tgs pb sosek.docx

35
TUGAS PERTANIAN BERLANJUT Kapasitas Produksi - Konsumsi Pangan Dan Energi Di Indonesia Kelompok 1 : JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012

Transcript of tgs pb sosek.docx

TUGAS PERTANIAN BERLANJUT

Kapasitas Produksi - Konsumsi Pangan Dan Energi Di Indonesia

Kelompok 1 :

JURUSAN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2012

1. Perkembangan produksi & konsumsi yang dipaparkan pd slide 12 - 16 didasarkan pada

data:

• Tahun 1999 – 2007

• Tingkat Nasional

1. Tabel Produksi dan Konsumsi Padi

Tabel Luas Panen, produktivitas, Dan Produksi Padi dari Tahun 1999-2007

Tahun

Luas panen

(Ha)

Produktivitas

(Ton/Ha)

Produksi Padi

(Ton)

Produksi Beras

(Ton)

Pertumbuhan

Produksi (%)

1998 11730325 4,197 50866387 32045824 3,02

1999 11963204 4,252 49236692 31019116 -3,2

2000 11793475 4,401 51898852 32696277 5,4

2001 11499997 4,388 50460762 31790280 -2,8

2002 11521166 4,469 51489694 32438507 2,04

2003 11488034 4,538 52137604 32846691 1,26

2004 11922974 4,536 54088468 34075735 3,74

2005 11839060 4,574 54151097 34075735 0,43

2006 11786430 4,62 54454937 34306610 0,24

2007 12165607 4,689 57048558 35940591 4,76

Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995-2006

tahun

produksi beras

(Ton)

Impor Beras

(Ton)

Konsumsi Total

(Ton)

Sisa Stok

(Ton)

1995 32333691 1807875 29315000 4826566

1996 32193949 2149753 31328000 3015702

1997 31107544 349681 27721000 3736225

1998 32045824 2895118 25330000 9610942

1999 31019116 4751398 25468000 10302514

2000 32696277 1355666 25572000 8479943

2001 31790280 644733 25714000 6721013

2002 32438507 1805380 25888000 8355887

2003 32846691 1428506 25985000 8290197

2004 33456854 236867 26247000 7446721

2005 34075735 189617 29251000 5014352

2006 34306610 438108 31627628 3117090

a. Mendeskripsikan disparitas(gap) antara kuantitas produksi & konsumsi dari

setiap komoditas.

Disparsitas (GAP) merupakan suatu ketimpangan pembangunan

ekonomi. Disparsitas pada kali ini yaitu ketimpangan antara produksi dan

konsumsi padi (beras) yang terhitung dari tahun 1999-2007. Dari tabel dan

grafik di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat atau tercipta ketimpangan

produksi dan konsumsi beras pada tahun tersebut. Dari tingkat produksi beras

itu sendiri mengalami peningkatan dan juga penurunan dalam tiap tahun.

Misalnya pada tahun 1999 mengalami penurunan dari 1998. Setelah itu

meningkat lagi tingkat produksi beras. Akan tetapi tahun selanjutnya

mengalami penurunan lagi sebesar 2,8%. Tahun selanjutnya mengalami

peningkatan sebesar 2,05%. Tahun-tahun selanjutna mengalami kenaikan dan

penurunan dan hingga pada akhirnya pada tahun 2007 mengalami peningkatan

sebesar 4,76%, di mana pada tahun ini mencapai tingkat produksi yang paling

tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Sedangkan untuk tingkat konsumsinya sama halnya dengan tingkat

produksi juga telah mengalami peningkatan dan penurunan dengan tingkat

roduksi. Jikalau berbicara tentang disparsitas terlihat bahwa terjadi

kesenjangan antara kuantitas produksi dan kuantitas konsumsi. Apabila

produksi dan konsumsi di kurnagi maka masih ada bebrapa kelebihan dari

kuantitas produksi sebelum dikurangi dengan kebutuhan yang lainnya.

b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait

Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya

ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan

konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan, sedangkan

daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah cenderung mempunyai

tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

Alokasi Investasi

Berdasarkan teori Pertumbuhan Ekonomi dari Harrod Domar

menerangkan bahwa adanya korelasi positip antara tingkat investasi

dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya rendahnya investasi disuatu

wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan

masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada

kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.

Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Yang Rendah Antar Wilayah

Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan

kapital antar propinsi merupakan penyebab terjadinya ketimpangan

ekonomi regional. Hubungan antara faktor produksi dan kesenjangan

pembangunan atau pertumbuhan antar propinsi dapat delaskan dengan

pendekatan mekanisme pasar.Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi

akan menyebabkan perbedaan pendapatan perkapita antar wilayah

dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output atau input bebas. ( tanpa

distorsi atau rekayasa ).

Perbedaan Sumber Daya Alam ( SDA ) Antar Wilayah

Dalam arti SDA dilihat sebagai modal awal untuk pembangunan

yang selanjutnya harus dikembangkan selain itu diperlukan fakor-faktor

lain yang sangat penting yaitu tehnologi dan SDM. Semakin pentingnya

penguasaan tehnologi dan peningkatan SDM, faktor endowment lambat

laun akan tidak relevan.

Perbedaan Kondisi Domografi antar wilayah

Ketimpangan Ekonomi Regional di Indonesia juga disebabkan oleh

perbedaan kondisi geografis antar wilayah. Terutama dalam hal jumlah

dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan,

kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Dilihat dari sisi

permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi

pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertuimbuhan

kegiatan ekonomi.. Dari sisi penawaran jumlah populasi yang besar

dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos

kerja tinggi merupakan aset penting bagi  produksi.

Kurang Lancarnya Perdagangan antar Wilayah

Kurang lancarnya perdagangan antar daerah (intra-trade) merupakan

unsur menciptakan ketimpangan ekonomi regional. Tidak lancarnya

Intra-trade disebabkan : Keterbatasan transportasi dan komunikasi.

Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui sisi

permintaan dan sisi penawaran.

2. Tabel Produksi dan Konsumsi Ketela Pohon

Tahun ProduksiEkspor Cassava

Impor

Cassava

Dried Starch Starch

1999 16.438.100 284.388 49.295  

2000 16.089.100 151.439   205.989

2001 17.054.600 177.075   66.344

2002 16.912.900 70.429   183.923

2003 18.523.800      

2004 19.321.200 234.169 185.320 102.613

2005 19.986.640 229.789 72.005 304.897

2006 19.988.058 132.005   306.303

2007 21.593.052 209.669    

Rata-rata 18.434.161 186.120 102.207 195.012

Tabel Produksi, Impor dan Ekspor Ketela Pohon Tahun 1999-2007

Dari data di atas, diketahui bahwa produksi rata-rata ketela pohon dari tahun

1999-2007 mengalami peningkatan yaitu sebesar 18.434.161 ton. Dari produksi

yang dihasilkan, Indonesia melakukan eksport untuk produksi dried (gaplek)

sebesar 186.120 ton sedangkan untuk pati (tepung tapioka) yang dihasilkan

sebesar 102.207 ton. Untuk pati (tepung tapioka) Indonesia melakukan impor

dengan rata-rata sebesar 195.012 ton.

Faktor-faktor terkait gap produksi dan konsumsi komoditas ketela pohon

a. Bahan pangan alternatif

Ketela pohon dapat dimasak dengan berbagai cara, ketela pohon banyak

digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan

kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk

mengganti tepung gandum, baik untuk pengidap alergi. Untuk ketela pohon

dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif, sehingga permintaan akan

ketela pohon banyak.

(http://kacierkusuma.wordpress.com/2009/11/02/manfaat-ketela/)

b. Bahan bakar alternatif

Ketela pohon dapat dijadikan bahan bakar alternatif bioetanol, pengganti

bahan bakar minyak untuk kendaraan dengan dasar etanol atau alkhohol hasil

fermentasi ketela pohon. Dengan dijadikannya ketela pohon sebagai bahan

bakar alternatif, maka permintaan akan ketela pohon meningkat yang tidak

sebanding dengan tingat produksi ketela pohon yang ada di Indonesia.

c. Konsumsi

Ketela pohon dikonsumsi oleh penduduk Indonesia untuk berbagai macam,

antara lain :

3. Bioethanol

Ketela pohon dapat dijadikan bahan bakar alternatif bioetanol, pengganti

bahan bakar minyak untuk kendaraan dengan dasar etanol atau alkhohol

hasil fermentasi singkong atau ketela pohon. Dengan digunakannya ketela

pohon sebagai bioethanol maka permintaan ketela pohon meningkat.

4. Kosmetik

Ketela pohon merupakan salah satu bahan baku yang dapat digunakan

untuk industri kosmetik. Kosmetik yang didapatkan yaitu bedak dan lain

sebagainya.

5. Pengolahan

Ubi kayu atau singkong dapat bersaing dengan gandum sebagai bahan

dasar pembuatan makanan. Tepung singkong atau tepung tapioka

mempunyai potensi sebagai bahan pengganti karena kemudahan dalam

penanaman bahan baku, pengolahan serta harga yang relatif murah. Ekspor

singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang

dikeringkan), tepung, gula tepung dan gula cair ( Fruktosa & Glukosa ),

tapai, Cassava Chips dll. Sehingga menyebabkan permintaan ketela pohon

meningkat.

d. Harga jual

Harga jual di tingkat petani yang rendah, menyebabkan produksi ketela pohon

yang dihasilkan semakin sedikit . Sehingga produksi yang dihasilkan tidak

sesuai dengan tingkat konsumsii yang dialakukan oleh penduduk Indonesia.

Harga jual ketela pohon di tingkat petani sekitar Rp 300,00/ kg (Kabupaten

Malang), sedangkan di perkotaan sekitar Rp 1.000,00/ kg (Kota Malang).

(http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/pkm/article/view/2349)

3. Tabel Produksi dan Konsumsi Tebu

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

0

5000000

10000000

15000000

20000000

25000000

30000000

35000000

ProduksiKonsumsi

Tebu Produksi

Konsumsi

Tahun

Grafik Produksi dan Konsumsi TebuTahun 1999-2007

Tahun Produksi Konsumsi Impor

1999 23.500.000 25.687.133 2.187.133

2000 23.900.000 25.456.688 1.556.688

2001 25.185.000 26.469.791 1.284.791

2002 25.530.000 27.020.068 1.490.068

2003 24.500.000 25.630.921 1.130.921

2004 29.300.000 31.296.368 1.996.368

2005 29.200.000 30.621.001 1.421.001

2006 25.300.000 28.272.787 2.972.787

2007 26.000.000 28.972.787 2.972.787

Rata-rata 25.823.889 27.714.172 1.890.283

Grafik Produksi dan Konsumsi TebuTahun 1999-2007

Perkembangan produksi dan konsumsi komoditas tebu pada tahun 1999-2007

yang terjadi di Indonesia mengalami perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari data di

atas produksi dan konsumsi komoditas tebu, dalam data tersebut diketahui

bahwa jumlah produksi komoditas tebu yang dihasilkan pada tahun 1999-2007

tidak sebanding dengan konsumsi yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia.

Rata-rata produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 25.823.889 ton, konsumsi rata-

rata sebesar 27.714.172 ton, impor rata-rata sebesar 1.890.283. Jumlah produksi

komoditas tebu yang dihasilkan lebih sedikit dari jumlah konsumsi yang

dibutuhkan oleh penduduk Indonesia sehingga Indonesia melakukan impor.

Faktor-faktor terkait gap produksi dan konsumsi komoditas ketela pohon

a. Produktivitas

Produktivitas gula yang terjadi di Indonesia adalah 6 ton/ ha.Salah satu

kemerosotan produktivitas gula Indonesia, tidak saja karena semakin

berkurangnya sawah beririgasi teknis serta meningkatnya areal sawah tegalan,

tetapi juga pemakaian varietas tebu yang tidak mendukung produktivitas

lahan. Hal ini yang menyebabkan tingkat produksi tebu di Indonesia lebih

sedikit dibandingkan dengan tingkat konsumsi yang terjadi.

(http://anekaplanta.wordpress.com/2010/01/30/meningkatkan-produksi-gula-

dengan-menemukan-varietas-tebu-baru/)

b. Sarana Irigasi

Selain berkurangnya sawah irigasi yang ada di Indonesia, lahan yang

digunakan untuk produksi tebu tergolong lahan kering sehingga akan

berpengaruh tehadap rendemen tebu yang dihasilkan. Hal ini akan

mempengaruhi produksi tebu di Indonesia, produksi yang dihasilkan akan

rendah.

c. Jumlah Penduduk

Dengan jumlah penduduk 230,6 juta jiwa, total kebutuhan gula diperkirakan

sebanyak 4,85 juta ton. Terdiri dari 2,70 juta ton untuk konsumsi langsung

masyarakat dan 2,15 juta ton untuk keperluan industri. Sehingga konsumsi

gula di Indonesia meningkat.

d. Tetes (Molasse)

Tetes tebu (Molase) adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari proses

pengkristalan gula pasir. Molase tidak dapat dikristalkan karena mengandung

glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Tetes tebu merupakan

produk samping dari pabrik tebu yang memiliki kadar gula sangat tinggi

(>50%). Tetes tebu (molasse) mengandung gula sederhana (glukosa dan

fruktosa), yang mudah teruraikan oleh yeast menjadi bioetanol pada proses

fermentasi, sehingga molasse berpotensi tinggi sebagai bahan baku produksi

bioetanol.

4. Tabel Produksi dan Konsumsi Kedele

Grafik Produksi dan Konsumsi Kedele Tahun 1999-2007

TahunProduksi

Kedele

Ekspor

KedeleImpor Kedele

Konsumsi

Kedele

1999 1.382.848 16 1.301.755 1.166.574

2000 1.017.634 521 1.277.685 2.048.138

2001 826.932 1.188 1.136.419 1.200.598

2002 673.056 235 1.192.717 1.832.027

2003 671.600 433 1.117.790 1.675.973

2004 723.483 1.300 1.086.178 1.562.901

2005 808.353 876 1.132.144 1.707.176

2006 747.611 4.633 2.240.795 1.844.193

2007 592.634 1.872 2.240.795 2.000.000

Rata-rata 827.128 1.230 1.414.031 1.670.842

Perkembangan produksi dan konsumsi komoditas kedele pada tahun 1999-2007

yang terjadi di Indonesia mengalami perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari data di atas

0

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

Produksi Konsumsi

KedeleProduksi

Tahun

produksi dan konsumsi komoditas kedele, dalam data tersebut diketahui bahwa jumlah

produksi komoditas kedele yang dihasilkan pada tahun 1999-2007 sebesar 827.128 ton,

tidak sebanding dengan konsumsi yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia yaitu

1.670.842 ton. Jumlah produksi komoditas kedele yang dihasilkan lebih sedikit dari jumlah

konsumsi yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia. Sebagian dari jumlah produksi yang

dihasilkan hanya 1.230 ton yang dapat diekspor. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

penduduk Indonesia, maka dilakukan impor sebesar 1.414.031 ton.

Faktor-faktor terkait gap produksi dan konsumsi komoditas ketela pohon

a. Ketersediaan Lahan Menurun

Kondisi ini menjadikan satu lahan pertanian terpaksa dimanfaatkan untuk

menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya,

Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan

produktivitas tanaman kedele. Jika menggenjot produksi kedelai, misalnya,

maka produksi jagung akan turun. Ini karena lahan yang ada dimanfaatkan

untuk kedelai dan sebaliknya Selama ini kedua komoditas itu ditanam secara

bergantian. Sehingga ketersediaan lahan berpengaruh terhadap sedikitnya

produksi yang dihasilkan di Indonesia.

(http://bataviase.co.id/node/225086)

b. Kepercayaan Terhadap Kualitas Kedele Lokal

Banyak impor kedele yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga harga kedele

lokal terkesan lebih mahal dari pada kedele impor. Selain itu, harga kedele

impor lebih murah dari pada kedele lokal, keadaan fisik kelede impor juga

lebih bagus dari pada kedele lokal. Hal ini yang menyebabkan konsumen atau

pelaku industri lebih memilih kedele impor dari pada kedele lokal dan tingkat

konsumsi kedele untuk mengkonsumsi tinggi.

c. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah untuk tidak membatasi impor kedele menyebabkan

kepercayaan konsumen beralih ke kedele impor.

d. Budidaya Kedelai

Masa tanaman dalam satu hamparan (> 50 ha) belum serempak, tanaman

yang terlambat tanam sering terserang hama, tumbuh kerdil atau kekeringan.

Varietas dan benih yang ditanam kebanyakan masih bermutu ”asal-asalan”.

Populasi tanaman yang dipanen setiap hektar optimal sehingga hasil rendah.

Penyiapan lahan bekas sawah pada musim kemarau tanpa pembuatan saluran

drainase, sehingga masih tergenang atau tanaman muda mengalami deraan

penggenangan sehingga terhambat pertumbuhannya, pengendalian hama

penyakit belum efektif. Hal-hal di atas yang menyebabkan produksi kedele

menurun, tidak sebanding dengan tingkat konsumsi yang dilakukan oleh

masyarakat di Indonesia.

2. Terkait dg UU Energi No. 30 th 2007 serta prediksi pemebuhan bahan bakar nabati

(khususnya bioetanol) yg disajikan pada slide 24; Mahasiswa diminta untuk:

a. Download

Konversi Bahan Baku Ketela Pohon Dan Tetes Tebu Menjadi Bioetanol

Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar

alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan

bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu

menurunkan emisi CO2 hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti

minyak tanah.

Ketela Pohon

Bioethanol dapat dibuat dari singkong. Singkong (Manihot utilissima) sering juga

disebut sebagai ubi kayu atau ketela pohon, merupakan tanaman yang sangat populer di

seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis. Di Indonesia, singkong memiliki arti

ekonomi terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain Selain itu

kandungan pati dalam singkong yang tinggi sekitar 25-30% sangat cocok untuk pembuatan

energi alternatif. Dengan demikian, singkong adalah jenis umbi-umbian daerah tropis yang

merupakan sumber energi paling murah sedunia. Potensi singkong di Indonesia cukup

besar maka dipilihlah singkong sebagai bahan baku utama.

Jasad renik yang terisolasi oleh para ilmuwan dari berbagai ragi tape merek-merek

dari tempat-tempat yang berbeda dan pasar-pasar di Indonesia adalah suatu kombinasi

Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis,

Saccharomycopsis fibuligera, Sacharomyces cerevisiae, dan beberapa bakteri :Pediococcus

sp., Baksil sp (Gandjar et. al., 1983; Gandjar &Evrard, 2002; Ko, 1972; Ko 1977; Ko 1986;

Saono et. al., 1974; Saono et. al., 1982; Basuki l985; Steinkraus, 1996). Peneliti-peneliti di

dalam Negara Pilipina, Malaysia, Thailand, Vietnam menemukan juga jenis yang berasal

dari pribumi sama dari jasad renik di dalam inokulum mereka.

Proses Fermentasi

Menimbang singkong yang sudah dikukus selama 1/2 jam seberat 1 kg.kemudian

masukkan dalam toples lalu menambahkan nutrient NPK ,ragi tape yang sudah dihaluskan,

masing masing sesuai variabel yang telah ditentukan.mengatur ph sekitar 5-6 pada suhu ±

30 0 C dan mentutup rapat toples tanpa adanya arasi selama kurun waktu yang telah

ditentukan untuk memastikan proses berjalan aerob dan mencegah kontaminasi., setelah

mencapai waktu yang telah ditentukan,maka akan terbentuk cairan diatas permukaan bubur

singkong tersebut,kemudian disedot dengan pompa vakum lalu masukkan ke dalam

erlenmayer dan siap untuk dianalisa.

Respon yang diamati adalah uji kadar pati awal dlam sampel singkong,serta kadar

alcohol akhir hasil fermentasi.kadar pati awal dianalisa sebelum proses fermentasi,

pengambilan hasil fermentasi untuk variabel waktu adalah 10 hari, 14 hari, 18 hari.

Yield maksimum untuk variabel penambahan ragi adalah pada penambahan sebesar

90 gr. Yield maksimum untuk variabel penambahan nutrient adalah pada penambahan

sebesar 20 gr. Yield maksimum untuk variabel lama fermentasi adalah pada fermentasi

selama 14 hari. Perbandingan yield praktis terhadap teoritis untuk variabel penambahan

ragi memiliki persen error 96,33 %. Perbandingan yield praktis terhadap teoritis untuk

variabel penambahan NPK memiliki persen error 96,66%. Perbandingan yield praktis

terhadap teoritis untuk variabel lama fermentasi memiliki persen error 97,24 %.

Bioetanol Molase Tebu

Keuntungan Tebu sebagai bahan baku Bioetanol

Tahapan Pembuatan Bioetanol dari Molase Tebu Molase tebu mengandung kurang

lebih 39 % sellulosa dan 27,5 % hemisellulosa. Kedua bahan polisakarida ini dapat

dihidrolisa menjadi gula sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol

(Gusmailina, 2010). Polisakarida dalam molase terdiri dari : glukosa 21,7 % dan sukrosa

34,19 %. Selain itu juga terkandung 26,46 % air dan 17,26 % abu

(Tarigan, N., 2009).

Ada beberapa cara proses pembuatan etanol. Dalam tulisan ini, proses pembuatan

bioetanol molase tebu ini menggunakan metode dari Wahyu Sulhana. Produksi bioetanol

dari molase tebu melalui beberapa tahapan proses, yaitu :

1. Persiapan bahan baku

Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan bioetanol antara lain :

a. Molase (kadar gula 50 %)

b. Urea

c. NPK

d. Fermipan

e. Air

2. Pengenceran Molase

Kadar gula dalam molase terlalu tinggi untuk proses fermentasi. Oleh karena itu,

perlu diencerkan terlebih dahulu. Kadar gula yang diinginkan kurang lebih 14 %. Setelah

dilakukan pengenceran, molase encer dimasukkan ke dalam fermentor.

Catatan : jika kandungan gula molase kurang dari 50 % maka penambahan air harus

disesuaikan dengan kadar gula awalnya.

3. Penambahan urea dan NPK

Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan urea sebanyak 0,5 % dari larutan

fermentasi. Kebutuhan NPK sebanyak 0,1 % dari larutan fermentasi. Urea dan NPK

dihaluskan kemudian ditambahkan dalam larutan molase dan diaduk.

4. Penambahan Ragi

Ragi yang digunakan adalah ragi roti. Bahan aktif yang terkandung dalam ragi roti

yaitu:

Saccharomyces cerevisiae (ragi roti) yang dapat memfermentasi gula menjadi etanol.

Kebutuhan ragi sebanyak 0,2 % dari kadar gula dalam larutan molase. Ragi dilarutkan

dalam air hangat, diaduk hingga sedikit berbusa lalu dimasukkan ke dalam fermentor

kemudian ditutup rapat.

5. Fermentasi

Proses fermentasi dilakukan selama 66 jam. Selama proses fermentasi berjalan,

diusahakan agar suhu tidak melebihi 36 o C dan pH dipertahankan 4,5 -5. Fermentasi

diakhiri setelah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara. . Kadar etanol

dalam larutan fermentasi kurang lebih 7 – 10%.

6. Destilasi dan dehidrasi

Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator.

Panaskan evaporator dan suhunya dipertahankan 79 – 81 o C. Pada suhu ini, etanol sudah

menguap, sedangkan air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan

keluar dari pipa pengeluaran distilator. Distilasi pertama biasanya kadar etanol masih di

bawah 95 %. Apabila kadar distilasi masih di bawah 95 % maka perlu dilakukan distilasi

ulang hingga kadar etanolnya 95 %. Setelah kadar 95 % tercapai, selanjutnya dilakukan

dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor

atau zeolit sintetis. Larutan dibiarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar

airnya kurang

lebih 99,5 %. (Sulhana, W., 2009).

Varietas Tebu Penghasil Bioetanol Pusat penelitian Perkebunan Gula Indonesia

(P3GI) telah melakukan penelitian mengenai pembuatan bioetanol meliputi : keragaan

hasil bioetanol sesuai varietas tebu, rendemen, hasil per hektar, perbedaan hasil oleh jenis

isolat yang digunakan dalam fermentasi nira tebu dan tetes untuk memperoleh bioetanol.

Nira dan tetes tebu yang digunakan berasal dari tebu varietas normal NA, NB, NC, ND dan

NE serta tebu genjah GX, GY dan GZ. Umur

tebu yang digunakan adalah 6 dan 12 bulan. Dari hasil penelitian, hasil tertinggi

diperoleh adalah dari varietas NB yaitu 112,16 liter/ton. ND menghasilkan 105,05 liter

bioetanol/ton, NC 102,75 liter/ton, NE 102,05 liter/ton dan NA 101,58 liter/ton (Anonim,

2011). Potensi Keuntungan Produksi Bioetanol dari Molase Tebu Potensi produksi molase

tebu kurang lebih 10 – 15 ton per hektar. Jika seluruh molase per

kehtar ini diolah menjadi etanol (fuel grade ethanol), maka potensi produksinya kurang

lebih 766 – 1.148 liter / hektar FGE. Produksi bioetanol berbahan molase tebu ini

memberikan keuntungan yang mencapai 24 % (Gusmailina, 2010)

Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nursinta Tarigan diperoleh

hasil analisa ekonomi Pabrik Pembuatan Bioetanol Tebu dari molase sebagai berikut :

• Modal Investasi : Rp. 1.548.795.855.103,96;

• Biaya Produksi : Rp. 3.862.680.941.112,04;

• Hasil Penjualan : Rp. 4.347.239.543.726,24;

• Laba Bersih : Rp. 339.278.521.829,94;

• Profit Margin : 11,15 %

• Break Even Point : 29,54 %

• Return on Investment : 21,91 %

• Return on Network : 15,63 %

• Pay Out Time : 4,56 tahun

• Internal rate of Return : 36,012 %

(Tarigan, N., 2009)

Dari hasil analisa ekonomi tersebut di atas dan keuntungan yang diperoleh dalam

pembuatan bioetanol dari molase tebu ini, maka produksi bioetanol ini layak untuk

dilakukan.

Produktivitas komoditas ketela pohon dan tebu pada lahan sawah dan tegal di

tingkat Propinsi atau Kota atau Kabupaten (pilih satu).

a. Produktivitas Tebu Tingkat Propinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah

Kemerosotan produktivitas tanaman tebu yang dialami sejak pemberlakuan Inpres

nomor 9/1975 tentang program Tebu Rakyat Intensifikasi masih terasa dampaknya sampai

saat ini. Tidak terpenuhinya kebutuhan bahan baku dan berujung pada ditutupnya sepuluh

pabrik gula (PG) di Jawa merupakan salah satu bukti nyata bahwa penurunan produktivitas

masih tersebut terus berlangsung. Kebijakan baru di sektor usahatani tebu di lahan kering

belum sepenuhnya menunjukkan keberhasilan meningkatkan produktivitas tebu/gula.

Pencanangan program akselerasi peningkatan produktivitas industri dula nasional

dengan rencana kenaikan gula dari 1.8 juta ton tahun 2002 menjadi 3 juta ton pada tahun

2007, kenaikan areal tebu dari 346 000 hektar menjadi 380 000 hektar, dan kenaikan

produktivitas gula dari 5 ton menjadi 8 ton tentunya memerlukan angka-angka akurat

disertai skenario pencapaian yang layak (Mubyarto, 2003). Berbagai penelitian terhadap

komoditas tebu maupun gula sudah banyak dilakukan, mengingat gula merupakan

komoditas strategis dan sangat penting peranannya bagi perekonomian Indonesia.

Dikatakan demikian karena setiap intervensi pemerintah dalam rangka

mengembangkan industri gula perlu diikuti oleh campur tangan pemerintah pada

pengembangan usahatani tebu dengan mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam

pengembangan usahatani tersebut. Harapannya pendapatan petani dan kesempatan kerja

yang diciptakan dengan adanya pengembangan industri gula lebih merata dinikmati oleh

petani (Simatupang, 1999).

Alokasi terbesar pada biaya saprodi untuk tegalan adalah biaya pembelian pupuk

urea. Petani menggunakan urea agar tanaman menjadi subur, sehingga menambah berat

tebu. Sementara untuk biaya tenaga kerja pada lahan sawah yang memerlukan alokasi lebih

besar daripada tegalan antara lain untuk biaya irigasi. Petani umumnya mengairi tanaman

tebu di lahan sawah sedikitnya dua kali. Tegalan menunjukkan alokasi biaya biaya lain-

lain 17.2% dari total biaya. Sebanyak 16.6% dari total biaya merupakan proporsi biaya

sewa lahan.

Tabel 1. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu di Lahan Sawah (DI Yogyakarta)

dan Tegalan (Jawa Tengah), 2003

Uraian Sawah (n = 26) Tegalan (n = 22)

Nilai (Rp/Ha) % Nilai (Rp/Ha) %

a Biaya

Saprodi 1.990.717 23,1 1.323.003 24,4

Tenaga Kerja 5.462.851 63,5 3.172.643 58,5

Lain-lain 1.148.013 13,3 931.348 17,2

TOTAL 8.601.581 100 5.426.992 100

b Pendapatan 15.431.515 10.829.137

c Keuntungan 6.829.934 79,4 5.402.145 99,5

B/C Ratio 1,794032 1,995422

Sumber: Data primer, 2003

Sementara pada lahan sawah biaya sewa lahan sebesar 12.7% dari total biaya.

Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa tebu lebih banyak diusahakan petani

penyewa lahan. Sementara dengan melihat perbandingan alokasi biaya, tersirat bahwa

biaya sewa lahan sawah lebih mahal daripada tegalan, sehingga lebih sedikit proporsi

petani yang menyewa sawah daripada tegalan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di tegalan

lebih besar (1,995422) dibandingkan di lahan sawah, yaitu sebesar 1,794032. Artinya

usahatani tebu di tegalan lebih menguntungkan dibandingkan di lahan sawah.

Tabel 2. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Menurut Luas Garapan DI

Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003

Sumber: Data primer, 2003

Luas lahan yang diusahakan (garapan) untuk tanaman tebu menunjukkan skala

usaha yang dikuasasi petani. Luas garapan sangat menentukan pendapatan petani dalam

mengusahakan tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Selain itu luas garapan juga menentukan

tingkat efisiensi penggunaan saprodi, tenaga kerja, dan transportasi. Secara teoritis

penggunaan input yang sama dengan variasi yang proporsional terhadap luas lahan akan

mengarahkan pada suatu keadaan yang memenuhi persyaratan fungsi produksi yang

merupakan fungsi homogen berderajat satu (constant return to scale, CRT). Usahatani tebu

yang mempunyai skala usaha yang berkarakteristik demikian masih akan memberi

pertambahan hasil yang semakin meningkat (Debertin, 1986). Biaya, nilai produksi, dan

pendapatan petani menurut luas garapan di lahan sawah dan tegalan di DI Yogyakarta dan

Jawa Tengah dirangkum dalam Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan luas

garapan lebih dari satu hektar lebih tinggi (1,97) daripada luas garapan kurang dari satu

hektar (1,74). Apabila petani mengusahakan lahan kurang dari menjadi lebih dari satu

hektar, maka akan menghemat biaya sebesar 20,8%, mengalami penurunan pendapatan

Jenis lahan Biaya (Rp/Ha) Pendapatan

(Rp/Ha)

Keuntungan

(Rp/Ha)

B/C Ratio

Lahan Sawah        

< 1 Ha 9.403.705 16.363.170 6.959.464. 1,74

> 1 Ha 7.443.828 14.629.854 7.186.025 1,97

Perubahan (%)* -20,8 -10,6 3,3 0,51

Tegalan        

< 1 Ha 4.349.183 9.516.344 5.167.161 2,19

> 1 Ha 6.281.625 11.711.261 5.429.636 1,86

Perubahan (%)* 44,4 23,1 5,1 0,52

sebesar 10,6%, dan akhirnya masih memperoleh tambahan keuntungan sebesar 3,3%.

Artinya, kelayakan perluasan skala usaha tersebut secara agregat meningkat sebesar 51%.

Sementara, untuk meningkatkan luas garapan tebu dari kurang menjadi lebih dari satu

hektar diperlukan tambahan biaya sebesar 44,4%, yang akan meningkatkan pendapatan

sebesar 23,1% dan keuntungan sebesar 5,1%. Secara agregat kelayakan usaha penambahan

skala usahatani tebu tegalan meningkat sebesar 52%.

b. Produktivitas Ketela Pohon Tingkat Propinsi Semarang

Kecamatan Banyumanik

Dari hasil identifikasi wilayah pertanian, maka komoditi pertanian  yang

dikembangkan di wilayah Kecamatan Banyumanik adalah sebagai berikut :

1. Jenis lahan pertanian di Kecamatan Banyumanik terdiri dari : Tegal / Kebun :

440,001 Ha, Padang Rumput 16,14 Ha, Perkebunan : 19,98 Ha dan sawah :

163,5 Ha.

2. Sawah irigasi ½ tehnis dan irigasi sederhana seluas 122 Ha dengan 2 kali

tanam/lebih, dan sawah tadah hujan : 20 Ha dan 20 Ha tidak diusahakan.

3. Ketela Pohon

Luas tanam 64 Ha dengan produktifitas 7,2 ton/Ha.

Teknologi pengolahan hasil ditingkat petani masih kurang, sehingga

harganya relatif rendah.

Perlu penanganan hasil yang sederhana di tingkat petani.

Panen masih muda sehingga produktifitas belum optimal.

Kecamatan Tembalang

Dari hasil identifikasi potensi wilayah pertanian, di Kecamatan Tembalang dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Tembalang untuk Pertanian adalah

Tegal/Ladang/Kebon seluas 1.125,98 Ha, padang rumput :8 Ha; tanaman kayu-

kayuan  : 7 Ha ; sawah : 427,6 Ha.

2. Luas lahan sawah-sawah sebanyak 427,6 Ha merupakan sawah tadah hujan.

3. Ketela Pohon

Luas tanam 55 Ha  dengan hasil 302,50 ton dan produktifitas 5,5 ton/Ha.

Produktifitas termasuk rendah, karena dipanen pada umur muda.

Tehnologi pengolahan hasil masih kurang.

Sumber : Dinas Pertanian Kota Semarang

b.Berdasarkan prediksi

Kebutuhan bioetanol pada industri dan komersial di tingkat propinsi / kota /

kabupaten.

Kebutuhan bioetanol di kota Bogor yang digunakan sebagai campuran premium

E10 untuk transportasi pada tahun 2006 sekitar 1,37 juta kl atau setara dengan 9,93 juta

ketela pohon atau tebu dengan pertumbuhan 7,07%/tahun. Produksi komoditi tersebut

sekarang yang tersedia sebagai bahan baku industri bioetanol hanya 4,6 juta ton atau defisit

5,3 juta ton. Fakta tersebut mengindikasikan perlunya peningkatan produksi untuk

memenuhi defisit tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah melalui integrasi antara

peningkatan produksi secara intensifikasi oleh petani dan secara ekstensifikasi oleh pihak

industri bioetanol. Peningkatan produksi diprioritaskan di kabupaten sentra produksi

sebagai wilayah pengembangan industri bioetanol.

Kriteria kabupaten sentra produksi adalah produksinya minimal dapat memenuhi

75% kebutuhan bahan baku dan lahan untuk penambahan areal tanam yang mampu

menghasilkan 25% dari kebutuhan bahan baku industri. Industri bioetanol yang

diprioritaskan untuk dikembangkan berkapasitas 60 kl bioetanol/hari, dengan bahan baku

sekitar 120.000 ton komoditi ketela pohon atau tebu/tahun.

Berdasarkan potensi penyediaan bahan baku untuk membangun industri bioetanol

berkapasitas 60 kl bioetanol/hari, maka jumlah industri tiap kabupaten yang berpeluang

dibangun berdasarkan ketersediaan bahan baku menunjukkan sebaran yang tidak merata,

yaitu 52%, 20%, 11%, 4%, 4%, 2%, dan 2%, masing-masing untuk satu industri, dua

industri, tiga industri, empat industri, lima industri, dan lebih dari lima industri. Kondisi

tersebut memberikan gambaran adanya tantangan dan peluang yang bervariasi antar

kabupaten dalam pengembangan bahan baku utama sebagai bahan baku industri bioetanol.

Luas panen ketela pohon dan tebu untuk memenuhi prediksi kebutuhan bioetanol

pada industri dan komersial tersebut.

Kebutuhan bioetanol di kota Bogor yang digunakan sebagai campuran premium E10

untuk transportasi pada tahun 2006 sekitar 1,37 juta kl atau setara dengan 9,93 juta ketela

pohon atau tebu dengan pertumbuhan 7,07%/tahun. Dengan melihat kebutuhan bioetanol

tersebut maka sentra produksi untuk pengembangan industri bioetanol yang memenuhi

kriteria tersebut adalah kabupaten dengan produksi sekitar 90.000 ton ketela pohon atau

tebu/tahun dan tersedia lahan untuk penambahan areal tanam sekitar 1.500 ha ketela pohon

atau tebu.

Tabel 1. Daerah sebaran sentra produksi ketela pohon

Propinsi Jumlah

Kabupaten

Luas Panen

(ha)

Sumatera Utara 2 42

Sumatera Barat 1 8

Sumatera Selatan 2 17

Lampung 6 265

Banten 1 11

Jawa Barat 8 114

Jawa Tengah 14 215

D. I. Yogyakarta 1 64

Jawa Timur 15 250

Kalimantan Barat 1 82

Kalimantan Timur 1 15

Nusa Tenggara Timur 2 6

Sulawesi Selatan 1 25

Sulawesi Tenggara 1 116

Sumber : BPS, 2005

Daerah sentra produksi berdasarkan kriteria tersebut tersebar di 14 propinsi,

meliputi 56 kabupaten (Tabel 1). Kabupaten sentra produksi tersebut diproyeksikan

sebagai wilayah pengembangan industri bioetanol. Realisasi proyeksi tersebut ditentukan

oleh: (1) sebaran produksi harian yang merata sesuai dengan kebutuhan industri, (2) tipe

iklim, (3) dukungan sumberdaya lahan, dan (4) sumberdaya tanaman.

3.Tapak Ekologi

Konsep ecological footprint merupakan suatu konsep perhitungan yang digunakan

untuk mengukur bagaimana pengaruh kebutuhan manusia terhadap cadangan dan daya

dukung bumi.

Dengan adanya suatu konsep ecological footprint maka dapat diketahui kebutuhan

manusia dan memprediksi seberapa besar kekayaan alam tersedia dan dapat digunakan

untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Tabel

Dari tabel diatas terlihat bahwa pupulasi tertingi pada tahun 1996 adalah China

sebesar 1,232,456,000 jiwa dan diikuti oleh india, USA, brazil, japan, bangladesh, Egypt,

United Kingdom, Ethiopia, argentina, dan terendah adalah Australia sebesar 18,141,00

jiwa. Akan tetapi jumlah penduduk yang tinggi tidak menjamin jumlah GDP juga besar,

hal ini terlihat bahwa GDP terbesar dipegang oleh USA yaitu 7,100,007. Dimana jumlah

penduduknya berada di peringkat 3 sedangkan cina yang berpenduduk tertinggi jumlah

GDPnya yaitu 744,890, berada di peringkat 4. Yang terendah di pegang oleh Ethiopia.

Ratio antara populasi dan GDP menghasilkan tapak ekologi atau daya dukung daya

dukung untuk satu orang penduduk. Tapak ekologi terbesar dipegang oleh USA yaitu 12,2

yang berarti bahwa satu orang penduduk USA memenuhi kebutuhan hidupnya memperoleh

daya dukung ekologis dari 12,2 hektar lahan (biokapasitas rata-rata) sedangkan terendah

adalah Bangladesh yaitu 0,6 yang berarti bahwa satu orang penduduk Bangladesh

memenuhi kebutuhan hidupnya memperoleh daya dukung ekologis dari 0,5 hektar lahan

(biokapasitas rata-rata).

4.