Textbook Prinsip Terapi Antimikroba

download Textbook Prinsip Terapi Antimikroba

of 71

description

hguhgh

Transcript of Textbook Prinsip Terapi Antimikroba

Chapter 17Principles of antimicrobial therapyBAB 17Prinsip-Prinsip Terapi AntimikrobaRichard Teplick, MD, dan Robert H. Rubin, MD, FACP, FCCP

Secara umum, agen antimikroba dapat digunakan dalam tiga metode, yaitu terapi, profilaksis, dan pencegahan. Untuk kegunaan terapi, agen antimikroba tersebut diresepkan untuk menangani infeksi klinis yang telah didiagnosis. Penggunaan terapi obat antimikroba yang tepat membutuhkan diagnosis klinis yang sesuai, dan pemahaman yang jelas mengenai prinsip farmakologi dari pemberian terapi, seperti infeksi. Untuk tujuan profilaksis, agen antimikroba diresepkan untuk semua anggota populasi sebelum dilakukannya tindakan, seperti sebelum dilakukannya prosedur pembedahan, untuk mencegah infeksi. Kesuksesan pemberian profilaksis membutuhkan terapi antimikroba yang bersifat non-toksik, tidak mahal, dan efektif untuk memungkinkan intervensi. Untuk tujuan pencegahan, terapi antimikroba diberikan ke subkelompok individu berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium atau karakteristik epidemiologi yang menempatkan mereka dalam kondisi beresiko untuk terkena infeksi klinis yang cukup serius. Terapi pencegahan yang efektif membutuhkan pengamatan yang tepat mengenai adanya faktor-faktor resiko yang membutuhkan intervensi terapi, ketika gambaran klinis masih belum tampak.1,2 Bab ini akan membahas mengenai prinsi klinis dan farmakologi dari ketika kegunaan antimikroba yang telah dijelaskan, dan membedakan antara informasi yang telah diketahui, dan informasi yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Review mengenai antibiotik yang lebih spesifik dapat ditemukan pada artikel yang telah dipublikasi pada Mayo Clinics Proceedings.3-12 Informasi mengenai antibiotik-antibiotik terbaru seperti lipopeptida iklik, glikosiklin, ketolid, eksazolidinon, streptogramin, dan flurokuinolon terbaru dapat ditemukan pada artikel review spesifik dan bukku teks terbaru seperti Mandell.13 Bagaimanapun, terdapat perbedaan yang cukup penting antara beberapa kelas antibiotik, yang akan dibahas sebagai berikut. Pertama, beberapa antibiotik bersifat bakteriostatik, contohnya tetrasiklin. Oleh karena itu, antibiotik ini dapat mencegah perkembangan bakteri, namun umumnya membutuhkan bantuan leukosit untuk membunuh bakteri tersebut. Perbedaan lain yang cukup penting adalah mengenai mekanisme kerjanya, terutama perbedaan antara antimikroba yang langsung mempengaruhi sintesis dinding sel dan antimikroba yang mempengaruhi sintesis protein atau asam nukleat. -laktam dan vankomisin merupakan contoh obat generasi sebelumnya, dan aminoglikosida dan flurokuinolon merupakan contoh obat untuk generasi selanjutnya. Terdapat beberapa perbedaan lain yang cukup penting, seperti kecepatan pembentukan resistensi, adanya efek samping pemberian antibiotik, dan farmakokinetik serta farmakodinamik.Ketika antimikroba digunakan sebagai profilaksis pada pasien bedah, terapi awal biasanya bersifat empiris, diarahkan untuk melawan organisme yang paling memungkinkan untuk muncul, dan pola resistensi antimikrobanya pada rumah sakit tertentu atau area di dalam rumah sakit, seperti unit perawatan intensif. Umumnya, profilaksis antimikroba pembedahan diarahkan untuk melawan organisme yang paling mungkin didapatkan pada jenis pembedahan tertentu. Pertimbangan penting lain dalam memilih agen antimikroba profilaksis lain adalah toksisitasnya, spektrum, dan sifat antimikrobanya (bakteriostatik atau bakteriosidal), efek post-antibiotik, sumber bakteri (usus, kulit, traktus bilier), dan farmakokinetik serta farmakodinamik obat.Proporsi signifikan penggunaan antimikroba, terutama yang spektrum luas, baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan, sering ditemukan kurang sesuai.14,15 Penggunaan antibiotik secara jelas dikaitkan dengan emergensi dan diseminasi organisme yang resisten antibiotik, dimana hal ini terjadi lebih sering pada unit perawatan intensif dibandingkan pasien rawat inap diluar ICU, dan dilaporkan lebih sering didapatkan pada pasien rawat inap dibandingkan pasien rawat jalan.

Prinsip umum terapi antimikrobaKonsentrasi inhibitor dan konsentrasi bakterisidal minimalTerapi antimikroba didesain untuk menangani infeksi aktif yang dibolehkan untuk diberikan obat pada lokasi infeksi dengan konsentrasi yang dapat mengatasi infeksi untuk waktu yang dibutuhkan untuk memberikan efek terhadap infeksi tersebut. Antimikroba dapat memberikan efek bakterisidal (membunuh) pada organisme target, atau dapat pula memberikan efek bakteriostatik (inhibisi pertumbuhan bakteri). Walaupun terapi bakterisidal tampaknya tidak lebih baik dibandingkan terapi yang bersifat bakteriostatik, namun pada kebanyakan kasus indeksi klinis, kedua terapi tersebut dilaporkan sama efektifnya. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi dimana terdapat kebutuhan absolut akan regimen bakterisidal, yaitu pada kasus Infeksi sistemik pada pasien neutropenik berat. Stafilokokus atau bentuk lain dari osteomielitis. Infeksi kardiovaskuler (seperti endokarditis) Infeksi sistem saraf pusat (SSP), baik meningitis dan serebritis/abses (dimana level efek bakterisidal >1:8 dapat tercapai) Infeksi pada wajah oleh benda asing yang menetap pada suatu lokasi.

Terapi yang paling efektif untuk tuberkulosis terdiri dari tiga obat bakterisidal, yaitu isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid. Regimen-regimen tersebut dikatakan dapat mempersingkat durasi terapi, dan penggunannya dikatakan dapat memberikan efektifitas yang lebih baik.Jika tidak terdapat regimen yang bersifat bakterisidal yang dapat diformulasi untuk kondisi-kondisi tersebut karena sifat alami dari organisme yang menginvasi, maka perpanjangan terapi atau pemberian terapi bakteriostatik dosis tinggi dalam hubungannya dengan pembedahan yang agresif dapat menjadi strategi penanganan alternatif.Teknik mikrobiologi modern tidak hanya mencakup isolasi dan identifikasi mikroba yang menginfeksi, namun juga dapat menentukan kecenderungan pemberian antibiotik yang berbeda, sehingga dapat membantu pemilihan jenis antibiotik yang akan digunakan untuk pasien tertentu. Pada prosedur in vitro untuk menilai posibilitas terapi yang dapat digunakan, bakteria ditemukan dapat mati, atau perkembangannya dapat terhambat tanpa membuat bakteri tersebut mati. Konsentrasi terendah yang dibutuhkan untuk mencegah perkembangan bakteri sering disebut dengan minimal inhibitory concentration (MIC) (salah satu variannya adalah MIC90, dimana konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk menginhibisi adalah 90% untuk spesies yang sama). Sejalan dengan hal tersebut, minimal bactericidal concentration (MBC) merupakan istilah yang menggambarkan konsentrasi terendah yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri yang terisolasi (dengan MBC90 mendefinisikan konsentrasi obat terendah yang dibutuhkan untuk membunuh 90% bakteri yang terisolasi dari spesies yang sama). MBC secara teknis jauh lebih sulit dan menghabiskan waktu dibandingkan MIC, dan berpotensi untuk memberikan kesalahan multipel, dan tidak dibutuhkan dalam pelayanan klinis rutin.16Hasil dari pengujian in vitro tersebut kemudian diinterpretasi dalam hal level darah yang didapatkan ketika dilakukan pemberian antibiotik. Hasil ini kemudian diinterpretasi kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang rentan, resisten, dan intermediate. Kelompok yang rentan mengindikasikan bahwa, level darah yang didapatkan dengan dosis terapi antibiotik sebaiknya efektif dalam penanganan infeksi yang disebabkan oleh organisme ini. Efektifitas ini bergantung pada beberapa faktor, terutama lokasi infeksi; contohnya, level darah biasanya tidak memberikan konsentrasi yang adekat pada beberapa lokasi tertentu seperti mata, otak, atau kelenjar prostat. Jadi, sukseptibilitas in vitro hanya merupakan langkah pertama dapat pemilihan terapi antimikroba yang tepat.Bertolakbelakang dengan pemeriksaan yang kadang bersifat kompleks dan dibutuhkan setelah terapi medikamentosa terlihat efektif secara in vitro, kelompok yang resisten dikatakan lebih mudah untuk diinterpretasi. Organisme yang bermasalah tidak diinhibisi oleh konsentrasi agen sistemik dengan jadwal dosis yang normal dan/atau jatuh pada rentang dimana mekanisme resistensi mikroba spesifik cenderung ditemukan, dan ketika efektifitas klinis masih belum dapat dijelaskan berdasarkan studi-studi yang membahas pemberian terapi. Dengan kata lain, peresepan obat yang telah terbukti memiliki resistensi secara in vitro sangat dikaitkan dengan angka kegagalan terapi.Sensitivitas intermediate berarti bahwa, MIC dari organisme yang bermasalah didapatkan lebih tinggi dibandingkan level darah dan jaringan yang dapat dicapai tanpa potensi toksisitas. Penggunaan antimikroba untuk kasus dimana isolasi bakteri hanya memberikan kecenderungan yang bersifat sedang sebaiknya dihindari.Bagaimanapun, isu sebenarnya bukanlah mengenai level darah yang didapatkan, melainkan lebih ke arah hubungan antara MIC yang diisolasi dengan konsentrasi urin yang didapatkan, terutama ketika berhadapan dengan kasus infeksi traktus urinarius yang secara luas sudah resisten. Contohnya, Pseudomonas aeroginosa yang diisolasi dari urin dan telah resisten terhadap terapi rutin biasanya dapat cukup efektif jika diterapi dengan tetrasiklin, Fenomena ini dikatakan terjadi karena adanya disosiasi antara level tetrasiklin pada urin dan darah yang diharapkan mencapai angka < 5 g/mL pada darah, dan 500 L pada urin.

Prinsip farmakologi pada keberhasilan penggunaan antimikrobaAplikasi dari beberapa prinsip farmakologi merupakan hal yang cukup penting dalam optimalisasi efektifitas terapi antimikroba.

Farmakokinetik dan farmakodinamikIstilah farmakokinetik dan farmakodinamik17 digunakan untuk menjelaskan inetraksi obat yang diberikan dengan individu yang mendapatkan terapi. Farmakokinetik merupakan efek dari fungsional tubuh individu terhadap obat yang diberikan, terutama dari segi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Farmakodinamik merupakan efek dari obat, baik efek toksik maupun manfaat yang diberikan terhadap individu yang menerima terapi.18,19 Metode yang paling berguna dalam menilai perubahan level obat adalah dengan menilai area dibawah kurva (AUC) dan membaginya dengan interval dosis yang digunakan. Hal ini memungkinkan determinasi konsentrasi obat pada lokasi tertentu diatas interval dosis yang digunakan. Menentukan hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan dasar dari proses untuk menentukan dosis yang tepat untuk digunakan.Volume distribusi merupakan rasio dari konsentrasi obat dalam darah atau plasma yang diasumsikan seimbang dengan semua lokasi dimana obat tersebut didistribusikan sesuak dengan jumlah obat yang diberikan. Secara teori, volume distribusi tidak dapat melewati jumlah total cairan tubuh, namun nilai yang dikalkulasi dapat jauh lebih besar dibandingkan jumlah total cairan tubuh. Nilai distribusi volume nyata ini dapat melewati distribusi volume yang sebenarnya karena adanya ikatan dengan jaringan atau protein, hanya jika jumlah obat yang beredar bebas didalam darah dapat dihitung. Nilai ini juga dapat dipengaruhi oleh kelarutan lemak, koefisien partisi obat dalam darah dan jaringan, perfusi, status volume, dan pH.Tingginya protein serum yang berikatan dengan obat dapat mempengaruhi sifat farmakokinetik dari molekul tanpa memberikan efek yang signifikan terhadap kondisi farmakodinamik. Karena obat yang tidak berikatan hanya merupakan satu-satunya bentuk obat yang mampu memanifestasikan aktivitas antimikroba dan serapan protein penyangga, maka terdapat sedikit perubahan pada konsentrasi obat yang tidak terikat. Karena albumin merupakan protein pengikat yang utama, maka jumlah ikatan yang paling besar biasanya terjadi pada plasma. Selain itu, pada lokasi peradangan aktif, dapat ditemukan adanya lonjakan protein serum, yang berkontribusi terhadap konsentrasi obat yang lebih tinggi pada lokasi tersebut.Sifat alami dari pembuluh kapiler pada lokasi tertentu merupakan faktor yang penting dalam distribusi obat. Pada lokasi kebanyakan, pembuluh kapiler memiliki pori-pori yang kecil (fenestrasi) yang memungkinkan pergerakan yang tidak terbebani dari substansi dengan berat molekul kurang dari 1000 dalton (kebanyakan antibiotik memiliki berat molekul yang kecil). Selain itu, terdapat beberapa lokasi tertentu yang memiliki kapiler yang tidak dapat berfenestrasi, seperti pada retina, otak, dan kelenjar prostat. Karena molekul antimikroba harus melalui kapiler tersebut, maka kelarutan lemak dan ukuran dari molekul tersebut merupakan faktor utama yang menentukan tingkat dari difusi jaringan. Mekanisme akhir yang berkontribusi tehadap distribusi molekul antimikroba adalah pompa transpor aktif. Pompa tersebut bekerja pada anion organik dan didapatkan pada pleksus koroideus, retina, tubulus proksimal ginjal, dan duktus biliaris. Obat-obat -laktam dipompa keluar oleh pompa transpor aktif tersebut, dengan probenesid yang secara kompetitif menginhibisi mekanisme ini.

Tabel 17-1

Penetrasi cairan serebrospinal oleh agen antimikroba yang berbeda

Penetrasi selaput otak noninflamasi

chloramphenicol, trimethoprimsulfamethoxazole isoniazid, rifampin, pyrazinamide, flucytosine, fluconazole

Penetrasi level terapi pada kasus inflamasi

inflamasi: penicillin, ampicillin, oxacillin, nafcillin, ticarcillin, azlocillin, mezlocillin, piperacillin, cefuroxime, ceftriaxone, ceftizoxime, ceftazidime

Penetrasi secara buruk bahkan pada kondisi inflamasi

cephalothin, cefazolin, cephapirin, cefoxitin, cefotetan, all aminoglycosides, vancomycin, fluoroquinolones, ketoconazole, itraconazole, amphotericin B

Farmakokinetik dan pilihan terapi antimikrobaAda tiga isu farmakokinetik yang sebaiknya dipertimbangkan dalam pemilihan terapi antimikroba, yaitu kemampuan obat untuk melakukan penetrasi ke lokasi infeksi, adanya faktor-faktor lokal pada lokasi infeksi yang dapat mengganggu efektifitas agen antimikroba tertentu, dan jalur pemberian yang harus digunakan. Jika terdapat kecurigaan adanya infeksi sistem saraf pusat, obat yang dapat mencapai konsentrasi efektif di dalam sistem saraf pusat sebaiknya diberikan pada dosis yang adekuat untuk mencapai tujuan terapi (Tabel 17-1). Bagaimanapun, terdapat beberapa pengecualian untuk teori tersebut, Contohnya, walaupun tidak direkomendasikan, meningitis yang disebabkan oleh resistensi penisilin level tinggi terhadap Streptococcus pneumoniae telah berhasil diterapi dengan antibiotik yang secara tipikal tidak mempenetrasi sistem saraf pusat dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan penetrasi sebagai hasil dari proses peradangan.Faktor lokal yang mengganggu efektivitas agen antimikroba tertentu dapat mencakup (a) Drainase infeksi yang tidak adekuat dapat membatasi efektivitas terapi aminoglikosida bahkan jika organisme yang ada cukup sensitif secara in vitro, karena obat tersebut jauh kurang efektif jika didapatkan adanya nanah (baik aminoglikosida dan vankomisin dapat berikatan dengan nanah, sehingga membatasi aktivitas antimikrobanya) dan pada kondisi pH rendah dan tekanan oksigen yang rendah.20 (b) Kebutuhan akan transfer oksigen untuk memungkinkan aminoglikosida melakukan penetrasi terhadap membran luar dari bakteri yang dicurigai dapat menjelaskan mengenai titik selanjutnya, dan alasan mengapa agen tersebut secara umum tidak efektif dalam melawan bakteri anaerob.21 (c) jika terdapat infeksi campuran, -laktamase yang diproduksi oleh organisme seperti Bacteroides fragilis dapat menyebabkan inaktivasi lokal dari antibiotik -laktam dan kegagalan untuk mengeluarkan organisme dari lokasi yang secara in vitrosensitif terhadap obat -laktam.20 (d) penisilin dan tetrasiklin berikatan dengan hemoglobin, sehingga pemberian terapi tersebut dikatakan kurang efektif dengan resiko hematoma infeksi.22 (e) pada kebanyakan instansi, kontinuitas keberadaan benda asing pada lokasi infeksi akan mencegah eliminasi mikroba yang menginvasi bahkan jika terdapat regimen antibiotik yang paling baik.23 Antimikroba seperti trimetrofin-sulfametoksazol, flurokuinolon, dan flukonazol dapat diberikan secara oral dan masih dapat mencapai level darah yang diinginkan dibandingkan dengan pemberian terapi secara parenteral, dan terapi oral juga dikatakan dapat memaksimalkan fungsi gastrointestinal, dan makanan atau zat yang mengandung ion besi divalen sebaiknya tidak diberikan pada waktu yang sama, setidaknya untuk kasus levofloksasin. Selain itu, bahkan jika terapi dimulai secara intravena, terapi selanjutnya ketika pasien sudah stabil dapat dilanjutkan dengan regimen oral yang lebih efektif dari segi biaya.

AbsorbsiJumlah obat yang mencapai sirkulasi sitemik dari traktus gastrointestinal setelah pemberian regimen oral diekspresikan sebagai presentasi jumlah total regimen yang diberikan melalui jalur ini. Walaupun pemberian obat dapat dilakukan pada lokasi manapun, istilah bioavailibilitas tetap harus dipertahankan untuk evaluasi derajat dan reliabilitas dari pemberian regimen secara oral. Terdapat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi bioavailibilitas, diantaranya (a) the first-pass-effect, dimana obat yang diabsorbsi pada usus kecil dimetabolisme di dalam hati, (b) metabolisme oleh enzim metabolik obat pada usus, (c) keberadaan penyakit seperti penyakit radang usus, infestasi parasit, dan diare dari etiologi manapun.

Efek post-antibiotikBeberapa antibiotik dapat terus mensupresi pertumbuhan bakteri tertentu setelah antibiotik tidak lagi terdeteksi pada media, dimana fenomena ini disebut sebagai post-antibiotic effect (PAE). Contohnya, setelah 2 jam pemberian penisilin terhadap kultur untuk kecurigaan staphylococcus, perkembangan bakteri ini masih tetap diinhibisi selama 1.4 sampai 1.6 jam setelah dilakukan prosedur pembilasan penisilin secara multipel.24 Walaupun PAE dapat terlihat secara virtual pada semua antimikroba, bakteri yang terlibat dan durasi kerja dari obat tersebut didapatkan sangat bervariasi. Antibiotik -laktam, dengan pengecualian karbapenem seperti imupenem, memiliki PAE yang signifikan hanya untuk beberapa bakteri gram positif. Bertolakbelakang dengan hal tersebut, kebanyakan antimikroba yang menginhibisi protein atau sintesis asam nukleat pada bakteri gram negatif umumnya memicu terjadinya PAE pada organisme tersebut. Contohnya, untuk bakteri gram negatif, aminoglikosida dan flurokuinolon dapat menyebabkan PAE dengan durasi 1-4 jam, dimana -laktam tidak memberikan gambaran PAE. Selain itu, durasi PAE cederung menurun untuk aminoglikosida dan flurokuinolon pada media asam, seperti yang dapat ditemukan pada jaringan nekrotik. Fenomena lain yang berhubungan namun masih kurang dipahami adalah, durasi fase PAE, dimana bakteri dicurigai akan membunuh bakteri melalui mekanisme leukosit, dimana efek ini disebut sebagai postantibiotic leucocyte enhancement (PALE).25,26 Selain itu, PAE itu sendiri ikatakan dapat diperpanjang oleh keberadaan leukosit.

Agen pembunuh bakteri yang bergantung pada waktu dan konsentrasiPerbedaan antara dependensi waktu dan konsentrasi dalam membunuh bakteri dipasangkan dengan ada tidaknya PAE yang memiliki percabangan klinis yang cukup penting, terutama dengan memperhatikan interval dosis yang diberikan. Untuk kombinasi antimikroba-antibakterial yang memicu pembunuhan bakteri dengan dependensi waktu, terutama jika tidak terdapat PAE, durasi dari penggunaan antimikroba penting untuk diperhatikan, karena level antimikroba tersebut dapat melewati dosis letal. Terdapat kesepakatan umum mengenai pemaksimalan efektivitas -laktam, dimana konsentrasinya dikatakan harus diatas MIC pada kebanyakan interval dosis yang digunakan. Hal ini terutama aplikatif untuk kasus bakteri gram negatif, yang biasanya tidak memicu terjadinya PAE dari pemberian -laktam. Bagaimanapun, studi dengan subyek manusia dengan infus kontinyu masih sangat sedikit, dan infus -laktam kontinyu masih belum terbukti lebih superior dibandingkan pemberian dosis terapi konvensional pada hewan percobaan yang terinfeksi.27Bertolakbelakang dengan hal tersebut, untuk kombinasi antibiotik-bakteri yang memicu pembunuhan bakteri yang begantung pada konsentrasi obat, dan PAE signifikan, pencapaian level puncak yang sangat tinggi dikatakan lebih penting, dan memungkinkan penurunan dibawah MIC, karena efektifitas akan masih dipertahankan oleh PAE ketika toksisitas mulai diminimalkan. Hal ini merupakan dasar teori untuk keberhasilan pemberian aminoglikosida dosis satu kali sehari. Untuk kombinasi antibiotik, kondisi yang didapatkan mungkin akan lebih rumit. PAE untuk bakteri gram positif akan meningkat baik secara aditif maupun secara sinergis ketika aminoglikosida ditambahkan ke antibiotik yang aktif terhadap dinding sel bakteri. Namun, hal ini tidak akan terjadi pada bakteri gram negatif, kecuali jika penggunaan aminoglikosida disertai dengan penambahan imipenem.28Pertimbangan tersebut kemudian menghasilkan konsep bahwa, pemberian aminoglikosida pada dosis tinggi satu kali sehari akan terbukti lebih bermanfaat dan memiliki toksisitas yang kurang jika dibandingkan dengan standar terapi biasanya yang diberikan tiga kali setiap harinya.29 Sejalan dengan hal tersebut, karena aminoglikosida dikatakan dapat memicu pembunuhan bakteri yang bergantung pada konsentrasi obat yang digunakan, konsentrasi yang mencapai level 8-10 kali dari MIC akan secara cepat membunuh bakteri yang dicurigai dan menekan angka pertahanan hidup mutan dengan MIC lebih tinggi. Supresi dapat dipertahankan selama periode konsentrasi menurun dibawah MIC karena adanya PAE. Mempertahankan interval obat bebas untuk periode waktu sebelum pemberian dosis berikutnya dikatakan dapat membantu mencegah resistensi adaptf, yang dapat terjadi akibat penurunan serapan aminoglikosida oleh bakteri yang telah terekspos oleh obat dosis rendah. Karena serapan ginjal dapat bersifat jenuh, maka pemberian obat dosis awal yang sangat inggi dikatakan tidak akan disertai dengan peningkatan serapan ginjal yang proporsional. Sebagai konsekuensinya, toksisitas renal juga seharusnya tidak meningkat. Beberapa studi memperlihatkan bahwa, pada kebanyakan pasien, dan bahkan pada pasien neutropenik, prinsip yang dipegang adalah, efektivitas setidaknya seimbang untuk dosis harian mutipel dan toksisitas renal tidak meningkat.30,31

ResistensiPrinsip umumBakteri secara intrinsik dapat resisten terhadap antimikroba, atau resistensi yang terjadi juga bisa bukan dari faktor intrinsik, melainkan didapatkan dari faktor luar. Resistensi intrinsik merefleksikan resistensi alami terhadap antimikroba, dan muncul ketika bakteri beraksi terhadap antimikroba yang tidak memiliki efek kepada organisme, walaupun belum ada informasi genetik yang didapatkan mengenai hal ini. Contohnya, vankomisin yang tidak efektif dalam melawan bakteri gram negatif, karena tidak dapat melakukan penetrasi terhadap membran luarnya. Resistensi yang didapatkan merefleksikan perubahan genetik pada bakteri yang menyebabkan ketidakefektifan pemberian antimikroba satu kali. Mekanisme umum untuk resistensi bakteri terhadap antimikroba yang diberikan mencakup beberapa hal, yaitu (a) penurunan permeabilitas antimikroba, sehingga mencegah antimikroba untuk masuk; (b) peningkatan pompa efluks yang menjaga konsentrasi antimikroba pada celah antara membran dalam dan membran luas dari bakteri gram negatif dan/atau kondisi sitoplasma yang kurang baik; (c) inaktivasi antimikroba; (d) modifikasi target antimikroba; dan (e) perkembangan jalur yang melewatkan target. Gen yang mengkode fenotip-fenotip tersebut dapat bersifat kromosomal maupun plasmid/transposon, indusibel atau konstitutif. Resistensi Methisilin pada Staphylococcus, resistensi vankomisin pada Enterococcus, dan resistensi -laktam spektrum luas pada organisme gran negatif memiliki implikasi terapi dan diagnostik yang penting, terutama untuk kasus yang terjadi di rumah sakit.32-36 Pada bakteri gram negatif, antimikroba biasanya harus melakukan penetrasi terhadap membran luar melalui pori-pori kanal tertentu. Perubahan permeabilitas pori-pori ini terhadap antimikroba tertentu dapat mencegah kuantitas yang cukup dari masuknya bakteri, atau membatasi angka pemasukan sampai perluasan yang bahkan inaktivasi yang rendah juga dikatakan dapat membuat terapi tersebut tidak efektif. Kasus terdahulu yang sering didapatkan adalah resistensi P.aeroginosa terhadap aminoglikkoida dan karbapenem, dan kasus-kasus selanjutnya memungkinkan banyak bakteri gram negatif untuk menginaktivasi -laktam melalui -laktamase. Peningkatan efluks aktif dari antimikroba merupakan mekanisme resistensi yang cukup jarang terjadi namun dapat cukup penting untuk beberapa antimikroba seperti makrolid, flurokuinolon, beberapa -laktam, dan kemungkinan meropenem.Inaktivasi merupakan mekanisme resistensi yang dominan terjadi untuk beberapa kelas antimikroba. Aminoglikosida dapat diinaktivasi oleh kedua bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, biasanya oleh enzim yang memediasi plasmid. Enzim-enzim tersebut dapat memodifikasi beberapa lokasi pada molekul aminoglikosida seperti asetilasi, adenilasi, atau fosfolirasi. Modifikasi molekul aminoglikosida tersebut berikatan dengan tidak cukup kuat terhadap target ribosom, dan membuat ribosom menjadi tidak aktif dalam interaksinya dengan bakteri yang secara normal dicurigai. -laktamase tampaknya merupakan enzim inaktivasi yang paling banyak digolongkan di diteliti secara komprehensif. Enzim tersebut didapatkan dalam jumlah yang cukup besar. Enzim-enzim tersebut sering ditandai dengan sekuensial genomiknya dan -laktam yang dapat dihidrolisasi. Secara virtual, setiap -laktam, monobaktam, atau karbapenem dapat diinaktivasi oleh satu atau lebih dari enzim tersebut. Modifikasi target pada protein yang mengikat penisilin berkontribusi terhadap resistensi metisilin pada stapilokokus, dan resistensi penisilin pada pneumokokus dan enterokokus. Selain itu, jalur bypass berkontribusi terhadap resistensi vankomisin pada Enterococcus faecium dan resistensi banyak bakteri terhadap antagonis folat seperti trimetrofin-sulfametoksazol.

Mekanisme spesifik-laktamase tampaknya merupakan mekanisme resistensi antimikroba yang paling problematik dan telah diteliti dengan baik. Terdapat setidaknya 340 -laktamase yang berbeda, dimana satu atau leih dari molekul tersebut dapat membuat antimikroba -laktam menjadi tidak aktif secara virtual. Klasifikasi -laktamase secara konstan terus berkembang dan berdasarkan dari fenotip dan genotip. -laktamase kelas A mencakup kelompok yang paling besar dan -laktamase dengan spektrum yang diperluas yang bisa membiuat aztreonam dan sefalosporin generasi ketiga menjadi tidak aktif. Untungnya, kebanyakan dari enzim tersebut dapat diinhibisi oleh inhibitor -laktamase yang dapat digunakan dengan kombinasi dengan -laktam selektif.-laktamase kelas C dapat secara virtual membuat semua kelas -laktam menjadi tidak aktif kecuali karbapenem, dan tidak diinhibisi oleh inhibitor -laktamase. Enzim-enzim tersebut secara garis besar diturunkan dari kromosom gen ampC Eschercia coli namun dapat juga oleh beban plasmid. Enzim tersebut cenderung diproduksi oleh Enterobacter, Citrobacter, Serratia, Pseudomonas, dan beberapa spesies dari Proteus. Antibiotik -laktam tertentu dikatakan dapat menginduksi enzim ini. Kegagalan klinis yang dikaitkan dengan emergensi resisten sering terjadi ketika infeksi Enterobacter yang serius diterapi dengan sefalosforin tanpa memandang sukseptibilitas sefalosforin awal.37 Jadi, sefalosporin sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada kondisi infeksi dengan patogen gram negatif yang telah disebutkan diatas.32Walaupun -laktamase diproduksi oleh beberapa bakteri gram positif seperti stapilokokus (bukan streptokokus) dan beberapa bakteri anaerob, efektivitas -laktamase tersebut terbatas karena didilusi oleh celah ekstraseluler sebagai oposisi terhadap batasan pada celan periplasma untuk bakeri gram negatif.38 Walaupun plasmid yang mengkode -laktamase menyebabkan resistensi stafilokokus terhadab banyak golongan penisilin, resistensi beberapa stafilokokus dan bakteri gram negatif lain juga dapat terjadi karena mekanisme yang jauh berbeda. Contohnya, resistensi metisilin pada Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan hasil dari keberadaan kromosom gen mecA, yang menurunkan afinitas ikatan metisilin terhadap penisilin yang berikatan dengan protein. Sejalan dengan hal tersebut, resistensi insulin terhadap E. Faecium memiliki pengaruh terhadap protein yang berikatan dengan penisilin yang memiliki efek penurunan afinitas yang cukup besar untuk antibiotik tersebut dan kebanyakan jenis -laktam. Bertolakbelakang dengan hal tersebut, resistensi vankomisin pada enterokokus dikatakan berhubungan, terhadap plasmid multigen pada kebanyakan kasus, yang dengan mudah menyebar diantara enterokokus. Plasmid ini akan mengubah kelompok asam amino terminal pada salah satu asam amino yang mencegah vankomisin dari ikatannya terhadap pertumbuhan membran sel.39,40Resistensi vankomisin terhadap bakteri enterokokus (VRE) pertama kali diamati pada tahun 1986,41 dan dalam kurun waktu 15 tahun bentuk resistensi ini telah terjadi pada lebih dari 24% kasus isolasi enterokokus ICU di Amerika Serikat. Sayangnya, opsi terapi untuk infeksi berat yang berhubungan dengan VRE ini mmasih terbatas, yang secara tipikal juga menyebabkan resistensi terhadap ampisilin dan aminoglikosida. Beberapa agen baru yang memiliki efektivitas dalam melawan VRE dan resistensi lain terhadap bakteri gram positif sekarang sudah mulai diterima oleh FDA, dimana regimen tersebut mencakup quinupristin-dalfopristin yang merupakan kombinasi streptogramin yang terdiri atas linezolid, oksanozolid, dan tigesilin yang merupakan glisiklin.42,43 Program terapi optimal menggunakan obat-obat tersebut bagaimanapun masih perlu diteliti lebih lanjut.S.aureus dikatakan bisa mengalami resistensi terhadap vankomisin sebagai turunan dari enterokokus. Hal ini pertama kali diperlihatkan pada suatu pemeriksaan laboratorium,44 dan beberapa kasus klinis sekarang telah dilaporkan mengalami rantai MRSA dengan penurunan sikseptibilitas vankomisin yang diketahui sebagai vankomisin-intermediate S. aureus (VISA), dan resistensi vankomisin terhadap S. Aureus (VRSA).45 Mekanisme terjadinya hal tersebut tampaknya disebabkan oleh konsekuensi dari penebalan dinding sel yang menyebabkan penurunan penetrasi dan sekuestrasi dari antibiotik vankomisin, dibandingkan dengan trasfer gen resisten vankomisin dari enterokokus yang menyebabkan perubahan target pengikatan vankomisin.46-48

Resistensi bakteri emergensiPada dekade terakhir, telah terdapat peningkatan dramatis pada perkembangan dan diseminasi organisme yang resisten terhadap antibiotik. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan resistensi yang cukup bermakna, dimana kurangnya diskriminasi penggunaan antibiotik spektrum luas merupakan faktor yang cukup penting.49 Faktor lain yang akan mempengaruhi resistensi mencakup penggunaan dosis antibiotik yang terlalu rendah atau durasi penggunaan yang terlalu singkat. Jadi, penggunaan antimikroba dengan benar merupakan hal yang sangat penting, karena penggunaan antibiotik berlebihan akan menyebabkan perkembangan patogen yang akan sulit atau bahkan tidak mungkin untuk diterapi. Salah satu penyalahgunaan antibiotik adalah pada saat bertani, dimana penggunaan antimikroba secara luas terhadap binatang tidak hanya berakibat munculnya resistensi terhadap flora pada pertanian tersebut, namun juga menyebabkan resistensi organisme terhadap manusia.

Kombinasi terapi antimikrobaPenggunaan agen animikroba yang umum di rumah sakit bersifat double-coverage dalam usahanya untuk meningkatkan efektivitas dan mencegah terjadinya resistensi. Beberapa studi in vitro sering memperlihatkan adanya manfaat dari penggunaan metode tersebut, dengan setidaknya mengikuti lima alasan yang membenarkan terapi kombinasi, yaitu: (a) pencegahan perkembangan resistensi antimikroba; (b) infeksi polimikroba yang dicurigai atau telah diketahui; (c) terapi awal; (d) penurunan toksisitas; (e) sinergitas terapi.

Pencegahan resistensi antimikrobaTerapi kombinasi untuk mencegah resistensi dapat menjadi sangat efektif ketika mekanisme resistensi melibatkan mutasi kromosom, dengan efek dari kombinasi terapi dapat dengan mudah terlihat dengan tuberkulosis. Beban mikroba pada pasien tertentu dan angka resistensi mutasional pada masing-masing obat antituberkulosis merupakan determinan mayor dari regimen yang paling efektif untuk pasien tertentu. Jadi, pada host tanpa kondisi imunosupresi, tuberkulosis primer ~104 organisme; nonkavitari, reaktivasi penyakit paru, dengan beban mikrobial 106-8; penyakit kavitari dengan beban mikrobial 108-10, dan seterusnya. Angka mutasi terhadap resistensi obat tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1 dari 106 untuk isoniazi dan ethambutol; 1 dari 108 untuk rifampisin; dan 1 dari 105 untuk streptomisin. Sebagai konsekuensi, terapi untuk tuberkulosis primer secara tipikal akan membutuhkan obat tunggal (biasanya isoniazid), dimana penyakit dengan reaksi nonkavitari membutuhkan dua obat, dan seterusnya. Walaupun faktor-faktor lain juga masuk kedalam desain program terapi, namun pendekatan terapi yang telah dijelaskan tersebut dikatakn telah cocok dengan usaha yang dilakukan untuk menghindari resistensi. Bagaimanapun, mutasi kromosom merupakan mekanisme resistensi yang jarang terjadi (mayoritas resistensi bakteri merupakan hasil dari plasmid atau transposon yang memediasi resistensi). Jadi, pencegahan resistensi bukan merupakan alasan yang cukup untuk melakukan terapi kombinasi infeksi piogenik.

Kecurigaan atau diagnosis infeksi polimikrobialInfeksi polimikrobial merupakan alasan mendasar untuk pemberian terapi obat multipel. Contohnya, perforasi dari kolon distal akan menghasilkan pelepasan bakteri anaerob (terutama B. Fragilis), basil gram negatif, dan streptokokus usus (termasuk enterokokus) terhadap rongga peritoneal. Kondisi ini secara tradisional membutuhkan 2 sampai 3 regimen obat seperti ampisilin, metronidazol dan gentamisin, untuk menghadapi organisme-organisme tersebut. Satu-satunya perbedaan yang ada sekarang adalah ketersediaan agen unggal dengan aktivitas spektrum yang dapat melakukan tugas yang sama. Agen tunggal seperti karbapenem, kombinasi -laktam--laktamase, dan flurokuinolon terbaru dikatakan dapat memberikan hasil kerja yang sama dengan regimen multiobat terdahulu.

Terapi awalKetika penilaian awal pasien memperlihatkan posibilitas adanya emergensi terapi, maka terapi spektrum luas perlu diberikan, setidaknya sampai hasil kultur didapatkan. Permasalahan yang masih muncul sampai sekarang adalah, apakah terapi awal ini perlu diberikan dalam bentuk terapi tunggal ataupun terapi multipel.Terdapat beberapa bukti yang membahas mengenai kombinasi -laktam dengan aminoglikosida yang dapat memberikan kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan pemberian terapi tunggal, terutama jika organisme yang terlibat dicurigai berua P. aeroginosa. Metode yang biasa digunakan adalah dengan memberikan terapi awal berupa -laktam antipseudomonas dan aminoglikosida yang sesuai, lalu menghentikan pemberian aminoglikosida ketika kondisi pasien sudah terkontrol.

Penurunan toksisitasPrinsip dari kemoterapi kanker adalah untuk menurunkan toksisitas terapi dengan menggunakan beberapa obat dengan mekanisme kerja yang berbeda, dan toksisitas pada dosis yang lebih rendah. Sayangnya, efektivitas dari metode ini dalam terapi infeksi yang signifikan masih butuh untuk diteliti lebih lanjut.

Sinergitas terapiTerdapat bukti sinergitas pembunuhan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang didapatkan secara in vitro. Bukti terbaik dari fenomena tersebut adalah ketika -laktam dikombinasi dengan aminoglikosida. Namun, kemungkinan keberhasilan terapi ini dalam kondisi klinis sampai sekarang masih belum diketahui. Terapi endokarditis enterokokus dengan penisilin (atau ampisilin) tunggal menghasilkan regimen yang bersifat bakteriostatik, dan memberikan hasil yang kurang baik jika dibandingkan dengan penambahan streptomisin atau gentamisin terhadap penisilin. Rantai enterokokus dengan resistensi aminoglikosida yang cukup tinggi (MIC > 2000 g/mL) tidak memiliki potensi untuk terapi bakterisidal, dan dikatakan memberikan hasil yang kurang baik. Streptokokus nonenterokokus juga dapat terlihat cukup bermanfaat jika diberikan terapi kombinasi yang membutuhkan durasi terapi yang lebih singkat jika penisilin dikombinasi dengan gentamisin.Studi yang dilakukan menimbulkan beberapa masalah arena kurangnya stratifikasi pasien kedalam kelompok emergensi terapi versus kebutuhan akan terapi parenteral dan manajemen pasien rawat jalan. Sebagai hasilnya, bahkan dengan kurangnya bukti definitif, metode untuk penanganan ekdokarditis stafilookus dijelaskan sebagai berikut: pasien yang stabil akan mendapatkan terapi obat tunggal dengan nafsilin; pasien dengan kondisi yang lebih parah (seperti ketidakstabilan hemodinamik, ataupun kasus emboli) berpotensi untuk mendapatkan terapi sinergis dengan minimal penggunaan dua macam obat. Metode yang sama juga digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh P. aeroginosa. Banyak klinisi berpengalaman yang menggunakan terapi sinergis jenis ini untuk infeksi gram negatif yang serius, terutama yang terjadi pada host dengan kondisi yang kurang sehat, tanpa memandang bukti klinis yang kurang.

Farmakologi klinis: prinsip umum penggunaan terapi antibiotikTerapi antimikroba yang efektif membutuhkan integrasi antara informasi yang cukup mengenai pasien, mikroba yang menginvasi, dan agen antimikroba itu sendiri terhadap peresepan antimikroba yang efektif. Beberapa faktor sebaiknya dipertimbangkan dalam peresepan, termasuk beberapa hal yang akan dijelaskan berikut

Identitas organismeIdentitas dari organisme yang menyebabkan infeksi harus diketahui dengan jelas, atau setidaknya harus memungkinkan untuk membuat penilaian terhadap organisme yang memiliki kecenderungan paling tinggi untuk menyebabkan infeksi tersebut. Pilihan agen antimikroba awal biasanya berdasarkan atas probabilitas penilaian patogen yang paling memungkinkan untuk terlibat dan menyebabkan sindroma klinis tertentu, dengan pengaturan subsekuensial regimen ketika tersedia informasi mengenai mikrobiologi yang spesifik. Faktor-faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan organisme yang paling memungkinkan untuk menyebabkan infeksi adalah posibilitas sumber infeksi (contohnya, alat akses pembuluh darah, paru, atau traktur urinarius) dan apakah infeksi yang terjadi cenderung bersifat nasokomial atau didapatkan dari komunitas. Isu lain yang cukup penting adalah penggunaan antibiotik terbaru, adanya faktor pertumbuhan seperti besi dan peningkatan gula darah, dan adanya devitalisasi jaringan.

Urgensi terapiPertanyaan kunci dari urgensi terapi adalah apakah masalah yang dihadapi akan berupa terapi emergensi atau dilema diagnostik. Pada kasus-kasus lampau, regimen yang kemungkinan paling luas sebaiknya digunakan sejak awal, dengan modifikasi lanjut berdasarkan informasi mikrobiologi yang ada. Hal ini biasanya disebut sebagai front loading dari regimen antimikroba. Pada kasus-kasus selanjutnya, terapi awal dengan spektrum yang lebih menyempit dikatakan cukup memungkinkan, dengan kecocokan regimen ketika informasi spesifik telah tersedia.

EpidemiologiPertimbangan epidemiologi juga harus menjadi salah satu faktor dalam membuat keputusan mengenai terapi antimikroba yang akan digunakan. Untuk penyakit primer yang didapatkan dari komunitas, sifat alami dan pengaturan waktu dari kemungkinan paparan perlu dipertimbangkan. Paparan yang penting mencakup mikosis sitemik yang direstriksi secara geografi (Blastomyces dermatitidis, Coccidioides immitis, and Histoplasma capsulatum), Mycobacterium tuberculosis, influenza, streptokokus grup A, Legionella, dan meningokokus. Hal yang tidak kalah penting adalah epidemiologi dari lingkungan nasokomial, baik pada perawatan di rumah, rumah sakit, maupun pada area spesifik dari rumah sakit seperti pada unit perawatan intensif. Secara spesifik, flora mikrobiologi didalam rumah sakit, terutama ICU di dalam rumah sakit, dan pola resistensi respektifnya merupakan informasi yang cukup esensial. Peningkatan insidensi infeksi dengan kesulitan untuk menangani organisme seperti pada kasus resistensi metisilin pada S. Aureus, resistensi vankomisin pada enterokokus, dan multiresistensi pada basil gram negatif, dikatakan memiliki pengaruh terhadap pilihan terapi antimikroba awal. Contohnya, vankomisin biasanya lebih diprioritaskan dibandingkan nafusilin sebagai terapi awal untuk kecurigaan infeksi stafilokokus, dan agen -laktam spektrum lanjut seperti imipenem dibandingkan sefazolin atau gentamisin untuk infeksi gram negatif yang dapat disebabkan oleh resistensi spesies Klebsiela yang cukup tinggi.50,51 Masalah resistensi antibiotik ini dikatakan cenderung akan terus meningkat, tidak hanya dalam hal organisme yang terlibat, tapi juga dalam hal peningkatan insidensi infeksi dengan resistensi penisilin terhadap pneumokokus52,53dan resistensi ampisilin, vankomisin, dan gentamisin terhadap enterokokus (Tabel 17-2).53 Pertimbangan-pertimbangan tersebut menggarisbawahi pentingnya reservoir organisme dan tekanan selektif yang dibutuhkan, contohnya, Salmonella dan Campylobacter pada hewan domestik versus S.pneumoniae pada komunitas yang cukup besar versus pola resistensi gram negatif pada lingkungan nasokomial.54,55 Dengan memahami prinsip reservoir, prevalensi resistensi antimikroba pada reservoir, dan resiko paparan pasien terhadap organisme yang terlibat, maka determinasi terapi antibikroba awal dikatakan dapat dilakukan dengan lebih baik. Implikasi dari prinsip-prinsip tersebut dikatakan mencapai angka dua kali lipat. Pertama, setiap area rumah sakit dan pasien didalam rumah sakit harus tercakup kedalam skrening dari organisme yang paling umum ditemukan dan pola kemungkinan antimikroba yang menyebabkan infeksi nasokomial pada unit tertentu. Kedua, keputusan mengenai penggunaan antimikroba sebaiknya mempertimbangkan beberapa informasi, terutama pada pasien yang telah diberikan tekanan tertentu pada terapi antibiotik sebelumnya yang akan menjadikan mereka lebih rentan terhadap kolonisasi dan/atau invasi flora yang resisten.

Tabel 17-2

Kegawatdaruratan resistensi antibiotik

Resisten terhadapBakteri% resistensi per tahun

19981998-2002a2003

VankomisinEnterokokus23.925.428.5

MetisilinStaphylococcus aureus46.753.659.5

Sefalosporin generasi ketigaKlebsiella pneumoniae10.714.020.6

Sefalosporin generasi ketigaEnterobacter spp.34.033.131.1

ImipenemPseudomonas aeruginosa17.118.321.1

QuinolonPseudomonas aeruginosa23.227.129.5

aPersen resistensi rata-rata dari 1998 sampai 2002Data dari National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS)62,131

Faktor hostAda beberapa faktor host yang harus dipertimbangkan dalam merancang regimen antibmikroba. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi dalam tiga kelompok: faktor yang dapat meningkatkan resiko pasien untuk mengalami infeksi jenis tertentu, faktor yang dapat meningkatkan resiko pasien untuk mengalami komplikasi dari infeksi seperti adanya prostesa seperti sendi artifisial, graft vaskuler sintetik, atau katup jantung, dan faktor yang dapat meningkatkan resiko penanganan infeksi dengan obat tertentu.

Resiko obat tertentuPertimbangan yang paling penting untuk menilai resiko dapat berupa riwayat efek samping yang dialami pada penggunaan obat yang dimaksud. Penentuan sifat alami dari reaksi efek samping harus dilakukan dengan tepat dan hati-hati. Contohnya, mual, muntah, dan diare, terutama setelah pemberian oral tidak secara langsung menghindarkan penggunaan agen antimikroba, terutama secara intravena. Berbeda dengan hal tersebut, riwayat anafilaksis, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, atau nefritis interstisial alergi tidak secara langsung menghindarkan pasien dari penggunaan antimikroba. Umumnya, sifat alami dari alergi sampai sekarang masih belum jelas. Pada kasus ini, penggunaan obat kelas manapun sebaiknya dihindari, atau perlu dilakukan uji kulit dengan regimen desensitisasi.Adanya disfungsi ginjal pada pasien yang sedang diterapi juga dapat memiliki pengaruh terhadap terapi antimikroba (Tabel 17-3). Pengeluaran antimikroba melalui ginjal membutuhkan perubahan dosis regimen yang disesuaikan dengan gangguan fungsi ginjal. Kecuali jika terdapat beberapa pengecualian, cedera pada nervus kranialis VIII atau cedera ginjal dengan aminoglikosida,56 kejang dengan penisilin dan imipenem,57 dan perdarahan yang disebabkan oleh disfungsi trombosit (tambahan terhadap yang telah disebabkan oleh status uremikus) diinduksi oleh tirarcilin, meklocilin, dan piperasilin.58 Walaupun banyak obat yang dieliminasi atau dimetabolisme oleh hati, disfungsi hepar biasanya membutuhkan penyesuaian yang lebih kurang untuk terapi antimikroba dibandingkan yang terdapat pada kasus disfungsi ginjal. Secara umum, penyesuaian dosis rendah dibutuhkan sampai kadar bilirubin melebihi 5 mg/dl. Pada kasus disfungsi hepar, kloramfenikol, klindamisin, tetrasiklin, dan obat-obat antituberkulosis seperti isoniazid dan rifampisin sebaiknya dihindari jika memungkinkan.59 Untuk kasus obat antituberkulosis, jika pasien membutuhkan terapi darurat, maka penanganan khusus perlu dilakukan untuk memantau level darah dalam menghadapi disfungsi hepar yang cukup serius. Ketika didapatkan disfungsi hepar yang terjadi bersamaan dengan disfungsi ginjal, maka terapi esensial dengan semua jenis antimikroba -laktam sebaiknya diberikan dengan pengawasan yang tepat.60

Tabel 17-3

Penggunaan agen antimikroba pada kasus disfungsi hepar atau ginjal

Dikontraindikasikan pada kasus gagal ginjal: tetracyclines (kecuali doxycycline), nitrofurantoin, cephaloridine, long-acting sulfonamides, methenamine, paraaminosalicylic acid

Membutuhkan perubahan dosis jika didapatkan gagal ginjal: erythromycin, azithromycin, clarithromycin, clindamycin, chloramphenicol, doxycycline, cefoperazone, nafcillin, oxacillin, rifampin, amphotericin B, ceftriaxone, metronidazole, grepafloxacin, minocycline, linezolid, quinupristin/dalfopristin

Membutuhkan penyesuaian dosis dengan gagal jantung sedang: carbenicillin, ticarcillin, cefazolin, all aminoglycosides, vancomycin, imipenem, flucytosine, penicillin G, 5-fluorocytosine, fluconazole

Membutuhkan penyesuaian dosis hanya dengan gagal ginjal berat: ampicillin, cefoxitin, cefotaxime, ceftizoxime, piperacillin, isoniazid, ethambutol, trimethoprim-sulfamethoxazole, cefotetan, ceftazidime, cefuroxime, mezlocillin, meropenem, nalidixic acid, ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, norfloxacin, itraconazole

Penghindaran penyesuaian dosis pada kondisi disfungsi hepar signifikan (contohnya level bilirubin lebih dari 5 mg/dL): quinupristin/ dalfopristin, chloramphenicol, clindamycin, lincomycin, all the tetracyclines, cefoperazone, ceftriaxone, metronidazole, nafcillin, nitrofurantoin, fusidic acid, isoniazid, rifampin, rifabutin, pyrazinamide, rimantadine, ketoconazole, fluconazole, itraconazole

Dimodifikasi dengan izin dari Amsden GW.132

Gangguan sistem pertahanan hostAda beberapa hal tertentu yang perlu dipertimbangkan kepada pasien yang memiliki gangguan tertentu dalam sistem pertahanan host. Gangguan yang ada dapat dalam bentuk anatomis seperti ulkus kutaneus atau abnormalitas mukosa, atau dapat terjadi secara sekunder dari defek pertahanan host fungsional seperti neutropenia, aspenia, keganasan, terapi imunosupresif, dan infeksi HIV. Pasien dengan katup jantung prostetik, sendi prostetik, graft vaskuler atau prostesa lain, dapat mengalami konsekuensi yang cukup buruk akibat penyebaran metastatik dari infeksi jika terapi awal tidak adekuat. Oleh karena itu, pasien-pasien dengan kondisi tersebut sebaiknya dipertimbangkan untuk menjalani pemberian beban regimen di awal, bahkan jika status klinis awalnya tidak secara normal membutuhkannya.

KehamilanPasien penyakit kritis yang hamil, dan pasien dimana terminasi kehamilan bukanlah pilihan merupakan tantangan tertentu untuk klinisi. Pertama, farmakokinetik dari beberapa antibiotik dapat berubah pada kehamilan karena distribusi volume yang lebih besar dan peningkatan kecepatan filtrasi glomerulus. Kedua, database mengenai keamanan antibiotik yang berbeda selama kehamilan sampai sekarang masih belum lengkap.Ada beberapa regimen yang dapat diberikan, yaitu penisilin (kecuali tikarsilin yang bersifat teratogenik pada hewan pengerat, sefalosporin, dan makrolid, dimana semua regimen tersebut dikatakan relatif aman. Aminoglikosida dan isoniazid sebaiknya hanya diresepkan jika terdapan indikasi absolut, karena penggunaannya dikaitkan dengan disfungsi saraf kranial VIII pada bayi, dan penggunaan selanjutnya dikatakan dapat meningkatkan insidensi retardasi psikomotor, mioklonus, dan kejang. Metronidazol, tikarsilin, rifampisin, trimetrofin, flurokuinolon, dan tetrasiklin sebaiknya secara total dihindari karena adanya potensi untuk menyebabkan cedera pada janin yang sedang dalam masa perkembangan. Selain itu, penggunaan tetrasiklin pada wanita hamil dikaitkan dengan nekrosis lemak akut pada hati, pankreas, dan kemungkinan cedera ginjal.61

Gambar 17-1. Lokasi distribusi 2321 infeksi nosokomial pada unit perawatan koroner, sistem NNIS, tahun 1992-1997. BSI: infeksi darah primer; CVS: sistem kardiovaskuler; EENT: infeksi mata, telinga, hidung dan tenggorokan; GI: infeksi gastrointestinal; LRI: infeksi traktur respiratorius bawah diluar pneumoni; PNEU: pneumoni; SSI: infeksi lokasi pembedahan; SSST: infeksi kulit dan jaringan lunak; UTI: infeksi traktus urinarius. (diproduksi dengan izin dari referensi NNIS.131)Aspek praktis dari pemberian obat: terapi antimikroba dari beberapa situasi klinis tertentuKetika memilih terapi antibiotik yang tepat, penting untuk menentukan apakah proses infeksi didapat secara nasokomial atau muncul pada saat masuk rumah sakit, sehingga disebut sebagai community acquired. Dari seluruh kasus infeksi yang didapat secara nasokomial, sistem the National Nasocomial Infection Surveillance (NNIS) telah memperlihatkan hampir 80% kasis terjadi pada tiga lokasi, dimana 24% terjadi pada sistem respirasi, 17% pada aliran darah, dan 36% pada traktus urinarius. Mayoritas sisa 19% dari infeksi nasokomial yang didapat tersebut berhubungan dengan traktus gastrointestinal, sistem kardiovaskuler, kulit, dan jaringan lunak, lokasi pembedahan, atau telinga, mata, hidung, dan tenggorokan, seperti yang ditampilkan pada Gambar 17-1. Tabel 17-4 menampilkan daftar patogen primer yang berhubungan dengan beberapa lokasi tersebut. Selain itu, penting pula untuk mengenali patogen gram positif, terutama Staphylococcus epidermidis, S. Aureus, dan enterokokus yang merupakan patogen yang utama terdapat di dalam aliran darah, dimana S.aureus dan bakteri gram negatif, terutama P. aeroginosa, merupakan patogen dominan yang berhubungan dengan infeksi pneumoni nasokomial. Sebagai tambahan terhadap S. Aureus dan P. aeroginosa, E. Coli dan Candida albicans merupakan patogen primer yang ditemukan di infeksi traktus urinarius, dimana mayoritas dari patogen tersebut dikatakan berhubungan dengan instrumentasi traktus urinarius.62-28 Data tersebut dikatakan konsisten pada semua kontinen.68Spesies Kandida sekarang merupakan penyebab tersering keempat dari infeksi nasokomial pada darah. 10 tahun yang lalu, kandida berada di urutan ke 24, namun jumlah dari spesies ini terus meningkat, terutapa pada pasien-pasien yang dirawat di ICU.Insidensi infeksi nasokomial sangat dikaitkan dengan penggunaan beberapa alat seperti ventilator, kateter untuk akses pembuluh darah, dan kateter urin. Hal ini cenderung merupakan hasil dari gangguan sistem pertahanan tubuh host dan mekanisme eliminasi. Selain itu, beberapa alat dapat mendukung beberapa mikroorganisme secara berbeda. Contohnya, perkembangan biokateter dikatakan meningkatkan perlekatan beberapa mikroorganisme tertentu seperti E.coli dan mengganggu penetrasi antimikroba, dimana kondensasi air pada sirkuit ventilator merupakan lingkungan yang kondusif untuk Pseudomonas dan Acinetobacter.66 Angka kejadian infeksi yang berhubungan dengan pemakaian alat per 1000 hari pemakaian juga bervariasi tergantung dari jenis ICU dari 3.0 (kardiotorakal) sampai 6.7 (ICU luka bakar) untuk infeksi traktus urinarius yang berhubungan dengan pemakaian kateter urin, dan 2.7 (kardiotorakal) sampai 7.0 (ICU luka bakar) untuk infeksi aliran darah yang berhubungan dengan kateter sentral, serta 4.9 (medis) sampai 12.0 (ICU luka bakar) untuk pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator.62

Tabel 17-4

Patogen Primer Pada Infeksi Yang Didapatkan Secara Nosokomial

PatogenInfeksi aliran darahPneumoniInfeksi traktus urinarius

CCUICUCCUICUCCUICU

(n=1159)(n=2971)(n=1635)(n=4389)(n=2321)(n=4956)

SCN37362132

SA2413212032

Enterococcus1016221414

Eschercia Coli33442814

Enterobacter339945

Candida albicans26651021

Klebsiella pneumoniae248866

Serratia marcescens214410.7

Pseudomonas aeruginosa231421710

Candida lain2302145

C. glabrata2230.235

Acinetobacter12360.21

Jamur lain10.82158

Proteus mirabilis0.60.52242

Citrobacter0.5821

Sreptococcus pneumoniae0.420

Haemophilus influenzae0.130

Lain-lain76161483

CCU, critical care unit; MICU, medical intensive care unit; SA, Staphylococcus aureus; SNC, coagulase-negative Staphylococcus.Data didapatkan dari database the National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) yang menguraikan frekuensi relatif dari beberapa jenis paogen berdasarkan lokasi infeksi dan jenis ICU (MICU vs. CCU). Data diperoleh dari tahun 1992 sampai 1997.Diadaptasi dari Richards MJ, Edwards JR, Culver DH, et al;65,66 National Nosocomial Infections Surveillance;131 el-Ebiary M, Tomes A, Fabregas N, et al;133 and Kauffman CA, Vazquez JA, Sobel JD, et al.134

Infeksi yang berhubungan dengan pemakaian kateterAlat akses intravaskuler merupakan penyebab yang umum untuk terjadinya bakteremi dan fungemi. Infeksi yang berhubungan dengan pemasangan kateter didefinisikan sebagai bakteremi atau fungemi pada pasien dengan kateter vena sentral yang memiliki setidaknya satu hasil kultur yang positif yang didapatkan pada lokasi perifer, manifestasi klinis pada sebuah infeksi dan tidak adanya sumber yang jelas untuk infeksi kecuali kateter. Semikuantitatif positif (>15 unit pembentukan koloni [CFU]/segmen kateter) atau kuantitatif (>1000 CFU/segmen kateter) kultur dari organisme yang sama dari semua segmen kateter (biasanya pada ujung kateter) sebaiknya ikut ada.69,70 Teknik diagnostik yang paling sering digunakan secara luas untuk menilai infeksi kateter adalah metode semikuantitatif, yang melibatkan penempatan ujung kateter sebagai sampel pada medium agar dan menghitung jumlah CFU setelah diinkubasi semalaman. Hasil kultur positif yang didapatkan pada pemeriksaan ini biasanya kurang spesifik, namun hasil kultur yang negatif umumnya dapat secara langsung mengeksklusi adanya infeksi yang berhubungan dengan pemakaian kateter karena rendahnya angka kejadian negatif palsu. Mengidentifikai data yang ada sekarang mengenai resiko bakteremi yang berhubungan dengan pemakaian alat yang berhubungan dengan vaskuler tampaknya akan cukup sulit, kemungkinan karena luasnya variasi jenis kateter (antibiotik yang berkapsul atau tidak), teknik (persiapan kulit), perawatan pada lokasi dan tindakan pencegahan antara regional di dalam suatu negara, dan antara rumah sakit di dalam suatu regional.Dari segi perspektif, sebanyak 50,000-100,000 pasien di rumah sakit Amerika Serikat dilaporkan mengalami infeksi darah nasokomial (BSI) setiap tahunnya, dengan 70-90% dari infeksi tersebut dikaitkan dengan kateter vena sentral dari jenis manapun.62, 71 Infeksi tersebut berhubungan dengan angka mortalitas sebesar 25-35% dan 2 sampai 3 kali lipat meningkat pada tanda mortalitas. The Infectious Diseases Society of America telah mempublikasi pedoman penanganan infeksi yang berhubungan dengan pemasangan kateter intravaskuler, seperti yang dimiliki oleh the Centers for Disease Control and Prevention (CDC).69,70 Walaupun pedoman tersebut menyatakan bahwa Data klinis yang ada masih kurang untuk membuat rekomendasi yang berdasarkan kondisi individual pasien, namun pemahaman patogenesis dan virulensi organisme tipikal yang dilibatkan masih menganggap masalah tersebut dapat ditangani secara rasional.Untuk kateter vena sentral tanpa terowongan, organisme biasanya datang dari kateter terkolonisasi, biasanya pada derah pusat atau lumen. Organisme tersebut biasanya mewakili flora pada kulit seperti S. Epidermidis, S. Aureus, spesies Enterococcus, dan spesies Candida sebagai organisme utama, namun basil gram negatif juga bisa menyebabkan infeksi. Infeksi gram negatif dikatakan bisa terjadi pada traktus respiratorius atau pada luka drainase pembedahan, karena prosedur tersebut dikatakan meningkatkan insidensi kolonisasi gram negatif pada kulit dan reservoir organisme dari sumber infeksi. Mekanisme patogenik ini menjelaskan peningkatan angka infeksi yang berkaitan dengan posisi kateter vena sentral (femoral > jugular interna > subklavia). Infeksi kateter jugular interna dikatakan memiliki kecenderungan untuk terjadi lebih tinggi dibandingkan infeksi kateter subklavia, karena kateter jugular interna dikatakan lebih cenderung untuk terpapar oleh sekresi orotrakea. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan akteter yang dipenuhi oleh antibiotik, dimana metode ini telah terbukti dapat mencegah kontaminasi mikroba pada kateter dan subsekuensial bakteremi pada beberapa namun tidak semua studi. Pada sebuah studi, bakteremi yang berhubungan dengan pemasangan kateter dilaporkan menurun dari 3.4% ke 0.3% dengan penggunaan kateter yang disertai minosiklin dan rifampin.72 Bagaimanapun, hasil tersebut sebaiknya diinterpretasi dengan hati-hati karena penggunaan tersebut dapat memberikan hasil kultur berupa negatif palsu.Terapi awal untuk kasus kecurigaan infeksi kateter intravaskuler biasanya mencakup vankomisin karena prevalensi resistensi metisilin pada S.aureus dan S. Epidermidis yang cukup tinggi pada lingkungan nasokomial. Terapi tambahan yang ditujukan untuk organisme gram negatif sebaiknya dipertimbangkan jika infeksi gram negatif muncul pada lokasi tubuh yang lain, atau jika pasien menampakkan manifestasi ketidakstablian kardiovaskuler yang dicurigai merupakan hasil dari proses infeksi yang terjadi. Terapi empiris yang diarahkan pada kasus resistensi vankomisin pada enterokokus jarang diindikasikan, karena organisme ini jarang menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik akut. Terapi antijamur juga biasanya tidak diinisiasikan kecuali terdapat bukti mikrobiologi adanya infeksi jamur. Ketika patogen aliran darah telah diidentifikasi dan sifat resistensinya telah diketahui, maka terapi antimikroba dapat diarahkan ke terapi yang lebih spesifik.Terdapat beberapa permasalahan yang cukup penting dalam mempertimbangkan terapi untuk kasus patogen infeksi aliran darah, dimana S. Epidermidis sering menjadi patogen kontaminan. Bagaimanapun, ketika patogen ini menyebabkan infeksi aliran darah, maka organisme tersebut secara tipikal akan bersifat virulen. Kondisi ini biasanya dapat diterapi dengan melepaskan kateter dan pemberian antibiotik untuk durasi yang singkat. Meskipun demikian, organisme ini memiliki kecenderungan untuk melengket pada alat prostetik seperti katup jantung dan sendi artifisial. Oleh karena itu, ketika terjadi bakteremi S. Epidermidis pada pasien tersebut, perlu dilakukan evaluasi yang hati-hati mengenai alat prostetik untuk kasus yang telah terbukti terjadi sebagai infeksi sekunder. Pasien dengan prostesa yang menetap sebaiknya dikategorikan sebagai pasien dengan resiko tinggi pemasangan kateter sentral, dan sebaiknya dihentikan sesegera mungkin.Pada sisi lain, S.aureus dikatakan merupakan organisme yang sangat bersifat virulen, dimana pada kondisi bakteremi organisme ini sering tersebar luas dan menyebabkan osteomielitis, endokarditis, dan infeksi destruksi berat lain. Jadi, ketika bakteremi dengan organisme ini telah dikonfirmasi, evaluasi yang hati-hati perlu dilakukan untuk menilai adanya infeksi metastatik, dan kasus ini perlu mendapatkan perpanjangan terapi (2-4 minggu). Infeksi aliran darah yang disebabkan oleh enterokokus biasanya memberikan gambaran yang sama dengan infeksi S. Epidermidis dan secara tipikal berespon terhadap pelepasan kateter. Bagaimanapun, endokarditis dapat muncul, terutama pada kasus bakteremi yang sudah lama. Terapi optimal untuk organisme ini adalah dengan pemberian ampisilin ditambah dengan aminoglikosida, walaupun beberapa antibiotik yang lebih baru juga memperlihatkan hasil terapi yang cukup menjanjikan. Ketika hasil kultur darah mengindikasikan adanya C. Albicans, maka pasien sebaiknya dievaluasi untuk menilai fokus infeksi metastatik (seperti hepar, okular, dan kulit), kemudian kateter sebaiknya dilepaskan, dan dapat dimulai terapi antijamur, secara tipikal dengan flukonazol.73 Jika fokus metastatik infeksi kandida telah ditemukan, maka penanganan optimal dari komplikasi tersebut akan menentukan durasi terapi.

ProfilaksisPembedahanPemakaian profilaksisKebutuhan profilaksis antibiotik untuk pembedahan bergantung pada resiko surgical site infection (SSI), dimana umumnya hal ini didefinisikan sebagai purulensi didalam luka. SSI dikatakan berkaitan dengan beberapa hal yang mencakup klasifikasi luka, faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien sebagai imunokompetensi, lingkungan bakteri dan angka infeksi rumah sakit untuk beberapa prosedur, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan luka itu sendiri. Luka biasanya diklasifikasikan sebagai luka yang bersih (kelas I), luka bersih yang terkontaminasi (kelas II), luka terkontaminasi (kelas III), dan luka yang kotor dan terinfeksi (kelas IV).74 Luka yang bersih biasanya bukan akibat trauma, dimana belum terdapat kerusakan pada teknik steril, dan traktus respiratorius, traktus pencernaan, atau traktus genitouriner masih belum terkontaminasi. Luka yang bersih dan terkontaminasi biasanya merupakan hasil proses pembedahan pada daerah yang tersembunyi, seperti traktur biliaris, respiratorius, pencernaan, dan traktur genitouriner, dimana isi dari masing-masing dari traktur tersebut tidak bocor/keluar. Luka yang terkontaminasi biasanya merupakan kerusakan mayor dari teknik yang steril, atau dengan pembedahan pada luka traumatik, atau pengeluaran isi gastrointestinal yang cukup masif, atau pemasukan traktus genitouriner atau traktus biliaris yang terinfeksi. Luka yang kotor dan terinfeksi merupakan luka dimana infeksi muncul sebelum proses pembedahan, seperti pada luka lama dengan devitalisasi jaringan atau pembedahan pada pasien dengan perforasi organ dalam. Skema klasifikasi ini mengindikasikan resiko infeksi post-operatif dan dikatakan berhubungan dengan luka kotor yang telah terinfeksi. Bagaimanapun, pemeriksaan mikroskopik yang teliti memperlihatkan bahwa, bahkan luka yang bersih juga sebenarnya telah terkontaminasi dengan flora normal kulit.75Spesies Staphylococcus merupakan patogen luka yang paling sering ditemukan pada kebanyakan kasus SSI. Pemberian profilaksis masih menjadi perdebatan pada beberapa prosedur steril seperti perbaikan hernia inguinalis atau prosedur mastektomi. Bagaimanapun, untuk prosedur steril yang lain, terutama prosedur pembedahan kardiotorakal dan pembuluh darah, artoplasti panggul atau lutut, dan prosedur-prosedur dimana dilakukan eksisi tulang atau pemasangan prostesa, perlu diberikan perlindungan dari bakteri gram positif, yang biasanya diberikan dalam jenis sefalozin. Karena adanya peningkatan insidensi Metisilin pada Staphylococcus tidak hanya di rumah sakit tapi juga di komunitas, maka pemberian antibiotik saat ini kebanyakan telah dikembalikan ke era vankomisin. Antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan untuk semua jenis luka baik yang terkontaminasi maupun yang bersih dan terkontaminasi, juga pada pasien yang menjalani prosedur histerektomi dan kebanyakan prosedur urologi. Sterilisasi traktur urinarius perlu dilakukan sebelum melakukan prosedur urologi jika memungkinkan. Bahkan dengan keberhasilan terapi infeksi traktus urinarius (UTI), infeksi dalam dari kelenjar prostat dikatakan tetap diaktifkan kembali oleh manipulasi dan/atau pembedahan pada kelenjar prostat tersebut. Profilaksis disarankan untuk pasien dengan resiko sedang dan resiko tinggi yang menjalani prosedur yang melibatkan jaringan yang terinfeksi, dan sebaiknya mencakup antibiotik anti-stafilokokus untuk selulitis dan osteomielitis. Metode yang sama juga disarankan untuk pasien yang mendapatkan katup jantung prostetik. Pasien dengan infeksi traktus urinarius sebaiknya mendapatkan antibiotik yang aktif melawan basil gram negatif seperti flurokuinolon, sefalosporin generasi ketiga, atau aminoglikosida. Bukti yang meyakinkan mengenai manfaat profilaksis antimikroba juga ditemukan pada pasien yang menjalani manipulasi endoskopi dari traktus biliaris, atau pada pasien yang menjalani manipulasi dari traktus urinarius yang terinfeksi. Untuk kondisi-kondisi tersebut, pilihan antibiotik yang diberikan dapat berupa ampisilin-sulbaktam dan piperasilin-tazobaktam.

Waktu pemberian profilaksisPemberian antibiotik profilaksis intravena umumnya dikatakan harus dimulai tidak lebih dari 1 jam sebelum dilakukan insisi. Metode tersebut muncul dari studi Classen yang melihat secara retrospektif waktu pemberian antibiotik profilaksis pada pasien yang dilaporkan mengalami infeksi luka.76 Peneliti menemukan bahwa, pasien yang mengalami infeksi luka lebih cenderung untuk mendapatkan terapi profilaksis antara 24 sampai 2 jam sebelum dilakukannnya insisi. Ketika data tersebut diproses lebih lanjut menggunakan regresi logistik multipel, didapatkan bahwa variabel yang berhubungan dengan infeksi luka mencakup penyakit yang mendasari, durasi pembedahan, dan waktu setelah dimulainya pembedahan untuk dosis pertama antibiotik profilaksis. Diantara 41 luka infeksi yang diteliti, 58% diantaranya dilaporkan resisten terhadap antibiotik yang digunakan.Jadi, walaupun studi ini secara luas dikatakan memperlihatkan bahwa profilaksis harus diberikan dalam 1 jam insisi, namun data tersebut tidak mendukung kesimpulan yang ada. Lebih jauh lagi, studi ini tidak mencakup kapan infus antibiotik dikatakan selesai, dan studi prospektif yang melakukan vaPRIlidasi terhadap penemuan retrospektif tersebut sampai sekarang belum pernah dipublikasi. Studi pada hewan kemudian kebanyakan digunakan dalam mendokumentasikan kebutuhan pemberian antibikroba sebelum insisi, namun hal ini kurang diuji secara statistik, menggunakan inokula yang sangat tinggi dan dosis antimikroba yang bervariasi.77 Studi terbaru kemudian meneliti profilaksis vankomisin pada 2048 pasien bedah jantung yang memperlihatkan bahwa pemberian vankomisin dimulai pada 16 sampai 60 menit sebelum insisi dan pemberian lebih dari 1 jam dikaitkan dengan angka infeksi pembedahan yang paling rendah.78Walaupun pemberian profilaksis antimikroba dengan level jaringan yang adekuat sebelum dilakukannya insisi kulit tampak cukup logis, namun data yang mendukung hanya bersifat inferensial dan cenderung menyatakan bahwa penting tidaknya hal tersebut bergantung pada ukuran dari inokulum. Meskipun demikian, studi Classen76 memicu the Center for Medicare and Medicaid Servixes untuk mengatur standar dimana semua antibiotik preoperatif harus diberikan dalam 1 jam dari insisi kulit, kecuali untuk vankomisin, dimana obat ini dapat diberikan 2 jam sebelum insisi kulit, tampaknya karena pemberian obat ini biasanya mengambil waktu lebih dari 1 jam. Rekomendasi tersebut juga menjelaskan bahwa, terapi sebaiknya dihentikan dalam 24 jam kecuali pada beberapa kondisi khusus, seperti pembedahan kardiotorakal, dimana pada prosedur tersebut pemberian profilaksis dapat dilanjutkan sampai 48 jam. Pengencualian berikutnya terjadi karena adanya rekomendasi dari the Society of Thoracic Surgeon yang membuat beberapa poin sebagai berikut: (a) walaupun penggunaan antibiotik jangka panjang dapat menyebabkan kedaruratan infeksi resisten, namun tidak ada data yang mengatakan bahwa hal ini dapat terjadi pada pemberian dibawah 48 jam; (b) profilaksis antibiotik untuk 48 jam dikatakan efektif secara klinis dalam meminimalkan komplikasi infeksi pada pembedahan jantung, dan dikatakan sama efektifnya dengan profilaksis yang diberikan untuk lebih dari 48 jam; dan (c) profilaksis antibiotik sebaiknya tidak digunakan untuk pemasangan kateter persisten pada segaa macam chest tube.79 Terdapat persetujuan umum mengenai poin terakhir, dimana hal ini berlaku untuk semua jenis pembedahan dengan kemungkinan pengecualian untuk kasus transplantasi.

Unit perawatan intensif (ICU)Keberhasilan regimen antimikroba pada pasien ICU tampaknya akan cukup sulit untuk dibuktikan dalam mencegah infeksi dengan regimen dekontaminasi usus yang selektif. Regimen berikutnya mencakup penggunaan agen antimikroba nonabsorble atau flurikuinolon untuk mengeliminasi flora gram negatif aerobik yang intak, yang memberikan beberapa efek proteksi dalam menghadapi kolonisasi dengan beberapa macam patogen potensial, dan kondisi tersebut disebut sebagai resistensi kolonisasi. Sejalan dengan hal tersebut, antibiotik aerosol terutama polimiksin atau aminoglikosida, dikatakan tidak dapat mencegah pneumoni. Pemberian salep antibiotik topikal dikatakan tidak dapat menurunkan insidensi infeksi aliran darah yang berhubungan dengan penggunaan alat akses intravena.

Terapi pencegahanKonsep terapi pencegahan sekarang mulai menjadi fokus utama. Terapi pencegahan awalnya digunakan pada pasien transplantasi, dimana inisiasi terapi gansiklovir pada pasien transplantasi sumsum tulang dengan bukti adanya replikasi sitomegalovirus baik pada darah maupun pada sekresi saluran napas, pada waktu pasien tidak menampakkan gejala, dan terapi ini didapatkan efektif dalam mencegah perkembangan pneumoni yang mengancam nyawa akibat sitomegalovirus. Pada pasien transplantasi organ, inisiasi pemberian terapi pencegahan gansiklovir selama terapi antirejeksi intensif dikatakan dapat menurunkan insidensi infeksi sitomegalovirus yang cukup bermakna, dimana kasus tersebut normalnya sering dihubungkan dengan terapi transplantasi.1,2Efektifitas profilaksis untuk infeksi jamur masih belum dapat dijelaskan dengan baik. Data untuk profilaksis jamur memperlihatkan bahwa, flukonazol dapat menjadi profilaksis yang cukup efektif untuk beberapa pasien resiko tinggi tertentu seperti resipien untuk transplantasi sumsum tulang dan pasien yang menjalani operasi berulang untuk perforasi usus halus segmen atas atau gaster yang merupakan lokasi anatomis dimana sejumlah besar spesies Candida secara normal ditemukan. Bagaimanapun sampai sekarang tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan metode ini dapat menurunkan angka mortalitas.80,81 Beberapa studi yang berkaitan dengan hal tersebut sayangnya sulit untuk diinterpretasi, namun, karena diagnosis infeksi jamur invasif sering sulit ditegakkan dan kemampuan klinisi dalam membedakan kolonisasi kandida dan invasi kandida biasanya tidak cukup baik. Beberapa studi memperlihatkan bahwa, ketika pasien dikolonisasi pada tiga atau lebih lokasi, terdapat insidensi penyakit invasif sebesar 30-60%, dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Terdapat beberapa persetujuan bahwa terapi pencegahan sebaiknya dimulai hanya untuk kasus pembedahan abdomen dengan perforasi gastrointestinal berulang atau anastotomic leak dan tidak disarankan untuk pembedahan awal, bahkan jika terdapat luka yang kotor, selama kondisi tersebut tidak berlangsung untuk periode waktu yang relatif lama.82 Bagaimanapun, masalah ini menjadi jauh lebih kompleks dengan adanya kegawatdaruratan resistensi C. Albicans dan perubahan pada spesies jamur yang umum ditemukan menjadi jamur yang lebih resisten seperti Candida krusei dan Candida glabrata yang sensitif terhadap obat antijamur yang lebih baru.

Endokarditis bakteri Walaupun umumnya pedoman profilaksis untuk endokarditis bakteri telah disetujui, namun tidak ada penelitian yang secara pasti memperlihatkan bahwa profilaksis antibiotik dapat mencegah endokarditis bakteri selama prosedur yang menyebabkan bakteremia. Meskipun demikian, penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi jantung merupakan prosedur yang cukup beresiko tinggi, karena memiliki konsekuensi endokarditis dan resiko minimal yang berhubungan dengan penggunaan profilaksis. Ringkasan mengenai rekomendasi yang paling baru telah tersedia dari American Heart Association.83 Rekomendasi tersebut dibuat berdasarkan resiko prosedur yang menyebabkan bakteremi yang cukup signifikan dengan organisme yang cenderung menyebabkan endokarditis dan resiko pasien untuk mengalami endokarditis bakteri dengan bakteremi. Penggunaan rekomendasi tersebut juga dapat diaplikasikan pada kondisi jantung yang berhubungan dengan peningkatan resiko endokarditis bahkan tanpa pembedahan. Pasien yang dikatakan memiliki resiko tinggi endokarditis adalah pasien yang memiliki katup jantung prostetik, riwayat endokarditis sebelumnya, penyakit jantung sianotik yang kompleks, dan pasien dengan pembedahan systemic-pulmonary shunts atau conduits. Pasien resiko sedang adalah pasien dengan defek septum ventrikuler yang tidak dikoreksi, defek septum atrium primum, PDA, koarkasi aorta, katup aortik bikuspid, disfungsi katup yang didapat, dan kardiomiopati hipertrofi. Profilaksis untuk prolapsus katup mitral masih bersifat kontroversi untuk beberapa alasan. Pertama, prolapsus dapat terjadi pada katup mitral yang normal pada kondisi yang menurunkan volume akhir diastolik dari ventrikel kiri seperti hipovolemi atau peningkatan kontraktilitas, terutama pada pasien dewasa muda. Kedua, prolapsus tanpa regurgitasi dikatakan tidak meningkatkan resiko endokarditis bakterial karena pancaran regurgitan dikatakan dapat menghasilkan abnormalitas katup yang membuat bakteri lebih cenderung untuk melengket pada katup. Jadi, hanya pasien dengan prolapsus katup mitral yang dikatakan dapat diberikan profilaksis antibiotik. Bagaimanapun hal ini kemudian menjadi lebih kompleks kaena adanya teori yang menyatakan bahwa regurgitasi dapat terjadi hanya dengan olahraga. Oleh karena itu, kondisi ini biasanya akan terlewatkan pada pemeriksaan rutin. Selain itu, laki-laki dengan usia lebih dari 45 tahun dengan prolapsus katup mitral dikatakan memiliki resiko mengalami endokarditis bakterial yang lebih tinggi. Prosedur seperti pemasangan kateter sentral melalui kulit yang normal dan telah dibersihkan dengan povidon-iodin atau kloreksidin dikatakan tidak berhubungan dengan bakteria yang signifikan, sehingga tidak membutuhkan pemberian profilaksis. Berbeda dengan hal tersebut, pasien yang menjalani prosedur dental yang berhubungan dengan perdarahan atau pasien dengan higienitas gigi yang buruk sebaiknya diberikan profilaksis. Streptokokus viridans (streptococcus hemolitikus) merupakan penyebab endokarditis yang paling sering ditemukan dalam hubungannya dengan prosedur pembedahan gigi dan mulut. Profilaksis yang direkomendasikan untuk kasus tersebut adalah amoksisilin 2 gram dosis tunggal secara oral. Jika medikasi oral tidak dapat digunakan, maka pilihan lain adalah pemberian ampisilin atau penisilin secara intravena. Klindamisin atau azitromisin dapat menjadi alternatif untuk pasien yang alergi dengan penisilin. Profilaksis yang sama juga dapat diberikan pada beberapa prosedur lain seperti bronkoskopi kaku (namun tidak fleksibel), dilasi striktur esofagus, dan skleroterapi (namun tidak dibalut). Pembedahan yang melibatkan traktus biliaris atau mukosa usus atau prosedur endoskopi pankreas atau traktus biliaris juga berhubungan dengan bakteremi dengan organisme yang menyebabkan endokarditis, terutama Enterococcus faecalis. Profilaksis yang direkomendasikan untuk pasien resiko tinggi yang menjalani prosedur-prosedur tersebut adalah ampisilin dan gentamisin. Vankomisin dapat menggantikan ampisilin pada pasien yang alergi terhadap golongan penisilin. Genamisin juga dikatakan dapat dihindari pada pasien dengan resiko sedang.Profilaksis endokarditis direkomendasikan untuk beberapa prosedur yang steril seperti prosedur vaskuler abdomen atau ekstremitas bawah, kraniotomi, prosedur-prosedur ortopedi dengan insersi perangkat keras dan prosedur yang melibatkan implantasi bahan prostetik permanen. Berbeda dengan hal tersebut, kebutuhan profilaksis antibiotik untuk prosedur ortopedi seperti laminektomi dan penyatuan spinal sampai sekarang masih bersifat kontroversi.Angka endokarditis yang menyebabkan bakteremia dengan pembedahan traktus genitouriner didapatkan cukup tinggi pada pasien dengan infeksi traktus urinarius, prostatitis, dan pembedahan prostat. E. Faecalis merupakan spesies bakteri yang paling sering ditemukan, namun spesies Klebsiella juga dikatakan cukup sering. Resokemndasi profilaksis dikatakan sama dengan rekomendasi yang digunakan untuk kasus pembedahan traktus bilier dan intestinal, namun sterilisasi traktus urinarius sebelum dilakukannya prosedur pembedahan dikatakan akan memberikan manfaat yang lebih baik. Profilaksis tidak direkomendasikan untuk persalinan pervaginam tanpa komplikasi, biopsi serviks, atau manipulasi alat inrauterin jika tidak terdapat infeksi. Bagaimanapun, karena bakteremia setelah alat intrauterin dikeluarkan didapatkan cukup sering, maka direkomendasikan untuk pemberian profilaksis dengan prinsip yang sama dengan pada prosedur genitouriner.

PneumoniPasien dengan pneumoni dapat dibagi kedalam dua kategori umum, yaitu: pasien dengan pneumoni yang diapat dari komunitas, dan pasien pneumoni nosokomial (utamanya didapatkan pada ICU rumah sakit).

Community-acquired pneumoniaPneumoni yang didapatkan dari komunitas dibagi kedalam tiga kategori. Pertama adalah pneumoni tipikal yang berasal dari bakteri konvensional, yang ditandai dengan onset demam yang tiba-tiba (dalam kurang dari 24 jam), menggigil, toksisitas sistemik, batuk, produksi sputum purulen, dan dispnea, dan biasanya sering terjadi dengan didahului oleh penyakit akibat virus. Kedua adalah pneumoni atipikal, ditandai dengan onset demam yang subakut, batuk tidak produktif, dan peningkatan dispnea, dan terjadi sering setelah fase prodromal beberapa hari yang melibatkan gangguan gastrointestinal, sakit kepala, malaise, dan ensefalopati. Walaupun terdapat saling tumpang tindih antara gejala-gejala tersebut, terapi awal dapat dimulai berdasarkan pengelompokan tersebut, dan dengan mempertimbangkan etiologi yang berbeda pada tiap kategori (Tabel 17-5).

Tabel 17-5

Etiologi Pneumoni Yang Didapatkan Dari Komunitas

EtiologiInsidensi (%)

Tipikal (onset akut atau deteriorasi tiba-tiba setelah prodroma virus dengan batuk produktif, toksisitas sistemik, dan infiltrasi lobaris)

Streptococcus pneumoniae20-60

Haemophilus influenzae5-20

Staphylococcus aureus2-10

Enterobacteriaceae4-8

Lain-lain (Branhamella catarrhalis, anaerob, Pseudomonas aeruginosa)5-10

Atipikal (onset subakut, batuk tidak produktif, infiltrat interstisial)

Virus (influenza, RSV, parainfluenza, adenovirus)30-60

Mycoplasma pneumoniae20-40

Chlamydia pneumoniae4-15

Legionella1-15

Lain-lain (PCP, Demam Q, psittacosis RSV, Pneumocytis jirocevi)1-2

PCP, Pneumocystis carinii pneumonia; RSV, respiratory syncytial virus.

Spesies bakteri atau virus yang menyebabkan CAP tidak pernah diidentifikasi pada hampir 40-60% pasien. Bagaimanapun, S. Pneumoniae merupakan penyebab yang paling sering ditemukan, dan berkontribusi sekitar dua per tiga dari pneumoni bakteremi. Bakteri tipikal lain yang kurang sering ditemukan mencakup Haemophilus influenza, S. Aureus dengan peningkatan frekuensi rantai resistensi metisilin, Neiserria meningitidis, dan Moraxella catarrhalis. Bakteri atipikal mencakup Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan spesies Legionella. Virus yang paling sering ditemukan adalah influenza A dan B, bergantung pada musim, virus sinktial respiratorius, dan adenovirus.84,85 Pilihan terapi antimikroba yang tepat dapat dibantu dengan pewarnaan gram sputum; pemeriksaan antigen Legionella urin dapat mendeteksi lebih dari 80% kasus pneumoni yang disebabkan oleh Legionella pneumophila tipe I, namun tidak pada spesies atau jenis lain dari Legionella; uji polymerase chain reaction (PCR) untuk mikoplasma dan.atau titer IgM untuk klamidia; deteksi antien yang sesuai untuk virus respirasi; dan studi khusus untuk patogen lain. Pada kebanyaan pasien, terapi antimikroba harus dimulai walaupun tidak didapatkan informasi hasil mikrobiologi yang mendukung. Pasien tanpa predisposisi defek pertahanan host atau riwayat episode aspirasi yang cukup masif, dengan kecurigaan pneumoni tipikal sebagai penyebab kegagalan pernapasan, sebaiknya mendapatkan terapi awal yang khusus diarahkan untuk melawan S. Pneumoniae, H. Influenzae, dan mungkin dapat juga berupa S. Aureus. Terapi empiris yang direkomendasikan untuk pasien rawat inap dapat berupa -laktam ditambah markolid yang biasanya berupa azitromisin, atau dapat pula berupa flurokuinolon tunggal seperti levofloksasin. Untuk pasien ICU, terapi yang direkomendasikan dapat berupa -laktam yang ditambahkan makrolid, atau -laktam yang ditambahkan flurokuinolon, walaupun data yang mendukung masih sangat terbatas. Jika terdapat kecurigaan S. Aureus dan insidensi MRSA pada komunitas cukup tinggi, penambahan vankomisin dapat diberikan sampai organisme dan sensitivitasnya dapat dikonfirmasi. Jika terdapat kecurigaan pneumoni atipikal, maka pasien dapat diberikan terapi awal berupa flurokuinolon seperti levofloksasin, atau eritromisin, atau salah satu makrolid terbaru (azitromisin atau klaritromisin), dengan atau tanpa trimetroprim-sulfamtoksazol. Pasien dengan presentasi mirip dengan Legionella dapat dibetikan terapi tradisional berupa eritromisin, namun azitromisin atau lefofloksasin yang dikombinasi dengan salah satu regimen yang digunakan untuk terapi pneumoni bakteri tipikal seperti ampisilin-sulbaktam atau seftriakson dapat diprioritaskan jika terdapat resistensi patogen. Hal lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah masalahpatogen viral, karena patogen ini merupakan penyebab pneumoni komunitas yang cukup sering didapatkan, dan udah tersedia rapid test untuk diagnosis, dan sudah tersedia terapi antivirus untuk penanganannya. Walaupun inisiasi terapi empiris sering diwajibkan, namun teknik diagnostik invasif seperti bronchoalveolar lavage atau biopsi paru sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien dengan kegagalan pernapasan dimana diagnosis etiologinya masih belum jelas, atau pada pasien yang gagal berespon terhadap terapi. Hal ini utamanya penting untuk individu dengan kondisi dasar yang membuat pasien rentan untuk terpapar patogen dengan rentang yang lebih luas, seperti pasien yang mengkonsumsi alkohol rutin, dan pasien dengan gangguan kekebalan tubuh.

Pneumoni nosokomialPneumoni nosokomial dapat dibagi kedalam tiga kelompok: hospital-acquired pneumonia (HAP) yang terjadi setidaknya 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit; ventilator associated pneumonia (VAP) yang terjadi setidaknya 48 jam setelah pasien masuk, dimana pasien ini memiliki riwayat infeksi dalam 90 hari sebelumnya atau dirawat di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang atau mendapatkan antibiotik intravena atau perawatan luka dalam 30 hari terakhir.86 Infeksi tersebut dapat dibagi lebih jauh berdasarkan onset, yaitu onset dini dalam 2-4 hari pertama perawatan, dan onset lambat setelah 5 hari perawatan atau lebih. Pneumoni nosokomial onset dini jarang diakibatkan organisme-organisme Multidrug resisten (MDR), dan memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pneumoni onset lambat. Infeksi pada pasien HCAP biasanya sama dengan pasien pada kasus VAP atau HAP onset lambat.Etiologi pneumoni nosokomial terutama yang didapatkan di dalam ICU, jauh berbeda dari etiologi infeksi yang didapatkan dari komunitas. Patogenesis penyakit ini secara tipikal merupakan perluasan trakeobronkitis ke bronkopneumoni. Pada kasus yang terjadi di rumah sakit, bakteri aerobik dan basil gram negatif yang relatif resisten terhadap antibiotik merupakan patogen invasif yang paling sering ditemukan, namun sekarang kedudukannya dikatakan telah digantikan oleh bakteri gram positif. Hal ini dikatakan merupakan hasil dari peningkatan angka kejadian kolonisasi gaster dan orofaring dengan organisme-organisme tersebut, dengan kolonisasi yang bertindak sebagai reservoir untuk pengenalan flora ini terhadap traktur respiratorius bawah yang biasanya terjadi akibat aspirasi, dan gangguan kemampuan untuk mengeliminasi organisme tersebut. Hal ini utamanya terjadi pada pasien yang diintubasi, pasien dengan riwayat cedera paru sebelumnya, pasien dengan atelektasis yang signifikan, dan pasien dengan gangguan kekebalan tubuh. Walaupun Tabel 17-4 dan 17-5 menampilkan etiologi dari pneumoni nosokomial yang disebabkan oleh bakteri yang berbeda secara nasional, namun perlu diperhatikan bahwa etiologi pneumoni nosokomial pada masing-masing rumah sakit dapat sangat berbeda dari rata-rata etiologi yang didapatkan secara nasional. Walaupun pneumoni basil gram negatif dikatakan merupakan masalah yang paling utama, namun bakteri gram positif terutama MRSA dikatakan secara cepat menggantikan kedudukan bakteri gram negatif tersebut. Selain itu, jenis bakteri yang menyebabkan infeksi dan pola sensiivitas antibiotiknya dikatakan akan sangat bervariasi pada rumah sakit yang berbeda, bahkan pada area yang berbeda di dalam satu rumah sakit. Jadi, rekomendasi penggunaan antibiotik untuk inisiasi terapi harus didasarkan pada survei yang sedang berjalan mengenai flora bakterial resisten dan sensitivitas antibiotik pada area rumah sakit tertentu.Terapi inisial sebaiknya merefleksikan informasi survei yang sedang berlangsung dan dimodifikasi berdasarkan pemeriksaan sputum yang mencakup pewarnaan Gram yang memberikan informasi penting mengenai pentingnya organisme tertentu yang ditemukan pada pemeriksaan kultur. Terapi awal biasanya disertai dengan obat gram negatif spektrum lanjut dosis tunggal seperti seftazidim, piperasilin-tabozaktam, imipenem, siprofloksasin, atau levofloksasin untuk penyakit yang tidak terlalu parah, dan mungkin salah satu sari obat tersebut dengan aminoglikosida untuk pasien dengan penyakit yang lebih parah.87 Karena peningkkatan prevalensi MRSA, vankomisin dikatakan cukup sesuai untuk menunda identifikasi bakteri yang lebih definitif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada manusia telah terbukti bahwa terapi menggunakan dua obat yang berpotensi untuk bekerja secara sinergis dikatakan lebih efekif dibandingkan penggunaan obat tunggal yang kontroversial, namun terapi tersebut digunakan oleh banyak klinisi dalam menghadapi infeksi Peudomonas atau Klebsiella yang sangat progresif.88 Karena beberapa spesies Klebsiella cukup sensitif terhadap sefazolin, maka penggunaannya dapat disubstitusi untuk obat spektrum lanjut yang lebih mahal, ketika sensitivitasnya telah dikonfirmasi.

Tabel 17-6

Penyebab Tersering Pneumoni Pada Pasien Dengan Varian Defek Pada Sistem Pertahanan Tubuh Host dan Terapi Antimikroba Awal

Defek Pertahanan Tubuh HostInfeksi PulmonerTerapi Awal

Gangguan pembentukan antibodi atau splenectomizedStreptococcus pneumoniae; Haemophilus influenza type BLevofloksasin, azitromisin atau ampisilin + inhibitor -laktamase

Depresi imunitas selulerPneumocystis jiroveci; Mycobacteria species;fungi; Nocardia; Legionella;herpes groupviruses; Strongyloides stercoralisTrimetrofin-sulfametoksazol

Penurunan jumlah dan/atau fungsi dari granulositFlora bakteri mulut; Enterobacteriaceae;Pseudomonas aeruginosa;AspergillusSeftazidim, karbapenem, aminoglikosida

Ulkus trakeobronkial dan oralFlora bakteri mulut; EnterobacteriaceaeSeftazidim, karbapenem

Pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, infeksi paru merupakan infeksi mengancam nyawa yang paling sering ditemukan. Walaupun pembahasan rinci mengenai penanganan untuk infeksi paru pada pasien tersebut sebenarnya diluar cakupan dari bab ini, namun beberapa prinsip pada dasarnya telah dijelaskan pada bab ini dalam hal strategi antimikroba. Seperti yang ditampilkan pada Tabel 17-6, defek pertahanan tubuh host tertentu dikaitkan dengan infeksi tertentu, dan terapi awal sebaiknya merefleksikan hubungan tersebut. Pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh tersebut utamanya dicurigai mengalami infeksi nosokomial, baik dengan flora gram negatif residen, maupun dengan spesies Aspergillus, dimana kasus-kasus tersebut bahkan lebih banyak dibandingkan pasien ICU yang lain. Karena pentingnya infeksi tersebut pada pasien, maka penegakan diagnosis yang tepat sangat penting, bahkan dengan menggunakan teknik yang invasif jika dibutuhkan.

BakteremiaBakteremi terjadi pada pasien yang dirawat inap dikatakan berasal dari dua jalur patogenik yang terpisah. Satu rute adalah sebagai konsekuensi dari infeksi jaringan yang ada pada lokasi anatomis. Penyebab utama dari bakteremi untuk jenis ini adalah sepsis traktus urinarius dan biliaris, yang biasanya disebabkan oleh basil gram negatif dan/atau enterokokus; peritonitis yang disebabkan oleh disrupsi integritas usus (infeksi campuran yang disebabkan oleh organisme anaerob seperti B. Fragilis, Enterobakteriseae, terutama E. Coli, dan streptokokus usus, terutama enterokokus); dan pneumoni. Insidensi bakteremi dengan pneumoni bervariasi berdasarkan organisme mana yang menyebabkan infeksi. Contohnya, 0-50% pasien dengan infeksi pneumokokus akan menggambarkan adanya bakteremi dibandingkan kurang dari 10% pneumoni gram negatif atau pneumoni aspirasi. Pada infeksi pneumokokus, bakteremi