THYROID dan KELAINANNYA
-
Upload
amaliaturrahmah -
Category
Documents
-
view
536 -
download
0
Transcript of THYROID dan KELAINANNYA
Laboratorium / SMF Kedokteran Radiologi ReferatProgram Pendidikan Dokter Universitas MulawarmanRSUD A.W.Sjahranie Samarinda
FUNGSI DAN KELAINAN KELENJAR TIROID
OLEHAmaliaturrahmah06.55372.00315.09
PEMBIMBINGDr. Dompak S Hutapea, Sp.Rad
Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium/SMF Kedokteran Radiologi
FK UNMUL
2011
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit kelenjar tiroid termasuk penyakit yang sering ditemukan di
masyarakat. Di poliklinik tiroid RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma) Jakarta,
penyakit kelenjar tiroid merupakan penyakit kedua terbanyak setelah diabetes
mellitus. Secara keseluruhan pasien tiroid yang datang berobat ke poliklinik tiroid
RSCM berkisar: 270 orang/bulan.
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiriod terletak di bagian bawah leher, terdiri
dari atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus yang menutup cincin trakea 2 dan
3, kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia paratrakea sehingga pada
setiap gerakan menelan selalu dikuit oleh gerakan terangkat kelenjar kerah
cranial,yang merupakan cirri khas kelenjar tiroid. Sistem endokrin merupakan sistem
dan organ yang memproduksi hormon, suatu mediator kimia yang bekerja jauh dari
sistem atau organ asalnya. Sistem endokirn adalah sistem kelenjar yang menghasilkan
suatu mediator kimia yang disebut hormon. Berbeda dengan sistem eksokrin, sekret
dari sistem ini dicurahkan langsung ke perdaran darah tanpa melalui saluran atau
duktus.
Yang termasuk kelenjar endokrin adalah hipotalamus, kelenjar hipofisis
anterior dan posterior, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, pulau Langerhans pankreas,
korteks dan medula kelenjar suprarenal, ovarium, testis, dan sel endokrin di saluran
cerna yang disebut sel amine precursor upiake and decarboxilation (APUD).
Kelenjar endokrin dapat menghasilkan hormon secara berlebihan seperti pada
penyakit Graves, yaitu hiperfungsi kelenjar tiroid, atau menghasilkan terlalu sedikit
hormon, seperti miksidema sebagai akibat hipofungsi kelenjar tersebut. Kelenjar
endokrin juga dapat menjadi lebih besar atau kecil atau berubah menjadi neoplasma.
1
Keadaan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau berdirio sendiri, kelaianan
endokrin mempunyai ciri khusus, yaitu berupa gangguan fungsi.
Dalam setiap diagnosis penyakit tiroid dibutuhkan deskripsi mengenai
(sehingga diagnosis henndaknya mampu menerangkan) kelainan faalnya (status
tiroid), gambaran anatominya (difus, uni/multinodul dan sebagainya) dan etiologinya
(autoimun,tumor,radang).
1.2 Tujuan
Mengetahui secara anatomi, fisiologi kelenjar thyroid serta beberapa penyakit
kelenjar thyroid baik dari segi definisi, epidemiologi, etiologi, gejala dan tanda klinis
yang terkait, pemeriksaaan yang dilakukan, diagnosa, tatalaksana, serta prognosisnya.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KELENJAR TIROID
2.1.1 Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan ,.
(De Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin
berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid
berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian
tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah
mengalami desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas,
berbentuk sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis
lidah.
Gambar 1.
Perkembangan Kelenjar Tiroid
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya
abnormal, seperti persisten duktus tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual,
sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial
pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular
3
atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid janin secara fungsional
mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).
2.1.2 Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh
darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya
dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
4
Gambar 2. anatomi kelenjar tiroid
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya
kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah
suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak
(Djokomoeljanto, 2001).
Gambar 3. anatomi kelenjar tiroid
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.
Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika
dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga
penyebaran keganasan (Djokomoeljanto, 2001).
5
2.1.3 Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm.
Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke
dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini
berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat
vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar
terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto,
2001)
Gambar
4. Histologi Kelenjar tiroid
2.1.4 Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan
selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai
6
monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari
MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam
kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur
ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid
(thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-
binding pre-albumine, TPBA) (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan
enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
7
Gambar 5.
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan
juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Metabolisme T3 dan T4
8
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4
endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3.
Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati,
ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed
T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme
pada tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2001).
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar
tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
1. TRH (Thyrotrophin Releasing Hormone)
Hormon ini merupakan tripeptida, yang
telah dapat disintesis, dan dibuat di
hipotalamus. TRH menstimulasi
keluarnya prolaktin, kadang-kadang juga
Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan
Luteinizing Hormone (LH).
2. TSH ( Thyroid Stimulating Hormone)
TSH yang masuk dalam sirkulasi akan
mengikat reseptor di permukaan sel tiroid
(TSH-Reseptor-TSH-R) dan terjadilah
efek hormonal sebagai kenaikan trapping, peningkatan iodinasi, coupling,
proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon meningkat.
3. Umpan balik sekresi hormone (Negative Feed Back)
Kedua hormon ini mempunyai efek umpan balik di tingkat hipofisis. T3 selain
berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
9
2.1.5 Efek metabolisme Hormon Tyroid
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme. :
(Djokomoeljanto, 2001)
2.2 PENYAKIT KELENJAR TIROID
Struma adalah kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi seperti
tirotosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit
tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut
struma.
Menurut American society for Study of Goiter membagi struma menjadi 4 kelas
yakni: Struma Difusa Non Toksik, Struma Nodusa, Non Toksik, Struma Difusa
Toksik, Struma Nodusa Toksik. Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya
10
perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid,
sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
Diagnosis struma disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan
keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma. Dikenal beberapa morfologi
(konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau
auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa
adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
11
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
2.2.1 HIPOTIROIDISME
2.2.1.1 Definisi
Hipotiroidisme adalah suatu sindroma klinis akibat dari defisiensi hormon
tiroid, yang kemudian mengakibatkan perlambatan proses metabolik. Hipotiroidisme
pada bayi dan anak-anak berakibat pertambahan pertumbuhan dan perkembangan
jelas dengan akibat yang menetap yang parah seperti retardasi mental. Hipotiroidisme
dengan awitan pada usia dewasa menyebabkan perlambatan umum organisme dengan
deposisi glikoaminoglikan pada rongga intraselular, terutama pada otot dan kulit,
yang menimbulkan gambaran klinis miksedema. Gejala hipotiroidisme pada orang
dewasa kebanyakan reversibel dengan terapi. (Anwar, r. 2005)
2.2.1.2 Epidemiologi
Sejak pembentukan program berskala nasional skrining neonatus untuk
hipotiroidisme kongenital, berjuta-juta neonatus telah di skrining. Prevalensi
hipotiroidisme Kongenital telah ditemukan adalah 1 dalam 4.000 bayi diseluruh
dunia, lebih rendah dari Negro Amerika ( 1 dalam 20.000 ) dan lebih tinggi pada
keturunan Spanyol (hispanik) dan Amerika asli (1 dalam 2.000). Defek
perkembangan (disgenesis tiroid) merupakan 90% dari bayi yang terdeteksi
hipotiroidisme. Pada sekitar sepertiga bahkan sken radionulkid sensitif tidak dapat
menemukan sisa jaringan tiroid (aplasia). Pada duapertiga bayi yang lain, jaringan
tiroid tidak sempurna ditemukan pada lokasi ektopik, dari dasar lidah (tiroid lidah)
sampai posisi normal dileher. Kadar T4 serum yang ini dan secara bersamaan kadar
hormon perangsang tiroid (TSH) meningkat, memungkinkan skrining dan mendeteksi
kebanyakan neonatus hipotiroid. (Behrman, 2000)
12
Sedikit yang diketahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi
normal dan perkembangan kelenjar tiroid. Disgenesis tiroid terjadi secara sporadis,
tetapi kasus keluarga kadang-kadang di laporkan. Wanita yang terkena dua kali lebih
sering dari pada laki-laki. penemuan disgenesis tiroid yang sering terbatas hanya pada
salah satu pasang kembar monozigot menyarankan bekerjanya faktor yang merugikan
selama kehidupan intrauterin.
2.2.1.3 Etiologi
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan sebagai (1) primer (kegagalan tiroid),
(2) sekunder (terhadap kekurangan TSH hipofisis), atau (3) tersier (berhubungan
dengan defisiensi TRH hipotalamus)-atau mungkin karena (4) resistensi perifer
terhadap kerja hormon tiroid.
Primer :
1. Tiroiditis Hasimoto :
a. Dengan goiter
b. Atropi tiroid idiopatik, diduga sebagai stadium akhir penyakit tiroid autoimun,
setelah tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves.
2. Terapi iodin radioaktif untuk penyakit Graves.
3. Tiroidektami subtotal untuk penyakit Graves atau goiter nodular.
4. Asupan iodide berlebihan (kelp, zat warna kontras)
5. Tiroiditis subakut.
6. Penyebab yang jarang di Amerika Serikat.
a. Defisiensi iodide.
b. Bahan goitrogenik lain seperti litium; terapi dengan obat antitiroid.
c. Kelainan bawaan sintesis hormon tiroid.
Sekunder : Hipopituitarisme karena adenoma hipofisis, terapi ablasi hipofisis,
atau destruksi hipofisis.
Tersier : Disfungsi hipotalamus (jarang).
Resistensi perifer terhadap kerja hormon tiroid.( Faizi, M, 2008)
13
2.2.1.4 Patogenesis
Defisiensi hormon tiroid mempengaruhi semua jaringan tubuh, sehingga
gejalanya bermacam-bermacam. Kelainan patologis yang paling khas adalah
penumpukan glikoaminoglikan kebanyakan asam hialuronat pada jaringan interstisial.
Penumpukan zat hidrofilik dan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap albumin
ini bertanggung jawab terhadap terjadinya edema interstisial yang paling jelas pada
kulit, otot jantung dan otot bergaris. Penumpukkan ini tidak berhubungan dengan
sintesis berlebih tapi berhubungan dengan penurunan destruksi glikoaminoglikan
(Barret, 2003).
2.2.1.5 Gejala Klinis
A. Bayi baru lahir (Kretinisme) : Istilah kretinisme mula-mula digunakan untuk
bayi-bayi pada daerah-daerah asupan iodin rendah dan goiter endemic dengan
retardasi mental, postur pendek, muka dan tangan tampak sembab dan (seringkali)
tuli mutisma dan tanda-tanda neurologis yaitu kelainan traktus piramidalis dan
ekstrapiramidalis. Di Amerika Serikat, program skrining neonatus telah
memperlihatkan bahwa pada populasi kulit puthi insidens hipotiroidisme neonatus
adalah 1 : 5000, sementara pada populasi kulit hitam insidensnya hanya 1 : 32.000.
Hipotiroidisme neonatus dapat diakibatkan dari kegagalan tiroid untuk desensus
selama periode perkembangan embrionik dari asalnya pada dasar lidah ke tempat
seharusnya pada leher bawah anterior, yang berakibat timbulnya kelenjar "tiroid
ektopik" yang fungsinya buruk. Transfer plasenta TSH-R Ab [blok] dari ibu pasien
tiroiditis Hashimoto ke embrio, dapat menimbulkan agenesis kelenjar tiroid dan
"kretinisme atireotik". Defek bawaan pada biosintesis hormon tiroid menimbulkan
hipotiroidisme neonatus termasuk pemberian iodida, obat antitiroid, atau radioaktif
iodin untuk tirotoksikosis saat kehamilan.
Gejala-gejala hipotiroidisme pada bayi baru lahir adalah kesukaran bernapas,
sianosis, ikterus, kesulitan makan, tangisan kasar, hernia umbilikalis dan retardasi
14
berat dan retardasi pematangan tulang yang nyata. Epifisis tibia proksimal dan
epifisis femur distal terdapat pada semua bayi cukup bulan dengan berat badan lebih
dari 2500 g. Tidak adanya epifisis ini merupakan bukti kuat adanya hipotiroidisme.
Pengenalan skrining rutin terhadap bayi baru lahir untuk TSH dan Tq telah menjadi
keberhasilan besar dalam diagnosis dini hipotiroidisme neonatus. T4 serum di bawah
6 g/dL atau TSH serum di atas 30 U/mL indikatif adanya hipotiroidisme neonatal.
Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan bukti radiologis adanya retardasi umur tulang.
B. Anak : Hipotiroidisme pada anak-anak ditandai adanya retardasi pertumbuhan dan
tanda-tanda retardasi mental. Pada remaja, pubertas prekok dapat terjadi, dan
mungkin ada pembesaran sella tursika di samping postur tubuh pendek. Hal ini tidak
berhubungan dengan tumor hipofisis tapi mungkin berhubungan dengan hipertrofi
hipofisis yang berhubungan dengan produksi TSH berlebihan.
C. Dewasa : Pada orang dewasa, gambaran umum hipotiroidisme termasuk mudah
lelah, kedinginan, penambahan berat badan, konstipasi, menstruasi tidak teratur, dan
kram otot. Pemeriksaan fisik termasuk kulit yang dingin, kasar, kulit kering, wajah
dan tangan sembab, suara parau dan kasar, refleks lambat . Menurunkan konversi
karoten menjadi vitamin A dan peningkatan karoten dalam darah sehingga
memberikan warna kuning pada kulit.
1. Tanda kardiovaskular Hipotiroidisme ditandai oleh adanya gangguan kontraksi
otot, bradikardi, dan penurunan curah jantung. EKG memperlihatkan kompleks QRS
tegangan rendah dan gelombang P dan T, dengan perbaikan pada respons terhadap
terapi. Pembesaran jantung dapat terjadi; pembesaran ini bisa disebabkan oleh edema
interstisial, pembengkakan miofibril non-spesifik, dan dilatasi ventrikel kiri tapi
sering karena efusi perikardial . Derajat efusi pericardial dengan mudah dapat
ditentukan dengan ekokardiografi. Walau curah jantung berkurang, jarang dijumpai
gagal jantung kongestif dan edema pulmonum. Ada pertentangan apakah miksedema
mendorong terjadinya penyakit arteri koronaria, tetapi penyakit arteri koronaria lebih
umum terjad i pada pasien dengan hipotiroidisme, khususnya pasien lebih tua. Pada
15
pasien dengan angina pektoris, hipotiroidisme dapat melindungi jantung dari stres
iskemik, dan terapi penggantian dapat mencetuskan angina.
2. Fungsi paru Pada orang dewasa, hipotiroid ditandai dengan pernapasan dangkal
dan lambat dan gangguan respons ventilasi terhadap hiperkapnia atau hipoksia.
Kegagalan pernapasan adalah masalah utama pada pasien dengan koma miksedema.
3. Peristaltik usus jelas menurun, berakibat konstipasi kronis dan kadangkadang ada
sumbatan feses berat atau ileus.
4. Fungsi ginjal terganggu, dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan
kegagalan kemampuan untuk mengekskresikan beban cairan. Hal ini disebabkan
pasien miksedema mempunyai predisposisi terhadap intoksikasi cairan jika cairan
dalam jumlah berlebihan diberikan.
5. Anemia Setidaknya ada empat mekanisme yang turut berperan dalam terjadinya
anemia pada pasien hipotiroidisme: (1) gangguan sintesis hemoglobin sebagai akibat
defisiensi hormon tiroksin; (2) defisiensi zat besi dari peningkatan kehilangan zat besi
akibat menoragia, demikian juga karena kegagalan usus untuk mengabsorbsi besi; (3)
defisiensi asam folat akibat gangguan absorbsi asam folat pada usus; dan (4) anemia
pernisiosa, dengan anemia megaloblastik defisiensi vitamin B12. Anemia pernisiosa
seringkali merupakan bagian spektrum penyakit autoimun, termasuk miksedema
akibat tiroiditis kronika berhubungan dengan autoantibodi tiroid, anemia pernisiosa
berhubungan dengan autoantibodi sel parietalis, diabetes melitus berhubungan dengan
autoantibodi sel-sel pulau Langerhans, dan insufisiensi adrenal berhubungan dengan
autoantibodi adrenal .
6. Sistem neuromuskular Banyak pasien mengeluh gejala-gejala yang menyangkut
sistem neuromuskular, seperti, kram otot parah, parestesia, dankelemahan otot.
7. Gejala-gejala sistem saraf pusat dapat termasuk kelemahan kronis, letargi, dan
tidak mampu berkonsentrasi. Hipotiroidisme mengakibatkan gangguan konversi
metabolisme perifer dari prekursor estrogen menjadi estrogen, berakibat perubahan
sekresi FSH dan LH dan siklus anovulatoar dan infertilitas. Hal ini dihubungkan
dengan menoragia berat. Pasien-pasien miksedema biasanya cukup tenang tapi dapat
16
sangat depresi atau bahkan sangat agitatif ("kegilaan miksedema" = "myxedema
madness"). ((Behrman, 2000)
2.2.1.6 Diagnosis
Anamnesis :
Apakah berasal dari daerah gondok endemik?
Struma pada ibu. Apakah ibu diberi KI, PTU waktu hamil?
Adakah keluarga yang struma?
Perkembangan anak.
Gejala klinis :
Dicurigai adanya hipotiroid bila skor Apgar hipotiroid kongenital > 5; tetapi
tidak adanya gejala atau tanda yang tampak, tidak menyingkirkan kemungkinan
hipotiroid kongenital.
Tabel : Skor Apgar pada hipotiroid kongenital
Gejala klinis Skor
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15
17
Laboratorium :
Darah, air kemih, tinja, kolesterol serum.
T3, T4, TSH.
Nilai normal hormon tiroid T4 sebesar 18,0 ug/dl. Nilai FTI sebesar 21,4 ug/dl; kadar
normal, 3,9-14,0 ug/dl. Sedangkan T3 sebesar 567 ng/dl; normal 80-220 ng/dl nilai
TSH hanya 0,03 uIU/ml; kadar normal, 0,50-4,00 uIU/ml.
Radiologis :
USG atau CT scan tiroid.
Tiroid scintigrafi.
Umur tulang (bone age).
X-foto tengkorak .
Diagnosis hipotiroid dapat dilakukan :
- In utero :
Pemeriksaan USG (ada tidaknya goiter).
- Post natal :
Uji tapis tiroid pada bayi baru lahir (setelah hari ketiga) :
Pelaksanaan bisa dilakukan dengan 3 cara:
Pemeriksaan primer TSH.
Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah yang
sama, bila hasil T4 rendah.
Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.
Nilai cut-off adalah 25U/ml. Bila nilai TSH <25U/ml dianggap normal; kadar
TSH >50 U/ml dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40 U/ml dan T4 rendah, < 6 g/ml,
bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bayi dengan
kadar TSH diantara 25-50 U/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu
kemudian.
18
Skor Apgar Hipotiroid Kongenital.( Cahyono, H, A, 2007)
Data laboratorium. Kebanyakan program skrining bayi lahir di Amerika utara
mengukur kadar T4 ditambah dengan pengukuran TSH, bila T4 rendah. Pendekatan ini
mengenali bayi dengan hipotiroidisme primer, penderita dengan globulin pengikat
tiroksin (thyroxine- binding globulin [TBG]) yang rendah dan beberapa dengan
hipotiroidisme hipotalamus atau pituitaria, dan bayi yang hipertiroksinemia. Program
skrining neonatus di jepang dan eropa didasarkan pada pengukuran TSH primer;
pendekatan ini gagal mengenai bayi dengan hipertiroksinemia, TBG rendah, dan
hipotiroidisme hipotalamus atau pituitaria tetapi dapat mendeteksi bayi-bayi dengan
hipotiroidisme terkompensasi (T4 normal, TSH meningkat). Dengan salah satu dari
pemeriksaan ini, perawatan khusus perlu diberikan dengan kisaran nilai normal
menurut usia penderita, terutama pada umur minggu-minggu pertama. Tanpa melihat
pendekatan yang digunakan pada skrining, beberapa bayi lolos dari deteksi karena
kesalahan teknis; klinis harus tetap waspada pada manifestasi klinis hipotiroidisme.
Kadar T4 serum rendah; kadar T3 serum dapat normal dan tidak bermanfaat
pada diagnosis. Jika defeknya terutama pada tiroid , kadar TSH meningkat, sering
diatas 100µU/ml. Kadar prolaktin serum meningkat berkolerasi dengan kadar TSH
serum. Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi dengan disgenesis tiroid atau
defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak dapat di deteksi biasanya
menunjukkan aplasia tiroid. Perhatian yang khusus harus diberikan pada kembar
monoamnion, karena setidaknya pada 4 kasus skrining neonatus gagal mendeteksi
kembar yang tidak serasi (discordant) dengan hipotiroidisme, dan diagnosisnya
tideutiak dilakukan sampai bayi berusia 4-5 bulan. Nampaknya, transfuse darah
eutiroid dari bayi kembar yang tidak terkena, kadar T4 dan TSH serum bayi kembar
yang terkena dinormalisasi pada skrining awal.
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan rontgenografi pada
saat lahir pada sekitar 60% hipotiroid dengan congenital dan menunjukkan beberapa
kehilangan hormone tiroid selama kehidupan intrauterine. Misalnya, epifisis femoris
distal, yang normalnya ada pada saat lahir, seringkali tidak ada. Pada penderita yang
19
tidak diobati, ketidaksesuaian antara usia kronologis dan perkembangan tulang
bertambah. Epifisis sering memiliki banyak fokus penulangan (disgenesis epifisis);
deformitas (retak) vertebrae torakalis 12 atau lumbalis 1 atau 2 adalah biasa.
Rontgenogram tengkorak menunjukkan fontanella besar dan sutura lebar; tulang
antara sutura biasanya ada. Sella tursika sering membesar dan bulat ; pada keadaan
yang jarang mungkin ada erosi dan penipisan. Keterlambatan pada pembentukan dan
erupsi gigi dapat terjadi. Pembesaran jantung atau efusi perikardium dapat ada.
Skintigrafi dapat membantu memperjelas penyebab yang mendasari pada bayi
dengan hipotiroidisme congenital, tetapi pengobatan tidak boleh terlalu lambat karena
penelitian ini. 125 I- natrium yodida lebih unggul daripada 99mTc-natrium pertekhnetat
untuk tujuan ini. Pemeriksaan ultrasuara tiroid atau kadar Tg serum bukan alternative
yang dapat dipercaya untuk skenning radionuklida. Peragaan jaringan tiroid ektopik
dignostik disgenesis tiroid dan membutuhkan pengobatan seumur hidup dengan T4.
Kegagalan memperagakan suatu jaringan tiroid menunjukkan adanya aplasia tiroid
tetapi juga terjadi pada neonatus dengan TRBAb dan pada bayi dengan defek
penangkapan yodium.Kelenjar tiroid yang terletak normal dengan ambilan
radionuklid kuat atau normal menunjukkan defek pada biosintesis hormone tiroid.
Penderita hipotiroidisme gondok mungkin memerlukan evaluasi yang luas.
Termaksud pemeriksaan radioyodium, uji cairan perklorat, penelitian kinetic,
khromatografi, dan pemeriksaan jaringan tiroid, bila harus ditentukan sifat biokimia
defek.
Elektrokardiogram dapat menunjukkan gelombang P dan T voltase rendah
dengan amplitudo kompleks QRS yang menurun dan menunjukkan fungsi ventrikel
kiri jelek dan adanya efusi pericardium. Elektroensefalogram sering menunjukkan
voltase yang rendah. Pada anak diatas usia umur 2 tahun , kadar kolesterol serum
biasanya meningkat.( Behrman, A ,K, 2000)
2.2.1.7 Diagnosis Banding
Mongolisme
20
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal
tiroid secara rutin.
- epikantus (+)
- makroglosi (+)
- miksedema (-)
- retardasi motorik dan mental
- trisomi 21
Hipopituitarisme
Akondroplasia
2.2.1.8 Komplikasi-komplikasi
A. Koma miksedema : Koma miksedema adalah stadium akhir dari hipotiroidisme
yang tidak diobati. Ditandai oleh kelemahan progresif, stupor, hipotermia,
hipoventilasi, hipoglisemia, hiponatremia, intoksikasi air, syok dan meninggal.
Walaupun jarang, ini dapat terjadi lebih sering dalam masa mendatang, dihubungkan
dengan peningkatan penggunaan radioiodin untuk terapi penyakit Graves, dengan
akibat hipotiroidisme permanen. Karena ini paling sering pada pasien-pasien tua
dengan adanya dasar penyakit paru dan pembuluh darah, mortalitasnya sangat tinggi.
Pasien (atau seorang anggota keluarga bila pasien koma) mungkin ingat akan
penyakit tiroid terdahulu, terapi radioiodin, atau tiroidektomi: Anamnesis
menunjukkan awitan bertahap dari letargi terus berlanjut menjadi stupor atau koma.
Pemeriksaan menunjukkan bradikardi dari hipotermia berat dengan suhu tubuh
mencapai 24° C (75° F). Pasien biasanya wanita tua gemuk dengan kulit kekuning-
kuningan, suara parau, lidah besar, rambut tipis, mata membengkak, ileus dan refleks-
refleks melambat. Mungkin ada tanda-tanda penyakit-penyakit lain seperti pneumonia
infark miokard, trombosis serebral atau perdarahan gastrointestinal. Petunjuk
laboratorium dari diagnosis koma miksedema, termasuk serum "lactescent", karotin
serum yang tinggi, kolesterol serum yang meningkat, dan protein cairan
serebrospinalis yang meningkat. Efusi pleural, perikardial atau abdominal dengan
21
kandungan protein tinggi bisa juga didapatkan. Tes serum akan menunjukkan FT4
yang rendah dan biasanya TSH yang sangat meningkat. Asupan iodin radioaktif tiroid
adalah rendah dan antibodi antitiroid biasanya positif kuat, menunjukkan dasar
tiroiditis EKG menunjukkan sinus bradikardi dan tegangan rendah. Seringkali bila
pemeriksaan laboratorium tidak tersedia, diagnosis harus dibuat secara klinis.
Patofisiologi koma miksedema menyangkut 3 aspek utama : (1) retensi CO2
dan hipoksia; (2) ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; dan (3) hipotermia. Retensi
CO2 telah lama dikenal sebagai bagian internal dari koma miksedema dan dianggap
diakibatkan oleh faktor-faktor seperti : obesitas, kegagalan jantung, ileus, imobilisasi,
pneumonia, efusi pleural atau peritoneal, depresi sistem saraf pusat dan otot-otot dada
yang lemah cukup turut berperan. Kegagalan pasien miksedema berespons terhadap
hipoksia atau hiperkapnia mungkin akibat hipotermia. Kegagalan dorongan
ventilatori sering berat, dan bantuan pernapasan hampir selalu dibutuhkan pada
pasien dengan koma miksedema. Terapi hormone tiroid pada pasien-pasien
miksedema memperbaiki hipotermia dan sangat meningkatkan respons ventilasi
terhadap hipoksia. Karena dorongan ventilasi yang terganggu, respirasi yang dibantu
hampir selalu perlu pada pasien dengan koma miksedema. Gangguan cairan dan
elektrolit yang utama adalah intoksikasi cairan akibat syndrome of inappropriate
secretion of vasopressin (SIADH). Kelainan ini terlihat sebagai hiponatremia dan
ditangani dengan restriksi air.
Hipotermia sering tidak dikenali karena termometer klinis biasanya hanya
sampai kira-kira 34°C (93°F); suatu jenis termometer laboratorium yang mencatat
skala yang lebih besar harus digunakan untuk mendapatkan pembacaan suhu tubuh
yang tepat. Suhu tubuh yang rendah bisa disebabkan karena hilangnya stimulasi
tiroksin pada mekanisme transpor natrium kalium dan aktivitas ATPase yang
menurun. Penghangatan kembali tubuh secara aktif adalah kontra indikasi, karena
dapat menginduksi vasodilatasi dan kolaps vaskular. Peningkatan suhu tubuh adalah
indikasi yang berguna untuk melihat efektivitas tiroksin.
22
Kelainan-kelainan lain yang dapat mendorong terjadinya koma miksedema
termasuk gagal jantung, edema paru, efusi pleural atau peritoneal, ileus, kelebihan
pemberian cairan, atau pemberian pemberian obat-obat sedatif atau narkotik pada
pasien dengan hipotiroidisme berat. Insufisiensi adrenal kadang-kadang terjadi
berkaitan dengan koma miksedema, tetapi ini relatif jarang dan biasanya berhubungan
dengan miksedema hipofisis atau insufisiensi adrenal autoimun yang terjadi
bersamaan (Sindroma Schmidt). Kejang, episode perdarahan, hipokalsemia atau
hiperkalsemia bisa dijumpai. Adalah penting untuk membedakan miksedema
hipofisis dari miksedema primer. Pada miksedema hipofisis, bisa didapatkan
insufisiensi adrenal dan pengganti adrenal perlu dilakukan. Petunjuk klinis tentang
adanya miksedema hipofisis termasuk riwayat adanya amenore atau impotensi dan
rambut pubis atau aksilar yang jarang; kolesterol serum normal dan kadar TSH
hipofisis yang normal atau rendah. Pada CT scan atau MRI dapat memperlihatkan
pelebaran sella tursika. Terapi koma miksedema, dibicarakan di bawah.
B. Miksedema dan Penyakit Jantung : Dahulu, terapi pasien dengan miksedema
dan penyakit jantung, khususnya penyakit arteri koronaria, sangat sukar karena
penggantian levotiroksin seringkali dihubungkan dengan eksaserbasi angina, gagal
jantung, infark miokard. Namun karena sudah ada angioplasty koronaria dan bypass
arteri koronaria, pasien dengan miksedema dan penyakit arteri koronaria dapat
diterapi secara operatif dan terapi penggantian tiroksin yang lebih cepat dapat
ditolerir.
C. Hipotiroidisme dan Penyakit Neuropsikiatrik : Hipotiroidisme sering disertai
depresi, yang mungkin cukup parah. Lebih jarang lagi, pasien dapat mengalami
kebingungan, paranoid, atau bahkan maniak ("myxedema madness"). Skrining
perawatan psikiatrik dengan FT4 dan TSH adalah cara efisien untuk menemukan
pasien-pasien ini, yang mana seringkali memberikan respons terhadap terapi tunggal
levotrioksin atau dikombinasi dengan obat-obat psikofarmakologik. Efektivitas terapi
pada pasien hipotiroid yang terganggu meningkatkan hipotesis bahwa penambahan T3
23
atau T4 pada regimen psikoterapeutik untuk pasien depresi, mungkin membantu
pasien tanpa memperlihatkan penyakit tiroid. Penelitian lebih jauh harus dilakukan
untuk menegakkan konsep ini sebagai terapi standar.( Anwar, R. 2005)
Komplikasi yang lain mungkin terjadi bila hipotiroid ini tak ditangani segera,
anak pasti mengalami gangguan pendengaran, karena saraf pendengarannya
terganggu. Demikian pula pertumbuhannya terganggu alias bertubuh pendek. Selain
itu, anak menderita anemia karena hormon tiroid juga digunakan untuk proses
pembentukan darah. Untuk mencegah semua itu, lakukan skrining. Terlebih untuk
bayi lahir prematur yang berisiko, juga bila ibunya mengalami gangguan tiroid.
2.2.1.9 Terapi
Hormon tiroid
Obat pilihan adalah Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.
Mekanisme kerja obat:
Percepatan proses metabolisme oksidatif → peningkatan perputaran energi
pada seluruh organism (efek kalorigenik) → peningkatan metabolisme karbohidrat,
protein, lemak; pemakaian oksigen (misalnya peningkatan tekanan darah, penurunan
kadar kolesterol darah, perpendekan masa reflex, sinergisme dengan katekolamin,
kenaikan frekuensi jantung, pengurangan resistensi pembuluh darah perifer),
peningkatan pertumbuhan, kematangan jasmani dan rohani (fungsi kelenjar tiroid
yang kurang pada wanita hamil mengakibatkan kretinismus pada anaknya).
Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid ada, diberikan dosis seperti tabel
berikut :
Umur Dosis µg/kg BB/hari
0-3 bulan
3-6 bulan
6-12 bulan
1-5 tahun
10-15
8-10
6-8
5-6
24
2-12 tahun
> 12 tahun
4-5
2-3
Kemudian, konfirmasi diagnosis mungkin diperlukan untuk beberapa bayi
untuk mengesampingkan kemungkinan hipotiroidisme sementara. Ini tidak
diperlukan pada bayi dengan ektopia tiroid yang terbukti atau pada mereka yang
menampakkan peningkatan kadar TSH setelah 6-12 bulan terapi karena buruknya
ketaatan atau dosis T4 yang tidak cukup. Penghentian terapi pada usia sekitar 3 tahun
selama 3-4 minggu menyebabkan kenaikan tajam kadar TSH pada anak dengan
hipotiroidisme permanen.
Satu-satunya pengaruh natrium - L-tiroksin yang berbahaya adalah terkait
dengan dosisnya. Kadang-kadang anak yang lebih tua (8-13 tahun) dengan
hipotiroidisme didapat dapat menjadi pseudotumor otak dalam 4 bulan pertama
pengobatan. Pada anak yang lebih tua, setelah kejar pertumbuhan berakhir, angka
pertumbuhan menunjukkan indeks kecukupan terapi yang sangat baik. Orang tua
harus di ingatkan lebih dahulu mengenai perubahan pada perilaku dan aktivitas yang
diharapkan selama terapi, dan perhatian khusus harus diberikan pada tiap defisit
perkembangan atau neurologis.( Cahyono, H, A. 2007)
2.2.1.10 Pemantauan
Kemungkinan terjadinya hipertiroidisme perlu diwaspadai. Dosis yang
berlebihan dapat mengakibatkan takikardia, kecemasan berlebihan, gangguan tidur,
dan gejala tirotoksikosis yang lain. Pemberian tiroksin berlebihan jangka lama
mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis. Pemeriksaan fungsi tiroid.
o 2-4 minggu setelah terapi dimulai dan 2 minggu setelah setiap perubahan
dosis.
o Secara berkala dianjurkan tiap 1-2 bulan dalam 1 tahun pertama kehidupan,
selanjutnya tiap 3 bulan pada tahun kedua sampai ketiga.
25
Apabila fase perkembangan otak sudah dilalui, pemantauan dapat dilakukan 3
bulan sampai 6 bulan sekali dengan mengevaluasi pertumbuhan linear, berat badan,
perkembangan motorik dan bahasa serta kemampuan akademis untuk yang sudah
bersekolah. Umur tulang dipantau tiap tahun. ( Cahyono, H, A. 2007)
2.2.1.11 Prognosis
Makin muda dimulai pemberian hormon tiroid, makin baik prognosisnya.
Prognosis jelek pada kasus yang terlambat diobati, terutama defisit IQ. Sebaliknya
penderita yang diobati dengan hormon tiroid sebelum umur 3 bulan, dapat mencapai
pertumbuhan dan IQ yang mendekati normal. Oleh karena itu diagnosa dini sangat
penting, namun sangat sulit ditegakkan secara klinis karena seringkali pada waktu
lahir bayi tampak normal, kalaupun memperlihatkan gejala sangat samar dan tidak
spesifik. Gejala khas hipotiroid biasanya tampak jelas pada saat bayi berumur
beberapa bulan.( Cahyono, H, A. 2007)
Perjalanan miksedema yang tidak diobati adalah penurunan keadaan secara
lambat yang akhirnya menjadi koma miksedema dan kematian. Namun, dengan terapi
sesuai, prognosis jangka panjang sangat menggembirakan.
Pada suatu waktu angka mortalitas koma miksedema mencapai kira-kira 80%.
Prognosis telah sangat membaik dengan diketahuinya pentingnya respirasi yang
dibantu secara mekanis dan penggunaan levotiroksin intravena. Pada saat ini,
hasilnya mungkin tergantung pada seberapa baiknya masalah penyakit dasar dapat
dikelola.
Penyakit inflamasi Tiroid (Tiroiditis)
Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid. Klasifikasi
(Noer, 1996)
1. Acute (Suppurative) thyroiditis
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas
infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara lain
26
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus. Infeksi
terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran
getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang persisten. Kelainan yang
tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di leher
mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada
pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-
tanda radang lain dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
leukositosis, LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan
utama adalah antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau
derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus
diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar
melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage.
2. Subacute Thyroiditis.
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar
hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi kelenjar
tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri sehingga
pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan asetosal untuk
mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan glukokortokoid misalnya
prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
3. Chronic Thyroiditis
3.1 Hashimoto’s thyroiditis.
27
Merupakan jenis tiroiditis yang paling sering terjadi, biasanya ditandai dengan
pembesaran tiroid tidak atau dengan nyeri dan nyeri lepas. Pada umunya lebih sering
terjadi pada wanita dan terkadang menyebabkan disfagia.
Tiroiditis hashimoto dipercaya sebagai penyakit autoimun, pada beberapa
pasien sensitive terhadap jaringan tiroidnya sendiri dan antibody antitiroidnya, titer
serum antimikrosomal, antitiroglobulin antibody yang tinggi sangat membantu dalam
menentukan diagnosa. Diberikan hormon tiroid dengan dosis yang rendah sebagai
terapi, operasi diindikasikan pada keadaan dimana terjadi penekanan organ Karena
pembesaran yang terjadi, curiga malignancy, dan untuk alasan kosmetik. Untuk
pasien dengan choking symptoms pembedahan pada ismus dapat memberikan rasa
lega.
Jika tiroid membesar tidak simetris dan gagal untuk mengecil pada pemberian
hormon tiroid eksogen, atau mengandung nodul discrete , maka tiroidektomi dapat di
rekomendasika, needle biopsy dapat juga membantu dalam menegakan diagnosa.
3.2 Riedel’s thyroiditis
Kondisi yang jarang sekali terjadi, tiroid mengeras seprti kayu dengan
fibrosis, dan inflamasi yang kronik di dalam dan disekitar kelenjar. Proses inflamasi
menginfiltrasi otot dan menyebabkan gejala kompresi pada trachea, hipotiroidism
biasanya timbul dan tindakan bedah diperlukan untuk mengurangi obstruksi pada
trachea atau esophagus.
2.2.2 HIPERTIROIDISME DAN TIROTOKSIKOSIS
Tirotoksikosis adalah sindroma klinis yang terjadi bila jaringan terpajan
hormone tiroid beredar dalam kadar tinggi. Pada kebanyakan kasus, tiroksikosis
disebabkan hiperaktivitas kelenjar tiroid atau hipertiroidisme. Kadang-kadang,
tirotoksikosis bisa disebabkan sebab-sebab lain seperti menelan hormon tiroid
berlebihan atau sekresi hormon tiroid berlebihan dari tempat-tempat ektopik.
Nodul hipertiroid dibedakan atas struma multinoduler toksik dan struma
uninoduler toksik atau nodul toksik, insiden struma multinoduler toksik di Inggris
28
dilaporkan sebanyak 5-8 % dari kasus hipertiroid, sedangkan di Jerman dilaporkan
oleh Fischer sebanyak 34 %. Di Selandia baru, Brownlie melaporkan sesuai dengan
pemeriksaan sidik tiroid dengan menggunakan Tc99m pertechnetate didapatkan kasus
hipertiroid sebanyak 75 % Graves, 15 % struma multinodular toksik, dan 10 %
struma uninodular toksik. (Sumual, 1992). Struma multinodular toksik disebut juga
sebagai sindroma Marine-Lenhart dan struma uninodular toksik disebut juga adenoma
toksik atau penyakit plummer. Kemungkinan keganasan pada nodul yang hipertiroid
sekitar 2 % (Sylvia, 2003).
2.2.2.1 Struma Difusa Toksika (Penyakit Graves)
2.2.2.1.1 Definisi
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang mempunyai manifestasi yang
ditandai dengan gejala hipertiroidisme karena adanya produksi hormon trioid yang
tinggi dengan mekanisme adanya autoantibody TSH-R Ab (Thyroid Stimulating
Hormone Receptor Antibody) yang menginduksi folikel sel tiroid untuk
memproduksi sejumlah hormon T4 dan T4. (Woeber, Kenneth A, 1986)
2.2.2.1.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat
dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit
Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5
kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.
( Shahab,2002)
2.2.2.1.3 Patofisiologi
29
Penyakit Graves ditandai dengan adanya limfosit baik sel B maupun sel T yang
mudah tersentisisasi oleh paling sedikit 4 autoantigen tiroid yaitu reseptor TSH,
tiroglobulin, tiroid peroksidase (TPO) dan sodium/iodide kontrasporter. Reseptor
TSH merupakan autoantigen primer pada penyakit Graves dan yang lain merupakan
autoantigen sekunder. Pada penyakit Graves limfosit T menjadi tersentisisasi oleh
antigen dan menstimulasi limfosit B untuk mensintesis antinodi terhadap antigen
tersebut. (Bauer, 2006)
Sel-sel limfosit B yang terkumpul dalam kelenjar tiroid penderita Graves
menurunkan respon proliferative terhadap sel B dan sekresi immunoglobulin basal
meningkat disbanding dengan sel B di perifer, ini menunjukkan status yang aktif. Sel
B tiroid ini secara in vitro juga mensekresi autoantibodi tiroid secara spontan untuk
melawan preaktivasi. Kelenjar tiroid merupakan tempat primer produksi autoantibody
tiroid pada penderita ini. (Bauer, 2006)
Pada penderita penyakit Graves kelenjar tiroid tidak lagi di bawah kontrol TSH
hipotalamus tapi secara terus menerus distimulasi oleh antibodi TSH-like activity,
yang kebanyakan ditemukan dalam subklas IgG1. Antibodi yang terikat pada reseptor
TSH dibagi menjadi 2, antibodi yang mengawali proses tranduksi sinyal intraseluler
disebut sebagai TSH-receptor-stimulating Antibodies (TSH-rs-Ab),sedangkan yang
satunya disebut sebagai TSH-receptor-blocking Antibodies (TSH-rb-Ab). TSH-rs-Ab
hanya terdeteksi pada penderita Graves. Di antara penderita penyakit Graves yang
baru didiagnosis sekitar 80-85% terdeteksi adanya TSH-rs-Ab dalam serumnya.
Konsentrasi TSH-rs-Ab dalam serum tampaknya menurun selama pengobatan
antitiroid dan konsentrasi yang tetap tinggi mendukung terjadinya tirotoksikosis bila
obat dihentikan. Ikatan antara TSH-rs-Ab dengan reseptor TSH tergantung pada
struktur tiga dimensi dari reseptor itu sendiri yang berarti adanya multipel epitop pada
permukaan reseptor TSH yang merupakan region imunogenik. Kebalikannya TSH-
rb-Ab kebanyakan terikat pada bagian kecil dari domain ekstraseluler yang berada di
dekat membrane. (Minanti, B.R, 2006)
30
Sebagaimana TSH, TSH-rs-Ab mengaktivasi adenyl cyclase-cAMP dan protein
kinase C-phosphoinositide signal transduction systems, yang mengakibatkan
pengeluaran hormone tiroid dan tiroglobulin dan menstimulasi ambilan dan
organifikasi iodine, sintesa protein dan pertumbuhan sel folikular tiroid. (Minanti,
B.R, 2006)
\\
2.2.2.1.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis
Manifestasi dari penyakit Graves: Struma difusa toksika, Ophtalmopathy, dan
Dermopathy (pretibial miksedema). Pasien penyakit Graves menunjukkan gejala
hipertiroid yakni: disfagia, iritabilitas dan emosi yang labil, tidak dapat tidur dan
gelisah, tidak mampu berkonsentrasi, perburukan tulisan tangan dan kemampuan
sekolah yang menurun, frekuensi BAB yang meningkat atau diare, palpitasi, pruritus,
kehilangan BB, selera
makan bertambah,
jarang haid, badan lemas dan
mudah lelah dan intoleransi
panas. ( Woeber,1986)
31
Gambar 4.1. Patofisiologi Penyakit Graves(sumber Kapita Selekta Endokrin Metabolik hal 7)
Penyakit hipertiroid mempengaruhi multiorgan yang dapat dilihat sebagai
tanda klinis sebagai berikut:
Umum
Penderita biasanya tinggi kurus, dengan tatapan melotot dan perilaku gelisah
Penderita mungkin duduk dengan berpegangan untuk mengontrol kegelisahan
mereka
Denyut nadi yang melebar cepat bisanya khas ditemukan.( Woeber,1986)
Mata
Eksoftalmus mungkin ada, biasanya masih derajat ringan. Kelemahan otot
ekstraokuler langka terjadi, tetapi mungkin didapatkan dengan mencari
kemampuan persamaan buka tutup mata untuk mengetahui ketinggalan
penutupan mata (lid lag). Sebenarnya beberapa remaja mungkin mempunyai
ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata karena lebih hebat
eksoftalmus. Eksoftalmus hebat bisa dihubungkan dengan perasaan berpasir di
mata pada waktu bangun tidur (buka mata) bisa dengan adanya iritasi atau
ulserasi kornea (amat langka sekali). Eksoftalmus bisa unilateral.
(Djokomoeldjanto, 2006)
Tanda non spesifik termasuk tutup reaksi, celah aperture palpebra (tanda
dairymple), lid lag (tanda Von Graeve), membelalak atau penampilan
ketakutan, jarang berkedip (tanda stellwag), dan tidak bisa mengkerutkan kulit
32
dahi bila memandang ke atas (tanda joffroy). Tanda unik ke orbitopathy di
penyakit Graves adalah ketidakmampuan untuk menjaga bola mata agar tetap
dikumpulsatukan/konvergensi (tanda mobius), pandangan ekstraokuler yang
terbatas (terutama ke atas), diplopia, kabur pandangan katena konvergensi dan
akomodasi tidak cukup, isi orbital yang edema dan mata menutup dengan
kesannya bengkak, kemosis. Ketajaman visual dapat berkurang akibat
papiledema, edema retina, perdarahan retina atau kerusakan saraf optic.
(Djokomoeldjanto, 2006)
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang
orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan
proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola
mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat
diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan
otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang
akan menimbulkan kebutaan.Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) ,
menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut
(dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
33
Kardiopulmoner
Pemeriksaan jantung bisa didapatkan murmur dari prolaps katup mitral
Denyut jantung cepat dan penonjolan precordium bisa diamati
Pada tirotoksikosis berat berhubungan dengan penyakit Graves, krisis tiroid,
sehingga gagal jantung yang berat dapat diamati
34
Klas Penjelasan
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid
retraction,stare,lid lag)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat
menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat
sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat.
2 Perubahan jaringan lunak orbita
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita
disertai edema periorbita, kongesti dan pembengkakan
dari konjungtiva (khemosis).
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel
exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa
proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior
yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola
mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis,
maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola
mata kesamping.
5 Perubahan pada kornea (keratitis
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Atrial fibrilasi mungkin jarang tetapi dapat terjadi pada anak dengan
trrotoksikosis (Skelton, C.L.,1986)
Neuromuskuler
Refleks tendon (fisiologis meningkat)
Tenar dan hipotenar yang berlebihan mungkin ada
Kelemahan otot yang berat
Pada individu dengan genetic tertentu dapat terjadi kelumpuhan berkala yang
berhubungan dengan hipokalemia ayng diinduksi oleh tirotoksikosis.
Walaupun kelumpulan berkala tirotoksik tergambar sebagai gangguan pada
orang dewasa, namun sudah bisa diamati sejak remaja. (Adams, R.D, 1986)
Kulit
Kulit biasanya baik dan lembab
Ekskoriasi dapat terjadi karena pruritus
Kulit menjadi gelap dan lebih diobservasi pada beberapa individu yang
berkulit lebih gelap
Tirotoksikosis bisa memperhebat luka oleh Akantosis nigricans
Gambaran tidak teratur dari belang kafe au lait dapat menandakan adanya
diagnosis dari tirotoksikosis berhubungan dengan sindroma McCune-Albright
daripada penyakit Grave
Indeks Wayne dan Indeks New Castle
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu:
35
(Andreoli, B., 2007)
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kelainan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema di
bawah ini:
36
Tabel 4.1. Indeks Wayne Tabel 4.2. Indeks New castle
Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit
Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada
penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic
hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan
laboratorium yang jelas.( Subekti, 2001)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar
hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan
T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon
tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.( Subekti, 2001)
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus
menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang
tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi
rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua
merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh
karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai
angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4
bebas (free T-4/FT-4).
37
Gambar 4.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes
supresi tiroksin. ( Subekti, 2001)
2.2.2.1.5 Diagnosis Banding
Anxiety disorder
Premenepausal state
Thyroiditis
Penyebab lain hipertiroid seperti toxic multinoduler goiter, toxic adenoma
Lain-lain: metastatic neoplasm. (Ferri,2006)
2.2.2.1.6 Penatalaksanaan
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam
patogenesis terjadinya penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. (Subekti, I, 2001)
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme
akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium
Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid
dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
1. Obat – obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3
38
dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat
sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih
dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai
dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka
waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi
spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid
secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi
hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg
setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali
sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar
hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves. Methimazole mempunyai
masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi
dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. Ada juga pendapat ahli yang
menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi
umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia.
39
Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU
50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan
keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis
awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis
yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping
yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis
biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat
tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila timbul efek samping
yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain,
misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves
adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai
40
keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang
masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan
tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada
hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-
keadaan sebagai berikut :
Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti
Tiroid dosis rendah.
Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,
sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai
beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis
yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan
mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic
state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada
reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga
dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap
konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa
dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
41
trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien
asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi
atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,
untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan
ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat
Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu
pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan
pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau
respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan
TSH.
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local
pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya.
Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu
42
terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam
waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan
sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula
terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara
pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik
ataupun teratogenik.
Indikasi pengobatan dengan yodium radioaktif: pasien umur 35 tahun atau
lebih, hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi, gagal mencapai
remisi sesudah pemberian obat antitiroid, adenoma toksik, goiter multinodular toksik.
3.
Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre
43
Gambar 4.3. Cara Kerja Obat Pada Tirotoksikosis(dikutip dari Djokromoedijanto R., 2004)
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Indikasi dilakukannya pembedahan: pasien umur muda dengan struma besar
serta tidak berespons terhadap obat antitiroid., pada wanita hamil (trimester kedua)
yang memerlukan obat antitiroid dosis besar, alergi terhadap obat antitiroid, pasien
tidak dapat menerima yodium radioaktif, adenoma toksik atau struma multinodular
toksik, pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
2.2.2.1.7 komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis
dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan
berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang
mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi kemunduran
fungsi organ. (Djokomoeldjanto, 2006)
Pada keadaan yang sudah dinamakan krisis tiroid ini maka fungsi organ vital
untuk kehidupan menurun dalam waktu singkat hingga mengancam nyawa. Hal yang
memicu terjadinya krisis tiroid ini adalah :
operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada
bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol
hormon tiroidnya
stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen
infeksi
stroke
trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat
memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme
sebelumnya. (Djokomoeldjanto, 2006)
Manifestasi Klinisnya antara lain, kecurigaan akan terjadi krisis apabila
terdapat trias: menghebatnya tanda tirotoksikosis, kesadaran menurun, dan
44
hipertermia. Selain itu terdapat skor indeks klinis untuk menentukan indeks klinis
krisis tiroid dari Burch-Wartofsky.
Diagnostic parameters Scoring points
Thermoregulatory dysfunction
Temperature °F (°C)99–99.9 (37.2-37.7)100–100.9 (37.8-38.2)101–101.9 (38.3-38.8)102–102.9 (38.9-39.2)103–103.9 (39.3-39.9)>/= 104.0 (>/= 40.0)
51015202530
Central nervous system effects
Absent Mild (agitation) Moderate (delirium, psychosis, extreme lethargy Severe (seizures, coma)
0102030
Gastrointestinal-hepatic dysfunction
Absent Moderate (diarrhea, nausea/vomiting, abdominal pain) Severe (unexplained jaundice)
01020
Cardiovascular dysfunction
Tachycardia (beats/minute)90–109 110–119 120–129 >/= 140
5101525
Congestive heart failureAbsent Mild (pedal edema) Moderate (bibasilar rales) Severe (pulmonary edema)
051015
Atrial fibrillationAbsent Present Precipitating eventAbsent Present
010 010
45
4.3.4. Penatalaksanaan Krisis Tiroid10
Pengobatan krisis tiroid harus segerea diberikan, kalau mungkin dirawat di bangsal
dengan kontrol baik
Umum. Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan
cairan lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, kalau perlu obat sedasi,
kompres es.
Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat: (a) Memblok sintesis hormone
baru: PTU dosis besar (loading dose 600-1000 mg), diikuti dosis 200 mg PTU
tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg; (b) Memblok keluarnya
cikal bakal hormon dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8 jam) atau SSKI
(larutan kalium yodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam). Apabila ada, berikan
endoyodin (NAI) IV, kalau tidak solusio lugol/SSKI tidak memadai; (c)
Menghambat konversi perifer dari T4T3 dengan propanolol, ipodat,
penghambat beta, dan/atau kortikosteroid.
Pemberian hidrokortison dosis stres (100 mg tiap 8 jam atau deksametason 2
mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannya ialah karena defisiensi steroid realtif
akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin (aspirin akan
melepas ikatan protein-hormon tiroid, hingga free-hormon meningkat).
Apabila dibutuhkan, propanolol dapat digunakan , sebab disamping
mengurangi takikardi juga menghaambat konversi T4T3 di perifer. Dosis
20-40 mg tiap 6 jam.
Mengobati faktor pencetus (misalnya infeksi). Respon pasien (klinis dan
membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam 24 jam, meskipun ada yang
berlanjut hingga seminggu.
2.2.2.2 Struma multinoduler toksik (Sindroma Marine-Lenhart)
46
Tabel 4.1. Scoring system: A score of 45 or greater is highly suggestive of thyroid storm; a score of 25–44 is suggestive of impending storm, and a score below 25
is unlikely to represent thyroid storm
Hipertiroid pada struma multinoduler terjadi apabila jumlah folikel baru sudah
cukup banyak yang mengeluarkan hormon tiroid baru melebihi kebutuhan tubuh.
(Asdie, 1990). Terbentuknya folikel baru memakan waktu yang cukup lama, sehingga
hipertiropid terjadi pada usia lanjut, terutama pada mereka dengan struma yang sudah
lama. Folikel baru yang tumbuh adalah yang panas (hot folicles) yang dapat
meningkatkan produksi hormon, sehingga sekresi Thyroid Stimulating Hormon
(TSH) menurun, yang mengakibatkan produksi hormon dari folikel panas dan
jaringan normal, mulai melebihi kebutuhan tubuh. Hipertiroid pada struma
multinoduler biasanya ringan (subclinical hypertyroidism) dan akan hialng setelah
operasi dengan dikeluarkan bagain yang sakit dari kelenjer tiroid. Perubahan dari
kelenjer tiroid normal menjadi struma noduler yang berisi sejumlah folikel panas
yang terus bertambah. (Sumual,1992)
Pemberian yodium pada penderita multinoduler dapat mencetuskan timbulnya
hipertiroid karena terjadi produksi yang berlebihan dari hormon. Pada daerah dengan
goiter endemik berat, presentasi hipertiroid sesudah pemberian iodium cukup tinggi
pada penderita dengan struma multinodular. (Sumual,1992) Terbentuknya nodul
berbeda dengan terbentuknya folikel yang otonomik. Sebab itu kerap kali nodul berisi
lebih dari satu macam folikel, dan yang disebut nodul panas dapat nampak pada sidik
tiroid sebagai kumpulan folikel panas yang besar bukan sebagai nodul yang
sebenarnya. (Kahaly G & Wolfgang, 2005)
Gambaran klinis
Penderita kebanyakan wanita dengan struma yang sudah bertahun-tahun.
Kerapkali gejala-gejala hipertiroid dikelabui dengan kelainan organ lain seperti
jantung sehingga sukar ditemukan. Takikardi, AF, penurunan BB dan kelainan mental
seperti depresi, kecemasan, insomnia dan dapat dipakai sebagai petunjuk adanya
hipertiroid, sangat jarang ditemukan adanya oftalmopati (5). Pemberian yodium dapat
sebagai pencetus terjadinya hipertiroid. Sering ditemukan hipertiroid subklinik
dimana kadar hormon tiroid normal tapi tes TRH negatif. Struma multinoduler
toksika dapat dibedakan dengan struma pada penyakit Grave.
47
Difus pada permulaan, kemudian menjadi multinoduler
Dapat bertumbuh besar sekali
Bertumbuh pelan, kadang-kadang sesudah bertahun-tahun
Ditemukan > 50 tahun
Sering eutiroid, hipertiroid timbul sesudah bertahun-tahun
Histologis dan autoradiografis ; Folikel sangat heterogen dalam besar, bentuk
sel folikuler dan intensitas pengembalian yodium.
2.2.2.3 Struma Uninodular Toksik ( Adenoma toksik, Plummer disease)
Struma uninoduler ini adalah suatu adenoma tunggal, biasanya adenoma
folikel yang secara otonom memproduksi hormon yang berlebihan. Mengapa dan
bagaimana timbulnya nodul tiroid yang otonom ini belum diketahui (1). Beberapa
teori dikemukakan timbulnya struma ini mungkin oleh karena reaksi berlebihan dari
TSH, kehilangan sebagain pengawas balik (trophic control) pada nodul; yang otonom
ini, penekanan sel tirotropin pituitaria. Pembesaran nodul perlahan dimana mula-mula
terjadi penekanan pada TSH agar mikronodul yang lain tidak membesar. Selanjutnya
dengan makin membesarnya nodul akan terjadi penekanan bukan saja TSH tapi juga
fungsi dari jaringan sekitar nodul. Pada stadium ini penderita masih eutiroid dan
kadar T3 dan T4 masih normal, namun pada sidik tiroid nampak banyak isotop
terkumpul dalam nodul.(Sumual, 1992) Akhirnya nodul melakukan semua fungsinya
dengan menekan fungsi jaringan sekitar nodul. Pada sidik tiroid nampak ambilan
isotop hanya oleh nodul, sehingga keadaan ini sudah terjadi hipertiroid. Kapan
terjadinya hipertiroid ini tergantung terutama pada besarnya nodul. Jumlah hormon
tiroid yang dikeluarkan oleh nodul tergantung dari besarnya nodul. Hipertiroid terjadi
bila nodul > 3 cm, sedang nodul yang < 2,5 cm biasanya tidak menyebabkan
hipertiroid. (Kahaly G & Wolfgang, 2005). Ditemukan biasanya pada umur lebih dari
40 tahun dimana penderita merasa nodul yang memang sudah ada cepat membesar.
Di Inggris adenoma toksika hanya kira-kira 5 % dari hipertiroid dan lebih banyak
pada wanita
48
2.2.2.3.1 Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten
terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan
berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Penderita goiter nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada
manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves.
Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di
retrosternal (Sadler et al, 1999)
2.2.2.3.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung
oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat.
Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)
2.2.2.3.3 Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala
tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak
efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita
ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi
atau lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang
lain adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)
2.2.3 TUMOR JINAK TIROID
Tumor jinak tiroid adalah adenomas, involutionary nodules, cysts atau
localized tiroiditis. Hampir semua adenomas adalah type follicular. Adenomas
biasanya solitary dan encapsulated. Alasan utama dilakukannya pengangkatan jika
49
dicurigai malignancy, over aktifitas fungsional dari produksi hipertiroid dan alasan
kosmetik.
2.2.4 KARSINOMA THYROID
2.2.4.1 Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari
sel) yang terjadi pada kelenjar tiroid.
2.2.4.2 Epidemiologi
Karsinoma tiroid menempati urutan ke-9 dari sepuluh keganasan tersering.
Lebih banyak pada wanita dengan distribusi berkisar antara 2 : 1 sampai 3 : 1.
Insidensnya berkisar antara 5,4-30%. Berdasarkan jenis histopatologi, sebarannya
adalah kanker tiroid jenis papilar (71,4%); kanker tiroid jenis folikular (16,7%);
kanker tiroid jenis anaplastik (8,4%); dan kanker tiroid jenis medular (1,4%).
Berdasarkan usia kanker tiroid jenis papilar biasanya pada pasien yang berusia kurang
dari 40 tahun, berbeda dengan kanker tiroid folikular yang banyak pada usia di atas
itu. Sedangkan kanker jenis medular sering ditemukan pada usia tua (50-60 tahun).
Angka insidensi tahunan kanker tiroid bervariasi di seluruh dunia, yaitu dari
0,5-10 per 100.000 populasi. Karsinoma tiroid ini merupakan jenis keganasan
jaringan endokrin yang terbanyak, yaitu 90% dari seluruh kanker endokrin.
American Cancer Society memperkirakan bahwa sekitar 17.000 kasus baru muncul
setiap tahunnya di Amerika Serikat dan sekitar 1.300 diantaranya mengakibatkan
kematian. Tetapi dengan pengobatan yang adekuat, sekitar 190.000 penderita tetap
dapat hidup normal dan beberapa dapat bertahan lebih dari 40 tahun. Karsinoma
tiroid dapat menyebabkan kematian 10% pada yang berdiferensiasi baik, 50% pada
yang berdiferensiasi buruk dan 100% pada anaplastik.
2.2.4.3 Etiologi
50
Etiologi yang pasti dari tumor ini belum diketahui; yang berperan khususnya
untuk karsinoma dengan diferensiasi baik (papiler dan folikular) adalah radiasi dan
goiter endemis sedangkan untuk jenis medular adalah faktor genetik. Belum diketahui
suatu karsinogen yang berperan untuk kanker anaplastik dan medular. Diperkirakan
kanker tiroid anaplastik berasal dari perubahan kanker tiroid berdiferensiasi baik
(papiler dan folikular) dengan kemungkinan jenis folikular dua kali lebih besar.
2.2.4.4 Klasifikasi
Klasifikasi WHO 1988 membedakan neoplasma tiroid menjadi :
1. Tumor-tumor epitelial
Adenoma folikuler
Karsinoma papilari
Karsinoma folikuler
Karsinoma medulari
Karsinona undiferensiasi
2. Tumor-tumor non-epitelial
Limfoma malignan
Tumor-tumor miselaneous
1. Adenoma Folikular
Merupakan neoplasma jinak yang berasal dari epitel folikel. Lesi biasanya
soliter. Tumor ini sulit dibedakan dengan karsinoma folikular pada pemeriksaan
sitologi biopsi jarum halus, maka pendiagnosaannya disebut dengan neoplasma
folikular. Merupakan tumor yang berbatas tegas dan berkapsul jaringan ikat fibrous
dengan diferensiasi sel folikel yang menunjukkan gambaran yang seragam. Pada
pemotongan tampak massa yang homogen tapi kadang-kadang disertai perdarahan
dan berkistik. Secara mikroskopis, sel-sel tersusun dalam folikel-folikel yang
mengandung massa koloid dengan dinding kapsulnya yang tebal.
2. Karsinoma Papilari
51
Karsinoma papilari adalah jenis keganasan tiroid yang paling sering
ditemukan (75-85%) yang timbul pada akhir masa kanak- kanak atau awal kehidupan
dewasa. Merupakan karsinoma tiroid yang terutama berkaitan dengan riwayat
terpapar radiasi pengion. Tumor ini tumbuh lambat, penyebaran melalui kelenjar
limfe dan mempunyai prognosis yang lebih baik diantara jenis karsinoma tiroid
lainnya. Faktor yang mempengaruhi prognosis baik adalah usia dibawah 40 tahun,
wanita dan jenis histologik dominan papilari. Sifat biologik daripada tumor jenis
papilari ini yakni tumor atau lesi primer yang kecil bahkan mungkin tidak teraba
tetapi metastasis ke kelenjar getah bening dengan massa atau tumor yang besar atau
nyata. Lesi ini sering tampil sebagai nodul tiroid soliter dan biasanya diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi biopsi jarum halus, dengan angka ketahanan
hidup 10 tahun mencapai 95%.
Mikroskopis, karsinoma papilari berupa tumor yang tidak berkapsul dengan
struktur berpapil dan bercabang. Sel karakteristik dengan inti sel yang berlapis-lapis
dan sitoplasma yang jernih. Ada beberapa varian dari karsinoma papilari yaitu
microcarcinoma, encapsulated, follicular, tall-cell, columnar-cell, clear-cell dan
diffuse sclerosing carcinoma. Dua puluh sampai delapan puluh persen berupa tumor
yang multisentrik dan bilateral pada 1/3 kasus.
3. Karsinoma Folikular
Karsinoma folikular meliputi sekitar 10-20% keganasan tiroid dan biasa
ditemukan pada usia dewasa pertengahan atau diatas 40 tahun. Pada kasus yang
jarang, tumor ini mungkin hiperfungsional (tirotoksikosis). Insiden karsinoma
folikular meningkat di daerah dengan defisiensi yodium. Diagnosa tumor ini secara
sitologi sulit dibedakan dengan adenoma folikular, diagnosa pasti dengan
pemeriksaan frozen section pada durante operasi atau dengan pemeriksaan
histopatologi untuk melihat adanya invasi ke kapsul atau pembuluh darah. Karsinoma
folikular bermetastasis terutama melalui pembuluh darah ke paru, tulang, hati dan
jaringan lunak. Karsinoma folikular diterapi dengan tiroidektomi total diikuti
52
pemberian iodine radioaktif. Juga karena sel karsinoma ini menangkap yodium, maka
radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan dengan pengukuran kadar TSH sebagai
follow up bahwa dosis yang digunakan bersifat supresif dan untuk memantau
kekambuhan tumor. Angka ketahanan hidup 10 tahun mencapai 85%.
4. Karsinoma Medular
Karsinoma medular meliputi sekitar 5 % keganasan tiroid dan berasal dari sel
parafolikuler, atau sel C yang memproduksi kalsitonin. Karsinoma ini timbul secara
sporadik (80%) dan familial (20%), dimana tumor ini diturunkan sebagai sifat
dominan autosom; apakah berhubungan dengan MEN-2a atau MEN-2b atau
endokrinopati lainnnya. Karsinoma medular terutama ditemukan pada usia 50-60
tahun tetapi pernah juga ditemukan pada usia yang lebih muda bahkan anak.
Penyebarannya terutama melalui kelenjar limfe. Bila dicurigai adanya karsinoma
medular maka perlu diperiksa kadar kalsitonin darah. Angka ketahanan hidup 10
tahun mencapai 40%.
Massa tumor berbatas tegas dan keras pada perabaan, pada lesi yang lebih luas
tampak daerah nekrosis dan perdarahan dan dapat meluas sampai ke kapsul.
Mikroskopis, tampak kelompokan sel-sel bentuk poligonal sampai lonjong dan
membentuk folikel atau trabekula. Tampak adanya deposit amiloid pada stromanya
yang merupakan gambaran khas pada karsinoma tipe medular ini.
5. Karsinoma Anaplastik
Karsinoma anaplastik tiroid merupaka salah satu keganasan pada manusia
yang paling agresif dan jarang dijumpai yaitu kurang dari 5%. Karsinoma anaplastik
ini berkembang dengan menginfiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor ini terutama
timbul pada usia lanjut, terutama di daerah endemik gondok dan lebih banyak pada
wanita. Sebagian besar kasus muncul dengan riwayat pembengkakan yang cepat
membesar pada leher, disertai dengan adanya kesulitan bernafas dan menelan, serta
suara serak karena infiltrasi ke nervus rekurens. Pertumbuhannya sangat cepat
53
walaupun diterapi. Metastasis ke tempat jauh sering terjadi, tetapi umumnya kematian
terjadi dalam waktu kurang dari setahun. Angka ketahanan hidup 5 tahun <5%.
Tampak massa tumor yang tumbuh meluas ke daerah sekitarnya. Mikroskopis,
tampak sel-sel anaplastik (undifferentiated) dengan gambaran morfologi yang sangat
pleomorfik, serta tidak terbentuknya gambaran folikel, papil maupun trabekula.
2.2.4.5 Patogenesis
Tumor dapat berupa nodul lunak, tetapi sering berupa tumor keras.
Adenokarsinoma papiler (60%) biasanya bersifat multisentrik dan 50% penderita
dengan ada sarang ganas di lobus homolateral. Metastasis mula-mula kelenjar limfe
regional dan akhirnya terjadi metastasis hematogen. Umumnya adenokarsinoma
folekular bersifat unifokal, dengan metastasis juga ke kelenjar limfe leher tetapi
kurang sering dan kurang banyak. Karsinoma ini lebih sering menyebar secara
hematogen, antara lain ke tulang dan paru.
Adenokarsinoma anaplastik, yang jarang ditemukan (10%), merupakan tumor
yang agresif, pertumbuhan cepat, dan menyebabkan penyusupan ke jaringan sekitar.
Pada tahap dini terjadi penyebaran hematogen, Penyembuhan jarang dicapai.
Karsinoma anaplastik sering menyebabkan kesulitan bernafas karena penyusupan ke
trakea sehingga terjadi stenosis yang mengakibatkan dispnoe dengan stridor inspirasi.
Penyusupan karsinoma tiroid dapat ditemukan di trakea, laring, faring,
esophagus, n.rekurens, pembuluh darah karotis, struktur lain dalam leher dan kulit.
Metastasis limfogen dapat meliputi semua region leher, sedangkan metastasis
hematogen ditemukan terutama di paru, tulang, otak dan hati.
2.2.4.6 Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma tiroid adalah sebagai berikut :
1. Nodul jinak perlahan, sedang nodul ganas lebih cepat dan nodul anaplastik cepat
sekali (dihitung dalam minggu) tanpa nyeri.
2. Terdapat faktor risiko :
54
a. Masa anak-anak pernah mendapat terapi sinar didaerah leher atau sekitarnya.
b. Anggota keluarga lain menderita kelainan kelenjar gondok
c. Tetangga atau penduduk sekampung ada yang menderita kelainan kelenjar
gondok (endemis)
3. Merasakan adanya gangguan mekanik di daerah leher, seperti gangguan menelan
yang menunjukkan adanya desakan esophagus atau perasaan sesak yang
menunjukkan adanya desakan/ infiltrasi ke trakea.
4. Pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher (mungkin metastasis)
5. Penonjolan kelainan pada tulang cranium
6. Perasaan sesak dan batuk-batuk yang disertai dahak berdarah (metastasis di paru-
paru bagi jenis folikuler)
2.2.4.7 Diagnosis
Pada anamnesis awal, kita berusaha mengumpulkan data untuk menentukan
apakah nodul tiroid tersebut toksik atau non toksik. Biasanya nodul tiroid tidak
disertai rasa nyeri kecuali pada kelainan tiroiditis akut/subakut. Sebagian besar
keganasan pada tiroid tidak memberikan gejala yang berat, kecuali jenis anaplastik
yang sangat cepat membesar bahkan dalam hitungan minggu. Pada pasien dengan
nodul tiroid yang besar, kadang disertai dengan adanya gejala penekanan pada
esofagus dan trakea.
Nodul diidentifikasi berdasarkan konsistensinya keras atau lunak, ukurannya,
terdapat tidaknya nyeri, permukaan nodul rata atau berbenjol-benjol, berjumlah
tunggal atau ganda, memiliki batas yang tegas atau tidak, dan keadaan mobilitas
nodul.
Prosedur diagnostik dari karsinoma tiroid adalah:
Anamnesis
a. Pengaruh usia dan jenis kelamin
Apabila nodul tiroid terjadi pada usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun dan
jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko malignansi lebih tinggi
55
b. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala
Radiasi pada masa anak-anak dapat menyebabkan malignansi pada tiroid ± 33-
37 %.
c. Kecepatan tumbuh tumor
• Nodul jinak membesar dalam waktu yang tidak terlalu cepat
• Nodul ganas membesar dalam waktu yang cepat
• Nodul anaplastik membesar dengan sangat cepat
• Kista dapat membesar dengan cepat
d. Riwayat gangguan mekanik di daerah leher
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak, perubahan suara dan nyeri dapat
terjadi akibat desakan dan/atau infiltrasi tumor.
e. Riwayat penyakit serupa pada keluarga
Pemeriksaan Fisik
a. Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau multipel dengan
konsistensi yang bervariasi dari kistik sampai dengan keras bergantung
kepada jenis patologi anatominya.
b. Perlu diketahui ada atau tidaknya pembesaran kelenjar getah bening regional.
c. Perlu dicari ada tidaknya benjolan pada kalvaria, tulang belakang, klavikula,
sternum, dll, serta tempat metastasis jauh lainnya yaitu paru-paru, hati dan
otak.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
• Human Thyroglobulin ; suatu tumor marker untuk keganasan tiroid ; jenis
yang berdiferensiasi baik, terutama untuk follow up.
• Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi tiroid
b. Pemeriksaan radiologis
• Dilakukan pemeriksaan foto paru posterior anterior, untuk menilai ada
tidaknya metastasis, foto polos leher antero-posterior dan lateral dengan
56
posisi leher hiper ekstensi, bila tumor besar. Untuk melihat ada atau
tidaknya mikrokalsifikasi.
• Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tanda-tanda adanya
infiltrasi ke esophagus
• Pembuatan foro tulang dilakukan bila ada tanda-tanda metastasis ke tulang
yang bersangkutan.
c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Diperlukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul posterior
yang secara klinis belum dapat dipalpasi. Disamping itu dapat dipakai untuk
membedakan nodul yang padat dan kistik serta dapat dimanfaatkan untuk
penuntun dalam tidakan biopsi.
d. Pemeriksaan sitologi BAJAH.
Keberhasilan dan ketepatan hasil BAJAH tergantung atas 2 hal yaitu faktor
kemampuan pengambilan sampel dan faktor ketepatan interpretasi oleh
57
seorang sitolog sehingga angka akurasinya sangat bervariasi. Ketepatan
pemeriksaan ini pada karsinoma tiroid anaplastik, medulare dan papilare
hampir mendekati 100%, tetapi jenis folikulare hampir tidak dapat dipakai
karena gambaran sitologi untuk adenomatosus goiter, adenoma folikulare dan
adeno karsinoma folikuler adalah sama, tergantung dari gambaran invasinya ke
kapsul dan vaskular yang hanya dapat dilihat dari gambaran histopatologi.
e. Pemeriksaan histopatologi
• Merupakan pemeriksaan diagnostik utama jaringan diperiksa, setelah
dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi
• Untuk kasus inoperabel, jaringan yang diperiksa diambil dari tindakan
biosi insisi.
Staging Karsinoma Tiroid
Stadium Klinik Berdasarkan Sistem TNM :
T- (Tumor primer) • Tx Tumor primer tidak dapat dinilai • T0 Tidak didapat
tumor primer • T1 Tumor dengan ukuran 1 cm atau kurang masih terbatas pada tiroid
58
• T2 Tumor dengan ukuran lebih dari 1 cm namun tidak lebih dari 4cm masih terbatas
pada tiroid • T3 Tumor dengan ukuran lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid • T4
Tumor dengan ukuran berapa saja yang telah berekstensi keluar kapsul tiroid, T4a
tumor telah berekstensi keluar kapsul tiroid dan menginvasi ke tempat berikut :
jaringan lunak subkutan, laring, trakea, esophagus, n.Laringeus recurren atau
karsinoma anaplastik terbatas pada tiroid (intra tiroid) ; T4b tumor telah menginvasi
fasia prevertebra, pembuluh mediastinal atau arteri carotis atau karsinoma anaplastik
berekstensi keluar kapsul (ekstra tiroid)
N- (Kelenjar getah bening regional) • Nx Kelenjar getah bening tidak dapat
dinilai • N0 Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening • N1 Terdapat
metastasis ke kelenjar getah bening • N1a Metastasis ke kelenjar getah bening
cervical ipsilateral • N1b Metastasis pada kelenjar getah bening cervical bilateral,
midline, contralateral atau ke kelenjar getah bening mediastinal
M- (Metastasis jauh) • Mx Metastasis jauh belum dapat dinilai • M0 Tidak
terdapat metastasis jauh • M1 Terdapat metastasis jauh. Berdasarkan atas temuan
klinis dan klasifikasi TNM, karsinoma tiroid dapat dibedakan atas beberapa stadium :
59
2.2.4.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma thyroid tergantung pada jenis, penyebaran sel
kanker, ketersedian alat, dan ketersedian sumber daya manusia yang mengerjakanya.
Pada penderita karsinoma thyroid dilakukan tindakan pembedahan yang bisa dikuti
dengan radioterapi tergantung jenis histopatologis dan stadiumnya. Pemeriksaan
klinis penting untuk menentukan apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau
suspek benigna.
Bila nodul tersebut suspect maligna maka akan dibedakan berdasarkan apakah
kasus tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka
dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok
parafin. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau
kemoradioterapi. Radiasi dapat berupa :
a. Radiasi dengan I131
Hanya tumor-tumor berdiferensiasi baik yang mempunyai afinitas terhadap
I131 terutama yang folikular. Radiasi interna dilakukan dengan syarat jaringan tiroid
normal yang afinitasnya lebih besar harus dihilangkan dulu dengan operasi atau
ablasio dengan pemberian I131 dosis yang lebih tinggi sehingga jaringan tiroid normal
rusak semua, baru sisa I131 bisa merusak jaringan tumor. Radiasi interna juga
diberikan pada tumor-tumor yang telah bermetastasis atau terdapat sisa tumor.
b. Radiasi eksterna
Memberikan hasil yang cukup baik untuk tumor-tumor inoperable atau
anaplastik yang tidak berafinitas I131. Sebaiknya dengan sinar electron 15-20 MW
dengan dosis 4000 rad. Sumsum tulang harus dilindungi. Radiasi eksterna diberikan
juga untuk terapi paliatif bagi tumor yang telah bermetastasis.
Indikasi pembedahan yg berbeda-beda, antara lain:
Thyroidektomi: mengangkat kelenjar thyroid (salah satunya atau bilateral),
pada: graves disease
Thyroidektomi sub total: mengangkat sebagian besar lobus kanan/kiri dari
jaringan thyroid dengan sisa msg2 3 gr, pada:struma nodusa benigna
60
Thyroidektomi total: mengangkat semua kelenjar thyroid, pada keganasan yg
terbatas tanpa kelainanan kelenjar limfe ( ca thyroid yg well-diff,ca medularis,
Lobektomi: mengangkat satu lobus saja (totalis dextra/sinistra atau sub total)
Ismolobektomi: mengangkat 1 lobus + ismus (pada pasien adeno Ca well diff
usia muda, unilateral,diameter klecil,tanpa penyebaran ke kelenjar leher)
Near Total tiroidectomi: Isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal
sinistra dan sebaliknya, sisa jaringan tiroid 1-2 gram. Mengangkat semua nodi
yang terlibat
RND(Diseksi Neck Radikal): Mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher
sisi yang bersangkutan dengan menyertakan n. assesorius , v.jugularis
eksterna dan interna, m. sternocleidomastoideus dan m.omohyoideus dan
kelenjar ludah submandibularis dan tail parotis.
Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan
isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (VC). Ada 5 kemungkinan hasil yang
didapat:
1. Lesi jinak maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi
2. Karsinoma papilare.
Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES.
Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi. Bila risiko
tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
3. Karsinoma Folikulare dilakukan tindakan tiroidektomi total
4. Karsinoma Medulare dilakukan tindakan tiroidektomi total
5. Karsinoma Anaplastik
Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total. Bila tidak
memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan dengan radiasi
eksterna atau khemoradioterapi.
61
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan
FNAB/BAJAH (Biospi Aspirasi Jarum Halus). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin
didapat yaitu :
1. Hasil FNAB suspek maligna, “foliculare Pattern” dan “Hurthle Cell”.
Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti
diatas.
2. Hasil FNAB benigna, Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama
6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan
tindakan observasi dan apabila nodul tersebuttidak ada perubahan atau bertambah
besar.sebaiknya.dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong
beku seperti diatas.
Pemeriksaan laboratorium yang membedakan tumor jinak dan ganas tiroid
belum ada yang khusus. Kecuali karsinoma meduler, yaitu pemeriksaan kalsitonin
(tumor marker) dalam serum. Pemeriksaan T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan
karena pada karsinoma tiroid dapat terjadi tirotoksikosis walaupun jarang. Human
Thyroglobulin (HTG) Tera dapat dipergunakan sebagai tumor marker terutama pada
karsinoma berdiferensiasi baik. Walaupun pemeriksaan ini tidak khas untuk
karsinoma tiroid, namun peninggian HTG setelah tiroidektomi total merupakan
indikator tumor residif.
62
2.2.4.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan karsinoma tiroid berdiferensiasi baik tergantung
pada umur (semakin buruk dengan bertambahnya umur), adanya ekstensi
(menurunkan survival rate 20 yahun dari 91% menjadi 46%); adanya lesi metastasis
(menurunkan survival rate 20 tahun dari 90% menjadi 46%); diameter tumor dan
jenis histopatologi (pada papilar survival rate 20 tahunnya 93% dan folikular survival
rate 20 tahunnya 83%).
63
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, R. 2005. Fungsi dan Kelainan Kelenjar Tiroid. Subbagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi Bagian ObsGin FK UNPAD Bandung
Asdie Husain A. 1990. “Hipertiroidisme” dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi II, balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal 442-448
Barrett, E.J. 2003. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical physiology.A cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders. Philadelphia: 1035- 1048
Behrman, A ,K. 2000. Hipotiroid dalam Nelson Textbook of Pediatrics edisi bahasa Indonesia vol 3. Alih bahasa: A. Samik Wahab. EGC, Jakarta. p.1937-1944.
Cahyono, H, A. 2007. Hipotiroid. Available from: http://www.slideshare.net/haryudi/hipotiroid-presentation. (online) diakses 15 Mei 2011
Dedivitis, RA. 2007. Tyroid, Paratyroid, And Adrenal : Schwartz’s Principles Of Surgery. Editor Brunicardi, C. ,Eight Edition. The McGraw-Hill Companies,
64
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998. Sistem Endokrin: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC., Jakarta
De Loris, L. 2002. Kelenjar Tyroid :,Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Ganong, W. Edisi 20, EGC, jakarta, : 305-319.
Djokomoeldjanto, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. In: Sudowo AW., Setyohadi B., Alwi I., Marselus S., Setiati S (Eds.): Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (4ed.). Jakarta: FKUI, hal 1955-1965.
Faizi, M. 2008. Hipotiroid. Available from: http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-buoi228.html. (online) diakses 15 Mei 2011
Farrndon, C. 1995. Glandula Thyroidea : Buku Ajar Bedah, Bagian I, Editor Sabiston, D., EGC, Jakarta, : 415 – 430.
Kahaly G and Wolfgang H. Dilmann. 2005. “Tyroid hormone Action in the heart” endojournals, reviews, , No. 26, page 704-728.
Kariadi, KS., Sumual, A. 1996. Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit FKUI, Jakarta,: 757 – 778.
Lee, Stephanie L., Goiter Non Toxic. 2004 (http://www.emedicine.com/med/topic919.htm , (online) diakses 15 Mei 2011
Masjhur, J. 2006. Nodul Tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III.. Editor Sudoyo ,A. dkk. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. : 1975-1980.
Mansjoer A et al (editor). 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
Mulinda, James, R. 2005. Goiter. eMedicine., http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm (online) diakses 15 Mei 2011
Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR. 1999. Thyroid and Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill., Newyork.
65
Scteingart, D., Penyakit Kelenjar Tiroid : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Editor Price, S. Wilson , Edisi 4, Buku 2, EGC, Jakarta, 1995 : 1070 – 1081.
Shahab, A. 2002. Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik), Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Jakarta: Buletin PIKKI, hal. 9-18.
Sumual A.R. 1992. “Tiroidologi” FK Universitas Sam Ratulangi Manado, Pt Les laboratories Servier.
Sylvia Vella B. 2003. “Endocrinology and the heart”: in Current Diagnosis and Treatment in Cardiology, Second Edition, lange Medical Books/McGraw-Hillpage ; 536-558.
Woeber, Kenneth A. 1986. Graves Disease: General Considerations. In: Sidney HI., Lewis EB. (Eds): Werner’s The Thyorid, A Fundamental and Clinical Text (5ed.). USA: Lippincott, p.479-501.
USGGrave Disease
Woman, 44 y.o.Nornal size of the gland; the borders are shaded; very echopoor structure due to the presence of oedema.
de quervain's thyroiditis
66
Man, 57 y.o.Enlarged thyroid in the right lobe; very increased firmness; painful palpation with irregular surface.The borders of the gland are indistinct; very irregular echo pattern, with echopoor shaded areas due to the presence of oedema and pseudonodular appearance.Laboratory tests: poor hyperthyroidism, very high flogistic indexes.FNA: giant Langhans cells, acute and chronic flogistic cells, many fibroblasts.
Hashimoto Tyroiditis
Right lobe, transverse section Left lobe, longitudinal sectionWoman, 51 y. o.Enlarged gland; very echopoor structure due to the presence of oedema, with echogenic bands due to fibrosis.Increased TSH with normal thyroxine (subclinical hypothyroidism); strongly positive thyroid peroxidase antibodies.
Plummer' disease
67
Woman, 37 y. o.Nodule in the left lobe of the thyroid (mm 17.1x18.7x30.8); presence of peripheric halo.The nodule is relatively hyperechoic with reference to the surrounding parenchyma, owing to autoimmune chronic thyroiditis.
papillary carcinoma
Female, 73 y.o.Transverse (lower) and longitudinal (upper) section of the left lobe of the thyroid.Large nodule in the lower pole (mm 22.2 x 32.4 x 31.6): hypoechoic and dishomogeneous structure, irregular borders with no halo sign.Fine needle aspiration: papillary carcinoma.Histological examination: papillary carcinoma.
Medullary carcinoma
Woman, 38 anni.Familial Multiple Endocrine Neoplasia, type 2A. Large nodule in the right lobe (mm 22 x 23 x 30; 8 cc), hypoechoic, with irregular borders, also if with peripheric
halo. Small similar nodule in the left lobe (mm 11 x 10 x 17; 1 cc).
68
Serum calcitonin: 478 pg/ml (n. v. <10).Serum CEA: 373 ng (n. v. <8).
FNAB of both nodules: medullary carcinoma.Histological examination: bilateral medullary carcinoma.
Anaplastic carcinoma
Woman, 56 y.o.Large anaplastic carcinoma (34x56 mm) in the right lobe.
USG Doppler Grave disease
Left lobe; longitudinal section. Right lobe; longitudinal section. Woman, 44 y.o.Nornal size of the gland.Rich diffuse vascularization of the lobes.follicular Carcinoma
69
Medullary Carcinoma
PAPILLARY CARCINOMA
Female, 73 y.o.Large nodule in the base of the left lobe of the thyroid (mm 22.2 x 32.4 x 31.6) with dishomogeneous structure and irregular borders.Anarchic peripheric and intranodular vascularization.FNA: papillary carcinoma
De Quervain's thyroiditis
Hashimoto
70
Woman, 34 y.o.Normal sized gland; very increased firmness; irregular and pseudonodular surface; painful palpation.The borders of the thyroid are indistinct; very irregular echo pattern with echopoor shaded areas due to the presence of oedema and pseudonodular appearance.Very poor parenchymal vascularization, also at low flow.
Woman, 52 y.o.Solitary nodule at the base of the right lobe (mm 21x16x28; 5 cc).Peripheric and internal vascularization. FNAB: follicular neoplasm.Histological examination: follicular carcinoma (capsular infiltration)
Woman, 32 y.o.Solitary small nodule (mm 10 x 13 x 14) in the apex of the right lobe.The structure is very hypoechoic, with poor echoes inside; the borders are irregular.Rich internal vascularization.Calcitonin = 202 pg/ml (n.v. <10 pg)FNA: medullary carcinoma.
Plummer Disease
Scintigraphy
71
Woman, 37 y. o.Nodule in the left lobe of the thyroid (mm 17.1 x 18.7 x 30.8).Rich periferic and also intranodular vascularization, more evident in the powerdoppler scan (lower image).Histologic exam: Hashimoto's thyroiditis.
Laboratory tests: very high flogistic indexes; slight hyperthyroidism.
Woman, 76 y. o.
Very enlarged gland, with irregular surface. Very firm consistence.Strong echopoor structure, pseudonodular, with echogenic bands due to fibrosis.Rich vascularization (type IV).
Serious hypothyroidism with strongly positive thyroid peroxidase antibodies.
FNA: lymphoid inflammatory infiltration; oncocytes without atypias. Thyrocytes in active proliferation with chromatin clarification and overlapping nuclei.
Normal scintiscanning
Hot Nodul
Cold Nodul
Grave disease
Multinodular goiter
72
Man, 21 y.o.Large cold nodule on the base of the left lobe.FNA: hyperplastic nodule.Postoperation histological exam: hyperplastic nodule.
Woman, 61 y.o.Large hot nodule on the left lobe.
Woman, 45 y.o.Diffuse and intense captation, more in the right lobe.nodule.
Woman, 31 y.o.
papillary carcinoma
Medullary carcinoma
Whole body scan with I-131
73
Woman, 70 y.o.Large multinodular toxic goiter.Hot nodules on the apex of the left lobe and on the middle of the right lobe and cold nodules on the right lobe and on the isthmus.
Woman, 69 y.o.Very firm solitary "cold" nodule in the base of the left lobe of the thyroid.FNAB: papillary carcinoma.Histological examination: papillary carcinoma.
Woman, 70 y.o.Progressive dysphonia owing to right recurrent laryngeal nerve palsy.Large nodule in the right lobe (19 ml), visible like a reduced signal area in the top and middle of the lobe.The left lobe is not visible.Calcitonin = 820 pg/ml (n.v. < 10 pg).CEA=638 ng/ml (n.v. < 8 ng).FNA: medullary carcinoma (spindle cells).Histological examination: medullary carcinoma
RadiologiCalcific goiter
femur fracture (Metastasis of follicular thyroid carcinoma)
Large plunged goiter
Osteolytic bone metastasis
74
Woman, 30 y.o.Papillary thyroid carcinoma, with laterocervical lymph nodes metastasis (T4 N1 M0).Iodine captation on the neck, right paramedian.No pathological captation in the otrher parts of the body.Therapy with I-131 (3.700 MBq).Surgical therapy.
Woman, 84 y. o.Large calcific goiter in the left lobe of the thyroid; wide right displacement of the trachea.
Woman, 75 y.o.Pathologic diaphysial femur fracture by follicular thyroid carcinoma.Postsurgical histological confirmation.
Woman, 58 y.o.Large enlargement of the upper mediastinum owing to nodular goiter.Sandglass like narrowing of the trachea.
Woman, 58 y.o.Thyroid follicular carcinoma, with bone and lung metastasis.Upper: pelvis.Lower: large occipital osteolysis, in part also postsurgical, with brain infiltration.Whole body I-131 scintiscanning of the lungs.
MRIExophthalmus in Graves' disease MRI of the orbits
Lymph nodes metastasis of thyroid carcinoma
Transverse section Frontal sectionvertebral metastasis
75
Woman, 58 y.o.Thyroid follicular carcinoma, with bone and lung metastasis.Upper: pelvis.Lower: large occipital osteolysis, in part also postsurgical, with brain infiltration.Whole body I-131 scintiscanning of the lungs.
Woman, 53 y.o.Graves' disease.MRI of the orbits: thickeness of the muscles and of the retro-ocular tissues
Man, 75 y.o.11 years before total thyroidectomy (papillary cystocarcinoma) in the right lobe (4 cm).Large right cervical lymph node, with polycyclic borders.
Woman, 75 y.o.Two years before paraplegia.Large metastasis in the body of D2 and D3, with medullary compression; biopsy revealed thyroid starting point.Next thyroidectomy confirmed follicular cancer.Whole body scan showed diffuse bone metastatic lesions.Subsequently a pathologic diaphysial femur fracture occurred.FNA: Metastatic papillary thyroid carcinoma (High concentration of thyroglobulin in the needle washing).
CT scanGrave Disease
Woman, 56 y.o.Left exophthalmus in Graves disease.
LARGE PLUNGED TOXIC GOITER
76
Woman, 78 y.o.Large toxic plunged nodular goiter.Colliquation areas, calcifications and right deviation of the trachea are visible.
MEDIASTINAL SYNDROME OWING TO LARGE plunged GOITER
MEDULLARY CARCINOMA Left lobe agenesis
Anaplastic carcinoma
77
Man, 54 y.o.Large nodular goiter, plunged in the mediastinum.Computer tomography of the thorax.Large (A-B distance = 60.7 mm) nodule in the mediastinum, reaching aortic arch, with displacement of the trachea and of the vessels.
Man, 54 y.o.Large nodular goiter, plunged in the mediastinum.Computer tomography of the thorax.Large (A-B distance = 60.7 mm) nodule in the mediastinum, reaching aortic arch, with displacement of the trachea and of the vessels.
Man, 63 y.o.
Large left laterocervical mass: fistulated recurrence of anaplastic cancer of the thyroid