thesis : ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG DITINJAU DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN ...
-
Upload
presty-larasati-kumitrika -
Category
Documents
-
view
1.362 -
download
1
Transcript of thesis : ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG DITINJAU DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN ...
ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG DITINJAU
DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh :ABDUL HAMID
NPM : B2A009001
TESISDiajukan sebagai salah satu syarat ujian
Dan untuk memperoleh gelar Magister HukumPada Pascasarjana Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU2012
ANALISIS PERATURAN DAERAHKABUPATEN REJANG LEBONG DITINJAU
DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN
TESISDiajukan sebagai salah satu syarat ujian
dan untuk memperoleh gelar Magister Hukum
Oleh :ABDUL HAMID
NPM : B2A009001
Disetujui Oleh:
PembimbingUtama
Dr.ELEKTISON SOMI, S.H.,M.HNIP.19770426 200812 1 001
PembimbingPembantu
M.YAMANI KOMAR,S.H., M.HumNIP.19650310 199203 1 005
Mengetahui :
Ketua Program Pascasajana Ilmu HukumUniversitas Bengkulu
Prof. Dr. Herawan S., S.H, M.S.NIP. 19641211 198803 1 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis tesis saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister dan atau Doktor) baik di
Universitas Bengkulu (UNIB) maupun diperguruan tinggi lainnya;
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Tim Pembimbing;
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat saya yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang
yang dicantumkan dalam daftar pustaka;
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya
peroleh karena karya ini, serta sanksi lain sesuai dengan norma yang berlaku
diperguruan tinggi ini.
Bengkulu, 2012 Yang Membuat Pernyataan
ABDUL HAMID .NPM.B2A009001
iii
Ilmu Pengetahuan Bukanlah Tujuan, Melainkan Jalan Untuk
Mencapai Tujuan (Syeh Muhammad Abduh)
Kebenaran Itu Berada Di Dalam Hati Namun Untuk Menyadari Dan
Menggapai Kebenaran Itu Terkadang Memerlukan Langkah
Perjalanan Yang Jauh ( A. Hamid)
Kupersembahkan terindah untuk:
Ibu yang selalu mendoakan untuk kesuksesan penulis serta Almarhum Ayah
Dewi, istri tercinta yang selalu mendampingi memberikan dorongan dan semangat kepada penulis
Ghita Amirah Althaf dan Rashika Nabilah Hamid Anak-Anakku Tersayang
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Illahi Rabbi atas taufiq dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Penulisan tesis ini dengan judul Analisi Paraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong ditinjau dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian guna memperoleh gelar
Magister Ilmu Hukum pada Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu
Hukum Bidang Kajian Utama Hukum dan Otonomi Daerah, Program
Pascasarjana Universitas Bengkulu. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof Ir. Zainal Muktamar, M.Sc.,Ph.D selaku Rektor Universitas
Bengkulu;
2. Bapak M. Abdi,SH.MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu;
3. Bapak Prof. Dr. Herawan Sauni, SH., MS selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Universitas Bengkulu;
4. Bapak Dr. Elektison Somi., SH., MH selaku Pembimbing Utama dalam
penulisan tesis ini;
5. Bapak M.Yamani Komar., SH., M.Hum selaku Pembimbing Pembantu dalam
penulisan tesis sini;
6. Para Guru Besar dan segenap Dosen Pascasarjana Universitas Bengkulu;
v
7. Orang tua kandungku Ibu Maiyunah, yang selalu membimbing, memberikan
kasih sayang, teladan dan selalu mendoakan anak-anaknya ,
8. Dewi Wahyuni S.Pd. istriku yang setia mendampingiku, tulus memberikan
semangat dan dorongan untuk penulis
9. Rekan-rekan seperjuangan Program Pascasarjana Universitas Bengkulu;
10. Semua pihak yang yang telah membantu dengan memberikan dukungan moril
dan materil yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis minta
maaf dan mengucapkan terimakasih,
Akhirnya semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis oleh
pihak-pihak tersebut di atas akan mendapat balasan sesuai dengan amal
perbuatannya.
Bengkulu, 2012
Penulis
vi
ABSTRAK
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong dibentuk dan ditetapkan
dalam rangka untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan
dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Oleh karena
itu Peraturan Daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun kenyataannya masih dijumpai
pertentangan-pertentangan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
Melalui tesis ini akan dianalisis Peraturan Daerah tersebut dengan teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Penelitian hukum ini termasuk
penelitian hukum bersifat normative yaitu dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis formal untuk mengkaji konstruksi hukum dan pendekatan
perundang-undangan untuk menelaah konsistensi dan kesesuaian Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, dijumpai permasalahan dan
bertentangan dari aspek teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, baik
pada aspek Judul, yang belum mencerminkan substansi rumusan materi dalam
Peraturan Daerah, aspek pembukaan pada konsideran menimbang belum memuat
aspek sosiologis, filosofis dan aspek yuridis, belum memuat Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai Dasar Hukum.
Masih ada memasukkan dasar hukum yang tidak berkaitan secara langsung. Pada
batang tubuh dijumpai materi rumusan Pasal-Pasal yang tidak jelas kabur sulit
untuk diartikan secara normatif termasuk pada ketentuan pidana memuat rumusan
ancaman hukuman yang tidak jelas, oleh karena itu perlu pembenahan secara
struktural dan Kultural dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang
Lebong baik dalam hal teknik penyusunannya dan substansinya sehingga apa
yang dikehendaki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Rejang Lebong dalam
Peraturan Daerah tersebut dapat terwujud.
vii
ABSTRACT
Rejang Lebong District regulations established and defined in order to
implement regional autonomy and the duty of assistance and a further elaboration
of legislation higher, taking into account the characteristics of each region.
Therefore, the local regulation must not conflict with legislation which is higher.
But the fact remains found contradictions in Rejang Lebong District Regulations.
Through this thesis will analyze the regional regulation with the preparation
technique legislation. Legal research includes the study of law is normative
juridical approach to the use of formal methods to assess the legal construction
and regulatory approaches to examine the consistency and appropriateness of
District Regulations Rejang Lebong with legislation which is higher. Based on
research results, problems encountered and contradictory aspects of the
technique of preparation of legislation, both on aspects of title, which did not
reflect the substance of the material in the formulation of local regulation, aspects
of the opening of the preamble to weigh not contain aspects of sociological,
philosophical and juridical aspects, not to load the Article 18 paragraph (6) of the
Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 as the Basic Law. There is still
no legal basis to enter directly related. Material found on the torso formulation of
Articles that are not clearly blurred difficult to be interpreted normatively include
the provision contains a criminal penalty formulation is not clear, therefore it
needs a structural reform in the formation of Regulation and Cultural District
Rejang Lebong both in terms of engineering formulation and the substance so that
what is desired by the District Government of Rejang Lebong in local regulation
can be realized.
viii
DAFTAR ISIhlm
HALAMAN JUDUL..................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iiPERNYATAAN............................................................................................. iiiHALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... ivKATA PENGANTAR.................................................................................... vABSTRAK...................................................................................................... viiABSTRACT.................................................................................................... viiiDAFTAR ISI................................................................................................... ixDAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1A. Latar belakang.................................................................... 1B. Rumusan Masalah............................................................... 14C. Tujuan Penelitian................................................................ 14D. Manfaat Penelitian.............................................................. 15E. Keaslian Penelitian............................................................. 15F. Kerangka Pemikiran........................................................... 17
1. Teori norma Hukum..................................................... 172. Teori Desentralisasi...................................................... 233. Teori Perundang-Undangan......................................... 19
BAB II LANDASAN YURIDIS, TAHAPAN DAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH.............................. 47A. Landasan Yuridis Penyusunan Peraturan Daerah............... 47B. Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah............................. 59C. Teknik Penyusunan Peraturan Daerah................................ 66
BAB III METODE PENELITIAN........................................................... 771. Jenis Penelitian............................................................. 772. Pendekatan Penelitian.................................................. 773. Teknik Pengumpulan bahan Hukum............................ 784. Teknik Analisa Bahan Hukum..................................... 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................... 82A. Konstruksi Peraturan Daerah Yang Bertentangan Dengan Teknik
Penyusunan Peraturan Daerah................................83
1. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2006 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Tata Cara Pengajuan, Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong............... 83
2. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 20 Tahun 2006 tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong............................................ 93
3. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 23 Tahun 2006 Tentang KerjaSama Desa.................. 103
4. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 24 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa............................................................................ 109
ix
5. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 29 Tahun 2006 tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan........................................... 124
6. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan Di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong............. 137
B. Sebab-Sebab Tetap Diterapkannya Peraturan Daerah Labupaten Rejang Lebong Yang Bertentangan Dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.......... 164
BAB V PENUTUP.................................................................................... 1761. Kesimpulan.......................................................................... 1762. Saran..................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 179LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Tata Cara Pengajuan,
x
Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik
Di Kabupaten Rejang Lebong.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 20 Tahun 2006
tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 23 Tahun 2006
Tentang KerjaSama Desa.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 24 Tahun 2006
tentang Badan Permusyawaratan Desa.
5. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 29 Tahun 2006
tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan Di Wilayah Kabupaten Rejang
Lebong.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan telah
diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar dalam
tata kelola pemerintahan di daerah, baik pemerintahan di tingkat provinsi,
kabupaten/kota di Indonesia dalam hal kewenangan pemerintahan daerah
mengurus daerahnya sendiri.
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahan
sendiri sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, secara hirarki merupakan implementasi secara
yuridis dari Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 NKRI setelah amandemen kedua,
yang berbunyi: ”Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.”
Tujuan otonomi daerah pada hakekatnya adalah memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya
sendiri, dengan alasan bahwa Pemerintah Daerah yang lebih mengetahui
1
2
keadaan dan kondisi di daerah. Namun demikian tidak semua kewenangan
pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah. Kewenangan
pemerintah pusat yang tidak diserahkan atau dilimpahkan kepada
pemerintah daerah berdasar Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah meliputi : Politik Luar
Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan
Urusan Agama.
Dengan adanya kewenangan untuk mengurus daerah sendiri
berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, mengharuskan
pemerintahan di daerah membentuk regulasi-regulasi dalam upaya
melaksanakan roda pemerintahan di daerah yaitu dengan melahirkan
peraturan daerah-peraturan daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi daerah. Kewenangan pemerintahan daerah dalam membentuk
peraturan daerah, mempunyai legitimasi/dasar yang kuat, yakni secara
yuridis formal didasari dalam UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (6), yang
berbunyi: Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Kemudian juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerinah Daerah pada Pasal 136 ayat (1), yang
berbunyi sebagai berikut: Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapatkan persetujuan bersama DPRD.
3
Pemerintahan Daerah yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
1945 dalam Pasal (18) ini bukan saja Gubernur, Bupati dan Walikota, akan
tetapi termasuk di dalamnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
Peraturan daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah baik
Gubernur, Bupati, Walikota bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, pada dasarnya mempunyai fungsi:
a. sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;
b. merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
c. dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan, dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
d. sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
e. sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.1
Kemudian, peraturan daerah merupakan fungsi yang bersifat atribusi
maksudanya bahwa Peraturan daerah melekat kewenangan-kewenangan
sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, terutama dalam Pasal 136 yaitu:
a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
1 Dirjen Peraturan perundang undangan, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Penerbit Caplet Project 2008. hlm. 7.
4
b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah, apabila
dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan atau kedudukannya,
maksudnya jenjang tingkatan peraturan perundang-undangan, merupakan
salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan merupakan bagian dari
sistem hukum nasional, mengandung makna bahwa Peraturan daerah tidak
dapat dipisahkan daris sistem hukum nasional, dimana keberadaan atau
keabsahannya Peraturan Daerah jelas ada landasan hukumnya yaitu
ditempatkannya Peraturan Daerah secara terhormat dalam Undang-Undang
Dasar 1945 setelah amandemen,2 sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian peraturan daerah secara hierarki juga diatur secara tegas
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana dalam Pasal 7 ayat
(1) menyebutkan : Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2 H.M. Aziz, Dasar Dasar Konstitusional Pemerintah Daerah Dan Pembentukan Peraturan Daerah. Makalah disampaikan pada pendidikan dan pelatihan penyusunan perancangan peraturan perundang undangan, bulan Juni tahun 2010 di Jakarta Hlm 4.
5
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan;
d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan daerah dilihat dari jenis dan hierarki sebagaimana tersebut
di atas menunjukkan bahwa peraturan daerah kabupaten/kota menduduki
strata paling rendah dari peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam
peraturan daerah berdasarkan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu
Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Aceh Darussalam dan Perdasus
serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Peraturan daerah merupakan penyelenggaraan dari ketentuan-
ketentuan atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan yang lebih tinggi, hal
ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Pasal 136 ayat (3), yang berbunyi: Perda
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing masing daerah.
Peraturan Daerah bisa juga pelaksanaan dari peraturan menteri,
peraturan menteri itu lebih tinggi dari peraturan daerah, oleh karena
peraturan daerah lingkup berlakunya terbatas pada daerah yang
bersangkutan, sedangkan peraturan menteri ruang berlakunya mencakup
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, maka secara hierarki,
peraturan menteri berada di atas peraturan daerah, meskipun peraturan
6
menteri tidak secara tegas dicantumkan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akan tetapi imflisit
diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang undangan.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah Menetapkan di
dalam Surat Edaran Nomor M.UM.01.06-27 yang menyatakan bahwa
Keputusan Menteri yang bersifat mengatur merupakan salah satu jenis
Peraturan Perundang-undangan, dan secara hierarki terletak diantara
Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah3. Namun demikian hal tersebut
untuk saat ini tidak menjadi landasan yang kuat karena Surat Edaran
tersebut dikeluarkan tanggal 23 Pebruari 2001 sebelum lahirnya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang sebagaimana telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain dari itu peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
resmi lainnya tetap diakui sebagai Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
berbunyi:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup Peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
3 Maria Farida , Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan MateriMuatan , Kanisius, yogyakarta 2007. hlm 94
7
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, kepala Desa atau yang setingkat.”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga, badan atau
komisi berupa peraturan dimasukkan dalam jenis peraturan perundang-
undangan. Hal ini tentu dapat menimbulkan kesulitan menentukan
hierarkinya karena peraturan yang dibentuk oleh suatu badan negara yang
diberikan atribusi kewenangan membentuk peraturan yang mengikat umum
belum secara tertulis dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan.
Lebih lanjut Peraturan Daerah secara yuridis ruang lingkup
keberlakuannya terbatas pada daerah yang bersangkutan dalam suatu
wilayah tertentu. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan ketentuan Undang-Undang, maka peraturan
daerah itu harus jelas dalam pengertian tidak menimbulkan multi tafsir
karena merupakan penjabaran dan imflementasi dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah seharusnya tidak lagi
menimbulkan banyak penafsiran dari kaidah dan ketentuannya, karena
sudah bersifat teknis, jelas dan tinggal diterapkan di lapangan.
Tujuan pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana disebutkan di
atas tidak terlepas juga dari tugas pemerintah daerah untuk membina dan
8
menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah. Oleh karena itu Peraturan
Daerah yang dibuat haruslah sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat
di mana peraturan daerah tersebut diberlakukan.
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
harus mengandung asas-asas materi muatan sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yaitu materi muatan asas :
a. pengayoman;b. kemanusiaan;c. kebangsaan;d. kekeluargaan;e. kenusantaraan;f. bhineka tunggal ika;g. keadilan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;h. ketertiban dan kepastian hukum; dan/ataui. keseimbangan ,keserasian ,dan keselarasan.
Namun demikian, berdasarkan pengamatan sebagaimana
dikemukakan di atas pada kenyataannya sampai saat belum banyak
Peraturan Daerah sesuai yang diharapkan, yang demikian ini ditunjukkan
dengan adanya ribuan peraturan daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang sudah dibatalkan/direvisi oleh Pemerintah Pusat
karena menimbulkan permasalahan-permasalahan dan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan data resmi
Departemen Dalam Negeri dari tahun 2002 sampai tahun 2007, Peraturan
Daerah yang dibatalkan adalah sebagai berikut:
1. Tahun 2002 : 19 Peraturan Daerah;2. Tahun 2003 : 105 Peraturan Daerah;
9
3. Tahun 2004 : 236 Peraturan Daerah;4. Tahun 2005 : 136 Peraturan Daerah;5. Tahun 2006 : 114 Peraturan Daerah;6. Tahun 2007 : 173 Peraturan Daerah.4
Selanjutnya berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, jumlah Peraturan Daerah yang dibatalkan sampai bulan Desember
Tahun 2009 sebanyak 1983. Pada tahun 2010 sampai bulan September,
Peraturan Daerah yang sudah dibatalkan 328 5.
Secara legalitas, dasar hukum pembatalan Peraturan Daerah tersebut
termuat di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dalam Pasal 145 ayat (2), yang berbunyi ”Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan /atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah. Akan tetapi hal ini apabila dilihat dalam hal kesetaraan
tidak seimbang, karena pemerintah secara sepihak mempunyai kewenangan
untuk membatalkan Peraturan Daerah, padahal Peraturan Daerah tersebut
jelas diatur di dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, dengan
jelas menyatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan
Daerah dan peraturan lainnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, dan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur 4 Dirjen Peraturan Perundang Undangan, Panduan Praktis Memahami Perancangan
Peraturan Daerah, Penerbit Caplet Project 2008. hlm. vii5 Andrian Krisnawati,SH.MH. Permasalahan Hukum Dalam Perancangan Peraturan
Daerah , makalah yang disampaikan didalam diklat Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang- Undangan pada bulan September 2010 di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Jakarta. hlm 33
10
secara jelas (tersurat) bahwa pemerintah pusat diberi kewenangan
membatalkan Peraturan Daerah atau peraturan lainnya di daerah.
Seharusnya pembatalan Peraturan Daerah oleh peradilan yang netral dalam
hal ini Mahkamah Agung melalui Pengujian Judicial (judicial review)6
karena secara yuridis konstitusional ada dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 yang berbunyi : Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Hal tersebut pun
sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
berbunyi: ”Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang,
Pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Berdasarkan pengamatan Penulis masih dijumpai Peraturan Daerah
Kabupaten Rejang Lebong, yang bermasalah atau bertentangan dari aspek
sistematika teknik penyusunan Peraturan Daerah yaitu bermasalah dalam
teknik dan metode perumusannya, penggunaan bahasa hukum, logika
hukum dan ketentuan normatifnya maupun dari aspek substansinya yang
bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut antara lain yaitu:
6 H.M. Aziz, Dasar Dasar Konstitusional .........,Op.cit hlm 9
11
1. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2006
tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Tata Cara
Pengajuan, Penyerahan serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan
Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 20 Tahun 2006
tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Kerja Sama Desa.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 24 Tahun 2006
tentang Badan Permusyawaratan Desa.
5. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 29 Tahun 2006
tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan di Wilayah Kabupaten
Rejang Lebong.
Peraturan Daerah Rejang Lebong tersebut di atas bermasalah Pada
aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, banyak yang
belum sesuai dengan teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
dan pada aspek substansi bertentangn dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Padahal tujuan dari diundangkannya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan Undang-
12
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan adalah agar ada tatanan yang tertib untuk membentuk Peraturan
Perundang-undangan, baik berkaitan dengan sistem, asas, tata cara
penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan, pemberlakuannya maupun
subtansinya agar ada pola, bentuk suatu ketentuan yang baku mengenai
tata cara pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Aspek-aspek di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
yang bermasalah atau bertentangan menurut penulis yaitu pada aspek teknik
penyusunan dan aspek substansinya.
Pada aspek teknik penyusunan permasalahan yang ada, yaitu pada
bagian dari kerangka Peraturan Daerah baik itu pada Judul, Pembukaan
Batang tubuh, Penutup, Penjelasan maupun pada Lampiran. .
Sedangkan pada aspek substansinya masih ditemui muatan materi
atau isi Peraturan Daerah yang bertentangan dengan asas-asas pembentukan
Peraturan Daerah yang baik dan substansi materi muatan bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sebagai akibatnya Peraturan Daerah yang bermasalah tersebut tidak
efektif dan tidak mencapai sasaran sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh
pembentuk Peraturan Daerah tersebut. Hal tersebut sangat merugikan baik
dari aspek finansial, tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan baik
Pemerintah ddaerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam
membuat Peraturan Daerah tersebut. Di samping itu banyak berpengaruh
13
terhadap pemerintahan di daerah itu sendiri, akan banyak program dan
rencana pemerintah daerah yang seharusnya tercapai menjadi terhambat
oleh karena banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas menarik untuk
dilakukan pengkajian/penelitian lebih lanjut terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah atau bertentangan yaitu dari
perspektif teknik penyusunannya, yakni dalam persepktif legislatif drafting
peraturan daerah yang terkait dengan masalah-masalah teknik dan metode
perumusannnya, penggunaan bahasa hukum, logika hukum dan ketentuan
normatif dalam peraturan daerah berdasarkan Peraturan Perundang
undangan. Pengkajian/penelitian Peraturan daerah ini didasari keinginan
adanya Pembentukan Peraturan Daerah yang baik.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis perlu
melakukan penelitian Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong ke
dalam sebuah karya tulis Ilmiah berupa Tesis dengan diberi judul :
”ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG
LEBONG DITINJAU DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
14
1. Bagaimanakah konstruksi Peraturan Daerah Kabupaten Rejang
Lebong yang dinyatakan bertentangan dengan teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan?
2. Mengapa Peraturan Daerah Kabupaten Rejang lebong yang
bertentangan dengan teknik Penyusunan Peraturan Perundang
undangan yang ada tetap diterapkan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum :
Untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka
penyusunan Peraturan Daerah yang baik berdasarkan peraturan perundang
undangan .
2. Tujuan khusus:
a. Untuk mengetahui dan memahami kontruksi Peraturan Daerah
Kabuapten Rejang Lebong yang dinyatakan bertentangan atau
bermasalah dari teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
b. Untuk mengetahui sebab dan alasan tetap diterapkannya Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan atau bermasalah
dari teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
D. Manfaat Penelitian
15
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai bagian
dari upaya pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam lingkup
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara khususnya pada
bagian Ilmu Perundang-Undangan yang berkaitan dengan dinamika
pembentukan Peraturan Daerah.
2. Secara Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan kajian dan kontribusi dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten Rejang Lebong dalam perspektif teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan
perbandingan dalam upaya Membentuk Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong .
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran oleh penulis dari berbagai sumber yakni
Perpustakaan Universitas Bengkulu, Perpustakaan Fakultas Hukum
Bengkulu dan jaringan internet/website, memang sudah ada beberapa karya
tulis ilmiah berbentuk Tesis yang meneliti mengenai Peraturan Daerah,
yakni yang ditulis oleh Arief Wirawan dengan judul ”Pertimbangan
Perumusan Sanksi Pidana Dalam Peraturan Daerah dan Penerapannnya di
Kota Bengkulu,” yang substansi penelitian mengenai perumusan sanksi
16
pidana dan penerapan sanksinya di kota Bengkulu. Kemudian Tesis karya
Rahmad Intihan dengan judul ”Pengawasan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu”, dan beberapa tesis
lainnya yaang substansi penelitian memfokuskan pada aspek pengawasan
pelaksanaan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Namun
secara substansi, materi karya tulis yang berbentuk tesis tersebut di atas
berbeda dengan substansi yang penulis teliti. Para Penulis tesis sebelumnya
tidak ada yang membedah, mengkaji dan menganalisis mengenai Peraturan
Daerah yang bertentangan atau masalah dalam perspektif pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Begitu juga terhadap objek penelitian
dalam beberapa tesis tersebut yang juga berbeda. Kemudian berdasarkan
penelusuran melalui jaringan internet atau Website ada juga beberapa karya
tulis yang lain yang meneliti mengenai peraturan daerah akan tetapi
substansinya berbeda dan objek penelitiannya Peraturan Daerah di luar
wilayah Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan pertimbangan dan alasan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Karya Tulis tentang analisis Peraturan Daerah Kabupaten Rejang
Lebong di tinjau dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat penulis ini adalah asli.
F. Kerangka Pemikiran
I Teori Norma Hukum
17
Pemaknaan Norma dapat diartikan sebagai suatu ukuran yang harus
dipatuhi oleh seseorang dalam hubungan dengan sesamanya ataupun dengan
lingkungannya dan dapat juga diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan
bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku dalam masyarakat, dan
norma itu banyak bentuknya, ada norma agama, norma adat, norma moral
dan norma lainnya. Jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus
dipatuhi, akan tetapi tetap ada perbedaan antara norma hukum dan norma-
norma lainnya. Perbedaannya adalah pertama: norma hukum bersifat
heterogen artinya norma hukum datangnya dari luar diri seseorang, artinya
dari lembaga yang berwenang, sedangkan norma lainnya bersifat otonom
artinya datang dari diri seseorang untuk melaksanakan tergantung pada
kesadarannya contohnya berlaku baik dan sopan, kedua, norma hukum
dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksaan secara pisik,
sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati dengan sanksi pidana. dan
sanksi pemaksa secara fisik. Ketiga norma hukum dalam hal pelaksanaan
sanksinya oleh aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim, sedangkan
norma-norma lainnya sanksinya berasal dari dirinya sendiri atau dikucilkan
dari masyarakat.7
Menurut Maria Farida, norma hukum itupun dapat dilihat dari
berbagai segi, apabila dilihat segi alamat yang dituju atau diperuntukkan,
maka norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum umum dan
7 Maria Farida indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi Dan Materi Muatan,Cet,5, Kanisius, Yogyakarta, 2007,hlm 27
18
norma hukum individu. Artinya norma hukum umum ditujukan kepada
semua orang, sedangkan norma hukum individu artinya ditujukan kepada
seseorang. Kemudian norma hukum dilihat dari hal yang diatur maka norma
hukum dibedakan antara norma hukum abstrak dan norma hukum yang
konkret. Norma hukum abstrak artinya norma hukum hanya merumuskan
perbuatan itu secara abstrak, rumusannya antara lain: .....mencuri.....,
membunuh dan seterusnya, sedangkan norma hukum konkret adalah norma
hukum yang melihat perbuatan seseorang secara nyata, contoh
rumusannya:
...mencuri mobil merek toyota...
...sibadu membunuh dengan sebuah parang..., dan seterusnya.
Kemudian norma hukum itu dapat dilihat dari segi daya lakunya,
maka norma hukum dibagi dua yaitu: norma hukum yang berlaku terus
menerus (dauerhaftig) dan norma hukum yang berlaku sekali-selesai
(einmahlig). Norma hukum yang berlaku terus menerus adalah norma
hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, berlaku terus menerus ,
sampai peraturan itu dicabut atau diganti. Sedangkan norma hukum yang
berlaku sekali-selesai adalah norma hukum yang berlakunya satu kali saja
dan setelah itu selesai, biasanya sifatnya penetapan, contohnya penetapan
seseorang diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. 8
Suatu norma hukum dapat pula berupa norma hukum tunggal dan
norma hukum berpasangan. Norma hukum tunggal adalah norma hukum
8 Ibid hlm 30
19
yang berdiri sendiri tidak diikuti suatu norma hukum lainnya isinya
merupakan suatu suruhan (das Sollen), sedangkan norma hukum
perpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum yaitu
norma hukum primer dan norma hukum sekunder.
Menurut D.W.P Ruiter, Sifat norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan dapat berupa:
(1) Perintah ( gebod);
(2) Larangan ( verbod);
(3) Pengizinan (toestemming); dan
(4) Pembebasan ( vrijstelling) .9
Selanjutnya menurut Ruiter sebuah norma termasuk norma hukum
mengandung unsur-unsur berikut:
a. cara keharusan berprilaku (modus van behoren), disebut operator norma;
b. seseorang atau sekelompok orang adresat (norm adresaat) disebut subyek norma;
c. perilaku yang dirumuskan (normgedrag),disebut objek norma; d. syarat-syaratnya (normcondities) disebut kondisi norma10.
Lebih lanjut menurut Hans Kelsen, hukum termasuk dalam sistem
norma yang dinamik oleh karena itu hukum selalu dibentuk dan dihapus
oleh lembaga otoritas yang berwenang. Hans Kelsen mengemukakan teori
mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie) yaitu, bahwa :
9 Ibid hlm 3710 Ibid hlm 35
20
”norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar ( Grundnorm)”11.
Kemudian menurut Adolf Merkl salah seorang murid Hans Kelsen
mengemukakan bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah (das
Doppelte Rechtsanlits) dalam arti bahwa suatu norma hukum itu ke atas
bersumber dari norma hukum diatasnya dan ke bawah menjadi sumber dan
menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya. Apabila norma hukum yang
berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum
yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.
Norma hukum itu menurut Benyamin Akzin dalam bukunya ”Law
state,and internasional legal order” ada dua yaitu:
”norma hukum publik dan norma hukum privat, norma hukum publik bentuk oleh lembaga lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat), sedangkan norma hukum privat dibentuk selalu sesuai dengan kehendak/keinginan masyarakat, oleh karena hukum privat ini dibentuk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan perjanjian, oleh karena itu jika dilihat pada aspek struktur lembaga maka norma hukum publik lebih tinggi kedudukannya dibandingkan norma hukum privat”.12
Kemudian Teori norma hukum Negara dikemukakan oleh Hans
Nawiasky, (die Theorie vom Stufenornung der Rechtsnormen) salah seorang
murid Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sesuai dengan teori Hans
Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis lapis
11 Ibid hlm 14112 Ibid hlm 43.
21
dan berjenjang jenjang juga berkelompok kelompok. Hans Nawiasky
mengelompokkan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat
kelompok besar yaitu;
1. Norms fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yaitu norma fundamental negara yang mempunyai ciri:
a. Bersifat presupposed dan aximatis;b. Norma tertinggi dalam tata susunan norma hukum negara;
c. Landasan filosofis bagi pengaturan lebih lanjut penyelenggaraan negara; dan
d. sumber dan dasar bagi pembentukan staagrunggesetz.2. Aturan dasar negara /aturan pokok negara ( Statsgrundgesetz); yaitu
norma/aturan dasar negara yang mempunyai ciri:a. Bersifat benegral dan garis besar;b. Berbentuk norma hukum tunggal;c. Aturan mengenai pembagian kekuasaan negara;d. Aturan mengenal hubungan antara negara dan warga negara;e. Sumber dan dasar bagi pembentukan foermell Gesetz.
3. Undang-Undang formal/formel gesetz yaitu undang-undang formal yang mempunyai ciri-ciri:
a. Bersifat spesifik dan rinci;b. Berbentuk norma tunggal atau berpasangan;c. Produk dari kewenangan legislatif;
d. Sumber dan dasar bagi pembentukan Verornung Satzung atau peraturan pelaksana.
4. Aturan pelaksana dan aturan otonom ( verordnung & autonome Satzung) yang mempunyai ciri:
a. Bersifat spesifik dan rinci;b. Dibentuk berdasarkan pelimpahan kewenangan pengaturan
(delegated legislation) dari undang-undang atau peraturan perundang-undangan di atasnya;
c. Merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi bersifat imflementatifal 13.
Di dalam hubungannya terhadap Norma Hukum Negara Indonesia,
maka norma hukum yang tertinggi menurut Hamid S. Attamimi adalah
13 Sony Maulana. S. Norma Hukum Dasar Negara, makalah disampaikan dalam pelatihan jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan tahun 2010 Kemenkumham Depok, pada tanggal 01 Juni 2010 hlm 5
22
norma fundamental negara ( Staatsfundamentalnorm) adalah norma yang
tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat pre-
supposed atau ditetapkan terlebih dahulu, merupakan landasan dasar
filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara
lebih lanjut,14 yaitu Pancasila. Sedangkan aturan dasar/pokok negara adalah
UUD 1945.
Kemudian di bawah aturan dasar/pokok negara itu adalah undang
undang formal, merupakan norma hukum yang kongkrit dan terinci dan
sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat, karena norma hukum ini
sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik sanksi
pidana maupun sanksi pemaksaan.
Norma hukum di bawah Undang-Undang yaitu peraturan pelaksana
dan peraturan otonom. Peraturan Pelaksana bersumber dari kewenangan
delegasi sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Kewenangan atribusi yaitu kewenangan untuk peraturan perundang
undangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang
kepada suatu lembaga negara /pemerintah. Kewenangan tersebut melekat
terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu
diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Sedangkan
kewenangan delegasi ialah pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang
14 Ibid ..hlm 47
23
lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak.
Dimana kewenangan tersebut tidak diberikan tetapi diwakilkan, dan
kewenangan delegasi itu bersifat sementara dalam artian kewenangan ini
dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada, sebagai
contoh di dalam Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang merumuskan untuk
melaksanakan peraturan daerah dan atau kuasa peraturan perundang
undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau
keputusan kepala daerah. 15
II . Teori Desentralisasi
Desentralisasi secara etimologis menurut RDH, koesoemahatmadja,
dalam bukunya Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintah Daerah di Indonesia ,
menjelaskan istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu ”de= lepas
dan ”centrum” = pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya desenteralisasi
adalah melepaskan dari pusat. Berkaitan dengan itu pula dikenal istilah
otonomi yang berasal dari istilah ”outonomie” berasal dari bahasa yunani
(autos= sendiri; nomos = undang undang) yang berarti perundang undangan
sendiri (zelfwetgeving).16
Namun demikian definisi desentraliasi itu sendiri mempunyai makna
yang beragam dari pemikiran para sarjana. Person mendefinisikan
15 Maria Farida Op.Cit hlm 56.16 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah PT Alumni Bandung 2008. hlm 21
24
desentralisasi itu sebagai pembagian kekuasaan antara pemerintahan dari
pusat dengan kelompok lain yang masing- masing mempunyai wewenang
kedalam suatu daerah tertentu dari suatu negara17.
Selanjutnya menurut Rondinelli dan Cheema mendefinisikan
desentalisasi merujuk perspektif yang lebih luas, tetapi tergolong
persepektif administrasi, yaitu perpindahan, perencanaan, pengambilan
keputusan, atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat ke
organisasi bidangnya, unit administrasi daerah semi otonom dan organisasi
parasttal, pemerintah daerah atau organisasi-organisasi non pemerintah. 18
Rondenelli dan Chreema membagi empat tipe desentralisasi yaitu :19
a. desentralisasi yaitu : distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan ;
b. delegasi yaitu : mendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di kontrol pemerintah;
c. devolusi yaitu: penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom;
d. swastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta.
Kemudian Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi menjadi
desentralisasi politik, desentralisasi fungsional, dan desentralisasi
kebudayaan, Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah
tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh
17 Ibid .hlm 116,18 Ibid hlm 116.19 Ibid hlm 117
25
rakyat dalam daerah tertentu, sedangkan Desentralisasi fungsional adalah
pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu
macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun
tidak pada suatu daerah tertentu. Selanjutnya Desentralisasi kebudayaan
yaitu memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat
minoritas menyelenggarakan kebudayaan sendiri (mengatur pendidikan,
agama, dan lain lain)20.
Selanjutnya Menurut RDH.Koesoemahatmadja, menyatakan
lazimnya desentralisasi itu dapat dibagi ke dalam 2 macam :21
1. Dekonsentrasi (deconcentratie atau ”ambtelijke decentralisatie”, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat kelengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahnya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang menteri kepada gubernur;
2. Desentralisasi ketatanegaraan ( staatkundige decentralisatie )atau disebut juga desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en besturende bevoegheid) kepada daerah otonom di dalam lingkungannnya. Di dalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan menggunakan saluran-saluran tertentu( perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing masing.
Desentralisasi ketatanegaraan dapat dibagi lagi dalam 2 macam :
1. Desentralisasi teritorial ( terrioriale decentralisatie), yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah masing-masing (otonom);
20 Ibid hlm 11821 Ibid hlm 119-120
26
2. Desentralisasi fungsional (fungtionale decentralisatie), yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau
beberapa kepentingan tertentu, didalam desentralisasi semacam itu
ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi di
selenggarakan oleh golongan golongan yang bersangkutan
sendiri.22
Landasan konstitusional dari desentralisasi dalam tatanan Pemerintah
Indonesia adalah pada ayat (5) dan ayat (6) dalam Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 yang memberikan kewenangan pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas luasnya , kecuali urusan pemerintah yang oleh
undang undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Sejak diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, banyak terjadi perubahan mendasar pada sistem
penyelenggaraan pemerintah di daerah, dengan konsekuensi
urusan/kewenangan pemerintah pusat yang telah dilimpahkan atau di
serahkan ke daerah, dan hubungan hierarki pemerintah kabupaten/kota
terhadap provinsi tidak lagi bersifat hieraki yang berjenjang tetapi, tetapi
setiap pemerintah daerah berkedudukan sebagai daerah otonom.23 Akan
tetapi apabila dilihat dari hubungan hirarki peraturan perundang-undangan,
22 Ibid hlm 12023 Baban Sumandi, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah , cet. 1 Humaniora, Bandung 2005, hlm 28
27
maka Peraturan Daerah Provinsi lebih tinggi dari Peraturan Daerah
kabupaten/kota, hal ini didasarkan pada BAB II Jenis , hierarki, dan materi
muatan Peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Perundangan, dimana dalam Pasal 7 tersebut menentukan
Peraturan Daerah Provinsi pada urutan huruf “f” dan peraturan Daerah
Kabupaten/kota dibawahnya yaitu pada urutan huruf “g” . Ini berarti secara
eksplisit/tersurat telah menunjukkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi lebih
tinggi satu tingkat dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini membawa
konsekwensi bahwa Peraturan daerah kabupaten/kota tidak boleh bertentang
dengan peraturan daerah provinsi.
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai
makna dari pengertian desentralisasi dalam Pasal 1 Butir 7 Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, secara yuridis formal
mengandung makna bahwa Pemerintahan daerah berhak membentuk
Peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk Peraturan daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati/Walikota dalam upaya untuk mengatur dan mengurus daerah
otonom dan menjalankan roda pemerintahan di daerah. Dengan ketentuan
bahwa dalam membuat peraturan, organ yang lebih rendah harus dan tentu
28
saja tetap berada dalam batas-batas dan rambu yang telah ditetapkan oleh
peraturan yang lebih tinggi24
Di dalam otonomi daerah tidak saja kewenangan desentralisasi saja
yang diberikan , akan tetapi juga pemberian kewenangan dekonsentrasi
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 butir 8 Undang Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang berbunyi : Dekonsentrasi
adalah Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan /atau kepada Instansi Vertikal di
wilayah tertentu. Serta dalam Pasal I butir 9 yang berbunyi: tugas
pembantuan/Medebewind adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa,dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.
III. Teori Peraturan Perundang-Undangan
Mengenai jenis peraturan perundang-undangan suatu negara dapat
berbeda-beda antara yang dikeluarkan pada satu masa tertentu dengan masa
yang lain, meskipun secara hirarki tetap ada tingkatan-tingkatan. Perbedaan
tersebut terjadi karena sangat ditentukan oleh suatu rezim yang berkuasa
saat itu. Rezim yang berkuasa sangat menentukan urutan tingkatan /jenjang
24 IC. Van Der Vlies, Hanboek Wetgeving ( Buku Pegangan Perancang Perundang Undangan ) Dirjen PP ,Jakarta 2005, hlm 34
29
suatu peraturan perundang undangan yang ditentukan oleh sistem
ketatanegaraan suatu negara tersebut, termasuk di negara Indonesia.
Sistem ketatanegaraan suatu negara dapat diketahui dari undang
undang dasar negara bersangkutan, karena undang-undang dasar merupakan
bentuk peraturan perundang-undangan tertinggi dalam suatu negara, dan
secara teoritis semua peraturan perundang-undangan di bawah tingkatnya
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut.
Menurut Maria Farida, bahwa Ilmu perundang-undangan
berorientasi kepada melakukan perbuatan, dalam hal ini melakukan
pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya proses
perencanaan dan penyusunannya serta bersifat normatif dan ke dalam teori
perundang-undangan yang berorientasi kepada mencari kejelasan dan
kejernihan dan dalam pengertian serta kognitif. Sedangkan teori perundang-
undangan menyangkut dasar-dasar bagi hukum dibidang perundang-
undangan positif sebagaimana yang diungkapkan.
Suatu undang-undang dapat saja dirumuskan secara ilmiah dari segi
yuridis, tetapi dari segi kemasyarakatan tidak dapat berfungsi sesuai dengan
tujuan. Oleh karena orang tidak atau kurang memperhatikan segi-segi non
yuridis. oleh karena itu diperlukan gagasan untuk mengembangkan ilmu
perundang-undangan25. Karena Hukum atau peraturan perundang-undangan
25 IC. Van der Vlies, Hanboek wetgeving ( Buku Pegangan Perancang Perundang Undangan ) Dirjen Peraturan Perundang-undangan ,Jakarta 2005 hlm 39
30
itu bersifat dinamis dan erat kaitanya dengan perubahan-perubahan
kemajuan dan sosial kultur suatu masyarakat bangsa dan negara.
Untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka ada dua
lembaga negara yang mempunyai kewenangan tersebut berdasarkan
Undang-Undang dasar 1945, apabila Peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, menjadi kewenangan Hakim di Mahkamah Agung,
namun untuk menguji suatu Undang-Undang bertentangan Undang-
Undang Dasar 1945, adalah kewenangan Hakim Mahkamah Konstitusi
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat
final sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 Ayat (10) huruf a UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Jenis peraturan perundang-undangan Negara Indonesia sejak
merdeka 17 Agustus 1945 sampai perubahan /amandemen ke- 4 saat ini,
menurut Sri Hariningsih ,26 telah mengalami perbedaan baik mengenai
jenis dan hirarkinya, oleh karena telah mengalami 5 (lima) kali pergantian
Undang-Undang Dasar. Yaitu dimulai dari :
1. Masa dibawah Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan).
2. Masa Republik Indonesia Serikat (Tahun 1949-Tahun 1950).
3. Masa Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
26 Sri Hariningsih. Jenis Dan Fungsi Serta Materi Muatan Peraturan Perundang Undangan, makalah Disampaikan Tanggal 21 Juni 2010 Pada Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Angkatan I Tahun 2010, Departemen Hukum Dan Ham RI hlm 5
31
4. Masa setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli Tahun 1959.
5. Masa Pasca Perubahan UUD 1945 (Amandemen 1 – IV).
Pada masa Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen,
tingkatan jenis Peraturan Perundang undangan terdiri dari :
a. Undang -Undang Dasar.
b. Undang –Undang.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang.
d. Peraturan Pemerintah.
Meskipun dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas disebut
hanya 3 (tiga) saja Jenis Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-
Undang Dasar 1945, dalam prakteknya pemerintah mengeluarkan berbagai
jenis produk hukum yang lain yakni :
1) Penetapan Presiden;
2) Peraturan Presiden;
3) Penetapan Pemerintah;
4) Maklumat Pemerintah;
5) Maklumat Presiden; dan
6) Pengumuman Pemerintah.
Selanjutnya pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Jenis
Peraturan Perundang-undangan yaitu:
a. Undang-Undang Dasar 1950.
b. Undang-Undang
32
c. Undang-Undang Darurat
d. Peraturan Pemerintah.
Pada masa RIS itu dijumpai pula produk hukum lain oleh
pemerintah yaitu:
1) Keputusan Presiden;
2) Peraturan Menteri;
3) Keputusan Menteri.
Pada masa setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, jenis
peraturan perundang-undangan terdiri dari :
a. Undang-Undang.
b. PERPU.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Penetapan Presiden.
e. Peraturan Presiden.
f. Keputusan Presiden.
g. Peraturan Menteri Dan Keputusan Menteri.
Pada tahun 1966 dikeluarkan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966
tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan Republik Indonesia yaitu :
a. UUD 1945.
b. TAP MPR.
c. Peraturan Pemerintah.
33
d. Keputusan Presiden.
e. Peraturan pelaksana lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri.
Pada masa Pasca Perubahan UUD 1945. Tata urutan atau jenis
Peraturan perundang-undangan berdasar TAP MPR Nomor III/MPR/2000
adalah:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. TAP MPR-RI.
c. Undang-Undang.
d. Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang.
e. Peraturan Pemerintah
f. Keppres.
g. Peraturan Daerah.27
Dengan ditetapkannya Tap MPR Nomor III/MPR/2000 banyak
menemui pertentangan/kontroversi dalam pelaksanaannya, karena :
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diletakkan di bawah
Undang-Undang, padahal seharusnya sejajar, karena substansi yang
diatur memang substansi Undang-Undang.
2. Tidak mencantumkanya Peraturan Menteri, padahal Menteri yang
diberi tugas dan tanggung jawab untuk bidang tertentu dalam
penyelenggaraan pemerintahan, punya wewenang dan untuk
27 Ibid hlm 14
34
mengatur hal-hal teknis yang menjadi lingkup tugas dan tanggung
jawabnya.28
Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditempatkan berada di
bawah Undang-Undang. Dengan logika seperti ini maka secara teoritis
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak dapat disetarakan
kedudukannnya dengan Undang-Undang, meskipun disebut sebagai
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang. Dengan posisi seperti ini
jika pemerintah menggunakan PERPU sebagai pengganti Undang
Undang , maka pemerintah dapat dikatakan bersalah karena menyimpang
dari apa yang ditetapkan oleh MPR. Namun bila dalam keadaan mendesak
pemerintah tidak menggunakan PERPU sebagai pengganti Undang-Undang,
maka pemerintah akan dianggap bersalah karena menyimpang dari
ketentuan Pasal 22 UUD 1945.29
Tap MPR Nomor III/PMR/2000 berdasarkan ketentuan Pasal 4 Tap
MPR/I/2003 dinyatakan tidak berlaku jika sudah ada Undang Undang yang
mengatur tentang Peraturan Perundang-Undangan30 . Setelah keluarnya
Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
28 Ibid hlm 829 Maqdir Ismail , Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Jurnal Legislasi Indoneisia, vol 4 no 2 juni 2007. Dirjen Peraturan Perundang undangan departemen Hukum dan HAM RI hlm 7830 Sri hariningsih, Op.Cit hlm 9
35
Perundang-Undangan, maka posisi hierarki Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang berdasarkan Tap MPR Nomor III/PMR/2000 sudah
sejajarkan dengan Undang Undang .
Pada Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengatur tata
urutan peraturan perundang-undangan adalah:
a. UUD Negara RI Tahun 1945.b. UU/PERPU.c. Peraturan Pemerintah.d. Peraturan Presiden.e. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 jelas merupakan bagian dari Peraturan Perundang undangan. Peraturan
Daerah tersebut berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 meliputi :
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Namun demikian dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 masih juga menimbulkan kontroversi karena :
1. Tidak dimasukkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dalam jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan.
36
2. Tidak dicantumkannnya Peraturan Menteri atau peraturan
setingkat Peraturan Menteri yang kewenangan mengaturnya
diberikan Undang-Undang.
3. Dikelompokkanya ”Peraturan Desa ” sebagai Peraturan
Daerah.
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka Peraturan Desa/peraturan setingkat tidak
termasuk ”Peraturan Daerah” karena di dalam Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan Peraturan Daerah adalah
Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Di dalam Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan
dan tidak mendefinisikan secara tertulis Peraturan Desa/Peraturan
setingkat masuk dalam Peraturan Daerah. Dengan demikian secara formal
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dapat ditafsirkan bahwa Peraturan Desa tidak termasuk dalam
lingkup Peraturan Daerah. Di sini muncul perbedaan, pada satu sisi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 secara jelas menyatakan bahwa
Peraturan Desa adalah termasuk Peraturan Daerah, sedangkan di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak
menyatakan bahwa Peraturan Desa termasuk pada Peraturan Daerah, maka
hal ini tentu dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda bahkan
menimbulkan problematika tersendiri.
37
Dalam hal Peraturan Perundang-undangan yang sederajad yang
mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan yang
mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khsusus tersebut
dikesampingkan (lex specialis derpgat lex generalis)31
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 diakuinya
Peraturan-Peraturan yang lain sebagaimana tersebut pada penjelasan dari
Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi:
Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,nMahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksaa Keuangan,nBank Indonesia,nMenteri,nKepala Badan,nLembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-undang.Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi,nGubernur. dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.Bupati/Walikota Kepala Desa atau setingkat.
Akan tetapi di dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut diatas,
peraturan peraturan lainnya ini tidak jelas dibidang tata urutannya atau
hirarkinya dalam peraturan perundang undangan, sehingga masih
menimbulkan kontroversi .
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mencabut dan
Mengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, maka beberapa permasalahan yang
disebutkan di atas sudah tidak menjadi permasalahan lagi.
31 Suhariyono AR (hand-Book/modu)l Pembentukan (perancangan) Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan dalam diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan tanggal 15 Mei 2009 di BPSDM Cinere Gandul, Jakarta hlm 3.
38
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak memasukkan lagi
Peraturan Desa sebagai Peraturan Daerah yang berarti tidak ada perbedaan
dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang tidak memasukkan Peraturan Desa dalam Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Dimasukkannya
kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam Jenis dan
hirarki Peraturan Perundang-undangan pada urutan kedua di bawah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana yang diuraikan di atas terlihat jelas bahwa jenis dan hirarki
suatu Peraturan Perundang-undangan tidak statis akan tetapi dinamis selalu
berubah tergantung dan sangat dipengaruhi politik pemerintahan yang
sedang berkuasa saat itu.
Setiap Peraturan Perundang-Undangan berisikan Pasal-Pasal yang
tersusun dari beberapa kata, frase yang membentuk kalimat-kalimat. Yang
mengandung makna perintah, larangan, kewajiban, biasa disebut norma
norma hukum. Norma-norma hukum yang termuat di dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan. Norma-norma tersebut terkait dengan materi muatan,
jenis dan macam peraturan. Materi muatan adalah materi yang dituangkan
ke dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan fungsi dan
macamnya.32
32 Ibid hlm.15
39
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan diatur di dalam BAB
III Pasal 10 sampai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Materi muatan yang
harus diatur dengan undang-undang berisi:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang;
c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
sama dengan materi Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Pemerintah
(PP) adalah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden (PERPRES) berisi materi yang
diperintah oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah. Materi Peraturan Daerah (PERDA) adalah seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi yang dimuat di dalam Peraturan Perundang-undangan harus
juga mempunyai landasan atau alasan mengenai pokok-pokok pikiran yang
40
menjadi latar belakang pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut,
yaitu :
1. Landasan Filosofis,
Landasan Filosofis Memuat pandangan hidup kesadaran dan cita-cita
hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana
kebatinan serta watak dari Bangsa Indonesia yang termaktub dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,33 haruslah termuat dalam
Produk Peraturan Perundang-undangan, juga harus berlandaskan
pada kebenaran, cita rasa keadilan serta ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem dan supremasi
hukum. Bangsa Indonesia telah sepakat bahwa Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum, karena pancasila mengandung
nilai-nilai fundamental dari hukum Dasar Negara Indonesia. Oleh
karena itu substansi Peraturan Perundang-undangan harus memuat
dan mencerminkan unsur filosofis tersebut.
2. Landasan Sosiologis
Peraturan Perundang-undangan juga harus mencerminkan, Memuat
landasan atau alasan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana
tingkah laku sosial sejalan dengan arah pembentukan suatu peraturan
Perundang-undangan34. Sebab Keberlakuan suatu Peraturan
33 .Materi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan hlm 7 BPHN . Jakarta 2009 34 Ibid hlm7
41
Perundang-undangan akan efektif apabila muncul dari harapan ,
aspirasi masyarakat dan sesuai dengan konteks kebutuhan sosial
masyarakat, sebab pada kenyataannya masyarakat itu sudah
mempunyai norma-norma sosial dan pranata sosial yaitu sistem
norma-norma sosial dan hubungan hubungan yang menyatukan nilai-
nilai dan prosedur-prosedur tertentu dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat.35 Apabila Peraturan Perundang-undangan
tidak mendasari pada kenyataan sosial masyarakat yang ada, dapat
menyebabkan peraturan perundang-undangan yang dilahirkan itu
tidak menjadi efektif.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan landasan hukum tertulis yang menjadi
alasan suatu Peraturan Perundang-undangan itu dibentuk. Suatu
Peraturan Perundang-undangan sudah tentu mempunyai dasar
hukum yang lebih tinggi atau sumber hukum yang di atasnya sampai
pada sumber hukum yang tertinggi, maka Peraturan Perundang-
undangan dibuat harus menjunjung tinggi nilai supremasi dan
kepastian hukum serta tindak bertentang dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya baik yang sederajat atau lebih tinggi
sebagai sumbernya.
35 Soerjono Soekanto, sosiologi suatu pengantar. Hlm 218. CV Rajawali, Jakarta 1986
42
Kemudian yang tak terpisahkan dan berkaitan dengan Peraturan
Perundang-Undangan adalah mengenai Bahasa Peraturan perundang-
undangan. Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk
kepada kaidah Tata Bahasa Indonesia, baik mengenai pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun
demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan berdasarkan ketentuan
dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: bahasa
Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata
Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik
penulisan, maupun pengejaannya, namun bahasa Peraturan Perundang-
Undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas
sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara
penulisan.36.
Di samping itu bahasa Peraturan Perundang-undangan tidak sama
dengan bahasa Indonesia. Tidak sama dengan dalam arti untuk hal
tertentu/istilah tertentu mempunyai ciri/terminologi tersendiri baik dalam
perumusan maupun cara penulisan.37.
Bahasa Peraturan Perundang-Undangan mempunyai ciri-ciri:
36 Angka 242 Lampiran II Undang Undang –Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan37 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Cappler Project jakarta cet.ke I. hlm 69
43
a. Lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;b. Bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;c. Objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam
mengungkapkan tujuan atau maksud);d. Membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan
secara konsisten;e. Memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;f. Penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan
dalam bentuk tunggal; dang. Penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah
didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan atau rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumuan norma ditulis dengan huruf kapital.38
Peranan bahasa sangat dibutuhkan di dalam merumuskan suatu norma
terutama bahasa hukum, karena bahasa hukum atau bahasa perundang-
undangan merupakan sarana di dalam merumuskan gagasan-gagasan dalam
bentuk tulisan, baik gagasan tersebut berasal dari dirinya maupun berasal
dari kebijakan-kebijakan yang datangnya dari penyelenggara negara39.
Bahasa Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan terdiri dari
kalimat-kalimat yang merupakan gabungan beberapa frase atau kata yang
bertujuan untuk merumuskan norma hukum secara baik, maka pemilihan
frasa atau kata-kata yang tepat haruslah menjadi perhatian yang sangat
penting, karena apabila kata-kata tidak tepat di dalam merumuskan norma
hukum, maka akan menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi pengguna
peraturan, bahkan dapat mengaburkan pengertian, pada akhirnya kepastian
hukum yang diinginkan Peraturan Perundang-undangan tidak tercapai.
38 Angka 243 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.39 Suhariyono. AR Op Cit hlm 7
44
Untuk menghindari terjadinya salah penafsiran dan kaburnya
pengertian, maka yang harus diperhatikan dalam penulisan dan
merumuskan norma hukum secara jelas yaitu:
1. Tulislah kalimat secara singkat;2. Letakkan setiap bagian kalimat pada urutan yang logis;3. Hindari penggunaan frasa dan klausula yang rancu;4. Uraikan kondisi yang komplek;5. Gunakan kalimat aktif sejauh memungkinkan;6. Gunakan klausula kata kerja dan kata sifat dari pada kata benda;7. Gunakan kata positif walaupun anda ingin menjelaskan yang
sifatnya negatif;8. Gunakan struktur yang paralel;9. Hindari kemaknagandaan dalam kata dan kalimat;10.Pilihlah perbendaharaan kata secara cermat;11.Hindari Penggunaan kata benda yang sambung menyambung;12.Kurangi kata-kata yang tumpang tindih dan asing (tak ada
hubungannya);13.Gunakan model/format yang tepat.40
Bahasa Peraturan Perundang-undangan selalu beriringan dan
menunjukkan cirinya terkait dengan materi muatan, norma, jenis dan macam
Peraturan Perundang-undangan. Bahasa, materi muatan, norma, jenis
dan macam Peraturan Perundang-undangan, sangat terkait satu sama
lain dan kelima variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang akan
menunjukkan jenis dan macam Peraturan Perundang-undangan yang
diinginkan oleh pembentuk atau perancang peraturan perundang-undangan.
Asas-asas yang sangat terkait dengan kelima variabel di atas adalah asas
”kesesuaian antar jenis dan materi muatan”, ”asas dapat
dilaksanakan” dan asas kejelasan rumusan. Jika ketiga asas ini dipenuhi
dengan memperhatikan kelima variabel tersebut, setidak- tidaknya peraturan
40 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan....Op.Cit hlm 67
45
yang dibentuk oleh pembentuk peraturan perundang-undangan akan mudah
dilaksanakan dan ditegakkan41.
Hal yang penting terkait dengan bahasa peraturan perundang-
undangan di dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus:
1. secermat mungkin memilih kata-kata atau ungkapan agar tidak
menimbulkan pengertian ganda;
2. secermat mungkin menyesuaikan penyusunan kalimat dan kata-
kata yang akan disusunnya kedalam kalimat norma sesuai kaidah
Bahasa Indonesia yang baik dan benar;
3. secermat mungkin mengatur yang memang harus dilaksanakan,
dengan menghindari pengaturan delegasian karena hal ini akan
mengakibatkan peraturan yang dibuatnya tidak biasa dilaksanakan
karena menunggu peraturan pelaksanannya dibuat.
41 Suhariyono.AR Op.Cit hlm 10
BAB II
LANDASAN YURIDIS, TAHAPAN DAN TEKNIK PENYUSUNAN
PERATURAN DAERAH
A. LANDASAN YURIDIS PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
Peraturan Daerah merupakan bagian dari Peraturan Perundang-
undangan yang mempunyai landasan yuridis di dalam pembentukannya,
yaitu landasan yuridis konstitusional yang kuat, sebagaimana diatur di
dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945. di dalam Pasal
tersebut menyebutkan bahwa: Pemerintahan Daerah berhak menetapkan
Peraturan Daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Sedangkan Landasan Secara Yuridis di bawah Undang-
Undang Dasar 1945, diatur di dalam Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan ”
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan
persetujuan Bersama DPRD” dan di dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang menyatakan bahwa Peraturan daerah Provinsi
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-
Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
46
47
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Selanjutnya
di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah dalam Pasal 136 ayat (2) juga memuat ketentuan bahwa Peraturan
Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. 42 Ini berarti bahwa
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah berhak,
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan, dan untuk melaksanakan hak dan kewenangan tersebut
Pemerintah Daerah harus dilengkapi dengan atribut/kewenangan
membentuk Peraturan Perundang-undangan berupa Peraturan Daerah dan
peraturan lain dibawahnya untuk mengimplementasikan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan melaksanakan otonomi daerah
tersebut.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat memberikan kewenangan mengatur lebih
lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah 43.
Sebagai contoh suatu Undang-Undang yang mendelegasikan
kewenangannya kepada Peraturan Daerah, atau Peraturan Daerah
mendelegasikan kepada Kepala daerah untuk menetapkan Peraturan Kepala
42 Isi Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah43 angka 198 Lampiran UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
48
Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah tersebut, Namun pengaturan
pendelegasian kewenangan tersebut harus menyebutkan dengan tegas ruang
lingkup materi yang diatur dan jenis Peraturan Perundang undangan44.
Dalam hal ini maka Peraturan Daerah yang dibentuk oleh
Pemerintahan Daerah tersebut haruslah menjadi Peraturan Daerah yang
baik, dalam arti materi muatan yang diatur memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, yang menyatakan bahwa Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan Otonomi Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas
pembantuan45 . Oleh karena materi muatan itu Peraturan Daerah yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing masing, maka
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana di
tegaskan di dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan Peraturan Daerah, ada juga Peraturan Daerah
yang bersifat khusus yaitu yang biasa disebut Qanun Aceh dan Qanun
Kabupaten/Kota yang lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh
sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, yang kemudian diganti dengan
44 Ibid. angka 166.45 Pasal 136 ayat (2) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
49
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Aceh dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua.46 Lahirnya Peraturan Daerah yang bersifat khusus ini tidak
bertentangan dengan Peraturan Daerah pada umumnya hanya mempunyai
ciri khas tertentu, namun tingkatan atau hirarkinya sama derajadnya dengan
Peraturan Daerah lain baik pada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah yang bersifat khusus ini juga mempunyai landasan
konstitusional Negara Indonesia, di mana negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam Undang-Undang47 .
Pemahaman mengenai Kedudukan Qanun, Peraturan Daerah
Khusus(Perdasus), dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) bertalian erat
dengan bagaimana memahami Peraturan Daerah sebagai bagian dari sistem
hukum nasional yang tercermin dalam konstruksi jenis dan hirarki Peraturan
Perundang-undangan. Yang dimaksud dengan jenis adalah macam
( Peraturan perundang-undangan), sedangkan hirarki adalah penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
46 Wahidudin Adam. Peraturan Daerah Yang bersifat Khusus (qanun, Perdasi,Perdasus), Makalah disampaikan dalam Pendidikan Pelatihan Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan tingkat Pertama Angkatan III Tahun 2009 pada Tanggal 24 Juli di Badan Pengembangan SDM Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta 2009.
47 Ibid Hlm 3
50
bertentangan dengan Peraturan-Perundang-undangan yang lebih tinggi,
karena suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bersumber
dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan diatur dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyatc. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf “f” dinyatakan bahwa
termasuk dalam Jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku
di Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di
provinsi dan Provinsi Papua Barat. Demikian juga penjelasan huruf g yang
menjelaskan bahwa termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa Qanun Aceh
dan Qanun Kabupaten /Kota merupakan peraturan sejenis Peraturan Daerah
yang khusus berlaku di Aceh. Begitu juga dengan Perdasus dan Perdasi
51
merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang sejenis Peraturan Daerah
yang berlaku khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan uraian diatas, Qanun, Perdasus dan Perdasi merupakan
Peraturan Perundang-undangan yang sejenis dan setingkat dengan Peraturan
Daerah yang umumnya, sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional
dan hirarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian sesuai dengan
asas hirarki Peraturan Perundang-undangan maka Qanun, Perdasus dan
Perdasi tidak boleh bertentang dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi, kecuali diatur lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang
berifat khusus dapat menyampingkan Peraturan Perundang-undangan yang
bersifat umum ( lex specialis derogat lex generalis).
Materi atau substansi Peraturan Daerah adalah seluruh materi dalam
rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khsusus daerah serta menjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang- undangan yang lebih tinggi.48
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah beberapa Pasal mengatur mengenai materi muatan
Peraturan Daerah. Ketentuan yang menjadi Landasan bagi Pengaturan
materi muatan Peraturan Daerah adalah Pasal 10 yang terdiri dari 5 (lima)
ayat sebagai berikut :
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
48 Rumusan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -undangan
52
yang oleh Undang-undang ditentukan manjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:1. Politik luar negeri;2. Pertahanan;3. Keamanan;4. Yustisi;5. Moneter dan fiskal nasional; dan6. Agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa.
(5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah, diluar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah dapat:a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintah;b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil Pemerintahan; danc. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut
merupakan aturan umum mengenai materi muatan Peraturan Daerah. Pasal
10 ayat (1) menentukan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan
yang sangat luas, kecuali kewenangan yang menyangkut urusan politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan
agama yang ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah Pusat.
53
Selain materi muatan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 juga terdapat ketentuan yang menyebutkan secara tegas hal-hal
perlu diatur dalam suatu Peraturan Daerah, antara lain sebagai berikut49:
1. Pembentukan Peraturan Daerah Propinsi2. Pembentukan Peraturan Daerah kabupaten/Kota3. Pembentukan kecamatan;4. Pembentukan kelurahan;5. Perubahan/penyesuaian status desa menjadi kelurahan;6. Penetapan susunan organisasi perangkat daerah;7. Penetapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJP Daerah) rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah);
8. Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah;9. Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah;10. Pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;11. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;12. Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;13. Insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau
investor dalam meningkatkan perekonomian daerah;14. Penetapan pembentukan, penggabungan, pelepasan
kepemilikan, dan/atau pembubaran BUMD;15. Tata cara penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja
perangkat daerah serta tata cara penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah;
16. Tata ruang;17. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah;18. Kawasan perkotaan; desa dan pembangunan kawasan pedesaan;19. Syarat lanjutan dan tata cara pemilihan kepala desa;20. Tugas dan kewajiban kepala desa dalam mempimpin
penyelenggraaan pemerinahan desa :dan21. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan badan
permusyawaratan desa.
Sehubungan dengan dengan hal tersebut, Materi muatan Qonun,
Perdasus dan Perdasi yang kedudukannya sama dengan Peraturan Daerah
pada umumnya materi muatan Peraturan Daerah secara umum ditambah
49 Wahiddudin Adam, Op.Cit. Hlm 10.
54
dengan materi muatan yang diperintahkan oleh masing-masing Undang-
undang tentang Pemerintah Daerah Khusus tersebut. Untuk Daerah
Pemerintahan Aceh diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 telah ditentukan
materi Muatan Qanun Aceh yakni antara lain :
1. Bendera daerah, lambang daerah, dan himne Aceh;2. Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan Syari’at Islam:3. Kewenangan dan hukum acara mahkamah syari’at;4. Majelis Permusyawaratan Ulama;5. Wali Nanggroe;6. Lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat;7. Mukim dan gampong;8. Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at
Islam antara pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota;9. Pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a. Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama;
b. Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;
d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dane. Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan10. Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 juga
ditentukan materi muatan Perdasus yakni antara lain mengenai:
1. Lambang Daerah;2. Usaha-usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya
alam;3. Pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil, dan terabaikan; dan
55
4. Pelaksanaan pengawasan sosial (pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP. DPRD, Gubernur dan Perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran dan usul).50
Dari uraian di atas, materi muatan Peraturan Daerah yang bersifat
khusus pada prinsifnya adalah sama dengan materi muatan Peraturan
Daerah sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 selama tidak diatur lain
oleh Undang-Undang Otonomi Khusus daerah terkait.
Berkaitan dengan uraian di atas, materi muatan Peraturan Daerah
harus pula mengandung asas materi muatan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang substansinya sama seperti yang termuat dalam Pasal 6 (lebih
rinci dalam penjelasan Pasal 6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni asas:
1. Pengayoman.Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat
2. Kemanusiaan.Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3. Kebangsaan.Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak Bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Kekeluargaan.
50 Ibid Hlm 12
56
Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Kenusantaraan.Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Bhinneka Tunggal Ika.Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
7. KeadilanSetiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9. Ketertiban dan kepastian hukum.Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
10.Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan.Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
11.asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
57
Sehubungan dengan hal tersebut, di dalam Pasal 137 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
bahwa Peraturan Daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana juga diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, menyatakan bahwa membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan; Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (a) menyatakan bahwa Kejelasan
Tujuan adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (b) menyatakan bahwa setiap
jenis peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (c) menyatakan Maksudnya
bahwa dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang Undangan.
d. Dapat dilaksanakan Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (d) menyatakan bahwa maksud
dari dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis sosiologis, maupun yuridis
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (e) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan yang dibuat karena
58
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (f) menyatakan kejelasan
rumusan Adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya.
g. Keterbukaan Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (g) menyatakan maksud
keterbukaan Adalah bahwa dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan perundang-Undangan51
Di dalam pembentukan Peraturan Daerah harus mengikuti kaidah
kaidah yang sebagaimana diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan
terutama yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
dijelaskan di atas.
B. TAHAPAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
Pembentukan Peraturan Daerah dimulai tahapan-tahapan yaitu
mulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
51 Rumusan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
59
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluaan sebagaimana
dimaksudkan di dalam Pasal 1 angka 152.
Pada tahap perencanaan Pembentukan Peraturan Daerah dilakukan
dalam suatu Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda
baik itu Prolegda Provinsi dan Prolegda Kabupaten/kota. 53
Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.54
Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi, begitu juga Prolegda Kabupaten/Kota disusun oleh DPRD
Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Daerah Kabutaen/Kota.
Program Legislasi daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk
Peraturan Perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem
hukum nasional,55 karena arah dari pemberian otonomi yang luas kepada
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
berdasarkan skala prioritas Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
52 Ibid, Pasal 1 angka 153 Pasal 32 dan pasal 39 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan54 Ibid .Pasal 1 angka 9.55 Wahiduddin Adam, Sinergis Pengaturan Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam pembentukan Peraturan Daerah.. Makalah disampaikan dalam Diklat Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan Kementerian Hukum dan HAM angkatan ke I .di Badan Pengembangan SDM, Cinere Gandul bulan Mei Tahun 2009.
60
Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Di samping itu melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.56
Dengan demikian maka fungsi prolegda dikaitkan dengan tujuan
otonomi daerah adalah :
1. Memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan Peraturan Daerah;
2. Menetapkan sekala prioritas penyusunan Rancangan Peraturan Daerah untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama dalam pembentukan peraturan daerah;
3. Menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah;
4. Mempercepat proses pembentukan peraturan daerah dengan mempokuyskan kegiatan penyusuanan Rancangan Peraturan Daerah menurut skala priorotas yang ditetapkan;
5. Menjadi pengendali kegiatan pembentukan Peraturan daerah antar lembaga yang berwenang.57
Pada Program Legislasi ini pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dilaksanakan oleh Badan Legislasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang MPR. DPR. DPD dan DPRD dan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan
56 Penjelasan Umum Undang Undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah angka 1 huruf a. 57 Cahyani Suryandari, Tata Cara Dan Proses Penyusunan Peraturan Daerah. Makalah disampaikan dalam Diklat Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan Kementerian Hukum dan HAM angkatan ke I .di Badan Pengembangan SDM, Cinere Gandul bulan Mei Tahun 2009.
61
Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Badan Legislasi mempunyai tugas yaitu :
1. Menyusun Rancangan Program Legislasi Daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran dilingkungan DPRD;
2. Koordinasi untuk penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan Pemerintah Daerah;
3. Menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
4. Melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan memantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum Rancangan Peraturan Daerah tersebut disampaikan kepada pimpianan DPRD;
5. Memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh anggota, komisi, dan/atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan daerah tahun berjalan atau di luar Rancangan Peraturan Daerah yang terdaftar dalam prolegda;
6. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau penilaian khusus;
7. Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas Rancangan Peraturan Daerah yang ditugaskan oleh badan musyawarah;dan
8. Membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang Perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD.58
Selanjutnya tahapan persiapan pembentukan Peraturan Daerah. Pada
tahap ini Rancangan Peraturan Daerah yang untuk selanjutnya disingkat
Raperda dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur, dan DPRD
Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota, sebagaimana ketentuan Pasal 56
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang Undangan dan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah .
58 Ibid, Cahyani Suryandari Hlm 3
62
Raperda yang merupakan inisiatif DPRD diatur juga dalam Pasal
141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang tertulis:
(1) Rancangan perda dapat disampaikan oleh anggota, gabungan komisi,
atau kelengkapan DRPD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPRD.
Selanjutnya ketentuan yang mengatur mengenai Raperda yang berasal
dari DPRD Provinsi atau Gubernur diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 mengharuskan disertai penjelasan atau keterangan
dan/atau Naskah Akademik. Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan Teknik Penyusunan Naskah
Akademik59 yang termuat dalam lampiran I Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sama dengan ketentuan Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi 60
Kemudian apabila dalam satu sidang, Gubernur Atau
Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah,
mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah Rancangan
Peraturan Daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Rancangan
59 Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Tentang Pembentukan Peraturan Pwrundang-Undangan60 Ibid Pasal l 63
63
Peraturan Daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.61 Selanjutnya Raperda
baik yang berasal dari Pemerintah Daerah maupun DPRD disebarluaskan.
Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh sekretariat DPRD,
sedangkan Raperda yang berasal dari Gubernur, Bupati/Walikota
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.62
Kemudian tahap selanjutnya Raperda Provinsi yang telah
disosialisasikan tersebut dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
yang berbunyi:
(1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur;
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan,
(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi.
Dalam hal pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/kota,
ketentuannya secara mutatis dan mutandis sama dengan Raperda Provinsi
sebagaimana ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
61 Ibid Pasal 62 dan Isi pasal 31 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 140 ayat (2) 62 Pasal 93 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
64
Setelah melalui masa pembahasan, Rancangan Peraturan Daerah yang
telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah ke Gubernur atau Bupati/Walikota untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penyampaian Rancangan Peraturan
Daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.63 Rancangan Peraturan Daerah tersebut
ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan membubuhkan
tanda tangan. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh hari) sejak
Rancangan Peraturan Daerah disetujui bersama, apabila Rancangan
Peraturan Daerah tidak ditandatangani oleh Kepala Daerah dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama, maka Rancangan
Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan dalam Lembaran Daerah.64
Tahapan selanjutnya dalam proses pembentukan Peraturan Daerah,
setelah ditanda tangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota yaitu tahap
pengundangan dan penyebarluasan. Peraturan Daerah harus di Undangkan
dalam Lembaran Daerah, hal ini berkaitan dengan kekuatan mengikat
Peraturan Daerah dan mulai berlakunya Peraturan Daerah.65 Kemudian
Peraturan Daerah yang telah di Undangkan di dalam Lembaran Daerah oleh
Sekretaris Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat
63 Ibid Pasal 78 ayat (2).64 Ibid Pasal 79 ayat (2)65 Ibid Pasal 87
65
Daerah dan Pemerintah Daerah Provinsi Atau Kabupate/Kota
menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah 66 guna diketahui oleh seluruh warga masyarakat.
C TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah yang baik, diperlukan berbagai
persyaratan yang berkaitan sistem, asas, tata cara penyiapan dan
pembahasan, teknik penyusunan maupun pengundangan, agar tidak terjadi
tumpang tindih67. Mengenai Teknik penyusunan Peraturan Daerah diatur di
dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi:
(1) Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Dari ketentuan di atas jelas bahwa penyusunan rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, atau Kabupaten/Kota harus mengikuti kaidah-kaidah
ketentuan dalam lampiran dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Tujuan dari diaturnya teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan itu adalah agar adanya cara dan metode yang pasti, baku, dan
66 Ibid, Pasal 9467 Ibid Penjelasan I umum….
66
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat Peraturan
Perundang-undangan.
Dalam pembentukan dan penyusunan Peraturan Daerah, selain harus
mempunyai landasan konstitusional, landasan yuridis, dan teknik
penyusunan, perlu memperhatikan juga menerapkan dan prinsip prinsip
pembentukan Peraturan Daerah yaitu :
1. Pancasila sebagai dasar filosofis dan sumber dari segala sumber hukum,
sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan
idiologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara
sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.68;
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
hukum dasar negara yang tertulis dalam Peraturan Perundang-
undangan.
3. Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi, sesuai hierarki Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana di atur di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, dimana Peraturan Daerah berada pada
urutan terbawah dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan.
68 Lihat, Penjelasan Pasal 2 UU nomor 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
67
4. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
maksudnya Peraturan Daerah tidak boleh terganggunya kerukunan antar
warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya
ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat destruktif.69
Peraturan Daerah harus memperhatikan keseimbangan berbagai
kepentingan dengan senantiasa mengutamakan kepentingan umum .
5. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah
lainnya (tumpang tindih).
6. Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan ,
7. Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah atau
karakteristik daerah dan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih Tinggi, 70
Dengan Memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas maka
pembentukan Peraturan Daerah mempunyai panduan/arah yang jelas.
Karena sudah ada rambu rambu yang menjadi alasan dan dasar dibentuknya
Peraturan Daerah.
69 Penjelasan Pasal 136 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.70 Op Cit, Pasal 14 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011. tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
68
Pada dasarnya Peraturan Daerah itu berdasarkan sistematika
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan mempunyai rangka
atau bagian bagian yang terdiri dari:
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsideran Menimbang
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
3. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
4. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)71
Berdasarkan sistematika penyusunan peraturan tersebut di atas
maka yang perlu dipahami dengan sistematika Penyusunan Peraturan daerah
yaitu :
A. Judul
71 Ibid lampiran II.
69
Didalam pemberian judul suatu Peraturan Daerah, Judul harus
singkat, jelas, mencerminkan norma yang diatur. Judul harus memuat
keterangan jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama
Peraturan Daerah.
B. Pembukaan
Pembukaan Peraturan Daerah terdiri atas: Frase Dengan Rahmat
Tuhan Yang Maha Esa, Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah,
Konsideran, Dasar Hukum, dan Diktum.72
Pada Konsideran menimbang menunjukkan latar belakang
urgensinya dibuat suatu Peraturan Daerah yang harus disusun
sedemikian rupa untuk setiap pertimbangan yang satu dengan
pertimbangan berikutnya tidak boleh berdiri sendiri-sendiri maknanya,
tetapi alur pikirannya harus berkesinambungan secara renten, yang
memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Daerah, pokok-pokok
pikiran pada konsideran Peraturan Daerah memuat unsur filosofis,
unsur yuridis dan unsur sosiologis yang menjadi latar belakang
pembuatannya.
Unsur filosofis : Peraturan Daerah menggambarakan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
72 Ibid lampiran II angka 14
70
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari pancasila dan
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam segala aspek.
Sedangkan Unsur Yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.73
Selanjutnya pada dasar hukum suatu Peraturan Daerah , harus
memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Daerah dan Peraturan
Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan
Daerah. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sedangkan Peraturan Perundang-undangan yang digunakan
sebagai dasar hukum adalah Undang-Undang tentang Pembentukan
Daerah dan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah 74. Hanya
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih
tinggi yang memerintahkan secara langsung Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan , yang dimuat di dalam dasar hukum . Sedangkan
Peraturan Perundang-Undangan yang akan dicabut dengan peraturan
73 Ibid. Lampiran II angka 1974 Ibid Lampiran II angka 39
71
perundang-undangan yang dibentuk atau belum resmi berlaku tidak
boleh menjadi dasar hukum Peraturan Daerah. Apabila jumlah
Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari
satu, disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau
penetapannya75.
Selanjutnya pada bagian Pembukaan Peraturan Daerah yaitu
Diktum, yang terdiri dari: Kata memutuskan, kata menetapkan dan jenis
dan nama peraturan perundang-undangan, yang semuanya ditulis
dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan
tanda titik dua (:) serta diletakkan ditengah marjin.76
C. Batang Tubuh
Pada Batang Tubuh Peraturan Daerah memuat semua substansi
Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang
dikelompokkan dari ketentuan umum, Materi yang diatur, Ketentuan
Pidana, (jika diperlukan), Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) dan
ketentuan Penutup.
Pada Ketentaun Umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau
definisi; dan/atau hal-hal lain bersifat umum yang berlaku bagi pasal
atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
75 Ibid angka 42 dan 4376 Ibid Lampiran II angka 54
72
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri
dalam pasal atau bab77.
Sedangkan Materi pokok yang diatur di dalam batang tubuh suatu
Peraturan Daerah adalah ditempatkan langsung setelah bab ketentuan
umum, jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur
diletakkan setelah pasal-pasal ketentuan umum.
Peraturan Daerah boleh memuat ketentuan Pidana, akan tetapi
dibatasi sebagai berikut :
a. Lamanya pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
b. Banyaknya denda paling banyak Rp.50.000.000,(lima puluh juta
rupiah).78
c. Ketentuan Pidana tidak boleh berlaku surut.
d. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-
asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku kesatu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena Ketentuan dalam
Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana
menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali oleh
Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana).79
77 Ibid Lampiran II angka 9878 Pasal 143 ayat (2) Undang Undang n Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah79 Op.Cit Lampiran II angka 113.
73
e. Rumusan Ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas
norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan
pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.80
f. Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan pidana selain di atas
yaitu dengan mengacu pada peraturan Perundang-Undangan
lainnya.
Selanjutnya bagian dari batang tubuh suatu Peraturan daerah
adalah Ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian
terhadap Peraturan daerah yang sudah ada berdasarkan Peraturan daerah
yang lama terhadap peraturan daerah yang baru yang bertujuan untuk:
a. Menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. Menjamin kepastian hukum;
c. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena
dampak perubahan ketentuan peraturan daerah ; dan
d. Mengatur hal-hal yang bersifat transsisional atau bersifat
sementara.
D. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup ditempatkan pada bagian terakhir , jika
tidak ada pengelompokkan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam
pasal–pasal terakhir. Pada umumya Ketentuan Penutup memuat
ketentuan mengenai :
80 Ibid Lampiran II angka 118.
74
a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Daerah;
b. Nama singkatan Peraturan Daerah;
c. Status Peraturan Daerah yang sudah ada; dan
d. Saat mulai berlaku Peraturan Daerah,
E. Penutup
Penutup merupakan bagian akhir peraturan daerah yang memuat:
a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
daerah dalam lembaran Daerah;
b. Rumusan perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan
Kepala Daerah dalam Berita Daerah;
c. Penandatanganan penetapan;
d. Pengundangan; dan
e. Akhir bagian penutup.81
Di dalam bagian penutup peraturan daerah pada bagian
penandatanganan penetapan peraturan daerah memuat :
a. tempat dan tanda tangan penetapan;
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan
pangkat dan ditulis dengan hurup kapital82
81 Kemenkum dan HAM,Panduan praktis memahami Perancanangan peraturan daerah, Cappler Project.Jakarta 2008.82 Ibid Lampiran II angka 160-173
75
F. Penjelasan (jika diperlukan)
Penjelasan Peraturan Daerah sebagai tafsiran resmi pembentuk
peraturan daerah atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena
itu penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau
padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan
contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam
batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari
norma yang dimaksud. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar
hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh
mencantumkan rumusan yang berisi norma. Oleh karena itu, hindari
membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan
dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dan judul penjelasan harus
sama dengan judul Peraturan Daerah.83
G. Lampiran (jika diperlukan)
Dalam hal peraturan memerlukan lampiran, hal tersebut harus
dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut
merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan yang bersangkutan.
Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat
yang mengesahkan/menetapkan peraturan yang bersangkutan.84
83 Ibid lampiran II angka 176-17884 Ibid. Lampiran II angka 192
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian hukum normatif
atau juga disebut juga penelitian hukum yuridis normatif, karena yang
menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah bertujuan menganalisa
beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan
atau bermasalah dalam perspektif teknik penyusunannya Peraturan-
Perundang- undangan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis formal, sebagai pendekatan kajian ilmu hukum untuk
mengkaji konstruksi hukum terhadap Peraturan Daerah kabupaten Rejang
Lebong. Pendekatan lain dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan ( Statute Approach), untuk menelaah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu peraturan perundang-undangan yang satu dengan
peraturan perundang-undangan yang lain dan peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi.85
85 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum ,Kencana Prenada Media Group, cet3, Juni 2007, Jakarta. Hlm 141-142.
76
77
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas kekuatan mengikat 86.
Bahan hukum primer berupa produk hukum yang berupa peraturan
perundang undangan, yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
5. Undang-Undang Noor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua.
6. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
7. PERPRES Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaaan Prolegnas.
8. PERPRES Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tentang Tata Cara
Mempersiapkan RUU. Rancangan PERPU RPP.Perpres.
9. PERPRES Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahaan, Pengundangan,
dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan;
86 Ibid hlm 141-142.
78
10. PERMEN Hukum dan HAM Nomor M.01-HU.03.02 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-Undangan;
11. PERMEN Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan;
12. PERMEN Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan
Bentuk Produk Hukum Daerah.
13. PERMEN Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah
14. PERMEN Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang Lembaran
Daerah dan Berita Daerah;
15. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun
2006 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Tata Cara
Pengajuan, Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan
Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong
16. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 20 Tahun 2006
tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong
17. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 23 Tahun 2006
Tentang KerjaSama Desa.
18. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 24 Tahun 2006
tentang Badan Permusyawaratan Desa
79
19. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 29 Tahun
2006 tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan
20. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan Di Wilayah Kabupaten
Rejang Lebong
21. Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait dengan substansi.
Kemudian bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang
memberikan penjelasan dan mendukung bahan hukum primer yang
meliputi teori-teori, prinsip-prinsip dasar ilmu hukum, doktrin-doktrin
hukum, asas- asas hukum, norma-norma hukum, Teknik Penyusunan
Peraturan perundang-undangan, pendapat dan pandangan para ahli hukum
yang berkaitan dengan analisis peraturan daerah serta bahan hukum tertier
berupa kamus hukum, jurnal, dan hasil kajian yang berkaitan dengan objek
penelitian.
4. Teknis Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum menggunakan metode yuridis analitis dengan
cara interpretasi87 yaitu metoda atau cara yang digunakan secara sistematis
untuk menganalisa terhadap bahan hukum, baik bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Penganalisaan dilakukan
baik dengan penafsiran gramatikal yaitu analisa berdasarkan ragam
87 Sunaryo Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20. Alumni Bandung 1994. hlm 22
80
bahasa,kalimat dan pemaknaan huruf dan kata, penafsiran-penafsiran
historis yaitu penafsiran yang mendasari, berdasarkan latar belakang alasan
di bentuknya suatu peraturan perunang-undangan, penafsiran-penafsiran
sistematis dan penafsiran dengan perbandingan hukum yakni
membandingkan suatu peraturan perundang-undangan dengan perundangan
yang lain baik yang sederajat maupun yang hirarkinya lebih tinggi,
kemudian bahan-bahan hukum tersebut setelah dianalisa secara yuridis
disusun secara sistematis dan dihubungkan berdasar kerangka teori, konsep-
konsep hukum, pandangan hukum dan Peraturan Perundang- undangan,
untuk kemudian diambil kesimpulan atas tujuan yang diinginkan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
81
A. Konstruksi Peraturan Daerah Yang Bertentangan Dengan Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Daerah adalah salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan
dan Peraturan Daerah itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri-ciri kas
masing-masing daerah serta Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan
kementingan umum dan atau bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.88 Oleh karena itu Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan pada asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan
dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi yang menjadi dasar dan
sumbernya.
Untuk menilai suatu Peraturan Daerah, apakah bertentangan dari teknik
penyusunannya karena bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang
lebih tinggi, maka diperlukan pedoman yang baku dan metode yang pasti dan
standar untuk menilainya yaitu dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarakan Kenyataannya Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
masih banyak yang bertentangan dan bermasalah dari aspek teknik penyusunan
88 Pasal 136 ayat (3) dan (ayat (4) Undang Undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daearah.
82
Peraturan Daerah. Permasalahan-permasalahan yang ada pada beberapa Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut adalah sebagai berikut :
1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 5
TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI
POLITIK DAN TATA PENGAJUAN, PENYERAHAN SERTA
PELAPORAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI
POLITIK DI KABUPATEN REJANG LEBONG
1.1. Pembukaan
Pada Pembukaan konsideran menimbang bagian terakhir tertulis:
”bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai politik perlu ditetapkan
dengan Peraturan daerah”.
Sebaiknya :
Rumusan yang digunakan adalah:
bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai politik perlu membentuk
Paraturan Daerah tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan
Tata Pengajuan, Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan
Keuangan Partai Politik
Penjelasan :
83
Konsideran tersebut tidak tepat kerena tidak memuat tentang judul
Peraturan Daerah tersebut. Kata/frasa ”ditetapkan” diganti dengan
kata/frase ”membentuk”, untuk menghindari kerancuan, karena Peraturan
Daerah itu merupakan suatu bentuk Peraturan (Regelling) bukanlah
suatu keputusan penetapan (Beschikking). Selanjutanya mengganti
imbuhan pasif di pada frase ”ditetapkan” menjadi imbuhan aktif me
pada kata ”menetapkan”, 89 sebaiknya hindari penggunaan kata-kata
pasif . kemudian tidak perlu memasukan kata/frasa “di kabupaten
Rejang Lebong90 karena Peraturan daerah tersebut sudah menunjukkan
Peraturan daerah Rejang Lebong dan ruang lingkup Peraturan Daerah
tersebut Hanya mempunyai yuridiksi Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
1.2. Dasar hukum
Pada Dasar Hukum Pembukaan terdapat ketidakkonsistenan
penulisan Frase ”Lembaran Negara Republik Indonesia”. Yang masih
disingkat ”Lembaran Negara” Terutama pada dasar hukum angka
1,2,4,6,dan7.
Sebaiknya: Konsisten menulis frasa ”Lembaran Negara Republik
Indonesia”.91
Penjelasan:
89 Lampiran II BAB I angka 23 contoh 2 Konsideran Peraturan Daerah provinsi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menggunakan kata membentuk pada konsideran untuk Perda yang diperintahkan oleh Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang- Undang atau peraturan Pemerintah yang memerintahkan Pembentukannnya.
90 Ibid Lampiran II Bab II Bentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, 91 Ibid lampiran II.angka 40
84
Kemudian pada dasar hukum juga tidak memasukkan Pasal 18 ayat
(6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pada hal dalam Pasal 18 Ayat (6) tersebut merupakan landasan
Konstitusional Pembentukan Peraturan Daerah. Seharusnya Pasal 18 ayat
(6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dicantumkan dan jadikan bagian pertama dasar hukum di dalam
pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana ketentuan pada angka 39
Lampiran II Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Kemudian baru Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang
Pembentukan Wilayah tersebut. Peraturan Perundang-Undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.92 kemudian Dasar hukum
dibahwa Undang-Undang Dasar cukup di tulis jenis dan nama Peraturan
Perundang Undangan tanpa mencantumkan frasa Republik indonesia.93
1.3. Diktum
Pada Diktum Tertulis:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG
LEBONG TENTANG BANTUAN KEUANGAN
KEPADA PARTAI POLITIK DAN TATA CARA
PENGAJUAN, PENYERAHAN SERTA
92 Ibid Lampiran II angka 4193 Ibid Lampiran II angka 45
85
PELAPORAN PENGGUNAAN BANTUAN
KEUANGAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN
REJANG LEBONG.
Sebaiknya :
pada diktum tersebut tidak memasukan nama ”KABUPATEN
REJANG LEBONG” lagi sebagaimana contoh ketentuan pada angka
59 pada lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penulisannya menjadi :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANTUAN
KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN
TATA CARA PENGAJUAN, PENYERAHAN
SERTA PELAPORAN PENGGUNAAN BANTUAN
KEUANGAN PARTAI POLITIK
1.4. Batang Tubuh
1.4.1. Dalam Pasal 2 ayat (3) tertulis kata : ”... sesuai peraturan-
perundang- undangan yang berlaku.”
Sebaiknya :
Rumusan yang benar adalah : ”...sesuai Peraturan Perundang-
Undangan.”
Penjelasan :
86
Tidak perlu kata-kata ”yang berlaku”, karena yang
menjadi dasar hukum Peraturan Daerah adalah sudah pasti yang
masih berlaku karena mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sedangkan Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut
dengan peraturan yang akan dibentuk atau peraturan perundang-
undangan yang sudah diundangan tetapi belum resmi berlaku
tidak dicantumkan sebagai dasar hukum94 karena tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
1.4.2. Pasal 3 terdapat kata pada ”...pasal 2 diatas”.
Sebaiknya :
tertulis”...Pasal 2 ”.
Kemudian tertulis ”...Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku,”
Sebaiknya :
Hilangkan kata atau frase ”yang berlaku”.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (2) tertulis :
” Besaran Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong Tentang APBD yang
selanjutnya diatur dengan Keputusan Bupati.”
Sebaiknya :
94 Ibid Lampiran II angka 42
87
Rumusan yang tepat adalah ”Besaran bantuan keuangan kepada
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Tentang
APBD”.
Penjelasan :
Rumusan Pasal 3 ayat (2) ini tidak tepat karena Peraturan
daerah memang harus jelas tidak multi tafsir akan tetapi sifat
Pengaturan dan Objeknya masih bersifat umum, kepada
masyarakat luas, Sedangkan Putusan Bupati berupa
Keputusan/Beischikking yang biasanya objeknya, bersifat
konkrit, individual dan final. Jadi tidak tepat pendelegasian
wewenang bupati tersebut, sebaiknya tetap diatur dengan
Peraturan Daerah apabila memang ingin didelegasikan karena
bersifat teknis didelegasikan kepada aturan yang lebih rendah
dari Peraturan Daerah. diatur dengan Peraturan Bupati bukan
Keputusan Bupati.
1.4.3. Pasal 9 tertulis :
...sebagaimana dimaksud pada Pasal 8.
Sebaiknya :
...sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Penjelasan :
88
untuk teknik pengacuan untuk Pasal digunakan kata dalam
sedangkan untuk ayat digunakan pada. Untuk konsistensi
penulisan.
1.4.4. Pada BAB VII Tertulis :
KETENTUAN LAIN-LAIN
Sebaiknya :
KETENTUAN PENUTUP.
Penjelasan :
Karena Materi salah satunya memberikan kewenangan untuk
membuat peraturan pelaksanaan yaitu dalam Pasal 13 ayat (1).
Dari Peraturan daerah tersebut. Di dalam sistematika Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang- undangan tidak dikenal
Ketentuan lain-lain yang ada adalah ketentuan penutup dan
Penutup. Ketentuan Penutup biasanya memuat ketentuan
mengenai penunjukan organ atau alat kelengkapan yang
melaksanakan peraturan perundang-undangan, nama singkatan
Peraturan perundang-Undangan, status Peraturan Perundang-
undangan yang sudah ada dan saat mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan.95
Kemudian dalam Pasal 13 ayat (1) tertulis :
95 Ibid lampiran II angka 137.
89
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan oleh Keputusan
Bupati Rejang Lebong.
Sebaiknya :
Rumusan yang tepat Pasal 13 ayat (1) : Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaanya diatur dengan “Peraturan
Bupati Rejang Lebong”
Penjelasan :
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangannnya lebih lanjut kepada Peraturan
Perundang undangan yang lebih rendah 96 . Termasuk dalam hal
ini Peraturan Daerah yang dapat mendelasikan kewenangnannya
kepada peraturan yang lebih rendah. Akan tetapi dalam hal ini
pendelegasian kewenangan di dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut tersebut tidak tepat,
karena pendelegasian Peraturan Daerah tersebut ”Kepada
Keputusan Bupati”, yang seharusnya dilihat dari substansi
materi Muatannya Kepada ”Peraturan Bupati”. sebagaimana
ketentuan angka 201 lampiran II Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
1.4.5. Penutup
96 Ibid lampiran II angka 198
90
Pada BAB IX Tertulis : KETENTUAN PENUTUP
Sebaiknya :
Di tulis “PENUTUP”.
Penjelasan :
Disebabkan karena materi dari BAB IX Peraturan Daerah
Rejang Lebong tersebut mengenai rumusan perintah
pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong. Penutup Pada
suatu Peraturan Daerah merupakan bagian akhir suatu Peraturan
Perundang-undangan yang memuat: rumusan perintah
pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan
dalam lembaran Negara Republik indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran
Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi, Berita daerah
kabupaten/Kota, Penandatanganan pengesahan atau penetapan
peraturan Perundang-undangan, Pengundangan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan dan akhir bagian penutup.
Sedangkan Penggunaan Ketentuan Penutup sebagaimana
dijelaskan sebelumnya biasanya memuat ketentuan mengenai
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
peraturan perundang-undangan, nama singkatan Peraturan
perundang-Undangan, status Peraturan Perundang-undangan
91
yang sudah ada dan saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-
undangan97
Selanjutnya pada Bab IX Penutup dalam Pasal 14 ayat (2)
tertulis : Agar setiap orang dapat Mengetahuinya...
Sebaiknya :
Rumusan yang Benar :”Agar setiap orang mengetahuinya...”
Penjelasan :
Tidak menggunakan kata ”dapat”. karena apabila menggunakan
kata ”dapat” , akan menyebabkan kerancuan dan maknanya
berbeda. Kata ”dapat”, mengandung arti diskresi, kebolehan
kepada yang dituju, baik itu lembaga, atau seseorang. Apabila
kata ”dapat” dimasukkan dalam Pasal 14 ayat (2) ini
bermakna bahwa setiap orang boleh saja menolak dari ketentuan
yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
ini dengan alasan belum mengetahuinya. Karena setiap orang
mempunyai alasan untuk tidak mematuhi dengan alasan tidak
dapat Mengetahuinya atau, belum dapat mengetahuinya.
Makna kata atau frase ”dapat” pada ayat (2) tersebut secara
normatif menimbulkan ketidakpastian keberlakuan Peraturan
Daerah tersebut terhadap setiap orang, oleh karena itu harus di
hilangkan penggunaan kata ”dapat” pada Pengundangan
Peraturan Daerah.
97 Ibid lampiran II angka 164
92
2. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 20
TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DALAM
KABUPATEN REJANG LEBONG
2.1. Judul
Pada aspek judul tertulis : ”Larangan Pelacuran Dalam Kabupaten
Rejang Lebong”
Sebaiknya :
Rumusan judul :”Larangan Pelacuran”
Penjelasan :
Tidak perlu kata ”Dalam Kabupaten Rejang Lebong”. Karena
Peraturan Daerah tersebut merupakan Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong yang keberlakuannnya dan kekuatan hukum
mengikatnya terbatas hanya di wilayah Rejang lebong.
2.2. Pembukaan
Pada Konsideran Menimbang huruf c tertulis :
”bahwa untuk memuhi kepentingan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan b di atas, perlu diatur dan ditetapkan peraturan daerah mengenai
Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong”.
Sebaiknya :
Rumusan konsideran ditulis :
93
”bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang larangan
Pelacuran”
Penjelasan :
Rumusan konsideran jangan ditulis huruf a, b. harus di tulis huruf a,
huruf b. Kemudian konsideran sebaiknya memuat landasan
sosiologis, landasan filosofis dan landasan yuridis. Tidak
menggunakan kata atau frase yang pasif yaitu ”ditetapkan”, melainkan
gunakan kata membentuk karena Peraturan Daerah itu dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rejang Lebong dan
Bupati Rejang Lebong. Disamping itu Peraturan Daerah dilihat dari
sifatnya adalah pengaturan secara umum(regelling), bukan merupakan
penetapan(beschikking). Sedangkan penggunaan kata/ frasa ditetapkan
lebih tepat digunakan untuk konsideran pada Peraturan Bupati, bukan
Peraturan Daerah.98
2.3. Dasar Hukum
Pada dasar hukum mengingat tertulis :”..Lembaran Negara tahun... dan
tambahan ”...Lembaran Negara...” pada dasar hukum pada angka 1
sampai angka 14.
Sebaiknya;
98 Ibid lihat contoh Lampiran II angka 24
94
Penulisan yang tepat adalah :... Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun...”dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun....”
Kemudian pada dasar hukum angka 8 tertulis”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, tambahan Lembaran
Negara Nomor 4548)
Sebaiknya :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4493) yang
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 (Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);
95
Penjelasan :
Pada Dasar Hukum Peraturan Daerah ini belum juga dimasukkan Pasal
18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, seharusnya ia menjadi dasar hukum yang pertama dalam
Peraturan daerah ini99. Selanjutnya pada Penulisan Kata ”Negara
Republik Indonseia” tidak boleh dihilangkan. Penulisannya harus
lengkap termasuk juga penulisan Nomor dan Tahunnya ketika di
undangkan. Dasar hukum memuat : Dasar kewenangan pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Daerah, Peraturan Perundang-
undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan tersebut, dan
Undang-Undang yang menjadi dasar Pembentukan Daerah yang
bersangkutan serta dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Kemudian apabila Peraturan
Perundang-undangan mengalami lebih dari satu kali perubahan, harus
ditulis seluruhnya secara lengkap.
2.4. Diktum
Tertulis kata : M E M U T U S K A N:
Sebaiknya :
99 Ibid Lihat Lampiran II angka 39
96
Kata ”MEMUTUSKAN” di tulis seluruhya dengan huruf kapital
tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua
(:) serta diletakkan di tengah marjin.100
Selanjutnya pula pada diktum Tertulis :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG
LEBONG TENTANG LARANGAN PELACURAN
DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG
Sebaiknya :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG LARANGAN
PELACURAN
Penjelasan:
Pada diktum menetapkan, nama yang tercantum dalam judul
dicantumkan lagi setelah kata menetapkan dan didahului dengan
pencantuman jenis peraturan tanpa frasa Provinsi/kabupaten/kota, serta
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan anda baca
titik. 101
2.5. Batang Tubuh.
2.5.1. Pasal 4 ayat (2) tertulis ”... sesuai dengan Ketentuan Peraturan
yang berlaku.”
100 Ibid Lampiran II angka 54101 Ibid lampiran II angka 59.
97
Sebaiknya :
Rumusan ditulis : ”...sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan”.
2.5.2. Pasal 5 ayat (2) tertulis: ”Pemerintah Daerah Mempunyai
Kewenangan untuk mengadakan razia..”.
Sebaiknya :
Rumusan yang lebih baik : ”Pemerintah Daerah berwenang
untuk mengadakan razia...”
Penjelasan :
Dalam rumusan norma untuk kata/istilah tertentu harus
menggunakan pilihan kata yang telah ditetapkan walaupun
dalam Bahasa Indonesia artinya sama. Kata ”Mempunyai
Kewenangan”, apabila di pilah, maka kata/frasa ”mempunyai”
mengandung arti memiliki sesuatu atau mempunyai sesuatu dan
lebih mendekati makna berhak, sedangkan kata/frasa
”kewenangan” diartikan kekuasaan, maka apabila digabungkan
dapat mengandung makna bahwa ”mempunyai kewenangan” itu
adalah mempunyai hak atau memiliki hak, sedangkan maksud
dari mempunyai kewenangan yang dikehendaki dalam pasal
tersebut adalah ”Kewajiban yang harus dilaksanakan” Lembaga
Pemerintah Daerah. Oleh karena itu Kata/frasa ”Mempuyai
Kewenangan” secara tata kalimat lebih baik ditulis
98
”berwenang” karena mengandung makna kewajiban yang harus
dilaksanakan.
2.5.3. Pasal 6 ayat (1) tertulis : ”setiap anggota masyarakat mempunyai
kewajiban untuk...”
Sebaiknya:
Rumusan kalimat yang tepat adalah ”setiap anggota masyarakat
berkewajiban untuk...” karena makna ”mempunyai” seolah
mengandung makna ”hak” sedangkan kata ”kewajiban”
mengandung makna untuk melakukan sesuatu, sebagaimana
yang dijelaskan diatas, sehingga kata/frasa ”mempunyai
kewajiban” mengandung makna kewajiban itu itu adalah hak
setiap orang, padahal makna yang dikehendaki dalam Pasal
tersebut adalah bahwa setiap anggota masyarakat untuk
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh Peraturan Daerah.
Demikian juga dalam Pasal 8 tertulis : bagi anak-anak yang
melakukan ...sebaiknya cukup kata Bagi anak yang melakukan .
2.5.4 Pasal 10 ayat (1) tertulis ”Selain oleh pejabat Penyidik Umum.
Penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud Peraturan
Daerah ini dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang
Lebong yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”.
99
Sebaiknya :
Pasal 10 ayat (1) tertulis ”Selain oleh pejabat Penyidik Umum.
Penyidikan atas tindak pidana sebagimana dimaksud peraturan
daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong”.
Penjelasan :
Tidak perlu penambahan Kata/frasa ”yang pengangkatannya di
tetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku”. Karena ketentuan Pengangkatan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sudah pasti ada dasar hukumnya, atau Peraturan
Perundang-undangan yang mengaturnya. Penghilangan Kalimat
”pengangkatannya di tetapkan sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku” dalam Pasal 10 Ayat (1)
Tidak mengubah isi dan makna Pasal tersebut, bahkan rumusan
Pasal tersebut menjadi baku dan efektif.
2.6. Ketentuan Penutup
2.6.1. Pasal 11 tertulis:
”Hal-Hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih
lanjut oleh Bupati”
Sebaiknya :
100
”Hal-Hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Bupati”
Penjelasan :
Rumusan kata/frasa ”diatur lebih lanjut oleh Bupati”.dapat
menimbulkan ketidakpastian, karena produk hukum yang
dikeluarkan oleh Bupati dapat berupa: Peraturan Bupati,
Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati
dan yang lainnya. Oleh karena itu harus ditulis jelas
pendelegasian wewenang dari Peraturan Daerah tersebut oleh
Bupati. Kemudian sebaiknya Tidak digunakan pasal-pasal
Delegasi blanko seperti tersebut pada Pasal 11 diatas, karena
objek materi muatannnya menyangkut masyarakat umum.
Sebaiknya materi muatan teknis pelaksanaan suatu ketentuan
tetap diatur di dalam Peraturan Daerah juga. Apabila sangat
teknis, maka pendelegasian kewenangan oleh suatu Peraturan
Daerah ke Peraturan Bupati bukan pada keputusan bupati
karena masih mengenai objeknya pengaturan berkaitan dengan
masyarakat umum.
2.6.2. Pasal 12 tertulis: ”Agar setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan
101
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang
Lebong”
Sebaiknya:
Rumusan kalimatnya : ”Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang
Lebong”
Penjelasan :
Hilangkan kata/frasa ”dapat”. Karena akan membuat
Peraturan Daerah itu tidak mempunyai kepastian hukum,
sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya di atas.
Memang bisa dimaklumi salah tulis tertulis kata ”dapat”,
namun dari aspek kebenaran Formil, maka kata ”Dapat” bisa
mengandung arti lain ketika sudah tertulis di dalam suatu
Peraturan Daerah yang sudah diundangkan dan bisa terjadi
permasalahan hukum diperadilan ketika ada pelanggaran
Peraturan Daerah yang ada kata ”Dapat” pada ketentuan
penutupnya.
3. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 23
TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA.
3.1. Pembukaan
3.1.1 Konsideran
102
Pada konsideran hurup a tertulis :
”...maka Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 41
Tahun 2002 tentang Kerja sama antara Desa perlu dicabut.”
Sebaiknya :
Rumusan tersebut tidak perlu dimuat dalam konsideran , karena
telah di muat dalam BAB XI Ketentuan Peralihan Pasal 14 .
Kemudian konsideran huruf b tertulis:
”bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a diatas, maka perlu ditetapkan kembali dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.”
Sebaiknya :
Rumusannya adalah :
” bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Kerjasama
Desa.
Penjelasan:
Peraturan Daerah tersebut diatas. Belum memuat landasan
sosiologis dan landasan filosofis, hanya memuat landasan
yuridis saja sebagaimana tertulis pada konsideran menimbang
huruf a. Sebaiknya Peraturan daerah bukan merupakan
pendelegasian wewenang Peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi untuk membentuknya maka sebaikny selain memuat
103
landasan yuridis, juga harus memuat landasan filosofis dan
landasan sosiologis. Karena ketiga landasan tersebut merupakan
sebab yang melatar belakangi lahirnya Suatu Peraturan Daerah,
bukan hanya landasan yuridis saja sebagai implementasi
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Karena materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.102
Yang dimaksud kondisi khusus daerah adalah kondisi yang
meliputi lingkungan hidup daerah termasuk juga manusia dan
norma norma yang berlaku di masyarakat dalam wilayah
tertentu. Ini adalah landasan sosiologis yaitu kondisi nyata
masyarakat yang harus dimasukkan dalam konsideran
menimbang suatu Peraturan daerah.
Kemudian Peraturan daerah tersebut juga harus memuat
landasan filosofis, yaitu landasan yang berkaitan dengan
masalah keadilan, pemerataan dan tanggung jawab .kepada
masyarakat.
3.1.2 Dasar Hukum
102 Ibid Pasal 14 .
104
Pada dasar hukum , mengingat : belum juga dimasukkannnya
Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar
hukum konstitusional pada Peraturan Daerah.
Sebaiknya :
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tetap dimasukkan sebagai
dasar hukum di urutan pertama pada konsideran Mengingat pada
Peraturan Daerah .
Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan-penjelasan sebelumnya bahwa
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan
konstitusional yang memberikan kewenangan/hak kepada
Daerah Provinsi, kabupaten /kota untuk menetapkan Peraturan
Daerah.
Pada dasar hukum mengingat angka 1 sampai 9 masih tertulis
” Lembaran Negara...”
Sebaiknya:
Rumusan ”Lembaran Negara” ditulis lengkap Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun....”
Penjelasan :
Penulisan Dasar Hukum Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-
105
undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi dan dasar
hukum peraturan daerah hanya memuat dasar kewenangan
3.1.3 Diktum
Pada diktum menetapkan tertulis: PERATURAN DAERAH
KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG KERJA SAMA
DESA
Sebaiknya :
Rumusan Diktum menetapkan adalah : PERATURAN
DAERAH TENTANG KERJA SAMA DESA.
Penjelasan:
Penulisan Diktum memuat kembali nama yang tercantum alam
judul setelah kata menetapkan dan didahului dengan
pencantuman jenis peraturan tanpa menyebutkan nama
Provinsi/Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
3.2. Batang Tubuh
3.2.1 Ketentuan umum
Dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum dalam Pasal 1 angka
10 terdapat rumusan Alokasi dana Desa dan angka 11 rumusan
anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Sebaiknya:
106
Rumuan Angka 10 dan angka 11 Pada Bab 1 dihilangkan saja.
Penjelasan :
Di dalam ketentuan umum berisi batasan pengertian atau
definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan
pengertian atau definisi; dan/atau hal hal lain yang bersifat
umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan
tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab .103
Sedang angka 10 dan angka 11 dalam Bab I Pasal 1 ketentuan
umum pada Peraturan Daerah tentang Kerja sama Desa tidak
termuat dalam materi pokok yang diatur di dalam Pasal-Pasal
dalam batang tubuh Peraturan Daerah tentang Kerja sama Desa.
Oleh karena itu sebaiknya dihilangkan saja.
3.2.2 Dalam BAB II Ruang lingkup Pasal 2 ayat (3) tertulis” Untuk
pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) dapat dibentuk Badan kerja sama.”
Sebaiknya :
Rumusan Pasal 2 ayat (3) adalah” untuk pelaksanaan kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat
Membentuk Badan Kerjasama.”
Penjelasan:
103 Ibid Lampiran II angka 98 .
107
Rumusan pengacuan untuk, sebelum Pasal gunakan kata
”dalam” dan untuk ayat gunakan Kata ”pada”, untuk
konsistensi sebagaimana dijelaskan pada uraian sebelumnya.
Juga gunakan kata aktif menggantikan kata pasif sehingga Kata
”dibentuk” menjadi ”Membentuk”.
3.3. Penutup
Pada BAB XII PENUTUP tertulis Rumusan : Agar setiap Orang dapat
mengetahuinya.
Sebaiknya :
Rumusan yang benar adalah : agar setiap Orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lebaran Daerah.
Penjelasan:
Sebagaimana ketentuan yang telah diuraikan sebelumnya di atas,
hilangkan Kata/Frasa ”Dapat” karena penggunaan kata ”dapat” akan
menimbulkan kerancuan dan ketidaktegasan makna Peraturan Daerah.
4. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 24
TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA.
4.1. Judul
108
Pada Judul tidak ada permasalahan karena judul sesuai dengan materi
atau substansi dari Paraturan Daerah, judul sudah mencerminkan materi
dari Peraturan daerah .
4.2. Pembukaan.
4.2.1. Konsideran
Pada konsideran hurup a tertulis :
”...maka Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 36
Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa, perlu dicabut.”
Sebaiknya :
Rumusan tersebut tidak perlu dimuat dalam konsideran , akan
tetapi dimasukkan pada bab ketentuan Peralihan.
Kemudian konsideran huruf b tertulis:
”bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a di atas, maka perlu ditetapkan kembali dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.”
Sebaiknya :
Rumusannya adalah :
” bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Badan
Permusyawaratan Desa”.
Penjelasan:
109
Peraturan Daerah tersebut di atas. Belum memuat landasan
sosiologis dan landasan filosofis, hanya memuat landasan
yuridis saja sebagaimana tertulis pada konsideran menimbang
huruf a. Sebaiknya Peraturan Daerah yang baik yang merupakan
perwujudan dari nilai nilai kearipan lokal yang diangkat menjadi
peraturan daerah selain memuat landasan yuridis, juga harus
memuat landasan filosofis dan landasan sosiologis. Karena
ketiga landasan tersebut merupakan sebab atau keharusan yang
melatar belakangi lahirnya Suatu Peraturan daerah, bukan hanya
landasan yuridis saja sebagai implementasi peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi. Karena materi muatan Peraturan
Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Yang dimaksud kondisi khusus daerah adalah kondisi yang
meliputi lingkungan hidup daerah termasuk juga manusia dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam wilayah
tertentu. Ini adalah landasan sosiologis yaitu kondisi nyata
masyarakat yang harus dimasukkan dalam konsideran
menimbang suatu Peraturan daerah. Jadi Landasan Sosiologis
110
sebagai sebab dibentuknya Peraturan Daerah Tentang Badan
Permusyawaratan Desa.
Kemudian Peraturan Daerah tersebut juga harus memuat
landasan filosofis, yaitu landasan yang berkaitan dengan
masalah keadilan, pemerataan dan tanggung jawab .kepada
masyarakat.
4.2.2 Dasar Hukum
Pada dasar hukum, mengingat : belum juga dimasukkannnya
Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar
hukum konstitusional pada Peraturan Daerah.
Sebaiknya :
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tetap dimasukkan sebagai
dasar hukum di urutan pertama pada konsideran Mengingat pada
Peraturan Daerah .
Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan terdahulu bahwa Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional
yang memberikan kewenangan/hak kepada Daerah provinsi,
kabupaten /kota untuk menetapkan Peraturan Daerah.
Pada dasar hukum mengingat angka 1 sampai 9 masih tertulis
” Lembaran Negara nomor.....”
Sebaiknya:
111
Rumusan ”Lembaran Negara” ditulis lengkap ”Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun....”
Penjelasan :
Penulisan Dasar Hukum Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum, hanya peraturan perundang-
undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi .
4.2.3. Diktum
Pada diktum menetapkan tertulis: PERATURAN DAERAH
KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA
Sebaiknya :
Rumusan Diktum menetapkan adalah : PERATURAN
DAERAH TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA.
Penjelasan:
Penulisan Diktum memuat kembali nama yang tercantum alam
judul setelah kata menetapkan dan didahului dengan
pencantuman jenis peraturan tanpa menyebutkan nama
Provinsi/Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik .104
4.3. Batang Tubuh
104 Ibid Lampiran II angka 59.
112
4.3.1 Di dalam BAB I KETENTUAN UMUM Pada Pasal 1 angka 9
tertulis:”Alokasi Dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh
Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari bagian
dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
oleh kabupaten”
Sebaiknya:
Pasal 1 angka 9 tersebut tidak dimasukkan atau dihilangkan
dalam BAB I
Penjelasan:
Ketentuan umum itu berisi Batasan atau definisi, singkatan atau
akronim yang digunakan dalam peraturan, hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi Pasal-(pasal) berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan. kemudian kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan
umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang
di dalam pasal(-pasal) selanjutnya. Sedangkan Pasal 1 angka 9
tersebut tidak termasuk pada ketentuan ketentuan tersebut diatas
dan tidak ada mencerminkan dari substansi materi muatan dalam
batang tubuh atau pada pasal-pasal selanjutnya dalam Peraturan
Daerah Rejang Lebong tentang Badan Musyawarah Desa. Oleh
karena itu maka Pasal 1 angka 9 dalam ketetntuan umum
tersebut harus dihilangkan.
113
Kemudian pada Pasal 1 angka 11 tertulis:
Peraturan Desa adalah Peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa
Sebaiknya :
Rumusan Pasal 1 angka 11 tersebut diganti menjadi :
Peraturan kepala Desa adalah Peraturan yang dibuat oleh Badan
Permusyawaratan desa bersama Kepala Desa.
Penjelasan:
Berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 7
menyebutkan bahwa Peraturan daerah termasuk Peraturan Desa
akan tetapi Undang Undang nomor 10 tahun 2004 tersebut telah
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
dimana di batang tubuhnya tidak lagi memasukan Peraturan
Desa sebagai bagian dari Peraturan Daerah. Maka sebaiknya
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tentang Badan
Musyawarah Desa direvisi Kembali Menyesuaikan dengan
aturan hukum yang lebih tinggi. Namun demikian Peraturan
Desa yang sudah ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tersebut tetap diakui keberadaannya.
114
4.3.2 Dalam Pasal 3 berbunyi ” BPD berfungsi menetapkan
Peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat”
Sebaiknya
Rumusan Pasal 3 ini dihapuskan dan diganti dengan
Peraturan /Keputusan Kepala Desa saja
Penjelasan :
Peraturan Desa yang termasuk pada bagian dari Peraturan
Daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, sudah dicabut tidak berlaku
lagi dan diganti dengan Undang-Undang Nomor Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Di dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
tidak lagi Memasukkan Peraturan Desa kedalam Jenis, hirarki
Peraturan Perundang-Undangan., Sehingga Pengaturan
Mengenai Pemerintahan Desa cukup dengan Peraturan Kepala
Desa saja. Meskipun Sebelum ditetapkannnya Peraturan Kepala
Desa, di musyawarahkan terlebih dahulu dengan Badan
Musyawarah Desa.
4.3.3 Pada Pasal 4 tertulis: BPD mempunyai tugas dan wewenang:
115
a. membahas rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
desa dan peraturan kepala desa;
Sebaiknya:
Rumusan Pasal 4 tersebut:
a. membahas rancangan Peraturan Kepala Desa.
membahas dihapuskan saja yang benar adalah :”BPD
berwenang...”
Penjelasan :
Pada BAB II mengatur tentang Kedudukan, Fungsi, wewenang,
hak dan Kewajiban, tidak menjelaskan atau tidak tertulis
Kata/frase ”Tugas”. Apabila memang memerlukan tugas pada
BPD, maka sebaiknya Frase Tugas dimasukkan dalam judul
BAB II. Disamping itu rumusan yang baik harus Wewenang
dulu baru tugas, karena tugas dan wewenang itu berbeda, pada
pasal 4 tersebut tidak dijelaskan mana yang dimaksud dengan
tugas dan mana yang dimaksud dengan wewenang. Wewenang
dapat diartikan kekuasaan yang ada pada BPD sedangkan Tugas
sebenarnya adalah serangkaian kegiatan kegiatan yang
dilaksanakan untuk mengimplementasikan dari suatu
wewenang.
4.3.4 Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tertulis Kata/frase ”mempunyai hak”
116
Sebaiknya :
Rumusan kata yang tepat adalah ”berhak”
Penjelasan:
Dalam rumusan norma, untuk kata/istilah tertentu harus
menggunakan pilihan kata yang telah ditetapkan walaupun
dalam Bahasa Indonesia artinya sama misalnya: mempunyai hak
di tulis berhak, mempunyai wewenang di tuli berwenang, dan
mempunyai kewajiban di tulis wajib.105. kemudian penulisan
tersebut harus konsisten, walaupun Bahasa Indonesia variasinya
banyak dengan arti yang sama.
4.3.5. Dalam Pasal 7 dan Pasal 8 tertulis kata/frase ”Mempunyai
kewajiban.”
Sebaiknya ;
rumusan kata yang tepat : ”berkewajiban”.
Penjelasan:
penulisan tersebut harus konsisten, walaupun Bahasa Indonesia
variasinya banyak dengan arti yang sama, sebagaimana di
jelaskan di atas.
4.3.5. Pasal 9 ayat (3) huruf a tertulis: ”Pendidikan sekurang-
kurangnya...”
Sebaiknya:
105 . ______,Panduan praktis memahami perancangan peraturan daerah, cappler project hlm 71 Jakarta, 2008
117
Rumusan yang tepat adalah : Pendidikan serendah rendahnya...”
Penjelasan:
Rumusan Pendidikan tidak tepat menggunakan kata sekurang-
kurangnya karena padanan kata sekurang-kurangnya adalah
selebih-lebihnya, sehingga tidak tepat. Untuk pendidikan
digunakan kata/frasa rendah dan tinggi.maka untuk menyatakan
pendidikan minimal atau yang paling rendah menggunakan kata
“serendah-rendahnya” atau untuk menyatakan pendidikan paling
tinggi “setinggi-tingginya.
4.3.6. Pada Pasal 13 ayat (3) tertulis kata : ”dalam hal tertentu rapat
BPD dinyatakan sah ...”
Sebaiknya:
Dalam rumusan Kata/ frasa ”dalam hal tertentu ” sebaiknya di
jelaskan atau diuraikan kriteria-kriterai dalam pengertian”
dalam Tertentu”
Penjelasan :
Apabila rumusan ”dalam hal tertentu ” tidak diuraikan, maka
akan menimbulkan multi tafsir yang berbeda, dan
penggunaannya bisa di salah tafsirkan karena makna ”Dalam
Hal tertentu” kriterianya tidak ada dan tidak di buat , baik itu di
dalam ketentuan umum maupun di dalam penjelaan Peraturan
Daerah tersebut.
118
4.3.7. Pasal 19 ayat (3) tertulis:” Anggota BPD yang diberhentikan
harus mendapatkan persetujuan 2/3 jumlah anggota BPD”
Sebaiknya :
Rumusan yang tepat : Anggota BPD yang diusulkan untuk di
berhentikan harus mendapat persetujuan 2/3 anggota BPD”
Penjelasan :
Kata /frasa Anggota BPD yang diberhentikan” menunjukan
makna sudah berhenti atau pemberhentian itu sudah terjadi, jika
sudah berhenti tidak perlu lagi persetujuan 2/3 anggota BPD.
Dalam hal ini oleh Bupati, Padahal maksud dari ayat tersebut
adalah dalam tahap pengusulan, dimana ketentuannya harus
disetujui terlebih dahulu oleh 2/3 anggota BPD. Maka oleh
karena itu belum terjadi pemberhentian gunakan kata ”di
usulkan” untuk menunjukkan makna belum terjadi
pemberhentian.
4.4. Ketentuan Pidana
4.4.1. Dalam Pasal 24 ayat (1) tertulis;” Tindakan Penyidikan terhadap
anggota dan pimpinan BPD, dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Bupati:
Sebaiknya :
Rumusan pasal 24 ayat (1) tersebut dihilangkan.
Penjelasan :
119
Dasar hukum atau landasan pendelegasian wewenang dari
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yang
mengharuskan anggota dan pimpinan BPD sebelum disidik
terlebih dahulu adanya persetujuan tertulis dari Bupati tidak ada
dasarnya, baik itu dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana , Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pasal
tersebut bertentangan asas materi muatan Peraturan Perundang-
undangan , 106 bahkan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi: ”setiap Orang berhak atas perlakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Oleh karena itu Pasal
24 ayat (1) Peraturan Daerah Rejang Lebong tentang Badan
Perwakilan Desa tidak perlu di muat dalam Peraturan Daerah
atau dihilangkan saja.
4.4.2. Di dalam Pasal 25 ayat (1) tertulis:” Ketentuan lebih lanjut
mengenai BPD ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Sebaiknya:
Rumusan Pasal ini di hilangkan saja.
Penjelasan:
karena ketentuan mengenai BPD masih bersifat umum .tetap
dimasukkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang
106 Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
120
Lebong . Apabila tetap di delegasikan ke Peraturan Desa,
disamping Peraturan Desa Tidak menjadi bagian dari Peraturan
Daerah lagi, maka akan menimbulkan perbedaan rumusan
pengaturan mengenai BPD di tiap tiap Desa dalam Wilayah
Kabupaten Rejang Lebong sedangkan desa tidak masuk daerah
yang otonom dalam pemerintahannya.
Kemudian dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c sampai huruf e harus
dihapuskan karena sudah dimasukkan dalam Peraturan Daerah
saja, tidak tepat apabila dimasukkan dalam Peraturan Desa.
Karena sudah dimuat dalam Peraturan Daerah. Disamping itu
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, tidak dimasukkanya lagi Peraturan Desa sebagai
Bagian dari Hirarki, Jenis Peraturan Perundang-undangan,
namun demikian keberadaannya Peraturan Desa yang sudah ada
tetap diakui selagi tidak bertentangan dengan Peraturan
perundang-undangan .
4.4. Ketentuan peralihan
4.5.1. Dalam Pasal 28 , tidak dimasukkannya Peraturan Daerah
Nomor 36 Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa, yang
121
dijadikan dasar pertimbangan dalam pembukaan Peraturan
Daerah.
Sebaiknya :
Rumusan Peraturan Daerah Nomor 36 Tahun 2002 dimasukkan
dalam salah satu pasal dalam Pasal 28 Perda Nomor 24 tahun
2006. Tentang Badan Permusyawaratan Desa.
4.5. 2 Di Dalam Pasal 29 ayat (1) tertulis :” pada saat berlakunya
Peraturan Daerah ini maka semua ketentuan yang bertentangan
dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku”
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah : ”pada saat berlakunya Peraturan
daerah ini, maka semua ketentuan dalam Peraturan Daerah
yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak
berlaku”.
Penjelasan:
Untuk menyatakan suatu ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan dinyatakan tidak berlaku lagi jika
bertentang dengan suatu Peraturan Perundang-undangan,
haruslah peraturan perundang-undangan yang sederajad atau
lebih rendah. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan
adalah sesuai dengan hierarki.107 Secara normatif pun tidak
Mungkin Peraturan Daerah menyatakan ketentuan-ketentuan
107 Ibid Pasal 7 ayat (2)
122
dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak
berlaku jika bertentang dengan Peraturan Daerah. Peraturan
Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan
ciri khas masing-masing Daerah.108
4.6.3. Dalam Pasal 29 ayat (2) tertulis:”Hal-hal belum cukup diatur
dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaannya.
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat : Hal-hal yang berkaitan dengan teknis
pelaksanan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati
Penjelasan :
Untuk mendelegasikan Peraturan Daerah Kepada peraturan
dibawahnya dalam suatu Kabupaten, yang paling tepat adalah
dengan Peraturan Bupati terutama yang masih bersifat
Pengaturan/regelling, bukan Keputusan/beschiking. Sebaiknya
tidak Perlu pendelegasian lagi dari Peraturan daerah ke tingkat
yang lebih rendah atau biasa disebut delegasi blanko, karena
Peraturan Daerah yang baik itu harus berdasarkan asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu
108 Pasal 136 ayat (3) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Sinar Grafika Jakarta 2005
123
Kejelasan tujuan, dan kejelasan rumusan109. Kecuali memang
yang bersifat teknis pelaksanaan.
5. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 29
TAHUN 2006 TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU
KAWASAN HUTAN.
5.1. Judul.
Pada aspek judul mengenai tidak ada permasalahan karena judul sudah
memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan dan
nama peraturan daerah.
5.2 Pembukaan
5.2.1. Konsideran
Pada Konsideran menimbang Hurup b tertulis bahwa hutan adalah
sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat, oleh karena itu keberadaannnya harus
dipertahanankan secara optimal,
Sebaiknya:
Rumusan Konsisderan huruf b tersebut dihilangkan saja karena
sudah termuat dalam konsideran huruf a.
Penjelasan :
109 Op.Cit Pasal 5
124
Di dalam memuat dasar penulisan konsideran, disamping memuat
dasar filosofis dan sosiologis, juga memuat landasan yuridis,110 di
dalam pertimbangan Peraturan Daerah ini belum memuat alasan
yuridisnya, oleh karena itu harus memuat alasan aspek yuridisnya ,
karena konsideran itu merupakan uraian singkat yang menjadi
pertimbangan dan alasan didalam pembentukan Peraturan Daerah.
Disamping itu karena pokok pikiran lebih dari satu, maka setiap
pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang
merupakan satu kesatuan pengertian.111
Kemudian pada konsideran menimbang huruf d tertulis:
”bahwa untuk melaksanakan sebagaimana dimaksud pada huruf
a,b dan c di atas, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”;
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat :
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dengan
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah
tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan; 112
Penjelasan:
Dalam penulisan konsideran menimbang, khususnya pada
konsideran menimbang pada pokok pikiran bagian terakhir harus
110 Ibid lampiran II angka 19111 Ibid lampiran II angka 21112 Ibid Lampiran II angka 23
125
memuat tentang judul dari peraturan daerah agar lengkap, jelas dan
diakhiri dengan tanda baca titik koma.
5.2.2 Dasar Hukum
Pada dasar hukum mengingat : belum juga dimasukkannya Pasal
18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Hukum
Konstitusional pada Peraturan Daerah.
Sebaiknya :
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
tetap dimasukkan sebagai dasar hukum diurutan pertama pada
konsideran Mengingat pada Peraturan Daerah .
Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan terdahulu bahwa Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang
memberikan kewenangan/hak kepada Daerah Provinsi, Kabupaten
/Kota untuk menetapkan Peraturan Daerah.113
Kemudian pada dasar hukum mengingat angka 1 sampai 13 masih
tertulis ” Lembaran Negara nomor....”
Sebaiknya:
Rumusan ”Lembaran Negara” ditulis lengkap menjadi “(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun....Nomor...., Tambahan
Lembaran Negara Tahun...Nomor....)”
Penjelasan :
113 Ibid Lampiran II angka 39
126
Penulisan dasar hukum Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum Peraturan Daerah, adalah dasar
kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Perundang-
undangan yang tingkatannnya sama atau lebih tinggi yang
memerintahkan secara jelas atau mendelegasikan kepada Peraturan
Daerah. Peraturan Perundang-undangan meskipun lebih tinggi dari
Peraturan Daerah, apabila tidak secara jelas memerintahkan atau
mendelegasikan kewenangannnya kepada Peraturan Daerah, maka
tidak dimasukkan sebagai dasar hukum pada pembukaan
Peraturan Daerah.
5.2.3. Diktum
Pada diktum Menetapkan tertulis:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG
TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU
KAWASAN HUTAN
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat:
PERATURAN DAERAH TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI
PEMANGKU KAWASAN HUTAN
127
Penjelasan:
tidak perlu memasukkan lagi kata/Frasa ”KABUPATEN REJANG
LEBONG”114.
5.3. Batang Tubuh
5.3.1 Ketentuan Umum
Pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 13 tertulis:
Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah badan yang dibentuk untuk
mengawasi jalannya pemerintahan ditingkat desa
Sebaiknya:
Badan Perwakilan Desa untuk selanjutnya disingkat BPD adalah
Badan yang dibentuk untuk mengawasi jalannya pemerintahan di
tingkat desa
Penjelasan :
Untuk penulisan selanjutnya di dalam Pasal cukup ditulis
kata/frasa ”BPD”. tidak perlu diuraikan lagi Badan Perwakilan
Desa. Hal ini untuk konsistensi dalam hal penulisan.
5.3.2 Pasal 6 tertulis:
(2) Kewajiban Kepala Desa adalah:
Sebaiknya :
Rumusan yang tepat : Kepala Desa berkewajiban :
Penjelasan:
114 Ibid lampiran II angka 59
128
Tidak perlu ditulis ”ayat (2)” Karena Pasal 6 hanya satu ayat,
Kemudian rumusan Frasa yang baku dalam suatu kalimat adalah,
Subjek Predikat Objek dan Keterangan (SPOK), bukan PSOK
sehingga Penulisan yang tepat ”Kepala Desa berkewajiban, bukan
Kewajiban kepala desa adalah.
5.3.3. Pada Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) tertulis mengenai tugas Badan
Perwakilan Desa dan tugas camat yang berkaitan dengan
pengamanan hutan.
Sebaiknya :
Rumusan Pasal 7 ayat (2) dan ayat( 3) tersebut dihapuskan saja,
karena Substansi dari Peraturan Daerah ini adalah tentang Kepala
Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan, tidak tepat atau tidak
sesuai dengan Judul Peraturan Daerah.
5.3.4. Pada Pasal 8 dan Pasal 10 tertulis: ”Kepala Desa dan camat
mempunyai wewenang”...
Sebaiknya :
Rumusan yang tepat adalah ”Kepala Desa berwenang”...,.
Penjelasan:
Untuk konsistensi penulisan Kata/Frasa ”Mempunyai Wewenang”
di tulis ”Berwenang”, Kata ”mempuyai hak” di tulis ”Berhak”
5.3.5. Pada BAB VIII tentang PENYIDIK dalam Pasal 15
tertulis: ”Kepala desa dan camat sebagai penanggung jawab
129
pengamanan hutan diwilayahnya, diikutsertakan pula sebagai
penyidik dalam kasus-kasus kehutanan ditingkat desa dan
kecamatan dan Pasal 16 tertulis :”Penyidik ditingkat desa dan
kecamatan (kepala desa dan camat) memberitahu dimulainya
penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut
umum, untuk diproses sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan.”
Sebaiknya:
Rumusan Pasal 15 dan Pasal 16 di hapuskan
Penjelasan:
Kepala Desa Bukanlah Pegawai Negeri Sipil dan tidak ada satupun
Undang-Undang yang mendelegasikan kepada Kepala Desa
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau yang biasa di singkat
PPNS. Untuk menjadi PPNS, syaratnya harus Pegawai Negeri
Sipil, memiliki golongan tertentu, pangkat tertentu dan harus
sudah mengikuti Pendidikan dan latihan tertentu di bidang
penyelidikan. Harus diangkat terlebih dahulu oleh kementerian
yang berwenang dalam pengangkatan PPNS, yang saat ini
kewenangan tersebut berada di kementerian Hukum dan HAM RI.
Disamping itu PPNS memiliki harus memiliki Kartu Anggota
sebagai PPNS yang dikeluarkan oleh Instansi berwenang dan
memiliki jangka waktu keberlakuan kartu anggota dan bisa di
130
perpanjang. Jadi Kepala Desa tidak bisa dijadikan Penyidik,
tertutama dalam dalam penegakan hukum /Pro Yustisia. Penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-Undang untuk melakukan penyidikan115 .
5.4. KETENTUAN PIDANA
5.4.1 Dalam BAB IX tertulis SANKSI seharusnya KETENTUAN
PIDANA .Selanjutnya dalam Pasal 17 tertulis:”barang siapa yang
dengan sengaja merusak hutan, maka akan diberikan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
Sebaiknya:
Rumusan .Pasal 17 harus jelas dan konktit
Penjelasan:
Apa yang dimaksud dengan Merusak hutan, apa kriteria merusak
hutan, dan apa bentuk bentuk sanksi dalam peraturan daerah ini
harus dirinci sehingga tidak kabur. Apakah bentuk tindak pidana
kejahatan atau tindak Pidana pelanggaran dan sanksinya apa denda
atau kurungan.
5.4.2. Pada Pasal 18 tertulis: ”setiap perbuatan melanggar hukum yang
diatur dalam Peraturan Daerah ini, mewajibkan kepada pelanggar
untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat pencemaran dan
atau kerusakan hutan.
115 Isi BAB I Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
131
Sebaiknya:
Rumusan pasal 18 harus jelas dan konkrit
Penjelasan:
Didalam Peraturan Daerah ini tidak menjelaskan mengenai hal hal
yang melanggar hukum dalam Peraturan Daerah tentang Kepala
desa sebagai pemanggku kawasan hutan secara jelas dan rinci,
hanya ada frasa mengenai Merusak Hutan dalam Pasal 17,
sedangkan pengertian merusak hutan itu sendiri tidak dijelaskan
secara jelas batasan mengenai merusak itu sejauh mana
pengertiannya didalam Peraturan Daerah ini. Seharusnya dalam
pembuatan mengenai sanksi pidana Pelanggaran harus jelas apakah
pelanggaran adminsitrasi, dan denda atau kurungan , harus dibuat
secara jelas dan rinci rumusan-rumusan, baik mengenai ketentuan-
ketentuan, unsur-unsur atau dalil-dalil yang menyatakan itu suatu
pelanggaran atau bukan pelanggaran melaui pasal-pasal yang
materi muatannnya jelas rumusannya. Ketentuan pidana memuat
rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran
terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma
perintah116. Kemudian rumusan ketentuan pidana harus
menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah
yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang
116 OP.Cit lampiran II angka 112
132
memuat norma tersebut.117 Juga ketentuan pidana yang berlaku bagi
subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya
orang asing, pegawai negeri, saksi, atau setiap orang untuk yang
berlaku bagi siapapun118. Sehingga di dalam menerapannya baik di
pengadilan atau di luar pengadilan tidak menimbulkan kesulitan.
5.4.3. Pada Pasal 19 Tertulis:
”Bagi pemegang izin dibidang kehutanan diberi sanksi administrasi
apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.
Sebaiknya :
Rumusan Pasal 19 ini harus jelas memuat ketentuan-ketentuannya.
Penjelasan:
Pada Pasal 19 tidak memuat bentuk sanksi administrasi, padahal
sanksi administasi itu banyak macamnya, bisa mencabutan izin
yang diberikan, Penutupan usaha, dan denda. Oleh Karena itu
Bentuk sanksi administrasi yang dikenakan harus jelas kualifikasi
dan rumusannnya. Kemudian ketentuan ketentuan yang mengenai
pelanggaran pun harus dirumuskan dengan jelas pula di dalam
Pasal-Pasal dalam Peraturan Daerah ini.
5.5. KETENTUAN PERALIHAN
5.5.1. Pada Pasal 20 tertulis:
117 Ibid lampiran II angka 118.118 Ibid lampiran II angka 119
133
Dengan ditetapkannnya Peraturan daerah ini, maka segala ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
sepanjang belum diatur dalam peraturan ini.
Sebaiknya:
Rumusan yang baik adalah: dengan ditetapkannya Peraturan Daerah
ini, maka segala ketentuan dalam Peraturan Daerah yang ada masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah
ini.
Penjelasan:
Rumusan Pasal 20 tersebut diatas , apabila diartikan mengandung
makna bahwa apabila ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan
Perundang-undangan yang sudah ada diatur didalam peraturan
daerah ini, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak
berlaku, padahal yang termasuk dalam Peraturan Perundang-
Undangan adalah bisa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi yang kedudukannnya lebih
tinggi dari Peraturan Daerah Kabupaten. Secara hirarki kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hieraki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)119. Berdasarkan ketentuan
tersebut jelaslah bahwa Peraturan Daerah Kabupaten tidak boleh dan
119 Ibid Pasal 7 ayat (1) dan ayat(2)
134
tidak bisa membatalkan Peraturan Perundang-undangan di atasnya
yang secara hierarki lebih tinggi. Ketentuan Peralihan sebenarnya
memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan
hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang
bertujuan untuk : menghindari terjadinya kekosongan hukum,
menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi
pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, dan mengatur hal-hal yang bersifat
transisional atau bersifat sementara120
5.6. KETENTUAN PENUTUP
5.6.1. Pada Pasal 21 tertulis :
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah tentang ini,
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Bupati
Sebaiknya:
Rumusan Pasal 21 yang baik adalah : Hal-hal yang belum diatur
dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Penjelasan:
Sebagaimana penjelasan-penjelasan sebelumnya bahwa untuk aturan
yang bersifat pengaturan yang merupakan pendelegasian dari suatu
120 Ibid Lampiran II angka 127
135
Peraturan Daerah kepada aturan di bawahnya yang menyangkut
objeknya yang masih bersifat umum menggunakan Peraturan
Bupati/Walikota. Bukan Keputusan Bupati/Walikota.
5.6.2 Pada Penutup tertulis :
”Disahkan di curup”
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah : ”Ditetapkan di Curup”
Penjelasan:
Untuk Undang-Undang digunakan kata/Frasa ”Disahkan”
sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ,
Sedangkan rumusan Penutup pada Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota menggunakan Kata” ditetapkan”121. Hal ini demi
konsistensi sesuai Peraturan Perundang-undangan.
6. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 17
TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN
DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG.
6.1.Judul
121 Ibid Lampiran II Bab II Bentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
136
Pada Judul tertulis:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG
PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH
KABUPATEN REJANG LEBONG”
Seharusnya:
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN LALU
LINTAS JALAN
Penjelasan :
Rumusan yang baik dan efektif tidak menyebutkan nama Daerah
Kabupaten lagi, karena sudah pasti bahwa Peraturan Daerah tersebut
adalah Peraturan Daerah Rejang Lebong.
6.2.Pembukaan
6.2.1. Konsideran
Pada konsideran menimbang huruf c tertulis:
”bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a
dan b di atas perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah :”bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan lalu lintas
jalan”.
137
Penjelasan:
Untuk pengacuan beberapa abjad diatas maka kata “Huruf” harus
ditulis di depan sitiap abjat dan sebaiknya gunakan kalimat aktif
bukan kalimat atau kata pasif “ me” bukan “di” .Kemudian Jika
Perda yang di bentuk tersebut merupakan perintah pembentukan dari
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi gunakan kata
“...Membentuk Peraturan Daerah tentang... ”. Jika merupakan
usulan inisiatif dari Pemerintahan Kabupaten Gunakan
“ ...Menetapkan Peraturan Daerah tentang...”
6.2.2 Dasar Hukum
Pada dasar hukum , mengingat : belum juga dimasukkannya Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Hukum
Konstitusional pada Peraturan Daerah.
Sebaiknya :
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
tetap dimasukkan sebagai dasar hukum diurutan pertama pada
konsideran Mengingat pada Peraturan Daerah .
Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan terdahulu bahwa Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang
memberikan kewenangan/hak kepada Daerah provinsi,
kabupaten /kota untuk menetapkan Peraturan Daerah.122
122 Ibid Lampiran II angka 39
138
Pada dasar hukum mengingat angka 1 sampai angka 13 masih
tertulis ” ....Lembaran Negara nomor.....”
Sebaiknya:
Rumusanya ”....Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor....Tahun.... ,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor.... Tahun....”
Penjelasan :
Penulisan Dasar Hukum Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum Peraturan Daerah, adalah dasar
kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-
Undang Tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah serta peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannnya sama atau lebih tinggi yang memerintahkan secara
jelas atau mendelegasikan kepada Peraturan Daerah. Peraturan
Perundang-undangan meskipun lebih tinggi dari Peraturan Daerah,
apabila tidak secara jelas memerintahkan atau mendelegasikan
kewenangannnya kepada Peraturan Daerah, maka tidak boleh
dimasukkan sebagai dasar hukum pada pembukaan Peraturan
Daerah.
6.2.3. Diktum
Pada diktum Menetapkan tertulis:
139
Menetapkan :PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG
LEBONG TENTANG PENYELENGGARAAN
LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH
KABUPATEN REJANG LEBONG”
Seharusnya :
Rumusan yang tepat adalah :
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG
PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN”
Penjelasan:
Rumusan Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan
Daerah dicantumkan lagi setelah kata menetapkan tanpa frasa
Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.123
6.3. Batang Tubuh
6.3.1. di dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (2) tertulis:
”...sebagaimana dimaksud ayat ......
Seharusnya
Rumusan yang tepat adalah
”...sebagaimana dimaksud pada ayat ....
Penjelasan:
Sebagaimana ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan , untuk
123 .Ibid Lampiran II angka 59
140
penulisan Pengacuan gunakan kata/frasa ”Dalam ” untuk pengacuan
sebelum kata “Pasal”, dan Gunakan kata/frasa :”Pada” untuk
pengacuan di depan kata/frasa “ayat”. Hal ini menunjukkan bahwa
Makna bahwa Frasa/Kata ”dalam”, pada kata dalam Pasal masih
banyak berisi ayat- ayat atau bagian lainnya yang bisa saja berbeda
substansi ayat yang satu dengan ayat yang lain, sedangkan
Penggunaan Kata/Frasa ”Pada di depan Ayat Mengandung makna
bahwa pengacuan itu langsung pada ayat tersebut.
6.3.2.di dalam Pasal 3, Pasal4, Pasal 5, Pasal 7 Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11 dan Pasal 13 pada bagian ayat ayatnya tertulis:
”....diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati:
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah”..... diatur dengan Peraturan Bupati.”
Penjelasan:
Dalam hal pendelegasian wewenang dari suatu Peraturan Daerah
Kabupaten ke peraturan dibawahnya, jika memang dalam hal yang
bersifat mengenai pengaturan lebih lanjut, gunakan kata Peraturan
Bupati, tidak menggunakan kata Keputusan Bupati, karena yang
namanya Keputusan/beischiking adalah yang bersifat keputusan,
yang bersifat individual, konkrit dan final. Sedangkan untuk
pengatur masyarakat yang masih bersifat umum belum menjurus
141
kepada orang atau badan hukum tertentu gunakan kata ”Peraturan”
bukan ”Keputusan”.
6.3.3.Dalam Pasal 25 ayat (1) mengenai ketentuan Pidana tertulis:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (2) huruf a,b,c dan d diancam dengan hukuman kurungan
dan/atau denda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf e
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp.1.000.000,(satu juta rupiah)
Seharusnya:
Rumusan Pasal mengenai pelanggaran adalah dalam Pasal 21
bukan Pasal 20
Penjelasan:
Dalam merumuskan Ketentuan Pidana harus jelas rumusannya
tidak boleh kabur Pengertiannnya. Kemudian di dalam
merumuskan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas
norma larangan atau norma pemerintah yang dilanggar dan
menyebutkan Pasal atau beberapa Pasal yang memuat norma
tersebut.124 .Selanjutnya rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas pula kualifikasi pidana yang dijatuhkan
124 Ibid lampiran II angka 120.
142
bersifat kumulatif, alternatif atau kumulatif alternatif.125 Jadi
Rumusan Pasal 21 ayat (1) huruf a, hurub b, huruf c, dan
huruf d dirumuskan mengenai ancaman hukuman kurungan
dan/atau dendanya. Kemudian untuk penentuaan lamanya
pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai
dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat
serta kesalahan pelaku.126 Untuk rumusan sanksi kurungan pada
Peraturan Daerah sebaiknya tidak menggunakan kata ”sebanyak
banyaknya” akan tetapi menggunakan rumusan kata “Paling”,
untuk menyatakan pengertian maksimum, dalam menentukan
ancaman pidana atau batasan waktu, dan gunakan kata/frasa
paling singkat atau paling lama untuk menyatakan jangka
waktu127. Kemudian di dalam penentuan sanksi pidana dalam
suatu Peraturan Daerah tidak hanya batas hukuman kurungan
paling lama dan denda paling banyak saja, akan lebih baik juga
memuat ketentuan sanksi pidana kurungan paling singkat dan
sanksi pidana denda paling sedikit agar tuntutan hukuman
pidana yang dijatuhkan menjadi efektif.
6.4. Ketentuan Penutup
6.4.1.Dalam Pasal 26 tertulis :
125 Ibid lampiran II angka 122126 Ibid lampiran II angka 114.127 Ibid lampiran II angka 255-256
143
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan
keputusan Bupati.
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah: Hal-hal yang belum diatur dalam
Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya
akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Penjelasan:
Untuk pendelegasian suatu kewenangan kepada aturan yang
lebih rendah, maka harus tepat. Untuk mendelegasikan
kewenangan Peraturan Daerah kepada Peraturan di bawahnya
sepanjang masih bersifat pengaturan Maka gunakan Peraturan
Gubernur, Bupati/walikota. Bukan keputusan Gubernur,
Bupati/Walikota. Jika Pendelegasian dari suatu peraturan
Daerah untuk menunjuk sesuatu yang sudah final, individual
dan konkrit maka gunakan Penetapan/beschikking baik itu
keputusan Guberur, Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota.
Karena keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur,
Bupati/Walikota adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan., yang bersifat
konkrit, indivudual dan final, yang menimbulkan akibat hukum
144
bagi seseorang atau badan hukum perdata128. Oleh karena itu
tidaklah tepat apabila ada aturan yang didelegasikan yang
bersifat pengaturan yang objeknya bukan seseorang atau badan
hukum diatur di dalam suatu penetapan/beschikking. Akan teapi
yang tepat adalah dengan memasukkannya dalam Peraturan
Bupati apabila hal itu merupakan pelimpahan atau delegasi dari
Peraturan Daerah Kabupaten.
6.4.2.Dalam Pasal 27 pada bagian terakhir rumusan kata tertulis:
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
Sebaiknya:
Rumusan yang tepat perintah Pengundangan dan penempatan
Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah yang tepat adalah:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempantannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong.129
Penjelaan:
128 Isi pasal 1Butir 3 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara129 Ibid Lampiran II angka 162.contoh rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah.
145
Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran dalam perintah
Pengundangan Peraturan daerah hindari penggunaan Kata
”Dapat” dalam kalimat bagian akhir Pengundangan, Kata atau
frasa ”dapat” pada kalimat tersebut membuat kalimat menjadi
tidak baku dan bertentangan dengan kaidah tata bahasa
Indonesia yang baku. Seharusnya tidak menggunakan kata atau
frasa yang artinya tidak menentu atau konteknya dalam kalimat
yang tidak jelas.130 . Penggunaan kata atau frasa ”dapat”
mengandung arti suatu diskresi/kewenangan tertentu yang
melekat kepada yang dituju baik pada lembaga, institusi,
jabatan atau yang lainnya. Apabila penggunaan kata ”dapat”
dalam suatu kalimat tertentu yang tidak tepat akan
mengaburkan makna atau keinginan yang dituju oleh Peraturan
Daerah menjadi tidak tercapai.
6.4.3.Pada rumusan penandatangan pengesahan Peraturan Daerah
tertulis:
Disahkan di curup
Pada tanggal 8 Obtober 2007
Sebaiknya :
Rumusan yang tepat adalah :
Ditetapkan di Curup
130 Ibid Lampiran II angka 246.
146
Pada tanggal 8 Oktober 2007
Penjelasan:
Untuk konsistensi di dalam penulisan rumusan pengesahan
atau penetapan Peraturan Daerah gunakan kata ’”ditetapkan”
”bukan disahkan” . rumusan tempat dan tanggal penetapan
yang diletakkan sebelah kanan 131. Sesuai dengan ketentuan
BAB IV huruf L Bentuk rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota Pada Lampiran II Undang Undang Nomor 12
Tahun 2011.
MATRIK
ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG
YANG BERTENTANGAN DENGAN TEKNIS PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
131 Ibid Lampiran II angka 165.
147
No
Peraturan Daerah Tertulis Seharusnya keterangan
1 PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN TATA PENGAJUAN ,PENYERAHAN SERTA PELAPORAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN REJANG LEBONG
konsideran menimbang
bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik perlu ditetapkan dengan Peraturan daerah
konsideran menimbang
bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dan tata Pengajuan, penyerahan serta Pelaporan bantuan Keuangan Partai politik
Judul perda perda dimasukakan pada permbukaan konsideran menimbang agar substansi perda jelas
Pada Dasar hukum
(Lembaran Negara Tahun.....Nomor....)
Pada Dasar hukum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun..... Nomor......,Tambahan lembaran Negara Tahun .......Nomor......)
Tidak memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum.
memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum
Sesuai Ketentuan angka 39 lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
Diktum:
.... Kabupaten Rejang Lebong...
Diktum:
Di hapus/tidak di masukkan
Pasal 2
...sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 2
...sesuai Peraturan Perundang-undangan
Kata Yang berlaku di hapus
Pasal 3
...pada Pasal 2 diatas.
Pasal 3
...dalam Pasal 2
Untuk pengacuan Pasal sebelumnya,
148
gunakan kata Dalam di depan Pasal dan untuk di depan ayat gunakan kata pada
Pasal 3
......sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
......sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Hilangkan kata-kata yang berlaku karena kata tersebut memuat kalimat menjadi tidak baku
Pasal 3 ayat (2)
Besaran bantuan keuangan kepada Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini di tetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Tentang APBD yang selanjutnya di atur dengan Keputusan Bupati.
Pada pasal 3 ayat (2)
Besaran bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tentang APBD.
Pengaturan yang bersifat umum gunakan Perda dan bersifat khusus, individual dan final gunakan Keputusan.
Pasal 9....sebagaimana dimaksud pada Pasal 8
Pasal 9....sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
BAB VII
KETENTUAN LAIN- LAIN
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13 ayat (1)
...akan ditetapkan oleh keputusan Bupati Rejang Lebong
Pasal 13 ayat (1)
...diatur dengan Peraturan Bupati Rejang Lebong
Pada Penutup
KETENTUAN PENUTUP
Pada Penutup
PENUTUPPasal 14 ayat (2)
Agar setiap orang dapat mengetahuinya....
Pasal 14 ayat (2)
Agar setiap orang mengetahuinya....
Hilangkan kata”dapat” karena akan menimbulkan ketidak pastian makna isi Pasal.
2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN
Pada JudulLARANGAN
Pada JudulLARANGAN
Tidak perlu memasukkan
149
REJANG LEBONG NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTAG LARANGAN PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG
PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG
PELACURAN nama Kabupaten
Konsideran Hurup c
bahwa untuk memenuhi kepentingan sebagaimana dimaksud huruf a dan b di atas, perlu diatur dan ditetapkan Peraturan Daerah mengenai Larangan Pelacuran Dalam Kabupaten Rejang Lebong
Konsideran hurup c
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang larangan Pelacuran
Dasar hukum angka 1 s/d 14
...(Lembaran Negara Tahun...)
Dasar hukum angka 1 s/d 14
...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...nomor..... dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun....nomor...dan)
Dasar hukum
Tidak ada Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Dasar hukum
Memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Dasar hukum angka 8
Undang undang nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 menjadi Undang-undang ( Lembaran Negara Tahun 2005 nomor 108, Tambahan lembaran Negara Nomor 4548)
Dasar dukum angka 8
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah ( lembaran Negara Republik Indonesia
Penulisan Lembaran Negara Republik Indonesia dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia harus di tulis lengkap beserta nomornya.tidak boleh di potong-potong atau di dipenggal.
150
Tahun 2005 Nomor 4493) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548)
Diktum
M E M U T U S K A N
Diktum
MEMUTUSKAN
harus huruf kapital dan tidak boleh di beri spaci antar huruf
Diktum Menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG LARANGAN PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH TENTANG LARANGAN PELACURAN
Tidak memasukkan nama Kabupaten
Pasal 4 ayat (2)
....sesuai dengan Ketentuan Peraturan yang berlaku
Pasal 4 ayat (2)
....sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 5 ayat (2)
Pemerintah Daerah Mempunyai Kewenangan untuk mengadakan razia....
Pasal 5 ayat (2)
Pemerintah Daerah berwenang mengadakan razia....
Pasal 6 ayat (1)
Setiap anggota masyarakat mempunyai kewajiban untuk....
Pasal 6 ayat (1)
Setiap anggota masyarakat berkewajiban untuk.....
Pasal 10 ayat (1)
Selain oleh pejabat Penyidik Umum Penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud Peraturan Daerah
Pasal 10 ayat (1)
Selain oleh Pejabat Penyidik Umum Penyidikan atas tindak pidana
151
ini dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong yang pengangkatannnya ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong.
Pasal 11
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati
Pasal 11
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaanya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 12
Agar setiap orang dapat mengetahuinya.....
Pasal 12
Agar setiap orang mengetahuinya....
Menghilang kan kata Dapat, untuk mempertegas dan menghilang kan kerancuan makna.
3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG KERJA SAMA DESA
Konsideran huruf a
.....maka Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kerja sama antara desa perlu dicabut
Konsideran huruf a
Rumusan tersebut tidak perlu di muat
Sudah di muat dalam BAB XI ketentuan Peralihan Pasal 14
Konsideran huruf b
bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas, maka perlu ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
Konsideran huruf b
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu membentuk Peraturan Daerah tentang kerjasama Desa.
Dasar Hukum
Belum memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Dasar hukum
Memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Dasar Hukum angka 1- 9 Dasar Hukum angka
152
(Lembaran Negara Tahun....nomor.....Tambah-an Lembaran Negara Tahun.....Nomor.....)
1- 9
(Lembaran Negara Republik Indonesia.... Tahun......Nomor.... Tambahan Lembaran Negara Tahun.....Nomor.....)
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG KERJA SAMA DESA
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH TENTANG KERJA SAMA DESA
Tidak perlu memasukkan nama daerah
Pasal 1 angka 10
Alokasi dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten.Pasal 1 Angka 11:Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APB Desa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, yang di tetapkan dengan Peraturan Desa
Pasal 1 angka 10 dan angka 11 sebaiknya di hapuskan/tidak di muat dalam perda
Ketentua umum tersebut tidak termuat dalam materi pokok yang diatur dalam pasal pasal selanjutnya.
Pasal 2 ayat (3)
....dalam ayat (2)
.....dapat dibentuk Badan Kerja sama Desa
Pasal 2 ayat (3)
......Pada ayat (2)
.....dapat membentuk Badan Kerja sama Desa
Penutup :Agar setiap orang dapat mengetahuinya....
Penutupsetiap orang mengetahuinya.....
4.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATA
Konsideran Huruf a
...maka peraturan daerah Kabupaten Rejang lebong Nomor 36 Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan
Konsideran huruf a
rumusan tersebut tidak perlu dimuat dalam konsideran , akan tetapi
153
N DESA Desa, perlu di cabut dimasukkan pada bab ketentuan Peralihan
Konsideran huruf b
bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, maka perlu ditetapkan kembali dengan Peraturan daerah Kabupaten Rejang Lebong
Konsideran huruf b
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu membentuk Peraturaan Daerah tentang Badan Permusyawaratan Desa
Konsideran tersebut baru memasukkan unsur yuridis seharus memasukkan unsur filosofis dan unsur sosilogis
Dasar hukum belum memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Memasukkan Pasal 18 ayat(6) sebagai dasar hukum bagian pertama
Pasal tersebut merupakan landasan konstitusional pembentukan PERDA
Dasar hukum 1-9
....(Lembaran Negara Tahun .....Nomor..... Tambahan Lembaran Negara Tahun......Nomor....)
Dasar hukum
....(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun....Nomor.....,Tam-bahan lembarana Negara Republik Indonesia Tahun..... Nomor.....)
Penulisan Lembaran Negara Republik Indonesia tidak boleh dihilang harus lengkap
Diktum
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
Diktum
PERATURAN DAERAH TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA.
Tidak perlu menyebutkan nama propinsi, kabupaten/ kota, serta penulisannya huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik
Pasal 1 angka 9
Alokasi dana desa adalah dana yang dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari bagian dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten.
Pasal 1 angka 9
Dihilangkan saja dari Pasal 1
Tidak termasuk dalam pasal-pasal selanjutnya dan tidak mencerminkan substansi materi muatan dalam batang tubuh.
Pasal 1 angka 11
Peraturan Desa adalah
Pasal 1 ayat 11
Peraturan Kepala
Di dalam UU NO 10 tahun 2004 Peraturan
154
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa
desa adalah keputusan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa.
desa Masuk dalam bagian dari Peraturan daerah, namun UU tersebut sudah di cabut dengan UU nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Desa Tidak termasuk dalam hirarki Peraturan perundang Undangan.
Pasal 3
BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
Pasal 3
BPD berfungsi menetapkan Peraturan kepala Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
Pasal 4
BPD mempunyai tugas dan wewenang
Pasal 4
BPD bertugas dan berwenang
Gunakan kalimat aktif dan kata/frasa yang baku dan konsisten
Pasal 5
BPD mempunyai hak
Pasal 5
BPD berhak
Pasal 6
Anggota BPD mempunyai hak
Pasal 6
Anggota BPD berhak
Pasal 7
Anggota BPD mempunyai Kewajiban
Pasal 7
Anggota BPD berkewajiban
Pasal 8 ayat (1)
BPD Mempunyai Kewajiban menyampaikan....
Pasal 8 ayat (1)
BPD berkewajiban menyampaikan....
Pasal 9 ayat (3) huruf a
Pendidikan sekurang-
Pasal 9 ayat (3) huruf a
Ukuran Pendidikan yang ada :
155
kurangnya.... Pendidikan serendah-rendahnya
rendah, menengah dan tinggi
Pasal 13 ayat (3)
Dalam hal tertentu rapat BPD dinyatakan sah....
Pasal 13 ayat (3)
Rumusan kata/frasa Dalam hal tertentu seharusnya di jelaskan atau diuraikan kriterianya
Bila tidak di uraikan atau dijelaskan maka makna hal tertentu tersebut menimbulkan multi tafsir.
Pasal 19 ayat (3)
Anggota BPD yang diberhentikan harus mendapatkan persetujuan 2/3 jumlah anggota BPD
Pasal 19 ayat (3)
Anggota BPD yang diusulkan untuk diberhentikan harus mendapatkan persetujuan 2/3 jumlah anggota BPD
Tafsir di berhentikan bmakna sudah terjadi rpemberhen tian ,sedangkan maksud pasal 19 tersebut masih dalam proses.
Pasal 24 ayat (1)
Tindakan Penyidikan terhadap anggota dan pimpinan, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati.
Pasal 24 ayat (1)
Dihilangkan/di hapus saja.
Tidak ada pendelegasian wewenang dari UU kepada Bupati mengenai persetujuan tertulis dari bupati terlebih dahulu dalam penyidikan anggota dan Pimpianan BPD
Pasal 25 ayat (1)
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Rumusan pasal tersebut karena mengenai BPD masih bersifat umum, tetap diatur didalam perda Kabupaten Rejang Lebong.
Ketentuan Peralihan
Tidak dimasukkannnya penghapusan Perda Nomor 36 tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa.
KetentuanPeralihan
Seharusnya Memasukkan dalam ketentuan peralihan mengenai pencabutan Perda Nomor 36 Tahun Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa.
Rumusan mengenai Pencabutan Peraturan Daerah tidak dimasukkan dalam konsideran. menimbang pada Peraturan
156
daerah, melainkan dalam ketentuan peralihan.
Pasal 29
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini maka semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku
Pasal 29
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua ketentuan dalam Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29 ayat (2)
Hal-hal belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaanya.
Pasal 29 ayat (2)
Hal-hal yang berkaita dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati
Tidak tepat menggunakan kata/frasa Keputusan Bupati karena substansinya masih bersifat pengaturan,maka gunakan kata/Frasa Peraturan Bupati
5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
Konsideran huruf b
Hutan adalah sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, oleh karean itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal
konsideran huruf b tersebut dihilangkan saja
Konsideran huruf b sudah termasuk dalam rumusan konsideran huruf a. Sebaiknya rumusan konsideran cukup 3 (tiga) alinia saja yang mengandung unsur sosiologis, filosofis dan yuridis serta setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian
157
kalimat satu kesatuan pemikiran
Konsideran huruf d
bahwa untuk melaksanakan sebagaimana pada huruf a,b dan c di atas, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
Konsideran huruf d
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai- mana dimaksud dengan huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Kepala Desa sebagai Pemangku Kawasan hutan;
Gunakan kalimat aktif di tetapkan menjadi menetapkan, dan juga substansi/materi Peraturan Daerah tetap di tulis
Dasar Hukum
Belum memuat Pasal 18 ayat (6) sebagai Dasar Hukum
Dasar Hukum
Memasukkan Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar Hukum
Pasal tersebut adalah dasar hukum secara konstitusional yang mendelegasi kan kewenangan kepada daerah otonomi untuk menetapkan peraturan daerah
Dasar hukum angka 1-13
(Lembaran Negara Tahun.......Nomor.......).
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...... Nomor.............., Tambahan Lembaran Tahun............Nomor...)
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
Tidak perlu memasukan nama kabupaten
Pasal 1 angka 13 Pasal 1 angka 13 Untuk penulisan
158
Badan Perwakilan desa (BPD) adalah badan yang dibentuk untuk mengawasi jalannnya pemerintahan ditingkat desa.
Badan Perwakilan Desa untuk selanjutnya disingkat BPD adalah Badan yang dibentuk untuk mengawasi jalannnya pemerintahan di tingkat desa.
telanjutnya dalam pasal- pasal selanjutnya cukup ditulis kata/frasa BPD
Pasal 6
(2)Kewajiban kepala desa..
Pasal 6
Kepala Desa berkewajiban....
Tidak perlu di tulis ayat (2). Konsisten menggunakan rumusan subjek –predikat- objek-keterangan (SPOK)
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)
tertulis mengenai tugas Badan Perwakilan Desa. dan tugas Camat yang berkaitan dengan Pengamanan hutan.
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)
harus dihilangkan atau di hapuskan saja.
Substansi Perda adalah mengenai. kepala Desa bukan tugas BPD dan tugas camat.
Pasal 8 dan Pasal 10
Kepala Desa dan camat mempunyai wewenang....
Pasal 8 dan pasal 10
Kepala desa Berwenang...
Untuk konsistensi kata mempunyai wewenang di tulis berwenang, kata mempunyai hak di tulis berhak.
Pasal 15
Kepala Desa dan Camat sebagai penanggung jawab pengamanan hutan diwilayahnya, dikut sertakan pula sebagai penyidik dalam kasus-kasus kehutanan ditingkat desa dan kecamatan.
Pasal 15
Dihapus.
Tidak ada pendelegasian dari UU (KUHAP) kepada Perda yang mengatur Kepala Desa sebagai penyidik atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Pasal 16
Penyididk ditingkat desa dan kecamatan (kepala desa dan camat) memberitahu dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada
Pasal 16
Dihapus
159
penuntut umum, untuk diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Barang siapa yang dengan sengaja merusak hutan, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Harus lebih jelas dan konkrit.
Harus jelas definisi merusak, kriterai merusak hutan agar tafsinta jelas tidak kabur
Pasal 18
Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam peraturan. daerah ini, mewajibkan kepada pelanggar untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat pencemaran dan atau kerusakan hutan.
Pasal 18
harus jelas dan konkrit
Perbuatan melanggar hukum harus jelas rumusannnya dan harus di muat di dalam Perda tersebut.
Pasal 19
Bagi pemegang izin dibidang kehutanan diberi sanksi administrasi apabila melanggar ketentuan yang telah di tetapkan.
Pasal 19
Rumusan bentuk bentuk sanksi harus jelas dan rinci termasuk kriteria sanksi juga harus jelas diatur.
Bentuk sanksi administrasi itu banyak: bisa pencabutan izin, penutupan usaha , denda
Pasal 20
Dengan ditetapkannnya Peraturan daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku sepanjang belum diatur dalam peraturan ini
Pasal 20
Dengan ditetapkannnya Peraturan Daerah ini, maka segala Peraturan Paerah yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari perda itu banyak , tidak dapat dibatalkan oleh perda.
Pasal 21
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaanya di atur lebih
Pasal 21
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan daerah ini, sepanjang mengenai
160
lanjut dengan Keputusan Bupati
teknis pelaksanaanya di atur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Bupati
Ketentuan penutupPasal 22
Disahkan di Curup
Ketentuan penutupPasal 22
Ditetapkan di Curup
Untuk konsistensi:peraturan daerah gunakan fkata/frasa “ditetapkan”.
6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 17 TAHUN 2007TENTANG PENYELENGGRAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG
Judul
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG PENYELENGGRAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG
Judul
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN DI
Nama kabupaten tidak perlu di sebutkan
Konsideran
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b di atas perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Konsideran
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan lalu Lintas jalan
Tidak memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum;
memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum;
Sesuai Ketentuan angka 39 lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar hukum
(Lembaran Negara angka 1sampai angka13 :Lembaran Negara tahun....Nomor.....
Dasar hukum(Lembaran Negara angka 1sampai angka13 :Lembaran Negara Republik Indonesia
161
Tambahan Lembaran Negara Nomor......)
Tahun....Nomor..... Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor......)
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG PENYELELNGGARAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN
Pasal 3 ayat (3), pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (2) :
...sebagaimana dimaksud ayat.....
Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (2) :
.....sebagaimana dimaksud pada ayat....
Pengacuan Pasal gunakan kata/frasa “Dalam” di depan Pasal dan pengacuan ayat gunakan kata kata “Pada” di depan ayat
Pasal 3, pasal 4, Pasal 5, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan Pasal 13 :
......diatur lebih lanjut dengan keputusan bupati
Pasal 3, pasal 4, Pasal 5, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan Pasal 13 :
......diatur dengan Peraturan bupati
Pasal 25 ayat (1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) huruf a,b,c dan d diancam dengan hukuman kurungan dan/atau denda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25 ayat (1)
Rumusan pasal mengenai pelanggaran dalam Pasal 21 bukan Pasal 20
rumusan Pasal ini masih kabur apakah bentuk hukuman pelanggaran bersifat kumulatif atau alternatif,
Pasal 26
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati.
Pasal 26
Hal- hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis Pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
162
Pasal 27
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam Lembaran daerah Kabupaten Rejang Lebong
Pasal 27
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam Lembaran daerah Kabupaten Rejang Lebong
Bab V
Ketentuan PenutupDisahkan di Curup
Bab V
PENUTUPDitetapkan di Curup
Untuk konsistensi :Kata di sahkan untuk Undang Undang sedangkan kata Di tetapkan untuk PERPU.PP, PERPRES dan PERDA
163
B. SEBAB-SEBAB TETAP DITERAPKANNYA PERATURAN
KABUPATEN REJANG LEBONG YANG BERTENTANGAN
DENGAN TEHNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan
atau bermasalah dari aspek tehnik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan masih tetap diterapkan atau diberlakukan. Adalah menjadi
penting untuk mengetahui mengapa Peraturan Daerah yang bertentangan,
bermasalah tersebut masih diterapkan dan belum diupayakan untuk
diadakan perubahan atau revisi oleh pemerintah Kabupaten Rejang lebong.
Pertentangan atau permasalahan yang ditemukan yakni pertentangan
dari aspek judul, pertentangan atau bermasalah dari aspek pembukaan yang
meliputi frase Dengan Rahmat Tuhan Yang maha Esa, jabatan pembentuk
peraturan perundang-undangan, konsideran, dasar hukum, diktum,
pertentangan dari batang tubuh meliputi permasalahan atau permasalahan
pada ketentuan umum, materi pokok yang diatur, ketentuan pidana,
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup dan permasalahan pada bagian
penutup.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
menyebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
164
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain dari itu, Peraturan Daerah
juga dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.132 Berkaitan dengan hal tersebut,
maka semua Peraturan Daerah tak terkecuali Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Untuk menghindari pertentangan yang timbul di dalam teknik
penyusunan Peraturan Daerah, maka yang menjadi dasar hukum secara
yuridis formal di dalam hal teknik penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan adalah Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang tertulis sebagai berikut:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan
sesuai dengan tehnik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini.
132 Isi Pasal 136 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah .
165
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Presiden.
Berkaitan dengan itu, maka di dalam pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong, maka ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 menjadi dasar yang harus dipedomani yang jelas
mengatakan Bahwa lampiran II dari Undang-Undang tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan. Hal tersebut menjelaskan bahwa kedudukan
Lampiran II dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah menjadi
satu kesatuan dengan Undang-Undang ini dan mempunyai kedudukan yang
sama dengan Undang-undangnya. Maka di dalam pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
haruslah menjadi acuan, pedoman dan landasan secara yuridis di dalam
teknik penyusunan Peraturan Daerah.
Secara normatif teknik penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam lampiran
II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undanganan. Namun kenyataannya setelah dianalisis ditemui
pertentangan/ permasalahan dari aspek teknik penyusuanan Peraturan
Daerah sebagaimana yang ditentukan di dalam Peraturan Perundang-
Undangan .
166
Selanjutnya yang perlu diketahui adalah bagaimana akibat hukum dari
penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah
dari aspek tehnik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan mengapa
masih tetap diterapkan.
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang sudah ditetapkan
dengan ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Rejang Lebong secara
Hukum Administrasi Negara adalah sah menjadi salah satu Peraturan
Perundang-Undangan, karena telah ditandatangani oleh Bupati. Bupati
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan memiliki kewenangan atribusi
yang melekat pada jabatan tersebut yang salah satunya adalah menetapkan
Peraturan Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah atau DPRD133, Peraturan Daerah kabupaten Rejang lebong
itu secara formal menjadi Sah dalam hal ini bila telah ditandatangani oleh
Bupati Rejang Lebong sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 80 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana tertulis; ”Ketentuan mengenai penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis dan mutandis terhadap penetapan
Peraturan Daerah kabupaten/Kota.” Pada Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2)
tertulis :
“(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
133 Isi pasal 136 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
167
sejak Rancangan Peraturan Daerah provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur”
(2) Dalam Hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) tidak di tanda tangani oleh Gubrnur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah provinsi dan wajib diundangkan. “
Pasal tersebut diatas berarti mengandung makna bahwa Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui
oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. Berlaku juga ketentuan tersebut
terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah di tanda tangani oleh
Bupati/walikota, dan juga Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut
setelah lebih dari 30 (tiga puluh) hari belum juga di tanda tangani oleh
gubernur, sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui
bersama, rancangan Peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan daerah
Provinsi.134 ketentuan aturan tersebut secara mutatis dan mutandis berlaku
juga juga dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah baik itu Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
yang telah ditetapkan oleb Gubernur, Bupati/Walikota secara yuridis sah
menjadi Peraturan Perundang-Undangan, Kemudian harus diundangkan di
dalam Lembaran Daerah sebagaimana ketentuan yang mengaturnya, yaitu
dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
134 Isi Pasal 79 ayat (2) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
168
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan bahwa
pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran
Daerah, atau Berita Daerah.
Fungsi Pengundangan adalah agar setiap orang mengetahuinya,135
artinya suatu Peraturan Perundang-undangan mempunyai kekuatan Hukum
Mengikat, maksudnya meskipun suatu Peraturan Perundang-undangan itu
secara materil belum diketahui oleh masyarakat, tetap masyarakat dianggap
mengetahuinya. Dengan demikian diundangkannya Peraturan Perundang-
undangan dalam lembaran resmi, setiap orang dianggap telah
mengetahuinya dan Peraturan Perundang-undangan tersebut telah memiliki
kekuatan hukum mengikat secara umum. Ketika suatu Peraturan
Perundang-Undangan tersebut telah diundangkan, tidak ada alasan bagi
seseorang yang terkait dengan suatu Peraturan Perundang-undangan untuk
mengelak atau menolak suatu Peraturan Perundang-Undangan dengan
alasan tidak mengetahuinya, meskipun dalam hal berhubungan kebenaran
materil hal tersebut masih dapat diperdebatkan.
Terhadap Peraturan Daerah Kabupeten Rejang Lebong yang
bermasalah dari aspek teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
dari aspek keberlakuannnya tidak ada pengaruh karena Peraturan Daerah
135 Ibid Pasal 81
169
Kabupaten Rejang Lebong tersebut sah ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang yaitu Bupati Rejang Lebong dan telah di undangkan dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong, artinya Peraturan Daerah
tersebut tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Meskipun secara teknik
terdapat permasalahan-permasalahan dari aspek tehnik perumusan terhadap
undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Secara substansi bisa saja ketentuan Dalam peraturan Daerah tersebut
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, tidak ada Pasal atau Ayat yang
menyatakan bahwa apabila suatu Peraturan Perundang-Undangan
bertentangan dalam teknik penyusunan Peraturan perundang-undangan
dinyatakan batal, tidak sah, atau dinyatakan tidak berlaku. Kemudian di
dalam Undang-Undang tersebut tidak memuat ketentuan sanksi terhadap
Peraturan Perundangan yang bertentangan dengan teknik penyusunan
penyusunan peraturan perundang undangan. Namun demikian Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan tetap menjadi permasalahan karena secara Subtansi Peraturan
daerah tersebut sudah Bertentangan dengan kaidah-kaidah atau ketentuan
ketentuan yang seharusnya dipedomani dalam pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong sebagaimana diatur di dalam Undang-
170
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Sanksinya adalah apabila substansinya bertentangan dengan
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi , maka dapat
dikesampingkan dan diuji materil pada Mahkamah Agung sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tersebut Pasal 9 ayat (2) yang
berbunyi :;”Dalam suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Secara toritis bahwa suatu peraturan Perundang-undangan apabila
substansinya bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang
lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah tersebut dapat
dikesampingkan. Dapat di kalahkan karena Peraturan Perundang undangan
yang lebih rendah merupakan penjabaran atau tindak lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Kekuatan hukum suatu
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki dari Peraturan
Perundang-undangan itu sendiri sebagaimana ketentuan yang mengatur hal
tersebut di dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang
bermasalah secara materil, materi muatan yang meliputi asas atau norma
normanya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut
171
apabila bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi maka dapat dikalahkan/dikesampingkan. Karena kekuatan hukumnya
dibawah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 136 Namun
demikian secara formil apabila bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi, maka keberlakuanPeraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong tersebut tetap Sah karena ditetapkan oleh Lembaga
berwenang dalam hal ini ditetapkan Bupati dan telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah dalam
aspek teknik Penyusunan, tidak dapat dibiarkan saja, karena hal ini
bertentangan dari tujuan yang diinginkan oleh Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. ini didasarkan pada pemikiran bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek
kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan
sistem hukum nasional.137 Oleh karena itu Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong tidak boleh bertentangan baik dari aspek substansi materi
maupun dalam aspek tehnik penyusunannya.
Selain dari itu apabila Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
bermasalah dari aspek teknik Penyusunan Peraturan perundang –undangan,
maka tujuan yang diinginkan baik dari asas, materi muatan dari Peraturan
136 Ibid isi Pasal 7 ayat (2)137 Ibid, isi Penjelasan umum
172
Daerah tersebut tidak terarah tidak memenuhi sasaran, bahkan tidak mampu
memenuhi apa yang diinginkan dari pembentuk Peraturan Daerah tersebut.
Oleh karena itu di dalam pembentukan Peraturan Daerah haruslah sesuai
dengan ketentuan dan norma-norma yang telah diatur di dalam undang
undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal lainnya yang perlu untuk diperhatikan adalah terhadap Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan /bermasalah, masih
tetap diterapkan dan diperlakukan dan sampai saat ini belum diperbaiki atau
direvisi.
Masih diterapkannya Peraturan Daerah yang bermasalah dari aspek
teknik penyusunan Peraturan Daerah dapat disebabkan oleh :
1. Lemahnya sumber daya manusia di daerah yang bertugas dan berkaitan
langsung dalam menangani penyusunan Peraturan Daerah.;
2. Lemahnya pembinaan dan sosialisasi dari pusat ke daerah mengenai
Peraturan Perundang-Undangan;
3. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Peraturan
Daerah.138
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Sebenarnya Lemahnya Sumber
Daya Manusia di daerah sebagai menyebab tetap diterapkannya Peraturan
Daerah yang bertentang atau bermasalah pada angka 1 (satu)Tidak tepat
138 DWI ANDAYANI BS. Permasalahan Hukum dalam perancangan Peraturan Daerah. Di sampaikan pada Diklat” Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan “ di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia .pada tanggal 10 bulan Desember Tahun 2010.
173
karena banyak SDM yang mampu, akan tetapi belum dimanfaatkan secara
Optimal, kurangya koordinasi dan kerja sama dengan Para Akademis dan
peneliti dan pemerhati masalah Hukum. Begitu juga penyebab Kurangnya
Keterlibatan masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah pada angka 3
(tiga) diatas sebagai salah satu penyebab tetap diterapkannya Peraturan
Daerah yang bermasalah, adalah kurang tepat, karena masyarakat itu
banyak dan masyarakat yang mana, yang lebih tepat adalah para pemerhati
masalah hukum dan kalangan para ahli dan peneliti yang berkaitan dengan
Perundang-undangan.
Untuk Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan
atau bermasalah namun masih diterapkan, berdasarkan penelitian
penyebabnya selain sama dengan apa yang diuraikan di atas, akan tetapi
juga disebabkan oleh :
1. ketidak tahuan bahwa Peraturan Daerah tersebut bermasalah,
2. menganggap bahwa Peraturan Daerah yang bermasalah tersebut tidak
membatalkan Keberlakuannya
3. kurangnya dilibatkannya Para Peneliti, para ahli hukum dari kalangan
akademisi Universitas Bengkulu dan Para perancang peraturan
perundang-undangan/legar drafater dari kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM Bengkulu.
4. Keterbatasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang
dialokasikan untuk pembentukan Peraturan Daerah.
174
Kurangnya Anggaran di daerah ini menjadi Faktor utama
penyebab lahirnya Peraturan daerah yang bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Leading sector Bidang Hukum
yang menangani dalam Pembentukan Rancangan Peraturan daerah, telah
berupaya memasukkan usulan anggaran yang representatif dalam
pembentukan daerah yang digunakan untuk penelitian Hukum di dalam
pembuatan Naskah akademik Raperda yang melibatkan para ahli dan
kalangan akademisi dan perancang Peraturan Perundang Undangan,
namun usulan tersebut tidak diakomodasikan dalam Perda Anggaran
Daerah. akibatnya Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak melalui
kajian akademisi dan tidak melibatkan Pakar, ahli hukum dan legal
drafter, sehingga Peraturan Daerah tersebut secara formal banyak
Bertentangan dengan teknik Penyusunan Peraturan perundang-
undangan dan secara subtansi bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan.
Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian dan hasil
penelitian serta pembahasan dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa konstruksi Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang
bertentangan dengan teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
terjadi pada sistem Penyusunan dan perumusan kata/frasa, kalimat pada
bagian judul, pembukaan, jabatan pembentuk peraturan daerah,
konsideran, dasar hukum, diktum, batang tubuh, ketentuan umum, materi
yang diatur, rumusan ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan
ketentuan penutup, serta pertentangan pada penutup, bahkan secara
substansi Peraturan Daerah tersebut dalam Pasal-Pasal tertentu
bermasalah dari materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
2. Bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Rejang lebong yang bertentangan
dengan teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan tetap
diterapkan karena secara legal formal Peraturan Daerah tetap sah karena
dibentuk, ditetapkan oleh lembaga yang berwenang dan telah diundangkan
dalam Lembaran Daerah, namun secara substansi ketentuan –ketentuan
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
175
176
batal demi hukum. Masih diterapkannya Peraturan Daerah yang
bermasalah tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain Sumber Daya
Manusia (SDM) aparatur yang menjadi ujung tombak /leading sector
pembentuk Peraturan Daerah yang menguasai teknik perancangan
Peraturan Daerah/legal drafter masih rendah, tingkat kesadaran dan
perhatian Para pemerhati dan peneliti masalah Perundang-undangan
dalam Pembentukan Peraturan Daerah masih rendah serta kurangnya
Anggaran yang dialokasikan dalam pembentukan Peraturan Daerah .
2. SARAN
Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian dan hasil
penelitian serta pembahasan dapat d tarik suatu saran sebagai berikut:
1. Perlunya pengkajian/analisis lebih lanjut terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten Rejang Lebong, baik dari aspek yuridis, sosiologis, filosofis,
dan teknik penyusunan serta substansi materi muatan peraturan daerah,
agar setelah menjadi Peraturan Daerah, menjadi Peraturan Daerah yang
efektif, tidak menimbulkan pertentangan dan permasalahan baik dari aspek
Teknik Penyusunan, formil dan materil serta memenuhi kebutuhan dan
rasa keadilan masyarakat. Karena tujuan dari dibentuknya Peraturan
Daerah tidak hanya untuk kepastian hukum/rech matigheid saja akan
tetapi juga agar masyarakat tahu dan harus dilaksanakan dengan tujuan
untuk kemanfaatan/dooel matigheid bagi masyarakat .
177
2. Dalam Perancangan Peraturan Daerah Kbupaten Rejang lebong
melibatkan peran serta masyarakat luas terutama para pemerhati masalah
hukum, Peneliti hukum, para ahli hukum dari Akademisi dan para
perancang Peraturan perundang Undangan/legal drafter, karena
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
agar Peraturan Daerah yang telah diundangkan tersebut nantinya tidak
bermasalah.
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-Buku
---------------, Panduan Praktis Memahami Perancangan Praturan Daerah, Cappler Project, Jakarta, 2008.
AA.Oka Mahendra ,Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, (artikel) Jurnal Legislati, vol 1 no 4 Jakarta 2004;
AA.Oka Mahendra, Reformasi pembangunan hukum dalam perspektif peraturan Perundang Undangan, Dep Hukum dan HAM, Jakarta. 2006.
Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009;
Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum cet 5, raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Dydiet Hardjito, Pemecahan Masalah Yang Analitik Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI, Predana, Jakarta 2003.
Harun Alrasid, Naskah UUD 1945, Sesuadah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Universitas Indonesia (UI Pres) Jakarta, 2007.
L.C Van der Vlies, Handboek Wetgeving(Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang Undangan), Alih Bahasa Linus Doludjawa, Dirjen PP Jakarta, 2005.
Jimly Asshiddigie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, Alumni Bandung, ed. kedua cet. pertama Bandung, 2008.
MA.Loth, Recht Taal Een Kleine Metthodologie(Bahasa dan hukum sebuah metodologi kecil, alih bahasa Linus Doludjawa), Dirjen PP Jakarta, 2007.
Machmud Aziz, Jenis Dan Hirarki Peraturan Perundang Undangan Menirut UUD RI Dan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (artikel) , Jurnal Legislati, vol 1 no 4 Dirjen PP Jakarta, 2004.
178
179
Machmud Aziz, Landasan Formil Dan Materil Konstitusional Peraturan Perundang Undangan (Artikel) Jurnal Legislasi Indonesia, Dirjen PP. Jakarta, 2009.
Marbun, Deno Kamelus, Dimensi Dimensi Pemikiran Hukum Adminitrasi Negara; UII Pres Yogyakarta, 2001.
Maria farida, Ilmu Perundang –Undangan Jenis,Fungsi Dan Materi Muatan, Kanisius cet. ke 5 Yogyakarta, 2007.
Otje Salman dan Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007.
-----------Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan, (artikel Jurnal Vol 4 no 2) Dirjen PP Jakarta, 2006.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , ed,1 cet 3 ,Kencana Prenada Media group, Jakarta, 2007.
Sadu Wasistono dan ondo Riyani, Etika Hubunganm Legislatif eksekutif, Fokus Ed Revisi Bandung, 2003.
Sobandi,sedarmayati DKK,Desentralisasi Dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, Humaniora, Bandung, 2005.
Suharyono Ar, Bahasa Peraturan Perundang Undangan (artikel), Jurnal Legislati, vol 1 no 4 Dirjen PP ,Jakarta, 2004.
Sunaryo Hartono. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke -20. Alumni Bandung,1991.
Syprianus Aristeus, Hukum Nasional Pasca Amandemen UUD 1945.
Wahidudin Adam, Fasilitasi perancangan Peraturan Daerah dalam rangka Pelaksanaan Kebijakan dan Standarisasi Teknis di Bidang Peraturan perundang undangan (artikel), Jurnal Legislati, vol 1 no 4, Dirjen PP, Jakarta, 2004.
180
Jurnal, Majalah dan makalah-Makalah :
Aisyah Lailiyah, Peran Naskah Akademik Dalam Penyususnan Rancangan Peraturan Perundang Undangan. Makalah yang disampaikan dalam pelatihan jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan tahun 2010 Kemenkumham Depok, Jakarta, 2010.
Cahayani Suryandari, Tata Cara Dan Prosese Penyusuanan Peraturan Daerah, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan BPSDM, Jakarta, 2010.
HM. Aziz, Dasar Dasar Konstitusional Pemerintahan Daerah Dan Pembentukan Peraturan Daerah, Makalah disampaikan dalam diklat perancang peraturan perundang-undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
HM. Aziz, Metamorfosa Konstitusi Indonesia Dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Dan Pengujian Peraturan Perundang –Undangan, sebuah makalah yang disampaikan dalam pelatihan jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Depok, pada bulan Juni 2010.
Machmud Azaz, Metamorfosis Konstitusi Indonesia Dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Dan Pengujuan Peraturan Perundang-Undangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Made.karmini, Fungsi Pengundangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Maria Farida, Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Purwanto, Penalaran hukum. makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan BPSDM, Jakarta, 2010.
Sadikin. Naskah Akademik Dan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Sony Maulana.S, Norma Hukum dasar Negara, makalah yang disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Depok, Jakarta, 2010.
181
Suharyono, Bahasa Peraturan Perundang Undangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Suharyono. AR, (Hand-Book/Modul) Pembentukan (Perancangan) Peraturan Perundang Undangan ,makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Wahiduddin Adam, Sinergi Pengaturan Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam Pembentukan Peraturan Daerah, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
Zafrullah Salim, Pengundangan Dan Penempatan Peraturan Perundang Undangan Dalam Lembaran Negara Dan Berita Negara, sebuah makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, bulan Juni 2010.