The Equator #2, August 2013

24
PERCAKAPAN DALAM PERJALANAN Edisi 2, Agustus 2013 Terbitan dwibulanan | GRATIS

description

Mobilitas adalah kata kunci yang akan menjadi kerangka kuratorial untuk Biennale Jogja XII mendatang. Edisi The Equator kali ini menyuguhkan beberapa tulisan untuk memperkaya produksi penegtahuan dalam berbagai perspektif terkait isu mobilitas. The Equator merupakan newsletter berkala setiap dua bulan diterbitkan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta.

Transcript of The Equator #2, August 2013

1

PERCAKAPANDALAMPERJALANAN

Edisi 2, Agustus 2013Terbitan dwibulanan | GRATIS

2

The Equator merupakan newsletter berkala setiap dua bulan diterbitkan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:www.biennalejogja.org.

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 600 - 800 kata dengan tema terkait hubungan Indonesia-Arab dan wacana seputar biennale.Tulisan dapat dikirim via e-mail ke:[email protected] kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah:Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat:Taman Budaya YogyakartaJl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Telp: +62 274 587712E-mail: [email protected]

Agustus 2013, 1000 exp

Penanggung jawab: Yustina NeniRedaktur: Brigitta IsabellaEditor bahasa: SyafiatudinaEditor Foto: Akiq AWKontributor: Brigitta Engla Apriyanti,Heru Prasetia, Hersri SetiawanPrilla Tania, Robertus Rony SetiawanDistribusi: Sekretariat YBYFotografi: Tim fotografi Biennale JogjaDesainer: Anang Saptoto

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:Yayasan Biennale YogyakartaBNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale YogyakartaBCA YogyakartaNo.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

PENGANTAR REDAKSI

Newsletter The Equator kembali hadir di tengah-tengah anda. Edisi kedua ini terbit di tengah suasana pasca lebaran, di mana masih hangat terasa sisa-sisa suasana ritual mudik ke kampung halaman. Fenomena mudik menggambarkan mobilitas manusia Indonesia dalam kurun waktu singkat dan dalam sebuah gelombang yang luar biasa besar.

Mobilitas adalah kata kunci yang akan menjadi kerangka kurato-rial untuk Biennale Jogja XII mendatang. Edisi The Equator kali ini menyuguhkan beberapa tulisan untuk memperkaya produksi pengetahuan dalam berbagai perspektif terkait isu mobilitas.

Heru Prasetia mengisahkan perjalanan ziarah haji orang-orang Nusantara ke Mekah di abad 19 dan bagaimana proses pertukaran pengetahuan terjadi pada masa itu. Sementara itu Prilla Tania, salah satu seniman Indonesia yang akan berangkat ke Sharjah, Uni Emirat Arab pada akhir Agustus 2013 untuk program residensi menuliskan sebuah esai kreatif yang merefleksikan makna tanah, air dan makanan. Melalui wawancara Brigitta Isabella dengan Agung Hujatnika, pembaca diharapkan mendapat lebih banyak in-formasi terkait kerangka kuratorial yang ditawarkan kurator BJ XII.

Untuk kolom tetap Wawancara Dengan Ekuator, kami mengun-dang sejarawan Hersri Setiawan menuliskan kisah sejarah KAA 1955 dan terbentuknya solidaritas seniman yang mengiringi peri-stiwa tersebut. Dalam edisi ini redaksi juga memilih dua tulisan peserta Program Magang Penulisan dan Kewartawanan Biennale Jogja XII. Kami sangat senang dapat memberi ruang apresiasi bagi kerja keras para peserta yang sangat bersemangat untuk belajar menulis.

Akhirnya, kami segenap tim redaksi The Equator berharap agar newsletter ini dapat menjalankan fungsinya sebagai suplemen yang bermanfaat dalam pengembangan wacana seputar event BJ XII.

Selamat membaca! Salam hangat, Redaksi

16 November 2013 - 6 Januari 2014

Pemandangan di Jeddah, Arab Saudi diambil saat mengunjungi Galeri Athr, Desember 2012.Foto oleh: Yustina Neni

Gambar Kanan: Magnetism oleh Ahmed MaterFoto milik Athr Gallery dan Ahmed Mater, 2011.

3

4

KAMPUNG JAWIDI TANAH SUCI: MOBILITAS PEZIARAH NUSANTARA ABAD 19Heru PrasetiaPeneliti

Esai

Pada akhir abad 19, sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan, Bahasa Melayu—yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia—adalah bahasa kedua di kota Mekah setelah Bahasa Arab. Mobilitas orang Nusantara dalam ziarah haji pada abad 19 juga bercerita tentang pertukaran pengetahuan yang menandai salah satu babak yang membentuk keislaman di Indonesia. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Begini ceritanya.

Haji, Perjalanan Mencari Ilmu

Mobilitas manusia dalam konteks perjumpaan Arab-Nusantara di abad 18 dan 19 yang punya peran penting dalam membentuk sikap beragama orang Indonesia setidaknya bisa dijumpai dalam dua hal: diaspora orang Arab (kebanyakan kaum Hadrami) di Nusantara dan perjalanan ziarah haji orang-orang Nusantara ke Mekah. Tulisan ini adalah tentang yang kedua.

Mekah adalah pusat ziarah kaum muslim. Sejak dikenalnya Islam di Nusantara sudah ada orang-orang dari Sumatera atau Jawa yang pergi ke Mekah. Tidak ditemukan data statistik mengenai hal itu, namun bisa diduga jumlahnya masih terbatas. Pada akhir abad 19 terjadi peningkatan tajam jumlah orang berziarah haji dari Nusantara

ke Mekah. Pernah dalam satu waktu hampir separuh dari seluruh jamaah haji adalah dari Nusantara. Sebuah sumber yang mengutip catatan konsul asing di Jedah menyebut ada 28.000 haji asal Nusantara dari 61.000 jamaah haji yang ada di Mekah pada tahun 1920.

Mobilitas orang Nusantara ke Mekah yang sangat tinggi ini setidaknya didorong oleh dua perubahan penting. Pertama, pada tahun 1869, dibuka terusan sepanjang 163 km yang menghubungkan Suez di laut Merah dengan Port Said di Laut Tengah. Pembukaan terusan Suez ini mempermudah dan mempercepat perjalanan dari Nusantara ke Mekah. Kedua, tumbuhnya kelas menengah di Nusantara. Kendati ada kebiijakan Cultuurstelsel, masih terdapat cukup ruang bagi saudagar lokal untuk mengembangkan usaha seperti pertukangan, galangan kapal, dan transportasi dengan membangun kontak dengan pedagang-pedagang arab di sejumlah kota di Jawa. Hal itu membuat mereka cukup punya duit untuk biaya pergi ke Mekah.

Perjalanan dari Nusantara menuju Jedah berlangsung selama berbulan-bulan. Setelah menempuh perjalanan panjang, para jamaah haji itu tidak semuanya langsung pulang ke tanah air. Tidak sedikit yang bermukim dan tinggal di

5

Mekah dalam waktu yang lama, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Para pemukim ini membentuk satu komunitas orang-orang Jawi (Jâwiyyîn) atau perkampungan yang dikenal dengan sebutan “Pemukim Jawah” (Bilâd al-Jâwah). Sebutan jawah atau jawi ini tidak selalu merujuk pada orang-orang dari pulau Jawa, namun juga pada orang-orang dari Nusantara bahkan Asia Tenggara. Dalam hal lain kita juga mengenal huruf jawi atau arab pegon, suatu modifikasi aksara Arab untuk menuliskan bahasa lokal yang dikembangkan komunitas ini. Koloni Jawi ini termasuk yang terbesar dari semua bangsa yang berada di Mekah. Jumlah orang Nusantara yang bermukim di Mekah terus meningkat sejak pertengahan abad 19. Pada pada tahun 1931 setidaknya terdapat 10.000 pemukim Jawah di kota Mekah.

Pada dasarnya komunitas ini adalah komunitas belajar. Orang-orang menetap di Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Tak hanya menimba ilmu, sejumlah orang diantaranya juga menjadi guru besar di bidang ilmu agama dan muridnya datang dari berbagai bangsa. Kita bisa menyebut sejumlah ulama asal Nusantara yang berpengaruh dan menjadi pengajar di Masjidil Haram seperti Syaikh Nawawi al-Bantani (dari namanya, kita tahu ia berasal dari Banten), Syaikh Mahfudz al-Tirmasi (asal Termas, Pacitan), dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (asal Minangkabau). Selain mengajar, mereka juga menulis sejumlah buku yang otoritatif dalam keilmuwan islam. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, menulis setidaknya 22 buku dalam Bahasa Arab dan hingga kini tidak hanya dipelajari di pesantren-pesantren di Indonesia.

Mekah, Kota Ilmu di Masa Lalu

Mekah, saat itu, adalah pusat belajar orang Islam. Kota itu masih menjadi pusat belajar para penuntut ilmu dari berbagai mazhab Islam sehingga keragaman cara pandang masih mewarnai dinamika intelektual islam di tanah haram itu. Hampir semua mazhab Islam

mendapat tempat dalam pengajaran agama di Mekah. Di sana terdapat madrasah-madrasah tempat para syaikh dari berbagai mazhab mengajarkan ilmunya.

Dinamisme intelektual kota Mekah yang tidak tunggal itu juga tercermin dari corak keilmuwan yang dibawa oleh para pemukim Jawah itu ketika pulang ke tanah air. Selain menggeluti ilmu-ilmu fikih, terdapat juga ulama-ulama tarekat yang mendalami ilmu tasawuf. Salah satu ulama asal Nusantara yang perlu disebut ketika berbicara tarekat abad itu adalah Syaikh Khatib al-Sambasi. Ia adalah orang pertama yang menggabungkan dua tarekat terkemuka (Qadiriyah dan Naqsyabandiyah)—yang di sebelumnya selalu berbeda— menjadi satu tarekat bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Muridnya datang dari berbagai negeri. Tarekat ini hingga kini menjadi sangat populer dan mempunyai jutaan pengikut di Indonesia dan di berbagai penjuru dunia.

Perkuliahan para syaikh dari Nusantara ini disampaikan dalam Bahasa Melayu yang menjadi bahasa pergaulan orang-orang Nusantara di tanah Arab. Bahasa Melayu juga turut mewarnai bahasa percakapan orang-orang Mekah. Dalam percakapan sehari-hari di Mekah, kerap terdengar kata-kata dari Bahasa Melayu seperti turus (terus) atau burum (burung). Orang dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, selama berbulan (atau bahkan bertahun) saling membangun hubungan dengan bahasa yang sama. Tidak heran jika ada yang menyebut bahwa komunitas Jawi ini memainkan peran sangat penting dalam mengilhami gerakan anti-kolonial di Nusantara.

Para jamaah haji pada masa itu juga menjalin hubungan dengan gagasan-gagasan baru dari dunia Islam lain, sehingga menjadi lebih sadar terhadap kolonialisme dibanding sebelumnya. Perjalanan haji menjadi cara untuk melongok keluar jendela, melihat dunia luar dan mencuri dengar perkembangan negara-negara lain.

6

Perjumpaan, Pertukaran Pengetahuan

Tak pelak, gelombang ziarah haji tadi membawa perubahan pula pada wajah islam di Nusantara. Orang-orang pergi ke Mekah, bermukim di sana untuk belajar dan mengajar, kemudian pulang dengan membawa ide-ide pembaharuan. Kita bisa menunjuk K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H Hasyim As’yari (pendiri NU) untuk menyebut beberapa contoh. Gelombang haji yang terjadi sebelumnya, jika merujuk Ricklefs, juga membawa perubahan pada pengajaran agama islam di Nusantara. Pada abad 19 ini jumlah sekolah agama (pesantren) dan orang yang belajar di sana juga meningkat tajam. Statistik kolonial mencatat pada 1863 terdapat 94.000 santri di pesantren-pesantren Jawa dan meningkat menjadi 162.000 pada tahun 1872.

Semakin banyak orang belajar agama secara formal pada gilirannya mengubah bagaimana agama dipraktikkan dalam keseharian sebagian masyarakat yang pada titik tertentu kemudian menerbitkan pertentangan tajam antara mereka yang ingin menekankan agama formal dengan mereka yang mempertahankan adat—meskipun sesungguhnya adat itu sendiri adalah hasil dari proses perjumpaan panjang dengan Islam yang terjadi sebelumnya (ingat, kata adat itu sendiri berasal dari Bahasa Arab!). Sebagaimana kita tahu, polemik ini memicu munculnya berbagai naskah dan cerita lokal yang menunjukkan keunggulan nilai lokal dibanding Islam dari tanah Arab. Selanjutnya orang-orang yang enggan terhadap corak Islam formal ini mulai mengidentifikasi diri sebagai apa yang kita kenal dengan sebutan “kaum abangan”.

Sementara itu, imajinasi tentang Mekah sebagai pusat kosmis juga disertai dengan munculnya situs-situs ziarah lokal. Kita bisa menyebut Bukit Bawakaraeng di Sulawesi Selatan, Batu Ampar di Madura, sebuah goa di

Jama’ah haji dari Indonesia pada abad ke-19 telah meninggalkan jejak yang mendalam di Mekkah, terbukti dengan munculnya komunitas “Pemukim Jawah” (Bilâd al-Jâwah) di sana. Gambar:(Kiri) Jama’ah haji dari Moko-moko (Bengkulu, Sumatera)

(Kanan) Jama’ah haji perempuan dari Banten

Gambar diambil dari:Hurgronje, C. Snouck. 2007. Mekka in the Latter Part of the 19th Century Daily Life, Customs and Learning. The Moslims of the East-Indian Archipelago. Leiden: Koninklijke Brill NV.

7

Pamijahan Tasikmalaya yang dipercaya merupakan lorong menuju Mekah, atau makam-makam wali di sekujur Jawa.

Proses pertukaran—jika bukan pertentangan ini—menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara sesungguhnya bukan penerima pasif pengetahuan yang datang dari luar. Sebagaimana kita ketahui, ekspresi kultural dan keagamaan Islam di Nusantara tidak selalu bercorak Arab karena secara terus-menerus mengalami pergumulan dengan berbagai budaya, baik dengan budaya Arab maupun dengan kebudayaan Persia, India, hingga Cina.Meskipun belakangan, pengaruh agama formal—yang terutama bermula dari gelombang besar jamaah haji abad 19 tadi— semakin tampak lebih menonjol.

Ziarah haji beserta terbentuknya koloni kampung Jawi di abad 19 tersebut, dengan demikian, adalah salah satu penanda penting dalam proses panjang pergumulan Islam di Nusantara. Sekali lagi, terbitnya pertukaran pengetahuan tidak melulu karena perjalanan ziarah haji itu sendiri, namun juga karena hal-hal lain di sekelilingnya seperti situasi sosial politik kota Mekah serta infrastruktur pengajaran keagamaan yang tersedia. Pertukaran pengetahuan dalam mobilitas orang, sebagaimana ditunjukkan jamaah haji abad 19 tadi, hanya dimungkinkan jika ada penopang atas proses pertukaran tersebut. Hal yang sama, bisa jadi, juga berlaku dalam bidang dan urusan yang lain.

Sumber Pustaka: Bruinessen, van Martin. 2012. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publishing Hurgronje, C. Snouck. 2007. Mekka in the Latter Part of the 19th Century Daily Life, Customs and Learning. The Moslims of the East-Indian Archipelago. Leiden: Koninklijke Brill NV. M C Ricklefs. 2007. Polarizing Javanese society : Islamic and other visions, 1830-1930 Singapore : NUS Press.

Ziarah dalam konteks lokal dilakukan warga dengan mengunjungi dan berdo’a di makam ulama.

Gambar:(Kiri) Mistadi di Makam Syeh Sayyid Yusuf, Kali Anget, Sumenep, Madura.

(Kanan) Haji Sayid Abdu di Makam Asta Tinggi, Sumenep, Madura.

Foto di atas adalah bagian dari seri Peziarah, Karya Mohammad Iqbal, 2003.

Sumber dari katalog pameran Common Ground: Aspects of Contemporary Muslim Experience in Britain and Indonesia, British Council, 2003

8 Esai

MUSIM SUKUNPrilla TaniaSeniman Biennale Jogja XII

(Catatan redaksi: Esai pendek ini adalah abstraksi seniman terpilih untuk Biennale Jogja XII, Prilla Tania, yang akan melakukan residensi pada akhir Agustus di Maraya Art Centre, Sharjah, Uni Emirat Arab. Dengan gaya bercerita yang kreatif, Prilla menghadirkan sebuah refleksi atas relasi manusia, alam dan teknologi.)

Sejak lama saya tertarik dengan hubungan manusia dengan tanah(nya). Bagaimana rangkaian peristiwa dalam sejarah membentuk masyarakat (dunia) yang sedemikian rupa sekarang ini. Keterhubungan yang tersisa dan keterputusan yang berlangsung antara manusia dan tanah(nya).

Air

Makhluk hidup baik tanaman, hewan, juga manusia akan hidup di sekitar sumber makanannya dan membentuk rantai makanan. Perpindahan sumber makanan akibat salah (satunya) musim akan diikuti oleh (perpindahan) seluruh komponen rantai makanan terkait. Mungkin itu sebabnya manusa awal (pengumpul dan pemburu) harus terus hidup berpindah (nomaden).

Bahkan disaat manusia mulai mendomestifikasi tanaman pangan mereka masih bergantung pada ladang berpindah karena diperlukan nutrisi tanah yang “segar” bagi penanaman berikutnya. Atau di beberapa wilayah pertanian bergerak mengikuti siklus air. Hingga manusia menemukan teknologi pertanian seperti irigasi dan pupuk akhirnya mereka bisa menetap di suatu wilayah. Kebudayaan dan teknologi lahir dari perpaduan antara tantangan yang dihadapi dan sumber daya (resource) yang tersedia di lingkungan/

alam tempat sekelompok manusia (suku) tinggal. Maka lahirlah kebudayaan pantai, gunung, pulau, padang pasir, kutub, padang rumput, dan seterusnya yang masing-masing punya kesesuaian dengan alamnya.

Di manapun manusia hidup ketersediaan air (tawar) menjadi salah satu syarat utama, itu sebabnya pemukiman/desa/kota kuno umumnya terbentuk di sekitar sungai/sumber air. Di zaman modern hal ini hanya berlaku bagi kelompok masyarakat yang bernafas seiring dengan denyut alam, bagi kebanyakan kita teknologi dipercaya mampu (hingga tahap tertentu) mengatasi “persoalan” yang berlaku di alam.

Australia barat, awal musim panas 2007 menjadi titik awal ketertarikan saya dengan persoalan tanah. Waktu itu saya tinggal di sebuah pemukiman (salah satu dari banyak) yang berdiri di atas tanah yang kering, air di tempat ini dialirkan(didatangkan) melalui pipa yang membentang (hingga ujungnya) 530 km jauhnya. Upaya yang begitu besar ternyata dimaksudkan untuk mengairi ladang emas di tepi gurun. Begitu pentingnya air bagi kehidupan kita hingga teknologi diupayakan untuk menghadirkannya di manapun manusia (ingin/perlu) hidup, di tepian gurun sekalipun. Atau begitu pentingnya emas sehingga air pun didatangkan dari tempat yang jauh.

Tanah Yang Subur dan Makmur

Tanah subur dan makmur yang menjadi sumber penghidupan manusia di zaman sekarang mengarahkan kita pada hal yang berbeda dibandingkan masa sebelumnya. Air, aneka tumbuhan, dan hewan; sinar matahari sebagai

9

ciri tanah yang subur dan makmur adalah cerita masa lampau. Sekarang daerah pertanian atau hutan rimba dianggap sebagai daerah yang tertinggal, terbelakang, dan ditinggalkan penghuninya. Rangkaian peristiwa sepanjang sejarah interaksi bangsa-bangsa di dunia mengantarkan kita pada keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern adalah satu-satunya cara memahami dunia; kemampuan membaca tanda alam dan isinya dianggap sesuatu yang primitif. Orang memilih untuk tinggal di kota, bekerja untuk industri dan “gedung-gedung” ketimbang bekerja untuk ladang dan “kebun-kebun”. Tambang dan industri menjadi “tanah subur” yang melahirkan kota-kota metropolitan. Kota-kota yang menjanjikan kemakmuran bagi penghuninya. Maka berbondong-bondonglah orang dari berbagai tempat merantau ke tanah-tanah yang “subur” dan makmur itu.

Untuk bertahan hidup orang tidak lagi mencari makanan tapi mencari uang (untuk kemudian “ditukarkan” dengan makanan). Uang juga bergeser fungsinya dari alat bantu tukar menukar barang menjadi komoditas itu sendiri. Aliran dan akumulasi uang kini menjadi ciri tanah yang “subur” dan makmur.

Ada Gula Ada Semut, Ada Semut Ada Gula

Orang-orang dengan latar belakang kebudayaan yang beraneka ragam datang ke tanah perantauan. Menarik mengamati bagaimana para perantau ini membawa serta “rantai makanannya”. Komponen “rantai makanan” yang dimaksud adalah toko klontong, mini/super market, dan rumah makan. Di Taipei terdapat kawasan-kawasan yang khusus menjual produk makanan dan kebutuhan sehari-hari khas Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Di Den Haag dan Berlin terdapat supermarket yang khusus menjual bahan makanan Asia. Rumah makan Indonesia/Suriname begitu juga dengan toko makanan khas Turki tidak sulit ditemukan.

Muncul pemikiran soal hubungan manusia dengan makanannya. Kini manusia tidak lagi bergerak mengikuti perpindahan makanannya tapi dengan teknologi yang tersedia dan sistem yang berlaku makanan akan “mendatangi” manusia di manapun kita berada, di luar angkasa sekalipun. (*)

Dokumentasi proses karya Prilla Tania, Space Within Time #11: I Am Forever, stop motion video, 2010.Foto milik seniman.

10 Dialog

PERJUMPAAN SEBAGAITITIK BERANGKAT: WAWANCARA DENGAN AGUNG HUJATNIKA

Pada kesempatan kali ini, Brigitta Isabella, redaktur The Equator berkorespondensi via e-mail dengan Agung Hujatnika, kurator Biennale Jogja XII, untuk membicarakan visi kuratorialnya serta beberapa pandangannya tentang potensi-potensi kerja sama yang mungkin bisa berkembang dari platform BJXII kali ini.

Dalam presentasi publiknya di KKF (25/07), Sarah Rifky menceritakan pengalamannya datang ke Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung. Melihat kembali arsip-arsip peristiwa tersebut, ia merasa seperti melihat sebuah pertunjukan teater, di mana bahasa dan gestur para pemimpin negara terasa artifisial. Pertanyaannya kemudian, apakah Biennale Jogja, sebagai sebuah peristiwa besar yang rutin 2 tahunan juga sekedar sebuah aktivitas diplomasi formal? Bagaimana anda melihat posisi dan peran BJ XII dalam kerangka geopolitik masa kini?

Dari perspektif kuratorial, BJXII ini jauh dari intensi atau misi-misi diplomatik negara, apalagi diplomasi politik formal yang diniatkan sejak awal. Yayasan Biennale, meskipun bernaung di bawah pemerintah provinsi, bukanlah organisasi yang memiliki agenda semacam itu. Konsep equator yang mereka canangkan dalam penyelenggaraan rangkaian biennale, saya kira, tidak berhubungan

langsung dengan mekanisme diplomasi politik formal apapun, termasuk dengan upaya untuk terlibat secara langsung dengan wacana politik selatan-selatan.

Peristiwa KAA bisa kita baca sebagai peristiwa solidaritas simbolik, bukan saja karena arsip-arsip di museum yang kini menjadi artefak beku belaka. Ia juga menjadi simbol yang mati jika kaitkan dengan kenyataan bagaimana hubungan multilateral antar negara-negara Selatan-Selatan, tak pernah benar-benar berlanjut. Gerakan Non-Blok yang menjadi gelombang penerus dari KAA juga telah menyurut (kita tahu istilah ‘blok’ tak lagi relevan dengan situasi politik internasional hari-hari ini). Tapi bukankah setiap simbol sejarah selalu ‘menunggu’ untuk dimaknai kembali secara terus menerus? Fakta bahwa gerakan itu punya gaung besar pada masanya juga tidak bisa dikecilkan. KAA tetap relevan sebagai peristiwa bersejarah yang relevan tidak hanya dengan Biennale Jogja tahun ini, tapi untuk Biennale Jogja Seri Equator secara meyeluruh.

Meskipun demikian, alih-alih mematok KAA sebagai satu-satunya rujukan sejarah, saya lebih suka menjadikannya sebagai salah satu sumber inspirasi saja untuk BJXII. Inspirasi-inspirasi lainnya datang bukan dari peristiwa atau narasi sejarah yang besar, tapi justru dari pengalaman sehari-

11

Dua kurator BJ XII, Sarah Rifky dan Agung Hujatnika mengunjungi Kraton Yogyakarta, Januari 2013. Foto oleh Arief Sukardono.

hari. Saya lebih ingin memulai proses kuratorial pameran ini dari keinginan untuk memahami makna ‘perjumpaan’ (encounter) sebagai titik berangkat, di mana aspek ketaksengajaan, percobaan, spontanitas dan kejutan-kejutan menjadi penting. Dalam percakapan sehari-hari makna perjumpaan berbeda dengan ‘pertemuan’ (meeting) atau ‘konferensi (conference), yang identik dengan agenda-agenda besar.

Bicara tentang proses kuratorial, seperti apa peran kurator dalam BJXII kali ini, sekedar exhibition maker, diplomat ulung, mediator, atau apa? Bisakah anda juga mengelaborasi lebih lanjut mengenai pilihan tema “mobilitas” dari perspektif kuratorial yang anda tawarkan?

Sebagai kurator, saya tak pernah punya bingkai yang memadai untuk bisa melihat peran saya sendiri, kecuali sebagai seorang (curatorial) ‘labor’ -- sebagai seseorang yang semata2 bekerja. Seperti halnya seniman yang bekerja untuk memenuhi suatu motif yang sangat personal, saya kira kerja kuratorial juga layak difahami sebagai pekerjaan yang mendatangkan kesenangan subjektif bagi para pelakunya -- tentu saja selain tanggung jawab terhadap publik yang notabene sudah terlalu sering dibebankan kepada mereka.

Menurut saya selalu ada beberapa karakter yang bertolak belakang, namun tak bisa kita pisah-pisahkan begitu saja dalam kerja kuratorial (ia adalah pembuat pameran, diplomat, connoisseur, mediator, pustakawan, penulis, dsb., sekaligus). Akan lebih baik jika penilaian terhadap peran dan kerja seorang kurator dilakukan setelah pameran berlangsung, sebagai after-the-(f)act, pada saat dampak dari pameran tersebut dapat dilihat dalam medan seni dalam jangka waktu yang lama.

Tema mobilitas awalnya tidak dimaksudkan sebagai pijakan untuk merumuskan metode kuratorial, tapi lebih dalam kaitan dengan konsep ‘perjumpaan’. Tema

12

ini terinspirasi oleh fenomena perpindahan/pergerakan manusia (terutama para pekerja migran dan peziarah muslim dari Indonesia ke Arab) dan bentuk-bentuk ‘migrasi’ lainnya dalam proses globalisasi secara umum. Afrizal Malna pernah menggunakan metafor migrasi untuk segala bentuk perpindahan, yang tidak hanya berlaku untuk manusia tapi juga benda-benda, bahasa dan gagasan. Biennale ini pada akhirnya mematok mobilitas dan migrasi sebagai dua kata kunci yang penting untuk melihat praktik seni rupa (dan berbagai problematika sosial, politik, ekonomi dan budaya yang digandengnya) di kawasan arab dan indonesia.

Salah satu bentuk pertemuan (encounter) yang digagas BJ XII akan diwujudkan dalam bentuk residensi. Mengapa residensi? Apa yang membedakan pertemuan fisik dengan pertemuan virtual di era teknologi yang semakin canggih, khususnya dalam konteks penciptaan karya seni? Bagaimana cara anda mendorong pertemuan yang tidak sekedar pemukaan dan impresi-impresi pendatang (yang biasanya) stereotipikal dalam program residensi yang durasinya hanya 2 bulan?

Saya dan Sarah Rifky beranggapan bahwa khususnya dalam bidang seni rupa kontemporer perjumpaan Indonesia dan kawasan Arab belum pernah benar2 terjadi. Perjumpaan budaya yang sebenarnya justru dilakukan oleh para pekerja migran, pelajar, peziarah muslim, atau para pedagang. Kesenian tak pernah menjadi motif utama dalam perjumpaan Indonesia dan kawasan arab. Melihat sejarah, perdagangan, migrasi dan ziarah agama justru menjadi pendorong

Agung Hujatnika dan Farah Wardani ketika berkunjung ke Beirut, sebuah ruang seni yg dijalankan oleh Sarah Rifky di pinggiran kota Kairo, Mesir. Foto oleh Yustina Neni

13

munculnya persentuhan, pengaruh, percampuran, hingga kontradiksi kebudayaan yang kita lihat sekarang ini di Indonesia. Kami tidak ingin perjumpaan dalam BJXII (antar karya2 seni yang dipamerkan, antara seniman dengan kawasan yang ia ajak dialog, antara satu seniman dengan seniman yang lain) tidak bisa belajar dari dan merefleksikan kenyataan sosial yang sebenarnya terjadi di antara dua kawasan.

Program residensi seniman di Jogja maupun kawasan Arab hanyalah salah satu dari ‘sarana perjumpaan’ (platform of encounter) yang saya ajukan sebagai upaya untuk mengatasi minimnya interaksi dan komunikasi antara dua medan seni di dua kawasan tersebut. Sarana ini dibuat juga untuk menghindari biennale ini menjadi ‘pertemuan’ yang formal, atau artifisial, belaka, seperti yang sering kita lihat dalam pameran-pameran yang mengatasnamakan seni rupa kawasan.

Residensi pada dasarnya adalah suatu pola kerja sangat biasa dilakukan oleh seniman di mana pun. Sejumlah biennale di dunia juga sudah melakukannya. Bedanya, dalam BJ XII residensi ini diselenggarakan oleh dua pihak di dua kawasan yang bersangkutan -- lebih menyerupai mekanisme pertukaran budaya, tapi dengan penekanan pada interaksi langsung dengan suatu lokasi / tempat, kebudayaan dan komunitas setempat. Konsekuensinya pendekatan etnografik (melalui perjumpaan yang bersifat fisikal dan empirik) menjadi bagian yang inheren dalam rencana karya-karya yang akan dibuat. Saya tidak khawatir dengan hasil yang stereotipe karena waktu residensi yang pendek. Dengan kapasitas kreatif mereka, para seniman residen juga pasti sudah menyadari resiko-resiko semacam itu dan sebisa mungkin menghindarinya sejak awal.

Selain residensi yang menuntut seniman berpindah tempat dan bermigrasi untuk bekerja, saya dan Sarah juga mengajukan sarana / platform lain yang lebih banyak memanfaatkan komunikasi virtual. Sarana ini belum punya nama resmi sampai hari ini. Yang kami lakukan adalah menjadi

semacam ‘makcomblang’ untuk proyek kolaborasi antara seniman di dua kawasan. Sebisa mungkin proyek-proyek kolaborasi ini menghasilkan suatu perjumpaan dan ‘percampuran’ antara dua pihak. Saya meminta beberapa seniman untuk mengajukan semacam proposal karya, untuk direalisasikan oleh seniman-seniman lain. Kami berupaya menjodohkan seniman-seniman yang punya kecenderungan serupa maupun berbeda sama sekali (beberapa proyek bersifat inter-disiplin). Bagi kami, ini adalah bagian pameran yang paling menantang, sekaligus eksperimental. Kami sadar bahwa platform ini punya resiko kegagalan yang cukup besar...(*)

14 Wawancara dengan Equator

KONFERENSI PENGARANG ASIA AFRIKA SEBAGAI PERSIMPANGAN SEJARAH DALAM RELASI EQUATORHersri SetiawanSejarawan

Delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika di gedung Merdeka, Bandung (18/4/1955). Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama Langkah Bersejarah(The Bandung Walks).

Sumber: http://www.antarafoto.com/koleksi/v1271743505/konferensi-asia-afrika

15

KONFERENSI PENGARANG ASIA AFRIKA SEBAGAI PERSIMPANGAN SEJARAH DALAM RELASI EQUATOR

(Catatan Redaksi: Tulisan Hersri Setiawan ini awalnya ditulis pada tahun 2003 dan sebelumnya beredar terbatas di jaringan pers via Internet. Pada kesempatan kali ini, Syafiatudina, editor The Equator, bersama Hersri menyunting kembali tulisan tersebut dan menghadirkannya di sini dengan harapan agar dapat menjadi sebuah catatan sejarah yang berharga untuk mempertimbangkan Biennale Jogja Seri Equator dengan berkaca pada relasi geopolitis di antara negara Asia Afrika pada era pasca Konferensi Asia Afrika tahun 1955).

Mengutuk kolonialisme dalam segala pernyataannya!

Ini adalah konsensus yang dicapai oleh Konferensi Bandung, atau yang lebih dikenal sebagai Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung, pada tanggal 18 April hingga 24 April 1955. Konferensi Bandung ialah konferensinya negara-negara Asia dan Afrika, yang diprakarsai bersama oleh lima negara: Indonesia (Ali Sastroamidjojo), Burma (sekarang Myanmar: U Nu), India (Pandit Jawaharlal Nehru), Pakistan (Mohamad Ali) dan Srilangka (Sir John Kotelawala). Dihadiri oleh utusan dari 29 negara-negara Asia Afrika, yang ketika itu mewakili separuh lebih dari jumlah seluruh penduduk dunia.

Adapun suara dominan konferensi mencerminkan ketidakpuasan lima negara pemrakarsa terhadap keengganan negara-negara Barat untuk memandang negara-negara Asia Afrika sebagai mitra berunding, tentang langkah dan kebijakan mereka yang berdampak terhadap bangsa-bangsa yang baru merdeka, dan yang sedang berjuang untuk merdeka di dua benua itu. Konferensi menyatakan keprihatinannya melihat ketegangan hubungan antara RRT (Republik Rakyat Tiongkok, yang di Indonesia sekarang lebih dikenal dengan sebutan China) dan Amerika Serikat. Konferensi gandrung akan terciptanya dasar yang lebih mantap bagi terciptanya hubungan damai antara RRT, Taiwan, dan negara-negara Barat. Konferensi

menentang keras kolonialisme, terutama pengaruh Perancis di Afrika Utara; dan Indonesia memperingatkan dunia tentang pertikaiannya dengan Belanda karena masalah Irian Barat.

Perdebatan sengit sidang umum konferensi juga berkisar pada masalah, apakah politik Uni Soviet di Eropa Timur dan Asia Tengah harus dikecam sebagai sejalan dengan kolonialisme Barat? Konsensus sidang tercapai, dirangkum dalam rumusan kalimat yang menyatakan: bahwa “kolonialisme dalam segala pernyataannya” (colonialism in all of its manifestations) harus dikutuk. Sepatah rumusan yang secara implisit mengecam, baik Uni Soviet maupun negara-negara Barat.

Usai Konferensi Asia Afrika, semangat dan konsensus yang tercipta segera ditindaklanjuti dengan diterjemahkan ke berbagai bidang yang dipandang perlu dan bisa dilaksanakan. Maka lantas lahir berbagai gerakan Asia-Afrika, yang menetapkan tempat kedudukannya masing-masing. Yaitu, biro solidaritas rakyat di Kairo, Republik Persatuan Arab (United Arab Republic, nama Mesir saat itu), wakil Indonesia di sini Ibrahim Isa; biro pengarang di Kolombo, Srilangka, wakil Indonesia Rivai Apin / Setiawan Hs; biro wartawan di Jakarta, Indonesia, wakil Indonesia Joesoef Isak; biro ahli hukum di Konakri, Guinea, wakil Indonesia Wiyanto SH; biro ekonomi, juga di Kolombo, wakil Indonesia Ridwan Basyar. Masih ada satu biro lagi yang masih dalam proses penjajakan tapi urung berdiri, yaitu biro buruh yang agaknya direncanakan juga di Kolombo, karena mengingat besarnya pengaruh organisasi buruh perkebunan (yang bersemangat tinggi “anti-remo”) di bawah pimpinan N. Sanmugathasan. Pada sidang-sidang pendahuluan biro buruh ini, Indonesia diwakili oleh Achadiat dari Denas Sobsi (Dewan Nasional Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Konferensi Bandung telah menunjukkan kelahiran kekuatan baru (new emerging forces) yang digalang oleh negara-negara Asia Afrika. Kekuatan baru ini telah mengancam posisi kekuatan-kekuatan lama, termasuk negara Barat dan Uni

16

Soviet. Bagi Uni Soviet, cara untuk menghadapi kekuatan baru ini adalah dengan merebut kembali inisiatif. Maka Konferensi Pengarang Asia-Afrika yang pertama pun akhirnya diselenggarakan pada bulan Oktober 1958 dan justru dipilih kota Tashkent, di Uni Soviet (sekarang menjadi ibu kota Uzbekistan)! Mengapa justru Tashkent? Ini tentu saja sambil membikin satu gebrakan inisiatif, sekaligus sambil menendang kembali kecaman dan tuduhan ‘Bandung’, yaitu bahwasanya Uni Soviet memainkan politik kolonialisme atas Eropa Timur dan Asia Tengah!

Pada sidang Tashkent ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Pramudya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Joebaar Ajoeb dan S. Anantaguna menghadiri konferensi pengarang Uni Soviet di Moskow pada Juli 1959. Sedangkan Uni Soviet mengirim delegasi pengarangnya menghadiri Sidang Pleno Pimpinan Pusat Lekra di Jakarta, bulan Juli 1961. Lekra menerima delegasi kebudayaan RRT di Indonesia pada Mei 1961, sebaliknya RRT dalam tahun yang sama menerima delegasi pelukis Lekra yang datang untuk menghadiri festival kesenian di sana.

Melihat kiprahnya Indonesia yang semakin ‘bermanis-manis’ dengan Beijing ini, Uni Soviet lalu mengeluarkan ‘jurus belut putih’ untuk berkelit! Ia menyelenggarakan Konferensi Seniman Asia-Afrika di Kairo, Februari 1962 (Afro-Asian Artists’ Conference, bukan Writers’). Yang lebih menarik lagi dari Indonesia, Soviet selain mengundang seniman-seniman Lekra (dalam hal ini diwakili oleh Joebaar dan Pramudya), juga mengundang tokoh-tokoh seniman yang non- dan bahkan yang anti-Lekra!

Entah bagaimana jalannya persidangan berlangsung tapi jelas, bahwa Indonesia dan sekutu-sekutunya berhasil membawa konferensi ke relnya semula. ‘Konferensi Kairo’ lalu menjadi konferensi kedua sesudah ‘Konferensi Tashkent’ sebagai konferensi pertama. Barangkali untuk mencegah kemungkinan akan digunakannya kembali ‘jurus belut putih’ di kelak

kemudian hari, maka ‘Konferensi Kairo’ lalu diikat oleh beberapa ketentuan berikut. Di antaranya yang terpenting yaitu, pertama: ditetapkan adanya Komite Eksekutif untuk Konferensi Pengarang Asia Afrika, yang terdiri dari tiga belas negeri (dari Asia antara lain: Indonesia, Tiongkok, Srilanka dan India; dan dari Afrika antara lain: UAR (United Arab Republic, nama Mesir ketika itu), Sudan, Ghana, dan Aljazair); dan kedua: ditetapkan adanya Biro Tetap untuk Konferensi Pengarang A-A (Permanent Bureau of the Afro-Asian Writers’ Conference), yang berkedudukan di Kolombo, Srilanka.Dengan demikian gagallah rencana Uni Soviet untuk menetapkan Kairo sebagai pusat gerakan pengarang A-A -- seperti diketahui, pada masa itu politik luar negeri UAR cenderung memihak blok Timur ketimbang Nonblok-Bebas-Aktif seperti Indonesia.

Kembali dari ‘Konferensi Kairo’ Joebaar Ajoeb lalu segera berbenah diri. Tentu saja agar tidak terjadi lagi pengalaman seperti dalam ‘Konferensi Kairo’, di mana utusan Lekra harus duduk dalam satu delegasi dengan wakil-wakil utusan yang anti-Lekra. Maka dibentuklah sebuah badan di Jakarta yang bernama ‘Komite Nasional Indonesia Untuk Konferensi Pengarang Asia-Afrika’ (Komite Nasional Indonesia untuk KPAA) dan berkantor di Jalan Cidurian 19, Jakarta.

Peristiwa September 1965 terjadi dan disusul dengan penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan PKI dan komunis. Para anggota Komite Nasional Indonesia untuk KPAA bersama dengan ratusan ribu orang lainnya turut menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan ini. Tragedi ini telah memakan banyak nyawa serta semangat yang terkandung dalam setiap manusia ini. Pada akhir September 1965 atau definitif pada 11 Maret 1966, Semangat Bandung telah dibikin padam dari jantungnya Asia-Afrika itu sendiri. Dalam suasana demikian itulah ‘Sidang Darurat KPAA’ diselenggarakan di Beijing tahun 1966. Apakah itu bulan Juli? Entah bulan apa, tapi aku yakin pasti sesudah Supersemar. Itu berarti di Indonesia, Kampiun Afro-Asia, Bung Karno sudah ditapolkan. Di RRT, Revolusi

17

Kebudayaan sudah dimaklumkan (Februari 1966). Walaupun begitu aku tidak hendak mengatakan, apakah ‘Sidang Beijing’ itu sukses besar, sekedar mencapai tuntutan minimum, setengah gagal, ataukah malah gagal total. Karena untuk itu perlu ditetapkan terlebih dulu, batu-timbang apa yang hendak dipakai sebagai standar pengukur.

Tapi kalau kita bertolak dari atribut ‘AA’ sebagaimana mula-jadinya, tentu saja hasil terakhir takaran kita akan menunjukkan: Sidang Beijing itu sudah gagal sebelum dimulai. Mengapa? Hakikat ‘AA’ itu Semangat Bandung. Dan Semangat Bandung ialah semangat ‘bebas aktif’. Dipilihnya Beijing sebagai tempat Sidang Darurat itu sendiri, sudah petunjuk tidak adanya semangat ‘bebas aktif’. Aku tidak tahu, tapi aku bisa pastikan, pada sidang ini tidak mungkin hadir delegasi pengarang Uni Soviet bersama dengan pengarang-pengarang berbagai negeri Asia-Afrika yang dipandang ‘satelit’ Soviet. ‘Satelit besar’ Uni Soviet untuk Asia Selatan ialah India, untuk Asia Tenggara Vietnam, untuk Afrika ‘Putih’ UAR, untuk Afrika ‘Hitam’ Angola.

Sidang KPAA Beijing dengan begitu hanya penambah siraman minyak pada api ‘varian Perang Dingin’, yaitu perang baru antara Uni Soviet dan RRT. Di dalamnya RRT sudah menuliskan musuh pertama dunia bukan lagi AS tapi US. Bukan Amerika Serikat, tapi Uni Soviet! Kita, gerakan ‘A-A’, diminta berdiri di belakang barisan “Revolusi Dunia” RRT. Barangsiapa tidak mau, tidak ada kata ampun.

Apakah itu gagal total? Sekali lagi aku katakan: bergantung pada batu timbang apa hendak dipakai sebagai standar pengukur. Standar pengukur Semangat Bandung jelas sudah padam. Maka karenanya, barangkali, para pengarang RRT, Indonesia dan Srilangka sedang dalam niat mencari format baru standar itu? Satu format yang sama sekali terlepas dari format masa lalu. Aku tidak tahu. Kawan-kawan peserta ‘Konferensi KPAA Beijing’ itulah yang tahu: apa yang menjadi diskusi di belakang layar ketika itu.Namun begitu, apa pun dulu yang pernah direncanakan, sejarah kemudian telah menunjukkan, bahwa semuanya berakhir pada kegagalan total! Kalau ada yang keberatan istilah ‘total’, paling tidak ‘amat sangat parah’, sehingga seperti tidak teramalkan, kapan kiranya kehancuran itu bisa dibangun kembali!

Jadi sesungguhnya Surat Budaya ini kutulis tidak dengan maksud mencari mana benar mana salah. Melainkan sekedar catatan peristiwa sejarah yang sudah terjadi. Peristiwa-peristiwa itu ibarat bentangan panorama di lembah bawah sana. Sementara kita mendaki lereng gunung-gunung sejarah yang semakin tinggi dan semakin tinggi. Berhenti kita terkadang sejurus. Berpaling ke panorama lembah yang indah. Percik-percik keringat, airmata, dan bahkan darah yang telah menjadi pupuk kesuburan dan keindahan panorama sejarah itu tidak menampak oleh mata, tapi tidak terlupakan bagi barangsiapa yang pernah mengalaminya. (*)

“Konsensus sidang tercapai, dirangkum dalam rumusan kalimat yang menyatakan: bahwa ‘kolonialisme dalam segala pernyataannya’

(colonialism in all of its manifestations)harus dikutuk.”

18 Dialog

SILANG BUDAYAMUSIK TRADISIINDONESIA ARABBrigitta Engla ApriyantiPeserta Program Magang Penulisan dan Kewartawanan Biennale Jogja XII.

Tari Darwis dengan iringan gamelan adalah bagian dari proyek seni Majelis Dzikir Keraton. Tarian ini menggabungkan kebudayan dan seni dari Jawa, Melayu, Arab dan Turki. Majelis ini berpusat di Pekalongan Jawa Tengah dan dibimbing oleh Muhammad D. Shahab. Pementasan Tari Darwis ini dilakukan setiap kamis malam di Ex-Pendopo Kabupaten Pekalongan Jl. Alun-alun, Pekalongan.

Profil majelis ini bisa dilihat di: https://www.facebook.com/kesenian.sufi.multikultur

Photo Url: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=490661067630854&set=a.369926389704323.95328.210898465607117&type=1&theater

Melalui musik kita bisa tertawa, tersenyum, menangis, marah, atau bahkan menari. Melalui musik juga kita berinteraksi dan berekspresi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Hari Minggu, 21 Juli 2013, saya berkesempatan bertanya-tanya tentang musik Arab kepada seorang komposer musik; Gregorius Djaduk Ferianto. Beliau adalah seorang pendiri kelompok musik orkes keroncong yaitu Sinten Remen serta salah satu pendiri kelompok kesenian Kua Etnika. Melalui Kua Etnika, beliau mengasah musik etnik dengan semangat kontemporer. Bertempat di Padepokan Bagong Kussudiardja yang tampak sunyi dan remang-remang, Pak Djaduk bercerita panjang lebar mengenai silang budaya musik tradisi Indonesia dan musik Arab. Keberadaan musik

19

Nusantara memunculkan ambiguitas tersendiri. Kebenaran akan keasliannya atau sudah bercampur masih dipertanyakan. Semua saling berinterasi dan berhubungan.

Adakah pengaruh musik Arab terhadap musik Indonesia?

Tentu saja ada. Namun, keberadaan musik Arab sangatlah relatif. Tidak bisa dikatakan banyak ataupun sedikit. Musik-musik yang dibawa oleh pedagang Arab ada yang asli dan ada juga yang sudah berasimilasi. Tetapi mereka boleh mengklaim bahwa musik tersebut berasal dari daerah Arab Oleh sebab itu kita tidak tahu musik yang masuk ke Indonesia adalah musik asli Arab atau sudah berasimilasi. Dahulu kita mengenal irama gambus dari Timur Tengah, kemudian di Indonesia berkembang menjadi marwas dan berasimilasi dengan kebudayaan lokal setempat.Menurut Pak Djaduk Ferianto, musik daerah mana saja yang sangat terasa pengaruh dari Arab?

Rata-rata daerah pantai karena dahulu jalur perdagangan terbuka melalui pantai. Para pedagang Arab masuk untuk berdagang dan produknya adalah penyebaran agama. Hal ini sangat terasa ketika periode awal-awal Islam masuk, banyak musik yang terdengar campurannya. Bukan hanya musik tetapi juga kebudayaannya. Contoh yang paling populer adalah kesenian Japin. Dari daerah Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Banyuwangi, Gresik, sampai Maluku bisa ditemukan kesenian Japin. Hampir rata-rata kesenian Japin ada di daerah pantai dan Japin sendiri menjadi salah satu bentuk penyebaran agama Islam.

Apakah musik-musik Arab selalu identik dengan agama Islam?

Musik Arab bukan sekadar untuk penyebaran agama meskipun memang awal mulanya dari sana. Namun juga berkaitan dengan ekonomi,

pertanian. Kalau dilihat dari sejarahnya, pintu gerbang kebudayaan adalah daerah pantai. Daerah pantai memiliki karakteristik berbeda dengan daerah pedalaman. Alam yang berbeda menghasilkan karakteristik manusia yang berbeda pula. Warna menjadi salah satu bentuk fisik visual yang paling terasa. Kalau kita lihat, warna-warna daerah pantai lebih bright dan agak berbeda dengan daerah pedalaman dengan warna-warna soft. Kalau bicara soal musik, contoh musik Arab yang bisa dilihat melalui industri musik adalah kelompok orkes gambus, salah satunya adalah Nasida Ria. Kelompok orkes yang para pemainnya adalah perempuan. Orkes tersebut berkembang di pusat-pusat yang kental dengan budaya Arab dan di pesantren-pesantren. Mereka berasimilasi dan berkembang dengan budaya-budaya setempat.

Bagaimana perbedaan musik Indonesia sebelum terkena pengaruh Arab dan setelah musik Arab masuk?

Musik-musik Arab biasanya lebih identik untuk siar agama Islam. Bisa dilihat ada beberapakelompok agama Islam yang menggunakan idiom-idiom lokal sebagai sarana penyebaran. Contohnya adalah Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang kulit. Dari sini kita bisa melihat bahwa sudah ada produk kesenian sebelum mendapat pengaruh dari luar. Upacara-upacara tradisi ada ketika Islam belum masuk dan terpelihara sampai sekarang, seperti pemujaan kepada Dewi Sri, upacara Labuhan. Sama halnya dengan musik. Musik gamelan ada sebelum ada Islam dan waktu itu sudah ada Hindu dan Budha. Musik-musik lokal masih ada meski mendapat pengaruh. Di beberapa kampung Arab seperti Kampung Kauman, musik-musik marwas, dan gambus berkembang. Di dalam dunia industri musik, gambus kemudian berkembang menjadi irama musik dangdut. Irama-irama musik melayu menjadi salah satu cikal bakal yang memengaruhi musik Indonesia lewat salah satu kultur diatonis. Melihat accord musik di Indonesia yang berkembang adalah musik melayu dari agama

20

Islam. Mereka ada di nada A minor, D minor, E minor, nada-nada minor itulah yang paling mendekati musik Timur Tengah. Oleh sebab itu saya bisa mengatakan bahwa tidak ada musik asli Indonesia-- yang ada adalah musik-musik yang ada di Indonesia. Semua saling memengaruhi. Apakah gamelan itu musik asli Indonesia? Belum tentu.

Gamelan tidak bisa dikatakan asli dari Indonesia. Ada pengaruh yang berdatangan entah dari dunia Barat maupun Timur. Ketika Islam masuk ke Indonesia, bagaimana pengaruhnya?

Dilihat dari sejarahnya musik gamelan adalah musik yang terbuka. Bunyi-bunyian dari Arab memang tidak terlalu terlihat tetapi bisa dipengaruhi oleh tematiknya. Contohnya adalah suara azan maghrib di Jogja TV nadanya terdengar pelog, ada pengaruh nada-nada pentatonik. Begitu kuatnya, tidak pada melodi-melodinya, instrumen, atau iramanya tetapi pada tematiknya. Ada sebuah peminjaman suatu bentuk kebudayaan yaitu seni untuk siar agama. Contohnya dalam cerita wayang sudah

ada cerita mengenai Jimat Kalimasada, tetapi dalam siar agama Islam tiba-tiba diuraikan menjadi lima syahadat. Sama halnya dengan musik. Musik gamelan tidak langsung digunakan tetapi diadaptasi dan disesuaikan dengan budaya gamelan setempat.

Terkait dengan tema BJXII tentang mobilitas. Bagaimana mobilitas musik itu sendiri?

Musik adalah salah satu produk kebudayaan dari kesenian. Kesenian itu sendiri adalah salah satu kebudayaan. Ketika kita menyebut salah satu produk kebudayaan tersebut di dalamnya saling berpengaruh dan berevolusi. Apakah ada kebudayaan asli? Ini masih tanda tanya. Jawa hari ini berbeda dengan Jawa 10 tahun yang lalu, bahkan 20 tahun yang lalu. Semua berkembang dan saling memengaruhi. Semua terpengaruh dari kebudayaan-kebudayaan yang pernah bertegur sapa. Kebudayaan lewat lintas batas, atau sekarang orang lebih cenderung mengatakan cross culture. Kebudayaan saling memengaruhi dan dipengaruhi. (*)

“Oleh sebab itu saya bisa mengatakan bahwa tidak ada musik asli Indonesia-- yang ada

adalah musik-musik yang ada di Indonesia. Semua saling memengaruhi. Apakah gamelan

itu musik asli Indonesia? Belum tentu.”

21

OPENS

WWW.BIENNALEJOGJA.ORG

INDONESIA ENCOUNTERSTHE ARAB REGION16 November 2013 - 6 January 2014

2013

22 Berita Equator

PRESENTASI RESIDENSIKO-KURATOR BJ XII SARAH RIFKYRobertus Rony SetiawanPeserta Program Magang Penulisan dan Kewartawanan Biennale Jogja XII.

“Apakah Konferensi Asia-Afrika (KAA) itu berefek nyata sekarang? Apa yang ingin diambil dari situ?” demikian Jumaldi Alfi, seorang perupa Yogyakarta, mewakili seniman mengomentari presentasi ko-kurator Sarah Rifky Biennale Jogja XII, Kamis malam (25/7) lalu. Bertempat di Ruang Pertunjukan Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, presentasi ini sebagai bagian persiapan BJ XII yang akan dibuka November mendatang. Dalam presentasi ini Sarah menyampaikan temuannya setelah melakukan residensi di Rumah Seni Cemeti sejak awal Juli lalu.

Selain terinspirasi sejarah terbentuknya Gerakan Non-Blok yang ia temukan di Museum Konferensi Asia Afrika (KAA), Bandung, Jawa Barat, Sarah menaruh perhatian besar pada kondisi politik di Jazirah Arab. Dia menilai KAA yang diadakan pada 1955 itu menandai kaitan Indonesia dan Mesir sebagai negara yang turut merintis lahirnya Gerakan Non-Blok. Hal ini menjiwai konsep kuratorial dalam Biennale Jogja XII yang melibatkan kolaborasi seni dengan negara-negara

di sekitar ekuator, khususnya Jazirah Arab, yang mencakup Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Maka dari itu, pada BJ XII kali ini, KAA merupakan perspektif penting bagi tema mobilitas dan pertukaran wacana seni rupa Indonesia dan negara di Jazirah Arab.

Sementara itu, sebagai penanggap presentasi, Jumaldi Alfi menyambut baik perihal KAA yang ditawarkan Sarah sebagai pijakan tema. Menurut Alfi, KAA nyaris dilupakan oleh masyarakat sebagai bagian sejarah bangsa dan dunia. Namun dia memandang hal itu harus didayagunakan bagi kepentingan lebih luas. Sebuah simpulan tercetus dalam presentasi ini, BJ XII berupaya memfasilitasi kolaborasi seni rupa Indonesia-Jazirah Arab, juga membangun infrastruktur kerjasama seni di lingkup global.(*)

23

PARA SENIMANSIAP BERANGKAT!Dengan tujuan untuk menciptakan pertukaran budaya dan sebagai bentuk eksplorasi atas gagasan mobilitas itu sendiri, Biennale Jogja XII akan memulai program residensi seniman pada Agustus hingga Oktober 2013. Ini merupakan program residensi pertama yang mempertukarkan seniman Indonesia dengan seniman di kawasan Arab, serta secara khusus dijalankan mendahului event biennale terkait. Karakteristik yang sedang dibangun melalui program ini adalah upaya untuk memperdalam proses kekaryaan seniman melalui riset langsung di negara-negara yang bersangkutan, dan memungkinkan terjadinya pertukaran budaya secara riil, tidak hanya ‘mengimpor’ karya yang sudah jadi dan dipamerkan di ruang galeri. Hal ini juga untuk mempertegas posisi Biennale Jogja sebagai Biennale Equator yang ingin memberikan sebuah platform baru membaca dunia melalui karya-karya seniman di wilayah ini, dimulai dengan Biennale Jogja XII.

Saat ini sudah terpilih lima seniman dari Indonesia yang akan menjalankan residensi di Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab selama masing-masing dua sampai empat minggu. Mereka adalah Tintin Wulia, Prilla Tania, Tisna Sanjaya, Venzha Christiawan dan Duto Hardono. Sementara beberapa seniman dari kawasan Arab yang akan menjalani residensi di Yogyakarta antara lain,

Salwa El Eryani (Sanaa, Yaman) dan Dina Denish (Kairo, Mesir).

Pemilihan seniman dilakukan berdasarkan rekam jejak dan dialog yang terjadi antara seniman dan kurator, juga isu yang dibawa oleh masing-masing seniman yang dianggap relevan dan memiliki potensi untuk memberikan sudut pandang baru tentang hubungan Arab-Indonesia. Tentu saja, isu ini juga berhubungan dan merupakan pengembangan dari pengkaryaan para seniman-seniman ini sebelumnya. Program residensi ini didukung oleh beberapa galeri dan lembaga rekanan. Untuk residensi seniman Indonesia di kawasan Arab, BJ XII bekerja sama dengan Sharjah Art Foundation, Maraya Art Center dan Athr Gallery. Sementara di Yogyakarta, BJ XII bekerja sama dengan Langgeng Art Foundation dan SaRang Art Space.

Nantikan edisi The Equator berikutnya untuk kisah lebih lanjut tentang residensi para seniman!(*)

Berita Equator

24

OUTLET PENYEBARAN:

Jakarta:Ruangrupa, IFI Jakarta,

Komunitas Salihara, Dewan Kesenian Jakarta,

dia.lo.gue

Bandung:Selasar Sunaryo Art

Space, Common Room, IFI Bandung,

Galeri Soemardja, Tobucil

Yogyakarta:IVAA, Kedai Kebun,

IFI Jogjakarta,Cemeti Art House,

Via Via Cafe,Sangkring Art Space

Surabaya:c2o, D:buku

Denpasar:Taman 65, Kopi Kultur

PemerintahDaerah Istimewa Yogyakarta

Dinas Kebudayaan

Penyelenggara

Pendukung utama

Official Partner

Partner media

IMAGE