Tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dan ratio pajak (tax ratio) di Indonesia masih sangat...

330
SENGKETA PAJAK SEBAGAI UPAYA PENERIMAAN NEGARA Agus Surono UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013

description

Tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dan ratio pajak (tax ratio) di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain, padahal pajak merupakan urat nadi perekonomian bangsa. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang–Undang Perpajakan, pemungutan pajak adalah bersifat memaksa. Indonesia telah memilih self assessment sebagai sistem perpajakan, artinya pemerintah mempercayai wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri semua kewajiban perpajakannya atau utang pajaknya kepada negara. Penerimaan pajak berdasarkan sistem self assessment ini didasarkan pada asas kepatuhan (voluntary compliance) dan ini tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya kesadaran pajak dari seluruh rakyat Indonesia, baik itu masyarakat wajib pajak dan calon wajib pajak yang menurut undang – undang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak serta penegakan hukum dalam melaksanakan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa kepada seluruh penunggak pajak.1Tunggakan pajak telah memperlihatkan angka yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Proses pelaksanaan penagihan pajak ke wajib pajak dengan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa pada kenyataannya tidak dapat berjalan lancar, padahal pajak disamping berfungsi sebagai budgetair artinya sebagai sumber dana yang diperlukan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan, berfungsi pula sebagai regulator artinya kebijakan perpajakan ini dapat menjadi indikasi keluar masuknya dan atau menarik tidaknya berinvestasi di Indonesia.2Pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan di bidang perpajakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP ), Undang-Undang Nomor. 17 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan ( PPH ), Undang-Undang Nomor. 18 tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPN dan PPn-BM ) dan Undang-Undang Nomor. 19 tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ( PPSP ) dengan tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya suatu keadilan, kepastian dan pemerataan baik pengenaan maupun pembebanannya serta didukung oleh kesederhanaan baik mengenai jumlah maupun jenis pajak serta tatacara maupun tarif pajak.3Masyarakat Indonesia, diharapkan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak, sehingga tingkat kepatuhan secara sukarela untuk melaksanan kewajiban pajaknya ( Voluntary Complience ) tinggi karena sudah tertanam dalam dadanya terdapat suatu kebanggaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Akhirnya suatu saat nanti penerimaan pajak (tax revenue) bangsa Indonesia bisa diandalkan sepenuhnya untuk pengeluaran rutin pemerintah (current expenditure) dan apabila ternyata masih terdapat surplus maka bisa dipergunakan untuk pengeluaran investasi (capital expenditure).4Pemerintah berwenang untuk mengelola kebijakan ekonomi makro bersama-sama Bank Indonesia untuk merumuskan Kebijakan Fiskal dan Moneter, semua stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, tidak lain dalam rangka penggalian sumber-sumber penerimaan dalam negeri dari sektor perpajakan. Diakui atau tidak, dijalankan dengan terpaksa atau secara sukarela sudah menjadi kenyataan bahwa peran pajak dari tahun ke tahun semakin penting dan dominan dalam penerimaan APBN, untuk itu pajak di masa depan bukan lagi semata-mata kewajiban, melainkan juga sebagai hak dari masyarakat untuk ikut serta berperan aktif dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, termasuk ikut aktif mengawal reformasi, mengawasi jalannya roda pembangunan serta ikut di barisan terdepan dalam modernisasi administrasi pemerintahan, termasuk mendukung terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa.5Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan oleh Indonesia jelas membutuhkan dana yang sangat besar yang selama ini banyak berasal dari bantuan luar negeri. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan apabila dilihat dari aspek pol

Transcript of Tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dan ratio pajak (tax ratio) di Indonesia masih sangat...

  • SENGKETA PAJAK SEBAGAI UPAYA PENERIMAAN NEGARA

    Agus Surono

    UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIAFAKULTAS HUKUM

    2013

  • Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)Agus Surono

    Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara

    Agus SuronoCet. 1 - Jakarta : Fakultas HukumUniversitas Al-Azhar Indonesia, 2013viii + 322 hlm. B5

    ISBN 978-602-17732-0-8

  • Untuk yang tercintaOrang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah

    Istriku Sonyendah R.Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso

  • KATA PENGANTAR

    Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam terhadap SistemPenagihan Pajak Dalam Sengketa Pajak Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara. Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Ilmu Hukum Pajak.

    Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian buku ini.

    Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah

    yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan dan ihtiarkan.

    Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.

    Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH.,

  • MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini.

    Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Pajak di Indonesia khususnya.

    Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan.

    Jakarta, April 2013

    Agus Surono

  • DAFTAR ISI

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Penelitian .................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah ............................................................. 10

    C. Tujuan Penelitian .................................................................. 11

    D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 11

    E. Kerangka Pemikiran ............................................................. 12

    F. Metode Penelitian ................................................................. 22

    G. Sistematika Penulisan .......................................................... 24

    BAB II SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

    A. Perkembangan Perpajakan di Indonesia .......................... 25

    B. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak .................................... 57

    C. Asas dan Dasar Pemungutan Pajak ................................... 103

    D. Dasar dan Teori Pemungutan Pajak ................................... 105

    E. Cara Pemungutan Pajak ...................................................... 109

    BAB III PROSES PEMERIKSAAN PAJAK

    A. Pemeriksaan Pajak ................................................................ 147

    B. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan ............................. 183

    BAB IV SENGKETA PAJAK DALAM KAITAN BESARAN PIUTANG PAJAK ATAS ADANYA SURAT KETETAPAN PAJAK

    A. Sengketa Pajak ...................................................................... 193

    B. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ................ 219

  • C. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

    Tambahan (SKPKBT) ........................................................... 227

    D. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat

    Ketetapan Pajak Nihil .......................................................... 231

    E. Surat Tagihan Pajak dan Pembetulan Ketetapan Pajak ... 233

    BAB V PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

    A.

    B. Dasar Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ...... 248

    C. Tindakan Penagihan Pajak .................................................. 252

    D. Tindakan Lain ....................................................................... 291

    BAB VI PENUTUP

    A. Kesimpulan ........................................................................... 313

    DAFTAR PUSTAKA

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

    Tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dan ratio pajak (tax ratio) di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain, padahal pajak merupakan urat nadi perekonomian bangsa. Hal tersebut sesuai dengan amanat UndangUndang Perpajakan, pemungutan pajak adalah bersifat memaksa. Indonesia telah memilih self assessment sebagai sistem perpajakan, artinya pemerintah mempercayai wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri semua kewajiban perpajakannya atau utang pajaknya kepada negara. Penerimaan pajak berdasarkan sistem self assessment ini didasarkan pada asas kepatuhan (voluntary compliance) dan ini tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya kesadaran pajak dari seluruh rakyat Indonesia, baik itu masyarakat wajib pajak dan calon wajib pajak yang menurut undang undang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak serta penegakan hukum dalam melaksanakan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa kepada seluruh penunggak pajak.1

    Tunggakan pajak telah memperlihatkan angka yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Proses pelaksanaan penagihan pajak ke wajib pajak dengan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa pada kenyataannya tidak dapat berjalan lancar, padahal pajak

    1 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 12.

    Bab I

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara2

    disamping berfungsi sebagai budgetair artinya sebagai sumber dana yang diperlukan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan, berfungsi pula sebagai regulator artinya kebijakan perpajakan ini dapat menjadi indikasi keluar masuknya dan atau menarik tidaknya berinvestasi di Indonesia.2

    Pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan di bidang perpajakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP ), Undang-Undang Nomor. 17 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan ( PPH ), Undang-Undang Nomor. 18 tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPN dan PPn-BM ) dan Undang-Undang Nomor. 19 tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ( PPSP ) dengan tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya suatu keadilan, kepastian dan pemerataan baik pengenaan maupun pembebanannya serta didukung oleh kesederhanaan baik mengenai jumlah maupun jenis pajak serta tatacara maupun tarif pajak.3

    Masyarakat Indonesia, diharapkan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak, sehingga tingkat kepatuhan secara sukarela untuk melaksanan kewajiban pajaknya ( Voluntary Complience ) tinggi karena sudah tertanam dalam dadanya terdapat suatu kebanggaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Akhirnya suatu saat nanti penerimaan pajak (tax revenue) bangsa Indonesia bisa diandalkan sepenuhnya untuk pengeluaran rutin pemerintah (current expenditure) dan apabila ternyata masih terdapat surplus maka bisa dipergunakan untuk pengeluaran investasi (capital expenditure).4

    Pemerintah berwenang untuk mengelola kebijakan ekonomi makro bersama-sama Bank Indonesia untuk merumuskan Kebijakan Fiskal dan Moneter, semua stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, tidak lain dalam rangka penggalian sumber-sumber penerimaan dalam negeri dari sektor perpajakan. Diakui atau tidak, dijalankan

    2 Ibid.3 IGN Mayun, Winangun, Reformasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

    Tahun 2000, Makalah disampaikan pada Seminar Perpajakan di Jakarta, 2 Agustus Tahun 2000, hlm.4. 4 Marie Muhammad, Pembahasan RUU Perpajakan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional

    Perpajakan, di Jakarta, 2006, hlm.2-4.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 3

    dengan terpaksa atau secara sukarela sudah menjadi kenyataan bahwa peran pajak dari tahun ke tahun semakin penting dan dominan dalam penerimaan APBN, untuk itu pajak di masa depan bukan lagi semata-mata kewajiban, melainkan juga sebagai hak dari masyarakat untuk ikut serta berperan aktif dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, termasuk ikut aktif mengawal reformasi, mengawasi jalannya roda pembangunan serta ikut di barisan terdepan dalam modernisasi administrasi pemerintahan, termasuk mendukung terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa.5

    Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan oleh Indonesia jelas membutuhkan dana yang sangat besar yang selama ini banyak berasal dari bantuan luar negeri. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan apabila dilihat dari aspek politik, ekonomi dan sosial, juga dalam kaitannya dengan tekad kemandirian pembangunan nasional, sehingga idealnya pembiayaan pembangunan tersebut berasal dari kemampuan dalam negeri, terutama pajak.

    Ketergantungan ekonomi sebagai alat pemaksa dapat berbentuk insentif maupun sanksi. Insentif antara lain dapat berupa hibah dan kuota ekspor kepada Indonesia agar memiliki ketergantungan. Ketergantungan ini yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan intervensi atas kedaulatan dibidang legislasi. Sementara itu sanksi yang dikenakan bila tidak mengikuti kehendak negara maju dapat berupa penundaan kucuran pinjaman, pencabutan kuota ekspor, bahkan dimasukkan dalam blacklist negara mitra dagang.6

    Dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor perpajakan ini, dibuatlah serangkaian peraturan yang sifatnya untuk menggali potensi penerimaan pajak yang masih tersembunyi, kemudian meningkatkan pelayanan termasuk penyederhanaan prosedur restitusi, memperbaiki sistem pengawasan, menegakan aturan penagihan seperti dilaksanakannya secara konsisten surat teguran, sita, lelang, cegah sampai penyanderaan termasuk tindakan penyidikan.

    5 Ibid., hlm.10. 6 Syofrin Sofyan, Masalah Surat Tagihan Pajak Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam Tahun

    Berjalan, Jurnal Perpajakan, Jakarta: Salemba empat, 2006, hlm. 10-12., Pemberian Insentif dan Sanksi Perpajakan, Kompas, Januari 2006.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara4

    Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan berbagai kebijakan, yaitu:a. Perluasan wajib pajak b. Perluasan jenis atau objek pajak c. Penyempumaan tarif pajak d. Penyempumaan administrasi perpajakan7

    Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:a. Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan pemerataan

    dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat;

    b. Sistem dan prosedur perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggungjawab dan dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi;

    c. Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi, penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah keteladanan;

    d. Peningkatan pelayanan aparatur negara kepada pembayar pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;8

    Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak harus senantiasa berpijak pada asas legalitas, sebagai salah satu konsep negara hukum9.

    7 Rochmat Soemitro H, Pajak dan Pembangunan, (Jakarta: PT.Eresco, 1983), hlm. 18.8 Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

    (RPJMN) 2004-2009, Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan, bagian V bab 34.9 Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 5

    Pajak merupakan pengalihan kekayaan sektor swasta ke sektor publik (negara) atau dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment, dan pemungutannya haruslah melalui Undang-Undang.

    Berdasarkan pengertian tentang pajak dapat dikatakan bahwa: pertama, pajak adalah iuran kepada negara yang merupakan pengalihan kekayaan berupa uang (bukan barang) dari sektor swasta ke sektor publik dengan mendasarkan hak yang dimiliki oleh Negara. Kedua, pajak bukanlah hukuman, artinya pajak ditentukan berdasarkan suatu kriteria tertentu, bukan sebagai hukuman atas kesalahan wajib pajak. Ketiga, pajak dipaksakan, artinya terhutangnya pajak berdasarkan Undang-Undang, dan penagihannya dapat dilakukan dengan pemaksaan seperti sita, lelang dan penyanderaan (gijzeling). Kempat, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang berarti adanya suatu peraturan perUndang-Undangan (hukum pajak) yang menentukan siapa subyek pajaknya, apa obyek pajak yang dituju oleh pajak dan tarif untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Kelima, tanpa kontraprestasi secara langsung dari negara, artinya bahwa negara tidak berkewajiban secara langsung memberikan kontraprestasi atas pembayaran pajak.

    Berdasarkan pengertian tersebut di atas, hubungan hukum dalam pengenakan pajak ini menjadi jelas bahwa pengertian (rasio) pemungutan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang adalah pengalihan kekayaan yang diatur dengan kontraprestasi secara tidak langsung, karena bentuk kontraprestasi yang didapat masyarakat adalah secara tidak langsung dalam bentuk barang dan jasa publik yang diselenggarakan pemerintah dalam konteks negara sejahtera (welfare state), karena pengalihan kekayaan tanpa kontraprestasi hanya dapat terjadi pada hibah ataupun warisan, atau karena pemaksaan dengan kekerasan atau perampokan.

    dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. Tjeenk Willink Zwolle, 1990. hlm. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara6

    Pembaharuan sistem perpajakan nasional (tax reform) yang telah beberapa kali dilakukan, dirasa cukup berhasil menarik dana masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada meningkatnya penerimaan pajak maupun perbandingannya dengan penerimaan dalam negeri. Tetapi di balik keberhasilan tax reform tersebut, perpajakan nasional tidak luput dari kritik. Pemungutan pajak dinilai masih condong ke fungsi budgetair (sumber penerimaan negara), sehingga fungsi pengaturan (regulerend) dan pemerataan menjadi kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimaklumi karena pajak diposisikan sebagai tulang punggung penerimaan pembangunan. Implikasinya, pajak masih sering dirasakan sebagai beban, sehingga masyarakat enggan membayar pajak.10

    Peningkatan target dan realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya tersebut, menurut Baswir11, setidak-tidaknya didasarkan pada beberapa alasan yaitu:

    (a) Untuk mengimbangi semakin berkurangnya peranan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan; (b) Untuk menekan kecenderungan makin memanasnya perekonomian Indonesia. Hal ini tampak dari tingkat inflasi beberapa tahun ini yang rata-rata berada di atas sembilan persen; (c) Untuk memperkecil peluang terjadinya penghindaran dan penggelapan pajak.

    Sebagaimana diketahui, selama ini berbagai upaya untuk menghindari (tax avoidance) dan menggelapkan pajak (tax evasion) masih sering terjadi. Hal ini dapat berlangsung baik karena kelihaian wajib pajak dalam mengisi SPT-nya, maupun karena terjadinya kolusi antara wajib pajak dengan aparatur perpajakannya. Ditingkatkannya target penerimaan pajak dalam jumlah cukup besar menyebabkan aparatur perpajakan dipaksa untuk mencapai target tersebut. Keterpaksaan ini, sedikit banyak, seharusnya memperkecil besarnya jumlah pajak yang dapat dihindari atau di gelapkan.

    Di sisi lain, kinerja perpajakan Indonesia masih harus banyak ditingkatkan, setidaknya apabila dilihat dari sisi Tax Ratio yang berhasil dicapai. Secara sederhana Tax Ratio menunjukkan seberapa besar bagian jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang dapat ditarik

    10 Ibid11 Baswir, Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 107.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 7

    kembali sebagai pajak oleh suatu negara sekaligus sebagai salah satu indikator seberapa efektif dan produktif suatu sistem pajak nasional dalam melaksanakan fungsi utamanya mengumpulkan penerimaan. Peningkatan Tax Ratio ini memerlukan kesadaran, semangat, bantuan dan kerja sama dengan semua pihak yang terkait, dan juga adanya kesadaran dan kerelaan (voluntary compliance) masyarakat Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.12

    Perubahan sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self Assesment System. Dalam Official Assesment System, Wajib Pajak menunggu adanya ketetapan pajak dari fiskus baru kemudian membayar besarnya pajak yang terutang. Sedangkan dalam Self Assesment System, Wajib Pajak diberi kebebasan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak.13

    Dalam pelaksanaan Self Assesment System tersebut, petugas pajak (fiskus) berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi perpajakan yang meliputi penyuluhan, pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi, sita, lelang, cegah, sandra maupun sampai tingkat pemeriksaan Bukti Permulaan dan penyidikan.

    Khusus pengawasan dalam sistem Self Assessment dari sisi Direktorat Jenderal Pajak tetap akan membuat terapi kejut yang tujuannya adalah untuk memantau pelaksanaan kesadaran dan kejujuran seluruh masyarakat Wajib Pajak secara sampling, sedang dari sisi Wajib Pajak pada umumnya adalah untuk melihat apakah sikap dan prilaku dari masyarakat Wajib Pajak setelah diberi kepercayaan penuh oleh pemerintah telah dilaksanakan dengan baik dan dengan penuh tanggung jawab.

    Memang masih sering ditemukan Wajib Pajak yang telah diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang, namun tetap tidak membayar atau melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, sehingga akhirnya terjadi tunggakan pajak.

    12 IGN Mayun, Winangun, Op. Cit, hlm. 8.13 Ibid., hlm. 12.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara8

    Adanya tunggakan ini bisa terjadi karena:a. Adanya ketetapan pajak yang tidak disetujui jumlahnya oleh

    Wajib Pajak., b. Surat Ketetapan Pajak (SKP) tidak atau belum sampai ketangan

    Wajib Pajak, c. Wajib Pajak sudah pindah alamat atau alamatnya kurang

    jelas dan d. Wajib Pajak secara sengaja tidak melunasi kewajiban

    pajaknya.e. Wajib Pajak sudah kembali ke Luar Negeri sebelum SKP-KB

    diterbitkanf. Wajib Pajak memiliki perjanjian khusus pada waktu membeli

    asset dimana kewajiban pajaknya masih tetap menjadi tanggungan penjualg. Tidak ada obyek sita.

    Masalah tunggakan pajak yang dari tahun ke tahun cenderung naik prosentasenya merupakan masalah yang harus segera diselesaikan karena akan sangat mempengaruhi besarnya penerimaan yang akan diperoleh Negara. Oleh karena itu, aparatur Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) diharapkan dapat bekerja secara maksimal dengan melakukan penagihan pasif dan penagihan aktif yaitu mulai dari Surat Teguran, Surat Paksa, SPMP ( Suarat Perintah Melaksanakan Penyitaan ), Lelang, Cegah dan Sandra, karena tolok ukur berhasil tidaknya sistem yang dipakai pada akhirnya dilihat dari besar kecilnya pemasukan uang pajak ke Kas Negara, baik yang dibayarkan secara sukarela ( Voluntary Complience ) oleh Wajib Pajak maupun melalui tindakan aktif penagihan yang dilakukan oleh petugas pajak.

    Dalam rangka penegakan hukum (Law Enforscement) di bidang perpajakan banyak sekali faktor yang mempengaruhi, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal, tapi yang perlu di ingat disini adalah sebagai berikut ; a. Kesadaran dari seluruh masyarakat Wajib Pajak ; b. Fasilitas-fasilitas yang mendukung pelaksanaan penagihan ; c. Penegakan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

    ; dan tak lupa d. Petugas Penagihan Pajak termasuk pelaksanaan Sita dan Lelang.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 9

    Tema sentral usulan penelitian, yang merupakan das sollen adalah penerimaan pajak yang optimal karena peranannya yang sangat strategis dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkannya adalah melalui reformasi hukum pajak, termasuk didalamnya bagaimana meningkatkan peranan pemerintah dalam penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa agar lebih efisien dan efektif. Sebagai das seinnya, penerimaan pajak masih belum optimal sehingga perlu dilakukan pengaturan dan pelaksanaan sebagaimana diusulkan pada tema sentral tersebut di atas.

    Sebagai indikator awal atas kurang optimalnya realisasi penerimaan pajak adalah terdapatnya perbedaan (gap) yang cukup besar antara perhitungan potensi teoritis dengan realisasi penerimaan. Perbedaan ini didominansi oleh lemahnya kinerja perpajakan dilihat dari rasio cakupan pajak (tax coverage ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan dengan potensi perpajakan, dan rendahnya rasio pajak (Tax Ratio) berupa perbandingan jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dengan Produk Domestik Bruto akibat tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah.

    Rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dengan kepatuhan dalam mendaftarkan diri, menghitung, menyetor dan melaporkan penghasilannya dalam SPT, serta kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajaknya. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, maka perlu dilakukan reformasi hukum atas penerapan peraturan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa.

    Dari tahu ke tahun peranan pajak dalam pembiayaan APBN terus meningkat. Kondisi ini menunjukkan tugas yang diemban Direktorat Jenderal Pajak menjadi semakin berat. Salah satu upaya penting dalam mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak adalah tindakan penagihan atas tunggakan pajak.

    Pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dimulai dengan pendaftaran NPWP dan pengisian Surat Pemberitahuan. Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan dan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak (SKP). Pajak yang masih harus dibayar yang ditetapkan dalam SKP,

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara10

    yang tidak dibayar sampai jatuh tempo pembayarannya, harus ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan.

    Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.

    Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Termasuk gugatan atau pelaksanaan penagihan berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

    Adanya sengketa pajak tersebut biasanya disebabkan karena adanya perbedaan penghitungan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dengan penghitungan oleh Pejabat yang berwenang. Sengketa pajak tersebut biasanya sangat berhubungan erat dengan hutang pajak. Salah satu langkah yang strategis untuk mengurangi jumlah tunggakan hutang pajak adalah dengan cara melakukan penagihan pajak dengan Surat Paksa. Oleh karena itu agar dapat mengurangi tunggakan pajak pada masa yang akan datang diperlukan suatu sistem penagihan pajak yang lebih menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak sebagai salah satu prasyarat terwujudnya keadilan dalam bidang perpajakan.

    B. IDENTIFIKASI MASALAH

    Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sistem penagihan pajak dengan surat paksa

    terhadap kepastian hukum dalam sistem perpajakan?2. Bagaimanakah pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam

    penagihan pajak terhadap penerimaan negara?

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 11

    C. TUJUAN PENELITIAN

    Adapun tujuan penelitian adalah:1. Untuk memahami dan menganalisis tentang sistem penagihan

    pajak dengan surat paksa terhadap kepastian hukum dalam sistem perpajakan.

    2. Untuk memahami dan menganalisis tentang pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam penagihan pajak terhadap penerimaan negara.

    D. KEGUNAAN PENELITIAN

    Temuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:1. Segi teoritis, temuan penelitian ini diharapkan akan bermanfaat

    untuk:a. Studi hukum tentang penerapan penagihan pajak dengan

    menggunakan surat paksa, sita, lelang, serta upaya pencairan tunggakan melalui pencegahan, penyanderaan sampai pemblokiran penyitaan, diharapkan dapat menambah literatur tentang studi ini sebagai sumbangan pemikiran dan wacana baru bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan kebijakan fiskal pada khususnya.

    b. Sebagai informasi bagi para peneliti yang merupakan wahana paling efektif untuk mengkaji, menguji dan menerapkan teori-teori yang didapatkan, kemudian dianalisis dengan kenyataan yang terjadi.

    c. Bagi ilmu pengetahuan diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat, khususnya bagi mereka yang ingin mengadakan penelitian lanjutan dari hasil penelitian ini.

    2. Segi praktis, temuan penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan untuk:

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara12

    a. Para pimpinan Direktorat Jenderal Pajak dalam upaya memicu pengembangan daya kinerja pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak serta upaya pencairan tunggakan melalui penyitaan, lelang, bagi penunggak pajak dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan di Indonesia

    b. Para pengambil kebijakan di berbagai instansi pemerintah yang relevan dalam pengembangan organisasi sejenis sebagai agen perubahan sebagai paradigma baru dan agar dapat berkembang menjadi organisasi yang tangguh dan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam kinerjanya dan pada gilirannya menunjang peningkatan pendapatan nasional/daerah.

    c. Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya.

    D. KERANGKA PEMIKIRAN

    Upaya untuk melakukan penelitian masalah Penagihan Pajak dengan Menggunakan Surat Paksa Dalam Meningkatkan Penerimaan Negara menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai alat analisis penelitian dalam 3 (tiga) tataran teori. Pada tataran grand theory dipilih teori Negara Kesejahteraan (welfare state). Pada tataran middle range theory dipilih Teori Kepastian Hukum, sedangkan applied theory dipilih teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja.

    Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk dapat menjawab permasalahan 3 (tiga) rumusan masalah yang telah ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.14 Menurut konsep Negara

    14 Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 13

    Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.15 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat16. Sehubungan dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi17 yaitu:1. The State as provider (negara sebagai pelayan) 2. The State as regulator (negara sebagai pengatur) 3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and 4. The State as umpire (negara sebagai wasit).

    Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan, maka negara terlibat dan diberi kewenangan untuk memungut pajak dari warga masyarakat. Oleh sebab itu, pajak merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan fungsi pelayanan. Demikian juga halnya dalam bidang pengaturan. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintahan. Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan fungsi reguleren termasuk dalam bidang perpajakan adalah Undang-Undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum.

    Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung penyanderaan sebagai sanksi perpajakan suatu upaya peningkatkan penerimaan negara, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum

    15 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 20.

    16 Mustamin Dg. Matutu, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1972. hlm. 15.

    17 W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara14

    dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor perpajakan.

    Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali diadop oleh Muhamad Hatta, 18 yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang berbunyi:(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

    kekeluargaan.(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

    menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

    dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.

    Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia berdasarkan Pasal 23A Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yakni: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.19

    Oleh karena itu dalam pembuatan Undang-Undang pajak harus memuat asas-asas:20

    a. Asas Kepastian hukum (yuridis), yang memberikan kepastian hukum tentang besarnya pajak yang harus dibayar oleh masyarakat

    b. Asas Keadilan, merupakan asas terpenting dalam pemungutan

    18 Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998.

    19 Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, Pemerintah tidak diperkenankan memaksakan berlakunya suatu ketentuan yang mengikat rakyat, yang bersifat mengurangi arti kebebasan atau membebani rakyat dengan kewajiban materiel tertentu yang mengurangi arti kebebasan hak milik, kecuali jika ketentuan tersebut disetujui oleh rakyat sendiri melalui wakil-wakil mereka di parlemen sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan (representative democracy).

    20 Rochmat Sumitro H, Op. Cit., hlm. 16-17.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 15

    pajak. Suatu pajak dikatakan adil apabila orang dalam keadaan penghasilan yang sama membayar pajak yang sama. Asas Ekonomis, asas yang diperlukan agar uang hasil pemungutan pajak digunakan semaksimal mungkin untuk keperluan masyarakat, agar pajak tidak menjadi beban tambahan bagi masyarakat

    c. Asas Finansial, asas yang diperlukan agar dalam pemungutan pajak, biaya pemungutan pajaknya harus lebih kecil dari penerimaan pajaknya.

    Asas Keadilan sebagai asas terpenting disini memiliki arti keadilan atas pemungutan pajak terhadap masyarakat yang memang telah memiliki kriteria tertentu sebagai subyek pajak, yang memiliki obyek pajak tertentu dan telah terhutang pajak dengan tarif tertentu atas obyek pajak tersebut.

    Sifat memaksa yang dimiliki hukum pajak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 adalah pemaksaan terhadap masyarakat yang juga telah dinyatakan Undang-Undang sebagai wajib pajak dalam kriteria pembayar pajak, bukan masyarakat yang tidak termasuk dalam kriteria wajib pajak pembayar pajak atau dengan kata lain yang berpenghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

    Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009, sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, pada bagian V.34-5 sub judul keuangan negara dinyatakan bahwa melalui berbagai kebijakan untuk mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan membaiknya kondisi perekonomian, beban utang pemerintah terhadap PDB yang pada tahun 1999/2000 mencapai 93,6% PDB dan defisit APBN sekitar 3,9% PDB, pada tahun 2004 stok utang pemerintah diperkirakan mencapai 54,3% PDB dan defisit APBN diperkirakan 1,1% PDB. Dengan kebijakan yang terus berlanjut dan semakin membaiknya kondisi perekonomian, selama lima tahun terakhir (1999-2004) stok utang pemerintah diperkirakan turun menjadi sekitar 40% PDB.21

    21 Penerimaan Negara dengan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara16

    Dalam tataran Middle Range Theory dipergunakan sebagai pisau analisa adalah teori kepastian hukum. Hukum yang berlaku di Indonesia merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan dapat saling mempengaruhi, sebab di Indonesia terdapat pengelompokan hukum positif, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum dagang, dan lain-lain. Masing-masing saling berhubungan dan saling melengkapi. Sistem hukum yang baik menghendaki adanya hubungan hukum yang satu dengan lainnya terjalin secara harmonis, artinya diantara pelaksanaan hukum tersebut tidak ada hal-hal yang saling bertentangan.

    Dalam negara-negara modern, setiap pemungutan pajak membawakan untuk meningkatkan pula kesejahteraan umum. Karena itu, harus didukung oleh semua pihak dalam mewujudkan tekad dan upaya pemerintah. Pemungutan pajak oleh pemerintah adalah suatu kekuasaan negara yang sedemikian besarnya terhadap anggota masyarakatnya, dimana hukum pajak dapat diciptakan sendiri oleh negara. Ini berarti bahwa pajak dijadikan alat pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, baik di bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural maupun politik. Dengan demikian hukum pajak bisa dikatakan sebagai hukum yang berdiri sendiri, yang sifatnya lain dengan Hukum Administrasi Negara pada umumnya, yaitu bahwa hukum pajak dapat digunakan sebagai alat pemerintah untuk menentukan politik perekonomian.

    Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan harus tercantum secara jelas tentang kepastian hukum bagi wajib pajak, baik yang berkenaan dengan kewajiban perpajakannya maupun tentang hak-hak Wajib Pajak. Kepastian hukum dicantumkanKepastian hukum dicantumkan secara tegas dan jelas sebagai jaminan bagi Wajib Pajak, bahwa dia tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat pajak, seperti :

    terus dilanjutkan, penerimaan pajak diharapkan meningkat sebesar 0,5% PDB setiap tahunnya selama periode 2005-2009. Di sisi belanja Negara, terjadi peningkatan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, meningkatkan akses penduduk untuk mendapatkan perumahan yang layak, meningkatkan ketahanan pangan serta meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur di pedesaan dan daerah terpencil. Disamping itu, terjadi penurunan subsidi secara bertahap terutama subsidi yang tidak terarah pada masyarakat miskin (untargeted subsidy), dan pengendalian peningkatan anggaran untuk belanja pegawai.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 17

    1. Permohonan permohonan restitusi harus diselesaikan paling lama dalam waktu satu bulan setelah dikeluarkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak. Apabila restitusi pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan maka Pemerintah wajib memberikan bunga sebesar 2 % sebulan atas kelambatan restitusi pajak tersebut.

    2. Keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan atas keberatan Wajib Pajak, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

    3. Kerahasiaan Wajib Pajak dijamin. Apabila rahasia Wajib Pajak itu dibocorkan maka pejabat yang membocorkan rahasia itu dapat dipidana.

    Selain adanya kepastian hukum dalam pemungutan pajak, maka fungsi pajak harus dapat memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penangananya didasarkan pada filsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan the greathes happiness principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidak bahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidak bahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.22

    Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-

    22 Ibid., hlm.77.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara18

    kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilitaris, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan.

    Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.23

    Teori kepastian hukum ini sangat penting agar memberikan kepastan kepada Wajib Pajak, sehingga sangat terkait penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan penerimaan negara ini dapat diwujudkan untuk mensejahterakan masyarakat, mengingat sektor pajak merupakan sumber dana pembangunan yang paling utama. Penagihan pajak dengan sistem self assesment adalah adanya perlakuan yang adil, dimana salah satu prasyarat yang paling utama adalah asas kepastian hukum dalam pemungutan pajak kepada wajib pajak, sehingga teori kepastian hukum tersebut relevan sebagai pisau analisis.

    Dalam tataran applied theory dipergunakan teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Bedasarkan dari kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrnlich dan teori hukum Roscoue Pound, dan

    23 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 19

    mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.24

    Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.25

    Berdasarkan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Mochtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:26

    a. Asas-asas dan kaidah hukum;b. Kelembagaan hukum;c. Proses perwujudan hukum.

    Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.27

    Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.28

    Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya

    24 Ibid, hlm. 7.25 Ibid.26 Ibid.27 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm.

    89-90.28 Ibid.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara20

    kepastian dan ketertiban.29

    Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.30

    Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perUndang-Undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.31

    Selanjutnya teori hukum pembangunan ini didukung oleh teori interest dari Roscoue Pound. Menurut Pound, kepentingan merupakan suat keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia baik secara pribadi, melalui hubungan antara pribadi atau kelompok.32 Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 (tiga) kategori pokok:33

    a. Public interest (kepentingan umum)b. Social interest (kepentingan masyarakat)c. Private interest (kepentingan pribadi)

    Kepentingan-kepentingan umum yang terutama adalah:34

    a. The interest of state as juristic person in the maintenance of its personality and substance. (Kepentingan-kepentingan dari negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan subtansinya).35

    b. The interest of the state as a guardian of social interest. (Kepentingan-kepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan masyarakat).36

    29 Ibid.30 Ibid.31 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm.

    65.32 Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.

    31.33 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, Steven & Sons Limited, London, 1960, hlm. 293.34 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit, hlm. 20-23.35 W. Friedmann, Op. Cit, hlm. 293.36 Lili Rasydi dan Ira Thania Rasydi, Loc. Cit.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 21

    Dalam teori kepentingan Roscoue Pound tersebut dikaitkan dengan middle range theory dalam hubungannya dengan penerapan sanksi perpajakan sebagai upaya peningkatan penerimaan negara, untuk teori kepentingan umum tentunya negara mempunyai kewajiban untuk dapat menggunakan penerimaan pajak untuk kepentingan membiayai dan melaksanakan pembangunan nasional.

    Dalam rangka penegakan hukum (Law Enforcement) dibidang perpajakan maka diciptakanlah undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa (undang-undang PPSP / UU Nomor. 19 tahun 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor. 19 tahun 2000). Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh aparatur Direktorat Jenderal Pajak agar penanggung pajak (orang pribadi / badan) yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur ( surat teguran ) atau memperingatkan ( surat peringatan ), melaksanakan penagihan seketika atau sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan Pencegahan, melaksanakan Penyitaan ( surat sita ), melaksanakan Penyanderaan serta menjual barang-barang sitaan ( surat lelang ). Dan untuk mendukung semua aktivitas tindakan penagihan maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2000, tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, serta Peraturan Pemerintah Nomor 136 tahun 2000, tentang Tata Cara Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

    Teori hukum pembangunan ini sangat relevan dalam rangka membangun sebuah sistem hukum pajak, terutama yang berkaitan dengan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa untuk masa yang akan datang agar tujuan masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud, salah satunya melalui sektor pajak.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara22

    E. METODE PENELITIAN

    Penelitian mengenai aspek hukum pajak dalam penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini akan menggambarkan secara lebih luas dan mendalam dari berbagai segi atas data yang ditemukan, baik berupa penerapan atas penagihan pajak dengan surat paksa, termasuk juga di dalamnya sanksi administratif dan denda kenaikan, serta dan atau bunga atas jumlah pajak terhutang dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP) maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang terbit sebagai produk hukum dari perhitungan pajak hasil verifikasi kebenaran formal material pemungutan pajak, sanksi perdata berupa sanksi penagihan dengan surat paksa, sanksi penyitaan dan lelang.37

    Pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif, karena titik berat penelitian ini adalah melakukan penelitian yang mengutamakan data sekunder yang berkenaan dengan aspek-aspek hukum (asas-asas perpajakan), norma-norma hukum, yang dikaitkan dengan konsep penghasilan, serta meneliti unsur-unsur atau faktor-faktor kompleksitas yang berkaitan dengan penerapan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa di bidang perpajakan di Indonesia. Selain itu, digunakan metode perbandingan hukum serta metode historis dengan membandingkan tentang sistem penagihan melalui surat paksa di beberapa negara sebagai perbandingan. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian (ilmu) hukum digolongkan sebagai data sekunder38

    Metode pendekatan yuridis normatif juga ditujukan untuk menemukan jawaban mengenai apakah ketentuan tentang penerapan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa telah memenuhi asas-asas perpajakan dan juga asas-asas hukum pada umumnya.

    Penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan terutama bidang hukum yang berarti akan menelaah dan mengkaji bahan hukum

    37 Valerie J. Janesick, The Dance of Qualitative Research Design, Metaphore, Methodolatry and Meaning. Handbook of Qualitatif Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Sage Publication, Inc., California,1994, hlm. 212.

    38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 24

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 23

    primer, sekunder dan tertier. Namun demikian, untuk mendukung pengkajian data sekunder tersebut juga dilakukan penelitian lapangan guna memperoleh data primer dari para nara sumber dan responden. Dalam pengumpulan data, penulis banyak mengunjungi perpustakaan dan tempat-tempat lain seperti Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), Biro Pusat Statistik, Pusat Data dan Informasi Perpajakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

    Penelitian lapangan terhadap para responden yang terlibat baik para wajib pajak karena adanya sistem penagihan pajak dengan surat paksa, maupun pihak aparat perpajakan yang terkait dengan penagihan pajak dengan surat paksa.

    Disamping itu, penelitian juga dilaksanakan di Direktorat Jenderal Pajak yaitu pada lokasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa).

    Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :a. Dokumen kepustakaan yang relevan dengan permasalahan

    yang akan diteliti guna menjawab permasalahan-permasalahan penelitian, serta berbagai literatur dan dokumen lain diluar buku teks yang ada hubungannya dengan obyek penelitian, karena yang diutamakan dari penelitian ini adalah analisis terhadap data sekunder.

    b. Wawancara, dilakukan terhadap para wajib pajak.

    Setelah data yang diperlukan diperoleh maka data yang didapat tersebut akan dianalisis dengan memakai metode analisis yuridis kualitatif, yang kemudian peneliti mencoba untuk menganalisis semua informasi baik informasi yang didapat dalam proses wawancara maupun terhadap semua literatur dan peraturan perUndang-Undangan yang berkaitan.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara24

    G. SISTIMATIKA PENULISAN

    Untuk memahami Penelitian ini, saya berusaha untuk menjelaskan isi disertasi ini dengan sistimatika sebagai berikut :

    BAB I. PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah,tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, dan metode penelitian.

    BAB II. TINJAUAN ATAS SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA. Berisi tentang sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia, pengertian pajak dan fungsi pajak, dasar dan teori pemungutan pajak, cara pemungutan pajak, proses pemungutan pajak.

    BAB III. PROSES PEMERIKSAAN PAJAK. Pada bab ini berisi tentang pemeriksaan pajak, pembahasan hasil akhir pemeriksaan pajak, hasil pemeriksaan pajak.

    BAB IV. SENGKETA PAJAK YANG DIAKIBATKAN ADANYA PENETAPAN PAJAK. Pada bab ini akan menguraikan tentang surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat ketetapan pajak nihil.

    BAB V. FUNGSI SURAT PAKSA DALAM PENAGIHAN PAJAK. Pada bab ini akan menguraikan penerapan surat paksa, dasar hukum penagihan pajak dengan surat paksa, dan tindakan aktif penagihan.

    BAB VI. PENUTUP. Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban atas identifikasi masalah dan saran.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 25

    SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

    A. Perkembangan Perpajakan di Indonesia

    1. Sejarah Perpajakan di Indonesia

    Penerapan landasan yuridis dalam perpajakan di Indonesia, merupakan implementasi dari konsep negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945.1

    Sejarah perpajakan di Indonesia, sebagai dasar utama adalah terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Oleh karena bangsa Indonesia belum sempat membentuk undang-undang perpajakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka peraturan perundang-undangan perpajakan warisan kolonial Belanda tetap digunakan, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

    1 Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945, tentang Sistem Pemerintahan Negara angka 1 menegaskan bahwa Indonesia ialah negara yang beradasar atas hukum (rechsstaat).

    Bab II

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara26

    Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada priode ini diberlakukan peraturan perpajakan warisan kolonial Belanda yaitu: a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stb. 1908, nomor 13) b. Ordonansi Pajak Perseroan (Stb. 1925, Nomor 319) c. Ordonansi Verponding (Stb. 1928, Nomor 342) d. Ordonansi Pajak Kekayaan (Stb. 1932, Nomor 405) e. Ordonansi Pajak Jalan (Stb. 1942, Nomor 97) f. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stb. 1944, Nomor 17)

    Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tahun 1949, Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indo nesia Serikat, sebagai konsekuensi terhadap perubahan bentuk negara tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan tidak berlaku untuk seluruh wilayah Negara Serikat (Negara Federal). Oleh sebab itu diberlakukan Konsdtusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS-1949) berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 48 Tahun 1950.

    Landasan yuridis perpajakan di Indonesia pada saat beriakunya Konstitusi RIS 1949, adalah sebagaimana diatur pada Pasal 55 ayat (1) oleh undang-undang federal dapat ditentukan bahwa atas pajak-pajak daerah bagian dipungut opcenten untuk keperluan federal,

    Pada priode ini, tidak terjadi pembentukan undang-undang perpajakan sebagaimana pelaksanaan ketentuan Pasal 55 ayat (1) KRIS, sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk tidak terjadi kekosongan hukum sebagai landasan yuridis perpajakan, maka diberlakukan peraturan perundangan-undangan perpajakan, sebagaimana diberlakukan pada saat Negara Indonesia berbentuk Kesatuan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal 192 ay at (1), yaitu:

    peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 27

    RIS sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.

    Pada Tahun 1950, terjadi lagi perubahan dalam stmktur kenegaraan Indonesia, yakni pembahan susunan negara federal menjadi negara kesatuan. Bersamaan dengan perubahan susunan negara tersebut, konstitusi (hukum dasar negara) juga mengalami perubahan. yakni dinyatakan tidak berlakunya lagi KRIS-1959, dan dinyatakan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 yang diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950 (Lembaran Negara Tahun 1950, Nomor 56).

    Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, landasan yuridis perpajakan di Indonesia diatur pada Pasal 117:

    tidak diperkenankan memungut pajak, bea, dan cukai untuk digunakan kas negara, kecuali dengan undang-undang atau kuasa undang-undang.

    Atas kuasa Pasal 117 Undang-Undang Dasar 1950, maka pada masa ini telah ditetapkan 2 (dua) undang-undang yaitu:1. Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang

    Pajak Penghasilan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 3 5 tahun 1953.

    2. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 87 Tahun 1958, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959.

    Landasan yuridis perpajakan pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut di atas, juga diberlakukan peraturan perundang-undangan warisan kolonial Belanda berdasarkan ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara, yaitu:

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara28

    peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada Tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentu-an-ketentuan RI sendiri, selama dan sekadar peraturan-peratu ran dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini.

    Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1959 (dikenal Dekrit Presiden Republik Indonesia Tanggal 5 Juli 1959), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dinyatakan ddak berlaku, dan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali. Dengan diberiakukannyakembali Undang-Undang Dasar 1945, maka landasan yuridis perpajakan di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (2).

    Realisasi ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka pada priode ini ditetapkan undang-undang perpajakan sebagai berikut:1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang

    penyempurnaan ordonansi verponding. 2. Perpu Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi

    sebagai-mana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.

    3. Perpu Nomor 13 tahun 1959, tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Peseroan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970.

    4. Perpu Nomor 19 Tahun 1959 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Rumah Tangga.

    5. Perpu Nomor 29 tahun 1959 tentang Pajak BangsaAsing. 6. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1967 tentang Perubahan

    Ordonansi Pajak Kekayaan.7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan

    Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 29

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Pajak Penjualan.

    8. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Pendapatan.

    9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Perpu Nomor 12 tahun 1959 tentang Pajak Bunga, Deviden dan Royalti.

    10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).

    11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, tentang Pajak Peng-hasilan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985).

    12. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986).

    13. Undang-Undang Nomor 12Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.

    14. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

    15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

    16. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara30

    Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987)

    17. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BeaPerolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988).

    Pemahaman terhadap landasan yuridis perpajakan di Indonesia, demikianjuga penerapannya dalam perumusan kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk memberikan kerangka perlindungan hukum, memberikan kepastian hukum, dan keadilan hukum bagi warga masyarakat.

    Aplikasi landasan yuiridis dalam perumusan kebijakan perpaja kan adalah merupakan implementasi atas landasan filosofis, landasan politis, landasan ekonomis, dan landasan sosiologis. Dengan kata lain mengabaikan landasan yuridis bermakna pengabaian terhadap landasan filosofis, landasan politik, landasan ekonomis, dan landasan sosiologis.

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan di Indonesia kelima landasan tersebut di atas tidak dapat diabaikan, dan antara satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.

    Penerapan landasan Perpajakan sebagaimana telah diuaraikan di atas, dalam perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, didasarkan atas konsep pemikiran terhadap hubungan hukum publik antara warga masyarakat sebagai pembayar pajak dengan negara atau pemerintah sebagai pemungut pajak.

    Penggunaan hukum dalam peraturan perundang-undangan sebagai salah satu instrumen kebijakan di bidang perpajakan di Indonesia, didasarkan pada teori fungsi hukum. Dalam berbagai literatur ditemukan berbagai teori tentang fungsi hukum, dan dalam disertasi ini, akan dikemukakan beberapa diantaranya yang relevan dengan objek kajian ini, yaitu:

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 31

    1. Hukum sebagai a tool of social control.

    Kontrol sosial merupakan aspek normatif terhadap kehidupan sosial. Dan oleh sebab itu hukum dipandang sebagai alat pengendalian atau kontrol sosial yang berfungsi untuk menetapkan tingkah laku mana yang merupakan penyimpangan, dan apa sanksi hukum yang dapat diterapkan terhadap tingkah laku menyimpang tersebut.2 Sedangkan J.S. Roucek3 menyatakan bahwa ... pengendalian sosial ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan dengan maksud untuk mendidik, mengajak, atau bukan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masya rakat yang bersangkutan.

    Sehubungan dengan kebijakan di bidang perpajakan Indonesia, maka hukum dapat digunakan sebagai a tool of social control dalam rangka untuk :a. Menentukan dan menilai tindakan pemerintahan

    dalam rangka menentukan objek pajak, atau memungut pajak dari warga masyarakat.

    b. Menentukan dan menilai tindakan aparat perpajakan (fiskus) dalam rangka melaksanakan kebijakan atau peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

    c. Menentukan dan menilai tindakan wajib pajak dalam melak sanakan kewajibannya dibidang perpajakan.

    d. Menentukan sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada para fiskus dan/atau wajib pajak apabila melakukan perbuatan yang menyimpang dibidang perpajakan.

    Tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum sebagai kontrol sosial dibidang perpajakan

    2 Donald Black., The Behavior Of Law., Academic Press., New York San Francisco London., 1976. hal. 107-118.

    3 Joseph S. Roucek., Social Control., D. van Nostrand Company. Inc. London.1951.hal. 3.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara32

    adalah untuk tercapainya kebijakan dibidang perpajakan, dalam menghimpun dana untuk mengisi kas negara guna membiayai pengeluaran negara, dan pengeluaran pembagunan.

    2. Hukum sebagai sebagai sarana pembaharuan dalam bidang perpajakan.

    Bedasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.4

    Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.5

    Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:6

    a. Azas-azas dan kaidah hukum;b. Kelembagaan hukum;c. Proses perwujudan hukum.

    4 Ibid, hlm. 7.5 Ibid.6 Ibid.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 33

    Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.7

    Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kea rah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.8

    Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.9

    Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.10

    Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perundang-undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.11

    Implementasi dari pandangan Muchtar Kusumaatmadja ini, dalam bidang perpajakan adalah sangat relevan sekali mengingat sector pajak merupakan bisdang yang paling utama dalam membiayai pembangunan nasional. Oleh sebab itu Hukum dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mengatur dalam menjamin pengaturan di bidang perpajakan agar tercipta tujuan hukum yaitu menciptakan kepastian hukum dan keadilan hukum di bidang pajak.

    7 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Edisi I, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm. 89.

    8 Ibid.9 Ibid.10 Ibid.11 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Edisi II, PT. Alumni, Bandung, 2004,

    hlm. 65.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara34

    3. Hukum sebagai alat politik.

    L. B. Curzon12 menyatakan bahwa The close connections between law and politics, between legal principles and the institutions of the law, between political idiologies and government institutions are obvious...

    Konsep teoritik, tentang fungsi hukum sebagaimana dikemu kakan oleh Curzon, dalam sistem hukum di Indonesia, merupakan suatu konsep yang relevan, oleh karena hukum (dalam arti undang-undang) adalah merupakan hasil atau output dari lembaga legislatif bersama dengan Presiden. Proses pembentukan hukum adalah merupakan proses politik.

    Penerapan fungsi hukum sebagai alat politik, melahirkan konsep politik hukum yaitu kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki dengan maksud untuk dapat digunakan mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.13

    Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa kebijakan perpajakan di Indonesia, sebagai salah satu kehendak politik bangsa Indonesia, tidak terlepas dengan instrumen hukum. Dan oleh sebab itu hukum merupakan alat untuk mengejewantahkan kehendak politik, dalam rangka memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara.

    Penggunaan hukum sebagai instrumen dalam perwujudan kebijakan perpajakan di Indonesia, merupakan aplikasi dari konsep negara hukum, yang memberikan penekanan kepada lembaga pembentuk undang-undang, dan lembaga pembentuk undang-undang adalah merupakan perwujudan kehendak politik.

    Merujuk pada uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

    12 L. B. Corxon ., Jurisprudence. M & E Handbook .,1979. hal. 44.13 Sudarto. Perkembangan llmu Hukum dan Politik Hukum., dalam Majalah Hukum dan Keadilan Nomor 5

    Tahun ke VII. 1979. hal. 15.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 35

    a. Pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan negara yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menghimpun dana guna mengisi kas negara, dan untuk digunakan membiayai keperluan negara dan keperluan pembangunan.

    b. Perumusan kebijakan negara di bidang perpajakan harus memperhatikan dan menggunakan model-model kebijakan negara yang relevan, yaitu (i) model kelembagaan, (ii) model proses,(iii) model rasionalisme, (iv) model inkrementalis, dan (v) model sistem.

    c. Penggunaan model-model tersebut di atas dalam perumusan kebijakan perpajakan diharapkan mampu mengimplementasikan syarat-syarat perpajakan.

    d. Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen pendng dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan negara. Dengan demikian undang-undang perpajakan adalah merupakan aplikasi dari kebijakan negara, dan itu berati merupakan suatu sistem, yakni sistem perpajakan. Dalam hubungan inilah, akan diuraikan pada bahasan berikut tentang Sistem Perpajakan di Indonesia.

    Pada pembahasan tentang model-model kebijakan negara, yakni pada model sistem, terungkap bahwa kebijakan negara adalah merupakan hasil atau output dari sistem. Berdasarkan ungkapan tersebut, maka dapat ditegaskan kembali bahwa sistem merupakan bagian dari kebijakan negara.

    Pada bagian lain uraian terdahulu, juga ditegaskan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan negara, dan oleh sebab itu sistem perpajakan merupakan bagian dari sistem kebijakan perpajakan negara.

    Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang sistem perpajakan di Indonesia, sebagai bagian integral dari kebijakan negara di bidang perpajakan, maka dipandang perlu untuk membahas tentang sistem itu sendiri.

    Ida R. Hoos14 menulis berbagai definisi tentang sistem, salah satu di antaranya adalah :

    14 Ida R. Hoos., Systems Analysis in Public Policy., Unversity of California Press. Berkeley Los Angeles. London. 1974. hal. 16.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara36

    an aggregation or assemblage of objects united by some form of regular interaction or interdependence; a group of diverse units so combined by nature or art as form an integral whole, and to function, operate, or move in union and, often, in obedience to some form of control; an organic or organized whole

    Oran R. Young15 alih bahasa Drs. Sahat Simamora menyatakan Sistem adalah:a. seperangkat unsur-unsur yang berada dalam interaksi; atau b. seperangkat objek bersama hubungan sesama objek dan

    hubungan antara lambang-lambangnya; atau c. satu keseluruhan dari campuran banyak bagian satu

    ansambel lambang-lambang. Merujuk pada pengetian sistem, sebagaimana telah

    dikemukakan di atas, maka pada bagian berikut ini, akan diuraikan apakah perpajakan di Indonesia merupakan suatu sistem?, dan bagaimana sistem perpajakan di Indonesia?

    Guna memberikan pemahaman yang jelas tentang pertanyaan pertama, maka berikut ini akan diuraikan unsur-unsur perpajakan di Indonesia, yaitu:a. Kebijakan b. PeraturanPerundang-undangan c. Pemungut Pajak atau Administratur Pajak (Fiskus) d. Wajib Pajak

    Unsur-unsur tersebut di atas dalam bidang perpajakan di Indo nesia, merupakan suatu keseluruhan, antara satu dengan lainnya memiliki fungsi yang berbeda, dan akan saling berinteraksi, dan saling memiliki ketergantungan. Artinya Kebijakan Perpajakan, dirumuskan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, baik untuk mengisi kas negara, maupun alat redistribusi kekayaan, dan untuk tercapainya tujuan tersebut,

    15 Oran R. Young System of Political Science., Alih Bahasa Drs. Sahat Simamora., BinaAksara. Jakarta. Hal. 24.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 37

    perlu dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya diterapkan atau diimplementasi oleh Aparat Perpajakan (Fiskus) kepada Wajib Pajak. Berdasarkan deskripsi singkat di atas, dapat ditegaskan bahwa perpajakan di Indonesia merupakan suatu sistem, yaitu sistem perpajakan.

    2. Upaya Pembaharuan Sistem Perpajakan

    Sejak pembaharuan perpajakan nasional (tax reform) pada tahun 1983 merupakan awal dari kebijakan perpajakan di Indonesia, yaitu melakukan perombakan total mengenai ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Pembaharuan yangdilakukan antara lain, penyerderhanaan jenis-jenis pajak; penyerderhanaan ketentuan mengenai cara pemenuhan kewajiban pajak; dan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan (self assessment system). Di samping itu, peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu UU KUP yang mengatur mengenai hukum pajak formal terpisah dengan hukum materil misal, UU PPh, UU PBB, dan PPN dan PPn BM.

    Kemudian pada tahun 1994 dilakukan perbaikan yang pertama terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut dilakukan dengan-alasan adanya beberapa kelemahan yang menyebabkan kurang berhasilnya pembaharuan perpajakan, yaitu meliputi, self assessment system sebagai sistem penetapan pajak yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada WP dalam memenuhi kewajibannya kepada negara, ternyata kurang berhasil; dan law enforcement masih dinilai lemah. Oleh karena itu perlu ada peninjauan kembali terhadap kebijakan pembaharuan perpajakan agar kondusif dan kompetitif dengan negara-negara lain.

    Selanjutnya, pada tahun 1997 dilakukan perbaikan yang kedua terhadap UU KUP yang pertama (sebelum adanya

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara38

    perbaikan kebijakan perpajakan pertama), karena yang dijadikan latar belakang adalah perlunya: UU Pengadilan Pajak; UU yang mengatur Pajak Daerah; UU yang mengatur Penagihan Pajak; Pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai pengganti Bea Balik Nama.

    Terakhir, pada tahun 2000 kembali dilakukan perbaikan yang ketiga, yaitu terhadap UU KUP yang pernah diperbaiki setelah tax reform, dan sebagian lagi perbaikan ketentuan UU lainnya juga pernah diperbaiki pada perbaikan kedua. Pemerintah pada prinsipnya menyadari bahwa dalam pelaksanaan UU KUP masih terdapat hal-hal yang belum tertampung, sehingga menuntut perlunya penyempurnaan yang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi. Maka dalam kebijakan terhadap perbaikan peraturan perundang-undangan perpajakan diarahkan untuk tercapainya kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembangunan.

    Apabila dicermati sejak tax reform tahun 1983 sampai sekarang, telah terjadi beberapa kali perbaikan kebijakan perpajakan secara komprehensif. Hal ini membawa kontribusi perubahan terhadap hukum administrasi negara, khususnya hukum pajak (peraturan perundang-undangan perpajakan) for mal, materil, dan termasuk peradilan pajak (sekarang diselenggarakan oleh pengadilan pajak) dalam menunjang kebijakan perpajakan secara nasional. Tetapi, pemerintah justru kembali akan melakukan perombakan total (over haul) terhadap kebijakan perpajakan dan tentunya akan mengubah peraturan perundang-undangan perpajakan. Kemudian, Ditjen Pajak menindaklanjuti dengan mengadakan RAPIM (diselenggarakan pada tanggal 7-8 April 2003)16 yang menghasilkan lima belas kesimpulan yang dibacakan oleh Dirjen Pajak. Kesimpulan pertamanya adalah mengenai sistem penetapan pajak, yaitu apakah tetap menerapkan self assessment system atau kembali ke official assessment system?

    Jika memang ada pemikiran untuk mengubah self assessment-system, tidak ada salahnya menambahkan alternatif sistem yang

    16 Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 39

    lain agar pilihan terhadap sistem penetapan pajak menjadi iebih banyak. Dengan demikian pemerintah dalam melakukan pilihan tidak terpaku hanya pada self assess ment system dan official assessment system dalam memilih sistem penetapan pajak yang kondusif. Sehingga menunjang kebijakan perpajakan di Indone-sia dan secara realistis dapat meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara serta dapat pula meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

    Apabila pemerintah akan melakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan, tentunya dalam kerangka meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan perekonomian. Dalam hal kebijakan (peraturan perundang-undangan perpajakan) semestinya akan mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang. Oleh karena itu pemerintah, dalam menjalankan fungsi pajak, salah satunya tentu membutuhkan sistem penetapan pajak yang efisien, fleksibel, realistis dan integrated dengan sistem/subsistem secara internal dan sistem yang lain secara ekternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang kebijakan pendapatan negara (fiscal policy).

    Dalam sistem perpajakan secara integral-menyeluruh (integreted-komprehensif), administrasi pajak (fiskus) harus efisien dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak dan bagi WP terdapat kemudahan dalam melakukan kewajibannya. Kemudahan tersebut dikemukakan oleh Fritz Neumark seperti dikutip oleh Safri Narmantu,17 yaitu ease of administration and compliance yang dibagi menjadi empat persyaratan sebagai berikut:a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan

    pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di mana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hukum bagi WP maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya.

    17 Safri Narmantu, Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian, artikel dalam Majalah Baro meter, No. 4, Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara40

    b. The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan.

    c. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan adminitrasi pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk pemungutan pajak harus sejmbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga dari segi WP.

    d. The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan WP merasa senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang karena dapat mencicil hutang pajak atau merasa senang karena tidak dipersulit dan memperoleh kembali kelebihan membayar pajak.

    Selanjutnya, official assessment system pengertiannya adalah Pejabat pajak berkewajiban menetapkan berapa sesunggguhnya jumlah pajak terhutang yang harus dibayar WP. Berbeda dengan self assessment system yaitu WP berkewajiban menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Tapi, kedua sistem penetapan pajak tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari pihak pemerintah dalam bentuk pemeriksaan dengan maksud menguji kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam official assessment system pemeriksaan pajak dilakukan secara pre audit, sedangkan self assessment system dilakukan secara post audit. Kecuali itu, pemeriksaan pajak merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemungutan pajak pada umumnya dan juga sub sistem dari pelaksanaan self assessment atau official assessment.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 41

    Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam self assess ment system ada ketentuan bahwa pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalaiidn (tidak demikian halnya dalam official assesment system, yaitu benar atau tidak menurut WP berdasarkan laporan SPT dengan tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak). Pembuktian itu dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan ditujukan untuk menetapkan berapa besarnya jumlah pajak yang terhutang bagi WP yang kebetulan diperiksa, pemeriksaan pada prinsipnya mengumpulkan bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali itu, pemeriksaan bukan suatu aktivitas bersifat insidental, tapi pemeriksaan merupakan suatu kegiatan rutin yang harus dilaksanakan, hanya pemeriksaan sebaiknya jangan dilakukan secara acak, untuk itu diperlukan sistem.

    Sistem merupakan kombinasi atau rangkaian dari bagian-bagian khusus atau bagian-bagian lain ataupun unsur-unsur dalam suatu keseluruhan yang masing-masing bekerjasama secara rasional untuk melakukan suatu maksud dan antara bagian-bagian itu tidak terpisahkan.18 Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan antara bagian yang satu dengan lainnya dan juga tidak boleh terjadi sesuatu duplikasi atau tumpangtindih (overlapping) di antara bagian-bagian itu, sebagai suatu kebulatan maka setiap masalah dapat diselesaikan sendiri.19

    Sistem penetapan pajak yang menjadi pilihan mestinya dikaitkan dengan pembenahan aspek-aspek lainnya, baik secara internal maupun secara eksternal. Untuk itu, dalam melakukan pilihan terhadap sistem penetapan pajak semestinya tidak

    18 Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955.19 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996,

    hlm. 315. Lihat juga: Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara42

    dilakukan secara parsial, hanya dibatasi pada sistem penetapan pajak semata, tetapi pembenahan harus secara integral-menyeluruh dengan sistem/sub sistem secara internal dan mencakup bidang di luar sistem perpajakan (secara eksternal dengan sistem peradilan pajak). Dengan demikian, dari segi hukum administrasi negara (hukum pajak), akan memungkinkan pemerintah untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya ketika mengeluarkan keputusan berbentuk ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.20 Karena itu sistem penetapan pajak yang akan menjadi pilihan harus konsisten dan saling mendukung dengan sistem perpajakan pada umumnya. Sistem penetapan pajak (sistem manapun yang akan dipilih) secara internal sebaiknya disinkronisasikan dengan sistem/sub sistem yang lain, misalnya:1. Sistem penggolongan WP, yaitu WP dibagi menjadi dua

    golongan, terdiri dari WP pengusaha golongan besar dan WP pengusaha golongan kecil;

    2. Sistem memungut pajak, yaitu dalam mengatur sistem memungut pajak harus sesuai dengan asas dan kaidah-kaidah hukum pajak (hukum positif) yang bersifat realistik;

    3. Sub sistem pemeriksaan, dalam menerapkan pemeriksaan harus benar-benar selektif, karena hasil pemeriksaan secara kualitas harus dapat dipertanggungjawabkan.

    4. Sistem keberatan (fungsi peradilan yangdiselenggarakan oleh pemerintah), pada prinsipnya setiap keputusan yang memenuhi persyaratan sebagai suatu ketetapan (beschikking) seharusnya menjadi objek sengketa pajak (tidak ada pengecualian).

    Sedangkan secara eksternal, yaitu konsisten dengan sistem peradilan pajak, di samping sistem keberatan (upaya administratif) yang wewenangnya ada pada pemerintah (eksekutif). Namun,

    20 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum ..., Loc.cit.

  • Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 43

    tetap ada korelasinya dengan proses penyelesaian sengketa pajak berikutnya, karena pengertian peradilan administrasi dalam arti luas, yaitu peradilan administrasi murni mencakup upaya administratif (prosedur keberatan). Sedangkan Banding wewenangnya ada pada badan peradilan, yaitu Pengadilan Pajak. Di samping itu masih ada tahapan proses penyelesaian sengketa pajak di tingkat Kasasi yang menjadi wewenang MA (sekarang belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak). Sebab, MA sebagai Pengadilan tertinggi negara secara universal melakukan salah satu fungsinya, yaitu melakukan kontrol terhadap tindakan Administrasi Negara (Dirjen Pajak) dalam hal melakukan pemeriksaan penerapan hukum atas setiap keputusan dalam bentuk surat ketetapan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Pajak. Untuk jelasnya dapat dilihat Pasal 3 ayat (1), 10 ayat (2), (3) dan (4), UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh UU No. 35 t