The Heike Story

865
The Heike Story Kisah Epik Jepang Abad ke-12 Penulis : Eiji Yoshikawa Kiriman : Lenny (trims yeee) Ebook : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.com http://kang-zusi.info Penerbit : Zahir Books (lini Redline Publishing) Cetakan : Pertama, Juni 2010 Tebal buku: 750 halaman

description

novel

Transcript of The Heike Story

Page 1: The Heike Story

The Heike Story Kisah Epik Jepang Abad ke-12

Penulis : Eiji Yoshikawa Kiriman : Lenny (trims yeee)

Ebook : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.com

http://kang-zusi.info

Penerbit : Zahir Books (lini Redline Publishing) Cetakan : Pertama, Juni 2010

Tebal buku: 750 halaman

Page 2: The Heike Story

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI Bab I – PASAR Bab II - PEREMPUAN GION Bab III – PACUAN KUDA BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN Bab V – RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM SABUNGAN Bab VII – SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG SAMURAI Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA Bab IX – PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG SUCI Bab X – DUSTA Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH KECAPI Bab XII -SABDA ALMARHUM Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH Bab XVII-SUNGAI BERDARAH Bab XVIII-ALUNAN SERULING Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar Bab XXII-Jeruk Dari Selatan Bab XXIII – PENCULIKAN KAISAR Bab XXIV-IRAMA GENDERANG Bab-XXV BADAI SALJU

Page 3: The Heike Story

Bab XXVI – BELAS KASIHAN Bab XXVII – SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT Bab XXVIII-SANG IBU Bab XXIX-PENGASINGAN Bab XXX-SAKURA Bab XXXI-GAGAK Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR LAUT Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI Bab XXXIX-TABIB ASATORI Bab XL-PERMATA LAUT Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA Bab XLIV-HURU-HARA Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI Bab L-PERJALANAN KE TIMUR

o0odwkzo0o

Page 4: The Heike Story

Bab I – PASAR

“Dan kau, Heita, jangan lagi berkeliaran dan menyia-nyiakan waktu di Shoikoji dalam perjalananmu pulang!” Heita Kiyomori mendengar ayahnya, Tadamori, berseru memperingatkannya ketika dia pergi untuk menjalankan tugasnya. Dia merasakan suara ayahnya mengikutinya bersama setiap langkahnya.

Kiyomori takut kepada ayahnya; setiap kata yang diucapkan oleh pria itu seolah-olah selalu melekat di benaknya. Dua tahun

sebelumnya, pada 1135, untuk pertama kalinya Kiyomori menemani ayahnya dan sejumlah prajurit bersenjata dalam sebuah ekspedisi dari Kyoto ke Shikoku, dan kemudian Kyushu untuk menumpas para perompak Laut Dalam. Sejak bulan April pada musim semi hingga Agustus, mereka memburu musuh mereka dan, dengan pemimpin gerombolan perompak beserta ketiga puluh kaki tangannya terbelenggu rantai, mereka kembali dengan penuh kejayaan ke ibu kota, dalam sebuah pawai kemenangan yang meriah. Ya, tidak diragukan lagi, ayahnya memang seorang pahlawan—tanpa memedulikan segalanya!

Pendapat Kiyomori tentang ayahnya berubah sejak saat itu, begitu pula ketakutannya. Sejak masih bocah, Kiyomori yakin bahwa kemalasanlah yang menyebabkan ayahnya

Page 5: The Heike Story

menghindari pergaulan, bahwa dia kekurangan ambisi, tidak memiliki keberanian untuk mengurus berbagai masalah duniawi, dan terlalu keras kepala untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sosok itu, bagaimanapun, bukan ayah yang tingkah lakunya diamati oleh Kiyomori sejak masa kanak-kanak, namun gambaran yang dilekatkan di benaknya oleh ibunya. Sejauh yang bisa diingatnya, rumah mereka di Imadegawa, di wilayah pinggiran ibu kota, adalah reruntuhan yang mengenaskan; atapnya yang bocor tidak diperbaiki selama lebih dari sepuluh tahun; kebunnya yang terbengkalai dipenuhi rumput liar, dan rumah reyot itu menjadi latar belakang berbagai pertengkaran tanpa akhir antara ayah dan ibunya. Kendatipun mereka selalu berselisih, bayi demi bayi senantiasa lahir—Heita Kiyomori, si sulung; Tsunemori, anak lelaki kedua; lalu anak lelaki ketiga, dan bahkan keempat. Tadamori, yang membenci pekerjaannya sebagai samurai di Istana, tidak mau repot-repot hadir ke tempat kerjanya kecuali jika mendapatkan panggilan khusus. Penghasilan utamanya saat ini berasal dari hasil pertanian dari tanahnya di Ise, dan kecuali sumbangan dari Istana yang sesekali diterimanya, dia tidak pernah mendapatkan gaji secara teratur.

Kiyomori mulai memahami alasan-alasan pertengkaran tanpa henti kedua orangtuanya. Ibunya adalah seorang wanita cerewet—menurut ayahnya, ibunya berbicara seperti “kertas minyak terbakar”—yang biasa mengeluhkan, “Setiap kali aku mengatakan sesuatu, kau selalu memandangku dengan sinis. Kapankah aku pernah melihatmu bertingkah layaknya suami yang baik? Aku tidak pernah melihatmu bersikap seperti tuan rumah yang terhormat Ada cukup banyak manusia lamban di dunia ini, tapi hanya ada segelintir orang yang semalas dirimu di kota ini! Seandainya kau anggota dewan kota atau pejabat pemerintah, aku bisa mengerti. Tidak pernahkah terpikir

Page 6: The Heike Story

olehmu untuk mengeluarkan kita dari jerat kemiskinan ini? Kalian para Heike lahir di kampung, tidak heran kalau kau sudah biasa hidup miskin, tapi aku jarang meninggalkan ibu kota, dan semua kerabatku berdarah bangsawan klan Fujiwara!

Di sini, di bawah atap yang bocor ini, siang dan malam, kemarin dan hari ini, aku lagi-lagi mengunyah makanan basi. Aku tidak akan bisa berjalan-jalan melihat bulan dan mengikuti jamuan-jamuan kekaisaran, atau ketika musim semi tiba kembali, memakai kimono mahalku dan menikmati keindahan bunga sakura di Istana. Aku tidak tahu apakah aku ini seorang wanita atau musang karena seperti inilah penampilanku setiap hari ….Ah, sungguh menyakitkan mata yang memandang diriku ini! Mana pernah aku bermimpi bahwa nasibku akan seperti ini!”

Itu hanyalah pembukaan dari aliran tanpa henti tuduhan dan keluhan pedasnya, jika Tadamori tidak membungkamnya. Dan, sekalinya “kertas minyak” ini terbakar, apakah yang paling disesalinya, ketika dia menjerit-jerit ke langit dan meratap-ratap ke bumi untuk menjadi saksinya? Bahkan Kiyomori sebagai anaknya sudah muak mendengar berbagai keluhannya. Dia sudah hafal semua isinya. Yang pertama adalah suaminya, si pemalas yang tidak pernah mau bersusah payah meningkatkan kesejahteraan mereka. Selama bertahun-tahun, Tadamori hanya tinggal di rumah tanpa melakukan apa pun—suami yang tidak berguna! Keluhan keduanya, akibat kemiskinan suaminya, dia harus melepaskan hak untuk mengikuti berbagai acara keluarganya, klan Fujiwara; dia tidak bisa lagi menghadiri tamasya kekaisaran atau menerima undangan pesta di Istana. Dia yang terlahir di tengah kejayaan dan kemewahan telah menikah dengan seorang samurai Heike dari golongan kebanyakan dan

Page 7: The Heike Story

menghancurkan kehidupannya. Dan dia akan meratap-ratap, “Ah, seandainya aku tak punya anak! …” Ucapan itu membuat Kiyomori kecil luar biasa ketakutan, terhina, dan sedih, sehingga ketika dia berumur enam belas atau tujuh belas tahun, tatapan pilunya sering kali membingungkan ibunya.

Kiyomori memikirkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh ibunya seandainya dia tidak punya anak. Tetapi, yang jelas dia tahu: di atas segalanya, ibunya menyesal karena telah menikah dengan ayahnya; ibunya mungkin akan meninggalkan ayahnya dan menebus tahun-tahun yang hilang darinya dengan kembali menjalani kehidupan mewah. Dia ingin hidup seperti para kerabat bangsawannya, mengendarai gerobak sapi, bermandikan cahaya bulan dan bertabur bunga-bungaan; main mata dengan kapten ini atau pejabat itu; saling bertukar puisi cinta sembari menebarkan pesona, menjalani kehidupan para wanita seperti dalam Hikayat Genji. Ibunya tidak bisa mengakhiri kehidupan tanpa menunaikan takdirnya sebagai seorang wanita.

Berulang kali, “kertas minyak” itu terbakar. Dan anak-anak lelaki kecilnya, kesulitan meyakini bahwa wanita itu adalah ibu mereka, menyaksikannya setiap hari dengan tatapan pilu.

Kiyomori, sekarang berusia hampir dua puluh tahun, kesal; jika anak-anaknya menjadi penghambat, mengapa ibunya tidak meninggalkan mereka saja? Sedangkan ayahnya, mengapa dia diam saja menghadapi istrinya? Apakah sebaiknya Kiyomori saja yang balas membentak wanita ini? Dasar wanita jalang! Siapa itu Fujiwara, para Fujiwara yang dibangga-banggakannya tanpa memedulikan perasaan suaminya? Dasar bodoh—ayahnya, yang hanya berani membentak anak-anaknya! Dasar pengecut! Lihatlah

Page 8: The Heike Story

bagaimana orang-orang meledek Si Mata Picing yang menikahi seorang gadis cantik, hanya untuk mendapati bahwa dia adalah seorang sundal!

Orang-orang sepertinya beranggapan bahwa anak-anak selalu memihak ibu mereka, namun sebaliknyalah yang terjadi di rumah ini. Si bungsu, yang belum lagi disapih, dan kakak ketiganya masih terlalu kecil untuk memihak, namun Tsunemori, yang sekarang sudah cukup besar untuk memahami apa yang terjadi, kadang- kadang memandang ibunya dengan penuh kebencian ketika wanita itu sedang meradang. Pada saat seperti itu, mereka malu atas ayah mereka. Dia—seorang pria—yang sepertinya hidup hanya untuk diperlakukan secara semena-mena oleh istrinya. Ayahnya hanya duduk diam mendengarkan rentetan cercaan wanita itu, kelopak matanya yang tercoreng bekas luka setengah tertutup, terpekur menatap kedua tangannya yang terkepal di atas pangkuannya.

Kiyomori harus mengakui bahwa ayahnya buruk rupa—wajah yang penuh bopeng dan sepasang mata yang memberinya julukan, dia adalah pria berusia empat puluhan yang sedang berada dalam masa kejayaannya … Di sisi lain adalah ibunya yang cantik, terlihat seolah-olah masih berumur dua puluhan. Tidak heran jika setiap orang yang melihatnya menolak untuk percaya bahwa dia adalah ibu dari empat anak. Meskipun telah jatuh miskin, dia tetap merawat diri dengan cermat. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tahu atau peduli ketika para pelayan, yang tidak tahan melihat penderitaan mereka, dengan diam-diam mencuri sesuatu agar bisa membarternya dengan makanan, atau membelah-belah bambu yang telah membusuk dan mencungkil bilah-bilah lantai untuk dijadikan kayu bakar, atau jerit tangis anak- anak yang mengompoli pakaian compang-camping mereka. Pada pagi hari, dia akan

Page 9: The Heike Story

berdandan di bilik riasnya, yang tidak boleh dimasuki oleh suaminya sekalipun, lalu menata wadah-wadah sisir dan cermin berlapis emasnya, dan pada malam hari, dia mandi berendam untuk memoles kulitnya. Dia berulang kali mengejutkan para tetangganya dengan keluar mengenakan pakaian terindahnya, mengumumkan bahwa dia akan mengunjungi salah satu kerabatnya, keluarga Nakamido, lalu berjalan dengan gaya bangsawan sejati ke istal terdekat untuk menyewa sebuah kereta dan pergi begitu saja.

“Wanita serigala … wanita serigala penyihir!” para pelayan berkasak-kusuk ketika dia berada jauh dari mereka. Bahkan Mokunosuke yang telah uzur sekalipun, yang telah bekerja untuk keluarga mereka sejak masih bocah, akan berdiri bersama seorang anak yang menangis terisak-isak di punggungnya sambil memandang dengan penuh damba kepada ibunya yang baru saja pergi. Nantinya, dia akan terdengar menyusuri jalan di sekeliling istal pada malam hari, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anak majikannya. Tadamori, pada masa itu, biasanya akan terlihat bersandar ke tiang di bawah naungan bayangan, memejamkan mata, di tengah kesunyian, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Tsunemori adalah seorang anak yang pandai; dia tidak memedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya dan menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Dia dan Kiyomori mulai belajar di Akademi Cina Klasik Kekaisaran sejak usia dini. meskipun setelah beberapa waktu, Kiyomori menolak untuk mengikuti pelajaran lagi. Walaupun ayahnya senantiasa mendesaknya untuk melanjutkan pendidikan, Kiyomori tidak merasakan manfaat dari membaca Konfusius, yang ajarannya sepertinya tidak sesuai dengan dunia yang dilihatnya atau kehidupan di dalam rumahnya. Kiyomori biasanya menghabiskan waktu

Page 10: The Heike Story

dengan bermalas-malasan seperti ayahnya. Sering kali, sembari berbaring di dekat kaki meja adiknya, Kiyomori akan bercerita tentang pacuan kuda di Kamo atau berbagai gosip para wanita di lingkungan mereka; jika Tsunemori tidak berminat mendengarkannya, dia akan tetap berbaring di tempat yang sama, melamun menatap langit-langit, mengorek- ngorek hidungnya. Pada waktu yang lain, dia akan bergegas ke arena panahan di belakang rumah untuk berlatih memanah, atau melesat ke istal untuk kemudian pulang dengan memacu seekor kuda, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Sepertinya, dia bertindak sesuka hatinya.

Kiyomori sering menganggap ibunya sebagai seorang yang aneh; ayahnya pun sama saja; hanya Tsunemori yang sepertinya berperangai normal layaknya orang biasa. Bahkan dirinya sendiri, Kiyomori, putra sulung dan ahli waris utama, adalah seorang yang aneh. Kesimpulannya, mereka adalah orang-orang aneh yang tergabung di dalam sebuah keluarga aneh. Tetap saja, keluarga Heike dari Is6 adalah salah satu dari beberapa keluarga samurai yang berasal dari leluhur terhormat. Di ibu kota, yang penduduknya mengetahui bahwa tradisi Heike telah diturunkan hingga beberapa generasi, banyak orang meramalkan bahwa akan ada banyak cabang dari pohon keluarga ini yang mengembalikan kejayaan nama mereka. Kendati begitu, Kiyomori tidak memedulikan desas-desus semacam itu, hanya mengetahui bahwa dirinya masih muda, merdeka, dan bahagia.

Dia menyadari beban tugas yang diembannya karena dia telah membaca surat yang dipercayakan kepadanya. Kiyomori hendak meminjam uang dari salah seorang kerabatnya, pamannya. Ini sudah cukup sering terjadi, dan dia akan menemui satu-satunya saudara ayahnya,

Page 11: The Heike Story

Tadamasa, seorang anggota Kesatuan Pengawal Kaisar, yang telah sering dimintai bantuan oleh Tadamori.

Setelah perayaan Tahun Baru, ibu Kiyomori terserang masuk angin; seperti biasanya, dia tanpa henti mencecar suaminya dengan selera kelas atasnya, menuntut agar tabib istana dipanggil untuk merawatnya, meminta obat yang mahal, mengeluhkan baju tidurnya yang terasa berat di badannya, dan mencela makanan yang tidak selayaknya diberikan kepada seseorang yang sedang sakit

Kemiskinan yang berhasil diabaikan oleh Tadamori menerpa mereka semua dalam semalam bagaikan angin bersalju. Meskipun atas kemenangannya melawan para perompak dua tahun sebelumnya dia dianugrahi emas dan berbagai hadiah lainnya, yang berhasil melepaskannya dari jerat kesulitan keuangan, rezeki nomplok itu mendorong istrinya untuk lebih menghambur-hamburkan uang. Tadamori percaya bahwa dia memiliki cukup banyak uang untuk menghidupi keluarganya hingga setahun kemudian, sampai penyakit istrinya meludeskan seluruh sisa harta mereka hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu, sehingga mereka terpaksa harus menghirup bubur dari remah-remah beras untuk sarapan dan makan malam.

Dengan hati pedih, sembari berusaha menulis surat permohonan untuk saudaranya, Tadamori menoleh ke arah putranya. “Heita. maafkan aku karena harus menyuruhmu menemui pamanmu lagi …” Ini adalah tugas yang harus diselesaikan oleh Kiyomori. Rasa sakit hati membakarnya—diperingatkan untuk tidak berkeliaran dan menghabiskan waktu di Shiokoji! Seorang bocah sekalipun berhak untuk mengalihkan perhatian. Bukankah dia akan berumur dua puluh tahun musim semi ini? Tetap saja, dialah, seorang pemuda. sendiri, seraya berjalan

Page 12: The Heike Story

memikirkan bahwa tidak ada salahnya jika dia berusaha mencari sedikit kesenangan.

“Lagi-lagi, Heita,” seru paman Kiyomori sambil menurunkan surat itu dengan muak.

Ketika sang paman menyerahkan uang yang disebutkan di dalam surat itu kepada keponakannya, istrinya muncul dan mendamprat, “Mengapa kalian tidak mengemis kepada keluarga ibumu saja? Bukankah mereka semua anggota klan bangsawan Fujiwara?—yang termulia Nakamikado—darah biru yang menyilaukan mata! Bukankah ibumu menyombongkan mereka setiap waktu? Sana, katakan juga ini kepada ayahmu!”

Kemudian, dimulailah rentetan hinaan kepada orangtua Kiyomori dari paman dan bibinya. Apakah yang lebih memalukan daripada hal ini—membiarkan orang lain mencerca ayah dan ibunya? Butiran-butiran air mata mengalir menuruni pipi Kiyomori.

Kiyomori tahu, bagaimanapun, bahwa kehidupan pamannya tidaklah mudah. Meskipun sebuah sistem Pengawal Kekaisaran telah diciptakan, dan ada semakin banyak samurai yang dipekerjakan di Istana dan wilayah-wilayah kekaisaran lainnya, para bangsawan Fujiwara memperlakukan mereka layaknya budak. Mereka hanya dihargai untuk keganasan merekat disamakan dengan anjing-anjing Kishu dan Tosa, dan tidak dianggap setara dengan para bangsawan yang berkeliaran di sekeliling singgasana; imbalan mereka di kampung sebagian besar hanyalah berupa tanah pegunungan gersang atau rawa-rawa yang telah terbengkalai. Para samurai itu dibenci, dihina dina seolah-olah mereka rakyat jelata; tanpa kehormatan yang semestinya menjadi hak mereka, mereka menggantungkan hidup pada hasil pertanian yang tidak seberapa, dan kemiskinan pun tidak terelakkan lagi.

Page 13: The Heike Story

Angin ganas bulan Februari terkadang mendatangkan Angin Timur Pertama, namun entah bagaimana, kerinduan pada musim semi menjadikan udara yang dingin terasa semakin menusuk tulang. Mungkin siksaan kelaparanlah yang membuat Kiyomori gemetar. Baik paman maupun bibinya tidak mengundangnya untuk makan malam bersama mereka. Lebih baik begitu, pikir Kiyomori; satu-satunya pikiran yang ada di benaknya adalah melarikan diri dari rumah itu. Dia tidak akan pernah mau lagi menjalankan tugas seperti ini. Bahkan kalaupun dia harus mengemis. Sungguh mengesalkan menangis terisak-isak seperti ini, sementara paman dan bibinya mungkin mengira dia hanya berpura-pura menitikkan air mata demi uang. Sungguh memalukan! Kelopak matanya masih bengkak, dan Kiyomori bisa merasakan orang-orang yang berpapasan dengannya memandangi wajahnya yang bernoda air mata.

Padahal, orang-orang memandangi Kiyomori bukan karena itu, melainkan karena penampilannya—kimono kusut dan tunik dalam kumalnya. Pakaian penggembala sapi dan pelayan rendahan sekalipun masih lebih hangat daripada yang dikenakannya. Para gelandangan yang berteduh di bawah Gerbang Roshomon pun tidak akan sudi mengenakan pakaian seperti itu. Seandainya dia tidak membawa pedang panjangnya, sebagai apakah orang-orang akan memandang dirinya—dengan sandal dan sarung kaki kulitnya yang bernoda lumpur; topi runcingnya, yang warnanya telah memudar dan lapisannya telah terkelupas, terpasang miring di kepalanya; sosok gempal dan kumis kakunya; kepalanya yang agak kebesaran untuk tubuhnya; mata, telinga, dan hidungnya yang lebar; alisnya—bagaikan dua ekor ulat bulu—yang menaungi sepasang mata sipit dengan sudut luar menurun, mata yang memberikan kesan baik pada wajah garang atau bahkan bengisnya—seorang pemuda berwajah janggal dan berkulit terang dan bertelinga

Page 14: The Heike Story

caplang kemerahan, yang menjadikan kemudaannya, entah bagaimana, tampak menarik?

Orang-orang yang berpapasan dengannya bertanya- tanya siapakah samurai muda ini, di manakah dia bertugas sebagai Pengawal—mengamati bagaimana dia berjalan dengan tangan bersedekap. Kiyomori tahu bahwa sikap ini, yang hanya ditunjukkannya di jalanan—tidak pernah di hadapan ayahnya— dipandang dengan sebelah mata oleh Tadamori, yang menganggapnya sangat tidak layak ditunjukkan oleh seseorang dari keluarga terhormat Tetapi, Kiyomori telah terbiasa menampilkan sikap seperti ini ketika berada di jalanan—dia mempelajarinya dari para pria yang meramaikan Shiokoji. Mustahil baginya untuk pergi ke sana hari ini; uang yang dipegangnya—uang pinjaman memalukan itu! Memikirkannya membuatnya gemetar. Daya tarik Shoikoji menyedot seluruh kesadarannya. Akibat kemauan yang lemah, dia merasa tidak akan pernah bisa menahan diri dari pergi ke sana.

Setibanya di persimpangan jalan, Kiyomori menyerah. Angin hangat dari Shiokoji yang menerpanya membawa bau-bauan yang menggelitik dan mengolok-olok keraguannya. Di sanalah mereka, di tempat yang sama, seperti biasanya—seorang wanita tua menjajakan paha burung kuau panggang dan burung-burung kecil panas menggoda yang dirangkai di tusukan; di sebelah lapak wanita itu, seorang pria memeluk seguci besar sake, menyanyi dan tertawa terpingkal-pingkal layaknya seorang pemabuk sambil melayani pembeli; di sana, di bagian pasar yang teduh, seorang gadis penjual jeruk duduk seorang diri sambil memangku dagangannya; dan ada pula sepasang tukang sol, ayah dan anak. Di sanalah mereka—lebih dari seratus lapak kecil, bersisi-sisian, memamerkan ikan asin,

Page 15: The Heike Story

baju bekas, dan berbagai macam tetek bengek penunjang kehidupan para pedagang itu.

Bagi Kiyomori, setiap lapak, setiap jiwa yang ada di sana, seolah- olah lahir di bawah beban dunia yang menghimpit mereka; semua orang di sini adalah rumput mengenaskan yang terinjak-injak— gabungan kehidupan manusia yang berakar di tanah becek ini, hidup dan menghidupi dalam sebuah perjuangan untuk bertahan; dan dia tergerak oleh keberanian besar dan menggetarkan yang terpancar dari pemandangan ini. Uap dari masakan panas dan asap dari daging bakar seolah-olah menjadi selubung misterius yang menutupi setiap rahasia di tempat itu—segerombolan pejudi jalanan, senyum menggoda para pelacur yang lalu lalang menembus kerumunan orang, lengkingan tangis bayi, gebukan genderang para penyanyi balada—seluruh perpaduan bau-bauan dan suara yang mendatangkan gejolak di kepalanya. Tempat ini adalah surga bagi kaum papa, setara dengan pesta para bangsawan, ibu kota rakyat jelata. Mendatangi tempat itu sama dengan merendahkan derajatnya, dan itulah alasan utama larangan tegas Tadamori kepadanya.

Tetapi, Kiyomori menyukai tempat ini. Dia merasa betah berada di tengah-tengah orang-orang itu. Pasar Penadah sekalipun, yang lapak-lapaknya terkadang berdiri di bawah pohon jelatang besar di sudut barat pasar, berhasil memikatnya. Biar saja mereka disebut perampok dan pencoleng—bukankah mereka cukup ramah jika perut mereka kenyang? Ada sesuatu yang salah di dunia ini, yang mendorong mereka untuk mencuri. Tidak ada penjahat di sini— mereka justru bisa ditemukan di antara gumpalan awan menawan di Gunung Hiei, di Kuil Onjoji, dan bahkan di Nara, tempat mereka menjadikan bangsal dan menara kuil-kuil Buddha sebagai benteng— para pemuka

Page 16: The Heike Story

agama Buddha berhati nista dalam balutan jubah brokat dan emas mereka.

Dengan pikiran semacam itu berkelebatan di benaknya, Kiyomori mendapati dirinya berada di tengah riuh rendah kerumunan manusia; menengok ke sana, berhenti di situ, dia berjalan tanpa arah tujuan, tidak merisaukan malam yang mulai datang. Tidak seorang pun terlihat di bawah pohon jelatang, namun di keremangan cahaya senja, dia bisa melihat pendar lentera-lentera, buket-buket bunga, dan mencium semerbak aroma dupa. Tidak lama kemudian, gadis dan wanita jelata tampak berduyun-duyun menari, satu demi satu kelompok, menghampiri pohon tersebut untuk melakukan pemujaan.

Legenda menyebutkan bahwa pada zaman dahulu kala, gundik dari seorang perompak termahsyur tinggal di tempat yang sekarang ditumbuhi pohon jelatang itu. Seiring waktu, para wanita yang memercayai takhayul meyakini bahwa berdoa di sana akan menyebabkan pujaan hatinya memimpikannya atau mendatangkan penyakit menjijikkan pada saingan yang dibencinya. Kematian siperompak di penjara pada 7 Februari 988 mengguncang masyarakat, dan sejak saat itu, para begundal pasar dan wanita dari berbagai latar belakang melestarikan kenangannya dengan mempersembahkan dupa dan bunga-bungaan pada hari ketujuh setiap bulan.

Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak tokoh pembangkang ini, putra seorang bangsawan dari Golongan Keempat, dengan liar membakar, menjarah, dan membantai, namun dia tidak kunjung dilupakan oleh rakyat jelata, karena namanya seolah-olah tercetak di dalam kenangan mereka. Kejahatannya menjadi sensasi pada kurun waktu yang menandai kejayaan dan kekuasaan klan Fujiwara. Bagi rakyat jelata, pembangkangan si perompak

Page 17: The Heike Story

terhadap hukum yang berlaku merupakan ekspresi dari kemarahan mereka yang tersimpan di dalam hati, sehingga alih-alih menghujatnya, mereka justru mengidolakannya. Bunga-bungaan dan dupa mungkin tidak akan berhenti mengalir ke tempat itu selama masih ada seorang saja Fujiwara yang bernapas di muka bumi ini; kemudian, orang- orang yang tidak percaya pada takhayul pun turut berdatangan untuk berdoa di sana.

“Sesuatu yang ada di dalam diri si perompak itu juga mengalir di darahku,” pikir Kiyomori; pendar-pendar cahaya di bawah pohon mulai tampak bagaikan api unggun yang menunjukkan jalan ke masa depannya, dan dia tiba-tiba ketakutan. Dia membalikkan badan dan bersiap-siap berlari.

“Ah, Heita dari Ise! Mengapa kau berlama-lama memandangi para gadis yang datang untuk berdoa di bawah pohon jelatang itu?”

Di tengah kegelapan, Kiyomori tidak bisa melihat siapa yang memanggilnya. Sejenak kemudian, orang asing itu melangkah maju dan menyambar bahu Kiyomori, lalu mengguncang-guncangnya dengan keras sehingga kepalanya terangguk-angguk tanpa daya.

“Ah, kamu—Morito!”

“Siapa lagi jika bukan Morito sang samurai? Bagaimana mungkin kau melupakanku! Apakah yang kaulakukan di sini, dan mengapa kau menatap dengan bingung begitu?”

“Eh, bingung? Aku tidak menyadarinya. Apakah mataku masih bengkak?”

“Ho, ho! Jadi, ada pertengkaran antara ibumu yang jelita dan si Mata Picing, dan kau tidak tahan menghabiskan waktu di rumah?”

Page 18: The Heike Story

“Tidak. Ibuku sakit”

Morito tertawa dingin. “Sakit?”

Morito adalah teman sekolahnya di Akademi Kekaisaran; meskipun berusia setahun lebih muda daripada Kiyomori, dia selalu tampak lebih tua dan dewasa. Kiyomori dan yang lainnya tertinggal jauh dari Morito dalam hal pelajaran, dan para guru mereka telah meramalkan karier yang brilian bagi murid kesayangan mereka ini.

Lagi-lagi Morito tertawa, “Aku tidak bermaksud lancang, tapi si nyonya, percayalah padaku, sakit akibat serangan cintanya kepada diri sendiri dan sikap angin-anginannya. Kau tidak perlu khawatir, sobatku; daripada bermuram durja, lebih baik kita pergi dari sini— untuk mencari sake.”

“Eh—sake?”

“Tentu saja. Perempuan Gion adalah ibu dari banyak anak lelaki, tapi dirinya tidak banyak berubah dari dahulu. Ayolah, jangan heran begitu.”

“Morito, siapakah si Perempuan Gion ini?” cecar Kiyomori.

“Apa kau tidak tahu tentang masa lalu ibumu yang anggun itu?”

“Tidak. Memangnya kau tahu?”

“Hmm—kalau kau mau, aku akan memberitahumu. Ayo, ikudah denganku. Biarkan saja si Mata Picing menjalani takdirnya. Ini adalah zaman susah, Heita. Mengapa kau membiarkan semangatmu padam ketika kemudaanmu sedang berkembang? Kupikir tidak ada yang

Page 19: The Heike Story

bisa menyusahkanmu. Berhentilah meratap-ratap dan bertingkah seperti perempuan itu!”

Maka, Morito pun sekali lagi mengguncang bahu Kiyomori dengan kasar, kemudian berlalu menyongsong kegelapan.

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o

Ruangan itu tidak berdinding: sekat-sekat kayu tipis memisahkannya dari ruangan di sebelahnya; sehelai kain usang menggantikan tirai, dan selembar tikar jerami tergantung di ambang pintu. Seorang tukang tidur sekalipun tidak akan sanggup tidur nyenyak di tengah keributan di ruangan sebelah—tabuhan gendang, gemerincing tembikar, dan nyanyian nyaring. Bunyi gedebuk seseorang yang jatuh mendadak mengguncang seluruh rumah; gemuruh tawa nyaring sejumlah pria dan wanita seketika menyusul.

“Apa! Di manakah aku? Sialan, pukul berapa sekarang?” Kiyomori sekonyong-konyong terbangun dengan bingung. Seorang wanita terlelap di sampingnya. Tidak salah lagi—ini adalah rumah bordil di Jalan Keenam. Morito telah membawanya kemari. Kurang ajar! Dia harus segera pulang.

Kebohongan apakah yang akan dikatakannya di rumah? Dia bisa melihat tatapan marah ayahnya, mendengar cecaran ibunya, dan rengekan kelaparan adik-adiknya. Bagus! Setidaknya, dia masih memegang sisa uang yang dipinjam dari pamannya. Dia akan pergi sekarang juga; Kiyomori telah tersadar sepenuhnya. Di manakah Morito—masih bersenang-senang? Dia akan memeriksa keramaian di ruangan sebelah.

Dia menginjak rambut hitam si wanita ketika melompatinya untuk mengintip melalui celah di kayu, yang memasukkan seberkas cahaya; beberapa buah lampu

Page 20: The Heike Story

minyak pinus menyala di ruangan tanpa perabot itu; tikar jerami melapisi lantai kayunya, dan tampaklah tiga atau empat orang pendeta berwajah bandit dengan tubuh berbalut jubah kehormatan, menyandang pedang panjang, memangku atau memeluk gadis-gadis penari yang ada di sana. Beberapa buah botol anggur kosong berserakan di lantai.

Jadi, Morito telah pergi, meninggalkannya sendirian di sini!

Dikuasai kepanikan, Kiyomori memakai kimono usangnya, menyandang pedangnya, dan bergegas meraba-raba jalan menuju pintu. Di tengah kegelapan, kakinya yang goyah menyandung peranti logam yang seketika berdentang nyaring.

Mendengar suara itu, para pendeta berhamburan keluar dari ruangan mereka, berseru, “Berhenti, berhenti! Siapa yang berani- beraninya menjatuhkan tombakku, lalu lari begitu saja? Tunggu, dasar begundal, yang di sana!”

Kiyomori sontak berhenti, ketakutan. Ketika dia menoleh, dilihatnya kilatan dingin tombak di depan matanya. Tidak diragukan lagi, pemegangnya adalah tangan lihai salah seorang pendeta kekar dari Gunung Hiei atau Kuil Oujoji. Tantangan itu datang secepat kibasan tangan Dewa Kematian. Seketika itu juga, aroma anggur lenyap bersama berbagai kenangan indah dan penyesalan, dan Kiyomori, memalingkan wajah, dengan segenap kekuatannya melesat menyongsong terpaan angin malam.

Ketika melihat rumahnya, hatinya seolah-olah melesak. Dilihatnya pagar anyaman ranting berlapis lempung yang telah retak dan tertutup rumput mati di sana-sini, juga atap gerbang utama yang telah miring. Apakah yang akan dilakukannya? Apakah yang akan dikatakannya? Malam

Page 21: The Heike Story

ini, Kiyomori bergidik hanya karena harus menemui ibunya; lebih baik dia menghadapi semburan ayahnya. Amarah mendidih di dalam diri Kiyomori; dia tidak akan sanggup mendengarkan suara ibunya; di lain waktu, dia akan meminta ibunya membujuk ayahnya, memohon ampunannya, dan bahkan mendambakan belaiannya. Adakah anak lain yang mengkhianati ibunya sendiri seperti yang dilakukannya malam ini? Ketika menatap dinding rumahnya, Kiyomori merasa muak dan terabaikan. Yakin dan emosional, berbagai pikiran gila melanda benak Kiyomori saat ini dan menjadikan kelopak mata dan keningnya berkedut Seandainya dia tidak mendengar tentang masa lalu ibunya! Seandainya dia tidak mendengar omongan Morito!

Penyesalan menghampiri Kiyomori—ingatannya akan Morito, ketika dia bermesraan dengan para wanita itu. Seluruh kejadian pada malam hari yang dihabiskan bersama minuman keras itu sekonyong-konyong kembali ke dalam ingatannya. Lebih jelas daripada semuanya, dia teringat pada kamar di rumah bordil itu- rambut gelap yang kusut dan tubuh lemas yang hangat. Apa bedanya jika wanita itu cantik atau buruk rupa? Kiyomori berumur dua puluh tahun dan untuk pertama kalinya mereguk rasa manis yang aneh dan tidak terlupakan, yang kemudian membanjiri seluruh indranya dengan kenikmatan. Pikirannya senantiasa tersedot kembali ke kenangan yang membara di dalam tubuhnya. Apakah aroma tubuh perempuan itu tertinggal di tubuhnya? Pikiran itu sejenak meresahkannya; kemudian, dengan satu lompatan besar, dia telah berada di sisi lain pagar. Baru kali inilah dia mendarat di halaman rumahnya dengan rasa bersalah yang mendalam. Kiyomori sudah terbiasa pulang dengan cara ini setelah berkeliaran secara diam- diam pada malam hari. Dia mendapati dirinya mendarat di petak sayur di belakang istal.

Page 22: The Heike Story

“Oh, Andakah itu. Tuan Muda Heita?”

“Hmm—kaukah itu Tua Bangka?” Kiyomori cepat-cepat menegakkan badan, merapikan rambutnya yang acak-acakan. Di hadapannya, berdirilah si pelayan tua, Mokunosuke, yang kemampuannya untuk membuatnya merasa bersalah nyaris menyamai ayahnya.

Lama sebelum Kiyomori lahir, Mokunosuk£ telah menjadi pelayan di rumah ini; kedua gigi serinya sekarang telah tanggal, dan meskipun orang-orang menggunjingkan majikannya yang malas dan mengolok-olok kemiskinan keluarga Heike, Mokunosuke yang setia seorang diri mempertahankan kehormatan rumah majikannya, menjalankan berbagai ritual di dalamnya, dan tidak pernah beristirahat dari berbagai tugas yang diembannya sebagai pelayan seorang samurai.

“Dan, Anda, Tuan Muda, apakah yang sedang Anda sendiri lakukan? Tidak ada setitik pun cahaya di jalan pada malam selarut ini,” katanya, membungkuk untuk memungut topi usang Kiyomori; sambil menyerahkan topi itu, mata Mokunosuke menelanjangi majikannya, hidungnya mencium sesuatu yang salah.

“Apakah Anda beradu mulut dengan para biksu berisik itu atau terlibat dalam pertikaian berdarah di persimpangan jalan? Meskipun saya sudah memohon kepada Tuan untuk tidur, beliau terus menolak. Ah, sudahlah—selamat datang, selamat datang.”

Kelegaan memenuhi mata si pelayan yang terpicing, namun Kiyomori menjadi gentar akibat tatapan penasaran yang ditujukan kepadanya. Jadi, ayahnya masih terjaga! Bagaimana dengan ibunya? Dia resah memikirkan apa yang sedang menantinya. Mokunosuke, tanpa menunggu majikannya bertanya, segera mengatakan, “Berhentilah

Page 23: The Heike Story

berpikir, Tuan Muda, dan jangan membuat keributan. Sekarang, tidurlah.”

“Tidak apa-apakah, Tua Bangka, jika aku tidak mendatangi kamar ayahku sekarang?”

“Besok pagi saja. Biarkanlah si Tua Bangka ini menemani Anda dan menguatkan alasan Anda.”

“Tapi, beliau tentu murka karena aku terlambat pulang.”

“Lebih daripada biasanya. Beliau memanggil saya ketika senja tiba. Beliau sepertinya sangat cemas dan memerintah saya untuk mencari si berandal itu di Shiokoji. Saya sebisa mungkin melindungi Anda.”

“Ya, dan kebohongan apakah yang telah kaukatakan?”

“Ingatlah, Tuan Muda, berbohong kepada Tuan menyakiti saya, namun saya mengatakan kepada beliau bahwa saya bertemu dengan paman Anda, yang mengabarkan bahwa Anda terpaksa beristirahat di rumah beliau gara-gara sakit perut dan akan segera pulang setelah pagi tiba.”

“Maafkan aku, Tua Bangka, maafkan aku.”

Kuntum-kuntum bunga plum di dekat istal berkilauan di tengah kegelapan malam. Aroma tajamnya sekonyong-konyong menyengat lubang hidung Kiyomori, dan seluruh wajahnya berkedut. Air mata yang panas membasahi bahu Mokunosuke ketika Kiyomori memeluk pria tua itu, yang berdiri kaku. Di bawah lekukan-lekukan tulang rusuk rentanya, sebuah gelombang perasaan tiba-tiba membuncah. Kasih sayang seorang pria tua kolot yang telah lama terpendam mendadak muncul untuk menyambut ledakan emosi dahsyat Kiyomori. Berdua, mereka menangis terisak-isak, saling berpelukan hingga keduanya jatuh ke tanah.

Page 24: The Heike Story

“Oh, Tuan Muda, apakah—apakah Anda sejauh itu mengandalkan saya?”

“Kau hangat. Dengar, Mokunosuke, hanya badan rentamu itulah yang terasa hangat bagiku. Aku sendirian seperti seekor burung gagak kesepian di tengah terpaan angin musim dingin. Kau tahu sendiri seperti apa ibuku. Ayahku bukan ayah kandungku— Heike Tadamori bukan ayahku!”

“Eh, siapakah yang mengatakan hal itu?”

“Untuk pertama kalinya, aku mendengar rahasia tentang ayahku! Morito dari Kesatuan Pengawal yang memberitahuku.”

“Ah—si Morito itu!”

“Ya, Morito. Dengar, katanya, “Si Mata Picing bukan ayah kandungmu. Ayah kandungmu adalah Kaisar Shirakawa, dan kau, putra seorang kaisar, kelayapan dengan perut kosong dalam balutan kimono usang dan sandal aus. Betul-betul pemandangan hebat!”

“Cukup! Jangan katakan apa-apa lagi,” Mokunosuke menangis, mengibas-ngibaskan tangannya seolah-olah untuk membungkam Kiyomori. Tetapi, Kiyomori menyambar pergelangan tangannya dan memuntirnya dengan kasar.

“Masih ada lagi—dan kau, Tua Bangka, tahu lebih banyak tentang hal ini! Mengapa kau selama ini menyembunyikan semuanya dariku?”

Kiyomori memelototi pelayan tua itu. Mokunosuke, menahan rasa sakit di pergelangan tangannya, menunduk ketakutan; kata-kata mengalir dari lehernya yang tercekat, “Nah, nah, tenangkanlah diri Anda. Jika memang begitu adanya, maka Mokunosuke juga harus bicara, meskipun

Page 25: The Heike Story

saya tidak mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Morito dari Kesatuan Pengawal kepada Anda.”

“Dengar, inilah yang dikatakannya: ‘Jika kau bukan putra mendiang Kaisar Shirakawa, maka bisa dipastikan bahwa kau adalah anak salah satu pendeta mesum dari Gion. Entah kau putra kaisar atau keturunan pendeta mesum, aku tidak membuat kesalahan dalam memberitahumu bahwa kau bukan anak kandung Tadamori.’”

“Tahu apa si bocah Morito itu? Ilmu pengetahuan telah mengaduk-aduk kepalanya, dan sekarang dia menganggap semua orang bodoh. Padahal, orang-orang menyebutnya sok tahu. Anda gegabah karena memercayai pemuda berotak dangkal itu, Tuan Muda.”

“Kalau begitu, Tua Bangka, bersumpahlah untuk memberitahuku apakah aku anak kaisar atau pendeta nista. Bicaralah! Aku menantangmu untuk memberitahuku!”

Kiyomori bertekad untuk mengorek apa pun yang bisa dikorek dari pria tua itu. Sesungguhnya, Mokunosuke adalah satu-satunya pihak ketiga dalam rahasia ini, dan wajah polosnya dengan jelas menunjukkan bahwa dia tahu.

--o0d-w0o--

Bab II - PEREMPUAN GION Heiki Kiyomori lahir pada 1118. Ayahnya, Tadamori,

ketika itu berusia dua puluh tiga tahun. Meskipun sekarang Tadamori dikenal dengan julukan si Mata Picing, diolok-olok karena kemiskinannya, menjadi bahan tertawaan rakyat jelata, dan dipandang rendah oleh para anggota klan Heike yang lain, keadaannya tidak selalu seperti itu. Ayah

Page 26: The Heike Story

Tadamori telah mengabdi kepada tiga orang kaisar, menjadi kesayangan dan pelayan setia mereka, dan Tadamori tumbuh dewasa di tengah-tengah keindahan istana. Ketika para samurai Heike dipanggil untuk bertugas di Kesatuan Pengawal Kaisar, dan jumlahnya perlahan-lahan melampaui samurai Genji, Tadamori dan ayahnya menjadi sosok penting. Kaisar Shirakawa memilih mereka untuk menyingkirkan para samurai Genji dari Istana; mengadu ayah dan anak itu melawan pasukan biksu bersenjata yang tangguh, dan menempatkan keduanya di Istana Kekaisaran untuk mengawasi perkembangan pengaruh para bangsawan Fujiwara.

Setelah turun tahta dan dikenal sebagai Mantan Kaisar Shirakawa, penguasa uzur itu menjalani upacara penahbisan dengan membotaki kepalanya untuk menjadi seorang biksu dan menghabiskan masa tuanya di Istana Kloister. Di sana, dia membentuk Pemerintah Kioister, pemerintahan yang terpisah dari pemerintah pusat, sebuah anomali yang tidak saja menjadikannya saingan bagi kaisar yang sedang berkuasa, tetapi juga memperuncing konflik di antara klan Genji dan Heike.

Setelah ayahnya meninggal, Tadamori menggantikan posisinya, dan Mantan Kaisar meletakkan kepercayaan lebih besar kepada Tadamori yang rendah hati dengan menunjuknya sebagai pengawal pribadinya. Untuk melakukan kunjungan dari istana di jalan Barat Ketiga ke Gion, di sisi lain Sungai Kamo, Mantan Kaisar selalu memanggil Tadamori dan pelayannya, Mokunosuke, untuk mengawalnya. Mantan Kaisar melakukan kunjungan diam-diam ini pada malam hari untuk menemui gundiknya, karena meskipun usianya telah enam puluhan, kesehatannya masih prima, dan nafsu birahinya yang

Page 27: The Heike Story

menyala-nyala menyamai semangatnya dalam menjalankan Pemerintah Kioister bentukannya.

Tidak ada yang aneh mengenai Mantan Kaisar yang memiliki wanita simpanan; itu adalah kebiasaan di kalangan bangsawan, mendatangi wanita yang berhasil memikat hati mereka dan menjadikannya kekasih tanpa ikatan. Kendati begitu, ada alasan mengapa Mantan Kaisar merahasiakan identitas gundiknya, karena gadis itu adalah seorang geisha, dan keadaan ini bisa mencegahnya diterima untuk menjadi geisha di Istana. Tidak seorang pun tahu kapan dan di mana Mantan Kaisar yang telah berusia uzur itu pertama kali melihatnya, namun sempat terdengar desas-desus bahwa gadis itu adalah putri seorang bangsawan, Nakamikado. Hanya ada empat atau lima orang bangsawan yang mengabdi kepada Mantan Kaisar yang tahu bahwa sebuah rumah telah dibangun di Gion, di dalam sebuah taman berpagar kayu cedar, dan bahwa seorang wanita cantik, yang mereka sebut “Perempuan Gion”, tinggal di sana; setahu mereka, bagaimanapun, wanita itu adalah gundik seorang bangsawan istana yang telah pensiun, dan tinggal di sana demi kesehatannya.

Perempuan Gion Inilah yang kemudian menjadi ibu Kiyomori. Tidak diragukan lagi, Kiyomori lahir dari rahimnya. Sedangkan ayahnya, hanya wanita itulah yang tahu tentang rahasia itu, dan dia memilih untuk menyimpannya rapat-rapat, membiarkan putranya menderita karenanya hingga dua puluh tahun kemudian.

Malam gelap gulita dan gemerisik dedaunan berbaur dengan rintik gerimis musim gugur, menghasilkan percikan-percikan dingin di sepanjang jalanan becek, kali, dan perbukitan yang rimbun. Di malam yang kelam ini, Mantan Kaisar, dikawal oleh Tadamori dan pelayannya Mokunosuke, berangkat ke Gion.

Page 28: The Heike Story

Dedaunan yang basah tiba-tiba memancarkan pendar merah mengancam yang kemudian menyorot di antara pepohonan. Mantan Kaisar berlutut, gemetar melihat pemandangan itu.

“Ha! Ada iblis!”

Sesosok penampakan dengan kepala raksasa muncul di antara pepohonan, memamerkan deretan gigi tajam.

“Serang, Tadamori! Serang!” Mantan Kaisar berseru panik. Mokunosuke menjawab, namun Tadamori berlari maju tanpa suara sambil mengacungkan tombaknya. Ketiganya tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan perjalanan karena sosok yang mereka takuti itu ternyata hanyalah seorang pendeta bertopi jerami besar yang baru saja menyalakan lampu minyaknya sembari menuruni bukit dari Gion.

Petualangan malam itu sepertinya sangat menyenangkan hati Mantan Kaisar. Dia berulang kali menceritakan kembali tentang pertemuannya dengan si pendeta kepada para pelayannya, dan tidak pernah lupa memuji kesigapan Tadamori dalam setiap ceritanya, karena seandainya Tadamori bergerak lebih lamban, bukankah pendeta itu akan mengembuskan napas terakhir di tangan mereka? Para pejabat istananya, yang membanggakan kepandaian diri mereka dalam memahami keadaan, saling menggeleng: sulit bagi mereka untuk menerima begitu saja cerita Yang Mulia. Bukankah sejak malam itu dia menghentikan kunjungannya kepada Perempuan Gion? Dan yang lebih membingungkan adalah bahwa beberapa saat kemudian, dia menyerahkan wanita simpanannya kepada Tadamori untuk dijadikan istri. Dan Tadamori, sejak menikah dengan wanita itu, menjadi kehilangan semangat hidup. Terlebih lagi, Tadamori tidak pernah sedikit pun menceritakan tentang petualangannya malam itu. Apakah Mantan Kaisar hanya

Page 29: The Heike Story

mengada-ada? Ada lebih banyak ruang untuk menerka-nerka ketika kurang dari sembilan bulan dari waktu ketika Tadamori memboyong wanita itu ke Imadegawa, dia melahirkan seorang bayi laki-laki. Jadi, kisah Yang Mulia tentang pendeta pada malam yang basah itu entah bagaimana berkesan sulit dipercaya, sebuah bualan, mungkin ….

Bahkan mereka yang paling penasaran sekalipun tidak berani untuk mencari tahu lebih banyak mengenai kejadian itu. Tindakan semacam itu tidak dipandang baik di kalangan para bangsawan; terlebih lagi, mereka tahu bahwa spekulasi seperti itu bisa menyebarkan isu-isu buruk, yang lebih baik dihindari demi keselamatan mereka sendiri. Mereka yang bijaksana hanya bisa tersenyum penuh arti.

Pada waktu itu, Mitsuto Endo, paman Morito, bekerja sebagai Pengawal di Istana. Delapan belas tahun kemudian, dia menceritakan kisah ini kepada keponakannya, membukanya dengan perkataan, “Bukankah putra sulung Tadamori, Heita Kiyomori, adalah teman sekolahmu? Aku penasaran apakah Tadamori masih percaya bahwa dia mendapatkan kehormatan dari Mantan Kaisar ketika beliau menyerahkan Perempuan Gion kesayangannya untuk dijadikan istri olehnya, dan tak lama kemudian perempuan itu melahirkan Kiyomori? Kalau memang begitu, berarti dia pria bodoh yang malang! Kemarin, aku bertemu dengan seorang teman yang mengenal dekat Perempuan Gion. Saat ini, pria itu tentu sudah berumur lima puluhan dan tinggal di salah satu kuil di dekat Gion, tempatnya dikenal sebagai si pendeta mesum. Kakunen. Dia menyatakan bahwa dirinya adalah ayah kandung Kiyomori.”

“Eh—benarkah itu?”

Ketertarikan Morito tiba-tiba terpancing begitu mendengar cerita tentang kawannya, karena dia sendiri

Page 30: The Heike Story

pernah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa Kiyomori sesungguhnya adalah putra seorang kaisar. Dengan penuh semangat, Morito bertanya, “Kata Paman, cerita ini berasal dari Kakunen. Jadi, apakah menurut Paman dia mengatakan kebenaran?”

“Dia menceritakannya ketika kami minum-minum anggur, ketika kami sedang menyombong tentang wanita-wanita yang pernah kami taklukkan. Waktu itulah si Kakunen ini membisikkan kepadaku bahwa dia tidak pernah menceritakan tentang rahasia ini kepada siapa pun, dan aku mendengarnya dengan telingaku sendiri.”

“Luar biasa!”

“Aku sendiri juga kaget. Pada awalnya aku tidak percaya bahwa seorang pendeta yang hidup asal-asalan sekalipun bisa berbohong seperti itu. Lagi pula, cerita ini sangat meyakinkan …”

Kakunen akhirnya mengungkapkan kisah berikut kepada paman Morito: Kakunen pernah mengintip Perempuan Gion melalui sebuah celah di pagar kayu cedar dan terbakar birahi. Karena perempuan itu adalah kesayangan Yang Mulia, tidak ada jalan untuk mendekatinya, dan selama beberapa waktu, dia berkeliaran di dekat rumahnya, menguntit si Perempuan Gion setiap kali dia keluar pada pagi dan malam hari, hingga pada suatu hari, Kakunen mendapatkan kesempatan untuk menyergapnya.

Karena Mantan Kaisar yang telah uzur jarang datang, dan Kakunen adalah seorang pendeta baru berwajah tampan yang masih berumur tiga puluh tahun dan tinggal di sebuah kuil yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya, Perempuan Gion, setelah selama waktu yang singkat bertahan, segera menyerah terhadap bujuk rayu si pendeta muda.

Page 31: The Heike Story

Pada malam musim gugur ketika hujan sedang turun, saat Mantan Kaisar sepertinya tidak mungkin berkunjung, Kakunen diam-diam keluar dari kuilnya untuk menemui Perempuan Gion, dan dia nyaris berhadapan secara langsung dengan Yang Mulia dan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Seandainya Kakunen tidak bisa dipercaya, maka anak siapakah yang kemudian lahir di bawah atap rumah Tadamori?

Mitsuto meminta keponakannya berjanji untuk tidak menceritakan kembali kisah ini kepada siapa pun, dan Morito pun menyimpannya rapat-rapat hingga dia tanpa sengaja bertemu dengan Kiyomori yang berpakaian compang-camping dan bertampang memelas di Shiokoji. Dia pun tidak sanggup lagi menyimpan rahasia itu. Sebagian didorong oleh hasrat untuk memancing kemarahan Kiyomori, Morito mengundangnya untuk minum-minum dan berbagi cerita.

“Tua Bangka, aku sudah tahu semuanya sekarang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikannya dariku. Matamu sendiri menjadi saksi atas apa yang terjadi pada malam dua puluh tahun yang lalu. Apakah Morito berbohong atau berkata jujur? Tidak, aku memohon kepadamu, katakanlah kepadaku, siapa ayahku yang sesungguhnya! Tua Bangka, kumohon, katakanlah yang sesungguhnya kepadaku, agar aku tahu darah siapa yang mengaliri nadi dan takdirku! Aku memohon kepadamu … aku memohon kepadamu!”

Suara percakapan di bawah naungan bayangan istal menghilang. Sesekali terdengar isak tangis. Mokunosuk& tidak mengucapkan sepatah kata pun. Awan timur membelah di atas pucuk pohon plum, dan dinginnya angin dini hari terasa menusuk tulang.

o0odwkzo0odeo0odwkzo0o

Page 32: The Heike Story

Mokunosuke duduk diam, menunduk dalam-dalam bagaikan sebentuk patung yang dipahat dari batu, dan Kiyomori, yang bernapas dengan berat, tetap menatap tajam pria tua itu. Hanya detak teratur jantung merekalah yang sepertinya memecahkan keheningan menyiksa yang menggantung di atas tanah beku pada pagi buta itu.

Mokunosuke mengerang panjang lantaran memikirkan tentang kisah lama yang harus diungkapkannya.

“Saya akan menceritakannya, karena Anda memerintah saya, namun pertama-tama, tenangkanlah diri Anda terlebih dahulu.” Kemudian, dia pun memulai:

Dua puluh tahun yang lalu, tahun ketika Kiyomori lahir, pada suatu malam gelap yang basah, Mokunosuke menjadi saksi sebuah peristiwa. Dia bersama majikannya, Tadamori, sedang mengawal Mantan Kaisar dan melihat apa yang terjadi di bukit di dekat Gion. Tetap saja, siapakah yang akan memercayai kebenaran cerita dari sebuah peristiwa yang terjadi dua puluh tahun silam? Bahkan Mokunosuke sendiri meragukan apakah Kiyomori akan memercayai ceritanya, karena meskipun sebagian fakta telah terungkap dari cerita Morito, begitu pula dari desas-desus yang telah lama beredar—malam yang basah, si pendeta, kesigapan Tadamori— yang disampaikan oleh Mokunosuke ternyata berbeda. Malam itu di Gion, Mokunosuke melihat seorang pendeta tergesa-gesa melarikan diri dengan melompati pagar yang mengelilingi rumah Perempuan Gion. Malam itu pula dia menyadari bahwa ada masalah di antara Mantan Kaisar dan gundik kesayangannya. Dia mendengar isakan Perempuan Gion; Mantan Kaisar memanggil Tadamori; Yang Mulia berbicara dengan nada marah dan kembali ke Istana lama sebelum fajar merekah. Semua kejanggalan tersebut mewarnai rangkaian peristiwa malam itu. Desas-desus yang kemudian beredar, bahkan setelah

Page 33: The Heike Story

dicermati, tetap tidak menyiratkan kebenaran. Pada tahun yang sama. Perempuan Gion menikah dengan Tadamori dan melahirkan seorang bayi lelaki di rumahnya, sebuah fakta yang tidak terbantahkan, meskipun tidak juga memberikan petunjuk mengenai siapa ayah kandung bayi itu. Tetapi, ketika si anak dengan putus asa memohon kepadanya untuk mendengar cerita yang sesungguhnya, Mokunosuke tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa dugaannya sendiri tidak boleh ditambahkan pada misteri yang meliputi putra majikannya. Melakukan itu sama saja mengkhianati kesetiaannya kepada majikan samurainya.

Layaknya seorang bocah yang telah ditenangkan namun masih menangis terisak-isak, Kiyomori, dalam dekapan si pelayan tua, membiarkan dirinya dibimbing ke kamarnya.

“Sekarang, tidurlah,” kata Mokunosuke. “Biar saya saja yang berbicara dengan Tuan pagi nanti; Mokunosuke akan menjelaskan semuanya. Jangan khawatir.” Seolah-olah memperlakukan anaknya sendiri, Mokunosuke menata bantal dan membentangkan selimut di atas tubuh Kiyomori. Berlutut di dekat kepala Kiyomori, pelayan tua itu berkata, “Sekarang, biarkanlah seluruh masalah Anda larut dalam mimpi. Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria. Tegarlah, karena Anda gagah perkasa. Pikirkanlah tentang langit dan bumi sebagai ibu Anda—ayah Anda. Tidakkah pikiran itu menenangkan Anda?”

“Tua Bangka, jangan merecokiku. Biarkanlah aku tidur dan melupakan semua ini.”

“Ah, baiklah, kalau begitu, hati renta ini juga sudah tenang.” Menoleh sekali lagi ke arah Kiyomori yang telah tertidur, Mokunosuko membungkuk, menyibakkan tirai penyekat yang menggantung di ambang pintu, dan melangkah ke luar.

Page 34: The Heike Story

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o

Kiyomori tidak menyadari seberapa lama dia terlelap. Seseorang mengguncang tubuhnya dan memanggil-manggilnya. Dia berusaha membuka matanya yang berat. Kerai pintu yang telah dinaikkan menunjukkan bahwa waktu telah jauh melebihi tengah hari. Tsunemori berdiri di dekat ranjangnya; kegugupan terpancar dari wajah tampannya ketika dia membungkuk di atas kakaknya, mengulangi perkataannya, “Ayo … kau harus ikut denganku. Karena dirimulah Ayah dan Ibu …”

“Apa—aku? Ada apa denganku?”

“Mereka mulai bertengkar pagi tadi, hingga makan siang pun mereka lupakan. Sepertinya pertengkaran kali ini tidak akan berakhir.”

“Mereka lagi-lagi bertengkar? Apa hubungannya semua itu denganku?”

Kiyomori meregangkan kedua tangannya dan menguap lebar-lebar, berkata dengan tegas. “Kuulangi lagi. Apa hubunganku dengan pertengkaran mereka?”

Tsunemori menjawab dengan putus asa, “Jangan berkilah. Kaulah penyebab pertengkaran mereka. Dengarkanlah adik-adik kita yang merengek-rengek dan menangis kelaparan!”

“Di mana Mokunosuke?”

“Dia dipanggil ke bilik Ayah beberapa waktu yang lalu, dan Ibu sepertinya memerintahnya melakukan sesuatu.”

“Baiklah, kalau begitu, aku akan ikut denganmu,” jawab Kiyomori, turun dari ranjang dan melontarkan tatapan kesal ke arah adiknya yang penakut. “Berikan kimonoku—kimonoku.”

Page 35: The Heike Story

“Kau sudah memakainya.”

“Oh, jadi aku tertidur dengan kimonoku, ya?” kata Kiyomori, mengeluarkan sisa uang semalam sebelumnya dari balik ikat pinggangnya. Menyodorkan sebagian uang itu kepada Tsunemori, dia berkata, “Ini untuk membeli makanan bagi adik-adik kita. Suruhlah Heiroku melakukannya untukmu.”

Tsunemori menolak. “Kita tidak bisa melakukan itu. Itu akan membuat ibu marah, lalu—”

“Peduli amat. Aku akan melakukannya!”

“Tapi, kau sekalipun—”

“Dasar bodoh! Bukankah aku anak sulung dan berhak memberikan perintah?”

Sambil melemparkan sejumlah uang ke pangkuan adiknya, Kiyomori keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terdengar melintasi beranda. Di sumur dekat dapur, dia menenggak air segar yang baru saja ditimba; setelah itu, dia membasuh wajah, mengelapnya dengan lengan kimono usangnya, lalu berjalan melintasi halaman.

Bilik Tadamori, yang terletak di sebuah sayap yang sama bobroknya dengan rumah utama, berada di sisi lain halaman dalam. Kiyomori naik ke beranda yang telah reyot, merasakan jantungnya berdegup kencang. Dari balik kerai yang terlipat dia berkata, “Maafkan aku karena pulang terlambat semalam. Aku sudah melaksanakan perintah Ayah.”

Segera setelah bayangannya melintasi ambang pintu, keheningan menyambut Kiyomori, dan tiga pasang mata serentak tertuju kepadanya. Mokunosuke langsung menunduk; Kiyomori sendiri juga menghindari tatapan pelayan tua itu; keduanya tidak sanggup saling menatap.

Page 36: The Heike Story

Memaksa dirinya untuk tetap tenang, Kiyomori menghampiri kedua orangtuanya dengan sikap ceria, dan tanpa basi- basi menyerahkan uang yang dibawanya kepada mereka.

“Ini uang pinjaman dari Paman—namun tidak semuanya. Sebagian di antaranya kuhabiskan saat aku bertemu dengan salah seorang temanku tadi malam, dan sebagian lagi kuberikan kepada Tsunemori agar dia bisa membeli makanan untuk adik-adik, yang saat ini sedang menangis kelaparan. Ini sisanya …”

Sebelum Kiyomori menyelesaikan ucapannya, perubahan drastis telah tampak di air muka Tadamori, seolah-olah rasa malu, sedih, dan marah bergejolak di dalam dirinya. Dia melirik sejumlah kecil uang yang baru saja diterimanya, dan bekas luka di kelopak matanya tampak lebih buruk daripada biasanya, berkerut merut dalam upaya menahan air mata.

“Heita! Singkirkan uang itu! Apa maksudmu melemparkannya begitu saja bahkan sebelum kau menyalami kami?” desis Yasuko, yang duduk tegak dan tegang di samping suaminya, melirik tajam ke arah Kiyomori. (jadi, inilah wanita yang dijuluki Perempuan Gion. yang diberikan oleh Nakamikado kepada Tadamori untuk dinikahi, seolah-olah dia adalah putrinya!)

Ketika menatap ibunya, Kiyomori merasakan sesuatu terbakar di dalam dirinya dan membuatnya gemetar. “Apa kata Ibu? Jika kalian tidak membutuhkan uang itu, mengapa Ibu menyuruhku meminjamnya seolah-olah aku seorang pengemis?”

“Diam! Kapankah aku pernah menyuruhmu melakukan itu? Itu adalah perbuatan ayahmu!”

Page 37: The Heike Story

‘Tapi, bukankah uang itu akan dipakai untuk membayar keperluan keluarga miskin ini? Apa Ibu tidak akan menggunakannya?”

“Tidak,” kata Yasuko, menggeleng dengan tegas, “aku tidak membutuhkan pertolongan mengenaskan seperti ini.” Amarah menjadikan wajahnya memerah, menunjukkan usianya yang sudah tiga puluhan.

Daun telinga caplang Kiyomori memerah; sirat mengancam tampak di matanya; tangan yang terkepal di pangkuannya gemetar hebat seolah-olah dia telah siap untuk bangkit dan memukul ibunya.

“Kalau begitu, Ibu, apakah Ibu tidak membutuhkan makanan sejak saat ini—besok?”

‘Tidak, Kiyomori, makanan biasa tidak akan memuaskanku …. Ah, jadi kau juga datang, Tsunemori? Kalau begitu, dengarkanlah, kalian berdua. Aku minta maaf kepada kalian, namun hari ini, akhirnya aku diizinkan untuk meninggalkan Tadamori. Kami sudah bukan suami dan istri lagi. Sesuai adat istiadat, anak-anak lelaki akan tinggal bersama ayah mereka. Inilah terakhir kalinya kalian bertemu denganku.” Setelah tertawa renyah, dia melanjutkan, “Kesedihan kalian akan lenyap lebih cepat daripada kabut. Kalian selalu memihak ayah kalian, yang kalian yakini telah diperlakukan secara tidak adil.”

Kiyomori terkejut. Dia menatap ibunya lekat-lekat. Ibunya seharusnya sedang sakit, namun ternyata dia berpakaian lengkap. Seperti kebiasaannya, Yasuko merias wajahnya dengan cermat; rambutnya diperciki minyak wangi; alisnya dipoles dengan rapi; kimono bermotif ceria yang pantas dikenakan oleh seorang gadis berumur dua puluhan membungkus erat tubuhnya. Ada apakah ini? Ini bukan pertengkaran biasa. Ancaman yang paling kerap

Page 38: The Heike Story

dilontarkan oleh Yasuko adalah pergi meninggalkan mereka—untuk selamanya—dan baik suami maupun anak-anaknya telah terbiasa mendengarnya, namun baru kali inilah dia mengucapkannya dalam balutan pakaian untuk bepergian dan dengan sangat tenang.

Tadamori menerima keputusan itu dengan pasrah. Kiyomori sangat resah. Dia membenci ibunya, namun pikiran bahwa wanita itu adalah darah dagingnya sendiri membuatnya gundah. Menoleh ke arah Tadamori, dia berkata dengan bimbang:

“Ayah, benarkah itu—yang dikatakan oleh ibu?”

“Begitulah. Kalian semua telah terlalu lama terlibat dalam masalah ini, namun ini benar, dan inilah yang terbaik untuk kalian semua.”

Kiyomori tercekat. “Mengapa—tapi, mengapa?” Dia mendengar adiknya menahan isakan. “Tapi, ini tidak boleh terjadi, Ayah, dengan semua adik-adikku …”

Kesan kekanak-kanakan yang terdengar dalam suara Kiyomori menghibur Tadamori, yang menyunggingkan senyuman. “Heita, ini tidak apa-apa dan untuk tujuan yang terbaik.”

“Apanya yang tidak apa-apa? Apa yang akan terjadi pada kita semua?”

“Yasuko akan berbahagia. Sedangkan kalian semua—sepertinya inilah yang terbaik. Tidak perlu meributkannya. Jangan khawatir.”

“Tapi, kata Tsunemori, akulah penyebab semua ini. jika ini memang salahku, biarkanlah aku memperbaikinya.” Menoleh ke arah ibunya, Kiyomori memohon, “Bagaimana dengan adik-adikku yang malang? Aku berjanji, Ibu, untuk

Page 39: The Heike Story

melakukan apa pun yang bisa menyenangkan hati Ibu. Hanya saja, pikirkanlah hal ini sekali lagi!”

Ketika berbicara, Kiyomori merasa bingung dan malu akibat kekuatan perasaannya kepada ibunya. Mokunosuk€ dan Tsunemori terisak-isak nyaring. Kiyomori yang gundah juga tidak sanggup menahan tangis, meskipun Tsunemori dan Yasuko tetap duduk di hadapan mereka dengan dingin dan bergeming.

Tadamori tiba-tiba menukas tajam, “Cukup, hentikan tangisanmu! Hingga saat ini, aku bertahan demi anak-anakku, namun sekarang aku telah terbangun dari mimpi-mimpiku. Aku memang bodoh! Selama dua puluh tahun terakhir ini, aku, Heike Tadamori. membiarkan seorang wanita memerintah-merintahku dan menjalani kehidupanku dengan perasaan tersiksa. Aku benar-benar bodoh! Aku tidak bisa menyalahkanmu, Heita, untuk kebodohanmu,” dan dia pun tertawa pahit.

Menanggapi sindiran ini, Yasuko, yang duduk tegak dengan sombong, membalas dengan wajah merah padam, “Mengapa kau tertawa? Kau menghinaku! Tertawa saja sesukamu, sindir saja aku. Seandainya Yang Mulia masih hidup saat ini, kau sekalipun tidak akan berani mempermalukanku seperti ini! Ingatlah bahwa Yang Mulia telah menunjuk Nakamikado untuk menjadi orangtua angkatku!”

Tawa Tadamori semakin hebat. “Kapan-kapan, aku akan berterima kasih kepada Nakamikado karena telah memberikan kehormatan kepada Tadamori yang miskin untuk menjadi suami perempuan ini selama bertahun-tahun.”

Yasuko melayangkan tatapan tajam ke arah Tadamori dan, dengan kemarahan yang sengaja dikerahkannya agar

Page 40: The Heike Story

kata-katanya bisa melekat di ingatan suaminya, berkata, “Apa kau tidak melihat bahwa aku telah berkali-kali melahirkan anak-anakmu? Adakah sehari saja yang kauhabiskan untuk menyenangkan hatiku? Dua puluh tahun—dan meskipun aku membencimu, cintaku kepada anak-anakku menahanku di sini! Kedua orang ini—Heita dan Mokunosuke, tidakkah mereka menggunjingkanku dengan jahat di dekat istal pada pagi buta? Dan tidakkah mereka berbicara dengan seenaknya tentang almarhum Yang Mulia, mengatakan bahwa Perempuan Gion memiliki kekasih gelap—seorang pendeta mesum? Dan si tua Mokunosuke ini menyatakan bahwa dirinya melihat semuanya, lalu mereka berdua memikirkan siapakah ayah kandung Heita dari ketiga pria yang ada! Aku melihat dan mendengar mereka bergunjing seperti orang gila, dan aku memutuskan bahwa aku tidak akan menghabiskan sehari pun lagi di rumah ini! Untuk apa aku tinggal di sini, jika anakku sendiri telah berani melawanku?”

“Cukup, cukup!” tukas Tadamori. “Bukankah kita sudah membicarakannya sepagian ini? Bukankah kau sudah memanggil Mokunosuke kemari dan menghinanya sesuka hatimu? Semua ini tidak ada gunanya—hentikanlah!”

“Kalau begitu, bersaksilah untukku!”

“Tapi, bukankah aku tadi sudah mengatakan bahwa Heita Kiyomori adalah anak kita?”

“Heita, kaudengar itu?” kata Yasuko, mengalihkan tatapan tajamnya ke arah Mokunosuke. “Dan, kau juga mendengarnya, kau dengan mulut skandalmu! Tidak ada seorang pun yang bisa menyangkal bahwa aku adalah kesayangan Yang Mulia, tapi bajingan manakah yang sudah menceritakan kepadamu kabar angin basi dari dua puluh tahun yang lalu? Tadamori sudah menyangkalnya,

Page 41: The Heike Story

dan si tua Mokunosuke pura-pura tidak tahu. Jadi, Heita, kau tidak akan berbohong kepada ibumu, bukan?”

“Tidak, hanya aku sendirilah yang terlibat di dalam masalah ini. Ibu ….Aku harus mengetahui siapa ayah kandungku.”

“Bukankah ayahmu yang baik hati baru saja memberitahumu?”

“Beliau melakukannya lantaran kasihan kepadaku. Meskipun aku tahu siapa ayah kandungku, aku akan selalu menganggap pria ini sebagai ayahku. Aku tidak akan membiarkan Ibu pergi sebelum aku tahu semuanya,” Kiyomori menangis, menyambar lengan jubah Yasuko dan menekankannya ke matanya yang sembap, lalu memohon, “Bicaralah, Ibu tahu! Anak siapakah aku?”

“Dia sudah gila, anak ini!”

“Aku mungkin memang gila, namun gara-gara dirimulah pria ini, ayahku, telah menghabiskan dua puluh tahun yang panjang dalam kesendirian, menyia-nyiakan masa mudanya! Dasar kau wanita serigala mengerikan!”

“Apa maksudmu mengucapkan itu—kepada ibumu sendiri?”

“Kau barangkali memang ibuku, tapi kau sudah membuatku marah besar! Kau jahat dan nista, dan aku membencimu!”

“Dan apa yang kauharap akan kulakukan sekarang ini?”

“Aku akan menghajarmu! Ayahku tidak akan melakukan itu—dia tidak pernah berani memukulmu selama dua puluh tahun ini!”

“Para dewa akan menghukummu, Heita!”

“Bagaimana mungkin?”

Page 42: The Heike Story

“Pada masa itu, aku adalah kesayangan Yang Mulia. Seandainya aku tetap tinggal di Istana, aku mungkin akan menjadi wanita terhormat, tapi aku merendahkan derajatku sendiri dengan tinggal di rumah reyot ini! Dan memikirkan bahwa kau berani menghajarku— ini sama saja dengan pengkhianatan kepada Yang Mulia! Aku tidak akan bisa memaafkanmu, meskipun kau adalah anakku sendiri!”

Pekikan nyaring Kiyomori memenuhi ruangan. “Dasar bodoh! Bagaimana jika Yang Mulialah orangnya!” Dengan seluruh tenaganya, ia menghantamkan tinju ke pipi ibunya dan menyaksikan wanita itu jatuh terguling.

‘Tuan Muda telah kehilangan akal sehat!”

“Hoi, kau yang di sana! Kemarilah, Tuan Muda kerasukan iblis!”

“Uhadah amukannya! lolong!”

“Cepatlah!”

Dan keributan pun terdengar di seluruh penjuru rumah.

Meskipun sekarang telah terjerat kemiskinan, Tadamori pernah menjalankan pemerintahan setingkat provinsi, dan sebagai seorang Heike, dia memiliki jabatan di Kesatuan Pengawal Kekaisaran di Istana Kioister. Meskipun senantiasa hidup dalam keadaan nyaris kelaparan, dia bersikeras untuk tetap mempertahankan lima atau enam belas pelayannya, salah seorang di antaranya adalah anak lelaki Mokunosuke, si pelayan, Heiroku.

Heiroku tahu bahwa ayahnya dipanggil ke bilik majikannya pagi itu dan, mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, dia berlutut di balik semak-semak di dekat halaman. Begitu mendengar jeritan dan hiruk pikuk di bilik majikannya, dia langsung melompat dari tempat persembunyiannya, memanggil para pelayan lainnya, lalu

Page 43: The Heike Story

melesat ke halaman dalam, menyadari sembari berlari bahwa keributan itu hanya sejenak terdengar.

Yasuko berbaring menelungkup di tanah, seolah-olah baru saja terjatuh dari beranda. Mantel ungu kemerahan, juga jubah putih, hijau, dan beraneka warna yang dikenakannya teronggok bersama rambutnya yang acak-acakan, dan dia tidak berupaya bangkit. Kiyomori berdiri membusungkan dada, sementara ayahnya mencengkeram erat pergelangan tangannya. Tsunemori dan Mokunosuke, dengan ekspresi lega sekaligus bingung, sepertinya tidak tahu harus melakukan apa.

Mendengar derap-derap langkah yang semakin mendekat, Yasuko, yang tergeletak lemas, mengangkat kepalanya dan memekik, “Kau yang di sana, panggilkan kereta untukku! Kirimlah seorang kurir untuk menceritakan tentang semua ini kepada orangtuaku! Oh, betapa memalukannya

Seorang pelayan berlari untuk memanggil kereta dari istal terdekat, dan seorang pelayan lainnya berlari ke kediaman keluarga Nakamikado di Jalan Keenam. Tadamori dengan malas menyaksikan seluruh keributan ketika para pelayan tergesa-gesa menjalankan berbagai perintah Yasuko.

Kereta telah datang, dan para pelayan menolong Yasuko yang berjalan terhuyung-huyung ke gerbang. Selama beberapa saat, lengkingan memilukannya berbaur dengan isak tangis Tsunemori dan adik-adiknya. Tadamori berdiri diam, seolah-olah menulikan telinganya dari suara-suara itu.

“Heita!” Sambil berbicara, Tadamori melonggarkan cengkeramannya di tangan putranya. Terbebas dari jepitan besi itu, Kiyomori merasakan darah kembali mengaliri

Page 44: The Heike Story

pembuluhnya dan berangsur-angsur menyebar ke seluruh tubuhnya. Urat-urat nadi di keningnya berdenyut-denyut, dan dia membiarkan sedu sedannya pecah, tanpa tahu malu, bagaikan seorang bocah yang diabaikan.

Tadamori menarik wajah yang basah oleh air mata itu ke dadanya; seraya menggesekkan pipinya ke rambut kasar putranya, dia berkata, “Akhirnya aku menang! Aku mendapatkan kemenangan dari wanita itu. Heita, ampunilah aku. Sungguh pengecut diriku karena membiarkanmu menghajarnya. Aku adalah ayah yang gagal, namun aku tidak akan membiarkan kalian menderita lagi. Kau akan melihatku mengharumkan kembali nama Heike Tadamori. Jangan membuatku merasa bersalah dengan air matamu. Hentikanlah tangisanmu.”

“Ayah—aku memahami perasaanmu.”

“Kau masih mau memanggilku ‘Ayah’?”

“Ya. Biarkanlah aku memanggilmu ‘Ayah’, ayahku!”

Bulan sabit berkilauan di langit. Menembus kabut ungu yang mulai menebal, terdengarlah sayup-sayup suara Mokunosuke menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur.

O0—dw-kz---0O

Bab III – PACUAN KUDA Di tanah luas di Jalan Ketiga Timur di Kyoto, berdirilah

Istana Kioister, tempat para kaisar yang telah turun tahta tinggal. Sejak masa Mantan Kaisar Shirakawa, bagaimanapun, tempat peristirahatan kaisar ini telah berubah menjadi pusat Pemerintahan Kioister, yang kedudukannya menyaingi Delapan Kementrian dan Dua Belas Bagian di Istana Kekaisaran sendiri. Itulah penyebab

Page 45: The Heike Story

ibu kota yang kecil digerakkan oleh dua pemerintahan. Tetapi, ketika bulan Mei menghadirkan pupus-pupus hijau pepohonan dedalu dan aroma tanah segar di Kyoto, sebagian orang teringat bahwa kota ini adalah pusat kehidupan politik Jepang karena perubahannya menjadi metropolis kemeriahan, ibu kota penikmat mode, dan Kota Cinta, tempat para bangsawan dan pejabat Istana Kioister menyerahkan diri kepada musim semi, mengesampingkan tugas-tugas mereka, dan mengabaikan diri mereka demi kesenangan—bukannya ini tidak terjadi di musim- musim lain, namun ini lebih marak terjadi pada musim semi—karena bangsawan macam apakah yang mau dianggap hina lantaran luput menuliskan beberapa bait puisi untuk kehadiran musim semi?

Pada suatu pagi di akhir bulan April, setiap kerikil dan batu di dasar Sungai Kamo berkilauan, terbasuh hujan semalam, dan matahari, yang memancarkan sinarnya dari antara Perbukitan Timur, mengabarkan datangnya keranuman dan kekayaan musim semi.

Kereta Mantan Kaisar berjalan dengan agung melewati Gerbang Sakura, di bawah kuntum-kuntum bunga sakura di dahan- dahan pohon sakura yang menjuntai. Para pengawal dan pelayan melaksanakan tugas mereka dengan penuh semangat, menyamakan kecepatan dengan langkah lambat sapi jantan yang menarik kereta kekaisaran.

“Lihatlah, Yang Mulia gemar berjalan-jalan,” komentar seorang pejalan kaki. “Karena bulan Mei hampir tiba, beliau mungkin pergi ke Kamo untuk menonton latihan pacuan bagi kuda-kuda yang baru saja tiba dari berbagai daerah.”

Seekor sapi, yang bertubuh putih dengan totol-totol hitam, menarik kereta yang sarat hiasan itu. Satu-satunya penumpang yang ada di dalam kereta itu adalah seorang

Page 46: The Heike Story

pria bangsawan berkulit kuning langsat yang masih berusia tiga puluhan; berpipi rata, dengan mata mungil bersorot tajam dan kesan pendiam yang diperdalam oleh bibir tipisnya, pria itu adalah Mantan Kaisar Toba.

Para pria dan wanita yang melewati jalan berhenti untuk mencuri pandang ke arahnya, sementara Mantan Kaisar balas memandang dengan penuh minat, seolah-olah pemandangan di jalan menarik hatinya.

Hanya tatapannya yang beredar ke sana kemari, dan terkadang, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa dia menyukai apa yang dilihatnya, sudut matanya membentuk setengah senyuman. Orang-orang mengikuti tatapannya dan balas tersenyum kepadanya dengan penuh pengertian.

Di dekat lapangan di sebelah lintasan pacuan, rumpun-rumpun sakura tampak memesona. Di bawah sinar matahari siang itu, semerbak bunga-bunga itu berbaur dengan aroma panas rerumputan segar dan beredar bersama setiap tiupan angin.

“Jadi, kau sudah melihat kuda hitam yang berumur empat tahun itu? Dari empat atau lima puluhan kuda jantan yang dikirim dari daerah, tidak ada satu pun yang bisa menyainginya! Aku tak pernah puas melihatnya.” Genji Wataru, memusatkan pandangannya ke pagar lapangan, tak henti-hentinya mengulang komentarnya. Sekelompok kuda berkumpul di dekat pagar, tempat tali kekang mereka ditambatkan.

Wataru melanjutkan berbicara, setengahnya kepada dirinya sendiri, “Aku rela memberikan segalanya untuk mengendarainya. Aku tahu betul bagaimana rasanya duduk di punggungnya. Cantik sekali—garis dari kaki ke perutnya itu!”

Page 47: The Heike Story

Kedua pemuda itu duduk di bawah pohon sakura besar di dekat lapangan, memeluk lutut mereka. Salah seorang dari mereka, Sato Yoshikiyo, tampak acuh tak acuh dan hanya menanggapi dengan senyuman tipis.

“Apa kau tidak berpendapat sama, Yoshikiyo?” tanya Wataru.

“Bagaimana—apa maksudmu?”

“Pikirkanlah seperti apa rasanya mengendarai kuda juara itu di Kamo yang cerah ini, melecut-lecutkan cambukmu sementara para penonton bertepuk tangan!”

“Tidak pernah memikirkan itu.”

“Tidak pernah?”

“Tidak ada menariknya menjadi juara. Apa gunanya kuda yang bagus jika pengendaranya asal-asalan?”

“Kau kedengaran seperti orang yang sedang berbohong dan tidak berbicara dengan tulus. Tidak ada alasan mengapa kau tidak bisa mengendarai kuda itu—bahkan, kita berdua bisa, karena kita adalah anggota Kesatuan Pengawal Istana.”

Yoshikiyo tergelak. “Kau sedang membicarakan hal lain, Wataru.”

“Membicarakan apa?”

“Bukankah kau sedang memikirkan tentang pacuan kuda Kamo pada bulan Mei—pacuan kuda yang itui”

Wataru cepat-cepat menjawab, “Terang saja, bukankah semua kuda ini dipilih untuk mengikuti pacuan kuda itu?”

“Tapi,”—Yoshikiyo mengangkat bahu—”Aku tidak tertarik pada pacuan kuda. Mendampingi Yang Mulia berkuda lain lagi.”

Page 48: The Heike Story

“Ya, tapi bagaimana jika kau harus terjun ke medan pertempuran?”

“Aku hanya bisa berdoa agar hari itu tidak pernah datang. Ada terlalu banyak hal yang lebih patut dirisaukan oleh kita, para samurai, akhir-akhir ini.”

“Hmm…” Wataru merenung, menatap temannya dengan bingung, “Aku tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut Yoshikiyo sang Pengawal yang termahsyur. Ada apa denganmu, eh?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Yoshikiyo.

“Jatuh cinta?”

“Bukannya aku tidak punya beberapa kekasih gelap—tapi ini istriku,” kata Yoshikiyo. “Dia tidak memberiku alasan untuk mengeluh, tapi aku harus memberitahumu—beberapa hari yang lalu, dia melahirkan seorang bayi yang manis, dan aku pun menjadi ayah!”

“Itu wajar saja. Saat samurai seperti kita menikah, kita membentuk keluarga, memiliki anak …”

“Benar juga, banyak pula! Tapi, yang paling merisaukanku adalah kita hanya punya sedikit belas kasihan atau cinta pada orang yang mengandung anak-anak kita.”

Wataru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan temannya. “Ada yang salah denganmu!” katanya, sebelum dia terdiam, memusatkan perhatian ke lapangan, tempatnya melihat Heita Kiyomori dan Morito berlalu. Keduanya sepertinya mengenali kedua orang pemuda yang duduk di bawah pohon. Senyuman merekah di wajah merah Kiyomori, memamerkan giginya yang putih dan rata. Wataru mengangkat tangan dan melambai ke arah mereka,

Page 49: The Heike Story

mengetahui bahwa Kiyomori akan berbagi antusiasme yang sama dengannya.

Langsung meninggalkan temannya, Kiyomori menghampiri dan menyapa mereka, dan segera duduk di antara keduanya, yang pernah menjadi teman sekolahnya di Akademi Kekaisaran. Wataru lebih tua lima tahun darinya, sedangkan Yoshikiyo dua tahun. Morito, yang kali ini tidak turut bergabung bersama mereka, juga bagian dari kelompok yang akrab ini. Di antara keempat pemuda berusia dua puluhan ini terdapat ikatan pertemanan yang kuat, yang didasari oleh kesadaran bahwa masa depan ada di tangan muda mereka yang kokoh, sebuah kesadaran tentang harapan dan impian rahasia yang mereka bagi bersama.

Akademi Kekaisaran didirikan khusus untuk pendidikan klan bangsawan Fujiwara dan keturunannya, namun, seiring waktu, putra para samurai di atas Golongan Kelima diizinkan untuk mengikuti pendidikan di sana. Dalam pelajaran, begitu pula perlakuan terhadap mereka, diskriminasi di antara keturunan para bangsawan dan samurai, bagaimanapun, menyebabkan banyak gesekan. Para bangsawan muda mencibir kepada para putra samurai beringas yang kesulitan memahami isi buku, sementara para putra samurai diam- diam merencanakan pembalasan dendam, dan perselisihan di antara mereka mencerminkan konflik yang telah mendarah daging di antara orangtua mereka.

Kiyomori termasuk dalam tipikal anak samurai yang belum terpoles, haus perhatian, dan buta huruf, dan karena itulah dia dibenci oleh para aristokrat muda. Kendati begitu, dia disukai oleh para pemuda di kelasnya sendiri. Mereka yang telah lulus dari akademi bisa melanjutkan pendidikan di universitas, namun tidak untuk para putra

Page 50: The Heike Story

samurai karena sudah menjadi anggapan umum bahwa masa depan mereka ada di bidang militer. Karena itulah Kiyomori dan teman-temannya termasuk di antara para pemuda yang, setelah lulus dari akademi, bergabung dengan Kementrian Urusan Militer dan akhirnya ditugaskan untuk menjadi pengawal di Istana Kioister.

Bagi Kiyomori, dengan ayah yang mengucilkan diri dari masyarakat dan ibu yang mengabaikannya, menjadi anggota Kesatuan Pengawal adalah pekerjaan yang mudah dan cocok untuk kebiasaannya bermalas-malasan dan melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Teman-temannya pun jarang melihatnya bertugas. Setelah Yasuko pergi, bagaimanapun. Tadamori menjadi pria yang berbeda dan bertekad untuk memulai kembali kehidupannya. Kepada Kiyomori, dia mengatakan, “Aku masih berumur empat puluhan, kita harus membuat awal baru.”

Maka, segera sesudahnya, Tadamori kembali bekerja di Istana. “Di mana Morito? Sepertinya aku tadi melihatnya bersamamu.”

Mengedarkan pandangannya, Kiyomori menjawab, “Dia ada di sekitar sini—apa sebaiknya kupanggil saja dia?”

Wataru cepat-cepat menyela, “Tidak usah, jangan ganggu dia. Dia sepertinya memang sengaja menghindariku akhir-akhir ini. Tapi, Heita, sudahkah kau melihat kuda yang berumur empat tahun itu? Apa pendapatmu tentangnya—cantik sekali, bukan?”

Kiyomori mendengus, menurunkan kedua sudut bibirnya, lalu perlahan-lahan menggeleng. “Yang hitam itu? Bukan yang itu—ia jelek.”

“Eh? Mengapa—kuda sebagus itu?”

Page 51: The Heike Story

“Tidak peduli sebagus apa ia, tanda putih di keempat pergelangan kakinya mendatangkan nasib buruk.”

Wataru tampak terkejut mendengar jawaban ini, dan langsung mengamati tanda putih di keempat kaki kuda itu. Entah dalam hai menunggangi atau menilai seekor kuda berdasarkan penampilannya, Wataru selalu menganggap dirinya seorang pakar. Empat tanda putih di bagian dalam ataupun luar pergelangan kaki kuda selalu dianggap sebagai pertanda buruk, dan itu luput dari pengamatan Wataru. Meskipun bisa dengan cepat menutupi rasa malunya, dia agak jengkel karena Kiyomori, yang lebih muda darinya, memberinya pelajaran mendasar tentang kuda; dia juga melihat bahwa Yoshikiyo, yang duduk di samping Kiyomori, tersenyum lebar.

Wataru tertawa. “Jadi, tanda putih itu bermakna buruk—lalu, bagaimana dengan samurai yang bermata juling, berwajah bopeng, dan berhidung merah, apakah mereka juga bermakna buruk?”

Kiyomori terusik. “Hei, mengapa kau membandingkan kuda dengan ayahku? Ini agak berlebihan—”

Tetapi, Wataru memotong ucapannya. “Jadi, bahkan dirimu pun percaya takhayul seperti para bangsawan pucat pasi yang tinggal di kamar-kamar Istana yang pengap itu, membicarakan tentang hal- hal yang ‘mencemari’, yang ‘tercemar’, yang menjadi ‘pertanda baik’ dan ‘pertanda buruk’—selamanya ketakutan gara-gara alasan-alasan konyol, sementara kita kaum muda yang tumbuh dari tanah yang bermandikan sinar matahari tidak percaya pada takhayul seperti itu! Pertanda buruk—pasti ada beberapa bangsawan di masa lalu yang memiliki kuda seperti itu, lalu dagu angkuh mereka digigit, atau mereka jatuh dan mengalami patah tulang paha! Kejadian semacam itulah yang mendasari takhayul ini.”

Page 52: The Heike Story

Wataru melanjutkan dengan berapi-api, “Aku akan menceritakan kepadamu tentang Genji Tameyoshi, yang pernah menjadi kepala Kepolisian pada 1130, ketika para biksu di Gunung Hiei memberontak. Dia menertibkan mereka dengan mengendarai seekor kuda cokelat yang keempat kakinya bertanda putih, dan semua orang tahu bahwa kuda itu adalah kesayangannya. Selain itu, aku berani bersumpah bahwa dua tahun yang lalu, juara balapan antara kuda-kuda Istana melawan kuda-kuda Nyonya Taikenmon adalah seekor kuda hitam dengan tanda putih di keempat kakinya.”

“Ya, ya, aku tahu. Dengan berkomentar soal kuda itu, bukan berarti aku percaya takhayul,” jawab Kiyomori.

“Aku berharap namaku bisa dikenal dengan menunggang kuda itu di pacuan kuda Kamo,” Wataru menjelaskan.

“Jadi, karena itulah kau marah?”

“Aku tidak marah, aku hanya ingin mengolok-olok takhayul. Lihat saja, takhayul semacam itu bahkan akan menguntungkanku. Mungkin saja tidak akan ada orang lain yang mau menungganginya.”

Kiyomori tidak menjawab. Untuk seseorang yang ceria, terkadang dia mudah terusik oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Menyadari bahwa Kiyomori tidak berminat untuk mengobrol lebih jauh tentang hal ini, Wataru menoleh ke arah Yoshikiyo, yang ternyata sama sekali tidak mengacuhkan percakapan mereka, larut menyaksikan sekuntum bunga dipermainkan angin dan jatuh ke tanah.

“Ah, lihatlah kereta kekaisaran itu!”

Page 53: The Heike Story

“Oh, Yang Mulia memandang ke arah ini!” Ketiganya serentak berdiri dan berlari ke arah lapangan, tempat banyak orang telah menanti untuk menyambut kedatangan kereta itu.

^^dw^^

Berbeda dari semua masa yang mendahuluinya, masa ini sangat marak dengan kemeriahan dan perjudian, turnamen puisi, percampuran antara minyak wangi dan dupa, kontes kecantikan, pantomim, permainan dadu, tamasya di keempat musim untuk menikmati keindahan alam, sabung ayam, dan pertandingan panahan. Pada masa yang lebih lampau, kalangan istana menganggap kegiatan di luar untuk menikmati pergantian musim dan pesta-pesta puisi sebagai upaya untuk mendapatkan keseimbangan dalam kehidupan; tetapi, baru pada masa inilah banyak orang menganggap berbagai hal tersebut sebagai pelarian menyenangkan dari berbagai masalah agama dan politik—semuanya, kecuali perang. Ketika mendengar kata ‘perang’, kalangan atas maupun bawah gemetar, karena bibit- bibit pertikaian telah tersebar jauh dan luas: di antara para pemuka agama bersenjata; di wilayah timur; di wilayah barat, tempat para perompak di Laut Dalam secara teratur melakukan penjarahan; dan yang terdekat adalah di ibu kota, tempat perpecahan terjadi di tubuh Istana. Belakangan, ada kabar burung yang mengatakan bahwa klan Genji dan Heike di provinsi-provinsi yang jauh telah menggerakkan prajurit mereka, dan badai pun siap bergejolak.

Orang-orang mulai gelisah. Sesuatu yang mengancam dapat dirasakan di udara. Tetap saja, di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, kehausan terhadap kenikmatan duniawi sepertinya melanda semua orang, dan salah satu contohnya adalah pacuan kuda Kamo yang penuh sesak oleh penonton. Menurut hikayat kuno, pacuan kuda

Page 54: The Heike Story

menjadi olah raga resmi kekaisaran sejak sekitar tahun 701, diprakarsai oleh para Pengawal dan diselenggarakan di halaman Istana Kekaisaran dalam Festival Mei. Kendati demikian, di masa susah ini, pacuan kuda tidak lagi diselenggarakan di Kamo pada bulan Mei, tetapi di tengah-tengah kompleks kuil, di tanah-tanah milik para pejabat dan bangsawan yang mendapat giliran menghibur Kaisar atau Mantan Kaisar beserta para selir mereka, di ruas Jalan Kedua yang luas, atau bahkan dipersiapkan secara mendadak di tengah tamasya-tamasya kekaisaran. Karena kegiatan tersebut dilakukan di lintasan yang lurus, yang cukup lebar untuk mengadu kecepatan sepuluh ekor kuda, jalan-jalan utama di Kyoto cocok untuk menyelenggarakannya.

Tercatat pula dalam sejarah, bahwa salah seorang penguasa begitu larut dalam demamnya terhadap pacuan kuda sehingga dia merelakan dua puluh bentang tanahnya di daerah untuk membudidayakan kuda pacuan, dan mendirikan sebuah istal mewah di ibu kota, lengkap dengan sepasukan pelatih dan perawat, khusus untuk kuda-kudanya. Putranya yang telah mangkat, begitu pula cucunya, Mantan Kaisar saat ini, menderita kecanduan yang sama terhadap olah raga ini. Karena itulah kunjungan kekaisaran ke Kamo hari ini bertujuan untuk memilih seekor kuda, yang akan dipersiapkan untuk mengikuti pacuan kuda pada bulan Mei, di antara semua kuda yang dikirim dari sejumlah peternakan di berbagai daerah.

“Apakah Tadamori ada di sini?” tanya Mantan Kaisar, mengabaikan para pejabat di sekelilingnya. “Aku tidak melihat banyak kuda istimewa hari ini. Bagaimana menurutmu?”

Page 55: The Heike Story

Tadamori yang berdiri cukup jauh dari Mantan Kaisar, mengangkat kepala hanya untuk menjawab, “Yang Mulia, hanya ada satu.”

“Hanya satu—kuda hitam dari peternakan di Shimotsuke?”

“Betul, Yang Mulia.”

“Aku sudah mengamatinya sejak lama—si hitam yang ditambatkan ke palang itu? Tapi, semua pecinta kuda memperingatkanku untuk mewaspadainya; kata mereka, tanda putih di keempat pergelangan kakinya merupakan pertanda buruk.”

“Itu pendapat umum. Yang Mulia, namun tidak layak dipertimbangkan—” kata Tadamori, yang mulai menyesali kebiasaannya berbicara terus terang. “Dari semua kuda itu, saya tidak melihat satu pun yang bisa menyaingi si hitam itu; tengoklah kepalanya yang indah, matanya, dan sapuan ekornya.”

Mantan Kaisar ragu-ragu. Dia tidak sabar untuk membawa kuda hitam itu ke istalnya dan melatihnya untuk pacuan Mei, karena dia mengharapkan kuda itu akan bisa menang melawan kuda-kuda Kaisar. Tetapi, seperti para penasihatnya, dia juga percaya pada takhayul.

“Jika Yang Mulia menghendakinya, saya akan membawa kuda itu ke istal saya dan merawatnya hingga hari pacuan tiba,” Tadamori menawarkan diri, teringat pada kata-kata spontannya dan dampaknya pada para bangsawan yang berkumpul di sana.

“Begitu pun boleh. Bawalah kuda itu dan pastikan ia mendapatkan latihan yang cukup hingga hari pacuan tiba,” jawab Toba.

Page 56: The Heike Story

Cerita mengenai kuda hitam itu tersebar di seluruh Istana Kioister, didengar oleh banyak pejabat istana yang membenci Tadamori. Meskipun kedudukannya hanyalah sebagai samurai biasa, dia diperkenankan berkeliaran di dekat singgasana kaisar, satu-satunya samurai yang mendapatkan kehormatan itu, dan para pejabat istana yang dengki semakin membencinya. Mereka khawatir si Mata Picing akan merebut hak-hak istimewa mereka, dan mereka tidak memercayainya, yakin bahwa Tadamori mengetahui rahasia untuk mengambil hati Mantan Kaisar. Meskipun selama bertahun-tahun sebelumnya Tadamori menjauhkan diri dari Istana dan menolak berbagai undangan perjamuan dan tamasya, kesukaan Mantan Kaisar kepadanya tidak sirna. Tadamori tidak hanya terus-menerus mendapatkan berbagai hadiah dari Mantan Kaisar, namun rasa hormat yang lebih mendalam juga ditunjukkan oleh Toba dengan kesediaannya mendengar pendapat Tadamori. Penugasan kembali Tadamori di Istana Kloister memancing kecurigaan dan keraguan para pejabat istana.

Setibanya di rumah, Tadamori berdiri di dekat kuda hitam itu dan mengelus-elus hidungnya, mengatakan, “Ah, dasar picik! Tidak ada yang berubah di kolam tua tempat para pejabat itu berkuak- kuak.”

“Ayah, tidak ada cara lain untuk hidup di ibu kota ini kecuali dengan mengabaikan omongan miring orang lain. Tertawakan saja kebodohan mereka.”

“Heita! Kau sudah pulang?”

“Aku melihat Ayah meninggalkan Istana dan ikut pulang, karena aku tidak bertugas malam ini.”

“Heita, jangan pernah tunjukkan kebencianmu.”

“Tidak, tapi aku menantikan saat untuk membalas dendam, dan aku tidak melupakan perkataan Ayah tentang

Page 57: The Heike Story

memulai hidup baru. Kita benar-benar jauh lebih bahagia di rumah saat ini.”

“Aku khawatir kau kesepian sejak ibumu pergi.”

“Ingatlah, Ayah, kita sudah berjanji untuk tidak membicarakannya …. Nah, tentang kuda itu—”

“Hmm—kuda yang bagus, la akan lebih bagus jika dilatih setiap pagi dan malam.”

“Aku juga berpikir begitu. Sejujurnya, Genji Wataru, temanku di Kesatuan Pengawal, ingin sekali melatih kuda ini. Dia merengek- rengek kepadaku untuk meminta Ayah memohon persetujuan dari Yang Mulia, karena dia ingin menunggangi kuda ini dalam pacuan kuda Kamo.”

Tadamori berpikir sejenak dan mengatakan, “Wataru—tapi, apa kau sendiri tidak ingin menunggangi kuda ini? Kau sendiri, daripada Wataru?”

“Keempat tanda putih itu—jika bukan karena itu—” Kiyomori ragu-ragu, mengerutkan kedua alis tebalnya, menunjukkan kegugupan yang mengejutkan ayahnya. Tadamori terkejut saat mendapati bahwa putranya yang ceroboh ini ternyata punya pertimbangan sendiri.

“Aku yakin Wataru bisa dipercaya. Aku tidak bisa mengatakan bagaimana pendapat Yang Mulia mengenai hal ini, tapi aku akan menanyakannya—tentunya jika kau tetap tidak berminat menunggangi kuda itu sendiri,” kata Tadamori, agak kecewa. Dia memanggil beberapa orang pelayan dan memberikan perintah kepada mereka untuk memberi makan dan merawat kuda itu, dan sejenak kemudian memasuki kamarnya, yang sekarang telah terbebas dari istrinya dan kecerewetannya. Sembari beristirahat di bawah cahaya lampion, dia memanggil anak-

Page 58: The Heike Story

anaknya yang masih kecil dan bermain bersama mereka, sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaannya.

Beberapa hari kemudian, Tadamori menyampaikan sendiri persetujuan Mantan Kaisar kepada Wataru, kemudian memerintahkan kepada Kiyomori untuk membawa si kuda hitam ke rumah temannya itu. Menarik tali kekang kuda itu, Kiyomori menyusuri Gang Bunga Iris di Jalan Kesembilan. Para pejalan kaki yang berpapasan dengannya menoleh dan berkomentar, “Kuda yang luar biasa—untuk Istana Kekaisaran atau Istana Kioister?” Tetapi, Kiyomori tidak menjawab pertanyaan mereka, lega karena bisa menyingkirkan kuda pembawa nasib buruk itu.

Wataru telah menantikan kedatangan Kiyomori dan sedang membersihkan istal ketika temannya itu tiba. Kegembiraan tampak jelas di wajahnya.

“Sekarang sudah nyaris gelap. Maafkan aku karena istriku belum pulang, tapi kau harus singgah di rumahku dan minum bersamaku. Kita harus merayakan peristiwa ini. Kita akan minum sake kekaisaran!”

Kiyomori menunggu hingga lampion-lampion dinyalakan, dan sake yang diminumnya membuatnya merasa digelitiki hingga ujung jarinya. Menatap ke sekelilingnya, dia mendapati dirinya membanding-bandingkan rumah Wataru dengan rumahnya sendiri, dan menyadari bahwa perabot di rumah itu tidak begitu indah namun luar biasa bersih. Permukaan kayu yang terpoles mulus memunculkan pendar gelap; kenyamanan terasa di udara; cahaya seolah-olah melapisi segalanya—tidak diragukan lagi, semua itu adalah hasil kerja keras wanita muda yang dinikahi Wataru pada akhir tahun lalu. Kiyomori iri. Dia mendengarkan Wataru memuji- muji istrinya. Ketika Kiyomori pulang, Wataru mengantarnya ke gerbang—yang mirip dengan gerbang rumah para samurai

Page 59: The Heike Story

lainnya, dengan atap jerami dan dinding anyaman ranting berlapis tanah liat—dan di situlah Kiyomori bertatap muka dengan istri Wataru. Melihat tamu yang hendak pergi, istri Wataru cepat-cepat melepas mantel luarnya dan membungkuk. Kiyomori bisa mencium aroma yang menguar dari rambut dan lengan kimononya. Dengan terbata- bata, dia mengucapkan salam ketika Wataru memperkenalkan istrinya.

“Kau pulang tepat waktu. Heita, ini istriku, Kesa-Gozen, yang pernah menjadi dayang-dayang di Istana,” kata Wataru dengan penuh semangat, sebelum menceritakan kepada istrinya tentang kuda hitam di istal.

Meskipun wanita itu adalah istri kawannya, Kiyomori merasa malu dan canggung. Menyadari bahwa pipinya memerah, dia berjalan dengan lunglai menyusuri Gang Bunga Iris yang sekarang telah gelap gulita. Wajah Kesa-Gozen menghantuinya. Mungkinkah wanita semanis itu benar-benar ada? Bayangan mengenai Kesa-Gozen berkelebatan di benaknya selama dia berjalan. Sebentuk bintang baru bersinar khusus untuknya di langit musim semi di atasnya … Kemudian, sebentuk lengan tiba-tiba terulur dan mencengkeramnya dalam keheningan. Seorang perampok! Banyak orang pernah diserang di persimpangan ini pada malam hari! Kiyomori berusaha menggapai gagang pedangnya.

“Jangan takut, Heita. Ikutlah bersamaku ke rumah yang kita datangi waktu itu.” Terdengarlah tawa bernada rendah di telinga Kiyomori. Itu suara Morito. Kiyomori tidak bisa memercayainya. Apakah yang sedang dilakukan oleh Morito di bagian Kyoto yang terpencil ini, dengan wajah tertutup layaknya penjahat?

“Kau pasti mau ikut denganku ke rumah di Jalan Keenam itu, bukan?” Morito mendesaknya. Tawaran itu

Page 60: The Heike Story

membuat Kiyomori tergoda, namun mendadak timbullah rasa tidak percaya kepada temannya ini, yang membuatnya ragu-ragu.

“Ayolah, aku melihatmu sedang berjalan ke rumah Wataru sore tadi, dan aku membuntutimu,” lanjut Morito sambil berjalan di depan Kiyomori. Setelah kecurigaannya mereda, Kiyomori mengikuti temannya, tersedot oleh daya pikat Morito, dan segera merasa akan mendapatkan keberuntungan.

Di sebuah rumah di dekat Istana Kloister, mereka minum- minum dan bermesraan dengan wanita, seperti yang pernah mereka lakukan. Ketika akhirnya dia ditinggal berduaan bersama salah satu wanita, Kiyomori, yang sedikit lebih tangguh daripada dalam kunjungan terakhirnya, memberanikan diri untuk bertanya:

“Di mana temanku? Di manakah dia tidur?”

Wanita itu terkikik. “Dia tidak pernah menginap di sini.”

“Apa dia sudah pulang?”

Wanita itu sepertinya mengantuk dan terlalu lelah untuk menjawab. “Dia memang selalu begitu. Mana aku tahu apa yang sedang dilakukannya?” katanya, melingkarkan lengan ke leher Kiyomori.

Kiyomori berusaha membebaskan diri. “Aku juga mau pulang! Si Morito itu rupanya mengerjaiku!”

Kiyomori cepat-cepat meninggalkan rumah itu, namun belaian lembut hantu di Gang Bunga Iris tidak lagi mengikuti langkahnya.

Keesokan harinya, Morito tidak menjalankan tugasnya sebagai Pengawal, dan dia tidak terlihat hingga beberapa hari kemudian, sehingga Kiyomori semakin jengkel

Page 61: The Heike Story

kepadanya. Sekarang, setiap kali dia bertugas di Istana, suami Kesa-Gozen, Watarulah yang selalu menyapanya dengan ceria jika mereka berpapasan di koridor, dengan tatapan yang menyiratkan kebahagiaan.

##dw##

Di gerbang pelayan kediaman Nakamikado di Jalan Keenam, sekelompok wanita pedagang, yang menyeimbangkan keranjang atau kotak berisi berbagai macam benang sutra, bunga, dan kue di kepala mereka, mengintip ke halaman rumah sambil tertawa-tawa dan mengobrol dengan gaduh.

“Kami tidak menginginkan apa-apa, tidak untuk hari ini, dasar berisik!”

“Ayolah, belilah kue-kue ini untuk Festival Mei!”

“Kami terlalu sibuk bekerja untuk pesta malam ini. Kami sudah pusing karenanya! Datanglah nanti malam, nanti malam …”

“Dasar bodoh! Dasar kalian budak mesum!” cemooh para pedagang.

Seorang pelayan tiba-tiba muncul di pintu, membentak-bentak dan memelototi para pedagang itu dari balik punggung para pelayan rendahan. “Hei, hei! Jangan tanggapi perempuan-perempuan itu! Siapa yang bertugas mengurus bilik mandi hari ini? Nyonya sudah tidak sabar. Uapnya kurang panas!”

Mendengar gertakan itu, dua orang pelayan rendahan segera memisahkan diri dan berlari ke sayap timur. Api untuk memanaskan air mandi telah berubah menjadi abu. Mereka buru-buru mengumpulkan ranting dan batu api untuk menyalakan api.

Page 62: The Heike Story

Salah seorang dayang-dayang Yasuko keluar ke beranda; mengernyitkan hidung dan mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghalau asap, lalu berseru, “Hei, apa yang kalian lakukan disana! Dasar budak-budak ceroboh, bagaimana jika nyonyaku masuk angin?”

Bilik mandi berlangit-langit rendah dan berlantai anyaman itu cukup gelap. Tubuh telanjang dua orang wanita tampak berkilauan di tengah gumpalan uap, mengucurkan keringat.

“Ruriko. payudara kecilmu sungguh manis—seperti buah ceri yang mungil!”

“Bibi membuatku malu. jangan memandangiku begitu.”

“Mau tidak mau aku memikirkan masa ketika kulitku masih semulus kulitmu,” lamun Yasuko.

‘Tapi, sekarang pun Bibi masih sangat cantik.”

“Ya?—” kata Yasuko sambil menatap payudaranya sendiri.

Kata-kata Ruriko bukan sekadar sanjungan, namun Yasuko segera meraup payudaranya sendiri, merasakan kekencangannya yang telah hilang. Putting susunya gelap bagaikan biji aprikot. Dia telah melahirkan empat orang anak dan menyadari bahwa keranumannya telah mengering. Dia mengamati bekas luka kecil berwarna putih di salah satu payudaranya, yang didapatkannya ketika Kiyomori, yang ketika itu berumur tiga tahun, mengamuk dan menggigitnya.

Amarah seketika merebak di dalam diri Yasuko ketika dia memikirkan Kiyomori, yang telah menghajarnya dengan begitu kejam—di depan seorang pelayan pula! Bukankah dia pernah menyusui anak itu dengan payudaranya ini? Begitukah cara anak- anak

Page 63: The Heike Story

memperlakukan ibu mereka? Jika memang begitu, sungguh tidak sepadannya menjadi seorang ibu! Kiyomori sepertinya berpikir bahwa dirinya tumbuh dewasa tanpa perawatan dari ibunya! Kebencian bergejolak di dalam diri Yasuko saat dia duduk tanpa bergerak, memegangi kedua payudaranya dengan jemarinya.

Ruriko meninggalkan bilik mandi sejenak kemudian. Dia adalah keponakan sang nyonya rumah. Sudah menjadi tradisi bahwa gadis-gadis muda akan dinikahkan setelah mereka berumur tiga belas atau empat belas tahun, namun Ruriko, yang berpenampilan lebih dewasa daripada usianya yang enam belas tahun, bahkan belum bertunangan. Desas-desus mengatakan bahwa ayahnya, Fujiwara Tamenari, seorang gubernur di salah satu provinsi, terlalu sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengatur perjodohan. Bagaimanapun, desas-desus yang lain mengatakan bahwa sang gubernur telah berkali-kali membangkang dari pemerintah pusat, dan berdasarkan permintaan Menteri Sayap Kiri, seorang kerabat yang menganggap sepupu jauhnya ini berbahaya, dia ditugaskan di tempat yang jauh.

Ruriko sendiri- sepertinya tidak merisaukan statusnya yang masih lajang dan melalui hari-harinya dengan cukup ceria. Sejak Yasuko tiba dan menempati flat di sayap timur, Ruriko menghabiskan sebagian besar waktunya di sana, mengabaikan kamarnya sendiri yang berada di sayap barat. Dia kerap menginap di sayap timur atau mandi bersama Yasuko, yang menghabiskan waktunya dengan bergunjing bersama gadis itu, mengajarinya cara memakai berbagai peralatan rias, mengutarakan pendapatnya tentang urusan cinta, atau memberitahunya berbagai rahasia dalam memuaskan pria. Ruriko segera mengagumi wanita yang lebih tua darinya ini dan akrab dengannya.

Page 64: The Heike Story

Tuan rumah di sana adalah seorang pria bernama lyenari, seorang bangsawan baik hati berumur lima puluhan, yang, setelah pensiun dari jabatannya di pemerintahan, menekuni kegemarannya menyabung ayam. Karena tidak memiliki anak, dia mempertimbangkan untuk mengangkat keponakan istrinya, Ruriko, sebagai anak, namun situasi yang tidak pernah dibayangkannya terjadi pada Februari—kedatangan tidak terduga Yasuko. lyenari telah menyindir-nyindirnya dengan menanyakan rencana kepulangan Yasuko, namun Yasuko sepertinya tidak berniat kembali ke Imadegawa. Dia menggelitik naluri keibuan Yasuko dengan mengingatkannya kepada keempat anaknya, namun Yasuko sepertinya tidak memedulikan mereka. Untuk menggoyahkan kepercayaan dirinya, lyenari menyiratkan dalam perkataannya bahwa meskipun masih menawan di usianya yang ketiga puluh delapan, akan sulit bagi Yasuko untuk menikah lagi. Tetapi, Yasuko menutup telinga terhadap ucapan-ucapan miring seperti itu dan bersikap seolah-olah dia akan selamanya tinggal di rumah lyenari. Dia menempati kamar terbaik di rumah itu, memerintahkan agar air mandi disiapkan setiap pagi, menghabiskan berjam-jam di ruang dandannya setiap malam, dan bersikap layaknya seorang wanita berdarah biru.

Dia tidak pernah segan-segan menggunakan kereta kapan pun dia mau, memerintah-merintah para pelayan sesuka hatinya, sementara mereka bergosip dengan panasnya tentang pria-pria asing yang mengunjungi flat Yasuko di malam hari. Jika lyenari dengan gamblang menyampaikan keberatannya mengenai tingkah Yasuko ini, Yasuko langsung marah besar, memaksanya untuk menarik kembali kata-katanya, dan terus bersikap layaknya seorang putri, tidak sekali pun membiarkan lyenari melupakan bahwa dia pernah menjadi kesayangan almarhum Mantan

Page 65: The Heike Story

Kaisar Shirakawa dan dengan pongah menyuruhnya menutup mulut.

Jawaban Yasuko tersebut selalu berhasil menohok lyenari. Dia berhenti mengingatkan Yasuko akan masa lalunya, ketika dia masih seumur Ruriko dan lyenari mengatur hubungan gelap antara dirinya dan Kaisar yang bernafsu birahi besar, karena dia ingat betul bahwa sebagai balasan, sang Kaisar telah menaikkan jabatan lyenari di Istana, dan dengan murah hati menghadiahinya dengan tambahan tanah seluas berhektar-hektar dan berbagai macam kemewahan lainnya. Yasuko telah sejak lama menganggap sebagaian kekayaan lyenari sebagai miliknya, dan bahkan setelah menikah dengan Tadamori, dia masih sering mendatangi kediaman Nakamikado untuk meminta apa pun yang diinginkannya.

lyenari mengalami apa yang dinamakan senjata makan tuan. Akhir-akhir ini, dia telah kehilangan minat untuk bersenang-senang. Yasuko, sebaliknya, dengan penuh keanggunan menerima arus tanpa henti para tamu yang mengunjunginya di sayap timur, berlama- lama tinggal di sana untuk bermain dadu, membakar dupa, dan memainkan berbagai macam alat musik. Bahkan teman lama lyenari, yang selama ini sering menyertainya bermain sabung ayam, lebih memilih Yasuko daripada dirinya dan sekarang menjadi salah seorang teman dekatnya.

Rumah lyenari, seperti layaknya kediaman para bangsawan lainnya, adalah sebuah bangunan luas yang memiliki sayap timur dan barat. Sebuah beranda panjang dan tertutup terbentang di sepanjang rumah utama, menghubungkan kedua sayap, dan berlanjut ke seruas jalan beratap yang berasal dari sisi-sisi halaman dalam. Paviliun- paviliun tertutup yang bergaya elegan di ujung jalan

Page 66: The Heike Story

menghadapi sebuah taman dengan miniatur pulau, danau, dan sungainya.

Pengaruh Yasuko terhadap Ruriko meresahkan lyenari, karena gadis muda itu sekarang telah sepenuhnya menjadi tawanan bagi pesona Yasuko dan menghabiskan seluruh waktunya di sayap timur—yang jaraknya cukup jauh dari wilayah keluarga di sisi lain taman, lyenari tak henti-hentinya memperingatkan Ruriko untuk tidak menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, menasihatinya bahwa tidak ada kebaikan yang akan didapatkannya dari kunjungan- kunjungannya ke sana. Tetapi, kehormatannya di rumahnya sendiri telah ambruk. Dia memerintah para pelayan untuk terus mengawasi Ruriko, namun sia-sia saja, karena mereka lebih takut kepada Yasuko sekarang.

Ternyata, karena alasan inilah samurai setangguh Tadamori sekalipun menjadi layu dalam masa mudanya, pikir lyenari dengan gusar. Karena inilah Tadamori disebut eksentrik; dan inilah harta meragukan yang dipercayakan oleh almarhum Mantan Kaisar kepadanya, lyenari melihat rambutnya yang semakin memutih hanya dalam dua bulan terakhir, dan mengagumi Tadamori, yang telah memikul beban itu selama dua puluh tahun.

Ruriko kembali menginap di sayap timur, dan lyenari marah besar ketika mengetahuinya pagi itu. Dia baru saja menata bunga iris di vas, meletakkan sebuah helm berhias tumbuhan wisteria di dudukan helm, menyiapkan sake manis dan mengeluarkan cangkir-cangkir yang akan digunakan dalam perayaan Festival Mei. lalu menyuruh seorang pelayan memanggil Ruriko, hanya untuk mendengar bahwa gadis itu sedang berada di bilik mandi bersama Yasuko—selama beberapa waktu.

Dia menoleh dengan tatapan menuduh ke arah istrinya dan mengeluh, “Sekarang kaulihat sendiri apa yang cepat

Page 67: The Heike Story

atau lambat akan terjadi pada Ruriko! Kita akan berhadapan dengan Yasuko yang lain, ingadah kata-kataku ini!” Tetapi, langit yang biru dan matahari yang bersinar cerah segera membuatnya menyesali perkataannya. “Ah, mari kita lupakan semua ini, karena sekarang adalah hari kelima bulan Mei!” serunya. “Keluarkanlah jubah kebesaranku; sekaranglah saatnya aku pergi,” katanya, meskipun dia berdiri dengan lesu.

Hari ini adalah hari pacuan kuda Kamo. Pada saat ini, lapangan di dekat lintasan pacuan tentu sudah dipenuhi manusia, lyenari, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, adalah anggota panitia yang bertanggung jawab mengurus kemeriahan yang menyertai pacuan kuda. Dia mempertimbangkan gagasan untuk berpura-pura sakit, namun cepat-cepat menyingkirkannya, lalu mengenakan jubah kebesarannya dan memasang helm berhiasnya di kepala. Sementara istrinya mengencangkan tali helm di bawah dagunya yang terangkat, dia meneriakkan beberapa perintah kepada seorang pelayan.

“Siapkanlah kereta—yang baru!”

Si pembawa pesan bergegas berlari ke ruang pelayan, namun kembali sejenak kemudian dengan kabar bahwa baru beberapa saat yang lalu, para wanita pergi membawa kereta baru yang anggun itu!

“Dasar pandir!” sembur lyenari kepada si pembawa pesan. Apa maksud mereka memakai kereta baru itu? Tanpa mengatakan apa pun kepadanya! Ruriko seharusnya bisa bersikap lebih baik! Bahkan gadis muda itu sepertinya sudah tidak menghormati paman dan bibinya lagi! Mungkinkah dia juga sudah terperangkap oleh kasih sayang palsu Yasuko?

Page 68: The Heike Story

lyenari marah sekaligus mengasihani dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali memakai kereta lama. Dia menyembunyikan kekesalannya di balik jendela ketika keretanya berderak melewati gerbang utama.

Tidak lama kemudian, di kejauhan, di balik gumpalan debu, tampaklah kerumunan penonton yang membanjiri lintasan kuda Kamo. Di antara pupus-pupus tumbuhan baru, lyenari melihat umbul-umbul merah dan biru, bendera warna-warni, ranting- ranting dari “pohon suci” yang diikatkan ke palang start; kemudian berangsur-angsur, jalan masuk menuju lintasan pacuan pun terlihat, penuh dibanjiri oleh manusia.

Kereta lyenari terjebak kemacetan. Siapa yang menyangka bahwa akan ada sebanyak ini kereta? Dia tidak pernah menyadari bahwa pemandangan semacam ini akan terlihat di ibu kota. Luar biasa! Tiba-tiba, dia menegakkan badan dan mengumpat-umpat. Di depan matanya, keretanya sendiri, kereta barunya, baru saja melintas! Terkutuklah kuda betina itu—perempuan tua yang tidak bisa ditunggangi oleh siapa pun!

D&&W

Upacara untuk mengumumkan kegiatan hari ini baru saja berakhir. Di panggung kehormatan, tampaklah Emperor Sutoku yang berumur sembilan belas tahun, dengan penasihat Fujiwara di sisinya, menatap ke sekelilingnya sambil tersenyum. Mantan Kaisar Toba juga ada di sana, dikelilingi oleh para wanita bangsawan dan para dayang- dayang mereka, yang berdiri selama upacara pembukaan. Ketika mereka duduk, terdengarlah dengung percakapan orang-orang yang mengomentari para joki dan kuda yang akan dipertandingkan.

Page 69: The Heike Story

Entah berapa banyak tenda untuk mempersiapkan kuda telah didirikan di tanah lapang itu, sementara para pemain musik dan pelatih kuda beraksi.

Setiap helai daun di pepohonan di dekat Kuil Kamo tampak berkilauan akibat tiupan angin sepoi-sepoi. Musik dari kelompok orkestra mengalun terbawa angin di atas kepala para penonton. Di atas hamparan rumput hijau di dekat gerbang lapangan, tempat sebuah umbul-umbul melambai-lambai, kuda-kuda pacuan yang gelisah menyibukkan para perawat mereka. Sesekali, ringkikan panjang terdengar ketika seekor kuda yang penuh semangat, menggigit pengganjal di dalam mulutnya, menendang perawatnya, atau seekor kuda lain, yang sedang diuji langkahnya, berdiri kaku, lalu melepaskan diri di depan paviliun kekaisaran. Di atas panggung kehormatan. Kaisar dan Mantan Kaisar tersenyum senang, sementara gelak tawa terdengar di antara deretan kursi berhias bunga yang ditempati oleh para bangsawan. Di sini, oleh para bangsawan dari berbagai tingkatan, kemewahan dan keanggunan Istana Kekaisaran dan Istana Kloister dipamerkan dalam beraneka ragam bentuk penghias kepala dan warna kimono. Para bangsawan yang masih muda mengenakan bedak tipis, menggambari alis, memerahkan pipi, dan menebarkan aroma berbagai wewangian langka dari lengan kimono mereka. Di salah satu paviliun, para pejabat dengan helm berhias tumbuhan wisteria memercikkan air berwarna ungu sehingga aroma bunga-bungaan memenuhi udara.

Ini adalah hari pacuan kuda Kamo; tidak kurang, ini adalah ajang pertandingan di bidang gaya dan kemewahan antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Dan di bawah permukaan kemeriahan tersebut, ini adalah puncak persaingan antara Kaisar dan Mantan Kaisar. Meskipun

Page 70: The Heike Story

menempati panggung yang sama, ayah dan anak itu hanya sesekali bercakap-cakap. Mereka telah berselisih selama bertahun-tahun, dan masalah di antara mereka semakin luas seiring waktu. Di balik perselisihan mereka, tersebutlah sebuah sejarah gelap.

Kaisar Sutoku adalah putra sulung Mantan Kaisar Toba dengan permaisurinya, Fujiwara Shoko, yang menjadi dayang-dayang di Istana Kloister ketika Shirakawa menghabiskan hari tuanya di sana. Perhatian Mantan Kaisar Shirakawa kepada Shoko sangat mencolok sehingga desas-desus tersebar di kalangan para pejabat istana bahwa penguasa yang gemar mengumbar cinta itu lebih dari sekadar memberikan kasih sayang yang bersifat kebapakan. Shoko, yang terpilih setelah beberapa tahun menjadi selir Kaisar Toba, segera melejit menjadi Permaisuri. Enggan mengakhiri hubungannya dengan Shoko, bahkan setelah wanita itu menjadi istri putranya. Mantan Kaisar Shirakawa diam-diam masih mengunjunginya. Kaisar Toba yang masih remaja sama sekali tidak mengetahui tentang intrik tersebut hingga Permaisuri melahirkan Putra Mahkota. Baru ketika itulah tersebar rumor di Istana Kekaisaran bahwa Kaisar, yang acuh tak acuh ketika mendengar tangisan putra pertamanya, telah yakin bahwa bayi itu bukan anaknya melainkan anak ayahnya.

Penyimpangan perilaku dan pengkhianatan Mantan Kaisar telah meracuni masa muda Toba, meninggalkan luka dalam yang tak kunjung sembuh, dan kebenciannya kepada putranya, Sutoku, yang saat ini berkuasa, menimbulkan kegetiran dan titik pangkal perselisihan di antara kedua kepala pemerintahan itu. Kendati begitu, hari ini di pacuan kuda Kamo, semua itu tersembunyi di balik keanggunan dan semerbak wewangian. Siapa yang bisa memercayai bahwa kedua petinggi yang duduk di antara

Page 71: The Heike Story

bunga- bungaan itu, kedua sosok penguasa lemah lembut yang tenggelam dalam kemeriahan hari itu, adalah bahan bakar bagi perang besar yang telah menanti mereka?

“Lihatiah senyuman Yang Mulia!”

“Kaisar sekarang berdiri. Beliau menyaksikan balapan ini dengan penuh perhatian!”

Itulah komentar-komentar yang beredar di antara para pejabat yang matanya tertuju ke lintasan balapan namun perhatiannya ke kedua pemimpin itu, menyadari sepenuhnya kebencian yang mendalam di hati keduanya.

Rangkaian kegiatan berlangsung hingga siang hari. Debu mengepul tinggi di atas lintasan pacuan yang kering kerontang.

“Kau sepertinya bingung, Wataru. Ada apa?” tanya Kiyomori kepada kawannya, yang ditemukannya sedang berdiam diri di saiah satu sisi paviliun samurai.

Kuda hitam berumur empat tahun dengan tanda putih di keempat kakinya, yang menjadi ujung tombak Wataru, tidak disebutkan dalam daftar peserta balapan. Kiyomori, yang bertanya- tanya mengenai hal itu, telah menanti untuk bisa berbicara dengan Wataru sejak balapan dimulai. Wataru, yang semakin ciut karena pertanyaan temannya, menjawab dengan murung:

“Pagi ini, saat masih gelap, aku membuat kesalahan dengan mengeluarkan kuda hitam itu dari istal dan memacunya …. Memang nasibku—sedang tidak beruntung.”

“Apa yang terjadi?”

“Para tukang kayu yang kemarin mendirikan panggung di sini tentu tanpa sengaja telah mencecerkan paku, karena

Page 72: The Heike Story

kudaku menginjak salah satunya dengan kaki belakang kanannya. Aku berharap aku saja yang terkena paku!”

“Hmm—” hanya itu yang bisa dikatakan oleh Kiyomori ketika takhayul para joki terlintas di benaknya. Wataru hanya akan mengolok-oloknya lagi. Tetapi, kata-kata Kiyomori selanjutnya ternyata berhasil menenangkan Wataru.

“Jangan patah semangat, Wataru. Si hitam itu masih bisa bertarung di balapan yang lain. Masih ada Ninna-ji musim gugur nanti, la cukup tangguh untuk menang di mana pun. Mengapa harus terburu-buru?”

“Hmm ….Aku akan mendaftarkannya untuk mengikuti balapan musim gugur nanti!” seru Wataru. Kiyomori terkekeh. “Mengapa harus menyesal? Apa kau sudah bertaruh besar-besaran untuk kuda ini?”

“Tidak, tidak ada yang memperbolehkanku. Semua orang mengatakan bahwa kuda ini akan membawa sial.”

“Apa kau sudah menjalani ‘ritual cambuk’?” tanya Kiyomori. “‘Ritual cambuk’? Mana mungkin aku memercayai omong kosong seperti itu. Itu takhayul! Bagaimana mungkin para joki yang cambuknya dimantrai oleh para pendeta itu berharap akan menang? Kupikir aku akan membuka mata mereka.”

Sementara Wataru mencerocos, Kiyomori mengedarkan pandangan. Diiringi gebukan tambur, dua ekor kuda dan penunggangnya melesat dari bilik start dalam kepulan debu, namun dia tidak sedang menonton mereka. Dia menyapukan tatapan ke deretan kepala di paviliun utama. Di antara kerumunan pria dan wanita, sekilas dia melihat ibunya. Di antara para wanita yang berpakaian anggun itu, ibunya tampak mencolok dalam balutan kimono indahnya.

Page 73: The Heike Story

Tatapan para penonton tertuju ke lintasan balap, namun tatapan ibunya tertuju kepadanya. Pandangan mereka bertemu. Yasuko memanggil Kiyomori dengan sorot matanya, namun Kiyomori balas menatapnya dengan dingin. Yasuko terus tersenyum, membujuk dan memohon, seolah-olah gemas melihat anaknya yang merajuk, kemudian menoleh untuk berbicara dengan Ruriko, yang berdiri di sampingnya. Pada saat yang sama, gemuruh tepuk tangan para penonton menggetarkan udara. Gebukan genderang yang terdengar dari bilik start, tempat sehelai bendera merah berkibar untuk mengumumkan bahwa kuda-kuda Istana Kioister menjadi pemenang hari ini. Sorak sorai para penonton meledak dalam sebuah nyanyian kemenangan, yang terdengar gegap gempita di seluruh paviliun Mantan Kaisar.

Wataru menggumamkan beberapa patah kata dan berlalu. Kiyomori juga membalikkan badan. Dia mendesak kerumunan penonton untuk menghampiri panggung utama. Mata Yasuko seolah- olah memanggil-manggilnya untuk mendekat. Ketika Kiyomori semakin dekat dengannya, mata itu seolah-olah bertanya, “Jadi kau datang juga, setelah semua yang telah terjadi?”

Kiyomori, yang menghampiri ibunya, hanya merasakan kebencian di dadanya. Seluruh kebencian dan kemarahannya terpancar dalam tatapan yang dilontarkannya ke arah ibunya ketika dia berjalan mendekati paviliun tempat wanita itu duduk. Ketika menyadari keberadaan banyak wanita di sekeliling ibunya, Kiyomori mendadak merasa rikuh dan malu, dan rona merah langsung tampak di pipi dan telinga caplangnya.

“Kau memang anak yang lucu,” Yasuko tertawa ketika melihat kecanggungan Kiyomori. “Apa yang membuatmu malu seperti itu? Bukankah aku ibumu? Ayo, kemarilah.”

Page 74: The Heike Story

Kesan yang ada di dalam suaranya adalah kasih sayang, yang hanya bisa diperdengarkan oleh seorang ibu. Tetapi, bukan ibunya yang menyebabkan Kiyomori tersipu malu. Baginya, Yasuko bukanlah seorang wanita melainkan perwujudan dari kecantikan—kecantikan yang dibenci sekaligus dikaguminya lebih daripada segalanya. Dengan sensasi mendorong dirinya sendiri menembus sebuah penghalang gaib, Kiyomori semakin dekat dengan ibunya. Tidak ada kesan aneh maupun janggal ketika mereka berdekatan, pikirnya, namun dia mengedarkan pandangannya dengan lemas, seolah-olah mencari perlindungan dari tatapan orang-orang yang tertuju kepadanya.

Melihat kegelisahan Kiyomori, Yasuko segera menyimpulkan bahwa Rurikolah penyebabnya. Dia melirik gadis itu, lalu putranya dan, menoleh ke arah Ruriko, dia berbisik, “Ini anakku, Heita Kiyomori, yang kubicarakan waktu itu.”

Kepada Kiyomori, dia kemudian mengatakan, “Waktu kau berumur tiga atau empat tahun, kau pernah mengunjungi kediaman Nakamikado, tempat Ruriko sekarang tinggal.”

Meskipun Yasuko berusaha membuatnya merasa santai, Kiyomori tetap diam. Jantungnya yang berdegup kencang menjadikan wajahnya semakin merah. Ruriko melihatnya dan tersipu malu. Kelopak matanya bergetar dan terpejam, seolah-olah untuk menghindar dari tatapan tajam, dan desahan meluncur dari bibirnya.

Kiyomori merasakan sensasi memualkan, yang telah diakrabinya, menghampirinya ketika dia berdiri di samping ibunya. (Wanita yang sungguh cantik dan licin!) Dia tergoda untuk sekali lagi bertanya kepada ibunya. Apakah dia putra seorang kaisar atau seorang pendeta mesum?

Page 75: The Heike Story

Siapakah ayah kandungnya? Duka yang mendalam akibat perilaku binal ibunya sepertinya mendorong Kiyomori untuk terus berusaha mencari jawaban. Baginya, ibunya saat ini tampak lebih nista daripada semua pelacur dan penghibur di ibu kota.

Di masa remajanya, ketika dia merasa jijik terhadap hubungan antar jenis kelamin, Kiyomori menyadari bahwa, tanpa alasan tertentu, dia menghendaki ibunya bersikap lebih bersahaja. Sebagai seorang anak, putra ibunya, dia ingin memercayai bahwa ibunya adalah wanita tersuci, teranggun, dan apa pun yang menjadi lambang kasih sayang itu sendiri. Sejak bayi, ketika dia mengisap air susu ibunya, Kiyomori telah mengagumi gambaran ideal ini— ibunya; selama masa remajanya, sosok itu tidak berubah, hingga dia mendengar cerita Morito, yang mengubah ibunya menjadi sekadar onggokan daging. Kiyomori yang jijik menganggap kenistaan ibunya sebagai kenistaannya juga; hingga waktu itu, dia masih bersyukur bahwa darah Heik£ Tadamori dan seorang ibu yang suci mengaliri tubuhnya, namun yang dirasakannya saat ini hanyalah kebencian kepada diri sendiri.

Malam itu, ketika dia bertemu dengan Morito dan mendengar tentang masa lalu ibunya, dalam kemarahan dan keputusasaan, Kiyomori menyerahkan masa muda dan kepolosannya kepada seorang’ pelacur. Sekarang, dia merasakan kejijikan yang sama kepada dirinya sendiri. Dia membenci darah dan dagingnya sendiri; satu-satunya hal yang membuatnya bertahan dari memuaskan nafsu birahi dan membuang-buang uang adalah Tadamori, pria yang ternyata bukan ayah kandungnya, si Mata Picing yang kasih sayang dan pengorbanannya tidak bisa dikhianatinya. Hanya dengan cintanya, Tadamori mendorong Kiyomori

Page 76: The Heike Story

untuk bersumpah menjadi seorang anak berbakti yang akan selalu menjaga nafsunya.

Melihat ibunya cukup untuk membuat Kiyomori melupakan tekadnya. Dia berpikir apakah hanya darah campur aduk ini yang didapatkannya dari wanita itu.

Yasuko kecewa dan kesal. Kiyomori tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda penyesalan. Dia mengharapkan anak itu menghampirinya sambil berurai air mata. Dia juga kesal karena alih-alih memedulikan Ruriko, Kiyomori justru mengamati perhatian orang-orang di sekeliling mereka.

“Heita, apa yang membuatmu ragu-ragu? Apakah kau takut Tadamori akan mendengar tentang pertemuan kita ini?” akhirnya Yasuko bertanya.

“Ya—ayahku ada di sini, dan aku khawatir beliau akan melihat kita.”

“Apa masalahnya? Meskipun aku dan Tadamori telah berpisah, kau masih anakku, bukan? Aku memahami betapa kau dan adik- adikmu kesepian dan merana tanpa aku.”

‘Tidak!” Kiyomori cepat-cepat menyanggah. “Adik-adikku, kuda- kuda di istal, semuanya baik-baik saja dan bahagia. Tidak seorang pun pernah membicarakanmu!”

Yasuko buru-buru menutupi perubahan pada air mukanya dengan tawa dan, untuk beberapa alasan yang tidak bisa dijabarkan oleh Kiyomori, menyambar dan memegang erat-erat pergelangan tangan putranya.

“Dan kamu—apa kau tidak pernah ingin menemuiku?”

Page 77: The Heike Story

Kiyomori berusaha menarik tangannya. “Izinkan aku pergi. Ayahku sedang melihat kemari. Beliau melihat kita. Izinkan aku pergi!”

“Heita!” sergah Yasuko, tersenyum puas. “Tadamori bukan ayah kandungmu, meskipun aku ibu kandungmu. Apa yang membuatmu begitu menyukainya? Kau harus mengunjungiku, Heita, karena aku sering merindukanmu. Dan Ruriko akan menjadi teman baikmu.”

Sekali lagi, Kiyomori berusaha membebaskan diri, yakin bahwa ayahnya telah melihatnya sekarang.

Di atas gegap gempita para penonton dan gumpalan debu di atas lintasan pacu, matahari semakin pucat, menandai akhir balapan dan hari itu. Kaisar dan Mantan Kaisar meninggalkan paviliun mereka, disusul oleh para pengikut mereka, dan melangkah menuju Kuil Kamo, tempat para pendeta menampilkan ritual suci diiringi oleh musik sakral. Kedua penguasa itu lagi-lagi berdampingan ketika memasuki paviliun, untuk bersulang kepada para juara dan menyaksikan para joki menerima penghargaan.

Secara resmi, penganugrahan tropi untuk para juara akan dilakukan pada perjamuan musim gugur, ketika mereka mendapatkan hasil taruhan mereka—timbunan emas, gulungan sutra, dan wewangian langka. Dalam pesta yang berlangsung semalaman itu, para samurai dan bangsawan diperkenankan untuk minum sake sepuasnya. Para juara dan mereka yang kalah menari dan menyanyi bersama-sama. Kemenangan adalah awal dari kekalahan, kekalahan adalah awal dari kemenangan. Itu adalah hukum alam, Roda Kehidupan Buddha yang akan selalu berjalan. Bagi para bangsawan yang bermandikan sake, kehidupan adalah kenikmatan, dan kenikmatan adalah kehidupan. Apakah makna kemenangan, atau kekalahan? Bukankah Fujiwara telah berkuasa selama tiga ratus tahun, dan bukankah

Page 78: The Heike Story

kesuksesan dan lebih banyak kesuksesan lagi selalu menyertai mereka selama beberapa generasi?

Hari pacuan kuda Kamo ini hanyalah selingan dalam perjalanan panjang untuk mengejar kenikmatan hidup. Di atas pepohonan sakura yang sarat dedaunan tampaklah bulan. Kereta terbuka Kaisar dan kereta tertutup Mantan Kaisar berderak menjauhi lintasan, diikuti oleh kereta-kereta para bangsawan dan pejabat istana.

Tadamori meninggalkan Istana pada larut malam dengan senang hati, karena Mantan Kaisar ceria sepanjang hari itu. Mokunosuke biasanya menyambut majikannya, membawakan kudanya, namun kali ini Tadamori mendapati Kiyomori menunggunya di Pangkalan Pengawal.

“Di mana Mokunosuke?” tanyanya.

“Dia ada di sini tadi, tapi aku menyuruhnya pulang dan mengatakan kepadanya bahwa akulah yang akan menunggu Ayah,” jawab Kiyomori.

Sambil memanjat pelana kudanya, Tadamori berkata, “jadi, kau menungguku. Kau tampak lelah, Heita.”

Kiyomori memegang tali kekang erat-erat dan mendongak, menatap ayahnya di bawah gemerlap cahaya bintang. Haruskah dia memberi tahu ayahnya? Dia harus bicara, meskipun ini akan menyakiti ayahnya. Kiyomori telah menyuruh Mokunosuke pulang dan menantikan kesempatan untuk bisa berbicara empat mata dengan ayahnya. Jika Tadamori tidak melihatnya siang tadi, lebih baik dia tutup mulut, pikirnya. Kendati demikian, dia yakin bahwa ayahnya melihatnya dari kejauhan. Ayahnya tidak akan mengungkit-ungkit hal itu, karena Tadamori selalu menyimpan kesepian dan kesedihannya sendiri. Mengapa dia menghendaki kegelapan menaungi ayahnya lagi?

Page 79: The Heike Story

Menimbang-nimbang hal itu di dalam hati, Kiyomori mendapati bahwa kuda yang dituntunnya sudah hampir membawa mereka tiba di Imadegawa, dan dia pun memutuskan untuk berbicara kepada ayahnya.

“Ayah, apakah Ayah melihat Ibu di pacuan kuda tadi?”

“Sepertinya begitu.”

“Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya lagi, tapi dia memanggilku sehingga kami akhirnya bertemu.”

“Begitukah?” kata Tadamori, memicingkan mata dan menatap putranya lekat-lekat. Melihat ayahnya sepertinya tidak gusar, Kiyomori melanjutkan dengan sedikit nada menyesal:

“Dia kelihatan muda, seperti biasanya, tidak beda dengan perawan kuil atau dayang-dayang. Tapi, aku tidak meneteskan air mata untuknya. Aku tidak bisa merasakan bahwa dia adalah ibuku.”

“Aku menyesal mendengarnya, Heita,” jawab Tadamori dengan tenang.

“Mengapa begitu, Ayah?”

“Tidak ada yang lebih mengibakan daripada seorang anak tanpa ibu, Heita. Bahwa kau menemuinya dan memaksa dirimu untuk tidak mengakui ibumu sendiri adalah hal terkeji yang pernah kudengar.”

“Aku adalah anakmu. Aku bisa hidup tanpa ibu!” jawab Kiyomori dengan garang.

Sosok di atas kuda itu menggeleng. “Kau salah, Heita. Jika ada yang mengeraskan hatimu, akulah yang patut disalahkan, karena aku telah membiarkan anak-anakku melihat pertengkaran tanpa henti kami di sebuah rumah tanpa cinta. Akulah yang menjadikan ibumu tampak

Page 80: The Heike Story

rendah di matamu. Ini adalah kesalahanku. Tidak wajar jika seorang anak bersikap sepertimu. Jujurlah, Heita, jika kau memang ingin menemui ibumu, temuilah dia.”

“Bagaimana mungkin perempuan itu menjadi ibuku? Dia telah mengkhianati suaminya dan tidak mencintai anak-anaknya, dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah memuaskan nafsu sesatnya!” Kiyomori menyanggah.

“Kau tidak boleh membicarakan dia seperti aku, Heita. Kau tidak punya alasan untuk mengatakan hal-hal semacam itu tentang dia. Kau dan dia akan selamanya menjadi anak dan ibu. Cinta yang bisa memaafkan segalanya adalah cinta sejati, dan itulah yang pasti akan menyatukan kalian kembali.”

Kiyomori tidak menjawab. Sulit baginya untuk memahami ayahnya. Apakah karena ayahnya terlalu bijaksana, atau dia yang masih terlalu muda untuk mengerti?

Ketika mereka tiba di rumah, Mokunosuke, Heiroku, dan beberapa pelayan lain menyambut mereka di gerbang. Cahaya berpendar di kebun yang tidak terawat dan kandang kayu sederhana yang tersapu bersih. Kehidupan yang sederhana, harmonis, dan teratur ini baru mulai mereka rasakan tiga bulan yang lalu. Kiyomori memikirkan alasan yang bisa membuatnya menyesali kepergian ibunya. Tidak ada ruang untuk perasaan kesepian di hatinya sekarang, namun mengapa ayahnya tidak bisa memercayainya?.

-0ood-e-oo0-

Page 81: The Heike Story

BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN

Tahun itu. pada pertengahan bulan Agustus, Genji Wataru mengundang sepuluh orang teman terdekatnya di Kesatuan Pengawal untuk datang dan menikmati seguci besar sake bersamanya sembari memandang bulan dari kebunnya. Teman-temannya, bagaimanapun, mengetahui bahwa ada alasan lain yang mendasari undangan ini. Pada musim gugur. Kaisar dan Mantan Kaisar akan melakukan perjalanan ziarah ke Kuil Ninna-ji. Mereka juga akan menghadiri pacuan kuda yang diselenggarakan di kompleks kuil. Tanggal resmi acara tersebut sudah diumumkan—23 September—dan teman-teman Wataru tahu bahwa dia telah menanti-nantikan dengan tidak sabar kesempatan untuk membuktikan kemampuannya bersama si kuda hitam dengan tanda putih di kaki-kakinya.

“Ini adalah acara minum-minum untuk kesuksesannya,” teman-teman Wataru saling berkasak-kusuk. Salah seorang dari mereka menambahkan dengan nada bercanda, “Dia khawatir dikatai pelit, karena sudah menjadi tradisi bagi para penunggang kuda untuk mengadakan pesta besar-besaran bagi teman-teman dan kerabatnya setelah ‘ritual cambuk* dilakukan. Wataru membenci para pendeta. Dia mencela-cela para “Buddha suci’ itu, begitulah dia menyebut mereka dan mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan mereka. Maka, alih-alih mengadakan upacara dengan doa-doa dan mantra-mantra, serta sebuah perjamuan besar, dia menyelenggarakan pesta melihat bulan ini!” Ucapan itu disambut dengan gelak tawa.

Salah seorang pengawal berkata, “Dengar, kalian tahu bagaimana perasaannya kepada istrinya, Kesa-Gozen, yang pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Saking terpesona kepada istrinya, saat dia bertugas jaga malam,

Page 82: The Heike Story

pikirannya selalu terbang ke rumahnya. Kami pernah meminta untuk dipertemukan dengan istrinya, tapi dia cuma tersenyum dan mengatakan bahwa ‘cinta rahasianya’ tidak untuk dipertontonkan, dan sebagainya. Kurasa dia ingin mempertemukan kita dengan istrinya malam ini.”

Masih sambil berkasak-kusuk dan bercanda, para pengawal itu tiba di rumah Wataru, yang gerbangnya terbuka lebar menyambut mereka dan tatanan batu di jalan masuknya telah disiram dengan air. Berkumpul di ruang tamu Wataru, para pemuda itu menutup mulut dan bersikap kaku ketika berbaki-baki makanan disajikan. Baru ketika sake dikeluarkan mereka kembali bersikap santai, lalu meneruskan obrolan dan gurauan mereka.

Heita Kiyomori dan Sato Yoshiko juga hadir di sana. Kiyomori tidak melihat Morito, dan hendak menanyakan tentang hal ini, namun mengurungkan niatnya. Akhir-akhir ini dia merasakan bahwa hubungan Wataru dan Morito tidak sebaik dahulu. Yang lain sepertinya tidak menyadarinya, namun Kiyomori sering memikirkan apakah dia hanya membayangkan hal itu, karena dia menjaga jarak dengan Morito sejak pemuda itu menceritakan kepadanya rahasia aneh menyangkut kelahirannya. Perilaku Morito merisaukan Kiyomori. Dia mengkhawatirkan Morito karena dia tahu bahwa di dalam diri temannya itu, sifat baik sedang berperang melawan hawa nafsu primitif yang ganas. Selain itu, dia juga sering melihat tatapan culas yang terpancar di mata Morito setiap kali Kiyomori menghabiskan waktu bersama Wataru. Tatapan itu berlawanan dengan pembawaan ceria Morito. Akhir-akhir ini, Morito bahkan sering terlihat berkeliaran dengan mata merah dan pipi kasar, sehingga Kiyomori menarik kesimpulan bahwa dia kelelahan, entah karena belajar terlalu keras atau terlalu banyak minum dan melakukan

Page 83: The Heike Story

pemborosan. Dia menyimpulkan bahwa Wataru bermusuhan dengan Morito sehingga tidak mengundangnya.

Sake diedarkan, dan para samurai muda itu menikmati waktu mereka. “Ayo, Tuan Rumah,” seru mereka, “bukankah sekarang saatnya istrimu ditampilkan? Berhentilah membuat kita penasaran!”

Wataru menyodorkan sake kepada Yoshikiyo, yang cangkirnya masih kosong.

Akhirnya mengangkat cangkirnya, Yoshikiyo berkata kepada Wataru. “Aku pernah menonton sebuah lomba puisi di Istana KJotster. ketika seorang gadis bernama Kesa-Gozen mendapatkan sambutan hangat berkat puisi yang ditulisnya, jadi dia tidak sepenuhnya asing bagiku. Sekarang, setelah dia menjadi nyonya rumah di sini, aku ragu apakah dia masih sempat menulis puisi. Sayang sekali jika bakat sebesar itu disia-siakan! Kau harus mengizinkannya menghadiri pesta-pesta puisi, Wataru, karena kita, para samurai brutal ini, tidak tahu apa-apa soal dunia sastra dan, yang lebih parah lagi. membencinya … Bolehkah aku mengatakan, karenanya, bahwa samurai ini dan istri pujangganya bagaikan sebuah lukisan indah—seperti pohon pinus dan bunga krisan—pasangan yang paling serasi? Mereka iri kepadamu. Bisakah kau menyalahkan mereka karena kecemburuan mereka kepadamu?”

Yoshikiyo tertawa terbahak-bahak. Sake menjadikannya lebih cerewet dan ceria daripada biasanya. Para tamu yang lain berlomba-lomba menimpali ucapannya dengan riuh rendah, “Yoshikiyo, membicarakan puisi lagi? Setiap kali orang ini membuka mulut, sake kita langsung dingin!”

Page 84: The Heike Story

“Ayo, ayo, tuan rumah yang baik, keluarkanlah pertunjukan utamanya!”

“Cepat, bawa dia ke hadapan kami—teman-temanmu!”

Dengan gaduh, mereka memohon dan menuntut agar V^taru mengeluarkan istrinya, hingga akhirnya si tuan rumah bertanya, “Haruskah aku memanggil geisha untuk menghibur kita di rumahku yang sederhana ini?”

‘Tidak, tidak! Biarkanlah kami melihat sekilas istrimu—Kesa-Gozen—dia pasti lebih cantik dari semua geisha terkenal di seluruh ibu kota ini!”

Wataru, tergelak, memohon ampun, memprotes, “Dia pemalu— dia tidak mau keluar dari dapur, tempat dia sedang menghangatkan sake untuk tamu-tamuku dan sibuk memuaskan mereka. Kurasa dia tidak akan mau keluar dan membiarkan lampu-lampu ini tersorot kepadanya.”

“Kami lebih memilih melihat cahaya dapurmu daripada cahaya bulan musim semi,” para tamu bersorak-sorai. Salah seorang dari mereka bangkit dan berjalan ke dapur, namun Wataru cepat-cepat mengejarnya dan menyeretnya kembali ke ruang tamu dengan janji akan membawa istrinya keluar. Para tamu terus menuntut Wataru, yang belum terlalu mabuk. Meyakinkan mereka bahwa dia akan menampilkan istrinya seperti layaknya istri seorang samurai, Wataru memohon kepada mereka untuk bersabar sedikit lebih lama dan meninggalkan ruangan. Ketika muncul kembali, dia duduk di beranda yang menghadap ke kebun, mengatakan:

“Kuda hitam yang kalian ketahui menjadi tanggung jawabku sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda seekor kuda jawara. Aku berharap ia bisa mengikuti pacuan kuda Ninna-ji ketika Kaisar berziarah ke sana, dan malam ini, aku ingin merayakan peristiwa ini bersama kalian. Sekarang, katakanlah pendapat kalian tentang kuda itu.”

Page 85: The Heike Story

Para tamu Wataru terdiam. Mereka tahu bahwa Wataru telah melatih kuda itu habis-habisan, bahkan rela mempertaruhkan reputasinya sendiri demi kuda itu. Tanpa memprotes Wataru karena melanggar janji yang baru diucapkannya beberapa waktu yang lalu, mereka serempak berkata, “Mari kita melihatnya!”

Mengikuti Wataru, mereka duduk di beranda, menghadap ke kebun dalam yang mungil. Rembulan Agustus memancarkan cahaya yang cukup terang sehingga mereka bisa melihat kuda itu. Wataru memandang kebun dan memanggil seseorang.

Bunyi tak, tik, tuk terdengar semakin nyaring ketika langkah kuda mendekat. Jangkrik berhenti mengerik. Semak-semak di dekat pagar bambu bergemerisik; butiran-butiran embun menetes dari dedaunan dengan bunyi menyerupai mutiara yang berhamburan. Gerbang kebun terayun dan seorang wanita muncul, menarik tali kekang seekor kuda hitam. Tanpa suara, dia melangkah memasuki sorotan sinar bulan dan berhenti tepat di tengah-tengah kebun.

Para tamu menahan napas dan diam seribu bahasa—terkejut, senang, dan terpesona.

Di sana. bermandikan cahaya bulan, berdirilah kuda itu. Bulu hitam legamnya berkilauan bagaikan bulu gagak. Seekor binatang anggun dengan kaki-kaki jenjang dan otot yang kokoh. Dibandingkan dengan musim semi lalu. penampilannya telah sangat jauh berubah. Ekornya yang panjang nyaris menyentuh tanah, dan keempat tanda putih di kakinya berkilauan seolah-olah ia menebarkan salju.

Para tamu, bagaimanapun, tidak memandang kuda itu, tetapi sosok yang berdiri diam dan membungkuk di hadapan mereka. Diakah Kesa-Gozen?

Page 86: The Heike Story

Wanita itu tidak tampak pemalu. Seulas senyum tersungging di wajahnya ketika dia menoleh ke arah kuda di dekatnya, menenangkannya hingga ia berdiri diam.

Efek cahaya bulankah yang menjadikan wanita itu terlihat seperti Kannon di Bangsal Mimpi? Jemarinya tampak putih bersih hingga ke ujung-ujungnya, dan rambut panjangnya sama halusnya dengan bulu kuda.

“Ah,” Kiyomori mendesah, “aku juga mau punya istri, asalkan masih ada wanita seperti dia di dunia ini!” Dia menelan ludah dan tersipu malu gara-gara bunyi tegukan yang terdengar dari tenggorokannya.

Malam demi malam yang bergelimang cahaya bulan berlalu. Di perbukitan dan dataran, rusa-rusa bersetubuh dan tupai-cupai berlompatan di antara sulur-sulur anggur liar. Semua binatang sepertinya larut dalam keindahan bulan.

Kiyomori, duduk di rumahnya, merasa gelisah. Dia menyaksikan adiknya menekuni buku-bukunya dengan bantuan sebuah lentera kecil yang terpasang di dekat meja tua yang ditinggalkan oleh ibu mereka, dan tergoda untuk mendampratnya. Lihatlah Tsunemori— pemuda berumur delapan belas tahun—yang tidak pernah sedikit pun memikirkan perempuan! Kiyomori menghela napas untuk adiknya yang mengenaskan. Seluruh isi buku-buku anak malang itu telah diketahuinya. Dia mengamati Tsunemori. Adiknya itu telah hanyut, pikir Kiyomori, sepertinya sangat banyak samurai muda akhir-akhir ini, dalam kegilaan meminjam buku dari perpustakaan Akademi Kekaisaran dan perguruan tinggi—karya-karya klasik Konfusius yang dikemas dalam jilidan Sung dari Cina, yang telah teronggok begitu saja di rak-rak berdebu selama dua ratus tahun. Apakah yang mungkin dianggap menarik oleh Tsunemori dari Analek atau Kitab Yang Empat karya Konfusius?

Page 87: The Heike Story

Kiyomori sendiri tertidur sambil berpura-pura mendengarkan ketika mengikuti pelajaran tentang Konfusianisme. Ajaran Konfusius hanyalah ornamen, ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan kepada orang-orang yang berkedudukan tinggi, dan mewajibkan kepada para samurai dan rakyat jelata untuk mematuhi golongan di atas mereka. Berdasarkan apakah Konfusius menjabarkan berbagai aturan tentang perilaku manusia itu? Apakah yang digemari Konfusius sepanjang kehidupannya, atau kebaikan apakah yang pernah dilakukannya? Apakah karena dirinyalah pertumpahan darah di Cina berakhir? Para pencuri menjadi jujur? Para penipu bertobat? Ajaran paling sakral sekalipun bisa dijelek-jelekkan dalam sebuah perdebatan dengan seorang penjahat ulung sehingga menjadi tidak berarti bagi manusia.

“Adik tolol!” Kiyomori akhirnya berkata. “Mengapa menjejali otak tumpulmu dengan omong kosong semacam itu? … Ada ruangan di Istana Kekaisaran yang seluruh dindingnya tertutup oleh lukisan orang-orang bijak dan ajaran-ajaran mereka; orang-orang percaya bahwa hanya dengan duduk di ruangan itu. kebijaksanaan mereka akan bertambah, jadi, kau juga memenuhi kepalamu dengan ajaran seperti itu? Dasar tololi Kita bukan bangsawan! Mereka sudah memberi kita makanan, dan jika mereka memerintah kita, bukankah kita sudah seharusnya langsung keluar dan membunuh orang-orang yang tidak membahayakan kita sekalipun? Bukankah kepada mereka kita mengabdi? Tinggalkan buku-buku itu—abaikan sekarang”.

Kiyomori berbarang telentang di ambang pintu; setengah bagian atas tubuhnya berada di kamar, dan kedua kakinya menjuntai melewau teptan beranda. Dia memandang Tsunemori yang sedang menekuni buku-bukunya,

Page 88: The Heike Story

sementara nyamuk-nyamuk berdengung di sekeliling tubuhnya yang terlindung bayangan. Kiyomori sedang kesal dan mudah meledak; ayahnya telah masuk ke biliknya sejak lama. semua pelayan telah tidur, namun Tsunemori masih terjaga hingga larut malam. Dengan menjengkelkan, dia menolak untuk menemani Kiyomori berjalan-jalan malam. Sungguh menyebalkan, adiknya ini, sungguh berbeda perangainya dengan dirinya, meskipun mereka terlahir dari rahim yang sama. Pikiran-pikiran buruk mulai menggelitik benak Kiyomori, seperti tetesan air hujan di atap yang bocor. Dia berpikir, apakah sifat mereka berbeda lantaran ayah mereka berbeda. Pikiran ini membuatnya melupakan ketakutannya kepada Tadamori dan kekesalan yang dirasakannya kepada adiknya. Dia pun menguap lebar, laki menggumam kepada dirinya sendiri. “Ya sudah, aku akan pergi sekarang. Bulan maian ini sangat cemerlang.” Dia tiba-tiba berdiri dan menyelipkan kakinya ke sepasang sandal yang basah oleh embun di bawah beranda.”Mau ke mana?”

“Aku sedang berusaha memutuskannya,” jawab Kiyomori.

‘Tapi, di malam selarut ini?”

“Beberapa pengawal berjanji untuk menemui Wataru saat bulan bersinar terang, karena dia akan melatih kudanya.”

Tsunemori bertanya dengan heran. “Apa? Melatih kuda di malam selarut ini?”

“Wajar saja jika para penunggang kuda melatih kuda mereka secara diam-diam sebelum mengikuti pacuan.”

“Kau berbohong!”

Page 89: The Heike Story

“Apa?” tukas Kiyomori dengan marah, memandang lingkaran cahaya terang di sekeliling lentera.

Tsunemori cepat-cepat meninggalkan mejanya untuk menghampiri kakaknya dan berbisik, “Sampaikan salamku kepada Ibu. Maukah kau memberikan ini kepada beliau?”

Kiyomori terenyak ketika merasakan surat yang diselipkan oleh adiknya ke bagian depan kimononya.

“Kau sudah mendapatkan izin untuk menemui beliau, bukan? Aku juga ingin menemui beliau. Walaupun telah meninggalkan Ayah, beliau masih ibu kita. Aku akan menunggu hingga waktuku untuk menemui beliau tiba. Sampaikanlah perkataanku ini kepada beliau … Semua itu sudah kutulis di dalam suratku.”

Air mata mengalir di pipi Tsunemori. Kiyomori melihat cahaya bulan terpantul di setiap tetesan air mata adiknya. Konyol sekali! Untuk apa dia mengejar-ngejar ibunya? Kiyomori tersentuh oleh air mata adiknya, lalu berkata dengan lembut:

“Kau salah, Tsunemori. Aku akan memenuhi janjiku kepada Wataru.”

“Jangan coba-coba membohongiku,” Tsunemori bersikeras, “ada tamu yang mengatakan kepada Ayah bahwa mereka melihatmu berkeliaran di dekat kediaman Nakamikado.”

“Tidak! Siapa yang menceritakan khayalan seperti itu kepadamu?”

“Fujiwara Tokinobu. Beliau adalah salah seorang dari beberapa pejabat istana yang dipercaya oleh Ayah, dan aku tidak meragukan kata-katanya.” jawab Tsunemori.

Page 90: The Heike Story

“jadi, si kakek itu sering datang kemari akhir-akhir ini, ya?”

“Ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan di Istana, dan karena itulah beliau datang kemari.”

Kiyomori menggaruk-garuk kepalanya. “Tertangkap basah! Kalau ada banyak orang yang tahu, sebaiknya aku mengaku saja. Aku akan menyampaikan suratmu kepada Ibu, Tsunemori. Aku juga akan memberitahumu bahwa Ayah mengizinkanku menemuinya jika aku mau.”

“Kalau begitu, bawalah aku bersamamu!” Tsunemori memohon.

“Dasar dungu!” Kiyomori menyembur dengan kesal. “Apa kau tidak memikirkan Ayah? Jangan ceritakan kepada beliau tentang jalan-jalan malamku, dan ingatlah—tidak sepatah kata pun kepada Mokunosuke!”

Kiyomori melompati pagar. Wajah adiknya yang basah oleh air mata seolah-olah melayang-layang di depannya, namun dia segera melupakannya. Di atasnya, terbentanglah Galaksi Bima Sakti. Angin malam mendinginkan suasana hatinya yang panas. Ke manakah dia akan pergi? Dia tidak tahu. Apakah yang menyebabkannya begitu gelisah malam ini? Apa pun itu, itulah penyebab mimpi buruknya, pemicu kegilaannya, air matanya, membuatnya tidak bisa tidur, hingga dia merasa putus asa. Dia meyakini adanya Tuhan, seperti halnya para penganut Buddha yang berdoa agar kehidupan mereka sejahtera. Dia menyiksa dirinya dengan memikirkan pria yang telah mewariskan darah liar kepadanya. Apakah kegilaan ini diwariskan oleh ibunya atau almarhum Kaisar? Jika begitu, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakannya? Dia tidak memiliki keberanian untuk seorang diri mendatangi rumah bordil di Jalan Keenam, namun seandainya Morito ada di sini

Page 91: The Heike Story

sekarang, dia akan langsung mendatangi wanita-wanita itu, wanita yang mana pun, atau bahkan seekor rubah yang menjelma menjadi wanita dibawah sinar rembulan. Apa pun—sapa, pun yang bisa meredakan gejolak yang membabi buta di dalam dirinya bagaikan binatang buas. Ilusi apa pun yang bisa menenangkannya, menidurkannya Menyentuh seorang wanita … bertemu dengan seorang wanita secara kebetulan.

Kiyomori seolah-olah berjalan dalam tidur. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa tiba di sana. namun dia telah berdiri di luar pagar kediaman Nakamikado. Tidak ada gunanya—dia seorang pengecut! Pagar di sini jauh lebih tinggi daripada di rumahnya. Dia tahu bahwa bilik ibunya terletak di sayap timur. Dia masih mengingat perkataan ibunya di pacuan kuda Kamo—”Datanglah menemuiku … Ruriko akan menemanimu.”—Ruriko, yang terlampau cantik dan berkelas untuk seorang pemuda samurai pemimpi biasa. Tidak ada alasan, bagaimanapun, mengapa dia tidak mencoba menemuinya sebagai alasan untuk mengunjungi ibunya. Bukan kasih sayang yang mendorong Kiyomori untuk mencari ibunya, melainkan mimpi-mimpinya.

Setiap kali dia tiba di sana, keberaniannya langsung menguap. Dia menyalahkan sifat pemalunya dan merasa tidak percaya diri akibat penampilannya. Berdiri di sana dalam balutan kimono tua dan sandal usang, berbagai cerita yang didengarnya setiap hari tentang para pejabat istana berkelebatan di benaknya— bangsawan yang bisa dengan mudahnya menculik seorang putri, menggendongnya melintasi padang rumput, tempat ilalang tinggi melambai-lambai dan bunga hagi bermekaran, menghabiskan malam berdua hingga bulan memucat menandai tibanya pagi dan tttesan embun berkilauan bagaikan permata di kelopak mata

Page 92: The Heike Story

sang putri, lalu menyusupkannya kembali ke rumahnya tanpa dilihat oleh siapa pun. Kiyomori memikirkan para pejabat istana yang bisa dengan santainya menjatuhkan surat-surat cinta di aula-aula Istana, tempat dayang-dayang berlalu lalang, dan menantikan datangnya malam untuk menyentuh rambut yang lembut dan bibir yang panas …. Dia memikirkan mengapa takdir tidak menyodorkan hal-hal semacam itu kepadanya … Dia memang pengecut! Seandainya saja dia bisa menyingkirkan sifat pemalunya!

Malam ini, dia bertekad untuk melawannya. Dia saat ini berdiri di puncak pagar, namun lagi-lagi, keraguan menghampirinya. Khayalan-khayalan liar bergejolak di otaknya yang panas. Tunggu! Angin sejuk menerpa tubuhnya yang berkeringat. Di tengah-tengah khayalan liarnya, kata-kata Mokunosuke tiba-tiba terngiang-ngiang di telinganya. “Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria. Anda bukan seorang pincang di balik tubuh perkasa itu.” Apakah dia anak seorang kaisar atau anak siapa pun, bukankah dia tetap anak langit dan bumi? Yang sedang dilawannya saat ini adalah hawa nafsunya sendiri!

Dia mendadak ingin menertawakan dirinya, bertengger di pagar seperti itu. Dia mendongak untuk memandang Galaksi Bima Sakti yang terbentang di langit. Tidak buruk—tidak buruk sama sekali menghabiskan waktu seorang diri di bawah langit musim gugur yang luas itu!

Apakah itu? Lagi-lagi!

Di kejauhan, lidah api tampak menjilat langit. Kiyomori memandang ke arah sebentuk atap yang terletak di bagian dalam tembok kota. Tidak ada yang aneh—hanya peristiwa kebakaran biasa. Kebakaran sering terjadi akhir-akhir ini. Ketika pendar merah menyebar, Kiyomori memikirkan entah berapa banyak rakyat jelata, bergelung dalam tidur yang gelisah sementara para bangsawan pongah

Page 93: The Heike Story

bergelimang kemewahan; kedua pemerintahan menyusun rencana untuk saling melawan, dan para pendeta bersenjata mengamuk. Api itu, yang berkobar dengan begitu ganasnya ke langit, adalah lidah-lidah rakyat yang kelaparan, kaum papa yang tidak memiliki apa-apa dan yang hanya bisa memprotes dengan cara membakar objek kebencian mereka. Dia teringat pada tindakan pembakaran yang baru-baru ini terjadi: Gerbang Bifuku, Wilayah Barat, vila Penasihat Tinggi. Lihatlah bagaimana kaum tertindas dan para bajingan, yang keberadaannya sangat tergantung pada kesejahteraan Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan perakan api pembumihangusan!

Kiyomori melompat turun dari tembok—di bagian luar—dan berlari ke arah keributan yang sekarang terdengar di jalanan.

^d^w^

Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa jeda menimbulkan banyak keluhan, namun Sungai Kamo maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan di Perbukitan Utara mulai berubah warna.

Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibuk mempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya. Para samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan kedudukannya; dia sekarang ditugaskan menjadi pengawal kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan sempurna. Dia tinggal di Istana hingga larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu lapar dan lelah untuk melamun.

Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi langkah kaki terdengar bergegas menghampiri kamar

Page 94: The Heike Story

Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dari Istana. Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan melapor.

Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak? Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun, dia tidak sepenuhnya terkejut Gigi Tsunemori bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya, “Apakah ini—perang?”

“Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini.”

“Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukan tentara bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?” kesejahteraan Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan perakan api pembumihangusan!

Kiyomori melompat turun dari tembok—di bagian luar—dan berlari ke arah keributan yang sekarang terdengar di jalanan.

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o

Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa jeda menimbulkan banyak keluhan, namun Sungai Kamo maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan di Perbukitan Utara mulai berubah warna.

Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibuk mempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya. Para samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan kedudukannya; dia sekarang ditugaskan menjadi pengawal kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan sempurna. Dia tinggal di Istana hingga

Page 95: The Heike Story

larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu lapar dan lelah untuk melamun.

Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi langkah kaki terdengar bergegas menghampiri kamar Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dari Istana. Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan melapor.

Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak? Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun, dia tidak sepenuhnya terkejut Gigi Tsunemori bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya, “Apakah ini—perang?”

“Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini.”

“Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukan tentara bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?”

mengelilingi istana, berharap bisa menangkap penjelasan atas pemanggilan mendadak ini dari dengung percakapan mereka.

“Kau tidak pernah bisa menebak tingkah manusia. Baru bulan lalu kami para pengawal berkumpul di rumah Wataru di jalan Iris”

Wajah—wajah—wajah. Tidak ada apa pun selain wajah-wajah penasaran dan riuh rendah pembicaraan.

“Ya, aku ada di sana malam itu. Kami mabuk dan menuntut Wataru untuk memperlihatkan kepada kami bulan di dapurnya alih-alih yang ada di kebunnya …”

“Sangat Wataru, memperkenalkan istrinya dengan cara seanggun itu.”

Page 96: The Heike Story

“Cahaya bulan sekalipun sepertinya terlalu terang untuknya saat dia menoleh tanpa senyuman ke arah kami.”

“Dia begitu anggun, seperti sekuntum bunga peoni putih, meskipun dia baru saja keluar dari dapur …”

“Seperti bunga-bunga pir yang bermekaran di musim semi?”

“Ah. mengenaskan sekali! Benar-benar mengenaskan!”

Di antara curahan perasaan yang lebih banyak daripada basanya di kalangan pengawal, salah seorang di antara mereka berkata dengan sedih, “Meskipun dia istri pria lain, aku sependapat bahwa kecantikannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dan si Kata-Gozen Itu telah dibunuh …”

Kiyomori tidak bisa memercayai pendengarannya Kesa-Gozan meninggal? Dibunuh? Gambaran wanita itu di hatinya begitu nyata sehingga dia menolak untuk memercayai bahwa Kesa-Goxen telah meninggal. Kejadian terburuk telah menimpanya. Kiyomori merasa lebih menghargai kecantikan Kesa-Gozen daripada semua pria yang ada di sana. Tetapi, Kesa-Gozen adalah istn orang lain, dan Kiyomori yakin bahwa dirinya bersalah hanya dengan memikirkannya. Sekarang, karena semua orang nrwnbicarakannyak dia tidak takut lagi untuk mengakui kepada dirinya sendin bahwa dia terpesona kepadanya. Dengan kasar, da mendorong orang-orang yang menghalangi langkahnya »eolah-olah tijUejar oleh urusan yang hanya melibatkan dirinya seorang,

“Benarkah ini? Apakah sudah pasti? Pembunuhnya- siapakah pembunuhnya?” Kiyomori menuntut penjelasan.

Seseorang berbicara kepadanya. “Ayahmu memanggil.”

Page 97: The Heike Story

Kiyomori berputar dan bergegas berlari ke gerbang dalam, tempat ayahnya menanti. Dia tidak mengenali ayahnya, yang sedang berbicara dengan lantang.

“Berjaga-jagalah di ujung Jalan Kurama, di dekat Jalan Pertama,” perintah Tadamori. “Periksalah semua orang yang melewatinya. Anggap semua orang sebagai tersangka. Jangan lepaskan siapa pun tanpa diperiksa terlebih dahulu. Jangan sampai si pembunuh berhasil melarikan diri. Dia mungkin menyamar, namun kau pasti akan | mengenalinya.”

Kiyomori tidak sanggup menunggu lebih lama. “Siapakah orang yang harus kita tangkap ini?” selanya sambil terengah-engah.

“Seorang samurai, Endo Morito.”

“Apa! Morito membunuh Kesa-Gozen?”

“Ya, diaJah pelakunya,” jawab Tadamori dengan berat “Dia telah mencoreng nama Kesatuan Pengawal Istana—dan, di atas segalanya, karena jatuh cinta kepada istri pria lain.”

Tepat ketika itu, paman Morito, Endo Mitsuto, bergegas melewati gerbang dalam, mengalihkan tatapan dengan wajah pucat pasi. Dia berlalu dengan cepat seolah-olah berniat melarikan diri, namun semua mata mencermatinya seolah-olah dirinya adalah kaki tangan si pembunuh.

Para pelayan bersenjata, selain pelayan-pelayannya sendiri, sekarang berkumpul di sekeliling Tadamori. Dia telah berdiskusi dengan penasihat Yang Mulia dan sekarang sedang bersiap-siap menjelaskan tentang rangkaian peristiwa malam itu kepada para anak buahnya.

Page 98: The Heike Story

Kesa-Gozen dibunuh pada malam hari tanggal 14 pada sekitar jam Anjing (pukul delapan malam). Lokasi sendiri di jalan Iris. Suaminya sedang pergi ketika itu.

Tidak ada yang mengetahui secara pasa kapan tepatnya Mor&o, yang mengenal ibu Kesa-Gozen, sebelum putrinya mentnggaffcan Istana untuk menikah atau segera setelah dia menikah dengan Wataru, jatuh cinta setengah mati kepada Kesa-Gozen.

Orang-orang percaya bahwa kepandaian luar biasa Morito. yang sudah diketahui secara luas, akan membawanya memenangi beasiswa kekaisaran dan memungkinkannya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, tempat dia akan menjadi lulusan terbaik. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, teman-temannya sesama pelajar dan pengawal mulai memandangnya dengan curiga dan menghindarinya karena Morito telah selama beberapa waktu bertingkah aneh.

Morito, yang berwatak asli giat dan pantang menyerah, bukan hanya seorang pelajar yang pandai melainkan juga pembicara yang fasih, pemberani, dan percaya diri, sehingga semua temannya merasa rendah diri jika berhadapan dengannya. Dalam urusan asmara, dia lebih dari sekadar percaya diri, dan saat terhanyut oleh hasratnya, fisik perkasanya menjadikannya pria yang tidak tertaklukkan—orang gila yang mengabaikan akal sehat

Cintanya yang bertepuk sebelah tangan kepada Kesa-Gozen. gejolak asmara seorang pria yang tidak biasa mendapatkan penolakan, adalah nasib buruk Kesa-Gozen. Dengan gairah meledak-ledak, Morito menyudutkan Kesa-Gozen sehingga dia ketakutan: menggertaknya dengan mengatakan bahwa dia akan menghajar Wataru jika Kesa-Gozen terus melawan, akhirnya ancaman itu menentukan jalan yang akan diambil oleh Kesa-Gozen. Secara diam-

Page 99: The Heike Story

diam, Kesa-Gozen bertekad untuk mengadu tantangan Morito dengan salah satu tantangannya.

Morito, putus asa dan setengah gila, menuntut jawaban terakhir darinya, dan Kesa-Gozen telah siap memberikannya. Dia menyadari betul konsekuensi dari janji yang akan diberikannya kepada Morito, dan inikah yang dikatakannya:

‘Tidak ada pilihan lain bagiku sekarang. Sembunyikanlah dirimu, pada malam hari tanggal 14, di kamar tidur suamiku, pada jam Anjing. Malam itu, aku akan mengawasinya ketika dia mandi dan mencuci rambut, memabukkannya dengan sake, lalu menemaninya hingga tertidur. Selama dia masih hidup, mustahil aku bisa mengabulkan keinginanmu. Aku akan menantimu di bagian lain rumahku setelah kau menghabisinya. Suamiku adalah seorang pemain pedang, yang tangguh; karena itu, mengendap-endapiah tanpa suara ke bantainya, rasakanlah rambutnya yang basah, dan penggallah kepalanya dalam satu tebasan. Kau harus membunuhnya hanya dalam sekali gerakan.”

Dengan gugup. Morito menerima tantangan itu. Pada senja tanggal 14. da bertindak tepat seperti yang telah diinstruksikan oleh Kesa-Gazen. Karena tidak mengalami kesulitan apa pun, dia merasa tidak perlu memeriksa pemilik kepala yang rambut basahnya telah berada dalam cengkeramannya. Bagaimanapun, dia melangkah ke beranda untuk melihat kepala itu di bawah cahaya rembulan.

Dia menjerit. Terpaku. Kepala wanita yang dicintainya menggantung dari tangannya.

Di dalam petakan memilukan yang berasal dari lubuk hatinya yang terdalam, berbaurtah rasa malu, duka.

Page 100: The Heike Story

keputusasaan. dan siksaan luka abadi yang harus ditanggungnya sendiri. Dia rubuh ke lantai Seketika itu juga, kuda hitam di istal meringkik nyaring, menjejak-jejakkan kakinya dengan liar, dan terus meringkik.

Morito akhirnya berdiri. Mengerang tanpa arti ke arah kamar yang gelap, dia mengambil pedangnya yang dingin, yang lengket oleh rambut basah dan darah segar, dan mengempitnya di bawah lengannya, lalu melompat ke kebun, menebas setiap rumpun tanaman dan semak-semak yang menghalangi langkahnya, dan menghilang di kegelapan malam bagaikan jin jahat.

Tadamori memaparkan fakta-fekta yang sejauh ini celah dtaetahui tentang pembunuhan tersebut, menambahkan, “Kejahatan ini tidak hanya melibatkan seorang wanita dan seorang samurai, Peristiwa ini menghadirkan bayangan gelap di Istana dan mencorengkan noda ke kehormatan para samurai Kesatuan Pengawai Istana. Kita akar lebih malu jika si pembunuh diadHi oleh Pengadilan Kekaisaran dan mendapatkan vonis dari para pejabat istana. Tanggung jawab kitalah untuk menangkap si pembunuh itu. Siapkanlah penjaga di kedua belas gerbang kota; tempatkanlah pengintai di semua persimpangan jalan Kesembilan, dan kita bisa dipastikan akan berhasil menangkapnya.”

Sosok-sosok yang berselimutkan bayangan gelap mendengarkan dengan penuh perhatian dan menanggapi perintah Tadamon dengan anggukan kepala. Kiyomori mengangguk dan mengecap rasa asin air mata yang jatuh ke bibirnya. Dia mendadak metihat cinta terpendamnya kepada Kesa-Gozen dengan sudut pandang baru. Seandainya dia tersedot ke jalan Iris seperti Morito, Ia pun mungkin akan melakukan hal yang sama! Gila atau dungu, yang manakah dainya? Yang manakah Morito? Hatinya

Page 101: The Heike Story

mencelus ketika dia memikirkan kemungkinan dirinya menangkap Morito dengan tangan kosong, namun melihat teman-temannya menghambur kekar dengan penuh semangat dari gerbang pada pagi buta mengembalikan keberaniannya, sehingga Kiyomori pun melaju menembus kabut ke posnya di jalan Kurama, matanya nyalang dan mengilatkan perasaannya.

*d*w*

Cerita tentang kematian Kesa-Gozen dengan cepat menjangkau semua telinga di Kyoto. Di mana-mana, semua orang membicarakannya. Orang-orang asing, begitu pula orang-orang yang mengenalnya, dengan sedih meratapi kepergiannya. mengecam Morito sebagai iblis—orang gila yang brutal. Mereka tidak bisa mengampuninya, kata mereka, dan semakin membencinya karena dia pernah sangat menjanjikan. Tetapi, lebih daripada rasa penasaran, kematian Kesa-Gozen menimbulkan kengerian dan keibaan yang kemudian menghadirkan kesadaran tentang betapa rendahnya sebagian besar orang memandang kesetiaan seorang wanita. Sebagian orang sama sekali tidak tergerak dan bergidik ketika memikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Kesa-Gozen untuk mempertahankan kesuciannya.

Rakyat jelata di Shiokoji berduka untuknya. Bahkan para pelacur di Jalan Keenam, yang setiap malam menjajakan tubuh untuk mencari penghidupan, menyeka air mata dari wajah berdandanan tebal mereka untuk mengasihaninya, dan tidak sedikit di antara mereka yang secara diam-diam berbaur dengan massa yang menghadiri pemakaman Kesa-Gozen untuk menyampaikan ucapan selamat jalan kepadanya.

Para pejabat istana, dan para wanita dari golongan atas, juga tersentuh oleh cerita Kesa-Gozen, meskipun banyak di

Page 102: The Heike Story

antara mereka yang menanggapinya dengan sinis, karena di dalam kehidupan mereka yang bergelimang kemewahan, apakah yang menentukan harga seorang wanita jika bukan keanggunan, daya tarik, dan kepasrahannya untuk memberikan pelayanan kepada pria? Apakah, kata mereka, yang patut diagung-agungkan dari Kesa-Gozen, yang menjadikan nyawanya sebagai tameng bagi kehormatannya? Bukankah sifat pemalunya sebagai seorang wanita yang mendorongnya untuk melakukan tindakan seekstrem ini? Beberapa orang mengatakan sambil mengangkat bahu bahwa dorongan yang dirasakan oleh seorang wanita untuk mati menggantikan suaminya di tangan seorang kekasih gila adalah pokok pembicaraan panas di kalangan para pejabat istana, dan bahwa jika perselingkuhan ini dianggap serius, maka ini adalah tanda-tanda kebobrokan Kesatuan Pengawal. Ada apa dengan para pengawal akhir-akhir ini, para samurai yang bertugas menjaga Istana atau dikirim sebagai pembawa pesan di antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister? Jika ada pengawal yang brengsek, jelas bukan Morito orangnya! Apa lagi yang bisa diharapkan dari para samurai itu? Bukankah beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Kesa-Gozen dan para pengawal belum menangkap pembunuhnya? Ini tidak bisa dimaafkan! Siapa yang bisa mengandalkan para samurai itu pada masa-masa berbahaya jika menangkap seorang pria gila saja mereka tidak sanggup?

Kasak-kusuk tak sedap segera menyebar, dan tuduhan-tuduhan kepada Tadamori dilayangkan oleh para pejabat istana. Tanggung jawab atas kejahatan itu ada di pundaknya. Apakah yang menyebabkan Yang Mulia begitu memercayainya? Bukankah dia Kepala Pangkalan Pengawal? Bukankah dia yang membujuk Yang Mulia untuk memilih kuda pembawa sial dengan tanda putih di kakinya itu? Dan, bukankah dia yang memberikan izin

Page 103: The Heike Story

kepada suami Kesa-Gozen untuk melatih kuda itu? Tidak diragukan lagi, Tadamori adalah sumber dari segala kemalangan ini! Bukankah mencemooh tabu adalah sebuah kejahatan? Bukankah dia bersalah atas penghinaan terhadap kepercayaan?

Para pejabat istana membicarakan tentang kesalahan Tadamori, bahkan merencanakan untuk menyeretnya ke pengadilan. Kekisruhan ini didengar oleh Mantan Kaisar. Mantan Kaisar menyadari bahwa dirinyalah yang seharusnya disalahkan atas ledakan kemarahan yang tidak sepantasnya kepada Tadamori ini. Dia tidak hanya menghormati Tadamori tetapi juga menyayangi dan memercayainya jauh melampaui orang-orang lain.

Untuk menjawab tuntutan para pejabat istana. Mantan Kaisar mengatakan, “Beberapa hari lagi, kita berangkat ke Kuil Ninna-ji …. Mengenai penangkapan Morito—kita akan melanjutkan pembahasannya di lain waktu. Mengenai tuduhan bahwa Tadamori bertanggung jawab karena mengizinkan Wataru melatih kuda pembawa sial itu—karena akulah yang mengeluarkan izin tersebut, maka kalian sebaiknya melayangkan tuduhan itu kepadaku.” Toba tertawa nyaring, berusaha meredakan kemarahan para pejabat istana. yang berhenti memberikan tekanan kepada Tadamori, meskipun hanya untuk sementara.

Tersebar kabar dari istana bahwa para penjaga di berbagai persimpangan ke Ibu kota akan ditarik keesokan harinya. Para penpwai yang telah bertugas selama tujuh hari marah dan kecewa. Kemanakah Morito pergi membawa kepala Kesa-Gozen? Apakah bymi telah terbelah dan menelannya, atau dia telah menghabisi nyawanya sendiri?

Sepertinya hanya keberadaan Montolah yang bisa mengakhiri misteri ini. Sejak malam pembunuhan itu, tidak

Page 104: The Heike Story

seorang pun melihat dirinya mau sosok yang sedikit banyak menyerupai dirinya. Kesatuan faksi mengirim pasukan mereka untuk menyisir seluruh Kyoto, namun mereka tetap tidak menemukan petunjuk tentang di mana dia bisa ditemukan.

Malam ini adalah malam terakhir para penjaga bertugas di persimpangan-persimpangan jalan di Kyoto.

“Adi sesuatu yang mencurigakan tentang Istana di bagian dalam Gerbang Barat Laut Tidak hanya karena paman Morito bertugas di sana. tetapi dia tentu juga masih memiliki beberapa teman lama disana”.

Kiyomori. yang tanpa sengaja mendengar percakapan itu, terkejut. Dia sedang bertugas menjaga jalan Pertama bersama enam atau tujuh belas anggota pasukannya yang lain, sebagian di antara mereka menyamar.

Betul juga! Tidak terpikir olehnya untuk memeriksa lingkungan terdekatnya. padahal Morito pernah menjadi pengawal di Gerbang barat Laut sebelum ditarik ke Istana Kloister. Gerbang Barat Laut berjarak tidak terlalu jauh dari Istana Kloister. Kebanggaan membuncah didada Kiyomori ketika dia memikirkan kesuksesan yang akan dipegangnya. Setelah memindahkan tombaknya ke tangannya yang lain, dia melambai kepada Heiroku, yang berdiri jauh dibelakangnya. dan berseru:

“Panggillah Mokunosuke kemari. Aku akan pergi ke Gerbang Barat Laut. Berjaga-jagalah di sini. Penjagaan akan berakhir malam ini.”

Mokunosuke datang. “Ke Gerbang Barat Laut? Tuan Muda, urusan apakah yang hendak Anda selesaikan di sana?”

“Tua Bangka, aku mencium bau tikus di sana.”

Page 105: The Heike Story

Mokunosuke, menautkan kedua alisnya, menggeleng perlahan. “Lebih baik jangan. Tidak akan ada gunanya bagi Anda jika mereka mendengar bahwa Anda melakukan pencarian ke wilayah keputrian.”

“Apa masalahnya? Aku tidak mencurigai Kesa-Gozen.”

“Lebih baik Anda menjaga tindakan Anda. Anda tahu bahwa masalah kecil sekalipun bisa menghasilkan sesuatu yang serius jika sudah menyangkut hubungan antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister.”

“Aku tetap akan pergi, apa pun pendapatmu. Orang-orang mengatakan bahwa para pengawal di Istana Kekaisaran menertawakan kita dan bersumpah akan mendahului kita mendapatkan pembunuh itu. Ini adalah kesempatanku untuk menangkap Morito. Aku yakin Morito selama ini berdoa agar jika ada yang berhasil menangkapnya, akulah orangnya!”

Dengan telinga merah padam akibat bayangan liar tentang kesuksesan, Kiyomori melirik Mokunosuke dengan sinis. “Saat menyadari bahwa dirinya sudah tersudut, Morito akan memikirkan aku. Aku bahkan bisa merasakan dirinya menantikanku! Mokunosuke, jika ayahku datang, katakanlah kepada beliau ke mana aku pergi.”

Gerbang Barat Laut berada dekat dari jalan Pertama, dan untuk menghalau kekhawatiran Mokunosuke, Kiyomori berangkat ke sana dengan berjalan kaki. meninggalkan tombaknya.

Istana Kekaisaran berdiri di wilayah utara pusat kota, di dalam sebuah kompleks tertutup berbentuk persegi empat, berukuran sekitar satu mil kali tiga per empat mil, dan menampung setumiah besar bilik tempat tinggal, aula-aula upacara, dan banyak badan pemerintahan. Tepat di luar kompleks itu terdapat sejumlah istana kecil dan kediaman

Page 106: The Heike Story

para bangsawan, begitu pula perguruan tinggi, yang terhubung dengan Gerbang Selatan. Kompleks tersebut memiliki dua belas buah gerbang dan dua gerbang samping tambahan—Gerbang Timur Laut dan Gerbang Barat Laut. Gerbang Barat Laut merupakan jalan masuk menuju istama tempat Kesa-Gozen pernah mengabdi.

Kiyomori merasakan adanya cukup alasan untuk menyelidiki tempat itu. Barangkali si tersangka dan penolongnya menganggap tempat ini akan terbebas dari pencarian. Pikiran itu mendorong Kiyomori untuk mempercepat langkahnya. Ketika memasuki ruas jalan yang lebar dan bersih dan dipagari oleh pohon-pohon pinus, Kiyomori mendengar teriakan-teriakan dan perintah baginya untuk menghentikan langkah. Dengan ekspresi kesal, Kiyomori menoleh.

“Aku? …”

Dia baru menyadari bahwa para pengawal di sini juga melakukan pengawasan. Dengan gagah, dia berjalan menghampiri mereka.

“Kembalilah! Keluar!” sembur para pengawal kepadanya, menghalangi langkahnya tanpa repot-repot menanyakan namanya.

Kiyomori dengan keras kepala menjawab, “Aku akan masuk! Aku datang untuk menyelesaikan sebuah urusan penting.” Dia menaikkan alisnya. “Kalian pasti tahu bahwa aku mengabdi kepada Yang Mulia Mantan Kaisar Toba. Untuk apa aku mengganggu Tuan Putri?” semburnya, wajahnya merah padam. Para pengawal Istana Kekaisaran menganggapnya sebagai seorang pemuda yang beringas, dan situasi itu dengan cepat memanas; Kiyomori sedang berhadapan dengan enam atau tujuh belas pengawal, ketika seorang samurai berusia setengah baya, mungkin seorang

Page 107: The Heike Story

perwira senior, muncul dan berdiri sejenak untuk mengamati kekacauan itu. Kemudian, dia mendekati Kiyomori dari belakang, menghantam pelindung dadanya kene-kene, dan berbicara kepadanya seolah-olah kepada seorang bocah.

“Jadi, kaukah itu, Heita? Mengapi kau marah-marah seperti itu? Apa yang kauributkan sehingga sikapmu menjadi selancang itu?”

“Ah …” Kenangan tentang angin ganas di bulan Februari, hari yang sangat menyedihkan, perut kosong yang melilit, dan uang pinjaman bedebah tiba-tiba melintasi benak Kiyomori. “Andakah itu. Paman? Betul! Dan ini pasukan Paman? Aku memang sudah merasa mengenali beberapa pelayan Paman di antara mereka.”

Lebih daripada merasa konyol karena penampilannya, Kiyomori terbakar amarah karena memikirkan bahwa orang-orang itu telah menghinanya dengan berpura-pura tidak mengenalinya. Dia tidak pernah bisa memikirkan pamannya—begitu pula bibinya—tanpa merasakan matanya berkaca-kaca; entah sudah berapa kali dia mendatangi rumah mereka di Horikawa untuk meminjam uang; mendengarkan mereka mencaci maki orangtuanya; menerima kritikan dan keluhan tanpa akhir mereka. Dengan pahit, dia mengingat bagaimana dirinya selalu terlihat seperti kambing melarat di hadapan pamannya. Rupanya sudah menjadi takdirnya untuk selalu diremehkan dan diabaikan sebagai seorang manusia.

“Ayolah, Heita, apa maksudmu dengan mengatakan ‘betul’? Kami sudah lama tidak melihatmu di Horikawa—bukannya kami akan menyambut gembira kunjunganmu … Penampilanmu yang mengenaskan, harus kukatakan, memberikan hiburan bagiku”

Page 108: The Heike Story

Kiyomori merasa lemas. Dia telah dengan pongah bertindak atas nama Kesatuan Pengawal Istana Kloister, dan sekarang siap merangkak memasuki lubang. Menyingkirkan kehormatan dan kemarahannya, Kiyomori dengan lirih menjawab: “Apakah mungkin terjadi?”

Pamannya, sementara Itu, meminta keterangan singkat dari anak buahnya tentang apa yang telah terjadi dan menduga apa yang sedang dicari oleh Kiyomori.

“Mustahil! Tentu saja mustahil! Apa maksudmu memaksa masuk kemari? Kau sama keras kepalanya dengan ayahmu’ Mengapa kau harus mewarisi sifat-sifat buruk ayahmu? Pulanglah sekarang Juga!” sembur pamannya.

Tepat ketika itu, Tadamasa melihat kereta seorang pejabat istana masuk melalui Gerbang Barat Laut dan bergegas meninggalkan Kiyomori. tepat pada waktunya untuk membungkuk memberi hormat ketika kereta melewatinya.

Kiyomori membalikkan badan dan berjalan menjauh. Ini tidak terhindarkan. Dia merasa mendengar para pengawal menertawakannya di belakang punggungnya. Kemudian, dia mulai memikirkan kereta siapa yang baru saja dilihatnya. Ketika menatap ke sekelilingnya, dia melihat seekor sapi mendekatinya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan sinar menyilaukan ke badan dan gagang penarik kereta indah yang bertatahkan hiasan perak dan emas. Kerai bambu yang menutupi kereta itu setengah terbuka. Itu bukan kereta Putri, namun penumpang di dalamnya tidak terlihat oleh Kiyomori, kecuali seorang bocah penarik sapi yang berjalan di samping kereta, mengusir lalat yang beterbangan di sekelilingnya. Kiyomori berhenti di bawah naungan pohon cedar dan menunggu kereta itu melewatinya. Ketika kereta itu ada di depannya, Kiyomori dengan berani memandangnya. “Oh! …r

Page 109: The Heike Story

Dia merasa mendengar sebuah suara. Seseorang menggulung kerai ke atas dan memerintahkan kepada si bocah penarik sapi untuk berhenti. Wanita itu mencondongkan tubuh ke luar dari kereta dan memanggil namanya.

“Ibu!” Kiyomori serta merta menjawab dan melompat mendekati salah satu gagang penarik kereta. “Inikah kereta yang baru saja keluar dari Gerbang Barat Laut? Ibukah yang ada di dalamnya?**

“Mengapa, apa maksud pertanyaanmu itu? Kau tidak pernah senang jika bertemu denganku, di mana pun tempatnya.”

Yasuko mengenakan kimono wanita bangsawan istana dan, seperti biasanya, menunjukkan sikap anggun. Dalam balutan kimonobernuansa cerianya, dia tampak lebih muda dan eanflfc daripada yang pernah diingat oleh Kiyomori- —di rumah, di pacuan kuda Kamo.

“Pamanmu, Tadamasa, ada di gerbang sesaat yang lalu, menanti untuk memberi hormat kepadaku selagi aku lewat. Dia tidak mengatakan apa pun tentangmu, tapi aku melihat kalian berbicara—benarkah Itu?”

“Apakah pamanku akhir-akhir ini menghormati dan bersikap lebih ramah kepada Ibu?”

Yasuko tergelak. “Kau menghiburku! Kau tidak pernah menjawab pertanyaanku, dan yang selalu kaulakukan hanyalah berusaha memeriksaku. Pamanmu telah banyak berubah. Dia menghormatiku.”

“Paman—dan Bibi—yang biasa membicarakan keburukan Ibu?”

“Nah, Heita, apa kau sudah mengerti mengapa aku membenci kemiskinan kita? Yang Mulia Tuan Putri

Page 110: The Heike Story

menyukaiku, dan aku secara teratur ikut menari di istana beliau. Pamanmu sekarang bersikap layaknya seorang pelayan kepadaku, karena dia tahu bahwa dia harus menyenangkan hatiku jika menginginkan keberadaannya di dunia ini diakui.”

“adi, begitulah! Kiyomori meludah ke kaki sapi. Betapa rendahnya pamannya! Sedangkan mengenai kunjungan ibunya ke istana di Gerbang Barat Laut—dia mungkin memanfaatkan pengaruh Nakamikado di Istana dan bakatnya sebagai seorang geisha. Sama saja dengan pamannya! Kapan pun Kiyomori berjumpa dengan ibunya, dia merasa bahwa ayahnya, Tadamori, pria yang bukan ayah kandungnya, lebih pantas untuk berbagi darah dan daging dengan dirinya.

Kiyomori tiba-tiba merasa kecewa, getir, dan sedih. Melihat ibunya membuatnya tersiksa. Lalat-lalat yang beterbangan di sekitar sapi penarik kereta terus-menerus hinggap di wajahnya dan memicu kejengkelannya, sehingga dia pun langsung berlalu meninggalkan ibunya. Tetapi, Yasuko memanggilnya dengan marah, dan sambil melotot mengatakan:

“Heita, bukankah ada hal lain yang ingin kautanyakan kepadaku?”

Kiyomori menoleh dengan kesal. Dia merasa melihat sosok orang lain di dalam kereta, dan ketika menajamkan matanya, dia melihat Ruriko.

“Heita, tidak adakah hal bin yang ingin kaukatakan kepadaku?” tanya Yasuko. terkikik. “Ruriko.” katanya kemudian, “maukah kau memberikan ini kepada Heita?”

Ruriko menarik diri dengan bingung, menyembunyikan wajahnya di balik bahu Yasuko. Yasuko mengeluarkan sekuntum anggrek krisan besar dan menyodorkannya

Page 111: The Heike Story

kepada Kiyomori, “Yang Mulia, Tuan Putri, memberikan ini kepada Ruriko, dan Ruriko berharap kau mau memilikinya, Heita. Tulislah puisi tentang bunga ini dan bawalah kepadaku di kediaman Nakamikado—beberapa larik indah yang akan merebut hati Ruriko.”

Kiyomori berdiri dengan bingung menyaksikan kereta yang perlahan-lahan menghilang di kejauhan. Jadi, ibunya sekarang merencanakan untuk membalas dendam kepada Tadamori dengan memanfaatkan Ruriko untuk merayunya sehingga berpaling dari ayahnya! Kiyomori mendapati bahwa dirinya telah tanpa sengaja meremukkan bunga di tangannya dengan mencabuti seluruh mahkota bunga indah itu. Menggenggam tangkai yang tersisa, Kryomori berjalan kembali ke posnya di persimpangan jalan.

Dua ekor kuda dan seorang pria menantinya di sana. Kiyomori merasakan semangatnya anjlok. Mokunosuke, yang telah dengan gelisah menunggunya, tampak resah.

“Di manakah yang lainnya? Apakah mereka sudah pulang?” “Kami sudah menerima perintah untuk menghentikan pencarian malam ini. Bagaimana dengan pencarian Tuan Muda di Gerbang Barat Laut.

“Sia-sia saja. Aku seharusnya tidak usah ke sana. Di manakah ayahku?”

“Mari kjta kembali saja. Silakan, Tuan Muda, naiklah ke kuda Anda.”

Mokunosuke menyaksikan Kiyomori menunggangi kudanya, lalu melakukan hal yang sama dengan kudanya sendiri.

“Kembali ke Istana, Tua Bangka?”

“Tidak, pulang ke Imadegawa.”

Page 112: The Heike Story

Kiyomori terkejut. Para pengawal semestinya berkumpul malam ini di Pangkalan Pengawal, tempat ayahnya akan berbicara kepada mereka. Tadamori juga akan memberikan laporan kepada Yang Mulia dan penasihatnya untuk kemudian menerima instruksi lebih lanjut.

“Mokunosuke, apakah sesuatu terjadi pada ayahku?”

“Saya dengar beliau telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya di Istana.”

“Benarkah itu? Apakah itu berkaitan dengan kegagalan kami menangkap Morito?”

“Beliau terlalu terhormat untuk membiarkan kritik semacam itu memengaruhinya. Para pejabat istana bersekutu untuk menjatuhkan beliau. Beliau tidak sanggup lagi menghadapi berbagai tuduhan jahat dan tidak adil yang mereka tujukan kepadanya …. Saya tidak sampai hati untuk bertanya lebih banyak kepada beliau.”

“Apakah ini berarti beliau akan mengucilkan diri lagi?” Kiyomori merasa seolah-olah sedang mengatakan, “Kemiskinan lagi!” Senjatanya seakan-akan mendadak membebaninya.

Mokunosuk£ menggumam, setengahnya kepada dirinya sendiri, “Oh, mengapa takdir begitu kejam kepada beliau? Waktu yang salah, dunia yang jahat! … Keberuntungan pasti akan tersenyum kepada beliau suatu hari nanti!”

Kiyomori tidak menyadari bahwa suaranya tiba-tiba terdengar jernih dan menantang bagaikan pekikan perang:

“Inilah aku, Tua Bangka! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa aku adalah putra langit dan bumi, bahwa di balik tubuhku yang gagah, aku bukan seorang yang cacat? Inilah aku—akulah orangnya! Apalah artinya takdir, sehingga kita harus takluk kepadanya?”

Page 113: The Heike Story

o)ood^woo(o

Bab V – RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK Disambut oleh adik-adiknya, Kiyomori melihat sosok

mereka di bawah gerbang yang nyaris ambruk ketika dia turun dari kudanya. Tsunemori, yang di punggungnya menggendong Norimori, adik mereka yang berumur tiga tahun, berseru, “Selamat datang di rumah, Kak! Ayah sudah pulang.”

“Hmm …. Karena kami pergi selama tujuh hari, adik-adikku pasti merindukan kami.”

“Ya, aku kesulitan menenangkan Norimori, yang menangis terus-menerus mencari Ibu,” Tsunemori mulai bercerita, namun langsung terdiam begitu melihat mimik di wajah Kiyomori. “Oh, ya, Ayah ingin menemuimu segera setelah kau tiba di rumah.”

“Oh? Baiklah, aku akan menemui beliau kalau begitu. Tua Bangka, bawa kudaku,” kata Kiyomori. Setelah menyerahkan tali kekang kudanya kepada Mokunosuke, dia melintasi pekarangan menghampiri cahaya yang menyala di bilik ayahnya.

Asap membubung dari tungku-tungku di dapur. Para pelayan, yang telah kembali ke rumah beberapa waktu sebelumnya dan masih menyandang senjata mereka, sedang mempersiapkan makan malam untuk rumah tangga berukuran besar itu—menanak nasi, membelah-belah kayu bakar, dan memasukkan kentang dan sayuran lainnya dari kebun. Seperti di kebanyakan rumah tangga para samurai, beberapa orang wanita bekerja di rumah mereka dan kemiskinan menghalangi mereka untuk mempekerjakan budak, sehingga majikan dan pelayan bersama-sama

Page 114: The Heike Story

bertani, merawat kuda-kuda, dan menyelesaikan pekerjaan di dapur.

“Ah, jadi kau sudah pulang, Heita! Aku berterima kasih atas kerja kerasmu.”

“Ayah pasti lelah setelah bekerja selama seminggu penuh, dan Ayah pasti merasa lebih lelah karena kita tidak berhasil menangkap Morito.”

“Kita telah melakukan apa pun yang mungkin dilakukan dan tidak ada yang perlu disesali. Morito tidak akan bisa ditangkap dengan mudah.”

“Mungkinkah dia telah membunuh dirinya sendiri, Ayah?”

“Aku meragukannya. Kejahatan yang telah dilakukannya tidak ringan, dan aku tidak percaya dia bisa merenggut nyawanya sendiri … Dan, Heita, ada sesuatu yang aku ingin kaulakukan.”

“Apakah ini mendesak?”

“Ya, bawalah salah satu kuda kita ke kota dan juallah ia untuk berapa pun harga yang bisa kaudapatkan; kemudian, belilah sebanyak mungkin sake dengan uang itu.”

“Salah satu kuda! Apakah Ayah serius?”

“Hmm … Lihatlah seberapa banyak sake yang bisa kaudapatkan.”

“Tetapi, Ayah, tiga hari pun tidak akan cukup untuk kita semua menghabiskan sake itu! Ini terlalu memalukan—aku tidak bisa melakukannya! Apakah yang lebih memalukan bagi seorang samurai daripada keterpaksaan menjual kudanya?”

Page 115: The Heike Story

“Karena itulah aku menyuruhmu melakukannya. Pergilah, dan tanggunglah rasa malu itu. Juallah kuda kita dengan harga berapa pun—lebih cepat, lebih baik.”

Kiyomori segera meninggalkan ayahnya dan memasuki istal. Tiga dari tujuh ekor kuda yang ada di sana adalah harta mereka yang paling berharga. Dia dengan cermat memeriksa keempat kuda yang tersisa. Sebodoh apa pun binatang-binatang itu, dia menyayangi semuanya! Bukankah mereka telah menemaninya dan ayahnya dalam operasi berbahaya di wilayah barat dua tahun silam, bersama-sama menghadapi kematian? Entah sudah berapa kali Kiyomori mengelus-elus mereka dengan penuh kasih sayang!

Mengetahui bahwa pasar kuda kadang-kadang digelar di dekat pasar, Kiyomori langsung mendatangi rumah seorang pedagang kuda yang dikenalnya, menjual kudanya, dan membeli sake. Tiga guci besar dinaikkan ke sebuah gerobak, dan Kiyomori membantu si pedagang sake mendorong gerobak tersebut ke Imadegawa.

Hidangan makan malam terlambat disajikan, namun malam musim gugur itu cukup panjang untuk sebuah pesta yang jarang terlihat di rumah seorang samurai. Setelah mengundang semua pelayan ke ruangan luas di bangunan utama rumah mereka, Tadamori membuka segel guci-guci sake, memerintahkan agar ikan asin dan acar—yang biasanya disimpan untuk keadaan mendadak— dihidangkan, dan menyuruh semua pelayan minum.

“Aku tahu bahwa kalian semua lelah setelah melakukan penjagaan selama tujuh hari berturut-turut Sesuai dengan hak kalian, seharusnya malam ini kalian sedang berpesta sake di Istana, namun kegagalanku menghalangiku menginjakkan kaki ke bagian dalam gerbang. Aku telah mengundurkan diri dari jabatanku. Izinkanlah aku

Page 116: The Heike Story

memohon maaf kalian dengan cara ini. Pada suatu hari nanti, kesetiaan kalian akan mendapatkan ganjaran. Sake ini—yang terbaik yang bisa kuberikan kepada kalian—adalah tanda terima kasihku kepada kalian, anak-anak buahku. Ayo, minumlah sebanyak yang kalian mampu. Mari kita minum-minum semalaman, dan menyanyi untuk meneguhkan hati pejuang kita!”

Lilin-lilin berkelipan tertiup angin malam sementara para pelayan menunduk diam. Mereka tahu bahwa sake selalu disajikan secara berlimpah ruah ditemani oleh alunan musik pada malam-malam perjamuan di rumah bangsawan, namun kesempatan ketika seorang pelayan bisa mencicipi sake sangatlah jarang terjadi. Malam ini, indra-indra mereka menggeliat berkat aroma sake, dan hati mereka terasa penuh berkat pikiran bahwa Tadamori menghormati mereka.

Dan Tadamori berkata, “Betapa kebun ini sesuai dengan kemiskinan kita—kemewahan liar bunga-bungaan musim gugur! Ayo, minumlah, kalian semua! Penuhi cangkirmu, penuhi cangkirmu!”

Para pria mengangkat cangkir-cangkir sake mereka tinggi-tinggi. Di Istana, Tadamori menyandang reputasi sebagai seorang peminum hebat, dan Kiyomori, mengangkat cangkirnya, berseru:

“Ayah, malam ini aku akan minum setidaknya setengah minumanmu!”

“Bagus, bagus—-yang penting, jauhilah rumah-rumah di Jalan Keenam itu!”

Jawaban Tadamori disambut oleh gelak tawa para pelayan, yang diikutinya dengan keceriaan yang tidak biasa ditunjukkannya. Wajah Kiyomori merah padam. Bagaimana cerita itu bisa sampai di telinga ayahnya?

Page 117: The Heike Story

Siapakah di antara para pelayan-pelayan ini yang telah memeriksa rumah-rumah bordil di Jalan Keenam? Memprotes tidak ada gunanya, dan untuk mengalihkan perhatian orang-orang dari dirinya, dia memanggil salah seorang pelayan:

“Heiroku, Heiroku, menyanyilah untuk kam’—salah satu balada yang sedang terkenal di ibu kota sekarang ini!”

“Anda saja yang menyanyi, Tuan Muda, salah satu lagu yang sering dinyanyikan di Jalan Keenam!”

“Hentikan lelucon seperti itu!”

Sebuah suara dari ujung ruangan mulai melantunkan sebuah lagu balada populer; seorang demi seorang, para pria di ruangan itu mengikutinya; mereka bertepuk tangan pada waktu yang tepat; seseorang menggebuk-gebuk sebuah guci sake untuk mengiringi nyanyian. Sebagian orang berdiri dan menari-nari, sebagian lagi menyanyikan lagu-lagu yang lain. Mereka menyanyi dengan gaduh sambil minum-minum, dan di tengah suasana yang semakin ribut, beberapa orang mulai meracau:

“Berulang kali, para pejabat istana itu bersekongkol untuk melawan majikan kita, dan sekarang mereka berusaha menghancurkan ikatan antara beliau dengan Yang Mulia dengan mengatakan bahwa beliau gagal menangkap Morito!”

“Apa? Tolol! Apakah mereka berhasil? Bukankah majikan kita telah mengundurkan diri dari jabatannya?”

“Mengapa majikan kita harus disalahkan? Mengapa beliau semuda itu mengundurkan diri? … Ini berlebihan! Para bangsawan itu—darahku rasanya mendidih jika aku memikirkan mereka! Apa pendapat Yang Mulia tentang semua ini?”

Page 118: The Heike Story

“Jika Yang Mulia memang memercayai dan mencintai majikan kita, mengapa beliau tidak menghentikan rencana dan persekongkolan ini? Tidak bisakah beliau melihat bahwa kedengkian para pejabat istana telah membunuh majikan kita secara perlahan-lahan?”

“Ya, meskipun memegang tampuk kekuasaan, Yang Mulia tidak berdaya dalam menghadapi para pejabat istana yang ada di sekelilingnya, dan majikan kita menolak untuk membiarkan Yang Mulia terusik karena beliau.”

“Mereka mengetahui kelemahan majikan kita, para bangsawan itu!”

“Bukankah majikan kita sendiri mengakui bahwa meskipun kedudukan beliau sejajar dengan para bangsawan itu, namun mereka membencinya karena beliau adalah seorang samurai?”

“Kalau begitu, mengapa Yang Mulia mendiamkannya? Aku akan menanyakan sendiri tentang hal ini kepada Yang Mulia! Aku akan menjeritkan pertanyaan ini di Istana hingga telinga Yang Mulia mendengarnya!”

“Dasar orang-orang sinting! Dungu!”

Para pelayan terdiam namun terus menggeleng-geleng dengan marah. Berpura-pura tidak mendengar mereka, Kiyomori mengamati mereka, dan akhirnya bangkit untuk bergabung bersama mereka. Mengulurkan kedua tangannya, dia merangkul kepala dua orang yang ada di kedua sisinya.

“Mari—kalian para pejuang—mengapa berkeluh kesah seperti ini? Apakah otak kalian lebih kecil daripada otak katak atau ular? Waktu kita belum tiba. Apakah kalian tidak punya kesabaran? Bukankah kita masih ‘rumput yang

Page 119: The Heike Story

terinjak-injak’? Belum tiba waktu bagi kita untuk mendongakkan kepala. Haruskah kalian selalu mengeluh?”

Aroma menyengat tubuh-tubuh yang kegerahan dan uap sake memenuhi lubang hidung Kiyomori ketika dia memeluk kedua pelayan itu erat-erat. Dia merasakan air mata getir menetes ke lututnya. Seperti seekor induk burung yang menyembunyikan anak-anaknya di bawah sayapnya, Kiyomori merasakan kebanggaannya membuncah ketika dia memeluk para pelayannya dan, meminta tambahan sake, menenggak habis isi cangkirnya dalam satu tegukan.

^d0w^

Binatang yang telah lama terkurung akan langsung kembali bersikap liar begitu dilepaskan di padang rumput yang luas. Watak barbar yang tersimpan di dalam diri setiap orang akan keluar lebih cepat, dan itulah yang terjadi pada Morito, yang sepertinya telah berubah menjadi manusia liar hanya dalam semalam.

“Haruskah aku melanjutkan kehidupanku? Apakah aku lebih baik mati saja? Apakah yang akan kulakukan kepada diriku ini? Mereka masih mengejarku—tidak memberiku waktu untuk berpikir … Aku harus beristirahat, namun mereka terus memburuku. Aku berhenti untuk menarik napas, dan mereka masih—” “Aku—aku—aku,” dia mengulang-ulang kepada dirinya sendiri, tidak menyadari bahwa diri yang yang dimaksudnya telah tiada.

Malam itu, ketika dia melarikan diri dari jalan Iris dan secara misterius mengelabui para pengejarnya, Morito tidak bisa mengingat ke mana kakinya membawanya. Dia tertidur di alam terbuka, menyembunyikan diri di dalam rongga pepohonan, dan menyantap apa pun yang bisa ditemukannya di tengah pelariannya. Pakaiannya telah robek di sana-sini, kakinya yang telanjang berlumuran

Page 120: The Heike Story

darah dan lumpur, dan matanya berkilat nyalang bagaikan mata seekor binatang buas.

Ini adalah sosok seorang pria terpelajar, Morito yang pintar, yang pernah menjadi tambatan harapan semua orang. Siapakah yang bisa melihat Morito yang pandai dan tinggi hati di dalam sosok ini? Siapakah yang bisa memercayai bahwa pria ini biasa memandang teman-temannya dengan tatapan meremehkan? Tetapi, sosok itu masih bernapas, berjalan, dan bergerak. Dia yang bernyawa masih ada di dunia.

Telinganya bisa membedakan setiap kicauan burung sekarang, dan gerakan mendadak kelinci dan rusa tidak lagi mengejutkannya. Dia merasa dirinya menyatu dengan burung-burung dan binatang-binatang di tengah kesunyian alam liar. Tetapi, bunyi-bunyian sesamar apa pun yang menandakan keberadaan para pengejarnya mampu membuat seluruh rambut di tubuhnya berdiri. Mereka ada di sana— menyusulnya! Mempererat pegangannya pada benda bulat yang dibawanya, Morito akan berdiri terpaku selama sesaat, memandang nyalang ke sana dan kemari dengan mata merahnya.

Dia telah merobek salah satu lengan kimono luarnya untuk membungkus benda yang dipeluknya erat-erat. Itu adalah kepala Kesa-Gozen. Morito tidak pernah meletakkannya sejenak pun sejak malam itu. Darah telah terserap di kain pembungkusnya dan mengeras hingga, tercampur dengan embun dan tanah, tampak seperti lapisan vernis gelap. Telah lebih dari dua minggu berlalu sejak Morito melarikan diri, dan kepala itu telah menguarkan bau busuk ke mana-mana. Tetapi, dia tetap memeluknya sepanjang siang dan malam, dan ketika dirinya jatuh tertidur, dia seolah-olah melihat Kesa-Gozen hidup kembali.

Page 121: The Heike Story

Tidak ada yang berubah dalam diri Kesa-Gozen. Morito bisa mendengar gemerisik kimononya ketika wanita itu menghampirinya dan berbisik kepadanya. Morito menghirup aroma tubuhnya, merasakan kehangatannya ketika Kesa-Gozen mencondongkan tubuh ke arahnya. Laba-laba yang telah memintal sawang di sekeliling jamur-jamur pucat yang telah tumbuh di seluruh kepala Kesa-Gozen tampak tidak senyata khayalan-khayalan yang menghampiri Morito di batas kesadarannya.

Sekali lagi, mereka masih bocah, berlarian ke sana kemari bagaikan kupu-kupu di antara petak-petak bunga di taman Istana. Kemudian, Morito melihat dirinya sebagai pemuda mengenaskan, dimabuk cinta hingga menjadi gila—hingga mati. Dan, di dalam mimpinya, dia mengerang, “Oh Kesa-Gozen, mengapa kau tidak mau menatapku? Tidak ada yang bisa membebaskanku dari siksaan ini selain dirimu, oh wanita berhati batu! Mengapa kau menikah dengan Wataru? Kasihanilah aku! Berikanlah aku semalam saja di sampingmu. Izinkanlah aku sekali saja mereguk cinta terlarang ini, kemudian biarkanlah dosa ini, yang lebih berat daripada seluruh Sepuluh Dosa, melemparkanku ke tempat terdalam dan terpanas di neraka, karena siksaan apakah yang lebih berat daripada siksaan yang sedang kujalani sekarang ini?”

Dan, di dalam tidurnya yang gelisah, Morito melihat mata Kesa-Gozen yang terpejam dan mencium bibirnya. Di antara lipatan-lipatan kimono Kesa-Gozen, Morito melihat kulitnya yang pucat dan lekukan payudaranya yang telanjang, namun ketika Morito mengulurkan tangan untuk memeluknya, Kesa-Gozen lenyap begitu saja, dan mimpi itu memudar, meninggalkan dahaga gairah yang menyiksa. Terjaga kembali, Morito akan menangis terisak-isak hingga

Page 122: The Heike Story

segala sesuatu di alam pada tengah malam buta itu seolah-oiah berduka bersamanya.

Hari masih gelap ketika Morito, yang letih akibat menangis dan semalaman bermimpi buruk, terjaga. Dia bangkit berjalan terhuyung-huyung dan tersandung-sandung dalam kegelapan, tanpa mengetahui di mana dirinya berada, ketika seluruh indranya sontak tergelitik menanggapi sebuah sensasi baru. Gelombang es seolah-olah menerpa otaknya, dan gemuruh gaduh memenuhi telinganya, bergema dan terus bergema di dalam kepalanya.

Jeram Naratuki—di jalan menuju Takao yang dipagari pepohonan mapel!

Fajar telah datang, dan bulan pucat menggantung di langit. Morito memandang ke sekelilingnya, memuaskan penglihatannya dengan warna merah dedaunan mapel di seluruh sisi bukit. Baru kali inilah dia melihat cahaya pagi sejernih ini. Akal sehatnya telah kembali. Kemudian, rangkaian peristiwa pada malam 14 September itu kembali diingatnya dengan jelas, seolah-olah dia kembali berada di tempat kejadian. Gemuruh Jeram Naratuki dan gemericik air mendadak terdengar bagaikan ratapan memilukan seorang ibu yang putus asa—pekikan kebencian Wataru, tawa menghina teman-temannya sesama pengawal, dan tangisan marah masyarakat.

Menghadapi jeram itu, Morito menjerit seolah-olah untuk menjawab, “Biarkan aku mati! … Aku tidak bisa menghadapi dunia ini hidup-hidup!”

Dengan tubuh gemetar, dia berpegangan ke sebongkah batu besar dan menunduk menatap arus deras di bawahnya, dan tiba-tiba dilihatnya sekelompok penebang kayu muncul di seberang sungai, melompati batu demi batu dan

Page 123: The Heike Story

mendekat ke arahnya. Secepat kilat, Morito membalikkan badan dan berlari, dengan sigap mendaki bukit

Setibanya di puncak bukit, dia meletakkan buntalan yang dibawanya ke tanah, lalu jatuh berlutut bernapas tersengal-sengal. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, dan dia meraba dadanya yang berbulu, terengah-engah.

Dia harus mati, sekarang juga setelah dia tersadar kembali, pikirnya.

“Maafkan aku, Cintaku,” dia menangis, mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Satu per satu, dia membisikkan nama orang-orang yang dikenalnya, memohon ampunan mereka, lalu membuka buntalan berisi kepala Kesa-Gozen.

“Sekarang, lihatlah Morito, yang akan menebus dosa ini dengan nyawanya sendiri,” bisiknya. “Lihatlah dunia sekali lagi, karena aku pun akan segera melebur menjadi debu.”

Dengan perasaan tumpul, dipandangnya kepala Kesa-Gozen. Rambutnya lengket oleh darah hingga menempel bagaikan lapisan kaku di pipi dan keningnya.

“Ah, Cintaku, benarkan ini dirimu?”

Kepala itu menyerupai bongkahan besar lempung. Di bawah langit yang mulai terang, Morito melihat bahwa daging di kepala itu telah mengerut di bawah jalinan rambut lengket; tulang-tulangnya bertonjolan di sana-sini, dan kulitnya bertotol-totol. Telinganya berkerut merut dan menyerupai remis kering; matanya seolah-olah terukir dari lilin biru yang bernoda putih. Tiada lagi wajah yang pernah dikaguminya.

Dan Morito pun berdoa, “Dai-nichi Nyorai, Dai-nichi Nyorai!” (“Yang Maha Penerang!”)

Page 124: The Heike Story

Dari topeng kematian di hadapannya, tatapannya berpindah ke langit. Di hadapannya, matahari terbit bagaikan bola api. Atap-atap bangunan di ibu kota. Perbukitan Timur, dan puncak-puncak pagoda yang berselimut kabur, dan yang bisa dilihatnya hanyalah lingkaran cahaya terang benderang raksasa. Kemudian, mendadak dia teringat

0dw0

Pertapaan itu—atau lebih tepat disebut sebagai pondok sederhana, tempat yang sering kali ditinggali oleh Kepala Biara Kakuyu—berdiri di salah satu kantong Perbukitan Togano-o, di jalan menuju Takao, tepat di tempat Jeram Narutaki bertemu dengan Jeram Kiyotaki. Meskipun berkedudukan sebagai kepala biara di Kuil Togano-o, Kakuyu lebih sering menghabiskan waktu di Toba. Dan para penduduk di wilayah itu sudah terbiasa menyebutnya Kepala Biara Toba—Toba Sojo. Dia pernah menjadi kepala biara di Kuil Enryakuji di Gunung Hiei, namun pada masa ini, ketika para biksu mengangkat senjata dan melakukan pembakaran dan penjarahan, Toba Sojo sering terdengar mengatakan bahwa dirinya tidak pantas menjadi seorang biksu, karena dia tidak punya nyali untuk bertempur.

Kehidupan sang kepala biara sendiri tidak bisa dikatakan wajar. Alih-alih tinggal bersama para biksu yang mengabdi kepadanya di pondok, seorang prajurit muda dan tiga orang pelayan bekerja untuknya, dan kepada orang-orang penasaran yang dengan terkejut menanyainya tentang apakah penghuni pondok itu seorang pendeta atau rakyat biasa, Kakuyu dengan rendah hati menjelaskan bahwa mereka bukan pelayannya melainkan pelayan seorang pejabat tinggi dari Kyoto yang sedang mengunjunginya.

Sekarang berusia tujuh puluhan, sang kepala biara adalah salah seorang dari banyak anak laki-laki seorang

Page 125: The Heike Story

pejabat istana yang L berkarier cemerlang, yang pada masa kejayaannya dikenal sebagai K penulis sebuah kronik. Kakuyu, meskipun mewarisi kekayaan r yang cukup besar, memasuki biara dalam usia yang cukup muda, namun segera mendapati bahwa kehidupan biara kurang sesuai dengan minatnya. Seiring waktu—untuk mengabaikan tugas-tugas kependetaannya—dia mulai menekuni kegemarannya melukis. Gulungan demi gulungan lukisan telah dihasilkan oleh kuasnya, kental oleh sindiran dan ledekan. Tidak pernah ada lukisan yang menyerupai karyanya, karena di matanya, yang selalu mengkritisi setiap pemandangan merisaukan yang terjadi di hadapannya, dia melihat manusia dalam wujud binatang—monyet dan kelinci yang saling mengejar; musang berjubah pendeta; kodok bermahkota—dan kuasnya menggambarkan kejahatan para pemuka agama, kemewahan berlebihan para bangsawan, kepercayaan mereka pada takhayul, perjuangan untuk berebut kekuasaan, dan segala macam kedunguan dan kejahatan manusia lainnya.

Toba Sojo sedang sibuk melukis pada suatu hari, ketika pelayannya mengabarkan tentang kedatangan seorang tamu kepadanya. Setelah menyingkirkan kuas dan tintanya, dia membalikkan badan dan menerima tamunya, seorang pengawal muda dari Istana Kloister, Sato Yoshikiyo.

“Saya iri kepada Anda karena kehidupan Anda, Yang Terhormat Setiap kali saya datang untuk mengunjungi Anda, saya yakin bahwa manusia semestinya menghabiskan kehidupannya menyatu dengan alam.”

“Mengapa iri kepadaku?” jawab Toba Sojo. “Aku tidak mengerti mengapa kau tidak memilih sendiri kehidupan yang paling kauhendaki.”

Page 126: The Heike Story

“Tidak, Yang Terhormat, saya sedang berada di tengah perjalanan menuju Kuil Ninna-ji untuk menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan ziarah kekaisaran.”

“Ya? Sungguh luar biasa bahwa Yang Mulia tidak pernah bosan dengan pacuan kuda. Aku tidak akan terkejut jika manusia berubah menjadi sekawanan kejahatan yang saling berpacu, dan para pengawal menjadi sekawanan kuda liar, beringas dan ganas. Pikiran yang sangat mengerikan!”

Toba Sojo tiba-tiba menoleh ke arah sebuah ruangan di bagian belakang pondok. “Nak, apa buah kesemek yang kuminta sudah siap? Sajikanlah buah-buahan untuk tamu kita ini.”

Tidak ada jawaban, namun gumaman samar-samar terdengar di bagian belakang pondok. Kemudian, seorang pemuda muncul dari balik sudut pondok dan menghampiri beranda. Beberapa orang penebang kayu yang tinggal di dekat situ, katanya, telah datang dengan ketakutan untuk melaporkan bahwa sejak pagi itu, mereka melihat seorang pria aneh berpenampilan liar yang berkeliaran dengan kaki telanjang di wilayah bukit; salah satu lengan kimononya hilang. Mereka telah secara diam-diam mengawasi gerakannya, membuntutinya, dan melihatnya menghilang di tengah kerimbunan hutan di antara perbukitan, tempatnya mengubur sebuah buntalan besar yang sebelumnya dipuja-pujanya. Ketika melihat para penebang kayu itu mendekat, dia melesat bagaikan seekor burung ke kedalaman hutan Takao.

“Apa lagi itu?” seru sang kepala biara. “Mengapa menyusahkan diri dengan masalah sepele seperti itu? Apa kau berpikir untuk mengejar pria itu?”

Page 127: The Heike Story

“Tidak—tentunya tidak, namun para penebang kayu itu bersemangat sekali untuk menangkapnya. Mereka menduganya sebagai anggota komplotan bajing loncat.”

“Biarkan saja dia, biarkan saja. Ini adalah masa yang berat, dan seorang perampok sekalipun harus hidup. Dia akan mendapatkan makanan jika dijebloskan ke penjara, tapi bagaimana dengan istri dan anak-anaknya? Bukan begitu, Yoshikiyo?”

Yoshikiyo tampak takjub mendengar cara berpikir itu, dan dia memandang perbukitan Takao yang berselimut awan dengan ekspresi bingung. Dia hendak menjawab, namun mengurungkan niatnya. Dia meminta maaf karena telah terlalu lama mengganggu sang kepala biara dan cepat-cepat meninggalkan pondok.

Sebutir buah kesemek merah keemasan yang diabaikan oleh burung-burung menggantung di bawah langit musim gugur, dan gebukan kapak para penebang kayu menggema dingin di antara gumpalan-gumpalan awan di puncak bukit.

0ooo-dw-ooo0

Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM SABUNGAN

Embun beku telah berjatuhan, dan pekikan burung-burung kembali terdengar. Bunga-bunga krisan putih dan kuning yang tumbuh subur di pinggir jalan mulai mengering. Kemuraman mulai menggantung di udara.

“… Aneh. Wajarkah jika seorang bangsawan mau hidup di pinggir kota, di tengah gubuk-gubuk yang dihuni oleh rakyat jelata?”

Page 128: The Heike Story

Hari di bulan Oktober itu cerah, sehangat musim semi, dan Kiyomori sedang berkeliaran di sekitar Jalan keenam membawa sepucuk surat yang ditujukan oleh ayahnya kepada seorang pejabat pemerintah, Fujiwara Tokinobu. Ayahnya telah mengirimnya ke Gudang Pangan Pusat, tempat Tokinobu bekerja. Setibanya Kiyomori di sana, seorang pegawai memberitahunya bahwa orang yang dicarinya telah pergi sesaat sebelumnya ke Departemen Pendidikan untuk memeriksa beberapa catatan lama. Setelah mendapatkan saran untuk mencarinya di perpustakaan, Kiyomori sekali lagi berjalan kaki, berangkat ke Departemen Pendidikan yang berjarak hanya beberapa langkah dari Akademi Kekaisaran dan Gudang Pangan Pusat Bagaimanapun, sesampainya di Departemen Pendidikan, dia diberi tahu bahwa orang yang dicarinya sudah pulang, namun pegawai yang ditanyainya bersedia memberikan alamat Tokinobu di Jalan keenam kepadanya, sehingga Kiyomori pun langsung mengarahkan langkahnya ke sana.

Kiyomori heran melihat jalan becek dan kejorokan lingkungan tempatnya berada. Dia tidak melihat satu pun bangunan yang menyerupai kediaman seorang bangsawan. Tidak ada gerbang besar atau bangunan mewah, perpaduan harmonis antara arsitektur bergaya Tang dan tradisional yang biasa terlihat di bagian utama ibu kota dan selama berabad-abad telah dihuni oleh para pejabat negara, istana-istana bangsawan, dan rumah-rumah mewah yang dihuni oleh keluarga-keluarga terkenal. Wilayah di pinggiran ibu kota ini dan pemukiman di sisi jalan raya tidak lebih dari tanah terbuka dengan gubuk-gubuk yang berdiri di sana-sini, tempat para tukang sol, tukang besi, tukang kertas, tukang samak kulit, dan tukang celup mencari penghidupan. Hujan akhir musim gugur mendatangkan banjir yang menggenangi jalanan, dan bocah-bocah kecil

Page 129: The Heike Story

memasang perangkap untuk burung berkik atau memancing ikan karper yang terjebak di antara sampah-sampah yang menggunung di jalan.

Kiyomori berhenti untuk mengamati keadaan di sekelilingnya, memikirkan apakah dia harus bertanya, ketika dilihatnya sekelompok orang mengerumuni sesuatu dengan penuh semangat.

Kotekan ribut terdengar—arena sabung ayam! Sebelum menyadari tindakannya, Kiyomori telah mendapati dirinya menjadi bagian dari kerumunan tersebut. Dari beranda sebuah rumah yang ada di dekat situ, yang rupanya dihuni oleh seorang pawang ayam sabungan, istri si pelatih, seorang wanita tua, dan beberapa orang bocah menjulurkan leher untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa orang pejalan kaki dipaksa untuk menjadi penonton oleh si pelatih yang berwajah kaku, yang dikawal oleh asistennya, yang berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah keranjang berisi ayam jago andalannya. Seorang remaja lelaki telah menantang si pawang, yang berkoar-koar dengan nyaring untuk mengumumkan jumlah taruhan.

“Uang logam—aku hanya menerima uang logam! Taruhan kecil tidak akan cukup untuk mengobati luka-luka ayamku! Aku akan bertarung habis-habisan untuk uang kalian. Nak, apa kau membawa uang?”

“Ya—aku sudah mempersiapkan uang,” jawab bocah itu, yang sepertinya baru berusia empat belas atau lima belas tahun. Tubuhnya kecil, namun tatapan garang yang diberikannya kepada si pawang tampak serasi dengan penampilan ganas ayam sabungan yang dikempitnya; lesung pipit terlihat ketika dia tersenyum, meskipun matanya tetap menatap dengan tajam. “Berapa banyak? Berapa yang akan kaupertaruhkan?”

Page 130: The Heike Story

“Bagus! Bagaimana dengan ini?” si pawang menawarkan, meletakkan sejumlah uang logam ke dalam sebuah keranjang kecil, dan si bocah mengikutinya, meletakkan uang logam dengan jumlah yang sama.

“Siap?” Masih mengempit erat-erat ayam jago yang meronta-ronta di bawah lengannya, bocah itu berjongkok, mengukur jarak di antara dirinya dan ayam sabungan lawannya.

“Tunggu, tunggu! Beberapa orang masih ingin memasang taruhan. Sabarlah sedikit, Nak.” Si pawang menoleh kepada para penonton dan mengamati mereka seorang demi seorang, menantang mereka dengan nada setengah bergurau, “Ayolah, tidak ada serunya jika kalian hanya menonton. Bagaimana dengan sedikit taruhan—sedikit saja?”

Gemerincing uang logam segera terdengar. Tepat ketika itulah seorang wasit dan bandar muncul. Ada cukup banyak orang yang bertaruh untuk ayam si pawang, namun hanya beberapa orang saja yang bersedia mengambil risiko untuk ayam si bocah.

“Ini, aku akan membayar sisa taruhan untuk bocah itu!” seru Kiyomori, yang terkejut mendengar suaranya sendiri. Dia mengeluarkan sejumlah uang. Cukup sudah.

“Siap?” si wasit meneriakkan aba-aba. Mata semua penonton langsung tertuju pada arena suram yang ada di hadapan mereka.

“Nak, siapa nama ayam jagomu?”

“Singa, Pawang. Siapa nama ayam jagomu?”

“Kau tidak tahu? Permata Hitam—mari kita mulai!”

“Tunggu! Wasitlah yang seharusnya memberi aba-aba.”

Page 131: The Heike Story

“Kurang ajar, kau sepertinya sudah berpengalaman!”

Kedua ayam jago itu saling berhadapan dengan leher terjulur. Si wasit memberi aba-aba, dan keduanya langung saling menubruk Kerikil-kerikil kecil dan bulu-bulu yang bernoda darah bertebaran ke segala penjuru. Pertarungan telah dimulai.

Seorang pria tua justru mengamati wajah-wajah penonton sabung ayam itu dengan puas, mengabaikan pertarungan yang berlangsung di hadapannya. Dia mengenakan jubah pendeta dan sandal jerami; seorang pelayan muda menemani pendeta itu, yang berdiri menopangkan dagu ke kepala tongkatnya.

“… Ah, Kepala biara Toba!” Kiyomori cemas karena sabung ayam adalah pelanggaran hukum dan Kepala biara juga melarang judi jalanan; jangan sampai dirinya terlihat oleh sang kepala biara, karena pria itu sering berkunjung ke Istana. Tetapi Kiyomori, yang mengkhawatirkan uangnya, enggan pergi dari sana dan lebih memilih untuk bersembunyi di balik tubuh seorang pria yang ada di dekatnya.

Teriakan wasit terdengar nyaring. Pertarungan itu telah usai. Meraup uang kemenangannya dan memeluk erat-erat ayam jagonya, si bocah berlari melewati Kiyomori dan menghilang begitu saja.

Kiyomori sedang hendak melenggang pergi dengan sikap lugu ketika seseorang mendadak menghentikannya. “Anak muda—Heike Kiyomori—ke manakah kau hendak pergi?”

“Ah—Yang Terhormat!”

Suara sang kepala biara tidak mencerminkan keberatan apa pun. “Bukankah ini sangat menyenangkan? Aku juga

Page 132: The Heike Story

yakin bahwa bocah itu akan menang, dan dia benar-benar menang.”

Kelegaan yang luar biasa mendatangkan kembali keberanian Kiyomori. Dia berkata, “Yang Terhormat, apakah Anda bertaruh untuk bocah itu?”

Sang kepala biara tertawa terbahak-bahak. “Tidak, aku miskin dalam urusan semacam itu.”

“Tapi, tebakan Anda benar, bukan?”

“Tidak, aku tidak pandai menilai ayam sabungan. Ayam milik si pawang sudah tua sepertiku; ayam si bocah masih muda sepertimu. Tidak diragukan lagi yang mana yang akan menang, tapi kemenanganmu dibabat dengan curang oleh s’—bandar, sepertinya itu sebutan yang biasa dipakai oleh orang-orang untuknya.”

“Yang Terhormatlah penyebabnya. Seandainya Anda tidak ada di sini, saya akan mendebat orang itu habis-habisan.”

“Tidak, tidak, itu adalah sebuah kesalahan. Kau akan tetap kalah; tidakkah kau melihat bahwa si bandar adalah kaki tangan si pawang? Tidak, mungkin lebih baik jika kau tidak mengerti apa yang terjadi. Dan omong-omong, bagaimana kabar ayahmu? Kudengar dia telah mengundurkan diri dari jabatannya dan sekarang sedang menyepi.”

“Benar, Yang Terhormat. Beliau baik-baik saja. Beliau tidak suka terlibat dalam masalah Istana.”

“Aku cukup memahami perasaannya. Sampaikanlah pesanku kepadanya untuk menjaga baik-baik kesehatannya.”

Page 133: The Heike Story

“Terima kasih,” jawab Kiyomori, bersiap-siap pergi. “Oh, Yang Terhormat, tahukah Anda apakah Tokinobu dari Gudang Pangan Pusat tinggal di lingkungan ini?”

“Maksudmu Tokinobu yang dahulu bertugas di Departemen Angkatan Bersenjata, Nak?” kata sang kepala biara, menoleh kepada pelayannya, “apa kau tahu?” Si pelayan mengiyakan dan memberi tahu Kiyomori untuk menyusuri kanal di sepanjang Jalan Keenam menuju sebuah tempat pemujaan tua untuk Dewa Kesehatan. Kediaman Tokinobu ada di seberang rumpun bambu di kompleks tempat pemujaan tersebut katanya, dengan suka rela menambahkan berbagai macam detail—bahwa Tokinobu, karena kedekatannya dengan klan Heike, tidak saja dianggap aneh tetapi juga berkedudukan lemah; selain itu, dia juga seorang yang terpelajar sehingga dianggap lembek—yang tentunya menjadikannya tidak cocok untuk ditempatkan di Departemen Angkatan Bersenjata. Bahkan di Gudang Pangan Pusat pun dia masih dianggap eksentrik. Kediamannya, Kiyomori menyimpulkan, pasti akan menunjukkan sesuatu yang mengejutkan.

“Hmm—” gumam sang kepala biara, “seperti ayahmu saja, kurasa. Jadi, ternyata ada bangsawan yang mirip dengan ayahmu. Anak muda, katakan kepada ayahmu bahwa perbukitan Togano-o sekarang ini terlalu dingin untukku, sehingga aku akan menghabiskan musim dingin di pertapaanku di Toba, tempatku akan menekuni kegemaranku melukis. Katakanlah kepadanya untuk mengunjungiku sesekali.” Setelah mengatakan itu, sang kepala biara membalikkan badan dan meninggalkan Kiyomori.

Kiyomori berjalan melewati rumpun bambu di dekat tempat pemujaan hingga mendapati dirinya berada di bagian luar sebuah pagar anyaman ranting yang rupanya

Page 134: The Heike Story

menutupi seluruh blok. Kiyomori kaget ketika melihat bahwa gerbang rumah itu jauh lebih reyot daripada gerbang rumahnya sendiri. Dia nyaris takut berteriak untuk meminta izin masuk karena tidak ingin gerbang itu ambruk gara-gara dirinya, namun ternyata itu memang tidak perlu dilakukannya karena dia melihat sebuah lubang yang cukup besar untuk dirangkakinya. Dia memutuskan, bagaimanapun, untuk mengumumkan kedatangannya dengan cara biasa, yaitu meneriakkan sapaan beberapa kali. Sejenak kemudian, dia mendengar langkah kaki. Pintu gerbang berderit nyaring seolah-olah seseorang membukanya dengan penuh kesulitan, dan wajah seorang bocah lelaki tiba-tiba terlihat

“Oh? …” Bocah itu memandang Kiyomori dengan mata membulat

Senyum ramah merekah di wajah Kiyomori ketika dia mengenali bocah itu. Mereka baru saja bertemu. Tetapi, bocah itu langsung meninggalkannya di tempatnya berdiri, berlari begitu saja, dan menghilang dari penglihatan Kiyomori.

=odwo=

Sebuah mata air yang bergemericik di dalam kompleks tempat pemujaan untuk Dewa Kesehatan mengalir di sepanjang hamparan batu buatan di bagian dalam pagar dan melintasi pekarangan. Bagaikan seutas pita sutra, aliran sungai kecil itu berkelok-kelok di sepanjang taman, melewati bagian sayap timur kediaman Tokinobu, melingkari rumpun pepohonan dan menembus rumpun bambu, hingga menghilang ke sisi luar pagar. Kediaman Tokinobu sepertinya dahulu pernah digunakan sebagai rumah peristirahatan kekaisaran dan tak kalah indahnya dari keadaan di sekelilingnya. Tetapi, bangunan utama dan sayap-sayapnya tampak bobrok bahkan jika berada di

Page 135: The Heike Story

wilayah luar ibu kota. Kendati begitu, tamannya terawat dengan cermat sehingga memancarkan seluruh keanggunan masa lalunya dan sepertinya mencerminkan budi pekerti pemiliknya saat ini. Setiap jengkal taman tersebut tampak rapi dan tersapu bersih.

Karena tidak melihat seorang budak pun, Kiyomori mengintip melalui lubang dan melihat dua orang gadis muda sedang mencuci baju di bagian sungai yang terletak di ujung bawah taman. Lengan panjang kimono mereka terayun-ayun ke depan dan belakang, dan ujung lapisan luar kimono mereka tergulung, memamerkan pergelangan kaki yang putih. Kiyomori yakin bahwa mereka adalah putri sang pemilik rumah, dan dia tiba-tiba mensyukuri tugas yang membawanya kemari.

Jika kedua gadis itu kakak beradik, maka bocah lelaki yang dilihatnya tadi tentunya juga saudara mereka. Rambut gadis yang lebih kecil masih disanggul dengan gaya kanak-kanak; Kiyomori penasaran ingin mengatahui umur kakaknya.

Mereka sedang mewarnai benang yang akan ditenun. Di dekat mereka terdapat bejana berisi pewarna kain dan helaian-helaian benang sutra panjang yang terentang di antara tangkan rumah dan sebatang pohon mapel berdaun merah. Kiyomori tidak yakin bagaimana harus menyapa mereka, dan dia khawatir akan mengejutkan mereka, namun gadis yang lebih kecil tiba-tiba mendongak dan melihatnya. Dia membisikkan sesuatu kepada kakaknya; keduanya langsung berdiri, meninggalkan pekerjaan mereka begitu saja, dan berlari menuju salah satu sayap rumah.

Meskipun ditinggal seorang diri bersama unggas-unggas yang sedang berenang-renang di kali, Kiyomori tidak keberatan. Dia memutuskan bahwa sekaranglah saat yang

Page 136: The Heike Story

tepat baginya untuk membasuh tangannya di sungai dan meluruskan topi di kepalanya.

“Wah, Kiyomori, bagaimana kabarmu? Silakan masuk, silakan masuk,” sapa sebuah suara yang pernah berulang kali didengar oleh Kiyomori di rumahnya sendiri. Kiyomori membungkuk dalam-dalam ke arah sebuah galeri tempat suara itu berasal.

Setelah Tokinobu mempersilakannya memasuki ruangan yang longgar dan luar biasa bersih itu, Kiyomori langsung menyerahkan surat dari ayahnya.

“Ah, terima kasih,” kata Tokinobu, menerimanya dengan kesan telah mengetahui isi surat itu. “Bukankah ini pertama kalinya kau mengunjungi rumahku?”

Kiyomori menjawab basa-basi singkat Tokinobu dengan sensasi seperti menghadapi para pemeriksa di akademi. Bukan sikap sok tahu Tokinobu melainkan rasa penasarannya terhadap putri pria itulah yang membuat Kiyomori tegang. Kiyomori tidak menyukai janggut panjang dan hidung bengkok Tokinobu, namun pikirannya sedang melayang ke tempat lain, sibuk dengan khayalannya sendiri. Dia segera menyadari bahwa dirinya mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada yang semestinya diterima oleh seorang kurir. Sake disajikan dan berbaki-baki makanan terhidang di hadapannya. Walaupun sikapnya belum terpoles, kesadaran Kiyomori bisa tergerak dalam sekejap bagaikan senar harpa. Dia tidak mengetahui apa yang ada di dalam pikiran ayahnya akhir-akhir ini ataupun apa yang sedang dipikirkan oleh Tokinobu pada saat ini. Kiyomori, yang pada awalnya tampak menjaga jarak, bukan karena dia merasa perlu berhati-hati melainkan karena sudah menjadi sifatnya untuk tidak terlalu cepat memberikan penilaian, mendudukkan diri dengan nyaman di atas bantal, memutuskan untuk menyingkirkan seluruh

Page 137: The Heike Story

keraguannya. Dia akan minum banyak-banyak, memberikan kesempatan kepada sang tuan rumah untuk mengamati tamu mudanya, sementara dia sendiri akan mengamati apakah putri sang tuan rumah cantik atau tidak. Gadis itu masuk beberapa kali, lalu keluar lagi dengan gaya menggoda; akhirnya, dia masuk dan duduk di samping ayahnya. Dia sudah dewasa dan, meskipun tidak cantik, berkulit mulus dan berwajah oval; Kiyomori juga lega ketika melihat bahwa hidungnya tidak bengkok seperti hidung ayahnya. Jelas terlihat bahwa dia adalah putri kesayangan ayahnya.

“Ini Tokiko, yang tertua dari dua orang putriku yang kaulihat di taman,” kata Tokinobu, memperkenalkan putrinya. “Eh?—adiknya, Shigeko, masih kanak-kanak, dan aku ragu apakah dia mau masuk meskipun aku memanggilnya kemari.” Kendati tersenyum dengan tulus, keletihan dan keuzuran terpancar dari mata Tokinobu, yang berkaca-kaca karena efek sake. Dia mengenang ibu Tokiko yang telah meninggal dunia dan menyebabkan dirinya, seperti Tadamori, harus membesarkan anak-anaknya seorang diri. Akibat sake yang melemaskan lidahnya, Tokinobu mengakui dengan berurai air mata bahwa dia tidak sanggup menghadapi dunia dan telah gagal memberikan keceriaan yang layak kepada anak-anak gadisnya. Seraya melirik Tokiko, dia menambahkan, “Dia berumur sembilan belas tahun, hampir dua puluh, dan dia tetap tidak bisa mengucapkan apa-apa di hadapan tamu-tamuku.”

Sembilan belas! Kiyomori kecewa. Dia sudah tua! Tetapi, dia berpikir bahwa bukan salah Tokikolah jika dia belum menikah, karena ayahnya sendiri, Tadamori, turut bertanggung jawab dalam hai ini. Kiyomori memikirkan ayahnya dan kejahatan semena-mena para pejabat istana.

Page 138: The Heike Story

Selama bertahun-tahun, mereka telah bersekongkol untuk menjungkalkan Tadamori dari posisinya, hingga kegagalannya dalam menangkap Morito menghadirkan kesempatan yang telah lama mereka tunggu untuk menendangnya secara tidak terhormat dari Istana.

Kiyomori teringat ketika baru-baru ini ayahnya bercerita kepadanya tentang Tokinobu, dan dia merasa harus mempertimbangkan kembali pendapatnya tentang Tokiko. Tokinobu telah secara tidak langsung terlibat dalam hubungan buruk Tadamori dengan para pejabat istana, dan peran yang dipegangnya tersebut tidak menguntungkan bagi dirinya dan putri-putrinya. Dalam banyak hal, masa kecil mereka sama dengan masa kecil Kiyomori, dan sekarang dia memahami betapa besarnya utang budi ayahnya kepada Tokinobu.

=dow=

Untuk memahami situasi yang berujung pada pengunduran diri Tadamori dari Istana, perlu dijelaskan mengenai sebuah peristiwa pada Maret 1131, ketika Kiyomori masih berusia lima belas tahun. Ketika itu, kuil besar di Sanju-Sangen-Do yang memiliki seribu lukisan Buddha telah selesai dibangun dan seluruh ibu kota larut dalam upacara pembukaan besar-besarannya. Pada kesempatan itu, Mantan Kaisar Toba tidak hanya menghadiahi Tadamori dengan tambahan tanah tetapi juga mengangkatnya menjadi pejabat istana, sebuah kehormatan yang belum pernah diberikan kepada seorang samurai sebelumnya. Para bangsawan yang terusik karenanya sepakat untuk membunuh Tadamori pada malam perjamuan Istana, ketika dia dijadwalkan hadir. Lebih daripada kedengkian, rencana ini didasari oleh ketakutan.

Sebuah surat kaleng dilemparkan ke rumah Tadamori pada malam perjamuan, berisi peringatan baginya

Page 139: The Heike Story

mengenai upaya pencabutan nyawanya. Menanggapi pesan itu, Tadamori tersenyum santai, mengatakan bahwa dia akan menghadapi tantangan itu sebagai seorang samurai, dan pada malam perjamuan, dia hadir di Istana dengan membawa pedangnya. Di sana, di bawah tatapan curiga para pejabat istana, dia menghunus pedangnya untuk menguji ketajamannya pada ikatan rambutnya. Bilah baja itu, yang berkilauan bagaikan es di tengah kelap-kelip cahaya lilin, menebarkan keraguan kepada para pejabat istana yang waspada. Seorang menteri, yang ketika itu sedang berjalan melewati salah satu galeri terbuka di Istana, melihat dua sosok mencurigakan, yang bersenjata lengkap, sedang berjongkok di salah satu sudut halaman dalam, lalu meneriaki mereka; seorang perwira dari Golongan Keenam segera muncul untuk menantang para penyusup itu dan menerima jawaban, “Kami adalah anak buah Heike Tadamori. Kami telah mendapat peringatan tentang bahaya yang mengancam majikan kami. Kami siap mempertaruhkan nyawa untuk beliau.”

Para pejabat istana, yang segera mendengar tentang hal ini, geram. Keesokan harinya, dipimpin oleh seorang menteri, mereka menuntut agar Tadamori dihukum karena hadir di Istana dengan membawa senjata dan ditemani oleh prajurit Mantan Kaisar, yang gundah, memanggil Tadamori untuk meminta penjelasan. Dengan wajah menyesal yang sepantasnya, Tadamori perlahan-lahan menurunkan pedangnya, menghunusnya, dan menunjukkan kepada Mantan Kaisar bahwa pedang itu terbuat dari bambu yang bercat perak. Kedua anak buahnya, kata Tadamori, hanya bertindak seperti layaknya semua pelayan setia kepada majikannya. Sang mantan kaisar memuji Tadamori untuk kebijaksanaannya, namun musuh-musuhnya di Istana semakin gelisah bersama setiap pemberian tanda penghormatan oleh sang penguasa kepada Tadamori, dan

Page 140: The Heike Story

ketika mereka mendengar bahwa Tokinobulah yang telah memberi peringatan kepada Tadamori tentang rencana nista itu, mereka berusaha menyingkirkannya dari Istana. Tokinobu, yang telah bertahun-tahun mengabdi di Istana, segera mendapati bahwa seluruh jalannya untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi telah tertutup.

*dw*

“Lihat, ada kubangan air lagi!” bocah bernama Tokitada itu berseru senang, mengayunkan obornya ke kaki Kiyomori ketika mereka meraba-raba mencari jalan menembus rumpun bambu.

Kiyomori mabuk—sepenuhnya ditaklukkan oleh sake. Meskipun dia yakin dirinya bisa mencari jalan pulang, Tokinobu meragukannya, dan atas desakan Tokiko, menyuruh putranya untuk menemani Kiyomori hingga Jalan Ketujuh.

Setelah Kiyomori menghabiskan waktu lama di rumahnya, Tokiko sudah tidak bersikap malu-malu lagi; dia banyak bicara dan tertawa, dan Kiyomori bisa merasakan kehangatan tertentu dari cara gadis itu mencuri pandang ke arahnya. Tetapi, astaga, gadis itu berumur sembilan belas tahun! Ini mengganggu Kiyomori; dia seperti kakak perempuan saja. Kiyomori berpikir apakah ini karena dia membandingkan Tokiko dengan Ruriko. Apa pun itu, dia memutuskan untuk mengatakan kepada ayahnya bahwa penampilan dan kepandaian Tokiko begitu memikatnya. Tetapi, yang benar-benar berhasil menarik minatnya adalah adik lelaki Tokiko yang berumur enam belas tahun, Tokitada.

“Ho, Singa,” Kiyomori menggodanya.

Page 141: The Heike Story

Sambil mengayun-ayunkan obornya ke depan dan belakang dengan riang, Tokitada membalasnya, “Apa, dasar jongos!”

“Oh? Bukan jongos, aku adalah seorang samurai muda.”

“Seorang samurai muda sama saja dengan seorang jongos tua!”

“Jadi, anak muda yang pemberani, tidakkah aku tadi melihatmu menyabung ayam di jalan?”

“Dan kau berjudi! Kau juga bersalah! Jadi, apa kata ayahku kepadamu?”

Kiyomori tergelak. “Ternyata ada juga orang yang sama dengan aku. Kau memang kocak!”

“Apanya yang sama dengan kamu?”

“Kau juga katak muda.”

“Katak muda itu kecebong. Aku akan menyuruh si Singa mematukmu.”

“Aku menyerah, aku menyerah,” Kiyomori memprotes. “Ulurkan tanganmu—mari kita membuat kesepakatan—kita akan berteman seumur hidup!”

Angin dingin dari Perbukitan Utara menyapu dedaunan kering sebelum menerpa mereka tanpa ampun, mendorong mereka memasuki wilayah pemukiman kumuh yang telah dilihat oleh Kiyomori siang itu. Tertiup dan terdorong oleh angin, Kiyomori menghilang dalam kegelapan malam, sementara sosok mungil di Jalan Keenam melambai kepadanya dengan obornya.

?=d-w=?

Sudah menjadi kebiasaan putra-putra Tadamori untuk menghadap dan memberikan penghormatan resmi kepada

Page 142: The Heike Story

ayah mereka setiap pagi. Bahkan Norimori, si bungsu, juga hadir untuk menerima ucapan selamat pagi yang disampaikan dengan sangat khidmat. Dan sudah menjadi kebiasaan Tadamori untuk menyampaikan beberapa patah kata penyemangat untuk anak-anak piatunya, yang menyambut ritual harian itu bersama terbitnya matahari.

Kiyomori menceritakan kejadian pada hari sebelumnya:

“Yang Terhormat Tokinobu tidak memberikan jawaban untuk surat Ayah. Karena tidak bertemu dengan beliau di Gudang Pangan Pusat, aku mendatangi rumahnya. Sebenarnya, aku mengalami sedikit kesulitan dalam mencari alamatnya dan nyaris gagal menemui beliau. Beliau sangat baik hati, dan aku pulang cukup larut malam. Beliau juga mengirim salam untuk Ayah.”

Kiyomori kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Toba Sojo.

“Jadi, Kepala Biara sepertinya puas dengan lukisannya …. Beliau berdarah biru, dan seandainya mau, beliau bisa menonjol di kalangan para bangsawan,” renung Tadamori, seolah-olah secara diam-diam malu karena dirinya sekarang menganggur.

“Begitulah sifat beliau; seorang yang sangat eksentrik,” Kiyomori menjawab dengan singkat, merasa bahwa komentar ayahnya telah menyimpang dari topik, karena dia sepenuhnya mengira ayahnya akan bertanya tentang Tokinobu dan putrinya Tokiko. Berlawanan dengan perkiraan putranya, Tadamori bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun yang berkaitan dengan hal itu. Alih-alih, dia berkata, “Dan, omong-omong, kudengar Yang Mulia akan segera berangkat untuk melakukan perjalanan ziarah ke Kuil Anrakuju-in.”

Page 143: The Heike Story

“Ya, Yang Mulia akan berangkat pada pagi hari tanggal 15 Oktober dan kepergian beliau akan dilepas di Aula Besar. Kudengar beliau akan menginap selama dua atau tiga malam di Istana Peristirahatan di Takeda,” jawab Kiyomori.

“Kau pasti sibuk di Pangkalan Pengawal. Aku yakin kau tidak sekali pun mengabaikan pekerjaanmu semenjak kepergianku, dan kuharap kau mengabdikan diri sepenuhnya kepada Yang Mulia.”

“Tentu saja, Ayah, namun para samurai kecewa. Mereka sekarang menjadikan Ayah sebagai alasan untuk berkeluh kesah. Mereka belum melupakan bagaimana Istana memperlakukan Genji Yoshiiye, yang telah menghabiskan beberapa tahun meredakan pemberontakan di wilayah timur laut. Walaupun dia berhasil, kaisar yang berkuasa ketika itu berpendapat bahwa dia menyelesaikan pekerjaannya seorang diri dan menolak untuk memberinya imbalan, sehingga Yoshiiy& terpaksa menjual rumah dan tanahnya; kendati begitu, dia tetap tidak mampu membayar para prajuritnya dengan layak. Dirimu sekalipun, Ayah, mengetahui bahwa operasi terakhir kita ke wilayah barat—walaupun sukses—hanya mendapatkan imbalan yang sangat kecil sehingga nyaris tidak cukup untuk dibagikan ke seluruh pasukan kita. Hasil akhirnya hanyalah ini— kemiskinan kita ini.”

“Begitulah nasib samurai.”

“Dan benarkah jika para bangsawan itu menahan semua hak samurai untuk memastikan agar kita selalu berkedudukan di bawah mereka? Kita tahu bahwa itulah niat mereka, namun semua samurai gelisah memikirkan masa depan.”

Page 144: The Heike Story

“Itu tidak masalah, karena kepada Yang Mulialah kita mengabdi, bukan kepada mereka.”

“Tetapi, mereka memiliki kekuatan untuk menentukan kehidupan atau kematian kita dan bisa bertindak atas nama Istana, yang juga tempat mereka mengabdi. Kita tidak memiliki hubungan langsung dengan Yang Mulia, jadi, apakah yang bisa kita lakukan? Karena itulah para samurai risau. Ayah harus kembali ke Istana.”

“Waktunya belum tiba. Untuk saat ini, mereka lebih baik tanpa aku.”

“Dan ada desas-desus yang mengatakan bahwa Genji Tameyoshi, yang namanya sudah selama beberapa waktu tenggelam, akan dipanggil kembali ke Istana. Ada pula kabar burung yang menyatakan bahwa Yorinaga, Menteri Golongan Kiri, mencegahnya atas nama Yang Mulia. Semua desas-desus itu sangat meresahkan.”

“Heita, kau akan terlambat Kau harus berangkat pagi-pagi. Dan ingadah, kau harus mempersiapkan perjalanan ziarah Yang Mulia.”

“Maafkan aku jika aku telah menyinggung perasaan Ayah,” kata Kiyomori, merasa bahwa entah bagaimana, dia telah menjengkelkan ayahnya, yang menurut perasaannya tampak lebih tegas dan keras daripada sebelumnya.

=odwo=

Istana Peristirahatan di Takeda, sebuah wilayah di sebelah selatan ibu kota, adalah tempat peristirahatan favorit Mantan Kaisar Toba, yang menyukai pemandangan di seberang Sungai Kamo dan Katsura, sehingga dia memerintahkan agar Kuil Anrakuju-in didirikan di sana. Ketika waktu persembahan semakin dekat, sang penguasa itu menyampaikan keinginannya untuk membangun sebuah

Page 145: The Heike Story

pagoda bertingkat tiga di dalam kompleks kuil. Dia mengundang Nakamikado lyenari, yang sekarang telah pensiun dari kegiatannya di Istana Kekaisaran, untuk mengikuti perjalanan ziarahnya dan memintanya menggambar rancangan pagoda dan mengawasi pembangunannya.

Berduyun-duyun, tibalah kereta para bangsawan, barisan pendeta dalam balutan jubah kebesaran mereka, dan rombongan para penonton dari seluruh penjuru desa, semuanya menuju kuil, tempat para fakir miskin membanjir bagaikan lalat untuk menerima sedekah. Tak terhitung banyaknya pengawal ditempatkan di sepanjang rute yang dilalui oleh Mantan Kaisar; dan di tepi kedua sungai, di sekeliling wilayah Takeda, dan di mana pun mereka mendirikan perkemahan, api unggun besar menerangi langit malam.

Mantan Kaisar tinggal di sana selama dua hari. Menjelang malam hari kedua, hujan deras turun dan lingkungan Istana, yang sebelumnya ramai oleh pengunjung, mendadak sunyi. Aula Besar terlihat mencolok di tengah kegelapan layaknya sebuah ruangan dalam mimpi berkat kerlap-kerlip cahaya lentera.

Para pengawal akhirnya beristirahat dan menyantap makan malam mereka di tempat berteduh sementara. Jatah sake kekaisaran telah dibagikan kepada mereka sehari sebelumnya, namun mereka semua terlalu sibuk untuk mencicipinya. Sebagian pengawal mengeringkan mantel mereka di dekat api; sebagian yang lain telah mencopot pakaian pelindung mereka, mengedarkan cangkir sake, dan menyantap jatah makanan mereka.

Salah seorang pengawal berkata, “Ini mungkin hanya desas-desus, tapi Genji Wataru tidak akan datang saat upacara persembahan.”

Page 146: The Heike Story

“Wataru? Oh, maksudmu suami Kesa-Gozen. Bagaimana kabarnya?”

“Hmm … tepat sebelum kita berangkat, dia mendadak meminta izin untuk mengundurkan diri kepada Menteri Golongan Kiri, yang, sepertinya, mendesaknya untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, namun Wataru tetap menyampaikan permohonan pengunduran dirinya pada penasihat Istana dan sejak saat itu tidak terlihat lagi di ibu kota.”

“Oh, apa maksudnya melakukan itu?”

“Bisa dipastikan, karena terbakar oleh kebencian kepada Morito, yang telah membunuh istrinya, dia pergi untuk mencarinya dan membalas dendam. Dia pernah mengatakan bahwa dia sudah tidak tahan menyandang predikat sebagai suami dari seorang wanita korban pembunuhan.”

‘Tidak ada yang tahu di mana Morito akan ditemukan. Wataru tidak bisa disalahkan jika merasa begitu. Bagaimanapun, menurutku Morito sudah ditakdirkan untuk melakukan dosa dan menjalani sisa kehidupannya dengan siksaan rasa bersalah”

“Orang-orang mengatakan bahwa mereka pernah melihatnya di wilayah perbukitan Takao atau di sekitar Kumano. Faktanya, ada sangat banyak cerita semacam itu yang terdengar di masyarakat, sehingga dia pasti masih hidup.”

Sementara para pengawal saling bertukar cerita, pendar cahaya yang terlihat di antara pepohonan di ujung lain Istana menunjukkan bahwa para pengiring Mantan Kaisar—para pejabat istana, pendeta, dan dayang-dayang—mungkin sedang menghabiskan waktu dengan mengadakan kontes puisi; dari bilik Mantan Kaisar, bagaimanapun, tidak

Page 147: The Heike Story

terdengar alunan musik; kegelapan menyelimuti tempat itu, dan hanya gemericik air hujan yang sedikit menghidupkan suasana.

“Apakah Yoshikiyo ada di sini? Adakah di antara kalian yang melihat Sato Yoshikiyo?” wajah Kiyomori tiba-tiba muncul di tengah kegelapan malam, membelalakkan mata dan tampak cemas. Beberapa orang pengawal memanggilnya, mendesaknya untuk bergabung dan berbagi sake dengan mereka, namun Kiyomori menggeleng dan menjelaskan dengan risau, “Aku tidak punya waktu untuk itu sekarang. Aku tidak begitu yakin tentang ini, tapi kudengar salah seorang pelayan Yoshikiyo ditahan oleh petugas dari kepolisian siang tadi. Dia terlibat perkelahian di Gerbang Rashomon. Aku baru saja mendapatkan kabar itu dan sepertinya Yoshikiyo belum mendengarnya. Aku tidak menemukannya di mana-mana, tapi jika salah seorang dari kalian tahu di mana dia, tolong sampaikan kabar ini kepadanya.”

Meskipun sikap santainya dipandang miring oleh semua orang di Istana, ketulusan Kiyomori dalam memperlakukan rekan-rekan sejawatnya menjadikannya populer di kalangan para pengawal, dan pada saat seperti ini, mereka siap sedia menolongnya.

“Apa! Di Gerbang Rashomon? Berarti masalah sedang menanti Yoshikiyo sekarang. Lebih cepat kita memberi tahu dia, lebih baik.”

Kecemasan Kiyomori menular, dan para pengawal serta merta bangkit untuk membantunya. Empat atau lima orang temannya bergegas berlari ke berbagai penjuru menembus hujan deras.

o)-=dw=-(o

Page 148: The Heike Story

Bab VII – SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG SAMURAI

Yoshikoyo tidak bisa ditemukan. Dia tidak ada di Pangkalan Pengawal. Seseorang mengatakan bahwa dia barangkali tergabung di dalam rombongan Tuan Tokudaiji, terhambat oleh beberapa tugas yang tidak terduga, dan mungkin sudah mendengar kabar buruk tentang pelayannya. Salah seorang pengawal bertanya, “Apakah dia belum sampai juga? Entah apa yang menahannya.”

“Apa kau yakin bahwa Yoshikiyo sudah mendengar tentang hal ini? Tentu saja, dia bukan pengecut yang akan mengabaikan pelayannya yang sedang kesusahan?”

“Kita sebaiknya tetap mencoba menyampaikan kabar ini kepadanya.”

Para pengawal membahas masalah ini, cemas dan gelisah, tidak menikmati sake mereka, dan kesal karena Yoshikiyo tidak kunjung tiba. Mereka memiliki alasan untuk khawatir.

“Apa pun yang terjadi, orang-orang Tameyoshi tidak akan melepaskan si pelayan dengan mudah …. Apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Yoshikiyo?”

Mereka sudah lelah, dan meskipun gelisah, sebagian dari mereka telah tertidur; beberapa yang lain terkantuk-kantuk, dan sisanya telah mabuk gara-gara sake.

Yoshikiyo akhirnya terlihat di luar salah satu tenda. “Selamat malam, kalian semua! Aku sudah menjerumuskan kalian dalam masalah besar, tapi aku akan berangkat sekarang. Aku akan kembali saat matahari terbit, selambat-lambatnya—tepat pada waktunya untuk bergabung dengan kalian dalam perjalanan pulang. Jangan terlalu mencemaskan aku.” Yoshikiyo mengenakan mantel

Page 149: The Heike Story

berkuda dan menarik kudanya. Satu-satunya teman perjalanannya adalah seorang bocah pembawa obor.

Para pengawal terperangah melihat ketenangan Yoshikiyo. Seorang samurai—yang berbakat menulis puisi—bersikap seperti ini di tengah situasi krisis; kekaguman mereka pun semakin melambung.

“Eh, jadi kau berharap bisa membawa pelayanmu pulang sebelum pagi tiba, Yoshikiyo? Apa kau menyadari dengan siapa kau berurusan?”

Kiyomori sendiri memprotes kesembronoan Yoshikiyo. Tidakkah dia menyadari, tanya Kiyomori, bahwa Tameyoshi, mantan kepala Pengawal Genji, sama sekali tidak menghargai samurai yang menggantikan anak buahnya sendiri di Istana? Dia bisa dikatakan sebagai musuh bebuyutan mereka, yang selalu mencari-cari kesalahan Pengawal Heike. Yoshikiyo sebaiknya memikirkan hal ini baik-baik. Niat buruk Tameyoshi sudah tersebar luas, dan semua orang sudah menduga adanya batu sandungan bagi Yoshikiyo. Sungguh berbahaya untuk pergi ke sana seorang diri dan berusaha membuat kesepakatan dengan Tameyoshi. Jika Yoshikiyo hendak pergi seorang diri, mereka semua akan turut serta atas nama Kesatuan Pengawal dan siap melawan kekerasan dengan kekerasan.

“Mari, kalian semua,” seru Kiyomori, “kita semua akan pergi bersama Yoshikiyo dan menyelamatkan pelayannya!”

Beberapa orang berseru, “Ini baru menyenangkan!” dan berbondong-bondong ke luar dengan gaduh, haus darah dan menyambut gembira perubahan suasana. Sekitar dua puluh orang prajurit mengelilingi Yoshikiyo sambil berteriak-teriak, “Mari kita berangkat! Mari kita berangkat!”

Yoshikiyo bergeming, namun mengangkat tangan untuk menghentikan mereka.

Page 150: The Heike Story

“Tunggu, kalian bertingkah seperti anak-anak hanya gara-gara masalah sepele ini. Ingatlah, kalian masing-masing memiliki tugas di sini dan kita tidak ingin perjalanan ziarah ini terganggu. Karena pelayankulah yang menimbulkan semua keributan ini, akulah yang akan pergi dan membuat kesepakatan untuknya. Bersikaplah seolah-olah tidak ada yang terjadi.”

Setelah berhasil menenangkan rekan-rekannya, Yoshikiyo berpaling begitu saja dari Kiyomori, seolah-olah kesal karena dialah yang menyebabkan kekisruhan ini. Kemudian, memerintah bocah pelayannya untuk mengangkat obornya tinggi-tinggi, dia memacu kudanya menembus malam dan hujan.

=de=

Siang itu, Yoshikiyo memerintah pengawal kepercayaannya, Gengo, untuk mengirim beberapa puisi yang ditujukan kepada beberapa pengiring Nyonya Taikenmon, ibunda Kaisar dan mantan permaisuri Mantan Kaisar Toba. Nyonya Bifukumon, yang dipilih oleh Toba untuk menggantikan Nyonya Taikenmon, menemani Toba dalam perjalanan ziarahnya, dan Yoshikiyo, yang tergabung dalam rombongan sang mantan kaisar, mau tidak mau teringat betapa Nyonya Taikenmon tentu hidup kesepian sekarang, hanya bersama beberapa teman yang sesekali mengunjunginya. Karena itulah dia mengumpulkan puisi-puisi yang ditulisnya sepanjang dua hari perjalanan, menujukannya kepada beberapa pujangga wanita di keputrian Nyonya Taikenmon. dan menyuruh Gengo untuk mengirimnya ke ibu kota. Tidak penting bagi Yoshikiyo apakah Gengo mendapatkan masalah dalam perjalanannya menuju atau meninggalkan ibu kota, karena pikirannya saat ini hanya tertuju pada kediaman Tameyoshi. Walaupun tampak santai di hadapan Kiyomori dan para pengawal

Page 151: The Heike Story

lainnya, Yoshikiyo tahu betul reputasi pria yang akan ditemuinya. Gengo, pelayan kesayangannya, sedang berada dalam bahaya, dan jika diperlukan, Yoshikiyo siap mempertaruhkan nyawa untuknya. Dia memacu kudanya, berdoa agar tidak ada yang terjadi pada Gengo hingga dia tiba.

Ketika itu hampir tengah malam dan hujan telah reda. Bulan memancarkan sinar pucatnya dari balik awan dan menerangi atap kediaman Tameyoshi dan gerbangnya yang tampak mencekam. Tameyoshi, yang sedang bersiap-siap beristirahat malam itu, mendengar ketukan nyaring di gerbang dan jawaban galak si penjaga malam. Tameyoshi sendiri keluar untuk melihat apa yang terjadi, menemui Yoshikiyo, dan mengundangnya ke sebuah ruangan ‘ yang menghadap ke halaman dalam. Di sana, di bawah cahaya temaram sebuah lentera, dia mendengarkan penuturan Yoshikiyo.

Yoshikiyo mendapati bahwa, berlawanan dengan rumor yang sering didengarnya, Tameyoshi ternyata orang yang lemah lembut. Situasilah yang memaksa Tameyoshi, cucu seorang kepala klan termahsyur, menjadi kepala sebuah rumah tangga samurai. Masih berusia awal empat puluhan, Genji Tameyoshi berpembawaan menyenangkan dan bersikap rasional.

“Tentu saja, saya mengerti. Saya akan segera menangani masalah ini. Akhir-akhir ini ada begitu banyak desas-desus tentang pertikaian antara anak buah saya dan para pengawal, jika pelayan Anda telah ditahan tanpa alasan, maka dia harus sesegera mungkin dibebaskan. Ho, kemarilah Yoshitomo!” Tameyoshi memanggil seseorang yang ada di ruangan lain. Yoshitomo, putra sulungnya, segera memenuhi panggilannya dan berlutut di beranda, dengan sopan menanyakan alasan ayahnya memanggilnya.

Page 152: The Heike Story

Yoshikiyo menatap pemuda itu dengan ramah—seorang anak yang berbakti.

Setelah bertukar beberapa patah kata dengan ayahnya, Yoshitomo segera memanggil para penjaga rumah dan pelayan untuk menanyai mereka; dalam waktu singkat, dia muncul kembali dan berlutut di taman di luar.

“Aku membawa pelayan Yang Terhormat Yoshikiyo dan salah satu prajurit kita, yang telah menantang dia.”

Wajah Gengo bengkak akibat dihajar habis-habisan. Dia langsung menangis begitu melihat majikannya.

“Siapa yang menahanmu?” Tameyoshi menuntut penjelasan.

“Putra Anda, Yang Terhormat Yoshikata.”

“Alasan penahananmu?”

Yoshitomo menjawab pertanyaan itu untuk si tahanan, menjelaskan tentang apa yang telah terjadi siang itu. Gengo, katanya, berhenti di Gerbang Roshomon dan diperiksa oleh orang-orang Yoshikaya karena membawa sesuatu yang terlihat seperti sebuah dokumen resmi. Gengo menolak untuk menyerahkan gulungan yang dibawanya, bersikeras bahwa gulungan itu dikirim oleh beberapa wanita di Istana untuk majikannya, dan menambahkan bahwa para prajurit yang memeriksanya tidak boleh membaca isi gulungan itu.

“Dan kemudian?”

Yoshitomo melanjutkan, “Aku mendengar bahwa Yuigoro merebut gulungan itu dari Gengo dan merobek-robeknya. Gengo yang marah menyerangnya, menangis karena majikannya telah dihina. Para prajurit lain di

Page 153: The Heike Story

Gerbang Roshomon kemudian menghajar Gengo, mencaci makinya, dan menjebloskannya ke penjara.”

“Baiklah. Panggillah Yoshikata,” perintah Tameyoshi.

Seorang pemuda berusia dua puluhan segera datang. Tameyoshi mendampratnya karena perilaku buruk para prajurit yang menjadi tanggung jawabnya dan, setelah selesai berbicara, tiba-tiba berdiri dan menendang putranya, yang jatuh dari beranda ke taman. Berpaling kepada Yoshikiyo, Tameyoshi berkata, “Saya akan menyerahkan kepada Anda untuk menindak putra saya dan prajuritnya sesuai dengan keinginan Anda. Saya menyalahkan diri saya sendiri atas apa yang telah terjadi dan akan mendatangi istana Nyonya Taikonmen untuk meminta maaf. Saya sangat menyesali apa yang telah terjadi pada pelayan Anda. Ini sangat disayangkan, dan saya mohon agar Anda tidak menyalahkan saya dan mau berusaha melupakan kejadian ini.”

Terkejut dan lega karena masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang tidak diduganya, Yoshikiyo memohon kepada Tameyoshi untuk bersikap lebih lunak kepada Yoshikata dan prajuritnya. Setelah itu, dia dan Gengo meninggalkan kediaman Tameyoshi, yang didatanginya beberapa saat sebelumnya dengan pikiran terburuk.

Tidak bisa disangkal lagi bahwa Tameyoshi adalah keturunan dari leluhur yang mulia, pikir Yoshikiyo dengan penuh kekaguman, karena perangai seperti yang ditunjukkannya jarang ditemui di kalangan samurai biasa. Bagaimanapun, Yoshikiyo bisa merasakan kesuraman yang tertahan. Tameyoshi sedang menunggu waktu yang tepat; jelas terlihat bahwa dia tidak melupakan bagaimana kakeknya telah dipermalukan seumur hidup oleh para bangsawan, dan dia dengan sabar menantikan datangnya kesempatan untuk membalas dendam.

Page 154: The Heike Story

Di sekeliling Yoshikiyo, ibu kota telah lelap. Bulan bergeser dengan lembut di balik tirai awan. Dan, walaupun telinganya tidak mendengar bunyi-bunyian yang merusak kesunyian malam itu,

Yoshikiyo yakin bahwa ketenangan ini tidak akan berlangsung lama.

==odwo==

Kiyomori dan Tokiko menikah pada bulan Desember tahun itu. “Jadi, apakah kau mau menikahi dia?” tanya Tadamori kepada Kiyomori, yang wajahnya mendadak merah padam dan hanya sanggup menjawab, “Oh—” Tidak diperlukan lagi pembahasan lebih lanjut di antara ayah dan anak yang saling mengenal dengan sangat baik itu.

Selama tiga malam berturut-turut, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, Kiyomori secara diam-diam mendatangi rumah di dekat tempat pemujaan bagi Dewa Kesehatan untuk memikat calon istrinya. Dia melenggang dengan gembira menembus udara malam yang menyelusup ke dalam telinganya dan melewati jalanan kumuh. Rumah yang didatanginya gelap dan sunyi, namun cahaya temaram menerobos kerai dari jendela kamar Tokiko. Itu adalah simbol cinta yang melambai-lambai kepadanya dari ujung lain alam semesta, mendatangkan ke benak Kiyomori bayangan-bayangan yang lebih menggoda daripada mimpi-mimpi terpanasnya. Dan bagi kedua sejoli itu, yang berpisah sebelum fajar menyingsing, sesuatu yang lebih kuat daripada gairah seakan-akan berhasil meleburkan kokok ayam jantan dan tetesan embun ke dalam sebuah dunia puitis.

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, Tokiko semestinya tinggal di rumah di Imadegawa sebagai mempelai Kiyomori, namun pasangan muda itu lebih

Page 155: The Heike Story

memilih untuk tinggal di rumah Tokinobu yang lebih besar. Teman-teman dari kedua keluarga sepakat bahwa perjodohan antara keluarga samurai miskin dan bangsawan papa ini sungguh serasi.

Sebagai sumbangan untuk pesta pernikahan kakaknya, Tokitada menyembelih dan memasak ayam sabungannya, yang telah lama disembunyikan dari ayahnya, dan menghidangkannya kepada Kiyomori.

“Apa! Kau menyembelih ayam sabunganmu yang berharga untuk malam ini?”

Tokitada hanya tersenyum lebar.

Kiyomori tidak sanggup berkata-kata. Dia hanya takut kepada ayahnya, namun semangat membara bocah ini membuatnya gentar Kedalaman seperti apakah yang akan ditemuinya dalam diri kakak bocah ini, istri yang baru saja dinikahinya?

?-dw-?

Pada musim semi 1138, Tokiko mengetahui bahwa dirinya hamil dan memberi tahu suaminya. Kiyomori mendengarnya tanpa berkata-kata, larut dalam kekecewaan. Perasaan bersalah akibat kenangan menghabiskan semalam di dalam pelukan seorang wanita di jalan Keenam menerpanya, berbaur dengan kesadaran bahwa pada usia yang kedua puluh satu, dia akan menjadi seorang ayah.

“… Apakah kau tidak senang?”Tokiko ragu-ragu.

Tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, Kiyomori cepat-cepat menjawab, “Bahagia—ya, namun kita keluarga samurai, jadi anak ini harus laki-laki.” Seandainya dia seorang bangsawan, dia mungkin akan berdoa agar anaknya perempuan, yang akan tumbuh dengan kecantikan tak tertandingi lalu diangkat menjadi selir kaisar, namun

Page 156: The Heike Story

pikiran semacam itu tidak ada di benaknya. Tidak ada sedikit pun kasih sayang kebapakan yang menggerakkannya.

Musim dingin kembali datang. Pada suatu pagi di bulan November, setelah hujan salju turun sepanjang malam, ketika salju menumpuk di beranda, tangisan seorang bayi terdengar. Para pelayan Tokiko bergegas menemui sang ayah muda dan memberinya selamat atas kelahiran putra sulungnya. Kiyomori yang lega hanya sanggup berjalan mondar-mandir di ruangan antara beranda dan kamarnya.

“Tua Bangka—ambilkan kudaku, kudaku!”

Mokunosuke, yang bersama beberapa pelayan lain dari Imadegawa menemani Kiyomori di rumah barunya, muncul. “Tuan Muda, Anda pasti sangat bahagia!”

“Lega—aku benar-benar lega!”

“Apakah Anda hendak pergi ke tempat pemujaan untuk mempersembahkan tanda terima kasih?”

“Tidak, aku harus menemui ayahku di Imadegawa sebelu melakukan yang lain. Tua Bangka, saljunya dalam … kau harus tetap di sini.”

Kiyomori berkuda melewati gerbang. Ketika berada di dekat rumpun bambu, dia mendengar seruan nyaring dari belakangnya. Adik istrinya, Tokitada, memanggilnya, “Aku akan menyertaimu hingga setengah perjalananmu; bambu-bambu menghalangi jalan,” katanya, menyusul kuda Kiyomori. Terbebani oleh salju, bambu-bambu merunduk ke tanah dan menghalangi jalan. Tokitada menebaskan belatinya, membelah bambu yang tertimbun salju satu per satu, melompat-lompat ke sana kemari bagaikan seekor kelinci, sesekali menengok ke belakang dengan tatapan sombong.

Page 157: The Heike Story

“Terima kasih, sudah cukup,” seru Kiyomori, memandang kegesitan dan kelincahan bocah itu dengan kagum. Pikirannya seketika kembali kepada anak yang lahir pagi itu, dan sebuah kehangatan, kebangkitan naluri kasih sayang kebapakan, membanjirinya. Bayi laki-laki itu—tidak diragukan lagi—adalah miliknya dan Tokiko!

Sejauh yang bisa dilihat oleh Kiyomori, atap-atap bangunan di Kyoto, juga di Perbukitan Timur dan Barat yang mengapit ibu kota, tertimbun salju tebal. Seorang diri, Kiyomori memacu kudanya, sesekali mengejutkan para pejalan kaki yang menatapnya dengan penasaran dan waspada. Kiyomori tiba di depan gerbang Imadegawa dan segera bertatap muka dengan ayahnya. Terengah-engah, dia menyampaikan kabar gembira itu, “Akhirnya dia lahir—bayi laki-laki!”

“Jadi, dia sudah lahir jawab Tadamori dengan air mata berlinang.

Kiyomori nyaris tidak sanggup menahan air matanya sendiri ketika memandang pria yang dihormatinya lebih daripada ayah kandungnya sendiri itu. Jalan takdir yang aneh telah mempersatukan mereka. Mereka berhadapan dengan masa depan yang tidak pasti, karena tanda-tanda kekacauan telah terlihat dengan jelas. Dalam tiga tahun terakhir, telah banyak kediaman bangsawan yang dibumihanguskan. Para biksu bersenjata saling melawan, meluluhlantakkan kuil-kuil dan pagoda-pagoda, dan berbaris ke ibu kota bersama para tentara bayaran untuk menuntut kekuasaan. Sementara itu, kelahiran putra Kaisar Sutoku, sang Putra Mahkota Utama, memperuncing pertikaian antara Istana Kekaisaran dan Pemerintahan Kloister, karena Mantan Kaisar Toba juga telah mengumumkan bahwa putra sulungnya bersama Nyonya

Page 158: The Heike Story

Bifukumon adalah Putra Mahkota yang akan mewarisi singgasananya.

Kerusuhan yang semakin sering terjadi di seluruh negeri dan kegelisahan umum mendorong Toba untuk memanggil Tadamori. membujuknya agar mau mengambil kembali posisinya di Istana.

Dan Tadamori, setelah kelahiran cucunya, akhirnya setuju untuk ditempatkan di Golongan Kelima dan mendapatkan jabatan di Departemen Keadilan. Kiyomori juga mendapatkan kenaikan jabatan dari Mantan Kaisar, dan bintang keluarga Heike sepertinya bersinar terang.

Walaupun para pejabat istana yang iri tidak mencegah pemanggilan kembali Tadamori, mereka segera bersekongkol untuk menyingkirkannya. Terdengar desas-desus bahwa Tadamori telah secara diam-diam menjalin hubungan asmara dengan putri seorang bangsawan Fujiwara, Ariko, salah seorang dayang di Istana Kekaisaran, yang kemudian menjadi ibu susuan bagi Putra Mahkota Utama. Musuh-musuh Tadamori yakin bahwa hubungan asmara dengan seseorang yang mengabdi kepada saingan Toba akan berujung pada hukuman mati. Tetapi, Mantan Kaisar sudah cukup lama mengetahui tentang hubungan ini, dan, tanpa diketahui oleh para pejabat istana, mendorong dan merestui pernikahan mereka, yang telah memberikan dua anak laki-laki kepada Tadamori.

==d-w==

Toba Sojo, yang sepanjang hidupnya menertawakan dunia melalui lukisan-lukisannya, wafat pada musim gugur 1140, di usia yang telah renta. Dalam keadaan meregang nyawa, dia mengatakan, “Kendati aku seorang biksu, jangan lakukan ritual biara setelah aku meninggal. Aku sudah hidup terlalu lama untuk mengolok-olok para kepala

Page 159: The Heike Story

biara, pembesar kuil, dan pendeta dengan ekor mengintip dari balik jubah kebesaran mereka. Menguburku dengan nyanyian khidmat dan doa-doa akan menjadi gurauan terbesar.”

Di bawah genting pertapaan, sang kepala biara sekarang berbaring, tidak bisa lagi mendengar gemerisik daun yang berguguran dan gumaman para pelayat, yang sedang bertukar cerita tentang masa lalu dan keeksentrikannya. Pemimpin pelayat, seorang pejabat istana berkedudukan tinggi, heran ketika melihat bahwa pemakaman yang akan dihadiri oleh deputi Kaisar dan Mantan Kaisar itu hanya akan dilakukan dengan upacara sederhana. Para pejabat istana, yang tiba dengan kereta mereka, harus berjalan kaki bersama para penduduk desa di sekitar Toba menuju pondok pertapaan di wilayah perbukitan.

“Yang Terhormat Yoshitomo—ini sungguh tidak terduga!”

Sato Yoshikiyo meninggalkan temannya untuk menyapa putra sulung Tameyoshi, Genji Yoshitomo, yang cepat-cepat menepi dan membalas sapaannya dengan sopan, “Aku tidak yakin apakah yang kulihat benar-benar dirimu, karena aku hanya pernah bertemu denganmu sekali pada malam itu …” katanya.

“Aku khawatir kedatanganku yang selarut itu untuk menyelesaikan masalah pelayanku mengganggu kalian. Aku tidak pernah lagi berjumpa dengan ayahmu sejak saat itu, tapi aku ingin memperbaharui permintaan maafku kepada beliau,” jawab Yoshikiyo.

“Tidak, kamilah yang bersalah dalam hal itu, walaupun aku malu mengakuinya. Apakah kau datang kemari untuk memberikan penghormatan kepada almarhum Kepala Biara?”

Page 160: The Heike Story

“Hubungan kami tidak mendalam, namun jika masih ada kesempatan untuk melihat beliau lagi, aku akan dengan senang hati mengejarnya,” kata Yoshikiyo. Teringat kepada temannya, dia buru-buru memperkenalkan mereka. “Ini Heike Kiyomori. Apakah kalian pernah bertemu?”

“Ah? Barangkali pernah.”

Yoshikiyo menyaksikan bagaimana kedua samurai muda itu saling menyapa dengan gembira, dan tiba-tiba terpikir olehnya bahwa pertemuan ini bisa dikatakan penting. Seorang prajurit Heike dan seorang petugas Kepolisian—Seorang Heike dan seorang Genji!

“Aku akan berangkat ke timur untuk tinggal di Kamakura dalam waktu dekat ini—ke daerahku, tempat banyak keluargaku tinggal. Kalian harus mengunjungiku jika kebetulan berada di dekat wilayah itu,” kata Yoshitomo ketika mereka berpisah.

Yoshikiyo, yang biasanya banyak bicara, tampak lebih pendiam hari itu. Kiyomori tidak memerhatikan perubahan sikap ini. Mereka berjalan dalam keheningan hingga tiba di sebuah persimpangan, tempat Kiyomori berpamitan. Yoshikiyo kemudian bertanya, “Apakah kau akan pulang?”

“Ya, jalanan di distrik itu gelap gulita pada malam hari, dan anak istriku sudah menantikan kedatanganku. Kebahagiaan terbesarku akhir-akhir ini kudapatkan saat aku berjumpa dengan anakku.”

“Berapakah umurnya?”

“Baru dua tahun.”

“Dia tentu sedang lucu-lucunya! Tidak ada cara yang tepat untuk menjelaskan kasih sayang kita kepada seorang anak …. Kau harus buru-buru pulang sekarang.”

Page 161: The Heike Story

Dan mereka pun berpisah di remang senja.

Sebulan kemudian, pada 15 Oktober, Yoshikiyo raib.

Kiyomori, yang tidak bisa memercayai hal ini, bertanya kepada semua teman dan kenalan Yoshikiyo tentang apa yang terjadi dan mendapatkan informasi bahwa pada hari sebelum dia menghilang, Yoshikiyo meninggalkan Pangkalan Pengawal bersama seorang sepupu yang berusia sedikit lebih tua daripada dirinya. Keduanya pulang, membahas tentang kehampaan keberadaan manusia, dan berpisah dengan janji untuk bertemu kembali keesokan paginya. Malam itu, si sepupu mendadak jatuh sakit dan meninggal dunia, dan Yoshikiyo, yang pergi dengan niat untuk memenuhi janji temu mereka keesokan paginya, berdiri di luar rumah sepupunya dan mendengar tangis memilukan sang istri yang masih muda, sang ibu yang telah uzur, dan anak-anak yang masih kecil. Di sana, sekonyong-konyong, dia mengetahui bahwa dia tidak bisa turut berduka bersama mereka, karena baru disadarinya bahwa kematian, takdir yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia, terjadi setiap hari dan sekali lagi terulang di depan matanya. Yoshikiyo pun meninggalkan rumah sepupunya dan menuju Istana. Di sana, dia mengundurkan diri dan pulang tanpa mengatakan apa pun kepada rekan-rekannya sesama pengawal. Kepergiannya yang begitu mendadak membingungkan seisi Istana, padahal Yoshikiyo begitu disukai oleh Mantan Kaisar karena bakatnya sebagai penyair, dan bahkan telah beredar kabar bahwa dia akan dipromosikan ke Kepolisian. Sepertinya tidak ada penjelasan yang masuk akal bagi perilaku anehnya.

Selanjutnya, setibanya dia di rumah, Yoshikiyo tampak resah, dan para pelayan dengan cemas mendengarkan isak tangis istrinya di sebuah kamar, tempat Yoshikiyo menahannya bersama dirinya selama beberapa waktu.

Page 162: The Heike Story

Ketika keluar kembali, Yoshikiyo menampilkan ketenangan yang dipaksakan, namun ketika putri kesayangannya yang berumur empat tahun berlari menyongsong dan memeluknya, Yoshikiyo dengan kasar mendorong bocah itu. Dia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia harus melupakan semua ikatan dengan manusia lain jika ingin meninggalkan dunia fana dan memasuki biara. Kemudian, dia mencabut belatinya, melakukan upacara penahbisan dengan memotong rambutnya dan melemparkannya ke altar leluhur di tempat persembahyangan keluarganya, lalu berlari keluar, diiringi oleh isak tangis putus asa dari orang-orang di rumahnya.

Sepuluh hari kemudian, terdengar kabar bahwa Yoshikiyo telah bersumpah untuk mengabdikan diri sebagai pendeta dan mengganti namanya dengan nama Buddha, yaitu Saigyo. Beberapa orang bahkan pernah melihatnya berada di wilayah kuil di Perbukitan Timur.

Kiyomori semakin bingung ketika mendengar komentar ayah mertuanya, “Sulit untuk memercayai bahwa seseorang yang semuda dan seberbakat itu bisa mengambil keputusan berdasarkan dorongan mendadak semata. Mungkin Yoshikiyo memang telah lama memilih untuk menjalani cara hidup yang lebih positif dan mulia.” Kiyomori berpikir untuk meminta penjelasan yang lebih memuaskan dari ayahnya, namun dia segera melupakannya karena yang lebih mengganggu daripada raibnya Yoshikiyo adalah rangkaian peristiwa yang satu demi satu melibatkan dirinya; sekarang dia merasakan terpacunya kemampuan berpikirnya yang luar biasa.

=o0dw0o=

Page 163: The Heike Story

Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA

Pada Desember 1141, kendati tidak ada seorang pun terkejut karenanya. Kaisar Sutoku yang berusia dua puluh satu tahun mendadak digulingkan dari tahtanya, dan putra Mantan Kaisar Toba bersama Nyonya Bifukumon yang baru berusia tiga tahun dinyatakan sebagai penggantinya.

Pada pertengahan Januari, kurang dari sebulan kemudian, seorang biksu muda berjalan seorang diri melewati hutan tak berdaun di Perbukitan Timur, mengumpulkan ranting-ranting yang patah akibat hujan salju yang lebat. Beberapa orang tetap akan mengenalinya sebagai Yoshikiyo sang pengawal, walaupun jubah biksu melekat di tubuhnya.

“Ah, Andakah itu?”

Saigyo terdiam ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. “Kau—Gengo?”

“Anda tidak ada di pertapaan, dan orang-orang di kuil juga tidak tahu di mana Anda berada. Saya pikir Anda mungkin turun ke ibu kota, dan saya hendak menyusul ke sana untuk mencari Anda. Apakah yang sedang Anda lakukan?”

Saigyo tersenyum ceria. “Aku kemari untuk mengumpulkan kayu bakar, tapi kesunyian lembah dan pikiranku begitu menyibukkanku sehingga aku tidak menyadari bahwa matahari telah tenggelam.”

“Kayu bakar?—Astaga, mengumpulkan kayu bakar!” Perhatian Gengo langsung teralih pada seikat besar kayu bakar yang dibawa oleh mantan majikannya. Dia cepat-cepat menanyakan apakah Saigyo sedang berada dalam perjalanan pulang ke pertapaan.

Page 164: The Heike Story

“Apakah ada sesuatu yang mendesak yang membawamu kemari, Gengo?”

Gengo cepat-cepat menjawab, “Seluruh keluarga Anda baik-baik saja. Saya sudah mengurus rumah, para pelayan, dan kuda-kuda Anda. Tanah Anda telah dijual.”

“Aku sangat bersyukur. Aku tidak bisa mengatakan kepadamu betapa aku berterima kasih karena kau mau melakukan semua itu.”

“Para kerabat Anda sepertinya juga sudah melepaskan harapan bahwa Anda akan berubah pikiran, dan istri Anda akan segera membawa putri Anda untuk tinggal bersama orangtuanya.”

“Jadi—mereka akhirnya mengikhlaskanku? Itu sungguh membahagiakanku.”

Kerutan di kening Yoshikiyo mendadak lenyap ketika dia mendengar kabar itu. Masalah yang masih merisaukannya hingga saat ini adalah istri dan anaknya.

Mereka telah tiba di gubuk mengenaskan di belakang kuil yang menjadi tempat tinggal Saigyo. Dia mengumpulkan puisi-puisi yang berserakan di atas sebuah meja kecil, menyingkirkan tintanya, dan menyalakan api, sementara Gengo mencuci bahan makanan yang dibawanya di sungai dan mempersiapkan sepanci bubur untuk dimasak di atas perapian.

Kendati Saigyo telah berulang kali melarangnya, Gengo, mantan pelayannya, senantiasa mengunjunginya, bersikeras bahwa dia akan tetap datang kalaupun dirinya sedang sekarat

Setelah makan malam mereka siap, Saigyo dan Gengo, layaknya sesama biksu dan orang yang berkedudukan

Page 165: The Heike Story

setara, duduk berdampingan di dekat perapian. Walaupun sedang makan, mereka tetap bercakap-cakap.

Segera setelah kepergian majikannya, Gengo secara resmi mengumumkan niatnya sendiri untuk menjadi biksu, dan meskipun belum melakukan upacara penahbisan, dia telah memilih nama Buddhanya, Saiju, dan berharap untuk bisa mengabdi kepada Saigyo di pertapaannya. Yoshikiyo, bagaimanapun, tidak merestui sumpah Gengo dan, untuk mengujinya, menasihatinya agar menunggu hingga satu atau dua tahun lagi.

“Saya nyaris melupakan ini,” kata Gengo, meletakkan segulung surat di hadapan Saigyo.

Surat itu, yang dikirim oleh kurir Nyonya Tainkenmon, ditulis oleh tangan lembut seorang wanita dan sulit dibaca karena banyaknya pesan dan puisi yang berjejalan di dalam satu halaman. Saigyo mendekatkannya ke perapian, mengerutkan kening dalam upaya untuk membacanya. Seusai membaca surat itu, dia tidak mengatakan apa-apa, namun menatap lekat-lekat api di perapian.

Beberapa orang teman pujangga wanitanya yang menjadi pengiring Nyonya Taikenmon menyampaikan kabar mereka dan majikan mereka kepadanya. Nyonya Taikenmon, tulis salah seorang dari mereka, kesepian dan telah beberapa kali menyampaikan niat tulusnya untuk menjadi biarawati. Ini bisa dipahami, renung Saigyo. jalan itu sepertinya tidak terhindarkan lagi. Putra Nyonya Taikenmon, Sutoku, telah diturunkan dari tahtanya, dan masa depan sang mantan permaisuri menjadi tidak pasti. Saigyo memikirkan betapa Nyonya Taikenmon, yang pernah dianggap sebagai salah seorang wanita tercantik pada masanya, sekarang telah memasuki usia awal empat puluhan. Selain mengasihaninya secara mendalam, Saigyo juga memikirkan nasib teman-temannya yang menjadi

Page 166: The Heike Story

pengiring sang mantan permaisuri. Jika mereka tidak mengikuti majikan mereka menjadi biarawati, ke manakah mereka akan menemukan keselamatan dari kemelut yang diramalkannya?

Gengo memecah kesunyian. “Sudahkah Anda mendengar kabar Morito?”

Saigyo, yang sedang melamun menatap keindahan abu putih dan bara api, serta merta mendongak. “Morito?” tanyanya, seolah-olah berusaha mengingat kembali sebuah kenangan lama.

“Namanya dicabut dari daftar buronan Desember silam. Seorang pengembara dari Kumanoi di Kisho baru-baru ini memberi tahu saya bahwa Morito sekarang sudah menjadi biksu. Morito yang sama, yang lima tahun yang lalu membunuh Kesa-Gozen dan menghilang begitu saja. Dia mengganti namanya menjadi Mongaku, dan pada musim gugur yang lalu bersumpah untuk menebus dosanya dengan seratus hari bertapa di bawah guyuran air suci dari Air Terjun Nachi.”

“Ah, Morito! … Tidak ada yang bisa menandingi Air Terjun Nachi untuk menyucikan dirinya, dan tidak mungkin dia bisa menebus dosanya kecuali dengan senantiasa melakukan tindakan baik”

“Pengembara itu menceritakan kepada saya bahwa dia mendatangi Air Terjun Nachi untuk melihat seperti apa penampilan biksu gila ini dan mendapati Mongaku, berpakaian putih dari ujung kepala hingga kaki, seutas tali jerami kasar mengikat pinggangnya, berdoa dengan suara parau sementara air terjun mengguyur tubuhnya—sebuah pemandangan yang akan membekukan darah siapa pun yang melihatnya! Mongaku sepertinya beberapa kali kehilangan kesadaran, dan akan tenggelam seandainya

Page 167: The Heike Story

tidak ada seseorang yang mengawasinya di sana. Saya diberi tahu bahwa rambut dan janggutnya nyaris menutupi wajah dan matanya yang cekung, dan dia tidak terlihat seperti manusia.”

“Jadi, itulah yang terjadi padanya.” Menarik sebatang kayu yang membara dari perapian, Saigyo menuliskan beberapa kata di hamparan abu.

Nada simpati terdengar dalam suara Gengo ketika dia mengulangi kisah tentang penebusan dosa Morito. Gengo termasuk di antara orang-orang yang paling keji mengecam Morito, dan ketika mendengarkan cerita Gengo tanpa ekspresi tertentu, Saigyo merasakan keengganan mantan pelayannya itu untuk mengabdikan dirinya seumur hidup pada biksu yang saat ini sedang menghangatkan diri di dekat perapian. Bagaimana mungkin Gengo tahu, pikir Saigyo, bahwa penampilan yang sama sekali tidak mencerminkan keperkasaan ini merupakan siksaan yang jauh lebih besar daripada guyuran Air Terjun Nachi yang sedingin es dari ketinggian seribu kaki sekalipun? Bagaimana mungkin Gengo menyadari bahwa semalam pun Saigyo tidak bisa tidur dengan nyenyak sejak pelariannya dari rumahnya ke Perbukitan Timur, bahwa tidurnya selalu dihantui oleh tangisan putri kesayangannya yang telah diabaikannya.

Siapa yang mengetahui bahwa pada siang hari, ketika dia menyelesaikan tugasnya menimba air dan membelah-belah kayu bakar sembari tetap menulis puisi, embusan angin pada pucuk-pucuk pepohonan di lembah di bawahnya dan pepohonan pinus di sekeliling kuil terdengar bagaikan ratapan istrinya di telinganya, dan betapa malam-malamnya senantiasa diliputi kegelisahan sehingga lelap tidak pernah lagi mendatanginya? Saigyo tidak akan pernah lagi menemukan kedamaian. Dia telah terenggut sepenuhnya

Page 168: The Heike Story

dari pohon kehidupannya. Penyesalan dan kasih sayang bagi orang-orang yang dicintainya akan memburunya hingga akhir hayatnya. Di bawah Air Terjun Nachi, Morito membersihkan diri dari hasrat dan siksaan duniawi yang merupakan beban alami manusia dan berharap bisa memperbaharui dirinya dengan air suci. Mereka berdua sama-sama sedang mencari kemerdekaan dari ambisi dan hawa nafsu yang selamanya menyiksa manusia.

Di abu perapian, Saigyo berulang kali menulis kata “belas kasihan”. Dia sedang belajar untuk menerima kehidupan beserta seluruh kebaikan dan keburukannya, untuk mencintai kehidupan beserta seluruh manifestasinya dengan cara menyatu dengan alam. Dan untuk alasan ini, dia telah mengabaikan rumah, istri, dan anaknya di kota yang penuh gejolak konflik. Dia telah melarikan diri untuk menyelamatkan kehidupannya sendiri, bukan untuk mewujudkan impian agung menyelamatkan umat manusia; dia pun tidak bersumpah untuk menjadi biksu atas dasar niat merapalkan puja-puji kepada Buddha; dia bahkan tidak bercita-cita untuk menjadi pemuka agama. Hanya dengan menyerahkan diri kepada alamlah dia bisa menghargai kehidupannya dengan cara terbaik, mempelajari bagaimana manusia semestinya hidup, dan oleh karenanya menemukan kedamaian. Dan jika ada pendeta yang menuduhnya telah berikrar atas dasar cinta kepada diri sendiri, bukan untuk menyucikan dunia dan berkorban untuk umat manusia, Saigyo siap untuk mengakui bahwa tuduhan itu benar sehingga dia layak untuk dicerca dan dihina sebagai seorang pendeta gadungan. Tetapi, jika diminta untuk membela diri, dia siap untuk menyatakan bahwa seseorang yang tidak bisa mencintai kehidupannya sendiri tidak akan bisa mencintai umat manusia, dan saat ini dia sedang belajar untuk mencintai kehidupannya sendiri. Dia tidak berbakat untuk menyebarkan ajaran

Page 169: The Heike Story

Buddha; yang diinginkannya hanyalah dibiarkan hidup sebebas kupu-kupu dan burung.

Keesokan paginya—19 Januari—Saigyo meninggalkan pertapaannya untuk pergi ke Jalan Keempat di ibu kota. Salju turun dan dia tergoda untuk kembali ke pertapaannya, namun pikiran mengenai surat yang disampaikan oleh Gengo mendorongnya untuk meneruskan langkah. Dia telah cukup lama tidak berjumpa dengan teman-temannya, dan siapa yang mengetahui perubahan yang telah terjadi pada mereka? Dia menyeberangi sebuah jembatan yang tertimbun salju tebal dan berbelok ke arah istana Nyonya Taikenmon. Di salah satu persimpangan di ibu kota, dia melihat orang-orang berkerumun tanpa memedulikan badai salju yang menerpa mereka. Terdengarlah teriakan-teriakan, “Mereka sudah memberangkatkan orang-orang ke pengasingan!”

“Beberapa orang tawanan!”

“Pasangan suami istri, siapakah mereka? Apakah kejahatan mereka?”

Saigyo mempertimbangkan untuk melewati jalan yang lain, namun manusia dan kuda juga telah menjejali jalan tersebut. Para petugas dari Kepolisian bersiaga untuk meredakan amukan beberapa orang prajurit yang sepertinya mengabdi kepada seseorang yang berjabatan tinggi.

“Lihatlah, tidak ada pelana di kuda mereka! Kejam sekali— padahal mereka sangat lemah lembut!” beberapa orang wanita meratap, mengulurkan leher untuk melihat lebih jelas, dan cepat-cepat mengusap air mata mereka dengan lengan kimono.

Beberapa orang petugas rendahan bersenjata tongkat bambu muncul dan dengan kasar menyodoki para penonton, berseru, “Mundur, mundur! Jangan menghalangi

Page 170: The Heike Story

jalan!” Dengan berbagai perintah tegas, mereka mendorong orang-orang mundur dari jalan. Dari gerbang sebuah kediaman bangsawan, muncullah dua ekor kuda tanpa pelana yang ditunggangi oleh seorang pria dan wanita yang terikat satu sama lain. Seorang petugas memimpin prosesi itu, membawa sebuah tanda bertuliskan, “Genji Moriyoki dan istrinya, Shimako, diperintahkan untuk diasingkan ke Tosa karena atas perintah Nyonya Taikenmon telah mengirimkan tulah mematikan kepada Permaisuri Yang Mulia, Nyonya Bifukumon

Saigyo mengenal Moriyuki yang berambut putih dan istrinya; keduanya adalah pengiring Nyonya Taikenmon yang uzur dan tepercaya. Terkejut melihat apa yang terjadi pada mereka, Saigyo tidak sanggup menahan lolongan sedihnya. Suara itu mendorong orang-orang yang lain untuk merangsek ke arah pasangan tersebut sembari berteriak-teriak, “Selamat jalan Yang Terhormat Moriyuku, menyedihkan sekali perpisahan ini! Semoga kalian berdua selalu dilimpahi kesehatan!” Para penonton berusaha mengejar kedua kuda yang ditunggangi oleh pasangan itu seolah-olah tidak rela melepas kepergian mereka. Kemudian, para petugas yang garang memukuli mereka dengan tongkat bambu, membentak-bentak marah, “Dasar kalian rakyat jelata, jangan coba-coba mendekat!”

Saigyo tidak semudah itu takluk pada gertakan; dengan lihai, dia menghindari sodokan bambu dan membiarkan dirinya hanyut oleh arus manusia, namun di tengah keributan itu, dia terpeleset salju. Kaki seekor kuda milik salah seorang petugas menginjaknya, dan dia kehilangan kesadaran. Ketika siuman, dia mendapati dirinya tergeletak di atas genangan lumpur bersalju. Tidak ada lagi kerumunan manusia dan kuda. Yang ada di sekelilingnya hanyalah keheningan malam dan salju, menghapus seluruh

Page 171: The Heike Story

jejak peristiwa beberapa waktu sebelumnya sehingga seolah-olah hanya terjadi di dalam mimpi.

Saigyo tidak jadi mengunjungi Nyonya Taikenmon hari itu.

Desas-desus menyebutkan bahwa tuduhan ilmu hitam tersebut benar adanya, namun sebagian orang meyakini bahwa tuduhan itu salah dan merupakan hasil persekongkolan. Di permukaan, Kyoto tetaplah Ibu Kota Kedamaian dan Ketenangan, walaupun gejolak kemelut terasa begitu dahsyat di bagian dalamnya.

Tidak lama kemudian, Mantan Kaisar Toba membotaki kepalanya dan permaisuri pertamanya. Nyonya Taikenmon, menjadi biarawati di Kuil Ninna-ji. Saigyo mendengar kabar ini dari pengiring sang mantan permaisuri, yang menuliskan bahwa pada usianya yang keempat puluh dua, Nyonya Taikenmon menjalani upacara penahbisan dan berpamitan pada dunia fana.

Dari pertapaannya, Saigyo menyaksikan musim semi datang bersama kicauan burung-burung di pagi hari.

0==dw==0

Jembatan besar di Gojo telah selesai dibangun; jembatan itu membentang di atas Sungai Kamo, menghubungkan wilayah timur ibu kota dengan kaki Perbukitan Timur. Beberapa tahun sebelumnya, seorang biksu bernama Kakuyo mencari dukungan dari masyarakat di sekitar tempat itu, meminta mereka menyisihkan sebagian penghasilan yang didapatkan dengan susah payah untuk menyokong pembangunan jembatan itu; dia sendiri ambil bagian dengan mengangkuti batu, membantu menggali fondasi, dan tinggal di sebuah gubuk kecil di tepi sungai hingga jembatan itu siap digunakan.

Page 172: The Heike Story

Mengenai dirinya, masyarakat berkata, “Walaupun ada banyak biksu dan pendeta yang berkeliaran dan membakari kuil dan biara, Kakuyo, setidaknya, adalah seorang pria suci.”

Sebagai dampak pembangunan jembatan, wilayah ibu kota meluas hingga ke bagian selatan Kyoto, sejauh bukit tempat Kuil Kiyomizu berdiri. Daerah yang semula hanya berupa padang ilalang dan hutan segera dibersihkan untuk pembangunan sebuah rumah mewah. Ketika pembangunan dilakukan, orang-orang penasaran ingin mengetahui siapa pemilik rumah tersebut, namun sepertinya tidak ada yang mengetahuinya.

Pada awal musim panas 1145, bahkan sebelum tembok rumah mengering, tibalah sejumlah anggota keluarga dan pelayan yang akan menghuni rumah itu, dan segera diketahui bahwa sang pemilik adalah Heike Kiyomori, kepala Kantor Pusat yang baru.

Menoleh kepada istrinya, Tokiko, Kiyomori bertanya dengan bangga, “Sekarang, katakanlah kepadaku pendapatmu tentang rumah ini, walaupun tempat ini tidak sebanding dengan kediaman ayahmu.”

Tokiko, sekarang ibu dari tiga orang anak, bersama suaminya memeriksa rumah baru mereka dengan gembira. Bersama putra pertama mereka yang telah berumur tujuh tahun, Shigemori, mereka mengelilingi rumah, memasuki setiap ruangannya, menghirup aroma kayu segar, dan menyusuri koridor-koridornya.

“Ayahmu,” lanjut Kiyomori, “yang jauh lebih aneh daripada ayahku, lebih meyukai rumah kunonya daripada rumah ini dan menolak untuk tinggal bersama kita. Ah, baiklah, jika beliau menyukai tempat tinggalnya sekarang,

Page 173: The Heike Story

lebih baik beliau tetap tinggal di sana. Aku harus menunggu selama delapan tahun untuk rumah ini.”

Delapan tahun telah berlalu sejak mereka menikah, dan baik Kiyomori maupun Tokiko tidak pernah menyangka bahwa mereka akan segera memiliki rumah mereka sendiri. Mengingat kembali tahun-tahun yang telah berlalu, Kiyomori kerap memikirkan bagaimana dia mendapatkan semua ini. Betapa tahun-tahun yang dilaluinya dalam kelaparan terasa singkat dan tidak nyata sekarang. Para pelayan mereka, pria dan wanita, beserta budak-budak mereka, telah berjumlah sepuluh kali lipat, dan ada belasan ekor kuda di dalam istal.

Tadamori, ayahnya, juga semakin kaya dan menduduki jabatan tinggi di Departemen Kehakiman; dia juga memiliki kekayaan di provinsi Tajima, Bizen, dan Hasima.

Genji Tameyoshi juga mendapatkan kembali kekayaannya. Kyoto dibanjiri oleh prajurit muda dari wilayah timur, semuanya berasal dari wilayah kekuasaan Tameyoshi di Bando. Putra-putranya, yang sekarang telah berkedudukan tinggi, memiliki pasukan masing-masing, dan kekuatan militer Genji meneguhkan reputasi mereka sebagai salah satu keluarga terkuat di ibu kota.

Para bangsawan, bagaimanapun, mengamati pertumbuhan kekayaan dan kekuatan para samurai dengan waspada. Tidak bisa disangkal lagi bahwa bahaya yang mengancam orde penguasa saat inilah yang menjadikan perubahan tersebut tidak terhindarkan, dan bahwa para bangsawan harus meminta perlindungan kepada samurai, karena tubuh kekaisaran sendiri sedang mendapatkan rongrongan dari luar maupun dalam. Pengaruh perdamaian terakhir antara Toba dan putranya, Sutoku, telah hilang bersama kepergian Nyonya Taikenmon ke biara, dan perseteruan antara kedua mantan kaisar tersebut semakin

Page 174: The Heike Story

terbuka. Kalangan Istana meramalkan adanya perebutan kekuasaan. Sejumlah faksi telah memecah belah Istana, dan berbagai persekongkolan dan intrik susul-menyusul dengan cepat. Para pendeta bersenjata dari Gunung Hiei dan Nara turut memperkeruh suasana dengan ancaman mereka untuk meledakkan perang saudara jika tuntutan mereka pada Istana tidak dikabulkan. Heike Tadamori dan Heike Kiyomori, juga Genji Tameyoshi ditugaskan untuk meredakan perlawanan para biksu dan mempertahankan Istana.

Pada suatu malam musim panas yang gerah, Juli 1146, wajah-wajah gelisah di seluruh ibu kota mendongak ke langit, tempat sebuah penampakan terang benderang memamerkan jejak panjang.

“Sebuah bintang berekor! Setiap malam bintang itu muncul …”

“Di arah barat laut sana—lihatlah komet besar itu!”

“Sesuatu akan terjadi—sesuatu yang buruk, jika dilihat dari pertanda itu.”

Penduduk ibu kota kini yakin bahwa penampakan di langit tersebut adalah pertanda akan datangnya sebuah bencana, karena pada masa itu terdengar banyak kabar bahwa para biksu di Nara telah menghimpun sebuah pasukan besar dan sedang bersiap-siap untuk menyatakan perang kepada biara saingan mereka. Para kurir berkuda mulai berdatangan sepanjang siang dan malam dari Nara, dan Tameyoshi diperintahkan untuk berangkat ke Uji bersama pasukannya.

Kecemasan merundung Istana. Para ahli nujum dan ahli perbintangan dipanggil untuk mengatakan apakah tanda di langit tersebut mencerminkan kebaikan atau keburukan.

Page 175: The Heike Story

Para pendeta melantunkan doa-doa dan mantra-mantra untuk mengusir segala kemalangan.

Tidak lama kemudian, pada 25 Agustus, terdengarlah kabar dari Kuil Ninna-ji bahwa Nyonya Taikenmon wafiat pada usia empat puluh lima tahun.

Pada tahun berikutnya, para biksu Nara menantang biara Gunung Hiei untuk berperang, dan Kuil Kiyomizu dibumihanguskan. Pada tahun yang sama, 1147, di usianya yang ketiga puluh, Heike Kiyomori dipromosikan ke Golongan Keempat dan mendapat gelar Tuan Aki. Sebagai gubernur sebuah provinsi, dia menerima segala macam kehormatan dan tunjangan yang menyertai jabatannya. Bagi Kiyomori, tibalah hari yang telah lama dinanti-nantikannya, yang akan menjadi ajang pembuktian bagi impian-impian rahasianya.

0)--=dw=--(0

Bab IX – PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG SUCI

Mereka menyebutnya Gunung Suci ... Gunung Hiei yang menjulang tinggi di atas kaki perbukitan di hulu Sungai Kama, terlihat sepanjang tahun dari setiap persimpangan jalan di ibu kota. tidak terlalu jauh namun juga tidak terlalu dekat. Sejak matahari terbit hingga tenggelam, para penduduk kota bisa mengangkat mata letih mereka dan berseru, “Ah! Tidak akan ada penderitaan dan kebencian sebesar yang menggerogoti kita di sini …. Di sini, tempat orang-orang saling menggeram dan menggigit, menipu dan menjilat, dan beradu kekuatan, tidak ada yang percaya bahwa gunung itu juga menjadi tempat tinggal manusia, karena jika bukit penebusan dosa itu sama saja

Page 176: The Heike Story

dengan kota kejahatan ini, dimanakah manusia bisa meletakkan keyakinan atau menemukan kedamaian?

Mereka bersikukuh, “Ah tidak, hanya di sanalah cahaya Kebenaran menyala setiap hari.” Di kota ini, termakan oleh hawa nafsu, orang-orang awam hanya bertanya apakah mereka boleh melihat cahaya itu dan berpegang pada keyakinan bahwa Buddha melihat segalanya ... menilai manusia yang adil dengan adil, yang baik dengan baik.

Bulan baru menggantung di langit. Sosok yang terlihat seperti seekor monyet berpinggang bengkok tertatih-tatih menaiki tangga curam menuju Puncak Shimei. Pria tua bijaksana itu bertopang ke tongkatnya. Dia akhirnya tiba di atas sebuah tebing batu. Di bawahnya jurang gelap gulita menganga dan di sekelilingnya langit malam yang luas. Dia gemetar dan jatuh berlutut. “Na ... namu …”

Air mata mengaliri pipinya ketika dia menyatukan kedua tangannya untuk berdoa, lalu menaikkan nada suaranya dan terisak-isak, berbicara kepada alam semesta.

“Namu amida butsu (Mohon ampun, Amida Buddha) … namu … Amida … namu … Amida ... bu ... ” erangnya. “Mohon ampun … ampunilah hamba!” Bersujud, dia menjerit nyaring, “Terbutakan oleh kebodohan, hamba berusaha menyelamatkan umat manusia namun tidak sanggup menyelamatkan diri hamba sendiri. Ke manakah hamba harus berpaling? Ilmu pengetahuan hanya membawakan kegelapan kepada hamba. Pembelajaran telah menjauhkan hamba dari jalan kebenaran. Sia-sia saja kehidupan hamba. Gunung Suci ini adalah singgasana kejahatan. Hamba tidak berani hidup lebih lama lagi. Hamba tidak berani lagi hidup di gunung ini. Buddha Yang Maha Pengampun, jika janji-janji-Mu benar adanya, tunjukkanlah kepada hamba bahwa surga itu ada, dan

Page 177: The Heike Story

bahwa manusia bisa tinggal di sana ... kemudian, biarkanlah hamba mati.”

Lama dia terisak-isak, berkeluh kesah dan meratap-ratap dengan suara terbata-bata.

Pada masa mudanya, dia telah tenggelam dalam kegetiran dan kepedihan dunia, dan, berharap dapat menjadi seorang manusia suci untuk mengangkat penderitaan manusia, dia mengabdikan diri untuk menjadi biksu di Gunung Hiei. Selama lebih dari empat puluh tahun, nyaris sepanjang kehidupan seorang manusia, dia mengenakan pakaian yang diwajibkan, menjalankan tindakan yang diharuskan, dan mengabaikan tubuhnya. Selama tujuh tahun, bertelanjang kaki, dia berkeliling di kuil-kuil yang ada di puncak gunung dan lembah sepanjang siang hari hingga kakinya berdarah, dan bermeditasi sepanjang malam. Kemudian, dia mengurung diri selama bertahun-tahun di tengah kegelapan sebuah bilik untuk menghafalkan ayat-ayat Buddha hingga kedua matanya rabun. Kemudian, dia berkelana di seluruh negeri, menantang para cendekiawan dari berbagai aliran dalam debat-debat keagamaan hingga mendapatkan predikat sebagai orang paling bijaksana di masanya. Pada hari tuanya, dia diangkat menjadi kepala sebuah biara, pemegang wewenang sekte Empat Doktrin Tendai di Gunung Miei. Tetapi, tidak ada pengikut yang bersimpuh di kakinya di biaranya di perbukitan karena kuil-kuil di Gunung Hiei semakin cemerlang seiring berjalannya waktu; cahaya terang benderang terpancar dari tempat-tempat pemujaan terdalamnya sekalipun; lumbung-lumbungnya dipenuhi oleh bahan makanan melimpah ruah yang didatangkan dari berbagai provinsi, lebih dari cukup untuk menghidupi puluhan ribu biksu, cendekiawan, pengikut, pemula, dan budak yang tak terhitung banyaknya,

Page 178: The Heike Story

sementara kekayaan sekte Tendai hanya menambah keputusasaannya.

“Walaupun ayah pertama biara-biara ini, Saicho, membanting tulang di sini hingga ajal menjemputnya, pengetahuan hamba tidak memiliki makna apa pun, dan hamba sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk hidup …. Hamba merana! Walaupun Buddha mendatangi hamba setelah kematian, apakah gunanya? Kalian gagak-gagak di seluruh perbukitan ini, ayo, jadikanlah dagingku sebagai santapan kalian siang ini!” Bersama kalimat itu, sang biksu tua berjinjit, dan sedetik kemudian melompat ke jurang.

Pada pagi buta, lama sebelum ibadah pagi dimulai, jeritan yang sepertinya menggema di antara gumpalan-gumpalan awan di atas Gunung Hiei membangunkan para biksu dari tidur mereka.

“Lonceng di Aula Ceramah berbunyi! Datanglah ke Aula Ceramah!”

Gelegar lonceng masih menyisakan getaran di udara ketika para biksu bergegas mengenakan jubah pendeta di atas baju zirah mereka, menyandang pedang panjang, dan menyambar tombak mereka. Berduyun-duyun, mereka mendaki dari biara-biara di perbukitan, bagaikan gumpalan-gumpalan awan yang membubung dari ngarai, para biksu uzur bertopang pada tongkat mereka. Beberapa buah bintang masih bersinar di langit bulan Juni itu. Menutupi wajah dengan syal sutra atau lengan jubah mereka, para pendeta tua dan muda itu, dengan kaki beralas sandal jerami, terburu-buru mendaki. Mereka mencorongkan kedua tangan dan berseru ke atap-atap biara dan asrama yang gelap, “Datanglah ke Aula Besar! Lonceng itu menandakan pertemuan umum.” Layaknya para samurai yang berkumpul sebelum berperang, mereka dengan penuh semangat saling menanyakan alasan pemanggilan mereka.

Page 179: The Heike Story

Seorang biksu mendadak berhenti di tengah hamparan rumput di sebuah tebing di bawah Puncak Shimei. “Ya, ya! Sesosok mayat ... seorang pria tua! Dari biara manakah pendeta itu berasal?” Sesosok mayat bersimbah darah tergeletak di antara bebatuan, wajahnya hancur sehingga tidak mungkin dikenali lagi; beberapa orang biksu berdiri dan menunduk di sekelilingnya, ketika salah seorang dari mereka dengan sigap maju untuk memeriksa tasbih yang melingkari pergelangan tangannya dan berseru, “Ah! Kepala Biara Jitsugyo, yang sudah lama menderita sakit-sakitan di biaranya. Tidak salah lagi ... ini beliau.”

“Apa! Kakek tua bijaksana itu?”

”Tidak diragukan lagi. Lihatlah baik-baik.”

”Bagaimana beliau bisa terbunuh? Beliau pasti terpeleset di Puncak Shimei.”

“Aku meragukannya. Beliau sudah lama sakit-sakitan, dan mungkin rasa putus asa mendorong beliau untuk menjemput ajalnya sendiri.”

“Itu tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan. Siapa pun yang berjumpa dengan beliau akhir-akhir ini mengatakan bahwa beliau mencaci maki kebusukan dan kebobrokan biara Tendai kita kepada siapa pun yang mau mendengarnya.”

“Beliau tidak pernah puas ... seorang pria yang tidak pernah tersenyum. Bertahun-tahun sakit-sakitan pasti penyebab utamanya. Pria malang ... malang sekali!”

“Yah, apa yang bisa kita lakukan sekarang, karena lonceng pertemuan masih berdentang memanggil kita?”

“Kematian cepat atau lambat akan mendatangi seseorang yang sakit-sakitan. Sekarang beliau sudah meninggal, dan ini bukan waktu yang tepat bagi kita untuk

Page 180: The Heike Story

mencemaskan sesosok mayat ... pertemuan umum mungkin akan mengharuskan kita turun gunung. Kita bisa mengurus pemakaman beliau nanti. Kita harus mengikuti pertemuan. Ayo, mari kita menuju Aula Ceramah!”

Mengalihkan perhatian dari mayat itu, para biksu bergegas melanjutkan perjalanan. Kelompok demi kelompok pendeta bersenjata hanya melirik ketika melewati mayat mengenaskan itu.

Fajar mulai menyingsing. Di dekat wajah mayat sang biksu tua, sekuntum bunga berselimut embun bergetar tertiup angin. Mulut sang biksu terbuka, menunjukkan giginya yang tinggal sebuah, dan untuk pertama kalinya, dia terlihat seolah-olah sedang tersenyum pada gunung.

Sebuah balok sepanjang tiga puluh tiga meter menyangga beranda Aula Ceramah Besar. Di kaki ruas tangga lebar menuju aula, seorang biksu berbadan kekar berjongkok di atas sebongkah batu dan menghadapi rekan-rekannya. Di atas zirah kasarnya, dia mengenakan jubah pendetanya. Lengan panjang dari jubah panjangnya setengah menutupi wajahnya, dan dia membawa sebuah tombak. Delapan atau sembilan orang biksu, tua dan muda, berdiri di beranda di atas dan menunduk menatap kepala-kepala di bawah mereka.

Salah seorang pendeta sedang menyampaikan kesimpulan dari sebuah pidato panjang dan berapi-api, “… Ini mungkin terlihat seperti sebuah urusan sepele, namun sesungguhnya ini adalah masalah serius, karena ini mencerminkan kehormatan biara kita. Urusan ini tidak hanya membuka mata kita terhadap akal bulus sekte saingan kita, tetapi juga mengancam keberadaan kita di Gunung Hiei sebagai pelindung wilayah ini. Saudara-saudaraku, apa pun pikiran kalian, silang pendapat kita hanya berujung pada dua pilihan. Apakah kita akan

Page 181: The Heike Story

meledakkan unjuk rasa bersenjata atau tidak? Aku memohon kepada kalian semua yang berkumpul di sini untuk tanpa segan-segan menyampaikan pendapat kalian mengenai hal ini”

Pertemuan umum ini diadakan untuk mengumumkan kepada para biksu tentang sebuah insiden yang terjadi beberapa minggu sebelumnya di awal bulan Juni dalam festival keagamaan tahunan di Gion. Di puncak perayaan suci itu, sekelompok biksu terpancing dalam sebuah pertikaian melawan dua orang prajurit. Para biksu itu memang mabuk, begitu pula kedua samurai yang menjadi lawan mereka, sehingga kedua pihak sama bersalahnya. Kendati begitu, masalah ini tidak bisa diabaikan begitu saja, katanya, karena para samurai itu tidak hanya menghajar para pendeta dari Gion tetapi juga melukai beberapa biksu lainnya yang berusaha melerai mereka, kemudian melarikan diri. Banyak orang menyaksikan keributan itu, dan darah telah tumpah ke tanah yang suci. Kaum pendeta telah dihina secara terbuka. Apakah mereka harus melupakan kejadian itu dan membiarkan kedua samurai pemancing kerusuhan itu lolos tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal? Masalah ini telah dilimpahkan ke Departemen Kehakiman dan Kepolisian, dan biang keroknya berhasil dilacak dan diidentifikasi. Kedua samurai tersebut ternyata mengabdi di Istana Kloister: yang pertama adalah pelayan dari Kiyomori.Tuan Aki, dan yang kedua adalah adik iparnya, Tokitada. Para pendeta Gion telah berulang kali memohon agar kedua samurai itu diserahkan kepada mereka, namun Tuan Aki hanya tertawa dan mengabaikan permohonan tersebut. Perintah penangkapan mereka telah didaftarkan ke Departemen Kehakiman, namun kepala kantornya, Tadamori (ayah Kiyomori) mengabaikannya. Pihak pendeta akhirnya mengirim sebuah delegasi atas nama Gunung Hiei untuk menemui Mantan

Page 182: The Heike Story

Kaisar dan Perdana Menteri, memohon agar Tadamori dan Kiyomori diturunkan dari jabatan mereka; bagaimanapun, mereka hanya mendapatkan jawaban yang mengecewakan ... sebuah penghinaan pada Biara!

Ini adalah masalah yang merisaukan, dan para pendeta telah kehilangan kesabaran. Baik Istana Kekaisaran maupun Istana Kloister semakin menyepelekan wewenang Gunung Hiei. Padahal, bukankah biara-biara di wilayah utara ibu kota itu telah menjaga “pintu masuk iblis” dan menghalau setiap pengaruh buruk yang hendak memasuki ibu kota? Bukankah atas persetujuan Istana pulalah biara Tendai didirikan di Gunung Hiei? Bukankah Kaisar sendiri yang lebih dari tiga ratus tahun silam memerintahkan pembangunan Komponchudo di gunung, agar api kedamaian nan suci bisa menyala secara abadi di kuil utamanya?

“Haruskah Tadamori dan Kiyomori diperbolehkan menginjak-injak kehormatan Biara Tendai? Haruskah Mantan Kaisar dan Perdana Menteri tanpa tahu malu melecehkan wewenang biara kita? Mereka menghina masa lalu kita dan hanya menyimpan kebencian kepada kita!”

Si pendeta mangacungkan tinju untuk mengakhiri pidato berapi-apinya. Gejolak perasaan melanda semua pendeta yang memenuhi Aula Besar; kemudian, sorak sorai lantang meluncur dari bibir mereka:

“Ke ibu kota! Mari kita turun ke ibu kota!”

“Unjuk rasa bersenjata! Unjuk rasa bersenjata! Keadilan harus ditegakkan!”

Sekali lagi, lonceng besar dibunyikan untuk menandai keberangkatan para pendeta menuruni gunung. Terpanggul di bahu para pendeta adalah Altar Sakral yang biasanya diletakkan di depan Komponchudo, tempat para dewa

Page 183: The Heike Story

dipuja, dan sebuah deklarasi untuk berbaris ke ibu kota dibacakan dengan khidmat di depan ribuan pendeta yang memadati pekarangan kuil besar itu.

Berbagai gumaman marah terdengar, “Sudah lama sejak kita terakhir kali mengunjungi Istana Kloister dan Istana Kekaisaran.

Sesekali mengunjungi mereka dengan membawa Altar Sakral dan emblem suci kita adalah tindakan yang tepat agar kita tidak disepelekan. Ini adalah kesempatan dari langit untuk mengembuskan ketakutan ke dalam hati para samurai itu.”

Matahari bulan Juni tanpa ampun memancarkan sinar panasnya; diiringi bunyi jangkrik dari segala penjuru, Altar Sakral diarak menuruni gunung. Sepasukan besar pendeta mengikutinya, bergerak tanpa henti bagaikan tanah longsor.

Unjuk rasa bersenjata dari para pendeta Gunung Hiei tidak jarang terjadi, dan tuntutan yang disampaikan oleh ribuan biksu yang berbaris ke Istana atau Kediaman Perdana Menteri biasanya akan didengar, karena tidak seorang pun berani memicu kemarahan para dewa dengan menentang para pendeta. Di hadapan Altar Sakral, Kaisar sekalipun akan turun dari singgasananya dan bersujud dengan khidmat.

0)--=dw=--(0

Bab X – DUSTA “Tadamori dan Kiyomori ... ayah dan anak itu ...

mungkin bukan orang penting, namun kedua samurai Istana itu akhir-akhir ini menjadi orang kepercayaan Yang Mulia. Sudah saatnya kita mencabut mereka sepera rumput,

Page 184: The Heike Story

atau mereka akan menimbulkan masalah di masa yang akan datang.”

‘Tidak, seluruh Istana Kloisterlah yang menyepelekan kita.”

“Maksudmu, kericuhan di tanah Kagashirayama?”

“Itu dia. Kita tidak mendapatkan jawaban dari tuntutan kita dalam masalah itu.”

“Tanah itu ada di wilayah hukum kita. Ketika biksu yang menggarap tanah Kagashirayama meninggal. Istana berpendapat bahwa tanah tersebut harus dikembalikan kepada Yang Mulia.”

“Itu sama saja dengan upaya perampasan tanpa memedulikan hukum …”

“Istana Kloister adalah tujuan kita!”

“Kita harus lebih sering mendatangi tempat itu. jangan sampai mereka membudayakan kebiasaan buruk mereka!”

Saat malam tiba, beberapa ribu orang biksu bersenjata berduyun-duyun menuruni gunung sambil memanggul Altar Sakral dan bagaikan awan badai yang berarak dari utara ke arah ibu kota, mengikut) aliran Sungai Kamo, mereka bergerak menuju gerbang-gerbang kota. Ketika kegelapan telah menyelimuti kota, merelai mengumandangkan ayat-ayat suci, dan nyala obor-obor mereka seolah-olah membakar tanah dan menyulut awan.

Di tetiap desa dan dusun yang dilalui oleh para biksu itu, kengerian melanda para penduduk seolah-olah Dewa Kejahatan sendirilah yang sedang melewati mereka; tidak seorang pun terlihat Di dalam gubuk mereka, para ibu memeluk anak-anak mereka erat-erat, menyembunyikan

Page 185: The Heike Story

wajah, dan menajamkan pendengaran mereka, menunggu hingga para pendeta beringas itu pergi.

Di Gion, Altar Sakral diletakkan di depan tempat pemujaan di kuil sementara para biksu mendirikan pos penjagaan, dan sepanjang malam itu, nyala api mereka menjadikan Perbukitan Timur tampak membara.

•d•w•

Kebanggaan memiliki sebuah rumah baru. dan ketertarikannya sendiri pada bangunan, mendatangkan kenikmatan yang berkesinambungan dalam diri Kiyomori. Sejak menetap di Rokuhara, dia tidak pernah puas meminta para tukang kayu membuat perubahan dan penambahan di rumahnya. Selarik anak air yang mengalir dari perbukitan di belakang Kuil Kiyomizu dan melewati tanahnya mengingatkan Kiyomori pada sungai yang mengalir melewati pekarangan kediaman ayah mertuanya, dan Kiyomori mendapatkan gagasan untuk membelokkan sungai kecil tersebut ke tamannya. Dia membicarakan tentang hal ini kepada istrinya, yang mengatakan:

“Ya, jika kita punya sungai di taman kita, maka aku dan adikku bisa mencelup benang di sana. Aku akan mempekerjakan seorang gadis penenun dan merancang pola-pola baru dengan warna-warna unik. sehingga kau dan anak-anak akan memiliki pakaian yang sangat istimewa.”

Tokiko tidak hanya seorang penenun anda), tetapi juga pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Di sanalah dia melihat dan menangani berbagai macam brokat dan bordiran indah di lemari kekaisaran.

“Bagus! Aku akan bisa melihatmu dan adikmu mencelup benang, seperti yang kulakukan ketika kita pertama kali bertemu.”

Page 186: The Heike Story

Kiyomori memikirkan rencana tersebut dengan antusias dan menyuruh para pekerja untuk mulai mewujudkannya. Saat musim panas tiba, semuanya sudah selesai.

“Nah, dengan adanya sungai yang mengalir di taman kita, akan ada banyak kunang-kunang beterbangan di sana. Aku harus mengundang ayahku untuk datang dan melihatnya,” kata Kiyomori.

Pada malam hari; ketika Tadamori dan Ariko, ibu tiri Kiyomori, berkunjung ke Rokuhara; para biksu dari Gunung Hiei tiba di ibu kota.

Ariko dan Tokiko, yang berusia sebaya dan nyaris bisa disangka bersaudara, sepertinya bisa bergaul dengan sangat akrab, dan melihat mereka bermain-main bersama ketiga cucunya menyenangkan hati Tadamori, yang duduk dan menyesap sakenya dengan penuh kedamaian. Dia menikmati pikiran bahwa putranya yang dahulu santai dan ceroboh sekarang tidak hanya menjadi seorang pegawai istana tepercaya tetapi juga menjadi Tuan Aid, tuan rumah sebuah kediaman baru yang indah. Bagi Kiyomori, yang perasaannya sedang terhanyutkan oleh sake, kehidupannya sepertinya sedang berada di masa yang paling ranum.

“Seandainya Tsunemori datang bersama Ayah, dia tentu akan memainkan serulingnya untuk kita,” kata Kiyomori.

“Apa kau menyukai alunan seruling?” jawab Ariko. “Kalau kau punya seruling, aku bisa memainkan sesuatu untukmu”

Kiyomori menoleh kepada Tokiko dan memintanya untuk mengeluarkan serulingnya.

Tadamori duduk dan menyaksikan kunang-kunang beterbangan di atas permukaan sungai; sembari perlahan-lahan menghirup sakenya, dia mendengarkan permainan

Page 187: The Heike Story

Ariko dan sejenak kemudian menyandarkan diri ke tiang, terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, Tadamori menegakkan badan, terbangun; seseorang sedang berlari melewati gerbang depan menuju halaman kosong di dekat istal. Sebuah teriakan terdengar, dan dia juga bisa mendengar kegaduhan para pelayan di ruangan mereka.

“Mereka sudah datang!”

Tokitada, adik lelaki Tokiko, masuk dengan ribut, mengumumkan bahwa para biksu dari Gunung Hiei telah tiba di ibu kota. Heiroku, pelayan Kiyomori, berjongkok di belakangnya. Dari wajah keruh mereka, jelas bahwa keduanya mengetahui tingkat keseriusan pengumuman yang mereka sampaikan.

Ariko serta merta menurunkan serulingnya dan memandang Tadamori.

“Sayang sekali peristiwa ini terjadi sekarang,” gumam Kiyomori kepada dirinya sendiri, sebelum menyunggingkan senyuman kepada ayahnya. “Jadi, akhirnya mereka datang juga!”

Sekarang terjaga sepenuhnya, Tadamori duduk tegak, berkata dengan tenang, “Jadi, akhirnya mereka datang juga, bukan? Kita harus keluar dan menghadapi badai ini. Para biksu dari Gunung Hiei itu sedahsyat badai petir pada musim panas dan hujan es pada musim gugur. Rumah ini bisa-bisa terbang begitu saja bagaikan dedaunan yang terbawa pusaran angin.”

“Aku menyadarinya,” jawab Kiyomori, “dan aku hanya akan tunduk pada takdir dari langit, tidak pada kemauan mereka. Rumah baru selalu bisa kubangun di atas reruntuhan rumah ini.”

Page 188: The Heike Story

“Jika kau sudah yakin, maka mustahil bagiku untuk menasihatimu agar melakukan yang sebaliknya, Kiyomori, namun jika kau sudah siap merelakan rumahmu, maka aku pun siap merelakan putraku. Seandainya kau gugur dalam pertempuran ini, aku masih memiliki anak lelaki yang lain, Tsunemori, dan jika dia gugur, aku masih memiliki cucuku, Shigemori.”

“Ayah, jangan cemas begitu. Aku berharap agar para biksu itu datang kemari terlebih dahulu, karena aku mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika mereka memutuskan untuk langsung menyerbu Istana Kloister.”

“Yang Mulia telah diperingatkan untuk tidak memenuhi tuntutan Gunung Hiei kali ini, karena itu hanya akan mendorong mereka untuk semakin melecehkan beliau. Yang Mulia telah menolak untuk menyerahkan tanah Kagashirayama pada Gunung Hiei.”

“Tidak diragukan lagi, itulah alasan utama unjuk rasa bersenjata ini, bukan peristiwa di Gion. Perkelahian Tokitada dengan para biksu adalah sesuatu yang umum terjadi dan bukan kejadian yang biasanya akan mereka anggap serius.”

Mendengar namanya disebut, Tokitada dan Heiroku, yang telah mohon diri, muncul kembali.

“Tidak, Kakak, memang benar bahwa aku telah memukul beberapa orang biksu. Mereka menghajar Heiroku hanya gara-gara kesalahan sepele, memerintahnya untuk meminta maaf sambil bersujud kepada mereka, menyuruhnya menyebutkan nama majikannya, dan akhirnya menghina kami dengan bahasa yang tidak akan bisa dibiarkan saja oleh seorang samurai pun, sehingga aku membalas mereka. Jika Kakak mau menyerahkanku kepada para biksu itu, tidak akan ada keributan. Biarkanlah aku

Page 189: The Heike Story

menyerahkan diri kepada orang-orang Gion itu. Ampunilah aku atas perbuatanku.”

‘Tunggu, tunggu, Tokitada, kau hendak ke mana?” tanya Kiyomori.

“Akulah alasan utama para biksu itu mengamuk,” seru Tokitada.

“Bukankah aku sudah menegaskan kepadamu untuk menyerahkan masalah ini kepadaku? Apa kau sudah kehilangan akal sehat? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa akulah yang akan menghadapi akibatnya? Dan kau ... Heiroku ... menyingkirlah, karena aku akan menyelesaikan masalah ini sendirian. Jika aku membutuhkan pertolongan, ayahku akan siap memberikannya. Mengertilah, Heiroku, bahwa jika aku berniat mengambinghitamkan dirimu, aku tidak perlu berulang kali mengatakan bahwa aku siap menanggung akibatnya. Aku merasa mendengar ribuan suara_suara rakyat kecil di pasar ... mendorongku untuk maju dan melakukan yang harus dilakukan …Ada lebih banyak yang dipertaruhkan saat ini daripada kehidupanku. Aku akan menjadi jaminan bagi masa depan kaum samurai, jangan memperpanjang perdebatan ini, karena aku tidak ingin momen langka ini terlepas dari genggamanku.”

Dalam keheningan menyesakkan yang menyusul, mereka bisa mendengar para pelayan mempersenjatai diri dan bersiap-siap menantikan perintah Kiyomori.

“Apakah Ayah akan tinggal lebih lama?.

Melihat Tsunemori datang menunggang kuda. ditemani oleh beberapa orang pelayan berkuda. Tadamori serta merta berdiri.

Page 190: The Heike Story

”Tidak, malam ini sungguh menyegarkan ... Dan, Kiyomori, yang terburuk mungkin akan terjadi, seNngga aku menyarankan agar kau memindahkan para wanita dan anak-anak ke tempat yang aman sebelum pagi tiba.”

Setelah menasihati putranya. Tadamori dengan santai berjalan ke halaman dan menunggangi kudanya. Kiyomori melihat Ariko memasuki tandunya. Kemudian, Kiyomori menunggangi kudanya dan memberi tahu mereka bahwa dia akan menyertai mereka hingga setengah perjalanan. Bersama adiknya yang menunggang kuda di sampingnya, Kiyomori perlahan-lahan memimpin rombongan itu keluar dari gerbang.

Kunang-kunang beterbangan di dekat pelana mereka dan tersangkut di lengan kimono mereka. Embusan angin mengantarkan serangga-serangga mungil untuk terbang menghampiri cahaya.

Ketika rombongan mereka tiba di jembatan Gojo. Kiyomori menoleh ke belakang dan melihat panah-panah api melesat ke langit Gion.

0)--=dw=--(0

Pagi tiba. Ibu kota tampak janggal. Semua rumah terkunci rapat, tidak sesosok manusia pun terlihat berkeliaran, jalanan yang lebar sunyi senyap seperti pada malam buta. Sesekali, seorang samurai berpatroli. Sepuluh, dua puluh ekor kuda berlalu; kemudian uga atau empat ekor kuda, dituntun oleh para prajurit berjalan ke arah Istana Kekaisaran; para pegawai bergegas ke Istana Kloister uneek memulai pekerjaan mereka.

“Saya ingin berbicara dengan Kiyomori, Tuan Aki. Saya Heikt Tadamasa. Di manakah dia bertugas?”

Page 191: The Heike Story

Kedelapan gerbang Istana Kloister dijaga ketat oleh para samurai bersenjata lengkap. Tadamasa, paman Kiyomori, menyelinap seorang diri dari Istana Kekaisaran untuk mencari keponakannya.

Seorang samurai menghampirinya untuk menjawab, “Tuan Aki barangkali belum datang. Desas-desus mengatakan bahwa para biksu akan menyerbu kediaman beliau sebelum melanjutkan perjalanan entah ke Istana Kekaisaran atau Istana Kloister.”

“Ah, begitu, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan rumahnya daripada Istana. Benar-benar sesuai dengan sifatnya. Aku akan berangkat ke Rokuhara, kalau begitu.”

Tadamasa membelokkan kudanya ke timur dan memacunya menuju Jembatan Gojo. Ketika mendekati jembatan itu, dia melihat seseorang menunggang kuda ke arahnya. Kuda tunggangan orang itu berjalan pelan, mengayun-ayunkan ekornya dengan santai.

“Ho! Paman hendak ke mana?” panggil Kiyomori ketika Tadamasa melaju melewatinya.

Tadamasa sontak menarik tali kekang kudanya untuk menghentikannya. Ketika Kiyomori menghampirinya, Tadamasa menyemburnya dengan marah:

“Ho, ternyata kamu, Kiyomori! Perhatikan omonganmu itu! Apa maksudmu mengatakan ‘Paman hendak ke mana’? Begitu mendengar bahwa dua ribu orang biksu dari Gunung Hiei telah tiba, pikiranku langsung tertuju kepadamu. Astaga, kataku, kau akhirnya bisa terentaskan dari kemiskinan, mampu membangun rumah sendiri, namun akhir keberuntunganmu mendekat begitu cepat Aku kasihan kepadamu seperti layaknya seorang paman kepada keponakannya. Aku yakin bisa menolongmu, dan aku secepat mungkin mendatangimu.”

Page 192: The Heike Story

“Itu ... Paman baik sekali,” kata Kiyomori sambil tertawa terbahak-bahak, walaupun dengan sopan dia segera menelengkan kepala, “tapi, Paman, tidakkah Paman menyadari siapa yang sedang kita hadapi? Tidak seorang pun,Yang Mulia sekalipun, berani melawan para biksu yang datang membawa emblem suci mereka. Tidak peduli sebesar apa pun pertolongan yang Paman tawarkan, kita tidak berdaya menghadapi para biksu dari Gunung Hiei itu. Kecuali jika Paman datang kemari untuk melihat reruntuhan rumah saya, kata-kata Paman tadi sungguh menggelikan. Padahal saya tahu bahwa Paman bermaksud baik.”

“Hmm ... sekarang aku mengerti. Aku bertemu dengan ayahmu pada pagi buta tadi di Departemen Kehakiman, dan dia sepertinya berpikiran sama denganmu. Bahkan, kalian berdua sama saja ….Jadi, tidak seorang pun dari kalian memedulikan apa yang terjadi. Kalian sama sekali tidak peduli.”

“Ayah saya berbicara untuk dirinya sendiri, dan saya untuk diri saya sendiri. Tidak ada yang aneh dengan bersikap santai. Sebaliknya, ada apa dengan Paman? Unjuk rasa bersenjata seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh.”

“Cukup. Semakin banyak aku mendengar kicauanmu, semakin aku menyadari bahwa kau dan ayahmu sama-sama pengecut.”

Tadamasa, enggan mengakui bahwa keponakannya sekarang telah dewasa, bersikeras mempertahankan kebiasaannya menindas Kiyomori, seolah-olah dia adalah pemuda mengenaskan dari sepuluh tahun silam. Kiyomori, sebaliknya, membiarkan Tadamasa menghinanya hanya karena pria itu adalah saudara ayahnya. Tidak ada orang yang lebih dibencinya daripada Tadamasa. Akhir-akhir ini, dia melihat perubahan besar pada sikap Tadamasa, dan dia

Page 193: The Heike Story

menduga bahwa kenaikan jabatan Tadamori di Departemen Kehakiman, selain gelar dan golongan barunya, entah bagaimana telah menggentarkan pamannya, walaupun Tadamasa tidak memiliki alasan untuk iri kepada mereka karena dia sendiri baru saja mendapatkan jabatan penting di Istana Kekaisaran.

“Ayolah, Kiyomori, turunlah dari kudamu dan dengarlah apa yang akan kukatakan.”

“Tidak, aku sedang dalam perjalanan untuk mengawasi pertahanan Istana Kloister, dan sekarang bukan saat yang tepat untuk membuang-buang waktu.”

“Dan kau seharusnya menjadi orang pertama yang tiba di Istana ... apa maksudmu bersantai-santai di waktu seperti ini seolah-olah malas bekerja?” tukas Tadamasa, cepat-cepat turun dari kudanya dan menarik pijakan kaki Kiyomori.

“Apa mau Paman sebenarnya?” tanya Kiyomori dengan gusar, mau tidak mau turun dari kudanya. Dia melangkah ke bawah salah satu pohon pinus di pinggir jalan dan duduk di sana.

“Sekarang, dengarkan aku. Kalau kau menolak untuk mendengarkanku, ikatan darah di antara kita akan putus sejak hari ini,” kata Tadamasa.

“Nah, apa maksud Paman sebenarnya?”

“Kau sudah dibutakan oleh cintamu kepada istrimu. Tokiko mengendalikanmu.”

“Apa Paman sedang membicarakan istriku?”

“Siapa lagi kalau bukan Tokiko? Kau sudah membiarkan dia menggiringmu ke dalam bencana ini, dasar suami dungui Aku tidak pernah mengenal orang yang lebih dungu

Page 194: The Heike Story

daripada dirimu. Mengapa kau tidak menyerahkan Tokitada ke pihak yang berwenang di Gunung Hiei?”

“Ah, sebentar, aku kurang mengerti. Apakah Paman mengatakan bahwa karena Tokitada adalah adik istriku, maka aku mendengarkan rengekan Tokiko, dan karena itulah aku bertanggung jawab atas situasi serius ini?”

“Bisa jadi begitu. Aku tidak perlu bertanya kepadamu, karena itu sudah jelas bagiku, pamanmu.”

“Jadi begitu, dan apa pendapat Paman tentang hal itu?”

“Btersumpahlah kepadaku di sini dan saat ini juga bahwa kau akan menyerahkan Tokitada dan pelayanmu Heiroku sementara kau sendiri bersedia untuk menjadi tahanan rumah sembari menunggu keputusan pengadilan. Aku, sementara itu, akan berangkat ke Gion sekarang juga dan berbicara sendiri kepada para biksu itu. Mereka tidak akan memiliki alasan untuk melanjutkan unjuk rasa, dan kita akan kembali hidup tenang.” “Aku menolak.” “Apa!”

“Para biksu itu harus mematahkan tulangku satu per satu sebelum aku mau menyerahkan mereka berdua.”

“Mengapa kau menolak? Apakah nilai kedua orang itu sebanding dengan kedamaian pikiran kedua Yang Mulia?”

“Tokitada dan Heiroku tidak bersalah. Seandainya nestapa menimpa Istana Kekaisaran, itu adalah akibat dari penindasan yang terus-menerus terjadi. Seandainya Istana Kloister yang diserang, itu adalah akibat dari kesalahan cara memerintah. Bukan aku yang bertanggung jawab atas dampaknya.”

“Apa kau gila, Kiyomori? Perkataanmu itu sungguh memalukan!”

Page 195: The Heike Story

“Tidak lebih memalukan daripada perkataan Paman. Istriku sangat menyayangiku, tapi dia tidak mengendalikan pikiranku.”

“Baiklah, baiklah …. Sudah cukup yang kukatakan.Terjadilah apa yang akan terjadi! Aku juga mendengarmu mengatakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi kepada kedua Yang Mulia bukan urusanmu?”

“Memang itu yang kukatakan, tidak diragukan lagi.”

“Kau pengkhianat! Kau bangsat!”

“Betulkah?”

“Para dewa pasti akan menghujammu dengan hukuman karena kepalamu yang bejat itu! Ternyata keponakanku adalah seorang monster! … Tidak, aku tidak akan mempertaruhkan jabatanku di Istana demi kamu. Aku angkat tangan, Kiyomori!”

“Mengapa Paman marah begitu!”

“Kau dan Tadamori ... kalian berdua ... menepiskan uluran tanganku.Tunggu dan lihatlah, kalian akan menyesalinya … Tidak, aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkan kalian lagi. Sampaikan pesanku kepada ayahmu: sejak saat ini, aku, Tadamasa, memutuskan seluruh ikatanku dengan klan Heik6.”

Ketidakpastian, kematian yang mengancam ibu kota, mendorong Tadamasa dalam momen kepanikannya untuk memutuskan segala ikatan dengan klan Heik6. Kiyomori, bagaimanapun, mendengarkan ledakan kemarahan pamannya sambil tersenyum, seolah-olah ini hanyalah pertengkaran kecil sebelum sarapan.

Page 196: The Heike Story

Kiyomori menyaksikan Tadamasa dan kudanya menghilang di balik kepulan debu di kejauhan, kemudian berdiri dan kembali menunggangi kudanya sendiri; tepat ketika dia duduk di pelananya, dua sosok melompat keluar dari balik pepohonan dan menyambar tali kekangnya dari dua sisi.

“Ho, kalian ... Tokitada dan Heiroku? Kalian lama sekali, jadi aku berangkat lebih dahulu. Apa lagi sekarang? Bagaimana dengan Tokiko dan anak-anak?”

“Kami sudah melaksanakan perintahmu. Mereka aman di Kuil Anryakuju-in, dan kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka.”

“Bagus! Asalkan keamanan para wanita dan anak-anak sudah terjamin, Mokunosuk6 bisa menjaga rumah di Rokuhara. Tidak ada yang kukhawatirkan lagi sekarang. Kerja yang bagus!”

Mendengar pujian itu, Tokitada dan Heiroku menyembunyikan wajah di balik lengan mereka dan menangis terisak-isak, memohon kepada Kiyomori agar memaafkan mereka; mereka menangis karena tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menebus kesalahan mereka; tidak hanya telah memancing kemarahan Gunung Hiei, kebodohan mereka juga telah menyebabkan perpecahan di klan Heike, kata mereka.

“Sudah, jangan meracau seperti itu, aku berangkat sekarang ... i kata Kiyomori, memacu kudanya.

Terguncang, Tokitada dan Heiroku memandang Kiyomori sementara debu menerpa wajah mereka, kemudian keduanya bergegas berlari menyusulnya.

Tiga orang pendeta, pemimpin para biksu dari Gunung Hiei, keluar dari Istana Kloister, terbakar amarah. Dari

Page 197: The Heike Story

tatapan garang mereka, jelas terlihat bahwa tuntutan mereka telah ditolak. Mereka berhenti di pos penjagaan untuk mengambil kembali tombak mereka, mengempitnya dengan sigap dan berseru memanggil dua belas orang bawahan mereka seraya keluar dari gerbang.

Para biksu sudah terbiasa mengirim utusan kepada pemerintah untuk menyampaikan tuntutan mereka, dan jika mendapatkan penolakan, mereka akan mengusung Altar Sakral dan emblem suci ke ibu kota dan meneror pihak yang berwenang hingga mendapatkan keinginan mereka, karena kekuatan manusia sebesar apa pun tidak akan berani melawan Altar.

Hari ini, Gunung Hiei menuntut agar adik ipar Tuan Aki, Tokitada, dan pelayannya Heiroku diserahkan kepada mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, para biksu sekali lagi menekankan kepemilikan mereka atas tanah Kagashirayama, namun Mantan Kaisar menolak tuntutan mereka.

Gelombang kegembiraan melanda para samurai. Mereka bersorak sorai, “Inilah dia Tuan Aki, Heike Kiyomori!”

Para pengawal menyambut hangat Kiyomori ketika dia muncul dengan sikap santai yang sudah biasa ditunjukkannya. Tersenyum lebar ke segala arah sembari menunggang kudanya menembus kerumunan para prajurit, Kiyomori merasakan semangat yang seketika bergejolak di sekelilingnya. Keringat membasahi wajahnya, dan telinga caplangnya gemetar. Di belakangnya, Tokitada dan Heiroku menyusul dengan wajah muram, berlawanan dengan sosok gagah di atas punggung kuda.

Para juru tulis, pegawai, dan pejabat Istana berjejalan dengan wajah muram di depan singgasana, tempat Kaisar Kloister menunggu Kiyomori.

Page 198: The Heike Story

Kiyomori berlutut. “Yang Mulia, walaupun tuntutan utama Gunung Hiei adalah tanah Kagashirayama, pelayan sayalah yang memancing para biksu itu kemari. Saya sendirilah yang bertanggung jawab atas semua ini. Oleh karena itu, izinkanlah saya menghadapi Gunung Hiei dengan cara saya.”

Kaisar Kloister setuju; tidak ada protes dari para pejabat istana yang ketakutan, tidak ada pertanyaan mengenai bagaimana Kiyomori akan berhasil membujuk para biksu itu untuk kembali ke Gunung Hiei. Kiyomori membungkuk dan mohon diri.

Para prajuritnya mengawasinya dari kejauhan, saling berkasak-kusuk. “Kita tidak bisa mengharapkan apa pun dari para pejabat istana berlutut lemah itu, tapi Tuan Aki pasti punya rencana.”

Hingga saat ini, seluruh gerakan Kiyomori diamati lekat-lekat oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya, dan ada banyak spekulasi mengenai langkah apa yang akan diambilnya selanjutnya. Penolakannya untuk menyerahkan Tokitada dan Heiroku kepada para biksu disambut hangat oleh para prajuritnya, yang semakin menghormatinya. Kiyomori adalah jenis pemimpin yang bisa diajak berbicara empat mata oleh setiap anak buahnya. Tidak ada yang membedakan Kiyomori dengan para samurai lainnya dalam hal keberanian atau keahlian bersenjata, namun simpatinya kepada kaum papa dan kaum tertindas, juga kesigapannya dalam membela mereka menjadikannya populer di kalangan anak buahnya; itu, dan keceriaan yang selalu ditularkannya. Ke mana pun dia melangkah, wajahnya yang mencolok ... alis yang mirip ulat, mata sipit, hidung besar, bibir penuh, pipi merona dan dagu bulat seperti bocah, serta hidung caplang yang bergetar setiap kali dia tertawa ... menyebarkan kegembiraan.

Page 199: The Heike Story

Pemilik wajah itu keluar dari gerbang dalam dan berjalan melintasi halaman Istana. Para samurai langsung mengerumuninya dan mendesaknya dengan pertanyaan, “Heik6 Kiyomori, apa hasil pembicaraan tadi?”

“Apakah dekrit kekaisaran akan dikeluarkan?”

”Apa yang terjadi dan apa kata Yang Mulia”

Pertanyaan demi pertanyaan dengan cepat ditujukan kepadanya, Mengusap keningnya berpeluh, Kiyomori menarik hekn yang tergantung di pumpmgnyt. memasangnya di kepala, dan mengikat tali di bawah dagunya.

“Tidak «da yeng perlu dikhaw atirkan lagi sekarang. Aku akan langsung berangkat ke Gion untuk mencegah mereka membawa Altar kemari.”

“Mencegah mereka?”

”Diamlah, biarkan saja Tua Aki menjalankan rencananya!”

Tepi. tidak ada yang ditakuti oleh pera biksu itu; mereka Ueflfmnap kita aeme remehn) a dengan debu yang mereka injak, dan tadi malam mereka sudah menunjukkan bahwa mereka haus darah. Seandainya Tuan Aki pergi ke sana. entah apa yang akan mereka lakukan

“Itu benar, tapi aku membawa Tokitada dan Hewoku bersamaku Walaupun menyesalinya, aku tetap harus menyerahkan mereka berdua dan berusaha membuat kesepakatan dengan para biksu.”

“Eh? jadi, akhirnya kau akan menyerahkan mereka kepada para biksu?”

“Aku tidak punya pilihan.”

Page 200: The Heike Story

“Sungguh berat tugas yang kauemban! Jadi. Yang Mulia berharap kaum samurai mau menangung semuanya’

“Sudahlah, hentikanlah debat kusir ini. Tapi. ingatlah bahwa aku sendiri yang menawarkan penyelesaian ini., bukan Yang Mulia. Sekerang, biarkan aku menghentikan langkah mereka sebelum merake meninggalkan Gion. Jika aku pulang dengan selamat, akan ada cerita untuk kailan dengarkan. Sekarang, kembalilah ke pos kalian masing masing.”

Diikuti oleh Tokitada dan Heiroku, Kiyomori menunggang kuda menentang sinar matahari yang menyilaukan pucat kepanasan Setiap helai daun dan rumput merunduk di bawah matahari yang terik. Para pengawal memandang tanpa sanggup berkata kata ke arah ketiga orang Itu, seolah-olah mereka adalah hantu yang muncul di siang bolong.

Dari ruas tangga batu di salah satu kuil di Gion, ketiga pemimpm biksu yang baru saja tiba dari Istana Kloister berpidato di hadapan dua ribu orang biksu yang dipanggil untuk mendengar tentang haril perundingan mereka.

“… Kami tidak melihat ketulusan Yang Mulia. Kedua tuntutan kita ditolak mentah-mentah. Jangan harap masalah tanah Kagashirayama itu akan diselesaikan. Tidak ada yang tersisa bagi fifi kecuali menyerbu Istana Kloister dengan membawa Altar Sakral agar Yang Mulia tersadarkan.**

Para biksu menyambutnya dengan gegap gempita, ”Ke Istana Kloister! Hukum mereka!” Dan diiringi sorak sorai itu, mereka mulai menghimpun senjata dan menghambur ke ruang pemujaan, tempat Altar Sakral diletakkan di antara lilin-lilin yang nyalinya k menyerupai gugusan bintang dan asap dupa yang menyerupai gumpalan awan.

Page 201: The Heike Story

Diiringi oleh rapalan ayat-ayat suci. dentuman gon£ dan gebukan genderang yang menggetarkan layaknya peringatan perang, pasukan besar itu berangkat, dan udara pun berdenyut-denyut seolah-olah tersengat oleh pengaruh iblis. Akhirnya dipanggul oleh para pendeta berjubah putih, dengan lapisan emas yang berkilau menyilaukan. Altar Sakral periahan-khan dibawa menuruni bukit menuju jalan raya. terayun-ayun perlahan.

Sesosok samurai tiba-tiba melompat ke hadapan barisan pengangkut altar dan mengacungkan tangan. “Tunggu, pera pendeta bejat!” Di kepalanya, dia mengenakan helm besi hitam tanpa lambang apa pun; dia mengenakan baju zirah hitam, sandal jerami, dan mengacungkan sebilah pedang pantang. Tidak jauh di belakangnya, berdirilah Tokitada dan Heiroku. tanpa senjata, wajah mereka kaku bagaikan topeng

“Aku. Tuan Aki, Heiki Kiyomori, menuntut agar kaitan «nendenprkan fienjelaiinku Di antara kalian semua para pendata bejat tentunya ada setidaknya satu orang yang memiliki akal sehat”

Di mata musuhnya. Kiyomori terlihat seperti Asura. sang Dewa Parang terbalut pakaian perang hitam legam, dengan rahang ternganga yang mengeluarkan badai suara.

Terpens melihat kelancangan dan kata-katanya, pera biksu berseru saru.”Huu! … Kiyomori!” Kemudian, sebuah suara lantang terdengar. “Cacah-cacah saja tubuhnya untuk festival darah!”

Para pemimpin biksu yang berjalan di depan tidak tampak terkejut. Mereka menghentikan barisan dan meneriakkan perintah. “Biarkan dia bicara. Jangan ada yang menyentuh dia. Mari kita dengar terlebih dahulu apa yang hendak dikatakannya.”

Page 202: The Heike Story

Para pemanggul akar mendorong) rekan-rekan mereka yang marah, berteriak. “Tidak ada yang boleh mendekati Akar dan mencamarkannya! Berhati-hatilah pada emblem suci!”

Kiyomori berdiri tegak, tetap berseru dengan suara parau. “Aku akan memenuhi tuntutan kalian, im adalah Tokitada dan Heiroku terimalah mereka! Tetapi, ingatlah bahwa mereka masih hidup!”

Tatapan waspada di wajah para pemimpin biksu tergantikan oleh senyum mengejek ketika mereka mendengar kata-kaae Kiyomori Kiyomori menarik napas dalam dan melanjutkan. “Masalah di Gion berujung pada hari ini. tandanglah aku. wahai para dewa! Den kau. Buddha, jangan sumbat telingamu! Dengarlah apa yang Hendak kukatakan. Kedua pihak dalam pertikaian itu bersalah, karena bidankah keduanya mabuk? Tidakkah selalu dikatakan bahwa kedua mm yang bertikai sama-sama bersalah? Aku. Kiyomori. karenanya, menyerahkan dua orang yang kucintai ini kepada Gunung Hiei. dan sebagai balasannya, aku menuntut untuk mendengar suara benda sakral itu, simbol dewa kalian!”

Gemuruh tawa seketika menyambut perkataan Kiyomori, ”Lihatlah dia, Kiyomori.Tuan Aki! Dia meracau! Dia gila!

Tubuh Kiyomori gemetar dalam upayanya memancing para Mau agar mau mendengarnya. Keringat mengalir di pipi dan dagunya, juga dari balik telinganya, seperti genangan air yang mendidih di atas besi panas

“Gila atau waras, dengarlah lebih jauh perkataanku. Biarkanlah dewa kalian turut mendengarku! Entah dia dewa atau sang Buddha sendiri, dia adalah sebuah kutukan. Musi. dan sumber penderitaan bagi manusia! Dia hanyalah

Page 203: The Heike Story

obyek sesembahan! Bukankah dia «alah menipu manusia selama berabad-abad dan kemudian mengabaikan mereka begitu saja, api kebencian dari Gunung Hiei ini?, Tetapi. Kiyomori tidak tertipu. Dengarlah aku. wahai dewa terkutuk, dan waspadalah kepadaku!”

Para biksu gusar ketika Kiyomori memasang sebuah anak perah ke busurnya; senar busurnya berderit ketika dia menariknya hingga menyerupai bulan purnama; kemudian, dia membidik langsung ke arah Altar.

Salah seorang pemimpin biksu maju dan memekik. “Astaga! Terkutuklah engkau, penghina agama! Kau akan muntah darah hingga mati!”

“Mati? Aku rela mati.”

Senar busur melenting, anak panah berdesis dan melesat tepat ke bagian tengah Akar. Dari dua ribu tenggorokan, geraman marah keluar. Para pendeta berjubah putih serentak maju, berteriak-teriak satu sama lain, dan udara seketika dipenuhi oleh pekikan, lengking ganas, teriakan putus asa, jeritan manusia setengah gila. erangan, dan lolongan yang mirip binatang.

Baru kali Ini Altar dihina sedemikian rupa! Tidak pernah ada seorang pun yang berani mengangkat tangan di hadapannya, karena orang yang melakukannya akan serta merta mati, mengeluarkan darah dari mulutnya. Namun, Kiyomori tetap berdiri tegak, tanpa sedikit pun darah mengalir dari mulutnya. Kehampaan mitos itu ditelanjangi pada siang hari bolong, dan para pendeta seolah-olah kehilangan pegangan. Para pemimpin biksu yang murka segera membelokkan kebingungan anak-anak buahnya menjadi keberingasan dengan mendorong mereka untuk mengamuk.

“jangan biarkan orang gila itu melarikan diri!”

Page 204: The Heike Story

Amukan para biksu pun pecah. Kiyomori menghilang di tengah kekacauan yang terdiri dari tebasan tombak, gumpalan debu, dan ayunan tongkat Tidak terlalu jauh darinya, Tokitada dan Heiroku segera tergulung gelombang amukan dan hilang dari pandangan.

Senar busur Kiyomori melenting; dia menghantamkan busurnya ke sana kemari, menjatuhkan tiga atau empat orang lawannya, dan terus menggila seolah-olah kerasukan. Tetapi, keadaan tidak mendukungnya, karena dia kekurangan senjata.

“Jangan bunuh dia! Tangkap dia hidup-hidup!” Para biksu memburunya seolah-olah dia babi hutan yang terdesak. Ketiga pemimpin biksu menjerit-jerit parau. “Tangkap dia! Hajar dia! Kita akan menyeretnya hidup-hidup ke Gunung Hiei!”

“Tangkap dia hidup-hidup!” seru mereka. Mereka bisa menjadikannya jaminan masa depan mereka dengan Istana Kloister, atau menghukum pemberontak ini untuk menunjukkan wewenang Gunung Hiei kepada semua orang.

Para biksu bergerak dengan canggung, dan dalam pertempuran satu-lawan-satu, Kiyomori berhasil merebut sebuah tombak dari salah seorang lawannya. Dengan tombak itu, dia menghantami lengan dan kaki lawan-lawannya hingga darah mereka bercucuran, dan melihat enam atau tujuh orang tergeletak cedera atau mati di tanah. Dia melihat Tokitada dan Heiroku yang berada tidak jauh darinya, mengelak dari serangan dalam upaya mereka menghampirinya. Potongan-potongan pekikan cemas mereka hinggap di telinganya, dan dia menjawab, “Jangan mundur! Jaga keberanian kalian! Matahari yang sama menyinari kita semua!”

Page 205: The Heike Story

Semua itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat. Sementara itu, pekikan perang dan kegaduhan yang terjadi menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu. Dalam sesaat, kerumunan orang telah berkumpul di sana. Salah seorang dari mereka memungut sebongkah batu dan berseru, “Jangan biarkan serigala-serigala Gunung Hiei memangsamu!” Teriakan lain terdengar, “Dasar tentara bayaran bangsat!” “Dasar biksu terkutuk!” Sambutan dari masyarakat menggemuruh, “Habisi saja pendeta-pendeta jahat dan serakah itu!” sementara mereka memunguti batu-batu dan segera melemparkannya kembali kepada para biksu. Mereka melolong marah dan terus melemparkan batu. Tepat ketika itu, asap hitam membubung dari tengah-tengah pepohonan Gion. Satu lagi, lalu satu lagi, dan satu lagi. Melihat tanda ini, para biksu gentar dan mulai menarik diri dengan bingung. Memperingatkan rekan-rekan mereka bahwa mereka telah tertipu, para biksu liar itu mundur sepenuhnya. Di tengah kepanikan, mereka melupakan ketentuan untuk senantiasa menghormati Altar. Simbol keimanan yang mereka panggul itu nyaris terjungkal di tengah kekacauan, turut hanyut dalam gelombang biksu yang berlari tunggang langgang menuju Gion.

Kiyomori berdiri di atas sebuah gundukan tanah di Perbukitan Timur dan memandang ke kejauhan, tertawa terbahak-bahak. “Mereka semua pergi! Menggelikan!” Baju zirah hitamnya tergeletak di tanah, dan dia berdiri bertelanjang dada sambil menyeka keringat dari tubuhnya. Konyol! Sekali lagi, tawanya meledak. Bukan dia, melainkan kedua ribu orang pendeta itu yang mundur terlebih dahulu! Dia berencana untuk kabur begitu anak panahnya mengenai Altar dan telah memberikan perintah tegas kepada Tokitada dan Heiroku untuk melakukan hal yang sama, walaupun mereka tergoda untuk bertempur

Page 206: The Heike Story

hingga titik darah terakhir. (“Kalian berdua tidak boleh mati secara sia-sia. Jangan pedulikan aku, pergi saja.”) Mereka sepakat untuk bertemu di bukit di belakang Kuil Kiyomizu.

Kiyomori kebingungan melihat para biksu itu mundur. Tidak diragukan lagi, hujan batu mengejutkan mereka, namun asap yang membubunglah yang tentunya telah mendorong mereka untuk kabur. Dia memandang asap yang menjadikan matahari tampak semerah darah, dan sedang memikirkan penyebab kebakaran itu. ketika dilihatnya Tokitada seorang diri mendaki bukit

“Ah, kau selamat!”

“Nah, kau sudah sampai di sini, Tokitada, tapi di manakah Heiroku?”

“Heiroku juga berhasil meloloskan diri dari para biksu haus darah itu.”

“Apakah dia akan bergabung dengan kita di sini nanti?”

“Aku bertemu dengannya di Jembatan Todoroki. Melihat asap yang membubung dari hutan di Gion, dia mengatakan bahwa dia yakin ayahnyalah yang melakukan pembakaran. Dia langsung berlari ke Gion. Dia pasti akan datang nanti.”

“Jadi, ternyata begitu. Rupanya Mokunosuke tidak sedang duduk santai di Rokuhara. Si Tua Bangka sudah merencanakan sesuatu ... membakar pantat para biksu itu!”

Tebakan Kiyomori benar. Mokunosuke, sebagai seorang pelayan senior yang diminta untuk menjaga rumah di Rokuhara bersama dua puluh orang pelayan muda, tidak sanggup memikirkan kemungkinan Kiyomori akan mempertaruhkan nyawa demi Heiroku, sehingga pada pagi buta, setelah yakin bahwa nyonya rumah dan dayang-

Page 207: The Heike Story

dayangnya telah bersembunyi di tempat yang aman, dia diam-diam menyusun rencana sendiri dan mengirim para pelayan yang tersisa di rumah untuk bersembunyi di kaki Perbukitan Timur. Dia tidak menyangka bahwa Kiyomori akan mengambil langkah seberani itu. Rencana Mokunosuke adalah membakar kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan di Gion begitu para biksu berangkat ke Istana atau menyerbu Rokuhara. Serangkaian peristiwa menguntungkan ternyata mendukung rencananya.

Mokunosuke dan Heiroku akhirnya mendaki bukit untuk mencari Kiyomori; bertemu kembali dalam keadaan selamat, rasa syukur membuncah di dalam hati mereka. Mereka mengangkat tangan ke arah matahari yang merah untuk berdoa, dan air mata membasahi pipi Kiyomori. Kepada dirinya sendiri, Kiyomori berbisik, “Sesungguhnya langit dan bumi ada di sini bersamaku, dan arwah para leluhurku menjaga dan melindungi diriku yang lemah ini.”

Masih bertelanjang dada, Kiyomori duduk di atas sebongkah batu besar dan dengan ceria berkata, “Sekarang, kalian semua, masalah kita untuk hari ini telah berakhir; setelah ini, esok hari akan datang, lusa. dan hari-hari yang menyusul sesudahnya ... kemudian, datanglah hari penebusan”

“Yang pasti akan datang,” jawab Mokunosukg, mengerutkan kening, “dan tidak akan ada yang bisa kita tertawakan lagi ketika hari itu tiba.”

“Ho, biarkan saja seratus hari seperti itu tiba, dan aku akan tetap menang, karena aku punya dua sekutu.”

“Apa maksud Anda?” tanya Mokunosuki.

“Yang pertama adalah ayahku di Imadegawa, yang kedua adalah mukjizat dari langit ... hujan batu. Tentu saja. Tua Bangka, kau melihatnya ... orang-orang yang muncul

Page 208: The Heike Story

entah dari mana dan menghujani para biksu itu dengan batu?”

Suara orang-orang yang mendekat menyela Kiyomori. Tokitada cepat-cepat mengintip dari balik sebongkah batu ke jalan setapak di bawah mereka. Yang lain menyambar baju zirah dan senjata mereka. Mengisyaratkan agar semua orang diam, Mokunosuk6 meyakinkan Kiyomori bahwa orang-orang yang datang mendekat itu adalah para pelayan lain yang datang untuk menemui mereka. Para pelayan Kiyomori segera tampak, dan dari mereka, Kiyomori mendengar cerita tentang bagaimana mereka telah mengendap-endap ke Gion dan mengejutkan lawan dengan membakar pondok-pondok dan bangunan-bangunan kecil di sana. Lega karena mendengar bahwa mereka menyisakan kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan, Kiyomori memuji Mokunosuk6 untuk tindakan cerdasnya.

“Tua Bangka, kau tidak hanya tua tetapi juga bijaksana. Seandainya aku menjadi dirimu, aku pasti juga akan membumihanguskan seluruh kuil dan tempat pemujaan di Gion.” Mendengar pujian tuannya, si pelayan menggeleng.

“Tidak, tidak. Ini saya pelajari dari tuan saya, Tadamori, yang pada suatu malam perjamuan, ketika para pejabat istana menantikan kesempatan untuk membunuh beliau, datang membawa dan memamerkan sebuah pedang bambu untuk membodohi musuh-musuhnya. Hari ini, yang saya lakukan hanyalah upaya untuk meniru ayah Anda.”

Kata-kata rendah hati si Tua Bangka mendatangkan si Mata Piclng ke benak Kiyomori. Sejenak, dia duduk diam dan menurunkan pandangan, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu; kemudian, mendongak, Kiyomori berkata, “Tua Bangka, mari kita turun ke Rokuhara sekarang dan menantikan perintah dari Istana di sana. Aku telah menyelesaikan tugasku. Hatiku terasa ringan

Page 209: The Heike Story

sekarang, dan aku sama sekali tidak menyesal. Sekarang, aku akan pasrah menantikan keputusan Istana. Bagaimana menurutmu. Tokitada?”

Kiyomori berdiri dan mengenakan kembali baju zirah kulitnya, dan bersama para pelayannya mengikuti aliran air menuju Rokuhara.

*d*w*

“Jadi, putra si Mata Picing, Kiyomori. yang melakukan itu, ya? Betul-betul sebuah tindakan berani!”

Pembangkangan Kiyomori kepada Gunung Hiei menjadi buah bibir seluruh ibu kota, dan rasa puas sesaat berhasil menyembunyikan kecemasan umum. Para pejabat istana sekalipun kehabisan akal untuk meremehkan tindakan Kiyomori, sementara biara-biara saingan mengolok-olok Gunung Hiei. Ketika rasa syok telah mereda dan ketakutan akan pembalasan dendam dari para biksu telah lenyap, orang-orang mulai menduga-duga tentang bagaimana pihak yang berwenang akan menangani Kiyomori.

Kaisar Kloister, Toba, menerima ancaman beruntun dari Gunung Hiei, dan Perdana Menteri bersama para menteri bertemu setiap hari untuk membahas tuntutan para pendeta. Toba, pemegang kendali kekuasaan yang sesungguhnya, tidak memberikan tanda-tanda bahwa dirinya pernah memuji ataupun menentang tindakan Kiyomori, dan mendengarkan baik-baik semua pendapat yang beredar. Oi sepanjang pembahasan tersebut, Menteri Golongan Kiri, Yorinaga, bersikeras agar Kiyomori dihukum mati, berdasarkan pendapat bahwa tindakan Kiyomori telah mencerabut rasa hormat masyarakat kepada para dewa dan melecehkan wewenang Gunung Hiei.

Dengan penampilan terhormat beserta berbagai kelebihan sebagai seorang pejabat istana, Yorinaga tidak

Page 210: The Heike Story

hanya seorang cendekiawan yang mendalami karya sastra Cina klasik dan Buddha, tetapi juga seorang pembicara yang fasih, yang pendapatnya sulit disangkal. Bagaimanapun, ketika amarahnya meledak, sikap beringas dan arogannya menjadikan semua orang, termasuk rekan-rekan sejawatnya, takut kepadanya, karena dia tidak akan memedulikan lagi pangkat dan jabatan lawan bicaranya.

“Memang benar,” kata Yorinaga, “bahwa ini bukan pertama kalinya Gunung Hiei melakukan unjuk rasa bersenjata, namun tindakan Tuan Aki tidak bisa dibenarkan begitu saja. Yang dilakukannya adalah pelecehan terhadap agama. Dia telah menghina para dewa dan berdosa kepada Buddha. Mengabaikan tindakannya sama saja dengan merestui perilaku kriminal dan mendukung perlawanan kepada pihak yang berwenang. Saya yakin bahwa para pendeta tidak akan menganggap ringan masalah ini. Tidak ada seorang pun yang mau diremehkan, dan tindakan Tuan Aki itu akan menimbulkan keresahan masyarakat. Maka, demi kebaikan bersama, saya menolak untuk mendengarkan setiap permbelaan kepada Kiyomori.”

Gumaman sanggahan terdengar dari beberapa orang menteri, namun Yorinaga dengan sigap membungkam mereka. “Adakah yang menentang pendapat saya? Silakan sampaikan pendapat kalian. Mari kita mendiskusikannya di sini.”

Sorot mata Kaisar Kloister, yang dengan cermat mengamati wajah setiap pejabat istana, menunjukkan kecemasan. Yang Mulia sekalipun tidak berani menyanggah Yorinaga. Bagaimanapun, ada seorang pejabat istana yang menyampaikan keberatan: Shinzei, seorang bangsawan tinggi, keturunan seorang menteri Fujiwara yang berpengaruh kuat dan anggota cabang selatan klan tersebut Walaupun berdarah Fujiwara, dia tidak populer di kalangan

Page 211: The Heike Story

kerabatnya di Istana dan selama bertahun-tahun menduduki jabatan yang kurang berarti. Baru setelah usianya menginjak enam puluhan dia berhasil mendapatkan jabatan penting di Istana Kloister, dan ini, menurut desas-desus yang beredar di Istana, disebabkan oleh istrinya. Nyonya Kii, salah seorang pengiring Nyonya Bifukumon. Sebagai seorang penasihat negara, tugas Shinzei mencakup menulis rancangan dan mengumumkan dekrit kekaisaran. Keahliannya tidak bisa dipandang rendah karena dia memiliki reputasi sebagai seorang cendekiawan, dan Yorinaga sendiri pernah menjadi muridnya.

Pada akhir musyawarah kekaisaran itu, Shinzei berkata kepada Yorinaga, “Sungguh meyakinkan sekali pendapat Anda itu! Tidakkah Anda sadar, Tuan, bahwa Anda sedang membela Gunung Hiei? Tiga orang pemimpin ... Shirakawa, Horikawa, dan Toba ... menyadari pentingnya meredam keganasan para pendeta Gunung Hiei, namun tidak seorang pun dari mereka berhasil. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Kiyomori berhasil. Tetapi, dia telah membuka jalan untuk mengembalikan akal sehat mereka. Bukankah dia telah menunjukkan kepada para pendeta bahwa Istana tidak bisa diintimidasi oleh arogansi dan pameran kekuatan mereka?”

Shinzei berbicara dengan keyakinan seseorang yang mengenal baik jalan pikiran Kaisar Kloister; dia juga menyadari bahwa baik pihak penguasa maupun rakyat jelata sesungguhnya tidak bersimpati kepada para biksu dan mendukung Kiyomori. Kemudian, dia menyampaikan pembelaan, “Tindakan Kiyomori memang sepertinya tidak terampuni, namun kita harus mengingat bahwa Yang Mulia dan para pejabat istana telah memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada Kiyomori untuk menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri, jika Kiyomori

Page 212: The Heike Story

melanggar batasan yang diberikan oleh pihak yang berwenang dan harus dihukum, maka siapa pun yang menyetujui permintaannya juga harus berbagi kesalahan dengannya.

Memang benar bahwa Kiyomori telah melecehkan Altar Sakral, namun apakah altar serapuh itu benar-benar emblem sejati para dewa dan Buddha? Lebih tepat jika dikatakan bahwa tindakan Kiyomori telah meniup awan dusta dan menolong kita semua untuk memperbaharui keimanan kita kepada hal-hal surgawi. Apakah serangan pada emblem sakral itu telah menjatuhkan para dewa dan Buddha ke bumi atau mendatangkan kegelapan ke seluruh dunia?”

Tawa lirih menyambut kata-kata Shinzei. Yorinaga tersenyum pahit dan mengatupkan bibirnya ketika melihat tatapan setuju sang Kaisar Kloister. Berakhirlah perundingan tertutup ini. Sebuah proklamasi telah dibuat, memerintahkan Kiyomori untuk membayar denda dalam bentuk uang tembaga, dan kabar mengenai hukuman ringan Kiyomori menyebar dengan cepat di seluruh ibu kota. Rakyat jelata dan para tentara bayaran menyambut gembira kabar itu bersama seluruh anggota klan Heik6. Para samurai Genji mendengar kabar ini dengan gusar. Kekesalan dan kekaguman menggerakkan para pemimpin Gunung Hiei untuk secara diam-diam mengakui bahwa mereka telah mendapatkan lawan yang sepadan. Mendapatkan ancaman dari dalam berupa perpecahan di tubuh biara mereka sendiri dan dari luar berupa serangan dari biara sekte-sekte lain, para biksu Gunung Hiei melayangkan beberapa ancaman terselubung kepada pemerintah, dan kemarahan mereka mereda ketika pemerintah menyerahkan tanah Kagashirayama kepada mereka.

Page 213: The Heike Story

Genji Tameyoshi adalah samurai kesayangan Menteri Golongan Kiri, Yorinaga, yang leluhurnya selalu berpihak kepada klan Genji. Yorinaga mengundang Tameyoshi untuk bercakap-cakap di rumahnya pada suatu malam.

“Tameyoshi, minumlah yang banyak,” kata Yorinaga. “Kita harus mengakui bahwa Penasihat Negara Shinzei lebih unggul kali ini. Waktulah yang akan meniupkan angin segar ke arah lata. Ini adalah kemunduran yang tidak terhindarkan bagimu. Ini juga membuktikan bahwa Yang Mulia memang selalu memihak kepada Kiyomori.”

Yorinaga telah mabuk berat dan mulai kehilangan harapan. “Yang Mulia, sang Kaisar Kloister, terlalu berpihak kepada Tadamori dan Herk6 Kiyomori. Dibandingkan dengan mereka, kau tidak terlalu berhasil, namun tunggu dulu, dalam waktu dekat ini, aku akan melihat klan Genji bangkit kembali.”

Yorinaga telah selama beberapa tahun meneguhkan janji ini kepada Tameyoshi, dan dengan mendorong agar Heik6 Kiyomori dihukum, dia berharap bisa menyingkirkannya dari peta kekuatan untuk selama-lamanya.

‘Tuan,” kata Tameyoshi, “mari kita lupakan semua ini. Saya akan dengan ikhlas menerima penugasan di provinsi yang jauh secepatnya, karena saya sudah tidak memiliki ambisi lagi.”

Ini bukan pertama kalinya Tameyoshi menolak tawaran dukungan dari Yorinaga, karena selalu ada kerugian yang terkandung di dalam pertolongan dari sang menteri. Tameyoshi, di sisi lain, berharap untuk ditugaskan di wilayah utara Jepang, tempat sebagian besar anggota klan Genji menetap pada masa kejayaan kakeknya, namun permohonannya terus-menerus ditolak oleh para bangsawan Fujiwara, yang tidak menginginkan Tameyoshi

Page 214: The Heike Story

berada jauh dari ibu kota dan senantiasa membujuknya agar tetap tinggal di Tokyo, tempat mereka bisa selalu mengawasinya.

0)--=dw=--(0

Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH KECAPI

Waktu menggantung berat di tangan Kiyomori. Setelah membayar denda dalam bentuk uang tembaga, dia dibebastugaskan selama setahun. Dalam masa istirahatnya, sensasi yang diciptakannya telah padam. Pelanggarannya, mau tidak mau juga memengaruhi orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya: ayah Kiyomori dibebastugaskan selama seratus hari; sebagai anggota keluarga Fujiwara, Tokinobu, ayah mertua Kiyomori, hingga waktu yang tidak ditentukan dilarang menggunakan nama dan mendapatkan perlindungan dari Fujiwara.

Kemarahan Kiyomori kerap kali meledak kepada adik iparnya, “Ini lebih baik. Kau dan ayahmu yang baik lebih pantas menjadi anggota keluarga Heike. Fujiwara bukanlah satu-satunya keluarga di negeri ini.”

Walaupun bisa memberikan komentar yang jauh lebih pedas, Kiyomori masih akan memiliki alasan untuk mengeluh karena tindakan pencegahan yang dilakukan oleh para bangsawan Fujiwara sepertinya terlalu berlebihan. “Mereka telah menunjukkan betapa pengecutnya mereka dalam upaya melindungi diri sendiri. Mereka terlalu penakut; mereka was-was bahwa seseorang yang menyandang nama Fujiwara dan berhubungan dengan orang sekasar aku akan membawa kemalangan bagi mereka. Tetapi, mereka diam-diam mendukung

Page 215: The Heike Story

perbuatanku. Ini adalah penghinaan yang lebih menyakitkan daripada hukuman yang mereka berikan kepadaku. Tokitada, jangan pernah lupakan ini.”

Keceriaan Tokitada mencerahkan kemuraman kehidupan sunyi Kiyomori; pemuda itu selalu siap sedia mendengarkan berbagai keluh kesah Kiyomori; berbeda dengan Kiyomori, dia juga gemar membaca; bermodalkan ingatannya yang tajam, hasil pengamatan Tokitada sering membuat Kiyomori tidak sanggup berkata-kata.

Kiyomori sedang berjalan santai menuju istal untuk melihat kuda-kudanya ketika mendengar lentingan busur. Dia langsung membelokkan langkah ke arena panahan. Dengan sentakan tajam, sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di tengah sasaran.

“Hebat!” seru Kiyomori. Dua orang di depannya berputar dan tersenyum ketik» melihatnya: Shigemori, putranya yang berumur sepuluh tahun, dan Tokitada, yang sedang mengajarinya memanah.

“Bagaimana menurutmu kemampuan memanah Shigemori?” tanya Kiyomori.

“Seperti yang kaulihat sendiri, dia sangat ahli, tapi ... dia sepertinya tidak bisa memanah dengan lurus, atau belum punya cukup kekuatan. Masalah temperamen, mungkin”

“Dia masih muda, Tokitada, dan busurnya kecil.”

“Itu tidak bisa disangkal. Watak seorang pria, bagaimanapun, terlihat dari caranya memanah. Apa kau pernah mendengar tentang putra bungsu Tameyoshi?”

“Kurasa pernah”

“Tameyoshi menganggap anak itu terlalu keras kepala ... aku melihatnya di sebuah pertandingan memanah waktu

Page 216: The Heike Story

dia berumur sebelas tahun. Dia sudah memakai busur yang kuat ketika itu, dan dia menembakkan anak panahnya begitu dalam di sebuah gundukan tanah sehingga dua orang pria dewasa sekalipun tidak

bisa menariknya. Memang benar, dia akhirnya menjadi anak yang tidak bisa diatur dan memberikan banyak masalah kepada ayahnya.”

Kiyomori tergelak. “Tokitada, kau pasti tengah membicarakan dirimu sendiri.”

“Aku? Tidak, tidak, aku sudah berhenti menyabung ayam, dan aku tidak pernah terlibat perkelahian lagi sejak peristiwa G ion itu. Aku bisa mengambil pelajaran.”

“Jangan menyerah secepat itu. Tokitada. Kudengar biara-biara di Nara kembali membuat keributan, meskipun Gunung Hlai sudah tidak pernah menyusahkan Idta lagi. Aku khawatir bahwa satu anak panah tidaklah cukup untuk menyembuhkan hasrat berperang mereka,”

“Dan itu mengingatkanku bahwa pada akhir Agustus silam, Gcnji Tameyoshi membawa para prajuritnya kc Uji dan berhaul mencegah kedatangan beberapa ribu orang biksu bersenjata ke Ibu kota. Sejak saat itu, kudengar, dia menjadi jauh lebih populer di Istana Kekaisaran.”

Tatapan Iri Kiyomori mendorong Tokitada untuk berbicara semakin banyak. “Aku juga mendengar bahwa Menteri Yortnags mendukung Genji dan berencana untuk menunjuk Tameyoshi sebagai kepala Kesatuan Pengawal sementara kau dan ayahmu masih bebas tugas hingga masa hukuman kalian selesai.”

Kerutan di kening Kiyomori sama sekali tidak menunjukkan perasaannya, namun ketenangan hari-harinya telah terganggu. Tepat ketika itu, Heiroku si pelayan

Page 217: The Heike Story

muncul untuk mengumumkan kedatangan Oshimaro si perajin baju zirah, yang hendak menemui tuan rumah. Kiyomori, yang menyambut gembira kedatangan setiap tamu yang bisa mengusir kebosanannya, segera kembali ke rumah.

“Saya datang, Tuan, untuk membahas tentang baju zirah yang Anda pesan,” kata perajin baju zirah yang berusia uzur dan berpunggung bungkuk itu dengan suara paraunya. Tidak ada yang bisa menandingi baju zirah buatannya. Setiap jahitan dan pemasangan lapisan logam diselesaikan dengan keahlian tanpa tara. Kiyomori.

yang sudah tahu bahwa pria tua pemarah itu meminta harga yang terlampau tinggi dan gemar merepotkan para pelanggannya, memesan sebuah baju zirah dengan hiasan bunga sakura. Pesanannya tersebut sudah hampir selesai dibuat.

“Kulitnya telah diwarnai sesuai dengan permintaan Anda, Tuan, lapisan logamnya telah selesai dipasang ... tali-talinya, pelindung lengan, dan pelindung kaki ... semuanya telah siap, kecuali kulit rubah yang Anda janjikan kepada saya. Sekarang, apa yang harus saya lakukan. Tuan?”

Pria tua itu menggunakan kulit rubah yang baru saja dibunuh untuk memperkuat bagian-bagian vital baju zirahnya; Kiyomori, ketika mengajukan pesanan, telah menjanjikan untuk memberikan kulit dua ekor rubah kapan pun si perajin memintanya. Bulu rubah akan digunakan untuk melapisi pelindung bahu, sambungan antara pelindung dada dan punggung, dan pelindung ketiak. Ada rahasia dalam merebus lem yang akan digunakan untuk menempelkan lapisan kulit ke baju zirah; lem yang terbuat dari batu ambar harus dilelehkan secara perlahan-lahan selama lebih dari dua hari dan sesudahnya langsung

Page 218: The Heike Story

dioleskan ke kulit. Yang artinya, jika kulit rubah belum tersedia, maka lem tersebut akan terbuang dengan sia-sia.

“Saya tidak tahu berapa hari saya harus menunggu kedatangan Anda, atau berapa kali saya harus membuang lem,” omel pria tua itu dengan nada menuduh, “jika Anda mau memakai kulit biasa, tentu itu akan memudahkan pekerjaan saya. Jika baju zirah biasa seperti itu sudah memuaskan Anda, ada banyak perajin yang bisa Anda pakai, dan Anda lebih baik memesan baju zirah Anda di tempat lain.”

“Tidak, tidak! Maafkan saya. jangan marah ... saya mohon, jarjgan marah,” Kiyomori membujuknya. “Saya sudah beberapa kali mengirim anak-anak buah saya untuk berburu rubah, dan mereka selaki datang membawa musang dan kelinci, tanpa pernah membawa rubah. Kali ini. saya sendirilah yang akan pergi berburu. Sekarang ... man kita lihat, bukankah kita lebih baik menetapkan hari r’

“Pan membiarkan saya sekali lagi menanti dengan sia-sia?”

“Hmm ... tidak, kali ini tidak.”

“Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi Anda harus mengerti bahwa saya tidak bisa menyerahkan pekerjaan merebus lem kepada murid ataupun istri saya. Ada rahasia untuk menjaga nyala api, mengaduk lem, dan mengawasi lem saat mendidih di dalam kuali, dan saya harus menghabiskan dua hari dan dua malam untuk menyelesaikan pekerjaan itu, mengawasi kuali. Lalu ... tidak ada kulit! Lem pun mengental dan harus dibuang. Anda tentu mengerti mengapa saya marah.”

“Tidak, kali ini tidak akan ada kesalahan lagi. Bagaimana dengan lusa? lepat ketika matahari tenggelam

Page 219: The Heike Story

dan lentera-lentera dinyalakan, saya akan datang sendiri ke rumah Anda untuk mengantarkan kulit rubah itu.”

“Maksud Anda, Anda sendiri yang akan melakukannya?”

“Saya tidak akan menyuruh orang lain melakukannya.”

“Bagaimana jika Anda tidak menepati janji Anda ini?”

“Saya akan membayar denda dengan uang tembaga atau apa pun yang Anda minta. Pak Tua.”

Pria tua itu menggeleng-geleng sambil tertawa dan menepuk pahanya. “Bagus! Lagi pula. Anda adalah Tuan Aki yang memanah Altar. Saya memegang kata-kata Anda. Saya akan pulang dan langsung merebus lem, dan saya akan menunggu Anda lusa, ketika matahari tenggelam”

Keesokan harinya, Kiyomori mengeluarkan busur kesayangannya dari dalam kotaknya, memasang talinya, lalu keluar dari rumah untuk mencari istrinya. Seorang pelayan mengatakan bahwa sang nyonya rumah sedang sibuk di rumah-tenun dan menawarkan kepada Kiyomori untuk menjemputnya, namun Kiyomori menolaknya, “jika dia sedang berada di rumah-tenun, jangan panggil dia. Keluarkan saja pakaian berburuku.”

Mengenakan celana berburu kulitnya, dengan sarung anak panah tersandang di punggung dan busur di tangan, Kiyomori singgah di rumah-tenun yang dibangun atas permintaan istrinya. DI tempat itu

terdapat dua alat tenun, tempat untuk menyimpan bejana-bejana berisi pewarna, dan sebuah meja bordir

Tokiko duduk di balik alat tenunnya sementara anak-anaknya bermain dengan gembira di sekelilingnya. Dia membanggakan hasil karyanya dan menikmati proses

Page 220: The Heike Story

membuat kain dengan desain unik untuk keluarganya. Tokiko kerap mendapatkan pujian untuk keahliannya ini.

“Mengapa ... mengapa mendadak sekali?” tanyanya, meninggalkan alat tenunnya. “Siapa yang akan pergi menyertaimu?”

“Aku akan pergi sendirian. Untuk saat ini, lebih sepi lebih baik”

‘Tentunya kau akan mengajak setidaknya seorang pelayan.”

“Tidak, aku tidak akan berkeliaran ke wilayah perbukitan, dan , aku akan pulang saat matahari tenggelam. Bagaimana dengan kain I yang akan kauhadiahkan kepada istri Shinzei?”

“Aku sudah mewarnainya, dan bordirannya pun telah kuselesaikan. Apa kau mau melihatnya?”

“Tidak usah, itu tidak perlu, karena aku tidak berbakat dalam menilai kain,” jawab Kiyomori sebelum melangkah ke gerbang belakang.

Kiyomori telah mendengar secara tidak langsung bahwa Shinzei membelanya di hadapan Kaisar Kloister dan para pejabat istana. Sejak saat itu, dia menganggap Shinzei sebagai seorang sekutu dan keakraban pun terjalin di antara mereka. Ketika Tokiko menyarankan untuk menghadiahkan salah satu kain terbaiknya kepada istri Shinzei, Nyonya Kii, Kiyomori langsung menyetujuinya.

Kiyomori sering mendengar bahwa rubah pernah terlihat di dalam ibu kota begitu pula di luar gerbang kota, namun ketika dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, yang ada hanyalah bulu-bulu keperakan dari ilalang tinggi yang tumbuh di ladang-ladang di tengah musim gugur. Dia menghabiskan sepanjang hari untuk berkeliaran di ladang,

Page 221: The Heike Story

dan pulang pada malam harinya dengan kaki pegal dan tangan hampa.

Gerimis turun keesokan harinya, namun langit kembali cerah saat siang tiba. Tokitada, yang sudah mendengar tentang kegagalan Kiyomori, mendesak kakak iparnya itu untuk tetap tinggal di rumah dan bersiap-siap untuk pergi bersama Heiroku.

Tetapi, Kiyomori memprotes, “Oh tidak, waktu aku melihatmu dan Shigemori berlatih memanah kemarin, aku mendadak merindukan busurku- ... karena aku sudah terlalu lama mendiamkannya, kurasa.”

Segera setelah Tokitada dan Heiroku pergi, Kiyomori pun berangkat. Kali ini, dia berburu di luar gerbang utara ibu kota hingga matahari tenggelam. Dia berjalan menembus padang ilalang yang basah sehingga celananya basah kuyup dan kimononya lembap. Dia berkeliaran di tanah yang becek, menerjang liang-liang yang penuh berisi air, dan menembus bukit yang dipenuhi kuncup bunga hagi, hingga kabut pucat mulai turun dan mengaburkan pandangan. Matahari masih mengintip di ufuk barat, dan sebersit bulan sabit menggantung di atas kepalanya.

“Tidak seekor rubah pun terlihat ... hanya burung-burung yang pulang ke sarang mereka ... dan orang-orang mengatakan bahwa salakan rubah bisa didengar pada malam-malam musim gugur,” gumam Kiyomori.

Di kejauhan, dia melihat kilatan cahaya dari sebuah pondok penjaga ladang. Dia membayangkan lem yang mendidih di rumah si perajin baju zirah, dan pikiran akan kembali mengecewakan Oshimaro membuatnya agak putus asa. Dia menyesal karena tanpa berpikir panjang telah berjanji untuk membawa dua ekor rubah hidup ke rumah si perajin saat matahari tenggelam.

Page 222: The Heike Story

Ladang di sekelilingnya sekarang bermandikan nuansa biru tua. Ketika berbalik untuk pulang, Kiyomori merasakan sesuatu berkelebat di dekat kakinya di tengah rumpun ilalang lebat; sesuatu melintasi jalannya dengan cepat, lalu lenyap begitu saja. Kiyomori langsung memasang anak panah ke busurnya ketika satu lagi bayangan berkelebat di antara kedua kakinya dan menghilang dengan bunyi gemerisik. Dia sontak mengejar sebentuk ekor yang lenyap di depan matanya; mengikutinya dari satu rumpun rumput ke rumpun yang lain, hingga dia tiba-tiba berhadapan dengan seekor rubah yang sedang berdiri diam di depan liangnya; kedua mata binatang itu terpaku dengan heran pada anak panah Kiyomori. Dia menarik tali busurnya. Geraman bernada rendah terdengar, dan bau busuk memasuki lubang hidung Kiyomori. Dia menajamkan mata dan melihat lebih dari seekor rubah; dua ekor binatang berbulu berdesakan di dalam liang. Sepasang mata tajam sekarang tertuju kepadanya. Seekor rubah tua dengan ekor kecokelatan menggeram kepadanya. Rubah betina itu, setengah tertutupi oleh tubuh pasangannya, memamerkan cakarnya, menggeram menyaksikan tangan yang memegang busur dengan tatapan ngeri. Binatang itu lebih kurus daripada rubah kebanyakan, lebih menyerupai serigala; tulang-tulang bahunya menonjol, bulunya kusam, dan perutnya bergelambir. Kiyomori kembali menajamkan pandangan dan melihat bagaimana binatang itu melindungi anaknya di bawahnya. Mereka mungkin sudah berhasil meloloskan diri jika bukan gara-gara rubah mungil itu, pikir Kiyomori. Tiga ekor rubah ... sungguh beruntung dirinya! Sejenak, dia mempertimbangkan rubah yang mana yang akan dipanahnya terlebih dahulu. Busurnya berderak. Pendar terang seolah-olah memancar dari pasangan rubah yang telah terdesak itu, dan mereka mengeluarkan erangan aneh. Si jantan menggeramkan ancaman, dengan

Page 223: The Heike Story

keberanian seekor binatang putus asa, sementara si betina melengkungkan tubuhnya dan memeluk bayinya semakin erat.

Lengan Kiyomori mendadak terasa kaku. “Ah, kasihan sekali kafcan, kasihan sekali! Keluarga yang cantik? jauh lebih terhormat danpada manusia yang bodoh …” had Kiyomori pedih.Apakah yang diakukannya di uni dengan anak panahnya? Menyudutkan binatang-binatang mm? Baju zirah baju zirah untuk dipamer-pamerkan! Menyelamatkan harga dirinya di hadapan si perajin baju zirah hanya demi sebuah janji? Bodoh … bodoh! Tidak masalah jika pria tua itu mengejeknya; baju zirah biasa sudah cukup baginya! Baju zirah tidak mencerminkan kejantanan, apalagi menambah keperkasaan.

“Walaupun hanya binatang bodoh, kalian sungguh menawan! Kesedihan, kasih sayang ... wujud kasih sayang orangtua! Seandainya aku menjadi rubah tua itu ... bagaimana jika Tokiko dan Shigemori tersudut seperti ini? Binatang sekalipun bisa bersikap begitu terhormat ... bisakah aku melakukannya?”

Kiyomori menaikkan busurnya dan membiarkan anak panahnya melesat ke arah satu-satunya bintang yang bersinar di langit yang mulai gelap.

Sebuah gerakan yang menyerupai embusan angin menggerakkan rerumputan di dekat kakinya, disusul oleh kesunyian. Kiyomori menunduk; ketiga rubah itu telah pergi.

Sebelum pulang, Kiyomori berhenti di luar pagar rumah si perajin baju zirah. Dia berseru memanggil sosok bungkuk yang berjalan melintasi pekarangan diterangi oleh cahaya suram sebuah lentera kecil. “Pak Tua, Pak Tua, aku tidak memerlukan kulit rubah untuk baju zirahku! Gunakanlah

Page 224: The Heike Story

apa pun yang kau mau. Aku akan menjelaskannya di lain waktu. Datanglah besok, dan aku akan membayar denda dengan apa pun yang kauminta.”

Bau tajam lem mendidih menguar di udara ketika sosok bungkuk itu muncul di beranda dengan membawa sebuah kuali yang mengepul-ngepul. “Apa! Anda tidak menginginkan baju zirah Anda? Bukankah Anda sudah berjanji? Saya sudah mengatakan bahwa saya akan bergadang selama dua hari dan dua malam seperti seorang pandir untuk mendidihkan lem ini! jadi. Anda memanah Altar hanya untuk bercanda, ya? jadi. saya salah sangka tentang Tuan Aid! Apa menurut Anda saya mau membuat baju zirah untuk seseorang yang telah menipu saya? Saya menolak ... saya tidak mau lagi melakukan pekerjaan apa pun untuk Anda! ... Ini. dasar anjing liar, kemari dan makanlah lem tol!”

Kuali berisi lem panas itu tiba-tiba melayang di udara dan jatuh di dekat kaki Kiyomori. Tercekik oleh asap dan bau tajam lem, Kiyomori membalikkan badan dan pulang dengan bermuram durja.

November segera tiba, dan masa hukuman Kiyomori selesai. Dia pun kembali menjalankan tugasnya di Istana. Beberapa hari sebelum peristiwa ini terjadi, bagaimanapun, seorang tamu tiba di gerbang pelayan di rumahnya, memohon dengan air mata berlinangan untuk dipertemukan dengan sang tuan rumah.

“Aku tidak punya hak untuk meminta dipertemukan dengan Tuan Aki, tapi …”

Tamu itu adalah Oshimaru, si perajin baju zirah. Punggung bungkuknya tampak semakin bungkuk, dan dia menolak untuk mengangkat pandangan. “Tuan, saya memohon agar Anda memaafkan kata-kata kasar saya

Page 225: The Heike Story

tempo hari ... itu hanyalah ocehan seorang perajin tua dan bodoh ... ” Butiran-butiran keringat membasahi kening keriput pria tua itu.

“Apa masalahmu kali ini, Pak Tua?” Kiyomori tertawa, meminta penjelasan untuk kunjungan Oshimaru.

“Karena terbakar amarah, saya melempar sekuali lem kepada Anda, Tuan, dan memaki-maki Anda, namun saya mendengar salah seorang pelayan Anda bercerita tentang kegagalan perburuan Anda hari itu, dan saya malu ketika mengetahui bahwa Anda memiliki belas kasihan untuk binatang biasa. Sebagai seorang pakar baju zirah, saya memohon agar Anda mengizinkan saya untuk membuat baju zirah baru bagi Anda. Seorang samurai tidak hanya harus ahli menggunakan busurnya, tetapi juga harus memiliki hati yang penuh belas kasihan kepada semua makhluk hidup, seperti Anda. Siapa pun yang membuat baju zirah untuk samurai semacam itu mau tidak mau akan mencurahkan seluruh jiwa dan raganya ke dalam pekerjaannya. ... Sejujurnya, Tuan, saya membawa baju zirah pesanan

Anda hari ini. Maukah Anda melihatnya dan mengizinkan saya menghadiahkannya kepada Anda?”

Tidak ada jejak kesombongan dalam sikap Oshimaro sekarang; tidak ada kata-kata pujian untuk hasil karyanya sendiri. Ekspresi puas di wajah Kiyomori sepertinya sudah menjadi penghargaan yang cukup baginya, dan dia pun segera berpamitan.

Kiyomori menikmati kembalinya kemerdekaannya. Pada suatu malam, setibanya di rumah, dia memasuki kamar istrinya dan menemukan sebuah kecapi yang belum pernah dilihatnya. Tokiko menjelaskan bahwa kecapi itu adalah hadiah dari Nyonya Kii, yang mengutus seorang pendeta

Page 226: The Heike Story

untuk mengirimnya siang itu. Tokiko menceritakan kepada suaminya bahwa si pendeta singgah selama beberapa waktu untuk bercakap-cakap dan berulang kali menyelamatinya karena memiliki seorang suami yang hebat Tokiko menyanggah dengan senyuman, namun rasa penasaran mendorongnya untuk menanyakan alasan pendeta itu menyanjung-nyanjung Tuan Ala. Dia berhasil mendesak kurir Nyonya Ki untuk berbicara lebih banyak dan mengetahui bahwa Oshimaro, si perajin baju zirah, telah bercerita kepada semua orang tentang kisah Kiyomori dan sekeluarga rubah. Kisah itu akhirnya didengar oleh Shinzei; tergerak oleh kelembutan hati Kiyomori, Shinzei mengeluarkan kecapi warisan ibunya dan meminta tolong kepada kawan pendetanya untuk menyerahkannya kepada Kiyomori sebagai tanda kehormatan darinya. Si pendeta kemudian memberi tahu Tokiko bahwa rubah adalah kurir Dewi Belas Kasfan dan Oma. dan dengan melepaskan rubah-rubah buruannya, maka Kiyomori layak mendapatkan tanda jasa. Shinzei. tambah si pendeta, juga menyampaikan keyakinannya tentang kebaikan hati Tuan Aki. Setebh berbicara panjang lebar, si pendeta berpamitan dengan memberkati sang nyonya rumah dan suaminya.

Kiyomori mengambil kecapi tersebut, membolak-baliknya beberapa kali di atas pangkuannya untuk memeriksanya.

“Kecapi yang sangat bagus,” akhirnya dia berkomentar.

Toklko menjawab. “Pasti ada namanya di suatu tempat,”

“Di sini ... ”

“Namanya ‘Angin Ladang’.”

Kecapi itu berhias motif bunga-bunga liar bernuansa keemasan, dan sebuah puisi karya Shinzei yang ditujukan kepada mendiang ibunya diselipkan dengan tulisan indah.

Page 227: The Heike Story

‘Tokiko. bisakah kau memainkan alat musik ini?”

“Aku yakin bahwa Tokitada lebih pandai bermain musik daripada aku.”

“Eh, aku baru tahu bahwa Tokitada berbakat di bidang musik. Kalau begitu, biarkan aku memainkan sesuatu untukmu. Penampilanku yang kusam mungkin tidak akan membuatmu percaya, tapi saat berumur delapan tahun, aku harus menyanyi dan menari dalam pementasan drama sakral di Gion. Ibuku, sang Perempuan Gion, menggemari pertunjukan semacam itu.”

Ketika mengatakan itu, Kiyomori merasakan hatinya tersengat Di manakah dia sekarang ... ibunya, si wanita rubah, seseorang yang tidak sebandmg dengan rubah betina bijaksana itu? Apakah da masih hidup dan sehat? Dia tentu sudah tidak cantik lagi ... usianya saat ini pasti sudah empat puluhan. Di manakah da sekarang? Apakah seorang pria telah melukai hatinya dan meninggalkannya begitu saja di salah satu sudut dunia? … Kiyomori kehabisan kata-kata untuk menetaskan tentang emosi yang membuncah dari kedalaman yang tidak dikenalnya dan membanjiri seluruh dirinya. Hatinya pedih. Seolah-olah untuk meredakan rasa sakitnya, dia memangku kecapi jas dan bersenandung dengan lembut, melarikan jarinya di keempat senar yang berdenting bening.

“Nah, lagu apa itu?” Tokiko tergelak.

“Oh. kau mungkin tidak pernah mendengarnya. Judulnya ‘Nyanyian Seorang Manusia dari drama berjudul Manyoshu candanya dengan tenang, walaupun matanya basah.

0)--=dw=--(0

Page 228: The Heike Story

Bab XII -SABDA ALMARHUM Fujiwara Tsunemune, seorang pejabat istana dari

Golongan Ketiga, adalah seorang pria muda berprestasi. Kendati dirinya seorang bangsawan, dia tidak sombong, karena dia bukan hanya menjadi anggota kelompok politik melainkan juga pusat kehidupan intelektual pada masanya, dan di kalangan pejabat muda. dia sepertinya berkonsentrasi pada cara-cara untuk tampil sebagai seorang bangsawan yang baik. Terobsesi pada detail dan anggun dalam penampilan, seperti halnya dalam bersikap dan berbicara, Tsunemune memiliki selera seorang terpelajar dan banyak membaca karya-karya klasik; sebagai seorang penulis puoi berbakat, pakar permainan sepak bola bangsawan, dan pemain musik ulung, dia memiliki pemahaman menyeluruh terhadap naik turunnya arus kehidupan di istana.

Pada hari ketika Tsunemune menerima undangan kenegaraan untuk menghadiri pertandingan sepak bola. juru tulis Perdana Menteri Tadamichi tiba di salah satu paviliun kekaisaran dan secara diam-diam memberi tahu Tsunemune bahwa sang perdana menteri ingin berbicara dengannya. Tsunemune mengikuti si juru tulis ke sebuah rumah-taman yang terletak di sebuah pulau buatan dan dipenuhi oleh bunga teratai.

Ketika itu musim panas ... Juni 1149. Kaisar Kecil Konoye akan segera merayakan ulang tahunnya yang kesebelas, dan para penasihatnya sedang mempersiapkan pelantikannya. Pertanyaan tentang permaisuri bagi dirinya amat mendesak karena sudah sepanasnya seorang penguasa muda menghadiri Pesat Syukuran Besar pada hari pelantikannya bersama seorang calon permaisuri Kaisar Kloister Toba tetah selama beberapa waktu memikirkan semua secara serius; desas-desus telah menyebar tentang

Page 229: The Heike Story

kemana Toba akan menjatuhkan pilihan dan setiap cabang klan Fujiwara yang memiliki putri terhanyut oleh harapan bahwa sang penguasa tertinggi akan mendatangi mereka. Pifihan harus dombil secara diam-diam dan dengan mempertimbangkan pengaruh terhadap keseimbangan politik yang rentan. Sejarah telah menunjukkan bahwa pifihan yang salah dapat menjerumuskan istana ke dalam persekongkolan dan bahkan memecahkan perang.

Tugas Perdana Menteri tidak pernah seberat ini. Selama berbulan-bulan, sang perdana menteri telah memikirkan masalah ini secara mendalam dan akhirnya berhasil mengambil keputusan. Setelah mempertimbangkan segala aspek yang ada, pilihannya yang jatuh kepada Tadako, putri Menteri Golongan Kiri, sepertinya tidak terbantahkan; walaupun baru berumur sebelas tahun ... masih kanak-kanak ... sang perdana menteri meyakini bahwa bakat alami dan kejelitaan sang putrilah yang mengarahkan takdirnya ke kedudukan tinggi yang sedang dipersiapkan untuknya saat ini. Satu-satunya kendala, bagaimanapun, adalah cara untuk menyampaikan pilihan ini kepada ayah Tadako. Tadako adalah putri angkat Yorinaga, adik sang perdana menteri. Kedua saudara ini masih saling menyayangi kendati memiliki watak yang bertolak belakang, dan Tadamichi, tidak sanggup menelan harga dirinya, enggan mengabarkan kepada Yorinaga mengenai pilihan yang telah disetujui oleh Kaisar Kloister. Dia resah memikirkan reaksi ganas Yorinaga saat menerima kabar yang telah lama dinanti-nantikan Ini, dan di tengah kebingungannya, terpikir olehnya untuk mengirim Tsunemune sebagai utusannya. Kepandaian bertutur kata dan kesabaran sang bangsawan mudi bea dperaya untuk memuluskan setiap kecanggungan yang mungkin muncul. Pertandingan sepak bola, oleh karenanya, memberikan kesempattan kepada

Page 230: The Heike Story

Tadamichi untuk menemui Tsunemune dan menjelaskan rencananya.

Tsunemune mendengarkan penjelasan Perdana Hantari dangm perasaan melambung. Tingkat kepentingan tugas ini membuatnya senang. Tugas m juga penang untuk kemajuan kariernya di Istana. Maka, setelah memasukan kapan dia akan kembal dengan membawa jawaban Yorinaga. Tsunemune pun berangkat

Pertemuan antara Tsunemune dan Yorinaga dimulai dengan kaku. Sang mencen tidak memberikan komentar apa pun kecuali “jadi. Tadako diminta untuk menjadi permaisuri?** yang diikuti oleh senyuman sinis. Setelah beberapa waktu berbicara tanpa tujuan. Tsunemun^ memohon jawaban dari Yorinaga.

Akhirnya. Yorinaga bertanya. “Apakah urusan ini sedemikian mendesaknya? Apakah saya harus menjawabnya sekarang juga?”

Setelah diyakinkan bahwa ini adalah kehendak Kaisar Kloister, Yorinaga mendesak Tsunemun6 untuk menjelaskan alasan yang mencegah sang perdana menteri datang sendiri untuk menyampaikan kabar ini. Penjelasan mengenai urusan kenegaraan yang menahan Tadamichi di Istana tidak memuaskan Yorinaga, namun dia akhirnya mengatakan, “Saya tidak keberatan jika Tadako dijadikan permaisuri, namun saya menuntut janji bahwa dia akan ditetapkan sebagai permaisuri ketika Kaisar dilantik; saya tidak akan mengizinkannya menjadi selir biasa di Istana. Jika itu yang terjadi, saya harus menolak tawaran ini. Harus ada jaminan resmi bahwa Tadako akan dijadikan permaisuri.”

Tsunemun6 menyampaikan tuntutan Yorinaga kepada Kaisar Kloister dan Perdana Menteri, dan keduanya

Page 231: The Heike Story

menyanggupinya. Hanya dalam waktu singkat, Tadako telah diterima di Istana. Baru

beberapa bulan kemudian, bagaimanapun. Perdana Menteri kecewa ketika Kaisar Kloister memerintahkannya untuk mengganti Tadako dengan gadis lain, Shimeko yang berumur sembilan belas tahun, dayang kesayangan Nyonya Bifukumon. Setelah selama beberapa tahun mengawasi pendidikan dan pertumbuhan gadis ini. Nyonya Bifukumon menyusun rencana agar dia, yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri, menjadi permaisuri Konoyt, putranya. Ketika mengetahui bahwa Tadako telah dipilih tanpa sepengetahuannya. Nyonya Bifukumon dengan gusar memprotes suaminya. Kaisar Kloister, dan menuntutnya untuk membatalkan keputusan tersebut

Tidak terlukiskan lagi betapa Yorinaga geram dan malu ketika mendengar kabar ini. Dia melihat kesempatannya untuk mendapatkan kekuasaan dan kehormatan berlalu begitu saja. Bertekad untuk tidak tunduk kepada Kaisar Kloister sekalipun, Yorinaga meminta dukungan kepada ayahnya.

Fujiwara Tadazane, ayah Yorinaga, berusia tujuh puluh dua tahun dan selama beberapa tahun telah menghabiskan masa pensiun di rumah peristirahatannya di wilayah Byodo-in di Uji. Sebagai bangsawan Fujiwara yang berusia paling tua, dia masih memegang pengaruh yang tidak boleh diremehkan, karena selain memiliki hubungan dengan Istana dari pihak ibunya, salah seorang putrinya fugi pernah menjadi permaisuri pertama Kaisar Kloister. Perjalanan kariernya sungguh gemilang. Dia pernah mengabdi kepada dua orang kaisar secara berturut-turut dan menduduki jabatan-jabatan terpenting dalam pemerintahan. Bahkan di masa pensiunnya, dia kerap sering menggelar berbagai upacara sepera layaknya seorang bangsawan besar, dan

Page 232: The Heike Story

para pejabat dari ibu kota tak henti hentinya mengunjunginya dirumah peristirahatannya.

Walaupun Tadazane memiliki semua sifat yan dibutuhkan untuk menjadi seorang pejabat istana yang sukses, ada sebuah kelemahan yang berlawanan dengan seluruh kebaikannya; dia sangat menyayangi putra bungsunya, Yorinaga, walau apapun yang terjadi dan untuk alasan yang tidak diketahui oleh orang lain, selalu bersikap jahat kepada putra sulungnya, Tadamichi, sang perdana menteri.

Kedatangan mendadak Yorinaga di rumah peristirahatannya di Uji menyebabkan kelopak mata tipis Tadazan& berkedut di bawah alis putihnya. Dia mendengarkan penjelasan putranya tanpa berkata-kata. Tetapi, penderitaan dan penghinaan yang dialami oleh putranya mendorongnya untuk menegakkan tubuh kurusnya, seolah-olah dengan mengerahkan seluruh kekuatannya yang masih tersisa, dan akhirnya berkata, “Ayolah, jangan sampai masalah ini terlalu mengusikmu. Aku belum terlalu tua untuk mewakilimu menyelesaikan masalah ini dengan Yang Mulia. Aku akan pergi menemui beliau dan meluruskan semuanya. Hari ini, aku akan membuat perkecualian untuk masa pensiunku dan ikut bersamamu ke ibu kota.”

Masalah itu ternyata tidak sesepele yang disangka oleh Tadazane. Dalam berbagai kesempatan, permohonannya untuk menemui Kaisar Kloister ditolak; surat-suratnya dikembalikan tanpa dijawab; dua minggu telah berlalu, dan tidak ada sedikit pun kemajuan. Akhirnya, atas desakan Tsunemune, Tadazane setuju untuk bertemu dengan Perdana Menteri asalkan Tsunemunt berjanji untuk turut hadir dalam pertemuan itu. tetap saja, sebulan berlalu tanpa adanya tanda-tanda pertemuan yang telah dijanjikan;

Page 233: The Heike Story

hingga akhirnya, letih dan sakit hati Tadazane kembali ke Uji,

Musim dingin datang. Akhir tahun telah hampir tiba Hanya beberapa hari sebelun seluruh Istana mempersiapkan perayaan untuk menyambut pergantian tahun. Yorinaga sekali lagi kembali ke Ujii dalam keadaan gundah gulana. Shimeko telah secara resm diterima di Istana dan kesempatan terakhir untuk merebut hak Tadako katanya telah melayang.

Tadazane membangunkan pelayanan nya pada pagi buta. Napas sapi menggantung bagaikan asap putih ditengah udara pagi ketika kereta Tadazane berderak melewati jalan beku menuju Kyoto. Baru pada malam hari dia tiba dihalaman Istana. Satu-satunya cahaya yang menerangi tempat itu adalah api unggun para pengawal. Perdkan air hujan memancar ke atas dari teritis yang lebar; karai-karai digulung ke atas dan pintu-pintu dibuka untuk menyambut TadazanA. Dia dipersilakan memasuki sebuah ruang tunggu, dan di sana dia menanti hingga rasa putus asa tercermin di setiap kerutan wajahnya. Dia datang ke Istana dengan tekad untuk menunggu hingga kematian menjemputnya. Waktu berjalan begitu lambat dalam persaingan pahit antara berbagai latar belakang tindakannya: harga diri, cinta, kesombongan, kegilaan sesaat. Akhirnya. Yang Mulia Kaisar Kloister mengalah dan menemuinya. Takluk oleh air mata dan desakan Tadazant yang uzur, sang penguasa terpaksa mengalah.

Dalam perayaan Tahun Baru, Tadako diumumkan sebagai Permaisuri terpilih, dan pada bulan Maret dia berdiri mendampingi Kaisar-kecil.

Perdana Menteri, yang tidak sanggup menahan panas bulan Juli, mengungsi ke rumah peristirahatannya di luar Kyoto dan jarang terlihat di Istana. Yorinaga,

Page 234: The Heike Story

bagaimanapun, tanpa kenal lelah menyalurkan energinya untuk mengurus hal-hal kecil di tempat kerjanya. Kemunculan mendadaknya di berbagai bagian pemerintahan mengembuskan teror ke hati para pejabat kecil dan menjadikan para pejabat tinggi kelelahan dan lebih sibuk daripada biasanya. Sebagai kerabat dekat sang permaisuri muda, Yorinaga menyadari betul posisinya saat ini, dan dia memanfaatkannya dengan sebaik mungkin, meyakini sepenuhnya buah yang akan dikumpulkannya sebagai hasil kerja kerasnya. Sebagai penasihat Kaisar-kecil, dia telah menggantikan, meskipun tanpa mendapatkan gelar, posisi kakaknya sebagai perdana menteri, dan sebuah faksi terbentuk mengikuti langkahnya. Keberpihakannya kepada Genji di Istana juga terlihat jelas. Baru-baru ini, alih-alih menugaskan Kiyomori, dia memberangkatkan Tameyoshi untuk membuat kesepakatan dengan para biksu pemberontak di Nara ketika mereka mengancam untuk menyerbu Ibu kota dongan pasukan bersenjiitii marak» yang berkekuatan ribuan orang

Tadazane, yang telah lama pensiun, sekail lagi aktif di litani Dia sekarang menjabat sebagal seorang menteri kehormatan, mengarahkan seluruh tenaganya untuk memberikan dukungan kepada Yorinaga. Diam-diam bertekad untuk tidak menyisakan matalah sedikit pun, Tadazan* membisikkan kepada Kaisar Kloister bahwa Tadamichi tidak memiliki kesehatan dan kemampuan yang cukup untuk mengemban tugas sebagai perdana menteri. Tetapi, ketika mendengar bahwa Tadamichi tidak mau mengundurkan diri karena khawatir Yorinaga akan menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, Tadazan6 yang marah mendatangi bagian arsip di Akademi Kekaisaran, tempat catatan keluarga dan segel keluarga Fujlwara disimpan. Di sana, dia memindah namakan seluruh kepemilikannya kepada Yorinaga untuk

Page 235: The Heike Story

menandakan bahwa dia tidak mengakui lagi putra sulungnya, Tadamichi, sebagai keturunannya, dan menunjuk Yorinaga sebagai satu-satunya pewaris dan penerus namanya.

0)--=dw=--(0

Pada 1151, Kaisar-kecil Konoye berulang tahun ketiga belas. Pada saat ini, dia mulai bermasalah dengan matanya, yang selalu ditutupinya dengan selembar sutra merah. Perdana Menteri Tadamichi, yang sangat disukai oleh penguasa muda itu, menemukan seorang tabib berbakat yang baru saja kembali dari Cina dan menugaskannya untuk merawat Kaisar. Tadamichi tersentuh oleh penderitaan sang kaisar yang seolah-olah tak pernah berujung. Dia kerap mengunjungi Konoy6 dan memberikan kata-kata penghiburan kepadanya. Penglihatan bocah ringkih itu, yang sejak lahir telah terkurung di kamar-kamar istana yang gelap, terpenjara oleh jabatannya, menjadi korban dan biduk bagi persaingan ganas yang melingkupinya, mendatangkan belas kasihan mendalam di hati Tadamichi. Mau tidak mau. dia memikirkan bagaimana kehidupan penguasa muda ini jauh dari kebahagiaan. Terkekang oleh ritual-ritual

istana, apakah yang diketahuinya tentang kebebasan dan kenikmatan masa muda? Kapankah dia pernah bermain-main dengan salju di tengah musim dingin; bersiul-siul di tengah musim semi, ketika kuncup-kuncup bunga bermunculan di pepohonan; berbasah-basah di sungai seperti peri air di tengah musim panas; atau mendaki bukit di tengah musim gugur dan menjerit-jerit dari puncaknya hingga paru-parunya menggembung dan nyaris meledak? Tetapi, Tadamichi sendiri barangkali tidak pernah

Page 236: The Heike Story

menyadari bahwa dia sendiri turut berperan dalam menciptakan lambang kekuasaan yang rapuh ini.

Pada 24 Juli 1155, Kaisar Konoya wafat dalam usia tujuh belas tahun. Masa kekuasaannya berlangsung selama kurang dari lima tahun. Rakyat pun berduka. Ayahnya, Kaisar Kloister, larut dalam kesedihan, dan tidak ada yang bisa menenangkan Nyonya Bifukumon.

Segera setelah wafatnya Kaisar-kecil, Nyonya Bifukumon mendengar cerita aneh dari salah seorang pengiringnya. Nyonya Kii, istri Penasihat Shinzei. Nyonya Kii mendengar cerita mengerikan ini dari salah seorang dayangnya, yang mendengarnya dari seorang biksu pengembara. Kaisar Konoy6 telah meninggal secara tidak wajar. Beberapa orang telah mengirim teluh kematian kepadanya sehingga dia meninggal sebelum waktunya. Sekitar setahun silam, kata si biksu, dia pernah menyaksikan sendiri ritual-ritual jahat di sebuah tempat pemujaan terpencil di Gunung Atago. Cerita Nyonya Kii tersebut membuat Nyonya Bifukumon ketakutan dan risau. Dia pun memerintahkan agar seorang cenayang ... Yasura dari Tempat Pemujaan Shin-kumano ... segera dipanggil.

Si cenayang tiba dan untuk waktu yang lama bermeditasi dengan khusuk. Tiba-tiba, tubuhnya gemetar hebat; wanita itu menarik sanggulnya hingga rambutnya terurai ketika arwah mendiang Kaisar merasukinya dan berbicara melalui mulutnya, “… Teluh telah dikirimkan kepadaku. Paku-paku telah ditancapkan ke gambar Iblis Tengu di Tempat Pemujaan Gunung Atago. Aku buta karenanya. Merekalah yang menyebabkan kematianku. Ah … malangnya diriku!” Sesudah mengatakan itu, Yasura roboh ke lantai dan tergeletak pingsan. Nyonya Bifukumon menjerit-jerit ngeri dan mengamuk seraya menariki kimononya. Dayang-dayangnya yang ketakutan dengan panik menyediakan air

Page 237: The Heike Story

dan obat penenang, secepatnya mengangkut majikan mereka ke kamar tidurnya.

Sementara itu, si cenayang telah siuman dan bangkit seolah-olah tidak mengalami sesuatu pun yang luar biasa, memeluk erat-erat buntalan kain tempatnya menyimpan pelbagai keperluan penunjang pekerjaannya dan beberapa hadiah yang diberikan oleh Nyonya Kii kepadanya. Setelah keluar dari ulah satu gerbang belakang, Yasura berhenti untuk mengintip isi buntalannya dan dengan gembira mengeluarkan sepotong daging yang menguarkan aroma bebek panggang; dia sedang berjalan pulang sembari menyantap makanan itu dengan lahap, mengunyah dengan penuh selera, ketika melihat beberapa ekor anjing membuntutinya. Dia berhenti untuk memungut segenggam kerikil dan melemparkannya pada binatang-binatang itu. Salah satu kerikilnya menghantam roda sebuah gerobak; buruh muda yang menarik gerobak itu berhenti dan menyapa Yasura dengan akrab.

“Wah, Yasura. apakah kau hendak pulang?”

Si cenayang menghampiri pemuda itu dengan ceria dan berhenti sejenak untuk bercakap-cakap dengan nada rendah dan membagikan sedikit isi buntaiannya. Setelah selesai makan, si pemuda menolong Yasura untuk menaiki gerobaknya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke arah Tempat Pemujaan Shin-kumano.

*d*z*

Dua tahun sebelumnya, pada Januari 1153 ayah Kiyomori. Tadamori, meninggal secara mendadak setelah menderita sakit selama beberapa minggu. Tadamori berusia lima puluh delapan ketika mengembuskan napas terakhir. Selama tahun-tahun terakhir kehidupannya, tidak banyak prestasi yang dibukukan oleh Tadamori,

Page 238: The Heike Story

karena tahun-tahun itu juga menandai kebangkitan kekuasaan Yorinaga dan keberpihakannya kepada Genji Tameyoshi dan putra-putranya. Setiap anggota klan Heike tidak akan lupa bahwa Yorinaga pernah menuntut hukuman mati untuk Kiyomori dalam pengadilan setelah peristiwa pelecehan terhadap Altar Sakral, dan atas alasan itulah dia tidak akan memberikan jabatan apa pun kepada anggota klan Heik6. Kendati begitu, Kiyomori tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan atas keberpihakan Yorinaga kepada klan Genji. Di tengah rasa kesepian yang melandanya, Kiyomori yang sedang berduka merasa bahwa salah satu pilah kehidupannya telah ambruk. Dan, sebelum sempat memulihkan diri dari duka, Kiyomori telah larut dalam kesibukan baru. Dia tidak hanya harus memikirkan anak-anaknya, tetapi juga harus menjadi wali bagi adik-adik kandung dan tirinya. Sebagai seorang kepala keluarga muda, banyak yang harus dipelajarinya, karena masa depan keluarga Helki ada di tangannya.

Tidak lama setelah kematian Kaisar-kedl, Penasihat Shinzei memanggil Kiyomori. Sepeninggal Tadamorl, Kiyomori menjadikan Shlnzoi, yang berusia lebih tua dan berkedudukan lebih tinggi darinya, sebagai kawan dan tempat berpaling. Kiyomori tidak hanya menganggap Shlnzoi sebagal patron karena utang nyawanya, tetapi juga sebagal iatu-«&tunya pelindung di tengah pertikaian klan HeikA dan Yorinaga, sang Menteri Golongan Kiri. Kiyomori yakin bahwa Yorinaga. yang Uap melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya, bukanlah tandingan sang penasihat yang bijaksana, karena Shinzei sangat tepi dan tidak membiarkan orang lain mengacaukan jalan pikirannya Shinzei memiliki kedalaman yang tidak bisa diselami oleh orang lain; selama bertahun-tahun, dia selalu menjalankan tugas-tugasnya ... yang tidak bisa dianggap mudah oleh

Page 239: The Heike Story

sebagian besar orang ...dengan baik tanpa menuntut perhatian.

Di balik perlindungan kantor Shinzei, Kiyomori mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan sebuah misi rahasia dan luar biasa.

“Isu-isu sensitif terkait dalam misi ini. Ini penting. Sedikit saja salah langkah, kau akan membangkitkan kecurigaan Yorinaga dan

Genji Tameyoshi terhadap perbuatanmu. Tunggulah hingga matahari tenggelam, lalu keluarkan anak buahmu seorang demi seorang,” kata Shinzei, mengulangi peringatannya.

Malam itu, sebuah pasukan beranggotakan lima puluh orang samurai berangkat dari ibu kota menuju perbukitan di bagian barat laut Kyoto, jarak yang cukup jauh dari gerbang kota. Mereka dengan cepat mendaki Gunung Atago, lalu berhenti di salah satu tebing untuk membahas langkah yang akan mereka ambil selanjutnya. Sejenak kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari Jomyo, kepala pendeta Gunung Atago. Setibanya di depan gerbang rumah Jomyo, mereka mengetuk gerbang dan memanggil namanya dengan nyaring.

“Kami datang dari Istana Kloister, prajurit Heike Kiyomori, Tuan Aki. Kami mendapatkan laporan bahwa seseorang telah bersekutu dengan Iblis Tengu di tempat pemujaan utama di sini untuk mengirim teluh maut kepada mendiang Kaisar. Kaisar Kloister memerintahkan Tuan Aki untuk melakukan pencarian dan mengumpulkan barang bukti. Antarkan kami ke tempat pemujaan Itu. Jika kau menolak, kau akan dianggap bersalah karena menolak perintah Kaisar!”

Page 240: The Heike Story

Keributan terdengr dari dalam rumah kemudian, Jomyo sendiri keluar dan berbicara denpn Kiyomori. “Jika Anda datang kemari untuk keperluan Yang Mulia, Anda tentu membawa surat perintah resminya. Izinkan saya melihatnya.”

“Ho, kau yang di sana, berlututlah!”

Setelah Jomyo berlutut Kiyomori menyodorkan surat perintah resmi kepadanya.

“Tidak ada masalah dengan surat Ini” ...saya tidak bisa menolak. Pintu-pintu tempat pemujaan akan segera dibuka, Lewa Ini Tuan’ Memerintahkan anak buahnya untuk menyalakan lebih banyak obor, Jomyo menunjukkan jalan menuju tempat pemujaan, Bayangannya tampak menjulang tinggi di pintu-pintu tempat pemujaan itu, Sebuah kunci diputar dengan kasar di dalam lubangnya Lidah-lidah api seolah-olah saling menjilat dengan ganas di dinding-dinding tempat pemujaan, dan di depan matanya, Kiyomori melihat gambar Iblis Tengu menjulang tinggi, sebatang paku tertancap di masing-masing matanya.

“Astaga ... paku!” Kiyomori terkesiap, begitu pula Jomyo dan yang lainnya, yang melihat dari balik bahunya.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kiyomori telah melihat sendiri penyebab penugasannya kemari. Pemandangan itu menyeramkan dan membuatnya merinding. Dia selalu mencibir setiap kali mendengar cerita-cerita tentang ilmu hitam, namun ini ... ! Hawa dingin merambati tulang belakangnya.

“Bagus. Ini harus dilaporkan sekarang juga.” Kiyomori membalikkan badan, terguncang oleh apa yang dilihatnya. Pintu-pintu kembali dikunci, dan Kiyomori memasang segelnya di sana. Setelah memberikan perintah kepada sebagian besar prajuritnya untuk menjaga tempat itu,

Page 241: The Heike Story

Kiyomori kembali ke Kyoto dan menemui Shinzei pada malam itu juga.

Sejenak, kedua bola mata Shinzei seolah-olah hendak keluar dari rongganya ketika dia mendengar laporan Kiyomori mengenai apa yang telah dilihatnya; kemudian kembali ke pembawaannya yang santai dan berkata, ”Seperti yang sudah kuduga ….”

Nyonya Bifukumon telah mendesak Kaisar Kloister untuk mengirim Kiyomori dan para prajuritnya ke Gunung Atago. Dia jugalah yang telah dengan hati-hati menyampaikan keyakinannya bahwa Yorinaga dan ayahnya telah menggunakan ilmu hitam untuk menyebabkan kematian Kaisar. Nyonya Bifukomon memperingatkan Kaisar Kloister untuk berhati-hati kepada kedua orang tersebut, yang diyakininya sedang mengincar tahta kekaisaran. Dua orang pertapa kemudian dipanggil ke Istana untuk menjadi saksi, dan keduanya menggambarkan tentang ritual jahat yang dilakukan oleh beberapa biksu pengembara. Tidak ada yang mengetahui ke mana para biksu pengembara itu pergi karena mereka lenyap begitu saja

bagaikan awan musim panas, kata mereka. Dan tidak lama kemudian, Yorinaga dan ayahnya dilarang memasuki Istana Kloister.

Sementara itu, pertanyaan mengenai pemilihan kaisar baru semakin mendesak, dan Yorinaga beserta ayahnya kebingungan ketika mendapati bahwa diri mereka dilarang mengikuti musyawarah dewan kekaisaran. Mereka segera mengetahui alasan kejatuhan mereka. Mereka berusaha untuk membela diri dengan pernyataan tidak bersalah melalui surat yang dituju lean kepada Kaisar Kloister, namun permohonan mereka dikembalikan tanpa jawaban

Page 242: The Heike Story

melalui kantor Penasihat Shinzei. Apa pun yang mereka lakukan sepertinya tidak akan bisa melunakkan hati Toba.

Melalui sela-sela jeruji salah satu jendela Istana, seorang pejabat memerhatikan ayah dan anak itu memasuki kereta mereka dan bertolak dan Istana untuk terakhir kalinya. Shinzei tersenyum sinis; seandainya mereka tahu, mereka tentu akan mengambil langkah dengan lebih hati-hati; Yorinaga tidak pernah menyangka bahwa sosok pendiam ini, yang selama bertahun-tahun bekerja dengan tekun di mejanya, adalah musuh terberatnya. Sang menteri juga tidak tahu bahwa istri pria itu. Nyonya Kii, adalah orang kepercayaan Nyonya Bifukumon.

Shinzei tertawa tanpa suara. “Lihatlah, iblis-iblisku yang baik ... sakit, bukan? Sebatang paku di mata kanan dan sebatang lagi di mata kiri? Siapa yang tahu bahwa akulah, Shinzei, pelakunya?”

0)--=dw=--(0

Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU Selama hampir empat belas tahun, keberadaan seorang

pria nyaris terlupakan. Dia adalah Mantan Kaisar Sutoku. Yang, setelah dipaksa turun tahta saat berusia dua puluh tiga tahun, menyepi di Istana Mata Air Dedalu hanya bersama sejumlah kecil pengiring. Tahun-tahun itu dijalaninya dengan mendalami berbagai macam praktik peribadatan di ruang ibadah pribadinya, membaca, dan menulis puisi. Dia juga sudah terbiasa untuk berjalan-jalan seorang diri di taman Istana dan beristirahat di bawah sebatang pohon dedalu raksasa yang tumbuh di dekat sebuah mata air. Sejarah mengatakan bahwa mata air ini, yang terkenal karena kemanisan dan kemurnian airnya,

Page 243: The Heike Story

telah ada bahkan sebelum Kyoto didirikan, dan pada waktu yang telah lama terlupakan, sebatang pohon dedalu tumbuh di sampingnya. Air dari Mata Air Dedalu, begitulah namanya, hanya disajikan di meja Mantan Kaisar, dan seorang juru kunci tinggal di sebuah pondok kecil di dekatnya.

Pada suatu hari, ketika berdiri di bawah pohon dedalu raksasa, Sutoku memanggil juru kund mata air, “Aku haus ... ambilkan air untukku.”

Si juru kunci dengan sigap menjalankan perintah, membawa sebuah mangkuk tembikar yang baru saja dibakar dan mengisinya dengan air yang jernih.

“Manis sekali ... seperti embun dari surga,” kata Mantan Kaisar, mengembalikan wadah yang telah kosong dan duduk di atas sebongkah batu yang dinaungi bayangan pohon dedalu. Si juru kund mengeluarkan sehelai tikar alang-alang yang baru saja dianyam dan menggelarnya untuk tamunya.

Kemudian, Sutoku berkata, “Hidupmu sepertinya makmur, Juru Kunci. Sudah berapa lamakah kau tinggal di sini?”

“Saya sudah menjaga mata air ini selama empat belas tahun, Yang Mulia, karena saya ikut dalam rombongan Anda ketika Anda pindah kemari.”

“Empat belas tahun! Dan apakah pekerjaanmu sebelumnya?”

“Ayah saya adalah seorang pemain musik istana, dan sejak kecil, saya telah diajari bermain seruling dan bangsi; saat berusia sepuluh tahun, saya disekolahkan di Akademi Musik Istana, dan saat berusia empat belas tahun, saya untuk pertama kalinya tampil di hadapan Anda, Yang

Page 244: The Heike Story

Mulia. Itu adalah kehormatan yang tidak akan pernah saya lupakan. Kemudian, Yang Mulia turun tahta pada akhir tahun Itu.”

“Berarti, kau dan ayahmu bukan rakyat jelata, karena hanya ada empat keluarga di ibu kota yang sesuai dengan penjelasanmu itu.”

“Ayah saya adalah AM Torihiko. Pemain musik dari Golongan Keenam.”

“Dan namamu?”

“Saya ... ” si juru kunci membungkuk dalam-dalam ... ”saya bernama Asatori.”

Sutoku dengan penasaran menatap sosok yang membungkuk di hadapannya “Apa yang menyebabkanmu meninggalkan pekerjaanmu ... dan ayahmu ... untuk menjadi juru kund biasa bagi mata air ini?”

Asatori menyangkal ucapan Sutoku dengan gelengan. “Tidak, ini bukan tugas biasa. Tuan, karena air adalah sumber kehidupan.

Dan menjaga mata air yang menghapus dahaga Yang Mulia bukanlah pekerjaan biasa. Lama berselang, ayah saya pernah mengajari Yang Mulia memainkan berbagai macam alat musik dan menjadi pemain musik kesayangan Nyonya Bifukumon. Walaupun pintar bermain musik, kami hidup dalam kekurangan, sehingga ketika tiba waktunya untuk merayakan kedewasaan saya, Anda memberikan beberapa kimono bekas Anda sebagai hadiah untuk saya; saya mengenakannya dalam upacara dan tampil seperti seorang pria terhormat. Saya akan mengingat peristiwa itu seumur hidup saya!”

“Oh, apakah peristiwa seperti itu pernah terjadi?”

Page 245: The Heike Story

“Yang Mulia mungkin sudah melupakan bantuan untuk hambanya yang papa, namun ayah saya tidak pernah melupakannya. Saya senantiasa teringat akan ucapan beliau ketika Anda turun tahta: ‘Asatori, mustahil bagiku untuk ikut bersama Yang Mulia, namun kau hanyalah seorang siswa di akademi dan karenanya bisa pergi ke mana pun kau mau. Ikutlah bersama Yang Mulia dan mengabdilah dengan setia kepada beliau, sesuai dengan suri tau ladan ku. Aku masih memiliki anak-anak lelaki lain untuk mewarisi nama dan pekerjaan kita.’ Beliau kemudian memberikan serulingnya kepada saya sebagai hadiah perpisahan, dan saya ikut bersama Anda kemari dan menjaga mata air ini sejak saat itu.”

Sutoku, yang selama ini mendengarkan baik-baik dengan kepala tertunduk dan mata terpejam, mendongak dan tersenyum tipis ketika Asatori mengakhiri ceritanya. “Serulingmu ... apakah kau membawanya sekarang?”

“Saya menyimpannya dengan baik di dalam sebuah wadah yang terbuat dari salah satu lapisan kimono pemberian Yang Muka. Benda itu adalah warisan dari ayah sayaT

“Warisan? Tetapi,, ayahmu pasti masih hidup.”

“Tidak, seruling ini menjadi kenang-kenangan sekarang. Ayah saya sudah tidak ada di dunia ini dan karena keinginan terakhr ayah adalah agar saya mengabdi kepada Anda. Maka saya akan tetap tinggal disini hingga air ini mengering.”

“Ah ... ” Sutoku mendesah panjang seraya berdiri. “Ibunya, Nyonya Taikenmon, juga telah wafat. Betapa fananya manusia dan segala sesuatu di dunia ini, renungnya. “Suatu saat nanti, saat bulan purnama, kau harus memainkan serulingmu untukku. Sungguh sejuk

Page 246: The Heike Story

udara di sini! Asatori, aku akan mengunjungimu lagi di lain waktu.”

Mata Asatori mengikuti Sutoku ketika mantan kaisar itu menghilang di balik pepohonan. Kesempatan untuk bisa bertemu dan bercakap-cakap dengan seseorang yang tidak akan berani didekatinya pada waktu yang lain membuatnya bahagia. Sepanjang malam musim panas, Asatori menantikan kedatangan bulan purnama, mengingat janji Sutoku untuk mendengarkan permainan serulingnya.

Pada selatar waktu ini, orang-orang yang melewati Mata Air Dedalu mulai memerhatikan dengan penasaran banyaknya tandu dan kereta yang mendatangi istana yang telah lama terabaikan itu. Kabar burung mengatakan bahwa Kaisar Konoyt sedang meregang nyawa, dan putra Mantan Kaisar Sutoku, Pangeran Shigebito, cucu Kaisar Kloister Toba, akan menduduki tahta kekaisaran. Di antara sejumlah besar tamu yang mengunjungi Mantan Kaisar terdapat Yorinaga dan ayahnya, Tadazant, yang baru sekarang memedulikan keberadaan Sutoku. Mereka berulang kali meyakinkan Sutoku bahwa ada banyak kebaikan yang menantinya, dan bahwa putranya sudah pasti akan diangkat menjadi kaisar. Prospek kembalinya kejayaan dan kebangkitan harapan ini menyebabkan Sutoku melupakan janjinya kepada juru kunci Mata Air Dedalu.

Asatori menatap dengan penuh damba pada bulan purnama dan menantikan sang mantan kaisar, yang tidak pernah datang. Dia melilai kedatangan dan kepergjan tandu-tandu dan kereta-kereta, dan semakin gelisah, karena Mata Air Dedalu telah kehiangan kemilaunya dan bertambah kerai ... sebuah pertanda adanya pergolakan alam atau ramalan akan sampainya bencana.

Masyarakat umum kecewa ketika pada bulan Oktober, putra keempat Kaisar Kloister. Adk Sutoku, iBmrii whag»

Page 247: The Heike Story

Kaisar dan mendapatkan gelar Gmhrafcawa. Sutoku terpdoi Putranya yang berada di tempat teratas dalam daftar pewaris tahta, diabaikan begitu saja. Nyonya Bifukumon, dia yakin, memainkan peranan besar dalam memengaruhi pilihan Kaisar Kloister, dan dirinya, Sutoku, tersisih akibat kejahatan wanita itu. Bagaimanapun, dia mendapatkan sedikit ketenangan dalam kata-kata Yorinaga, “Sabar ... dan teruslah bersabar Waktu Anda akan tiba.”

Masa pemerintahan yang baru dimulai pada April 1156. Pada musim panas tahun yang sama, masa kekuasaan Pemerintahan Kloister, yang telah berlangsung tanpa terputus selama dua puluh tujuh tahun, berakhir. Toba wafat di Istana Peristirahatan di Kuil Anrakuju-in pada malam tanggal 2 Juli. Kabar mengenai keadaannya yang semakin buruk terdengar di ibu kota pada siang harinya, menyebabkan terjadinya gelombang besar tandu dan kereta ke arah Takeda, tempat kuil tersebut berdiri. Di tengah keriuhan yang terdiri dari binatang-binatang yang saling berdesakan dan orang-orang berkeringat yang saling membentak, sebuah kereta menembus keramaian dan melaju dengan cepat. Di balik kerai jendela keretanya, Sutoku menutupi wajah berdukanya.

Kereta-kereta diparkir di dalam maupun luar gerbang Istana. Tidak ada ruang yang tersisa di pelataran luas di depan Istana sekalipun, karena tempat itu dijejali oleh pelayan bersenjata, kusir, dan tandu. Keheningan menyelimuti segalanya seperti kain penutup peti mati. Tidak ada pengawal yang menyambut kereta Sutoku, sehingga pelayannya harus berteriak sangat nyaring untuk mengumumkan kedatangannya. Sutoku dengan geram menaikkan kerai dan membentak pelayannya, “Biarkan aku turun, biarkan aku turun, kataku!”

Page 248: The Heike Story

Ketika kereta Sutoku memasuki gerbang, dentangan khidmat loncong-lonceng kuil dan pagoda sudah tidak terdengar lagi. Yang didengarnya adalah napas-napas yang tercekat dan gumaman, “Mata Yang Mulia sudah terpejam ... ” Sutoku melihat orang-orang serentak berlutut, mengangkat kedua tangan mereka untuk berdoa, dan rasa duka serta merta menderanya. Bukan seorang penguasa yang meninggal melainkan ayahnya sendiri! Tahun-tahun panjang kegetiran itu ... ketika Toba tidak mau mengakuinya lagi sebagai putranya ... satu kali pertemuan terakhir akan cukup untuk menghapuskan semuanya.

“Biarkan aku turun, kataku! Jangan bebal begitu! Buka pintunya cepat!”

Mendengar perintah yang disampaikan dengan nada panik ini, para pelayan cepat-cepat memutar kereta dan memaksakannya mendesak kendaraan-kendaraan lainnya. Setibanya kereta di depan beranda, salah satu rodanya menabrak sebuah tandu yang diletakkan di sana. Lalu menggilasnya dengan bunyi nyaring. Mendengar keributan ini, Genji Akanori dan beberapa orang samurai lainnya yang bertugas menjaga pintu langsung maju dan memaki-maki si kusir kereta.

Sutoku yang murka balas membentak mereka, “Minggirlah, orang-orang dungu! Tidakkah kalian tahu siapa aku? Berani-beraninya kalian melarangku!”

Akanori menghadapinya dengan sikap mengancam. “Sekarang, setelah mengetahui siapa Anda, saya punya lebih banyak alasan untuk melarang Anda masuk. Saya mendapatkan perintah untuk tidak menerima Anda. Mundur! Mundur!”

Terbakar amarah, Sutoku mengeluarkan badannya dari kereta. “Petugas bedebah! Aku kemari untuk menemui

Page 249: The Heike Story

Yang Mulia, ayahku, namun tidak ada seorang pun yang keluar untuk menyambutku, dan mereka dengan lancangnya mengirim prajurit untuk menjalankan perintah mereka!”

“Saya menjalankan perintah dari Korekata. Panglima Golongan Kanan, yang mengabdi kepada Yang Mula. Seorang samurai harus menjalankan tugasnya. Anda tidak boleh melangkah lebih jauh!”

“Aku tidak sudi berurusan dengan kalian, orang-orang rendahan …Gemetar oleh amarah. Sutoku bersiap-siap untuk turun dari keretanya. Para pengawal serempak mengepung keretanya dan mendorongnya mundur; para pelayan Sutoku menubruk dan berusaha melawan para prajurit; akibatnya, kereta terdorong mundur dan Sutoku. Kendati telah mencengkeram kerai erat-erat torjerembap kc tanah. Kerai yang digenggamnya ketika ter|atuh dengan kerat menggores pipi Akanori, menyebabkan darah tiba-tiba mengalir di wa|ah samurai Itu.

Orang-orang di dalam Istana segera mendengar kabar bahwa Mantan Kaisar Sutoku baru saja mengamuk dan melukai salah seorang pengawal, dan saat Ini tengah menuju biliknya. Korekata, Panglima Golongan Kanan, yang sedang duduk di samping Penasihat Shlnael ketika kabar Itu disampaikan, bangkit dari kursinya dengan kaget Jeritan ngeri salah seorang dayang mendorongnya untuk segara berlari menyusuri koridor yang pajang Ketika mendekati pintu masuk Istana, seberkas cahaya dari salah satu ruang tunggu menerangi sebuah pilar di ruang depan, dan di sanalah dia berhadapan langsung dongan Sutoku. Wajah sang mantan kaisar pucat pasi; matanya nyalang; lengan kimononya tercerabik. Dan rambutnya acak-acakan di keningnya.

Page 250: The Heike Story

Sang panglima mengulurkan kedua tangannya untuk mengisyaratkan larangan. “Tuan ... Anda dilarang masuk,” serunya, menghalangi jalan. “Anda tidak boleh terlihat dalam keadaan seperti Ini. Saya mohon kepada Anda untuk pergi dengan tenang.”

Sutoku sepertinya tidak mengerti. Dia menepiskan tangan Koretaka dongan kasar. “Minggir! Aku harus menemui beliau sekarang ... saat ini juga!”

“Tuan, tidakkah Anda mengerti bahwa Anda dilarang menemui beliau?”

“Aku ... aku tidak mengerti ... Koretaka! Apa salahnya jika aku ingin menemui ayahku yang sedang meregang nyawa? Kau tidak berhak melarangku! Minggir ... jangan halangi aku!”

Koretaka menaikkan nada suaranya kepada Sutoku yang kalap. “Anda sudah gila! Apa pun alasan Anda, Anda dilarang menemui beliau!”

Amukan Sutoku sekonyong-konyong meledak dalam isak tangis hebat ketika dia memberontak dari pegangan Koretaka. Tanpa membuang-buang waktu, Koretaka memerintah beberapa orang anak buahnya untuk menyeret Sutoku, yang menangis dan meronta-ronta, dan menaikkannya kembali tecara pakta ke keretanya.

Bagian dalam Kuil. Yang biasanya berkilauan Indah, kuil Ini tenggelam oleh kepulan asap dupa; gong-gong dipukul secara serempak dan khidmat; seribu orang pendeta menunduk nunduk sementara arwah Toba beranjak pergi dari dunia Ini.

Sebelum malam musim panaa yang pendek itu berakhir, sebuah desas desus telah menerpa seluruh Istana di Takeda bagaikan gelombang pasang. Bisikan menyebar dari telinga

Page 251: The Heike Story

ke telinga: Mantan Kaisar sedang membentuk sebuah persekongkolan. … Mengagetkan? Tanda-tandanya telah terlihat sejak lama ... sebuah laporan dari Kesatuan Pengowal menegaskannya, Rumah Peristirahatan Tanaka, yang dipisahkan oleh sebuah sungai dari Istana Peristirahatan, tempat Sutoku menginap, dicurigai menjadi tempat dibentuknya persekongkolon tersebut. Sejak Jam Babi Hutan (pukul sepuluh), sebuah pertemuan sepertinya dilangsungkan di sana. Dari salah seorang sumber lainnya di ibu kota, terdengar laporan bahwa pada siang sebelumnya, kuda-kuda dan kereta-kereta yang mengangkut persenjataan terlihat memasuki Istana Mata Air Dedalu. Para saksi mata melaporkan telah melihat kelompok-kelompok wanita dan anak-anak yang ketakutan, mengangkut berbagai keperluan rumah tangga, bergegas berangkat menuju Perbukitan Utara dan Timur pada siang hari bolong. Jalanan ibu kota sunyi senyap seperti di sebuah kota mati pada tengah malam buta ….

Menghilangnya Yorinaga dari tengah-tengah ruang duka semakin menegaskan kecurigaan. Bukan hanya dia yang menghilang melainkan juga Tsunemun6, Tadazant, dan tokoh-tokoh lainnya yang diketahui bersimpati kepada Sutoku. Jelas sudah bahwa sebuah rencana sedang digodok oleh mereka.

Hingga hari ketujuh masa perkabungan utama berakhir, gerbang-gerbang Istana Peristirahatan dan Rumah Peristirahatan Tanaka tertutup bagi semua pendatang, dan tidak seorang pun tampak keluar dari sana. Ketika malam tiba. Bagaimanapun, sosok-sosok dengan berbagai macam penyamaran menyelinap keluar dari kedua tempat tersebut.

Pada hari kedua masa perkabungan utama, Yorinaga meninggalkan para pejabat istana yang tengah berkumpul di sekeliling keranda dengan dalih untuk menyelesaikan

Page 252: The Heike Story

urusan mendesak di Uji. Sambil berjalan ke keretanya, dia menggerutu kesal, “Mereka hanya duduk-duduk di sana, menyebarkan fitnah tentang persekongkolan, menyeka air mata sambil saling menatap curiga, menyembunyikan kelicikan mereka dibalik nyanyian khidmat para pendeta! Siapa yang tahan hanyut di tengah lautan air mata palsu kuT

Terlindung oleh kegelapan malam, kereta Yorinaga bergerak dari Istana Peristirahatan menuju Rumah Peristirahatan Tanaka, tempatnya secara dom-dtam menemui Mantan Kaisar Sutoku.

“Baru kali ini saya mendengarnya ... seorang anak dilarang menemui ayahnya yang sedang sekarat! Saya memahami betul penderitaan Anda, Saya melihat sendiri bagaimana Kaisar baru senantiasa dikelilingi oleh Nyonya Bifukumon dan orang-orang jahat itu. Baru kali inilah singgasana menjadi mangsa bagi para penasihat durjana,” kata Yorinaga, menatap mata Sutoku.

Mendengar kata-kata Yorinaga, sesuatu seketika tergugah di mata sembap Sutoku. “Yorinaga ... Yorinaga, kaulah satu-satunya orang yang bisa ku percaya!” isak sang mantan kaisar. Dia membiarkan air mata membasahi pipinya.

“Aku ... putraku ... adalah pewaris tahta yang sesungguhnya, namun kami diusir dengan semena-mena ... dikubur hidup-hidup. Orang-orang mengharapkan aku naik tahta kembali … Yorinaga, bukankah itu benar?”

Yorinaga memejamkan mata, seolah-olah tengah berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat. Sesungguhnya, dia telah menyiapkan sebuah jawaban. Dia telah menyimpannya cukup lama di dalam hatinya. Lagi pula. Siapakah yang akan memberi tahu Sutoku bahwa

Page 253: The Heike Story

kata-kata yang segera meluncur dari bibir Yorinaga adalah sari pati dari ambisi pria itu?

Mendesah panjang, Yorinaga akhirnya berbicara. “Ini hanyalah masalah waktu. Pada saat Yang Mulia memutuskan bahwa waktunya telah tiba, para dewa pun akan memberikan dukungan. Menolak dukungan para dewa sama saja dengan memancing amarah mereka. Ada banyak mantan kaisar yang pernah merebut kembali tahta mereka, jadi, adakah alasan untuk tetap ragu-ragu?”

Yorinaga sangat yakin akan tindakannya. Dia tidak hanya telah menghafal seluruh isi Kitab Siasat Perang, tetapi juga percaya bahwa Genji Tameyoshi telah aman dalam genggamannya.

Malam itu. Yorinaga memaparkan rencananya bagi Sutoku untuk merebut kembali tahtanya. Dari Istana di seberang sungai, para pejabat istana dan petugas yang telah mendapatkan instruksi dari Yorinaga segera berdatangan. Persekongkolan itu digodok sepincang malam itu hingga keesokan harinya. Rencana pertempuran telah disusun, dan untuk menghindari kecurigaan akibat pembentukan pasukan di tempat yang sama, Yonnaga segera bertolak ke Uji untuk mempersiapkan langkah selanjutnya dalam rencananya.

Bersama terbitnya matahari, lonceng-lonceng besar di kuil berdentang. Tujuh hari perkabungan utama telah berakhir. Sejak pagi hingga matahari terbenam, lonceng-lonceng terus dibunyikan, dan seolah tanpa akhir, rapalan ayat-ayat suci dari para pendeta terdengar berbaur dengan ringkikan kuda. Gerbang-gerbang di Rumah Peristirahatan Tanaka, bagaimanapun, tetap tertutup rapat Sutoku bahkan tidak keluar ketika matahari tenggelam untuk mengikuti ritual yang menandai berakhirnya masa perkabungan utama, dan Penasihat Norinaga semakin gencar mendengar

Page 254: The Heike Story

bisikan-bisikan yang menyerang Sutoku. Mengkhawatirkan kemungkinan kebenaran desas-desus tersebut. Norinaga memacu kudanya untuk menemui kakaknya yang sedang sakit-sakitan, seorang pejabat istana berkedudukan tinggi, untuk memohon saran.

Dengan susah payah mengerahkan tenaganya, kakak Norinaga berkata, “Seperti yang bisa kaulihat sendiri, kondisiku tidak memungkinkanku untuk menemui Mantan Kaisar dan membujuk beliau. Aku ragu bahwa kalaupun aku mampu, aku akan berhasil mencegah beliau. Sekarang mungkin sudah terlambat, namun aku menasihatimu untuk segera kembali dan mendesak Yang Mulia untuk langsung menjalani upacara penahbisan menjadi biksu; itu setidaknya akan menjamin keselamatan nyawa beliau. Kita sendiri tidak akan bisa melarikan diri dari bencana ini.”

Setibanya kembali di Rumah Peristirahatan Tanaka. Norinaga waspada ketika mendapati Sutoku dan para pengikutnya sedang dengan tergesa-gesa bersiap-siap untuk berangkat ke Istana Shirakawa yang terletak dekat dari ibu kota Saat Itu juga, dia berusaha untuk membujuk sang mantan kaisar.

“Yang Mulia, tidak selayaknya Anda pergi sebelum keempat puluh sembilan hari masa perkabungan berakhir Terlebih lagi, ada desas-desus yang mengatakan bahwa Anda sedang bersekongkol untuk menggulingkan tahta Kaisar, sehingga kepergian Anda sekarang hanya akan membenarkan pergunjingan orang-orang .

Namun Sutoku hanya tersenyum dan menepiskan bujukan Norinaga, mengatakan bahwa dia telah mendapatkan peringatan rahasia mengenai ancaman bagi keselamatannya. Sementara dia berbicara, sepasukan samurai bersenjata aba untuk mengawalnya, dan Norinaga diperintahkan untuk ikut bersama mereka. Pada tami

Page 255: The Heike Story

malam tak berbintang tanggal 9 Juli itu, dimulailah pergerakan nnoar menuju Shirakawa. Tidak ada satu pun obor yang dinyalakan untuk menerangi derit dan derak roda kereta, juga dentangan senjata di tengah kegelapan pekat itu

Segera setelah Mantan Kaisar meninggalkan Istana Mata Air Dedalu, sepasukan samurai bersenjata tiba dan menduduki tempat itu. Asatori, sijuru kunci, mengamati mereka dengan gundah.

Tapak-tapak kuda mereka telah menodai hamparan pasir putih di halaman, dan para prajurit itu bertingkah seenaknya di dalam Istana, menggeledahi ruangan-ruangannya dan menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk mencari makanan, bahkan menerobos keputrian sehingga jeritan-jeritan ngeri para penghuninya terdengar. Tetapi, ketika para prajurit itu dengan gaduh mencopot kimono mereka untuk mandi di Mata Air Dedalu dan meminum airnya langsung dari ember, Asatori tidak sanggup lagi menahan diri.

“Tuan-tuan ... saya mohon, jangan gunakan mata air ini.”

“Apa-apaan ini? Apa maksudmu melarang kami, Bangsat?” balas para samurai itu, menganggap Asatori tidak lebih dari sekadar sebuah orang-orangan sawah.

“Siapa dirimu yang telah dengan lancang memerintah kami?”

“Saya juru kunci Mata Air Dedalu.”

“Juru kunci? Oh, jadi kau bertugas menjaga mata air ini?”

“Tugas saya adalah merawat mata air ini dan menjaga agar airnya tetap jernih. Saya menjaga mata air ini dengan nyawa saya.”

Page 256: The Heike Story

Para prajurit tertawa terbahak-bahak ketika mendengar jawaban Asatori.

“Omong kosong. Jika hujan cukup sering turun di Ibu kota, mata airmu akan penuh dengan sendirinya. Aku berani bertaruh bahwa Yang Mulia tidak minum sebanyak Naga Raksasa sehingga mata air Ini terancam kekeringan!”

“Kalian sungguh kasar. Siapakah kalian dan siapakah yang mengizinkan kalian membuat kekacauan di sini?”

“Kekacauan? Siapa yang menimbulkan kekacauan? Kami dikirim kemari untuk menjaga tempat ini. Menteri Golongan Kanan yang memberikan perintah kepada kami Semua, tanyakan sendiri kepada Menteri,”

“Apakah Yorinaga yang Anda maksud, sang Menteri?”

“Yorinaga atau siapa pun namanya, disana atau di sini, bukan urusan kami. Lagi pula, jika perang sudah pecah tidak akan ada lagi Istana atau Mata Air Dedalu. Sekaranglah kesempatan bagi kami untuk memindahkan isi gudang ke perut kami!”

Kendati enggan. Asatori memilih untuk mundur. Sinar matahari yang terpantul dari tombak-tombak dan pedang-pedang mereka membuatnya gemetar. Ini bukan saat yang tepat untuk membantah para prajurit garang ini, yang tidak akan segan-segan menghabisinya. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengawasi mereka dari jauh. Sejenak kemudian, dia melihat salah seorang prajurit memanjat pohon dan mengangkat tangan untuk melindungi matanya, menatap lekat-lekat halaman Istana Takamatsu, yang berjarak cukup dekat dari sana. Sesuatu yang dilihatnya menyebabkan si prajurit terburu-buru turun dan tiga orang prajurit lain memacu kuda mereka.

Page 257: The Heike Story

Asatori menyandarkan punggungnya ke batang pohon dedalu raksasa, dengan cemas memikirkan nasib majikannya, sang mantan kaisar. Seandainya perang benar-benar pecah, bukankah dirinya, Asatori, si juru kunci, harus siap membuktikan kesetiaannya ... mengorbankan nyawanya? Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali tetap tinggal di Istana dan menjaga Mata Air Dedalu.

Angin musim panas bertiup sepoi-sepoi di antara sulur-sulur panjang pohon dedalu; seutas sulur hijau berayun-ayun lembut, membelai pipi Asatori.

O0odwkzo0o

“Kita tidak punya cukup prajurit untuk melindungi Yang Mulia,” Penasihat Shinzei menegaskan kepada Perdana Menteri.

Baru semalam sebelumnya, keributan besar terjadi ketika dayang-dayang Nyonya Bifukumon melihat sosok yang mirip burung hantu bertengger di atas sebatang pohon hazel di luar jendela kamar mereka. Para pengawal bergegas menghampiri sumber jeritan dan menembakkan panah mereka kepada seorang bajingan malang ... seorang pendeta muda yang mengaku tengah mengintip dayang-dayang di kamar tidur mereka.

“Kita harus mengambil tindakan,” kata Shinzei. “Di saat seperti inilah para samurai biasanya menggodok persekongkolan. Bukankah sudah tiba waktunya bagi kita untuk menempatkan para panglima yang direkomendasikan oleh mendiang Yang Mulia di sini, demi keamanan kita sendiri?”

Perdana Menteri tidak serta merta menjawab. “Itu mungkin diperlukan …” Dia tampak enggan karena Yorinaga adiknya dikenal luas sebagai salah seorang pendukung Sutoku, dan dia tahu bahwa dia sendiri harus

Page 258: The Heike Story

segera menentukan ke mana dia akan berpihak Kemudian, Perdana Menteri melanjutkan, “Penasihat Shinzei, panglima yang manakah yang Anda sarankan harus ditugaskan untuk melindungi Kaisar?”

“Itu ... itu sudah diputuskan sendiri oleh mendiang ftng Mulia tidak lama sebelum beliau wafat. Sebuah daftar telah disusun, dan beliau menyetujuinya.”

“Saya tidak tahu bahwa daftar seperti itu telah dibuat”

“Daftar itu ada.”

“Kapan daftar itu dibuat? Siapakah yang memegangnya sekarang?”

“DI masa hidupnya, Yang Mulia menyerahkannya kepada Panglima Pengawal Golongan Kiri dan Fujiwara Mitsunaga. Setelah beliau wafat, dokumen tersebut diserahkan kepada Koretaka, Panglima Golongan Kanan, untuk disimpan. Saya berniat untuk menunjukkannya kepada Nyonya Bifukumon setelah masa perkabungan selesai. Kehendak Yang Mulia harus dilaksanakan. Haruskah saya menyarankan pertemuan dengan Kaisar?”

Tadamichl tidak keberatan. “Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya tidak memiliki keberatan apa pun.”

“Panglima Koretaka akan segera diberi tahu, begitu pula Nyonya Bifukumon.”

Pada hari kelima setelah Kaisar Kloister wafat. Nyonya Bifukumon dan para penasihat Kaisar bertemu untuk membahas isi surat wasiat. Kendati begitu, pertemuan ini dalam kenyataannya

adatats Nfeiofc ptnWniM perang. Menunaikan kemungkinan para ww* memberontak setelah kemaoannya.

Page 259: The Heike Story

Toba mengambil tongkah pencegahan dengan menyusun sebuah daftar berisi nama •epuluh orang panglima Genji dan Heik£ yang ditugaskan untuk mengawal Kaisar baru dan Nyonya Bifukumon. Genji Yoshitomo. Putra Tameyoshi, akan diangkat untuk menjadi pemimpin dari kesepuluh panglima tersebut.

Satu nama, bagaimanapun, secara mencurigakan tidak ditemukan di daftar itu.

“Mengapa Tuan Aki, Heik6 Kiyomori, tidak ada di dalam daftar ini?” akhirnya Shinzei bertanya, menuntut penjelasan dari Nyonya Bifukumon. “Almarhum Heik£ Tadamori adalah tokoh penting di Istana, jandanya, ibu tiri Kiyomori, Nyonya Harima Ariko, saya dengar pernah menjadi ibu susuan Putra Mahkota. Mendiang Yang Mulia, saya yakin, tidak melupakan itu.”

Kiyomori tidak sepenuhnya asmg bagi Nyonya Bifukumon, yang telah sering mendengar Nyonya Kii membicarakannya. Nyonya Bifukumon cepat-cepat menjawab. “Memang benar, aku mendampingi Yang Mulia ketika beliau menyusun daftar ini. Beliau juga pernah membahas masalah ini denganku di kesempatan yang bin, dan Yang Mulia sepertinya merasa bahwa Kiyomori bisa dipercaya, namun beliau juga mengkhawatirkan kemungkinan ibu tiri Kiyomori akan menarik simpatinya atas nama Pangeran Shigebito. Karena itulah nama Kiyomori disingkirkan. Yang mulia juga mengatakan, bagaimanapun, bahwa jika tidak ada tugas lain yang mengikat Kiyomori, dia akan dipanggil jika keadaan membutuhkannya. Yfc ... sekarang aku ingat dengan jelas bahwa itulah tepatnya yang diucapkan oleh beliau”

Shinzei mencoba menarik kesimpulan berdasarkan penjelasan Nyonya Bifukumon, “Kita tidak punya alasan untuk meyakini bahwa kfyomon terikat oleh tugas lain. Kita

Page 260: The Heike Story

juga harus mengingat bahwa setelah pecmma Gmw Yorinaga menjadikan Kiyomori sebagai musuh bebuj ucuwf i. Ada pub berbagai fitnah yang peda suatu

masa pernah mendorong Yang Muka untuk merdukan Kiyomori. Sungguh sayang jika sekarang kita sepenuhnya mengabaikan Kiyomori. Dan Anda, Tuan?” tanya Shinzei, mengangguk kepada Tadamichi. “Bagaimana pendapat Anda?”

“Untuk saat ini, saya tidak memiliki keberatan apa pun terhadap Tuan Aki. Saya tidak menghendaki keburukan terjadi padanya, dan saya juga tidak ingin dia diabaikan.”

“Jika begitu, haruskah kita memasukkannya ... Kiyomori ... ke dalam daftar ini?”

“Sepertinya itu bijaksana.”

Satu nama lagi ditambahkan ke dalam daftar pengawal pribadi Kaisar Goshirakawa. Kesebelas panglima tersebut adalah kepala keluarga-keluarga berpengaruh yang berhak menarik pajak dari tanah kekuasaan mereka. Keesokan paginya, pada 8 Juli, pasukan-pasukan mulai berdatangan dalam jumlah besar di Kuil Anrakuju-in sehingga tempat itu dijejali oleh prajurit Yang pertama tiba di sana adalah Genji Yoshitomo beserta pasukannya, disusul oleh panglima-panglima lainnya beserta pasukan mereka masing-masing. Yang terakhir tiba adalah seorang samurai muda yang menunggang kuda beserta pasukannya yang terdiri dari dua ratus orang penunggang kuda. Ketika mendaftarkan pasukannya, dia memperkenalkan diri dengan suara jernih dan nyaring:

“Inilah saya ... putra kedua Tuan Aki, Heik6 Kiyomori ... Aki Motomori, samurai dari Golongan Keempat, tujuh belas tahun. Setelah mendapatkan panggilan dari Istana, ayah saya segera menghimpun pasukan dari seluruh

Page 261: The Heike Story

wilayah kami dan dari siapa pun yang memiliki ikatan dengan keluarga kami. Beliau akan datang nanti beserta pasukannya. Saya datang terlebih dahulu atas perintah beliau.”

Semua orang yang menoleh ke arahnya melhat seorang pemuda bermata tajam dalam balutan baju arah kulit berwarna biru tua dan berhias pola bunga kunyit Pemuda itu menyandang sewadah penuh anak panah berbulu hitam dan mengenakan penanda golongannya: sebuah helm tersampir di punggungnya.

Pekikan terkejut terdengar dari beberapa orang samurai uzur, “Oh! Benarkah anak Kiyomori sudah sebesar itu?” Perawakan Motomori mengingatkan mereka bukan hanya kepada Kiyomori sendiri, melainkan juga kepada sang kakek. Tadamori, dan tahun-tahun yang berlalu dengan sangat cepat.

o0odwkzo0o

Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE Rokuhara, tempat tinggal Kiyomori sejak bertahun-tahun

silam, bukan lagi sebuah wilayah terpencil di pinggiran Kyoto, melainkan telah menjadi sebuah kota kecil yang dihuni oleh begitu banyak anggota klan Heike. Putra sulung Kiyomori, Shigemori, yang tinggal di sana sejak masih bocah, sekarang telah berusia delapan belas tahun. Lahan kosong dan rawa-rawa di seberang tempat yang dahulu sesekali digunakan untuk upacara pemakaman dan dilewati oleh para pendeta dalam perjalanan menuju Toribeno dan Kuil Kiyomizu, telah mengalami perubahan besar sejak Jembatan Gojo didirikan. Rawa-rawa telah dikeringkan, dan jalan sempit yang berkelok-kelok telah digantikan oleh

Page 262: The Heike Story

seruas jalan lurus yang diapit oleh deretan pepohonan. Pagar-pagar anyaman ranting berdiri mengelilingi rumah- rumah tinggal berukuran besar dengan atap-atap lengkungnya; gerbang-gerbang besar terlihat di antara rumah-rumah mungil yang jumlahnya semakin bertambah seiring waktu. Bangunan-bangunan yang berukuran besar, percabangan dari kediaman Kiyomori, dihuni oleh anggota-anggota keluarga Kiyomori beserta para pelayan mereka. Sebuah gerbang bertingkat dua untuk menerima penunggang kuda berada di depan kediaman baru Kiyomori yang lebih luas, dengan tanahnya yang melandai menuju Sungai Kam Bubungan-bubungan bertonjolan dari atap utama hingga bangunan pusat tenggelam dalam labirin atap.

Selama dua hari berturut-turut, para samurai data menunggang kuda dari wilayah-wilayah kekuasaan Kiyomori dan memenuhi kediamannya. Mereka yang baru saja datang terpaksa ditampung di tempat terbuka, yaitu di bawah pepohonan di sepanjang sungai, padahal pasukan-pasukan lain masih terus berdatangan bagaikan gelombang. Banyak di antara mereka yang telah berbaris atau mengendarai kuda sepanjang siang dan malam

Dari Rokuhara, Motomori dan pasukannya terlihat mengikuti aliran sungai ke arah selatan: sorak sorai terdengar, sementara panji- panji merah Heike berkibar di atasnya dan para penunggang kuda yang perlahan-lahan menghilang dari pandangan.

“Apa itu ... keributan itu?” Kiyomori bertanya kepada orang- orang di dekatnya.

“Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri seberang sungai dalam perjalanan ke Uji.”

Page 263: The Heike Story

“Oh, begitu,” jawab Kiyomori singkat. Tujuh orang menyertainya: Tokitada, adik iparnya, yang sekarang menjadi juru tulis di Istana; adiknya, Tsunemori; pelayan tuanya, Mokunosuke, dan salah seorang putranya; dan tiga orang anggota keluarga Heike dari Ise.

“… Seluruhnya enam ratus orang.” Tokitada baru saja selesai membaca daftar samurai yang telah tiba. “Kurasa akan ada lebih banyak lagi yang datang selambat-lambatnya besok pagi, tapi sejauh ini, yang telah terdaftar adalah enam ratus delapan puluh delapan orang.”

Kiyomori meminta Tokitada untuk membaca daftar sukarelawan itu sekali lagi. Ruangan besar tempat mereka duduk memiliki koridor-koridor yang saling memotong di keempat sisinya. Salah seorang gadis pelayan Tokiko masuk dan tampak kikuk ketika melihat orang-orang yang ada di dalamnya.

“Tuan,” akhirnya dia berkata, “Nyonya menyuruh saya kemari secepatnya ... ”

“Apa maunya?” tanya Kiyomori tanpa sabar.

“Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri tepi sungai sekarang, dan Nyonya memohon kepada Anda untuk mengawasi beliau.”

“Apa-apaan ini?”

“Nyonya berharap Anda mengawasi beliau menyelesaikan misi pertamanya.”

“Aku tidak punya waktu untuk melakukan itu. Katakan kepada nyonyamu bahwa Motomori tidak sedang berjalan-jalan untuk melihat-lihat bunga sakura.”

“Baiklah, Tuan.” – ...

Page 264: The Heike Story

“Katakan kepada nyonyamu bahwa dia harus bersiap-siap menangis dan meratap ketika mereka mengirimkan kepalanya ke rumah.”

Gadis pelayan itu berlari keluar seolah-olah baru saja dimarahi, menahan tangisnya.

Kiyomori menatap gadis itu hingga menghilang dari pandangannya dan berkomentar dengan nada datar, “Mereka, para wanita itu, tidak tahu betapa kejinya perang. Mereka tidak pernah melihatnya. Pertempuran pecah sepanjang waktu di wilayah barat dan timur, namun tidak pernah terjadi di sini sejak berabad-abad silam. Tidak seorang pun dari kalian mengetahui seperti apa perang yang sesungguhnya. Kalian baru akan mencicipinya untuk pertama kalinya, dan ini tidak akan mudah bagi siapa pun yang ada di sini.”

Keheningan mencekam mengikuti ucapan Kiyomori, karena semua orang diam-diam sedang memikirkan semangat membara yang mereka rasakan dalam menyambut perang yang akan segera pecah, namun kata-kata Kiyomori mendadak mengingatkan mereka pada kesuraman perang ... dentangan senjata, pertempuran, pembakaran, keserakahan dalam memburu kemenangan. Apakah makna semua itu kecuali impian hampa orang-orang tolol? Akan lebih baik jika mereka memikirkan kembali istri mereka, anak-anak mereka, dan penyesalan sia-sia yang akan menghantui mereka.

Seorang bocah pelayan duduk di samping Kiyomori, menggerakkan sebuah kipas besar dengan lembut. Kiyomori duduk bersila di atas sebuah bantal duduk. Udara yang panas mengesalkannya. Dia telah mencopot baju zirahnya dan menggeletakkannya di hadapannya. Dia duduk dalam balutan kimono dalam putihnya; bagian dadanya terbuka,

Page 265: The Heike Story

dan dari waktu ke waktu, dia mendekatkan dadanya yang telanjang ke kipas yang menyejukkan.

Walaupun ada sebagian orang yang menganggap kekasaran dan kegarangan Kiyomori sebagai wujud kejantanannya, sebagian orang yang lain menganggapnya menyebalkan ... dan Tokiko adalah salah seorang di antaranya. Kiyomori nyaris bisa mendengar istrinya berkata, “Sungguh, itulah yang menyebabkan para pejabat istana salah memahamimu. Itu pula yang menyebabkan Genji Tameyoshi dan Yoshitomo menganggapmu lancang. Karena semua putra kita bekerja di Istana sekarang, sudah saatnya kau berhenti bersikap seperti Heita dari Is6 yang berkeliaran di pasar!” Hanya istri dan ibu tirinyalah yang berani memprotesnya, dan Kiyomori, yang biasanya memperlakukan mereka dengan sabar dan lemah lembut, akan mendengarkan keluhan Tokiko dan berjanji untuk memperbaiki sikapnya. Tetapi, patut diragukan bahwa Kiyomori bersungguh- sungguh dengan janjinya, karena segera setelah Tokiko menghilang dari pandangannya, dia akan langsung melupakan janjinya, dan dia punya alasan untuk melakukannya.

Kiyomori kini berusia tiga puluh sembilan tahun dan sedang berada pada masa kejayaannya ... seorang samurai tangguh dan berpengalaman ... sementara masa depan masih terbentang luas di hadapannya. Apa yang menantinya, dia tidak bisa menebaknya. Peran apa yang akan dimainkannya pun belum jelas baginya. Yang membakar semangatnya saat ini adalah hasrat membara untuk bertindak. Samurai geram ini siap mempertaruhkan segalanya demi satu-satunya kesempatan ini. Dia tahu betul apa artinya ... kehidupan, istri, anak-anak, dan rumahnya. Dan dia enggan bertindak gegabah hanya untuk memenuhi panggilan Istana. Dia telah menanggapi perintah itu dengan

Page 266: The Heike Story

mengirim Motomori beserta dua ratus orang prajurit, namun tetap tidak menunjukkan tanda bahwa dirinya sendiri telah siap berangkat. Sekarang 10 Juli, dan dia menyaksikan matahari perlahan-lahan tenggelam.

Bagi banyak orang, pertanyaan mengenai mengangkat senjata untuk Kaisar Goshirakawa atau untuk mendukung Sutoku menimbulkan sebuah dilema, namun bagi Kiyomori, masalah itu jelas adanya. Dia tidak pernah berniat untuk berdiri di pihak Sutoku. Sejak awal, dia telah melihat bahwa gerakan untuk mendukung Mantan Kaisar tidak lebih daripada sebuah persekongkolan yang didalangi oleh Yorinaga. Seperti halnya Yorinaga yang tidak mengharapkan bantuan darinya, Kiyomori juga tidak bisa mengharapkan apa pun dengan berpihak kepada Yorinaga. Mereka adalah musuh bebuyutan. Kiyomori juga mendengar bahwa pamannya Tadamasa termasuk di antara orang-orang yang sejak awal terlibat dalam persekongkolan ini, namun keadaan ini tidak mendorong Kiyomori untuk begitu saja berpihak kepada Kaisar. Dengan menyatakan bahwa dirinya mendukung Goshirakawa, Kiyomori tahu bahwa dia tidak hanya akan mempertaruhkan nyawa keluarganya di Rokuhara tetapi juga semua Heik6 di negerinya. Satu kali salah langkah pada saat ini akan membahayakan nyawa entah berapa banyak wanita, anak-anak, dan orang berusia lanjut Hal inilah yang membuat Kiyomori berhati-hati. Dengan mengirim Motomori, dia bisa dikatakan telah menjalankan perintah dan tinggal menunggu saat yang tepat. Tetapi, suara hatinya dengan dahsyat mendesak bahwa momen yang dinantikannya telah tiba dan menggodanya untuk menepiskan seluruh kekhawatirannya. Dia yakin bahwa kesempatan seperti ini tidak akan mendatanginya kembali. Kesempatan ini adalah kunci bagi masa depannya.

Page 267: The Heike Story

Sementara keraguan menyelimutinya, kenangan tentang sebuah kejadian aneh terus-menerus mendatangi Kiyomori. Peristiwa itu terjadi setahun setelah ayahnya meninggal, ketika Kiyomori sedang berada dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano. Dalam perjalanan air dari Is6 ke Kishu, seekor ikan besar melompat ke geladak, dan para awak kapal berseru-seru riang, mengatakan bahwa ikan tersebut adalah pertanda peruntungan baik bagi klan Heikd. Mereka mengatakan kepada Kiyomori bahwa dewa yang menjaga Tempat Pemujaan Kumano mengirimkan pertanda untuk menghargai keimanannya. Kiyomori, kendati selalu mencibir pada tahayul semacam itu, tidak rela untuk menyanggah perkataan orang- orang kepadanya. Dia senang saat memikirkan bahwa peristiwa ini terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan untuk mengirim doa kepada ayahnya, walaupun kejadian selanjutnya sama sekali tidak membuktikan pertanda itu, karena Yorinaga segera merebut kekuasaan kembali.

Tetapi, Kiyomori sekarang mempertanyakan kepada dirinya sendiri tentang apakah panggilan dari Kaisar adalah kesempatan yang dimaksud oleh dewa penjaga Tempat Pemujaan Kumano. Jelas baginya bahwa konflik antara Kaisar dan Sutoku tidak lebih dari pertikaian antara persekongkolan faksi-faksi, perbenturan antara ambisi yang terlalu berlebihan, dan pada intinya adalah perebutan kekuasaan. Siapakah dirinya sehingga rela mengesampingkan keluarganya untuk menjadi bagian dari perjuangan menegakkan angkara murka ini? Ambisi yang dimilikinya, sebuah tujuan hidup, sebuah mimpi. Sebagai kepala klan Heike, dia harus melihat bahwa keluarganya telah semakin besar dan kaya, dan bahwa kaum samurai telah mengakhiri dominasi para bangsawan Fujiwara.

Page 268: The Heike Story

Jelang senja, Tokitada mendapatkan pesan bahwa Yorimori, adik tiri Kiyomori, telah tiba bersama enam puluh orang prajurit Dia bergegas menyampaikan kabar ini kepada Kiyomori, yang diketahuinya telah dengan gelisah menantikan kabar ini sejak sehari sebelumnya. Kiyomori sedang mulai makan malam, namun dia cepat- cepat menyelesaikannya sembari meminta Tokitada menghadap n Kiyomori kepadanya. Kiyomori ragu bahwa ibu tirinya, Nyonya Ariko, akan mengirimkan putranya untuk memperkuat pasukan Kiyomori, karena Yorimori masih berusia dua puluh tahun dan belum terikat kewajiban untuk memberikan bantuan kepada Kiyomori. Seandainya Nyonya Ariko mendesak Yorimori untuk mendukung Mantan Kaisar Sutoku, Kiyomori harus menganggapnya dan adik tirinya sebagai musuh, dan pikiran itu menyakiti hatinya.

“Oh, kau hadir, Yorimori!” Kerutan di kening Kiyomori seketika lenyap; wajahnya berseri-seri karena kelegaan dan kegembiraan yang tidak ditutup-tutupinya.

Yorimori, yang sepertinya khawatir telah memicu kemarahan Kiyomori akibat keterlambatannya, buru-buru memberikan penjelasan. “Walaupun aku tiba jauh lebih lambat daripada yang lainnya, kumohon kau tidak menganggapku pengecut.”

“Omong kosong! Seperti yang bisa kaulihat sendiri, aku juga belum berangkat…. Mengesampingkan perasaan ibu kita yang mulia, aku dengan gelisah menantikan kehadiranmu. Katakanlah pesan beliau kepadamu.”

“Beliau tidak memberikan perintah apa pun, hanya mengatakan bahwa aku harus mematuhimu.”

“Apakah beliau menyampaikan pendapatnya tentang pihak yang akan menang?”

Page 269: The Heike Story

“Beliau menangis dan mengatakan keyakinannya bahwa Mantan Kaisar tidak menghendaki masalah ini berujung kemari.”

“Bagus!” Seketika itu, Kiyomori mengambil keputusan. Ibu tirinya, yang pernah menjadi bagian dari rumah tangga Mantan Kaisar, meyakini bahwa ada sekelumit harapan bagi Sutoku. Kiyomori berniat mengandalkan pendapat ibu tirinya.

“Tokitada, pastikan agar prajuritmu cukup makan dan tidur. Kita akan berangkat besok pagi sekitar pukul dua atau tiga.”

Kiyomori segera tidur, namun menjelang tengah malam dia terbangun dan memanggil ketiga adik dan putranya, Shigemori, untuk mengikuti upacara minum sake yang dipersiapkan oleh Tokiko. Tokiko memakaikan baju zirah Kiyomori. Pedang warisan dari Tadamori tergantung di samping tubuhnya. Yorimori memegang pedang warisan keluarga Heik6 yang lain.

o0odwkzo0o

Cerita pun kembali bergulir ke kematian Tadamori, pada 15 Januari 1153, tiga tahun sebelumnya. Tadamori, berusia lima puluh delapan tahun ketika itu, meninggalkan enam orang putra ... Kiyomori, Tsunemori, Norimori, dan lyemori dari istri pertamanya, sang Perempuan Gion, dan Yorimori dan Tadashigg dari istri keduanya, Ariko. Dia menjabat sebagai Kepala Departemen Kehakiman ketika itu dan menikmati kekayaan yang baru dimilikinya. Bertahun-tahun membesarkan anak-anaknya dalam kemiskinan telah mengajarkannya untuk mengamankan harta keluarganya, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Tadamori memperoleh kekayaan besar melalui perdagangan dengan para bajak laut dan penyelundup yang membawa barang-

Page 270: The Heike Story

barang berharga dari Cina ke pelabuhan Bingo, salah satu wilayah kekuasaannya di bagian selatan.

Ketika penyakit masuk angin biasa Tadamori berubah menjadi sesuatu yang serius dan harapan bagi kesembuhannya semakin menipis, Tsunemori mendatangi Kiyomori dengan air mata berlinang, memohon kepadanya, “Izinkanlah aku membawa Ibu kemari agar beliau bisa menemui Ayah untuk terakhir kalinya.”

“Ibu? Apa maksudmu dengan ‘Ibu’?”

Kiyomori berlagak pilon. Ariko, ibu tiri mereka, senantiasa mendampingi dan merawat Tadamori selama ini. Bukan Ariko yang dimaksud oleh Tsunemori melainkan sang Perempuan Gion. Tsunemori, pikir Kiyomori dengan gusar, tetap berhati lembut seperti pada masa mudanya walaupun telah menjadi seorang pegawai di istana, telah menikah dan memiliki anak. Mengingat ibunya memancing kemarahan Kiyomori.

“Kalaupun itu tindakan yang benar, kita tidak mengetahui perasaan Ayah. Lupakanlah dia, lupakanlah wanita itu, Tsunemori!”

Air mata membasahi pipi Tsunemori. “Aku tidak bisa ….Ayah tidak pernah melupakan beliau. Ketika ibu tiri kita tidak ada di sampingnya, Ayah beberapa kali menanyakan kabar Ibu.”

“Benarkah ini, Tsunemori?”

“Itu bisa dipahami, karena bagaimanapun, beliau adalah ibu dari empat orang putra Ayah.”

“Mengikuti kehendak Ayah akan menyebabkan kecanggungan dengan ibu tiri kita.”

Page 271: The Heike Story

“Beliau keluar setiap pagi buta untuk pergi ke kuil dan berdoa bagi kesembuhan Ayah. Kita bisa membawa Ibu kemari ketika itu.”

“Tahukah kamu di mana beliau dan apa yang dilakukannya sekarang? Aku sudah tidak pernah mendengar kabarnya sejak beliau meninggalkan kita ... apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.”

“Jika kau mau berjanji untuk tidak memarahiku, aku akan membawa beliau kemari dengan diam-diam besok pagi, sebelum matahari terbit,”

“Jadi, kau tahu di mana beliau tinggal, dan kau sering menemui beliau?”

Tsunemori diam saja.

“Hei, mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Tahukah kau apakah beliau tinggal dekat atau jauh dari sini?”

Kiyomori membentak adiknya. Pikiran bahwa Tsunemori terkadang menemui ibu yang sudah tidak diakuinya lagi memberinya sengatan cemburu. Dia tergoda untuk menghantam wajah

Tsunemori dengan tinjunya.

Tsunemori, menegakkan badannya, membalas, “Aku tidak akan

meminta apa pun lagi darimu!”

Kiyomori menyemburnya, “Lakukanlah saja sesukamu! Aku tidak

punya urusan dengan ini. Semua ini tergantung pada Ayah.”

Page 272: The Heike Story

Semenjak kesehatan Tadamori memburuk, Ariko setiap hari berangkat menggunakan tandu ke Kuil Kiyomizu sebelum matahari terbit, tanpa memedulikan salju maupun hujan. Pagi itu. Tsunemoni melihat tandu Ariko di jalan yang bersalju, dan setelah ibu tiri itu menghilang dari pandangannya, dia mengangkat tangan ke seseorang yang berdiri di balik bayangan salah satu pintu mengantarkannya ke kamar ayahnya. Kiyomori, yang tidur dikamar sebelah, terbangun oleh suara-suara percakapan dan suara teredam. n

“… Aku bahagia karena bisa bertemu kembali denganmu Kau pun sudah mengalami banyak kesedihan. Putra-putra kita telah dewasa. Aku tidak mencemaskan mereka, namun aku risau memikirkanmu. Aku tidak memenuhi janjiku kepada mendiang Yang Mulia jika aku mengabaikanmu begitu saja. Inilah yang meresahkanku selama bertahun-tahun ini. Seandainya aku bisa teryakinkan bahwa kau akan hidup bahagia di masa yang akan datang …”

Kiyomori, yang mendengar potongan-potongan perkataan ayahnya, geram. Dia juga merasa tersakiti dan terabaikan. Kendati tidak meragukan ketulusan ayahnya yang sedang sekarat, dia memikirkan kebenaran bahwa ayahnya telah selama bertahun- tahun bersedih karena ibunya ... wanita sombong dan berhati batu yang tidak pernah memberikan apa pun kepada Kiyomori kecuali masalah, dan yang telah meninggalkan anak-anaknya.

Tidak lama kemudian, tibalah waktu kepulangan Ariko, dan Tsunemori, merangkul bahu ibunya, mengantarkan Perempuan Gion yang menangis terisak-isak ke gerbang belakang. Begitu mendengar ibunya pergi, Kiyomori langsung bangkit dari kasurnya. Dia berlari ke luar untuk mengintip ibunya dari balik semak-semak, dan air matanya seketika merebak. Ibunya yang dahulu cantik jelita sekarang

Page 273: The Heike Story

terlihat bagaikan bunga yang telah tersentuh es. Wajahnya terpoles bedak tebal, namun Kiyomori dapat melihat pipinya yang bergelambir dan rambutnya yang telah kehilangan kemilaunya. Kiyomori menghitung dengan cepat ... lima puluh. Ibunya telah berumur lima puluh tahun! Seorang wanita berusia lima puluh tahun ... dan entah apa mata pencahariannya. Mengingat kembali kata-kata ayahnya, Kiyomori mendadak mensyukuri kasih sayang Tsunemori kepada ibu mereka.

“Ayo, pakailah mantel Ibu. Ibu tidak boleh bersedih seperti ini, karena ini akan membuat Ibu sakit. Aku akan mengantar Ibu sampai gerbang. Pakailah mantel Ibu, dan tutupilah wajah Ibu agar orang- orang tidak mengenali kita.”

Ketika keduanya telah pergi, Kiyomori memasuki kamar ayahnya dan duduk di samping ranjangnya. Selama beberapa waktu, dia mengamati wajah ayahnya, lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, berbisik, “Ayah, sudahkah Ayah puas sekarang?”

Keheningan menyusul, kemudian kelopak mata Tadamori perlahan-lahan terbuka. “Kau, Kiyomori?”

Tadamori kembali terdiam. “Kotak itu ... di sana …” akhirnya dia berkata. Dia menggapai kotak itu dengan jemarinya dan berhasil mengeluarkan sebuah kipas, yang diserahkannya kepada Kiyomori tanpa perkataan apa pun. Setelah beberapa waktu, dia kembali berbicara, “Yakinlah. Kau adalah putra mendiang Kaisar. Beliau memberikan kipas ini kepadaku dalam perjalanan terakhir yang kuikuti. Kau berhak mewarisinya.”

Hari itu, Tadamori, yang merasakan bahwa akhir hidupnya telah tiba, memanggil putra-putranya dan mewariskan sesuatu kepada masing-masing dari mereka.

Page 274: The Heike Story

Untuk Kiyomori, dia mewariskan baju zirah kulitnya ... sebuah warisan turun-temurun ... dan salah satu pedang termahsyur milik klan Heike. Untuk Yorimori, putra sulungnya dari Ariko, dia juga mewariskan salah satu pedang termahsyur klan Heike. Ini dilakukannya untuk memberikan penghormatan kepada Ariko.

Beberapa saat setelah kematian Tadamori, seorang diri, Kiyomori membuka kipas warisan ayahnya dan menemukan sebuah puisi tertulis di sana. Baris pembukanya ditulis oleh ayahnya, namun baris penutupnya dibuat oleh tulisan tangan yang tidak dikenal namun Mokunosuke kemudian meyakinkannya bahwa – adalah tulisan tangan Kaisar Shirakawa. Baris itu berbunyi. Tadamor, harus merawatnya hingga ia tumbuh menjadi pohon besar yang memberikan naungan. Maknanya jelas bagi Kiyomori. Dia adalah putra Kaisar Shirakawa yang diserahkan untuk diasuh oleh Tadamori. Teka-teki kelahirannya telah terjawab» namun tidak ada yang dirasakan oleh Kiyomori kecuali penyesalan yang mendalam karena dirinya bukan anak kandung Tadamori. Tidak pernah lagi dilihatnya kipas itu, yang tersimpan rapat-rapat di dalam kotaknya dan terlupakan.

o0odwkzo0o

Pada 11 Juli, Kiyomori dan pasukannya berangkat dari Rokuhara menuju Istana Takamatsu pada dini hari dan tiba di sana ketika matahari terbit. Setelah mendaftarkan diri, mereka menempati beberapa pos. Kiyomori, mencermati deretan nama yang telah terdaftar, mendapati bahwa Genji Yoshitomo juga telah datang.

Panji-panji merah Heike kini berkibar di samping panji-panji putih Genji, dan saat malam tiba, kobaran api perang mencapai ibu kota.

Page 275: The Heike Story

o0odwkzo0o

Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI Setiap manusia sepertinya ditakdirkan untuk

menghadapi setidaknya satu atau dua kemalangan besar sepanjang masa hidupnya. Setidaknya, itulah pemahaman Genji Tameyoshi, yang selama beberapa hari terakhir tidak melakukan apa pun kecuali menghela napas panjang. Matanya nyalang dan rambutnya tampak memutih. Dia telah berumur enam puluh tahun dan dihadapkan pada sebuah keputusan yang lebih menentukan daripada apa pun yang pernah ditemuinya. Yorinaga, seseorang yang telah berbuat banyak kebaikan kepada Tameyoshi, telah mengirim sebuah pesan yang berisi perintah bagi Tameyoshi untuk segera memberikan dukungan kepada Kaisar Sutoku. Pesan serupa juga datang dari Tadazan6, ayah Yorinaga. Tameyoshi tahu bahwa pemicu utama upaya gegabah Yorinaga untuk merebut kembali tahta Sutoku adalah kepercayaannya kepada klan Genji. Yorinaga menggantungkan harapan kepada pasukan Tameyoshi sebagai kekuatan utama, dibantu oleh para biksu bersenjata dari Nara dan para petani bersenjata dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Ketika pesan dari Yorinaga tiba, Tameyoshi juga telah mendapatkan panggilan dari Kaisar, yang memerintahkan kepadanya agar segera melaporkan diri bersama putranya Yoshitomo untuk menghentikan pemberontakan.

Baru kali ini melihat ayah mereka segundah itu, keenam putra Tameyoshi yang lain memohon kepadanya untuk memercayai dirinya sendiri, bersumpah bahwa mereka akan berdiri bersamanya untuk mendukung keputusan apa pun yang diambilnya. Kesal kepada Yoshitomo, yang tidak

Page 276: The Heike Story

membahas keputusannya dengan seorang pun dari mereka, mereka mengeluh dengan nada pahit:

“Dia tidak mencintai darah dagingnya sendiri, apalagi memedulikan klannya. Dia haus kekuasaan, siap melakukan apa pun untuk melindungi jabatannya sebagai kepala pengawal kekaisaran. Apakah dia peduli jika kita bergabung dengannya atau tidak?”

Ketegangan di antara Yoshitomo dan saudara-saudaranya bukanlah sesuatu yang aneh. Selain kedudukannya di keluarga mereka yang hanya saudara tiri, pada usianya yang kedua puluh tiga, Yoshitomo telah pergi dari Kyoto ke wilayah timur Jepang untuk hidup bersama para Genji di Kamakura. Pada saat itulah dia menyatakan diri sebagai samurai dan seorang diri menegakkan reputasinya sebagai panglima perang. Kedengkian melandasi tuduhan saudara-saudaranya bahwa dia kurang mengabdi kepada keluarganya. Kendati berutang budi kepada Yorinaga atas pengangkatannya sebagai Kepala Pengawal untuk menggantikan Kiyomori, dia tanpa ragu-ragu memenuhi panggilan Kaisar.

“Apakah keputusan Ayah?”

“Kita tidak bisa menunda-nunda lebih lama lagi.”

“Selama dua hari terakhir, prajurit kita telah berdatangan dari seluruh penjuru negeri. Mereka memadati jalan dari sini hingga Horikawa. Tidak ada cukup kamar di sini untuk menampung mereka, padahal mereka terus berdatangan. Mereka tidak sabar lagi menantikan keputusan Ayah, dan ada desas-desus bahwa mereka akan mengambil keputusan dan tindakan sendiri.”

Mendapatkan tekanan dari putra-putranya, Tameyoshi terpaksa menjawab, “Bersabarlah, sebentar lagi saja. Sejujurnya, gagasan untuk berdiri di pihak Mantan Kaisar

Page 277: The Heike Story

Sutoku tidak menarik minatku Aku pun tidak berminat untuk memenuhi panggilan dari Istana. Itulah perasaanku yang sesungguhnya saat ini. Tidak ada jalan yang terang di mataku. Walaupun begitu, ingatlah ini: kita harus melindungi para wanita dan anak-anak. Sampaikanlah ini kepada para prajurit kita. Jika ada di antara mereka yang ingin bertempur, biarkanlah mereka memilih sendiri pihak mana yang akan mereka bela.”

Ledakan amarah menyambut petuah Tameyoshi. Apakah klan Genji hanya akan menjadi penonton dan bahan tertawaan dalam perang ini. tanya putra-putranya. Berkata lebih mudah daripada bertindak. Apakah anggota klan Genji di seluruh negeri akan puas hanya dengan bersikap netral? Mudah bagi Tameyoshi untuk mengatakan bahwa dia tidak bersedia berpihak kepada siapa pun, namun bagaimana mungkin dia berharap bisa meloloskan diri dari jerat perang? Bisakah dia menjamin bahwa dia dan hartanya akan selamat dari pembumihangusan? Akankah para prajurit haus darah dari kedua pihak menghormati posisi netral mereka? Bukankah kebencian terhadap sikap pengecutnya justru akan menjadikannya sasaran empuk bagi kedua belah pihak, dan bukankah para prajuritnya sendiri akan menjadi korban perang?

Tameyoshi mendengarkan pendapat anak-anaknya, merasa bahwa apa yang mereka sampaikan ada benarnya. Matanya tidak terbutakan dari dampak tragis keputusannya, dan kegundahan memperdalam kerutan-kerutan di kening dan pipinya. “Tepat seperti yang kalian katakan. Kita harus mempertimbangkan, bagaimanapun ... jika kita berpihak kepada Mantan Kaisar, maka Yoshitomo. putraku, akan menjadi musuh kita. Jika kita mengangkat senjata untuk Kaisar Goshirakawa, maka aku bersalah karena tidak tahu berterima kasih kepada pelindung kita, Yorinaga. Pilihan

Page 278: The Heike Story

apa pun tidak akan menyelamatkan kita dari neraka itu ... perang. Aku, Tameyoshi, yang menyandang kehormatan klan Genji, terpaksa meletakkan senjataku. Selagi mungkin, aku akan menjalani penahbisan dan bersembunyi ….

Mari, mari kita menunggu hingga besok malam. Berilah aku waktu semalam untuk mengambil keputusan.”

Anak-anak Tameyoshi kecewa, namun mereka tidak mendesak sang ayah karena jelas terlihat bahwa pria tua itu tersiksa.

Ketika seorang lagi kurir Yorinaga tiba, Tameyoshi menyampaikan balasan yang mengatakan bahwa dirinya sedang sakit sehingga tidak mungkin hadir; sedangkan kepada kurir yang mengantarkan surat dari putranya Yoshitomo, dia dengan tegas mengatakan bahwa putranya tidak perlu mengharapkan balasan. Ketika membaca kembali surat dari putranya, bagaimanapun, mata Tameyoshi berkaca-kaca.

Yoshitomo menulis, “Mustahil sebuah negara dipegang oleh dua orang penguasa. Apa pun pernyataan Mantan Kaisar, tugasku adalah melindungi Kaisar. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menjaga kesetiaan kepada beliau. Aku memohon kepadamu, Ayah, dan kepada saudara-saudaraku, untuk mengangkat senjata demi Kaisar dan hadir di sini secepatnya. Aku memahami perasaan Ayah. Aku tahu bahwa ada begitu banyak pertimbangan yang menyulitkan Ayah untuk mengambil keputusan, namun tidak ada pilihan lagi kecuali mendukung pihak kami. Hatiku pedih ketika memikirkan bahwa kita, yang berasal dari klan yang sama, terikat oleh darah, akan saling mengangkat senjata. Seandainya pasukan Mantan Kaisar datang untuk menghalangi kepergian Ayah, aku sendiri akan menjemput dan mengawal Ayah. Anakmu yang tidak tahu berterima kasih ini sangat mencemaskanmu, ayahku

Page 279: The Heike Story

yang telah berumur. Seberat apa pun, ambillah keputusan ini sekarang, dan mari kita saksikan derajat Ayah meningkat di samping mereka yang bertempur untuk Kaisar. Putra-putra Ayah yang lain akan siap bersatu padu untuk menolong Ayah melewati kesulitan ini.”

Kebanggaan membuncah di dalam hati Tameyoshi. Tidak diragukan lagi, putranyalah yang telah berbicara. Keraguan kembali menderanya ketika Penasihat Norinaga hadir lagi dengan membawa penawaran terakhir dari Yorinaga. Tameyoshi menolaknya dengan halus, “Katakanlah kepada beliau bahwa Tameyoshi sudah tua dan sakit-sakitan.”

Tetapi, Norinaga bersikeras dan menolak untuk menerima jawaban ini. “Saya memahami betul perasaan Anda. Mungkinkah, bagaimanapun, Genji Tameyoshi, yang berutang budi sangat besar kepada Menteri, ternyata tidak tahu berterima kasih? Apakah Genji Tameyoshi menolak dan menyambut gembira kekalahan Mantan Kaisar?”

Sekali lagi, Tameyoshi memprotes, “Walaupun mereka mendesak saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya sudah terlalu renta untuk berperang.”

“Cukup bagi kami jika Anda menegaskan dukungan Anda kepada kami. Pembahasan strategi perang tidak akan dilakukan sebelum Anda datang. Mereka bersedia menunggu kehadiran Anda.”

Tameyoshi yang letih terdiam, menatap hampa kepada Norinaga. Dia akhirnya berkata, “Semalam, saya bermimpi ... mimpi buruk. Saya melihat delapan pasang baju zirah Genji di dalam mimpi itu. Angin topan hebat tiba-tiba muncul dan mencabik-cabiknya, dan saya terjaga. Sekarang saya mengerti bahwa perang ini tidak akan berdampak baik

Page 280: The Heike Story

bagi klan kami. Bencana sedang menggelayuti klan Genji….” : v. I

“Sungguh mengherankan saya bahwa seorang samurai seperti Anda memercayai mimpi. Bagaimana mungkin saya menyampaikan jawaban Anda ini? Saya tidak akan pergi sebelum Anda memberikan jawaban yang pasti. Anda menempatkan saya di dalam sebuah posisi yang sangat sulit; saya akan menunggu di sini hingga matahari terbit kembali.”

Tameyoshi baru menyadari bahwa mereka berbicara dalam kegelapan; seseorang terdengar mengatakan, “Aku membawa lilin, Ayah. Bolehkah aku masuk?” Seorang pemuda bertubuh jangkung dan kekar, berusia sekitar delapan belas tahun, masuk membawa lilin-lilin yang telah dinyalakan dan menatanya di tempat lilin. Ketika dia hendak keluar, Tameyoshi menghentikannya. “Sebentar, Tametomo, tunggu!” Menoleh kepada Norinaga, Tameyoshi berkata, “Anda mungkin pernah mendengar tentang putra saya yang terkenal dengan keganasannya bahkan ketika masih kanak-kanak. Dia adalah yang termuda dari kedelapan putra saya, dan satu-satunya petarung hebat. Anak-anak saya yang lain terlihat seperti prajurit kikuk jika dibandingkan dengan dirinya, namun Tametomo bisa mewakili saya jika diperbolehkan ... dan jika dia setuju ... saya akan mengirimnya atas nama saya. Apakah kau bersedia, Tametomo?”

Pemuda itu dengan penuh semangat menjawab, “Aku akan pergi, jika Ayah menghendakinya.”

o0odwkzo0o

Walaupun dayang kesayangan Nyonya Bifukumon, Shimeko, tidak diangkat menjadi permaisuri, dia tetap tinggal di Istana untuk merawat Kaisar-kecil Konoy6. Dia

Page 281: The Heike Story

masih menghuni Istana setelah Konoy* wafat, kendati jumlah pelayan yang dipekerjakan untuknya banyak berkurang. Termasuk di antara orang-orang yang dengan teguh dipertahankannya adalah seorang dayang muda, Tokiwa. Tokiwa terpilih ketika berusia lima belas tahun dari ratusan gadis cantik yang menjadi calon dayang-dayang Shimeko. Dia belum lama tinggal di Istana ketika Genji Yoshitomo, terpikat oleh kemanisannya, secara diam-diam menjadikannya gundik. Maka, pada usianya yang kedua puluh. Tokiwa telah memiliki dua orang putra dari Yoshitomo. Atas dasar kasih sayang mendalam kepada Tokiwa, Shimeko memaafkan hubungan gelap dayangnya, sesuatu yang tentunya akan dikecam oleh Nyonya Bifukumon. Dan, karena mustahil untuk memisahkan Tokiwa dari anak-anaknya, Shimeko pun menawarkan kepadanya dan ibunya yang renta untuk menempati sebuah rumah kecil di dalam lingkungan Istana. Kendati begitu, Nyonya Shimeko tahu bahwa akan tiba waktunya ketika rahasia Tokiwa tidak bisa disembunyikan lagi, dan Tokiwa harus memilih antara melepaskan Gen|i Yoshitomo, samurai kesayangan Yorinaga, atau meninggalkan Istana.

Ketika hubungan antara Istana Kekaisaran dan Mantan Kaisar meruncing dan perang sepertinya tidak terhindarkan lagi, Yoshitomo tidak berani lagi mengunjungi Tokiwa. Dalam salah satu kunjungan diam-diamnya, dia berpesan, “Hapuslah air matamu, Sayangku. Jangan khawatir, aku masih akan mengenjungimu kalaupun perang pecah. Apa kau mengira bahwa aku akan membiarkan kedua buah hati kita menjadi musuhku?” Tertawa lembut, Yoshitomo membelai helaian rambut yang jatuh ke pipi basah Tokiwa dan menyelipkannya ke balik telinga mungil wanita itu, lalu berbisik, “Jangan katakan hal ini kepada siapa pun, namun jika perang pecah, aku dan pasukanku tidak akan ragu-ragu untuk membela Kaisar. Utang budiku kepada Menteri,

Page 282: The Heike Story

Yorinaga, tidak akan berarti jika Yang Mulia memanggilku. Aku bukan boneka Menteri. Tidak peduli pihak mana pun yang akan dipilih oleh ayah dan saudara-saudaraku, aku akan tetap mendampingi Yang Mulia. Jangan mengkhawatirkan kemarahan Nyonya Bifukumon kepadamu gara-gara aku, karena mulai saat ini, kau bisa dengan bangga mengatakan bahwa Yoshitomo, kekasihmu, adalah salah seorang pendukung setia Kaisar.”

Yoshitomo menangkupkan tangannya ke wajah Tokiwa, merengkuh tubuh kekasihnya itu, dan mencium bibirnya, yang merekah dalam sebuah senyuman. Tanpa memedulikan bayi yang tertidur dalam pelukan Tokiwa, Yoshitomo memeluknya erat-erat, membaurkan air mata mereka.

Kepanikan melanda ibu kota ketika gembar-gembor tentang perang tersebar. Para penduduk yang ketakutan, mengangkut kerabat mereka yang sakit, mengungsi keluar dari kota menuju perbukitan, membawa harta benda apa pun yang bisa mereka bawa. Ketakutan dan kecemasan Tokiwa, bagaimanapun, tampak sepele di samping kabar bahwa Yoshitomo adalah orang pertama yang bergabung dengan pasukan Kaisar. Hati Tokiwa melambung ketika mengetahui bahwa kekasihnya bersungguh-sungguh, bahwa panji-panji yang dibawa oleh Yoshitomo juga menjadi pernyataan cinta mereka. Sekarang, dia bisa dengan bangga mengumumkan kepada dunia bahwa dia adalah kekasih Yoshitomo. Tidak sabar untuk menyampaikan kabar ini kepada ibunya, Tokiwa bergegas menyelesaikan tugas malamnya; kemudian, dia menyembunyikan wajahnya di balik mantel musim panas, lalu menyelinap keluar. Dia tanpa sengaja mempercepat langkah menuju gerbang rumah karena merasa mendengar anak-anaknya menangis.

Page 283: The Heike Story

Kemudian ketika tangannya menyentuh gerbang, seseorang tiba-tiba mengagetkan “Apakah kamu Tokiwa?”

Siapakah Anda?” Tokiwa menjawab dengan waspada da menoleh dengan cemas kepada seorang pria berbaju zirah.

“Genji Yoshitomo mengirimku kemari”

“Aku membawa pesan untukmu. Pertempuran akan pecah di ibu kota besok pagi. Kau harus segera meninggalkan tempat ini”

“Ya, saya pulang untuk membicarakan soal itu dengan ibu saya”

“Bagaimana kabar anak-anakmu?”

“Mereka berdua baik-baik saja.”

“Yang sulung tiga tahun; bayi saya baru berumur beberapa bulan”

“Kalau begitu …” Pria itu bergumam. “Nama mereka?”

“Imawaka, dan bayi saya ... ” Tokiwa, mendadak curiga, menatap lekat-lekat pria itu, yang tiba-tiba berlari kencang meninggalkannya. Sebelum pria itu menghilang dari pandangannya, sepuluh orang pelayan Yoshitomo muncul, mengatakan bahwa mereka dikirim untuk mengawal Tokiwa, dan tanpa berbasa-basi memasuki rumah dan mengemasi barang-barangnya. Dari mereka, Tokiwa tidak berhasil mendapatkan keterangan apa pun mengenai identitas pria asing yang baru saja menanyainya.

Menjelang tengah malam, pelayan Tameyoshi, Magoroku, kembali untuk melaporkan bahwa Tokiwa meninggalkan ibu kota pada malam itu juga bersama kedua anaknya.

“Apakah Anda juga hendak mengungsi, Tuan? Segera setelah Anda menetapkan pikiran ... ”

Page 284: The Heike Story

Kegetiran menggelayuti wajah Tameyoshi dan lenyap di balik kerutan dalam yang segera terwujud dalam senyuman.

“Aku sudah menetapkan pikiran. Aku tidak boleh terus-menerus seperti ini, karena kaum muda tidak akan mau mendengarkan alasan. Tidak ada yang benar maupun salah bagi mereka karen mereka merasa harus menggerakkan badan, dan aku menyuruh mereka melakukan apa pun sesuka mereka.” Tawa Tameyoshi tiba-tiba meledak.

“Apakah mereka sendiri akan berpihak kepada Mantan Kaisar’” “Apakah yang mungkin kulakukan sendiri di sini dengan tubuh rentaku ini? Apa kau percaya bahwa aku bisa menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya? Ini adalah takdirku nasib seorang samurai. Kita tidak boleh menunda-nunda lagi’untuk menjawab panggilannya, dan aku sudah siap berangkat. Yoshitomo sudah mengambil keputusan. Dia telah memercayakan nasibnya kepada Kaisar, dan dia tidak bisa mengubah pikirannya lagi.”

“Sepertinya begitu.”

“Begitulah. Dia telah memilih jalan yang akan diikutinya …. Ambilkan baju zirahku, Magoroku.”

Hari-hari keheningan dan kebimbangan telah berakhir. Tameyoshi mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian terberat dalam masa tuanya. Kepada Penasihat Norinaga, yang masih menantinya, Tameyoshi akan memberikan jawaban.

Delapan pasang baju zirah, harta warisan turun-temurun klan Genji sejak bergenerasi-generasi silam, dibawa masuk. Tameyoshi memberikan sepasang kepada masing-masing putranya dan memerintahkan agar sepasang baju zirah dikirimkan pada malam itu juga kepada Yoshitomo.

Page 285: The Heike Story

Pada pagi hari ketika Tameyoshi berangkat ke istana di Shirakawa bersama putra-putra dan pasukannya untuk bergabung dengan pihak Sutoku, Kiyomori melaporkan diri ke Istana Kekaisaran.

Baru seminggu berlalu sejak Kaisar Kloister wafat. Banyak di antara pejabat dan pegawai istana yang angkat tangan, menolak untuk ambil bagian dalam pertikaian yang semakin meruncing dan memilih untuk mengurung diri di kediaman mereka masing-masing. Penasihat Norinaga, setelah menyampaikan jawaban Tameyoshi kepada Mantan Kaisar, bertolak dari Shirakawa menuju salah satu biara di luar Kyoto dan memotong rambutnya. Fujiwara Tsunemone yang menemani Yorinaga ke Uji, menghilang tidak lama dan masih banyak pejabat istana lainnya yang menolak menjawab panggilan dari Istana.

o0odwkzo0o

Motomori, Putera Kiyomori yang berangkat dari Kyoto pada pagi hari tanggal 10 menempati posisinya di Jalan Raya Oji pada siang hari.. Kegarangan para prajuritnya dan kesan berkuasa’ dalam suara mereka menunjukkan bahwa mereka mengetahui betapa pentingnya peran baru mereka. Orang-orang yang hendak memasuki Kyoto dari luar kota, yang belum mengetahui perkembangan yang terjadi di ibu kota, diperintahkan untuk kembali. Para pejabat dan pegawai istana yang berusaha melarikan diri dipaksa untuk mengurungkan niat mereka.

“Ya, ya! Siapa yang baru saja tiba?” Seorang bangsawan ... mengendarai kereta.” Berhati-hatilah, dia membawa banyak rombongan bersamanya.”

Sebuah kereta berdinding anyaman ranting mendekat, diikuti oleh sebuah kereta berhias ukiran logam. Sekitar dua puluh orang prajurit bersenjata memberikan kawalan.

Page 286: The Heike Story

“Berhentilah kalian!” seru para prajurit Motomori, menghalangi jalan. Mereka telah mendengar bahwa Yorinaga mungkin akan kembali ke Kyoto melewati rute yang mereka jaga dan yakin bahwa ini adalah rombongannya. Tetapi, penumpang kereta itu ternyata terbukti sebagai dua orang pejabat istana yang membawa dokumen yang mengesahkan bahwa mereka bepergian ke Uji untuk menyelesaikan urusan pribadi. Yorinaga, sementara itu, berhasil memasuki ibu kota menggunakan sebuah tandu melewati rute lain dan telah tiba dengan selamat di markas utamanya di Shirakawa.

Motomori dan pasukannya kecewa karena tidak berhasil menangkap Menteri Yorinaga. Saat matahari telah tenggelam; ketika mereka sedang mempersiapkan makan malam; sepuluh orang dan menahan sisanya. Tetapi, Chikaharu melawan sampai titik akhir, hingga tusukan sebuah tombak berkait menjatuhkannya dari kudanya. Kemudian. Motomori segera menggiring para tahanannya ke ibu kota.

Ketika sedang bersiap-siap untuk kembali ke Jalan Raya Uji dari Istana, Motomori tertahan oleh sebuah upacara singkat, di mana para samurai dari golongan yang lebih tinggi memberinya berbagai pertanyaan.

Keesokan paginya, saat Kiyomori akhirnya tiba di Istana, dia disambut dengan ucapan selamat untuk kesuksesan Motomori dalam menangkap Genji Chikaharu hidup-hidup. Sambil tersenyum bangga, Kiyomori menyapa rekan-rekannya sesama panglima untuk mengumumkan kehadirannya dan meminta maaf atas keterlambatannya. Orang yang terakhir disapanya adalah Yoshitomo.

“Ah. Heik6 Kiyomori!”

“Dan kau, Genji Yoshitomo!”

Page 287: The Heike Story

Tatapan mereka bertemu. Keheningan menyusul ketika masing- masing mengingat pertemuan pertama mereka, di pemakaman Toba Sojo, pada suatu siang musim gugur bertahun-tahun silam. Yoshikiyo Sato yang memperkenalkan mereka. Beberapa waktu kemudian, Yoshikiyo kabur dari rumahnya, menjalani penahbisan, dan mengubah namanya menjadi Saigyo, biksu penyair yang berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Enam belas tahun telah berlalu, walaupun peristiwa itu rasanya baru terjadi kemarin. Banyak perubahan telah terjadi di ibu kota sejak saat itu. Sebagian dari teman-teman masa muda mereka telah meninggal atau pergi dari Kyoto. Keduanya tidak pernah mengira akan bertemu kembali dalam keadaan seperti ini-menjadi rekan sejawat dalam membela Kaisar. Mereka juga bersaing-Genji dan Heik6-namun sebuah tujuan bersama

mengikat mereka menjadi saudara seperjuangan.

“Aku cemas memikirkanmu,” kata Yoshitomo, banyak desas-desus mengenai dirimu. Aku benar-benar lega eti akhirnya kau datang dan bergabung bersama kami di sini.

“Aku mengirim putraku beserta sebagian pasukanku terlebih dahulu agar bisa mengerahkan lebih banyak kekuatan. Aku minta maaf atas keterlambatanku.”

“Tapi, kau pasti senang ketika mengetahui bahwa putramu telah berhasil membuat dirinya dikenal.”

Kiyomori tertawa. “Dan ternyata kemampuan para pemuda itu melampaui para pendahulunya ... mencuri kemenangan kita!”

“Aku iri kepadamu,” kata Yoshitomo, “karena keluargamu tidak terpecah belah dan harus saling melawan seperti keluargaku.”

Page 288: The Heike Story

Senyum Kiyomori seketika lenyap. Di tengah buncahan kebanggaannya kepada Motomori, tidak pernah terpikir olehnya apa makna perang saudara ini bagi Yoshitomo. Beban baju zirahnya semakin membuatnya gelisah; dia mengorek-ngorek pikirannya untuk mencari ungkapan simpati yang entah mengapa menolak untuk hadir, menatap kikuk ke depan, lalu dengan salam perpisahan yang buru- buru diucapkan, membalikkan badan dan meninggalkan Yoshitomo.

Yoshitomo mengernyitkan kening ketika Kiyomori mendadak menghadapkan punggung kokohnya kepadanya.

Pada hari yang sama, pihak Kaisar memindahkan Istana Kekaisaran ke bagian utara pusat kota, tempat markas utama pasukan Kaisar berada. Berdasarkan saran Yoshitomo, diputuskan bahwa serangan pertama ke istana di Shirakawa akan dilakukan secara mendadak pada malam itu juga, karena pasukan Yorinaga diperkirakan baru akan tiba keesokan harinya. Gerakan ini, Yoshitomo menegaskan, akan mencegah terjadinya serangan tiga lapis ke Istana Kekaisaran.

Sementara itu. Tameyoshi dan putra-putranya, beserta pasukan berkuda dan berjalan kaki mereka, tiba di Shirakawa, tempat mereka menemukan Mantan Kaisar dan para penasihatnya menanti dengan penuh kecemasan. Kabar mengenai penangkapan Chikaharu pada malam sebelumnya menambah keresahan mereka akibat pasukan Yorinaga dari provinsi-provinsi yang lain juga gagal datang. Yonnaga mengharapkan tiga ribu orang prajurit berkuda dan berjalan kaki akan tiba tepat waktu untuk melakukan serangan besar-besaran ke ibu kota, namun hanya sekitar seribu enam ratus atau seribu tujuh ratus orang yang telah melaporkan diri. Para biksu bersenjeta dari Nara dan Yoshino, yang telah menjanjikan bantuan, juga baru akan

Page 289: The Heike Story

datang keesokan harinya. Kerisauan semakin memuncak malam itu ketika Yorinaga memandang ke seberang Sungai Kamo dan melihat semburat matahari di ufuk barat tertutup oleh gumpalan asap tebal. Beberapa saat kemudian, datanglah kurir-kurir yang mengabarkan bahwa Istana Mata Air Dedalu, yang dijadikan pangkalan oleh sebagian pasukan Yorinaga, telah terbakar. Walaupun Yorinaga memerintahkan agar bantuan dikirim ke sana, Genji Tameyoshi dan Tadamasa (paman Kiyomori) berpendapat lain, menekankan pentingnya memperkuat pertahanan di Istana Shirakawa.

Tadamasa beserta ketiga ratus prajurit berkuda dan berjalan kakinya, dibantu oleh seratus orang prajurit Yorinaga, berjaga- jaga di gerbang timur Istana, menghadap ke kaki Gunung Hiei. Di sisi lain Istana, di gerbang barat yang menghadap ke Sungai Kamo, Tameyoshi berjaga-jaga bersama pasukan terpilihnya. Putra bungsunya, Tametomo, beserta pasukan berkekuatan seratus orang prajurit berkuda dan berjalan kaki, menjaga gerbang yang lebih kecil di sisi yang sama.

Yorinaga, ketika memeriksa pertahanan Istana, tidak sanggup menyembunyikan kekecewaan akibat lemahnya pertahanan mereka, meskipun bantuan dari Tameyoshi bisa dikatakan hampir setara dengan penambahan sepuluh ribu orang prajurit, namun semangat Yorinaga melambung ketika dia melihat Tametomo dan dua puluh orang prajurit berkudanya. Mereka telah menjalani pendidikan seni perang di Kyushu, tempat popularitas Tametomo sebagai seorang petarung melegenda. Yorinaga mengamati pemuda itu dengan penasaran. Tametomo menjulang lebih jangkung sekepala daripada orang-orang terjangkung di sekelilingnya. Dia mengenakan baju zirah berat bertali-temali putih di atas kimono biru tua dan membawa sebilah pedang panjang

Page 290: The Heike Story

bersarung kulit beruang. Salah seorang prajuritnya membawakan helm besinya. Inilah Tametomo si beringas, pemuda liar dan keras kepala yang telah memberikan banyak masalah kepada ayahnya, dan akhirnya dikirim ke Kyushu untuk diasuh oleh kerabatnya ketika berusia tiga belas tahun. Di Kyushu, pada usia tujuh belas tahun, Tametomo telah dikenal sebagai seorang samurai beringas dan diangkat menjadi salah seorang panglima perang di daerahnya.

Yorinaga menghampiri Tametomo untuk menanyakan tentang pendapat pemuda itu mengenai strategi perang mereka, dan mendapatkan jawaban, “Kita tidak akan bisa menang kecuali jika melakukan serangan pada malam hari. Semestinya, malam inilah kesempatan kita. Saya agak terkejut melihat keengganan orang-orang untuk melakukannya.”

“Sebuah taktik yang akan terpikir oleh prajurit yang paling tidak berpengalaman sekalipun” ... Yorinaga tersenyum ... ”dan kita sudah mempersiapkan diri untuk itu.”

“Jika begitu,” lanjut Tametomo, “kita harus melumpuhkan musuh di ibu kota dari kedua bagian samping dan bagian belakang dengan api, lalu mengerahkan pasukan kita untuk menyerbu dari depan. Dengan begitu, kita bisa memerangkap musuh kita, sekaligus mengambil manfaat sebesar mungkin dari jumlah pasukan kita yang kecil.”

“Bagaimana jika kakakmu Yoshitomo menyerang lebih dahulu?”

“Saya akan menembakkan anak panah menembus helmnya dan memaksanya memindahkan dukungan.”

“Heik£ Kiyomori, kudengar, juga ada di sana.”

Page 291: The Heike Story

“Tidak ada yang lebih membanggakan daripada menghabisi pasukannya, lalu menyerbu ke Istana dan menahan Kaisar. Ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang. Sekarang ... sebelum matahari terbit.”

“Sebuah siasat menantang, menurutku,” Yorinaga tersenyum penuh arti, “dan cukup bagus, kurasa, jika ini adalah pertempuran kecil-kecilan yang melibatkan sepuluh atau dua puluh orang prajurit berkudamu di Kyushu ... tempat namamu cukup tersohor. Tapi kau harus menyadari bahwa operasi kita di sini berskala jauh lebih besar. Menurutku, Tametomo, pendapatmu tidak terlalu berarti bagi kami di sini.”

Dengan wajah kecut, Tametomo kembali ke posisinya dan meletakkan tameng besarnya, lalu tidur hingga pagi tiba.

o0odwkzo0o

“Musuh telah menyerang!” “Musuh telah menyeberangi sungai!”

Teriakan dan pekikan perang terdengar sebelum fajar menyingsing pada tanggal 12. Kepanikan melanda Istana, diwarnai oleh dentangan senjata dan ringkikan kuda. Para pemanah, yang berbaris di sepanjang tembok Istana Shirakawa, telah membidikkan anak panah mereka ke musuh yang mendekat.

Yoshitomo, yang memimpin lebih dari seribu orang prajurit berkuda dan berjalan kaki. tiba di tepi Sungai Kamo di seberang Istana Shirakawa, dan bersiap-siap untuk menyerang ketika melihat fajar telah menyingsing di bahu Gunung Hiei. Menyadari bahwa melakukan penyerangan di bawah sinar matahari yang terang benderang tidak akan menguntungkan bagi mereka, Yoshitomo menggiring pasukannya perlahan-lahan ke utara hingga tiba di suatu

Page 292: The Heike Story

tempat yang mustahil dijangkau oleh anak panah lawan mereka.

Genji Tameyoshi memerintahkan agar gerbang selatan dan barat dibuka, dan hendak memimpin barisan ketika Tametomo tiba-tiba memacu kudanya ke arahnya dan berseru. “Izinkan aku melakukan serangan pertama!” Dia segera disusul oleh Yorikata, kakaknya, yang memprotes haknya untuk memimpin serangan pertama. Tametomo mengabaikan kakaknya, dengan garang meneriakkan bahwa dia tidak

peduli, dan melaju ke gerbang barat di tepi sungai.

Dalam temaram fajar, Yorikata memacu kudanya ke arah daerah kekuasaan musuh dan menyerukan tantangan, “Siapa yang ada disana, Genji atau Heik6? Aku Yorikata, putra keempat Genji Tameyoshi Genji!”

Salah seorang prajurit Yoshitomo menjawab tantangan itu, memberikan nama dan kedudukannya sebagai pelayan Yoshitomo. Tuan Shimotsuk6. Menuntut jawaban dari sang panglima sendiri, Yorikata secara berturut-turut menembakkan dua buah anak panah ke dekat tempat Yoshitomo menunggangi kudanya. Dia melihat dua orang penunggang kuda roboh terkena anak panahnya, lalu membalikkan badan, ketika sebuah anak panah mendadak menyerempet helmnya. Tanpa menghiraukannya, Yorikata memacu kembali kudanya ke arah rekan-rekannya yang bersorak sorai menyambutnya.

Murka melihat dua orang prajuritnya terluka, Yoshitomo mengejar Yorikata, bersumpah akan membalas saudaranya itu atas kebengisannya, namun para prajuritnya dengan susah payah menahannya.

Kiyomori, sementara itu, berkuda di sepanjang sisi kiri sungai bersama lebih dari delapan ratus orang prajurit

Page 293: The Heike Story

berkuda menuju sebuah titik di sebelah utara Istana Shirakawa dan menantikan Yoshitomo membuka serangan. Ketika matahari terbit dan kabut tebal yang menyelimuti sungai menipis, Kiyomori melihat bahwa pasukan Yoshitomo telah siap siaga. Walaupun mereka berdua sama- sama belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan, jantung Kiyomori mulai berdegup kencang. Pekikan-pekikan perang semakin gencar terdengar dari kedua belah pihak Dari balik kabut yang mulai lenyap, dia melihat betapa jarak di antara pihak yang bermusuhan semakin tipis. Tiba-tiba, lima puluh orang penunggang kuda memisahkan diri dari pasukan Kiyomori dan menghampiri tepi sungai di seberang gerbang yang dijaga oleh Tametomo. Tiga orang samurai berkuda maju dan menuntut nama panglima yang bertanggung jawab atas gerbang itu, setelah sebelumnya memperkenalkan diri sebagai pelayan Heike Kiyomori.

Sebuah suara nyaring terdengar melampaui gemuruh arus sungai.

“Aku Tametomo, putra Tameyoshi. Anak panahku tidak pantas disia-siakan untuk prajurit rendahan seperti kalian. Pemimpin kalian sekalipun, Heike Kiyomori, bukan lawan yang sepadan untukku Kembalilah ke pasukanmu dan katakan kepadanya untuk datang sendiri kemari.”

Tiga buah anak panah seketika melesat ke arah Tametomo Pemuda itu dengan sigap menghindar sembari menembakkan anak panahnya, yang berdesing nyaring dan menembus dada salah seorang prajurit Kiyomori, lalu menancap di pelindung bahu prajurit lainnya. Kuda yang telah kehilangan penunggangnya berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan meringkik liar; para penunggang kuda di seberang sungai serempak maju, membidikkan anak panah untuk melindungi kedua rekan mereka dan tunggangan

Page 294: The Heike Story

mereka yang menggila, sementara hujan anak panah datang dari pihak musuh.

Tanah seolah-olah bergetar dan bergemuruh di bawah kaki Kiyomori; kudanya, dengan lubang hidung kembang kempis, mendadak bergerak-gerak gelisah dan mengibas-ngibaskan surainya. “Ada apa?” tanyanya dengan tegas. Para prajurit berkuda di sekeliling Kiyomori sedang mencegahnya menghela tali kekang kudanya, ketika seorang samurai berkuda menghampirinya dan berseru:

“Itoroku telah tumbang! Tamemoto memanahnya. Tuan, Anda akan menjadi sasaran selanjutnya jika tidak menjauh dari jarak tembak anak panahnya.”

“Apa, Itoroku telah tumbang? Mengapa kita harus takut kepada anak bungsu Tameyoshi?”

“Tuan, lihatlah sendiri ... anak panah ini!”

Dari pelindung bahunya, prajurit itu menarik sebatang anak panah besar dan menyerahkannya kepada Kiyomori. Anak panah itu terbuat dari bambu berumur tiga tahun yang terpoles mulus, dengan ujung besi tajam di ujungnya dan ekor burung kuau.

“Aku mengerti ... anak panah yang jahat, cocok untuk menumbangkan iblis. Pantas jika semua orang takut kepadanya.

Kiyomon memeriksa anak panah itu dengan cermat lalu tiba-

tiba mengatakan. Tidak ada alasan bagi kita untuk menyeran*

gerbang ini. Aku tidak mendapatkan perintah khusus dan hanya

Page 295: The Heike Story

memilihnya secara acak. jika yang baru saja terjadi di sini

menceluskan hati kita, sebaiknya kita mencoba Gerbang Utara. Ke Gerbang Utara!”

Mendengar perintah sang panglima, pasukan Kiyomori segera bergerak ke utara, namun putra sulung Kiyomori. Shigemori, yang juga mendengar perintah itu, berseru:

“Sungguh konyol! Benar-benar konyol, memilih Gerbang Utara hanya gara-gara anak panah Tametomo. Sungguh memalukan bagi kita yang membela nama Kaisar!”

Mengajak serta sekitar tiga puluh orang prajurit berkuda yang ada di dekatnya, Shigemori serta merta menyongsong musuhnya.

“Hentikan dia! Bawa dia kemari!” Kiyomori memerintah orang-orang di sekelilingnya, “hanya orang gila yang cukup gegabah menghadapi anak panah itu dan mempertaruhkan nyawanya!”

Dari jarak jauh sekalipun Shigemori bisa menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuhnya, karena dia mengenakan kimono merah di bawah baju zirahnya dan menyandang sarung gemuk berisi dua puluh empat batang anak panah di punggungnya. Para prajurit dengan susah payah menahannya, karena Shigemori, yang memprotes sikap pengecut ayahnya dengan lantang dan gusar, terus berusaha untuk melepaskan diri, hingga salah seorang anak buahnya berkata, “Biarkanlah saya maju mewakili Anda dan menghadapi Tametomo sendiri.” Prajurit itu, Koreyuki, telah melesat pergi sebelum teman-temannya bisa melarangnya, diiringi oleh teriakan- teriakan “Kembalilah, kembalilah!” Koreyuki menoleh dan menjawab, “jangan menyertaiku, apalagi menyusulku. Perhatikan saja!”

Page 296: The Heike Story

Ditemani oleh dua orang prajurit berjalan kaki, Koreyuki menyusuri sungai. Tametomo keluar untuk menemuinya, tetapi, melihat bahwa prajurit itu ragu-ragu, dia memasuki gerbang dan menutupnya. Setelah memasuki jarak tembak dari gerbang. Koreyuki meneriakkan tantangannya kepada Tametomo, yang akhi memacu kudanya keluar dan menjawab dengan nada meremehkan “Selamat datang, prajurit kurang ajar! Aku Tametomo. Kau boleh menembakkan anak panahmu lebih dahulu kepadaku. Selanjutn adalah giliranku.”

Bahkan sebelum Tametomo selesai berbicara, anak panah Koreyuki telah menancap di pelindung paha kirinya. Sementara Koreyuki terburu-buru memasang sebatang lagi anak panah ke busurnya, Tametomo menembakkan anak panahnya, yang langsung menembus paha Koreyuki dan menancap di pelananya dalam sekejap mata memakunya. Para prajurit Koreyuki dengan sigap menangkapnya ketika dia limbung dan terjatuh dari kudanya Keduanya memanggul Koreyuki dan kembali ke pasukan mereka secepat kaki mereka bisa berlari.

Kuda yang telah kehilangan penunggangnya, bersimbah darah, berlari liar di sepanjang tepi sungai ke arah hilir, tempat pasukan Yoshitomo bersiaga. Beberapa orang prajurit Yoshitomo berlari menyongsong si kuda gila karena khawatir binatang itu akan mengamuk di tengah-tengah pasukan mereka. Terdengar teriakan- teriakan “Tangkap kuda itu, tangkap kuda itu, tarik tali kekangnya!” hingga mereka akhirnya bisa menangkapnya; kemudian, mereka menemukan sebuah pijakan kaki yang lengket oleh darah dan sebuah mata panah besar yang tertancap di pelana.

“Lihat, bukankah ini sebuah mata panah? Siapakah pemilik panah sedahsyat ini?”

“Tentunya itu milik Genji Tametomo.”

Page 297: The Heike Story

Salah seorang pelayan Yoshitomo membawa kuda itu kepadanya dan berkata, “Tuan, lihatlah ini! Saya sudah pernah mendengar tentang anak panah semacam ini, namun tidak pernah percaya akan melihatnya.”

Yoshitomo, bagaimanapun, tidak tampak terkesan. Dia tersenyum tipis, seolah-olah mengasihani Masakiyo atas keluguannya. “Ayolah, Tametomo masih remaja dan tidak akan sanggup menarik busur

sekuat itu. Menurutku, ini adalah tipuan licik untuk menakut-nakuti kita. Masakiyo, aku akan membagi pasukan kita menjadi dua bagian dan salah satunya bertugas menyerang gerbang Tametomo”

Masakiyo, beserta dua ratus orang prajurit berjalan kaki menuju sebuah gerbang di tembok barat Mengerahkan seluruh keberaniannya untuk menantang Tametomo, yang langsung meladeni panggilannya.

“Ternyata kau Masakiyo, pelayan Tuan Yoshitomo. Apa kau datang untuk menawarkan diri menjadi sasaran anak panahku?”

Sesaat, Masakiyo tampak gentar, namun dia berhasil menghimpun ketenangan dan menjawab dengan gagah, “Saya adalah salah satu pengikut setia Kaisar. Tugas saya adalah membunuh pengkhianat!” Bersama kata-kata itu, dia menembakkan anak panahnya, lalu cepat-cepat kembali ke pasukannya. Anak panah itu menancap di pelindung leher di helm Tametomo. Pemuda itu mencabutnya dan membantingnya ke tanah, lalu berseru lantang, “Jadi, kau berani menghinaku, Masakiyo? Aku akan menangkapmu dengan tangan kosong agar bisa memandang wajahmu dan melihat siapa dirimu yang sesungguhnya.”

Tametomo mengejar Masakiyo, yang memacu kudanya sambil memekik-mekik ngeri. Tametomo, mengempit

Page 298: The Heike Story

busurnya dengan satu lengan dan melambai dengan lengannya yang lain, terus memacu kudanya untuk mengejar Masakiyo hingga teriakan panik para prajuritnya mendorongnya untuk segera kembali ke posisinya.

Yoshitomo, yang mengamati kejadian itu dari kejauhan, melihat adiknya mundur. Dia segera memerintahkan lima orang anak buah terbaiknya untuk berkuda bersamanya ke pos Tametomo, dengan mengatakan, “Busur Tametomo bagus untuk pertempuran di laut, namun kemampuan berkudanya lebih lemah daripada kita.”

Matahari telah tinggi di langit, dan nyanyian jangkrik terdengar dari sela-sela pepohonan musim panas.

Tametomo berputar ketika mendengar seseorang berseru di belakangnya dan menyongsong para penunggang kuda yang menghampirinya. Seorang samurai yang menunggang kuda hita dengan penampilan yang menunjukkan kedudukannya sebagai panglima perang, menghadangnya. Panglima itu mengenakan helm bertanduk dan baju zirah klan Genji.

“Aku Genji Yoshitomo, hadir atas nama Kaisar. Siapakah dirimu yang telah berani mengangkat pedang kepada penguasa yang sah? Jika kau berasal dari klan yang sama denganku, turunkanlah senjatamu dan bubarkanlah pasukanmu. Aku memperingatkanmu demi kepentinganmu sendiri.”

Tametomo menatap lekat-lekat wajah kakaknya dan berseru “Ketahuilah siapa diriku. Aku adalah putra Genji Tameyoshi, yang siap sedia memenuhi panggilan pengayomnya, dan aku tetap setia mengawal ayahku dalam keadaan hidup dan mati. Aku bukan anak yang tak tahu diuntung karena melupakan ayahnya demi kecintaan pada ketenaran. Aku bukan bajingan, dan aku, Tametomo, akan

Page 299: The Heike Story

melawan setiap anjing atau siapa pun yang menyebut dirinya musuhku.’

Kau berani mengatakan itu kepadaku, Tametomo?’ “Ya. Mulutku telah berhari-hari gatal karena ingin mengatakan itu kepadamu.”

“Apakah kau, adikku, berani melawanku? Apakah kau menolak untuk mengakui kepemimpinan sah Kaisar? Jika kau menghormati beliau dan menghargai jalan kebajikan, turunkanlah busurmu dan bersujudlah di hadapanku.”

“Aku mungkin bersalah karena melawan kakakku sendiri,

namun apakah sikapmu yang melawan ayahmu sendiri itu bisa dibenarkan?”

o0odwkzo0o

Jalan berlajur tiga di sepanjang tembok barat dan utara Kuil Hoshogon-in di antara Shirakawa dan Kamo menjadi medan sebuah pertempuran paling berdarah hari itu. Di seberang jalan, seruas sungai berkelok-kelok melewati sebentang tanah datar,

hanya dipotong oleh sebuah hutan kecil yang melingkari atap- atap dan menara-menara Kuil Shichikatsu-ji, dengan latar belakang kaki Gunung Hiei. Di sana, kedua belah pihak bertempur hingo titik darah penghabisan, dan pertempuran terus berlangsung bahkan hingga matahari tenggelam. Di antara gumpalan debu yang mengaburkan pandangan, Tametomo sesekali bisa melihat kakaknya, Yoshitomo, yang tampak mencolok dalam balutan baju zirah Genjinya, dan kerap tergoda untuk menembakkan anak panahnya ke sosok tangguh itu. Walaupun kedengarannya tidak masuk akal, Tametomo ingin memercayai bahwa sebuah kesepakatan rahasia telah dibuat

Page 300: The Heike Story

oleh ayahnya dan Yoshitomo, dan siapa pun yang menang akan mengampuni pihak yang kalah. Tametomo tidak menggunakan busurnya kecuali jika ditantang, dan dia menyadari bahwa kakaknya pun begitu. Tetapi, tidak gentar pada panah mematikan Tametomo, para prajurit Yoshitomo menyerang dengan membabi buta tanpa memedulikan kawan maupun lawan.

Walaupun dua puluh tiga orang penunggang kuda terbaik di pasukan Tametomo telah terbunuh dan sisanya terluka, lima puluh tiga orang prajurit terbaik Yoshitomo tewas dan sekitar delapan puluh orang lainnya terluka. Mayat-mayat bersimbah darah bergelimpangan di medan perang sementara pertempuran terus berlangsung. Yakin bahwa nasib baik sedang menaunginya, Tametomo memanggil anak buahnya:

“Aku akan menggertak panglima mereka dengan anak panahku, dan setelah mereka mulai mundur, kita akan menyerbu dan mengobrak-abrik pasukan mereka.”

Tametomo mengunci jemarinya di busur beratnya dan menarik talinya.

“Ah, apakah ini aman, Tuan? Bagaimana jika ... ” “Cukup mudah, lenganku masih ingat pada keahliannya.” Tametomo membidikkan anak panahnya ke bintang di helm Yoshitomo. Gumpalan debu dan senjata-senjata yang beradu mengaburkan pandangannya, namun dia tetap menarik napas dalam-dalam dan melepaskan anak panahnya. Dia menyaksikan a panah itu melesat ke sebuah titik di helm Yoshitomo, menyerempe sasarannya, dan terus melesat hingga menancap di salah satu pil^ di gerbang kuil. Menanggapi tindakan adiknya, Yoshitomo menyair^ tali kekang dan memacu kudanya dengan murka, berteriak lantan kepada Tametomo, “Benar-benar tembakan parah

Page 301: The Heike Story

dari seseorang yang tidak tertandingi keahliannya di Kyushu!”

“Tidak, tidak, kau mungkin musuhku, namun hatiku mengatakan bahwa kau adalah kakaku, dan aku hanya membidik bintang di helmmu. Namun jika kau menghendakinya, aku bisa melakukan yang lebih baik,” jawab Tametomo.

Terbakar amarah, Tametomo kembali memasang sebatang anak panah ke busurnya, ketika salah seorang pelayan Yoshitomo, yang mengkhawatirkan keselamatan majikannya, tiba-tiba menghambur seraya mengacungkan lembing ke kaki kudanya. Pekikan memilukan terdengar; darah dan debu bercampur ketika prajurit itu roboh dengan leher terkoyak oleh anak panah Tametomo.

Kedua belah pihak telah melebur dalam sebuah pertempuran satu lawan satu hingga titik darah penghabisan. Perwira Tametomo telah tumbang, dan hanya ada beberapa orang prajurit yang dibawanya dari Kyushu yang masih bertahan, karena keahlian Tametomo menggunakan busurnya tidak terlalu berarti jika dibandingkan dengan pasukan Yoshitomo yang berkekuatan jauh lebih besar. Hari dengan cepat menjadi gelap meskipun malam baru akan turun beberapa jam lagi, dan di balik asap hitam yang menyelimuti mereka, matahari dapat terlihat di langit barat bagaikan

sebuah cakram perunggu.

Beberapa saat sebelumnya, Yoshitomo telah mengirim kurir ke Istana Kekaisaran dengan pesan, “Melihat keadaan saat ini, kita telah berada di atas angin. Saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi jika bantuan kekuatan di pihak musuh tiba malam mi; pertempuran mungkin akan meluas hingga ibu kota. Kita hanya a bisa menang dengan

Page 302: The Heike Story

membumihanguskan Istana Shirakawa. Kendati tidak menghendaki pembakaran terhadap bangunan-bangunan suci yang berada di dekat tempat ini dan menyaksikannya hancur lebur menjadi abu, untuk menyelamatkan penduduk ibu kota dari nasib serupa, saya menantikan perintah untuk melanjutkan tindakan. Jika diperintahkan untuk melanjutkan pertempuran, maka itulah yang akan kami laksanakan.”

Jawaban yang diterima oleh Yoshitomo menyatakan bahwa dia harus mengambil tindakan terbaik menurutnya. Maka, para prajuritnya memilih sebuah bangunan di dekat Istana Shirakawa dan membakarnya. Hujan tidak turun selama beberapa hari sehingga semuanya sekering kayu bakar; angin barat yang bertiup kencang menyebarkan api ke istal dan ruang pelayan di bagian selatan Istana, dan dalam sekejap, bagian utara Istana juga telah berselimut asap.

“Mereka telah melakukannya! Pembakaran lebih menakutkanku daripada pasukan Yoshitomo. Dia tahu betul cara memperoleh kemenangan.” Tametomo berdiri terpaku di medan laga tempat para prajuritnya bergelimpangan di sekelilingnya dan memandang api yang menjangkau langit, tertawa putus asa. “Dia memang tidak mengenal rasa takut, namun aku mengkhawatirkan ayahku yang renta. Kita harus mencari cara untuk mundur dengan selamat”

Mengumpulkan para prajuritnya yang masih bertahan, Tametomo memacu kudanya meninggalkan medan laga di tengah-tengah hujan anak panah.

Tameyoshi dan kelima putranya yang lain berhasil mempertahankan tembok barat dan selatan Istana sepanjang hari itu, namun Tadamasa, yang menjaga tembok timur, harus meminta bantuan beberapa kali ketika

Page 303: The Heike Story

musuh berhasil mendobrak masuk. Dia telah kehilangan hasrat untuk bertempur karena kekalahan sepertinya sudah tidak terhindarkan lagi. Api melalap tembok Istana dan menyebar tanpa kenal ampun dari pohon ke pohon, mendekat dan melalapkan asap hitamnya ke Istana.

o0odwkzo0o

Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH Pekikan-pekikan perang para prajurit dan desingan

panah menghampiri gerbang-gerbang Istana Shirakawa bagaikan badai. Jeritan putus asa terdengar dari sejumlah ruangan di dalam Istana, dan langkah-langkah kaki yang sigap bergema di sepanjang lorong- lorongnya.

“Selamatkan nyawamu ... selamatkan nyawamu ... sekarang!”

“Yang Mulia! Beliau harus dilarikan.”

“Musuh telah tiba di gerbang! Jangan sampai kita kehilangan waktu! Sekarang waktunya meloloskan diri, atau kita akan terbakar hidup-hidup di sini!”

lyehiro dan putranya menghambur memasuki deretan ruangan tempat Mantan Kaisar Sutoku dan para pengiringnya yang kebingungan duduk ketakutan.

“Ke gerbang kecil di utara ... kita bisa keluar dari sana. Sekarang juga”

Yorinaga, tersadar dari keterpakuannya, memohon, “lyehiro, lyehiro, selamatkan kami!”

Ujung sebuah langkan, yang melingkari bagian Istana itu, tiba- tiba terlalap api. Sesaat kemudian, asap tebal yang menyesakkan napas menggulung ke bawah, menelan bulat-

Page 304: The Heike Story

bulat semua orang dan kuda yang dilewatinya. Mantan Kaisar Sutoku, yang bergegas menaiki kudanya, berpegangan erat-erat ke pelananya, tidak berdaya dalam menenangkan tunggangannya yang panik, hingga seorang juru tulis muncul di belakangnya dan mendorong kudanya menuju salah satu gerbang. Yorinaga menyusul bersama seorang pejabat istana yang membonceng di belakangnya. Api menggemuruh dan melalap labirin bangunan di bagian utara Istana; menghanguskan pepohonan dan menimbulkan hujan bara. Panas yang tidak tertahankan

mendatangkan angin puyuh yang melontar-lontarkan manusia dan kuda ke sana kemari.

Ketika memacu kudanya melewati salah satu gerbang kecil, Yorinaga mendadak mengeluarkan jeritan memilukan dan terjatuh dari pelananya, menyeret kawan seperjalanannya bersamanya. Para penunggang kuda lainnya berhenti untuk melihat apa yang terjadi dan mendapati Yorinaga berkelojotan kesakitan, sebatang anak panah menancap di lehernya; darah memancar dari lukanya, dengan cepat membasahi seluruh kimono berburu biru mudanya.

“Cepat ... cabut anak panahnya!” para pejabat istana saling menyuruh, namun tidak seorang pun bertindak hingga seorang ajudan menghampiri mereka.

“Kita tidak punya banyak waktu! Jika musuh menemukan kita, semuanya tamat,” serunya. Kemudian, pria itu berlutut dan mencabut anak panah yang menancap di leher Yorinaga, menyumbat lukanya, dan memerintahkan dua orang pegawai istana untuk memindahkan sang menteri ke sebuah gubuk petani di dekat Istana dan meninggalkannya di sana.

Page 305: The Heike Story

Mantan Kaisar Sutoku, sementara itu, telah tiba di kaki Perbukitan Timur, tempatnya meninggalkan kudanya dan, ditemani oleh Genji Tameyoshi, Tadamasa, dan beberapa orang pejabat istana, dengan susah payah berjalan kaki menembus semak belukar. Letih dan pegal, Sutoku mengeluh kehausan. Para pengikutnya yang masih dirundung kepanikan, bagaimanapun, tidak berhasil mendapatkan air di bagian bukit itu karena musim kemarau panjang telah mengeringkan mata air yang ada di sana. Tetapi, mereka tiba? tiba mendengar sebuah suara dari belakang mereka.

“Ini, ini air untuk Yang Mulia. Saya membawakan air untuk Y Mulia.”

Para pengiring Sutoku terkejut melihat seorang pria dengan susah payah menembus semak belukar tebal dan menghampiri mereka. Dia adalah Asatori, juru kunci Mata Air Dedalu, yang segera bersujud di hadapan Sutoku.

“Ini adalah air dari Mata Air Dedalu, Yang Mulia,” kata Asatori mengulurkan sebuah bumbung bambu hijau dengan tangan gemetar

Sutoku menatap Asatori dengan takjub. “Juru kunci Mata Air Dedalu!”

Asatori membungkuk dalam-dalam.

“… Asatori!”

“Yang Mulia, bumbung bambu ini mungkin mengubah rasanya, namun air ini saya ambil dari mata air yang telah menjadi sumber air minum Yang Mulia sejak empat belas tahun terakhir ini”

“Tetapi, bagaimana ... apa alasanmu melakukan perjalanan sejauh ini demi membawakan air untukku?”

Page 306: The Heike Story

“Semua ini terasa bagaikan mimpi sekarang, namun baru kemarin lusa pasukan Kaisar menduduki Istana Mata Air Dedalu, dan pertempuran pecah di sana. Kendati bertekad untuk tetap tinggal di sana dan menjaga mata air, api mengusir saya.”

Asatori berbicara dengan terburu-buru karena melihat para pengiring Mantan Kaisar sudah tidak sabar ingin melanjutkan perjalanan.

“Asatori, aku akan meminum air yang kaubawa dalam kebaikan hatimu ini …” Mendekatkan bumbung bambu itu ke bibirnya, Mantan Kaisar minum dengan nikmat “Air ini sungguh menyegarkan. Semanis embun surga!” katanya, mengembalikan bumbung yang belum sepenuhnya kosong kepada Asatori. “Simpanlah sisanya, karena air ini terlalu berharga untuk dibuang.”

Malam tiba, namun tidak ada waktu beristirahat bagi buronan karena pasukan Kaisar telah menyebar di perbukitan untuk mencari mereka. Terlalu lelah untuk memedulkan apa yang tenjadi, Sutoku memohon kepada para pengiringnya untuk menanggalkannya menyuruh mereka menyelamatkan diri mereka masmg-masmg. Namun Tameyoshi, dengan mata berkaca-kaca menenangkannya “Kami tidak bisa meninggalkan Anda sendiri Yang Mulia. Anda harus berusaha bertahan hingga beberan han ke depan. Sungguh pedih hati saya melihat Yang Mulia har^ mengalami kesusahan seperti ini. Saya yakin bahwa kita akan sesera menemukan jalan raya menuju Omi. Setibanya di sana, kita bisa memutuskan apa yang akan kita lakukan untuk menebus kekalahan

Sebelum mereka terdesak dan terpaksa mundur, Tameyoshi telah membahas sebuah rencana bersama Yorinaga. namun ketika itu, sang menten dengan yakin menyanggahnya. Tameyoshi berencana untuk, seandainya

Page 307: The Heike Story

upaya kudeta mereka gagal, mencapai sisi timur Gunung H,e. dan menyeberangi Danau Biwa menuju Omi, yang terletak d. sisi lain danau. Di sana, Tameyoshi yakin bahwa mereka akan mendapatkan perlindungan dari klan Genji. Dia yakin bahwa mereka akan mendapatkan tambahan kekuatan yang cukup untuk melakukan serangan balasan. Jika rencana ini gagal, Tameyoshi berpikir untuk pergi lebih jauh ke timur, ke Dataran Kanto di wilayah Sagami, daerah yang dihuni oleh begitu banyak cabang klan Genji. Di sana, dia akan menghimpun sebuah pasukan yang akhirnya akan mengembalikan Sutoku ke singgasananya. Tameyoshi menyampaikan seluruh rencana tersebut kepada Mantan Kaisar, namun Sutoku mengaku bahwa dirinya telah putus asa dan hanya berharap untuk ditinggalkan bersama dua orang pengiring, sementara yang lain boleh melarikan diri demi keselamatan mereka masing-masing.

Sepuluh orang pengiring Sutoku dalam pelariannya menerima pembebasan tugas mereka. Dua orang pengiring yang paling akhir meninggalkan Sutoku adalah Tameyoshi dan Tadamasa, yang bertolak secara terpisah menuju Gunung Hiei sebelum fajar merekah

Oleh kedua orang pegawai istana yang menemaninya. Sutoku d,desak untuk mengejar keselamatannya dengan masuk lebih dalam ke hutan, namun Mantan Kaisar yang kelelahan menolak sara mereka. Bunyi gemerisik yang mendadak terdengar dari semak belukar di dekat mereka mengagetkan ketiganya. Sebuah suL terdengar:

“Yang Mulia, izinkanlah saya menggendong Anda di punggung saya dan menolong Anda dalam pelarian ini, karena jalan di depan kita sangat gelap dan curam.”

“Asatori! Apa yang membawamu datang kemari lagi? Mengapa kau tidak pergi menyelamatkan diri bersama yang lain?”

Page 308: The Heike Story

“Saya juga harus mencari tempat persembunyian, namun izinkanlah saya untuk menyertai Yang Mulia hingga beberapa hari ke depan.”

Asatori membungkuk dan menawarkan kepada Sutoku agar naik ke punggungnya.

Kabut tebal menggelayuti puncak-puncak bukit, namun di kejauhan, langit di atas Kota Kedamaian dan Ketenteraman masih memendarkan cahaya merah dari api yang melalap sebagian ibu kota. Menjelang fajar, ketika Sutoku masih terlelap, Asatori menyelinap pergi. Dia kembali beberapa waktu kemudian dengan membawa bahan makanan yang didapatkannya dari seorang pertapa yang tinggal di dekat tempat itu.

lyehiro, yang telah melakukan penjagaan sepanjang malam, mengatakan, “Mustahil untuk memasak sesuatu di sini karena asapnya akan terlihat oleh musuh kita. Baru beberapa saat yang lalu, kurasa aku mendengar suara-suara prajurit di dekat kita. Yang Mulia rupanya berharap untuk menjalani upacara penahbisan, namun tidak ada seorang pun yang bisa membimbing beliau di sini. Bisakah kau mencari sebuah tandu untuk membawa beliau hingga kita menemukan seorang pendeta?”

Bersama Mitsuhiro, Asatori pergi ke sebuah dusun dan segera kembali membawa sebuah tandu reyot lyehiro dan Mitsuhiro melepas baju zirah dan berbagai atribut mereka, menggulung lengan dan mengangkat ujung kimono mereka agar sebisa mungkin terlihat seperti pelayan. Hari itu juga, mereka memanggul tandu Sutoku menuruni bukit menuju ibu kota. Kabar bahwa pertempuran telah berakhir mengundang para pengungsi untuk berduyun-duyun pulang dari perbukitan dan dusun-dusun di sekitar ibu kota, dan tandu Sutoku menyaru di tengah-tengah masyarakat tua dan muda yang kembali ke ibu kota.

Page 309: The Heike Story

lyehiro dan Mitsuhiro, yang tidak terbiasa memanggul tandu, tersaruk-saruk di jalan yang berdebu, tubuh mereka basah kuyup oleh keringat untuk mencari kediaman Nyonya Awa. Setibanya di kediaman bangsawan itu, mereka mendapati gerbangnya terkunci rapat dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan menuju kediaman Penasihat Norinaga dan mendapati bahwa bangunan itu terbengkalai, karena Norinaga, kata seorang pejalan kaki yang berpapasan dengan mereka, telah menjalani upacara penahbisan sebelum perang pecah dan pergi ke tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun. Kemudian, mereka mengetuk gerbang seorang wanita baik hati yang pernah mengabdi kepada Sutoku, namun tidak seorang pun keluar untuk menyambut mereka; yang terlihat oleh mereka hanyalah seekor anak kucing yang tidur meringkuk di bawah serumpun semak Dari timur ke barat mereka menyusuri ibu kota, mencari tempat mengungsi, namun sia-sia saja. Berkali-kali, mereka melewati rumah-rumah besar tempat sorak sorai kemenangan terdengar. Senja telah tiba ketika lyehiro teringat pada sebuah kuil kecil yang mungkin akan menerima mereka; sekali lagi, mereka memanggul beban mereka dan meneruskan perjalanan. Mereka menemui seorang pendeta tua, kerabat dari salah seorang pelayan lyehiro, yang menyajikan semangkuk bubur gandum kepada Sutoku dan kemudian mencukur kepalanya di bawah temaram cahaya lentera.

Keesokan harinya, lyehiro dan Mitsuhiro membawa Sutoku ke Kuil Ninna-ji, tempat adiknya menjadi kepala biara. Sang kepala biara sedang pergi, dan para pelayannya menolak untuk menerima mereka namun, atas desakan Sutoku, mengizinkan mereka untuk berteduh di salah satu pondok. Di sini, kedua pengiring Sutok akhirnya meninggalkannya dan masing-masing bertolak ke tujuan

Page 310: The Heike Story

yang tidak mereka ketahui di sebuah provinsi yang berjarak jauh dari ibu kota.

o0odwkzo0o

Pembumi hangusan Istana Shirakawa disusul oleh pembakaran terhadap kediaman para bangsawan yang berpihak kepada Mantan Kaisar. Selama empat hari dan empat malam, udara di ibu kota sesak oleh asap. Tetapi, gerimis turun pada malam kedua dan hujan deras melanda ibu kota pada hari ketiga. Malam itu, sebuah perahu yang penuh dengan muatan kayu bakar terlihat menyusuri Sungai Katsura dan berhenti di mulut sungai untuk menanti hujan dan angin mereda. Beberapa sosok gemetar, duduk berselimut tikar di dasar perahu, berkerumun dalam keadaan basah kuyup dan merana, dan sesekali terdengar erangan dari seseorang yang terbaring telentang di atas palang-palang perahu.

“Apakah kita sudah sampai di Uji? … Berapa lama lagikah perjalanan ini?” Yorinaga hanya sanggup membisikkan pertanyaannya.

Harapan terakhir Yorinaga yang sedang sekarat adalah menemui ayahnya di Uji.

Tidak ada yang mengganggu perjalanan lambat menuju Uji itu selain tatapan tajam burung-burung pemakan ikan di sepanjang sungai. Dari waktu ke waktu, Yorinaga mengerang ketika seseorang memeganginya dan menempelkan kayu obat membara pada luka di lehernya. Sejauh ini, perawatan itu telah menghentikan perdarahannya dan mencegah belatung berkembang biak di luka terbuka yang terpapar udara musim panas itu. Asap dupa dan kayu

obat mengepul-ngepul di udara, sementara Yorinaga, yang teria® dari tidurnya, merintih-rintih kesakitan. ,aga

Page 311: The Heike Story

Ketika mereka akhirnya tiba di Uji, Tadazan* ternyata telah melarikan diri ke Nara. Maka, Yorinaga pun memulai perjalanan lambat dengan tandu kayu ke Kuil Kofukuji di Nara, dan tiba di sana pada malam hari tanggal 14. Kabut menyelimuti hutan kecil di sekeliling Tempat Pemujaan Kasuga dan Kolam Sarusawa. Tidak seberkas cahaya pun terlihat dari biara-biara di sekelilingnya.

Dua orang pejabat istana yang menyertai Yorinaga mengetuk gerbang Kuil Kofukuji. Jawaban terdengar dari dalam, dan beberapa orang samurai dan seorang pendeta, yang bersenjata lengkap keluar. Setelah membisikkan penjelasan. Toshinari dipersilakan masuk seorang diri. Ayah Yorinaga masih terjaga dan segera keluar.

Toshinari segera menceritakan kepadanya tentang apa yang telah terjadi dan bagaimana mereka membawa Yorinaga kemari. Tetapi, laporan mengenai kekalahan memalukan Yorinaga telah didengar oleh Tadazang. Kecuali getaran singkat dagu berjanggut putihnya, tidak ada emosi yang terlihat di wajahnya, tidak ada tanda-tanda bahwa dia menyambut hangat kedatangan putra yang dicintainya dengan begitu buta.

Akhirnya, dia berkata, “Astaga, Toshinari, aku tak henti-hentinya memikirkan mengapa majikanmu bisa berakhir seperti ini! Tidak ada gunanya bertemu dalam keadaan semenyedihkan ini. Toshimaru, aku berpesan kepadamu untuk membawa Yorinaga ke suatu tempat di mana orang lain tidak bisa melihat atau mendengarnya.”

Setelah selesai berbicara, tubuh kurus Tadazane terguncang- guncang dalam isakan. Dengan melindungi putranya, dia akan menyeret istri, anak-anak, dan kerabat Yorinaga ke dalam penahanan yang berujung pada hukuman mati.

Page 312: The Heike Story

Toshinari keluar dengan kekecewaan mendalam. Tandu masih berdiri berselimut kabut di tempat dia meninggalkannya. Dia membungkuk di atas Yorinaga yang sedang merintih kesakitan dan perlahan-lahan menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Tadazane.

“Apa! ... ayahku?”

Tandu bergoyang ketika Yorinaga berjuang untuk duduk. Beberapa patah kata diucapkannya dengan terbata-bata, diakhiri oleh bunyi tercekik dari tenggorokannya. Tandu kembali bergoyang, disusul oleh keheningan yang mencekam. Toshinari dan kawannya memanggil- manggil Yorinaga, namun tidak ada jawaban yang terdengar. Ketika mereka memeriksanya, Yorinaga ternyata telah tewas. Dia menggigit lidahnya sendiri hingga putus. Khawatir pihak yang berwenang akan menangkap mereka, keduanya memanggul tandu menuruni Bukit Nara selagi hari masih gelap dan berhenti di sebuah tanah lapang. Di sana, mereka menggali sebuah lubang dan menurunkan tandu beserta Yorinaga di dalamnya ke sana. Sebelum menimbun kuburan tersebut, Toshinari memotong ikatan rambutnya dan melemparkannya ke mayat Yorinaga untuk menandakan bahwa dia telah meninggalkan dunia. Beberapa orang kawannya mengikuti tindakannya, sebelum saling berpamitan dan bertolak ke arah yang berlainan.

o0odwkzo0o

Suasana ibu kota dengan cepat kembali normal, walaupun perburuan besar-besaran terhadap para pengkhianat terus berlanjut. Begitu masuk melalui salah satu dari tujuh jalan utama menuju Kyoto, setiap pelancong, yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa yang baru saja terjadi, waswas melihat batas kota yang dipenuhi oleh petugas dan banyak peraturan baru diterapkan di kota. Segera setelah terdengar kabar mengenai Sutoku yang telah

Page 313: The Heike Story

menjalani upacara penahbisan dan Yorinaga yang tewas karena lukanya, rumor tertentu mulai menyebar dengan cepat di seluruh ibu kota. Desas-desus tersebut mengatakan bahwa siapa pun yang langsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang akan dianggap sebagai korban pemaksaan dan diampuni kesalahannya; bahwa para pemimpin kudeta yang lain akan mendapatkan hukuman ringan, Janji-janji yang tidak tidak diketahui sumbunya daa tidak ditegaskan dengan pernytaan resmi itu ternyata berhasil menggiring para bangsawan dan pejabat istana untuk keluar dari tempat persembunyian mereka. Sejumlah besar prajurit, bersama pengikut Yorinata yang lain, menyerahkan diri setiap hari dan dijebloskan ke penjara tempat jeritan para tahanan yang disiksa menggunakan api dan air terdengar dari tembok tingginya.

Korekata, Panglima Pengawal Golongan Kanan, ditunjuk meniadi hakim kepala dan bertugas memimpin pengadilan, tempat, catatan kejahatan telah menumpuk. Wajah para pejabat dan pegawai istana seketika pucat pas, ketika bukti yang ditunjukkan di pengadilan tidak hanya menegaskan tentang pemberontakan tetapi juga secara tidak langsung menggiring kecurigaan kepada orang-orang yang bersekongkol untuk mengakibatkan kematian Konoy6, sang Kaisar- kecil.

Sekarang telah jelas terlihat bahwa dalang yang dengan lihai menggerakkan dan menjalankan berbagai urusan kenegaraan adalah Penasihat Shinzei; pejabat pendiam dan bijaksana yang telah bertahun-tahun menenggelamkan diri ke dalam pekerjaannya dan lolos dari pengamatan Yorinaga. Sekarang, Shinzei, akhirnya melejit ke posisi yang begitu dekat dengan singgasana. Dialah yang memerintahkan perburuan besar-besaran terhadap para pengkhianat; jika diusut secara cermat, dia pulalah yang

Page 314: The Heike Story

mulai menyebarkan desas-desus tentang pengampunan; dan ketika tiba waktu untuk memberikan penghormatan kepada orang-orang yang berperan dalam menumpas pemberontakan, Shinzei pulalah yang menyusun daftar penerimanya.

Kepada Yoshitomo dianugrahkan, kata banyak orang, hadiah yang terbesar, yaitu jabatan sebagai Juru Kunci Istal Kekaisaran ... sebuah jabatan yang belum pernah terdengar di kalangan samurai. Bagaimanapun, sebagian orang percaya bahwa Kiyomorilah yang menerima hadiah terbesar: jabatan gubernur di Provinsi Harima dan gelar Tuan Harima, karena wilayah yang berhadapan dengan Laut Dalam itu pernah dipimpin oleh ayahnya dan dihuni oleh banyak anggota klan Heike. Bahwa sebuah kesepakatan telah dibuat diam-diam oleh Shinzei dan Kiyomori terpikir oleh beberapa orang yang mengetahui kedekatan hubungan mereka. Mereka tahu Shinzei mengandalkan kekuatan samurai sedangkan Kiyomori terus memegang teguh teman yang memiliki kekuasaan di Istana demi klan Heik6. a

o0odwkzo0o

Sebelum sempat melepas baju zirahnya dan tidur dengan nyenyak malam itu, Kiyomori telah mendapatkan perintah untuk membawa tiga ratus orang prajurit melintasi Gunung Hiei menuju Otsu dan Sakamoto yang terletak di dekat Danau Biwa guna mencari dan menahan Tameyoshi beserta anak-anaknya. Para mata-mata melaporkan bahwa Tameyoshi bersembunyi di sebuah kuil di sisi lain Gunung Hiei dan sedang menantikan saat yang tepat untuk menyeberangi danau agar bisa melarikan diri ke timur melewati jalan raya Tokaido. Tetapi, penyisiran di Kuil Mii-dera dan lingkungan sekitarnya tidak membuahkan hasil apa pun; jejak para buronan juga tidak bisa ditemukan

Page 315: The Heike Story

di Otsu ataupun kampung-kampung nelayan di antara Otsu dan Sakamoto, sehingga Kiyomori memindahkan pencarian ke Persimpangan Izumi, daerah milik salah satu biara di dekat situ. Desa kecil itu, yang kedai-kedai tehnya sering dijadikan sebagai tempat bersantai oleh para biksu, adalah tempat pendaratan kapal-kapal yang lalu lalang di danau. Para penghuni rumah- rumah bordil di sana menyambut gembira kedatangan Kiyomori dan pasukannya yang hendak melakukan pencarian dari rumah ke rumah. Kiyomori memanggil dan menanyai para kepala keluarga dan pemilik rumah bordil. Kemudian, seorang wanita tua cerewet

muncul, menawarkan informasi.

“Nah, saya tidak tahu apakah Tameyoshi ada di antara mereka atau tidak, tapi seorang nelayan memberi tahu saya bahwa pada pagi buta tadi, enam atau tujuh orang samurai berbaju zirah mahal menyeberangi danau menuju Omi.”

Sementara Kiyomori menanyai wanita itu. sebuah gong peringatan mula. dibunyikan, dan teriakan-teriakan liar terdengar memasuki kampung. Kabar mengenai kedatangan Kiyomori telah terdengar di biara, dan para biksu telah menyandang senjata mereka dan berduyun-duyun menuruni gunung untuk mengusir para pelaku pelanggaran. Ketika tiba di tempat kejadian. Kiyomori mendapati para prajuritnya terlibat dalam pertempuran sengit melawan para biksu. Anak-anak panah berdesingan di udara sementara para biksu menyerang pasukan Kiyomori dengan tombak mematikan mereka. Kiyomori segera menarik busurnya dan membidik seorang biksu bertubuh kekar, ketika sasarannya tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dan berseru:

“Ya! Kaukah itu, Heik6 Kiyomori? Tunggu. Tuan Harima! Jika itu memang benar dirimu, aku tidak mau melawanmu di sini!”

Page 316: The Heike Story

“Apa, kau menolak melawanku? Sepengecut itukah dirimu?”

“Aku Kepala Biara Jisso dari biara di dekat sini.”

“Apa?”

“Sudah lupakah dirimu bahwa kita pernah bertemu delapan atau sembilan musim panas yang lalu ... pada bulan Juni ... di kaki Bukit Gion ketika kami berbaris membawa Altar Sakral ke ibu kota? Hanya ada seorang samurai yang berani melawan kami dan memanah emblem sakral. Tentunya kau belum melupakan hari itu!”

“Itu memang aku, Heike Kiyomori”

“Sebatang anak panahmu telah berhasil menggiring kami mundur. Kami bersumpah bahwa pada suatu hari nanti, akan tiba kesempatan untuk membalas dendam. Ada pula para biksu yang secara diam- diam mengagumimu, dan aku adalah salah seorang di antaranya.”

“Lalu?” -

“Aku bersumpah bahwa aku akan berusaha menemuimu, yakin bahwa kau akan menjadi lawan bicara yang menarik”

“Di mana pun kau mau. Kapan pun yang bisa menyenangkanmu.”

“Ya, tapi apa alasanmu membuat keributan di sini”‘ Kam, tidak bermaksud membuat keributan Aku mendapat perintah untuk menangkap Tameyoshi. Situasi ini tak terhindarkan lagi.”

“Tarik pasukanmu sekarang juga, kita akan bertemu suatu hari nanyi.”

“Terserah apa katamu. Aku malu mengakui, namu memang bersalah.”

Page 317: The Heike Story

Kesal akibat gagal menangkap Tameyoshi dan harus menghadapi- amukan para biksu pasukan Kiyomori baru mundur setelah membakar gubuk-gubuk di kampung.h

Setelah dua puluh hari berlalu, semua buronan telah ditangkap dan dipenjarakan, kecuali dua orang-Genji Tameyoshi dan Heiki Tadamasa, paman Kiyomori.

Dalam perjalanan menuju Rokuhara, Kiyomori menghibur diri dengan angan-angan untuk melepas baju zirahnya dan mandi air hangat, dan setelah itu tidur nyenyak. Dia baru saja melewati Jembatan Gojo ketika seorang pendeta berjubah compang- camping dengan wajah nyaris tertutup sepenuhnya oleh kain dan topi peziarah lebar mendadak melompat ke arahnya dari balik pepohonan.

“Ah, Tuan Harima, tunggu! Tunggu!”

Pria itu melempar tongkatnya saat menubruk Kiyomori dan memegangi pijakan kakinya. “Aku ... ini aku, Tuan Harima, pamanmu!”

“Apa?” Kiyomori memekik kaget dan cepat-cepat memerintahkan kepada para prajuritnya untuk bersiaga. Dia menghentikan kudanya dan menatap bingung kepada sosok mengenaskan itu, nyaris tidak memercayai pendengarannya. “Tinggalkan aku di sini. Pergilah ke bawah pepohonan di sana dan tunggu aku,” perintah Kiyomori kepada para prajuritnya.

Si pendeta berlutut sambil memegangi pijakan kaki Kiyomori, menangis terisak-isak, “Oh, keponakanku, ini pamanmu, Tadamasa. Selamatkan aku! … Aku memohon kepadamu, darah dagingku sendiri, untuk mengampuniku. Aku mendatangimu, harapan terakhirku Tuan Harima, keponakanku sendiri, selamatkan aku! Oh, selamatkan aku.”

Page 318: The Heike Story

“Lepaskan aku! Kiyomori tidak memiliki paman. Kau tidak punya alasan untuk menyebutku keponakanmu.”

“Apa maksudmu? Bukankah aku saudara kandung ayahmu?”

“Bukankah Heik6 Tadamasa, pada musim panas sembilan tahun yang lalu, ketika aku berangkat untuk menghadapi para biksu dari Gunung Hiei, mengkhawatirkan keselamatannya sendiri dan

memutuskan seluruh ikatan darah dengan keluarga Heike?”

“Ah, tapi itu kejadian bertahun-tahun yang lalu …”

“Kau tidak punya harga diri ketika itu, dan sekarang pun sama saja.”

“Aku telah salah langkah ….Aku membuat kesalahan terbesar di dalam hidupku ketika membiarkan Menteri Yorinaga menyeretku ke dalam persekongkolan yang didalanginya. Aku menarik kembali ucapanku yang telah memutuskan seluruh ikatanku dengan keluarga

“Sesal kemudian tidak ada gunanya. Aku tidak menerima alasan apa pun. Kau adalah seorang penjahat biasa ... seorang pengkhianat”

“Apa kau tega melihatku ditangkap dan dihukum mati?”

“Mengapa kau tidak menyerahkan diri saja? Aku tidak punya urusan denganmu. Perintah yang kudapatkan adalah menangkap semua pemberontak Tugasku adalah menyerahkanmu kepada pihak yang berwenang.”

“Kau berhati batu! … Ah ... ”

“Menjauhlah dari pandanganku! Pergilah ke mana pun kau mau! Pergilah, atau aku akan menahanmu.”

Page 319: The Heike Story

“Tidak, tidak! Aku sudah berhari-hari bersembunyi di perbukitan tanpa memiliki sedikit pun makanan, dan aku telah bersusah payah meloloskan diri dari para penjaga di persimpangan untuk menunggumu di sini. Jika aku pergi ke tempat lain, pasukan lain pasti akan menangkapku ….Ya, kau, Tuan Harima, seharusnya menghukumku dengan memenggal kepalaku!”

“Mengapa kau memilihku untuk menjadi algojomu? Men kau tidak menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang saja?^ itu terlalu memalukanmu, lebih baik cabut sendiri saja nyawam seperti seorang samurai sejati.”

“Aku tidak akan melakukan keduanya. Aku datang kemari untuk memohon ampunan dari keponakanku sendiri. Jika dia menolakk maka tidak akan ada hukum di langit maupun bumi yang bisa’ menyelamatkanku. Aku memilih untuk dipenggal oleh keponakank Itulah permintaan terakhirku. Mari, Tuan Harima, tebaskan pedangmu! Penggallah kepalaku!”

Pamanku yang ini memang menyusahkan, pikir Kiyomori. Namun Tadamasa mengetahui betul watak Kiyomori. Dia telah mengenal Kiyomori sejak masih bocah ingusan, dan kemudian tumbuh menjadi pemuda melarat. Dia juga tahu tentang betapa mudahnya keponakannya tergerak oleh rasa iba, dan Tadamasa telah siap mengambil keuntungan dari sifat itu. Dia yakin bahwa Kiyomori tidak akan tega menjatuhkannya. Tadamasa yakin bahwa air mata akan dengan mudah meloloskannya. Dan, tepat seperti yang telah diperkirakan oleh Tadamasa, Kiyomori merasa sepenuhnya tidak berdaya, seolah-olah dirinyalah yang menjadi korban, bukan pamannya.

Malam itu, dia menyembunyikan Tadamasa di salah satu bilik di Rokuhara. Malam berikutnya, dia secara diam-diam menemui Shinzei. Kiyomori, yang biasanya tetap ceria di

Page 320: The Heike Story

hari-hari terberat setelah perang sekalipun, kali ini tampak letih dan resah. Sesuatu membebani benaknya, dan dia menatap kosong pada lentera di ruang tamu Shinzei, menunggu kehadiran sang penasihat.

o0odwkzo0o

Bab XVII-SUNGAI BERDARAH Heike Kiyomori maupun tuan rumahnya sudah cukup

mabuk gara-gara sake yang dituangkan oleh Nyonya Kii. Setelah mereka menenggak beberapa cangkir untuk merayakan kemenangan, Nyonya Kii, yang bisa menebak arah percakapan di antara keduanya, menyuruh para pelayan pergi dan melayani mereka seorang diri.

“Kau seharusnya memenggal dia. Tidak ada lagi yang bisa kaulakukan kecuali memenggal dia. Kau tidak akan bisa menjadi pria sejati jika hatimu tetap lunak,” ulang Shinzei, mengolok-olok Kiyomori yang sedang dirundung kebimbangan. “Kau resah karena Tadamasa adalah pamanmu, tapi bukankah dia sudah memutuskan ikatan darah denganmu?”

“Ya, waktu itu dia mengkhawatirkan dampak dari peristiwa Altar Sakral, dan langsung memutuskan hubungan keluarga denganku.”

“Kalau begitu, dia tidak memiliki urusan apa pun denganmu.”

“Tapi, ada ... ”

Shinzei menatap tajam kepada Kiyomori dengan mata merahnya, lalu melanjutkan, “Ikatan darah ... tapi kupikir Kaisar Shirakawalah ayah kandungmu, bukan Heike Tadamori”

Page 321: The Heike Story

“Ya, aku mendengar tentang hal itu dari ayahku sebelum beliau peninggal Walaupun aku barangkali adalah putra Kaisar Shirakawa, pakah yang pernah beliau lakukan padaku? Tadamori adalah iyahku. Bagaimana mungkin aku melupakan beliau? Tadamasa adalah saudaranya, dan aku tidak tega menahannya, apalagi memenggal ikepalanya.”

Shinzel tergelak. “Kau memang baik hati.” Menoleh kepada istrinya, dia berkata, “Adakah orang lain yang resah gara-gara hal tidak masuk akal semacam itu?”

Nyonya Kii menjawab, “Sepertinya aku kurang mengerti. Apakah yang sebegitu memberatkannya?”

“Baiklah, dengarkan penjelasanku. Kiyomori datang kemari untuk meratap kepadaku, dan ketika aku menanyakan apa yang meresahkannya, dia mengatakan bahwa dirinya siap menanggalkan gelar barunya dan menyerahkan tanahnya demi kebebasan Heik6 Tadamasa.”

“Astaga, jadi Heik6 Tadamasa mendatangimu karena kau keponakannya?”

“Kiyomori menyembunyikan Tadamasa, lalu setelah berpikir panjang lebar mendatangiku, memohon kepadaku agar membersihkan nama Tadamasa. Aku menyebutnya bodoh. Nah, apa pendapatmu tentang hal ini?”

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa ... ”

“Dirimu sekalipun, seorang wanita, yang pernah melaksanakan banyak tugas rahasia yang kaubenci demi memenuhi keinginan Nyonya Bifukumon dan mendiang Kaisar, semestinya tersenyum melihat betapa cengengnya kepala klan Heik6 ... si Tuan Harima ini.’

“Ini berlebihan, Shinzei ... menjadikanku bahan olok-olokan mu seperti itu. Seperti yang baru saja kukatakan, aku telah menetapkan pikiran.”

Page 322: The Heike Story

“Aku masih bisa melihat jejak keresahan dan keraguan pada dirimu. Kau kelihatan cukup tenang, tapi aku bisa melihat tanda-tanda bahwa kau masih gundah.”

“Tidak ada apa-apa ... ini hanyalah keraguan yang wajar dihadapi oleh seseorang yang berusia lebih muda. Aku kesulitan meneguhkan hatiku untuk menyelesaikan masalah ini …”

“Masalahnya berbeda dalam kasusmu. Tadamasa adalah seorang pemberontak, dan kau hanya menjalankan perintah dari Kaisar. Dia tidak punya hak lagi untuk mengatur-ngaturmu. Tidak ada lagi ikatan darah di antara kalian”

“Aku tahu itu. Perintah ini harus segera dijalankan. Aku tidak akan ragu-ragu lagi.”

“Mengampuninya adalah tindakan bodoh; kau hanya akan membawa kemalangan kepada dirimu sendiri. Siapa yang bisa menjamin bahwa jika dia bebas, dia tidak akan menghimpun pasukan dari klan Heik6 di wilayah-wilayah lain negeri ini untuk melawanmu?”

“Benar. Aku tidak akan menjadi pengecut. Jika Kaisar menghendakinya, maka aku akan melakukannya besok.”

“Lebih cepat lebih baik, karena jika orang lain mengetahui bahwa kau menyembunyikan dia, entah apa yang akan terjadi padamu dan seluruh klan Heik6.”

“Benar sekali.”

Setelah keraguannya menguap, Kiyomori meninggalkan kediaman Shinzei. Angin sejuk bertiup ke pipinya, namun sakit kepala yang memualkan sekonyong-konyong menderanya, menyebabkannya bersempoyongan di atas pelananya. Kerisauan akibat tindakan yang harus diambilnya membuatnya ngeri. Seluruh dirinya seakan-akan menciut gara-gara pikiran akan memenggal kepala

Page 323: The Heike Story

pamannya sendiri. Kesedihan mendalam menderanya, dan Kiyomori menggeleng-geleng dan memukuli keningnya sendiri dengan tangan terkepal untuk melampiaskan rasa putus asanya. Dia memang terlahir sebagai seorang pengecut …. Sebenci-bencinya dia kepada Tadamasa, ini bukanlah jalan keluar yang bisa diambilnya.

Tadamasa terlambat bangun keesokan paginya; sinar temaram matahari pagi telah menerangi bilik pelayan yang hanya dilengkapi dengan sedikit perabot. Dia mencuci mukanya dengan larutan obat yang sudah dipersiapkan untuknya pada saat kedatangannya, lalu menyantap bubur sisa makan malamnya; yakin bahwa dirinya telah selamat, Tadamasa tidur dengan nyenyak malam itu. Dia melahap sarapannya dengan nikmat, dan pikirannya melayang kepada putra-putranya, yang tercerai berai gara-gara perang. Di manakah mereka sekarang? Apakah mereka telah tertangkap atau terbunuh, pikirnya.

“Apakah Heike Tadamasa ada di sini?”

Tergugah dari lamunannya, Tadamasa menatap heran kepada seorang samurai ramah berusia awal tiga puluhan yang memasuki biliknya. Ada kesan akrab di dalam dirinya, namun Tadamasa tidak melihat kemiripan dengan Kiyomori.

Suara Tadamasa terdengar melengking ketika dia menjawab, “Aku sendiri. Siapakah dirimu?”

“Tokitada, ajudan juru tulis di Istana.”

“Ah, adik Nyonya Harima. Berlawanan dengan perkiraanku, Tuan Harima telah dengan murah hati memberiku tempat berteduh. Aku benar-benar tidak menyangka, Tuan.”

Page 324: The Heike Story

“Saya mengerti. Seorang samurai harus menjunjung tinggi-tinggi namanya hingga titik darah yang penghabisan. Jika Anda hendak bercukur atau menyisir rambut Anda, saya bersedia menunggu”

“Menunggu? Apakah aku akan dibawa ke tempat lain?”

“Pukul empat sore nanti. Saya dikirim kemari untuk mengikat Anda.”

“Eh? Mengikatku? Siapakah yang memberi perintah kepadamu?”

‘Tuan Harima sendiri.”

“Mustahil! Panggil Tuan Harima kemari! Katakan kepadanya bahwa aku harus berbicara dengannya.”

“Tidak akan ada gunanya. Kami menerima surat penahanan dari Istana pagi ini dan mendapatkan perintah untuk menghukum mati Anda pada pukul empat sore ini.”

“Eh ... !” Tadamasa berdiri dengan goyah, berusaha memprotes. “O-o-omong kosong! Mustahil!” Tokitada menubruknya dan keduanya roboh ke lantai, saling melawan. Beberapa orang samurai yang menunggu di luar cepat-cepat masuk membawa seutas tali ke bilik itu dan mengikat Tadamasa.

“Panggil keponakanku! Bawa dia kemari ... Tuan Harima! Apa maksudnya menipu pria tua tak berdaya ini?” lolong Tadamasa, namun pintu biliknya dipaku dari luar dan dijaga oleh seorang petugas, sementara Tokitada bergegas pergi.

Kiyomori menghabiskan pagi itu seorang diri di biliknya; kata-kata Shinzei terus terngiang-ngiang di telinganya* namun hatinya tetap berat.

“Kakak, aku sudah melaksanakan tugasku.”

Page 325: The Heike Story

“Ah, kaukah itu, Tokitada? Apa yang dikatakannya?”

“Dia mengumpat-umpat dengan dahsyat Seorang pria tua yang beringas, walaupun akhir hidupnya sudah dekat”

“Seandainya aku tahu bahwa inilah yang akan terjadi, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan kepadanya dan menahannya saat itu juga. Dia mungkin akan mendapatkan pengampunan.”

“Tidak juga. Kau harus mengingat bahwa dia adalah Heik6 Tadamasa. Kesalahannya sudah tidak diragukan lagi.”

“Sudahkah kau membaca isi surat penahanan dari Istana?”

“Ya, aku sudah membacanya. Pemenggalan akan dilaksanakan pada pukul empat sore nanti, di tepi sungai, tidak jauh dari Jembatan Gojo.”

“Aku sudah semalaman tersiksa gara-gara memikirkan Tadamasa, dan sekarang aku diperintahkan untuk tidak hanya memenggalnya tetapi juga ketiga anaknya! Itu adalah keinginan Shinzei.”

“Itu tidak lebih buruk daripada yang kita lakukan di dalam medan pertempuran, ketika sandal kita basah bersimbah darah.”

“Itu berbeda. Sangat berbeda.”

“Ini juga perang. Apa yang membuatmu berpikir bahwa arena hukuman mati bukanlah medan perang?”

Ucapan gamblang Tokitada lebih meneguhkan hati daripada penjelasan panjang lebar Shinzei, dan keraguan Kiyomori kepada dirinya sendiri pun reda.

Page 326: The Heike Story

“Aku akan tidur sejenak, kalau begitu. Masih ada beberapa jam sebelum pukul empat tiba. Tokitada, ambilkan kotak yang ada di sana itu.”

Kiyomori berbaring menatap langit musim panas; dari bawah pinggiran atap rumahnya, dia melihat gumpalan-gumpalan awan berarak melintasi matahari, sejenak mendatangkan keteduhan di dunia sebelum cahaya menyilaukan menyorot kembali.

o0odwkzo0o

Pelaksanaan hukuman mati di depan umum telah menjadi kegiatan harian setelah perang berakhir, namun orang-orang sepertinya tidak bosan-bosannya menjadi penonton. Masyarakat dari berbagai lapisan telah membanjiri kedua tepi Sungai Kamo di atas jembatan Gojo. Para petugas yang baru saja tiba, yang memandang hukuman mati sebagai peringatan kepada rakyat, tidak melakukan apa pun untuk menghalau orang-orang yang terus berdatangan walaupun hari telah semakin sore. Angin kencang meniup helaian hitam dan putih pada tirai yang menandai lokasi hukuman mati dan mengancam untuk mencabik-cabiknya; hujan deras mulai turun.

Tiga orang pemuda berlutut dengan pasrah di atas tikar masing-masing, yang diletakkan di jarak yang sama di tepi sungai. Di dekat mereka, seorang pemeriksa mayat yang dikirim oleh Pangkalan Pengawal Kekaisaran dan para petugas penjara yang telah menyelesaikan tugas mereka menantikan kedatangan Kiyomori dan Tokitada. Kehadiran mereka segera menimbulkan keributan di kalangan penonton. Kiyomori turun dari kudanya dan berjalan ke arah sungai, berbasa-basi dengan para petugas yang telah menanti; Tokitada berjalan di belakangnya, dikawal oleh beberapa orang samurai dan menarik Tadamasa yang terikat erat. Tadamasa diperintahkan untuk duduk di atas

Page 327: The Heike Story

tikar keempat Ketiga pemuda yang telah lebih dahulu tiba di sana serentak berdiri dan berseru, “Ayah!” Tali yang mengikat masing-masing tahanan itu tertambat pada sebuah pasak, sehingga sebelum berhasil berdiri, ketiganya langsung terjerembap kembali ke tanah. Sifat kebapakan Tadamasa muncul ketika dia melihat anak-anaknya, dan dia pun menenangkan mereka:

“Bersabarlah. Kita harus menyerah. Hari ini sungguh pahit bagiku; tetapi, aku bersyukur karena mendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali dengan kalian. Ini sudah digariskan oleh karma kita.”

Suara Tadamasa, yang parau akibat jeritannya ketika bertahan dari penangkapan, terdengar lebih nyaring. “Dengarkanlah, anak-anakku ... jalan hidup sebagai samurailah yang membawa kita untuk mati dengan cara ini, namun kita tidak jatuh serendah binatang itu; keponakanku yang tidak tahu berterima kasih, Kiyomori! Salahkah kita jika memilih untuk setia kepada pengayom kita? Kita tidak pernah melupakan kebaikan hati beliau …. Lihatlah dia di sana, Kiyomori yang telah sejak lama kukenal. Itulah dia, orang yang paling tidak tahu berterima kasih! Untuk apa kita harus malu?”

Tadamasa memelototi Kiyomori, yang sekarang duduk di sebuah meja. Kiyomori membalas tatapannya tanpa mengatakan apa pun; yang ada di hadapannya adalah seseorang yang telah begitu dekat dengan kematian; rona telah menghilang dari pipinya, menyisakan kepucatan.

Tadamasa mendadak menyembur Kiyomori. “Hei, Kiyomori! Jika kau masih punya telinga untuk mendengar, dengarkanlah ini! Apa kau sudah melupakan masa lalu, ketika Tadamori masih melarat dan tidak mampu memberimu makan dengan bubur terencer sekalipun, dan berulang kali menyuruhmu meminjam uang kepadaku?”

Page 328: The Heike Story

Kiyomori tetap diam.

“Ingatkah kau ketika kau datang ke rumahku di tengah musim dingin dengan kimono usangmu, seperti pengemis, menyampaikan cerita-cerita kemalanganmu? Sudah lupakah dirimu bahwa kau menangis tersedu-sedu sambil melahap makanan dingin yang kusajikan karena aku kasihan kepadamu? Aku tertawa jika memikirkan bahwa iblis kelaparan itu sekarang telah menjadi Tuan Harima yang hebat! Biarlah masa lalu berlalu, tapi, apakah ini ... mengkhianati pamanmu sendiri, yang telah menolongmu di masa mudamu? Jadi, kau akan menyebut dirimu terhormat gara-gara menukar kepalaku dengan lebih banyak lagi imbalan dari Istana?”

“Kau lebih brengsek dari bajingan terbusuk sekalipun! Jawablah pertanyaanku ... kau ... jika kau bisa!”

“Aku sudah menduga bahwa kau tidak bisa. Bagaimana mungkin kau akan menjawab? Jadi, kau berniat memenggal kepalaku ... pamanmu ... saudara kandung ayahmu? …. Mungkin ini memang telah digariskan oleh karma. Kalau begitu, baiklah. Alih-alih berdoa, aku akan merapalkan nama Tadamori sambil menantikan tebasan pedangmu.”

Tadamasa menjerit nyaring. “Ini, penggal kepalaku sekarang juga!”

Mendung semakin tebal sehingga kegelapan meliputi arena hukuman mati. Tidak ada matahari yang bisa memastikan waktu. Geledek terdengar di kejauhan, dan permukaan air sungai bergolak karena angin dingin menimbulkan riak meniupkan pasir ke sana. Walaupun telah terbiasa melihat pelaksanaan hukuman mati, para petugas berkerumun seolah-olah racauan Tadamasa telah membuat mereka gentar. Sengatan tajam air hujan, bagaimanapun, berhasil menyadarkan mereka.

Page 329: The Heike Story

“Sudah pukul empat, Tuan Harima ... mungkin bahkan lebih.”

“Oh?” Kiyomori tampak bingung ketika mendengar pemberitahuan itu. Dia berdiri dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Tadamasa mengangkat pandangannya dan menatap lekat-lekat kepada Kiyomori yang sedang berjalan menghampirinya.

“Tokitada ... pedang.”

Tokitada, yang berjalan selangkah di belakang Kiyomori, menghunus pedang kakak iparnya. Dia memandang wajah pucat Kiyomori dengan ekspresi yang mengatakan, “Yang mana?”

“Yang di ujung.”

Ujung jari Kiyomori menunjuk ke wajah seorang pemuda. Kiyomori cepat-cepat membuang muka.

“Cepat, Tokitada ... jangan berkedip,” desak Kiyomori.

“Ini bukan apa-apa,” gumam Tokitada. Sementara dia berbicara, suara aneh yang menyerupai gesekan kain basah terdengar oleh telinga para penonton. Pada saat yang sama, mata pedang Tokitada berkilat dan meneteskan darah.

“Ah, Naganori, mereka sudah membunuhmu!” Tadamasa menangis. Suara yang menegakkan bulu kuduk kembali terdengar, dan satu lagi kepala terjatuh ke tanah.

“Tadatsuna! Ah, Tadatsuna!”

Tangisan Tadamasa menyaru dengan gemuruh guntur di atas mereka. Tadamasa melolong ketika desingan pedang terdengar untuk ketiga kalinya, namun tidak semulus sebelumnya. Tokitada mendadak tampak bingung dan mengamati wajah-wajah di hadapannya dengan tatapan kosong.

Page 330: The Heike Story

“Hei, Tokitada, ada apa denganmu?”

“Air ... bawakan air untukku sebelum aku menghabisi yang terakhir. Semuanya menjadi gelap, tanganku kehilangan kelihaiannya

“Pengecut! Kau mual gara-gara melihat darah …. Mana, biar aku yang menyelesaikannya.”

Amarah Kiyomori telah memuncak. Dia berjalan beberapa langkah menghampiri Tadamasa dan menatap dingin pada wajah yang mendongak kepadanya. Seluruh perasaan Kiyomori telah tercerabut dan melayang menuju kehampaan. Inti otaknya bagaikan es, begitu dingin sehingga menyayat dirinya. Sebuah tawa singkat mengagetkannya, hingga dia menyadari bahwa suara itu meluncur

dari bibirnya sendiri, sementara dia berdiri menjulang di hadapan Tadamara, mencengkeram pedangnya.

“Heike Tadamasa, ada lagikah yang hendak kaukatakan? Aku akan menghukum mati dirimu.”

“Hmm ... lihat saja apakah kau bisa,” Tadamasa mendesis garang, mendongakkan kepalanya seolah-olah untuk mempercepat saat terakhirnya. Alih-alih membungkuk untuk memperlihatkan tengkuknya. Tadamasa duduk dengan tegak, menggembungkan dadanya. “Aku tidak pernah menyukaimu ... bahkan ketika kau masih kanak-kanak, Kiyomori ... kau! Sekarang aku mengerti alasannya; itu adalah pertanda untuk hari ini.”

“Aku percaya kepadamu, karena tidak ada orang lain yang lebih kubenci daripada dirimu.”

“Seperti salju dan tinta ... kita begitu berbeda, paman dan keponakan. Kau menang. Aku akan mati di tanganmu, dan tidak ada yang lebih keji daripada ini.”

Page 331: The Heike Story

“Sepahit apa pun ini bagimu, ini adalah perang.”

“Bukan perang melainkan takdir. Giliranmu akan tiba, Kiyomori.”

“Tidak perlu menantikan itu. Nah, sudah siapkah dirimu?”

“Jangan buru-buru. Satu kata lagi”

“Apakah itu? Apa lagi yang harus kaukatakan?”

“Sejujurnya, kemiripan itu tidak bisa disangkal lagi. Benih-benih kejahatan dari pendeta mesum itu rupanya mengalir di darahmu”

“Pendeta apa? Apa?”

“Ayahmu.”

“Mirip dengan siapa pun diriku, yang jelas, ayahku Tadamori.”

“Ketahuilah bahwa istri pertama Tadamori sendirilah, si Perempuan Gion, yang memberitahuku bahwa kau bukan anak Tadamori, dan bukan pula anak Kaisar Shirakawa. Sesungguhnya, kau adalah buah dari hubungannya dengan kekasih gelapnya, si pendeta mesum ….”Tadamasa mencerocos.

“Terkutuklah mulut kotormu itu … matilah kau!” Kiyomori mengayunkan pedangnya. Kilat putih terlihat, memenggal leher Tadamasa dalam sekali tebas.

Dengan sekujur tubuh terciprat darah, Kiyomori berdiri terpaku, menurunkan pedangnya yang bersimbah darah.

Kilatan petir menyilaukannya. Guntur bergemuruh. Helaian tirai berkibar-kibar liar. Tanah yang dipijaknya seolah-olah berguncang.

“Dasar tolol! Dungu!”

Page 332: The Heike Story

“Orang gila! Bengis!”

“Kau bajingan!”

“Kau iblis yang tidak tahu berterima kasih!”

Itu bukanlah gemuruh guntur melainkan lolongan para penonton, yang kemarahannya terpicu oleh pemandangan memuakkan seseorang yang telah menghabisi nyawa kerabatnya sendiri dengan pedang. Batu-batu dilemparkan kepada Kiyomori, namun dia tidak berusaha meloloskan diri. Hujan batu yang lebih deras daripada hujan yang turun dari langit menghantami baju zirah, wajah, dan kedua tangannya, dan darah mulai mengalir dari luka-lukanya. Jeritan para penonton ditenggelamkan oleh gemuruh guntur. Para prajurit Kiyomori menghambur ke arah para penonton, yang dengan cepat membubarkan diri begitu melihat pedang yang terhunus. Tetapi, Kiyomori tetap berdiri terpaku di dekat keempat mayat tanpa kepala itu. Hujan deras menerpanya; petir putih kebiruan berkilat menyilaukan di atas puncak-puncak pagoda di Perbukitan Timur. Kiyomori mematung di bawah hujan deras, menjatuhkan pedangnya.

“Tuan ….Tuan.”

“Para petugas sudah pergi, Tuan.”

“Para penonton sudah membubarkan diri.”

“Anda telah merampungkan tugas ini tanpa cela.”

“Sekarang waktunya pulang, Tuan.”

Para prajurit Kiyomori mengerumuninya dengan cemas, ingin segera pergi dari sana, namun Kiyomori memunggungi mereka memanjat tanggul; di bawah hujan yang mulai reda, dia mendongak ke arah celah di awan dan

Page 333: The Heike Story

menggumamkan sebuah doa. Kemudian, dia memanggil lirih, “Tokitada, Tokitada!”

Tokitada yang berwajah gundah dan para prajurit bisa mendengar keanehan suara Kiyomori. Lengkungan pelangi menghiasi langit senja. Seolah-olah baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk, Tokitada menuntun kuda Kiyomori dan memenuhi panggilannya.

Meraih tali kekang kudanya, Kiyomori berbicara ke balik bahunya, “Tetaplah di sini, Tokitada, bersama empat atau lima orang prajurit. Bawalah keempat mayat itu dengan hati-hati ke tempat pembakaran mayat di Toribeno. Aku akan pulang dan berdoa malam ini. Aku memercayakan penguburan keempat mayat ini kepadamu.”

Malam itu, Shinzei menerima kepala Tadamasa. Korekata, Panglima Golongan Kanan, membawakan kepala Tadamasa dan ketiga l putranya dari Rokuhara untuk Shinzei, yang segera memeriksanya di bawah cahaya lilin.

“Bagus sekali.” Dia mengangguk dan mendengarkan cerita tentang pelakasanaan hukuman mati, saat terakhir Tadamasa, sikap Kiyomori, dan penundaan yang terjadi.

Shinzei mendadak tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk pahanya.

“Rupanya itulah yang terjadi, dan ada perkecualian bagi pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan akan dibawa mati. Tidak banyak orang yang seperti Tadamasa, yang mati dengan getir dan menolak untuk masuk surga. Sedangkan Kiyomori ... samurai berhati lembek itu. Aneh juga melihat dia berperang dengan garang di Shirakawa.”

Keesokan harinya, Shinzei memanggil Yoshitomo, dan dengan sikap biasa mengatakan, “Tuan ... juru Kunci Istal

Page 334: The Heike Story

Kekaisaran, Tuan Harima mengirim kepala pamannya semalam. Sebuah tindakan yang patut diteladani …. Dan, omong-omong, sudahkah Anda mendengar laporan mengenai penampakan seorang buronan yang jauh lebih berbahaya daripada Tadamasa? Yang saya maksud adalah Genji Tameyoshi, yang telah memimpin pemberontakan melawan kita.”

Nada sopan dan ramah yang digunakan oleh Shinzei membekukan hati Yoshitomo. Wajahnya mendadak pucat pasi.

‘Tuan, pencarian sedang dilakukan ... jejak Tameyoshi dan putra-putranya belum ditemukan.”

“Anda tahu. Yang Mulia akan terus menerima laporan tentang kegigihan Anda memburu para pengkhianat.”

“Segala sesuatu yang bisa menunjang pencarian telah dilakukan, dan saya yakin mereka akan tertangkap, namun ... ”

“Namun apa?”

Yoshitomo menunduk. Shinzei melontarkan tatapan penuh pertanyaan dari bawah keningnya yang berkerut merut

o0odwkzo0o

Selama tiga hari dan tiga malam, Tameyoshi, putra-putranya, dan tiga orang pelayan mereka bersembunyi di dalam sebuah kuil di wilayah perbukitan di antara Shirakawa dan Danau Biwa. Juru kunci kuil itu menerima mereka dengan baik, sehingga mereka bisa makan dan tidur, dan mendapatkan kesempatan untuk merawat luka-luka mereka sembari menyusun rencana untuk mencari perahu yang bersedia membawa mereka menyeberangi danau dalam pelarian mereka ke arah timur. Tetapi, ketika

Page 335: The Heike Story

itu pulalah, seolah-olah nasib buruk telah membayangi mereka, penyakit reumatisme melumpuhkan Tameyoshi dan mengharuskannya menghabiskan waktu di kasurnya, di dalam sebuah bilik kuil yang mengenaskan. Selama Tameyoshi terbaring di sana sebagai seorang samurai yang telah kalah, berbagai peristiwa yang terjadi selama enam puluh tahun kehidupannya berkelebatan dalam ingatannya, diwarnai oleh penyesalan dan kesepian, karena dia menyadari betul penyebab kesedihannya.

Sementara itu; salah seorang putranya dan Magoroku, seorang pelayan, pergi ke Otsu untuk mencari keterangan penyewaan perahu, sementara Tametomo dan yang lainnya berjaga-jaga untuk mewaspadai kehadiran para pengejar mereka.

Yorikata dan Magoroku segera kembali dan mengabarkan bahwa mereka telah bertemu dengan seorang nelayan yang mau membawa mereka menyeberangi danau secara diam-diam. Malam itu, 17 Juli, para buronan dengan hati-hati berangkat ke tempat pertemuan yang telah disepakati, di bawah sebatang pohon pinus besar di Karasaki. Setibanya di sana, mereka gelisah karena tidak melihat tanda-tanda keberadaan sebuah perahu. Ketika melakukan pengamatan di tempat gelap itu, mereka tiba-tiba melihat kilatan obor di kejauhan, disusul oleh derap kaki-kaki kuda dan teriakan-teriakan gaduh.

“Kita dijebak!” seru Tametomo. Setelah dengan buru-buru memerintahkan kepada Magoroku untuk meloloskan diri bersama Tameyoshi ke perbukitan, mempersiapkan saudara-saudaranya untuk bertahan hingga keduanya tiba di tempat yang aman.

Setengah menggendong dan setengah menyeret Tameyoshi, Magoroku akhirnya tiba di sebuah kuil di wilayah perbukitan. Di sana, Margoroku dengan putus asa

Page 336: The Heike Story

menceritakan tentang masalah mereka kepada seorang pendeta, yang bersedia memberikan tempat berlindung kepada mereka. Tetapi, ketika pagi tiba, Magoroku yang masih mengkhawatirkan keselamatan mereka, menggendong Tameyoshi di punggungnya dan membawanya melintasi sebuah lembah di Gunung Hiei hingga mereka tiba di sebuah kuil di Kurodani.

Tameyoshi, yang telah mengalami kehancuran jiwa dan raga, mengakui kepada Magoroku bahwa dia sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk menghimpun sebuah pasukan walaupun berhasil mencapai wilayah timur Jepang.

“Tidak ada yang bisa kulakukan lagi sekarang ini, Magoroku, kecuali menjalani penahbisan dan menyerahkan diri kepada putraku, Yoshitomo,” katanya.

Ketika akhirnya bertemu kembali dengan ayah mereka, putra-putra Tameyoshi berduka karena sang ayah telah menjalani penahbisan dengan dibimbing oleh seorang pendeta. Mereka pun meratap. “Segala sesuatu yang kita miliki telah direnggut dari diri kita. Apa lagikah yang bisa kita harapkan?”

Tetapi, Tameyoshi menjawab, “Tidak, anak-anakku, kalian tidak bisa selamanya bergantung kepadaku. Akan tiba waktunya ketika anak-anak burung harus meninggalkan sarangnya untuk terbang ke langit biru yang terbentang tanpa batas di hadapan mereka.” Tameyoshi meneteskan air mata getir ketika menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kata-kata yang lebih menenangkan untuk anak-anaknya.

Magoroku diperintahkan untuk pergi ke ibu kota dan menyampaikan surat dari Tameyoshi kepada Yoshitomo. Sekembalinya dari ibu kota, dia mengabarkan bahwa

Page 337: The Heike Story

Yoshitomo sangat gembira ketika membaca pesan dari sang ayah. Ingin mendengar lebih banyak tentang kabar putranya, “Tameyoshi menanyakan apakah Magoroku juga telah berbicara dengan Yoshitomo, dan mendapatkan jawaban:

“Beliau tidak ada di rumahnya. Menduga akan bisa menemui beliau di rumah Nyonya Tokiwa, saya pun pergi ke sana. Saya beruntung karena berhasil berjumpa dengan beliau yang, masih memakai baju zirahnya, sedang bermain-main dengan anak-anak di pangkuannya.”

“Kau melihatnya sedang bermain dengan cucu-cucuku? Jadi, dia sudah mengetahui rasanya menjadi seorang ayah. Dia memiliki dua orang anak, bukan?”

“Ya ... dan sepertinya anak ketiga mereka akan segera lahir, dan karena itulah Tuan Yoshitomo sangat mengkhawatirkan Nyonya Tokiwa.”

“Ah, dari kabar yang kudengar, wanita itu memang menyenangkan. Hanya Yoshitomo seoranglah yang paling beruntung di antara kita.”

Dengan kening berkerut, putra-putra Tameyoshi menyaksikan ayah mereka membaca surat dari Yoshitomo:

“Aku menantikan kedatangan Ayah. Para pelayanku akan menjemput Ayah di pinggir hutan di dekat Kamo. Ayah tidak perlu cemas. Aku sudah siap untuk melepas seluruh kehormatan yang telah dianugrahkan kepadaku asalkan Yang Mulia bersedia mengampuni Ayah.”

Putra-putra Tameyoshi, bagaimanapun, tidak rela membiarkan ayah mereka menyerahkan diri kepada Yoshitomo. Dan Tametomo berkata:

“Ayahku, tidak adakah cara untuk mencegahmu? Siapa yang tahu bahwa Yoshitomo bisa dipercaya atau tidak? Aku

Page 338: The Heike Story

merasa bahwa Ayah sedang berada dalam bahaya. Tinggallah bersama kami.”

“Apa pun pendapatmu, Tametomo, aku tidak percaya bahwa Yoshitomo akan menipuku. Walaupun kelihatannya meragukan, aku memilih untuk pergi bukan karena nyawaku begitu berharga melainkan untuk memohon pengampunan bagi kalian semua ... itu, dan karena ini adalah satu-satunya cara agar Yoshitomo memperoleh kedamaian di hatinya.”

Tametomo menggeleng. “Wajar jika Ayah berpikiran begitu. Anak macam apa yang berharap melihat ayahnya dihukum mati? Kalaupun Yoshitomo ternyata monster bengis semacam itu, kesuksesan duniawi sebesar apa pun tidak akan sanggup menebus penyesalan yang akan ditanggungnya. Di sisi lain, ingatlah bagaimana Kaisar telah mengkhianati saudaranya sendiri, sang Mantan Kaisar; begitu pula Perdana Menteri yang telah mengkhianati adiknya, Yorinaga.”

Tameyoshi mempertimbangkan kata-kata Tametomo, namun tetap teguh pada pendiriannya.

“Aku sudah menyuruh Magoroku menyampaikan pesan kepada Yoshitomo. Orang-orang di ibu kota tentu sudah mengetahui di mana kita berada sekarang. Seandainya aku berhasil tiba di Kamakura namun gagal menghimpun pasukan, pada akhirnya aku akan bersusah payah mengusahakan perdamaian dengan kehidupanku. Sepertinya tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menyerahkan diri kepada Yoshitomo.”

Keesokan harinya, Tameyoshi, dipapah oleh Magoroku, memulai perjalanan meninggalkan Kamo. Dengan hati tersayat karena menyaksikan sang ayah pergi, putra-putra Tameyoshi mengikutinya hingga tiba di dekat ibu kota,

Page 339: The Heike Story

yakin bahwa mereka tidak akan pernah lagi bertemu dengan sang ayah.

Tameyoshi berhenti untuk menoleh dan berkata, “Anak-anakku, kita sudah tiba di dekat ibu kota. Saatnya berpamitan ... perpisahan kita pun harus ada akhirnya.”

Maka, putra-putra Tameyoshi pun mengucapkan salam perpisahan dan menangis terisak-isak

o0odwkzo0o

Sebuah tandu telah menanti Tameyoshi di tepi hutan di dekat Kamo, dan malam itu juga, dia dibawa ke kediaman Yoshitomo. Di sana, tiga orang wanita pelayan menerima dan menyiapkan air mandi untuknya, lalu menyediakan kimono bersih, obat-obatan, dan berbagai macam makanan, sehingga tidak ada lagi yang diinginkan oleh Tameyoshi.

Malam itu, Tameyoshi tidur nyenyak, tidak terganggu oleh serangga dan ketakutan pada binatang buas.

Pikiran pertama Tameyoshi ketika terjaga adalah bahwa dia telah selamat di bawah atap rumah putranya. Baru pada siang harinya, bagaimanapun, Yoshitomo secara diam-diam menemuinya. Kurang dari tiga minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, namun mereka merasa seolah-olah telah bertahun-tahun tidak bertemu. Tameyoshi dan Yoshitomo menangis tanpa suara ketika mereka bertemu muka.

“… Ayahku, ampunilah aku atas kepedihan yang telah kuberikan kepadamu.”

“Mengampunimu? Yoshitomo, ayahmu ini bersalah atas pengkhianatan kepada Kaisar. Aku tidak punya hak untuk berada di sini. Perlakukanlah aku seperti layaknya seorang penjahat”

Page 340: The Heike Story

“Hatiku hancur mendengar Ayah berkata begitu.”

“Tidak, tidak, Yoshitomo, aku sudah tua dan menyerah kepada takdir. Hanya ada satu yang kumohon darimu ... ampunilah saudara-saudaramu, para wanita yang tidak berdosa, dan juga anak-anak. Biarkanlah aku menanggung hukuman bagi mereka.”

“Aku siap menyerahkan seluruh hartaku demi menyelamatkanmu, Ayah.”

“Tetapi, ingadah, ada banyak orang di Istana yang berpendapat lain. Jangan mengambil langkah gegabah yang akan membahayakan nyawamu. Aku hanya meminta kepadamu, putra sulungku, untuk meneruskan kedudukanku sebagai kepala keluarga dan menjaga nama klan kita,” Tameyoshi memohon.

Malam itu, Yoshitomo mengendarai kereta sapi yang tertutup rapat menuju kediaman Shinzei. Dia tidak ada di rumahnya. Penasihat Shinzei sedang luar biasa sibuk akhir-akhir ini dan tidak akan pulang dari Istana hingga besok, kata pelayannya. Malam berikutnya, Yoshitomo kembali mendatangi kediaman Shinzei dan berhasil menemuinya.

Ketika Yoshitomo menyelesaikan ceritanya, Shinzei menjawab dengan dingin:

“Apa! Anda meminta agar Tameyoshi diampuni? Saya sekalipun tidak bisa melakukannya untuk Anda. Terlebih lagi. Anda sungguh tidak pantas datang kemari untuk mengatakan hal itu kepada saya. Akan lebih tepat jika Anda menyampaikan sendiri permohonan Anda ini di depan para pejabat istana.”

Yoshitomo, bagaimanapun, pantang menyerah. Dia mengenal seorang jenderal, Masasada, mantan Menteri Golongan Kanan, yang terkenal sebagai seorang pria

Page 341: The Heike Story

berhati lembut dan dipercaya oleh banyak kalangan di Istana, termasuk Kaisar. Yoshitomo menemuinya pada suatu malam dan diterima dengan penuh kebaikan. Kendati begitu, sang jenderal tidak ingin terlalu berharap.

“… Ya. saya rasa saya memahami apa yang Anda lalui. Tapi, dalam masa pelik seperti ini, saya tidak bisa menjamin bahwa Istana akan mempertimbangkan permohonan Anda. Tetapi saya akan memastikan untuk menyampaikan pendapat saya demi mendukung Anda,” kata Masasada dengan hangat

Dalam pertemuan para penasihat Istana berikutnya, Masasada menyampaikan permohonan Yoshitomo. Dia tidak hanya memohon pertukaran hadiah yang baru saja diterima oleh Yoshitomo dengan ampunan untuk Tameyoshi, tetapi juga mengatakan,”… Pencabutan nyawa seseorang akan berujung pada pencabutan nyawa orang lain, dan yang lain, hingga seratus nyawa pun tidak akan cukup, kata sebuah pepatah tua. Tameyoshi berpihak kepada musuh karena kesetiaan. Dia adalah seorang pria uzur yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun, dan seorang veteran yang sangat berpengalaman. Kakeknya adalah seorang samurai termahsyur, yang berhasil menggagalkan perlawanan musuh di sebuah medan pertempuran yang berjarak terjauh, dan masih ada banyak orang yang mengingat perjuangannya. Menghukum mati Tameyoshi sama saja dengan menyulut kebencian di hati orang-orang yang masih mengenang kebaikan kakeknya. Sebagai hakim, kita juga akan dihakimi. Saya sungguh sedih dan khawatir ketika memikirkan bahwa tindakan kejam yang diambil atas nama Kaisar hanya akan menambahkan kebengisan yang telah jamak terjadi di sekeliling kita. Bukankah pengampunan dan kasih sayang

Page 342: The Heike Story

yang menjangkau segalanya adalah inti dari pemerintahan Kaisar?”

Seseorang tertawa. Shinzei.

“Yang sudah berakhir, berakhir. Hari ini adalah hari ini. Tugas pemerintah adalah menangani apa yang terjadi saat ini. Tuan, kata-kata Anda sungguh bijaksana, namun tidakkah Anda melihat apa yang terjadi di sekitar kita hari ini?” tanya Shinzei.

“Jika kita mengampuni Tameyoshi, bagaimanakah kita akan menghadapi si pemburu kekuasaan ... Sutoku? Jika, alih-alih menghukum mati Tameyoshi, kita mengasingkannya, siapakah yang bisa menjamin bahwa dia tidak akan menghimpun sebuah pasukan di provinsi-provinsi yang jauh dari sini dan sekali lagi mengerahkannya untuk melawan kita? Apakah Kiyomori ragu pedang ke leher pamannya? Adilkah jika kita membuat perkecualian kepada Tameyoshi dan putra-putranya?”

Senyum licik tersungging di wajah Shinzei selama dia berbicara dan memerhatikan Masasada.

“Kepala Polisi melaporkan kepada saya bahwa Tuan Yoshitomo telah memberikan perlindungan kepada Tameyoshi. Walaupun terdengar aneh dan mustahil, jika ini terbukti kebenarannya, berarti Tuan Yoshitomo telah melakukan pelanggaran berat terhadap peraturan Kaisar. Bagaimana mungkin Tuan Yoshitomo yang terhormat berharap kita akan memberikan pengampunan kepada Tameyoshi jika saya sudah memutuskan bahwa dia pantas mendapatkan hukuman mati.”

Shinzei mengucapkan kalimat terakhirnya dengan garang. Sejak perang berakhir, Shinzei menjadi tangan kanan Kaisar, dan sang jenderal menyadari bahwa dia tidak

Page 343: The Heike Story

memiliki peluang untuk memenangi perdebatan melawan Shinzei.

Masasada kemudian memanggil Yoshitomo dan menceritakan kepadanya tentang apa yang terjadi dalam pertemuan di Istana. “Saya menasihati Anda untuk bertindak dengan sangat diam-diam jika Anda tidak menghendaki para panglima lain menyerang Anda di kediaman Anda sendiri.”

Tersiksa oleh penyesalan, Yoshitomo mengecam dirinya sendiri karena tidak berada di pihak yang sama dengan ayahnya. Kedua pelayan kepercayaannya, Masakiyo dan Jiro, segera memahami apa yang berkecamuk di dalam benak majikan mereka. Tidak hanya mereka, tetapi juga para pelayan lain yang turut menikmati kejayaan Yoshitomo cemas memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya. Kemungkinan besar, Yoshitomo tidak hanya akan diperintahkan untuk memenggal ayahnya sendiri tetapi juga dilucuti dari seluruh kehormatan dan wewenangnya.

Setelah menghabiskan dua malam tanpa tidur, Yoshitomo memanggil Masakiyo dan Jiro, dan berbicara kepada mereka.

Menjelang malam pada hari yang sama, Masakiyo dan Jiro membawa sebuah tandu ke luar bilik Tameyoshi dan berkata, “Ada desas-desus sangat meresahkan tentang Anda, dan majikan kami mengkhawati rkan keselamatan Anda. Sejak beberapa hari yang lalu, kegalauan menyebabkan beliau tidak bisa tidur ataupun makan. Ada beberapa tokoh yang teramat sangat jahat di Istana. Gara-gara merekalah Anda sebaiknya bersembunyi di suatu tempat di Perbukitan Timur, dan kami akan menyertai Anda.”

Page 344: The Heike Story

Tameyoshi bangkit untuk pergi bersama mereka. Sebelum memasuki tandu, dia menoleh ke arah bilik Yoshitomo dan mengangkat kedua tangannya yang tertangkup. “Ada pepatah yang mengatakan bahwa anak adalah harta yang paling berharga. Hanya anakkulah yang bersedia bertindak sejauh itu untuk menjamin keselamatanku. Itu adalah kemuliaan hati yang mustahil dilupakan. Aku akan mengingat ini hingga akhir hayatku,” Tameyoshi mengulang-ulang perkataannya dengan wajah berurai air mata.

Senja itu, tandu Tameyoshi diangkat melewati gerbang belakang dan membelah malam. Alih-alih menuju Perbukitan Timur, para pemanggulnya sepertinya mengikuti seruas jalan lain; dan ketika mereka akhirnya tiba di sebuah lahan terbuka di luar ibu kota, Tameyoshi melihat bahwa beberapa orang pelayan kepercayaan Yoshitomo telah tiba di sana dan menunggu mereka dengan sebuah kereta sapi.

Masakiyo menyikut Jiro yang, mengerutkan kening dan menepiskan tangannya, bergumam:

“… Kau saja yang melakukannya.Aku tidak bisa.”

Masakiyo beringsut dengan ragu-ragu dan memanggil para pemanggul tandu. “Ahh ... kalian, turunkan tandunya …. Tuan, kita sudah berada di luar ibu kota dan masih harus melanjutkan perjalanan; maukah Tuan pindah ke kereta sekarang?” Masakiyo mendekati tandu. Dia mundur untuk memberikan ruang kepada Tameyoshi agar bisa melangkah ke luar seraya mempererat cengkeremannya ke gagang pedangnya. Jiro tiba-tiba berbicara dari

belakangnya dan menyikut tangan Masakiyo sehingga melepaskan pedangnya.

Page 345: The Heike Story

“Masakiyo, aku ingin berbicara denganmu …” Jiro menjauh beberapa langkah dari tandu dan menoleh kepada Masakiyo, yang mengikutinya. “Menurutku, sebaiknya kita melakukannya dengan jujur. Bagaimanapun, beliau adalah ayah dari majikan kita, dan tindakan ini rasanya salah.”

“Kalau begitu, bagaimana?”

“Mengapa kita tidak mengatakan yang sesungguhnya kepada beliau? Biarkanlah beliau berdoa. Walaupun kehidupan beliau berakhir di tempat terpencil ini, beliau tetaplah Genji Tameyoshi dan berhak untuk meninggal seperti layaknya seorang samurai sejati.”

“Kau benar. Tapi, itu membuat semua ini semakin sulit Kau saja yang melakukannya.”

“Tidak mau! Aku tidak sanggup. Kaulah yang pantas melakukannya.”

Setelah perdebatan mereka berakhir, Masakiyo kembali menemui Tameyoshi dan mengatakan kepadanya alasan mereka membawanya kemari.

Tameyoshi mendengarkan penjelasan itu tanpa berkata-kata. “Ternyata begitu.” Dia duduk di tanah dan berkata dengan perasaan mendalam, “Mengapa bukan putraku sendiri yang menyampaikan hal ini kepadaku? Aku bisa memahami keengganannya, namun kasih sayang seorang ayah tidak terbatas.” Air mata Tameyoshi berlinang ketika dia meneruskan, “Tidakkah ... tidakkah dia tahu bahwa kasih sayang seorang ayah bisa melambung lebih tinggi daripada semua ini? Tahun-tahun yang dihabiskannya untuk bermain di pangkuanku setelah dia berpisah dari payudara ibunya, tidakkah dia mengenal setiap sudut hati ini? ... Ah, Yoshitomo itu saja sudah cukup untuk membuatku berduka. Kehidupan kita seperti buih di sungai, namun bukankah kita ayah dan anak, saling terhubung oleh

Page 346: The Heike Story

ikatan dari kehidupan yang lain? Mengapa kau tidak bisa membuka hatimu kepadaku? Aku memang telah gagal, namun aku tidak serendah

itu. Aku tidak mendatangimu untuk merengek-rengek demi keselamatanku. Karena ini telah digariskan oleh para dewa, mengapa kita tidak menghabiskan malam terakhirku bersama-sama, mengenang masa lalu dan membuka hati kita satu sama lain sebelum berpisah?”

Sesudah puas mencurahkan isi hatinya, Tameyoshi duduk lebih tegak di tanah dan menghentikan isakannya, seolah-olah seluruh air matanya telah habis. Dia menenangkan diri, menangkupkan kedua tangannya, dan mengucapkan sebuah doa. Kemudian, dia menoleh kepada Masakiyo dan berbisik dengan nada selembut gemerisik jubah biksunya, “Masakiyo, penggal aku.”

Yoshitomo segera menyerahkan kepala ayahnya kepada pihak yang berwenang di Istana. Walaupun kepala Tameyoshi tidak mengalami penghinaan dengan dipamerkan di depan umum, rakyat memberikan kecaman yang lebih tajam kepada Yoshitomo daripada kepada Kiyomori. Kecuali putra bungsunya, anak-anak Tameyoshi yang lain dengan cepat ditangkap dan dihukum mati. Tametomo, yang berhasil melarikan diri ke Kyushu, akhirnya tertangkap dan dibawa ke ibu kota. Di Kyoto, urat-urat lengannya dipotong sebelum dia menjalani pengasingan di Pulau Oshima di wilayah timur.

o0odwkzo0o

Bab XVIII-ALUNAN SERULING Sesaji berupa dupa, bunga-bungaan, dan tumpukan kecil

batu menandai sisi jalan dan jembatan tempat begitu

Page 347: The Heike Story

banyak samurai gugur dalam medan laga. Benda-benda tersebut ditinggalkan di sana oleh rakyat jelata yang tidak ambil bagian dalam pertikaian. Perempuan-perempuan tua yang menggendong bayi di punggung mereka, ibu-ibu rumah tangga yang pulang dari pasar, para perajin tembikar yang berangkat ke ibu kota untuk menjajakan hasil karya mereka, para pedagang tikar anyaman, dan sesekali bahkan para penuntun kereta sapi berhenti untuk mendoakan para pahlawan tanpa nama.

“Sungguh menyedihkan kalian yang menyabung nyawa di sini, dan sungguh mengenaskan pertikaian ini! Bisakah ini dijadikan simbol kebaikan hati manusia? Bagus, bagus!”

Seorang pria kekar yang mengenakan topi anyaman bambu lebar dan jubah biksu compang-camping berdiri di sebuah persimpangan jalan, menggumamkan sesuatu kepada dirinya sendiri sembari mengedarkan pandangan pada bunga-bunga dan dupa-dupa yang ditata di dekat reruntuhan sebuah bangunan. Dia sepertinya berusia awai empat puluhan dan memanggul buntalan seperti yang

biasa dibawa oleh seorang pendeta pengelana; dia menopangkan tubuh pada sebatang tongkat; sebuah tasbih melingkari pergelangan tangannya yang berbulu. Kepalanya tidak tercukur dan rambutnya acak-acakan di atas wajahnya yang letih akibat perjalanan panjang; sandal jerami usangnya berlumuran lumpur. Kesan tegas di wajahnya menjadikannya tampak lebih menyeramkan daripada biksu-biksu dari Gunung Hiei. Sementara dia bergerak, dengan cepat menyusuri jalan demi jalan di ibu kota, pemandangan reruntuhan di berbagai tempat sepertinya menyentuh hatinya, sehingga dia pun berdoa dengan khusuk, “Namu Amida-butsu, namu Amida-butsu ….”

“Itu dia, si pendeta bersuara nyaring!”

Page 348: The Heike Story

“Si rambut gondrong, oh, si iblis berambut gondrong!”

“Pendeta, Pendeta, kau hendak ke mana?” anak-anak jalanan yang mengenali sosoknya mengolok-oloknya.

Pendeta berjubah compang-camping itu menoleh dan tersenyum dengan tulus, memamerkan mulut merah di tengah-tengah janggut acak-acakannya..

“Pendeta gondrong, berikan kue untuk kami!”

“Kami ingin kue beras!”

“Uang juga boleh!” anak-anak terus-menerus berseru-seru, mengejarnya.

“Aku tidak punya apa-apa sekarang. Lain kali, lain kali.” Si pendeta melambai, berbelok di sudut jalan dengan langkah-langkah panjang.

Sejenak kemudian, dia telah berdiri di depan gerbang kediaman Penasihat Shinzei, tempatnya berhenti untuk mengukur tasbihnya dan berdoa. Kemudian, dengan berani melintasi gerbang, dia bergegas melewati garasi kereta, duduk di teras depan rumah, dan dengan nyaring mengumumkan kedatangannya.

“Ini aku ... Mongaku ... dari Perbukitan Togano-o di wilayah utara ibu kota. Aku datang kemari hari ini dan juga kemarin. Aku harus berbicara kepada Penasihat yang terhormat hari ini juga; ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada beliau. Tolong katakan kepada beliau bahwa aku ada di sini.”

Suara menggelegar Mongaku terdengar hingga ruangan-ruangan terdalam di bangunan besar itu; beberapa orang pelayan yang ketakutan bergegas menghampiri bilik majikan mereka, dan para pelayan lainnya keluar dari ruangan mereka. Kemudian, tiga orang samurai muda dan

Page 349: The Heike Story

kepala pelayan muncul. Mereka menyapa Mongaku dengan sangat sopan. Kemudian, salah seorang dari mereka berkata, “Sayang sekali, namun saya harus mengabarkan kepada Anda bahwa Tuan terhambat di Istana dan belum pulang. Kami tidak tahu kapan beliau akan pulang, karena beliau sangat sibuk mengurus kepentingan negara.”

“Oh? ... Dalam perjalanan kemari, aku singgah di Pangkalan Pengawal, dan catatan di sana menunjukkan bahwa beliau meninggalkan Istana semalam pada jam Ayam (pukul enam). Beliau seharusnya ada di rumah ... Mengapa beliau menolakku? Bukankah beliau sedang sibuk mengembalikan kedamaian dan menenangkan pikiran rakyat? Aku datang kemari bukan untuk berbasa-basi, melainkan untuk berbagi pikiran dan memberi nasihat Karena itulah aku meminta agar . pesanku disampaikan kepada beliau.”

“Ya, ya. Semoga beliau bisa menemui Anda di lain waktu.”

“Bukan di lain waktu! Aku memohon untuk dipertemukan dengan beliau saat ini juga. Hentikan kebohongan ini! Sampaikanlah pesanku kepada beliau sekarang.”

“Tetapi, hari ini ... ”

“Sekarang ... hari ini! Tidak boleh besok, karena menunda satu hari sama halnya dengan membiarkan lebih banyak nyawa melayang. Atas nama perdamaian ... ini urusan mendesak. Kalau kau menolak, maka aku akan memanggil beliau dari sini.”

Mongaku tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Menurunkan buntalan pengelananya, dia duduk di tanah.

Page 350: The Heike Story

Penasihat Shinzei dan istrinya. Nyonya Kii, sedang menemui seorang kawan mereka di Paviliun Musim Semi, tempat mereka menikmati sake sementara para juru masak mempersiapkan hidangan istimewa di hadapan mereka.

“Ah ... berisik sekali!” dengus Shinzei dengan kesal sambil melirik ke arah tandu tamunya.

“Aku akan melihat apa yang terjadi,” putranya, Naganori, segera bangkit.

Shinzei berbisik ke telinga putranya, “Jika itu Mongaku si pendeta gila yang telah mengirimkan protes tertulis ke Istana, sampaikan saja sebuah cerita kepadanya dan beri dia bingkisan.”

Naganori mengangguk-angguk dan keluar ke teras, berdiri dan menunduk kepada Mongaku. “Apakah kau Mongaku si pendeta? Ayahku ada di rumah, namun beliau sedang menemui seorang tamu penting. Beliau sudah membaca protes tertulismu. Tidakkah itu cukup?”

“Siapakah kamu?”

“Aku putra ketiga Penasihat Shinzei.”

“Kamu harus memaafkanku ... namun itu tidak cukup. Sampaikanlah kepada Penasihat Shinzei untuk menemuiku sendiri.”

“Kau benar-benar lancang dengan menuntut Penasihat Shinzei untuk menemuimu.”

“Tidak juga. Aku sudah datang kemari selama tiga hari berturut-turut dan tidak akan ada masalah jika beliau mau menemuiku. Terlebih lagi, bukan urusan pribadi yang membawaku kemari; beliau harus menyisihkan waktunya untukku jika aku datang untuk mengatakan kepada beliau tentang kekhawatiranku terhadap masyarakat”

Page 351: The Heike Story

“Sudah banyak tamu sepertimu yang datang kemari, dan aku yakin bahwa ayahku telah sering mendengar nasihat semacam itu.”

“Diam! Mongaku tidak seenaknya mendatangi rumah-rumah mewah karena sinting. Siang dan malam, para tahanan diseret dari penjara dan menjalani pemenggalan di tepi sungai!”

“Tolong, pelan-pelan! Kau mengganggu tamu kami.”

“Betulkah? Kalau begitu, Shinzei juga bisa mendengarku dari biliknya. Baiklah, aku akan bicara dengannya dari sini. Jika dia sedang menemui tamu, maka tamunya juga akan mendengar apa yang harus kukatakan.”

Mongaku tiba-tiba berdiri dan menarik napas dalam-dalam. Suara yang pernah menggelegar melampaui gemuruh Air Terjun Nachi selama lebih dari sepuluh tahun, kini tampaknya menggetarkan setiap rangka di kediaman mewah Shinzei:

“Hei, kamu, tuan rumah di sini! Ini adalah peringatan dari surga, bukan sekadar gosip murahan dari pasar. Hukuman matimu yang kejam telah menghasilkan enam putaran neraka di dunia ini. Kau telah memerintahkan seorang keponakan menghabisi nyawa pamannya dengan pedang; saudara melawan saudara; seorang ayah muda memenggal ayahnya sendiri. Binatang terpandir sekalipun tidak sekeji kepada sesamanya!”

“Dengarlah lebih jauh lagi: semakin banyak hari yang kauhabiskan I untuk berbicara di depan para penasihat Istana, semakin banyak nyawa melayang. Kau telah memaksa Yoshitomo mengirim kepala ayahnya, memanggal saudara-saudaranya, dan, masih belum puas, kau memastikan agar istri Tameyoshi yang telah uzur ditenggelamkan, lalu anak-anaknya dan para penghuni

Page 352: The Heike Story

rumahnya dibariskan di jalan dan ditusuk dengan darah dingin hingga mati. Apa kaupikir tidak ada yang membencimu gara-gara kelicikan dan kebengisanmu?”

Naganori dan para pelayan berdiri tanpa bisa berkata-kata menghadapi semburan hujatan yang tidak berkesudahan ini:

“Shinzei memerintahkan agar semua ini dilakukan atas nama Kaisar dan oleh para samurai. Tindakan apakah yang lebih jahat daripada ini? Selama lebih dari tiga ratus tahun, pemerintahan para kaisar kita bebas dari hukuman mati. Tidak ada perang di ibu kota, dan rakyat dianggap sebagai anak berbakti penguasa. Masa itu telah berlalu sekarang. Oh, negeri yang mengibakan!”

Butiran-butiran tasbih Mongaku bergemeretak ketika dia mengacung-acungkan tinjunya. Walaupun telah lebih dari sepuluh tahun menjalani siksaan dan pembersihan jiwa, watak asli Morito, si pengawal muda yang selalu berapi-api, hanya sedikit berubah. Luka akibat kisah cinta kelabunya telah nyaris sembuh, namun pencarian panjang terhadap kedamaian jiwa tidak terlalu banyak mengubahnya. Sekarang, api telah menyala di dalam dirinya; kebrengsekan dan kekotoran para pejabat telah mendorongnya untuk keluar dari keheningan Perbukitan Togano-o, tempatnya bermimpi akan bisa mengembalikan sekte Tendai ke seluruh kemurniannya pada suatu hari nanti, dan tinggal di pondok tua yang pernah dihuni oleh Toba Sojo. Cerita-cerita tentang kebrutalan yang mengikuti Perang Hogen, bagaimanapun, membawanya turun ke ibu kota, dan apa yang dilihatnya di sana membuatnya mengakui bahwa para guru agama dan pencerahan Buddhisme tidak berdaya melawan politik dan kegilaan perang. Tetapi, Mongaku bukan jenis pendeta yang menarik diri dari dunia dan acuh

Page 353: The Heike Story

tak acuh pada perilaku tidak berperikemanusiaan antara sesama manusia atau penderitaan rakyat jelata.

Sementara Mongaku berteriak-teriak di halaman gerbang dalam, dua buah kereta sapi memasuki gerbang luar, dan dua orang pejabat istana muda turun.

“Ada apa ini?”

“Seorang biksu kekar menjerit-jerit?”

Fujiwara Tsunemun6, sang pejabat istana, dan seorang bangsawan muda, Nobuyori, berhenti sejenak untuk mendengarkan, lalu memasuki gerbang. Setengah tersembunyi oleh semak-semak di dekat gerbang dalam, mereka menunggu hingga Mongaku pergi.

Tsunemune, yang menghilang ketika perang pecah, muncul kembali di Istana segera setelah konflik berakhir, dan berusaha mengambil hati Perdana Menteri dan Penasihat Shinzei dengan berkunjung dan mengucapkan selamat atas kemenangan mereka.

Tsunemune, walaupun tidak bermoral, memiliki bakat luar biasa dalam hal berbasa-basi dan bergunjing, dipadukan dengan pesona dan kecerdasannya, dia mampu menyenangkan semua orang yang ditemuinya. Saat ini dia sedang menemani Nobuyori, yang menagih janjinya untuk diperkenalkan kepada Penasihat Shinzei. (“Shinzei adalah tokoh yang harus kautemui. Dialah tokoh saat ini. Tidak lama lagi, dia akan mengendalikan seluruh urusan negara. Orangnya agak menjengkelkan, namun kau harus bertemu dengannya suatu hari nanti.”) Shinzei juga telah memerhatikan Nobuyori dan lebih memilih untuk menemui bangsawan muda itu di luar Istana.

Melihat kedatangan kedua tamu tersebut, putra Shinzei yang hendak memerintah pelayannya untuk mengusir

Page 354: The Heike Story

Mongaku, langsung mengambil tindakan sendiri. “Keluar! Pulanglah!” serunya. “Kau dan tuduhan-tuduhan nistamu! Sepatah kata lagi darimu dan aku akan menyerahkanmu kepada para prajurit.”

Tawa nyaring menyambut kata-kata Naganori. Mongaku tertawa terbahak-bahak. Di tengah-tengah para pelayan yang mengerumuninya, dia berdiri tegak, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, memelototi mereka.

‘Tunggu, tunggu! Angkat tangan kalian! Lebih daripada segalanya, aku membenci kekerasan ... dan bukan kalian yang kutakuti, namun diriku sendiri jika aku lepas kendali! Nah, tunggu! Biarkan aku mengucapkan sepatah kata lagi untuk majikanmu.”

Sorot tajam mata Mongaku berhasil menyingkirkan para calon penangkapnya, dan dia pun melanjutkan semburannya:

“Ya ... Penasihat Shinzei, dengarkanlah dengan rendah hati perkataan Mongaku. Hentikanlah hukuman mati dan siksaan mulai hari ini ... mulai saat ini juga! Akhirilah masa teror ini! Tunjukkanlah belas kasihan kepada musuh-musuhmu, atau pembalasan akan datang ke kepalamu sendiri. ... Walaupun kau berkuasa, apa gunanya jika orang-orang membencimu? Api neraka sendiri akan melalap rumahmu pada suatu hari nanti, dan kau akan dipaksa mendengarkan jeritan memilukan sanak saudaramu. ... jika kau meneruskan hukuman mati yang keji ini, aku sendiri akan datang untuk mengikatmu ke roda api dan mengawalmu ke arena pemenggalan di tepi sungai …. Apa kau mendengarku, Shinzei ... hah?”

“Pendeta kurang ajar! Berani-beraninya kau menghina Kaisar?”

Page 355: The Heike Story

Para pelayan Shinzei menusuk-nusuk kaki Mongaku dengan tombak mereka. Mongaku, melompat-lompat untuk menghindari serangan. Ketika para penyerangnya melihat ini, mereka menubruk Mongaku, menjepit lengannya dan memegangi kakinya, sehingga Mongaku, yang kewalahan, tidak sanggup lagi melawan. Mongaku berbaring diam tanpa mengatakan apa-apa di bawah para pelayan yang menindihnya, terengah-engah. Ketika melihat bahwa mereka sedang berusaha mengikatnya dengan seutas tali, Mongaku meraung:

“Baiklah, aku akan berdiri,” dia pun berusaha bangkit, dengan mudah menepiskan para penyerangnya seolah-olah mereka kurcaci.

“Jangan lepaskan dia,” seru beberapa orang prajurit yang menghalangi langkah Mongaku. Mendengar keributan itu, lebih banyak lagi pelayan, dan bahkan para pawang kuda, berlarian ke tempat kejadian. Alih-alih berlari ke gerbang, Mongaku justru melompat ke beranda dan berdiri menantang.

Sebuah jeritan terdengar, “Dia pembunuh ... jangan biarkan dia masuk!”

Mongaku mengulurkan kedua tangannya dan mencengkeram seorang pelayan dengan masing-masing tangannya, lalu melemparkan keduanya melewati langkan. Dia menyambar kerah seorang pelayan lain dan membenturkan kepalanya ke tiang terdekat, hingga pria itu menjerit-jerit memohon ampun. Sebuah sekat ambruk dan sebuah kerai jatuh dari jendela. Kediaman mewah itu seolah-olah terguncang-guncang gara-gara keributan yang ditimbulkan oleh Mongaku, dan jeritan para wanita semakin memperkeruh keadaan. Mongaku mendadak muncul kembali di beranda, memanggul buntalannya,

Page 356: The Heike Story

bertumpu pada tongkatnya, dan mengedarkan pandangan untuk mencari jalan keluar.

Ketika dia menghambur ke gerbang dalam, seseorang berseru, “Kau, yang di sana!” Mongaku menyingkir dengan kaku ketika sebuah lembing dilemparkan ke arahnya. Mongaku menatap waspada ke gerbang luar dan sejumlah pedang dan tombak yang teracung ke arahnya; beberapa kuntum bunga teratai, yang tumbuh di dalam sebuah bejana perunggu di samping gerbang dalam, menarik perhatiannya. Melemparkan tongkatnya, dia mengangkat tinggi-tinggi bejana berat itu. Air di dalamnya bercipratan dan tumpah ke tanah. Takjub melihat keperkasaan Mongaku, lawan-lawannya mundur dan memerhatikannya. Mongaku berjalan terhuyung-huyung ke arah orang-orang yang menghadangnya di gerbang luar dan, dengan tenaga luar biasa, melemparkan bejana itu sehingga dentangan nyaring logam terdengar. Mongaku tertawa terbahak-bahak melihat para pelayan dan prajurit yang bermandikan air keruh dan bunga teratai. Kemudian, dia cepat-cepat menyelinap ke luar gerbang, masih sambil tertawa nyaring, dan segera menghilang dari pandangan.

Tsunemung dan Nobunori, yang berjongkok di balik semak-semak, terpukau menyaksikan aksi Mongaku.

o0odwkzo0o

Lebih dari seratus orang bangsawan dan samurai dihukum penggal, namun tidak ada tanda-tanda bahwa pelaksanaan hukuman mati akan dihentikan. Mayat Yorinaga berhasil digali dan dikenali.

“Seandainya aku masih Morito si pengawal, aku mungkin ditugaskan menggali mayat itu, atau barangkali aku termasuk di antara mereka yang kepalanya dipenggal di

Page 357: The Heike Story

tepi sungai ….Ah, Kesa-Gozen, sayangku, kau memang penjelmaan malaikat pelindungku …. Kesa-Gozen!”

Cinta Mongaku kepada Kesa-Gozen tetap berkobar. Mongaku telah menanggalkan seluruh cinta yang bersifat fisik dan mengabadikan wanita itu sebagai sosok suci di dalam hatinya. Selama lebih dari sepuluh tahun, dia berusaha menebus dosa-dosanya dengan menjalani siksaan yang hanya bisa ditanggung oleh segelintir manusia. Saat ini dia duduk di tepi Sungai Kamo, di samping sebuah api unggun kecil yang dinyalakannya di bawah langit berbintang di bulan Agustus. Seorang diri ... namun tidak sepenuhnya sendirian, karena jiwa Kesa-Gozen mendampinginya. Mengambil kuas dan tinta dari dalam buntalannya, Mongaku menuliskan doa-doa di bebatuan di sekelilingnya, doa-doa bagi mereka yang gugur di medan perang. Dia berharap agar para pejalan kaki yang melihat bebatuan ini ... sepuluh ribu orang, sumpahnya, akan meneruskan doanya ... akan berhenti dan dengan khusuk menambahkan doa-doa mereka kepada para pahlawan yang telah gugur.

Selama tiga hari dia bersembunyi karena mendengar bahwa Penasihat Shinzei telah memerintahkan penangkapannya. Sembari memunguti batu demi batu, dia sesekali menuliskan nama mendiang temannya di samping sebuah doa ….Ah, kehidupan, karma ... segala sesuatu yang tampak pasti mengalami perubahan. Bagaimanakah manusia bisa melarikan diri dari karma?

“… Masih banyak. Sisanya harus menunggu hingga besok malam,” gumam Mongaku, memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam buntalan. Dia membasuh wajahnya dengan air sungai dan bersiap-siap pergi, ketika dilihatnya seseorang yang berpenampilan suram menghampirinya. Mongaku naik ke tanggul di bawah fajar yang mulai

Page 358: The Heike Story

merekah. Sosok diam itu mengikutinya. Mongaku menoleh kepada sosok yang menyerupai hantu itu. Dia berperawakan kecil dan berpenampilan dekil. Seorang mata-mata? Mongaku berjalan, dan sosok itu membuntutinya.

“Aku berterima kasih dari lubuk hatiku yang terdalam ….Ada banyak jiwa yang melayang tanpa ratapan di tepi sungai ini, dan tidak ada tempat yang mereka tuju selain surga…. Aku berterima kasih untuk kepedihanmu.” Sambil mengulang-ulang ucapan terima kasihnya, sosok kecil yang aneh itu berjalan dengan ceria dan mengejar Mongaku.

“Apakah kau salah satu penduduk di dekat sini?” “Tidak ….”

“Mengapa kau berterima kasih kepadaku?”

“Kita memiliki perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakanku daripada menemukan orang lain yang bisa berbagi perasaan denganku.”

“Oh? Kalau begitu, apakah dirimu salah seorang yang terancam hukuman?”

“Barangkali. Atau seseorang yang sejenis.”

“Aku harus menanyakan sesuatu kepadamu. Apakah kau bisa mendermakan sebagian uangmu padaku?”

“Maaf, tapi aku tidak membawa uang sekarang. Kau boleh memiliki apa pun yang kumiliki, kecuali kehidupanku.”

Mongaku tertawa, “Kau akan memberikan segala yang kaumiliki kepadaku ... ” lalu terdiam untuk mengamati sosok bertelanjang kaki itu di bawah cahaya fajar. Seorang pengemis, pikirnya, jika dilihat dari kimono dan celananya yang compang-camping. Dia tidak mengenakan topi, dan

Page 359: The Heike Story

rambutnya gimbal. “Aku enggan meminta apa pun kepadamu, untuk saat ini ... **

“Jangan, kumohon, katakan saja kepadaku. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, aku akan menghabiskan hariku dengan bermakna.”

‘Tidak banyak ... hanya sedikit makanan. Sejujurnya, aku belum makan apa pun sejak kemarin pagi.”

“Ah, makanan, ya?” Pria kecil itu tampak bingung, lalu dengan nada menyesal berkata, “Aku harus mengakui bahwa aku tidak punya atap untuk berlindung sejak perang pecah, dan aku tidak tahu di mana aku akan mendapatkan makanan pagi ini. Aku menjaga kesehatan jiwa dan ragaku dengan meminta-minta … tapi, aku yakin akan bisa menemukan sesuatu untukmu nanti. Maukah kau menunggu hingga aku kembali di dekat sumur di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu?”

Mongaku menyesal dan cepat-cepat menarik kembali permintaannya, namun pria kecil itu telah berlari dengan ceria menyusuri jalan dan berbelok di persimpangan.

Mongaku segera berangkat ke reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Tempat itu sepertinya bisa menjadi tempat persembunyian yang bagus, karena dia tidak bisa kembali ke pertapaannya di perbukitan dan sangat kesulitan mencari tempat untuk tidur. Setibanya di Istana Mata Air Dedalu, dia tidak menemukan sedikit pun sisa-sisa keindahan tempat itu ... pecahan ubin dan batang-batang pohon berserakan di mana-mana. Sampah dan bangkai-bangkai burung mengambang di permukaan kolam yang keasriannya pernah termahsyur. Bagaimanapun, dia melihat bahwa pekarangan di sekeliling Mata Air Dedalu telah disapu dan dibersihkan, dan pecahan papan ditata di sekeliling sumur untuk menjaga agar dedaunan yang tertiup

Page 360: The Heike Story

angin tidak jatuh ke sana. Khawatir akan mengotori tempat itu, Mongaku menepi ke bawah pepohonan dan melihat sebuah gubuk yang dibangun dari bilah-bilah papan yang telah menghitam. Dia menurunkan buntalannya dan menggelar tikarnya untuk tidur. Sepertinya dia terlelap selama beberapa waktu, karena seseorang tiba-tiba mengguncang tubuhnya.

“Bangunlah, Tuan. Bangunlah, Tuan.”

Mongaku membuka mata. Matahari telah tinggi. Si pria kedi telah kembali. Dia menata bilah-bilah papan untuk dijadikan meja dan menyajikan hidangan yang terdiri atas nasi, ikan asin, acar, dan sedikit pasta kacang-kacangan di atas daun ek dan keladi.

“Bagus, Tuan. Makanan telah siap. Bagaimana jika kau bangun dan mulai makan?” kata pria itu, membungkuk dalam-dalam kepada Mongaku.

Mongaku menatap heran kepada sosok yang sedang membungkuk dengan penuh hormat kepadanya, lalu pada makanan yang disajikan di atas daun, dan air matanya seketika merebak. “Ini ... kau mendapatkan semua ini dengan meminta-minta?”

“Aku tidak akan berbohong. Itulah tepatnya yang kulakukan ... tapi, semua makanan ini bersih. Orang-orang termiskin, yang kesulitan memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bersedia membagi sedikit makanan yang mereka miliki kepada si pengemis ini, yang merapalkan satu ayat pun kesulitan. Yang harus kulakukan hanyalah mengetuk setiap pintu dengan tangan terlipat Penghargaan yang cukup bagiku jika dirimu, seorang pria suci, mau menyantap hidangan ini, dan aku yakin bahwa orang-orang yang memberikan makanan ini kepadaku akan merasakan hal yang sama, jika mereka tahu. Kumohon, makanlah.”

Page 361: The Heike Story

Mongaku duduk diam dengan mulut terkatup rapat; akhirnya, dia mengangkat sepasang sumpit dan berkata, “Terima kasih. Tetapi, kau juga tidak memiliki makanan. Aku yakin, kau belum makan sedikit pun hari ini. Kau harus menyantap hidangan ini bersamaku.”

Pria kecil itu menggeleng, namun akhirnya mengalah, dan keduanya perlahan-lahan menghabiskan makanan itu.

“Asatori ... Asatori si juru kuna!”

Seorang gadis pelayan muncul membawa sebuah ember kayu.

“Kaukah itu.Yomogi? Kau memerlukan air?”

“Ya, aku datang lagi untuk meminta air dari sumurmu. Orang-orang tidak mau memberi air kepada siapa pun yang dekat dengan majikanku, Nyonya Tokiwa. Beberapa orang malah melempari rumah kami dengan batu selagi lewat”

“Tunggu, biar aku saja yang mengambilkan air untukmu,” seru Asatori, segera berlari menghampiri gadis itu.

Ada banyak cerita yang terdengar mengenai para prajurit yang membuang berbagai macam sampah ke dalam sumur, atau bahkan mayat Sumur di rumah si gadis adalah salah satu yang tidak bisa dimanfaatkan lagi, sehingga dia harus mencari air ke tempat lain. Mongaku pernah mendengar bahwa Tokiwa adalah gundik Yoshitomo, dan bahwa orang-orang memperlakukan Yoshitomo dengan jahat

Sejak hari itu, Mongaku tinggal bersama Asatori di gubuk kecilnya, berbagi kehidupan aneh sebagai peminta-minta. Keduanya kerap duduk di bawah cahaya bulan di reruntuhan Istana, merenungkan serba-serbi kehidupan di sekeliling mereka dalam keheningan yang tidak tersentuh oleh alunan musik dan kemeriahan.

Page 362: The Heike Story

Asatori pergi mengemis pada siang hari, dan Mongaku pada malam hari.

Pada suatu malam, Mongaku pulang lebih cepat dengan membawa seguci sake dan menyampaikan bahwa dia telah memutuskan untuk pergi ke perbukitan di wilayah Air Terjun Nachi. Sake itu, yang didapatkannya dari kenalannya di sebuah kuil, dibawanya untuk pesta perpisahan mereka. Dia berterima kasih untuk kebaikan Asatori, mengatakan bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menjamu Asatori.

Asatori kecewa ketika mendengar kabar itu. Dia memprotes, “Tapi, ini terlalu berlebihan untuk orang seperti aku,” namun dia terus menenggak secangkir demi secangkir sake hingga cukup mabuk.

“Ah ... aku benar-benar tersanjung. Mongaku yang baik, jika kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi, kuharap tempatnya tidak di tengah reruntuhan seperti ini, dan aku akan mendengarkan baik-baik ceramah agamamu.”

“Ah, Asatori, kau tidak perlu mendengarkan khotbahku. Pengabdianmu dalam menjaga Mata Air Dedalu telah membahagiakanku. Kau merebut kekagumanku dengan kesetiaanmu dalam menjalankan tugasmu walaupun majikanmu telah pergi. Sungguh senang hatiku saat mengetahui bahwa orang sepertimu ternyata ada di dunia ini.”

“Oh, tidak, pekerjaan ini memang cocok untuk seorang bodoh sepertiku. Dalam masa susah ini, aku tidak sedikit pun berminat untuk bermain musik seperti yang pernah diajarkan oleh ayahku.”

“Jika semua masalah ini telah berakhir, para bangsawan di rumah mewah mereka dan para pejabat istana akan melanjutkan kebiasaan mereka berpesta setiap malam

Page 363: The Heike Story

dengan diiringi musik, dan jika kau kembali menjadi pemain musik di istana, betapa indah dan mudahnya kehidupanmu nanti!”

“Aku sudah muak menjadi peliharaan para bangsawan. Jika permainan seruling dan bangsiku benar-benar menghibur mereka.

maka aku akan dengan senang hati tampil di hadapan mereka dan bersedia disebut sebagai pemain musik; tapi, itu jarang terjadi karena di tengah seluruh pesta dan kemeriahan itu, aku terlalu sering melihat persaingan, kedengkian, dan intrik-intrik yang mengenaskan.”

“Ya, aku bisa memahami bagaimana para pemain musik menjadi orang luar yang menyaksikan para penguasa mabuk-mabukan dan bersikap tidak masuk akal.”

“Ayahku sering bercerita tentang pekerjaannya sebagai pemain musik dan tugasnya mengiringi para geisha genit menghibur para pejabat istana.”

“Maksudmu, kau lebih memilih untuk hidup miskin dengan menjaga mata air ini? Aku setuju denganmu dalam hal ini. Kau sebaiknya memanfaatkan bakatmu untuk menolong rakyat jelata.”

“Aku ragu apakah musik yang biasa kumainkan di Istana bisa menghibur rakyat kecil Tapi, tentunya ada cara untuk menjadikan harmoni itu cocok bagi mereka.”

“Ayolah, Asatori, tidak maukah kau memainkan sesuatu untukku dengan serulingmu itu?”

Permintaan Mongaku mengingatkan Asatori pada janji Mantan Kaisar yang belum terpenuhi, dan dia menjawab, “Maafkan aku karena menolakmu. Ada sangat banyak kenangan menyedihkan yang ditimbulkan oleh serulingku, dan aku tidak bisa memainkannya tanpa menangis. Suasana

Page 364: The Heike Story

ceria yang dihadirkan oleh sake ini akan lenyap, dan yang akan tersisa hanyalah perasaan kesepianku.”

Mongaku tidak mendesak Asatori. Ada bunyi-bunyian manis lain yang bisa menenangkan pikiran dan telinganya, karena di sekelilingnya, di rerumputan di antara reruntuhan, jangkrik-jangkrik mengerik, mendering, dan mengetuk-ngetuk. Bulan menggantung tinggi di langit malam di atas mereka.

“Apakah ini akhir dari pertikaian?”

“Kurasa tidak.”

“Kau yakin bahwa perang akan pecah lagi?” Asatori bergidik.

“Perang akan terus terjadi hingga manusia belajar untuk menghilangkan keserakahan dan kecurigaan dari hati mereka,” jawab Mongaku. “Selama anak masih meragukan ayah mereka, dan ayah meragukan anak mereka, tidak ada yang bisa menghentikan sanak saudara menjadi musuh bebuyutan. Selama majikan, pelayan, dan teman-teman tidak saling memercayai, maka tanpa pertumpahan darah sekalipun, kehidupan di dunia ini akan menjadi neraka. Di perang terakhir ini, api neraka sendiri akan menjangkau kita.”

“Kelihatannya perang sudah berakhir.”

“Tidak, ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Kekejian Penasihat Shinzei adalah jaminan bagi datangnya masa depan yang lebih buruk. Kau akan melihat sendiri bagaimana iblis menghantui ibu kota ini. Pikiran itu membuatku ketakutan.”

“Apakah penyebab utama semua ini adalah kejahatan Shinzei?”

Page 365: The Heike Story

“Penyebabnya lebih jauh dan dalam, dan bukan Shinzei seoranglah yang bertanggung jawab. Kejahatan juga ada di dalam diriku ... di dalam dirimu.”

“Di dalam diriku ... dirimu?”

“Ketahuilah, Asatori ... manusia adalah makhluk yang paling menyusahkan. Misalkan saja seseorang datang dan menumpahkan sake yang sedang kita nikmati ini. Apakah menurutmu kita akan diam saja? Atau, bagaimana jika seseorang merampas seruling berhargamu, bukankah kau akan berusaha merebutnya kembali? Kita berdua adalah manusia sebatang kara yang tidak terikat pada keluarga, namun jika bukan begitu keadaannya, kita akan menjadi korban cinta buta, dan dalam kebutaan itu, siapa yang mengetahui apa yang akan kita lakukan? Kalaupun kita bebas dari segala ikatan, diri kita masih bisa dihancurkan oleh hawa nafsu dan kecintaan kepada diri sendiri. Tidakkah ajaran Buddha mengatakan bahwa manusia bisa menjadi dewa ataupun iblis secara bergantian, bahwa manusia adalah makhluk berbahaya yang tak henti-hentinya terjepit di antara kebaikan dan kejahatan? Pangeran atau rakyat jelata sama

benarnya, mereka yang hidup dalam kelebihan atau kekurangan ... dan dunia terdiri dari keduanya. Tidak heran jika satu kali salah langkah bisa berujung pada pertumpahan darah.”

“Apakah jika semua manusia jahat, berarti tidak ada seorang pun yang baik?”

“Dunia akan aman jika semua manusia menganggap diri mereka jahat. Aku harus mengatakan bahwa aku juga jahat, dan bahwa aku bisa dengan mudah membiarkan perasaanku menghanyutkanku.”

“Apakah ini berarti kita dikuasai oleh kekuatan jahat?”

Page 366: The Heike Story

“Tidak diragukan lagi. Tetapi, kekuasaan adalah racun yang lebih mematikan. Daya tarik kekuasaan bagi manusia merupakan sebuah misteri. Siapa pun yang pernah mengecap tampuk kekuasaan tidak akan bisa menghindar dari menciptakan sengketa atau membiarkan dirinya hanyut di dalamnya. Bukankah kita sudah melihat sendiri bagaimana para tokoh terbesar dan wanita tercantik sekalipun, atau bahkan seorang kaisar yang berumur tiga tahun, menjadi boneka dalam perebutan kekuasaan ini? ... Bahkan orang-orang suci di gunung mereka yang menggembar-gemborkan tentang penebusan dosa tidak terbebas dari keserakahan terhadap gelar dan kekuasaan. Tidak, bahkan para geisha di Eguchi dan pedagang di pasar, atau para pengemis …. Kita memang makhluk yang betul-betul menyusahkan!”

Mongaku, terhanyut dalam renungannya mengenai kebodohan manusia, tanpa sadar menenggak bercangkir-cangkir sake yang dibawakannya untuk temannya. Asatori mendengarkannya sambil lalu. Berbagai hal yang disampaikan dengan menggebu-gebu oleh Mongaku sepertinya tidak bisa ditemukannya di dalam dirinya sendiri. Renungan Mongaku terdengar seperti pengakuan seseorang yang tak henti-hentinya bergulat dengan iblis-iblis di dalam dirinya.

Keduanya segera tertidur. Ketika malam telah setengah berlalu, Mongaku terbangun dan mempersiapkan keberangkatannya. Memanggul buntalan dan membawa tongkatnya, dia berjalan menuju sungai, menyeberanginya selagi permukaannya masih dangkal, dan

menghilang dalam kegelapan. Asatori menyertai temannya hingga tiba di tepi sungai dan menyaksikannya menjauh sebelum kembali ke reruntuhan Istana. Ketika berbelok menuju salah satu jalan raya, Asatori melihat arak-

Page 367: The Heike Story

arakan panjang penunggang kuda dengan obor-obor menyala mendekat ke arahnya. Merasakan nyalinya menciut, Asatori berlari kembali ke gubuknya dan bersembunyi, gemetar. Tetapi, dia tidak bisa tidur kembali karena tersiksa oleh kegelisahan. Dia telah berhari-hari memikirkan Mantan Kaisar dan kelanjutan nasibnya. Ke mana pun dia pergi meminta-minta, didengarnya desas-desus bahwa pihak yang berwenang sedang bersiap-siap untuk mengurus Mantan Kaisar; bahwa Kaisar tidak bisa lagi menahan dan menghukum saudaranya, Sutoku, yang telah menjalani penahbisan dan menyepi di Kuil Ninna-ji, atau bahwa Kaisar akan memindahkan Sutoku ke sebuah kuil yang lebih jauh dari ibu kota. Ada pula rumor yang mengatakan bahwa pertemuan rahasia para pejabat tinggi telah diselenggarakan untuk memutuskan nasib Sutoku.

Asatori tiba-tiba menegakkan badan. Mungkinkah arak-arakan itu menuju Kuil Ninna-ji? Dia memandang bintang-bintang di langit menjelang pagi, lalu bergegas bangkit dan berlari ke jalan. Dia melewati jalan pintas di belakang Akademi dan tiba di ruas jalan raya lain, tempatnya melihat arak-arakan yang sama, yang menyerupai kaki seribu berpendar, merayap melewati gerbang kota menuju Kuil Ninna-ji di utara.

o0odwkzo0o

Sehari sebelumnya, utusan Kaisar tiba di Kuil Ninna-ji dan menemui Mantan Kaisar, Sutoku, untuk mengatakan, “Saya hendak menyampaikan perintah dari Kaisar. Besok, tanggal 23, Anda akan diberangkatkan ke Sanuki. Anda hanya memiliki waktu semalam untuk menyelesaikan urusan Anda dan mengucapkan selamat tinggal. Anda harus menunggu kedatangan para pengawal Anda.”

Pengasingan! Hati Sutoku mencelus ketika dia mendengar kata itu. Pengasingan di seberang laut! Sutoku

Page 368: The Heike Story

memohon agar diizinkan untuk berbicara dengan Kepala Biara. Pada tengah malam, Kepala Biara datang, dan Sutoku mencurahkan kerisauannya akan nasib putranya. Dia juga memohon kepada Kepala Biara untuk mendatangkan Pangeran ke biara dan melakukan penahbisan kepadanya. Tergerak oleh kata-kata mengharukan Sutoku, Kepala Biara menyetujui permohonannya.

Tiga orang wanita bangsawan, pengiring yang masih diizinkan oleh Sutoku untuk mengabdi kepadanya, belum rampung mempersiapkan kepergian mereka ketika ringkikan kuda, teriakan para pawang dan prajurit, dan derak roda kereta terdengar di luar gerbang. Obor-obor kayu pinus berasap menerangi pagi buta itu dengan nyala terang benderang. Gerbang-gerbang terbuka dan kesibukan para biksu segera terlihat. Seberkas demi seberkas cahaya pucat terlihat begitu lilin-lilin dinyalakan. Dua orang samurai tiba di bilik Sutoku, mengatakan bahwa mereka adalah pengawalnya dan akan membawanya ke kereta yang telah menunggu. Di bawah temaram fajar, para biksu, pria dan wanita pelayan, dan buruh tani yang mengerjakan tanah milik kuil berbaris di jalan masuk dan memadati gerbang untuk menyampaikan rasa duka. Di antara mereka, berdirilah Asatori, yang melongok agar bisa melihat majikannya untuk terakhir kalinya. Tetapi. Sutoku tidak terlihat oleh Asatori karena jendela-jendela keretanya ditutupi kayu. Sementara arak-arakan samurai dan petugas menjauh, para penonton membubarkan diri sehingga hanya Asatori seorang yang tersisa, memandangi punggung para penunggang kuda. Kemudian, Asatori mengejar mereka, tersuruk-suruk di belakang arak-arakan.

Untuk menghindari ibu kota, arak-arakan tersebut melewati jalan becek di sisi barat, melewati Gerbang

Page 369: The Heike Story

Rashomon, dan berbelok ke selatan, di dekat Fukumi dan Kuil Anrakuju-in. tempat Sungai Kamo dan Sungai Katsura bertemu dan membentuk Sungai Yodo. Seluruh ibu kota masih tertidur lelap pagi itu.

Tiga buah perahu tertambat di dermaga di Yodo. “Mereka terlambat Mereka seharusnya sudah tiba sejak tadi,” gerutu seorang samurai yang mengawal Gubernur Sanuki.

“Mereka datang,” seru seorang nakhoda.

“Di mana? Aku tidak melihat mereka.”

“Tidakkah kau melihat para nelayan berseru-seru senang?”

Sejenak kemudian, dua buah kereta yang diapit oleh samurai-samurai berkuda tiba. Gubernur menyambut mereka. “Kalian datang lebih lambat daripada waktu yang telah disepakati. Ini merisaukan kami, yang mengandalkan pergerakan kami pada pasang surut air dan embusan angin. Pastikan agar rombongan ini langsung berangkat”

Para nakhoda dan awak perahu bergegas mengatur kemudi, melonggarkan tali-tali, dan saling meneriakkan perintah di tengah deru angin pagi. Salah seorang pengawal Sutoku sepertinya sedang terlibat dalam perdebatan panas dengan sang gubernur.

“Sekitar tiga ratus orang pengiring, katamu?”

“Lagi pula, beliau bukan tahanan biasa.”

“Walaupun begitu ... banyak sekali. Hanya ada ruang untuk beliau dan tiga orang pelayan.”

“Mungkin saja, tapi kami diperintahkan untuk mengawal beliau. Berapakah perahu yang telah Anda siapkan?”

Page 370: The Heike Story

“Seperti yang kaulihat sendiri ... satu untuk si tahanan dan pelayannya. Dua untuk para petugas dan prajurit Mustahil untuk membawa tiga ratus orang. Kami bisa membawa dua puluh orang ... tidak lebih. Tidak ada ruang lagi.”

Perdebatan semakin panas, dan akhirnya disepakati bahwa dua puluh orang samurai akan menyertai Sutoku; kedua pengawalnya kemudian berpamitan dengan Sutoku di sana. Tiga orang pengiring Sutoku masuk terlebih dahulu ke perahu, diikuti oleh majikan mereka. Kabin sempit itu dilengkapi dengan dua buah jendela kecil dan hanya sehelai tikar kasar di lantainya. Di dalam kabin, udara lembap dan berbau apak, dan serangga-serangga menjijikkan merayap ke sana kemari. Sang gubernur, yang perahunya telah lebih dahulu berangkat, berseru, “Kunci pintu kabinnya, kita berangkat!”

Teriakan tiba-tiba terdengar ketika seorang nakhoda menemukan seorang pria aneh bertubuh kecil bersembunyi di antara sebuah lemari geladak dan kabin, dan menyeretnya keluar dengan mencengkeram tengkuknya. Si nakhoda, setelah mengamati pria itu lekat-lekat, menghardiknya, “Dasar pengemis sungai! Apa maksudmu dengan menyelinap kemari dan bersembunyi? Apa kau peri sungai? Pasti begitu ... kau memang makhluk sungai!” Si nakhoda pun melempar pria itu ke sungai. Orang-orang di kedua perahu lainnya bersorak sorai dan tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan ini. Mendengar ceburan, Sutoku mengintip dari jendela dan melihat Asatori menggapai-gapai di permukaan sungai. Asatori meneriakkan sesuatu, namun arus sungai yang deras menjerat dan menyeretnya.

Perjalanan laut yang berat itu berakhir pada 15 Agustus, ketika ketiga perahu nelayan kecil tersebut tiba di pesisir

Page 371: The Heike Story

timur laut Pulau Shikoku di dekat Sakad6. Sutoku dan ketiga pelayannya disambut oleh sipir mereka, seorang petugas baik hati yang membawa mereka ke sebuah kuil di wilayah perbukitan. Di sana, Sutoku tinggal selama tiga tahun hingga dipindahkan ke tempat yang lebih jauh lagi, di tengah perbukitan wilayah selatan.

Di antara penduduk ibu kota yang bersedih mendengar kepergian mendadak Sutoku adalah Saigyo, si biksu penyair (Sato Yoshikiyo), yang telah dengan cerdik berhasil mengirim sebuah puisi kepada Sutoku di tempat pengasingannya melalui sipirnya yang baik hati.

Pada suatu malam musim gugur, Sutoku meletakkan kuasnya dan berbicara kepada salah seorang pengiringnya:

“Aku mendengarnya malam ini, dan sepertinya aku mendengarnya lagi ... mustahil jika aku hanya membayangkannya. Apakah kau juga mendengarnya?”

Bunyi itu terdengar lagi ... tidak salah lagi, alunan seruling ... dan sepertinya mendekati mereka.

“Apakah kau mengenal seseorang di daerah ini yang pintar bermain seruling? Aku bertanya-tanya, siapakah dia?”

“Musik yang sungguh indah!”

“Keluarlah diam-diam untuk mencari tahu. Pasti seseorang telah melihat nyala lilin ini ….Tidak mungkin jika dia salah seorang pengawal.”

Wanita itu menyelinap keluar dan berlari ke pos pengawal, lalu mengetuk pintunya dengan lembut. Seorang pengawal keluar, dan wanita itu bercerita tentang apa yang didengarnya. Si pengawal mendengarkan dengan penuh perhatian dan menjanjikan kepadanya untuk

Page 372: The Heike Story

mempertemukannya dengan si pemain seruling misterius itu, ketika seorang peziarah muda tiba-tiba muncul, membawa sebuah seruling. Pemuda itu menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya.

“… Ya, ya. Saya melakukan perjalanan ziarah dari Shikoku dalam dengan harapan bahwa kesempatan akan membawa saya kemari, tempat musik saya akan menenangkan sang Mantan Kaisar yang sedang berada dalam pengasingan. Saya telah sangat lama berdoa agar beliau bisa mendengarkan alunan seruling ini. Nama saya Asatori. Saya berasal dari keluarga pemain musik istana, namun saya meninggalkan pekerjaan saya untuk mengabdi selama bertahun-tahun kepada Yang Mulia sebagai juru kunci Istana Mata Air Dedalu.”

Ketika mendengar namanya, sang wanita pengiring, yang telah sering mendengar Sutoku membicarakan tentang Asatori, bergegas menyampaikan kabar itu.

“Asatori? … Jadi, ternyata Asatori yang meniup seruling itu!” seru Sutoku, cepat-cepat keluar ke beranda dan duduk di sana. Beranda itu menjorok di atas sebuah kolam yang ditumbuhi bunga-bunga teratai, dan Asatori, yang dilarang melintasi jembatan lengkung di atasnya, berdiri cukup jauh di antara rerumputan tinggi. Bayangan bulan tampak di permukaan air.

Mereka bertukar pandangan tanpa berkata-kata, dan Sutoku menyesal karena tidak pernah memenuhi janjinya kepada Asatori ... bahwa dia akan mendengarkan permainan serulingnya di bawah cahaya bulan. Tetapi, Asatori tidak melupakannya. Dia telah mengarungi laut yang ganas dan menghadapi bahaya yang tak terhitung banyaknya demi menemukan dirinya. Asatori juga menolongnya di perbukitan ketika dia melarikan diri dari Shirakawa.

Page 373: The Heike Story

Asatori hanya sanggup meneteskan air mata; kemudian, menempelkan serulingnya ke bibir, dia mulai meniup, mencurahkan seluruh hatinya ke dalam nada-nada yang mengalun indah.

Bulan telah tenggelam. Matahari mulai mengintip, dan alunan seruling sudah tidak terdengar lagi. Setelah berpamitan kepada Sutoku, Asatori bertolak dari tempat itu, berulang kali menoleh ke belakang.

Sejauh yang diketahui umum, Asatori adalah satu-satunya orang yang pernah mengunjungi Mantan Kaisar Sutoku di pengasingan. Pada Agustus 1146, Sutoku wafat dalam usia empat puluh enam tahun, dalam keadaan hancur secara jiwa dan raga. Pada awal musim dingin tahun berikutnya, seorang peziarah berdiri di samping sebuah batu nisan di perbukitan Shikoku; dia adalah Saigyo, yang memulai sebuah perjalanan ziarah dari ibu kota pada musim gugur.

o0odwkzo0o

Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI Menjelang tengah hari pada akhir November 1159, tiga

orang samurai muda memacu kuda mereka di tepi Sungai Yodo. Ilalang layu membentang hingga bermil-mil di sekeliling mereka bagaikan asap yang menggantung rendah, dan sejauh mata memandang, awan gelap bertemu dengan permukaan sungai yang kelabu. Matahari siang itu tampak bagaikan titik terang benderang di langit yang kusam.

“Ho-hoy ... Jiro! Berhentilah berpura-pura kau tahu jalan. Apa kau yakin kau mengambil belokan yang benar?”

Page 374: The Heike Story

“Baiklah, baiklah. Kita baru saja melewati Perbukitan Tenno dan pasti berada di Jalan Raya Yamazaki sekarang. Kita akan tiba di Akutagawa dengan mengikuti kaki perbukitan.”

Tota dan Juro, yang memacu kudanya cukup jauh di belakang Jiro, meledek, “Jiro sepertinya tahu banyak tentang ini, ya? Katamu ini perjalanan pertamamu, tapi kau sudah mengenal jalan ini dengan baik”

“Oh, begitukah? Jadi kau sudah merencanakan ini dan baru terpikir untuk mengajak kami, ya?”

“Kau pembohong, Tota! Bukankah kau yang merengek-rengek terus padaku untuk pergi ke Eguchi dan menghabiskan malam disana dengan menonton para geisha beraksi?”

“Bukan, itu Juro, pemuda kota kita, yang tahu banyak soal geisha!”

“Hei.Tota! Berhati-hatilah dengan perkataanmu!

Juro tergelak. “Sudah, sudah, jangan saling menyalahkan! Jiro sepertinya sama sekali tidak keberatan!”

“Sepertinya salju akan turun lagi sebelum malam tiba. Mari kita berharap agar salju turun setelah kita tiba di Eguchi.”

Para penunggang kuda itu mendadak berhenti untuk mendengarkan lenguhan angsa-angsa liar yang terbang di kejauhan.

Keahlian berkuda mereka menunjukkan bahwa ketiganya, walaupun datang dari ibu kota, adalah samurai yang mengenal baik wilayah timur Jepang. Kecuali Jiro, yang lainnya datang ke ibu kota untuk memenuhi perintah Yoshitomo dan ambil bagian dalam perang di Shirakawa.

Page 375: The Heike Story

Jiro terlambat datang, namun tetap tinggal di Kyoto berdasarkan perintah Jenderal Yoshitomo dan bergabung dalam Pasukan Pengawal Berkuda.

Dua tahun setelah Perang Hogen, banyak perubahan terjadi di Kyoto. Istana Kaisar telah dipugar. Menteri-menteri baru ditempatkan di berbagai departemen, dan undang-undang baru mulai dijalankan. Upacara-upacara tradisional, yang telah diabaikan selama lebih dari seabad, diselenggarakan kembali; Akademi Musik dan pelatihan untuk penari istana dibuka kembali. Pertandingan sumo kembali diadakan di taman Istana seperti sebelumnya, dan nuansa perdamaian telah kembali, ketika tanpa peringatan dan penyebab yang jelas, Kaisar Goshirakawa tiba-tiba digulingkan dari tahtanya dan digantikan oleh Kaisar Nijo.

Mendekati akhir November, ketika kebosanan merundung rentetan kegiatan resmi di Istana, para pengawal mendapatkan cuti secara bergiliran; sekarang adalah giliran ketiga samurai ini, yang telah sangat banyak mendengar tentang kecantikan luar biasa para geisha di Eguchi. Khawatir akan dianggap kampungan oleh rekan-rekan mereka sesama pengawal, mereka membuat rencana untuk semalam di Eguchi, di dekat mulut Sungai Yodo. Sungai Kamo dan Katsura bertemu beberapa mil di selatan Sungai Yodo membentuk sebuah delta di Naniwa.

Banyak di antara kapal yang membawa muatan untuk Kyoto, perahu nelayan, dan perahu dari timur dan barat yang singgah di Nakiwa, dengan kampung nelayan di tengah padang ilalangnya. Eguchi, yang terletak cukup dekat dengan mulut sungai, adalah sebuah desa yang dipenuhi oleh penginapan, kedai teh, dan rumah bordil. Para pengunjung dari Kyoto biasanya singgah di Eguchi dalam perjalanan tamasya air, namun ketiga samurai tersebut tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai.

Page 376: The Heike Story

“Jadi, inilah Eguchi dan kedai-kedai tehnya!”

“Lebih ramai daripada tempat-tempat lainnya yang kita lewati

“Sekarang, kita harus mencari tempat untuk menginap.”

Para samurai itu turun dan menuntun kuda mereka dengan kecewa di sepanjang jalan utama, mengamati setiap rumah yang mereka lewati. Wajah-wajah sepucat bunga bakung mengintip dari balik jendela-jendela berjeruji yang tampaknya hanya seukuran sangkar burung. Sesekali, mereka melihat para geisha di bilik-bilik kecil di balik pagar, berjongkok di dekat tungku-tungku tanah liat, memasak atau mengipasi bara. Semakin jauh mereka melangkah, bagaimanapun, rumah-rumah yang mereka lewati tampak lebih anggun dan mewah. Mereka melihat beberapa orang wanita dengan sanggul berhias bunga krisan musim dingin. Beberapa wanita lain yang mengenakan topi lebar atau mantel rapat melewati mereka, mendampingi para tamu yang baru saja mendarat. Dari suatu tempat di atas mereka, di lantai kedua sebuah rumah, terdengarlah petikan harpa, dan air yang bergemericik di selokan samar-samar mengeluarkan wewangian.

Menjelang senja, ketiga samurai itu menambatkan kuda mereka di luar sebuah rumah yang lebih menyerupai rumah peristirahatan seorang bangsawan daripada Kedai teh.

Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan yang dipisahkan oleh taman-taman kecil. Sebuah beranda berlangkan yang berpemandangan Sungai Yodo menjorok ke luar dari salah satu sisi rumah.

“… Sake, makanan-nah, bagaimana dengan ge.sha?

“Kau harus memintanya secara khusus.”

Page 377: The Heike Story

“Bukankah tempat ini lebih mirip dengan rumah seorang samurai ‘

“Tidak ada gunanya menginap di dekat sebuah keda, teh jika kita harus memikirkan kelakuan kita.”

“Tidak ada geisha-apakah kita harus menghibur diri sendm?

“Tunggu, aku akan memeriksanya.”

Tota keluar dari kamar mereka dan kembali sejenak kemudian. “Mereka akan datang kemari ... sebentar lagi.” “Datang kemari? Akhirnya ... ”

“Gadis-gadis itu tinggal di sayap lain rumah ini bersama si nyonya rumah ... seorang biksuni.” “Seorang biksuni, katamu?”

“Sepertinya begitu. Kudengar mereka lumayan memilih-milih tamu mereka. Sepertinya mereka menganggap kita orang terhormat” “Ini payah. Kita tidak akan bisa bersenang-senang.” “Jangan buru-buru mengeluh. Kita harus melihat gadis-gadis itu terlebih dahulu.”

Para geisha segera muncul dalam balutan kimono melambai berwarna-warni. Perangai, tatanan rambut, dan rias wajah berlebihan mereka mengingatkan para pemuda itu pada gadis-gadis istana.

Perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan menunjukkan bahwa para saudagar, yang sering melakukan pertukaran barang dengan para penyelundup dari Cina, merupakan langganan tetap tempat ini.

Juro, yang tertua di antara ketiganya, bertanya, “Siapakah nama kalian?”

“ … Senzai.”

“… Kujaku.”

Page 378: The Heike Story

“… Ko-Kannon.”

Alih-alih hanya semalam seperti yang telah mereka rencanakan, samurai itu menginap selama tiga malam. Ko-Kannon sepertinya sangat terpikat pada kepolosan Jiro dan aksen timurnya yang terdengar kuno, dan Jiro menganggap Ko-Kannon sangat memesona. Sementara teman-temannya menghabiskan waktu dengan minum-minum dan bermain dadu, atau menari dan menyanyi dengan iringan kecapi bersama para penghibur lainnya di rumah itu, Jiro menyepi di sebuah bilik mungil bersama Ko-Kannon. Terhanyut oleh sake, Jiro menatap kelopak mata pucat Ko-Kannon dan bertanya,

“Sejak kapankah kau tinggal di Eguchi?” “Sejak tiga tahun terakhir.” “Sejak Perang Hogen, kalau begitu?”

“Ya, rumahku terbakar hingga rata dengan tanah,” jawab Ko Kannon, menurunkan pandangannya. “Ayahku meninggal ketika itu,

dan seluruh keluargaku tercerai berai.”

“Oh?”

“Aku bangga mengatakannya ... ayahku berpihak kepada Mantan Kaisar dan dipenggal karenanya.”

“Jadi, ayahmu adalah seorang pejabat istana? Sungguh kejam, memisahkan seorang gadis muda yang malang dari keluarganya dan menjadikannya seorang wanita penghibur! Jika ayahmu masih

hidup, kau pasti akan menjadi seorang wanita terhormat yang hidup merdeka”

“Jangan katakan itu, kumohon ….Aku bukan satu-satunya orang yang datang kemari setelah perang berakhir. Ada gadis lain yang berdarah lebih biru, yang telah ... ” .

Page 379: The Heike Story

“Bukan sesuatu yang aneh jika banyaknya Pejabat Istana dan jenderal yang terbunuh berdampak pada banyaknya wanita berdosa yang harus menghadapi segala macam Kemalangan, tidak seluruhnya, rupanya, memilih untuk menjadi biksuni.

Tidak seluruhnya, tentu saja. karena Ibu kami di sini, begitulah kami memanggilnya, menikmati kehidupan semacam itu dan memilih untuk datang ke Eguchi. Tidak semua rumah disini, seperti kelihatannya, dan tidak semua penghibur di sini pelacur biasa.

Jiro yang telah banyak mendengar tentang wanita-wanita penghibur termahsyur dari Eguchi ketika masih tinggal ditimur, menatap Ko-Kannon dengan kagum.

“Tentunya ada banyak pejabat istana dan pria terhormat yang datang kemari. Apakah yang mendorong kalian untuk menerima kami, samurai-samurai dan timur ini. dengan penuh kehangatan”

Ko-Kannon tersenyum ketika mendengar pertanyaan Jiro.

“Kami sudah tidak punya rasa hormat lagi untuk para bangsawan yang wangi dan rapi-para menteri dan pejabat tinggi itu. Tidak terkatakan lagi kemuakan kami, setelah beberapa waktu, saat harus menghibur mereka. Di mata kami. para saudagar ceria dan penuh senyuman yang telah mengarungi lautan dan kalian para samurai muda. lebih terlihat seperti pria sejati. Aku tidak tahu alasan

tepatnya-dan bukan aku seorang yang berpikir begitu.”

“Kita akan pergi besok,” kata para samurai muda saat mereka semua berkumpul. “Sekarang adalah malam terakhir kita untuk berpesta. Para wanita di sini memang luar biasa. Kita sebaiknya membiarkan Jiro berduaan

Page 380: The Heike Story

dengan Ko-Kannon agar dia bisa mengucapkan salam perpisahan.”

Tetapi, Jiro dan Ko-Kannon hanya saling melempar senyuman senang ketika mendengar ledekan itu. Mereka turut menari dan bermain dadu dengan berisik, sesuatu yang sepertinya tak bosan- bosannya dilakukan oleh Juro dan Tota. Bercangkir-cangkir sake mereka habiskan untuk mengiringi tarian, drama, dan canda tawa mereka. Menjelang tengah malam, para penghibur mereka mendadak menghilang seorang demi seorang, hingga yang tersisa hanyalah seorang gadis pelayan bermata sayu yang bertugas menuangkan sake.

“Mengapa mereka mendadak lenyap?”

“Mungkinkah mereka hantu-karena mereka pergi begitu saja

Bahkan Ko-Kannon milik Jiro juga meninggalkan tanpa penjelasan-“

“Ada tamu penting yang baru saja tiba dari ibu kota, kurasa.”

“Astaga ... aku penasaran, siapakah mereka?” Ketiganya mengintip dari balik cabang pohon yang melengkung di atas sungai dan melihat sebuah perahu berhiasan mewah menepi. Nyala lentera menerangi tepi sungai, dan akhirnya, seorang pria yang mengenakan mantel berburu, ditemani oleh beberapa orang pengiring, berjalan ke arah rumah.

Ko-Kannon, sementara itu. muncul kembali; dia menarik Jiro dan membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu keluar lagi.

“Apa katanya, Jiro?” -

Page 381: The Heike Story

“Dia hanya menjelaskan duduk perkaranya, dan meminta maaf, dan menangis.”

“Aku diberi tahu bahwa tamu yang baru saja kita lihat itu bukan seorang pelancong biasa, atau saudagar kaya, tapi kerabat dekat dari pemilik rumah ini.”

“Apa hubungannya hal itu dengan kita? Kita juga tamu di sini.

“Kau marah? Itu tidak akan berguna.”

“Mudah saja berkata begitu, karena kau mendapatkan kenikmatan waktu Ko-Kannon menangis di bahumu, tapi bagaimana dengan kami?”

“Seorang samurai tidak boleh terbakar emosi.Tunggu hingga aKu selesai menjelaskan. Orang-orang yang baru saja tiba itu adalah para pengurus rumah tangga dan pelayan dari Rokuhara. M* Kyomon

sedang melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan di Kishu dan akan singgah sebentar di sini. Dan datang terlebih dahulu untuk mempersiapkan kedatangannya barang satu atau dua hari lagi.”

“Dari Rokuhara!” Tota dan Juro terkesiap dan saling memandang.

Aku pernah mendengar kabar burung tenung perjalanan ziarahnya ini. namun harinya sudah ditetapkan, bukan?

“Itu berarti kita harus pulang ke ibu kota sekarang ,uga. Kita sudah mendapatkan perintah dari Jenderal Genji Yoshtomo.

“Kita tidak boleh membuang-buang waktu.

Ketiga samurai itu segera bersiap-siap pergi. “Kuda kita apakah sudah disiapkan.”

Page 382: The Heike Story

Kuda kalian akan langsung diantarkan kemari. Sayangnya kami agak sibuk …. Harap sabar sejenak.” jawab seorang pelayan dengan nada menenangkan.

“Tidak, kami tidak marah. Ada urusan mendadak yang mengharuskan kami kembali ke ibu kota sekarang juga …. Dimanakah istalnya? Kami akan berangkat dan sana. “

“Lewat sini, Tuan-Tuan. Saya akan menunjukkan ,alannya. Ko-Kannon menanti di luar dengan membawa sebuah lentera dan membawa mereka melintasi sebuah kebun, lalu melewat, sebuah gerbang. Istal itu terletak di sebuah lahan kosong di antara rumah an bangunan di sampingnya.

“Tolong jangan lupakan kami. dan datanglah lag., kata Ko-Kannon. ,

“Lain kali. Jiro sebaiknya datang sendirian. Tota dan juro tergelak sambil memasang pelana pada punggung kuda mereka dan bersiap-siap menungganginya. Ketika menoleh, mereka mel.hat bahwa Jiro sedang mengintip dari bali semak-semak. “Apakah itu rumah tetangga kalian?” “Bukan, di situlah kami tinggal bersama Ibu.” “Jiro! Dasar bajingan tukang intip! Ko Kannon, marahi dia! “Tidak apa-apa, cahaya yang di sana berasal dari kamar Ibu.

Kamar kami ada di sisi kebun yang ini.”

Tota langsung menyodorkan tali kekangnya ke tangan Juro dan berlari untuk bergabung bersama Jiro. Walaupun udara ketika itu dingin, sebuah kerai terbuka, dan mereka bisa melihat dengan jelas sosok seorang wanita yang duduk di sana. Sulit untuk menentukan umurnya. Lipatan putih kerudung seorang biksuni membingkai wajahnya dengan indah; sepertinya dia berusia awal lima puluhan, lotnya berkilau pucat di bawah cahaya lentera, dan alisnya yang mulas menghadirkan kesan muda pada wajahnya yang

Page 383: The Heike Story

terbingkai kerudung Kimononya yang bernuansa cokelat menjadikan sosoknya semakin mencolok, terutama ketika dia berbicara dengan seseorang vane berada di dekat tiang lentera. Tota dan Jiro langsung mengenali pria yang telah sering mereka lihat di ibu kota itu, dan mereka saling memandang dengan mulut ternganga. Dia adalah adik Kiyomori, Tsunemori, seorang samurai yang setelah Perang Hogen diangkat ke Golongan Kelima.

Malam itu juga. ketiga samurai tersebut berangkat ke Kyoto.

Ketika berhenti di jalan untuk beristirahat, mereka membahas apa yang baru saja terjadi. Juro, yang tidak melihat semua yang dilihat oleh Jiro dan Tota, menambahkan, “Aku tahu bahwa adik Kiyomori dijadwalkan untuk datang mendahului rombongannya, namun siapakah nyonya rumah yang ditemuinya itu? Aku tidak tahu namanya.”

Kemudian, mereka berusaha mengingat apakah mereka telan mengatakan sesuatu secara tersirat selama menghabiskan waktu di Eguchi, karena mereka pernah mendengar bahwa nyonya rumah

di penginapan yang mereka tempati memiliki hubungan keluarga dengan Kiyomori.

“Sudah, jangan khawatirkan itu,” Jiro meyakinkan teman-temannya.

“Jiro, Ko-Kannon pasti pernah mengatakan sesuatu padamu. Mudah saja kau menyuruh kami untuk tidak khawatir, tapi apa yang membuatmu berkata begitu?” ..

“Aku ingin memercayai ceria Ko-Kannon, tapi aku tetap meragukannya …. “ “Nah, itu dia! Ko-Kannon pasti telah mengatakan sesuatu kepadamu.”

Page 384: The Heike Story

“Memang dan inilah yang dikatakannya, Ibu mereka memang pernah menjadi geisha di ibu kota, dan dia pernah menjadi gundik Kaisar Shirakawa, julukannya ketika itu adalah Perempuan Gion.”

“Perempuan Gion?, sepertinya aku pernah mendengar nama itu.”

“Kaisar Shirakawa memberikannya pada Heike Tadamori untuk dijadikan isteri. Mereka memiliki beberapa orang putra dan yang tertua adalah Kiyomori. Hanya ada beberapa orang yang mengetahui hal ini, dan Ko-Kannon menyuruhku berjanji untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun.

Jiro dan Tota menepuk pelana mereka dan berseru, “Dari semuanya yang kalian obrolkan !, kita sebaiknya tidak pergi ke Euguchi bersama Jiro lagi. Kita tidak tahu ternyata dia sudah sedekat itu dengan Ko-Kannon. Tapi, dengar, apakah yang dikatakannya itu benar? Ini desas-desus serius tentang seorang tokoh yang berpengaruh.”

“Serius mungkin dan tidak terlalu mustahil. Jenderal Yoshitomo sekalipun, kata orang-orang, adalah anak seorang geisha cantik.”

“Itu dia. Aku ingat-kisah tentang ayah kandung Kiyomori”.

“Omong-omong, kita benar-benar bersenang-senang di Eguchi.

“Ya, tapi seperti apakah suasana ibu kota saat ini? «Tidak ada gunanya meramalkan hari esok, dan tidak akan berarti jika samurai biasa seperti kita berusaha menebak-nebak. Yang jelas, bagaimanapun, Jenderal Yoshitomo ingin mengetahui tanggal tepat keberangkatan Kiyomori ke

Page 385: The Heike Story

Kumano, dan kita diperintahkan dengan tegas untuk kembali ke ibu kota jika tanggal itu sudah diketahui.”

“Lihat, hujan es turun! Mari kita memacu kuda kita agar bisa cepat-cepat menghangatkan diri.”

Di belakang mereka, jalan, sawah, dan perbukitan segera tampak memudar.

o0odwkzo0o

Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano Tsunemune, sang pejabat istana, lagi-lagi menghabiskan

harinya di rumah peristirahatan Wakil Penasihat di pinggir kota. Hampir semua orang di kalangan istana mengetahui tentang kedekatan keduanya, nemun demi menjaga penampilan, Tsunemune memberikan penjelasan bahwa alasan dia sering mengunjungi rumah Nobuyori Fujiwara adalah untuk memberinya pelajaran sepak bola. Siapa pun yang mengetahui bahwa Tsunemune lihai dalam memanfaatkan orang lain demi mendapatkan keinginannya, akan menghindari keterlibatan dengannya; kendati begitu, Tsunemune tidak pernah kehabisan pengikut. Mantan Kaisar Goshirakawa selalu memilihnya sebagai teman bermain sepak bola, dan Kaisar Nijo menyukainya, sementara Nobuyori, sang wakil penasihat, menjadikan Tsunemune kawan sekaligus orang kepercayaan.

“Tsunemune, apakah yang menghalangi Jenderal Narichika dan Penasihat Moronaka?”

“Mereka akan segera tiba. Aku tidak mengetahui apa yang mungkin menghambat mereka, kecuali jika mereka datang terlambat dan terpisah untuk menghindari kecurigaan mengirim pesan kepada Korekata?”

Page 386: The Heike Story

“Pamanku berjanji untuk datang malam ini.Tugasnya di Kepolisian menyibukkannya sepanjang siang.”

“Kalau begitu, sebaiknya kita berlatih terlebih dahulu.’

“Tidak, aku lelah dan sudah cukup berlatih hari ini. Jika aku terlalu lelah, kepalaku tidak akan jernih untuk mengikuti pembicaraan kita nanti.”

Tsunemune dan Nobuyori berada di sebuah lapangan sepak bola, tempat selama beberapa waktu bunyi bola kaki yang disepak terdengar membelah udara musim dingin dengan tajam. Saat ini, mereka sedang beristirahat di bawah sebatang pohon dan berbicara dengan nada rendah. Beberapa orang pejabat istana yang masih muda semakin sering bertemu di tempat itu dengan kedok menyelenggarakan kontes puisi dan pertandingan sepak bola, walaupun alasan utama pertemuan mereka adalah untuk membicarakan Shinzei.

Selama hampir tiga tahun setelah Perang Hogen berakhir, kekuasaan Shinzei tidak tertandingi lagi. Dia telah berubah dari seorang pejabat biasa menjadi pemegang kekuasaan mutlak, dan wajar saja jika banyak pihak kemudian berseberangan dengannya.

Dalam menegakkan kekuasaannya, Shinzei senantiasa tegas dan menjalankan peraturan dengan tangan besi. Kendati begitu, terdapat keyakinan yang semakin kuat di kalangan pejabat istana bahwa

jika Shinzei tidak segera disingkirkan, maka entah sampai sejauh apa tangannya akan menjangkau. Bersama berakhirnya pertikaian, Shinzei memastikan agar perdamaian ditegakkan tanpa sedikit pun penundaan. Reformasi besar-besaran dilakukan berdasarkan arahan darinya. Undang-undang baru yang mengatur pajak daerah dijalankan, dan pelarangan penggunaan senjata di wilayah

Page 387: The Heike Story

kota diberlakukan. Shinzei juga memiliki wewenang untuk menentukan jabatan seseorang dan menetapkan hukuman ataupun penghargaan. Walaupun telah menghadirkan banyak perbaikan, kekuasaan Shinzei tidak bisa diterima begitu saja oleh semua orang, dan sebagian orang juga mempertanyakan kediktatorannya.

Entah tirani yang menciptakan konflik, atau konflik yang munculkan tirani, tidak bisa dipungkiri bahwa seorang penguasa memiliki hak luar biasa atas dirinya sendiri telah terlahir dalam semalam dan menempatkan dirinya sebagai kepala negara. Walaupun Situasi memihak dirinya dan keahliannya tidak bisa dipertanyakan, orang-orang yang membencinya berpendapat bahwa Shinzei mendapatkan kesuksesannya sebagian besar adalah berkat dukungan dari kekuatan militer Kiyomori; alasan itu saja sudah cukup untuk melecutkan kekesalan di hati para samurai Genji. Kemudian, mulai terdengar rumor bahwa peraturan-peraturan baru dibuat untuk mengukuhkan posisi Shinzei dan para sekutunya.

Pertemuan rutin dan pembicaraan rahasia di rumah peristirahatan Nobuyori menghasilkan sebuah persekongkolan besar untuk menggulingkan Shinzei. Rencana itu diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu satu atau dua tahun. Menjelang akhir November 1159, bagaimanapun, terdengarlah desas-desus mengenai rencana perjalanan ziarah Kiyomori ke Tempat Pemujaan Kumano, sebuah perjalanan sepanjang tujuh hari dari ibu kota. Desas-desus tersebut membuat orang-orang yang terlibat dalam persekongkolan sepakat; bahwa kesempatan untuk melakukan serangan akhirnya tiba ... sebuah kesempatan yang tidak akan terulang lagi di kemudian hari.

Rumah peristirahatan Nobuyori menjadi tempat pertemuan pada hari sebelumnya, dan kedua pemimpin

Page 388: The Heike Story

persekongkolan in” TsunemunS dan Nobuyori ... telah menyebarkan undangan untuk

pertemuan lanjutan hari ini.

Matahari sore memancarkan sinarnya yang terik ke lapangan sepak bola, tempat lima atau enam orang pria duduk di tanah di dekat gawang. Jenderal Narichika dan Penasihat Moronaka telah bergabung dengan kelompok itu, yang seolah-olah sedang mengobrol tentang sepak bola. Padahal, mereka membahas sesuatu yang lebih penting.

“….Jadi 4 Desember adalah tanggal kebeningkatan Kiyomori ketempat pemujaan Kumano?”

“Itu sudah pasti karena aku mendengarnya dari sumber yang terpercaya, yang juga sering berkunjung ke Rokuhara,” Jawab Jenderal Narichika.

“Tanggal 4-itu berarti, kita hanya memiliki sedikit waktu .. »

Para penyusun rencana itu tanpa sadar bergidik ketika memikirkan apa yang sedang menanti mereka Sarang sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang menunda aou mundur

“Kta memiliki seluruh alasan untuk meyakini bahwa perjalanan Ziarah Itu akan dilaksanakan pada awal musim semi,. Namun perubahan rencana Ini memaksa kha untuk mempercepat persiapan kita. Apa pun Itu, sebaiknya kta meneruskan pembahasan ini didalam rumah.”

Mereka pun memasuki rumah; kerai-kerai ditutup dan para penjaga ditempatkan di sepanjang koridor dan lorong untuk mencegah gangguan apa pun. Setelah matahan tenggelamkah paman Nobuyori. Korekata, mantan Panglima Pengawal Golong Kanan, dan pembicaraan pun menjad, lebih mendetail.Sebagai seorang pejabat

Page 389: The Heike Story

Kepolisian. Korekata bertugas menjaga kedamaian dan ketenteraman ibu kota. Wewenang Korekata dan pasukan Genji Yoshitomo, serta para pelaku persekongkolan, adalah perpaduan yang tidak terkalahkan.

o0odwkzo0o

Tuan Hidung Merah, pemilik sebuah rumah megah di pintu masuk pasar kota di dekat gerbang menuju Jalan Kelima, adalah orang kaya baru. kata orang-orang. Dia mempekerjakan banyak pembantu ... pria dan wanita ... di gudang-gudangnya, yang penuh berisi gulungan kain. pewarna kain. sisir, kosmetika, dan wewangian dari Cina. Tuan Hidung Merah adalah saudagar kesayangan para wanita Istana. Bamboku adalah nama aslinya, namun dia lebih terkenal dengan julukannya karena hidungnya yang sewarna buah stroberi ranum tampak mencolok di pusat wajahnya. Kulit yang tertarik di bagian samping hidungnya – bekas penyakit cacar yang dideritanya ketika masih kanak-kanak – menyebabkan hidungnya mencuat ke atas.

Namun sesuatu yang akan dianggap merusak penampilan oleh para pria berumur empat puluhan lainnya justru terbukti sebaliknya bagi Bamboku karena hidungnya justru memberikan kesan keramahan yang tulus.

Seandainya dia memiliki hidung bangir tanpa keanehan apapun mungkin perhatian setiap orang akan langsung tertuju pada wajahnya yang berkesan licik. Dia jarang disapa menggunakan nama aslinya lebih sering disebut sebagai Tuan Hidung oleh rekan- rekarmya sesama saudagar, atau bahkan si Hidung Merah atau si Hidung saja ... begitulah, sehingga wajar saja jika orang-orang tidak memedulikan nama aslinya.

“Bamboku, sepertinya kau semakin kaya saja.

Page 390: The Heike Story

“Ah, Yang Terhormat Tsunemune! Apakah Anda sedang berjalan-

“Oh. tidak, aku baru saja bermalam di rumah pensirahatan Wakil Penasihat ... kontes puisi seperti biasanya, kau tahu.” “Anda hendak pulang, kalau begitu?”

“Kau sepertinya sudah sibuk sepagi ini. Bagaimana ,.ka kita berbicara di dalam-ada sebuah permintaan yang harus kusampaikan padamu …” . „

“Tidak perlu meminta maaf …. Nah, silakan, lewat sini.

Bamboku mempersilakan Tsunemune memasuki tokonya dann melewati sebuah lorong sempit, sebuah arena berkuda, dan sederet gudang, menuju sebuah halaman dalam.

“Anda sebenarnya bisa masuk melalui gerbang di halaman.

“Gerbang itu terkunci.” Bamboku

“Ah, ternyata saya sangat ceroboh, Hei …” kata Bamboku ketika melewati kamar tidur istrinya, “Ada tamu, Yang Terhormat Tsunemune,” lalu membawa tamunya melewat, perkarangan menuju sebuah ruangan yang bermandikan cahaya matahan pagi yang dingin.

“Kalian para saudagar memiliki rumah-rumah indah ... cerah dan ceria.”

“Tidak semuanya, Tuan, tidak seperti kediaman Anda yang cantik.”

“Kau salah dalam hal itu. Tradisi, kedudukan sosial, keharusan untuk menjaga penampilan, semua itu memperumit kehidupan kami, sehingga kami semakin jarang bisa melihat matahari. Kaisar dan para wanita istana menghabiskan waktu mereka di dalam ruangan- ruangan

Page 391: The Heike Story

yang berpenerangan lilin. Lebih baik kau tidak bertambah kaya dan membangun rumah yang lebih besar.”

“Ah, tidak, Tuan, saya tidak bisa diperhitungkan di kalangan saudagar kaya di Jalan Kelima ini.Walaupuan saya memiliki beberapa ambisi ….Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya. Tuan, dan saya tentu saja berharap bahwa Anda bisa terus menjadi pengayom saya.”

“Kudengar kau mendapatkan kekayaan yang cukup besar setelah perang usai.”

“Begitulah kelihatannya di mata orang-orang, Tuan, walaupun kenyataannya jauh dari itu.”

Tsunemune tergelak. “Jangan takut, Bamboku, aku tidak akan memohon utang.”

“Tetapi, Tuan, kalaupun Anda meminta sesuatu yang mustahil saya penuhi, saya akan tetap mengusahakannya dengan senang hati.”

“Kau hanya berusaha menyenangkan hatiku, bukan?”

“Apa lagikah yang bisa saya lakukan kepada pengayom saya?”

Tepat ketika itu, istri Bamboku yang menawan, yang berusia sekitar dua puluh tahun lebih muda darinya, keluar setelah selesai berdandan.

“Selamat datang, Tuan! Anda tiba pagi sekali di udara yang sedingin ini.”

“Wah, wah, Umeno! Bagaimana kabarmu ... baik-baik saja, kuharap?”

Umeno tersipu-sipu malu, dan Bamboku melontarkan tatapan heran kepadanya.

Page 392: The Heike Story

“Sajikan kue-kue yang lezat atau apa ... dan teh herbal?” kata Bamboku kepada istrinya, yang langsung beranjak dengan malu-malu.

Istri Bamboku, cucu seorang penasihat yang telah kehilangan jabatan, bekerja di rumah Tsunemun6 hingga setahun silam, ketika Tsunemun6 mengatur sebuah perjodohan untuknya. Bamboku, yang pernah menjadi pegawai kecil di Istana ... sebuah pekerjaan yang setidaknya memberikan penghasilan lebih banyak daripada menjadi pengiring seorang pejabat rendahan ... mengundurkan diri sepuluh tahun sebelumnya, membeli sebuah toko kecil di pasar, dan menjadi saudagar. Melalui kenalan-kenalan masa lalunya, dia pun berhasil melakukan bisnis dengan Istana dan para wanitanya. Tsunemung, yang pertama kali bertemu dengan Bamboku di rumah peristirahatan Perdana Menteri, menyukai saudagar jenaka yang selalu berhasil menghiburnya itu. Mendapati bahwa Bamboku ternyata ambisius dan memiliki semangat berapi-api seperti dirinya, Tsunemune pun bersedia menjadi pengayom baginya. Kemudian, ketika perang berakhir dan terdapat begitu banyak permintaan untuk berbagai macam barang, Tsunemun6 memastikan agar Bamboku dijadikan pemasok bagi bahan-bahan bangunan untuk pembangunan istana baru. Transaksi bisnis ini berujung pada pendirian rumah indah Bamboku dan deretan gudang-gudangnya di mulut Jalan Kelima.

Setelah rumahnya rampung dibangun, Bamboku membutuhkan seorang istri untuk mengurus rumah tangganya. Karena yakin bahwa dirinya adalah keturunan bangsawan, Bamboku berniat mempersunting seorang gadis dari kalangan sosial seorang pejabat istana yang telah lewat masa jayanya. Terlebih lagi, waktu yang dihabiskannya di Istana telah membakar ambisi rahasianya untuk hidup

Page 393: The Heike Story

layaknya seorang pria terhormat, istri yang dikehendaki ternyata disediakan oleh Tsunemune, dan sebagai ucapan terima kasih, Bamboku langsung mengangkat Tsunemune sebagai pengayom seumur hidupnya. Bamboku, bagaimanapun, sudah menanti-nantikan kesempatan untuk membalas kebaikan Tsunemun6, dan pagi ini, dia menyadari bahwa hari pembalasannya telah tiba. “Anda akan menyampaikan sebuah permintaan. Sekarang, jelaskanlah tentang hal itu kepada saya. Saya akan dengan senang hati memberikan apa pun yang bisa saya berikan kepada Anda.”

‘Tidak, Bamboku, aku tidak datang kemari untuk uang atau apapun yang berhubungan dengan uang. Sebaliknya, aku menawarkan keuntungan besar untukmu.”

“Wah, itu luar biasa di masa seperti ini.”

‘Tidak juga. Tapi, kau harus berjanji untuk menyetujui hal ini,

atau menolaknya sebelum aku menutup pembahasannya.”

“Tentu saja, saya tidak mungkin menolak. Apakah ini urusan rahasia?”

“Bamboku, maukah kau menutup kerai agar pembicaraan kita tidak terganggu?”

Tsunemun6 memaparkan tentang bagian persekongkolan

yang akan melibatkan Bamboku. Melihat kesan tertarik di wajah si Hidung, dia menambahkan, setelah menatapnya dengan cermat, “Jika kau bersedia ambil bagian dalam rencana ini, aku berani menjamin bahwa kau akan mendapatkan apa pun yang kauminta. Bamboku, apakah kau mengizinkan kami menggunakan rumahmu? Kami tidak bisa mengambil risiko dengan mengadakan pertemuan

Page 394: The Heike Story

di luar gerbang kota. Aku yakin bahwa pasar yang ramai ini akan bisa menjadi tempat pertemuan teraman bagi kita. Dan, terlebih lagi, sebagian besar dari kami akan menyamar jika harus datang kemari.”

Tsunemune memiliki permohonan lain. “Sudah bertahun-tahun ini, sejak Perang Hogen berakhir, larangan keras penggunaan senjata diberlakukan, dan kami kekurangan senjata yang dibutuhkan. Jadi, tugasmu adalah menyediakan seluruh persenjataan yang kami butuhkan. Semuanya harus dikerjakan secara sangat rahasia, kau mengerti.”

Tsunemung menghabiskan waktu di rumah Bamboku hingga siang tiba. Istri Bamboku, sementara itu, mempersiapkan dan menyajikan hidangan menggiurkan yang mencakup setermos anggur nikmat dari Cina, yang dibeli di pasar dari para saudagar yang secara teratur memasok barang-barang dari seberang laut Setelah urusannya dengan Bamboku selesai, Tsunemun6 menyelinap keluar melalui gerbang belakang dan berjalan ke arah sungai, tempat keretanya telah menanti. Dia mendapati sapi penarik keretanya terkantuk-kantuk di bawah matahari musim dingin, dan si bocah penuntun sapi terlelap di atas hamparan rumput. Tsunemung memandang ke seberang sungai pada tembok dan pepohonan Rokuhara.

o0odwkzo0o

Sejak Perang Hogen berakhir, Kiyomori telah berulang kali mengatakan, “Sekaranglah saat bagiku untuk melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan Kumano sebagai lambang rasa syukurku. Tahun ini, aku bisa dipastikan akan pergi.”

Perjalanan ziarah terakhirnya adalah pada 1154, setahun setelah kematian Tadamori, ayahnya.

Page 395: The Heike Story

Ibu tiri Kiyomori, Ariko, sedang berkunjung ke Rokuhara ketika Kiyomori setengah bergurau mengatakan, “Aku sudah sangat lama tidak pergi ke Tempat Pemujaan Kumano, sehingga aku yakin para dewa akan menghukumku.”

“Kiyomori, kau terlalu lancang,” tukas Ariko dengan tegas. “Jika kau terus-menerus berkomentar yang melecehkan agama seperti itu, kau akan menyesalinya pada suatu hari nanti. Ayahmu yang baik, Tadamori, adalah seorang pria yang sangat soleh, tapi kau tidak sedikit pun menyerupai beliau. Kau harus ingat bahwa – adalah kepala klan dan karena itulah kau harus menjaga sikapmu dalam na.

semacam ini.”

Teguran Ariko membungkam Kiyomori. Dia tidak pernah bisa bersikap santai di hadapan ibu tirinya. Sejak kematian suaminya, Ariko menjalani penahbisan dan menjadi seorang biksuni, dan tinggal di sebuah tempat yang jauh dari ibu kota untuk melewati hari-harinya dengan melakukan berbagai macam peribadatan. Dia tetap sering berkunjung ke Rokuhara, dan pada waktu seperti itu, Kiyomori merasa seperti seorang bocah nakal yang dipanggil untuk menerima nasihat yang bermaksud baik. Yang menjengkelkannya adalah kebiasaan ibu tirinya untuk mengawali setiap kalimat dengan “Ayahmu tersayang, almarhum Tadamori” Tidak hanya Kiyomori tetapi juga istrinya, Tokiko, yang merasa kecil di hadapan Ariko. Ariko sendiri tanpa segan-segan menunjukkan kasih sayangnya kepada cucu tertuanya, Shigemori. Di dalam dirinya, Ariko melihat sosok seorang pria teladan yang berbeda dengan Kiyomori. Shigemori tidak hanya gagah tetapi juga lemah lembut dan lebih memerhatikannya daripada semua orang lain di Rokuhara.

Page 396: The Heike Story

“Kau harus menyempatkan diri untuk berziarah ke Kumano. Bawalah Shigemori bersamamu. Berdoalah agar tipisnya keimananmu mendapatkan pengampunan dan mohonlah rahmat bagi dirimu dan seluruh keluargamu”

Ariko dengan tulus memohon agar Kiyomori pergi ke Tempat Pemujaan Kumano, dan Kiyomori berniat untuk menurutinya. Karena telah menerima penugasan untuk mengawai detail-detail pembangunan sebuah kuil di Shirakawa, Kiyomori baru bisa berangkat setelah pekerjaannya rampung. Sepanjang musim gugur, Shinzei terus-menerus meminta pendapat Kiyomori mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai peraturan sipil, dan walaupun semakin kehabisan waktu untuk urusan pribadi, Kiyomori tetap menyambut gembira kesempatan untuk mencicipi dunia politik di bawah bimbingan Shinzei dan berharap tumpukan pekerjaannya akan menipis pada pertengahan Desember Ketika dia menyampaikan niatnya untuk pergi ke Kumano, Shinzei mengizinkannya dan bahkan mengirim sebuah hadiah perpisahan untuknya.

Beberapa hari sebelum tanggal keberangkatannya, Kiyomori mengirim adiknya, Tsunemori, ke Eguchi untuk mengurus penginapan rombongan mereka dan menyewa perahu-perahu yang akan membawa mereka menempuh sebagian jalan ke Kumano. Pada 4 Desember, Kiyomori beserta putra sulungnya, Shigemori, diiringi oleh Mokunosuk6 dan rombongan yang terdiri atas lima puluh orang pelayan, berangkat dari Rokuhara. Persinggahan mereka pada malam pertama adalah Eguchi, yang mereka capai setelah berlayar di Sungai Yodo. Kumano bisa dicapai melalui jalan darat maupun laut, namun untuk sebuah rombongan besar, perjalanan air lebih disukai karena sebuah kapal besar bisa menampung seluruh rombongan.

Page 397: The Heike Story

Pada malam yang sama, Kiyomori tiba di Eguchi, tempat Tsunemori telah menantinya. Karena sebuah rombongan yang beranggotakan lebih dari lima puluh orang tidak bisa ditampung dalam satu rumah, Kiyomori dan Shigemori menempati penginapan yang berbeda. Kiyomori, yang telah bersumpah untuk menghindari alkohol hingga perjalanan ziarahnya berakhir, bersiap-siap untuk tidur lebih awal tanpa minum-minum dan bersenang-senang di Eguchi. Hanya ada beberapa lentera yang menyala di penginapan sunyi itu.

“Tuan ... saya meminta maaf karena telah mengganggu Anda ... ”

“Oh, Tua Bangka, kaukah itu? Ada apa?”

“Adik Anda menitipkan sebuah pesan kepada saya.”

Mokunosuk6 berlutut di luar kamar dan mengamati wajah Kiyomori untuk melihat bagaimana dia akan bereaksi terhadap kabar yang dibawanya.

“Malam ini dingin sekali, Tua Bangka; lebih baik kau masuk ke ruangan ini dan menutup pintunya.”

Melihat bahwa suasana hati majikannya sedang bagus, Mokunosuke masuk dan berlutut di hadapan Kiyomori, lalu mulai menyampaikan pesan Tsunemori.

Mokunosuk6, yang sekarang telah berusia delapan puluh tahun dan tetap menyandang panggilan sayang “Tua Bangka , telah mengabdi kepada Kiyomori sejak masa kanak-kanaknya. Dari pelayan renta itu-yang telah lama mengamati perilaku manusia dan sekarang menganggapnya membosankan, seperti kepakan sayap tawon atau kupu-kupu. atau pertumbuhan lambat sebatang pohon atau sekuntum bunga-muncullah penuturan panjang dan

Page 398: The Heike Story

monoton yang seolah-olah diucapkan oleh sebuah topeng beruban putih.

Tetapi. Kiyomori terkejut ketika mendengar penuturannya. Dia baru mengetahui bahwa pemilik rumah yang mereka tinggali adalah janda dari seorang pejabat istana yang telah menjadi seorang biksuni. Ada banyak orang yang mengenalnya di masa lalu; dia adalah seorang geisha ternama di ibu kota dan kemudian men,ad, gundik Kaisar Shirakawa. yang memberikannya kepada Tadamori untuk diperistri. Wanita itu. yang mendapatkan beberapa orang putra bersama Tadamori. dikenal dengan julukan Perempuan Gion.”

Kiyomori selama beberapa saat berjuang untuk meredakan gejolak emosi akibat cerita yang baru saja didengarnya, lalu menoleh kepada Mokunosuke dengan wajah datar. Dia merasa bahwa Tsunemori telah mengelabuinya. Perempuan Gion adalah ibunya, ibunda jelita yang pernah mengabaikan suaminya yang miskm dan anak-anaknya berpuluh-puluh tahun silam. Kiyomor, tdah lama berhenti memikirkannya, namun Tsunemori seperanya tidak pernah melupakannya. Tsunemori telah melacak keberadaannya dan mempertemukannya dengan Tadamori yang sedang sekarat. U ia rupanya tetap menemuinya sejak saat itu. dan menyembunyikan pertemuan mereka dari Kiyomori dan ibu tiri mereka, Anko.

“Tua Bangka, sampaikanlah pesanku kepada Tsunemone”

“Baiklah …”

“Tsunemori mungkin menganggap wanita itu sebagai ibunya, namun dia bukan ibuku. Tidak ada alasan bagiku untuk menemuinya. Katakanlah ini kepada Tsunemori.”

Page 399: The Heike Story

“Anda tidak mau menemui beliau?”

“Mengapa aku harus merasa yang sebaliknya. Tua Bangka? Kau

eharusnya memahamiku, lebih daripada orang lain. Untuk apa kita mengais-ais abu masa lalu?”

“Saya sudah mengetahui jawaban Anda sebelum saya menyampaikan kabar ini.”

“Kalau begitu, untuk apa kau menyampaikan padaku? Kau telah merusak malam pertama perjalananku.”

“Saya juga mencemaskan itu, namun adik Anda sepertinya merasa bahwa selagi Anda melakukan perjalanan ziarah ke Kumano, maka tidak ada salahnya jika, untuk menghormati kenangan mendiang ayah Anda, Anda menenangkan hati ibu Anda yang telah renta. Dan menurut saya, pendapat adik Anda benar adanya.”

“Apa! Berani-beraninya kau memaksakan pendapatmu? Aku sudah bilang bahwa aku tidak punya ibu seperti itu, Tolol! Siapa pun atau apa pun dia. Biarkanlah Tsunemori pergi dan berbicara dengannya, jika menurutnya itu bermanfaat Aku lelah ... mengantuk.

Di manakah kamar tidurku?”

Bocah pelayan yang duduk terkantuk-kantuk di belakang Kiyomori tiba-tiba mendadak terbangun dengan kaget akibat hardikan majikannya. Dia cepat-cepat bangkit dan menunjukkan jalan

dengan sebuah lentera.

Semua pelayan penginapan telah lama tidur. Pada waktu Kiyomori semestinya telah tidur, sesosok bayangan dengan lincah menyelinap keluar dari kamarnya. Mokunosuke, yang masih terjaga, menyaksikan sosok itu melintasi

Page 400: The Heike Story

koridor, mengintip ke luar dari balik kerai, dan membuka gerendel. Curiga, Mokunosuk6 menegur sosok itu. Kiyomori berputar dengan kaget dan menatap tajam ke tempat teguran itu berasal; di dalam kegelapan, dia tiba-tiba menyeringai lebar.

“… Kaukah itu,Tua Bangka?” .

“Tuanku, apa yang membuat Anda keluar ke kebun pada malam

sedingin ini?”

“Aku tidak pernah bisa memejamkan mata pada malam pertama di sebuah tempat asing. Entah mengapa, aku tidak bisa tidur. Sejujurnya, Tua Bangka, aku telah merenungkan perkataanmu. Apakah kau tahu di mana tempatnya?”

“Tahu apa, Tuan?”

“Bilik yang ditempati wanita yang dibicarakan oleh Tsunemori.”

“Anda akhirnya memutuskan untuk menemui beliau?”

“Hmm ... ya.” Kiyomori menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dengan malu. “Lagi pula, setelah aku memikirkannya, beliau tentu telah berusia mendekati enam puluh tahun. Umurku sendiri telah hampir empat puluh tiga tahun ... dan sungguh konyol jika aku membiarkan masa lalu mencegahku untuk menemuinya, terutama ketika aku tinggal seatap dengannya. Aku mulai merasa bahwa aku mungkin akan menyesal jika aku pergi tanpa berjumpa dengannya.”

“Ah, itu terdengar cukup bijaksana.”

“Tua Bangka, apakah kau benar-benar berpikir bahwa ini lebih baik?”

Page 401: The Heike Story

“Sejak awal saya berharap agar Anda merasa seperti sekarang. Ayah Anda tentu juga menghendaki hal yang sama.”

“Benar. Beliau bukan orang brengsek yang dibutakan oleh prasangka buruk seperti aku. Beberapa saat sebelum beliau wafat, Tsunemori secara diam-diam mempertemukan mereka, dan aku mendengarkan kata-kata ayahku kepadanya, si Perempuan Gion, yang selalu berbuat buruk kepada ayahku.”

“Ya, saya mendengar tentang seluruh kejadian itu pada pagi harinya.”

“Tua Bangka, aku menangis ketika mencuri dengar percakapan mereka ... karena besarnya cinta ayahku, karena apa yang dikatakannya kepada seseorang yang telah begitu tega melukai hatinya.”

“Di mata ayah Anda, beliau adalah seseorang yang patut dikasihani. Ayah Anda tentu telah merasakan itu selama bertahun- tahun sebelum mereka akhirnya berpisah.”

“Aku hanya bisa berharap untuk menjadi seperti ayahku. Tetapi, aku adalah seorang pria yang telah berumur empat puluhan ….Apa pun yang pernah terjadi, tidak bisa disangkal lagi bahwa beliaulah yang melahirkanku ... Kiyomori ini. Aku setidaknya bisa mengikuti teladan Tsunemori dan menemui beliau kali ini. Bawalah aku kepadanya. Tua Bangka.”

Malam itu, Kiyomori menemui ibunya, yang telah menghabiskan malam bersama Tsunemori.

Yasuko ternyata jauh dari perkiraan Kiyomori. Dia tidak kelihatan murung atau kesepian, tetapi sebaliknya tampak menikmati kehidupannya saat ini. Perabot di kamarnya

Page 402: The Heike Story

mencerminkan keanggunan dan kenyamanan, seperti yang selalu disukainya.

‘Tuan Harima,” sapanya kepada Kiyomori, “Keteganganlah yang membawa Tsunemori ke Eguchi, juga kebimbangan dan ketakutan, namun dari masa mudamu kau sudah mengetahui bahwa hiburan bisa didapatkan di rumah-rumah di Jalan Keenam, jadi kau harus sesekali datang kemari untuk mencari sedikit kemeriahan. Dan, kapan pun kau datang ke Eguchi, kau harus singgah di sini dan membiarkan gadis-gadis mudaku menghiburmu ... ada banyak gadis muda di sini, dan semuanya memesona. Seandainya kau sedang tidak dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano, aku akan memanggil mereka kemari sehingga kau bisa melihatnya sendiri.”

Itulah dia ... ibunya. Kiyomori mengerti. Dia telah membujuk Tsunemori untuk mengatur agar Kiyomori menginap di sini sehingga mereka bisa bertemu. Yasuko berbicara dengan luwes dan ramah, tanpa sedikit pun merasa malu. Kiyomori terkejut ketika mendengar nada bangga Yasuko ketika bercerita tentang bisnisnya.

Kiyomori, yang terheran-heran, hanya sanggup menatap ibunya. Dari penampilannya, mustahil untuk memercayai bahwa Yasuko telah berusia mendekati enam puluh tahun. Dari tubuhnya, Kiyomori bisa mencium semerbak wewangian yang dikenalinya sebaga. azimat pemikat yang pernah menjerat seorang penguasa, dan juga membuat

Tadamori begitu lama menahan diri dari perselingkuhan dan perilaku buruknya. Kiyomori pun terus mendengarkan celotehan ibunya:

“Sungguh menyenangkan bisa menerimamu di sini! Sayang sekali kau sedang terikat oleh aturan peribadatanmu. Tapi, kau harus singgah di Eguchi selama

Page 403: The Heike Story

dua atau tiga malam untuk menghormati rombonganmu. Eguchi memang tempat yang membosankan selama musim dingin, ketika kami hanya ada tamu penting yang datang

kemari.”

Yasuko berbicara tak tentu arah dengan ceria, seolah-olah tidak menyadari bahwa dirinya adalah ibu dari empat orang putra yang telah dewasa. Tidak ada jejak kelembutan seorang ibu yang mendorongnya untuk mengatakan tentang kebahagiaannya melihat putra-putranya telah dewasa; sepertinya dia bahkan telah melupakan Tadamori. Seperti halnya memakai rias wajah, dia tampaknya bisa dengan mudah dan lihai menyingkirkan masa lalu dari ingatannya.

“Wanita yang paling beruntung,” pikir Kiyomori. Dia mulai menganggap dirinya sendiri tolol. Seharusnya dia tidak semarah itu kepada ibunya, karena wanita itu benar-benar naif. Yasuko tidak bisa menjadi yang sebaliknya. Dia terlahir sebagai seorang wanita penghibur. Alamlah yang menjadikan ibunya seperti ini. dan dia tidak bisa disalahkan. Kiyomori senang dan lega atas keputusannya untuk menemui ibunya, karena dia sudah tidak membenci wanita itu. Ibunya tidak bersalah, karena kehidupan seorang geisha telah mengalir di dalam darahnya; yang salah adalah keinginannya untuk menjadikan ibunya yang sebaliknya. Kiyomori mengamati wajah dan gerak-gerik ibunya ... inilah kehidupan yang didambakan dan yang paling bisa membahagiakan Yasuko. Selama bertahun-tahun, Kiyomori telah dengan tolol memakan hatinya sendiri dengan mendambakan

agar ibunya berubah.

“Ibu ... maksudku, Nyonya Rumah yang baik, adakah sake untuk menemani obrolan kita? Tidak perlu menundanya hingga aku pulang.

Page 404: The Heike Story

“Sedikit sake ... atau banyak?”

Ibunya tertawa nyaring. “Sake? Itu mudah untuk didapatkan di sini. Baiklah ... ” dia menepukkan tangannya untuk memanggil pelayan. Seorang gadis pelayan muncul dan mendengarkan bisikannya dengan penuh perhatian. Segera setelah si gadis pelayan pergi, tiga orang geisha muncul membawa lentera, dan kamar itu seketika terang benderang. Sake dan makanan pun dihidangkan.

“Nyonya Rumah yang baik, apakah hanya mereka penghibur disini:

“Masih ada beberapa orang lagi.

“Selagi kita bersenang-senang, sebaiknya kita juga memanggil mereka. Tsunemone ... “

“Apa kau tidak pernah datang kemari untuk bersenang-senang?”

“Aku?Tidak pernah” Tsunemori sepertinya kesal. Dia merasa tersisih dan menjadi seorang pengganggu ketika menyaksikan Kiyomori dan ibunya bercakap-cakap.

“Ini adalah rumah hiburan. Wanita ini adalah nyonya rumah kita. Jangan cemberut begitu.”

Kiyomori tak henti-hentinya mengisi cangkirnya dan membujuk adiknya agar bergabung bersama mereka. ‘Ayolah, kau juga harus minum.’ ‘Aku akan minum dalam perjalanan pulang dari Kumano “Apakah kau takut minum bersama kakakmu, yang telah membatalkan pantangannya?” Kiyomori tergelak. “Jangan kolot begitu, Tsunemori, tidak perlu khawatir. Aku akan minum untuk mengenang ayah kita sebelum kita berangkat ke Kumano.” “Tetapi, mengapa?”

Page 405: The Heike Story

“Tidak bisakah kau melihat alasannya? Tidakkah kau mengerti bahwa sebelum wafat, Ayah menekankan bahwa kita harus bahagia.

“Benarkah itu?”

“Karena itulah aku melakukan ini-agar Jiwanya * dalam kedamaian. Aku yakin bahwa dewa penunggu Tempat

Pemujaan Kumano akan memandang kita sebagai anak yang berbakti dan tidak akan mengutukmu, Tsunemori. Ayo, minum dan bergembiralah.”

Belum selesai Kiyomori berbicara, ruangan itu mendadak menjadi jauh lebih terang benderang bersamaan dengan munculnya sepuluh orang geisha, yang masing-masing lebih cantik daripada yang lainnya. Kiyomori mengangkat sebuah cangkir besar dan menyentuhkannya ke bibirnya, lalu mengoperkannya ke salah seorang dari mereka, dan sebentuk demi sebentuk tangan ramping

pun bergiliran menerimanya.

“Suasa hati Tuan Harima sedang bagus,” para geisha berkelakar. Gelak tawa dan obrolan meriah terdengar dari ruangan itu. Kiyomori, yang telah mabuk sake, terhanyut oleh aroma bedak dan

kemilau hiasan rambut di sekelilingnya.

“Genderang, genderang! Mari menari!” serunya dengan lantang. “Tuan Harima memerintahkan kepada kita untuk menari. Ayo, menari, menyanyi!”

Sorak sorai meledak begitu beberapa orang geisha berdiri dan mengepakkan lengan kimono panjangnya, lalu mulai menari. Kerai- kerai diangkat, pintu-pintu geser diangkat untuk menyatukan dua buah kamar agar menjadi lebih luas. Sebuah harpa dimasukkan, genderang-genderang besar

Page 406: The Heike Story

ditempatkan di atas dudukannya, dan seruling-seruling dikeluarkan dari wadah-wadah sutranya.

Seorang geisha bersanggul tinggi, membawa sebilah pedang mainan ramping, melenggang anggun dari kamarnya dan melintasi jembatan menuju ruangan itu. Dia membawa sebuah kipas, yang dilempar dan diputarnya dengan iringan sebuah lagu terkenal. Gerakan luwes kakinya, goyangan pinggulnya, dan lekukan bahunya seolah-olah menyatu dengan alunan musik. Kiyomori meletakkan cangkirnya dan menatap wanita itu, yang begitu menghayati tariannya. Pandangan Kiyomori tertuju pada wajahnya yang terpoles bedak tebal di bawah hiasan rambut bernuansa emas. Seketika itu, Kiyomori merasa gelisah dan tidak bisa duduk tenang. Mata sipenari sekadar mengikuti pola tarian dan tidak sekali pun tertuju ke arahnya. Kegusaran tercermin dalam setiap kerutan di wajah Kiyomori. Tarian yang membosankan! Pergilah kalian dengan genderang kalian, seruling kalian! Kapankah mereka pergi sehingga dia bisa berbicara empat mata dengan wanita ini?

Tarian itu akhirnya berakhir. Musik seketika berhenti mengalun. Sementara si penari terkulai di lantai untuk memberi hormat, para geisha lainnya mengerumuni Kiyomori untuk mengisi ulang cangkirnya.”

“Jangan ganggu aku! Menjauhlah dariku! Bawa si penari itu kemari!” hardiknya, dengan kesal menyikuti para geisha di sekelilingnya dan melambai dengan tangannya yang memegang cangkir sake. Tetapi, si penari telah meninggalkan ruangan itu dan melangkah dengan cepat melintasi jembatan, lalu menghilang kembali di kamarnya.

Kiyomori memanggil-manggilnya dan mengirim seorang demi seorang geisha lainnya untuk menjemputnya, namun si penari menolak untuk keluar lagi.

Page 407: The Heike Story

Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi, tapi dia tidak bisa ditemukan di mana pun.” Amarah Kiyomori meledak. Dia tidak pernah minum sebanyak

itu ataupun bersikap sekasar itu.

“Apa, dia menyebut dirinya geisha? Dahulu dia bernama Ruriko, keponakan bangsawan Nakamikado! Itu Ruriko, aku yakin! Hoi, Nyonya Rumah, apa maksudmu menyembunyikannya?”

Kiyomori membanting cangkirnya dan menoleh kepada si nyonya rumah dengan amarah berkobar, namun Yasuko tetap berbaring santai dan menopangkan dagunya ke bantal. Ledakan emosi Kiyomori sepertinya justru membuatnya senang, dan dia menyambutnya dengan tertawa terpingkal-pingkal.

“Jadi, Tuan Harima „ mengingat dia? Saking cintanya dirimu kepadanya, pernah melupakannya?”

“Ini benar-benar jahat! Kau memang wanita kejam!”

“Mengapa? Apa yang membuatmu berkata begitu?”

“Jika kau tidak tahu malu, itu urusanmu sendiri, namun kau menyeret dia ... gadis muda tak berdosa bernama Ruriko itu ... ke lembah nista!”

“Dia adalah anak angkat keluarga Nakamikado. Dia bisa dibilang tidak memiliki ayah, dan akulah yang membesarkannya. Aku sendirilah yang mengajarinya menari, memainkan berbagai alat musik, dan mengubahnya menjadi seorang wanita yang akan bisa dengan bangga menjalani kehidupannya sendiri di dunia ini. Apa salahnya hal itu?”

Page 408: The Heike Story

Kiyomori tiba-tiba merasakan pikirannya jernih kembali, dan dia menggeleng. “Itu salah; jika Ruriko dibesarkan dengan benar, dia akan menjadi istri yang baik bagi seorang pria terhormat, namun kau meracuninya, mendidiknya menjadi seorang pelacur.”

“Tuan Harima, kau sedikit banyak mengingatkanku kepada mendiang ayahmu. Apa masalahnya jika seseorang lebih memilih untuk menjadi seorang wanita penghibur atau apa pun yang disukainya? Jika Tuan Harima merasa sangat marah sekarang, mengapa dia tidak dari dahulu berusaha membiasakan diri bercinta dengan Ruriko ketika aku masih tinggal bersama keluarga Nakamikado? Bukankah kau juga patut disalahkan karena telah bersikap pengecut? … Tetap saja, sekarang belum terlambat Kembalilah kemari dalam perjalananmu pulang dari Kumano. Aku akan berbicara dengan Ruriko dan berharap bisa bertemu kembali denganmu.”

Kiyomori dan sang nyonya rumah tiba-tiba tertawa terpingkal- pingkal hingga meneteskan air mata, bertukar lebih banyak sake dan gurauan yang semakin membingungkan keduanya, hingga Kiyomori jatuh tertidur dengan Yasuko dalam pelukannya.

Tsunemori dan Mokunosuk6 memapah Kiyomori ke ranjangnya. Ketika terbangun keesokan paginya, Kiyomori mendapati dirinya berada di kamarnya sendiri, seolah-olah tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi pada malam sebelumnya.

“Sudahkah Anda bangun, Tuan? Saya sudah menyiapkan air untuk Anda.”

Ucapan selamat pagi dari seorang gadis pelayan muda memulai hari Kiyomori. Sebuah bejana berisi air telah disiapkan di dekat jendela. Kiyomori melirik ke luar

Page 409: The Heike Story

sembari membasuh wajahnya dan membasahi rambutnya. Matahari bersinar cerah hari itu, dan udara terhitung hangat untuk ukuran bulan Desember. Kiyomori bisa melihat sungai dari jendelanya. Bunyi nyaring tepukan dayung di permukaan air dan nyanyian para nelayan hinggap di telinganya, juga suara para awak kapal yang sudah tidak sabar menantikan aba- aba darinya untuk memulai perjalanan. Kiyomori berusaha untuk mendapatkan kembali kekhusyukannya dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar. Lagi pula, dia sedang berada dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano, dan kerangka berpikirnya seharusnya serius ….

Ketika Kiyomori tergesa-gesa menyantap sarapan, para anggota rombongannya silih berganti muncul untuk memberinya ucapan selamat pagi. Shigemori juga muncul dan menyapa ayahnya dengan khidmat Kiyomori agak malu kepada putranya, namun para anggota rombongan lainnya berusaha mencerahkan suasana hatinya dengan mengobrolkan tentang perjalanan yang telah menanti mereka.

Di dalam hatinya, Kiyomori menertawakan dirinya sendiri; tidak seorang pun sepertinya mengetahui apa yang terjadi pada malam sebelumnya, namun sesuatu yang begitu menggerakkan telah

berpadu dengan kekonyolan itu.

Tiga buah perahu layar besar telah menanti mereka di kejauhan. Air sedang surut dan beberapa perahu kecil bergiliran membawa lima atau enam orang anggota rombongan mereka menuju ketiga perahu besar yang tertambat di mulut sungai; banyak orang bersorak

sorai di tepi sungai untuk melepas kepergian mereka.

Page 410: The Heike Story

“Nah, Tsunemori. aku memercayakan Rokuhara kodamu, kata Kiyomori sambil bersiap-siap menaiki salah satu perahu.

Tsunemori, yang akan langsung kembali ke ibu kota, menjawab, “Baiklah. Semoga perjalananmu lancar.”

Kiyomori berdiri di atas perahu, tampak berkilauan terkena cahaya yang memantul dari permukaan air. Cakrawala membentang di hadapannya begitu perahu layarnya menjauh dari pesisir, dan Kiyomori sekilas dapat melihat orang-orang yang berkerumun di tepi sungai. Ibunya ada di sana, berdiri di tengah-tengah sekelompok wanita yang berpakaian indah, sebagian di antara mereka mengenakan topi lebar, sebagian yang lain mengenakan mantel bertudung, dan sebagian yang lain membiarkan kepala mereka terbuka, memamerkan rambut hitam nan lurus. Kipas-kipas diayunkan ke arahnya sebagai lambang perpisahan, namun mata Kiyomori, yang terpicing untuk memburu seraut wajah, tidak menemukan apa yang dicarinya. Dengan bingung, dia memikirkan apakah kejadian semalam hanya ada di dalam mimpinya.

Perjalanan laut itu memakan waktu beberapa hari. Rombongan Kiyomori mendarat di Pelabuhan Waka. Sisa perjalanan akan mereka tempuh dengan berkuda. Pemberhentian pertama mereka adalah pada siang hari tanggal 13 Desember, ketika seluruh rombongan beristirahat di sebuah penginapan di Kirib6. Di situlah seorang kunr akhirnya berhasil mengejar mereka. Dia telah memacu kudanya selama sehari semalam dari Kyoto.

“Peristiwa terburuk telah terjadi, Tuan! Sebuah pergolakan rakyat yang lebih parah daripada sebelumnya!”

“Apa! Di ibu kota? Sebutkanlah nama para pemimpinnya!”

Page 411: The Heike Story

Semua orang seketika pucat pasi begitu mendengar kabar buruk itu; mereka terperanjat dan berlomba-lomba menyuarakan kepanikan mereka ... jarak yang jauh, tidak adanya senjata, dan di waktu yang tidak terpikirkan ini! Kiyomori mengerang kesal, memikirkan apakah ini balasan dari dewa penunggu Tempat Pemujaan Kumano yang marah kepadanya.

o0odwkzo0o

Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar Bunga es bertebaran di mana-mana pagi itu. Pasar di

dekat gerbang Jalan Keenam telah riuh rendah oleh kegiatan jual beli. Keramaian itu terdengar sampai seberang jalan, di dalam toko megah Hidung Merah, bahkan di ruang tamu rumahnya. Sebagai orang yang selalu bangun pagi. Hidung telah kembali dari transaksi bisnis sehari-harinya. Hidungnya, yang tampak lebih merah daripada biasanya, mengepul-ngepulkan napas beku seperti hidung kuda. Alih-alih menghangatkan diri di depan tungku, dia langsung memasuki lorong di antara rumah-rumah petak tempat tinggal para pegawai tokonya.

“Hoi ... hoi! Apakah kalian masih mengemasi barang? Jangan menghabiskan waktu untuk bersiap-siap! Cepatlah keluar, cepat-bergegaslah kalian!”

Hidung menoleh ke arah lain. ke deretan rumah petak lain, dan melambai-lambai kepada para gadis pelayan toko.

S S* bl terakhir di ^^^ Tidakkah kalian menyadari bahwa r n ^

Desember? Kalian gadis-gadis. |ika kalian ingin Tahun Baru, sebaiknya kalian lebih giat berjualan.

Page 412: The Heike Story

Hidung kemudian berjalan menuju rumahnya dan berhenti di beranda yang menghadap kebun dalam, lalu berseru, “Umeno, Umeno! Ambilkan sarapanku, sarapanku!” Dia membuka sandalnya dan memasuki rumah.

Istrinya bergegas menyajikan sarapan yang terdiri atas bubur panas, ikan kering, dan acar untuk suaminya yang rajin bekerja.

“Kau pasti kedinginan ... ada sangat banyak bunga es pagi ini!”

“Ini bukan apa-apa,” jawab Hidung, meniup-niup buburnya dengan gaduh. “Desember telah datang, dan semua orang bangun sebelum matahari terbit ... gerobak dan sapi sibuk bekerja, dan para pegawai toko kita, yang tidak tahu arti kelaparan, malah bermalas-malasan. ... Ah, apakah Shika ada di toko? Panggil dia kemari.”

Seorang gadis pelayan dikirim untuk memanggil Shika. Shika adalah kepala pegawainya. Setelah kunjungan Tsunemung pada pagi sebelumnya, Hidung membocorkan rahasia kepada Shika dan memerintahkannya untuk mengawasi setiap pelanggan yang memasuki toko.

“Shika, kau tidak melihat orang yang berpenampilan mencurigakan, bukan?”

“Semuanya sudah dilakukan di toko. Saya sudah memasang tanda yang mengatakan bahwa toko akan tutup hingga akhir tahun.”

“Mungkin saja ada mata-mata atau orang suruhan dari Rokuhara yang datang kemari dalam penyamaran.”

“Yang jauh lebih penting adalah mengawasi baik-baik mata dan lidah para pegawai kita.”

Page 413: The Heike Story

“Karena itulah aku memerintah mereka untuk berkeliling menjajakan barang dagangan, dimulai hari ini, dan mereka akan menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Aku baru saja berbicara dengan mereka. Kau sebaiknya memberikan petuah dan mengawasi pekerjaan mereka, Shika.”

“Betul. Saya akan menemui mereka sekarang juga!”

“Nah, tunggu sebentar ... satu lagi. Apakah kau yakin bahwa ikan karper laut yang kupesan di pasar ikan akan dikirim kemari? Sekarang tanggal 3, besok tanggal 4 ... besok sudah terlambat”

“perahu-perahu nelayan tiba di Yodo pada pagi buta, dan kita tidak bisa mengharapkan mereka tiba di sini hingga menjelang “Saat pesanan itu tiba, sebaiknya kau menyertai Nyonya menerimanya.”

“Ya, saya juga akan mengingat-ingat itu.” Kesibukan terlihat di depan gudang-gudang, tempat para pegawai toko ... pria dan wanita ... memanggul barang dagangan mereka dan bersiap-siap berangkat. Para saudagar Kyoto biasa mengirim para pegawai mereka untuk berkeliling menjajakan dagangan ke kota-kota tetangga dan daerah-daerah pinggiran setiap akhir tahun. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, bagaimanapun, Hidung memulai rutinitas ini lebih awal daripada biasanya pada tahun ini.

Shika melihat pegawai terakhir berangkat, dan dengan ekspresi lega, dia kembali ke dekat tungku, yang apinya telah mulai padam, untuk menghangatkan badan. Tepat ketika itulah dua orang pria yang menarik gerobak tiba di depan toko. Topi dan pakaian mereka tampak berkilauan oleh sisik ikan.

“Selamat pagi. Periksalah ikan karper laut ini ... semuanya lima puluh ekor! Para nelayan yang

Page 414: The Heike Story

menangkapnya mengatakan bahwa mereka baru kali ini mendapat tangkapan sebagus ini. Lihadah betapa segarnya ikan-ikan ini!”

Kedua pria itu dengan bangga menurunkan dua puluh lima buah keranjang, yang masing-masing berisi dua ekor ikan karper laut sepanjang satu kaki yang telah dikemas dengan rapi menggunakan daun bambu.

Hidung segera keluar. “Bagus, bagus!” serunya, matanya membelalak mengamati pemandangan menakjubkan itu. Hei-mana ikan bass pesananku? Pesanan terpentingku ... . , .„

“Eh, ikan bass? Tuan, Anda hanya memesan seekor, bukan.”

“Benar ... itulah yang terpenting. Tanpa seekor ikan bass itu, kelima puluh ekor ikan karper laut ini tidak berarti apa-apa.”

“Ini. ini, dan ikan bass ini adalah yang terbagus. Tuan. Di sini, di keranjang ini.”

Segera setelah kedua pengantar ikan itu pergi, Hidung menginstruksikan kepada Shika untuk langsung mengemas ulang ikan-ikan itu sebagai hadiah. Ikan-ikan yang telah diletakkan di dalam keranjang-keranjang beralaskan daun bambu dan dihias dengan buah-buahan beri merah dan hijau, dimasukkan ke dalam sebuah tandu.

Istri Bamboku, yang mengenakan kimono terbaiknya, segera bertolak ke arah timur, ditemani oleh Shika dan empat orang pelayan yang memanggul dua buah tandu ... yang satu berisi tumpukan keranjang ikan dan yang lain berisi gulungan sutra dan anggur Cina, semuanya ditata dengan indah ... dengan muatan yang seluruhnya ditutupi kertas minyak. Di mata orang awam, mereka tampak

Page 415: The Heike Story

seolah-olah sedang mengantar hadiah pernikahan. Setelah melintasi Jembatan Gojo, tibalah mereka di luar lingkungan Rokuhara. Esok hari adalah 4 Desember, yaitu tanggal keberangkatan Kiyomori ke Kumano. dan kuda, kereta, dan manusia tampak memadati jalanan, lebih daripada biasanya.

Istri Hidung berbelok menuju salah satu sayap, tempat tinggal nyonya rumah Rokuhara. Pintu masuk bagi wanita terletak di sebelah barat gerbang dapur, tempat para penjaga, yang sepertinya telah akrab dengan Umeno, tersenyum dan mempersilakannya masuk. Umeno menghilang di balik pepohonan di sekitar pintu masuk utama menuju rumah Nyonya Harima.

Setelah beberapa waktu, Umeno muncul kembali di gerbang dan berbasa-basi sejenak dengan para penjaga.

“Bagaimana tanggapannya, Umeno?” tanya Hidung dengan penuh semangat setelah istrinya kembali.

“Ah, kau seharusnya melihat betapa gembiranya Tuan Harima ... dan istrinya!”

“Jadi, kau bertiasil menemui istrinya?” “Bukan hanya itu ... semua kiriman kita ditata dan dipuji-puji.” “Bagus sekali, tapi, apakah dia berkomentar soal ikan bass itu?” “Mereka penasaran ingin mengetahui bagaimana kau tahu bahwa ikan bass adalah lambang keberuntungan keluarga mereka, dan kedatangannya pada malam sebelum keberangkatan Tuan Harima, kata mereka, adalah firasat terbaik ... sebuah hadiah indah yang mereka terima dengan penuh suka cita. Aku cukup terhanyut oleh kebahagiaan mereka.” •

“Kau tidak mengatakan apa pun yang tidak seharusnya kau katakan, bukan?”

Page 416: The Heike Story

“Oh, tidak, tidak sepatah kata pun soal itu …” Umeno, yang mengetahui maksud sesungguhnya dan dampak dari urusan berbahaya suaminya, menjawab dengan lirih.

Hidung memiliki penglihatan tajam untuk membidik keuntungan, penciuman tajam untuk mengendus unsur paling menguntungkan dari sebuah situasi, sehingga ketika Tsunemun& membocorkan tentang persekongkolan rahasia para pejabat istana, dia serta merta bersedia memberikan dukungan. Bukankah dia seorang sosok penting di dalam dunia perdagangan, yang telah melejit dari pekerja rendahan di Istana menjadi seorang saudagar kaya? Dan, walaupun dia seolah-olah bersedia menanggung risiko besar demi pengayomnya, sesungguhnya dia tidak selugu itu. Dia tidak berminat untuk mempertaruhkan nyawa dan seluruh kekayaannya demi mendukung persekongkolan beberapa orang bangsawan. Menurut pengamatan Hidung, pergolakan besar-besaran tidak akan terhindarkan lagi, dan dia akan mendapatkan lebih banyak keuntungan jika memberikan dukungan kepada dua belah pihak. Bangsawan atau samurai-siapa pun yang menang. Hidung adalah seorang saudagar dan harus memperoleh keuntungan.

Hidung melibatkan istri dan kepala pegawainya dalam rencananya Walaupun di satu sisi dia telah menyanggupi untuk membantu Tsunemun*. dia tetap tidak lalai mengirim hadiah selamat jalan yang indah untuk Kiyomori.

Sejak beberapa tahun terakhir, pusat kegiatan ibu kota telah secara jelas berpindah ke pasar di gerbang Jalan Kelima, dan banyak orang mengatakan bahwa semakin besarnya kekayaan keluarga Heik6 dari Rokuhara adalah salah satu penyebab utamanya. Rokuhara, yang terletak di seberang sungai, teriihat dengan sangat jelas dari gerbang Jalan Keenam dan. setelah mempertimbangkan berbagai

Page 417: The Heike Story

risikonya, Tsunemun^ memutuskan bahwa rumah Hidung adalah tempat yang tidak akan menimbulkan kecurigaan.

Segera setelah tersebar kabar bahwa Kiyomori akan meninggalkan ibu kota untuk berziarah ke Kumano. para pelaku persekongkolan mulai mempercepat persiapan mereka. Mereka menjadikan rumah Bamboku sebagai pangkalan, tempat rencana-rencana akhir mengenai pembentukan dan penempatan pasukan dijabarkan.

Gerimis turun pada malam hari tanggal 7 Desember. Timbunan batu bara dan karung-karung jerami yang telah kosong bertumpuk di dekat pintu masuk rumah Hidung. Sosok-sosok yang bermantel jerami dan bertopi lebar atau menyamar dengan jubah pendeta satu demi satu bergegas memasuki rumah sang saudagar. Sebagian dari mereka menambatkan kuda mereka ke pohon dedalu di depan rumah, dan sebagian yang lain. begitu turun dari kereta sapi mereka, langsung disambut oleh pelayan-pelayan berpayung.

Ini adalah pertemuan rahasia terakhir yang diselenggarakan oleh para pemimpin persekongkolan; selain orang-orang yang telah secara teratur bertemu di rumah peristirahatan Nobuyori. Genji Yoshitomo dan seorang anggota keluarga Genji yang berpengaruh lainnya, Yorimasa, juga tampak di sana. Yorimasa, yang tidak kuasa menolak bujukan Yoshitomo. akhirnya bersedia hadir.

Yorimasa adalah seorang samurai berusia awal lima puluhan, lebih tua daripada Yoshitomo. dan sejauh ini adalah tokoh tertua yang hadir di sana.

“Kami semua menyambut gembira kesediaan Anda untuk bergabung bersama kami,” sambut Nobuyori, yang segera dilanjutkan oleh Korekata:

Page 418: The Heike Story

“Kedatangan Anda memberikan suntikan semangat yang tak terkira besarnya bagi kami, begitu besar, sehingga kami yakin bahwa rencana ini akan berhasil.” .

Tidak diragukan lagi, kehadiran Yorimasa berhasil menghadirkan dukungan moral yang dibutuhkan oleh para pejabat istana itu, karena selain sebagai salah satu dari sepuluh orang panglima pengawal singgasana pilihan mendiang Kaisar Toba, kedudukannya sebagai pemimpin pos pengadaan persenjataan militer juga tidak bisa diabaikan. Karena itulah, merebut dukungannya menjadi sesuatu yang sangat penting.

Yorimasa, seorang pria pendiam, tampak menjaga jarak dan hanya sesekali menyela perdebatan sengit antara Nobuyori dan Korekata. Hujan telah reda dan angin bertiup kencang ketika para pelaku persekongkolan itu akhirnya keluar dari rumah Bamboku dan menghilang seorang demi seorang di tengah kegelapan malam.

Keesokan paginya, tanggal 8 Desember, kehidupan di ibu kota berjalan seperti biasanya. Pada tengah malam menjelang tanggal 9 Desember, bagaimanapun, derap kaki-kaki kuda yang menyerupai gelegar guruh teredam menggema di seluruh daerah di antara JaJan Keempat dan Keenam. Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok berkuda berkumpul di Istana Kloister di Jalan Ketiga dan di tempat-tempat sekelilingnya. Di masing-masing gerbang Istana, terdengarlah dentangan senjata dan ringkikan kuda. Pedang-pedang dan tombak-tombak berkilauan di bawah cahaya bintang; aroma kebengisan dan kebiadaban menggelayuti udara malam yang sarat akan bunga es.

Sebuah kelompok memisahkan diri dari sebuah pasukan yang terdiri atas enam ratus orang penunggang kuda, rnenghamp.n gerbang utama, dan sebuah suara lantang

Page 419: The Heike Story

yang membelah malam bagaikan badai salju, terdengar berseru:

“Adakah orang di dalam? Buka gerbangnya ... ini adalah Wakil Penasihat Nobuyori! Urusan mendesak memanggil saya dari ibu kota! Saya harus menemui Yang Mulia secepatnya!”

Sebelum gema dari teriakan itu menghilang, para prajurit telah mulai menggedor-gedor gerbang. Sorak sorai berisi tuntutan agar gerbang-gerbang didobrak segera menyusul, namun sosok di atas kuda itu mengisyaratkan kepada pasukannya untuk diam. Jawaban tidak kunjung terdengar dari dalam. Suara yang terdengar hanyalah deru angin di antara cabang-cabang pepohonan yang telanjang.

Mantan Kaisar Goshirakawa masih terjaga, menghabiskan malam bersama dua orang putra Shinzei dan para pejabat istana lainnya dengan menikmati drama dan tarian, diiringi oleh para pemain musik istana. Ketika derap langkah dan kegaduhan terdengar di koridor-koridor istana, mereka seketika pucat pasi. Kekhawatiran pertama mereka adalah api. Belum sebulan berlalu sejak salah satu istana di dekat sungai terbakar habis, dan seorang putri yang sedang mementaskan tarian Tahun Baru tewas di sana.

Kengerian telah melumpuhkan mereka ketika seorang pegawai istana tiba-tiba memasuki ruangan dan dengan terengah-engah mengumumkan, “Wakil Penasihat ada di sini, dikawal oleh pasukan pembawa obor dan prajurit bersenjata! Beliau menuntut untuk dipertemukan dengan Yang Mulia. Beliau datang dengan membawa senjata lengkap dan untuk mengucapkan selamat tinggal. Beliau tidak mengatakan alasan mengenai kedatangannya yang seperti ini. Sorak sorai dan keributan terdengar di luar gerbang. Dengarkanlah!”

Page 420: The Heike Story

Si pembawa pesan membuka pintu. Angin dingin bertiup masuk dan memadamkan lilin-lilin sehingga ruangan itu seketika menjadi gelap gulita.

“Apakah Yang Mulia bersedia menemui Wakil Penasihat?”

“Cahaya ... aku ingin cahaya!”

Ketika mendengar bahwa Nobuyori adalah penyebab keributan itu, Mantan Kaisar Goshirakawa serta merta berdiri dan menghambur ke koridor yang dingin.

Lilin-lilin, yang segera dinyalakan kembali, dibawa mengikuti sosok Mantan Kaisar melintasi Istana menuju Ruang Selatan. Pintu-pintu di sana dibuka. Di bawah cahaya lilin, Goshirakawa melihat sosok berkuda, yang menyapanya:

“Yang Mulia, saya baru saja mendengar sebuah desas-desus yang mengatakan bahwa Penasihat Shinzei telah menetapkan tuduhan alsu kepada saya dan mengirim pasukannya untuk menahan saya; karena itulah saya memutuskan untuk melarikan diri ke timur bersama sebagian pasukan saya dan bersembunyi selama beberapa waktu. Saya datang kemari untuk berpamitan kepada Anda.”

Terkejut mendengar pemberitahuan dari salah seorang pejabat kesayangannya, Mantan Kaisar bertanya, “Siapakah yang telah menyebarkan desas-desus tak berdasar itu? Itu hanyalah kabar burung yang keji, Nobuyori, dan kau terkelabui.” “Tidak, desas-desus itu tidak mungkin salah.” “Tetapi, tidak ada yang mengatakan apa pun kepadaku …” “Jika begitu, bagaimanakah pendapat Yang Mulia mengenai hal itu.”

Page 421: The Heike Story

“Aku sendiri akan menemui Kaisar dan memastikan agar tuduhan kepadamu itu dicabut. Tetapi, Nobuyori ... mempersenjatai diri hingga segigi-gigimu?” ‘

“Izinkanlah saya, jika begitu, Yang Mulia, untuk menyertai Anda ke Istana. Mari, gunakanlah kereta saya.”

“Apa maksudmu merintahku seperti itu, Nobuyori?” amarah Goshirakawa pecah, namun sebelum bisa mengatakan sepatah kata pun lagi, para prajurit telah menghambur ke beranda, meringkusnya, dan mengangkutnya ke sebuah kereta. Penasihat Moronaka telah menanti di dekat kereta itu. Bingung dan marah akibat perlakuan kasar yang diterimanya, Goshirakawa menolak untuk memasuk, kereta dan menoleh kepada sang penasihat

“Kau, Morinaka, apa maksud kedatanganmu kemari –bersenjata pula?”

Penasihat Morinaka mundur dan menjawab dengan terbata-bata. “Hanya untuk kali ini, Yang Mulia. Jangan cemas. Kita akan segera kembali kemari.”

Sementara Morinaka dengan gemetar merentetkan berbagai alasannya, beberapa orang prajurit muncul sambil menyeret seorang putri yang meratap-ratap, adik Goshirakawa. Mantan Kaisar tidak sanggup lagi berkata-kata ketika melihat adiknya. Tanpa menyanggah lagi, dia membiarkan dirinya didorong ke kereta, menyusul sang adik.

Sebuah perintah tegas terdengar, “Begitu kereta berangkat, nyalakan api di semua gerbang! Jangan sampai anak-anak Shinzei melarikan diri. Habisi saja siapa pun yang melawan!”

Kereta berderak maju dan keluar melalui salah satu gerbang, yang terlalap api sesaat kemudian. Sebuah cambuk

Page 422: The Heike Story

melecut-lecut di belakang kerbau penarik kereta, sementara kendaraan besar itu terguncang-guncang di atas jalan yang beku. Yoshitomo dan Nobuyori beserta pasukan berkuda mereka mengiringi langkah si kerbau yang, terpacu oleh dentangan senjata dan derap kaki kuda, berlari menggila hingga kereta yang ditariknya mendekati Gerbang Selatan Istana Kekaisaran.

“Utara ... ke Gerbang Utara!”

Barisan berantakan itu membanjiri tembok Istana Kekaisaran, berbelok dengan tajam ke utara dan menghambur memasuki halaman Istana, sebelum berhenti di antara gerbang luar dan dalam di dekat Gedung Arsip Istana.

Yoshitomo dan Nobuyori melakukan perundingan singkat:

“Sebaiknya kita menahan mereka di sana hingga keributan di kota mereda.”

Goshirakawa dan adiknya dibawa memasuki Gedung Arsip dan dikurung di sana. Para prajurit diperintahkan untuk mengawasi tahanan hingga perintah selanjutnya dikeluarkan.

Kaisar Nijo, sementara itu, secara paksa dibangunkan dari tidurnya oleh para prajurit dan secepatnya digelandang, dalam keadaan ketakutan, ke sebuah gedung di sisi utara Istana untuk kemudian dikurung di sana.. -

Sekarang, setelah Kaisar dan Mantan Kaisar ditahan dan para prajurit Genji memegang kekuasaan utuh di Pangkalan Pengawal, yang harus dilakukan oleh para pelaku persekongkolan adalah menangani Shinzei dan Kiyomori.

Ketika meninggalkan gedung Arsip dan mengitari halaman Istana ke arah timur, Genji Yoshitomo, Wakil

Page 423: The Heike Story

Penasihat Nobuyori, dan para pengikut mereka melihat api telah melalap Istana Kloister. Langit di atasnya seolah-olah turut terbakar. Asap yang menyesakkan napas membubung ke langit dan menghujankan bara biru menyala yang menjadikan bintang-bintang musim dingin tampak gemetar. Kuda Nobuyori mendadak berhenti ketika sepasukan prajurit mengyongsong mereka dengan tombak teracung.

Nobuyori tanpa sadar menjerit, “Musuh! ... Genji atau Heike?” Yoshitomo tertawa di belakangnya.

“Mereka pasti anak buah kita, tapi aku tidak heran jika mereka ternyata Heike.”

Pasukan itu maju menghampiri Nobuyori dan Yoshitomo, lalu mendadak berhenti di hadapan mereka untuk melaporkan apa yang telah terjadi di Istana Kloister. Mereka telah menangkap dan memenggal kepala dua orang penasihat Mantan Kaisar, kata mereka, sementara seorang prajurit mengacungkan sebilah pedang yang digunakan untuk menancapkan dua buah kepala. Nobuyori bergidik dan langsung mengalihkan pandangan, namun Yoshitomo mencondongkan badan untuk memeriksa kedua kepala itu dari jarak dekat.

“Bagus sekali,” perintahnya, “pajang kedua kepala ini di Gerbang Timur. Umumkanlah kepada masyarakat nama semua anggota keluarga Genji dan Heike yang telah dipenggal.”

Diikuti oleh para prajurit yang bersorak sorai dengan semangcberapi-api, Nobuyori dancberbelok ke barat dan menyusuri jalan disebelah selatan akedemi.

Ketika itu pukul dua dini hari. Api masih menyala, dan angin kencang menebarkan bara, meniupnya ke segala arah dalam sebuah tarian iblis.

Page 424: The Heike Story

Korekata dan Nobuyori, setelah menerima laporan dari mata-mata bahwa Shinzei dan putra-putranya sedang menghabiskan malam di Istana Kloister, memerintahkan agar seluruh tempat itu dibumihanguskan. Tetapi, ketika diketahui bahwa Shinzei tidak menyerati putra-putranya, Korekata segera memerintah para prajuritnya untuk mengepung kediaman sang penasihat dan membakarnya, tanpa membiarkan seorang pun meloloskan diri. Ketika pagi tiba, para prajurit menyisir seluruh abu di reruntuhan bangunan itu namun tidak menemukan mayat Shinzei.

Ketika fajar merekah pada 10 Desember, seluruh ibu kota masih dicekam kengerian. Rumah-rumah dan toko-toko tertutup rapat, dan hanya kelompok-kelompok prajurit berwajah menghitam dan bernoda darah yang terlihat berkeliaran di jalanan. Di gerbang Jalan Kelima, bagaimanapun, toko Hidung buka seperti biasa.

Bamboku menghabiskan sepanjang malam di atas atap rumahnya, menyaksikan pembakaran di ibu kota. Melihat bangunan-bangunan yang ditelan api dan asap, dia mengerang, “Sayang sekali ... api itu adalah emas murni!”

Jiwa sang saudagar mendesah melihat begitu banyaknya harta yang hancur lebur menjadi abu malam itu.

“Apa pun yang terjadi, sepertinya Wakil Penasihat Nobuyori berkuasa saat ini. Luar biasa ... benar-benar luar biasa! Dengan kepergian Shinzei, ini bisa diduga.”

Bertengger di atapnya bagaikan seekor burung bangkai, Hidung menyaksikan api perlahan-lahan padam, dan dia pun segera mengalihkan pikirannya pada bisnis yang telah menantinya keesokan harinya. Tidak sekelumit pun ketakutan atau keraguan tebersit di benaknya. Otaknya tanpa henti berputar dan menggeliat.

Page 425: The Heike Story

“Bagaimana Tuan Harima akan menerima kabar ini? Dengan kepergian nya, Rokuhara tentu tidak berdaya.”

Bamboku menoleh ke arah Rokuhara di seberang sungai. Dia tidak melihat geliat kehidupan di sana. Membayangkan perasaan para penghuni tempat itu, dia berkomentar dengan lega, “Untunglah aku seorang pedagang ... oh, sungguh bagus takdirku, dilahirkan menjadi seorang pedagang!”

Kemudian, dia turun dari angkat dan berseru dengan suara yang sarat akan emosi, “Perempuan, bangunkan Shika! … Katamu dia sudah bangun? Kalau begitu, bangunkan para pelayan. Perintahkan mereka untuk mengeluarkan gerobak-gerobak dan menunggu di dekat gudang.”

Di saat pikirannya kalut, Hidung melupakan bahwa istrinya berdarah biru dan membentak-bentaknya seperti istri biasa. Sejenak kemudian, Hidung telah sibuk mengangkut berguci-guci sake ... lebih dari selusin ... keluar dari gudang dan memuatnya ke dalam gerobak.

“Pastikan agar sake ini terkirim ke kediaman Yang Terhormat Nobuyori dan Yoshitomo. Sampaikanlah kepada mereka bahwa ini adalah hadiah kemenangan dariku. Katakan juga bahwa aku akan menemui Penasihat Tsunemune secara pribadi siang nanti,” kata Hidung kepada Shika.

Para pelayan tampak enggan. Masih terlalu berbahaya untuk melintasi ibu kota dengan membawa gerobak bermuatan seperti itu, dan mereka pun memprotes dengan keras kepala.

Hidung cepat-cepat menyanggah mereka. “Omong kosong! Seandainya kalian pelayan samurai, semalam kalian harus mengangkat pedang dan panah untuk menyelamatkan diri kalian sendiri! Apakah kalian mengira

Page 426: The Heike Story

bahwa para samurai dan pelayan mereka itu pernah punya cukup makanan untuk mengenyangkan diri mereka? Bagaimana kalian bisa menjadi pedagang yang baik jika kalian tidak berani menghadapi keadaan seperti ini?”

Setelah melihat sendiri para pelayannya keluar menyusun jalanan yang masih gelap. Hidung kembali memasuk, rumah dan menikmati Lapan yang masih panas, kemudian merayap ke ranjang dan tidur nyenyak.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Wakil Penasihat Nobuyori dan Korekata dari Kepolisian menduduki Istana dan mengeluarkan proklamasi atas nama Kaisar.

Tanggal 12 telah tiba, dan kabar tentang Shinzei belum juga terdengar. Sang penasihat segera melarikan diri dari ibu kota dengan menunggang kuda begitu mata-matanya memberinya peringatan, sejenak sebelum pemberontakan pecah pada malam hari tanggal 10. Dia tidak sempat lagi memperingatkan istrinya, Nyonya Kii, atau putra-putranya yang sedang berada di Istana Kloister. Shinzei melakukan perjalanan dalam kegelapan, menyusuri Jalan Raya Uji menuju salah satu tanah kekuasaannya. Lima orang pelayan tersaruk-saruk di belakangnya. Menjelang siang pada tanggal 13, salah seorang pelayan Shinzei, yang berhasil meloloskan diri dari ibu kota, bertemu dengan rekannya sesama pelayan di wilayah perbukitan di dekat Uji.

“Di manakah majikan kita? Apakah beliau selamat?” tanyanya.

Rekannya ragu-ragu dan, berpikir bahwa lebih bijaksana jika dirinya tidak banyak bicara, meyakinkannya bahwa Shinzei selamat dan balas menghujaninya dengan pertanyaan mengenai apa yang terjadi di ibu kota. Setelah

Page 427: The Heike Story

mendengar semua kabar yang mungkin diperolehnya, dia mendesak temannya agar kembali ke Kyoto.

Sekembalinya di tempat majikannya, si pelayan menuturkan semua cerita yang telah didengarnya. Shinzei pucat pasi karenanya dan, selagi mereka masih berbicara, beberapa orang pelayan lain, yang baru saja kembali setelah melakukan pemeriksaan di lingkungan sekitar mereka, menyampaikan kabar bahwa sebuah pasukan beranggotakan tujuh puluh orang samurai berkuda sedang mendekat ke arah mereka.

Bagaikan seekor binatang yang telah terdesak, mata Shinzei berkaca-kaca. Dia mengerang. Tidak ada harapan lagi baginya untuk mencapai daerah kekuasaannya. Kemudian, dia menoleh kepada kelima pelayannya.

“Aku punya rencana. Ada rumah petani di belakang kuil ini. Carilah sekop dan galilah sebuah lubang di sana ... di belakang rumpun bambu …. Cepat ... sebuah lubang!”

Para pelayan itu secara membabi buta menggali tanah yang beku hingga mendapatkan sebuah lubang yang cukup besar untuk menampung Shinzei dalam posisi duduk bersila. Shinzei memasuki lubang itu dan memerintahkan kepada para pelayannya untuk menimbunnya dengan daun dan ranting pepohonan hingga batas lehernya.

“Sekarang, timbuni aku dengan tanah,” perintah Shinzei, menyelipkan seruas bambu ke bibirnya, “hingga bahuku tertutup seluruhnya. Pasang topi bambu itu di kepalaku, dan masukkan

lebih banyak lagi tanah, perlahan-lahan, hingga puncak kepalaku rata dengan permukaan tanah. Robeklah secarik kain dari kimono kalian dan sumpallah telinga dan hidungku dengan lembut; kemudian, tutupilah jejak kalian dengan dedaunan. Pastikan agar tidak ada kotoran yang

Page 428: The Heike Story

menyumbat bambu yang kugunakan untuk bernapas ini. Tinggalkan aku di sini hingga besok, dan kembalilah segera setelah keadaan aman.”

Setelah menyelesaikan tugas mereka, para pelayan Shinzei segera pergi.

Keesokan siangnya, dua dari lima orang pelayan Shinzei kembali secara diam-diam dan terperanjat ketika menemukan sebuah lubang menganga dengan sesosok mayat di dalamnya. Beberapa orang petani yang mereka temui mengatakan bahwa beberapa orang prajurit, dengan dipandu oleh seorang penebang pohon, mendatangi tempat itu pada malam hari dan menggali lubang tempat Shinzei bersembunyi, menariknya keluar, memenggalnya di sana dan saat itu juga, lalu langsung pergi setelah melemparkan kembali mayat tanpa kepala sang penasihat ke dalam lubang.

Pada hari ketika Shinzei menemui ajalnya – 13 Desember – seorang kurir dari Rokuhara berhasil mengejar Kyomori di Kiribe.

Pada tanggal 14, ketika kabar mengenai penangkapan dan pemenggalan Shinzei mencapai ibu kota, sebuah proklamasi dibuat, mengumumkan bahwa kepala Shinzei akan diarak di sepanjang jalan-jalan utama ibu kota dan kemudian dipajang di sebuah tempat umum.

Masyarakat berduyun-duyun turun ke jalanan ibu kota untuk menyaksikan pemandangan yang mendirikan bulu kuduk ini. Ketika kepala Shinzei dipamerkan di hadapan Nobuyori, Korekata, dan Yoshitomo yang duduk di dalam kereta mereka, salah seorang penonton terdengar mengatakan telah melihat simbol mengerikan itu mengangguk dua kali ke arah ketiga pria tersebut. Maka, cerita aneh ini pun beredar dengan cepatnya dari mulut ke

Page 429: The Heike Story

mulut di antara para penonton yang siap memercayai segalanya.

Dari keluarga Shinzei, sembilan belas orang, termasuk putra-putranya, ditahan dan dipenggal di tepi sungai, tempat begitu banyak orang telah menemui ajal mereka belum lama berselang berdasarkan perintah Shinzei. Kepala Shinzei dipajang di atas sebatang pohon di sisi barat ibu kota agar semua orang bisa melihat nasib ironis seorang pria yang telah membangkitkan hukuman mati.

Sebelum pekan itu berakhir, para pemberentok telah membagi-bagikan jabatan-jabatan terpenting di antara mereka sendiri dan memproklamirkan diri sebagai pemerintah yang baru. Selain menjadi menteri, Nobuyori juga menghadiahi dirinya sendiri dengan jabatan Jenderal Kesatuan Pengawal Kekaisaran yang telah lama didambakannya. Korekata, fsunemung, dan yang lainnya mendapatkan jabatan idaman mereka masing-masing, dan Genji Yoshitomo mendapatkan Provinsi Harima. Genji Yorimasa, bagaimanapun, tidak menghadiri pesta perayaan kemenangan mereka dengan alasan bahwa cedera yang dideritanya menghalanginya untuk keluar dari rumah.

Segala macam pikiran tentang Kaisar dan Goshirakawa yang masih ditahan untuk sementara itu terlupakan. Tetapi, ketika pesta tengah berlangsung, seorang juru tulis istana menghampiri Yoshitomo untuk menyampaikan sebuah pesan:

‘Tuan, putra Anda baru saja tiba dari Kamakura. Beliau sedang menanti Anda di salahi satu ruang tunggu.”

Wajah Yoshitomo mendadak berseri-seri. “Benarkah?” Wajah Nobuyori tampak merah padam di bawah lapisan bedak tebalnya. Dia telah minum sepanjang malam. Mendengar kata-kata si juru tulis, dia mencondongkan

Page 430: The Heike Story

badan ke arah Yoshitomo, yang duduk di sampingnya. “Tuan Juru Kunci Istal Kekaisaran, siapakah yang baru saja tiba dari Kamakura?”

“Putra sulungku, Yoshihira. Dia dikirim ke sana sejak masih bocah untuk memperoleh pendidikan. Namanya tercoreng gara-gara dia pernah membunuh pamannya sendiri dalam sebuah pertengkaran. Dia memang anak nakal, namun sepertinya dia telah mendengar tentang gejolak yang terjadi di sini dan datang untuk menawarkan bantuan. Ini membuatku bangga kepadanya. Pepatah mengatakan bahwa semakin bermasalah seorang anak, semakin besar cinta orangtuanya kepadanya”

“Sudah berapa lamakah sejak kau terakhir kali berjumpa dengannya?” -

“Aku tidak ingat lagi berapa tahun telah berlalu.” “Berapakah umurnya?”

“Sembilan belas tahun.”

“Dia tentu telah berkuda dari Kamakura sepanjang siang dan malam tanpa sekali pun berhenti. Kau sebaiknya menemuinya tanpa membuang-buang waktu lagi. Ajak saja dia kemari”

Yoshitomo menelengkan kepala. “Jika kau menghendaki, Tuan.” “Aku ingin bertemu sendiri dengan Yoshihira.” Si juru tulis mempersilakan seorang pemuda masuk, dan seluruh ruangan serentak menoleh dengan penasaran ke arahnya. Tetapi, ekspresi kecewa seketika muncul diwajah mereka karena, berbeda dengan reputasinya, Yoshihira ternyata berpenampilan biasa-biasa saja dan berperawakan agak kecil, Dia mengenakan baju zirah yang biasa dikenakanan seorang samurai muda. Tali sutra ungu di topinya terikat di bawah dagunya, semakin menonjolkan rona merah pipinya dan menimbulkan kesan

Page 431: The Heike Story

lembut pada sosoknya yang sehat. Topinya masih baru dan sepertinya dikenakannya dengan tergesa-gesa untuk mengikuti acara ini.

Nobuyori mengamati pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Genji Yoshihira, kau membawa keberuntungan bagi kami. Kau datang pada hari perayaan,” katanya. “Kau pun juga harus sesegera mungkin membuktikan dirimu di dalam peperangan, dan dengan kekuatanmu sendiri merebut sebuah jabatan di istana. Semua orang yang kaulihat di sekelilingku ini telah membuktikan diri mereka selama empat hari terakhir dan saat ini sedang mendapatkan hujan pujian dan kehormatan, seperti yang selayaknya mereka terima.

Ini ... sake untuk Yoshihira.”

Yoshihira membungkuk dalam-dalam untuk memberikan penghormatan, kemudian duduk tegak dan menatap para pejabat istana yang duduk di panggung kehormatan, seolah-olah belum pernah melihat pemandangan semenakjubkan itu. Seorang pelayan menyerahkan secangkir sake kepadanya. Yoshihira menghabiskannya dalam sekali tenggak. Si pelayan mengisi kembali cangkirnya, dan dia menenggaknya lagi tanpa mengatakan apa-apa. Rona di wajah berkulit cokelatnya menimbulkan kesan lugu yang jarang ditemui dalam diri para pemuda ibu kota. Tatapan mata jernihnya tidak menunjukkan kelicikan apa pun.

“Minummu hebat, Yoshihira. Kau menikmatinya?”

“Ya.”

“Dan ... cinta?”

“Mengenai itu, saya tidak tahu apa-apa.”

Page 432: The Heike Story

“Apakah yang membawamu ke ibu kota? Untuk memperoleh nama?”

“Itu cita-cita saya. Saya datang kemari karena mendengar bahwa h saya sedang membutuhkan bantuan, dan putra macam apakah tidak akan melakukan hal yang sama?” Jawaban lugas dan langsung itu sepertinya memuaskan Nobuyori. “Cara bicaramu khas orang timur!” Dia tergelak, memamerkan giginya yang telah diwarnai. Yoshihira mengernyitkan wajah dengan jijik melihat deretan gigi hitam di tengah wajah yang terpoles cat.

“Kau tidak sombong tetapi jantan, Yoshihira. Ayo, kau harus mengikuti teladan ayahmu dan merebut tempatmu di antara kami. Aku akan memastikan agar kau bisa.”

Kesan kesal mengambang di atas senyuman Yoshihira. Para pejabat istana itu, pikirnya, masih memperlakukan samurai seperti anjing penjaga. Saat ini mereka sedang mengiming-iminginya dengan jabatan, seolah-olah dirinya seekor anak anjing.

“Apakah yang membuatmu tersenyum, Yoshihira?” tanya Nobuyori. “Apakah kau tertarik untuk memegang jabatan?”

Yoshihira menggeleng. “Tidak, saya sedang memikirkan paman saya dan apa yang beliau lakukan selama Perang Hogen.”

“Perang Hogen? Pamanmu?”

“Genji Tametomo adalah paman saya. Beliau menolak sebuah jabatan di istana dari Mentero Golongan Kiri ketika perang dimulai, dan terjun begitu saja ke medan perang …. Saya hanya memikirkan itu.”

Nobuyori mengernyitkan wajah. Dia merasa telah menyinggung perasaan pemuda itu. Para pejabat istana

Page 433: The Heike Story

memelototi Yoshihira; Yoshitomo menahan sambutan bangganya. Untungnya, kedatangan sebuah pesan untuk Nobuyori memecahkan keheningan yang menyelimuti ruangan. Seorang kurir telah kembali dengan membawa laporan mengenai lokasi keberadaan Kiyomori.

Setelah Shinzei tewas, hanya Kiyomori yang harus mereka hadapi, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan Rokuhara tempat adik dan adik ipar Kiyomori bertanggung jawab, desas-desus yang mengatakan bahwa mereka pun telah membawa para wanita dan anak-anak, dan satu saja perintah dari Nobuyori kepada pasukannya akan bisa memastikan kebenaran kabar burung itu. Tetapi, Nobuyori dan para pendukungnya bersedia menunggu hingga mereka mengetahui tindakan yang akan diambil oleh Kiyomori. Mereka yakin bahwa Kiyomori telah berada di ujung tanduk; dia tidak akan berani melawan mereka. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menyerah. Beberapa orang, bagaimanapun, mengkhawatirkan kemungkinan bahwa Kiyomori akan cukup kalap dan menantang mereka melakukan pertempuran habis-habisan.

Walaupun sebagian orang merasa waswas, pihak yang telah menang tidak terganggu sedikit pun ketika mendengar berita terbaru tersebut “Sepertinya Kiyomori telah memutuskan untuk kembali ke ibu kota. Kurir yang kita berangkatkan pagi ini baru saja kembali. Tidak ada kabar tentang langkah yang akan diambil Kiyomori. Tetapi, kita akan mengetahuinya dari kurir berikutnya.”

Pesta dilanjutkan, dan Nobuyori kembali memerhatikan Yoshihira.

“Dan, omong-omong, Anak Muda, apakah pendapatmu mengenai semua ini?”

Page 434: The Heike Story

Yoshihira, yang telah memerhatikan baik-baik potongan-potongan pembicaraan di sekelilingnya, dengan penuh semangat menjawab, “Izinkanlah saya memimpin sepasukan prajurit. Saya akan pergi ke Abeno dan menantang Heik6 Kiyomori untuk melakukan pertarungan satu lawan satu di sana dan membawa kepalanya kemari.”

Kepercayaan diri Yoshihira menggelikan para pejabat istana, yang menyambut ucapannya dengan tertawa terbahak-bahak.

Yoshihira mengedarkan pandangan dengan heran.

o0odwkzo0o

Bab XXII-Jeruk Dari Selatan Malam musim dingin turun perlahan-lahan di tengah

laut, menghadirkan nuansa kebiruan yang menyerupai sisik ikan sementara matahari tenggelam di cakrawala. Di permukaan air yang jauh, lekak-lekuk ombak tampak putih berkilauan. Ketika itulah kecepatan putaran bumi nyaris terasa, seiring sejalan dengan perubahan cahaya. Garis panjang pesisir Semenanjung Kii tampak berkerut merut di bagian selatan, disambut oleh deretan perbukitan, dan Pelabuhan Kirib6 berdiri di antaranya, tampak indah dan permai. Beberapa titik cahaya berkilauan dari dusun yang terletak di antara mulut sungai dan laut.

“Tenggelamlah matahari ... ah, tenggelamlah,” bisik Kiyomori pada langit yang semakin gelap dan kaki bukit yang menjadi tempat berdirinya Tempat Pemujaan Kumano. Tidak pernah sekali pun selama empat puluh dua tahun kehidupannya, dia menyaksikan matahari tenggelam dengan perasaan segetir itu. Ketika rtu adalah tanggal 13

Page 435: The Heike Story

Desember, hari saat dia mendengar kabar mengenai peristiwa memilukan yang terjadi di Kyoto.

Ketika rombongannya telah pulih dari kepanikan mereka, Kiyomori memanfaat sebuah bangsal di salah satu bangunan yang terhubung dengan Tempat Pemujaan Kiribe untuk mengadakan musyawarah; dikelilingi oleh para pengikutnya, Kiyomori berbicara:

“Kita tidak boleh kehilangan semangat di masa terburuk dalam kehidupan kita ini. Lalu, apakah yang sebaiknya kita lakukan? Shigemori, sampaikanlah pendapatmu kepada kami. Mokunosuk6 ... dan kalian semua ... bicaralah. Semua orang di sini, katakanlah pendapat kalian kepadaku tentang apa yang sebaiknya kita lakukan.”

Tidak seorang pun dari mereka pernah melihat Kiyomori seperti ini. Sikap seriusnya menjadikan sosoknya sulit dikenali. Dia bukan lagi seorang pemimpin berperangai riang dan penuh kepercayaan diri seperti yang selalu mereka kenal. Alis tebalnya, yang memberinya kesan keras kepala, bertaut menjadi seruas garis tebal, menaungi sepasang matanya yang memancarkan kecemasan.

Kesan muram juga tampak di wajah Shigemori, yang biasanya selalu tenang.

“Pertama-tama, katakanlah kepada kami pendapat Ayah. Tidak ada yang kami inginkan melebihi hidup atau mati bersama Ayah,” kata Shigemori.

Kiyomori segera menjabarkan garis besar dua buah rencana. Shigemori menyampaikan keberatan, dan Mokunosuk6 menggeleng. Dan, sementara mereka berunding, siang musim dingin yang pendek dengan cepat berganti malam.

Page 436: The Heike Story

“Setiap detik begitu berharga, dan kita harus beristirahat dan tidur, atau kita akan kesulitan menghadapi hari esok. Bagaimana jika kita meminta juru kunci tempat pemujaan untuk menghidangkan makan malam kita di dekat tungku? Dan kau, Mokunosukg, katakan kepada para pelayan untuk memasak makanan mereka dan tidur.”

Pembicaraan itu berakhir ketika juru kunci tempat pemujaan muncul untuk menyambut Kiyomori dan mengawalnya ke sebuah pondok yang khusus didirikan bagi para tamu kekaisaran yang hendak menuju Tempat Pemujaan Kumano, beberapa hari perjalanan lagi ke arah tenggara. Besarnya perapian terbuka yang ada di pondok itu selalu mengejutkan para tamu dari ibu kota. Kiyomori duduk

di dekat api yang bergolak dan mendengarkan gumaman laut di kejauhan.

“Ayah pasti lelah.”

“Oh, kaukah itu, Shigemori? Di manakah si Tua Bangka?”

“Dia akan kemari sebentar lagi.”

“Aku hanya ingin berbicara bertiga di sini.”

“Mokunosuk6 juga berpendapat begitu. Dia sedang memeriksa apakah semua orang telah tidur malam ini.”

“Bagaimanakah keadaan mereka?”

“Mereka sangat terguncang pada awalnya, namun semangat mereka sepertinya telah kembali.”

“Jika ada di antara mereka yang hendak kabur, biarkanlah saja. Jangan mengawasi mereka terlalu ketat.”

Para perawan biara membawa masuk sake dan makanan, dan kepala pendeta hadir beberapa saat kemudian untuk

Page 437: The Heike Story

menyapa Kiyomori. Kiyomori cepat-cepat memberinya penghormatan dengan cara yang semestinya.

“Dari kabar yang saya dengar, iklim di wilayah ini cukup hangat, namun laut menimbulkan kesan dingin dan mengancam pada malam hari. Kami berharap bisa menghabiskan makanan kami di dekat perapian ini, tanpa gangguan, karena saya harus membahas masalah pribadi,” kata Kiyomori tanpa berbasi-basi.

Mokunosuke segera hadir.

Kedua rencana yang telah disampaikan oleh Kiyomori kepada para pengikutnya adalah sebagai berikut: pertama, melanjutkan perjalanan ziarah karena mereka tidak akan berdaya untuk melakukan perlawanan jika mereka kembali saat ini. Di Kumano, Kiyomori akan menemui seorang ahli nujum dan bertindak berdasarkan nasihat darinya. Yang kedua adalah langsung kembali ke Naniwa (Osaka), dan dari sana berlayar ke Pulau Shikoku untuk melakukan pengintaian dan berusaha menghimpun pasukan.

Sesungguhnya, kedua rencana tersebut bisa mereka jalankan. Bagaimanapun, Mokunosuk6 bisa memahami apa yang sesungguhnya berkecamuk di benak Kiyomori. Alih-alih kepada musuh yang telah menanti di ibu kota, Kiyomori lebih mencemaskan pengkhianatan di antara para prajurit yang ada di dalam rombongannya saat ini, karena imbalan berjumlah besar telah ditawarkan kepada siapa pun yang bisa menyerahkan kepala Kiyomori kepada pihak yang berwenang. Kendati begitu, ada masalah lain yang lebih merisaukan Kiyomori, yaitu nasib keluarganya di Rokuhara. Jika Kiyomori memutuskan untuk mengangkat senjata guna melawan Nobuyori dan Korekata, maka mereka tidak akan segan-segan membawa obor mereka ke Rokuhara dan membantai seluruh penghuninya, dan kemudian menuntut Kiyomori agar menyerahkan diri. Hal

Page 438: The Heike Story

ini tidak bisa disangkal, sehingga apa pun keputusan yang akan diambilnya, Kiyomori harus merahasiakannya dari teman maupun musuhnya, kembali ke Kyoto tanpa menyia-nyiakan waktu, dan bertindak dengan cepat.

Mokunosuk6, dengan tubuh delapan puluh tahunnya yang bungkuk, menghadapi ayah dan anak itu di depan perapian, berbicara seperti orang yang berkumur-kumur.

“Peristiwa di ibu kota itu cepat atau lambat pasti terjadi. Si Tua Bangka ini sulit memercayai apa yang baru saja Anda katakan. Saya juga sangat menyadari kesulitan yang akan Anda hadapi jika Anda kembali ke ibu kota. Tetapi, sejauh pengetahuan saya, kita memiliki cukup busur, anak panah, dan baju zirah.”

“Tua Bangka, apa kau mengatakan bahwa kita membawa persenjataan kemari?”

“Itu adalah bagian dari pendidikan samurai; saya berutang budi kepada ayah Anda, Tadamori, untuk pengetahuan ini.”

“Bagus sekali!”

Shigemori, yang secara diam-diam memerhatikan wajah ayahnya dalam temaram cahaya perapian, berkata:

“Apakah Ayah memutuskan untuk segera kembali ke ibu kota?”

“Begitulah. Tidak ada pilihan lain bagiku sebagai seorang samurai. Para dewa telah memberikan kesempatan ini kepada kita. Ada begitu

banyak halangan dan rintangan di jalan menuju Kumano ... seperti manusia yang menjalani kehidupan, Shigemori. Kau telah dewasa sekarang, dan Ini akan menjadi ujian besar bagi kejantananmu.”

Page 439: The Heike Story

“Aku pasti akan mendukung Ayah. Tetapi, bagaimana dengan keluarga kita di Rokuhara?”

“Ya. kita memiliki semua alasan untuk mengkhawatirkan mereka, dan itulah satu-satunya keberatanku untuk kembali. Lebih baik kita mengirim seseorang yang kita percaya untuk menyampaikan pesan ke penginapan di Tanab6.”

“Hanzo adalah orang yang tepat untuk tugas itu. Apakah isi pesannya?”

“Kepala pendeta Kumano sedang singgah di sana. Aku akan menulis kepadanya dan memohon bantuan di sepanjang jalan.”

“Jika tugas ini memang penting, tidakkah sebaiknya aku saja yang pergi?”

“Tidak, itu akan membuat kita tampak putus asa. Hanzo sudah cukup.”

Kiyomori segera menulis sebuah surat dan mengirim Hanzo untuk menyampaikannya. Kemudian, dia mengatakan kepada kepala pendeta bahwa sebuah panggilan mendadak dari ibu kota telah memaksanya untuk membatalkan perjalanan. Dia menambahkan, “Karena kami akan berangkat sebelum fajar merekah, saya harus memohon kemurahan hati Anda untuk mengizinkan kami menghadiri upacara peribadatan pagi.”

Mengenakan baju zirah lengkap, Kiyomori, Shigemori, beserta para prajurit dan pelayan mereka, bergerak perlahan-lahan ke utara. Masing-masing dari mereka menyematkan sepotong ranting cemara ke baju zirah mereka. Para peziarah memang disyaratkan untuk membawa sepotong ranting cemara, pohon keramat di Tempat Pemujaan Kirib6, sebagai azimat.

Page 440: The Heike Story

Para pendeta, yang belum mendengar tentang pemberontakan di Kyoto, mengira bahwa Kiyomori mendapatkan panggilan biasa dari istana. Mereka menghadiahi Kiyomori beserta rombongannya dengan potongan besar ranting-ranting pohon, yang diikatkan ke pelana kuda mereka. Kiyomori dan rombongannya menatap heran pada jeruk-jeruk mandarin wangi yang menyembul dan berkilauan bagaikan emas di antara dedaunan hijau tua di ranting-ranting tersebut. Benar-benar hiasan yang indah, pikir Kiyomori, untuk pesta Tahun Baru di Istana, tempat para bangsawan akan mengagumi buah asing berjenis baru ini. Kemudian, dia mencabut sebutir jeruk, mengupasnya, lalu mencicipinya.

“Cobalah, ini lezat!” serunya, tiba-tiba menoleh dari atas kudanya. “Shigemori, Tua Bangka, cicipilah. Sepertinya mustahil buah jeruk ini masih tersisa setibanya kita di ibu kota. Cobalah, semuanya, bagikanlah jeruk-jeruk ini di antara kalian.”

Kiyomori memetiki berfoutir-butir jeruk lalu melempar ke para prajuritnya, yang berebutan menangkapnya sembari bersorak sorai seperti anak-anak yang penuh semangat. Matahari telah tinggi di atas cakrawala sekarang, dan udara pagi yang dingin telah dipecahkan oleh gelak tawa menyambut hujan buah emas.

Mereka berkuda melewati desa demi desa hingga matahari tenggelam, ketika Kiyomori memerintahkan kepada mereka untuk berhenti. Keesokan paginya, mereka melintasi rute pegunungan dan terus maju hingga tiba di Sungai Kii. Di sana, mereka memperkuat pasukan dengan dua puluh orang penunggang kuda bersenjata yang disediakan oleh kepala pendeta Tempat Pemujaan Kumano sebagai jawaban atas surat Kiyomori.

Page 441: The Heike Story

Pada hari yang sama, ketika sedang berbaris, seorang panglima beserta tiga puluh orang pelayannya menemui mereka. Sebagai jawaban atas pertanyaan Kiyomori tentang alasan kedatangan mereka, sang panglima menjawab:

“Ayah saya berutuang budi begitu besar kepada mendiang ayah Anda, Tadamori, yang pernah menjadi pelindung kami. Saya mendengar bahwa Anda mendadak memutuskan untuk kembali ke ibu kota karena adanya pergolakan di sana, dan saya datang untuk memberikan peringatan kepada Anda.”

Sang panglima kemudian mengatakan bahwa kabar burung mengenai Kiyomori yang membatalkan perjalanan ziarahnya ke Kumano telah sampai di ibu kota. Putra Yoshitomo, Yoshihira, bersama tiga ribu orang prajurit berkuda, telah tiba di Naniwa (Osaka) dan menggiring pasukannya ke selatan untuk menghadang Kiyomori.

Darah Kiyomori terasa menggelegak. Tatapan Shigemori semakin nyalang ketika mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Niat Kiyomori telah terbaca dengan jelas oleh para pengikutnya, dan Kiyomori menyadari bahwa telah tiba waktunya bagi mereka untuk memutuskan apakah mereka mau meninggalkannya.

“Berhenti, istirahatkanlah kuda-kuda kalian. Habiskan jeruk kalian. Tidak banyak lagi yang tersisa. Kalian semua harus mencicipinya,” perintahnya, sebelum menambahkan sambil tertawa, “ini mungkin kesempatan terakhir kalian.”

Matanya mengamati wajah-wajah di sekelilingnya untuk melihat dampak kata-katanya kepada pasukannya.

o0odwkzo0o

Pasukan Kiyomori membentuk lingkaran di sekelilingnya di sebentang lahan kosong.

Page 442: The Heike Story

“Aku membawa kalian melakukan perjalanan sejauh ini dengan rencana menyeberang ke Pulau Shikoku, namun aku berubah pikiran. Aku tidak akan memperoleh keamanan di mana pun, bahkan jika aku menyeberang ke Cina.”

Kiyomori berbicara tanpa sedikit pun tanda-tanda kegundahan.

“Kita akan selamat jika angkat tangan dari kericuhan di ibu kota, namun para samurai di mana pun akan membenci klan Heik6 yang pengecut dan menolak untuk memberikan dukungan mereka kepada kita. Barangkali mereka justru akan memberikan dukungan kepada klan Genji.”

Para prajurit mendengarkan petuah Kiyomori dengan penuh perhatian. Dari ekspresi wajah mereka, terlihat bahwa tidak seorang pun dari mereka bersedia mengikuti sarannya, dan Kiyomori tiba-tiba merasa malu menerima tatapan bingung mereka. Dia menyadari bahwa bukan hanya nyawanya sendiri yang menjadi tanggung jawabnya melainkan juga nyawa mereka, dan mereka memercayainya. Seandainya mereka berniat mengkhianatinya, renung Kiyomori, mereka pasti telah menyambar setiap peluang yang ada untuk melakukannya.

“Sudah cukup yang kukatakan. Sekarang bukan saat untuk berbicara. Walaupun kita hanya berkekuatan seratus orang penunggang kuda, aku yakin bahwa jika kita memiliki tekad, maka kita akan berhasil mencapai ibu kota. Dan kabar bahwa aku telah kembali ke Rokuhara telah tersebar, maka kawan-kawan kita akan memberikan dukungan mereka kepada kita. Bagaimana menurut kalian?”

Page 443: The Heike Story

Ucapan Kiyomori mendapatkan sambutan gegap gempita karena semua prajurit mencemaskan nasib anak dan istri mereka yang mereka tinggalkan di ibu kota.

Kiyomori melanjutkan, “Ada satu kesulitan yang masih menghadang kita. Aku diberi tahu bahwa Genji Yoshihira bersama tiga ribu orang prajurit berkuda telah menanti kita di utara. Itu berarti tiga puluh melawan satu.”

Para prajurit balas menyemangati Kiyomori dengan tekad mereka untuk kembali ke ibu kota, dan mereka menegaskan kepadanya bahwa mereka telah siap untuk menghadapi musuh yang tak terhitung banyaknya, mengikutinya ke mana pun dia akan membawa mereka, dan menunjukkan betapa perkasanya pasukan Heike.

Kiyomori tidak membutuhkan suntikan tekad lagi. Apa pun keraguan yang dimilikinya tentang para prajuritnya lenyap sudah. Dia kemudian memerintah pasukannya untuk menyediakan makanan dan minuman bagi kuda-kuda mereka, menyiapkan makan malam, dan memeriksa tali-temali di sandal dan baju zirah mereka sebelum mempersiapkan diri untuk menembus wilayah musuh pada malam itu juga.

Mereka beristirahat dan menunggu hingga matahari tenggelam sebelum melanjutkan perjalanan, dan berkas-berkas sinar matahari terakhir memberikan nuansa keemasan kepada pasukan yang tengah bergerak lambat di sepanjang pesisir.

“Kita sudah dekat sekarang,” Kiyomori memperingatkan pasukannya, memerintah tiga orang penunggang kuda untuk memeriksa keadaan. Cukup jauh dari sana, ketiga orang prajurit itu melihat pendar pucat api-api unggun di sebuah dataran dan menduga bahwa itu adalah perkemahan musuh. Kematian tengah menghadang mereka. Dengan air

Page 444: The Heike Story

muka keruh dan tangan yang seolah-olah lumpuh, ketiganya kembali ke pasukan mereka.

“Mari kita berkumpul. Mendekatlah kemari,” perintah Kiyomori dengan nada rendah. “Tetaplah bersatu; kita akan menyerang titik terlemah mereka untuk menembus masuk. Ingatlah ... jangan lakukan pertempuran satu lawan satu! Tujuan kita adalah mencapai ibu kota. Shigemori, jangan memisahkan diri dari pasukan,” Kiyomori menekankan, menatap putranya dengan tegas.

Shigemori pernah mendengar pamannya, Tokitada, berkomentar bahwa Kiyomori tidak berperawakan seperti layaknya seorang samurai. Walaupun Kiyomori tampak tegap ketika duduk di atas pelananya, akhir-akhir ini Shigemori melihat bahwa ayahnya mulai menggemuk dan kehilangan kelincahan dan kepiawaiannya dalam pertempuran satu lawan satu.

“Jangan khawatir, Ayah. Berhati-hatilah agar Ayah tidak jatuh dari pelana saat kuda-kuda kita mulai berlari kencang.”

“Kurang ajar!” Kiyomori tergelak. “Berani-beraninya kau berbicara seperti itu kepada ayahmu! Diam dan masuklah ke dalam barisan. Jangan cambuk kudamu hingga aku memberikan aba-aba. Kau tidak terbiasa berperang, ingat itu. Siapa pun yang menyombongkan diri sebelum perang dimulai biasanya menjadi orang pertama kehilangan kepala saat berhadapan dengan musuh” Ketika tengah bergerak perlahan-lahan, para penunggang kuda itu melihat sosok-sosok yang berkuda dengan cepat ke arah mereka dengan membawa obor dan membidikkan anak panah, namun Kiyomori memerintahkan kepada mereka untuk menahan serangan.

Page 445: The Heike Story

‘Tahan! Tunggu! Aku mendengar mereka memanggil. Mari kita dengarkan terlebih dahulu apa yang hendak mereka katakan.”

Beberapa orang samurai menyongsong mereka dengan gembira, “Apakah kalian prajurit Heik6 Kiyomori yang sedang menuju ibu kota? Apakah Tuan Harima ada di antara kalian?”

Kiyomori membawa kudanya maju. “Akulah yang kalian cari, Heik6 Kiyomori. Siapakah kalian? KaJian bukan Genji?”

Seorang samurai dengan sigap turun dari kudanya dan menghampiri Kiyomori.

“Kami bukan Genji. Kami datang dari Is6. Kami mendengar bahwa Tuan sangat membutuhkan bantuan.”

“Heikt dari Is6?”

“Kami Heik6 yang pernah memperoleh pertolongan dari ayah Anda. Kami tidak pernah melupakan kebaikan hati beliau kepada kami, dan kami siap mendukung Anda.”

“Ah, lse ... akar klan Heike.”

“Seribu orang telah bertolak dari Ise ... dua ratus orang menuju Rokuhara. Sekitar lima ratus orang tengah menuju kemari. Tiga ratus orang penunggang kuda akan menyambut dan mengawal Anda.”

“Terpujilah para dewa! Ternyata pasukan yang kami lihat tadi bukan musuh, ya? Aku tidak layak mendapatkan pujian untuk hal ini. Semua ini berkat ayahku, yang seumur hidupnya telah menebarkan benih kebaikan” Kiyomori menangis bersyukur.

Sambutan gegap gempita terdengar malam itu, ketika Kiyomori berkuda ke perkemahan pasukan pendukungnya.

Page 446: The Heike Story

Sebelum fajar menyingsing, mereka telah melanjutkan perjalanan, dan Kiyomori, menoleh ke belakang dari atas pelananya, merasakan dadanya membuncah melihat matahari bersinar di atas pasukan berkekuatan empat ratus orang yang dipimpinnya ... bukan jumlah yang kecil.

Matahari masih tinggi ketika mereka tiba di Tempat Pemujaan Fushimi, belasan mil di sebelah selatan ibu kota, tempat para peziarah yang baru kembali dari Kumano biasanya mempersembahkan daun-daun cemara yang mereka bawa dari Tempat Pemujaan Kirib6. Kiyomori menghentikan pasukannya cukup lama untuk berdoa bagi kemenangan mereka. Ketika dia menunduk untuk berdoa, sebentuk ekor rubah seolah-olah berkelebat dan menghilang di depan matanya yang terpejam; dia sekonyong-konyong teringat pada perburuan rubah yang dilakukannya bertahun-tahun silam, ketika dia berpapasan dengan tiga ekor rubah, dan Kiyomori, yang selalu mengolok-olok takhayul, sangat ingin meyakini bahwa para dewa berada di pihaknya.

Kiyomori dan pasukannya tiba di Rokuhara malam itu. Cahaya tidak terlihat di mana pun dan jalanan sunyi senyap walaupun akhir tahun telah mendekat. Hanya lolongan anjing-anjing pada rembulan musim dingin yang memecahkan keheningan. Tetapi, begitu mendengar kabar bahwa Kiyomori telah tiba, para penghuni Rokuhara yang selama ini menekan perasaan mereka, segera berseru lega. Tua dan muda, pria dan wanita, para prajurit dan pelayan membanjir keluar dari setiap rumah ke jalanan, melambai-lambai dan bersorak-sorai dengan liar.

“Tokiko! Tokiko!”

Kiyomori memacu kudanya ke gerbang rumahnya, diiringi oleh lautan wajah pendukungnya. Dia sekilas melihat beberapa orang penghuni rumahnya dan memanggil-manggil nama istrinya.

Page 447: The Heike Story

Tokiko, yang menanti di luar dalam keadaan kedinginan bersama anak-anaknya, berdiri mengangkat ujung kimononya untuk menghindari noda lumpur. Begitu mendengar namanya dipanggil, dia melepaskan pegangannya pada kimononya, berlari menyambut, dan menyambar tali kekang Kiyomori.

“Selamat datang di rumah! Kau selamat!”

“Ah, kau ada di sini,” seru Kiyomori. mengamati wajah istrinya dengan lega.

“Anak-anak ... ibu kita yang baik?” Kiyomori cepat-cepat menambahkan.

“Mereka semua menantikan kedatanganmu dengan gelisah.”

“Apakah mereka semua baik-baik saja? Ini sebuah mukjizat ... benar-benar sebuah mukjizat!”

Kiyomori membawa kudanya ke halaman, tempat ibu tiri dan anak-anaknya menanti di dekat pintu masuk menuju rumahnya. Tempat gelap itu segera hidup kembali dengan derap langkah di sana-sini.

Setelah mengetahui bahwa ibu tirinya, Tokiko, anak-anak, dan semua wanita di rumahnya mengungsi dan bersembunyi di perbukitan begitu pemberontakan pecah, namun kembali ke Rokuhara begitu mendengar bahwa dia sedang berada dalam perjalanan pulang, Kiyomori gusar.

“Siapa yang memerintahkan kepada kalian untuk pulang? Sebaliknyalah yang harus kalian lakukan. Kalian boleh menginap di sini semalam, namun sebelum matahari terbit besok, kalian semua harus kembali ke perbukitan. Aku tidak bisa membiarkan kalian melihat kekerasan yang akan terjadi di sini. Kita sedang menghadapi situasi

Page 448: The Heike Story

terburuk, dan Rokuhara mungkin akan segera menjadi reruntuhan berasap.”

Pada hari ketika Kiyomori kembali ke Rokuhara, Nobuyori dan Korekata mengadakan pertemuan dan memerintahkan kepada semua pejabat istana untuk hadir dengan ancaman hukuman mati. Banyak di antara mereka, bagaimanapun, tidak hadir. Kendati kabar telah tersebar di Kyoto bahwa para samurai dari Is6 dan provinsi-provinsi tetangga sedang menuju Rokuhara, dan Kiyomori sendiri akan segera tiba, Nobuyori lebih merisaukan kekosongan ruang pertemuannya daripada laporan tersebut Nobuyori menduduki singgasana di Bangsal Utama dan tengah menatap dengan bimbang kepada deretan pejabat istana

di bawahnya, ketika seseorang terlambat memasuki bangsal, tidak dengan cara biasa tetapi melintasi taman dan menaiki tangga dari sana. Kelima pelayan pria itu, yang mengenakan mantel di atas baju zirah dan pedang mereka, menanti di salah satu gerbang. Pipi Nobuyori seketika memucat di bawah rias wajahnya ketika sang pendatang baru, pamannya, Mitsuyori, melontarkan tatapan kesal ke singgasana.

“Astaga, betul-betul pemandangan luar biasa! Apakah aku melihat tempat kehormatan diduduki oleh kaum perlente dan para pria pemerhati penampilan, dan mereka yang selayaknya berada di sana justru gemetar ketakutan di bawah sini? Apakah ini hiburan di kedai teh, lengkap dengan geisha-geishanya? Bisakah ini disebut Istana?” semburnya dengan getir.

Nobuyori menelengkan kepala dengan bingung ketika mendengar kata-kata pamannya, sementara yang lain gelisah menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mitsuyori, kakak Korekata, yang jarang menghadiri

Page 449: The Heike Story

pertemuan di istana, dipandang dengan penuh kekaguman oleh para bangsawan yang ada di sana.

Seorang pejabat turun dari tempat duduknya di samping Nobuyori dan menghampiri Mitsuyori. “Tuan, kami telah menunggu Anda. Silakan duduk.”

“Kalau begitu, ini memang Istana?”

“Ya ... ”

“jika ini memang Istana, ada yang patut dipertanyakan. Siapakah laki-laki perlente dengan wajah berias yang duduk di atas sana?”

“Jenderal Kesatuan Pengawal yang baru, Menteri Nobuyori.”

“Aku tidak pernah mendengar tentang dia. Tidak ada yang namanya Jenderal Nobuyori di Kesatuan Pengawal Istana. Barangkali yang kaumaksud adalah Wakil Penasihat Nobuyori?”

“Beliau baru saja ditunjuk untuk memegang jabatan tersebut”

“Omong kosong! Di manakah Yang Mulia, yang berhak menyelenggarakan pertemuan?” tanya Mitsuyori, menepuk pahanya dengan marah dan mengacungkan telunjuknya kepada Nobuyori.

“Nobuyori, kau menduduki singgasana; di manakah kau akan menempatkanku, yang berasal dari golongan yang lebih tinggi daripada dirimu?”

“Mengenai pertemuan hari ini ... apakah yang hendak kaubicarakan? Dan, kalian, Tuan-Tuan, mengapa mereka yang tidak hadir hari ini diancam dengan hukuman mati?”

“Hanya Yang Mulia yang berhak menyelenggarakan pertemuan seperti ini. Di manakah beliau? Tidak adakah

Page 450: The Heike Story

yang bisa menjawabku? Benar-benar aneh dan mengherankan!” sembur Mitsuyori sembari beranjak dari bangsal menuju salah satu sayap Istana.

“Korekata, apa yang kaulakukan di sini,” hardiknya kepada adiknya, yang didapati sedang bersembunyi di salah satu bilik.

“Kaukah itu ... kakakku?”

“‘Kakak’? Kau berani memanggilku ‘kakak’?”

“Ya ... ”

“Kalau begitu, kau telah mempermalukan ku, karena rasa bersalahmu adalah rasa bersalahku juga. Beban ini lebih berat daripada yang bisa kutanggung.”

“Aku tidak melakukan kesalahan apa pun”

“Kau memahami maksudku, kalau begitu? Apa yang membuatmu melakukan ini?”

“Kau, seorang pejabat dari Kepolisian, menjadi salah satu dalang pameran kepala Shinzei? Tidak pernahkah kau memikirkan pendapat orang-orang mengenai dirimu? Aku bergidik mendengar desas-desus tentangmu. Sepertinya mustahil bahwa adikku sendiri bisa berbuat sebodoh itu. Aku selalu meragukannya.”

“Nama kita tidak pernah tercoreng hingga sekarang, dan tingkah tololmulah penyebabnya! Pikirkanlah betapa kau telah mencoreng

nama mendiang ayah kita ... menghadirkan aib bagi ibu kita yang telah renta. Apa yang membuatmu melakukan kegilaan seperti ini?”

“Kebodohanku semata. Aku telah menyaksikan perilaku Nobuyori selama beberapa hari terakhir ini dan sekarang menyesali ketololanku.”

Page 451: The Heike Story

“Kalau yang kaukatakan itu benar, maka pastikan agar Yang Mulia dibebaskan secepatnya dan selamatkanlah beliau.”

“Aku akan melakukannya.”

“Aku tidak akan menghambatmu dalam melakukan tugas itu. Apakah kau mengerti, Korekata? Ah, Korekata,” lanjut Mitsuyori dengan iba, “mengapa kau harus mempertaruhkan nyawamu dengan cara setolol itu?”

Berkat kehadiran tidak terduga Mitsuyori, pertemuan bubar begitu saja.

Tanggal 19 Desember hampir tiba. Malam itu, terdengar kabar di kalangan Pengawal Kekaisaran bahwa Kiyomori telah kembali ke Rokuhara dan tengah menghimpun pasukan.

Pada malam itu juga, Nobuyori, yang telah menghuni Istana, tidak bisa memejamkan mata karena kecemasan yang menyiksanya. Dia mengirim seorang dayang ke bilik Korekata dengan permohonan agar pria itu menemuinya. Nobuyori terkejut ketika mendengar bahwa Korekata tidak ada di biliknya. Kemudian, dia memanggil Tsunemune, namun bangsawan itu juga tidak ada di Istana

Sementara itu, fajar menyingsing tanpa diwarnai oleh serangan dari Rokuhara. Burung-burung mulai berkicau dari pucuk-pucuk pepohonan berlapis es di taman-taman Istana. Nobuyori, yang menantikan matahari terbit, akhirnya terlelap.

o0odwkzo0o

Page 452: The Heike Story

Bab XXIII – PENCULIKAN KAISAR Tanggal 20, 21, dan 22 Desember berlalu tanpa kepastian

di Istana Kekaisaran, tempat lalu lalang para prajurit bersenjata di taman-taman menggantikan kesibukan untuk menyambut Tahun Baru. Kabar mengenai rencana Kiyomori untuk menyerang Istana terus terdengar. Di Rokuhara, penghimpunan kekuatan terus dilakukan seiring dengan tersebarnya desas-desus bahwa pasukan Genji akan berbaris dari Istana untuk menyerbu pusat kekuatan pasukan Heike. Tetapi, tanda-tanda mengenai pecahnya pertempuran tidak kunjung terlihat

Di tengah kejenuhan itu, ada seorang pria yang tetap sibuk. Dia adalah Hidung. Korekata dan Nobuyori, kedua pemimpin pemberontakan, secara diam-diam mengunjungi rumah Bamboku di Jalan Kelima pada suatu malam, dan sesaat setelah mereka pergi. Hidung Merah berangkat ke Rokuhara untuk menyampaikan sebuah surat kepada Kiyomori.

Selama hampir seminggu, terdengarlah rumor bahwa perundingan gencatan senjata sedang berlangsung, namun pada malam tanggal 26, Nobuyori menyadari bahwa dekrit apa pun yang dikeluarkan atas nama Kaisar tidak akan mampu meredakan konflik, karena para

panglima Genji semakin gelisah dan pihak Heikg terus melanjutkan persiapan perang mereka. Seluruh situasi ini sekarang berkembang menjadi pertikaian antara Genji dan Heik6, dan jika mereka ingin menghancurkan klan Heik6, sekaranglah saat yang tepat untuk melakukannya.

Mantan Kaisar Goshirakawa, yang dikurung di Gedung Arsip sejak 9 Desember, pada suatu malam mendapatkan kunjungan dari pria-pria bertopeng yang mengatakan:

Page 453: The Heike Story

“Yang Mulia, jangan bersuara dan Anda akan selamat Ada kisikan tentang pertempuran yang akan pecah sebelum pagi tiba. Sebuah tandu telah menanti Anda, dan kami akan mengawal Anda hingga tiba di Kuil Ninna-ji”

Goshirakawa tidak melawan dan memasrahkan dirinya untuk dibawa keluar melewati Gerbang Barat Laut Seekor kuda telah menantinya di sana, dan dia pun cepat-cepat menungganginya untuk pergi dari Istana.

Pada sekitar waktu yang sama ... pukul tiga pagi ... Kaisar, yang ditahan di bagian lain Istana, mendadak terbangun gara-gara mendengar bisikan yang memerintahkannya untuk melarikan diri ke tempat yang aman pada saat itu juga. Dia terkejut ketika mendapati bahwa Tsunemung dan Korekata datang menemuinya. Mereka membawa pedang dan mengenakan baju zirah di bawah mantel mereka. Terlalu gentar untuk menjawab, Nijo membiarkan Korekata memasangkan mantel wanita ke tubuhnya dan membawanya pergi.

Tsunemun6 menggiring Nijo yang gemetar ke luar dan menyuruhnya memasuki sebuah kereta bersama adiknya, sang Putri. Kereta itu segera bertolak dari Istana. Dua orang penuntun sapi dan beberapa orang pelayan menyertai mereka menuju sebuah gerbang di sisi barat tembok Istana, tempat mereka dihadang oleh tantangan dari salah seorang pengawal Genji, Juro.

“Siapa di sana?”

Para prajurit menghampiri kereta itu dan menghentikannya.

“Ada sesuatu yeng mencurigakan di sini. Ke manakah kalian akan pergi di malam selarut ini?”

Page 454: The Heike Story

“Putri dan dayangnya sedang menuju kuil.” sebuah jawaban terdengar. “Katakan kepada Juro untuk datang kemari.”

“Ini saya, Juro.”

“Kaukah itu, Juro?”

“Siapa yang berbicara?”

“Korekata dari Kepolisian.”

“Anda, Tuan?”

“Buka gerbangnya dan biarkan kami lewat. Aku sendiri yang akan mengawal Yang Mulia Tuan Putri. Apakah kau perlu menanyai kami lagi?”

“Tidak perlu, Tuan, tapi Jenderal Yoshitomo melarang kami untuk mengizinkan Anda sekalipun keluar. Tuan.”

“Kalau begitu, panggil jenderalmu kemari.”

“Saya tidak tahu di mana beliau berada saat ini.”

“Hingga berapa lama lagi kau berniat membiarkan Yang Mulia menunggu di sini bersama para prajurit beringas itu? Apa hakmu menanyai beliau jika aku sendiri yang memberikan pengawalan? Menyingkirlah!”

“Sebentar, Tuan. “Tugas kami adalah menjaga gerbang ini, dan Anda sekalipun dilarang untuk menerobosnya seperti ini. Tetapi, jika Anda bersikeras, izinkanlah saya memeriksa isi kereta Anda,” kata Juro, maju dan menyibak tirai kereta menggunakan ujung busurnya. Para pengawal lainnya berkerumun di belakang Juro, mengacungkan obor mereka. Pancaran obor menerangi dua sosok wanita muda yang ketakutan dan saling merangkul dengan lemas. Mata Kaisar, yang baru berusia tujuh belas tahun, terpejam, dan tubuh kurusnya, yang mirip perawakan perempuan, tampak

Page 455: The Heike Story

pucat pasi. juro, yang menyangkanya sebagai seorang dayang, mempersilakan kereta untuk lewat.

Mereka melanjutkan perjalanan melewati sepasukan besar samurai yang membawa obor, melewati jalan yang berlapis es, dan menembus kegelapan malam.

“Pergilah ke arah sana! Cepat!” Korekata dan Tsunemun6 memerintah kedua penuntun sapi yang terengah-engah untuk membelokkan kereta mereka ke timur di ujung tembok Istana.

o0odwkzo0o

Kedua rencana riskan Kiyomori ternyata berhasil dilaksanakan. Mantan Kaisar telah diungsikan ke Kuil Ninna-ji, dan Kaisar-muda dilarikan dengan selamat menggunakan kereta dari Istana. Sesaat kemudian, api yang bergolak dan asap hitam yang membubung dari bagian utara Istana Kekaisaran menyebarkan berbagai cerita yang berkembang dengan liar; terdengar desas-desus bahwa Kiyomori telah mengirim pasukannya menyeberangi sungai dan menyerang kompleks kekaisaran dari utara, dan para biksu dari Gunung Hiei telah memberikan dukungan kepada Kiyomori dan saat ini tengah berbaris ke ibu kota.

Genji Yoshitomo mengirim putranya, Yoshihira, beserta sebuah pasukan kecil ke Istana Kekaisaran, sementara sepasukan pengawal yang ada di sana dikirim ke gerbang-gerbang kota di wilayah utara untuk memeriksa kebakaran.

Sementara itu, dengan lecutan cambuk dan teriakan nyaring, para penuntun sapi mendorong binatang penarik kereta itu menuju Rokuhara.

“Tunggu ... jangan secepat itu! Berhenti, kita sudah terbebas dari bahaya sekarang …” Korekata dan

Page 456: The Heike Story

Tsunemun6 dengan terengah-engah menyusul kereta Kaisar.

Para penuntun sapi menurunkan laju dan tertawa, “Kau mendengar mereka tersengal-sengal? Haruskah kita menunggu mereka?”

“Sepertinya keadaan sudah aman sekarang.”

Keduanya menghentikan kereta dan mengusap keringat yang membanjiri wajah mereka.

Kereta itu segera tiba di seruas jalan yang diapit pepohonan di sepanjang Sungai Kamo, tempat sosok-sosok gelap bermunculadari balik bayangan dan menemui mereka. Kiyomori telah mengirim dua ratus orang samurai dari Rokuhara untuk mengawal Nijo, dan setibanya mereka di Jembatan Gojo, gumpalan-gumpalan awan menurunkan salju.

Rokuhara, yang selama bermalam-malam sunyi dan gelap, tampak bermandikan cahaya untuk menyambut kedatangan Kaisar. Lilin berkelap-kelip di mana-mana bagaikan bintang-bintang di tengah hujan salju. Segera setelah Kaisar tiba di Rokuhara, pasukan samurai Heiki membanjiri jalan-jalan utama ibu kota, mengumumkan bahwa Kaisar telah berada di Rokuhara sejak Jam Macan (pukul empat pagi), dan bahwa Mantan Kaisar saat ini sudah tiba di Kuil Ninna-ji. Siapa pun yang menaruh kesetiaan kepada Kaisar diimbau untuk segera pergi ke Rokuhara.

Ketika matahari terbit, para pejabat istana dan menteri, dipimpin oleh Perdana Menteri, berduyun-duyun ke Rokuhara.

Sementara semua itu terjadi, Nobuyori, sang pemimpin pemberontakan, sedang berbaring di kamarnya di Istana

Page 457: The Heike Story

Kekaisaran dalam keadaan mabuk, ditemani oleh dayang-dayangnya. Kebiasaannya minum-minum setiap malamlah yang akhirnya memuakkan Tsunemung dan Korekata, yang menyangka Nobuyori telah kehilangan akal sehat Terlebih lagi, semburan Mitsuyori tempo hari telah menyadarkan mereka, sehingga mereka pun tidak membuang-buang waktu lagi untuk menghubungi Kiyomori.

Ketika seorang penasihat muncul dengan napas terengah-engah di biliknya untuk mengabarkan bahwa para tahanan kehormatan telah pergi, Nobuyori sekonyong-konyong bangkit dari kasurnya dengan waspada, lalu tertawa histeris.

“Omong kosong macam apa ini? Ini halusinasi ... Korekata dan Tsunemunt sudah memastikan agar kedua Yang Mulia tidak melarikan diri!”

‘Tuan, para pengawal telah berkhianat dan kabur bersama para tahanan.”

“Mustahil!” Nobuyori bersikeras, namun keraguan melintasi benaknya seketika itu juga; dia cepat-cepat berpakaian, menyambar pedangnya, dan berlari menyusuri labirin koridor. Sumpah serapah membanjir dari mulutnya, dan raungan marah terdengar begitu dia melihat sendiri apa yang telah terjadi.

“Jangan sampai siapa pun mendengar tentang ini ... sekutu kita sekalipun,” perintah Nobuyori.

Bagaimanapun, sudah terlambat untuk menutup-nutupi kejadian itu. Genji Yoshihira telah mengetahui bahwa para tahanan telah kabur dan segera melaporkannya kepada ayahnya.

“Sesuatu yang luar biasa telah terjadi tadi malam! Kiyomori berhasil mengelabui kita ... Yang Mulia telah

Page 458: The Heike Story

dilarikan ke Rokuhara dan Kaisar Kloister telah diamankan di Kuil Ninna-ji. Mungkinkah berita ini benar?”

Yoshitomo tidak menjawab.

“Benarkah ini. Ayah?” Yoshihira menuntut jawaban.

Yoshitomo enggan memberikan jawaban. “Begitulah. Aku juga sudah mendengar kabar itu, walaupun Nobuyori belum melaporkannya kepadaku.”

Ekspresi prihatin tampak di wajah si pemuda.

“Yoshihira!” “Ya ... ”

“Bagaimana dengan api di Istana?”

“Itu adalah siasat musuh. Pasukan Kiyomori belum menginjakkan kaki di sana, namun aku mendapati bahwa gubuk-gubuk dan rumah-rumah petani di luar tembok kota telah habis terbakar.”

“Lagi-lagi kecerdikan Kiyomori, atau siasat mata-mata licik. Aku harus mengakui kehebatan tindakan musuh kita tadi malam. Langkah kita tidak akan mudah.”

‘Tetapi, Ayah, apa gunanya membela Istana jika kedua Yang Mulia tidak ada lagi di sana?”

“Tidak, aku sudah bersumpah atas nama Genji dalam kesepakatan ini dan tidak bisa menariknya lagi. Seorang samurai harus memegang janjinya hingga akhir hayatnya. Walaupun itu berarti tidak ada pilihan bagiku kecuali tunduk kepada Heik6 atau binasa untuk selama-lamanya.”

Yoshitomo pun mengakui sesuatu yang tidak berani disebutkannya hingga saat ini. Dia telah salah memandang Nobuyori dan dengan getir menyesali perbuatannya. Tetapi, renung Yoshitomo, kalaupun dia tidak merangkaikan takdirnya dengan Wakil Penasihat Nobuyori, kebengisan Shinzei pada akhirnya juga akan berujung pada pertikaian

Page 459: The Heike Story

senjata antara klan Genji dan klan Heik6. Shinzei telah tewas sekarang, namun Kiyomori masih ada. Tidak bisa disangkal lagi bahwa Genji telah memperoleh pukulan hebat akibat penculikan Kaisar oleh Heik6. Bagaimanapun, dalam berperang, Yoshitomo yakin bahwa dirinya memiliki pengalaman yang jauh lebih unggul daripada Kiyomori.

Seorang penasihat yang dikirim oleh Yoshitomo untuk menemui Nobuyori telah kembali.

“Saya telah menemui Menteri, dan beliau menyangkal laporan itu. Beliau meyakinkan saya bahwa tidak ada sedikit pun kejadian luar biasa di Istana.”

Semua orang yang berkumpul di dekat perapian bertukar senyuman iba demi mendengar tentang kepengecutan Nobuyori.

“Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu dikatakan,” kata Yoshitomo, “biarkanlah siapa pun yang ditugaskan untuk menjaga Istana mengatur pertahanan di sana dan menghadapi apa pun yang akan terjadi.”

o0odwkzo0o

Nobuyori, Jenderal Kesatuan Pengawal Kekaisaran, tengah memeriksa pasukannya dari Aula Utama yang berhadapan dengan halaman Istana. Para pejabat Istana ... para menteri dan pejabat tinggi ... berbaris di kedua sisinya, dan selama pemeriksaan berlangsung, para kurir silih berganti datang dengan menunggang kuda menembus lapisan salju untuk menyampaikan laporan terbaru tentang pergerakan Kiyomori. Sebuah pasukan telah disiagakan di tepi sungai, kata mereka, menantikan perintah untuk menyerang. Terdengar pula kabar bahwa pasukan Kiyomori telah bersiaga di sepanjang kaki Perbukitan Timur, bersiap-siap untuk melakukan serangan kejutan ke Istana.

Page 460: The Heike Story

Dua ribu orang prajurit berkuda Genji menunggu di halaman Istana, sementara bunga-bunga es perlahan-lahan terbentuk di atas pelindung mata mereka, dan darah di tubuh mereka bergolak akibat kecemasan dan ketakutan.

Nobuyori mengenakan baju zirah bernuansa ungu, dengan lapisan ungu tua di bagian pinggulnya; di bawahnya, dia mengenakan kimono merah; sarung pedangnya bertahtakan emas dengan motif bunga krisan yang cantik; sambungan-sambungan di helm bertanduknya tampak berkilauan di balik hujan salju. Kuda hitam legamnya, tunggangan ternama yang diambil dari istal kekaisaran, ditambatkan ke pohon sakura yang berdiri di dekat salah satu ruas tangga lebar menuju Aula Utama.

Yoshitomo hadir dengan lebih memerhatikan detail-detail penampilannya, dan ketiga putranya pun mengenakan kimono dan baju zirah Genji terindah mereka. Dari ketiga putra Yoshitomo* si bungsu Yoritomo, seorang remaja berusia tiga belas tahun, paling menyedot perhatian semua orang. Karena usianya yang masih sangat hijau, ayah dan kakak-kakaknya mengawasinya dengan sangat hati-hati. Dia baru saja terbangun dari tidur siang di pangkalan pengawal dan digiring, dengan mata sayu dan tubuh gemetar, ke halaman Istana dalam balutan baju zirah lengkap berukuran kecil. Para prajurit tersentuh ketika melihat bocah malang yang hendak mendapatkan pelajaran pertama dalam hal pertumpahan darah.

Pada pagi hari, hujan salju telah reda dan jalan-jalan utama di ibu kota bersinar menyilaukan, namun tidak terlihat sedikit pun asap pembakaran yang membubung dari dapur-dapur penduduk.

Yoshitomo bersiap-siap untuk menyerang Rokuhara alih-alih bertahan. Putranya, Yoshihira, yang telah dikirim untuk memeriksa situasi, segera kembali dengan membawa

Page 461: The Heike Story

laporan tentang Genji Yorimasa yang dilihatnya sedang melintasi jembatan Gojo. “Aku khawatir, Ayah, bahwa Yorimasa telah mengelabui kita dengan menggunakan penyakitnya sebagai alasan; dia sedang menuju Rokuhara. Izinkanlah aku mengejarnya dan menantangnya melakukan pertempuran satu lawan satu.”

Yoshitomo, tersentak ketika mendengar laporan itu, menjawab, “jangan, aku sendirilah yang akan menemuinya.” Tetapi, begitu membelokkan kudanya, dia berkata sambil tertawa getir, “Mengapa kita harus merisaukan tindakan Yorimasa dan pasukannya? Aku tidak peduli kepadanya.”

Tidak lama kemudian, Yoshitomo dan Yorimasa saling berhadapan di seberang sungai di dekat jembatan Gojo, dan Yoshitomo memacu kudanya, berseru meremehkan:

“jadi, Yorimasa, dirimu yang seorang Genji telah berpihak kepada Heik6? Terkutuklah hari ketika kau dilahirkan sebagai seorang Genji! Sungguh memalukan bahwa kau melawan klanmu sendiri dalam perang!”

Yorimasa memutar kudanya dan menjawab dengan bangga, “Yang kaukatakan itu benar, Yoshitomo. Sejak waktu yang tidak bisa diingat lagi, klan Genji selalu setia kepada kaisar yang berkuasa, dan kaulah yang mempermalukan Genji dengan berpihak kepada si pengkhianat bejat Nobuyori. Aku menyesali aib yang kauberikan kepada Genji!”

o0odwkzo0o

Page 462: The Heike Story

Bab XXIV-IRAMA GENDERANG Kaisar Nijo beserta seluruh pengiring dan para

menterinya menempati bangunan-bangunan utama di Rokuhara. Tempat itu penuh sesak sehingga sebagian pengiring Kaisar harus ditempatkan di bangunan-bangunan pendukung dan dapur.

Putra Kiyomori, Shigemori, melintasi pekarangan tempat salju yang telah berubah menjadi lumpur akibat terinjak-injak oleh entah berapa banyak pasang kaki, dan menghampiri bangunan utama untuk mencari ayahnya.

“Apakah ayahku bersama Yang Mulia?” tanyanya kepada seorang pengiring Kaisar yang sedang berdiri bersandar ke langkan.

“Tidak, beliau tidak ada di sini,” begitulah jawaban yang diterimanya.

Shigemori meninggalkan pekarangan dan menuju gerbang bertingkat dua, melongok ke pos penjaga, dan kembali ke tempatnya semula. Mustahil baginya untuk mencari ayahnya ke semua bangunan yang ada di seluruh kompleks Rokuhara. Matahari akan terbit sebentar lagi, pikir Shigemori, menatap langit dengan cemas. Dia tidak sampai hati menyaksikan fajar merekah di sepanjang bahu Perbukitan Timur. Ayahnya, yang sedang hanyut dalam kegembiraan, mungkin telah melupakan bahwa mereka masih harus berperang. Pasukan mereka, yang telah menghabiskan sepanjang malam di tepi sungai, telah mulai gelisah menantikan perintah selanjutnya.

Shigemori menggerutu kesal kepada dirinya sendiri. Tidak mungkin ayahnya ada di ruang pelayan di dekat istal. Tetap saja, tidak ada salahnya mencarinya di sana, pikirnya. Dia pun berbelok ke arah itu dan berpapasan

Page 463: The Heike Story

dengan ayahnya, yang sedang melintasi lorong menuju dapur.

“Astaga, ternyata Ayah ada di sini!”

“Kaukah itu, Shigemori? Apa maumu?”

“Pantas saja aku kesulitan menemukan Ayah. Tidak pernah kusangka Ayah ada di sini.”

“Aku baru saja berbicara dengan para juru masak. Aku harus melihat sendiri apakah mereka menyiapkan hidangan yang tepat untuk Yang Mulia.”

“Mengapa Ayah tidak menyerahkan saja urusan itu kepada para juru masak dan pembantu mereka? Para prajurit sudah gelisah menantikan perintah dari Ayah.”

“Masih ada waktu hingga macahan terbit.”

“Begitu terang, musuh akan lebih dahulu menyerang kita di Jembatan Gojo, dan jika itu terjadi, Rokuhara akan jatuh ke tangan mereka.”

“Berikanlah perintah kepada beberapa orang untuk memeriksa keadaan.”

“Itu sudah dilakukan.”

“Itu sudah cukup untuk saat ini”

“Tapi, kita tidak boleh kehilangan peluang untuk melakukan serangan pertama saat fajar menyingsing. Itu adalah jaminan kemenangan kita.”

“Aku tidak keberatan mendengar pendapatmu tentang siasat perang. Tapi. aku memiliki gagasan sendiri. Lagi pula, kita harus memastikan agar Yang Mulia membuat proklamasi, dan kondisi beliau masih buruk akibat berhari-hari menjadi tahanan di Istana. Beliau

Page 464: The Heike Story

jarang makan dan tidur selama masa itu. Aku harus memastikan agar beliau mendapatkan bubur panas sebelum memohon kepada beliau untuk melakukan apa pun. Aku tidak bisa menekan beliau mengenai masalah ini sekarang ….Aku akan memberikan perintah pada saat yang tepat.”

“Baiklah, Ayah.”

“Sampaikanlah hal ini kepada adik-adikmu, Mokunosukt, dan para prajurit.”

“Baiklah.”

“Katakan kepada mereka untuk menunggu hingga Yang Mulia menghabiskan makanannya. Sementara itu, perintahkan kepada pasukan kita untuk menumpuk banyak kayu bakar dan melemaskan tali kekang dan tali busur mereka.”

Shigemori mohon diri. Dia yakin bahwa posisi mereka sudah tidak di atas angin lagi; ayahnya jelas tampak galau. Shigemori, yang tidak pernah mempertanyakan penilaian ayahnya, segera menuju tepi sungai, mengumpulkan para prajurit, dan menyampaikan instruksi dari ayahnya.

Kiyomori tidak membutuhkan pemberitahuan dari Shigemori mengenai betapa gentingnya situasi saat ini. Dia segera menuju bangunan utama, namun kembali dihentikan di lorong oleh seseorang yang sepertinya sengaja menunggunya di sana.

Pria itu membungkuk dengan gaya berlebihan kepadanya, “Ah, Tuan Harima, izinkanlah saya mengucapkan selamat atas keberhasilan mutlak rencana Anda.”

Kiyomori menatap tajam kepadanya. Dia adalah Hidung Merah, saudagar yang bertugas menyampaikan pesan antara Korekata, Tsunemun6, dan Rokuhara.

Page 465: The Heike Story

“Oh, Bamboku, aku juga berterima kasih untuk kerjamu yang bagus.”

“Tidak perlu, Tuan, tugas saya tidaklah penting.”

“Sebaliknya, kau telah menunjukkan kecerdikanmu dalam menjalankan seluruh siasat ini.”

“Anda berlebihan, Tuan ... ini hanyalah wujud rasa terima kasih yang tak seberapa untuk kebaikan hati istri Anda”

“Bagaimana keadaan Korekata dan Tsunemun6?”

“Cukup kelelahan, tentunya. Mereka sedang beristirahat di ruang pelayan.”

“Begitu rupanya. Dan kau datang bersama Yang Mulia tadi malam?”

“Sepanjang sebagian jalan, dengan penuh ketakutan dan tubuh gemetar. Percayalah, Tuan, tidak banyak yang saya lakukan untuk memberikan bantuan …. Bagaimanapu, saya datang saat ini untuk melihat apakah saya bisa lebih berguna di dapur, untuk mencuci piring, dan ternyata, secara kebetulan, saya malah bertemu dengan Anda,Tuan …. Sungguh, saya yakin bahwa ini adalah suatu kehormatan.”

“Kau akan mendapatkan penghargaan atas bantuanmu. Tunggulah hingga beberapa hari lagi.”

Kiyomori tidak memiliki alasan untuk meragukan Bamboku; bukan hanya karena Tokiko menganggapnya bisa diandalkan melainkan juga karena saudagar itu telah terbukti sangat membantunya dalam mengatur kesepakatan nlnastk selama seminggu terakhir.

Kiyomori memasuki sebuah ruang tunggu, tempat salah seorang pegawai istana menemuinya dan mengatakan:

Page 466: The Heike Story

“Putra Anda, Tuan, telah mencari Anda sejak tadi.”

“Aku baru saja bertemu dengannya. Tapi, bagaimana keadaan Yang Mulia?”

“Beliau baru saja menikmati bubur panas.”

“Apakah beliau sudah lebih tenang?”

“Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini kepada Anda ... kami benar-benar tersentuh ketika melihat beliau menangis hanya karena melihat makanan.”

“Bagus, bagus!” seru Kiyomori sambil tersenyum hangat. “Dan sekarang, kita harus memohon kepada beliau agar merestui serangan yang akan kita lakukan.”

“Itu telah disampaikan kepada beliau, dan sebuah proklamasi tengah disiapkan.”

“Kalau begitu, suruh putraku Shigemori menemuiku,” kata Kiyomori.

Shigemori, yang telah ditunjuk untuk mewakili ayahnya dalam memimpin pasukan, segera datang.

“Shigemori, Yang Mulia sudah memberikan restunya. Seranglah Istana sekarang juga ... dengan kecepatan penuh!”

Ketika Shigemori menyampaikan perintah ayahnya, semua samurai dalam pasukannya memberikan sambutan meriah; gonggong dan genderang-genderang dibunyikan mengiringi tiga ribu orang penunggang kuda yang berbaris menembus hamparan salju untuk menyerbu Istana.

Berkas-berkas sinar matahari pertama pagi itu memancar dari bahu Perbukitan Timur, berkilauan di baju zirah para prajurit, pelana kuda, dan berkilat menyilaukan di pucuk-pucuk pepohonan dan atap-atap Istana. Seluruh gerbang Istana terbuka, menanti untuk dilewati oleh Genji

Page 467: The Heike Story

Yoshitomo beserta pasukannya, namun Yoshitomo mengurungkan niatnya, menyadari bahwa dia tidak mungkin lagi mendapatkan kemenangan dari taktik ini. Rencana awalnya adalah menyerang Rokuhara sebelum fajar menyingsing, namun kelambanan Nobuyori dalam mengambil keputusan dan kekacauan perintahnya kepada pasukan mereka telah menghabiskan waktu mereka. Dan sekarang, musuh mereka akan lebih dahulu memulai serangan.

Yoshitomo segera memerintahkan agar genderang digebuk untuk mengumumkan perubahan posisi pasukan dan menugaskan para prajuritnya untuk menjaga tiga buah gerbang di tembok luar sebelah timur. Dua puluh tujuh gerbang berdiri di sepanjang tembok Istana, termasuk di tembok dalam, yang dipisahkan oleh jalan lebar dan taman-taman dengan tembok luar. Dan sekarang, dua ribu orang prajurit berkuda Genji, mengacungkan senjata, membanjir dari setiap penjuru ke halaman luas di depan Aula Utama begitu mendengar gong-gong Heikg dibunyikan di sepanjang tembok timur.

Oi bawah langit tanpa awan, tiga puluh buah panji-panji merah Heik6 berkibaran di tengah hutan busur ketika pasukan Heik6 berdiri diam di depan ketiga gerbang timur yang terbuka menyambut kedatangan mereka.

Yoshitomo, dicekam oleh kegetiran, mengerang kepada dirinya sendiri ketika melihat Nobuyori yang berwajah pucat pasi akhirnya keluar dari Aula Utama, lalu menunggangi kudanya dengan kikuk dan, dikawal oleh sepasukan prajurit bersenjata, menuju gerbang tempatnya akan memimpin pertempuran. Shigemori dan kelima ratus prajurit berkudanya telah menanti di sana, dan begitu Nobuyori muncul, Shigemori beserta delapan orang ajudannya segera menyongsong. Nobuyori menjerit ketika

Page 468: The Heike Story

melihat mereka, ragu-ragu, lalu membalikkan kudanya dan melarikan diri. Shigemori tentu saja mengejarnya. Melihat kejadian ini, lima ratus orang prajurit berkuda segera membanji memasuki gerbang, diikuti oleh lima ratus orang prajurit lainnya.

Dari tempatnya di gerbang kedua, Yoshitomo melihat kejadian itu dan memanggil putranya, Yoshihira, yang dilihatnya sedang melintas.

“Musuh telah menembus gerbang utama! Aku tidak bisa meninggalkan posisiku di sini, tapi kau harus menolong si pengecut Nobuyori! Giring keluar orang-orang Rokuhara itu!”

Mendengar perintah Yoshitomo, tujuh belas orang prajurit berkuda maju untuk memberikan dukungan kepada Yoshihira. Shigemori menunggangi kuda berbulu cokelat, dan Yoshihira mengenali baju zirah dan kimono merah yang dikenakannya. Sementara Shigemori menghujani pasukan Genji dengan anak panah, pasukan berkudanya menghalangi Yoshihira untuk mendekatinya dan memaksakan pertempuran satu lawan satu. Tetapi, begitu Shigemori menurunkan busurnya untuk mengatur napas, Yoshihara langsung

menyambar peluangnya. Ekor kudanya berkibas-kibas tertiup angin ketika dia melaju ke arah Shigemori, menantangnya dengan lantang:

“Aku Genji Yoshihira, putra Yoshitomo! Siapa namamu?”

Shigemori menolehkan kepalanya cukup lama untuk menatap mata garang Yoshihira; kemudian, mencipratkan salju berlumpur, dia membalikkan kudanya dengan tajam dan menjawab, “Ah, rupanya kau Genji Yoshihira! Aku Heik6 Shigemori, putra Kiyomori!”

Page 469: The Heike Story

Begitulah generasi muda Genji dan Heik6 itu berhadapan di depan Aula Utama. Di salah satu sisi tangga lebar yang mengarah ke aula terdapat sebatang pohon sakura, dan di sisi lainnya terdapat sebatang pohon jeruk pahit, dan di halaman depan aula, dua orang petarung saling berhadapan, saling mengejar.

Sambil memekikkan seruan perang kepada Yoshihira, yang tidak membawa busur, Shigemori tiba-tiba menembakkan sebatang anak panah.

“Pengecut!” Yoshihira membalas teriakannya. “Kau hendak memanahku padahal aku tidak membawa busur? Beranikah kau beradu pedang denganku?”

Anak panah kedua berdesing, namun begitu tangan Shigemori untuk ketiga kalinya menyentuh wadah anak panahnya, Yoshihira telah ada di hadapannya. Kuda cokelat Shigemori mendadak berhenti ketika kuda hitam Yoshihira memotong jalannya.

“Jadi, kau, seorang Heik6, mengira bisa melarikan diri dariku?”

Satu lagi anak panah berdesing; ketika Yoshihira menunduk, Shigemori langsung menghunus pedangnya. Kilat putih terlihat ketika baja beradu dengan baja; pijakan kaki keduanya berderit-derit nyaring. Berputar, menghindar, menusuk, dan memamerkan keahlian berkuda yang menakjubkan, kedua pemuda itu saling memburu dengan beringas hingga tujuh, dan kemudian delapan kali mengelilingi pohon sakura dan jeruk. Pedang mereka berkali-kali terayun, membelah udara, dan berbenturan diiringi percikan bunga api.

Kedelapan ajudan Shigemori sibuk melawan ketujuh belas prajurit Yoshitomo di bagian lain halaman, tempat salju yang terinjak-injak telah tercampur dengan lumpur

Page 470: The Heike Story

dan darah. Shigemori terus terseret dalam kekacauan itu hingga kedatangan lebih banyak lagi prajurit berkuda Genji yang memaksanya untuk mundur ke gerbang tempatnya masuk.

Mokunosuk£, yang bertugas mengarahkan penarikan pasukan itu, menghampiri Shigemori, yang dilihatnya sedang beristirahat di sebuah persimpangan jalan.

“Bagus!” seru Mokunosuk&, “seandainya Tuan Kiyomori bisa melihat tindakan Anda!” Lalu, dia menambahkan, “Tetapi, ingadah pesan dari ayah Anda, dan biarkanlah musuh kita mendapatkan kemenangan untuk saat ini.”

‘Tua Bangka, tidak perlu memarahiku.”

Bersama pasukan berkuda yang baru saja tiba, Shigemori kembali memasuki halaman Istana. Di sana, Yoshihira menyambut mereka dengan lambaian tangan, kendati menghadapi hujan anak panah.

“Kemarilah kalian, Heik* dari Rokuhara! Tentu saja aku musuh yang tangguh, atau mungkinkah kalian sebenarnya takut kepadaku?”

Shigemori memacu kudanya. “Berani-beraninya kau menyombongkan diri? Kau sendirilah yang akan takut kepadaku!”

“Kapankah aku pernah lari darimu?”

Sekali lagi, keduanya saling menyerang dengan beringas di halaman bersalju itu, hingga Shigemori, yang kelelahan, berputar dan melarikan diri ke luar tembok Istana, diikuti oleh para prajuritnya yang bersorak sorai liar.

Yoshihira, memusatkan pandangannya pada kuda cokelat mengilap yang ditunggangi oleh Shigemori,

Page 471: The Heike Story

mengejar pemuda itu dan berseru, “Kembalilah, kembalilah, pengecut!”

Salju bertebaran bagaikan asap di bawah kaki-kaki kuda Shigemori ketika dia meloloskan diri dari kejaran Yoshihira. Shigemori membungkuk di atas punggung kudanya, melecut-lecutkan

cambuknya, sementara dua orang ajudannya berusaha menyusulnya; mendengar teriakan peringatan, kuda Shigemori dengan mulus melompati sebuah kanal sempit, diikuti oleh kuda para ajudannya. Anak-anak panah berdesingan di kanan dan kiri mereka. Salah satunya melesat ke baju zirah Shigemori dengan desingan keras dan menancap di pelindung bahunya.

“Tunggu, tunggu, apa kau tak tahu malu?” seru Yoshihira, nyaris di dekat telinga Shigemori, ketika kuda yang ditungganginya terpeleset di tepi kanal sehingga dia terlontar ke atas sebuah rakit Sambil berusaha bangkit, Yoshihiro berseru kepada salah seorang prajuritnya yang berhasil dengan mulus melompati kanal, “Jangan tunggu aku ... jangan sampai Shigemori lolos.”

Si prajurit mengangguk dan memasang anak panah ketiga ke busurnya; dia membidikkannya ke arah Shigemori, tepat ketika kuda Shigemori melompati batang kayu yang tertimbun salju. Sebatang anak panah menancap di perut binatang itu, darah merah menciprat ke salju yang putih bersih, dan kuda beserta penunggangnya roboh ke tanah. Helm melayang dari kepala Shigemori; dia bangkit untuk menangkapnya, namun ketika dia mendongak, dilihatnya salah seorang prajurit pengejarnya menunduk menatapnya. Merasakan bahwa kudanya gentar melihat timbunan salju di dekat kanal, si prajurit langsung melompat turun dari pelananya dan menubruk Shigemori. Dengan sekuat tenaganya, Shigemori mengayunkan

Page 472: The Heike Story

busurnya ke wajah penyerangnya; si prajurit mundur beberapa langkah dan menghunus pedangnya; tiba-tiba, salah seorang prajurit Shigemori mendarat di antara mereka dengan tangan terentang untuk melindungi pemimpinnya. Bagaikan banteng mengamuk, kedua prajurit itu bergulat hingga terguling ke tanah.

Begitu berhasil menyeberangi kanal, Yoshihira melihat pelayan kesayangan ayahnya jatuh. Dengan pedang terhunus, dia berlari untuk menyelamatkan pria itu. Seorang lagi prajurit Shigemori tiba di sana dan cepat-cepat turun dari kudanya; dia menarik dan setengah

mengangkat Shigemori ke pelana kudanya, mendorong majikannya itu untuk kabur, sebelum menolong rekannya yang telah roboh ke tanah.

Pertempuran dahsyat terus berlangsung di gerbang yang dijaga oleh Yoshitomo, ketika adik tiri Kiyomori. Yorimori, kembali dan melakukan serangan membabi buta bersama pasukan prajurit berkuda bersenjata panah yang baru saja tiba. Ketika kedua belah pihak akhirnya mulai kehabisan persediaan anak panah, pasukan Heik6 telah berhasil menerobos ke halaman Istana. Di tengah hingar bingar yang menyusul, hanya warna putih dan merah di panji-panji dan ikatan pita pada baju zirah para prajuritlah yang membedakan antara teman dan musuh. Empat kali pasukan Heik6 terdesak dan terpaksa keluar dari gerbang yang telah mereka masuki. Silih berganti, gelombang pertempuran beralih arah hingga akhirnya pasukan Heik6 terpaksa mundur hingga sejauh Jembatan Gojo.

Yoshitomo dan ketiga putranya memburu para prajurit Heikt yang masih tersisa di jalan-jalan utama ibu kota, dan tanpa sengaja menengok ke Istana. Pekikan gusar seketika meluncur dari mulutnya begitu dilihatnya panji-panji Heik6 berkibar di atas gerbang-gerbang dan atap-atap Istana. Salah

Page 473: The Heike Story

satu pasukan Heik6 telah berhasil menyelinap ke dalam Istana, yang penjagaannya telah lemah, dan mendudukinya.

Perkembangan terbaru dalam pertempuran ini mengecewakan Yoshitomo. Firasatnya mengatakan bahwa kemalangan telah menanti mereka. Pasukannya tidak bertempur dengan semangat yang menggebu-gebu seperti biasanya. “Hanya ada secuil peluang untuk merebut kemenangan,” katanya kepada dirinya sendiri, baru menyadari bahwa dirinya pun tidak biasanya memiliki keraguan semacam ini. Baru ketika itu jugalah dia mengakui bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas kekalahan ini. Sekali lagi, Kiyomori telah mengelabuinya dengan siasat kekanak-kanakan dan memotong jalannya untuk mundur. Pasukan Genji telah terdesak; satu-satunya pilihan yang tersisa baginya untuk saat ini adalah terus mengejar musuh ke Rokuhara, menculik Kaisar, dan menantang

Kiyomori untuk berduel, pikir Yoshitomo dengan kesal. Luluh lantak ... atau kemungkinan satu berbanding seribu ... ini adalah lemparan dadu terakhirnya. Tetapi, semangat Yoshitomo tersentuh ketika melihat para panglimanya dengan penuh semangat memukul mundur musuh dan menggiring pasukan mereka dari Jembatan Gojo ke arah utara.

Begitu pasukan Genji memenuhi tepi sungai, pasukan Heik6 mulai meruntuhkan Jembatan Gojo di sisi mereka. Genji Yoshihira memacu kudanya hingga ke tengah jembatan yang telah rusak, memerintahkan lima ratus orang prajurit berkuda untuk mengikutinya dengan anak panah terbidik ke arah Rokuhara. Sementara itu, dari posisi mereka di seberang sungai, pasukan Yoshitomo telah menghujani pusat pertahanan Heik6 dengan anak panah.

Page 474: The Heike Story

Serangan balasan dilakukan oleh pasukan Kiyomori, dan pasukan berkuda maupun berjalan kaki dari kedua pihak pun segera membanjiri sungai.

Yoshihira, dikesalkan oleh adu panah yang tidak membuahkan hasil apa pun, membelokkan kudanya dan memimpin pasukannya ke hilir untuk melakukan serangan ke Rokuhara dari arah selatan. Ketika sedang menyusuri sungai, dia melihat sebuah pasukan, yang berkekuatan lebih dari seratus orang prajurit berkuda, telah menghadang, siap siaga di balik dinding tameng, dengan panji-panji berkibar di udara.

“Pasukan Yorimasa!” semburnya dengan nada pahit.

Seorang panglima yang mendampinginya berkata, “Ayahmu hendak menyeberangi sungai di sana, namun beliau mengurungkan niatnya ketika melihat pasukan Yorimasa.”

“Apa! Ayahku tidak mau menantang Yorimasa?”

“Tetapi, beliau mencaci makinya karena pengkhianatannya.”

“Itu saja?”

“Dan Yorimasa membalas makiannya.”

“Tapi, apa gunanya beradu mulut dengan marah? Yorimasa, seorang Genji, berani-beraninya menganggap kita musuh, dan sekarang dia sedang menunggu untuk melihat siapa yang menang sebelum memutuskan pilihannya. Aku akan memberikan apa yang sepantasnya diterimanya!”

Yoshihira memacu kudanya dan melompati pematang yang membelah pasukan Yorimasa. Pertahanan pasukan berkuda itu bubar, dan sebagian di antaranya mulai

Page 475: The Heike Story

menyeberangi sungai menuju Rokuhara. Kegegabahan Yoshihira ternyata berakibat buruk, karena tindakan itu membuahkan sebuah kesempatan yang telah lama dinanti-nantikan oleh Yorimasa, yaitu menggabungkan pasukannya dengan pasukan Heik6. Penghargaan kepada nama Genji telah mencegah Yorimasa untuk secara terbuka memberikan perlawanan kepada Yoshitomo dan para pelaku persekongkolan, dan dia memilih untuk menarik pasukannya cukup jauh agar bisa menghindari keterlibatan langsung dengan kedua belah pihak. Tetapi, tindakan sembrono Yoshihira memicunya untuk meninggalkan posisi netralnya dan berpihak kepada Heike.

Rokuhara porak poranda oleh kerusuhan dan huru-hara. Kiyomori telah memberikan perintah tegas kepada pasukannya untuk menghindari pertempuran di dalam tembok Istana Kekaisaran; musuh harus dipancing keluar dan dihancurleburkan di sana. Namun penyerangan lebih mudah dilakukan daripada penarikan pasukan. Pelarian Shigemori dan penolakan Yorimori untuk melawan Yoshitomo berujung pada pelarian pasukan Heik& ke Rokuhara dan perobohan sebagian Jembatan Gojo.

Setelah jalan mereka untuk mundur tertutup dan tanpa adanya sesuatu pun yang bisa dipertahankan lagi. pasukan Genji dengan putus asa menyeberangi sungai dan menginjak-injak mayat kawan-kawan mereka sendiri hingga mereka tiba di bawah tembok Rokuhara. Dari atas atap, tembok, dan pohon, para penghuni Rokuhara bahu-membahu dengan para prajurit untuk membela tempat berlindung Kaisar dengan melemparkan bongkahan batu dan serpihan ubin kepada para penyerang.

Telah tiba waktu bagi Kiyomori untuk turun tangan memimpin pasukannya, karena ketakutan terbesarnya adalah Rokuhara habis terbakar di tangan musuh. Dia

Page 476: The Heike Story

menyambar pedangnya dari salah seorang pelayannya dan, sambil tergesa-gesa mengencangkan tali helmnya, berlari-lari melintasi lorong masuk, ketika adik iparnya, Tokitada, yang membuntutinya, tiba-tiba menghentikannya dengan tegas, “Tunggu ... tunggu!”

Kiyomori, mengempit pedangnya, berhenti di tengah lorong dan membalikkan badan. “Ada apa, Tokitada? Apakah kau melarangku memimpin pasukan kita?”

“Tidak,” jawab Tokitada, kesulitan menahan tawanya, “helmmu terbalik ... bagian belakangnya menghadap ke depan. Jangan sampai jenderal kita berpenampilan seburuk itu!”

“Helmku ... terbalik?”

Kiyomori meraba kepalanya, menyeringai, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Salah, Tokitada! Memang beginilah yang seharusnya, helmku menghadap ke arah Yang Mulia. Ayo, mari kita memimpin dan menyapu bersih musuh kita!”

Tokitada, tidak mampu berkata-kata, berlari mengikuti Kiyomori, diikuti oleh para prajurit, tertawa hingga tubuhnya terguncang-guncang.

Pertempuran yang dimulai pagi itu berlangsung sepanjang hari, dengan pasukan Genji yang terus berusaha menembus pertahanan Rokuhara. Pada saat Kiyomori turun tangan untuk mengarahkan pertahanan, anak panah musuh telah menumpuk di depan pintu gerbang dan kerai-kerai rumahnya. Dia hanya bisa mendengar raungan memekakkan telinga dari para prajurit musuh yang berusaha mendobrak pagar. Berkali-kali, Kiyomori merasa yakin bahwa Rokuhara telah ditaklukkan; mengabaikan bahaya yang mengancam dirinya, Kiyomori keluar untuk

Page 477: The Heike Story

memberikan suntikan semangat kepada para prajuritnya yang ketakutan, dan telah mundur ke salah satu gerbang dalam. Kiyomori memanjat menara gerbang dan memekikkan yel-yel pertempuran untuk para prajuritnya seraya merentetkan anak panah ke arah musuh.

Seandainya pasukan yang berkekuatan lebih besar menyerbu dari timur, Rokuhara mungkin tinggal kenangan, namun di sisi ini, para penyerang mendapatkan balasan yang tak kalah dahsyatnya dan terpaksa melarikan diri ke perbukitan bersalju di belakang Kuil Kiyomizu.

Sementara itu pasukan berkuda Yorimasa merapat ke pasukan Genji dari belakang. Yoshitomo, melihat sendiri betapa banyaknya prajuritnya yang telah gugur, dengan putus asa memimpin upaya terakhir untuk mendobrak gerbang-gerbang Rokuhara. Dia berteriak lantang, “jangan sampai kita kehilangan waktu lagi! Pria yang berdiri di atas menara gerbang itu adalah Kiyomori!”

Pasukan pendukung Yoshihira mendadak terpecah belah dan mundur ke arah sungai. Amarah Yoshitomo meledak; dia menyandang busurnya dan memacu kudanya ke arah gerbang, mengacungkan pedangnya dan meneriakkan tantangan kepada Kiyomori. Tepat ketika itu, kericuhan yang melanda pasukan berkudanya mendesak Yoshitomo dari segala arah dan mendorongnya menuju sungai.

Bala bantuan terbaru untuk Heik6 telah tiba melalui jalan raya dan menyerbu pasukan Yoshitomo dari utara. Sementara pasukan berkuda Yorimasa menggebrak pasukan Yoshitomo dari selatan, sepasukan prajurit berkuda bersenjata panah mendadak menebar kengerian dari seberang sungai dan membuka serangan kepada pasukan Genji. Ancaman tidak terduga ini mendorong Yoshihira untuk berbalik menuju sungai. Pasukan utama Yoshitomo, yang telah berhasil merangsek hingga depan gerbang

Page 478: The Heike Story

Rokuhara, sekarang mendapati bahwa mereka telah terkepung dari segala penjuru, dan dengan panik mulai mundur ke utara di sepanjang Sungai Kamo. Walaupun telah dihadang oleh pasukan Heik6 di pinggir sungai, Yoshihira dan pasukannya mempertahankan kedudukan mereka hingga perintah Yoshitomo untuk melarikan diri terdengar.

Yoshitomo mengedarkan pandangan putus asa kepada para ajudan dan panglimanya, lalu berseru, “Kita telah kalah dalam pertempuran ini! Ini adalah takdir bagi siapa pun yang terlahir untuk mengangkat senjata! Akhirku telah tiba, namun kaburlah, kalian semua, selamatkan nyawa kalian!”

Dan ketika kedua putra termudanya memohon untuk tetap tinggal bersamanya hingga ajal menjemput mereka, Yoshihira, putra sulung Yoshitomo, menghampiri mereka dan mengatakan, “Aku sendirilah yang akan bertahan. Inilah yang kuinginkan, lebih daripada segalanya. Kalian dan ayah kita harus selamat.”

Para panglima Yoshitomo pun membujuknya untuk melarikan diri bersama mereka dengan mengatakan, “Ini bukan momen ke matian Genji; jika kita bersembunyi sekarang, akan tiba hari saat kita bisa membalas aib ini.”

Dikawal oleh para pengawalnya yang setia, Yoshitomo dan putra-putranya mulai mundur menembus pertahanan musuh. Walaupun dikepung dari segala penjuru, mereka berhasil mundur ke utara menuju perbukitan di bagian Kamo yang lebih tinggi, walaupun terpaksa merelakan beberapa anggota pasukan mereka kepada keganasan pasukan Heik6. Dan, setelah mereka mendapatkan keamanan di sebuah pemukiman tertutup yang berselimut salju di daerah perbukitan, Yoshitomo melihat ke sekelilingnya dan menyadari bahwa dari seluruh

Page 479: The Heike Story

pasukannya yang semua berjumlah lima puluh orang, hanya empat belas orang yang tersisa. Tidak sanggup menutupi duka dan penyesalannya, Yoshitomo meratapi bagaimana dirinya telah mendatangkan kehancuran bagi keluarganya, membawa mereka ke masa depan yang suram. Wilayah perbukitan ini hanya menjanjikan kelaparan dan penderitaan. Apakah yang akan terjadi kepada orang-orang tercinta yang ditinggalkan di ibu kota oleh para pengiringnya ini? Di manakah mereka sekarang? Bagaimanakah nasib istrinya ... Tokiwa? Tokiwa menolak untuk meninggalkan Kyoto agar bisa tetap berada di dekatnya. Apakah Tokiwa akhirnya mau mengungsi ke pedesaan bersama ketiga putra mereka, seperti yang dimintanya? Yoshitomo membayangkan istrinya terpukul ketika mendengar berita kekalahannya.

Kuda mereka kewalahan karena telah lama berjalan di atas salju; ketika mereka mendaki bukit, Yoshitomo menghentikan kudanya dan mengedarkan pandangan. Jauh di bawahnya, setiap pagoda dan atap bangunan di ibu kota berpendar keperakan di tengah temaram senja, dan di seluruh penjuru kota, tampaklah kobaran api dan kepulan asap gelap yang menandai pembumihangusan berbagai bangunan.

o0odwkzo0o

Bab-XXV BADAI SALJU Yoshitomo sangat berharap rombongannya bisa tiba di

sisi lain Gunung Hiei sebelum pagi tiba, karena ada anggota klan Genji yang akan memberikan tempat berteduh dan pertolongan kepada mereka di Desa Mino, yang terletak di ujung terjauh Danau Biwa. Maka, mereka pun mempercepat laju ke utara, mengikuti aliran Sungai

Page 480: The Heike Story

Takano, melewati Has6, dan berbelok ke timur mengikuti jalur perbukitan menuju Yokokawa, hingga mereka tiba di Katado, di dekat ujung selatan danau.

Angin kencang seolah-olah hendak memuntahkan seisi danau ke laut yang bergolak dahsyat ketika dua buah perahu, yang mengangkut rombongan Yoshitomo beserta beberapa ekor kuda mereka, bertolak pada pagi buta. Awan muram menggantung begitu rendah di langit utara, mengancam mereka dengan hujan salju yang lebih lebat Pada sekitar tengah hari, para buronan itu akhirnya merapat di antara ilalang air layu di pesisir timur pantai, dan timbunan salju di sana jauh lebih tebal daripada di ibu kota. Mereka turun dari perahu tanpa banyak bersuara dan berhenti sejenak untuk mengamati sekawanan angsa liar yang terbang melintasi langit kelam. Dua orang di antara mereka kemudian pergi ke kampung nelayan terdekat untuk menukarkan beberapa buah senjata dengan bahan makanan, sementara yang lain menunggu sembari mengumpulkan ranting-ranting untuk dijadikan kayu bakar.

Pada sore harinya, setelah menghangatkan dan mengenyangkan diri, Yoshitomo dan para pengikutnya membahas tentang perjalanan tahap selanjutnya. Mereka telah menyepakati untuk melakukannya setelah matahari tenggelam, ketika bahaya pengejaran tidak sebesar pada siang hari. Kemudian, tujuh orang panglima dan pelayan Yoshitomo meminta izin untuk meninggalkannya dan melanjutkan perjalanan secara terpisah, menekankan keamanan bepergian dalam rombongan-rombongan kecil. Ketika matahari mulai turun, masing-masing dari mereka berpamitan kepada Yoshitomo, berjanji untuk bertemu kembali setibanya mereka di wilayah timur Jepang.

Saat malam tiba, Yoshitomo, ketiga putranya, dan empat orang panglima memacu kuda mereka mengikuti aliran

Page 481: The Heike Story

sungai hingga tiba di seruas jalan, lalu melanjutkan pelarian mereka dari sana. Langit hitam mengancam di atas mereka, dan bukit-bukit menjulang tinggi di kanan dan kiri mereka. Kampung demi kampung mereka lewati, sunyi senyap di bawah selimut salju tebal, tanpa adanya setitik pun cahaya yang bisa memandu mereka. Tidak ada sedikit pun suara manusia yang hinggap di telinga mereka; seluruh kehidupan seolah-olah telah dibungkam. Malam itu sempurna untuk sebuah pelarian, dan sekelompok kecil buronan itu mempercepat laju mereka hingga badai tiba dan menggulung mereka dalam pusaran-pusaran salju yang membutakan.

? ??

Sementara itu, pada malam ketika Yoshitomo menembus perbukitan menuju Danau Biwa, Wakil Penasihat Nobuyori ... dalang utama persekongkolan untuk merebut kekuatan dari Kiyomori ... melarikan diri menuju Kuil Ninna-ji. Tempay yang berada di sebelah utara gerbang kota itu juga dipilih oleh sekitar lima puluh orang rekan sesama bangsawannya sebagai tempat pengungsian. Di sana, sebelum malam larut, Nobuyori diseret keluar oleh para prajurit kiyomori, dan keesokan paginya dipenggal bersama para pengkhianat Kaisar lainnya.

Pada 29 Desember, hari kedua setelah pertempuran berakhir, ketika ketenangan di Kyoto telah kembali, Kiyomori diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan pada Istana dan bangunan-bangunan milik negara lainnya. Para ahli nujum menyuarakan pendapat mereka, dan dipilihlah tanggal yang tepat bagi kembalinya Kaisar ke Istana Kekaisaran. Bagi Kiyomori, kunjungan pemeriksaan ini sama halnya dengan parade kemenangan, sehingga dia memerintahkan kepada para adik, putra, dan panglimanya, juga siapa pun yang ada di Rokuhara untuk berbaris

Page 482: The Heike Story

bersamanya dalam sebuah arak-arakan yang sarat oleh samurai berbaju zirah indah dan kuda berornamen lengkap.

Di sepanjang rute yang terbentang di antara Jembatan Gojo dan jalan-jalan utama ibu kota, masyarakat bersorak sorai mengelu-elukan dan menonton pemandangan indah; berupa pasukan berkuda dengan baju zirah warna-warni, diikuti oleh pasukan pemanah dan prajurit berjalan kaki dengan baju zirah lengkap, serta sepasukan bocah dengan kimono terbaik mereka di baris terbelakang.

Selama pertempuran berlangsung, kaum terpapa ibu kota ... para pengemis dan pencuri, gelandangan dan penjahat ... telah menduduki dan tinggal di Istana; mereka menggeledah setiap ruangan di sana selama tiga hari dan tiga malam, menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk mencari makanan, menirukan para pejabat istana dengan memakai kimono dan mahkota mereka, dan pesta-pesta meriah mereka meninggalkan kekacauan dan keributan di semua penjuru Istana. Ketika berita mengenai kedatangan Kiyomori menyebar, kepanikan melanda mereka. Di setiap sudut istana bisa ditemukan sekelompok gembel ketakutan, sehingga jumlah mereka terlalu besar untuk ditangani oleh patroli pengawal atau ditampung di penjara. Maka, atas perintah Kiyomori, mereka dibariskan di halaman Istana dan diperintahkan untuk membersihkan seluruh kekotoran yang mereka timbulkan. Tidak ada ancaman hukuman bagi mereka, justru iming-iming untuk mendapatkan semangkuk nasi setelah pekerjaan mereka selesai.

“Ya, dia tahu rasanya kelaparan. Dia tahu,” kata salah seorang gelandangan sambil bekerja dengan sapunya. “Itulah Heikt Kiyomori. Aku mengenalnya di masa lalu, waktu orang-orang masih memanggilnya dengan nama ‘Heita*. Ini sungguhan. Dahulu, dia adalah bocah miskin anak si Mata Picing ... itulah julukan ayahnya dahulu ...

Page 483: The Heike Story

yang sering kulihat berkeliaran dengan pakaian compang-camping di Shiokoji, dan di Pasar Pencuri di dekat pohon jelatang. Aku tidak mengatakan bahwa dia adalah gembel seperti kita, tentunya, dan aku juga pernah berbicara dengannya. Dan bukankah setiap kali aku punya sake, aku pasti selalu menawarinya sedikit?”

“Jadi, dia juga sudah pernah hidup susah, ya?”

“Begitulah. Dia mungkin berpenampilan seperti seorang tuan besar, tapi dia adalah salah satu dari kita, yakinlah tentang hal ini.”

“Dan dia mau minum-minum sake denganmu?”

“Yah, tidak, dia selalu menolak tawaranku, tapi yang kumaksud adalah, kami bisa dibilang berteman. Karena itulah dia memahami kaum kita.”

“Lihat mereka datang!”

“Siapa ... di mana?”

“Tuan Rokuhara sendiri ... arak-arakan itu!”

o0odwkzo0o

Jalan putih membentang seolah-olah tanpa ujung di hadapan rombongan Yoshitomo, dan kantuk menyerang mereka semua. Dingin yang menusuk tulang dan keletihan yang mendera membuai mereka bagaikan obat tidur. Teriakan Yoshitomo untuk memanggil nama para pengiringnya, bagaimanapun, menggugah mereka dari waktu ke waktu; teriakan balasan meyakinkan Yoshitomo bahwa tidak seorang pun anggota rombongannya tertinggal terlalu jauh di belakang.

“Jangan sampai kalian mengendurkan pengawasan satu sama lain,” Yoshitomo memperingatkan. “Pastikan agar salju tidak membeku di atas bulu mata kalian. Mari kita

Page 484: The Heike Story

saling memanggil untuk memastikan bahwa kita semua tetap terjaga!”

Pada larut malam, setelah berhasil dengan selamat melewati pos-pos penjagaan di jalan dan menyeberangi Sungai Hino, mereka telah serak dan kehabisan napas akibat berteriak-teriak melawan terpaan angin dan salju. Semakin sulit bagi mereka untuk saling mengawasi. Tiba-tiba, Yoshitomo dan Yoshihira, yang mengendarai kuda mereka di depan, merasa mendengar teriakan-teriakan di kejauhan. Mereka menghentikan kuda mereka, lalu memicingkan mata menembus hujan salju dan mempertajam pendengaran.

“Yoritomo ... Yoritomo-o! Ho-oi!”

Sebuah suara lain terdengar, “Ho-oi, Yoritomo!”

Suara-suara itu sepertinya berasal dari belakang mereka.

“Apakah mereka memanggil Yoritomo?”

“Dia pasti tertinggal jauh di belakang. Tunggu aku di sini, Ayah, aku akan melihat apa yang terjadi di sana.”

“Tidak, aku akan ikut bersamamu.”

Seorang pelayan, yang mengendarai kudanya beberapa langkah di depan Yoshitomo, berbalik dan bertanya, “Apakah kita semua akan ke belakang?”

Yoshitomo menapaki kembali jejaknya dan menghitung anggota rombongannya. Semuanya ada kecuali Yoritomo, putra bungsunya.

“Yoritomo hilang?”

Beberapa waktu tentu telah berlalu sejak salah seorang dari mereka menyadari tentang menghilangnya Yoritomo, karena walaupun mereka telah memanggil-manggil

Page 485: The Heike Story

namanya secara serempak, tetap tidak ada jawaban yang terdengar.

“Katamu dia tidak ada di sini,” kata Yoshitomo dengan cemas, tidak kepada siapa pun secara khusus. “Kapankah kau menyadarinya?”

“Dia berkuda di antara kami ketika kita melintasi dataran di belakang,” jawab dua orang panglima.

“Di Sungai Hino?”

“Badai terdahsyat menerpa kita di sana, dan kami harus berpencar agar bisa menyeberangi sungai. Kami mungkin terpisah di sana. Ini adalah kesalahan kami. Biarkanlah kami kembali ke sana untuk mencarinya,” kata kedua panglima itu, bersiap-siap untuk kembali.

Tetapi, suara Yoshitomo, yang hampa akibat duka, menghentikan mereka. ‘Tunggu, tunggu. Kalian tidak perlu melakukan itu. Kita tidak bisa berbalik arah setiap kali ada yang terpisah dari rombongan.”

Mereka semua saat ini berkerumun untuk menahan badai, dan Yoshitomo melanjutkan, “Matahari akan terbit sebentar lagi, dan kita harus mengalihkan rute kita untuk menghindari perjumpaan dengan orang lain di jalan. Sebelum kita tiba di wilayah perbukitan, para pengejar masih mengancam kita, dan Yoritomo harus dibiarkan untuk menjalani takdirnya sendiri jika kita ingin berhasil dalam pelarian ini. Masa depan seluruh klan Genji tergantung pada keselamatan kita. Kita tidak bisa mempertaruhkan nyawa demi Yoritomo seorang.”

Kedua panglimanya membantah, “Tuan, dia adalah putra bungsu Anda, dan kesayangan kami; bagaimana mungkin kita meninggalkannya seorang diri di tengah badai sedahsyat ini? Anda akan menyesali hal ini hingga akhir

Page 486: The Heike Story

hayat Anda. Biarkanlah masa depan menentukan jalannya sendiri. Izinkanlah kami kembali untuk mencari Yoritomo!”

Tetapi, pendirian Yoshitomo tidak tergoyahkan. “Tidak, walaupun kata-kata kalian teramat sangat menyentuhku. Kalian tahu betul betapa aku menyayangi putraku, namun seluruh klan Genji menganggapku sebagai orangtua mereka, dan aku tidak bisa mengabaikan mereka demi Yoritomo seorang. Di dalam upaya perebutan kemenangan, mereka lebih berarti daripada anak-anakku.”

Yoshitomo terdiam, lalu tiba-tiba memalingkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, “Ah, malam yang keji! Seperti inikah cara langit menguji putraku? Benarkah bahwa dia ditakdirkan untuk meninggal dalam udara sedingin ini? Langit yang pengampun, jika memang para dewa menghendaki, tolong selamatkan dia!”

Yoshitomo memperkuat diri untuk mengambil keputusan yang tidak bisa dihindarinya, lalu sekali lagi menoleh kepada rombongannya yang telah menanti. “Kita tidak bisa kembali. Kita harus bergegas karena pagi akan segera tiba,” katanya, menjalankan kembali kudanya.

Walaupun enggan, semua orang mengambil posisi di belakang Yoshitomo. Semuanya, kecuali seorang panglima termuda yang, setelah bertukar beberapa pandangan penuh arti dengan Yoshihira, membelokkan kudanya ke arah barat.

o0odwkzo0o

Putih, putih di sekelilingnya ... seruas jalan putih yang tak berujung ... malam putih menyelimutinya.

Kantuk mendera Yoritomo sehingga guncangan kudanya sekalipun terasa selembut buaian. Mustahil baginya untuk

Page 487: The Heike Story

tetap terjaga. Terkantuk-kantuk … terkantuk-kantuk, dan akhirnya dia takluk. Terkadang, suara seseorang yang memanggil namanya menembus kesadarannya, dan Yoritomo menjawab, atau itulah perasaannya. Kemudian, dia kembali tertidur. Dia baru berumur empat belas tahun, dan beban yang harus ditanggungnya selama beberapa hari terakhir ini terlampau berat baginya. Seluruh kengerian terlupakan di dalam tidurnya. Yang harus dilakukannya hanyalah memegang erat-erat pada tali kekangnya agar kudanya tetap maju, dan maju. Dia masih bisa mengingat ketika dia melewati sebuah desa di Moriyama; kemudian, mereka melintasi sebuah dataran gersang, namun tidak ada lagi yang bisa diingatnya

setelah itu. Dia bahkan tidak melihat empat orang pria yang membuntutinya.

Sehari sebelum Yoritomo tiba di Moriyama, seorang prajurit tiba terlebih dahulu dari Rokuhara dan menemui kepala desa dan petani di sana. Dia memerintahkan kepada mereka untuk mewaspadai kedatangan Yoshitomo. Sebelum si kurir pergi, telah tersebar pengumuman di seluruh desa dan wilayah sekitarnya tentang imbalan yang akan diberikan bagi siapa pun yang berhasil menangkap Yoshitomo. Demi mendengar tentang hal ini. Gen, seorang bandit kampung, mengumpulkan beberapa orang antek dengan janji akan membagi imbalan yang didapatkannya, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada harga selusin babi hutan. Mempersenjatai dirinya dengan sebuah tombak dan antek-anteknya dengan bambu runcing, Gen mulai melakukan perburuan terhadap Yoshitomo dan rombongan kecilnya.

“Itu dia ... dan dia sendirian, Gen.”

“Begitulah.”

Page 488: The Heike Story

“Itu aneh.”

“Kenapa?”

“Kurasa aku melihat banyak jejak kaki kuda di hamparan salju di dekat jembatan. Tapi, cuma satu orang yang kulihat. Beruntung sekali aku karena tertidur di kedai sake, atau aku tidak akan mendengar tentang ini. Kita tidak pernah tahu kapan keberuntungan akan datang!”

“Ini tidak buruk, apalagi karena akhir tahun sudah dekat. Aku tidak pernah bermimpi bahwa keberuntungan sebesar ini akan menghampiriku tahun ini.”

“Hei, ayo kita tangkap dia!”

“jangan tergesa-gesa, dia masih bocah. Dia pasti anak Yoshitomo.”

“Lihat ... lihat itu!”

“Dia pasti tertidur. Lihat, dia mengangguk-angguk!”

“Semudah menangkap bayi beruang. Aku akan memuntir pijakan kakinya dan mendorongnya dari pelana, dan saat dia jatuh, tangkap dan tindihlah dia di tanah. Setelah itu, aku akan mengikatnya.”

Gen dan antek-anteknya mengepung Yoritomo, yang mendadak mendongak.

Gen menghadang Yoritomo.

“Hei, Nak, kau hendak ke mana?” tanyanya dengan tajam.

Yoritomo tidak menjawab. Dia menatap dengan bingung pada salju yang berjatuhan di sekelilingnya dan baru menyadari bahwa ayah dan kakak-kakaknya tidak ada lagi di dekatnya. Kesan mengibakan dalam sepasang mata jernih yang menatap dari balik pelindung salju, juga garis-

Page 489: The Heike Story

garis halus sosok kekanak-kanakan Yoritomo, menghadirkan perasaan tidak enak di perut Gen.

“Turun, turunlah dari kudamu!” seru Gen sambil berlari menghampiri kuda Yoritomo dan menyambar pijakan kaki kanannya.

Yoritomo memutar tubuhnya di atas pelananya supaya tidak terjatuh.

“Hei, turunlah kamu!”

“Kau bangsat!” Yoritomo berseru sambil menebaskan pedangnya dengan sekuat tenaga ke kepala Gen. Jeritan yang mendirikan bulu kuduk berhasil menggugah kesadaran Yoritomo; noda gelap berceceran di atas hamparan salju; ujung-ujung bambu runcing terarah kepadanya, dan dia menyerang seseorang yang menghalangi jalannya dengan sebuah tombak. Sesuatu menggeram kepadanya, dan Yoritomo ketakutan, menyadari bahwa ayahnya tidak ada lagi bersamanya.

“Ayah! Ayah!Yoshihira! …”

Kuda Yoritomo menerjang penyerangnya dan berlari kencang meninggalkan mereka semua.

Yoritomo tidak tahu ke mana kudanya membawanya, namun dia yakin bahwa dia tidak sedang mendekati ayahnya. Dan ketika kudanya yang telah lelah akhirnya menolak untuk terus berjalan.

Yoritomo meninggalkannya, melempar helm beratnya, dan berjalan tanpa arah melewati sejumlah bukit dan lembah.

Beberapa hari kemudian, dia menyeret langkahnya ke sebuah desa pegunungan yang sunyi dan tertidur di luar pondok kayu seorang petani. Istri si petani, yang keluar

Page 490: The Heike Story

untuk membuka stoples acar, menjerit nyaring ketika melihat seorang bocah yang nyaris beku, tertidur di antara tumpukan kayu dan gundukan batu bara. Dia memanggil suaminya, dan bersama-sama, mereka membawa Yoritomo ke dalam pondok mereka, menghangatkannya, dan memberinya bermangkuk-mangkuk bubur kentang panas. Kemudian, setelah Yoritomo siap pergi, mereka memberikan petunjuk mendetail kepadanya tentang cara mencapai Mino.

“Berjalanlah ke arah gunung yang kaulihat di sana,” kata mereka, “dan kau akan menemukan jalan menuju selatan, yang harus kaulewati untuk tiba di Mino.”

Yoritomo meninggalkan mereka dengan sebersit kesedihan di hatinya. Untuk pertama kalinya dalam kehidupannya, dia berbagi makanan dengan orang miskin dan mereka memperlakukannya dengan begitu baik. Seorang biksuni, yang ditemuinya di jalan, tersentuh oleh kemudaannya dan dengan lembut memperingatkannya, “Anakku, ada banyak prajurit Heik6 di pos penjagaan di jalan ini. Nah, jangan sampai kau tersesat,” katanya ketika mereka berpisah.

Hari demi hari, Yoritomo tersuruk-suruk, tidur di gubuk-gubuk kecil dan tempat-tempat pemujaan yang telah terbengkalai pada malam hari. Salju semakin menipis seiring perjalanannya. Dia yakin bahwa Tahun Baru telah tiba dan terlewati olehnya, dan dia meneguhkan diri dengan meyakini bahwa ayah dan kakak-kakaknya sedang menantinya di Mino. Yoritomo pernah mendengar bahwa saudara tiri perempuannya tinggal di sana. Tetapi, dia masih ragu-ragu tentang hubungan saudara tirinya dengan Ohi, panglima setempat, yang masih memiliki hubungan darah dengan Genji dan bisa dipercaya olehnya.

Page 491: The Heike Story

Ketika Yoritomo tiba di sebuah sungai pada suatu hari, seorang nelayan, yang sedang mencuci perahunya, menyapanya, “Bukankah kau salah seorang Genji ... putra Yoshitomo?”

Yoritomo tidak berupaya menyembunyikan identitasnya. “Ya, aku putra ketiga Yoshitomo. Namaku Yoritomo.”

Si nelayan tampak puas dan bercerita bahwa saudara-saudaranya pernah menjadi pelayan di kediaman Yoshitomo. Dia memperingatkan Yoritomo tentang bahaya bepergian seorang diri, lalu mengundang bocah itu untuk singgah di gubuknya.

Yoritomo menginap selama beberapa hari di gubuk si nelayan, lalu meneruskan perjalanannya, kali ini ditemani oleh putra si nelayan, yang baru meninggalkannya setelah mereka tiba di rumah Ohi, sang panglima.

Rumah itu tampak terbengkalai, namun seorang pelayan akhirnya keluar dan mempersilakan Yoritomo memasuki sebuah ruangan yang pengap oleh asap dupa.

“Jadi, inikah Yoritomo?” kata seorang wanita sambil terisak-isak. Dia adalah Enju, putri Ohi, ibu saudara tiri Yoritomo. Enju terus menangis, dan air matanya membingungkan Yoritomo, yang menyimpulkan bahwa kekalahan Genji adalah penyebab kesedihan wanita itu. Akhirnya, Enju mengusap air matanya dan berkata, “Yoritomo, ayahmu sudah tidak ada di sini. Dia menginap di sini pada suatu malam dan, berpikir bahwa lebih aman bagi rombongannya jika mereka terus bergerak, langsung melanjutkan perjalanan ke timur menuju Owari untuk mencari seseorang yang bernama Tadamun6, kepala suku di sana. Pada hari ketiga Tahun Baru, Tadamun6 membunuhnya dengan bengis.”

“Eh, ayahku?”

Page 492: The Heike Story

“Tadamun6 mengirim kepala ayahmu ke ibu kota pada saat itu juga, dan mereka memajangnya di atas sebatang pohon di dekat gerbang Penjara Timur.”

“Tapi ... mungkinkah ini benar?”

“Dan, bukan hanya itu. Kakakmu Tomonaga tewas akibat luka-lukanya. Yoshihira melarikan diri, dan kami belum mendengar kabarnya sejak saat itu.”

“Jadi, ayah dan kakak-kakakku sudah meninggal? Aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi di dunia ini?”

“Anakku, anakku yang malang …. Tidak aman bagimu untuk tinggal lebih lama di sini. Heik6 sedang memburumu.”

“Ayah! Ayahku!”

Yoritomo, dengan tubuh gemetar, mendongak ke langit-langit; air mata membasahi pipi. Bocah itu menangis terisak-isak dengan nyaring, dan menjerit-jerit tanpa sanggup mengendalikan diri, seolah-olah jantungnya hendak meledak.

Baru ketika ayah Enju yang telah uzur muncul dan berusaha menenangkannya, Yoritomo berhasil mengatakan, “Aku tidak akan menangis lagi. …Aku tidak ingin menangis.” Kemudian, menoleh kepada panglima renta itu, Yoritomo bertanya, “Ke manakah sebaiknya aku pergi?”

Sang panglima renta menjawab. “Ke wilayah timur Jepang,” lalu menyebutkan nama para panglima yang bisa dipastikan akan menerima Yoritomo dengan baik. Dia melanjutkan, “Aku mendengar bahwa Nyonya Tokiwa masih ada di ibu kota, dan dia memiliki tiga orang anak lelaki, saudara tirimu, namun mereka masih kanak-kanak. Di timur, kau bisa dipastikan akan bertemu dengan para anggota klan Genji yang akan berdiri di pihakmu.”

Page 493: The Heike Story

Yoritomo duduk tenang dan memikirkannya.

o0odwkzo0o

Bersama setiap hari yang dilalui oleh Yoritomo dalam perjalanannya ke selatan, ladang-ladang luas di kedua sisi jalan tampak menghijau oleh tanaman jelai yang mulai tumbuh. Burung-burung berkicau di atasnya, dan Yoritomo terus berjalan, hatinya terasa ringan. Enju melepas kepergiannya dengan kasih sayang seorang ibu ...

membekalinya dengan kimono baru, mantel berbulu, sandal, sekotak batu api, dan sebilah pedang.

Februari hampir tiba dan bulan baru tampak mengambang di langit biru tua pada tengah hari itu.

“Bocah yang baru saja berpapasan dengan kita ... sungguh aneh melihat anak setampan itu di sini. Aneh sekali,” kata Munekiyo sambil menoleh dari atas pelananya untuk kembali memandang Yoritomo.

Seorang samurai lain turut mengamati bocah itu. “Sikapnya juga menarik, membuatmu menyangkanya sebagai anak seorang panglima di wilayah ini.”

“Mungkin saja, tapi ini latihan yang sangat berat bagi bocah seperti itu, menyuruhnya melakukan perjalanan tanpa ditemani oleh seorang pelayan pun di masa berbahaya ini.”

Tanpa berkomentar lebih lanjut, Munekiyo melanjutkan perjalanan, ketika sebuah firasat mendadak menggelitiknya; dia langsung menghentikan kudanya dan kembali menoleh kepada sosok yang kini telah menghilang di kejauhan.

Munekiyo, pelayan adik tiri Kiyomori, Yorimori, diberangkatkan sebagai duta Yorimori untuk memastikan kabar kematian Yoshitomo Dia tengah berada dalam

Page 494: The Heike Story

perjalanan pulang ke ibu kota setelah menyelesaikan berbagai macam urusan yang berkaitan dengan Tadamun6. Munekiyo menoleh dan memerintah prajurit di dekatnya:

“Bawa kemari bocah yang baru saja berpapasan dengan kita. Jika dia berusaha melarikan diri, maka bisa dipastikan bahwa dialah orangnya. Tangkap dia, apa pun yang terjadi.”

Munekiyo memutar kudanya dan mengikuti para prajuritnya dengan santai.

Yoritomo ternyata berusaha meloloskan diri dan melawan para penangkapnya. Saat ini dia berbaring telentang di bawah pohon dedalu di tepi sungai, memandang para prajurit bersimbah keringat yang mengepungnya. Para prajurit itu terengah-engah; urat-urat besar tampak bertonjolan bagaikan sumbu di wajah dan leher mereka yang merah padam.

“Kemari kau, berdirilah!”

“Berdiri kamu!”

Alih-alih menurut, Yoritomo tetap berbaring diam dan menatap matahari.

Munekiyo membungkuk di atasnya dan mengamati wajahnya. “Ada apa dengan dirimu? Apakah yang sedang kaulakukan?”

“Dia memang masih kecil, tapi jangan sampai kita tertipu oleh penampilannya,” kata salah seorang prajurit dengan kesal. “Dia petarung cilik …. Lihatlah dia, bisa-bisanya dia memerintah kita untuk menariknya berdiri, seolah-olah kita pelayannya!”

Senyum tipis terulas di wajah Munekiyo, “Tarik dia berdiri,” perintahnya.

Page 495: The Heike Story

Dua orang prajurit maju dan mencengkeram lengan Yoritomo, lalu menariknya hingga berdiri. Yoritomo berdiri tegak, menatap Munekiyo. Wajahnya berlepotan debu. Goresan luka merah tampak di pipinya yang merona, dan rambutnya acak-acakan.

“Apakah mereka menyakitimu. Nak?”

“Kau hendak pergi ke mana? Timur?”

“Ayahmu? Siapakah ayahmu, Nak?”

Yoritomo menolak untuk menjawab, namun pertanyaan terakhir itu menghadirkan setetes air mata yang mengalir di pipinya, walaupun dia tetap tidak melontarkan sepatah kata pun.

“jawablah pertanyaanku. Jika kau tetap diam, kami akan melihat apakah rasa sakit akan mendorongmu untuk menjawab,” Munekiyo mengancam.

Yoritomo menegakkan bahunya dan, dengan tatapan meremehkan, berkata, “Dan siapakah kamu? Turunlah dari kudamu jika kau ingin berbicara denganku. Aku bukan jenis orang yang bisa disapa oleh seorang prajurit Heik6 biasa dari atas punggung kuda.”

Munekiyo terdiam dengan takjub ketika mendengar jawaban bocah itu. Dia mengamati Yoritomo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian, dia cepat-cepat turun dari kudanya dan menghampiri Yoritomo, lalu menjelaskan bahwa dia adalah pelayan Heik6 Yorimori.

Munekiyo telah menduga bahwa bocah itu adalah Genji Yoritomo, namun dia masih membujuk dengan lembut, “Siapakah dirimu? Sebutkanlah nama ayahmu.”

o0odwkzo0o

Page 496: The Heike Story

Bab XXVI – BELAS KASIHAN Lebih dari sebulan telah berlalu sejak ibu tiri Kiyomori,

Ariko, mengungsi ke Rokuhara demi keamanannya, dan dia tinggal di sana hingga Tahun Baru berlalu, menjalani kehidupan bersama seluruh penghuni rumah dan menikmati perhatian dari cucu-cucunya. Ariko berusia sekitar empat puluh tahun, hanya sedikit lebih tua dari Kiyomori, dan penampilannya tampak terlalu muda untuk seorang nenek. Kiyomori kerap tertikam oleh perasaan cemburu ketika melihat Ariko dan Tokiko menghabiskan waktu bersama, karena janda ayahnya itu jauh lebih menawan daripada istrinya; ada kalanya, dia bahkan mengasihani dirinya sendiri atas pernikahannya.

Walaupun bisa menyembunyikan kekesalannya dengan baik, Kiyomori tidak pernah merasa tenang saat berada di dekat Ariko. Ada sesuatu di dalam diri Ariko yang senantiasa mendorong Kiyomori untuk melawan keinginan untuk mengabaikannya. Kiyomori kadang-kadang bertanya-tanya, apakah yang menjadi akar dari perasaannya kepada ibu tirinya itu.

Pada suatu pagi, ketika Kiyomori hendak berangkat ke Istana, dayang Ariko muncul untuk menyampaikan pesan bahwa majikannya ingin berbicara dengan Kiyomori. Ariko terbiasa untuk

menghabiskan sebagian paginya dengan merapalkan ayat-ayat suci di ruang peribadatan kecil yang terhubung dengan kamarnya, dan Kiyomori selalu menghindari bagian rumah itu; bukan hanya karena nisan ayahnya ada di sana melainkan juga karena kesan muram dan angker yang dimiliki tempat itu.

Page 497: The Heike Story

Ketika Kiyomori muncul, Tokiko sudah ada di sana, duduk diam di dekat Ariko.

“Aku ingin berterima kasih kepadamu,” kata Ariko, “dan kuharap kau mau memaafkanku karena telah memintamu untuk datang kemari.”

Kiyomori mengendus-endus asap dupa yang masih mengepul di belakang Ariko. Dia mendengar seekor burung berkicau di luar jendela yang terbuka, tempat sinar matahari menerobos masuk. Cahaya itu menerangi lipatan-lipatan di kimono biksuni yang dikenakan oleh Ariko, sehingga sosoknya tampak menyerupai ukiran indah. Kekayaan detail di ruang peribadatan itu, hiasan-hiasan brokatnya, lekukan-lekukan di langit-langitnya, lentera-lenteranya, semuanya bersatu padu untuk menonjolkan sosok berpakaian putih itu. Kemudian, tiba-tiba terpikir oleh Kiyomori, ketika dia terdiam sejenak di ambang pintu, bahwa kehidupan Ariko, masa menjandanya yang dititikberatkannya untuk berdoa dan berkomunikasi dengan mereka yang sudah meninggal, entah bagaimana telah menjadikannya bagian dari dunia arwah ... dan ada banyak cara untuk menangani arwah.

‘Tetapi, untuk apa berterima kasih ... dan mengapa Ibu mendadak memanggilku? Apakah yang bisa kulakukan untuk menolong Ibu?”

Ariko tersenyum. “Aku tidak menyadari betapa cepatnya hari-hari berlalu. Aku sudah tinggal di sini selama lebih dari sebulan, dan Yorimori telah mengirim banyak pesan untuk memohon agar aku pulang, sehingga aku memutuskan untuk pulang hari ini. Kalian berdua telah memperlakukanku dengan sangat baik sejak kekacauan itu terjadi ... ”

Page 498: The Heike Story

“Pulang hari ini? Maafkan aku jika selama ini sudah terlalu sibuk dan mengabaikan Ibu. Tapi, izinkanlah aku mengatakan bahwa aku telah berpikir untuk mendirikan rumah baru bagi Ibu di atas sebidang tanah di Rokuhara ini.”

“Aku tentu akan sangat bahagia jika bisa tinggal berdekatan dengan kalian.”

“Karena rumah Shigemori di lembah baru saja selesai pembangunannya, kita bisa segera mulai membangun rumah untuk Ibu dan Yorimori.”

“Betapa beruntungnya aku ... bahkan, kita semua! Kau, Kiyomori, tidak boleh sedikit pun melupakan bahwa kau adalah pemimpin klan Heik6. Teruskanlah melakukan kebaikan; bersikap tegaslah kepada dirimu sendiri; jalankanlah tugasmu dengan baik, karena sikap santai seperti yang selalu kautunjukkan hingga saat ini tidak akan cukup. ... Dan.Tokiko, jangan pernah melupakan kedudukan suamimu. Teruslah berusaha untuk menjadi istri yang lebih baik baginya, dan ibu yang lebih berbakti. Sebagai nyonya rumah di sini, berikanlah dukunganmu kepada suamimu dalam segala bidang.”

Kiyomori dan Tokiko mendengarkan petuah dari Ariko dengan takzim, karena Ariko memang memiliki wewenang untuk berbicara seperti itu kepada mereka.

“Dan sekarang, aku memercayakan segalanya kepada kalian berdua,” Ariko mengakhiri petuahnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia menghadap ke ruang peribadatan untuk bermeditasi selama beberapa waktu di depan nisan Tadamori sebelum berangkat.

Bagi Kiyomori, ibu tirinya seolah-olah melimpahkan seluruh tanggung jawab keluarga mereka kepadanya; kesan membingungkan yang didapatkannya dari Ariko agak

Page 499: The Heike Story

merisaukannya, namun dia tidak memiliki alasan untuk membantahnya. Dia menyadari bahwa dia bukanlah putra teladan Tadamori, dan dia mencoba untuk menebusnya dengan berusaha setulusnya menjadi putra yang patuh bagi janda ayahnya, Ariko. Dan memang wajar jika dirinya, seorang

kepala klan, menunjukkan pengabdiannya kepada orangtua sebagai contoh bagi seluruh keluarganya.

Beberapa hari setelah Ariko kembali ke rumahnya di bagian utara ibu kota, putranya, Yorimori, mengunjunginya. Ariko menyambutnya dengan hangat.

“Ah, Yorimori, kaukah itu?”

“Maafkan aku karena baru berkunjung, Ibu.”

“Tidak apa-apa. Wilayah kekuasaan barumu di Owari tentunya menyibukkanmu akhir-akhir ini.”

“Begitulah. Aku mengirim Munekiyo ke sana untuk menyelesaikan beberapa urusan, dan dia kembali dua malam yang lalu, membawa seorang bocah yang ditangkapnya di jalan. Kemarin, urusan itu menghabiskan waktuku seharian.”

“Oh? Dan siapakah bocah yang dibawa oleh Munekiyo itu?”

“Putra Yoshitomo, Yoritomo, yang baru saja berulang tahun keempat belas.”

“Putra Yoshitomo? Ini berita besar! Empat belas tahun, katamu? Astaga, dia masih bocah! Apakah yang mereka pikirkan ... membiarkan seorang bocah seperti dirinya ikut berperang! Dia masih terlalu muda untuk memahami masalah yang sesungguhnya. Anak malang! Di manakah dia sekarang?”

Page 500: The Heike Story

“Kami sedang menantikan perintah dari Rokuhara, dan untuk sementara ini, aku menugaskan kepada Munekiyo untuk mengawasinya.”

“Apakah yang akan dilakukan oleh Kiyomori kepada bocah itu?”

“Kita akan mengetahuinya hari ini.”

Pembicaraan itu selesai, dan Yorimori segera berpamitan, namun Ariko menahannya. “Tinggallah lebih lama di sini,” bujuknya. “Aku akan memerintahkan kepada pelayan untuk memasak makanan kesukaanmu; tinggallah sejenak untuk makan bersamaku.”

Tepat ketika Ariko mengirim dayangnya ke dapur untuk menyampaikan beberapa instruksi, kedatangan Munekiyo diumumkan.

Dia hendak berbicara dengan majikannya, kata si pelayan. Ariko memerintahkan kepada Munekiyo untuk menunggu.

Ibu dan anak itu menyantap hidangan dengan tenang, dan ketika mereka telah selesai makan, Yorimori memanggil prajurit kepercayaannya.

“Munekiyo, apakah kau sudah menerima kabar dari Rokuhara?”

“Ya, dari seorang kurir.”

“Apakah isi pesannya ... tentang Yoritomo?”

“Dia akan dihukum mati pada 13 Januari.”

“… Hmm.”

Air muka Yorimori seketika keruh. Perutnya bergejolak ketika dia memikirkan bahwa satu lagi hukuman mati harus dilaksanakan. Setelah perang berakhir, dia telah melihat

Page 501: The Heike Story

terlalu banyak pemenggalan kepala dan mendengar cukup banyak ratapan orang-orang yang berkumpul setiap hari untuk menyaksikan perahu-perahu berisi kerabat mereka yang akan diasingkan bertolak. Ketika asap sisa pertempuran masih menggantung di langit ibu kota, semua itu tidak terlalu berdampak padanya. Namun setelah kedamaian datang kembali dan pepohonan plum di kebun berbunga, seluruh bagian dirinya seolah-olah menjerit untuk menentang kekejian dari mengangkat senjata demi menghabisi nyawa seorang bocah biasa.

Awan gelap juga tampak menyelimuti wajah Ariko; sebagai seorang penganut Buddha yang taat, memberikan belas kasihan dianggapnya sebagai tugas pertama dan iktikad utama orang yang beriman.

Dampak dari kabar yang disampaikannya kepada mereka berdua sepertinya memberikan keberanian bagi Munekiyo untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga dia menoleh kepada Yorimori:

“Dia baru berumur empat belas tahun ... sebaya dengan adik Anda, jika saya mengingatnya dengan benar, apabila saat ini beliau masih hidup.”

“Ya, seandainya dia masih ... ”

“Dan mereka berdua sangat mirip. Saya nyaris percaya bahwa mereka bersaudara.”

“Munekiyo,” potong Ariko dengan nada tertarik, “ceritakan lebih banyak tentang bocah itu”

Munekiyo pun menceritakan semua yang diketahuinya.

Ariko, yang tergerak ketika mendengar kemiripan bocah itu dengan almarhum putranya, berniat untuk mempertahankan tekadnya bahwa Yoritomo harus diselamatkan. Ketika dia tidur malam itu, cerita Munekiyo

Page 502: The Heike Story

seolah-olah menghantui dirinya sehingga sosok “kembaran” almarhum putranya itu seolah-olah menempel di kelopak matanya, dan dia mendambakan pertemuan dengannya.

Beberapa hari kemudian, membawa ranting pohon plum berbunga merah, Ariko melintasi halaman rumah putranya menuju bilik sederhana Munekiyo di sisi lain rumah. Ariko menyuruh seorang pelayan untuk memanggil Munekiyo, dan ketika prajurit itu muncul, dia mengulurkan bunga plum yang dibawanya:

“Taruhlah ini di dalam vas, dan biarkanlah bocah malang itu melihatnya.”

Munekiyo menerima bunga itu dengan anggukan dalam, dan sorot matanya tampak melembut, “Sebuah hadiah kecil untuknya?”

“Dan, Munekiyo ... ”

Suara Ariko berubah menjadi bisikan. Munekiyo menganggukkan persetujuan pada apa pun yang diucapkannya, lalu mempersilakan Ariko memasuki rumahnya. Pagar bambu tinggi mengelilingi salah satu sisinya. Pintunya terkunci dan kerai-kerainya tertutup, kecuali sebuah jendela kecil yang digunakan oleh seorang penjaga untuk mengawasi tahanan.

Munekiyo memasuki ruangan tempat Yoritomo ditahan, meminta Ariko untuk menunggu di luar, di dekat lubang intip.

Seperti biasanya, Yoritomo duduk diam bagaikan patung kayu cendana di balik sebuah meja tulis kecil; dia menoleh ke arah Munekiyo dan membelalakkan mata dengan kaget begitu melihat ranting plum yang dibawanya. Walaupun Munekiyo mengunjunginya setiap pagi dan petang,

Page 503: The Heike Story

Yoritomo tidak menyadari bahwa kuncup-kuncup bunga plum telah mekar.

“Indah sekali bunga itu!” desahnya.

“Indah, bukan?” jawab Munekiyo. “Salju terlalu banyak turun akhir-akhir ini sehingga pohon-pohon plum terlambat berbunga tahun ini.”

“Jangan ingatkan aku pada salju.”

“Maafkan aku. Haruskah aku menaruh bunga ini di air untukmu?”

“Biar aku sendiri saja yang melakukannya. Terima kasih.”

Yoritomo membungkuk untuk mengamati ranting itu, yang diletakkan oleh Munekiyo di dekat mejanya. Sebuah buku terbuka di atas mejanya. Munekiyo menatap ranting di lantai, yang sedang diamati dari dekat oleh Yoritomo. Bocah ini berbahaya ... sebuah ancaman bagi klan Heik6, pikir Munekiyo; semakin jelas baginya bahwa dirinya telah semakin menyukai bocah ini. Di dalam sosok Yoritomo, Munekiyo melihat seorang samurai berdarah biru, yang sebentar lagi akan dibunuh- ... disia-siakan.

“Apakah yang kaulakukan hari ini? Menulis puisi?”

‘Tidak, aku membaca.”

“Apakah yang kaubaca?”

“Aku membaca kumpulan puisi yang kaupinjamkan kepadaku dan sebuah hikayat tua.”

“Yang manakah yang paling kausukai?”

“Aku tidak terlalu menikmati puisi.”

“Kalau begitu, kau lebih menyukai kisah-kisah peperangan ... kepahlawanan dan pertempuran?”

Page 504: The Heike Story

Yoritomo berlama-lama menatap Munekiyo dengan matanya yang jernih, namun Munekiyo gelisah karenanya, merasa seolah-olah bocah itu bisa membaca pikirannya, dan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tatapan Munekiyo tertuju pada lubang kecil di dekat tempat Ariko mungkin sedang mendengarkan mereka, dan dia merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menantikan jawaban Yoritomo.

Yoritomo, yang mengenakan baju hangat sutra berwarna ungu pucat dan celana berwarna senada dengan garis ungu tua di bagian mata kakinya, duduk bersila di atas sebuah bantal, menatap jauh ke depan. Setelah terdiam lama, dia tiba-tiba menjawab:

“Kitab-kitab ... aku paling menyukai buku-buku yang menceritakan tentang Buddha, jika kebetulan kau memilikinya.”

“Aku yakin aku punya beberapa ... tapi, apakah yang mendorongmu untuk menyukai bacaan melankolis seperti itu?”

“Entah mengapa ... aku menyukainya. Pasti karena ibuku, yang sekarang sudah meninggal, kerap membawaku mengikuti perjalanan ziarah menuju kuil-kuil termahsyur; aku bahkan pernah mengunjungi Biksu Honen dan mendengarkan beliau berbicara tentang kitab-kitab suci.”

“Jadi ... ”

“Jadi, kurasa, jika aku sudah dewasa nanti, aku lebih memilih untuk menjadi seorang biksu daripada seorang samurai. Tetapi, sekarang ... ”

Bocah itu mendadak menunduk. Jelas bahwa dia telah mendapatkan pendidikan tentang kode yang mengajarkan

Page 505: The Heike Story

bahwa seorang samurai berdarah biru hanya bisa mengharapkan ke matian di tangan penangkapnya.

o0odwkzo0o

Baru pada musim semi itulah arak-arakan kereta dengan jumlah sangat banyak terlihat di Jembatan Gojo, ketika beraneka ragam kendaraan dan kuda berduyun-duyun ke arah Rokuhara.

Akhir-akhir ini, Kiyomori mulai lelah menerima arus tamu yang seolah-olah tak kunjung habis. Walaupun pangkatnya masih mengharuskannya untuk menyambut setiap tamu terhormat dengan upacara yang selayaknya, sisanya ... mereka yang berpindah haluan atau mencari muka ... ditolaknya tanpa basa-basi; Rokuhara sepertinya telah berubah menjadi surga berbunga bagi para nyamuk dan ngengat yang berkerumun dengan gaduh di gerbang-gerbangnya.

“Ini berlebihan!” sembur Kiyomori. Dengan gusar, dia mengganti kimono kebesarannya pada suatu malam dan bergabung dengan keluarganya.

‘Tokiko, besar sekali keluarga kita sekarang ini! Tapi, pikirkan saja bahwa tahun-tahun terus berlalu, meninggalkanku hanya dengan seorang istri uzur untuk menemaniku dan menuangkan sake untukku. Betapa buruknya bulan itu walaupun pohon plum telah berbunga!”

Kiyomori jarang minum terlalu banyak, namun malam ini dia berniat untuk mabuk sake dengan tekad agar bisa melupakan segalanya di dalam tidurnya.

“Tokiko, kemarilah dan mainkan sesuatu untukku!”

“Aku? Aneh sekali permintaanmu kepadaku!”

Page 506: The Heike Story

“Perempuan, kau sama sekali tidak berbudaya! Mainkanlah sesuatu dengan harpa, atau kecapi.”

‘Tapi, bukankah kau selalu mengatakan bahwa kau benci segala sesuatu yang meniru kaum bangsawan?”

“Semua itu tergantung pada waktu dan tempatnya. Musik diperlukan untuk menghibur telinga. Musik bisa mendamaikan pikiran. Dampaknya luar biasa! Keluarkanlah kecapiku dan aku akan memainkannya untuk istri uzur dan anak-anakku.”

Tokiko mengeluarkan kecapi yang dihadiahkan oleh Penasihat Shinzei lama berselang, dan Kiyomori mulai memetiknya dengan kikuk, ketika seorang pelayan muncul dan mengumumkan dengan ragu-ragu:

“Yang Terhormat Yorimori, Tuan, memaksa untuk berbicara dengan Anda. Beliau telah menunggu cukup lama dan berharap untuk bisa menemui Anda di saat Anda sedang bersantai.”

Kiyomori mengernyitkan kening. “Yorimori? Apa maunya? Suruh dia kemari.”

Si pelayan beranjak, namun segera kembali lagi.

“Beliau memohon agar bisa berbicara empat mata dengan Anda.”

“Kebiasaan buruknya ini …. Aku benci pembicaraan rahasianya ... segala sesuatu yang ditutup-tutupinya”

Kiyomori menyingkirkan kecapinya dengan kesal. “Baiklah ... aku akan segera ke sana,” dia mendorong si pelayan dan menghambur keluar dengan marah.

Genangan air di bawah jendela yang terbuka di salah satu ruangan rumah Kiyomori memantulkan cahaya dari satu-satunya lentera yang ada di sana.

Page 507: The Heike Story

“Yorimori, sesampainya kau di rumah nanti, cobalah untuk membujuk ibu kita yang baik hati. Lebih baik jika beliau tidak turut campur dalam masalah seserius ini. Mengertikah dirimu? Selalu ada wanita di balik setiap pengambilan keputusan yang salah ... dan perang.”

‘Tapi ... ”

“Ya? Mengapa kau memandangku seperti itu? Apakah kau kecewa?”

“Aku mengerti.”

“Tentu saja kau mengerti. Sudah sepantasnya begitu.”

“… Tapi, izinkanlah aku menyampaikan pendapatku sendiri.”

“Apakah aku melarangmu?”

“Tapi, yang kaulakukan hanyalah menggerutu tanpa membiarkanku mengatakan apa pun. Aku kemari hanya untuk menyampaikan perkataan Ibu dan memohon atas nama beliau. Dan kau ... f

“Dan aku mengatakan kepadamu bahwa alasan apa pun tidak akan bisa mendorongku untuk mengampuni Yoritomo. Tidak ada lagi yang harus kukatakan.”

“Itu saja. Kata-katamu sungguh kasar ... kau mengatakan bahwa Ibu turut campur dan bahwa dia sebaiknya menyibukkan diri dengan cucu-cucunya saja, atau merawat kebun bunga di biaranya. Haruskah aku mengatakan itu kepada beliau?”

“Ya, ulangi saja kata per katanya. Ucapanku mungkin saja kasar, tapi apa lagi yang bisa kukatakan, jika beliau, seorang Heik6, mengusulkan untuk mengampuni seorang Genji.”

Page 508: The Heike Story

“Aku masih tidak mengerti apa yang menjadikan dirimu semarah itu. Bukankah kau pernah mengampuni Jenderal Narichika hanya karena Shigemori memohon kepadamu?”

“Itu kulakukan untuk berterima kasih atas kebaikannya kepada Shigemori ketika putraku itu pertama kali terjun ke dalam politik Istana Apakah yang pernah dilakukan oleh putra Yoshitomo kepada ibu kita atau dirimu?”

‘Tidak ada, tapi Ibu adalah penganut Buddha yang taat, dan beliau memohon kepadamu untuk menunjukkan belas kasihan kepada bocah itu.”

“Belas kasihan? ... Apakah kau mengatakan bahwa aku sama sekali tak berperasaan?”

“Aku tidak mengatakan itu.”

“Dasar bodoh! Sampaikanlah satu lagi saja pesanku kepada ibu kita ... bahwa beban yang ditanggung oleh Kiyomori sangatlah berat. Dengan mengampuni Yoritomo, haruskah aku membiarkan seluruh klan kita terpapar oleh ancaman tanpa akhir? Apakah kita mau berhadapan dengan perang yang tak berkesudahan?”

“Aku sudah mengatakan pendapatku dan tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi.”

“Sebaiknya kau jangan kemari untuk menyampaikan hal bodoh lainnya.”

Malam itu, Yorimori mengendarai kudanya dengan murung. Ibunya telah menantinya, tidak sabar ingin mendengar jawaban Kiyomori.

“Sia-sia saja. Dia menolak untuk mendengarkanku. Terlebih lagi, suasana hatinya sedang buruk, walaupun dia memang selalu seperti itu, dan kata-katanya kasar.”

“Apakah aku penyebabnya?”

Page 509: The Heike Story

“Tidak, sepertinya dia juga mencari-cari kesalahanku.”

“Aku khawatir dia akan salah langkah kali ini.”

“Bagaimanapun, dia tidak punya alasan untuk bersikap sekeji Itu”

“Dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan memaafkan Yoritomo?”

“Akan lebih bijaksana jika kita tidak mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Ibu. Ini hanya akan membangkitkan kecurigaan dan memicu kemarahannya.”

o0odwkzo0o

Tinggal beberapa hari lagi hingga 13 Februari tiba Munekiyo belum memberi tahu Yoritomo tentang takdir yang telah menantinya pada hari itu. Dia menemui bocah itu setiap hari, dan dari hari ke hari, rasa sayang dan belas kasihannya kepada Yoritomo semakin bertambah.

Yoritomo, yang jarang meminta tolong, pada suatu hari memohon kepada penjaganya untuk memanggilkan Munekiyo, yang segera muncul.

“Munekiyo, bawakanlah seratus kepingan kecil kayu cipres dan sebuah pisau untukku.”

“Kayu cipres dan pisau? Apakah yang akan kaulakukan dengannya?”

“Aku baru saja menghitung hari, dan ternyata hari keempat puluh sembilan wafatnya ayahku hampir tiba. Aku ingin menghabiskan hariku dengan mengukir kepingan-kepingan doa untuk beliau, agar aku bisa memberikannya ke beberapa kuil untuk membersihkan jiwanya.”

“Sudah sebanyak itu hari berlalu?” jawab Munekiyo, sangat tersentuh oleh permintaan Yoritomo. “Walaupun aku ingin sekali menolongmu, seorang tahanan tidak

Page 510: The Heike Story

diizinkan untuk memiliki pisau. Kurasa, yang bisa kaulakukan hanyalah membaca doa-doa untuk ayahmu.”

Kendati begitu, Munekiyo kembali keesokan paginya dengan membawa seratus kepingan kecil kayu cipres, dan Yoritomo pun menghabiskan hari-harinya dengan menuliskan nama Buddha ayahnya di sana.

Ketika Ariko mendengar tentang semua itu dari Munekiyo, belas kasihan menyengat sanubarinya, dan tekadnya untuk menyelamatkan Yoritomo pun semakin bulat. Iktikad baik, diyakininya, akan selalu mendapatkan balasan yang setimpal, dan Heik6 tidak akan kehilangan apa pun dengan menunjukkan belas kasihan; arwah Tadamori juga akan turut mendapatkan rahmat. Setelah menimbang-nimbang mengenai hal ini, Ariko semakin meyakini tugas yang diembannya. Dia pun memanggil kereta untuk membawanya ke Rokuhara.

Ketika mendengar bahwa ibu tirinya telah tiba, Kiyomori bertekad untuk bersikap tegas.

Dayang Ariko segera menyampaikan sebuah pesan, yang mengatakan bahwa majikannya ingin berbicara dengan Kiyomori di ruang peribadatannya.

Kiyomori memasang wajah muram, bukan sesuatu yang aneh baginya, dan menyapa ibu tirinya dengan nada gusar.

“Kiyomori, atas nama belas kasihan, tidak maukah kau mendengarkanku?”

Kiyomori sudah menebak arah pembicaraan Ariko. “Mengenai Yoritomo ... putra Yoshitomo, bukan?”

“Ya, kemarin malam ... ”

“Yorimori sudah menceritakannya padaku, tapi ... ”

Page 511: The Heike Story

‘Tidak mungkinkah itu dilakukan?”

“Mustahil. Masalah ini sangat serius sehingga aku harus memohon kepada Ibu untuk tidak turut campur.”

Kiyomori merasa lega karena penolakan tegasnya; bahkan, ini adalah pertama kalinya dia membantah Ariko. Tetapi, ketika melihat Ariko menyeka air mata tanpa berkata-kata, hati Kiyomori seketika mencelus; dia mengalihkan tatapan dengan bingung.

Desahan panjang keluar dari mulut Ariko. “Jika memang harus begitu ... dengan meninggalnya ayahmu ... sekarang, setelah beliau tiada ... ”

Petuah terpatah-patah Ariko melenyapkan kesabaran Kiyomori, sehingga dia menjawab dengan dingin, “Ibu salah memahamiku ... seperti biasanya.”

“Seandainya ayahmu masih hidup, kurasa kau tidak akan bicara seperti itu kepadaku. Kiyomori, setiap kali memikirkan masa depanmu, aku hanya bisa berduka.”

“Ibu tidak memperiakukanku dengan adil. Bukankah aku selalu menunjukkan rasa hormatku walaupun Ibu bukanlah ibu kandungku? Kapankah aku pernah menyebabkan Ibu berduka? Aku hanya memohon kepada Ibu untuk tidak turut campur dalam masalah Ini.”

“Dan kau masih menolak mendengarkanku?”

“Tetapi, pikirkanlah. Ibu! Adakah pengaruhnya jika sepasukan prajurit, jenderal Narichika dan semacamnya, dibebaskan? Dengan putra seorang samurai seperti Yoritomo, masalahnya sungguh berbeda.”

“Bukankah kau juga putra seorang samurai?”

“Itu justru memberiku lebih banyak alasan untuk menyingkirkannya. Aku tahu betul apa artinya. Anak

Page 512: The Heike Story

harimau tidak akan melupakan induknya. Belai dan rengkuhlah dia ke dalam pelukan Ibu sekarang, dan dia akan menancapkan cakar-cakarnya ketika saatnya tiba.”

“Dia meratapi kepergian ayahnya dan sudah berencana untuk menjadi seorang biksu ... bocah malang itu!”

“Ibu, kita tidak perlu lagi membahas tentang masalah ini. Pergilah ke keputrian. Aku lebih suka jika Ibu menghabiskan waktu dengan cucu-cucu Ibu.”

“Tentunya kau mencintai anak-anakmu?”

“Tentu saja ... apa pun yang mereka lakukan.”

“Yoritomo adalah putra Yoshitomo. Dan ingatlah, ada kehidupan setelah kematian. Apakah kau tidak takut pada akhirat?”

“Apakah Ibu mau menceramahiku tentang agama Buddha?”

“Ah, sudahlah, sudah cukup aku menasihatimu,” jawab Ariko. Dia memunggungi Kiyomori dan menghadapi nisan suaminya di atas altar, lalu menggumamkan sesuatu dengan lirih.

Persilangan pendapat antara Kiyomori dan ibu tirinya hanya memperlebar jarak yang senantiasa memisahkan mereka. Ariko pergi pada hari itu juga dari Rokuhara dengan membawa kekecewaan mendalam, namun dia memiliki alasan yang kuat bagi tekadnya dan tidak akan menyampaikannya kepada Kiyomori jika dirinya sendiri ragu-ragu. Kendati begitu, orang-orang yang mengenal baik dirinya sekalipun ternyata kurang menyadari betapa keimanan telah menguasai sanubarinya.

Page 513: The Heike Story

Alih-alih langsung pulang, Ariko pergi ke kediaman Shigemori di Lembah Pinus Kecil, yang berjarak cukup dekat dari Rokuhara, untuk berbincang-bincang dengannya hingga larut malam.

Berbeda dengan ayahnya, Shigemori memiliki hubungan dekat dengan neneknya, yang selalu menganggapnya sebagai cucu kesayangan.

“Shigemori, maukah kau ikut mencoba membujuk ayahmu?”

Shigemori langsung menyanggupi permohonan neneknya. Dia menemui Munekiyo secara diam-diam pada malam berikutnya dan meminta untuk dipertemukan dengan Yoritomo.

Bocah itu sedang duduk di belakang sebuah meja tulis kecil, menulisi kepingan-kepingan doa untuk ayahnya. Tidak ada sedikit pun sumber kehangatan di ruangan itu ... tidak ada sedikit pun cahaya, kecuali dari bulan yang mengintip dari balik sebuah jendela kecil. Yoritomo meletakkan kuasnya dan memicingkan mata untuk menatap tamunya, yang berdiri diam di ambang pintu.

Merasakan kewaspadaan bocah itu, Shigemori menghampirinya dan berkata dengan sangat lembut, “Apakah yang sedang kaulakukan, Yoritomo?”

“Ini untuk almarhum ayahku.” “Apakah kau merindukannya ... ayahmu?” “Tidak.”

“Kau pasti berpikir untuk menuntut balas demi dirinya.”

‘Tidak.”

‘Tidak?”

“Tidak.”

“Mengapa tidak?”

Page 514: The Heike Story

“Saat sedang menulis seperti ini, tidak ada apa bisa yang merisaukan hatiku.”

“Kalau begitu, kau hanya mendambakan saat kematianmu agar bisa berjumpa kembali dengan ayahmu? Kata orang-orang, kau tahu, kita akan bertemu kembali dengan orang-orang yang kita sayangi di dunia yang lain.”

“Aku tidak ingin mati. Aku takut memikirkannya.”

‘Tapi, bukankah kau turut terjun ke medan perang?”

“Aku bersama ayah dan kakak-kakakku ketika itu, dan sangat bersemangat sehingga tidak pernah berpikir tentang kematian.”

“Apakah kau terkadang bermimpi?”

“Tidak ... mimpi macam apa?”

“Maksudku, pernahkah kau memimpikan ayah dan kakak-kakakmu?”

Yoritomo menggeleng. ‘Tidak ... tidak pernah.” Setitik air mata berkilauan dan jatuh ke pipinya, dan dia buru-buru menunduk.

Shigemori sangat tersentuh oleh pembicaraan ini. Dia pun segera menemui ayahnya dan secara berapi-api menyampaikan pendapat yang telah disusunnya dengan penuh perhitungan, memohon kepada Kiyomori untuk mengabulkan permintaan Ariko. Tetapi, permintaan Shigemori justru semakin membakar amarah Kiyomori.

“Apa-apaan ini, kau sendiri masih bocah! Berani-beraninya kau membantahku ... dengan lagak sok pintar pula! Kau masih terlalu muda untuk hanyut dalam khayalan keagamaan seperti itu! Jangan sebut-sebut lagi tentang ceramah ‘Kebudhaan’ dan ‘karma’ dan omong kosong lainnya dari nenekmu ... semua itu tidak akan bisa

Page 515: The Heike Story

menguraikan masalah dunia saat ini! Lihat saja sendiri kebusukan para pendeta di Nara! Apakah serigala-serigala serakah dari Gunung Hiei itu lebih suci daripada para gelandangan dan pengemis di jalanan kita? Kita semua manusia yang memiliki darah dan daging, dan dunia yang kita tinggali ini adalah arena tempat kita memangsa dan dimangsa! Jangan pedulikan orang lain; yang penting adalah menang atau kalah …. Jika kau terus larut dalam omong kosong semacam ini ... meneteskan air mata dan mengoceh tentang ‘belas kasihan’ dan ‘karma baik ... sebaiknya kau pergi ke kuil atau rumah nenekmu saja! Jangan pernah mengungkit-ungkit masalah ini di hadapanku jika ada urusan lain yang jauh lebih menyita perhatianku.”

Walaupun Shigemori menyampaikan pendapatnya kepada ayahnya dengan tenang, Kiyomori menjawabnya dengan semburan kata-kata pedas. Ketika berada di bawah tekanan, Kiyomori kembali menampilkan kebiasaan melakukan tindakan gegabah seperti pada masa mudanya. Dia pun mengumpat-umpat putranya dengan berbagai makian yang pernah dipelajarinya dari para bajingan di pasar. Tetapi, dalam keadaan seperti ini, ketika dia menghujat “kecengengan” orang lain, Kiyomori selalu mengalami kesulitan untuk menyembunyikan air matanya sendiri.

Pertanyaan mengenai jadi atau tidaknya Yoritomo dihukum mati bukan sekadar isu politik lagi, melainkan sebuah kemelut keluarga, dan Kiyomori mendapati ibu tiri, adik tiri, dan bahkan putranya sendiri menentangnya. Walaupun tidak secara langsung, dia menganggap dirinya telah dituduh sebagai iblis yang keji dan berhati batu.

o0odwkzo0o

Page 516: The Heike Story

Bab XXVII – SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT

Ketika itu 3 Januari, dan dinginnya udara terasa menusuk tulang. Tidak seberkas cahaya pun terlihat di mana-mana. Kegelapan pekat menyelimuti bangunan-bangunan di kompleks kuil dan mengisi lorong-lorong terbukanya, yang lantainya telah berlapis es. Udara malam yang ganas menerebos masuk melalui kerai-kerai, dan bahkan dinding-dinding Kapel Kannon di kompleks Kuil Kiyomizu.

“Oh, tenanglah, tenanglah, sayangku …. Kau aman di pelukan Ibu. Udara dinginkah yang membuatmu menangis sekeras ini? Ada apa, bayi mungilku?”

Di dekat sebuah pilar kayu di dekat altar, tempat tikar jerami digelar, tidurlah dua orang anak, saling berpelukan di bawah sehelai selimut tipis.

Tokiwa menggendong bayi tujuh bulan yang menangis di balik lipatan-lipatan kimononya dan berbisik ke telinganya, “Air susuku sudah kering, dan kau pasti menangis karena kelaparan ….Apakah yang menahan Yomogi? … Dia seharusnya segera kembali. Cup, cup, jangan hancurkan hati Ibu, Nak.”

Ibu muda itu berjalan mondar-mandir di lantai kapel dengan resah, khawatir tangis bayinya akan membangunkan kedua putranya.

Kejadian pada malam sebelumnya juga sama, dan kali ini, Ushiwaka sudah mulai merengek-rengek mengibakan sejak senja tiba. Perasaan Tokiwa tersayat karena tidak ada setetes pun air susu yang keluar dari payudaranya untuk membasahi bibir bayinya.

Page 517: The Heike Story

Tokiwa, yang mendatangi Kapel Kannon untuk berdoa setiap bulan pada hari-hari suci dan dikenal oleh para pendeta di sana, melarikan diri ke Kuil Kiyomizu bersama anak-anak dan para pelayannya ketika pertempuran pecah di ibu kota. Tetapi, segera terdengar kabar bahwa Kiyomori telah mengirim prajurit untuk menangkapnya, dan di tengah kepanikan, para pelayannya meninggalkannya, kecuali Yomogi, pengasuh anak-anaknya. Walaupun kasihan kepadanya, para pendeta di Kuil Kiyomizu takut kepada Kiyomori, sehingga menolak untuk berurusan dengan Tokiwa. Seorang biksu muda, Kogan namanya, terharu melihat keprihatinan Tokiwa dan menawarkan diri untuk menyembunyikannya di Kapel Kannon, tempat yang jarang dikunjungi orang. Bersama anak-anaknya, Tokiwa telah bersembunyi di sana selama tiga hari. Kogan secara diam-diam menyelundupkan sehelai tikar jerami dan beberapa selimut, juga sedikit makanan yang hanya cukup untuk bertahan hidup.

Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Tokiwa mengecap pahitnya kebencian manusia. Di tengah kenyamanan Istana, ketika dia menjadi kesayangan Permaisuri-terpilih, Nyonya Shimeko, Tokiwa, yang kecantikannya menjadi buah bibir dan sumber kedengkian para wanita ibu kota, hanya mengenal kebahagiaan. Baginya, Yoshitomo merupakan perwujudan dari seluruh kebaikan manusia, dan cinta Yoshitomo kepadanya telah mencukupi semua kebutuhannya. Tokiwa tidak tahu apa-apa tentang pria; sepanjang hidupnya, dia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang gundik dan merawat anak-anak yang didapatkannya dari Yoshitomo. Hingga dia mendadak terlempar kemari, memohon belas kasihan pada dunia yang sarat oleh kebencian, pertumpahan darah, dan perburuan untuk saling membasmi.

Page 518: The Heike Story

Ushiwaka adalah seorang bayi yang manja semenjak lahir, dan tangisan nyaringnya membuat ibu muda itu merana. Pada hari-hari menegangkan ketika Tokiwa harus membawa lari anak-anaknya dari ibu kota, air susunya mulai mengering. Dia berusaha memberikan makanan kepada bayinya, namun Ushiwaka masih terlalu kecil sehingga makanan justru membuatnya sakit. Dengan panik, lokiwa memanjatkan doa di Kannon agar bayinya selamat; dan, Tokiwa yang berdoa di sana bukan lagi seorang ibu yang bahagia. Setengah gila akibat ancaman bahaya, kekerasan, dan ketakutan akan tertangkap, Tokiwa mengerahkan seluruh dirinya untuk mewujudkan kehendak agar ketiga anaknya tetap hidup. Seluruh kesadarannya, seluruh hasratnya, sekarang menyatu dengan diri anak-anaknya. Didera kegundahan, dengan rambut acak-acakan, Tokiwa berjalan mondar-mandir di dalam kapel di bawah cahaya suram satu-satunya lilin yang ada di sana, membuai dan menenangkan bayinya. Mendengar derak pintu yang terbuka, Tokiwa menoleh dengan waspada, kemudian bertanya,”… Kaukah itu,Yomogi?”

“Ya, ini Yomogi. Saya memohon kepada Kogan, si biksu berhati mulia, untuk memasakkan sedikit bubur talas, dan inilah hasilnya.”

“Oh? Bagus! Berikanlah bubur itu padaku. Dia bahkan sudah tidak bisa menangis lagi karena terlalu lapar.”

“Lihadah betapa lahapnya dia makan!”

“… Dia ingin tetap hidup, lihatlah. Dia tahu bahwa bubur talas bagus untuknya. Lihat, dia bahkan tidak berhenti makan untuk menarik napas! Lihatlah dia!”

Tokiwa kembali meneteskan air mata demi melihat bayi dalam pelukannya. Mengapa, mengapa, pikirnya, air susunya tidak mengalir sederas air matanya? Mengapa

Page 519: The Heike Story

seluruh darah dan daging di dalam tubuhnya tidak mau berubah menjadi susu?

“Nyonya Tokiwa ... dia akhirnya berhenti menangis, bukan?”

Yomogi lupa mengatakan kepada majikannya bahwa si biksu muda turut menyertainya.

“Oh, Tuan yang baik hati, saya sudah merepotkan Anda di malam selarut ini.”

“Saya tidak melakukan apa-apa, sungguh, namun sesuatu yang sangat mengganggu telah terjadi.”

“Apa ... lagi?”

“Saya yakin Anda mengetahui maksud saya. Ada sangat banyak desas-desus yang beredar di kuil, dan tempat ini tidak aman lagi bagi Anda.”

“Oh, apakah yang harus kulakukan jika aku dipaksa pergi dari sini?”

Kemudian, Kogan bercerita bahwa para pendeta telah mendengar tangisan bayi, dan sekarang mengetahui bahwa Tokiwa bersembunyi di kapel. Kabar burung mengatakan bahwa para prajurit Kiyomori akan tiba besok pagi untuk menggeledah seluruh kompleks kuil, dan Kogan akan disalahkan karena memberikan perlindungan kepada buronan.

“Saya akan menggendong salah satu anak Anda,” desak Kogan, “Yomogi bisa menggendong Imawaka, dan Anda, Nyonya, Ushiwaka membutuhkan Anda. Dan sebelum fajar merekah …”

Setelah Kogan menekankan tentang betapa mendesaknya situasi ini, Tokiwa berhenti gemetar. Maka,

Page 520: The Heike Story

sebelum fajar merekah, mereka telah berjalan menembus perbukitan yang mengelilingi Kuil Kiyomizu.

Kogan menyertai mereka hingga tiba di sungai, tempat sebuah perahu kecil telah menanti untuk membawa mereka ke Eguchi, di mulut Sungai Yodo. Setelah Tokiwa, anak-anaknya, dan si pengasuh menaiki perahu, Kogan meninggalkan mereka.

Dua orang geisha, yang hendak kembali ke Eguchi, memberikan kue kedua anak Tokiwa sambil berkomentar, “Anak-anak yang manis! … Ke manakah kalian akan pergi sepagi ini?”

“Terima kasih banyak. Kami memiliki kerabat di Mimaki, tidak jauh dari sungai,” jawab Tokiwa.

“Kalau begitu, kalian akan turun sebentar lagi. Apakah kalian bertamu di sana?”

‘Tidak ….”

“Berarti, kalian pasti senasib dengan orangtua kami, yang rumahnya terbakar habis dalam pertempuran bulan lalu. Kami baru saja menjenguk mereka, dan sekarang hendak pulang ke Eguchi. Memang benar bahwa mereka yang tidak berdosa selalu mendapatkan dampak yang terburuk, bukan? … Anak-anak manis ini tentu telah mendapatkan pengalaman yang buruk!”

“Mmm …” Imawaka menggeleng kesal kepada wanita asing yang mengacak-acak rambutnya. “Ibu, Otowaka sudah memakan kuenya! Aku juga mau makan kueku ... Ibu!”

“Ucapkan terima kasih sebelum kau makan.”

Kedua geisha itu sepertinya sangat menyukai anak-anak Tokiwa, sehingga mereka mengeluarkan lebih banyak kue

Page 521: The Heike Story

dari wadah bambu yang mereka bawa; salah seorang dari mereka bahkan menurunkan selendang sutra yang membungkus bahunya untuk menyelimuti si bayi.

“Selamat jalan, anak-anak!” keduanya melambai-lambai ketika Tokiwa turun di M i mata.

Paman Tokiwa adalah seorang pedagang sapi pedaging, yang dipelihara di peternakannya.

“Wah, wah, kaukah itu, Tokiwa?” seru bibinya dengan kaget, walaupun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mempersilakan Tokiwa masuk. “Kau pasti menganggapku kejam, namun kau seharusnya tahu bahwa para prajurit sedang memburumu. Mereka menjanjikan imbalan besar bagi siapa pun yang bisa menyerahkanmu kepada Kiyomori di Rokuhara ... hadiah, kau tahu …. Nah, lebih baik kau pergi sekarang, selagi pamanmu masih tidur; dia tidak akan membiarkanmu pergi jika mengetahui bahwa kau ada di sini. Nah, jangan membantah nasihatku,” kata si bibi, mengusir Tokiwa dari rumahnya.

Tokiwa hanya bisa mengingat seorang lagi kerabat jauhnya yang mungkin bisa dimintai pertolongan, dan pria itu tinggal di sebuah desa bernama Yamato. Walaupun letih, dia berjalan kaki ke

sana, meminta-minta makanan untuk anak-anaknya kepada siapa pun yang mau memberi, tidur di beranda-beranda kuil, melanjutkan perjalanan sepanjang siang dan malam bagaikan gelandangan. Orang-orang melontarkan tatapan curiga kepada Tokiwa namun memperlakukannya dan anak-anaknya dengan baik. Mereka yang mengetahui bahwa dirinya buronan justru mengasihaninya dan menyembunyikan keberadaannya dari pihak yang berwenang.

Page 522: The Heike Story

Kerabat yang dicari oleh Tokiwa adalah seorang pendeta, dan dia bersedia menyembunyikan Tokiwa dan anak-anaknya di dalam sebuah kuil yang dikelolanya. Pada awal Februari, ketika Ushiwaka sudah sehat kembali, paman Tokiwa mendadak mendatangi rumah si pendeta dengan membawa sebuah gerobak sapi tua yang berderit-derit ribut. Dia berbicara dengan si pendeta hingga larut malam, dan keesokan paginya berkata kepada Tokiwa:

“Kau tahu bahwa kau tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi di sini. Kau lebih baik kembali ke ibu kota dan menyelesaikan urusanmu di sana jika tidak ingin mereka menggantung atau menyiksa ibumu, yang masih di sana.”

“… Tapi, untuk apa mereka melakukan itu?”

“Untuk apa? Bukankah itu sudah sewajarnya? Kau kabur bersama anak-anak Yoshitomo, sehingga mereka menangkap ibumu dan menjebloskannya ke penjara di Rokuhara.”

“Apa ... ibuku?”

“Siapa lagi? Semua orang mengetahuinya. Mereka juga menggunjingkan dirimu ... kata mereka, kau mengabaikan ibumu demi cintamu kepada anak-anak hasil hubungan gelapmu dengan Yoshitomo!”

Tomizo memelototi Tokiwa tanpa berkedip, bagaikan seekor binatang garang, sementara keponakannya itu menangis. Selama ini, Tokiwa hanya memikirkan anak-anaknya, namun sekarang dia meratap bagaikan seorang bocah yang mendambakan kasih sayang ibunya.

Tomizo tertawa getir. “Sudah, berhentilah menangis!” ... ketika sebuah pikiran lain mendadak terlintas di benaknya, dan dia pun melanjutkan, “Mumpung air matamu belum kering, sebaiknya kau juga meratapi kekasihmu itu ...

Page 523: The Heike Story

Yoshitomo. Kau mengira dia pergi ke timur dan akan segera menjemputmu, namun dia sudah mati. Dia mati pada 3 Januari, kau sudah tahu?”

Tokiwa menatap pamannya tanpa bisa memercayai kata-katanya; bibirnya ternganga dan seolah-olah membeku.

“Itulah kebenarannya. Kau bisa mencari tahu sendiri setibanya dirimu di ibu kota. Kepalanya digantungkan di pohon yang berdiri di dekat Penjara Timur selama tujuh hari. Tidak ada seorang pun di Kyoto yang belum melihatnya.”

Desahan penuh derita meluncur dari bibir Tokiwa, “Kalau begitu ... ”

“Tokiwa!”

“Tapi, Yoshitomo ... ”

“Sudahlah, Tokiwa, apakah yang merasukimu? Tenangkan dirimu! Jangan memandangku seolah-olah kau sudah gila seperti itu. Semua itu tidak ada hubungannya denganku, kau mendengarku? Peranglah yang melakukan itu kepadamu dan anak-anakmu, dan bukankah Yoshitomo juga berperan dalam menyebabkan huru-hara itu? Sudahlah, lupakanlah masa lalumu.”

Tetapi, Tokiwa tidak mau mendengarkan pamannya; duka yang mendalam telah mengaduk-aduk pikirannya, dan dia meratap seolah-olah ingin menguras seluruh air matanya. Hanya bayi dalam pelukannyalah yang berhasil mengembalikan kesadarannya. Kesedihan ibunya membuat Ushiwaka ketakutan, sehingga dia menangis mengibakan.

Keesokan harinya, berbekal tipuan dan bujuk rayu, Tomizo berhasil menyuruh Tokiwa beserta ketiga anaknya menaiki gerobak bobrok yang dibawanya, meninggalkan

Page 524: The Heike Story

Yomogi si pengasuh yang terisak-isak sedih di belakang mereka. Tomizo mendecakkan

bibirnya dengan penuh nafsu ketika memikirkan hadiah yang telah menantinya, lalu memecut sapinya dan bergegas membawa mereka ke ibu kota.

Setibanya di ibu kota, mereka mendapati bahwa rumah yang semula dihuni oleh ibu Tokiwa sekarang telah kosong, tanpa sedikit pun harta benda berharga yang tersisa.

“Nah, kita sebaiknya menginap di sini,” kata Tomizo, mengangkat Tokiwa dan anak-anaknya keluar dari gerobak, lalu mengangkuti selimut, peralatan masak, dan harta benda ala kadarnya yang mereka bawa ke dalam rumah. “Ini tidak akan cukup ... anak-anakmu menangis; kau pun pasti lapar. Aku akan mencari makanan.”

Setelah membeli bahan-bahan makanan di pasar, Tomizo mulai memasak, lalu dengan galak menyuruh Tokiwa dan anak-anaknya makan, seolah-olah mereka adalah pengemis yang terpaksa dia urus. “Ayo, habiskanlah makanan kalian dan segeralah tidur,” perintahnya dengan gusar sambil memelototi Imawaka dan Otowaka. Tidak lama kemudian, Tomizo pergi untuk menemui salah seorang anteknya di kota.

Tokiwa sendiri saat ini telah mengendus kelicikan pamannya. Tomizo berniat menyerahkannya kepada Kiyomori untuk merebut hadiah yang telah dijanjikan. Dia tidak melihat jalan keluar, karena melarikan diri dari pamannya sama halnya dengan membahayakan nyawa ibunya. Kabur bersama tiga orang bocah yang tidak berdaya juga bukan sesuatu yang mudah. Di tengah keputusasaannya, pikiran untuk bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya terus mendesaknya, namun surat

Page 525: The Heike Story

terakhir Yoshitomo untuknya senantiasa menghentikan niatnya.

Adakah yang bisa dikatakan tentang pahitnya kekalahan? Aku tidak bisa datang sendiri untuk mengucapkan selamat tinggal kepadamu, karena aku telah pergi ... ke mana aku akan pergi, aku tidak tahu. Pada suatu hari nanti, aku pasti akan kembali kepadamu. Mengungsilah ke hutan, ke perbukitan jika perlu. Jangan sampai bahaya mendatangi anak-anakku tersayang, aku memohon kepadamu. Walaupun jarak kita terpisah oleh ribuan gunung dan sungai, ingatlah bahwa aku selamanya mencintaimu. Dan kutegaskan kepadamu ... -jangan larut dalam keputusasaan.

Kata-kata itu terukir di dalam kenangan Tokiwa bagaikan ayat-ayat suci di Kannon, dan setiap kali kematian memanggil-manggil dan menggodanya, dia merapalkan isi surat Yoshitomo kepada dirinya sendiri, seolah-olah berdoa untuk menolak nestapa.

Tetapi, seluruh harapannya telah sirna; Yoshitomo telah wafat, dan besok, Tokiwa yakin, akan menjadi hari terakhirnya di muka bumi ini. Kemudian, dia sekonyong-konyong teringat bahwa dirinya belum berpamitan kepada Nyonya Shimeko, yang telah menjadi pengayomnya selama sembilan tahun. Maka, senja itu, menggendong bayi dan menggandeng kedua anaknya, Tokiwa berjalan menuju istana di Jalan Kesembilan, yang terletak cukup dekat dari rumah ibunya. Dia sudah menghafal seluk beluk tempat itu, sehingga dia langsung menghampiri Gerbang Barat, yang dijaga oleh orang-orang yang dikenalnya. Setibanya dia di ruang dayang, teman-teman lamanya langsung mengerumuninya dan menghujaninya dengan pertanyaan tentang di mana dirinya bersembunyi, lalu menangisi nasib Tokiwa dan anak-anaknya.

Page 526: The Heike Story

Nyonya Shimeko segera memanggil Tokiwa dan menyambutnya dengan air mata, mengatakan, “Ah, Tokiwa, menyedihkan sekali perubahanmu. Mengapa kau tidak secepatnya mendatangiku?”

Kelegaan dan kegembiraan meliputi istana Nyonya Shimeko. Para penghuni tempat itu sempat mencemaskan kemungkinan Kiyomori akan menuduh Nyonya Shimeko telah menyembunyikan atau membantu pelarian Tokiwa. Namun sekarang, teman-teman Tokiwa memuji-mujinya karena sanggup bersembunyi begitu lama, dan kemudian menangis karena dia kembali hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

o0odwkzo0o

“Aku Tomizo, pedagang sapi dari Mimata ... paman Tokiwa,” kata seorang pria yang tiba di Rokuhara menjelang senja. Tokitada, adik ipar Kiyomori, begitu mengetahui bahwa pria itu datang untuk menyampaikan kabar tentang Tokiwa, memerintahkan agar dia dikurung di pos penjaga.

“Ini bukan lelucon,” Tomizo memprotes si penjaga. “Aku sudah menempuh jarak yang sangat jauh untuk mengatakan di mana kalian akan menemukan wanita yang sedang kalian buru, dan aku menuntut hadiahku! Kalian bahkan tidak berterima kasih kepadaku … Apa maksud kalian menjebloskanku ke dalam lubang ini?”

Tokitada menjalankan perintah Kiyomori, yang gusar karena banyak orang telah mendatangi Rokuhara untuk menyampaikan keterangan tentang para buronan. Sebagian besar dari mereka, didorong oleh ketamakan dan keinginan untuk menjadi kaya, tidak segan-segan mengkhianati mantan pengayom mereka ataupun orang-orang yang tidak bersalah demi memuaskan hasrat mereka. Karena itulah

Page 527: The Heike Story

Kiyomori memerintahkan kepada Tokitada untuk membuka mata orang-orang itu pada kelicikan mereka sendiri sebelum mengusir mereka.

Malam itu, Tokitada menceritakan kejadian pada siang harinya kepada Kiyomori. “Dan sekarang, apakah sebaiknya tindakanku selanjutnya?”

“Tindakanmu selanjutnya?” ulang Kiyomori dengan kesal sebelum terdiam. Pertanyaan itu mengingatkannya pada betapa kasarnya perkataannya kepada ibu tirinya mengenai nasib Yoritomo. Akhirnya, dia berkata, “Suruh Itogo melihat apakah Tokiwa benar-benar ada di sana”

“Kau hendak menyuruh Itogo untuk menangkap Tokiwa dan membawanya dan anak-anaknya kemari?”

“Ya, dia hanya perlu membawa beberapa orang prajurit untuk melakukan itu.”

‘Tidak, tidak untuk seorang wanita dengan tiga orang anak yang tidak berdaya.”

“Jika benar bahwa si paman ini menemukan Tokiwa bersembunyi di Yamato dan membawanya kemari, maka wanita itu harus menyerahkan diri demi keselamatan ibunya.”

“Pamannya tidak mengatakan apa-apa tentang itu.”

“Tentu saja tidak. Bajingan itu memburu uang, dan itulah alasannya melaporkan keberadaan Tokiwa. Dia adalah perongrong rumah tangga Yoshitomo dan dia tentu banyak berutang budi kepada keponakannya ... bajingan yang tidak tahu berterima kasih! Pastikan agar dia mendapatkan apa yang layak diterimanya.”

“Itu akan segera diurus.”

Page 528: The Heike Story

“Dan katakan kepada Itogo bahwa saat menangkap Tokiwa, dia tidak boleh menyakiti anak-anaknya.”

“Aku akan memberitahunya.”

“Sejak saat ini, dia akan bertanggung jawab atas para tahanan itu. Dia akan mendapatkan perintah dariku nanti, setelah aku memiliki waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya.”

Tokitada langsung beranjak untuk menyampaikan perintah kepada Itogo, yang berangkat pada pagi buta bersama beberapa orang prajurit ke rumah di Jalan Keenam. Setibanya di sana, Itogo mendapati rumah itu kosong; dari para tetangga, Itogo mendengar bahwa Tokiwa telah pergi ke istana di Jalan Kesembilan. Untuk menghindari keributan karena kehadiran prajurit bersenjata, Itogo cepat-cepat melaporkan kedatangannya kepada pengurus rumah tangga Istana, menjelaskan bahwa dia dikirim dari Rokuhara untuk menahan Tokiwa. Si pengurus rumah tangga meyakinkan Itogo bahwa mereka tidak berupaya melindungi seorang buronan. Tokiwa sendiri, katanya, sedang bersiap-siap untuk menyerahkan diri ke Rokuhara.

Sementara Itogo dan para prajuritnya menunggu di pos penjaga di salah satu gerbang dalam, Tokiwa mempersiapkan diri untuk keberangkatannya. Dia telah melalui malamnya bersama teman-teman yang menyayangi dan menenangkannya, sehingga keberangkatan ini tidak sepahit yang disangkanya. Dia bangun pada pagi buta untuk mandi dan menata rambutnya. Dia membuka kotak peralatan riasnya dan duduk di depan cermin. Dia terkejut melihat kedamaian sosok yang balas menatapnya dari dalam cermin. Bedak menempel mulus di kulitnya, dan dia tampak gemerlap berkat sentuhan peralatan riasnya.

Page 529: The Heike Story

Putra sulung Tokiwa menatap bayangan ibunya dan bertanya, “Ke manakah Ibu akan pergi?” Dia menari-nari gembira ketika mendengar jawaban ibunya.

“Ke tempat yang indah ... dan kau akan ikut bersamaku.”

Mengenakan kimono pemberian Nyonya Shimeko dan dayang-dayangnya, Tokiwa menemui sang majikan, membungkuk dalam-dalam, dan berkata:

“Walaupun tidak berani berharap akan bisa kembali kemari, saya tidak akan melupakan kebaikan Anda selama bertahun-tahun ini ... begitu pula perhatian yang Anda berikan kepada saya tadi malam.”

Nyonya Shimeko hanya sanggup berbisik saat membungkuk ke arah Tokiwa, “Sebaiknya kau menyerah kepada takdirmu, namun jangan pernah kehilangan harapan. Aku akan memohon kepada ayahku untuk berbicara kepada Tuan Kiyomori.”

Sementara dayang-dayang, dengan berurai air mata, menemani Imawaka dan Otowaka menyantap sarapan, Tokiwa menyusui putra bungsunya untuk terakhir kalinya.

Di tempat lain, Itogo dan para prajuritnya mulai kehabisan kesabaran, dan Tokiwa bisa mendengar mereka menuntut agar dirinya segera berangkat. Nyonya Shimeko cepat-cepat menyampaikan pesan melalui pengurus rumah tangganya, meminta agar Tokiwa diizinkan menggunakan keretanya. Mengenai hal ini, Itogo menjawab, “Tidak biasanya seorang tahanan diizinkan mengendarai kereta, namun karena dia membawa anak-anak, saya akan memperbolehkannya.”

Sejenak kemudian, sebuah kereta wanita, dikawal oleh beberapa orang prajurit berjalan kaki, berderak melewati

Page 530: The Heike Story

gerbang belakang, melewati jalan-jalan utama ibu kota untuk menuju Rokuhara.

o0odwkzo0o

Bab XXVIII-SANG IBU Kiiyomori tidur dengan gelisah malam itu. Sepertinya

tidak ada alasannya; jika didesak untuk mengungkapkan alasannya, dia akan menjawab bahwa dia merasa tertekan oleh tugas-tugas resminya ... berbagai pertemuan dengan para pejabat, berbagai tugas dari Kaisar. Tetapi, walaupun senantiasa siap siaga menjalani semua formalitas itu, Kiyomori sesungguhnya berhati rapuh. Dia tidak membutuhkan nasihat dari Ariko ataupun putranya untuk menangani masalah Tokiwa dan anak-anaknya, karena kabar mengenai penangkapan mereka telah merisaukannya, lebih daripada yang mau diakuinya.

“Sudahkah kau bertemu dengan mereka, Tokitada?” Kiyomori bertanya kepada Tokitada keesokan siangnya.

“Ya, aku sudah menemui mereka. Semuanya sudah dilaksanakan sesuai dengan perintahmu. Itogolah yang sekarang bertanggung jawab, dan mereka ditahan dengan penjagaan ketat” “Apakah mereka sepertinya merasa nyaman?” “Bayinya tak henti-hentinya menangis, dan Tokiwa sendiri tampak letih.”

“Tokiwa, yang kecantikannya pernah menjadi buah bibir dan sumber kedengkian para wanita dari kalangan bangsawan dan rakyat jelata.”

“Dia baru berumur dua puluh tiga tahun dan memiliki tiga orang anak. Sulit untuk memercayai bahwa berminggu-minggu pelarian dan kelaparan tidak berpengaruh pada

Page 531: The Heike Story

penampilannya. Ada kesan mengibakan dalam kecantikannya sekarang.”

“Hmm?”

“Mengenai pengadilannya ... apakah kau ingin aku atau Itogo yang menanyainya dan menunjukkan bukti-bukti yang diperlukan?”

“Tidak,” Kiyomori langsung menggeleng. “Biar aku saja yang melakukan pemeriksaan silang. Dia adalah janda Yoshitomo dan berada di sini bersama ketiga putranya. Ini adalah masalah yang harus kutangani sendiri.”

Tokitada telah mendengar tentang dampak dari pendapat Ariko mengenai kasus Yoritomo, dan menyimpulkan bahwa Kiyomori ingin segera menyelesaikan masalah yang menyangkut nasib Tokiwa sebelum ibu tirinya sekali lagi turut campur.

“Kapankah kau ingin menemui si tahanan?”

“Lebih cepat lebih baik ... sebelum petang.”

Seorang tamu hadir tidak lama setelah Tokitada pergi. Dia adalah seorang pejabat istana, Fujiwara Koremichi, yang datang sebagai duta dari putrinya, Nyonya Shimeko. Kiyomori menerimanya dengan penuh kesopanan.

‘Tentu saja saya tidak mencurigai Nyonya Shimeko. Saya terkejut karena Anda sendirilah yang datang untuk membicarakan masalah ini dengan saya. Sungguh sayang bahwa tidak ada lebih banyak orang seperti Anda di Istana, yang bisa memberikan nasihat kepada kami di masa seperti ini.”

Kiyomori diam-diam mengagumi Koremichi dan menduga bahwa Koremichi memiliki perasaan yang sama kepadanya. Ketika tiba waktunya bagi Koremichi untuk

Page 532: The Heike Story

pulang, Kiyomori telah menenggak lebih banyak sake daripada biasanya, dan selagi suasana hatinya masih

bagus, Tokitada hadir kembali untuk mengatakan bahwa Tokiwa telah siap ditanyai.

Kiyomori menyusuri sebuah lorong menuju sayap barat Rokuhara. Beberapa perbaikan besar-besaran dan penambahan sedang dilakukan pada bangunan itu, sehingga dia melangkah dengan hati-hati menuju salah satu ruangan di dekat halaman dalam dengan taman yang sedang diperluas.

“Di manakah mereka ditahan?”

“Di sana.”

“Di bawah ... sana?”

Kiyomori menghampiri langkan dan melongok ke bawah. Tokiwa duduk bersimpuh di atas sehelai tikar jerami, menunduk dalam-dalam; di kedua sisinya, duduklah anak-anaknya, menggenggam erat-erat lengan kimono ibu mereka.

“Itogo, berikanlah bantal duduk untuk wanita itu dan anak-anaknya,” Kiyomori memerintah sebelum duduk di tengah ruangan itu. Itogo tampak bingung dan kikuk. Tidak biasanya seorang tahanan diperlakukan dengan cara seperti ini.

“Kemari, bawa mereka ke atas sini,” kata Kiyomori, menyentakkan kepalanya ke arah lorong di luar ruangan.

Bukan hanya Itogo yang tampak terkejut; tidak diragukan lagi, bagaimanapun, bahwa yang dimaksud oleh Kiyomori adalah lorong di luar ruangan.

“Di sini, Tuan?”

Page 533: The Heike Story

Kiyomori mengangguk ketika Itogo meletakkan tiga buah bantal di puncak tangga yang berpangkal di halaman bawah. Tokitada mengisyaratkan kepada Tokiwa untuk mendekat Wanita itu mendongak dengan tubuh gemetar dan menarik anak-anaknya yang ketakutan. Itogo berbicara kepadanya:

“Naiklah seperti yang telah diperintahkan. Duduklah di sini.”

Tokiwa berdiri, menggendong bayinya dan menggandeng tangan mungil Otowaka, lalu melangkah maju dan perlahan-lahan menaiki

tangga, diikuti oleh Imawaka yang berpegangan erat pada kimono ibunya.

Ketika Tokiwa mendekat, Kiyomori merasakan jantungnya berdebar kencang ... dia gelisah. Jadi, inilah dia, wanita yang kecantikannya tidak tertandingi dan namanya pernah menjadi buah bibir semua orang!

“Apakah kau bersedih, Tokiwa?”

‘Tidak, air mata saya sudah kering. Saya memohon agar Anda mengasihani ibu saya. Bebaskanlah beliau, saya mohon, Tuan.”

“Hmm ... itu akan dilakukan,” Kiyomori langsung menjawab, lalu melanjutkan, “Di manakah kau bersembunyi selama ini? Apakah yang mendorongmu untuk melarikan diri bersama anak-anakmu?”

“Saya bersembunyi di Yamato. Mengenai anak-anak saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak berbeda dengan ibu-ibu lainnya, yang secara naluriah membutuhkan anak-anaknya.”

“Apakah yang membawamu kembali ke ibu kota?”

Page 534: The Heike Story

“Laporan mengenai ibu saya.”

“Pamanmu datang kemari, kau tahu.”

“Saya tidak tahu bahwa paman saya mendahului saya kemari. Saya kembali ke ibu kota dengan niat untuk menyerahkan diri kepada Anda.”

“Seperti yang sudah kuduga. Kau gila karena kembali ke ibu kota.”

Kiyomori terdiam dan menatap lekat-lekat sang ibu muda dan anak-anaknya; kemudian, dia mendadak bertanya, “Apakah kau bisa menyusui bayimu?”

Tokiwa memandang bayi dalam pelukannya, lalu menjawab pertanyaan Kiyomori dengan gelengan tersamar.

“Tidak bisa. Sudah kuduga,” kata Kiyomori kepada dirinya sendiri dengan tatapan galau. “Para ibu memang tolol. Mereka berpura-pura memiliki makanan padahal tidak ada apa-apa; sedikit makanan yang ada mereka berikan kepada suami dan anak-anak mereka, sementara bayi mereka melolong meminta susu …. Dan kau, yang telah kabur ke wilayah perbukitan dan hutan ... bayimu masih hidup karena mukjizat.”

“Tokiwa, kau tidak perlu takut. Ini adalah perang antara Yoshitomo dan aku. Kau tidak bersalah.”

“Ya.”

“Sungguh sayang bahwa pria seperti Yoshitomo telah salah mengambil langkah dengan berpihak kepada para bangsawan muda yang bejat. Dia juga telah salah menilaiku.”

Tangis Tokiwa pecah, dan dia terisak-isak hebat.

“Tuanku ... tuanku ... ” dia memohon.

Page 535: The Heike Story

Kiyomori memandang wajah yang terangkat ke arahnya, lalu tatapannya tertuju pada bulu mata lentik yang sarat oleh air mata, dan hatinya pun seketika tersengat oleh belas kasihan.

“Tokiwa, kau tidak perlu menangis seperti itu. Kau tidak memiliki peran apa pun dalam pertikaian ini. Ibumu akan dibebaskan karena kau telah menyerahkan diri kepada kami. Hapuslah air matamu, lokiwa, karena kau juga akan dibebaskan.”

Tokiwa mendadak berhenti menangis, “Tidak ... tidak, saya tidak memohon kepada Anda untuk mengampuni saya. Tetapi, ampunilah mereka, anak-anak saya!”

“Apa?”

“Ampunilah anak-anak saya, Tuan; biarkanlah saya mati untuk menggantikan mereka!”

Mendengar hal ini, amarah Kiyomori seketika meledak, dan dia meraung:

“Perempuan, berhati-hatilah dengan omonganmu! Kau memiliki kebiasaan buruk yang ada di dalam diri setiap wanita ... kau ingin mempermainkan kelembutan hatiku. Kau memang bukan seorang Genji, tapi anak-anakmu berbeda, karena darah Genji mengalir di tubuh mereka. Aku tidak bisa mengampuni mereka!”

Kiyomori, yang berdiri akibat kemarahannya, duduk kembali. Tetapi, dia tetap menatap garang kepada sosok yang menjura di hadapannya.

“Jadi, kau sama saja dengan Genji Yoshitomo, salah menilai diriku. Aku membenci kata ‘belas kasihan*. Aku memang tidak mengenal belas kasihan. Itogo! Tokitada!”

Itogo dan Tokitada segera maju.

Page 536: The Heike Story

“Bawa perempuan ini dan anak-anaknya. Pengadilan ini selesai.”

Tanpa menunggu para pengawalnya, Kiyomori bergegas keluar dari ruangan itu dan mengurung diri di salah satu bilik.

o0odwkzo0o

Tidak sampai dua minggu kemudian. Kiyomori mengalah, seperti yang biasa dilakukannya kepada orang-orang kecil atau keluarga dekatnya. Tidak tahan mendengar permohonan ibu tirinya, dia memerintahkan agar hukuman mati untuk Yoritomo ditangguhkan. Seorang kurir dikirim ke rumah Shigemori untuk menyampaikan pesan bahwa Kiyomori ingin berbicara dengannya.

“Shigemori, aku telah memikirkan masalah ini.”

“Dan, apakah keputusan Ayah?”

“Setelah mendengarkan pendapat nenekmu. Shigemori, aku memutuskan untuk mengampuni Yoritomo.”

“Lalu?”

“Dia akan diasingkan. Ke tempat yang sejauh dan seterpencil mungkin.”

“Nenek akan bahagia mendengarnya, dan orang-orang akan memuji Ayah sebagai seorang anak yang berbakti.”

‘Tidak. Aku tidak melakukannya karena Itu, tetapi karena aku sendiri adalah seorang ayah, dan aku tidak ingin menghadirkan ajal kepada anak orang lain.”

“Ya, Shinzei adalah contoh seseorang yang telah dengan keji membantai musuh-musuhnya. Dia harus menyaksikan putra-putranya dibunuh, sebelum dirinya sendiri akhirnya tewas dengan cara yang sama.”

Page 537: The Heike Story

“Tidak perlu menceramahiku. Aku tidak berpura-pura menjadi manusia budiman. Manusiawi jika aku merasa iba kepada seorang bocah seperti Yoritomo. Menghukum mati dirinya saat ini juga bukan langkah yang bijaksana, dan aku tidak ingin masyarakat membenciku. Pergilah dan sampaikanlah keputusanku mengenai nasib Yoritomo ini kepada nenekmu.”

Ketika tanggal 13 Februari semakin dekat, perintah resmi menyangkut nasib Yoritomo tidak kunjung turun. Berlawanan dengan kebiasaannya, Kiyomori diam seribu bahasa, dan tanggal tersebut berlalu begitu saja. Baru sekitar sebulan kemudian, sebuah dekrit diturunkan, berisi perintah untuk mengasingkan Yoritomo ke Izu, di wilayah timur Jepang. Dia akan diberangkatkan pada tanggal 20 Maret

Beberapa hari kemudian, seluruh penduduk ibu kota dikejutkan oleh kabar bahwa Kiyomori telah mengampuni Tokiwa dan anak-anaknya. Beberapa di antara mereka bahkan menghujat Kiyomori dan mempertanyakan kebijakan yang melandasi keputusannya, dan kepada mereka, Kiyomori mengatakan bahwa dirinya hanya meneruskan perintah dari pihak yang lebih berwenang. Kemudian, mulai beredar desas-desus bahwa alasan yang dikemukakan oleh Kiyomori adalah omong kosong belaka, karena terdapat laporan bahwa kereta Kiyomori terlihat setiap malam di luar rumah tempat Tokiwa ditahan.

o0odwkzo0o

Bab XXIX-PENGASINGAN Kegelapan masih menyelubungi kuntum-kuntum sakura

ketika sepasukan prajurit dan beberapa orang petugas berkumpul di bawah pepohonan di sepanjang tembok

Page 538: The Heike Story

kediaman Ariko. Bunga sakura juga bermekaran bagaikan gumpalan awan di pohon-pohon yang menjulang tinggi di halaman. Seisi rumah sepertinya telah terjaga, karena cahaya dari rumah menerobos tirai sakura dan menunjukkan sosok-sosok yang bergerak ke sana kemari di lorong-lorong rumah.

“Nyenyakkah tidurmu semalam?”

Pagi itu adalah 20 Maret, hari ke berangkatan Yoritomo ke rumah pengasingannya di Izu.

Munekiyo bangun pada pagi buta dan datang untuk membantu persiapan Yoritomo sebelum melakukan perjalanan.

“Ya, aku bisa tidur, namun aku sangat gembira dan bersemangat sehingga aku terbangun pada pagi buta; dan, ketika aku membuka kerai jendela, ternyata bulan masih bersinar.”

“Itu berarti kau terbangun pada tengah malam. Kau harus berhati-hati agar tidak tertidur di atas kudamu lagi.”

“Oh tidak, Munekiyo, tidak masalah jika itu terjadi lagi kali ini.”

“Mengapa begitu?”

“Para pengawal akan memastikan agar aku tidak tertinggal di belakang.”

Munekiyo tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan Yoritomo; tingkahnya bagaikan seekor burung yang akan dilepaskan dari sangkar, dan keceriaannya begitu menular sehingga Munekiyo mau tidak mau merasa bahwa peristiwa hari ini, yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga sakura, patut dirayakan. Seorang pelayan muncul untuk membantu Yoritomo mandi. Yoritomo segera kembali,

Page 539: The Heike Story

dengan wajah berseri-seri dan pipi merona bagaikan buah yang ranum. Dia mengenakan kimono baru yang dihadiahkan oleh Ariko.

“Sebelum berangkat, aku ingin mengucapkan terima kasih lagi kepada Nyonya Ariko dan berpamitan.”

“Ya, Nyonya Ariko juga sudah menunggumu. Aku akan membawamu menemui beliau segera setelah kau menghabiskan sarapanmu.”

Yoritomo duduk dan menyantap sarapannya dengan tenang.

“Munekiyo, ini terakhir kalinya aku makan di sini, bukan?”

“Ya, dan aku bersedih karenanya.”

“Aku pun sedih, Munekiyo,” kata Yoritomo, menoleh kepada penahannya, “aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu kepadaku.”

Munekiyo terkekeh. “Aku tidak melakukan apa pun ... hanya menjalankan tugasku. Kau sebaiknya tidak berharap akan menemui kebaikan di mana pun kau berada. Beri tahu aku jika kau secara khusus menginginkan seseorang menemanimu.”

“Tidak, tidak ada seorang pun yang terpikir olehku. Mungkin ada, namun dia tidak akan berani datang kemari.”

“Benar juga. Nah, jika kau sudah siap, kita akan menemui Nyonya Ariko.”

Yoritomo dibawa keluar dari sebuah bilik mungil tempatnya disekap selama seratus hari menuju kediaman Ariko, sebuah rumah mungil yang ditata dan dihias sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah kapel. Yoritomo datang kemari pada malam sebelumnya untuk

Page 540: The Heike Story

makan malam bersama Ariko dan dihadiahi kimono-kimono baru dan berbagai keperluan untuk perjalanannya. Sebagai tambahan atas kepuasan karena telah menjalankan perintah agamanya, Ariko terharu melihat kemiripan bocah itu dengan almarhum putranya, sehingga ketika Yoritomo berpamitan, dia menanyakan apakah masih ada sesuatu yang bisa diberikannya. Yoritomo dengan malu-malu menjawab, “Saya ingin memiliki papan permainan dadu ... sesuatu untuk dimainkan saat saya merasa kesepian di Izu.”

Sayangnya, Ariko tidak bisa memenuhi permintaan Yoritomo malam itu, namun dia mempersiapkan benda itu keesokan harinya dan dengan gembira menantikan kedatangan Yoritomo.

“Nyonya, saya datang untuk berpamitan,” kata Yoritomo, membungkuk rendah-rendah di hadapan Ariko, yang matanya tampak berkaca-kaca. “Dan, setibanya saya di Izu yang jauh, saya tidak akan pernah melupakan Anda yang telah menyelamatkan nyawa saya. Saya akan berdoa setiap pagi dan malam untuk kebahagiaan Anda, Nyonya.”

“Jadi, kau akan pergi sekarang. Aku tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawamu; semuanya adalah berkat sang Buddha yang penuh rahmat …. Ingatlah petuahku kepadamu tadi malam, Yoritomo, bahwa kau harus meninggalkan jalan pedang, mengabaikan panggilan pertumpahan darah.”

“Baiklah.”

“Tidak peduli sebesar apa pun godaannya, berpalinglah dari bisikan mereka yang tidak beriman …. Pusatkanlah kehidupanmu untuk mendoakan mendiang ibu dan ayahmu.”

“Baiklah.”

Page 541: The Heike Story

“Ingatlah petuahku hingga kau dewasa. Jangan biarkan seorang pun menyeretmu ke dalam rencana pembalasan dendam karena aku tidak ingin kau dipenjara lagi. Dan, jangan pernah lupa bahwa doaku selalu bersamamu.”

“Baiklah … baiklah.”

“Kau anak baik …. Ini papan permainan dadu yang kujanjikan. Apakah kau senang?”

Ariko mengeluarkan sebuah kotak hitam berhiaskan emas yang indah.

“Oh, kotak yang sangat cantik! Bolehkah saya membukanya sekarang?”

Ariko tersenyum. “Kurasa kau tidak punya waktu untuk melakukan itu sekarang. Apakah dia punya waktu, Munekiyo?”

“Saya rasa tidak. Peti-petimu sedang diangkut keluar, dan sebaiknya aku menyatukan kotak itu dengan barang-barangmu yang lain agar tidak rusak.”

“Lebih baik begitu ….Yang lebih penting bagimu saat ini adalah menemui orang-orang yang baru saja meminta izin kepadaku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu. Mereka sedang menunggumu di ruang pelayan.”

“Oh, tamu untuk saya?”

Yoritomo menarik napas dalam-dalam. Kesedihan melandanya, dan kepedihan yang tidak bisa dijabarkannya; dia tidak bisa menebak siapa yang sedang menantinya. “… Oh!”

Ketiga orang tamu Yoritomo menoleh kepadanya dengan mata berkaca-kaca. Salah satunya adalah pamannya dari pihak ibu, Sukenori, yang menolak untuk berpihak ke mana pun ketika perang pecah; yang kedua adalah Genji

Page 542: The Heike Story

Moriyasu, yang tertahan oleh penyakitnya di sebuah provinsi terpencil hingga perang berakhir. Tamu ketiga Yoritomo adalah pengasuh tuanya, yang telah mengasuhnya sejak dia masih bayi; wanita itu berlutut dan menangis terisak-isak di hadapannya.

“Tuan Muda, izinkanlah saya mengikat rambut Anda untuk terakhir kalinya,” kata wanita itu, seraya bangkit dan berdiri di belakang Yoritomo. Sambil menyisiri rambut Yoritomo, dia membungkuk cukup lama untuk berbisik, “Ini adalah saat yang

menyedihkan bagi Tuan, namun ini bukan perjumpaan terakhir kita, karena pengasuh tua ini tidak akan gagal menyusul Tuan ke Izu.”

Kemudian, dua orang tamu lainnya mendekati Yoritomo ketika si penjaga berpaling, dan berbicara dengan nada rendah kepadanya, “Para dewa telah menyelamatkanmu dengan mukjizat mereka. Jangan biarkan seorang pun membujukmu untuk mencukur rambutmu dan menjalani penahbisan.”

Maka, sementara si pengasuh menata rambutnya, Yoritomo dengan tenang mendongak ke langit-langit, berpura-pura tidak mendengarkan, namun dengan gerakan tersamar di alisnya mengisyaratkan bahwa dia mengerti dan mengiyakan.

“Waktunya berangkat,” seorang petugas memerintahkan kepada Yoritomo untuk berdiri dari bangkunya dan menunggangi kudanya. Si petugas memberikan aba-aba kepada para pengawal, “Bersiaplah ... kita akan segera berangkat!”

Kuda-kuda beban dikeluarkan ke jalan, sementara sejumlah petugas rendahan mengatur kerumunan penonton menggunakan tongkat bambu. Para pengawal yang akan

Page 543: The Heike Story

mengiringi Yoritomo segera berbaris di luar gerbang, menggiring Yoritomo ke kudanya, dan berseru, “Waktunya berangkat! Ayo, cepadah!”

Sejenak kemudian, tahanan muda itu keluar dari gerbang, ditemani oleh para penghuni rumah Ariko. Pemandangan ini berbeda dari yang biasa terlihat ... bukan tahanan berpenampilan muram dan berurai air mata melainkan seorang pemuda ceria berwajah berseri-seri yang dengan lincah melompat ke pelana kudanya.

“Selamat tinggal,” seru Yoritomo, tersenyum dan menolehkan kepala ke arah rumah.

Ariko dan putranya, Yorimori, termasuk di antara orang-orang yang berkumpul untuk melepas kepergian Yoritomo. “Yoritomo, semoga kau selalu dilimpahi kesehatan!” “Yoritomo, selamat jalan!” seru mereka kepada bocah yang pintar mengambil hati semua orang itu. Mata Yoritomo, bagaimanapun, beralih kepada sosok yang berdiri di dekat gerbang.

“Munekiyo, selamat tinggal,” ucapnya sambil menundukkan kepala.

Munekiyo segera menjawab, “Selamat jalan,” dan balas membungkuk.

Iring-iringan itu bergerak dengan lambat, diiringi oleh taburan bunga. Sesaat kemudian, yang tersisa dari keramaian itu hanyalah jalan yang berselimut bunga putih.

Ketika mereka mulai mendaki Kuritaguchi, matahari musim semi telah menggantung tinggi di langit. Atap-atap bangunan yang berjajar di ibu kota dan wilayah pedesaan, yang membentang dari Perbukitan Utara hingga Perbukitan Timur, seolah-olah mengambang di laut bunga. Yoritomo kerap menunduk untuk memandang Sungai Kamo.

Page 544: The Heike Story

Siapakah yang mengetahui apa yang berkecamuk di benaknya saat dia mengingat hari berdarah ketika dia bertempur di tepi sungai bersama ayah dan kakak-kakaknya?

Kabar burung memancing kedatangan banyak orang ... biksu, pria dan wanita, pengelana, anak-anak dan orangtua mereka ... ke Otsu, yang terletak di pesisir Danau Biwa. Semua orang itu ingin melihat keberangkatan Yoritomo. Ketika Yoritomo akhirnya tiba dan menunggu arus pasang untuk menyeberang ke sisi lain danau, pamannya dan Genji Moriyasu, yang diizinkan untuk menemani Yoritomo hingga sejauh ini, mengucapkan selamat jalan dengan berurai air mata.

Tetapi, Yoritomo justru memandang mereka dengan bingung. “Lihatlah, aku tidak sedih. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya perasaan orang yang akan diasingkan pada saat seperti ini, namun bagiku, ini adalah peristiwa yang menggembirakan, sebuah hari perayaan.”

Begitu seluruh rombongan menaiki perahu, Yoritomo langsung mengeluarkan kotak yang dihadiahkan oleh Nyonya Ariko kepadanya, dan mulai menata dadu-dadunya di atas papan. Dia memanggil pengawal yang sedang bertugas, “Maukah kau menemaniku bermain?”

Si pengawal menertawakannya. “Aku harus mengingatkanmu bahwa kau adalah tahanan dan aku petugas. Kau harus mempelajari aturan untuk tahanan jika tidak ingin terkena hukuman.”

“Apakah aku dilarang bermain?”

“Ini bukan perjalanan tamasya, dan aku akan sekali lagi memperingatkanmu. Setibanya kau di Izu, kau tetap akan diperlakukan sebagai tahanan dan dijaga dengan ketat.”

Page 545: The Heike Story

Yoritomo mengernyitkan wajahnya dengan kesal. “Ini, simpan saja ini sampai aku tiba di penjara,” perintahnya kepada salah seorang pelayan, mendorong mainannya jauh-jauh.

Si pengawai menggeleng dengan heran. “Anak ini sepertinya tidak menyadari siapa dirinya,” gumamnya sambil beringsut menjauh.

Dalam perjalanan panjang melintasi jalan raya Tokaido, si pengawal dan rekan-rekannya semakin curiga bahwa tahanan muda mereka adalah seorang pandir, karena Yoritomo kerap berusaha memancing mereka untuk mengobrol tentang taktik bermain dadu atau menghabiskan waktu di atas punggung kudanya dengan bersiul-siul menggunakan rumput.

Bertepatan dengan pengasingan Yoritomo ke Izu, Penasihat Moronaka, Kepala Kepolisian Korekata, dan Tsunemunt sang bangsawan juga diberangkatkan ke pengasingan. Persekongkolan mereka untuk menggulingkan Kiyomori ternyata justru semakin mengukuhkan kekuasaannya.

Musim semi telah tiba, dan kehidupan di ibu kota kembali berwarna; para penduduk dengan lega menghirup udara yang sarat oleh kedamaian dan semerbak aroma bunga. Tidak seperti biasanya, Kiyomori disibukkan oleh tugas-tugas resmi. Kendati begitu, dia berhasil menyelesaikan beberapa masalah sembari menunggu keadaan kembali normal. Kasus Tokiwa dan anak-anaknya telah diurus: Imawaka, putra sulungnya, dikirim ke sebuah kuil di dekat Fushimi, di bagian selatan ibu kota, untuk diasuh oleh kepala biara dengan perjanjian bahwa anak itu akan menjadi biksu setelah cukup umur; seorang pendeta berkedudukan tinggi di Kuil

Page 546: The Heike Story

Tennoji dipercaya untuk mengasuh Otowaka, yang juga diarahkan untuk menjadi biksu; bertentangan dengan permohonan sang ibu, si bungsu, Ushiwaka, diserahkan bersama seorang ibu susuan kepada kepala biara di Gunung Kurama, tempatnya akan menjalani penahbisan setelah usianya cukup.

Ketika kabar tentang keputusan ini tersebar, semua orang mulai bergunjing.

“Nah, lihatlah akibatnya jika seorang wanita sudah menebarkan pesonanya!”

“Itu tidak akan terjadi pada semua orang. Dibutuhkan seorang wanita secantik Tokiwa untuk menggerakkan hati Kiyomori.”

“Begitulah. Apakah yang akan terjadi jika Tokiwa buruk rupa?”

“Kemungkinan besar anak-anaknya tidak akan diampuni.”

Seorang pejalan kaki berkomentar dengan kesal, “Huh, omong kosong!”

“Apa maksudmu? Kau juga senang mendengarnya!”

“Kalian ini bagaimana ... apakah kalian tidak menyadari bahwa jika Tokiwa buruk rupa, maka dia tidak akan pernah dijadikan dayang di Istana?”

‘Tentu saja.”

“Tuan Yoshitomo tidak akan jatuh cinta kepadanya, dan ketiga anak itu tidak akan lahir.”

“Seperti yang kukatakan, semua ini omong kosong. Apa yang membuat kalian begitu curiga?”

Page 547: The Heike Story

“Heh, kalau begitu, katakanlah pendapatmu kepada kami. Apakah menurutmu Tuan Kiyomori mengampuni ketiga anak itu tanpa alasan sama sekali?”

“Dia tidak butuh alasan. Jangan lupakan bahwa dia adalah penguasa Rokuhara. Untuk apa dia mendengar ocehan orang lain atau mengambil risiko yang tidak diperlukan? Untuk apa dia mempermalukan diri di depan seorang janda dengan tiga anak, jika dunia ini dipenuhi oleh wanita cantik?”

“Ah, tidak, hanya ada seorang Tokiwa di seluruh Kyoto.”

Si pejalan kaki tergelak. “Ho, ho! Jadi, begitulah cara berpikir kalian, tapi kalian tidak tahu apa-apa tentang perasaan seorang pria berumur empat puluhan ... betapa dia merasa berkuasa ... ketika memandang taklukannya.”

Ini adalah topik pergunjingan di seluruh ibu kota ... rakyat jelata, para pejabat istana dan istri mereka, bahkan para cendekiawan di kompleks kuil dan para biksuni di asrama mereka; di Rokuhara sekalipun terdengar bisikan-bisikan tentang Kiyomori yang telah dengan teguh membela Tokiwa.

o0odwkzo0o

Beberapa tambahan bangunan di kediaman Kiyomori telah rampung dibangun ... lengkap dengan taman tertutupnya.

“Hidung Merah, ini bagus sekali! Rumpun mawar ini sangat menghiburku.”

“Saya sudah menduganya. Saya rasa taman di tepi sungai milik Menteri Golongan Kiri pun tidak akan bisa menandingi keindahan taman ini.”

Page 548: The Heike Story

“Kebanggaanmu akan semua ini cukup berlebihan, bukan, Bamboku?” Kiyomori menggodanya.

“Tanaman di taman ini dan bangunan ini bisa disebut sebagai milik saya.”

Kiyomori tergelak. “Baiklah, Hidung, kau boleh menyombong hari Ini.”

“Tetapi, jika ternyata semua ini tidak membanggakan, dan Anda kecewa, betapa suramnya hari ini bagi saya!”

“Baiklah, baiklah, Hidung, rayuanmu membuatku melupakan semua masalahku.”

Kiyomori sedang menemui si saudagar di salah satu ruangan baru yang berhadapan dengan rumpun mawar.

Kiyomori tahu bahwa Bamboku memiliki cara misterius dalam menebak pikiran seseorang. Pria yang licik. Kiyomori pada awalnya mewaspadainya, namun Tokiko sangat menghormatinya sehingga Kiyomori terbujuk untuk menerimanya, dan akhirnya lebih banyak berurusan dengan Bamboku daripada Tokiko. Dia bahkan cukup menyukai Hidung Merah, kejenakaannya ... sosoknya yang menonjol dan culas, yang berbeda dari dirinya. Itu telah dibuktikan oleh Bamboku dalam perundingan antara Kiyomori dan para pelaku persekongkolan yang menyebabkan intrik terbaru di Istana.

Bamboku layak untuk dijadikan sekutu, Kiyomori memutuskan, sehingga dia mulai menjalin hubungan baik dengan si saudagar. Ketika suasana hatinya sedang buruk atau ketika dia sedang membutuhkan teman untuk menghilangkan kejenuhan, yang harus dilakukannya hanyalah memanggil Hidung, sama seperti orang-orang yang menggunakan ramuan wangi untuk memicu semangat mereka. Sekaranglah contohnya; Hidung sudah menenggak

Page 549: The Heike Story

bercangkir-cangkir sake, dan rona merah di hidungnya telah menyebar ke seluruh wajahnya.

“Oh, masalah, ya? Dan Anda ingin melupakannya?”

“Mengapa kau mempertanyakannya?”

“Tuanku, sulit bagi saya untuk percaya bahwa Anda punya masalah.”

“Otak udang! Memangnya kaupikir aku bukan manusia?”

“Baiklah ... bukankah Anda pernah mengatakan kepada saya bahwa Anda adalah ‘putra langit dan bumi’ ... putra alam?”

“Itu hanya kiasan.”

“Betapa bodohnya saya, sungguh ... saya tidak melihat apa pun yang berarti masalah bagi Anda.”

“Benarkah?”

“Semuanya tampak wajar dan cukup bisa dipahami. Lagi pula, musim semi telah tiba. Bukankah itu saja sudah menjadi cukup alasan untuk bergembira. Tuan?”

“Semacam itu,” Kiyomori menjawab sambil tertawa renyah.

“Sejujurnya, Tuan, saya agak kecewa dengan Anda kali ini. Saya telah salah menilai Anda.” “Tentang apa?”

“Kecengengan Anda,” Hidung berseloroh, lalu melanjutkan, “Benar-benar pemandangan hebat! Kecengengan macam apakah ini? Saya tidak percaya bahwa Anda, jenderal perang yang tidak punya tandingan! Sang kesatria, sang pahlawan! Beranikah Anda menyebut diri Anda sebagai manusia jika Anda seloyo itu?”

Page 550: The Heike Story

Di bawah pengaruh sake, Bamboku kerap berbicara dengan gamblang; hanya Hidung yang berani mengejek Kiyomori dengan cara seperti itu. Sendirian seperti itulah yang dibutuhkan oleh Kiyomori, yang membuatnya semakin menyukai si saudagar.

Hidunglah yang pertama kali mendengar tentang kunjungan Kiyomori kepada Tokiwa ... yang sekarang sudah menjadi rahasia umum ... dan sekarang turut menyertainya. Hidung juga selalu membisikkan gosip-gosip terbaru yang didengarnya ke telinga Kiyomori: “Tokiwa yang malang, dia menyerahkan dirinya kepada penguasa Rokuhara demi anak-anaknya! Dan sekarang, Kiyomori tergila-gila kepadanya. Sungguh memalukan si Tokiwa, takluk begitu saja pada pria berotak mesum itu! …” Itulah desas-desus yang beredar di masyarakat, yang telah dibumbui oleh siapa pun yang menyebarkannya. Tetapi, Hidung tahu bahwa asap tidak akan ada tanpa api; walaupun ada sekelumit kebenaran di dalam kabar burung yang beredar, sisanya murni omong kosong. Kiyomori, bagaimanapun, membenci omong kosong itu.

“Saya terganggu oleh semua ini ... sangat menjengkelkan. Semua desas-desus itu ... dan Anda yang cengeng!”

“Sudahlah, Hidung Merah, berhentilah mengejekku. Posisiku memang menyulitkan, kau tahu.”

“Anda masih bimbang, ya? Bukankah Anda sudah mengambil keputusan tadi malam?”

“Mengambil keputusan?”

“Nah, tepat ketika kita tiba di inti permasalahannya. Anda justru menghindar. Apakah yang membuat Anda ragu-ragu untuk mengatakan kepada saya tentang

Page 551: The Heike Story

keputusan Anda untuk menjadikan Tokiwa sebagai gundik?”

o0odwkzo0o

Bab XXX-SAKURA Tokiwa duduk di dekat jendela kamarnya, bergeming,

memandang bulan musim semi yang berselaput awan. Bagaimanakah kabar Imawaka, pikirnya. Sudahkah Otowaka betah tinggal bersama orang-orang asing? Apakah dia tumbuh dengan sehat ... Ushiwaka, yang direbut dari pelukannya dan dilarikan ke Gunung Kurama? Seseorang pernah berkata kepadanya, “Seorang anak akan tetap bisa tumbuh sehat tanpa ibunya.”

Seandainya saja itu benar, doanya. Dia membenci berbagai macam petuah yang dimaksudkan untuk menghiburnya, dan yang diketahuinya sebagai kebenaran walaupun pahit. Untuk apakah dia hidup setelah anak-anaknya direnggut dari dirinya? Apakah makna dirinya yang mengenaskan ini? Yang juga hampir tidak tertahankan olehnya adalah kenyataan bahwa setelah Ushiwaka diambil darinya, payudaranya kembali bengkak berisi susu dan semakin nyeri; demam menyebar dari dadanya ke sekujur tubuhnya, sehingga dia terbaring sakit selama berhari-hari. Penjaganya akhirnya memanggil seorang tabib karena tidak ingin dianggap mengabaikan tahanannya oleh Kiyomori. Para pelayan lalu lalang di dekat Tokiwa, namun dia menjauh dari mereka karena takut dan malu; dia mengetahui apa yang ada di dalam pikiran mereka, karena seorang wanita tua, yang ditugaskan secara khusus untuk melayaninya, pernah berbisik kepadanya, “Nyonya, semua orang memuji-muji Anda atas apa yang telah Anda lakukan. Kemuliaan bukanlah milik wanita yang senantiasa

Page 552: The Heike Story

menjaga kesuciannya saja. Orang-orang mengidolakan Anda sebagai ibu berbudi luhur yang rela mengorbankan dirinya demi buah hatinya.”

Beberapa saat kemudian, istri si penjaga pun secara diam-diam menghampiri pembaringan Tokiwa untuk mengatakan, ‘Tak terhitung lagi banyaknya wanita ibu kota yang berambisi merebut perhatian Tuan Kiyomori dengan habis-habisan menonjolkan diri mereka. Kau sepertinya tidak menyadari betapa beruntungnya dirimu. Kau pasti dilahirkan di bawah bintang keberuntungan. Sudahlah, berhentilah merengek dan berdandanlah, karena aku tahu bahwa kau masih muda. Sebagai seorang wanita, masa depan terbentang di hadapanmu, dan jika Tuan Kiyomori menyukaimu, maka semuanya akan menjadi milikmu.”

Tokiwa sangat malu mendengarnya, sehingga dia membenamkan wajah merah padamnya ke lipatan-lipatan kimononya.

o0odwkzo0o

Tokiwa bisa merasakan bahwa seseorang sedang berdiri di belakangnya, namun rasa takut mencegahnya untuk menoleh.

‘Tokiwa, apakah yang sedang kaulihat?”

Kiyomori yang berbicara, dan walaupun mengenali suaranya, Tokiwa menjawab tanpa menggerakkan tubuhnya, “Saya sedang melihat bunga sakura.”

Ruangan itu temaram berkat cahaya rembulan. Kiyomori akhirnya duduk, namun tidak mengatakan apa-apa, dan Tokiwa tetap duduk di dekat jendela. Beruntung bagi Tokiwa karena lentera di kamarnya telah dipadamkan sehingga dia tidak perlu menjauh dari Kiyomori untuk menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata.

Page 553: The Heike Story

Tidak lama setelah Tokiwa mendengar tentang nasib anak-anaknya, Kiyomori kerap mengunjunginya. Tokiwa tidak memiliki alasan untuk melarangnya datang, dan dia berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang bisa menyakiti hatinya, karena dia sesungguhnya sangat berterima kasih atas kebaikan Kiyomori. Seiring waktu, Tokiwa tidak lagi membenci Kiyomori; tetapi, walaupun menanti-nantikan kedatangan Kiyomori, dia merasa jijik terhadap ketidaksetiaannya sendiri.

“Oh, angin mengacak-acak kertas-kertasmu!”

Kiyomori meraih selembar kertas yang terbang ke bawah salah satu jendela. Dia meliriknya sekilas di bawah sinar bulan dan hendak meletakkannya kembali di meja tulis, ketika Tokiwa mendadak menyadari apa yang terjadi.

“Itu ... itu ... ” serunya, terkejut. Dia tampak kebingungan selama beberapa waktu, sebelum mengulurkan tangan untuk meminta kembali kertas tersebut.

“Apa kau keberatan kalau aku membacanya?”

“Tidak ... tidak juga.”

“Ini bukan tulisanmu. Siapakah yang mengirimkan surat ini kepadamu?”

“Seorang pria, rupanya.”

Tokiwa tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak bisa mengatakan bahwa puisi yang ada di sana ditulis olehnya sendiri, karena lipatan-lipatan yang ada menunjukkan bahwa lembaran kertas itu adalah sebuah surat; dari tulisan tangannya pun bisa dipastikan bahwa pembuatnya adalah seorang pria.

“Ini, seperti yang Anda katakan ... adalah sebuah surat Seorang biksu aneh yang berkeliaran di jalan

Page 554: The Heike Story

menyerahkannya kepada Yomogi untuk diserahkan kepada saya, lalu dia pergi begitu saja.”

“Siapakah Yomogi?”

“Yomogi adalah pengasuh anak-anak saya. Saya meninggalkannya di Yamato, tempat persembunyian kami, namun dia menyusul kami.

dan entah bagaimana berhasil menemukan kami. Katanya, dia bertemu dengan si biksu dalam perjalanannya kemari, dan biksu itulah yang memberikan surat ini kepadanya.”

“Berarti, kau mengenal biksu itu, bukan? Jika tidak, bagaimana mungkin dia tahu bahwa gadis itu adalah pengasuh anak-anakmu?”

“Saya tidak terlalu mengenalnya, karena dia adalah seorang biksu yang hidup layaknya pengemis di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu setelah Perang Hogen berakhir.”

“Siapa namanya?”

“Mongaku, saya yakin.”

Kiyomori mengamati surat itu sekali lagi. Tidak diragukan lagi, sebuah tanda tangan tertera di sana ... Mongaku. Tulisan tangannya besar dan tebal.

Mongaku. Kapankah terakhir kalinya Kiyomori berjumpa dengannya ... Morito dari Kesatuan Pengawal Kekaisaran? Sesekali, Kiyomori pernah mendengar kabarnya. Shinzei pernah bercerita kepadanya tentang kekacauan yang ditimbulkan oleh Mongaku di kediamannya. Ini adalah biksu pengelana yang sama, Mongaku ... yang berkeliaran ke sana kemari di ibu kota, tidur di alam terbuka, tanpa memiliki tempat tinggal tetap. Kiyomori mengenang teman sekolahnya itu dengan rasa iba

Page 555: The Heike Story

yang mendalam. Mengingat Mongaku mau tidak mau juga membuatnya teringat kepada Kesa-Gozen dan kisah asmara tragis yang telah menghancurkan sebuah masa depan cemerlang, semuanya hanya demi mendapatkan cinta seorang wanita. Orang-orang menganggap Morito bodoh ketika itu, namun baru sekaranglah Kiyomori menyadari bahwa dirinya tidak lebih baik daripada Morito. Apakah yang akan dikatakan oleh Mongaku kepadanya sekarang? ... ”Apakah perbedaan kebodohanku ketika aku berumur dua puluhan dengan kebodohanmu saat ini, ketika kau sudah berumur empat puluhan? Yang manakah yang lebih buruk? Siapakah yang lebih hina? Kau melakukan tindakan yang benar dengan mengampuni anak-anak Tokiwa, namun apakah alasanmu untuk mengunjungi Tokiwa?”

Tidak perlu dipertanyakan lagi, dia memang memuakkan, secengeng yang dituduhkan oleh Hidung. Berbeda dengan Mongaku, Kiyomori tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, gairah. Ini jelas terlihat di dalam hubungan gelapnya dengan Tokiwa. Betapa dia bernafsu untuk memiliki Tokiwa dan berpura-pura menjadi seorang pria terhormat di matanya!

“Mongaku, itulah panggilannya sekarang, pernah tergabung dalam Kesatuan Pengawal. Kami teman sekelas di akademi …. Menurutmu, apakah alasannya mengirimkan puisi ini kepadamu?”

Apakah yang mendorongnya memburu penjelasan ini, pikir Kiyomori dengan bimbang, seraya melanjutkan, “Apakah yang ingin dikatakannya kepadamu? ... ’Jalan tak berujung yang membelah padang gersang berselimut kabut ... ’”

“Entahlah. Saya tidak pernah berjumpa dengan Mongaku.”

Page 556: The Heike Story

“Hmm … aku yakin dia memahami maksudnya.”

“Apakah yang ingin dikatakannya?”

“Genji telah kalah. Benih-benih Yoshitomo telah tersebar di seluruh dunia yang keji, namun akan ada akhir dari semua ini, dan Genji akan kembali berjaya. Puisi ini dimaksudkan untuk menguatkan dirimu.”

“Oh, sungguh menakutkan maknanya!”

“Tidak perlu heran. Ada banyak orang yang merasa seperti Mongaku. Dia yakin bahwa aku adalah penerus Shinzei dan memandang rendah diriku.”

“Tidak, tidak. Tuan, Anda salah. Saya menemukan makna lain dari puisi itu.”

“Apakah itu?”

“‘Padang gersang berselimut kabut’ adalah hati saya. Dia membicarakan tentang kesedihan wanita. Dia menasihati saya untuk bersikap lebih tegar.”

“Kau boleh saja mengartikannya begitu jika mau.”

“Saya senang menerima puisi ini. Saya sudah membacanya berulang kali sepanjang hari. Karenanyalah saya memutuskan untuk

melanjutkan kehidupan saya, untuk terus melangkah melewati jalan yang membelah ‘padang gersang berselimut kabut’ itu.”

“Apakah kau kadang-kadang masih berpikir untuk mengakhiri kehidupanmu sendiri?”

“Ya, ketika kesepian terlampau berat untuk saya tanggung, gemerisik sakura sekalipun terdengar bagaikan undangan untuk mati.”

Page 557: The Heike Story

“Apakah itu disebabkan oleh kerinduanmu kepada anak-anakmu?”

“Lancang jika saya mengatakannya ... kepada Anda, penyelamat mereka. Saya hanya bisa pasrah.”

“Apakah kau masih berduka atas kematian Yoshitomo?”

“Ah, sungguh kejam kata-kata Anda!” Tokiwa menjerit, menatap Kiyomori dengan mata berkaca-kaca.

“… Tokiwa!”

Kiyomori merengkuh Tokiwa ke dalam pelukannya. Malam inilah pertama kalinya Kiyomori merasakan gemulai tubuh Tokiwa. Api gairah menggelora di dalam dirinya, mendorongnya untuk dengan liar menciumi bibir Tokiwa. Terkejut akibat gairah yang terlepas dari kendalinya, Tokiwa meronta-ronta untuk melepaskan diri, namun Kiyomori tidak mendengar tangisannya.

o0odwkzo0o

Tokiwa terbaring lemas, meringkuk di antara lipatan-lipatan kimono sutranya, terisak-isak lirih. Dia tidak sekali pun mendongak ketika Kiyomori bangkit dan meninggalkannya. Kelopak-kelopak bunga putih tertiup angin memasuki jendelanya dan berjatuhan di rambut dan kimononya, dan dia tetap menghabiskan malam musim semi itu dengan tetesan air mata.

o0odwkzo0o

Sesosok pria mengendap-endap melewati jalan masuk dan menuruni tangga di tengah kegelapan.

“Bagaimanakah hasilnya. Tuan?” bisik Bamboku, yang segera menghampiri Kiyomori.

“Tuanku, berhasilkah Anda? Anda sudah bersumpah bahwa malam ini Anda akan ... ”

Page 558: The Heike Story

Kiyomori membungkam Bamboku dengan tatapan garangnya. Hidung belum pernah melihatnya seperti ini. Sesuatu yang luar biasa tentu telah terjadi. Selama beberapa waktu, Hidung berjalan di samping Kiyomori tanpa mengatakan apa pun, kemudian dia tiba-tiba terkekeh. Kiyomori memelototinya, namun dia justru tertawa terbahak-bahak.

“Tuan, Anda barangkali bisa menipu orang lain, namun Anda tidak mungkin membodohi saya. Saya sudah berpengalaman dalam permainan ini.”

Kiyomori melontarkan senyum lebar kepadanya di tengah kegelapan. “Hentikanlah ceracaumu itu, kau menggangguku.”

“Tapi, bukankah saya sudah menemani Anda di sepanjang kisah asmara ini, dan bukankah saya menghayatinya seolah-olah saya sendiri yang sedang menjalaninya? Anda setidaknya bisa menceritakan kepada seorang teman apakah Anda berhasil atau tidak. Saya rasa itu tidak ada salahnya.”

“Berisik sekali kau ini! Omonganmu itu cukup untuk menenggelamkan kelembutan apa pun yang mungkin kumiliki. Menjauhlah dariku. Dan diamlah!”

Hidung mencuri pandang dengan penasaran ke wajah Kiyomori dan menghela napas panjang. Dia sudah mendengar cukup banyak untuk mengetahui apa yang terjadi. Dia juga bisa mengendus samar-samar semerbak minyak wangi.

“Hoi-i-i ... !” Hidung tiba-tiba berseru ke arah rumpun pinus di kaki bukit tempat beberapa orang samurai menjaga kereta Kiyomori di tengah kegelapan. Beberapa orang prajurit dan si penarik sapi membawa kendaraan tersebut ke jalan.

Page 559: The Heike Story

Suara Hidung sekalipun tidak cukup untuk menggugah Kiyomori. Dia seolah-olah tenggelam di dalam mimpi, hanyut di dunia lain bersama Tokiwa di sisinya, sehingga kenyataan pun tidak sanggup untuk sepenuhnya menyingkirkan bayangan itu.

“Tidak perlu buru-buru. Biar saja sapi itu berjalan santai,” Kiyomori memerintah dari balik tirai yang tertutup. Dia berniat untuk sepenuhnya menikmati sensasi berkereta menembus pagi buta pada musim semi sembari mengingat-ingat malam indahnya. Apakah Tokiwa membencinya, pikirnya. Bagaimanakah Tokiwa akan menyapanya saat mereka bertemu lagi? Dia sudah kenyang akan kekerasan. Dia sudah melihat banyak hal selama dua perang terakhir. Dia telah menyaksikan kepala Yoshitomo digantungkan di gerbang penjara dan beratus-ratus pemenggalan …. Kehidupan atau ke matian Tokiwa ada di tangannya, namun dia tidak berniat untuk memperlakukannya dengan kasar. Tokiwa menyerahkan diri kepadanya dengan cara yang wajar, bagaikan sekuntum bunga yang mekar dengan lembut, seperti yang semestinya. Kiyomori hanya memberikan cinta yang dibutuhkan oleh Tokiwa tanpa sedikit pun memaksanya. Dia tetap akan mencintai Tokiwa seandainya Yoshitomo masih hidup ….

Pikiran semacam itu berpusar di benak Kiyomori ... membebaskannya dari beban, meringankan hatinya, dan membenarkan tindakannya malam itu. Dia tidak bisa menyangkal tuduhan Hidung Merah kepadanya; dia pengecut karena jika tidak, mengapa dia merisaukan Yoshitomo pada saat ini?

Ketika kereta Kiyomori melewati jalan yang diapit pepohonan pinus ke arah barat salah seorang prajurit yang berjalan di belakangnya memekik kesakitan dan jatuh

Page 560: The Heike Story

bergedebuk ke tanah. Para prajurit lainnya berseru-seru, dan sebuah teriakan nyaring terdengar, “Di sini, bajingan!”

Keributan perkelahian terdengar ketika Kiyomori bangkit dari bangkunya dan menyibakkan tirai seraya berseru, “Hoi, kalian, apa yang terjadi?”

Kiyomori melongok ke luar ketika keretanya mendadak berhenti, dan sesosok pria bersenjata menatapnya dengan mata nyalang, mengacungkan pedang.

“Heik6 Kiyomori* sudah lupakah kau kepadaku? ... Genji Yoshihira, putra Yoshitomo?”

Yoshihira beberapa kali berusaha meraih lengan kimono Kiyomori dari balik tirai, ketika sapi penarik kereta mendadak berlari kencang gara-gara pedang Yoshihira menggores pantatnya.

‘Tunggu, Yoshihira!”

Yoshihira berusaha bangkit dan mengejar kereta itu, namun ujung-ujung tombak telah teracung ke arahnya dari segala penjuru.

Hidung Merah, yang semula terpaku, berlari dari tempat persembunyiannya di balik pepohonan dan menjerit-jerit “Putra Yoshitomo ... Genji Yoshihira!” Dia berlari menuju pangkalan prajurit berjalan kaki Rokuhara, berseru-seru di sepanjang jalan, “Tolong, ada rampok! Tolong, ada pembunuh!”

Para prajurit dengan berbagai senjata segera mendatangi arah yang ditunjukkan oleh Hidung Merah.

“Di persimpangan! Bunyikan lonceng peringatan, bunyikan lonceng peringatan!”

Page 561: The Heike Story

Sepasukan prajurit tiba di persimpangan jalan untuk memeriksa keadaan. Mereka hanya bisa saling bertukar tatapan bingung karena tidak ada apa pun di sana.

“Siapa orang pandir yang membangunkan dan menyuruh kita ke sini?”

Tetapi, mereka segera menemukan sebuah tombak tergeletak di jalan; lebih jauh lagi, mereka melihat seseorang tergeletak kesakitan, mengerang-erang, dan beberapa langkah dari sana, sesosok tubuh terbaring diam. Keributan pun terjadi; para pelayan dikirim ke luar untuk menyelidiki apa yang terjadi, dan pelana-pelana segera dipasang.

Hidung semakin gelisah. Apakah dia telah mengambil langkah gegabah karena terburu-buru mencari pertolongan? Kereta

Kiyomori tidak terlihat lagi. Apakah Kiyomori selamat? Mustahil jika

Kiyomori ternyata sudah tiba kembali di rumahnya.

o0odwkzo0o

Sapi kesakitan itu berlari menyeret kereta, dan baru berhenti setelah tiba di depan sebuah tembok.

“Di manakah kita?” Kiyomori berseru.

Pengawal Kiyomori dan si penarik sapi akhirnya muncul, terengah-engah:

“Kediaman Tuan Hitachi, Tuan!”

“Ketuk gerbangnya!”

Nada panik di dalam suara Kiyomori mendorong para pengawalnya untuk menggedor-gedor gerbang. Penjaga gerbang segera membukakan pintu untuk mereka dan terheran-heran ketika si Kiyomori memerintahkan agar

Page 562: The Heike Story

keretanya cepat-cepat dimasukkan ke halaman tanpa memberikan penjelasan apa pun. Seorang pelayan muncul dan, ketika mendengar bahwa tamu yang datang adalah tuan rumah Rokuhara, segera berlari untuk memberi tahu majikannya.

Norimori, adik Kiyomori, langsung keluar. “Ada apa ini ... sepagi ini pula?” tanyanya dengan kesal kepada Kiyomori.

“Aku tadi berkunjung ke rumah Itogo dan mendapat serangan dari pengikut Yoshitomo ketika sedang dalam perjalanan pulang.”

“Pengikut Yoshitomo? Berapa jumlahnya?”

“Sebenarnya, hanya seorang.”

“Hanya seorang?”

“Hmm …” Kiyomori menggumam dengan malu sebelum mulai bercerita tentang peristiwa yang baru saja dialaminya. Dia tidak pernah merasa sepanik itu. Seorang diri, Yoshihira berhasil membuatnya ketakutan setengah mati dan terguncang. Apakah yang menyebabkan kengerian luar biasa ini, pikir Kiyomori, mengorek-ngorek pikirannya. Kepala Yoshitomo, seperti yang dilihatnya menggantung di gerbang Penjara Timur, tak henti-hentinya berkelebatan di benaknya dalam perjalanannya pulang, dan begitu dia mendengar jeritan “putra Yoshitomo”, bayangan menyeramkan itu terwujud pada wajah yang memelototinya dari balik tirai keretanya. Seketika itu, Kiyomori percaya bahwa yang dilihatnya adalah hantu Yoshitomo yang hendak membalas dendam kepadanya. Masih ada penjelasan mengenai peristiwa menegangkan itu: dia baru saja menyelesaikan kunjungannya kepada Tokiwa dengan kebanggaan atas penaklukannya, namun di lubuk

Page 563: The Heike Story

hatinya yang terdalam, terdapat rasa bersalah yang menghadirkan arwah Yoshitomo ….

Norimori mempersilakan kakaknya masuk dan menanyainya dengan curiga.

“Mengapa kau ketakutan gara-gara Yoshihira seorang? Bukankah kau membawa cukup banyak pengawal?” tanyanya.

“Pasti ada yang salah denganku,” Kiyomori mengakui.

“Apa kau baru saja minum?”

“Tidak, tidak setetes pun.”

“Dari manakah dirimu?”

“Dari rumah Itogo.”

“Dari rumah Itogo? Tapi, Itogo pergi malam ini.”

“Karena itulah aku pulang, dan Yoshihira menyerangku.”

“Oh ... ?” jawab Norimori, namun ekspresi mengejek di matanya menambahkan, “kau pasti berbohong. Aku sudah tahu tentang kunjungan-kunjungan kepada Tokiwa.”

Sementara itu, Hidung, yang akhirnya berhasil melacak keberadaan Kiyomori, tiba di rumah Norimori.

Segera setelah Hidung datang, Kiyomori bangkit untuk menyambut dan menanyainya dengan cemas, “Bagaimana nasib bajingan itu?”

“Dia melarikan diri,” jawab Hidung. Begitu mendengar kabar ini, Kiyomori buru-buru bersiap-siap dan mengatakan bahwa dia akan menggunakan keretanya lagi. Bamboku langsung keluar untuk memastikan bahwa kereta Kiyomori telah siap digunakan. Norimori memandang Bamboku dengan jijik. Dia tidak pernah memercayai

Page 564: The Heike Story

Bamboku, dan sebagai tindakan pencegahan, dia memerintahkan sepuluh orang pelayannya untuk menyertai Kiyomori.

Keesokan harinya, Kiyomori bangun lebih siang daripada biasanya; sementara dia mengenakan kimono resminya dan bersiap-siap untuk berangkat ke Istana, dayang istrinya muncul untuk mengatakan, “Nyonya berharap bisa menikmati sarapan bersama Anda dan sedang menunggu Anda, Tuan.”

Kiyomori terkejut “Sarapan? ... Biasanya hanya pada malam hari ... Apa yang dikehendakinya dariku sepagi ini?” jawab Kiyomori, mempercepat persiapannya seolah-olah berbagai urusan yang lebih penting telah menantinya.

“Aku sudah terlambat harus segera pergi ke Istana. Ada banyak pertemuan dan urusan lainnya …. Katakan kepada nyonyamu bahwa aku akan menemuinya nanti malam.”

Kiyomori memerintahkan agar keretanya dibawa ke beranda depan, lalu terburu-buru pergi. Memang benar bahwa dia semakin sibuk. Kehadirannya di Istana biasanya menandakan bahwa para pejabat tinggi atau rekan sejawatnya menantikan nasihat persetujuan, dan keputusannya. Kekaguman sekaligus rasa penasaranlah yang mendorong para pejabat istana untuk mendekatinya. Kalangan istana baru-baru ini menawarkan kenaikan jabatan kepada Kiyomori, yang dahulu pernah ditolaknya, dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kiyomori memegang pengaruh besar bagi jalannya pemerintahan.

Pengaruh baru mulai terasa sejak masa ayahnya, Tadamori, ketika seorang samurai yang menduduki jabatan Kiyomori di Istana akan memancing kedengkian para bangsawan dan mendatangkan kebencian. Kepercayaan diri Kiyomori juga mencerminkan perubahan itu. Kiyomori

Page 565: The Heike Story

adalah era baru; tidak ada keputusan yang bisa diambil tanpa melibatkan dirinya dan kesimpulan yang ditarik tanpa menunggu persetujuan darinya. Kaum samurai, dengan kata lain, memegang kekuasaan, dan kata-kata Kiyomori menentukan kelangsungan hidup negara.

Fujiwara Koremichi, yang dikenal berpihak kepada Heikl, diangkat sebagai Perdana Menteri pada masa itu, dan Kiyomori, yang meletakkan kepercayaan kepadanya, bersikeras agar pengambilan semua keputusan penting diserahkan kepada Koremichi. Penunjukan itu juga memuaskan Kiyomori karena putri sang perdana menteri baru adalah Nyonya Shimeko, mantan majikan Tokiwa.

“Saya senang melihat bahwa Anda baik-baik saja.”

Kiyomori terperangah mendengar ucapan ini ketika dia tanpa sengaja berpapasan dengan Koremichi di salah satu koridor Istana.

“Apa maksud Anda?” tanyanya dengan kaget

“Anda kelihatannya tidak memusingkan kejadian itu. Sebenarnya, itulah ciri khas Anda. Saya dengar Anda diserang oleh salah seorang Genji semalam. Begitulah kabar burung yang terdengar oleh saya.”

“Ah? Ya, tentu saja, itu,” jawab Kiyomori.

“Tepat”

“Jadi, kabar itu sudah tersebar di Istana, ya?”

“Ya, semua orang terkejut ketika mendengar bahwa penyerang Anda adalah Genji Yoshihira. Anda sebaiknya lebih berhati-hati jika bepergian pada malam hari,” Koremichi menambahkan dengan tatapan penuh arti.

“Malam-malam musim semi, Anda tahu ... tidak tertahankan.” Kiyomori tertawa, namun peringatan

Page 566: The Heike Story

Koremichi mencemaskannya, sehingga dia langsung pulang malam itu, hanya untuk mendapatkan semburan dari Ibkiko.

“Ah, di umurmu yang setua ini pula! Aku harus memintamu untuk tidak mengulanginya lagi ... mengendap-endap keluar pada malam hari melalui gerbang belakang taman mawar!”

“Kapankah aku pernah ... ”

“Apakah kau berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa? Apakah kau mengira bahwa Shigemori dan adik-adiknya, para kepala keluarga kita, para pelayan dan anggota rumah tangga mereka, juga para pejabat di Istana tidak tahu apa-apa?”

“Tapi, apa hubungan semua itu denganku?”

“Bagaimana mungkin kau berlagak pilon seperti itu. Dengan semua orang yang memandangmu sebagai penguasa Rokuhara, aku benar-benar tak mengerti bagaimana kau bisa berkelayapan setiap malam bersama si brengsek Hidung Merah itu untuk mengunjungi janda musuhmu. Tidakkah kau menyadari betapa memalukannya itu? Aku tidak mengatakan ini karena aku cemburu.”

“Ya, makin hari kau makin mirip dengannya.”

“Apakah kaupikir aku sedang bercanda?”

“Tidak, aku menanggapimu dengan bersungguh-sungguh, dan karena itulah aku menghela napas. Jika kau menjadi semakin mirip dengan ibu tiriku, ke mana lagtkah aku bisa mencari kedamaian?”

“Aku tidak keberatan jika kau memelihara seorang gundik di paviliun belakang, atau di tempat lain di lingkungan ini. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh

Page 567: The Heike Story

seorang istri jika suaminya menyukai orang lain. Tapi, dari semua wanita yang ada ... janda Yoshitomo!”

“Cukup. Aku mengerti.”

“Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi jika kau mau berjanji untuk tidak mengulangi perbuatanmu. Tapi, bagaimana mungkin kau mengharapkanku untuk tetap tenang jika aku mendengar bahwa salah seorang Genji mencoba membunuhmu?”

“Ah, jadi kau pun ternyata salah satu dari istri-istri berbudi pekerti mulia itu …. Aku mulai mendambakan wanita semacam Perempuan Gion.”

“Apa yang baru saja kaugumamkan sendiri itu? Jika kau tidak menganggapiku dengan serius, aku akan mengundang ibu tirimu kemari agar beliau bisa menasihatimu. Beliau bisa memutuskan apakah permintaanku ini masuk akal atau tidak.”

“Jangan, aku memohon dengan tulus, demi seluruh dunia ini, jangan panggil beliau kemari.”

“Kalau begitu, kau akan menghentikan pertemuan diam-diammu dengan Tokiwa, bukan? Dan kau tidak akan keberatan jika aku berbicara sendiri dengan Itogo dan Bamboku?”

“Terserah kau saja,” jawab Kiyomori dengan kesal.

Malam itu, Kiyomori duduk di dekat jendela kamar istrinya, dengan wajah cemberut memandang bulan yang berselaput awan. Dia baru saja mendapati sesuatu yang mengejutkannya: Tokiko, yang telah begitu lama disibukkan dengan pengasuhan anak-anak mereka, yang jarang mempertanyakan kesibukannya, ternyata menyimpan perasaan cemburu.

Page 568: The Heike Story

Keesokan harinya, Tokiko memanggil adiknya, Tokitada, ke kamarnya. Barangkali penyebabnya adalah udara musim semi, namun Tokitada melihat bahwa wajah kakaknya bersemu merah.

“Tokitada, kuharap kau bersikap tegas kepada Itogo. Aku sudah mendapatkan restu dari suamiku untuk melakukan ini.”

“Itogo? Apakah yang harus kulakukan kepadanya?”

“Langsung saja kukatakan, ini tentang Tokiwa. Ketiga anaknya sudah diurus, dan tidak ada alasan lagi baginya untuk tinggal di Rokuhara lebih lama.”

“Tetapi, itu tidak termasuk di dalam wewenangku.”

“Kau bertanggung jawab mengurus keamanan di sini, dan Tokiwa tentu saja termasuk di dalam wewenangmu. Katakan kepada Itogo untuk membebaskannya, atau memasukkannya ke biara dan memastikan agar dia menjalani penahbisan. Tanggung jawabmulah untuk menghentikan kabar miring ini.”

“Ah, sekarang aku mulai mengerti. Tapi, Tokiko, kau harus mengakui bahwa kau juga patut disalahkan untuk perilaku Kiyomori.”

“Menurutmu begitu, bukan, Tokitada? Coba katakan kepadaku mengapa kau berpikir bahwa aku patut disalahkan.”

“Baiklah, Tokiko, tanpa kausadari, kau telah menua ... membiarkan kecantikanmu memudar, dan kau tidak pernah berpikir untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh waktu itu agar suamimu tetap terpikat kepadamu. Kejadian ini sedikit banyak bisa diperkirakan.”

Page 569: The Heike Story

“Ketika seorang wanita telah memiliki beberapa orang anak, wajar saja jika kecantikannya memudar. Apakah dia bersalah jika dirinya tidak lagi ... menarik?”

“Tidak, Tokiko,” Tokitada tergelak, “kau tidak boleh marah-marah seperti itu. Aku berbicara terus terang kepadamu karena kau adalah kakakku. Aku hanya mengingatkanmu bahwa seorang wanita ... bukan, seorang istri ... harus mempelajari keanggunan baru seiring dengan pertambahan usianya, jika dia tidak ingin dipandang dengan sebelah mata oleh suaminya.”

“Jadi, apa saranmu kepadaku?”

“Lupakanlah umurmu, dan hadirkanlah kesan yang segar dan menyenangkan.”

“Aku bukan geisha, jika itu maksudmu!”

“Nah, pikiran semacam itulah yang umum dimiliki oleh para istri penggerutu. Yang kukatakan ini tidak hanya berlaku bagi Kiyomori tetapi juga bagiku. Omong-omong, setelah mencapai usia empat puluhan, seorang pria siap untuk menaklukkan dunia, namun tiba-tiba dia mendapati bahwa istrinya tampak mengenaskan di sampingnya.”

“Rupanya itulah obrolan para pria seperti kalian jika sedang berkumpul!”

“Sejujurnya, itu benar. Sepertinya semua orang mengeluhkan hal yang sama, walaupun kami mencintai istri kami, namun mereka menua dan membosankan.”

“Kalian memang mau menang sendiri …”

“Kau benar. Begitulah kaum pria, namun seorang pria harus diberi kesempatan untuk mengembangkan egonya di bawah atap rumahnya sendiri sebelum dia bisa menghadapi dunia dan menaklukkannya. Ada pepatah lama yang

Page 570: The Heike Story

mengatakan bahwa seorang pria menjadi mudah terhanyut oleh keraguan setelah dia menginjak usia empat puluhan. Kami sepertinya sedang memasuki tahap itu sekarang, namun Kiyomori ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar, percayalah.”

“Apa kau berharap aku memercayainya? Kau termasuk di antara orang-orang yang mendorongnya untuk tenggelam dalam khayalan seperti itu.”

“Tidak, kau akan menyadarinya sendiri ketika namanya semakin termasyhur, dan kau harus mendampinginya dengan keanggunan dan tingkah laku yang sempurna, atau kau akan semakin meredup sementara bintangnya bersinar cemerlang.”

“Cukup sudah omong kosongmu itu. Silakan tinggalkan aku sekarang.”

“Satu lagi saja.”

“Apa itu?”

“Bukankah kau sendiri yang sering mengundang Bamboku si saudagar itu kemari? Kau melakukan kesalahan besar karena memercayai pria brengsek itu. Aku tahu bahwa Hidung memegang peranan besar dalam hubungan gelap suamimu dengan Tokiwa. Bahkan, pada malam ketika Yoshihira menyerang Kiyomori, Norimori terheran-heran karena si brengsek itu ada di tempat kejadian.”

Tokitada sebisa mungkin memanfaatkan kesempatannya untuk menyampaikan pendapatnya tentang kakaknya, dan Tokiko hanya bisa diam saat mendengarnya, menatap senyum tipis di wajah Tokitada dengan penuh kegusaran. Pertengkaran di antara mereka terjadi dari waktu ke waktu, dan Tokiko biasanya mengalah, namun bibirnya yang

Page 571: The Heike Story

terkatup rapat kali ini menunjukkan tekadnya untuk menutup adu mulut mereka.

“Ya, aku sendirilah yang akan mengurus Bamboku. Sementara itu, kuharap kau menemui Itogo dan mencari tahu apa yang hendak dilakukannya kepada Tokiwa. Kuharap kau berangkat sekarang juga.”

“Terserah padamu, aku mengerti.”

“Jangan mengatakan ‘terserah padamu’ ... aku ingin kau memahami bahwa itu adalah perintah dari suamiku,” tukas Tokiwa, teringat pada berbagai desas-desus tentang kecantikan Tokiwa yang tak lekang oleh masa. Dirinya, sang istri yang terbakar oleh api

cemburu, menyadari bahwa dunia tidak bersimpati kepadanya tetapi kepada Tokiwa, yang kini dianggapnya sebagai pesaing.

Pada hari yang sama, Tokiko juga mengundang Hidung Merah.

“Anggap saja dirimu sudah tidak diterima lagi di sini. Aku memerintahkan agar kau tidak lagi mengunjungi tempat ini mulai sekarang.”

“Baiklah ... ” Hidung, yang biasanya berlidah tajam, menjawab dengan lirih. Kemudian, setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Apakah saya sudah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan Anda, Nyonya?”

‘Tanyakanlah itu kepada akal sehatmu.”

“Jika saya memang telah menyinggung Anda, tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali memotong leher saya sendiri.”

“Lakukanlah, kalau begitu. Kau lebih tahu daripada siapa pun bahwa kau punya alasan bagus untuk itu. Aku

Page 572: The Heike Story

sudah membiarkanmu berkeliaran di sini karena menganggapmu menyenangkan, dan kau membalasnya dengan mengambil keuntungan dariku. Kau telah mempermalukan suamiku dengan menjerumuskannya ke dalam intrik bersama Tokiwa.”

“Astaga, itu ... ” Hidung tersentak kaget, menepuk kepalanya dan berusaha membujuk Tokiko. Tetapi, Tokiko telah bangkit dan menghambur keluar dari ruangan dengan kibasan marah kimononya.

o0odwkzo0o

Bab XXXI-GAGAK Bamboku memerintah salah seorang pegawainya untuk

pergi ke wilayah barat ibu kota, ke sebuah rumah peristirahatan sederhana yang dahulu dibangun oleh seorang bangsawan untuk gundiknya dan kini telah terbengkalai. Si pegawai diperintahkan untuk membeli rumah peristirahatan tersebut pada saat itu juga. Hal ini terjadi hanya selang sehari dari pengusiran Hidung Merah dari Rokuhara, dan pada malam harinya, rumah itu telah siap dihuni kembali. Bamboku turut sibuk mengerjakan berbagai macam urusan rumah tangga untuk mempercepat persiapannya, termasuk menyediakan kereta sapi dan gerobak untuk mengangkut peralatan tidur, perangkat dapur, perabot, dan yang semacamnya ke sana. Seorang diri, Hidung menghabiskan siangnya untuk menata kebun sesuai dengan seleranya, menata sejumlah ruangan dan bahkan menyapu lantainya. Dan pada malam harinya, sekat telah dipasang di ruangan-ruangan utamanya, tirai telah digantungkan di tempat-tempat yang semestinya, bahkan sebuah altar peribadatan kecil dan meja tulis anggun

Page 573: The Heike Story

telah dipasang di salah satu ruangan yang berukuran lebih kecil.

“Wah, wah, ini hari yang sibuk! Melihat hasilnya, pekerjaan kita lumayan. Ini tentu akan menyenangkan hatinya,” Hidung mendesah puas, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya di bawah cahaya sebuah lentera.

Seorang pria meninggalkan keretanya bersama para pelayannya di bawah pepohonan yang cukup tersembunyi dari rumah itu. Dia adalah Kiyomori.

“Luar biasa, sungguh luar biasa! Di sini juga sangat tenang. Kebunnya pun bagus, mungil ... dan ada sungai yang membelahnya,” Kiyomori berkomentar seraya memeriksa keadaan rumah itu, menengok ke sana dan kemari.

“Bagaimana menurut Anda, Tuan?”

“Bagus sekali, dan semuanya dirampungkan dalam waktu sesingkat itu.”

“Pujian itu, Tuan, adalah imbalan yang setimpal untuk Hidung. Saya sungguh terhina oleh perlakuan Nyonya, namun Tuan justru memerintah saya untuk mengerjakan ini secepatnya dan secara rahasia. … Saya belum tidur sekejap pun selama dua hari dan dua malam terakhir.”

“Ini sudah cukup untuk sekarang. Nah. bagaimana dengan Tokiwa?”

“Kita harus menunggu hingga larut malam dan jalanan telah sepi. Saya akan memastikan agar beliau dibawa kemari pada waktu yang tepat”

“Baiklah. Aku tidak akan merisaukannya lagi. Nah, aku memercayakan kepadamu untuk menyelesaikan urusan dengan orang-orang ... memberikan penjelasan dan lain

Page 574: The Heike Story

sebagainya, kau tahu. Dan pastikan agar semua kebutuhan Tokiwa terpenuhi.”

“Anda akan pergi sekarang?”

“Aku mungkin sebaiknya tidak ke sini selama beberapa waktu ... banyak masalah di rumah,” ujar Kiyomori dengan nada gusar, walaupun dia meninggalkan rumah itu dengan lagak riang.

Seperti yang telah diperkirakannya sendiri, Kiyomori tidak terlihat kembali di rumah peristirahatan itu. Mudah untuk meyakini bahwa kemarahan Tokiko akan berlangsung lama. Terlebih lagi, kesibukannya di Istana tidak memungkinkannya untuk keluar lebih cepat dan singgah ke rumah peristirahatan sebelum pulang ke rumahnya.

Hidung, bagaimanapun, dengan teratur mengunjungi rumah peristirahatan setiap pagi dan malam, dan bertanya kepada Tokiwa tentang kenyamanan dan kesehatannya. Untuk tugasnya ini. Hidung mencurahkan seluruh perhatiannya.

“Nyonya, apakah Tuan Kiyomori belum sekali pun mengunjungi Anda? Belum? Astaga, setia sekali beliau ini!”

Tokiwa belum bisa melupakan Yoshitomo. Dari jendelanya, dia bisa melihat Gunung Kuratama dan langit di kejauhan, yang memayungi anak-anaknya saat ini. Kenyamanan yang ada di sekelilingnya justru semakin membuatnya tertekan. Tidak sehari pun berlalu tanpa dihabiskannya untuk berlutut di hadapan patung Kannon di ruang peribadatannya, mendoakan keselamatan anak-anaknya dan memasrahkan mereka pada perlindungan Kannon. Patung perak berukuran kecil itu dihadiahkan oleh Yoshitomo kepadanya lama berselang, ketika mereka masih berbahagia; memandangnya tidak hanya mengingatkan

Page 575: The Heike Story

Tokiwa kepada anak-anaknya tetapi juga wajah dan kelembutan Yoshitomo. Bagi Tokiwa, saat termanisnya adalah ketika dia berlutut dan berdoa.

Tetapi, ada kalanya dia terbakar oleh rasa malu dan tersiksa oleh rasa bersalah. Apakah yang mendorongnya untuk duduk dan menunggu, seolah-olah dia sedang mengharapkan kehadiran seseorang? Rumah peristirahatan itu terletak di luar sebuah hutan di dekat jalan sunyi di pinggiran ibu kota, dan derak roda kereta, yang jarang terdengar, selalu mengagetkannya dan melambungkan harapannya. Jantungnya akan berdegup kencang, dia akan gelisah, lalu berusaha menenangkan diri kembali.

Jahatkah dia karena merasa seperti ini, tanyanya kepada dirinya sendiri. Kegilaan jenis apakah yang menguasai dirinya ini? Nyeri di tubuhnya, pikiran menyiksa yang tak bisa dihindarinya? Dan sering kali, di malam-malam musim semi yang hangat, air mata membasahi bantalnya ketika hatinya mendambakan anak-anaknya dan Yoshitomo, sementara tubuhnya menantikan Kiyomori, yang dikehendaki sekaligus dibencinya.

o0odwkzo0o

“Benarkah itu, Shika?”

“Saya berani bersumpah, karena itulah saya kembali secepat kaki saya bisa membawa tubuh saya.”

Hidung mengerang, lalu mengatakan, “Bagus! Aku senang kau mengatakan ini kepadaku. Aku akan memastikannya sendiri. Nah, tunjukkanlah jalannya.”

“Tapi, saya tidak tahu apakah kita akan bertemu dengan siapa pun sekarang.”

Page 576: The Heike Story

“Yah, kita hanya perlu melihat-lihat keadaannya,” desak Hidung, dan dengan penuh semangat, dia menghambur keluar dari tokonya di Jalan Kelima.

Bunga-bunga sakura mulai berguguran, dan ujung-ujung ranting mulai dipenuhi warna merah buah ceri. Aroma khas bulan April tercium di udara.

“Di jalan kecil itu ... di sana,” kata Shika, menunjuk seruas jalan di dekat sebuah lahan terbuka yang akhir-akhir ini mulai diisi oleh rumah-rumah berukuran kecil.

“Rumah keberapa dari sini?”

“Yang kelima atau keenam, tapi Anda tidak akan bisa melihat apa pun jika melewatinya. Ada pagar hidup dan gerbang anyaman ranting kecil di sana, tapi bentuknya mirip dengan rumah-rumah Heikt.”

“Ya, aku tahu …” kata Hidung, mencubit-cubit dagunya untuk berkonsentrasi.

Inilah yang didengar oleh si kepala pegawai, Shika, ketika melewati lingkungan itu: seorang prajurit bernama Rokuro, yang tinggal di salah satu rumah di sana, telah menyewakan salah satu kamarnya kepada seseorang sejak awal musim semi. Si penyewa adalah seorang samurai muda, yang bertubuh pendek namun kekar dan berasal dari suatu daerah terpencil. Dia mengatakan kepada orang-orang bahwa dirinya adalah sepupu Rokuro dari Tamba yang sedang mencari pekerjaan di Rokuhara. Dia bersedia menerima pekerjaan apa pun, katanya. Sepertinya tidak ada yang salah dengan dirinya, dan orang-orang tidak mempertanyakan ceritanya hingga seorang janda tua, yang bekerja serabutan di rumah Rokuro, menyebarkan cerita tentang hal-hal aneh yang terjadi di dalam rumah Rokuro. Secara kebetulan, katanya, dia melihat sepupu Rokuro ketika dia sedang menyantap sarapannya pada suatu pagi.

Page 577: The Heike Story

Tidak ada yang aneh mengenai hal itu, kecuali bahwa dia melihat Rokuro melayani sepupunya itu dengan penuh hormat; terlebih lagi, Rokuro mempersilakan sepupunya untuk menyantap hidangan terlezat, sementara dirinya menghabiskan remah-remah yang tersisa. Sebuah pemandangan luar biasa di mata seorang rakyat jelata yang senantiasa kelaparan.

Ketika mendengar tentang hal ini, Shika teringat bahwa Hidung beberapa kali menyebut-nyebut tentang pencarian terhadap si “orang pendek”. Shika pun menyimpulkan bahwa sepupu Rokuro itulah pria yang dicari oleh Hidung ... Genji Yoshihira. Dia pun segera pergi ke rumah Rokuro, memastikan kecurigaannya, dan secepatnya kembali ke toko di Jalan Kelima untuk menyampaikan kabar ini.

“Shika, tunggulah di sini. Akan mencurigakan jika kita berdua peragi ke sana.”

“Berdiri di sini juga sama mencurigakannya.”

“Berjalan-jalanlah sedikit, kalau begitu, sementara aku memeriksa rumah itu seorang diri.”

Bamboku menyusuri jalan. “Kelima ... keenam ... ?” Dia berhenti melangkah. Samurai adalah samurai, tidak peduli seberapa pun miskinnya mereka, dan setiap rumah di sana dilengkapi oleh pagar hidup dan gerbang anyaman ranting kecil, walaupun tanpa papan nama. “Aku akan memeriksanya ... ” Hidung berdiri dengan bimbang hingga didengarnya sebuah tawa melengking. Seorang prajurit jangkung keluar dari gerbang terdekat, diikuti oleh temannya yang lebih pendek, dan menatap Hidung dengan heran.

o0odwkzo0o

Page 578: The Heike Story

“Rokuro, apa kau melihat pria bermata licik yang berkeliaran di depan rumah itu? Apakah dia salah satu tetanggamu?” tanya Yoshihira begitu mereka berbelok di jalan.

“Tidak, dia sepertinya tidak berasal dari daerah miskin ini. Penampilannya seperti saudagar dari salah satu daerah pemukiman besar di Jalan Kelima atau Keenam”

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Sikapnya dan kimono mahal yang dipakainya.”

“Apakah kau melihat hidung merahnya yang mencolok? Dari tatapannya aku tahu bahwa dia berotak licik Kau sebaiknya berhati-hati, Rokuro.”

“Saya akan berhati-hati. Tapi, dia sepertinya tidak membuntuti kita.”

Rokuro berulang kali menoleh ke belakang hingga Hidung menghilang dari pandangannya. Tetapi, keduanya tidak memerhatikan Shika, yang berjalan ke arah mereka untuk menjawab isyarat dari Bamboku. Mereka terus berjalan, menerjang kubangan air dan jalan yang becek, melewati rumah-rumah reyot para pandai besi, penyamak kulit perajin busur, pewarna kain, dan perajin pelana.

“Lihatlah, Rokuro, orang-orang itu sepertinya jauh lebih sibuk daripada sebelum perang terakhir pecah.”

“Memang benar. Kekayaan Rokuhara dan ketukan palunya terdengar hingga larut malam.”

“Persenjataan untuk pasukan Heik6?”

“Tidak diragukan lagi, apalagi sekarang, setelah Genji terusir dari ibu kota.”

Yoshihira mendadak mulai mengamati pemandangan di sekelilingnya dengan getir. Ya, pikirnya, perubahan besar-

Page 579: The Heike Story

besaran telah terjadi sejak Genji terusir dari ibu kota! Segala sesuatu yang telah diakrabinya sepertinya telah lenyap; apa pun yang dilihat dan didengarnya saat ini membuatnya putus asa. Yoshihira sendiri dianggap telah tewas ketika tersebar desas-desus bahwa dia telah ditangkap dan dihukum mati. Sebenarnya, dia melarikan diri ke utara, ke sebuah desa bernama Echizen dan bersembunyi hingga keadaan aman sebelum kembali lagi ke Kyoto.

Pengaruh Rokuhara terlihat di mana-mana ... termasuk dalam cara bergaya dan berpakaian orang-orang. Tidak hanya di kalangan istana, tetapi juga di kalangan saudagar dan perajin yang bekerja untuk Rokuhara. Kehidupan seolah-olah berputar mengelilingi Rokuhara, si matahari pemberi kehidupan! Amarah Yoshihira menggelegak; melihat orang-orang yang dengan mudahnya tunduk pada pemerintahan baru. Ini adalah pergolakan batin hebat pertama yang melandanya sejak dua puluh tahun kehidupannya, dan dia yakin bahwa pertikaian ini tidak akan pernah berakhir. Dunia sepertinya tidak menarik lagi baginya, kecuali sebagai tempat untuk mengabdikan dirinya demi upaya pembalasan dendam ... kematian Kiyomori untuk membayar kehormatan Genji.

Beberapa saat setelah kembali ke ibu kota, Yoshihira tanpa sengaja berjumpa dengan Rokuro, mantan prajurit Yoshitomo. Rokuro menjelaskan bahwa dirinya adalah salah seorang dari banyak prajurit yang ditangkap oleh pasukan Heik6, dan kemudian dipekerjakan sebagai tentara bayaran untuk Rokuhara. Sebagai wujud kegembiraan atas pertemuan itu, Rokuro menawarkan tempat tinggal kepada Yoshihira dan menasihatinya untuk menantikan kesempatan membalas dendam. Tidak lama kemudian, Rokuro mendengar bahwa Kiyomori mengunjungi Tokiwa setiap malam; maka, bersama Yoshihira, dia pun

Page 580: The Heike Story

merencanakan sebuah serangan. Kendati upaya untuk merenggutnyawa Kiyomori gagal, Yoshihira yakin bahwa Kiyomori adalah sasaran yang empuk.

Seorang lagi calon pembunuh juga tengah bersembunyi ... dia adalah Konno-maru, panglima muda yang berbalik arah di tengah badai salju untuk mencari Yoritomo. Setelah gagal dalam pencariannya, Konno-maru kembali ke ibu kota untuk mengawasi pergerakan Kiyomori secara saksama dan mencari kesempatan untuk membalas dendam bagi mendiang majikannya, Yoshitomo. Sementara itu, kasak-kusuk mengenai Tokiwa tersebar, dan ketidaksetiaan wanita itu memancing amarah Konno-maru.

Yoshihira dan Rokuro hendak menemui Konno-maru di sebuah kios perajin pelana. Mereka telah beberapa kali bertemu sebelumnya di berbagai wilayah ibu kota, dan pembalasan dendam selalu menjadi topik pembicaraan datar mereka.

“Itu, Rokuro, di sana. Aku melihat kios perajin pelana.”

“Jadi, dia ada di sana, dan tengah bekerja. Apakah kita sebaiknya mendatanginya dan diam-diam berbicara dengannya?”

“Tunggu, ingatlah pesan dari Konno-maru ... berlaga kiah seperti seseorang yang hendak melakukan bisnis. Si perajin pelana mungkin sudah memahaminya, tapi kita harus berhati-hati pada para muridnya. Kita tidak boleh mengambil risiko.”

“Ya, dia sudah berulang kali mengatakannya kepada saya. Tunggulah di sini sementara saya ke sana untuk berbicara dengannya.”

Page 581: The Heike Story

“Aku akan menunggu di sana, di belakang tempat pemujaan itu,” jawab Yoshihira, menunjuk ke sebuah tempat di dekat sebuah kolam.

Sebuah tempat pemujaan kuno berdiri di tengah sebuah hutan kecil, tampak reyot dan terbengkalai. Yoshihira memandang ke sekelilingnya, pada sulur-sulur tumbuhan merambat yang menggantung dari atap tempat pemujaan, cabang-cabang pepohonan, dan kuntum-kuntum bunga mangkok keemasan yang menghiasi tepi kolam. Konno-maru datang bersama Rokuro dan hendak berlutut di hadapan Yoshihira, namun Yoshihira memperingatkannya dengan tegas.

“Jaga perilakumu baik-baik, karena orang-orang bisa melihat dan mencurigai kita. Kita bukan lagi majikan dan pelayan melainkan sesama buronan. Kemari dan duduklah di sampingku.”

Yoshihira menunjuk pangkal sebatang pohon sembari berbicara. “Sudahkah kau mendengar kabar lainnya, Konno-maru?”

“Tidak ada kabar baru tentang Kiyomori, tapi tahukah Anda bahwa Tokiwa diam-diam sudah dipindahkan ke sebuah rumah peristirahatan di pinggiran ibu kota?”

“Begitulah yang kudengar, namun aku diberi tahu bahwa Kiyomori tidak pernah mengunjunginya sekali pun. Aku menantikan kesempatan untuk menyerangnya saat dia pergi ke sana.”

“Saya yakin bahwa Kiyomori telah meningkatkan kewaspadaannya semenjak peristiwa malam itu, namun kesempatan kita tentu akan datang.”

“Ya, suatu ketika nanti.”

Page 582: The Heike Story

“Penyesalan mewarnai setiap hari yang berlalu. Tidak sehari pun saya lewati tanpa memikirkan Tuan Yoshitomo.”

“Aku pun seperti itu setiap kali memikirkan ayahku.”

“Dan bagaimanakah menurut Anda, Tuan, tentang wanita itu, Tokiwa?”

“Ada apa dengannya?”

“Apakah kita akan membiarkannya tetap hidup?”

“Kita tidak akan membicarakan tentang dia.”

“Tidak, itu mustahil. Bagaimana mungkin kita mengabaikan aib yang dicorengkannya kepada Genji karena dia mau menjadi gundik Kiyomori?”

“Jangan lupakan bahwa karena dirinyalah tiga orang anak selamat, Konno-maru.”

“Itulah yang dikatakan oleh semua orang, namun bagaimana kita bisa memastikan bahwa dia memang mengorbankan dirinya demi anak-anaknya? Saya meragukannya. Saya yakin bahwa ambisilah yang

mendorongnya untuk melupakan ayah Anda dan berpaling kepada Kiyomori”

“Apakah yang membuatmu berpikir begitu?”

“Karena dia tidak bunuh diri dan mengikuti tuannya”

“Kau berharap terlalu banyak darinya. Dan kau juga terlalu keras menilainya.”

“Keras, memang, namun Anda juga harus ingat, Tuan, bahwa saya tumbuh dewasa dengan mengabdikan diri kepada ayah Anda,” Konno-maru mengeluh. “Saya adalah pelayan kepercayaan beliau, dan sayalah yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dari beliau untuk Tokiwa

Page 583: The Heike Story

ketika dia masih menjadi dayang Nyonya Shimeko. Saya sering kali turut hadir ketika Tuan Yoshitomo menemuinya. Saya tahu betapa Tuan Yoshitomo mencintainya ….Apakah menurut Anda saya bisa memaafkan perbuatan Tokiwa? Perang memang telah berakhir, tapi apakah yang bisa mencegah saya dari membalas pengkhianatan Tokiwa demi mendiang Tuan Yoshitomo?”

“Jadi, Konno-maru, kau berniat membunuh Tokiwa?”

“Sebagai seorang wanita, saya rasa dia tidak memiliki keberanian untuk mencabut nyawanya sendiri. Jadi, saya akan membunuhnya sebagai wujud belas kasihan dan untuk menghapuskan aib yang dicorengkannya kepada Genji.”

“Tidak, tunggu,” Yoshihira buru-buru memotong, “dengan melakukan itu, kau akan merusak kesempatanku untuk membalas dendam kepada Kiyomori.”

“Tidak, saya akan menunggu saat yang tepat Saya tidak memiliki peluang selama Tokiwa masih tinggal di rumah Itogo. Setelah Anda menghabisi Kiyomori, saya akan mengurus Tokiwa,” jawab Konno-maru dengan nada getir.

Walaupun ragu-ragu mengenai hal ini, Yoshihira dirisaukan oleh emosinya yang bercampur aduk. Mendiang ayahnya ... penghinaan terhadap klan Genji, aib yang harus mereka tanggung.

“… tapi tidak secepat itu. Sasaran utama kita adalah Kiyomori. Jangan mengambil tindakan sebelum kau mendengar bahwa Kiyomori telah mendapatkan apa yang layak diterimanya.”

Yoshihira dan Konno-maru terdiam, ketika derak nyaring mendadak terdengar di atas mereka dan serpihan-serpihan kulit kayu menghujani mereka. Keduanya mendongak, terkejut Seekor gagak besar, yang semula

Page 584: The Heike Story

bertengger di atap tempat pemujaan, mengepak-ngepakkan sayapnya dengan gaduh menuju cabang pohon yang lebih tinggi. Di atas atap, mereka berdua melihat sesosok pria ... seorang biksu. Sosok berjubah compang-camping itu membungkuk ke arah mereka dan tersenyum, memamerkan sebaris gigi putih di tengah-tengah janggut lebatnya. Ada kesan ramah sekaligus mengejek dalam tatapan yang sekilas dilontarkannya kepada mereka. Yoshihira, Konno-maru, dan Rokuro merasakan bulu kuduk mereka meremang; wajah mereka pucat pasi. Apakah si biksu mendengar pembicaraan mereka? Pikiran pertama yang terlintas di benak mereka adalah membunuh si biksu, namun seolah-olah bisa membaca pikiran mereka, sosok di atas atap itu berseru kepada mereka:

“Aku tidak punya urusan dengan ini. Gagak itulah biang keroknya. Kalian tidak perlu takut kepadaku.”

Tidak diragukan lagi, biksu itu mendengar setiap patah kata yang mereka ucapkan, karena dia duduk menyandarkan punggungnya ke atap; si gagak sekalipun tidak akan bisa melihat si biksu yang sedang bersantai-santai di atap itu.

Yoshihira akhirnya tersenyum pahit dan memberikan isyarat kepadanya. “Biksu yang terhormat aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Maukah kau turun kemari?”

“Aku sedang sibuk, karena itulah aku ada di atas sini. Jika kau hendak bertanya kepadaku, bicaralah dari sana. Aku bisa mendengarmu dari sini.”

“Apakah yang sedang kaulakukan di atas sana?”

‘Tidak bisakah kau menebaknya? Aku sedang memperbaiki atap.”

Page 585: The Heike Story

“Memasang genting?”

“Ya, aku biksu pengembara, dan aku sudah cukup lama tinggal di tempat pemujaan tua ini. Tempat ini selalu banjir saat hujan turun. Gagak itu tentu turut mengacak-acak genting. Hari ini cerah sekali, bukan?” Si biksu tergelak. “Aku sudah berada di sini sepagian, bekerja. Apakah yang sedang kalian lakukan di sana?”

‘Tidak apa-apa, kalian tidak perlu memberitahuku, tapi karena kita kebetulan bertemu, aku akan memberitahukan tentang beberapa hal kepada kalian. Jangan anggap aku sebagai seorang biksu biasa yang nasihatnya tidak berarti apa-apa bagi kalian, tapi kalian masih muda ... sangat muda, sehingga mau tidak mau aku merasa iba. Lebih berhati-hatilah dalam menjaga nyawa kalian yang berharga Jangan lupakan bahwa masa depan masih terbentang luas di hadapan kalian.”

“Menurutmu, siapakah kami?**

“Mana aku tahu? Mengapa aku harus tahu?”

“Kau pasti telah mendengar pembicaraan kami.”

“Apakah aku seharusnya tidak mendengarkan pembicaraan kalian? Kalian sungguh ceroboh. Untunglah hanya aku yang mendengarnya ... aku sama jinaknya dengan gagak tua itu.”

“Kemari, turunlah. Sangat disayangkan bahwa kau telah mendengar pembicaraan kami. Kami tidak akan membiarkanmu lolos hidup-hidup.”

Si biksu terkekeh nyaring, entah untuk mencemooh atau memperingatkan mereka. Sepasang mata yang terpicing kepada para pemuda itu tampaknya memancarkan kasih sayang dan keinginan untuk melindungi.

Page 586: The Heike Story

“Aku melihatnya. Aku mengenalinya sekarang ... samurai muda sembrono yang mengejar putra Kiyomori dari Gerbang Taikenmon hingga tiba di kanal. Dan dunia telah begitu berubah sehingga dia bahkan tidak punya nyali lagi untuk menangkap gagak yang bertengger di atap ini!”

“Jika kau menolak untuk turun, kami sendirilah yang akan naik ke sana dan menyeretmu kemari.”

“Cobalah ... kalian hanya akan membuang-buang waktu. Aku mendengar pembicaraan kalian, namun rahasia kalian aman di tanganku. Sama seperti gagak itu, aku tidak berniat untuk melaporkan kalian ke Rokuhara. Simpatiku, bahkan, tertuju pada pihak yang kalah, dan karena itulah aku ingin berbicara denganmu, Anak Muda, yang masih memiliki masa depan nan menjanjikan. Ayah dan saudara-saudaramu telah tewas dan klan Genji tercerai berai, namun untuk apa kau harus menyia-nyiakan kehidupanmu? Dari dirimu akan hadir generasi-generasi selanjurnya. Jagalah baik-baik nyawamu yang berharga itu! Lupakanlah rencana tololmu untuk membalas dendam. Kau tidak bisa mengubah dunia ini hanya dengan membunuh seorang manusia. Oh, tolol, tolol sekali dirimu jika berpikir begitu! Tidak bisakah kalian melihat bahwa wanita yang tidak berdaya itu, yang dengan pasrah membiarkan dirinya tersiksa demi kasih sayangnya kepada anak-anaknya, jauh lebih berani daripada kalian?”

Ketiga pemuda di bawah pohon itu terdiam. Sinar matahari yang menerobos dari sela-sela dedaunan menunjukkan bahwa senja sebentar lagi tiba, dan semburat merah mengambang di atas sosok mereka.

“Lihatlah, lihatlah bahwa matahari tetap bergerak sementara kita berbicara. Tidak ada yang bisa menghentikan lajunya. Doa-doa tidak akan bisa menghentikan pergerakan alam. Begitu pula dengan

Page 587: The Heike Story

kehidupan manusia. Kemenangan dan kekalahan hanyut bersama dalam arus deras kehidupan. Kemenangan adalah awal dari kekalahan, dan siapakah yang bisa beristirahat dengan tenang di tengah kemenangan? Tidak ada yang tetap di dunia ini. Kau akan mendapati bahwa nasib burukmu sekalipun akan berubah. Mudah untuk memahami ketergesaan orang-orang berusia lanjut, yang sisa harinya bisa dihitung dengan jari, namun mengapa kalian yang masih muda ini tergesa-gesa padahal masa depan ada di dalam genggaman tangan kalian? Untuk apa kalian menuruti nafsu angkara murka dan melakukan tindakan gegabah yang hanya akan berujung pada kematian?”

“Lihatlah kembali si gagak itu. Sudah waktunya bagi kalian para pemuda untuk mundur. Lebih baik lagi, pergilah sejauh mungkin dari ibu kota. Dan sudah waktunya bagiku untuk turun dari atap ini,” kata si biksu, beranjak dari tempat duduknya.

Ketiga pemuda itu dengan serta merta berdiri, seolah-olah tersihir oleh kata-kata yang baru saja mereka dengar, dan Yoshihira segera berlari mendekati tempat pemujaan. “Tunggu, tunggu, kata-katamu menyentuhku. Aku akan datang kemari besok pagi untuk mendengarkan petuahmu lagi. Aku akan merenungkan nasihat yang baru saja kauberikan.Tapi, biksu yang mulia, katakanlah kepada kami siapa dirimu.”

“Maafkanlah aku jika harus menolak permintaanmu; namaku adalah aibku.”

“Kau adalah manusia yang luar biasa. Hubungan apakah yang kaumiliki dengan Genji?”

Page 588: The Heike Story

‘Tidak ada. Begitu pula dengan Heik6. Aku tak ubahnya dari sosok yang kalian lihat, seorang biksu pengembara. Mari kita bertemu lagi di sini besok pagi.”

‘Tetapi, setidaknya, katakanlah kepada kami siapa dirimu.”

“Tidak. Yang kulakukan hanyalah menasihatimu agar tidak bertindak gegabah, menyadarkanmu agar tidak melakukan hal bodoh seperti halnya diriku ketika seusiamu. Ketika itu, aku bahkan lebih tolol daripada kalian semua. Aku terbutakan oleh cintaku kepada istri pria lain dan menjadi bahan tertawaan seluruh ibu kota. Hanya kematianlah yang bisa menghapuskan perasaan bersalahku, namun aku telah menghabiskan bertahun-tahun di Air Terjun Nachi, menebus dosaku.”

“Kau? Kalau begitu, kau adalah Mongaku!” Yoshihira berseru, mendongak agar bisa melihat dengan lebih jelas. Namun sia-sia saja, karena Mongaku telah lenyap. Hanya ada seekor gagak yang bertengger di puncak atap, menyelisik bulunya dan sesekali menengok ke arah bintang-bintang di langit senja.

o0odwkzo0o

Ketiganya beranjak dari tempat itu, diam dan larut dalam pikiran mereka masing-masing, hingga Yoshihira tergugah oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu benaknya. Mengapa kata-kata si biksu menggentarkannya? Mengapa dia membiarkan dirinya tergiur sejenak oleh saran-saran yang tidak masuk akal itu? Bagaimanapu, dia tidak bisa menyangkal bahwa si biksu mengatakan kebenaran, karena manusia dan semua hal yang ada di muka bumi ini berubah dari waktu ke waktu.

“Dia benar ... tidak bisa disangkal lagi. Bahkan saat kita berjalan, bintang-bintang bermunculan dan malam semakin

Page 589: The Heike Story

gelap. Konno-maru, bagaimana menurutmu? Apakah keputusanmu?”

“Keputusan saya tidak berubah. Saya agak terhanyut oleh perkataan Mongaku, namun semua itu adalah ajaran Buddha aliran Jodo. Bagaimanapun, saya adalah seorang samurai, dan pengikut Tuan Yoshitomo. Untuk apa saya membiarkan kata-kata seorang biksu mengubah diri saya dalam sekejap?”

“Kau benar, kita terlahir sebagai samurai dan menyandang nama samurai.”

“Kita tidak bisa menyangkal siapa diri kita. Biarkanlah Mongaku meracau sesuka hatinya tentang alam semesta dan betapa segala hal di dunia ini senantiasa berubah. Hidup ini pendek, dan samurai menghargai segalanya.”

“Benar sekali! Kaum samurai memiliki cara tersendiri dalam menghargai kehidupan,” bisik Yoshihira, setengahnya kepada dirinya sendiri, seraya mendongak ke arah bintang-bintang. Dia mendapatkan keyakinannya lagi. Angin berembus ke keningnya ketika dia berkata dengan riang:

“Baiklah, Konno-maru, sampai jumpa lagi!”

Mereka berpisah di persimpangan. Konno-maru berjalan, namun tiba-tiba menoleh dan bertanya, “Apakah yang akan Anda lakukan besok pagi?”

“Besok pagi? Apa maksudmu?”

“Bukankah Anda tadi mengatakan akan menemui Mongaku lagi?”

“Tidak. Apa gunanya mendengarkan dia jika kita sudah menetapkan pikiran? Lebih baik kita mengintai Kiyomori.”

Page 590: The Heike Story

“Dan ada lebih banyak alasan bagi saya untuk mencamkan bahwa Tokiwa tidak boleh hidup lebih lama. Saya akan mengurus hal itu. Sampai berjumpa lagi,” kata Konno-maru sebelum kembali ke kios perajin pelana.

Yoshihira dan Rokuro juga pulang, mempersiapkan makan malam mereka di bawah cahaya lilin. Yoshihira membaca buku setelah kenyang, sementara Rokuro menghabiskan sisa-sisa makanannya. Sejenak kemudian, mereka mengunci pintu rumah dan bersiap-siap tidur.

Menjelang fajar, ketika embun menetes dari teritis, sosok-sosok berpakaian hitam dengan sigap menghampiri rumah dan mengepungnya dari segala penjuru. Setelah mendapatkan peringatan dari Hidung, Kiyomori memberangkatkan tiga ratus orang prajurit dari Rokuhara. Bamboku tidak bergabung bersama mereka, namun pegawainya, Shika, turut bersama sang panglima dan memandunya ke rumah yang dijadikan tempat persembunyian Yoshihira. Keributan pecah ketika para prajurit mengepung rumah Rokuro dan menggedor-gedor pintunya. Para tetangga terbangun dengan bingung dan menjerit-jerit, “Gempa bumi!” atau “Kebakaran!” Di tengah kegaduhan, terdengar teriakan, “Kami berhasil menangkapnya!” Tetapi, para prajurit segera menyadari bahwa mereka menangkap orang yang salah, karena Yoshihira berhasil mengendap-endap keluar, melompati pagar, dan naik ke atap rumah terdekat.

“Itu dia ... busurku!” seru si panglima. “Lihat, dia berlari ke sana!”

Yoshihira melesat, melompati atap demi atap, dan melarikan diri di tengah situasi yang kacau balau.

Tidak sampai sepuluh hari kemudian, Yoshihira tertangkap; dia ditemukan ketika sedang tertidur di sebuah

Page 591: The Heike Story

tempat pemujaan di luar ibu kota, beberapa saat setelah dia berhasil meloloskan diri dari para pengejarnya. Dia diseret ke Rokuhara dan dihadapkan kepada Kiyomori, yang disapanya dengan anggukan dan ucapan lantang, “Seandainya aku diizinkan untuk menghadangmu bersama pasukan berkekuatan tiga ribu orang prajurit, ketika kau dalam perjalanan pulang dari Kumano, aku yakin bahwa saat ini dirimu akan bertukar tempat dengan mendiang ayahku.” Kemudian, dia menambahkan dengan penuh kebencian, ‘Terlebih lagi, seandainya ayahku menang, beliau tidak akan melakukan apa yang telah kaulakukan ... merebut wanita yang mencintai orang lain!”

Para pelayan dan prajurit Kiyomori menahan napas, menantikan ledakan amarah Kiyomori, yang selama ini hanya menatap pemuda itu tanpa berkata-kata. Kiyomori tidak sampai hati untuk membenci Yoshihira. Hanya secara kebetulanlah, renungnya, dia mendapatkan kemenangan di hari bersalju itu. Dia juga memiliki seorang putra, dan mau tidak mau dia membanding-bandingkan Yoshihira dengan Shigemori.

Pada malam sebelum Yoshihira digiring ke arena hukuman mati, Kiyomori memerintahkan agar sake ditambahkan ke dalam hidangan terakhir untuk pemuda itu. Kisah yang kemudian beredar adalah Yoshihira menolak untuk menyentuh makanan ataupun minuman yang diberikan oleh penahannya, dan ketika para petugas memeriksa mayatnya, mereka mendapati bahwa lambungnya telah mengerut karena dia tidak sekali pun makan selama berhari-hari sejak penangkapannya.

o0odwkzo0o

Page 592: The Heike Story

Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI “Yomogi, Yomogi, di manakah dirimu?”

Seruas jalan di dekat gerbang menuju Jalan Keenam, yang dikenal dengan sebutan Jalan Pedagang Sapi, adalah sebuah jalan tembus yang diapit oleh gubuk-gubuk kumuh dan berisik oleh dengungan lalat awal musim panas. Udara cukup hangat sehingga menghadirkan keringat, dan samar-samar bau kotoran manusia maupun hewan terbawa oleh angin.

“Kaukah itu, Mongaku yang baik?”

Mata tajam Yomogi melihat sosok yang bergerak di tengah kerumunan manusia. Mongaku berjalan dengan sandal usangnya. Dia tidak memakai topinya ataupun membawa tongkat peziarahnya.

“Akhirnya kita bertemu lagi!”

“Ya, untuk yang ketiga kalinya.”

“Ya, aku pertama kali berjumpa denganmu di jalan dari Yamato, ketika kau sedang menangis saat mencari majikanmu, Tokiwa.”

“Kemudian, sekali lagi pada awal bulan ini di Kuil Kiyomizu, saat hari raya Kannon.”

“Ya, berkat kebesaran Buddha! Dan sudahkah kau pergi ke kapel lagi untuk mewakili majikanmu?”

“Aku harus menyampaikan doa khusus kepada Kannon, dan karena itulah aku akan pergi ke kapel selama seratus hari, dan aku baru saja memulainya.”

“Mengapa kau selalu mewakilinya? Apakah yang mencegah majikanmu pergi ke kapel sendiri?”

Page 593: The Heike Story

“Karena ... ” alih-alih menjelaskan, Yomogi melontarkan tatapan heran kepada Mongaku, “bagaimana kau mengharapkanku untuk menjawab pertanyaan seperti itu?”

“Bagaimana? ... ”

“Tentu saja, karena beliau takut keluar dari rumah, untuk ke kebun sekalipun. Beliau tidak ingin melihat siapa pun, atau dilihat oleh siapa pun.”

“Bisa-bisa majikanmu sakit jika terus-menerus bersikap seperti itu. Ada sesuatu yang membuatnya khawatir setengah mati. Puisi yang pernah kutitipkan kepadamu ... apakah beliau sudah melihatnya?”

“Ya, aku memberikannya kepada beliau ketika beliau masih tinggal di rumah Itogo. Aku masih ingat, bunyinya begini ... ” kata Yomogi, melafalkan puisi tersebut.

“Itu dia! Ternyata kau menghafalnya!”

“Beliau selalu meletakkannya di meja tulisnya, kau tahu.”

“Kemarilah, jangan berdiri di situ. Sekawanan sapi sedang berjalan ke arahmu.”

Mongaku menarik Yomogi ke pinggir jalan. Di belakang rumah-rumah yang berjajar di tepi jalan terdapat lahan berpagar, tempat sapi-sapi dan kuda-kuda dibiarkan merumput. Para pedagang membawa hewan-hewan ternak mereka ke pasar hari ini. Sekawanan sapi sedang melewati mereka, ketika Yomogi tiba-tiba mencengkeram lengan Mongaku dan berusaha bersembunyi di belakangnya. Seorang pria bertampang garang, yang menggiring berekor-ekor sapi, menatap tajam Yomogi ketika melewatinya, lalu menoleh untuk memandangnya sekali lagi.

“Siapakah pria itu?”

Page 594: The Heike Story

“Itu adalah paman majikanku,Tokiwa …” _

“Oh, pria brengsek itu, bukankah dia yang mencoba merebut hadiah dari Rokuhara setelah menipu majikanmu dan membawanya beserta ketiga anaknya kembali ke ibu kota?”

“Dia jahat Matanya membuatku bergidik. Apakah menurutmu dia mengenaliku? Apakah yang harus kulakukan jika dia mengingatku?”

Mongaku, seorang biksu pengembara yang tidak terikat dengan biara atau kuil mana pun, menghabiskan sebagian besar waktunya di Kumano atau Air Terjun Nachi, sesuka hatinya mengunjungi berbagai kuil dari beraneka ragam aliran, dan sesekali kembali ke ibu kota. Tidak seorang pun kawannya di ibu kota pernah melihatnya selama tiga tahun terakhir, hingga Mongaku mendadak muncul di Kyoto pada suatu hari dan terpana ketika mendengar bahwa teman sekolahnya, Kiyomori, telah berkuasa. Kebangkitan kekuasaan Kiyomori menghadirkan keraguan kepada Mongaku; dia mendapati dirinya menghabiskan waktu untuk memikirkan tentang hal ini; orang-orang sepertinya menyukai Kiyomori. Apakah teman sekolahnya itu akan mengikuti jejak pendahulunya yang bengis. Shinzei? Ini menggelikan, sulit dipercaya! Mungkinkah Kiyomori, si pemuda bertengkorak tebal, seperti sebutan mantan teman-teman sekolahnya, menjadi orang nomor satu di negeri ini? Mengherankan sekali bahwa prestasi Kiyomori bisa melampaui dirinya! Tetapi, Mongaku tidak bisa menyembunyikan kepuasannya ketika melihat bahwa kaum samurai yang semula dibenci sekarang dianggap berkedudukan setara oleh para bangsawan.

“Mongaku yang baik, ke manakah kau hendak pergi?” tanya Yomogi, masih memegangi lengan Mongaku erat-

Page 595: The Heike Story

erat. Dia mengedarkan pandangan ketakutan ke arah kerumunan orang di dekat mereka.

Mongaku tertawa. “Kau masih ketakutan gara-gara pedagang sapi itu, ya?”

“Aku takut dia akan membuntutiku ... aku mengkhawatirkan majikanku.”

“Kesetiaanmu kepada majikanmu sama seperti Asatori, kawanku.”

“Asatori ... si juru kunci Mata Air Dedalu?”

“Ya. apa kau masih ingat ketika kau sering meminta air kepadanya?”

“Aku kerap memikirkan apa jadinya dirinya.”

“Dia tinggal di sini, di dalam sebuah gubuk kecil yang reyot”

“Wah, aku tidak tahu tentang itu! Apakah kau yakin?”

‘Tahun lalu, dia menyeberang ke Shikoku untuk mengunjungi majikannya di tempat pengasingannya. Aku kadang-kadang bertemu dengannya di jalan, sedang memainkan serulingnya. Seorang teman yang aneh.”

“Oh tidak, dia baik sekali. Dia selalu bersikap baik kepadaku, kepada semua orang.”

“Berapakah umurmu ketika itu?”

“Dua belas.”

“Jadi, sekarang umurmu enam belas?”

“Ya, enam belas …” jawab Yomogi, mendadak tersipu-sipu malu. “Apakah kau hendak menemuinya sekarang?”

“Tidak, aku akan berdoa di makam seorang wanita tua yang pernah kukenal.”

Page 596: The Heike Story

“Siapakah wanita tua itu?”

“Banyak sekali pertanyaan yang kauberikan kepadaku! ... Wanita tua itu adalah ibu Kesa-Gozen.”

“Dan siapakah Kesa-Gozen?”

“Kau tidak akan tahu. Kau belum lahir waktu dia masih hidup. Ibunya bunuh diri ketika Kesa-Gozen meninggal, dan aku, yang tidak layak hidup, ternyata justru masih hidup. Doa yang kupanjatkan setiap hari, dan ziarah yang kulakukan ke makamnya setiap bulan tidak cukup untuk menghapus rasa bersalahku. Aku harus melakukan kebaikan di dunia ini sebelum bisa mengharapkan pengampunan. Yomogi, katakanlah kepadaku tentang apa yang sebaiknya kulakukan.”

“Aku tidak memahami ucapanmu, Mongaku yang baik.”

“Tidak, aku yakin kau memang tidak mengerti. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Mari kita mencari Asatori sambil meneruskan obrolan kita. Aku tidak tahu apakah dia mau ikut atau tidak.”

Keduanya menyusuri jalan yang kotor oleh sampah dan berbau busuk, menerjang kerumunan lalat yang beterbangan ke sana kemari dan anak-anak yang senantiasa menghalangi langkah mereka ... anak-anak dengan mata merah atau badan berkoreng; tidak ada seorang pun di sana yang terbebas dari berbagai macam wabah atau penyakit kulit, dan dari gubuk-gubuk kumuh di sekitar mereka, terdengarlah raungan orang-orang mabuk dan jeritan pasangan-pasangan yang sedang bertengkar.

“Aku yakin inilah tempatnya,” kata Mongaku, berhenti di depan salah satu gubuk. Batu-batu difungsikan sebagai pemberat di atap gubuk itu, teritisnya miring ke sana kemari, dan lapisan semen di dindingnya telah mengelupas

Page 597: The Heike Story

di sana-sini, memperlihatkan rangka anyaman bambu di bawahnya. Tetapi, sebuah tikar jerami menggantung di pintu; beberapa rumpun rumput galah dan tanaman lainnya tumbuh di bawah jendela. Sepertinya seseorang telah menyapu bagian depan gubuk.

“Apakah Asatori ada di rumah?” Mongaku berseru, mengangkat tirai seraya melangkah ke dalam. Seorang pria sedang duduk di dekat jendela, membaca sebuah buku yang diletakkan di atas peti kayu. Dia menoleh.

“Ah, silakan masuk, silakan masuk!” serunya, menatap Yomogi, yang berdiri di belakang Mongaku. Asatori membelalakkan mata dengan takjub. Mereka tidak pernah berjumpa lagi sejak pertemuan terakhir mereka di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Betapa masih ada kenangan indah dan hangat yang mereka miliki di tengah kekerasan dan kebrutalan dunia!

“Astaga, Asatori, aku tidak tahu bahwa kau tinggal di sini!”

“Kau sudah besar, Yomogi! Aku hampir saja tidak mengenalimu.”

“Kau juga telah berubah, Asatori. Kau kelihatan lebih tua.”

“Apakah aku banyak berubah?”

“Tidak juga. Apakah kau masih menjadi juru kunci Mata Air Dedalu?”

‘Tidak, namun di dalam hatiku, aku masih seorang juru kunci hingga ajal menjemputku.”

“Ya, dan itu mengingatkanku akan perkataan orang-orang tentang Istana Mata Air Dedalu. Kata mereka, alunan musik misterius terdengar setiap malam dari sana,

Page 598: The Heike Story

dan arwah Kaisar yang terasingkan bergentayangan di antara pepohonan. Orang-orang takut berkeliaran di dekat tempat itu.”

“Dan rumah majikanmu tidak terbakar ketika itu, namun perang terakhir pasti telah membinasakannya?”

“Ya, tidak hanya terbakar, tapi kami harus melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa kami.”

“Hidupmu pasti sangat berat”

“Bebanku tidak seberapa jika dibandingkan dengan majikanku dan anak-anak beliau.”

“Aku mendengar banyak gosip dari seorang pedagang sapi ... Tomizo, seorang tokoh penting di sini.”

“Oh, kau mengenal pria jahat itu, Asatori?” tanya Yomogi, bergidik.

Keduanya melanjutkan obrolan mereka dengan penuh semangat lupa bahwa Mongaku ada di sana. Karena tidak tahu harus melakukan apa, Mongaku mengambil buku yang tengah dibaca oleh Asatori dan mulai membuka-buka halamannya. Dia penasaran ... apakah yang sedang dilakukan oleh Asatori dengan buku tentang obat-obatan? Mongaku mengeluarkan satu demi satu buku dari dalam peti. Semuanya membahas tentang pengobatan. Selama ini Mongaku telah menganggap Asatori sebagai seorang pria aneh, namun ternyata dia lebih aneh daripada yang diduganya. Apakah yang sedang direncanakan oleh Asatori saat ini? Dia adalah seorang pemain musik istana yang beralih pekerjaan menjadi juru kunci Mata Air Dedalu; dia juga pernah mengejutkan Mongaku dengan menceritakan bahwa dirinya bergabung dengan rombongan pertunjukan boneka jalanan; dan sekarang dia sedang belajar tentang

Page 599: The Heike Story

obat-obatan. Mongaku kesulitan menyembunyikan keheranannya.

“Apakah kalian berdua sudah selesai mengobrol?” tanya Mongaku, terkekeh.

“Maafkan kami, Mongaku, karena mengabaikanmu.”

“Asatori ... ” “Ya?”

“Apakah kau sedang mempelajari ilmu pengobatan?”

“Ya, aku melakukannya jika memiliki waktu.”

“Kalau begitu, kau tidak akan menjadi dalang pertunjukan boneka?”

“Tidak, tidak, aku akan menjelaskannya kepadamu. Aku tidak akan bisa mencari uang dengan menjadi tabib, jadi aku tetap memainkan serulingku untuk pertunjukan boneka dan memberikan pelajaran memainkan lonceng dan genderang. Bahkan, aku melakukan banyak hal untuk menyambung kehidupanku.”

“Hmm ... kau memang memiliki banyak sisi”

“Itu benar; ada begitu banyak hal yang kuinginkan sehingga aku selalu gelisah.”

“Mengapa kau tidak kembali ke Istana dan mengambil kembali pekerjaanmu sebagai pemain musik?”

“Jika keadaan Istana tidak seperti sekarang, aku tentu mau melakukannya.”

“Kalau begitu, apakah kau pada akhirnya akan menjadi tabib?”

“Sebenarnya, aku belum memikirkan tentang itu, namun ada sangat banyak orang yang miskin dan tidak berpendidikan di sekelilingku, sehingga kupikir akan lebih

Page 600: The Heike Story

baik jika aku menjadi biksu sepertimu dan mempraktikkan ilmu pengobatan yang sudah kupelajari.”

“Hmm ... aku mengerti; aku bisa menduganya darimu. Itu adalah tindakan yang baik. dan kau orang yang tepat untuk melakukannya. Para bangsawan dan orang kaya sanggup membayar tabib dan

membeli obat, namun orang miskin hanya mampu menanti ajal. Aku meragukan apakah ada seorang saja dari seratus orang di sini yang mampu membayar jasa seorang tabib.”

“Begitulah. Aku sudah mengunjungi semua gubuk itu, dan di dalamnya bisa dipastikan ada seseorang yang sakit. Tidak ada harapan bagi orang-orang ini. Jika mereka sudah tidak memiliki cukup makanan untuk orang-orang yang masih sehat, mereka yang sakit akan dibawa ke perbukitan atau sungai dan dibiarkan meninggal di sana.”

“Aku kalah darimu, Asatori.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku adalah kemampuanmu untuk mencintai, cintamu kepada sesama manusia. Kau membuatku merasa sangat hina.”

“Omong kosong, Mongaku. Ingatlah bahwa aku terlahir sebagai pemain musik dan bisa memainkan hampir semua alat musik dengan baik, namun aku bukan orang berpendidikan sepertimu dan harus berjuang keras untuk memahami buku-buku ini.”

“Sepertinya kau akan sangat kesulitan jika harus belajar sendiri. Aku akan memperkenalkanmu kepada seorang tabib baik hati yang pasti bersedia mendidikmu.”

Page 601: The Heike Story

“Betapa beruntungnya aku! Tapi, apakah kau mengenal orang yang mau menolongku?”

“Ya, seorang lulusan sekolah tabib terkenal. Beliau sudah cukup tua sekarang ini dan tinggal di rumah peristirahatannya yang terletak tidak jauh dari ibu kota. Aku akan membekalimu dengan sebuah surat dan kau bisa mencari tahu sendiri apakah dia mau mendidikmu atau tidak.”

Tanpa membuang-buang waktu, Mongaku mengeluarkan tinta dan menulis sebuah surat pengantar.

Selagi Mongaku berbicara dengan Asatori, Yomogi duduk diam, sepenuhnya terabaikan, gelisah memikirkan Tomizo. Dia ingin secepatnya pulang.

“Asatori bisa mengantarmu pulang,” kata Mongaku, menenangkannya. “Aku tentu saja mau mengantarmu, namun aku bisa-bisa terlibat masalah dengan para prajurit dari Rokuhara. Asatori, kau mau mengantarkan Yomogi pulang, bukan?”

“Tentu saja aku mau,” jawab Asatori, dan lesung pipit pun seketika muncul di wajah cemas Yomogi.

Ketiganya keluar bersama-sama, dan Mongaku memisahkan diri di sebuah persimpangan di dekat Jalan Pedagang Sapi.

Yomogi dan Asatori melanjutkan perjalanan, dan setibanya mereka di daerah yang sunyi, Yomogi melihat dua orang pria mengikuti mereka, namun dia tidak merisaukannya karena Tomizo tidak terlihat di antara mereka.

“Rumah yang di sebelah sana itu,” kata Yomogi, menunjuk sebuah rumah, “adalah milik majikanku.

Page 602: The Heike Story

Tokiwa.” Dia mendadak berhenti, kecewa karena perjalanan mereka ternyata pendek.

“Selamat jalan, sampai berjumpa di lain waktu,” seru Yomogi, meninggalkan Asatori dan menghilang di balik gerbang rumah peristirahatan itu.

o0odwkzo0o

Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH Lenguhan sesekali terdengar dari sudut sebuah tanah

lapang tempat pasar digelar pada siang hari. Seekor kerbau gelisah memanggil pasangannya di tengah kegelapan malam, dan jejakan kakinya menambah kegelapan di sekelilingnya. Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari sebuah gubuk yang digunakan oleh beberapa orang pria untuk berjudi. Ruangan sempit itu pengap oleh asap lentera dan aroma sake, dan gemerincing uang logam terdengar meningkahi suara-suara parau. Beberapa orang pedagang terlihat di antara para penggembala sapi dan pejudi ulung, berlomba-lomba menetapkan taruhan yang lebih tinggi. Peluh mengalir di wajah serius mereka, dan mata mereka membelalak setiap kali dadu bergulir.

Tomizo menggeram. “Masih sama saja? Apa gunanya, kalau begitu? ... Belum selesai juga?” Marah dan menyesali kekalahannya, Tomizo bersandar ke dinding papan tipis dan menopangkan kepala ke sebuah bantal kayu. Beberapa saat kemudian, dia duduk dan meraih guci sake sembari menggumam, “Mengapa semua yang kulakukan akhir-akhir ini sia-sia. Aku tak mengerti …” Tomizo menenggak sisa sake di guci, lalu menggeleng perlahan dan mengernyitkan wajahnya; dia menepuk-nepuk pahanya, tidak mampu melarikan diri dari kegelisahan yang menyiksanya. Tokiwa

Page 603: The Heike Story

adalah ujung pangkal dari rangkaian nasib buruknya, pikirnya. Dia telah bertindak bodoh dengan melaporkan tentang keberadaan Tokiwa ke Rokuhara. Dia tidak mendapatkan apa-apa dari tindakan itu ... tidak sepeser pun. Lebih buruk lagi, mereka memenjarakannya dan baru melepaskannya setelah menghajarnya habis-habisan. Dia tentu akan melawan para penyiksanya seandainya itu akan membawanya langsung ke hadapan Kiyomori, namun itu tidak terpikir olehnya. Dan ketika dia mengeluh kepada teman-temannya tentang perlakuan buruk yang diterimanya, mereka malah mengolok-oloknya sehingga amarahnya semakin menggelegak. Dia juga sudah mendengar bahwa Tokiwa saat ini tinggal di suatu tempat di ibu kota, menikmati segala kemewahan dan kehormatan yang menyertai kedudukannya sebagai gundik Kiyomori.

Sake, wanita, judi ... sedikit demi sedikit, seluruh harta yang dimilikinya melayang. Hewan ternak yang tersisa di peternakannya telah terjual di pasar pagi itu. Dia berjudi lagi sesudahnya untuk menebus kekalahannya, namun justru mendapati dirinya semakin terbelit utang.

‘Pinjami aku uang hingga hari pasar yang selanjutnya,” pintanya, namun tidak seorang pun menanggapinya. “Hei, jangan menghinaku begitu! Aku punya keponakan ... Tokiwa ... dan dia lebih berharga bagiku daripada seluruh uang yang ada di situ,” geramnya sebelum berbaring kembali.

Ketika terbangun keesokan paginya, Tomizo mendapati dirinya sendirian. Dia mengusir lalat-lalat yang mengerumuni wajahnya, bangkit menguap, dan berjalan ke padang rumput yang telah bermandikan sinar matahari.

“Hei, Kame, bagaimana dengan kemarin? Bukankah aku sudah membayarmu?”

Page 604: The Heike Story

Kame, seorang penggembala sapi yang sehari sebelumnya ditugaskan oleh Tomizo untuk membuntuti Yomogi dan Asatori, keluar dari salah satu kandang dan memberikan keterangan yang diminta oleh Tomizo.

Karena hari pasar berikutnya telah mendekat Tomizo membutuhkan uang. Dia pun berangkat ke rumah peristirahatan Mibu, tempat tinggal Tokiwa. Di gerbang pelayan, dia mengumumkan kedatangannya, “Aku adalah paman majikan kalian, Tokiwa. Aku datang untuk menengoknya. Katakan kepadanya bahwa aku ada di sini.”

Seorang pelayan menyampaikan pesan tersebut kepada Tokiwa Selagi Tomizo menunggu, Yomogi berjalan ke halaman sambil membawa seikat bunga dan mendadak gemetar begitu melihatnya.

“Oh, Yomogi, cantik sekali kau sekarang! Aku baru saja memberi tahu mereka tentang siapa diriku. Aku juga ingin memintamu untuk memberi tahu majikanmu bahwa aku telah datang untuk menengoknya. Hmm ... kalian tinggal di tempat yang asri dan tenang.”

“Nyonya tidak ada di rumah ... beliau baru saja pergi.”

“Apa?”

“Nyonya sedang tidak ada di rumah.”

“Kaupikir kau bisa membodohiku, ya?”

“Tetapi, ini benar; beliau sedang tidak ada di rumah!”

“Dasar pembohong cilik! Apa-apaan kau ini? Aku pamannya Cepat katakan kepada majikanmu bahwa aku ada di sini!” Tomizo memelototi gadis yang gemetar ketakutan itu.

Page 605: The Heike Story

Pelayan yang membawa pesan Tomizo muncul kembali, ditemani oleh seorang wanita tua. “Nyonya sudah sakit agak lama,” kata si wanita tua dengan nada datar.

“Sakit? Itu memberiku lebih banyak alasan untuk menemuinya. Aku tidak bisa pergi sebelum berjumpa dengannya,” Tomizo bersikeras, duduk di depan pintu tanpa menunjukkan tanda-tanda akan segera pergi.

Sementara itu, Yomogi menyelinap pergi. Pikiran pertama yang terlintas di benaknya adalah memanggil Mongaku, namun dia tidak tahu ke mana dia akan mencari biksu pengembara itu. “Asatoril” adalah orang kedua yang terpikir olehnya, namun dia ragu apakah pria itu bisa menjadi lawan yang seimbang bagi Tomizo. Kemudian, satu nama lagi terlintas di benaknya ... Bamboku!

Yomogi segera pergi ke toko di Jalan Kelima dan menemui Hidung Merah di sana.

“Astaga, ini kabar buruk! Nyonyamu pasti ketakutan!” seru Bamboku. Dia segera memerintahkan agar kudanya disiapkan dan bergegas berangkat ke rumah peristirahatan di Mibu.

Mendengar ringkikan kuda di gerbang, Tomizo langsung berdiri dengan waspada. Tetapi, Bamboku hanya menatapnya tanpa ekspresi apa pun.

“Hei, kamu, siapa pun dirimu ... kemarilah sebentar.” Bamboku melambai kepada si pedagang sapi; seraya menjejalkan segenggam uang ke tangan Tomizo, Hidung Merah menepuk-nepuk punggungnya. “Sudahlah, lupakan saja ini! Jangan bertingkah seperti orang bodoh. Jika uang yang kauinginkan, kau akan mendapatkannya. Kau ingin sake, kau juga akan mendapatkannya. Langsung temui saja Bamboku di Jalan Kelima. Ya, sangat gampang jika kau

Page 606: The Heike Story

mau menemuiku,” katanya, mendadak tertawa terbahak-bahak.

Takjub karena kebaikan hati Bamboku. Tomizo berkata dengan terbata-bata, “Saya tidak bermaksud buruk ... datang kemari hanya untuk menengok keponakan saya tersayang. … Tidak akan menyampaikan kabar buruk apa pun kepadanya, namun penguasa Rokuhara memperlakukannya dengan buruk, bukan? Ya, beliau memperlakukannya dengan sangat buruk”

Sambil menggumam tanpa arah, Tomizo menyelipkan uang yang diterimanya ke balik obi-nya dan pergi begitu saja. Tetapi, sesaat setelah dia melangkah keluar dari gerbang, sebuah pekikan ngeri terdengar. Hidung, yang berdiri di bagian dalam gerbang, berlari keluar sambil menjerit-jerit dan mengedarkan pandangan ke jalan. Tidak ada yang terlihat olehnya kecuali atap-atap peternakan di dekat situ yang berselimut kabut di bawah langit berbintang.

“Bawalah obor ... lentera juga boleh! Cepat!” Seru Hidung Merah sambil membungkuk untuk memeriksa badan Tomizo yang telah terpisah dari kepalanya. Di bawah cahaya beberapa buah lentera, dia memeriksa wilayah di sekitarnya dan melihat rumput dan batu yang basah oleh darah.

Siapakah yang telah membunuh Tomizo? Pekerjaan yang sangat rapi! Bamboku menggeleng, kebingungan. Para pelayan, bagaimanapun, saling mengangguk dan melontarkan tatapan penuh arti. Sesosok iblis ... hanya iblis yang bisa melakukannya.

“Ini tidak dilakukan oleh seorang ahli pedang biasa, dan dengan pedang biasa,” gumam Bamboku. “Terlebih lagi, kepalanya hilang. … Ini urusan yang sama sekali tidak menyenangkan,” lanjutnya. Mengabaikan keributan di

Page 607: The Heike Story

sekelilingnya, Bamboku menatap lekat-lekat cahaya lenteranya. Kemudian, dia menoleh ke arah para pelayan yang berkumpul di belakangnya dan berkata, “Ya, kita akan merahasiakan kejadian ini. Majikan kalian tidak boleh mendengar tentang ini, mengerti?”

Tepat ketika itu, Yomogi pulang membawa sebuah cerita menakutkan.

“Waktu saya tiba di sungai dan hendak menyeberangi jembatan, saya merasa mendengar bebek memercikkan air di bawah saya, namun waktu saya menunduk, yang terlihat adalah seorang pria yang sedang membungkuk untuk membilas pedangnya yang bersimbah darah, dan di sampingnya tergeletak sebuah kepala manusia! Saya terpaku di jembatan. Kemudian, dia mendongak dan memelototi saya. Mungkin sinar bulanlah yang menghadirkan kesan mengerikan, tapi saya yakin bahwa seumur hidup saya, baru kali inilah saya melihat wajah semenakutkan itu. Dan saya langsung secepatnya berlari pulang ….Tapi, oh, saya tak bisa melupakan tatapannya!”

“Seperti apakah pakaian orang itu?”

“Dia memakai mantel berburu dan topi samurai.”

“Sepertinya dia masih cukup muda ... awal dua puluhan, mungkin.”

“Semakin sulit untuk menebak-nebak,” Bamboku menggumam, bersedekap.

Ketika diberi tahu bahwa pemuda yang dilihatnya barangkali adalah pembunuh Tomizo, wajah Yomogi sekonyong-konyong pucat pasi akibat ketakutan dan ketakjuban; kemudian, matanya berkaca-kaca dan air mata mengalir ke pipinya. Melihat hal ini, para pelayan yang lain memandanginya, kebingungan. “Mengapa kau menangis,

Page 608: The Heike Story

Yomogi? Dia memang paman majikanmu, tapi keadaan akan lebih baik jika dia disingkirkan dari sini. Kematian bajingan itu akan menghadirkan kebaikan kepada kita. Majikanmu tentu akan lega jika mendengar tentang hal ini. Tidak ada alasan bagimu untuk menangisinya.”

Tetapi, Yomogi menggeleng dan mengatakan, “Saya tidak menangisi dia. Saya pergi ke Kapel Kannon setiap hari, dan saya yakin bahwa Kannon mendengar doa-doa saya. Saya baru sadar bahwa pemuda itu adalah penjelmaan dari Kannon, dan entah mengapa, itu membuat saya terharu.”

Bamboku, bagaimanapun, tetap duduk dengan lengan bersedekap; dia menggeleng-geleng, kesulitan memercayai kejadian ini. Menurut cara berpikirnya, dibutuhkan lebih dari sekadar campur tangan Kannon untuk mewujudkan apa yang baru saja terjadi. Perkara lain juga meresahkannya. Sekali pun, Kiyomori tidak pernah terlihat lagi di rumah peristirahatan ini sejak dia memeriksanya lama berselang; Hidung bertanggung jawab atas Tokiwa. Apakah yang menyebabkan perubahan sikap Kiyomori itu, pikir Bamboku, gundah. Dia juga khawatir. Tokiko memang sudah dengan jelas melarangnya menginjakkan kaki di Rokuhara, namun mengapa Kiyomori menjaga jarak darinya, atau dengan kata lain mengabaikannya?

Entah bagaimana, perhitungan Bamboku sepertinya meleset. Selama pergolakan terakhir, dia telah mempertaruhkan seluruh harta, reputasi, dan bahkan nyawanya untuk memastikan kemenangan

Kiyomori. Segala upayanya tampaknya sia-sia saja sekarang. Sudah saatnya dia mendapatkan balasan atas segala risiko yang telah diambilnya. Namun seluruh rencananya sepertinya terhambat oleh urusan hubungan gelap dengan Tokiwa ini, dan hari-hari musim semi

Page 609: The Heike Story

berkelebat dengan cepat, kecemasan semakin menyiksa Hidung Merah. Dia tidak tahu kapan Kiyomori akan mengunjunginya, dan apakah dirinya boleh mengunjungi Kiyomori ... tetapi, karena dia telah dilarang menginjakkan kaki di Rokuhara, bagaimanakah dia akan menemui Kiyomori? Ini membuahkan sebuah pertanyaan lain. Hidung mendadak tergugah dari lamunannya dan menoleh kepada Yomogi dan para pelayan lainnya untuk menanyakan, “Apakah yang akan dilakukan oleh majikan kalian malam ini?”

“Beliau mungkin akan merapalkan ayat-ayat suci, seperti kebiasaannya.”

“Baiklah, kalau begitu, aku akan pergi tanpa mengganggu beliau. Pastikan agar tidak seorang pun di antara kalian menceritakan tentang kejadian tadi kepada beliau.”

Bamboku melangkah turun dari beranda dan memakai sandalnya, lalu berhenti cukup lama untuk mengintip dari balik pagar pada nyala lentera dari dalam kamar Tokiwa. Dia bisa melihat Tokiwa dari sela-sela kerai, duduk di balik meja tulisnya. Seperti sekuntum peoni putih, pikir Hidung, yang layu pada malam musim semi. Dia mendesah. Patut disayangkan bahwa bunga secantik itu disia-siakan begitu saja ….Jika Kiyomori tidak berani datang kemari gara-gara istrinya, maka tidak ada alasan yang bisa mencegah Hidung Merah dari merebut Tokiwa untuk dirinya sendiri, pikirnya dengan gairah membara. Itu setidaknya adalah imbalan yang cukup atas semua kerepotan yang harus ditanggungnya ….

Beberapa hari kemudian. Hidung Merah berkunjung ke Rokuhara. Di gerbang yang berhadapan dengan sungai, dia menyuap penjaga yang dikenalnya, lalu menantikan kepulangan Kiyomori di antara pepohonan yang rimbun.

Page 610: The Heike Story

“Tuan, saya berharap bisa berbicara sebentar dengan Anda,” panggil Bamboku ketika Kiyomori melewatinya.

Kiyomori berhenti dan menengok ke belakang. “Kau, Hidung ... kupikir kau katak besar yang hendak menyergapku. Ternyata dirimu! Mengapa kau tidak pernah menunjukkan hidungmu itu di sini akhir-akhir ini? Dasar brengsek,” gerutu Kiyomori.

“Ini lebih daripada yang saya harapkan. Saya tidak menyangka Anda akan menerima saya dengan sehangat ini,” jawab Bamboku.

Kiyomori tergelak. “Apa maksud perkataanmu itu?”

“Ini bukan bahan tertawaan. Tuan,” Bamboku mengeluh. “Anda tentu tahu bahwa Nyonya memerintahkan saya untuk tidak menginjakkan kaki lagi di sini?” “Ulu?”

“Bagaimana mungkin saya bisa datang kemari, jika begitu? Dan siapakah yang menjadi alasan bagi larangan itu, jika saya boleh bertanya, Tuan?”

“Tolol! Perintah Tokiko tidak ada hubungannya denganku, jika Tokiko melarangmu kemari, jangan masuk melalui gerbang perempuan lagi, Tolol!”

“Tetapi, beliau menekankan kepada saya bahwa perintah itu berasal dari Anda.”

“Aku memberikan perintah semacam itu? Wanita selalu mengatakan apa pun yang mereka mau. Kau cukup berhati-hati agar dia tidak melihatmu. Nah, kau tidak kemari selama sebulan terakhir dan tidak mengabarkan tentang keadaan Tokiwa kepadaku. Dasar manusia tak berguna! Dasar bajingan pemalas dan pengecut!”

Page 611: The Heike Story

“Ah, ternyata keresahan saya sia-sia saja. Anda ternyata jauh lebih pemaaf daripada yang saya sangka. Tuan!”

“Aneh juga, untuk orang selancang dirimu. Katakan kepadaku, apakah Tokiwa baik-baik saja? Dia sehat dan hidup nyaman di rumah itu, bukan?”

Walaupun diucapkan dengan nada bercanda, pertanyaan Kiyomori tentang kabar Tokiwa sarat dengan emosi. “Ada hal lain yang harus kusampaikan, tapi sebaiknya kita masuk terlebih dahulu,” katanya, mempersilakan Hidung memasuki kamarnya. Kemudian, Kiyomori pun mulai bertanya lebih banyak tentang Tokiwa, seolah-olah berusaha mencari ketenangan dari jawaban-jawaban Bamboku. Kendati begitu, Bamboku bisa merasakan bahwa bukan larangan Tokiko, melainkan sesuatu yang lebih pentinglah yang menghalangi Kiyomori mengunjungi Tokiwa. Sudah jelas bahwa tugas-tugas Istana hanya menyisakan sedikit waktu baginya untuk mengurus kepentingan pribadinya. Untuk menjelaskan tentang kesibukannya akhir-akhir ini, Kiyomori menceritakan bahwa seorang panglimanya baru saja kembali dari sebuah ekspedisi melawan gerombolan perompak dan berhasil menangkap si kepala gerombolan. Kiyomori menanyai si perompak secara panjang lebar dan terpesona dengan luasnya pengetahuan mengenai dunia luar. Dari si perompak pulalah Kiyomori mendengar kisah tentang peradaban Sung yang menakjubkan.

Saat ini, Kiyomori tengah terpikat oleh sebuah cita-cita, yang bukan sekadar angan-angan, untuk melakukan perdagangan. Dia yakin bahwa dirinya akan berhasil ... dia telah menyusun sebuah rencana untuk menyebarkan kesenian dan kesusastraan melalui perdagangan dengan Cina. Impian ini semakin berkembang, mendorongnya untuk mengabaikan kemarahan Tokiko, dan bahkan

Page 612: The Heike Story

membuatnya hampir melupakan Tokiwa. Rencana itulah yang saat ini menghabiskan waktunya, dan nafisu birahinya untuk sejenak menguap dan lenyap.

Pada masa kejayaan Tadamorl, Heik6 menguasai sebagian besar tanah di bagian barat Jepang ... di antaranya adalah Harima, Bingo, Aki, dan Higo ... dan Tadamori secara diam-diam melakukan perdagangan dengan kapal-kapal dari Cina; tetapi, perdagangan itu hanya dilakukan dalam skala yang sesuai dengan rencana Tadamori untuk menambah kekayaan keluarganya. Sekarang, Kiyomori ingin meneruskan perdagangan dengan Cina dalam skala yang jauh lebih ambisius.

“… Seperti yang kaulihat sendiri, Bamboku, penangkapan para perompak itu tidak ternilai harganya bagiku. Lihatlah kemari, Hidung Merah, picingkanlah matamu ke seberang lautan dan bayangkanlah keuntungan luar biasa yang bisa kita dapatkan dari berdagang di sana.”

“Pembicaraan ini berbelok ke arah yang tidak pernah saya duga. Pikirkanlah keuntungan yang akan didapatkan oleh negeri ini jika kita membawa barang-barang dari Cina. Sedangkan saya ... saya akan menjadi seorang pangeran saudagar! Tidak, saya tentu tidak akan berkeliaran ke sana kemari seperti ini lagi,” Bamboku berandai-andai.

“Tetapi, intinya adalah ... ” lanjut Kiyomori, “kita harus mencari cara untuk membawa kapal-kapal dari Cina langsung ke ibu kota. Percuma saja jika mereka harus menurunkan muatan di Kyushu.”

“Betul juga. Jika tersebar kabar bahwa kapal-kapal itu membawa banyak muatan, para perompak bisa dipastikan akan menghadang mereka. Karena itulah belum ada saudagar yang mau melakukan perdagangan dengan Cina dari sini. Dengan adanya pelabuhan yang bagus dan setelah

Page 613: The Heike Story

Laut Dalam dibersihkan dari perompak, kita akan bisa mendatangkan kapal-kapal kemari.”

“Nah, Bamboku, aku sudah memaparkan perkara ini kepadamu, dan untuk sementara ini, kau akan punya sesuatu untuk dipikirkan.”

“Saya akan memikirkannya. Saya bisa melihat bahwa cita-cita ini akan membuat kita sibuk seumur hidup. Tentunya Anda bisa menghabiskan waktu luang Anda, Tuan, untuk mencurahkan perhatian Anda ke beberapa tempat lain. Bunga yang Anda petik di pinggir jalan itu ... sayang sekali jika Anda mengabaikannya begitu saja. Anda menyuruh saya memegangnya, dan saya tidak tahu harus melakukan apa untuknya. Apakah, Tuan, yang harus saya lakukan?”

“Aku akan berbicara denganmu tentang hal itu di lain waktu.”

“Tidak sekarang? ... Di lain waktu, kata Anda?”

“Ya, urusan perdagangan yang baru saja kuceritakan ini ... semua itu menyedot pikiranku; begitu pula Istana ... ada beberapa masalah,

532 -tf»

kau tahu. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa membereskannya dengan cepat.”

“Baiklah, jika begitu, malam ini saya bisa dengan santai menyampaikan ucapan Anda kepadanya, bukan?”

“Kau sudah memastikan bahwa dia tidak membutuhkan apa-apa?”

“Saya sendiri yang mengurus semua keperluannya.”

Page 614: The Heike Story

“Aku akan mengirim puisi untuknya seandainya aku dikaruniai bakat menulis seperti ayahku …. Tidak ada darah pujangga yang mengalir di tubuhku.”

“Ah, tidak, jika saya boleh mengatakannya. Tuan, Nyonya pernah menunjukkan kepada saya sebuah puisi dari Anda. Saya masih ingat ... bagaimana bunyinya? …”

“Sudahlah, jangan bicarakan soal puisiku …. Bersama bulan Mei hujan akan turun, dan kau sebaiknya menjaga kesehatanmu.”

“Apakah itu pesan yang harus saya sampaikan kepadanya?”

“Kau memang lancang! Mengapa kau harus mengulangi apa yang sudah kaupahami?”

“Maafkan saya. Tuan, jika saya memberikan satu lagi pertanyaan kepada Anda. Benarkah bahwa saya boleh datang kemari sesuka saya seperti dahulu?”

“Datanglah kapan pun kau mau,” jawab Kiyomori sebelum menambahkan, “tetapi jangan sampai Tokiko tahu.”

o0odwkzo0o

Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK Pada suatu pagi buta di bulan Mei, ketika deretan bukit

dan lembah masih berselimut kabut putih, Yomogi berdiri di luar rumah Hidung yang masih tertutup rapat di Jalan Kelima.

“Apakah yang sedang kaulakukan di sini sepagi ini,” Bamboku, yang masih memakai kimono tidurnya, menatap

Page 615: The Heike Story

dengan mata nyalang kepada Yomogi dari ujung kepala hingga ujung sandalnya yang basah oleh embun.

“Maafkan saya karena datang sepagi ini, namun saya mendengar sebuah kabar buruk.”

“Kau selalu datang kemari dengan membawa kabar terburuk. Ada apa sekarang ... pagi ini?”

“Kejadiannya kemarin, waktu saya hendak pulang dari kunjungan rutin saya ke Kuil Kiyomizu.”

“Kau masih rutin pergi ke kuil, ya? Gadis baiki”

“Dan sepulangnya saya dari sana, saya mendapati Mongaku tengah menunggu saya di kaki bukit.”

“Mongaku ... biksu berjanggut itu, ya?”

“Ya, dia akan pergi ke Air Terjun Nachi lagi bulan ini dan baru akan kembali ke ibu kota saat musim gugur, dan dia juga akan berziarah ke Kishu.”

“Sejak kapankah kau mengenal pengembara itu? Kau sebaiknya berhati-hati kepadanya. Kudengar dia menyebarkan cerita bahwa dirinya pernah menjadi teman sekolah Tuan Kiyomori dan tidak pernah mengatakan yang baik-baik tentang beliau.”

“Tetapi, dia orang baik. Dia selalu berbuat baik kepada kita.”

“Biarpun begitu, kau tetap harus berhati-hati. Jadi, ada apa dengan si Mongaku ini?”

“Karena dia hendak pergi ke Kishu untuk waktu yang cukup lama, kami mengunjungi seorang teman kami ... Asatori. Dan, waktu kami sedang mengobrol ke sana kemari, aku menceritakan kepadanya tentang pemuda yang kulihat sedang membilas darah dari pedangnya di sungai, dan Tomizo yang kepalanya terpenggal …”

Page 616: The Heike Story

“Hmm ... lalu?”

“Lalu, Mongaku terkejut dan memperingatkan agar kita berhati-hati. Dia juga mengatakan bahwa sesuatu yang mengerikan akan menimpa majikan saya nanti ... sepertinya itu adalah ramalannya.”

“Apa maksudnya mengatakan itu?”

“Katanya, si pedagang sapi itu bukanlah orang yang diburu oleh si pemuda. Dia membunuhnya karena kebetulan semata. Begitulah menurut Mongaku.”

“Baiklah ... jadi, si pembunuh itu tentu bersembunyi di sana. Benar begitu?”

“Ya, kata Mongaku, orang itu sudah bersembunyi cukup lama di kebun Nyonya atau di suatu tempat di sekitar rumah.”

“Mengagetkan ... benar-benar mengagetkan!”

“Tapi, Mongaku cukup yakin bahwa itulah yang terjadi. Dia bahkan menyebutkan nama orang itu kepada saya.”

“Siapakah namanya?”

“Saya tidak boleh mengatakannya kepada Anda.”

“Saya sudah berjanji kepada Mongaku untuk tidak menyebutkan namanya kepada siapa pun. Kata Mongaku, sayang sekali jika namanya diketahui dan para prajurit Rokuhara menangkapnya.”

“Apakah kau kemari sebagai pembawa pesan Mongaku atau suruhan majikanmu? Apakah yang mendorongmu untuk datang kemari?”

‘Tunggulah sampai saya selesai bercerita, jangan membentak-bentak saya seperti itu!”

Page 617: The Heike Story

Yomogi adalah lawan yang sepadan bagi Hidung, yang gampang marah pada pagi hari, dan cerita tentang penjelasan Mongaku meluncur deras dari mulut gadis itu. Nama pemuda itu, dia bersikeras, harus tetap dirahasiakan; dia adalah seorang pelayan Gen j i yang telah bersumpah untuk membalaskan dendam tuannya dengan cara membunuh Ibkiwa. Pemuda itu telah lama mengintai Tokiwa; dia bahkan bersembunyi di kebun di luar kamar Tokiwa, namun nyalinya melayang ketika dia akhirnya melihat calon korbannya. Mongaku telah berjanji kepada Yomogi untuk mengusir si pembunuh menggunakan sebuah mantra yang ditulisnya di atas selembar kertas. Dia memberikan kertas yang telah terlipat rapi itu kepada Yomogi dan dengan saksama memerintahkannya untuk menggantungkannya di tempat yang terlihat di pagar kebun. Dia meyakinkan Yomogi bahwa jika kertas itu lenyap pada malam hari, maka mereka tidak perlu khawatir lagi. Hingga saat itu tiba, Mongaku berulang kali memperingatkannya, mereka harus melakukan apa pun untuk melindungi Tokiwa. Yomogi kemudian pulang dan melaksanakan perintah Mongaku, mengikatkan kertas itu ke batang bambu di pagar utara rumah, yang jarang dilewati orang.

“… Dan saya tidak bisa memejamkan mata sesaat pun semalam, memikirkan apakah kertas itu akan tetap ada di sana atau tidak pagi ini.”

Yomogi berhenti bicara, walaupun dia sepertinya masih ingin bercerita, namun Bamboku telah berhasil menebak siapa pemuda itu.

“Dia pasti Konno-maru. Dia sudah lama bersembunyi di ibu kota bersama Genji Yoshihira.”

“Oh, bagaimana Anda bisa tahu?”

Page 618: The Heike Story

“Siapa yang tidak tahu? Dan mantra Mongaku ... apakah masih ada di sana pagi ini?”

“Mantra itu sudah hilang.”

“Seperti yang kuduga …”

“Tapi, ada mantra lain yang menggantikannya.” Yomogi mengeluarkan selembar kertas dan dengan cemas menatap Bamboku ketika pria itu membacanya.

Bamboku mengernyitkan keningnya dan membacanya beberapa kali. Tulisan tangan di kertas itu, yang basah oleh embun, nyaris tidak terbaca.

“Apakah katanya?”

“Sepertinya ini adalah jawaban untuk mantra Mongaku.”

“Bagaimana dengan sihir yang kata Mongaku akan bekerja?”

“Apa! Kau percaya bahwa kata-kata si biksu akan mendatangkan sihir? Sepertinya dia malah menyemangati pembunuh itu.”

“Oh, ini menakutkan ….Apakah yang akan kita lakukan, Bamboku, Tuan? Katakanlah kepada saya, Hidung ... ”

“Hm? Dengan nama apa kau memanggilku?”

“Tidak ada. Tuan, saya hanya ... ”

“Kau memang gadis berotak udang! Inilah jadinya jika kau berteman dengan Mongaku. Kejadian ini semestinya memberikan pelajaran untukmu!”

“Tetapi, jika bukan karena Mongaku, kita tidak akan tahu tentang orang jahat yang ingin membunuh majikan saya ini ... ataupun namanya. Sekarang, jika saya ... ”

Page 619: The Heike Story

“Bah, ocehanmu itu! Kita semua tahu betapa kau menyayangi majikanmu, tapi kau seharusnya jangan terlalu cerewet”

“Mau tidak mau saya terus khawatir …. Saya tidak tahu akan melakukan apa lagi untuk meredakan kekhawatiran saya.”

“Bagaimana kau akan tahu? Otakmu tidak lebih besar daripada otak burung gereja! Kembalilah kepada majikanmu dan hentikanlah ocehan mu itu!”

? ??

Penasihat Kiyomori diam-diam bermalam di Istana untuk menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang berlangsung hingga pagi hari. Dia berhasil mencuri-curi tidur selama beberapa jam, dan sedang berjalan kembali ke aula Istana ketika seorang pejabat istana melihatnya dan bergegas menghampirinya untuk menyampaikan sebuah pesan yang ditinggalkan di Pos Pengawal. Seseorang bernama Bamboku dari Jalan Kelima, rupanya, berharap bisa berbicara dengannya dan tengah menantinya di perpustakaan.

“Bamboku? Apa maunya?” Kiyomori bertanya kepada dirinya sendiri dengan bingung. Masalah biasa tidak akan mendorong Bamboku untuk mencarinya ke Istana dan tidak akan cukup untuk membuatnya diterima di Istana. Kiyomori pergi ke perpustakaan dan menemui Bamboku dan Itogo di sana.

Bamboku, yang jelas merasa istimewa karena diizinkan untuk berada di tempatnya berada ketika itu, bersujud dengan takzim dan, tanpa sikap meledak-ledak yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan singkat, Bamboku, menyampaikan keyakinannya bahwa Tokiwa sedang

Page 620: The Heike Story

berada dalam bahaya, dan karena itulah dia memohon nasihat dari Kiyomori.

“Pemuda itu pasti Konno-maru, yang telah bersumpah akan membalas dendam kepada Heiki. Ini masalah yang sangat serius,” jawab Kiyomori. Lalu, kepada Itogo, “Bawalah prajurit-prajurit terbaikmu ke rumah peristirahatan di Mibu, kepung tempat itu, dan tangkaplah dia. Hanya ada satu tersangka ... seorang pemuda.”

Sebelum meninggalkan mereka, Kiyomori menambahkan, “Dan kau. Hidung Merah, pastikan agar dirimu terlindung dari bahaya. Jika ada apa-apa dengan Tokiwa, kaulah yang bertanggung jawab.”

Hidung membungkuk dalam-dalam.

Pada pagi itu juga, dua ratus orang prajurit di bawah pimpinan Itogo berangkat ke rumah peristirahatan di Mibu. Itogo memerintahkan kepada para prajuritnya untuk berpencar dan menyisir wilayah di sekitar rumah selangkah demi selangkah hingga seluruh tanah yang luas itu tersapu bersih.

Mungkin saja seseorang bersembunyi selama beberapa hari tanpa mengalami kesulitan apa pun di sana, di suatu tempat di dalam wilayah rumah peristirahatan ... yang mencakup sebuah danau buatan kecil dengan rumpun-rumpun pepohonan rimbun yang menyerupai hutan di sekelilingnya, dan juga sebentartg tanah yang dilewati seruas sungai kecil.

Para prajurit mengalami kesulitan dalam menembus rumpun-rumpun bambu dan pepohonan rimbun yang berbatasan dengan pagar rumah peristirahatan, namun selangkah demi selangkah, jaring manusia itu menjadi semakin ketat dan mustahil untuk ditembus. Akhirnya, Hidung, ditemani oleh beberapa orang prajurit, melewati

Page 621: The Heike Story

gerbang. “Dia tidak mungkin melarikan diri lagi sekarang,” katanya. “Aku sendirilah yang akan menggeledah rumah. Pastikan agar Nyonya Tokiwa tidak terganggu.”

Setengah dari pasukan Itogo diperintahkan untuk menyisir bagian dalam rumah peristirahatan; mereka merangkak ke bawah rumah; beberapa orang prajurit memanjat ke atap; beberapa lainnya memeriksa isi sumur atau memanjat pohon-pohon. Kendati begitu, mereka tidak menemukan sedikit pun jejak si pembunuh. Seluruh pencarian itu sepertinya akan sia-sia saja, dan para prajurit yang kesal mulai berkeluh kesah. Tetapi, Hidung justru melipatgandakan upayanya. Dia yang akan disalahkan untuk kekacauan ini, karena dialah yang pertama kali meributkannya. Dia melampiaskan kemarahannya kepada Yomogi. “Konno-maru tidak ada di sini, bukan? Ini semua gara-gara cerita omong kosongmu itu! Lihatlah kekacauan yang sudah kaubuat!” raungnya ketika mereka berpapasan di ruang pelayan.

“Sudah, sudah, Hidung.” seorang prajurit yang berdiri di dekat mereka berkata dengan jengkel, “untuk apa kau menyemprot gadis malang itu? Mari kita tutup hari ini. Lagi pula, para prajurit belum makan …”

Itogo, yang telah letih, meninggalkan dua puluh orang anak buahnya untuk menjaga rumah peristirahatan.

Sekali lagi, Hidung memikirkan keseluruhan perkara ini. Dialah yang harus melaporkannya kepada Kiyomori. Dengan kesal, dia pun mengalihkan perhatian kepada Yomogi. “Dengar, sampaikanlah pesanku ini kepada nyonyamu. Katakanlah kepada beliau bahwa kamu menyesal karena telah mengganggunya dan menyebabkan kekacauan yang tidak diperlukan ini. Kami telah menempatkan penjaga baik di dalam maupun di luar rumah, jadi beliau tidak perlu mengkhawatirkan

Page 622: The Heike Story

kemungkinan adanya penyusup. Penyisiran menyeluruh telah dilakukan, dan beliau bisa percaya bahwa tidak ada orang asing yang bersembunyi di sini. Kau mengerti, bukan, Yomogi?”

“Ya, saya akan menyampaikannya kepada beliau.”

“Aku akan pergi ke Rokuhara sekarang.”

“Berhati-hatilah, Tuan.”

“Sampaikan pesanku kepada majikanmu tanpa membumbuinya dengan kata-katamu sendiri. Jangan katakan apa-apa lagi kepada beliau.”

“Saya benar-benar tidak secerewet yang Anda duga. Lagi pula, siapakah yang harus diam kali ini?”

“Kau mulai lagi! Mengoceh dan mengoceh …”

“Yah, baiklah, saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Saya tidak akan mengucapkan sepatah kata pun bahkan jika sesuatu betul-betul terjadi!”

‘Terserah kau saja. Lagi pula, kau tidak akan banyak berarti. Para prajurit akan berjaga-jaga di sini mulai malam ini, jadi kau tidak perlu khawatir lagi. Dan ingat, jangan mengoceh ke sana kemari lagi saat kau keluar dari sini. Ocehanmu itu tidak berguna. Ingat itu!”

“Itu saja?” Yomogi cemberut, memalingkan wajahnya dari Hidung.

Dua batang pohon ek besar berdiri dengan cabang-cabang terentang bagaikan payung di atas sebuah lorong, yang menghubungkan salah satu sayap dengan bangunan utama dan berujung di salah satu sisi halaman dalam rumah peristirahatan. Dedaunan baru dan sisa-sisa dedaunan layu dari tahun lalu saling jalin berkelindan dan membentuk selimut tebal nan rapat. Konno-maru meregangkan badan

Page 623: The Heike Story

dan mendesah lega ketika melongok ke bawah dari dalam sarangnya. Cabang-cabang pohon yang saling berjalin memungkinkannya untuk berselonjor atau bahkan berbaring di antara dedaunan. Dia telah bersembunyi di sana sepanjang hari sementara para prajurit Itogo melakukan pencarian. Dia telah menyusun rencana, apabila tempat persembunyiannya ditemukan, untuk melarikan diri melalui cabang pohon yang berdekatan dengan atap rumah. Hari telah gelap, dan dia bisa melihat beberapa api unggun dinyalakan di sepanjang pagar.

Dia mengingat-ingat rangkaian peristiwa selama beberapa hari terakhir, menyalahkan dirinya sendiri atas sikap pengecutnya. Beberapa kesempatan untuk menunaikan sumpahnya telah datang, namun nyalinya menciut setiap kali dia hendak bertindak. Sekarang, dia merasa lebih mudah untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya: dia akan membunuh Tokiwa malam itu juga tanpa perlu memikirkan keselamatannya sendiri. Dia menunggu hingga malam larut dan semua orang tidur. Menjelang tengah malam, Konno-maru merayap turun dari atas pohon bagaikan seekor laba-laba dan mengendap-endap ke sebuah kamar yang masih diterangi oleh nyala sebuah lentera. Dia sudah menghafal denah rumah itu, dan dia tahu bahwa kamar itu ditempati oleh Tokiwa. Dia melompati langkan dan menyusuri sebuah lorong, lalu berjongkok di dekat sebuah pintu. Pintu itu terkunci. Dia bisa dengan mudah membongkar kuncinya memakai belati dan mendobrak pintu itu, walaupun keributan yang timbul bisa dipastikan akan mendatangkan para pelayan dan prajurit; tetapi, sebelum mereka datang, dia tentu telah menikam Tokiwa. Apa yang akan terjadi padanya sesudah itu tidak perlu dipikirkannya.

Page 624: The Heike Story

Selagi pikiran itu berkecamuk di benaknya, sebuah suara mengejutkannya.

“… Siapa di situ?”

Itu adalah suara seorang wanita. Cahaya memancar dari kerai yang terangkat, dan gemerisik sutra terdengar menghampiri pintu; Konno-maru cepat-cepat menjauh. Pintu terbuka dan wajah pucat Tokiwa terlihat, diterangi oleh lentera yang dipegangnya.

“Apakah kau Konno-maru?” tanya wanita itu.

Konno-maru memekik kaget dan berdiri terpaku. Tokiwa, bagaimanapun, tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan ataupun ketakutan. Kata-katanya yang selanjutnya meluncur dalam bisikan.

“Konno-maru, aku yakin itu dirimu ... pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo. Kemarilah ... kemari ... jangan sampai orang lain mendengar pembicaraan kita,” kata Tokiwa, melambai ke arah Konno-maru.

Tokiwa menyibakkan tirai sutra di depan pintunya dan masuk kembali ke kamarnya, diikuti oleh Konno-maru, yang berjongkok di salah satu sudut kamar.

Tokiwa perlahan-lahan menutup pintu. Sumbu lentera memancarkan cahaya cemerlang; di atas meja tulis tergeletak ayat-ayat suci yang sedang disalin oleh Tokiwa.

Tokiwa mendengar tentang Konno-maru dan tujuan hidupnya dari Yomogi, namun hal itu tidak mengusiknya; dia hanya dengan tenang mengungkapkan keterkejutannya saat mengetahui bahwa Konno-maru telah selama beberapa hari berada begitu dekat darinya. Ketika Yomogi menunjukkan mantra yang diikatkan oleh Konno-maru di pagar, Tokiwa tersentuh dan berkata, “Dia adalah seorang

Page 625: The Heike Story

pelayan yang baik dan setia, dan perasaannya kepadaku tidak bisa disalahkan.”

Selama beberapa waktu, keduanya hanya duduk diam dan saling memandang. Api lentera bergoyang-goyang tertiup angin.

Konno-maru tidak menemukan kesan menjijikkan di dalam sosok wanita yang duduk di hadapannya. Tokiwa, dengan rambut hitam yang terurai di atas lipatan kimono sutranya, duduk dengan tenang. Kepalanya sedikit tertunduk, seolah-olah dia tengah bermeditasi. Konno-maru merasakan tubuhnya lemas lunglai walaupun pikirannya terus berpacu. Apakah yang menahannya dari menghampiri Tokiwa dan menikamnya pada saat itu juga? Bersama setiap detik yang berlalu, hatinya semakin lemah akibat belas kasihan yang tak tertahankan. Dia sama sekali tidak melihat kesan jahat dan binal seperti yang selama ini disangkanya. Aroma dupa menggelitik lubang hidungnya, dan dia menoleh ke altar, tempat aroma itu berasal. Sekali lagi, dia menatap Tokiwa dan mengernyitkan wajah melihat perawakan kurusnya.

“… Konno-maru, apakah kau masih ingat ketika dahulu kau sering mendatangi rumahku untuk menyampaikan surat dari Tuan Yoshitomo?”

Suara lembut itu seolah-olah menyadarkan Konno-maru, dan dia pun membelalakkan matanya kepada Tokiwa. “Jadi, kau belum sepenuhnya melupakan beliau?”

“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan beliau?” jawab Tokiwa dengan lirih.

“Ah, dasar kau wanita binal, bagaimana mungkin kau mengatakan itu tanpa malu! Kau memang wanita jahat!”

Page 626: The Heike Story

“Kau benar, Konno-maru. Aku ingin mendengar seseorang mengatakan itu kepadaku ... menghujatku, menghinaku, mempermalukanku.”

“Benarkah itu?”

“Itulah kebenarannya, Konno-maru. Kau bisa melihatnya sendiri; aku tidak berusaha melarikan diri darimu.”

“Ya, itu benar. Tapi penyesalanmu tentu tidak bertahan lama.”

“Aku tidak menyesali apa pun yang telah kulakukan. Aku hanya menjalankan pilihanku.”

“Apa! Maksudmu, kau juga memilih kematian dengan cara tertentu?”

Konno-maru meraih gagang pedangnya dengan tangan gemetar; hanya dengan sedikit mengangkat tangannya, dia akan bisa menghunjamkan ujung pedangnya ke bagian mana pun dari tubuh Tokiwa.

Kemudian, Tokiwa berkata, “Tidak ada pilihan lain bagi seorang wanita …. Tidak ada, setidaknya bagiku. Aku malu ... malu karena didapati dalam keadaan seperti ini oleh seorang mantan pelayan Tuan Yoshitomo.”

Tokiwa sepertinya hendak pingsan namun tidak mengatakan apa-apa.

“Jika hatimu akan tenang setelah kau membalas dendam dengan cara membunuhku, maka bunuhlah aku. Aku sudah siap …. Aku tidak akan berusaha melarikan diri ataupun menjerit ketakutan,” kata Tokiwa dengan tenang seraya mengulurkan setumpuk surat yang sudah disiapkannya. “Aku hanya punya satu permintaan terakhir. Ini adalah surat untuk anak-anakku, pesan terakhirku kepada putra-

Page 627: The Heike Story

putraku …. Dan ini ... ini adalah milik Tuanku Yoshitomo. Pastikanlah agar benda ini tiba di tangan Genji yang tepercaya. Hanya itu yang kuminta darimu.”

Kemudian, Tokiwa memalingkan wajah dari Konno-maru dan berdoa di hadapan patung Kannon di dalam ruang peribadatannya.

Konno-maru mendadak risau. Dia teringat pada sederetan patung perak seperti itu di kamar Yoshitomo, tempat majikannya itu berdoa setiap pagi dan malam. Di tengah kebingungannya, Konno-maru menyambar surat dengan tulisan tangan Yoshitomo yang telah diakrabinya. Itu adalah surat terakhir dari mendiang majikannya untuk Tokiwa. Dia membacanya perlahan-lahan dengan air mata berlinang, lalu meletakkannya. “Maafkanlah saya. Nyonya. Bagaimana saya bisa bertindak sebodoh ini? Memang betul kata si biksu Mongaku itu ... bahwa saya gila karena memikirkan pembalasan

dendam, dan bahwa Anda, seorang wanita yang tidak berdaya, jauh lebih berani daripada saya.”

Keheningan menyelimuti ruangan ketika Konno-maru berusaha menenangkan diri. Kemudian, dia berkata, “Seandainya saya membunuh Anda, kehidupan saya akan menjadi jauh lebih gelap daripada kehidupan Mongaku. Sekarang saya menyadari kebodohan saya. Saya akan melanjutkan kehidupan saya dengan awal baru, dengan keberanian …. Saya bersumpah bahwa surat dari Tuan akan tiba di tangan Genji di timur, dan surat untuk putra-putra Anda akan saya sampaikan sendiri.”

Konno-maru hendak berlutut di depan Tokiwa, namun Tokiwa cepat-cepat berdiri, membuka pintu, mengintip ke luar, lalu menutupnya kembali. “Aku bisa melihat api

Page 628: The Heike Story

unggun para penjaga. Tidakkah sebaiknya kau menunggu di sini hingga pagi tiba?”

Tetapi, Konno-maru telah siap pergi. Dia mengeluarkan sehelai selendang hitam untuk menutupi wajahnya.

“Anda tidak perlu mencemaskan saya, Nyonya; mereka tidak akan bisa melihat saya sekarang.”

Konno-maru melangkah ke pintu, membukanya lebar-lebar, dan menghilang di kebun yang gelap. Beberapa saat kemudian, Tokiwa merasa melihat sebentuk bayangan bergerak di atas pagar, seolah-olah untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dia mengangkat lentera sebagai jawaban.

o0odwkzo0o

Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN Hujan yang celah lama turun akhirnya berhenti, dan

kerikan jangkrik, gumpalan awan, serta langit yang panas menunjukkan bahwa puncak musim panas telah tiba.

“Coba kulihat ... apakah kita terlanda banjir lagi? … Tidak terlalu banyak kerusakan, kuharap,” seru Hidung. Dia memiliki kebiasaan untuk menaikkan nada bicaranya kepada setiap pelayan yang terlihat olehnya tengah memasuki gerbang rumah peristirahatan di Mibu.

Yomogi dan beberapa orang teman pelayannya sedang mencuci baju di sungai yang mengalir melewati halaman. Di dekat mereka, beberapa buah payung kertas untuk melindungi dari hujan dan panas tengah dijemur agar kering.

“Indah sekali payung yang satu ini, Yomogi! Ini tentu bukan milikmu, ya?”

Page 629: The Heike Story

“Bukan, ini milik Nyonya.”

“Nyonyamu, ya? Tapi, apa gunanya beliau memiliki payung seperti ini? Beliau tidak pernah keluar rumah.”

“Saya baru membelinya tadi pagi di Pasar Barat. Tapi, percayakah Anda, saya baru menyadari bahwa payung itu kotor setelah membukanya, karena itulah saya mencucinya bersama yang lain.”

“Hmm ... kau membelinya di Pasar Barat? Apakah nyonyamu berencana untuk pergi ke suatu tempat dalam waktu dekat ini?”

“Kami berniat untuk pergi ke kuil bersama; lusa adalah hari keseratus kami.”

“Dan ke manakah kau akan menemani beliau, kalau aku boleh bertanya?”

“Ke mana? Tapi, tentunya Anda tahu ... ke Kapel Kannon di Kuil Kiyomizu.”

Hidung segera memasuki rumah dan berbicara cukup lama dengan Tokiwa.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan ataupun jejak Konno-maru sejak para penjaga ditempatkan di rumah, dan Hidung menjadi lebih tenang berkat kesigapan para prajurit. Dia bahkan mulai melupakan seluruh masalah itu, walaupun masih merisaukan pandangan Kiyomori kepadanya jika dia dianggap gagal. Sepertinya rencananya untuk mengambil hati Kiyomori terbuang sia-sia. Memang benar bahwa Kiyomori tidak memiliki waktu untuk memikirkan tentang asmara, namun, dengan bekal kesabaran, pada akhirnya dia pasti akan mendatangi Tokiwa. Hidung bersedia menunggu hingga saat itu tiba, dan dia secara berkala berkunjung ke rumah peristirahatan untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Page 630: The Heike Story

Setelah masalah Konno-maru berakhir, Hidung mendapati dirinya berhadapan dengan sebuah masalah lain. Apakah Kiyomori sebaiknya diberi tahu atau tidak bahwa Tokiwa kerap meninggalkan rumah peristirahatan? Tentu saja Hidunglah yang akan disalahkan jika ada sesuatu yang buruk menimpa Tokiwa.

“Dalam keadaan biasa, saya tidak akan melarang Anda pergi ke kuil, dan saya senang karena Anda begitu bersemangat Tetapi, akan lebih bijaksana jika saya bertanya terlebih dahulu kepada Tuan Kiyomori tentang pendapat beliau mengenai hal ini. Saya akan berkunjung ke kediamannya nanti atau besok,” Hidung berpesan kepada Tokiwa sebelum pergi.

Keesokan harinya, Tokiwa mendapatkan izin pergi melalui sebuah surat. Maka, ditemani oleh Yomogi, dia pun segera berangkat ke Kuil Kiyomizu. Pada hari doa kepada Kannon yang keseratus, Tokiwa terpana melihat serombongan pendeta di kapel merapalkan ayat-ayat suci atas namanya. Ribuan batang lilin dinyalakan di dalam kapel, dan udara terasa pengap oleh asap dupa ketika dia berdoa:

“Lindungilah ketiga putra yatim hamba, wahai Sang Maha Suci. Ibu mereka telah direnggut dari mereka. Tokiwa ini hanyalah cangkang hampa, dan arwahnya akan terbang ke neraka. Kesedihan dan cobaan apa pun yang menghadang ibu mereka, selamatkanlah anak-anaknya, wahai Sang Maha Pengampun dan Penyayang. Bersihkanlah dosa-dosa Genji dari diri anak-anak malang itu.”

Tokiwa terisak-isak saat dia teringat pada malam musim dingin ketika dia berdoa di kapel itu di samping anak-anaknya.

Page 631: The Heike Story

“Nyonya, misa telah berakhir. Apakah Anda mau duduk dan beristirahat di sini?” bisik seorang pendeta.

Bisikan itu menggugah Tokiwa. “Terima kasih.” Kemudian, “Astaga, benarkah Anda Kogan?”

“Ya, Kogan ... saya harap Anda selalu sehat. Nyonya.”

“Bagaimana mungkin saya melupakan kebaikan Anda ketika itu?” kata Tokiwa, menyatukan kedua tangannya untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. “Saya tidak akan pernah melupakan betapa Anda tetap bersikap baik kepada saya walaupuan saya sudah tidak berarti bagi Anda.”

“Nyonya, Anda tidak boleh berkata begitu. Anda tidak perlu malu. Di mata saya, Anda sesuci Kannon.”

Seorang pendeta lain menghampiri mereka. “Lewat sini. Nyonya, lewat sini, silakan.”

Tokiwa menolak undangan itu dengan halus. ‘Terima kasih, namun perjalanan saya panjang, dan saya sebaiknya berangkat sekarang.”

Tetapi, si pendeta menahannya. “Tetapi, Nyonya, Anda telah datang sejauh dan sepagi ini, dan beliau telah lama menanti Anda.”

“… Siapa ... siapakah yang menanti saya?”

“Pria yang memerintahkan penyelenggaraan misa tadi.”

Tokiwa terpana. Siapakah pria itu? Dia tidak melihat jemaat di kapel ini selain dirinya. Tetapi, siapa pun pria itu, jangan sampai dia menunggu lebih lama lagi ... maka, dipandu oleh Kogan, Tokiwa menyusuri lorong-lorong bertangkan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan. Ketika memasuki ruangan itu, dia tiba-tiba mundur, gemetar, dan perlahan-lahan duduk terkulai.

Page 632: The Heike Story

“Tokiwa ... kau tidak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?”

Sinar matahari, yang menerobos melalui sela-sela dedaunan di luar, menerangi wajah Kiyomori sehingga tampak cemerlang.

“Aku kerap memikirkanmu, Tokiwa, namun banyak hal menghalangi untuk mendatangimu ... dan sekarang, musim panas telah tiba …. Betapa cepatnya musim-musim berlalu! Apakah segalanya baik-baik saja, Tokiwa?”

“Ya …” jawab Tokiwa, dan berbagai macam emosi berkecamuk di dalam dirinya sehingga dia tercekat oleh air mata.

Kiyomori pun, ketika memandang Tokiwa, berusaha sekuat dayanya untuk menahan gejolak di hatinya ... dia teringat pada kenangan mengenai malam musim semi dan penyesalannya. Sejenak, dia merasa canggung dan malu seperti seorang pemuda yang masih hijau. Setelah berhasil menguasai dirinya, dia kembali berbicara:

“Kau tentu tidak menduga bahwa akulah yang menyelenggarakan misa hari ini. Kau boleh saja merasa bahwa aku terlalu turut campur. Tetapi, Tokiwa, aku juga perlu berdoa. Ya, Kiyomori, pria malang yang sering melakukan kesalahan tolol ini ... pria tak berarti ini! Bisakah seorang wanita seperti dirimu mengerti?”

“Saya rasa bisa ... sedikit”

“Sedikit pun sudah cukup, Tokiwa, dan aku berterima kasih karenanya. Saat ini pun aku tengah melakukan kebodohan, namun sulit bagiku untuk mengakui alasannya kepadamu. Biarkanlah Bamboku saja yang menjelaskannya di lain waktu.”

Page 633: The Heike Story

Kiyomori berbicara dengan nada riang, namun begitu kalimatnya selesai, dia buru-buru membuang muka, dan cahaya dari dedaunan yang bergoyang-goyang tertiup angin pun terpantul di matanya yang berkaca-kaca.

Setelah pertemuan singkat itu, Tokiwa tidak sekali pun bertemu kembali dengan Kiyomori pada musim panas itu ataupun pada musim panas yang berikutnya. Mereka tidak pernah bertemu lagi karena beberapa waktu kemudian, Kiyomori memerintahkan kepada Hidung untuk mengatur pernikahan antara Tokiwa dengan seorang bangsawan Fujiwara yang telah berusia lanjut.

Ketika musim gugur tiba, seluruh pergunjingan mengenai Tokiwa telah terlupakan.

o0odwkzo0o

Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA Saigyo, si biksu penyair, telah beberapa tahun tidak

menginjakkan kaki di ibu kota, namun ke mana pun dia melangkah, dia selalu mendengar pembicaraan tentang setiap peristiwa yang terjadi di sana. Untuk sementara, dia tinggal di sebuah pertapaan di Yoshino dan telah beberapa kali berziarah ke Kumano dan Omine. Pada awal musim semi 1160, dia mulai menyusuri jalan raya Tokaido untuk melakukan perjalanan ziarah ke timur laut, dan di tengah perjalanannya, seorang kepala pemerintahan setempat, Hidehara, mengundangnya untuk menginap di rumahnya.

Hidehara, yang telah sering memasok kuda-kuda unggulan dari wilayah timur laut kepada para bangsawan dan samurai di Kyoto, mendengar banyak cerita tentang si biksu penyair setiap kali dia pergi ke Kyoto untuk

Page 634: The Heike Story

menyelesaikan urusan bisnis ataupun melaporkan pengabdiannya kepada pemerintah pusat.

Ketika musim gugur tiba, Saigyo berpamitan kepada tuan rumahnya dan melanjutkan perjalanan ke Provinsi Echigo di barat: pada bulan September, dia tiba di sisi selatan Danau Biwa, tempat sebuah perahu hendak berlayar ke pesisir barat. Saigyo turut menumpang perahu tersebut, dan sembari menunggu keberangkatan.

dia memikirkan nasib teman dan pengikutnya, Saiju, yang berpisah darinya beberapa bulan sebelumnya di Sungai Tenryu.

o0odwkzo0o

Saigyu dan Saiju tiba di Sungai Tenryu untuk menumpang sebuah perahu yang hendak berlayar dengan muatan penuh, ketika tiga orang samurai berpangkat rendah tiba-tiba muncul dan memerintahkan kepada si pendayung untuk menghentikan perahunya. Keengganan si pendayung untuk menerima penumpang lain memicu kemarahan ketiga samurai itu, yang memaksakan diri untuk naik ke perahu dengan wajah masam sambil berteriak-teriak, “Kami sedang tergesa-gesa, sementara kalian hanyalah petani dan biksu pengemis, bukan?”

Saigyo bisa menebak perangai mereka. Prajurit di mana pun selalu bersikap pongah dan garang. Dia mengabaikan mereka dan tetap duduk dengan tenang sambil memandang sungai, hingga salah seorang dari mereka tiba-tiba menghampirinya dan membentaknya: “Hei, dasar pengemis ... berdirilah!”

Saigyo pura-pura tidak mendengarnya, namun teman-teman prajurit itu memaki-makinya dengan lagak mengancam. “Turunlah kalian! Berani-beraninya kalian menentang perintah kami?”

Page 635: The Heike Story

Saigyo tidak berniat melawan mereka, namun bisa dirasakannya Saiju yang ada di sebelahnya gemetar menahan amarah. Dia pun mencengkeram erat-erat lengan pengikutnya itu. Mereka telah sama-sama menjadi biksu selama dua puluh tahun, namun Saigyo tahu bahwa di dalam hatinya, Saiju, mantan pelayannya, masih seorang samurai yang berdarah panas. Dia bahkan telah berkali-kali memperingatkan Saiju untuk menahan amarahnya!

Ketenangan Saigyo, bagaimanapun, justru semakin memicu amarah para prajurit tersebut

“Hei, apa kau tuli?” seru salah seorang dari mereka. Dia mencengkeram kerah Saigyo dan melemparkan tubuhnya ke tepi sungai. Kepala Saigyo terbentur pada sebongkah batu dan

dia mengerang lirih; darah mengalir dari salah satu matanya. Terbaring tanpa daya, dia memanggil-manggil Saiju, yang akhirnya menolongnya.

Saiju kehilangan kendali. “Jadi, seperti inikah kau bersikap, Yoshiklyo, yang pernah menjadi samurai paling perkasa di Kesatuan Pengawal Kekaisaran, ketika dirimu dihina!” desisnya. “Jika kau berharap aku akan diam saja menerima perlakuan seperti itu ... meringkik seperti anjing teraniaya ... maka aku sudah muak dengan kehidupan suci ini! Aku menjalani penahbisan untuk menyelamatkan diri dari siksaan neraka, namun ini lebih buruk daripada yang kubayangkan! Aku sudah muak dengan kehidupan ini! Seandainya aku bukan biksu, aku pasti telah membalas mereka!” Saiju menangis karena marah.

“Ah, Saiju, belum siapkah dirimu menghadapi jalan hidup yang sudah kaupilih ini? Sudah lupakah kau pada hari ketika aku menyuruhmu menemui Nyonya Taikenmon dan kau terlibat dalam masalah dengan para penjaga di

Page 636: The Heike Story

Gerbang Roshomon, yang akhirnya menjebloskanmu ke penjara? Ketika aku mendengar bahwa kau terlibat masalah, aku langsung memacu kudaku sepanjang malam dari Toba untuk menyelamatkanmu dari Genji Tameyoshi yang terkenal akan darah dinginnya. Sudahkah kau melupakan itu, Saiju?”

“Aku belum melupakannya.”

“Apakah dirimu yang sekarang lebih bijaksana daripada dirimu yang dahulu?”

“Kau boleh mengatakan semua itu, tapi aku tidak bisa diam saja ketika melihat para berandalan mempecundangi manusia yang tidak berdaya. Aku tidak mau dipermalukan seperti itu karena aku selalu menghormati orang lain.”

“Saiju, selama kau merasa seperti itu, kita tidak akan pernah bisa seiring sejalan. Walaupun kita berdampingan ketika melakukan perjalanan, hati kita tidak akan menyusuri jalan yang sama. Lebih baik kita berpisah di sini dan pada saat ini juga, Saiju.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Untuk saat ini, akan lebih baik jika kau melakukan apa pun yang kauinginkan.”

“Apakah ini berarti aku telah terbebas dari sumpahku?”

“Aku tidak punya wewenang untuk membebaskanmu dari sumpahmu, Saiju. Aku selalu berdoa agar kita menemukan kebahagiaan di dalam hidup kita, dan untuk itu, kita harus mengikhlaskan setiap ambisi dan gejolak yang ada di hati kita, menyerahkan diri kepada alam, dan menjalani kehidupan sebagai pujangga, mencari ketenangan di dalam ajaran Buddha. Itulah sumpah kita. Siapakah aku sehingga bisa membengkokkan peraturan? Ah, Saiju, kau sepertinya sama sekali tidak bisa memahamiku.”

Page 637: The Heike Story

‘Tidak, aku memang hanya orang bodoh yang kau izinkan untuk menjadi pengikutmu. Tapi, aku yakin bahwa aku mengerti.”

“Kurasa kau masih belum mengerti. Kau sama saja dengan orang-orang yang kutinggalkan di kehidupanku yang lalu. Bukan ini yang kucari, karena aku ingin melepaskan diri dari ikatan duniawi. Tujuanku adalah lebih menyadari keberadaanku, lebih menikmati kehidupan, dan tidak menyesali apa pun. Dengan cara itulah aku berharap bisa menjadikan kehidupanku lebih bermakna, dan hanya itulah yang kuinginkan …. Betapa besarnya perbedaan yang kita miliki dalam gagasan kita mengenai kehidupan suci!”

“Tidak, aku sependapat denganmu, tapi ... ”

“Kalau begitu, mengapa kau sering sekali marah, lepas kendali karena merasa terhina, dan menyesali pilihanmu? Jika kau benar-benar menghayati kehidupanmu sebagai biksu, kau tidak akan menyesalinya ataupun ingin terbebas dari sumpahmu. Kau sepertinya belum bisa meninggalkan dunia, jadi untuk apa kau terus menjadi biksu? Bukankah lebih baik kau berhenti berpura-pura dan kembali ke dunia?”

Ketika mengatakan itu, Saigyo menyadari bahwa jalan hidup sebagai biksu, yang semestinya bermakna kemerdekaan justru menjadi beban bagi Saiju; dan karena kasih sayangnya kepada Saijulah dia bersikeras agar mereka berpisah.

Akhirnya, Saiju berkata, “Aku akan menuruti kemauanmu dan merenungkan kata-katamu ... tidak hanya merenungkannya tetapi juga menjadikannya landasan bagi tindakanku. Saat kau kembali ke ibu

kota pada musim gugur nanti, aku akan menunggumu di sana.”

Page 638: The Heike Story

o0odwkzo0o

Saigyo memikirkan di mana Saiju akan menantinya setelah perpisahan lama mereka, karena dia tidak tahu di mana dia sendiri akan tinggal selama di ibu kota. Dia menyadari bahwa perahu yang ditumpanginya telah setengah jalan menyeberangi Danau Biwa, dan bahwa puncak Gunung Hiei telah tampak menjulang di hadapannya. Dia masih ingat ketika setahun silam, para penumpang perahu tak henti-hentinya membicarakan tentang Genji Yoshitomo dan putra-putranya yang melarikan diri ke Om i Timur. Kemudian, dia tertidur. Ketika dia terielap, salah seorang penumpang perahu berkali-kali memandangnya, dan ketika dia terbangun, orang itu tersenyum ramah kepadanya dan berkata:

“Akhirnya kita berjumpa lagi!”

“Wah, siapakah kamu?”

“Aku Otoami, pemahat patung Buddha ... kita pernah bertemu beberapa waktu yang lalu di timur laut.”

“Ah, ya, tentu saja! … Apakah kau juga hendak pulang ke ibu kota?”

“Ya, walaupun aku masih harus bekerja di kuil di timur laut hingga bertahun-tahun lagi. Aku pulang karena panggilan mendadak dari Rokuhara, dari Nyonya Ariko.”

“Jauh sekali jarak yang harus kautempuh!”

“Ya. memang. Akan menyenangkan jika aku bisa berkelana sesuka hatiku sepertimu. Sekarang ini, aku harus menyelesaikan tugas di ibu kota sekaligus di utara, dan melakukan perjalanan bersama teman-temanku dalam waktu terbatas …” Otoami tersenyum, mengedarkan pandangan kepada teman-temannya, yang memenuhi hampir setengah kapasitas perahu. Rombongannya tidak

Page 639: The Heike Story

hanya terdiri dari anak buahnya tetapi juga tukang vernis, tukang kayu, pengukir logam, dan para perajin lainnya. Seorang penumpang yang duduk di samping Otoami tiba-tiba mencondongkan badan dan berbisik-bisik kepada teman-temannya, lalu berkata kepada Saigyo:

‘Tuan, apakah kau Saigyo, si biksu penyair? Aku beberapa kali melihatmu di Koromogawa, tempat tinggal salah satu pengayomku, yaitu Tuan Hidehara,” katanya, lalu menambahkan, “aku Kichiji, pekerjaanku adalah saudagar. Beberapa kali dalam setahun, aku membawa emas dari timur laut ke ibu kota dan menukarnya dengan barang-barang dagangan dari Cina. yang kemudian dikirim ke utara …. Jika lain kali kau pergi ke daerah kami, kau harus mengunjungiku.”

Saigyo mengangguk dengan ramah, tersenyum sendiri ketika memikirkan rumor bahwa dirinya pernah berkelana ke wilayah sejauh itu.

Ketika perahu itu hendak merapat ke pesisir, para penumpang sibuk bersiap-siap turun. Otoami dan si saudagar adalah penumpang pertama yang turun dari perahu. Setelah menaikkan barang-barang mereka ke atas punggung kuda, mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, Kichiji menoleh kepada Saigyo dan menawarkan dengan ramah:

“Ada cukup banyak kuda untuk kita semua. Maukah kau bergabung bersama kami di penginapan?”

Saigyo menolak undangan itu dan melanjutkan perjalanannya seorang diri.

Dia tinggal cukup lama di wilayah perbukitan di dekat Kyoto, menghabiskan waktunya dengan berkunjung ke berbagai kuil dan menemui teman-teman lamanya. Pada suatu hari, dia berkeliaran di ibu kota dan mendapati

Page 640: The Heike Story

dirinya berada di jalan tempat rumahnya dahulu berdiri. Tidak ada yang tersisa dari bangunan itu kecuali pecahan Ubin dan rumpun-rumpun rumput musim gugur. Dia mengamati tempat itu tanpa perasaan apa pun, lalu pergi dari sana ketika senja tiba untuk mencari penginapan, sementara angin malam

menerpa sosoknya yang lusuh oleh pengembaraan. Dia memikirkan beberapa orang temannya yang akan dengan senang hati menerimanya, namun kenangan mengenai istri dan anaknya, yang ditinggalkannya dua puluh tahun silam, senantiasa menghantuinya. Istrinya, dia mendengar, telah menjadi seorang biksuni; dia memikirkan nasib anaknya, yang masih berumur empat tahun ketika dia pergi. Saigyo mendengar bahwa putrinya telah menikah. Sesekali dia berhenti dan mendengarkan bunyi-bunyian malam, yang berisik oleh kerikan jangkrik. Segalanya ... pepohonan, tanah, semak-semak, dan bahkan bintang-bintang mendadak dipenuhi oleh bunyi isak tangis: benak dan hati Saigyo terasa pedih karenanya, dan dia mulai memikirkan mengapa dia berkeliaran tanpa tujuan di jalanan yang gelap gulita. Apakah yang membawanya kemari bagaikan sesosok hantu dari masa lalu?

Kerinduan mendalam kepada Saiju mendadak menyergapnya ... bukan sebagai pengikutnya melainkan teman yang bisa dimintai ampunan dan tempat mengakui kebutaan dan kebodohannya. Dua puluh tahun menjalani kehidupan suci! ... dan dia baru menyadari pada malam ini bahwa hati manusia tidak bisa disangkal oleh pengarahan kehendak atau kedisiplinan beragama. Di manakah Saiju menunggunya setelah berjanji untuk menemuinya di ibu kota? Kemudian, Saigyo teringat kepada sepupunya. Tuan Tokudaiji, yang beberapa pelayannya berteman dengan Saiju. Saigyo bermalam di sebuah kuil di Perbukitan Timur,

Page 641: The Heike Story

dan keesokan harinya turun kembali ke ibu kota. Setibanya di kediaman Tuan Tokudaiji, dia terkejut ketika melihat para prajurit, kurir, dan pelayan berkerumun di gerbang, tempat beberapa buah kereta indah menanti. Dia hendak berbalik arah ketika didengarnya seseorang memanggilnya. Saiju.

“Ah, Saiju, ternyata kau ada di sini!”

“Ya, aku telah tinggal di sini bersama teman-temanku selama beberapa waktu; aku yakin bahwa kau akan segera datang, dan aku gelisah menantimu.”

“Ya, sungguh menyenangkan bisa berjumpa lagi denganmu!” jawab Saigyo dengan penuh semangat.

“Sejak kita berpisah di Sungai Tenryu. aku bermeditasi setiap pagi dan malam berkat kata-katamu kepadaku. Selamban-lambannya aku, aku merasa bahwa diriku lebih bijaksana sekarang. Aku tidak pernah lagi bertindak bodoh seperti dahulu. Maafkanlah aku atas kata-kataku kepadamu.”

“Saiju, bukan hanya dirimu yang bodoh. Aku bahkan jauh lebih bodoh. … Aku juga perlu meminta maaf.Tapi, lebih baik kita membicarakannya di lain waktu saja.”

“Tidak, tidak, itu mustahil …. Tapi, ini memang bukan tempat yang tepat untuk berbicara. Mari kita pergi ke pondokku di dekat gerbang belakang.”

“Tapi, sepupuku sedang menerima tamu hari ini.”

“Tidak hanya hari ini. Kiyomori dan para menteri lainnya sering datang kemari untuk meminta nasihat dari Tuan Tokudaiji. Kita tidak akan mengganggu mereka di pondokku.” Maka. Saiju pun membawa Saigyo mengitari rumah menuju salah satu gerbang belakang.

Page 642: The Heike Story

o0odwkzo0o

Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR LAUT

Upacara tradisional tidak mungkin diselenggarakan pada perayaan Tahun Baru sebelumnya, namun kali ini, pohon-pohon dan batang-batang pinus yang baru saja dipotong menguarkan aroma kemeriahan di seluruh ibu kota.

“Kita tidak boleh melupakan bahwa kita berutang budi untuk semua ini kepada Tuan Kiyomori. Tidur dengan kaki mengarah ke Rokuhara sama saja dengan bertindak lancang,” kata Bamboku kepada serombongan pekerja lepas dan pegawainya sambil menyesap sake Tahun Baru. Selama perayaan Tahun Baru, Bamboku membuka gerbangnya lebar-lebar untuk semua tamu ... kerabat, rekan bisnis, teman sesama saudagar, dan tetangga ... yang berduyun-duyun datang.

Hidung memiliki semua alasan untuk selamanya berterima kasih kepada Rokuhara, walaupun para tamunya mencemooh sake yang disajikan oleh Bamboku, yang kualitasnya menurun pada tahun ini karena berkurangnya keuntungan yang didapatkan sepanjang tahun lalu. Untuk menjawab sindiran-sindirannya, Bamboku menjawab dengan lihai:

“Jika kita mau jujur, keuntungan materi tidak berarti apa-apa ... tidak sebanding dengan apa yang akan kudapatkan jika aku benar-benar berhasil. Dan, jika saat itu tiba, lihat saja sendiri apa yang akan kutampilkan untuk menghibur kalian.”

Sorak sorai meriah menyambut ucapan Bamboku, karena tidak seorang pun meragukannya. Semua saudagar

Page 643: The Heike Story

di ibu kota tidak pernah mempertanyakan prestasi ataupun kemampuan Bamboku. Bukankah Hidung telah, seorang diri, memasok semua bahan bangunan untuk pemugaran Istana Kloister tahun lalu? Terlebih lagi, Kiyomori adalah patronnya, dan dia bisa menjamah setiap transaksi bisnis di ibu kota. Tidak bisa disangkal bahwa tanpa bantuan dari Kiyomori, Bamboku tidak akan bisa sekaya itu. Di sisi lain, Hidung juga telah menghabiskan banyak tenaga dan uang untuk menyelesaikan urusan Tokiwa. Tetapi, seluruh kerepotan itu tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya: yang terpenting adalah Tokiko kembali menyukainya. Nyonya rumah Rokuhara itu memanggilnya dan mengatakan, “Kau boleh datang kemari seperti sedia kala, Bamboku.” Selain itu, Kiyomori telah mewujudkan ambisi Bamboku yang telah lama terpendam ... sebuah jabatan di Istana.

Ada masanya Hidung Merah mencibir pada gagasan menjadi pejabat istana, namun saat ini umurnya sudah menjelang lima puluhan, dan tidak ada salahnya berubah pikiran setelah menjalani sebuah pekerjaan selama dua puluh tahun. Kehidupan istana yang tampak konyol di matanya pernah membuatnya muak dan menyatakan, “Segala macam peraturan dan penghormatan tolol itu! Ya, aku mengabdi hanya kepada diriku seorang! Aku akan meraih kekayaanku sendiri, dan emas ... emas kuning ... akan menghadirkan kebahagiaan dalam kehidupanku.” Ironisnya, begitu kekayaannya bertambah. Hidung Merah mulai menginginkan kehidupan yang dahulu dibencinya. Orang kaya baru itu pernah mendambakan istri dari kalangan bangsawan dan berhasil mendapatkannya; dan begitu jumlah pegawainya bertambah, dia mulai tergoda untuk memiliki wewenang yang lebih besar. Sebagai seorang saudagar besar, Hidung Merah telah berkali-kali mendapatkan kesempatan untuk bergaul bersama para

Page 644: The Heike Story

bangsawan yang berkedudukan cukup tinggi. Dia bisa bekerja sebaik mereka ... bahkan lebih baik, pikirnya, seandainya dirinya memiliki persyaratan yang cukup untuk memasuki kalangan itu ... sebuah jabatan di istana. Dan, semakin sering Hidung Merah memikirkannya, semakin yakinlah dia bahwa dirinya layak memupuk ambisi itu.

Hidung berasal dari kalangan rakyat jelata yang terjelata; namun istrinya, Umeno, adalah keturunan bangsawan. Kiyomori menganugrahinya dengan gelar Pengawas Sungai Kamo ... sebuah jabatan yang memberinya wewenang atas para petugas dan pekerja yang bertugas di sekitar Kamo; jabatan itu memberi Bamboku kedudukan setara dengan bangsawan dari Golongan Kelima dan mengharuskannya mengenakan kimono yang sesuai dengan golongannya dalam setiap acara kenegaraan.

“Ya, jabatan ini memang sesuai denganku, namun pakaian ini sama sekali tidak nyaman!” Bamboku berseru kepada dirinya sendiri pada suatu hari ketika dia baru saja tiba di rumah. “Aku harus menemukan tempat untuk meregangkan badan.” Kemudian, tiba-tiba terpikir olehnya bahwa Kichiji, si saudagar emas dari timur laut, tengah mengunjungi ibu kota. Dia langsung berangkat ke rumah sewaan Kichiji di pusat hiburan Horikawa, sebuah wilayah yang berada di sepanjang kanal dan banyak ditumbuhi pohon dedalu.

“Apakah Tuan Kichiji ada? Aku Pengawas Sungai Kamo,” Hidung Merah mengumumkan kepada seorang gadis pelayan yang ditemuinya di gerbang.

Pelayan itu menggumam lirih dan memasuki rumah, tempat Kichiji sedang bercakap-cakap dengan seorang tamu. Kichiji heran.

Page 645: The Heike Story

“Pengawas Sungai Kamo ... siapakah dia? Aku tidak mengenal seorang pun dengan nama seperti itu.”

Tamunya tergelak. “Itu pasti Tuan Hidung Merah. Dia dianugrahi gelar Pengawas Sungai Kamo dalam perayaan Tahun Baru yang lalu. Anda tahu.”

“Ah ... si Hidung! Seorang tamu penting, rupanya ... persilakanlah dia menunggu di ruangan terbaik,” kata Kichiji. Dia meneruskan pembicaraannya dengan tamunya, seorang tokoh penting di wilayah itu, yang dikenal dengan julukan “Ular”. Dia memiliki usaha jual beli perempuan dan anak-anak.

“Jadi, jumlah keseluruhan perempuan yang kita beli sejak musim gugur silam adalah tujuh belas ... termasuk yang kemarin,” kata Kichiji.

“Ya, dan mengenai yang itu, saya sangat kesulitan memenuhi permintaan Anda, Tuan, karena ada terlalu banyak wanita cantik yang bisa ditemukan di ibu kota ini.**

“Yah, aku akan kembali dalam satu atau dua tahun, tapi untuk sementara ini, kuharap kau memasang mata untukku.”

“Baiklah, Tuan, saya akan melakukannya. Bahkan, saya sudah menemukan seseorang di pemukiman kumuh di Jalan Pedagang Sapi.”

“Berapa umurnya?”

“Baru tiga belas.”

“Itu tidak masalah. Aku akan menjadikannya pelayan di rumahku hingga dia cukup umur. Aku akan membawanya nanti.”

“Tetapi, ada satu masalah ... gadis itu tidak bisa lepas dari orangtuanya ... yang miskin papa. Mereka

Page 646: The Heike Story

menyayanginya dan tidak mau menerima tawaranku. Ayahnya sudah sakit-sakitan dan mereka terlilit utang. Mereka bahkan tidak tahu kapan mereka akan bisa makan lagi ... tapi, kecantikannya!”

“Secantik itukah?”

“Saya tidak melebih-lebihkan jika mengatakan bahwa kecantikannya setara dengan gadis tercantik di Istana.”

“Sayang sekali ... ”

“Yah, selalu ada jalan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.”

“Maksudmu uang, bukan?”

“Andalah yang paling tahu tentang itu, Tuan,” Ular tertawa licik, seringai di bibirnya menunjukkan ketamakannya.

Kichiji berkunjung ke ibu kota setiap dua atau tiga tahun, dan selalu menginap di rumah yang sama di kawasan mewah itu, tempatnya memboroskan hartanya. Karena sebagian besar transaksi bisnisnya dilakukan untuk Tuan Hidehira, seorang tokoh besar di timur laut, Kichiji dikenal oleh setiap saudagar di Kyoto. Dia bertugas memburu segala macam barang mewah untuk pengayomnya ... karya seni dan bahkan wanita cantik ... dan menukarnya dengan emas, kuda, ukiran, dan sutra yang dibawanya dari timur laut.

Kakek Hidehira, seorang bangsawan Fujiwara yang menjadi pemimpin klan pertama di wilayah itu, memiliki impian mendirikan sebuah ibu kota di wilayah paling utara Provinsi Michinoku. Tempat yang pernah menjadi wilayah kekuasaan penduduk asli yang semakin terpinggirkan, suku Ainu. Sebuah kota besar akan didirikan di sana untuk

Page 647: The Heike Story

menyaingi kejayaan Kyoto, dan pembangunan terus dilakukan.

Kichiji, yang berhasil merampungkan misinya setelah beberapa bulan tinggal di ibu kota, lagi-lagi kecewa karena tidak mendapatkan banyak wanita cantik untuk dibawa pulang bersamanya. Dia tidak menculik atau memperdagangkan perempuan dan anak-anak tetapi menawarkan banyak uang dan jaminan kesejahteraan hidup kepada siapa pun yang bersedia ikut ke timur laut. Karena tidak banyak hal yang menarik yang bisa ditawarkan dari Michoniku, dia harus meminta tolong kepada Ular untuk mencarikan wanita-wanita cantik baginya.

Si gadis pelayan muncul kembali untuk mengatakan, “Pengawas Sungai Kamo mengatakan bahwa beliau akan berkunjung lagi lain kali, jika Anda sibuk hari ini, Tuan.”

“Baiklah, Ular,” kata Kichiji, berdiri di ambang pintu untuk mempersilakan Ular pergi, “jika kau bisa mendapatkannya sebelum aku pergi, aku akan memeriksanya.”

Bamboku dipersilakan masuk.

“Aku harus meminta maaf karena memintamu menunggu”

“Tidak apa-apa, Kichiji, aku tidak mau mengganggu,” jawab Bamboku.

“Tidak, aku sudah bebas sekarang. Baik sekali kamu karena mau datang kemari. Sebenarnya, aku akan pulang dalam satu atau dua hari dan sudah berpikir untuk mengunjungimu …. Beruntungnya aku karena kau lebih dahulu datang kemari.”

“Tepat seperti yang kuduga,” seru Bamboku. “Agak mendadak, mungkin, tapi tiba-tiba terpikir olehku bahwa

Page 648: The Heike Story

kau mungkin punya waktu untuk minum-minum bersamaku malam ini sebelum pulang.”

“Bagus! ... walaupun ini bukan tempat yang cocok untuk menjamumu.”

“Sama sekali tidak cocok. Tapi, kaulah yang akan menjadi tamuku. Perubahan pemandangan akan bagus untukmu, dan kalau kau tidak keberatan, kita akan pergi ke salah satu rumah kesukaanku,” Hidung Merah bersikeras mengajak Kichiji pergi.

Hidung Merah berseru-seru memanggil si nyonya rumah seraya melenggang layaknya di rumah sendiri. “Taji! Taji! Ini aku ... Bamboku! Apakah Ruang Ungu kosong?”

Segera setelah keduanya menempati sebuah ruangan yang menghadap ke sebuah taman indah. Hidung Merah mengeluarkan seperangkat alat tulis dan dengan cepat menulis sebuah pesan beserta alamat yang hendak ditujunya, lalu memanggil seorang pelayan dan memberinya perintah, “Panggil seorang pelari untuk mengantar surat ini. Sekarang juga ... sekarang!”

Hidangan yang menggoda selera disajikan bersama sake, namun hanya para pelayan yang menemani mereka karena, berbeda dari kebanyakan rumah hiburan semacamnya, sang nyonya rumah membanggakan para tamunya yang terhormat dan para penghiburnya yang benar-benar terpilih, yang hanya tampil atas permintaan tamu-tamu terpilih, itu pun hanya untuk menari dan menyanyi.

Malam telah larut dan mereka masih menikmati sake. Hidung Merah bersikeras untuk memanggil beberapa orang geisha; dia menyebutkan nama-nama gadis pilihannya dan meminta mereka menghibur Kichiji.

Page 649: The Heike Story

“Kapankah kau akan kembali kemari ... tahun depan, mungkin?”

‘Tidak, aku belum bisa memastikannya ….Tapi, kurasa aku akan kembali kemari tiga tahun lagi.”

“Nah, Kichiji, jika kau kemari lagi, kau tidak perlu tinggal di Horikawa karena rumah peristirahatanku boleh kaupakai sesuka hatimu.”

“Rumah peristirahatanmu ... di manakah adanya?”

“Itulah yang sedang kurencanakan sekarang. Dan, Tuan Kichiji, katakan saja di mana kau menginginkan rumah itu dibangun, dan aku akan membangunnya.”

“Aku tergoda untuk menerima tawaran ini. Di suatu tempat yang berpemandangan indah.”

“Kau akan mendapatkannya ... dan kau akan membawa sedikit emasmu, bukan? Pasokan terakhirmu ... yah, aku tidak terlalu senang melakukan bisnis bernilai sekecil itu. Kau mungkin menganggapku rewel, tapi ... dengan memikirkan bisnis ke luar negeri ... emas yang kaubawakan untukku tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan para perajin emas langgananku di ibu kota ini saja.”

Kichiji tergelak. ‘Tuan Hidung, kau sudah minum terlalu banyak, dan sekarang bicaramu melantur.”

“Tidak, aku tidak berbohong.”

“Aku tidak menuduhmu berbohong, tapi kau pasti melebih-lebihkan. Aku menyangsikan bahwa emas yang kubawa kemari bisa disamakan dengan apa pun yang bisa ditemukan di tempat lain di seluruh Jepang. Nah, nah, diangkat menjadi Pengawas Sungai Kamo dan pejabat Golongan Kelima pasti memengaruhi pandanganmu, tapi Heik6 bukan satu-satunya klan yang harus diperhitungkan

Page 650: The Heike Story

dan Kyoto bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus. Kunjungilah kami di timur laut sekali saja, dan lihatlah sendiri keadaan di sana.”

Tawa Hidung meledak. “Menyombongkan daerahmu, ya? Aku menyukai kata-katamu tentang ibu kota ... ’bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus! ... aku pasti akan mengunjungimu di Michinoku.”

“Aku sendiri yang akan mengajakmu berjalan-jalan di sana.”

“Tuan Kichiji, aku ragu bahwa kau sekadar saudagar.”

“Hmm ... apakah yang membuatmu berkata begitu?”

“Menurutmu aku tidak tahu apa-apa? Kau adalah seorang samurai! Kau adalah pelayan Hidehira atau seseorang yang memiliki kedudukan serupa, aku tahu itu. Kau tidak perlu menutup-nutupinya dariku. Bamboku dari Golongan Kelima adalah seorang pria yang berpandangan luas, percayalah. Kau akan mengetahuinya sendiri setelah lama berteman denganku.”

Kichiji tersenyum tipis. “Hmm, mungkin saja begitu,” jawabnya tanpa menambahkan apa pun, karena berbeda dengan Bamboku yang banyak omong, Kichiji adalah seorang pria utara yang santun dan tertutup.

“Aku merasa tersanjung karena disangka sebagai seorang samurai pada masa seperti ini …. Seperti yang kauketahui sendiri, Tuan Hidung, aku sudah melakukan perjalanan ribuan mil di atas punggung kuda dengan membawa harta yang tak terhitung harganya. Di dalam hatiku barangkali aku memang seorang saudagar, namun dibutuhkan keberanian seorang samurai untuk menempuh perjalanan seperti itu ... terutama di masa berbahaya seperti ini.”

Page 651: The Heike Story

“Begitulah, begitulah. Itulah alasannya. Aku hanya bercanda tadi. Tiba-tiba aku ingat ... ada apa dengan temanku. Dia semestinya sudah sampai di sini sekarang.”

“Siapakah dia?”

“Dia pernah menjadi juru tulis di Istana ... Tokitada ... adik ipar Kiyomori. Aku ingin mempertemukannya denganmu.”

“Ya, ya, kita pernah membicarakan ini, dan aku juga tidak sabar ingin berkenalan dengannya.”

Seorang kurir segera datang dan mengatakan bahwa Tokitada tidak ada di rumah dan baru akan pulang malam itu.

Hidung Merah dan tamunya telah mabuk sekarang. Setelah beberapa waktu, mereka terbangun dari tidur dan pulang ke rumah masing-masing pada pagi buta.

Beberapa hari kemudian, Tokitada menghentikan keretanya di depan toko Hidung Merah di Jalan Kelima, namun dia tidak turun.

“Bamboku, Bamboku! … Apakah Bamboku ada?” serunya dari depan toko.

Beberapa orang pegawai toko mendengar seruan Tokitada namun tidak memedulikannya.

“Bamboku? Siapakah yang Anda maksud dengan Bamboku, Tuan?” seorang pegawai akhirnya menghampiri kereta Tokitada dan bertanya.

‘Tuan Hidung Merah ... ”

“Oh, Anda mencari Tuan?”

Hidung Merah bergegas keluar dari gudangnya.

Page 652: The Heike Story

“Ah, rupanya Anda, Tuan! Silakan masuk ke rumah,” sapanya.

“Tidak, aku sedang menuju kediaman Yang Terhormat Yorimori sekarang. Karena tidak bisa mampir, aku akan berbicara denganmu di sini.”

“Apakah Anda sedang tergesa-gesa? Apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan?”

“Tidak ada ... tapi ada pesan dari Rokuhara. Aku tidak tahu untuk apa, tapi kau diharapkan datang ke kebun mawar pada senja hari, ketika lentera-lentera dinyalakan.”

“Hmm …” gumam Hidung.”Sesuatu mengusik beliau?”

“Sepertinya dia baik-baik saja, jadi kau tak perlu khawatir …. Dan, omong-omong, Bamboku, kau sepertinya agak cemas, namun dia bagaikan lempung yang bisa kaubentuk sesuka hatimu, bukan?”

“Astaga, tidak! Saya tidak pernah mengatakan itu kepada Tuan Kiyomori ... beliau memang pemarah, tapi lempung ... tidak pernah!”

Tokitada tertawa terpingkal-pingkal hingga keretanya berguncang-guncang. “Bamboku ... kau, aku hanya ingin melihat reaksimu. Kau memang jenaka, mendengus dan menyangkal sampai hidungmu semakin merah padam! Tapi, bahkan dirimu pun punya sisi baik.”

“Nah, apakah Anda kemari untuk menertawakan saya?”

“Sudahlah, Bamboku, jangan marah. Hanya dengan melihat hidungmu, semua orang akan merasa gembira. Apa kata istrimu tentang hidungmu ketika dia mengigau?”

“Saya rasa Anda sudah mabuk. Tuan, bahkan sebelum Anda bertamu.”

Page 653: The Heike Story

“Sekarang masih Tahun Baru ... tidak ada perang ... Tahun Baru terbaik sejak bertahun-tahun terakhir …. Ya, dan itu mengingatkanku ... maaf, aku sedang pergi ketika kurirmu datang tempo hari. Siapakah orang yang hendak kauperfce naikan kepadaku itu?”

“Anda pasti pernah mendengar tentang dia ... Kichiji, seorang saudagar emas dari timur laut.”

“Ya, aku pernah mendengar tentang dia.”

“Saya memerhatikan beberapa hal yang membuat saya berpikir bahwa dia kemari tidak sekadar untuk urusan bisnis. Saya curiga Hidehara mengirimnya ke sini untuk memata-matai keadaan di sini, dan saya rasa tidak ada salahnya jika Anda melihatnya sendiri.”

“Ah, begitukah? Apakah si Kichiji ini masih ada di ibu kota?”

“Dia akan kembali ke timur laut besok pagi, katanya. Saya akan melepas kepergiannya.”

“Bagus! Aku juga akan datang …. Tapi, aku akan menyamar, ingatlah itu.” Setelah mengatakan itu, Tokitada langsung menutup tirai keretanya.

Keesokan paginya, Hidung Merah mengiringi Kichiji hingga gerbang kota, tempat serombongan pria dan wanita telah berkumpul untuk melepas kepergiannya.

“Ya, aku akan kembali tak lama lagi ... dalam dua atau tiga tahun,” seloroh Kichiji dari atas punggung kudanya. Dia berterima kasih dan mengangguk kepada semua pengantarnya. “Kalian akan menjadikan perpisahan ini lebih berat jika menyertaiku lebih jauh lagi, jadi biarkanlah aku mengucapkan selamat tinggal kepada kalian semua di sini, dan dengan mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

Page 654: The Heike Story

Kichiji akhirnya mulai mendaki bukit, dan satu demi satu pengiringnya membubarkan diri. Para pelayan, tukang angkut, dan kuda-kudanya telah menanti tidak jauh dari sana. Mendadak, Kichiji mendengar seseorang memanggilnya dari kaki bukit. Pria itu akhirnya berhasil menyusulnya beberapa saat kemudian. Dia terengah-engah dan tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Kichiji menoleh. “Kaukah yang memanggilku?” katanya dengan sinis, menatap pria bertubuh kecil yang bersujud di hadapannya seperti seorang pengemis. “Aku tidak mengenalmu. Tidak pernah melihatmu sebelum ini. Apa maksudmu menghentikanku?”

“Ya. ya, maafkanlah saya karena telah menghambat Anda …. Saya ... saya Asatori, bukan siapa-siapa. Saya tinggal di daerah kumuh di Jalan Pedagang Sapi.”

“Kau pasti salah mengiraku dengan orang lain. Untuk apa kau menemuiku?”

“Saya tinggal di Jalan Pedagang Sapi ... di daerah kumuh; ada seorang perajin roda kereta bernama Ryozen di sana …. Dan pagi ini, saya mendengarnya dan istrinya menjerit-jerit dengan nyaringnya sehingga saya pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi, dan saya mendengar bahwa seorang pedagang perempuan dan anak-anak, yang bernama Ular, telah membawa putri semata wayang mereka, Asuka …. Mereka putus asa.”

Kichiji menoleh ke belakang. Keributan sepertinya telah terjadi di dalam rombongannya; dan seorang gadis menjerit-jerit nyaring.

“Asatori, tolong aku! Asatori!”

“Kaukah itu, Asuka? Tunggu aku …. Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menolongmu!”

Page 655: The Heike Story

Asatori bangkit, balas melambai kepada Asuka, lalu memegang erat-erat pelana Kichiji, mendesaknya.

“Hentikan omong kosongmu ini, dalang boneka bodoh!” desis Ular, menerobos sekelompok pengawal dan mencengkeram baju Asatori. “Apa maksudmu mengatakan bahwa aku membawanya pergi dari keluarganya dengan paksa? Kau sepertinya tidak tahu bahwa ayahnya sudah lama sakit-sakitan dan berutang banyak kepadaku. Dia dan istrinya memohon kepadaku untuk melakukan sesuatu kepada anak ini karena mereka tidak bisa memberinya makanan lagi. Aku memang tidak membayar mereka, tapi aku memohon kepada tuan ini untuk membawa Asuka dengannya …. Untuk apa kau ikut campur?”

Asatori tidak memiliki kekuatan maupun keberanian untuk melawan lengan kekar Ular, yang menarik dan membekuk tubuh ringkihnya. Yang bisa dilakukan oleh Asatori hanyalah menjejak-jejakkan kakinya ke udara.

“Aku akan membayar utang mereka,” desisnya. “Aku akan membayarnya, bagaimanapun caranya!”

“Dasar pembohong, apa kaupikir aku memercayaimu? Pulanglah sana! Apa maksudmu merengek-rengek dan menghalang-halangi tuan ini?” sembur Ular, mengancam untuk menghajar Asatori. Kichiji membungkuk dengan waspada di atas punggung kudanya.

“Cukup, Ular.”

“Tapi, Tuan, dia tidak akan jera.”

“Tidak, Ular, lepaskanlah anak itu. Kita tidak ingin membahayakan siapa pun. Aku sudah mengatakan kepadamu, bukan, bahwa kau tidak boleh memaksa dia?”

Page 656: The Heike Story

“Utang ayahnya yang sakit-sakitan kepada saya memang tidak banyak, tapi mereka tidak bisa memberinya makanan, jadi saya bermaksud menolong mereka.”

“Sudahlah, lepaskanlah dia. Aku bukan manusia jahat”

Asatori bersujud di hadapan Kichiji, lalu melambai kepada Asuka, yang berlari menyongsongnya dan memeluknya erat-erat sambil terisak-isak.

“Jangan menangis,” Asatori menenangkannya, menghapus air mata dari pipinya yang basah. “Jangan menangis, Asuka. Kau tidak perlu takut. Mari kita pulang.”

Wajah mungil nan menawan itu mendongak memandangnya dan senyuman tipis terulas di sana. Kichiji dan rombongannya telah meninggalkan mereka.

Bergandengan tangan, keduanya berjalan menuruni bukit Sejenak setelah mereka lenyap dari pandangan, dua orang penunggang kuda muncul dari tengah kerimbunan hutan di atas bukit dan turun ke ibu kota.

“Bamboku, diakah orang yang kaumaksud?” tanya Tokitada.

“Ya ... ”

“Diakah Kichiji yang kaubicarakan kemarin?”

“Ya, bagaimana pendapat Anda tentangn dia?”

‘Tidak ada yang aneh dari dirinya sejauh pandanganku. Sebagai seorang saudagar, dia lebih baik hati daripada dirimu, ya?”

“Daripada saya? … Anda memang sangat penuh perhatian. Tuan!” Bamboku tergelak.

“Setidaknya, dia lebih punya hati daripada dirimu, Hidung. Aku tidak tahu mengapa dia membiarkan bajingan

Page 657: The Heike Story

itu membeli si gadis kecil, tapi setidaknya dia menunjukkan kebaikan hati ... melepaskannya.”

“Dan menurut Anda, saya tidak akan melakukan itu?”

Tokitada tertawa terbahak-bahak namun tidak menjawab. “Asuka ... Asuka. Nama yang indah,” gumamnya kepada dirinya sendiri. “Tidak heran Ular mengincarnya …. Sungguh menakjubkan bahwa bunga secantik itu bisa tumbuh di tengah pemukiman kumuh yang jorok.”

o0odwkzo0o

Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI Tokitada bangun lebih pagi keesokan harinya. Kereta

beserta sepasukan samurai dan pengawal telah menanti di depan pintunya, menyambutnya yang tampil dengan keagungan khas istana. Rombongan itu segera mendekati gerbang Rokuhara; Tokitada telah mengirim pesan untuk mengumumkan kedatangannya dan menanyakan apakah sang nyonya rumah telah siap. Sebuah kereta wanita yang anggun telah menanti di dekat beranda; rumbai-rumbai ungu menggantung di jendelanya; tidak setitik pun debu tampak di badan dan atapnya yang bercat indah; hiasan perak dan emas dengan ukiran bermotif burung dan kupu-kupu berkilauan cemerlang. Namun, dua sosok yang melangkah ke beranda, diiringi oleh serombongan dayang, dari dalam rumah jauh lebih cemerlang daripada kereta itu.

“Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu, Tokitada,” kata Tokiko, yang didampingi oleh putrinya yang berumur tujuh tahun.

Page 658: The Heike Story

“Ah, Tokiko, aku nyaris tidak mengenalimu dengan penampilan semewah itu!”

“Oh, tidak setiap hari aku berkunjung ke Istana Kloister …. Dan lagipula, sekarang musim semi.”

“Kau tampak memesona, sungguh! Aku yakin semua orang tidak akan keberatan dengan perubahanmu ini ... tidak peduli secantik apa pun dirimu. Benarkah bahwa kau mendengar saranku kepadamu?”

“Jangan mengolok-olokku. Para pelayan melihat kita dan kesulitan menahan tawa.”

“Biarkan saja mereka tertawa. Aku tak mengerti mengapa kalian para wanita takut ditertawakan. Wanita-wanita serius seperti Nyonya Ariko terlalu berlebihan bagiku, jangan sampai kau menjadi seperti dia …. Betul, bukan, Tokuko?” kata Tokitada, membelai rambut kemilau keponakannya. “Tuan Putri’, mari naik ke keretaku, dan aku akan mendongeng untukmu.” Tokitada mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong gadis kecil itu, namun Tokuko malah bersembunyi di balik kimono ibunya dan mengintip pamannya sambil menggeleng. Dayang-dayang, yang berdiri di sekitar mereka, tertawa terbahak-bahak sementara Tokiko menggendong putrinya dan memasuki keretanya.

Kereta Tokitada dan sepasukan pengawal mengiringi kereta Tokiko di sepanjang jalan berapit pepohonan di Rokuhara.

Tokiko jarang meninggalkan Rokuhara; setiap kali dia melakukannya, sepasukan besar samurai selalu mengawalnya. Selama bertahun-tahun dia disibukkan oleh anak-anaknya ... sembilan orang, sehingga dia kerap terheran-heran kepada dirinya sendiri. Suaminya sedang berada di puncak kejayaannya, dan Tokiko sendiri masih

Page 659: The Heike Story

berumur awal empat puluhan. Dan melihat suaminya yang gemar bersenang-senang dan main mata, Tokiko mulai menyadari bahwa dia harus mencegah dirinya menua sebelum waktunya. Hubungan gelap Kiyomori dengan Tokiwa setahun silam telah memberinya pelajaran pahit dan menimbulkan banyak luka di hatinya. Pada masa itu, dia sering berdoa agar kesuksesan Kiyomori terhambat agar hubungan gelap semacam itu tidak terjadi lagi ….

Dibuai oleh guncangan keretanya, Tokiko tenggelam dalam renungannya: empat puluh tahun ... kebanggaannya terhadap pesona ragawinya telah memudar. Bagi seorang pria, yang telah diperkaya oleh pengalaman dan kebijaksanaan, usia ini adalah saat yang tepat untuk mengambil tindakan-tindakan penting, meraih prestasi-prestasi besar; telah tiba waktu baginya untuk menghadapi seorang bocah dewasa yang mustahil dikekang ….

Kereta Tokiko mendadak berhenti dan kereta Tokitada berhenti di sampingnya.

“Tokiko, bukalah kerai jendelamu dan lihatlah ke sekelilingmu.”

“DI mana ... di manakah kita sekarang?”

“Jalan Kedelapan Barat ... di seberang sungai yang mengalir dari Rokuhara ... itu adalah wilayah pedesaan Shimabara, Mibu. Yang di sana adalah Kamiya dan Sungai Omura …. Lebih jauh lagi di selatan, kau bisa melihat Sungai Yodo. Pemandangannya luar biasa, bukan?”

“Mengapa kau membawaku menyimpang sejauh ini dari Istana? Bukankah Istana ada di arah yang berlawanan?”

“Tidak, kita tidak sepenuhnya menyimpang …. Lihatlah,Tokiko, lihatlah sendiri ... ribuan orang sedang bekerja di sebelah sana!”

Page 660: The Heike Story

“Apakah yang sedang mereka kerjakan?”

“Mereka sedang membangun jalan baru. Kaulihat orang-orang itu menggali, mengangkut tanah, dan sibuk bekerja? Kaudengar keramaian samar-samar di kejauhan? Para tukang batu, tukang kayu, dan yang lainnya bekerja di sana. Dalam waktu enam bulan, kau tidak akan mengenali tempat ini lagi.”

“Lalu, apakah yang akan mereka dirikan di sini?**

“Perumahan mewah dan istana-istana. Sebuah kota akan berdiri di sini tidak lama lagi ... bahkan, sebuah kota di dalam kota, sebuah pusat klan Heik6!”

“Apakah Rokuhara saja tidak cukup?”

“Rokuhara sudah terlalu sesak sekarang. Aku yakin bahwa Kiyomori memikirkan masa depan, dan tidak ada yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pria sepintar dia. Tidak diragukan lagi,

dia terlahir sebagai seorang tokoh besar dan kau adalah istrinya. Jangan lupakan itu, Tokiko.”

“Tokitada, apa kau benar-benar yakin bahwa itu akan membahagiakanku?”

“Kau adalah seorang wanita dan kurasa kau memiliki semua alasan untuk bersyukur karena bersuamikan pria seperti itu.”

“Omong kosong, Tokitada. Rokuhara paling sesuai untukku. Semua ini hanya akan berujung pada semakin banyaknya hal untuk dikhawatirkan. Kuharap kau bisa mencegah suamiku melanjutkan rencananya.”

Tokitada terkejut ketika Tokiko menutup kerai jendelanya dengan gusar. Dia telah berepot-repot membawanya kemari karena yakin bahwa kakaknya itu

Page 661: The Heike Story

akan senang, dan dia mulai memikirkan apakah keputusannya ini akan menghadirkan masalah baru di dalam rumah tangga Tokiko.

Tokitada menghela napas. “… Wanita-wanita itu, aku tidak bisa memahami mereka. Mereka lebih serakah daripada pria, lebih keras kepala, tapi sepertinya mereka tidak menyukai hal-hal yang menyenangkan.”

Kedua kereta itu melewati kanal di sepanjang Jalan Kedelapan dan segera tiba di depan gerbang Istana Kloister.

Adik Tokiko, Shigeko, baru setahun sebelumnya melahirkan Pangeran Noribito, putra ketiga dari kaisar terguling, Goshirakawa. Shigeko telah beberapa kali memohon kepada Tokiko untuk datang dan menjenguk bayinya. Etika, bagaimanapun, mencegah Tokiko dari memenuhi permintaan adiknya hingga sang mantan kaisar sendiri mengirim undangan untuknya.

“Membosankan sekali …!” keluh Tokitada ketika menunggu. Dia datang bersama Tokiko hanya sebagai pengawal resmi sehingga tidak diizinkan memasuki bagian dalam Istana. Dari tempatnya menunggu, dia bisa mendengar suara-suara dan gelak tawa kedua saudarinya. Tangisan melengking seorang bayi tiba-tiba mengejutkan dan menyadarkan Tokitada bahwa dirinya adalah paman dari sang pangeran baru. Pikiran ini sungguh mengesankan. Tidak ada yang pernah menyangka … memiliki hubungan darah dengan seorang pangeran …. Apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya, seorang bangsawan miskin, jika beliau masih hidup? Pikiran Tokitada melayang ke masa kecilnya. Mereka sangat miskin sehingga dia harus menyabung ayam untuk melipatgandakan uang melalui perjudian …. Pikirannya kemudian melayang ke masa depan: kekuasaan, kejayaan, kebesaran yang menyaingi klan Fujiwara! Gelak tawa kedua saudarinya kembali

Page 662: The Heike Story

menggugah lamunannya. Mereka semua sama-sama bahagia ... ya, gembira ... namun berkat sumber yang sangat berbeda.

Mantan Kaisar sendiri mendesak Tokiko untuk makan malam di Istana, dan Tokitada pun segera bergabung bersama mereka. Mantan Kaisar memangku putri Tokiko. membelai rambutnya, dan berkata, “Orang-orang selalu mengatakan bahwa anak perempuan biasanya mirip dengan ayahnya, dan anak laki-laki dengan ibunya, namun si kecil ini tidak memiliki kemiripan sedikit pun dengan Kiyomori.”

Kebahagiaan Tokiko membuncah ketika dia melihat Mantan Kaisar membelai-belai Tokuko dan berkali-kali mengatakan, “Kau gadis kecil yang cantik, anak yang cantik sekali! …” Tokiko merasa bahwa tidak ada hal lain yang bisa menandingi kehormatan dari pujian tersebut.

“Tokiko, berapakah jumlah anakmu?” kata sang mantan kaisar.

Tokiko menjawab dengan tertawa, “Sangat banyak, sampai-sampai saya sendiri tak sanggup menghitungnya.”

“Lebih banyak anak laki-laki atau perempuan?”

“Anak perempuan.”

“Dan si kecil ini, anak keberapa?”

“Ini putri ketiga kami.”

“Ada begitu banyak anak hingga kau tidak sanggup mengingat-ingatnya. Kalau begitu, kau tentu tidak keberatan jika yang satu ini tinggal bersama bibinya, bukan?” ujar Mantan Kaisar Goshirakawa dengan senyuman. “Apakah kau mau, Nak?”

Page 663: The Heike Story

Bocah itu tidak menunjukkan air mata; dia melepaskan diri dari pelukan Goshirakawa dan berlari menyongsong ibunya.

“Seperti yang Anda lihat sendiri, Yang Mulia, Tokuko masih kecil.”

“Baiklah, tapi dia harus sering-sering mengunjungi bibinya agar bisa berkenalan dengan kehidupan di sini. Dan setelah itu, tinggal di sini?”

Goshirakawa kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Tokiko, dengan sopan bertanya tentang dirinya, rumah tangganya, dan kehidupan di Rokuhara; dia berbicara kepadanya tentang Kiyomori ... kekuatan dan kelemahannya ... mendorong Tokiko untuk menyambut gembira masa depan suaminya. Saking terpesonanya kepada sang mantan kaisar, Tokiko menceritakan banyak hal kepadanya. Dengan sikap simpatik, Goshirakawa mendengarkan keluhan Tokiko mengenai suaminya dan memberikan tanggapan yang memuaskan tanpa harus mencela Kiyomori:

“Tidak, memang bukan sesuatu yang mudah bagi seorang wanita untuk menjadi istri seorang pria sehebat itu …. Kendati begitu, kau tidak akan berbahagia jika bersuamikan seorang pria pengecut”

“Tidak, saya yakin bahwa seorang pria yang biasa-biasa saja, walaupun miskin, yang kerap tinggal di rumah dan memerhatikan istrinya akan jauh lebih saya sukai.”

“Ya, suamimu memang seseorang yang tak pernah kenal lelah dan senantiasa mengejar mimpi-mimpinya.” “Ya, tepat seperti itu,” Tokiko mengiyakan. “Kau bisa mendorongnya untuk sedikit lebih mendalami agama. Kelemahan Kiyomori adalah kebiasaannya untuk

Page 664: The Heike Story

meremehkan keimanan orang lain ... kesan tidak kenal takut itu.”

Semakin banyak sang mantan kaisar mengungkapkan kelemahan Kiyomori, semakin Tokiko mengaguminya. Ketika tiba waktu bagi Tokiko untuk berpamitan, Goshirakawa telah mengetahui tentang seleranya. Dia menghadiahkan sehelai kain yang langka dan indah kepada Tokiko dan memintanya untuk lebih sering berkunjung.

Pada malam yang sama, Bamboku tiba di taman mawar dan mendapati bahwa Kiyomori telah menunggu di sana bersama Michiyoshi, si pemimpin perompak, yang sejak setahun silam dipekerjakan di Rokuhara sebagai pelayan Kiyomori.

“Pengerjaannya sudah rampung. Tuan,” kata Michiyoshi, membentangkan sebuah peta besar di hadapan Kiyomori. Sebagian dari peta itu ... garis pesisir dan pelabuhan-pelabuhan di Cina ... dibuat berdasarkan perkiraan; jalur-jalur yang membelah Laut Dalam juga tampak di sana.

Kiyomori membungkuk di atas peta itu dengan penuh minat “Ini? ... Mendekatlah, Bamboku, dan lihatlah sendiri peta ini.”

“Michiyoshi di bandar yang manakah kau berdagang di Cina?”

“Tidak ada satu bandar pun yang permanen. Semuanya tergantung pada arah angin dan pasang surut air laut.”

“Bagaimana dengan di Laut Dalam?”

“Saya belum pernah ke sana karena tidak ada pelabuhan yang bagus di sana.”

Page 665: The Heike Story

Kiyomori menunjuk empat atau lima titik di peta. “Bagaimana dengan ini?”

“Pelabuhan-pelabuhan itu hanya cukup untuk menampung perahu nelayan dan kapal kecil.”

“Lebih jauh lagi, jika begitu?”

“Arus di luar pelabuhan tidak bisa ditebak. Jika ada kapal yang bisa mencapai Teluk Kumano, pelabuhan-pelabuhan alami yang bagus bisa ditemukan di antara pulau-pulau di sana. Tetapi, kapal-kapal dagang Cina yang besar tidak akan muat di sana.”

“Sayang sekali ... ” Kiyomori mendesah dan mendongak. “Lima ratus tahun yang lalu, ketika duta negeri kita diterima di singgasana T’ang, harta benda dari Cina mengalir kemari. Itu adalah hari kejayaan …!”

“Lebih jaya daripada sekarang?”

“Tentu saja. Kau pasti menganggapnya aneh, namun aku yakin bahwa negeri kita lebih makmur lima ratus tahun yang lalu, kebudayaan kita lebih cemerlang, para pemuka agama kita lebih bijaksana dan giat, dan penduduk kita lebih menikmati kedamaian. Sungguh aneh bahwa kita tidak membuat kemajuan. Kita berjalan di tempat selama lima ratus tahun.”

“Menurut Anda, apakah alasannya?”

“Kita membiarkan diri kita terjebak di pasir isap. Saluran-saluran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baru telah tersumbat ... ini sudah terjadi sejak berabad-abad silam, ketika kaisar berhenti mengirim dutanya ke Istana Tang. Bagaimana menurutmu, Hidung Merah?” Kiyomori tergelak dan cepat-cepat meralat ucapannya, “Bamboku, maksudku. Nah, Pengawas Sungai Kamo, jangan terlena oleh gelarmu. Kau akan menangani salah satu dari kelima

Page 666: The Heike Story

pelabuhan di Laut Dalam dan akan mengirim sejumlah kapal ke Cina, kau tahu.”

“Ya, saya akan mempertaruhkan seluruh kekayaan saya untuk itu.”

“Apabila kita sudah memulainya ... pelabuhan manakah yang pertama kaupilih?” tanya Kiyomori.

“Bagaimana dengan Pelabuhan Kanzaki di mulut sungai?”

“Tidak disarankan karena kubangan pasirnya.”

“Muro?”

‘Terlalu sempit.”

“Di manakah tempat yang tepat, jika begitu?”

“Owada (Kobe). Aku sudah berkali-kali berlayar melewatinya ketika masih bocah. Tanah Ayahku terbentang di sepanjang pesisir di sana. Kerabatku juga tinggal di sana, dan kapal yang kutumpangi selalu melewati Owada …. Dan setiap kali kami mencoba berlabuh di sana, angin kencang dan keadaan pelabuhan yang buruk menyulitkan kami. Semasa masih bocah pun aku sudah memikirkan apa yang bisa diperbuat untuk pelabuhan di sana.”

Bamboku menatap Kiyomori dengan terkejut. “Eh, Anda sudah memiliki pikiran semacam itu sejak masih bocah?”

“Hmm … sejak aku berumur dua puluhan karena, Bamboku, pikirkanlah ... ” tidak seperti biasanya, Kiyomori berbicara dengan nada serius kepada Hidung Merah ... ”aku baru saja menganugrahkan sebuah gelar kepadamu ... sesuatu yang beberapa tahun silam tidak pernah kusangka akan bisa kulakukan. Dan siapakah Kiyomori semasa mudanya? Seorang samurai yang dibenci oleh kaum bangsawan! Seekor anjing penjaga dan keturunan Heik6

Page 667: The Heike Story

yang mengenaskan …. Bagaimana mungkin aku tahu ketika itu bahwa masa depan terbentang luas di hadapanku? Aku masih muda ... tertindas, terinjak-injak, namun bertekad untuk tetap hidup.”

“Ya, saya masih mengingat masa itu.”

“Ya, kau tentu masih ingat, Bamboku. Kau sendiri bukan siapa-siapa di Istana ketika itu. Dan tidak ada peluang bagi tumbuhnya harapan atau ambisi seorang pemuda untuk tumbuh, kecuali dengan memberontak atau bergabung dengan kelompok penjahat …. Karena itulah, setiap kali aku berlayar melewati Owada bersama ayahku, aku selalu bermimpi bahwa akan tiba suatu hari ketika aku membelah sebagian bukit itu dan melihat sebuah kapal membuang sauh di pelabuhannya. Tempat itu akan menjadi bandar perdagangan besar yang didatangi oleh kapal-kapal dari Cina. Itulah angan-anganku setiap kali memandang laut.”

Hidung Merah, yang mendengarkan dengan saksama, mengatakan, “Ternyata saya salah. Saya menyangka bahwa semua ini adalah impian liar yang baru saja terlintas di benak Anda.”

“Tidak, aku sudah memupuknya selama dua puluh tahun. Bermimpilah, bermimpilah selagi kau muda, Bamboku. Impianku, seperti yang bisa kaulihat sendiri, telah mulai terwujud. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang tidak tertandingi oleh apa pun bagiku. … Kurasa, tidak hanya dirimu yang beranggapan bahwa semua ini hanyalah angan-angan liarku?”

Kiyomori jarang merenung hingga sepanjang itu; sekarang, matanya berkaca-kaca, terpesona pada impiannya sendiri. Bamboku mengenang Kiyomori setahun silam ... ketika dia tengah tergila-

Page 668: The Heike Story

gila kepada Tokiwa ... dan nyaris tidak percaya bahwa dia sedang memandang pria yang sama. Kiyomori melipat peta di hadapannya sementara para pelayan mulai menghidangkan sake dan makanan; para pria lain di rumah itu segera bergabung bersama mereka untuk minum-minum dan menikmati hiburan.

Kiyomori menenggak bercangkir-cangkir sake, menonton para geisha dengan pikiran melayang karena mabuk; baginya, tabuhan genderang terdengar bagaikan deburan ombak di laut.

Sementara itu, sebuah kereta bergerak tanpa suara melewati gerbang, dan Tokiko keluar dengan menggendong Tokuko yang tertidur nyenyak.

Kiyomori meninggalkan tarian dan nyanyian di belakangnya dan menyusuri lorong menuju kamar Tokiko. Tokiko melihat bahwa, tidak seperti biasanya, suaminya sedang gembira dan penyebabnya bukan minuman. Tokiko sendiri, yang sedang tidak sekaku biasanya, dengan penuh semangat menceritakan setiap detail kegiatannya hari itu kepada suaminya.

Pertanyaan pertama Kiyomori adalah “Bagaimana kabar sang pangeran cilik?”

“Beliau sehat, dan sangat mirip dengan ayahnya.”

“Mm …. Bagaimana kabar Shigeko?”

“Yang Mulia juga baik-baik saja.” Tokiko meralat dengan senyuman menawan.

“Apakah kau berbicara panjang lebar dengan Yang Mulia Mantan Kaisar? Apakah beliau mengatakan sesuatu?” adalah pertanyaan Kiyomori yang selanjutnya.

Page 669: The Heike Story

“Ya, beliau begitu ramah, dan aku merasa sangat terhormat karena pertanyaan-pertanyaan beliau tentang keluarga kita dan pendapatnya mengenai dirimu.”

Kiyomori mencermati ekspresi wajah Tokiko ketika sedang berbicara. Dia menyadari bahwa sang mantan kaisar sedang sebisa mungkin berusaha mendapatkan dukungan militer dari dan seluruh klan Heik6. Kendati begitu, Tokiko terus mencerocos tentang pesona, kelembutan, dan kebaikan hati Yang Mulia.

Kiyomori terpaksa menguap untuk mengakhiri pembicaraan mereka. “Aku senang kau menikmati harimu,” katanya. “Bagus bagimu jika sesekali keluar rumah. Aku akan tidur lebih cepat karena harus mengikuti pertemuan di Istana besok pagi,” ujarnya seraya berdiri.

“Oh, tinggallah di sini untuk mengobrol lebih lama denganku,” pinta Tokiko.

“Masih adakah yang hendak kauceritakan kepadaku?”

“Ya, aku terkantuk-kantuk di kereta di sepanjang perjalanan pulang tadi dan mendapatkan mimpi yang sangat aneh.”

“Mimpi?”

“Mungkin bukan mimpi …”

“Omong kosong!”

“Mimpi ataupun bukan, penajamanku tadi sangat luar biasa. Kejadiannya tepat setelah kami tiba di jembatan Gojo. Tokuko tertidur di pangkuanku, dan aku juga pasti tertidur, karena mendadak kereta kami seolah-olah terbang ke awan; derak kereta tidak lagi terdengar, tapi aku malah mendengar deburan ombak …. Aku memandang ke

Page 670: The Heike Story

sekelilingku, dan ternyata kami sedang terbang di atas laut Aku memikirkan ke mana aku dibawa dan menangis di dalam tidurku, dan tahukah kamu? ... alih-alih seekor sapi. sepasang rubah menarik kereta kami! Lalu, aku melihat sebuah pulau yang seindah puncak-puncak surga menjelma di hadapanku; sebentuk pelangi melengkung di langit, dan sebuah suara terdengar olehku ... ’Itsuku-shima ... Itsuku-shima,’ katanya. Kemudian, rubah-rubah itu lenyap, dan aku terbangun oleh deburan ombak dan petikan harpa.”

“Kau terbangun?”

“Bahkan setelah benar-benar terjaga, aku masih bisa mendengar alunan musik dan suara di awan yang mengatakan, ‘Itsuku-shima.’

Aku bahkan masih bisa mendengarnya sekarang! Aku mendengarnya selama di dalam kereta.”

“Bisakah kau menjelaskan makna mimpimu itu?”

“Apakah kau masih ingat waktu itu ... kau masih berumur tiga puluh tahun saat itu, sepertinya ... ketika kau berburu karena membutuhkan bulu rubah untuk baju zirahmu? Peristiwa itu terjadi setahun setelah pertikaian dengan para biksu, dan kau harus menjauhi Istana.”

“Oh, ya, aku ingat masa itu.”

“Apakah kau masih ingat bahwa kau jatuh iba pada rubah-rubah itu dan lebih memilih untuk pulang dengan tangan hampa daripada memanah mereka?”

“Hebat sekali ingatanmu!”

“Aku belum pernah menceritakan ini kepadamu, tapi sejak saat itu, aku menyimpan kecapi, yang dihadiahkan oleh Shinzei kepadamu, di ruang peribadatan kita dan mempersembahkannya kepada Dewi Musik karena rubah

Page 671: The Heike Story

adalah kurirnya dan kecapi adalah alat musik kesukaannya.”

“Gagasanmu itu bagus sekali. Walaupun Shinzei bukan kenangan yang bagus, aku yakin arwahnya bahagia karena persembahanmu kepada sang dewi.”

“… Jadi, makna mimpiku adalah, kurasa, sebuah pertanda bahwa rubah-rubah itu mengawasi rumah kita. Tidakkah kau berpikir bahwa kurir-kurir sang dewi datang untuk mengingatkan kita bahwa kita sesekali harus memberikan penghormatan kepada dewa klan Heik6 di Itsuku-shima?”

“Apakah tempat pemujaan untuk dewa klan kita terletak di Itsuku-shima?”

“Begitulah kata ibu tirimu. Kakekmu, begitu pula ayahmu, yang memiliki tanah di sana, telah beberapa kali datang ke Itsuku-shima untuk berdoa.”

“Ya, kau benar. Begitulah.”

“Kecuali dua kali peperangan, kita tidak pernah mendapatkan kemalangan apa pun ... bahkan, selain semua hal berjalan dengan lancar, Shigeko sekarang menjadi ibu bagi seorang pangeran, dan aku tidak percaya bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Kuharap kau mau memberikan penghormatan kepada para dewa dan, seperti ayahmu, sesekali melakukan ziarah ke tempat pemujaan klan kita.”

“Hmm …. Maksudmu, Itsuku-shima?”

“Ya, Itsuku-shima.”

“Ya, aku akan pergi ke sana tahun ini.”

Kiyomori, yang biasanya gusar setiap kali ibu tirinya menegurnya karena tipisnya keimanannya, mengejutkan Tokiko dengan persetujuannya.

Page 672: The Heike Story

“Kau serius?” Tokiko menyangsikannya.

Kiyomori tidak bisa menahan tawa ketika melihat mimik wajah Tokiko. Dia sepenuhnya memahami jalan pikiran istrinya, namun sesekali dia bersedia berlagak seperti seorang suami bodoh yang mengikuti apa pun saran istrinya. Ya, dia memercayai mimpi Tokiko; dia akan melakukan apa pun yang diharapkan oleh Mantan Kaisar; dia akan berusaha untuk menjadi seorang abdi setia dan suami yang baik. Semuanya akan dilakukan tepat seperti yang dikatakan oleh istrinya.

‘Tidak, aku tidak akan mengolok-olok agama, dan aku berjanji kepadamu untuk melakukan perjalanan ziarah ke Itsuku-shima tahun ini, apa pun yang terjadi. Aku berjanji ... tidak, aku bersumpah.”

o0odwkzo0o

Bab XXXIX-TABIB ASATORI Asatori meninggalkan rumah Momokawa dan dengan

hati riang menuruni bukit. Setahun telah berlalu sejak dia menyampaikan surat pengantar dari Mongaku kepada Tabib Momokawa dan diterima sebagai muridnya. Ada beberapa orang lain yang menimba ilmu kepada Momokawa, namun semangat Asatori dan pengalaman yang didapatkannya dari merawat orang-orang sakit di pemukiman kumuh ternyata bermanfaat di dalam pendidikannya ... pembedahan, pelajaran tentang tubuh dan tanaman herbal, dan pengetahuan tentang berbagai aliran pengobatan baru dari Cina. Seandainya Asatori memilih untuk menjadi pemain musik di Istana, dia mungkin akan mendapatkan kehormatan dan ketenaran, namun di dalam jalan hidup yang dipilihnya, kemiskinan di antara kaum

Page 673: The Heike Story

papa, dia mendapatkan kepuasan yang tidak pernah dirasakannya di Istana. Dalam keadaan kelaparan nyaris sepanjang waktu, sesuatu di dalam kehidupan barunya memberikan rona di pipi tirusnya.

Di seluruh ibu kota, pohon-pohon paulownia telah berkembang, dan Asatori mendesah ketika mendongak untuk memandang bunga-bunga itu. Sejak kuntum-kuntum ungu paulownia berguguran hingga musim gugur tiba, wabah penyakit melanda pemukiman kumuh. Dalam beberapa tahun, wabah tersebut melanda lebih dahsyat daripada biasanya; dia baru saja membaca tentang penyakit disentri yang mematikan, yang belum ditemukan obatnya walaupun kekejamannya telah diketahui oleh semua orang. Orang kaya maupun miskin rawan terkena penyakit itu, dan mereka yang sudah tertular tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu kematian hingga wabah mereda. Ribuan penduduk ibu kota telah kehilangan nyawa akibat penyakit disentri tahun lalu, hingga hujan salju pertama turun. Asatori berdoa agar kejadian yang sama tidak terulang kembali tahun ini, karena sepertiga penduduk Jalan Pedagang Sapi telah tewas akibat wabah terakhir.

“Asuka, apakah yang sedang kaulakukan di sini?” Asatori bertanya dengan heran ketika tiba di Jalan Keenam. Sebatang paulownia berbunga berdiri di tepi padang rumput berpagar di dekat Jalan Pedagang Sapi. Seorang gadis tengah menunggu Asatori di bawah pohon itu.

“Akhirnya, Asatori!” seru Asuka, berian menyongsong Asatori dan menangis sambil menyambut uluran tangannya.

“Ada apa, Asuka? Apakah kau sedang menungguku?” “Ya ... ”

“Apakah Ular datang lagi?”

Page 674: The Heike Story

“Dia datang lagi hari ini dan membentak-bentak kami, mengatakan bahwa dia akan membawaku lagi. Karena itulah aku kabur dan menunggumu di sini.”

“Kau tidak perlu takut,” Asatori menenangkannya. “Aku akan menebus utang orangtuamu kepadanya, dan aku yakin dia tidak akan memaksamu lagi.”

Kekumuhan terlihat bersama setiap belokan yang membawa mereka mendekati Jalan Pedagang Sapi. Setibanya mereka di pondok berdinding lempung milik si perajin roda kereta, Ular masih ada di sana, mengancam si perajin dan istrinya yang ketakutan. Ular ditemani oleh seorang wanita tua berpakaian mencolok, yang menjelaskan dengan keramahan palsu, “Kau tidak perlu

menghabiskan seluruh kehidupanmu di lingkungan mengenaskan ini, bukan? Aku kemari untuk memberimu beberapa nasihat ... dan kau memiliki anak perempuan yang secantik itu! Tidak pernahkah kau memikirkan masa depannya?”

Ryozen dan istrinya tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kepasrahan, namun Ular terus mendesak mereka. “Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta kalian untuk sekarang juga melunasi utang kalian dari tahun lalu. Jika bukan karena itu, Asuka tidak akan ada di sini sekarang ... aku pasti sudah menjualnya kepada seseorang di timur laut Jangan bilang bahwa kalian sudah melupakan itu! Memangnya untuk apa aku lagi-lagi mau meminjami kalian uang pada musim semi lalu? Karena kalian mengatakan bahwa aku sangat kejam lantaran merenggut putri kalian yang masih kecil. Dan sekarang, wanita ini berjanji untuk mendidiknya menjadi seorang geisha. Apa lagi yang kalian keluhkan? Ini lebih daripada yang layak kalian dapatkan!”

Page 675: The Heike Story

Asatori dan Asuka menerobos kerumunan para tetangga penasaran di depan pintu. Ular dan temannya sepertinya gelisah melihat kerumunan orang yang memerhatikan mereka.

“Kami akan kembali lagi di lain waktu. Kalian berdua, pikirkanlah tawaran dariku ini,” ujar Ular dengan garang sebelum pergi.

“Dia pantang menyerah ... si Ular itu. Kalian sebaiknya mengawasi Asuka. Iblis sedang memburunya,” Asatori menasihati seraya memeriksa Ryozen, yang seperti biasanya sedang sakit. “Apakah obatmu masih ada? Segera setelah obatmu habis, kau harus mengirim seseorang kepadaku untuk mengambil tambahannya,” katanya dengan ramah. Setelah berbincang-bincang sejenak dengan si sakit, Asatori pulang.

Keesokan harinya, Asuka mendatangi rumah Asatori. “Asatori yang baik, orang itu menyuruh kami untuk mengembalikan jepit rambut ini kepadamu. Apakah ini milikmu?” katanya, menyerahkan benda itu kepada Asatori. Jepit rambut indah yang terbuat dari emas dan perak itu, yang nyaris tampak terlalu mewah bagi seorang pemusik istana sekalipun, didapat oleh Asatori dari ibunya ketika dia beranjak dewasa, jepit rambut itu biasa dikenakan oleh para pemain musik istana dalam acara-acara resmi. Ibu Asatori memesan jepit rambut itu untuk putranya setelah sebelumnya menjual beberapa barang, dan benda itu menjadi salah satu harta paling berharga yang dimiliki oleh Asatori. Setelah berjanji untuk menebus utang Ryozen kepada Ular, Asatori membujuk Ular agar mau menerima satu-satunya benda mahal yang dimilikinya.

“… Apakah kau serius mengatakan bahwa si serakah itu mengembalikannya?”

Page 676: The Heike Story

“Ya,” jawab Asuka.”

“Mengapa dia mengembalikannya?”

“Entahlah.”

“Tapi, aku tidak percaya dia melakukan itu, kecuali jika dia memang berniat untuk datang lagi. Kau sebaiknya menyimpan jepit rambut ini, Asuka, siapa tahu dia memang berniat begitu ….Aku tidak membutuhkannya lagi.”

Asuka menerimanya dengan enggan, dan baru setelah gadis itu pergi, Asatori melihat jepit rambutnya telah tergeletak di atas salah satu peti yang digunakannya untuk menyimpan buku-bukunya. Asuka kerap mengunjunginya sejak dia menyelamatkannya dari Ular. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, Asuka lebih sering menghabiskan waktu bersamanya lebih daripada bersama orangtuanya, dan Asatori, yang semakin menyayanginya, mengajarinya membaca dan menulis. Asatori mengagumi bakat Asuka, karena gadis itu tidak hanya pintar membuat kaligrafi tetapi juga lihai dalam menulis puisi. Walaupun jarang ditemui di kalangan kaum rakyat jelata, ayah Asuka, mantan pelayan seorang bangsawan yang dihukum mati setelah Perang Hogen, telah mendidik putrinya seperti layaknya seorang gadis istana.

Sepertinya tidak ada tanda-tanda wabah penyakit pada tahun ini, namun udara dingin, yang tidak sesuai dengan musim, membusukkan dan mengerutkan gabah dan bibit gandum. Dengan gelisah, orang-

orang membicarakan tentang musim paceklik dan bencana kelaparan yang mengancam pada musim dingin.

Pada suatu hari, Asatori berjalan kaki pulang dari rumah Tabib Momokawa. Sambil menghampiri pintu rumahnya, dia berseru memanggil Asuka, berharap gadis itu ada di

Page 677: The Heike Story

sana dan merapikan rumahnya. Dia tidak mendengar jawaban, namun begitu melewati ambang pintu, dia disambut oleh tamu lain, Yomogi, yang memelototinya dengan kesal. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari Asuka dan mendapati gadis itu sedang duduk dengan marah di dapur. Kedua gadis tersebut tidak mengatakan apa-apa. Setelah keheningan yang panjang, Asatori berkata, “Astaga, ada apa sebenarnya ini?” Dia kebingungan ketika melihat mata kedua gadis itu berkaca-kaca.

“Ah, Yomogi, aku senang karena bisa bertemu denganmu lagi! Kita sudah lama tidak berjumpa, bukan?”

“Apa kabar, Asatori?” jawab Yomogi sambil mengangguk kaku. “Kau mungkin sudah mendengar bahwa nyonyaku mendadak menikah pada musim gugur silam.”

“Ya, aku sudah mendengarnya.”

“Sejak saat itulah aku kesulitan keluar, karena beliau selalu dikelilingi oleh para pelayan aneh dan menghendakiku untuk sesering mungkin berada di dekatnya.”

“Beruntung sekali dirimu! Tapi, kau tidak sepantasnya mendatangi tempat ini, meskipun aku akan senang jika bisa sesekali bertemu denganmu.”

“Aku yakin kau senang karena aku tidak bisa sering-sering mengunjungimu.”

“Oh, sama sekali tidak!” Asatori menyangkal sambil tertawa.

“Tapi ... aku mengerti. Aku sudah melihatnya sendiri.”

“Ada apa ini? Apa maksudmu?”

“Tidak ada ... tidak ada sama sekali.”

Page 678: The Heike Story

Yomogi memalingkan wajah dan menangis tersedu-sedu. Asuka, yang memerhatikan mereka tanpa berkata-kata, mendadak bangkit dan berlari keluar rumah dengan kaki telanjang.

“Asuka! Hei, Asuka, kau hendak ke mana? Ada apa sebenarnya?”

Asatori melongok dari jendela dan memanggilnya senyaring mungkin, namun Asuka tidak mau kembali. Asatori, yang masih bingung, mulai menduga bahwa Yomogi dan Asuka bertengkar sebelum dia datang. Mereka pasti bersilat lidah gara-gara masalah sepele, pikirnya dengan geli sebelum kembali menemui Yomogi. Dia terkejut ketika mendapati bahwa Yomogi bukan lagi gadis kecil yang dikenalnya sekitar setengah tahun silam.

Segala sesuatu di dalam diri Yomogi sepertinya telah berubah ... caranya menata rambut dan bersikap menunjukkan bahwa dia telah menjadi seorang wanita muda. Mungkinkah, Asatori membatin, naluri kewanitaan, yang muncul pada usia tujuh belas tahun, telah sepenuhnya mengubah Yomogi menjadi sosok memesona ini? Asatori kemudian menyimpulkannya sebagai suatu kewajaran yang luput dari pantauannya. Dia kembali bertanya:

“Yomogi, apakah Asuka tadi melakukan sesuatu yang melukai perasaanmu?”

“Tidak, sama sekali tidak,” Yomogi menjawab dengan ketus, lalu menambahkan, “Aku bahkan mengira dia bisu karena dia tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika pertama kali melihatku.”

“Dia jarang bertemu dengan siapa pun kecuali para penduduk di sini. Dia miskin dan sangat malu karenanya.”

“Tidak, kurasa bukan itu masalahnya.”

Page 679: The Heike Story

“Kalau begitu, apakah itu?”

“Dia memelototiku seolah-olah dia ingin mengusirku. Aku mengira kau akan menikahinya. Benarkah itu, Asatori?”

Asatori terpana. Jengah oleh tatapan menyelidik dari Yomogi, dia terpaksa membuang muka. Dia merasakan wajah dan telinganya memanas ketika menyadari bahwa dialah alasan tatapan cemburu

itu. Tetapi, dia terkejut ketika menyadari bahwa seorang gadis secantik Asuka juga bisa merasa cemburu. Dia memikirkan apakah Yomogi telah memiliki perasaan berbeda kepadanya pada musim gugur silam, ketika dia masih memperlakukannya seperti layaknya seorang bocah.

“Apakah nyonyamu menyuruhmu kemari?” Asatori bertanya, mengalihkan pembicaraan.

“Tidak, aku ingin meminta nasihatmu dalam suatu perkara.”

“Oh …?” tanya Asatori, menantikan penjelasan.

“Asatori, aku berpikir untuk meninggalkan majikanku dan hidup di sini. Bagaimana pendapatmu tentang itu?”

“Maksudmu, kau akan meninggalkan Nyonya Tokiwa?”

“Aku tidak senang memikirkan akan meninggalkan beliau sendirian di sana, tapi ... ”

‘Tapi, kau sudah menyertai beliau semenjak putra-putranya lahir, bukan? Aku khawatir beliau akan kehilangan dirimu.”

“Ya, aku juga sudah memikirkannya secara mendalam.”

“Apa yang membuatmu berpikir bahwa dirimu ingin menjalani kehidupan di sini?”

Page 680: The Heike Story

“Bukankah kau selalu mengatakan kepadaku bahwa kemewahan hanya ada di permukaan? Bahwa kita tidak bisa membandingkan orang kaya dengan orang miskin, karena kau justru menemukan kebaikan sejati di antara mereka? Aku sudah memikirkannya, dan aku yakin bahwa kau benar.”

“Tapi, Yomogi, tidak ada alasan bagimu untuk memilih kehidupan sengsara di sini padahal ada banyak orang yang bersedia melakukan apa pun untuk pergi dari sini!”

“Aku sudah muak dengan kemewahan. Ketika aku mengetahui bahwa kau melepaskan pekerjaanmu sebagai pemain musik istana karena merasa sepertiku, aku menyadari bahwa aku juga ingin tinggal di sini.”

“Tidak, kau tidak akan sanggup hidup di sini setelah lama bergelimang kemewahan. Kau harus berbicara kepada nyonyamu dan mendengar pendapat beliau tentang keinginanmu ini”

‘Tentu saja beliau akan menghentikanku. Sejujurnya, perasaanku kepada beliau sudah berubah, terlebih lagi setelah apa yang terjadi antara beliau dengan Tuan Kiyomori, lalu beliau menikah lagi. Dan walaupun kecantikan beliau sungguh memesona, memalukan sekali

Yomogi telah dewasa, renung Asatori; dia telah menjadi seorang wanita yang bisa menilai wanita lain. Dia mulai meragukan majikannya dan gelisah ingin menjalani masa depannya sendiri. Tetapi, Asatori risau ketika menyadari bahwa Yomogi memintanya untuk berbagi masa depan bersamanya. Bagaimanakah dia akan menolak Yomogi? Hati Asatori mencelus ketika dia memikirkan tugas yang diembannya. Tetapi, Yomogi sepertinya senang hanya dengan berada di sana, mengobrol dengannya dan mengabaikan waktu yang terus berjalan. Ketika malam tiba,

Page 681: The Heike Story

Yomogi membantu Asatori menyiapkan makan malam sederhana dan mereka pun menyantapnya bersama.

“Kau sebaiknya pulang sekarang,Yomogi”

“Ya, tapi segera setelah nyonyaku mau melepaskan ku, kau akan mengizinkanku tinggal di sini, bukan, Asatori?”

Tetapi, Asatori membungkamnya dengan mengatakan, “Yah, apabila Mongaku sudah tiba kembali di ibu kota, kau harus menanyakan pendapatnya. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan.”

Asatori mengantar Yomogi hingga tiba di persimpangan jalan, lalu kembali ke rumahnya dan mendapati bahwa lenteranya menyala. Api lentera bergoyang-goyang tertiup angin sepoi-sepoi; dia mengangkat lentera dan meletakkannya di atas meja, lalu mulai membuka buku-buku pengobatannya. Kemudian, dia mendengar percikan air di dekat rumahnya; gemeretak galah bambu. Dia melongok ke beranda dan melihat sebatang galah bambu telah disangkutkan di antara cabang-cabang sebatang pohon; sesosok gadis bertubuh mungil

sedang menggapai untuk menjemur cucian. “Kaukah itu, Asuka, yang ada di luar sana? Jangan coba-coba mencuci di tengah kegelapan. Masuklah kemari, di sana dingin.”

“Tapi, kalau aku mencuci sekarang, kau akan memiliki kimono bersih untuk kaukenakan besok.”

“Oh, sebaik itukah dirimu hingga mau mencucikan baju kotorku?”

“Aku baru mulai melakukannya tadi siang, waktu tamumu datang, jadi ... ” kata Asuka, dengan malu-malu berjalan ke beranda. Dia akhirnya duduk di samping Asatori, dengan lembut merawat jarinya yang sakit.

Page 682: The Heike Story

“Kau terkena serpihan kayu?”

“Dari galah bambu itu.”

“Mana, biar kuperiksa.” Asatori menarik tangan Asuka dan mendekatkannya ke matanya. “Di sini terlalu gelap, masuklah ke dekat lentera.” Asatori menggunakan sebuah penjepit untuk mencabut serpihan bambu yang memasuki jari Asuka. Asuka memasrahkan tangannya dan sepertinya tidak keberatan dengan rasa sakitnya.

“Ah, ini dia ... sudah keluar! Kau pasti kesakitan, jarimu berdarah.”

“Tidak, tidak apa-apa.”

“Perdarahannya akan segera berhenti,” Asatori menenangkannya, mendekatkan jari Asuka ke mulutnya dan mengisapnya. Asuka tiba-tiba menangis. Asatori cepat-cepat memeluknya dan membuainya seolah-olah Asuka seorang bocah kecil.

“Mengapa kau menangis, Asuka?” tanyanya.

“Karena aku bahagia ... sangat bahagia,” jawab Asuka di antara isak tangisnya.

“Berhentilah menangis, kalau begitu.”

“Aku menangis karena aku tidak akan bisa datang kemari lagi.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

Asuka tidak mau menjawab dan Asatori terus mengayun-ayunnya di atas pangkuannya. Anak malang, pikirnya, begitu haus kasih sayang, anak pemukiman kumuh ini.

Page 683: The Heike Story

“Asuka, mengapa kau meninggalkan jepit rambut yang kuberikan kepadamu tempo hari? Kau harus membawanya malam ini … kau tidak boleh malu.”

“Apakah jepit rambut itu benar-benar untukku?”

“Kau tahu, kau bisa menjualnya. Untuk membeli baju yang bagus, mungkin?”

“Tidak ... ” Asuka menggeleng. Dia menggenggam jepit rambut itu dan akhirnya tersenyum. “Aku akan menyimpannya selamanya ... seumur hidupku.”

Asuka akhirnya pulang setelah kesedihannya mereda, dan Asatori kembali menekuni buku-bukunya. Tetapi, malam ini, isi buku-buku itu sepertinya mustahil untuk dipahami, dan percuma saja dia membacanya.

Sekitar seminggu kemudian, Asatori, yang telah dua atau tiga hari tidak bertemu dengan Asuka, singgah di rumah Ryozen sebelum pulang ke rumahnya. Dia terperangah ketika mengatahui bahwa seorang bocah bungkuk dan seorang pincang telah pindah ke rumah Ryozen dengan membawa seluruh harta mereka ... sebuah kuali dan sebuah ember kayu.

Si pincang berkata dengan nada dengki. “Kau mencari Ryozen? Dia sudah pindah kemarin lusa ke sebuah rumah bagus di daerah pusat hiburan sana ... jauh berbeda dari gubuk lempung ini. Kudengar seorang kaya sudah menjemput putrinya. Aku hanya punya si bungkuk ini; tidak seorang pun menghendakinya waiaupuan aku mau memberikannya. Kau tabib, bukan? Kau bisa menyembuhkannya, bukan?”

Malam itu, Asatori seperti biasanya menyibukkan diri dengan buku-bukunya, namun dia kesulitan memahami apa yang dibacanya karena wajah Ular dan si mucikari tua terus

Page 684: The Heike Story

menerus berkelebat di antara dirinya dan bukunya yang terbuka. Dia juga sakit hati karena Ryozen tidak berpamitan kepadanya. Pertemanan semacam itu sudah biasa di lingkungan kumuh, tempat orang-orang datang pada pagi hari dan pergi begitu saja pada malam hari; peristiwa seperti ini sudah sering terjadi, katanya kepada dirinya sendiri; dia tidak memiliki alasan untuk merasa sakit hati. Dia tak henti-hentinya memikirkan Asuka. Gadis itu bukan anaknya. Lagipula, apakah yang bisa diperbuatnya untuk Asuka? Apakah yang membuatnya tertarik kepada Asuka? Sejumlah ngengat dan serangga kecil bertebaran di atas meja dan buku-bukunya, menjemput ajal bersama godaan api. Sebagian serangga itu tampak cantik dan rapuh ... seperti Asuka; sebagian yang lain ... yang buruk rupa ... mengingatkannya kepada Ular. Apakah yang bisa dilakukan oleh Asatori selain mengobati orang sakit? Membahagiakan Asuka? Mana mungkin! Mengapa dia percaya bahwa dirinya bisa menolong orang lain? Sudah menjadi seangkuh itukah dirinya sehingga merasa sanggup menanggung beban mahaberat bagi seorang manusia? Dia bahkan tidak mampu menyembuhkan orang sakit!

Asatori keluar dari rumahnya dan mengguyurkan seember air sumur ke tubuhnya, sebagian untuk mengusir rasa kantuknya.

Ketika sedang mengeringkan diri dan mengenakan kimono katunnya, dia melihat orang-orang berdiri di atas atap, berseru-seru, “Dari manakah asal apinya?”

“Dari Horikawa.”

“Di daerah hiburan malam atau sekitarnya.”

Asatori mendongak dan melihat pendar merah di langit. Ketika mendengar bahwa api berasal dari suatu tempat di pusat hiburan, dia mendadak tergoda untuk mengikuti

Page 685: The Heike Story

derap kaki orang-orang. Tetapi, dia malah kembali ke rumahnya, menutup kerai-kerai jendelanya, dan bersiap-siap tidur. Sesekali, dia mendengar buah kesemek mentah jatuh dan bergulir di atap tipis di atas kepalanya.

o0odwkzo0o

Bab XL-PERMATA LAUT DALAM berombongan kecil perahu sedang bersiap-siap

untuk bertolak menuju Yodo, dan para pengantar bersorak sorai di tepi sungai. Meredanya kesibukan di Istana yang bertepatan dengan kehadiran musim panas akhirnya memberikan kesempatan kepada Kiyomori untuk melakukan perjalanan ke Itsuku-shima dan beribadah di tempat pemujaan leluhurnya. Perahu dari berbagai jenis dan ukuran ada di sana: perahu berkabin, perahu pengangkut kuda-kuda dan persenjataan, perahu pengangkut bahan makanan, semuanya memenuhi sungai dan siap diberangkatkan.

“Apakah Tokitada belum juga datang?” Kiyomori bertanya dengan gusar.

“Dia akan tiba sebentar lagi,” jawab Norimori untuk menenangkan kakaknya yang tidak sabaran.

Bersama Norimori dan dua orang panglimanya, Michiyoshi si mantan perompak, akan mengawal Kiyomori dalam perjalanan melintasi Laut Dalam yang telah diakrabinya. Para tukang kayu, tukang batu, tukang angkut, dan pekerja lainnya juga termasuk di dalam rombongan beranggotakan sekitar tiga puluh orang itu.

Page 686: The Heike Story

Kiyomori menoleh ke arah Hidung Merah, yang berdiri di belakangnya. “Bamboku,” katanya, “Tokitada belum datang. Apakah sebaiknya kita berangkat tanpa dirinya?”

“Yah, kita bisa menunggu sebentar lagi. Tuan Tokitada terlambat, namun pasti akan datang.”

“Apakah menurutmu yang menghambatnya?”

“Bukan urusan Istana melainkan urusan yang melibatkan salah seorang pelayannya. Ada kebakaran di wilayahnya semalam.”

“Mengapa perkara itu sampai membuatnya terlambat?”

“Saya mendengar bahwa salah seorang pelayannya berkelahi dengan pelan seorang bangsawan, dan itulah penyebab kebakaran semalam.”

“Perkelahian antara kedua prajurit itu?”

“Sepertinya perkelahian semacam itu semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Para pengawal di Istana Kekaisaran dan Istana Kloister kerap saling menghina dan memancing perkelahian.”

“Persaingan para penguasa telah merembes ke bawah? Patut disayangkan ... ”

“Kemarahan para prajurit sepertinya belum mereda sejak pembantaian besar-besaran dalam dua perang terakhir. Saya tidak suka mengatakannya ... tapi, para samurai semakin semakin beringas akhir-akhir ini.”

“Kita harus mengabaikan persoalan itu untuk saat ini. Mereka sudah sangat lama tertindas dan baru mulai mendapatkan kekuasaan. … Tapi, apakah yang sebenarnya terjadi semalam?”

Page 687: The Heike Story

“Si pelayan minum terlalu banyak dan menghujat selir kedua Yang Mulia …. Pelayan lainnya mendengarnya dan membantahnya. Itulah awalnya.”

“Pertengkaran itukah yang menyebabkan kebakaran?”

“Begitulah.”

“Kita bisa mengabaikan kelakuan pongah para prajurit rendahan itu, namun menyulut api dan menjadikan politik sebagai alasan pertengkaran pribadi tidak bisa ditoleransi.”

“Sepertinya memang para prajurit ini menjadikan pertikaian antara pemimpin mereka sebagai alasan pertengkaran mereka.”

“Apa yang bisa dilakukan oleh para prajurit itulah yang mengkhawatirkanku. Kuharap Tokitada bisa mengawasi mereka selama aku peragi.”

“Oh, itu Tuan Tokitada ... tepat pada waktunya!”

Wajah Kiyomori tampak berseri-seri ketika dia mengedarkan pandangan ke tepi sungai dan melihat Tokitada turun dari kudanya di tengah-tengah deretan kereta. Dia sepertinya sangat terburu-buru; setelah berhasil menerobos kerumunan pengantar, Tokitada naik ke perahu Kiyomori.

Di balik kerai yang tertutup, Kiyomori dan Tokitada berbicara selama beberapa waktu. Kiyomori menganggap Tokitada sebagai tangan kanannya dan mengandalkannya lebih daripada adik-adiknya sendiri.

“… Baiklah, kalau begitu, aku akan menyerahkan tanggung jawab kepadamu,” Kiyomori mengakhiri pembicaraan, dan Tokitada segera menuju tepi sungai untuk bergabung dengan rombongan pria dan wanita dari Rokuhara, yang datang untuk melepas kepergian Kiyomori.

Page 688: The Heike Story

Di musim kemarau ini, permukaan Sungai Yodo menyurut Lambung perahu menyentuh dasar sungai di bagian terdalam sekalipun sehingga para awak perahu dan prajurit terpaksa harus menarik atau mendayung dengan giat untuk melewati bagian yang dangkal. Tanpa adanya angin yang bertiup, panasnya udara nyaris tak tertahankan.

Kiyomori berencana untuk berlayar mengikuti arus Sungai Kanzaki menuju teluk, dan dari sana beralih ke kapal laut menuju Bandar Owada (Kob6), namun kedangkalan sungai mengharuskan rombongannya untuk menunggang kuda keesokan harinya dan melanjutkan perjalanan melintasi hamparan pasir yang kering kerontang di sepanjang pesisir. Mereka jarang melihat tanda-tanda kehidupan manusia di sana; angin barat daya tanpa henti-hentinya

menyemburkan serpihan daun cemara ke pantai, dan dari waktu ke waktu, mereka melihat sampah-sampah dari Cina mengapung di permukaan laut, terbawa oleh arus dan angin. Tetapi, udara hari itu cerah dan rombongan Kiyomori bersemangat tinggi.

Daerah yang mereka lalui, dan yang mereka sebut Fukuhara ... Dataran Keberuntungan ... menghadirkan banyak kenangan bagi Kiyomori.

“… Di sinilah kami berlabuh pada 1153, ketika aku berlayar bersama ayahku. Kami hendak meredakan pergolakan di barat dan mendarat di sini …. Perkampungan nelayan itu dan pepohonan pinus yang di sana tidak banyak berubah. Hanya waktu yang berubah ... dan aku.”

Seluruh tanah kekuasaan Heik6 ... Is6. Bingo, Higo, Aki, Harima ... berbatasan dengan laut. Semua kenangan masa muda Kiyomori mengenai ayahnya, pencapaian-pencapapain Heik6, tidak bisa dilepaskan dari laut, dan

Page 689: The Heike Story

Fukuhara merupakan tautan antara peristiwa menentukan pada masa lalu dan angan-angan masa depan Kiyomori.

Selama hampir tiga minggu, Kiyomori tinggal di Fukuhara untuk melakukan berbagai persiapan. Pada tahap itu, dia kerap mengajak Bamboku menjelajahi wilayah perbukitan dan pegunungan di sekitar sana, atau menghabiskan seharian untuk berkeliaran di bawah sinar matahari yang terik. Di lain waktu, Kiyomori memerintah kepala pekerjanya untuk melakukan pengukuran kedalaman air di sekitar Semenanjung Owada dan mulut sungai. Ketika hujan menghalangi mereka untuk keluar, Kiyomori memerintahkan pemetaan desa-desa di sekitar tempat itu, kemudian menghabiskan malamnya untuk mencermati peta-peta yang telah dibuat, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Kendati dirinya sendiri tidak kenal lelah, Kiyomori menyedot tenaga anak-anak buahnya dengan mengajak mereka berunding hingga larut malam. Kemudian, setelah semua orang tidur, dia mendadak duduk tegak di kasurnya, menyalakan lentera, dan melanjutkan mempelajari peta hingga fajar menyingsing.

“Saya bertanya-tanya, apakah bijaksana jika kita tinggal di sini lebih lama? Bagaimana pendapat orang-orang di ibu kota ketika mengetahui tentang hal ini?” tanya Bamboku pada suatu hari.

Kiyomori menggeleng. “Aku tidak tahu. Mereka mengira kita sedang melakukan perjalanan ziarah ke Itsuku-shima.”

“Jika memang begitu adanya. Tuan, biarkanlah saya tinggal di sini untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada. Saya akan mengikuti rencana Anda untuk memeriksa

Page 690: The Heike Story

wilayah di sekitar sini, memastikan kecukupan pasokan air, dan menyelidiki kemungkinan pembangunan jalan.”

Mengikuti saran Bamboku, Kiyomori meninggalkan beberapa orang pekerja ahli di sana dan meneruskan perjalanan ke Itsuku-shima melalui laut Selama berhari-hari, dia mengisi paru-parunya dengan udara segar yang tanpa henti bertiup dari samudra biru. Bersama banyaknya pulau yang mereka lewati di sepanjang Laut Dalam, angan-angan Kiyomori semakin melambung dengan bebasnya, dan dia berseru, “Ah, begitu sesaknya ibu kota! Ada terlalu banyak orang hebat yang menjejali liang sempit itu! Rumah masa depanku akan dibangun dengan pemandangan laut ini. Kalian akan melihat sendiri pencapaian-pencapaian hebatku di laut!”

Pada suatu hari, garis pantai Itsuku-shima akhirnya terlihat, meliuk-liuk diterpa ombak.

Para pendeta dan perawan kuil segera berdatangan ke pantai untuk menyambut Kiyomori. Setelah berlabuh, Kiyomori segera mendapati bahwa kuil dan tempat-tempat pemujaan yang ada di sana telah hampir runtuh; angin lautlah penyebabnya, namun pepohonan pinus yang berdiri di sepanjang pantai tetap menawan.

Kiyomori dan rombongannya beristirahat di sebuah penginapan di dekat pantai, dan keesokan harinya, dia memulai peribadatannya pekan itu.

Selama Kiyomori tinggal di pulau itu, tak terhitung banyaknya tamu dari daratan telah berperahu ke sana untuk menyampaikan penghormatan kepadanya, yang ketenarannya telah tersiar ke seluruh negeri. Para samurai uzur yang pernah mengabdi kepada kakek Kiyomori datang, begitu pula para samurai yang hendak mengenang almarhum Tadamori; para prajurit yang pernah mengabdi

Page 691: The Heike Story

kepada Kiyomori di masa lalu juga berdatangan untuk menjumpainya sekali lagi.

“Saya merasa seperti sedang pulang kampung,” kata Kiyomori kepada para tamu yang menghadiri perjamuan untuknya. “Tempat ini terasa bagaikan kampung halaman bagiku sehingga saya tidak ingin lagi pulang ke ibu kota.”

Kiyomori tinggal selama dua minggu di sana, dan dia telah mengungkapkan rencananya kepada kepala pendeta di Itsuku-shima. Rencana-rencana itu sungguh besar ... saking hebatnya, sang kepala pendeta hanya sanggup mendengarkan dengan takjub. Kiyomori adalah seorang samurai, yang berkedudukan setara dengan seorang penasihat di Istana, masih berusia empat puluhan ... namun kata-katanya menunjukkan pandangan yang sangat luar biasa! Mengenai hal ini, Kiyomori berkata:

“Kami tidak mungkin meninggalkan pulau yang permai ini dalam keadaan penuh reruntuhan. Saya ingin melihat ... dan saya tidak bisa mengatakan kepada Anda secepat apa ini akan terjadi ... pesisir dan perbukitan dengan keindahan alaminya ini bersinar lebih cemerlang daripada Kyoto. Sebuah gerbang lengkung yang belum pernah dibayangkan oleh siapa pun akan didirikan, menyambut setiap orang yang merapat ke Itsuku-shima dari laut, dan siapa pun yang akan beribadah di sini akan masuk melalui gerbang yang indah. Tempat pemujaan utama dan bangunan-bangunan di sekitarnya akan dihubungkan oleh lorong-lorong lebar, menjulang tinggi di atas laut, dan gelombang pasang dan surut akan menjadikan pemandangan semakin indah. Pada malam hari, seratus buah lentera batu akan dinyalakan dan cahaya cemerlangnya akan menyapu gelombang, menjadikan pulau ini semakin menawan. Aula peribadatan utama akan cukup luas untuk menampung ribuan jemaat; menara-menara dan pagoda-pagoda bertingkat lima akan

Page 692: The Heike Story

menjulang melampaui hutan pinus di kaki perbukitan. Tempat pemujaan dan menara-menara itu, yang berdiri dengan latar belakang perbukitan, akan mempercantik pulau ini …”

Dengan semangat menggelora berkat gambaran yang dilukisnya sendiri, Kiyomori melanjutkan, “Ini tidak akan dilakukan untuk kepuasan saya semata, tetapi juga untuk semua orang yang khusus datang dari ibu kota demi menyaksikan pemandangan indah di sini. Mereka yang berlayar melewati tempat ini dari negeri nun jauh di sana ... dari Cina ... akan berkata, ‘Lihatlah, ini Jepang, tempat pulau terkecil dan terpencil sekalipun dibangun dengan indah!’ Mereka boleh saja mengatakan bahwa kita meniru bangunan mereka, namun keindahan pepohonan pinus dan pasir putih di pantai, yang berubah-ubah mengikuti musim, adalah keunikan tempat ini. Dan apabila mereka menjauh dari laut, karya seni agung kita yang tidak lekang oleh masa akan terbentang di hadapan mereka ... dari era Asuka, Nara, dan Heian …. Dan apabila kapal mereka berlabuh di Owada, saya akan menerima mereka di rumah saya. Owada? Mungkin butuh waktu lama, namun saya berniat untuk mendirikan sebuah pelabuhan besar di sana, yang terlindung dari angin dan ombak. Dan setelah rumah pembangunan peristirahatan saya di Fu ku hara selesai, saya akan datang kemari untuk beribadah setiap bulan, menggunakan kapal yang semegah kapal Cina …”

Bagi para pendengarnya, ucapan Kiyomori hanyalah omongan muluk-muluk, ocehan orang gila ... sebuah mimpi yang mustahil terwujud. Tetapi, semangat Kiyomori mengingatkan mereka pada laut, dan mereka dengan bangga mengatakan bahwa Kiyomori adalah salah seorang dari mereka.

Page 693: The Heike Story

Ketika Kiyomori hendak pulang, mereka membanjirinya dengan hadiah ... harta benda yang tak ternilai harganya dari Cina ... dupa, kayu cendana yang harum, pakaian, kain sutra, kain brokat berat, lukisan, barang pecah belah, berbagai macam kerajinan tangan, dan obat-obatan. Tidak semuanya berasal dari Cina, karena sebagian di antaranya berasal dari sejumlah negeri yang berbatasan dengan Laut Mediterania di sebelah timur, yang dikirim menggunakan karavan dari Arab dan Teluk Persia.

Pemandangan, wewangian, dan berbagai macam barang eksotis yang ada di hadapannya menjadikan Kiyomori semakin tidak sabar. “Tunggu, tunggulah hingga pelabuhan di Owada selesai dibangun,” dia terdengar berkali-kali mengatakan itu. Kendati begitu, hari itu mendekatinya dengan sangat lambat, bagaikan bayangan yang merayap perlahan di bawah jam matahari.

Di Owada, Kiyomori sekali lagi bertandang sebelum kembali ke Kyoto untuk menemui Bamboku, dan pada bulan September, setelah pergi selama satu setengah bulan, dia tiba kembali di ibu kota.

o0odwkzo0o

Ada sesuatu yang salah. Kiyomori langsung menyadarinya begitu dia memasuki gerbang Rokuhara.

Putra sulungngnya, Shigemori, salah satu orang pertama yang menyambutnya, mengatakan, “Paman bedebah itu telah melakukan kesalahan serius selama Ayah pergi, namun Ayah sebaiknya mendengar sendiri ceritanya dari Yorimori.”

Kiyomori mengernyitkan keningnya dengan kesal mendengar nada yang digunakan oleh putranya untuk membicarakan Tokitada. Tingkah Tokitada memang kerap dianggap serampangan oleh Shigemori yang berpikiran

Page 694: The Heike Story

serius, namun Kiyomori jauh lebih menyukai keliaran dan keteledoran Tokitada daripada kelurusan putranya. Jantungnya, bagaimanapun, berdegup lebih kencang ketika dia mendengar pemberitahuan Shigemori.

“Ada apa? Apakah dia menyeret Yorimori untuk bertingkah memalukan?”

“Ada sesuatu yang lebih serius daripada biasanya. Paman terlibat di dalam sebuah persekongkolan yang bisa menggoyahkan pemerintah.”

“Aku tidak percaya dia bahwa dia bisa bersekongkol untuk menggulingkan Kaisar.”

“Tidak, tapi akan sulit bagi Yang Mulia untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang lain.”

“… Baiklah, kita akan menunggu. Aku akan berbicara lagi denganmu nanti,” kata Kiyomori, meninggalkan Shigemori.

Setelah menemui sejumlah penghuni rumahnya dan mendengar bagaimana mereka merampungkan tugas mereka selama kepergiannya, Kiyomori memasuki kamar istrinya dan mendapati Tokiko yang menatapnya dengan air mata berlinang.

“Aku tidak bisa mengampuni diriku sendiri atas apa yang telah terjadi …” isaknya, dan di antara sedu sedannya,Tokiko bercerita.

Selagi Kiyomori lama meninggalkan Rokuhara, dia mendengar, pergesekan tetap kerap muncul di antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Ada rumor yang mengatakan bahwa Tokitada dan Yorimori, keduanya pegawai di istana, bersekongkol untuk menempatkan putra Kaisar Kloister di singgasana. Desas-desus itu segera sampai di telinga Kaisar Nijo, dan sang penguasa yakin

Page 695: The Heike Story

bahwa bukan Tokitada melainkan ayahnyalah. Kaisar Kloister, yang menjadi dalang persekongkolan. Tetapi, beberapa waktu kemudian, Tokitada dan Yorimori diturunkan pangkatnya dan diasingkan.

Kiyomori menggerutu setelah mendengar cerita Tokiko. Tetapi, Tokiko melihat senyum tipis mengambang di bibir suaminya ketika dia menenangkannya, “Tidak ada alasan bagimu untuk menyalahkan dirimu. Kaisar Kloister memang telah merencanakan ini. Beliau tidak akan bisa dihentikan oleh Tokitada sekalipun. … Walaupun begitu. Tokitada terlalu gegabah dalam mengambil tindakan. Ada kemungkinan bahwa ketergesa-gesaannya untuk meraih sesuatu selama aku pergi memberikan alasan kepada Yang Mulia Kaisar untuk mencurigaiku, dan dengan begitu, aku pun mau tidak mau harus berpihak kepada Kaisar Kloister; itulah tujuan sesungguhnya dari Yang Mulia.”

“Tapi, apakah yang benar-benar terjadi menurutmu?”

“Jangan khawatir, aku sudah pulang sekarang,” Kiyomori meyakinkan Tokiko dengan ketenangannya dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Tokiko kecewa karena suaminya menolak untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, namun pikirannya sendiri mulai bekerja. Mungkinkah suami dan adiknya memang telah berencana untuk menggulingkan Putra Mahkota dan menggantikannya dengan sang pangeran muda, keponakan mereka sendiri? Apakah Kaisar Kloister turut mengetahui rahasia ini? Kemungkinan merisaukan ini menyiksa batin Tokiko. Ke manakah ambisi meledak-ledak para pria itu akan membawa mereka, pikirnya. Tetapi, apa pun pikiran yang ada di benak Kiyomori, Tokiko tahu bahwa suaminya, seperti pria lainnya, tidak akan membaginya kepadanya.

Segera setelah tiba kembali di ibu kota, Kiyomori langsung melapor ke Istana dan menghadap Kaisar Nijo.

Page 696: The Heike Story

Walaupun dirinya termasuk di antara beberapa orang kepercayaan kaisar muda itu, Kiyomori tidak sekali pun menyebut-nyebut tentang Kaisar Kloister, ayah Nijo, dan Nijo pun sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang Tokitada.

Keesokan harinya, Kiyomori menemui Kaisar Kloister. Di matanya, Mantan Kaisar Goshirakawa sepertinya diam-diam merasa puas berkat keberhasilan intrik terbaru, yang diyakininya terjadi karena andil Kiyomori. Tetapi, ketika mengakhiri ceritanya tentang perjalanannya ke Itsuku-shima, Kiyomori membungkuk dengan takzim dan mengatakan:

“Saya juga harus menceritakan bahwa ketika menyepi selama tujuh hari dan tujuh malam, saya mendapatkan wahyu yang turun melalui sebuah mimpi.”

“Sebuah mimpi?” ulang Goshirakawa, terkejut ketika mendengar nada serius yang digunakan oleh Kiyomori, yang biasanya tidak memercayai takhayul.

“Ya, saya yakin bahwa itu adalah pesan yang dikirim oleh para dewa. Saya mendengar deburan ombak dan sebuah suara yang berasal dari gumpalan awan lembayung di atas saya.”

“Sebuah pesan suci?”

“‘Kiyomori,’ katanya, ‘apabila kau sudah benar-benar menelaah masalah yang sedang kauhadapi, sebagai seorang abdi yang setia, katakanlah ini kepada pemimpinmu: hanya ada satu matahari di angkasa, namun di muka bumi ini. Istana Kekaisaran dan Istana Kloister memiliki dua orang pemimpin yang berbeda, dan keduanya menyatakan diri mereka sebagai penguasa tertinggi. Perselisihan seperti apakah yang akan menyusul, dan kemalangan apakah yang akan dirasakan oleh rakyat?’”

Page 697: The Heike Story

“Sebentar, Kiyomori, apakah itu kaudengar di dalam mimpimu?”

“Ya, di dalam mimpi. Saya seolah-olah sedang berada di dalam sebuah kereta wanita, mengarungi laut, dan, jika Anda percaya, sepasang rubah menarik kereta saya!”

Goshirakawa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Kiyomori ingin tertawa lebih nyaring, namun dia menahan diri dan melanjutkan berbicara dengan nada serius, “Itu adalah isi mimpi saya. Tapi, saya harus mengakui bahwa Tokiko lebih pintar dalam menafsirkan mimpi.”

“Aku memahami maksudmu, Kiyomori. Cukup ... cukup untuk saat mi

“Saya senang jika makna mimpi saya jelas bagi Anda,” kata Kiyomori, “namun izinkanlah saya menambahkan sepatah kalimat lagi. Semoga tumbuh kedamaian di antara ayah dan anak.”

Raut wajah Goshirakawa seketika berubah akibat kata-kata itu.

“… Ya, Kiyomori, aku akan mengambil hati perkataanmu. Kau tidak perlu cemas. Kaisar adalah putraku dan aku tidak memiliki alasan untuk membencinya”

Kendati begitu, tidak lama kemudian, pada bulan Oktober, Kaisar Nijo memerintah dua orang pejabat tinggi, orang-orang kesayangan Goshirakawa ... ayahnya ... untuk mengundurkan diri dari jabatan mereka. Dan, walaupun berbagai macam perkiraan dan desas-desus

telah beredar, Kaisar Nijo tidak pernah menjelaskan alasannya yang sesungguhnya. Anehnya, Goshirakawa, yang dalam keadaan wajar tidak akan tinggal diam, kali ini sama sekali tidak berkomentar.

Page 698: The Heike Story

Pada bulan Maret tahun berikutnya, Kaisar Nijo membebaskan Tsunemung si pejabat Istana, yang diasingkan oleh Goshirakawa seusai perang.

Pada 1165, tiga setengah tahun setelah perjalanan ziarah ke Itsuku-shima, Kiyomori masih larut dalam impiannya untuk menjadikan Owada sebuah kota pelabuhan besar dan pusat perdagangan dengan Cina. Kiyomori telah banyak berubah sepanjang waktu itu ... menjadi lebih dewasa. Setiap waktu luang yang dimilikinya dihabiskan untuk menyerap berbagai pengalaman Bamboku sebagai saudagar; dia tak henti-hentinya bertukar pendapat dengan Bamboku, mematangkan berbagai rencana, mengabdikan dirinya tanpa kenal lelah pada impiannya hingga dia bisa menarik kesimpulan bahwa yang dibutuhkan oleh Owada hanyalah sebuah pelabuhan yang bagus. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana aku akan menanggung biayanya seorang diri,” akunya kepada Bamboku. Jelas bagi Kiyomori bahwa dia tidak mungkin mengharapkan pertolongan dari Kaisar Kloister karena ambisi Goshirakawa tertuju ke tempat lain ... meraih kekuasaan mutlak. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan rencana besar ini kecuali dengan menyampaikannya kepada Kaisar Nijo. Dan, karena kedua penguasa tersebut sama-sama mengandalkan kekuatan militer darinya, Kiyomori menyambar kesempatan ini untuk menyampaikan dua buah permohonan kepada Nijo. Yang pertama, hak untuk menduduki wilayah Fukuhara di Owada, langsung dikabulkan. Yang kedua ... modal untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan di Owada ... diabaikan. Nijo dan para penasihatnya hanya menanggapi impian muluk-muluk Kiyomori dengan senyuman. Sebagai seorang samurai, seorang Heik6, memimpikan perdagangan dengan luar negeri adalah sesuatu yang konyol ... sebentang tanah untuk mendirikan rumah peristirahatan di Fukuhara masih bisa dipahami, namun …. Kendati begitu, tekad

Page 699: The Heike Story

Kiyomori tidak tergoyahkan dan bahkan tumbuh semakin besar.

Di luar pengetahuan Kiyomori, Kaisar Kloister diresahkan oleh desas-desus dari berbagai pihak. Dia mendengar bahwa bukan perdagangan yang menjadi sasaran Kiyomori melainkan pembangunan sebuah pusat militer di wilayah barat, tempat sepasukan kapal perang akan dilabuhkan di Owada, di dekat daerah yang dihuni oleh banyak anggota klan Heike.

Pada tahun yang sama, selama puncak musim panas di bulan Juli, Kaisar Nijo, sang penguasa muda yang telah lama sakit parah, mendadak wafat, dan sebuah upacara pemakaman kekaisaran diselenggarakan pada malam tanggal 27 di Kuil Koryuji, di wilayah utara ibu kota.

o0odwkzo0o

Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR Guruh bersahut-sahutan di kejauhan selama beberapa

waktu, dan rerumputan tampak layu akibat lama terpapar sinar matahari yang terik. Walaupun udara sangat panas, masyarakat berbaris dari ibu kota dan bahkan dari wilayah Kinugasa yang jauh untuk mengiringi kereta jenazah Kaisar Nijo.

“Kurasa kita akan kehujanan, Yomogi.”

“Tidak adakah pohon yang bisa kita jadikan sebagai tempat berteduh? ... Oh, lihat, orang-orang mulai bubar!”

“Ada sebuah kuil di dekat hutan kecil itu.”

Asatori dan Yomogi bergegas berlari ke bawah naungan atap kuil tersebut, yang telah didatangi oleh banyak orang lain.

Page 700: The Heike Story

Empat tahun telah berlalu sejak Yomogi, menentang nasihat Asatori, meninggalkan Tokiwa. Sebelum Asatori menyadari apa yang terjadi, Yomogi telah tinggal bersamanya sebagai istrinya, dan dia pun berangsur-angsur bisa menerima keadaan ini dan terbiasa dengan perannya sebagai seorang suami.

“Oh, aku takut sekali!” Yomogi gemetar dan berpegangan erat-erat ke lengan Asatori setiap kali mendengar guruh menggelegar.

Mereka mendengar bahwa kereta jenazah Yang Mulia akan tiba di kuil di Bukit Funaoka malam itu.

Di tengah kemuraman sore itu, cahaya terang benderang menerangi langit ketika petir menyambar membelah awan tebal yang menaungi Bukit Funaoka, dan semua orang terpana seolah-olah pemandangan mengagetkan itu adalah sebuah pertanda.

“Hei, kalian, menyingkirlah dari sini sekarang juga! Kami akan menggunakan tempat ini senja nanti,” dua puluh orang penunggang kuda, yang baru saja memasuki kompleks kuil, memerintah dan mengusir orang-orang yang berteduh di sana. Segera setelah mendengar bahwa para penunggang kuda itu adalah samurai dari Rokuhara, kerumunan orang segera bubar dan pindah ke bangunan kuil yang lebih kecil.

Dari arah barat, awan gelap berarak bersama dengan kedatangan malam, dan hujan deras pun mulai membasahi pepohonan.

“Lihat, masih ada beberapa orang yang berada di wilayah kuil. Usir mereka!” perintah seorang prajurit muda, menoleh dari atas kudanya. Sekelompok pria dan wanita tengah berjongkok di bawah tenda darurat di dekat sebuah pilar. Beberapa orang prajurit menghampiri mereka dan

Page 701: The Heike Story

dengan tegas merenggut secara paksa tenda darurat mereka sambil mengulang-ulang perintah agar mereka segera pergi.

Empat atau lima orang wanita berpakaian indah dan seorang pelayan cepat-cepat berdiri melindungi seorang wanita tua yang tergeletak diam di atas sehelai tikar jerami.

“… Ada yang sakit?” tanya seorang samurai muda dengan lembut seraya turun dari kudanya. Dia membungkam teman-temannya yang tidak sabaran dan menghampiri orang-orang itu.

Si pelayan menjawab dengan ketakutan, “Ya, udara hari ini terlalu panas untuk nyonya kami, dan beliau pingsan di jalan. Kami membawa beliau kemari dan berusaha membuatnya siuman. Kami akan membawa beliau pergi jika Anda mau memberikan sedikit waktu.”

“Tidak, tunggu, majikanmu sepertinya kesakitan. Tinggallah di sini lebih lama hingga keadaan beliau membaik.”

“Tuan, apakah Anda serius?”

“Tentu saja, jangan sampai beliau kehujanan …. Mungkin aku juga punya obat untuknya. Di sini,” kata si samurai muda, merogoh-rogoh kimononya dan memandang mereka kembali dengan wajah kecewa, “apakah ada di antara kalian yang membawa obat? Dari manakah asal kalian?” akhirnya dia bertanya.

“Kami dari pusat hiburan di Horikawa?”

“Geisha?” tanya si prajurit, menatap para wanita di hadapannya. “Apakah kalian berjalan sejauh ini demi menghadiri upacara pemakaman?”

“Ya …” jawab salah seorang wanita yang lebih tua, “nyonya kami, Toji, bersikeras untuk memberikan

Page 702: The Heike Story

penghormatan terakhir, namun justru inilah yang terjadi. Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan sekarang.”

“Aku akan mencarikan gerobak untuk kalian. Kalian sebaiknya membawa nyonya kalian pulang.”

Seorang prajurit diperintahkan untuk mencari sebuah gerobak. Sementara itu, wanita tua yang berbaring di bawah tenda darurat kejang-kejang kesakitan.

Asatori, yang menyaksikan seluruh kejadian itu dari kejauhan, tidak sanggup lagi menahan diri melihat penderitaan si wanita tua. Dia pun kembali ke gerbang, memeriksa keadaan si wanita, dan berlari kembali menemui Yomogi. “Yomogi ... ”

“Ada apa?”

“Aku ingin melakukan sesuatu untuk wanita yang sakit itu.”

“Jangan, ada banyak prajurit Heike di sana.”

“Apa hubungannya? Aku harus menolong wanita itu.”

“Ya, tapi apakah kau melihat pria pelayan muda yang berdiri di sebelah kanan para geisha itu?” tanya Yomogi.

“Ya, dia datang bersama wanita yang sakit itu.”

“Aku tahu,” lanjut Yomogi, “tapi, apa kau tidak mengenali dia?”

“Mengapa?”

“Yah, dialah alasanku melarangmu kembali ke sana. Sulit bagiku untuk memercayai penglihatanku. Karena yakin bahwa dia akan terkejut ketika melihatku, aku memilih untuk menunggu di bawah pohon ini.”

“Pelayan itu? Ada apa dengannya, dia hanya seorang pelayan biasa.”

Page 703: The Heike Story

“Dia adalah mantan pelayan Tuan Yoshitomo ... Konno-maru.”

Asatori terkejut. “Apa! Konno-maru ... diaV’

“Sekarang kau mengenalinya, bukan? Dialah pelayan yang hendak ditangkap oleh para prajurit Heik6 setelah Perang Heiji berakhir”

“Aku yakin kau salah, Yomogi.”

“Tidak, aku tak pernah salah mengenali orang. Aku sering melihatnya ketika dia secara diam-diam menemui nyonyaku di rumah peristirahatan di Mibu.”

“Sungguh aneh jika dia bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah tempat hiburan!”

“Aku juga tidak mengerti mengapa dia mau melakukan itu, tapi para prajurit Heik6 tidak akan menduga bahwa dia adalah Konno-maru. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika mereka menyadarinya!”

“Aku sama sekali tidak tertarik untuk membayangkannya. Aku bukan seorang Genji maupun Heike, jadi tidak ada yang membuatku khawatir sekarang. Tapi, aku adalah seorang tabib dan naluriku terusik jika aku tidak melakukan sesuatu untuk menolong wanita itu.”

“Haruskah kau mengobatinya?”

“Penyakitnya tidak parah, dia hanya kepanasan. Hanya butuh waktu singkat untuk mengobatinya. Tidak akan ada yang mengenaliku di sana. Tidak apa-apa jika aku pergi sendiri. Lebih baik kau menunggu di sini, Yomogi.”

Asatori kembali menghampiri gerbang kuil. Ketika mendengarnya mendekat, orang-orang yang mengerumuni wanita sakit itu melontarkan tatapan curiga, namun tampang ramah dan pengakuannya bahwa dia adalah

Page 704: The Heike Story

seorang tabib segera menyingkirkan keraguan mereka. Si samurai muda pun mempersilakannya memeriksa si sakit. Setelah beberapa saat mengamati si sakit tanpa berkata-kata, Asatori akhirnya memeriksa denyut nadinya, meraba-raba tubuhnya, lalu memulai perawatan; dengan lihai, dia menusukkan jarum ke berbagai bagian tubuh wanita itu; kemudian, dia menuangkan beberapa butir pil ke telapak tangannya dan menoleh ke arah para geisha yang memerhatikannya, “Salah satu dari kalian, ambillah pil-pil ini, lalu kunyah dan jejalkan ke mulutnya,” katanya. Si pelayan memberikan isyarat kepada para geisha, yang langsung mundur. Kemudian, salah seorang dari mereka mendorong temannya yang lebih muda ke arah Asatori, mengatakan, “Giwo, kaulah yang sebaiknya melakukannya. Toji selalu menganggapmu sebagai putrinya sendiri, dan kau adalah kesayangannya.”

“… Kalau memang ini yang kalian semua inginkan,” jawab Giwo, gadis muda itu. Dia cepat-cepat melepas ikatan topi lebarnya dan meletakkan benda itu di sampingnya Kemudian, dia duduk di sebelah Asatori dan mengulurkan tangannya yang ramping dan berkulit mulus. Mengangkat telapak tangannya untuk menerima beberapa butir pil berwarna putih, Giwo mendadak menjerit

“Kau!”

“Asuka! Benarkah ini dirimu?”

Butiran-butiran pil mungil itu berjatuhan dari sela-sela jemari gadis itu.

“Astaga, itu tidak boleh dipakai lagi!” seru Asatori. Khawatir yang lain mendengarnya, dia cepat-cepat menuangkan beberapa butir pil lagi dari pundi-pundi obatnya dan mengatakan, “Nah, berikan ini kepadanya

Page 705: The Heike Story

sekarang juga …. Buka mulutnya ... sekarang, beri beliau air.”

Sebuah gerobak sapi tiba tepat pada waktunya, dan si samurai muda menaiki kudanya lagi, memerintahkan kepada salah seorang anak buahnya untuk mengawasi mereka.

“Sekarang, angkat majikan kalian ke gerobak Perjalanan kalian mungkin tidak akan terlalu nyaman, tapi kalian semua, kecuali laki-laki ini, harus naik ke gerobak. Aku akan memeriksa majikan kalian sekali lagi. Dari rona wajahnya, keadaan beliau sepertinya sudah jauh lebih baik.”

Para geisha menoleh kepada prajurit yang mengawasi mereka dan mengatakan, “Kami beruntung sekali karena bertemu dengan samurai berhati mulia itu. Bisakah Anda memberitahukan namanya kepada kami?”

Si prajurit menjawab, “Beliau baru saja tiba di ibu kota dari Kumano. Namanya Tadanori, adik tiri Tuan Kiyomori dan seorang petugas di Kepolisian.”

Para geisha menatap sosok yang telah menghilang di kejauhan itu, menyebut namanya, “Adik tiri Tuan Kiyomori ... Tadanori?”

Sebelum bergiliran menaiki gerobak, para geisha hendak mengucapkan terima kasih kepada Asatori, namun tabib itu telah

Hujan deras turun sejenak kemudian, namun Tadanori, dengan baju zirah dan kuda basah kuyup, tetap mendaki Bukit Funaoka. Ketika dia tiba di kaki bukit, seorang petugas yang bertanggung jawab atas para pengawal di wilayah timur bukit, menegurnya dengan keras:

‘Tadanori, dari mana kamu?”

Page 706: The Heike Story

“Saya menyisir jalan yang akan dilalui oleh rombongan, seperti perintah Anda.”

“Bagus, tapi bagaimana dengan anak-anak buahmu?”

“Kami bertemu dengan seorang wanita tua yang jatuh sakit di jalan dan saya menyuruh mereka mencarikan gerobak untuknya. Mereka akan tiba sebentar lagi, Tuan.”

“Kudengar jalanan dipenuhi orang, tapi kau tidak bertugas merawat orang sakit Biarkan orang-orang itu mengurus diri mereka masing-masing.”

“Ya, Tuan.”

Tadanori menerima teguran itu tanpa banyak berkata-kata, malu karena sifat kampungan dan kekurangan pengalamannya. Baru beberapa minggu berlalu sejak dia mendampingi Kiyomori, saudara titinya, dari Kumano. Segera setelah tiba di ibu kota, Tadanori diberi jabatan terendah di Kepolisian. Petugas yang baru saja menegurnya adalah Norimori, adik bungsu Kiyomori. Upacara pemakaman ini adalah kesempatan pertama Tadanori untuk ambil bagian di dalam sebuah peristiwa penting, dan wajar saja jika dia ingin melakukan yang terbaik walaupun dia hanya membawahi beberapa orang samurai rendahan.

Langit segera cerah kembali dan sebentuk pelangi muncul, menghadirkan semangat baru di kalangan para petugas, yang bergegas merampungkan pekerjaan mereka selagi hari masih terang.

Kompleks makam kaisar terletak di Bukit Funaoka, tempat sebuah bilik batu telah disiapkan untuk menampung peti mati. Pagar kayu telah dipasang di kaki bukit, dengan Kuil Koryuji sebagai batasnya; di kompleks kuil tersebut terdapat paviliun-paviliun tertutup tirai yang disediakan untuk pengiring jenazah yang berkedudukan tinggi, para

Page 707: The Heike Story

pejabat kuil, dan para pemain musik sakral; bendera-bendera lambang duka cita terlihat di mana-mana dan di cabang-cabang “pohon keramat”.

Di sini, perwakilan-perwakilan dari biara besar dan kecil di Nara dan Gunung Hiei akan tiba dan menempati posisi mereka sesuai dengan kedudukan dan golongan masing-masing. Entah sejak kapan, biara Todaiji, ditetapkan oleh Istana sebagai biara yang berkedudukan tertinggi di antara ketujuh biara utama di Jepang, diikuti oleh biara Kofukuji dari Nara. Biara Enryakuji di Gunung

Hiei menduduku posisi ketiga, dan biara-biara lainnya berkedudukan di bawah ketiga biara tersebut.

Malam tiba; bintang-bintang berkilauan cemerlang di langit yang cerah, dan keheningan menyelimuti malam ketika iring-iringan panjang kereta jenazah perlahan-lahan mendaki bukit. Api-api unggun dinyalakan di berbagai bagian bukit tempat umbul-umbul, yang bergambar lambang matahari dan bulan, berkibar-kibar bagaikan naga dengan latar belakang langit. Tetapi, sebuah kericuhan mendadak memecahkan keheningan ketika para pendeta Kofukuji mendapati bahwa rekan-rekan mereka dari Enryakuji telah menempati posisi mereka di bukit. Luapan kemarahan membakar suasana dan obor-obor diayun-ayunkan dengan lagak mengancam ke arah para biksu Kofukuji, yang mengancam untuk membalas saingan mereka menggunakan pedang dan tombak. Kemudian, kepala biara mereka muncul, mencegah agar para pengikut mereka menghindari kekerasan. Dua orang petugas langsung diperintahkan untuk menuntut permintaan maaf dari pihak Enryakuji.

Laporan tentang pecahnya kericuhan segera didengar oleh Norimori, yang sedang berjaga-jaga di gerbang utama; dia langsung memerintahkan kepada para panglimanya

Page 708: The Heike Story

untuk mengikutinya dan mendatangi sumber keributan tersebut. Tadanori, yang mengikuti saudara tirinya, mendapati bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi kekacauan itu dan hanya sanggup berdiri dengan takjub di tengah para biksu yang sedang mengamuk.

‘Tadanori, mengapa kau tidak meredakan amukan para biksu itu!” seru Norimori, menunjuk ke arah sekelompok biksu Kofukuji.

“Yang itu atau yang di sana?” Tadanori balas berseru.

“Ya, yang itu ... jangan sampai mereka merangsek lebih jauh!”

“Dengan cara apa pun?”

“Kecuali menghunus pedangmu,” jawab Norimori dengan lantang, mendorong Tadanori untuk menerobos kerumunan biksu yang ditunjuknya.

Tadanori yang gagah perkasa, pemberani sejak lahir, dan telah ditempa oleh latihan berat sejak masa kanak-kanaknya di Kumano, menghadang biksu pertama yang menyerangnya dan mendorongnya ke arah biksu lainnya. Tadanori menangkis tombak dan membalas serangan lawan-lawannya, dan seorang demi seorang biksu berjatuhan.

Seseorang berseru, “Siapakah orang itu?”

“Dia bukan biksu …”

“Jika dia bukan salah satu dari kita, berarti dia seorang polisi atau Heik6!”

Para biksu gentar dan mundur melihat Tadanori menghajar teman-teman mereka seorang diri hingga Norimori membubarkan kerumunan dengan teriakannya:

“Bersikaplah yang tertib! Kereta jenazah telah tiba!”

Page 709: The Heike Story

Di kaki bukit, arak-arakan obor menandai mendekatnya kereta jenazah, dan para biksu yang semula bertikai mendadak diam; mereka yang terluka segera diangkut, dan jubah yang compang-camping segera dirapikan untuk menutupi baju zirah dan pedang panjang di bawahnya. Para biksu Enryakuji terlambat mengetahui bahwa saingan mereka telah menggusur mereka karena kereta jenazah telah tiba di kaki Bukit Funaoka bersama nyala obor yang cemerlang. Keheningan pun kembali menyelimuti tempat itu.

Diapit oleh para bangsawan dan pejabat tinggi istana yang berkimono putih, kereta jenazah itu melaju dengan lambat. Lilin yang terhitung banyaknya, api-api unggun, dan ribuan obor menerangi Bukit Funaoka, tempat gerbang-gerbang akhirnya dibuka untuk menerima jenazah sang kaisar.

Menjelang pagi, suasana kembali sunyi dan upacara berakhir. Api-api unggun mulai padam dan para pelayat pun berduyun-duyun menuruni bukit. Para samurai yang menunggang kuda, para bangsawan dan pejabat yang mengendarai tandu dan kereta, dan rakyat jelata yang berjalan kaki kembali membanjiri ibu kota.

Pertikaian yang pecah antara para biksu semalam, bagaimanapun, menghadirkan berbagai macam perkiraan dan gosip di antara orang-orang yang turun dari bukit, dan yang paling menggelitik benak mereka adalah pertanyaan mengenai kapan tepatnya perang antara Enryakuji dan Kofiikuji akan pecah. Telah beredar pula desas-desus bahwa Mantan Kaisar dan para penasihatnya sengaja mempertajam pertikaian antara kedua biara yang saling bersaing. Dan ketika rombongan pelayat pertama tiba di Kyoto, telah terdengar laporan bahwa Kaisar Kloister telah mengirim para duta untuk melakukan perundingan dengan

Page 710: The Heike Story

para biksu Enryakuji, yang menyambut mereka dengan persenjataan penuh di Sakamoto Barat.

o0odwkzo0o

Pada akhir musim panas itu, Kiyomori sekeluarga beserta sejumlah besar pelayan pindah dari Rokuhara ke rumah baru yang terletak di seberang Sungai Kamo, walaupun Kiyomori sendiri tetap tinggal di Rokuhara. Dia bahkan hanya tinggal selama sepuluh hari di rumahnya setelah upacara pemakaman kekaisaran, dan selebihnya tinggal di Istana untuk menghadiri berbagai macam acara yang menandai diangkatnya seorang penguasa baru.

Sang penguasa baru masih berusia dua tahun, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan kenegaraan harus ditangani oleh beberapa orang pejabat istana senior. Karena kawan lama dan tepercayanya. Perdana Menteri Koremichi, telah wafat, tanggung jawab untuk menjadi pimpinan dewan jatuh ke pundak Kiyomori. Sederetan wajah baru mengelilinginya, masih hijau dan tanpa pengalaman, dan Kiyomori hanya bisa menggeleng ketika memandang mereka. Beberapa putra mendiang Perdana Menteri menduduki berbagai jabatan kunci ... si bungsu, yang baru enam belas tahun, adalah Penjaga Stempel Rahasia. Tsunemun6, yang masih tampan walaupun nasibnya telah berubah, telah diangkat menjadi Menteri Golongan Kanan. Tidak ada yang berubah di Istana, pikir Kiyomori. Perdana Menteri, Penasihat Utama, dan para menteri ... semuanya anggota klan Fujiwara. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan hati atau mendekati tujuan utama Kaisar Kloister Goshirakawa daripada ini, pikir Kiyomori dengan ragu-ragu.

Walaupun hanya ditunjuk untuk menjadi Penasihat dan Jenderal Pengawal Golongan Kiri, Kiyomori memiliki wewenang yang besar dan keberatan untuk kekuasaan yang

Page 711: The Heike Story

besarnya tidak sesuai bagi samurai sekelas dirinya pun dengan cepat mereda. Tetapi, Kiyomori mendapati bahwa Istana dan kursi-kursi kepemerintahan di dalamnya kosong, dan dia berhadapan dengan dewan kekaisaran yang ditinggalkan oleh anggota-anggota utamanya. Perdana Menteri dan menteri-menterinya disibukkan oleh masalah-masalah di tempat lain ... di Istana Kloister, memenuhi kebutuhan Mantan Kaisar Goshirakawa.

“Penantian ini tidak akan berakhir,” akhirnya Kiyomori membatin. “Jika aku tinggal lebih lama di sini, aku harus menjadi Perdana Menteri …” Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, Kiyomori teringat pada Rokuhara dan bersiap-siap untuk pulang. Ketika meninggalkan Gedung Urusan Istana, dia mendongak ke langit. Musim gugur telah tiba! Kiyomori, yang telah terkurung begitu lama di Istana, terperangah ketika menghirup udara segar. Waktu dia melewati Pangkalan Pengawal, beberapa orang panglima menghormat kepadanya.

“Hendak pulang, Tuan?” mereka bertanya dengan tatapan lega.

“Tapi, ada apa ini ... mengapa kalian bersenjata lengkap?” jawab Kiyomori, menatap curiga kepada beberapa ratus prajurit bersenjata dari Rokuhara.

Tepat ketika itu, adiknya, Tsunemori, menghampiri keretanya. Dia menatap wajah letih Kiyomori dan berbisik, “Berarti kau belum mendengar, ya? Rumor itu telah tersebar di seluruh Istana dan aku yakin kau sudah mengetahuinya.”

“Mengetahui apa? Ada apa ini? Apakah sesuatu telah terjadi di Rokuhara?”

‘Tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini dan Rokuhara sudah dijaga dengan baik.”

Page 712: The Heike Story

“Apa yang terjadi?” Kiyomori bersikeras. “Mengapa kalian semua bersenjata lengkap?”

“Para biksu dari Gunung Hiei ... ”

“Apa yang mereka perbuat?”

“Ini masih desas-desus, tapi kami mendengar bahwa sikap Kaisar Kloister telah menghasut mereka. Kami hanya berjaga-jaga.”

“Apa? Apakah kau mengatakan bahwa Kaisar Kloister menghasut para biksu untuk melawan aku?” Kiyomori tertawa terbahak-bahak. “Omong kosong! Ini benar-benar omong kosong!” serunya, dan tanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Tsunemori, Kiyomori memerintahkan kepada penarik sapinya untuk terus berjalan.

Seperti halnya berbagai desas-desus senada, tidak seorang pun mengetahui dari mana asalnya. Sumbernya tidak pernah terungkap. Tetapi, sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota Kesatuan Pengawal Kekaisaran hanya dipilih dari kian Heik6, bahwa kelakuan buruk para prajurit Heik6 rendahan menimbulkan kebencian di mana-mana, bahwa Kiyomori sedang merencanakan sebuah proyek pembangunan besar-besaran, dan bahwa adik-adik dan putra-putra Kiyomori menduduki jabatan-jabatan penting di Istana. Berdasarkan hal-hal tersebut, wajar saja jika rakyat menyimpulkan bahwa Mantan Kaisar Goshirakawa ingin mematikan pengaruh Kiyomori yang semakin besar. Terlebih lagi, Goshirakawa sendiri akhir-akhir ini telah secara tidak langsung menyampaikan tentang pendapatnya mengenai perlunya perubahan dalam sistem pemilihan pengawal, dan sistim di Istana Kloister pun mendadak berubah. Goshirakawa memikat para pengikut

Page 713: The Heike Story

yang ambisius, berani menerima tantangan, dan sependapat dengannya di ranah intrik pribadi dan politik.

Berbagai rumor baru tersebar, menambahkan bumbu pada kabar-kabar burung sebelumnya; katanya, biksu-biksu Gunung Hiei telah mempersenjatai diri ... dua ribu orang ... di Sakamoto Barat,

ratusan orang di titik-titik strategis lainnya, dan bersiap-siap untuk menyerbu Rokuhara. Setiap kabar baru menambahkan keyakinan masyarakat bahwa perang akan segera pecah. Pergerakan para prajurit Heik6 memastikannya, karena garis pertahanan ulah dibentuk di sekeliling Rokuhara dan di sebelah barat Jembatan Gojo, termasuk di Jalan Kedelapan Barat

Sementara itu, Kiyomori tiba di Rokuhara. Ke mana pun dia melangkah, dia melihat prajurit-prajurit bersembunyi di balik tembok busur dan tameng. Dari keretanya, Kiyomori mengamati pemandangan itu dengan kesal.

Setelah mengundang anak-anak dan para panglimanya untuk menghadap kepadanya, Kiyomori bertanya kepada mereka semua:

“Siapakah yang memerintahkan semua ini?”

Karena tidak seorang pun menjawab, Kiyomori meledak, “Tidak adakah yang mau menjawab pertanyaanku? Siapakah yang memerintahkan penggalangan pasukan? Kau ... Munemori?”

“Tuan ... ”

“Motomori, apakah kau juga tidak mau menjawab?”

Ragu-ragu, Motomori menjawab, “Ini bukan perintah dari siapa pun, tapi karena kesibukan Ayah yang sangat tinggi di Istana, kami tidak sempat memohon nasihat dari

Page 714: The Heike Story

Ayah. Saudara-saudaraku dan Paman Tokitada memutuskan bahwa kita sebaiknya bersiap-siap untuk menangkal serangan pertama dari para biksu itu.”

Kiyomori mengangguk dengan penuh pengertian. “Aku tidak melihat Norimori,” mendadak dia berkata.

“Paman sedang berjaga-jaga di jalan raya utama. Apakah Ayah ingin memanggil beliau?” tanya salah seorang putranya.

“Ya, panggil dia,” jawab Kiyomori. Sembari menunggu adiknya, Kiyomori menanyai anak-anaknya seorang demi seorang.

“Apakah pendapat kakakmu Shigemori didengar dalam hal ini?”

“Ya.”

“Apa katanya?”

“Dia menasihati kami untuk terlebih dahulu meminta pendapat Ayah. Dia sepertinya berpikir bahwa pasukan harus dikerahkan hanya jika situasi menuntutnya.”

“Tepat seperti yang ada di dalam pikiranku. Dia pasti akan menggunakan otaknya untuk mengambil keputusan …”

Norimori baru tiba, dan Kiyomori langsung berpaling kepadanya:

“Norimori, aku mengerti bahwa terdapat kesalahpahaman di antara para biksu dari Enryakuji dan Kofukuji dalam upacara pemakaman kekaisaran di Funaoka. Kaulah yang bertanggung jawab memimpin para pengawal ketika itu. Bagaimanakah kau menyelesaikan urusan itu? Aku sudah mendengar laporan tentang kejadian

Page 715: The Heike Story

itu, namun aku menginginkanmu menyampaikan detail-detailnya.”

Kiyomori memicingkan mata dan mendengarkan baik-baik penjelasan adiknya.

“Tidak banyak detail yang bisa kusampaikan. Tadanori ada di sana ketika itu, dan aku menyuruhnya menertibkan para biksu Kofukuji sementara aku mengurus yang lainnya.”

“Tetapi, sebelum kejadian itu, apakah kau kebetulan menerima perintah dari dua orang penasihat yang dikirim ke sana oleh Kaisar Kloister?”

“Tersebar kabar bahwa itulah yang terjadi, tapi apa menurutmu aku akan mendengarkan mereka?”

“Itulah yang kuduga.”

“Ya. Semua orang sudah tahu bahwa Gunung Hiei selalu bertentangan dengan Heik6, dan aku tahu bahwa sudah dua atau tiga kali mereka mencoba mengadu domba klan kita dengan Kaisar Kloister. Kedua penasihat itu, bagaimanapun, mengatakan bahwa para biksu Enryakuji dari Gunung Hiei bersalah pada malam itu dan mendesakku untuk menindak tegas mereka, begitu pula para biksu Kofukuji ... mencelakai dan membunuh mereka jika perlu ... dan mengatakan bahwa mereka akan menutup-nutupinya dari Yang Mulia.”

“Lalu, apakah yang kaulakukan ketika itu?”

“Aku mendengarkan mereka, namun mengabaikan perintah mereka. Tadanori sudah memberikan hukuman yang setimpal kepada para biksu Kofukuji, tapi yang kulakukan hanyalah tetap berada di tengah, dan entah bagaimana, mereka tenang dengan sendirinya.”

Page 716: The Heike Story

“Kalau begitu. Gunung Hiei tidak berseberangan dengan kita, bukan?”

“Tidak ada alasan bagi mereka untuk berseberangan dengan kita.”

“Kalau begitu, apakah yang melandasi desas-desus meresahkan yang terdengar selama beberapa hari terakhir ini?”

“Aku curiga bahwa para penasihat Kaisar Kloister tengah berusaha mengadu domba para biksu Gunung Hiei dengan kita.”

“Bagus! Itu menjelaskan semuanya,” seru Kiyomori, tampak lega. Dia meminta agar alat-alat tulis disiapkan dan dengan cepat menulis sebuah surat pendek, lalu memanggil adik tirinya, yang duduk di sudut terjauh ruangan itu:

“Tadanori, wajahmu belum begitu dikenal di ibu kota, jadi kaulah yang paling cocok untuk mengerjakan tugas ini. Tanggalkanlah baju zirahmu ... bawa surat ini ke Gunung Hiei dan pastikan agar salah seorang dari ketiga kepala biara di sana menerimanya. Jawaban? … Kurasa kita tidak membutuhkannya. Tapi, sebaiknya kau berhati-hati ... para mata-mata dari Istana Kloister mungkin sedang mencarimu.”

Setelah Tadanori pergi membawa surat tersebut, semua orang di ruangan itu memandang Kiyomori, penasaran akan alasannya memulai surat-menyurat dengan para pemimpin Gunung Hiei.

“Kita sedang dirundung masalah sekarang,” kata Kiyomori, setengahnya kepada dirinya sendiri. “Ambilkan baju zirahku. Lebih baik aku mempersiapkan diri untuk yang terburuk.” Dia menambahkan sambil bangkit dengan

Page 717: The Heike Story

malas, “Sejujurnya, aku sudah lelah dan lebih siap untuk tidur daripada melakukan apa pun.”

Sembari mengenakan pelindung dada hitam dan mengencangkan tali-tali pelindung kakinya, Kiyomori menggumam,”… terlalu suka ikut campur. Orang-orang berjenis terburuk di sekelilingnya. Terlalu keras kepala untuk kebaikannya sendiri …. Seandainya saja dia mau berhenti ikut campur!”

Menjelang malam, terdengar laporan bahwa para biksu Gunung Hiei telah membanjiri ibu kota. Kiyomori mengerang. Apakah suratnya terlambat tiba di tangan para pemimpin Gunung Hiei? Tanpa menunda lebih lama, dia memerintahkan kepada putra-putranya untuk membawa pasukan ke Istana, menegaskan kepada mereka bahwa dia akan tetap tinggal dan memperkuat pertahanan Rokuhara.

Sementara itu, sisa-sisa prajurit Heik6 dan anggota Kepolisian, yang telah berjaga-jaga di Sakamoto Barat dan sepanjang sisi utara Sungai Kamo, tiba kembali senja itu di ibu kota dengan membawa kabar bahwa para biksu telah menghabisi pasukan Heik6. Seluruh ibu kota pun kacau balau seolah-olah baru saja dilanda gempa bumi. Kepanikan mendera seluruh rakyat, yang menantikan pecahnya pertikaian antara Kiyomori dan Mantan Kaisar. Tetapi, di tengah hiruk pikuk ini, sebuah kereta kekaisaran tampak melaju di Jalan Kelima, dan terus melintasi Jembatan Gojo menuju Rokuhara.

“Yang Mulia ... Kaisar Kloister ... ada di sini?” Kiyomori kebingungan ketika mendengar pengumuman itu, lalu buru-buru keluar untuk menemui tamunya.

“Kaukah itu, Kiyomori?” panggil Goshirakawa, menaikkan kerai keretanya dan tersenyum.”Tanganmu …. Bantu aku turun,” katanya, tetap ramah seperti biasanya.

Page 718: The Heike Story

Kiyomori menatap senyuman tulus yang tersungging di wajah Goshirakawa, lalu maju bagaikan seseorang yang berjalan dalam tidur untuk menolongnya turun dari kereta dan mempersilakannya memasuki rumah.

‘Tetapi, Yang Mulia, ada apakah ini? Apakah yang menyebabkan saya mendapatkan kehormatan berupa kunjungan dari Anda di malam yang telah selarut ini?” tanya Kiyomori dengan heran.

Kiyomori, yang telah terbiasa menghadapi situasi apa pun, benar-benar terperangah mendapati perubahan mendadak ini. Tetapi, Mantan Kaisar tetap tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi. Walaupun berusia lebih muda daripada dirinya, tatapan penuh wibawa sang mantan kaisar menunjukkan bahwa Kiyomori tidak akan bisa menundukkannya.

“Apakah aku mengejutkanmu, Kiyomori?”

‘Tentu saja. Yang Mulia.”

“Apa lagi yang bisa kulakukan? Seandainya desas-desus itu benar, pertumpahan darah tentunya sudah terjadi di mana-mana”

“Benarkah bahwa semua laporan itu hanyalah rumor?”

“Apakah kau masih meragukanku, Kiyomori? Bukankah aku datang kemari ... kepadamu?”

“Ya, benar,” Kiyomori menjawab dengan malu. Dan dia menyambut Yang Mulia dengan persenjataan lengkap. Apakah penilaiannya yang piciklah yang menyebabkan kesalahpahaman ini? Mantan Kaisar tetap memercayainya walaupun dia telah meragukan beliau. Kiyomori merasa tidak enak ketika memikirkan kemelut yang mau tidak mau telah menjerat Yang Mulia Kemudian, kesombongan

Page 719: The Heike Story

samurainya runtuh begitu saja, dan air matanya seketika merebak.

“Kiyomori ... air mata?”

“Air mata terharu, Yang Mulia.”

“Lucu sekali, Kiyomori! Kau bersenjata lengkap begitu pula para prajuritmu ... lalu kau meneteskan air mata!”

“Benar, memang lucu. Saya menertawakan diri saya sendiri karena telah bertindak bodoh.”

“Tidak apa-apa. Sebaiknya kita bersyukur karena kita tidak saling salah paham. Jangan tertipu oleh desas-desus murahan, Kiyomori. Yakinilah aku, percayalah kepadaku.” Bersama kata-kata itu, Goshirakawa meninggalkan Kiyomori, dikawal oleh pasukan dari Rokuhara.

Tidak lama setelah Mantan Kaisar pergi, putra sulung Kiyomori tiba. “Apakah Yang Mulia telah pergi?” tanyanya. “Aku baru saja mendengar mengenai kunjungan beliau dari adik-adikku.”

“Shigemori, kau tidak memakai baju zirahmu?”

“Tidak, dan tepat seperti yang kuduga dan telah kukatakan kepada yang lainnya ... bahwa Yang Mulia tidak memiliki niat untuk melawan Heik6.”

“Kau berpendapat begitu, ya? Aku masih ragu-ragu,” jawab Kiyomori.

“Mengapa Ayah ragu-ragu?”

“Semua ini tidak akan bisa saja terjadi tanpa dilandasi oleh niat dari Yang Mulia. Senyumnya menyembunyikan sesuatu. Aku yakin bahwa beliau diam-diam memiliki rencana untuk menjatuhkan Heik6.”

“Ayah …!”

Page 720: The Heike Story

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tukas Kiyomori.

“Itu mustahil, Ayah. Jangan berkata begitu! Jangan sampai Ayah melakukan sesuatu yang bisa menyulut kemarahan Yang Mulia kepada kita. Kuharap Ayah bisa mengabdi kepada beliau dengan kesetiaan yang lebih mendalam.”

“Oh, aku tidak perlu diingatkan tentang semua itu. Tapi, Shigemori, aku ragu-ragu bahwa kau memahami maksud dibalik sikap menawannya kepada kita. Aku tahu, dan itu menjadikan semuanya semakin berat bagiku.”

“Tidak, aku yakin bahwa jika Ayah mengabdikan diri dengan sepenuh hati kepada Yang Mulia, dewa-dewa akan melindungi Ayah.”

“Hati-hati,” tukas Kiyomori sambil tertawa, “jangan menceramahi ayahmu ... masalahnya tidak sesederhana itu, Shigemori. Kau, ibumu, dan semua orang telah teperdaya oleh pesonanya. Aku seoranglah yang bisa melihat dirinya yang sesungguhnya …. Ya, dan tidak masalah jika kalian tidak sependapat denganku.”

Tetapi, selagi mereka berbicara, api menjilat langit di atas Kuil Kiyomizu; api dengan cepat menyebar ke bangunan-bangunan di sekelilingnya, menyebarkan serpihan-serpihan terbakar ke Rokuhara. Di sana, para penghuni yang panik percaya bahwa para biksu Gunung Hiei berusaha membalas dendam pada Kofukuji dengan cara membakar kuil saingan mereka.

Di tengah huru-hara itu, Tadanori tiba dengan membawa sepucuk surat dari Kepala Biara Jisso ... sebuah pesan rahasia yang ditujukan kepada Kiyomori.

Page 721: The Heike Story

Pada malam tanggal 9 Agustus itu, ketika api masih melahap salah satu sisi Perbukitan Timur, beberapa ribu biksu bersenjata berbaris pulang ke Gunung Hiei.

o0odwkzo0o

Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN tersisa dari Kuil Kiyomizu, dari pagoda dan bangunan-

bangunan lainnya di kompleks kuil itu. hanyalah onggokan abu. Hari-hari terus berlalu, namun tidak seorang pun pendeta kembali untuk melihat reruntuhan ataupun berkabung bagi kehancuran tempat sakral mereka; hanya rakyat jelata ... pria dan wanita ... yang datang dan bersujud dengan wajah bersimbah air mata di antara tumpukan abu, memanjatkan doa-doa. Kendati begitu, di antara kerumunan orang-orang berduka itu, tampaklah seorang biksu muda ... masih berusia awal tiga puluhan ... yang bersujud dan berdoa dengan khusyuk. Jubah polosnya menunjukkan bahwa dia masih menuntut ilmu; kesederhanaan sosoknya menunjukkan kesan seseorang yang luluh lantak akibat kesedihan. Akhirnya, ketika dia meraih topi peziarahnya dan berdiri, orang-orang di sekelilingnya mengerumuni dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.

“Biksu yang terhormat, apakah kamu bukan pendeta dari Kuil Kiyomizu?”

“Bukan, aku datang dari Gunung Hiei,” jawabnya.

Semua mata tiba-tiba tertuju ke arahnya.”Gunung Hiei? … Tapi, tidakkah kamu takut terlihat di sini? ... Dari sebuah kuil di Gunung Hiei, katamu?”

Page 722: The Heike Story

“Dari Kurodani di sebelah barat. Memang betul bahwa aku berasal dari Gunung Hiei, namun tidak semua pendeta di sana brengsek. Pria yang menjadi guruku ... dan banyak pendeta lainnya ... mencari kebenaran di dalam kedamaian. Ada banyak orang yang seperti guruku, yang mencari pencerahan di dalam agama Buddha agar bisa berbagi cahaya kepada manusia yang sengsara.”

“Benarkah itu? Masih adakah orang-orang seperti itu di Gunung Hiei sekarang?” seru orang-orang di sekelilingnya dengan sangsi.

“Masih banyak, tapi bagaimana aku bisa berharap kalian akan memercayaiku setelah kalian melihat sendiri ribuan biksu bersenjata itu? Memang benar bahwa di lembah-lembah tersembunyi di kedalaman hutan Gunung Hiei, cahaya suci belum ternoda. Bagaimana mungkin kami, para pendeta, membiarkan api itu padam jika kalian, yang telah hidup dalam kesengsaraan setelah bertahan dari Perang Hogen dan Heiji belum melupakan cara untuk saling mencintai dan menenangkan?”

“Kata-katamu memberi kami harapan, namun jika ada banyak biksu yang sepertimu, mengapa mereka tidak turun kemari dan mengajarkan kepada kami cara untuk menjalani kehidupan?”

“Tetapi ... ” si biksu mengernyitkan wajah, menunjukkan kegalauannya yang mendalam. “Tetapi, tidakkah kalian, yang telah datang kemari dan berdoa di antara reruntuhan kuil, mendengarkan ajaran-ajaran para pendeta kalian di sini?”

“Pembohong, mereka semua pembohong! Kami tidak memercayai apa pun yang mereka katakan! Siapakah yang akan memercayai mereka setelah melihat reruntuhan ini? Mereka hanya memberikan kata-kata indah, sementara diri

Page 723: The Heike Story

mereka sendiri tidak lebih baik daripada pencuri, dan menipu kami adalah pekerjaan mereka! Bisakah kami memercayai mereka? Apakah kau heran karena kami membenci mereka?”

“Kalau begitu, kalian sudah putus asa dan tidak memercayai mereka?”

“Ya, dan karena itulah kami datang kemari dan memanjatkan doa di antara onggokan debu ini”

“Ah, kalau begitu, Buddha akhirnya telah turun di antara kalian! Percayalah kepadaku!”

“Cukup! Kami sudah tidak membutuhkan kata-kata hampa lagi!”

“Kalian benar. Kalian menyuarakan kebenaran …. Tetapi, walaupun patung suci telah lenyap dari dalam kuil ... hancur lebur menjadi abu, Kannon masih ada di sini.”

“Di mana ... di manakah kau melihat Kannon?”

“Di dalam setiap butiran abu itu, di sekelilingnya.”

“Bukankah debu tak lebih dari sekadar debu?”

“Ya.”

“Apakah yang bisa dilihat di situ?**

“Sosok suci tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.”

“Tunjukkanlah kepada kami ….Tidak, kau masih terlalu muda untuk itu. Adakah pendeta sungguhan yang bisa menunjukkan hal-hal gaib kepada kami saat kami masih bernyawa?”

“Ada. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa orang seperti itu tidak ada.”

Page 724: The Heike Story

“Di manakah dia? Di manakah pendeta ini?” orang-orang bersorak sorai ribut, terus mendesak si biksu muda.

“Ah ... tolong lepaskan aku,” si biksu memohon, melambaikan topinya dan menerobos kerumunan. “Aku sudah bicara terlalu banyak. Aku belum bisa bercerita tentang itu kepada kalian, tapi aku yakin bahwa orang seperti itu ada di muka bumi ini. Dia akan segera hadir di tengah kalian. Jika dia tidak hadir, maka ajaran Buddha memang palsu dan surga hanyalah sebuah kebohongan ... hakikat manusia dan seluruh perintah Buddha adalah omong kosong belaka. Jika memang itu yang terjadi, maka kalian akan memiliki alasan untuk berputus asa. Tidak, wacana dan cahaya kebenaran belum seluruhnya lenyap dari Gunung Hiei.”

Si biksu memakai topi lebar yang menyembunyikan wajahnya dan berlari menjauh dari kerumunan orang itu, berseru, “jangan putus asa ataupun kehilangan kepercayaan satu sama lain! Hiduplah dengan berani hingga dia datang!”

Kerumunan itu pun bubar dengan cepat karena banyak di antara orang-orang itu yang berlari mengejar si biksu; beberapa orang yang lain mengikutinya dengan teriakan-teriakan menghina. Sejenak kemudian, debu yang mengepul ke udara kembali berjatuhan ke tanah.

Seorang pendeta, yang baru saja tiba, menoleh ke arah sosok yang tengah berlari itu.

“Siapakah itu, Yasunori? Sepertinya aku pernah melihatnya sebelum ini,” kata Saiko, seorang bangsawan Fujiwara yang saat ini tengah menjadi sosok yang banyak diperbincangkan di Istana Kloister, menoleh ke seorang anggota Kepolisian yang mengawalnya. “Apakah kau mengenalinya?”

Page 725: The Heike Story

Petugas itu, Yasunori, segera menjawab, “Bukankah Anda pernah diperkenalkan kepadanya. Tuan, oleh kepala biara di Kuil Ninna-ji?”

“Ah, itu dia Kudengar dialah orang terpintar di sekte Tendai. Aku masih ingat penjelasan Kepala Biara tentang dirinya. Seorang biksu ... siapa namanya? ... yang tinggal di Kurodani di Gunung Hiei.”

“Dia pasti Honen.”

“Honen ... itu dia. Aku yakin dialah orangnya. Dia tidak pernah meninggalkan pertapaannya di Kurodani …. Entah apa yang membawanya turun kemari.”

“Penghancuran kuil ini banyak dibicarakan orang sehingga dia pasti penasaran dan tidak bisa menahan diri dari datang kemari untuk melihat reruntuhan ini.”

“Pasti itu alasannya,” kata Saiko, memandang ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak seorang pun mengenalinya.

Setelah memeriksa reruntuhan secara saksama, Saiko mengisyaratkan kepada seorang pelayan untuk menyiapkan kudanya, dan kembali ke Istana Kloister sesaat kemudian.

Istana Kloister selalu bermandikan cahaya pada malam hari karena akhir-akhir ini Goshirakawa terbiasa untuk mengundang empat atau lima orang pengikut yang disukainya untuk makan malam bersamanya. Saiko baru saja selesai berbicara. Goshirakawa, yang mendengarkan dengan cermat cerita tentang pendeta yang singgah di reruntuhan Kuil Kiyomizu siang itu, menoleh kepada Saiko dan mengatakan:

“Jadi, rakyat berduyun-duyun mendatangi reruntuhan itu dan berdoa di antara onggokan-onggokan debu, katamu? Lucu sekaligus menyentuh ... sesuatu harus segera

Page 726: The Heike Story

dilakukan untuk meredakan kemarahan para biksu Kofukuji agar kita bisa membangun kembali kuil itu …. Benar begitu,Toshitsune?”

“Benar, Yang Mulia,” jawab Toshitsune, seorang pejabat istana, sambil menundukkan kepala, tidak tahu lagi harus mengatakan apa karena baru beberapa hari sebelumnya, dia kembali dari Nara membawa kegundahan mendalam. Para biksu Kofukuji telah secara keras kepala mendesaknya untuk membuat kesepakatan dan menuntut agar para pemimpin Gunung Hiei dihukum sesegera mungkin. Goshirakawa hanya mengangguk-angguk ketika mendengar laporannya, tidak sedikit pun mengungkapkan pendapatnya. Tetapi, Toshitsun6 telah melihat sendiri bagaimana para biksu Kofukuji bersiap-siap untuk berperang. Dia juga punya alasan untuk meyakini bahwa Goshirakawa mengetahui bahwa para biksu itu akan segera memasuki ibu kota dengan membawa emblem suci mereka untuk menjarah dan membumihanguskan kuil-kuil yang berada di bawah perlindungan Gunung Hiei, juga bahwa Gunung Hiei tidak akan tinggal diam. Sementara itu, tidak ada pasukan tangguh di ibu kota yang akan menangkal serbuan para biksu ke Istana Kloister untuk mengintimidasi Goshirakawa. Sekarang tentunya adalah saat yang tepat untuk meminta dukungan dari Heik6. Tetapi, tidak ada yang tahu tentang keadaan hubungan antara Goshirakawa dan Kiyomori, karena walaupun kunjungan Mantan Kaisar ke Rokuhara rupanya telah menghapuskan keraguan Kiyomori, masih ada keraguan mengenai apa yang ada di dalam benaknya. Bagaimanapun, tanpa Kiyomori, mustahil untuk mengerahkan pasukan samurai guna menghalau para biksu.

Page 727: The Heike Story

Goshirakawa menoleh ke arah si pendeta, “Saiko, apa yang dikatakan penduduk ibu kota tentang rentetan peristiwa akhir-akhir ini?”

Saiko menelengkan kepala dan menunjukkan ekspresi serius. “Apakah yang ingin Yang Mulia ketahui?”

Goshirakawa menatap Saiko lekat-lekat. “Pada malam ketika Kuil Kiyomizo dilalap api, ada desas-desus yang beredar di seluruh ibu kota bahwa aku memberikan perintah rahasia untuk menyerang Heik6.”

“Begitulah.”

“Tetapi, itu konyol, Saiko; apakah pendapatmu tentang hal ini?”

Para tamu yang lain mendengarkan dengan saksama jawaban Saiko. Mereka baru saja mendengar sangkalan terhadap semua yang dituduhkan kepada Goshirakawa hingga saat ini. Tetapi, jawaban dari Saiko segera meluncur:

“Yang Mulia, manusia adalah kepanjangan lidah para dewa. Walaupun Yang Mulia enggan mengatakannya, rakyat bisa melihat sendiri betapa arogannya para Heik6 saat ini, dan rakyat telah berdoa kepada para dewa, bukan?”

Goshirakawa mengangguk mengiyakan, kemudian mendadak tertawa terbahak-bahak. “Cukup, Saiko! Kau telah memberiku cukup penjelasan!”

Segera setelah menyadari bahwa dia tidak bisa mengabaikan peran Kiyomori, Goshirakawa pun mengambil hatinya; adik kandung Kiyomori, Yorinori, dan adik iparnya, Tokitada, yang telah diasingkan dari Kyoto, cepat-cepat dipanggil kembali. Goshirakawa pun membiarkan saja ketenaran Kiyomori meningkat di Istana dan seluruh ibu kota.

Page 728: The Heike Story

Kiyomori, memimpin pasukannya, berangkat untuk melakukan perundingan bersama para biksu Kofukuji selagi mereka berbaris menuju Kyoto. Dalam satu atau dua hari, dia berhasil mengatur sebuah pertemuan antara para pemimpin Gunung Hiei dan Kofukuji, yang berujung pada penarikan pasukan Kofukuji ke Nara. Kecepatan perundingan itu mengherankan rakyat yang ketakutan dan menakjubkan para pengikut Goshirakawa. Bahkan setelah Saiko mendapatkan nama ketiga pemimpin yang paling berkuasa di Gunung Hiei, yang sebelumnya diketahui berseberangan dengan Heik6 namun baru-baru ini telah beberapa kali bertukar surat dengan Kiyomori ... tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana Kiyomori bisa mengenal mereka. Semua orang telah melupakan peristiwa yang terjadi pada suatu hari di musim panas, delapan belas tahun silam, ketika Kiyomori menantang para biksu Gunung Hiei di Gion, dan tidak ada yang tahu bahwa dia telah merebut hati beberapa orang berkat keberaniannya itu.

Setahun kemudian, pada 1166, Penasihat Utama Fujiwara Motozane, yang menikah dengan putri kedua Kiyomori, meninggal secara mendadak pada usia muda, dua puluh empat tahun. Setahun kemudian, Kiyomori ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri dan mendapatkan seluruh wewenang dan kehormatan yang menyertai jabatannya. Dia baru saja berulang tahun yang kelima puluh; rumah barunya di Jalan Kedelapan Barat telah selesai dibangun; seluruh kerja kerasnya, tampaknya, akhirnya membuahkan hasil. Tetapi, berbagai godaan baru terus-menerus muncul di hadapannya, tantangan demi tantangan, karena masa kejayaan Heik6 baru saja dimulai. Semua adik dan putranya, yang masih berusia tiga puluhan atau empat puluhan, telah menduduki jabatan penting di Istana dan pemerintahan. Namun, kekuasaan dan ketenaran begitu saja mendatangi Kiyomori tanpa bantuan

Page 729: The Heike Story

kekerasan maupun intrik; kedekatannya dengan kalangan berdarah biru bukanlah buah dari sebuah kesengajaan; baik putri maupun adik iparnya, Shigeko, dipersunting oleh bangsawan: putrinya oleh Mantan Perdana Menteri untuk putranya dan adik iparnya oleh Mantan Kaisar Goshirakawa.

o0odwkzo0o

Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA Klan Heike telah memasuki periode ketika pengaruh

mereka begitu besar, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa apa pun yang berhubungan dengan Heike tidak akan dipandang sebelah mata. Pada sekitar masa inilah beredar berbagai macam pergunjingan tentang Giwo di seluruh ibu kota.

Giwo, yang berasal dari salah satu daerah hiburan di Kyoto, adalah salah seorang geisha yang mengiringi nyonya mereka untuk menghadiri upacara pemakaman Kaisar Nijo di Bukit Funaoka. Pada hari itu, ketika Toji jatuh sakit lantaran terpapar sinar matahari, seorang samurai Heik6 muda jatuh kasihan kepadanya dan meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk membawanya pulang ke ibu kota. Toji pulih kembali dalam satu atau dua hari, dan pada suatu siang, sambil menyantap potongan melon dingin, dia mengobrolkan peristiwa hari itu dengan gadis-gadisnya.

“Ya, samurai itu baik sekali. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan seandainya dia tidak mencarikan kendaraan untuk kita.”

“Ya, Ibu, kami sangat panik ketika itu. Ibu berbaring kesakitan dan hujan mulai turun, sementara para prajurit hendak mengusir kita.”

Page 730: The Heike Story

“Seandainya samurai muda itu tidak ada di sana dan mengasiha-niku, kita semua akan celaka.”

“Kami akan harus menggendong Ibu hingga tiba di rumah. Aku yakin Ibu tidak akan sembuh secepat ini …. Dan samurai itu meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk membawa kita semua pulang! … Kita benar-benar harus melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan hatinya, Ibu.”

Toji telah memikirkan tentang hal itu selama beberapa waktu. Samurai muda itu, dia segera mengetahui, adalah adik Kiyomori yang bernama Tadanori. Seandainya dia bukan seorang Heik6, Toji tidak akan menunda-nunda begitu lama, namun firasatnya yang bagus mengatakan kepadanya bahwa seperti apa pun wujudnya, ungkapan terima kasihnya haruslah memberinya ikatan yang kuat dengan klan Heik6. Dia menanti hingga musim gugur tiba sebelum memanggil gadis kesayangannya, Giwo, dan mengatakan, “Kaulah orang yang paling tepat untuk bertandang ke Rokuhara sebagai kurirku dan menyampaikan ucapan terima kasihku kepada Yang Terhormat Tadanori.”

Wajah Giwo seketika merona. Dia mengiyakan perintah Toji, namun ekspresi cemas di wajahnya mendorong Toji untuk menambahkan, “Kau tidak perlu takut; aku sudah berbicara dengan Tuan Bamboku tentang ini, dan beliau berjanji untuk menemuimu di balik gerbang utama Rokuhara. Beliau akan memastikan bahwa kau bertemu dengan Tuan Tadanori yang terhormat…. Yang harus kaulakukan hanyalah naik ke kereta dan pergi ke sana.”

Giwo siap berangkat pada saat itu juga, namun Toji menahannya. ‘Tidak, tidak, jangan berpakaian seperti itu! Ingat, kau hendak pergi ke Rokuhara. Ini mungkin adalah kesempatan pertama sekaligus terakhirmu, dan kau harus

Page 731: The Heike Story

menunjukkan penampilan terbaik …. Nah, aku akan menolongmu berdandan.”

Toji sendirilah yang merias Giwo, membubuhkan berbagai warna ke wajahnya dengan saksama, hingga dia puas dengan hasil karyanya. Dengan kimono bernuansa biru muda, hiasan rambut emas, dan sebilah pedang perak yang tersemat di obi-nya, Giwo memasuki kereta perempuan yang telah menantinya. Kowaka, pelayan pria yang mengawalnya, mengenakan kimono baru yang sesuai dengan kesempatan ini dan berjalan di belakang keretanya.

Ketika keretanya melintasi Jembatan Gojo dan memasuki wilayah Rokuhara, Giwo merasakan jantungnya berdebar kencang akibat kebahagiaannya; dia merasa seperti seseorang yang kerasukan. Sejak hari ketika dia bertemu dengan samurai itu, dia tidak pernah berhenti memimpikannya. Bayangan mengenai pria itu, suaranya, dan wajahnya senantiasa menyertainya. Ketika memikirkan bahwa mereka akan segera bertemu, pipi Giwo langsung panas dan merona. Apakah yang akan dikatakannya? Bagaimanakah dia akan menjawab?

Kereta Giwo telah mendekati salah satu dari beberapa gerbang yang ada.

“Permisi ... ” Kowaka menyapa prajurit yang menjaga gerbang, “apakah Tuan Bamboku sudah datang?”

“Ah, maksudmu Hidung Merah, ya?” si prajurit meralatnya. “Kalau memang yang kaumaksud adalah Hidung Merah, pergilah ke gerbang di sebelah sana dan tengoklah pondok di sebelah kanannya. Aku baru saja melihatnya di sana.”

Kowaka membungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi ketika sebuah teriakan membuatnya menoleh.

Page 732: The Heike Story

“Tidak, tidak! Jangan ke sana! Bawalah keretamu ke situ!” Bamboku mengarahkannya dengan lambaian.

Kereta itu akhirnya berhenti di depan beranda, dan Giwo melangkah turun. Dia dengan ragu-ragu menghampiri seorang pelayan dan mengatakan:

“Namaku Giwo, dan aku dikirim kemari oleh nyonyaku, Toji dari Horikawa, untuk berterima kasih kepada Tuan Tadanori.”

Beberapa orang pelayan lainnya segera berkumpul di pintu masuk dan terpana menatap Giwo, hingga salah seorang dari mereka sadar dan bergegas menyampaikan pesan darinya.

“Hei, tunggulah di sini!” Bamboku mencegah si pelayan. “Majikanmu sudah menunggu kami. Kau tidak perlu memberi tahu beliau.

Aku sendirilah yang akan mengantarkan tamu kita ini kepada beliau.” Bamboku telah menaiki tangga. “Ayo, Giwo, lewat sini,” katanya.

Giwo berlalu melewati para pelayan yang menatapnya dengan takjub. Dia mengikuti Hidung Merah menyusuri koridor-koridor panjang dan melewati beberapa petak taman. Ketika mereka tiba di sebuah jembatan yang menghubungkan dua buah bilik, Giwo men-dengar langkah kaki yang dengan cepat mengejar mereka. Dua atau tiga orang pengawal terlihat dan menyuruh mereka menepi, ‘Tuan Kiyomori ... silakan menepi.”

Bamboku dan Giwo langsung menepi dan menunggu dengan rikuh. Gelak tawa yang nyaring terdengar oleh mereka; kemudian, Kiyomori muncul, tenggelam dalam pembicaraan bersama beberapa orang pejabat istana. Dia melontarkan tatapan tertarik ke arah Giwo ketika

Page 733: The Heike Story

melewatinya dan menoleh ke belakang sekali lagi sambil membisikkan pertanyaan kepada salah seorang teman bicaranya.

“Saya harap kami tidak mengganggu Anda, Tuan,” kata Hidung Merah setibanya dia dan Giwo di depan pintu bilik Tadanori.

“Kaukah itu, Bamboku?”

“Anda sedang sibuk membaca rupanya. Maafkan saya …”

“Tidak perlu minta maaf. Aku sedang melihat-lihat koleksi puisi yang katanya ditulis oleh ayahku, Tadamori, dan sangat senang ketika mendapati bahwa beliau ternyata memiliki bakat menulis puisi.”

“Begitulah yang saya dengar,” kata Bamboku, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada topik tersebut.

“Anda yakin saya tidak mengganggu? Sesungguhnya, saya kemari untuk hal yang sudah saya sebutkan tadi pagi. Toji dari Horikawa menitipkan pesan untuk Anda kepada salah seorang muridnya, yang tengah menunggu di ruang sebelah.”

“Oh? Ya, tentu saja, bawalah dia ke sini,” kata Tadanori, menyingkirkan bukunya dan memunggungi meja tulisnya. Dia mencuri pandang ke ruang sebelah.

Giwo, yang sedang menikmati suara Tadanori dengan pikiran melayang, menatap bingung ketika Hidung Merah menyibakkan tirai.

Tadanori menatap pemandangan luar biasa di hadapannya, kemudian menoleh kepada Bamboku untuk bertanya, ‘Tapi, Bamboku, siapakah dia?”

Page 734: The Heike Story

“Ini Giwo, seorang geisha murid Toji, yang telah menerima kebaikan hati Anda.”

“Tapi, dia berpakaian seperti laki-laki.”

“Seperti inilah para geisha di ibu kota berdandan ketika mereka menjadi penghibur di dalam berbagai acara perjamuan.”

Tadanori tergelak. “Aku ini memang kampungan sekali, ternyata.”

“Giwo, kau hendak berterima kasih kepada Tuan Tadanori, bukan?” Bamboku memberikan dorongan.

“Ya …. Saya ... nyonya saya, Toji, menitipkan salam hormat dan terima kasih yang mendalam.”

“Apakah dia sudah pulih sekarang?”

“Berkat Anda, beliau sudah sepenuhnya pulih.”

Seseorang terdengar memanggil Bamboku, kemudian seorang pelayan muncul. ‘Tuan Kiyomori ingin menemui Anda sekarang juga,” katanya.

Bamboku, yang tahu bahwa Kiyomori bisa menjadi sangat tidak sabaran, langsung mohon diri. “Tuan, maafkan saya ... saya akan secepatnya kembali kemari,” katanya, pada saat yang sama memikirkan masalah apa yang kali ini muncul menyangkut pembangunan di Fukuhara, karena di sanalah dia menghabiskan sebagian besar waktunya akhir-akhir ini.

Giwo pun bersiap-siap untuk berpamitan kepada Tadanori, yang tidak berupaya menahannya, namun Hidung Merah, mengabaikan Tadanori, menyuruh Giwo duduk kembali. “Ayolah, tinggallah lebih lama untuk mengobrol dengan tuan muda ini, karena beliau sepertinya menyukaimu. Aku akan kembali secepatnya.”

Page 735: The Heike Story

o0odwkzo0o

Hidung Merah mendengarkan Kiyomori dengan gelisah. Sepertinya Kiyomori akan menahannya di sini lebih lama daripada yang disangkanya. Kiyomori mencerocos tanpa henti dan dengan panjang lebar tanpa topik yang jelas. Sungguh sulit untuk menanyakan maksud Kiyomori memanggilnya tanpa membuatnya tersinggung, pikir Bamboku.

Tetapi, Kiyomori akhirnya menawarkan, “Anggur?” dan memerintah pelayan untuk menyiapkan meja.

“Terima kasih, Tuan, saya ... ”

Hidung Merah tidak sanggup lagi menyembunyikan kekesalannya. “Sejujurnya, Tuan …” dia mulai menjelaskan sambil mengetuk-ngetuk keningnya.

“Ada apa, Bamboku, kau sedang memikirkan hal lain?”

“Tepat, Tuan.”

“Bodoh! Apa kau mengira aku mau menebaknya? … Mengapa kau tidak langsung mengatakannya saja?”

“Bukan begitu, tapi saya meninggalkan seseorang bersama Tuan Tadanori.”

“Seseorang?”

“Betul.”

“Apa tepatnya yang kaumaksud dengan ‘seseorang*?”

“Sejujurnya, dia adalah seorang geisha dari Horikawa.”

Kiyomori terkekeh, lalu menyeringai. “Seorang geisha, katamu?”

Page 736: The Heike Story

Hidung Merah menepuk kening. Dirinya memang tolol! Dia seharusnya tahu sejak awal bahwa inilah tujuan dari pemanggilan dirinya.

“Anda mungkin melihatnya. Tuan, waktu Anda melewati kami?”

“Ya, aku melihatnya,” jawab Kiyomori. “Seseorang yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Siapakah namanya?”

“Giwo, Tuan.”

“Mengapa kau membawanya menemui Tadanori? Apakah adik kampunganku itu sudah mulai gemar keluar malam?”

“Justru sebaliknya ... ” Bamboku menyangkal dengan sikap berlebihan. lalu dengan runut menceritakan kejadian yang berujung pada kedatangan Giwo ke Rokuhara. Dia menekankan bahwa Giwo

adalah murid kesayangan Toji, baru tujuh belas tahun dan sangat berharga sehingga belum pernah ditampilkan di depan umum.

Ketika sake dan makanan disajikan, Bamboku sudah mengungkapkan banyak hal.

“Hidung Merah,” kata Kiyomori sebelum menyentuh sakenya. “Dia akan menjadi geisha yang berhasil. Bawalah dia kemari.”

“Eh, Tuan, maksud Anda Giwo?”

“Hmm ... Kiyomori mengangguk.

Satu per satu lampu dinyalakan di sepanjang lorong yang gelap, sementara Giwo menyaksikannya seolah-olah di dalam mimpi. Ini adalah negeri peri, pikirnya. Langit malam semakin kelam dan se-rangga-serangga berdering

Page 737: The Heike Story

lembut di antara rerumputan di taman. Seandainya saja ini bisa berlangsung selamanya, desahnya, hingga lampu-lampu itu mendadak mengingatkannya bahwa waktu pulang telah tiba. Apakah yang telah dibicarakannya bersama Tadanori? ... Hanya beberapa patah kata untuk menjawab pertanyaannya ... kata-kata yang dahulu tidak akan pernah bisa diucapkannya. Giwo duduk diam, memandang taman. Baru kali inilah dia melihat pemandangan seindah ini! Tidak, itu tidak benar ... dia pernah melihat pemandangan yang sama indahnya, lama berselang, ketika dia masih tinggal di Jalan Pedagang Sapi.

Namanya masih Asuka waktu itu ... seorang bocah biasa ... dan dia mencintai Asatori. Dia baru berusia tiga belas atau empat belas tahun dan belum bisa menyanggul rambutnya sendiri, dan dia memuja Asatori. Tetapi, seorang wanita lain datang untuk tinggal bersama Asatori dan menjadi istrinya, dan tidak lama kemudian, Asuka dijual kepada seorang mucikari di daerah hiburan. Kenangan mengenai cinta itu sudah luntur dari benaknya ketika dia tanpa diduga bertemu dengan Asatori di dekat Bukit Funaoka. Giwo melihat istri Asatori, dan setibanya di rumah, dia membenamkan wajahnya ke bantal dan menangis semalaman. Kemudian, perlahan-lahan, bayangan tentang Tadanori mulai menggusur kenangan tentang Asatori, hingga Giwo menyadari bahwa dirinya tengah jatuh cinta kepada samurai

muda yang tampan itu. Tidak pernah sekalipun dia memimpikan bahwa pertemuan kedua mereka akan berlangsung sesegera ini, seperti ini, dan tidak ada yang diinginkannya kecuali berdekatan dengan Tadanori.

Di tengah lamunannya, Giwo mendongak dan mendapati sebuah lentera telah menyala di dekatnya. Tadanori telah duduk kembali di balik meja tulisnya,

Page 738: The Heike Story

mencermati kumpulan puisi di dekat lampu baca yang terang benderang, mengabaikan Giwo.

“Anda pasti kesulitan melihat,” kata Giwo, mendorong lentera ke arah Tadanori.

“Oh, kau ternyata masih di sini?”

“Sebenarnya, saya hendak pulang …. Entah apa yang menahan Tuan Bamboku.”

“Ya, katanya dia akan menjemputmu.”

“Nyonya saya pasti khawatir, jadi saya sebaiknya berpamitan sekarang.”

“Sekarang? Kau bisa-bisa tersesat; aku akan menemanimu ke beranda.”

Tadanori tengah menunjukkan jaJan melewati serangkaian lorong, ketika keduanya tiba-tiba berpapasan dengan Bamboku. Dengan tatapan lega, Tadanori memasrahkan Giwo kepada Bamboku dan kembali ke biliknya.

“Lewat sini, Giwo, lewat sini.”

“Hari sudah gelap, jadi lebih baik saya pulang sekarang.”

‘Tuan Kiyomori ingin bertemu denganmu. Kemarilah.”

Giwo mendadak mundur. ‘Tapi ... ” protesnya. Dia berpegangan ke tiang dan menolak untuk mengikuti Bamboku. Sebuah lentera menyala di sudut ruangan, dan ketika melihat para pelayan bergegas melewati mereka, Giwo baru menyadari bahwa ini bukanlah jalan menuju beranda depan, tempat keretanya menanti.

“Kau tidak perlu cemas. Kalau kau terlambat, para prajurit akan mengawalmu sampai rumah. Kalau kaupikir Toji akan khawatir, seorang kurir akan langsung dikirim

Page 739: The Heike Story

untuk mengabarkan tentang keadaanmu kepadanya. Apa paun itu, kau tidak boleh menyinggung perasaan Tuan Kiyomori dengan menolak undangannya.”

Setelah membujuk, memarahi, dan memaksanya, Hidung Merah akhirnya berhasil mempertemukan Giwo dengan Kiyomori.

Kiyomori menuangkan sake untuk dirinya sendiri. Dari tempatnya duduk, tusuk konde emas dan kimono biru muda Giwo tampak berkilauan di bawah cahaya lentera. “Hidung Merah, lepaskanlah sanggul dan pedangnya; dia sepertinya tidak nyaman,” katanya.

“Giwo ... itukah namamu? Mendekatlah ... kemari ….Mengobrollah denganku sebentar. Apakah gosip terbaru di ibu kota?”

Hidung Merah menahan tawa ketika melihat kekikukan Kiyomori, ucapan konyolnya, dan wajahnya yang merah padam ... Kiyomori memang selalu canggung saat berhadapan dengan wanita. Kiyomori, yang mudah terpesona pada kecantikan dan rapuh, tidak pernah belajar untuk menutup-nutupi perasaannya. Ini bukan hal baru bagi Bamboku, karena dia telah melihat Kiyomori bersama Tokiwa dan setelah itu bersama sejumlah wanita lain, dan keadaannya selalu sama. Tetapi, Hidung masih bingung ketika memikirkan mengapa pengayomnya, yang memiliki kekuasaan besar dan berkedudukan begitu tinggi, sangat malu setiap kali berhadapan dengan wanita.

Kiyomori pernah mengakui, dalam keadaan mabuk, bahwa walaupun usianya telah matang, dia tidak pernah berhasil menghilangkan rasa enggan dan malu ketika seorang wanita memikatnya. Dia pernah dengan kesal bercerita bahwa kepolosan seorang perawan muda hanya akan membuatnya malu dan canggung. Bamboku akhirnya

Page 740: The Heike Story

menyimpulkan bahwa ini hanyalah cara Kiyomori untuk mengambil hati, karena apa lagikah yang bisa menjadi penjelasan bagi sikap Kiyomori terhadap Tokiwa? Tokiwa adalah seorang wanita yang sudah terluka, jadi alasan apakah yang dimiliki oleh Kiyomori untuk memperdalam lukanya? Jika memang benar, seperti pengakuan Kiyomori, bahwa dia malu saat berhadapan dengan wanita muda, maka seharusnya dia tidak tega untuk melukai wanita itu. Tetapi, tindakannya berlawanan dengan kata-katanya. Menurut Bamboku ada jejak kekejaman di dalam diri Kiyomori, yang selalu berusaha ditutup-tutupinya bahkan dari dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan wanita.

“Hidung Merah, kau tahu di mana Giwo tinggal, bukan? Kau juga mengenal nyonyanya?”

“Yi, tapi ... ”

“Salah satu tempat kesukaanmu?”

“Bukan begitu.”

“Tidak perlu menutup-nutupi apa-apa. Kau mau pergi ke sana untukku?”

“Ke mana, Tuan?”

“Ke rumah Toji dan mengatakan kepadanya bahwa Giwo akan tinggal di sini. Yakinkanlah Toji bahwa dia akan mendapatkan semua imbalan yang dimintanya, dalam bentuk emas maupun perak.”

Bamboku menjawab dengan enggan, “Anda menyuruh saya menyampaikan itu kepada Toji, Tuan?”

“Ya, pergilah sekarang,” perintah Kiyomori, melontarkan tatapan tajam ke arah Giwo yang ketakutan. Tanpa sanggul, gadis itu tampak jauh lebih muda dan polos, dan dia terisak-isak lirih, menggumamkan penolakan,

Page 741: The Heike Story

menunduk dalam-dalam ke lipatan-lipatan kimono biru mudanya.

Bamboku ragu-ragu. “Sekarang sudah larut malam. Tuan, jadi kapankah Anda bersedia menerima jawabannya?”

“Besok juga boleh,” jawab Kiyomori.

Bamboku membungkuk dan mohon diri, perlahan-lahan menutup pintu ganda di belakangnya. Menggunakan kereta perempuan, yang masih menunggu Giwo, dia menyuruh Kowaka si pelayan membawanya menemui Toji.

Kisah Giwo segera menjadi buah bibir seluruh penduduk ibu kota. Gadis itu berkunjung ke Rokuhara tanpa diundang, menaklukkan Kiyomori dalam pandangan pertama, dan sekarang tinggal di taman mawar! Dan orang-orang pun menebak-nebak tentang nasib orangtua Giwo, yang sebelumnya miskin papa.

Giwo, dalam kunjungan singkat pertamanya kepada orangtuanya, yang sekarang tinggal di sebuah rumah baru, mengendarai sebuah kereta baru, yang berkilauan dengan hiasan emas dan perak, dan dikawal oleh sepasukan samurai. Pemandangan semencolok itu tidak pernah ada sebelumnya di Jalan Juzenji, dan orang-orang segera berkerumun untuk melihat Giwo dan menunggunya dengan sabar hingga dia menampakkan diri. Ketika Giwo keluar, diantar ke gerbang oleh ayah dan ibunya, para penonton yang penasaran mengerubutinya untuk mengamati penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Giwo mengangkat lengan kimononya untuk menutupi wajah dan cepat-cepat memasuki keretanya, namun beberapa orang yang berada di dekatnya bisa melihat parasnya yang pucat dan murung, dan mereka heran mengapa gadis seberuntung itu bisa dirundung kesedihan.

Page 742: The Heike Story

Ryozen, ayah Giwo, yang kesehatannya telah pulih, tampak gemuk dan mentereng di dalam balutan kimono indahnya, segera dibanjiri tamu. Orang-orang itu menyanjung-nyanjungnya dan istrinya, mengagumi perabotan mewah dan pakaian mahal yang mereka lihat di mana-mana, dan menebak-nebak jumlah uang yang diberikan oleh Kiyomori kepada mereka setiap bulannya. Di antara para tamu tersebut tampaklah Ular, yang kerap datang untuk minum-minum bersama Ryozen.

“Nah, Ryozen,” Ular menekankan, “bukankah aku sudah membawakan keberuntungan untukmu?”

Ryozen menikmati sanjungan Ular dan, dengan suasana hati ceria, menjawabnya, “Ya, ini memang sama sekali tidak buruk. Dan, kalau Giwo melahirkan anak Tuan Kiyomori, maka aku pun akan dianggap sebagai kerabatnya. Aku yakin akan bisa mendapatkan jabatan di Rokuhara karenanya.”

Ryozen yang lugu, bagaimanapun, bukanlah tandingan Ular yang licik dan gemar menindas orang lain.

“Ya, Ryozen,” kata Ular, “jika bukan berkat aku, di manakah dirimu sekarang berada? Bukankah aku yang mengentaskanmu dari

Jalan Pedagang Sapi, waktu kalian kelaparan? Akulah yang membeli anakmu dan menjadikannya geisha, bukan? Kita sudah sangat dekat seperti saudara, ya? Memang, aku mungkin sesekali marah kepadamu, tapi itu karena aku selalu menginginkan yang terbaik untukmu.”

Ryozen jarang terlihat di rumahnya sekarang; dia berkeliaran ke sana kemari bersama Ular, yang membawanya berjudi, minum-minum, dan menghabiskan uang di tempat hiburan. Rumahnya, yang tadinya diselimuti kedamaian, kini menjadi ajang kekerasan rumah

Page 743: The Heike Story

tangga, karena istri Ryozen mendengar bahwa suaminya memiliki kekasih gelap di Jalan Keenam. Sang istri mencecar, “Ingatlah,” katanya dengan air mata merebak, “kehidupan yang nyaman ini kita dapatkan bukan karena dirimu, dan dengan menghambur-hamburkan uang kita, kau akan menjadi bahan tertawaan para tetangga. Terlebih lagi, bagaimanakah menurutmu perasaan Giwo, anak kita tersayang, jika melihatmu seperti ini?”

Pada sekitar waktu ini, orang-orang juga mulai membicarakan tentang geisha jelita bernama Hotok6 dari rumah lain di Horikawa. Hotok6 baru berumur enam belas tahun dan datang ke Kyoto ketika masih bocah dari Provinsi Kaga, tempat kelahirannya. Sebagai seorang geisha yang dididik untuk menjalani profesi ini sejak masa kanak-kanaknya, tarian dan nyanyiannya pun dikabarkan mengalahkan para penghibur terbaik di Istana sekalipun. Para penikmat hiburan di Kyoto, yang pernah melihat penampilannya, bersumpah bahwa kecantikannya setara dengan Giwo. Karena kemolekan Giwo sudah tersebar luas, nyonya Hotok6 merasa perlu menyombongkan kualitas muridnya yang mengalahkan Giwo, dan pada suatu hari memanggil Hotoke.

‘Tidak diragukan lagi, kau adalah penari terbaik di ibu kota, namun hanya pengunjung daerah hiburan di Kyoto yang pernah melihat penampilanmu. Jika kau bisa menarik perhatian Tuan Kiyomori, kau akan kaya raya. Seorang Giwo saja bisa diterima di Rokuhara, jadi kau pasti juga bisa. Berdandanlah seperti Giwo, dan kita akan melihat apakah kau bisa menyainginya.”

Hotoke langsung setuju karena dia lugu dan membanggakan keahliannya menari. Pikiran tentang apa yang akan diperolehnya tidak pernah terlintas di benaknya.

Page 744: The Heike Story

Pada awal musim gugur, sebuah kereta perempuan yang indah berhenti di depan gerbang jalan Kedelapan Barat, tempat Kiyomori, yang telah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sejak Februari, tinggal di sebuah kediaman yang semegah istana. Rumah-rumah megah berdiri di sepanjang jalan yang lebar itu ... rumah Nyonya Ariko di sini, rumah Tokiko di sana ... dan jalan-jalan kecil tempat para samurai tinggal bercabang dari sana. Perpaduan antara arsitektur gaya lama dan baru terlihat di seluruh tempat itu, mencerminkan perubahan zaman.

Hotoke, menebarkan seluruh pesonanya, melongok dari keretanya ketika seorang penjaga menghadang keretanya di gerbang. “Aku Hotoke, seorang geisha ... dari lahir, ya, aku memang mainan kaum pria. Aku dikirim oleh nyonyaku dan memberanikan diri untuk datang kemari tanpa diundang. Izinkanlah aku menari dan menyanyi di depan Tuan Kiyomori.”

Si penjaga ragu-ragu dan curiga; kemudian, khawatir Kiyomori akan memarahinya, dia membentak Hotoke.

“Apa-apaan ini? Datang kemari tanpa diundang? Keluar ... pulanglah sana!”

“Tidak, sudah menjadi kebiasaan di kalangan para geisha untuk melakukan kunjungan mendadak seperti ini, dan aku melakukannya untuk memberikan penghormatan kepada Tuan Kiyomori. Aku masih muda, dan aku tidak sanggup menanggung luka hati akibat penolakan.”

Hotok6, dengan hati kecewa, tengah beranjak dari sana, ketika seorang pelayan tiba-tiba memanggilnya.

“Karena kau memaksa, aku akan melihat apa yang bisa kulakukan,” katanya, membawa Hotok6 memasuki rumah.

Page 745: The Heike Story

Dengan mata membelalak, Hotok6 memandang ruangan-ruangan indah yang terpampang seolah-olah tanpa akhir di hadapannya, hingga akhirnya dia melihat seseorang yang diketahuinya sebagai sang tuan rumah. Kiyomori duduk dikelilingi oleh para pengiringnya; salah seorang di antaranya menghampiri Hotoke dan mengatakan,

“Apakah kau Hotoke? Anggap saja dirimu beruntung, karena tidak semua orang bisa bertemu dengan Tuan Kiyomori. Kau ada di sini hanya karena Giwo memohon kepada Tuan untuk membuat perkecualian …. Kau boleh menyanyi untuk kami sebagai balasan atas kebaikan luar biasa ini.”

Hotoke membungkuk dan menoleh ke arah Giwo dengan ekspresi berterima kasih, yang dibalas oleh Giwo dengan tatapan menguatkan. Hotok6 pun mulai menyanyikan sebuah lagu sederhana yang diulangi hingga tiga kali. Dari bibir ranumnya mengalirlah rangkaian nada yang menyentuh hati para pendengarnya dan mengiang di telinga mereka dalam gema yang merdu.

Kiyomori tiba-tiba berkata, “Kau rupanya benar-benar pandai menyanyi. Sekarang, menarilah. Hei ... gebuklah genderangnya!”

Hotok6 menelengkan kepala dan berdiri. Dia bergerak dengan lemah gemulai, berbalut kecantikan yang menyembunyikan kebelia-annya.

Kiyomori terpukau menatap setiap gerakannya, namun ketika dia membiarkan matanya membuntuti Hotoke, mereguk seluruh kecantikannya, sebuah dorongan luar biasa untuk mencabik-cabik dan meluluhlantakkan keindahan itu menyergapnya.

“Bagus sekali. Lebih bagus daripada yang kusangka,” akhirnya dia berkata. “Mari kita bersulang untuk

Page 746: The Heike Story

keahlianmu ... Hotoke? Mari kita menghabiskan sake ini di Paviliun Musim Semi sambil menyaksikan Hotok6 menari sekali lagi.”

Hotok6 diperintahkan untuk tinggal di kediaman Kiyomori di Jalan Kedelapan Barat, dan di seluruh penjuru ibu kota bisa didengar pergunjingan tentang Tuan Kiyomori yang memiliki gundik baru. Tetapi, yang sesungguhnya terjadi bukan begitu karena Hotoke, yang merasa berutang budi kepada Giwo, tidak pernah menuruti keinginan Kiyomori dan setiap hari selalu memohon agar diizinkan pulang.

“Katakanlah kepada Giwo bahwa dia boleh pergi,” Kiyomori memerintahkan. “Aku sudah melakukan segalanya untuk membahagiakan dia. Dia sudah memiliki semua yang dibutuhkannya untuk hidup makmur.”

Giwo menerima kabar pembebasannya dengan lega, walaupun dia merasa sedih ketika memikirkan Tadanori, adik tiri Kiyomori; selama ini, Giwo telah membiarkan dirinya menjadi mainan seorang pria dan diam-diam memberikan hatinya kepada pria lain.

Segera setelah tersebar kabar bahwa Giwo telah dilepaskan, para pria ibu kota mulai mengiriminya undangan untuk menghadiri perjamuan yang mereka selenggarakan dan membanjirinya dengan hadiah, namun Giwo mengurung diri di rumah dan menolak untuk menemui siapa pun.

Kendati begitu, hati Giwo hancur ketika melihat betapa ayahnya, Ryozen, telah banyak berubah. Ryozen memimpin rumah tangganya dengan tangan besi, pemarah, selalu mabuk, dan terlilit utang. Ibunya menderita, padahal Giwo selama ini mengira bahwa pengorbanannya akan membahagiakan wanita itu. Tidak lama kemudian, Ryozen

Page 747: The Heike Story

lenyap bersama Ular dan sejak saat itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Pada akhir musim semi tahun berikutnya, 1168, Giwo, adik perempuannya, dan ibunya memotong rambut panjang mereka untuk hidup menyepi di daerah perbukitan di Saga, di dekat sebuah kuil di sebelah utara gerbang kota. Mereka telah lama tinggal di sana ketika Hotok6 si geisha melarikan diri dari rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan mendatangi Saga, memohon kepada Giwo dan keluarganya untuk menerimanya. Seperti halnya mereka, Hotok6 juga sudah cukup banyak melihat betapa jahatnya kekayaan dan jabatan, dan sudah muak terhadap kemewahan.

o0odwkzo0o

Bab XLIV-HURU-HARA Kiyomori semakin sering melakukan perjalanan ke

Fukuhara, dan para pelancong, yang melewati jalur antara ibu kota dan wilayah barat Jepang, terheran-heran melihat perubahan yang terjadi di sana sejak lima atau enam tahun terakhir. Kampung-kampung nelayan dan desa-desa kecil telah berubah menjadi daerah indah yang ditempati oleh banyak rumah peristirahatan, dengan rumah megah Kiyomori sebagai pusatnya. Selain jalanan yang telah diperbaiki, toko-toko yang telah berjajar di sepanjang pesisir juga akan menjadikan Owada sebagai sebuah pelabuhan yang bagus.

Walaupun rumah peristirahatan mewah Kiyomori telah selesai dibangun dan rumah-rumah Heik6 yang berbentuk seragam juga telah didirikan di sekelilingnya, Kiyomori hanya membuat sedikit kemajuan dalam mewujudkan pelabuhan impiannya. Angin barat daya yang kencang dan

Page 748: The Heike Story

ombak yang dahsyat segera menghancurkan tanggul, walaupun perahu-perahu yang dirancang khusus untuk mengangkut batu telah berkali-kali mengosongkan muatan di laut, untuk membuatnya. Dan, setiap kali tanggul mulai terbentuk, angin taufan musim gugur selalu menghantamnya hingga keropos. Tetapi, Kiyomori menolak untuk mengabaikan impiannya. Dengan tegas, dia mengumumkan:

“Adakah orang yang memiliki keahlian dan kepercayaan diri untuk merampungkan pekerjaan ini? Jika ada, aku akan memenuhi semua kebutuhannya. Carikanlah orang semacam itu untukku, dan hadapkanlah dia kepadaku.”

Setelah mencari ke seluruh penjuru negeri, ditemukanlah seorang pria yang bisa melanjutkan pembangunan. Ribuan orang dan perahu bahu-membahu bekerja di bawah pimpinannya. Hari demi hari, lalu minggu demi minggu, dan akhirnya bulan demi bulan berlalu, dan Kiyomori membiayai seluruh pembangunan itu seorang diri. Setiap kali berkunjung ke Fukuhara, Kiyomori tidak bersantai-santai dan mengenang masa lalu di rumah peristirahatannya yang megah tetapi sibuk mengikuti kemajuan pembangunan pelabuhan, mencurahkan seluruh jiwa dan raganya untuk memecahkan setiap masalah yang menghadang.

Dalam salah satu kunjungannya ke Fukuhara, Kiyomori mengabaikan gejala demam yang dideritanya, dan pada malam hari ketika dia sedang dalam perjalanan kembali ke ibu kota, suhu tubuhnya semakin meningkat. Kecemasan melanda penduduk ibu kota ketika kabar mengenai jatuh sakitnya Kiyomori bocor dari rumah di Jalan Kedelapan Barat Kaisar mengirim tabib pribadinya untuk mengobati Kiyomori. Sepanjang hari, kereta para bangsawan dan pejabat tinggi bergantian melewati gerbang rumah untuk

Page 749: The Heike Story

mencari kabar terbaru tentang kondisi Kiyomori. Tidak seorang pun ... kerabat Kiyomori sekalipun ... bisa menemuinya, dan kabar tentang Kiyomori hanya bisa didapatkan dari si tabib. Tetapi, kondisi Kiyomori semakin parah. Sudah berhari-hari dia tidak mau makan. Demamnya tidak kunjung mereda, dan si tabib pun sepertinya tidak bisa memastikan apa penyakitnya.

Kabar mengenai semakin merosotnya kesehatan Kiyomori tersebar dalam waktu singkat Begitu mendengar berita ini, seorang pejabat Heike di Kyushu langsung berangkat ke Kyoto bersama seorang tabib Cina yang baru saja tiba di Jepang.

Ibu tiri Kiyomori, Nyonya Ariko, bersama Shigemori mendatangi kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan utama di Perbukitan Timur dan Gunung Hiei untuk berdoa bagi kesembuhannya.

Wajar saja jika orang-orang mengira-ngira tentang apa yang akan terjadi jika Kiyomori tutup usia. Klan Heik6 belum cukup kuat untuk menjaga agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan Mantan Kaisar Goshirakawa, dan semua orang percaya bahwa langkah pertama yang akan diambil oleh sang mantan kaisar adalah menyingkirkan semua Heik6 ... dan golongan samurai ... dari Istana. Istana Kloister, sementara itu, setiap hari menerima kunjungan dari Istana Kekaisaran, dan pada suatu hari, Goshirakawa memerintahkan agar keretanya disiapkan karena dia akan menjenguk Kiyomori.

Begitu mendengar bahwa Mantan Kaisar telah tiba, Kiyomori tampak panik. Dia memerintahkan agar kamarnya disapu dan dupa disulut Ketika dia bersujud di hadapan sang tamu agung, Goshirakawa bisa melihat betapa kurusnya Kiyomori dan berkata dengan lembut:

Page 750: The Heike Story

“Sebaiknya kau berbaring saja.”

“Tidak, Yang Mulia, saya masih bisa bangun.”

Dengan tubuh tetap tegap dalam balutan kimono tidur sutranya, dan tampak lebih tenang daripada biasanya, Kiyomori menjawab pertanyaan-pertanyaan Mantan Kaisar.

Ada beberapa persoalan mendesak yang disampaikan oleh Goshirakawa di sisi tempat tidur Kiyomori. Seperti yang kemudian diketahui, pembicaraan tersebut menyangkut penurunan tahta Kaisar-cilik Rokujo untuk kemudian digantikan oleh putra Goshirakawa, Takakura. Rupanya Mantan Kaisar telah cukup lama merencanakan hal yang dianggapnya akan mengamankan kekuasaannya ini. Dia yakin bahwa Kiyomori akan tertarik pada rencana ini karena Takakura adalah keponakannya. Bagaimanapun, tidak ada jaminan bahwa Mantan Kaisar akan berhasil membujuk

Kiyomori untuk mendukungnya, dan bahkan ada kemungkinan Kiyomori akan menolaknya.

Sehari setelah kunjungannya. Mantan Kaisar mengirim tabib pribadinya ke rumah di Jalan Kedelapan Barat dan kemudian menanyainya.

“Bagaimanakah keadaannya? Apakah ada kemungkinan dia akan tetap hidup?”

Si tabib menjawab pertanyaan ini, “Yang Mulia, sulit bagi saya untuk memastikannya. Mustahil bagi saya untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Gejala-gejala aneh yang ditunjukkannya membuat saya semakin kesulitan memastikan penyakitnya.”

Gejala-gejala yang aneh? Goshirakawa mendengarkan dengan saksama. Apakah Kiyomori akan bertahan atau

Page 751: The Heike Story

tidak bukan masalah baginya; rencananya akan tetap dijalankan.

Kiyomori sakit dan tidak berdaya. Kesehatannya yang prima selalu membuatnya menyepelekan kelemahan fisiknya, walaupun masalahnya berbeda jika dia jatuh sakit Istrinya, Tokiko, kerap mengolok-oloknya, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih manja dan menjengkelkan daripada dirimu saat jatuh sakit”

Anehnya, kali ini si sakit tidak bersikap manja maupun menjengkelkan; dia sama sekali tidak tertarik pada makanan; demamnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Dari waktu ke waktu, erangan kesakitan dan igauan tanpa arah terdengar dari kamarnya. Tabib Kiyomori semakin waspada. Tokiko, Nyonya Ariko, dan Shigemori menghabiskan berjam-jam sehari untuk berdoa di kapel pribadi mereka. Para ahli nujum dipanggil, dan para kurir diberangkatkan ke pusat-pusat peribadatan untuk menyampaikan pesan agar upacara khusus digelar demi kesembuhan Kiyomori. Para dewa yang marah seolah-olah telah bersatu padu untuk membalas dendam kepada pria tak beriman yang sudah terlalu lama melecehkan dan menyangkal mereka.

Tetapi, Kiyomori tidak merisaukan igauannya. Setiap kali demamnya mereda, dia justru merasakan nyeri di perutnya; serangan mual yang dahsyat kembali dan membuatnya merindukan demam yang akan meredakan rasa sakitnya dan sekali lagi membawanya ke kedamaian tempatnya melayang di antara gumpalan awan merah jambu. Dalam keadaan setengah sadar, dia mengingat dirinya mengatakan, “Jadi, inilah ambang antara kehidupan dan kematian …” Kemudian, dia akan melihat para malaikat beterbangan di antara gumpalan-gumpalan awan dengan iringan musik yang indah, dan di antara mereka, dia

Page 752: The Heike Story

melihat seorang bocah ... dirinya ketika berumur delapan tahun. Dia berada di atas sebuah panggung di Gion, dan yang semula dikiranya sebagai gumpalan awan ternyata sakura. Di bawah pepohonan, ibunya yang cantik jelita berdiri dan tersenyum kepadanya, tersenyum ketika menyaksikannya menari. Ayahnya berdiri di samping ibunya. ... Ibu! Ayah! Lihatlah aku menari! ... Dan Kiyomori terus menari hingga keletihan menderanya. Ayahnya mendadak lenyap, disusul oleh ibunya. Kemudian, lolongan anak-anak menusuk telinganya. Dengarlah! Itu adalah Si Tua Bangka, menyanyikan lagu pengantar tidur. Dia melihat istal di rumah tuanya, dan kuda-kuda di dalamnya menatapnya dengan wajah mereka yang kurus kelaparan. Dan, di bawah bulan yang menggantung di langit malam, dia melihat Imadegawa ... rumah reyot yang pernah dihuninya ... menjulang di depannya. Tangis kelaparan adik-adiknya membuatnya panik. Ibunya telah menelantarkan anak-anak ini …. Ayahnya ... ke manakah dia? Dan Kiyomori akhirnya melihat Si Mata Picing bersandar pada sebuah tiang dan memandang atap rumahnya tanpa berkata-kata …. Aku memang bukan anak siapa-siapa, tapi kau adalah ayah kandungku ... dan di tengah igauannya, Kiyomori memanggil-manggil, “Ayah! ... Ayahku!”

Kemudian, sebuah suara ... Shigemori ... mengatakan, “Ayah, ada apa?”

Adik-adik Shigemori, yang berkumpul di sekeliling ayah mereka, mengguncang-guncang tubuh Kiyomori agar dia terbangun.

“Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh dalam mimpiku?” tanya Kiyomori.

“Ayah mengigau.”

Page 753: The Heike Story

“Aku bermimpi indah. Terbangun membuatku kesakitan lagi.”

“Tabib Cina dari Kyushu baru saja tiba. Ayah. Apakah Ayah mau menemuinya di sini?”

“Apa! Tabib dari negeri Sung? Ya, bawa dia kemari.”

Si tabib segera muncul dalam balutan jubah perjalanannya, dengan rambut putih yang terurai di bahu, paras kaku, dan tubuh sekerempeng burung bangau. Dia memeriksa Kiyomori dengan cermat; sesekali menelengkan kepala dan berkomat-kamit, kemudian duduk di tepi tempat tidur Kiyomori.

Kiyomori menoleh kepada si tabib dan bertanya, “Apakah saya akan sembuh?”

Si tabib menjawab sambil tersenyum, “Saya yakin Anda akan sembuh dalam dua atau tiga hari.”

Sulit bagi Kiyomori untuk memercayai pendengarannya, namun setelah si tabib pergi, dia secara teratur meminum ramuan yang diberikan kepadanya. Keesokan paginya, Kiyomori merasa jauh lebih sehat dan terus meminum ramuannya sesuai arahan si tabib, dan pada malam harinya, dia tertidur nyenyak dan lama

Penyakit Kiyomori disebabkan oleh kuman-kuman di dalam ususnya. Setelah kuman-kuman tersebut disingkirkan dengan obat dan pencahar, kesehatannya pun pulih dengan cepat Kendati begitu, kabar yang tersebar di seluruh ibu kota menyebutkan bahwa kesembuhan Kiyomori adalah sebuah mukjizat Ilmu kedokteran, yang masih berada di dalam tahap paling awal perkembangannya, menghubungkan kehadiran kuman di dalam tubuh manusia dengan alasan supernatural, dan para dukun dan ahli nujum kerap dipanggil untuk mengobati orang-orang yang sakit.

Page 754: The Heike Story

Di rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan Rokuhara, kehidupan kembali berjalan dengan normal; pesta syukuran digelar di mana-mana, dan musik kembali terdengar mengalun dari rumah-rumah Heike.

Semua orang yang mengenal Kiyomori takjub ketika mengetahui bahwa segera setelah kesehatannya pulih, dia menjalani penahbisan dan menarik diri dari keramaian. Tidak ada lagi yang diinginkan oleh Kiyomori; kedudukannya telah aman, reputasinya telah terjaga; posisi tertinggi yang bisa diraihnya di bidang pemerintahan sudah berada di dalam genggamannya. Kendati begitu, kedua ambisinya belum terwujud ... pelabuhan di Owada dan perdagangan dengan Cina. Dia masih memegang erat-erat mimpinya untuk menjadikan Fukuhara sebagai pusat perdagangan besar dan Itsuku-shima sebagai permata Laut Dalam, penghubung antara Jepang dan negeri Sung. Kejayaan menantinya jika dia berhasil mewujudkan mimpinya ini!

Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kiyomori langsung menetap di Fukuhara untuk mengabdikan seluruh waktunya pada tahap terakhir pembangunan pelabuhan, dan menyusul kepergiannya. Kaisar Rokujo digulingkan dari tahtanya dan digantikan oleh putra Goshirakawa yang berumur sembilan tahun. Semua orang yakin bahwa Kiyomori adalah dalang dari peristiwa itu. Tuduhan-tuduhan terpedas datang dari para bangsawan Fujiwara, yang sudah berabad-abad melahirkan calon kaisar, yang tidak tahu-menahu tentang perubahan ini. Pelanggaran hak prerogatif yang tidak pernah dilakukan sebelumnya ini menginjak-injak wewenang mereka. Pelakunya adalah seorang samurai ... Heik£ Kiyomori. Kendati begitu, walaupun tuduhan terberat ditujukan kepada Kiyomori, adik iparnya, Tokitada, dianggap sebagai tokoh

Page 755: The Heike Story

berpengaruh di balik layar. Kiyomori tiba-tiba mendapati dirinya berada di bawah bayang-bayang ketakutan begitu gosip-gosip liar itu berkembang. Orang-orang mengatakan bahwa Tokitada menempatkan mata-mata di mana-mana untuk melaporkan siapa pun yang berani berbicara miring tentang Heik6.

Pada Juli 1170, sebuah huru-hara, yang akan lama diingat, pecah di antara para pelayan Perdana Menteri Fujiwara dan Heik6 Shigemori.

Melihat segala aspek yang ada, bulan itu sungguh menentukan. Gerhana matahari telah diramalkan, dan tujuh buah panggung telah didirikan di Istana Kekaisaran untuk menyaksikan fenomena alam tersebut, walaupun ketika hari beranjak siang, langit menjadi berawan dan hujan deras turun. Musim panas ternyata datang lebih cepat. Semua orang mengkhawatirkan kemungkinan datangnya musim kemarau panjang, sehingga upacara khusus untuk meminta hujan diselenggarakan di Tempat Pemujaan Utama dan tempat-tempat pemujaan yang lebih kecil. Setelah pemujaan itu, lalu turunlah hujan deras yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun sejak sepuluh tahun terakhir. Sungai-sungai meluap, dan sebagian wilayah ibu kota terendam banjir. Pada 3 Juli, sehari setelah gerhana matahari, sebagian besar penghuni Istana ... para pangeran, putri, dan Perdana Menteri ... menghadiri Misa Besar di kuil di dekat Shirakawa, di sebelah utara Rokuhara.

Matahari bersinar sangat terik pada hari itu. Perdana Menteri, yang mengenakan kimono kebesaran tebalnya, lalu menyelesaikan tugasnya. Dia tergoda untuk pulang dan menanggalkan berlapis-lapis pakaian yang dikenakannya. Tetapi, tidak, matahari masih tinggi, putusnya. Dia akan kembali ke Istana, menyelesaikan beberapa urusan, lalu pulang pada malam hari, setelah udara lebih sejuk. Dia

Page 756: The Heike Story

memerintah penarik sapinya untuk membawanya kembali ke Istana Kekaisaran dan membiarkan kereta mengayun-ayunnya dengan lambat.

Sinar matahari yang panas menyengat menembus kerai dan menerangi sosok berkimono putih itu. Perdana Menteri masih berusia pertengahan dua puluhan. Tampak anggun dan berwibawa dalam balutan kimono kebesarannya, dia tetap duduk tegak walaupun keringat mengalir ke pipinya dari bawah hiasan kepala berat yang dikenakannya. Rombongan ajudan, penarik sapi, dan pelayannya tentu saja jauh lebih merana di bawah siksaan panas ini. Dengan tubuh berselimut debu, mereka berkali-kali dan dengan letih berusaha mengusir lalat yang mengerumuni mereka.

Sapi penarik kereta dibiarkan menentukan kecepatannya sendiri, dan iring-iringan panjang itu merayap di sepanjang jalan raya. Ketika mendekati sebuah persimpangan, dari jauh mereka melihat kereta lain bergerak ke arah mereka, diiringi oleh serombongan besar pelayan. Dari jarak yang lebih dekat, tampaklah bahwa rombongan itu mengiringi sebuah kereta perempuan. Kereta Perdana Menteri, yang tampak mencolok berkat lambang besarnya, menguasai bagian tengah jalan. Etika yang berlaku menuntut permaisuri sekalipun untuk memberi jalan kepada Perdana Menteri, namun kereta perempuan tersebut terus maju tanpa menunjukkan tanda-tanda akan menepi. Jarak keduanya semakin pendek ... empat puluh meter, lima belas, sepuluh, lalu tujuh. Kereta itu sudah nyaris bersentuhan dengan kereta Perdana Menteri namun tetap melaju dengan kencang. Para pengiring kereta perempuan mengisyaratkan dengan liar agar kereta Perdana Menteri menepi, sementara para pengiring Perdana Menteri maju untuk menghentikan kereta perempuan tersebut Tidak ada

Page 757: The Heike Story

yang mau mengalah, jeritan liar, umpatan, dan caci maki pun gagal menghentikan keduanya.

“Apa kalian tuli? Tidakkah kalian lihat kereta siapa ini?”

“Pakai mata kalian! Ini kereta Perdana Menteri!”

“Memangnya siapa majikan kalian?”

Kereta perempuan itu terus maju, menceraiberaikan kerumunan pelayan Perdana Menteri ke tepi jalan.

“Berhentilah di sana! Berhenti!”

Seorang ajudan Perdana Menteri tiba-tiba bertari maju sambil memekik, “Orang-orang kurang ajar!” Dia menonjok si penarik sapi dan menyambar tali kekangnya sambil menyeret kereta perempuan itu ke pinggir jalan.

“Berani-beraninya kau menyentuhkan tanganmu ke kereta majikanku?”

Para pengawal yang berjaga-jaga di belakang kereta segera merangsek ke depan dan mengancam. “Berani-beraninya kalian menghina kami? Apa maksud semua ini?”

Para ajudan Perdana Menteri balas membentak.

“Diam! Orang-orang kampungan seperti kalian pasti tidak tahu bahwa yang sedang kalian hadapi ini adalah rombongan Perdana Menteri! ... Mundurlah kalian! Menyingkirlah dari jalan kami, bangsat!”

“‘Orang-orang kampungan* kata kalian?”

“Kalian sama tololnya dengan kucing atau anjing! ‘Orang-orang kampungan* terlalu bagus untuk kalian!”

“Kalian ingin berkelahi, ya!”

“Kalian yang memulai, tapi kami sudah siap!”

Page 758: The Heike Story

Empat atau lima orang pengawal Perdana Menteri mengangkat senjata.

“Kalian mau apa?”

Perkelahian pun pecah begitu para pengiring Perdana Menteri menyerang para pengiring kereta perempuan.

“Hajar mereka!”

“Dasar anjing-anjing Rokuhara!”

Sumpah serapah membahana. Ranting-ranting dan batu-batu dilemparkan ke kereta Perdana Menteri. Gumpalan-gumpalan debu membubung ke udara, menyelubungi mereka yang berkelahi mati-matian sehingga kawan dan lawan mustahil untuk dibedakan lagi. Rombongan pengiring Perdana Menteri terdiri dari delapan puluh orang, mencakup sejumlah samurai, sementara rombongan lawan mereka hanya beranggotakan empat puluh orang. Tetapi, prajurit-prajurit Rokuhara gagah perkasa dan petarung yang tangguh, dengan sikap dan tutur bahasa yang kasar.

Para penumpang kedua kereta tersebut sepertinya sudah sepenuhnya terlupakan. Bukan seorang perempuan yang ada di dalam kereta perempuan itu melainkan cucu Kiyomori, putra Shigemori yang berumur sepuluh tahun, yang hendak pulang dari kursus seruling. Keretanya terayun-ayun keras ke kanan dan kiri kemudian berputar. Huru-hara itu pun berhenti, sementara si bocah duduk gemetar di dalam kereta, ketakutan melihat wajah-wajah berdarah dan tubuh-tubuh penuh luka yang saling menyerang. Sebongkah batu melayang menembus kerai, dan jeritan melengking seorang bocah mendadak terdengar.

Walaupun kedudukan mereka masih unggul, para pelayan Heik6 terpaksa untuk mundur bersama kereta mereka yang rusak parah. Tetapi, mereka telah

Page 759: The Heike Story

mengerahkan seluruh tenaga mereka dan bersumpah untuk membalas dendam.

Hari semakin gelap dan Rokuhara sunyi senyap; jangkrik-jangkrik di bawah pepohonan pun seolah-olah tidak berani mengerik. Kabar tentang perkelahian itu telah sampai di Rokuhara, dan obor-obor terangkat begitu kereta datang. Berbagai seruan terdengar:

“Kaukah itu, Shiro? Apakah Tuan Muda selamat?”

“Semuanya baik-baik saja, tapi rombongan Perdana Menteri habis-habisan mempermalukan kita …. Jumlah mereka jauh melampaui kami.”

“Laporkanlah itu kepada Tuan, tapi bagaimana dengan Tuan Muda ... tidak ada cedera?”

“Beliau baik-baik saja, walaupun sedikit menangis.”

“Cepatlah masuk! Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya orang-orang di rumah?”

Baru beberapa saat kereta itu berhenti di depan beranda, Shigemori telah keluar, dengan panik berseru-seru memanggil putranya.

Shigemori mendengarkan cerita tentang huru-hara itu dari salah seorang kepala rombongannya. Yang bersalah bukan pihak mereka melainkan pihak Perdana Menteri, si kepala rombongan bersikeras. Para ajudan Perdana Menteri tidak hanya menantang mereka tetapi juga merusak kereta mereka. Tidak, mereka tentunya akan memberikan jalan secara suka rela kepada Perdana Menteri jika para pengiringnya tidak melecehkan mereka. Tidak ada pilihan selain membela kehormatan Heike ….

Ketika si panglima mengakhiri ceritanya, Shigemori, yang biasanya selalu tenang, meledak. “Seandainya saat itu

Page 760: The Heike Story

gelap, aku mengerti jika mereka tidak mengenali anakku, tapi mustahil jika mereka tidak mengenalinya di tengah siang hari bolong. Jelas, Perdana Menteri bersalah, dan aku akan memastikan agar dia mendapatkan balasan yang setimpal.”

Keesokan harinya, pada 5 Juli, Shigemori berangkat ke Istana bersama pasukan bersenjata lengkap dengan jumlah yang lebih besar daripada biasanya, bertekad untuk melabrak Perdana Menteri di mana pun mereka berjumpa.

Sementara itu, Perdana Menteri, yang baru mengetahui bahwa huru-hara yang disebabkan oleh para ajudannya tempo hari ternyata melibatkan putra Shigemori, sudah beberapa hari menghindari Istana. Secara pribadi, Perdana Menteri menyemburkan kekesalannya kepada para kepala rombongan dan ajudannya.

“Tidak bisakah kalian melihat siapa yang sedang kalian hadapi sebelum menyerang mereka? Dari semua orang yang bisa kalian tindas ... cucu Kiyomori! Pandir ... tolol! Dan akulah yang harus menanggung akibatnya!”

Tetapi, walaupun sudah melampiaskan kemarahannya, Perdana Menteri tetap merasa tidak berdaya untuk meluruskan masalah ini, hingga salah satu temannya ... seorang penasihat ... menyarankan agar dia menyerahkan ajudan-ajudannya yang bersalah kepada Rokuhara untuk dijadikan jaminan. Si penasihat meyakinkan Perdana Menteri bahwa tindakan ini bisa dipastikan akan melunakkan sikap Shigemori. Maka, dua orang kepala rombongan beserta beberapa orang prajurit dan penarik sapi diserahkan ke Rokuhara. Beberapa saat kemudian, si penasihat, yang bertindak sebagai duta Perdana Menteri, kembali bersama orang-orang yang akan diserahkan itu. Dia membawa berita bahwa Shigemori menolak untuk menemuinya.

Page 761: The Heike Story

“Aku diberi tahu bahwa Tuan Shigemori tidak mau menemui siapa pun. Tetapi, kudengar dia mau membicarakan tentang masalah ini asalkan tidak denganmu.”

Pada 16 Juli, sebelum berangkat untuk menghadiri sebuah acara yang sudah dijadwalkan di kuil di Shirakawa, Perdana Menteri memerintahkan kepada anak-anak buahnya untuk memeriksa keadaan di sekeliling kuil. Ketika mendapatkan laporan bahwa para samurai Heikt telah ditempatkan di sepanjang rute yang akan dilaluinya, Perdana Menteri membatalkan semua rencananya hari itu.

Beberapa bulan kemudian, pada 21 Oktober, pada hari ketika Perdana Menteri dijadwalkan untuk hadir di hadapan Dewan Kekaisaran dalam pembahasan terakhir tentang hak-hak yang akan diterima oleh Kaisar setelah cukup umur, sebuah pesan tiba di Istana Kekaisaran, mengatakan bahwa Perdana Menteri telah diserang di tengah perjalanan menuju Istana sehingga tidak bisa menghadiri pertemuan. Seisi Istana pun waspada. Jadwal baru pertemuan Dewan Kekaisaran ditetapkan, dan para menteri dan pejabat istana yang kebingungan segera dibubarkan. Masyarakat segera mendengar kabar tentang serangan yang terjadi di dekat salah satu gerbang Istana itu; Perdana Menteri berhasil meloloskan diri tanpa menderita cedera apa pun; sekitar dua ratus orang samurai tiba-tiba muncul di tepi jalan dan mengepung keretanya; para penyerang yang tidak dikenal itu menyergap enam orang pengawal berkuda yang berbaris di depan, menyeret mereka turun sehingga terluka parah akibat terinjak-injak, dan memotong ikat rambut mereka sebagai ungkapan penghinaan. Para anggota rombongan lainnya yang tidak berhasil melarikan diri, yang jumlahnya tidak seberapa, menemui nasib serupa.

Page 762: The Heike Story

Orang-orang berusaha mencari penjelasan, dan segera tersebar kabar bahwa Kiyomori sendirilah yang melakukan pembalasan kepada Perdana Menteri demi cucu kesayangannya. Padahal, Kiyomori sesungguhnya tengah berada di Fukuhara, dan insiden yang melibatkan cucunya baru terdengar olehnya lama kemudian.

Setelah perhatian masyarakat pada kasus ini berkurang, kebenaran mencuat dari jalinan kusut desas-desus dan peyangkalan yang menjadi buah bibir seluruh ibu kota: Shigemori sendirilah yang telah memerintahkan penyerangan kepada Perdana Menteri.

o0odwkzo0o

Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN

Tahun 1170 adalah tahun banjir dan bencana alam yang telah merenggut tempat tinggal dan panenan ribuan petani. Kendati begitu, santer terdengar kabar ini: ‘Tidak ada seorang pun yang kelaparan di Fukuhara. Lapangan kerja melimpah ruah di sana” Karena itulah para fakir miskin berbondong-bondong berangkat ke Fukuhara untuk turut membangun pelabuhan. Sembilan tahun telah berlalu sejak Kiyomori mengemban tugas luar biasa besar ini, dan keperkasaan tanggulnya mulai terbukti, mencuat bagaikan semenanjung di laut. Tetapi, pada bulan September, angin topan dalam sekejap meluluhlantakkan hasil kerja keras selama sembilan tahun tersebut.

Kiyomori melamun menatap laut. Impiannya mulai tampak mengenaskan. Dia sudah menghabiskan sangat banyak uang dan tenaga, namun belum ada sesuatu pun yang baru di sana. Karena itu Kiyomori meminta kepada

Page 763: The Heike Story

Gubernur Heike di wilayah utara Kyushu untuk mengirim beberapa orang insinyur dari Cina kepadanya, para buangan politik yang baru-baru ini meminta perlindungan di wilayah selatan Jepang.

Setibanya di Fukuhara, orang-orang asing itu ditempatkan di Aula Seribu Lentera, yang didirikan setahun silam di tengah hutan pinus di dekat laut untuk menyambut kunjungan pertama Mantan Kaisar Goshirakawa. Kedatangan para insinyur dari Cina itu disambut dengan gegap gempita karena inilah kali pertama para penduduk asli dan juga orang-orang Kyoto yang telah lama tinggal di Fukuhara melihat orang asing.

Para insinyur dari Cina itu menghabiskan hari-hari mereka di laut atau berlama-lama berdiskusi dengan seorang mandor, yang menggeleng dengan kecewa. Tidak ada pengetahuan baru yang mereka dapatkan, lapor si mandor kepada Kiyomori. Semua yang mungkin dilakukan telah dicoba. Kendati harapannya telah kandas, Kiyomori tetap merasakan kepuasan yang mendalam lantaran seluruh pengetahuan manusia telah dicurahkan ke dalam proyek pembangunan yang dikerjakan oleh para ahli nan giat ini. Dia kemudian memerintahkan agar pembangunan pelabuhan itu dilanjutkan, dan menambahkan kepada mandornya:

“Kita luput memperhitungkan akibat kedatangan badai musim gugur tempo hari karena baru kali inilah badai besar terjadi sejak tanggul kita berdiri. Sembilan puluh persen pembangunan harus dirampungkan di antara musim gugur dan musim panas tahun depan. Jika kita bisa mencapai target itu, aku menjamin bahwa kita akan berhasil. Kita membutuhkan lebih banyak pekerja, lebih banyak bahan bangunan ... dan uang, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya.”

Page 764: The Heike Story

Kiyomori tampak percaya diri. Hingga saat ini, dia telah menguras kekayaan Heik6; bagaimanapun, ada batas bagi semua hal, termasuk sumber daya itu. Tetapi, kali ini dia yakin bahwa pemerintah akan bersedia untuk turut menanggung biaya yang akan dikeluarkannya. Dua tahun telah berlalu sejak Mantan Kaisar menjanjikan kepadanya untuk menyumbang dana bagi pembangunan pelabuhan, dan walaupun belum ada tindakan nyata yang diambil, Kiyomori yakin bahwa Goshirakawa akan mendukungnya.

Kiyomori sudah sejak lama mengajukan permohonan resmi untuk dana yang telah dijanjikan itu kepada Mantan Kaisar, dan Goshirakawa selalu memintanya menunggu sebentar, sesuatu yang selalu dipatuhinya. Tetapi, sekarang Kiyomori menyadari bahwa dia sudah tidak bisa menunggu lagi. Pelabuhan itu harus segera didirikan atau dilupakan untuk selamanya, sehingga dia pun sekali lagi menemui Goshirakawa secara pribadi untuk memohon bantuan.

Ketika pertama kali mendengar tentang pertikaian antara rombongan pengiring Perdana Menteri dengan rombongan pelayan putra Shigemori, kemarahan Kiyomori tidak meledak seperti yang sudah diperkirakan; dia hanya menggeleng dan berkata, “Cucu-cucu dan keponakan-keponakanku semakin lama semakin sembrono. Cucuku memang bersalah karena melanggar etika, namun Perdana Menteri juga masih terlampau belia dan pongah.” Kemudian, dia menambahkan dengan sedih, “Kehidupan terlalu mudah bagi mereka tanpa adanya kesulitan yang menempa mereka.”

Tidak lama kemudian. Mantan Kaisar berkunjung ke Fukuhara untuk memenuhi undangan Kiyomori. Kunjungan pertamanya setahun silam bertujuan untuk melihat kemajuan dalam pembangunan pelabuhan di Owada dan menghadiri upacara peresmian sebuah kuil

Page 765: The Heike Story

baru. Kali ini, Kiyomori telah mengatur agar Goshirakawa bertemu dengan kedelapan insinyur dari Cina yang masih tinggal di Fukuhara. Dua orang wanita muda, putri salah seorang insinyur Cina, akan menari di hadapan Mantan Kaisar untuk memikatnya dengan hiburan dari kebudayaan Sung. Tetapi, maksud Kiyomori yang sesungguhnya adalah mengingatkan Goshirakawa akan janjinya untuk memberikan bantuan dana.

Setelah kunjungan Mantan Kaisar usai, Kiyomori menyadari bahwa tidak ada bantuan yang bisa diharapkan dari Goshirakawa. Mantan Kaisar telah dengan lihai menangkis dan berkelit dari permohonan Kiyomori.

Tetapi, Kiyomori tetap menolak untuk menerima kekalahan. Dia berumur lima puluh tiga tahun sekarang; kebugaran fisiknya tetap terjaga dan masih tampak muda. Bagi para rekan sejawatnya di Istana, dia adalah seorang ambisius yang setiap langkahnya harus diawasi, karena walaupun telah mendapatkan penolakan, dia kembali mencurahkan seluruh tenaganya untuk merampungkan pembangunan pelabuhan.

Pada musim gugur itu, semua tenaga kerja yang biasa ditemukan di setiap wilayah kekuasaan Heik6 di bagian barat Jepang, disalurkan ke Fukuhara. Untuk membuktikan bahwa impian Kiyomori bukan sekadar omong koson, segala macam bahan bangunan dikumpulkan dalam upaya terakhir. Siang dan malam, bulan demi bulan, ribuan orang bekerja tanpa kenal lelah untuk menyelesaikan pekerjaan ini sebelum kedatangan musim badai tahun depan. Bebatuan dibersihkan dari semenanjung dan bukit-bukit di sekitarnya, untuk ditimbun di sepanjang pantai. Rakit yang terbuat dari rangkaian batang-batang pohon berukuran raksasa digunakan untuk memuat peti-peti kayu berisi batu dan ditarik ke laut. Secara bergantian, perahu-perahu

Page 766: The Heike Story

menjatuhkan bongkahan-bongkahan batu besar dan membiarkannya tenggelam di laut; rakit demi rakit dan perahu demi perahu.

Pada malam-malam yang panjang selama akhir musim gugur, perahu-perahu dengan obor-obor terang benderang berderet di sepanjang garis pantai, menghadirkan kesan agung dan misterius. Kiyomori memandangnya dengan puas. Dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; para dewalah yang akan menentukan segalanya. Ketika Kiyomori memandang Galaksi Bima Sakti pada suatu malam, baru terlintas di dalam benaknya bahwa berbulan-bulan telah berlalu sejak dia meninggalkan ibu kota, dan dia pun memikirkan apa yang terjadi di sana. Siapakah di antara semua putra dan adik lelakinya, pikirnya, yang memiliki cukup ketangguhan untuk menjadi kepala klan Heik6? Tsunemori, adiknya, terlalu ringkih; Norimori, adiknya yang lain, terlalu pendiam. Tokitada, adik iparnya, kurang memiliki tanggung jawab; dia memang berbakat, namun terlalu keras kepala. Kendati menjanjikan, Tadanori, adik tirinya, masih terlalu muda.

Sedangkan putra sulung dan penerusnya, Shigemori ... Kiyomori tahu bahwa seluruh anggota klan Heike menghormatinya namun tidak benar-benar mencintainya. Ada sesuatu yang salah dengannya; di balik permukaan yang tenang, dia menyembunyikan jiwa yang semena-mena. Kiyomori selalu mencurigai tatapan teduh Shigemori, yang pancarannya kerap kali lebih menunjukkan kelicikan daripada kebijaksanaan. Shigemori juga telah berubah. Sebagian besar kesegaran dan kebugaran, yang selalu ditunjukkannya pada masa mudanya, kini telah lenyap. Kiyomori bertanya-tanya, apakah putra sulungnya itu sakit? Dia akan meminta seorang tabib untuk memeriksa Shigemori sekembalinya dirinya ke Kyoto. Kiyomori juga

Page 767: The Heike Story

sudah mendengar bahwa Shigemori saat ini memiliki sebuah kapel pribadi, tempatnya menghabiskan sebagian besar waktunya …. Itulah inti masalahnya. Ada terlampau banyak omong kosong yang terjadi, pikir Kiyomori. Adik-adik dan anak-anaknya mulai meniru tingkah kaum bangsawan: mereka mulai mencintai kemewahan dan terbiasa dengan beraneka ragam gaya hidup mahal. Mereka menunjukkan sikap berlebih-lebihan dengan menagatasnamakan agama, memanjatkan doa dengan riasan wajah dan alis, dan gigi yang dihitamkan.

Kiyomori tidak keberatan dengan keindahan dan gaya hidup yang baik. Semua itu memang menggoda. Itu menjadikan kehidupan mereka lebih berwarna. Sedangkan agama ... dia sendiri bahkan sudah menjalani penahbisan. Dia sendiri mengecam orang-orang yang tidak beriman, tetapi peniruan tingkah kaum bangsawan dan peribadatan dengan cara berlebihan ... itulah yang membuatnya muak. Di Rokuhara, dia pernah mencoba untuk menerapkan aturan-aturan tertentu bagi kaum samurai. Dia memastikan agar Buddhisme bisa diterima dengan kehormatan yang selayaknya di dalam kehidupan mereka, tetapi sejak masa mudanya, dia sudah menolak untuk menerima kepercayaan terhadap takhayul yang begitu marak di sekitarnya. Hanya alam semesta yang misteriuslah yang layak untuk dipuja. Dia akan meminta Tokiko untuk berbicara secara

serius kepada Shigemori mengenai hal ini. Shigemori akan lebih mendengarkan pendapat ibunya dalam masalah ini ...

o0odwkzo0o

Akhir musim gugur itu, Kiyomori kembali ke Kyoto, dan tersebarlah kabar bahwa dia akan tinggal di ibu kota selama musim dingin.

Page 768: The Heike Story

Pada suatu hari yang tenang, ketika dau-daun mapel baru mulai memerah, kereta Perdana Menteri melaju ke kediaman mewah di Jalan Kedelapan Barat, tempat Kiyomori telah menantikan sang tamu agung itu. Karena telah kerap mendengar bahwa Kiyomori adalah seorang pria yang ramah, Perdana Menteri merasa tenang ketika berangkat. Tetapi, setibanya di Rokuhara, dia mendapati bahwa kegelisahannya ternyata meledak-ledak.

“Saya sangat senang, Tuan, karena Anda baik-baik saja. Sudah lama saya ingin bertandang ke Fukuhara untuk melihat kemajuan pembangunan pelabuhan di sana dan mengagumi rumah peristirahatan Anda, namun karena pengangkatan resmi Yang Mulia akan dilaksanakan sebentar lagi, berbagai tugas menghalangi saya untuk mengunjungi Anda, Tuan.”

“Justru sebaliknya, jangan sampai hal sepele semacam itu mengganggu tanggung jawab Anda di Istana. Jika rentetan upacara pengangkatan resmi telah berakhir, Anda harus berlibur ke Fukuhara. Dan ini mengingatkan saya untuk menanyakan apakah tanggal pengangkatan Yang Mulia telah ditetapkan.”

“Dewan Kekaisaran sudah memutuskannya, yaitu pada hari ketiga Tahun Baru.”

“Itu akan menjadi hari baik bagi kita semua,” sambut Kiyomori.

Perdana Menteri mengernyitkan keningnya. “Sejujurnya ... ” dia mulai menjelaskan. “Anda mungkin sudah mendengar tentang pertikaian serius yang pecah antara rombongan saya dan rombongan putra Anda pada hari pertemuan Dewan Kekaisaran.”

“Hmm ... ya, saya sudah mendengarnya. Huru-hara besar-besaran, katanya.”

Page 769: The Heike Story

“Saya tidak hendak menimpakan kesalahan kepada siapa pun karena mereka semua sama-sama saling menyerang, namun orang-orang memiliki khayalan mereka sendiri dan menyebarkan desas-desus bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah pertikaian antara keluarga kita.”

“Mustahil bagi kita untuk membendung desas-desus semacam itu. Biarkan saja masyarakat bicara … tapi saya sudah memperingatkan putra saya, Shigemori. Dia sudah bertingkah sangat kekanak-kanakan.”

“Justru sebaliknya, Tuan ... dan alasan saya menemui Anda hari ini adalah untuk meminta maaf. Saya juga layak Anda peringatkan. Baik putra Anda maupun saya sama-sama tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Saya juga sudah mendengar bahwa cucu Anda telah diberangkatkan ke Ise demi menutupi aib, dan saya memohon agar Anda membawanya kembali kemari selain memberikan ampunan kepada saya.”

“Bukan Anda yang harus meminta maaf,” kata Kiyomori sambil tersenyum penuh arti. “Masalah ini sepertinya hanya menambah beban Anda. Hanya Shigemori yang berhak mengambil keputusan bagi putranya. Saya bersikap keras kepadanya karena saya menyayanginya. Shigemori adalah penerus saya, dan dia harus belajar tentang cara bersikap yang baik jika pelayannya terlibat dalam pertikaian. Kali ini dia bersikap di luar kebiasaan, dan saya menyalahkannya. Seorang tabib Cina, yang dahulu mengobati saya, telah memeriksa Shigemori dan menemukan penyakit di perutnya, dan Shigemori harus beristirahat untuk menyembuhkan diri. Kendati sulit bagi Anda, saya memohon agar Anda mau melupakan saja masalah ini.

“Ini lebih daripada yang sepantasnya bagi saya, Tuan.”

Page 770: The Heike Story

“Shigemori akan segera datang, dan saya akan memanggil anak-anak saya yang lain dan Tokitada agar kita bisa minum bersama untuk merayakan perdamaian ini.”

Pada 3 Januari 1173, Kaisar, yang telah berusia sebelas tahun, diangkat secara resmi dengan perayaan besar-besaran. Kemudian, pada bulan Oktober, Mantan Kaisar meminang putri Kiyomori yang ketika itu sudah berusia tujuh belas tahun, Tokuko, untuk putranya. Maka, Tokuko pun secara resmi diangkat menjadi permaisuri bagi Takakura.

Rangkaian peristiwa tersebut mengalir begitu saja sehingga, mau tidak mau, klan Heik6 berada di puncak kekuasaan. Nama Kiyomori menjadi buah bibir semua orang, dan tidak ada yang berani mengatakan hal-hal buruk tentang Heike. Ketakutan juga menguar di udara.

Meskipun begitu, Kiyomori seolah-olah tidak terkesan dengan semua itu, bahkan mengecam kedudukan yang telah ditempati oleh Heik6, karena keinginan sejatinya telah terpenuhi: pembangunan pelabuhan di Owada sudah hampir selesai. Akhirnya, pada tahun ini kapal-kapal akan bisa berlabuh di sana, termasuk kapal-kapal dari negeri Sung.

o0odwkzo0o

Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU

Siapakah itu? Pada suatu sore yang sejuk di tengah musim semi, sebuah suara nyaring melantunkan ayat-ayat suci dan menggangu para pemain musik yang tengah bekerja

Page 771: The Heike Story

“Jangan bergerak! Kau dilarang masuk ... hendak ke mana dirimu?” seorang penjaga menantang.

Adu mulut pun tak terhindarkan.

Seorang pejabat istana yang penasaran meletakkan kecapinya ketika teriakan nyaring sekali lagi terdengar menembus dinding.

Mantan Kaisar memberi isyarat kepada salah seorang pengiringnya. “Pergilah dan periksalah apa yang sedang terjadi.”

Orang itu tiba di lorong, tepat ketika seorang biksu gagah perkasa mendorong seorang penjaga dan berlari menerobos gerbang menuju bagian dalam istana. Rambut si biksu terurai di bahunya dan bulu-bulu di kakinya mencuat-cuat menembus jubah compang-campingnya bagaikan sebatang kayu pinus besar.

“Yang Mulia bisa mendengarku sekarang. Beliau tentu lelah setelah mendengarkan musik seharian. Sebagai gantinya, biarkanlah beliau mendengarkan ceramah Mongaku pada rakyat jelata di jalanan ibu kota!” katanya, mengedarkan pandangan ke halaman dalam yang sempit dan membuka gulungan yang dipegangnya.

“Mongaku dari perbukitan Takao!” seru seorang pejabat istana, mengenali sosok janggal yang sering dilihatnya berdiri di sudut jalan untuk meminta sumbangan.

Mongaku membacakan sebuah surat permohonan sokongan untuk pembangunan sebuah kuil baru, namun surat itu lebih terdengar seperti sebuah pidato kecaman terhadap penyimpangan-penyimpangan di Istana dan gaya hidup mewah para bangsawan.

Page 772: The Heike Story

“Pastikan agar orang itu ditahan,” perintah Mantan Kaisar. Salah seorang pengiringnya melompati langkan dan menyergap Mongaku, memuntir lengannya.

“Apa kau gila! Tidakkah kau tahu bahwa ini adalah Istana?”

Mongaku tetap berdiri tegak ketika si pengiring Kaisar menubruknya.

“Ya,” jawabnya dengan lantang, membiarkan si pengiring Kaisar memegangnya. “Aku sudah menghabiskan bertahun-tahun di perbukitan Takao, berdoa untuk pembangunan sebuah kuil tempat pencerahan akan dihadirkan ke dunia, dan meminta-minta sumbangan dari rakyat jelata di jalanan ibu kota. Aku datang kemari untuk memohon sebuah hadiah dari Yang Mulia ... sepeser pun yang diberikan dengan ikhlas sudah cukup bagiku. Izinkanlah aku menyampaikan permohonanku.”

“Untuk apa kau melakukan kekerasan jika maksud dari kedatanganmu kemari adalah untuk mengajukan permohonan?”

“Aku juga punya batasan. Aku sudah mengetuk gerbang beberapa kali, tapi alunan musik itu meredam semua suara lain dan para penjaga berpura-pura tidak mendengarku. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali menerobos masuk. Jangan bertingkah macam-macam kepadaku atau kau akan menanggung akibatnya!”

“Diamlah, biksu gila!”

Mongaku membebaskan salah satu tangannya dan, dengan sekali gerakan di pergelangan tangannya, melontarkan lawannya sehingga

jatuh ke tanah. Si pengiring Kaisar cepat-cepat berdiri dan kembali menerjang Mongaku, yang menghantam

Page 773: The Heike Story

pipinya dengan gulungan surat di tangannya. Ketika lawannya sekali lagi menyerangnya, Mongaku menghantam dadanya. Si pengiring Kaisar terhuyung-huyung mundur dan roboh ke tanah, tidak sanggup bangkit kembali.

“Apakah kalian masih mau melawanku?”

Mongaku memelototi belasan prajurit yang mengepungnya.

“Jangan gentar! Tubruk kakinya!” para prajurit berseru-seru, menubruk Mongaku.

Mongaku masih memegang gulungan surat, namun sebilah belati tiba-tiba tampak berkilat di dalam genggamannya. “Mundur;” ancamnya; para prajurit serentak mundur begitu Mongaku dengan lincah melompati beberapa anak tangga. Seorang prajurit menerjangnya, dan Mongaku menebaskan belatinya; prajurit itu, dengan lengan berlumuran darah, terus berpegangan kepada Mongaku hingga rekan-rekannya datang, meringkus Mongaku, dan menjebloskannya ke tahanan.

Mongaku diasingkan ke Izu, di wilayah timur Jepang. Sebelumnya, terdapat silang pendapat di antara para penasihat Goshirakawa mengenai apakah Mongaku seharusnya dimaafkan atau tidak, tidak hanya karena dia pendeta tetapi juga karena rakyat menyukainya dan bahkan mencintainya.

Mongaku, mengendarai seekor kuda tanpa pelana ke tempat pengasingannya, tersenyum dan memamerkan gigi cemerlangnya di tengah janggut lebatnya.

“Kudengar teman kita Mongaku telah diasingkan.”

“Teman kita yang menyenangkan itu?”

Page 774: The Heike Story

“Apa alasannya? Diasingkan kemana?”

“Izu. Ke Izu, kata orang-orang.”

Orang-orang berkumpul untuk melepas kepergian Mongaku ketika biksu itu menunggang kudanya melewati jalan-jalan ibu kota. Di persimpangan jalan, dia berceramah sesuai ciri khasnya kepada orang-orang itu hingga para pengawal mendorongnya dengan kesal.

Seorang pria bertubuh kecil berjinjit di sana, memandang dari antara bahu orang-orang lainnya kepada sosok tinggi besar yang bergerak menjauh.

Dengan menegakkan kepala dan menyunggingkan senyum, Mongaku melewati gerbang kota, yang telah dilewati oleh banyak orang buangan lainnya dengan penuh duka dan air mata. Tetapi, ada gelak tawa dan bahkan keceriaan di antara para penonton ketika mereka meleaps kepergian Mongaku. Begitu Mongaku melewati gerbang kota, hanya tersisa beberapa orang saja yang mengikuti arak-arakan itu.

Mongaku tiba-tiba menoleh untuk menyapa pemimpin pasukan pengawalnya, yang berpura-pura tidak mendengarnya. Kemudian, Mongaku mencondongkan badan ke arah prajurit yang menarik kudanya. “Berhentilah. Aku ingin turun,” katanya, menjelaskan bahwa dia harus membuang hajat. Si prajurit berhenti dan menunggu hingga atasannya tiba di dekatnya sebelum menuruti permintaan Mongaku. Mongaku, yang digelandang ke hutan di dekat situ, segera kembali, tetapi alih-alih menunggangi lagi kudanya, dia mendaki gundukan tanah dan duduk di atas sebongkah batu, lalu mengatakan, “Ambilkan air untukku. Aku haus.”

Si pemimpin pasukan menggeleng dan mengernyitkan wajah. Ini tepat seperti yang telah diperkirakannya. Karena

Page 775: The Heike Story

sudah menduga bahwa tahanan ini akan berperilaku menyusahkan, dia memilih para prajurit terkuat untuk menyertainya kali ini ... pasukannya pun berjumlah lebih banyak daripada yang diperlukannya.

“… Tidak banyak yang bisa kita lakukan. Berikan air untuknya,” katanya. “Jangan usik dia dan bujuk dia agar secepatnya menunggangi kudanya lagi.”

Setelah memuaskan dahaganya, Mongaku menoleh lalu berkata kepada si pemimpin pasukan, “Mumpung kita baru sampai di sini, aku ingin berbicara denganmu. Kemarilah. Beristirahatlah sejenak.”

“Apa-apaan ini? Kau adalah seorang tahanan yang hendak diasingkan dan kami adalah pengawalmu. Apa maksudmu bertingkah

seperti ini? Kita akan berlayar dari Otsu dan kau bisa bicara padaku setibanya kita di perahu.”

“Jika begitu, semuanya akan terlambat”

“Kita baru saja keluar dari ibu kota dan kau tidak bisa membuang-buang waktu seperti ini. Naiklah kembali ke kudamu. Jangan sampai perahu kita menunggu terlalu lama di Otsu.”

Mongaku bergeming. “Kau tidak ingin bercakap-cakap denganku?” katanya, tertawa meledek. “Ah, panglimaku yang malang ... Genji terakhir di ibu kota! Waktu aku mendengar bahwa putra Yorimasa akan mengawalku, aku senang karena mengira akan mendapatkan teman bicara. Astaga, ternyata kau sama saja dengan mereka semua!”

Dengan wajah merah padam, si pemimpin pasukan turun dari kudanya. Dia menyerahkan tali kekang kudanya kepada seorang anak buahnya, lalu menghampiri Mongaku dengan sikap terkendali.

Page 776: The Heike Story

“Biksu yang terhormat, ayahku sering berbicara tentangmu. Anak-anak buahku sudah diperintahkan untuk tidak memperlakukanmu seperti tahanan biasa, tapi aku tidak akan membiarkanmu bertingkah seperti ini karena aku harus menjalankan tugasku.”

“Aku tidak ingin menyusahkanmu, tapi tentunya kau tidak ingin pergi ke pengasingan tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanmu?”

“Tidak ada peraturan yang melarangnya. Setidaknya, yang bisa kami lakukan adalah menoleh ke arah lain waktu kau berbicara dengan mereka.”

“Itu dia! Aku ingin kau melakukan itu. Aku sebenarnya berhati lunak, dan waktu melihat beberapa orang mengikutiku ke sini jauh-jauh dari penjara, aku merasa bahwa aku harus menenangkan mereka dan menyuruh mereka pulang. Berikanlah sedikit waktu agar aku bisa berbicara dengan mereka.”

Si pemimpin pasukan mengerutkan kening, ragu-ragu. “Yah, baiklah, namun cepatlah,” katanya, memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menepi.

Mongaku berdiri dan melambai kepada beberapa sosok di kejauhan. Para prajurit melihat beberapa orang berlari mendekat ... empat atau lima orang biksu muda, pasangan suami istri, dan seorang pria biasa. Para biksu itu adalah pengikut Mongaku dari Takao, dan Mongaku menggunakan kesempatan itu untuk menasihati mereka. Asatori dan istrinya, Yomogi, turut melepas kepergian Mongaku dengan harapan agar bisa mendengar kata-kata terakhir darinya. Mereka menatap Mongaku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku sudah menduga bahwa kalianlah yang mengikutiku kemari,” kata Mongaku. “Bagaimanakah

Page 777: The Heike Story

kabar kalian? Apakah kalian masih tinggal di Jalan Pedagang Sapi? Semuanya baik-baik saja? Sekarang adalah saat yang tepat untuk memiliki anak ... apakah kalian sudah punya anak?”

“Kami memiliki seorang anak, yang langsung meninggal dunia setelah dilahirkan, dan tidak ada lagi yang lahir sesudahnya,” kata Asatori. “Aku dan Yomogi sudah sangat lama mengenalmu, tapi kami tidak pernah menyangka bahwa kita akan berpisah dengan cara seperti ini.”

“Benar, kita dipertemukan dalam banyak kesempatan aneh. Setelah Perang Hogen, aku dan Asatori berbagi makanan dan tempat berteduh di reruntuhan Istana Mata Air DedaJu. Dan kau, Yomogi, waktu itu kau adalah gadis cilik pengasuh anak-anak Nyonya Tokiwa, dan kau sering mendatangi Istana Mata Air DedaJu dengan membawa embermu. Ya, kalian berdua telah banyak berubah, begitu pula dunia!”

‘Tentu saja, itu sudah bisa diduga. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama kita,” kata Yomogi, menjejalkan sebuah bungkusan kecil ke tangan Mongaku. “Ini obat-obatan, kalau-kalau kau jatuh sakit Ada tujuh rupa di dalamnya. Yang lainnya adalah nasi

kepal dengan daun kenikir yang baru kumasak tadi pagi. Bekal untuk kausantap saat menyeberangi danau.”

“Ternyata kau masih mengingat sayuran kesukaanku! Aku sangat berterima kasih kepada kalian untuk bekal dan obat-obatan ini.”

Mongaku kembali menoleh kepada Asatori. “Dan pendidikanmu?”

“Ini kabar lain yang ingin kusampaikan kepadamu ... dan kau akan senang mendengarnya. Baru-baru ini, aku

Page 778: The Heike Story

mendapatkan izin praktik dan diterima di Akademi Pengobatan. Tapi, aku sama sekali tidak berminat untuk bekerja di Istana karena berharap bisa mengabdikan seluruh ilmuku di Jalan Pedagang Sapi, menolong rakyat miskin.”

Mongaku mengangguk setuju. “Betapa berlainannya jalan hidup membawa kita, walaupun kita menginginkan hal yang sama ... sebuah surga di dunia! Kau memang terlahir sederhana, dan aku ... penuh gejolak!”

“Mongaku yang baik, sikapmu benar, dan kau telah mengusahakan dengan sepenuh jiwamu untuk melawan begitu banyak kejahatan di dunia ini. Tetap saja, aku tak mengerti mengapa kau bertingkah seperti itu di Istana Kloister, tempat mereka menganggapmu sebagai orang gila.”

“Sayang sekali, Asatori, tindakan dan hatiku tidak seiring sejalan. ... Ya, aku sudah menghabiskan bertahun-tahun di Air Terjun Nachi, berharap bisa menyucikan diri dengan airnya, tapi aku baru menyadari bahwa penebusan dosa bukanlah satu-satunya tujuanku. Aku tidak terlahir untuk menjadi seorang perenung, karena aku tidak bisa mengabaikan kejahatan dan kebejatan di dunia ini. Aku hanya melakukan apa pun yang kuanggap benar, dan aku ingin mencari cara untuk melenyapkan seluruh kebusukan dari ibu kota ini ... kebejatan Pemerintahan Kloister dan arogansi Heik6. Bagaimana caranya, aku tidak bisa memberi tahu kalian, tetapi, Asatori, kau akan melihatnya sendiri dalam beberapa tahun ke depan.”

Mongaku mendadak terdiam dan menoleh dengan waspada ke arah pasukan pengawalnya, yang berdiri tidak jauh dari sana.

Khawatir Mongaku akan mengamuk lagi, Asatori melirik Yomogi, namun si pemimpin pasukan telah

Page 779: The Heike Story

menoleh ke arah Mongaku dan mendesaknya untuk segera menyelesaikan urusannya.

Mongaku menunggangi kudanya. “Baiklah,” katanya sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada Asatori dan Yomogi.

Seorang pria muda yang setengah tersembunyi di balik semak-semak di dekat gundukan tanah, menantikan kesempatan untuk berbicara dengan Mongaku, keluar tepat ketika iring-iringan itu berangkat Dia berdiri diam, menatap kepergian Mongaku. Ketika Mongaku menoleh sekali lagi, keduanya menunjukkan tanda-tanda saling mengenali. Kemudian, Mongaku kembali menoleh ke depan dengan santai dan memandang sinar matahari yang menerobos sela-sela dedaunan.

Ketika hendak beranjak dari sana, Yomogi dan Asatori mendengar seseorang memanggil nama mereka.

“Oh? Kapankah kita terakhir kali bertemu?”

“Mungkin kau ingat, kau pernah bertemu denganku di Bukit Funoka beberapa tahun silam ... di pemakaman, ketika nyonyaku Toji jatuh sakit Kau sangat baik kepada beliau.”

“Ya, tentu saja, kau merawat wanita itu bersama para geisha.”

“Ya ... dan nyonyaku pernah mengunjungimu untuk mengucapkan terima kasih di rumahmu di Jalan Pedagang Sapi.”

“Sekarang aku ingat …. Kau hendak pergi ke mana sekarang?”

“Aku datang kemari untuk mengucapkan selamat jalan kepada tahanan itu.”

Page 780: The Heike Story

“Kau juga mengenalnya?”

“Sudah sejak lama. Dia memberiku nasihat ketika aku paling membutuhkannya dan aku selalu bersyukur karenanya. Begitulah,” kata pria itu. Karena masih ingin bercakap-cakap dengan Asatori dan Yomogi, dia melanjutkan, “Jika bukan karena dia, aku tentu sudah mati sekarang, begitu pula majikan istrimu ini. Dua nyawa terselamatkan pada hari ketika aku bertemu dengannya.”

Yomogi terperanjat, lalu menoleh kepada pria asing itu, yang sedang menatap tajam kepadanya. Pria itu dengan malu menurunkan pandangannya dan, sesudah memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana, berbisik:

“Yomogi ... kau dan aku sama-sama mengabdi kepada Tuan Genji Yoshitomo sekitar dua puluh tahun yang lalu. Apakah kau masih ingat?”

“Ya, Tuan Yoshitomo ... ”

“Tuan Yoshitomo adalah kekasih nyonyamu, kau tahu.”

“Aku selalu menangis setiap kali memikirkan masa lalu ... ”

“Aku adalah pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo ketika itu. Kau pasti masih ingat bahwa akulah yang mencoba membalas dendam untuk almarhum tuanku ketika nyonyamu bersedia menjadi simpanan Kiyomori. Akulah yang meninggalkan pesan di kebun rumah peristirahatan di Mibu.”

“Astaga, kau pasti Konno-maru!”

“Benar.”

Yomogi membelalakkan mata dengan takjub. Dia gemetar ketakutan sehingga harus berpegangan kepada Asatori.

Page 781: The Heike Story

“Jangan takut,” kata Konno-maru, “karena aku sudah lama melupakan semua rencana jahatku. Aku menjadi pelayan di tempat hiburan dan mengawasi Nyonya Tokiwa dari jarak jauh.”

Yomogi tiba-tiba merasa malu akibat ketakutannya. “Konno-maru, apakah kau masih suka menjumpai nyonyaku?” tanyanya.

“Ya, selama hampir sepuluh tahun, aku mengendap-endap ke kebun dan menemui beliau. Akulah satu-satunya orang yang mengenal beliau ketika beliau masih bahagia, dan beliau selalu senang saat berjumpa denganku.”

“Oh, apa yang sudah kulakukan!” kata Yomogi dengan putus asa. “Sekali pun aku belum pernah mengunjungi beliau sejak aku menikah. Bagaimanakah keadaan beliau sekarang?”

“Beliau sakit sejak hampir setahun terakhir.” “Sakit?”

“Beliau hanya bisa berbaring selama enam bulan terakhir. Aku tidak pernah menemui beliau sejak saat itu, walaupun aku masih mengendap-endap ke kebunnya.”

“Aku tidak pernah menyangka bahwa beliau sakit …”

“Jika bukan karena Mongaku, aku tidak akan kemari hari ini. Tapi, aku ingin berbicara denganmu. Ini agak mendadak, tapi ... ” Konno-maru menoleh kepada Asatori. “Bisakah kau menyampaikan pesanku untuk Nyonya Tokiwa?”

Asatori bertanya dengan heran. “Mengapa kau memintaku?”

“Kau seorang tabib dan Yomogi pernah menjadi dayang Nyonya Tokiwa, jadi kalian tidak akan kesulitan menemui

Page 782: The Heike Story

beliau. Kuharap kau mau memberikan sesuatu dariku untuk beliau.”

Asatori menatap Yomogi dengan ragu-ragu, tidak mampu menjawab. Namun Yomogi, yang senang karena mendapatkan alasan untuk menemui mantan majikannya, langsung setuju.

“Tentu saja kami mau, dan suamiku pasti akan bisa mencari penyebab penyakit beliau. Beliau pasti akan senang jika bisa bertemu dengan kami. Apakah yang akan kautitipkan kepada kami?”

“Aku tidak membawanya sekarang, tapi aku akan membawanya ke rumah kalian besok malam. Ingatlah bahwa semua ini harus dirahasiakan.”

‘Tentu saja, kami tidak akan mengatakannya kepada siapa pun.”

“Aku tidak tahu apakah kabar ini bisa dipercaya atau tidak, tapi aku mendengar bahwa mata-mata Heike ada di mana-mana, memasang mata dan telinga.”

‘Tapi, kau tidak meminta kami untuk melakukan sesuatu yang sulit bukan?”

“Sama sekali tidak. Kalian hanya perlu memastikan agar sebuah bungkusan yang sangat kecil sampai di tangan Nyonya Tokiwa. Jangan sampai benda itu jatuh ke tangan Heik6, karena beliaulah yang akan menanggung akibatnya. Ini harus benar-benar dirahasiakan. Aku akan datang ke Jalan Pedagang Sapi besok malam,” Konno-maru mengakhiri pembicaraan dan meninggalkan mereka.

Konno-maru menepati janjinya untuk mendatangi rumah Asatori pada malam berikutnya. Setelah mengulangi peringatannya tentang perlunya menjaga rahasia, dia menyerahkan sebuah bungkusan kecil dan pergi dari sana.

Page 783: The Heike Story

“Apakah isinya menurutmu?” tanya Asatori dengan gelisah.

“Hanya surat, aku yakin,” Yomogi menenangkan suaminya, tidak sabar menantikan kunjungan kepada mantan majikannya. “Bukan hanya satu melainkan setumpuk. Jadi, kapankah kau bisa pergi bersamaku ke rumah Nyonya Tokiwa?”

“Kapan pun. Apakah kau tidak takut dicurigai?”

“Mengapa mereka harus mencurigai kita?”

“Orang-orang masih ingat bahwa Nyonya Tokiwa pernah memiliki keterkaitan dengan Genji, dan jika kita pergi ... ”

“Lagi pula, aku hanyalah seorang pelayan dan tetap mendampingi nyonyaku bahkan setelah beliau menikah lagi. Aku tidak melihat alasan mengapa orang-orang akan mencurigaiku. Lagi pula, kau belum pernah memohon doa dan restu beliau, dan sudah saatnya kau melakukan itu, karena sekarang kita sudah menikah. Tidakkah kau sependapat denganku?”

o0odwkzo0o

Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI

Beberapa hari kemudian, Asatori memakai kimono bersih yang telah dipersiapkan oleh Yomogi untuknya, dan Yomogi sendiri mengenakan kimono terbaiknya. Mereka berdua pun berangkat ke rumah mewah di Jalan Pertama, tempat tinggal Tokiwa.

Page 784: The Heike Story

Kini, Tokiwa telah melewati usia tiga puluhan. Dia memiliki satu anak dari pernikahan keduanya dengan seorang bangsawan tua dari klan Fujiwara, namun kareka kesehatannya yang rentan, dia mengucilkan diri di salah satu sayap rumah besar itu. Hanya ada beberapa tamu yang pernah menjenguknya, dan kesunyian kehidupannya hanya sesekali disela oleh kedatangan para pendeta pada hari-hari besar tertentu.

Konno-maru seoranglah yang secara teratur mengunjunginya, dengan diam-diam, untuk membawakan kabar tentang ketiga putranya. Dan, setiap kali bertemu dengan Tokiwa, Konno-maru selalu berceloteh tentang masa depan dengan berapi-api:

“Heikt tidak akan pernah bermimpi tentang apa yang terjadi di timur, tapi kejayaan mereka tidak akan berlangsung selamanya. Mereka tengah dimabuk kekuasaan sehingga tidak menyadari bahwa pada suatu hari nanti, Genji akan membalas mereka. Yoritomo di Izu

sudah dewasa, dan putra bungsu Anda, Ushiwaka, yang saat ini ada di Gunung Kurama, juga akan segera dewasa.”

Tokiwa, yang belum melupakan kengerian perang, bergidik setiap kali Konno-maru membicarakan hal itu. Dia juga menyangsikan bahwa beberapa orang Genji yang tersisa akan bisa menaklukkan Heik6, dan dia telah berulang kali memohon kepada Konno-maru, “Jangan biarkan anakku tersedot oleh pusaran tanpa ujung itu, Konno-maru. Jangan pernah berbicara tentang hal itu kepada mereka.”

Tokiwa teramat merindukan Ushiwaka. Anak itu sudah berumur lima belas tahun sekarang ... ceria dan keras kepala, kata Konno-maru, dan dari ketiga anak Tokiwa, hanya dialah yang terus bersikeras meminta kepada Konno-

Page 785: The Heike Story

maru untuk dipertemukan dengan ibunya. Dia bahkan mengancam untuk berangkat sendiri menemui ibunya. Tokiwa sendiri benar-benar tergoda untuk menyetujui kedatangan putranya ketika Konno-maru mengatakan:

“Nyonya, saya memohon kepada Anda untuk menunggu di dekat semak-semak di dekat sungai, agar dia bisa melihat Anda dari kejauhan.”

Tetapi, Tokiwa mengetahui besarnya risiko yang akan ditanggung oleh Ushiwaka dan, terlebih lagi, dia yakin bahwa setelah merasakan kebebasan, Ushiwaka tidak akan mau lagi kembali ke biaranya di Gunung Kurama. Tokiwa akhirnya menolak untuk bertemu dengan Konno-maru lagi dan menyuruh dayangnya menyampaikan pesan kepada pria itu bahwa dia sakit.

Semua pintu dan jendela kamar Tokiwa tertutup kecuali yang menghadap ke halaman dalam. Tokiwa sedang larut dalam kegiatan sehari-harinya, yaitu menyalin ayat-ayat suci, ketika dayangnya menghampiri dan mengatakan bahwa dua orang tamu telah datang untuk menemuinya. Keterkejutan Tokiwa berubah menjadi kegembiraan ketika dia mendengar siapa mereka, dan dia buru-buru meninggalkan meja tulisnya untuk menyambut mereka.

Yomogi, melupakan salam hormat yang telah dengan tekun dihafalnya, langsung berurai air mata begitu melihat mantan majikannya.

“Baik sekali dirimu karena mau menjengukku, Yomogi!” kata Tokiwa. “Sudah bertahun-tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Dan kau banyak berubah setelah menikah!”

Sementara kedua wanita itu saling menyapa dengan hangat, Asatori mengamati penampilan Tokiwa dengan mata tabib yang sudah terlatih. Dia tidak melihat sesuatu

Page 786: The Heike Story

pun yang salah dengannya. Nama Konno-maru pun akhirnya disebut dalam pembicaraan mereka.

“Konno-maru memberi tahu kami bahwa Nyonya sakit, tapi untunglah suami saya tabib dan bersedia untuk menemani saya kemari hari ini. Ini Asatori,” kata Yomogi, memperkenalkan suaminya untuk pertama kalinya. Dengan sangat bangga, dia menjelaskan bahwa Asatori pernah menjadi pemain musik di Istana, dan dia meninggalkan pekerjaannya itu untuk mempelajari ilmu pengobatan.

Asatori duduk di hadapan istrinya yang cerewet dan mendengarkan sambil sesekali mengangguk. Kemudian, Tokiwa menoleh ke arahnya dan menyapanya dengan senyum terulas.

“Maafkan aku karena sudah membuat kalian cemas. Sejujurnya, aku sehat-sehat saja. Aku berbohong tentang penyakitku karena khawatir orang-orang akan bergunjing, dan kupikir, jika Konno-maru mengatakan bahwa aku sakit, Ushiwaka akan mengurungkan niatnya untuk datang kemari. Jika Ushiwaka melarikan diri dari Gunung Ku rama dan datang kemari, aku tahu bahwa kehidupannya akan berakhir.”

Beberapa titik air mata mengalir di pipi Tokiwa. Dengan lembut, Yomogi mengeluarkan bungkusan kecil yang dibawanya dan meletakkannya di depan Tokiwa.

“Konno-maru menitipkan ini untuk Anda, Nyonya.”

Tokiwa memandang bungkusan kecil itu, mendadak disergap oleh kerinduan yang mendalam. Dia cepat-cepat membukanya. Benda

itu pasti dikirim oleh Ushiwaka, firasatnya berkata ... Ushiwaka, yang cerita-cerita tentang kenakalannya sudah sering didengar oleh Tokiwa. Ushiwaka adalah seorang

Page 787: The Heike Story

anak aktif dan jenaka, yang selalu melakukan kenakalan di biara-biara Gunung Kurama dan memancing kekesalan semua biksu. Kepala biara, yang semula diberi tanggung jawab untuk membesarkannya, akhirnya angkat tangan dan menyerahkannya kepada kepala biara yang lain, yang juga kewalahan menghadapinya. Laporan tahunan mengenai perilaku Ushiwaka yang didapatkan oleh Kiyomori begitu meresahkan sehingga dia merasa perlu mengirim seseorang dari Rokuhara untuk menguraikan kemelut di sekitar bocah itu. Akhirnya, Tokiwa mendengar bahwa pihak yang berwenang telah memperketat pengawasan mereka kepada Ushiwaka.

Tahun depan, Ushiwaka akan berusia enam belas tahun, cukup besar untuk menjalani penahbisan, pikir Tokiwa. Dia juga cukup besar untuk melampiaskan rasa duka akibat kematian ayahnya dan nasib buruk ibunya dengan melakukan tindakan melanggar hukum. Satu-satunya doa yang selalu dipanjatkan oleh Tokiwa adalah agar Ushiwaka berhenti memberontak terhadap penahannya, tunduk pada takdirnya, dan menjalani hari-harinya dalam kedamaian.

Dari bungkusan yang dibukanya, Tokiwa mengeluarkan sehelai kain berwarna cemerlang yang dirobek dari bagian lengan kimono pendeta muda. Sepucuk surat tersembunyi di dalamnya.

“Ibuku,” begitulah surat itu dimulai.

Apakah Ibu sudah sembuh? Setelah Konno-maru mengabariku bahwa Ibu sakit, aku selalu memimpikan Ibu setiap malam. Dari puncak gunung ini, aku bisa melihat cahaya-cahaya lentera di ibu kota, dan aku kerap memandang ke arah rumah Ibu sambil berdoa agar Ibu segera pulih kembali.

Page 788: The Heike Story

Mereka mengatakan bahwa aku harus menjalani penahbisan tahun ini, tapi aku tidak mau menjadi seperti biksu-biksu itu.

Kain ini kurobek dari lengan kimono yang kupakai waktu aku berumur tujuh tahun dan pertama kali ambil bagian dalam upacara sakral itu. Tentu saja, aku sudah banyak berubah sejak itu.

Festival Besar Gunung Kurama akan berlangsung pada 20 Juni Aku akan ambil bagian dalam upacara sakral di situ, tapi aku tidak bisa memberi tahu Ibu tentang apa yang akan terjadi padaku tahun depan.

Ibuku, kirimkanlah kepadaku pernak-pernik yang pernah Ibu pakai melalui Konno-maru.

Udara masih dingin wataupun musim semi telah datang, jadi Ibu harus minum obat secara teratur agar bisa lekas pulih.

Putra Ibu, Ushiwaka

Air mata Tokiwa menetes ke secarik kertas yang dipegangnya. Kemudian, dia menyodorkan surat itu kepada Yomogi dan mengatakan, “Yomogi ... bacalah ini.” Tokiwa pun menangis terisak-isak seraya menciumi robekan lengan kimono yang dikirim oleh Ushiwaka.

Yomogi dan Asatori saling melempar tatapan iba dan bersiap-siap untuk mengakhiri kunjungan yang hanya menghadirkan kesedihan kepada Tokiwa ini, namun Tokiwa mendesak mereka untuk tetap tinggal hingga lentera-lentera dinyalakan.

Ketika pasangan itu akhirnya berpamitan, Tokiwa mengeluarkan sebuah kotak mungil dan mengatakan. “Ada sepucuk surat untuk Ushiwaka di dalamnya. Maukah kalian mengusahakan agar dia menerimanya?”

Page 789: The Heike Story

Kotak itu, yang berukuran selebar telapak tangan, memuat sebuah patung Kannon dari perak dan sepucuk surat.

Setibanya di rumah, Asatori dan Yomogi meletakkan patung itu di atas meja.

“Bagaimana kita bisa menyampaikan benda ini kepada Ushiwaka tanpa terlihat oleh siapa pun? Ada sangat banyak orang yang akan melihat kita di Gunung Kurama. Kita bisa terjerat masalah jika petugas dari Rokuhara tahu,” kata Asatori.

Yomogi menghela napas panjang. “Entah apa alasan Nyonya Tokiwa berbuat seperti ini.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku adalah ... jika nyonyaku begitu mengkhawatirkan Ushiwaka, mengapa beliau tidak mau menemui Konno-maru?”

Asatori mendekatkan diri kepada istrinya. “Ini tidak sesederhana yang kaupikirkan. Pendapat Konno-maru tentang kesetiaan jauh berbeda dari pendapat Nyonya Tokiwa.”

“Dalam hal apa?”

“Lebih baik aku tidak memberitahumu.”

“Kau tidak mau memberitahuku ... istrimu sendiri?”

“Nah, Yomogi, kau terlalu mudah tersinggung.”

“Lagi pula, beliau adalah nyonyaku tersayang, dan dahulu, akulah yang bertugas menggendong Ushiwaka dan mengasuhnya, meminta-minta susu untuk diberikan kepadanya. Aku sudah melakukan banyak hal untuk Ushiwaka, dan tidak banyak yang bisa kulakukan untuknya sekarang. Wajar kalau aku kesal, bukan?”

Page 790: The Heike Story

“Yomogi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tetapi, keinginan Konno-maru terhadap Ushiwaka berlawanan dengan keinginan Nyonya Tokiwa.”

“Berlawanan?”

“Ya, itulah inti masalahnya. Kita harus berpikir dengan cermat sebelum mengambil tindakan apa pun.”

“Baiklah, tapi apa maksudmu dengan apa pun? Apa maksudmu dengan berlawanani Kau harus terlebih dahulu menjelaskannya kepadaku.”

Asatori menurunkan nada bicaranya sambil dengan resah mengintip ke luar jendela. “Hati-hati, Yomogi, kau memang agak cerewet, jadi kau harus sangat berhati-hati agar tidak ada yang mendengar tentang ini.”

“Ya, aku memang cerewet, memangnya apa masalahnya!”

“Sudahlah, Yomogi, jangan marah-marah begitu! Pertama-tama, dengarlah apa yang akan kusampaikan kepadamu. Mengapa

menurutmu Nyonya Tokiwa bersedia menjalani seluruh aib yang ditimpakan kepadanya?”

“Karena pesan terakhir Tuan Yoshitomo kepada beliau, tentu saja. Lagi pula. Tuan Yoshitomo mencintai beliau dan mereka berdua sudah memiliki tiga orang anak …. Dan, walaupun hatinya hancur dan anak-anaknya direnggut darinya, nyonyaku selalu memikirkan mereka. Aku pun akan melakukan hal yang sama seandainya aku menjadi beliau.”

“Bagi Konno-maru, masalahnya berbeda. Dia adalah seorang samurai dan tidak pernah melupakannya. Kesetiaan, dalam pemahamannya, berarti dia harus

Page 791: The Heike Story

memastikan bahwa salah satu putra Tuan Yoshitomo akan mengikuti jejak ayahnya menjadi kepala klan Genji. Dengan kata lain, pada suatu hari nanti, Genji harus cukup kuat untuk menggulingkan Heik6.”

“Itu pasti akan membahagiakan nyonyaku.”

“Ah, Yomogi, apakah kau sudah melupakan seperti apa keadaan di sini selama perang Hogen dan Heiji? Sekarang pun kau bahkan masih sering menceritakan tentang masa-masa berat yang kaulalui bersama Nyonya Tokiwa dan anak-anaknya. Sudah lupakah kau pada semua kejadian menyedihkan yang menimpamu? Tentu saja, kau pasti merasa bahwa Ushiwaka adalah darah dagingmu sendiri.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Seandainya kau menjadi Nyonya Tokiwa, yang berusaha melarikan diri dari ibu kota bersama anak-anak yang masih kecil, kau tidak akan menginginkan perang pecah lagi.”

“Tapi, pernahkah aku mengatakan bahwa aku menginginkan perang pecah lagi?”

“Itu sama halnya dengan percaya bahwa Konno-maru benar.”

“Apakah kau mengatakan bahwa Konno-maru jahat karena berpikir begitu?”

“Tidak. Dia beranggapan bahwa ini adalah tugasnya sebagai seorang samurai, tapi aku yakin bahwa Nyonya Tokiwa benar karena tidak menginginkan anak-anaknya ambil bagian dalam pertumpahan

darah dan berharap mereka menjalani kehidupan yang damai sebagai biksu.”

Page 792: The Heike Story

“Baiklah, kalau begitu, apakah yang akan kita lakukan dengan patung ini?”

“Akan jauh lebih sulit untuk memberikan patung ini kepadanya setelah Rokuhara menempatkan prajurit di sekitar Gunung Kurama. Tetap saja, aku tidak akan tenang sebelum berusaha menemui Ushiwaka untuk menyerahkan patung dan surat dari ibunya. Salah juga jika aku tidak mengatakan kepadanya tentang perasaan ibunya dan mengingatkannya tentang kewajibannya kepada ibunya.”

“Sungguh berat tugas yang harus kita emban ini!”

“Itulah tepatnya yang ada di benakku waktu kita sedang berbicara dengan Nyonya Tokiwa. Bertemu dengan Ushiwaka saja sudah sulit apalagi membuatnya memahami keinginan ibunya.”

“Sulit? Menurutku, kau hanya membesar-besarkannya.”

‘Tidak, kau salah tentang ini, Yomogi. Ini lebih rumit daripada yang kaukira, dan jika kita salah langkah, perang bisa-bisa kembali pecah,” kata Asatori sambil menghela napas sekaligus berdoa. Kemudian, dia mengatakan kepada Yomogi tentang cara yang akan digunakannya untuk mencapai Gunung Kurama.

Yomogi, yang tidak pernah mengira bahwa suaminya bisa bertindak seberani itu, dengan takjub mendengarkan rencana Asatori.

“Sebaiknya aku pergi seorang diri, Yomogi. Itu lebih baik.”

“Apakah kau yakin akan keselamatanmu jika kau pergi sendiri?”

“Aku tidak yakin tentang hal itu, tapi aku sudah meneguhkan hatiku.”

Page 793: The Heike Story

Asatori mempersiapkan diri untuk mengemban tugasnya seolah-olah dirinya hendak melakukan sebuah perjalanan panjang. Setelah menyiapkan bekal berupa makanan kering dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, dia mempersenjatai diri dengan sebilah belati dan menyimpan seruling kesayangannya, yang sudah bertahun-tahun tidak dimainkannya, di balik obi yang mengikat celananya. Kemudian, pada suatu malam di bulan Mei, dia berangkat ke Gunung Kurama. Alih-alih melewati rute biasa, yang akan membawanya ke kaki gunung saat fajar merekah, dia memilih jalan lain yang jarang digunakan dan lebih sulit ditembus untuk menghindari perjumpaan dengan orang lain. Dia mengawali perjalanannya dengan melintasi padang rumput gersang yang gelap dan sunyi. Musim hujan hampir tiba sehingga tidak tampak bintang-bintang yang bisa dijadikan panduan. Ketika memasuki wilayah berbukit-bukit dengan gunung menjulang tinggi di hadapannya, Asatori teringat pada cerita tentang para pencoleng yang pernah merajai daerah itu. Dia mendadak ketakutan dan memutuskan untuk beristirahat di rumah pertama yang ditemuinya. Seberkas cahaya tiba-tiba terlihat di antara pucuk-pucuk ilalang; Asatori mendesah lega ketika melihat sebuah gubuk reyot di sebentang tanah terbuka. Deretan tanaman gandum mengelilingi gubuk itu. Keceriaan musim semi seolah-olah memecahkan kesunyian. Kemudian, Asatori mendengar suara-suara.

“Seekor kuda? Seekor kuda sudah cukup untuk mengirimkan pesan.’

“Ya, benar, seekor kuda! Tidak hanya praktis ... tetapi juga bisa dikendarai!”

“Kau semakin lembek saja, ya, setelah bersembunyi terlalu lama?”

“Begitulah. Gara-gara tidak punya kegiatan.”

Page 794: The Heike Story

“Tapi, kita perlu uang untuk mendapatkan kuda.”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sana. Kau akan bisa menemukan berbagai macam kuda di istal-istal terbaik di ibu kota.”

‘Tidak, bukan itu.”

Asap mengepul dari sebuah jendela kecil di salah satu sisi dinding yang kasar. Asatori berjinjit dan mengintip melalui lubang angin; tujuh atau delapan orang pemburu, pembuat arang, dan penebang kayu tengah berkumpul sambil minum-minum di sekeliling tungku yang menyala. Asatori terkejut ketika melihat penampilan mereka dan langsung menjauh dari jendela. Mereka bukan orang gunung biasa!

“Apa salahnya dengan itu?” tanya salah seorang dari mereka sambil menyambar guci sake dan menuangkan isinya untuk teman yang ditanyainya.

“Aku tidak perlu menjelaskannya, jika bisa membeli kuda, sebaiknya kita memilih kuda pengangkut barang.”

“Kuda pengangkut barang tidak akan berguna.”

“Ya, tapi kuda yang bagus bisa dipastikan akan menarik perhatian dan memancing kecurigaan orang-orang kepada kita.”

“Betul ... itu betul. Sudahlah. Tidak ada gunanya membaha sesuatu yang mustahil.”

“Bagaimana kalau kita membahas lagu-lagu yang akan kita nyanyikan sambil menunggang kuda?”

“Itu dia! Kalau kau sudah muak dengan wilayah timur, menyanyilah!”

Dua orang yang semula terlibat dalam perdebatan panas pun bergabung dengan yang lainnya, bertepuk tangan mengiringi sebuah lagu. Lagu yang gaduh itu sulit dipahami

Page 795: The Heike Story

oleh Asatori. Mereka menyanyikannya berulang-ulang, dan jiwa pemain musik di dalam diri Asatori mengenali irama yang mengalun dari tanah, senandung padang rumput, deru angin dini hari, dan bintang-bintang di langit Tidak ada kemiripan antara lagu itu dan musik yang didengarnya di Istana, namun Asatori menikmatinya.

Segumpal asap tiba-tiba mengepul dari jendela tempat Asatori mengintip; dia tercekik karena terbantuk-batuk beberapa kali, lalu segera bersembunyi.

“Apa itu?”

Keheningan menyusul. Asatori, berlari terbirit-birit menyongsong kegelapan malam. Begitu mendengar langkah kaki Asatori, kepanikan melanda orang-orang di dalam gubuk itu. Sebuah teriakan nyaring terdengar. Lebih banyak teriakan dan langkah kaki memburu Asatori. Anak-anak panah mulai berdesingan di sekitarnya dan melesat melewati telinganya. Asatori membiarkan kakinya membawanya kabur dari sana.

Dua hari kemudian, Asatori duduk di atas sebuah tebing batu, menyantap bekal pertamanya ... adonan fermentasi kacang-kacangan dan sayuran kering, dan sejumput nasi kering yang dibasahi dengan air dari sungai di dekatnya. Gumpalan-gumpalan awan tampak indah senja itu, dan ikan-ikan berkecipakan di permukaan air. Sambil memikirkan di mana dirinya tengah berada, Asatori menghampiri tepi tebing dan mengamati wilayah di sekelilingnya. Ke mana pun matanya memandang, hanya puncak gunung yang dilihatnya.

Dia tidur nyenyak sepanjang siang itu di hutan dan merasa lebih segar setelah terjaga, walaupun tetap belum bisa menduga di mana dirinya berada. Sehari sebelumnya, dia mendaki perbukitan, tempatnya sesekali melihat gubuk-

Page 796: The Heike Story

gubuk penebang kayu atau pembuat arang. Dari tempat persembunyiannya, Asatori mengamati para penebang kayu dan pembuat arang itu, yang di matanya mirip dengan orang-orang yang dilihatnya semalam sebelumnya, bekerja keras. Dia pun terkejut ketika melihat busur-busur panah dan tombak-tombak menggantung di dinding gubuk mereka.

Asatori mengedarkan pandangan. Seluruh pemandangan di depannya seolah-olah mengambang di tengah genangan biru tua. Bintang-bintang segera bermunculan di langit, dan di lembah di tebing seberang, tampaklah tiga berkas cahaya terang. Mendadak terlintas di benak Asatori bahwa dia sudah sangat dekat dengan Gunung Kurama, dan cahaya-cahaya itu berasal dari salah satu biara. Saat itu juga, dia memutuskan untuk mencapai Gunung Kurama sebelum pagi tiba dan bersembunyi di sana hingga mendapatkan kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Ushiwaka.

Jalan setapak yang dilewatinya berliku-liku dan terkadang lenyap begitu saja, namun tidak seperti biasanya, bintang-bintang bersinar sangat cemerlang untuk ukuran bulan Mei. Bulan meninggi ketika Asatori berjalan melintasi lembah. Akhirnya, dia tiba di tepi selarik sungai dan berjalan di atas sebatang pohon tua yang dijadikan jembatan di sana. Asatori tengah meraba-raba tanah di depannya untuk mencari jejak ketika tiba-tiba dikejutkan oleh suara-suara dalam dan teredam. Dia menoleh dan melihat beberapa orang menyeberangi sungai. Mereka mengenakan pakaian hitam yang pas di badan dan membawa pedang panjang. Wajah mereka tertutup topeng. Mereka melintas di dekat tempat Asatori berdiri dan lenyap begitu saja bagaikan desiran angin malam.

o0odwkzo0o

Page 797: The Heike Story

Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA

Belasan atau lebih banyak penginapan dan rumah singgah kecil berdiri di sepanjang jalan menuju Gunung Kurama dan kedelapan belas biaranya. Seorang pengelana turun dari kudanya di depan sebuah rumah singgah dan menambatkan kudanya ke sebatang tiang sambil memandang pinggiran atap rumah itu.

“Bunga wistaria itu indah sekali!” serunya. “Apakah kau baik-baik saja? Aku kembali lagi tahun ini, seperti yang kaulihat sendiri!” Beberapa buah bangku dan meja diletakkan di salah satu sisi rumah, tempat beberapa orang biksu sedang mengobrol dan tertawa-tawa dengan gaduh. Seorang pria tua, si induk semang, meninggalkan kelompok itu dan berlari menyongsong tamunya.

“Selamat siang, Tuan! Dari timur laut lagi, Tuan? Anda tampak segar bugar!” si induk semang menyapa pendatang baru itu dengan hangat dan meminta agar air panas dan bantal disiapkan untuknya.

“Tidak, Pak Tua, kau sama sekali tidak berubah. Aku jarang melakukan perjalanan ziarah seperti ini. Kapankah terakhir kalinya aku kemari?”

“Tahun lalu ... menjelang pertengahan musim panas, seingat saya, dan hujan badai besar sedang melanda waktu itu.”

“Ya, benar! Petir menyambar pohon cedar besar hingga tumbang dan nyaris menimpaku! Aku ingat sekarang. Aku tidak akan pernah melupakan betapa ketakutannya aku waktu memasuki rumahmu.”

Page 798: The Heike Story

“Lalu, bagaimana kabar teman Anda, Kowaka, yang bersama Anda waktu itu? Anda tidak melakukan perjalanan seorang diri tahun ini, bukan?”

“Tidak, Kowaka akan segera datang dengan membawa barang-barangku. Dia sepertinya bersantai-santai di belakang, tapi dia akan tiba sebentar lagi, pastinya.”

Para biksu melanjutkan minum-minum sambil sesekali mencuri pandang ke arah si pengelana dan saling berbisik-bisik. Kemudian, salah seorang dari mereka berdiri dan menghampirinya:

“Saya harap Anda mau memaafkan saya. Tuan, karena saya ingin bertanya, apakah Anda Tuan Kichiji dari timur laut?”

“Ya, saya Kichiji.”

“Kalau begitu, berarti saya benar. Teman-teman saya merasa mengenali Anda. Selamat datang, Tuan!”

“Dan Anda?”

“Saya seorang biksu, anak buah Kepala Biara Toko.”

“Oh? ... Sejujurnya, saya selalu menginap di salah satu biara di sini setiap kali saya datang, dan belum sekali pun saya melewatkan tujuh-hari peribadatan selama beberapa tahun terakhir, jadi saya sedikit banyak mengenal Kepala Biara Toko. Beliau baik-baik saja, saya harap?”

“Dengan sangat menyesal saya mengabarkan bahwa beliau wafat beberapa bulan yang lalu. Apakah Anda datang kemari untuk mengikuti tujuh-hari peribadatan?”

“Ya, saya merasa bahwa kebiasaan itu baik bagi bisnis saya. Mendatangkan keberuntungan, sepertinya. Bahkan, saya yakin bahwa saya berutang budi kepada dewa-dewa di sini atas kekayaan yang saya dapatkan.”

Page 799: The Heike Story

Gemerincing lonceng di kaki bukit mengumumkan kedatangan kuda barang. Seorang pemuda, lengan kimononya tergulung tinggi, wajahnya merah padam dan basah oleh keringat, berjalan dengan napas terengah-engah.

“Nah, Kowaka, kau lambat sekali. Aku sampai menguap-nguap saking lamanya aku menunggumu.”

Kowaka, seorang pemuda bertubuh pendek dan kekar, melontarkan tatapan penuh tanya pada wajah-wajah di sekelilingnya, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Anda pasti bercanda, Tuan! Mudah bagi Anda, yang mendaki bukit dengan menunggang kuda. Jarak dari ibu kota kemari nyaris sepuluh mil, dan dengan bawaan seberat ini ... lihatlah, bahkan kuda ini terengah-engah.”

Para biksu dan sekelompok pria dan wanita telah berkumpul di depan rumah singgah itu; mereka tidak memerhatikan Kowaka tetapi langsung memeriksa dengan penuh rasa penasaran beraneka ragam barang persembahan yang dibawanya. Gulungan-gulungan sutra ditumpuk tinggi-tinggi di atas punggung kuda barang; tong-tong besar yang terpoles halus terpasang di kedua sisi pelana kuda, dan pundi-pundi berisi pasir emas, yang dengan hati-hati dibungkus menggunakan berlapis-lapis kertas dan jerami, diletakkan di tempat teratas.

Kichiji dan pembantunya, yang sudah mengganti kimono berdebunya dengan yang bersih, menikmati makan siang sembari beristirahat di luar. Akhirnya, mereka bangkit dan berpamitan kepada si induk semang dengan janji untuk menemuinya kembali dalam perjalanan pulang.

Bagian terberat dalam pendakian itu telah menanti mereka, dan jalan pun dengan cepat menjadi terlalu curam untuk kuda mereka, sehingga beban segera diserahkan kepada para kuli angkut yang kebetulan sedang turun dari

Page 800: The Heike Story

puncak gunung. Para biksu pun turut membantu mengangkut sebagian muatan, dan iring-iringan menyerupai semut itu merayap perlahan melewati jalan yang curam. Begitu rombongan Kichiji terlihat dari biara yang hendak mereka singgahi. Kepala Biara dan para biksunya segera keluar untuk memberikan sambutan.

Keesokan harinya, Kichiji memasuki kuil untuk mulai menjalani tujuh hari peribadatan. Kowaka, sementara itu, menginap di salah satu penginapan yang disediakan untuk para pelayan yang menyertai para peziarah, dan menyibukkan diri di sana hingga Kichiji merampungkan peribadatannya.

Menjelang tengah malam, Kowaka diam-diam menyelinap dari penginapannya dan berjalan menuju sebuah tempat pemujaan di sebelah utara gerbang biara. Terdapat seruas jalan menuju biara lain di dekat tempat pemujaan itu. Kowaka berjongkok di tengah kegelapan dan menunggu, tidak melihat siapa pun dan hanya mendengar gemerisik pepohonan pinus di dekat sana. Tiba-tiba, sebuah pintu biara terbuka, dan sesosok laki-laki kecil tampak di lorong panjang terbuka yang ada di sana, sejenak membungkuk di atas langkan, lalu melompat ke bawah tanpa suara dan melesat selincah burung walet.

“Kamukah itu. Tuan Muda Ushiwaka?”

“Konno-maru!”

Keduanya sosok gelap itu bertemu dan bergegas menyongsong kegelapan lembah di bawah.

“Tidak perlu buru-buru, Tuan. Tidak seorang pun akan menemukan kita.”

“Tapi, yang lain pasti sudah menunggu.”

Page 801: The Heike Story

“Ya, tapi dari kedudukan bulan di langit, saya tahu bahwa kita lebih cepat daripada semalam.”

“Kau sudah sering bertemu dengan mereka, tapi aku hanya bisa melakukannya sekali dalam setahun.”

“Tuan kesepian, saya tahu, dan setelah malam ini, kita harus berpencar dan bersembunyi.”

Ushiwaka melambatkan langkahnya dan menunduk, menggigiti kukunya. Dia bertelanjang kaki dan mengenakan celana pendek dan kimono yang sudah kekecilan. Kowaka berlutut dengan cemas, menyangka Ushiwaka telah menginjak serpihan bambu yang tajam.

“Ada apa. Tuan Muda?”

Ushiwaka hanya menggeleng. “Tidak ... tidak apa-apa,” jawabnya setelah terdiam sejenak, sebelum kembali berjalan.

Bagi Konno-maru, sosok kecil yang berjalan di depannya tampak lebih murung daripada yang ditemuinya selama beberapa malam terakhir ini. Kono-maru yakin bahwa hanya dirinyalah yang mengenal baik Ushiwaka ... kelebihan dan kekurangannya, kenakalan dan gejolak hatinya. Bukan kebetulan semata jika Konno-maru menghabiskan lebih dari sepuluh tahun kehidupannya untuk menyamar sebagai seorang pelayan bernama Kowaka di rumah Toji di Horikawa. Dia tidak hanya mendapatkan tempat persembunyian yang aman di daerah hiburan tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk mengamati perkembangan politik, karena tempat itu sering dikunjungi oleh orang-orang yang berhubungan dekat dengan Istana dan para pejabat tinggi istana ... terutama yang berhubungan dengan pergerakan klan Heik6. Dan sering kali, dengan alasan hendak mengunjungi ibunya di Tamba, Konno-maru pergi ke Gunung Kurama untuk secara diam-

Page 802: The Heike Story

diam menemui Ushiwaka atau para Genji lainnya yang bersembunyi di wilayah perbukitan di sana untuk berunding dengan mereka, atau bahkan melakukan perjalanan ke wilayah timur Jepang dan kembali dengan membawa balasan pesan untuk Tokiwa.

Selama masa itu pulalah Konno-maru mengenal Kochiji, yang setiap kali berkunjung ke ibu kota selalu menginap di rumah Toji. Tidak lama kemudian, mereka telah saling mengenal baik dan membuat kesepakatan yang menguntungkan keduanya, karena Kochiji adalah seorang saudagar yang ambisius. Kichiji mendambakan penggalangan sebanyak mungkin dukungan bagi pengayomnya, Tuan Hidehira, yang menguasai wilayah timur laut, seperti yang dilakukan oleh Bamboku kepada Heikg Kiyomori. Bagi Kichiji, mustahil untuk menebak apakah Hidehira akan menyetujui rencananya untuk menculik Ushiwaka, namun dengan penuh tekad dan kesabaran, dia setiap tahun berziarah ke Gunung Kurama dengan mengajak Konno-maru.

o0odwkzo0o

Orang-orang percaya bahwa sebuah ras iblis bersayap ... Tengu ... tinggal di salah satu lembah di Gunung Kurama, dan pada malam-malam ketika petir menyambar-nyambar menembus gumpalan awan di atas lembah tersebut, mereka percaya bahwa Tengu sedang berpesta. Tidak seorang pun berani memasuki lembah itu untuk mengintai ulah mereka, karena Tengu, yang berhidung mirip paruh, akan mengendus kedatangan orang asing dan menjatuhkannya dari puncak pohon tertinggi atau mencabik-cabik tubuhnya hingga hancur. Di seluruh desa di sekitar Gunung Kurama, yang penduduknya telah selama bergenerasi-generasi mendengar kisah tentang Tengu, semua orang percaya bahwa para iblis itu masih tinggal di lembah dan bertingkah

Page 803: The Heike Story

sangat beringas: mereka menggelindingkan batu-batu besar ke kaki gunung, mendatangkan angin puting beliung yang meluluhlantakkan sawah-sawah, dan menghujankan bebatuan ke desa-desa di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, beredar lebih banyak kisah tentang ulah mereka yang menebarkan kengerian di kalangan para penduduk desa yang berpikiran sederhana.

Selama tujuh malam berturut-turut, sebuah pertemuan mencurigakan berlangsung di salah satu lembah di Gunung Kurama. Sebut saja para pelakunya sebagai Tengu.

“Apakah dia sudah datang?”

“Belum.”

“Dia terlambat.”

“Tidak, kitalah yang datang lebih cepat daripada biasanya. Bulan masih rendah,” jawab salah seorang dari mereka, menunjuk langit Beberapa pasang mata mengikuti arah telunjuknya.

“Baiklah, kalau begitu, lebih baik kita mengobrol saja.”

Bongkahan batu bertebaran di dasar lembah itu, dan gemuruh jeram yang melintasi ngarai menjadi latar belakang pertemuan ini.

“Ini adalah malam terakhir pertemuan kita.”

“Tidak juga ... kita bisa bertemu kapan pun kita mau, tapi baru setahun lagi kita akan mendengar kabar Tuan Hidehira dari timur laut”

“Kata Kichiji, kita harus menunggu setahun lagi. Dia bersikeras bahwa sekarang terlalu buru-buru, tapi jika kita menunggu hingga tahun depan, Heik6 akan mengetahui apa yang terjadi, dan hasil kerja kita selama sepuluh tahun ini akan menjadi sia-sia.”

Page 804: The Heike Story

“Aku kurang memercayai Kichiji. Setiap tahun, dia selalu menunda-nunda dengan berbagai macam alasan. Sepertinya dia belum sepaham dengan Tuan Hidehira.”

“Betul. Kita masih meragukannya.”

“Genji sudah selama bergenerasi-generasi memiliki banyak sekutu di timur laut tapi Hidehira tidak berseberangan dengan mereka. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia dan Kiyomori memiliki ambisi yang sama.”

“Mungkinkah itu? … Siapa yang bisa memastikannya?”

Keheningan menyusul.

Tengu yang lain menanggapi, “Sebaiknya kita memikirkan kembali tentang hal ini. Sudah dua tahun berlalu sejak Hidehira diangkat menjadi jenderal di timur laut Orang-orang mengatakan bahwa dia berutang budi kepada Kiyomori. Itu saja cukup untuk menunjukkan kepada kita tentang pendapat Heik6 mengenai dirinya.”

“Tidak, itu kesimpulan yang terlalu sederhana. Jangan terlalu banyak menebak-nebak. Itu hanyalah sogokan untuk Hidehira dan sama sekali tidak membuktikan tentang perasaan Kiyomori kepadanya. Pelabuhan di Owada dan pembangunan Itsuku-shima menguras kekayaan Heik6, dan Kiyomori membutuhkan seluruh emas yang bisa didapatkannya dari Hidehira. Tidak diragukan lagi, Hidehira mengetahuinya. Mereka menyadari persaingan mereka.”

“Benar! Itu lebih masuk akal. Omong-omong, Konno-maru akan segera tiba di sini, dan dia akan menceritakan kepada kita tentang pembicaraannya dengan Kichiji semalam. Kita akan segera mengetahui keputusan mereka. Kita tidak bisa mempertaruhkan apa pun ataupun menunda

Page 805: The Heike Story

lebih lama lagi. Apa pun pendapat Kichiji, lebih baik kita menyelesaikan masalah ini sendiri.”

Seseorang, yang menunggu di dekat sungai, tiba-tiba berseru kepada para Tengu, “Aku melihat mereka! Mereka datang!”

Sesosok bayangan tampak melintasi lembah yang curam, melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya, berkelit dengan lihai di antara bongkahan-bongkahan batu. Bayangan itu tampak jelas di bawah sinar bulan yang menerangi bebatuan dan pepohonan. Para Tengu yang menunggu di bawah memandangnya dengan kagum tanpa berkata-kata.

“Konno-maru, tempat ini berbeda dari yang kemarin.”

“Aku bisa mendengar gemuruh jeram di bawah sana; kita pasti berada di atas air terjun.”

“Air terjun, ya?”

“Di sana berbahaya; sebaiknya kita mencari jalan lain.”

“Lihat mereka sudah menunggu di bawah sana. Mari kita lewat sini.”

“Mustahil!”

“Berputarlah kalau kau mau, aku akan melompat”

Mengetahui berdasarkan pengalamannya bahwa membantah Ushiwaka adalah usaha yang sia-sia saja, Konno-maru berpegangan ke semak-semak dan melongok dari atas tebing batu yang curam. Lebih dari enam meter di bawah mereka terbentanglah tanah dengan bebatuan berserakan di sana-sini, dan di dasarnya terdapat sebuah kolam yang tersaput kabut

Konno-maru meneriakkan peringatan, namun Ushiwaka sudah terlanjur melompat dan tengah mengayunkan diri

Page 806: The Heike Story

dari cabang sebuah pohon besar di bawahnya, lalu menyeimbangkan badan untuk berpijak di cabang pohon lain.

“Beginilah cara melakukannya, Konno-maru!” seru Ushiwaka sementara cabang pohon yang dipijaknya melengkung menanggung beban tubuhnya. Ushiwaka melingkarkan kakinya ke cabang pohon lain dan melepaskan pegengannya.

Konno-maru kesulitan mengikutinya.

“Kau tidak terlalu pintar dalam hal ini, Konno-maru,” Ushiwaka mengolok-oloknya dengan jahil.

Ushiwaka bertubuh kecil untuk ukuran remaja seusianya; wajahnya tirus; lengan dan kakinya kurus. Selalu kekurangan makanan dan pakaian sejak tinggal di biara, Ushiwaka seolah-olah bertahan hidup karena mukjizat. Dia adalah calon biksu terkecil dan terburuk rupa di biara, yang selalu menjadi korban ejekan nista semua orang. Berjiwa pemberontak dan keras kepala, Ushiwaka kerap melampiaskan perasaannya dalam tangisan liar yang menjadi bahan pembicaraan para biksu dari biara-biara tetangga. Ketika dia berumur sepuluh tahun, sebagai tambahan bagi pendidikan agamanya, dia menerima pendidikan ketentaraan karena biara-biara di Gunung Kurama berada di wilayah kekuasaan Gunung Hiei sehingga para biksunya tidak hanya dilatih untuk bertempur tetapi juga untuk menjadi prajurit.

Seiring pertumbuhannya, tatapan Ushiwaka menjadi setajam burung elang; garis-garis mulutnya, yang senantiasa mengalirkan kata-kata cerdas, menunjukkan ketegasan, dan kesan berkuasa selalu terpancar dari dirinya. Meskipun begitu, dia tidak pernah memedulikan penampilannya. Rambutnya memanjang dan tak terawat, kakinya dipenuhi

Page 807: The Heike Story

bekas luka dan selalu berkoreng, dan walaupun sudah kerap diperingatkan untuk menambal robekan-robekan di kimono dan atasannya, dia tidak pernah memedulikannya. Tetapi, perubahan mengejutkan terjadi padanya sejak beberapa tahun terakhir. Ushiwaka mendadak bersikap lebih tenang dan patuh, dan para seniornya mengira bahwa ini berkaitan dengan pendidikan yang diikutinya. Padahal sesungguhnya Ushiwaka setiap malam mengendap-endap keluar dari asramanya untuk menemui para Tengu di lembah, dan di sanalah dia mendapatkan pengetahuan yang telah lama disembunyikan darinya: bahwa dia adalah pemimpin mereka, putra Genji Yoshitomo, dan tahanan Heik6 Kiyomori. Dari para Tengu pulalah dia mendengar tentang kematian mendadak ayahnya dan nasib ibunya. Dan sejak saat itu, dia menyadari tentang masa depan maupun bahaya yang telah menantinya.

“Baiklah, Konno-maru, bisakah kau mengikutiku?”

“Ya. tapi kau sendiri harus berhati-hati.”

“Jangan khawatirkan aku. Lihat, aku akan melompat,” Ushiwaka menoleh ke belakang; kemudian, melompat dari satu cabang ke cabang yang lain, dia memperhitungkan jarak antara dirinya dengan kolam di bawahnya dan melompat ke atas sebongkah batu.

“Lihai sekali!” seru para Tengu, berlari menyongsong dan mengerumuni Ushiwaka.

Para Tengu menyoraki Konno-maru yang ragu-ragu hingga gema terdengar di seluruh lembah. Tetapi, Konno-maru tiba-tiba berseru:

“Aku melihat seseorang bersembunyi di belakang batu itu. Tangkap dia!”

Page 808: The Heike Story

Para Tengu segera berpencar dan memeriksa setiap bongkah batu yang ada di sana. Dari tempatnya yang lebih tinggi dan dengan bantuan sinar bulan, Konno-maru melihat sesosok bayangan bergerak di lembah itu.

o0odwkzo0o

Sangat mudah untuk meloloskan diri dan bersembunyi di balik bebatuan besar yang bertonjolan di sepanjang tepi sungai, di antara batang-batang pohon besar yang tumbang dan membusuk, atau di balik semak-semak lebat. Asatori terus berlari, melesat dan tersandung-sandung di antara bongkahan-bongkahan batu. Akhirnya, dia merangkak di antara dua bongkah batu besar dan berjongkok di sana, mendengarkan teriakan-teriakan di atasnya.

“Ada yang berhasil menangkapnya?”

‘Tidak, sudahkah kau mencarinya di sebelah sana?”

“Ya, tapi dia tidak ada di sana.”

Dari kejauhan terdengarlah teriakan yang terbawa angin, “Hoi-M, apakah kalian berhasil menangkapnya?”

“Sama sekali tidak. Kalian berhasil di sana?”

‘Tidak ada apa-apa di sini.”

“Apa sebenarnya yang diributkan oleh Konno-maru?”

“Dia pasti melihat monyet atau rusa.”

Suara-suara itu segera menjauh. Para Tengu sepertinya telah menghentikan pencarian mereka, dan hanya deru anginlah yang terdengar di lembah.

Asatori mendesah lega. Kesakitan karena harus berbaring diam di tempat persembunyiannya yang sempit, dia merayap keluar. Tatapannya yang tertuju ke tempat pertemuan Tengu serta merta menariknya kembali untuk

Page 809: The Heike Story

mendekati mereka. Mereka duduk bersila dengan posisi melingkar, larut dalam pembicaraan. Ushiwaka duduk di tempat yang lebih tinggi, didampingi oleh Konno-maru. Mereka berjumlah belasan orang, dengan nama-nama yang dikenali oleh Asatori sebagai milik para tokoh samurai Genji dari timur.

“Baiklah, Konno-maru, apakah Kichiji bersikeras bahwa sekarang belum saatnya?”

Salah seorang Tengu, yang sepertinya dianggap sebagai pemimpin kelompok itu, menjawab, “Begitulah. Kami sudah memberitahukan pendapat kita tentang hal ini kepadanya, tapi Kichiji menolak untuk mengubah rencananya. Dia bersikukuh bahwa sekarang belum saatnya.”

“Menurutnya, kapankah tepatnya kita harus bertindak?”

“Dia juga tidak yakin tentang itu, tapi dia menekankan bahwa kita harus menunggu hingga beberapa perubahan terjadi.”

“Apa maksudnya?”

“Misalnya, ada tanda-tanda bahwa hubungan antara Mantan Kaisar Goshirakawa dan Heik6 Kiyomori memburuk. Apa pun bentuknya, tidak akan ada asap tanpa api.”

“Bagaimana jika keadaan itu berlangsung tanpa perubahan selama bertahun-tahun?”

“Ya, kita juga harus memperhitungkan kemungkinan itu.”

“Apakah kalian siap untuk itu? Apakah kalian bersedia menunggu tanpa kejelasan?”

Page 810: The Heike Story

Si pemimpin melihat bahwa tidak seorang pun anak buahnya bersedia menunggu lebih lama. Tetapi, Kichiji adalah satu-satunya harapan mereka sekarang. Segalanya tergantung pada keputusannya. Tanpa Kichiji dan bantuan dari Hidehara mustahil untuk menjamin keamanan Ushiwaka ataupun masa depan Genji.

Semua orang seketika terdiam, putus asa.

Ushiwaka tiba-tiba bersuara. “Cukup ... kita tidak usah membicarakan tentang ini lagi. Tidak perlu memikirkannya lagi.”

Para pria itu memandang Ushiwaka dengan takjub, dan salah satu dari mereka berkata dengan mata berkaca-kaca:

“Tuan Muda, mengapa kamu berkata begitu? Pikirkanlah semua yang telah kita lalui hingga kini, dan juga sumpah setia kami kepadamu.”

“Yang kumaksud hanyalah semua perdebatan ini sia-sia saja.”

“Mengapa sia-sia saja?”

“Mengapa kita harus menunggu dan mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi? Sudah hampir tiba waktu bagiku untuk menjalani penahbisan, dan aku sama sekali tidak menginginkannya.”

“Ya, itulah yang sangat merisaukan kami. Kami ingin Kichiji selekas mungkin membuat kesepakatan dengan Tuan Hidehira.”

“Kichiji ... saudagar itu? Kalian menggantungkan diri kepadanya?”

Para pria itu mendengarkan dengan resah. Ushiwaka telah mencetuskan sesuatu yang tidak berani mereka akui.

Page 811: The Heike Story

Ushiwaka memandang ke sekelilingnya. “Baiklah, aku tidak mengharapkan apa pun darinya. Akan jadi apakah aku jika kita menggantungkan diri kepada Kichiji? Tidak peduli apa pun perkataan orang-orang, tidak akan ada yang bisa menahanku untuk melarikan diri dari Gunung Kurama tahun ini. Lihat saja sendiri!”

Para Tengu mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan kaget, lalu menyuarakan protes mereka, memperingatkannya agar tidak bertindak gegabah.

Asatori, yang hanya mendengar potongan-potongan pembicaraan mereka, merayap semakin dekat, bertekad untuk mempertaruhkan nyawanya seandainya dia tertangkap basah demi menyampaikan petuah untuk Ushiwaka yang diamanatkan oleh ibunya, Tokiwa. Tetapi, sebelum itu terjadi, Ushiwaka telah terisak-isak nyaring dan lama.

o0odwkzo0o

Asatori terbangun berkat kicauan burung. Dia mengingat-ingat peristiwa yang disaksikannya semalam, mengumpulkan kepingan-kepingan penjelasan yang didengarnya dan menyatukannya menjadi sebuah gambaran yang utuh.

Matahari sudah tinggi, dan seluruh lembah bermandikan udara cahaya bulan Mei. Asatori merayap keluar dari tempat persembunyiannya dan mengedarkan pandangan. Dia telah bersembunyi di sana selama dua hari, menangkap ikan di sungai dan menjatuhkan satu atau dua ekor burung menggunakan katapelnya. Kemudian, dia memutuskan untuk tetap bersembunyi di sana hingga mendapatkan kesempatan untuk menemui Ushiwaka seorang diri.

Hari demi hari berganti, kemudian minggu demi minggu, hingga pada suatu hari Asatori melihat sekelompok orang

Page 812: The Heike Story

menyusuri jalan setapak. Bahkan dari jarak jauh dia bisa melihat bahwa mereka bukan pendeta. Dia mengintip mereka dengan penuh damba karena sudah beberapa minggu dia tidak melihat ataupun berbicara dengan orang lain. Setelah meyakinkan diri bahwa mereka adalah peziarah yang datang dari wilayah Danau Biwa atau Tamba, Asatori menampakkan diri untuk menyapa mereka. Semakin dirinya mendekat, semakin kencang jantunya berdetak, karena dari warna mantel dan bentuk topi mereka, Asatori tahu bahwa mereka adalah pemain musik istana. Mengira akan melihat beberapa orang teman lamanya di antara mereka, Asatori serta merta berlari ke jalan yang dilalui sekitar delapan belas orang itu. Begitu melihat Asatori, mereka berhenti dan berkerumun.

Asatori menyadari bahwa mereka mengiranya sebagai pencoleng. Dia membungkuk rendah-rendah dan menyapa mereka, “Jangan takut. Aku juga pemain musik. Ke manakah kalian akan pergi?”

Para pemain musik itu saling berbisik-bisik, lalu menghampiri Asatori dan berkata:

“Kami pemain musik dari Shuzan dan datang kembali tahun ini untuk tampil di festival Gunung Kurama. Katamu kau juga pemain musik, apakah yang membawamu kemari?”

Karena tidak ingin menjawab pertanyaan itu, Asatori balik bertanya, “Festival? Kapankah festival itu diselenggarakan?”

“Baru sekitar dua minggu lagi. Kami datang untuk melakukan geladi bersih.”

“Dari Shuzan?”

Page 813: The Heike Story

“Ya, tapi kelompok-kelompok pemain musik lainnya juga datang.”

“Bukankah kalian pemain musik dari keluarga Ab6?”

“Rupanya kau benar-benar mengenali kami!”

“Aku sendiri juga anggota keluarga Ab6 dari Kyoto.”

“Benarkah?”

Para pemain musik itu serentak menghampiri Asatori dan mengerumuninya dengan penasaran.

Malam itu, Asatori turut menginap bersama para pemain musik di penginapan mereka, tidak jauh dari Gunung Kurama, dan bercakap-cakap dengan mereka hingga larut malam.

“Kau bukan pemain musik biasa,” kata mereka, kagum sekaligus penasaran terhadap Asatori; “ceritakanlah tentang dirimu kepada kami.”

“Aku sudah berhenti bermain musik untuk menjadi tabib.”

“Apakah yang mendorongmu meninggalkan pekerjaanmu di istana?”

“Aku tidak bahagia di sana.”

“Kau tidak menyukai tekanan kehidupan di istana?”

“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Asatori. Dia menambahkan, “Aku sedang mengumpulkan tumbuh-tumbuhan herbal di bukit itu, dan waktu melihat kalian, aku tidak bisa menahan diri untuk menyapa. Bagaimana kalau aku ikut dan melihat penampilan kalian di festival? Jika kalian bisa memberiku pekerjaan, aku akan dengan senang hati melakukannya.”

Page 814: The Heike Story

Beberapa orang menyambut baik usul Asatori, namun beberapa lainnya ragu-ragu. Baru pada keesokan harinya mereka sepakat untuk mengajak Asatori.

Di Gunung Kurama, mereka menginap di salah satu asrama, yang juga ditinggali oleh kelompok-kelompok pemain musik lainnya. Geladi bersih dilakukan di semua biara, tempat para calon biksu melatih peran meraka dalam drama-drama suci. Asatori menghadiri geladi bersih setiap hari, yakin bahwa dia akan menemukan Ushiwaka.

Semakin mendekati hari penyelenggaraan festival, dari pagi buta hingga larut malam, biara-biara di Gunung Kurama dipenuhi oleh gema genderang, lonceng, seruling, dan bangsi. Pada suatu malam, Asatori menyelinap ke sebuah tempat pemujaan di dekat asrama yang diketahuinya sebagai tempat tinggal Ushiwaka. Dia mengeluarkan serulingnya dan mulai memainkannya. Beberapa hari sebelumnya, dia telah berhasil menyelipkan pesan ke lengan kimono Ushiwaka, dan selama dua malam berturut-turut dia memainkan serulingnya, berharap Ushiwaka akan menemuinya. Asatori sudah memutuskan bahwa ini adalah malam terakhirnya menunggu Ushiwaka karena dia khawatir para biksu akan mencurigainya.

Ushiwaka bersembunyi di tengah kegelapan bayangan, tidak jauh dari tempat pemujaan, dan mendengarkan permainan seruling Asatori. Begitu Asatori menurunkan serulingnya, dia berjingkat-jingkat keluar dan berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun di sampingnya.

“Siapa kamu?” tanya Asatori, terkejut

“Kaukah yang memainkan seruling selama beberapa malam ini di sini?”

“Apakah Anda Ushiwaka?”

Page 815: The Heike Story

“Dan kau ... siapakah dirimu?”

“Sayalah yang menyelipkan pesan ke lengan kimono Anda.”

“Ya, tapi katakanlah kepadaku siapa dirimu. Siapa dirimu? Apakah kau sedang mencoba mengelabuiku?”

“Tentu saja tidak. Saya tabib, nama saya Asatori,” kata Asatori, bersujud di hadapan Ushiwaka.

“Seorang tabib yang pintar bermain seruling ... dan seindah itu?”

“Saya akan menceritakan tentang itu di lain waktu. Karena Anda ragu-ragu untuk memercayai saya, lebih baik saya langsung menjelaskan. Ibu Anda meminta saya menyampaikan sebuah pesan kepada Anda. Ada sepucuk surat di dalam kotak ini.”

Ushiwaka membungkuk dan memungut benda yang diletakkan oleh Asatori di dekat kakinya, lalu memasuki tempat pemujaan tanpa mengucapkan apa-apa. Di sana, di bawah cahaya lentera, dia membaca surat ibunya. “Aku berdoa untuk kebahagiaanmu setiap pagi dan malam,” begitulah surat itu dimulai. “Patuhilah para biksu di sana dalam segala hal. Aku akan bahagia jika kau tekun belajar. Patung yang kuserahkan kepadamu melalui seorang kurir ini adalah milik almarhum ayahmu, Genji Yoshitomo. Ini adalah hadiah terakhir beliau kepadaku …”

Sisa surat itu membicarakan tentang doa-doa dan harapan-harapan Tokiwa kepada Ushiwaka ... agar dia melupakan semua pikiran untuk menjadi samurai dan mengikuti jalan perdamaian dan kesucian dengan menjadi seorang pendeta.

Asatori menanti kemunculan Ushiwaka, namun akhirnya berdiri dan melongok ke dalam tempat pemujaan;

Page 816: The Heike Story

dia melihat Ushiwaka larut dalam surat yang tengah dibacanya. Asatori segera menyelinap masuk dan berlutut di hadapan Ushiwaka, lalu mulai menceritakan tentang Tokiwa kepadanya, membujuk Ushiwaka agar mau mempertimbangkan pesan ibunya.

Ushiwaka tidak mengatakan apa pun selama beberapa waktu; kemudian, dia akhirnya mendongak. “Ya, Asatori, aku tahu apa keinginan ibuku untukku.”

“Benarkah?” jawab Asatori dengan penuh semangat.

“Tapi ... ” lanjut Ushiwaka, “ibuku adalah seorang wanita dan tidak akan mengerti. Dari suratnya, aku tahu betapa beliau adalah seorang wanita sejati. Seandainya aku bisa menemui beliau! Apakah beliau benar-benar seperti ibu yang kuimpikan sepanjang waktu?”

“Apakah Anda benar-benar ingin menemui beliau?”

“Mengapa kau terus-menerus berkata bodoh!”

“Tidak ada alasan mengapa Anda tidak boleh menemui beliau setelah menjalani penahbisan. Jika orang-orang mengenal Anda sebagai seorang pria bijak dan suci, saya yakin bahwa Anda akan diizinkan untuk kembali ke ibu kota dan menemui beliau. Heik£ sekalipun mungkin akan menerima Anda di kalangan mereka pada suatu hari nanti.”

“Aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus menemui beliau sekarang”

“Jika Anda mengambil pilihan yang salah, Anda mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan beliau.”

“Anehkah jika aku ingin menemui ibuku?”

“Anda harus mengingat Heik6.”

“Siapakah mereka, dan apakah arti mereka bagiku? Apakah mereka dewa? Apakah mereka makhluk gaib?”

Page 817: The Heike Story

“Peranglah yang menghadirkan semua kemalangan ini, dan Anda harus berpaling dari segala sesuatu yang bisa menyebabkan perang.”

“Apakah keadaan ini akan berlangsung selamanya? Apakah aku harus tetap seperti ini, menjadi tawanan di sini sejak bayi?”

Asatori meneruskan, “Kita sendirilah yang bisa menentukan jalan hidup yang tidak akan menimbulkan konflik atau menciptakan neraka di dunia. Hanya dengan mengikuti jalan yang mengarah pada perdamaianlah Anda bisa menunjukkan sebesar apa Anda mencintai

ibu Anda. Dunia tidak akan bisa berubah dalam semalam, dan kita pun tidak bisa semudah itu melarikan diri dari karma”

“Hanya itukah yang hendak kaukatakan kepadaku, Asatori?” tanya Ushiwaka, membungkus patung perak dengan surat ibunya dan menyelipkannya ke balik lipatan-lipatan kimononya. Tiba-tiba, dia menjejakkan kakinya kepada Asatori, yang berlutut di hadapannya.

“Sekarang aku mengetahui siapa dirimu,” katanya. “Kaulah yang telah memata-matai kami malam itu di lembah. Pergilah dari sini! Aku sendirilah yang akan menyampaikan jawabanku kepada ibuku. Jangan berlama-lama lagi di sini ... pergilah sekarang juga!”

Sambil berbicara, Ushiwaka berlari keluar dari tempat pemujaan dan menghilang ke hutan. Asatori berusaha mengikutinya namun Ushiwaka telah lenyap dari pandangannya

o0odwkzo0o

Page 818: The Heike Story

Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI Kabut membubung bagaikan uap dari gunung. Hari itu

adalah hari terakhir dari festival yang berlangsung selama tiga hari. Ribuan lentera berkelap-kelip pada dini hari itu, dan senandung ayat-ayat suci dengan iringan musik terdengar di mana-mana- Udara hari itu bisa dipastikan akan panas.

“Ushiwaka kelihatan cukup gagah, bukan?”

“Sama sekali tidak terlihat seperti dirinya kalau dia berdandan seperti itu!”

“Kau pasti Ushiwaka. Ayo, biarkan kami melihat dirimu yang sesungguhnya.”

Para calon biksu berkumpul di dalam sebuah ruangan di belakang panggung dansa dan menggoda Ushiwaka, yang mengenakan kimono bermotif bunga candu dan celana ungu tua. Rambutnya diikat tinggi-tinggi di atas kepalanya. Sementara para calon biksu lainnya tertawa-tawa, bersorak sorai, dan melompat-lompat girang, Ushiwaka menjauhkan diri dari mereka, menanti dengan tenang.

“Kau khawatir, ya?” tanya salah seorang temannya.

Ushiwaka menggeleng. “Tidak, aku tak bisa tidur sejenak pun semalam.”

“Bohong! Apa yang membuatmu terjaga?”

“Aku sangat gelisah.”

“Gelisah? Karena apa?”

“Karena hari ini, tentunya.”

“Kau memang aneh, ya?” Seorang calon biksu lainnya mendengus, lalu berlari dan bergabung dengan teman-

Page 819: The Heike Story

temannya yang tengah melongok dari balik langkan sebuah lorong.

Sebuah teriakan nyaring terdengar, “Lihatlah orang-orang yang datang hari ini!”

“Masih banyak yang akan datang! Mereka berbaris seperti semut!”

“Mana, mana? Aku ingin melihatnya!”

Para calon biksu melompat ke atas langkan dan memanjat tiang-tiang dengan penuh semangat. Sementara mereka larut dalam keramaian, Ushiwaka bangkit dan menyelinap ke kamarnya. Dari balik tumpukan buku-buku di atas meja tulis kecilnya, dia menyambar sebuah kotak kecil, mengeluarkan sebuah patung perak, melemparkan kotaknya, dan dengan hati-hati menyelipkan benda itu ke balik lipatan-lipatan kimononya. Dia menepuk-nepuknya untuk memastikan bahwa patung itu berada di tempat yang aman, lalu mengencangkan obi yang melingkari pinggangnya.

“Ushiwaka, Ushiwaka, di manakah dirimu?”

Teriakan-teriakan itu mengagetkan Ushiwaka, yang segera berlari keluar seraya menjawab.

Semua calon biksu telah berbaris, dan seorang biksu membentak Ushiwaka:

“Dari mana kamu?”

“Saya dari kamar kecil.”

“Bohong! Aku melihatmu keluar dari kamarmu.”

“Saya baru saja mengencangkan ikat pinggang saya.”

Seorang biksu memimpin prosesi itu, membelah kerumunan orang untuk membentuk jalan. Para pemain

Page 820: The Heike Story

musik mengikutinya, membunyikan lonceng dan gong; para pendeta tinggi berbaris di

belakang mereka, diikuti oleh para calon biksu yang turut ambil bagian dalam drama suci.

Udara semakin panas dan tidak segumpal pun awan tampak ketika barisan itu berjalan mengitari gunung, dari tempat pemujaan yang satu ke tempat pemujaan yang lain, dari kuil yang satu ke kuil yang lain. Para calon biksu terengah-engah dan berpeluh, tersuruk-suruk, berhenti sejenak ketika melihat sesuatu yang menarik, dan berlari-lari saling menyusul. Ushiwaka, yang terkecil di antara mereka semua, berbaris di belakang, melangkah dengan teratur dan tertib. Matanya, bagaimanapun, sibuk memandang ke kiri dan kanan untuk mengamati para peziarah yang menonton mereka, dan terkadang sorot tertentu tampak di matanya ketika dia mengenali orang-orang yang dilihatnya.

Ketika prosesi mengitari gunung selama empat jam itu berakhir, para calon biksu membubarkan diri untuk menyantap makan siang dan bersiap-siap menari. Sepanjang siang dan malam- itu, tarian dan musik terus dipertontonkan. Api unggun dinyalakan di seluruh bagian gunung. Para peziarah, yang tak terhitung banyaknya, saling mendorong dan menyikut, berpindah-pindah dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya. Para calon biksu berusaha menerobos kerumunan orang, tidak ingin melewatkan apa pun. Hanya Ushiwaka yang berkeliaran tanpa tujuan di lapisan luar penonton hingga seorang pria sekonyong-konyong menghampirinya dari belakang, menyampirkan sehelai mantel musim panas tipis ke bahunya, dan berbisik:

“Sekarang, Tuan!”

Page 821: The Heike Story

“Kaukah itu, Masachika?”

“Aku akan menemanimu sampai ke jalan menuju lembah.”

“Jalan itu sudah dipagari.”

“Bukan masalah ... cepat!”

Ushiwaka berlari. Tidak lama setelah mereka menjauh dari tempat keramaian, Masachika mendekatkan kedua jarinya ke bibir dan bersiul nyaring. Beberapa orang pria dengan tenang memisahkan diri dari kerumunan peziarah yang tengah menonton ritual membelah bambu, lalu menghilang di kegelapan malam. Beberapa waktu kemudian, para pendeta yang ambil bagian dalam ritual tersebut dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Seseorang terdengar mengatakan. “Seorang biksu dibunuh dengan sadis di perbatasan salah satu lembah.”

Keributan pun pecah. Seorang calon biksu telah menerobos pagar dan melarikan diri. Dia membunuh dua orang penjaga yang menghalang-halanginya. Tidak, Tengulah pelakunya, kata orang-orang.

Desas-desus itu segera didengar oleh para pemain musik yang sedang beristirahat dan minum-minum di ruangan mereka. Asatori, yang sedang minum sake bersama yang lainnya, segera duduk tegak.

“Seorang calon biksu melarikan diri? Siapakah dia? Siapakah namanya? Benarkah itu?” dia bertanya kepada teman-temannya, lalu diam-diam meninggalkan tempat duduknya dan menyelinap keluar.

o0odwkzo0o

Para Tengu berkumpul di gubuk tempat Asatori pernah melihat mereka.

Page 822: The Heike Story

“Langkah pertama telah berhasil kita lalui, dan kita harus memberikan ucapan selamat kepada kalian,” kata salah seorang dari mereka, menoleh kepada Ushiwaka, yang duduk di antara sosok-sosok gelap di dalam gubuk itu, masih takjub akan keberhasilan pelariannya.

Salah seorang dari mereka, yang sepertinya lebih dewasa dan berpengalaman daripada yang lainnya, berkata, “Masih terlalu dini untuk menyelamati diri kita sendiri. Ingatlah, kita masih harus membuat kesepakatan dengan Tuan Hidehira dan, terlebih lagi, kita harus melakukannya tanpa Kichiji. Meloloskan diri dari Gunung Kurama memang cukup mudah, tapi bagaimanakah kita akan menjalankan keseluruhan rencana kita? Jika keberuntungan menyertai kita, Kichiji akan mendengar tentang kejadian ini; jika tidak, akan mustahil bagi kita untuk berkelit dari para prajurit Kiyomori dan melarikan diri ke timur.”

Seseorang yang lain angkat bicara, “Tapi, ini adalah kesempatan terakhir kita. Apa pun hasilnya, Ushiwaka telah mengambil keputusan.”

“Kita tidak akan menggantungkan diri kepada Kichiji. Jika dia menolak untuk memberikan pertolongan, maka kita akan terus bertindak tanpa mengandalkan dirinya. Ingatlah, kita sudah memperkirakan hal ini ketika Ushiwaka mengatakan bahwa dia akan melarikan diri. Tidak ada lagi yang bisa kita upayakan, dan melakukan yang sebaliknya adalah tindakan pengecut.”

“Itu bukan tindakan pengecut. Wajar saja jika kita harus memperhitungkan segala kemungkinan dalam menyelesaikan urusan sepelik Ini.”

‘Tidak ada gunanya memperdebatkan tentang hal ini. Aku sudah pernah memperingatkan Konno-maru tentang

Page 823: The Heike Story

apa yang akan terjadi malam ini. Aku cemas karena dia belum juga muncul.”

Kegagalan mengancam upaya pelarian diri itu karena Heik6 akan bersiaga dan menutup semua jalan menuju timur. Mereka menunggu Konno-maru, yang akhirnya datang sesaat sebelum matahari terbit.

“Ya, aku terkejut Kupikir kalian baru akan melakukannya saat tengah malam, dan aku kesulitan mengikuti kalian.”

“Kami minta maaf soal itu. Itu tidak akan membantu. Kami mengatakan tengah malam, tapi rencana kita mendadak berubah karena peluang yang lebih baik muncul …. Tapi, kita beruntung karena bisa sampai di sini. Bagaimana dengan Kichiji? Apa katanya?”

“Dia menertawakan keterburu-buruan kita dan sepertinya menganggap bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengikuti rencana kita.”

“Jadi, dia sepakat dengan kita?”

“Apakah Kichiji menyampaikan gagasannya, atau apakah dia bersikeras bahwa sekarang belum saatnya untuk mengatakan keputusan mereka? Apa katanya, Konno-maru?”

Fajar mulai merekah, dan berkas-berkas cahaya pucat menerobos jendela kecil gubuk itu.

Para Tengu menantikan jawaban Konno-maru.

“Kichiji selalu mendukung kita, tapi dia mengajukan beberapa syarat Katanya, dia tidak akan menjamin keselamatan Ushiwaka jika kita tidak menerima persyaratan yang diajukannya.”

“Apakah itu?”

Page 824: The Heike Story

“Dia hanya akan menjamin keselamatan Ushiwaka. Kita semua, katanya, harus bertanggung jawab akan keselamatan kita masing-masing.”

“Apa! Dia akan begitu saja angkat tangan?”

“Ya, katanya, keselamatan Ushiwaka bergantung pada hal ini.”

“Bagaimana mungkin?”

‘Tidak seorang pun di wilayah ini mengenali kalian. Orang-orang menganggap kalian sebagai iblis Tengu, tapi jika kalian pergi bersama Ushiwaka, Kichiji yakin bahwa itu akan membahayakan nyawanya.”

“Konno-maru, apakah kau memercayainya?”

“Ya. Kita telah memainkan peran kita masing-masing. Sekarang, sesudah Ushiwaka berhasil meloloskan diri dari Gunung Kurama, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali meninggalkannya dan menghilang dari sini.”

“Lalu, apa yang akan dilakukan oleh Ushiwaka tanpa kita?”

“Kichijilah yang akan bertanggung jawab.”

“Apakah kita bisa memercayainya?”

“Jika dia tidak bisa dipercaya, dia tidak akan memercayai kita sejak awal ... begitulah katanya.”

“Bagaimana jika kau salah?”

“Jika ada yang salah, maka Kichijilah yang akan menerima akibatnya ... dan membayarnya dengan nyawanya. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Yang bisa kita lakukan hanyalah memercayainya,” kata Konno-maru.

Page 825: The Heike Story

Mereka semua pun menantikan pendapat Ushiwaka, dan Masachika bertanya:

“Kamu sudah mengetahui sendiri masalahnya. Jadi, bagaimana menurutmu?”

Dihadapkan pada perwujudan harapan terbesarnya, Ushiwaka menjawab tanpa ragu-ragu, “Aku tidak berharap bisa berangkat ke timur saat ini juga. Seandainya aku berangkat sekarang, tidak ada yang bisa menjamin apakah aku akan bisa bertemu lagi dengan ibuku. Aku harus pergi ke ibu kota ... seorang diri, atau bersama kalian semua. Aku harus menemui ibuku …. Bawa aku menemui beliau sekarang juga.”

Kabar mengenai pelarian Ushiwaka terdengar sampai ke Rokuhara pada dini hari. Para prajurit dan mata-mata segera berangkat ke Gunung Kurama. Para biksu, yang lebih mengenal baik tempat itu, telah memulai pencarian mereka. Siang harinya, ketika beberapa ratus orang samurai dari Rokuhara tiba di Gunung Kurama, Ushiwaka dan para pengikutnya telah berada dalam perjalanan menuju Puncak Sajiki. Setibanya mereka di sana, Konno-maru berkata, “Dari sini, jalan mengarah ke Provinsi Shiga, Tamba, dan Sanjo, dan kami harus meninggalkan kalian sekarang. Aku sendirilah yang akan menyertai Tuan Muda hingga sampai ke ibu kota.” Kemudian, dia menoleh kepada Ushiwaka, “Aku akan menyertaimu hingga kau siap untuk berangkat ke timur laut bersama Kichiji. Setelah itu, kau akan sendirian. Kau sudah bertekad untuk menjalani semua ini bukan, Ushiwaka?”

Ushiwaka ragu-ragu sejenak, lalu kembali bertanya, “Konno-maru, benarkah kau akan membawaku menemui ibuku? Kapankah kau akan melakukannya?”

Page 826: The Heike Story

“Aku harus membicarakannya dengan Kichiji terlebih dahulu,” jawab Konno-maru. “Kichiji akan mencari cara untuk melakukannya.”

“Tidak bisakah kau melakukannya sendiri, Konno-maru? Mengapa kau harus membicarakannya dengan Kichiji?”

“Aku sudah berjanji untuk tidak melakukan apa pun tanpa persetujuannya.”

“Sekarang ... demi masa depan!”

“Pertama-tama, aku akan ke Tamba dan bersembunyi sejenak di sana”

“Dan kau.Adachi?”

“Kurasa aku akan pergi ke Shiga Utara. Dan kau, Kamata?”

“Aku akan menyeberangi Omi, lalu ke Owari, tempat ayahku dibunuh bersama Tuan Yoshitomo.”

Seorang demi seorang, para pria itu meninggalkan Ushiwaka dengan janji untuk menemuinya kembali di timur. Senja itu, hanya Ushiwaka dan Konno-maru yang tersisa di Puncak Sajiki, yang menjulang di atas Gunung Kurama; matahari terbenam dan kabut mulai menyelimuti mereka.

“Ushiwaka, apakah kau masih sanggup berjalan lebih jauh?”

“Tentu saja!”

“Kita akan melihat cahaya ibu kota esok senja Sebuah kereta akan menanti kita di sebuah tempat.”

“Sebuah kereta? … Dan ke manakah kita akan pergi?”

“Tentang itu, aku tidak tahu, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Kichiji akan mengatur segalanya.

Page 827: The Heike Story

Kau hanya perlu memercayainya. Jika aku melihat alasan untuk meragukannya, dia tidak akan lolos hidup-hidup.”

Keduanya mulai turun dari puncak gunung. Mereka tidak bertemu dengan seorang pun hingga malam datang, kertika mereka berpapasan dengan seorang asing yang menanyakan arah. Mereka terus berjalan hingga melewati sebuah dusun kecil dan, jauh di bawah, melihat kerlap-kerlip cahaya di tengah kegelapan.

“Konno-maru, apakah itu cahaya dari ibu kota?”

“Bukan, itu adalah Gunung Atago ... cahaya dari Tempat Pemujaan Atago dan biara.”

“Perjalanan kita sudah jauh, tapi apakah kita sudah mendekati ibu kota?”

“Belum. Kita sedang mengacaukan jejak kita untuk mengelabui para pengejar kita, tapi kita sudah semakin dekat dengan ibu kota.”

“Ushiwaka ... ” Konno-maru mendadak berkata, “setibanya kita di ibu kota, jangan panggil aku Konno-maru. Namaku Kowaka di sana.”

“Aku harus memanggilmu Kowaka?”

“Orang-orang di sana memanggilku dengan nama itu.”

“Oh? … Aku lapar, Konno-maru,” kata Ushiwaka.

“Itu wajar. Aku akan mencari makanan untukmu. Tunggulah aku di tempat pemujaan yang ada di sana.”

Setelah waktu yang berjalan begitu lambat, Konno-maru kembali dan mendapati Ushiwaka tertidur di beranda tempat pemujaan. Dia bisa mendengar napas teratur bocah yang tertidur di bawah langit berbintang itu. Konno-maru mengguncang-guncangnya hingga terbangun, dan mereka pun bersama-sama menyantap makanan yang didapatkan

Page 828: The Heike Story

oleh Konno-maru dari seorang petani; setelah itu, mereka berbaring untuk tidur hingga malam musim panas yang singkat itu memudar.

Mereka berjalan kaki selama setengah hari. Sesekali, mereka berpapasan dengan orang-orang asing, yang dari penampilannya menunjukkan bahwa Kyoto sudah dekat.

“Kita sudah mendekati Saga sekarang,” Konno-maru memberi tahu Ushiwaka ketika mereka berhadapan dengan sebuah bukit. Sebuah pondok beratap rumbia berdiri di salah satu sisi bukit itu, dikelilingi oleh pagar hidup. “Lihat, dia datang seperti yang dijanjikannya! Kereta sapinya ada di jalan di dekat pondok itu” seru Konno-maru.

Ushiwaka tidak terkesan dengan apa yang dilihatnya, namun kelegaan yang terpancar dari wajah Konno-maru membuatnya senang. Konno-maru dengan hati-hati menghampiri sebuah gerbang di tengah pagar dan melongok ke pondok.

Akhirnya, dia memanggil dengan nada lembut:

“Selamat siang, benarkah ini tempat Giwo menyepi?”

Alunan ayat-ayat suci dari dalam pondok seketika terhenti. “Ya? ... ” sahut sebuah suara segar; kemudian, seraut wajah yang ternyata muda dan cantik untuk ukuran seorang biksuni, melongok ke luar. “Siapakah kalian?”

“Apakah kamu Giwo?”

“Bukan, aku adiknya.”

Konno-maru tersenyum ketika mengenalinya. “Apakah kau masih mengingatku ... Kowaka, pelayan Toji?”

“Benarkah itu dirimu, Kowaka? Masuk dan menunggulah di dalam. Aku akan memanggil Giwo.”

Giwo segera muncul, dan Konno-maru menyapanya:

Page 829: The Heike Story

“Ah, Giwo! Kapankah kita terakhir kalinya bertemu? Aku sering memikirkanmu, tapi ... ”

“Apakah semuanya baik-baik saja, Kowaka? Apakah kau masih bersama Toji?”

“Ya, semuanya baik-baik saja di sana. Pekerjaanku menyenangkan, dan tahun-tahun berlalu tanpa kusadari. Ya, tentu setidaknya sudah delapan tahun berlalu sejak aku mengantarmu ke Rokuhara.”

“Seperti mimpi saja, ya? Lima atau enam tahun telah berlalu sejak aku menyepi di sini bersama ibuku, adikku, dan Hotok6.”

“Ya, benar, sudah bertahun-tahun berlalu sejak kau pergi ke Rokuhara. Kau tidak pernah kembali kepada kami sesudahnya.”

Wajah Giwo seketika mengeruh. “Sudahlah, Kowaka, jangan membicarakan masa lalu. Aku sudah bersumpah untuk menjadi seorang biksuni sekarang, dan aku malu setiap kali mengingat masa itu.”

“Maafkan aku; bodoh sekali aku yang menceracau seperti itu ... dan ini mengingatkanku tentang alasanku mendatangimu di sini.”

“Kau berjanji untuk menemui Tuan Kichiji di sini, bukan?”

“Ya, beliau adalah pengayom Toji yang paling terhormat dan budiman.”

“Beliau sering memintaku tampil di hadapannya dahulu. Aku kaget waktu beliau tiba-tiba muncul di sini kemarin.”

“Kemarin?”

“Ya, kami berbincang-bincang cukup lama, lalu sebelum pergi, beliau mengatakan bahwa beliau sudah menyewa

Page 830: The Heike Story

sebuah perahu di Sungai Hozu dan akan membawa beberapa orang gadis Toji untuk menghabiskan malam di air.”

“Apakah beliau sudah kembali?”

“Beliau kembali kemari pagi ini untuk mengagumi keindahan pagi hari di sekitar rumah ini dan memberitahuku bahwa kau akan datang kemari untuk menjemputnya. Beliau memerintahkan agar keretanya diletakkan di tempat yang bisa kaulihat. Aku disuruh menyampaikan pesan bahwa beliau menunggu di kuil yang bisa kaulihat dari sini.”

Konno-maru berterima kasih kepada Giwo dan mengucapkan selamat tinggal. Kemudian, bersama Ushiwaka, dia menghampiri kereta itu. Konno-maru mengangkat kerainya dan melongok ke dalam. Bagian dalam kereta itu menguarkan aroma dupa dan minyak wangi.

“Ushiwaka, maukah kau menunggu di dalam? Aku akan segera kembali.”

Dari bagian belakang kereta, Konno-maru mengeluarkan sehelai kimono putih seperti yang biasa dikenakan oleh penarik sapi, lalu memakainya di atas pakaiannya sendiri sebelum mereka berangkat ke kuil.

Ushiwaka memeriksa bagian dalam kereta itu dengan penasaran. Udara yang pengap dan wangi seolah-olah mencekiknya. Dia teringat kepada ibunya ... surat dari ibunya menguarkan aroma yang sama, aroma yang disadarinya sebagai aroma wanita. Dia mengangkat kerai, yang letaknya sudah dibenahi oleh Konno-maru, dan sesekali mengintip ke luar.

o0odwkzo0o

Page 831: The Heike Story

Kichiji sedang tidur siang di salah satu ruangan kuil ketika seorang pendeta masuk dan membangunkannya, mengatakan bahwa seorang

pelayan telah tiba untuk menjemputnya. Kichiji cepat-cepat bangun dan menuju sebuah pintu di bagian belakang kuil.

“Kowaka! Kau sudah datang ... terima kasih!”

“Saya khawatir tidak akan bisa tiba di sini tepat waktu,” jawab Konno-maru. “Apakah kita akan berangkat sekarang?”

Setelah berterima kasih kepada si pendeta, keduanya meninggalkan kuil dan kembali ke pondok Giwo.

“Saya akan kembali lagi,” Kichiji tersenyum. “Maafkan saya yang telah merepotkan Anda,” katanya kepada si pendeta dengan nada memohon maaf sambil melangkah memasuki kereta

Kemunculan mendadaknya mengagetkan Ushiwaka, yang memandang Kichiji tanpa mengatakan apa-apa. Begitu kereta itu bergerak, Kichiji mendekatkan diri kepada Ushiwaka dan berbisik:

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sekarang karena aku ada di sini.”

Setelah keheningan sesaat, Kichiji kembali berbisik, “Tapi ... jika kau bukan Heik6, berarti kau bukan siapa-siapa. Seperti itulah dunia saat ini. Jika kau menggantungkan diri kepadaku untuk menolongmu melarikan diri ke timur laut, maka kau harus siap menghadapi banyak hal dan melakukan apa pun tepat seperti yang kuperintahkan.”

Page 832: The Heike Story

Kereta itu berhenti setibanya di depan sebuah rumah peristirahatan di dekat sungai. Derak rodanya mengundang dua orang geisha berlari melewati pepohonan dedalu. Kichiji menyapa mereka dengan wajah berseri-seri.

“Di manakah yang lainnya? Sudah pergi, katamu? Ya sudah, tidak apa-apa, aku bisa menyewa kuda atau tandu untuk diriku sendiri.”

Setelah selama beberapa waktu mengobrol tak tentu arah, kedua geisha itu menjejalkan diri ke dalam kereta dan duduk di samping Ushiwaka.

“Nah, kalian sebaiknya berangkat sekarang,” kata Kichiji kepada Kowaka, yang mengangguk dan melecutkan cambuk ke sapinya

Dari percakapan mereka, Ushiwaka menebak bahwa kedua geisha itu bersaudara ... salah satunya adalah gundik Kichiji. Mereka berlama-lama memandang Ushiwaka, saling berbisik, lalu tersenyum kepadanya.

“Dia tampan, ya?”

‘Tapi agak kecil untuk pemuda seumurnya, ya?”

Sambil meliriknya, kedua wanita itu berkali-kali mengomentari penampilan Ushiwaka seolah-olah baru saja mendapatkan hewan piaraan baru. Ushiwaka merasa tercekik oleh wewangian yang menguar dari pakaian kedua wanita itu; jantungnya berdegup kencang, dan tatapannya tertuju pada pemandangan di luar.

“Dia sepertinya terpesona melihat pemandangan kota. Benarlah itu ... Tuan?”

Ushiwaka mengabaikan pertanyaan yang ditujukan untuknya itu. Dia terpikat oleh segala sesuatu yang

Page 833: The Heike Story

dilihatnya di sepanjang perjalanan mereka melintasi ibu kota.

“Uhat! ... Tuan Kichiji ada di sana, di depan kita,” seru salah seorang geisha itu, menunjuk ke salah satu sisi jalan. Ketika melewati mereka, Kichiji menoleh ke kereta mereka dan mengatakan sesuatu kepada Kowaka, yang menuntun sapinya.

Sejenak kemudian, ruas jalan berapit pohon dedalu di Horikawa terlihat Cahaya-cahaya lentera dari rumah-rumah di sepanjang kanal seolah-olah menari-nari di atas permukaan air, sementara alunan seruling, gebukan genderang; dan kehangatan aroma malam musim panas menerobos kerai kereta. Mereka berbelok ke salah satu ruas jalan dan berhenti di depan sebuah rumah yang asri. Kichiji telah menunggu di sana.

“Tuan,” katanya kepada Ushiwaka, “silakan masuk. Ini rumahku. Anggap saja sebagai rumah sendiri.”

Ushiwaka tidak bisa tidur malam itu. Semua yang didengar dan dilihatnya di lingkungan baru ini membuatnya gundah. Makanan yang dikecapnya pun terasa aneh.

Dia semakin gelisah karena tidak diizinkan keluar rumah. Kichiji baru kembali dua minggu kemudian setelah pergi pada malam pertama mereka di sana.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya kepada Ushiwaka. “Tidak kesepian, bukan? Heik6 masih mengawasi semua orang, jadi aku sengaja menghindari tempat ini. Jangan mengira aku telah melupakanmu.”

Karena Ushiwaka diam saja, Kichiji melanjutkan, “Kabar baiknya, kurasa mereka tidak akan memeriksa tempat ini. Semua jalan, pelabuhan, dan gerbang kota diawasi dengan ketat Siapa pun yang memiliki keterkaitan

Page 834: The Heike Story

dengan Genji hingga saat ini dianggap sebagai tersangka, tapi aku berhasil mengakali mereka,” katanya sambil tertawa. “Siapakah yang akan berpikir untuk menggeledah daerah hiburan?”

Ushiwaka tetap diam saja.

Kichiji melanjutkan, “Tentu saja, Tuan, aku tidak perlu mengingatkanmu tentang betapa berharganya nyawamu bagi Genji. Jika bukan karena dirimu dan saudara tirimu,Yoritomo, di Izu, Genji tidak akan memiliki pegangan lagi. Seluruh harapan mereka ada di benakmu.”

“Kichiji ... kapankah aku berangkat ke timur laut?” Ushiwaka mendadak bertanya.

“Yah, aku harus sangat berhati-hati. Aku tidak boleh mengambil risiko apa pun. Aku akan menunggu hingga penjagaan Heik6 lebih longgar. Mungkin musim semi nanti akan menjadi saat yang tepat untuk menemanimu ke utara.”

“Musim semi?”

“Awal tahun depan, tepatnya.”

“Dan sebelum itu?”

“Ibu kota akan cukup aman bagimu. Untuk memastikannya, bagaimanapun, kau harus berdandan seperti perempuan, dan setelah merasa nyaman dengan penyamaranmu, kau bisa bepergian ke sana kemari tanpa takut dikenali. Kau akan tinggal di sini hingga aku datang menjemputmu.”

Kichiji segera berangkat ke timur laut, berjanji untuk menjemput Ushiwaka pada bulan Februari atau Maret Dia telah memberikan instruksi mendetail kepada Konno-maru

Page 835: The Heike Story

tentang apa yang harus dilakukannya selama dia pergi, dan Ushiwaka dititipkan kepada kedua geisha bersaudara.

“Aku tidak mau berdandan seperti perempuan,” Ushiwaka terus bersikeras kepada kedua geisha yang ingin mendandaninya, dan juga kepada Konno-maru, yang datang setiap hari; baru setelah dibujuk habis-habisan, Ushiwaka akhirnya setuju untuk membiarkan rambutnya disanggul seperti seorang perempuan. Dia mengenakan kimono berwarna mencolok seperti yang dikenakan oleh para geisha muda. Wajahnya dibedaki secara merata dan pipinya dibubuhi pemerah hingga wajahnya benar-benar mirip perempuan. Setelah terbiasa dengan penyamarannya dan nama Rindo (bunga gentian), Ushiwaka mulai merongrong Konno-maru.

“Kowaka, kau sudah membohongi ku.” katanya berulang kali. “Kau belum juga memberitahuku kapan kita akan menemui ibuku. Kau pernah mengatakan bahwa beliau sakit, tapi bukan begitu kenyataannya. Asatori memberitahuku bahwa beliau pun ingin bertemu denganku.”

Sejak melarikan diri dari Gunung Kurama, Ushiwaka seolah-olah terobsesi pada pikiran mengenai ibunya. Tetapi, Konno-maru sebisa mungkin berusaha untuk menekankan risiko yang akan ditanggungnya. “Kau harus mengerti bahwa aku tidak sedang mencoba menghalang-halangimu menemui ibumu, tapi Heikt menjaga rumahnya sepanjang siang dan malam. Mereka yakin bahwa kau akan mendatanginya, dan mereka sudah siap membekukmu di sana.”

Tetapi. Ushiwaka bersikeras.

“Kau akan berangkat ke timur laut, bukan?”

“Tidak. Aku harus menemui ibuku terlebih dahulu.”

Page 836: The Heike Story

“Aku sudah berulang kali memberitahumu bahwa demi ibumu, begitu pula demi dirimu sendiri, kau sebaiknya tidak menemui beliau sekarang.”

“Jalan Pertama, tempat tinggal beliau, tidak jauh dari sini, bukan, Kowaka? Kalau begitu, salahkah aku jika ingin menemui beliau?”

“Jika para prajurit Heik6 tidak berjaga-jaga di sana, tidak ada yang mencegahmu menemui beliau.”

“Kau jahat, Kowaka, karena melarangku menemui ibuku. Seandainya aku seorang pria dewasa, akan kuhabisi semua Heik6.”

“Bagus! Jika kau ingin menemui ibumu, jangan lupa bahwa itulah yang pertama-tama harus kaulakukan.”

“Betapa bencinya aku kepada mereka ... para Heike itu!” seru Ushiwaka dengan tatapan garang.

o0odwkzo0o

Ushiwaka, menyamar sebagai Rindo yang jelita, segera dikenal oleh orang-orang yang tinggal di sepanjang kanal berapit pepohonan dedalu di Horikawa, tempatnya sering berjalan-jalan seorang diri. Kedua kakak beradik yang tinggal bersamanya kadang-kadang mengajaknya ke pasar di jalan Keempat dan Kelima. Mereka pun mengajarinya menabuh genderang dan meniup seruling, dan ketika musim dingin tiba, Ushiwaka mulai berlatih menari.

Daigo, seorang perajin genderang yang tinggal di dekat Horikawa, memiliki seorang putri berumur sepuluh tahun yang datang setiap hari ke rumah mereka untuk belajar menari. Gadis kecil itu bernama Shizuka dan lebih pintar memainkan genderang dan seruling daripada Ushiwaka, yang dianggapnya sebagai kakak.

Page 837: The Heike Story

“Rindo, mengapa kau tidak menjadi geisha saja?” tanyanya kepada Ushiwaka pada suatu hari.

“Entahlah,” jawab Ushiwaka. “Aku belum ahli memainkan genderang dan seruling.”

“Mengapa tidak tahun depan saja, kalau begitu?”

“Ya, tapi bagaimana denganmu, Shizuka?”

“Aku ... ” Shizuka ragu-ragu, memikirkan pertanyaan Ushiwaka.

“Apakah kau tidak ingin menjadi geisha?”

“Entahlah.”

Mereka tengah berjalan-jalan di tengah hamparan salju pada suatu hari, lupa bahwa mereka harus segera pulang, ketika Ushiwaka mendadak bertanya:

“Maukah kau ikut denganku ke jalan Pertama?”

“Di manakah letak Jalan Pertama?”

“Di dekat sungai.”

Saat ini, Ushiwaka sudah mengenal baik rumah tua di dekat sungai itu; dia telah melewatinya berkali-kali dengan jantung berdegup kencang, dihantui oleh ketakutan bahwa para penjaga Heik6 akan mengenalinya.

“Rindo! Kau mau ke mana?” seru Konno-maru, mengejar kedua anak nakal itu. Mengetahui bahwa Ushiwaka kerap berkeliaran di sekitar Jalan Pertama, Konno-maru membawa kereta untuk membawanya pulang. Pakaian Ushiwaka basah; dia kedinginan dan merana, menangis terisak-isak untuk melampiaskan kekecewaannya ketika Konno-maru merangkulnya bersama teman ciliknya, lalu membawa mereka ke kereta untuk pulang ke Horikawa. Di dalam kereta, kedua anak itu berpelukan. Shizuka

Page 838: The Heike Story

menghangatkan tangan dingin Ushiwaka dengan menggosok-gosokkannya ke pipi, dan Ushiwaka memeluknya erat-erat hingga mereka berdua jatuh tertidur.

o0odwkzo0o

Bab L-PERJALANAN KE TIMUR Tahun Baru 1174 diwarnai oleh kegembiraan dan

kekhusyukan; ketenangan menyelimuti seluruh ibu kota. Upacara besar-besaran di Istana telah berakhir tanpa kericuhan. Tidak seorang pun mati kelaparan di jalanan Kyoto. Kedamaian di bawah kekuasaan Heike ini telah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun, jauh lebih lama daripada yang pernah terjadi di bawah kekuasaan Fujiwara. Tidak sekali pun pertikaian berdarah pecah sepanjang masa itu, dan rakyat percaya bahwa mereka berutang budi kepada Kiyomori untuk semua ini.

Kendati begitu, hujatan kepada Heik6 masih sesekali terdengar, bukan dari rakyat jelata melainkan kaum bangsawan. Heik6 dipandang miring lantaran kekuasaan, arogansi, dan bahkan hubungan mereka dengan kaum darah biru. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, topik lain menjadi buah bibir seluruh ibu kota. Terdengar desas-desus bahwa Genji belum tercerabut hingga ke akar-akarnya, dan mereka sedang bersiap-siap untuk sekali lagi menantang Heikg. Rumor itu sepertinya disebarkan oleh para biksu dari Gunung Kurama setiap kali mereka turun ke ibu kota, dan cerita-cerita tentang menghilangnya Ushiwaka dan para Tengu pun turut menguatkannya.

Heike melipatgandakan kesiagaan mereka. Mencurigai daerah hiburan, sejak bulan Februari, para prajurit Rokuhara secara teratur berpatroli dari rumah ke rumah

Page 839: The Heike Story

untuk mencari Ushiwaka, dan mata-mata dari Kepolisian juga sering terlihat di sana.

Dua atau tiga kuntum bunga telah mekar di pohon plum di dekat kios Daijo pada suatu hari di bulan Februari itu, dan si perajin genderang memanggil seorang pejalan kaki dari bengkelnya:

“Halo, halo! Kaukah itu, Kowaka?”

Kowaka berbalik arah dan melongok ke dalam bengkel.

“Kau sepertinya sedang sibuk seperti biasanya, Daijo. Kau yakin aku tidak mengganggumu?”

“Duduklah sebentar. Jangan melewatiku begitu saja.”

“Aku tak ingin mengganggumu.”

“… Omong-omong, aku harus memberitahukan sesuatu kepadamu sebelum secara langsung mengatakan tentang hal ini kepada Toji. Aku baru mengatakan kepada istriku tadi pagi bahwa kuharap kau akan berkunjung.”

“Eh? Apakah sesuatu yang luar biasa telah terjadi?”

“Dengar, apakah kau mengenal seseorang yang bernama Ular?” “Ya.”

“Lebih baik kau berhati-hati terhadap dirinya.”

“Terhadap Ular, maksudmu?”

“Sejujurnya, dia kemarin datang ke sini dan mengatakan kepadaku bahwa ada yang aneh mengenai Rindo.”

“Apa! Dia mengatakan itu kepadamu?”

“Sekarang, dengarkanlah ... kau tahu bahwa Rindo dan putriku Shizuka selalu bermain bersama. Nah, Ular kemari untuk alasan yang tidak kumengerti. Dia sepertinya

Page 840: The Heike Story

menyembunyikan sesuatu. Aku sudah meminta Shizuka berjanji untuk tidak mengatakan apa pun kepadanya.”

“Apakah si Ular ini juga menanyai putri kecilmu?”

“Dia menarik Shizuka dan mengatakan kepadanya bahwa Rindo bukan perempuan. Ular mengancam Shizuka bahwa jika dia tidak berkata jujur, maka prajurit Heik6 akan menangkapnya.”

“Hmm? … Pria kurang ajar … menyebarkan desas-desus murahan.”

“Kowaka ... ”

“Ya.”

“Hanya itulah yang ingin kuberitahukan kepadamu, tapi kuharap kau berhati-hati. Orang lain, sama seperti Ular, mungkin juga menangkap keanehan yang sama.”

“Baiklah, Daijo, aku berterima kasih kepadamu dan tidak akan melibatkanmu di dalam masalah. Kau tidak perlu mengulangi peringatanmu, aku tahu.”

“Jangan khawatir. Jika aku gemar bergunjing, aku tidak akan menceritakan tentang semua itu kepadamu.”

“Terima kasih, Daijo … aku tidak akan menceritakan apa pun kepadamu sekarang. Kau bisa menebak-nebaknya sendiri,” kata Kowaka sambil membungkuk dalam-dalam dan memandang Daijo dengan penuh hormat.

Daijo meraih palunya dan tersenyum. “Itu sudah cukup! Sikap resmi seperti itu tidak pantas ditunjukkan di daerah hiburan, kau tahu,” katanya dengan riang sambil mengumpulkan serutan kayu dan melemparkannya ke perapian.

o0odwkzo0o

Page 841: The Heike Story

Bulan telah meninggi di atas Perbukitan Timur, dan permukaan air Sungai Kamo berkilauan bagaikan mutiara Jembatan Gojo semakin sepi begitu kegelapan malam di bulan Februari itu menyelimuti sungai. Tanpa memedulikan kesunyian, sesosok remaja berbadan kecil terus melongok dari atas pagar jembatan, mengamati unggas-unggas yang masih bermain di sungai.

Sosok itu adalah Ushiwaka, yang mengenakan mantel dan bakiak wanita hitam bertumit tinggi. Dia membawa sebuah seruling, yang

tersimpan di dalam wadahnya, dan terlihat sangat mirip dengan seorang geisha. Siang itu, kedua geisha yang tinggal bersamanya membawanya ke pasar di Jalan Kelima untuk membeli beberapa keperluan guna menyambut Festival Boneka. Tanggal 3 Maret tinggal beberapa hari lagi, dan mereka berlama-lama di pasar, melihat-lihat beraneka ragam barang dagangan yang dijajakan di sana. Ketika sedang berjalan-jalan, kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang pria yang sepertinya mengenal baik mereka. Mereka pun menerima undangan untuk mengunjungi kediaman si pria dan menyuruh Ushiwaka pulang sendirian. Ushiwaka, yang tidak sanggup menaklukkan gejolak rasa ingin tahunya, justru menyeberangi jembatan menuju Rokuhara, tempat yang sudah lama ingin dilihatnya. Dia berkeliaran di sekitar Rokuhara hingga sore hari, terpesona melihat ukurannya, deretan rumah megah yang berdiri mengapit jalan nan luas, banyaknya gang yang bercabang dari jalan utama, kereta-kereta dan para pejabat dengan kimono beraneka warna, dan entah seberapa banyak samurai yang melewatinya di depan kediaman Kiyomori. Kota yang tengah berkembang ini adalah tempat tinggal musuh ayahnya!

Page 842: The Heike Story

Merana dan kesepian, Ushiwaka pulang, hingga dia tiba-tiba roboh dan menangis tersedu-sedu di tengah Jembatan Gojo. Di tempat inikah ayahnya, Yoshitomo, dan saudara-saudaranya menghadapi kekalahan mereka? Konno-maru telah berkali-kali menceritakan rangkaian peristiwa pada hari yang menentukan itu. Dan saat berdiri di sana, menatap permukaan air, Ushiwaka diterpa oleh kesadaran bahwa dia adalah putra Genji Yoshitomo. Dengan gigi terkatup, dia menggumam, “Ayah, aku sudah dewasa sekarang. Putramu ini sudah enam belas tahun. Aku akan membalaskan dendam Ayah. Hari itu sudah dekat.”

Ketika Ushiwaka mengakhiri renungannya untuk pulang, seseorang menghadangnya. Ushiwaka berusaha melewatinya, namun pria itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya dan berlari menyongsongnya.

‘Tunggu! Jangan bergerak, Rindo!”

“Apa maumu? Siapa kamu?”

“Aku?” pria itu menyeringai. “Semua geisha di ibu kota ini mengenalku. Namaku Ular ... jangan pernah melupakannya!”

“Itu tidak berarti apa-apa bagiku. Aku sedang terburu-buru, lepaskan aku!”

“Hei ... ” Ular mencengkeram erat-erat mantel Ushiwaka. “Aku punya urusan denganmu. Kau laki-laki, bukan?”

‘Tentu saja tidak …. Lepaskan aku!”

“Ayolah, aku sudah cukup mengenal geisha untuk mengetahui tipuanmu!”

“Lepaskan aku! Aku akan menjerit kalau kau tidak melepaskanku!”

Page 843: The Heike Story

“Jadi, kaupikir aku akan menculikmu, setan kecil? Aku akan memberitahumu siapa dirimu yang sesungguhnya ... Ushiwaka!”

“Kau tidak bisa menyanggahku, ya?”

“Itu tuduhan yang salah, aku Rindo ... seorang geisha!”

“Seorang geisha, ya? Dari Gunung Kurama? ... Kau adalah putra sulung Tokiwa. Kalau tidak, mengapa aku sering melihatmu berkeliaran di Jalan Pertama?”

Ular menyambar bahu Ushiwaka dan mendorongnya ke arah Rokuhara.

“Ular benar, bukan? Ikutlah bersamaku sekarang. Mengapa kau ketakutan begitu? Kita akan pergi ke rumahku,” kata Ular, terdorong maju dengan mantel di tangannya karena Ushiwaka mendadak mengelak dan menjatuhkan diri ke tanah.

“Kurang ajar!” Ular mengumpat ketika Ushiwaka menendang kakinya. Dalam sekejap, Ushiwaka telah bangkit dan lari dari sana.

“Sekarang aku yakin bahwa kau memang Ushiwaka, dan aku akan menangkapmu!” seru Ular, berusaha berdiri dan mengejarnya. Derap kakinya bergema di sepanjang jembatan selama dia memburu sosok kecil itu. Sebuah pekikan terdengar setibanya Ular di ujung jembatan. Sesuatu berkelebat di bawah cahaya bulan. Kesunyian menyusul. Tanpa disertai kepalanya, tubuh Ular terhuyung-huyung beberapa langkah dan roboh ke tanah.

o0odwkzo0o

Ushiwaka terbangun dari tidurnya yang nyenyak dan memandang ke sekelilingnya. Di sampingnya, sebuah patung besar menjulang tinggi hingga langit-langit. Dia

Page 844: The Heike Story

mendadak teringat tentang Ular dan pertemuan mereka semalam. Satu demi satu, dia menatap seluruh isi ruangan yang menyerupai gudang itu, pada patung-patung besar dan kecil yang mengelilinginya. Dia mengenali Asura, sang Dewa Perang; para dewa pemarah; Dewa Angin dan Petir, dan bahkan Kannon yang tersenyum bijaksana.

Seketika itu, dia mengira dirinya tengah berada di gudang harta sebuah kuil; kemudian, dia teringat bahwa seseorang telah membawanya kemari dan dia tertidur. Sebuah suara menggugahnya, dan dia menoleh. Dilihatnya Kowaka sedang bangkit dari salah satu sudut yang dipenuhi oleh berbagai macam perkakas dan peralatan melukis.

“Apakah kau sudah bangun, Ushiwaka?” tanya Konno-maru.

“Kau tidak memanggilku ‘Rindo* pagi ini, ya?”

“Kau sudah tidak memerlukan panggilan itu. Dan kau boleh kembali memanggilku ‘Konno-maru’.”

“Apa yang telah terjadi?”

“Kita tidak akan kembali ke daerah hiburan lagi.”

“Di manakah kita saat ini?”

“Kita ada di bengkel seorang perajin patung Buddha.”

“Wah?”

“Kau mungkin akan cemas jika aku tidak memberitahukan yang setepat-tepatnya kepadamu. Otoami, seorang murid Unkei yang termashyur, tinggal di sini. Beliau telah selama bertahun-tahun bekerja di timur laut untuk membuat patung bagi Hidehira, dan

karena itulah Otoami mengenal baik Kichiji. jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkan keberadaanmu di sini.”

Page 845: The Heike Story

“Di manakah letak rumah ini?”

“Tidak jauh dari Shirakawa.”

“Kalau begitu, tempat ini tidak jauh dari Jalan Pertama, bukan?”

“Ushiwaka ... ”

“Ya?”

“Kau nyaris celaka tadi malam, bukan?”

“Ya, jika tidak ada kau dan pedangmu ... ”

“Aku tidak ingin mengingatkanmu pada peristiwa itu, tapi kurasa Ular sudah melaporkan tentang dirimu kepada Heik6. Berkeliaran di luar sama saja dengan menantang bahaya.”

“Bagaimana kau bisa tiba di Jembatan Gojo dalam sekejap mata?”

“Kedua kakak beradik itu tiba di rumah dan mengatakan bahwa mereka meninggalkanmu di salah satu sudut pasar di Jalan Kelima Begitu mendengarnya, aku langsung merasa bahwa kau sedang berada dalam bahaya karena baru pagi itu si perajin genderang memberiku peringatan tentang dirimu.”

Ushiwaka tidak berkomentar apa-apa tentang hal ini, dan Konno-maru melanjutkan, “Aku langsung mencarimu ke Jalan Pertama, namun kau tidak ada di sana. Kupikir kau mungkin masih ada di Jalan Kelima, dan takdirlah yang tentunya membawaku ke Jembatan Gojo tepat pada waktunya.”

“Dan kita bersembunyi di sini setelah malam larut, bukan?”

“Ya, apakah tidurmu nyenyak?”

Page 846: The Heike Story

“Ya, tapi aku mencemaskan nasib kedua kakak beradik itu.”

“Kichiji sudah memberi tahu mereka tentang apa yang harus mereka lakukan jika masalah terjadi. Aku sudah memperingatkan mereka semalam, jadi mereka mungkin sudah meninggalkan Horikawa saat ini.”

“Ke manakah mereka pergi?”

“Mereka mungkin akan bersembunyi di desa dan kemudian berangkat ke timur laut Kichiji akan menjamin keselamatan mereka. Sementara itu, bagaimanapun, kau berada dalam bahaya besar ... setidaknya hingga kita tiba di timur.”

“Apakah aku akan segera berangkat ke timur laut?”

“Melihat keadaan saat ini, sebaiknya kau tidak tinggal lebih lama lagi di ibu kota. Di dalam suratnya, Kichiji mengatakan bahwa dia akan sesegera mungkin menjemputmu.”

“Dan hingga saat itu tiba?”

“Kau akan bersembunyi selama beberapa hari di sini. Kau harus bersabar hingga Kichiji datang untuk menjemputmu, tapi itu tidak akan lama.”

Ketika terjaga setiap pagi, Ushiwaka menatap jendela bengkel yang tinggi dan melihat langit dari sana. Kemudian, dia akan mengeluh kepada dirinya sendiri. “Oh, menyebalkan! Hingga kapankah aku harus menunggu di sini?”

Dia gelisah karena harus melalui setiap hari dengan cara yang sama, di tengah patung-patung yang mengerikan. Kemudian, pada suatu malam di bulan Maret ketika pohon-pohon plum tengah berbunga, badai besar menerpa atap

Page 847: The Heike Story

bengkel. Deru angin kencang membangunkan Ushiwaka. Bantalnya basah, dan dia mendengar air menetes-netes dari patung-patung di sekelilingnya. Dia duduk dan menajamkan pendengaran. Alam sepertinya sedang melampiaskan kemarahannya. Ushiwaka sendirian di sana karena Konno-maru, yang meninggalkan bengkel bersama Otoami maJam itu, belum kembali. Seketika itu juga, terlintaslah di benaknya bahwa malam ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana yang telah lama disusunnya. Dia bangkit dari kasurnya dan meraba-raba pintu. Terkunci. Konno-maru atau Otoami mengunci pintu itu dari luar, menjadikannya tawanan di sana! Pikiran ini mendorong seluruh nalurinya untuk memberontak. Konno-maru, para Tengu ... mereka semua ... selalu mengatakan kepadanya bahwa segalanya bergantung kepada Kichiji. Untuk apa dia harus memedulikan Kichiji! Siapakah

Kichiji sehingga bisa mengatur apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya? Sekaranglah saat bagi Ushiwaka untuk menunjukkan tekadnya kepada Kichiji, bahwa dia akan menemui ibunya terlebih dahulu ….

Ushiwaka memanjat salah satu patung dan meraih jendela. Angin dan hujan menerpa wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam dan melompat ke luar. Kegelapan yang pekat menyelimutinya ketika dia berlari ke arah Jalan Pertama.

o0odwkzo0o

Angin mengoyak teritis dan mengguncang kerai-kerai di rumah tua itu. Tokiwa berdoa agar hujan lekas reda karena gemuruh sungai meresahkannya dan menyebabkannya sulit tidur. Dia menyumpalkan selimut ke telinganya untuk meredam lolongan angin. Kali ini, dia merasa yakin telah mendengar bunyi gaduh di ujung lorong. Bunyi itu terdengar berkali-kali; Tokiwa akhirnya menyibakkan

Page 848: The Heike Story

selimutnya dan menoleh ke arah Yomogi, yang tidur di sampingnya.

Kemarin adalah 3 Maret ... Hari Festival Boneka ... dan Tokiwa telah menata beberapa boneka kertas dan lempung di kamarnya. Yomogi bertandang ke rumahnya, membawakan seikat bunga persik dan penganan manis yang dipersiapkannya sendiri. Mereka mengobrol hingga larut malam, ketika badai memaksa Yomogi untuk menginap.

Yomogi juga terbangun, bergerak-gerak dengan gelisah di kasurnya.

“Yomogi ... bunyi apakah kira-kira itu?”

“Bunyi yang aneh. Bisa saja angin. Saya juga terganggu karenanya. Saya akan memeriksanya,” jawab Yomogi, bangkit dari kasurnya dan menyalakan lentera. Api berkelap-kelip liar. “Sungguh aneh karena angin terus-menerus menerobos masuk ke rumah.”

Bayangan Yomogi, yang sedang berjalan dengan hati-hati di lorong dengan membawa lentera, berkelebatan liar.

Tokiwa duduk tegak di kasurnya. Sementara itu, Yomogi melangkah di lorong yang panjang dan berhenti di setiap belokan, setiap kali merasa tertekan oleh kegelapan yang meliputinya; bunyi tetesan air hujan mendadak mengusiknya; sebuah pintu yang menghadap ke sungai terbuka dan sesosok orang berdiri di keremangan ambang pintu.

“Apakah kau pelayan di sini?” tanya sosok itu.

“Ya.” jawab Yomogi. “Aku sedang menemani mantan nyonyaku.”

Page 849: The Heike Story

Ketika Yomogi menghampiri pintu, api lenteranya berkedip dan padam.

Yomogi menyadari bahwa sosok itu adalah salah seorang prajurit Heikt yang bertugas menjaga rumah ini setiap malam.

“Apakah kau melihat seseorang?” tanya prajurit itu.

“Tidak, tidak seorang pun,” jawab Yomogi.

“Pasti anginlah yang menyebabkan bunyi berisik itu, tapi aneh juga bahwa pintu ini bisa terbuka.”

“Ya, segala sesuatu di sini sepertinya copot gara-gara angin.”

“Itu benar. Mengapa kau masih terjaga di malam selarut ini?”

“Aku tidak bisa tidur gara-gara keributan itu ... angin yang menerobos masuk ke rumah.”

“Tapi badai ini sudah hampir reda.”

“Ini malam yang buruk bagi kaitan yang harus berjaga di luar sana, ya?”

“Kehidupan memang berat, hanya itu yang bisa kukatakan. Lagi pula, banyak kejadian janggal di jalan Kelima dan Horikawa akhir-akhir ini sehingga kita harus selalu membuka mata.”

“Ada apa di Jalan Kelima dan Horikawa?”

“Ada banyak desas-desus tentang iblis Tengu dan kejahatan mereka …. Kebanyakan adalah kasus penjarahan rumah, tapi aku tidak semestinya membicarakan tentang ini. Lebih baik kau mengunci pintu dan tidur. Sebentar lagi pagi datang.”

Page 850: The Heike Story

Yomogi mendengarkan langkah kaki prajurit itu menjauh; kemudian, dia menutup pintu dan meraba-raba jalan untuk kembali ke kamar. Sesuatu yang hangat dan lembut mendadak menyentuhnya dan, seketika itu, darahnya seolah-olah membeku. Dia hendak menjerit namun berhasil menahan diri. “Siapa ... siapa di sana?” tanyanya.

Yomogi terlonjak kaget ketika melihat sebuah gerakan di dekat dinding.

“Tolonglah ... ” seseorang berkata dan memeluk Yomogi.

Yomogi merasakan kelembutan pipi seseorang di pipinya

“Ibu?” sebuah bisikan parau terdengar.

Yomogi terkesiap. “Siapa ... siapa kamu?”

“Ushiwaka ... ini Ushiwaka, Ibu!”

“Tidak, tidak! Aku bukan ibumu. Bukan ibumu,” Yomogi mengulang-ulang jawabannya, berusaha membebaskan diri dari pelukan Ushiwaka. Kemudian, sesuatu menyentuh bahunya dan dia tersadar. Yomogi meloloskan diri dan berlari di sepanjang lorong.

“Nyonya, Nyonya ... Ushiwaka!” bisiknya dengan napas terengah-engah ke telinga Tokiwa.

“Ya?” jawab Tokiwa dengan tenang.

“Tunggu sebentar, Nyonya, saya akan menyalakan lentera.”

“Tidak, Yomogi, jangan sekarang. Para penjaga akan tahu.”

“Itu benar, tapi ... bagaimana kalau sedikit saja?”

Page 851: The Heike Story

“Jangan nyalakan lentera … aku sudah lama memikirkan apa yang akan terjadi jika aku bisa bertemu kembali dengan putraku. Tidak ... pikiran itu membuatku ketakutan. Tapi, ini bukan mimpi, dan dia benar-benar ada di sini!”

“Ushiwaka, di manakah dirimu?”

“Di sini, aku di sini! Di sini, Ibu!”

Isak tangis terdengar dari tengah kegelapan.

“Ushiwaka, kau sudah sangat besar!” “Ya ... ”

“Surat-surat dan pesan-pesanku sudah terkirim ke Gunung Kurama, bukan?” “Ya.”

“Apa lagi yang bisa kukatakan kepadamu, karena pada musim semi ini kau sudah berumur enam belas tahun. Sudah menjadi seorang pria dewasa. Jika kau masih tinggal di biara, sebagai ibumu, aku punya beberapa petuah untukmu. Ini adalah doaku bagi putraku ….Tetapi, tidak peduli sekhusyuk apa pun kita memanjatkan doa, hanya sedikit saja yang akan terjawab. Kau memanggilku Ibu, padahal sungguh kecil peranku di dalam kehidupanmu.”

“Tidak, tidak ... ” Ushiwaka menyanggah, memeluk Tokiwa dan membenamkan wajah ke pangkuannya. “Bukan salah Ibu jika keadaan kita menjadi seperti ini. Ini semua gara-gara Heik6 ... Kiyomorilah yang bersalah!”

Tokiwa tercekat; wajahnya yang pucat tertunduk ke bahu Ushiwaka, dan putranya mendongak, menatapnya dalam kegelapan dan mengatakan:

“Ibu, itu benar, bukan? Aku berhasil mengelabui mereka dan melarikan diri. Aku melakukannya secara sadar. Ibu berharap aku akan menjadi seorang biksu, tapi aku adalah putra Yoshitomo dan seorang samurai. Bagaimana

Page 852: The Heike Story

mungkin aku menjadi yang lain? Tidak ada tempat bagi seorang pun yang berusaha kabur dari dirinya yang sejati. Di manakah kehidupan semacam itu mungkin berjalan? Apakah beda antara kehidupan di sini dan di kuil paling terpencil sekalipun, tempat semua orang menjadi budak Heike, yang takut dan patuh kepada mereka?”

“Ampunilah aku, Ibu. Aku tidak akan bisa memenuhi keinginan Ibu. Tetapi, aku adalah putra Yoshitomo dan tidak bisa menjadi apa pun selain samurai. Aku harus memastikan agar nama Genji kembali dihargai. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang pria dewasa. Kejayaan Kiyomori tidak akan berlangsung lama.”

Tokiwa mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan perasaan hancur lebur. Semua orang mengetahui tentang kemalangan yang menimpa Genji, namun hanya dia seoranglah yang mengetahui bahwa Ushiwaka berutang nyawa kepada Heike Kiyomori. Kendati

begitu, dia tidak sampai hati untuk mengungkapkannya kepada putranya. Ini akan tetap menjadi rahasianya.

Karena cemas, Yomogi tidak bisa duduk tenang dan terus-menerus mengintip ke lorong untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada orang di sana. Badai telah reda, dan langit mulai terang. Kokok ayam jantan di kejauhan menambah kegelisahannya.

“Bukankah sekarang sudah saatnya bagi Ushiwaka untuk pergi? Fajar sudah hampir merekah,” bisiknya kepada Tokiwa. Keheningan menyusul. Di bawah cahaya temaram yang menerobos dari lubang-lubang udara kecil di atas jendela, Yomogi melihat Ushiwaka terkulai di dalam pelukan ibunya, seolah-olah sedang tertidur nyenyak. Enggan mengganggu mereka, Yomogi berpaling selama

Page 853: The Heike Story

beberapa waktu. Kemudian, dia kembali berbisik, kali ini dengan lebih tegas:

“Nyonya ... sudah pagi.”

Ushiwaka segera melepaskan diri dari pelukan ibunya. “Sudah waktunya bagiku untuk pergi ….Aku akan kembali kemari bersama sepasukan samurai Genji untuk menjemput Ibu.”

‘Tidak, lebih baik lagi ... ”

“Apa kata Ibu?”

“Jagalah dirimu baik-baik. Hanya itu pintaku.”

“Tentu saja. Jagalah kesehatan Ibu hingga kita bertemu lagi.”

“Untuk itulah aku hidup, Ushiwaka. Ingatlah bahwa dalam menentukan kebenaran dan kesalahan, kau harus menggunakan akal sehatmu. Kau juga harus meneladani orang-orang yang paling kaukagumi; akan ada banyak orang yang meremehkanmu, dan sejarah pertumpahan darah yang bodoh dan mengerikan akan selamanya terulang. Sebagai seorang samurai, ingatlah bahwa kau harus selalu mencintai dan melindungi mereka yang lemah dan tertindas, dan namamu pun akan selamanya semerbak.”

“Aku mengerti, Ibu. Aku tidak akan pernah melupakan nasihat Ibu.”

“Dengan cara apa lagikah kau bisa memberikan penghormatan kepada ayahmu, Yoshitomo, selain menjadi seorang samurai yang gagah berani dan bijaksana? … Lihat Yomogi ... matahari sudah terbit!”

“Tuan Muda,” kata Yomogi, melambai kepada Ushiwaka, “bagaimanakah Anda akan pergi dari sini?”

Page 854: The Heike Story

“Jangan khawatir. Aku akan pergi seperti ketika aku datang.”

“Tapi, baju Anda basah kuyup! Bagaimana mungkin Anda pergi dalam keadaan seperti ini?”

“Keadaanku tidak pernah sebaik ini waktu masih tinggal di biara. Aku tidak mempermasalahkan hujan atau angin, tapi ... ” Ushiwaka mendadak menoleh kepada Tokiwa dengan ekspresi memohon ... ”berikanlah salah satu boneka Ibu kepadaku sebagai kenang-kenangan,” katanya, menunjuk salah satu boneka, yang buru-buru diserahkan oleh ibunya kepadanya. Ushiwaka tersenyum dan melesat di lorong, lalu melompati langkan dan menghilang di antara pepohonan. Sejenak kemudian, dia telah berdiri di atas tembok yang berbatasan dengan Sungai Kamo. Ushiwaka menoleh untuk menatap ibunya sebelum lenyap sesaat kemudian.

Ushiwaka berdiri di bagian sungai yang dangkal, lalu berenang di bagian yang dalam. Dia adalah seorang manusia merdeka sekarang. Dia tidak bergantung kepada siapa pun. Konno-maru, Kichiji, Tuan Hidehira ... tidak seorang pun dari mereka berarti apa-apa baginya. Dia hanya bergantung kepada dirinya sendiri. Ushiwaka terdiam di tengah sungai dan memandang ke sekelilingnya; matahari baru saja terbit di balik Perbukitan Timur. Dia sedang menoleh sekali lagi ke rumah tua di Jalan Pertama ketika mendengar sebuah teriakan dari suatu tempat di tepi sungai. Ushiwaka mendongak dan tersenyum ketika melihat sesosok pria berlari ke arahnya. Dia adalah Konno-maru, yang terengah-engah dan berkeringat.

“Tuan Muda, apa yang terjadi?” katanya sambil menarik dan mencengkeram lengan Ushiwaka hingga remaja itu mengernyitkan wajah kesakitan. “Kau tidak tahu betapa

Page 855: The Heike Story

khawatirnya kami. Saat aku datang bersama Kichiji, bengkel itu kosong.”

“Apakah Kichiji sudah datang?”

“Bahkan Kichiji pun kebingungan. Dari mana sajakah kamu?”

“Aku menemui ibuku.”

“Apa! ... ibumu?”

“Apa salahku?”

“Risikonya terlampau besar.”

“Aku melakukannya karena kau tidak menepati janjimu.”

“Kau seharusnya tidak bertindak segegabah itu. Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?”

“Ya, itulah yang terus-menerus kaukatakan kepadaku ... bahwa keselamatanku jauh lebih penting daripada semua hal lainnya ... lebih daripada keinginanku untuk menemui ibuku. Apakah menurutmu nyawaku akan berarti jika aku tidak bisa bertemu dengan beliau?”

“Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang itu. Yang jelas, Kichiji panik karenamu. Lebih baik kita bergegas pulang ke rumah Otoami.”

Begitu mendekati rumah Otoami, mereka melihat Kichiji berdiri di dekat seekor kuda barang di gerbang belakang. Seperti biasanya, dia ditemani oleh sepasukan pelayannya, seolah-olah hendak melakukan perjalanan panjang.

“Kita akan berangkat sekarang juga,” katanya kepada Ushiwaka dengan tegas. “Kau akan menunggang kuda karena kau masih kecil.” Kemudian, Kichiji menoleh kepada Konno-maru. “Konno-maru, kita berpisah di sini

Page 856: The Heike Story

seperti yang telah kaujanjikan. Aku akan bertanggung jawab atas keselamatan Ushiwaka. Yakinlah bahwa dia akan aman bersamaku.”

“Aku yakin bahwa Anda akan sangat berhati-hati, namun perjalanan ini panjang dan Ushiwaka belum berpengalaman, jadi saya harap Anda bisa memastikan bahwa tidak ada masalah yang menimpanya.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk menjamin Ushiwaka tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Tidak ada yang perlu ditakuti setelah kami melewati Gunung Ashigara. Selebihnya akan mudah.”

Dari atas pelananya, Ushiwaka menoleh kepada Konno-maru. “Konno-maru, kau hendak ke mana?” tanyanya dengan sedih.

“Aku akan kembali ke perbukitan dan memberi tahu teman-teman kita bahwa kau telah berangkat Kami sudah berjanji kepada Kichiji untuk tetap tinggal di ibu kota setelah kau pergi bersamanya. Tuan Fujiwara Hidehira akan melindungimu. Pada suatu hari nanti, setelah kau tumbuh dewasa dan Heik6 lebih lemah, kita semua akan bertemu kembali di timur.”

Ushiwaka menunduk dalam-dalam, menahan air matanya. “Ya, Konno-maru, kita pasti akan bertemu kembali. Suatu hari nanti, kau akan mendapatkan penghargaan atas kesetiaanmu. Sampaikanlah ini kepada yang lainnya.”

Kichiji menarik tali kekang kuda Ushiwaka. “Baiklah, Konno-maru, kita akan segera berjumpa lagi. Selamat tinggal, selamat tinggal!”

Page 857: The Heike Story

Mereka bergerak menuju wilayah perbukitan di dekat Shirakawa, dan kuda yang ditunggangi Ushiwaka tiba-tiba berlari, seolah-olah tidak sabar lagi untuk melewati Jalur Shiga menuju timur.

LATAR BELAKANG SEJARAH THE HEIKE

STORY DAN PENULISNYA

Hingga beberapa waktu silam, ibu kota sekaligus pusat perkembangan peradaban Jepang bukan Tokyo melainkan Kyoto, tempat Istana Kekaisaran berdiri dari 794 – 1868. Dibatasi oleh pegunungan di sebelah utara dan timur, dan Sungai Kamo yang mengalir di sepanjang garis batas timurnya, Kyoto merupakan pusat pemerintahan oleh para bangsawan sejak masa awal kota itu berdiri hingga abad kedua belas. Tidak terhitung lagi banyaknya kuil, pagoda, dan tempat pemujaan berdiri di tengah hutan lebat di berbagai bukit dan puncak gunung atau di lembah-lembahnya; sejumlah gerbang megah, di antaranya adalah Gerbang Rashomon di sebelah selatan, membuka jalan menuju wilayah ibu kota yang berbentuk persegi dan jalan-jalan protokolnya, yang saling bersimpangan dengan jarak teratur. Di luar ibu kota terdapat desa-desa yang permai, dengan banyak sekali pemandangan indah, yang menjadi tempat pilihan bagi kalangan istana untuk bertamasya dan menyaksikan pacuan kuda dengan latar belakang Sungai Kamo.

Pada sekitar masa ketika ibu kota dipindahkan dari Nara menuju Kyoto, pemerintahan pusat memegang kendali seluruh wilayah barat Jepang sekaligus provinsi-provinsi di timur hingga sejauh kota yang saat ini dikenal dengan nama Tokyo, dan para bangsawan dari klan Fujiwara mulai memegang peranan penting di dalam pengambilan

Page 858: The Heike Story

keputusan-keputusan negara. Dengan cara mengembangkan sebuah sistem pemerintahan yang berpusat pada kaisar, dan dengan menduduki semua jabatan penting, klan Fujiwara segera menjadi penguasa negara. Untuk mengikat hubungan dengan trah kekaisaran, mereka menyerahkan putri-putri tercantik mereka untuk dipersunting oleh para kaisar dan pangeran sehingga keturunan merekalah yang nantinya menduduki singgasana. Lebih jauh lagi, klan Fujiwara menjaga agar tampuk kekuasaan tetap berada di tangan mereka dengan tanpa segan-segan menggulingkan seorang kaisar dan menggantikannya dengan seorang keturunan Fujiwara. Bahkan ada masa ketika seorang kaisar kecil duduk di singgasana sementara dua orang kaisar terguling ... seorang mantan kaisar dan seorang kaisar kloister ... tetap berkuasa.

Karena wewenang pemerintahan pusat menjangkau provinsi-provinsi terjauh, kekayaan Fujiwara pun terus bertambah dan para bangsawan hidup bergelimang kemewahan dan kekayaan yang berlimpah ruah. Kesenian berkembang pesat dan Fujiwara menjadi pengayom bagi golongan seniman yang tumbuh subur di lingkungan Istana. Dan pada masa kejayaan mereka di awal abad kesebelas inilah sebuah novel berjudul Kisah Genji ditulis oleh seorang wanita bangsawan, menggambarkan keanggunan dan kemeriahan kehidupan para bangsawan di puncak kejayaan mereka.

Kurang dari seabad setelah Kisah Genji ditulis, akhir kejayaan Fujiwara mulai bisa diperkirakan. Begitu pengaruh mereka memudar, timbullah perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri sehingga gejolak yang terjadi di istana bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan di tengah kekacauan itu, beberapa kaisar bahkan berupaya untuk memperkuat kekuasaan mereka.

Page 859: The Heike Story

Sementara itu, lembaga agama Buddha, yang berkembang pesat di bawah pembinaan Fujiwara dan mendapatkan kekayaan besar dalam bentuk tanah bebas pajak, semakin korup. Kuil-kuil dan biara-biara besar melatih para pendeta dan biksu mereka untuk bertempur, menggalang pasukan bayaran untuk memperkuat pertahanan mereka, dan memaksakan berbagai kebijakan kepada pemerintah. Kuil yang terkuat pada masa itu adalah Enryakuji di Gunung Hiei, di sebelah timur laut ibu kota.

Kriminalitas, gejolak, dan kemarahan masyarakat marak di ibu kota sejak awal abad kedua belas. Klan Fujiwara, yang sudah tidak memiliki wewenang kecuali yang bisa mereka rebut secara paksa, berniat untuk menarik dukungan dari klan Heik6 atau Genji. Kedua klan samurai tersebut, yang tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan istana, hingga saat itu bertugas mengelola wilayah kekuasaan Fujiwara di provinsi-provinsi yang jauh atau dipekerjakan sebagai pengawal di Istana; mereka kemudian dipanggil untuk saling mengadu domba faksi-faksi di dalam klan Fujiwara sendiri, meredam gejolak masyarakat, dan menengahi pertikaian bersenjata di antara kuil-kuil dan biara-biara besar.

Pada pertengahan abad itu, sebuah pertikaian militer besar-besaran terjadi, dan klan Heik6, di bawah panglima muda mereka, Kiyomori, mengakhiri dominasi klan Fujiwara sekaligus menjatuhkan saingan mereka, klan Genji. Kendati Heikt telah menggantikan Fujiwara, sama seperti pendahulunya, Kiyomori gagal untuk merumuskan sebuah sistem pemerintahan dan perundang-undangan baru. Hal ini berujung pada perebutan kekuasaan antara Heike dan Genji, dan pada seperempat abad terakhir, Heike bertekuk lutut di hadapan Genji.

Page 860: The Heike Story

Tetapi, kejayaan Genji juga tidak bertahan lama ataupun berhasil meredam gejolak yang terjadi di seluruh Jepang, karena pada awal 1300-an, klan Genji ditumbangkan oleh pertikaian yang terjadi di dalam tubuh mereka sendiri. Dan, sementara semua itu terjadi, kaisar dan para bangsawan berupaya untuk merebut kekuasaan dari klan-klan samurai yang senantiasa saling berseberangan.

Seluruh Jepang dirundung konflik pada awal abad keenam belas. Para panglima kecil di berbagai wilayah saling melawan hingga seluruh negeri dilanda perang saudara. Kedamaian baru terasa pada akhir abad tersebut, dibawa oleh seorang jenderal bernama Tokugawa leyasu. Dialah pelopor diktator samurai yang memerintah Jepang dengan tangan besi selama dua ratus lima puluh tahun ... hingga 1868, ketika persatuan antara Kaisar, beberapa orang bangsawan, dan beberapa klan samurai berhasil merebut singgasana kembali. Kendati begitu, keberhasilan itu tidak mengakhiri ketimpangan kekuasaan di antara unsur-unsur yang memungkinkan terjadinya Restorasi, dan gejolak itu terus berlanjut hingga 1945, ketika Jepang kalah dalam Perang Pasifik.

Ketika merenungi kembali sejarah Jepang, kita akan menyadari adanya keterkaitan yang begitu dekat antara era modern dengan abad kedua belas. Jepang hari ini masih mendapatkan pengaruh besar dari ajaran Bushido, atau kode etik samurai, yang berasal dari kasta samurai. Kisah-kisah tentang para kesatria pria dan wanita dari abad pertengahan, yang disukai oleh anak-anak Jepang hingga saat ini, adalah kisah-kisah yang juga diperdengarkan pada masa lalu. Drama, Noh, Kabuki yang termasyhur, dan banyak legenda lainnya diturunkan dari mulut ke mulut, semuanya terinspirasi dari para pria dan wanita dari abad kedua belas dan menjadi warisan kesusastraan rakyat

Page 861: The Heike Story

Jepang. Hampir bisa dikatakan bahwa tanpa memiliki pengetahuan tentang abad kedua belas, pemahaman kita mengenai Jepang dan berbagai cabang keseniannya tidaklah utuh.

Dari berbagai sumber yang membahas tentang periode itu, Heike Monogatori (The Heik6 Story atau Hikayat Heike), sebuah kisah epik yang menggambarkan keadaan pada awal abad ketiga belas, tidak lama setelah tumbangnya Heik6, bertahan sebagai sebuah dokumen yang penting bagi sejarah dan salah satu karya sastra besar dari masa itu. Tidak diragukan lagi bahwa kejatuhan Heik6 berkesan begitu mendalam di hati setiap penduduk Jepang karena puisi panjang yang menceritakan tentang akhir tragis klan Heik6 itu dinyanyikan di berbagai sudut negeri oleh para penyanyi balada yang tampil dengan kecapi mereka. Dan hingga berabad-abad sejak pertama kali dilantunkan, lagu itu menjadi salah satu romansa kesukaan penduduk Jepang, yang menjadikan para pahlawan di dalamnya sebagai idola.

Eiji Yoshikawa mulai menulis The Heiki Story tidak lama setelah Perang Pasifik berakhir, karena akhir tragis dari perang tersebut mengingatkannya pada kisah yang terkandung di dalam Heik6 Monogatori dari tujuh abad silam, dan di dalam buku ini, dia mengangkat tema tentang kepercumaan dan kebejatan perang, juga nafsu untuk meraup kekuasaan. Penulis menjadikan Kiyomori sebagai salah seorang tokoh utamanya, namun The Heiki Story, berbeda dari cerita-cerita pendahulunya, lebih dari sekadar kronik tentang kehebatan para kesatria dan putri, karena kisah yang disampaikannya lebih dari sekadar rangkaian peristiwa yang tercatat di dalam epik abad pertengahan, dan kekalahan Heik6 diceritakan terjadi setelah kematian Kiyomori, ketika seorang panglima Genji, Yoritomo, tampil

Page 862: The Heike Story

untuk memainkan sebuah peranan penting seperti yang terekam di dalam sejarah.

Penulis memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah, begitu pula tokoh-tokoh khayalan di dalam novelnya, namun tidak seorang pun dari mereka menjadi pahlawan utama. Sejarah, atau rangkaian peristiwa yang tidak terduga, adalah protagonis yang sesungguhnya dalam The Heike Story, mencakup segalanya, dan para tokoh besar yang ada di dalam kisah itu hanyalah sosok-sosok yang sejenak terselamatkan dari arus deras waktu, dan dengan interpretasinya sendiri, Mr. Yoshikawa mengawali penuturan epik kuno yang diawali dengan “Lonceng kuil menggemakan betapa mudahnya segala sesuatu berubah. Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apa pun yang berkembang dengan indah akan membusuk di kemudian hari. Kebanggaan hanya sejenak bertahan, bagaikan mimpi di malam musim semi. Dalam waktu singkat, kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan menjadi debu yang tertiup angin.”

Dalam melakukan interpretasi sejarah untuk The Heike Story, Mr. Yoshikawa tidak hanya mempelajari kesusastraan dari abad kedua belas dan ketiga belas tetapi juga sejumlah buku harian, surat, kronik, dan gulungan gambar, yang memberikan sumber pengetahuan dan detail otentik dalam penyampaian kisah ini.

Mr. Yoshikawa menduduki tempat terhormat di jajaran penulis novel Jepang modern. Jika sebagian besar dari mereka, kalaupun tidak semuanya, pada waktu tertentu di dalam karier mereka, pernah mendapat pengaruh dari kesusastraan Eropa, terutama dari penulis-penulis Rusia dan Prancis, Mr. Yoshikawa, disebabkan oleh situasi pada awal kehidupannya, tidak memiliki kesempatan untuk bersinggungan dengan kesusastraan Barat, versi

Page 863: The Heike Story

terjemahannya sekalipun. Bacaan pada masa mudanya ... yang dilahapnya dengan rakus ... adalah kisah-kisah klasik Jepang, dari masa kuno dan abad pertengahan, yang bisa ditemukannya di perpustakaan. Sebagai hasilnya, latar belakang dan teknik menulisnya terbentuk secara eksklusif oleh tradisi sastra klasik Jepang, dan dari sanalah dia mendapatkan model dan sumber pengetahuan.

The Heiki Story (Hikayat Heike), yang mulai ditulis oleh Mr. Yoshikawa pada 1951, belum sempat dirampungkannya, namun lebih dari dua per tiga bagian dari proyek monumental ini telah selesai ditulis dan membentuk sebuah buku. Buku ini laris dan dibaca oleh berbagai kalangan, dan oleh para kritikus dianggap sebagai sebuah tonggak di dunia sastra Jepang modern.

Beberapa patah kata perlu ditambahkan berkaitan dengan terjemahannya. Akan lebih tepat jika buku ini disebut sebagai versi bahasa Inggrisnya, karena berdasarkan kesepakatan dengan penulisnya, The Heiki Story telah banyak dimodifikasi agar lebih mudah dicerna oleh para pembaca non-jepang. Banyak hal yang signifikan dan menarik bagi pembaca Jepang, yang telah akrab dengan latar belakang sejarah kisah ini, dihilangkan dari versi terjemahannya; setiap bab telah dipadatkan dan sejumlah besar sub-plot dan tokoh pembantu juga dihilangkan. Oleh karena itu, versi terjemahan ini bukan sebuah kisah yang utuh dan tidak akan mampu menyampaikan kerumitan dan kekayaan versi aslinya. Kendati begitu, penerjemah dengan tulus berharap agar The Heike Story bisa memberikan kesempatan bagi pembaca non-jepang untuk mendapatkan kenikmatan membaca yang setara dan juga perkenalan pada Jepang dan penduduknya.

THE END

Page 864: The Heike Story
Page 865: The Heike Story