Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan...

6
e-mail: [email protected] / [email protected]; kardiovk; @kardio_vaskuler; tpkindonesia.blogspot.com ISSN : 0853-8344 Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/PENJUALAN IV/2014 Harga eceran Rp.9.000,- 207/Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan Masalah pada Jantung Pencegahan Penyakit Kardiovaskular – Penilaian Resiko dan Tatalaksana MINUMAN berenergi merupakan minum- an khusus yang jika dikonsumsi akan me- ningkatkan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi dan juga stamina tubuh dalam beraktivitas. Seringkali masyarakat mengkonsumsi minuman tersebut untuk mengincar efek positif yang diperoleh, na- mun jika terjadi konsumsi berlebihan apakah ada efek samping yang tidak diharapkan. Dr. Jonas Dorner dan Dr. Daniel K. Thomas (Universitas Bonn, Jerman) dalam studinya pada pertemuan tahunan “The Radiological Society of North America (RSNA)” tahun 2013 mengemukakan bahwa orang dewasa sehat yang mengkonsumsi minuman berenergi yang mengandung kadar kafein dan taurin mengalami peningkat- an kontraksi denyut jantung satu jam ke- mudian yang dievalu- asi dengan mengguna- kan Cardiac MRI. Perusahaan mi- numan berenergi me- rupakan industri besar yang terus-menerus berkembang setiap harinya. Terdapat per- hatian terhadap efek samping potensial yang tidak diharapkan dari fungsi jantung, terutama pada pasien dewasa muda, tetapi hampir tidak ada re- gulasi terhadap penjualan dari minuman berenergi. Sebuah laporan tahun 2013 dari Admi- nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah- gunaan Zat dan Kejiwaan menyatakan bahwa di Amerika Serikat, dari tahun 2007 sampai 2011, jumlah kunjungan unit gawat darurat terkait dengan konsumsi minuman berenergi hampir meningkat dua kali lipat, dari 10.068 hingga 20.783. Sebagian besar kasus ditemukan pada pasien berusia 18-25 tahun, diikuti pada usia 26-39 tahun. Pada studinya, yang masih berlangsung sampai sekarang, Dr. Dorner dan koleganya menggunakan cardiac magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengukur efek dari konsumsi minuman berenergi terhadap fungsi jantung pada 18 sukarelawan yang sehat, diantaranya 15 laki-laki dan 3 wanita dengan rata-rata usia 27,5 tahun. Setiap suka- relawan menjalani cardiac MRI sebelum dan satu jam sesudah konsumsi minuman berenergi yang mengandung taurin (400 mg/100 ml) dan kafein (32 mg/100 ml). Dibandingkan dengan gambaran awal, hasil dari Cardiac MRI yang dilakukan satu jam kemudian menunjukkan peningkatan signifikan peak strain dan peak systolic strain rates (ukuran terhadap kontraktilitas) di ven- trikel kiri jantung. Peneliti menemukan tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap denyut jantung, tekanan darah atau jumlah darah yang dipompakan dari ventrikel kiri jantung pada gambaran awal dan pemerik- saan MRI kedua. “Ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman berenergi mempunyai dampak jangka pendek terhadap kontraktilitas jan- tung,” kata Dr. Dorner. “Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi dampak dari penggunaan minuman berenergi jangka panjang dan efek dari minuman sejenisnya terhadap individu dengan penyakit jan- tung”. Dr. Dorner mengemukakan bahwa risiko jangka panjang minuman berenergi belum diketahui, beliau menyarankan agar anak-anak maupun penderita aritmia agar menghindari minuman berenergi, karena perubahan dalam kontraktilitas dapat me- micu aritmia. Selain Dr. Dorner, Professor Milou- Daniel Drici, dari Perancis juga mengemuka- kan penelitiannya pada Congress the European Society of Cardiology 2014 di Barcelona ke- marin. Beliau menyampaikan bahwa minu- man berenergi yang dijual di pasaran dapat menyebabkan masalah pada jantung. Professor Drici mengatakan: “Minuman berenergi sangat popular di klub menari dan dikonsumsi selama olahraga fisik, dimana orang biasanya mengkonsumsi minuman tersebut terus menerus beberapa kali. Keadaan tersebut dapat menyebabkan beberapa kondisi yang tidak diharapkan termasuk angina, aritmia jantung dan bah- kan kematian mendadak.” Beliau menambahkan: “Sekitar 96% dari minuman tersebut mengandung kafein, de- ngan spesifikasi 0,25 liter mampu mengan dung kadar kafein sebanyak 2 porsi espresso. Kafein merupakan agonis paling poten dari reseptor ryanodine dan menyebabkan pe- ngeluaran kalsium yang masif ke dalam otot jantung. Hal tersebut dapat menyebabkan BERIKUT ini saya sampaikan salah satu keputusan rapat Komisi Subspesialis dengan para ketua dari 8 POKJA Perki yg berkaitan dengan Subspesialisasi Training. Nama Pokja sudah diedit kembali nomenklaturnya sesuai dengan subspesialisasi yang akan kita kembangkan, sebagai berikut: 1. Kardiologi Intervensi (Interventional Car- diology) 2. Kardiologi Intensif & Kegawatan Kardio- vaskular (Acute and Intensive Cardiovas- cular Care) 3. Kardiologi Nuklir & Pencitraan Kardio- vaskular (Nuclear Cardiology & Cardiovas- cular Imaging) 4. Ekokardiografi (Echocardiography) 5. Aritmia (Arrhythmia) 6. Vaskular (Vascular) 7. Kardiologi Pediatrik & Penyakit Jantung Bawaan (Pediatric Cardiology & Congenital Heart Disease) 8. Kardiologi Prevensi & Rehabilitasi Kardiovaskular (Preventive Cardiology & Cardiovascular Rehabilitation) Alur permohonan untuk mengikuti Advanced Training in Subspecialty Program, sebagai berikut: 1. Kandidat (SpJP yang sudah 2 tahun be- kerja di RS), mengajukan lamaran yang ditujukan kepada Ketua Pokja Perki, dengan disertai rekomendasi dari tempat bekerja (RS setempat), kemudian aplikasi ini akan dibahas oleh peer group. 2. Setelah disetujui oleh peer group, akan diberikan arahan dan tempat pelatihan (RS pendidikan atau non pendidikan), dan Pokja akan memberikan rekomendasi untuk dapat mengikuti pelatihan terse- but. 3. Dengan rekomendasi dari Pokja Perki, kandidat membuat lamaran yang di- tujukan ke Direktur RS Pendidikan/ non pendidikan yang telah disepakati dengan memberikan CC kepada Ketua Kolegium PERKI cq Komisi Subspesialis (att: Dr.Manoefris Kasim, SpJP). 4. Setelah selesai mengikuti program pela- tihan minimal 2 semester (sesuai perkon- sil 8 thn 2012), pihak RS Pendidikan/ non pendidikan, mengeluarkan surat keterangan yang memuat tentang jenis pelatihan, lama pelatihan, dan jumlah ex- posure pasien untuk masing-masing jenis penyakit/prosedur yang telah dilakukan (log book); kemudian surat keterangan ini ditandatangani oleh direktur RS, Ketua Departemen Kardiologi, dan course direc- tor pelatihan. 5. Berkas ini oleh kandidat (trainee), dikirim- kan ke Komisi Subspesialis Kolegium PERKI untuk diproses lebih lanjut dengan keluaran SERTIFIKAT KOMPETENSI TAMBAHAN / Subspecialty / SUBSPE- SIALIS. 6. End. Koordinator Komisi Subspesialis Kolegium Jantung dan Pembuluh Darah PERKI, Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K), SpKN, FIHA. Alur Aplikasi Pelatihan Lanjut (“Subspesialis“) dari Kolegium Jantung dan Pembuluh Darah, PERKI sesuai Perkonsil No.8 thn.2012 To visualize cardiac magnetic resonance tagging, a cross-section of the heart in common imaging technique is seen on the left and tagged myocardium using CSPAMM on the right. (Bersambung ke hal.4)

Transcript of Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan...

Page 1: Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan ...kardio.my.id/DOWNLOADfile/TPK207_WEB-OKE.pdf · Sebuah laporan tahun 2013 dari admi nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah gunaan

e-mail: [email protected] / [email protected]; kardiovk; @kardio_vaskuler; tpkindonesia.blogspot.com

ISSN

: 085

3-83

44Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/PENJUALAN IV/2014

Harga eceran Rp.9.000,-

207/Thn.XX/September-Oktober 2014

Minuman Berenergi dan Masalah pada JantungPencegahan Penyakit Kardiovaskular – Penilaian Resiko dan Tatalaksana

MinuMan berenergi merupakan minum­an khusus yang jika dikonsumsi akan me­ning katkan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi dan juga stamina tubuh dalam beraktivitas. Seringkali masyarakat mengkonsumsi minuman tersebut untuk mengincar efek positif yang diperoleh, na­mun jika terjadi konsumsi berlebihan apakah ada efek samping yang tidak diharapkan. Dr. Jonas Dorner dan Dr. Daniel K. Thomas (universitas Bonn, Jerman) dalam studinya pada pertemuan tahunan “The Radiological Society of North America (RSNA)” tahun 2013 mengemukakan bahwa orang dewasa sehat yang mengkonsumsi minuman berenergi yang mengandung kadar kafein dan taurin

mengalami peningkat­an kontraksi denyut jantung satu jam ke­mudian yang dievalu­asi dengan mengguna­kan Cardiac MRi.

Perusahaan mi­num an berenergi me­rupakan industri besar yang terus­menerus berkembang setiap harinya. Terdapat per­hatian terhadap efek samping potensial yang tidak diharapkan

dari fungsi jantung, terutama pada pasien dewasa muda, tetapi hampir tidak ada re­gulasi terhadap penjualan dari minum an berenergi.

Sebuah laporan tahun 2013 dari admi­nistrasi Pelayanan Kesehatan Penya lah­gunaan Zat dan Kejiwaan menyatakan bahwa di amerika Serikat, dari tahun 2007 sampai 2011, jumlah kunjungan unit gawat darurat terkait dengan konsumsi minuman berenergi hampir meningkat dua kali lipat, dari 10.068 hingga 20.783. Sebagian besar kasus ditemukan pada pasien berusia 18­25 tahun, diikuti pada usia 26­39 tahun.

Pada studinya, yang masih berlangsung sampai sekarang, Dr. Dorner dan koleganya

menggunakan cardiac magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengukur efek dari konsumsi minuman berenergi terhadap fungsi jantung pada 18 sukarelawan yang sehat, diantaranya 15 laki­laki dan 3 wanita dengan rata­rata usia 27,5 tahun. Setiap suka­relawan menjalani cardiac MRi sebelum dan satu jam sesudah konsumsi minuman ber energi yang mengandung taurin (400 mg/100 ml) dan kafein (32 mg/100 ml).

Dibandingkan dengan gambaran awal, hasil dari Cardiac MRi yang dilakukan satu jam kemudian menunjukkan peningkatan signifikan peak strain dan peak systolic strain rates (ukuran terhadap kontraktilitas) di ven­trikel kiri jantung. Peneliti menemukan tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap denyut jantung, tekanan darah atau jumlah darah yang dipompakan dari ventrikel kiri jantung pada gambaran awal dan pemerik­saan MRi kedua.

“ini menunjukkan bahwa konsumsi mi numan berenergi mempunyai dampak jangka pendek terhadap kontraktilitas jan­tung,” kata Dr. Dorner. “Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi dampak dari penggunaan minuman berenergi jangka panjang dan efek dari minuman sejenisnya terhadap individu dengan penyakit jan­tung”.

Dr. Dorner mengemukakan bahwa

risiko jangka panjang minuman berenergi belum diketahui, beliau menyarankan agar anak­anak maupun penderita aritmia agar menghindari minuman berenergi, karena perubahan dalam kontraktilitas dapat me­micu aritmia.

Selain Dr. Dorner, Professor Milou­ Daniel Drici, dari Perancis juga mengemuka­kan penelitiannya pada Congress the European Society of Cardiology 2014 di Barcelona ke­marin. Beliau menyampaikan bahwa minu­man berenergi yang dijual di pasaran dapat menyebabkan masalah pada jantung.

Professor Drici mengatakan: “Minuman berenergi sangat popular di klub menari dan dikonsumsi selama olahraga fisik, dimana orang biasanya mengkonsumsi minuman tersebut terus menerus beberapa kali. Keadaan tersebut dapat menyebabkan beberapa kondisi yang tidak diharapkan termasuk angina, aritmia jantung dan bah­kan kematian mendadak.”

Beliau menambahkan: “Sekitar 96% dari minuman tersebut mengandung kafein, de­ngan spesifikasi 0,25 liter mampu mengan­dung kadar kafein sebanyak 2 porsi espresso. Kafein merupakan agonis paling poten dari reseptor ryanodine dan menyebabkan pe­ngeluaran kalsium yang masif ke dalam otot jantung. Hal tersebut dapat menyebabkan

BeRiKuT ini saya sampaikan salah satu keputusan rapat Komisi Subspesialis dengan para ketua dari 8 POKJa Perki yg berkaitan dengan Subspesialisasi Training. nama Pokja sudah diedit kembali nomenklaturnya sesuai dengan subspesialisasi yang akan kita kembangkan, sebagai berikut:1. Kardiologi intervensi (Interventional Car-

diology)2. Kardiologi intensif & Kegawatan Kardio­

vaskular (Acute and Intensive Cardiovas-cular Care)

3. Kardiologi nuklir & Pencitraan Kardio­vaskular (Nuclear Cardiology & Cardiovas-cular Imaging)

4. Ekokardiografi (Echocardiography)5. aritmia (Arrhythmia)6. Vaskular (Vascular)

7. Kardiologi Pediatrik & Penyakit Jantung Bawaan (Pediatric Cardiology & Congenital Heart Disease)

8. Kardiologi Prevensi & Rehabilitasi Kardiovaskular (Preventive Cardiology & Cardiovascular Rehabilitation)

alur permohonan untuk mengikuti Advanced Training in Subspecialty Program, sebagai berikut:1. Kandidat (SpJP yang sudah 2 tahun be­

kerja di RS), mengajukan lamaran yang ditujukan kepada Ketua Pokja Perki, dengan disertai rekomendasi dari tempat bekerja (RS setempat), kemudian aplikasi ini akan dibahas oleh peer group.

2. Setelah disetujui oleh peer group, akan diberikan arahan dan tempat pelatihan

(RS pendidikan atau non pendidikan), dan Pokja akan memberikan rekomendasi untuk dapat mengikuti pelatihan terse­but.

3. Dengan rekomendasi dari Pokja Perki, kandidat membuat lamaran yang di­tujukan ke Direktur RS Pendidikan/non pendidikan yang telah disepakati dengan memberikan CC kepada Ketua Kolegium PeRKi cq Komisi Subspesialis (att: Dr.Manoefris Kasim, SpJP).

4. Setelah selesai mengikuti program pela­tihan minimal 2 semester (sesuai perkon­sil 8 thn 2012), pihak RS Pendidikan/non pendidikan, mengeluarkan surat keterangan yang memuat tentang jenis pelatihan, lama pelatihan, dan jumlah ex­posure pasien untuk masing­masing jenis

penyakit/prosedur yang telah dilakukan (log book); kemudian surat keterangan ini ditandatangani oleh direktur RS, Ketua Departemen Kardiologi, dan course direc­tor pelatihan.

5. Berkas ini oleh kandidat (trainee), dikirim­kan ke Komisi Subspesialis Kolegium PeRKi untuk diproses lebih lanjut dengan keluaran SeRTiFiKaT KOMPeTenSi TaMBaHan / Subspecialty / SuBSPe­SiaLiS.

6. end.

Koordinator Komisi SubspesialisKolegium Jantung dan Pembuluh Darah

PeRKi,

Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K), SpKN, FIHA.

Alur Aplikasi Pelatihan Lanjut (“Subspesialis“) dari Kolegium Jantung dan Pembuluh Darah, PERKI sesuai Perkonsil No.8 thn.2012

To visualize cardiac magnetic resonance tagging, a cross-section of the heart in common imaging technique is seen on the left and

tagged myocardium using CSPAMM on the right.

(Bersambung ke hal.4)

Page 2: Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan ...kardio.my.id/DOWNLOADfile/TPK207_WEB-OKE.pdf · Sebuah laporan tahun 2013 dari admi nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah gunaan

Tabloid Profesi KARDIOVASKULER

STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995tanggal 30 Oktober 1995

ISSN : 0853-8344

SUSUNAN REDAKSIKetua Pengarah:

DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHAPemimpin Redaksi:

Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJPRedaksi Konsulen:

Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K)Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K)

Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K)Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K)

Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K)Tim Redaksi:

Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation Dr. Basuni Radi, SpJP(K)Dr. Dyana Sarvasti, SpJP

Bidang Pediatric Cardiology Dr. Indriwanto, SpJP(K)

Dr. Radityo Prakoso, SpJPBidang Cardiovascular Emergency

Dr. Noel Oepangat, SpJP(K)Dr. Isman Firdaus, SpJP

Bidang Clinical CardiologyDr. Sari Mumpuni, SpJP(K)Dr. Rarsari Soerarso, SpJP

Bidang Interventional Cardiology Dr. Doni Firman, SpJP(K)

Dr. Isfanudin, SpJP(K) Bidang Echocardiography

Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K)Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP

Bidang Cardiovascular Intensive CareDr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K)Dr. Siska Suridanda, SpJP

Bidang Cardiovascular Imaging Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K)

Dr. Saskia D. Handari, SpJP Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care

Dr. Bono Aji, SpBTKVDr. Pribadi Boesroh, SpBTKV

Dr. Rita Zahara, SpJP Bidang Vascular MedicineDr. Iwan Dakota, SpJP(K)

Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJPTim Editor:

Dr. Sidhi Laksono PurwowiyotoFotografer:

Dr. M. Barri Fahmi HarmaniSekretaris/Keuangan:

Endah MuhariniBagian Iklan:

Bimo SukandarBagian Perwajahan:

Asep SuhendarAlamat Redaksi dan Tata Usaha:

Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2,RS Jantung Harapan Kita,

Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420, Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475

atau 5684085-93 pes. 5011e-mail : [email protected] atau tabloidkar-

[email protected]:

H&BHeart & Beyond PERKI

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) Manajemen: Yayasan PERKI

Pencetak:PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta

Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia. Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun,

transfer melalui Bank Mandiri acc: Tabloid Profesi Kardiovaskuler,

RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304 KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta.

Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovasku-lar Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata

letaknya sedikit konservatiftapi enak dipandang. Bukan media

yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang sangat terjaga akurasinya, ditulis

dengan bahasa tutur yang enak dibaca. Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan

sarana untuk menyampaikan setiap informasi kedokteran mutakhir

--khususnya terkait bidang kardiovaskuler-- bagi seluruh dokter Indonesia.

Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid

KARDIOVASKULER hadir, membawa berita ilmiah kardiovaskuler terkini.

207/Thn.XX/September-Oktober 2014 2

Pada halaman dua kami publikasikan foto­ foto dari acara pelantikan pengurus PeRKi cabang Jakarta masa bakti 2014­2016 berikut Susunan Pengurus PeRKi cabang Jakarta.

Pada halaman tiga kami publikasikan pula foto­foto dari acara syukuran lulusan PPDS Kardiologi tahun 2014 dan dari acara Week­end Course on Cardiology 2014 (WeCOC 26).

informasi penting dari Kolegium perlu kami sampaikan kepada seluruh anggota PeRKi di seluruh indonesia, yaitu bagi yang ingin melanjutkan pendidikan menjadi subspesialis, kami publikasikan di bawah headline, alur aplikasi pelatihan lanjut (sub­spesialis) dikeluarkan oleh Kolegium PP PeRKi sesuai Perkonsil no. 8 tahun 2012.

Terakhir, kami ucapkan selamat membaca, semoga bermanfaat.*

Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJPPemimpin Redaksi

S alam, Pembaca setia tabloid profesi kardiovas­ kuler yang kami hormati, dalam tabloid

edisi 207 ini kami sajikan beberapa artikel ilmiah yang perlu anda simak diantaranya, artikel ilmiah tentang efek minuman berenergi terhadap jantung yang kami tempatkan sebagai headline. artikel ilmiah berikutnya adalah tentang emboli paru pada gagal jantung. artikel bersambung dari edisi kemarin berjudul “Implikasi dan penatalaksanaan hipertrofi ventrikel kiri pada pasien hipertensi”. artikel dari sponsor kali ini dari astraZeneca yang berjudul Pasien dengan risiko tinggi di asia: pendekatan dalam pencegahan penyakit kardiovaskular. Tidak ketinggalan, artikel yang selalu hadir pada setiap edisi Tabloid ini adalah Kardiologi Kuantum dari Prof. Budhi, kali ini berjudul “Dokter kecil peduli jantung mungkinkah menjadi program promotif preventif PeRKi?”

SUSUNAN PENGURUS PERKI CABANG JAKARTAMASA BAKTI 2014 – 2016

Dewan Penasehat : Dr. dr. Hananto Andriantoro, SpJP(K), FIHA dr. Dolly RD Kaunang, SpJP, SpKP(K), FIHA Dr. dr. Indriwanto S. Atmosudigdo, SpJP(K), FIHA

Ketua : dr. Ismi Purnawan, SpJP, MARS, FIHA Wakil Ketua : dr. Yahya Berkahanto Juwana, SpJP, PhD, FIHA Sekretaris : dr. Siska Suridanda Danny, SpJP, FIHA Wakil Sekretaris : dr. Yasmina Hanifah, SpJP, FIHA Bendahara : dr. Diah Retno Widowati, SpJP, FIHA Wakil Bendahara : dr. Rina Ariani, SpJP, FIHA

Departemen Pengembangan Organisasi & Advokasi KebijakanKoordinator : dr. Heru Chandratmoko, SpJP, FIHA Anggota : dr. Chandramin, SpJP, FIHA dr. Ismugi, SpJP, FIHA dr. Achyar, SpJP, FIHA

Departemen Penelitian & Pengembangan IPTEK KadiovaskularKoordinator : dr. Surya Dharma, SpJP(K), PhD, FIHA Anggota : dr. Beny Hartono, SpJP, FIHA dr. Retna Dewayani, SpJP, FIHA

Departemen Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)Koordinator : Dr. dr. Basuni Radi, SpJP(K), FIHA Anggota : dr. Farial Indra, SpJP, FIHA dr. Kurniawan Iskandarsyah, SpJP, FIHA dr. Henry AP Pakpahan, SpJP, FIHA dr. Inez Ariadne Siregar, SpJP, FIHA dr. Vireza Pratama, SpJP, FIHA

Departemen Pengembangan Kemitraan & Kesejahteraan AnggotaKoordinator : dr. Frits RW Suling, SpJP(K), FIHA Anggota : dr. Muhammad Yamin, SpJP, FIHA dr. Hengkie F Lasanudin, SpJP, FIHA dr. Hermawan, SpJP, FIHA dr. Taofan, SpJP, FIHA

Departemen Media & InformatikaKoordinator : dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA Anggota : dr. Andria Priyana, SpJP, FIHA

Pelantikan Pengurus PERKI Cabang Jakarta Masa Bakti 2014-2016Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta, Minggu, 21 September 2014

Page 3: Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan ...kardio.my.id/DOWNLOADfile/TPK207_WEB-OKE.pdf · Sebuah laporan tahun 2013 dari admi nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah gunaan

207/Thn.XX/September-Oktober 2014 3

GaGaL jantung merupakan suatu kondisi epidemi yang masih merupakan masalah kesehatan yang utama di seluruh dunia. Walaupun insiden gagal jantung tetap stabil dalam waktu 20 tahun terakhir, prevalensinya terus mengalami peningkatan akibat penuaan populasi dunia. Hingga saat ini sudah dikembangkan berbagai terapi farmakologis yang optimal untuk pena­talaksanaan gagal jantung, namun angka mortalitas akibat gagal jantung masih sangat tinggi. Sebagian besar mortalitas disebabkan oleh gagal jantung yang progresif, namun ditemukan juga bahwa banyak morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan tingginya angka kejadian thromboemboli pada pasien dengan gagal jantung. Salah satu manifestasi kejadian thromboemboli yang fatal pada pasien gagal jantung adalah emboli paru.(1)

emboli paru merupakan suatu kegawat­daruratan di bidang kardiovaskular yang cukup sering terjadi. akibat adanya sum­batan pada arteri pulmonalis, penyakit ini dapat menyebabkan kondisi kegagalan ven­trikel kanan yang akut dan mengancam jiwa, namun memiliki potensi untuk reversibel.(2) emboli paru merupakan salah satu mani­festasi dari kejadian venous thromboembolism (VTe). Kejadian VTe masih merupakan

penyebab morbiditas dan mortalitas yang bermakna pada pasien­pasien dengan ga­gal jantung, dan gagal jantung sejak lama diyakini merupakan faktor risiko untuk terjadinya emboli paru. Berbagai studi kasus kontrol menunjukkan bahwa kondisi gagal jantung berhubungan dengan peningkatan risiko untuk menderita VTe sebesar 1,8 hingga 2,9 kali. Tingkat keparahan disfungsi sistolik memiliki kontribusi yang signifikan, dimana LVeF antara 20­40% berhubungan dengan peningkatan risiko sebesar 2,8 kali lipat dan LVeF <20% berhubungan dengan peningkatan risiko sebesar 38,3 kali lipat.(3)

Berdasarkan trias yang diungkapkan oleh Rudolph Virchow mengenai faktor­faktor yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya thrombosis intravaskular sejak lebih dari 150 tahun yang lalu, dike­tahui bahwa risiko thromboemboli menga­lami peningkatan pada pasien­pasien gagal jantung. adanya stasis aliran darah pada ruang­ruang jantung yang mengalami dilatasi dan hipokinetik menyebabkan lebih mudah terbentuknya thrombus yang kaya fibrin.(1) Pada kondisi gagal jantung juga ter­jadi disfungsi atau jejas pada endotel akibat penurunan produksi nitric oxide (nO) dan peningkatan produksi faktor von Willebrand dan P­selectin.

adanya abnormalitas pada komponen darah dan peningkatan kadar marker pro­trombotik pada pasien gagal jantung menun­jukkan adanya kondisi hiperkoagulasi.(3)

evaluasi pasien gagal jantung yang diduga menderita emboli paru akut da­pat menjadi suatu masalah yang kompleks karena kedua penyakit tersebut memiliki gejala yang hampir sama. Dyspnea meru­pakan gejala klinis yang paling sering ter­jadi pada kasus emboli paru, yaitu dialami oleh 70­80% pasien.(5) Walaupun dyspnea merupakan gejala klinis yang paling sering dikeluhkan baik pada kondisi emboli paru dan gagal jantung, adanya dyspnea berat yang tidak sesuai dengan temuan objektif mengenai kondisi kongesti vaskular paru menunjukkan bahwa terdapat proses lain yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas, seperti emboli paru.(2)

Pemeriksaan ekokardiografi transthor­akal merupakan modalitas pencitraan yang pertama kali dapat dilakukan pada pasien yang diduga menderita emboli paru, ter­utama pada pasien­pasien dengan hemodi­namik tidak stabil karena pemeriksaan ini dapat dilakukan secara bedside. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya thrombus pada arteri pulmonalis utama pada 80% kasus dengan emboli paru

Emboli Paru pada Gagal Jantung: Problematika Diagnosis dan Terapi

SYUKURAN LULUSAN PPDS KARDIOLOGI TAHUN 2014

Senin, 22 September 2014, bertempat di Ruang auditorium RS. Pusat Jantung nasional Harapan Kita Jakarta telah diadakan acara syukuran lulusan PPDS Kardiologi tahun 2014.

Mereka yang telah lulus menjadi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah baru itu adalah:

Dr. Dewi Hapsari Soeprobo, SpJPDr. estu Rudiktyo, SpJPDr. i nyoman Wiryawan, SpJPDr. Jusuf endang, SpJPDr. Olfi Lelya, SpJPDr. Prafithrie Avialita Shanti, SpJPDr. Victor Joseph, SpJP.Tabloid Profesi Kardiovaskuler dan PP PeRKi

mengucapkan Selamat dan Sukses*

WECOC 26(WEEKEND COURSE ON CARDIOLOGY 2014)

12­14 September 2014, bertempat di Hotel Holiday inn, Kemayoran Jakarta, telah digelar acara WeCOC yang mengambil tema Empowering Cardiovascular Service Providers in National Universal Coverage Insurance System. acara dibuka dengan ditandai pemukulan gong oleh dr. ismoyo Sunu mewakili Pengurus Pusat PeRKi didampingi dr. Yogya Yuniadi Ketua Penyelenggara dan dr. amiliana Mardiani S. selaku Ka Dep. Kardiologi & Kedokteran Vaskuler FKui.

Saat acara Gathering night diluncurkan buku karya Prof. Lily i Rilantono berjudul: "Penyakit Kardiovaskular Pada Perempuan; Tantangan abad ke­21".

Salah satu pembicara asing yang hadir dari uSa adalah Prof. Hardean e. achnek MD.*

yang masif.(5) Penelitian yang dilakukan pada pasien­pasien dengan emboli paru juga menunjukkan bahwa sebanyak lebih dari 80% pasien memiliki gambaran gangguan ukuran dan fungsi ventrikel kanan yang terlihat pada pemeriksaan ekokardiografi dan Doppler. namun, banyak pasien de­ngan emboli paru juga menderita penyakit kardiopulmonal yang lain, sehingga adanya hipokinesis atau dilatasi ventrikel kanan pada pemeriksaan ekokardiografi tidak da­pat digunakan secara reliabel untuk melihat bukti secara tidak langsung adanya emboli paru pada kondisi tersebut.(6)

CT scan dengan kontras pada dada me­rupakan modalitas pencitraan yang lebih dipilih untuk mengevaluasi pasien­pasien gagal jantung yang diduga menderita emboli paru. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang baik untuk mengi­dentifikasi kondisi emboli paru (spesifisitas 90%, sensitivitas 80%). Dan dengan peng­gunaan MSCT, sensitivitas dan spesifisitas peme rik saan ini mengalami peningkatan hingga berturut­turut 83% dan 96%.(5) na­mun, peng gunaan kontras intravena pada pemeriksaan CT scan dapat menyulitkan pada pasien gagal jantung yang juga men­derita penyakit ginjal kronik karena terdapat

(Bersambung ke hal.5)

Page 4: Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan ...kardio.my.id/DOWNLOADfile/TPK207_WEB-OKE.pdf · Sebuah laporan tahun 2013 dari admi nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah gunaan

207/Thn.XX/September-Oktober 2014 4

Kardiologi Kuantum (30)

aritmia, tetapi juga mempunyai efek dalam kemampuan jantung untuk berkontraksi dan mengkonsumsi oksigen. Perlu diketahui juga bahwa 52% dari minuman berenergi mengandung taurin, 33% mengandung glu­koronolakton dan dua­pertiganya mengan­dung vitamin.”

Dr. Drici melanjutkan: “Pada tahun 2008 minuman berenergi diizinkan untuk dipasarkan di Perancis. Tahun 2009 hal tersebut diikuti oleh skema suveilans nutrisi nasional yang mewajibkan badan kesehatan nasional dan regional untuk melaporkan adanya kejadian spontan yang tidak ter­duga ke a.n.S.e.S, badan keamanan pangan Perancis.”

Studi terbaru menganalisa kejadian tidak terduga yang dilaporkan ke badan tersebut selama 1 Januari 2009 sampai 30 novem­ber 2012. Sejumlah 15 spesialis termasuk kardiolog, psikiater, neurolog dan fisiolog berkontribusi terhadap investigasi tersebut. Penemuan tersebut dibandingkan dengan data yang dipublikasikan dalam literatur ilmiah.

Peneliti menemukan bahwa konsumsi

dari 103 minuman berenergi yang tersedia di Prancis meningkat sebanyak 30% selama 2009 dan 2011 hingga 30 juta liter. Salah satu merek ternama menduduki posisi 40% minuman energi yang dikonsumsi. Dua­pertiga minuman tersebut dikonsumsi jauh dari rumah.

Selama periode dua tahun, 257 kasus dilaporkan ke badan kesehatan, dimana 212 memberikan informasi yang bermakna dalam hal evaluasi makanan dan obat. ahli menemukan bahwa 95 dari kejadian tidak terduga yang dilaporkan merupakan gejala kardiovaskular, 74 psikiatri, dan 57 neu­rologis, terkadang saling bertumpang tindih. Henti jantung dan kematian mendadak atau tanpa sebab yang jelas terjadi paling tidak pada 8 kasus, sementara 46 orang menga­lami gangguan irama jantung, 13 mengalami angina dan 8 mengalami hipertensi.

Dr. Drici berkata “Kami menemukan bahwa ‘sindrom kafein’ merupakan masalah yang paling sering, terjadi pada 60 orang dan ditandai oleh cepatnya denyut jantung (takikardia), tremor, anxietas dan nyeri kepala”.

Jarang namun merupakan kejadian sampingan yang berat terkait dengan minu­

berkualitas, produktif dan mempunyai etos kerja yang tinggi sehingga dapat memanfaat­kan segala potensi yang dimiliki. Program dokter kecil merupakan upaya pendekatan edukatif dalam rangka mewujudkan peri­laku sehat diantaranya perilaku kebersihan perorangan, dimana anak didik dilibatkan dan diaktifkan sebagai pelaksananya. Tujuan dokter kecil dapat diukur dari meningkat­nya partisipasi siswa dalam program uKS (usaha Kesehatan Sekolah) agar siswa dapat menjadi penggerak hidup sehat di sekolah, di rumah dan lingkungannya dan siswa dapat menolong dirinya sendiri, sesama siswa, dan orang lain untuk hidup sehat. Penelitian ini dilakukan di SDn Sukun 1 Malang karena merupakan salah satu SD yang menyeleng­garakan program dokter kecil. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: (1) wawan­cara mendalam; (2) observasi partisipasi; dan (3) dokumentasi. Data yang terkumpul melalui ketiga teknik tersebut diorganisasi, ditafsirkan dan dianalisis untuk menyusun konsep dan abstraksi temuan lapangan. Kredibilitas data dicek dengan mengguna­kan teknik triangulasi sumber data.

Mencermati studi ini yang berorien­tasi pada kepentingan dokter kecil dan masyarakat sekolahnya masih menyisakan pertanyaan tentang kemungkinan keber­hasilan program pengumpulan data tekanan darah tinggi masyarakat dewasa sekolah tersebut melalui dokter kecil terhadap orangtuanya di rumah. Tentu saja tidak perlu meragukan ketrampilan dokter kecil untuk mengukur tekanan darah masyarakatnya dengan menggunakan manometer elek­tronik. Di kota­kota besar anak­anak SD kelas 5 sudah mahir berselancar di dunia maya internet. Pengumpulan data tersebut masih harus diolah dipresentasikan dan dipublikasikan dan hasilnya diaplikasikan lagi untuk sebesar­besar manfaatnya pada kesehatan masyarakat sekolah yang merupa­kan bagian dari masyarakat indonesia.

Perhimpunan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (PeRKi) ikut serta me­mandang guru, murid, orang tua, dan petu­gas lainnya di dalam sekolah dasar adalah unit masyarakat khusus yang perlu dipantau kesehatan jantung dan pembuluh darahnya secara menyeluruh, berkesinambungan dan dikaitkan dengan program uKS yang telah ada. uKS juga dapat dipandang sebagai upaya terpadu lintas program dan lintas

Dokter Kecil Peduli Jantung(Mungkinkah Menjadi Program Promotif-Preventif PERKI?)

Masyarakat Indonesia kurang membutuhkan orang-orang dengan pendidikan khusus (spesia-lis) dibandingkan dengan orang-orang dengan pengetahuan umum tentang kesehatan untuk perbaikan yang cepat dari situasi kesehatan yang buruk di daerah-daerah terbelakang.

~Soemantri Hardjoprakoso, 1956

SaLaM KaRDiO. Dokter kecil itu eksotis lho, adalah pernyataan penulis pada siang hari di bulan September 2014, di lorong Pa­viliun Sukaman RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, begitu tersirat ketika ngobrol dengan bapak Presiden PeRKi yang baru Dr. dr. anwar Santoso SpJP, FiHa. Mungkinkah menjadi program promotif­preventif PeRKi? itu adalah pernyataan yang berupa pertanyaan. “Mengapa tidak?” Beliau membuka cakrawala ide tersebut dengan mengajukan pemikiran tentang perlunya PeRKi memiliki satu SD unggulan sebagai ujicoba pemikiran tersebut. Jarang PeRKi memiliki pemimpin yang lengkap dan mumpuni kemampuannya. Yang menonjol pada beliau adalah pendekatan saintifiknya melalui metodologi penelitian lengkap dengan induksi statistik yang digunakan untuk mengambil keputusan klinik, itulah epidemiologi klinik. Berpikir, melontarkan ide, membahas bahkan menulisnya itu relatif mudah dibandingkan melaksanakan di da­lam dunia nyata dan kenyataan.

Dalil (legenda dlm bahasa Belanda) ter­sebut di atas adalah pernyataan ke­5 hipotesis Dr. Soemantri Hardjoprakoso dalam lampir­an (terpisah) disertasi Indonesisch mensbeeld als basis ener psycho-therapie, Rijkuniversiteit di Leiden, Rabu, 20 Juni 1956. Pernyataan tersebut mensiratkan bahwa untuk menu­runkan angka kesakitan dan kematian suatu penyakit dengan cepat, lebih memerlukan provider kesehatan daripada dokter spesia­lis. Lebih spesifik lagi dari “legenda” hampir 60 tahun yang lalu tersebut justru pernyataan sebelumnya (Dalil ke­4) yaitu meningkatkan kesadaran tentang kesehatan masyarakat di daerah terbelakang diperlukan penyuluhan kesehatan di sekolah­sekolah di daerah tersebut.

Sementara itu, Haris Mashudi dari Ma­lang (2012) telah menulis dalam skripsinya tentang dokter kecil yang dikaitkan dengan kesehatan karena menganggap bahwa kese­hatan merupakan salah satu hal penting yang paling mendasar dalam kebutuhan manusia, karena sehat merupakan modal utama untuk meningkatkan sumber daya manusia yang

sektor dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan serta membentuk perilaku hidup sehat anak usia sekolah yang berada di seko­lah. Menitikberatkan pada upaya promotif­preventif yang didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) sebenarnya telah lama (1998) mempromosikan Health Promot-ing School, yaitu sekolah yang telah men­jalankan usaha kesehatan sekolah dengan ciri­ciri melibatkan semua pihak yang terlibat dalam masalah kesehatan.

adanya peningkatan angka kejadian dan kematian penyakit jantung koroner di masyarakat yang ditandai dengan sakit dada, berdebar, sesak nafas, dan mening­gal mendadak, mewajibkan kita memantau faktor risiko yang sudah hadir di sekolah dasar, sebelum penyakit tersebut menjadi ke­nyataan. Faktor risiko utama yang mungkin dan perlu dipantau adalah kelebihan berat badan akibat gizi yang tidak seimbang serta aktifitas fisik yang kurang, merokok dan tekanan darah tinggi untuk bapak­ibu guru, serta kedua orang tuanya. upaya yang paling sederhana adalah mendorong setiap uKS melalui guru dan mengikut sertakan dokter kecil dalam mengumpulkan, memiliki, dan menganalisis data masyarakatnya tentang berat badan, tinggi badan, (indeks masa tu­buh), lingkar perut, tekanan darah, serta sta­tus merokok di dalam masyarakat istimewa tersebut. Dengan demikian kegiatan dokter kecil dalam ikut serta memantau kesehatan jantung dan pembuluh darah di sekolah dan di rumah untuk kedua orang tuanya adalah pengalaman awal dari upaya promotif dan preventif tingkat dasar.

Dengan tersedianya data yang akurat dapat dikembangkan upaya promotif dan preventif yang khas untuk Sekolah Dasar tersebut serta mengaktifkan sistim rujukan berjenjang terkait dengan sistim kesehatan kota yang ada. Peranan PeRKi yang pertama dan utama adalah melakukan advokasi ke­pada Mendikbud, Menkes, dan Mendagri

beserta jajaran di bawahnya untuk mengi­kut sertakan dokter kecil dalam memantau kesehatan masyarakat sekolah dalam upaya promotif preventif kardiovaskular sejak usia dini. Kegiatan yang perlu dilakukan adalah membuat percontohan uKS di sekolah­sekolah dasar unggulan di masing­masing kota kabupaten dan provinsi.

Penggalian persepsi masyarakat umum tentang peranan dokter kecil pada upaya promotif­preventif kesehatan jantung dan pembuluh darah perlu dilakukan dengan mengikutsertakan wartawan media cetak dan televisi di lingkungan Kemdikbud dan Kemkes. PeRKi dan PWi dapat menyeleng­garakan lomba berhadiah bagi mereka yang memberikan pemberitaan terbaik secara berkala. Perlu mengaktifkan simpul­simpul kegiatan dengan Badan Litbang Kemkes, Dinas­dinas Kesehatan kota, Pusat­pusat Jantung Terpadu, Yayasan Jantung indone­sia, serta PJn Harapan Kita.

Pada tingkat kabupaten PeRKi­Cabang digerakkan untuk memperkuat kegiatan ini dengan melakukan advokasi ke Guber­nur, Bupati, Diknas, Dinkes setempat agar menyelenggarakan program percontohan pada SD unggulannya. Setiap dokter jantung agar ikut serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan jantung dan pembuluh darah melalui Dokter Kecil di dalam kegiatan uKS­nya. Penyuluhan ke­sehatan, membantu menganalisis data uKS, memilihkan program yang mampu laksana, serta meng aktifkan rujukan berjenjang de ngan sistim kes­ehatan kota adalah peranan yang di­harapkan dari para kardiolog, dokter ahli penyakit jan­tung dan pembuluh darah. Salam Kuan-tum.

Budhi S. Purwowiyoto

man tersebut, misalnya kematian mendadak atau kematian tanpa sebab yang jelas, aritmia dan serangan jantung (infark miokard). Lite­ratur memastikan bahwa kondisi tersebut dapat terkait dengan konsumsi minuman berenergi.”

Beliau menambahkan “Pasien dengan kondisi jantung termasuk aritmia kateko­laminergik, long QT syndrome, dan angina harus diwaspadai dengan adanya bahaya potensial dari konsumsi kafein dalam jumlah besar, yang merupakan pencetus dari eksas­erbasi kondisi mereka dengan kemungkinan munculnya konsekuensi yang fatal.”

Dr. Drici melanjutkan: “Publik harus mengetahui bahwa yang disebut dengan “minuman berenergi” sama sekali tidak mempunyai tempat selama atau setelah olah­raga/latihan fisik, jika dibandingkan dengan minuman lainnya untuk tujuan tersebut. Jika dipakai dalam minuman cocktail yang mengandung alkohol, kafein dalam “minu­man berenergi” memampukan pemuda­pemudi di klub menari atau dimanapun untuk mengatasi efek yang tidak diharapkan dari alkohol, menyebabkan konsumsi kafein yang lebih banyak lagi.”

Beliau menyimpulkan: “Pasien jarang

(Minuman.................... hal.1) menyatakan adanya konsumsi minuman berenergi kepada dokter mereka kecuali dokter tersebut menanyakan. Dokter harus mengingatkan pasiennya dengan kondisi jantung bermasalah tentang bahaya potensial dari minuman tersebut dan menanyakan kaum muda secara khusus apakah mereka mengkonsumsi minuman jenis tersebut se­cara teratur atau hanya sesekali pada kondisi tertentu”.

Di indonesia sendiri, konsumsi minu­man berenergi yang berlebihan dan tidak sesuai tersebut juga seringkali ditemui. Selain dipakai sebagai stimulan agar lebih energik selama olahraga, tidak jarang kita temui kaum pekerja malam seperti supir antar kota dan kuli bangunan mengkonsumsi minuman berenergi agar tidak mengantuk dan lebih semangat bekerja. Penyalahgunaan minuman berenergi tersebut patut dijadikan perhatian khusus sebagai bahan edukasi terutama kepada pasien yang memiliki fak­tor resiko kardiovaskular untuk mencegah terjadinya kejadian kardiovaskular yang tidak diharapkan. <www.sciencedaily.com/releases/2013/12/131202082640.htm> (accessed September 13, 2014)

Stephanie Salim

Page 5: Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan ...kardio.my.id/DOWNLOADfile/TPK207_WEB-OKE.pdf · Sebuah laporan tahun 2013 dari admi nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah gunaan

207/Thn.XX/September-Oktober 2014 5

peningkatan kecenderungan untuk mende­rita contrast nephropathy. Selain itu, pembe­rian kontras intravena melalui bolus cepat dapat menyebabkan terjadi peningkatan tekanan intrakardiak secara mendadak dan edema pulmonum. Pasien­pasien gagal jan­tung yang datang dengan kongesti vaskular paru atau hipertensi sistemik harus dista­bilkan dahulu sebelum menjalani tindakan CT scan.(4)

Terapi primer pada pasien gagal jan­tung dengan emboli paru akut antara lain fibrinolisis, embolektomi paru melalui pembedahan atau kateterisasi. Terapi primer

hanya diberikan pada pasien­pasien yang datang dengan em­boli paru masif atau submasif . Banyak pasien gagal jantung yang memiliki kon­disi komorbid atau kontraindikasi yang menyebabkan mereka tidak dapat memper­oleh terapi primer.(4) Pasien emboli paru biasanya mengalami h ipoksemia yang merespon terhadap pemberian oksigen, karena patofisiologi utama dari penyakit ini adalah gangguan pada V/Q. Pasien se baiknya diminta untuk bed rest karena restriksi gerakan da­pat mengurangi ke­mungkinan lepasnya thrombus dari perifer dan dapat mengu­rangi kebutuhan akan oksigen. Pada kasus yang berat dan pasien dengan syok, pasien

dapat diintubasi dan dilakukan pemasangan ventilasi mekanik untuk memastikan kondisi oksigenasi jaringan tetap adekuat.(5)

adanya disfungsi sistolik dan diastolik pada ventrikel kiri menyulitkan penatalak­sanaan pasien gagal jantung dengan emboli paru yang masif. Strategi penatalaksanaan yang sering dilakukan sebagai respon ter­hadap kondisi hipotensi sistemik yaitu de ngan memberikan cairan dapat mem­perburuk kondisi kegagalan biventrikular, edema, dan hipoksemia pada penderita gagal jantung. Percobaan awal untuk tindakan ekspansi volume yang dibatasi sebanyak

Implikasi dan Penatalaksanaan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Pasien Hipertensi(sambungan)

250 hingga 500 ml dapat dilakukan pada penderita gagal jantung tanpa adanya bukti peningkatan tekanan pengisian ventrikel kanan atau edema paru.(4)

umumnya pasien­pasien yang tidak menderita gagal jantung merespon dengan baik terhadap pemberian vasopresor murni untuk memperbaiki hemodinamik pada pasien­pasien dengan emboli paru yang masif, namun banyak pasien­pasien gagal jantung yang tidak dapat mentoleransi ada­nya peningkatan resistensi vaskular sistemik. Pasien emboli paru dengan gagal jantung biasanya memerlukan agen farmakologis yang dapat berfungsi sebagai vasopresor dan inotropik seperti norepinephrine, epi­nephrine, atau dopamine. Walaupun fungsi ventrikel kiri seringkali menjadi hiperdi­namik sebagai respon terhadap kegagalan ventrikel kanan, adanya dasar disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien­pasien gagal jantung dapat membatasi kemam­puan pasien untuk mempertahankan curah jantung yang normal sehingga memerlukan penambahan inotropik.(4)

Terapi antikoagulan yang dapat dipilih untuk tatalaksana emboli paru antara lain unfractionated heparin (uFH) intravena, low molecular weight heparin (LMWH), dan fonda­parinux. Kondisi kongesti hepar akan mem­perlambat metabolisme uFH pada pasien dengan gagal jantung, yang menyebabkan dibutuhkannya dosis yang lebih rendah untuk dapat mencapa i kadar terapeutik dari antikoagulan. adanya gangguan gin­jal, yang merupakan komorbid yang sering terdapat pada pasien­pasien gagal jantung dapat menyebabkan antikoagulasi yang ber­lebihan dan pendarahan pada penggunaan LMWH dan fondaparinux yang klirensnya di ginjal.(4)

Manajemen pemberian terapi warfarin dapat sulit dilakukan pada pasien dengan gagal jantung dengan berbagai komorbidnya dan biasanya memperoleh berbagai obat­obatan yang mempengaruhi metabolisme­

nya sehingga meningkatkan risiko terjadinya pendarahan. Kondisi kongesti pada usus dan penurunan fungsi hepar akibat kongesti atau curah jantung yang rendah dapat mempe­ngaruhi metabolisme warfarin. Obat­obatan yang sering diresepkan pada pasien­pasien gagal jantung seperti amiodarone dan clopi­dogrel dapat meningkatkan efek warfarin, sedangkan obat­obatan yang lain seperti spironolactone dapat meningkatkan me­tabolismenya.(4)

Pada pasien gagal jantung dengan kon­traindikasi terhadap antikoagulan atau yang menderita emboli paru rekuren walaupun sudah tercapai target terapi dengan meng­gunakan antikoagulan sebaiknya dipertim­bangkan untuk menjalani tindakan insersi filter vena cava inferior. Filter vena cava inferior dapat mengurangi risiko terjadinya emboli paru namun dapat meningkatkan risiko jangka panjang untuk terjadinya DVT.(4)

Sebagai simpulan, gagal jantung merupa­kan suatu kondisi penyakit kardiovaskular yang kompleks dan berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Walaupun terdapat berbagai kemajuan da­lam diagnosis dan terapi, angka luaran yang buruk dari kondisi gagal jantung hingga saat ini masih sangat tinggi, yang sebagian besar disebabkan oleh tingginya angka kejadian VTe pada pasien dengan gagal jantung, salah satunya adalah emboli paru. emboli Penegakan diagnosis dini dan pemberian terapi segera sangat penting pada pasien emboli paru dengan gagal jantung mengi­ngat tanda dan gejala pada emboli paru yang sering menyerupai gagal jantung. Pemberian profilaksis antikoagulan pada pasien gagal jantung untuk mencegah kejadian VTe ter­masuk emboli paru sebaiknya disesuaikan berdasarkan pertimbangan keuntungan dan risiko pendarahan pada pasien.

(Referensi dapat di lihat pada www.tpkindo-nesia.blogspot.com)

A. A. Ayu Dwi Adelia Yasmin

Gb 4. Efek terapi antihipertensi terhadap derajat LVHSumber Am J Med 2003;115:41

­ aRB : 13% ­ CCB : 11% ­ aCei : 10% ­ Diuretik : 8% ­ Beta blocker : 6%

LVH dan Resiko Cardiovascular Disease (CVD)

Beberapa penelitian klinis telah memper­lihatkan hubungan yang erat antara LVH dan CVD. Baik itu LVH yang di diagnosis dengan eKG,17­19 maupun dengan ekokardiografi.20­22 Penelitian kami yang terbaru membuktikan bahwa LVH yang didiagnosis dengan eKG (Sokolow­Lyon criteria) adalah predic­tor terpenting untuk resiko CVD (yaitu infark miokard dan stroke), terlepas dari hubu ngannya dengan TD di klinik ,TD ambulatorik (24­hour BP dan nocturnal BP), kadar serum norepinephrine, dan plasma fibrinogen.23 Hal ini disebabkan karena LVH ter golong aritmogenik dan dapat memicu sudden death. Fibrosis dan kekakuan arteri yang ada pada LVH dapat memicu disfungsi sistolik dan diastolic, dan dilatasi atrium. Dilatasi atrium akan mencetuskan peruba­han aliran listrik dan elektrofisiologis jantung yang memicu timbulnya fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium ini pada akhirnya akan mencetuskan stroke embolik. Lebih jauh, LVH meningkatkan konsumsi oksigen dan mengurangi aliran darah ke arteri coroner karena membesarnya massa otot ventrikel, sehingga akan menyebabkan iskemik mi­okardium dan gagal jantung.

Efektivitas Terapi Antihipertensi pada LVH

Secara umum, penurunan TD dengan obat anti hipertensi, penurunan berat badan dan diet ketat garam dapat menurunkan massa jantung pada pasien LVH, termasuk juga pada pasien dengan diabetes. Regresi LVH tergantung kepada respon dari peng­gunaan obat anti hipertensi, atau pada be­berapa kasus, tergantung kepada tipe terapi yang digunakan. Beberapa penelitian klinis

membuktikan bahwa penggunaan aCe inhibitor, aRB, aliskiren (direct renin inhibi­tor), CCB (khususnya diltiazem, verapamil, amlodipine) dan beberapa simpatolitik agen (termasuk metildopa dan alfa­bloker) dapat menghasilkan regresi LVH.24­26 Sebaliknya diuretik, beta blocker, vasodilator seperti hydralazine dan monoxidil, dan beberapa obat golongan CCB kurang efektif dalam menurunkan derajat LVH meskipun obat­obat tersebut efektif dalam menurunkan TD. Hal ini disebabkan karena obat­obat tersebut dapat menstimulasi pelepasan nor­epinephrine dan angiotensin ii, yang dapat menyebabkan munculnya LVH.

Sebuah studi meta­analisis yang meng­evaluasi efektivitas dari beberapa obat anti hipertensi dalam menurunkan derajat LVH pada pasien hipertensi,27 memeperlihatkan bahwa setelah dipisahkan dari hubungannya dengan durasi terapi dan efeknya terhadap penurunan TD, besaran relative regressi mas­sa ventrikel kiri dapat dilihat pada Gb. 4.

Data ini memperlihatkan bahwa aRB, CCB dan aCei lebih efektif untuk regresi LVH dibanding dengan diuretic dan beta bloker. efektivitas aRB juga sudah dibuk­tikan melalui LiFe study yang memban­dingkan efek aRB vs Beta blocker dalam regresi LVH yang dinilai dengan eKG, terlepas dari fungsinya sebagai penurun TD.18 Lebih jauh, PReSeRVe study yang membandingkan enalapril (10­20 mg/hari) dan nifedipine (30­60 mg/hari) pada pasien hipertensi disertai LVH, tidak dapat mem­perlihatkan perbedaan signifikan antara dua pilihan terapi tersebut dalam menurunkan TD atau LV mass.28

Fungsi Jantung setelah regresi LVHRegresi LVH berhubungan dengan me­

ningkatnya performa sistolik, meningkatkan stroke volume, dan tidak ada peningkatan pada resiko dekompensatio jika TD mening­kat. Regresi LVh juga memiliki beberapa keuntungan, seperti ter­jadi penurunan PVC (Pre­mature ventcular beats) dan fibrilasi atrium. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dike­tahui secara pasti apakah perubahan ini akan me­ngurangi resiko sudden death atau tidak.

Tidak banyak peneli­tian yang mempublikasi­kan efek dari regresi LVH terhadap disfungsi dia­stolik sebagai salah satu perubahan awal dari hi­pertensi. Data dari LiFe study memperlihatkan bahwa pada 728 pasien hipertensi dengan LVH yang dideteksi dengan eKG dan diberi terapi losartan/atenolol, regresi LVH berhubungan dengan peningkatan fungsi diastolik yang signifikan. Namun setelah satu tahun follow­up, tidak ada perbedaan dengan pasien yang tidak mengalami regresi LVH.29

Meskipun demikian, evidence dari dis­fungsi diastolic masih terus diteliti. Seperti misalnya pada meningkatnya kolagen di miokardium yang didahului oleh pening­katan massa otot ventrikel pada disfungsi diastolik.

Kesimpulan1. LVH berhubungan dengan peningkatan

angka kejadian gagal jantung, aritmia, infark miokard, penurunan fungsi sistolik

dan diastolik LV, sudden death, dilatasi aortic root, dan stroke. insiden CVD ber­hubungan langsung dengan regresi massa ventrikel kiri.

2. LVH dapat didiagnosis baik dengan eKG maupun Eko kardiografi. Ekokardiografi dinilai lebih sensitif dan menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis LVH.

3. Regresi LVH, baik yang dideteksi dengan EKG maupun Ekokardiografi, berhubu­ngan dengan menurunnya resiko CVD, dan meningkatkan fungsi jantung. Peng­gunaan obat antihipertensi yang tepat, pengurangan berat badan dan diet ketat garam dapat menurunkan massa ventrikel pada pasien LVH.

Eijiro Sugiyama EdisonDivisi jantung dan pembuluh darah,

Departemen penyakit dalam Jichi medical university, Tochigi Jepang

(Referensi lihat di www.tpkindonesia.blogspot.com)

Patofisiologi terjadinya emboli Paru Akut pada Gagal Jantung. (4)

(Emboli.................... hal.3)

Page 6: Thn.XX/September-Oktober 2014 Minuman Berenergi dan ...kardio.my.id/DOWNLOADfile/TPK207_WEB-OKE.pdf · Sebuah laporan tahun 2013 dari admi nistrasi Pelayanan Kesehatan Penyalah gunaan

6207/Thn.XX/September-Oktober 2014

Pasien dengan Risiko Tinggi di Asia: Pendekatan dalam Pencegahan Penyakit Kardiovaskuler(Laporan dari acara “Meet the Experts” 23 Agustus 2014, Jakarta dan 24 Agustus 2014, Bandung)

103 mg/dL sehingga diturunkan dibawah 70 mg/dL. Strategi pengobatan seperti apa yang direkomendasikan? rekomendasi pertama, terapi dengan statin yang sesuai intensitas penurunan LDL­C. Baseline LDL­C pria tersebut adalah 103 mg/dL dan target LDL­C dibawah 70 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan LDL­C sebesar 32%. Dengan melihat kemampuan statin dalam menurunkan LDL­C maka pilihan yang ada yaitu Rosuvastatin 5 mg, atorvastatin 10 mg, Simvastatin 20 mg atau Pitavastatin 2 mg. Rekomendasi yang kedua, penurunan LDL­C sebesar ≥ 50% dari baseline tetapi dengan syarat apabila target LDL­C dibawah 70 mg/dl tidak berhasil dicapai. Rekomendasi yang ketiga, penambahan ezetimibe dengan statin. Pilihan tersebut dilakukan apabila target penurunan LDL­C tidak berhasil dicapai dengan statin poten (baseline ≥ 150 mg/dL). Apakah obat­obat non­statin dapat diberikan? golongan fibrat dapat diberikan langsung ketika kadar TG ≥ 500 mg/dL. Sedangkan penambahan fibrat pada terapi statin dilakukan apabila pasien mempunyai kadar TG masih tetap diatas 200 mg/dL meski­pun target LDL­C sudah tercapai dengan statin pada pasien dengan risiko tinggi dan risiko sangat tinggi untuk menurunkan non­HDL­C menjadi 30 mg/dL diatas target LDL­C. Golong an niacin tidak direkomendasikan. apabila merujuk pada guideline aCC/aHa 2013 pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau 2 berumur 40­75 dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. Hasil perhitungan pada kasus ini menunjukkan risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan adalah 9,9%, sehingga rekomendasi terapi menggunakan high intensity statin yang mana dapat menggunakan Rosuvas­tatin 20­40 mg atau atorvastatin 40­80 mg.

Kasus kedua adalah seorang pria berumur 65 tahun tanpa hipertensi, tanpa riwayat penyakit kardiovaskuler maupun diabetes, tanpa riwayat keluarga dengan aSCVD, dan lingkar pinggang 88 cm. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar kolesterol total 190 mg/dL, LDL­C 103 mg/dL, HDL­C 42 mg/dL, dan TG 225 mg/dL. Fungsi hati dan ginjal dalam keadaan normal, begitu juga pada pemeriksaan eKG. apakah pria tersebut membutuhkan terapi statin untuk menurunkan risiko kardiovaskuler? berdasarkan SCORe risk chart, pria tersebut mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 10 tahun kedepan 8­10% atau termasuk kategori pasien dengan risiko tinggi ­ sangat tinggi. Baseline LDL­C 103 mg/dL dan target LDL­C 70­100 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan 3­32%. Penghitungan dengan pooled cohort equation menunjukkan angka 14.8% se­hingga dibutuhkan terapi high intensity statin.

Dr Shaiful azmi Yahaya, MD, Mmed melan­jutkan dengan kasus ketiga yang merupakan pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal. Dikatakan hanya ada 3 RCT yang tersedia untuk statin pada pasien CKD yaitu 4D (Die Deutsche Diabetes Dialyse Studie, 2003), auRORa (a study to evaluate the use of ROsuvastatin in subjects

on Regular Hemodi­alysis: an assessment of survival and car­diovascular events, 2009), dan SHaRP (Study of Heart and Renal Protection, 2011). Pada kasus ini, seorang wa nita berumur 68 tahun dengan keluhan bi-lateral edema tung­kai bawah, peme­riksaan menujukkan BP 148/84 mmHg, PR 79/min, RR 18/min, BT 36.90C, BMi 28, Pe: S4 over apex, mild bilateral lower leg edema. Pasien ini mempunyai riwayat hipertensi ri ngan, tanpa diabetes, ri­wayat me rokok, dan tidak ada riwayat keluarga terkena penyakit kardiovaskuler. Hasil pemerik­saan laboratorium didapatkan Hgb: 10.9 gm/dl, WBC: 10000, Platelet: 325000, gula darah puasa: 110 mg/dL, Hba1C: 6.2%, serum albumin: 3.2 gm/dL, Cr: 1.5, eGFR 36.7 (MDRD), Bun: 28, urine protein: ++, aLT: 23, kolesterol total: 228 mg/dL, LDL­C: 142 mg/dL, HDL­C: 28 mg/dL, TG: 389 mg/dL, eKG: LVH (tidak ada Q wave). Saat ini pasien meminum amlodipine 5 mg, fenofibrat 200 mg, dan aspirin 10 mg. Tingkat risiko pasien tersebut adalah CKD stadium 3, sindroma metabolik, penghitungan framingham risk score adalah 24% dan pooled cohort equations yaitu 27.4%. Target pe ngobatannya yaitu BMi, Tekanan Darah < 140/90 mmHg (eSH/eSC 2013) dan LDL­C < 100 mg/dL atau < 70 mg/dL. Pada kasus ini terapi yang direkomendasikan adalah perubahan gaya hidup, penambahan losartan 100 mg, dan penambahan rosuvastatin 10 mg. Setelah 3 bulan, hasil peme riksaan pada pasien ini ada­lah home BP: 132/78 mmHg, BMi 27, gula darah puasa: 104 mg/dL, Hba1C: 6.1%, Cr: 1.4, eGFR 40 (MDRD), urine protein: +, aLT: 33, kolesterol total: 160 mg/dL, LDL­C: 78 mg/dL, HDL­C: 30 mg/dL, TG: 281 mg/dL. ada pertanyaan yang muncul, apakah beberapa statin mempengaruhi ginjal dan fungsi ginjal? penelitian yang dilaku­kan oleh Shepherd, et al (2006) menguji keamanan dan tolerabilitas dari rosuvastatin menggunakan database yang terintegrasi dari 33 penelitian yang melibatkan 16.876 pasien dan mewakili 25.670 pasien yang selama bertahun­tahun terus­menerus menggunakan terapi rosuvastatin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien yang diobati dengan rosuvastatin 5­40 mg ≤ 52 minggu, ≥ 96 minggu dan ≥ 144 minggu, kadar kreatinin serum menurun di seluruh kelompok dosis masing­masing sebesar 1­3 µmol/L, 3­4 µmol/L, dan 4­5 µmol/L. Meskipun perbaikan rata­rata eGFR dari baseline yang relatif kecil, hal tersebut ditemukan pada pasien yang menerima terapi

rosuvastatin dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Besarnya perubahan eGFR yang terjadi dengan terapi rosuvastatin cenderung meningkat selama masa pengobatan dan tam­paknya tidak terkait dengan dosis rosuvastatin. Selain itu, hasil menunjukkan peningkatan eGFR yang berarti tidak memperburuk fungsi ginjal.

Kasus keempat yaitu dislipidemia pada pasien aCS, seorang pria berumur 68 tahun de ngan nyeri dada saat beristirahat yang ber­langsung selama 30 menit dan dirasakan 3 jam sebelum periksa. Pria tersebut memiliki riwayat hipertensi, merokok, hiperkolesterolemia dan meminum obat secara tidak teratur. Hasil pe­meriksaan kolesterol total 261 mg/dL, TG 160 mg/dL, HDL­C 44 mg/dL, LDL­C 185 mg/dL, CK­MB: 8.88 ng/ml (kisaran referensi: 0­5), Troponin (Tni): 0.385 ng/ml (kisaran referensi: 0­0.78). Pemeriksaan eKG dalam keadaan normal, sedangkan pemeriksaan CT koroner menunjuk­kan adanya oklusi koroner total. Pria tersebut didiagnosis non-ST-segment elevation aCS dan diberikan aspirin 300 mg loading, ticagrelor 180 mg loading, carvedilol 12.5 mg, LMWH. Selain itu, dia juga diberi rosuvastatin 20 mg loading dan 20 mg 2 jam sebelum PCi. Keesokan paginya, CaG dan PCi dilakukan, MRi menunjukkan adanya ukuran infark yang relatif kecil (7%). Pada kondisi awal terdapat hiperkinesia tetapi sekarang sudah hilang.

Statin sebagai pre-treatment adalah pilihan yang sangat baik, efek protektif pada pasien de­ngan aCS telah terbukti dalam beberapa peneli­tian besar yang dilakukan secara acak.

Dalam meta analysis dari 13 penelitian, pre­loading dengan statin menunjukkan hasil klinis yang lebih baik. Guideline aCCF/aHa/SCai 2011 untuk PCi direkomendasikan penggunaan statin dosis tinggi sebelum PCi untuk mengu­rangi risiko periprocedural Mi terutama pada pasien yang belum pernah mendapatkan statin atau statin­naïve.*

LDL­C pada pasien dislipidemia dengan diabe­tes direkomedasikan dibawah 70 mg/dL sesuai dengan guideline eSC/eaS 2011 atau penu­runan LDL­C ≥ 50% dari baseline apabila target LDL­C tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL). Sedangkan guide-line aCC/aHa 2013 merekomendasikan pasien dislipidemia dengan diabetes yang berumur 40­75 tahun dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. apabila skor < 7.5% maka diterapi dengan moderate intensity statin namun apabila skor ≥ 7.5% maka diterapi dengan high intensity statin.

Pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal memiliki risiko tinggi terhadap penyakit kar­diovaskuler meskipun karakteristik pada pasien tersebut memiliki kadar LDL­C yang rendah. Berdasarkan guideline eSC/eaS 2011, pasien dis­lipidemia dengan gangguan ginjal (eGFR<60ml/min/1.73m²) termasuk dalam kategori very high risk dimana LDL­C direkomendasikan dibawah 70 mg/dL atau atau penurunan LDL­C ≥ 50% dari baseline apabila target LDL­C tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL).

PT. astraZeneca indonesia kembali beker­jasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular indonesia Cabang Jakarta dan Cabang Bandung menyelenggarakan kegiatan Meet the Experts dengan tema High-risk patients: the best approach for treating CVD risk yang menghadirkan Dr. Erwinanto, SpJP(K) dan Dr Shaiful Azmi Yahaya, MD, Mmed dari institut Jantung negara, Kuala Lumpur Malaysia sebagai narasumber. Diskusi di Jakarta dipimpin oleh Dr. Pradana Tedjasukmana, SpJP(K) sedang­kan diskusi di Bandung dipimpin oleh Dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K). Pada kegitatan ini dibahas 4 studi kasus tentang pasien dengan risiko tinggi yaitu pasien dislipidemia dengan diabetes, pasien dislipidemia dengan aCS, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal, dan pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler berdasarkan skoring.

Kesempatan pertama disampaikan oleh Dr. erwinanto, SpJP(K) yang fokus pada kasus pasien dislipidemia dengan diabetes dan pasien risiko tinggi berdasarkan skoring. Kasus yang perta ma dikatakan seorang pria berumur 57 tahun dengan diabetes, hasil eKG tidak diketahui ad anya Mi. Pria tersebut sedang diterapi dengan obat hi­pertensi, serta tidak merokok. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar total kolesterol 190 mg/dL, LDL­C 103 mg/dL, HDL­C 36 mg/dL, TG 255 mg/dL, pria tersebut tidak meng­konsumsi obat penurun kolesterol. apakah pria tersebut bisa dianggap dislipidemia? berdasarkan guideline eSC/eaS 2011, pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 dengan kerusakan target organ seperti mikroalbuminuria maka sudah dianggap sebagai kelompok pasien very high risk dimana target LDL­C direkomendasikan dibawah 70 mg/dL. Pada kasus ini pria tersebut dianggap dislipidemia karena mempunyai kadar LDL­C