Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

39
TUGAS ILMU LINGKUNGAN TINGKAT BAHAYA EROSI DAN KEKRITISAN LAHAN DI DAERAH HULU DAS MUSI HULU – LEMAU Nama : Khairul Amri NPM.20103602015 Mahasiswa S3 Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Lingkungan Universitas Sriwijaya Palembang email : [email protected] Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, M.Sc ABSTRAK DAS Musi Hulu-Lemau merupakan DAS unik karena tercipta akibat dari pengaruh manusia (akibat pembangunan PLTA Musi). Keunikan DAS tersebut dapat dilihat dari aliran air yang dulunya mengalir ke outlet pantai timur Sumatera, berubah arah ke pantai barat Sumatera. Perubahan tersebut berakibat pada berubahnya kebutuhan air untuk berbagai sektor pembangun. Begitu pula halnya dengan manfaat ekohidrologi lainnya. Manfaat ekohidrologi tersebut saat ini semakin terancam akibat meluasnya daerah kritis di wilayah hulu DAS. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey/observasi lapangan (untuk mengumpulkan data biofisik dan sosial ekonomi) dan analisis data spasial. Data-data yang diperoleh diolah untuk menentukan tingkat bahaya erosi. Selanjutnya dengan aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) data diolah untuk mengklasifikasikan tingkat tingkat bahaya erosi dan kekritisan lahan. Berdasarkan klasifikasi tingkat kekeritisan tersebut dibuat desain RHL untuk tiap lokasi yang sesuai. Hasil lain yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah tersusunnya peta rekomendasi spasial kegiatan RHL. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kondisi wilayah hulu DAS Musi Hulu – Lemau yakni Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah tangkupan air PLTA Musi masih relatif baik dan sebagian besar wilayahnya termasuk kategori tingkat bahaya erosi sangat rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Akan tetapi, akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan perkebunan kopi dan hortikultura serta praktek kultur teknis tradisional di areal budidaya (APL) berakibat terjadinya degradasi lahan Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 1

Transcript of Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Page 1: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

TUGAS ILMU LINGKUNGANTINGKAT BAHAYA EROSI DAN KEKRITISAN LAHAN

DI DAERAH HULU DAS MUSI HULU – LEMAU

Nama : Khairul Amri NPM.20103602015Mahasiswa S3 Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Lingkungan Universitas Sriwijaya

Palembangemail : [email protected]

Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Supli Effendi Rahim, M.Sc

ABSTRAK

DAS Musi Hulu-Lemau merupakan DAS unik karena tercipta akibat dari pengaruh manusia (akibat pembangunan PLTA Musi). Keunikan DAS tersebut dapat dilihat dari aliran air yang dulunya mengalir ke outlet pantai timur Sumatera, berubah arah ke pantai barat Sumatera. Perubahan tersebut berakibat pada berubahnya kebutuhan air untuk berbagai sektor pembangun. Begitu pula halnya dengan manfaat ekohidrologi lainnya. Manfaat ekohidrologi tersebut saat ini semakin terancam akibat meluasnya daerah kritis di wilayah hulu DAS.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey/observasi lapangan (untuk mengumpulkan data biofisik dan sosial ekonomi) dan analisis data spasial. Data-data yang diperoleh diolah untuk menentukan tingkat bahaya erosi. Selanjutnya dengan aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) data diolah untuk mengklasifikasikan tingkat tingkat bahaya erosi dan kekritisan lahan. Berdasarkan klasifikasi tingkat kekeritisan tersebut dibuat desain RHL untuk tiap lokasi yang sesuai. Hasil lain yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah tersusunnya peta rekomendasi spasial kegiatan RHL.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kondisi wilayah hulu DAS Musi Hulu – Lemau yakni Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah tangkupan air PLTA Musi masih relatif baik dan sebagian besar wilayahnya termasuk kategori tingkat bahaya erosi sangat rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Akan tetapi, akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan perkebunan kopi dan hortikultura serta praktek kultur teknis tradisional di areal budidaya (APL) berakibat terjadinya degradasi lahan secara berlahan sehingga terbentuk lahan-lahan kritis. Wilayah Sub DAS Musi Hulu berada dalam keadaan baik seluas 31448,37 Ha (52,09%). Sedangkan sebagiannya lagi merupakan lahan agak kritis seluas 20332,61 Ha (33,68%), lahan kritis seluas 5125,60 Ha (8,49), dan lahan sangat kritis seluas 570,33 Ha (0,94%). Untuk perbaiakan dan pemulihan lahan kritis tersebut secara vegetatif, di luar kawasan hutan dilakukan dengan penanaman secara total pada lahan yang terlantar, lahan kosong, penerapan pola agroforestri dan hutan rakyat, dan pengkayaan tanaman pada lahan-lahan yang menurut pertimbangan teknis maupun sosial-ekonomis masih perlu diperkaya dengan tanaman tahunan. Sedangkan di dalam kawasan hutan dilakukan reboisasi penanaman intensif atau pengkayaan rendah.

KATA KUNCI : Daerah Aliran Sungai (DAS), Tingkat Bahaya Erosi, Kekritisan lahan, Sistem Informasi Geografi, Ekohidrologi, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 1

Page 2: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

DAS tersebut sebenarnya merupakan penggabungan Sub DAS Musi Hulu dan

DAS Lemau karena adanya perubahan aliran sungai Musi Hulu yang semula mengalir ke

sungai Musi dan selanjutnya bermuara di bagian timur pantai pulau Sumatera, kini kurang

lebih 80%, berubah arah menuju ke sungai Lemau yang selanjutnya bermuara di pantai

barat Sumatera. Perubahan aliran tersebut dikarenakan keberadaan PLTA Musi .

Permasalahan utama DAS Musi Hulu-Lemau adalah kawasan hutan di daerah

hulu (up-stream) banyak yang telah beralih fungsi menjadi peruntukan lain seperti

perkebunan masyarakat, pemukiman dan lain-lain. Padahal penyokong utama baik

tidaknya fungsi DAS adalah kawasan hutan di bagian hulu (catchment area). Setianto et al

(2007) mengemukakan bahwa luas areal yang sudah tidak berhutan pada kawasan hutan di

Hutan Lindung Bukit Daun mencapai 66,64 %. Fakta yang sama juga terjadi pada Taman

Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba, dimana

luas areal yang sudah tidak berhutan di kawasan tersebut berturut-turut adalah 14.08 % dan

49 %.

DAS Musi Hulu-Lemau sejak beroperasinya PLTA Musi mengakibatkan

persoalan baru, terutama di daerah hilir. Air buangan setelah melewati reregulating DAM

PLTA di daerah hilir, ternyata menimbulkan masalah yang dirasakan oleh masyarakat di

sekitar aliran sungai Simpang Aur-Lemau Hilir (Setianto et al, 2007). Dengan kata lain

masalah baru yang dihadapi oleh DAS Musi Hulu- Lemau adalah perubahan inflow pada

DAS Lemau dan perubahan outlet pada DAS Musi. Hal ini terjadi karena beroperasinya

PLTA Musi yang memanfaatkan inflow yang berasal dari DAS Musi dan membuang air

yang telah digunakan untuk menggerakkan turbin pada DAS Lemau. Keadaan ini perlu

dipantau secara terus menerus, sejauh mana fakta tersebut mempengaruhi fungsi DAS

dalam berbagai aspek.

Fakta tersebut di atas mengakibatkan fungsi ekohidrologi DAS Musi Hulu-Lemau

mengalami degradasi yang cukup signifikan. Pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi

di atas normal terjadi aliran permukaan yang besar sehingga terjadi surplus air pada neraca

air sungai yang mengakibatkan terjadinya debit puncak (peak flow) yang dapat

menimbulkan banjir. Menurut Suharto et al (2009b), bila dilihat dari neraca hasil air di

daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau, banjir, tanah longsor, dan banjir bandang berpotensi

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 2

Page 3: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

terjadi pada bulan November, Desember, Januari, dan Maret/April. Sedangkan pada bulan-

bulan dengan curah hujan dibawah normal akan terjadi defisit air tanah dan penurunan

debit aliran air Sungai Musi Hulu.

Kondisi daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau seperti yang telah dipaparkan di atas

perlu mendapat perhatian serius, mengingat kondisi kawasan hutan yang demikian dapat

mendegradasi fungis ekohidrologi di daerah tangkapan air (catchment area). Oleh sebab

itu, daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau harus mendapat perlakuan yang dapat merestorasi

wilayah catchment agar fungsinya dapat kembali seperti semula. Kegiatan yang sangat

penting dan harus dilakukan adalah merehabilitasi wilayah hulu/upstream dengan pola-

pola rehabilitasi yang tepat.

B. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mendesain rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)

wilayah hulu DAS Musi Hulu-Lemau yang betul-betul didasarkan pada tujuan pengelolaan

DAS terpadu yaitu kelestraian fungsi ekohidrologi Sub DAS Musi Hulu dengan pola-pola

yang dapat meningkatkan fungsi ekohidrologi DAS dengan tepat. Tujuan khusus yang

ditargetkan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan lokasi dan luasan tingkat bahaya erosi lahan

2. Menentukan lokasi dan luasan lahan yang terdegradasi berdasarkan kriteria tingkat

kekritisan lahan

3. Mendesain program rehabilitasi hutan dan lahan yang mencakup lokasi sasaran dan

luasannya, untuk melestarikan fungsi ekohidrologi DAS.

Luaran yang ingin diharapkan dari penelitian ini adalah arahan/program

rehabilitasi hutan dan lahan yang cocok untuk mengembalikan fungsi DAS berikut lokasi

sasaran dan luasannya. Luaran ini dapat digunakan sebagai referensi bagi pemerintah untuk

lebih memperkaya konsep rehabilitasi hutan dan lahan agar dilakukan berdasarkan

pertimbangan yang komprehensif dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan DAS

yang benar.dalam membuat perencanaan tataruang wilayah Sub DAS Musi Hulu sebagai

daerah tangkupan air PLTA Musi yang berkoridor pada optimalisasi pemanfaatan

sumberdaya lahan dan kelestarian lingkungan dengan mempertimbangkan keberadaan

masyarakat dan menyenangkan semua pihak serta tidak menimbulkan bencana banjir dan

kekeringan.

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 3

Page 4: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

II. TINJAUAN PUSTAKA

DAS Musi Hulu–Lemau merupakan nama DAS yang belum baku, dan tidak

tercantum dalam daftar nama DAS di Indonesia (SK MENHUT NO. 284/Kpts-II/1999).

Menurut Hidayat (2009), DAS tersebut sebenarnya merupakan penggabungan Sub DAS

Musi Hulu dan DAS Lemau karena adanya perubahan aliran sungai Musi Hulu yang

semula mengalir ke sungai Musi dan selanjutnya bermuara di bagian timur pantai pulau

Sumatera, kini kurang lebih 80%, berubah arah menuju ke sungai Lemau yang selanjutnya

bermuara di pantai barat Sumatera. Perubahan aliran tersebut dikarenakan keberadaan

PLTA Musi.

Berdasarkan tata nama DAS yang baku, maka DAS Musi Hulu-Lemau menurut

BPDAS Ketahun terbagi atas Sub DAS Musi Hulu pada daerah upstream dan DAS Lemau

pada daerah downstream. DAS Lemau sendiri terdiri atas 4 (empat) Sub DAS yaitu:

Lemau Hulu, Simpang Aur, Penyengat, dan Lemau Hilir.

Secara geografis wilayah Sub DAS Musi Hulu terletak pada 102°22'18.98"-

102°38'38.93" bujur timur dan pada 3°16'28.873" - 3°33'57.441" Lintang Selatan. Luas

wilayah penelitian meliputi 60.369,965 Ha (Suharto et al, 2009b). Sub DAS ini

merupakan daerah aliran sungai lintas kabupaten, secara administrasi terletak di 2

kabupaten, yakni seluas Kabupaten Rejang Lebong 54.023,347 Ha (89,49%) dan

Kabupaten Kepahiang 6.346,619 Ha (10,51%).

2.1. Iklim dan Hidrologi

Iklim di Sub DAS Musi Hulu termasuk iklim tropis basah, menurut klasifikasi

iklim Smith-Ferguson termasuk zona A dengan nilai perbandingan jumlah rata-rata bulan

kering dengan jumlah rata-rata bulan basah (nilai Q) = 0,091, temperatur bulan terdingin

lebih besar dari 18oC, dan jumlah hujan bulan-bulan basah dapat mengimbangi kekurangan

hujan pada bulan kering.

Kondisi hidrologi diketahui bahwa, pola aliran sungai Sub DAS Musi Hulu

bersistem braided sebagai pola aliran sungai muda yang lebar bercabang-cabang, dangkal,

berbahan kasar (kerikil, batu) dengan jalur alirannya yang relatif pendek (Suharto et al,

2009b). Air mengalir melalui daerah tuf masam yang merupakan bahan yang relatif mudah

lepas dan peka erosi, sehingga di sepanjang daerahnya banyak dijumpai teras-teras sungai

yang cukup lebar. Pola drainase daerah ini adalah dendritik dimana sungai beserta cabang-

cabangnya mengalir dari segala arah, terutama di bagian hulu (bukit dan pegunungan)

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 4

Page 5: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

dengan bahan induk yang relatif homogen yakni batuan sedimen terdiri dari batuan serpih

terkersikkan yang berlapis-lapis, napal, dan tufit yang bersusun andesit sampai dasit. Di

daerah puncak vulkan (hulu) dijumpai pola drainase radial ke segala arah. Dalam wilayah

DAS ini juga terdapat batuan induk terobosan terdiri dari batuan plutonik masam (granit)

yang dijumpai dalam bentuk dike, sehingga banyak muncul sumber mata air yang keluar

memotong muka tanah setempat akibat susunan batuan yang terpotong (sesar).

2.2. Morfometri Wilayah

Profil topografi Sub DAS Musi Hulu didominasi oleh kawasan perbukitan yang

berombak dengan pungguk bukit yang curam sampai kemiringan agak datar. Berdasarkan

ketinggian lahan dari permukaan laut, menurut Suharto et al. (2010c) wilayah Sub DAS

Musi Hulu didominasi kawasan dataran tinggi seluas 27448,213207 Ha (45,4667%) dan

pegunungan rendah seluas 20840,487674 Ha (34,5213%). Daerah ini terdiri dari 5 macam

kelas kelerengan (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Kemiringan lahan di daerah tangkupan air PLTA Musi

No. Kelas Kemiringan (%)Luas

Kategori(Ha) (%)

1 0-8 41647,11630 68,9865 Datar2 8-15 3000,81616 4,9707 Landai3 15-25 2275,70506 3,7696 Agak curam4 25-45 7702,98276 12,7596 Curam5 > 45 5743,34506 9,5136 Sangat curam

  Total 60369,96534Sumber Data :1. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Rupa bumi Propinsi Bengkulu, BAKOSURTANAL3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S

2.3. Tanah dan Geologi

Secara formasi geologi daerah hulu DAS Musi Hulu – Lemau termasuk golongan

pretersier yang merupakan formasi geologi tertua dan mendasari daerah ini, yang terdiri

dari berbagai formasi batuan yakni batuan sedimen, batuan vulkanik batuan metamorf dan

batuan terobosan (Bapedalda, 2006).

Tanah yang berkembang di Sub DAS Musi Hulu terdiri atas tanah mineral masam

dan tanah alluvial. Menurut klasifikasi USDA (soil taxonomy) pada tingkat klasifikasi

ordo, tanah Inseptisol, Entisol, Histosol dan Ultisol yang merupakan tanah mineral masam

mendominasi sebaran jenis tanah di daerah ini. Menurut Suharto et al. (2010c), jenis tanah

pada level great group dan luasnya disajikan pada Tabel 2.

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 5

Page 6: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Tabel 2 Luas masing-masing jenis tanah di Sub DAS Musi Hulu

No. Asosiasi Jenis Tanah (Great Group)Jenis Tanah

DominanLuas (Ha)

Luas (%)

1 Dsytrandepts/Dystropepts/Humitropepts Dsytrandepts 5.882,094 9,742 Dsytrandepts/Hapludults/Haplohumults Dsytrandepts 6.327,745 10,483 Dsytrandepts/Humitropepts Dsytrandepts 9.197,707 15,244 Dsytrandepts/Humitropepts/Dystropepts/Tropaquepts Tropaquepts 7.268,977 12,045 Dsytrandepts/Humitropepts/Haplohumults Dsytrandepts 3.311,302 5,496 Dystropepts/Dsytrandepts/Humitropepts Dystropepts 7.902,656 13,097 Dystropepts/Haplohumults/Dsytrandepts/Humitropepts Dystropepts 1.316,959 2,188 Dystropepts/Hapludults Dystropepts 225,155 0,379 Dystropepts/Hapludults/Humitropepts Dystropepts 3.105,966 5,1410 Dystropepts/Humitropepts Dystropepts 124,910 0,2111 Dystropepts/Humitropepts/Eutropepts Dystropepts 3.394,145 5,6212 Hapludults/Haplohumults/Humitropepts Hapludults 10.887,313 18,0313 Tropaquepts/Hydraquents/Tropohemist Tropaquepts 100,113 0,1714 Troporthens Troporthens 486,376 0,8115 X1(Aneka Bentuk) 838,547 1,39

TOTAL 60.369,965 100Sumber Data :1. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar 0912 Balitanak Bogor3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S

Wilayah Sub DAS Musi Hulu didominasi kawasan yang solum tanahnya sangat

dalam yakni 27.898,183 Ha (46,212%) dan ekstrim dalam yakni 21.449,442 Ha

(35,530%). Menurut Suharto et al. (2010c), secara rinci daerah ini terdiri dari 6 macam

kelas kedalaman tanah (Tabel 3).

Tabel 3. Luas masing-masing kedalaman tanah di Wilayah Sub DAS Musi-Hulu

No. Kedalaman tanah (cm)Luas

Kategori(Ha) (%)

1 <75 586,489 0,971 Agak Dangkal2 50-75 1.946,892 3,225 Agak Dalam3 76-100 7.650,424 12,673 Dalam4 101-149 27.898,183 46,212 Sangat Dalam5 > 1500 21.449,442 35,530 Ekstrim Dalam

838,535 1,389 Aneka Bentuk  Total 60.369,965Sumber Data :1. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar 0912 Balitanak Bogor3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S

2.4. Tataguna Lahan

Tataguna lahan Sub DAS Musi Hulu dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar

yakni Areal Peruntukan Lain (APL) seluas 38369,830 Ha (63,56%) dan kawasan hutan

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 6

Page 7: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

seluas 22.000,135 Ha (36,44%). Kawasan hutan daerah ini telah mengalami degradasi

yang lajunya terus meningkat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian kawasan

hutan yang di lindungi di daeah hulu telah mengalami perubahan tata guna lahan, dari yang

dulunya berhutan menjadi perkebunan rakyat. Menururt Suharto et al. (2010c), secara rinci

luasan untuk masing-masing penutupan/ penggunaan lahan di Sub DAS Musi Hulu

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penutupan Lahan di Sub DAS Musi Hulu

NO TUTUPAN LUAS (Ha)(Ha) (%)

1 Belukar Muda 514,347514 0,852 Belukar Tua 2247,984709 3,723 Lahan Terbuka 4632,290764 7,674 Kebun Campur 4448,036999 7,375 Belukar Muda dan Kebun Campur 24564,919400 40,696 Hutan 15931,444220 26,397 Ladang 4052,822277 6,718 Pemukiman 2893,053675 4,799 Sawah 912,792044 1,51

10 Karet Masyarakat 85,323248 0,1411 Belukar Muda dan Karet 86,950484 0,14

60369,965340Sumber data :1. Peta DAS Prop. Bengkulu, BP DAS Ketahun2. Peta Rupabumi Prop. Bengkulu, BAKOSURTANAL3. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program ArcGIS 9.2 pada Proyeksi UTM Zone 48S4. Hasil Interpretasi Data Satelit Landsat ETM7 dan Pengecekan lapangan.

Kondisi penutupan lahan pada kawasan hutan di Sub DAS Musi Hulu disajikan

pada Tabel 5. Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa luasan yang telah beralih fungsi

cukup luas.

Tabel 4. Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan di Sub DAS Musi Hulu

Kawasan Hutan Luas Total (Ha)

2005 2006

Berhutan Tidak Berhutan Berhutan Tidak

Berhutan% % % %

CA. Talang Ulu I 0,666 0,00 100,00 0.00 100.00CA. Talang Ulu II 0,759 0,00 100,00 0.00 100.00HL. Bukit Daun 4.469,341 38.11 61.89 33,36 66,64TNKS 14.725,792 94,13 5,87 85.92 14.08TWA Bukit Kaba 2.803,577 78,18 21,82 51.00 49.00

Total 22.000,135Sumber :Setianto et al (2007); Hindarto et al (2009)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan, mulai dari bulan Maret s/d

Nove,ber 2010. Adapun lokasi penelitian adalah daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau yang

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 7

Page 8: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

mencakup wilayah dua kabupaten yaitu Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten

Kepahiang

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei tinjau,

yaitu dengan cara mengumpulkan data dan informasi serta fakta-fakta dari gejala di

lapangan. Data primer yang dikumpulkan meliputi kondisi hidrologis, curah hujan, sifat

fisik dan kimia tanah, kondisi topografi, biofisik tataguna lahan DAS, sosial ekonomi dan

budaya masyarakat. Sedangkan data skunder yang dikumpulkan meliputi meliputi keadaan

umum lokasi kegiatan seperti letak wilayah, luas wilayah, dan kondisi fisik lingkungan,

dan keadaan masyarakat seperti jumlah penduduk, umur, jenis kelamin, mata pencaharian,

pendidikan, dan budaya masyarakat.

3.1. Perhitungan Tingkat Bahaya Erosi

Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat

erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan

tersebut. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata tanah

hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus Universal Soil Loss

Equation (USLE). Menurut Asdak (2004), perhitungan tingkat erosi dengan rumus USLE

sebagi berikut : A = R x K x LS x C x P ; Dimana : A= jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun),

R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (biasanya dinyatakan sebagai energi dampak

curah hujan (MJ/ha) x Intensitas hujan maksimal selama 30 menit (mm/jam), K = indeks

erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm), LS = indeks

panjang dan kemiringan lereng, C = indeks pengelolaan tanaman, P = indeks upaya

konservasi tanah

3.2. Menentukan dan Memetakan Tingkat Bahaya Erosi

Perkiraan erosi tahunan rata-rata (diperoleh dari USLE) dan kedalaman tanah

(dari Peta Tanah) dipertimbangkan untuk menentukan Tingkat Bahaya Erosi untuk setiap

satuan lahan. Kelas Tingkat Bahaya Erosi diberikan pada tiap satuan lahan dengan

menggunakan kriteria pada Tabel 5.

Tabel 5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi

Solum Tanah(cm)

Kelas Erosi I II III IV V

Erosi (ton/ha/tahunan) < 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 > 480

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 8

Page 9: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Dalam > 90

SR 0

R I

S II

B III

SB IV

Sedang 60 – 90

R I

S II

B III

SB IV

SB IV

Dangkal 30 – 60

S II

B III

SB IV

SB IV

SB IV

Sangat Dangkal <30

B III

SB IV

SB IV

SB IV

SB IV

Keterangan : 0 – SR = Sangat Ringan I – R = Ringan II – S = Sedang III - B = Berat IV - SB = Sangat Berat

3.3. Penilaian tingkat kekeritisan lahan

Metode penilaian lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yaitu sebagai

lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya

sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun

diluar kawasan hutan (Anonim, 2008). Sasaran penilaian adalah lahan-lahan dengan

fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi

kawasan lindung bagi hutan lindung dan fungsi lindung di luar kawasan hutan, serta

fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Selanjutnya untuk masing-masing fungsi

lahan, ditentukan kriteria/faktor pendukungnya yang terbagi lagi kedalam beberapa kelas.

Untuk penilaiannya, pada masing-masing kelas diberi bobot, besaran serta skoring. Jumlah

total skor dikalikan bobot masing-masing merupakan klas kekritisan lahan masing-masing

kawasan, yang dimuat pada Tabel 6, sedangkan kriteria lahan kritis di masing-masing

kawasan disajikan pada tabel 7,8, dan 9.

Tabel 6. Klasifikasi kekritisan lahan di Kawasan Hutan Lindung.

No. Tingkat Kekritisan Lahan

Besarnya NilaiHutan Lindung Lahan Budidaya Kawan Lindung di APL

1. Sangat kritis 120 – 180 115 – 200 110 – 2002. Kritis 181 – 270 201 – 275 201 – 2753. Agak kritis 271 – 360 276 – 350 276 – 3504. Potensial kritis 361 – 450 351 – 425 351 – 4255. Tidak kritis 451 – 500 426 – 500 426 – 500

Sumber: Anonim (2009)

Tabel 7. Kriteria Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung

No. Kriteria

(% bobot)Kelas Besaran/diskripsi Skor Keterangan

1. Penutupan lahan(50)

1. Sangat baik2. Baik3. Sedang4. Buruk

> 80 %61 – 80%41- 60%

21 – 40%

5432

Dinilai berdasarkan prosentase penutupan tajuk pohon

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 9

Page 10: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

5. Sangat buruk < 20% 1atau tutupan lahan

2.Lereng

(20)

1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam

> 8 %8 – 15%16 - 25%26 – 40%< 40%

54321

3.Erosi(20)

1. Ringan

- Tanah dalam: kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak 20-50 m.

- Tanah dangkal: kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak > 50 m.

5

2. Sedang

- Tanah dalam: 25-75% lapisan tanah atas hilang/ atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m.

- Tanah dangkal: 25-50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jakak 20-50 m.

4

3. Berat

- Tanah dalam: ebih dari 75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m.

- Tanah dangkal: 50-75%lapisan tanah atas hilang.

3

4. Sangat berat

- Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang > 25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m.

- Tanah dangkal: 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi.

2

4.Manajemen

(10)

1. Baik2. sedang3. buruk

Lengkap *)Tidak lengkapTidak ada

531

*) – Tata batas kawasan ada.- Pengawasan ada.- Penyuluhandilaksanakan.

Sumber: Anonim (2009)

Tabel 8 Kriteria Lahan Kritis Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian.

No. Kriteria

(% bobot)Kelas Besaran/diskripsi Skor

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 10

Page 11: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

1.Produktivitas*)

(30)

1. Sangat tinggi2. Tinggi3. Sedang4. Rendah5. Sangat rendah

> 80 %61 – 80%41- 60%21 – 40%< 20%

54321

2. Lereng(20)

1. Datar2. Landai3. Agak curam4. Curam5. Sangat curam

< 8 %8 – 15%16 - 25%26 – 40%> 40%

54321

3. Erosi(15)

1. Ringan

- Tanah dalam kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak 20-50 m.

- Tanah dangkal kurang dari25% lapisan tanah atas hilangdan/atau erosi alur pada jarak > 50 m.

5

2. Sedang

- Tanah dalam 25-75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m.

- Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m.

4

3. Berat

- Tanah dalam lebih dari 75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m

- Tanah dangkal 50-75% lapisan tanah atas hilang.

3

4. Sangat berat

- Tanah dalam Semua lapisan tanah atas hilang > 25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m.

- Tanah dangkal > 75% lapisan tanah atas telah hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi.

2

4. Batu-

batuan(5)

1. Sedikit

2. Sedang

3. Banyak

- < 10% Permukaan lahan tertutup batuan

- 10-30% Permukaan lahan tertutup batuan

- > 30% Permukaan lahan tertutup batuan

5

3

1

5. Manajemen

(30)

1. Baik

2. Sedang3. buruk

- Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap sesuai petunjuk teknis

- Tidak lengkap atau tidak dipelihara

- Tidak ada

5

31

*)Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Sumber: Anonim (2009)

Tabel 9. Kriteria Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan.

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 11

Page 12: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

No. Kriteria

(% bobot) Kelas Besaran/diskripsi Skor Keterangan

1. Penutupan lahan

(50)

1. Sangat baik 2. Baik 3. Sedang 4. Buruk 5. Sangat buruk

> 80 % 62 – 80% 42 - 60% 22 – 40% < 20%

5 4 3 2 1

Dinilai berdasarkan prosentase penutupan tajuk pohon

2. Lereng (20)

1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam

< 8 % 9 – 15% 17 - 25% 27 – 40% > 40%

5 4 3 2 1

3. Erosi (20)

1. Ringan

- Tanah dalam : kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang/atau erosi alur pada jarak 20-50 m.

- Tanah dangkal : kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jakak > 50 m.

5

2. Sedang

- Tanah dalam : 25-75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m.

4

- Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m.

3. Berat

- Tanah dalam : lebih dari 75% lapisan tanah atas hilang/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m.

- Tanah dangkal : 50-75% lapisan tanah atas hilang.

3

4. Sangat berat

- Tanah dalam : Semua lapisan tanah atas hilang > 25% lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m.

- Tanah dangkal : > 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi.

2

4. Manajemen

(30)

1. Baik 2. sedang 3. buruk

Lengkap *) Tidak lengkap Tidak ada

5 3 1

Sumber: Anonim (2009)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 12

Page 13: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Pengelolaan ekosistem DAS, dareah hulu yang biasanya berupa kawasan hutan

memiliki peranan yang sangat penting. Hutan merupakan ekosistem yang terbentuk oleh

adanya asosiasi antara komunitas tumbuh-tumbuhan dan komunitas hewan yang hidup di

dalamnya yang luasnya sedemikian rupa sehingga dapat tercipta iklim mikro. Ekosistem

hutan bersifat responsif terhadap aktifitas manusia, perubahan iklim, dan aktifitras

geomorfologi dan tanah. Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 18,

disebutkan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan

hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau guna

optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat

setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % dari luas daerah

aliran sungai atau pulau dengan sebaran proporsional.

Berdasarkan luasnya, keberadaan hutan di wilayah hulu DAS Musi Hulu - Lemau

telah mencukupi kebutuhan standar sesuai yang diatur dalam undang-undang. Luas daerah

catchment area PLTA Musi adalah 60369,965 Ha. Dari luasan tersebut, sekitar 36.442 %

(22.000,135 Ha) ditetapkan sebagai kawasan hutan yang terdiri atas Kelompok Hutan

Lindung (4.469,341 Ha), Taman Nasional Kerinci Sebelat (14.725,792 Ha), Taman Wisata

Alam Bukit Kaba (2.803,577Ha), dan Cagar Alam (1,425 Ha).

Dengan fungsinya sebagai penyeimbang lingkungan, seperti sistem penyangga

kehidupan dan pengatur tata air, kawasan hutan haruslah berupa hutan yang bervegetasi

baik dengan komposisi tegakan yang seimbang (hutan alam). Untuk tujuan pengelolaan

kawasan dan kelangsungan operasional PLTA Musi, keberadaan hutan sebagai sistem

penyangga kehidupan dan penyeimbang tata air harus bisa dipertahankan dan dikelola

sesuai dengan peruntukannya. Hal ini berarti fungsi hutan lindung dan konservasi harus

tetap dijaga keberadaannya dan jangan sampai terjadi perubahan fungsi kawasan di

lapangan.

A. Tinghat Bahaya Erosi dan Kekritisan Lahan di Wilayah Sub DAS Musi Hulu

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian kawasan hutan yang di lindungi

tersebut telah mengalami perubahan tata guna lahan, dari yang dulunya berhutan menjadi

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 13

Page 14: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

perkebunan rakyat. Luas areal di dalam kawasan hutan yang sudah tidak berhutan lagi

semakin lama semakin meluas. Hal ini terlihat tata guna lahan yang telah berubah di

daerah TN Kerinci Sebelat, Hutan Lindung Bukit Daun, maupun TWA Bukit Kaba, dari

hutan menjadi pemukiman dan areal perkebunan/pertanian.

Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa areal tidak berhutan dan lahan

kritis yang terdapat pada beberapa kawasan hutan dan APL di lokasi studi sebagian besar

berupa tata guna lahan perkebunan kopi. Menurut Widianto et al (2004), pertanaman kopi

monokultur ternyata tidak dapat sepenuhnya mengembalikan fungsi hidrologi hutan

walaupun kopi telah berumur 10 tahun. Ada beberapa aspek yang hilang dari hutan dan

fungsi lahan yang tidak bisa dikembalikan melalui pertanaman kopi.

Perubahan tataguna lahan hutan menjadi non hutan pada beberapa kawasan hutan

dan APL di wilayah studi, apabila terjadi hujan yang berintensitas tinggi akan

menimbulkan resiko kehilangan tanah lapisan atas (erosi) terutama pada tanah-tanah yang

mengandung partikel liat/debu tinggi (bertekstur halus) pada lahan terbuka dan kelerengan

curam.

Berdasarkan perkiraan erosi tahunan rata-rata (diperoleh dari USLE) dan

kedalaman tanah (dari Peta Tanah) dipertimbangkan untuk menentukan Tingkat Bahaya

Erosi untuk setiap satuan lahan dengan menggunakan kriteria pada Tabel 5. Diketahui

bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Musi Hulu termasuk kategori tingkat bahaya erosi

sangat rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Data luas masing-masing kategori tingkat

bahaya erosi di wilayah ini disajikan pada Tabel 10, sedangkan, penyebaran lokasinya

ditunjukkan pada Gambar 1.

Tingkat bahaya erosi yang rendah ini sangat berkaitan erat dengan karakteristik

fisika tanah yang diukur atau diduga yakni permeabilitas tanah, tekstur tanah, berat jenis

tanah, bobot isi tanah, porositas tanah, dan kadar lengas tanah. Karakteristik fisika tanah

ini akan menentukan kualitas lahan terhadap retensi air, drainase, kepekaan erosi dan

longsor, media perakaran dan kemudahan pengolahan tanah.

Tabel 10. Luas Lahan Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah Sub DAS Musi Hulu

No Kategori Bahaya ErosiBobot Erosi Luas

(ton/Ha/Tahun) (Ha) (%)1 Sangat rendah < 15 52.452,9990 86,89 2 Rendah 15 - 60 5.403,7412 8,95

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 14

Page 15: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

3 Sedang 60 - 180 2.016,2133 3,34 4 Berat 180 - 480 360,8732 0,60 5 Sangat berat > 480 136,1386 0,23

TOTAL 60.369,9653Sumber Data :4. Peta DAS Propinsi Bengkulu, BP DAS Ketahun5. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar 0912 Balitanak Bogor6. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S

Hasil analisis laboratorium pada tabel 11 menunjukkan bahwa, tanah entisol dan

histosol mempunyai permeabilitas K-sat agak lambat sampai sedang, sedangkan pada

tanah ultisol dan inceptisol mempunyai permeabilitas K-sat agak lambat sampai sangat

rendah. Permeabilitas K-sat tanah ini sangat menentukan drainase tanah dan tenggang

waktu (time lag) antara kejadian hujan dengan aliran permukaan (suface runoff) pada suatu

satuan lahan.

Sifat fisika tanah yakni Berat Jenia (BJ), Bobot Isi (BV), Porositas, dan Kadar

Lengas (KL) yang disajikan pada tabel 12 akan menentukan ketersediaa air, kondisi media

perakaran, kemudahan pengolahan dan resiko longsor. Pada tanah-tanah berat dengan

kandungan air yang tinggi pada daerah berlereng curam mengakibatkan beban grafitasi

yang besar sehingga apabila kondisi tanah jenuh air dan pada saat itu terjadi aliran air

perkolasi dan aliran permukaan, maka dapat menakibatkan horizon-horizon tanah terlepas

dan terjadilah longsor atau banjir bandang.

Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada

tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu

(Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah

bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik

(Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan

induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi,

sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan.

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 15

Page 16: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Gambar 1. Peta Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah Sub DAS Musi Hulu

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 16

Page 17: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Tabel 11. Daya Hantar Air (Percolation Rate) Satuan Lahan pada Kadar Lengas Tanah Jenuh Air

No.Kode Conto

h

Satuan Lahan

Permeabilitas K-Sat (cm/sat waktu)kelas resiko

s-run offresiko erosi

Rekomendasi tataguna

lahan5

(menit)10

menit15

menit20

menit25

menit30

menit60

menit

1 Lk1 Mab 2.3.3 0 0 0 0,000734 0,001052 0,001228 0,002456 sangat

rendahsangat cepat

sangat tinggi hutan

2 Lk2 Mab 2.3.3 0,041495 0,03246 0,031558 0,030837 0,029236 0,028150 0,056300 sangat

rendahsangat cepat

sangat tinggi hutan

3 Lk3 Hab 1.2.2 0 0 0 0,000365 0,000454 0,000505 0,001010 sangat

rendahsangat cepat

sangat tinggi hutan

4 Lk5 Mab 2.2.2 0,010574 0,008724 0,007349 0,006173 0,021148 0,004115 0,008230 sangat

rendahsangat cepat

sangat tinggi hutan

5 M1 Vab 1.3.2 13,77173 12,77918 13,31681 13,47707 13,54841 13,60676 27,21352 sangat

cepatsangat lambat

sangat rendah pertanian

6 M2 Vab 1.4.2 1,181048 1,097539 1,153212 1,170609 1,165539 1,168124 2,336248 sedang sedang sedang agroforestry

7 M3 Vab 2.10.3 0,276941 0,263094 0,26771 0,268633 0,315713 0,263094 0,526188 agak

lambatagak cepat

agak tinggi agroforestry

8 M6 Mab 2.1.2 0,379805 0,344198 0,346572 0,343605 0,333754 0,325604 0,651208 agak

lambatagak cepat

agak tinggi agroforestry

9 M7 Mab 2.1.2 0,013958 0,053505 0,074442 0,081421 0,084678 0,086849 0,173698 lambat cepat tinggi Hutan

10 M8 Vab 1.6.2 0,737609 0,686544 0,66574 0,676615 0,660444 0,654392 1,308784 agak

lambatagak cepat

agak tinggi agroforestry

11 L1 Hab 1.2.2 0 0 0,000398 0 0 0,000398 0,000795 sangat

rendahsangat cepat

sangat tinggi Hutan

12 L2 Af 4.1.1 6,738267 6,61794 6,61794 6,768348 6,682114 6,698158 13,39632 cepat lambat tinggi agroforestry

13 L3 Hg 1.2.1 0,793516 0,721844 0,686008 0,675769 0,643004 0,624574 1,249148 agak

lambatagak lambat

agak tinggi agroforestry

14 L4 Mg 2.3.3 0 0,002671 0,004452 0,004674 0,004808 0,004897 0,009794 sangat

rendahsangat cepat

sangat tinggi hutan

15 L5 Au 2.4.2 0,616843 0,584245 0,573379 0,586753 0,576723 0,575887 1,151774 agak

lambatagak lambat

agak tinggi agroforestry

Sumber : Data primer hasil analisis contoh tanah tak terganggu di Laboratorium Kehutanan

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 17

Page 18: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Tabel 12. Sifat Fisika Tanah Satuan Lahan pada Kadar Lengas Tanah Jenuh Air

No.

Kode Contoh

Satuan Lahan

BV (g/cm3)

Lengas Tanah Air DrainaseKelas BV

Resiko LongsorLj (g/g) Lj (%) Lkl (g/g) Lkl (%) (g/g) (%)

1 Lk1 Mab 2.3.3 0,8710156 0,741467 74,14668 0,609636 60,96362 0,131831 13,18306agak kompak

tinggi

2 Lk2 Mab 2.3.3 0,8699920 0,745013 74,50131 0,609658 60,96583 0,135355 13,53548agak kompak

tinggi

3 Lk3 Hab 1.2.2 0,9645331 0,633399 63,33993 0,529931 52,99310 0,103468 10,34682agak kompak

tinggi

4 Lk5 Mab 2.2.2 0,9963105 0,632203 63,22032 0,568460 56,84599 0,063743 6,374335agak kompak

tinggi

5 M1 Vab 1.3.2 0,4594455 1,408228 140,8228 1,154852 115,4852 0,253376 25,33755tidak kampak

sangat tinggi

6 M2 Vab 1.4.2 0,4964338 1,475070 147,5070 1,259044 125,9044 0,216026 21,60262tidak kampak

sangat tinggi

7 M3 Vab 2.10.3 0,5313284 1,437828 143,7828 1,256830 125,6830 0,180998 18,09982tidak kampak

sangat tinggi

8 M6 Mab 2.1.2 0,7931774 0,787072 78,70718 0,665239 66,52393 0,121832 12,18325agak kompak

tinggi

9 M7 Mab 2.1.2 0,7105935 0,894258 89,42578 0,750933 75,09330 0,143325 14,33248agak kompak

tinggi

10 M8 Vab 1.6.2 0,5042967 1,531691 153,1691 1,338961 133,8961 0,192730 19,27300tidak kampak

sangat tinggi

11 L1 Hab 1.2.2 0,9916579 0,637421 63,74214 0,567749 56,77489 0,069673 6,967252agak kompak

tinggi

12 L2 Af 4.1.1 0,9630443 0,537176 53,71757 0,429779 42,97792 0,107396 10,73965agak kompak

tinggi

13 L3 Hg 1.2.1 0,7386766 0,818430 81,84298 0,665403 66,54025 0,153027 15,30273agak kompak

tinggi

14 L4 Mg 2.3.3 0,9266631 0,692283 69,22832 0,583983 58,3983 0,108300 10,83002agak kompak

tinggi

15 L5 Au 2.4.2 0,7759790 0,846285 84,62854 0,679587 67,95871 0,166698 16,66983agak kompak

tinggi

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 18

Page 19: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Sumber : Data primer hasil analisis contoh tanah tak terganggu di Laboratorium Kehutanan

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 19

Page 20: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Dari karakteristik fisika tanah ini dengan mempertimbangkan morfometri wilayah

dapat disusun arahan/rekomendasi tataguna lahan dan tindakan konservasi tanah dan air

secara vegetatif dan sipil teknis. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih

diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani

(agroforestry). Rekomendasi tataguna lahan dan konservasi tanah dan air secara sipil teknis

pada satuan-satuan lahan di wilayah Sub DAS Musi Hulu disajikan pada tabel 13.

Berdasarkan hasil penilaian kekritisan lahan terlihat bahwa, sebagian dari wilayah

Sub DAS Musi Hulu berada dalam keadaan baik seluas 31448,37 Ha (52,09%) yang terdiri

dari lahan tidak kritis seluas 17135,56 Ha (28,38%) dan lahan potensial kritis seluas 14312,81 Ha

(23,71%). Sedangkan, sebagiannya lagi merupakan lahan kritis yakni seluas 26028,54 Ha (47,91%).

Data kelas dan luas lahan kritis menurut jenis kawasan di wilayah Sub DAS Musi Hulu

disajikan pada Tabel 14. Sedangkan sebarannya disajikan pada Gambar 2.

Tabel 14. Kelas dan Luas Lahan Kritis di Wilayah Sub DAS Musi Hulu

Kelas KritisLuas (Ha)

Total (%)Kawasan Hutan

Kawasan Lindung Non

Hutan

Kawasan Budidaya

Tidak kritis 6391,70623 10743,85551 17135,56 28,38Potensial kritis 10765,13354 2833,12663 714,55371 14312,81 23,71 Agak Kritis 2443,57135 5836,95693 12052,07825 20332,61 33,68 Kritis 965,49686 1584,11256 2575,99005 5125,60 8,49 Sangat kritis 216,38560 271,59527 82,34920 570,33 0,94 Pemukiman 2,47365 1226,34832 1664,23170 2893,05 4,79

TOTAL 60369,96534Sumber Data :1. Peta Rupa Bumi Indonesia Prop. Bengkulu, Bakorsurtanal2. Peta Tanah dan Satuan Lahan Prop. Bengkulu, Balitanak, Bogor3. Peta Kawasan Hutan Prop. Bengkulu, Dinas Kehutanan Prop. Bengkulu4. Hasil Interpretasi Citra Land Sat TM-7 Sheen 126062,125062, 12506,3 Bappeda Propinsi Bengkulu tahun 2007 dan

Pengecekan lapangan.Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S5. Hasil Analisis Digital Menggunakan Program fGIS pada Proyeksi UTM Zone 48S6. Data curah hujan RGS (Rainfall Gauging Station) PLTA Musi Tahun 2006-2009

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 20

Page 21: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

Gambar 2. Peta Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah Sub DAS Musi Hulu

Tugas Ilmu Lingkungan Khairul Amri NPM. 20 10 360 20 15 Page 21

Page 22: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

22

Gambar 3. Kawasan Hutan yang telah dirambah oleh masyarakat

Dalam daur hidrologi, antara hulu dan hilir terdapat keterkaitan biofisik. Artinya jika

terjadi perubahan lanskap (perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi non hutan antara lain

yakni perkebuanan) di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di daerah hulu

saja, tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk

perubahan fluktuasi debit dan muatan sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran

airnya. Misalnya, terbentuknya lahan-lahan kritis karena erosi yang terjadi di daerah hulu

akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air atau

akibat aktifitas lainnya (pembangunan jalan, pembukaan daerah tambang, dll) yang tidak

direncanakan dengan baik, juga memberikan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk

penurunan kapasitas tampung waduk dan atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi

yang pada gilirannya dapat meningkatkan resiko banjir, menurunkan luas lahan irigasi atau

bahkan menggangu jalannya operasi turbin PLTA.

Besarnya luasan okupasi kawasan lindung oleh masyarakat tersebut, maka

dibutuhkan suatu perencanaan dan evaluasi yang logis dalam pengelolaan kawasan hutan

berbasis DAS serta penataan wilayah APL yang efektif dalam pengaturan tata air daerah

tangkupan. Oleh sebab itu, kajian tentang pengelolaan DAS dengan kondisi tapak yang telah

banyak terokupasi dan terbentuk lahan kritis harus terfokus pada hubungan antara efektifitas

vegetasi dalam mengatur tata air. Dan bila kita berbicara tentang hubungan vegetasi dan tata

air, maka masih merupakan wilayah kajian dan perdebatan di antara para ahli, terutama ahli

hidrologi dan kehutanan.

Page 23: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

23

Walaupun demikian, ada satu benang merah yang bisa dijadikan pedoman, yaitu

penataan ruang dan ketetapan hukum kawasan hutan yang telah disahkan oleh pemerintah.

Oleh sebab itu, dengan asumsi bahwa penetapan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi

yang terdapat di wilayah hulu DAS Musi Hulu – Lemau oleh pemerintah “sudah ideal” bila

ditinjau dari fungsinya, maka hanya ada satu jawaban untuk pengelolaan DAS pada areal

hutan yang telah terokupasi dan APL yaitu rehabilitasi hutan dan lahan. Artinya, luasan areal

yang telah beralih fungsi dari tata guna lahan berhutan ke tata guna lainnya, harus

dikembalikan menjadi hutan kembali serta penataan APL yang efektif mengkonservasi tanah

dan air.. Pada konteks ini maka program rehabilitasi kawasan hutan dan lahan mutlak

diperlukan.

Dalam konteks sustainabilitas fungsi wilayah Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah

tangkupan air PLTA Musi, lahan pertanian produktif, pemukiman penduduk, dan kegiatan

perekonomian masyarakat. Dengan demikian, ekosistem DAS hulu ini merupakan bagian

terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan ditinjau dari segi fungsi tata air. Oleh

karena itu, daerah tangkupan air ini lebih menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS

mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik

melalui daur hidrologi.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka diperlukan suatu perlakuan tertentu pada

kawasan hutan agar fungsinya dapat terjaga secara lestari, demikian pula pada kawasan

lindung non hutan dan kawasan budidaya. Perlakuan yang diberikan dapat tertuang melalui

program-program yang tepat sasaran, melibatkan masayarakat secara luas, layak dilaksanakan,

dan menjamin keberlangsungan fungsi kawasan dalam mengatur tata air, lingkungan dan nilai

ekonomi wilayah. Program-program di sektor kehutanan yang mungkin untuk dilaksanakan

adalah rehabilitasi kawasan hutan dan lahan berbasis tingkat kekritisan lahan. Bila kita

berbicara tentang rehabilitasi kawasan hutan, telah banyak program-program pemerintah yang

dilaksanakan. Akan tetapi, hasil yang dicapai jauh dari optimal.

Page 24: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

24

V. KESIMPULAN

Kondisi wilayah Sub DAS Musi Hulu sebagai daerah tangkupan air PLTA Musi

relatif baik dan sebagian besar wilayahnya termasuk kategori tingkat bahaya erosi sangat

rendah yakni 52.452,9990 Ha (86,89%). Akan tetapi, akibat alih guna lahan hutan menjadi

lahan perkebunan kopi dan hortikultura serta praktek kultur teknis tradisional di areal

budidaya (APL) berakibat terjadinya degradasi lahan secara berlahan sehingga terbentuk

lahan-lahan kritis. Wilayah Sub DAS Musi Hulu berada dalam keadaan baik seluas 31448,37

Ha (52,09%). Sedangkan sebagiannya lagi merupakan lahan agak kritis seluas 20332,61 Ha

(33,68%), lahan kritis seluas 5125,60 Ha (8,49), dan lahan sangat kritis seluas 570,33 Ha (0,94%).

Untuk perbaiakan dan pemulihan lahan kritis tersebut secara vegetatif, di luar kawasan hutan

dilakukan dengan penanaman secara total pada lahan yang terlantar, lahan kosong, penerapan

pola agroforestri dan hutan rakyat, dan pengkayaan tanaman pada lahan-lahan yang menurut

pertimbangan teknis maupun sosial-ekonomis masih perlu diperkaya dengan tanaman tahunan.

Sedangkan di dalam kawasan hutan dilakukan reboisasi penanaman intensif atau pengkayaan

rendah.

Page 25: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

25

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kerangka Kerja (Framework) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Anonim. 2009. Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL- DAS). Peraturan Menteri Kehutanan RI. Nomor: P.32/MENHUT-II/2009.

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Bapedalda, 2006. Laporan : Identifikasi Dan Inventarisasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Di Provinsi Bengkulu (Kota Bengkulu, Kab. Kepahiang, Kab. Rejang Lebong, Kab. Lebong). Bengkulu

Hidayat, MF. 2009. Upaya menuju pengelolaan terpadu DAS Musi Hulu–Lemau. Makalah pada Seminar Nasional Pembentukan Forum DAS Lau Renun Kabupaten Dairi. Univ. Sumatera Utara. Medan 1-3 Desember 2009.

Hindarto, KS., MF. Hidayat, E. Suharto. 2009. Grand Design RHL catchment area PLTA Musi. (Tidak dipublikasikan).

Narulita, I., A. Rahmat dan R. Maria. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Menentukan Daerah Prioritas Rehabilitasi di Cekungan Bandung. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 18(1): 23-35

Setianto, J., MF Hidayat, KS Hindarto, BS Priyono, B Sulistyo, Yunilisiah. 2007. Kajian Potensi Wilayah Sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) PLTA Musi. (Tidak dipublikasikan)

Suharto, E. 2003a. Agroforestry Sebagai Solusi Pembangunan Perhutanan Rakyat Berkelanjutan Pada Tanah Ultisol dan Latosol Bengkulu. Dalam Makalah Seminar Pembangunan Hutan Tanaman Terhadap Lingkungan dan Kesejatraan Masyarakat Pada Temu Lapang dan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian UPT Badan Litbang Kehutanan Wilayah Sumatera, Palembang.

Suharto, E., KS. Hindarto, KS., MF. Hidayat. 2009b,. Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi Hulu – Lemau Berbasis Karakteristik Biogeofisik dan Lingkungan Untuk Optimalisasi Pemanfaatan dan Kelestarian Sumber Daya Lahan. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Universitas Bengkulu 2009. (Tidak dipublikasikan).

Suharto, E., KS. Hindarto, KS., MF. Hidayat. 2010c. Desain rehabilitasi hutan dan lahan di daerah hulu DAS Musi Hulu-Lemau berdasarkan tingkat kekritisan daerah resapan dan kekeritisan lahan: upaya pelestarian fungsi ekohidrologi dan pemberdayaan

Page 26: Tgs.Publikasi pk Supli Rahim

26

masyarakat. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Universitas Bengkulu 2010. (Tidak dipublikasikan).

Wirosoedarmo, R., B. Rahadi dan DA. Sasmito. 2007. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) pada penentuan lahan kritis di wilayah Sub DAS Lesti Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus 3: 452 – 456.