tindak tutur

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam studi sosiolinguistik telah seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Bahasa juga merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam konteks yang terakhir ini, diakui bahwa manusia dapat juga menggunakan alat lain untuk berkomunikasi, tetapi tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik di antara alat-alat komunikasi lainnya. Apalagi bila dibandingkan dengan alat komunikasi yang digunakan makhluk sosial lain, yakni hewan. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses komunikasi ini terjadilah apa yang disebut “peristiwa tutur” dan “tindak tutur” dalam satu “situasi tutur”. 1 [1] B. Sejarah Tindak Tutur 1

Transcript of tindak tutur

Page 1: tindak tutur

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Dalam studi sosiolinguistik telah seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah

sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat

dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari

berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi

pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Bahasa juga

merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam konteks yang terakhir ini,

diakui bahwa manusia dapat juga menggunakan alat lain untuk berkomunikasi, tetapi tampaknya

bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik di antara alat-alat komunikasi lainnya.

Apalagi bila dibandingkan dengan alat komunikasi yang digunakan makhluk sosial lain, yakni

hewan. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa

pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses

komunikasi ini terjadilah apa yang disebut “peristiwa tutur” dan “tindak tutur” dalam satu

“situasi tutur”.1[1]

B.  Sejarah Tindak Tutur

Bahasa dalam keadaannya yang abstar (karena berada di dalam benak) tidak bisa langsung

dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata bahasa.

Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur

individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur.

Wujudnya ialah bahasa lisan.2[12]

Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur

dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian

dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu

tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur

merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh

1

2

Page 2: tindak tutur

kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur

lebih dilihat pada tujuan peristiwannya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau

arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang

terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.3[13]

Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang

guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu

kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word ? tetapi

teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan

buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.4[14]

Pada awalnya ide Austin dalam How to Do Things with Words (1962) membedakan tuturan

deskriptif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Saat itu Austin berpendapat bahwa

tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah yang tradisional (dengan menggunkan

pengetahuan tentang dunia), sedangkan performatif tidak dievaluasi sebagai benar-salah yang

tradisional tetapi sebagai tepat atau tidak tepat (dengan prinsip kesahihan). Austin

mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu: (1) harus ada prosedur konvensional yang

mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu

oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu, (2) orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam

kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu, (3) prosedur itu

harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar, dan (4) prosedur itu harus dilaksanakan oleh

para peserta secara lengkap.5[15]

Menurut Austin semua tuturan adalah performatif dalam arti bahwa semua tuturan

merupakan sebuah bentuk tindakan dan tidak sekadar mengatakan sesuatu. Kemudian Austin ke

pemikiran berikutnya yaitu, Austin membedakan antara tindak lokusi (tindak ini kurang-lebih

dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan) dengan

tindak ilokusi (tuturan yang mempunyai daya konvensional tertentu). Kemudian Austin

melengkapi kategori-kategori ini dengan menambah kategori ‘tindak perlokusi’ (tindak yang

mengacu pada apa yang kita hasilkan atau kita capai dengan mengatakan sesuatu). Namun ide

3

4

5

Page 3: tindak tutur

yang mendorong Austin untuk kemudian membuat klasifikasi mengenai tindak-tindak ilokusi

ialah asumsinya bahwa performatif merupakan batu ujian yang eksplisit buat semua ilokusi.6[16]

Ketika Searle mengemukakan klasifikasi yang serupa dalam ‘A Taxonomy of

Illocutionary Acts’, ia sengaja memisahkan diri dari asumsi Austin tadi, yaitu yang mengatakan

bahwa terdapat kesepadanan antara verba dan tindak ujar. Searle berpendapat bahwa:

‘perbedaan-perbedaan yang ada antara verba-verba ilokusi merupakan pedoman yang baik tetapi

sama sekali bukan pedoman yang pasti untuk membedakan tindak-tindak ilokusi’ (defferences in

illocutionary verb are a good guide, but by no means a sure guide to defferences in illocutionary

acts).  Walaupun begitu, cukup jelas bahwa dasar pemikiran Searle ini bertolak dari verba

ilokusi. Kita memang harus mengakui taksonomi Searle lebih berhasil dan lebih sistematis

daripada taksonomi Austin, namun kita dapat mengamati bahwa Searle pun lagi-lagi menyebut

performatif eksplisit yang terdapat pada masing-masing kategori ini. Searle tidak berusaha

mengemukakan dasar-dasar prosedurnya ini, tetapi menerima begitu saja. Ia bertolak dari prinsip

keekspresifan (principle of expressibility), yang menyatakan bahwa apapun yang mempunyai

makna dapat diucapkan. Prinsip ini juga digunakannya dalam Speech Acts yang menjelaskan

tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Prinsip keekspresifan ini

memang merupakan tesis yang sangat memudahkan dan membantu penjelasan kita, terutama bila

kita ingin menunjukkan bahwa dengan membubuhkan awalan performatif yang sesuai, daya

ilokusi tuturan selalu dapat dibuat lebih jelas.7[17]

Dalam aspek-aspek lain Searle tampaknya mengandalkan pada kekeliruan performatif,

walaupun ia membenarkan bahwa daya ilokusi dapat diungkapkan dengan penanda daya ilokusi

(illocutionary-force indicating device), baik dengan intonasi, tanda baca, dan sebagainya,

maupun dengan verbal performatif. Searle juga mengakui bahwa terdapat ketidakjelasan  yang

sangat besar (enormous unclearity) dalam penggolongan tuturan-tuturan ke dalam kategori-

kategori ilokusi. Namun ia tetap mempertahankan pendapatnya bahwa ‘bila kita menggunakan

titik ilokusi sebagai pengertian dasar bagi klasifikasi penggunaan bahasa, itu berarti kita

melakukan sejumlah hal dasar dengan bahasa.8[18]

6

7

8

Page 4: tindak tutur

Selanjutnya Searle secara lebih operasional merinci syarat kesahihan untuk tindak tutur

menjadi lima, yaitu: (1) penutur mestilah bermaksud memenuhi apa yang ia janjikan, (2) penutur

harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan yang dijanjikan menguntungkan

pendengar, (3) penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu memenuhi janji itu, (4) penutur

mestilah memprediksi tindakan yang akan dilakukan pada prediksi tindakan yang akan dilakukan

pada masa yang akan datang, (5) penutur harus mampu memprediksi tindakan yang akan

dilakukan oleh dirinya sendiri.9[19]

Sejauh ini alasan-alasan Leech untuk menentang tesis kekeliruan Verba-Ilokusi bersifat

deskriptif: mengkotak-kotakkan tindak ujar ke dalam kategori-kategori tertentu seperti yang

dilakukan oleh kekeliruan verba ilokusi terlalu mengatur rentangan potensi komunikatif manusia,

dan ini tidak dapat di benarkan kalau hanya berdasarkan pengamatan saja. Dalam hal perilaku

percakapan manusia dan pengalaman-pengalaman lain, bahasa kita menyediakan sejumlah

kosakata yang menandakan adanya perbedaan-perbedaan kategorikal. Perhatian Austin dan

Searle pada performatif secara implisit memengaruhi mereka untuk berasumsi bahwa analisis

yang teliti mengenai makna verbal-ilokusi dapat membawa ke pemahaman daya ilokusi.10[20]

C.  Teori Tindak Tutur

Pembedaan-pembedaan yang dibuat oleh Austin, Searle dan lain-lainya dalam

mengklasifikasi tindak tutur akan sangat berguna bila kita mengkaji verba tindak tutur.

Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa sebetulnya filsuf-filsuf tindak tutur cenderung

memusatkan perhatian mereka pada makna verba tindak tutur, walaupun kelihatannya mereka

seakan-akan mengkaji tindak tutur. Tambahan lagi, tanpa bersikap terlalu teoretis (doktriner)

dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan terdapat kesamaan antara berbagai perbedaan yang

penting bagi analisis verba tindak tutur dengan berbagai perbedaan yang penting untuk perilaku

tindak tutur yang diperikan oleh verba-verba tindak tutur.11[21]

Sebaliknya, kita akan sangat anti-Worf bila kita mengansumsikan bahwa verba-verba yang

disediakan oleh bahasa untuk membahas perilaku komunikatif mengandung perbedaan-

perbedaan yang tidak signifikan buat perilaku sendiri; dan asumsi ini juga tidak didukung oleh

teori fungsional. Tetapi ada satu perbedaan besar antara pembicaraan tentang tindak tutur dengan

9

10

11

Page 5: tindak tutur

pembicaraan tentang verba tindak tutur, yaitu perbedaan-perbedaan yang ada pada tindak tutur

bersifat nonkategorikal, sedangkan pada verba tindak tutur perbedaannya bersifat kategorikal.

Searle mengatakan bahwa ‘perbedaan-perbedaan di antara verba-verba ilokus merupakan

petunjuk yang baik tetapi sama sekali bukan petunjuk yang pasti akan mengetahui perbedaan-

perbedaan yang ada antara tindak-tindak ilokus’. Perbedaan yang lain adalah bila kita membahas

verba tindak tutur, kita harus membatasi diri pada verba-verba tertentu dalam bahasa-bahasa

tertentu.

Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam

pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi

nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan,

prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan

analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dlm arti yang sebenarnya.12[22]

Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa

tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi

dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat

psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu.

Jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peritiwa, maka dalam tindek tuutr

irang lebih memperhatikan makna atau arti tindak dalam tuturan itu.13[23]

Dari literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang

yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. serangkaian

tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event).

Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung

tindakan sebagai suatu fungsional dlm komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin dirumuskan

sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi,

dan (3) tindak tutur perlokusi. Apa bedanya ?

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau

The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu. Fokus lokusi adalah makna

tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu. Rohmadi

12

13

Page 6: tindak tutur

mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai

dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Lokusi dapat dikatakan sebagai

the act of saying something. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi

karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan.14[24] Dengan kata

lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau

tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.15[25] misalnya:

1.      Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura

2.      Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.

Dua kalimat di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi

informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. apalagi untuk mempengaruhi

lawan tuturnya. Informasi yang diberikan pada kalimat pertama adalah mengenai jembatan

Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura. Sedangkan kalimat kedua

memberi informasi mengenai gempa dan tsunami yang paada tahun 2004 melanda Banda Aceh.

Lalu, apabila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur ouksi ini hanya memberi makna secara

harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.

Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat

performatif yang eksplisit. Bila tata bahasa menganggap bahwa kesatuan-kesatuan statis yang

abstrak seperti kalimat-kalimat dalam sintaksis dan proposisi-proposisi dalam semantik, maka

pragmatik menganggap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di

dalam situasi-situasi khusus dan waktu tertentu. Pragmatik menganggap bahasa dalam tingkatan

yang lebih konkret daripada tata bahasa. Singkatnya, ucapan dianggap sebagai suatu bentuk

kegiatan: suatu tindak ujar. Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu

Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.

Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan tindak ilokusi adalah “untuk apa ujaran itu

dilakukan” dan sudah bukan lagi dalam tataran “apa makna tuturan itu?”. Rohmadi

mengungkapkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau

menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu.16[26]

14

15

16

Page 7: tindak tutur

Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima

kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.17[27] Misalnya:

1.      Sudah hampir pukul tujuh

2.      Ujian nasional sudah dekat

Kalimat pertama bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain

memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si

suami harus segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri

akan menjawab mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Mas! Sebenat lagi sarapan siap.

Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain

sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain.18[28] Misalnya:

1.      Rumah saya jauh sih

2.      Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan

Tuturan pada kalimat pertama bukan hanya memberi informasi bahwa rumah si penutur itu

jauh, tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru kepada kepala sekolah dalam rapat

penyusunan jadwal pelajaran pada wal tahun menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat

datang tepat waktu pada jam pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si

kepala sekolah akan memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama, melainkan pada jam-

jam lebih siang. Kalimat kedua selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada

kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang

untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga minta maaf. Lalu, efek yang diharapkan

adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.

Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori:

1.       Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang

diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak

tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan,

memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini adalah: “Adik selalu

unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi

yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa

tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin

17

18

Page 8: tindak tutur

belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain adalah: “Tim

sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.

2.       Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar

melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga

dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan

meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah,

mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki

tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu

dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan

dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah

adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.

3.       Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur

ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai

evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima

kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.

Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan

keluarga”. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan

sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu

tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah “Pertanyaanmu

bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok kita didiskualifikasi dari

kompetisi ini” (menyalahkan),  “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan” (mengucapkan

selamat).

4.       Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk

melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji,

mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan

adalah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya

untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya

untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain adalah “Besok saya akan

datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.

5.       Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan

hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang

Page 9: tindak tutur

termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan,

membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat,

mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.

      “Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)

      “Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)

      “Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).19[29]

Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak

langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur

langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional

dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra

tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah

yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk

bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak

konvensional-, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan

kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur

harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud

tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung

dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh

empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur

langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung

takharfiah.20[30]

Menurur Austin (1962), tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan tuturan performatif.

Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar

atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.21[31]

Contoh :

1.      “Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”

2.      “Dakka ibu kota Bangladesh.”

19

20

21

Page 10: tindak tutur

Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan intuk melakukan

sesuatu.22[32]

Contoh :

1.      “Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan malam ini.”

2.      “Saya berjanji akan datang besok.”

Selanjutnya, Searle mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur,

yaitu: tindak tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur representatif, direktif yang

disebut juga dengan tindak tutur impositif, ekspresif yang disebut juga dengan tindak tutur

evaluative, komisif, dan isbati yang disebut juga dengan tindak tutur deklarasi.23[33]

a.       Tindak tutur Asertif / Representatif. Adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan

kebenaran atas apa yang diujarkannya. Contoh :

1.    “Sebentar lagi rumah itu ambruk terkena angin.”

2.    “Yang datang rapat baru 26 orang.”

b.      Tindak tutur Direktif / Impositif. Adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar

mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.Contoh :

1.    “Tolong tutup pintunya!”

2.    “Lebih baik kamu masuk saja.”

3.    “Berikan data itu sekarang!”

c.       Tindak tutur Ekspresif / Evaluatif. Adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar

ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Contoh :

1.    “Pekerjaanmu kurang memuaskan.”

2.    “Suaramu bagus sekali.”

d.      Tindak tutur Komisif . Adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan

apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Contoh :

1.    ”Besok saya akan tiba tepat waktu.”

2.    “Saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh.”

e.       Tindak tutur Isbati / Deklarasi. Adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk

menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Contoh :

1.    “Jangan membuat tugas sembarangan!”

22

23

Page 11: tindak tutur

2.    “Dia tidak jadi pergi hari ini.”

D.      Tindak Tutur dan Pragmatik

Tindak tutur saebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas,

yang dikenal dengan istilah pragmatik. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara

berbeda-beda. Yule, misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang

mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang

yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan

atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut

jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.24[34]

Thomas menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian,

pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna

pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif,

menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya

Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang

melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial,

dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan

pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).25[35]

Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu

minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou

dalam Gunarwan,26[36] sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat

melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan

Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik

interaktif (Thomas).

Austin, seperti dikutip oleh Thomas,27[37] bermaksud menyanggah pendapat filosof

positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan

sehari-hari penuh kontradiksi, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika

dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.

24

25

26

27

Page 12: tindak tutur

(1) Ada enam kata dalam kalimat ini

(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono

Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini

mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di

atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan.

Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional

semantics.28[38]

Austin dalam Thomas29[39] berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan

yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa

dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur

(speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu

(to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang

bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan

sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition)

dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition). Contoh.

(1) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)

(2) Rumah Joni terbakar (konstatif)30[40]

Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle, memasukkan ujaran

konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian

dari performatif. Dalam contoh (2), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya

katakan bahwa rumah Joni terbakar.31[41]

Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang

berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi

(perlocutionary act).32[42] Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna,

tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak

28

29

30

31

32

Page 13: tindak tutur

perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang

terwujud dalam tindakan.33[43] Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle, dapat

berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect

speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan

fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan

(bentuk) tindak-tutur lain.34[44]

Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive),

direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration).

Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang

dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki

pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan

pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-

tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang

mengubah status sesuatu.35[45]

Sebuah satuan ujaran dalam tindak tutur dapat dipahami pendengar dengan baik, apabila

dieksisnya jelas, presuposisinya diketahui, dan implikatur percakapannya dipahami. Dieksis

Deiksis adalah kata atau frasa yang menghunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah

dipakai atau yang akan diberikan.36[46] Purwo menjelaskan bahwa sebuah kata dikatakan

bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa

yang menjadi sipembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.37[47]

Pengertian deiksis yang lain dikemukakan oleh Lyons dalam Djajasudarma,38[48] yang

menjelaskan bahwa deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau

kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi

ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara. Dari

33

34

35

36

37

38

Page 14: tindak tutur

penjelasan di atas disimpulkan bahwa deiksis adalah kata, frasa, atau ungkapan yang rujukannya

berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara dan waktu, dan tempat

dituturkannya satuan bahasa tersebut.

Perhatikan contoh kalimat berikut.

1.      Begitulah isi sms yang dikirimkannya padaku dua hari yang lalu.

2.      Hari ini bayar, besok gratis.

3.      Jika Anda berkenan, di tempat ini Anda dapat menunggu saya dua jam lagi.

Dari contoh di atas, kata-kata yang dicetak miring dikategorikan sebagai dieksis. Pada

kalimat (1) yang dimaksud dengan begitulah tidak bisa diketahui karena uraian berikutnya tidak

dijelaskan. Pada kalimat (2) kapan yang dimaksud dengan hari ini dan besok juga tidak jelas,

karena kalimat itu terpampang setiap hari di sebuah kafetaria. Pada kalimat (3) kata Anda tidak

jelas rujukannya, apakah seorang wanita atau pria, begitu juga frasa di tempat ini lokasinya tidak

jelas.

Semua kata dan frasa yang tidak jelas pada kalimat di atas dapat diketahui jika konteks

untuk masing-masing kalimat tersebut disertakan. Dalam berpragmatik kalimat seperti di atas

wajar hadir di tengah-tengah pembicaraan karena konteks pembicaraan sudah disepakati antara si

pembicara dan lawan bicara.

Sedangkan presuposisi dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang

terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Perlu dipahami bahwa selain mendapat

makna “asal” yang tersirat dalam ujaran, terdapat pula makna lain yang hanya bisa dipahami

secara tersirat. Misalnya, “Kerjakan dulu soal yang mudah, baru kemudian yang lebih sukar dan

yang sukar”, memiliki presuposisi bahwa soal-soal yang harus dikerjakan ada yang sukar dan ada

pula yang mudah.39[49]

Presuposisi terdapat pula dalam kalimat deklaratif dan kalimat interogatif. Misalnya dalam

kalimat, “Yang belum lulus ujian linguistik umum tidak boleh mengikuti kuliah sosiolinguistik”.

Contoh kalimat ini memiliki presuposisi “ada yang belum lulus ujian linguistik40[50]

Sedangkan Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam

percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan

dengan batasan tentang implikasi pragmatik, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau

39

40

Page 15: tindak tutur

“pernyataan” implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan atau dimaksudkan oleh

penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu

percakapan. Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran nyang

mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian dari tuturan itu.41[51]

Didalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu

yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak.42[52] Pembahasan tentang implikatur mencakupi

pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi suatu

tuturan. Di dalam teorinya itu, ia membedakan tiga jenis implikatur, yaitu implikatur

konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selanjutnya implikatur

nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Selain ketiga macam implikatur

itu, ia pun membedakan dua macam implikatur percakapan, yaitu implikatur pecakapan khusus

dan implikatur percakapan umum.43[53]

Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperolah langsung dari makna kata, bukan

dari prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur konvensional. Contoh:

1.      Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.

2.      Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.

Implikasi tuturan (1) adalah bahwa bicara ceplas-ceplos Lia merupakan konsekuensi karena

ia orang Tegal. Jika Lia bukan orang Tegal, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bahwa bicara

ceplas-ceplos Lia karena ia orang Tegal. Implikasi tuturan (2) adalah bahwa raut muka galak

Poltak merupakan konsekuensi karena ia orang Batak. Jika Poltak bukan orang Batak, tentu

tuturan itu tidak berimplikasi bahwa raut muka galak Poltak karena ia orang Batak.

Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang

tersirat di dalam suatu percakapan.  Di dalam komunikasi, tuturan selalu menyajikan suatu fungsi

pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi

pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan. Berikut ini merupakan contoh tuturan di

dalam suatu percakapan yang mengandung suatu implikasi percakapan.

A: ”HP mu baru ya? Mengapa tidak membeli N70 aja?”

B : ”Ah, harganya terlalu mahal.”

41

42

43

Page 16: tindak tutur

Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa HP yang dibeli A murah sedangkan HP N70

harganya lebih mahal daripada HP yang dibeli A.

Dua dikotomi implikatur percakapan selanjutnya adalah implikatur percakapan umum dan

implikasi percakapan khusus.

Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan konteks

khusus. Tuturan (1) hanya berimplikasi (2) jika berada di dalam konteks khusus seperti pada

percakapan (3) berikut ini.

1.      Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.

2.      (Ibu belum pulang dari pasar).

A: Mengapa Ibu belum pulang?

B: Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.

Implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan

tidak memerlukan konteks khusus. Implikatur (1) sebagai akibat adanya tuturan (2) merupakan

implikatur percakapan umum.

1.      Saya menemukan uang.

2.      (Uang itu bukan milik saya)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Agustina. 1995. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Padang: IKIP Padang.

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in

Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Djajasudarma, Fatimah. 2010. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika

Aditama.

Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome

Publishing

Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar

Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.

Hasanuddin WS, dkk. 2009. Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia. Bandung: Angkasa.

Page 17: tindak tutur

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse.

Edinburgh: Pearson Education.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins

Publishing Company.

Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics.

London/New York: Longman.

Ullmann, Stephen. 2011. Pengantar Semantik, Terj. Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.