TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas...
Transcript of TESIS - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334958-T33028-Lelly... · universitas...
UNIVERSITAS INDONESIA
IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011)
TESIS
Lelly Andriasanti
1006743595
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
DESEMBER 2012
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Hubungan Internasional
Lelly Andriasanti
1006743595
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
KONSENTRASI KEAMANAN INTERNASIONAL
DEPOK
DESEMBER 2012
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Lelly Andriasanti
NPM : 1006743595
Tanda Tangan :
Tanggal : 28 Desember 2012
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
iii Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Lelly Andriasanti
NPM : 1006743595
Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
Judul Tesis : Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar
Negeri Indonesia (2004-2011)
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 28 Desember 2012
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
iv Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Islam bukan hanya milik Arab. Islam juga milik bangsa-bangsa non-Arab.
Karena Islam adalah rahmat seluruh alam (Rahmatan lil Alamin), ia dapat tumbuh
sesuai dengan konteks dan tempat perkembangannya. Islam di Indonesia
khususnya, mampu beradaptasi dengan pluralitas sosio-kultural bangsanya
sehingga berhasil menarik perhatian sebagian besar masyarakat di negeri ini.
Islam pun menjadi agama yang mayoritas dipeluk bangsa Indonesia. Meski
demikian, Islam tidak pernah menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan luar
negeri sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Namun, praktik kebijakan luar negeri
beberapa waktu belakangan ini menunjukan gejala yang berbeda. Indonesia tidak
malu lagi mengusung keIslamannya ke ranah internasional dalam suasana yang
moderat.
Melalui penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran tentang
pencitraan Islam moderat dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Penulis
menyadari, banyaknya keterbatasan dalam proses penulisan tesis ini belum
mampu memberikan hasil yang sempurna. Meski demikian, penulis berusaha
semaksimal mungkin untuk memberikan analisis mengenai pengaruh Islam dalam
kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk itu, penulis berharap agar penelitian ini
dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan khasanah keilmuan
hubungan internasional.
Puji syukur penulis panjatkan Allah SWT karena tanpa izin-Nya, penulis
tidak dapat menyelesaikan tesis untuk memenuhi salah satu syarat pencapaian
gelar Magister Sains pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.
Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Evi Fitriani, Ph,D, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan memberikan inspirasi
dalam penyusunan tesis ini.
(2) Prof. Dzainuddin Djafar; Drs. Makmur Keliat; Drs. Fredy B.L. Tobing;
M.Si; Drs. Edy Prasetyono, Drs. Andy Widjayanto; Broto Wardoyo, MA.
Drs. Syamsul Hadi; Drs. Haryadi Wirawan.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
v Universitas Indonesia
(3) Segenap pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan FISIP
UI yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan selama menjalani
masa studi di Universitas Indonesia
(4) Mbak Ice dan Pak Udin, selaku staf di Program Pasca Sarjana HI yang selalu
setia melayani segala permintaan dan keluh kesah saya selama menjalani
masa studi saya di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI.
(5) Orang tua tercinta, Sudjarwanto Ismoyo, Sri Faturiyanti, Effendi Hasyim,
dan Jubaedah yang tidak pernah berhenti memberikan doa, dukungan dan
semangat dalam melaksanakan pendidikan di Universitas Indonesia dan
dalam menyusun tesis ini.
(6) Kekasih terncinta, Irmawan Effendi, yang selalu menjadi suami siaga selalu
untuk mendukung dan menyemangati penulis.
(7) Ananda tercantik, Hana Baizaa Dzuhaini, yang selalu menghibur penulis
dengan manja dan centil.
(8) Segenap atasan dan kolega saya di Megawati Institute yang telah
mendukung saya dalam menjalankan tugas belajar dan memberikan
pengertian bagi kelancaran penulisan tesis ini.
(9) Teman-teman Pasca Sarjana Hubungan Internasional UI 2010, yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu, atas persahabatan, dan keakraban yang
saya terima selama menjalankan masa studi.
Akhir kata, saya berharap semoga Allah berkenan membalas kebaikan
semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis
dalam menyusun tesis ini. Sekali lagi, penulis berhadap semoga tesis ini
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Depok, 28 Desember 2012
Lelly Andriasanti
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
vi Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Lelly Andriasanti
NPM : 1006743595
Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
Departemen : Hubungan Internasional
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2004-
2011)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 28 Desember 2012
Yang menyatakan
(Lelly Andriasanti)
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Lelly Andriasanti
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Judul : Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri
Indonesia (2004-2011)
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan luar negeri Indonesia tampak
berusaha mencitrakan identitas Islam moderat dalam hubungan internasional. Hal
ini berbeda dengan praktik-praktik kebijkan luar negeri Indonesia yang secara
historis menghindari refleksi faktor Islam meski mayoritas penduduknya adalah
Muslim. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri
Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat. Metodologi yang digunakan
dalam tesis ini adalah kualitatif dalam anilisis wacana. Hasil penelitian ini adalah
Islam moderat Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya dengan membedakan dari
negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur Tengah; adanya ekspektasi
dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, untuk memahami dan
mendekatkan diri dengan dunia Muslim; pemerintah Indonesia ingin
mengakomodasi suara komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini
mengharapkan adanya perbaikan hubungan dengan dunia Islam; adanya motivasi
Indonesia untuk mengambil peran dalam hubungan internasional sesuai dengan
konsistensi cara pandangnya terhadap dunia.
Kata kunci: Identitas, Islam Moderat, kebijakan luar negeri Indonesia, dan peran.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Lelly Andriasanti
Study Program : International Relations
Title : Moderate Islam Identity in Indonesia’s Foreign Policy
(2004-2011)
In recent years, Indonesia's foreign policy seemed to be portraying moderate
Islamic identity in international relations. This is in contrast to practices foreign
policy of Indonesia, which has historically avoided the reflection factor of Islam
while the majority of the population is Muslim. This then begs the question why
Indonesia's foreign policy promoting moderate Islamic identity. The methodology
used in this thesis is a qualitative in discourse analysis. The results of this study
are moderate Islam Indonesia wants to identify its self to distinguish from other
Muslim countries, especially the Middle East region; there are expectations of the
international community, especially Western countries, to understand and get
closer to the Muslim world; Indonesia government wants to accommodate the
voice of domestic Muslim community that had been hoping for a better relations
with the Muslim world; the motivation of Indonesia to take part in international
relations in accordance with the consistency of its worldview.
Keywords: identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, and Role
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
ABSTRACT ................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR, GRAFIK, DIAGRAM DAN TABEL ......................... xi
1. PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...................................................... 3
1.4 Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4
1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 11
1.5.1. Teori Identitas ............................................................................ 11
1.5.2. Teori Peran dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia .................. 13
1.6. Operasionalisasi Konsep .................................................................... 16
1.7. Model Analisa ................................................................................... 18
1.8. Hipotesis ........................................................................................... 18
1.9. Metode Penelitian .............................................................................. 19
1.10. Sistematika Penelitian ...................................................................... 21
2. Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia ...... 23
2.1 Dampak Serangan 11 September terhadap Kebijakan Luar
Negeri Indonesia................................................................................. 23
2.1.1. Pandangan Barat Terhadap Islam ............................................. 26
2.1.2. Tanggapan Dunia Islam terhadap Barat Pasca Serangan 11
September ................................................................................ 32
2.2 Presentasi Identitas Islam Moderat sebagai Respon atas
Ekspektasi Internasional dan domestik ............................................... 42
2.2.1. Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat
dan Islam.................................................................................. 45
2.2.2. Identitas Islam Moderat Sebagai Model bagi Dunia Islam ........ 52
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
x Universitas Indonesia
3. Faktor dan Aktor dalam Pembentukan Identitas Islam Moderat
Indonesia ................................................................................................. 61
3.1. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia.............. 62
3.1.1. Pluralisme ................................................................................ 63
3.1.2. Modernitas ............................................................................... 66
3.1.3. Demokrasi ................................................................................ 72
2.2. Aktor-Aktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia dalam
Kebijakan Luar Negeri Indonesia ....................................................... 77
2.2.1. Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan ............................... 77
2.2.2. Partisipasi Kelompok-kelompok Islam Moderat Indonesia ....... 83
4. Peristiwa yang Memperlemah dan Aspek Penguat Pencitraan
Identitas Islam Moderat ......................................................................... 89
4.1 Peristiwa yang memperlemah Pencitraan Islam Moderat Indonesia ..... 89
4.1.1. Peningkatan dan Penyebaran Gerakan Kelompok Islam Radikal 90
4.1.2. Regenerasi Terorisme ................................................................ 97
4.1.3. Penerapan Hukum Syariah di Tingkat Daerah ........................... 102
4.1.4. Pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ................................ 107
4.1.5. Intoleransi dan Dilema Pencitraan di Tingkat Internasional ....... 111
4.2 Aspek Penguat Pencitraan Identitas Islam Moderat ............................. 114
4.2.1. Penolakkan Hukum Sharia ........................................................ 114
2.2.2. Kemunduran Parpol Islam dalam Pemilu ................................... 117
5. Kesimpulan.............................................................................................. 121
4.1 Hasil Temuan Penelitian ..................................................................... 121
4.2 Rekomendasi ...................................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
xi Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar, Grafik, dan Diagram
2.1 Penyajian Opini Konfrontatif di Media AS ......................................... 29
2.2 Populasi Muslim Mayoritas di Asia Tenggara ..................................... 38
2.3 Jumlah Kedatangan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan
Australia 2001-2006 .......................................................................... 48
2.4 Penerimaan Devisa dari Kunjungan Wisman Asal Amerika Utara,
Eropa, dan Australia 2001-2006 .......................................................... 48
2.5 Efek Domino dari Perubahan Politik di Tunisia dan Mesir .................. 53
3.1 Skema Intelegensia Muslim Indonesia ................................................ 70
3.2 Porsi Kekuatan Parpol Islam di Legislatif (1955-2009) ....................... 74
3.3 Perbandingan Partisipasi Parpol Islam dan Perolehan Kursi Parpol
Islam di Legislatif dalam Pemilu 1997-2009 ....................................... 75
3.4 Pola Multi-track Diplomacy................................................................ 79
4.1.Frekuensi Aksi-aksi FPI 2008-2010 .................................................... 96
4.2 Kategorisasi Perda-perda Bernuansa Syariah di Indonesia .................. 104
4.3 Pemetaan Wilayah Kemunculan Perda-perda Syariah
Berdasarkan Afiliasi Historis Gerakan DI ........................................... 105
4.4 Intoleransi Atas Dasar Agama Atau Keyakinan dan Pelanggaran
Kebebasan Agama .............................................................................. 111
4.5 Kecondongan Penurunan Perda Syariah di Indonesia (1999-2007) ...... 116
4.6 Orientasi Nilai Politik Komunitas Muslim Indonesia .......................... 118
4.7 Pandangan Muslim Indonesia Terhadap Nilai-nilai Politik Islam ........ 119
Tabel
1.1 Jumlah dan Prosentase Penduduk Indonesia Berdasarkan Agama
Tahun 2000-2010 ............................................................................... 2
1.2 10 Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia 2010 ................... 4
2.1 Persepsi terhadap Muslim di enam negara anggota UE ....................... 30
2.2 Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Konflik Islam dan
Modernitas ........................................................................................ 31
2.3 Pelaksanaan Bali Democracy Forum ................................................... 50
2.4 Negara-negara dengan Rezim Otoriter di Timur Tengah dan
Afrika Utara ....................................................................................... 52
2.5 Penempatan TKI di Timur Tengah dan Afrika Utara (2006-2011) ....... 58
3.1 Ringkasan Korelasi antara Islam dan Unsur Demokrasi di Indonesia .. 76
4.1 Rangkaian Aksi Bom Bunuh diri di Indonesia yang Diarahkan
pada Simbol-simbol Barat................................................................... 100
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Negara bukan hanya entitas yang dibentuk oleh unsur material politik
internasional, tapi juga unsur non-material seperti identitas. Selain membentuk
kepentingan nasional, identitas juga menentukan nilai-nilai yang menjadi
pedoman suatu negara dalam bertingkah laku di tengah hubungan internasional.
Identitas sering kali dituangkan dalam kebijakan luar negeri sebagai atribut yang
melekat kuat pada citra negara. Identitas yang diproyeksikan dalam kebijakan luar
negeri dapat bersumber dari ras, jender, bangsa, agama, ataupun ideologi.1 Dalam
sistem internasional kontemporer, agama merupakan salah satu identitas yang
paling menonjol. Agama menyediakan narasi dan keyakinan yang berpengaruh
kuat pada diri aktor.2 Islam khususnya, menjadi sorotan tajam dalam tiap
diskursus pasca peristiwa serangan menara kembar World Trade Center (WTC)
pada 11 September 2001.
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia. Pada
tahun 2000, penduduk muslim Indonesia berjumlah 177,5 juta jiwa atau 88,2
persen dari total penduduknya. Dalam rentan waktu lima tahun, angka ini
menunjukan peningkatan dengan menduduki angka 189 juta jiwa pada 2005. Nilai
ini setara dengan 88,5 persen dari total penduduk Indonesia.3 Sedangkan pada
2010, angka ini mencapi 205,1 juta jiwa atau 88,2 persen dari 232,5 juta jiwa total
penduduk Indonesia (lihat tabel 1.1).4 Meski penduduk Muslim adalah mayoritas
di Indonesia, negeri ini bukanlah negara teokrasi. Indonesia bukanlah negara yang
dibangun oleh kesamaan agama, tapi oleh kemajemukan bangsa dan pluralisme
agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan
pluralisme nyatanya turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri Indonesia.
1 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations and World Politics: Security,
Economy, Identity, (United States: Pearson Prentice Hall, 2007), hal. 396. 2 Catarina Kinnvall, “Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for
Ontological Security”, Political Psychology, Vol. 25/5 (2004), hal 742. 3 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010, hal. 13. 4 Houssain Kettani, “World Muslim Population: 1950-2020”, International Journal of
Environmental Science and Development (IJESD), Vol. 1/2 (June 2010), hal. 7.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri diawasi secara
ketat agar tidak didikte oleh pertimbangan-pertimbangan ideologi Islam.5 Hal ini
ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak merusak
persatuan bangsa.
Tabel 1. 1 Jumlah dan Prosentase Penduduk Indonesia Berdasarkan
AgamaTahun 2000-2010
Agama
2000 2005 2010
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Islam 177.528.772 88,22 189.014.015 88,58 205.126.295 88,20
Protestan 11.820.075 5,87 12.356.404 5,79 13.462.686 5,79
Katolik 6.134.902 3,05 6.558.541 3,07 7.138.246 3,07
Hindu 3.651.939 1,81 3.697.971 1,73 4.022.529 1,73
Buddha 1.694.682 0,84 1.299.565 0,61 1.418.348 0,61
Lainnya 411.629 0,20 448.791 0,21 1.395.097 0,60
Jumlah
Penduduk
201.241.999 100,00 213.375.287 100,00 232.516.171 100,00
Sumber: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM 2009 dan International Association of Computer Science and Information Technology Press (IACSIT) 2010
Namun demikian, Departemen Luar Negeri (Deplu) mulai
mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia sejak tahun 2004. Menteri
Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda memaparkan, sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul kewajiban untuk
memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang moderat.6
Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden secara
demokratis semakin mempertegas pola tersebut. Melalui berbagai forum dan
konferensi internasional, SBY berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas,
dan demokrasi dapat bergandengan satu sama lain.
Ekspresi kemoderatan Islam Indonesia ini setidaknya dapat ditemukan
pada beberapa kesempatan seperti Bali Democracy Forum (BDF), World
Movement for Democracy, Parliamentary Union Of OIC Member States (PUIC),
dan International Conference on Global Movement of Moderates. Hal ini
5 Michael Leifer, Kebijakan Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hal xvi. 6 Hassan Wirajuda, “Refleksi tahun 2003 dan Proyeksi tahun 2004” dipaparkan di Jakarta, 6
Januari 2004.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
3
Universitas Indonesia
menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak lagi alergi terhadap
unsur Islam dalam mencitrakan identitas nasional Indonesia ke panggung
internasional.7
Penempatan identitas Islam moderat sebagai dimensi penting dalam
pencitraan nasional sepertinya menunjukan keinginan Indonesia untuk
menampilkan keunikan dirinya di tengah pergaulan internasional. Menurut Mark
Woordward, sebagian besar muslim dunia adalah moderat.8 Akan tetapi, hanya
sedikit negara Islam yang memiliki karakter kemoderatan yang komprehensif,
Indonesia salah satunya.
Kemoderatan Muslim Indonesia ditunjukan dengan keberhasilannya
melakukan transformasi sistem kebijakan dari otoriter ke sistem yang lebih
demokratis sehingga memperlihatkan bahwa demokrasi tidak bertentangan
dengan Islam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid menggambarkan kemoderatan
Indonesia sebagai hasil dari semangat pluralisme sehingga tumbuh subur dalam
konteks demokrasi.9 Kondisi ini cukup menjelaskan perbedaan karakter antara
masyarakat Muslim Indonesia dengan Muslim di Timur Tengah.
1. 2. Rumusan Masalah
Tesis ini akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut: Mengapa
kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat (2004-
2011)?
1. 3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memahami argumentasi elit
pemerintah secara spesifik dalam mengambil preferensi identitas Islam moderat
pada formulasi kebijakan luar negeri Indonesia. Sedangkan signifikansi dari
penelitian ini berkaitan erat dengan wajah Islam yang mendapat stigma teroris
sepanjang satu dekade terakhir. Stigma demikian tentu tidak bisa digeneralisir.
Untuk itu, tulisan ini hendak menampilkan wajah Islam yang lain. Melalui karya
7 Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia”,
Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 439. 8 Mark Woordward, “kata pengantar”, dalam Abdurrahman Wahid, Islam, Pluralism, and
Democracy, (Arizona: Center for the Study of Religion and Conflict (CSRC), 2007), hal 2. 9 ibid, hal. 12.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
4
Universitas Indonesia
ilmiah ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru tentang Islam yang lebih
toleran. Signifikansi berikutnya terkait dengan urgensitas posisi Indonesia sebagai
negara Muslim terbesar di dunia. Posisi ini dapat dilihat pada table berikut
Tabel 1. 2 10 Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia 2010
Negara Total
Penduduk
Persentasi
Penduduknya
yang Muslim
Jumlah
Penduduk
Muslim
Persentasi
Populasi
Muslim Dunia
Indonesia 232.516.171 88,20 205.126.295 12,9
Pakistan 184.753.300 96,50 178.286.935 11,1
India 1.214.464.312 13,43 163.102.557 10,3
Bangladesh 164.425.491 89,58 147.292.355 9,3
Mesir 84.474.427 94,12 79.507.331 5,0
Turki 75.705.147 99,17 75.076.794 4,8
Iran 75.077.547 99,43 74.649.605 4,7
Nigeria 158.258.917 44,56 70.520.173 4,5
Algeria 35.422.589 99,00 35.068,363 2,2
Sudan 43.192.438 78,90 34.078.834 2,1
Sumber: International Journal of Environmental Science and Development (IJESD) 2010
Tabel di atas memperlihatkan bahwa, Indonesia tidak hanya memiliki
penduduk Muslim terbesar di kawasan Asia Tenggara tapi juga di dunia. Karena
itu, kuantitas Muslim Indonesia yang signifikan di dunia diharapkan dapat
mewakili dunia Islam. Sedangkan signifikansi internal terletak pada mayoritas
penduduk Indonesia yang beragama Islam. Karya ilmiah ini diharapkan dapat
memberikan pemaparan akan peluang dan tantangan kepada kelompok-kelompok
Islam moderat Indonesia untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan
kebijakan luar negeri.
1. 4. Tinjauan Pustaka
Studi mengenai identitas dalam kebijakan luar negeri bukanlah hal baru.
Tidak sedikit akademisi yang mengkaji studi ini. Beberapa akademisi yang telah
melakukan studi tersebut antara lain Elisabeth Johansson-Nogués, Hüsamettin
İnaç, Andrei Piontkovsky, Zhu Liqun, dan Ahmad Sadeghi. Identitas yang
dituangkan dalam karya mereka pun beraneka ragam dan tidak hanya sebatas
persoalan agama saja. Studi yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini sengaja
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
5
Universitas Indonesia
dipilih berdasarkan kawasan tententu untuk mempermudah analisa dan
kontekstualisasi fenomena identitas dalam studi kebijakan luar negeri.
Studi pertama yang akan dibahas dalam tinjauan pustaka ini berjudul is the
EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European Union, the Northen
Dimension and the Union for Mediterranean. Dalam studi ini, Elisabeth
Johansson-Nogués mengusung identitas dalam kerangka institusi yang
mengatasnamakan kolektifitas negara-negara sebangsa. Preferensi Nogués tertuju
pada kolektifitas Eropa yang terangkum melalui Uni Eropa (UE) sebagai institusi
regional. Ia menempatkan regional multilateralisme, kebijakan multi-sektoral, dan
intervensionisme sebagai identitas yang melekat dalam kolektifitas UE .10
UE secara otomatis mempromosikan kerangka kerja multilateral ke dalam
kebijakan luar negerinya untuk menjalin hubungan dengan negara-negara
tetangganya, khususnya negara-negara di kawasan Mediterania dan Baltik yang
bertetangga dekat dengan UE. Antusiasme UE terhadap kedua kawasan tersebut
tidak lepas dari kebijakan multi-sektoral dalam wacana kerjasama yang lebih luas
pada bidang kebijakan dan keamanan; ekonomi dan finansial; serta sosial dan
kultural. Setali tiga uang, kedua identitas yang menjadi ciri UE juga memuat
kecenderungan intervensionisme terhadap negara-negara tetanga yang menjadi
mitranya.
Akan tetapi, kerja sama yang diharapkan tercipta antara UE dengan kedua
kawasan tersebut akhirnya mengalami kegagalan. Lebih lanjut, Nogués
menjelaskan bahwa kegagalan tersebut lebih dikarenakan identitas kolektif UE
yang meletakkan ide asbtrak atas kebijakan luar negeri bersama dibanding
menyiapkan kekuatan berbasis aksi kolektif. Selain itu, kegagalan hubungan
tersebut juga disebabkan kurang suksesnya UE memodifikasi diri dengan konteks
sosio-ekonomi-kebijakan yang berkembang di Baltik maupun Mediterania. Hal ini
pun mendorong kawasan Baltik dan Mediterania berasumsi bahwa UE selama 10
tahun terakhir belum berubah. Lembaga regional ini dianggap utilitarian, intrusif,
dan terlalu Eropa.
10 Elisabeth Johansson-Nogués, “is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European
Union, the Northen Dimension and the Union for Mediterranean”, European Political Economy
Review No. 9 (Autumn 2009), hal. 28-31.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Meski paparan Nogués disampaikan secara komprehensif, ia kurang
menaruh perhatian pada faktor Eropa. Hal ini ditunjukan Nogués dengan tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut tentang definisi identitas Eropa, baik yang
diinterpretasikan oleh UE sendiri, maupun oleh kawasan Baltik dan Mediterania.
Padahal, implikasi cara pandang masing-masing pihak turut berkontribusi atas
kegagalan struktural yang terjadi dalam hubungan kerjasama antara UE dengan
kawasan Mediterania dan Baltik. Terlebih lagi, kerjasama UE-Baltik atau dikenal
dengan konsep kerjasama Utara melibatkan peran Rusia yang secara historis
memiliki persepsi tersendiri sebagai hasil bentukan selama Perang Dingin
berlangsung.
Masih terkait dengan UE, Hüsamettin İnaç membahas integrasi kawasan
ini berpengaruh besar terhadap pembentukan identitas Turki. Dalam Identity
Problems of Turkey during the European Union Integration Process, İnaç
menguraikan perubahan identitas Turki dalam proses modernisasi yang
berkepanjangan. Modernisasi yang umumnya dipahami sebagai Westernisasi ini
terjadi dalam tiga level: modernisasi Ottoman, modernisasi Kemal, dan
Westernisasi di bawah kerangka integrasi UE.11
Menurut İnaç, proses modernisasi
ini merupakan proyek peradaban yang tak terelakkan selama dua abad berturut-
turut.
Identitas Turki pun dihadapkan pada sejumlah tantangan baru dalam
melawan shock culture dan culture gap dari proses integrasi UE. Pada masa
modernisasi Otoman, identitas Turki kental dengan nilai-nilai Islam dan anti
Barat. Masyarakat Turki pada periode ini menganggap Barat sebagai ancaman
eksistensi dan persatuan negara. Dalam hal ini, modernisasi yang terjadi diarahkan
sebagai upaya defensif untuk melawan ambisi Barat. Sedangkan modernisasi
dalam kerangka integrasi UE mengkategorikan identitas Turki berdasarkan
eksistensi partai kebijakan dan spesialisasi diri yang berbasis pada sosio-kultural
masyarakat Turki. Karena itu, rasa memiliki atau tidak memiliki Eropa akan
menentukan identitas Turki.
Namun, proses modernisasi Turki terkait dan tergantung pada UE.
Regionalisme kawasan ini merupakan sikap pragmatis Turki dalam menyediakan
11 Hüsamettin İnaç, “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process”,
Journal of Economic and Social Research, Vol. 6/2 (2004), hal. 33.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
7
Universitas Indonesia
solusi konkrit bagi ekonomi dan ekspektasi kebijakan. Untuk itu, integrasi UE
merupakan hasil konkret dari proses Westernisasi Turki.12
Tujuan ini ditantang
pada kenyataan bahwa Islam masih menjadi formula sosio kultural yang hidup di
tengah masyarakat Turki. Pertimbangan ini berbuah pada penolakan halus UE
yang melihat bahwa Turki belum siap menerima nilai kebijakan dan kultur Barat.
UE selalu menganggap Barat adalah peradaban yang unik di mana terdapat
dinamika fundamental dari suatu transformasi sosial. Dari gambaran di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa belum diterimanya Turki menjadi anggota UE hingga
saat ini menandakan kegagalan Turki dalam menerjemahkan identitasnya.
Tidak berbeda jauh dengan Nogués dan İnaç, perhatian terhadap identitas
juga didasarkan pada akar kebangsaan (nation). Dalam tulisan yang berjudul East
or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy, Piontkovsky menggambarkan
krisis identitas Rusia pada masa pemerintahan Vladimir Putin yang dilanda
kegamangan akan identitas ideologis seiring keruntuhan Uni Soviet.
Kekhawatiran elite Rusia tertangkap dari pidato-pidato Putin yang sering
menggunakan istilah-istilah pahit semasa perang ideologis seperti pragmatis
nasionalis, fundamentalis nasionalis, dan liberal Barat. Dampaknya, kebijakan
luar negeri Rusia diawal pemerintahan Putin cenderung anti-Amerika dan Barat.
Padahal tantangan kebijakan luar negeri Rusia bukan lagi dilandasi
ancaman ideologis. Terlebih lagi, Barat yang notabene berinduk dari Eropa
memiliki kedekatan sejarah sosio-kultural dengan Rusia. Menurut Piontkovsky,
terdapat tiga masalah keamanan yang dihadapi Rusia, yaitu instabilitas internal;
fundamentalisme Islam dan terorisme; serta pertumbuhan China yang
diperkirakan melebihi Rusia dan Siberia. Mau tidak mau, tantangan ini
membutuhkan solusi berupa aliansi jangka panjang dengan Barat. Piontkovsky
menyimpulkan, hanya dengan berkiblat pada Barat, Rusia dapat mencapai tujuan
kebijakan luar negeri sekaligus menyelamatkan identitas ke-Eropa-annya di abad
21.13
Kekurangan dari studi ini terletak pada sudut pandang Piontkovsky yang
menempatkan identitas ideologi sebagai terminologi masa lalu yang seolah-olah
12 Ibid., hal. 35. 13 Andrei Piontkovsky, East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy, (London: Foreign
Policy Centre, 2006), hal. vii.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
8
Universitas Indonesia
harus dihilangkan ketika Perang Dingin berakhir. Bagaimanapun juga, sistem
sosio-kultural Rusia tak dapat lepas dari faktor ideologis. Karena itu, hal ini tidak
dapat diabaikan sebagai pembentuk identitas Rusia. Penonjolan identitas Eropa
yang diarahkan Piontkovsky seharusnya tidak hanya dijabarkan dalam bentuk
kerjasama dengan negara-negara mitra Eropa lainnya. Konsolidasi internal Rusia
juga menjadi bagian penting yang harus diperhatikan dalam membentuk keutuhan
identitas Eropa itu sendiri.
Masih dalam koridor identitas bangsa, Zhu Liqun tidak akan membahas
identitas China melalui pendekatan entitas yang umum dipakai dalam paradigma
Barat. Menurutnya, pendekatan proses lebih aplikatif dalam mengkaji identitas
China. Pasalnya, China membangun identitas berdasarkan relasi sosial (social
relations) yang merupakan aspek signifikan dalam kehidupan dan aktivitas sosial.
Orang China percaya, baik power dan identitas sama-sama didefinisikan dalam
jejaring relasi. Hal inilah yang kemudian dijadikan kebanggaan masyarakat China
dalam istilah ‘peradaban 6000 tahun’.
Secara fundamental, konsep relasi dan ide perubahan membentuk
kepercayaan masyarakat China. Menurut kepercayaan ini aktor mengatur dan
mejaga relasinya dalam proses interaksi internasional di mana aktor mungkin
menikmati identitas yang beragam dalam beragam relasi pula.14
Pemikiran
tersebut otomatis ikut mendefinisikan kepentingan nasional dan strategi diplomasi
China kontemporer. Mengingat signifikansi pertumbuhan ekonominya, China
mulai mentransformasikan identitas yang tercermin dari formulasi kebijakan luar
negeri dalam sistem internasional. Liqun mengungkapkan, interaksi antara China
dan sistem internasional adalah proses dinamika perubahan.
Interaksi merupakan proses membangun relasi dan proses saling
mempengaruhi. Dalam relasi, China berusaha menemukan pengakuan dari sistem
internasional. Hal ini tentu melalui proses kompleks dan berkepanjangan agar
China mampu mendefinisikan peran internasionalnya. Untuk itu, China tidak
hanya menjadi bagian dari organisasi internasional, tapi juga menjalin relasi
dengan berbagai negara, baik besar ataupun kecil. Demi menjaga relasi, China
akan mempertahankan banyak fitur, baik sebagai bagian dari negara berkembang
14 Zhu Liqun, China’s Foreign Policy Debates, (Paris: EU Institute for Security Study, 2010), hal.
21.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
9
Universitas Indonesia
maupun negara maju, sesuai dengan pihak yang diajak berinteraksi. Dengan kata
lain, China konsisten mempertahankan keragaman identitas dalam berbagai
peranan secara damai.15
Paparan Liqun bisa dikatakan sebagai referensi alternatif dalam
memahami identitas China. Namun, perlu diperhatikan bahwa identitas
merupakan hasil konstruksi sebagai konsekuensi dari dua proses. Pertama,
formasi ‘diri’ atau ego. Formasi ini merupakan proses yang dilalui aktor untuk
memberikan atribut dan tujuan dari dirinya. Rancangan mengenai diri ini tentu
berkontribusi pada persepsi ‘diri’ yang secara individual berbeda dengan pihak
lain (alter).16
Sejauh ini, formasi diri China yang dijabarkan Liqun berujung pada
kesimpulan bahwa China memegang identitas peran yang sifatnya damai. Kedua,
afirmasi dari pihak lain yaitu proses implikatif setelah formasi diri dibentuk. Pada
proses kedua inilah Liqun tidak memberikan penjelasan yang komprehensif.
Hanya ekspektasi atas pengakuan dari formasi diri China yang lebih banyak
diuraikan Liqun, sehingga identitas peranan damai yang berusaha ditampilkan
China belum banyak bekerja. Kemunculan China dalam sistem internasional
malah sering kali diwaspadai dan dikhawatirkan, baik oleh negara-negara maju
maupun negara-negara berkembang.
Berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya yang menggali identitas
kebijakan luar negeri dari faktor bangsa, Ahmad Sadeghi meletakkan identitas
pada basis agama. Dalam tulisan yang berjudul Genealogy of Iranian Foreign
Policy: Identity, Culture, and History, ia memaparkan faktor-faktor pembentuk
kebijakan luar negeri Iran. Faktor-faktor yang dimaksud adalah identitas, budaya,
dan sejarah. Ketiga faktor ini bermuatan ideologis sekaligus non-ideologis yang
mempengaruhi perubahan dan keberlanjutan pola kebijakan luar negeri Iran.
Negeri para Mullah ini memperoleh momentum perubahan ketika terjadi Revolusi
Islam yang menjatuhkan rezim Pahlevi. Revolusi yang terjadi pada tahun 70-an
kian menampakan karakteristik Islam yang bukan sekedar variabel sosial yang
tumbuh di ranah domestik.
Pasca revolusi, internalisasi Islam terjadi dalam tiap sendi kehidupan
negara. Secara otomatis, identitas Islam segera melekat pada Iran. Melalui
15 Ibid., hal. 40. 16 Elisabeth Johansson-Nogués, loc. cit., hal. 27.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
10
Universitas Indonesia
pendekatan genealogi, Sadeghi menguraikan keberlanjutan identitas ini dalam
pola kebijakan luar negeri Iran. Selain identitas, konfigurasi kepentingan nasional
yang hendak dicapai kebijakan luar negeri Iran merupakan kombinasi dari
budaya, nasionalisme, kebijakan dan faktor ekonomi. Dalam hal ini, momentum
revolusi tidak hanya dimanfaatkan untuk merubah peta geopolitik di Timur
Tengah. Alhasil, revivalisme Islam Iran yang cenderung konfrontatif kian
berkembang dan berlanjut.
Revivalisme Iran tidak hanya ditujukan kepada dunia Barat, tapi juga
negara-negara di kawasan Timur Tengah dan negara-negara bekas Uni Soviet.
Sadeghi pun menyebut gelombang revivalisme ini sebagai ‘pengeksporan
revolusi’. Bahkan, hal ini menjadi diskursus dominan jangka panjang dalam
kebijakan luar negeri Iran. Pengeksporan revolusi dianggap sebagai tanggung
jawab moral dalam rangka membangun tata dunia Islam.17
Dapat ditarik garis besar bahwa identitas yang diungkapkan Sadeghi
bersifat konfliktual. Sebab, redefinisi diri yang dilakukan Iran telah
mendikotomikan antara diri dengan pihak oposisi yang harus diperangi,
khususnya AS. Studi yang menaruh tendensi rasa permusuhan dengan AS
membuat Sadeghi kurang mengeksplorasi proses afirmasi akan identitas diri Iran
yang datang dari negara-negara Timur tengah, khususnya yang bertetangga dekat
dengan Iran. Hal ini berguna untuk memahami tujuan identitas Iran akan adanya
tata dunia Islam yang berbasis pada unifikasi Islam dan solidaritas kemanusiaan.
Basis hukum yang seharusnya dapat mengabaikan masalah etnis, kultural, bahkan
permasalahan sektarian sesuai artikel ke-11 konstitusi Iran dirasa kurang
dijabarkan oleh Sadeghi. Akhirnya, Iran seolah-olah tampak sebagai entitas yang
terpisah dan eksklusif dari dunia Arab. Padahal, terdapat pula Irak dan Libyia
yang memiliki semangat solidaritas kepada Palestina dan beroposisi dengan AS.
Dari uraian referensi dalam tinjauan pustaka, terlihat jelas bahwa identitas
umumnya menyebabkan problematika, baik di ranah domestik maupun
internasional. Dalam ruang domestik, problematika ini berkutat pada pencarian
dan pengakuan jati diri sehingga menimbulkan dilema dan krisis, seperti pada
kasus UE, Turki, Rusia, dan China. Sedangkan dalam dinamika sistem
17 Ahmad Sadeghi, “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History”, the
Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX/4 (Fall, 2008), hal. 22.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
11
Universitas Indonesia
internasional identitas memperlihatkan bagaimana anarki dapat terjadi. Seperti
pada kasus Iran, identitas yang dimunculkannya cenderung menyulut konflik
dengan negara-negara Barat khususnya AS. Sebab, identitas merupakan
pemahaman kolektif yang mengkonstitusikan struktur sehingga mengorganisasi
tingkah laku negara untuk dapat menentukan antara kawan atau lawan.18
Dalam
sistem internasional yang anarki, persepsi identitas yang membedakan lawan dan
kawan ini penting untuk menjadi refrensi aktor dalam berinteraksi.
Berangkat dari asumsi bahwa wajah identitas tidak selalu problematis dan
konfliktual, karya ilmiah ini akan menaruh perhatian pada kapasitas identitas
dalam memediasi konflik. Untuk itu, tesis ini akan menyoroti identitas Islam
Moderat Indonesia (2004-2011) yang dianggap mampu menjembatani konflik
antara Barat dan dunia Islam. Anggapan ini terbaca dari harapan-harapan
kalangan internasional yang perlu disikapi oleh elit pemerintah Indonesia. Untuk
itu, sudah sewajarnya jika Indonesia mengambil peran yang lebih signifikan di
tengah dinamika isu internasional. Dalam pengambilan peran tersebut, kebijakan
luar negeri tidak dapat diabaikan karena merupakan instrumen dalam menentukan
tindak tanduk suatu negara. Untuk memahami proses pengambilan peran, tesis ini
akan menggunakan konsep identitas dan teori peran (role theory) dalam kebijakan
luar negeri.
1. 5. Kerangka Pemikiran
1. 5. 1. Teori Identitas
Pada dasarnya, konsep identitas muncul dari pertanyaan dasar akan
eksistensi diri, seperti siapa saya; siapa kamu; atau apa yang membedakan kita.
Semua pertanyaan tersebut tidak mungkin terjawab tanpa interaksi sosial yang
nantinya membentuk pemahaman akan diri dan pihak lain. Identitas dimunculkan
kepada dunia luar agar dapat diberlakukan sebagai properti yang sengaja
digunakan aktor untuk menggeneralisasikan motivasi dan tingkah laku yang
berbeda dengan pihak lain. Artinya, identitas berfondasikan subjektivitas sesuai
dengan pemahaman diri aktor itu sendiri. Akan tetapi, pemahaman diri dari aktor
bergantung pada apakah aktor lain mengafirmasi aktor tersebut dengan cara yang
18 Alexander Wendt, Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power
Politics,” International Organization Vol. 46/2 (Spring 1992), hal. 397.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
12
Universitas Indonesia
sama. Dalam hal ini, identitas meliputi intersubjektifitas atau kualitas sistemik
yang dikonstitusikan baik oleh struktur internal maupun eksternal.19
Untuk melihat karakter dari berbagai hubungan internal-external ini,
Alexander Wendt menjelaskannya dalam empat jenis identitas. Pertama,
corporate identity merupakan identitas yang dikonstitusikan oleh
pengorganisasian diri, struktur homeostatik yang membuat aktor sebagai entitas
yang berbeda. Dalam proses interaksi sosial, identitas jenis ini sering kali
menerapkan pembedaan kognitif secara rutin dengan mendiskriminasi anggota
diluar kelompok (out-group) dari anggota kelompoknya (in-group).20
Aktor yang
memegang identitas ini cenderung memiliki kesadaran dan memori akan diri
sebagai tempat terpisah antara pemikiran dan aktivitas.
Kedua, type identity mengacu pada kategori sosial atau penggunaan label
pada aktor yang membagi sejumlah karakteristik dalam penampilan, tingkah laku,
sifat, sikap, nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan
sejarah, dan lainnya. Dalam identitas jenis ini, pengorganisasian diri dan kualitas
sosial secara bersamaan dapat dilihat secara jelas dalam sistem bernegara atau
sesuai dengan jenis rezim ataupun bentuk negara, seperti kapitalis, fasis, monarki,
dan sebagainya.
Ketiga, role identity bergantung pada diri dan respon lanjutan dari pihak
lain. Aktor tidak dapat menetapkan sendiri identitas perannya karena identitas ini
hanya ada dalam hubungan yang melibatkan pihak lain. Artinya, ada pembagian
ekspektasi yang difasilitasi kenyataan bahwa peran diinstitusionalisasikan dalam
struktur sosial pada interaksi yang sifatnya partikular. Hal ini menampilkan
kenyataan bahwa aktor selalu membawa pihak asing ke dalam persepsinya
sehingga ia dapat menetapkan identitas perannya sendiri. 21
Keempat, collective identity mengambil hubungan antara diri dan pihak
lain ke dalam logika konklusi atau identifikasi. Identifikasi merupakan proses
kognitif di mana pembedaan diri dan pihak lain menjadi kabur dan pada batasnya
lebih pada kebersamaan. Dalam konteks interaksi, formasi collective identity
19
Alexander Wendt, Social Theory of International Relations, (New York: Cambridge University
Press, 1999), hal. 224. 20 Alexander Wendt, “Collective Identity Formation and International Sate”, American Political
Science Review, Vol. 88/2 (Juni 1994), hal. 387. 21 Social Theory of International Relations, op. cit., hal. 225-229.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
13
Universitas Indonesia
disokong oleh empat faktor utama. Faktor pertama adalah interdependence.
Faktor ini menjelaskan bahwa aktor saling bergantung ketika hasil dari interaksi
untuk masing-masing tergantung pada pilihan yang lain. Faktor selanjutnya ialah
common fate. Faktor ini diartikan bahwa aktor menghadapi nasib yang umum
ketika kelangsungan hidup atau kesejahteraan masing-masing tergantung pada apa
yang terjadi pada kelompok secara keseluruhan. Jika interdependence berasal dari
interaksi dua pihak, common fate didasarkan oleh pihak ketiga yang
mendefinisikan presentasi simbolik dari situasi sebagai kesatuan bagi sebuah
kelompok.22
Sedangkan faktor berikutnya merupakan Homogeneity. faktor ini
merupakan konsep identitas kolektif yang mengandaikan bahwa anggota
mengkategorikan diri mereka sama sepanjang dimensi yang mendefinisikan
kelompok. Setidaknya homogeneity berdampak pada berkurangnya jumlah dan
tingkat keparahan konflik yang dapat menimbulkan efek lain dari perbedaan jenis
antara corporate identity dan type identity. Faktor terakhir yang dimuat dalam
formasi identitas yaitu self-restraint. Hal ini dimaknai sebagai keterlibaan aktor
dalam perilaku sosial yang mengikis batas-batas egoistik diri dan melapangkan
diri mereka untuk menyertakan pihak lain. Proses interaksi sosial ini hanya dapat
dilanjutkan jika aktor dapat mengatasi ketakutannya, baik secara fisik maupun
psikis terhadap siapa saja yang mereka identifikasi.23
1. 5. 2. Teori Peran (Role Theory) dalam Kebijakan Luar Negeri
Sebagai bagian dari ilmu hubungan internasional, tidak sedikit akademisi
menemukan kesulitan dalam mengkorelasikan analisis kebijakan luar negeri
dengan sistem internasional. Dalam mengintegrasikan analisis kebijakan luar
negeri dan hubungan internasional, mereka umumnya dihadapkan pada pokok
persoalan di tingkat analisis dan agen-struktur. Misalnya, permasalahan analisis
terletak pada penyatuan dan pemilahan unit observasi yang hendak dipelajari dan
dipahami. Hal ini berkenaan dengan masalah bagaimana menghubungkan
pengamatan pada satu tingkat atau unit analisis tertentu dengan tingkat atau unit
lainnya.
22 Ibid., hal. 344-352. 23 Ibid., hal. 353-358.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
14
Universitas Indonesia
Lebih tepatnya, bagaimana menghubungkan karakteristik dari suatu agen
dengan karakteristik sistem di mana ia berada, begitu juga sebaliknya. Masalah
lainnya adalah bagaimana satu tingkat analisis menghasilkan tingkat lainnya.
Dalam mengkaji peran, dua tingkat analisis ini sering kali menimbulkan
kerentanan metodologis. Peran tidak seharusnya dikaji dari sisi agen ataupun
struktur semata, tapi lebih pada interaksi dari keduanya.24
Karena itu, tulisan ini
akan menggunakan teori peran yang dianggap mampu mengintegrasikan analisis
kebijakan luar negeri dalam hubungan internasional yang merupakan fenomena
sosial.
Teori peran berasal dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda, yakni
sosiologi, psikologi, dan transdisiplin dari psikologi-sosial. Teori yang
menjelaskan peran individu di tengah masyarakat ini kemudian digunakan dalam
menjelaskan tingkah laku negara. Aplikasi teori peranan mengindahkan dua
problematika mendasar dalam studi kebijakan luar negeri, yakni level analisis dan
agen-struktur.25
Dalam melihat agen dan struktur, beberapa teoritisi berpandangan
bahwa peran difokuskan pada komponen spesifik agen dari peran; sifat personal;
pengalaman sejarah; dan identitas sebagai bentuk representasi diri atau citra diri.26
Pandangan tersebut nyatanya tidak sepenuhnya mendapat persetujuan. Ada
pun pandangan yang menekankan isyarat peran dan tuntutan, misalnya perubahan
ekspektasi yang melekat pada institusi.27
Terkait situasi domestik dan ekspektasi
internasional, proses pembuatan peran umumnya konfliktual. Untuk itu,
pengkajian peran dalam kebijakan luar negeri perlu memperhitungkan berbagai
mode pembuatan peran yang mengacu pada sikap dan tindakan pihak-pihak dalam
24 Stephen G. Walker, “Binary Role Theroy and Foreign Policy Analysis” disampaikan dalam the
Foreign Policy Analysis Workshop, “Integrating Foreign Policy Analysis and International
Relations Through Role Theory,” at the Annual Meeting of the International Studies Association,
New Orleans, 16-20 Februari 2010, hal. 1. 25 Ibid. 26 K.J. Holsti, “Nationale Role Conception in the Study of Foreign Policy”, International
Quarterley Vol. 14/3 (November 1970), hal 233-309; Philippe Le Prestre, Role Quest in the Post-
Cold War Era: Foreign Policy in Transition, (Montreal: McGill-Queen’s UP, 1997); Ulrich Krotz, “Nationale Role Conception and Foreign Policies: France and Germany Compared” disampaikan
pada the 97th Annual Meeting of the American Political Science Association in San Francisco, 30
August-2 September 2001. 27
Sebastian Harnisch, “Conceptualizing in the Minefield: Role Theory and Foreign Policy
Learning” disampaikan dalam Workshop “Integrating Foreign Policy Analysis and International
Relations through Role Theory” pada pada Annual ISA (Institute for Political Science)
Conference, New Orleans, 15-20 February 2010; Elgström, Smith Ole, Michael, the European
Union’s Roles in International Politics: Concept and Analysis, (New York: Routledge, 2006).
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
15
Universitas Indonesia
mengambil dan menentukan peranan. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang
mendefinisikan peran nasional. Pada ranah domestik, pembuatan peranan
dianalisa dari para pembuat keputusan kunci, yakni pemerintah.
Di samping domestik, kompleksitas sistem internasional juga
berpartisipasi dalam proses pengambilan dan pembuatan peran. Sejalan dengan
dinamika sistem internasional yang penuh dengan ketidakpastian, Stephen G.
Walker mengungkapkan bahwa teori peran merupakan salah satu teori yang
menyuguhkan prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) dalam isu-isu
sosial.28
Ketidakpastian merupakan ciri dari kompleksitas sistem sosial sehingga
fokus konsep ini terletak pada hubungan (relationship) daripada objek. Teori ini
pun memperhatikan dinamika tingkah laku mental dan sosial pada berbagai level
analisis, seperti individu, kelompok, institusi domestik, negara, supranasional, dan
organisasi internasional yang dikonstitusikan oleh suatu jalinan yang terhubung
sebagai sistem.
Jalinan yang tercipta antar unit menunjukan adanya interaksi. Dalam
kerangka interaksi ini, teori peran yang mengklaim sebagai ontologi konstitutif
dari kebijakan luar negeri peranan berasumsi bahwa tanpa ekspektasi akan suatu
peranan dari dunia luar sebagai penentu posisi dan fungsi dalam tata sosial, maka
tidak akan terwujud peran nasional.29
Intinya, negara dapat untuk tidak
memainkan peran apapun pada tingkat internasional jika tidak ada ekspektasi dan
praktik yang secara regular mengkonstitusikan ulang mereka sebagai negara
berdaulat. Ekspektasi diri (ego) dan pihak lain (alter) membentuk kembali peran
sebagai penentu posisi dan fungsinya yang dikonstitusi dan diregulasi aktor–
struktur dan interaksinya. Perlu diingat bahwa pembentukan peran bukanlah tanpa
tujuan. Dengan menyediakan tujuan yang pasti dari bernegara di tengah
komunitas internasional, konsepsi peran nasional telah memberkahi negara
dengan kepribadian atau identitas.30
28 Stephen G. Walker, op. cit., hal. 4. 29
Sebastian Harnisch, Ibid., h. 8. 30 Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign Policy
Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International Studies Conference “World Crisis:
Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20
Agustus 2011.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
16
Universitas Indonesia
1. 6. Operasionalisasi Konsep
Teori Indikator
Identitas
(Alexander
Wendt)
Pengelompokkan
(Grouping)
In-group
Out-group
Pengelompokkan (Grouping)
dipahami sebagai proses terbentuknya
pembedaan kognitif antara anggota
kelompok (in-group) dan anggota diluar
kelompoknya (out-group). Penelitian ini
berusaha untuk memberikan gambaran
tentang bagaimana Indonesia:
membedakan identitas Islamnya dari
negara-negara dunia Islam lainnya;
mencitrakan identitasnya sebagai
Islam moderat.
Faktor
Interdependence
Common fate
Homogeneity
Self-restraint
Interdependence, common fate, dan
homogeneity merupakan variable yang
didasarkan pada objektifitas. Ketiganya
dipergunakan aktor ketika dihadapkan
pada interaksi dengan pihak lain dan
situasi yang terjadi pada in-group.
Sedangkan self-restraint lebih pada
pengendalian ego aktor dengan
mengikutssertakan pihak lain ke dalam
dirinya. Penelitian ini akan memberikan
gambaran faktor-faktor tersebut melalui
hasil interaksi masyarakat Indonesia baik
intra, inter, dan antar kelompok.
Keempat faktor tersebut mewujud pada
unsur-unsur berikut yang merupakan
formula pembentuk identitas Islam
moderat Indonesia:
Pluralisme
Demokrasi
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
17
Universitas Indonesia
Modernitas
Kebijakan
Luar
Negeri
(Stephen
G. Walker)
Ekspektasi
Eksternal
Internal
Ekspektasi diri dan pihak lain
berkontribusi dalam pembentukan peran
agar aktor dapat menenentukan posisi
dan fungsinya yang kemudian
dikonstitusi dan diregulasi oleh aktor–
struktur yang terealisasi melalui interaksi
sosial. Dalam menjelaskan hal ini,
penelitian ini akan memaparkan:
Bagaimana ekspektasi eksternal
terbentuk, khususnya dari konteks
struktural;
Bagaimana ekspektasi internal
tercipta di tataran politik domestik.
Aktor
Pemerintah
Non-pemerintah
Pada ranah domestik, pihak yang
mendefinisikan peran nasional adalah
pemerintah. Meski demikian,
perkembangan politik dewasa ini juga
mengakomodasi aktor-aktor individual
ataupun kelompok di ranah domestik
sehingga merepa dapat berpartisipasi
dalam mempengaruhi proses
pengambilan dan pembuatan peran
nasional. Untuk itu, penelitian ini akan
menjabarkan:
Posisi pemerintah sebagai pembuat
keputusan kunci;
Partisipasi aktor non-pemerintah
dalam proses pembuatan kebijakan
luar negeri.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
18
Universitas Indonesia
1. 7. Model Analisa
Teori
Identitas
Pengelompokkan
Identitas yang ingin
dicitrakan oleh in-
group
Faktor
Pluralisme
Demokrasi
Modernitas
Teori
Peran
Pengelompokkan
Identitas yang ingin
dicitrakan oleh in-
group
Aktor
pemerintah
non-pemerintah
1. 8. Hipotesis
Mengingat bahwa penelitian ilmiah tidak bekerja dengan kebenaran
mutlak, hipotesis atau kesimpulan sementara dibutuhkan untuk memulai
penelitian. Karena hal ini baru merupakan dugaan sementara, data-data yang
diperoleh pun belum cukup mantap dan memadai sehingga masih harus diuji oleh
fakta-fakta dan informasi yang lebih komprehensif. Dari pemaparan yang telah
dituangkan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kebijakan
Luar Negeri
Indonesia
Islam
Moderat
Variabel
Independen
Variabel
Dependen
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
19
Universitas Indonesia
Argumen yang mungkin menyebabkan kebijakan luar negeri Indonesia
mempromosikan identitas Islam moderat dapat dijelaskan melalui dua alasan.
Pertama, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, identitas
Islam tidak dapat ditiadakan dari atribut Indonesia sebagai negara. Pemerintah
sebagai mengambil keputusan kunci berusaha memanfaatkan kekhasan kultural
(indigenous uniqueness) nilai-nilai Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan sosio-politik masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya
upaya pembedaan dengan negara-negara Muslim lainnya. Pembedaan yang
ditampilkan Indonesia dalam istilah Islam moderat ini tidak lepas dari penyerapan
nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan modernitas yang telah lama tumbuh.
Kedua, dinamika sistem internasional diduga mejadi pemicu yang melatari
munculnya sejumlah harapan akan adanya pihak yang dapat memberikan
pemahaman akan fenomena Islam pada sepuluh tahun terakhir. Harapan ini
sepertinya sejalan dengan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif
dalam pergaulan internasional. Partisipasi ini tidak dapat keluar dari koridor
kebijkan luar negeri yang menjadikan pemerintah menjadi aktor utamanya. Akan
tetapi, dinamika politik domestik kini semakin memungkinkan aktor-aktor non-
pemerintah untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan. Karena itu, posisi mereka
tidak dapat diabaikan dalam proses perumusan kebijakan.
1. 9. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang dikenal dengan
paradigma dasarnya yang bersifat induktif, interpretif, dan konstruktivis. Metode
penelitian ini menekankan pada pendekatan humanistik untuk memahami realitas
kehidupan sosial yang dipandang sebagai suatu kreativitas bersama. Karena itu,
dunia sosial dianggap tidak tetap (statis) atau bersifat selalu berubah (dinamis).
Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivis yang memandang, identitas
merupakan definisi diri yang dapat dibentuk, diciptakan, dan berubah.31
Atas
dasar definisi diri itulah identitas dipahami sebagai peran spesifik yang relatif
31 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, loc. cit., (2007), hal. 396.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
20
Universitas Indonesia
stabil dan memuat harapan akan sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dalam
susunan struktur hubungan sosial.32
Akan tetapi, identitas juga dapat berubah bergantung konteks yang
berlaku. Kontekstualisasi identitas, aturan, dan norma datang bersamaan dengan
konsep logika kelaikan dalam konstruktivis. Logika kelaikan berasumsi bahwa
aktor selalu mengikuti norma dan aturan yang diasosiasikan dengan identitas
tertentu pada situasi tertentu pula.33
Dari beberapa metode penelitian identitas —
survei (survey analysis), analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse
analysis), dan analisis etnografi—, karya ilmiah ini akan menggunakan analisis
wacana.34
Analisis wacana merupakan pembaruan dari metode kualitatif dan
penafsiran makna atas bahasa yang digunakan aktor untuk menggambarkan dan
memahami fenomena sosial. Sebagian besar peneliti yang menggunakan analisis
wacana selalu berupaya untuk mengontekstualisasikan gagasan dalam relasi sosial
yang lebih luas. Gagasan yang diwacanakan biasanya dipahami dari kumpulan
teks, pidato, dokumen tertulis, dan praktek sosial yang menghasilkan makna dan
mengatur pengetahuan sosial.
Tulisan ini menggunakan dua tehnik pengumpulan data, yaitu studi
kepustakaan (literature research) dan wawancara (interview), baik terstruktur
maupun semiterstruktur. Pada tehnik studi pustaka, interpretasi mengenai teks —
seperti pernyataan kebijakan, artikel koran, teks-teks klasik dari intelektual
terkemuka, pidato-pidato para pemimpin kebijakan, dan risalah rapat pemerintah
— sangat dibutuhkan. Seperti dengan metode lain, analisis wacana menempatkan
tuntutan unik pada analisanya. Daripada melakukan statistika; pemrograman,
pendalaman pengetahuan sosial dan keakraban dengan teks yang berkaitan
diperlukan untuk memulihkan makna dari wacana.
Tugas kritis dari peneliti yang menggunakan analisis ini adalah
meyakinkan pembacanya bahwa rekonstruksi konteks intersubjektif dari beberapa
fenomena sosial berguna untuk memahami hasil empiris. Sebab, peneliti
32
Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations Theory 4th
Edition, (United States:
Pearson Prentice Hall, 2010), hal. 286. 33 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, op. cit., 2007, hal. 287. 34 Rawi Abdelal, Yoshiko M. Herrera, Alastair Iain Johnston, dan Rose Mcdermott, Measuring
Identity: a Guide for Social Scientist, (UK: Cambridge University Press, 2009), hal. 4.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
21
Universitas Indonesia
mengandalkan kemampuan interpretif mereka sendiri dan pengetahuan sosial
untuk menulis secara meyakinkan tentang isi dan kontestasi identitas. Dengan
demikian, analisis wacana dapat dianggap sebagai kontekstualisasi kualitatif teks
dan praktek dalam rangka untuk menjelaskan makna sosial.
1. 10. Sistematika Penelitian
BAB I merupakan pendahuluan dari tesis ini. Bab ini diawali dengan latar
belakang yang berisi diskripsi singkat kondisi Islam Indonesia dan Islam moderat
yang mulai dipomosikan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya. Sub bab
berikutnya merupakan rumusan permasalahan dan berlanjut pada tujuan serta
signifikansi studi. Sub bab berlanjut pada tinjauan pustaka yang merupakan
rangkaian karya-karya yang masih berkaitan dengan konsep yang digunakan
dalam tesis ini. Kerangka pemikiran menjadi sub bab berikutnya yang
menjelaskan konsep dan teori yang akan digunakan. Penjelasan singkat atas
konsep dan teori kemudian dielaborasi dalam operasionalisasi konsep dan model
analisa. Bagian ini diiringi oleh hipotesis dan metode penelitian. Pada bagian
akhir bab, terdapat sistematika penulisan yang berisi tentang hal-hal yang akan
ditulis.
BAB II memaparkan proses representasi identitas Islam moderat dalam
praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Sebagai pembuka bab, pembahasan
diawali dari pengaruh peristiwa Serangan 11 September terhadap politik
internasional baik di Barat dan dunia Islam. Pembahasan berlanjut pada tanggapan
Indonesia terhadap peristiwa tersebut dengan merepresentasikan identitas Islam
moderat melalui praktik kebijakan luar negeri. Identitas yang dicitrakan ini
kemudian dimanfaatkan Indonesia untuk memperluas peranannya, yaitu mediator
antara dunia Islam-Barat dan peran model bagi kawasan Timur Tengah.
BAB III membahas faktor dan aktor yang menjadi bagian dari proses
pencitraan identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia.
Pembahasan akan diawali dari faktor sosio-kultural yang berperan dalam proses
pembentukan identitas Islam moderat Indonesia seperti pluralisme, modernitas,
dan demokrasi. Sebagai pelengkap, bab ini akan ditutup dengan menjabarkan
aktor-aktor yang memformulasikan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
22
Universitas Indonesia
negeri Indonesia. Aktor yang pertama akan dibahas adalah pemerintah sebagai
agen kunci dari perumusan kebijakan. Kemudian pembahasan berlanjut pada aktor
non-pemerintah, baik individu maupun kelompok, sebagai agen yang berasal dari
masyarakat.
BAB IV menguraikan peristiwa yang dianggap dapat melemahkan upaya
pencitraan identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri. Beberapa
peristiwa yang dibahas antara lain peningkatan dan penyebaran kelompok Islam
konservatif radikal, perekrutan anggota teroris, penerapan hukum syariah di
tingkat daerah, pengaruh MUI, intoleransi, dan kendala pencitraan di tingkat
internasional. Bab ini ditutup dengan aspek yang memperkuat optimisme
pencitraan Islam moderat Indonesia di tingkat internasional.
Sedangkan BAB V merupakan penutup dari tulisan ini. Bab ini akan berisi
kesimpulan akhir dari proses penelitian sebagai jawaban final atas rumusan
masalah. Dalam penjabarannya, bab ini akan memuat beberapa ulasan singkat dan
temuan-temuan yang dari bab-bab sebelumnya. Hal ini sengaja dilakukan untuk
menjaga kesinambungan antar bab agar mudah dipahami. Pada bagian akhir dari
bab ini terdapat rekomendasi yang mungkin bisa memberikan alternatif
pandangan atas permasalahan yang dihadapi dalam pencitraan identitas Islam
moderat Indonesia.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
23
Universitas Indonesia
BAB 2
IDENTITAS ISLAM MODERAT
DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
Berangkat dari konsep identitas dan kebijakan luar negeri, fokus
pembahasan dalam bab ini terletak pada proses representasi identitas Islam
moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk itu, bab ini dibagi
menjadi dua bagian.
Pertama, gambaran atas pengaruh peristiwa Serangan 11 September yang
memicu Perang Global terhadap Teror. Dalam konteks ini, fokus pembahasannya
adalah pada cara pandang Barat terhadap Islam dan tanggapan dunia Islam
terhadap Barat pasca Serangan tersebut. Mengingat Perang Global terhadap Teror
mendorong operasi militer di Afganistan dan Irak, pembahasan diuraikan
berdasarkan per kawasan yang memiliki penduduk Muslim mayoritas. Hal ini
guna melihat pandangan dan sikap negara-negara dunia Islam, termasuk
Indonesia.
Kedua, Pembahasan kemudian dikerucutkan pada kebijkan luar negeri
Indonesia yang mempromosikan identitas Islam moderat dalam hubungan
internasional. Paparan akhir dari bab ini memperlihatkan upaya Indonesia untuk
mengambil peranan dari presentasi identitas tersebut, baik di dunia Barat maupun
dunia Islam.
2. 1. Dampak Serangan 11 September terhadap Kebijakan Luar Negeri
Indonesia
Pembahasan pada bagian ini terbagi menjadi dua, yaitu pandangan Barat
terhadap Islam dan tanggapan dunia Islam dalam menyikapi Barat. Namun
sebelumnya, bagian ini diawali dengan dampak serangan WTC pada 11
September 2001 yang merupakan salah satu katalisator isu global di awal abad 21.
Peristiwa tersebut telah merubah kesadaran Barat bahwa Komunisme tidak lagi
menjadi bahaya laten, melainkan Islam yang dianggap mampu mengancam
kedigdayaan Barat. Perubahan yang dimotori Amerika Serikat (AS) ini tidak
hanya dilatari oleh posisinya sebagai objek dari serangan, tapi juga adanya
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
24
Universitas Indonesia
motivasi untuk menaikan kembali perannya di ranah internasional yang mulai
menurun pasca Perang Dingin.35
AS kemudian memberikan tendensi tragedi yang
menelan 2600 jiwa itu sebagai aksi terorisme. Dalam menampilkan gaya
kepemimpinan, AS menjadikan kebijakan luar negerinya sebagai instrumen dalam
mengampanyekan Perang Global terhadap Terorisme (War on Terrorism).
Sama halnya seperti Perang Dingin, Perang Global terhadap Terorisme
pun bersifat ideologis. Hal ini mungkin dikarenakan, AS sulit melepaskan
mentalitas ideologis selama Perang Dingin yang membutuhkan proyeksi akan
musuh bersama. Dikotomi ideologis tampak dari diksi-diksi yang dipergunakan
Bush pasca tragedi 11 September untuk mempertentangkan antara satu sama lain,
seperti kebaikan dan kejahatan ataupun kita dan mereka. Menurut Debra Merskin,
pernyataan-pernyataan dikotomik Bush memuat enam karakteristik yang
memperkuat konstruksi musuh bersama dalam Perang Global terhadap
Terorisme.36
Secara umum, pidato-pidato Bush menyuratkan karakter
identification with evil.37
Hal ini ditandai dengan adanya persepsi bahwa segala
nilai yang dianut pihak musuh ditujukan untuk menghancurkan sistem nilai-nilai
dalam kelompok. Salah satunya adalah pidato pertama Bush pasca tragedi tersebut
yang tercantum di bawah ini.
Today … our very freedom came under attack in a series of
deliberate and deadly terrorist acts. ... Thousands of lives were
suddenly ended by evil, despicable acts of terror. … These acts of
mass murder were intended to frighten our nation into chaos and
retreat. But they have failed. Our country is strong. A great people
have been moved to defend a great nation.
Terrorist attacks can shake the foundations of our biggest buildings,
but they cannot touch the foundation of America. America was
targeted for attack because we're the brightest beacon for freedom
and opportunity in the world.
Today, our nation saw evil, the very worst of human nature, and we
responded with the best of America … The search is underway for
those who are behind these evil acts. I've directed the full resources
35
Fraser Cameron, US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or Reluctant Sheriff
2nd eds., (London dan New York: Routledge, 2005), hal. 18. 36 Debra Merskin, “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11 Discourse of
George W. Bush”, Mass Communication & Society, Vol. 7/2 (2004), hal. 158. 37 Ibid., hal. 160.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
25
Universitas Indonesia
for our intelligence and law enforcement communities to find those
responsible and bring them to justice. We will make no distinction
between the terrorists who committed these acts and those who
harbor them.38
Pidato tersebut dapat dikatakan sebagai pembentukan awal akan gambaran
musuh bersama. Sebab, pidato ini dilengkapi dengan beberapa karakter yang
disebut Merskin sebagai putting blame on the enemy. Karakter ini menempatkan
musuh sebagai sumber ketegangan kelompok sehingga mereka dianggap bersalah
atas segala kondisi buruk yang menimpa kelompok.39
Karakter ini juga dilengkapi
dengan karakter zero-sum thinking yang diartikan apa yang baik untuk musuh
adalah buruk untuk kita, begitu juga sebaliknya. Selain itu, terdapat pula karakter
stereotyping and de-individualization yang diartikan siapa saja yang berpihak
pada musuh juga merupakan bagian dari kelompok musuh.40
Penggambaran Bush akan musuh bersama dilengkapi dengan adanya
umpan balik yang tertuang pada pidato-pidato selanjutnya. Pidato-pidato ini pun
pada akhirnya dipenuhi dengan karakter negative anticipation dan refusal to show
empathy. Negative anticipation diartikan bahwa perlu adanya umpan balik untuk
menghancurkan musuh. Sedangkan refusal to show empathy mengandung makna
siapa pun yang berada di pihak musuh akan ditekan dan menerima ancaman dari
kelompok.41
Kedua karakteristik terakhir dapat ditemukan dalam pernyataan
Bush saat rapat kongres gabungan 20 September 2001 yang tercantum berikut.
We will starve terrorists of funding, turn them one against another,
drive them from place to place until there is no refuge or no
rest.Every nation in every region now has a decision to make. Either
you are with us or you are with the terrorists. From this day
forward, any nation that continues to harbor or support terrorism
will be regarded by the United States as a hostile regime.42
38 “Text of Bush's addres”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-11/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicable-acts?_s=PM:US pada Senin, 17
September 2012, pukul 15.40 wib. 39 Debra Merskin, op. cit. 40
Ibid. 41 Ibid. 42 “Transcript of President Bush's address”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-
20/us/gen.bush.transcript_1_joint-session-national-anthem-citizens?_s=PM:US pada Senin, 17
September 2012, pukul 15.50 wib.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
26
Universitas Indonesia
Pada perkembangannya, Islam dan pengikutnya dianggap sebagai
ancaman sekaligus musuh bersama dalam Perang terhadap Terorisme. Hal ini
tidak lepas dari stereotyping Al Qaidah sebagai jaringan organisasi teroris yang
mempraktikan nilai-nilai Islam garis keras. AS pun memunculkan Osama Bin
Laden, Muslim yang bersembunyi di Afghanistan, sebagai dalang dari aksi teror.
Dengan alasan itulah AS dan Barat melegalkan operasi militer di Afghanistan
pada Oktober 2001. Operasi militer berlanjut ke Irak dengan nama Operasi
Pembebasan Abadi (Operation Enduring Freedom.) Operasi ini dilakukan setelah
AS menetapakan Irak dan Iran yang notabene negara Islam sebagai negara
pendukung terorisme (state-sponsored terrorism) dan dikategorikan ke dalam
poros setan (Axis of Evil).
Namun, masifikasi Islamofobia atau kekhawatiran terhadap Islam
cenderung terjadi setelah Bush mengobarkan semangat Perang Salib dalam
Perang terhadap Terorisme pada 16 September 2001. Tendensi ini kemudian
dinterpretasikan publik dan media sebagai perang terhadap Islam. Dampak
lanjutannya adalah persepsi dunia internasional yang mengeneralisir Islam sebagai
teroris. Perlu diketahui bahwa pandangan konfrontatif Barat terhadap Islam tidak
akan mudah tercipta tanpa narasi historis yang melatarinya. Untuk memahami
konfrontasi antara Barat-Islam, pembahasan akan berlanjut pada proses
pembentukan narasi historis tersebut.
2. 1. 1. Pandangan Barat terhadap Islam
Hubungan konfrontatif antara Barat-Islam merupakan hasil narasi yang
mengatasnamakan konflik historis dan konfrontasi politis. Motif protagonis dari
narasi ini berawal dari asumsi yang meragukan kompatibilitas antara Barat dan
Islam.43
Shadid dan Koningsveld mengungkapkan, persoalan pokok konflik
memang sengaja tidak diselesaikan agar tercipta pemahaman atas pola tingkah
laku Muslim dan perbedaan secara implisit yang menekankan superioritas
kebudayaan Barat.44
Berdasarkan hubungan kausalitasnya, pandangan konfrontatif
43
Abdul Aziz Said, Mohammed Said Farsi and Nathan C. Funk, “Islam and the West: Three
Stories” disampaikan dalam konferensi “The Future of Islam-West Relations”, Washington DC:
Center for Strategic and International Studies American University, 30 Juni 1998. 44 W. Shadid dan P.S. van Koningsveld, Religious Freedom and the Neutrality of the State: the
Position of Islam in the European Union, (Lauven: Peeters, 2002), hal. 176.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Barat terhadap Islam dapat dikategorisasikan dalam lima model eksplenasi, yaitu
hubungan peralihan kekuasaan (the changing power relationship); benturan
peradaban dan musuh yang diperlukan (the clash of civilizations and the
indispensable enemy); politik Islam (the political Islam); layanan informasi yang
tidak dinuansakan (the unnuanced information service); dan peningkatan imigran
Muslim ke Barat (the increased Muslim-immigration to the West).45
Pada dasarnya, model hubungan peralihan kekuasaan diwarnai dengan
silih bergantinya hegemoni antara Barat dan Islam. Karena itu, model ini terbagi
ke dalam empat periode. Periode awal merupakan hegemoni dunia Muslim yang
dimulai sejak 622 dan berakhir pada 1492 yang ditandai dengan jatuhnya
Granada. Dunia Muslim banyak melakukan ekspansi yang dimulai dari
semenanjung Arab, hingga Afrika Utara, serta beberapa wilayah di Asia dan
Eropa. Periode kedua adalah serangan balik dari hegemoni Barat yang dilancarkan
melalui Perang Salib pada abad ke-11. Periode berikutnya merupakan giliran
imperium Muslim yang mengekspansi hingga daratan Eropa. Berhentinya
ekspansi Muslim di Wina mengawali periode keempat yang menjadi milik
hegemoni Barat dengan misi kolonialisme baik di dunia Muslim maupun di
seluruh dunia pada abad ke-19 dan 20.46
Ada pun model yang diprakarsai oleh fenomena pasca Perang Dingin yaitu
benturan peradaban dan musuh yang diperlukan. Runtuhnya Uni Soviet (US) yang
dianggap sebagai musuh bersama menginspirasi beberapa kalangan akademisi
Barat yang diwakili Samuel Huntington, Elie Kedouri, dan Bernard Lewis untuk
menciptakan musuh baru bagi kedigdayaan Barat. Mereka membangun lima
argumen dalam mempertentangkan peradaban Barat dan Islam: 1) nilai-nilai Islam
tidak cocok dengan demokrasi dan cenderung menghambat proses demokrasi
sehingga dapat mengancaman demokrasi Barat; 2) Muslim kurang percaya kepada
institusi politik dalam sistem demokrasi; 3) nilai-nilai Islam menjadi sumber
pemerintahan autoritarian di negara-negara Timur Tengah sehingga
meminimalisir partisipasi politik; 4) Muslim kurang memiliki komitmen
45 Ibid., hal. 177. 46 Ibid., hal. 177-178.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
28
Universitas Indonesia
kewarganegaraan dan politik sebagai akibat dari fanatisme keagamaan yang
berlebihan; 5) Islam cenderung intoleran, khususnya kepada penganut Kristiani.47
Model benturan peradaban dan musuh yang diperlukan berimplikasi pada
terbentuknya persepsi kekhawatiran akan munculnya Pan Islamisme yang
diterjemahkan Barat dengan gambaran akan revivalisme dan fundamentalisme
Islam. Atas dasar kekhawatiran tersebut, model berikutnya dinamakan Islam
politis. Model ini meletakan tendensi menyesatkan dengan menggunakan
pendekatan yang menaruh perhatian pada seluruh pembangunan di dunia Muslim
sebagai sinyal-sinyal keagamaan yang ekstrim.48
Bagi kalangan Barat yang
mengamini pandangan ini, Islam diperhitungkan sebagai ideologi asing yang
diarahkan oleh rasa irasionalitas, intoleransi, fanatisme, primitif, represif, dan
berbahaya.49
Karena itu, model ini digambarkan sebagai aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan beberapa gerakan ekstrimis Muslim yang biasa disebut dengan
fundamentalis
Sedangkan model-model eksplenasi selanjutnya merupakan hasil dari
masifikasi tragedi 11 September yang salah satunya didasarkan pada peranan
media massa. Pada dasarnya, media massa mempunyai kapabilitas dalam
menyebarkan informasi, termasuk kesalahan informasi yang dibentuk oleh
simplifikasi terhadap agama dan pengikutnya. Karena itu, model ini disebut
layanan informasi yang tidak dinuansakan. Media sebagai penyaji informasi
sering kali mengandalkan konsep simplifikasi dengan mengandalkan ukuran
kultural. Khususnya media Barat, penyajian informasi terkait Islam lebih banyak
merujuk pada kultur Arab klasik dalam menjelaskan pola tingkah laku dan asumsi
Muslim di dunia modern. Akibatnya, muatan dan kerangka pemberitaan lebih
mengidentifikasi kejahatan berdasarkan etnis ataupun agama tertentu.50
Kondisi lain yang menunjang disinformasi dalam menentukan proposisi
pemberitaan adalah faktor struktural, seperti prasangka awal dari reporter yang
kemudian diterjunkan untuk meliput berita dalam sebuah komunitas yang
berbeda. Tugas peliputan sering kali tidak dibekali oleh pemahaman ataupun
47 Ibid., hal. 179. 48 Ibid., hal. 183. 49 Ibid. hal. 173. 50 Ibid., hal. 188-189.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
29
Universitas Indonesia
pengetahuan yang dibutuhkan reporter. Selain itu, proporsi berita juga ditentukan
nilai jual berita itu sendiri. Adanya perbedaan dari apa yang berlaku umum di
masyarakat memiliki nilai jual lebih karena akan menyedot perhatian publik.
Untuk menghasilkan berita yang eksotis dan sensasional, media massa cenderung
menampilkan opini yang konfrontatif untuk menarik perhatian publik, seperti
tampak pada penyajian opini berikut ini.
Sumber: Council on American-Islamic Relations, Islamophobian
and Its Impact in the United States January 2009-December 2010
Gambar 2. 1 Penyajian opini yang konfrontatif di media AS
Khususnya di AS, media massa berperan besar dalam memasifikasi
Islamofobia di tengah masyarakat. Menurut Abdus Sattar Ghazali Islamofobia
adalah segala bentuk alienasi, diskriminasi, gangguan, dan kekerasan yang
berakar dari misinformasi dan stereotipikal yang diyakini dalam
merepresentasikan Islam dan pengikutnya.51
Perlakuan buruk terhadap Muslim
berlangsung baik di sektor publik maupun privat, mulai dari vandalisme terhadap
masjid hingga pembakaran Qur’an. Namun, tidak sepenuhnya insiden
penyerangan terhadap pihak yang dikarakteristikan sebagai Muslim karena
penampilan ataupun asal negeranya didasarkan pada perasaan Islamofobia.
Tidak jarang pula, insiden penyerangan terhadap Muslim lebih dimotivasi
oleh perasaan anti imigran atau anti pencari suaka dan pengungsi, dibandingkan
Islamofobia. Pada kondisi demikian konfrontasi Islam-Barat dapat dikategorikan
ke dalam model selanjutnya, yaitu peningkatan imigran Muslim ke Barat.
51 Abdus Sattar Ghazali, Islam and Muslims in the Post-9/11 America, (Modesto: Eagle Enterprise,
2012), hal. 19.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
30
Universitas Indonesia
Peningkatan imigran Muslim menjadi isu utama dalam perdebatan publik di
Eropa. Pasalnya, masyarakat Eropa masih meragukan kompatibilitas antara
budaya Barat dan Islam. Topik ini kian menghangat ketika dugaan politik Islam
yang mengarah pada revivalisme akan menyebar ke komunitas Muslim di Eropa.
Masyarakat Eropa pun segera menganggap bahwa identitas Islam dari para
imigran tersebut terasa kian menonjol sehingga menimbulkan relasi yang berjarak
dengan mereka.52
Hal ini tampak dari jejak pendapat yang dilakukan Pew Global
Attitude berikut.
Tabel 2. 1 Persepsi terhadap Muslim di enam negara anggota UE
Perception of
Muslims
They want to remain
distinct (per cent)
They have an increasing sense
of Islamic Identity (per cent)
Germany 88 66
Spain 68 47
Netherlands 65 60
Great Britain 61 63
France 59 70
Poland 42 20 Sumber: Pew Global Attitudes Project, Public Opinion Survey – May 2005 report
Tabel di atas memperlihatkan terdapat persepsi yang berkembang luas di
masyarakat Jerman, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis bahwa komunitas
imigran Muslim yang tinggal di negara-negara Barat tidak ingin melakukan
asimilasi dengan masyarakat sekitarnya. Mayoritas masyarakat Eropa berpikir
komunitas Muslim ingin tetap berbeda dari masyarakat Eropa umumnya dan
bukannya merangkul cara hidup di negara-negara Barat. Bahkan, lebih dari dua
pertiga masyarakat di Jerman dan Spanyol meyakini, komunitas Muslim tidak
ingin mengadopsi kebiasaan nasional. Selain itu, lebih dari setengah masyarakat
Jerman, Belanda, dan Perancis berpendapat bahwa identitas Islam dari komunitas
Muslim cenderung menguat. Dalam jejak pendapat lainnya, masyarakat Eropa
pun meragukan kemampuan imigran Muslim untuk beradaptasi dalam modernitas
peradaban Barat, seperti tampak pada tabel berikut.
52 Pew Global Attitudes, “Muslim-Western Tensions Persist”, Pew Global Attitudes Project July
2011, Washingon DC, 2011, Hal. 7.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Tabel 2. 2 Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Islam dan Modernitas
Is there a conflict between being a devout Muslim and living in a modern
society?
Country Mainstream Population Muslim Population in the countries
No Yes No Yes
Germany 26 70 49 47
Spain 36 58 57 36
Great Britain 35 54 72 28
France 74 26 71 25 Sumber: Pew Global Attitudes Project, Public Opinion Survey – June 2006 report
Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari setengah masyarakat di
Jerman, Spanyol, dan Inggris mengganggap bahwa ada konflik alamiah yang
terjadi dalam diri Muslim itu sendiri, yakni antara menjadi Muslim yang taat dan
hidup dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, keraguan masyarakat Eropa
terhadap kemampuan imigran Muslim untuk beradaptasi dengan mereka lebih
dilatari oleh persoalan pribadi atau psikologi dari Muslim itu sendiri.
Secara keseluruhan, keraguan masyarakat Eropa akan kompabilitas dunia
Barat-Islam memperuncing kebencian pada komunitas imigran Muslim Eropa.
Kebencian ini akhirnya berakumulasi pada perlakuan buruk dan penyerangan
terhadap komunitas Muslim tersebut. Akan tetapi, insiden penyerangan di Eropa
kebanyakan didasarkan pada argumen etnisitas yang merujuk pada pandangan
bahwa Muslim merupakan etnis non-Eropa.53
Berdasarkan penelitian European
Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), banyak insiden yang
terjadi di Eropa tidak dapat secara definitif ditandai sebagai Islamofobia, baik di
pengadilan ataupun secara awam.54
Karena itu, sulit untuk membedakan insiden
Islamofobia dari insiden lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa pandangan ini lebih
didasarkan pada definisi rasisme dan diskriminasi rasial.
Secara keseluruhan, kelima model eksplanasi tersebut cukup
menggambarkan perasaan anti-Islam di dunia Barat. Model-model tersebut tidak
hanya menyediakan portofolio, tapi juga mengkonstruksi kekhawatiran dalam
menjustifikasi konfrontasi Barat-Islam. Konfrontasi ini kian meruncing pasca
53 European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), “Muslim in the European
Union”, EUMC 2006, Austria, 2006, hal. 62. 54 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
32
Universitas Indonesia
terjadinya tragedi 11 September yang diisyaratkan Barat sebagai sebuah bahaya
laten. Isyarat ini mendapat masifikasi dari media massa sehingga memperkuat
perasaan anti-Islam di dunia Barat. Tidak jarang pula hal ini diekspresikan
masyarakat Barat dalam kehidupan sosialnya melalui praktik- praktik Islamofobia
untuk mempertegas pembedaan antara Islam-Barat.
2. 1. 2. Tanggapan Dunia Islam terhadap Barat Pasca Serangan 11
September
Jika tragedi 11 September meningkatkan intensitas perasaan anti-Islam di
dunia Barat, tidak demikian dengan dunia Islam yang menanggapinya secara
beragam. Pengutukan atas tragedi tersebut memang umum dilakukan dunia Islam,
tetapi kondisional. Reaksi publik Arab misalnya, memuat kombinasi dari
keduanya. Di satu sisi, banyak kalangan Arab mengutuk serangan tersebut sebagai
tindakan kriminal dan anti Islam. Di sisi lain, tidak sedikit kalangan merasa puas
karena AS akhirnya merasakan sakit seperti yang dialami dunia Arab dan negara-
negara miskin lainnya. Mereka berasumsi, tragedi tersebut sebagai kelaziman
akibat kebijakan luar negeri AS.55
Publik Arab juga menolak klaim media Barat yang menyebutkan bahwa
pihak yang bersalah adalah Arab atau Muslim. Untuk menandingi klaim tersebut,
berbagai teori konspirasi bermunculan di dunia Arab.56
Kebanyakan teori
berusaha menjelaskan bahwa serangan merupakan pekerjaan ekstrimis domestik
atau orang AS sendiri, pemerintah AS, atau badan intelijen Israel – Mossad.
Dibandingkan dengan tragedi 11 September, operasi militer di Iraq memberikan
efek signifikan bagi dunia Arab. Jika negara-negara Arab menempatkan seragan
11 September sebagai isu di luar kawasan (outside). Operasi yang menjatuhkan
rezim Saddam Hussein justru membuat mereka mulai melihat ke dalam (inside).
Berbagai kritik segera dialamatkan ke AS pasca invasinya ke Iraq. Kaum
radikal Islam di Timur Tengah cenderung mengkritik modernitas yang
dipresentasikan Barat dan mengecam kebijakan AS di Irak sebagai serangan
55 Angel M. Rabsa, Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. all, the Muslim World after
9/11, (Santa Monica: Rand Corporation, 2004), hal. 50-52. 56 Hani Nasira, “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies”, Arab Insight, Vol. 2/2
(Summer 2008), hal. 104-105.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
33
Universitas Indonesia
terhadap seluruh umat Muslim. Kaum moderat di kawasan ini memandang
kebijakan AS sebagai aplikasi dari benturan peradaban dan percobaan akan invasi
kolonial. Meski AS relatif kebal dari tuduhan kolonialisme karena kurangnya
sejarah kolonialiesme di Timur Tengah, invasi di Iraq secara otomatis dapat
menciptakan portofolio akan kolonialisme itu sendiri. Dugaan akan invasi
kolonial AS di Iraq muncul dari keyakinan bangsa Arab bahwa hal ini
dilatarbelakangi faktor minyak.57
Adapun kekhawatiran dari kalangan moderat di
Timur Tengah akan adanya serangan balasan dari generasi muda Muslim yang
bertindak radikal dengan bergabung dalam kelompok teroris.58
Tidak berhenti sampai di situ, protes anti-Amerika diperbesar dengan
pemberitaan media massa seperti Al-Jazeera dan Al-Arabiya yang
mempublikasikan banyak korban kekerasan dan konflik. Terlebih lagi, ketika
terdapat publikasi atas pelecehan terhadap tahanan di Abu Ghraib. Dunia Arab
semakin berpandangan bahwa AS dan Barat sebagai pihak yang eksploitatif,
hipokrit, gemar menerapkan standar ganda, immoral, agresif dan mendukung
Israel.59
Sama halnya dengan respon Timur Tengah secara umum, kawasan
Mahgribi menanggapi invasi Irak dengan kekhawatiran dan kemarahan. Bahkan,
invasi Irak menjadi katalisator hubungan AS dengan negara-negara di kawasan ini
yang semuala harmonis menjadi beroposisi. Kawansan Mahgribi mencakup
spektrum yang luas akan nilai-nilai Islam. Sebagian besar penduduknya pun mulai
mengidentifikasi dirinya sebagai Arab. Kondisi sosio-kultural tersebut ternyata
tidak menghalangi pemerintahan negara-negara di kawasan yang terdiri dari
Maroko, Tunisia, dan Aljazair untuk menjalin hubungan kooperatif dengan AS.
Ketika terjadi serangan 11 September, mereka mengutuk serangan tersebut dan
menawarkan dukungannya kepada AS. Tawaran ini didasari pengalaman dalam
menghadapi gerakan-gerakan militan di masing-masing negara.60
57 Raymond Hinnebusch, "The US Invasion of Iraq: Explanations and Implications”, Critique:
Critical Middle Eastern Studies, Vol. 16/3 (Fall 2007), hal. 212. 58 the Muslim World after 9/11. op. cit., hal. 131-132 59 Sobhi Asila, “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World”, Arab Insight,
Vol. 1/2 (Fall 2007), hal. 19-21. 60 the Muslim World after 9/11. op. cit., hal. 170.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Perlu diketahui, model politik yang dipakai di Maroko, Tunisia, dan
Aljazair merupakan modal utama dalam menjalin hubungan baik dengan AS.
Model politik monarki konstitusional di Maroko, sekularisme otoriter sipil di
Tunisia, dan sekularisme otoriter militer di Aljazair telah digunakan untuk
membatasi pengaruh gerakan Islam. Perbedaan pendekatan di masing-masing
negara ikut mempengaruhi tingkat efektivitas dalam mencapai tujuan ini. Dari
ketiga negara, peran Islam dalam politik lebih mungkin diaplikasikan di Maroko,
yaitu dengan pengembangan monarki agama yang bekerjasama dengan parlemen.
Sedangkan di Tunisia dan Aljazair, pengaruh Islam tidak hanya dibatasi dalam
kehidupan sipil tapi juga dilarang penggunaannya dalam politik.61
Perubahan hubungan AS dengan negara-negara di kawasan Mahgribi
terjadi ketika operasi militer di Irak dilaksanakan. Secara spontan, pemerintah
Maroko mengungkapkan kekecewaan atas operasi militer tersebut dan
menyatakan solidaritasnya kepada Iraq. Pemerintah Tunisia turut mengkritik
penggunaan kekerasan dan perlunya kesepakatan tentang penyabab terjadinya
terorisme, termasuk masalah kemiskinan dan konflik Palestina. Sedangkan di
Algeria, masyarakat menentang invasi dan pemerintah menekankan absennya
PBB dalam operasi tersebut.62
Jika negara-negara Timur Tengah dan Mahgribi merespon negatif operasi
militer di Irak, Iran menanggapi hal ini secara berbeda. Iran yang sejak
revolusinya pada 1979 cenderung konfrontatif terhadap AS ternyata menunjukan
kerjasama pasif dengan AS. Hal ini tampak dari sikap Iran yang tidak menolak
adanya pergantian rezim di Irak. Pengalaman historis dengan Irak menjadi alasan
yang kuat mengapa Iran tidak berkebaratan atas penggulingan rezim Saddam.
Keduanya terlibat dalam perang yang berlangsung dari generasi ke generasi,
mulai dari rivalitas purba antara Persia-Arab hingga persaingan geopolitik dalam
Perang Teluk.63
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah cara pandang geopolitik Iran yang
dipengaruhi ancaman dari lingkungan regionalnya. Terkait isu terorisme, cara
61 Ibid., hal. 148. 62 Ibid., hal. 171. 63 Efraim Karsh, “Geopolitical Determinism: the Origins of the Iran Iraq War”, Middle East
Journal, Vol. 44/2 (Spring, 1990), hal. 256-257.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
35
Universitas Indonesia
pandang Iran mengesankan ambiguitas dalam hubungannya dengan AS.
Kerjasama pasif yang ditunjukan Iran dalam invasi Irak ternyata tidak serta merta
menghapus kecemasannya akan eksistensi AS di kawasan. Publik Iran
memandang, operasi militer yang menjatuhkan rezim Saddam akan memberikan
akses bagi AS untuk mendominasi Irak. Hal inilah yang dikhawatirkan Iran akan
membawa dampak berkelanjutan pada kondisi domestiknya.
Ambigutas relasi AS-Iran sudah terlihat dalam operasi militer di
Afganistan. Dalam operasi ini, Iran membuka jalan bagi pasukan AS dan koalisi
untuk menggulingkan rezim Taliban. Iran juga berpartisipasi aktif dalam
pembentukan pemerintahan baru di Afganistan. Di sisi lain, kehadiran AS di
Afghanistan tetap merupakan ancaman bagi Iran, khususnya setelah AS menyebut
Iran sebagai bagian dari poros setan. AS menuduh Iran terlibat dalam jaringan Al
Qaeda dan pengembangan program senjata nuklir. Kritik AS berlanjut pada sikap
oposisi Iran dalam proses perdamaian Timur Tengah serta kebijakan domestiknya
yang dianggap totaliter dan represif. Dari kedua kasus terbut dapat disimpulkan
bahwa isu terorisme telah menempatkan kepentingan strategis AS-Iran secara
tumpang tindih sehingga berpengaruh pada pola relasi keduanya.64
Bagi dunia Muslim yang secara geografis dan kultural jauh dari Irak,
dampak episentrum Invasi Iraq tidak begitu besar. Di Asia tengah, hubungan
antara AS dan negara-negara di kawasan ini justru berlangsung dalam kerjasama
kontra-terorisme, khususnya dalam menghancurkan rezim Taliban. Sedangkan di
Asia Selatan dan Asia Tenggara umumnya merespon invasi Irak dengan kritik dan
tentangan. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukan akan terjadinya evolusi politik
Islam dan mengubah hubungan AS dengan pemerintahan negara-negara di kedua
kawasan tersebut.
Di Asia Selatan, populasi Muslim terbanyak berada di Pakistan dan India.
Terkait isu terorisme, baik Pakistan maupun India menjalin hubungan kooperatif
dengan AS. Dukungan dalam invasi di Afganistan dan kerjasama kontra-terorisme
juga cukup menunjukan keduanya masih menjaga hubungan dengan AS. Namun,
pola hubungan antara Pakistan-India sangat dipengaruhi oleh perbedaan latar
belakang sosio-politik dan konflik kawasan yang terpusat di wilayah Kasmir.
64 Muslim World after 9/11, op. cit., hal. 234.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
36
Universitas Indonesia
Pakistan sendiri merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Homogenitas sosio-kultural yang berbasis pada Islam telah mendorong Pakistan
untuk mengidentifikasi diri sebagai negara Islam. Penonjolan identitas inilah yang
kemudian mempengaruhi cara pandang Pakistan terhadap kawasannya. Bagi
Pakistan, Islam seharusnya menjadi logika yang menyatukan penduduk Muslim di
Asia Selatan. Karena itu, Pakistan merasa berkepentingan untuk mengamankan
wilayah Kashmir yang mayoritas berpenduduk Muslim tetapi berada dalam
kedaulatan India.65
Pakistan sepertinya hendak menciptakan Kashmir sebagai
bagian dari tanah air bagi Muslim Asia Selatan. Untuk mencapai tujuannya,
Pakistan melakukan berbagai intervensi termasuk melalui gerakan Islam militan
yang menargetkan Kashmir sebagai daerah operasi.66
Gerakan Islam militan di Pakistan mulai mendapat tantangan pasca tragedi
11 September. Hal ini tidak lepas dari reformasi madrasa yang berperan merekrut
sumber daya manusia untuk kemudian disebarkan ke Afganistan, Kashmir, dan
kawasan Asia Selatan lainnya. Menurut jejak pendapat di Pakistan pada 2001,
opini publik menunjukkan adanya dukungan yang luas untuk peredaan militansi,
pelarangan kelompok-kelompok militan, dan reformasi madrasa.67
Namun,
dukungan tersebut bertolak belakang dengan sentimen anti-Amerika yang makin
menguat. Ketika operasi militer di Afganistan berlangsung, publik Pakistan mulai
membenci kehadiran AS di kawasan dan di Pakistan pada khususnya.68
Kehadiran AS dianggap berpotensi dalam memperburuk politik domestik
Pakistan. Hal ini terkait kekhawatiran publik Pakistan akan degradasi kedaulatan
negara pasca dikabulkannya mandat yang memberikan dukungan logistik, serta
akses udara dan pangkalan udara Pakistan oleh pemerintah Musharraf.
Kebanyakan elit Pakistan juga mulai berlaku pragmatis dalam melihat institusi
mana yang dapat menuai keuntungan dalam isu terorisme. Preferensi elite pada
institusi yang berkaitan dengan militer daripada sipil mengecewakan publik
65 “Kashmir, the History”, diakses dari http://www.pakun.org/kashmir/history.php pada 10
Desember 2012, pukul 11.40 wib. 66 Syed Shoaib Hasan, "Why Pakistan is boosting Kashmir militants", diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/south_asia/4416771.stm pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 11.55
wib. 67 Muslim World after 9/11, loc. cit, hal. 284. 68 Richard Weitz, "Afghan-Pakistan Border Rules: The U.S. Role", Eurasia Border Review, Vol.
3/1 (Spring 2012), hal.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
37
Universitas Indonesia
Pakistan. Mereka lantas berasumsi kebijakan AS di Pakistan lebih berpusat pada
Musharraf secara individu dibandingkan kondisi Pakistan sehingga membawa
kecenderungan sentimen anti-Musharraf sekaligus anti-Amerika.69
Dengan kata
lain, faktor Musharraf berpengaruh besar dalam memberkan dukungan terkait isu
terorisme di Pakistan.
Sedangkan bagi India, dukungan dalam isu terorisme lebih dimotori oleh
persaingannya dengan Pakistan menyangkut wilayah Kashmir. Peningkatan
operasi kelompok teroris di Kashmir lebih berbasis di Pakistan dibanding India
Sendiri. Beberapa di antaranya operasi teroris di Kashmir tampaknya berniat
untuk memisahkan wilayah Kashmir dari India.70
Tidak sedikit dari kelompok-
kelompok teroris yang beroperasi di Kashmir memiliki hubungan dengan Al
Qaeda, seperti Lashkar-e-Taiba dan Jaish-e-Mohammed.71
Selain faktor Kashmir,
faktor lain yang mempercepat pertumbuhan kelompok Islam radikal di India
adalah dinamika kekerasan antara Muslim dan penganut Hindu. Peningkatan
nasionalisme Hindu menciptakan resistensi di kalangan Muslim India. Pasalnya,
politik non-sekuler yang ditujukan dominasi Hindu memungkinkan terjadinya
perpecahan dalam hukum Muslim oleh tradisi Hindu.
Kalangan Muslim India sendiri merupakan pendukung negara sekuler.
Secara historis, mereka tidak pernah mengidentifikasikan diri dengan gerakan
Islam Internasional bahkan cenderung apolitis. Dukungan akan sekulerisme
negara ini dilatari oleh posisi Muslim yang hanya sepertiga dari populasi India.
Proporsi ini menempatkan Muslim sebagai minoritas terbesar di India. Bagi
Muslim India, dukungan atas hak-hak minoritas merupakan isu politis. Untuk itu,
kalangan Muslim India cenderung mempertahankan negara sekuler yang
melindungi hak-hak minoritas. Menurut Rollie Lal, perubahan tatanan sekuler
negara yang dilakukan Hindu nasionalis tanpa memperhatikan minoritas agama
hanya akan menghasilkan konflik internal skala luas dan radikalisasi agama baik
dari Muslim maupun masyarakat Hindu.72
69 Ibid., hal. 285. 70
Surinder Singh Oberoi, “Ethnic Separatism and Insurgency in Kashmir”, Satu P. Limaye,
Mohan Malik, Robert G. Wirsing, Eds., Religious Radicalism and Security in South Asia, (Hawai:
Asia Pasific Center for Security Studies, 2004). hal. 176. 71 Ibid., hal. 308. 72 Ibid., hal. 306.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
38
Universitas Indonesia
Di Asia Tenggara, resonansi operasi militer Irak tidak berpengaruh
signifikan. Hal ini terangkum dari respon dua negara berpenduduk mayoritas
Muslim di kawasan, yaitu Malaysia dan Indonesia (lihat Gambar 2. 2). Muslim di
kawasan ini hanya menaruh sedikit simpati terhadap Saddam. Hal ini dikarenakan
adanya persepsi bahwa Saddam merupakan pemimpin tiran. Dalam kasus
Malaysia, pemerintah berupaya mengatur dan mengendalikan protes dengan
mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa perang di Irak
tidak diarahkan terhadap Islam. Faktor lain yang membatasi dampak operasi di
Irak di kawasan adalah preferensi publik secara luas yang mempriortaskan isu
domestik sehingga menutup isu internasional. Di Indonesia khususnya, perubahan
iklim politik akibat peritiwa bom Bali 12 Oktober 2002 mengubah aksi massa
oleh kelompok radikal menjadi kurang dapat diterima. Secara komprehensif,
Angel M Rabasa menyebut reaksi Muslim di kawasan ini relatif moderat.
Sumber: Congressional Research Service (CRS) 2005
Gambar 2. 2 Populasi Muslim Mayoritas di Asia Tenggara
Khususnya di Malyasia dan Indonesia yang mayoritas penduduknya
merupakan Muslim, Islam merupakan bagian dari nilai-nilai sosio kultural yang
membangun negara. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang cukup menonjol.
Islam di Malaysia sendiri telah menjadi lebih homogen dan ortodoks. Konsolidasi
Islam di Malaysia mencerminkan peran religio-politik para sultan dan pemerintah
dalam mendefinisikan ortodoksi agama. Pembangunan otoritas keagamaan untuk
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
39
Universitas Indonesia
melihat masalah keagamaan di Malaysia telah dimulai sejak zaman kolonial
Inggris. Meski tersisih dari hukum administrasi kolonial, hukum shari’a dan adat
telah dikodifikasi dan relatif terbagun. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar
negara Malaysia sebagai negara Islam.
Beragama di Malaysia erat kaitannya dengan identitas politis dari
kelompok dominan, Melayu. Dengan kata lain, Malaysia lebih menekankan
pembangunan kerangka ideologis yang mempromosikan identitas tertentu
berdasarkan etnis. Agenda Islamisasi pemerintah secara khusus pun menargetkan
masyarakat Melayu sebagai upaya untuk mempromosikan visi Islam dalam
melayani kepentingan rezim berkuasa.73
Dalam mempromosikan kepentingan
pemerintah, pendekatan keamanan Malaysia telah menggabungkan penggunaan
aparatur koersif dengan mekanisme ideologis. Aparatur koersif yang terdiri dari
sejumlah undang-undang represif ditegakkan oleh polisi. Sedangankan
mekanisme ideologis berfungsi untuk membatasi ruang bagi ide-ide yang
mengancam legitimasi rezim. Fungsi lain dari ideologis adalah menjamin
keamanan rezim dengan melegitimasi berbagai hal yang diaplikasikan aparat
koersif maupun rezim.
Mengingat bentuk Islam di Malaysia bergantung pada rezim yang
berkuasa, maka karakter Islam Malaysia berpotensi untuk menjadi fundamentalis
dan otoriter. Praktik fundamentalisme Islam oleh rezim yang berkuasa tidak hanya
dimotivasi partai oposisi fundamentalis seperti Partai Islam Se-Malaysia (PAS),
tapi juga penafsiran konsep yang cenderung fundamentalis oleh pemimpin rezim.
Pada masa pemerintahan Abudullah Ahmad Badawi, Malaysia berkomitmen
untuk menerapkan Islam Hadhari yang ternyata mengilhami pembacaan yang
kaku terhadap teks-teks Al-Quran.74
Sejak diperkenalkan konsep itu, Abdullah
73 Andrew Humphryes, “Malaysia Post-9/11 Security Strategy: Winning Hearts and Minds or
Legitimising the Political Status Quo”, Kajian Malaysia, Vol. 28/ 1 (2010), hal. 27. 74 Islam Hadhari merupakan istilah yang cukup umum yang terdiri dari beberapa prinsip antara
lain sebagai berikut: Pertama, iman dan takwa kepada Allah. Prinsip ini tampaknya meremehkan agama-agama di luar Islam, tetapi klarifikasi dilakukan pada prinsip berikutnya. Kedua,
penekankan keyakinan dalam kebebasan beragama. Ketiga, tidak adanya paksaan dalam
beragama. Keempat, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, pembangunan ekonomi
yang seimbang dan komprehensif yang menggambarkan fondasi ekonomi dari Islam Hadhari.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menghadapi tantangan globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang integratif melalui produksi sumber daya manusia. Kelima, penggabungan
praktik moral ekonomi'' dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang komprehensif.
Singkatnya, prinsip-prinsip ini berusaha untuk dimasukkan ke dalam pengertian praktik Abdullah
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
40
Universitas Indonesia
mengklaim bahwa beberapa elemen di Malaysia sebenarnya telah menjadi lebih
konservatif dan radikal.75
Dengan memberikan dukungan ideologis kepada aparat koersif, Islam
Hadhari pun digunakan untuk membenarkan serangan pemerintah terhadap sekte
yang dianggap sesat. Salah satunya adalah tarikat Samaniah Ibrahim Bonjol yang
kemudian ditangkap di Selangor pasca kemenangan Barisan Negara (BN) pada
2004. Penangkapan tersebut telah memotivasi Menteri Besar khir Toyo untuk
menindak lanjuti 60 sekte menyimpang lainnya yang beroperasi di Selangor. Hal
ini sesuai dengan kepercayaan BN bahwa mereka telah mendapatkan mandat dari
pemilu untuk terus menggunakan aparat koersif pemerintah. Tindakan keras
pemerintah lainnya ditujukan pada sekte Kerajaan Langit pada tahun 2005. Sekte
agama di Terengganu ini ditutup dengan alasan memiliki dokumen yang
bertentangan dengan Islam sehingga akan membahayakan agama maupun
stabilitas politik.76
Di Indonesia, mayoritas penduduk yang beragama Islam tidak lantas
menjadikan negeri ini berlandaskan sistem Islam. Bahkan, tumbuh pesatnya partai
politik yang berlandaskan Islam pasca kemerdekaan dan pasca reformasi tidak
menunjukkan indikasi pembentukan Indonesia sebagai negara Islam.77
Implikasinya, kebijakan luar negeri Indonesia tidak berkarakter Islam atau non-
Islam.78
Menurut Rizal Sukma, alasan pemerintah untuk terus menghindari
ekspresi formal faktor Islam dalam kebijakan luar negeri dikarenakkan sifat
identitas negara yang mempertahankan identitas non-teokratik sehingga menolak
faktor keagamaan eksklusif.79
Lebih spesifik, Sukma menyebutnya sebagai dilema
bahwa Islam adalah agama untuk pengembangan. Keenam, integritas moral dan kultural yang
terdiri dari internalisasi nilai-nilai moral yang menjamin kemakmuran, keharmonisan dan
kedamaian dalam masyarakat multi-rasial. Dengan kata lain, perkembangan moral dilakukan
secara bersamaan dengan pembangunan ekonomi. Prinsip-prinsip Islam Hadhari lainnya adalah
terselenggaranya pemerintahan yang adil dan dapat dipercay; masyarakat yang merdeka dan mandiri; kualitas hidup bermasyarakat; perlindungan hak-hak kelompok minoritas dan perempuan;
menjaga lingkungan hidup dan memperkuat kemampuan pertahanan. Ibid. hal. 36. 75 Ibid. hal. 40. 76
Ibid. hal. 39. 77 Dewi Fortuna Anwar, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia”, Journal of
Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3,( 2010), hal. 43. 78 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy¸ (London: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 140 79 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
41
Universitas Indonesia
identitas di mana masuknya Islam dalam kebijakan luar negeri hanya terbatas
pada bentuk dan bukan substansinya.
Namun demikian, perumusan kebijakan luar negeri dijaga agar tidak
bersebrangan dan tidak menekan kepentingan-kepentingan Islam di dalam negeri.
Alasan inilah yang melatari mengapa kebijakan luar negeri Indonesia tidak pernah
mengadopsi penuh aspirasi kelompok-kelompok Islam di dalam negeri, sehingga
terdapat jarak antara substansi kebijakan luar negeri secara formal dengan aspirasi
kelompok muslim. Pada pemerintahan Orde Baru (Orba) misalnya, pendekatan
yang menjadi preferensi adalah penggunaan kebijakan luar negeri yang ditujukan
untuk politik dalam negeri. Sebab, Soeharto menempatkan stabilitas politik,
pembangunan ekonomi, serta rezim keamanan dan legitimasi sebagai agenda
prioritas.80
Sampai tahun 1989, Islam lebih diperhatikan sebagai faktor yang harus
dikurangi pengaruhnya karena dianggap sebagai ancaman terhadap rezim yang
berkuasa. Perhatian pada faktor Islam berubah Sejak 1990. Islam mulai dipandang
sebagai kekuatan potensial dalam konteks memperluas dan memperkuat basis
kekuatan, serta legitimasi rezim yang dapat membantu memenuhi kepentingan
eksternal rezim. Secara praktis, keunggulan imperatif dalam negeri tetap menjadi
faktor penting dalam kontinuitas hubungan luar negeri Indonesia yang tidak dapat
menolak kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan Barat dan lembaga-lembaga
internasional.
Selama reformasi, faktor Islam tetap diekspresikan dalam skala yang
terbatas. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, krisis ekonomi dan buruknya
situasi politik dalam negeri mendorong Indonesia untuk mengandalkan bantuan
dari IMF dan Barat. Meski terdapat kebencian terhadap IMF dan AS di ranah
domestik —termasuk dari komunitas Muslim— tidak diterjemahkan
pemerintahan Habibie ke dalam kebijakan anti-Barat. Sedangkan masa
pemerintahan Abdurahman Wahid, kebijakan luar negeri Indonesia menaruh
perhatian pada negara-negara Islam Arab di Timur yang diiringi dengan rencana
membangun hubungan perdagangan langsung dengan Israel. Rencana kedua
tersebut segera memunculkan sikap oposisi dari komunitas Muslim untuk
80 Ibid., hal. 140-141.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
42
Universitas Indonesia
memastikan bahwa rencana tersebut tidak akan terjadi. Hal ini menunjukan faktor
Islam berfungsi sebagai mekanisme kontrol daripada faktor pendorong utama
dalam kebijakan luar negeri Indonesia.81
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, keinginan untuk
memulihkan kondisi ekonomi dan politik dengan menjalin hubungan baik dengan
negara-negara Barat ternyata mendapat tantangan dari kelompok-kelompok Islam
pasca peristiwa 11 September. Terkait isu global terhadap terorisme, Megawati
mencoba mengikuti agenda pemerintah untuk menjalin hubungan baik dengan
negara-negara Barat sembari mengakomodasi suara Islam dalam kebijakan luar
negerinya. Aspirasi kelompok Islam yang tidak sepenuhnya terakomodasi
menunjukan adanya keterbatasan untuk mengekspresikan faktor Islam dalam
kebijakan luar negeri Indonesia.82
Untuk melihat pengaruh faktor Islam lebih
lanjut, sub bab berikutnya akan memaparkan bagaiamana kebijakan luar negeri
Indonesia merespon ekspektasi internasional akan eksistensi Islam moderat dan
ekspektasi domestik yang menuntut perhatian pada isu-isu dunia Islam.
2. 2. Presentasi Identitas Islam Moderat Indonesia Sebagai Respon atas
Ekspektasi Internasional dan Domestik
Pada bagian ini, pembahasan diuraikan dalam dua kategori, yakni identitas
Islam moderat sebagai mediator antara Barat-Islam dan sebagai model bagi dunia
Islam. Sebelum masuk dalam pokok pembahasan, bagian ini dimulai dengan
memberikan gambaran dampak perang global terhadap teror di kawasan Asia
Tenggara. Hal ini berguna untuk memahami posisi dan sikap Indonesia di
kawasan tersebut, terlebih lagi dalam upayanya mengambil peran yang lebih luas
dalam hubungan internasional.
Bagi kawasan Asia Tenggara, perang global terhadap terorisme justru
lebih membawa pengaruh besar, dibandingkan operasi militer di Irak. Dari sudut
pandang kawasan, perubahan isu keamanan regional bukan disebabkan serangan
11 September, tapi lebih dikarenakan kepemimpinan AS dalam perang melawan
terorisme yang kemudian direspon pemerintah, aktor-aktor politik dan agama di
81 Ibid., hal. 142. 82 Ibid., hal. 143.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
43
Universitas Indonesia
kawasan sebagai urgensi. Akibat dari persepsi tersebut, perang global terhadap
terorisme membawa dua konsekuensi umum di Asia Tenggara.83
Pertama, fokus perhatian dialamatkan pada hubungan antara Al-Qaeda
dan kelompok-kelompok radikal lokal. Secara otomatis, hal ini mendorong
terciptanya peluang kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Barat
dan negara-negara di Asia Tenggara. Beberapa peluang kerjasama itu antara lain,
adanya kerangka kerja untuk meningkatkan bantuan militer; penyebarluasan
informasi intelijen antara negara-negara di kawasan; dan perluasan akses militer
untuk mendukung kerjasama kontra-terorisme.
Kedua, Asia Tenggara diperhitungkan sebagai daerah transit bagi jaringan
terorisme sehingga berpotensi sebagai medan dalam perang melawan terorisme.
Penempatan Asia Tenggara sebagai front kedua dalam perang melawan terorisme
dikemukakan AS saat melancarkan operasi militer di Afghanistan. Istilah front
kedua mencerminkan tingginya tingkat ancaman teroris di Asia Tenggara.
Ancaman yang dimaksud bersumber dari faksi Islam radikal dan milisi bersenjata,
serta kemudahan akses bagi operasi kelompok teroris di daerah perbatasan yang
kurang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat.
Isu utama AS dalam perang global terhadap terorisme bukanlah hanya
memberantas kelompok teroris semata. Hal ini lebih pada bagaimanan
menyesuaikan antara pemberantasan gerakan Islam militan, penguatan
pemerintahan yang bersehabat dan kelompok moderat di dunia Islam.84
Bagi
Barat, Muslim moderat merupakan aliansi potensial yang paling efektif karena
merangkul tradisi yang berbasis pada nilai-nilai masyarakat modern seperti
demokrasi dan pluralisme.85
Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai
musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah ekstrimisme. Karena itu,
jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural, yaitu
rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk
menggempur kediktatoran dan ekstrimisme.86
83 Muslim World after 9/11, op. cit., hal. 391-392. 84
Ibid., hal. 52. 85Angel Rabsa, Cheril Benard, Lowell H. Schwartz, et.al., Building Moderate Network, (RAND
Corporation: Santa Monica, 2007), hal. 3. 86 Benazir Bhutto, Reconciliation: Islam, Democracy, and the West, (London: Simon and Schuster,
2008).
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
44
Universitas Indonesia
Dalam melawan teorisme, strategi yang digunakan Barat tidak lepas dari
promosi demokrasi seperti pengalamannya selama Perang Dingin. Komitmen
terhadap demokrasi sebagaimana yang dipahami dalam tradisi liberal Barat dan
kesepakatan atas legitimasi politik berasal dari kehendak rakyat diungkapkan
melalui pemilu yang demokratis merupakan isu kunci dalam mengidentifikasi
Muslim moderat. Rabasa kemudian merinci Muslim moderat ke dalam empat
karakteristik, yakni penerimaan akan sumber hukum yang non-sekterian;
penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas; dan beroposisi
terhadap terorisme dan aksi-aski kekerasan yang tidak sah. 87
Di sisi lain, Barat menyadari bahwa Islam Moderat kurang memiliki
sumber daya finansial dan organisasional dalam membangun jaringan mereka
sendiri. Kondisi ini bertolak belakang dengan kelompok Islam radikal yang
terbilang sedikit tapi memiliki sumber pendanaan yang kuat dan jaringan yang
luas. Kelompok radikal kebanyakan memperoleh dana dari Saudi selama tiga
dekade terakhir. Dana ini merupakan kepanjangan dari ekspor Wahabisme Islam
versi Saudi yang disengaja atau tidak berdampak pada pertumbuhan ekstremisme
agama di seluruh dunia Muslim.88
Yayasan Saudi Al-Haramain salah satunya,
telah ditutup karena terbukti mendanai sejumlah organisasi teroris dari Bosnia ke
Asia Tenggara. Selain itu, kelompok radikal telah mengembangkan jaringan
selama bertahun-tahun hingga mencapai skala transnasional.89
Perhatian Barat di Asia Tenggara pada dasarnya terletak pada upaya
membangun jaringan Islam Moderat untuk menangkal jaringan terorisme di
kawasan. Pada skala regional, perhatian AS dan Barat tertuju pada Indonesia yang
dianggap sebagai pilar keamanan di Asia Tenggara.90
Dalam pandangan Barat,
Indonesia memiliki peran yang signifikan baik di kawasan maupun di luar
kawasan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak peranannya di dunia internasional
—sebagai pendiri Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), pelopor
87 Building Moderate Network, Op. Cit., hal 67-68. 88 Wahabisme merupakan bentuk internasionalisme Islam yang digunakan Arab Saudi sebagai
bentuk strategi penangkalan ganda dalam menghadapi ancaman internasional yang berasal dari
Nasserisme dan aliran Syi’ah, sekaligus meredam instabilitas internal yang bersumber dari Salafi.
Naved S. Sheikh, the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States,
(London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 45. 89 Building Moderate Network, op. cit., hal. 3. 90 Lena Kay, “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign
Policy”, Issue & Insight, Vol. V/4 (Agustus 2005), hal. 8.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
45
Universitas Indonesia
Gerakan Non-Blok (GNB), dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Mengingat ukuran, posisi, dan peran di kawasan, apa yang terjadi di Indonesia
otomatis akan berdampak di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia
yang stabil menjadi kunci stabilitas kawasan.
Tidak hanya itu, Indonesia pun dianggap memiliki preseden yang baik
dalam pengalaman berdemokrasi. Keberhasilan Indonesia yang telah melakukan
transformasi dari sistem politik otoriter ke sistem yang lebih demokratis ditandai
dengan adanya pemisahan struktur kekuasaan dan prinsip checks and balances,
penyelenggaran serangkaian pemilu mulai dari bupati, gubernur, hingga presiden
dan wakil presiden yang diadakan pada 2004 dan 2009. Menurut Lena Kay,
sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi model bagi
peradaban Islam dalam transisi ke abad ke-21 karena menunjukkan kemitraan
yang layak dan kompatibel antara Islam dan demokrasi.91
2. 2. 1. Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam
Terkait upaya pembangunan jaringan Islam moderat oleh Barat, Indonesia
nampaknya menanggapi ekspektasi tersebut secara positif. Akan tetapi, ekspektasi
tersebut bukanlah satu-satunya alasan mengapa Indonesia mencitrakan identitas
Islam moderat. Cara pandang Indonesia dalam melihat dunia juga memiliki
proporsi yang krusial dalam membangun pencitraan tersebut. Cara pandang
nasional terhadap dunia (worldview) merupakan persepsi dominan dari watak
sistem dunia dan sekaligus mengambil tempat dalam sistem itu sendiri. Menurut
Paige Johnson Tan, meskipun mengalami perubahan kepemimpinan yang drastis,
konsistensi cara pandang Indonesia melihat sistem global tampak dari sejarah
kontemporer negeranya.92
Mulai dari awal kemerdekaan Indonesia hingga kini,
cara pandang tersebut selalu dipenuhi oleh keinginan agar negaranya memiliki
peranan di dunia internasional.
Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004
ternyata tidak mengubah cara pandangan Indonesia untuk mengambil peran aktif
baik di tataran regional maupun global. Cara pandang ini termuat dalam Undang-
91 Lena Kay, h. 3. 92 Paige Johnson Tan, “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign
Policy”, Asian Perspective, Vol. 31/3 (2007), hal. 148.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
46
Universitas Indonesia
undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai Rencana Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005-2025 di mana salah satu sasarannya adalah terwujudnya peranan
Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional. Kepada negara-
negara Barat khususnya, Indonesia nampak mencoba untuk mengklarifikasi
kesalahpahaman pandangan Barat yang mengklaim bahwa kegagalan konsolidasi
demokrasi cenderung terjadi pada negara-negara berpenduduk Muslim.93
Terkait
fakta bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, upaya klarifikasi
kemudian diterjemahkan kebijkan luar negeri dengan mencitrakan diri sebagai
Islam moderat.
Akan tetapi, kemoderatan Islam hanyalah komplemen dari identitas formal
Indonesia. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah I (RPJMN I) 2005-
2009, salah satu sasarannya difokuskan untuk memperkuat dan memperluas
identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat
internasional. Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
Indonesian Council on World Affairs (ICWA) pada 19 Mei 2005. Ia menyatakan,
“We are fourth most populous nation in the world. We are home to the world’s
largest Muslim polulation. We are the world’s third largest democracy. We are
also a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand.”94
Tendensi demokrasi dan Islam moderat sepertinya merupakan upaya
Indonesia dalam mendekatkan diri dengan negara demokrasi maju, khususnya
Barat. Dalam studinya mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru
menggunakan kebijakan luar negerinya, Alison Stanger menemukan bahwa proses
demokrasi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara demokrasi baru
membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih
mapan.95
Untuk menjelaskan fenomena ini, Philips J. Vermonte mengemukakan
dua alasan. Pertama, kebijakan luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk
93 Samuel Huntington, Bernard Lewis, “Communism and Islam” dalam Walter Z. Laqueuer (ed),
the Middle East in Transition, (New York: Frederick A. Praeger, 1958); dan Ellie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture, (Washington DC: Washington Institute for Near East
Studies, 1992). 94 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disampaikan sebelum Indonesian Council on
World Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005. 95 Alison Stanger, “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign
Policies of Interim Governments”, Yossi dan Juan Linz (eds), Between States: Interim
Governments and Democratic Transitions, (Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal.
274-276.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
47
Universitas Indonesia
menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikan.
Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan yang pertama, prospek bagi kerjasama
internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan
semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses
konsolidasi internal.96
Perlu diingat, perekonomian Indonesia menerima banyak tekanan pasca
rangkaian peristiwa bom teror di tanah air sejak Oktober 2002. Ekspor Indonesia
ke AS contohnya, mengalami penurunan. Pada tahun 2001, nilai ekspor Indonesia
berada di kisaran US$ 8,1 juta. Sedangkan pada tahun 2002, nilai ekspor hanya
duduk pada kisaran US$ 7,9 juta. Nilai ekspor terus turun pada tahun 2003 dengan
menempati jumlah US$ 7,7 juta.97
Akibat lain dari instabilitas kebijakan domestik
yang ditimbulkan teror bom adalah peningkatan credit risk yang tidak menyisakan
sedikit pun kemungkinan bagi munculnya investasi, baik dari pihak asing maupun
domestik.98
Bahkan, banyak investor yang lari dari Indonesia dan lebih memilih
China sebagai ladang investasi, sehingga berdampak pada menurunnya
perekonomian Indonesia dan tingginya angka pengangguran.99
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tujuan dari aksi teror bom di
Indonesia yang umumnya dialamatkan pada simbol-simbol Barat. Akibatnynya,
sejumlah kedutaan besar seperti AS, Australia, dan beberapa negara Eropa Barat
mengeluarkan ketentuan pemberian visa yang lebih berat bagi warganya yang
hendak berpergian ke Indonesia. Secara psikologis pun, isu teror bom di tanah air
juga diduga telah mengurangi minat para wisatawan asing (wisman) datang ke
Indonesia. Akibatnya, pariwisata menjadi sektor yang mendapat imbas cukup
besar dari isu teror bom, seperti terlihat pada grafik berikut.
96 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, Bantarto Bandoro ed., Mencari Desain Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Jakarta:
Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS) , 2005, hal. 29. 97 International Monetary Fund (IMF), Direction of Trade Statistics Yearbook 2006, Washington
DC, h. 536. 98 Sjahrir, “Bali, Bangsa, dan Masa Depan” dalam Transisi menuju Indonesia Baru, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 130. 99 BAPPENAS, Perekonomian Indonesia tahun 2004: Prospek dan Kebijakan, Jakarta, 2003, h.
11.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
48
Universitas Indonesia
Grafik 2. 3 Jumlah Kedatangan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan
Australia 2001-2006
Sumber: diolah dari www.bps.go.id (2002-2006)
Pada grafik di atas tampak jumlah wisman yang berasal dari Eropa,
Amerika Utara, dan Australia menurun drastis. Pada 2002, wisman dari ketiga
kawasan tersebut mencapai lebih dari 1,4 juta orang, sedangkan pada tahun 2003
hanya sekitar satu juta orang. Tiga tahun pasca tragedi, kunjungan wisman dari
kawasan tersebut memang menunjukan peningkatan, tetapi penurunan kembali
terjadi ketika Bali yang menjadi simbol surga pariwisata Indonesia kembali
diguncang teror pada 2005. Berkurangnya kunjungan wisman ini berdampak pada
penurunan devisa negara di sektor pariwisata, seperti tampak pada grafik berikut.
Grafik 2. 4 Penerimaan Devisa dari Kunjungan Wisman Asal Amerika
Utara, Eropa, dan Australia 2001-2006
Sumber: Diolah dari Rencana Strategis Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata (2010 – 2014)
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
49
Universitas Indonesia
Dari grafik tersebut, penurunan devisa yang diterima sektor pariwisata
mencapai -4,7 persen pada 2001 jika dibandingkan dengan tahun 2000. Angka ini
tidak menunjukan perbaikan bahkan cenderung terjun bebas pada tahun 2002 dan
2003, yakni -17,18 persen dan -10, 21 persen. Meski terdapat kenaikan hingga
18,83 persen pada 2004, devisa negara kembali menurun pasca terjadinya Bom
Kuningan di Kedutaan Besar Australia pada 2004, yaitu sebesar -5,75 persen pada
2005 dan -1,66 persen pada 2006.
Besarnya kerugian ekonomi dan politis yang dirasakan sepertinya menjadi
salah satu alasan Indonesia untuk berusaha menghilangkan gambaran teror bom
yang dimotori oleh gerakan-gerakan Islam radikal. Usaha ini dilakukan Indonesia
dengan memberikan pencitraan Islam moderat, khususnya pada negara-negara
Barat. Untuk menjalin kerjasama yang berkesinambungan dengan dunia Barat,
Indonesia mengupayakan proses dialogis yang ditempuh melalui jalur diplomasi.
Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, P. L.
E. Priatna mengungkapkan, Islam moderat hanyalah bagian dari pencitraan dalam
mempromosikan demokrasi yang digerakan melalui diplomasi.100
Bentuk-bentuk
dialog intensif yang diadakan oleh Indonesia antara lain dialog antar kepercayaan
(inter-faith), antar budaya (inter-cultural), dan antar peradaban (inter-civilization).
Hal ini dimaksudkan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman antar
agama dan kepercayaan, budaya, dan peradaban yang berbeda.
Eksplorasi dari proses ini berlangsung secara bilateral, regional, maupun
multilateral. Proses dialogis yang terwujud melalui hubungan bilateral dapat
dilihat dari diselenggarakannya konferensi unity in diversity: the culture of
coexistence in Indonesia antara Indonesia dan Italia. Sepanjang tahun 2008,
Indonesia telah melakukan interfaith dialog dengan Inggris, Austria, New
Zealand, Belanda, Kanada, Lebanon, dan Australia. Sedangkan dalam kerangka
regional dan multilateral, dialog-dialog serupa dapat ditemukan dalam ASEM
sejak tahun 2005.101
Khusus kawasan Asia Pasifik, konferensi Asia Pasific tentang
100 Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012. 101 Kegiatan ini telah diadakan di Cyprus, Beijng, dan Belanda.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
50
Universitas Indonesia
interfaith dialogue and cooperation juga telah dimulai pada 2004 dengan
mengambil tempat di Yogyakarta.102
Inisiatif lain yang diambil Indonesia dalam pencapaian sasaran tersebut
adalah dengan menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF) sejak tahun
2008. Forum yang berlangsung pada tataran inter-pemerintahan ini menempatkan
Indonesia sebagai pihak yang mempelopori forum khusus yang membahas tentang
demokrasi di kawasan Asia. Agar BDF lebih terasa implementatif, Indonesia
membentuk Institute for Peace and Democracy (IPD) yang mendorong pertukaran
pandangan dan pengalaman melalui berbagai kegiatan seperti workshop, seminar,
kuliah umum, dan pelatihan bagi aparatur negara. Berikut ini merupakan tabel
agenda penyelenggaraan BDF yang diinisiasi oleh Indonesia.
Tabel 2. 3 Pelaksanaan Bali Democracy Forum
Waktu Co-chair Tema Jumlah
Peserta
10-11
Desember 2008
Australia Building and Consolidating
Democracy: A Strategic
Agenda for Asia
40 negara
10-11
Desember 2009
Jepang Promoting Synergy between
Democracy and Development
in Asia: Prospects
for Regional Cooperation
48 negara
9-10
Desember 2010
Korea
Selatan
Democracy and the Promotion
of Peace and Stability
86 negara
8-9
Desember 2011
Bangladesh Participation in Changing
World: Responding to
Democratic Voices
82 negara
Sumber: diolah dari www.deplu.go.id
Tabel di atas memperlihatkan peningkatan antusiasme negara-negara di
dunia pada acara BDF. Pada gilirannya, antusiasme tersebut melahirkan interaksi
yang lebih intensif antara Indonesia dengan negara-negara yang menghadiri acara
tersebut, khususnya negara-negara demokrasi Barat. Pengakuan atas kredibilitas
Islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan demokrasi pun banyak
berdatangan dari negara-negara Barat.
102 Kegiatan ini sudah terlembaga dan berlanjut tiap tahunnya. Secara berurutan, kegiatan ini telah
diadakan di Seibu, Hawaii, Tangi New Zealand, Kamboja, dan Australia.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Tidak hanya pengakuan, pencitraan identitas Islam moderat yang
dilakukan Indonesia sepertinya juga mendapat motivasi dari Barat. Dalam catatan
Rizal Sukma yang menghadiri acara Wilton Park Conference di Inggris pada
Maret 2010, masyarakat internasional mengharapkan agar Indonesia dapat
memainkan peran sebagai suara Islam dunia.103
Ekspektasi ini bermuara pada
saran agar Indonesia Indonesia dapat menjadi mediator antara Barat dan dunia
Islam. Tidak hanya itu, Islam moderat Indonesia juga diharapkan dapat menjadi
model alternatif yang mungkin diterapkan bagi masyarakat muslim lainnya.104
Secara eksplisit, Presiden AS Barack obama mengatakan, Indonesia sebagaimana
Chile dan Korea Selatan dapat dijadikan model demokrasi yang baik bagi
Mesir.105
Untuk menjadi preseden alternatif Islam bagi kawasan Timur Tengah,
kebijakan luar negeri Indonesia telah memiliki modal kuat pasca reformasi. Modal
itu adalah Indonesia dianggap mampu untuk mensinergikan nilai-nilai demokrasi
dengan Islam. Menurut Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Indonesia
merupakan negara Muslim yang berhasil melakukan transisi kebijakan dari
kediktatoran menuju demokrasi.106
Untuk itu, Indonesia harus mendemonstrasikan
kepada dunia, bahwa Islam yang bergandengan dengan demokrasi juga dapat
menjadi kekuatan positif yang turut berpartisipasi dalam menyelesaikan
permasalahan internasional.
Harapan Barat agar identitas Islam moderat Indonesia dapat menjadi
model alternatif tidaklah lepas dari pandangan akan banyaknya rezim otoriter di
dunia Islam, khususnya Timur Tengah dan Afrika Utara. Dalam indeks demokrasi
2010 yang dikeluarkan the Economist Intelligence Unit, kedua wilayah ini
merupakan kawasan yang paling represif di dunia.107
Tabel berikut akan
memberikan rincian pengukuran demokrasi dari negara-negara yang masuk dalam
laporan tersebut.
103 Dewi Fortuna Anwar, loc. cit., hal 38-39. 104 Ibid, hal. 45. 105
Ben Smith, “Obama Suggest Indonesia, Chile as models for Egypt”, Politico, 2 Maret 2011. 106 Mathew Lee, “Clinton: Indonesia Can be Democratic Role Model”, the Jakarta Post, 24 Juli
2011. 107 The Economist Intelligence Unit, “Democracy in Retreat”, Democarcy Index 2010, London,
2010.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
52
Universitas Indonesia
Tabel 2. 4 Negara-negara dengan Rezim Otoriter di Timur Tengah dan
Afrika Utara
Negara Peringkat
demokrasi
Total
Skor
Pemilu &
Pluralisme
Fungsi
Pemerintah
Partisipasi
Politik
Budaya
Politik
Kebebasan
Sipil
Kuwait 114 3,88 3,58 429 333 438 382
Maroko 116 3,79 3,50 4,64 1,67 5,00 4,12
Yordania 117 3,74 3,17 4,64 3,33 3,75 3,82
Bahrain 122 3,49 3,58 4,29 3,33 4,38 3,82
Algeria 125 3,44 2,17 2,21 2,78 5,63 4,41
Qatar 137 3,09 0,00 3,21 2,22 5,63 4,41
Mesir 138 3,07 0,83 3,21 2,78 5,00 3,53
Oman 143 2,86 0,00 3,57 2,22 4,38 4,12
Tunisia 144 2,79 0,00 2,86 2,22 5,63 3,24
Yaman 146 2,64 1,33 1,79 3,89 5,00 1,18
UAE 148 2,52 0,00 3,57 1,11 5,00 2,94
Sudan 151 242 0,00 1,43 3,33 5,00 2,35
Syiria 152 2,31 0,00 2,50 1,67 5,63 1,76
Iran 158 1,94 0,00 3,21 2,22 2,50 1,76
Libya 158 1,94 0,00 2,14 1,11 5,00 1,47
Arab Saudi
160 1,84 0,00 2,86 1,11 3,75 1,47
Sumber: the Economist Intelligence Unit (2010)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa hampir seluruh pemerintahan di
kawasan ini mencegah kebebasan berpolitik. Bentuk pemerintahan yang otoriter
dan represif di Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menyebabkan
ketimpangan ekonom-sosial masyarakat sehingga tuntutan akan perubahan politik
tak dapat dihindari.
2. 2. 2. Identitas Islam Moderat Sebagai Model Alternatif bagi Dunia Islam
Peranan yang hendak dicapai Indonesia melalui pencitraan identitas Islam
moderat agaknya mengalami metamorfosis ketika dihadapkan pada pergolakan
politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang notabene negara berpenduduk
mayoritas Muslim. Tuntutan akan perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika
Utara telah mengiinspirasi Indonesia untuk memainkan peran model Islam
moderat.
Perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara diawali dengan
keberhasilan para demonstran di Tunisia yang menjatuhkan rezim Zine El Abidin
Ben Ali. Hal ini disusul dengan mundurnya Housni Mubarak setelah 30 tahun
memimpin Mesir — yang memegang posisi kunci di jazirah Arab. Efek domino
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
53
Universitas Indonesia
dari aksi-aski di Tunisia dan Mesir segera menjangkiti warga Libyia, Aljazair,
Suriah, Yordania, Yaman, dan Libanon seperti yang terlihat dari gambar berikut
ini.108
Sumber: Gatra (2011)
Gambar 2. 5 Efek Domino dari Perubahan Politik di Tunisia dan Mesir
Revolusi ini menjadikan internet sebagai kunci penggerak revolusi. Media
sosial khususnya, merupakan instrumen penggerak emosi massa untuk berkumpul
dan melakukan aksi protes yang menuntut kemunduran terhadap pemerintahan
otoriter dan penyelenggaran pemilu yang demokratis. Salah satu pemicu aksi-aksi
protes di negara-negara tersebut adalah besarnya kesenjangan ekonomi-sosial.
Berdasarkan laporan dari Arab Human Development Report 2009, peningkatan
jumlah populasi manusia yang tajam di negara-negara jazirah Arab berimplikasi
pada kesimbangan distribusi air dan makanan, serta keterbatasan ketersediaan
lapangan pekerjaan.109
Pada tahun 2020, negara-negara di kawasan ini diprediksi akan
membutuhkan pekerjaan bagi 51 juta warganya. Pihak yang paling rentan
terhadap ancaman ini adalah kalangan muda Arab, khususnya perempuan.
Keadaan ini diperburuk oleh struktur kebijakan dan ekonomi di negara-negara
108 “Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Tahun XVII, 10-16 Februari
2011, h. 93. 109 UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security in the Arab
Countries”, Arab Human Development Report 2009, New York, hal. 10.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
54
Universitas Indonesia
jazirah Arab seperti di Aljazair, Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman yang rata-rata
didominasi oleh rezim yang borjuis, represif, dan otoriter.
Dari berbagai aspek yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara
memiliki banyak persamaan dengan Indonesia pada massa reformasi 1998. Dilihat
dari aspek sosio kultural, Indonesia adalah rumah bagi Muslim terbesar di dunia.
Begitu pula Timur Tengah-Afrika Utara yang berpenduduk mayoritas Muslim
karena alasan historis yang menjadikannya sebagai tempat turunnya agama Islam.
Sedangkan pada aspek sistem kebijakan, kedua kawasan tersebut sama-sama
pernah dinaungi pemimpin otoriter yang didukung kalangan militer melalui
jaringan politis yang luas dan patronase finansial. Sistem kebijakan yang
dijalankan selama pemerintahan otoriter adalah secular nasionalis dengan
memonopoli kekuasaan negara. Keduanya meminggirkan kekuatan kebijakan
Islam dan sama-sama mengekang gerak media serta pihak oposisi.
Dilihat dari aspek fenomenologis, aksi demonstrasi di Indonesia dan
Timur Tengah-Afrika Utara juga tidak jauh berbeda. Pemicunya adalah faktor
eksogenus, yaitu krisis yang menimbulkan efek domino. Sedangkan pelaku protes
ialah pemuda yang merasa kecewa akan besarnya jurang pemisah antara
pembangunan kebijakan dengan pertumbuhan ekonomi. Instrumen persuasif
dalam melakukan aksi demonstrasi juga sama-sama mengandalkan jaringan
internet. Respon dari pemerintahan yang diprotes juga tidak jauh dari aksi
kekerasan hingga pembunuhan para demonstran. Kerusuhan yang terjadi selama
demonstrasi berlangsung pun semakin memepertajam opini publik dalam
melawan rezim yang berkuasa.
Dari diskripsi di atas, terdapat pengalaman paralel antara kawasan Timur
Tengah-Afrika Utara dan Indonesia. Indonesia yang merasa pernah merasakan
pengalaman yang sama sepertinya menunjukan keinginan untuk melakukan
sharing experience dalam rangka menjadikan dirinya model bagi dunia Islam,
khususnya jazirah Arab. Dalam wawancara di CNN yang ditayangkan 15 Juni
2011, SBY menyatakan bahwa Indonesia dapat menjadi model di mana Islam dan
demokrasi dapat bergandengan dan tidak ada kontradiksi di antara keduanya.
Lebih lanjut SBY menjelaskan, jika Indonesia dapat memegang demokrasi
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
55
Universitas Indonesia
sekaligus menghormati nilai-nilai Islam secara bersamaan, maka negara-negara
Timur Tengah juga dapat melakukan hal yang sama.110
Secara historis, Indonesia memiliki kedekatan hubungan dengan kawasan
Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagi Indonesia, kawasan Timur Tengah dan
Afrika Utara telah berkontribusi besar bagi kelahiran Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa. Menurut Muhammad Hatta, kemenangan perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia dimulai dari kemenangan diplomasi di Timur Tengah.111
Pengakuan de facto dan de jure dari negara-negara Arab yang dipelopori Mesir
dan disusul Suriah yang gigih mendorong PBB untuk memasukan “Indonesian
Question” ke dalam agenda siding Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah
membuka jalan bagi pembentukan United Nations Commision for Indonesia
(UNCI). Titik klimaks dari solidaritas negara-negara Timur Tengah berupa
pengakuan kedaulatan RI pada 1949.
Dari sinilah terlihat pola awal yang kelak membentuk karakter hubungan
Indonesia dan Timur Tengah. Hubungan keduanya tidak hanya berlandaskan pada
hubungan formal diplomatik semata, tetapi diperkuat dengan solidaritas
perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
nasional berdasarkan semangat persaudaraan kultural yang mendalam.112
Atas
nama solidaritas pula, Indonesia memasukan agenda mengenai penggalangan
dukungan bagi kemerdekaan bangsa-bangsa di Timur Tengah, khususnya
Palestina dan Sudan, ke dalam tema besar KAA pada 1955. Konferensi yang
diselenggarakan di Bandung ini mewariskan Dasa Sila Bandung yang menjadi
fondasi dari semangat persaudaraan antara bangsa-bangsa di kawasan Asia,
Afrika, dan Timur Tengah.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa semangat solidaritas dan persaudaraan
menjadi corak khas hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara. Untuk menjaga konsistensi dari aplikasi kebijakan luar
negeri Indonesia di kawasan tersebut, semangat tekstual dalam Dasa Sila Bandung
110 Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Andrew Steven ditayangkan di
CNN, 15 Juni 2011. 111 Ronny Prasetyo Yuliantoro, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan
Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis”, Jurnal Diplomasi, Vol.
3/ 2, (Juni 2011), hal. 2-3. 112 Ibid., hal. 3-4.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
56
Universitas Indonesia
ini dikonstekstualisasikan sesuai kondisi yang tengah terjadi. Untuk mengambil
peran model alternatif di Timur Tengah dan Afrika Utara, kebijakan luar negeri
Indonesia tampak diaplikasikan secara hati-hati sebagai bentuk konsistensi
Indonesia atas prinsip non intervensi sesuai Dasa Sila Bandung. Dalam prinsip
penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial, Indonesia
berpandangan bahwa aspirasi menuju pencapaiannya juga harus tumbuh secara
internal (home grown) dan tidak dipaksakan dari luar oleh aktor-aktor eksternal.113
Atas dasar proses transfer ide, upaya Indonesia dalam membagi
pengalaman (sharing experience) kemungkinan akan dilakukan dengan
memperhatikan faktor kekhasan kultural (indigenous uniqueness) dari kawasan
tersebut. Hal ini ditujukan untuk membantu menyelesaikan gejolak sosial dan
politik yang tengah terjadi di kawasan tersebut. Agar tidak terkesan mendikte atau
menggurui, proses berbagi pengalaman diapliasikan Indonesia dalam BDF IV
dengan mengundang beberapa negara Timur Tengah seperti Yordania, Qatar,
Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Yaman.114
Selain itu, melalui IPD, Indonesia
juga melakukan people to people initiative dengan Timur Tengah dalam program
Workshop on Egypt-Indonesia Dialogue on Democratic Transition pada Mei
2011.
Bagi komunitas Muslim dalam negeri, perubahan politik di Timur Tengah
dan Afrika Utara dapat dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk menjalin
hubungan yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Secara historis, hubungan
Indonesia dan negara-negara Timur Tengah tidak berkembang secara cepat pasca
pengakuan kemerdekaan nasional oleh Mesir, Irak, dan Syiria. Sepanjang
pemerintahan Soeharto khususnya, Indonesia tidak pernah berusaha untuk
menjadi pemimpin dari gerakan Islam meskipun memiliki penduduk Islam
terbesar di dunia. Sebaliknya, Indonesia lebih tertarik untuk menjadi pemimpin
Gerakan Non-Blok (GNB).115
Komunitas Muslim memandang, isu utama dalam kebijakan luar negeri
Indonesia dalam hubungannya dengan Islam bukanlah bagaimana
113
Ibid., hal. 12. 114 Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9
December 2011. 115 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES,
1998), hal. 218.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
57
Universitas Indonesia
memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri secara Islami.
Akan tetapi, lebih pada kebutuhan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-
negara Muslim dan menaruh perhatian terhadap isu-isu di dunia Islam sekaligus
melakukan inisiatif yang berarti terhadap isu tersebut. Mereka umumnya
berpandangan, adalah absurd jika Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar
hanya menduduki posisi pinggiran dan memainkan peran marginal di dunia
Islam.116
Seiring dengan ekspektasi akan keharmonisan hubungan Indonesia dan
Timur Tengah, bermunculan pula harapan agar hubungan tersebut dapat
memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Harapan ini disandarkan pada
kenyataan bahwa meski perdagangan kedua kawasan tidak mengindikasikan
penurunan, hubungan ekonomi Indonesia-Timur Tengah masih belum mencapai
tahap yang diharapkan. Nilai dagang Indonesia-Timur Tengah masih jauh di
bawah nilai perdagangan Indonesia-AS atau Indonesia-Eropa. Padahal, Timur
Tengah memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun.117
Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, investasi Timur Tengah
di ternyata relatif minim. Dibandingkan dengan investasi Jepang dan Korea,
Selatan, Indonesia masih belum menjadi salah satu tempat tujuan investasi utama
negara-negara Timur Tengah. Perlu diketahui, potensi investasi dari Timur
Tengah dianggap sangat signifikan, khususnya dari Qatar dan Uni Emirat Arab
(UEA) yang masuk menjadi bagian dari tiga besar negara dengan nilai PDB
tertinggi di dunia versi World Bank.118
Optimisme terhadap perkembangan bisnis di Timur Tengah juga terlihat
dari beberapa kegiatan kunjungan delegasi pengusaha dari kawasan tersebut ke
Indonesia selama semester pertama 2011. Berdasarkan data Kadin Indonesia
Komite Timur Tengah, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan ICCI, kegiatan
kunjugan dan forum bisnis antara Indonesia dengan Timur Tengah telah dilakukan
beberapa kali mencakup kegiatan penjajakan bisnis. Delegasi bisnis Iran selama
semester satu 2011 telah melakukan dua kali kunjungan pada, pada Februari dan
116
Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia” dalam
Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 437. 117 118 Fachry Thaib, “Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap Kepentingan Ekonomi
Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Vol. 3/2 (2011), hal. 35-42.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
58
Universitas Indonesia
Mei 2011. Dalam forum bisnis antara kedua negara yang diadakkan pada akhir
Mei 2011, sejumlah sektor menjadi fokus bahasan termasuk sektor minyak dan
gas, pertanian, keuangan, peralatan industri, dan kertas.119
Selain itu, Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menjadi tujuan
utama sektor jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sektor ini merupakan
penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dari sektor ini,
Indonesia memperoleh devisa sebesar US$ 6,617 miliar pada tahun 2009.120
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BPN2TKI), dari sekitar 3,8 juta TKI yang ditempatkan di luar negeri,
lebih dari 50% bekerja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.121
Besarnya
penempatan TKI di kawasan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. 5 Penempatan TKI di Timur Tengah dan Afrika Utara (2006-2011)
Negara
Penempatan 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah
Saudi Arabia 281.087 257.217 234.644 276.633 228.890 137.643 1.416.114
UEA 22.685 28.184 38.092 40.391 37.337 39.857 206.546
Kuwait 24.600 25.756 29.218 23.041 563 2.723 105.901
Qatar 7.980 10.449 8.582 10.010 13.559 16.578 67.158
Yordania 10.978 12.062 11.155 10.932 5.695 134 50.956
Oman 5.210 7.150 8.309 9.700 9.259 7.292 46.920
Bahrain 639 2.267 2.324 2.837 4.844 4.375 17.286
Syria - - - 1.155 6.381 4.222 11.758
Aljazair - - 499 453 609 1.084 2645
Libya - - 114 35 251 83 483
Mesir - - - 2 13 265 280
Yaman - 123 90 30 7 59 309
Total 1.926.356
Sumber: diolah dari BPNP2TKI (2006-2011)
Tabel di atas menunjukan bahwa kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara
masih menjadi tujuan utama penempatan TKI di luar negeri. Besarnya jumlah
tersebut sudah seharusnya diiringi dengan upaya pengawasan dan perlindungan
119 Ibid. 120 Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari
http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban pada tanggal 10
Desember 2012, pukul 14.22 wib. 121 "Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari
http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-penempatan-per-tahun-per-
negara-2006-2012.html pada tanggal 11 Desember 2012, pukul 13.00 wib.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
59
Universitas Indonesia
dari pemerintah agar kasus kekerasan terhadap TKI tidak terus berulang.
Sejumlah moratorium pun telah disepakati antara Indonesia secara bilateral
dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, dan Syiria untuk melindungi TKI yang
khususnya berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).122
Walau
demikian, kekerasan terhadap TKI masih saja terjadi di kawasan yang kental akan
tradisi Arab.
Faktor kesamaan agama ternyata tidak membuat bangsa-bangsa Arab
menaruh simpati dan hormat pada Indonesia. Dunia Arab kurang menunjukan
minat pada Asia secara umum, apalagi bentuk sosio-kultural Islam di Indonesia.123
Terkait hal ini, Nurcholish Madjid memberikan penjelasan secara komprehensif.
Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling jauh dari
pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Pada kondisi yang demikan, Islam di
Indonesia pun berkembang dalam tradisi yang berbeda. Indonesia merupakan
negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Sebagai penduduk
Muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia tidak menggunakan huruf Arab untuk
bahasa nasionalnya. Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan
unsur budaya lokal membuat Islam di Indonesia sering kali dianggap pinggiran
oleh dunia Arab. Karena keadaannya yang mengesankan sebagai bersifat
pinggiran itu, Islam di Indonesia sering dipandang tidak atau sekurangnya belum
bersifat Islam secara sebenarnya.124
Akibatnya, banyak negara-negara Arab
cenderung memandang rendah muatan Islam di Indonesia.125
Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya Indonesia
mencitrakan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya merupakan
bentuk pencitraan simbolik dalam interaksi sistem internasional. Menurut George
Cronk, dengan pemberian isyarat dan pengambilan peran yang diungkapakan
dalam sistem sosial telah membawa aktor ke dalam penerimaan peran dan aturan
122 "Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-diperpanjang-moratorium-tki-
ke-timur-tengah pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 16.50 wib. 123 Martin van Bruinessen, "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World of Islam",
Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third Giant, (Singapore: ISEAS Publishing, 2012),
hal. 121-122. 124 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 42-
44. 125 Dewi Fortuna Anwar, loc. cit. hal. 49
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
60
Universitas Indonesia
simbolik pada proses interaksi sosial.126
Dalam hal ini, Indonesia telah
memunculkan diri dalam seperangkat kekhususan — identitas Islam moderat —
pada hubungan sosial dengan negara-negra lain yang terlibat dalam himpunan
proyek-proyek sistem internasinal. Karena pada dasarnya, diri selalu merupakan
cerminan dari hubungan sosial tertentu yang didirikan atas modus tertentu dari
aktivitas kelompok yang bersangkutan.127
126 George Cronk, Symbolic Interactionism: a Left-Meadian Interpretation," Social Theory and
Practice, Vol. 2/3 (Spring 1973), hal. 323. 127 Ibid., hal 324.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
61
Universitas Indonesia
BAB 3
FAKTOR DAN AKTOR
DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS ISLAM MODERAT INDONESIA
Pada bab sebelumnya telah dibahas bagaimana Perang Global terhadap
Teror yang diakibatkan peristiwa 11 September mempengaruhi cara pandang
Barat dan Dunia Islam. Narasi konfrontatif yang mendominasi cara pandang
keduanya melahirkan sentimen tersendiri sebagai bentuk pembedaan. Keragaman
sikap yang diperlihatkan dunia Islam pun menunjukan perbedaan posisi Islam
dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri di masing-masing negara.
Sebagai negara Muslim terbesar dunia, sikap Indonesia terhadap Perang
Global terhadap Terror diaggap Barat identik dengan kemoderatan Islam. Hal ini
kemudian memunculkan ekspektasi agar Indonesia dapat menjadi mediator antara
Barat-Islam dan model Islam alternatif. Ekspektasi ini ditanggapi positif oleh
Indonesia dengan mempromosikan identitas Islam moderat.
Bagaimanapun juga, identitas merupakan fenomena kognitif yang dialami
aktor sehingga mekanisme pembentukannya tidak lepas dari faktor-faktor yang
terbangun dari lingkungan sosialnya. Menurut C. Mouffle, identitas adalah
persoalan megenai bagaimana menggunakan sumber daya sejarah, bahasa, dan
kebudayaan dalam proses menjadi. Identitas itu tunduk pada proses menyejarah
secara radikal dan terus-menerus berada dalam proses perubahan dan
transformasi; Individu-individu sendiri tersusun dari banyak identitas, dan
keberagaman identitas individu ini dikonstruksikan dalam konteks yang berbeda-
beda.128
Dengan demikian, struktur bab ini terdiri dari dua bagian. Pertama, faktor-
faktor pembentuk identitas Islam moderat sesuai dengan kondisi sosio-kultural di
Indonesia. Kedua, aktor-aktor pembentuk identitas Islam moderat Indonesia
dalam kebijakan luar negeri.
128 C. Mouffle, “Hegemony and New Political Subject: Toward a New Concept of Democracy”
dalam ed. K. Nash, Readings in Contemporary Political Sociology, (Oxford: Blackwell
Publisher,2000), hal 295-309.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
62
Universitas Indonesia
3. 1. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia
Istilah Islam moderat tidak lepas dari perspektif Barat yang umumnya
ditujukan untuk membedakan Islam garis keras atau radikal. Untuk mendapatkan
informasi yang berimbang, sub bab ini akan memberikan penjelasan istilah Islam
moderat dalam batasan yang dipemahami dan diyakini oleh kalangan Muslim di
Indonesia. Kalangan intelektual Islam Indonesia lebih memilih untuk
memadankan terminologi Islam moderat dalam bahasa Arab modern. Baik
Nurcholish Madjid maupun Ulil Abshar-Abdalla berpendapat, padanan kata
moderat dalam bahasa Arab modern adalah wasat atau wasatiyya. Hal ini
dimaksudkan untuk menerjemahkan konsep Islam moderat dengan memakai
konsep wasat yang terdapat dalam Quran. Secara tersurat, wasat berarti tengah-
tengah (moderat) atau adil. Islam moderat dalam bahasa Arab modern disebut
sebagai al-Islam al-wasat.
Awalnya, makna tersirat dari kata wasat memiliki dua ruang, yakni
individual (privat) dan sosial (publik). Dari segi individual, sikap wasat yang
dimaksudkan Quran adalah agar tiap muslim bersikap tidak berlebih-lebihan atau
ekstrim. Sikap moderat ini berlaku baik dalam menjalani kehidupan duniawi
(material) dan ukhrawi (spiritual). Sedangkan pada segi sosial, sikap moderat
dimaknai sebagai tugas umat Islam untuk menjadi penengah bagi umat-umat
lainnya. Dalam hal ini, konsep wasat berhubungan erat dengan konsep kesaksian.
Ulil memaknai konsep kesaksian di sini sebagai tugas yang dipikul umat Islam
untuk meluruskan sikap-sikap ekstrim yang ada pada dua kelompok agama pada
zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan
Nasrani.129
Khususnya pada ruang sosial, pengertian wasat mengalami pergeseran.
Sebab dalam perkembangannya, umat Islam memiliki ekstrimisme sendiri. Istilah
Islam moderat atau al Islam al Wasat pun digunakan sebagai kritik internal dalam
diri umat Islam. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran,
seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan
konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat
129 Ulil Abshar-Abdalla, “Islam Moderat” diakses dari http://islamlib.com/id/artikel/islam-moderat
pada tanggal 2 Mei 2012, pukul 13.40 wib.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
63
Universitas Indonesia
pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah
secara lentur.130
Begitu pun kontekstualisasinya pada penerapan Islam di Indonesia.
Masyarakat Indonesia memaknai Islam moderat sebagai Islam yang penuh rasa
toleransi, perdamaian, keseimbangan dan mengutamakan dialog dalam
memecahkan suatu masalah. Pemahaman umum ini tidak lepas dari tiga faktor
utama yang menginisiasi pembentukan Islam moderat di Indonesia, yaitu
pluralisme, modernisasi, dan demokrasi.
3. 1. 1. Pluralisme
Berbicara tentang Islam di Indonesia tidaklah lepas dari pluralisme yang
merupakan basis kemoderatan. Hal ini diafirmasi oleh Direktur Jendral Informasi
dan diplomasi Deplu RI Andri Hadi yang mengungkapkan, pluralisme
keIndonesiaan yang disatukan dengan Islam akan memunculkan model middle
path, yaitu Islam moderat.131
Korelasi antara Islam dan pluralisme di Indonesia
dapat dengan mudah dipahami baik dari perspektif teologis maupun sosiologis.
Dari pandangan teologis, konsep-konsep dalam Islam telah mengarahkan
Muslim untuk menghormati pemeluk agama yang berbeda. Sebab, masyarakat
yang plural secara religius sesungguhnya telah terbentuk sebelum kehadiran Islam
dan pluralitas sudah menjadi kesadaran umat Muslim.132
Pluralitas agama tidak dapat dinafikkan, bahkan oleh ajaran Islam sendiri.
Secara lebih rinci, Abdul Moqsith Ghazali menguraikan pengakuan atas pluralitas
agama yang ditemukan dalam Al-Quran. Menurutnya, pluralitas agama dan umat
beragama adalah kenyataan. Karenanya, setiap penganut agama seyogyanya
mengetahui bahwa dirinya hadir selalu bersama dengan yang lain. Satu identitas
akan bertemu dengan identitas lain. Kalaupun terjadi perselisihan antara umat
Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum
billatî hiya ahsan).133
130 Ibid. 131
Andri Hadi, “Demokrasi bukan Produk Barat”, Jurnal Diplomasi, Vol. 1/1 (Juni 2009), hal.
167. 132 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-
Auran, (Depok: Katakita, 2009), hal. 5. 133 Ibid, hal.391.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Sedangkan secara sosiologis, terbentuknya pluralisme di Indonesia
tidaklah lepas dari keberagamanan sosio-kultural masyarakatnya. Didiami ribuan
etnis dan suku yang tersebar di belasan pulau, bangsa ini terikat dalam satu
perasaan keIndonesiaan. Perasaan ini kemudian dituangkan dalam semboyan
negara, Bhineka Tunggal Ika yang diterjemahkan dengan kalimat berbeda-beda
tetapi tetap satu. Dari semboyan filosofis tersebut dapat diketahui bahwa sudah
sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman
sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.134
Dari
kesadaran untuk hidup berdampingan itulah pluralisme tumbuh. Pada dasarnya,
pluralisme mengacu pada ko-eksistensi dari banyak nilai-nilai dalam masyarakat
dengan tujuan yang memungkinkan individu untuk mengejar kebahagiaan.
Pluralisme memandang ko-eksistensi dari perbedaan nilai sebagai nyata, tidak
dapat dihindari, serta berpotensi berguna dan baik. 135
Diskripsi di atas cukup menjelaskan bagaimana pluralisme melekat kuat
dalam tradisi Islam di Indonesia. Sedangkan menurut Rizal Sukma, pluralisme
merupakan karakteristik utama masyarakat Islam Indonesia.136
Pluralisme yang
merupakan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia telah mempengaruhi Islam yang
toleran sejak awal perkembangannya di tanah air. Rasa toleransi ditunjukan
terhadap tradisi yang sudah lama berkembang, seperti Hindu, Budha, dan Jawa.
Asimilasi antara nilai-nilai lokal dengan Islam pun sering kali terjadi. Jika
pluralisme merupakan faktor endogen yang mempengaruhi karakter Islam
Indonesia, maka asal kedatangan Islam adalah faktor eksogen yang memperkuat
karakter tersebut. Pasalnya, Islam Indonesia tidak hanya berasal dari satu tempat
saja.
Terdapat tiga pendapat umum yang menjelaskan asal muasal Islam.
Pendapat pertama mengklaim bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat,
India. Tendensi utama dari pendapat ini ada pada arti penting Gujarat sebagai
pelabuhan tempat bertolaknya saudagar-saudagar Hindu dan Islam ke Indonesia.
134 Turita Indah Setyani, “Bhineka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa” disampaikan
pada Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya,
dan Seni Daerah se-Indonesia, di Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009, hal. 3. 135 Eva Wollenberg, Jon Anderson and Citlalli López, Though all Things Differ: Pluralism as a
Basis for Cooperation in Forests, (Bogor: Center for International Forestry Research, 2005), hal 5. 136 Rizal Sukma, loc. cit., hal. 4.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
65
Universitas Indonesia
Hubungan dagang antara kedua wilayah ini terus berlanjut meski orang-orang
Hindu di Indonesia telah memeluk Islam.137
Pendukung pendapat ini adalah
Christian Snouck Hurgronje, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Namun,
pendapat ini disanggah oleh pendapat yang menyatakan Islam Indonesia berasal
dari Arab dan Mesir. Klaimnya didasarkan pada bukti adanya perkampungan
Arab Islam pada abad ke 7 di pantai Barat Sumatera. Pendukung pendapat ini
adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Sedangkan pendapat lainnya
mengatakan bahwa Islam berasal dari Persia. Pendapat ini didasarkan pada
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Salah satu
pendukung pendapat ini adalah Ridwan Saidi. Dengan kata lain, keragaman
pendapat tersebut cukup menjelaskan asal muasal Islam Indonesia bukan
monopoli dari Arab saja seperti yang selama ini diamini khalayak ramai.
Untuk lebih memahami proses penyebarannya, Rizal Sukma menjelaskan
proses ini dengan mengambil epistemis pada agen yang melakukan konversi.
Pertama, penganut Islam yang hidup di kalangan bangsawan Jawa selama masa
kejayaan Kerajaan Hindu Majapahit. Kelompok inilah yang menghidupkan
atmosfer intelektual Islam di bawah perlindungan penguasa. Kedua, orang-orang
di daerah pedalaman dibantu oleh guru-guru Muslim, Da'i, dan pedagang; baik
yang berasal dari luar negeri maupun domestik. Peran Muslim asal luar negeri
terbukti pada kasus Islamisasi pelabuhan pesisir. Ketiga, Penyebaran Islam oleh
para sufi cukup menerangkan mengapa Islam banyak berkompromi dengan
budaya lokal. kaum sufi telah menjaga eksistensi Islam di tengah masa
kemunduran politik dan militer Islam, dengan menyebarkannya tanpa penaklukan
militer.138
Dilihat dari aktor dan proses penyebarannya dapat ditarik garis besar
bahwa pola penyebaran Islam di Indonesia lebih mengandalkan cara-cara damai
(pacifique penetretation) dibandingkan paksaan. Hal inilah yang kemudian
membawa Islam sebagai agama mayoritas yang dianut di Indonesia.
Perkembangan Islam Indonesia yang disebut Marshall G. S. Hodgson sebagai
kemenangan Islam yang sempurna bukanlah tanpa daya tarik. Menurut Bill
Dalton, daya tarik Islam yang pertama dan utama bersifat psikologis. Islam yang
137 Aboebakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, (Solo: Ramadhani, 1985), h. 21. 138 Rizal Sukma, op. cit., hal. 11-12.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
66
Universitas Indonesia
secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan itu, ketika
datang pertama kali ke kepulauan ini merupakan konsep revolusioner yang sangat
kuat yang membebaskan orang-orang kebanyakan dari belenggu feudal Hindunya.
Islam memiliki kesederhanaan yang hebat dengan hubungan yang langsung dan
pribadi antara manusia dan Tuhan.139
Egalitarianisme mendapat perhatian utama dalam perkembangan Islam
Indonesia. Karena dibidang inilah Islam dapat memberikan kontribusi yang paling
penting bagi pembangunan bangsa di masa depan, khususnya pembangunan
demokrasi. Semangat egaliterianisme yang berbarengan dengan semangat
keilmuan membentuk Islam sesuai dengan semangat zaman modern. Kegairahan
keagamaan yang meliputi banyak kalangan dewasa ini, khususnya keagamaan
Islam, dapat menjadi pangkal pengembangan dan pengukuhan akar-akar Islam
bagi konsep-konsep tentang masyarakat yang terbuka, adil, dan demokratis di
Indonesia. 140
Kegairahan ini tentu harus diiringi dengan kemauan dan kesempatan
untuk memperluas dan mempertinggi tingkat pemahaman akan ajaran-ajaran
Islam dengan membedakannya dari budaya Arab.
3. 1. 2. Modernitas
Selain pluralisme, modernitas merupakan faktor yang membentuk identitas
Islam Indonesia. Perlu diketahui sebelumnya bahwa tidak sedikit kalangan yang
meragukan kompabilitas antara Islam dan modernitas. Asumsi demikian tidak
hanya menjangkiti akademisi Barat yang mengklaim sebagai motor modernitas,
tapi juga akademisi Muslim. Salah satu narasi dominan yang lama hidup dalam
persepsi masyarakat dunia adalah konfrontasi antara peradaban Islam dan Barat.
Modernitas lantas dianggap sebagai suatu hal mustahal bagi dunia Muslim yang
distigmakan Barat sebagai intoleran dan irasional. Faktanya tidaklah selalu
demikian. Di Indonesia, Islam telah berkontribusi bagi perkembangan modernitas
masyarakat pribumi. Oleh Merle Calvin Ricklefs, kedatangan Islam di kepulauan
Nusantara dikategorikan sebagai awal kelahiran zaman modern Indonesia.141
139 Bill Dalton, Indonesia handbook, (California: Moon Publications, 1982), h. 6. 140 Nurcholish Madjid, loc. cit., hal. 50-52. 141 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008).
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
67
Universitas Indonesia
Modernitas Indonesia tidaklah lepas dari alur keyakinan historis. Bangsa
Indonesia mula-mula menganut animisme atau dinamisme yang menyuburkan
kepercayaan kepada klenik, mitos, dan hal-hal yang berkaitan dengan tahayul.
Seorang Animis memandang sebuah benda mempunyai ruh yang perlu dibujuk
dan dijinakkan, sehingga tingkah lakunya terhadap benda apapun merupakan
kegiatan keruhanian. Kemudian datang agama Hindu dan Buddha yang relatif
lebih sempurna dibanding kepercayaan asli tersebut. Akan tetapi, keduanya sangat
menoleransi animisme, bahkan menyerapnya menjadi bagian dari dirinya sendiri.
Ketika Islam datang, agama ini mengajarkan tauhid yang tidak mengenal
kompromi. Dengan tauhid, seorang Animis diajari untuk melihat benda-benda
secara objektif atau netral.142
Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran
pada diri seorang Animis. Semua benda yang semula dipuja dan
kesemuanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama,
sekarang ia campakan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak
lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan
demikian diduniawikan atau disekularisasikan. Sekarang ia
mendekati benda tersebut dengan kapasitasnya sendiri selaku
manusi, mahluk berpikir. Ia memikirkan benda tersebut:
kejadiannya, hukum-hukumnya, dan cara mengguasai atau
menggunakannya. Dalam kegiatan berpikir itu, ia tidak bergantung
kepada upacara-upacara keagamaan lagi, ia bebas. Dan
pengetahuannya tentang benda itu pun adalah pengetahuan bebas,
berdiri sendiri, di luar masalah-masalah spiritual.143
Karena itu, datangnya Islam ke Indonesia merupakan tahap awal
modernisasi yang merupakan proses menuju modernitas. Seperti yang ditegaskan
Nurcholish Madjid, modernisasi ialah rasionalisasi, bukan Westernisasi.144
Rasionalisasi merupakan proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama
yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru
yang akliah (berdasarkan akal).145
Seiring dengan berjalannya modernisasi
Indonesia, lahir kelompok-kelompok pembaru Muslim. Sejak akhir abad ke-19,
para pembaru ini berusaha menemukan kompatibilitas Islam dan modernitas.
142 Nurcholish Madjid, op. cit, hal. 253-254. 143 Ibid, h. 255. 144 Ibid, h. 145 Ibid, h. 180.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
68
Universitas Indonesia
Mereka percaya bahwa Islam adalah agama dinamis yang mampu melewati
berbagai tantangan sejarah. Para pembaru inilah yang kelak akan memaknai
kemoderatan Islam dengan melakukan kontekstualisasi teks-teks Quran sebagai
bentuk implementasi dari semangat zaman modern.
Eksistensi pembaru Muslim Indonesia tidak lepas dari modernisasi politik
etis yang dijalankan pemerintahan Belanda. Politik etis merupakan bentuk
kebijakan moral yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan negara
kolonial. Dari ketiga program yang dijalankan politik etis pendidikan
(educatie), irigasi (irrigatie), imigrasi (ëmigratie) , pendidikan dianggap paling
esensial karena kelak akan melahirkan kaum terdidik Indonesia yang
berpandangan modern. Perlu untuk diketahui bahwa era politik etis juga
membawa perlakuan disriminatif pada Islam. Belanda merasa khawatir akan
keberadaan Islam di Indonesia akan mengarah pada gerakan radikal karena
penetrasi semangat Pan Islamisme.146
Meski kekhawatiran Belanda dapat diantisipasi oleh teori Snouck,
proyeksi Hindia yang ideal di masa depan membuat Belanda tidak akan
mempercayakan kepemimpinan negeri kolonialnya terhadap kaum Muslim.
Dalam asumsi Snouck, Muslim mayoritas Hindia hidup dalam ranah keagamaan
semata, sehingga sulit untuk menciptakan elit pribumi yang berorientasi Barat.
Sedangkan pihak Belanda menginginkan terjaganya hubungan antara Hindia dan
negeri Belanda melalui elit-elit pribumi yang ter-Belanda-kan. Demi tercapainya
tujuan itu, Snouck memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial untuk
mempromosikan organisasi pendidkan berskala-luas di atas landasan nilai-nilai
universal dan bersifat netral secara keagamaan sehingga akan bisa
146 Pemerintah kolonial menunjuk ahli Arab dan Islam, Christian Snouck Hurgronje, untuk
menjadi penasihat Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab. Snouck menggunakan pendekatan-
pendekatan baru untuk mengantisipasi ketakutan orang Belanda terhadap Islam. Dia menekankan watak damai dari Islam di kepulauan Hindia. Di sisi lain, dia juga mengakui adanya potensi yang
harus diawasi dari minoritas kecil ulama fanatik yang terpengaruh gagasan Pan Islamisme. Atas
dasar dua asumsi itu, Snouck mengajukan rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam kerangka
kerja yang disebut splitsingstheorie. Teori ini membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu Islam
yang bersifat keagamaan dan Islam yang bersifat politik. Pembagian ini otomatis berdampak pada
perbedaan perlakuan yang diberikan pemerintah kolonial, yaitu toleransi terhadap kehidupan
muslim yang pertama dan pemberantasan untuk persoalan kedua. Yudi Latif, Intelegensia Muslim
dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 82.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
69
Universitas Indonesia
“mengemansipasi” elite baru dari keterikatan keagamaannya. “Mengemansipasi”
dalam konteks ini mengandung arti menjauhkan elite baru dari ajaran Islam.147
Seberapa keras “emansipasi” yang dilakukan Belanda nyatanya telah
menyisihkan elit baru pribumi akibat sistem diskriminatif yang fatal. Di satu sisi,
elit baru yang terdiri dari kalangan priyayi muslim merasa kecewa oleh penolakan
golongan priyai konservatif yang merasa iri akan pendidikan yang mereka dapat.
Di sisi lain, meski kalangan ini memperoleh pendidikan belanda, mereka tetap
tidak diterima oleh masyarakat Belanda di Hindia yang ingin tetap
mempertahankan superioritasnya atas negeri jajahan. Tak dapat dipungkiri,
masalah krisis identitas menghinggapi perasaan elit didikan Belanda. Mereka pun
terdorong untuk mencari pengakuan atas eksistensinya. Seperti yang diungkapkan
Stuart Hall, identitas beroperasi di bawah proses hapusan dalam interval antara
timbul dan tenggelam. Identitas tunduk pada sebuah proses historisasi yang
radikal, dan terus-menerus mengalami proses transformasi.148
Dari turbulensi identitas Islam dan Westernisasi itulah lahir kelompok-
kelompok pemikiran yang disebut Yudi Latif sebagai intelegensia muslim.
Dengan kultur muslim yang masih melekat kuat pada identitas golongan elit yang
tercerahkan tersebut, kesempatan untuk kembali ke komunitas muslimnya terbuka
lebar. Bahkan beberapa di antaranya sanggup memulihkan kembali afinitas
mereka dengan komunitas dan identitas Islam, seperti Agus Salim, Tirto
Adisuryo, dan Cokroaminoto. Memperoleh pendidikan sekuler tetapi tidak
bersedia menanggalkan keislamannya, beberapa inteligensia ini berusaha
mempertahankan hubungan mereka dengan jaringan-jaringan intelektual Islam.
Hal ini mendorong munculnya gugus inteligensia yang bersifat hibrida yang kelak
akan melahirkan terbentuknya intelek ulama (intelektual/inteligensia modern yang
melek dalam pengetahuan keagamaan) seperti tampak pada gambar berikut.149
147 Ibid., h. 83. 148 Stuart Hall, “Who Needs ‘Identity’?” dalam S. Hall and P. du Gay (eds.), Questions of Cultucal
Identity, (London: Sage Publications, 1997), hal. 2-4 . 149 Yudi Latif, Op. Cit., h. 104-107.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
70
Universitas Indonesia
Sumber: Yudi Latif (2005)
Gambar 3. 2 Skema Intelegensia Muslim Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
71
Universitas Indonesia
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia selama politik
etis berlangsung semakin beradaptasi dengan kebutuhan zaman modern. Terdapat
tiga alasan yang mendorong kaum muslim mengembangkan sekolah-sekolah
Islamnya. Pertama, karena adanya keanekaragaman kepercayaan dan sistem nilai
yang saling bersaing di Hindia, sekolah Islam memainkan sebuah peran kunci
dalam membangun sebuah identitas yang jelas dan positif bagi Islam Hindia.
Kedua, pendidikan Islam merupakan sebuah aparatur ideologi Muslim yang
esensial dalam menjawah diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh
kebijakan-kebijakan kolonial. Ketiga, kurangnya peluang bagi anak-anak dari
kalangan santri untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah, ditambah dengan
ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial untuk memajukan sekolah-sekolah
Islam, memaksa ulama untuk mengembangkan sekolah-sekolahnya sendiri.150
Pengembangan sekolah-sekolah Islam ditujukan sebagai counter-balance
terhadap gempuran modernisme Barat yang menginspirasi masyarakat Muslim
untuk merumuskan strategi perlawanannya. Dalam mengekspresikan perlawanan
ini lahir dua strategi yang berbeda tetapi komplemen satu sama lain. Perbedaan
strategi ini bukan dikarenakan adanya perpecahan di kalangan masyarakat
Muslim, tapi lebih dilatari perbedaan asal muara pemikiran yang menginspirasi
para ulama ― pelaku. Kalangan pertama datang dari ulama modernis-reformis
yang terakomodasi dalam Muhammadiyah (1912). Perlawanan golongan
modernis-reformis dilakukan dengan pengagungan terhadap autentisasi Islam
yang dikombinasikan dengan strategi apropriasi.151
Sedangkan kalangan
berikutnya datang dari dari ulama konservatif–tradisionalis yang menggunakan
metode pengagungan terhadap pribumisasi Islam. Untuk mengakomodasi
gerakannya, kelompok ini tergabung dalam wadah yang dikenal dengan Nahdlatul
Ulama (NU) yang didirikan pada 1926.
Dalam mengejawantahkan ide-idenya, kalangan tradisionalis berusaha
mengkontekstualisasikan Islam tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi
150 Ibid, hal. 127-128 151 Istilah apropriasi merujuk pada suatu cara yang di dalamnya subjek yang terdominasi atau
terjajah meniru aspek-aspek tertentu dari kebudayaan penjajah ― seperti bahasa, bentuk
penulisan, pendidikan, teknologi, modus pemikiran, dan argumen ― yang kemungkinan berguna
bagi mereka untuk bisa mengartikulasikan identitas-identitas sosialdan kulturalnya sendiri atau
untuk bisa menentang control politik dan kultural dari pihak penjajah. Ashcroft, B. et al., Key
Concept in Post Colonial Studies, (London: Routledge, 1998), h. 19 dalam Ibid, h. 130.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
72
Universitas Indonesia
ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah
yang kemudian dikenalkan dengan konsep pribumisasi Islam. Gagasan ini
dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang
normatif dan praktek keagamaan menjadi suatu yang kontekstual. Hal inilah yang
kemudian diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Sementara itu,
kaum modernis-reformis mendirikan madrasah untuk meremajakan kembali
masyarakat Islam. Peremajaan dilakukan dengan mengadopsi pendekatan-
pendekatan dan isntrumen modern, seperti rasionalisme modern, kurikulum
pendidikan Barat, dan aparatus modern. Secara otomatis, lembaga pendidikan
tersebut merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Setidaknya, pengakuan ini
datang dari Clifford Geertz.
Sebuah sistem sekolah parokial yang kuat dan aktif, dalam konteks
sebuah negeri Islam dan apalagi dalam konteks Indonesia, bukanlah
sebuah musuh, melainkan sekutu buat elite modern yang sekuler.
Dikatakan sebagai sekutu bukan karena dia memajukan idela-ideal
dari sekularisme yang militan dan totalistik, melainkan karena sistem
sekolah itu memungkinkan, dan bahkan dalam kenyataannya
mendorong, tradisi keagamaan yang telah mapan untuk bisa
menghadapi dunia moden, bukan dengan jalan semata-mata menolak
kemodernan ataupun menelannya mentah-mentah, melainkan dengan
menjadi bagian dari kemodernan itu.152
3. 1. 3. Demokrasi
Di awal tahun 90-an, Islam dan demokrasi menjadi perbincangan yang
hangat hampir di seluruh belahan dunia. Wacana yang memperdampingkan
keduanya sering kali diperdebatkan. Terlebih lagi jika studi kasusnya adalah
negara berpenduduk mayoritas Muslim. Keragu-raguan segera bermunculan,
mulai dari pertanyaan apakah Islam akan mengancam demokrasi jika
pemerintahan yang terpilih secara demokratis menjadi teokrasi, sampai apakah
aturan mayoritas dari demokrasi akan mengancam kemerdekaan dan kebebasan
kelompok minoritas.
Semua keragu-raguan itu dirangkum dalam kekhawatiran akan
terbentuknya sistem pemerintahan yang meskipun pemilu berlangsung secara
152 Ibid., h. 139.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
73
Universitas Indonesia
bebas, warga terputus dari keberdayaannya karena kurangnya kebebasan sipil. Hal
inilah yang disebut Fareed Zakaria sebagai illiberal democracy.153
Fokus
perhatian dari Zakaria ialah legitimasi atas dominasi mayoritas secara
konstitusional untuk mengendalikan seluruh aspek negara, sehingga menegasikan
mereka yang minoritas. Dalam menengahi berbagai pandangan, John O. Voll
menerangkan bahwa ketegangan diskursus yang terjadi di tengah masyarakat dan
dalam hubungan internasional diciptakan oleh pemahaman yang berbeda dari
ancaman dan kemungkinan partisipasi demokratis oleh gerakan keagamaan.154
Tak pelak lagi, atensi internasional turut tertuju ke Indonesia, negara
Muslim terbesar di dunia yang sejak kemerdekaannya telah menyatakan diri
sebagai negara demokrasi. Sebagai bentuk realisasi, pesta demokrasi
diselenggarakan kali pertama pada tahun 1955. Pemilu ini menjadi langkah awal
bagi gerakan Islam untuk berpartisipasi di ranah politik. Dari 172 parpol yang
menjadi perserta pemilu, terdapat lima Parpol Islam yang mendapat kursi di badan
legislatif. Kelima Parpol tersebut adalah Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai
Politik Tarikat Islam (PPTI). Total suara yang mereka himpun terbilang besar,
yakni 43,7 persen dari total suara di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Memasuki rezim Orde Baru (Orba) pengaruh parpol Islam mulai
menyurut. Pemilu kedua yang diselenggarakan pada 1971 hanya menyisakan tiga
parpol Islam di legislatif, yaitu NU, PSII, dan PERTI. Ketiga parpol ini hanya
mampu mendapatkan 70 dari 360 kursi yang diperebutkan. Pemerintahan Orba
kian mengeliminasi suara politik Islam dengan menghimpunnya ke dalam satu
partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sampai dengan Pemilu 1997,
perwakilan kelompok Islam di DPR tak pernah melebihi 30 persen dari seluruh
kursi yang diperebutkan. Secara komprehensif, perolehan kursi dan persentase
suara legislatif parpol Islam dapat dilihat pada grafik berikut.
153 Fareed Zakaria, “the Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs, Vol. 76/6
(November/Desember 1997), h. 22. 154 John O. Voll, “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?”, Religion Compass, Vol.
1/1 (2007), h. 171.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Grafik 3. 2 Porsi Kekuatan Parpol Islam di Legislatif (1955-2009)
Sumber: diolah dari data KPU (2010)
Gejolak reformasi yang menjatuhkan rezim Orba serta merta mengangkat
aspirasi Islam yang sebelumnya harus hidup di bawah tanah. Gerakan-gerakan
Islam yang semula hanya aktif di ranah sosial mulai merambah kembali ke politik.
Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto kala itu membuka peluang
demokrasi seluas-luasnya dengan menjamin kebebasan pers dan membebaskan
berdirinya partai-partai politik baru. Ratusan Partai Politik (Parpol) bernafaskan
Islam segera menjamur seiring diadakannya Pemilu yang demokratis. Pemilu ini
dianggap sebagai pemilu paling demakratis yang dilasanakan Indonesia
sepanjang sejarahnya.
Meski demikian, tidak seluruh parpol Islam yang terdaftar bisa ikut dalam
pemilu pertama masa reformasi itu. Verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) hanya meloloskan 17 parpol Islam untuk bersaing dalam Pemilu
1999 dan sepuluh di antaranya yang berhasil memperebutkan kursi legislatif.
Sedangkan pada Pemilu 2004 dan 2009, jumlah partisipasi parpol Islam menyusut
hingga setengahnya. Bahkan, perwakilan suara Islam di legislatif hanya berkisar
18,8 persen pada Pemilu 2009. Dapat ditarik garis besar bahwa meski Indonesia
berpenduduk mayoritas Muslim, reformasi tidak menjadikan faktor Islam sebagai
preferensi yang mendominasi para pemilih.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
75
Universitas Indonesia
Grafik 3. 3 Perbandingan Partisipasi Parpol Islam dan Perolehan Kursi
Parpol Islam di Legislatif dalam Pemilu 1997-2009
Sumber: diolah dari data KPU (2010)
Diskripsi di atas menunjukan, mayoritas di ranah sosial tidak selalu linier
di ranah politik. Karena itu, faktor mayoritas Islam di Indonesia tidak mengancam
demokrasi secara nasional. Hal ini bisa jadi disebabkan adanya perubahan
pandangan kaum Muslim mengenai konsepsi antara Islam dan negara. Jika
kesuksesan parpol Islam pada pemilu 1955 membawa semangat syariat dalam
perdebatan konstitusi, maka Muslim Indonesia telah meninjau ulang dan
menafsirkan kembali masa lalunya demi kebutuhan dan kepentingan saat ini.
Karena itu, isu negara Islam tidak lagi menjadi isu pokok dalam pergerakan
Muslim Indonesia kontemporer.
Fenomena demokrasi di Indonesia dapat juga dipahami melalui
pendekatan budaya politik. Secara lebih rinci,Saiful Mujani memaparkan korelasi
antara demokrasi dan Islam di Indonesia melalui dua cara, yaitu sebagai kompleks
budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah kompleks budaya
politik, demokrasi mencankup unsur-unsur saling percara antar sesame warga
(interpersonal trust); jaringan keterlibatan kewargaan (network of civic
engagement); toleransi; keterlibatan politik; kepercayaan pada institusi politik;
kepuasan terhadap kinerja demokrasi; dan dukungan terhadap masyarakat politik
modern, yakni negara-bangsa (nation-state). Sebagai partisipasi politik, demokrasi
merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela, mulai dari voting
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
76
Universitas Indonesia
hingga protes―oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan
publik.155
Dari hasil studi tersebut, argumen akademisi Barat yang
mempertentangkan Islam dan demokrasi rasanya tidak berlaku bagi Muslim di
Indonesia. Dalam studinya, Mujani menemukan bahwa sebagian besar unsur
Islam di Indonesia memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan sebagian
besar unsur demokrasi. Islam membantu kaum Muslim Indonesia untuk
berpartisipasi dalam proses politik dan dalam mendukung demokrasi. Islam
membantu menciptakan keharmonisan antara warga negara Muslim dan sistem
demokrasi secara keseluruhan yang diyakini sebagai faktor menentukan bagi
konsolidasi demokrasi.156
Hasil studi Mujani dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 3. 1 Ringkasan Korelasi antara
Islam dan Unsur Demokrasi di Indonesia157
Unsur Demokrasi Islam
Percaya antar sesame warga secara umum 0
Percaya kepada non Muslim -
Keterlibatan dalam perkumpulan kewargaan secular +++
Toleransi terhadap orang Kristen -
Toleransi terhadap kelompok yang tidak disukai +
Keterlibatan politik ++
Kepercayaan pada institutsi politik +
Kepuasan terhadap kinerja demokrasi 0
Dukungan terhadapprinsip-prinsip demokrasi 0
Dukungan terhadap negara-bangsa +
Partisipasi politik ++
Aktivis yang setia ++
Aktivis yang tidak toleran 0
Catatan: 0 = korelasi tidak signifikan; - = tidak ada unsur Islam yang memiliki
korelasi negatif dengannya; + = positif dan signifikan, tetapi korelasinya tidak konsisten; ++ = sejumlah besar unsure Islam yang memiliki korelasi positif,
signifikan, dan konsisten; +++ = hamper semua unsure Islam memiliki korelasi
positif, signifikan, dan konsisten.
155 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 313. 156 Ibid., hal. 324. 157 Ibid., hal. 325.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Secara komprehensif, konsolidasi demokrasi, pluralisme masyarakat, dan
dinamika modernitas telah merangkai fenomena Muslim di Indonesia dalam
proses menyejarah. Ketiga faktor saling melengkapi yang pada gilirannya
menginisiasi pembentukan identitas Islam moderat. Namun demikian,
penterjemahan identitas dalam praktik kebijakan luar negeri bergantung pada
aktor dan motivasinya. Untuk mengenal lebih lanjut siapa saja yang terlibat dalam
praktik kebijakan luar negeri, sub bab berikut akan mengupas aktor-aktor yang
menterjemahkan dan mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia ke ranah
internasional.
3. 2. Aktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia dalam Kebijakan
Luar Negeri Indonesia
Identitas Islam moderat bukanlah bagian resmi dari kebijkan luar negeri
sehingga representasinya dilakukan melalui jalur diplomasi. Perlu diketahui
sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri mempunyai perhatian pada substansi dan
kandungan dari hubungan luar negeri, sedangkan diplomasi dipusatkan pada
metodologi untuk melaksanakan kebijakan luar negeri.158
Untuk itu, bagian ini
menguraikan aktor-aktor yang terlibat diplomasi pencitraan identitas Islam
moderat dalam dua bagian, yaitu pemerintah dan non-pmerintah.
3. 1. 1 Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan
Pencitraan Islam moderat Indonesia kali pertama diinisiasi oleh
Departemen Luar Negeri (Deplu) Republik Indonesia (RI). Pertimbangan Deplu
tampaknya berkaitan erat dengan stigma negatif Islam sebagai terorisme yang
mendorong Deplu untuk menunjukkan kepada dunia internasional, terutama
negara barat, bahwa Islam yang tumbuh dan hidup di Indonesia adalah Islam yang
moderat dan bukan radikalis yang kental dengan anarkisme. Pernyataan resmi
pertama disampaikan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di depan Dewan
Umum PBB pada 15 November 2001 yang tengah membahas kompabilitas Islam
Indonesia dan demokrasi.
158 Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), hal. 8.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
78
Universitas Indonesia
Indonesia today stands proud as one of the largest democracy in the
world. As a nation, with an overwhelmingly Muslim Population, we
are the living refutation of the erroneous notion that Islam and
democracy are incompatible. Islam has stood for the equality and
fraternity of all human beings. For the optimum exercise of the
human will, and if only for that, we Indonesians have a natural
affinity to democracy.159
Secara bertahap, istilah Islam moderat pun mulai diperkenalkan dalam
kebijakan luar negeri Indonesia. Melalui paparan lisan yang mengawali tahun
2004, Hassan Wirajuda menekankan kewajiban Indonesia sebagai negara
berpenduduk Muslim terbesar dunia agar mampu memproyeksikan wajah Islam
yang sebenarnya, yaitu Islam sebagai rahmatan lil alamin.160
Selanjutnya dia juga
menempatkan penguatan kemoderatan sebagai tema besar kebijakan luar negeri
Indonesia yang dilakukan dengan pemberdayaan kelompok moderat di dalam
negeri sebagai langkah awal.
Seiring dengan proses konsolidasi demokrasi Indonesia, pelibatan
kelompok-kelompok moderat yang merupakan aktor non-negara menandai
perubahan pola kebijakan luar negeri. Sebelum Indonesia menapaki tahap
konsolidasi demokrasi,161
kebijakan luar negeri Indonesia lebih diformulasikan
oleh elite daripada massa melalui proses demokrasi.162
Pemberdayaan kelompok-
kelompok moderat tersebut kemungkinan besar dikarenakan posisi Islam sendiri
yang tidak menjadi bagian dari identitas resmi kebijakan luar negeri Indonesia.
Untuk mempromosikan kemoderatan Indonesia, kelompok-kelompok
moderat tersebut diakomodasi dalam kerangka diplomasi. Menurut Hassan
Wirajuda, promosi aset-aset diplomasi Indonesia akan dilakukan dalam kerangka
total diplomacy.163
Pendekatan diplomasi ini memandang setiap isu secara
159 Hassan Wirajuda, “the democratic Response” disampaikan dalam the 56th Session of the UN
General Assembly , New York, 15 November 2001. 160 Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam paparan lisan yang
disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6 Januari 2004. 161 Fase-fase demokrasi yang telah dilalui Indonesia: pra-transisi, liberalisasi, dan transisi
demokrasi. Saat ini Indonesia tengah menikmati fase konsolidasi demokrasi yang dimulai sejak
Presiden Megawati Soekarnoputri. Sedangkan fase terakhir dari demokrasi adalah pematangan
demokrasi yang diprediksi akan memakan waktu yang cukup lama. 162 Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Loc. Cit. hal. 163 Renne R.A Kawilarang, “Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda" diakses dari
http://m.news.viva.co.id/news/read/98969-warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda pada Minggu,
16 Desember 2012, pukul 13.14 wib.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
79
Universitas Indonesia
komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Selain itu, faktor
intermestik juga menjadi pijakan bagi pendekatan total diplomacy. Faktor ini
diartikan sebagai kemampuan para diplomat untuk mendekatkan jarak antara apa
yang terjadi di luar negeri dengan apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan
domestik.164
Jika diperhatikan lebih lanjut, aplikasi dari total diplomasi Indonesia
memanfaatkan berbagai jalur diplomasi (multi-track diplomacy) yang tidak hanya
mengandalkan jalur pemerintah (track one) semata. Ekspansi dari Multi-track
diplomacy yang dikembangkan Louise Diamond dan John McDonald meliputi
delapan jalur diplomasi lain yang saling terkoneksi satu sama lain seperti tampak
pada gambar berikut.165
Sumber: Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010
Gambar 3. 4 Pola Multi-track Diplomacy
164 Ibid. 165 Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010, Annual Report 2010, Arlington, 2010.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Track two diplomacy didefinisikan sebagai interaksi informal atau tidak
resmi antara kalangan profesional non-pemerintah yang bertujuan untuk
membangun strategi, mempengaruhi opini publik dan mengorganisir sumber-
sumber material dan immaterial untuk memecahkan masalah. Track two
diplomacy memang merupakan proses yang dirancang untuk membantu
pemerintah dengan mengeksplorasi solusi yang mungkin keluar dari pandangan
publik dan tanpa persyaratan negosiasi formal atau tawar-menawar yang
membahas keuntungan semata.166
Track two diplomacy menyediakan skenario yang mungkin memenuhi
keamanan dan kebutuhan dasar bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam
memformulasikan suatu kebijakan politik. Pada tingkat yang lebih umum,
lingkungan promosi yang dilakukan oleh diplomasi jalur ini diterapkan dalam
komunitas politik, melalui pendidikan opini publik, yang akan membuatnya lebih
aman bagi para pemimpin politik untuk mengambil risiko untuk perdamaian.167
Tendensi dari diplomasi track two diplomacy adalah pada psikologi politik
dari konflik yang tengah berlangsung lama dan berakar pada luka yang dialami
masyarakat atau bangsa tertentu. Menurut Dalia Dassa Kaye, track two diplomacy
menekankan dinamika psikologis dari jalur dialogis, khususnya klaim tentang
sejumlah upaya yang dapat mentransformasi gambaran akan musuh atau
memanusiakan pihak lain, kemudian membimbing ke arah hubungan baru yang
lebih kondusif bagi resolusi dari konflik yang mendalam.168
Terkait dengan tema karya ilmiah ini deplu pun merekomendasi sejumlah
kalangan profeional dalam rangka mempromosikan identitas Islam moderat
Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin, Intelektual Muslim sekaligus Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Komaruddin Hidayat, Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra, Ketua Presidium
ICMI Marwah Daud Ibrahim, salah satu Ketua PBNU Masykuri Abdillah,
166
Joseph V. Montville, “Track Two Diplomacy: the Work of Healing History”, the Whitehead
Journal of Diplomacy and International Relations, Vol. 7 (Maret 2009), hal. 16. 167 Ibid. 168 Dalia Dassa Kaye, Rethinking Track Two Diplomacy: the Middle East and South Asia,
(Clingendael: Netherlands Institute of Internatonal Relations, 2005), hal. 2.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
81
Universitas Indonesia
Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma, dan ekonom Islam Dr. M. Syafii
Antonio.169
Track three diplomacy merupakan pelibatan jalur bisnis. Umumnya, bisnis
tidaklah berorientasi pada perdamaian, tetapi memiliki efek perubahan yang
cukup besar bagi perbaikan standar hidup yang diharapkan mampu mengurangi
radikalisasi yang menyebabkan keterasingan ekonomi sosial. Perlu diketahui
bahwa latar belakang sosio-politik Islam moderat Indonesia menjadi bahan
pertimbangan bagi Eropa untuk menjalin kerjasama ekonomi dengan Indonesia.170
Namun keterbatasan akses informasi, jalur diplomasi ini tidak dilengkapi dengan
contoh-contoh kasus yang bisa menggambarkan upaya-upaya mempromosikan
Islam moderat secara rinci.
Track four diplomacy disebut juga diplomasi warga negara (citizen
diplomacy). Pada dasarnya, diplomasi warga negara beranjak dari konsep bahwa
semua warga negara memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam
hubungan internasional, baik di dalam maupun luar negeri.171
Sepintas, jalur
diplomasi ini terasa rancu dengan jalur-jalur lain dalam multi-track diplomacy
yang juga mengandalkan partisipasi warga negara di luar lingkungan pemerintah.
Jika diperhatikan lebih lanjut, penempatan diplomasi warga negara pada jalur
tersendiri atau terpisah dari jalur-jalur lain dalam kerangka multi-track diplomacy
sepertinya sengaja dilakukan Diamond dan McDonald. Kesengajaan ini
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi perkembangan kerangka
multitrack diplomacy di waktu yang akan datang.
Untuk mempermudah dalam memahami jalur diplomasi warga negara,
pembahasan bagian ini mengacu pada praktik-praktik budaya yang belum
diuraikan spesifik dalam jalur-jalur diplomasi lain. Dalam hal ini, the British
Council menggunakan istilah hubungan budaya untuk menggambarkan praktik
diplomasi warga negara. Tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan dan
169 “Deplu & Lembaga Islam Indonesia Promosikan Islam di London”,
http://news.detik.com/read/2006/07/06/071444/630011/10/deplu-lembaga-islam-indonesia-
promosikan-islam-di-london diakses pada Selasa, 27 November 2012, pukul 14.02 wib. 170
European External Action Service, Indonesia European Community Strategy Paper 2007-2013,
Belgia. 171 U.S. Center for Citizen Diplomacy, "Citizen Diplomacy Organizations throughout the World:
Opportunities for Cooperation", U.S. Summit and Initiative for Global Citizen Diplomacy,
Washington DC, 16–19 November 2010, hal. 4.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
82
Universitas Indonesia
keterlibatan antar warga di seluruh dunia melalui pertukaran pengetahuan dan ide.
Lebih lanjut, aplikasi budaya tersebut mencangkup aspek yang lebih luas dari
sekedar seni. Sejauh ini diplomasi warga negara dapat ditemukan dalam sister
cities international. Sejauh ini, ada empat kota di Indonesia yang tergabung dalam
jejaring sister cities international, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, dan
Surabaya.172
Track five diplomacy merupakan jalur penelitian, pelatihan, dan
pendidikan dalam bentuk pertukaran pelajar untuk menciptakan netralitas politik.
Tujuannya ialah untuk mencetak generasi baru yang berorientasi pada
perdamaian. Aplikasi dari jalur diplomasi jenis ini antara lain kegiatan Asia-
Europe Youth Interfaith Dialogue (AEYIFD) yang diselenggarakan pada tahun
2006 dan 2008. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama Pusat Kerukunan Umat
Beragama (PKUB) Departemen Agama RI dan Direktorat Kerjasama Intra
Kawasan Amerika-Eropa Departemen Luar Negeri RI dengan Asia-Europe
Foundation (ASEF).
Track six diplomacy menekankan pada pergerakan aktivis. Meski kalangan
aktivis kurang mendapatkan penghargaan dari pemerintah, keberadaannya tetap
dianggap esesnsial karena merupakan ekspresi umum dari warga negara yang di
tuangkan dalam forum publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivis Islam di
Indonesia cukup beragam, ada yang radikal maupun moderat. Dalam kerangka
promosi Islam moderat, deplu agaknya lebih merangkul aktivis-aktivis Islam yang
memiliki visi dan misi yang mempromosikan kemoderatan itu sendiri, seperti
Muhammadiyah dan NU.
Track seven diplomacy merupakan jalur keagamaan. Jalur diplomasi ini
penting untuk mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi antar umat beragama.
Jalur ini dapat dilakukan melalui dialog antar agama maupun inter-agama,
khususnya dengan adanya keragaman aliran dalam Islam. Salah satu implementasi
dari jalur diplomasi ini adalah penyelenggaraan the international conference of
Islamic Scholars (ICIS) dan konferensi interfaith dialogue pada tahun 2009 yang
172 Sister Cities International, 2012 Membership Directory, Washington DC, 2012.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
83
Universitas Indonesia
diinisiatif oleh Sant’ Egidio, sayap NGO Vatikan yang diakomodasi oleh deplu
dan kementerian luar negeri Indonesia dan Italia.173
Track eight diplomacy terletak pada masalah pendanaan dan umumnya
berbasis pada filantropi. Jalur diplomasi ini penting untuk memperkuat program-
program yang mempercepat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu
institusi yang berkepentingan dalam pembangunan jaringan Islam moderat di Asia
umumnya dan Indonesia khususnya adalah the Asia Foundation yang
mendonasikan dana ke International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan
Jaringan Islam Liberal (JIL).
Track nine diplomacy berada di ranah komunikasi dan media. Komunikasi
ditujukan untuk menjalin relasi, baik dengan pihak internal maupun eksternal.
Dengan pihak internal pemerintahan, komunikasi dibangun untuk menjaga
hubungan sinergis antara Deplu dengan departemen-departemen lainnya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengintegrasikan kebijakan luar negeri di seluruh jajaran elit
pemerintahan. Sedangkan dengan pihak eksternal, komunikasi ditujukan untuk
menginformasikan dan mengaitkan publik dengan isu-isu perdamaian dalam
hubungan internasional. Sedangkan media yang digunakkan dapat berupa cetak
dan elektronik, seperti situs deplu, tabloid diplomasi yang dicetak rutin ataupun
dapat diakses melalui situs resmi deplu, dan lain-lain.
Mengingat multi-track diplomacy merupakan satu kesatuan yang saling
terhubung, partisipasi seluruh jalur diplomasi diharapkan juga melakukan
komunikasi dengan pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Hal ini
dilakukan dengan tujuan agar pendiskusian ide dalam rancangan non-formal
memiliki prospek, baik merefleksikan dan menyaring ide-ide tersebut ke dalam
lingkaran pemikiran dari kebijakan resmi.
3. 1. 2 Partisipasi Kelompok-kelompok Islam Moderat Indonesia
Sebagai bagian dari strategi pencitraan identitas Islam moderat Indonesia,
pemerintah memberdayakan aktor-aktor non-pemerintah yang berasal dari
kelompok-kelompok Muslim moderat. Permberdayaan dapat dilakukan melalui
173 “Italia Mengapresiasi Islam Moderat di Indonesia” dalam Tabloid Diplomasi No. 16, Thn. 2, 15
Maret-14 April, Jakarta: Direktorat Diplomasi Publik Deplu RI, 2009, h. 10.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
84
Universitas Indonesia
kerangka multi-track diplomacy seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya,
maupun dalam kerangka people to people diplomacy.
Perbedaan kedua jenis kerangka tersebut terletak pada aktor yang terlibat,
tujuan dan capain dari proses diplomasi. Jika multi-track diplomacy melibatkan
baik pemerintah maupun non-pemerintah dan bertujuan untuk menemukan solusi
dengan capaian berupa kebijakan. Pada people to people diplomacy, aktor hanya
berasal dari non-pemerintah yang secara mandiri berkeinginan untuk mengenal,
memahami, dan membangun pengalaman pribadi dengan pihak lain yang berbeda.
karena itu, people to people diplomacy tidak ditujukan untuk mencari solusi dari
permasalahan konfliktual.174
Lebih lanjut, kelompok-kelompok Muslim di Indonesia yang dapat
dikatakan moderat memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu toleransi
terhadap komunitas non-Muslim dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia
dan kelompok minoritas. Beberapa kelompok Muslim yang dapat dikatakan
moderat antara lain NU, Muhammadiyah, JIL, dan ICIP.
NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Muslim terbesar di
Indonesia. Melalui institusi pendidikan yang mereka kelola dan kiprah sosial
politik keagamaan yang mereka mainkan, NU dan Muhammadiyah
memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam dalam semangat toleransi
beragama. Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, dua sayap umat Islam, NU dan
Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah
Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman
sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan.175
Baik Muhammadiyah, maupun NU merupakan organisasi Islam yang
cukup produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Muslim dan
eksternal masyarakat non-Muslim. Tujuan awalnya bukan hanya untuk menangkal
gerakan radikalisme, tapi juga untuk menciptakan kerukunan antar umat
beragama. Sebab, dalam masyarakat Muslim sendiri terbagi-bagi dalam berbagai
golongan dan aliran. Fragmentasi tentu menjadi potensi yang kerap menghantui
kondisi tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan melahirkan sikap-sikap
174 Dalia Dassa Kaye, Loc. Cit., hal. 6. 175 Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan IslamTransnasional di Indonesia,
(Jakarta: the Wahid Institute, 2009), h. 7.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
85
Universitas Indonesia
ekstrim kelompok-kelompok tertentu. Sedangkan perbedaan agama secara
otomatis berpotensi untuk menimbulkan konflik.
Dilihat dari metodeloginya yang mengandalakan aspek kultural, NU sering
kali disebut sebagai kelompok tradisionalis. Dalam mengaplikasikan
kemoderatan, kelompok moderat tradisionalis menyatu dalam elemen sufisme
dalam mempraktik Islam di kehidupan sehari-hari. Konsekuensinya adalah
penghormatan terhadap tradisi yang memiliki makna penting dalam kehidupan
keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima
secara utuh, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi.176
Menurut
Abdurahman Mas’ud, hal ini merupakan sebuah ekspresi dari Islam Kultural yang
moderat di mana ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami
secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara
mensubordinasi budaya ke dalam nilai-nilai Islam.177
Semangat kemoderatan NU juga dipraktikan dalam kelompok-kelompok
yang lebih kecil. Salah satunya adalah kelompok Kyiai Kanjeng yang merupakan
gerakan sosio-kultural. Kelompok kesenian ini bertujuan membangun dialog
peradaban antara Islam dan Eropa. Dalam pencapaian dialog peradaban tersebut,
kelompok Kyiai Kanjeng lebih mengedepankan kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana dalam mengusung nilai-nilai humanisme universal melalui berbagai
macam sarana pagelaran musik, puisi, dan percakapan antar kepercayaan dan
budaya yang beragama.178
Gerakan yang dibawa oleh Emha Ainun Najib (Cak
Nun) ini telah melakukan kunjugan ke Inggris, Italia, Skotlandia, Jerman,
Perancis, Kanada, AS, dan Australia.179
Berbeda dengan NU yang memperkenalkan Islam dengan cara-cara
kultural, Muhammadiyah lebih dikenal dengan kelompok modernis yang
dikarakterkan dengan metode apropriasi Barat. Kemoderatan Muhammadiyah
tidak lepas dari pendirinya, Ahmad Dahlan yang berkomitmen untuk menajaga
sikap toleransi beragama. Selama kepemimpinannya dapat terlihat adanya
176 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), h. 148. 177
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:
LkiS, 2004), h. 9. 178 Musa Maliki dan Abdullah, “Dialog Peradaban Islam Barat: Gerakan (Socio Political Culture)
Kyiai Kanjeng di Eropa”, Kajian Wilayah Eropa, Vol. V/2 (2009), h. 274. 179 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
86
Universitas Indonesia
kerjasama kreatif dan harmonis dengan hampir semua kelompok masyarakat.
Salah satu contohnya adalah persehabatan erat antara Ahmad Dahlan dengan
banyak pemuka agama Kristen. Menurut Alwi Shihab, Ahmad Dahlan adalah
seorang praktisi dialog antar agama yang sejati, dalam pengertian dia mendengar
apa yang dikatakan dan memperhatikan apa yang tersirat di balik kata yang
diucapkan.180
Muhammadiyah tidak hanya mempromosikan kemoderatan Islam di
tingkat domestik, tapi juga internasional. Salah satunya adalah kerjasama
Muhammadiyah dengan Deplu RI dan Kementrian Luar Negeri Australia yang
mengadakan International Dialogue On Interfaith Cooperation yang
diselenggarakan pada Desember 2004.181
Pada kegiatan ini, Muhammadiyah
berperan sebagai organizing committee. Acara yang diadakan di Jogjakarta ini
dihadiri oleh negara-negara anggota ASEAN, New Zealand, dan Negara-negara
UE.
Di samping kedua kelompok yang telah ada sejak zaman penjajahan
Belanda tersebut, ada pula kelompok-kelompok Islam liberal yang tergabung
dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok yang berdiri pada tahun 2001 ini
dapat dikatakan modernis karena berusaha untuk membawa nilai-nilai Islam ke
dalam harmoni dunia modern.182
Hal ini nampak dari penafsiran Islam dengan
beberapa landasan seperti pengutamaan semangat religio etik, bukan makna literal
teks; kepercayaan pada kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural; keberpihakan
pada yang minoritas dan tertindas; Keyakinan akan kebebasan beragama; dan
pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.183
Sedangkan preferensinya pada bentuk jaringan dan bukan organisasi
kemasyarakatan maupun partai politik tidak lepas dari tujuannya untuk
menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Menurut
mereka, dengan memakai bentuk jaringan, JIL merupakan wadah yang longgar
untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam
Liberal. Meski JIL termasuk Melalui JIL, Indonesia mempelopori model media
180
Alwi Shihab, Islam Inklusif: menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997),
hal. 314. 181 “Dialog Antar Agama untuk Mengatasi Ketegangan Dunia”, Kompas, 6 Desember 2004. 182 Building Moderate Network, Op. Cit., hal. 71. 183 http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil pada tanggal 2 Mei 2012, pukul 13.40 wib.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
87
Universitas Indonesia
moderat di dunia.184
Beberapa contoh media tersebut, antara lain: 1) program
radio mingguan JIL, "Agama dan Toleransi," mencapai sekitar 5 juta pendengar
melalui 40 stasiun radio nasional; 2) Lembaga Advokasi Warga dan Pendidikan
menghasilkan talk show radio mingguan yang mencapai satu juta pendengar
melalui lima stasiun radio di Provinsi Sulawesi Selatan; 3) Stasiun televisi
nasional, TPI, memiliki program mingguan yang membahas tentang kesetaraan
jender dalam Islam yang mencapai 250.000 pemirsa di wilayah Jakarta dan
sekitarnya; 4) Sebuah talk show televisi bulanan tentang Islam dan pluralisme
mencapai 400.000 pemirsa di Yogyakarta.185
Sejalan dengan pencitraan identitas Islam moderat, kelompok Muslim
Moderat Indonesia melebarkan gerakannya hingga ke tingkat regional. Upya ini
dilakukan dengan mendirikan International Center for Islam and Pluralism (ICIP)
di Jakarta pada tahun 2003. Misinya adalah untuk membangun jaringan aktifis dan
intelektual Muslim di Asia Tenggara, serta untuk menyediakan wahana bai
penyebaran ide-ide pemikiran Muslim moderat dan progresif. 186
Beberapa
aktivitas yang telah dilakukan ICIP antara lain pendidikan pluralisme dan
multikulturalisme bagi masyarakat pesantren; pendidikan perdamaian dan resolusi
konflik; ODEL (Open, Distance, and Electronic Learning) untuk transformasi
Islam melalui pesantren masyarakat; meningkatkan demokratisasi di komunitas
Muslim Asia Tenggara, mengurangi stereotip antara Islam dan Barat,
mempromosikan dialog antar agama dan kerja sama; dan memajukan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan.187
184
Building Moderate Network, hal. 82. 185 Ibid. 186 Ibid., hal 111. 187 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar
Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009, hal. 21.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
88
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
89
Universitas Indonesia
BAB 4
PERISTIWA YANG MEMPERLEMAH
DAN ASPEK PENGUAT PENCITRAAN IDENTITAS ISLAM MODERAT
Berdasarkan faktor-faktor pembentuk kemoderatan Islam yang dibahas
pada bab sebelumnya, Indonesia sepertinya memiliki modal cukup untuk
mempromosikan identitas tersebut dalam pergaulan internasional. Faktor-faktor
seperti pemahaman pluralisme yang bersumber dari keberagaman sosio-kultural
Indonesia; modernitas yang dibangun Islam dalam sejarah keIndonesiaan; serta
korelasi antara Islam dan demokrasi di Indonesia tidak hanya menginspirasi
pemerintah sebagai aktor yang merumuskan kebijakan luar negeri untuk
mempromosikan identitas Islam moderat, tapi juga mengangkat peran aktor-aktor
non-pemerintah yang menghidupkan faktor-faktor tersebut melalui diplomasi.
Hubungan sinergis faktor dan aktor dalam proses promosi identitas Islam
moderat bukanlah tanpa tantangan. Untuk itu, bab ini tersusun dalam dua pokok
bahasan. Pertama, peristiwa-peristiwa yang memperlemah pencitraan identitas
Islam moderat. Peristiwa-peristiwa tersebut umumnya bersumber dari dalam
negeri dan pengalaman masa lalu yang kemudian berimplikasi pada hubungan
Indonesia dengan negara lain.
Kedua, aspek yang memperkuat pencitraan identitas Islam moderat
Indonesia. Mengingat sumber dari tantangan promosi identitas Islam moderat
kebanyakan berasal dari dalam negeri, maka aspek-aspek yang memperkuat pun
difokuskan pada ranah domestik.
4. 1. Peristiwa yang Memperlemah Pencitraan Islam Moderat Indonesia
Untuk menggambarkan peristiwa-persitiwa yang memperlemah pencitraan
Islam moderat Indonesia, bagian ini terdiri dari lima bahasan. 1) peningkatan dan
penyebaran gerakan kelompok Islam radikal; 2) regenerasi terorisme; 3)
penerapan hukum Syariah di tingkat daerah; 4) pengaruh Majelis Ulama Indonesia
(MUI); 5) intoleransi dan dilema pencitraan di tingkat internasional.
Kemunculan peristiwa-peristiwa itu berkaitan erat dengan kedatangan
Islam ke Indonesia yang tidak hanya berasal dari satu sumber. Hal ini
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
90
Universitas Indonesia
memberikan keragaman sudut pandang, baik dalam melihat kondisi sosio kultural
di Indonesia maupun dalam menginterpretasikan substansi dari ayat-ayat Al-
Quran. Keragaman sudut pandang tersebut tidak menjadikan semua elemen Islam
yang datang ke Indonesia permisif terhadap pluralitas sosio-kultural di Indonesia.
Ada pula elemen-elemen Islam yang menunjukan resistensi pluralitas meski
jumlahnya tergolong sedikit. Kecondongan dari sebagian kecil golongan Islam
tersebut antara lain upaya pemurnian agama, sikap permusuhan terhadap kalangan
non-Muslim, dan keinginan untuk menerapkan hukum syariah. Semua
kecondongan tersebut mengarah pada munculnya intoleransi di tengah kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Intoleransi yang terjadi di ranah domestik memang bertentangan dengan
pencitraan identitas Islam moderat yang dipraktikan Indonesia melalui kebijakan
luar negerinya. Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah kenyataan yang ada
di dalam negeri tidak dapat dipisahkan dari kebijakan luar negeri. Sebab,
kebijakan luar negeri selalu berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada
di dalam negeri. Untuk itu, bagian ini akan menguraikan bagaimana bentuk-
bentuk intoleransi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pencitraan Islam
moderat dalam praktik kebijkan luar negerinya.
4. 1. 1. Peningkatan dan Penyebaran Gerakan Kelompok Islam Radikal
Bagi masyarakat dan pemerintah pada umumnya memandang radikalisme
secara negatif. Hal inilah yang membawa gerakan radikalisme dalam sebuah
negara apapun dasar ideologinya kurang diterima sepenuh hati oleh pemerintah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, gerakan radikalisme memang nampak
cukup merepotkan, terutama karena beberapa alasan. Pertama, gerakan
radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan untuk
membangun dan mewarnai dasar ideologi negara dengan faham ideologinya
secara murni, atau mengganti ideologi negara dengan ideologi kelompok gerakan
radikal tersebut.188
Khususnya kelompok Islam radikal di Indonesia, memiliki agenda untuk
menerapkan hukum Islam atau syariah dalam konstitusi maupun regulasi negara.
188 Nuhrison M. Nuh, “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham Islam Radikal di Indonesia”,
Harmoni, Vol. VIII/31 (Juli-September 2009), hal. 38-39.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
91
Universitas Indonesia
Agenda tersebut dapat mengancam masa depan Indonesia sebagai negara dan
pluralitas masyarakatnya yang terdiri dari agama, etnis, dan budaya. Sebab,
mereka mendefiniskan syariah secara literal, kaku, dan syarat akan interpretasi
eksklusif. Kedua, gerakan radikalisme menimbulkan instabilitas dan keresahan
sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tidak kompromi,
intoleran, dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis. Ketiga, gerakan radikal
dipandang dapat mengancam eksistensi pemerintah. Dalam ranah domestik,
pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan radikal yang meluas dalam
masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap rezim
pemerintahan yang pada akhirnya akan melahirkan pembangkangan dan revolusi
sosial yang menurunkan rezim penguasa.189
Sedangkan pada tingkat internasional,
keberadaan geradakan radikal dapat menurunkan kredibilitas pemerintah karena
dianggap kurang mampu dalam menjaga keamanan negaranya.
Gerakan kelompok Islam Radikal bukanlah hal baru di Indonesia. Pada
awal kemerdekaan, gerakan-gerakan radikal Islam seperti Darul Islam (DI) atau
Negara Islam Indonesia (NII) sudah menjadi bagian dari pengalaman sejarah
Indonesia. Meski dapat ditumpas, radikalisme Islam ternyata tetap diwariskan dan
bermetamorfosis pada masa kini. Bahkan, aktivitas kelompok-kelompok radikal
Islam menunjukan gejala yang meningkat. Bangkitnya gerakan kelompok Islam
radikal dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan iklim demokrasi politik yang
tidak lagi sepenuhnya menjadi hegemoni rezim penguasa.190
Peningkatan aktivitas kelompok Islam radikal di Indonesia juga dimotivasi
oleh ideologi jihad yang mendorong radikalisasi kelompok-kelompok Islam
fanatik. Akan tetapi, semangat jihad itu tidak muncul begitu saja. Kemunculan
semangat jihad dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor ideologi politik,
doktrin teologi, sosial budaya, dan solidaritas.191
Terkait faktor ideologi politik,
semangat jihad lebih ditentukan oleh konstruksi historis akan pengalaman pahit
Indonesia di masa lalu. Bermula dari penjajahan yang dialami bangsa ini, Islam
memainkan peran penting sebagai alat pemersatu untuk menentang kolonialisme
Belanda. Fungsi pemersatu ini terletak pada simbolisasi Islam yang merangkum
189 Ibid. 190 Ibid., hal. 45. 191 Ibid. hal. 43.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
92
Universitas Indonesia
persamaan nasib dalam menentang penjajahan asing dan penindas yang
diorientasikan berasal dari agama lain.192
Aspek ideologi politik Islam ternyata juga berlanjut pada awal
kemerdekaan Indonesia yang menyangkut penentuan dasar negara yang
menimbulkan perdebatan. Sebagian kelompok Islam menghendaki perlunya dasar
negara yang berasaskan Islam. Sedangkan sebagian yang lain sepakat dengan
Pancasila sebagai dasar negara. Meski akhirnya Pancasila dipilih sebagai dasar
negara, ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian kelompok Islam untuk
menerapkan hukum Islam. Dalam hal ini, keinginan untuk menerapkan hukum
Islam atau syariahh juga berkorelasi dengan faktor doktrin teologis.
Berbicara tentang gerakan Islam radikal di Indonesia erat kaitannya
dengan doktrin teologis yang berkembang di Timur Tengah, khususnya gerakan
pemikiran Salafi-Wahabi. Secara umum, gerakan ini dipahami sebagai gerakan
pemikiran yang berusaha menghidupkan kembali atau memurnikan ajaran Islam
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhamad SAW, sebagaimana yang
diamalkan oleh para ulama terdahulu (salaf). Karenanya, tujuan dari gerakan
pemikiran Islam Salafi-Wahabi adalah agar umat Islam kembali kepada dua
sumber utama pemikiran Islam, yakni kitab suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi
Muhammad SAW (Sunnah Rasul), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab
yang tidak berdasar pada dua sumber ajaran tersebut.193
Perlu diketahui, gerakan pemikiran Islam Salafi-Wahabi merupakan
bentuk puritanisme. Karenanya, gerakan ini juga bertujuan untuk memurnikan
ajaran Islam agar tidak tercampur dengan kepercayaan-kepercayan lama yang
menyesatkan dan ajaran-ajaran tasawuf yang mengkultuskan tokoh agama
termasuk kegiatan seperti memuja kuburan para wali atau tokoh agama tertentu.
Sebagian gerakan pemikiran Salafi-Wahabi, juga menyadarkan umat Islam agar
menentang berbagai bentuk neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan hegemoni
dari dunia Barat yang membelenggu umat Islam.194
192 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal. 69-70. 193 Nuhrison M. Nuh, Op. cit., hal. 40-41. 194 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Dari faktor sosial budaya, kebangkitan gerakan-gerakan Islam radikal pada
masa kini dimotori oleh pudarnya nilai-nilai dan norma budaya bangsa, serta tidak
berlakunya penegakan hukum secara adil sehingga menimbulkan kekacauan di
tengah masyarakat. Kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan yang
mendorong gerakan-gerakan Islam radikal merasa perlu untuk meneggakkan
kembali nilai-nilai moral dengan cara-cara yang mereka yakini benar.
Faktor lain yang cukup menonjol bagi sebagian kelompok Islam di
Indonesia adalah solidaritas sesama Muslim. Faktor ini merupakan rantai
penghubung antar sesama Muslim untuk menjadi sebuah gerakan. Sebagian dari
gerakan ini muncul sebagai reaksi atau pembelaan terhadap kelompok-kelompok
Islam yang dipandang mendapat perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil oleh
kelompok-kelompok tertentu dan tidak segera memperoleh perlindungan yang
memadai oleh pemerintah. Bentuk-bentuk pembelaan yang dilakukan, tidak saja
terbatas pada dukungan moral melalui pernyataan-pernyataan, demonstrasi turun
ke jalan dan pemberian bantuan dana pada korban kekerasan, tetapi juga dalam
bentuk pengiriman tenaga dan senjata untuk ikut bergabung berperang secara fisik
dengan mereka yang dianggap sebagai musuh Islam.195
Dalam perkembanganya, gerakan Islam radikal di Indonesia tampil dalam
dua varian umum. Varian pertama umumnya mentargetkan gerakannya untuk
dapat berpartisipasi di ranah politik praktis. Beberapa diantaranya adalah, Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan Tarbiyah-Ikhwanul Musliminan. Hizbut Tahrir (HT)
merupakan gerakan politik Islam yang bersifat transnasional. Bermula dari partai
politik di Palestina, gerakan ini kemudian menyebar ke Yordania, Afrika Utara,
Pakistan, Inggris, bahkan hingga negara-negara bekas Uni Soviet seperti
Tajikistan, Uzbekistan dan Kirgistan. Sedangkan di Indonesia, HT mulai
dikembangkan oleh Abdurrahman al-Bagdadi sejak tahun 1982. Bagdad adalah
pendatang dari Lebanon yang memang sejak awal berasal dari keluarga aktivis
HT. Ia menetap di Indonesia untuk membantu Abdullah bin Nuh dalam mengasuh
Pesantren al-Ghazali.196
195 Ibid., hal 46. 196 Rubaidi, “Variasi Gerakan Radikal Islam di Indonesia”, Analisis, Vol. XI/1 (Juni 2011), hal.
37.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
94
Universitas Indonesia
Gerakan Islam politik transnasional lainnya adalah Tarbiyah yang identik
dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Gerakan ini menjadi salah satu varian gerakan
Salafi yang berkembang di tanah air. Model Tarbiyah dipopulerkan oleh
Imaduddin Abdurrahim melalui diskusi-diskusi intensif yang di selenggarakan
oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang menggunakan Masjid Salman
Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai pusat aktivitasnya.197
Puncak
kematangan gerakan Tarbiyah di Indonesia mulai terlihat pada awal tahun 90-
an. Saat itu, aktivis-aktivis Tarbiyah praktis menguasai organisasi intra kampus
di sebagian besar perguruan tinggi bergengsi di tanah air. Dan seiring dengan
mulai munculnnya krisis nasional pada tahun 1998, aktifis Tarbiyah
mendirikan Kesatuan Aksi Mahasis Muslim Indonesia (KAMMI) dan Himpunan
Antar Muslim Kampus (HAMMAS), tepatnya di bulan April 1998. Setelah
jatuhnya Suharto, beberapa tokoh kunci gerakan Tarbiyah terlibat aktif dalam
pembentukan Partai Keadilan (PK) atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS).198
Varian kedua merupakan gerakan Islam radikal yang sudah
bermetamorfosis, meskipun secara ideologis sangat berkesesuaian dengan gerakan
Islam radikal transnasional di Timur Tengah. Kelompok-kelompok Islam radikal
yang bermetamorfosis ini dapat dikenali melalui dua karakteristik umum.
Pertama, berkaitan dengan pendefinisian syariah secara kaku dan ekslusif,
kelompok-kelompok ini mengklaim bahwa syariah merupakan satu-satunya solusi
bagi krisis multi-dimensi yang dialami Indonesia. Masalah muncul ketika
kelompok-kelompok ini menjustifikasi kekerasan dalam meminta implementasi
dari syariah, sehingga mengorbankan kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Bahkan, kapitalisasi pemikiran religius-politik untuk kepentingan mereka
condong melemahkan hak-hak kalangan non-Muslim dan minoritas.199
Kedua, karakteristik lain dari kelompok-kelompok konservatif radikal
Islam adalah adanya tendensi kuat untuk tidak menghormati pluralisme yang
dianggap sebagai sebuah gagasan untuk menyerang Islam yang merupakan satu-
satunya kebenaran. Dalam hal ini, agama lain dianggap tidak memuat kebenaran
197
Ibid., hal. 38. 198 Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan: Middle East, Islamism and Indonesia
(New South Wales: The Lowy Institute for International Policy, 2005), h. 69 dalam ibid., hal. 39 199 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar
Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
95
Universitas Indonesia
yang dikategorikan sebagai kafir. Kelompok konservatif radikal Islam percaya
bahwa Tuhan telah memberikan garis yang tegas antara Muslim dan kafir.
Meski memiliki tendensi yang sama dalam melihat kaum non-Muslim,
perbedaan orientasi membagi kelompok-kelompok Islam radikal yang telah
bermetamorfosis ini ke dalam dua jenis, yakni puritan dan militan. Orientasi
utama dari kelompok puritan adalah komunitas Muslim sendiri, karena mereka
ingin memperbaiki moral saudara sesama Muslimnya. Sebaliknya, kelompok
militan berorientasi pada komunitas di luar Muslim yang dianggap kafir dan
memiliki misi untuk memperbaiki seluruh dunia atau minimal dunia non-
Muslim.200
Gerakan Islam radikal yang cenderung puritan dapat ditemukan dalam
Front Pembela Islam (FPI). Sedangkan kelompok yang militan dapat ditemukan
pada Lasykar Jihad (LJ), Jam’ah Islamiyah (JI), dan Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI).
Pembentukan Front Pembela Islam (FPI) oleh Habib Rizieq dilatari oleh
dua alasan utama. Pertama, masih merajalelanya kemungkaran dan kemaksiatan
yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. kedua, adanya kewajiban
untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam
sendiri. Atas dasar kedua alasan tersebut FPI merasa perlu untuk mengambil
inisiatif dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar atau memerintahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran di tengah masyarakat bermayoritas
Muslim.
Dalam aksi-aksinya, FPI menunjukan gejala radikalisme yang paling
banyak dibandingkan dengan gerakan Islam radikal lainnya. Berdasarkan catatan,
the Wahid Institute, eksklusivisme dan radikalisme FPI dimanifestasi dengan
berbagai cara, mulai dari penutupan tempat hiburan malam, pembersihan
minuman keras, razia Pekerja Seks Komersial, dan lain sebagainya. Sebagai
catatan penting, FPI selalu memanfaatkan momentum tertentu dalam menjalankan
aksinya, khususnya Ramadhan. Secara lebih rinci, grafik berikut menunjukan
frekuensi aksi-aksi radikal FPI.
200 Achmad Munjid, “Militant and Liberal Islam”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 3/1 (June
2009), hal. 38.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
96
Universitas Indonesia
Grafik 4. 1 Frekuensi Aksi-aksi FPI 2008-2010
18
8
24
38
1 11 1 11 12 1
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2008 2009 2010 2011
FPI
MMI
Laskar Jihad
HMI
HTI
Sumber: the Wahid Institute (2008-2011).
JI, MMI, dan LJ termasuk dalam kelompok Islam radikal militan karena
menunjukan manifestasi idelogi dengan menyerang kelompok-kelompok yang
dikategorikan non-Muslim atau kafir. Aksi ketiga kelompok tersebut dapat
ikatakan cukup ekstrim, yaitu mengarah pada teror bom bunuh diri sehingga
berdampak pada instabilitas ekonomi, sosial dan politik secara nasional.
JI merupakan gerakan Islam radikal yang didirikan oleh Abdullah Sungkar
dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 1995 di Malaysia. Gerakan kelompok ini
semakin ekstensif ketika mulai merintis alternatif perekrutan di luar Pesantren
Lukmanul Hakim. Hal ini terlihat antara tahun 1999-2000 manakala JI semakin
intensif merekrut banyak anggota untuk mendukung operasinya dan dilatih di
luar negeri, khususnya di Timur Tengah. Untuk mendukung percepatan
perekrutan anggota, JI membentuk aliansi Jihad atau kelompok jihad regional.
Aliansi ini bertujuan membangun kerja sama baik dalam bentuk pelatihan,
penyediaan perlengkapan senjata, bantuan keuangan maupun operasi teroris.
Pembentukan MMI tidak lepas dari ketidakpuasan kaum muda yang lebih
militan dalam JI terhadap kepemimpinan Ba’asyir setelah sepeninggalan Sungkar.
Kelompok muda ini mengklaim Ba’asyir terlalu lemah, terlalu bersikap
akomodatif dan terlalu mudah dipengaruhi orang lain. Akibat perpecahan itu,
Ba’asyir dengan dua koleganya memutuskan keluar dan mendirikan MMI.
LJ merupakan kombinasi antara puritan dan militan. Pembentukan LJ
tidak lepas dari Forum Komunitas Ahlu-sunnah wal Jamaah (FKAJ) yang
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
97
Universitas Indonesia
merupakan kelompok pergerakkan eksklusif yang menaruh fokus pada
permurnian keimanan dan integritas moral individu. Perubahan orientasi terjadi
setelah peristiwa pembataian warga Muslim oleh warga Kristen di Maluku pada
Desember 1999. Atas nama solidaritas, FKAJ merasa perlu untuk memiliki
kelompok para-militer untuk membela saudara sesama Muslim. Agresifitas LJ
tampak dalam sejumlah serangan terhadap gereja-gereja di Yogyakarta pasca
pembentukannya di tahun 2000. Mereka pun turut berpartisipasi dalam melakukan
penyerangan terhadap warga Kristen di Maluku dan mengirimkan anggotanya
dalam konflik Poso.
Perkembangan selanjutnya menunjukan jaringan LJ yang kian menguat.
Mereka membangun jaringan dari Taman Kanak-kanak hingga sekolah umum
melalui program pembelajaran dan penghafalan Al-quran. Sebagai sayap militer
FKAJ, LJ memiliki struktur kelembagaan dan pola perekrutan yang memiliki
kemiripan dengan organisasi tentara. LJ dibagi menjadi empat Batalyon yang
dinamai dengan nama empat sahabat Nabi. Setiap Batalyon dibagi lagi menjadi
empat Kompi dan masing-masing dibagi menjadi empat Pleton. Masing-masing
dari empat Pleton dengan cara yang sama dibagi menjadi empat regu. LJ juga
memiliki pasukan khusus (special forces), intelejen, dan termasuk pasukan yang
mengurus perbekalan (logistik).201
4. 1. 2. Regenerasi Terorisme
Aksi-aksi teror bom di Indonesia yang merupakan manifestasi dari
militansi kelompok-kelompok Islam radikal tidak hanya meresahkan masyarakat,
tapi juga mengundang perhatian dari kalangan internasional. Pada peristiwa Bom
Bali I khususnya, Indonesia menuai kritik dari negara-negera tetangganya karena
dianggap gagal untuk menangani isu terorisme secara serius.202
Pada dasarnya, isu
terorisme di Indonesia terkait dengan pergerakan terselubung kelompok-
kelompok radikal Islam, terutama dalam perekrutan generasi muda Muslim
sebagai bagian dari strategi ofensif teroris.
201 Rubaidi, Op. Cit., hal. 49. 202 H. C. Stackpole, “US-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War Against
Terrorism”, Asia Pacific Security Studies, Vol. 2/2 (Mei 2003), hal. 3.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
98
Universitas Indonesia
Hal yang perlu dipahami dalam isu terorisme adalah perekrutan ditujukan
untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Orang-orang yang direkrut teroris tidak
hanya dipersiapkan untuk mati, tapi seperti mencari kematian itu sendiri. Dibalik
fenomena terror bom bunuh diri di Indonesia, terdapat tiga faktor utama yang
mempengaruhi aksi tersebut, yaitu faktor kultural, indoktrinasi, dan situasi.203
Faktor kultural memainkan peran penting dalam regenerasi terorisme.
Narasi heroik yang disediakan faktor ini menjadi pembenaran dalam aksi teror
bom bunuh diri. Paling tidak, faktor kultural bisa mempengaruhi perilaku dengan
dua cara utama. Pertama, dengan meletakkan norma-norma yang sesuai dengan
kondisi-kondisi di mana seseorang boleh melakukan bunuh diri dan kadang-
kadang menggambarkan cara-cara melakukannya. Kedua, dengan cara
mempengaruhi konsep orang-orang mengenai hal-hal yang akan terjadi setelah
kematian.204
Di Indonesia, faktor-faktor kultural yang memicu terorisme bunuh diri
umumnya mengambil preseden dari pelaku-pelaku terorisme di Timur Tengah.
Kisah-kisah heroik para pelaku teror bom bunuh diri di Palestina misalnya,
dikemas dalam buku-buku dan novel-novel yang dengan mudah dapat ditemukan
di toko-toko buku di Indonesia. Dalam hal ini, industri penerbitan berperan
sebagai sarana utama dalam penyebaran ajaran jihad oleh kelomopok-kelompok
Islam-radikal. Menurut laporan International Crisis Group, berkembangnya
industri penerbitan buku-buku Islami di Indonesia telah dimanfaatkan kelompok
Jemaah Islamiyah sebagai sarana ideologisasi ekstrimis, konsolidasi organisasi,
dan penguatan jaringan di antara kelompok-kelompok Islam militan.205
Faktor indoktrinasi berkorelasi dengan ideologi yang dibawa kelompok-
kelompok Islam militan dalam proses perekrutan teroris. Factor ini dapat
mempengaruhi dengan dua cara. Pertama, melalui proses pendidikan di mana
seseorang diberi keyakinan tentang pentingnya latar belakang dan cara-cara yang
diperlukan untuk pelaksanaan sebuah misi. Kedua, bujukan yang berorientasi
203 Ariel Merari, “Kesediaan untuk Membunuh dan Terbunuh: Terorisme Bunuh Diri di Timur
Tengah”, dalam Walter Reich ed., Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi,
dan Sikap Mental, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 253. 204 Ibid. 205 International Crisis Group, “Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah”, Asia Report
N⁰147, Jakarta/Brussel, Februari 2008.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
99
Universitas Indonesia
pada pencapaian misi bagi orang yang dimaksudkan untuk melakukan bunuh diri.
Cara ini biasanya dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang kharismatik dalam
politik, militer, atau agama. Jenis indoktrinasi ini relatif singkat dan terjadi sesaat
sebelum pelaksanaan misi bunuh diri.206
Dalam aksi teror bom bunuh diri, indoktrinasi sering kali disamakan
dengan pencucian otak. Padahal, keduanya merupakan proses yang berbeda
dengan tujuan yang berbeda pula. Pencucian otak adalah proses panjang dan luas
yang menyangkut perlakuan yang bersifat fisik-mental dan dimaksudkan untuk
memberikan efek pergantian permanen pada konsep-konsep, kesetiaan dan pola
perilaku yang lama dengan yang baru. Dari segi waktu, tingkat keberhasilan
jangka panjang dalam proses pencucian otak relatif kecil. Sebaliknya, indoktrinasi
untuk misi bunuh diri hampir-hampir memang dibatasi untuk jangka pendek.
Maksudnya, orang-orang yang terdoktrinasi tidak diharapkan hidup setelah misi
selesai.207
Terkait indoktrinasi kelompok Islam militan, aksi teror bom bunuh diri
dianggap sebagai bentuk kesyahidan dalam memelihara ajaran Islam.
Faktor kultural dan indoktrinasi ternyata mengikutsertakan kondisi-kondisi
dan lingkungan-lingkungan tempat dilakukannya bunuh diri. Hal ini merupakan
faktor situasi yang dapat mengarahkan orang untuk melakukan teror bom bunuh
diri. Dalam faktor situasi, aspek pengaruh pemirsa mengambil porsi yang cukup
besar dalam menunjukan signifikansi dari aksi yang dilakukan. Sebab teror bom
bunuh diri yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik yang lebih luas bisa
dikatakan sebgai tindakan demonstratif. Pada zaman media elektronik sekarang
ini, persyaratan itu dapat dipenuhi lebih efisien oleh pemberitaan media
dibandingkan terhadap hadirnya para pemirsa pada tempat kejadian.208
Berdasarkan faktor situasi, aksi teror bom bunuh diri dianggap kelompok-
kelompok Islam radikal sebagai komunikasi efektif yang ditujukan untuk
menantang musuh-musuh Islam, seperti AS dan Israel. Selain itu, aksi teror yang
ditampilkan tersebut juga merupakan bentuk pembalasan dendam pada pihak-
pihak yang dinilai lalim. Rangkaian aksi-aksi bom bunuh diri di Indonesia cukup
menggambarkan bagaiamana kalangan Islam militan mengarahkan aksinya
206 Ibid., hal. 256. 207 Ibid., hal. 257. 208 Ibid., hal. 258.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
100
Universitas Indonesia
kepada simbol-simbol Barat ataupun tempat-tempat yang banyak dihadiri oleh
warga negara asing, seperti yang ditunjukan tabel berikut ini.
Tabel 4. 1 Rangkaian Aksi Bom Bunuh diri di Indonesia yang Diarahkan
pada Simbol-simbol Barat
12 Oktober 2002 Ledakan di Bali dikenal dengan Bom Bali I. Jumlah korban
tewas pada peristiwa ini mencapai 202 jiwa dan 300 orang
korban luka. Sebagian besar korban adalah warga Australia.
5 Desember 2002 Ledakan di restoran McDonald di Makassar menewaskan 3
orang.
27 April 2003 Ledakan di Bandara Soekarno Hatta Jakarta dengan korban
luka 10 orang.
5 Agustus 2003 Bom meledak di luar hotel JW Marriott Jakarta dan
menewaskan 12 orang termasuk seorang WN Belanda, serta
melukai 150 orang
10 Januari 2004 4 Orang tewas akibat ledakan bom di kafe karaoke di Palopo,
Sulawesi.
9 September 2004 Bom berkekuatan tinggi meledak di dekat Kedutaan Besar
Australia di Jakarta dan menewaskan 10 WNI serta melukai
100 lainnya.
28 Mei 2005 2 Bom meledak di Pasar Sentral di Tentena, Poso,
menewaskan 22 orang.
1 Oktober 2005 3 Bom bunuh diri di Bali menewaskan 20 orang termasuk
beberapa wisatawan asing. Bom ini terjadi di R.AJA's Bar
dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di
Nyoman Café Jimbaran. Peristiwa ini dikenal dengan Bom
Bali II.
17 Juli 2009 Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-
Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar
pukul 07.50 WIB.
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Dalam perkembangannya, aksi-aksi teror bom bunuh diri tidak hanya
diarahkan pada simbol-simbol Barat, tapi juga aparat pemerintah yang dianggap
lalim dan bekerja sama dengan Barat. Hal ini menunjukan gejala resistensi
kelompok-kelompok teroris terhadap upaya kontra-terorisme dipertahankan
melalui proses regenerasi. Regenerasi teroris dilakukan dengan perekrutan melalui
beberapa cara berikut:
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
101
Universitas Indonesia
Pertama, pelarian merupakan proses mencari tempat yang aman untuk
bersembunyi sehingga memaksa para teroris untuk saling berhubungan.
Berdasarkan laporan International Crisis Group, teroris yang melakukan pelarian
biasanya menghidupi diri mereka dengan berjualan keliling untuk memenuhi
biaya hidup sehari-hari.209
Berjualan barang-barang yang relatif murah
mempermudah mereka dari segi modal awal yang tidak banyak, pasar yang sudah
siap, mobilitas tinggi dan tidak menarik perhatian. Mobilitas tinggi merupakan
faktor penting bagi mereka. Sebab mereka bisa terus bergerak dan tetap bisa
berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka di wilayah lain.
Kedua, penjara juga dimanfaatkan kelompok teroris untuk mengubah
formasi organisasi dalam beberapa cara, seperti dengan mengumpulkan napi dari
berbagai kelompok dalam satu tahanan; dengan merekrut penjahat biasa; atau
interaksi rekan dan keluarga selama kunjungan ke penjara. Kunjungan dalam
penjara juga merupakan cara penting untuk berbagi informasi, mempersatukan
jaringan dan membangun kontak-kontak baru. Kunjungan penjara tidak hanya
dapat berfungsi sebagai tempat bertemu, tapi juga bisa berfungsi untuk tujuan
perekrutan. Salah satu kelompok yang paling rentan untuk direkrut oleh kelompok
teroris mungkin adik laki-laki dari para ekstrimis yang ditahan atau tewas.210
Ketiga, pelatihan militer merupakan cara yang umum digunakan kelompok
teroris. Cara ini menyediakan jalan lain bagi anggota berbagai kelompok ekstrimis
untuk dapat berkumpul bersama dan membangun aliansi-aliansi baru. Hubungan
diantara mereka tidak hanya terbangun ketika dalam latihan tapi juga dala m
proses menggalang dana, mencari bahan-bahan yang diperlukan dan merekrut
peserta. Kamp di Aceh adalah contoh paling baik dari ketersediaan sebuah lokasi
latihan militer baru yang besar yang berhasil mengumpulkan anggota-anggota
berbagai kelompok ekstrimis yang tanpanya mungkin tidak akan berkolaborasi.211
Keempat, forum internet merupakan bentuk pemanfaatan kelompok teroris
yang beradaptasi dengan perkembangan media sosial. Dengan semakin
meningkatnya tekanan dari polisi, peran forum internet kini mungkin akan
209 International Crisis Group, “Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru”,
Asia Report N⁰228, Jakarta/Brussel, Juli 2012. 210 Ibid. 211 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
102
Universitas Indonesia
menjadi lebih penting sebagai media komunikasi, perekrutan, dan pelatihan
ketrampilan. Penggunaan internet bukan hal yang baru, pada tahun 1999, anggota-
anggota baru JI mendapat instruksi lewat internet sebagai bagian pelatihan awal.
Contoh lainnya adalah ceramah Imam Samudra sebelum dihukum mati tentang
pentingnya hacking dan penipuan internet demi kepentingan jihad.212
Kelima, pernikahan. Seperti halnya di masa lalu, pernikahan terus menjadi
salah satu cara untuk memperkuat atau membangun kekuatan organisasi. Prioritas
kelompok-kelompok ekstrimis adalah mencarikan istri yang sesuai buat para
lajang, termasuk yang berada di penjara, serta suami buat para janda anggota
ekstrimis yang tewas. Seperti kebanyakan ekstrimis di seluruh dunia, ekstrimis di
Indonesia juga ingin menghasilkan sebanyak mungkin anak untuk menambah
pengikut dan memperbesar organisasi mereka. Namun pernikahan juga bisa
menjadi jalan untuk membangun aliansi-aliansi lintas wilayah atau lintas
organisasi.
Keenam, pengajian atau taklim khususnya yang dipimpin oleh ustadz-
ustadz radikal, bisa menjadi kendaraan untuk upaya radikalisasi dan perekrutan
kelompok-kelompok teroris. Taklim-taklim ini juga menjadi tempat dimana
aliansi-aliansi baru bisa dibangun dan orang-orang muda bisa didorong dari yang
semula hanya aktif dalam kegiatan-kegiatan anti-maksiat dan anti-murtad
kemudian beralih ke penggunaan kekerasan yang terencana atas nama agama.213
4. 1. 3. Penerapan Hukum Syariah di Tingkat Daerah
Bagi kelompok-kelompok Islam radikal, penerapan hukum syariah
merupakan capaian utama dalam pergerakan mereka. Mereka memandang,
Syariah memuat semua aturan-aturan Tuhan yang bersumber dari Al-Quran dan
Sunnah yang menyediakan arahan dan solusi komprehensif dan universal bagi
seluruh permasalahan yang dihadapi manusia. Karena itu, kelompok-kelompok
radikal Islam menganggap Syariah sebagai solusi bagi situasi krisis ekonomi,
politik, dan sosial yang tengah dihadapi Indonesia. Berdasarkan implementasinya,
Arskal Salim membagi syariah menjadi lima tingkatan. Pertama, sebagai hukum
privat seperti nikah, cerai, wakaf, dan shodaqah. Kedua, aturan masalah ekonomi
212 Ibid. 213 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
103
Universitas Indonesia
seperti perbankan dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan termasuk arena
publik seperti keharusan memakai jilbab, larangan minum alkohol, judi, dan
praktik kehidupan lain yang tidak sesuai dengan aturan akhlak Islam. Keempat,
pidana seperti hudud. Kelima, sebagai dasar negara.
Secara historis, Syariah bukanlah preferensi bagi dasar negera Indonesia.
Meski demikian, perkembangan politik di Indonesia beberapa waktu belakangan
ini menunjukan formalisasi Syariah berlangsung di tingkat lokal. Gagasan
otonomi daerah telah mendorong sejumlah pemerintahan daerah untuk mengatur
penyelenggaraan urusan daerah yang menjadi kewenangannya dalam suatu
Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa syariah. Berdasarkan pengamatan
Robin Bush, terdapat 78 perda di 52 kabupaten/walikota di Indonesia yang
disinyalir bermuatan syariah.214
Untuk mempermudah spesifikasi perda-perda
yang syarat akan syariah, Arskal Salim mengkategorikan perda-perda tersebut
menjadi tiga, yaitu 1) perda yang berkaitan dengan tatanan publik dan masalah
sosial, seperti pelacuran, konsumsi miras, dan perjudian; 2) Keahlian dan
kewajiban keagamaan, seperti membaca Al-Quran dan zakat; 3) Simbolisme
agama, khususnya yang berkaitan dengan pemakaian busana Muslim.215
Pada dasarnya, kategori pertama merupakan perda yang berkaitan dengan
isu moralitas yang dapat mencerminkan ajaran moral yang ada hampir di seluruh
agama. Dari 78 perda yang diduga bernuansa syariah, hanya 35 atau 45 % yang
tergolong ke dalam kategori moralitas. Perda ini dikenal juga dengan perda anti-
maksiat, seperti perda 21/2000 yang tidak mengizinkan prostisusi di Cianjur;
qanun 13/2003 yang melarang perjudian di Aceh; perda 5/2004 yang melarang
konsumsi miras di Tasikmalaya. Hanya kategori kedua dan ketigalah yang dapat
dikatakan berkaitan langsung dengan ajaran Islam dan mencangkup 55 % dari
total perda-perda yang diduga bernuansa syariah. Perda jenis ini dapat ditemukan
di Banjar, Jawa Barat, yang mengharuskan petugas pelayanan publik untuk
214 Robin Bush, “Regional Syariah Regulation in Indonesia: Anomaly or Sympton?”, dalam Greg
Fealy dan Sally White eds., Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia,
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), hal. 175. 215 Arskal Salim, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratisation” dalam R. McLeod and A.
MacIntyre (Eds), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, (Singapore:
ISEAS, 2007), hal 126.
.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
104
Universitas Indonesia
menggunakan jilbab atau baju koko setiap hari Jumat. Perda serupa juga terdapat
di Enrengkang dan Bulukumba.216
45%
55%
Berkaitan dengan Moralitas Berkaitan denga Sharia
Sumber: Robin Bush (2008)
Gambar 4. 2 Kategorisasi Perda-perda Bernuansa Syariah di Indonesia
Kemunculan perda-perda yang syarat akan nilai-nilai syariah ini sepertinya
lebih dari sekedar pengaruh ideologis kelompok-kelompok Islam konservatif-
radikal. Terdapat empat faktor yang memainkan peran penting dalam kemunculan
perda bernuansa syariah, yaitu peran sejarah dan budaya lokal, korupsi dan
kebutuhan untuk mencegahnya, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), dan
kurangnya kapasitas teknis pemerintah daerah.217
Sejarah dan budaya lokal berperan dalam memperkuat kesadaran identitas
kedaerahan dan keagamaan dalam kerangka otonomi daerah. Umumnya,
pemerintah daerah yang mengeluarkan perda syariah kebanyakan berada di area
yang memiliki afiliasi sejarah dengan gerakan DI. Sebagai kelompok
pemberontak di awal kemerdekaan Indonesia, pergerekan DI mencangkup Aceh,
Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Gerakan mereka kemudian disatukan oleh rasa
ketidakpuasan terhadap kepemimpinan nasional dan keinginan untuk mendirikan
216 Ibid., hal. 176. 217 Ibid., hal. 181.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
105
Universitas Indonesia
negara Islam.218
Meski pergerakan kelompok ini mengalami kegagalan, mereka
berhasil melakukan ideologisasi pada lingkup sosio-politik lokal yang
menumbuhkan rasa kedaerahan dan berstimulus pada penerbitan perda-perda
syariah. Gambar berikut ini akan menunjukkan afiliasi historis dengan lokasi
mana saja yang memunculkan perda-perda syariah.
Sumber: Robin Bush (2008)
Gambar 4. 3 Pemetaan Wilayah Kemunculan Perda-perda Syariah
Berdasarkan Afiliasi Historis Gerakan DI
Tingginya tingkat korupsi di Indonesia juga menjadi faktor yang
mendorong pemerintah daerah yang dipimpin oleh kalangan Islam konservatif
untuk menerapakan syariah di wilayahnya. Bagi mereka, syariah dianggap sebagai
solusi efektif dalam menekan tingkat korupsi dan ketidakefektifan sistem di
pemerintahan. Beberapa daerah lantas mengeluarkan perda syariah yang mengatur
aparatur pemerintahan, seperti surat edaran yang mengharuskan setiap aparatur
pemerintah daerah untuk membaca doa terlebih dahulu sebelum melakukan
aktivitas; perda yang mensyaratkan hafalan al-Quran bagi seluruh aparatur
pemerintah daerah; surat rekomendasi agar seluruh aparatur pemerintah daerah
melaksanakan puasa senin-kamis.
218 Ibid., hal. 182.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
106
Universitas Indonesia
Faktor lain yang memicu munculnya perda-perda syariah adalah kondisi
politik lokal yang tengah melangsungkan pemilukada. Pasalnya, perda syariah
sering kali digunakan alat politik untuk memperkuat dukungan konstituen dari
pemimpin yang sedang memangku jabatan dalam pemilu berikutnya. Sedangkan
faktor terakhir adalah minimnya kapasitas pemerintah daerah baik dalam
pembacaan hukum maupun teknis. Pembuatan perda syariah kemungkinan besar
hanya dimanfaatkan untuk simplifikasi semata, tanpa diimbangi kemampuan
teknis dan pemahaman akan syariah itu sendiri. Penerapan perda syariah di
Sulawesi Selatan merupakan satu contoh yang cukup menjelaskan bagaimana
persoalan pemahaman umat Islam tentang syariah yang masih kabur menuntut
sosisalisai dari pemerintah daerah.219
Keberadaan perda kian problematis ketika mengarah pada intoleransi dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terkait intoleransi, perda syariah
dianggap bertentangan dengan pluralitas agama di Indonesia karena meniadakan
keberadaan agama-agama selain Islam. Hal ini kemungkinan besar akan
mengganggu dan merugikan aktivitas komunitas non-Muslim yang secara tradisi
keagamaan berbeda dari Islam. Pada gilirannya, sentimen agama sulit untuk
dihindari sehingga dapat melahirkan konflik-konflik sosial.
Contoh nyata dari perda yang berpotensi menumbuhkan intoleransi antara
lain perda yang mengatur waktu penyelenggaraan industri pariwisata, tempat
hiburan, dan pembukaan rumah makan sepanjang bulan Ramadhan.
Konsekuensinya, tempat-tempat tersebut harus ditutup pada jam-jam tertentu dan
merugikan pemiliknya.220
Perda ini kemudian memicu aksi sweeping atas rumah
makan yang beroperasi pada siang hari di sejumlah wilayah seperti Pasuruan,
Solok Banjarmasin, Cilegon, Banten, dan Bandung. Sweeping yang dilakukan
polisi pamong praja dan kelompok Islam radikal ini kerap berujung pada ancaman
pencabutan izin usaha hingga aksi pengrusakan yang mengakibatkan kerugian
ganda bagi pemiliknya.
219
Siti Musdah Mulia, “Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan: Ada Apa dengan Demokrasi
di Indonesia”, dalam Sediono Tjondronegoro (ed.), Membangun Negara dan Mengembangkan
Demokrasi, (Yogyakarta: Aditya Media, 2007), hal. 16. 220 Victor Silaen, “Tinjauan Kritis Atas Perda-perda Bermasalah”, Sociae Polites, Vol. 6/25
(2007), hal. 19.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
107
Universitas Indonesia
Sedangkan perda syariah yang berpotensi melanggar HAM, khususnya
perempuan, seperti perlarangan perempuan keluar di malam hari. Menurut
Musdah Mulia, perda ini dapat mengganggu ekonomi rumah tangga dari
perempuan yang bekerja.221
Penerapan perda syariah di Tangerang tentang anti
pelacuran juga menuai kritik. Terkait pasal-pasal yang bersifat karet seperti siapa
pun yang dicurigai sebagai pelacur dapat ditangkap, sehingga berakibat
banyaknya kasus salah tangkap.
4. 1. 4. Pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Selain disuasanakan perda syariah, intoleransi ternyata juga bisa
distimulus oleh institusi negara seperti MUI. Pada awalnya, pembentukan MUI
ditujukan untuk membangun toleransi dialogis antar agama. Hal ini sesui dengan
agenda menteri agama semasa Orba, Abdul Mukti Ali, yang ingin membangun
semangat pluralisme. Ia percaya bahwa dialog agama haruslah dimulai dari
pemimpin agama. Untuk itu, pemerintah Orba menginstitusikan agama-agama
resmi di Indonesia sebagai perwakilan pada tahun 1972. Institusi-institusi tersebut
antara lain MUI, Persatuan Wali Gereja Indonesia (PWGI), Dewan Gereja
Indonesia (DGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI).222
Pada perkembangannya, MUI menunjukan gejala yang lebih konservatif.
Dalam hal ini, ilustrasi dari Piers Gillespie cukup menjelaskan bagaiamana latar
belakang sosio-politik membentuk sikap konservatif MUI. Gillespie
mengungkapkan, dominasi Muslim neo-modernis selama diskursus Islam
sepanjang pemerintahan Orba merupakan faktor yang membuat MUI mengambil
posisi konservatif.223
Posisi ini didukung oleh otonomi lebih yang dimiliki MUI
ketika terjadi perubahan relasi antara negara dan MUI sendiri. Dampaknya, MUI
merasa lebih berkewajiban untuk mengakomodasi permintaan kelompok-
kelompok Muslim.
221 222
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia,
(Jakarta: Freedom Institute, 2011), hal. 156. 223 Piers Gillespie, “Current Issues in Indonesian Islam: Analyzing the 2005 Council of Indonesian
Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and Secularism”, Journal of Islamic Studies,
Vol. 2/18 (2007), hal 71.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Namun, sikap akomodatif MUI tampaknya kurang diimbangi dengan
kemampuannya untuk reseptif terhadap perubahan sosio-politik dalam rangka
memenuhi kebutuhan komunitas Muslim di tengah dinamika modernitas.
Karenannya, kecenderungan koservatisme semakin memenuhi cara pandang MUI
dalam merespon realitas sosial yang ada. Hal ini secara otomatis berdampak pada
fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Perlu diketahui, Fatwa MUI memiliki porsi
penting bagi Islam di Indonesia karena berpengaruh pada perkembagan sosial dan
politik secara nasional. Sebab, fatwa dikeluarkan sebagai respon terhadap isu
kontroversial dan isu tidak terpecahkan yang terbangun di tengah masyarakat.224
Meski demikian, tidak jarang pula fatwa MUI justru menimbulkan
kontroversi dan perdebatan. Dari 11 fatwa yang dikeluarkan MUI pada 28 Juli
2005, beberapa di antaranya dianggap cukup krontroversial dan menciptakan
perselisihan dalam komunitas Muslim. Salah satunya adalah fatwa yang memuat
larangan bagi umat Muslim untuk mengadopsi paham pluralisme di Indonesia.
Dalam pemahaman MUI, pluralisme adalah konsep yang menunjukkan bahwa
semua agama adalah sama. Karena itu, MUI percaya bahwa pluralisme tidak
kompatibel dengan ajaran Islam dan akan mengganggu keimanan Muslim.225
Pengeluaran fatwa ini bertolak belakangan dengan pluralitas agama di Indonesia
yang menurut Komaruddin Hidayat membutuhkan toleransi dan inklusifitas.226
Fatwa kontroversial lainnya adalah tentang pelarangan aliran Ahmadiyah.
Pelarangan tersebut tidak lepas dari pandangan MUI yang menganggap
Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Wacana penyesatan agama yang ditanggapi
pemerintah melalui solusi pembatasan atau pelarangan yang diikuti dengan
pembinaan ternyata menuai kekhawatiran ketika diterapkan ke kelompok-
kelompok lain secara lebih masif. Pasalnya, terdapat ketidakjelasan dalam
pengakategorian penyesatan yang telah merembet ke kelompok-kelompok Islam
224 Pradana Boy ZTF, “the Function of Fatwa in Contemporary Muslim Societies: and Indonesian
Experience”, Jurnal Salam, Vol. 15/1 (Juni 2012), hal 4. 225 M. Hilaly Basya, “the Concept of Religious Pluralism in Indonesia: a Study of the MUI’s
Fatwa and the Debate among Muslim Scholars”, Indonesian Journal of Islam and Muslim
Societies (IJIMS), Vol. 1/1 (Juni 2011), hal. 79. 226 Komarudin Hidayat, Agama di Tengah Kemelut, (Jakarta: Media Cita, 2001).
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
109
Universitas Indonesia
lain yang dianggap telah keluar dari mainstream Sunni, seperti Syi’ah dan
Baha’iyyah.227
Secara garis besar, MUI sebagai sebuah institusi dianggap sebagai simbol
keagamaan yang berimplikasi baik pada komunitas Muslim maupun non-Muslim.
Karena itu, fatwa MUI dapat dilihat sebagai instrumen legal-religius yang dapat
memainkan peran dalam perubahan sosial dan instrumen ideologis.228
Peran
perubahan sosial ini dapat dilihat pada tendensi MUI dalam fatwa pelarangan
pluralisme yang merupakan upaya untuk melindungi hukum Islam dari berbagai
ancaman modernisasi. Lebih lanjut, hal ini dapat dilihat sebagai penolakan MUI
terhadap perubahan sosial, khususnya ide-ide baru di tengah komunitas Muslim
Indonesia.
Di sisi lain, fatwa tersebut juga memicu perubahan sosial dalam bentuk
lain. Gambaran toleransi yang telah lama terbentuk dari keharmonisan hubungan
antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda di Indonesia berubah seketika
fatwa tersebut dikeluarkan. Perasaan permusuhan tumbuh di sejumlah kelompok
Muslim yang pada gilirannya akan memicu aksi-aksi agresif. Pada kondisi
demikian, fatwa MUI berperan dalam memperkuat orientasi ideologis terhadap
pihak yang berbeda atau non-Muslim. Bagaimanapun, ideologi berhubungan
dengan keinginan untuk memelihara identitas kelompok. Masalah berlanjut ketika
kebutuhan untuk memelihara identitas ini tidak hanya dilakukan melalui metode
persuasi, tapi juga agresi. Dalam konteks ini agresi tidak selalu diasosiasikan
dengan kekerasan fisik, tapi dapat pula berupa agresi simbolik.229
Sebagai instrumen idelogis, fatwa sering kali dijadikan justifikasi oleh
kelompok konservatif radikal sebagai pembenaran agama untuk melakukan tindak
kekerasan. Fatwa pelarangan pluralisme misalnya, meski MUI tidak berniat
mendorong orang untuk melakukan penyerangan pada pihak-pihak yang
mempromosikan pluralisme, kekerasan nyatanya terjadi pada para aktivis
pendukung pluralisme. Beberapa bulan setelah fatwa tersebut dikeluarkan,
227 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama di Indonesia 2011, Yogyakarta, 2011. 228 Pradana Boy ZTF, Op. Cit., hal. 6. 229 Ibid., hal. 9.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
110
Universitas Indonesia
kelompok Front Pembela Islam (FPI) berusaha menyerang kantor JIL dan
menjustifikasi kekerasan kepada para aktivis pluralisme.230
Tindak kekerasan juga menjadi opsi ketika fatwa tentang penyesetan
agama dikeluarkan. Pada umumnya, kelompok yang dituduh sesat selalu
merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat dengan pandangan keagamaan
yang umum (mainstream).231
Konsekuensi dari posisi minoritas tersebut
menjadikan mereka rentan akan tindak-tindak kekerasan. Paling tidak, terdapat
dua bentuk kekerasan yang dialami para pengikut minoritas seperti Ahmadiyah,
yaitu intimidasi dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
tertentu atas nama penegakan keputusan-keputusan pelarangan aktivitas
Ahmadiyah.232
Pada dasarnya, Kekerasan yang dipicu oleh legitimasi fatwa tidaklah lepas
dari ketidaktahuan Muslim akan posisi fatwa dalam konteks hukum Islam.
Menurut M. Syafi’i Anwar, Meski fatwa dikeluarkan oleh kalangan ulama dan
secara agama mungkin dibenarkan, posisinya hanya sebatas opini hukum dan
tidak mengikat secara hukum.233
Karena itu, sebuah fatwa dapat diterima ataupun
ditolak, tergantung bagaimana Muslim menginterpretasikannya. Sehingga wajar,
jika kebanyakan kelompok konservatif radikal lebih menginterpretasikan fatwa
MUI untuk kepentingan kapitalisasi politis mereka.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan
MUI ternyata tidak selalu sejalan dengan pencitraan identitas Islam moderat yang
menghormati pluralisme beragama. Padahal pencitraan tersebut merupakan
praktik dari kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh Deplu RI. Meski sama-
sama menjadi bagian dari pemerintah, MUI dan Deplu RI sepertinya kurang
berkoordinasi satu sama lain sehingga terkesan bergerak secara sendiri-sendiri.
Kurangnya koordinasi antara MUI dan Deplu RI sepertinya memperlemah
pencitraan Islam moderat itu sendiri.
230 M. Hilaly Basya, Op. Cit., hal. 80. 231 Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia 2009, Yogyakarta, 2009. 232 Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia 2009, Yogyakarta, 2011. 233 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar
Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
111
Universitas Indonesia
4. 1. 5. Intoleransi dan Dilema Pencitraan di Tingkat Internasional
Intoleransi mengisyaratkan ketidakmampuan menghadapi perbedaan dan
ketidakmampuan hidup bersama di tengah pluralitas. Kasus-kasus intoleransi atas
dasar agama atau keyakinan dan pelanggaran kebebasan agama di Indonesia dapat
berupa penyesatan aliran keagamaan tertentu, pemaksaan keyakinan, intimidasi,
diskriminasi, ancaman kekerasan, pembatasan ibadah dan rumah ibadah,
penyerangan dan pengrusakan rumah ibadah, dan lain sebagainya. Fenomena
tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 4. 2 Intoleransi Atas Dasar Agama Atau Keyakinan dan
Pelanggaran Kebebasan Agama
105 103
151
195
0
50
100
150
200
250
2008 2009 2010 2011
intoleransi atas dasar agama atau keyakinan dan pelanggaran kebebasan
agama
Sumber: the Wahid Institute (2008-2011)
Dari grafik 4. 2 memperlihatkan bahwa gejala intoleransi sepertinya
menunjukan pola yang meningkat. Peningkatan ini menggugah tanya akan peran
mediasi internal, khususnya pemerintah sebagai penyelenggara tertinggi urusan
negara. Berdasarkan laporan Center for Religious and Cross-cultural Studies
(CRCS), pemerintah-pemerintah daerah semakin berani mengambil posisi lebih
keras, bahkan berseberangan dari pemerintah pusat dalam isu-isu intoleransi.234
Sementara di tingkat nasional ada kehati-hatian yang sangat tinggi untuk
memutuskan kebijakan baru. Akibatnya, pemerintah tampak seperti
mempertahankan status quo di daerah inisiatif-inisiatif baru yang melampaui
234 CRCS, Loc. Cit., 2011, hal. 26.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
112
Universitas Indonesia
kebijakan tingkat nasional yang tak jarang merugikan dan mendiskriminasi
kelompok-kelompok tertentu.235
Indonesia tidak dapat mengabaikan fenomena intoleransi di ranah
domestik ketika tengah mencitrakan diri dalam kemoderatan Islam. Sebab,
pencitraan ini ditujukan untuk untuk mengambil peranan lebih di tatanan
internasional. Perlu diingat kembali bahwa promosi Islam moderat dalam
pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia bukan hanya ingin mengesankan
bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan bersamaan. Promosi tersebut juga
merupakan bentuk partisipasi Indonesia dalam perang terhadap terorisme yang
lahir dari gerakan Islam radikal.
Namun, pencitraan Islam moderat tampaknya tereduksi oleh publikasi
media massa atas aksi-aksi intoleransi yang distimulasi oleh gerakan Islam
radikal, teror bom bunuh diri, penerapan perda syariah yang mengabaikan HAM,
dan pengaruh konservatif MUI. Terlebih lagi, frekuensi pemberitaan seluruh
aspek yang mengarah pada intoleransi ini memiliki intensitas yang cukup tinggi.
Dampaknya, perhatian publik internasional terfokus pada fenomena intoleransi
sehingga memudarkan kenyataan dan kesadaran akan kemoderaran Islam
Indonesia yang disebut Newsweek sebagai Islam with smiling face.
Seiring harapan Barat akan kehadiran kemoderatan Islam Indonesia,
muncul pula keragu-raguan manakala upaya pematangan demokrasi malah
menyeret Indonesia ke dalam fenomena intoleransi beragama dari kelompok
mayoritas. Berdasarkan laporan US Commission on International Religious
Freedom (USCIRF), Indonesia ditempatkan dalam daftar Watch List karena
tradisi keagamaan di Indonesia yang masih dipenuhi dengan ketegangan antara
toleransi dan pluralisme.236
Ketegangan ini membuat kelompok agama minoritas
terus mengalami intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan sosial. Diakui juga oleh
USCIRF bahwa pemerintah menjadi salah satu penyebab dari ketegangan
tersebut, termasuk polisi dan pejabat provinsi, kadang-kadang membiarkan
kegiatan kelompok-kelompok ekstremis, hukum nasional, dan regulasi di tingkat
daerah telah membatasi kebebasan beragama.
235 Ibid. 236 US Commission on International Religious Freedom (USCIRF), Annual Report 2012,
Washington DC, Maret 2012.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
113
Universitas Indonesia
Bagaimanapun juga, demokrasi telah menjadi standar umum negara-
negara maju Barat dalam membangun suatu relasi. Menurut Barat, demokrasi
sejatinya menempatkan prinsip Majority's rule, minority's rights di mana
demokrasi menjamin kehendak rakyat melalui aturan mayoritas dengan tetap
melindungi hak-hak minoritas. Wajah demokrasi Indonesia yang menampilkan
intoleransi dan konflik agama melalui peliputan media tidaklah menunjukan
prinsip-prinsip tersebut. Akibatnya, segala bentuk intoleransi beragama di
Indonesia memperlihatkan paradoks demokrasi dalam proses konsolidasi
demokrasi itu sendiri.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pencitraan identitas Islam moderat
Indonesia dalam rangka pengambilan peran model yang sinergis dengan Islam di
Timur Tengah adalah peran dan posisi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sejauh
ini, posisi Indonesia dalam OKI dapat dikatakan cukup marjinal. Hal ini tidak
lepas dari pengabaian Indonesia terhadap peran OKI. Partisipasi Indonesia pun
relatif kurang maksimal. Pada tahun-tahun pertama keanggotaannya, Indonesia
menolak untuk menandatangani piagam pertama OKI yang dicetuskan pada 1972.
Sikap menahan diri untuk menjadi anggota resmi OKI lebih dikarenakan bentuk
negara Indonesia yang bukan Islam dan berdasarkan UUD 1945. Dalam kebijakan
luar negeri sekali pun Indonesia tidak mendasarkannya pada nilai-nilai Islam,
tetapi lebih menggambarkannya dalam pola bebas-aktif.
Partisipasi aktif Indonesia dalam forum OKI baru nampak di awal tahun
90-an. Hal ini ditandai dengan kehadiran kali pertama Presiden Soeharto pada
KTT OKI ke-6 pata tahun 1991. Kehadiran Soeharto merupakan langkah awal
perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.
Walaupun partisipasi ini masih tidak seaktif keanggotaan Indonesia di forum-
forum multilateral lainnya.237
Reorientasi peran Indonesia dalam OKI tidak hanya untuk berperan aktif
dalam membantu menciptakan stabilitas di kawasan Timur Tengah, tetapi juga
untuk mencapai kepentingan Indonesia di dunia Internasional. OKI merupakan
satu-satunya pintu masuk bagi Indonesia untuk ikut terlibat dalam upaya
237 Pandu Utama Manggala, Menyoal Proyeksi Identitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam
Gelombang Perubahan di Timur Tengah: sebuah telaah konstruktivis dalam Jurnal Diplomasi Vol.
3, No.2, 2011, h. 116.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
114
Universitas Indonesia
penyelesaian konflik di kawasan Timur Tengah. Sebab, Indonesia tidak bisa
bersuara di forum regional lainnya di kawasan tersebut seperti Gulf Cooperation
Council, Liga Arab, ataupun Uni Afrika karena alasan keanggotaan.238
Kendala lain dalam pengambilan peran model Islam moderat di Timur
Tengah adalah kecenderungan dunia Arab yang merendahkan kredensi Islam di
Indonesia. Menurut Martin Van Bruinessen, otoritas keagamaan antara Indonesia
dan dunia Islam didefinisikan oleh hubungan yang tidak setara.239
Bahkan,
Indonesia hampir selalu berada pada penerimaan akhir dari hubungan tersebut.
Bruinessen menambahkan, Muslim Indonesia telah mengembangkan berbagai
macam ekspresi unik dari Islam, tetapi mereka tidak menunjukkan semangat
untuk menyebarkannya ke bagian lain dari dunia Muslim.
4. 2. Aspek yang Memperkuat Pencitraan Identitas Islam Moderat
Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencitrakan identitas Islam
moderat memang beragam dan tidak sedikit. Akan tetapi, hal ini bukanlah tanpa
aspek-aspek yang memperkuat. Untuk itu, bagian ini terdiri dari dua bahasan.
Pertama, penolakkan terhadap penerapan perda syariah. Kedua, menurunnya
dukungan komunitas Muslim terhadap partai politik (parpol) Islam dalam pemilu.
4. 2. 1. Penolakan Hukum Syariah
Meski kelompok Islam radikal menuntut penerapan syariah, agenda ini
ternyata hanya menyisakan sedikit prospek di masa depan. Hal ini karena
sebagaian besar komunitas Muslim Indonesia lebih realistis dalam memecahkan
masalah mereka sehingga mengabaikan syariah. Bagi mereka, syariah tidak akan
mampu mengatasi krisis multi dimensi di Indonesia. Buktinya, klaim-klaim
pemerintah daerah tentang penurunan dramatis dalam kejahatan sejak perda
diberlakukan perlu dicermati lebih lanjut. Sebut saja kabupaten Bulukumba,
meski perda syariah telah dikeluarkan sejak tahun 2003,240
pada tahun 2005 masih
238 Pandu Utama Manggala, h.116-117 239
Martin Van Bruinessen, “Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam”
dalam Anthony Reid (ed.), Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third Giant, (Singapore:
ISEAS Publishing, 2012), hal. 123. 240 Noorhaidi Hasan, Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in Post-Soeharto
Indonesia, (Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2007), hal. 12-13.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
115
Universitas Indonesia
terdapat hampir 200 kasus anak-anak kurang gizi; guru bekerja selama hampir 6
bulan tanpa gaji; dan penerangan jalan di kota yang padam karena pemerintah
kota tidak bisa membayar tagihan listrik.241
Selain itu, sebagian besar komunitas Muslim Indonesia menyadari
kejahatan justru menjelma dalam aksi-aksi anarkis yang mengatasnamakan agama
yang tidak berakar dalam tradisi dan kondisi yang ada di Indonesia. Akibatnya,
tuntutan untuk pelaksanaan syariah dan pembenaran atas penggunaan kekerasan
dianggap kontraproduktif bagi masa depan Indonesia sebagai masyarakat plural.
Menurut M.C. Ricklefs, gerakan-gerakan Islam radikal tidak memiliki prospek
memenangkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebaliknya, semangat Islam
moderat, toleran, liberal, dan pluralis sangat dilembagakan di Indonesia.
Penolakan terhadap penerapan perda syariah telah banyak dilayangkan
baik oleh legislator, akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Pada tahun 2006,
puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meyampaikan petisi yang
mendesak pemerintah agar memperhatikan perda-perda bernuansa Islam yang
dianggap meresahkan dan berpotensi menyulut konflik. Meski tidak memperoleh
hasil yang positif, petisi tersebut cukup memperlihatkan bahwa tidak sedikit
jajaran legislatif Indonesia yang menolak kehadiran perda-perda syariah. Masih
senada dengan pendapat tersebut, praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution
mengemukakan, keberadaan perda syariah yang diterapkan di sejumlah daerah
melanggar konstitusi. Karenanya, gagasan syariah tidak boleh dimasukan salam
undang-undang negara.
Penolakan juga ditunjukan oleh dua organisasi Islam terbesar di tanah air,
Muhammadiyah dan NU. Keduanya telah memperingatkan publik tentang
implikasi dari penerapan syariah bagi demokratisasi. Syafi'i Maarif, mantan ketua
Muhammadiyah dan intelektual Muslim terkemuka, mengingatkan komunitas
Muslim akan keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui perda
syariah dapat melemahkan pilar integrasi sosial dan nasional. Ia menambahkan,
perjuangan untuk membasmi imoralitas seharusnya menjadi perjuangan semua
kelompok yang dapat dilakukan di bawah payung Pancasila, khususnya sila
pertama. Sependapat dengan itu, Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah
241 Robin Bush, Op. Cit., hal. 185.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
116
Universitas Indonesia
menentang penerapan syariah dan penyamaannya dengan hukum pidana. Sebab,
syariah merupakan jalan yang berkaitan dengan nilai-nilai etika dan moral, bukan
untuk menentukan apa yang kriminal atau hukuman apa yang berlaku.
Sementara itu, NU juga telah mengambil sikap oposisi bagi formalisasi
syariah di tingkat daerah. Dalam konferensi ulama NU di Surabaya pada 2006,
Sahal Mahfudz, kepala badan legislatif NU mengatakan bahwa NU harus
menegaskan kembali komitmennya untuk tradisi sekuler di Indonesia sebagai cara
untuk menindas gerakan-gerakan yang akan menggunakan syariah sebagai dasar
untuk penyusunan undang-undang. Ia menambahkan, NU menjunjung tinggi
pluralisme sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan akan terus berada
di garis depan dalam kampanye untuk pelestarian nilai-nilai lokal.242
Ketua NU
Hasyim Muzadi menunjukkan kekhawatirannya akan penerapan syariah secara
tekstual.243
Kecenderungan lain yang perlu diperhatikan adalah terjadi penurunan
signifikan penerapan perda syariah di Indonesia sejak tahun 2006, seperti tampak
pada grafik berikut.
Grafik 4. 4 Kecondongan Penurunan Perda Syariah di Indonesia (1999-2007)
Sumber: Robin Bush (2008)
242 “NU States Opposition to Shari’a Based Bylaws,” The Jakarta Post, 29 July 2006. 243 “NU Menolak Perda Syari’ah,” Koran Tempo, 29 July 2006
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
117
Universitas Indonesia
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robin Bush menunjukkan, terdapat
23 perda syariah yang dikeluarkan pada tahun 2003, 15 perda pada tahun 2004,
hanya lima perda pada tahun 2006, dan tidak ada perda yang dikeluarkan pada
tahun 2007.244
4. 2. 2. Kemunduran Parpol Islam dalam Pemilu
Seiring menurunnya isu syariah, elektabilitas sejumlah partai Islam turut
menunjukan gejala yang serupa. Penurunan elektabilitas parpol Islam di Indonesia
pada dasarnya terkait dengan kampanye syariah yang nyatanya tidak mendapat
respon positif pada tahun 2004 dan 2009. Beberapa parpol yang elektabilitasnya
menurun secara signifikan antara lain PPP dan PBB. Dalam pemilu tahun 2004,
PPP hanya memperoleh 8,2% dan PBB 2,6% dari total suara nasional. Namun,
satu-satunya parpol Islam yang mampu meningkatkan suaranya adalah Partai
Keadilan dan Sejahtera (PKS) yang memperoleh 7,2%.245
Banyak pengamat tidak
hanya terkejut dengan kinerja PKS, tetapi juga khawatir tentang agenda politiknya
mengenai penerapan syariah.
Perlu diingat bahwa peningkatan PKS pada Pemilu 2004 tidak terkait
dengan kampanye syariah. Mereka lebih menyuarakan tentang pemerintahan yang
bersih dengan mempromosikan anti-korupsi, tata pemerintahan yang baik dan
perlunya kepedulian terhadap sesama. Selama periode kedua pemilihan presiden
pada Juli 2004, tidak ada isu tunggal yang dikampanyekan PKS berkaitan dengan
syariah. Kampanye mereka sebagian besar mengenai pemulihan perekonomian,
menjaga stabilitas politik, dan penegakan supremasi hukum.
Sementara pada pemilu legislatif 2009, parpol-parpol Islam tidak
mendapat dukungan signifikan dari mayoritas rakyat Indonesia. Secara nasional,
preferensi konstituen secara nasional lebih mendukung parpol-parpol sekuler-
nasionalis seperti Partai Demokrat (PD), Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan lain-lain. Satu-satunya parpol
Islam yang beruntung pada pemilu ini adalah PKS yang memperoleh sekitar 9%
pada tahun 2009.246
244 Robin Bush, Op. Cit., hal. 177-178. 245 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010. 246 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
118
Universitas Indonesia
Penurunan elektabilitas parpol Islam dapat ditelusuri dari orientasi nilai
politik komunitas Muslim di tanah air. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2007, 57% komunitas Muslim Indonesia
umumnya berorientasi terhadap nilai-nilai politik sekuler. Hanya 33% dari
komunitas Muslim menaruh orientasi pada nilai-nilai politik Islam.247
Perbandingan kedua orientasi umum dalam komunitas Muslim tersebut dapat
dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 4. 5 Orientasi Nilai Politik Komunitas Muslim Indonesia
33
57
10
0
10
20
30
40
50
60
Persentase (%)
Islami Sekuler Tidak Tahu
Sumber: LSI (2007)
Dalam hal ini, pengukuran keterdukungan nilai-nilai politik Islami
dilakukan dengan membandingkan dengan nilai-nilai politik sekuler yang
ditujukkan dengan ketidaksetujuan. Beberapa nilai-nilai yang diukur LSI antara
lain pengawasan atas pemakaian jilbab bagi perempuan dewasa di ruang publik;
penerapan hukum potong tangan bagi pencuri; pelarangan perempuan untuk
menjadi presiden, pengawasan atas hubungan muhrim dan tidaknya bagi laki-laki
dan perempuan yang berduaan di muka umum; hukum rajam bagi yang berzinah;
pelarangan bunga bank karena haram; dan pemilu untuk memilih wakil-wakil
rakyat yang memperjuangkan ajaran Islam.248
247 Lembaga Survei Indonesia (LSI), Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai
Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta, Oktober 2007. 248 Ibid.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
119
Universitas Indonesia
Grafik 4. 6 Pandangan Muslim Indonesia Terhadap Nilai-nilai Politik Islam
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Pengawasan Jilbab
Rajam
Pelarangan Presiden Perempuan
Pengawasan Muhrim
Pelarangan Bunga Bank
Hukum Potong Tangan
Pemilu untuk Ajaran Islam
Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu
Sumber: LSI (2007)
Secara komprehensif, hal ini menunjukan nilai-nilai Islami itu belum
mampu diterjemahkan ke dalam kekuatan gerakan sosial dan organisasi politik.
Setidaknya penurunan elektabilitas parpol Islam dapat disebabkan oleh empat
faktor. Pertama, makin kentalnya fenomena Islam Yes, Partai Islam No atau
mayoritas komunita Muslim Indonesia tidak ingin partai dengan aroma Islam
menjadi mayoritas. Kedua, pendanaan parpol nasionalis lebih kuat daripada
pendanaan parpol Islam. Ketiga, banyaknya tokoh-tokoh Islam yang diakomodasi
oleh parpol-parpol nasionalis baik ke dalam struktur partai maupun dalam
rekruitmen anggota parlemen. Keempat, munculnya anarkisme yang
mengatasnamakan Islam oleh kelompok tertentu dinilai berdampak pada
munculnya kecemasan kolektif masyarakat pada umumnya.249
249 “LSI: elektabilitas parpol Islam menurun” http://www.antaranews.com/berita/338574/lsi-
elektabilitas-parpol-islam-menurun diakses pada Kamis, 22 November 2012, pukul 10.14 wib.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
120
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
121
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN
Bab ini tidak hanya ditujukan untuk mengulas hasil dari analisa identitas
Muslim moderat yang dipraktikan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya,
tetapi juga untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian. Berdasarkan analisa
tersebut penelitian ini akan memberikan sejumlah rekomendasi atas pokok-pokok
permasalahan yang dihadapi Indonesia jika pencitraan identitas Islam moderat
masih terus dipraktikan.
5. 1 Temuan Penelitian
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan luar negeri Indonesia
tampak menunjukan praktik di luar kebiasaan. Indonesia yang sejak
kemerdekaannya tidak pernah merefleksikan identitas keIslaman dari mayoritas
penduduknya kini justru mulai berani menyuarakan identitas Islam dalam nuansa
yang lebih spesifik, moderat. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa
kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, karya ilmiah ini menggunakan
konsep identitas yang umumnya dipresentasikan setiap negara. Melalui identitas,
negara tampil sebagai entitas yang berbeda dari yang lain di tengah pergaulan
internasional. Identitas negara umumnya berasal dari sumber daya immaterial
yang tumbuh di dalam negeri. Bagi Indonesia, Islam merupakan sumber
immaterial yang tak dapat dinafikan dari realitas sosio-kultural dan politiknya.
Keragaman budaya, etnis, dan agama turut menjadi modal pembetuk pluralisme
bangsanya sehingga berkontribusi pada perkembangan demokrasi di Indonesia.
Untuk memahami proyeksi identitas yang diusung Indonesia di tingkat
internasional, pengkajian dilakukan dengan memanfaatkan teori peran dalam
kebijakan luar negeri. Peran sendiri merupakan salah satu karakter dari identitas
yang menuntut pembedaan dalam dinamika sistem sosial internasional.
Karenanya, pengambilan peran yang hendak dicapai kebijakan luar negeri sangat
dipengaruhi situasi internasional yang diimbangi perhatian pada situasi dan
kebutuhan nasional.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
122
Universitas Indonesia
Pembuat kebijakan atau pemerintah merupakan pemegang kunci dalam
menentukan peran apa yang hendak dicapai kebijakan luar negeri. Namun,
pemerintah bukan satu-satunya aktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan
kebijakan luar negeri. Setelah reformasi di Indonesia pada 1998, kebijakan luar
negeri tidak lagi menjadi monopoli pemerintah semata. Dalam prosesnya,
kebijakan luar negeri Indonesia juga dipengaruhi oleh aktor-aktor non-
pemerintah. Kondisi demikian turut berlaku dalam pencitraan identitas Islam
moderat Indonesia. Indonesia tidak memiliki portofolio pencitraan Islam pada
masa pemerintahan sebelumnya, baik di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Walaupun mayoritas penduduk, posisi Islam cenderung dipinggirkan dalam
kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk merumuskan dan menampilkan citra Islam
moderat, pemerintah membutuhkan kelompok-kelompok Muslim di masyarakat,
khususnya Muslim moderat.
Sebagai hasil dari pengamatan diusungnya identitas Islam moderat dalam
praktik kebijakan luar negeri Indonesia, penelitian ini memperoleh beberapa
temuan sebagai berikut:
Pertama, peristiwa 11 September yang melahirkan wacana perang global
terhadap teror mengakibatkan pendeskriditan Muslim melalui stereotype Arab,
intoleran, ekstrim, dan anti-Barat. Seiring dengan Islamofobia yang berkembang
di dunia Barat, kebencian dunia Muslim terhadap dunia Barat pun bermunculan
setelah AS menjalankan operasi militer ke Afganistan dan Irak. Hal ini tidak
lantas menimbulkan kesamaan reaksi pada tataran kebijakan di masing negara-
negara Muslim. Sebagaimana terlihat di bab 2, reaksi Indonesia tergolong moderat
baik dalam menyikapi perang global terhadap teror maupun operasi militer AS di
Afganistan dan Irak.
Kedua, adanya keinginan negara-negara Barat untuk mengembangkan
jaringan Islam moderat sebagai rekan potensial untuk mengimbangi jaringan
terorisme di sejumlah negara Muslim. Pertimbangan tersebut juga tidak lepas dari
persamaan prinsip antara dunia Barat dan Muslim moderat yang memuat
demokrasi dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana dipaparkan di bab 2.
Pada gilirannya, kehadiran Muslim moderat tampak dibutuhkan dunia Barat untuk
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
123
Universitas Indonesia
memediasi hubungan antara dunia Barat dan dunia Islam yang selama ini terkesan
konfliktual.
Ketiga, kemoderatan Islam di Indonesia bersumber dari sosio-kultural
masyarakatnya yang plural, modern, dan demokratis. Sebagaimana diuraikan di
bab 3, modal pluralisme, modernitas, dan demokrasi dianggap pemerintah
Indonesia sebagai faktor yang dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk
mendukung promosi identitas moderat dalam kebijakan luar negeri. Tujuannya
antara lain untuk mengambil peranan yang lebih luas di ranah internasional.
Keempat, keinginan Indonesia untuk memperoleh peranan di ranah
internasional merupakan bentuk konsistensi dan kontinuitas cara pandangnya
terhadap dunia. Meski di bawah kepemimpinan yang berbeda, Indonesia selalu
menjaga eksistensinya di dunia internasional dengan mengambil sejumlah
peranan. Terkait capaian peranan pada masa kini, UU No. 17 tahun 2007
mengenai RPJN 2005-20025 merupakan salah satu landasan bagi kebijakan luar
negeri Indonesia untuk mewujudkan peranan tersebut.
Kelima, identitas Islam moderat bukanlah menjadi bagian dari identitas
resmi Indonesia. Berdasarkan RPJMN I 2005-2009, identitas nasional Indonesia
adalah negara demokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam masih menjadi
faktor pinggiran dalam kebijakan luar negeri Indonesia karena Indonesia bukan
negara yang didirikan berdasarkan agama tertentu (non-teokratis).
Keenam, karena tidak menjadi bagian resmi dari identitas negara,
kemoderatan dipromosikan Indonesia melalui jalur diplomasi. Seperti terlihat
pada bab 3, pemerintah dan masyarakat baik individu maupun kelompok menjadi
agen diplomasi yang mempromosikan kemoderatan Muslim ke ranah
internasional. Partisipasi masyarakat dapat berupa diplomasi yang memang
diakomodasi oleh pemerintah dalam kerangka multi-track diplomacy maupun
didasarkan pada people to people diplomacy.
Berdasarkan temuan tersebut, alasan Indonesia untuk mempromosikan
identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya dapat ditarik menjadi
empat argumen utama. Alasan pertama, Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya
dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
124
Universitas Indonesia
Tengah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi stigma berkelanjutan tentang
Muslim yang dipersepsikan media dan akademisi Barat sebagai intoleran,
ekstrimis, dan anti-Barat. Identifikasi juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan
antara Indonesia dengan negara-negara Barat.
Alasan kedua, adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negara-
negara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim.
Karena itu, negara-negara Barat membutuhkan negara-negara Muslim yang
memiliki kesamaan prinsip dengan Barat dalam rangka mediasi dengan dunia
Islam.
Alasan ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara
komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan
hubungan dengan dunia Islam. Bagaimanapun juga, komunitas Muslim
merupakan konstituen terbesar di Indonesia yang aspirasinya tidak dapat
diabaikan dalam pertumbuhan demokrasi di tanah air.
Alasan keempat, adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam
hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia
(worldview). Indonesia mencoba mengambil peranan sebagai mediator antara
dunia Barat dan Islam melalui dialog-dialog antar peradaban, budaya, dan agama.
Indonesia kembali menemukan momentum untuk mengambil peran lain ketika
terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dengan
mengandalkan pengalaman semasa reformasi dan semangat solidaritas Asia-
Afrika dan sesuai dengan teori peran yang menjadi dasar dari analisa ini,
Indonesia berusaha untuk mencapai peran model di kawasan ini.
Secara garis besar, pencitraan identitas Islam moderat tampaknya hanya
sebuah pragmatisme pemerintah Indonesia. Pragmatisme ini dapat dilihat dalam
dua tingkatan. Pada tingkat hubungan luar negeri, pencitraan tersebut
dimanfaatkan untuk menyikapi Islamofobia yang berkembang pasca serangan 11
September. Selain itu, hal ini juga digunakan untuk mendekatkan diri dengan
dunia Barat sekaligus demi pencapaian peran di tengah pergaulan dunia.
Sedangkan di tingkat domestik, pengangkatan identitas Islam ke permukaan juga
untuk menjaga perasaan konstituen di dalam negeri yang mayoritas Muslim. Hal
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
125
Universitas Indonesia
ini dilakukan dengan memfasilitasi kelompok-kelompok Muslim moderat dalam
jalur diplomasi.
Pencitraan Muslim moderat pun tampak seperti sebuah pemaksaan karena
bertolak belakang dengan refleksi intoleransi di dalam negeri. Intoleransi yang
terjadi di Indonesia umumnya dialamatkan pada kelompok minoritas. Kelompok –
kelompok minoritas yang menjadi korban intoleransi memang dapat berasal dari
etnis, suku, bangsa, dan ras. Namun terkait pembahasan dalam karya ilmiah ini,
kasus-kasus intoleransi yang dimaksud berkorelasi dengan agama sehingga
korbannya antara lain kelompok non-Muslim dan aliran Islam minoritas.
Tantangan Indonesia dalam mencitrakan identitas Islam moderat cukup
besar. Sebagaimana terlihat pada bab 4, aksi-aksi intoleransi di Indonesia
umumnya dimotori oleh sejumlah persitiwa, yaitu 1) peningkatan dan penyebaran
gerakan kelompok Islam radikal yang cenderung melakukan aksi-aksi anarkis,
khususnya pada komunitas Muslim dan aliran Islam minoritas yang dinilai sesat;
2) regenerasi terorisme yang masih terjadi hingga saat ini. Salah satu tujuannya
adalah penyerangan terhadap simbol-simbol Barat dan pihak-pihak yang dianggap
membela kepentingan asing; 3) penerapan hukum syariah di tingkat daerah yang
melukai pluralitas agama di Indonesia karena meniadakan keberadaan agama-
agama selain Islam. Tidak jarang, perda sharia melanggar HAM dan
mendeskriditkan perempuan; 4) pengaruh MUI melalui fatwa-fatwanya yang
seringkali dijadikan bahan legitimasi bagi kelompok-kelompok Islam radikal
untuk melakukan kekerasan.
Dilihat dari jumlahnya kelompok Islam radikal di Indonesia relatif kecil,
tetapi aksi kekerasan ternyata mendapat peliputan media dengan frekuensi yang
cukup tinggi. Sepertinya, intensitas publikasi aksi-aksi intoleransi oleh media
massa berpengaruh dalam mengambil perhatian publik, baik nasional maupun
internasional. Akibat lebih jauh, peliputan media terhadap aksi-aksi intoleransi
dapat mereduksi pencitraan Islam moderat pada skala internasional.
Sebagaiamana terlihat di bab 4, beberapa NGO menganggap pemerintah sebagai
salah satu faktor penyebab maraknya aksi-aksi intoleransi tanah air. Lebih jauh,
pemerintah dianggap tidak serius dalam menangani aksi-aksi intoleransi. Sikap
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
126
Universitas Indonesia
pemerintah ini terlihat tidak konsisten dengan gambaran Islam moderat, sehingga
pencintraannya dalam kebijakan luar negeri semacam dipaksakan.
5. 2. Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa sumber ancaman dalam
mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia adalah inkonsistensi antara
citra di luar negeri dan realita di dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah
seharusnya berperan ganda, baik sebagai pengambil kebijakan maupun sebagai
pengawal kebijakan tersebut. Pemerintah yang dimaksud bukan hanya departemen
luar negeri semata, tetapi seluruh elemen pemerintahan.
Sejauh ini, implementasi kebijkan luar negeri terasa berjarak dengan
elemen-elemen pemerintah lainnya. Kebijakan luar negeri yang mempromosikan
identitas moderat khususnya, seiring kali tidak memiliki kaitan dengan kebijakan
ataupun peraturan yang dikeluarkan elemen pemerintah lainnya. Otonomi yang
terjadi setelah reformasi menjadikan tiap elemen pemerintahan baik departemen
maupun pemda berdiri secara sendiri-sendiri. Koordinasi antar elemen pemerintah
terkesan lemah sehinga tidak efektif. Akibatnya, tidak ada keselarasan antara
kebijakan luar negeri dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh elemen
pemerintah lainnya. Sebagai contoh fatwa larangan pluralisme yang dikeluarkan
MUI pada 2005 kontras dengan pencitraan Muslim moderat yang menghormati
pluralisme beragama. Contoh lainnya adalah penerapan perda syariah di Aceh dan
Bulukumba yang diterapkan secara kaku dan literal sehingga tidak sejalan dengan
citra Islam moderat.
Berdasarkan analisis di atas, terdapat tiga rekomendasi yang diberikan
karya ilmiah ini. Pertama, perlu adanya koordinasi yang komprehensif di jajaran
pemerintahan. Koordinasi ini diharapkan dapat berkontribusi bagi penyusunan
kebijakan yang saling mendukung dan tidak kontradiktif. Khususnya pencitraan
Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri, Deplu RI sebaiknya tidak
hanya melakukan koordinasi dengan Departemen agama tapi juga dengan elemen
pemerintah lainnya seperti MUI. Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat
dan daerah diperlukan agar terbangun sinergi antara pencitraan identitas Islam
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
127
Universitas Indonesia
moderat di tingkat internasional maupun domestik. Misalnya penerapan perda
syariah yang cenderung menciptakan intoleransi dan pelanggaran HAM. Kondisi
ini tentu tidak sejalan dengan promosi Islam moderat Indonesia sehingga
mengesankan bahwa pencitraan tersebut hanya simbolisme semata.
Kedua, perlu adanya ketegasan dan kemauan (political will) pemerintah
untuk menyelesaikan konflik-konflik di tengah masyarakat khususnya yang
berkaitan dengan pluralitas agama dan keyakinan. Selama ini, pemerintah
cenderung menerapkan pola yang sama dalam menangani konflik menahun.
Karena itu, diperlukan pola baru yang sifatnya antisipatif dalam penyelesaian
konflik. Simbolisasi pemerintah sebagai penegak hukum dan aparatur
penyelenggara negara dibutuhkan untuk memediasi ketegangan masyarakat.
Untuk itu, pemerintah juga harus mengambil inisiatif untuk melakukan koordinasi
dengan tokoh agama dan masyarakat. Hal ini untuk menghindari dan mengurangi
ketegangan interaksi maupun konflik agama khususnya.
Ketiga, melakukan koordinasi dengan media massa. Hal ini dilakukan
untuk mambangun setting pemberitaan yang lebih menampilkan wajah Islam
Indonesia yang moderat atau toleran. Hal ini berguna untuk memberikan kesan
bahwa Indonesia adalah negara yang ramah, aman, dan kondusif bagi seluruh
pihak. Gambaran ini diharapkan dapat mengundang wisatawan maupun investor
asing datang ke Indonesia. Jikapun ada pemberitaan mengenai konflik agama,
setting pemberitaan dapat lebih menonjolkan upaya penyelesaian konflik
dibandingkan mengeksplorasi penderitaan korban. Selain itu, peran aktif
pemerintah bisa ditampilkan melalui media secara lebih transparan. Hal ini untuk
mengklarifikasi tuduhan pihak asing yang menganggap pemerintah berkontribusi
atas terjadinya kasus-kasus intoleransi di dalam negeri.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
128
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdelal, Rawi; Yoshiko M. Herrera; Alastair Iain Johnston; dan Rose Mcdermott.
Measuring Identity: a Guide for Social Scientist. UK: Cambridge
University Press, 2009.
Aceh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani, 1985.
Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi
di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute. 2011.
Bhutto, Benazir. Reconciliation: Islam, Democracy, and the West. London: Simon
and Schuster, 2008.
Bruinessen, Martin Van. “Indonesian Muslims and Their Place in the Larger
World of Islam.” Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third
Giant. Ed. Anthony Reid. Singapore: ISEAS Publishing. 2012.
Bush, Robin. “Regional Sharia Regulation in Indonesia: Anomaly or Sympton?”
Eds, Greg Fealy dan Sally White. Expressing Islam: Religious Life and
Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
2008.
Cameron, Fraser. US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or
Reluctant Sheriff 2nd
eds. London dan New York: Routledge, 2005.
Dalton, Bill Indonesia handbook. California: Moon Publications, 1982.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES. 1994.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. 2011.
Elgström, Smith Ole, Michael. the European Union’s Roles in International
Politics: Concept and Analysis. New York: Routledge, 2006.
Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis Al-Auran. Depok: Katakita. 2009.
Ghazali, Abdus Sattar. Islam and Muslims in the Post-9/11 America. Modesto:
Eagle Enterprise. 2012.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
129
Universitas Indonesia
Hall, S. “Who Needs ‘Identity’?” Eds, S. Hall and P. du Gay. Questions of
Cultucal Identity. London: Sage Publications. 1997.
Hasan, Noorhaidi. Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in
Post-Soeharto Indonesia.Singapore: S. Rajaratnam School of International
Studies. 2007.
Hidayat, Komarudin. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta: Media Cita. 2001.
Kedourie, Ellie. Democracy and Arab Political Culture. Washington DC:
Washington Institute for Near East Studies. 1992.
Laqueuer, Walter Z. (ed). the Middle East in Transition. New York: Frederick A.
Praeger. 1958.
Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.
Leifer, Michael. Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Liqun, Zhu. China’s Foreign Policy Debates. Paris: EU Institute for Security
Study. 2010.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam bingkai Keindonesiaan, dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan. 2009.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,
2008.
Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi.
Yogyakarta: LkiS. 2004.
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2007.
Nash, K. ed. Readings in Contemporary Political Sociology. Oxford: Blackwell
Publisher, 2000.
Piontkovsky, Andrei. East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy.
London: Foreign Policy Centre, 2006.
Prestre, Philippe Le. Role Quest in the Post-Cold War Era: Foreign Policy in
Transition. Montreal: McGill-Queen’s UP. 1997.
Rabasa, Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. al. the
Muslim World after 9/11.Santa Monica: Rand Corporation. 2004.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
130
Universitas Indonesia
Rabasa, Angel; Cheril Benard; Lowell H. Schwartz; et.all. Building Moderate
Network. RAND Corporation: Santa Monica, 2007.
Reich, Walter, ed. Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi,
dan Sikap Mental. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2003.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008.
Sukma, Rizal. Islam in Indonesian Foreign Policy. London: RoutledgeCurzon,
2003.
Shadid, W. dan P.S. van Koningsveld. Religious Freedom and the Neutrality of
the State: the Position of Islam in the European Union. Lauven: Peeters.
2002.
Sheikh, Naved S. the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a
World of States. London & New York: RoutledgeCurzon, 2003.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung:
Mizan. 1997.
Oberoi, Surinder Singh. “Ethnic Separatism and Insurgency in Kashmir.” Eds.
Satu P. Limaye, Mohan Malik, Robert G. Wirsing. Religious Radicalism
and Security in South Asia. Hawai: Asia Pasific Center for Security
Studies. 2004.
Stanger, Alison. “Democratization and the International System: the Foreign
Policy: the Foreign Policies of Interim Governments.” Eds, Juan dan Linz
Yossi. Between States: Interim Governments and Democratic Transitions.
Cambridge: Cambridge University Press, 1955.
Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta:
Pustaka LP3ES. 1998.
Suryokusumo, Sumaryo. Praktik Diplomasi. Jakarta: STIH IBLAM. 2004.
Tjondronegoro, Sediono, ed. Membangun Negara dan Mengembangkan
Demokrasi. Yogyakarta: Aditya Media. 2007.
Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia:
Membangun Citra Diri.” Ed, Bantarto Bandoro. Mencari Desain Baru
Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and
Internatonal Studies (CSIS). 2005.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
131
Universitas Indonesia
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. International Relations and World Politics:
Security, Economy, Identity. United States: Pearson Prentice Hall, 2007.
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. International Relations Theory 4th
Edition.
United States: Pearson Prentice Hall, 2010.
Volkan, Vamık D., Joseph V. Montville, dan Demetrios A. Julius.
Psychodynamics of international relationship: Concepts and Theories 1st
Eds. Lexington, MA: Lexington Books. 1990.
Wahid, Abdurrahman. Islam, Pluralism, and Democracy. Arizona: Center for the
Study of Religion and Conflict (CSRC), 2007.
Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan IslamTransnasional
di Indonesia. Jakarta: the Wahid Institute. 2009.
Wendt, Alexander. Social Theory of International Relations (New York:
Cambridge University Press. 1999
Wollenberg, Eva, Jon Anderson and Citlalli López. Though all Things Differ:
Pluralism as a Basis for Cooperation in Forests. Bogor: Center for
International Forestry Research. 2005.
Jurnal
Asila, Sobhi. “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World.”
Arab Insight 1:2(Fall 2007):13-30.
Anwar, Dewi Fortuna. “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia.”
Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 3(2010): 37-54.
Basya, M. Hilaly. “the Concept of Religious Pluralism in Indonesia: a Study of
the MUI’s Fatwa and the Debate among Muslim Scholars.” Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS) 1:1(Juni 2011): 69-93.
Cronk, George. “Symbolic Interactionism: a Left-Meadian Interpretation." Social
Theory and Practice 2:3(Spring 1973):113-133.
Gillespie, Piers. “Current Issues in Indonesian Islam: Analyzing the 2005 Council
of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and
Secularism.” Journal of Islamic Studies 2:18(2007): 202-240.
Hadi, Andri “Demokrasi bukan Produk Barat.” Jurnal Diplomasi 1:1(Juni 2009):
166-172.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
132
Universitas Indonesia
Hinnebusch, Raymond. "The US Invasion of Iraq: Explanations and
Implications.” Critique: Critical Middle Eastern Studies 16:3(Fall 2007):
9-27.
Holsti, K.J. “Nationale Role Conception in the Study of Foreign Policy.”
International Quarterley 14:3 (November 1970): 233-309.
Humphryes, Andrew. “Malaysia Post-9/11 Security Strategy: Winning Hearts and
Minds or Legitimising the Political Status Quo.” Kajian Malaysia
28:1(2010): 21-52.
İnaç, Hüsamettin. “Identity Problems of Turkey during the European Union
Integration Process.” Journal of Economic and Social Research 6:2(2004):
33-62.
Karsh, Efraim. “Geopolitical Determinism: the Origins of the Iran Iraq War”,
Middle East Journal 44:2(Spring, 1990): 256-268.
Kay, Lena. “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for
US Foreign Policy.” Issue & Insight V:4(Agustus 2005): 1-43.
Kinnvall, Catarina. “Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and
the Search for Ontological Security.” Political Psychology 25:5(2004):
741-767.
Kettani, Houssain. “World Muslim Population: 1950-2020.” International
Journal of Environmental Science and Development (IJESD) 1:2(June
2010).
Maliki, Musa dan Abdullah. “Dialog Peradaban Islam Barat: Gerakan (Socio
Political Culture) Kyiai Kanjeng di Eropa.” Kajian Wilayah Eropa
V:2(2009): 271-288.
Merskin, Debra. “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11
Discourse of George W. Bush.” Mass Communication & Society
7:2(2004): 157-175.
Montville, Joseph V. “Track Two Diplomacy: the Work of Healing History.” the
Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations. 7(Maret
2009).
Nasira, Hani. “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies.” Arab
Insight 2:2(Summer 2008): 103-113.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
133
Universitas Indonesia
Nogués, Elisabeth Johansson. “is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle?
The European Union, the Northen Dimension and the Union for
Mediterranean.” European Political Economy Review 9(Autumn 2009):
24-48.
Nuh, Nuhrison M. “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham Islam Radikal di
Indonesia”, Harmoni VIII:31(Juli-September 2009): 35-47.
Rubaidi. “Variasi Gerakan Radikal Islam di Indonesia.” Analisis XI:1(Juni 2011):
33-52.
Sadeghi, Ahmad. “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and
History.” the Iranian Journal of International Affairs XX:4 (Fall, 2008):
1-40.
Silaen, Victor. “Tinjauan Kritis Atas Perda-perda Bermasalah.” Sociae Polites
6:25(2007): 11-24.
Stackpole, H. C. “US-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War
Against Terrorism.” Asia Pacific Security Studies 2:2(Mei 2003).
Sukma, Rizal. “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional
Indonesia.” Analisis CSIS 39:4(Desember 2010): 432-445.
Voll, John O. “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?” Religion
Compass 1:1(2007): 170-178.
Tan, Paige Johnson. “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and
Foreign Policy.” Asian Perspective 31:3(2007): 147-181.
Wendt, Alexander. “Collective Identity Formation and International Sate.”
American Political Science Review 88:2(Juni 1994): 384-396.
Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of it: the Social Construction
of Power Politics.” International Organization 46:2(Spring 1992): 391-
425.
Yuliantoro, Ronny Prasetyo. “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak
di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai
Konsistensi Historis.” Jurnal Diplomasi 3: 2:(Juni 2011): 1-16.
Zakaria, Fareed. “the Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs
76:6(November/Desember 1997): 22-43.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
134
Universitas Indonesia
ZTF, Pradana Boy. “the Function of Fatwa in Contemporary Muslim Societies:
and Indonesian Experience.” Jurnal Salam 15:1(Juni 2012): 1-13.
Majalah dan Surat Kabar
“Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Tahun XVII, 10-16
Februari 2011
“Dialog Antar Agama untuk Mengatasi Ketegangan Dunia”, Kompas, 6
Desember 2004.
Lee, Mathew. “Clinton: Indonesia Can be Democratic Role Model.” the Jakarta
Post, 24 Juli 2011.
Smith, Ben. “Obama Suggest Indonesia, Chile as models for Egypt.” Politico, 2
Maret 2011.
Laporan dan Makalah
Abdul Aziz Said, Mohammed Said Farsi and Nathan C. Funk, “Islam and the
West: Three Stories” disampaikan dalam konferensi “The Future of Islam-
West Relations”, Washington DC: Center for Strategic and International
Studies American University, 30 Juni 1998.
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Laporan Tahunan
Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010.
Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama di Indonesia 2011, Yogyakarta, 2011.
European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), “Muslim in
the European Union”, EUMC 2006, Austria, 2006
International Crisis Group, “Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah”,
Asia Report N⁰147, Jakarta/Brussel, Februari 2008.
International Crisis Group, “Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk
Kelompok Baru”, Asia Report N⁰228, Jakarta/Brussel, Juli 2012.
Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010, Annual Report 2010,
Arlington, 2010
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
135
Universitas Indonesia
Lembaga Survei Indonesia (LSI), Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs
Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta, Oktober
2007.
M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam
Seminar Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-
10 November 2009.
Sebastian Harnisch, “Conceptualizing in the Minefield: Role Theory and Foreign
Policy Learning” disampaikan dalam Workshop “Integrating Foreign
Policy Analysis and International Relations through Role Theory” pada
pada Annual ISA (Institute for Political Science) Conference, New
Orleans, 15-20 February 2010.
Stephen G. Walker, “Binary Role Theroy and Foreign Policy Analysis”
disampaikan dalam the Foreign Policy Analysis Workshop, “Integrating
Foreign Policy Analysis and International Relations Through Role
Theory,” at the Annual Meeting of the International Studies Association,
New Orleans, 16-20 Februari 2010.
The Economist Intelligence Unit, “Democracy in Retreat”, Democarcy Index
2010, London, 2010.
Turita Indah Setyani, “Bhineka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa”
disampaikan pada Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi
Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia, di
Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009.
Ulrich Krotz, “Nationale Role Conception and Foreign Policies: France and
Germany Compared” disampaikan pada the 97th Annual Meeting of the
American Political Science Association in San Francisco, 30 August-2
September 2001.
U.S. Center for Citizen Diplomacy, "Citizen Diplomacy Organizations throughout
the World: Opportunities for Cooperation", U.S. Summit and Initiative for
Global Citizen Diplomacy, Washington DC, 16–19 November 2010, hal.
4.
Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign
Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
136
Universitas Indonesia
Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the
International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus
2011.
Pidato
Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua,
Bali, 8-9 December 2011.
Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam
paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6
Januari 2004.
Hassan Wirajuda, “the democratic Response” disampaikan dalam the 56th Session
of the UN General Assembly , New York, 15 November 2001.
Susilo Bambang Yudhoyono disampaikan sebelum Indonesian Council on World
Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005.
Website
“Deplu & Lembaga Islam Indonesia Promosikan Islam di London”,
http://news.detik.com/read/2006/07/06/071444/630011/10/deplu-lembaga-
islam-indonesia-promosikan-islam-di-london diakses pada Selasa, 27
November 2012, pukul 14.02 wib.
Text of Bush's addres”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-
11/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicable-
acts?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012, pukul 15.40 wib.
“Transcript of President Bush's address”, diakses dari
http://articles.cnn.com/2001-09-20/us/gen.bush.transcript_1_joint-session-
national-anthem-citizens?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012,
pukul 15.50 wib.
Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari
http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban
pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 14.22 wib.
"Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari
http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-
penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11
Desember 2012, pukul 13.00 wib.
Renne R.A Kawilarang, “Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda" diakses dari
http://m.news.viva.co.id/news/read/98969-
warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda pada Minggu, 16 Desember 2012,
pukul 13.14 wib.
Wawancara
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
137
Universitas Indonesia
Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Andrew Steven
ditayangkan di CNN, 15 Juni 2011
Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen
Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012