TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas...

149
UNIVERSITAS INDONESIA IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011) TESIS Lelly Andriasanti 1006743595 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK DESEMBER 2012 Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Transcript of TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas...

Page 1: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

UNIVERSITAS INDONESIA

IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011)

TESIS

Lelly Andriasanti

1006743595

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK

DESEMBER 2012

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 2: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

UNIVERSITAS INDONESIA

IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Hubungan Internasional

Lelly Andriasanti

1006743595

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

KONSENTRASI KEAMANAN INTERNASIONAL

DEPOK

DESEMBER 2012

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 3: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Lelly Andriasanti

NPM : 1006743595

Tanda Tangan :

Tanggal : 28 Desember 2012

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 4: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

iii Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Lelly Andriasanti

NPM : 1006743595

Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional

Judul Tesis : Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar

Negeri Indonesia (2004-2011)

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 28 Desember 2012

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 5: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

iv Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Islam bukan hanya milik Arab. Islam juga milik bangsa-bangsa non-Arab.

Karena Islam adalah rahmat seluruh alam (Rahmatan lil Alamin), ia dapat tumbuh

sesuai dengan konteks dan tempat perkembangannya. Islam di Indonesia

khususnya, mampu beradaptasi dengan pluralitas sosio-kultural bangsanya

sehingga berhasil menarik perhatian sebagian besar masyarakat di negeri ini.

Islam pun menjadi agama yang mayoritas dipeluk bangsa Indonesia. Meski

demikian, Islam tidak pernah menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan luar

negeri sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Namun, praktik kebijakan luar negeri

beberapa waktu belakangan ini menunjukan gejala yang berbeda. Indonesia tidak

malu lagi mengusung keIslamannya ke ranah internasional dalam suasana yang

moderat.

Melalui penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran tentang

pencitraan Islam moderat dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Penulis

menyadari, banyaknya keterbatasan dalam proses penulisan tesis ini belum

mampu memberikan hasil yang sempurna. Meski demikian, penulis berusaha

semaksimal mungkin untuk memberikan analisis mengenai pengaruh Islam dalam

kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk itu, penulis berharap agar penelitian ini

dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan khasanah keilmuan

hubungan internasional.

Puji syukur penulis panjatkan Allah SWT karena tanpa izin-Nya, penulis

tidak dapat menyelesaikan tesis untuk memenuhi salah satu syarat pencapaian

gelar Magister Sains pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Evi Fitriani, Ph,D, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan

waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan memberikan inspirasi

dalam penyusunan tesis ini.

(2) Prof. Dzainuddin Djafar; Drs. Makmur Keliat; Drs. Fredy B.L. Tobing;

M.Si; Drs. Edy Prasetyono, Drs. Andy Widjayanto; Broto Wardoyo, MA.

Drs. Syamsul Hadi; Drs. Haryadi Wirawan.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 6: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

v Universitas Indonesia

(3) Segenap pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan FISIP

UI yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan selama menjalani

masa studi di Universitas Indonesia

(4) Mbak Ice dan Pak Udin, selaku staf di Program Pasca Sarjana HI yang selalu

setia melayani segala permintaan dan keluh kesah saya selama menjalani

masa studi saya di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI.

(5) Orang tua tercinta, Sudjarwanto Ismoyo, Sri Faturiyanti, Effendi Hasyim,

dan Jubaedah yang tidak pernah berhenti memberikan doa, dukungan dan

semangat dalam melaksanakan pendidikan di Universitas Indonesia dan

dalam menyusun tesis ini.

(6) Kekasih terncinta, Irmawan Effendi, yang selalu menjadi suami siaga selalu

untuk mendukung dan menyemangati penulis.

(7) Ananda tercantik, Hana Baizaa Dzuhaini, yang selalu menghibur penulis

dengan manja dan centil.

(8) Segenap atasan dan kolega saya di Megawati Institute yang telah

mendukung saya dalam menjalankan tugas belajar dan memberikan

pengertian bagi kelancaran penulisan tesis ini.

(9) Teman-teman Pasca Sarjana Hubungan Internasional UI 2010, yang tidak

dapat saya sebutkan satu persatu, atas persahabatan, dan keakraban yang

saya terima selama menjalankan masa studi.

Akhir kata, saya berharap semoga Allah berkenan membalas kebaikan

semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis

dalam menyusun tesis ini. Sekali lagi, penulis berhadap semoga tesis ini

bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Depok, 28 Desember 2012

Lelly Andriasanti

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 7: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

vi Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Lelly Andriasanti

NPM : 1006743595

Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional

Departemen : Hubungan Internasional

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2004-

2011)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non

ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan,

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak

Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 28 Desember 2012

Yang menyatakan

(Lelly Andriasanti)

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 8: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Lelly Andriasanti

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri

Indonesia (2004-2011)

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan luar negeri Indonesia tampak

berusaha mencitrakan identitas Islam moderat dalam hubungan internasional. Hal

ini berbeda dengan praktik-praktik kebijkan luar negeri Indonesia yang secara

historis menghindari refleksi faktor Islam meski mayoritas penduduknya adalah

Muslim. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri

Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat. Metodologi yang digunakan

dalam tesis ini adalah kualitatif dalam anilisis wacana. Hasil penelitian ini adalah

Islam moderat Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya dengan membedakan dari

negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur Tengah; adanya ekspektasi

dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, untuk memahami dan

mendekatkan diri dengan dunia Muslim; pemerintah Indonesia ingin

mengakomodasi suara komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini

mengharapkan adanya perbaikan hubungan dengan dunia Islam; adanya motivasi

Indonesia untuk mengambil peran dalam hubungan internasional sesuai dengan

konsistensi cara pandangnya terhadap dunia.

Kata kunci: Identitas, Islam Moderat, kebijakan luar negeri Indonesia, dan peran.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 9: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Lelly Andriasanti

Study Program : International Relations

Title : Moderate Islam Identity in Indonesia’s Foreign Policy

(2004-2011)

In recent years, Indonesia's foreign policy seemed to be portraying moderate

Islamic identity in international relations. This is in contrast to practices foreign

policy of Indonesia, which has historically avoided the reflection factor of Islam

while the majority of the population is Muslim. This then begs the question why

Indonesia's foreign policy promoting moderate Islamic identity. The methodology

used in this thesis is a qualitative in discourse analysis. The results of this study

are moderate Islam Indonesia wants to identify its self to distinguish from other

Muslim countries, especially the Middle East region; there are expectations of the

international community, especially Western countries, to understand and get

closer to the Muslim world; Indonesia government wants to accommodate the

voice of domestic Muslim community that had been hoping for a better relations

with the Muslim world; the motivation of Indonesia to take part in international

relations in accordance with the consistency of its worldview.

Keywords: identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, and Role

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 10: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

ABSTRACT ................................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR, GRAFIK, DIAGRAM DAN TABEL ......................... xi

1. PENDAHULUAN................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3

1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...................................................... 3

1.4 Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4

1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 11

1.5.1. Teori Identitas ............................................................................ 11

1.5.2. Teori Peran dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia .................. 13

1.6. Operasionalisasi Konsep .................................................................... 16

1.7. Model Analisa ................................................................................... 18

1.8. Hipotesis ........................................................................................... 18

1.9. Metode Penelitian .............................................................................. 19

1.10. Sistematika Penelitian ...................................................................... 21

2. Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia ...... 23

2.1 Dampak Serangan 11 September terhadap Kebijakan Luar

Negeri Indonesia................................................................................. 23

2.1.1. Pandangan Barat Terhadap Islam ............................................. 26

2.1.2. Tanggapan Dunia Islam terhadap Barat Pasca Serangan 11

September ................................................................................ 32

2.2 Presentasi Identitas Islam Moderat sebagai Respon atas

Ekspektasi Internasional dan domestik ............................................... 42

2.2.1. Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat

dan Islam.................................................................................. 45

2.2.2. Identitas Islam Moderat Sebagai Model bagi Dunia Islam ........ 52

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 11: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

x Universitas Indonesia

3. Faktor dan Aktor dalam Pembentukan Identitas Islam Moderat

Indonesia ................................................................................................. 61

3.1. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia.............. 62

3.1.1. Pluralisme ................................................................................ 63

3.1.2. Modernitas ............................................................................... 66

3.1.3. Demokrasi ................................................................................ 72

2.2. Aktor-Aktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia dalam

Kebijakan Luar Negeri Indonesia ....................................................... 77

2.2.1. Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan ............................... 77

2.2.2. Partisipasi Kelompok-kelompok Islam Moderat Indonesia ....... 83

4. Peristiwa yang Memperlemah dan Aspek Penguat Pencitraan

Identitas Islam Moderat ......................................................................... 89

4.1 Peristiwa yang memperlemah Pencitraan Islam Moderat Indonesia ..... 89

4.1.1. Peningkatan dan Penyebaran Gerakan Kelompok Islam Radikal 90

4.1.2. Regenerasi Terorisme ................................................................ 97

4.1.3. Penerapan Hukum Syariah di Tingkat Daerah ........................... 102

4.1.4. Pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ................................ 107

4.1.5. Intoleransi dan Dilema Pencitraan di Tingkat Internasional ....... 111

4.2 Aspek Penguat Pencitraan Identitas Islam Moderat ............................. 114

4.2.1. Penolakkan Hukum Sharia ........................................................ 114

2.2.2. Kemunduran Parpol Islam dalam Pemilu ................................... 117

5. Kesimpulan.............................................................................................. 121

4.1 Hasil Temuan Penelitian ..................................................................... 121

4.2 Rekomendasi ...................................................................................... 126

DAFTAR PUSTAKA

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 12: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

xi Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar, Grafik, dan Diagram

2.1 Penyajian Opini Konfrontatif di Media AS ......................................... 29

2.2 Populasi Muslim Mayoritas di Asia Tenggara ..................................... 38

2.3 Jumlah Kedatangan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan

Australia 2001-2006 .......................................................................... 48

2.4 Penerimaan Devisa dari Kunjungan Wisman Asal Amerika Utara,

Eropa, dan Australia 2001-2006 .......................................................... 48

2.5 Efek Domino dari Perubahan Politik di Tunisia dan Mesir .................. 53

3.1 Skema Intelegensia Muslim Indonesia ................................................ 70

3.2 Porsi Kekuatan Parpol Islam di Legislatif (1955-2009) ....................... 74

3.3 Perbandingan Partisipasi Parpol Islam dan Perolehan Kursi Parpol

Islam di Legislatif dalam Pemilu 1997-2009 ....................................... 75

3.4 Pola Multi-track Diplomacy................................................................ 79

4.1.Frekuensi Aksi-aksi FPI 2008-2010 .................................................... 96

4.2 Kategorisasi Perda-perda Bernuansa Syariah di Indonesia .................. 104

4.3 Pemetaan Wilayah Kemunculan Perda-perda Syariah

Berdasarkan Afiliasi Historis Gerakan DI ........................................... 105

4.4 Intoleransi Atas Dasar Agama Atau Keyakinan dan Pelanggaran

Kebebasan Agama .............................................................................. 111

4.5 Kecondongan Penurunan Perda Syariah di Indonesia (1999-2007) ...... 116

4.6 Orientasi Nilai Politik Komunitas Muslim Indonesia .......................... 118

4.7 Pandangan Muslim Indonesia Terhadap Nilai-nilai Politik Islam ........ 119

Tabel

1.1 Jumlah dan Prosentase Penduduk Indonesia Berdasarkan Agama

Tahun 2000-2010 ............................................................................... 2

1.2 10 Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia 2010 ................... 4

2.1 Persepsi terhadap Muslim di enam negara anggota UE ....................... 30

2.2 Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Konflik Islam dan

Modernitas ........................................................................................ 31

2.3 Pelaksanaan Bali Democracy Forum ................................................... 50

2.4 Negara-negara dengan Rezim Otoriter di Timur Tengah dan

Afrika Utara ....................................................................................... 52

2.5 Penempatan TKI di Timur Tengah dan Afrika Utara (2006-2011) ....... 58

3.1 Ringkasan Korelasi antara Islam dan Unsur Demokrasi di Indonesia .. 76

4.1 Rangkaian Aksi Bom Bunuh diri di Indonesia yang Diarahkan

pada Simbol-simbol Barat................................................................... 100

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 13: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Negara bukan hanya entitas yang dibentuk oleh unsur material politik

internasional, tapi juga unsur non-material seperti identitas. Selain membentuk

kepentingan nasional, identitas juga menentukan nilai-nilai yang menjadi

pedoman suatu negara dalam bertingkah laku di tengah hubungan internasional.

Identitas sering kali dituangkan dalam kebijakan luar negeri sebagai atribut yang

melekat kuat pada citra negara. Identitas yang diproyeksikan dalam kebijakan luar

negeri dapat bersumber dari ras, jender, bangsa, agama, ataupun ideologi.1 Dalam

sistem internasional kontemporer, agama merupakan salah satu identitas yang

paling menonjol. Agama menyediakan narasi dan keyakinan yang berpengaruh

kuat pada diri aktor.2 Islam khususnya, menjadi sorotan tajam dalam tiap

diskursus pasca peristiwa serangan menara kembar World Trade Center (WTC)

pada 11 September 2001.

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia. Pada

tahun 2000, penduduk muslim Indonesia berjumlah 177,5 juta jiwa atau 88,2

persen dari total penduduknya. Dalam rentan waktu lima tahun, angka ini

menunjukan peningkatan dengan menduduki angka 189 juta jiwa pada 2005. Nilai

ini setara dengan 88,5 persen dari total penduduk Indonesia.3 Sedangkan pada

2010, angka ini mencapi 205,1 juta jiwa atau 88,2 persen dari 232,5 juta jiwa total

penduduk Indonesia (lihat tabel 1.1).4 Meski penduduk Muslim adalah mayoritas

di Indonesia, negeri ini bukanlah negara teokrasi. Indonesia bukanlah negara yang

dibangun oleh kesamaan agama, tapi oleh kemajemukan bangsa dan pluralisme

agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan

pluralisme nyatanya turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri Indonesia.

1 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations and World Politics: Security,

Economy, Identity, (United States: Pearson Prentice Hall, 2007), hal. 396. 2 Catarina Kinnvall, “Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for

Ontological Security”, Political Psychology, Vol. 25/5 (2004), hal 742. 3 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Laporan Tahunan Kehidupan

Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010, hal. 13. 4 Houssain Kettani, “World Muslim Population: 1950-2020”, International Journal of

Environmental Science and Development (IJESD), Vol. 1/2 (June 2010), hal. 7.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 14: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

2

Universitas Indonesia

Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri diawasi secara

ketat agar tidak didikte oleh pertimbangan-pertimbangan ideologi Islam.5 Hal ini

ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak merusak

persatuan bangsa.

Tabel 1. 1 Jumlah dan Prosentase Penduduk Indonesia Berdasarkan

AgamaTahun 2000-2010

Agama

2000 2005 2010

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Islam 177.528.772 88,22 189.014.015 88,58 205.126.295 88,20

Protestan 11.820.075 5,87 12.356.404 5,79 13.462.686 5,79

Katolik 6.134.902 3,05 6.558.541 3,07 7.138.246 3,07

Hindu 3.651.939 1,81 3.697.971 1,73 4.022.529 1,73

Buddha 1.694.682 0,84 1.299.565 0,61 1.418.348 0,61

Lainnya 411.629 0,20 448.791 0,21 1.395.097 0,60

Jumlah

Penduduk

201.241.999 100,00 213.375.287 100,00 232.516.171 100,00

Sumber: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM 2009 dan International Association of Computer Science and Information Technology Press (IACSIT) 2010

Namun demikian, Departemen Luar Negeri (Deplu) mulai

mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia sejak tahun 2004. Menteri

Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda memaparkan, sebagai negara dengan

penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul kewajiban untuk

memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang moderat.6

Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden secara

demokratis semakin mempertegas pola tersebut. Melalui berbagai forum dan

konferensi internasional, SBY berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas,

dan demokrasi dapat bergandengan satu sama lain.

Ekspresi kemoderatan Islam Indonesia ini setidaknya dapat ditemukan

pada beberapa kesempatan seperti Bali Democracy Forum (BDF), World

Movement for Democracy, Parliamentary Union Of OIC Member States (PUIC),

dan International Conference on Global Movement of Moderates. Hal ini

5 Michael Leifer, Kebijakan Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hal xvi. 6 Hassan Wirajuda, “Refleksi tahun 2003 dan Proyeksi tahun 2004” dipaparkan di Jakarta, 6

Januari 2004.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 15: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

3

Universitas Indonesia

menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak lagi alergi terhadap

unsur Islam dalam mencitrakan identitas nasional Indonesia ke panggung

internasional.7

Penempatan identitas Islam moderat sebagai dimensi penting dalam

pencitraan nasional sepertinya menunjukan keinginan Indonesia untuk

menampilkan keunikan dirinya di tengah pergaulan internasional. Menurut Mark

Woordward, sebagian besar muslim dunia adalah moderat.8 Akan tetapi, hanya

sedikit negara Islam yang memiliki karakter kemoderatan yang komprehensif,

Indonesia salah satunya.

Kemoderatan Muslim Indonesia ditunjukan dengan keberhasilannya

melakukan transformasi sistem kebijakan dari otoriter ke sistem yang lebih

demokratis sehingga memperlihatkan bahwa demokrasi tidak bertentangan

dengan Islam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid menggambarkan kemoderatan

Indonesia sebagai hasil dari semangat pluralisme sehingga tumbuh subur dalam

konteks demokrasi.9 Kondisi ini cukup menjelaskan perbedaan karakter antara

masyarakat Muslim Indonesia dengan Muslim di Timur Tengah.

1. 2. Rumusan Masalah

Tesis ini akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut: Mengapa

kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat (2004-

2011)?

1. 3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memahami argumentasi elit

pemerintah secara spesifik dalam mengambil preferensi identitas Islam moderat

pada formulasi kebijakan luar negeri Indonesia. Sedangkan signifikansi dari

penelitian ini berkaitan erat dengan wajah Islam yang mendapat stigma teroris

sepanjang satu dekade terakhir. Stigma demikian tentu tidak bisa digeneralisir.

Untuk itu, tulisan ini hendak menampilkan wajah Islam yang lain. Melalui karya

7 Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia”,

Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 439. 8 Mark Woordward, “kata pengantar”, dalam Abdurrahman Wahid, Islam, Pluralism, and

Democracy, (Arizona: Center for the Study of Religion and Conflict (CSRC), 2007), hal 2. 9 ibid, hal. 12.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 16: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

4

Universitas Indonesia

ilmiah ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru tentang Islam yang lebih

toleran. Signifikansi berikutnya terkait dengan urgensitas posisi Indonesia sebagai

negara Muslim terbesar di dunia. Posisi ini dapat dilihat pada table berikut

Tabel 1. 2 10 Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia 2010

Negara Total

Penduduk

Persentasi

Penduduknya

yang Muslim

Jumlah

Penduduk

Muslim

Persentasi

Populasi

Muslim Dunia

Indonesia 232.516.171 88,20 205.126.295 12,9

Pakistan 184.753.300 96,50 178.286.935 11,1

India 1.214.464.312 13,43 163.102.557 10,3

Bangladesh 164.425.491 89,58 147.292.355 9,3

Mesir 84.474.427 94,12 79.507.331 5,0

Turki 75.705.147 99,17 75.076.794 4,8

Iran 75.077.547 99,43 74.649.605 4,7

Nigeria 158.258.917 44,56 70.520.173 4,5

Algeria 35.422.589 99,00 35.068,363 2,2

Sudan 43.192.438 78,90 34.078.834 2,1

Sumber: International Journal of Environmental Science and Development (IJESD) 2010

Tabel di atas memperlihatkan bahwa, Indonesia tidak hanya memiliki

penduduk Muslim terbesar di kawasan Asia Tenggara tapi juga di dunia. Karena

itu, kuantitas Muslim Indonesia yang signifikan di dunia diharapkan dapat

mewakili dunia Islam. Sedangkan signifikansi internal terletak pada mayoritas

penduduk Indonesia yang beragama Islam. Karya ilmiah ini diharapkan dapat

memberikan pemaparan akan peluang dan tantangan kepada kelompok-kelompok

Islam moderat Indonesia untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan

kebijakan luar negeri.

1. 4. Tinjauan Pustaka

Studi mengenai identitas dalam kebijakan luar negeri bukanlah hal baru.

Tidak sedikit akademisi yang mengkaji studi ini. Beberapa akademisi yang telah

melakukan studi tersebut antara lain Elisabeth Johansson-Nogués, Hüsamettin

İnaç, Andrei Piontkovsky, Zhu Liqun, dan Ahmad Sadeghi. Identitas yang

dituangkan dalam karya mereka pun beraneka ragam dan tidak hanya sebatas

persoalan agama saja. Studi yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini sengaja

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 17: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

5

Universitas Indonesia

dipilih berdasarkan kawasan tententu untuk mempermudah analisa dan

kontekstualisasi fenomena identitas dalam studi kebijakan luar negeri.

Studi pertama yang akan dibahas dalam tinjauan pustaka ini berjudul is the

EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European Union, the Northen

Dimension and the Union for Mediterranean. Dalam studi ini, Elisabeth

Johansson-Nogués mengusung identitas dalam kerangka institusi yang

mengatasnamakan kolektifitas negara-negara sebangsa. Preferensi Nogués tertuju

pada kolektifitas Eropa yang terangkum melalui Uni Eropa (UE) sebagai institusi

regional. Ia menempatkan regional multilateralisme, kebijakan multi-sektoral, dan

intervensionisme sebagai identitas yang melekat dalam kolektifitas UE .10

UE secara otomatis mempromosikan kerangka kerja multilateral ke dalam

kebijakan luar negerinya untuk menjalin hubungan dengan negara-negara

tetangganya, khususnya negara-negara di kawasan Mediterania dan Baltik yang

bertetangga dekat dengan UE. Antusiasme UE terhadap kedua kawasan tersebut

tidak lepas dari kebijakan multi-sektoral dalam wacana kerjasama yang lebih luas

pada bidang kebijakan dan keamanan; ekonomi dan finansial; serta sosial dan

kultural. Setali tiga uang, kedua identitas yang menjadi ciri UE juga memuat

kecenderungan intervensionisme terhadap negara-negara tetanga yang menjadi

mitranya.

Akan tetapi, kerja sama yang diharapkan tercipta antara UE dengan kedua

kawasan tersebut akhirnya mengalami kegagalan. Lebih lanjut, Nogués

menjelaskan bahwa kegagalan tersebut lebih dikarenakan identitas kolektif UE

yang meletakkan ide asbtrak atas kebijakan luar negeri bersama dibanding

menyiapkan kekuatan berbasis aksi kolektif. Selain itu, kegagalan hubungan

tersebut juga disebabkan kurang suksesnya UE memodifikasi diri dengan konteks

sosio-ekonomi-kebijakan yang berkembang di Baltik maupun Mediterania. Hal ini

pun mendorong kawasan Baltik dan Mediterania berasumsi bahwa UE selama 10

tahun terakhir belum berubah. Lembaga regional ini dianggap utilitarian, intrusif,

dan terlalu Eropa.

10 Elisabeth Johansson-Nogués, “is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European

Union, the Northen Dimension and the Union for Mediterranean”, European Political Economy

Review No. 9 (Autumn 2009), hal. 28-31.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 18: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

6

Universitas Indonesia

Meski paparan Nogués disampaikan secara komprehensif, ia kurang

menaruh perhatian pada faktor Eropa. Hal ini ditunjukan Nogués dengan tidak

memberikan penjelasan lebih lanjut tentang definisi identitas Eropa, baik yang

diinterpretasikan oleh UE sendiri, maupun oleh kawasan Baltik dan Mediterania.

Padahal, implikasi cara pandang masing-masing pihak turut berkontribusi atas

kegagalan struktural yang terjadi dalam hubungan kerjasama antara UE dengan

kawasan Mediterania dan Baltik. Terlebih lagi, kerjasama UE-Baltik atau dikenal

dengan konsep kerjasama Utara melibatkan peran Rusia yang secara historis

memiliki persepsi tersendiri sebagai hasil bentukan selama Perang Dingin

berlangsung.

Masih terkait dengan UE, Hüsamettin İnaç membahas integrasi kawasan

ini berpengaruh besar terhadap pembentukan identitas Turki. Dalam Identity

Problems of Turkey during the European Union Integration Process, İnaç

menguraikan perubahan identitas Turki dalam proses modernisasi yang

berkepanjangan. Modernisasi yang umumnya dipahami sebagai Westernisasi ini

terjadi dalam tiga level: modernisasi Ottoman, modernisasi Kemal, dan

Westernisasi di bawah kerangka integrasi UE.11

Menurut İnaç, proses modernisasi

ini merupakan proyek peradaban yang tak terelakkan selama dua abad berturut-

turut.

Identitas Turki pun dihadapkan pada sejumlah tantangan baru dalam

melawan shock culture dan culture gap dari proses integrasi UE. Pada masa

modernisasi Otoman, identitas Turki kental dengan nilai-nilai Islam dan anti

Barat. Masyarakat Turki pada periode ini menganggap Barat sebagai ancaman

eksistensi dan persatuan negara. Dalam hal ini, modernisasi yang terjadi diarahkan

sebagai upaya defensif untuk melawan ambisi Barat. Sedangkan modernisasi

dalam kerangka integrasi UE mengkategorikan identitas Turki berdasarkan

eksistensi partai kebijakan dan spesialisasi diri yang berbasis pada sosio-kultural

masyarakat Turki. Karena itu, rasa memiliki atau tidak memiliki Eropa akan

menentukan identitas Turki.

Namun, proses modernisasi Turki terkait dan tergantung pada UE.

Regionalisme kawasan ini merupakan sikap pragmatis Turki dalam menyediakan

11 Hüsamettin İnaç, “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process”,

Journal of Economic and Social Research, Vol. 6/2 (2004), hal. 33.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 19: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

7

Universitas Indonesia

solusi konkrit bagi ekonomi dan ekspektasi kebijakan. Untuk itu, integrasi UE

merupakan hasil konkret dari proses Westernisasi Turki.12

Tujuan ini ditantang

pada kenyataan bahwa Islam masih menjadi formula sosio kultural yang hidup di

tengah masyarakat Turki. Pertimbangan ini berbuah pada penolakan halus UE

yang melihat bahwa Turki belum siap menerima nilai kebijakan dan kultur Barat.

UE selalu menganggap Barat adalah peradaban yang unik di mana terdapat

dinamika fundamental dari suatu transformasi sosial. Dari gambaran di atas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa belum diterimanya Turki menjadi anggota UE hingga

saat ini menandakan kegagalan Turki dalam menerjemahkan identitasnya.

Tidak berbeda jauh dengan Nogués dan İnaç, perhatian terhadap identitas

juga didasarkan pada akar kebangsaan (nation). Dalam tulisan yang berjudul East

or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy, Piontkovsky menggambarkan

krisis identitas Rusia pada masa pemerintahan Vladimir Putin yang dilanda

kegamangan akan identitas ideologis seiring keruntuhan Uni Soviet.

Kekhawatiran elite Rusia tertangkap dari pidato-pidato Putin yang sering

menggunakan istilah-istilah pahit semasa perang ideologis seperti pragmatis

nasionalis, fundamentalis nasionalis, dan liberal Barat. Dampaknya, kebijakan

luar negeri Rusia diawal pemerintahan Putin cenderung anti-Amerika dan Barat.

Padahal tantangan kebijakan luar negeri Rusia bukan lagi dilandasi

ancaman ideologis. Terlebih lagi, Barat yang notabene berinduk dari Eropa

memiliki kedekatan sejarah sosio-kultural dengan Rusia. Menurut Piontkovsky,

terdapat tiga masalah keamanan yang dihadapi Rusia, yaitu instabilitas internal;

fundamentalisme Islam dan terorisme; serta pertumbuhan China yang

diperkirakan melebihi Rusia dan Siberia. Mau tidak mau, tantangan ini

membutuhkan solusi berupa aliansi jangka panjang dengan Barat. Piontkovsky

menyimpulkan, hanya dengan berkiblat pada Barat, Rusia dapat mencapai tujuan

kebijakan luar negeri sekaligus menyelamatkan identitas ke-Eropa-annya di abad

21.13

Kekurangan dari studi ini terletak pada sudut pandang Piontkovsky yang

menempatkan identitas ideologi sebagai terminologi masa lalu yang seolah-olah

12 Ibid., hal. 35. 13 Andrei Piontkovsky, East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy, (London: Foreign

Policy Centre, 2006), hal. vii.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 20: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

8

Universitas Indonesia

harus dihilangkan ketika Perang Dingin berakhir. Bagaimanapun juga, sistem

sosio-kultural Rusia tak dapat lepas dari faktor ideologis. Karena itu, hal ini tidak

dapat diabaikan sebagai pembentuk identitas Rusia. Penonjolan identitas Eropa

yang diarahkan Piontkovsky seharusnya tidak hanya dijabarkan dalam bentuk

kerjasama dengan negara-negara mitra Eropa lainnya. Konsolidasi internal Rusia

juga menjadi bagian penting yang harus diperhatikan dalam membentuk keutuhan

identitas Eropa itu sendiri.

Masih dalam koridor identitas bangsa, Zhu Liqun tidak akan membahas

identitas China melalui pendekatan entitas yang umum dipakai dalam paradigma

Barat. Menurutnya, pendekatan proses lebih aplikatif dalam mengkaji identitas

China. Pasalnya, China membangun identitas berdasarkan relasi sosial (social

relations) yang merupakan aspek signifikan dalam kehidupan dan aktivitas sosial.

Orang China percaya, baik power dan identitas sama-sama didefinisikan dalam

jejaring relasi. Hal inilah yang kemudian dijadikan kebanggaan masyarakat China

dalam istilah ‘peradaban 6000 tahun’.

Secara fundamental, konsep relasi dan ide perubahan membentuk

kepercayaan masyarakat China. Menurut kepercayaan ini aktor mengatur dan

mejaga relasinya dalam proses interaksi internasional di mana aktor mungkin

menikmati identitas yang beragam dalam beragam relasi pula.14

Pemikiran

tersebut otomatis ikut mendefinisikan kepentingan nasional dan strategi diplomasi

China kontemporer. Mengingat signifikansi pertumbuhan ekonominya, China

mulai mentransformasikan identitas yang tercermin dari formulasi kebijakan luar

negeri dalam sistem internasional. Liqun mengungkapkan, interaksi antara China

dan sistem internasional adalah proses dinamika perubahan.

Interaksi merupakan proses membangun relasi dan proses saling

mempengaruhi. Dalam relasi, China berusaha menemukan pengakuan dari sistem

internasional. Hal ini tentu melalui proses kompleks dan berkepanjangan agar

China mampu mendefinisikan peran internasionalnya. Untuk itu, China tidak

hanya menjadi bagian dari organisasi internasional, tapi juga menjalin relasi

dengan berbagai negara, baik besar ataupun kecil. Demi menjaga relasi, China

akan mempertahankan banyak fitur, baik sebagai bagian dari negara berkembang

14 Zhu Liqun, China’s Foreign Policy Debates, (Paris: EU Institute for Security Study, 2010), hal.

21.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 21: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

9

Universitas Indonesia

maupun negara maju, sesuai dengan pihak yang diajak berinteraksi. Dengan kata

lain, China konsisten mempertahankan keragaman identitas dalam berbagai

peranan secara damai.15

Paparan Liqun bisa dikatakan sebagai referensi alternatif dalam

memahami identitas China. Namun, perlu diperhatikan bahwa identitas

merupakan hasil konstruksi sebagai konsekuensi dari dua proses. Pertama,

formasi ‘diri’ atau ego. Formasi ini merupakan proses yang dilalui aktor untuk

memberikan atribut dan tujuan dari dirinya. Rancangan mengenai diri ini tentu

berkontribusi pada persepsi ‘diri’ yang secara individual berbeda dengan pihak

lain (alter).16

Sejauh ini, formasi diri China yang dijabarkan Liqun berujung pada

kesimpulan bahwa China memegang identitas peran yang sifatnya damai. Kedua,

afirmasi dari pihak lain yaitu proses implikatif setelah formasi diri dibentuk. Pada

proses kedua inilah Liqun tidak memberikan penjelasan yang komprehensif.

Hanya ekspektasi atas pengakuan dari formasi diri China yang lebih banyak

diuraikan Liqun, sehingga identitas peranan damai yang berusaha ditampilkan

China belum banyak bekerja. Kemunculan China dalam sistem internasional

malah sering kali diwaspadai dan dikhawatirkan, baik oleh negara-negara maju

maupun negara-negara berkembang.

Berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya yang menggali identitas

kebijakan luar negeri dari faktor bangsa, Ahmad Sadeghi meletakkan identitas

pada basis agama. Dalam tulisan yang berjudul Genealogy of Iranian Foreign

Policy: Identity, Culture, and History, ia memaparkan faktor-faktor pembentuk

kebijakan luar negeri Iran. Faktor-faktor yang dimaksud adalah identitas, budaya,

dan sejarah. Ketiga faktor ini bermuatan ideologis sekaligus non-ideologis yang

mempengaruhi perubahan dan keberlanjutan pola kebijakan luar negeri Iran.

Negeri para Mullah ini memperoleh momentum perubahan ketika terjadi Revolusi

Islam yang menjatuhkan rezim Pahlevi. Revolusi yang terjadi pada tahun 70-an

kian menampakan karakteristik Islam yang bukan sekedar variabel sosial yang

tumbuh di ranah domestik.

Pasca revolusi, internalisasi Islam terjadi dalam tiap sendi kehidupan

negara. Secara otomatis, identitas Islam segera melekat pada Iran. Melalui

15 Ibid., hal. 40. 16 Elisabeth Johansson-Nogués, loc. cit., hal. 27.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 22: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

10

Universitas Indonesia

pendekatan genealogi, Sadeghi menguraikan keberlanjutan identitas ini dalam

pola kebijakan luar negeri Iran. Selain identitas, konfigurasi kepentingan nasional

yang hendak dicapai kebijakan luar negeri Iran merupakan kombinasi dari

budaya, nasionalisme, kebijakan dan faktor ekonomi. Dalam hal ini, momentum

revolusi tidak hanya dimanfaatkan untuk merubah peta geopolitik di Timur

Tengah. Alhasil, revivalisme Islam Iran yang cenderung konfrontatif kian

berkembang dan berlanjut.

Revivalisme Iran tidak hanya ditujukan kepada dunia Barat, tapi juga

negara-negara di kawasan Timur Tengah dan negara-negara bekas Uni Soviet.

Sadeghi pun menyebut gelombang revivalisme ini sebagai ‘pengeksporan

revolusi’. Bahkan, hal ini menjadi diskursus dominan jangka panjang dalam

kebijakan luar negeri Iran. Pengeksporan revolusi dianggap sebagai tanggung

jawab moral dalam rangka membangun tata dunia Islam.17

Dapat ditarik garis besar bahwa identitas yang diungkapkan Sadeghi

bersifat konfliktual. Sebab, redefinisi diri yang dilakukan Iran telah

mendikotomikan antara diri dengan pihak oposisi yang harus diperangi,

khususnya AS. Studi yang menaruh tendensi rasa permusuhan dengan AS

membuat Sadeghi kurang mengeksplorasi proses afirmasi akan identitas diri Iran

yang datang dari negara-negara Timur tengah, khususnya yang bertetangga dekat

dengan Iran. Hal ini berguna untuk memahami tujuan identitas Iran akan adanya

tata dunia Islam yang berbasis pada unifikasi Islam dan solidaritas kemanusiaan.

Basis hukum yang seharusnya dapat mengabaikan masalah etnis, kultural, bahkan

permasalahan sektarian sesuai artikel ke-11 konstitusi Iran dirasa kurang

dijabarkan oleh Sadeghi. Akhirnya, Iran seolah-olah tampak sebagai entitas yang

terpisah dan eksklusif dari dunia Arab. Padahal, terdapat pula Irak dan Libyia

yang memiliki semangat solidaritas kepada Palestina dan beroposisi dengan AS.

Dari uraian referensi dalam tinjauan pustaka, terlihat jelas bahwa identitas

umumnya menyebabkan problematika, baik di ranah domestik maupun

internasional. Dalam ruang domestik, problematika ini berkutat pada pencarian

dan pengakuan jati diri sehingga menimbulkan dilema dan krisis, seperti pada

kasus UE, Turki, Rusia, dan China. Sedangkan dalam dinamika sistem

17 Ahmad Sadeghi, “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History”, the

Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX/4 (Fall, 2008), hal. 22.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 23: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

11

Universitas Indonesia

internasional identitas memperlihatkan bagaimana anarki dapat terjadi. Seperti

pada kasus Iran, identitas yang dimunculkannya cenderung menyulut konflik

dengan negara-negara Barat khususnya AS. Sebab, identitas merupakan

pemahaman kolektif yang mengkonstitusikan struktur sehingga mengorganisasi

tingkah laku negara untuk dapat menentukan antara kawan atau lawan.18

Dalam

sistem internasional yang anarki, persepsi identitas yang membedakan lawan dan

kawan ini penting untuk menjadi refrensi aktor dalam berinteraksi.

Berangkat dari asumsi bahwa wajah identitas tidak selalu problematis dan

konfliktual, karya ilmiah ini akan menaruh perhatian pada kapasitas identitas

dalam memediasi konflik. Untuk itu, tesis ini akan menyoroti identitas Islam

Moderat Indonesia (2004-2011) yang dianggap mampu menjembatani konflik

antara Barat dan dunia Islam. Anggapan ini terbaca dari harapan-harapan

kalangan internasional yang perlu disikapi oleh elit pemerintah Indonesia. Untuk

itu, sudah sewajarnya jika Indonesia mengambil peran yang lebih signifikan di

tengah dinamika isu internasional. Dalam pengambilan peran tersebut, kebijakan

luar negeri tidak dapat diabaikan karena merupakan instrumen dalam menentukan

tindak tanduk suatu negara. Untuk memahami proses pengambilan peran, tesis ini

akan menggunakan konsep identitas dan teori peran (role theory) dalam kebijakan

luar negeri.

1. 5. Kerangka Pemikiran

1. 5. 1. Teori Identitas

Pada dasarnya, konsep identitas muncul dari pertanyaan dasar akan

eksistensi diri, seperti siapa saya; siapa kamu; atau apa yang membedakan kita.

Semua pertanyaan tersebut tidak mungkin terjawab tanpa interaksi sosial yang

nantinya membentuk pemahaman akan diri dan pihak lain. Identitas dimunculkan

kepada dunia luar agar dapat diberlakukan sebagai properti yang sengaja

digunakan aktor untuk menggeneralisasikan motivasi dan tingkah laku yang

berbeda dengan pihak lain. Artinya, identitas berfondasikan subjektivitas sesuai

dengan pemahaman diri aktor itu sendiri. Akan tetapi, pemahaman diri dari aktor

bergantung pada apakah aktor lain mengafirmasi aktor tersebut dengan cara yang

18 Alexander Wendt, Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power

Politics,” International Organization Vol. 46/2 (Spring 1992), hal. 397.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 24: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

12

Universitas Indonesia

sama. Dalam hal ini, identitas meliputi intersubjektifitas atau kualitas sistemik

yang dikonstitusikan baik oleh struktur internal maupun eksternal.19

Untuk melihat karakter dari berbagai hubungan internal-external ini,

Alexander Wendt menjelaskannya dalam empat jenis identitas. Pertama,

corporate identity merupakan identitas yang dikonstitusikan oleh

pengorganisasian diri, struktur homeostatik yang membuat aktor sebagai entitas

yang berbeda. Dalam proses interaksi sosial, identitas jenis ini sering kali

menerapkan pembedaan kognitif secara rutin dengan mendiskriminasi anggota

diluar kelompok (out-group) dari anggota kelompoknya (in-group).20

Aktor yang

memegang identitas ini cenderung memiliki kesadaran dan memori akan diri

sebagai tempat terpisah antara pemikiran dan aktivitas.

Kedua, type identity mengacu pada kategori sosial atau penggunaan label

pada aktor yang membagi sejumlah karakteristik dalam penampilan, tingkah laku,

sifat, sikap, nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan

sejarah, dan lainnya. Dalam identitas jenis ini, pengorganisasian diri dan kualitas

sosial secara bersamaan dapat dilihat secara jelas dalam sistem bernegara atau

sesuai dengan jenis rezim ataupun bentuk negara, seperti kapitalis, fasis, monarki,

dan sebagainya.

Ketiga, role identity bergantung pada diri dan respon lanjutan dari pihak

lain. Aktor tidak dapat menetapkan sendiri identitas perannya karena identitas ini

hanya ada dalam hubungan yang melibatkan pihak lain. Artinya, ada pembagian

ekspektasi yang difasilitasi kenyataan bahwa peran diinstitusionalisasikan dalam

struktur sosial pada interaksi yang sifatnya partikular. Hal ini menampilkan

kenyataan bahwa aktor selalu membawa pihak asing ke dalam persepsinya

sehingga ia dapat menetapkan identitas perannya sendiri. 21

Keempat, collective identity mengambil hubungan antara diri dan pihak

lain ke dalam logika konklusi atau identifikasi. Identifikasi merupakan proses

kognitif di mana pembedaan diri dan pihak lain menjadi kabur dan pada batasnya

lebih pada kebersamaan. Dalam konteks interaksi, formasi collective identity

19

Alexander Wendt, Social Theory of International Relations, (New York: Cambridge University

Press, 1999), hal. 224. 20 Alexander Wendt, “Collective Identity Formation and International Sate”, American Political

Science Review, Vol. 88/2 (Juni 1994), hal. 387. 21 Social Theory of International Relations, op. cit., hal. 225-229.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 25: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

13

Universitas Indonesia

disokong oleh empat faktor utama. Faktor pertama adalah interdependence.

Faktor ini menjelaskan bahwa aktor saling bergantung ketika hasil dari interaksi

untuk masing-masing tergantung pada pilihan yang lain. Faktor selanjutnya ialah

common fate. Faktor ini diartikan bahwa aktor menghadapi nasib yang umum

ketika kelangsungan hidup atau kesejahteraan masing-masing tergantung pada apa

yang terjadi pada kelompok secara keseluruhan. Jika interdependence berasal dari

interaksi dua pihak, common fate didasarkan oleh pihak ketiga yang

mendefinisikan presentasi simbolik dari situasi sebagai kesatuan bagi sebuah

kelompok.22

Sedangkan faktor berikutnya merupakan Homogeneity. faktor ini

merupakan konsep identitas kolektif yang mengandaikan bahwa anggota

mengkategorikan diri mereka sama sepanjang dimensi yang mendefinisikan

kelompok. Setidaknya homogeneity berdampak pada berkurangnya jumlah dan

tingkat keparahan konflik yang dapat menimbulkan efek lain dari perbedaan jenis

antara corporate identity dan type identity. Faktor terakhir yang dimuat dalam

formasi identitas yaitu self-restraint. Hal ini dimaknai sebagai keterlibaan aktor

dalam perilaku sosial yang mengikis batas-batas egoistik diri dan melapangkan

diri mereka untuk menyertakan pihak lain. Proses interaksi sosial ini hanya dapat

dilanjutkan jika aktor dapat mengatasi ketakutannya, baik secara fisik maupun

psikis terhadap siapa saja yang mereka identifikasi.23

1. 5. 2. Teori Peran (Role Theory) dalam Kebijakan Luar Negeri

Sebagai bagian dari ilmu hubungan internasional, tidak sedikit akademisi

menemukan kesulitan dalam mengkorelasikan analisis kebijakan luar negeri

dengan sistem internasional. Dalam mengintegrasikan analisis kebijakan luar

negeri dan hubungan internasional, mereka umumnya dihadapkan pada pokok

persoalan di tingkat analisis dan agen-struktur. Misalnya, permasalahan analisis

terletak pada penyatuan dan pemilahan unit observasi yang hendak dipelajari dan

dipahami. Hal ini berkenaan dengan masalah bagaimana menghubungkan

pengamatan pada satu tingkat atau unit analisis tertentu dengan tingkat atau unit

lainnya.

22 Ibid., hal. 344-352. 23 Ibid., hal. 353-358.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 26: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

14

Universitas Indonesia

Lebih tepatnya, bagaimana menghubungkan karakteristik dari suatu agen

dengan karakteristik sistem di mana ia berada, begitu juga sebaliknya. Masalah

lainnya adalah bagaimana satu tingkat analisis menghasilkan tingkat lainnya.

Dalam mengkaji peran, dua tingkat analisis ini sering kali menimbulkan

kerentanan metodologis. Peran tidak seharusnya dikaji dari sisi agen ataupun

struktur semata, tapi lebih pada interaksi dari keduanya.24

Karena itu, tulisan ini

akan menggunakan teori peran yang dianggap mampu mengintegrasikan analisis

kebijakan luar negeri dalam hubungan internasional yang merupakan fenomena

sosial.

Teori peran berasal dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda, yakni

sosiologi, psikologi, dan transdisiplin dari psikologi-sosial. Teori yang

menjelaskan peran individu di tengah masyarakat ini kemudian digunakan dalam

menjelaskan tingkah laku negara. Aplikasi teori peranan mengindahkan dua

problematika mendasar dalam studi kebijakan luar negeri, yakni level analisis dan

agen-struktur.25

Dalam melihat agen dan struktur, beberapa teoritisi berpandangan

bahwa peran difokuskan pada komponen spesifik agen dari peran; sifat personal;

pengalaman sejarah; dan identitas sebagai bentuk representasi diri atau citra diri.26

Pandangan tersebut nyatanya tidak sepenuhnya mendapat persetujuan. Ada

pun pandangan yang menekankan isyarat peran dan tuntutan, misalnya perubahan

ekspektasi yang melekat pada institusi.27

Terkait situasi domestik dan ekspektasi

internasional, proses pembuatan peran umumnya konfliktual. Untuk itu,

pengkajian peran dalam kebijakan luar negeri perlu memperhitungkan berbagai

mode pembuatan peran yang mengacu pada sikap dan tindakan pihak-pihak dalam

24 Stephen G. Walker, “Binary Role Theroy and Foreign Policy Analysis” disampaikan dalam the

Foreign Policy Analysis Workshop, “Integrating Foreign Policy Analysis and International

Relations Through Role Theory,” at the Annual Meeting of the International Studies Association,

New Orleans, 16-20 Februari 2010, hal. 1. 25 Ibid. 26 K.J. Holsti, “Nationale Role Conception in the Study of Foreign Policy”, International

Quarterley Vol. 14/3 (November 1970), hal 233-309; Philippe Le Prestre, Role Quest in the Post-

Cold War Era: Foreign Policy in Transition, (Montreal: McGill-Queen’s UP, 1997); Ulrich Krotz, “Nationale Role Conception and Foreign Policies: France and Germany Compared” disampaikan

pada the 97th Annual Meeting of the American Political Science Association in San Francisco, 30

August-2 September 2001. 27

Sebastian Harnisch, “Conceptualizing in the Minefield: Role Theory and Foreign Policy

Learning” disampaikan dalam Workshop “Integrating Foreign Policy Analysis and International

Relations through Role Theory” pada pada Annual ISA (Institute for Political Science)

Conference, New Orleans, 15-20 February 2010; Elgström, Smith Ole, Michael, the European

Union’s Roles in International Politics: Concept and Analysis, (New York: Routledge, 2006).

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 27: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

15

Universitas Indonesia

mengambil dan menentukan peranan. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang

mendefinisikan peran nasional. Pada ranah domestik, pembuatan peranan

dianalisa dari para pembuat keputusan kunci, yakni pemerintah.

Di samping domestik, kompleksitas sistem internasional juga

berpartisipasi dalam proses pengambilan dan pembuatan peran. Sejalan dengan

dinamika sistem internasional yang penuh dengan ketidakpastian, Stephen G.

Walker mengungkapkan bahwa teori peran merupakan salah satu teori yang

menyuguhkan prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) dalam isu-isu

sosial.28

Ketidakpastian merupakan ciri dari kompleksitas sistem sosial sehingga

fokus konsep ini terletak pada hubungan (relationship) daripada objek. Teori ini

pun memperhatikan dinamika tingkah laku mental dan sosial pada berbagai level

analisis, seperti individu, kelompok, institusi domestik, negara, supranasional, dan

organisasi internasional yang dikonstitusikan oleh suatu jalinan yang terhubung

sebagai sistem.

Jalinan yang tercipta antar unit menunjukan adanya interaksi. Dalam

kerangka interaksi ini, teori peran yang mengklaim sebagai ontologi konstitutif

dari kebijakan luar negeri peranan berasumsi bahwa tanpa ekspektasi akan suatu

peranan dari dunia luar sebagai penentu posisi dan fungsi dalam tata sosial, maka

tidak akan terwujud peran nasional.29

Intinya, negara dapat untuk tidak

memainkan peran apapun pada tingkat internasional jika tidak ada ekspektasi dan

praktik yang secara regular mengkonstitusikan ulang mereka sebagai negara

berdaulat. Ekspektasi diri (ego) dan pihak lain (alter) membentuk kembali peran

sebagai penentu posisi dan fungsinya yang dikonstitusi dan diregulasi aktor–

struktur dan interaksinya. Perlu diingat bahwa pembentukan peran bukanlah tanpa

tujuan. Dengan menyediakan tujuan yang pasti dari bernegara di tengah

komunitas internasional, konsepsi peran nasional telah memberkahi negara

dengan kepribadian atau identitas.30

28 Stephen G. Walker, op. cit., hal. 4. 29

Sebastian Harnisch, Ibid., h. 8. 30 Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign Policy

Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International Studies Conference “World Crisis:

Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20

Agustus 2011.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 28: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

16

Universitas Indonesia

1. 6. Operasionalisasi Konsep

Teori Indikator

Identitas

(Alexander

Wendt)

Pengelompokkan

(Grouping)

In-group

Out-group

Pengelompokkan (Grouping)

dipahami sebagai proses terbentuknya

pembedaan kognitif antara anggota

kelompok (in-group) dan anggota diluar

kelompoknya (out-group). Penelitian ini

berusaha untuk memberikan gambaran

tentang bagaimana Indonesia:

membedakan identitas Islamnya dari

negara-negara dunia Islam lainnya;

mencitrakan identitasnya sebagai

Islam moderat.

Faktor

Interdependence

Common fate

Homogeneity

Self-restraint

Interdependence, common fate, dan

homogeneity merupakan variable yang

didasarkan pada objektifitas. Ketiganya

dipergunakan aktor ketika dihadapkan

pada interaksi dengan pihak lain dan

situasi yang terjadi pada in-group.

Sedangkan self-restraint lebih pada

pengendalian ego aktor dengan

mengikutssertakan pihak lain ke dalam

dirinya. Penelitian ini akan memberikan

gambaran faktor-faktor tersebut melalui

hasil interaksi masyarakat Indonesia baik

intra, inter, dan antar kelompok.

Keempat faktor tersebut mewujud pada

unsur-unsur berikut yang merupakan

formula pembentuk identitas Islam

moderat Indonesia:

Pluralisme

Demokrasi

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 29: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

17

Universitas Indonesia

Modernitas

Kebijakan

Luar

Negeri

(Stephen

G. Walker)

Ekspektasi

Eksternal

Internal

Ekspektasi diri dan pihak lain

berkontribusi dalam pembentukan peran

agar aktor dapat menenentukan posisi

dan fungsinya yang kemudian

dikonstitusi dan diregulasi oleh aktor–

struktur yang terealisasi melalui interaksi

sosial. Dalam menjelaskan hal ini,

penelitian ini akan memaparkan:

Bagaimana ekspektasi eksternal

terbentuk, khususnya dari konteks

struktural;

Bagaimana ekspektasi internal

tercipta di tataran politik domestik.

Aktor

Pemerintah

Non-pemerintah

Pada ranah domestik, pihak yang

mendefinisikan peran nasional adalah

pemerintah. Meski demikian,

perkembangan politik dewasa ini juga

mengakomodasi aktor-aktor individual

ataupun kelompok di ranah domestik

sehingga merepa dapat berpartisipasi

dalam mempengaruhi proses

pengambilan dan pembuatan peran

nasional. Untuk itu, penelitian ini akan

menjabarkan:

Posisi pemerintah sebagai pembuat

keputusan kunci;

Partisipasi aktor non-pemerintah

dalam proses pembuatan kebijakan

luar negeri.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 30: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

18

Universitas Indonesia

1. 7. Model Analisa

Teori

Identitas

Pengelompokkan

Identitas yang ingin

dicitrakan oleh in-

group

Faktor

Pluralisme

Demokrasi

Modernitas

Teori

Peran

Pengelompokkan

Identitas yang ingin

dicitrakan oleh in-

group

Aktor

pemerintah

non-pemerintah

1. 8. Hipotesis

Mengingat bahwa penelitian ilmiah tidak bekerja dengan kebenaran

mutlak, hipotesis atau kesimpulan sementara dibutuhkan untuk memulai

penelitian. Karena hal ini baru merupakan dugaan sementara, data-data yang

diperoleh pun belum cukup mantap dan memadai sehingga masih harus diuji oleh

fakta-fakta dan informasi yang lebih komprehensif. Dari pemaparan yang telah

dituangkan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Kebijakan

Luar Negeri

Indonesia

Islam

Moderat

Variabel

Independen

Variabel

Dependen

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 31: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

19

Universitas Indonesia

Argumen yang mungkin menyebabkan kebijakan luar negeri Indonesia

mempromosikan identitas Islam moderat dapat dijelaskan melalui dua alasan.

Pertama, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, identitas

Islam tidak dapat ditiadakan dari atribut Indonesia sebagai negara. Pemerintah

sebagai mengambil keputusan kunci berusaha memanfaatkan kekhasan kultural

(indigenous uniqueness) nilai-nilai Islam yang tumbuh dan berkembang dalam

kehidupan sosio-politik masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya

upaya pembedaan dengan negara-negara Muslim lainnya. Pembedaan yang

ditampilkan Indonesia dalam istilah Islam moderat ini tidak lepas dari penyerapan

nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan modernitas yang telah lama tumbuh.

Kedua, dinamika sistem internasional diduga mejadi pemicu yang melatari

munculnya sejumlah harapan akan adanya pihak yang dapat memberikan

pemahaman akan fenomena Islam pada sepuluh tahun terakhir. Harapan ini

sepertinya sejalan dengan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif

dalam pergaulan internasional. Partisipasi ini tidak dapat keluar dari koridor

kebijkan luar negeri yang menjadikan pemerintah menjadi aktor utamanya. Akan

tetapi, dinamika politik domestik kini semakin memungkinkan aktor-aktor non-

pemerintah untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan. Karena itu, posisi mereka

tidak dapat diabaikan dalam proses perumusan kebijakan.

1. 9. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang dikenal dengan

paradigma dasarnya yang bersifat induktif, interpretif, dan konstruktivis. Metode

penelitian ini menekankan pada pendekatan humanistik untuk memahami realitas

kehidupan sosial yang dipandang sebagai suatu kreativitas bersama. Karena itu,

dunia sosial dianggap tidak tetap (statis) atau bersifat selalu berubah (dinamis).

Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivis yang memandang, identitas

merupakan definisi diri yang dapat dibentuk, diciptakan, dan berubah.31

Atas

dasar definisi diri itulah identitas dipahami sebagai peran spesifik yang relatif

31 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, loc. cit., (2007), hal. 396.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 32: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

20

Universitas Indonesia

stabil dan memuat harapan akan sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dalam

susunan struktur hubungan sosial.32

Akan tetapi, identitas juga dapat berubah bergantung konteks yang

berlaku. Kontekstualisasi identitas, aturan, dan norma datang bersamaan dengan

konsep logika kelaikan dalam konstruktivis. Logika kelaikan berasumsi bahwa

aktor selalu mengikuti norma dan aturan yang diasosiasikan dengan identitas

tertentu pada situasi tertentu pula.33

Dari beberapa metode penelitian identitas —

survei (survey analysis), analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse

analysis), dan analisis etnografi—, karya ilmiah ini akan menggunakan analisis

wacana.34

Analisis wacana merupakan pembaruan dari metode kualitatif dan

penafsiran makna atas bahasa yang digunakan aktor untuk menggambarkan dan

memahami fenomena sosial. Sebagian besar peneliti yang menggunakan analisis

wacana selalu berupaya untuk mengontekstualisasikan gagasan dalam relasi sosial

yang lebih luas. Gagasan yang diwacanakan biasanya dipahami dari kumpulan

teks, pidato, dokumen tertulis, dan praktek sosial yang menghasilkan makna dan

mengatur pengetahuan sosial.

Tulisan ini menggunakan dua tehnik pengumpulan data, yaitu studi

kepustakaan (literature research) dan wawancara (interview), baik terstruktur

maupun semiterstruktur. Pada tehnik studi pustaka, interpretasi mengenai teks —

seperti pernyataan kebijakan, artikel koran, teks-teks klasik dari intelektual

terkemuka, pidato-pidato para pemimpin kebijakan, dan risalah rapat pemerintah

— sangat dibutuhkan. Seperti dengan metode lain, analisis wacana menempatkan

tuntutan unik pada analisanya. Daripada melakukan statistika; pemrograman,

pendalaman pengetahuan sosial dan keakraban dengan teks yang berkaitan

diperlukan untuk memulihkan makna dari wacana.

Tugas kritis dari peneliti yang menggunakan analisis ini adalah

meyakinkan pembacanya bahwa rekonstruksi konteks intersubjektif dari beberapa

fenomena sosial berguna untuk memahami hasil empiris. Sebab, peneliti

32

Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations Theory 4th

Edition, (United States:

Pearson Prentice Hall, 2010), hal. 286. 33 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, op. cit., 2007, hal. 287. 34 Rawi Abdelal, Yoshiko M. Herrera, Alastair Iain Johnston, dan Rose Mcdermott, Measuring

Identity: a Guide for Social Scientist, (UK: Cambridge University Press, 2009), hal. 4.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 33: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

21

Universitas Indonesia

mengandalkan kemampuan interpretif mereka sendiri dan pengetahuan sosial

untuk menulis secara meyakinkan tentang isi dan kontestasi identitas. Dengan

demikian, analisis wacana dapat dianggap sebagai kontekstualisasi kualitatif teks

dan praktek dalam rangka untuk menjelaskan makna sosial.

1. 10. Sistematika Penelitian

BAB I merupakan pendahuluan dari tesis ini. Bab ini diawali dengan latar

belakang yang berisi diskripsi singkat kondisi Islam Indonesia dan Islam moderat

yang mulai dipomosikan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya. Sub bab

berikutnya merupakan rumusan permasalahan dan berlanjut pada tujuan serta

signifikansi studi. Sub bab berlanjut pada tinjauan pustaka yang merupakan

rangkaian karya-karya yang masih berkaitan dengan konsep yang digunakan

dalam tesis ini. Kerangka pemikiran menjadi sub bab berikutnya yang

menjelaskan konsep dan teori yang akan digunakan. Penjelasan singkat atas

konsep dan teori kemudian dielaborasi dalam operasionalisasi konsep dan model

analisa. Bagian ini diiringi oleh hipotesis dan metode penelitian. Pada bagian

akhir bab, terdapat sistematika penulisan yang berisi tentang hal-hal yang akan

ditulis.

BAB II memaparkan proses representasi identitas Islam moderat dalam

praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Sebagai pembuka bab, pembahasan

diawali dari pengaruh peristiwa Serangan 11 September terhadap politik

internasional baik di Barat dan dunia Islam. Pembahasan berlanjut pada tanggapan

Indonesia terhadap peristiwa tersebut dengan merepresentasikan identitas Islam

moderat melalui praktik kebijakan luar negeri. Identitas yang dicitrakan ini

kemudian dimanfaatkan Indonesia untuk memperluas peranannya, yaitu mediator

antara dunia Islam-Barat dan peran model bagi kawasan Timur Tengah.

BAB III membahas faktor dan aktor yang menjadi bagian dari proses

pencitraan identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia.

Pembahasan akan diawali dari faktor sosio-kultural yang berperan dalam proses

pembentukan identitas Islam moderat Indonesia seperti pluralisme, modernitas,

dan demokrasi. Sebagai pelengkap, bab ini akan ditutup dengan menjabarkan

aktor-aktor yang memformulasikan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 34: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

22

Universitas Indonesia

negeri Indonesia. Aktor yang pertama akan dibahas adalah pemerintah sebagai

agen kunci dari perumusan kebijakan. Kemudian pembahasan berlanjut pada aktor

non-pemerintah, baik individu maupun kelompok, sebagai agen yang berasal dari

masyarakat.

BAB IV menguraikan peristiwa yang dianggap dapat melemahkan upaya

pencitraan identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri. Beberapa

peristiwa yang dibahas antara lain peningkatan dan penyebaran kelompok Islam

konservatif radikal, perekrutan anggota teroris, penerapan hukum syariah di

tingkat daerah, pengaruh MUI, intoleransi, dan kendala pencitraan di tingkat

internasional. Bab ini ditutup dengan aspek yang memperkuat optimisme

pencitraan Islam moderat Indonesia di tingkat internasional.

Sedangkan BAB V merupakan penutup dari tulisan ini. Bab ini akan berisi

kesimpulan akhir dari proses penelitian sebagai jawaban final atas rumusan

masalah. Dalam penjabarannya, bab ini akan memuat beberapa ulasan singkat dan

temuan-temuan yang dari bab-bab sebelumnya. Hal ini sengaja dilakukan untuk

menjaga kesinambungan antar bab agar mudah dipahami. Pada bagian akhir dari

bab ini terdapat rekomendasi yang mungkin bisa memberikan alternatif

pandangan atas permasalahan yang dihadapi dalam pencitraan identitas Islam

moderat Indonesia.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 35: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

23

Universitas Indonesia

BAB 2

IDENTITAS ISLAM MODERAT

DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA

Berangkat dari konsep identitas dan kebijakan luar negeri, fokus

pembahasan dalam bab ini terletak pada proses representasi identitas Islam

moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk itu, bab ini dibagi

menjadi dua bagian.

Pertama, gambaran atas pengaruh peristiwa Serangan 11 September yang

memicu Perang Global terhadap Teror. Dalam konteks ini, fokus pembahasannya

adalah pada cara pandang Barat terhadap Islam dan tanggapan dunia Islam

terhadap Barat pasca Serangan tersebut. Mengingat Perang Global terhadap Teror

mendorong operasi militer di Afganistan dan Irak, pembahasan diuraikan

berdasarkan per kawasan yang memiliki penduduk Muslim mayoritas. Hal ini

guna melihat pandangan dan sikap negara-negara dunia Islam, termasuk

Indonesia.

Kedua, Pembahasan kemudian dikerucutkan pada kebijkan luar negeri

Indonesia yang mempromosikan identitas Islam moderat dalam hubungan

internasional. Paparan akhir dari bab ini memperlihatkan upaya Indonesia untuk

mengambil peranan dari presentasi identitas tersebut, baik di dunia Barat maupun

dunia Islam.

2. 1. Dampak Serangan 11 September terhadap Kebijakan Luar Negeri

Indonesia

Pembahasan pada bagian ini terbagi menjadi dua, yaitu pandangan Barat

terhadap Islam dan tanggapan dunia Islam dalam menyikapi Barat. Namun

sebelumnya, bagian ini diawali dengan dampak serangan WTC pada 11

September 2001 yang merupakan salah satu katalisator isu global di awal abad 21.

Peristiwa tersebut telah merubah kesadaran Barat bahwa Komunisme tidak lagi

menjadi bahaya laten, melainkan Islam yang dianggap mampu mengancam

kedigdayaan Barat. Perubahan yang dimotori Amerika Serikat (AS) ini tidak

hanya dilatari oleh posisinya sebagai objek dari serangan, tapi juga adanya

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 36: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

24

Universitas Indonesia

motivasi untuk menaikan kembali perannya di ranah internasional yang mulai

menurun pasca Perang Dingin.35

AS kemudian memberikan tendensi tragedi yang

menelan 2600 jiwa itu sebagai aksi terorisme. Dalam menampilkan gaya

kepemimpinan, AS menjadikan kebijakan luar negerinya sebagai instrumen dalam

mengampanyekan Perang Global terhadap Terorisme (War on Terrorism).

Sama halnya seperti Perang Dingin, Perang Global terhadap Terorisme

pun bersifat ideologis. Hal ini mungkin dikarenakan, AS sulit melepaskan

mentalitas ideologis selama Perang Dingin yang membutuhkan proyeksi akan

musuh bersama. Dikotomi ideologis tampak dari diksi-diksi yang dipergunakan

Bush pasca tragedi 11 September untuk mempertentangkan antara satu sama lain,

seperti kebaikan dan kejahatan ataupun kita dan mereka. Menurut Debra Merskin,

pernyataan-pernyataan dikotomik Bush memuat enam karakteristik yang

memperkuat konstruksi musuh bersama dalam Perang Global terhadap

Terorisme.36

Secara umum, pidato-pidato Bush menyuratkan karakter

identification with evil.37

Hal ini ditandai dengan adanya persepsi bahwa segala

nilai yang dianut pihak musuh ditujukan untuk menghancurkan sistem nilai-nilai

dalam kelompok. Salah satunya adalah pidato pertama Bush pasca tragedi tersebut

yang tercantum di bawah ini.

Today … our very freedom came under attack in a series of

deliberate and deadly terrorist acts. ... Thousands of lives were

suddenly ended by evil, despicable acts of terror. … These acts of

mass murder were intended to frighten our nation into chaos and

retreat. But they have failed. Our country is strong. A great people

have been moved to defend a great nation.

Terrorist attacks can shake the foundations of our biggest buildings,

but they cannot touch the foundation of America. America was

targeted for attack because we're the brightest beacon for freedom

and opportunity in the world.

Today, our nation saw evil, the very worst of human nature, and we

responded with the best of America … The search is underway for

those who are behind these evil acts. I've directed the full resources

35

Fraser Cameron, US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or Reluctant Sheriff

2nd eds., (London dan New York: Routledge, 2005), hal. 18. 36 Debra Merskin, “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11 Discourse of

George W. Bush”, Mass Communication & Society, Vol. 7/2 (2004), hal. 158. 37 Ibid., hal. 160.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 37: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

25

Universitas Indonesia

for our intelligence and law enforcement communities to find those

responsible and bring them to justice. We will make no distinction

between the terrorists who committed these acts and those who

harbor them.38

Pidato tersebut dapat dikatakan sebagai pembentukan awal akan gambaran

musuh bersama. Sebab, pidato ini dilengkapi dengan beberapa karakter yang

disebut Merskin sebagai putting blame on the enemy. Karakter ini menempatkan

musuh sebagai sumber ketegangan kelompok sehingga mereka dianggap bersalah

atas segala kondisi buruk yang menimpa kelompok.39

Karakter ini juga dilengkapi

dengan karakter zero-sum thinking yang diartikan apa yang baik untuk musuh

adalah buruk untuk kita, begitu juga sebaliknya. Selain itu, terdapat pula karakter

stereotyping and de-individualization yang diartikan siapa saja yang berpihak

pada musuh juga merupakan bagian dari kelompok musuh.40

Penggambaran Bush akan musuh bersama dilengkapi dengan adanya

umpan balik yang tertuang pada pidato-pidato selanjutnya. Pidato-pidato ini pun

pada akhirnya dipenuhi dengan karakter negative anticipation dan refusal to show

empathy. Negative anticipation diartikan bahwa perlu adanya umpan balik untuk

menghancurkan musuh. Sedangkan refusal to show empathy mengandung makna

siapa pun yang berada di pihak musuh akan ditekan dan menerima ancaman dari

kelompok.41

Kedua karakteristik terakhir dapat ditemukan dalam pernyataan

Bush saat rapat kongres gabungan 20 September 2001 yang tercantum berikut.

We will starve terrorists of funding, turn them one against another,

drive them from place to place until there is no refuge or no

rest.Every nation in every region now has a decision to make. Either

you are with us or you are with the terrorists. From this day

forward, any nation that continues to harbor or support terrorism

will be regarded by the United States as a hostile regime.42

38 “Text of Bush's addres”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-11/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicable-acts?_s=PM:US pada Senin, 17

September 2012, pukul 15.40 wib. 39 Debra Merskin, op. cit. 40

Ibid. 41 Ibid. 42 “Transcript of President Bush's address”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-

20/us/gen.bush.transcript_1_joint-session-national-anthem-citizens?_s=PM:US pada Senin, 17

September 2012, pukul 15.50 wib.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 38: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

26

Universitas Indonesia

Pada perkembangannya, Islam dan pengikutnya dianggap sebagai

ancaman sekaligus musuh bersama dalam Perang terhadap Terorisme. Hal ini

tidak lepas dari stereotyping Al Qaidah sebagai jaringan organisasi teroris yang

mempraktikan nilai-nilai Islam garis keras. AS pun memunculkan Osama Bin

Laden, Muslim yang bersembunyi di Afghanistan, sebagai dalang dari aksi teror.

Dengan alasan itulah AS dan Barat melegalkan operasi militer di Afghanistan

pada Oktober 2001. Operasi militer berlanjut ke Irak dengan nama Operasi

Pembebasan Abadi (Operation Enduring Freedom.) Operasi ini dilakukan setelah

AS menetapakan Irak dan Iran yang notabene negara Islam sebagai negara

pendukung terorisme (state-sponsored terrorism) dan dikategorikan ke dalam

poros setan (Axis of Evil).

Namun, masifikasi Islamofobia atau kekhawatiran terhadap Islam

cenderung terjadi setelah Bush mengobarkan semangat Perang Salib dalam

Perang terhadap Terorisme pada 16 September 2001. Tendensi ini kemudian

dinterpretasikan publik dan media sebagai perang terhadap Islam. Dampak

lanjutannya adalah persepsi dunia internasional yang mengeneralisir Islam sebagai

teroris. Perlu diketahui bahwa pandangan konfrontatif Barat terhadap Islam tidak

akan mudah tercipta tanpa narasi historis yang melatarinya. Untuk memahami

konfrontasi antara Barat-Islam, pembahasan akan berlanjut pada proses

pembentukan narasi historis tersebut.

2. 1. 1. Pandangan Barat terhadap Islam

Hubungan konfrontatif antara Barat-Islam merupakan hasil narasi yang

mengatasnamakan konflik historis dan konfrontasi politis. Motif protagonis dari

narasi ini berawal dari asumsi yang meragukan kompatibilitas antara Barat dan

Islam.43

Shadid dan Koningsveld mengungkapkan, persoalan pokok konflik

memang sengaja tidak diselesaikan agar tercipta pemahaman atas pola tingkah

laku Muslim dan perbedaan secara implisit yang menekankan superioritas

kebudayaan Barat.44

Berdasarkan hubungan kausalitasnya, pandangan konfrontatif

43

Abdul Aziz Said, Mohammed Said Farsi and Nathan C. Funk, “Islam and the West: Three

Stories” disampaikan dalam konferensi “The Future of Islam-West Relations”, Washington DC:

Center for Strategic and International Studies American University, 30 Juni 1998. 44 W. Shadid dan P.S. van Koningsveld, Religious Freedom and the Neutrality of the State: the

Position of Islam in the European Union, (Lauven: Peeters, 2002), hal. 176.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 39: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

27

Universitas Indonesia

Barat terhadap Islam dapat dikategorisasikan dalam lima model eksplenasi, yaitu

hubungan peralihan kekuasaan (the changing power relationship); benturan

peradaban dan musuh yang diperlukan (the clash of civilizations and the

indispensable enemy); politik Islam (the political Islam); layanan informasi yang

tidak dinuansakan (the unnuanced information service); dan peningkatan imigran

Muslim ke Barat (the increased Muslim-immigration to the West).45

Pada dasarnya, model hubungan peralihan kekuasaan diwarnai dengan

silih bergantinya hegemoni antara Barat dan Islam. Karena itu, model ini terbagi

ke dalam empat periode. Periode awal merupakan hegemoni dunia Muslim yang

dimulai sejak 622 dan berakhir pada 1492 yang ditandai dengan jatuhnya

Granada. Dunia Muslim banyak melakukan ekspansi yang dimulai dari

semenanjung Arab, hingga Afrika Utara, serta beberapa wilayah di Asia dan

Eropa. Periode kedua adalah serangan balik dari hegemoni Barat yang dilancarkan

melalui Perang Salib pada abad ke-11. Periode berikutnya merupakan giliran

imperium Muslim yang mengekspansi hingga daratan Eropa. Berhentinya

ekspansi Muslim di Wina mengawali periode keempat yang menjadi milik

hegemoni Barat dengan misi kolonialisme baik di dunia Muslim maupun di

seluruh dunia pada abad ke-19 dan 20.46

Ada pun model yang diprakarsai oleh fenomena pasca Perang Dingin yaitu

benturan peradaban dan musuh yang diperlukan. Runtuhnya Uni Soviet (US) yang

dianggap sebagai musuh bersama menginspirasi beberapa kalangan akademisi

Barat yang diwakili Samuel Huntington, Elie Kedouri, dan Bernard Lewis untuk

menciptakan musuh baru bagi kedigdayaan Barat. Mereka membangun lima

argumen dalam mempertentangkan peradaban Barat dan Islam: 1) nilai-nilai Islam

tidak cocok dengan demokrasi dan cenderung menghambat proses demokrasi

sehingga dapat mengancaman demokrasi Barat; 2) Muslim kurang percaya kepada

institusi politik dalam sistem demokrasi; 3) nilai-nilai Islam menjadi sumber

pemerintahan autoritarian di negara-negara Timur Tengah sehingga

meminimalisir partisipasi politik; 4) Muslim kurang memiliki komitmen

45 Ibid., hal. 177. 46 Ibid., hal. 177-178.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 40: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

28

Universitas Indonesia

kewarganegaraan dan politik sebagai akibat dari fanatisme keagamaan yang

berlebihan; 5) Islam cenderung intoleran, khususnya kepada penganut Kristiani.47

Model benturan peradaban dan musuh yang diperlukan berimplikasi pada

terbentuknya persepsi kekhawatiran akan munculnya Pan Islamisme yang

diterjemahkan Barat dengan gambaran akan revivalisme dan fundamentalisme

Islam. Atas dasar kekhawatiran tersebut, model berikutnya dinamakan Islam

politis. Model ini meletakan tendensi menyesatkan dengan menggunakan

pendekatan yang menaruh perhatian pada seluruh pembangunan di dunia Muslim

sebagai sinyal-sinyal keagamaan yang ekstrim.48

Bagi kalangan Barat yang

mengamini pandangan ini, Islam diperhitungkan sebagai ideologi asing yang

diarahkan oleh rasa irasionalitas, intoleransi, fanatisme, primitif, represif, dan

berbahaya.49

Karena itu, model ini digambarkan sebagai aksi-aksi kekerasan yang

dilakukan beberapa gerakan ekstrimis Muslim yang biasa disebut dengan

fundamentalis

Sedangkan model-model eksplenasi selanjutnya merupakan hasil dari

masifikasi tragedi 11 September yang salah satunya didasarkan pada peranan

media massa. Pada dasarnya, media massa mempunyai kapabilitas dalam

menyebarkan informasi, termasuk kesalahan informasi yang dibentuk oleh

simplifikasi terhadap agama dan pengikutnya. Karena itu, model ini disebut

layanan informasi yang tidak dinuansakan. Media sebagai penyaji informasi

sering kali mengandalkan konsep simplifikasi dengan mengandalkan ukuran

kultural. Khususnya media Barat, penyajian informasi terkait Islam lebih banyak

merujuk pada kultur Arab klasik dalam menjelaskan pola tingkah laku dan asumsi

Muslim di dunia modern. Akibatnya, muatan dan kerangka pemberitaan lebih

mengidentifikasi kejahatan berdasarkan etnis ataupun agama tertentu.50

Kondisi lain yang menunjang disinformasi dalam menentukan proposisi

pemberitaan adalah faktor struktural, seperti prasangka awal dari reporter yang

kemudian diterjunkan untuk meliput berita dalam sebuah komunitas yang

berbeda. Tugas peliputan sering kali tidak dibekali oleh pemahaman ataupun

47 Ibid., hal. 179. 48 Ibid., hal. 183. 49 Ibid. hal. 173. 50 Ibid., hal. 188-189.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 41: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

29

Universitas Indonesia

pengetahuan yang dibutuhkan reporter. Selain itu, proporsi berita juga ditentukan

nilai jual berita itu sendiri. Adanya perbedaan dari apa yang berlaku umum di

masyarakat memiliki nilai jual lebih karena akan menyedot perhatian publik.

Untuk menghasilkan berita yang eksotis dan sensasional, media massa cenderung

menampilkan opini yang konfrontatif untuk menarik perhatian publik, seperti

tampak pada penyajian opini berikut ini.

Sumber: Council on American-Islamic Relations, Islamophobian

and Its Impact in the United States January 2009-December 2010

Gambar 2. 1 Penyajian opini yang konfrontatif di media AS

Khususnya di AS, media massa berperan besar dalam memasifikasi

Islamofobia di tengah masyarakat. Menurut Abdus Sattar Ghazali Islamofobia

adalah segala bentuk alienasi, diskriminasi, gangguan, dan kekerasan yang

berakar dari misinformasi dan stereotipikal yang diyakini dalam

merepresentasikan Islam dan pengikutnya.51

Perlakuan buruk terhadap Muslim

berlangsung baik di sektor publik maupun privat, mulai dari vandalisme terhadap

masjid hingga pembakaran Qur’an. Namun, tidak sepenuhnya insiden

penyerangan terhadap pihak yang dikarakteristikan sebagai Muslim karena

penampilan ataupun asal negeranya didasarkan pada perasaan Islamofobia.

Tidak jarang pula, insiden penyerangan terhadap Muslim lebih dimotivasi

oleh perasaan anti imigran atau anti pencari suaka dan pengungsi, dibandingkan

Islamofobia. Pada kondisi demikian konfrontasi Islam-Barat dapat dikategorikan

ke dalam model selanjutnya, yaitu peningkatan imigran Muslim ke Barat.

51 Abdus Sattar Ghazali, Islam and Muslims in the Post-9/11 America, (Modesto: Eagle Enterprise,

2012), hal. 19.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 42: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

30

Universitas Indonesia

Peningkatan imigran Muslim menjadi isu utama dalam perdebatan publik di

Eropa. Pasalnya, masyarakat Eropa masih meragukan kompatibilitas antara

budaya Barat dan Islam. Topik ini kian menghangat ketika dugaan politik Islam

yang mengarah pada revivalisme akan menyebar ke komunitas Muslim di Eropa.

Masyarakat Eropa pun segera menganggap bahwa identitas Islam dari para

imigran tersebut terasa kian menonjol sehingga menimbulkan relasi yang berjarak

dengan mereka.52

Hal ini tampak dari jejak pendapat yang dilakukan Pew Global

Attitude berikut.

Tabel 2. 1 Persepsi terhadap Muslim di enam negara anggota UE

Perception of

Muslims

They want to remain

distinct (per cent)

They have an increasing sense

of Islamic Identity (per cent)

Germany 88 66

Spain 68 47

Netherlands 65 60

Great Britain 61 63

France 59 70

Poland 42 20 Sumber: Pew Global Attitudes Project, Public Opinion Survey – May 2005 report

Tabel di atas memperlihatkan terdapat persepsi yang berkembang luas di

masyarakat Jerman, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis bahwa komunitas

imigran Muslim yang tinggal di negara-negara Barat tidak ingin melakukan

asimilasi dengan masyarakat sekitarnya. Mayoritas masyarakat Eropa berpikir

komunitas Muslim ingin tetap berbeda dari masyarakat Eropa umumnya dan

bukannya merangkul cara hidup di negara-negara Barat. Bahkan, lebih dari dua

pertiga masyarakat di Jerman dan Spanyol meyakini, komunitas Muslim tidak

ingin mengadopsi kebiasaan nasional. Selain itu, lebih dari setengah masyarakat

Jerman, Belanda, dan Perancis berpendapat bahwa identitas Islam dari komunitas

Muslim cenderung menguat. Dalam jejak pendapat lainnya, masyarakat Eropa

pun meragukan kemampuan imigran Muslim untuk beradaptasi dalam modernitas

peradaban Barat, seperti tampak pada tabel berikut.

52 Pew Global Attitudes, “Muslim-Western Tensions Persist”, Pew Global Attitudes Project July

2011, Washingon DC, 2011, Hal. 7.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 43: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

31

Universitas Indonesia

Tabel 2. 2 Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Islam dan Modernitas

Is there a conflict between being a devout Muslim and living in a modern

society?

Country Mainstream Population Muslim Population in the countries

No Yes No Yes

Germany 26 70 49 47

Spain 36 58 57 36

Great Britain 35 54 72 28

France 74 26 71 25 Sumber: Pew Global Attitudes Project, Public Opinion Survey – June 2006 report

Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari setengah masyarakat di

Jerman, Spanyol, dan Inggris mengganggap bahwa ada konflik alamiah yang

terjadi dalam diri Muslim itu sendiri, yakni antara menjadi Muslim yang taat dan

hidup dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, keraguan masyarakat Eropa

terhadap kemampuan imigran Muslim untuk beradaptasi dengan mereka lebih

dilatari oleh persoalan pribadi atau psikologi dari Muslim itu sendiri.

Secara keseluruhan, keraguan masyarakat Eropa akan kompabilitas dunia

Barat-Islam memperuncing kebencian pada komunitas imigran Muslim Eropa.

Kebencian ini akhirnya berakumulasi pada perlakuan buruk dan penyerangan

terhadap komunitas Muslim tersebut. Akan tetapi, insiden penyerangan di Eropa

kebanyakan didasarkan pada argumen etnisitas yang merujuk pada pandangan

bahwa Muslim merupakan etnis non-Eropa.53

Berdasarkan penelitian European

Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), banyak insiden yang

terjadi di Eropa tidak dapat secara definitif ditandai sebagai Islamofobia, baik di

pengadilan ataupun secara awam.54

Karena itu, sulit untuk membedakan insiden

Islamofobia dari insiden lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa pandangan ini lebih

didasarkan pada definisi rasisme dan diskriminasi rasial.

Secara keseluruhan, kelima model eksplanasi tersebut cukup

menggambarkan perasaan anti-Islam di dunia Barat. Model-model tersebut tidak

hanya menyediakan portofolio, tapi juga mengkonstruksi kekhawatiran dalam

menjustifikasi konfrontasi Barat-Islam. Konfrontasi ini kian meruncing pasca

53 European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), “Muslim in the European

Union”, EUMC 2006, Austria, 2006, hal. 62. 54 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 44: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

32

Universitas Indonesia

terjadinya tragedi 11 September yang diisyaratkan Barat sebagai sebuah bahaya

laten. Isyarat ini mendapat masifikasi dari media massa sehingga memperkuat

perasaan anti-Islam di dunia Barat. Tidak jarang pula hal ini diekspresikan

masyarakat Barat dalam kehidupan sosialnya melalui praktik- praktik Islamofobia

untuk mempertegas pembedaan antara Islam-Barat.

2. 1. 2. Tanggapan Dunia Islam terhadap Barat Pasca Serangan 11

September

Jika tragedi 11 September meningkatkan intensitas perasaan anti-Islam di

dunia Barat, tidak demikian dengan dunia Islam yang menanggapinya secara

beragam. Pengutukan atas tragedi tersebut memang umum dilakukan dunia Islam,

tetapi kondisional. Reaksi publik Arab misalnya, memuat kombinasi dari

keduanya. Di satu sisi, banyak kalangan Arab mengutuk serangan tersebut sebagai

tindakan kriminal dan anti Islam. Di sisi lain, tidak sedikit kalangan merasa puas

karena AS akhirnya merasakan sakit seperti yang dialami dunia Arab dan negara-

negara miskin lainnya. Mereka berasumsi, tragedi tersebut sebagai kelaziman

akibat kebijakan luar negeri AS.55

Publik Arab juga menolak klaim media Barat yang menyebutkan bahwa

pihak yang bersalah adalah Arab atau Muslim. Untuk menandingi klaim tersebut,

berbagai teori konspirasi bermunculan di dunia Arab.56

Kebanyakan teori

berusaha menjelaskan bahwa serangan merupakan pekerjaan ekstrimis domestik

atau orang AS sendiri, pemerintah AS, atau badan intelijen Israel – Mossad.

Dibandingkan dengan tragedi 11 September, operasi militer di Iraq memberikan

efek signifikan bagi dunia Arab. Jika negara-negara Arab menempatkan seragan

11 September sebagai isu di luar kawasan (outside). Operasi yang menjatuhkan

rezim Saddam Hussein justru membuat mereka mulai melihat ke dalam (inside).

Berbagai kritik segera dialamatkan ke AS pasca invasinya ke Iraq. Kaum

radikal Islam di Timur Tengah cenderung mengkritik modernitas yang

dipresentasikan Barat dan mengecam kebijakan AS di Irak sebagai serangan

55 Angel M. Rabsa, Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. all, the Muslim World after

9/11, (Santa Monica: Rand Corporation, 2004), hal. 50-52. 56 Hani Nasira, “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies”, Arab Insight, Vol. 2/2

(Summer 2008), hal. 104-105.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 45: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

33

Universitas Indonesia

terhadap seluruh umat Muslim. Kaum moderat di kawasan ini memandang

kebijakan AS sebagai aplikasi dari benturan peradaban dan percobaan akan invasi

kolonial. Meski AS relatif kebal dari tuduhan kolonialisme karena kurangnya

sejarah kolonialiesme di Timur Tengah, invasi di Iraq secara otomatis dapat

menciptakan portofolio akan kolonialisme itu sendiri. Dugaan akan invasi

kolonial AS di Iraq muncul dari keyakinan bangsa Arab bahwa hal ini

dilatarbelakangi faktor minyak.57

Adapun kekhawatiran dari kalangan moderat di

Timur Tengah akan adanya serangan balasan dari generasi muda Muslim yang

bertindak radikal dengan bergabung dalam kelompok teroris.58

Tidak berhenti sampai di situ, protes anti-Amerika diperbesar dengan

pemberitaan media massa seperti Al-Jazeera dan Al-Arabiya yang

mempublikasikan banyak korban kekerasan dan konflik. Terlebih lagi, ketika

terdapat publikasi atas pelecehan terhadap tahanan di Abu Ghraib. Dunia Arab

semakin berpandangan bahwa AS dan Barat sebagai pihak yang eksploitatif,

hipokrit, gemar menerapkan standar ganda, immoral, agresif dan mendukung

Israel.59

Sama halnya dengan respon Timur Tengah secara umum, kawasan

Mahgribi menanggapi invasi Irak dengan kekhawatiran dan kemarahan. Bahkan,

invasi Irak menjadi katalisator hubungan AS dengan negara-negara di kawasan ini

yang semuala harmonis menjadi beroposisi. Kawansan Mahgribi mencakup

spektrum yang luas akan nilai-nilai Islam. Sebagian besar penduduknya pun mulai

mengidentifikasi dirinya sebagai Arab. Kondisi sosio-kultural tersebut ternyata

tidak menghalangi pemerintahan negara-negara di kawasan yang terdiri dari

Maroko, Tunisia, dan Aljazair untuk menjalin hubungan kooperatif dengan AS.

Ketika terjadi serangan 11 September, mereka mengutuk serangan tersebut dan

menawarkan dukungannya kepada AS. Tawaran ini didasari pengalaman dalam

menghadapi gerakan-gerakan militan di masing-masing negara.60

57 Raymond Hinnebusch, "The US Invasion of Iraq: Explanations and Implications”, Critique:

Critical Middle Eastern Studies, Vol. 16/3 (Fall 2007), hal. 212. 58 the Muslim World after 9/11. op. cit., hal. 131-132 59 Sobhi Asila, “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World”, Arab Insight,

Vol. 1/2 (Fall 2007), hal. 19-21. 60 the Muslim World after 9/11. op. cit., hal. 170.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 46: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

34

Universitas Indonesia

Perlu diketahui, model politik yang dipakai di Maroko, Tunisia, dan

Aljazair merupakan modal utama dalam menjalin hubungan baik dengan AS.

Model politik monarki konstitusional di Maroko, sekularisme otoriter sipil di

Tunisia, dan sekularisme otoriter militer di Aljazair telah digunakan untuk

membatasi pengaruh gerakan Islam. Perbedaan pendekatan di masing-masing

negara ikut mempengaruhi tingkat efektivitas dalam mencapai tujuan ini. Dari

ketiga negara, peran Islam dalam politik lebih mungkin diaplikasikan di Maroko,

yaitu dengan pengembangan monarki agama yang bekerjasama dengan parlemen.

Sedangkan di Tunisia dan Aljazair, pengaruh Islam tidak hanya dibatasi dalam

kehidupan sipil tapi juga dilarang penggunaannya dalam politik.61

Perubahan hubungan AS dengan negara-negara di kawasan Mahgribi

terjadi ketika operasi militer di Irak dilaksanakan. Secara spontan, pemerintah

Maroko mengungkapkan kekecewaan atas operasi militer tersebut dan

menyatakan solidaritasnya kepada Iraq. Pemerintah Tunisia turut mengkritik

penggunaan kekerasan dan perlunya kesepakatan tentang penyabab terjadinya

terorisme, termasuk masalah kemiskinan dan konflik Palestina. Sedangkan di

Algeria, masyarakat menentang invasi dan pemerintah menekankan absennya

PBB dalam operasi tersebut.62

Jika negara-negara Timur Tengah dan Mahgribi merespon negatif operasi

militer di Irak, Iran menanggapi hal ini secara berbeda. Iran yang sejak

revolusinya pada 1979 cenderung konfrontatif terhadap AS ternyata menunjukan

kerjasama pasif dengan AS. Hal ini tampak dari sikap Iran yang tidak menolak

adanya pergantian rezim di Irak. Pengalaman historis dengan Irak menjadi alasan

yang kuat mengapa Iran tidak berkebaratan atas penggulingan rezim Saddam.

Keduanya terlibat dalam perang yang berlangsung dari generasi ke generasi,

mulai dari rivalitas purba antara Persia-Arab hingga persaingan geopolitik dalam

Perang Teluk.63

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah cara pandang geopolitik Iran yang

dipengaruhi ancaman dari lingkungan regionalnya. Terkait isu terorisme, cara

61 Ibid., hal. 148. 62 Ibid., hal. 171. 63 Efraim Karsh, “Geopolitical Determinism: the Origins of the Iran Iraq War”, Middle East

Journal, Vol. 44/2 (Spring, 1990), hal. 256-257.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 47: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

35

Universitas Indonesia

pandang Iran mengesankan ambiguitas dalam hubungannya dengan AS.

Kerjasama pasif yang ditunjukan Iran dalam invasi Irak ternyata tidak serta merta

menghapus kecemasannya akan eksistensi AS di kawasan. Publik Iran

memandang, operasi militer yang menjatuhkan rezim Saddam akan memberikan

akses bagi AS untuk mendominasi Irak. Hal inilah yang dikhawatirkan Iran akan

membawa dampak berkelanjutan pada kondisi domestiknya.

Ambigutas relasi AS-Iran sudah terlihat dalam operasi militer di

Afganistan. Dalam operasi ini, Iran membuka jalan bagi pasukan AS dan koalisi

untuk menggulingkan rezim Taliban. Iran juga berpartisipasi aktif dalam

pembentukan pemerintahan baru di Afganistan. Di sisi lain, kehadiran AS di

Afghanistan tetap merupakan ancaman bagi Iran, khususnya setelah AS menyebut

Iran sebagai bagian dari poros setan. AS menuduh Iran terlibat dalam jaringan Al

Qaeda dan pengembangan program senjata nuklir. Kritik AS berlanjut pada sikap

oposisi Iran dalam proses perdamaian Timur Tengah serta kebijakan domestiknya

yang dianggap totaliter dan represif. Dari kedua kasus terbut dapat disimpulkan

bahwa isu terorisme telah menempatkan kepentingan strategis AS-Iran secara

tumpang tindih sehingga berpengaruh pada pola relasi keduanya.64

Bagi dunia Muslim yang secara geografis dan kultural jauh dari Irak,

dampak episentrum Invasi Iraq tidak begitu besar. Di Asia tengah, hubungan

antara AS dan negara-negara di kawasan ini justru berlangsung dalam kerjasama

kontra-terorisme, khususnya dalam menghancurkan rezim Taliban. Sedangkan di

Asia Selatan dan Asia Tenggara umumnya merespon invasi Irak dengan kritik dan

tentangan. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukan akan terjadinya evolusi politik

Islam dan mengubah hubungan AS dengan pemerintahan negara-negara di kedua

kawasan tersebut.

Di Asia Selatan, populasi Muslim terbanyak berada di Pakistan dan India.

Terkait isu terorisme, baik Pakistan maupun India menjalin hubungan kooperatif

dengan AS. Dukungan dalam invasi di Afganistan dan kerjasama kontra-terorisme

juga cukup menunjukan keduanya masih menjaga hubungan dengan AS. Namun,

pola hubungan antara Pakistan-India sangat dipengaruhi oleh perbedaan latar

belakang sosio-politik dan konflik kawasan yang terpusat di wilayah Kasmir.

64 Muslim World after 9/11, op. cit., hal. 234.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 48: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

36

Universitas Indonesia

Pakistan sendiri merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Homogenitas sosio-kultural yang berbasis pada Islam telah mendorong Pakistan

untuk mengidentifikasi diri sebagai negara Islam. Penonjolan identitas inilah yang

kemudian mempengaruhi cara pandang Pakistan terhadap kawasannya. Bagi

Pakistan, Islam seharusnya menjadi logika yang menyatukan penduduk Muslim di

Asia Selatan. Karena itu, Pakistan merasa berkepentingan untuk mengamankan

wilayah Kashmir yang mayoritas berpenduduk Muslim tetapi berada dalam

kedaulatan India.65

Pakistan sepertinya hendak menciptakan Kashmir sebagai

bagian dari tanah air bagi Muslim Asia Selatan. Untuk mencapai tujuannya,

Pakistan melakukan berbagai intervensi termasuk melalui gerakan Islam militan

yang menargetkan Kashmir sebagai daerah operasi.66

Gerakan Islam militan di Pakistan mulai mendapat tantangan pasca tragedi

11 September. Hal ini tidak lepas dari reformasi madrasa yang berperan merekrut

sumber daya manusia untuk kemudian disebarkan ke Afganistan, Kashmir, dan

kawasan Asia Selatan lainnya. Menurut jejak pendapat di Pakistan pada 2001,

opini publik menunjukkan adanya dukungan yang luas untuk peredaan militansi,

pelarangan kelompok-kelompok militan, dan reformasi madrasa.67

Namun,

dukungan tersebut bertolak belakang dengan sentimen anti-Amerika yang makin

menguat. Ketika operasi militer di Afganistan berlangsung, publik Pakistan mulai

membenci kehadiran AS di kawasan dan di Pakistan pada khususnya.68

Kehadiran AS dianggap berpotensi dalam memperburuk politik domestik

Pakistan. Hal ini terkait kekhawatiran publik Pakistan akan degradasi kedaulatan

negara pasca dikabulkannya mandat yang memberikan dukungan logistik, serta

akses udara dan pangkalan udara Pakistan oleh pemerintah Musharraf.

Kebanyakan elit Pakistan juga mulai berlaku pragmatis dalam melihat institusi

mana yang dapat menuai keuntungan dalam isu terorisme. Preferensi elite pada

institusi yang berkaitan dengan militer daripada sipil mengecewakan publik

65 “Kashmir, the History”, diakses dari http://www.pakun.org/kashmir/history.php pada 10

Desember 2012, pukul 11.40 wib. 66 Syed Shoaib Hasan, "Why Pakistan is boosting Kashmir militants", diakses dari

http://news.bbc.co.uk/2/hi/south_asia/4416771.stm pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 11.55

wib. 67 Muslim World after 9/11, loc. cit, hal. 284. 68 Richard Weitz, "Afghan-Pakistan Border Rules: The U.S. Role", Eurasia Border Review, Vol.

3/1 (Spring 2012), hal.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 49: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

37

Universitas Indonesia

Pakistan. Mereka lantas berasumsi kebijakan AS di Pakistan lebih berpusat pada

Musharraf secara individu dibandingkan kondisi Pakistan sehingga membawa

kecenderungan sentimen anti-Musharraf sekaligus anti-Amerika.69

Dengan kata

lain, faktor Musharraf berpengaruh besar dalam memberkan dukungan terkait isu

terorisme di Pakistan.

Sedangkan bagi India, dukungan dalam isu terorisme lebih dimotori oleh

persaingannya dengan Pakistan menyangkut wilayah Kashmir. Peningkatan

operasi kelompok teroris di Kashmir lebih berbasis di Pakistan dibanding India

Sendiri. Beberapa di antaranya operasi teroris di Kashmir tampaknya berniat

untuk memisahkan wilayah Kashmir dari India.70

Tidak sedikit dari kelompok-

kelompok teroris yang beroperasi di Kashmir memiliki hubungan dengan Al

Qaeda, seperti Lashkar-e-Taiba dan Jaish-e-Mohammed.71

Selain faktor Kashmir,

faktor lain yang mempercepat pertumbuhan kelompok Islam radikal di India

adalah dinamika kekerasan antara Muslim dan penganut Hindu. Peningkatan

nasionalisme Hindu menciptakan resistensi di kalangan Muslim India. Pasalnya,

politik non-sekuler yang ditujukan dominasi Hindu memungkinkan terjadinya

perpecahan dalam hukum Muslim oleh tradisi Hindu.

Kalangan Muslim India sendiri merupakan pendukung negara sekuler.

Secara historis, mereka tidak pernah mengidentifikasikan diri dengan gerakan

Islam Internasional bahkan cenderung apolitis. Dukungan akan sekulerisme

negara ini dilatari oleh posisi Muslim yang hanya sepertiga dari populasi India.

Proporsi ini menempatkan Muslim sebagai minoritas terbesar di India. Bagi

Muslim India, dukungan atas hak-hak minoritas merupakan isu politis. Untuk itu,

kalangan Muslim India cenderung mempertahankan negara sekuler yang

melindungi hak-hak minoritas. Menurut Rollie Lal, perubahan tatanan sekuler

negara yang dilakukan Hindu nasionalis tanpa memperhatikan minoritas agama

hanya akan menghasilkan konflik internal skala luas dan radikalisasi agama baik

dari Muslim maupun masyarakat Hindu.72

69 Ibid., hal. 285. 70

Surinder Singh Oberoi, “Ethnic Separatism and Insurgency in Kashmir”, Satu P. Limaye,

Mohan Malik, Robert G. Wirsing, Eds., Religious Radicalism and Security in South Asia, (Hawai:

Asia Pasific Center for Security Studies, 2004). hal. 176. 71 Ibid., hal. 308. 72 Ibid., hal. 306.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 50: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

38

Universitas Indonesia

Di Asia Tenggara, resonansi operasi militer Irak tidak berpengaruh

signifikan. Hal ini terangkum dari respon dua negara berpenduduk mayoritas

Muslim di kawasan, yaitu Malaysia dan Indonesia (lihat Gambar 2. 2). Muslim di

kawasan ini hanya menaruh sedikit simpati terhadap Saddam. Hal ini dikarenakan

adanya persepsi bahwa Saddam merupakan pemimpin tiran. Dalam kasus

Malaysia, pemerintah berupaya mengatur dan mengendalikan protes dengan

mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa perang di Irak

tidak diarahkan terhadap Islam. Faktor lain yang membatasi dampak operasi di

Irak di kawasan adalah preferensi publik secara luas yang mempriortaskan isu

domestik sehingga menutup isu internasional. Di Indonesia khususnya, perubahan

iklim politik akibat peritiwa bom Bali 12 Oktober 2002 mengubah aksi massa

oleh kelompok radikal menjadi kurang dapat diterima. Secara komprehensif,

Angel M Rabasa menyebut reaksi Muslim di kawasan ini relatif moderat.

Sumber: Congressional Research Service (CRS) 2005

Gambar 2. 2 Populasi Muslim Mayoritas di Asia Tenggara

Khususnya di Malyasia dan Indonesia yang mayoritas penduduknya

merupakan Muslim, Islam merupakan bagian dari nilai-nilai sosio kultural yang

membangun negara. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang cukup menonjol.

Islam di Malaysia sendiri telah menjadi lebih homogen dan ortodoks. Konsolidasi

Islam di Malaysia mencerminkan peran religio-politik para sultan dan pemerintah

dalam mendefinisikan ortodoksi agama. Pembangunan otoritas keagamaan untuk

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 51: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

39

Universitas Indonesia

melihat masalah keagamaan di Malaysia telah dimulai sejak zaman kolonial

Inggris. Meski tersisih dari hukum administrasi kolonial, hukum shari’a dan adat

telah dikodifikasi dan relatif terbagun. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar

negara Malaysia sebagai negara Islam.

Beragama di Malaysia erat kaitannya dengan identitas politis dari

kelompok dominan, Melayu. Dengan kata lain, Malaysia lebih menekankan

pembangunan kerangka ideologis yang mempromosikan identitas tertentu

berdasarkan etnis. Agenda Islamisasi pemerintah secara khusus pun menargetkan

masyarakat Melayu sebagai upaya untuk mempromosikan visi Islam dalam

melayani kepentingan rezim berkuasa.73

Dalam mempromosikan kepentingan

pemerintah, pendekatan keamanan Malaysia telah menggabungkan penggunaan

aparatur koersif dengan mekanisme ideologis. Aparatur koersif yang terdiri dari

sejumlah undang-undang represif ditegakkan oleh polisi. Sedangankan

mekanisme ideologis berfungsi untuk membatasi ruang bagi ide-ide yang

mengancam legitimasi rezim. Fungsi lain dari ideologis adalah menjamin

keamanan rezim dengan melegitimasi berbagai hal yang diaplikasikan aparat

koersif maupun rezim.

Mengingat bentuk Islam di Malaysia bergantung pada rezim yang

berkuasa, maka karakter Islam Malaysia berpotensi untuk menjadi fundamentalis

dan otoriter. Praktik fundamentalisme Islam oleh rezim yang berkuasa tidak hanya

dimotivasi partai oposisi fundamentalis seperti Partai Islam Se-Malaysia (PAS),

tapi juga penafsiran konsep yang cenderung fundamentalis oleh pemimpin rezim.

Pada masa pemerintahan Abudullah Ahmad Badawi, Malaysia berkomitmen

untuk menerapkan Islam Hadhari yang ternyata mengilhami pembacaan yang

kaku terhadap teks-teks Al-Quran.74

Sejak diperkenalkan konsep itu, Abdullah

73 Andrew Humphryes, “Malaysia Post-9/11 Security Strategy: Winning Hearts and Minds or

Legitimising the Political Status Quo”, Kajian Malaysia, Vol. 28/ 1 (2010), hal. 27. 74 Islam Hadhari merupakan istilah yang cukup umum yang terdiri dari beberapa prinsip antara

lain sebagai berikut: Pertama, iman dan takwa kepada Allah. Prinsip ini tampaknya meremehkan agama-agama di luar Islam, tetapi klarifikasi dilakukan pada prinsip berikutnya. Kedua,

penekankan keyakinan dalam kebebasan beragama. Ketiga, tidak adanya paksaan dalam

beragama. Keempat, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, pembangunan ekonomi

yang seimbang dan komprehensif yang menggambarkan fondasi ekonomi dari Islam Hadhari.

Tujuannya tidak lain adalah untuk menghadapi tantangan globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang integratif melalui produksi sumber daya manusia. Kelima, penggabungan

praktik moral ekonomi'' dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang komprehensif.

Singkatnya, prinsip-prinsip ini berusaha untuk dimasukkan ke dalam pengertian praktik Abdullah

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 52: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

40

Universitas Indonesia

mengklaim bahwa beberapa elemen di Malaysia sebenarnya telah menjadi lebih

konservatif dan radikal.75

Dengan memberikan dukungan ideologis kepada aparat koersif, Islam

Hadhari pun digunakan untuk membenarkan serangan pemerintah terhadap sekte

yang dianggap sesat. Salah satunya adalah tarikat Samaniah Ibrahim Bonjol yang

kemudian ditangkap di Selangor pasca kemenangan Barisan Negara (BN) pada

2004. Penangkapan tersebut telah memotivasi Menteri Besar khir Toyo untuk

menindak lanjuti 60 sekte menyimpang lainnya yang beroperasi di Selangor. Hal

ini sesuai dengan kepercayaan BN bahwa mereka telah mendapatkan mandat dari

pemilu untuk terus menggunakan aparat koersif pemerintah. Tindakan keras

pemerintah lainnya ditujukan pada sekte Kerajaan Langit pada tahun 2005. Sekte

agama di Terengganu ini ditutup dengan alasan memiliki dokumen yang

bertentangan dengan Islam sehingga akan membahayakan agama maupun

stabilitas politik.76

Di Indonesia, mayoritas penduduk yang beragama Islam tidak lantas

menjadikan negeri ini berlandaskan sistem Islam. Bahkan, tumbuh pesatnya partai

politik yang berlandaskan Islam pasca kemerdekaan dan pasca reformasi tidak

menunjukkan indikasi pembentukan Indonesia sebagai negara Islam.77

Implikasinya, kebijakan luar negeri Indonesia tidak berkarakter Islam atau non-

Islam.78

Menurut Rizal Sukma, alasan pemerintah untuk terus menghindari

ekspresi formal faktor Islam dalam kebijakan luar negeri dikarenakkan sifat

identitas negara yang mempertahankan identitas non-teokratik sehingga menolak

faktor keagamaan eksklusif.79

Lebih spesifik, Sukma menyebutnya sebagai dilema

bahwa Islam adalah agama untuk pengembangan. Keenam, integritas moral dan kultural yang

terdiri dari internalisasi nilai-nilai moral yang menjamin kemakmuran, keharmonisan dan

kedamaian dalam masyarakat multi-rasial. Dengan kata lain, perkembangan moral dilakukan

secara bersamaan dengan pembangunan ekonomi. Prinsip-prinsip Islam Hadhari lainnya adalah

terselenggaranya pemerintahan yang adil dan dapat dipercay; masyarakat yang merdeka dan mandiri; kualitas hidup bermasyarakat; perlindungan hak-hak kelompok minoritas dan perempuan;

menjaga lingkungan hidup dan memperkuat kemampuan pertahanan. Ibid. hal. 36. 75 Ibid. hal. 40. 76

Ibid. hal. 39. 77 Dewi Fortuna Anwar, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia”, Journal of

Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3,( 2010), hal. 43. 78 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy¸ (London: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 140 79 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 53: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

41

Universitas Indonesia

identitas di mana masuknya Islam dalam kebijakan luar negeri hanya terbatas

pada bentuk dan bukan substansinya.

Namun demikian, perumusan kebijakan luar negeri dijaga agar tidak

bersebrangan dan tidak menekan kepentingan-kepentingan Islam di dalam negeri.

Alasan inilah yang melatari mengapa kebijakan luar negeri Indonesia tidak pernah

mengadopsi penuh aspirasi kelompok-kelompok Islam di dalam negeri, sehingga

terdapat jarak antara substansi kebijakan luar negeri secara formal dengan aspirasi

kelompok muslim. Pada pemerintahan Orde Baru (Orba) misalnya, pendekatan

yang menjadi preferensi adalah penggunaan kebijakan luar negeri yang ditujukan

untuk politik dalam negeri. Sebab, Soeharto menempatkan stabilitas politik,

pembangunan ekonomi, serta rezim keamanan dan legitimasi sebagai agenda

prioritas.80

Sampai tahun 1989, Islam lebih diperhatikan sebagai faktor yang harus

dikurangi pengaruhnya karena dianggap sebagai ancaman terhadap rezim yang

berkuasa. Perhatian pada faktor Islam berubah Sejak 1990. Islam mulai dipandang

sebagai kekuatan potensial dalam konteks memperluas dan memperkuat basis

kekuatan, serta legitimasi rezim yang dapat membantu memenuhi kepentingan

eksternal rezim. Secara praktis, keunggulan imperatif dalam negeri tetap menjadi

faktor penting dalam kontinuitas hubungan luar negeri Indonesia yang tidak dapat

menolak kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan Barat dan lembaga-lembaga

internasional.

Selama reformasi, faktor Islam tetap diekspresikan dalam skala yang

terbatas. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, krisis ekonomi dan buruknya

situasi politik dalam negeri mendorong Indonesia untuk mengandalkan bantuan

dari IMF dan Barat. Meski terdapat kebencian terhadap IMF dan AS di ranah

domestik —termasuk dari komunitas Muslim— tidak diterjemahkan

pemerintahan Habibie ke dalam kebijakan anti-Barat. Sedangkan masa

pemerintahan Abdurahman Wahid, kebijakan luar negeri Indonesia menaruh

perhatian pada negara-negara Islam Arab di Timur yang diiringi dengan rencana

membangun hubungan perdagangan langsung dengan Israel. Rencana kedua

tersebut segera memunculkan sikap oposisi dari komunitas Muslim untuk

80 Ibid., hal. 140-141.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 54: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

42

Universitas Indonesia

memastikan bahwa rencana tersebut tidak akan terjadi. Hal ini menunjukan faktor

Islam berfungsi sebagai mekanisme kontrol daripada faktor pendorong utama

dalam kebijakan luar negeri Indonesia.81

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, keinginan untuk

memulihkan kondisi ekonomi dan politik dengan menjalin hubungan baik dengan

negara-negara Barat ternyata mendapat tantangan dari kelompok-kelompok Islam

pasca peristiwa 11 September. Terkait isu global terhadap terorisme, Megawati

mencoba mengikuti agenda pemerintah untuk menjalin hubungan baik dengan

negara-negara Barat sembari mengakomodasi suara Islam dalam kebijakan luar

negerinya. Aspirasi kelompok Islam yang tidak sepenuhnya terakomodasi

menunjukan adanya keterbatasan untuk mengekspresikan faktor Islam dalam

kebijakan luar negeri Indonesia.82

Untuk melihat pengaruh faktor Islam lebih

lanjut, sub bab berikutnya akan memaparkan bagaiamana kebijakan luar negeri

Indonesia merespon ekspektasi internasional akan eksistensi Islam moderat dan

ekspektasi domestik yang menuntut perhatian pada isu-isu dunia Islam.

2. 2. Presentasi Identitas Islam Moderat Indonesia Sebagai Respon atas

Ekspektasi Internasional dan Domestik

Pada bagian ini, pembahasan diuraikan dalam dua kategori, yakni identitas

Islam moderat sebagai mediator antara Barat-Islam dan sebagai model bagi dunia

Islam. Sebelum masuk dalam pokok pembahasan, bagian ini dimulai dengan

memberikan gambaran dampak perang global terhadap teror di kawasan Asia

Tenggara. Hal ini berguna untuk memahami posisi dan sikap Indonesia di

kawasan tersebut, terlebih lagi dalam upayanya mengambil peran yang lebih luas

dalam hubungan internasional.

Bagi kawasan Asia Tenggara, perang global terhadap terorisme justru

lebih membawa pengaruh besar, dibandingkan operasi militer di Irak. Dari sudut

pandang kawasan, perubahan isu keamanan regional bukan disebabkan serangan

11 September, tapi lebih dikarenakan kepemimpinan AS dalam perang melawan

terorisme yang kemudian direspon pemerintah, aktor-aktor politik dan agama di

81 Ibid., hal. 142. 82 Ibid., hal. 143.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 55: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

43

Universitas Indonesia

kawasan sebagai urgensi. Akibat dari persepsi tersebut, perang global terhadap

terorisme membawa dua konsekuensi umum di Asia Tenggara.83

Pertama, fokus perhatian dialamatkan pada hubungan antara Al-Qaeda

dan kelompok-kelompok radikal lokal. Secara otomatis, hal ini mendorong

terciptanya peluang kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Barat

dan negara-negara di Asia Tenggara. Beberapa peluang kerjasama itu antara lain,

adanya kerangka kerja untuk meningkatkan bantuan militer; penyebarluasan

informasi intelijen antara negara-negara di kawasan; dan perluasan akses militer

untuk mendukung kerjasama kontra-terorisme.

Kedua, Asia Tenggara diperhitungkan sebagai daerah transit bagi jaringan

terorisme sehingga berpotensi sebagai medan dalam perang melawan terorisme.

Penempatan Asia Tenggara sebagai front kedua dalam perang melawan terorisme

dikemukakan AS saat melancarkan operasi militer di Afghanistan. Istilah front

kedua mencerminkan tingginya tingkat ancaman teroris di Asia Tenggara.

Ancaman yang dimaksud bersumber dari faksi Islam radikal dan milisi bersenjata,

serta kemudahan akses bagi operasi kelompok teroris di daerah perbatasan yang

kurang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat.

Isu utama AS dalam perang global terhadap terorisme bukanlah hanya

memberantas kelompok teroris semata. Hal ini lebih pada bagaimanan

menyesuaikan antara pemberantasan gerakan Islam militan, penguatan

pemerintahan yang bersehabat dan kelompok moderat di dunia Islam.84

Bagi

Barat, Muslim moderat merupakan aliansi potensial yang paling efektif karena

merangkul tradisi yang berbasis pada nilai-nilai masyarakat modern seperti

demokrasi dan pluralisme.85

Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai

musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah ekstrimisme. Karena itu,

jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural, yaitu

rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk

menggempur kediktatoran dan ekstrimisme.86

83 Muslim World after 9/11, op. cit., hal. 391-392. 84

Ibid., hal. 52. 85Angel Rabsa, Cheril Benard, Lowell H. Schwartz, et.al., Building Moderate Network, (RAND

Corporation: Santa Monica, 2007), hal. 3. 86 Benazir Bhutto, Reconciliation: Islam, Democracy, and the West, (London: Simon and Schuster,

2008).

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 56: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

44

Universitas Indonesia

Dalam melawan teorisme, strategi yang digunakan Barat tidak lepas dari

promosi demokrasi seperti pengalamannya selama Perang Dingin. Komitmen

terhadap demokrasi sebagaimana yang dipahami dalam tradisi liberal Barat dan

kesepakatan atas legitimasi politik berasal dari kehendak rakyat diungkapkan

melalui pemilu yang demokratis merupakan isu kunci dalam mengidentifikasi

Muslim moderat. Rabasa kemudian merinci Muslim moderat ke dalam empat

karakteristik, yakni penerimaan akan sumber hukum yang non-sekterian;

penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas; dan beroposisi

terhadap terorisme dan aksi-aski kekerasan yang tidak sah. 87

Di sisi lain, Barat menyadari bahwa Islam Moderat kurang memiliki

sumber daya finansial dan organisasional dalam membangun jaringan mereka

sendiri. Kondisi ini bertolak belakang dengan kelompok Islam radikal yang

terbilang sedikit tapi memiliki sumber pendanaan yang kuat dan jaringan yang

luas. Kelompok radikal kebanyakan memperoleh dana dari Saudi selama tiga

dekade terakhir. Dana ini merupakan kepanjangan dari ekspor Wahabisme Islam

versi Saudi yang disengaja atau tidak berdampak pada pertumbuhan ekstremisme

agama di seluruh dunia Muslim.88

Yayasan Saudi Al-Haramain salah satunya,

telah ditutup karena terbukti mendanai sejumlah organisasi teroris dari Bosnia ke

Asia Tenggara. Selain itu, kelompok radikal telah mengembangkan jaringan

selama bertahun-tahun hingga mencapai skala transnasional.89

Perhatian Barat di Asia Tenggara pada dasarnya terletak pada upaya

membangun jaringan Islam Moderat untuk menangkal jaringan terorisme di

kawasan. Pada skala regional, perhatian AS dan Barat tertuju pada Indonesia yang

dianggap sebagai pilar keamanan di Asia Tenggara.90

Dalam pandangan Barat,

Indonesia memiliki peran yang signifikan baik di kawasan maupun di luar

kawasan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak peranannya di dunia internasional

—sebagai pendiri Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), pelopor

87 Building Moderate Network, Op. Cit., hal 67-68. 88 Wahabisme merupakan bentuk internasionalisme Islam yang digunakan Arab Saudi sebagai

bentuk strategi penangkalan ganda dalam menghadapi ancaman internasional yang berasal dari

Nasserisme dan aliran Syi’ah, sekaligus meredam instabilitas internal yang bersumber dari Salafi.

Naved S. Sheikh, the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States,

(London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 45. 89 Building Moderate Network, op. cit., hal. 3. 90 Lena Kay, “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign

Policy”, Issue & Insight, Vol. V/4 (Agustus 2005), hal. 8.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 57: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

45

Universitas Indonesia

Gerakan Non-Blok (GNB), dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Mengingat ukuran, posisi, dan peran di kawasan, apa yang terjadi di Indonesia

otomatis akan berdampak di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia

yang stabil menjadi kunci stabilitas kawasan.

Tidak hanya itu, Indonesia pun dianggap memiliki preseden yang baik

dalam pengalaman berdemokrasi. Keberhasilan Indonesia yang telah melakukan

transformasi dari sistem politik otoriter ke sistem yang lebih demokratis ditandai

dengan adanya pemisahan struktur kekuasaan dan prinsip checks and balances,

penyelenggaran serangkaian pemilu mulai dari bupati, gubernur, hingga presiden

dan wakil presiden yang diadakan pada 2004 dan 2009. Menurut Lena Kay,

sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi model bagi

peradaban Islam dalam transisi ke abad ke-21 karena menunjukkan kemitraan

yang layak dan kompatibel antara Islam dan demokrasi.91

2. 2. 1. Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam

Terkait upaya pembangunan jaringan Islam moderat oleh Barat, Indonesia

nampaknya menanggapi ekspektasi tersebut secara positif. Akan tetapi, ekspektasi

tersebut bukanlah satu-satunya alasan mengapa Indonesia mencitrakan identitas

Islam moderat. Cara pandang Indonesia dalam melihat dunia juga memiliki

proporsi yang krusial dalam membangun pencitraan tersebut. Cara pandang

nasional terhadap dunia (worldview) merupakan persepsi dominan dari watak

sistem dunia dan sekaligus mengambil tempat dalam sistem itu sendiri. Menurut

Paige Johnson Tan, meskipun mengalami perubahan kepemimpinan yang drastis,

konsistensi cara pandang Indonesia melihat sistem global tampak dari sejarah

kontemporer negeranya.92

Mulai dari awal kemerdekaan Indonesia hingga kini,

cara pandang tersebut selalu dipenuhi oleh keinginan agar negaranya memiliki

peranan di dunia internasional.

Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004

ternyata tidak mengubah cara pandangan Indonesia untuk mengambil peran aktif

baik di tataran regional maupun global. Cara pandang ini termuat dalam Undang-

91 Lena Kay, h. 3. 92 Paige Johnson Tan, “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign

Policy”, Asian Perspective, Vol. 31/3 (2007), hal. 148.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 58: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

46

Universitas Indonesia

undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai Rencana Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) 2005-2025 di mana salah satu sasarannya adalah terwujudnya peranan

Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional. Kepada negara-

negara Barat khususnya, Indonesia nampak mencoba untuk mengklarifikasi

kesalahpahaman pandangan Barat yang mengklaim bahwa kegagalan konsolidasi

demokrasi cenderung terjadi pada negara-negara berpenduduk Muslim.93

Terkait

fakta bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, upaya klarifikasi

kemudian diterjemahkan kebijkan luar negeri dengan mencitrakan diri sebagai

Islam moderat.

Akan tetapi, kemoderatan Islam hanyalah komplemen dari identitas formal

Indonesia. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah I (RPJMN I) 2005-

2009, salah satu sasarannya difokuskan untuk memperkuat dan memperluas

identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat

internasional. Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam

Indonesian Council on World Affairs (ICWA) pada 19 Mei 2005. Ia menyatakan,

“We are fourth most populous nation in the world. We are home to the world’s

largest Muslim polulation. We are the world’s third largest democracy. We are

also a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand.”94

Tendensi demokrasi dan Islam moderat sepertinya merupakan upaya

Indonesia dalam mendekatkan diri dengan negara demokrasi maju, khususnya

Barat. Dalam studinya mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru

menggunakan kebijakan luar negerinya, Alison Stanger menemukan bahwa proses

demokrasi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara demokrasi baru

membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih

mapan.95

Untuk menjelaskan fenomena ini, Philips J. Vermonte mengemukakan

dua alasan. Pertama, kebijakan luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk

93 Samuel Huntington, Bernard Lewis, “Communism and Islam” dalam Walter Z. Laqueuer (ed),

the Middle East in Transition, (New York: Frederick A. Praeger, 1958); dan Ellie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture, (Washington DC: Washington Institute for Near East

Studies, 1992). 94 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disampaikan sebelum Indonesian Council on

World Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005. 95 Alison Stanger, “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign

Policies of Interim Governments”, Yossi dan Juan Linz (eds), Between States: Interim

Governments and Democratic Transitions, (Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal.

274-276.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 59: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

47

Universitas Indonesia

menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikan.

Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan yang pertama, prospek bagi kerjasama

internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan

semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses

konsolidasi internal.96

Perlu diingat, perekonomian Indonesia menerima banyak tekanan pasca

rangkaian peristiwa bom teror di tanah air sejak Oktober 2002. Ekspor Indonesia

ke AS contohnya, mengalami penurunan. Pada tahun 2001, nilai ekspor Indonesia

berada di kisaran US$ 8,1 juta. Sedangkan pada tahun 2002, nilai ekspor hanya

duduk pada kisaran US$ 7,9 juta. Nilai ekspor terus turun pada tahun 2003 dengan

menempati jumlah US$ 7,7 juta.97

Akibat lain dari instabilitas kebijakan domestik

yang ditimbulkan teror bom adalah peningkatan credit risk yang tidak menyisakan

sedikit pun kemungkinan bagi munculnya investasi, baik dari pihak asing maupun

domestik.98

Bahkan, banyak investor yang lari dari Indonesia dan lebih memilih

China sebagai ladang investasi, sehingga berdampak pada menurunnya

perekonomian Indonesia dan tingginya angka pengangguran.99

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tujuan dari aksi teror bom di

Indonesia yang umumnya dialamatkan pada simbol-simbol Barat. Akibatnynya,

sejumlah kedutaan besar seperti AS, Australia, dan beberapa negara Eropa Barat

mengeluarkan ketentuan pemberian visa yang lebih berat bagi warganya yang

hendak berpergian ke Indonesia. Secara psikologis pun, isu teror bom di tanah air

juga diduga telah mengurangi minat para wisatawan asing (wisman) datang ke

Indonesia. Akibatnya, pariwisata menjadi sektor yang mendapat imbas cukup

besar dari isu teror bom, seperti terlihat pada grafik berikut.

96 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, Bantarto Bandoro ed., Mencari Desain Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Jakarta:

Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS) , 2005, hal. 29. 97 International Monetary Fund (IMF), Direction of Trade Statistics Yearbook 2006, Washington

DC, h. 536. 98 Sjahrir, “Bali, Bangsa, dan Masa Depan” dalam Transisi menuju Indonesia Baru, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 130. 99 BAPPENAS, Perekonomian Indonesia tahun 2004: Prospek dan Kebijakan, Jakarta, 2003, h.

11.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 60: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

48

Universitas Indonesia

Grafik 2. 3 Jumlah Kedatangan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan

Australia 2001-2006

Sumber: diolah dari www.bps.go.id (2002-2006)

Pada grafik di atas tampak jumlah wisman yang berasal dari Eropa,

Amerika Utara, dan Australia menurun drastis. Pada 2002, wisman dari ketiga

kawasan tersebut mencapai lebih dari 1,4 juta orang, sedangkan pada tahun 2003

hanya sekitar satu juta orang. Tiga tahun pasca tragedi, kunjungan wisman dari

kawasan tersebut memang menunjukan peningkatan, tetapi penurunan kembali

terjadi ketika Bali yang menjadi simbol surga pariwisata Indonesia kembali

diguncang teror pada 2005. Berkurangnya kunjungan wisman ini berdampak pada

penurunan devisa negara di sektor pariwisata, seperti tampak pada grafik berikut.

Grafik 2. 4 Penerimaan Devisa dari Kunjungan Wisman Asal Amerika

Utara, Eropa, dan Australia 2001-2006

Sumber: Diolah dari Rencana Strategis Kementrian Kebudayaan dan

Pariwisata (2010 – 2014)

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 61: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

49

Universitas Indonesia

Dari grafik tersebut, penurunan devisa yang diterima sektor pariwisata

mencapai -4,7 persen pada 2001 jika dibandingkan dengan tahun 2000. Angka ini

tidak menunjukan perbaikan bahkan cenderung terjun bebas pada tahun 2002 dan

2003, yakni -17,18 persen dan -10, 21 persen. Meski terdapat kenaikan hingga

18,83 persen pada 2004, devisa negara kembali menurun pasca terjadinya Bom

Kuningan di Kedutaan Besar Australia pada 2004, yaitu sebesar -5,75 persen pada

2005 dan -1,66 persen pada 2006.

Besarnya kerugian ekonomi dan politis yang dirasakan sepertinya menjadi

salah satu alasan Indonesia untuk berusaha menghilangkan gambaran teror bom

yang dimotori oleh gerakan-gerakan Islam radikal. Usaha ini dilakukan Indonesia

dengan memberikan pencitraan Islam moderat, khususnya pada negara-negara

Barat. Untuk menjalin kerjasama yang berkesinambungan dengan dunia Barat,

Indonesia mengupayakan proses dialogis yang ditempuh melalui jalur diplomasi.

Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, P. L.

E. Priatna mengungkapkan, Islam moderat hanyalah bagian dari pencitraan dalam

mempromosikan demokrasi yang digerakan melalui diplomasi.100

Bentuk-bentuk

dialog intensif yang diadakan oleh Indonesia antara lain dialog antar kepercayaan

(inter-faith), antar budaya (inter-cultural), dan antar peradaban (inter-civilization).

Hal ini dimaksudkan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman antar

agama dan kepercayaan, budaya, dan peradaban yang berbeda.

Eksplorasi dari proses ini berlangsung secara bilateral, regional, maupun

multilateral. Proses dialogis yang terwujud melalui hubungan bilateral dapat

dilihat dari diselenggarakannya konferensi unity in diversity: the culture of

coexistence in Indonesia antara Indonesia dan Italia. Sepanjang tahun 2008,

Indonesia telah melakukan interfaith dialog dengan Inggris, Austria, New

Zealand, Belanda, Kanada, Lebanon, dan Australia. Sedangkan dalam kerangka

regional dan multilateral, dialog-dialog serupa dapat ditemukan dalam ASEM

sejak tahun 2005.101

Khusus kawasan Asia Pasifik, konferensi Asia Pasific tentang

100 Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri

Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012. 101 Kegiatan ini telah diadakan di Cyprus, Beijng, dan Belanda.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 62: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

50

Universitas Indonesia

interfaith dialogue and cooperation juga telah dimulai pada 2004 dengan

mengambil tempat di Yogyakarta.102

Inisiatif lain yang diambil Indonesia dalam pencapaian sasaran tersebut

adalah dengan menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF) sejak tahun

2008. Forum yang berlangsung pada tataran inter-pemerintahan ini menempatkan

Indonesia sebagai pihak yang mempelopori forum khusus yang membahas tentang

demokrasi di kawasan Asia. Agar BDF lebih terasa implementatif, Indonesia

membentuk Institute for Peace and Democracy (IPD) yang mendorong pertukaran

pandangan dan pengalaman melalui berbagai kegiatan seperti workshop, seminar,

kuliah umum, dan pelatihan bagi aparatur negara. Berikut ini merupakan tabel

agenda penyelenggaraan BDF yang diinisiasi oleh Indonesia.

Tabel 2. 3 Pelaksanaan Bali Democracy Forum

Waktu Co-chair Tema Jumlah

Peserta

10-11

Desember 2008

Australia Building and Consolidating

Democracy: A Strategic

Agenda for Asia

40 negara

10-11

Desember 2009

Jepang Promoting Synergy between

Democracy and Development

in Asia: Prospects

for Regional Cooperation

48 negara

9-10

Desember 2010

Korea

Selatan

Democracy and the Promotion

of Peace and Stability

86 negara

8-9

Desember 2011

Bangladesh Participation in Changing

World: Responding to

Democratic Voices

82 negara

Sumber: diolah dari www.deplu.go.id

Tabel di atas memperlihatkan peningkatan antusiasme negara-negara di

dunia pada acara BDF. Pada gilirannya, antusiasme tersebut melahirkan interaksi

yang lebih intensif antara Indonesia dengan negara-negara yang menghadiri acara

tersebut, khususnya negara-negara demokrasi Barat. Pengakuan atas kredibilitas

Islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan demokrasi pun banyak

berdatangan dari negara-negara Barat.

102 Kegiatan ini sudah terlembaga dan berlanjut tiap tahunnya. Secara berurutan, kegiatan ini telah

diadakan di Seibu, Hawaii, Tangi New Zealand, Kamboja, dan Australia.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 63: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

51

Universitas Indonesia

Tidak hanya pengakuan, pencitraan identitas Islam moderat yang

dilakukan Indonesia sepertinya juga mendapat motivasi dari Barat. Dalam catatan

Rizal Sukma yang menghadiri acara Wilton Park Conference di Inggris pada

Maret 2010, masyarakat internasional mengharapkan agar Indonesia dapat

memainkan peran sebagai suara Islam dunia.103

Ekspektasi ini bermuara pada

saran agar Indonesia Indonesia dapat menjadi mediator antara Barat dan dunia

Islam. Tidak hanya itu, Islam moderat Indonesia juga diharapkan dapat menjadi

model alternatif yang mungkin diterapkan bagi masyarakat muslim lainnya.104

Secara eksplisit, Presiden AS Barack obama mengatakan, Indonesia sebagaimana

Chile dan Korea Selatan dapat dijadikan model demokrasi yang baik bagi

Mesir.105

Untuk menjadi preseden alternatif Islam bagi kawasan Timur Tengah,

kebijakan luar negeri Indonesia telah memiliki modal kuat pasca reformasi. Modal

itu adalah Indonesia dianggap mampu untuk mensinergikan nilai-nilai demokrasi

dengan Islam. Menurut Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Indonesia

merupakan negara Muslim yang berhasil melakukan transisi kebijakan dari

kediktatoran menuju demokrasi.106

Untuk itu, Indonesia harus mendemonstrasikan

kepada dunia, bahwa Islam yang bergandengan dengan demokrasi juga dapat

menjadi kekuatan positif yang turut berpartisipasi dalam menyelesaikan

permasalahan internasional.

Harapan Barat agar identitas Islam moderat Indonesia dapat menjadi

model alternatif tidaklah lepas dari pandangan akan banyaknya rezim otoriter di

dunia Islam, khususnya Timur Tengah dan Afrika Utara. Dalam indeks demokrasi

2010 yang dikeluarkan the Economist Intelligence Unit, kedua wilayah ini

merupakan kawasan yang paling represif di dunia.107

Tabel berikut akan

memberikan rincian pengukuran demokrasi dari negara-negara yang masuk dalam

laporan tersebut.

103 Dewi Fortuna Anwar, loc. cit., hal 38-39. 104 Ibid, hal. 45. 105

Ben Smith, “Obama Suggest Indonesia, Chile as models for Egypt”, Politico, 2 Maret 2011. 106 Mathew Lee, “Clinton: Indonesia Can be Democratic Role Model”, the Jakarta Post, 24 Juli

2011. 107 The Economist Intelligence Unit, “Democracy in Retreat”, Democarcy Index 2010, London,

2010.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 64: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

52

Universitas Indonesia

Tabel 2. 4 Negara-negara dengan Rezim Otoriter di Timur Tengah dan

Afrika Utara

Negara Peringkat

demokrasi

Total

Skor

Pemilu &

Pluralisme

Fungsi

Pemerintah

Partisipasi

Politik

Budaya

Politik

Kebebasan

Sipil

Kuwait 114 3,88 3,58 429 333 438 382

Maroko 116 3,79 3,50 4,64 1,67 5,00 4,12

Yordania 117 3,74 3,17 4,64 3,33 3,75 3,82

Bahrain 122 3,49 3,58 4,29 3,33 4,38 3,82

Algeria 125 3,44 2,17 2,21 2,78 5,63 4,41

Qatar 137 3,09 0,00 3,21 2,22 5,63 4,41

Mesir 138 3,07 0,83 3,21 2,78 5,00 3,53

Oman 143 2,86 0,00 3,57 2,22 4,38 4,12

Tunisia 144 2,79 0,00 2,86 2,22 5,63 3,24

Yaman 146 2,64 1,33 1,79 3,89 5,00 1,18

UAE 148 2,52 0,00 3,57 1,11 5,00 2,94

Sudan 151 242 0,00 1,43 3,33 5,00 2,35

Syiria 152 2,31 0,00 2,50 1,67 5,63 1,76

Iran 158 1,94 0,00 3,21 2,22 2,50 1,76

Libya 158 1,94 0,00 2,14 1,11 5,00 1,47

Arab Saudi

160 1,84 0,00 2,86 1,11 3,75 1,47

Sumber: the Economist Intelligence Unit (2010)

Tabel di atas memperlihatkan bahwa hampir seluruh pemerintahan di

kawasan ini mencegah kebebasan berpolitik. Bentuk pemerintahan yang otoriter

dan represif di Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menyebabkan

ketimpangan ekonom-sosial masyarakat sehingga tuntutan akan perubahan politik

tak dapat dihindari.

2. 2. 2. Identitas Islam Moderat Sebagai Model Alternatif bagi Dunia Islam

Peranan yang hendak dicapai Indonesia melalui pencitraan identitas Islam

moderat agaknya mengalami metamorfosis ketika dihadapkan pada pergolakan

politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang notabene negara berpenduduk

mayoritas Muslim. Tuntutan akan perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika

Utara telah mengiinspirasi Indonesia untuk memainkan peran model Islam

moderat.

Perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara diawali dengan

keberhasilan para demonstran di Tunisia yang menjatuhkan rezim Zine El Abidin

Ben Ali. Hal ini disusul dengan mundurnya Housni Mubarak setelah 30 tahun

memimpin Mesir — yang memegang posisi kunci di jazirah Arab. Efek domino

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 65: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

53

Universitas Indonesia

dari aksi-aski di Tunisia dan Mesir segera menjangkiti warga Libyia, Aljazair,

Suriah, Yordania, Yaman, dan Libanon seperti yang terlihat dari gambar berikut

ini.108

Sumber: Gatra (2011)

Gambar 2. 5 Efek Domino dari Perubahan Politik di Tunisia dan Mesir

Revolusi ini menjadikan internet sebagai kunci penggerak revolusi. Media

sosial khususnya, merupakan instrumen penggerak emosi massa untuk berkumpul

dan melakukan aksi protes yang menuntut kemunduran terhadap pemerintahan

otoriter dan penyelenggaran pemilu yang demokratis. Salah satu pemicu aksi-aksi

protes di negara-negara tersebut adalah besarnya kesenjangan ekonomi-sosial.

Berdasarkan laporan dari Arab Human Development Report 2009, peningkatan

jumlah populasi manusia yang tajam di negara-negara jazirah Arab berimplikasi

pada kesimbangan distribusi air dan makanan, serta keterbatasan ketersediaan

lapangan pekerjaan.109

Pada tahun 2020, negara-negara di kawasan ini diprediksi akan

membutuhkan pekerjaan bagi 51 juta warganya. Pihak yang paling rentan

terhadap ancaman ini adalah kalangan muda Arab, khususnya perempuan.

Keadaan ini diperburuk oleh struktur kebijakan dan ekonomi di negara-negara

108 “Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Tahun XVII, 10-16 Februari

2011, h. 93. 109 UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security in the Arab

Countries”, Arab Human Development Report 2009, New York, hal. 10.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 66: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

54

Universitas Indonesia

jazirah Arab seperti di Aljazair, Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman yang rata-rata

didominasi oleh rezim yang borjuis, represif, dan otoriter.

Dari berbagai aspek yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara

memiliki banyak persamaan dengan Indonesia pada massa reformasi 1998. Dilihat

dari aspek sosio kultural, Indonesia adalah rumah bagi Muslim terbesar di dunia.

Begitu pula Timur Tengah-Afrika Utara yang berpenduduk mayoritas Muslim

karena alasan historis yang menjadikannya sebagai tempat turunnya agama Islam.

Sedangkan pada aspek sistem kebijakan, kedua kawasan tersebut sama-sama

pernah dinaungi pemimpin otoriter yang didukung kalangan militer melalui

jaringan politis yang luas dan patronase finansial. Sistem kebijakan yang

dijalankan selama pemerintahan otoriter adalah secular nasionalis dengan

memonopoli kekuasaan negara. Keduanya meminggirkan kekuatan kebijakan

Islam dan sama-sama mengekang gerak media serta pihak oposisi.

Dilihat dari aspek fenomenologis, aksi demonstrasi di Indonesia dan

Timur Tengah-Afrika Utara juga tidak jauh berbeda. Pemicunya adalah faktor

eksogenus, yaitu krisis yang menimbulkan efek domino. Sedangkan pelaku protes

ialah pemuda yang merasa kecewa akan besarnya jurang pemisah antara

pembangunan kebijakan dengan pertumbuhan ekonomi. Instrumen persuasif

dalam melakukan aksi demonstrasi juga sama-sama mengandalkan jaringan

internet. Respon dari pemerintahan yang diprotes juga tidak jauh dari aksi

kekerasan hingga pembunuhan para demonstran. Kerusuhan yang terjadi selama

demonstrasi berlangsung pun semakin memepertajam opini publik dalam

melawan rezim yang berkuasa.

Dari diskripsi di atas, terdapat pengalaman paralel antara kawasan Timur

Tengah-Afrika Utara dan Indonesia. Indonesia yang merasa pernah merasakan

pengalaman yang sama sepertinya menunjukan keinginan untuk melakukan

sharing experience dalam rangka menjadikan dirinya model bagi dunia Islam,

khususnya jazirah Arab. Dalam wawancara di CNN yang ditayangkan 15 Juni

2011, SBY menyatakan bahwa Indonesia dapat menjadi model di mana Islam dan

demokrasi dapat bergandengan dan tidak ada kontradiksi di antara keduanya.

Lebih lanjut SBY menjelaskan, jika Indonesia dapat memegang demokrasi

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 67: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

55

Universitas Indonesia

sekaligus menghormati nilai-nilai Islam secara bersamaan, maka negara-negara

Timur Tengah juga dapat melakukan hal yang sama.110

Secara historis, Indonesia memiliki kedekatan hubungan dengan kawasan

Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagi Indonesia, kawasan Timur Tengah dan

Afrika Utara telah berkontribusi besar bagi kelahiran Indonesia sebagai sebuah

negara-bangsa. Menurut Muhammad Hatta, kemenangan perjuangan kemerdekaan

bangsa Indonesia dimulai dari kemenangan diplomasi di Timur Tengah.111

Pengakuan de facto dan de jure dari negara-negara Arab yang dipelopori Mesir

dan disusul Suriah yang gigih mendorong PBB untuk memasukan “Indonesian

Question” ke dalam agenda siding Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah

membuka jalan bagi pembentukan United Nations Commision for Indonesia

(UNCI). Titik klimaks dari solidaritas negara-negara Timur Tengah berupa

pengakuan kedaulatan RI pada 1949.

Dari sinilah terlihat pola awal yang kelak membentuk karakter hubungan

Indonesia dan Timur Tengah. Hubungan keduanya tidak hanya berlandaskan pada

hubungan formal diplomatik semata, tetapi diperkuat dengan solidaritas

perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan

nasional berdasarkan semangat persaudaraan kultural yang mendalam.112

Atas

nama solidaritas pula, Indonesia memasukan agenda mengenai penggalangan

dukungan bagi kemerdekaan bangsa-bangsa di Timur Tengah, khususnya

Palestina dan Sudan, ke dalam tema besar KAA pada 1955. Konferensi yang

diselenggarakan di Bandung ini mewariskan Dasa Sila Bandung yang menjadi

fondasi dari semangat persaudaraan antara bangsa-bangsa di kawasan Asia,

Afrika, dan Timur Tengah.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa semangat solidaritas dan persaudaraan

menjadi corak khas hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Timur

Tengah dan Afrika Utara. Untuk menjaga konsistensi dari aplikasi kebijakan luar

negeri Indonesia di kawasan tersebut, semangat tekstual dalam Dasa Sila Bandung

110 Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Andrew Steven ditayangkan di

CNN, 15 Juni 2011. 111 Ronny Prasetyo Yuliantoro, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan

Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis”, Jurnal Diplomasi, Vol.

3/ 2, (Juni 2011), hal. 2-3. 112 Ibid., hal. 3-4.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 68: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

56

Universitas Indonesia

ini dikonstekstualisasikan sesuai kondisi yang tengah terjadi. Untuk mengambil

peran model alternatif di Timur Tengah dan Afrika Utara, kebijakan luar negeri

Indonesia tampak diaplikasikan secara hati-hati sebagai bentuk konsistensi

Indonesia atas prinsip non intervensi sesuai Dasa Sila Bandung. Dalam prinsip

penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial, Indonesia

berpandangan bahwa aspirasi menuju pencapaiannya juga harus tumbuh secara

internal (home grown) dan tidak dipaksakan dari luar oleh aktor-aktor eksternal.113

Atas dasar proses transfer ide, upaya Indonesia dalam membagi

pengalaman (sharing experience) kemungkinan akan dilakukan dengan

memperhatikan faktor kekhasan kultural (indigenous uniqueness) dari kawasan

tersebut. Hal ini ditujukan untuk membantu menyelesaikan gejolak sosial dan

politik yang tengah terjadi di kawasan tersebut. Agar tidak terkesan mendikte atau

menggurui, proses berbagi pengalaman diapliasikan Indonesia dalam BDF IV

dengan mengundang beberapa negara Timur Tengah seperti Yordania, Qatar,

Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Yaman.114

Selain itu, melalui IPD, Indonesia

juga melakukan people to people initiative dengan Timur Tengah dalam program

Workshop on Egypt-Indonesia Dialogue on Democratic Transition pada Mei

2011.

Bagi komunitas Muslim dalam negeri, perubahan politik di Timur Tengah

dan Afrika Utara dapat dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk menjalin

hubungan yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Secara historis, hubungan

Indonesia dan negara-negara Timur Tengah tidak berkembang secara cepat pasca

pengakuan kemerdekaan nasional oleh Mesir, Irak, dan Syiria. Sepanjang

pemerintahan Soeharto khususnya, Indonesia tidak pernah berusaha untuk

menjadi pemimpin dari gerakan Islam meskipun memiliki penduduk Islam

terbesar di dunia. Sebaliknya, Indonesia lebih tertarik untuk menjadi pemimpin

Gerakan Non-Blok (GNB).115

Komunitas Muslim memandang, isu utama dalam kebijakan luar negeri

Indonesia dalam hubungannya dengan Islam bukanlah bagaimana

113

Ibid., hal. 12. 114 Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9

December 2011. 115 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES,

1998), hal. 218.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 69: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

57

Universitas Indonesia

memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri secara Islami.

Akan tetapi, lebih pada kebutuhan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-

negara Muslim dan menaruh perhatian terhadap isu-isu di dunia Islam sekaligus

melakukan inisiatif yang berarti terhadap isu tersebut. Mereka umumnya

berpandangan, adalah absurd jika Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar

hanya menduduki posisi pinggiran dan memainkan peran marginal di dunia

Islam.116

Seiring dengan ekspektasi akan keharmonisan hubungan Indonesia dan

Timur Tengah, bermunculan pula harapan agar hubungan tersebut dapat

memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Harapan ini disandarkan pada

kenyataan bahwa meski perdagangan kedua kawasan tidak mengindikasikan

penurunan, hubungan ekonomi Indonesia-Timur Tengah masih belum mencapai

tahap yang diharapkan. Nilai dagang Indonesia-Timur Tengah masih jauh di

bawah nilai perdagangan Indonesia-AS atau Indonesia-Eropa. Padahal, Timur

Tengah memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun.117

Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, investasi Timur Tengah

di ternyata relatif minim. Dibandingkan dengan investasi Jepang dan Korea,

Selatan, Indonesia masih belum menjadi salah satu tempat tujuan investasi utama

negara-negara Timur Tengah. Perlu diketahui, potensi investasi dari Timur

Tengah dianggap sangat signifikan, khususnya dari Qatar dan Uni Emirat Arab

(UEA) yang masuk menjadi bagian dari tiga besar negara dengan nilai PDB

tertinggi di dunia versi World Bank.118

Optimisme terhadap perkembangan bisnis di Timur Tengah juga terlihat

dari beberapa kegiatan kunjungan delegasi pengusaha dari kawasan tersebut ke

Indonesia selama semester pertama 2011. Berdasarkan data Kadin Indonesia

Komite Timur Tengah, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan ICCI, kegiatan

kunjugan dan forum bisnis antara Indonesia dengan Timur Tengah telah dilakukan

beberapa kali mencakup kegiatan penjajakan bisnis. Delegasi bisnis Iran selama

semester satu 2011 telah melakukan dua kali kunjungan pada, pada Februari dan

116

Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia” dalam

Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 437. 117 118 Fachry Thaib, “Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap Kepentingan Ekonomi

Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Vol. 3/2 (2011), hal. 35-42.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 70: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

58

Universitas Indonesia

Mei 2011. Dalam forum bisnis antara kedua negara yang diadakkan pada akhir

Mei 2011, sejumlah sektor menjadi fokus bahasan termasuk sektor minyak dan

gas, pertanian, keuangan, peralatan industri, dan kertas.119

Selain itu, Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menjadi tujuan

utama sektor jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sektor ini merupakan

penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dari sektor ini,

Indonesia memperoleh devisa sebesar US$ 6,617 miliar pada tahun 2009.120

Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (BPN2TKI), dari sekitar 3,8 juta TKI yang ditempatkan di luar negeri,

lebih dari 50% bekerja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.121

Besarnya

penempatan TKI di kawasan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. 5 Penempatan TKI di Timur Tengah dan Afrika Utara (2006-2011)

Negara

Penempatan 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah

Saudi Arabia 281.087 257.217 234.644 276.633 228.890 137.643 1.416.114

UEA 22.685 28.184 38.092 40.391 37.337 39.857 206.546

Kuwait 24.600 25.756 29.218 23.041 563 2.723 105.901

Qatar 7.980 10.449 8.582 10.010 13.559 16.578 67.158

Yordania 10.978 12.062 11.155 10.932 5.695 134 50.956

Oman 5.210 7.150 8.309 9.700 9.259 7.292 46.920

Bahrain 639 2.267 2.324 2.837 4.844 4.375 17.286

Syria - - - 1.155 6.381 4.222 11.758

Aljazair - - 499 453 609 1.084 2645

Libya - - 114 35 251 83 483

Mesir - - - 2 13 265 280

Yaman - 123 90 30 7 59 309

Total 1.926.356

Sumber: diolah dari BPNP2TKI (2006-2011)

Tabel di atas menunjukan bahwa kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara

masih menjadi tujuan utama penempatan TKI di luar negeri. Besarnya jumlah

tersebut sudah seharusnya diiringi dengan upaya pengawasan dan perlindungan

119 Ibid. 120 Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari

http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban pada tanggal 10

Desember 2012, pukul 14.22 wib. 121 "Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari

http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-penempatan-per-tahun-per-

negara-2006-2012.html pada tanggal 11 Desember 2012, pukul 13.00 wib.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 71: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

59

Universitas Indonesia

dari pemerintah agar kasus kekerasan terhadap TKI tidak terus berulang.

Sejumlah moratorium pun telah disepakati antara Indonesia secara bilateral

dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, dan Syiria untuk melindungi TKI yang

khususnya berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).122

Walau

demikian, kekerasan terhadap TKI masih saja terjadi di kawasan yang kental akan

tradisi Arab.

Faktor kesamaan agama ternyata tidak membuat bangsa-bangsa Arab

menaruh simpati dan hormat pada Indonesia. Dunia Arab kurang menunjukan

minat pada Asia secara umum, apalagi bentuk sosio-kultural Islam di Indonesia.123

Terkait hal ini, Nurcholish Madjid memberikan penjelasan secara komprehensif.

Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling jauh dari

pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Pada kondisi yang demikan, Islam di

Indonesia pun berkembang dalam tradisi yang berbeda. Indonesia merupakan

negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Sebagai penduduk

Muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia tidak menggunakan huruf Arab untuk

bahasa nasionalnya. Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan

unsur budaya lokal membuat Islam di Indonesia sering kali dianggap pinggiran

oleh dunia Arab. Karena keadaannya yang mengesankan sebagai bersifat

pinggiran itu, Islam di Indonesia sering dipandang tidak atau sekurangnya belum

bersifat Islam secara sebenarnya.124

Akibatnya, banyak negara-negara Arab

cenderung memandang rendah muatan Islam di Indonesia.125

Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya Indonesia

mencitrakan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya merupakan

bentuk pencitraan simbolik dalam interaksi sistem internasional. Menurut George

Cronk, dengan pemberian isyarat dan pengambilan peran yang diungkapakan

dalam sistem sosial telah membawa aktor ke dalam penerimaan peran dan aturan

122 "Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-diperpanjang-moratorium-tki-

ke-timur-tengah pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 16.50 wib. 123 Martin van Bruinessen, "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World of Islam",

Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third Giant, (Singapore: ISEAS Publishing, 2012),

hal. 121-122. 124 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 42-

44. 125 Dewi Fortuna Anwar, loc. cit. hal. 49

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 72: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

60

Universitas Indonesia

simbolik pada proses interaksi sosial.126

Dalam hal ini, Indonesia telah

memunculkan diri dalam seperangkat kekhususan — identitas Islam moderat —

pada hubungan sosial dengan negara-negra lain yang terlibat dalam himpunan

proyek-proyek sistem internasinal. Karena pada dasarnya, diri selalu merupakan

cerminan dari hubungan sosial tertentu yang didirikan atas modus tertentu dari

aktivitas kelompok yang bersangkutan.127

126 George Cronk, Symbolic Interactionism: a Left-Meadian Interpretation," Social Theory and

Practice, Vol. 2/3 (Spring 1973), hal. 323. 127 Ibid., hal 324.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 73: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

61

Universitas Indonesia

BAB 3

FAKTOR DAN AKTOR

DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS ISLAM MODERAT INDONESIA

Pada bab sebelumnya telah dibahas bagaimana Perang Global terhadap

Teror yang diakibatkan peristiwa 11 September mempengaruhi cara pandang

Barat dan Dunia Islam. Narasi konfrontatif yang mendominasi cara pandang

keduanya melahirkan sentimen tersendiri sebagai bentuk pembedaan. Keragaman

sikap yang diperlihatkan dunia Islam pun menunjukan perbedaan posisi Islam

dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri di masing-masing negara.

Sebagai negara Muslim terbesar dunia, sikap Indonesia terhadap Perang

Global terhadap Terror diaggap Barat identik dengan kemoderatan Islam. Hal ini

kemudian memunculkan ekspektasi agar Indonesia dapat menjadi mediator antara

Barat-Islam dan model Islam alternatif. Ekspektasi ini ditanggapi positif oleh

Indonesia dengan mempromosikan identitas Islam moderat.

Bagaimanapun juga, identitas merupakan fenomena kognitif yang dialami

aktor sehingga mekanisme pembentukannya tidak lepas dari faktor-faktor yang

terbangun dari lingkungan sosialnya. Menurut C. Mouffle, identitas adalah

persoalan megenai bagaimana menggunakan sumber daya sejarah, bahasa, dan

kebudayaan dalam proses menjadi. Identitas itu tunduk pada proses menyejarah

secara radikal dan terus-menerus berada dalam proses perubahan dan

transformasi; Individu-individu sendiri tersusun dari banyak identitas, dan

keberagaman identitas individu ini dikonstruksikan dalam konteks yang berbeda-

beda.128

Dengan demikian, struktur bab ini terdiri dari dua bagian. Pertama, faktor-

faktor pembentuk identitas Islam moderat sesuai dengan kondisi sosio-kultural di

Indonesia. Kedua, aktor-aktor pembentuk identitas Islam moderat Indonesia

dalam kebijakan luar negeri.

128 C. Mouffle, “Hegemony and New Political Subject: Toward a New Concept of Democracy”

dalam ed. K. Nash, Readings in Contemporary Political Sociology, (Oxford: Blackwell

Publisher,2000), hal 295-309.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 74: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

62

Universitas Indonesia

3. 1. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia

Istilah Islam moderat tidak lepas dari perspektif Barat yang umumnya

ditujukan untuk membedakan Islam garis keras atau radikal. Untuk mendapatkan

informasi yang berimbang, sub bab ini akan memberikan penjelasan istilah Islam

moderat dalam batasan yang dipemahami dan diyakini oleh kalangan Muslim di

Indonesia. Kalangan intelektual Islam Indonesia lebih memilih untuk

memadankan terminologi Islam moderat dalam bahasa Arab modern. Baik

Nurcholish Madjid maupun Ulil Abshar-Abdalla berpendapat, padanan kata

moderat dalam bahasa Arab modern adalah wasat atau wasatiyya. Hal ini

dimaksudkan untuk menerjemahkan konsep Islam moderat dengan memakai

konsep wasat yang terdapat dalam Quran. Secara tersurat, wasat berarti tengah-

tengah (moderat) atau adil. Islam moderat dalam bahasa Arab modern disebut

sebagai al-Islam al-wasat.

Awalnya, makna tersirat dari kata wasat memiliki dua ruang, yakni

individual (privat) dan sosial (publik). Dari segi individual, sikap wasat yang

dimaksudkan Quran adalah agar tiap muslim bersikap tidak berlebih-lebihan atau

ekstrim. Sikap moderat ini berlaku baik dalam menjalani kehidupan duniawi

(material) dan ukhrawi (spiritual). Sedangkan pada segi sosial, sikap moderat

dimaknai sebagai tugas umat Islam untuk menjadi penengah bagi umat-umat

lainnya. Dalam hal ini, konsep wasat berhubungan erat dengan konsep kesaksian.

Ulil memaknai konsep kesaksian di sini sebagai tugas yang dipikul umat Islam

untuk meluruskan sikap-sikap ekstrim yang ada pada dua kelompok agama pada

zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan

Nasrani.129

Khususnya pada ruang sosial, pengertian wasat mengalami pergeseran.

Sebab dalam perkembangannya, umat Islam memiliki ekstrimisme sendiri. Istilah

Islam moderat atau al Islam al Wasat pun digunakan sebagai kritik internal dalam

diri umat Islam. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran,

seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan

konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat

129 Ulil Abshar-Abdalla, “Islam Moderat” diakses dari http://islamlib.com/id/artikel/islam-moderat

pada tanggal 2 Mei 2012, pukul 13.40 wib.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 75: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

63

Universitas Indonesia

pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah

secara lentur.130

Begitu pun kontekstualisasinya pada penerapan Islam di Indonesia.

Masyarakat Indonesia memaknai Islam moderat sebagai Islam yang penuh rasa

toleransi, perdamaian, keseimbangan dan mengutamakan dialog dalam

memecahkan suatu masalah. Pemahaman umum ini tidak lepas dari tiga faktor

utama yang menginisiasi pembentukan Islam moderat di Indonesia, yaitu

pluralisme, modernisasi, dan demokrasi.

3. 1. 1. Pluralisme

Berbicara tentang Islam di Indonesia tidaklah lepas dari pluralisme yang

merupakan basis kemoderatan. Hal ini diafirmasi oleh Direktur Jendral Informasi

dan diplomasi Deplu RI Andri Hadi yang mengungkapkan, pluralisme

keIndonesiaan yang disatukan dengan Islam akan memunculkan model middle

path, yaitu Islam moderat.131

Korelasi antara Islam dan pluralisme di Indonesia

dapat dengan mudah dipahami baik dari perspektif teologis maupun sosiologis.

Dari pandangan teologis, konsep-konsep dalam Islam telah mengarahkan

Muslim untuk menghormati pemeluk agama yang berbeda. Sebab, masyarakat

yang plural secara religius sesungguhnya telah terbentuk sebelum kehadiran Islam

dan pluralitas sudah menjadi kesadaran umat Muslim.132

Pluralitas agama tidak dapat dinafikkan, bahkan oleh ajaran Islam sendiri.

Secara lebih rinci, Abdul Moqsith Ghazali menguraikan pengakuan atas pluralitas

agama yang ditemukan dalam Al-Quran. Menurutnya, pluralitas agama dan umat

beragama adalah kenyataan. Karenanya, setiap penganut agama seyogyanya

mengetahui bahwa dirinya hadir selalu bersama dengan yang lain. Satu identitas

akan bertemu dengan identitas lain. Kalaupun terjadi perselisihan antara umat

Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum

billatî hiya ahsan).133

130 Ibid. 131

Andri Hadi, “Demokrasi bukan Produk Barat”, Jurnal Diplomasi, Vol. 1/1 (Juni 2009), hal.

167. 132 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-

Auran, (Depok: Katakita, 2009), hal. 5. 133 Ibid, hal.391.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 76: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

64

Universitas Indonesia

Sedangkan secara sosiologis, terbentuknya pluralisme di Indonesia

tidaklah lepas dari keberagamanan sosio-kultural masyarakatnya. Didiami ribuan

etnis dan suku yang tersebar di belasan pulau, bangsa ini terikat dalam satu

perasaan keIndonesiaan. Perasaan ini kemudian dituangkan dalam semboyan

negara, Bhineka Tunggal Ika yang diterjemahkan dengan kalimat berbeda-beda

tetapi tetap satu. Dari semboyan filosofis tersebut dapat diketahui bahwa sudah

sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman

sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.134

Dari

kesadaran untuk hidup berdampingan itulah pluralisme tumbuh. Pada dasarnya,

pluralisme mengacu pada ko-eksistensi dari banyak nilai-nilai dalam masyarakat

dengan tujuan yang memungkinkan individu untuk mengejar kebahagiaan.

Pluralisme memandang ko-eksistensi dari perbedaan nilai sebagai nyata, tidak

dapat dihindari, serta berpotensi berguna dan baik. 135

Diskripsi di atas cukup menjelaskan bagaimana pluralisme melekat kuat

dalam tradisi Islam di Indonesia. Sedangkan menurut Rizal Sukma, pluralisme

merupakan karakteristik utama masyarakat Islam Indonesia.136

Pluralisme yang

merupakan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia telah mempengaruhi Islam yang

toleran sejak awal perkembangannya di tanah air. Rasa toleransi ditunjukan

terhadap tradisi yang sudah lama berkembang, seperti Hindu, Budha, dan Jawa.

Asimilasi antara nilai-nilai lokal dengan Islam pun sering kali terjadi. Jika

pluralisme merupakan faktor endogen yang mempengaruhi karakter Islam

Indonesia, maka asal kedatangan Islam adalah faktor eksogen yang memperkuat

karakter tersebut. Pasalnya, Islam Indonesia tidak hanya berasal dari satu tempat

saja.

Terdapat tiga pendapat umum yang menjelaskan asal muasal Islam.

Pendapat pertama mengklaim bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat,

India. Tendensi utama dari pendapat ini ada pada arti penting Gujarat sebagai

pelabuhan tempat bertolaknya saudagar-saudagar Hindu dan Islam ke Indonesia.

134 Turita Indah Setyani, “Bhineka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa” disampaikan

pada Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya,

dan Seni Daerah se-Indonesia, di Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009, hal. 3. 135 Eva Wollenberg, Jon Anderson and Citlalli López, Though all Things Differ: Pluralism as a

Basis for Cooperation in Forests, (Bogor: Center for International Forestry Research, 2005), hal 5. 136 Rizal Sukma, loc. cit., hal. 4.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 77: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

65

Universitas Indonesia

Hubungan dagang antara kedua wilayah ini terus berlanjut meski orang-orang

Hindu di Indonesia telah memeluk Islam.137

Pendukung pendapat ini adalah

Christian Snouck Hurgronje, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Namun,

pendapat ini disanggah oleh pendapat yang menyatakan Islam Indonesia berasal

dari Arab dan Mesir. Klaimnya didasarkan pada bukti adanya perkampungan

Arab Islam pada abad ke 7 di pantai Barat Sumatera. Pendukung pendapat ini

adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Sedangkan pendapat lainnya

mengatakan bahwa Islam berasal dari Persia. Pendapat ini didasarkan pada

kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Salah satu

pendukung pendapat ini adalah Ridwan Saidi. Dengan kata lain, keragaman

pendapat tersebut cukup menjelaskan asal muasal Islam Indonesia bukan

monopoli dari Arab saja seperti yang selama ini diamini khalayak ramai.

Untuk lebih memahami proses penyebarannya, Rizal Sukma menjelaskan

proses ini dengan mengambil epistemis pada agen yang melakukan konversi.

Pertama, penganut Islam yang hidup di kalangan bangsawan Jawa selama masa

kejayaan Kerajaan Hindu Majapahit. Kelompok inilah yang menghidupkan

atmosfer intelektual Islam di bawah perlindungan penguasa. Kedua, orang-orang

di daerah pedalaman dibantu oleh guru-guru Muslim, Da'i, dan pedagang; baik

yang berasal dari luar negeri maupun domestik. Peran Muslim asal luar negeri

terbukti pada kasus Islamisasi pelabuhan pesisir. Ketiga, Penyebaran Islam oleh

para sufi cukup menerangkan mengapa Islam banyak berkompromi dengan

budaya lokal. kaum sufi telah menjaga eksistensi Islam di tengah masa

kemunduran politik dan militer Islam, dengan menyebarkannya tanpa penaklukan

militer.138

Dilihat dari aktor dan proses penyebarannya dapat ditarik garis besar

bahwa pola penyebaran Islam di Indonesia lebih mengandalkan cara-cara damai

(pacifique penetretation) dibandingkan paksaan. Hal inilah yang kemudian

membawa Islam sebagai agama mayoritas yang dianut di Indonesia.

Perkembangan Islam Indonesia yang disebut Marshall G. S. Hodgson sebagai

kemenangan Islam yang sempurna bukanlah tanpa daya tarik. Menurut Bill

Dalton, daya tarik Islam yang pertama dan utama bersifat psikologis. Islam yang

137 Aboebakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, (Solo: Ramadhani, 1985), h. 21. 138 Rizal Sukma, op. cit., hal. 11-12.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 78: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

66

Universitas Indonesia

secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan itu, ketika

datang pertama kali ke kepulauan ini merupakan konsep revolusioner yang sangat

kuat yang membebaskan orang-orang kebanyakan dari belenggu feudal Hindunya.

Islam memiliki kesederhanaan yang hebat dengan hubungan yang langsung dan

pribadi antara manusia dan Tuhan.139

Egalitarianisme mendapat perhatian utama dalam perkembangan Islam

Indonesia. Karena dibidang inilah Islam dapat memberikan kontribusi yang paling

penting bagi pembangunan bangsa di masa depan, khususnya pembangunan

demokrasi. Semangat egaliterianisme yang berbarengan dengan semangat

keilmuan membentuk Islam sesuai dengan semangat zaman modern. Kegairahan

keagamaan yang meliputi banyak kalangan dewasa ini, khususnya keagamaan

Islam, dapat menjadi pangkal pengembangan dan pengukuhan akar-akar Islam

bagi konsep-konsep tentang masyarakat yang terbuka, adil, dan demokratis di

Indonesia. 140

Kegairahan ini tentu harus diiringi dengan kemauan dan kesempatan

untuk memperluas dan mempertinggi tingkat pemahaman akan ajaran-ajaran

Islam dengan membedakannya dari budaya Arab.

3. 1. 2. Modernitas

Selain pluralisme, modernitas merupakan faktor yang membentuk identitas

Islam Indonesia. Perlu diketahui sebelumnya bahwa tidak sedikit kalangan yang

meragukan kompabilitas antara Islam dan modernitas. Asumsi demikian tidak

hanya menjangkiti akademisi Barat yang mengklaim sebagai motor modernitas,

tapi juga akademisi Muslim. Salah satu narasi dominan yang lama hidup dalam

persepsi masyarakat dunia adalah konfrontasi antara peradaban Islam dan Barat.

Modernitas lantas dianggap sebagai suatu hal mustahal bagi dunia Muslim yang

distigmakan Barat sebagai intoleran dan irasional. Faktanya tidaklah selalu

demikian. Di Indonesia, Islam telah berkontribusi bagi perkembangan modernitas

masyarakat pribumi. Oleh Merle Calvin Ricklefs, kedatangan Islam di kepulauan

Nusantara dikategorikan sebagai awal kelahiran zaman modern Indonesia.141

139 Bill Dalton, Indonesia handbook, (California: Moon Publications, 1982), h. 6. 140 Nurcholish Madjid, loc. cit., hal. 50-52. 141 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008).

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 79: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

67

Universitas Indonesia

Modernitas Indonesia tidaklah lepas dari alur keyakinan historis. Bangsa

Indonesia mula-mula menganut animisme atau dinamisme yang menyuburkan

kepercayaan kepada klenik, mitos, dan hal-hal yang berkaitan dengan tahayul.

Seorang Animis memandang sebuah benda mempunyai ruh yang perlu dibujuk

dan dijinakkan, sehingga tingkah lakunya terhadap benda apapun merupakan

kegiatan keruhanian. Kemudian datang agama Hindu dan Buddha yang relatif

lebih sempurna dibanding kepercayaan asli tersebut. Akan tetapi, keduanya sangat

menoleransi animisme, bahkan menyerapnya menjadi bagian dari dirinya sendiri.

Ketika Islam datang, agama ini mengajarkan tauhid yang tidak mengenal

kompromi. Dengan tauhid, seorang Animis diajari untuk melihat benda-benda

secara objektif atau netral.142

Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran

pada diri seorang Animis. Semua benda yang semula dipuja dan

kesemuanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama,

sekarang ia campakan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak

lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan

demikian diduniawikan atau disekularisasikan. Sekarang ia

mendekati benda tersebut dengan kapasitasnya sendiri selaku

manusi, mahluk berpikir. Ia memikirkan benda tersebut:

kejadiannya, hukum-hukumnya, dan cara mengguasai atau

menggunakannya. Dalam kegiatan berpikir itu, ia tidak bergantung

kepada upacara-upacara keagamaan lagi, ia bebas. Dan

pengetahuannya tentang benda itu pun adalah pengetahuan bebas,

berdiri sendiri, di luar masalah-masalah spiritual.143

Karena itu, datangnya Islam ke Indonesia merupakan tahap awal

modernisasi yang merupakan proses menuju modernitas. Seperti yang ditegaskan

Nurcholish Madjid, modernisasi ialah rasionalisasi, bukan Westernisasi.144

Rasionalisasi merupakan proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama

yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru

yang akliah (berdasarkan akal).145

Seiring dengan berjalannya modernisasi

Indonesia, lahir kelompok-kelompok pembaru Muslim. Sejak akhir abad ke-19,

para pembaru ini berusaha menemukan kompatibilitas Islam dan modernitas.

142 Nurcholish Madjid, op. cit, hal. 253-254. 143 Ibid, h. 255. 144 Ibid, h. 145 Ibid, h. 180.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 80: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

68

Universitas Indonesia

Mereka percaya bahwa Islam adalah agama dinamis yang mampu melewati

berbagai tantangan sejarah. Para pembaru inilah yang kelak akan memaknai

kemoderatan Islam dengan melakukan kontekstualisasi teks-teks Quran sebagai

bentuk implementasi dari semangat zaman modern.

Eksistensi pembaru Muslim Indonesia tidak lepas dari modernisasi politik

etis yang dijalankan pemerintahan Belanda. Politik etis merupakan bentuk

kebijakan moral yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan negara

kolonial. Dari ketiga program yang dijalankan politik etis pendidikan

(educatie), irigasi (irrigatie), imigrasi (ëmigratie) , pendidikan dianggap paling

esensial karena kelak akan melahirkan kaum terdidik Indonesia yang

berpandangan modern. Perlu untuk diketahui bahwa era politik etis juga

membawa perlakuan disriminatif pada Islam. Belanda merasa khawatir akan

keberadaan Islam di Indonesia akan mengarah pada gerakan radikal karena

penetrasi semangat Pan Islamisme.146

Meski kekhawatiran Belanda dapat diantisipasi oleh teori Snouck,

proyeksi Hindia yang ideal di masa depan membuat Belanda tidak akan

mempercayakan kepemimpinan negeri kolonialnya terhadap kaum Muslim.

Dalam asumsi Snouck, Muslim mayoritas Hindia hidup dalam ranah keagamaan

semata, sehingga sulit untuk menciptakan elit pribumi yang berorientasi Barat.

Sedangkan pihak Belanda menginginkan terjaganya hubungan antara Hindia dan

negeri Belanda melalui elit-elit pribumi yang ter-Belanda-kan. Demi tercapainya

tujuan itu, Snouck memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial untuk

mempromosikan organisasi pendidkan berskala-luas di atas landasan nilai-nilai

universal dan bersifat netral secara keagamaan sehingga akan bisa

146 Pemerintah kolonial menunjuk ahli Arab dan Islam, Christian Snouck Hurgronje, untuk

menjadi penasihat Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab. Snouck menggunakan pendekatan-

pendekatan baru untuk mengantisipasi ketakutan orang Belanda terhadap Islam. Dia menekankan watak damai dari Islam di kepulauan Hindia. Di sisi lain, dia juga mengakui adanya potensi yang

harus diawasi dari minoritas kecil ulama fanatik yang terpengaruh gagasan Pan Islamisme. Atas

dasar dua asumsi itu, Snouck mengajukan rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam kerangka

kerja yang disebut splitsingstheorie. Teori ini membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu Islam

yang bersifat keagamaan dan Islam yang bersifat politik. Pembagian ini otomatis berdampak pada

perbedaan perlakuan yang diberikan pemerintah kolonial, yaitu toleransi terhadap kehidupan

muslim yang pertama dan pemberantasan untuk persoalan kedua. Yudi Latif, Intelegensia Muslim

dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 82.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 81: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

69

Universitas Indonesia

“mengemansipasi” elite baru dari keterikatan keagamaannya. “Mengemansipasi”

dalam konteks ini mengandung arti menjauhkan elite baru dari ajaran Islam.147

Seberapa keras “emansipasi” yang dilakukan Belanda nyatanya telah

menyisihkan elit baru pribumi akibat sistem diskriminatif yang fatal. Di satu sisi,

elit baru yang terdiri dari kalangan priyayi muslim merasa kecewa oleh penolakan

golongan priyai konservatif yang merasa iri akan pendidikan yang mereka dapat.

Di sisi lain, meski kalangan ini memperoleh pendidikan belanda, mereka tetap

tidak diterima oleh masyarakat Belanda di Hindia yang ingin tetap

mempertahankan superioritasnya atas negeri jajahan. Tak dapat dipungkiri,

masalah krisis identitas menghinggapi perasaan elit didikan Belanda. Mereka pun

terdorong untuk mencari pengakuan atas eksistensinya. Seperti yang diungkapkan

Stuart Hall, identitas beroperasi di bawah proses hapusan dalam interval antara

timbul dan tenggelam. Identitas tunduk pada sebuah proses historisasi yang

radikal, dan terus-menerus mengalami proses transformasi.148

Dari turbulensi identitas Islam dan Westernisasi itulah lahir kelompok-

kelompok pemikiran yang disebut Yudi Latif sebagai intelegensia muslim.

Dengan kultur muslim yang masih melekat kuat pada identitas golongan elit yang

tercerahkan tersebut, kesempatan untuk kembali ke komunitas muslimnya terbuka

lebar. Bahkan beberapa di antaranya sanggup memulihkan kembali afinitas

mereka dengan komunitas dan identitas Islam, seperti Agus Salim, Tirto

Adisuryo, dan Cokroaminoto. Memperoleh pendidikan sekuler tetapi tidak

bersedia menanggalkan keislamannya, beberapa inteligensia ini berusaha

mempertahankan hubungan mereka dengan jaringan-jaringan intelektual Islam.

Hal ini mendorong munculnya gugus inteligensia yang bersifat hibrida yang kelak

akan melahirkan terbentuknya intelek ulama (intelektual/inteligensia modern yang

melek dalam pengetahuan keagamaan) seperti tampak pada gambar berikut.149

147 Ibid., h. 83. 148 Stuart Hall, “Who Needs ‘Identity’?” dalam S. Hall and P. du Gay (eds.), Questions of Cultucal

Identity, (London: Sage Publications, 1997), hal. 2-4 . 149 Yudi Latif, Op. Cit., h. 104-107.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 82: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

70

Universitas Indonesia

Sumber: Yudi Latif (2005)

Gambar 3. 2 Skema Intelegensia Muslim Indonesia

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 83: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

71

Universitas Indonesia

Dalam perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia selama politik

etis berlangsung semakin beradaptasi dengan kebutuhan zaman modern. Terdapat

tiga alasan yang mendorong kaum muslim mengembangkan sekolah-sekolah

Islamnya. Pertama, karena adanya keanekaragaman kepercayaan dan sistem nilai

yang saling bersaing di Hindia, sekolah Islam memainkan sebuah peran kunci

dalam membangun sebuah identitas yang jelas dan positif bagi Islam Hindia.

Kedua, pendidikan Islam merupakan sebuah aparatur ideologi Muslim yang

esensial dalam menjawah diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh

kebijakan-kebijakan kolonial. Ketiga, kurangnya peluang bagi anak-anak dari

kalangan santri untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah, ditambah dengan

ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial untuk memajukan sekolah-sekolah

Islam, memaksa ulama untuk mengembangkan sekolah-sekolahnya sendiri.150

Pengembangan sekolah-sekolah Islam ditujukan sebagai counter-balance

terhadap gempuran modernisme Barat yang menginspirasi masyarakat Muslim

untuk merumuskan strategi perlawanannya. Dalam mengekspresikan perlawanan

ini lahir dua strategi yang berbeda tetapi komplemen satu sama lain. Perbedaan

strategi ini bukan dikarenakan adanya perpecahan di kalangan masyarakat

Muslim, tapi lebih dilatari perbedaan asal muara pemikiran yang menginspirasi

para ulama ― pelaku. Kalangan pertama datang dari ulama modernis-reformis

yang terakomodasi dalam Muhammadiyah (1912). Perlawanan golongan

modernis-reformis dilakukan dengan pengagungan terhadap autentisasi Islam

yang dikombinasikan dengan strategi apropriasi.151

Sedangkan kalangan

berikutnya datang dari dari ulama konservatif–tradisionalis yang menggunakan

metode pengagungan terhadap pribumisasi Islam. Untuk mengakomodasi

gerakannya, kelompok ini tergabung dalam wadah yang dikenal dengan Nahdlatul

Ulama (NU) yang didirikan pada 1926.

Dalam mengejawantahkan ide-idenya, kalangan tradisionalis berusaha

mengkontekstualisasikan Islam tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi

150 Ibid, hal. 127-128 151 Istilah apropriasi merujuk pada suatu cara yang di dalamnya subjek yang terdominasi atau

terjajah meniru aspek-aspek tertentu dari kebudayaan penjajah ― seperti bahasa, bentuk

penulisan, pendidikan, teknologi, modus pemikiran, dan argumen ― yang kemungkinan berguna

bagi mereka untuk bisa mengartikulasikan identitas-identitas sosialdan kulturalnya sendiri atau

untuk bisa menentang control politik dan kultural dari pihak penjajah. Ashcroft, B. et al., Key

Concept in Post Colonial Studies, (London: Routledge, 1998), h. 19 dalam Ibid, h. 130.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 84: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

72

Universitas Indonesia

ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah

yang kemudian dikenalkan dengan konsep pribumisasi Islam. Gagasan ini

dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang

normatif dan praktek keagamaan menjadi suatu yang kontekstual. Hal inilah yang

kemudian diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Sementara itu,

kaum modernis-reformis mendirikan madrasah untuk meremajakan kembali

masyarakat Islam. Peremajaan dilakukan dengan mengadopsi pendekatan-

pendekatan dan isntrumen modern, seperti rasionalisme modern, kurikulum

pendidikan Barat, dan aparatus modern. Secara otomatis, lembaga pendidikan

tersebut merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Setidaknya, pengakuan ini

datang dari Clifford Geertz.

Sebuah sistem sekolah parokial yang kuat dan aktif, dalam konteks

sebuah negeri Islam dan apalagi dalam konteks Indonesia, bukanlah

sebuah musuh, melainkan sekutu buat elite modern yang sekuler.

Dikatakan sebagai sekutu bukan karena dia memajukan idela-ideal

dari sekularisme yang militan dan totalistik, melainkan karena sistem

sekolah itu memungkinkan, dan bahkan dalam kenyataannya

mendorong, tradisi keagamaan yang telah mapan untuk bisa

menghadapi dunia moden, bukan dengan jalan semata-mata menolak

kemodernan ataupun menelannya mentah-mentah, melainkan dengan

menjadi bagian dari kemodernan itu.152

3. 1. 3. Demokrasi

Di awal tahun 90-an, Islam dan demokrasi menjadi perbincangan yang

hangat hampir di seluruh belahan dunia. Wacana yang memperdampingkan

keduanya sering kali diperdebatkan. Terlebih lagi jika studi kasusnya adalah

negara berpenduduk mayoritas Muslim. Keragu-raguan segera bermunculan,

mulai dari pertanyaan apakah Islam akan mengancam demokrasi jika

pemerintahan yang terpilih secara demokratis menjadi teokrasi, sampai apakah

aturan mayoritas dari demokrasi akan mengancam kemerdekaan dan kebebasan

kelompok minoritas.

Semua keragu-raguan itu dirangkum dalam kekhawatiran akan

terbentuknya sistem pemerintahan yang meskipun pemilu berlangsung secara

152 Ibid., h. 139.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 85: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

73

Universitas Indonesia

bebas, warga terputus dari keberdayaannya karena kurangnya kebebasan sipil. Hal

inilah yang disebut Fareed Zakaria sebagai illiberal democracy.153

Fokus

perhatian dari Zakaria ialah legitimasi atas dominasi mayoritas secara

konstitusional untuk mengendalikan seluruh aspek negara, sehingga menegasikan

mereka yang minoritas. Dalam menengahi berbagai pandangan, John O. Voll

menerangkan bahwa ketegangan diskursus yang terjadi di tengah masyarakat dan

dalam hubungan internasional diciptakan oleh pemahaman yang berbeda dari

ancaman dan kemungkinan partisipasi demokratis oleh gerakan keagamaan.154

Tak pelak lagi, atensi internasional turut tertuju ke Indonesia, negara

Muslim terbesar di dunia yang sejak kemerdekaannya telah menyatakan diri

sebagai negara demokrasi. Sebagai bentuk realisasi, pesta demokrasi

diselenggarakan kali pertama pada tahun 1955. Pemilu ini menjadi langkah awal

bagi gerakan Islam untuk berpartisipasi di ranah politik. Dari 172 parpol yang

menjadi perserta pemilu, terdapat lima Parpol Islam yang mendapat kursi di badan

legislatif. Kelima Parpol tersebut adalah Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai

Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai

Politik Tarikat Islam (PPTI). Total suara yang mereka himpun terbilang besar,

yakni 43,7 persen dari total suara di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Memasuki rezim Orde Baru (Orba) pengaruh parpol Islam mulai

menyurut. Pemilu kedua yang diselenggarakan pada 1971 hanya menyisakan tiga

parpol Islam di legislatif, yaitu NU, PSII, dan PERTI. Ketiga parpol ini hanya

mampu mendapatkan 70 dari 360 kursi yang diperebutkan. Pemerintahan Orba

kian mengeliminasi suara politik Islam dengan menghimpunnya ke dalam satu

partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sampai dengan Pemilu 1997,

perwakilan kelompok Islam di DPR tak pernah melebihi 30 persen dari seluruh

kursi yang diperebutkan. Secara komprehensif, perolehan kursi dan persentase

suara legislatif parpol Islam dapat dilihat pada grafik berikut.

153 Fareed Zakaria, “the Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs, Vol. 76/6

(November/Desember 1997), h. 22. 154 John O. Voll, “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?”, Religion Compass, Vol.

1/1 (2007), h. 171.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 86: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

74

Universitas Indonesia

Grafik 3. 2 Porsi Kekuatan Parpol Islam di Legislatif (1955-2009)

Sumber: diolah dari data KPU (2010)

Gejolak reformasi yang menjatuhkan rezim Orba serta merta mengangkat

aspirasi Islam yang sebelumnya harus hidup di bawah tanah. Gerakan-gerakan

Islam yang semula hanya aktif di ranah sosial mulai merambah kembali ke politik.

Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto kala itu membuka peluang

demokrasi seluas-luasnya dengan menjamin kebebasan pers dan membebaskan

berdirinya partai-partai politik baru. Ratusan Partai Politik (Parpol) bernafaskan

Islam segera menjamur seiring diadakannya Pemilu yang demokratis. Pemilu ini

dianggap sebagai pemilu paling demakratis yang dilasanakan Indonesia

sepanjang sejarahnya.

Meski demikian, tidak seluruh parpol Islam yang terdaftar bisa ikut dalam

pemilu pertama masa reformasi itu. Verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan

Umum (KPU) hanya meloloskan 17 parpol Islam untuk bersaing dalam Pemilu

1999 dan sepuluh di antaranya yang berhasil memperebutkan kursi legislatif.

Sedangkan pada Pemilu 2004 dan 2009, jumlah partisipasi parpol Islam menyusut

hingga setengahnya. Bahkan, perwakilan suara Islam di legislatif hanya berkisar

18,8 persen pada Pemilu 2009. Dapat ditarik garis besar bahwa meski Indonesia

berpenduduk mayoritas Muslim, reformasi tidak menjadikan faktor Islam sebagai

preferensi yang mendominasi para pemilih.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 87: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

75

Universitas Indonesia

Grafik 3. 3 Perbandingan Partisipasi Parpol Islam dan Perolehan Kursi

Parpol Islam di Legislatif dalam Pemilu 1997-2009

Sumber: diolah dari data KPU (2010)

Diskripsi di atas menunjukan, mayoritas di ranah sosial tidak selalu linier

di ranah politik. Karena itu, faktor mayoritas Islam di Indonesia tidak mengancam

demokrasi secara nasional. Hal ini bisa jadi disebabkan adanya perubahan

pandangan kaum Muslim mengenai konsepsi antara Islam dan negara. Jika

kesuksesan parpol Islam pada pemilu 1955 membawa semangat syariat dalam

perdebatan konstitusi, maka Muslim Indonesia telah meninjau ulang dan

menafsirkan kembali masa lalunya demi kebutuhan dan kepentingan saat ini.

Karena itu, isu negara Islam tidak lagi menjadi isu pokok dalam pergerakan

Muslim Indonesia kontemporer.

Fenomena demokrasi di Indonesia dapat juga dipahami melalui

pendekatan budaya politik. Secara lebih rinci,Saiful Mujani memaparkan korelasi

antara demokrasi dan Islam di Indonesia melalui dua cara, yaitu sebagai kompleks

budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah kompleks budaya

politik, demokrasi mencankup unsur-unsur saling percara antar sesame warga

(interpersonal trust); jaringan keterlibatan kewargaan (network of civic

engagement); toleransi; keterlibatan politik; kepercayaan pada institusi politik;

kepuasan terhadap kinerja demokrasi; dan dukungan terhadap masyarakat politik

modern, yakni negara-bangsa (nation-state). Sebagai partisipasi politik, demokrasi

merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela, mulai dari voting

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 88: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

76

Universitas Indonesia

hingga protes―oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan

publik.155

Dari hasil studi tersebut, argumen akademisi Barat yang

mempertentangkan Islam dan demokrasi rasanya tidak berlaku bagi Muslim di

Indonesia. Dalam studinya, Mujani menemukan bahwa sebagian besar unsur

Islam di Indonesia memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan sebagian

besar unsur demokrasi. Islam membantu kaum Muslim Indonesia untuk

berpartisipasi dalam proses politik dan dalam mendukung demokrasi. Islam

membantu menciptakan keharmonisan antara warga negara Muslim dan sistem

demokrasi secara keseluruhan yang diyakini sebagai faktor menentukan bagi

konsolidasi demokrasi.156

Hasil studi Mujani dapat dilihat dari tabel berikut ini.

Tabel 3. 1 Ringkasan Korelasi antara

Islam dan Unsur Demokrasi di Indonesia157

Unsur Demokrasi Islam

Percaya antar sesame warga secara umum 0

Percaya kepada non Muslim -

Keterlibatan dalam perkumpulan kewargaan secular +++

Toleransi terhadap orang Kristen -

Toleransi terhadap kelompok yang tidak disukai +

Keterlibatan politik ++

Kepercayaan pada institutsi politik +

Kepuasan terhadap kinerja demokrasi 0

Dukungan terhadapprinsip-prinsip demokrasi 0

Dukungan terhadap negara-bangsa +

Partisipasi politik ++

Aktivis yang setia ++

Aktivis yang tidak toleran 0

Catatan: 0 = korelasi tidak signifikan; - = tidak ada unsur Islam yang memiliki

korelasi negatif dengannya; + = positif dan signifikan, tetapi korelasinya tidak konsisten; ++ = sejumlah besar unsure Islam yang memiliki korelasi positif,

signifikan, dan konsisten; +++ = hamper semua unsure Islam memiliki korelasi

positif, signifikan, dan konsisten.

155 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di

Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 313. 156 Ibid., hal. 324. 157 Ibid., hal. 325.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 89: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

77

Universitas Indonesia

Secara komprehensif, konsolidasi demokrasi, pluralisme masyarakat, dan

dinamika modernitas telah merangkai fenomena Muslim di Indonesia dalam

proses menyejarah. Ketiga faktor saling melengkapi yang pada gilirannya

menginisiasi pembentukan identitas Islam moderat. Namun demikian,

penterjemahan identitas dalam praktik kebijakan luar negeri bergantung pada

aktor dan motivasinya. Untuk mengenal lebih lanjut siapa saja yang terlibat dalam

praktik kebijakan luar negeri, sub bab berikut akan mengupas aktor-aktor yang

menterjemahkan dan mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia ke ranah

internasional.

3. 2. Aktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia dalam Kebijakan

Luar Negeri Indonesia

Identitas Islam moderat bukanlah bagian resmi dari kebijkan luar negeri

sehingga representasinya dilakukan melalui jalur diplomasi. Perlu diketahui

sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri mempunyai perhatian pada substansi dan

kandungan dari hubungan luar negeri, sedangkan diplomasi dipusatkan pada

metodologi untuk melaksanakan kebijakan luar negeri.158

Untuk itu, bagian ini

menguraikan aktor-aktor yang terlibat diplomasi pencitraan identitas Islam

moderat dalam dua bagian, yaitu pemerintah dan non-pmerintah.

3. 1. 1 Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan

Pencitraan Islam moderat Indonesia kali pertama diinisiasi oleh

Departemen Luar Negeri (Deplu) Republik Indonesia (RI). Pertimbangan Deplu

tampaknya berkaitan erat dengan stigma negatif Islam sebagai terorisme yang

mendorong Deplu untuk menunjukkan kepada dunia internasional, terutama

negara barat, bahwa Islam yang tumbuh dan hidup di Indonesia adalah Islam yang

moderat dan bukan radikalis yang kental dengan anarkisme. Pernyataan resmi

pertama disampaikan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di depan Dewan

Umum PBB pada 15 November 2001 yang tengah membahas kompabilitas Islam

Indonesia dan demokrasi.

158 Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), hal. 8.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 90: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

78

Universitas Indonesia

Indonesia today stands proud as one of the largest democracy in the

world. As a nation, with an overwhelmingly Muslim Population, we

are the living refutation of the erroneous notion that Islam and

democracy are incompatible. Islam has stood for the equality and

fraternity of all human beings. For the optimum exercise of the

human will, and if only for that, we Indonesians have a natural

affinity to democracy.159

Secara bertahap, istilah Islam moderat pun mulai diperkenalkan dalam

kebijakan luar negeri Indonesia. Melalui paparan lisan yang mengawali tahun

2004, Hassan Wirajuda menekankan kewajiban Indonesia sebagai negara

berpenduduk Muslim terbesar dunia agar mampu memproyeksikan wajah Islam

yang sebenarnya, yaitu Islam sebagai rahmatan lil alamin.160

Selanjutnya dia juga

menempatkan penguatan kemoderatan sebagai tema besar kebijakan luar negeri

Indonesia yang dilakukan dengan pemberdayaan kelompok moderat di dalam

negeri sebagai langkah awal.

Seiring dengan proses konsolidasi demokrasi Indonesia, pelibatan

kelompok-kelompok moderat yang merupakan aktor non-negara menandai

perubahan pola kebijakan luar negeri. Sebelum Indonesia menapaki tahap

konsolidasi demokrasi,161

kebijakan luar negeri Indonesia lebih diformulasikan

oleh elite daripada massa melalui proses demokrasi.162

Pemberdayaan kelompok-

kelompok moderat tersebut kemungkinan besar dikarenakan posisi Islam sendiri

yang tidak menjadi bagian dari identitas resmi kebijakan luar negeri Indonesia.

Untuk mempromosikan kemoderatan Indonesia, kelompok-kelompok

moderat tersebut diakomodasi dalam kerangka diplomasi. Menurut Hassan

Wirajuda, promosi aset-aset diplomasi Indonesia akan dilakukan dalam kerangka

total diplomacy.163

Pendekatan diplomasi ini memandang setiap isu secara

159 Hassan Wirajuda, “the democratic Response” disampaikan dalam the 56th Session of the UN

General Assembly , New York, 15 November 2001. 160 Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam paparan lisan yang

disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6 Januari 2004. 161 Fase-fase demokrasi yang telah dilalui Indonesia: pra-transisi, liberalisasi, dan transisi

demokrasi. Saat ini Indonesia tengah menikmati fase konsolidasi demokrasi yang dimulai sejak

Presiden Megawati Soekarnoputri. Sedangkan fase terakhir dari demokrasi adalah pematangan

demokrasi yang diprediksi akan memakan waktu yang cukup lama. 162 Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Loc. Cit. hal. 163 Renne R.A Kawilarang, “Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda" diakses dari

http://m.news.viva.co.id/news/read/98969-warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda pada Minggu,

16 Desember 2012, pukul 13.14 wib.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 91: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

79

Universitas Indonesia

komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Selain itu, faktor

intermestik juga menjadi pijakan bagi pendekatan total diplomacy. Faktor ini

diartikan sebagai kemampuan para diplomat untuk mendekatkan jarak antara apa

yang terjadi di luar negeri dengan apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan

domestik.164

Jika diperhatikan lebih lanjut, aplikasi dari total diplomasi Indonesia

memanfaatkan berbagai jalur diplomasi (multi-track diplomacy) yang tidak hanya

mengandalkan jalur pemerintah (track one) semata. Ekspansi dari Multi-track

diplomacy yang dikembangkan Louise Diamond dan John McDonald meliputi

delapan jalur diplomasi lain yang saling terkoneksi satu sama lain seperti tampak

pada gambar berikut.165

Sumber: Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010

Gambar 3. 4 Pola Multi-track Diplomacy

164 Ibid. 165 Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010, Annual Report 2010, Arlington, 2010.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 92: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

80

Universitas Indonesia

Track two diplomacy didefinisikan sebagai interaksi informal atau tidak

resmi antara kalangan profesional non-pemerintah yang bertujuan untuk

membangun strategi, mempengaruhi opini publik dan mengorganisir sumber-

sumber material dan immaterial untuk memecahkan masalah. Track two

diplomacy memang merupakan proses yang dirancang untuk membantu

pemerintah dengan mengeksplorasi solusi yang mungkin keluar dari pandangan

publik dan tanpa persyaratan negosiasi formal atau tawar-menawar yang

membahas keuntungan semata.166

Track two diplomacy menyediakan skenario yang mungkin memenuhi

keamanan dan kebutuhan dasar bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam

memformulasikan suatu kebijakan politik. Pada tingkat yang lebih umum,

lingkungan promosi yang dilakukan oleh diplomasi jalur ini diterapkan dalam

komunitas politik, melalui pendidikan opini publik, yang akan membuatnya lebih

aman bagi para pemimpin politik untuk mengambil risiko untuk perdamaian.167

Tendensi dari diplomasi track two diplomacy adalah pada psikologi politik

dari konflik yang tengah berlangsung lama dan berakar pada luka yang dialami

masyarakat atau bangsa tertentu. Menurut Dalia Dassa Kaye, track two diplomacy

menekankan dinamika psikologis dari jalur dialogis, khususnya klaim tentang

sejumlah upaya yang dapat mentransformasi gambaran akan musuh atau

memanusiakan pihak lain, kemudian membimbing ke arah hubungan baru yang

lebih kondusif bagi resolusi dari konflik yang mendalam.168

Terkait dengan tema karya ilmiah ini deplu pun merekomendasi sejumlah

kalangan profeional dalam rangka mempromosikan identitas Islam moderat

Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din

Syamsuddin, Intelektual Muslim sekaligus Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Komaruddin Hidayat, Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra, Ketua Presidium

ICMI Marwah Daud Ibrahim, salah satu Ketua PBNU Masykuri Abdillah,

166

Joseph V. Montville, “Track Two Diplomacy: the Work of Healing History”, the Whitehead

Journal of Diplomacy and International Relations, Vol. 7 (Maret 2009), hal. 16. 167 Ibid. 168 Dalia Dassa Kaye, Rethinking Track Two Diplomacy: the Middle East and South Asia,

(Clingendael: Netherlands Institute of Internatonal Relations, 2005), hal. 2.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 93: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

81

Universitas Indonesia

Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma, dan ekonom Islam Dr. M. Syafii

Antonio.169

Track three diplomacy merupakan pelibatan jalur bisnis. Umumnya, bisnis

tidaklah berorientasi pada perdamaian, tetapi memiliki efek perubahan yang

cukup besar bagi perbaikan standar hidup yang diharapkan mampu mengurangi

radikalisasi yang menyebabkan keterasingan ekonomi sosial. Perlu diketahui

bahwa latar belakang sosio-politik Islam moderat Indonesia menjadi bahan

pertimbangan bagi Eropa untuk menjalin kerjasama ekonomi dengan Indonesia.170

Namun keterbatasan akses informasi, jalur diplomasi ini tidak dilengkapi dengan

contoh-contoh kasus yang bisa menggambarkan upaya-upaya mempromosikan

Islam moderat secara rinci.

Track four diplomacy disebut juga diplomasi warga negara (citizen

diplomacy). Pada dasarnya, diplomasi warga negara beranjak dari konsep bahwa

semua warga negara memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam

hubungan internasional, baik di dalam maupun luar negeri.171

Sepintas, jalur

diplomasi ini terasa rancu dengan jalur-jalur lain dalam multi-track diplomacy

yang juga mengandalkan partisipasi warga negara di luar lingkungan pemerintah.

Jika diperhatikan lebih lanjut, penempatan diplomasi warga negara pada jalur

tersendiri atau terpisah dari jalur-jalur lain dalam kerangka multi-track diplomacy

sepertinya sengaja dilakukan Diamond dan McDonald. Kesengajaan ini

dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi perkembangan kerangka

multitrack diplomacy di waktu yang akan datang.

Untuk mempermudah dalam memahami jalur diplomasi warga negara,

pembahasan bagian ini mengacu pada praktik-praktik budaya yang belum

diuraikan spesifik dalam jalur-jalur diplomasi lain. Dalam hal ini, the British

Council menggunakan istilah hubungan budaya untuk menggambarkan praktik

diplomasi warga negara. Tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan dan

169 “Deplu & Lembaga Islam Indonesia Promosikan Islam di London”,

http://news.detik.com/read/2006/07/06/071444/630011/10/deplu-lembaga-islam-indonesia-

promosikan-islam-di-london diakses pada Selasa, 27 November 2012, pukul 14.02 wib. 170

European External Action Service, Indonesia European Community Strategy Paper 2007-2013,

Belgia. 171 U.S. Center for Citizen Diplomacy, "Citizen Diplomacy Organizations throughout the World:

Opportunities for Cooperation", U.S. Summit and Initiative for Global Citizen Diplomacy,

Washington DC, 16–19 November 2010, hal. 4.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 94: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

82

Universitas Indonesia

keterlibatan antar warga di seluruh dunia melalui pertukaran pengetahuan dan ide.

Lebih lanjut, aplikasi budaya tersebut mencangkup aspek yang lebih luas dari

sekedar seni. Sejauh ini diplomasi warga negara dapat ditemukan dalam sister

cities international. Sejauh ini, ada empat kota di Indonesia yang tergabung dalam

jejaring sister cities international, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, dan

Surabaya.172

Track five diplomacy merupakan jalur penelitian, pelatihan, dan

pendidikan dalam bentuk pertukaran pelajar untuk menciptakan netralitas politik.

Tujuannya ialah untuk mencetak generasi baru yang berorientasi pada

perdamaian. Aplikasi dari jalur diplomasi jenis ini antara lain kegiatan Asia-

Europe Youth Interfaith Dialogue (AEYIFD) yang diselenggarakan pada tahun

2006 dan 2008. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama Pusat Kerukunan Umat

Beragama (PKUB) Departemen Agama RI dan Direktorat Kerjasama Intra

Kawasan Amerika-Eropa Departemen Luar Negeri RI dengan Asia-Europe

Foundation (ASEF).

Track six diplomacy menekankan pada pergerakan aktivis. Meski kalangan

aktivis kurang mendapatkan penghargaan dari pemerintah, keberadaannya tetap

dianggap esesnsial karena merupakan ekspresi umum dari warga negara yang di

tuangkan dalam forum publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivis Islam di

Indonesia cukup beragam, ada yang radikal maupun moderat. Dalam kerangka

promosi Islam moderat, deplu agaknya lebih merangkul aktivis-aktivis Islam yang

memiliki visi dan misi yang mempromosikan kemoderatan itu sendiri, seperti

Muhammadiyah dan NU.

Track seven diplomacy merupakan jalur keagamaan. Jalur diplomasi ini

penting untuk mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi antar umat beragama.

Jalur ini dapat dilakukan melalui dialog antar agama maupun inter-agama,

khususnya dengan adanya keragaman aliran dalam Islam. Salah satu implementasi

dari jalur diplomasi ini adalah penyelenggaraan the international conference of

Islamic Scholars (ICIS) dan konferensi interfaith dialogue pada tahun 2009 yang

172 Sister Cities International, 2012 Membership Directory, Washington DC, 2012.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 95: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

83

Universitas Indonesia

diinisiatif oleh Sant’ Egidio, sayap NGO Vatikan yang diakomodasi oleh deplu

dan kementerian luar negeri Indonesia dan Italia.173

Track eight diplomacy terletak pada masalah pendanaan dan umumnya

berbasis pada filantropi. Jalur diplomasi ini penting untuk memperkuat program-

program yang mempercepat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu

institusi yang berkepentingan dalam pembangunan jaringan Islam moderat di Asia

umumnya dan Indonesia khususnya adalah the Asia Foundation yang

mendonasikan dana ke International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan

Jaringan Islam Liberal (JIL).

Track nine diplomacy berada di ranah komunikasi dan media. Komunikasi

ditujukan untuk menjalin relasi, baik dengan pihak internal maupun eksternal.

Dengan pihak internal pemerintahan, komunikasi dibangun untuk menjaga

hubungan sinergis antara Deplu dengan departemen-departemen lainnya. Hal ini

dimaksudkan untuk mengintegrasikan kebijakan luar negeri di seluruh jajaran elit

pemerintahan. Sedangkan dengan pihak eksternal, komunikasi ditujukan untuk

menginformasikan dan mengaitkan publik dengan isu-isu perdamaian dalam

hubungan internasional. Sedangkan media yang digunakkan dapat berupa cetak

dan elektronik, seperti situs deplu, tabloid diplomasi yang dicetak rutin ataupun

dapat diakses melalui situs resmi deplu, dan lain-lain.

Mengingat multi-track diplomacy merupakan satu kesatuan yang saling

terhubung, partisipasi seluruh jalur diplomasi diharapkan juga melakukan

komunikasi dengan pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Hal ini

dilakukan dengan tujuan agar pendiskusian ide dalam rancangan non-formal

memiliki prospek, baik merefleksikan dan menyaring ide-ide tersebut ke dalam

lingkaran pemikiran dari kebijakan resmi.

3. 1. 2 Partisipasi Kelompok-kelompok Islam Moderat Indonesia

Sebagai bagian dari strategi pencitraan identitas Islam moderat Indonesia,

pemerintah memberdayakan aktor-aktor non-pemerintah yang berasal dari

kelompok-kelompok Muslim moderat. Permberdayaan dapat dilakukan melalui

173 “Italia Mengapresiasi Islam Moderat di Indonesia” dalam Tabloid Diplomasi No. 16, Thn. 2, 15

Maret-14 April, Jakarta: Direktorat Diplomasi Publik Deplu RI, 2009, h. 10.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 96: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

84

Universitas Indonesia

kerangka multi-track diplomacy seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya,

maupun dalam kerangka people to people diplomacy.

Perbedaan kedua jenis kerangka tersebut terletak pada aktor yang terlibat,

tujuan dan capain dari proses diplomasi. Jika multi-track diplomacy melibatkan

baik pemerintah maupun non-pemerintah dan bertujuan untuk menemukan solusi

dengan capaian berupa kebijakan. Pada people to people diplomacy, aktor hanya

berasal dari non-pemerintah yang secara mandiri berkeinginan untuk mengenal,

memahami, dan membangun pengalaman pribadi dengan pihak lain yang berbeda.

karena itu, people to people diplomacy tidak ditujukan untuk mencari solusi dari

permasalahan konfliktual.174

Lebih lanjut, kelompok-kelompok Muslim di Indonesia yang dapat

dikatakan moderat memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu toleransi

terhadap komunitas non-Muslim dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia

dan kelompok minoritas. Beberapa kelompok Muslim yang dapat dikatakan

moderat antara lain NU, Muhammadiyah, JIL, dan ICIP.

NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Muslim terbesar di

Indonesia. Melalui institusi pendidikan yang mereka kelola dan kiprah sosial

politik keagamaan yang mereka mainkan, NU dan Muhammadiyah

memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam dalam semangat toleransi

beragama. Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, dua sayap umat Islam, NU dan

Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah

Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman

sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan.175

Baik Muhammadiyah, maupun NU merupakan organisasi Islam yang

cukup produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Muslim dan

eksternal masyarakat non-Muslim. Tujuan awalnya bukan hanya untuk menangkal

gerakan radikalisme, tapi juga untuk menciptakan kerukunan antar umat

beragama. Sebab, dalam masyarakat Muslim sendiri terbagi-bagi dalam berbagai

golongan dan aliran. Fragmentasi tentu menjadi potensi yang kerap menghantui

kondisi tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan melahirkan sikap-sikap

174 Dalia Dassa Kaye, Loc. Cit., hal. 6. 175 Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan IslamTransnasional di Indonesia,

(Jakarta: the Wahid Institute, 2009), h. 7.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 97: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

85

Universitas Indonesia

ekstrim kelompok-kelompok tertentu. Sedangkan perbedaan agama secara

otomatis berpotensi untuk menimbulkan konflik.

Dilihat dari metodeloginya yang mengandalakan aspek kultural, NU sering

kali disebut sebagai kelompok tradisionalis. Dalam mengaplikasikan

kemoderatan, kelompok moderat tradisionalis menyatu dalam elemen sufisme

dalam mempraktik Islam di kehidupan sehari-hari. Konsekuensinya adalah

penghormatan terhadap tradisi yang memiliki makna penting dalam kehidupan

keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima

secara utuh, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi.176

Menurut

Abdurahman Mas’ud, hal ini merupakan sebuah ekspresi dari Islam Kultural yang

moderat di mana ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami

secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara

mensubordinasi budaya ke dalam nilai-nilai Islam.177

Semangat kemoderatan NU juga dipraktikan dalam kelompok-kelompok

yang lebih kecil. Salah satunya adalah kelompok Kyiai Kanjeng yang merupakan

gerakan sosio-kultural. Kelompok kesenian ini bertujuan membangun dialog

peradaban antara Islam dan Eropa. Dalam pencapaian dialog peradaban tersebut,

kelompok Kyiai Kanjeng lebih mengedepankan kesenian dan kebudayaan sebagai

sarana dalam mengusung nilai-nilai humanisme universal melalui berbagai

macam sarana pagelaran musik, puisi, dan percakapan antar kepercayaan dan

budaya yang beragama.178

Gerakan yang dibawa oleh Emha Ainun Najib (Cak

Nun) ini telah melakukan kunjugan ke Inggris, Italia, Skotlandia, Jerman,

Perancis, Kanada, AS, dan Australia.179

Berbeda dengan NU yang memperkenalkan Islam dengan cara-cara

kultural, Muhammadiyah lebih dikenal dengan kelompok modernis yang

dikarakterkan dengan metode apropriasi Barat. Kemoderatan Muhammadiyah

tidak lepas dari pendirinya, Ahmad Dahlan yang berkomitmen untuk menajaga

sikap toleransi beragama. Selama kepemimpinannya dapat terlihat adanya

176 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:

LP3ES, 1994), h. 148. 177

Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:

LkiS, 2004), h. 9. 178 Musa Maliki dan Abdullah, “Dialog Peradaban Islam Barat: Gerakan (Socio Political Culture)

Kyiai Kanjeng di Eropa”, Kajian Wilayah Eropa, Vol. V/2 (2009), h. 274. 179 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 98: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

86

Universitas Indonesia

kerjasama kreatif dan harmonis dengan hampir semua kelompok masyarakat.

Salah satu contohnya adalah persehabatan erat antara Ahmad Dahlan dengan

banyak pemuka agama Kristen. Menurut Alwi Shihab, Ahmad Dahlan adalah

seorang praktisi dialog antar agama yang sejati, dalam pengertian dia mendengar

apa yang dikatakan dan memperhatikan apa yang tersirat di balik kata yang

diucapkan.180

Muhammadiyah tidak hanya mempromosikan kemoderatan Islam di

tingkat domestik, tapi juga internasional. Salah satunya adalah kerjasama

Muhammadiyah dengan Deplu RI dan Kementrian Luar Negeri Australia yang

mengadakan International Dialogue On Interfaith Cooperation yang

diselenggarakan pada Desember 2004.181

Pada kegiatan ini, Muhammadiyah

berperan sebagai organizing committee. Acara yang diadakan di Jogjakarta ini

dihadiri oleh negara-negara anggota ASEAN, New Zealand, dan Negara-negara

UE.

Di samping kedua kelompok yang telah ada sejak zaman penjajahan

Belanda tersebut, ada pula kelompok-kelompok Islam liberal yang tergabung

dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok yang berdiri pada tahun 2001 ini

dapat dikatakan modernis karena berusaha untuk membawa nilai-nilai Islam ke

dalam harmoni dunia modern.182

Hal ini nampak dari penafsiran Islam dengan

beberapa landasan seperti pengutamaan semangat religio etik, bukan makna literal

teks; kepercayaan pada kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural; keberpihakan

pada yang minoritas dan tertindas; Keyakinan akan kebebasan beragama; dan

pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.183

Sedangkan preferensinya pada bentuk jaringan dan bukan organisasi

kemasyarakatan maupun partai politik tidak lepas dari tujuannya untuk

menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Menurut

mereka, dengan memakai bentuk jaringan, JIL merupakan wadah yang longgar

untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam

Liberal. Meski JIL termasuk Melalui JIL, Indonesia mempelopori model media

180

Alwi Shihab, Islam Inklusif: menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997),

hal. 314. 181 “Dialog Antar Agama untuk Mengatasi Ketegangan Dunia”, Kompas, 6 Desember 2004. 182 Building Moderate Network, Op. Cit., hal. 71. 183 http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil pada tanggal 2 Mei 2012, pukul 13.40 wib.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 99: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

87

Universitas Indonesia

moderat di dunia.184

Beberapa contoh media tersebut, antara lain: 1) program

radio mingguan JIL, "Agama dan Toleransi," mencapai sekitar 5 juta pendengar

melalui 40 stasiun radio nasional; 2) Lembaga Advokasi Warga dan Pendidikan

menghasilkan talk show radio mingguan yang mencapai satu juta pendengar

melalui lima stasiun radio di Provinsi Sulawesi Selatan; 3) Stasiun televisi

nasional, TPI, memiliki program mingguan yang membahas tentang kesetaraan

jender dalam Islam yang mencapai 250.000 pemirsa di wilayah Jakarta dan

sekitarnya; 4) Sebuah talk show televisi bulanan tentang Islam dan pluralisme

mencapai 400.000 pemirsa di Yogyakarta.185

Sejalan dengan pencitraan identitas Islam moderat, kelompok Muslim

Moderat Indonesia melebarkan gerakannya hingga ke tingkat regional. Upya ini

dilakukan dengan mendirikan International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

di Jakarta pada tahun 2003. Misinya adalah untuk membangun jaringan aktifis dan

intelektual Muslim di Asia Tenggara, serta untuk menyediakan wahana bai

penyebaran ide-ide pemikiran Muslim moderat dan progresif. 186

Beberapa

aktivitas yang telah dilakukan ICIP antara lain pendidikan pluralisme dan

multikulturalisme bagi masyarakat pesantren; pendidikan perdamaian dan resolusi

konflik; ODEL (Open, Distance, and Electronic Learning) untuk transformasi

Islam melalui pesantren masyarakat; meningkatkan demokratisasi di komunitas

Muslim Asia Tenggara, mengurangi stereotip antara Islam dan Barat,

mempromosikan dialog antar agama dan kerja sama; dan memajukan kesetaraan

gender dan pemberdayaan perempuan.187

184

Building Moderate Network, hal. 82. 185 Ibid. 186 Ibid., hal 111. 187 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar

Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009, hal. 21.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 100: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

88

Universitas Indonesia

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 101: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

89

Universitas Indonesia

BAB 4

PERISTIWA YANG MEMPERLEMAH

DAN ASPEK PENGUAT PENCITRAAN IDENTITAS ISLAM MODERAT

Berdasarkan faktor-faktor pembentuk kemoderatan Islam yang dibahas

pada bab sebelumnya, Indonesia sepertinya memiliki modal cukup untuk

mempromosikan identitas tersebut dalam pergaulan internasional. Faktor-faktor

seperti pemahaman pluralisme yang bersumber dari keberagaman sosio-kultural

Indonesia; modernitas yang dibangun Islam dalam sejarah keIndonesiaan; serta

korelasi antara Islam dan demokrasi di Indonesia tidak hanya menginspirasi

pemerintah sebagai aktor yang merumuskan kebijakan luar negeri untuk

mempromosikan identitas Islam moderat, tapi juga mengangkat peran aktor-aktor

non-pemerintah yang menghidupkan faktor-faktor tersebut melalui diplomasi.

Hubungan sinergis faktor dan aktor dalam proses promosi identitas Islam

moderat bukanlah tanpa tantangan. Untuk itu, bab ini tersusun dalam dua pokok

bahasan. Pertama, peristiwa-peristiwa yang memperlemah pencitraan identitas

Islam moderat. Peristiwa-peristiwa tersebut umumnya bersumber dari dalam

negeri dan pengalaman masa lalu yang kemudian berimplikasi pada hubungan

Indonesia dengan negara lain.

Kedua, aspek yang memperkuat pencitraan identitas Islam moderat

Indonesia. Mengingat sumber dari tantangan promosi identitas Islam moderat

kebanyakan berasal dari dalam negeri, maka aspek-aspek yang memperkuat pun

difokuskan pada ranah domestik.

4. 1. Peristiwa yang Memperlemah Pencitraan Islam Moderat Indonesia

Untuk menggambarkan peristiwa-persitiwa yang memperlemah pencitraan

Islam moderat Indonesia, bagian ini terdiri dari lima bahasan. 1) peningkatan dan

penyebaran gerakan kelompok Islam radikal; 2) regenerasi terorisme; 3)

penerapan hukum Syariah di tingkat daerah; 4) pengaruh Majelis Ulama Indonesia

(MUI); 5) intoleransi dan dilema pencitraan di tingkat internasional.

Kemunculan peristiwa-peristiwa itu berkaitan erat dengan kedatangan

Islam ke Indonesia yang tidak hanya berasal dari satu sumber. Hal ini

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 102: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

90

Universitas Indonesia

memberikan keragaman sudut pandang, baik dalam melihat kondisi sosio kultural

di Indonesia maupun dalam menginterpretasikan substansi dari ayat-ayat Al-

Quran. Keragaman sudut pandang tersebut tidak menjadikan semua elemen Islam

yang datang ke Indonesia permisif terhadap pluralitas sosio-kultural di Indonesia.

Ada pula elemen-elemen Islam yang menunjukan resistensi pluralitas meski

jumlahnya tergolong sedikit. Kecondongan dari sebagian kecil golongan Islam

tersebut antara lain upaya pemurnian agama, sikap permusuhan terhadap kalangan

non-Muslim, dan keinginan untuk menerapkan hukum syariah. Semua

kecondongan tersebut mengarah pada munculnya intoleransi di tengah kehidupan

bermasyarakat dan berbangsa.

Intoleransi yang terjadi di ranah domestik memang bertentangan dengan

pencitraan identitas Islam moderat yang dipraktikan Indonesia melalui kebijakan

luar negerinya. Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah kenyataan yang ada

di dalam negeri tidak dapat dipisahkan dari kebijakan luar negeri. Sebab,

kebijakan luar negeri selalu berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada

di dalam negeri. Untuk itu, bagian ini akan menguraikan bagaimana bentuk-

bentuk intoleransi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pencitraan Islam

moderat dalam praktik kebijkan luar negerinya.

4. 1. 1. Peningkatan dan Penyebaran Gerakan Kelompok Islam Radikal

Bagi masyarakat dan pemerintah pada umumnya memandang radikalisme

secara negatif. Hal inilah yang membawa gerakan radikalisme dalam sebuah

negara apapun dasar ideologinya kurang diterima sepenuh hati oleh pemerintah.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, gerakan radikalisme memang nampak

cukup merepotkan, terutama karena beberapa alasan. Pertama, gerakan

radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan untuk

membangun dan mewarnai dasar ideologi negara dengan faham ideologinya

secara murni, atau mengganti ideologi negara dengan ideologi kelompok gerakan

radikal tersebut.188

Khususnya kelompok Islam radikal di Indonesia, memiliki agenda untuk

menerapkan hukum Islam atau syariah dalam konstitusi maupun regulasi negara.

188 Nuhrison M. Nuh, “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham Islam Radikal di Indonesia”,

Harmoni, Vol. VIII/31 (Juli-September 2009), hal. 38-39.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 103: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

91

Universitas Indonesia

Agenda tersebut dapat mengancam masa depan Indonesia sebagai negara dan

pluralitas masyarakatnya yang terdiri dari agama, etnis, dan budaya. Sebab,

mereka mendefiniskan syariah secara literal, kaku, dan syarat akan interpretasi

eksklusif. Kedua, gerakan radikalisme menimbulkan instabilitas dan keresahan

sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tidak kompromi,

intoleran, dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis. Ketiga, gerakan radikal

dipandang dapat mengancam eksistensi pemerintah. Dalam ranah domestik,

pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan radikal yang meluas dalam

masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap rezim

pemerintahan yang pada akhirnya akan melahirkan pembangkangan dan revolusi

sosial yang menurunkan rezim penguasa.189

Sedangkan pada tingkat internasional,

keberadaan geradakan radikal dapat menurunkan kredibilitas pemerintah karena

dianggap kurang mampu dalam menjaga keamanan negaranya.

Gerakan kelompok Islam Radikal bukanlah hal baru di Indonesia. Pada

awal kemerdekaan, gerakan-gerakan radikal Islam seperti Darul Islam (DI) atau

Negara Islam Indonesia (NII) sudah menjadi bagian dari pengalaman sejarah

Indonesia. Meski dapat ditumpas, radikalisme Islam ternyata tetap diwariskan dan

bermetamorfosis pada masa kini. Bahkan, aktivitas kelompok-kelompok radikal

Islam menunjukan gejala yang meningkat. Bangkitnya gerakan kelompok Islam

radikal dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan iklim demokrasi politik yang

tidak lagi sepenuhnya menjadi hegemoni rezim penguasa.190

Peningkatan aktivitas kelompok Islam radikal di Indonesia juga dimotivasi

oleh ideologi jihad yang mendorong radikalisasi kelompok-kelompok Islam

fanatik. Akan tetapi, semangat jihad itu tidak muncul begitu saja. Kemunculan

semangat jihad dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor ideologi politik,

doktrin teologi, sosial budaya, dan solidaritas.191

Terkait faktor ideologi politik,

semangat jihad lebih ditentukan oleh konstruksi historis akan pengalaman pahit

Indonesia di masa lalu. Bermula dari penjajahan yang dialami bangsa ini, Islam

memainkan peran penting sebagai alat pemersatu untuk menentang kolonialisme

Belanda. Fungsi pemersatu ini terletak pada simbolisasi Islam yang merangkum

189 Ibid. 190 Ibid., hal. 45. 191 Ibid. hal. 43.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 104: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

92

Universitas Indonesia

persamaan nasib dalam menentang penjajahan asing dan penindas yang

diorientasikan berasal dari agama lain.192

Aspek ideologi politik Islam ternyata juga berlanjut pada awal

kemerdekaan Indonesia yang menyangkut penentuan dasar negara yang

menimbulkan perdebatan. Sebagian kelompok Islam menghendaki perlunya dasar

negara yang berasaskan Islam. Sedangkan sebagian yang lain sepakat dengan

Pancasila sebagai dasar negara. Meski akhirnya Pancasila dipilih sebagai dasar

negara, ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian kelompok Islam untuk

menerapkan hukum Islam. Dalam hal ini, keinginan untuk menerapkan hukum

Islam atau syariahh juga berkorelasi dengan faktor doktrin teologis.

Berbicara tentang gerakan Islam radikal di Indonesia erat kaitannya

dengan doktrin teologis yang berkembang di Timur Tengah, khususnya gerakan

pemikiran Salafi-Wahabi. Secara umum, gerakan ini dipahami sebagai gerakan

pemikiran yang berusaha menghidupkan kembali atau memurnikan ajaran Islam

berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhamad SAW, sebagaimana yang

diamalkan oleh para ulama terdahulu (salaf). Karenanya, tujuan dari gerakan

pemikiran Islam Salafi-Wahabi adalah agar umat Islam kembali kepada dua

sumber utama pemikiran Islam, yakni kitab suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi

Muhammad SAW (Sunnah Rasul), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab

yang tidak berdasar pada dua sumber ajaran tersebut.193

Perlu diketahui, gerakan pemikiran Islam Salafi-Wahabi merupakan

bentuk puritanisme. Karenanya, gerakan ini juga bertujuan untuk memurnikan

ajaran Islam agar tidak tercampur dengan kepercayaan-kepercayan lama yang

menyesatkan dan ajaran-ajaran tasawuf yang mengkultuskan tokoh agama

termasuk kegiatan seperti memuja kuburan para wali atau tokoh agama tertentu.

Sebagian gerakan pemikiran Salafi-Wahabi, juga menyadarkan umat Islam agar

menentang berbagai bentuk neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan hegemoni

dari dunia Barat yang membelenggu umat Islam.194

192 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal. 69-70. 193 Nuhrison M. Nuh, Op. cit., hal. 40-41. 194 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 105: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

93

Universitas Indonesia

Dari faktor sosial budaya, kebangkitan gerakan-gerakan Islam radikal pada

masa kini dimotori oleh pudarnya nilai-nilai dan norma budaya bangsa, serta tidak

berlakunya penegakan hukum secara adil sehingga menimbulkan kekacauan di

tengah masyarakat. Kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan yang

mendorong gerakan-gerakan Islam radikal merasa perlu untuk meneggakkan

kembali nilai-nilai moral dengan cara-cara yang mereka yakini benar.

Faktor lain yang cukup menonjol bagi sebagian kelompok Islam di

Indonesia adalah solidaritas sesama Muslim. Faktor ini merupakan rantai

penghubung antar sesama Muslim untuk menjadi sebuah gerakan. Sebagian dari

gerakan ini muncul sebagai reaksi atau pembelaan terhadap kelompok-kelompok

Islam yang dipandang mendapat perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil oleh

kelompok-kelompok tertentu dan tidak segera memperoleh perlindungan yang

memadai oleh pemerintah. Bentuk-bentuk pembelaan yang dilakukan, tidak saja

terbatas pada dukungan moral melalui pernyataan-pernyataan, demonstrasi turun

ke jalan dan pemberian bantuan dana pada korban kekerasan, tetapi juga dalam

bentuk pengiriman tenaga dan senjata untuk ikut bergabung berperang secara fisik

dengan mereka yang dianggap sebagai musuh Islam.195

Dalam perkembanganya, gerakan Islam radikal di Indonesia tampil dalam

dua varian umum. Varian pertama umumnya mentargetkan gerakannya untuk

dapat berpartisipasi di ranah politik praktis. Beberapa diantaranya adalah, Hizbut

Tahrir Indonesia (HTI) dan Tarbiyah-Ikhwanul Musliminan. Hizbut Tahrir (HT)

merupakan gerakan politik Islam yang bersifat transnasional. Bermula dari partai

politik di Palestina, gerakan ini kemudian menyebar ke Yordania, Afrika Utara,

Pakistan, Inggris, bahkan hingga negara-negara bekas Uni Soviet seperti

Tajikistan, Uzbekistan dan Kirgistan. Sedangkan di Indonesia, HT mulai

dikembangkan oleh Abdurrahman al-Bagdadi sejak tahun 1982. Bagdad adalah

pendatang dari Lebanon yang memang sejak awal berasal dari keluarga aktivis

HT. Ia menetap di Indonesia untuk membantu Abdullah bin Nuh dalam mengasuh

Pesantren al-Ghazali.196

195 Ibid., hal 46. 196 Rubaidi, “Variasi Gerakan Radikal Islam di Indonesia”, Analisis, Vol. XI/1 (Juni 2011), hal.

37.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 106: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

94

Universitas Indonesia

Gerakan Islam politik transnasional lainnya adalah Tarbiyah yang identik

dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Gerakan ini menjadi salah satu varian gerakan

Salafi yang berkembang di tanah air. Model Tarbiyah dipopulerkan oleh

Imaduddin Abdurrahim melalui diskusi-diskusi intensif yang di selenggarakan

oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang menggunakan Masjid Salman

Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai pusat aktivitasnya.197

Puncak

kematangan gerakan Tarbiyah di Indonesia mulai terlihat pada awal tahun 90-

an. Saat itu, aktivis-aktivis Tarbiyah praktis menguasai organisasi intra kampus

di sebagian besar perguruan tinggi bergengsi di tanah air. Dan seiring dengan

mulai munculnnya krisis nasional pada tahun 1998, aktifis Tarbiyah

mendirikan Kesatuan Aksi Mahasis Muslim Indonesia (KAMMI) dan Himpunan

Antar Muslim Kampus (HAMMAS), tepatnya di bulan April 1998. Setelah

jatuhnya Suharto, beberapa tokoh kunci gerakan Tarbiyah terlibat aktif dalam

pembentukan Partai Keadilan (PK) atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS).198

Varian kedua merupakan gerakan Islam radikal yang sudah

bermetamorfosis, meskipun secara ideologis sangat berkesesuaian dengan gerakan

Islam radikal transnasional di Timur Tengah. Kelompok-kelompok Islam radikal

yang bermetamorfosis ini dapat dikenali melalui dua karakteristik umum.

Pertama, berkaitan dengan pendefinisian syariah secara kaku dan ekslusif,

kelompok-kelompok ini mengklaim bahwa syariah merupakan satu-satunya solusi

bagi krisis multi-dimensi yang dialami Indonesia. Masalah muncul ketika

kelompok-kelompok ini menjustifikasi kekerasan dalam meminta implementasi

dari syariah, sehingga mengorbankan kalangan Muslim maupun non-Muslim.

Bahkan, kapitalisasi pemikiran religius-politik untuk kepentingan mereka

condong melemahkan hak-hak kalangan non-Muslim dan minoritas.199

Kedua, karakteristik lain dari kelompok-kelompok konservatif radikal

Islam adalah adanya tendensi kuat untuk tidak menghormati pluralisme yang

dianggap sebagai sebuah gagasan untuk menyerang Islam yang merupakan satu-

satunya kebenaran. Dalam hal ini, agama lain dianggap tidak memuat kebenaran

197

Ibid., hal. 38. 198 Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan: Middle East, Islamism and Indonesia

(New South Wales: The Lowy Institute for International Policy, 2005), h. 69 dalam ibid., hal. 39 199 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar

Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 107: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

95

Universitas Indonesia

yang dikategorikan sebagai kafir. Kelompok konservatif radikal Islam percaya

bahwa Tuhan telah memberikan garis yang tegas antara Muslim dan kafir.

Meski memiliki tendensi yang sama dalam melihat kaum non-Muslim,

perbedaan orientasi membagi kelompok-kelompok Islam radikal yang telah

bermetamorfosis ini ke dalam dua jenis, yakni puritan dan militan. Orientasi

utama dari kelompok puritan adalah komunitas Muslim sendiri, karena mereka

ingin memperbaiki moral saudara sesama Muslimnya. Sebaliknya, kelompok

militan berorientasi pada komunitas di luar Muslim yang dianggap kafir dan

memiliki misi untuk memperbaiki seluruh dunia atau minimal dunia non-

Muslim.200

Gerakan Islam radikal yang cenderung puritan dapat ditemukan dalam

Front Pembela Islam (FPI). Sedangkan kelompok yang militan dapat ditemukan

pada Lasykar Jihad (LJ), Jam’ah Islamiyah (JI), dan Majelis Mujahidin Indonesia

(MMI).

Pembentukan Front Pembela Islam (FPI) oleh Habib Rizieq dilatari oleh

dua alasan utama. Pertama, masih merajalelanya kemungkaran dan kemaksiatan

yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. kedua, adanya kewajiban

untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam

sendiri. Atas dasar kedua alasan tersebut FPI merasa perlu untuk mengambil

inisiatif dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar atau memerintahkan

kebaikan dan mencegah kemungkaran di tengah masyarakat bermayoritas

Muslim.

Dalam aksi-aksinya, FPI menunjukan gejala radikalisme yang paling

banyak dibandingkan dengan gerakan Islam radikal lainnya. Berdasarkan catatan,

the Wahid Institute, eksklusivisme dan radikalisme FPI dimanifestasi dengan

berbagai cara, mulai dari penutupan tempat hiburan malam, pembersihan

minuman keras, razia Pekerja Seks Komersial, dan lain sebagainya. Sebagai

catatan penting, FPI selalu memanfaatkan momentum tertentu dalam menjalankan

aksinya, khususnya Ramadhan. Secara lebih rinci, grafik berikut menunjukan

frekuensi aksi-aksi radikal FPI.

200 Achmad Munjid, “Militant and Liberal Islam”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 3/1 (June

2009), hal. 38.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 108: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

96

Universitas Indonesia

Grafik 4. 1 Frekuensi Aksi-aksi FPI 2008-2010

18

8

24

38

1 11 1 11 12 1

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2008 2009 2010 2011

FPI

MMI

Laskar Jihad

HMI

HTI

Sumber: the Wahid Institute (2008-2011).

JI, MMI, dan LJ termasuk dalam kelompok Islam radikal militan karena

menunjukan manifestasi idelogi dengan menyerang kelompok-kelompok yang

dikategorikan non-Muslim atau kafir. Aksi ketiga kelompok tersebut dapat

ikatakan cukup ekstrim, yaitu mengarah pada teror bom bunuh diri sehingga

berdampak pada instabilitas ekonomi, sosial dan politik secara nasional.

JI merupakan gerakan Islam radikal yang didirikan oleh Abdullah Sungkar

dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 1995 di Malaysia. Gerakan kelompok ini

semakin ekstensif ketika mulai merintis alternatif perekrutan di luar Pesantren

Lukmanul Hakim. Hal ini terlihat antara tahun 1999-2000 manakala JI semakin

intensif merekrut banyak anggota untuk mendukung operasinya dan dilatih di

luar negeri, khususnya di Timur Tengah. Untuk mendukung percepatan

perekrutan anggota, JI membentuk aliansi Jihad atau kelompok jihad regional.

Aliansi ini bertujuan membangun kerja sama baik dalam bentuk pelatihan,

penyediaan perlengkapan senjata, bantuan keuangan maupun operasi teroris.

Pembentukan MMI tidak lepas dari ketidakpuasan kaum muda yang lebih

militan dalam JI terhadap kepemimpinan Ba’asyir setelah sepeninggalan Sungkar.

Kelompok muda ini mengklaim Ba’asyir terlalu lemah, terlalu bersikap

akomodatif dan terlalu mudah dipengaruhi orang lain. Akibat perpecahan itu,

Ba’asyir dengan dua koleganya memutuskan keluar dan mendirikan MMI.

LJ merupakan kombinasi antara puritan dan militan. Pembentukan LJ

tidak lepas dari Forum Komunitas Ahlu-sunnah wal Jamaah (FKAJ) yang

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 109: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

97

Universitas Indonesia

merupakan kelompok pergerakkan eksklusif yang menaruh fokus pada

permurnian keimanan dan integritas moral individu. Perubahan orientasi terjadi

setelah peristiwa pembataian warga Muslim oleh warga Kristen di Maluku pada

Desember 1999. Atas nama solidaritas, FKAJ merasa perlu untuk memiliki

kelompok para-militer untuk membela saudara sesama Muslim. Agresifitas LJ

tampak dalam sejumlah serangan terhadap gereja-gereja di Yogyakarta pasca

pembentukannya di tahun 2000. Mereka pun turut berpartisipasi dalam melakukan

penyerangan terhadap warga Kristen di Maluku dan mengirimkan anggotanya

dalam konflik Poso.

Perkembangan selanjutnya menunjukan jaringan LJ yang kian menguat.

Mereka membangun jaringan dari Taman Kanak-kanak hingga sekolah umum

melalui program pembelajaran dan penghafalan Al-quran. Sebagai sayap militer

FKAJ, LJ memiliki struktur kelembagaan dan pola perekrutan yang memiliki

kemiripan dengan organisasi tentara. LJ dibagi menjadi empat Batalyon yang

dinamai dengan nama empat sahabat Nabi. Setiap Batalyon dibagi lagi menjadi

empat Kompi dan masing-masing dibagi menjadi empat Pleton. Masing-masing

dari empat Pleton dengan cara yang sama dibagi menjadi empat regu. LJ juga

memiliki pasukan khusus (special forces), intelejen, dan termasuk pasukan yang

mengurus perbekalan (logistik).201

4. 1. 2. Regenerasi Terorisme

Aksi-aksi teror bom di Indonesia yang merupakan manifestasi dari

militansi kelompok-kelompok Islam radikal tidak hanya meresahkan masyarakat,

tapi juga mengundang perhatian dari kalangan internasional. Pada peristiwa Bom

Bali I khususnya, Indonesia menuai kritik dari negara-negera tetangganya karena

dianggap gagal untuk menangani isu terorisme secara serius.202

Pada dasarnya, isu

terorisme di Indonesia terkait dengan pergerakan terselubung kelompok-

kelompok radikal Islam, terutama dalam perekrutan generasi muda Muslim

sebagai bagian dari strategi ofensif teroris.

201 Rubaidi, Op. Cit., hal. 49. 202 H. C. Stackpole, “US-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War Against

Terrorism”, Asia Pacific Security Studies, Vol. 2/2 (Mei 2003), hal. 3.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 110: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

98

Universitas Indonesia

Hal yang perlu dipahami dalam isu terorisme adalah perekrutan ditujukan

untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Orang-orang yang direkrut teroris tidak

hanya dipersiapkan untuk mati, tapi seperti mencari kematian itu sendiri. Dibalik

fenomena terror bom bunuh diri di Indonesia, terdapat tiga faktor utama yang

mempengaruhi aksi tersebut, yaitu faktor kultural, indoktrinasi, dan situasi.203

Faktor kultural memainkan peran penting dalam regenerasi terorisme.

Narasi heroik yang disediakan faktor ini menjadi pembenaran dalam aksi teror

bom bunuh diri. Paling tidak, faktor kultural bisa mempengaruhi perilaku dengan

dua cara utama. Pertama, dengan meletakkan norma-norma yang sesuai dengan

kondisi-kondisi di mana seseorang boleh melakukan bunuh diri dan kadang-

kadang menggambarkan cara-cara melakukannya. Kedua, dengan cara

mempengaruhi konsep orang-orang mengenai hal-hal yang akan terjadi setelah

kematian.204

Di Indonesia, faktor-faktor kultural yang memicu terorisme bunuh diri

umumnya mengambil preseden dari pelaku-pelaku terorisme di Timur Tengah.

Kisah-kisah heroik para pelaku teror bom bunuh diri di Palestina misalnya,

dikemas dalam buku-buku dan novel-novel yang dengan mudah dapat ditemukan

di toko-toko buku di Indonesia. Dalam hal ini, industri penerbitan berperan

sebagai sarana utama dalam penyebaran ajaran jihad oleh kelomopok-kelompok

Islam-radikal. Menurut laporan International Crisis Group, berkembangnya

industri penerbitan buku-buku Islami di Indonesia telah dimanfaatkan kelompok

Jemaah Islamiyah sebagai sarana ideologisasi ekstrimis, konsolidasi organisasi,

dan penguatan jaringan di antara kelompok-kelompok Islam militan.205

Faktor indoktrinasi berkorelasi dengan ideologi yang dibawa kelompok-

kelompok Islam militan dalam proses perekrutan teroris. Factor ini dapat

mempengaruhi dengan dua cara. Pertama, melalui proses pendidikan di mana

seseorang diberi keyakinan tentang pentingnya latar belakang dan cara-cara yang

diperlukan untuk pelaksanaan sebuah misi. Kedua, bujukan yang berorientasi

203 Ariel Merari, “Kesediaan untuk Membunuh dan Terbunuh: Terorisme Bunuh Diri di Timur

Tengah”, dalam Walter Reich ed., Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi,

dan Sikap Mental, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 253. 204 Ibid. 205 International Crisis Group, “Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah”, Asia Report

N⁰147, Jakarta/Brussel, Februari 2008.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 111: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

99

Universitas Indonesia

pada pencapaian misi bagi orang yang dimaksudkan untuk melakukan bunuh diri.

Cara ini biasanya dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang kharismatik dalam

politik, militer, atau agama. Jenis indoktrinasi ini relatif singkat dan terjadi sesaat

sebelum pelaksanaan misi bunuh diri.206

Dalam aksi teror bom bunuh diri, indoktrinasi sering kali disamakan

dengan pencucian otak. Padahal, keduanya merupakan proses yang berbeda

dengan tujuan yang berbeda pula. Pencucian otak adalah proses panjang dan luas

yang menyangkut perlakuan yang bersifat fisik-mental dan dimaksudkan untuk

memberikan efek pergantian permanen pada konsep-konsep, kesetiaan dan pola

perilaku yang lama dengan yang baru. Dari segi waktu, tingkat keberhasilan

jangka panjang dalam proses pencucian otak relatif kecil. Sebaliknya, indoktrinasi

untuk misi bunuh diri hampir-hampir memang dibatasi untuk jangka pendek.

Maksudnya, orang-orang yang terdoktrinasi tidak diharapkan hidup setelah misi

selesai.207

Terkait indoktrinasi kelompok Islam militan, aksi teror bom bunuh diri

dianggap sebagai bentuk kesyahidan dalam memelihara ajaran Islam.

Faktor kultural dan indoktrinasi ternyata mengikutsertakan kondisi-kondisi

dan lingkungan-lingkungan tempat dilakukannya bunuh diri. Hal ini merupakan

faktor situasi yang dapat mengarahkan orang untuk melakukan teror bom bunuh

diri. Dalam faktor situasi, aspek pengaruh pemirsa mengambil porsi yang cukup

besar dalam menunjukan signifikansi dari aksi yang dilakukan. Sebab teror bom

bunuh diri yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik yang lebih luas bisa

dikatakan sebgai tindakan demonstratif. Pada zaman media elektronik sekarang

ini, persyaratan itu dapat dipenuhi lebih efisien oleh pemberitaan media

dibandingkan terhadap hadirnya para pemirsa pada tempat kejadian.208

Berdasarkan faktor situasi, aksi teror bom bunuh diri dianggap kelompok-

kelompok Islam radikal sebagai komunikasi efektif yang ditujukan untuk

menantang musuh-musuh Islam, seperti AS dan Israel. Selain itu, aksi teror yang

ditampilkan tersebut juga merupakan bentuk pembalasan dendam pada pihak-

pihak yang dinilai lalim. Rangkaian aksi-aksi bom bunuh diri di Indonesia cukup

menggambarkan bagaiamana kalangan Islam militan mengarahkan aksinya

206 Ibid., hal. 256. 207 Ibid., hal. 257. 208 Ibid., hal. 258.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 112: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

100

Universitas Indonesia

kepada simbol-simbol Barat ataupun tempat-tempat yang banyak dihadiri oleh

warga negara asing, seperti yang ditunjukan tabel berikut ini.

Tabel 4. 1 Rangkaian Aksi Bom Bunuh diri di Indonesia yang Diarahkan

pada Simbol-simbol Barat

12 Oktober 2002 Ledakan di Bali dikenal dengan Bom Bali I. Jumlah korban

tewas pada peristiwa ini mencapai 202 jiwa dan 300 orang

korban luka. Sebagian besar korban adalah warga Australia.

5 Desember 2002 Ledakan di restoran McDonald di Makassar menewaskan 3

orang.

27 April 2003 Ledakan di Bandara Soekarno Hatta Jakarta dengan korban

luka 10 orang.

5 Agustus 2003 Bom meledak di luar hotel JW Marriott Jakarta dan

menewaskan 12 orang termasuk seorang WN Belanda, serta

melukai 150 orang

10 Januari 2004 4 Orang tewas akibat ledakan bom di kafe karaoke di Palopo,

Sulawesi.

9 September 2004 Bom berkekuatan tinggi meledak di dekat Kedutaan Besar

Australia di Jakarta dan menewaskan 10 WNI serta melukai

100 lainnya.

28 Mei 2005 2 Bom meledak di Pasar Sentral di Tentena, Poso,

menewaskan 22 orang.

1 Oktober 2005 3 Bom bunuh diri di Bali menewaskan 20 orang termasuk

beberapa wisatawan asing. Bom ini terjadi di R.AJA's Bar

dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di

Nyoman Café Jimbaran. Peristiwa ini dikenal dengan Bom

Bali II.

17 Juli 2009 Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-

Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar

pukul 07.50 WIB.

Sumber: diolah dari berbagai sumber.

Dalam perkembangannya, aksi-aksi teror bom bunuh diri tidak hanya

diarahkan pada simbol-simbol Barat, tapi juga aparat pemerintah yang dianggap

lalim dan bekerja sama dengan Barat. Hal ini menunjukan gejala resistensi

kelompok-kelompok teroris terhadap upaya kontra-terorisme dipertahankan

melalui proses regenerasi. Regenerasi teroris dilakukan dengan perekrutan melalui

beberapa cara berikut:

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 113: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

101

Universitas Indonesia

Pertama, pelarian merupakan proses mencari tempat yang aman untuk

bersembunyi sehingga memaksa para teroris untuk saling berhubungan.

Berdasarkan laporan International Crisis Group, teroris yang melakukan pelarian

biasanya menghidupi diri mereka dengan berjualan keliling untuk memenuhi

biaya hidup sehari-hari.209

Berjualan barang-barang yang relatif murah

mempermudah mereka dari segi modal awal yang tidak banyak, pasar yang sudah

siap, mobilitas tinggi dan tidak menarik perhatian. Mobilitas tinggi merupakan

faktor penting bagi mereka. Sebab mereka bisa terus bergerak dan tetap bisa

berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka di wilayah lain.

Kedua, penjara juga dimanfaatkan kelompok teroris untuk mengubah

formasi organisasi dalam beberapa cara, seperti dengan mengumpulkan napi dari

berbagai kelompok dalam satu tahanan; dengan merekrut penjahat biasa; atau

interaksi rekan dan keluarga selama kunjungan ke penjara. Kunjungan dalam

penjara juga merupakan cara penting untuk berbagi informasi, mempersatukan

jaringan dan membangun kontak-kontak baru. Kunjungan penjara tidak hanya

dapat berfungsi sebagai tempat bertemu, tapi juga bisa berfungsi untuk tujuan

perekrutan. Salah satu kelompok yang paling rentan untuk direkrut oleh kelompok

teroris mungkin adik laki-laki dari para ekstrimis yang ditahan atau tewas.210

Ketiga, pelatihan militer merupakan cara yang umum digunakan kelompok

teroris. Cara ini menyediakan jalan lain bagi anggota berbagai kelompok ekstrimis

untuk dapat berkumpul bersama dan membangun aliansi-aliansi baru. Hubungan

diantara mereka tidak hanya terbangun ketika dalam latihan tapi juga dala m

proses menggalang dana, mencari bahan-bahan yang diperlukan dan merekrut

peserta. Kamp di Aceh adalah contoh paling baik dari ketersediaan sebuah lokasi

latihan militer baru yang besar yang berhasil mengumpulkan anggota-anggota

berbagai kelompok ekstrimis yang tanpanya mungkin tidak akan berkolaborasi.211

Keempat, forum internet merupakan bentuk pemanfaatan kelompok teroris

yang beradaptasi dengan perkembangan media sosial. Dengan semakin

meningkatnya tekanan dari polisi, peran forum internet kini mungkin akan

209 International Crisis Group, “Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru”,

Asia Report N⁰228, Jakarta/Brussel, Juli 2012. 210 Ibid. 211 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 114: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

102

Universitas Indonesia

menjadi lebih penting sebagai media komunikasi, perekrutan, dan pelatihan

ketrampilan. Penggunaan internet bukan hal yang baru, pada tahun 1999, anggota-

anggota baru JI mendapat instruksi lewat internet sebagai bagian pelatihan awal.

Contoh lainnya adalah ceramah Imam Samudra sebelum dihukum mati tentang

pentingnya hacking dan penipuan internet demi kepentingan jihad.212

Kelima, pernikahan. Seperti halnya di masa lalu, pernikahan terus menjadi

salah satu cara untuk memperkuat atau membangun kekuatan organisasi. Prioritas

kelompok-kelompok ekstrimis adalah mencarikan istri yang sesuai buat para

lajang, termasuk yang berada di penjara, serta suami buat para janda anggota

ekstrimis yang tewas. Seperti kebanyakan ekstrimis di seluruh dunia, ekstrimis di

Indonesia juga ingin menghasilkan sebanyak mungkin anak untuk menambah

pengikut dan memperbesar organisasi mereka. Namun pernikahan juga bisa

menjadi jalan untuk membangun aliansi-aliansi lintas wilayah atau lintas

organisasi.

Keenam, pengajian atau taklim khususnya yang dipimpin oleh ustadz-

ustadz radikal, bisa menjadi kendaraan untuk upaya radikalisasi dan perekrutan

kelompok-kelompok teroris. Taklim-taklim ini juga menjadi tempat dimana

aliansi-aliansi baru bisa dibangun dan orang-orang muda bisa didorong dari yang

semula hanya aktif dalam kegiatan-kegiatan anti-maksiat dan anti-murtad

kemudian beralih ke penggunaan kekerasan yang terencana atas nama agama.213

4. 1. 3. Penerapan Hukum Syariah di Tingkat Daerah

Bagi kelompok-kelompok Islam radikal, penerapan hukum syariah

merupakan capaian utama dalam pergerakan mereka. Mereka memandang,

Syariah memuat semua aturan-aturan Tuhan yang bersumber dari Al-Quran dan

Sunnah yang menyediakan arahan dan solusi komprehensif dan universal bagi

seluruh permasalahan yang dihadapi manusia. Karena itu, kelompok-kelompok

radikal Islam menganggap Syariah sebagai solusi bagi situasi krisis ekonomi,

politik, dan sosial yang tengah dihadapi Indonesia. Berdasarkan implementasinya,

Arskal Salim membagi syariah menjadi lima tingkatan. Pertama, sebagai hukum

privat seperti nikah, cerai, wakaf, dan shodaqah. Kedua, aturan masalah ekonomi

212 Ibid. 213 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 115: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

103

Universitas Indonesia

seperti perbankan dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan termasuk arena

publik seperti keharusan memakai jilbab, larangan minum alkohol, judi, dan

praktik kehidupan lain yang tidak sesuai dengan aturan akhlak Islam. Keempat,

pidana seperti hudud. Kelima, sebagai dasar negara.

Secara historis, Syariah bukanlah preferensi bagi dasar negera Indonesia.

Meski demikian, perkembangan politik di Indonesia beberapa waktu belakangan

ini menunjukan formalisasi Syariah berlangsung di tingkat lokal. Gagasan

otonomi daerah telah mendorong sejumlah pemerintahan daerah untuk mengatur

penyelenggaraan urusan daerah yang menjadi kewenangannya dalam suatu

Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa syariah. Berdasarkan pengamatan

Robin Bush, terdapat 78 perda di 52 kabupaten/walikota di Indonesia yang

disinyalir bermuatan syariah.214

Untuk mempermudah spesifikasi perda-perda

yang syarat akan syariah, Arskal Salim mengkategorikan perda-perda tersebut

menjadi tiga, yaitu 1) perda yang berkaitan dengan tatanan publik dan masalah

sosial, seperti pelacuran, konsumsi miras, dan perjudian; 2) Keahlian dan

kewajiban keagamaan, seperti membaca Al-Quran dan zakat; 3) Simbolisme

agama, khususnya yang berkaitan dengan pemakaian busana Muslim.215

Pada dasarnya, kategori pertama merupakan perda yang berkaitan dengan

isu moralitas yang dapat mencerminkan ajaran moral yang ada hampir di seluruh

agama. Dari 78 perda yang diduga bernuansa syariah, hanya 35 atau 45 % yang

tergolong ke dalam kategori moralitas. Perda ini dikenal juga dengan perda anti-

maksiat, seperti perda 21/2000 yang tidak mengizinkan prostisusi di Cianjur;

qanun 13/2003 yang melarang perjudian di Aceh; perda 5/2004 yang melarang

konsumsi miras di Tasikmalaya. Hanya kategori kedua dan ketigalah yang dapat

dikatakan berkaitan langsung dengan ajaran Islam dan mencangkup 55 % dari

total perda-perda yang diduga bernuansa syariah. Perda jenis ini dapat ditemukan

di Banjar, Jawa Barat, yang mengharuskan petugas pelayanan publik untuk

214 Robin Bush, “Regional Syariah Regulation in Indonesia: Anomaly or Sympton?”, dalam Greg

Fealy dan Sally White eds., Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia,

(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), hal. 175. 215 Arskal Salim, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratisation” dalam R. McLeod and A.

MacIntyre (Eds), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, (Singapore:

ISEAS, 2007), hal 126.

.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 116: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

104

Universitas Indonesia

menggunakan jilbab atau baju koko setiap hari Jumat. Perda serupa juga terdapat

di Enrengkang dan Bulukumba.216

45%

55%

Berkaitan dengan Moralitas Berkaitan denga Sharia

Sumber: Robin Bush (2008)

Gambar 4. 2 Kategorisasi Perda-perda Bernuansa Syariah di Indonesia

Kemunculan perda-perda yang syarat akan nilai-nilai syariah ini sepertinya

lebih dari sekedar pengaruh ideologis kelompok-kelompok Islam konservatif-

radikal. Terdapat empat faktor yang memainkan peran penting dalam kemunculan

perda bernuansa syariah, yaitu peran sejarah dan budaya lokal, korupsi dan

kebutuhan untuk mencegahnya, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), dan

kurangnya kapasitas teknis pemerintah daerah.217

Sejarah dan budaya lokal berperan dalam memperkuat kesadaran identitas

kedaerahan dan keagamaan dalam kerangka otonomi daerah. Umumnya,

pemerintah daerah yang mengeluarkan perda syariah kebanyakan berada di area

yang memiliki afiliasi sejarah dengan gerakan DI. Sebagai kelompok

pemberontak di awal kemerdekaan Indonesia, pergerekan DI mencangkup Aceh,

Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Gerakan mereka kemudian disatukan oleh rasa

ketidakpuasan terhadap kepemimpinan nasional dan keinginan untuk mendirikan

216 Ibid., hal. 176. 217 Ibid., hal. 181.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 117: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

105

Universitas Indonesia

negara Islam.218

Meski pergerakan kelompok ini mengalami kegagalan, mereka

berhasil melakukan ideologisasi pada lingkup sosio-politik lokal yang

menumbuhkan rasa kedaerahan dan berstimulus pada penerbitan perda-perda

syariah. Gambar berikut ini akan menunjukkan afiliasi historis dengan lokasi

mana saja yang memunculkan perda-perda syariah.

Sumber: Robin Bush (2008)

Gambar 4. 3 Pemetaan Wilayah Kemunculan Perda-perda Syariah

Berdasarkan Afiliasi Historis Gerakan DI

Tingginya tingkat korupsi di Indonesia juga menjadi faktor yang

mendorong pemerintah daerah yang dipimpin oleh kalangan Islam konservatif

untuk menerapakan syariah di wilayahnya. Bagi mereka, syariah dianggap sebagai

solusi efektif dalam menekan tingkat korupsi dan ketidakefektifan sistem di

pemerintahan. Beberapa daerah lantas mengeluarkan perda syariah yang mengatur

aparatur pemerintahan, seperti surat edaran yang mengharuskan setiap aparatur

pemerintah daerah untuk membaca doa terlebih dahulu sebelum melakukan

aktivitas; perda yang mensyaratkan hafalan al-Quran bagi seluruh aparatur

pemerintah daerah; surat rekomendasi agar seluruh aparatur pemerintah daerah

melaksanakan puasa senin-kamis.

218 Ibid., hal. 182.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 118: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

106

Universitas Indonesia

Faktor lain yang memicu munculnya perda-perda syariah adalah kondisi

politik lokal yang tengah melangsungkan pemilukada. Pasalnya, perda syariah

sering kali digunakan alat politik untuk memperkuat dukungan konstituen dari

pemimpin yang sedang memangku jabatan dalam pemilu berikutnya. Sedangkan

faktor terakhir adalah minimnya kapasitas pemerintah daerah baik dalam

pembacaan hukum maupun teknis. Pembuatan perda syariah kemungkinan besar

hanya dimanfaatkan untuk simplifikasi semata, tanpa diimbangi kemampuan

teknis dan pemahaman akan syariah itu sendiri. Penerapan perda syariah di

Sulawesi Selatan merupakan satu contoh yang cukup menjelaskan bagaimana

persoalan pemahaman umat Islam tentang syariah yang masih kabur menuntut

sosisalisai dari pemerintah daerah.219

Keberadaan perda kian problematis ketika mengarah pada intoleransi dan

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terkait intoleransi, perda syariah

dianggap bertentangan dengan pluralitas agama di Indonesia karena meniadakan

keberadaan agama-agama selain Islam. Hal ini kemungkinan besar akan

mengganggu dan merugikan aktivitas komunitas non-Muslim yang secara tradisi

keagamaan berbeda dari Islam. Pada gilirannya, sentimen agama sulit untuk

dihindari sehingga dapat melahirkan konflik-konflik sosial.

Contoh nyata dari perda yang berpotensi menumbuhkan intoleransi antara

lain perda yang mengatur waktu penyelenggaraan industri pariwisata, tempat

hiburan, dan pembukaan rumah makan sepanjang bulan Ramadhan.

Konsekuensinya, tempat-tempat tersebut harus ditutup pada jam-jam tertentu dan

merugikan pemiliknya.220

Perda ini kemudian memicu aksi sweeping atas rumah

makan yang beroperasi pada siang hari di sejumlah wilayah seperti Pasuruan,

Solok Banjarmasin, Cilegon, Banten, dan Bandung. Sweeping yang dilakukan

polisi pamong praja dan kelompok Islam radikal ini kerap berujung pada ancaman

pencabutan izin usaha hingga aksi pengrusakan yang mengakibatkan kerugian

ganda bagi pemiliknya.

219

Siti Musdah Mulia, “Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan: Ada Apa dengan Demokrasi

di Indonesia”, dalam Sediono Tjondronegoro (ed.), Membangun Negara dan Mengembangkan

Demokrasi, (Yogyakarta: Aditya Media, 2007), hal. 16. 220 Victor Silaen, “Tinjauan Kritis Atas Perda-perda Bermasalah”, Sociae Polites, Vol. 6/25

(2007), hal. 19.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 119: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

107

Universitas Indonesia

Sedangkan perda syariah yang berpotensi melanggar HAM, khususnya

perempuan, seperti perlarangan perempuan keluar di malam hari. Menurut

Musdah Mulia, perda ini dapat mengganggu ekonomi rumah tangga dari

perempuan yang bekerja.221

Penerapan perda syariah di Tangerang tentang anti

pelacuran juga menuai kritik. Terkait pasal-pasal yang bersifat karet seperti siapa

pun yang dicurigai sebagai pelacur dapat ditangkap, sehingga berakibat

banyaknya kasus salah tangkap.

4. 1. 4. Pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Selain disuasanakan perda syariah, intoleransi ternyata juga bisa

distimulus oleh institusi negara seperti MUI. Pada awalnya, pembentukan MUI

ditujukan untuk membangun toleransi dialogis antar agama. Hal ini sesui dengan

agenda menteri agama semasa Orba, Abdul Mukti Ali, yang ingin membangun

semangat pluralisme. Ia percaya bahwa dialog agama haruslah dimulai dari

pemimpin agama. Untuk itu, pemerintah Orba menginstitusikan agama-agama

resmi di Indonesia sebagai perwakilan pada tahun 1972. Institusi-institusi tersebut

antara lain MUI, Persatuan Wali Gereja Indonesia (PWGI), Dewan Gereja

Indonesia (DGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Parisada

Hindu Dharma Indonesia (PHDI).222

Pada perkembangannya, MUI menunjukan gejala yang lebih konservatif.

Dalam hal ini, ilustrasi dari Piers Gillespie cukup menjelaskan bagaiamana latar

belakang sosio-politik membentuk sikap konservatif MUI. Gillespie

mengungkapkan, dominasi Muslim neo-modernis selama diskursus Islam

sepanjang pemerintahan Orba merupakan faktor yang membuat MUI mengambil

posisi konservatif.223

Posisi ini didukung oleh otonomi lebih yang dimiliki MUI

ketika terjadi perubahan relasi antara negara dan MUI sendiri. Dampaknya, MUI

merasa lebih berkewajiban untuk mengakomodasi permintaan kelompok-

kelompok Muslim.

221 222

Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia,

(Jakarta: Freedom Institute, 2011), hal. 156. 223 Piers Gillespie, “Current Issues in Indonesian Islam: Analyzing the 2005 Council of Indonesian

Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and Secularism”, Journal of Islamic Studies,

Vol. 2/18 (2007), hal 71.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 120: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

108

Universitas Indonesia

Namun, sikap akomodatif MUI tampaknya kurang diimbangi dengan

kemampuannya untuk reseptif terhadap perubahan sosio-politik dalam rangka

memenuhi kebutuhan komunitas Muslim di tengah dinamika modernitas.

Karenannya, kecenderungan koservatisme semakin memenuhi cara pandang MUI

dalam merespon realitas sosial yang ada. Hal ini secara otomatis berdampak pada

fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Perlu diketahui, Fatwa MUI memiliki porsi

penting bagi Islam di Indonesia karena berpengaruh pada perkembagan sosial dan

politik secara nasional. Sebab, fatwa dikeluarkan sebagai respon terhadap isu

kontroversial dan isu tidak terpecahkan yang terbangun di tengah masyarakat.224

Meski demikian, tidak jarang pula fatwa MUI justru menimbulkan

kontroversi dan perdebatan. Dari 11 fatwa yang dikeluarkan MUI pada 28 Juli

2005, beberapa di antaranya dianggap cukup krontroversial dan menciptakan

perselisihan dalam komunitas Muslim. Salah satunya adalah fatwa yang memuat

larangan bagi umat Muslim untuk mengadopsi paham pluralisme di Indonesia.

Dalam pemahaman MUI, pluralisme adalah konsep yang menunjukkan bahwa

semua agama adalah sama. Karena itu, MUI percaya bahwa pluralisme tidak

kompatibel dengan ajaran Islam dan akan mengganggu keimanan Muslim.225

Pengeluaran fatwa ini bertolak belakangan dengan pluralitas agama di Indonesia

yang menurut Komaruddin Hidayat membutuhkan toleransi dan inklusifitas.226

Fatwa kontroversial lainnya adalah tentang pelarangan aliran Ahmadiyah.

Pelarangan tersebut tidak lepas dari pandangan MUI yang menganggap

Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Wacana penyesatan agama yang ditanggapi

pemerintah melalui solusi pembatasan atau pelarangan yang diikuti dengan

pembinaan ternyata menuai kekhawatiran ketika diterapkan ke kelompok-

kelompok lain secara lebih masif. Pasalnya, terdapat ketidakjelasan dalam

pengakategorian penyesatan yang telah merembet ke kelompok-kelompok Islam

224 Pradana Boy ZTF, “the Function of Fatwa in Contemporary Muslim Societies: and Indonesian

Experience”, Jurnal Salam, Vol. 15/1 (Juni 2012), hal 4. 225 M. Hilaly Basya, “the Concept of Religious Pluralism in Indonesia: a Study of the MUI’s

Fatwa and the Debate among Muslim Scholars”, Indonesian Journal of Islam and Muslim

Societies (IJIMS), Vol. 1/1 (Juni 2011), hal. 79. 226 Komarudin Hidayat, Agama di Tengah Kemelut, (Jakarta: Media Cita, 2001).

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 121: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

109

Universitas Indonesia

lain yang dianggap telah keluar dari mainstream Sunni, seperti Syi’ah dan

Baha’iyyah.227

Secara garis besar, MUI sebagai sebuah institusi dianggap sebagai simbol

keagamaan yang berimplikasi baik pada komunitas Muslim maupun non-Muslim.

Karena itu, fatwa MUI dapat dilihat sebagai instrumen legal-religius yang dapat

memainkan peran dalam perubahan sosial dan instrumen ideologis.228

Peran

perubahan sosial ini dapat dilihat pada tendensi MUI dalam fatwa pelarangan

pluralisme yang merupakan upaya untuk melindungi hukum Islam dari berbagai

ancaman modernisasi. Lebih lanjut, hal ini dapat dilihat sebagai penolakan MUI

terhadap perubahan sosial, khususnya ide-ide baru di tengah komunitas Muslim

Indonesia.

Di sisi lain, fatwa tersebut juga memicu perubahan sosial dalam bentuk

lain. Gambaran toleransi yang telah lama terbentuk dari keharmonisan hubungan

antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda di Indonesia berubah seketika

fatwa tersebut dikeluarkan. Perasaan permusuhan tumbuh di sejumlah kelompok

Muslim yang pada gilirannya akan memicu aksi-aksi agresif. Pada kondisi

demikian, fatwa MUI berperan dalam memperkuat orientasi ideologis terhadap

pihak yang berbeda atau non-Muslim. Bagaimanapun, ideologi berhubungan

dengan keinginan untuk memelihara identitas kelompok. Masalah berlanjut ketika

kebutuhan untuk memelihara identitas ini tidak hanya dilakukan melalui metode

persuasi, tapi juga agresi. Dalam konteks ini agresi tidak selalu diasosiasikan

dengan kekerasan fisik, tapi dapat pula berupa agresi simbolik.229

Sebagai instrumen idelogis, fatwa sering kali dijadikan justifikasi oleh

kelompok konservatif radikal sebagai pembenaran agama untuk melakukan tindak

kekerasan. Fatwa pelarangan pluralisme misalnya, meski MUI tidak berniat

mendorong orang untuk melakukan penyerangan pada pihak-pihak yang

mempromosikan pluralisme, kekerasan nyatanya terjadi pada para aktivis

pendukung pluralisme. Beberapa bulan setelah fatwa tersebut dikeluarkan,

227 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Laporan Tahunan Kehidupan

Beragama di Indonesia 2011, Yogyakarta, 2011. 228 Pradana Boy ZTF, Op. Cit., hal. 6. 229 Ibid., hal. 9.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 122: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

110

Universitas Indonesia

kelompok Front Pembela Islam (FPI) berusaha menyerang kantor JIL dan

menjustifikasi kekerasan kepada para aktivis pluralisme.230

Tindak kekerasan juga menjadi opsi ketika fatwa tentang penyesetan

agama dikeluarkan. Pada umumnya, kelompok yang dituduh sesat selalu

merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat dengan pandangan keagamaan

yang umum (mainstream).231

Konsekuensi dari posisi minoritas tersebut

menjadikan mereka rentan akan tindak-tindak kekerasan. Paling tidak, terdapat

dua bentuk kekerasan yang dialami para pengikut minoritas seperti Ahmadiyah,

yaitu intimidasi dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat

tertentu atas nama penegakan keputusan-keputusan pelarangan aktivitas

Ahmadiyah.232

Pada dasarnya, Kekerasan yang dipicu oleh legitimasi fatwa tidaklah lepas

dari ketidaktahuan Muslim akan posisi fatwa dalam konteks hukum Islam.

Menurut M. Syafi’i Anwar, Meski fatwa dikeluarkan oleh kalangan ulama dan

secara agama mungkin dibenarkan, posisinya hanya sebatas opini hukum dan

tidak mengikat secara hukum.233

Karena itu, sebuah fatwa dapat diterima ataupun

ditolak, tergantung bagaimana Muslim menginterpretasikannya. Sehingga wajar,

jika kebanyakan kelompok konservatif radikal lebih menginterpretasikan fatwa

MUI untuk kepentingan kapitalisasi politis mereka.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan

MUI ternyata tidak selalu sejalan dengan pencitraan identitas Islam moderat yang

menghormati pluralisme beragama. Padahal pencitraan tersebut merupakan

praktik dari kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh Deplu RI. Meski sama-

sama menjadi bagian dari pemerintah, MUI dan Deplu RI sepertinya kurang

berkoordinasi satu sama lain sehingga terkesan bergerak secara sendiri-sendiri.

Kurangnya koordinasi antara MUI dan Deplu RI sepertinya memperlemah

pencitraan Islam moderat itu sendiri.

230 M. Hilaly Basya, Op. Cit., hal. 80. 231 Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di

Indonesia 2009, Yogyakarta, 2009. 232 Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di

Indonesia 2009, Yogyakarta, 2011. 233 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar

Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 123: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

111

Universitas Indonesia

4. 1. 5. Intoleransi dan Dilema Pencitraan di Tingkat Internasional

Intoleransi mengisyaratkan ketidakmampuan menghadapi perbedaan dan

ketidakmampuan hidup bersama di tengah pluralitas. Kasus-kasus intoleransi atas

dasar agama atau keyakinan dan pelanggaran kebebasan agama di Indonesia dapat

berupa penyesatan aliran keagamaan tertentu, pemaksaan keyakinan, intimidasi,

diskriminasi, ancaman kekerasan, pembatasan ibadah dan rumah ibadah,

penyerangan dan pengrusakan rumah ibadah, dan lain sebagainya. Fenomena

tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Grafik 4. 2 Intoleransi Atas Dasar Agama Atau Keyakinan dan

Pelanggaran Kebebasan Agama

105 103

151

195

0

50

100

150

200

250

2008 2009 2010 2011

intoleransi atas dasar agama atau keyakinan dan pelanggaran kebebasan

agama

Sumber: the Wahid Institute (2008-2011)

Dari grafik 4. 2 memperlihatkan bahwa gejala intoleransi sepertinya

menunjukan pola yang meningkat. Peningkatan ini menggugah tanya akan peran

mediasi internal, khususnya pemerintah sebagai penyelenggara tertinggi urusan

negara. Berdasarkan laporan Center for Religious and Cross-cultural Studies

(CRCS), pemerintah-pemerintah daerah semakin berani mengambil posisi lebih

keras, bahkan berseberangan dari pemerintah pusat dalam isu-isu intoleransi.234

Sementara di tingkat nasional ada kehati-hatian yang sangat tinggi untuk

memutuskan kebijakan baru. Akibatnya, pemerintah tampak seperti

mempertahankan status quo di daerah inisiatif-inisiatif baru yang melampaui

234 CRCS, Loc. Cit., 2011, hal. 26.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 124: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

112

Universitas Indonesia

kebijakan tingkat nasional yang tak jarang merugikan dan mendiskriminasi

kelompok-kelompok tertentu.235

Indonesia tidak dapat mengabaikan fenomena intoleransi di ranah

domestik ketika tengah mencitrakan diri dalam kemoderatan Islam. Sebab,

pencitraan ini ditujukan untuk untuk mengambil peranan lebih di tatanan

internasional. Perlu diingat kembali bahwa promosi Islam moderat dalam

pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia bukan hanya ingin mengesankan

bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan bersamaan. Promosi tersebut juga

merupakan bentuk partisipasi Indonesia dalam perang terhadap terorisme yang

lahir dari gerakan Islam radikal.

Namun, pencitraan Islam moderat tampaknya tereduksi oleh publikasi

media massa atas aksi-aksi intoleransi yang distimulasi oleh gerakan Islam

radikal, teror bom bunuh diri, penerapan perda syariah yang mengabaikan HAM,

dan pengaruh konservatif MUI. Terlebih lagi, frekuensi pemberitaan seluruh

aspek yang mengarah pada intoleransi ini memiliki intensitas yang cukup tinggi.

Dampaknya, perhatian publik internasional terfokus pada fenomena intoleransi

sehingga memudarkan kenyataan dan kesadaran akan kemoderaran Islam

Indonesia yang disebut Newsweek sebagai Islam with smiling face.

Seiring harapan Barat akan kehadiran kemoderatan Islam Indonesia,

muncul pula keragu-raguan manakala upaya pematangan demokrasi malah

menyeret Indonesia ke dalam fenomena intoleransi beragama dari kelompok

mayoritas. Berdasarkan laporan US Commission on International Religious

Freedom (USCIRF), Indonesia ditempatkan dalam daftar Watch List karena

tradisi keagamaan di Indonesia yang masih dipenuhi dengan ketegangan antara

toleransi dan pluralisme.236

Ketegangan ini membuat kelompok agama minoritas

terus mengalami intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan sosial. Diakui juga oleh

USCIRF bahwa pemerintah menjadi salah satu penyebab dari ketegangan

tersebut, termasuk polisi dan pejabat provinsi, kadang-kadang membiarkan

kegiatan kelompok-kelompok ekstremis, hukum nasional, dan regulasi di tingkat

daerah telah membatasi kebebasan beragama.

235 Ibid. 236 US Commission on International Religious Freedom (USCIRF), Annual Report 2012,

Washington DC, Maret 2012.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 125: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

113

Universitas Indonesia

Bagaimanapun juga, demokrasi telah menjadi standar umum negara-

negara maju Barat dalam membangun suatu relasi. Menurut Barat, demokrasi

sejatinya menempatkan prinsip Majority's rule, minority's rights di mana

demokrasi menjamin kehendak rakyat melalui aturan mayoritas dengan tetap

melindungi hak-hak minoritas. Wajah demokrasi Indonesia yang menampilkan

intoleransi dan konflik agama melalui peliputan media tidaklah menunjukan

prinsip-prinsip tersebut. Akibatnya, segala bentuk intoleransi beragama di

Indonesia memperlihatkan paradoks demokrasi dalam proses konsolidasi

demokrasi itu sendiri.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pencitraan identitas Islam moderat

Indonesia dalam rangka pengambilan peran model yang sinergis dengan Islam di

Timur Tengah adalah peran dan posisi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sejauh

ini, posisi Indonesia dalam OKI dapat dikatakan cukup marjinal. Hal ini tidak

lepas dari pengabaian Indonesia terhadap peran OKI. Partisipasi Indonesia pun

relatif kurang maksimal. Pada tahun-tahun pertama keanggotaannya, Indonesia

menolak untuk menandatangani piagam pertama OKI yang dicetuskan pada 1972.

Sikap menahan diri untuk menjadi anggota resmi OKI lebih dikarenakan bentuk

negara Indonesia yang bukan Islam dan berdasarkan UUD 1945. Dalam kebijakan

luar negeri sekali pun Indonesia tidak mendasarkannya pada nilai-nilai Islam,

tetapi lebih menggambarkannya dalam pola bebas-aktif.

Partisipasi aktif Indonesia dalam forum OKI baru nampak di awal tahun

90-an. Hal ini ditandai dengan kehadiran kali pertama Presiden Soeharto pada

KTT OKI ke-6 pata tahun 1991. Kehadiran Soeharto merupakan langkah awal

perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.

Walaupun partisipasi ini masih tidak seaktif keanggotaan Indonesia di forum-

forum multilateral lainnya.237

Reorientasi peran Indonesia dalam OKI tidak hanya untuk berperan aktif

dalam membantu menciptakan stabilitas di kawasan Timur Tengah, tetapi juga

untuk mencapai kepentingan Indonesia di dunia Internasional. OKI merupakan

satu-satunya pintu masuk bagi Indonesia untuk ikut terlibat dalam upaya

237 Pandu Utama Manggala, Menyoal Proyeksi Identitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam

Gelombang Perubahan di Timur Tengah: sebuah telaah konstruktivis dalam Jurnal Diplomasi Vol.

3, No.2, 2011, h. 116.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 126: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

114

Universitas Indonesia

penyelesaian konflik di kawasan Timur Tengah. Sebab, Indonesia tidak bisa

bersuara di forum regional lainnya di kawasan tersebut seperti Gulf Cooperation

Council, Liga Arab, ataupun Uni Afrika karena alasan keanggotaan.238

Kendala lain dalam pengambilan peran model Islam moderat di Timur

Tengah adalah kecenderungan dunia Arab yang merendahkan kredensi Islam di

Indonesia. Menurut Martin Van Bruinessen, otoritas keagamaan antara Indonesia

dan dunia Islam didefinisikan oleh hubungan yang tidak setara.239

Bahkan,

Indonesia hampir selalu berada pada penerimaan akhir dari hubungan tersebut.

Bruinessen menambahkan, Muslim Indonesia telah mengembangkan berbagai

macam ekspresi unik dari Islam, tetapi mereka tidak menunjukkan semangat

untuk menyebarkannya ke bagian lain dari dunia Muslim.

4. 2. Aspek yang Memperkuat Pencitraan Identitas Islam Moderat

Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencitrakan identitas Islam

moderat memang beragam dan tidak sedikit. Akan tetapi, hal ini bukanlah tanpa

aspek-aspek yang memperkuat. Untuk itu, bagian ini terdiri dari dua bahasan.

Pertama, penolakkan terhadap penerapan perda syariah. Kedua, menurunnya

dukungan komunitas Muslim terhadap partai politik (parpol) Islam dalam pemilu.

4. 2. 1. Penolakan Hukum Syariah

Meski kelompok Islam radikal menuntut penerapan syariah, agenda ini

ternyata hanya menyisakan sedikit prospek di masa depan. Hal ini karena

sebagaian besar komunitas Muslim Indonesia lebih realistis dalam memecahkan

masalah mereka sehingga mengabaikan syariah. Bagi mereka, syariah tidak akan

mampu mengatasi krisis multi dimensi di Indonesia. Buktinya, klaim-klaim

pemerintah daerah tentang penurunan dramatis dalam kejahatan sejak perda

diberlakukan perlu dicermati lebih lanjut. Sebut saja kabupaten Bulukumba,

meski perda syariah telah dikeluarkan sejak tahun 2003,240

pada tahun 2005 masih

238 Pandu Utama Manggala, h.116-117 239

Martin Van Bruinessen, “Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam”

dalam Anthony Reid (ed.), Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third Giant, (Singapore:

ISEAS Publishing, 2012), hal. 123. 240 Noorhaidi Hasan, Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in Post-Soeharto

Indonesia, (Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2007), hal. 12-13.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 127: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

115

Universitas Indonesia

terdapat hampir 200 kasus anak-anak kurang gizi; guru bekerja selama hampir 6

bulan tanpa gaji; dan penerangan jalan di kota yang padam karena pemerintah

kota tidak bisa membayar tagihan listrik.241

Selain itu, sebagian besar komunitas Muslim Indonesia menyadari

kejahatan justru menjelma dalam aksi-aksi anarkis yang mengatasnamakan agama

yang tidak berakar dalam tradisi dan kondisi yang ada di Indonesia. Akibatnya,

tuntutan untuk pelaksanaan syariah dan pembenaran atas penggunaan kekerasan

dianggap kontraproduktif bagi masa depan Indonesia sebagai masyarakat plural.

Menurut M.C. Ricklefs, gerakan-gerakan Islam radikal tidak memiliki prospek

memenangkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebaliknya, semangat Islam

moderat, toleran, liberal, dan pluralis sangat dilembagakan di Indonesia.

Penolakan terhadap penerapan perda syariah telah banyak dilayangkan

baik oleh legislator, akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Pada tahun 2006,

puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meyampaikan petisi yang

mendesak pemerintah agar memperhatikan perda-perda bernuansa Islam yang

dianggap meresahkan dan berpotensi menyulut konflik. Meski tidak memperoleh

hasil yang positif, petisi tersebut cukup memperlihatkan bahwa tidak sedikit

jajaran legislatif Indonesia yang menolak kehadiran perda-perda syariah. Masih

senada dengan pendapat tersebut, praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution

mengemukakan, keberadaan perda syariah yang diterapkan di sejumlah daerah

melanggar konstitusi. Karenanya, gagasan syariah tidak boleh dimasukan salam

undang-undang negara.

Penolakan juga ditunjukan oleh dua organisasi Islam terbesar di tanah air,

Muhammadiyah dan NU. Keduanya telah memperingatkan publik tentang

implikasi dari penerapan syariah bagi demokratisasi. Syafi'i Maarif, mantan ketua

Muhammadiyah dan intelektual Muslim terkemuka, mengingatkan komunitas

Muslim akan keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui perda

syariah dapat melemahkan pilar integrasi sosial dan nasional. Ia menambahkan,

perjuangan untuk membasmi imoralitas seharusnya menjadi perjuangan semua

kelompok yang dapat dilakukan di bawah payung Pancasila, khususnya sila

pertama. Sependapat dengan itu, Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah

241 Robin Bush, Op. Cit., hal. 185.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 128: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

116

Universitas Indonesia

menentang penerapan syariah dan penyamaannya dengan hukum pidana. Sebab,

syariah merupakan jalan yang berkaitan dengan nilai-nilai etika dan moral, bukan

untuk menentukan apa yang kriminal atau hukuman apa yang berlaku.

Sementara itu, NU juga telah mengambil sikap oposisi bagi formalisasi

syariah di tingkat daerah. Dalam konferensi ulama NU di Surabaya pada 2006,

Sahal Mahfudz, kepala badan legislatif NU mengatakan bahwa NU harus

menegaskan kembali komitmennya untuk tradisi sekuler di Indonesia sebagai cara

untuk menindas gerakan-gerakan yang akan menggunakan syariah sebagai dasar

untuk penyusunan undang-undang. Ia menambahkan, NU menjunjung tinggi

pluralisme sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan akan terus berada

di garis depan dalam kampanye untuk pelestarian nilai-nilai lokal.242

Ketua NU

Hasyim Muzadi menunjukkan kekhawatirannya akan penerapan syariah secara

tekstual.243

Kecenderungan lain yang perlu diperhatikan adalah terjadi penurunan

signifikan penerapan perda syariah di Indonesia sejak tahun 2006, seperti tampak

pada grafik berikut.

Grafik 4. 4 Kecondongan Penurunan Perda Syariah di Indonesia (1999-2007)

Sumber: Robin Bush (2008)

242 “NU States Opposition to Shari’a Based Bylaws,” The Jakarta Post, 29 July 2006. 243 “NU Menolak Perda Syari’ah,” Koran Tempo, 29 July 2006

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 129: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

117

Universitas Indonesia

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robin Bush menunjukkan, terdapat

23 perda syariah yang dikeluarkan pada tahun 2003, 15 perda pada tahun 2004,

hanya lima perda pada tahun 2006, dan tidak ada perda yang dikeluarkan pada

tahun 2007.244

4. 2. 2. Kemunduran Parpol Islam dalam Pemilu

Seiring menurunnya isu syariah, elektabilitas sejumlah partai Islam turut

menunjukan gejala yang serupa. Penurunan elektabilitas parpol Islam di Indonesia

pada dasarnya terkait dengan kampanye syariah yang nyatanya tidak mendapat

respon positif pada tahun 2004 dan 2009. Beberapa parpol yang elektabilitasnya

menurun secara signifikan antara lain PPP dan PBB. Dalam pemilu tahun 2004,

PPP hanya memperoleh 8,2% dan PBB 2,6% dari total suara nasional. Namun,

satu-satunya parpol Islam yang mampu meningkatkan suaranya adalah Partai

Keadilan dan Sejahtera (PKS) yang memperoleh 7,2%.245

Banyak pengamat tidak

hanya terkejut dengan kinerja PKS, tetapi juga khawatir tentang agenda politiknya

mengenai penerapan syariah.

Perlu diingat bahwa peningkatan PKS pada Pemilu 2004 tidak terkait

dengan kampanye syariah. Mereka lebih menyuarakan tentang pemerintahan yang

bersih dengan mempromosikan anti-korupsi, tata pemerintahan yang baik dan

perlunya kepedulian terhadap sesama. Selama periode kedua pemilihan presiden

pada Juli 2004, tidak ada isu tunggal yang dikampanyekan PKS berkaitan dengan

syariah. Kampanye mereka sebagian besar mengenai pemulihan perekonomian,

menjaga stabilitas politik, dan penegakan supremasi hukum.

Sementara pada pemilu legislatif 2009, parpol-parpol Islam tidak

mendapat dukungan signifikan dari mayoritas rakyat Indonesia. Secara nasional,

preferensi konstituen secara nasional lebih mendukung parpol-parpol sekuler-

nasionalis seperti Partai Demokrat (PD), Golongan Karya (Golkar), Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan lain-lain. Satu-satunya parpol

Islam yang beruntung pada pemilu ini adalah PKS yang memperoleh sekitar 9%

pada tahun 2009.246

244 Robin Bush, Op. Cit., hal. 177-178. 245 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010. 246 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 130: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

118

Universitas Indonesia

Penurunan elektabilitas parpol Islam dapat ditelusuri dari orientasi nilai

politik komunitas Muslim di tanah air. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan

Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2007, 57% komunitas Muslim Indonesia

umumnya berorientasi terhadap nilai-nilai politik sekuler. Hanya 33% dari

komunitas Muslim menaruh orientasi pada nilai-nilai politik Islam.247

Perbandingan kedua orientasi umum dalam komunitas Muslim tersebut dapat

dilihat pada grafik berikut ini.

Grafik 4. 5 Orientasi Nilai Politik Komunitas Muslim Indonesia

33

57

10

0

10

20

30

40

50

60

Persentase (%)

Islami Sekuler Tidak Tahu

Sumber: LSI (2007)

Dalam hal ini, pengukuran keterdukungan nilai-nilai politik Islami

dilakukan dengan membandingkan dengan nilai-nilai politik sekuler yang

ditujukkan dengan ketidaksetujuan. Beberapa nilai-nilai yang diukur LSI antara

lain pengawasan atas pemakaian jilbab bagi perempuan dewasa di ruang publik;

penerapan hukum potong tangan bagi pencuri; pelarangan perempuan untuk

menjadi presiden, pengawasan atas hubungan muhrim dan tidaknya bagi laki-laki

dan perempuan yang berduaan di muka umum; hukum rajam bagi yang berzinah;

pelarangan bunga bank karena haram; dan pemilu untuk memilih wakil-wakil

rakyat yang memperjuangkan ajaran Islam.248

247 Lembaga Survei Indonesia (LSI), Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai

Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta, Oktober 2007. 248 Ibid.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 131: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

119

Universitas Indonesia

Grafik 4. 6 Pandangan Muslim Indonesia Terhadap Nilai-nilai Politik Islam

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pengawasan Jilbab

Rajam

Pelarangan Presiden Perempuan

Pengawasan Muhrim

Pelarangan Bunga Bank

Hukum Potong Tangan

Pemilu untuk Ajaran Islam

Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu

Sumber: LSI (2007)

Secara komprehensif, hal ini menunjukan nilai-nilai Islami itu belum

mampu diterjemahkan ke dalam kekuatan gerakan sosial dan organisasi politik.

Setidaknya penurunan elektabilitas parpol Islam dapat disebabkan oleh empat

faktor. Pertama, makin kentalnya fenomena Islam Yes, Partai Islam No atau

mayoritas komunita Muslim Indonesia tidak ingin partai dengan aroma Islam

menjadi mayoritas. Kedua, pendanaan parpol nasionalis lebih kuat daripada

pendanaan parpol Islam. Ketiga, banyaknya tokoh-tokoh Islam yang diakomodasi

oleh parpol-parpol nasionalis baik ke dalam struktur partai maupun dalam

rekruitmen anggota parlemen. Keempat, munculnya anarkisme yang

mengatasnamakan Islam oleh kelompok tertentu dinilai berdampak pada

munculnya kecemasan kolektif masyarakat pada umumnya.249

249 “LSI: elektabilitas parpol Islam menurun” http://www.antaranews.com/berita/338574/lsi-

elektabilitas-parpol-islam-menurun diakses pada Kamis, 22 November 2012, pukul 10.14 wib.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 132: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

120

Universitas Indonesia

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 133: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

121

Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN

Bab ini tidak hanya ditujukan untuk mengulas hasil dari analisa identitas

Muslim moderat yang dipraktikan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya,

tetapi juga untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian. Berdasarkan analisa

tersebut penelitian ini akan memberikan sejumlah rekomendasi atas pokok-pokok

permasalahan yang dihadapi Indonesia jika pencitraan identitas Islam moderat

masih terus dipraktikan.

5. 1 Temuan Penelitian

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan luar negeri Indonesia

tampak menunjukan praktik di luar kebiasaan. Indonesia yang sejak

kemerdekaannya tidak pernah merefleksikan identitas keIslaman dari mayoritas

penduduknya kini justru mulai berani menyuarakan identitas Islam dalam nuansa

yang lebih spesifik, moderat. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa

kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, karya ilmiah ini menggunakan

konsep identitas yang umumnya dipresentasikan setiap negara. Melalui identitas,

negara tampil sebagai entitas yang berbeda dari yang lain di tengah pergaulan

internasional. Identitas negara umumnya berasal dari sumber daya immaterial

yang tumbuh di dalam negeri. Bagi Indonesia, Islam merupakan sumber

immaterial yang tak dapat dinafikan dari realitas sosio-kultural dan politiknya.

Keragaman budaya, etnis, dan agama turut menjadi modal pembetuk pluralisme

bangsanya sehingga berkontribusi pada perkembangan demokrasi di Indonesia.

Untuk memahami proyeksi identitas yang diusung Indonesia di tingkat

internasional, pengkajian dilakukan dengan memanfaatkan teori peran dalam

kebijakan luar negeri. Peran sendiri merupakan salah satu karakter dari identitas

yang menuntut pembedaan dalam dinamika sistem sosial internasional.

Karenanya, pengambilan peran yang hendak dicapai kebijakan luar negeri sangat

dipengaruhi situasi internasional yang diimbangi perhatian pada situasi dan

kebutuhan nasional.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 134: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

122

Universitas Indonesia

Pembuat kebijakan atau pemerintah merupakan pemegang kunci dalam

menentukan peran apa yang hendak dicapai kebijakan luar negeri. Namun,

pemerintah bukan satu-satunya aktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan

kebijakan luar negeri. Setelah reformasi di Indonesia pada 1998, kebijakan luar

negeri tidak lagi menjadi monopoli pemerintah semata. Dalam prosesnya,

kebijakan luar negeri Indonesia juga dipengaruhi oleh aktor-aktor non-

pemerintah. Kondisi demikian turut berlaku dalam pencitraan identitas Islam

moderat Indonesia. Indonesia tidak memiliki portofolio pencitraan Islam pada

masa pemerintahan sebelumnya, baik di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Walaupun mayoritas penduduk, posisi Islam cenderung dipinggirkan dalam

kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk merumuskan dan menampilkan citra Islam

moderat, pemerintah membutuhkan kelompok-kelompok Muslim di masyarakat,

khususnya Muslim moderat.

Sebagai hasil dari pengamatan diusungnya identitas Islam moderat dalam

praktik kebijakan luar negeri Indonesia, penelitian ini memperoleh beberapa

temuan sebagai berikut:

Pertama, peristiwa 11 September yang melahirkan wacana perang global

terhadap teror mengakibatkan pendeskriditan Muslim melalui stereotype Arab,

intoleran, ekstrim, dan anti-Barat. Seiring dengan Islamofobia yang berkembang

di dunia Barat, kebencian dunia Muslim terhadap dunia Barat pun bermunculan

setelah AS menjalankan operasi militer ke Afganistan dan Irak. Hal ini tidak

lantas menimbulkan kesamaan reaksi pada tataran kebijakan di masing negara-

negara Muslim. Sebagaimana terlihat di bab 2, reaksi Indonesia tergolong moderat

baik dalam menyikapi perang global terhadap teror maupun operasi militer AS di

Afganistan dan Irak.

Kedua, adanya keinginan negara-negara Barat untuk mengembangkan

jaringan Islam moderat sebagai rekan potensial untuk mengimbangi jaringan

terorisme di sejumlah negara Muslim. Pertimbangan tersebut juga tidak lepas dari

persamaan prinsip antara dunia Barat dan Muslim moderat yang memuat

demokrasi dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana dipaparkan di bab 2.

Pada gilirannya, kehadiran Muslim moderat tampak dibutuhkan dunia Barat untuk

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 135: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

123

Universitas Indonesia

memediasi hubungan antara dunia Barat dan dunia Islam yang selama ini terkesan

konfliktual.

Ketiga, kemoderatan Islam di Indonesia bersumber dari sosio-kultural

masyarakatnya yang plural, modern, dan demokratis. Sebagaimana diuraikan di

bab 3, modal pluralisme, modernitas, dan demokrasi dianggap pemerintah

Indonesia sebagai faktor yang dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk

mendukung promosi identitas moderat dalam kebijakan luar negeri. Tujuannya

antara lain untuk mengambil peranan yang lebih luas di ranah internasional.

Keempat, keinginan Indonesia untuk memperoleh peranan di ranah

internasional merupakan bentuk konsistensi dan kontinuitas cara pandangnya

terhadap dunia. Meski di bawah kepemimpinan yang berbeda, Indonesia selalu

menjaga eksistensinya di dunia internasional dengan mengambil sejumlah

peranan. Terkait capaian peranan pada masa kini, UU No. 17 tahun 2007

mengenai RPJN 2005-20025 merupakan salah satu landasan bagi kebijakan luar

negeri Indonesia untuk mewujudkan peranan tersebut.

Kelima, identitas Islam moderat bukanlah menjadi bagian dari identitas

resmi Indonesia. Berdasarkan RPJMN I 2005-2009, identitas nasional Indonesia

adalah negara demokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam masih menjadi

faktor pinggiran dalam kebijakan luar negeri Indonesia karena Indonesia bukan

negara yang didirikan berdasarkan agama tertentu (non-teokratis).

Keenam, karena tidak menjadi bagian resmi dari identitas negara,

kemoderatan dipromosikan Indonesia melalui jalur diplomasi. Seperti terlihat

pada bab 3, pemerintah dan masyarakat baik individu maupun kelompok menjadi

agen diplomasi yang mempromosikan kemoderatan Muslim ke ranah

internasional. Partisipasi masyarakat dapat berupa diplomasi yang memang

diakomodasi oleh pemerintah dalam kerangka multi-track diplomacy maupun

didasarkan pada people to people diplomacy.

Berdasarkan temuan tersebut, alasan Indonesia untuk mempromosikan

identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya dapat ditarik menjadi

empat argumen utama. Alasan pertama, Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya

dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 136: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

124

Universitas Indonesia

Tengah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi stigma berkelanjutan tentang

Muslim yang dipersepsikan media dan akademisi Barat sebagai intoleran,

ekstrimis, dan anti-Barat. Identifikasi juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan

antara Indonesia dengan negara-negara Barat.

Alasan kedua, adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negara-

negara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim.

Karena itu, negara-negara Barat membutuhkan negara-negara Muslim yang

memiliki kesamaan prinsip dengan Barat dalam rangka mediasi dengan dunia

Islam.

Alasan ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara

komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan

hubungan dengan dunia Islam. Bagaimanapun juga, komunitas Muslim

merupakan konstituen terbesar di Indonesia yang aspirasinya tidak dapat

diabaikan dalam pertumbuhan demokrasi di tanah air.

Alasan keempat, adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam

hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia

(worldview). Indonesia mencoba mengambil peranan sebagai mediator antara

dunia Barat dan Islam melalui dialog-dialog antar peradaban, budaya, dan agama.

Indonesia kembali menemukan momentum untuk mengambil peran lain ketika

terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dengan

mengandalkan pengalaman semasa reformasi dan semangat solidaritas Asia-

Afrika dan sesuai dengan teori peran yang menjadi dasar dari analisa ini,

Indonesia berusaha untuk mencapai peran model di kawasan ini.

Secara garis besar, pencitraan identitas Islam moderat tampaknya hanya

sebuah pragmatisme pemerintah Indonesia. Pragmatisme ini dapat dilihat dalam

dua tingkatan. Pada tingkat hubungan luar negeri, pencitraan tersebut

dimanfaatkan untuk menyikapi Islamofobia yang berkembang pasca serangan 11

September. Selain itu, hal ini juga digunakan untuk mendekatkan diri dengan

dunia Barat sekaligus demi pencapaian peran di tengah pergaulan dunia.

Sedangkan di tingkat domestik, pengangkatan identitas Islam ke permukaan juga

untuk menjaga perasaan konstituen di dalam negeri yang mayoritas Muslim. Hal

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 137: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

125

Universitas Indonesia

ini dilakukan dengan memfasilitasi kelompok-kelompok Muslim moderat dalam

jalur diplomasi.

Pencitraan Muslim moderat pun tampak seperti sebuah pemaksaan karena

bertolak belakang dengan refleksi intoleransi di dalam negeri. Intoleransi yang

terjadi di Indonesia umumnya dialamatkan pada kelompok minoritas. Kelompok –

kelompok minoritas yang menjadi korban intoleransi memang dapat berasal dari

etnis, suku, bangsa, dan ras. Namun terkait pembahasan dalam karya ilmiah ini,

kasus-kasus intoleransi yang dimaksud berkorelasi dengan agama sehingga

korbannya antara lain kelompok non-Muslim dan aliran Islam minoritas.

Tantangan Indonesia dalam mencitrakan identitas Islam moderat cukup

besar. Sebagaimana terlihat pada bab 4, aksi-aksi intoleransi di Indonesia

umumnya dimotori oleh sejumlah persitiwa, yaitu 1) peningkatan dan penyebaran

gerakan kelompok Islam radikal yang cenderung melakukan aksi-aksi anarkis,

khususnya pada komunitas Muslim dan aliran Islam minoritas yang dinilai sesat;

2) regenerasi terorisme yang masih terjadi hingga saat ini. Salah satu tujuannya

adalah penyerangan terhadap simbol-simbol Barat dan pihak-pihak yang dianggap

membela kepentingan asing; 3) penerapan hukum syariah di tingkat daerah yang

melukai pluralitas agama di Indonesia karena meniadakan keberadaan agama-

agama selain Islam. Tidak jarang, perda sharia melanggar HAM dan

mendeskriditkan perempuan; 4) pengaruh MUI melalui fatwa-fatwanya yang

seringkali dijadikan bahan legitimasi bagi kelompok-kelompok Islam radikal

untuk melakukan kekerasan.

Dilihat dari jumlahnya kelompok Islam radikal di Indonesia relatif kecil,

tetapi aksi kekerasan ternyata mendapat peliputan media dengan frekuensi yang

cukup tinggi. Sepertinya, intensitas publikasi aksi-aksi intoleransi oleh media

massa berpengaruh dalam mengambil perhatian publik, baik nasional maupun

internasional. Akibat lebih jauh, peliputan media terhadap aksi-aksi intoleransi

dapat mereduksi pencitraan Islam moderat pada skala internasional.

Sebagaiamana terlihat di bab 4, beberapa NGO menganggap pemerintah sebagai

salah satu faktor penyebab maraknya aksi-aksi intoleransi tanah air. Lebih jauh,

pemerintah dianggap tidak serius dalam menangani aksi-aksi intoleransi. Sikap

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 138: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

126

Universitas Indonesia

pemerintah ini terlihat tidak konsisten dengan gambaran Islam moderat, sehingga

pencintraannya dalam kebijakan luar negeri semacam dipaksakan.

5. 2. Rekomendasi

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa sumber ancaman dalam

mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia adalah inkonsistensi antara

citra di luar negeri dan realita di dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah

seharusnya berperan ganda, baik sebagai pengambil kebijakan maupun sebagai

pengawal kebijakan tersebut. Pemerintah yang dimaksud bukan hanya departemen

luar negeri semata, tetapi seluruh elemen pemerintahan.

Sejauh ini, implementasi kebijkan luar negeri terasa berjarak dengan

elemen-elemen pemerintah lainnya. Kebijakan luar negeri yang mempromosikan

identitas moderat khususnya, seiring kali tidak memiliki kaitan dengan kebijakan

ataupun peraturan yang dikeluarkan elemen pemerintah lainnya. Otonomi yang

terjadi setelah reformasi menjadikan tiap elemen pemerintahan baik departemen

maupun pemda berdiri secara sendiri-sendiri. Koordinasi antar elemen pemerintah

terkesan lemah sehinga tidak efektif. Akibatnya, tidak ada keselarasan antara

kebijakan luar negeri dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh elemen

pemerintah lainnya. Sebagai contoh fatwa larangan pluralisme yang dikeluarkan

MUI pada 2005 kontras dengan pencitraan Muslim moderat yang menghormati

pluralisme beragama. Contoh lainnya adalah penerapan perda syariah di Aceh dan

Bulukumba yang diterapkan secara kaku dan literal sehingga tidak sejalan dengan

citra Islam moderat.

Berdasarkan analisis di atas, terdapat tiga rekomendasi yang diberikan

karya ilmiah ini. Pertama, perlu adanya koordinasi yang komprehensif di jajaran

pemerintahan. Koordinasi ini diharapkan dapat berkontribusi bagi penyusunan

kebijakan yang saling mendukung dan tidak kontradiktif. Khususnya pencitraan

Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri, Deplu RI sebaiknya tidak

hanya melakukan koordinasi dengan Departemen agama tapi juga dengan elemen

pemerintah lainnya seperti MUI. Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat

dan daerah diperlukan agar terbangun sinergi antara pencitraan identitas Islam

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 139: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

127

Universitas Indonesia

moderat di tingkat internasional maupun domestik. Misalnya penerapan perda

syariah yang cenderung menciptakan intoleransi dan pelanggaran HAM. Kondisi

ini tentu tidak sejalan dengan promosi Islam moderat Indonesia sehingga

mengesankan bahwa pencitraan tersebut hanya simbolisme semata.

Kedua, perlu adanya ketegasan dan kemauan (political will) pemerintah

untuk menyelesaikan konflik-konflik di tengah masyarakat khususnya yang

berkaitan dengan pluralitas agama dan keyakinan. Selama ini, pemerintah

cenderung menerapkan pola yang sama dalam menangani konflik menahun.

Karena itu, diperlukan pola baru yang sifatnya antisipatif dalam penyelesaian

konflik. Simbolisasi pemerintah sebagai penegak hukum dan aparatur

penyelenggara negara dibutuhkan untuk memediasi ketegangan masyarakat.

Untuk itu, pemerintah juga harus mengambil inisiatif untuk melakukan koordinasi

dengan tokoh agama dan masyarakat. Hal ini untuk menghindari dan mengurangi

ketegangan interaksi maupun konflik agama khususnya.

Ketiga, melakukan koordinasi dengan media massa. Hal ini dilakukan

untuk mambangun setting pemberitaan yang lebih menampilkan wajah Islam

Indonesia yang moderat atau toleran. Hal ini berguna untuk memberikan kesan

bahwa Indonesia adalah negara yang ramah, aman, dan kondusif bagi seluruh

pihak. Gambaran ini diharapkan dapat mengundang wisatawan maupun investor

asing datang ke Indonesia. Jikapun ada pemberitaan mengenai konflik agama,

setting pemberitaan dapat lebih menonjolkan upaya penyelesaian konflik

dibandingkan mengeksplorasi penderitaan korban. Selain itu, peran aktif

pemerintah bisa ditampilkan melalui media secara lebih transparan. Hal ini untuk

mengklarifikasi tuduhan pihak asing yang menganggap pemerintah berkontribusi

atas terjadinya kasus-kasus intoleransi di dalam negeri.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 140: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

128

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdelal, Rawi; Yoshiko M. Herrera; Alastair Iain Johnston; dan Rose Mcdermott.

Measuring Identity: a Guide for Social Scientist. UK: Cambridge

University Press, 2009.

Aceh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani, 1985.

Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi

di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute. 2011.

Bhutto, Benazir. Reconciliation: Islam, Democracy, and the West. London: Simon

and Schuster, 2008.

Bruinessen, Martin Van. “Indonesian Muslims and Their Place in the Larger

World of Islam.” Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third

Giant. Ed. Anthony Reid. Singapore: ISEAS Publishing. 2012.

Bush, Robin. “Regional Sharia Regulation in Indonesia: Anomaly or Sympton?”

Eds, Greg Fealy dan Sally White. Expressing Islam: Religious Life and

Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

2008.

Cameron, Fraser. US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or

Reluctant Sheriff 2nd

eds. London dan New York: Routledge, 2005.

Dalton, Bill Indonesia handbook. California: Moon Publications, 1982.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai.

Jakarta: LP3ES. 1994.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik

Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. 2011.

Elgström, Smith Ole, Michael. the European Union’s Roles in International

Politics: Concept and Analysis. New York: Routledge, 2006.

Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi

Berbasis Al-Auran. Depok: Katakita. 2009.

Ghazali, Abdus Sattar. Islam and Muslims in the Post-9/11 America. Modesto:

Eagle Enterprise. 2012.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 141: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

129

Universitas Indonesia

Hall, S. “Who Needs ‘Identity’?” Eds, S. Hall and P. du Gay. Questions of

Cultucal Identity. London: Sage Publications. 1997.

Hasan, Noorhaidi. Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in

Post-Soeharto Indonesia.Singapore: S. Rajaratnam School of International

Studies. 2007.

Hidayat, Komarudin. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta: Media Cita. 2001.

Kedourie, Ellie. Democracy and Arab Political Culture. Washington DC:

Washington Institute for Near East Studies. 1992.

Laqueuer, Walter Z. (ed). the Middle East in Transition. New York: Frederick A.

Praeger. 1958.

Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim

Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.

Leifer, Michael. Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Liqun, Zhu. China’s Foreign Policy Debates. Paris: EU Institute for Security

Study. 2010.

Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam bingkai Keindonesiaan, dan Kemanusiaan:

Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan. 2009.

Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,

2008.

Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi.

Yogyakarta: LkiS. 2004.

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi

Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama. 2007.

Nash, K. ed. Readings in Contemporary Political Sociology. Oxford: Blackwell

Publisher, 2000.

Piontkovsky, Andrei. East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy.

London: Foreign Policy Centre, 2006.

Prestre, Philippe Le. Role Quest in the Post-Cold War Era: Foreign Policy in

Transition. Montreal: McGill-Queen’s UP. 1997.

Rabasa, Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. al. the

Muslim World after 9/11.Santa Monica: Rand Corporation. 2004.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 142: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

130

Universitas Indonesia

Rabasa, Angel; Cheril Benard; Lowell H. Schwartz; et.all. Building Moderate

Network. RAND Corporation: Santa Monica, 2007.

Reich, Walter, ed. Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi,

dan Sikap Mental. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2003.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008.

Sukma, Rizal. Islam in Indonesian Foreign Policy. London: RoutledgeCurzon,

2003.

Shadid, W. dan P.S. van Koningsveld. Religious Freedom and the Neutrality of

the State: the Position of Islam in the European Union. Lauven: Peeters.

2002.

Sheikh, Naved S. the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a

World of States. London & New York: RoutledgeCurzon, 2003.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif: menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung:

Mizan. 1997.

Oberoi, Surinder Singh. “Ethnic Separatism and Insurgency in Kashmir.” Eds.

Satu P. Limaye, Mohan Malik, Robert G. Wirsing. Religious Radicalism

and Security in South Asia. Hawai: Asia Pasific Center for Security

Studies. 2004.

Stanger, Alison. “Democratization and the International System: the Foreign

Policy: the Foreign Policies of Interim Governments.” Eds, Juan dan Linz

Yossi. Between States: Interim Governments and Democratic Transitions.

Cambridge: Cambridge University Press, 1955.

Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta:

Pustaka LP3ES. 1998.

Suryokusumo, Sumaryo. Praktik Diplomasi. Jakarta: STIH IBLAM. 2004.

Tjondronegoro, Sediono, ed. Membangun Negara dan Mengembangkan

Demokrasi. Yogyakarta: Aditya Media. 2007.

Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia:

Membangun Citra Diri.” Ed, Bantarto Bandoro. Mencari Desain Baru

Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and

Internatonal Studies (CSIS). 2005.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 143: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

131

Universitas Indonesia

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. International Relations and World Politics:

Security, Economy, Identity. United States: Pearson Prentice Hall, 2007.

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. International Relations Theory 4th

Edition.

United States: Pearson Prentice Hall, 2010.

Volkan, Vamık D., Joseph V. Montville, dan Demetrios A. Julius.

Psychodynamics of international relationship: Concepts and Theories 1st

Eds. Lexington, MA: Lexington Books. 1990.

Wahid, Abdurrahman. Islam, Pluralism, and Democracy. Arizona: Center for the

Study of Religion and Conflict (CSRC), 2007.

Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan IslamTransnasional

di Indonesia. Jakarta: the Wahid Institute. 2009.

Wendt, Alexander. Social Theory of International Relations (New York:

Cambridge University Press. 1999

Wollenberg, Eva, Jon Anderson and Citlalli López. Though all Things Differ:

Pluralism as a Basis for Cooperation in Forests. Bogor: Center for

International Forestry Research. 2005.

Jurnal

Asila, Sobhi. “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World.”

Arab Insight 1:2(Fall 2007):13-30.

Anwar, Dewi Fortuna. “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia.”

Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 3(2010): 37-54.

Basya, M. Hilaly. “the Concept of Religious Pluralism in Indonesia: a Study of

the MUI’s Fatwa and the Debate among Muslim Scholars.” Indonesian

Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS) 1:1(Juni 2011): 69-93.

Cronk, George. “Symbolic Interactionism: a Left-Meadian Interpretation." Social

Theory and Practice 2:3(Spring 1973):113-133.

Gillespie, Piers. “Current Issues in Indonesian Islam: Analyzing the 2005 Council

of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and

Secularism.” Journal of Islamic Studies 2:18(2007): 202-240.

Hadi, Andri “Demokrasi bukan Produk Barat.” Jurnal Diplomasi 1:1(Juni 2009):

166-172.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 144: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

132

Universitas Indonesia

Hinnebusch, Raymond. "The US Invasion of Iraq: Explanations and

Implications.” Critique: Critical Middle Eastern Studies 16:3(Fall 2007):

9-27.

Holsti, K.J. “Nationale Role Conception in the Study of Foreign Policy.”

International Quarterley 14:3 (November 1970): 233-309.

Humphryes, Andrew. “Malaysia Post-9/11 Security Strategy: Winning Hearts and

Minds or Legitimising the Political Status Quo.” Kajian Malaysia

28:1(2010): 21-52.

İnaç, Hüsamettin. “Identity Problems of Turkey during the European Union

Integration Process.” Journal of Economic and Social Research 6:2(2004):

33-62.

Karsh, Efraim. “Geopolitical Determinism: the Origins of the Iran Iraq War”,

Middle East Journal 44:2(Spring, 1990): 256-268.

Kay, Lena. “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for

US Foreign Policy.” Issue & Insight V:4(Agustus 2005): 1-43.

Kinnvall, Catarina. “Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and

the Search for Ontological Security.” Political Psychology 25:5(2004):

741-767.

Kettani, Houssain. “World Muslim Population: 1950-2020.” International

Journal of Environmental Science and Development (IJESD) 1:2(June

2010).

Maliki, Musa dan Abdullah. “Dialog Peradaban Islam Barat: Gerakan (Socio

Political Culture) Kyiai Kanjeng di Eropa.” Kajian Wilayah Eropa

V:2(2009): 271-288.

Merskin, Debra. “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11

Discourse of George W. Bush.” Mass Communication & Society

7:2(2004): 157-175.

Montville, Joseph V. “Track Two Diplomacy: the Work of Healing History.” the

Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations. 7(Maret

2009).

Nasira, Hani. “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies.” Arab

Insight 2:2(Summer 2008): 103-113.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 145: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

133

Universitas Indonesia

Nogués, Elisabeth Johansson. “is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle?

The European Union, the Northen Dimension and the Union for

Mediterranean.” European Political Economy Review 9(Autumn 2009):

24-48.

Nuh, Nuhrison M. “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham Islam Radikal di

Indonesia”, Harmoni VIII:31(Juli-September 2009): 35-47.

Rubaidi. “Variasi Gerakan Radikal Islam di Indonesia.” Analisis XI:1(Juni 2011):

33-52.

Sadeghi, Ahmad. “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and

History.” the Iranian Journal of International Affairs XX:4 (Fall, 2008):

1-40.

Silaen, Victor. “Tinjauan Kritis Atas Perda-perda Bermasalah.” Sociae Polites

6:25(2007): 11-24.

Stackpole, H. C. “US-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War

Against Terrorism.” Asia Pacific Security Studies 2:2(Mei 2003).

Sukma, Rizal. “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional

Indonesia.” Analisis CSIS 39:4(Desember 2010): 432-445.

Voll, John O. “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?” Religion

Compass 1:1(2007): 170-178.

Tan, Paige Johnson. “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and

Foreign Policy.” Asian Perspective 31:3(2007): 147-181.

Wendt, Alexander. “Collective Identity Formation and International Sate.”

American Political Science Review 88:2(Juni 1994): 384-396.

Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of it: the Social Construction

of Power Politics.” International Organization 46:2(Spring 1992): 391-

425.

Yuliantoro, Ronny Prasetyo. “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak

di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai

Konsistensi Historis.” Jurnal Diplomasi 3: 2:(Juni 2011): 1-16.

Zakaria, Fareed. “the Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs

76:6(November/Desember 1997): 22-43.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 146: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

134

Universitas Indonesia

ZTF, Pradana Boy. “the Function of Fatwa in Contemporary Muslim Societies:

and Indonesian Experience.” Jurnal Salam 15:1(Juni 2012): 1-13.

Majalah dan Surat Kabar

“Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Tahun XVII, 10-16

Februari 2011

“Dialog Antar Agama untuk Mengatasi Ketegangan Dunia”, Kompas, 6

Desember 2004.

Lee, Mathew. “Clinton: Indonesia Can be Democratic Role Model.” the Jakarta

Post, 24 Juli 2011.

Smith, Ben. “Obama Suggest Indonesia, Chile as models for Egypt.” Politico, 2

Maret 2011.

Laporan dan Makalah

Abdul Aziz Said, Mohammed Said Farsi and Nathan C. Funk, “Islam and the

West: Three Stories” disampaikan dalam konferensi “The Future of Islam-

West Relations”, Washington DC: Center for Strategic and International

Studies American University, 30 Juni 1998.

Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Laporan Tahunan

Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010.

Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan

Beragama di Indonesia 2011, Yogyakarta, 2011.

European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), “Muslim in

the European Union”, EUMC 2006, Austria, 2006

International Crisis Group, “Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah”,

Asia Report N⁰147, Jakarta/Brussel, Februari 2008.

International Crisis Group, “Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk

Kelompok Baru”, Asia Report N⁰228, Jakarta/Brussel, Juli 2012.

Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010, Annual Report 2010,

Arlington, 2010

Komisi Pemilihan Umum (KPU). Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 147: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

135

Universitas Indonesia

Lembaga Survei Indonesia (LSI), Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs

Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta, Oktober

2007.

M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam

Seminar Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-

10 November 2009.

Sebastian Harnisch, “Conceptualizing in the Minefield: Role Theory and Foreign

Policy Learning” disampaikan dalam Workshop “Integrating Foreign

Policy Analysis and International Relations through Role Theory” pada

pada Annual ISA (Institute for Political Science) Conference, New

Orleans, 15-20 February 2010.

Stephen G. Walker, “Binary Role Theroy and Foreign Policy Analysis”

disampaikan dalam the Foreign Policy Analysis Workshop, “Integrating

Foreign Policy Analysis and International Relations Through Role

Theory,” at the Annual Meeting of the International Studies Association,

New Orleans, 16-20 Februari 2010.

The Economist Intelligence Unit, “Democracy in Retreat”, Democarcy Index

2010, London, 2010.

Turita Indah Setyani, “Bhineka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa”

disampaikan pada Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi

Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia, di

Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009.

Ulrich Krotz, “Nationale Role Conception and Foreign Policies: France and

Germany Compared” disampaikan pada the 97th Annual Meeting of the

American Political Science Association in San Francisco, 30 August-2

September 2001.

U.S. Center for Citizen Diplomacy, "Citizen Diplomacy Organizations throughout

the World: Opportunities for Cooperation", U.S. Summit and Initiative for

Global Citizen Diplomacy, Washington DC, 16–19 November 2010, hal.

4.

Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign

Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 148: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

136

Universitas Indonesia

Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the

International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus

2011.

Pidato

Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua,

Bali, 8-9 December 2011.

Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam

paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6

Januari 2004.

Hassan Wirajuda, “the democratic Response” disampaikan dalam the 56th Session

of the UN General Assembly , New York, 15 November 2001.

Susilo Bambang Yudhoyono disampaikan sebelum Indonesian Council on World

Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005.

Website

“Deplu & Lembaga Islam Indonesia Promosikan Islam di London”,

http://news.detik.com/read/2006/07/06/071444/630011/10/deplu-lembaga-

islam-indonesia-promosikan-islam-di-london diakses pada Selasa, 27

November 2012, pukul 14.02 wib.

Text of Bush's addres”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-

11/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicable-

acts?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012, pukul 15.40 wib.

“Transcript of President Bush's address”, diakses dari

http://articles.cnn.com/2001-09-20/us/gen.bush.transcript_1_joint-session-

national-anthem-citizens?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012,

pukul 15.50 wib.

Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari

http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban

pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 14.22 wib.

"Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari

http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-

penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11

Desember 2012, pukul 13.00 wib.

Renne R.A Kawilarang, “Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda" diakses dari

http://m.news.viva.co.id/news/read/98969-

warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda pada Minggu, 16 Desember 2012,

pukul 13.14 wib.

Wawancara

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012

Page 149: TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas indonesia . identitas islam moderat dalam . kebijakan luar negeri indonesia (2004-2011)

137

Universitas Indonesia

Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Andrew Steven

ditayangkan di CNN, 15 Juni 2011

Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen

Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.

Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012