Tht Journal

29
THT REFERAT OTOTOKSIK streptomycin pada tahun 1944. Streptomisin berhasil digunakan dalam pengobatan tuberculosis; akan tetapi, sejumlah besar pasien yang diobati dengan streptomisin ditemukan mengalami disfungsi koklea dan vestibular yang menetap. Saat ini, banyak agen farmakologi telah terbukti memiliki efek toksik pada system kokleavestibular. Obat tersebut mencakup aminoglikosida, dan antibiotic yang lain, agen antineoplastik yang berbahan cisplatin, salisilat, kuinin, dan loop diuretic. 3 Kehilangan pendengaran atau gangguan keseimbangan yang permanen disebabkan oleh obat ototoksik mungkin memiliki akibat komunikasi, edukasi, dan social yang serius. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan apakah keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya, dan pengobatan alternative harus dipertimbangkan jika tepat. Penanganan ditekankan pada pencegahan, karena sebagian besar kehilangan pendengaran bersifat ireversibel. Saat ini tidak terdapat terapi untuk menyembuhkan kerusakan akibat obat-obatan ototoksik; akan tetapi, peneliti dan klinisi mencoba untuk menemukan metode baru unruk meminimalisir cedera ototoksik. 3 1

description

THT

Transcript of Tht Journal

Page 1: Tht Journal

THT REFERAT OTOTOKSIK

streptomycin pada tahun 1944. Streptomisin berhasil

digunakan dalam pengobatan tuberculosis; akan tetapi, sejumlah

besar pasien yang diobati dengan streptomisin ditemukan

mengalami disfungsi koklea dan vestibular yang menetap. Saat

ini, banyak agen farmakologi telah terbukti memiliki efek toksik

pada system kokleavestibular. Obat tersebut mencakup

aminoglikosida, dan antibiotic yang lain, agen antineoplastik

yang berbahan cisplatin, salisilat, kuinin, dan loop diuretic.3

Kehilangan pendengaran atau gangguan keseimbangan

yang permanen disebabkan oleh obat ototoksik mungkin

memiliki akibat komunikasi, edukasi, dan social yang serius. Oleh

karena itu, harus dipertimbangkan apakah keuntungannya lebih

banyak daripada kerugiannya, dan pengobatan alternative harus

dipertimbangkan jika tepat. Penanganan ditekankan pada

pencegahan, karena sebagian besar kehilangan pendengaran

bersifat ireversibel. Saat ini tidak terdapat terapi untuk

menyembuhkan kerusakan akibat obat-obatan ototoksik; akan

tetapi, peneliti dan klinisi mencoba untuk menemukan metode

baru unruk meminimalisir cedera ototoksik.3

1

Page 2: Tht Journal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA DALAM

Auris interna (telinga bagian dalam) atau organum

vestibulocochleare berhubungan dengan penerimaan bunyi dan

pemeliharaan keseimbangan. Auris interna yang tertanam di

dalam pars petrosa, salah satu bagian tulang temporal, terdiri

dari kantong-kantong dan pipa-pipa labyrinthus membranaceus.

System selaput ini berisi endolimfe dan organ-organ akhir untuk

pendengaran dan keseimbangan. Labyrinthus membranaceus

berupa selaput yang diliputi oleh perilimfe terbenam di dalam

labyrinthus osseus.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Dalam

Labyrinthus osseus (Tulang Labirin)

2

Page 3: Tht Journal

Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir

seluruh bagian lateral pars petrosa pada os temporal.

Labyrinthus osseus auris interna terdiri dari 3 bagian, yaitu:

Gambar 2.2 Anatomi Tulang Labirin

Cochlea

Bagian labyrinthus osseus unu yang berbentuk seperti

keong, berisi duktus cochlearis, bagian auris interna yang

berhubungan dengan pendengaran. Cochlea membuat 2,5

putaran, mengelilingi sumbu tulang yang disebut modiolus dan

berisi terusan-terusan untuk pembuluh darah dan saraf. Putaran

cochlea basal yang lebar menyebabkan terbentuknya

promontorium pada dinding medial cavitas timpani.

Vestibulum

Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5

mm) berisi utriculus dan sacculus, bagian-bagian peranti

keseimbangan. Ke anterior vestibulum bersinambungan dengan

cochlea tulang, ke posterior dengan canals semicirculares ossei,

3

Page 4: Tht Journal

dan dengan fossa crani posterior melalui aqueductus vestibule.

Aqueductus vestibule melintas ke permukaan posterior pars

petrosa dan di sini bermuara di sebelah postero-lateral meatus

acusticus internus. Di dalamnya terdapat ductus

endolymphaticus dan dua pembuluh darah kecil.

Canales semicirculares ossei

Canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis

posterior, dan canalis semicircularis lateralis berhubungan

dengan vestibulum labyrinthi ossei. Canals semicircularis ossei

terletak posterosuperior terhadap vestibulum yang merupakan

tempat bermuaranya canals semicircularis ossei; ketiga terusan

ditempatkan tegak lurus satu terhadap yang lain. Dengan

demikian stereometris mereka menempati tiga bidang. Masing-

masing terusan berupa kira-kira dua pertiga dari sebuah

lingkaran dengan diameter kira-kira 1,5 mm, kecuali pada satu

ujung yang melebar sebagai ampulla.

Labyrinthus Membranaceus

Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan

kantung dan pipa yang saling berhubungan dan terbenam di

dalam labyrinthus osseus. Di dalam labyrinthus membranaceus

terdapat endolimfe, cairan yang menyerupai air komposisinya

berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus osseus yang

meliputinya. Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian

utama.

- Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam

vestibulum labyrinthi ossei yang  saling berhubungan.

- Tiga duktus semicircularis di dalam canals semicircularis

ossei

- Duktus cochlearis di dalam cochlea.

4

Page 5: Tht Journal

Meaticus acusticus interna

            Meaticus acusticus internus adalah sebuah terusan

sempit yang melintas ke lateral sejauh kira-kira 1 cm di dalam

pars petrosa. Lubangnya terdapat pada bagian posteromedial

tulang tersebut, sejajar dengan meatus acusticus eksternus. Ke

arah lateral meatus acusticus internus tertutup oleh selembar

tulang yang berlubang-lubang dan tipis, dan memisahkannya

dari auris interna. Melalui lembar tulang tersebut melintas nervus

fasialis (nervus cranialis VII), cabang-cabang nervus

vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluh-

pembuluh darah. Di dekat ujung lateral meatus acusticus

internus, nervus vestibulocochlearis bercabang dua menjadi

nervus cochlearis dan nervus vestibularis.4

Fisiologi Sistem Vestibularis

Sinyal-sinyal sensorik dari telinga dalam, retina, dan

system musculoskeletal diintegrasikan dalam SSP agar dapat

mengontrol arah pandangan, posisi serta gerak tubuh dalam

ruang. Bila disebutkan system vestibularis maka yang dimaksud

tidak hanya reseptor saja, namu juga jaras-jaras SSP yang

terlibat dalam pengolahan sinyal-sinyal aferen dan aktivasi

motorneuron. Reseptor system ini adalah sel rambut yang

terletak dalam Krista kanalis semisirkularis dan macula dari

organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel

pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya

terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka

terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut (yaitu

perubahan dalam kecepatan sudut), sedangkan sel-sel pada

organ otolit peka terhadap gerak linear, khususnya percepatan

linear dan terhadap perubahan posisi kepala relative terhadap

5

Page 6: Tht Journal

gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan

linear ini disebabkan oleh geometri dari kanalis dan organ otolit

serta cirri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi sel

rambut.6

Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan

getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini

akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga

perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran

reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif

antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang

mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,

sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan

sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga

melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial

aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke

korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.4

6

Page 7: Tht Journal

Gambar 2.3 Fisiologi Pendengaran

2.2 GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT OBAT

OTOTOKSIK

2.2.1 Patogenesis

Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum

begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,

yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan

pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-

pasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit

mencapai derajat ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi

percakapan.3,4

Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat

dengan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan strial

7

Page 8: Tht Journal

dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan

hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting

yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa

menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.4,6

Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-

sel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,

limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler. Kerusakan vestibuler

juga merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya

menunjukkan nistagmus posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler

dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan

oleh kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler

untuk menjaga horizon yang stabil.3,4,6

2.2.2 Gejala Klinis

Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus

biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan

seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan

dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada

tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. Pada

kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga

tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan,

sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia

(kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur dengan

pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya, menyebabkan

kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan atau mengenali

wajah orang ketika berjalan.4,6

Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit

setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat

dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya

disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang

mendatar atau sedikit menurun. Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel

dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan

8

Page 9: Tht Journal

diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.4

Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit

dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada

keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan

semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan

ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.4

2.2.3 Penatalaksanaan

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila

pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam

dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut

harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada

jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang

menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri. Apabila ketulian sudah

terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat Bantu dengar

(ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan sisa

pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan

belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan

pemasangan implan koklea.4,6

2.2.4 Pencegahan

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka

pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk

mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,

monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum,

selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur fungsi audiometri

sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan

gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang

pendengaran dan vertigo.4

Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas

harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan

9

Page 10: Tht Journal

baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak

diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya

pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar

obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan

berlangsung.4

2.2.5 Prognosis

Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan

lamanya pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal

akut ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan

akan tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin

memburuk.4

2.3 JENIS-JENIS OBAT OTOTOKSIK

2.3.1 Aminoglikosida

A. Definisi

Aminoglikosida adalah kelompok antibiotic bakterisidal

yang berasal dari berbagai macam streptomyces. Yang termasuk

kelompok obat ini adalah streptomisin, neomisin, kanamisin,

amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin. Antibiotic

aminoglikosida telah menjadi bagian penting dari obat

antibacterial sejak mereka ditemukan pada tahun 1940-an.

Mereka memiliki aktivitas in vitro yang kuat terhadap

Pseudomonas Aeroginosa dan sebagian besar basil gram-negatif

10

Page 11: Tht Journal

aerob lainnya, dan juga memperlihatkan aktivitas terhadap

Staphylococcus aureus. 6,7,8

Aminoglikosida paling sering digunakan untuk melawan

bakteri enteric gram negative, terutama pada bakteremia dan

sepsis, dikombinasikan dengan vankomisin atau penisilin untuk

endokarditis, dan untuk penanganan tuberculosis. Streptomisin

adalah aminoglikosida yang tertua. Gentamisin, tobramisin, dan

amikasin adalah aminoglikosida yang paling sering digunakan

saat ini. Neomisin dan kanamisin penggunaannya terbatas pada

penggunaan secara topical atau oral. Toksisitas utama dari obat

ini adalah nefrotoksisitas, yang terjadi pada 15% pasien yang

mendapatkan regimen ini, dan ototoksisitas, yang menimbulkan

gangguan pendengaran dan gangguan pada system vestibuler.6, 7

B. Epidemiologi

Walaupun ototoksisitas merupakan efek samping dari

aminoglikosida yang tersering kedua, yang paling sering adalah

nefrotoksisitas, angka kejadian pastinya masih controversial.

Beberapa peneliti melaporkan toksisitas auditori mencapai 41%,

sedangkan peneliti yang lain melaporkan angka yang jauh lebih

rendah yaitu 7%. Data yang terkumpul dari penelitan meta-

analisa memperlihatkan sekitar 5% insiden toksisitas auditori

karena konsumsi aminoglikosida dengan dosis ganda perhari.

Toksisitas vestibuler telah dilaporkan berada pada kisaran 0-7%

pada pasien yang mendapatkan aminoglikosida.8

C. Patofisiologi

Toksisitas aminoglikosida paling sering terjadi pada ginjal

dan system kokleovestibular; akan tetapi, tidak ada keterkaitan

antara tingkat keparahan nefrotoksisitas dengan ototoksisitas.

Toksisitas pada cochlear yang menyebabkan kehilangan

11

Page 12: Tht Journal

pendengaran mulai pada frekuensi tinggi dan disebabkan oleh

kerusakan yang menetap pada sel rambut bagian luar pada

organ corti. Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida dimediasi

oleh gangguan pada sintesis protein mitokondira, dan

pembentukan radikal oksigen bebas. Dasar seluler pada

kehilangan pendengaran akibat aminoglikosida adalah kerusakan

sel rambut koklear, terutama sel rambut di bagian luar.

Aminoglikosida tampaknya membentuk radikal bebas didalam

telinga bagian dalam dengan mengaktivasi sintetase nitrit oksida

sehingga meningkatkan konsentrasi nitrat oksida. Oksigen

radikal kemudian bereaksi dengan nitrit oksida untuk

membentuk peroksinitrat radikal yang bersifat destruktif, yang

dapat secara langsung merangsang kematian sel. Apoptosis

adalah mekanisme utama dari kematian sel dan terutama

dimediasi oleh aliran yang dimediasi oleh mitokondrial intrinsic.

Tampaknya interaksi aminoglikosida dengan logam transisi

seperti besi dan tembaga mempercepat pembentukan radikal

bebas ini.3

Aminoglikosida yang berbeda memiliki afinitas yang

berbeda, yang menyebabkan pola ototoksisitas yang berbeda

dengan aminoglikosida yang berbeda. Sebagai contohnya

Kanamisin, tobramisin, amikasin, neomisin, dan

dihydrostreptomisin lebih bersifat kokleotoksik daripada

vestibulotoksik. Aminoglikosida yang lain, seperti streptomisin

dan gentamisin, lebih bersifat vestibulotoksik daripada

kokleotoksik. Rangkaian waktu toksisitas juga berbeda-beda.

Toksisitas neomisin biasanya cepat dan dalam, sedangkan efek

yang timbul agak lama adalah streptomisin yang diberikan

secara sistemis, dihydrostreptomisin, tobramisin, amikasin,

netilmisin, dan dengan gentamisin yang diberikan melalui telinga

tengah.7

12

Page 13: Tht Journal

D. Tanda dan gejala

Secara klinis, kerusakan koklea akut dapat menampakkan

gejala tinnitus. Kehilangan pendengaran pada awalnya mungkin

tidak disadari pasien dan awalnya bermanifestasi sebagai

peningkatan ambang batas pada frekuensi tinggi (>4000 Hz).

Semakin berkembang, frekuensi pembicaraan yang lebih rendah

terpengaruh dan pasien dapat menjadi tuli jika dilanjutkan

pemberian obat aminoglikosida. Jika konsumsi obat cepat

dihentikan, kehilangan pendengaran dapat dicegah.3

Gejala toksisitas vestibular biasanya mencakup

ketidakseimbangan tubuh dan gejala visual. Ketidakseimbangan

tumbuh memburuk pada keadaan gelap. Jarang terjadi vertigo.

Gejala visual, disebut oscillopsia, hanya terjadi jika kepala

bergerak. Pergerakan yang cepat pada kepala berkaitan dengan

penglihatan yang menjadi kabur. Secara klinis, nistagmus dapat

muncul sebagai tanda awal.3

E. Pencegahan

Pencegahan ototoksisitas aminoglikosida melibatkan

pengawasan kadar obat dalam darah dan fungsi renal serta

pemeriksaan pendengaran sebelum, selama, dan setelah terapi.

Ukur fungsi audiometric dasar sebelum terapi. Identifikasi secara

teliti pasien yang beresiko tinggi dan pilih antibiotic alternative

untuk mereka. Yang terakhir, karena aminoglikosida masih tetap

berada dalam koklea dalam waktu yang lama setelah terapi

dihentikan, minta pada pasien untuk menghindari lingkungan

yang bising selama 6 bulan setelah terapi dihentikan karena

mereka lebih rentan terhadap suara bising.3

2.3.2 Aminoglikosida secara Ototopikal

13

Page 14: Tht Journal

Data yang berasal dari penelitian yang menggunakan

hewan percobaan telah memperlihatkan hasil yang sama bahwa

hampir semua antibiotic aminoglikosida yang digunakan sebagai

antibiotic topical pada telinga tengah bersifat ototoksik. Tinjauan

literature terbaru mengungkapkan terdapat 54 kasus toksisitas

vestibular gentamisin karena penggunaan antibiotic ini secara

ototopikal. Selain itu, 24 pasien tersebut juga mengalami

toksisitas auditori. Juga terdapat 11 pasien yang mengalami

toksisitas auditori karena penggunaan tetes telinga yang

mengandung neomisin-polimiksin. Oleh karena itu

direkomendasikan bahwa jika memungkinkan, preparat antibiotic

topical yang tidak menimbulkan efek samping ototoksik harus

digunakan jika terbukti terdapat lubang pada membrane

timpani.9

2.3.3 Cisplatin

A. Definisi

Cisplatin merupakan obat anti kanker yang digunakan

untuk mengobati sejumlah keganasan seperti kanker testis,

kanker ovarium dan beberapa keganasan pediatric. Dosis

pemeliharaan membatasi efek samping cisplatin yaitu

ototoksisitas dan neurotoksisitas. Jika dikombinasikan dengan

vinblastin dan bleomisin atau etoposide dan bleomisin, terapi

cisplatin dapat menyembuhkan kanker testis nonseminomatous.

Cisplatin adalah senyawa platinum yang paling ototoksik bahkan

dengan menambahkan salin hipertonik, prehidrasi, atau diuresis

manitol pada regimen kemoterapi.6, 8, 10

B. Epidemiologi

Cisplatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi

dibandingkan dengan senyawa platinum yang lain. Sekitar 50%

pasien kanker kepala dan leher yang diobati dengan cisplatin

14

Page 15: Tht Journal

mengalami ototoksisitas. Ototoksisitas cisplatin berkaitan dengan

dosis. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang besar yang

mencakup periode tahun 1990 hingga 2001, Derough dan rekan

menemukan bahwa 42% dari 400 pasien yang mendapatkan

cisplatin dosis tinggi (70-85 mg/M2; rata-rata dosis akumulatis

sebesar 420 mg) mengalami ototoksisitas simptomatik.

Sebaliknya, ototoksisitas cisplatin hanya terjadi pada 20% pasien

yang mendapatkan cisplatin dosis rendah.8

C. Patofisiologi

Mekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi

radikal bebas dan kematian sel. Senyawa platinum merusak stria

vaskularis dalam scala media dan menyebabkan kematian sel

rambut pada bagian luar.radikal bebas dihasilkan oleh NADPH

oksidase pada sel rambut bagian dalam setelah terpapar

cisplatin. NADPH oksidase merupakan enzim yang mengkatalisa

pembentukan radikal superoksida. Bentuk NADPH oksidase

tertentu, NOX3, diproduksi didalam telinga bagian dalam dan

merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang penting

dalam koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan

pendengaran. Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme

ini kemudian menyebabkan kematian sel apoptotic yang

dimediasi mitokondria dan dimediasi caspase, yang pada

akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran yang

permanen.3

D. Tanda dan gejala

Ototoksisitas cisplatin ditandai oleh kehilangan

pendengaran sensorineural yang awalnya terdeteksi pada

frekuensi yang sangat tinggi. Kehilangan pendengaran biasanya

bilateral dan biasanya simetris. Cirri khas dari kehilangan

pendengaran frekuensi tinggi adalah kesulitan dalam

15

Page 16: Tht Journal

membedakan kata yang terdengar, terutama pada lingkungan

yang bising.  Semakin banyak dosis yang terakumulasi dalam

tubuh semakin parah gangguan pendengaran yang diderita.

Selain itu pasien ototoksisitas cisplatin juga mengalami tinnitus.3,

8

E. Pencegahan

Lakukan pemeriksaan audiogram dan pemeriksaan

audiogram lanjutan secara berkala selama terapi untuk semua

pasien yang mendapatkan obat ini. Lakukan pemeriksaan ini

sesegera mungkin sebelum siklus obat yang selanjutnya

sehingga efek dari siklus yang sebelumnya dapat diketahui. Yang

terakhir, pasieh harus melanjutkan pemeriksaan audiometric

karena retensi obat yang cukup lama setelah menghentikan

terapi. Juga beritahu pasien untuk menghindari lingkungan yang

bising selama 6 bulan.3

2.3.4. Loop Diuretik

A. Definisi

Loop diuretik seperti asam ethacrynic, bumetanide, dan

furosemide mengeluarkan efek diuretiknya dengan menghambat

sodium dan penyerapan air pada bagian proksimal Loop of henle.

Obat-obat ini digunakan untuk mengobati gagal jantung

kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi.3, 7

B. Patofisiologi

Efek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan

dengan stria vascularis, yang dipengaruhi oleh perubahan dalam

gradient ionic diantara perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini

menyebabkan edema epithelium dari stria vascularis. Bukti juga

memperlihatkan bahwa endolimfatik berpotensi berkurang; akan

tetapi, hal ini biasanya bergantung pada dosis dan reversible.

16

Page 17: Tht Journal

Ototoksisitas yang disebabkan oleh asam ethacrynic tampaknya

terjadi secara lebih bertahap dan lebih lama disembuhkan

daripada yang disebabkan oleh furosemide atau bumetanide.

Secara keseluruhan, ototoksisitas yang disebabkan oleh obat

loop diuretic biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien

dewasa.3,7

C. Tanda dan gejala

Bergantung pada loop diuretic tertentu, pasien biasanya

mengalami gangguan pendengaran setelah mengkonsumsi obat

ini. Gangguan pendengaran biasanya bilateral dan simetris.

Pasien juga mengeluhkan tinnitus dan disequilibrium; akan

tetapi, gejala ini jarang terlihat dan jarang terjadi tanpa adanya

gangguan pendengaran. Beberapa pasien mengalami gangguan

pendengaran permanen, terutama pasien yang menderita gagal

ginjal, pasien yang mendapatkan dosis yang lebih tinggi, atau

mereka yang juga mengkonsumsi aminoglikosida.3,7

D. Pencegahan

Pencegahan ototoksisitas yang disebabkan oleh loop

diuretic terdiri dari pengunaan dosis yang paling rendah untuk

mencapai efek yang diinginkan dan menghindari pemberian

secara cepat. Selain itu, factor resiko yang berkaitan dengan

pemberian obat ini harus diperiksa seteliti mungkin, termasuk

pemberian bersama dengan obat ototoksik lainnya dan riwayat

gagal ginjal. Karena potensiasi dan sinergisme efek ototoksik dari

aminoglikosida dan loop diuresis telah diketahui, pemberian

bersama obat-obat ini tidak direkomendasikan.3

2.3.5 Salisilat

17

Page 18: Tht Journal

Aspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan

tinnitus dan gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan

pendengaran bergantung pada dosis dan dapat berkisar dari

moderat hingga parah. Jika konsumsi obat dihentikan,

pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam. Tinnitus

terjadi saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6

hingga 8 g/hari dan pada dosis yang lebih rendah pada beberapa

pasien. Tempat terjadinya efek ototoksik tampaknya pada

tingkat mekanik koklear dasar, seperti yang dibuktikan dengan

gangguan pendengaran sensorineural, hilangnya emisi

otoakustik, penurunan aksi potensial koklear, dan perubahan

ujung saraf auditori. Efek-efek ini mungkin disebabkan oleh

perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut di bagian

luar.7

2.3.6. Anti Malaria

Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.

Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan

mempercepat absorpsi ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali

dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar

mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai

kadar plasma antara 150-250 ug/l.7

Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina

digunakan dalam terapi malaria. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan

pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma

berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila

pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan

hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu motilitas sel-sel

rambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari)

atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut

rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap.3,7

18

Page 19: Tht Journal

Kuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya

tinnitus, gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan

penglihatan. Sindrom tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan

penglihatan disebut cinchonism. Dosis yang lebih besar dapat

menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah. Obat ini

digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek

ototoksik dari kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi

pendengaran dan biasanya bersifat sementara. Gangguan

pendengaran yang permanen dapat terjadi dengan dosis yang

lebih besar atau pada pasien yang sensitif.7

Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada

laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan

malaria waktu ibu sedang hamil. 4,6,7

19

Page 20: Tht Journal

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Ototoksisitas merupakan keadaan gangguan pada telinga

yang disebabkan oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga

bagian dalam atau saraf vestibulocochlear, yang mengirim info

keseimbangan dan pendengaran dari telinga bagian dalam ke

otak.

Otoksisitas dapat menyebab gangguan pendengaran,

keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau

permanen. Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik,

baik itu berupa obat atau zat kimia yang ada di lingkungan. Obat

apapun yang berpotensi menyebabkan reaksi toksik terhadap

struktur dalam telinga, yang mencakup koklea, vestibulum,

kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat

ototoksik.

Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum

begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,

yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan

pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila

pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam

dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut

harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada

jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan.

20

Page 21: Tht Journal

DAFTAR PUSTAKA

1. Haybach, P.J. 2011. Ototoxicity. Diakses dari http//:

www.vestibular. org/Ototoxicity. Tanggal akses 24 Oktober

2012.

2. Oghalai, J. 2007 Drug-Induced Toxicity: Inner Ear Disorder.

Diakses dari http//: www.merckmanual.com. Tanggal akses

24 Oktober 2012.

3. Mudd, P. A. 2012. Ototoxicity. Medscape Reference. Diakses

dari http//: www.emedicine.com. Tanggal akses 24 Oktober

2012.

4. Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi

Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

5. Ellis Harold. 2004. Clinical Anatomy: A Revised and Applied

Anatomy for Clinical Student, Ed. 11th. US: Blackwell Science.

6. Adam, G. L, Boies, L. R. 2000. Boies Buku Ajar Penyakit THT.

Jakarta EGC.

7. Katzung, B. 2004. Basic Clinical Pharmacology. US: Blackwell

Science.

8. Cummings, C. W. 2000. Otolaryngology Head & Neck Surgery.

Ed.IV. Philadelphia: Elsevier.

9. Roland, P. S. 2004. Ototoxicity. London: BC Decker.

10. Bailey, B. J. 2006. Head & Neck Surgery – Otolaryngology.

Ed.IV. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

21

Page 22: Tht Journal

11. Ekborn, A. 2003. Cisplatin-Induced Toxicity:

Pharmacokinetics, Prediction, and Prevention. Stockholm:

Repro print.

22