Tesis Roni (Kel 2)

164
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA PROPOSAL TESIS FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA DI RS. SIAGA RAYA KECAMATAN PASAR MINGGU TAHUN 2010 DISUSUN OLEH : RONI NONI NPM : 0805100019 PROGRAM PASCASARJANA 1

description

kebidanan

Transcript of Tesis Roni (Kel 2)

BAB I

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

PROPOSAL TESIS

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA

DI RS. SIAGA RAYA KECAMATAN PASAR MINGGU

TAHUN 2010

DISUSUN OLEH :

RONI NONINPM : 0805100019

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

JAKARTA, 2010BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) disebutkan bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal, agar dapat bekerja serta hidup layak sesuai dengan martabat manusia tidak terkecuali warga Negara yang telah lanjut usia atau lansia (Depkes.RI, 2007).

Keberhasilan pembangunan telah memberikan hasil positif di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan yaitu meningkatnya angka UHH (umur harapan hidup) yang mengakibatkan jumlah lansia meningkat. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lansia 6,5 % atau 12,7 juta orang, dengan perkiraan jumlahnya akan meningkat. Proyeksi Biro Pusat Statistik untuk tahun 2005/2010 menyebutkan bahwa jumlah lansia akan sama dengan jumlah balita, yaitu sekitar 8,5 % jumlah penduduk atau sebanyak 19 juta orang (Depkes.RI, 2007).

Meningkatnya jumlah lansia akan berbanding lurus dengan meningkatnya masalah kesehatan yang dihadapi oleh kelompok ini, terutama penyakit penyakit yang berhubungan dengan masalah penuaan karena bertambahnya umur. Salah satu contoh penyakit yang diderita lansia adalah penyakit Osteoporosis (Noer, 2000).Osteoporosis adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang. Penyakit ini terjadi saat tulang - tulang menjadi rapuh dan mudah patah akibat hilangnya sebagian kalsium dalam tulang. Osteoporosis sering juga disebut silent disease karena proses hilangnya kalsium dari tulang terjadi tanpa tanda-tanda atau gejala. Biasanya, penderita menyadari terserang osteoporosis setelah mengalami patah tulang. Biasanya, terjadi di paha, tulang belakang, dan pergelangan tangan (Wikipedia, 2010).

Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di Negara Berkembang dan Negara Maju. Di Amerika Serikat Osteoporosis menyerang 20 25 juta penduduk, 1 diantara 2 -3 wanita post- menopause dan lebih dari 50 % penduduk di atas umur 75 80 tahun. Dari pasien pasien tersebut di atas, 1,5 juta mengalami fraktur setiap tahunya, yang antara lain mengenai tulang femur bagian proksimal sebanyak 250.000 pasien dan fraktur vertebrae menyerang 500.000 pasien. Fraktur panggul, merupakan keadaan yang paling berat pada pasien Osteoporosis dan akan mengakibatkan kematian pada sebanyak 10 15 % setiap tahunya. Lebih dari 50 % pasien fraktur panggul terancam mengalami ketergantungan (tidak dapat melakukan sesuatu) sehingga 25 % di antaranya memerlukan bantuan perawat terlatih (Noer, 2000). Di Amerika Serikat biaya yang dikeluarkan untuk pasien pasien fraktur panggul adalah $ 7 8 milyar setiap tahun. Masyarakat atau populasi Osteoporosis yang rentan terhadap fraktur adalah populasi lanjut usia. Di Amerika Serikat hal ini terdapat pada kelompok kelompok usia di atas 85 tahun, terutama terdapat pada kelompok lansia tanpa suatu tindakan pencegahan terhadap Osteoporosis. Walaupun demikian, proses terjadinya Osteoporosis sudah dimulai sejak umur 40 tahun dan pada wanita proses ini akan semakin cepat pada masa post- menopause. Osteoporosis merupakan penyakit kedua setelah jantung yang tergolong berbahaya dan bisa menimbulkan kematian pada penderitanya (WHO 2006).

Seiring meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia, masalah Osteoporosis atau keropos tulang perlu mendapat perhatian serius. Semakin tua seseorang, semakin mudah terserang Osteoporosis. Usia harapan hidup orang Indonesia meningkat dari 64,71 tahun (1995-2000), menjadi 67,68 tahun (2000-2005). Dari sekitar 18,4 juta populasi penduduk usia lanjut (data 2005) di Indonesia, diperkirakan 19,7 % dari populasi tersebut menderita penyakit rapuh tulang atau Osteoporosis (Depkes.RI,2007). Hasil analisa Depkes yang dilakukan di 14 propinsi menunjukkan masalah Osteoporosis telah mencapai pada tingkat perlu diwaspadai yaitu sekitar 19,7 % dari jumlah lansia yang ada. Pada tahun 1980 jumlah lansia sekitar 11,4 juta jiwa, kemudian meningkat menjadi 16,5 juta jiwa pada 1990 dan 23,2 juta jiwa pada tahun 2000. "Diperkirakan jumlah usia lanjut (lansia) akan meningkat sebesar 414 persen dari tahun 1990 hingga 2025 mendatang. Diperkirakan pada 2025 mendatang, jumlah penduduk lansia di Indonesia mencapai 40 juta hingga 70 juta," meningkatnya jumlah usia lanjut dan usia harapan hidup akan semakin meningkatkan epidemik Osteoporosis di Indonesia (Depkes RI 2007).

Terdapat sedikitnya lima propinsi di Indonesia masuk kategori resiko tinggi penderita penyakit Osteoporosis yaitu Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Timur. Dalam data tersebut disebutkan bahwa 27,7% penduduk Sumatra Selatan terkena Osteoporosis, Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%) (Puslitbangkes Gizi Depkes.RI 2007).

Di Jakarta pada tahun 2007 prevalensi Osteoporosis juga cukup tinggi yaitu antara 34-38% (FKUI/RSCM). Data yang didapatkan dari salah satu rumah sakit swasta khusus orthopedy di Jakarta Selatan yaitu RS. Siaga Raya menunjukan bahwa sejak tahun 2005 2007 tercatat 197 kasus Osteoporosis dengan total kasus fractur adalah sekitar 120, dan setiap tahun menunjukan peningkatan (Gerai,2007).

Pada tahun 2008 kasus Osteoporosis di RS. Siaga Raya adalah sekitar 121 kasus, Tahun 2009 jumlah kasus osteoporosis adalah sekitar 123 kasus dan pada Tahun 2010 jumlah kasus adalah 120 kasus. Dari data tersebut menunjukan bahwa presentasi fraktur di RS. Siaga Raya mengalami peningkatan setiap tahunya (Rekam Medis RS. Siaga Raya Tahun 2010).

Penyakit Osteoporosis bersifat kronik yang jarang ditemukan namun sebenarnya banyak ditemukan di masyarakat (fenomena gunung es), sehingga gejalanya sulit diketahui pada penderitanya. Penyakit ini bisa dikatakan tidak ada keluhan pada penderitanya apabila belum terjadinya fraktur (patah tulang). Patah tulang yang terjadi pada penderita cukup tinggi khususnya bagi kelompok lansia yang mengalami penipisan dan pengeroposan massa tulang dalam waktu yang lama, sehingga seringkali penderita Osteoporosis menjadi ketergantungan pada orang lain karena tidak berdaya lagi dalam melakukan aktifitas. Kerugian yang dialami penderita pun cukup besar baik kerugian secara fisik, sosial, maupun ekonomi. Anggaran yang harus dialokasikan pemerintah dari APBN tahun 2007 adalah sebesar Rp.6.305.000.000,- untuk pengadaan dan pendistribusian alat untuk mendeteksi Osteoporosis, sebanyak 20 densitometer telah didistribusikan ke 7 propinsi (Rahman,2007).

Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk melihat kondisi kesehatan lansia khususnya para penderita Osteoporosis, serta mengetahui data dan gambaran mengenai penyakit tersebut, hal ini mungkin akan diperlukan untuk melakukan intervensi kesehatan baik promosi , preventive, dan upaya lain dalam menyelamatkan para lansia dari kejadian osteoporosis, mengingat lansia merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta kesejahteraan lainya dari Pemerintah.

1.2Perumusan Masalah

Atas dasar data dan informasi tentang penyakit Osteoporosis di atas maka muncul pertanyaan, faktor faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian Osteoporosis pada Lansia di RS. Siaga Raya Tahun 2010.

1. 4Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Osteoporosis pada Lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2010.

1.5 Manfaat Penelitian

1.6.1Manfaat Aplikatif1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah Jakarta Selatan Khususnya dan DKI Jakarta umumnya terutama dalam menanggulangi penyakit Osteoporosis.

2. Informasi yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka upaya promotif dan preventif penyakit Osteoporosis pada kelompok lanjut usia khususnya di Rumah Sakit Siaga Raya dalam upaya mencegah dan mengurangi jumlah fraktur pada penderita Osteoporosis.3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi mahasiswa lain yang akan melakukan penelitian tentang Osteoporosis pada lansia, sehingga dapat mengembangkan metode penelitian yang lebih baik lagi tentang Osteoporosis.

1.6.2Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam rangka untuk mengembangkan ilmu kesehatan masyarakat khususnya tentang penanganan Osteoporosis pada kelompok lansia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 OSTEOPOROSIS

2.1.1Pengertian Osteoporosis

Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai dengan rendahnya masa tulang. Keadaan ini berisiko tinggi, tulang menjadi rapuh dan mudah retak, bahkan patah. Banyak orang tidak menyadari kalau Osteoporosis merupakan pembunuh tersembunyi atau silent killer. Penyakit ini hampir tidak menimbulkan gejala yang jelas. Seringkali, Osteoporosis justru diketahui ketika sudah parah. Contoh kasus, seseorang terpeleset ringan, namun tulangnya langsung patah dan retak pada bagian lengan atau pinggang (Noer, 2000).Osteoporosis dapat terjadi pada wanita maupun pria. Dari hasil penelitian para ahli, 80% terjadi pada wanita atau dengan perbandingan kejadian 6:1. Hal ini terjadi karena wanita mengalami hilangnya masa tulang puncak lebih rendah dibandingkan pria, di samping itu pada hakekatnyawanita akan hamil dan menyusui sehingga akan menyedot persediaan bahan-bahan tulang untuk janin dan bayinya.

Wanita juga mengalami hilangnya masa tulang yang cepat pada tahun-tahun pertama menopause. Pada masa menopause dan post menopause, produksi hormon estrogen menurun, mengakibatkan kehilangan bahan-bahan tulang sehingga terjadi Osteoporosis. Demikian juga 20 tahun sesudah menopause angka kejadian Osteoporosis meningkat menjadi 70% dan usia 60 tahun sepertiganya mengalami patah tulang. Biasanya sesudah menopause setiap pertambahan umur 10 tahun risiko Osteoporosis akan bertambah 15%. Berbeda dengan pria yang mempunyai masa tulang 30% lebih banyak dari wanita. Pria di atas 45 tahun mempunyai indeks penurunan masa tulang 3 x lebih sedikit dari pada wanita.

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, akan meningkat pula golongan usia lanjut di Indonesia. Diperkirakan kejadian Osteoporosis dan kaitannya dengan patah tulang akan meningkat sehingga bisa menjadi masalah kesehatan yang serius (Noer, 2000).2.1.2 Patogenesis

Dalam keadaan normal, pada tulang kerangka akan terjadi suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan terjadi secara seimbang, yaitu proses reabsorbsi dan proses pembentukan tulang (remodelling). Setiap perubahan dalam keseimbangan ini, misalnya apabila pada proses reabsorbsi lebih besar daripada proses pembentukan tulang, maka akan terjadi pengurangan massa tulang dan keadaan inilah yang kita jumpai pada Osteoporosis (Noer, 2000).Dalam masa pertumbuhan tulang, sesudah terjadi penutupan epifis, pertumbuhan tulang secara lungitudinal akan terhenti dan pada saat ini pertumbuhan tulang akan sampai pada periode yang disebut dengan periode konsolidasi. Pada periode ini akan terjadi proses penambahan kepadatan tulang atau penurunan anporositas tulang pada bagian korteks. Proses konsolidasi secara maksimal akan dicapai pada usia kurang lebih antara 30 35 tahun untuk tulang bagian korteks dan mungkin keadaan serupa akan terjadi lebih dini pada tulang bagian trabekula. Saat manusia mencapai umur yang beresiko, baik wanita maupun pria akan mengalami proses penipisan tulang bagian korteks sebesar 0,3 0,5% setiap tahun, sedangkan bagian tulang trabekula akan mengalami proses serupa pada usia lebih muda. Pada wanita, proses berkurangnya massa tulang tersebut pada awalnya sama dengan pria, akan tetapi wanita sesudah menopause, proses ini akan beralngsung lebih cepat. Pada pria seusia wanita menopause, massa tulang akan menurun berkisar antara 20 30%, sedangkan pada wanita penurunanya berkisar antara 40 50%. Pengurangan massa tulang ini di berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama. Dengan teknik pemeriksaan tertentu dapat dibuktikan bahwa penurunan massa tulang dapat terjadi pada bagian bagian tubuh seperti berikut : metakarpal, kolum femoris, serta korpus vertebrae; sedangkan pada bagian tubuh lainya, misalnya : tulang paha bagian tengah, tibia dan panggul, mengalami proses tersebut secara lambat (Noer, 2000).

Pada proses Osteoporosis, terjadi proses pengurangan massa tulang dengan mengikuti pola yang sama dan berakhir dengan terjadinya penipisan bagian korteks serta pelebaran lumen, sehingga secara anatomis tulang tersebut tampak normal. Titik kritis proses ini akan tercapai apabila massa tulang yang hilang tersebut sudah sedemikian berat sehingga tulang yang bersangkutan sangat peka terhadap trauma mekanis yang akan mengakibatkan terjadinya fraktur. Saat saat inilah merupakan masalah bagi para klinisi (Rahman, 2007).

Bagian bagian tubuh yang mengalami fraktur pada kasus Osteoporosis adalah vertebrae pada bagian proksimal dan radius bagian distal. Osteoporosis dapat terjadi oleh karena berbagai sebab, akan tetapi yang paling sering dan yang paling banyak dijumpai adalah Osteoporosis oleh karena usia (Rahman, 2007).2.1.3Klasifikasi Osteoporosis

Osteoporosis dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu, Osteoporosis Primer dan Osteoporosis Sekunder. Osteoporosis Primer terdapat pada wanita post menopouse (post menopouse Osteoporosis) dan pada laki-laki usia lanjut (senile Osteoporosis). Untuk tipe ini penyebabnya belum diketahui. Sedangkan Osteoporosis Sekunder sudah diketahui penyebabnya. Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan: Cushing's disease, hyperthyroidism, hyperparathyroidism, hypogonadism, kelainan hepar, kegagalan ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alkohol, pemakai obat-obatan/cortico steroid, kelebihan kafein, merokok (Noer, 2000).

2. 1.4Gejala Osteoporosis

Osteoporosis hampir tidak menimbulkan gejala yang jelas sehingga banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami Osteoporosis. Wanita dengan gejala Osteoporosis memiliki masalah seperti : nyeri tulang dan sendi, patah tulang, dan perubahan bentuk tulang. Wanita yang semula berbadan tegap, semakin bertambah umur kerangka tulang pun memendek dan bengkok. Itu akibat mikro fracture ditrabeculae tulang dan proses degeneratif. Semakin lama tubuh memendek, organ tubuh pun menjadi berdekatan, karena tulang sebagai penyangga tubuh tidak mampu menopangnya. Maka mulailah terjadi perubahan perubahan dalam bentuk tubuh orang tersebut, seperti : sesak napas, Perut terasa kenyang terus, padahal belum makan, nafsu makan hilang sehingga asupan gizi kurang (Mediaindo,2008).

2.1.5Penyebab Osteoporosis

Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita Osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Depkes. RI, 2008).

Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita Osteoporosis senilis dan postmenopausal. Kurang dari 5% penderita Osteoporosis juga mengalami Osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Depkes. RI, 2008).

Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis Osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Depkes. RI, 2008).

2.1.6Mendeteksi Osteoporosis

Uji kepadatan tulang (Bone Densisty Testing/BDT) merupakan uji yang paling sering digunakan untuk mengetahui apakah seseorang terkena Osteoporosis atau tidak. Pengukuran dipusatkan pada tulang belakang, pinggul, pergelangan tangan kaki atau jari tangan. Alat untuk mengukur masa tulang (BDT) disebut densinometri. Alat yang dilengkapi sinar X ini mendeteksi masa tulang terutama di bagian pinggul, panggul, tangan dan kaki (Noer, 2000).

1 DXA (Dual Energy X- Ray Absortiometry), mengukur tulang belakang, pinggang Atau seluruh tubuh.

2 PDXA (Peripheral Dual Energy X- Ray Absorptiometry) mengukur pergelangan tangan, tumit atau jari-jari

3 QCT (Quantitative Computerized Tomography) sama dengan DXA.

Untuk menentukan ukuran masa tulang yang ditetapkan oleh WHO (1994), selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.1Ukuran Massa Tulang

Menurut Ketetapan WHO Tahun 1994

(Konsensus WHO 1994)

T - SCOREKLASIFIKASI

(- 0.5 T)

(- 1.0 T)

(- 1.5 T)

(- 2.0 T)

(- 2.5 T)Normal

Osteopenia

Osteoporosis

Osteoporosis Berat

(+ Patah tulang)

(Sumber : Buku Panduan Seminar Osteoporosis Terkini di RS. Siaga Raya Tahun 2008).

2.1.7Pencegahan Osteoporosis

Pencegahan Osteoporosis harus dilakukan sejak dini sampai usia dewasa muda, agar mencapai kondisi puncak masa tulang (Peak bone mass). Bila tercapai kondisi puncak masa tulang pada usia dewasa muda, kemungkinan terjadi Osteoporosis pada usia lanjut akan kecil. Walaupun terjadi, gejala atau keluhanya akan ringan.

Umumnya, Osteoporosis harus dilakukan sejak dini sampai usia dewasa muda, agar mencapai kondisi puncak masa tulang (Peak bone mass). Bila tercapai kondisi puncak masa tulang pada usia dewasa muda, kemungkinan terjadi Osteoporosis pada tulang akan turun kembali setelah 10 tahun pascamonopause atau kira kira usia 65 tahun.

Hal hal yang perlu dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya penyakit Osteoporosis adalah :

1. Kalsium yang cukup

2. Vitamin D3 yang cukup

3. Olahraga teratur

4. Hindari merokok, minuman alcohol, dan kopi.

5. Hindari konsumsi obat obatan jenis Kortiko Steroid.

6. Lakukan pemeriksaan tulang untuk mengetahui gejala Osteoporosis secara dini.

2.1.8Pengobatan Osteoporosis

Patah tulang karena Osteoporosis harus diobati. Patah tulang panggul biasanya diatasi dengan tindakan pembedahan. Patah tulang pergelangan biasanya digips atau diperbaiki dengan pembedahan, namun selain pembedahan Osteoporosis juga bisa diobati dengan beberapa jenis obat seperti biosfonat dan aledronat (Depkes. RI, 2008).

Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kepadatan tulang, mencegah terjadinya patah tulang, menjaga keseimbangan metabolisme tulang, dan mengembalikan kualitas tulang. Mengingat, sebagian besar penderita Osteoporosis adalah wanita, maka dianjurkan kepada semua wanita terutama yang menderita Osteoporosis untuk mengkonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi (Soefyanuddin, 2008).

Bifosfonat dan alendronat digunakan untuk mengobati penyakit Osteoporosis. Alendronat berfungsi untuk mengurangi kecepatan penyerapan tulang pada wanita pasca menopause, meningkatakan massa tulang di tulang belakang dan tulang panggul, serta mengurangi angka kejadian patah tulang (Depkes. RI, 2008).

Supaya diserap dengan baik, alendronat harus diminum dengan segelas penuh air di pagi hari dan dalam kurun waktu 30 menit sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat bisa mengiritasi lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh berbaring. Obat ini tidak boleh diberikan kepada orang yang memiliki kesulitan menelan atau penyakit kerongkongan dan lambung tertentu (Depkes. RI, 2008).

Obat lain yang dianjurkan untuk mengobati Osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang menderita patah tulang belakang yang disertai nyeri. Obat ini bisa diberikan dalam bentuk suntikan atau semprot hidung. Tambahan fluorida bisa meningkatkan kepadatan tulang. Tetapi tulang bisa mengalami kelainan dan menjadi rapuh, sehingga pemakaiannya tidak dianjurkan (Depkes. RI, 2008).2.2 LANSIA (LANJUT USIA)

Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri.

Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda.

Menurut Bernice Neugarten dan James C. Chalhoun masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen . Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti . Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikapsikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan , penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.

Disamping itu untuk mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari.

Saparinah ( 1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap praenisium pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan perubahan dalam hidupnya. Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas. Namun demikian masih terdapat perbedaan dalam menetapkan batasan usia seseorang untuk dapat dikelompokkan ke dalam penduduk lanjut usia. Dalam penelitan ini digunakan batasan umur 56 tahun untuk menyatakan orang lanjut usia.

2.3 RUMAH SAKIT

2.3.1 Pengertian Rumah Sakit

Definisi rumah sakit menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 983.MENKES/SK/1992 mengenai pedoman rumah sakit umum dinyatakan bahwa : Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan. Sementara itu menurut WHO (1957) dalam Widyorini (1998) menyatakan bahwa: The hospital is an integral part of social and medical organization, the function of which is to provide for the population complete health care both curative and whose outpatient service reach out to the family and as home environment, the hospital is also a center for the training of health workers and for bio social research.

Definisi menurut di WHO menyebutkan bahwa rumah sakit oleh WHO (1957) diberikan batasan yaitu suatu bahagian menyeluruh dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.Sementara itu menurut Siregar (2003) menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.

2.3.2 Klasifikasi Rumah Sakit

Klasifikasi Rumah Sakit Pengelompokan rumah sakit berdasar perbedaan tingkat kemampuan pelayanan kesehatan yang dapat disediakan. Berdasarkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 983. Menkes/SK/1992 tentang pedoman rumah sakit umum menyebutkan bahwa rumah sakit pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi rumah sakit umum tipe A, B, C dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan yang dimiliki. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: :

a. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan sub spesialistik luas .

b. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang kurangnya 11 spesialistik dan sub spesialistik terbatas .

c. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar .

d. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.

2.3.3 Fungsi Rumah Sakit

Fungsi Rumah Sakit Dalam Abdullah (2007) memaparkan bahwa fungsi rumah sakit adalah sebagai berikut :

a. Memberikan pelayanan medis

b. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis.

c. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan.

d. Menyelenggarakan pelayanan rujukan.

e. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

f. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan.

g. Menyelenggarakan administrasi umum.

h. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan2.3.4Gambaran Umum Rumah Sakit Siaga Raya Pasar Minggu

Rumah Sakit Siaga Raya merupakan salah satu perwujudan dari badan hukum bernama PT. Siaga Bhakti Wirasta yang berdiri pada tanggal 29 maret 1988. Rumah sakit ini didirikan diatas tanah seluas 4500 meter persegi yang terdiri dari 3 lantai dan berlokasi di Jalan Siaga Raya Kav. 4-8, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dan pada saat ini merupakan Rumah Sakit Umum yang menangani bedah Orthopaedi.

Tipe Rumah Sakit Siaga Raya adalah tipe C (sedang). Anggaran dasar PT, Siaga Bhakti Wirasta dibuat dengan akte Notaris Warda Sungkar Alurmei SH nomor 214 pada tanggal 29 maret 1988. Maka PT. Siaga Bhakti Wirasta yang mempunyai kegiatan di bidang kesehatan dengan mendirikan Rumah Sakit telah menjadi badan hukum yang sah dan diakui Pemerintah Indonesia.

Atas dasar keinginan untuk mengembangkan Rumah Sakit ini, maka pada tahun 1997 dilakukan peningkatan fasilitas pelayanan yang disertai dengan penambahan Unitklinik, penambahan ruang rawat, serta penambahan bagian.

Penambahan tersebut antara lain :

a. Penambahan Bagian Humas, Marketing, dan Diklit

b. Penambahan Fasilitas Penunjang Pelayanan, seperti :

1. Pelayanan Kunjungan Rumah

2. Bone Densitometri

3. Panoramik Foto

c. Penambahan Unitklinik Akupuntur, MCU, Praktek Dokter Keluarga, THT, Kebidanan, dan Kandungan, Penyakit Kulit dan Kelamin, Unit klinik Gigi dan Bedah Mulut.

d. Penambahan Ruang Rawat Inap, diantaranya :

1. S. VIP bertambah menjadi 3 kamar (sebelumnya 2 kamar)

2. VIP bertambah menjadi 10 kamar (sebelumnya 3 kamar)

3. Kelas I bertambah menjadi 4 kamar (sebelumnya 2 kamar)

4. Kelas II bertambah menjadi 4 kamar (sebelumnya 2 kamar)

5. Kelas III

6. Kelas Anak

7. Isolasi

Rumah Sakit Siaga Raya ini didirikan atas dasar untuk membantu program pemerintah dalam meningkatkan jasa pelayanan kesehatan pada masyarakat. Rumah Sakit Siaga Raya sebagai rumah sakit yang mengedepankan pada pelayanan Orthopaedi (bedah tulang), yang dilatar belakangi faktor-faktor sebagai berikut :

a. Terletak di kawasan rumah penduduk yang belum memeiliki rumah sakit Orthopaedi di sekitarnya.

b. Belum adanya rumah sakit khusus Orthopaedi yang dikelola oleh swasta dan berlokasi di Jakarta.

c. Salah satu pencetus berdirinya Rumah Sakit Siaga Raya ini adalah Prof. Dr. Chehab RH. FICS seorang ahli Orthopaedi, yang menginginkan ilmu bedah Orthopaedi berkembang di Indonesia.

d. Semakin banyaknya tingkat kecelakaan dan makin pesatnya perkembangan industri yang dapat mengakibatkan meningkatnya tingkat kecelakaan kerja.

Pada Tanggal 18 Agustus 1990 telah dilakukan Soft Opening yang ditandai dengan pembukaan praktek pertama Prof. Dr. Chehab RH, FICS. Dan pada tanggal 3 November 1990, dr. Broto Warsito selaku Dirjen Pelayanan Medis, membuka secara resmi Rumah Sakit Siaga Raya.Komposisi jumlah dan status pegawai, saat ini Rumah Sakit Siaga Raya memiliki tenaga kesehatan sebanyak 63 orang, dan jumlah untuk pegawai berdasarkan pendidikan mulai dari SD sampai dengan sarjana 84 orang. Komposisi jumlah dokter berikut spesialisnya, Rumah Sakit Siaga Raya memiliki 36 orang dokter.

2.4 FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT OSTEOPOROSIS PADA LANSIA

2.4.1Umur

Semakin bertambah usia, maka semakin tinggi resiko terkena Osteoporosis. Mengingat, semakin meningkat usia seseorang kondisi tulang akan berkurang kekuatan dan kepadatannya sehingga mengalami pelapukan. Semua manusia akan memasuki umur yang dikatakan beresiko terhadap penipisan tulang baik wanita maupun pria. Ini tidak akan dihindari karena tulang akan mengalami penuaan, namun tingkat keparahan penuaan akan berbeda beda. Bila kepadatan tulangnya baik maka keparahan penipisan tulang tidak akan terlalu parah, namun apabila tingkat keparahannya besar maka akan sangat beresiko terhadap terjadinya patah (fraktur). Biasanya usia seseorang dikatakan beresiko terjadinya Osteoporosis adalah yang berumur lebih dari 65 tahun (Soefyanuddin, 2008).

2.4.2 Jenis Kelamin

Wanita lebih beresiko tinggi terkena Osteoporosis karena memiliki ukuran tulang yang lebih kecil dibandingkan pria, sehingga densitasnya juga lebih rendah. Tulang akan menyusut terutama pada saat menupouse akibat proteksi hormon estrogen menurun drastis. Selain itu, pada saat hamil dan menyusui seorang ibu jika kurang mengkonsumsi makanan yang kaya akan Ca, maka sebagian Ca tulang ibu akan terserap untuk kebutuhan bayinya (Soefyanuddin, 2008).

2.4.3 Berat Badan

Perawakan kurus dan kecil memiliki bobot tubuh cenderung ringan, padahal tulang akan berfungsi untuk membentuk sel. Biasanya orang kurus cenderung memiliki tulang yang kecil, sehingga tulang mengalami penekanan yang berlebih dari bobot tubuh dan lama - kelamaan tulang akan mengalami penipisan. Kondisi ini sangat beresiko bagi orang yang berat badanya kurang dari normal. Terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna sehingga akan mengalami penipisan (Stefan Rehart, 2007).

Ukuran Berat Badan Normal dapat dihitung dengan menggunakan rumus IMT yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sebagai berikut :

Berat badan (kg)IMT =

Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)Tabel 2.2Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia

KlasifikasiKategoriIMT

KurusKekerungan berat badan tingkat berat< 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan17,0 18,5

Normal> 18, 5 25, 0

GemukKelebihan berat badan tingkat ringan> 25, 0 27, 0

Kelebihan berat badan tingkat berat> 27, 0

(Sumber : Depkes, 1994. Pedoman Praktis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa, Jakarta. Hal.4).

2.4.4Latihan Fisik

Osteoporosis terjadi karena berkurangnya kepadatan tulang, salah satu pernyebab kurangnya kepadatan tulang adalah kurangnya olahraga sejak dini. Pada Osteoporosis, latihan jasmani dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit Osteoporosis. Latihan jasmani menggunakan beban berguna untuk melenturkan dan menguatkan tulang. Latihan jasmani sebaiknya dilakukan sejak muda dan terus dilanjutkan sampai tua, seperti senam yang saat ini dikembangkan untuk mencegah Osteoporosis yaitu senam Osteoporosis (Tobing, 2008).

Telah diperkenalkan latihan fisik yang baik, benar, dan teratur (BBTT). Latihan yang baik artinya latihan terbagi menjadi 3 sesi yaitu pemanasan & peregangan selama 10-15 menit, latihan inti selama 20-60 menit, peregangan & pendinginan selama 5-10 menit, dengan frekuensi latihan adalah sekurang kurangnya 3 jam per minggu ( Tobing, 2008).

Latihan yang benar artinya memberikan latihan yang sesuai dengan tingkat kesehatan, tingkat aktivitas fisik dan tingkat kebugaran masing-masing individu yang dapat diketahui pada saat pemeriksaan pra latihan. Hal ini bertujuan agar masing-masing individu terjawab kebutuhannya yang berbeda dengan yang lain ( Tobing, 2008).

Latihan yang terukur artinya mengukur jumlah detak jantung per menit untuk mengetahui intensitas latihan. Detak jantung per menit maksimum adalah 220 dikurangi usia. Satu hal yang tidak kalah penting adalah latihan yang teratur dan berkesimabungan dari anak-anak sampai tua (Tobing, 2008).

Latihan fisik (BBTT) bermanfaat tidak hanya dalam meningkatkan kekuatan dan kelenturan tulang, tapi juga dapat meningkatkan keseimbangan, kebugaran jantung-paru, dan dapat memelihara dan meningkatkan massa tulang (Tobing, 2008).

Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI) bersama Persatuan Warga Tulang Sehat Indonesia (PERWATUSI) telah mengembangkan senam Osteoporosis untuk mencegah dan mengobati Osteoporosis. Sosialisasi mengenai senam Osteoporosis ini pun sedang dilakukan kepada masyarakat (Tobing, 2008).

2.4.5Kebiasaan Merokok

Kebiasaan menghisap rokok, sudah menjadi bagian dari hidup, seolah turut menjadi vitamin, disamping kebutuhan pokok akan makanan dan minuman. Walaupun, sesungguhnya vitamin yang terkandung dalam sebatang rokok itu adalah racun yang berbahaya bagi tubuh. Seorang perokok aktif sangat beresiko besar terkena Osteoprosis karena racun yang ada dalam rokok yang dihisap sangat berbahaya yaitu akibat zat nikotinya (Tandjung, 2008).

Bila selama ini masyarakat mengetahui efek rokok menyerang kesehatan organ pernapasan dan reproduksi, ternyata rokok juga bisa memberikan resiko Osteoporosis alias penyakit keropos tulang. Perokok sangat rentan terkena Osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya menghambat penyerapan kalsium dalam tulang. Selain itu, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga, susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Kondisi ini akan terjadi apabila seseorang merokok dalam jangka waktu yang lama yaitu antar 7 - 10 tahun dengan jumlah rokok yang dikonsumsi adalah antara 8 20 batang per hari (Tandjung, 2008).

2.4.6Alkohol

Alkohol dapat mengurangi penyerapan Ca akibat terjadinya gangguan pada usus halus, bila konsumsi alkohol dilakukan dalam jangka waktu yang lama maka bisa dibayangkan akibatnya, penyerapan kalsium ke sel sel tulang akan sangat sedikit bahkan terkadang tidak ada sama sekali, mengingat kalsium penting untuk menjaga kondisi tulang agar tidak rapuh. Kondisi inilah yang menyebabkan Osteoporosis pada seseorang. Kebiasaan yang beresiko terjadinya Osteoporosis adalah apabila apabila seseorang biasa atau sering mengkonsumsi alkohol sampai mabuk (alkoholik) dengan kadar alkoholnya melebihi 15 % seperti Bir, Wiski, Vodka, dan jenis lainya (Tandjung, 2008).

2.4.7Kafein

Ekskresi kalsium akan meningkat pada peminum kopi dan peningkatan ini akan terlihat sangat nyata jika konsumsi kopi antara 4 - 15 gelas per hari (kadar kafein lebih dari satu gram). Jadi, akan sangat beresiko bagi para peminum kopi apabila mengkonsumsi kopi dalam jangka waktu yang lama maka dampak yang akan ditimbulkan dari kafein adalah Osteoporosis (Atus, 2008).2.4.8Obat obatan Jenis Kortiko Steroid

Obat-obatan tertentu misalnya untuk menangani kanker, endometriosis, dan lain-lain, dan pengobatan berjangka panjang (seperti penggunaan steroid untuk asma, obat anti kejang, dan lain-lain) dapat meningkatkan risiko Osteoporosis. Contoh obat obatan yang mengandung kortiko steroid adalah Dexamethosone, Betamethosone, Fluokinroid, Fluokinolon, Klobetazone, Hidrokortizone, Triakinolon, Talidomid, Eritromisin, Sefalospenin, Sulfanamid, Amoxillinclavulanate, dan lain sebagainya. Demikian juga penyakit kronis yang mempengaruhi paru-paru, lambung, usus halus dan yang mengubah kadar hormon, serta rendahnya hormon testosteron pada pria yang tidak terdeteksi juga merupakan faktor risiko (Noer, 2000).

2.5KERANGKA TEORI

Gambar 2.1

Kerangka Teori

2.6KERANGKA KONSEP

Berdasarkan penjelasan yang didipaparkan dalam kerangka teori telah diperoleh gambaran mengenai faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian Osteoporosis pada lansia. Dalam kerangka konsep tidak semua teori yang dikembangkan di kerangka teori bisa dioperasionalkan sehingga peneliti membatasi variabel variabel yang akan diteliti. Oleh karena itu, peneliti mengelompokan faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Osteoporosis adalah faktor reversible (faktor yang dapat diperbaharui) dan faktor irreversible (faktor yang tidak dapat diperbaharui), Yang tergolong sebagai faktor reversible adalah latihan fisik, kebiasaan konsumsi rokok, alkohol, kopi, dan obat obatan jenis kortiko steroid, sedangkan yang tergolong faktor irreversible adalah umur dan jenis kelamin.

Untuk lebih jelasnya uraian mengenai kerangka konsep dapat dilihat dalam diagram kerangka konsep di gambar 2.2.

Gambar 2.2

Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

2.7PERUMUSAN MASALAH KHUSUS PENELITIAN

1. Belum diketahuinya gambaran faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Osteoporosis pada Lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2010.

2. Belum diketahuinya hubungan antara umur dengan kejadian Osteoporosis

3. Belum diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Osteoporosis 4. Belum diketahuinya hubungan antara berat badan dengan kejadian Osteoporosis

5. Belum diketahuinya hubungan antara latihan fisik dengan kejadian Osteoporosis

6. Belum diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Osteoporosis

7. Belum diketahuinya hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kejadian Osteoporosis

8. Belum diketahuinya hubungan antara kebiasaan konsumsi kopi dengan kejadian Osteoporosis

9. Belum diketahuinya hubungan antara konsumsi obat obatan jenis kortiko steroid dengan kejadian Osteoporosis

2.8Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik lansia yang berhubungan dengan kejadian penyakit Osteoporosis di Rumah Sakit Siaga Raya Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2010 ?

2. Apakah ada hubungan antara umur dengan kejadian Osteoporosis ?

3. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Osteoporosis ?

4. Apakah ada hubungan antara berat badan dengan kejadian Osteoporosis ?

5. Apakah ada hubungan antara latihan fisik dengan kejadian Osteoporosis ?6. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Osteoporosis ?

7. Apakah ada hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kejadian Osteoporosis ?

8. Apakah ada hubungan antara kebiasaan konsumsi kopi dengan kejadian Osteoporosis ?

9. Apakah ada hubungan antara konsumsi obat obatan jenis kortiko steroid dengan kejadian Osteoporosis ?BAB III

RANCANGAN PENELITIAN

OBJEKTIF KHUSUS

1. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan kejadian Osteoporosis2. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Osteoporosis.3. Untuk mengetahui hubungan antara berat badan dengan kejadian Osteoporosis4 Untuk mengetahui hubungan antara latihan fisik dengan kejadian Osteoporosis5 Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Osteoporosis6 Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kejadian Osteoporosis.7 Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan konsumsi kopi dengan kejadian Osteoporosis.8 Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan konsumsi obat obatan jenis kortiko steroid dengan kejadian Osteoporosis.3.2HIPOTESIS

3.2.1Pernyataan Hipotesis :

Kejadian Osteoporosis pada Lansia (Lanjut Usia) berhubungan dengan faktor faktor sebagai berikut :, berat badan, latihan fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi alkohol, kebiasaan konsumsi kopi, kebiasaan konsumsi obat obatan jenis kortiko steroid, umur dan jenis kelamin

Y = f ( X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8 )

Keterangan :Y = Osteoporisis

X1= Berat badan

X2= Latihan fisik

X3= Kebiasaan merokok

X4= Kebiasaan konsumsi alkohol

X5= Kebiasaan konsumsi kopi

X6= Kebiasaan konsumsi obat obatan jenis kortiko steroid

X7= Umur

X8= Jenis kelamin

3.2.2 Sub Hipotesis

1. Lansia yang memiliki berat badan beresiko (IMT < 18,5) mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang berat badanya tidak beresiko ( 18,5).

2. Lansia yang latihan fisiknya tidak teratur mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang latihan fisiknya teratur.

3. Lansia yang perokok mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang bukan perokok.

4. Lansia yang alkoholik mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang bukan alkoholik.

5. Lansia yang biasa mengkonsumsi kopi mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang tidak suka mengkonsumsi kopi.

6. Lansia yang biasa mengkonsumsi obat obatan jenis kortiko steroid mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang tidak.

7. Lansia yang berumur 65 tahun mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang berumur < 65 tahun.

8. Lansia yang berjenis kelamin perempuan mempunyai resiko lebih tinggi terkena Osteoporosis dibandingkan dengan yang laki laki.

3.2.3 Sokongan Hipotesis

Tabel 3.1

Sokongan Hipotesis

No.VariabelPeneliti Terdahulu

1.Berat badanStefan Rehart, 2007 Sri Prihatini, 2010

2.Latihan fisikAde Tobing, 2008 Sri Prihatini, 2010

3.Kebiasaan merokokFachry Ambia Tandjung, 2008 Yasir Arifin, 2009

4.Kebiasaan konsumsi alkoholFachry Ambia Tandjung, 2008

5.Kebiasaan konsumsi kopiAtus, 2008 Sri Prihatini, 2010

6.Kebiasaan konsumsi obat-obatan kortiko steroidSjaifoelah Noer, 2000

7.Umur Sofyanuddin, 2008

Sri Prihatini, 2010

Nining Angelina, 2010

8.Jenis kelaminSofyanuddin, 2008 Nining Angelina, 2010

Sri Prihatini, 2010

3.2.4 Definisi Operasional, Skala Pengukuran, & Kategori

Tabel 3.2

Definisi Operasional, Skala Pengukuran dan Kategori

No.VariabelDefinisi OperasionalKategoriAlat Ukur/

Cara UkurSkala

1.Kejadian OsteoporosisPenyakit kronik yang ditandai dengan kroposnya tulang akibat menurunya masa tulang.1. Kasus, (bila hasil pemeriksaan BDM berwarna merah)

2. Kontrol, (bila hasil pemeriksaan BDM berwarna biru) Hasil pemeriks- aan Bone Densitom-

eter (BDM)Nominal

Faktor Reversible

2.Berat BadanBerat badan responden saat dilakukan penelitian1.Beresiko, (bila hasil penghitungan IMT mendapatkan nilai < 18, 5)

2. Tidak beresiko, (bila hasil penghitungan IMT mendapatkan nilai > 18, 5) Kuisioner Ordinal

3.Latihan FisikKeteraturan dalam mengikuti / melakukan senam Osteoporosis.1. Tidak Teratur (biasa melakukan senam, namun tidak teratur bahkan kurang dari 3 jam per minggu atau tidak pernah mengikuti senam sama sekali).

2. Teratur, (biasa melakukan senam minimal 3 jam per minggu sejak masih muda).KuisionerOrdinal

4.Kebiasaan MerokokStatus responden pada perilaku merokok1.Perokok, (pernah merokok dalam jangka waktu yang lama yaitu 7 tahun dengan jumlah rokok yang dikonsumsi adalah antara 6 20 batang rokok per hari dan sampai saat ini masih merokok)

2.Bukan Perokok, (pernah merokok tapi tidak lama yaitu jangka waktu < 7 tahun dengan jumlah rokok yang dikonsumsi adalah < 6 batang rokok per hari atau tidak pernah merokok sama sekali)KuisionerOrdinal

5.Kebiasaan Konsumsi AlkoholStatus responden pada perilaku mengkonsumsi alkohol1.Alkoholik, (sejak muda atau sekarang masih sering konsumsi alkohol sampai mengakibatkan mabuk dengan standar persennya adalah 15 %)

2.Bukan Alkoholik, (pernah mengkonsumsi alkohol sampai mabuk tapi tidak sering/ jarang dengan persenya < 15 % atau tidak pernah mabuk sama sekali) KuisionerOrdinal

6. Kebiasaan Konsumsi KopiStatus responden pada perilaku mengkonsumsi kopi1.Ya,

(sejak muda atau saat ini masih biasa mengkonsumsi kopi antara 4 - 15 gelas per hari).2.Tidak, (saat ini masih mengko-nsumsi kopi namun kurang dari 4 gelas per hari atau tidak minum sama sekali)KuisionerOrdinal

7.

Kebiasaan Konsumsi Obat obatan Jenis Kortiko SteroidStatus responden pada perilaku mengkonsumsi obat obatan jenis kortiko steroid1.Ya, (pernah atau masih mengkonsumsi obat obatan jenis kortiko steroid dalam jangka waktu yang lama, seperti : Dexamethosone, Betamethosone, Fluokinroid, Fluokinolon, Klobetazone, Hidrokortizone, dan lain sebagainya.

2.Tidak (tidak mengkonsumsi obat obatan jenis kortiko steroid).

KuisionerOrdinal

Faktor Irreversible

8.UmurUsia responden saat dilakukan penelitian1.Beresiko (bila berusia 65 tahun)

2.Tidak Beresiko (bila berusia < 65 tahun)KuisionerOrdinal

9.Jenis KelaminStatus gender responden1. Perempuan

2. Laki-laki

KuisionerNominal

3.3METODOLOGI PENELITIAN

3.3.1Ruang Lingkup Penelitian, Langkah Langkah, dan Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli - Agustus Tahun 2010 dengan tujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian Osteoporosis. Karakteristik yang diteliti dari penderita Osteoporosis adalah umur, jenis kelamin, barat badan, latihan fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi alkohol, kebiasaan konsumsi kopi, dan kebiasaan konsumsi obat-obatan jenis kortiko steroid. Penderita yang akan diteliti adalah kelompok lansia yang datang berobat ke RS. Siaga Raya Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain penelitian studi Case Control. Studi Case Control merupakan suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan pendekatan retrospective. Dengan kata lain, efek penyakit atau status kesehatan diidentifkasi saat ini, kemudian faktor resiko diidentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu. (Notoatmodjo, 2005).

Kelebihan Studi Case control adalah sebagai berikut : studi kasus kontrol dapat atau kadang merupakan satu satunya cara untuk meneliti kasus yang jarang terjadi yang masa latenya panjang, hasil dapat diperoleh dengan cepat, biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit, memerlukan subjek penelitian yang lebih sedikit, memungkingkan untuk mengidentifikasi pelbagai faktor resiko sekaligus dalam satu penelitian.

Sedangkan kelemahan Studi Case control adalah sebagai berikut : data mengenai pajanan faktor diperoleh dengan menggunakan daya ingat atau catatan medik. Daya ingat responden mengakibatkan terjadinya recall bias, seperti lupa atau mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan faktor resiko daripada responden yang tidak mengalami efek., berikutnya adalah Validasi mengenai informasi kadang kadang sukar diperoleh. Oleh karena kasus maupun kontrol dipilih oleh peneliti maka sukar untuk meyakinkan bahwa kedua kelompok itu sebanding dalam pelbagai faktor eksternal dan sumber bias lainya. Berikutnya adalah tidak dapat memberikan incidence rates dan tidak dapat dipakai untuk menentukan lebih dari satu variabel dependen, hanya berkaitan dengan suatu penyakit atau efek.

3.3.2Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Siaga Raya Jl. Siaga Raya Kavling 4 -8, Pejaten Barat, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Telp. (021) 7972750, Fax. (021) 7970627. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Maret Agustus 2010.

3.3.3Populasi & Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke Poli Orthopedy Rumah Sakit Siaga Raya Kecamatan Pasar Minggu pada bulan Maret - Agustus Tahun 2010.

Untuk mencari jumlah sampel minimal dalam penelitian ini maka peneliti menggunakan tabel 10 : Sampel Size for a Hypothesis of the Odds Ratio (5% level of significance and 90% power ; 2 tail test).

Tabel 3.

Besar Sampel Dalam Penelitian Kasus-Kontrol Osteoporosis di RS. Siaga Raya Pasar Minggu Tahun 2010No.VariabelP2ORBesar Sampel

1.2.

3.

5.6.

7.8.

9.Berat badanLatihan fisikKebiasaan merokok

Kebiasaan konsumsi alkohol

Kebiasaan konsumsi kopi

Konsumsi obat steroid.

Umur

Jenis kelamin0,350,400,350,350,350,350,400,400,050,05

0,05

0,05

0,05

0,05

0,05

0,050,100,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,1022

2

2

2

2

2

2172173172172

172172173

173

Diketahui Odds Ratio = 2,00 sedangkan nilai P2 = 40 %, dalam tabel tersebut didapatkan nilai sampel minimum adalah 173 orang. Berarti jumlah kasus adalah 173 dan jumlah kontrol adalah 173, jadi total keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 346 orang (dibulatkan menjadi 350 orang). Dengan ini diharapkan data yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang baik.3.3.4Batasan Kasus dan Kontrol

1. Batasan Kasus

Kasus adalah penderita yang telah didiagnosa oleh dokter sebagai penderita Osteoporosis melalui pemeriksaan massa tulang dengan menggunakan alat yang disebut BDM (Bone Densito Meter).2. Batasan Kontrol

Kontrol adalah orang yang telah didiagnosa oleh dokter tidak menderita penyakit Osteoporosis melalui pemeriksaan massa tulang dengan menggunakan alat yang disebut BDM (Bone Densito Meter).

3.3.5 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah pasien baru yang diwawancara langsung dengan menggunakan instrumen berupa kuisioner, yang pertanyaannya meliputi faktor faktor yang berpengaruh terhadap kejadian osteporosis. Sedangkan, data sekunder adalah pasien lama yang datanya diperoleh dari rekam medis rumah sakit, data sekunder lain berupa buku referensi, dan lainnya. Untuk data primer sebelum melakukan wawancara, diberi penjelasan tentang isi kuisioner dengan harapan responden dapat memahami maksud dan tujuan peneliti, sehingga apa yang diharapkan dapat tercapai.

3.3.6 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan aplikasi perangkat lunak komputer yaitu program komputer yang dikhususkan untuk penghitungan statistic agar pengolahan data dapat menghasilkan informasi yang akurat. Adapun tahap tahap pengolahan data sebagai berikut :

1. Editing

Yaitu merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir dan jawaban yang diisi petugas. Data yang terkumpul diperiksa sesegera mungkin untuk melihat ketepatan dan kelengkapan jawaban, sehingga mempermudah pengolahan selanjutnya. 2. Coding

Data yang berbentuk huruf kemudian diubah menjadi data yang berbentuk angka atau bilangan yang bertujuan untuk memudahkan pada saat melakukan analisis data dan tujuan dapat mempercepat pada saat entry data, sehingga membantu mengurangi beban pekerjaan entry data. Contohnya ; pada variable umur berikan kode 1 untuk kategori > 60 tahun dan kode 2 untuk kategori < 60 tahun.

3. Processing

Setelah semua isian kuisioner terisi penuh dan benar serta telah melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data supaya dianalisis. Proses data dilakukan dengan cara memasukan data atau entry data dari formulir ke paket program computer yang khusus untuk penghitungan statistik.

4. Cleaning

Kegiatan ini dilakukan setelah proses entry data, untuk mengecek ada atau tidaknya data yang salah. Pengecekan dilakukan dengan mengeluarkan distribusi frequensi tiap tiap variabel untuk kemudian dinilai kesesuaian antara jumlah total frequensi dengan jumlah total responden.

3.3.7 Analisa Data

1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui distribusi, frekuensi, dan proporsi dari variabel variabel yang diamati. Variabel yang diamati adalah variabel independent dan variabel dependen, selanjutnya dilakukan interprestasi secara deskriptif.

2. Analisis Bivariat

Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel dengan membuat tabulasi silang antara dua variabel, yaitu variabel independen dan variabel dependen. Untuk analisis ini dilakukan uji statistic kai quadrat (Hastono, 2004) dengan rumus sebagai berikut ;

( O E ) 2X2=

E

DF= ( k 1) ( b 1)

Keterangan :

O= Nilai observasi

E= Nilai ekspektasi (harapan)

X= Chi Square

= Jumlah

k= Jumlah kolom

b= Jumlah baris

Hasil penelitian uji statistik dimaksudkan untuk mengetahui apakah uji Ho ditolak atau Ho diterima. Dengan ketentuan, bila P value (0,05) maka ditolak, artinya ada perbedaan yang bermakna, bila P value > (0,05) maka, HO diterima, artinya tidak ada perbedaan yang bermakna (Hastono, 2001).

Odds Rasio (OR) untuk mendapatkan nilai rasio yaitu proporsi antara orang sakit dengan faktor resiko dan orang tidak sakit dengan faktor resiko. Interprestasi Odds Rasio dapat dijelaskan sebagai berikut :

OR= 1, estimasi bahwa tidak ada hubungan antara faktor resiko dengan penyakit.

OR> 1, Estimasi bahwa ada hubungan positif antara faktor resiko dengan penyakit (sebagai faktor resiko atau faktor penyebab)

OR< 1, estimasi bahwa ada hubungan negatif antara faktor resiko dengan penyakit (sebagai faktor pencegah).

Tabel 3.3Rumus Menghitung OR

Faktor ResikoPenyakit OsteoporosisTotal

Kasus (+)Kontrol (-)

Positifaba + b

Negatifcdc + d

Totala + cb + da + b + c + d

Formula :

OR (Odds Rasio)= a * d / b * c

3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat merupakan teknik analisis perluasan / pengembangan dari analisis bivariat. Kalau analisis bivariat melihat hubungan atau keterkaitan dua variabel, maka teknik analisis multivariat bertujuan melihat / mempelajari hubungan beberapa variabel (lebih dari satu variable) independent dengan satu atau beberapa variabel dependen (umumnya satu variabel dependen).

Proses analisis multivariat dilakukan dengan cara menghubungkan beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen pada waktu yang bersamaan. Analisis multivariat ini dilakukan untuk mengetahui variabel independen mana yang paling besar hubungannya terhadap variabel dependen.Pada penelitian ini jenis data yang diuji baik variabel independen maupun variabel dependen adalah kategorik, sehingga uji yang digunakan adalah regresi logistik, syarat dasar digunakan analisis ini karena variabel dependennya katagorik yang bersifat dikotomus.Dalam penilaian, variabel yang diikutkan dalam analisis multivariabel adalah variabel dengan batasan nilai p tertentu. Adapun langkah yang digunakan adalah sebagai berikut :a. Pemilihan variabel Kandidat Multivariat

Dalam penelitian ini ada 8 (delapan) variabel yang diduga berhubungan dengan osteoporosis pada lansia yaitu karakteristik yang dilihat dari : umur, jenis kelamin, berat badan, latihan fisik, kebiasaan konsumsi kopi, kebiasaan konsumsi alcohol, kebiasaan konsumsi rokok, kebiasaan konsumsi obat obat kortiko steroid.

Untuk membuat multivariat dari 8 ( delapan ) variabel tersebut dilakukan analisis bivariat, variabel yang terpilih adalah variabel yang mempunyai nilai p < 0,25 dan mempunyai kemaknaan secara substansi dapat dijadikan kandidat yang akan dimasukkan kedalam model multivariat.

b. Pembuatan Model Faktor Penentu

Pembuatan model faktor penentu dari osteoporosis lansia, dalam pemodelan ini semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama. Model terbaik akan mempertimbangkan dua nilai yaitu nilai signifikasi ratio log-likelihood (p< 0,05) dan nilai signifikasi p wald (p < 0,05).

Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara semua variabel independen (yang telah lulus sensor) dimasukkan kedalam model, kemudian variabel yang p waldnya tidak signifikan dikeluarkan dari model secara berurutan dimulai dari p wald yang terbesar dan akhirnya ditemukan model yang p wald variabel 18, 5). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.11.Tabel 5.11Distribusi Lansia Menurut Berat Badan dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Berat BadanKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Beresiko35 (20,0)56(32,0)91 (26,0)0,0150,531(0,326-0,865)

Tidak beresiko140 (80,0)119 (68,0)259 (74,0)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Pada tabel 5.11 diketahui bahwa hasil analisis hubungan antara berat badan dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada berat badan beresiko ada sebanyak 35 orang (20,0 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 56 orang (32,0 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang berat badan tidak beresiko ada sebanyak 140 (80,0 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 119 orang ( 68,0 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,015 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki berat badan beresiko dan yang tidak beresiko (ada hubungan yang signifikan berat badan dengan kejadian osteoporosis). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 0,531 artinya lansia yang memiliki berat badan beresiko mempunyai peluang 1 kali menderita osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang berat badanya tidak beresiko. 4.2.2 Hubungan Latihan Fisik Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara latihan fisik dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Peneliti membagi responden dalam dua kategori yaitu latihan fisik tidak teratur (biasa melakukan senam namun tidak teratur bahkan kurang dari 3 jam per minggu atau tidak pernah mengikuti senam sama sekali) dan latihan fisik teratur (biasa melakukan senam minimal 3 jam/minggu). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.12.Tabel 5.12Distribusi Lansia Menurut Latihan Fisik dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Latihan FisikKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Tidak teratur97 (55,4)74 (42,3)171 (48,9)0,0191,697(1,112-2,591)

Teratur 78 (44,6)101 (57,7)179 (51.1)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Pada tabel 5.12 diketahui bahwa hasil analisis hubungan antara latihan fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada latihan fisik tidak teratur ada sebanyak 97 orang (55,4 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 74 orang (42,3 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang latihan fisik teratur ada sebanyak 78 (44,6 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 101 orang ( 57,7 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,019 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki latihan fisik tidak teratur dan yang latihan fisik teratur (ada hubungan yang signifikan latihan fisik dengan kejadian osteoporosis). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 1,697, artinya lansia yang memiliki latihan fisik tidak teratur mempunyai peluang 2 kali menderita osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang latihan fisik teratur.

4.2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Peneliti membagi responden dalam dua kategori yaitu perokok dan bukan perokok. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.13.

Tabel 5.13Distribusi Lansia Menurut Kebiasaan Merokok dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Kebiasaan MerokokKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Perokok 65 (37,1)60 (34,3)125 (35,7)0,6561,133(0,731-1,754)

Bukan perokok110(62,9)115(65,7)225(64,3)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Pada tabel 5.13 diketahui bahwa hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada lansia yang memiliki kebiasaan merokok (perokok) ada sebanyak 65 orang (37,1 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 60 orang (34,3 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang tidak memiliki kebiasaan merokok (bukan perokok) ada sebanyak 110 (62,9 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 115 orang ( 65,7 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,656 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki kebiasaan merokok (perokok) dan lansia yang tidak memiliki kebiasaan merokok/bukan perokok (tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian osteoporosis).

4.2.4 Hubungan Kebiasaan Minum Alkohol Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Peneliti membagi responden dalam dua kategori yaitu alkoholik dan bukan alkoholik. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.14.Tabel 5.14Distribusi Lansia Menurut Kebiasaan Minum Alkohol dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Kebiasaan Minum AlkoholKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Alkoholik 28(16,0)41(23,4)69(19,7)0,1060,623(0,265-1,062)

Bukan alkoholik147(84,0)134(76,6)281 (80,3)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Hasil analisis hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada lansia yang memiliki kebiasaan minum alkohol (alkoholik) ada sebanyak 28 orang (16,0 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 41 orang (23,4 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang tidak memiliki kebiasaan minum alkohol (bukan alkoholik) ada sebanyak 147 orang (84,0 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 134 orang ( 76,6 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,106 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki kebiasaan minum alkohol (alkoholik) dan lansia yang tidak mimiliki kebiasaan minum alkohol (bukan alkoholik) atau dengan kata lain tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum alkohol dengan kejadian osteoporosis.4.2.5 Hubungan Kebiasaan Konsumsi Kopi Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Pada tabel di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara kebiasaan konsumsi kopi dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Peneliti membagi responden menjadi dua kategori yaitu lansia yang biasa mengkonsumsi kopi dan lansia yang tidak biasa mengkonsumsi kopi. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.15.Tabel 5.15Distribusi Lansia Menurut Kebiasaan Konsumsi Kopi dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Kebiasaan Konsumsi KopiKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Ya 63 (36,0)53 (30,3)116(33,1)0,3071,295(0,829-2,023)

Tidak 112(64,0)122(69,7)234(66,9)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Dari tabel 5.15 diketahui hasil analisis hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada lansia yang memiliki kebiasaan minum kopi (Ya) ada sebanyak 63 orang (36,0 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 53 orang (30,3 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang tidak memiliki kebiasaan minum kopi (Tidak) ada sebanyak 112 orang (64,0 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 122 orang ( 69,7 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).

Hasil uji statistik (kai kuadrat) diperoleh nilai p = 0,307 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki kebiasaan minum kopi (Ya) dan lansia yang tidak mimiliki kebiasaan minum kopi (Tidak) atau dengan kata lain tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian osteoporosis.

4.2.6 Hubungan Kebiasaan Minum Obat Steroid Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara kebiasaan minum obat steroid dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Peneliti membagi responden dalam dua kategori, yaitu lansia yang biasa mengkonsumsi obat steroid dan yang tidak biasa mengkonsumsi obat steroid. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.16.Tabel 5.16Distribusi Lansia Menurut Kebiasaan Minum Obat Steroid dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Kebiasaan Minum Obat SteroidKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Ya 107(61,1)79(45,1)186(53,1)0,0041,912(1,249-2,926)

Tidak 68(38,9)96(54,9)164(46,9)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Pada tabel 5.16 diketahui hasil analisis hubungan antara kebiasaan minum obat steroid dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada lansia yang memiliki kebiasaan minum obat steroid (Ya) ada sebanyak 107 orang (61,1 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 79 orang (45,1 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang tidak memiliki kebiasaan minum obat steroid (Tidak) ada sebanyak 68 orang (38,9 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 96 orang ( 54,9 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,004 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki kebiasaan minum obat steroid dan lansia yang tidak mimiliki kebiasaan minum obat steroid ( ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum obat steroid dengan kejadian osteoporosis). Hasil analisis didapatkan nilai OR adalah 1,912, artinya lansia yang memiliki kebiasaan minum obat steroid mempunyai peluang 2 kali menderita osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang tidak biasa mengkonsumsi obat steroid.4.2.7 Hubungan Umur Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Pada tabel di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara umur dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Variabel umur dikategorikan menjadi umur beresiko ( 65 tahun) dan umur tidak beresiko (< 65 tahun). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.17.Tabel 5.17Distribusi Lansia Menurut Umur dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

UmurKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Beresiko 134(76,6)85(48,6)219(62,6)0,0013,461(2,188-5,474)

Tidak beresiko41(23,4)90 (51,4)131(37,4)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Dalam tabel 5.17 diketahui hasil analisis hubungan antara umur dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada lansia yang memiliki umur beresiko ada sebanyak 134 orang (76,6 %) menderita osteoporosis (kasus) dan ada 85 orang (48,6 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol). Sedangkan di antara lansia yang umur tidak beresiko ada sebanyak 41 orang (23,4 %) lansia yang menderita osteoporosis (kasus) dan 90 orang ( 51,4 %) tidak menderita osteoporosis (kontrol).

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki umur beresiko dan lansia yang memiliki umur tidak beresiko ( ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian osteoporosis). Hasil analisis didapatkan nilai OR adalah 3,461, artinya lansia yang berumur beresiko ( 65 tahun) mempunyai peluang 3 kali menderita osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang berumur tidak beresiko (< 65 tahun).4.2.8 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia

Pada tabel di bawah ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Osteoporosis pada lansia di Rumah Sakit Siaga Raya Tahun 2010. Variabel jenis kelamin dikategorikan menjadi dua yaitu lansia perempuan dan lansia laki laki. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.18.Tabel 5.18Distribusi Lansia Menurut Jenis Kelamin dan Kejadian Osteoporosis

Di Rumah Sakit Siaga Raya Jakarta Selatan

Tahun 2010

Jenis KelaminKejadian OsteoporosisP valueOR

(95%CI)

KasusKontrolTotal

n (%)n (%)n (%)

Perempuan 127 (72,6)99(56,6)226(64,6)0,0022,031(1,299-3,175)

Laki - laki48(27,4)76(43,4)124(35,4)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian osteoporosis pada lansia diperoleh bahwa pada jenis kelamin perempuan ada sebanyak 127 orang (72,6 %) menderita osteoporosis/kasus dan 99 orang (56,6 %) tidak menderita osteoporosis/kontrol. Sedangkan di antara lansia laki - laki ada sebanyak 48 orang (27,4 %) lansia yang menderita osteoporosis/kasus dan 76 orang (43,4 %) tidak menderita osteoporosis/kontrol.Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang berjenis kelamin perempuan dan lansia yang laki - laki (ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian osteoporosis). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 2,031, artinya lansia yang berjenis kelamin perempuan mempunyai peluang 2 kali menderita osteoporosis dibandingkan lansia yang laki - laki.Tabel 5.19Resume Hasil Analisis BivariatVariabelKategoriKEJADIAN OSTEOPOROSISTotalP valueOR

(95% CI)

Kasus Kontrol

n (%)n (%)n (%)

Berat badanBeresiko35 (20,0)56(32,0)91 (26,0)0,0150,531

(0,326-0,865)

Tidak beresiko140 (80,0)119 (68,0)259 (74,0)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Latihan fisikTidak teratur97 (55,4)74 (42,3)171 (48,9)0,0191,697

(1,112-2,591)

Teratur 78 (44,6)101 (57,7)179 (51.1)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Kebiasaan merokokPerokok 65 (37,1)60 (34,3)125 (35,7)0,6561,133

(0,731-1,754)

Bukan perokok110(62,9)115(65,7)225(64,3)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Kebiasaan minum alkoholAlkoholik 28(16,0)41(23,4)69(19,7)0,1060,623

(0,265-1,062)

Bukan alkoholik147(84,0)134(76,6)281 (80,3)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Kebiasaan minum kopiYa 63 (36,0)53 (30,3)116(33,1)0,307

1,295

(0,829-2,023)

Tidak 112(64,0)122(69,7)234(66,9)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Kebiasaan minum obat steroidYa 107(61,1)79(45,1)186(53,1)0,0041,912

(1,249-2,926)

Tidak 68(38,9)96(54,9)164(46,9)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Umur Beresiko 134(76,6)85(48,6)219(62,6)0,0013,461

(2,188-5,474)

Tidak beresiko41(23,4)90 (51,4)131(37,4)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

Jenis kelaminPerempuan 127 (72,6)99(56,6)226(64,6)0,0022,031

(1,299-3,175)

Laki - laki48(27,4)76(43,4)124(35,4)

Jumlah175(100,0)175(100,0) 350 (100,0)

4.2.3Hasil Analisis Multivariat

1.

Seleksi Bivariat

Setelah dilakukan analisis bivariat, selanjutnya dilakukan analisis multivariat yang bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependen. Tahap awal analisis multivariat adalah penentuan variabel independen potensial (variabel kandidat multivariat) yang akan masuk dalam analisis multivariat, yaitu variabel dari hasil analisis bivariat yang mempunyai nilai p < 0,25 (Lemeshow, 1990). Analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Logistik.

Tabel 5.20

Hasil Seleksi BivariatVariabelP valueKeterangan

Berat BadanLatihan FisikKebiasaan Merokok

Kebiasaan Konsumsi Alkohol

Kebiasaan Konsumsi Kopi

Kebiasaan Konsumsi Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,0100,014

0,577

0,081

0,256

0,003

0,001

0,002Kandidat

KandidatBukan KandidatKandidat

Bukan Kandidat

Kandidat

Kandidat

Kandidat

Hasil seleksi bivariat didapatkan ada 6 variabel p value - nya < 0,25, yaitu variabel berat badan, latihan fisik, kebiasaan konsumsi alkohol, kebiasaan konsumsi obat steroid, umur dan jenis kelamin. Sedangkan variabel yang p value nya > 0,25 ada 2, yaitu variabel kebiasaan merokok dan kebiasaan konsumsi kopi. 2.Pemodelan MultivariatTabel 5.21

Pemodelan Multivariat IVariabelP ValueExp(B)95 % CI. For EXP(B)

Lower Upper

Berat Badan

Latihan Fisik

Konsumsi Alkohol

Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,054

0,009

0,113

0,020

0,000

0,0080,595

1,854

0,629

1,720

3,100

1,9250,351

1,170

0,355

1,088

1,925

1,1881,009

2,940

1,116

2,720

4,994

3,120

Dari hasil analisis terlihat ada 2 variabel yang p valuenya > 0,05 yaitu berat badan dan kebiasaan konsumsi alkohol, sehingga pemodelan selanjutnya variabel kebiasaan alkohol dikeluarkan dari model.Dengan langkah yang sama akhirnya diperoleh hasil sebagai berikut :Tabel 5.21Pemodelan Multivariat IIVariabelP ValueExp(B)95 % CI. For EXP(B)

Lower Upper

Berat Badan

Latihan Fisik

Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,0610,0080,0220,0000,0070,605

1,868

1,701

3,131

1,9440,3571,1801,0781,9471,2011,0232,9562,6845,0353,147

Setelah variabel kebiasaan minum alkohol dikeluarkan, akan terjadi perubahan OR untuk variabel berat badan, latihan fisik, kebiasaan konsumsi obat steroid, umur dan jenis kelamin. Tabel 2.22OR Konsusmi Alkohol Ada dan Tidak AdaVariabelOR Konsumsi Alkohol adaOR Konsumsi Alkohol tidak adaPerubahan OR

Berat Badan

Latihan Fisik

Konsumsi Alkohol

Konsumsi Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,5951,854

0,629

1,720

3,100

1,9250,6051,868

-

1,701

3,131

1,9441,68 %

0,761,1 %

1 %

0,99 %

Dengan hasil perbandingan OR terlihat tidak ada yang > 10 % dengan demikian dikeluarkan dalam model. Selanjutnya variabel yang terbesar p valuenya adalah berat badan, dengan demikian dikeluarkan dari model dan hasilnya sebagai berikut :Tabel 2.23Pemodelan Multivariat IIIVariabelP ValueExp(B)95 % CI. For EXP(B)

Lower Upper

Latihan Fisik

Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,0080,140,000,0061,8481,7623,2421,9571,171

1,121

2,023

1,2122,918

2,771

5,197

3,159

Setelah variabel berat badan dikeluarkan, akan terjadi perubahan OR untuk variabel latihan fisik, kebiasaan konsumsi obat steroid, umur dan jenis kelamin. Tabel 2.24

OR Berat Badan Ada dan Tidak Ada

VariabelOR Berat Badan adaOR Berat Badan tidak adaPerubahan OR

Berat Badan

Latihan Fisik

Konsumsi Alkohol

Konsumsi Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,605

1,868

0,629

1,701

3,131

1,944-

1,848

1,762

3,242

1,9571,07 %

3,59 %

3,55 %

0,67 %

Dengan hasil perbandingan OR terlihat tidak ada variabel yang > 10 % dengan demikian berat badan dikeluarkan dari model. Mengingat, tidak variabel yang p valuenya > 0,05 maka tidak ada variabel yang dikeluarkan lagi dan analisis di atas merupakan model terakhir. Tabel 2.25Model Terakhir Pemodelan MultivariatVariabelP ValueExp(B)95 % CI. For EXP(B)

Lower Upper

Latihan Fisik

Obat Steroid

Umur

Jenis Kelamin0,0080,140,000,0061,8481,7623,2421,9571,171

1,121

2,023

1,2122,918

2,771

5,197

3,159

Interprestasi :

Dari hasil analisis multivariat ternyata variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian Osteoporosis adalah variabel latihan fisik, kebiasaan konsumsi obat steroid, umur dan jenis kelamin. Hasil analisis didapatkan Odds Ratio (OR) dari variabel umur adalah 3,2, artinya lansia yang berumur beresiko ( 65 tahun) mempunyai peluang 3 kali lebih tinggi menderita Osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang berumur tidak beresiko (< 65 tahun) setelah dikontrol variabel latihan fisik, kebiasaan konsumsi obat steroid dan jenis kelamin. BAB V

PEMBAHASAN

5.1 KUALITAS DAN AKURASI DATA

Dalam Lapau (2007) dijelaskan bahwa kualitas data ditentukan oleh relevansi data, validitas data, ketepatan waktu datangnya data dan kelengkapan data (Koot, 2001). Sedangkan akurasi data mencakup relevansi data, validitas data dan reliablitas data (Abramson, 1979).

5.1.1 Relevansi Data

Relevansi data adalah adanya kesesuaian hubungan antara data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dapat menjawab dan membuktikan hipotesis secara terbatas sesuai dengan tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai (Lapau, 2007).

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan desain study Case Control (kasus kotrol). Studi ini merupakan suatu penelitian (survei) analitik dengan mempelajari faktor resiko melalui pendekatan Retrospektive, yang maksudnya informasi tentang penyebab diperoleh setelah terjadinya penyakit, kemudian faktor resiko yang diteliti dibandingkan dengan kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Keterbatasanya adalah data mengenai pajanan faktor tertentu diperoleh dengan mengandalkan daya ingat atau catatan medik. Daya ingat responden ini menyebabkan terjadinya recall bias, baik karena lupa, atau responden yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan terhadap faktor resiko daripada responden yang tidak mengalami efek.

5.1.2 Validitas Data

Validitas atau kesahihan merupakan criteria kredibilitas yang paling krusial dalam riset epidemiologi karena mengacu pada pengukuran yang benar melalui instrument yang benar, artinya sejauh mana instrument dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas juga dapat diartikan sebagai kesahihan penaksiran parameter populasi sasaran berdasarkan statistic sampel penelitian (Murti, 1997).

Dalam Rothman (1986) menjelaskan bahwa bahwa validitas dibagi menjadi dua, yaitu validitas eksternal dan validitas internal. Validitas internal merupakan prasyarat untuk validitas eksternal, namun dalam penelitian epidemiologi validitas ekternal bukan merupakan prasyarat yang harus terpenuhi, artinya validitas tidak harus mampu dibuat generalisasi ke dalam populasi yang lebih besar (Murti, 1997).

1. Kesalahan Random

Penelitian kasus control tidak terlepas dari adanya kesalahan random atau kesalahan ketepatan dalam epidemiologi. Untuk mengurangi kesalahan random, dapat dilihat dengan sistematis presisi (kecermatan) yang diekspresikan ke dalam interval keyakinan (Convidence Interval). Lebar dari convidence interval (CI) membantu menentukan ketepatan dari penaksiran yang tergantung jumlah variasi dalam data, artinya semakin sempit Convidence Interval, maka semakin tinggi ketelitian atau semakin lebar Convidence Interval maka semakin rendah ketepatan penaksiran tersebut. Untuk meningkatkan ketepatan data dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran sampel (Murti, 1997 ; Lapau, 2007 dan Mondastri, 2008).

2. Kesalahan Sistematis

Kesalahan sistematis disebut bias yang terdiri dari bias seleksi, bias informasi dan confounding bias/ bias pengacau (Lapau, 2007).

a. Bias Seleksi

Bias seleksi dapat terjadi ketika menggunakan criteria yang berbeda dalam prosedur seleksi subjek, sehingga seringkali terjadi bias tidak dapat dikenadalikan, melainkan hanya dapat dicegah (Mondastri, 2008).

Pada penelitian yang dilaksanakan di RS. Siaga Raya, pasien yang dijadikan sebagai kasus adalah hasil diagnosa BDM menunjukan positif sedangkan control adalah hasil diagnosa BDM menunjukan negatif. Sebagai contoh pasien yang dikategorikan perokok dan bukan perokok, pasien perokok adalah yang pernah merokok lebih dari tujuh tahun dengan jumlah rokok yang dikonsumsi minimal enam batang per hari, bila kebiasaan merokok dilakukan pada usia remaja dan berhenti pada usia dewasa, sebagai contoh saat ini pasien berumur 75 tahun kemungkinan terjadinya bias bias saja terjadi.

b. Bias Informasi

Bias informasi atau bias pengukuran dapat terjadi karena perbedaan sistemik dalam mutu dan cara pengumpulan data. Bias informasi terdiri dari bias misklasifikasi, bias diagnostic, bias instrument, recall bias, intervier bias dan sebagainya (Lapau, 2007).

c. Confounding Bias

Confounding bias atau bias pengacau dapat terjadi jika di dalam suatu analisis terdapat variable confounding. Sulitnya menentukan variable confounding karena variabel tersebut juga merupakan faktor resiko (variabel independen) yang berhubungan dengan variabel dependen, namun juga berhubungan dengan faktor resiko (variabel independen) lainnya (Lapau, 2007). Terkait dengan penelitian ini confounding bias dapat diatasi dengan analisis multivariat. 5.1.3 Reliabilitas Data

Reliabilitas adalah konsistensi dari hasil alat uji menurut waktu dan orang, artinya alat uji dipergunakan beberapa kali dan menghasilkan data yang sama waktu dan orang, maka data tersebut dapat dikatakan reliable. Dalam penelitian contoh alat uji yang digunakan adalah timbangan berat badan (kg) dan alat ukur tinggi badan (cm), bila pengukuran dilakukan dua kali dan hasilnya tidak berubah maka data tersebut dapat dikatakan reliable.

5.2 FAKTOR INDEPENDEN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN OSTEOPOROSIS

5.2.1 Analisis Bivariat

1. Berat Badan

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,015 dan OR = 0,531, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki berat badan beresiko dan yang tidak beresiko (ada hubungan yang signifikan berat badan dengan kejadian osteoporosis).

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikemukakan oleh Stefan Rehart (2007) bahwa jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna sehingga akan mengalami penipisan. Penilaian bobot tubuh didapat berdasarkan penghitungan IMT (indeks massa tubuh) dengan klasifikasi kurus (< 18,5). Semakin kurus seseorang maka resiko mengalami osteoporosis lebih besar. Teori ini bisa dibenarkan karena hasil penelitian peneliti menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara berat badan dengan kejadian osteoporosis. Oleh karena itu, penting agar adanya upaya untuk mengontrol berat badan lansia agar berada dalam kategori yang normal atau tidak beresiko, upaya ini diharapkan mampu meminimalisasi insiden dan kejadian osteoporosis pada lansia.

2. Latihan Fisik

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,019 dan nilai OR = 1,697, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki latihan fisik tidak teratur dan yang latihan fisik teratur (ada hubungan yang signifikan latihan fisik dengan kejadian osteoporosis). Hasil penelitian ini memiliki sinkronisasi dengan teori yang dikembangkan oleh Tobing mengenai hubungan kebiasaan olahraga dengan kejadian Osteoprosis pada lansia, bahwa lansia yang tidak biasa berolahraga mempunyai peluang dua kali menderita osteoporosis dibandingkan dengan lansia yang biasa berolahraga sejak dini.

Terkait dengan hal tersebut, maka upaya pencegahan sejak dini perlu dilakukan dengan melaksanakan senam secara teratur sejak dini untuk meningkatkan kepadatan tulang. Telah diperkenalkan latihan fisik yang baik, benar, dan teratur. Latihan yang baik artinya latihan terbagi menjadi 3 sesi yaitu pemanasan & peregangan selama 10-15 menit, latihan inti selama 20-60 menit, peregangan & pendinginan selama 5-10 menit, dengan frekuensi latihan adalah sekurang kurangnya 3 jam per minggu.

3. Kebiasaan Konsumsi Obat obatan Jenis Kortiko Steroid

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,004 dan nilai OR adalah 1,912, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian osteoporosis antara lansia yang memiliki kebiasaan minum obat steroid dan lansia yang tidak mimiliki kebiasaan minum obat steroid ( ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum obat steroid dengan kejadian osteoporosis).

Menurut Noer (2000), bahwa ibat-obatan tertentu misalnya untuk menangani kanker, endometriosis, dan lain-lain, dan pengobatan berjangka panjang (seperti penggunaan steroid untuk asma, obat anti kejang, dan lain-lain) dapat meningkatkan risiko Osteoporosis. Kebenaran teori ini telah teruji bahwa ada hubungan yang signifikan