} ȳȿȀȱǟ:čČ {
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Al-Rum : 21)
27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. X, h. 56
28 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, h. 56
29 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h.15-16
48
2. Untuk menjaga diri dan pandangan mata.
ŃȸŁȝ ŇǼŃǤŁȝ Ĉǃǟ njȸŃǣǟ ňǻŃɀłȞŃȆŁȵ ŁɂŇȑŁǿ ćǃǟ łȼŃȺŁȝ LjȯǠLjȩ : LjȯǠLjȩ NJȯŃɀłȅŁǿ Ĉǃǟ ɂƋȲŁȍ ćǃǟ ŇȼŃɆLjȲŁȝ ŁȴƋȲŁȅŁȿ : ǠŁɅ ŁȀŁȊŃȞŁȵ łǡǠŁǤʼnȊȱǟ njȸŁȵ ŁțLjǠȖŁǪŃȅǟ łȴNJȮŃȺŇȵ LjǥĆǒǠŁǤȱǐǟ ŃǯʼnȿŁȂŁǪŁɆǐȲLjȥ łȼʼnȹŇǠLjȥ ŊȐLjȡLjǟ ŁȎŁǤǐȲŇȱnjȀ łȸŁȎŃǵLjǟŁȿ njǯŁȀLjȦǐȲŇȱ ,ŃȸŁȶLjȥ ŃȴLjȱ ŃȜŇȖŁǪŃȆŁɅ ŇȼŃɆLjȲŁȞLjȥ njȳŃɀʼnȎȱǠnjǣ łȼʼnȹŇǠLjȥ łȼLjȱ ĄǒǠŁDZnjȿ. }ĆłȻǟŁȿŁǿ ŅȴŇȲŃȆłȵ{30
Artinya: “Dari abdullah bin mas’ud r.a. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda“ Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk kawin, maka hendaklah ia kawin karena sesuungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap hal-hal yang dilarang agama), dan memelihara kemaluan (farj). Barang siapa tidak sanggup maka berpuasalah, karena puasa itu sebagaia perisai bagi dirinya” (H.R Muslim)
3. Untuk mendapatkan keturunan.
Bahwasanya rasulullah menyuruh kita untuk kawin dan melarang
hidup membujang atau tidak kawin.
Beliau bersabda:
LjȷǠLjȭ NJȯŃɀłȅŁǿ Ĉǃǟ ɂƋȲŁȍ ćǃǟ ŇȼŃɆLjȲŁȝ ŁȴƋȲŁȅŁȿ ǠŁȹłȀłȵǐǖŁɅ ŇǥĆǒǠŁǤȱǐǠnjǣ ǟŃɀłDZʼnȿŁȂŁǩ ŁǻŃȿłǻŁɀȱǐǟ ŃɂĉnjȹŇǠLjȥ ŅȀŇǭǠLjȮłȵ łȴNJȮnjǣ ĆǒǠŁɆnjȺǐȡLjɍǐǟ ŁȳŃɀŁɅ ǐǦŁȵǠŁɆŇȪȱǐǟ. }łȻǟŁȿŁǿ łǼŁȶŃǵLjǟ {31
Artinya :“Kawinilah yang beranak (bibitnya banyak sehingga dapat mempunyai banyak anak) lagi penyayang , karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu diakhirat” (H.R riwayat Ahmad dari Anas Bin Malik).
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Undang-undang perkawinan,
antara lain, yakni :
30 Imam Muslim, SAHIH MUSLIM, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh, Jami’ al-
Huquq, mahfudhah 2001 M/1422 H), h. 343 31 Imam al-Shon’ani, Subulus Salam: Syarah Bulugh al-Maram, (Daru al-Fikr, Bairut
Lebanon, 1991 M/1411 H), Juz III, h. 214 - 215
49
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
2. bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, disamping
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Asas monogami, yaitu seorang suami beristri satu orang, kecuali jika
dibenarkan menurut hukum agama dan undang-undanguntuk
berpoligami (beristri lebih dari satu orang).
4. Bahwa calon suami-istri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian.
5. Karena tujuan perkawinan untuk membina keluarga yang bahagia,
kekal, dan sejahtera maka undang-undang perkawinan memnganut
asas mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat
dilakukan atas alasan yang kuat dan dilakukan didepan sidang.
6. Hak dan kedudukan suami istri yang seimbang, baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam pergaulan dimasyarakat sehingga segala
sesuatu yang menyangkut kepentingan keluarga dapat diputuskan oleh
suami dan istri32.
32 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h. 20-21
50
Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa perkawinan mempunyai
banyak manfaat. Kemudian, karena itulah Islam menganjurkan dan
memberikan kabar gembira yang positif kepada orang yang hendak kawin.
Dengan perkawinan tersebut diharapkan orang tersebut menjadi baik
perilakunya, masyarakatpun menjadi baik bahkan seluruh umat manusia
menjadi baik.
Maka banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu ikatan
perkawinan baik ditinjau dari segi sosial, psikologi maupun kesehatan.
Menurut Djamaan Nur, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul,
hikmah nikah antara lain : menyalurkan naluri sex, jalan untuk mendapatkan
keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan
untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan
menghubungkan tali silahturahmi antara dua keluraga besar dari suami dan
istri33.
Husein Muhamad menjelaskan bahwa Imam Ghazali setidaknya
menyebutkan tiga hal mengapa perkawinan menjadi peristiwa yang begitu
penting. Pertama, perkawinan adalah cara atau ikhtiar manusia melestarikan
dan mengembangbiakkan keturunannya dalam rangka melanjutkan kehidupan
manusia di bumi. Menurut al-Ghazali tujuan ini adalah maksud paling utama
perkawinan. Kedua, perkawinan menjadi cara manusia menyalurkan hasrat
33 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat ..., Op.Cit., h. 10
51
seksual dan menjaga alat kelamin. Al-Ghazali kemudian merujuk poin ini
pada hadis Rasulullah yang artinya, siapa yang nikah, dia telah menjaga
separuh agamanya, maka jagalah yang separuh lain.
Menurut Imam Al-Ghazali yang dimaksud agama dalam hadis ini adalah
lebih kepada kondisi terjaganya moralitas. Dengan begitu perkawinan bukan
semata-mata memenuhi kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga
menjaga alat-alat produksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan
ditempat yang salah. Ketiga, perkawinan merupakan wahana rekreasi dan
tempat orang menumpahkan keresahan hati dan membebaskan diri dari
kesulitan hidup secara terbuka kepada pasangannya.34
34 http://www.rahima.or.id/SR/14-05/Tafsir.htm, Rabu, 25 April 2007
52
BAB IV
ZINA DIJADIKAN ALASAN DALAM PERKAWINAN DALAM TINJAUAN
FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Zina dijadikan Alasan Seseorang untuk Melakukan Perkawinan
Ketentuan perkawinan dengan perzinaan terdapat perbedaan,
perkawinan merupakan benih masyarakat dan asal ujudnya. Ia merupakan
undang-undang alami yang berlaku bagi seluruh alam, dan merupakan sunnah
dari makhluk Tuhan yang memberikan kepada hidup ini nilai dan harga.
Perkawinan merupakan tempat memadu kasih dan cinta yang benar, dan
wadah tolong menolong dalam hidup dan tempat kerja sama membina
keluarga satu membangun dunia.
Jika laki-laki dan perempuan zina telah berbuat dengan sungguh-
sungguh, minta ampun kepada Allah, menyesal, membersihkan diri dari dosa
dan mulai dengan hidup yang bersih lagi menjauhkan diri dari dosa, maka
allah akan menerima taubatnya, dan memasukan mereka dengan rahmat-nya
kedalam hamba-hambanya yang baik, kedua pelaku zina yang melakukan
perbuatan zina atas dasar suka sama suka seharusnya dinikahkan.1
Hal ini sesuai dengan firman allah surat An-Nur ayat 3;
1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008), cet, 3 h. 125
53
Artimya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Annur Ayat: 3)
Berdasarkan isi dari surat an-nuur diatas, orang yang berzina tentu
hanya bisa menikah dengan ornag yang berzina juga atau dengan orang
musyrik. Jika orang yang berzina tidak dinikahkan tentu semakin terbuka
kesempatan bagi mereka untuk mengulangi perbuatan zinanya apakah dengan
pelaku yang sama atau dengan orang lain lagi.2 Dalam hadis yang artinya
“Dari Abu Hurairah r.a dia berkata, rasulullah SAW telah bersabda: laki-
laki yang berzina yang dijatuhi hukuman cambuk tidak boleh menikah kecuali
dengan pelaku zina juga.”3
Golongan Hanafi, Syafi’I dan Maliki mengatakan: boleh laki-laki zina
kawin dengan perempuan zina dan sebaliknya perempuan zina boleh kawin
dengan laki-laki zina. Zina menurut mereka tidak menghalangi sahnya akad
nikah (perkawinan).4
2 M. Abduh Malik, Perilaku Zina; Pandangan Hokum Islam Dan Kuhp, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2003), h. 164. 3 As-San’ani, Subul Al-Salam Jilid III, h. 127-128 4 M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: Bumi Aksara: 1994),. Cet.
Ke-1 h. 67
54
Dari pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, dapat
dijelaskan bahwa dengan diperbolehkannya menikah bagi laki-laki zina
dengan perempuan zina, maka perkawinan merekapun sah seperti perkawinan
yang dilakukan oleh orang yang bukan pelaku zina. Karena tidak terdapat
larangan yang nyata dari al-qur’an dan hadis mengenai hal itu. Dari sudut
sosiologis, pendapat mereka sangat menguntungkan pihak wanita karena
dapat menutup aibnya5.
Alasan mereka yang membolehkan menikahi perempuan zina sebagai
berikut:
1. Firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 24.
} النساء ĦĨ {
Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami. Kecuali budak-budak yang kamu miliki (allah menetapkan hokum itu) sebagai ketetapan-nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina…. (an-Nisa Ayat:24)
5 M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, , , h. 67
55
Dalam surat an-nisa’ ayat 23-24 perempuan hamil karena zina tidak
disebutkan dalam golongan perempuan-perempuan yang haram dinikahi,
maka boleh hukumnya menikahi mereka.
2. Hadis Aisyah Binti Abu Bakar R.A, ketika Rasulullah SAW ditanyakan
tentang seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian
lelaki itu berniat menikahinya, maka nabi bersabd yang artinya
“permulaan perzinaan tetapi akhirnya adalah pernikahan, dan yang
haram itu tidak mengharamkan yang halal”. (H.R Al-Daruquthni)
Perzinaan itu hukumnya haram, tetapi tidak mengharamkan perbuatan
yang halal yaitu menikah.
3. Seperma zina itu tidak dihargai karena dengan alasan tidak ditetapkannya
ketentuan anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Sebda
rasulullah SAW yang artinya:“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata,
rasulullah SAW bersabda: anak itu dinasabkan kepada ibunya (pemilik
firsy), sedangkan laki-laki pezina tidak memiliki apa-apa”. (H.R Al-
Tirmidzi).6
Dari pembahasan diatas, telah jelas bahwa pria yang berzina tidak ada
larangan untuk menikahi wanita yang berzina, sehingga tidak ada sesuatu
yang menghalangi kebolehan pernikahan seorang wanita yang hamil akibat
zina dengan pria yang menzinahinya hingga ia hamil, dan akad nikah yang
6Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Sunah Al-Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr,
1994), Jilid II, h.385.
56
dilakukan adalah sah, yang berakibat pada halalnya hubungan diantara
mereka.
Hukum perdata mengatur tentang perkawinan bagi pelaku zina dalam
pasal 32, yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan putusan hakim telah dinyatakan salah karena berzina, sekali-kali tidak diperbolehkan kawin dengan kawan berzinanya” Yang di maksud di sini adalah apabila kedua pelaku zina yang salah
satu atau keduanya sudah beristri atau bersuami sesuai dengan pasal 284
KUHP, di nyatakan bersalah oleh hakim karena melakukan perbuatan zina,
maka kedua pelaku tersebut tidak boleh melakukan perkawinan. Apabila
mereka melaksanakan perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah7.
Tetapi apabila tidak ada pernyataan bersalah dari hakim karena
perbuatan zina. Maka mereka (laki-laki dan perempuan pezina) dapat
melangsungkan perkawinan, dan status perkawinan mereka dianggap sah.
Dalam undang-undang No1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak
terdapat pasal yang mengatur secara khusus tentang status perkawinan yang
dilaksanakan oleh pelaku zina. Hal ini berarti undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan menganggap sah perkawinan yang dilaksanakan
oleh kedua pelaku zina, karena dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah
7 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serata Komentar-Komentarnyalenkap pasal demi pasal (Bogar, Politeria 1983), h.284
57
apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu8.
Kedua pelaku (laki-laki dan perempuan) zina tidak termasuk dalam
dua orang yang dilarang untuk melangsungkan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan masalah ini dalam pasal 53:
1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Perkataan “dapat dikawinkan” dalam ayat (1) diatas berarti boleh
dinikahkan dan boleh tidak. Jika kedua pelaku zina tersebut bujang dan gadis
dan mereka melakukan perbuatan zina tersebut atas dasar suka sama suka
sepanjang tidak ada halangan syar’I mereka dinikahkan dalam keadaan biasa
maka seharusnya mereka dinikahkan untuk menghindarkan kemungkinan
mereka berdua akan mengulangi perzinaan kembali.9
Dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 KHI tentang:
perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina, maka dapat kita ambil
8 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &
kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), 9 M. Abduh Malik, Perilaku Zina : Pandangan Hokum Islam dan KUHP, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2003), h.168.
58
kesimpulan bahwa status perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua pelaku
zina menurut Kompilasi Hukum Islam dianggap sah.
B. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI
1. Status Perkawinan Wanita Hamil
Status perkawinan wanita hamil dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia disebutkan pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 yaitu ;
a. Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria
menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir. Pasal 53 ayat
2 KHI menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil itu benar-benar
dilangsungkan ketika wanita itu dalam keadaan hamil Sedangkan
kelahiran bayi yang dalam kandungannya tidak perlu ditunggu.Dalam
KHI perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina tidak mengenal
iddah, oleh karena itu tidak mengakibatkan adanya masa iddah. Namun
perkawinan wanita hamil seperti Pasal 53 ayat 1, hanya boleh
dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya10.
10 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008), cet, 3 h. 128
59
Untuk mengetahui siapakah laki-laki yang menghamili wanita itu sangat
sulit, apalagi dihubungkan dengan pembuktian menurut hukum Islam harus
disaksikan oleh empat orang saksi. Pembuktian itu semakin sulit apabila
kemungkinan dan usaha secara sengaja menutup-nutapi, atau orang yang
pernah menzinahi beberapa orang. pasal 53 ayat 1 dan 2 tersebut semacam
ada sikap yang tidak konsisten. Dikatakan demikian, karena apabila
berpedoman kepada Pasal 53 ayat 2 KHI. tersebut temyata hanya berpedoman
kepada formalitasnya safa, yaitu karena wanita hamil tersebut belum perah
menikah. maka ketentuan yang berlaku bagin^i adalah hak kegadisan, walau
keoyataannya wanita itu telah hamil.
Tetapi muncul ungkapan lain yang sebenamya tidak mampu membawa
aspirasi terdahulu, yaitu wanita hamil itu hanya boleh dikawinkan dengan
laki-laki yang menghamilinya. Pada hal wanita yang dihukumkan gadis itu,
dia boleh dikawinkan dengan setiap laki-laki yang diingininya sccara bebas.
Inilah gambaran kurang konsistennya.
Kemudian Pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa, dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir. Adanya ketentuan bahwa perkawinan
tersebut tidak perlu di ulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan
terdahulu telah dinyatakan sah11.
11 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &
kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 245-246
60
2. Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hamil Menurut KHI
Dengan kebolehan wanita hamil melangsungkan perkawinan seperti Pasal
53 ayat 1, 2 dan 3 KHI, maka timbul satu masalah penting, yakni pada
penentuan nasab anak yang dilahirkan. Untuk mengantisipasi hal terscbut,
KHI sebenamya tidak menyodorkan konsep redaksi yang tegas untuk
memberikan penyelesaian hukumnya.
Tetapi apabila dipahami dari Pasal 99 poin a, KHI menyatakan bahwa
"anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah", bahwa pasal
ini berarti mengakui kawin hamil. Pemahaman ini diambil dari teks Pasal
tersebut "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam", ini memberikan
isyarat bahwa ada wanita hamil. Kemudian dalam masa hamilnya dia kawin
dengan laki-laki, lalu dalam masa perkawinan tersebut lahir anak, anak
tersebut dmyatakan anaknya. Dengan demikian, jelas kawin hamil telah
dinyatakan boleh sebelumnya,
Mengenai status nasab anak yang lahir juga dapat menjadi anak yang sah
dari laki-laki yang mengawimnya, Hal ini dipahami dari teks "anak yang sah"
yaitu anak sah dari suami ibunya. Jika demikian, berarti anak tersebut
mempunyai nasab kepada suami ibunya12.
Status nasab anak dalam perkawinan juga telah diatur dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 92. Undang-
12 Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan No 1 / 1974, ( Jakarta: Tinta Mas,
1996), h. 125
61
Undang ini merupakan dasar hukum dalam melangsungkan perkawinan di
Indonesia.
3. Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang
Perkawinan Wanita Hamil
Menyoroti pendapat para imam mazhab tentang keabsahan perkawinan
wanita hamil dan menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia tampak keduanya masih bias dikatakan se^alan. Hal ini apabila
mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut
adalah kebolehan perkawinan wanita hamil.
Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil
dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat
Imam Hanafi yang mengaitkan nasab anak kepada pemilik bibit secara
umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang
yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan
kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang
menyebabkan lahirya anak tersebut13.
Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang
mengawini wanita hamil tersebut Dengan demikian, penulis melihat bahwa
pembuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mencerminkan sikap kehati-
hatian, terikat sepenuhnya dengan hokum Islam, tetapi tidak mengacu kepada
13 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &
kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 263
62
fiqh mazhab tertentu. Jika melihat kepada pendapat imam mazhab dan KHI
yang berlaku di Indonesia, maka dalam hal status perkawinan wanita hamil
dengan lakilaki, KHI lebih bersifat kehati-hatian, yang hanya membolehkan
kawin dengan laki-laki yang mcnghamilmya.
Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dalam keadaan hamil
tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada status anak.
Karena menurut Imani Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan
dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu
apabila perkawmannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak
tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari
enam bulan, maka nasab anak rersebut dihubungkan kepada ibunya.
Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia kehamilanya, mi
berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki
maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang
mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang
mengajLtkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi
membolehkan kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
DaliI Yang Dipergunakan Para Ulama dalam Mendukung Pendapatnya
Para ulama menggunakan dalil Alquran dalam menentukan hokum status
perkawinan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, yaitu
memahami AIquran pada surah An-Nur ayat 2. Sedangkan Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hanbal tidak memahami ayat tersebut, tetapi
63
memberlakukan dalil lain. Karenanya terjadilah perbedaan dalam menentukan
hukum status perkavinan wanita hamiL Hanbal
Disamping dalil Alquran, para ulama menggunakan hadis Nabi
Muhammad SAW. baik dalam menentukan status perkawinan, status nasab
anak maupun akibat hukum yang timbul. Baik Imam Hanafi dan Syafi'I
yang membolehkan perkawinan wanita hamil, maupun Imam Malik dan
Imam Abroad bin Hanbal yang melarang perkawinan wanita hamil,
mereka menggunakan dalil atau alasan dari hadis-hadis Nabi SAW. Tetapi
hadts-hadis yang dipergunakan berbeda bunyinya, sehingga berbeda pula
kesimpulan hukumnya.
Di samping kedua dalil tersebut (Alquran dan hadis) para ulama
mempergunakan ijtihad. Penggunaan ijtihad tampak terlihat ketika
menentukan status nasab anak. Jumhur ulama berijtihad dengan
memahami lafaz "nikah" dalam ard secara istilahi sedangkan Imam Hanafi
memahami dalam arti hakiki.
Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam mendukung
pendapat dan nya itu sesuai dengan dasar-dasar istinbath hukum Islam
yang ditetapkan oleh konsensus ulama. Memperhatikan dalil-dalil atau
alasan yang dipergunakan oleh para ulama dan KHI, maka pendapat ulama
dan KHI yang membenarkan perkawinan wanita hamil, walaupun dengan
laki-laki yang menghamilinya, maka janganlah kawin hamil semakin
terbiasa, tetapi semestinya rasa tabu bagi pelakunya. Sebenamya pendapat
64
para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka yang
telah terlanjur hamil sebelum menikah. Ini bukan berarti memberikan
peluang untuk hamil sebelum menikah (berbuat zina), sebab perbuatan
zina suatu perbuatan yang sangat jahat dan dosa besar.
C. Status Hukum Anak Hasil Perbuatan Zina
Dalam kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan,
diterima sebagai pembawa bahagia. Tetapi adakalanya anak bukan terlahir
dari kedua orang tua yang sama, sebutlah si istri seorang janda dan ia
membawa anak dari suami pertama. Atau sebaliknya si pria seorang duda
membawa anak dari istri terdahulu, dan dari perkawinan itu terjadilah
hubungan antara anak yang bersaudara kandung disamping anak saudara tiri.
Kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama dimata kedua orang
tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan pembagian harta
waris.
Masih tentang kedudukan anak. Akan terjadi kemungkinan si anak lahir
dari hubungan diluar pernikahan. Banyak factor penyebab denikian sekarang
ini. Anak seperti itu sering disebut “ anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak
dikenal dalam masyarakat yang beriman kepada tuhan. Walaupun kehadiran
65
sia anak tanpa hubungan perkawinan yang menjadi sebab adalah “orang
tuanya”.14
Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang erat
dengan ibu dan bapaknya ( double unilateral / bilateral), sehingga kalau salah
satunya meninggal dunia maka yang satu akan menjadi ahli waris terhadap
yang lainnya.15Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai
buah perkawinan maka , firman Allah SWT:
}٢٣٣: البقرة {
Artinya: ”…. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….”. (Al-Baqarah: 233).
Menurut pandangan Islam anak yang lahir dari rahim seorang perempuan
mempunyai hubungan nasab dengan perempuan yang mengandung dan
melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil,
baik dalam perkawinan atau dalam perzinaan. Kalau kita menggunakan kata
“anak sah’ sebagai ganti “nasab” maka bagi seorang ibu, setiap anak yang
dilahirkannya adalah anak sah; karena hubungan nasab antara ibu dengan
anak berlaku secara alamiah.
14 Mulyana W. Kusumah (penyuting), Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1986),. Cet., h.5. 15 H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan
Muda Mudi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), Cet. Ke-1, h.46.
66
Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan
karena hubungan suami istri didalam perkawinan yang sah, maka nasab atau
hokum nasab anak tersebut mengikuti kedua orang tuanya.
Untuk masalah anak zina hokum Islam tidak membatasinya apakah pelaku
zina itu salah satunya atau kedua-keduanya terikat perkawinan dengan orang
lain atau tidak. Karen setiap anak yang lahir diluar perkawinan yang sah maka
hukum dari anak tersebut juga tidak sah. Karena dalam Islam yang dinamakan
zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh
akad yang sah.
Para ulama telah sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinaan tetap
mempunyai hubungan keturunan dengan ibu (matrilineal).16 Anak hasil zina
tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak
memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinainya, mengaku bahwa
yang dikandung itu adalah anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena
anak tersebut hasil hubungan diluar nikah. Karena dalam hokum perdata Islam
setatus anak tersebut abadi dan permanent tidak bisa diubah karena
perkawinan, jadi anak itu tidak berbapak.
Untuk anak yang lahir dari perempuan akibat perbuatan zina, mempunyai
hubungan nasab dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang
yang berhubungan nasab dengan ibu itu, sedangkan dengan laki-laki yang
16 H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan
Muda Mudi,, h.46.
67
berzina dengan si ibu yang menyebabkan lahirnya anak itu, ia tidak
mempunyai hubungan basab. Dengan demikian status anak dalam kandungan
sebelum terjadinya pernikahan, dengan suminya sudah jelas yakni bernasab
kepada ibunya dan tidak bernasab kepada laki-laki manapun.
Untuk masalah ini para ulama mazhab berpendapat bahwa paling
sedikit batas usia kandungan adalah enam bulan. Ukuran tersebut di ambil
dari firman Allah:
Dalam ayat pertama di terangkan bahwa hamil dan di sapih itu
berlangsung bersama-sama dalam masa 30 bulan. Sedangkan dalam ayat
kedua di terangkan bahwa masa sapih saja lamanya dua tahun. Jadi, di
kurangi, lalu di peroleh hasilnya, bahwa masa hamil saja berlangsung dalam
enam bulan, berdasarkan ayat kedua tadi.17
Ini berarti jika ada anak yang di lahirkan tiga bulan setelah orang tuanya
akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat di nisbatkan kepada ayahnya
sebagai anak yang sah.18
Namun demikian, terdapat perbedaan di antara ulama dalam hal tenggang
waktu enam bulan itu di hitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul.
1) Imam Maliki dan Syafi’I berpendapat bahwa jika seorang laki-laki
mengawini seorang perempuan yang belum pernah dikumpuli atau sudah
pernah, dalam waktu kurang dari enam bulan, kemudian wanita itu
17 Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, alih Bahasa Dra. Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.18.
18 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1994), Cet. Ke-III,h.221.
68
melahirkan anak setelah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak
tersebut tidak dapat di pertalikan nasabnya kepada laki-laki yang
menyebabkannya lahir:
Jadi menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I perhitungan enam bulan itu
di mulai dari waktu berkumpul bukan dari masa akad nikah.19
2) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap
di anggap beada dalam ranjang suaminya sehingga karenanya anak yang
di lahirkan itu tetap dapat di pertalikan nasabnya kepada bapaknya sebagai
anak sah.20 Imam Abu Hanaifah memandang masalah tersebut dari segi
yuridis formal bukan dari segi adanya kemungkinan bersetubuh
sebagaimana dasar pemikiran Imam dan Imam Syafi’i.
Jadi, jika dalam suatu perkawinan yang belum dukhul kemudian
setelah enam bulan dari akad nikah wanita tersebut melahirkan, maka anak
tersebut tetap di hubungan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkan
wanita itu hamil.
Dalam Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
kedudukan seorang anak di atur dalam Bab IX tentang kedudukan anak,
pasal 42-44.
Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
19 bnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (cairo: Dar Al-Kutub Al-Hadis, 1975), Juz II, h. 268. 20 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h.269.
69
Pasal 43 : (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawianan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.(2) kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 44 : (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan
Berdararkan ketetapan-ketetapan tersebut anak sah menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akaibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seornag wanita yang telah
mengandung karena berbuat zina, kemudian dia kawin sah dengan pria yang
menzinainya, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari
perkawinan wanita itu dengan pria yang menzinainya.21
D. Analisis Penulis
Perzinaan merupakan permasalahan yang sensitif, karena terkait dengan
persoalan perempuan sebagai korban utama dan persoalan hubungan negara
dan agama. perzinaan sejauh ini hanya diselesaikan dengan penetapan
pernikahan (itsbat nikah), di mana penetapan tersebut harus bersamaan
dengan sanksi hukum. Sedangkan ketentuan dasar tetang pencatatan dalam
khazanah fiqhiyah Indonesia adalah hal yang baru. Model pernikahan seperti
ini sebelumnya tidak ada. Mereka yang beragama Islam yang hendak kawin
21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama. (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.133-134.
70
sebelum adanya undang-undang nomor 1 tahun 1974 perkawinan, cukup
dengan melangsungkan ijab kabul dihadapan penghulu. Pencatatan ini
bersumber dari pandangan bahwa pencatatan perkawinan merupakan
kebijakan publik, yang erat kaitannya dengan kepentingan umum (dalam hal
ini kepentingan negara untuk mengaturnya). Konsep yang digunakan adalah
maslahah mursalah, yakni suatu cara pengambilan keputusan hukum (ijtihad)
yang didasarkan pada kepentingan umum, dimana dikembangkan pertama kali
oleh mahzab Maliki dan Syafi’i.
Hal ini kembali ditegaskan oleh ketua MUI, K.H.Ali Yafie yang
mengatakan bahwa masalah pencatatan dalam perkawinan merupakan
masalah yang penting dalam undang-undang. Meski hal itu tidak bersumber
langsung pada agama, namun karena memiliki unsur kesejahteraan
(kemashlahatan) umat atau masyarakat ulama memasukkannya kedalam salah
satu unsur ketentuan dalam perkawinan.22
Unsur pencatatan ini juga diberlakukan di negara-negara Islam. Para
ulama tersebut, menurut K.H.Ali Yafie bersepakat bahwa unsur pencatatan
dalam perkawinan adalah bermanfaat bagi manusia. Hal ini kembali diperkuat
dengan fatwa resmi MUI yang yang termaktub dalam himpunan fatwa
desember 1977, bahwa prosedur pernikahan bagi umat Islam di Indonesia
22 Ratna Batara Munti, Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam
Indonesia, (Jakarta LBH APIK, 2005), Cet. I, h. 38
71
harus sesuai dengan ajaran Islam (KHI) dan ketentuan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal ini termasuk soal pencatatan.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian ini penulis akan menyimpulkan dari semua rumusan
permasalahan diantaranya:
1. Zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawinan terdapat banyak
faktor yang mendasarinya menyangkut sekripsi ini diantaraya yang paling
berpengaruh adalah tidak ada restunya dari pihak orang tua untuk melakukan
pernikahan secara syah, namun selain itu kurang kuatnya dasar pengetahuan
agama dan moral masyarakat dewasa ini.
2. Tentang status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil, para
imam mazhab berbeda pendapat, Imam Svafi'i menetapkan bahwa anak itu
dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika karena kehamilan di
atas enam bulan, tetapi jika lama kehamilan di bawah dari enam bulan, maka
nasab anak dihubungkan kepada ibunya ibunya, Sedangkan Imam Hanafi
menasabkan kepada laki-laki yang menghamilinya, Adapun menurut KHI
anak tersebut diakui dalam perkawinan, karena lahir dalam perkawinan yang
sah
3. Tentang status perkawinan wanita hamil, KHI sejalan dengan pendapat Imam
Hanafi dan Imam Syafi'i yang membolehkan perkawinan wanita hamil dengan
73
laki-laki. Namun kebolehan perkawinan dalam KHI itu khusus dengan laki-
lakj yang menghamili wanita tersebut
B. Saran-saran
Beberapa saran untuk perbaikan kehidupan masyarakat yang menjunjung
tinggi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh negara, khususnya pada persoalan
hubungan perzinaan sebagai alasan untuk restu orang tua adalah sebagai berikut:
1. Dampak negatif zina secara umum dapat menimbulkan gejala ketidakpastian
hukum dalam Islam. perzinaan juga menimbulkan keresahan masyarakat
karena terjadi ketidak teraturan nasab bagi anak. Keresahan masyarakat juga
bisa terjadi akibat problem ekonomi seorang istri dari perzinaan yang
ditelantarkan laki-laki pezina karena tidak bertanggung jawab. Dalam situasi
seperti ini, pezina perempuan akan menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-
anaknya dan tentu saja hal ini akan menjadi masalah sosial karena konstruksi
hubungan para pezina di masyarakat secara umum akan membentuk
kerusakan nilai moral dan etika dalam sosial sehingga tidak mempunyai
kemampuan dasar untuk membangun keluarga. Hukum Islam tidak hanya
terbatas pada persoalan-persoalan perdata melainkan juga persoalan-persoalan
pidana. Ketimpangan akomodasi hukum Islam ini harus segera dipikirkan
bagaimana mengkompilasikannya sehingga hukum Islam akan terlihat utuh.
dan juga supaya menjadi boemerang tersendiri bagi muda-mudi yang hendak
menikah tanpa jalan zina terlebih dahulu
74
2. Pengaruh perzinaan juga mengakibatkan pemahaman masyarakat bahwa
permasalahan-permasalahan yang berkaikan dengan perempuan terutama
dalam keluarga harus diselesaikan dengan cara baik-baik bukan dengan
penyelesaian hukum. Dan perempuan akan selalu divonis sebagai pihak yang
bersalah dan bukan sebagai pihak korban yang dirugikan.
75
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I, Juz I
Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1993)
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III edisi 2,
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008) Cet. Ke-6
Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan: UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2001)
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat (Jakarta: Pranada Media Group, 2006), Cet II,
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. I
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Da al-Fikr, t. th), jilid II
76
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI 1993)
Mohammad Anwar, Pegangan Sosiologi, (Bandung CV. Armico, 1996), Cet.I
Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3,
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Pasal 4 ayat (3)
UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet III
Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid, 2
Bab X
Nilai perkawinan
Dinegara republik Indonesia yang tercinta ini, berdasarkan data statistik perkawinan, tahun yang tertinggi jumlah perkaranya adalah pada tahun 1979, dimana tercatat 289.000 perkara pada data statistic pengadilan agama, pada direktorat pembinaan badan peradilan agama – departemen agama RI.
Dari data tersebut dapat kita perkirakan, kira-kira setelah dikurangi perkara waris, wakaf dan hibah, maka tnggal 250.000,-perkara yang menyangkut perceraian karena umumnya perkara di Pengadilan Agama memang yang dominan adalah perkara perceraian.
Nah kalau kita asumsikan tiap pasangan yang bercerai itu mempunyai anak dua saja. Maka berarti tiap dua tahun terdapat satu juta anak yang hancur lahir batinya akibat bapak ibunya bercerai. Imbas jumlah tersebut, kalau kita coba menghitungnya sejak tahun 1979 saja, maka berarti sekarang tahun 2007 sudah muncul ke permukaan sebagai berikut :
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan atau dilaksanakan, karena nikah salah satu yang harus di lakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.
Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus di lakukan.pertama, menurut alquran ; kedua, menurut hadist, ketiga menurut akal.
Menurut Qur’an
Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf : 189. Menyatakan bahwa tujuaan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga di larang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang di akui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Dan kedua,dalam surat Al-Ruum : 21 terkandung makna ada tiga yang dituju, satu perkawinan yakni :
a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau di namakan sikin, karena bila di arahkan keleher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam ;
b. Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda di mana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahma/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluap luap.
c. Rahmah yang berarti saying. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawadahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka, tetapi rahmah (sayang). Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta (mawadah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gossip.
Menurut Hadist
Ada dua hal yang di tuju perkawinan menurut hadist. Pertama, untuk menundukan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi Muhamad mengajurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Kedua, sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kwalitas itu sangat diperlukan.
Menurut Akal
Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan : pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau
diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus di urus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan.
Kedua, bila manusia banyak tentunya harus di wujudkan ketertiban atau keteraraturan,
terutama yang berkaitan,dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak di ketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapih tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana.
Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang
atau benda yang di perlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus di lakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.