tesis berfikir holistik

99
34 BAB II PEMBELAJARAN BERPIKIR KESEJARAHAN A. Pembelajaran Sejarah 1. Pengertian Sejarah dan Pendidikan Sejarah Melalui kamus online yang tersedia dalam http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry?id=h0219800 , dan diakses tanggal 15-3-2005), terdapat beberapa pengertian sejarah. Dalam bentuk kata benda sejarah diartikan; sebuah narasi dari peristiwa-peristiwa; suatu cerita (A narrative of events; a story), dan suatu catatan peristiwa secara kronologis (A chronological record of events). Pengertian lain adalah suatu cabang ilmu yang mencatat dan menganalisa kejadian-kejadian masa lalu ( The branch of knowledge that records and analyzes past events), dan kumpulan keseluruhan peristiwa – peristiwa masa lampau dari kegiatan-kegiatan manusia (The aggregate of past events or human affairs: basic tools used throughout history). Secara sederhana diartikan pada sesuatu yang terkait dengan masa lampau (Something that belongs to the past). Terminologi “sejarah” dikenal sebelumnya dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon kayu. Arti ini dimaknai dalam silsilah (family tree), asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan yang kontinuitas dari suatu komunitas atau peristiwa (Sjamsuddin, 1996:2). Sedangkan makna yang berkembang kemudian adalah sejarah yang diambil dari bahasa Yunani kuno, historia yang berarti

Transcript of tesis berfikir holistik

Page 1: tesis berfikir holistik

34

BAB II

PEMBELAJARAN BERPIKIR KESEJARAHAN

A. Pembelajaran Sejarah

1. Pengertian Sejarah dan Pendidikan Sejarah

Melalui kamus online yang tersedia dalam

http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry?id=h0219800, dan diakses

tanggal 15-3-2005), terdapat beberapa pengertian sejarah. Dalam bentuk kata

benda sejarah diartikan; sebuah narasi dari peristiwa-peristiwa; suatu cerita (A

narrative of events; a story), dan suatu catatan peristiwa secara kronologis (A

chronological record of events). Pengertian lain adalah suatu cabang ilmu yang

mencatat dan menganalisa kejadian-kejadian masa lalu ( The branch of knowledge

that records and analyzes past events), dan kumpulan keseluruhan peristiwa –

peristiwa masa lampau dari kegiatan-kegiatan manusia (The aggregate of past

events or human affairs: basic tools used throughout history). Secara sederhana

diartikan pada sesuatu yang terkait dengan masa lampau (Something that belongs

to the past).

Terminologi “sejarah” dikenal sebelumnya dari bahasa Arab, syajaratun,

yang berarti pohon kayu. Arti ini dimaknai dalam silsilah (family tree), asal-usul,

pertumbuhan dan perkembangan yang kontinuitas dari suatu komunitas atau

peristiwa (Sjamsuddin, 1996:2). Sedangkan makna yang berkembang kemudian

adalah sejarah yang diambil dari bahasa Yunani kuno, historia yang berarti

Page 2: tesis berfikir holistik

35

belajar dengan cara bertanya (inquiry). Kemudian dialihkan ke bahasa Inggris,

history, yang diartikan sebagai sejarah.

Hampir sama dengan batasan di atas, namun secara rinci dan tegas batasan

sejarah menjadi jelas terpisah dengan peristiwa alam pada perkembangan

berikutnya. Seperti yang disampaikan oleh Woolever dan Scoot (1988, 115)

bahwa,” sejarah adalah kajian tentang masa lampau manusia, aktivitas manusia di

bidang politik, militer, sosial, agama, ilmu pengetahuan dan hasil kreativitasnya

(seni, musik, literatur dan lainnya)”. Lebih lanjut, batasan sejarah, yang terkait

dengan penekanan pada konsep waktu kelampauan ini berkembang pula. Seperti

yang diungkapkan oleh Amy Von Heyking (2003),”sejarah bukanlah cerita masa

lampau, dan bukan catatan peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu, melainkan

sebuah bentuk kegiatan inquiry yang menolong kita membangun sebuah

pemahaman dari kehidupan kita baik secara individu maupun kolektif dalam

waktu tertentu”. Ungkapan Heyking ini, tidak terlepas dari pemahaman bahwa

sejarah adalah sebuah disiplin ilmu yang merupakan hasil interpretasi yang

diperlukan kejelasan kevaliditasan, dan kredibilitas bukti sejarah tersebut dalam

kaitannya untuk dianalisis, dibangun dan dibangun kembali narasi tentang

masyarakat, peristiwa, dan gagasan di masa lampau ( Foster dan Yeager,1999, Mc

Neil, 2000).

Dari perkembangan pengertian sejarah di atas, jelaslah bahwa unsur-unsur

yang melekat pada sejarah adalah manusia, peristiwa, masa lalu, catatan/rekaman

peristiwa, tempat/ruang kejadian dan kronologis, kegiatan inquiry/interpretasi dari

suatu peristiwa masa lampau secara ilmiah. Sidi Gazalba (1981 : 2), Gross (1978

Page 3: tesis berfikir holistik

36

: 92), dan Lucey (1984 : 9), menekankan pada tiga aspek utama yang

menggambarkan secara keseluruhan dari pengertian sejarah, yaitu peristiwa,

manusia dan waktu. Peristiwa yang terjadi hanya satu kali, bersifat unik. Peran

manusia dalam melakoni peristiwa tersebut dan waktu terjadinya peristiwa

tersebut. Dapat dikatakan bahwa menurut ungkapan tersebut, bukan sejarah, jika

tanpa tiga aspek tersebut.

Berkaitan dengan upaya pemahaman dan perekonstruksian sejarah, maka

sejarah juga merupakan sebuah kajian tentang peristiwa masa lalu yang tidak

pernah final dikarenakan tidak lengkapnya. Sejarah sebagai suatu kajian tentang

masa lampau memberikan catatan-catatan yang tidak lengkap. Seperti yang

diungkapkan oleh Lucy dan Mark O’hara (2001:1),”…as the study of everything

that has happened, which given the incomplete record available, would inevitabel

be less than full story but would still be extremely large and complex”.

Pemahaman dan kajian tentang sejarah terus berkembang. Sejarah yang

semula hanya terbatas pada cerita masa lalu, kemudian masuk pada kelompok

ilmu pengetahuan, berkat jasa bapak sejarah, Heradotus, Oleh sebab itu sebagai

sebuah kajian peristiwa manusia masa lalu, sejarah sangat memerlukan

ketrampilan berpikir kritis. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Mc Neil

(2000), bahwa,” history knowledge is no more and less than carefully and

critically constructed collective memory”. Dengan kata lain, pengetahuan sejarah

itu tidak lebih kurang adalah koleksi ingatan yang dibangun secara hati-hati dan

kritis.

Page 4: tesis berfikir holistik

37

Dimensi waktu dalam sejarah, terus disadari bukan hanya untuk upaya

perekonstruksian, tetapi lebih dari itu. Sejarah bukan hanya nostalgia atas kejadian

lampau, tetapi sebagai sebuah dialog yang terus menerus ke masa sekarang dan

akan datang. Sejarah adalah suatu dialog tanpa akhir antara masa sekarang dan

masa lampau (Carr, 1965 : 35). Masa sekarang diketahui melalui penjelasan

tentang masa lampau. Namun dialog tersebut hanya dapat dicapai melalui

penelusuran jejak-jejak sejarahnya. Sebagaimana juga dinyatakan oleh

Coolingwood (2001:140) yang menyatakan bahwa, “ the past is the explanation of

the present, but the past only known by analyzing its traces in the present

Terkait dengan penulisan sejarah yang akurat, objektif serta tidak pernah

final, karena dibatasi oleh catatan sejarah. Keterbatasan catatan sumber sejarah,

menurut Commager (dalam Woolever dan Scoot, 1988: 118), adalah disebabkan

penulisan atau catatan sejarah cenderung dibuat oleh kelompok yang menang

perang, dan bukan oleh kelompok yang kalah, atau tersisih. Lebih lengkap

dikatakannya,” Over the centuries history has been written by the victors, not the

vanquished”. Selain itu ditambahkannya, bahwa adanya sekelompok orang

memiliki catatan sejarah yang lengkap dibanding yang lainnya, misal antara

bangsa Eropa dengan bangsa Afrika atau Amerika latin. Selain itu sebelum

adanya perubahan fokus penulisan sejarah yang dilakukan kelompok Annales,

catatan sejarah lebih banyak mencatat kelompok terpelajar, orang besar, penguasa

dan sedikit sekali mencatat aktivitas manusia kelas bawah, “underclass – the

common people – the working class”. Ditambahkan Commager (dalam Woolever

dan Scoot, 1988: 119-120) adanya faktor lain yang menyebabkan biasnya sejarah,

Page 5: tesis berfikir holistik

38

yaitu (1) membesarkan, membuat spektakuler suatu kejadian atau individu, (2)

penulisan sejarah yang dipengaruhi oleh rasa kesukuan dan nasionalisme

sejarawan, (3) memberikan penilaian terhadap peristiwa masa lalu dengan standar

dan nilai yang berlaku sekarang, (4) membiarkan pengetahuan tentang peristiwa

yang belakangan terjadi mempengaruhi kita dalam menganalisis, misal sebab

akibat.

Mengenai permasalahan ketidaklengkapan data catatan sejarah, maka

Woolever dan Scoot (1988) membagi sejarawan ke dalam dua golongan,

berdasarkan tulisan sejarah yang dihasilkannya, yaitu “descriptive (narrative

historians)” dan “scientific historians”. Jika golongan sejarawan yang pertama

lebih diarahkan penulisan sejarah pada kegiatan humanis dan kurang memiliki

karakteristik objektif dari ilmu sosial, maka sejarawan golongan kedua memiliki

komitmen pada sifat, metode, pendekatan ilmu dalam mengupas dan

merekonstruksi masa lalu.

Sebagai suatu mata pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata

pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin ilmu sosial lainnya. Pendidikan

sejarah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajahan, sesudah kemerdekaan

hingga sekarang (Hasan, 2000:9). Pemberian pendidikan sejarah ini lebih

diorientasikan kepada kepentingan penguasa/pemerintah yang ada mulai dari

Belanda dan Jepang. Gonggong (2003). mengatakan dalam periode tertentu

pelajaran sejarah di Indonesia sesudah kemerdekaan juga dijadikan alat penopang

kekuasaan. Untuk mengurangi hal tersebut, Gonggong menyarankan agar dalam

Page 6: tesis berfikir holistik

39

pengertian pendidikan sejarah harus diberikan di depan kelas sebagai sejarah

dalam pengertian ilmu, tidak dalam pengertian politik.

Pendidikan sejarah tidak hanya dimaknai sebagai alat untuk memberikan

pemahaman tentang kemegahan dan kegagalan suatu bangsa di masa lampau,

tetapi juga memperkenalkan pebelajar terhadap disiplin ilmu sejarah (berpikir

keilmuan) (Hasan, 2003). Dalam konteks makna pendidikan sejarah yang

pertama, maka pendidikan sejarah cenderung bersifat transmisi dalam

implementasinya, atau lebih fokus pada sisi manusia, generasi penerus.

Sedangkan yang kedua menempatkan sejarah seperti tradisi kedua “social studies,

as a social sciences”, atau dapat dikatakan lebih memfokuskan pada sisi disiplin

ilmu. Hal ini menekankan pendidikan sejarah kepada kualitas berpikir,

mempelajari dan mengembangkan berbagai ketrampilan yang diperlukan dalam

ilmu sejarah. Menurut Hamid Hasan (2003) fokus kurikulum pendidikan sejarah

hendaklah menjadikan manusia dan ilmu sebagai salah satu sumber dan bukan

satu-satunya.

Peranan pendidikan sejarah sebagai salah satu tiang atau landasan utama

bagi pendidikan IPS (Wiriaatmadja (1992:12), terutama untuk penanaman nilai-

nilai seperti pengenalan jati diri, empati, toleransi yang akan menumbuhkan sense

of belonging dan sense of solidarity. Nilai-nilai ini diperlukan untuk membentuk

identitas nasional. Di tengah era globalisasi, yang disebut juga era neoliberalisme

oleh Mansour Fakih (2001), pembentukan identitas nasional tidaklah mudah.

Salah satunya tantangan dari cyber media, yang mengakibatkan transnasional.

Sebagai contoh adalah peristiwa sengketa Ambalat antara Indonesia dengan

Page 7: tesis berfikir holistik

40

Malaysia, masyarakat Indonesia serentak bertambah semangat nasionalismenya,

tidak saja yang ada di Indonesia, juga yang ada di negara-negara lain. Contoh

lain, betapa singkat dan mudah terbakar emosi masyarakat dunia pemeluk Islam,

saat tayangan televisi menayangkan serangan Amerika atas Irak, atau juga

tindakan sembrono tentara Amerika terhadap Al-Quran di penjara Guantenamo.

Oleh karena itu menurut Von Laue (1995:22) pengajaran sejarah di masa depan

haruslah memiliki ciri (1) sejarah yang tidak menekankan hanya pada sejarah

nasional dan lokal, tetapi juga diperlukan sejarah global.(2) sejarah yang

berintikan adanya hubungan yang selaras sesama manusia dengan landasan saling

menyayangi dan memperkokoh kesetiakawanan, dan bukan sebaliknya, (3)

sejarah yang memiliki pandangan ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa

masa lampau.

Di dalam proses pengajaran sejarah guru diberi kesempatan untuk

merancang pengembangan kualitas kesejarahan ini dalam suatu proses pendidikan

yang sinergis (Hasan, 2000). Kemampuan, inovasi guru dalam mengorganisasikan

materi, tujuan, pembelajaran, fasilitas pembelajaran dan pola evaluasi yang akan

digunakan akan menentukan keberhasilan belajar siswa (Hasan, 1996). Guru

sebagai “gate keepers” memiliki keleluasaan dalam memutuskan bagaimana

rancangan pembelajaran, pelaksanaanya, dan penilaian yang akan dilakukan di

dalam kelasnya (Thornton, 1994: 5).

Secara lebih luas paparan mengenai apa dan bagaimana tujuan dan

manfaat yang diharapkan diperoleh oleh siswa sebagai subjek belajar dalam skala

kecil, dan warga bangsa dalam skala besar, dituangkan dalam sub bab berikut ini.

Page 8: tesis berfikir holistik

41

2. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Sejarah

Perubahan zaman yang disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi,

membawa pengaruh terhadap keberadaan mata pelajaran sejarah di sekolah. Siswa

mulai mempertanyakan tujuan dan manfaat yang didapatnya dari pelajaran

tersebut, selain bernostalgia dengan peristiwa masa lampau. Isu tentang proses

dan hasil belajar sejarah yang kurang menyenangkan selama ini, termasuk juga

sikap, anggapan siswa dan masyarakat yang ditujukan terhadap mata pelajaran

sejarah menjadi bahan diskusi, pemikiran dari para sejarawan dan pakar

pendidikan sejarah.

Sebagaimana ungkapan Collingwood di atas sehubungan dengan kaitan

dimensi waktu dalam sejarah, dialog antara dimensi waktu lalu dan sekarang

bahkan masa depan tidak pernah terputus. Masing-masing dimensi memiliki

posisi yang strategis. Masa lalu diperlukan untuk menjelaskan, memahami

kehidupan yang dijalani manusia sekarang ini dan seterusnya dapat digunakan

untuk kebaikan kehidupan masa depan. Jadi sejarah bukanlah ilmu pendidikan

yang disampaikan hanya untuk bernostalgia. Seperti dipertegas oleh Frankel

(2003) yang menyatakan,” ….History is the study of the past …..the past causes

the present, and so the future…”.

Sementara itu “ancaman” atas keberadaan pelajaran sejarah di sekolah

sangat dikaitkan oleh masyarakat dengan anggapan keberhasilan hidup (materi,

ekonomi). Mackinolty (2001:5) mengungkapkan bahwa pelajaran sejarah

dipertanyakan kerelevanannya untuk dipelajari terkait dengan kemajuan teknologi

yang menekankan pada hasil produksi, ekonomi, kebendaan.

Page 9: tesis berfikir holistik

42

Keharusan untuk mempelajari sejarah diungkapkan oleh Peter N Stearn

(2001, tersedia dalam http://www.theaha.org/pubs/stearn.htm, diakses tanggal 5-

2-2004) yang mengatakan bahwa, “history should be studied because it is

essential to individuals and to society, and because it harbors beauty”. Sejarah

harus dipelajari bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat, tetapi juga

karena ia menghasilkan keindahan/kesenangan”. Dia pun mengungkapkan bahwa

ada dua alasan utama yang mendasari mengapa harus belajar sejarah yaitu;

pertama, sejarah menolong kita untuk memahami orang dan masyarakat (History

helps us understand people and societies), dan kedua, sejarah menolong kita

memahami perubahan dan bagaimana masyarakat di tempat kita tinggal

ada/muncul ( history helps us understand change and how society we live in came

to be). Selain itu ditambahkannya bahwa sejarah sangat penting dalam kehidupan

manusia, karena sejarah memberikan kontribusi untuk memahami moral, identitas,

dan hakekatnya untuk membentuk warganegara yang baik, dan juga menolong

manusia untuk memahami bagaimana perubahan masa lalu, sekarang dan akan

datang. Lebih lengkap diungkapkan oleh Peter Stern (2001),

…contributes to moral understanding, provides identity, …essential for good citizenship,.helps us understand how recent, current, and prospective changes that effect the lives of citizens are emerging or may emerge and what causes are involved. Ditambahkannya pula bahwa hal yang lebih penting lagi dalam

mempelajari sejarah adalah,” …mendorong perilaku berpikir yang merupakan hal

penting untuk sikap warganegara yang bertanggung jawab, sebagaimana pimpinan

bangsa atau tokoh masyarakat”.( encourages habits of mind that are vital for

responsible public behavior, whether as a national or community leader).

Page 10: tesis berfikir holistik

43

Selain itu juga, bagi umat Islam, keharusan belajar dari sejarah,

diantaranya tertuang dalam Al Qur’an, antara lain dalam surat Al-Hasyr

59:18,”…perhatikanlah apa yang telah engkau perbuat untuk hari esokmu”, dan,”

sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang

yang mempunyai akal” (Q.S. Yusuf, 12 : 111). Dalam Al-Qur’an diuraikan kisah

teladan para nabi, rasul dan pengkisahan kehidupan bangsa-bangsa di masa

lampau, ahlak serta bencana-bencana yang menimpa mereka, untuk direnungkan

dan diambil pelajaran dalam upaya memperbaiki kehidupan manusia saat ini dan

nanti.

Pendapat lain yang memberikan alasan mengapa harus dilakukan belajar

dan mengajar sejarah di sekolah adalah agar siwa dapat menjadi warga negara

yang bertanggung jawab dan berpengetahuan. Secara lengkap alasan mengapa

harus belajar dan mengajar sejarah, menurut Robert Guiterez (1999, tersedia

dalam http://www.theada.org/pubs/why/blackeyintro.htm), yaitu:

To understand why people think the way they do, why people behave the way they do, to determine how people might behave. These goals relate to the reason history and social studies are taught at all: that is, to help students become more responsible and knowledgeable citizens.

Selain itu pentingnya pelajaran sejarah ini diberikan di sekolah sangat

terkait dengan perkembangan bangsa, bukan sekedar keinginan melainkan

merupakan kebutuhan nasional.

Dinyatakan oleh Cleaf (1991:38), bahwa melalui mata pelajaran sejarah

dapat menolong siswa mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap

warisan dan tradisi-tradisi, serta mereka akan mampu membandingkan kemajuan

yang diperoleh bangsanya dibandingkan dengan bangsa lain. Selain itu melalui

Page 11: tesis berfikir holistik

44

mata pelajaran sejarah seyogyanya siswa dapat memahami dan mengapresiasikan

peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri (Syamsuddin, 1999).

Dari penelitian Stanton Burgess Turner (1987) yang memfokuskan

bagaimana pendapat siswa, guru, instruktur, administratur dan orang tua tentang

kegunaan sejarah, mendapatkan suatu kesimpulan bahwa topik-topik yang relevan

dengan kehidupan siswa dianggap sebagai kurikulum sejarah yang disarankan

untuk menolong siswa mendapatkan manfaat dari belajar sejarah.

Dalam pembelajaran sejarah selain memberikan kesadaran kepada peserta

didik bahwa perubahan yang terjadi merupakan kejadian biasa, juga

membiasakan siswa akan situasi konflik dan kemudian belajar menghadapinya

dengan pengetahuan bagaimana mengelola (conflict management) dan mengatasi

konflik (conflict resolution) (Wiriatmadja, 2002).

Sejarah juga mengajarkan manusia untuk bijaksana dalam memandang

berbagai peristiwa yang kontroversial di masa lalu, sehingga kita mampu

melakukan refleksi terhadap berbagai kecenderungan dalam menjalani kehidupan

saat ini. Di samping itu, sejarah juga juga memberikan makna pemahaman,

apresiasi dan pengertian terhadap berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang

di masyarakat (Jarolimek, 1996).

Lebih khusus pendidikan sejarah adalah dasar bagi terbinanya identitas

nasional yang merupakan salah satu modal utama membangun bangsa (Widja,

1989). Hal senada dikatakan oleh Buckhardt (dalam Jacques Barzun, 1991)

bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah (1) menempa identitas nasional, (2)

Page 12: tesis berfikir holistik

45

memelihara hubungan integrative dalam ruang lingkup yang luas, dalam

kehidupan internasional;(3) menanamkan nilai-nilai kewargaan dan etika.

Melalui sejarahlah nilai-nilai masa lampau dapat dipetik dan digunakan

untuk menghadapi masa kini. Oleh karena itu tanpa sejarah orang tidak akan

mampu membangun ide-ide tentang konsekuensi dari apa yang dilakukannya.

Kitapun pasti ingat ungkapan dari JAS MERAH-nya (Jangan sekali-kali

melupakan sejarah) Bung Karno, dalam pidatonya tanggal 17-8-1945.

Jorgensen (1993) juga mengatakan bahwa dengan mempelajari sejarah kita

dapat menemukan identitas diri pribadi, masyarakat dan bangsa, sehingga

menyadarkan akan perbedaan dan perubahan lingkungan, sekaligus membangun

pemahaman yang memadai menyangkut makna dari sejarah yang dialami dalam

kehidupan sehari-hari, karena kemampuan untuk menangkap makna dari sejarah

akan menjadi dasar bagi setiap manusia untuk mengembangkan sikap positif

terhadap diri dan lingkungannya. Sejarah juga mengajak setiap orang untuk

mampu bersikap bijak dalam menyikapi berbagai masalah di masyarakat dengan

bercermin pada masa lalu (Hasan, 1996).

Dalam bukunya The Methods and Skills of History, Conal Furay dan

Michael J Salevouris (2000), memaparkan beberapa kegunaan pendidikan

sejarah, salah satunya yang penting juga adalah memberikan siswa kesempatan

untuk mendapatkan pengalaman dalam menganalisis dan menginterpretasi

informasi sejarah atau memberikan ketrampilan analisis dan ketrampilan

berkomunikasi.

Page 13: tesis berfikir holistik

46

Hal tersebut searah dengan tujuan pendidikan sejarah bagi siswa di jenjang

SD/SMP yaitu,” untuk mengembangkan wawasan kebangsaan dari berbagai

peristiwa sejarah, mengembangkan ketrampilan berpikir logis dan kritis, serta

menghargai sikap kepahlawanan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-

hari”. Sedangkan untuk jenjang SMA, tujuan pendidikan sejarah diberikan untuk

mengembangkan; ketrampilan berpikir kesejarahan, kemampuan mengkaji

sumber-sumber sejarah, kemampuan menulis cerita sejarah dan menerapkan cara

berpikir kesejarahan dalam menganalisis peristiwa di sekitarnya (Hasan, 2003:

290-291).

Oleh karena itu tuntutan terhadap LPTK sangat besar untuk menyiapkan

calon guru sejarah yang memiliki bekal pengetahuan, pemahaman, ketrampilan

berpikir kesejarahan yang diperlukan siswa-siswanya nanti. Bagaimana hal

tersebut dapat dimiliki oleh mahasiswa calon guru sejarah tersebut, dipengaruhi

oleh bagaimana proses pembelajaran yang mereka alami di LPTK.

3. Pembelajaran Sejarah dalam Kerangka Pendidikan IPS

Diungkapkan oleh Banks (1985) bahwa Pendidikan IPS harus mampu

menjawab tantangan “perubahan dan ketidakpastian”, dengan mengembangkan

IPS atas hasil analisis yang mendalam terhadap manusia dan masyarakat

Indonesia serta berorientasi pada nilai-nilai budaya lokal dan global. Oleh karena

itu pembelajaran P IPS harus dapat membekali siswa untuk mampu mengelola

dan mengatasi perubahan dan ketidakpastian tersebut. Aspek pemahaman

“waktu” tersebut khususnya kesinambungan dan perubahan, didapat lewat

Page 14: tesis berfikir holistik

47

pendidikan sejarah yang pada akhirnya juga dapat memberikan keoptimisan

menyelesaikan permasalahan masyarakat, dan juga bangsa (Wiriaatmadja,

2002:x). Pelajaran sejarah dengan konsep-konsep di dalamnya, sangat

memperkaya kajian pemahaman kehidupan manusia secara komprehensif.

Seperti diketahui bahwa IPS merupakan perpaduan antara konsep-konsep

ilmu sosial (sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tatanegara)

dengan konsep pendidikan yang dikaji secara sistimatis, psikologis dan fungsional

sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik (Wisley dalam Hertzberg,

1981:1). Dengan dasar pemikiran itu, menurut Somantri, (2001) karakteristik

utama yang menjadi jatidiri pendidikan IPS di Indonesia adalah kerjasama ilmu

pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial untuk tujuan pendidikan. Perpaduan

antara ilmu sosial dan pendidikan dalam sajian IPS disebutnya dengan “synthetic

disciplines”. Sebagai syntetic disciplines, pendidikan IPS memadukan berbagai

konsep ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, serta masalah-masalah sosial dalam

masyarakat.

Begitu luasnya lingkup bahan P IPS, maka menurut Somantri (1996)

pengembangan pendekatannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendekatan IPS

sebagai; 1) pendekatan kewarganegaraan, 2) pendekatan konsep dan generalisasi

yang ada dalam ilmu-ilmu sosial,3) pendekatan yang menyerap dan

mengembangkan bahan pendidikan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.

Aplikasi pembelajaran sejarah dalam kerangka pendidikan IPS, tidak

terlepas dengan apa yang menjadi tujuan diajarkannya, yaitu secara umum untuk

membentuk warganegara yang baik dari beragam budaya dan masyarakat

Page 15: tesis berfikir holistik

48

demokrasi dalam sebuah dunia yang saling ketergantungan (Evan&Saxe,

1996:197). Kompetensi-kompetensi yang diajarkan dalam pendidikan IPS,

terrangkum dalam tiga tradisi IPS, yaitu social studies as citizenship

trasmission, social studies as social science dan social studies as reflective

inquiry (Barr, 1987). Pembelajaran IPS (sejarah) dalam tradisi pertama ini adalah

untuk menanamkan dan mempertahankan nilai-nilai leluhur, dalam kaitannya

dengan kelangsungan hidup suatu bangsa tersebut ( Barr, 1987: 26). Di dalam

tradisi kedua, pengajaran IPS (sejarah) difokuskan pada struktur, metodologi dan

substansi ilmu sosial. Pembelajaran sejarah berlangsung dengan menempatkan

peserta didik sebagai sejarawan kecil. Pada tradisi ketiga, pendidikan IPS

(sejarah) diberikan dengan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam

mengidentifikasi masalah, isu-isu sosial dan mengambil keputusan atas kajian

yang dilakukan (Barr, 1978:21-22). Maka jika pendidikan IPS (sejarah) diberikan

sesuai dengan tiga tradisi tersebut, sebagaimana yang direkomendasikan oleh

NCSS (1994), maka pembelajaran IPS (sejarah) akan berlangsung secara

bermakna (meaningful), menantang (challanging) dan active serta dirasakan

kegunaannya dalam kehidupan peserta didik. Dapat disimpulkan bahwa dalam

IPS tidak melepaskan pendekatan konsep ilmu-ilmu sosial yang ada.

Pemakaian berbagai konsep dan generalisasi dalam ilmu-ilmu

sosial dalam mengkaji permasalahan sosial di masyarakat, juga sesuai dengan

bagaimana pelajaran sejarah mengkaji suatu peristiwa sejarah. Penggunaan

berbagai disiplin ilmu, interdisipliner, membawa kajian sejarah lebih

komprehensif dan utuh. Berbeda dengan sebelumnya “sejarah lama” pendekatan

Page 16: tesis berfikir holistik

49

yang digunakan dalam mengkaji suatu peristiwa sejarah yaitu mono dimensional

atau non interdisipliner, maka dalam perkembangan sekarang, digunakan

pendekatan ilmu-ilmu sosial, yang multidimensional atau interdisipliner

(Kartodirjo, 1993; Sjamsuddin, 1999). Terkait dengan proses pembelajarannya,

maka dua hal yang sama penting adalah ”apa” yang di ajarkan dan ”bagaimana”

diajarkan. Tetapi hampir semua guru tahu bagaimana sejarah diajarkan tetapi

sedikit yang tahu bagaimana sebaiknya sejarah diajarkan. “…we know a great

deal about how history is taught, but little about how well is taught” demikian

simpulan dari penelitian Downey dan Levstick (dalam Welton dan Mallan, 1994 :

47). Selain itu menurut Van Sleidrigh (1996), dan Rogers (1987) bahwa untuk

memberikan kesempatan siswa berpikir kesejarahan, maka sejarah tidak hanya

diberikan dengan situasi “what” (historical context) tetapi juga “how” dan “why”

(historical inquiry) dari peristiwa sejarah. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses

pembelajaran sejarah memerlukan ketrampilan berpikir, analisis, interpretasi

dalam merekonstruksi peristiwa sejarah tidaklah terlepas dengan alat analitis,

konsep-konsep, teori-teori yang dipinjam dari disiplin ilmu sosial lainnya.

Lebih konkrit Maxim (1995: 493-494) memberikan perbedaan kurikulum

sejarah lama (The old history curriculum) dan sejarah baru (the modern history

curriculum). Utamanya dalam pembelajaran sejarah modern melibatkan siswa

dalam pengalaman belajar. Guru menggunakan buku teks dan berbagai media lain.

Materi pembelajaran tidak diajarkan dalam bentuk fakta-fakta saja, tetapi sebagai

gagasan yang dihubungkan satu dengan yang lain dan pengalaman siswa

Page 17: tesis berfikir holistik

50

sebelumnya. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan antara pembelajaran

sejarah lama dan modern dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Perbedaan Kurikulum Sejarah lama dan Sejarah Modern

The Old History Curriculum The Modern History Curriculum

• Emphasis on facts only

• Learning is confined to history only

• Textbooks, workbooks and worksheet dominate

• Children are passive learners • Student interact with teacher and

lesson materials • Information is primary learning goal.

• Learning is conceptual; ideas are gleaned from facts

• Learning is connected to other areas of

curriculum • Uses concrete materials, quality

literature, and variety of resources. • Children are physically and mentally

active • Students interact with teacher, lesson

materials, and each other. • Students learn fact, solve problems,

make decisions, communicate and collaborate with others.

Sumber : Maxim, George (1995). Social Studies and The elementary School Child. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Secara rinci Sartono Kartodirjo (1993:120) menguraikan bahwa proses

rapproachment antara ilmu sejarah dan ilmu sosial diantaranya disebabkan oleh

tidak memuaskannya lagi sejarah deskriptif naratif untuk menjelaskan

masalah/gejala yang semakin kompleks, karena itu pula pendekatan

multidimensional atau social scientific diperlukan.

Seperti telah disampaikan Fenton (1996 :1) bahwa”…social studies teach

children how to think…”, dan dipertegas lagi oleh Hasan (1996:92) pendidikan

IPS bertujuan untuk mengembangkan ketrampilan berpikir, sikap, dan nilai

peserta didik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial dan budaya, maka

Page 18: tesis berfikir holistik

51

tentu juga hal ini menjadi tujuan dalam pelajaran sejarah. Ketrampilan berpikir

kesejarahan (historical thinking) juga menjadi tekanan yang perlu dikembangkan

bagi siswa dalam proses pembelajaran sejarah. Hal ini mengantisipasi dan

mengeliminir banyaknya temuan penelitian yang menggambarkan kelemahan

pendidikan IPS dan sejarah, di antaranya mengutamakan peran buku teks dan

fakta-fakta.

Di abad 21, pendidikan sejarah perlu diperbaharui untuk menyiapkan

generasi muda yang dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan masa depan,

karenanya tidak sesuai lagi dengan menekankan hanya pada hapalan fakta, tetapi

lebih menekankan pada aktivitas siswa dengan ketrampilan proses. Seperti

diungkapkan oleh Rose dan Nicholl (1997) bahwa tujuan utama belajar adalah

belajar bagaimana belajar, learn how to learn.

4. Landasan Filosofis - Konstruktivisme dalam Pembelajaran Berpikir

Kesejarahan

Di dalam proses pembelajaran terjadi interaksi yang berkesinambungan

antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru/siswa dengan lingkungan

baik di dalam maupun di luar kelas. Proses interaktif yang terjadi menempatkan

siswa terlibat aktif, mengembangkan pengetahuan, potensi, ketrampilan dalam

upaya mencapai tujuan pembelajaran. Di dalam prinsip-prinsip kegiatan belajar

mengajar (Depdiknas, 2002), didudukan posisi siswa sebagai subjek. Siswa

dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, dan bukan terpusat pada guru.

Secara lebih rinci prinsip pembelajaran yang dimaksud adalah sebagai berikut;

1. Berpusat pada siswa 2. Belajar dengan melakukan

Page 19: tesis berfikir holistik

52

3. Mengembangkan kemampuan sosial 4. Mengembangkan keinginan, imajinasi dan fitrah bertuhan 5. Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah 6. Mengembangkan kreativitas siswa 7. Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi 8. Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik 9. Belajar sepanjang hayat 10. Perpaduan kompetisi, kerjasama dan solidaritas.

Hal ini bertolak belakang dengan temuan di lapangan saat ini, karena

sebagian besar kegiatan pembelajaran sejarah memposisikan pebelajar/siswa

sebagai objek. Mereka menerima setumpukan fakta sejarah dan hasil interpretasi

guru terhadap fakta-fakta tersebut yang disampaikan pengajar. Pebelajar tidak

mendapat kesempatan untuk membangun dan memberikan interpretasinya

terhadap peristiwa masa lampau. Kondisi tersebut, seperti yang dikatakan Paulo

Fraeire (1984: 192), yaitu dehumanisasi pendidikan atau juga disebut oleh

Azumardi Azra dengan pendidikan gaya bank (The Banking Concept of

Education).

Ciri-ciri konkret pendidikan gaya bank adalah : (1) Guru mengajar, murid

diajar, (2) Guru mengetahui sesuatu dan murid tidak mengetahui apa-apa, (3)

Guru berpikir dan murid menjadi objek untuk dipikirkan, (4) Guru bercerita dan

murid patuh mendengarkan, (5) Guru menentukan peraturan dan murid diatur, (6)

Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui, (7) Guru

berbuat,murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, (8)

Guru memilih bahan pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan

diri dengan pelajaran itu, (9) guru mencampur adukkan kewenangan ilmu

pengetahuan dan jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid,

Page 20: tesis berfikir holistik

53

(10) guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, murid hanya obyek

belaka.

Penempatan murid seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia

yang terlahir sebagai subyek yang harus menunjukan keberadaannya ke dunia

secara bebas. Seperti juga dinyatakan oleh Ahmad Sanusi (1998 : 63) bahwa

belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, informasi tentang

fakta/konsep, tetapi lebih ditujukan untuk memperdalam dan membangun

pengertian atau mengembangkan wawasan makna.

Gerlach dan Ely (1980:41) menyatakan bahwa belajar melibatkan

keseluruhan diri manusia, yang dibagi dalam tiga bagian yaitu cognitive learning,

psychomotor learning dan affective learning. Tujuan dari cognitive learning

adalah untuk pengembangan kemampuan/ketrampilan intelektual, hal ini erat

pula kaitannya dengan peningkatan kemampuan pada aspek pengetahuan, baik

secara kuantitas maupun secara kualitas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka

berikut ini akan dikaji secara filosofis, baik secara umum maupun khususnya

terhadap pembelajaran berpikir.

Keraguan akan fungsi subjek dalam mendapatkan pengetahuan, dan

kedudukan objek dalam proses belajar ini kemudian berkembang terus hingga

muncul aliran konstruktivisme. Aliran ini menekankan pada keaktifan pebelajar

dalam membangun konsep-konsep, dan pemahaman atas objek yang

dipelajarinya. Jadi peranan subjek, tidaklah statis. Aliran ini sangat mendukung

untuk terbentuknya pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan, partisipasi

aktif pebelajar. Pengajar tidak satu-satunya sumber materi, dan tidak

Page 21: tesis berfikir holistik

54

mendominasi dalam proses belajar. Oleh karena itu dalam pembelajaran sejarah,

yang menginginkan adanya pengembangan ketrampilan berpikir kesejarahan juga

pemahaman kesejarahan, maka diperlukan suasana belajar yang memberi ruang

kepada pebelajar untuk melatih kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya.

Pengajaran yang mendasarkan pada konstruktivisme menampilkan ketrampilan

berpikir kritis dan menciptakan suasana siswa aktif dan penuh motivasi (Gray,

1997).

Untuk memperjelas keunggulan yang ada pada konstruktivisme ini, dapat

dilihat melalui perbandingannya dengan pendekatan pembelajaran tradisional,

seperti tertuang dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Perbandingan antara Konstruktivisme dan Pengajaran Tradisional

Traditional Pedagogy (Pengajaran Tradisional)

Construktivist Approach (Pendekatan Konstruktivisme)

Curriculum is presented part to whole, with emphasis on basic skills (Kurikulum disajikan dari bagian ke keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan dasar).

Curriculum is presented whole to part with emphasis on big concepts and questions (Kurikulum disajikan dari keseluruhan ke bagian, dengan menempatkan pada konsep-konsep besar dan pertanyaan-pertanyaan/masalah-masalah)

Strict adherence to fixed curriculum is highly valued (Kaku, menjalankan kurikulum yang berlaku)

Pursuits of students’question is highly valued (pertanyaan mahasiswa sangat dinilai)

Curricular activities rely heavily on textbooks and workbooks (kegiatan kurikuler bertumpu pada buku teks dan buku kerja)

Curricular activities rely heavily on primary sources of data and manipulated materials (kegiatan kurikuler bertumpu pada sumber data primer dan bahan-bahan yang disiapkan.

Students are viewed as “blank states” onto which the teacher etches information (Siswa dinilai sebagai kertas kosong)

Students are viewed as thinkers with emerging theories about the world (siswa dinilai sebagai pemikir )

Teacher generally behaves in a didactic manner, disseminating authoritative information to students (umumnya guru berperan sebagai pemilik otoritas penyampaian informasi)

Teacher generally behave in an interactive manner, facilitating discussion and mediating the environment ( Guru umumnya berperan sebagai fasilitator, mediator dalam kegiatan belajar)

Teacher seek the correct answer to validate student learning (Guru mencari jawaban benar dari hasil belajar siswa)

Teachers seek students’ points of view and understandings in order to develop subsequent lessons and questions (Guru mencari

Page 22: tesis berfikir holistik

55

pandangan dan pemahaman siswa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar)

Assessment of student learning is separate from teaching and occurs almost entirely through “objective” testing” (penilaian belajar siswa terpisah dengan pengajaran dan terjadi hampir keseluruhan melalui tes objektif)

Assessment is interwoven with and reinforces teaching:it occurs through direct observations and multiple, varied assignments, oral and written (Penilaian berkaitan dengan pengan penguatan dan pengajaran, melalui observasi, berbagai cara penilaian, lisan dan tulisan)

Students primarily work alone (Siswa bekerja sendiri)

Students often work and interact in various groups (siswa sering bekerja dan berinteraksi dalam berabgai kelompok)

Diadaptasi dari John Samsel dan Darryl Wimberley. 1997. Writing for Interactive Media: The Complete Guide. Dalam mark E Gabehart.1997. “Teaching, Learning and reform in Twenty-First 2000-2003. USA: Education Service Center.

Konstruktivisme sebagai suatu aliran dalam filsafat dikembangkan oleh

Giambastita Vico (1688), dan dalam pendidikan dikembangkan oleh Jean Piaget

(1896) yang disebut konstruktivisme kognitif (personal constructivism), serta

Vygotsky (1896) yang disebut konstruktivisme sosial (Suparno, 1997).

Konstruktivsme pada dasarnya adalah sebuah teori yang berdasarkan

pengamatan dan kajian ilmiah tentang bagaimana orang belajar. Hal ini juga

menunjukkan bahwa orang mengkonstruk pemahaman, pengetahuannya tentang

dunia melalui pengalaman dan merefleksikan pengalaman tersebut. Ketika

dihadapkan pada sesuatu yang baru, maka harus merujukkannya dengan ide,

pengalaman sebelumnya, sehingga mungkin merubah apa yang telah dipercayai,

atau mungkin juga membuang informasi baru karena tidak relevan dan harus

terus aktif membangun pengetahuan, untuk itu harus ada kegiatan bertanya,

menggali dan menilai apa yang diketahui. Di dalam kelas, menurut para

konstruktivis adanya sejumlah perbedaan praktik belajar, yaitu secara umum,

mendorong siswa untuk menggunakan teknik-teknik yang aktif untuk membangun

pengetahuan baru seperti experiments, real-world problem solving, dan kemudian

Page 23: tesis berfikir holistik

56

untuk merefleksikan serta membicarakan tentang apa yang dilakukan dan

bagaimana pemahaman mereka berubah. (Disney Learning Partnership.tersedia

dalam http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/month2 /index_sub4.html,

diakses tanggal 9-6-2004).

Bencze,J.L. (2003) menyatakan bahwa penekanan dari constructivism

adalah membangun, building atau constructing yang terjadi dalam pikiran

manusia ketika mereka belajar. Apa yang setiap orang lihat, sees atau observes

tergantung lebih pada apa yang sudah ada tersimpan dipikirannya. Hal ini berarti

bahwa belajar dari lingkungan, melalui pikiran adalah proses kegiatan aktif.

Dengan kata lain, masing-masing membangun a unique mental image dengan

mengkombinasikan informasi dalam pikiran dengan informasi yang diterima dari

indera (tersedia dalam http://tortoise.oise.utoronto.ca/~lbencze/Constructivsm.

html, diakses tanggal 9-6-2004).

Di dalam teori konstruktivisme penekanan diarahkan pada pebelajar,

daripada pengajar. Hal ini disebabkan, siswa yang berinteraksi dengan objek

atau peristiwa dan mereka juga memperoleh pemahaman dari hal-hal yang

melekat pada objek atau peristiwa tersebut. Siswa membangun sendiri konsep-

konsep dan solusi terhadap masalah. Di dalam konstruktivisme, otonomi dan

inisiatif siswa sangat diterima dan didorong.

Para penganut aliran konstruktivisme memandang belajar adalah hasil dari

suatu proses mental. Para siswa belajar dengan menyesuaikan informasi baru

bersama dengan apa yang sudah mereka ketahui. Selain itu, para konstruktivist

menganggap bahwa setiap orang akan mendapatkan hasil belajar terbaik ketika

Page 24: tesis berfikir holistik

57

mereka secara aktif membangun pemahamannya sendiri. Di dalam belajar

berpikir secara konstruktivis juga dipengaruhi oleh konteks dan kepercayaan,

sikap yang ada pada siswa. Siswa didorong untuk menemukan solusinya sendiri

dan mencoba.

Secara ringkas ada beberapa butir karakteristik konstruktivisme dalam

proses pembelajaran, yaitu:

• Menekankan pada belajar dan bukan mengajar (emphasises learning and not teaching ).

• Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa (encourages and accepts learner autonomy and initiative)

• Memandang belajar sebagai suatu proses (thinks of learning as a process • Mendorong keingintahuan siswa (encourages learner inquiry). • Mengakui peranan pengalaman yang kritis dalam belajar (acknowledges

the critical role of experience in learning ) • Menuntun siswa pada keingintahuan secara alami (nurtures learners

natural curiosity) • Dalam penilaian belajar, menekankan pada kinerja dan pemahaman

(emphasises performance and understanding when assessing learning) • Proses pembelajaran berdasarkan prinsip yang ada dalam teori kognitif(

bases itself on the principles of the cognitive theory) • Memperluas penggunaan terminologi kognitif seperti meramalkan,

menganalisis (makes extensive use of cognitive terminology such as predict and analyze)

• Mempertimbangkan bagaimana siswa dapat belajar (considers how the student learns)

• Mendorong siswa terlibat dalam dialog dengan siswa lain dan guru (encourages learners to engage in dialogue with other students and the teacher)

• Mempertimbangkan bagaimana keyakinan dan sikap siswa (considers the beliefs and attitudes of the learner )

• Memberikan kesempatan siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman yang otentik (provides learners the opportunity to construct new knowledge and understanding from authentic experience) (Bencze, 2003).

Elizabeth Murphy (Summer 1997, tersedia dalam http: //

www.cdli.ca/~elmuephy/emurphy/cle3.html, diakses tanggal 9-6-2004).

Page 25: tesis berfikir holistik

58

memaparkan beberapa butir ringkasan dari karakteristik pembelajaran

konstruktivis, di antaranya sebagai berikut;

1. Guru berperan sebagai pemandu, pemantau, pelatih, tutor dan fasilitator (Teachers serve in the role of guides, monitors, coaches, tutors and facilitators).

2. Siswa memainkan peranan sentral dalam memediasi dan mengontrol belajar (The student plays a central role in mediating and controlling learning)

3. Penggunanaan sumber data primer digunakan untuk meyakinkan kebenaran dan kompleknya dunia (Primary sources of data are used in order to ensure authenticity and real-world complexity).

4. Penekanan pada membangun pengetahuan dan bukan memproduksi ulang pengetahuan (Knowledge construction and not reproduction is emphasized)

5. Penekanan pada pemecahan masalah, ketrampilan berpikir level tinggi dan pemahaman yang mendalam. (Problem-solving, higher-order thinking skills and deep understanding are emphasized).

Kelas yang menerapkan konstruktivis memberikan siswa kesempatan-

kesempatan membangun pengetahuan dan pemahaman sebelumnya, untuk

membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman otentik. Siswa

diajak untuk menghadapi masalah dengan penuh makna disebabkan oleh konteks

kehidupan nyata mereka. Dalam memecahkan masalah, siswa didorong untuk

menggali kemungkinan-kemungkinan, menginventaris alternatif solusi, kolaborasi

dengan siswa atau nara sumber lain, mencoba ide dan hipotesis, memperbaiki

pikiran mereka, dan akhirnya menampilkan solusi yang terbaik.

Dalam constructivist theory yang dimaksud belajar adalah constructing,

creating, inventing and developing one's own knowledge (Marlowe dan Page,

1998 : 10). Para siswa diarahkan untuk aktif bertanya dan menginterpretasi materi

pelajaran dalam upaya mengembangakan pemahaman secara konsep. Dalam

Page 26: tesis berfikir holistik

59

kondisi ini, siswa belajar lebih mendalam, lebih komprehensif dan diingat lebih

lama.

Peran guru dalam konstruktivis sebagai fasilitator dan transmiter

(penyampai) pengetahuan. Sebagaimana Steffe dan Gale (1995 : 399)

mengungkapkan , "From a didactic perspective, a teacher is a presenter of

knowledge. From a discovery perspective, he or she is simply a provider of

experiences. In a constructivist approach, both these functions are combined."

Maypole dan Davies ( 2001), menemukan dari hasil penelitiannya,

Students’ Perceptions of Constructivism Learning in a Community College

American History II Survey Course, yaitu; (1) siswa merasa lebih percaya diri

dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya untuk membangun

interpretasi sejarah berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan informasi yang

baru di dapatnya; (2) Siswa mendapatkan kesempatan mengkaji bukti-bukti

sejarah dalam berbagai multiperspektif untuk membangun gambaran besar, dari

kompleksitas peristiwa sejarah; (3) siswa merasa lebih menyenangkan dan mudah

memahami dengan diberikan otonomi, kebebasan dalam memecahkan masalah;

(4) Siswa merasa mendapatkan hasil belajar lebih, karena penggunaan primary

sources yang konsisten dengan hakekat constructivism. Para siswa didorong untuk

berpikir kritis, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap sumber-sumber tersebut dan

membangun pengetahuannya sendiri; (5) ketrampilan berpikir kritis siswa menjadi

berkembang; (6) Siswa merasa senang dan termotivasi dalam melakukan tugas

sejarah lisan; (7) siswa merasakan pembelajaran dengan bentuk cooperative atau

collaborative learning (salah satu komponen constructivism) sangat

Page 27: tesis berfikir holistik

60

menyenangkan dan memberikan kesempatan mengembangkan kemampuan

komunikasi/presentasi; (8) meningkatkan rasa ingin tahu siswa atas suatu

topik/peristiwa sejarah; (9) ketercapaian siswa atas materi tidak jatuh, atau rendah

dibanding metode tradisional, (10) kelas yang menggunakan konstruktivsme

menuntut keterlibatan siswa yang tinggi dan berpikir kritis.

Michael Henry (2002) dalam tulisannya yang berjudul Constructivsm in the

Community College Classroom dalam jurnal The History Teacher, memberikan

hal yang sama dengan temuan Maypole dan Davies. Ditambahkannya bahwa

proses asesment dalam kelas yang berorientasi konstruktivisme adalah fokus pada

tulisan. Dalam tulisan tersebut siswa menunjukan penguasaan pemahamannya atas

materi sejarah dengan membangun argumentasi, penilaian, mengidentifikasi

berbagai pendapat-pendapat dan menggunakan bukti-bukti sejarah untuk

mendukung pernyataannya. Hal yang lebih penting dalam teori konstruktivisme

dalam pelajaran sejarah adalah siswa manapun melihat, menemukan secara

langsung bagaimana sejarah tersebut dan bukan hanya mendengar dari orang lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme memberikan

ruang yang sangat luas bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan

kemampuan berpikirnya. Mereka tidaklah dianggap kertas putih yang kosong,

mereka ditempatkan sebagai individu yang telah memiliki

pengetahuan/pengalaman dan dipercayai mampu untuk terus mengembangkan

pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimilikinya. Berkaitan tentang

pembelajaran sejarah yang berdasarkan pada konstruktivisme, maka sudah barang

tentu tidaklah menjadikan materi sejarah yang diberikan sebagai tafsiran mati atau

Page 28: tesis berfikir holistik

61

final. Tafsiran sejarah dan penilaian atas suatu isu sejarah bukanlah harus

diterima sebagai barang jadi dari dosen/guru, atau pelajaran sejarah yang hanya

untuk mengenang kemegahan dan kegagalan masa lampau.

B. Pembelajaran Berpikir dan Berpikir Kesejarahan 1. Pengertian Berpikir dan Ketrampilan Berpikir

Menurut Raths (1986: 3) berpikir adalah salah satu cara menemukan fakta-

fakta untuk suatu tujuan. Kemudian dengan belajar yang memiliki tujuan,

seseorang menjadi matang karena aktivitasnya diatur oleh tujuan tersebut.

Singkatnya, berpikir adalah sebuah cara belajar. Dalam kamus Webster’s

Twentieth Century Dictionary, edisi kedua, pengertian thinking, berpikir memiliki

sejumlah arti,yaitu “to bring the intellectual faculties into play: to use the mind

for arriving conclusion, making decisions, drawing inferences, etc: to perform

any mental operation, to reason. Sedangkan penjelasan arti kedua, dengan

kata”think’ yaitu,”to judge, to conclude, to device, to hold as a settled opinion, to

reflect, to weigh something mentally. Dapat dikatakan bahwa, berpikir adalah

kegiatan mental, proses kognitif seseorang terhadap fakta, data, informasi yang

diterimanya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, J.P Guilford (dalam Woolever dan Scoot,

1993 : 312) membagi kemampuan intelektual pada dua tipe, yaitu memory dan

thinking. Kemudian thinking pun dibagi menjadi tiga kelas, yaitu cognitive,

production dan evaluation. Production pun dibagi menjadi dua, yaitu convergent

thinking dan divergent thinking. Secara lebih rinci dapat digambarkan dalam

bagan berikut:

Page 29: tesis berfikir holistik

62

Gambar 2.2 Posisi Berpikir pada Kemampuan Intelektual

Menurut J.P Guilford (dalam Woolever dan Scoot, 1993 : 312)

Ketrampilan berpikir memiliki tempat yang sangat utama untuk menjalani

kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan warganegara. Lawson (1980.

x) menyatakan bahwa “Effective citizenship” tidak mungkin bisa diwujudkan

tanpa ketrampilan berpikir. Ditambahkannya pula bahwa seorang warga negara

yang baik adalah seseorang yang memberikan kontribusi secara efektif dan

bertanggungjawab terhadap berbagai isu dalam masyarakat terbuka dan mampu

mengambil peran di dalamnya. Untuk itu diperlukan ketrampilan berpikir, yang

menurut Gagne (1975:178) merupakan proses untuk menemukan kombinasi dari

sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru.

Ada empat ketrampilan berpikir, yaitu pemecahan masalah (problem

solving), membuat keputusan (decision making), berpikir kritis, berpikir kreatif

(Cohen, 1971; Presseisen:1985; Woolever dan Scooth, 1988). Semuanya

INTELLECTUAL ABILITIES MEMORY THINKING

COGNITION (DISCOVERY)

PRODUCTION CONVERGENT THINKING (CT) DIVERGENT THINKING (DT)

EVALUATION

Ability to discover relationships, patterns, and classes, problems and implications

Thinking is used to produce some end result. One correct answer (CT) No single correct answer or solution

Thinking is used to make decisions concerning the goodness, suitability, or effectiveness of the result of thinking.

Page 30: tesis berfikir holistik

63

bermuara pada ketrampilan berpikir tingkat tinggi, yang meliputi aktivitas seperti

analisa, sintesa dan evaluation (La Costa, 1985 :23).

Beberapa bentuk tahapan ketrampilan berpikir yang berkaitan dengan

penggunaan informasi, yaitu classify, interpret, analyze, summarize, synthesize,

evaluate information. Semua kemampuan itu sangat perlu untuk diberikan pada

siswa agar memiliki kesempatan mengembangkan ketrampilan berpikirnya.

Apalagi dalam pembelajaran sejarah, siswa dihadapkan dengan berbagai informasi

(Woolever dan Scoot, 1993 : 383).

Clark (dalam Stopsky dan Lee, 1994 :144) menguraikan adanya kategori-

kategori dalam berpikir, yaitu: Scanning and Focusing, Creating categories and

classes, Inducing propositions from fact, activating conceptual knowledge,

predicting and planning, developing procedures. Dapat dikatakan bahwa dalam

kegiatan berpikir terjadi kegiatan mental yang terus berkembang atas suatu

pengetahuan.

Sehubungan dengan perkembangan ketrampilan berpikir menurut Piaget

(Bybee dan Sund, 1982) bahwa ada faktor yang mempengaruhi perkembangan

mental (intelektual) seseorang, yaitu maturation, physical experience, social

experience dan equilibrium. Maturation atau proses pemasakan atau kematangan

seseorang adalah proses perubahan fisiologis dan anatomis seperti pertumbuhan

tubuh, otak dan system saraf. Berkaitan dengan fungsi otak sebagai pusat

ketrampilan berpikir, otak dapat dibedakan berdasarkan kedua belahan, kiri dan

kanan. Fungsi belahan otak kiri adalah untuk berpikir rasional, ilmiah, logis,

kritis, linier, analitis, referensial dan konvergen, yang terkait dengan kemampuan

Page 31: tesis berfikir holistik

64

berhitung, membaca dan bahasa. Sedangkan fungsi belahan otak kanan adalah

untuk berpikir holistik, non-linier, non verbal, intuitif, imajinatif, non referensial,

dan divergen (Woolfolk, 1995). Oleh karena itu pembelajaran yang terlalu

verbalistis dengan terutama menekankan segi hapalan dan persefsi kognitif saja,

tanpa memperhatikan perlunya experiential learning, akan kurang memberikan

kesempatan kepada kedua belahan otak tersebut untuk tumbuh secara harmonis

(Semiawan, 1992:22). Experential Learning ini dibentuk dari pengalaman-

pengalaman. Ada tiga bentuk pengalaman tersebut, yaitu physical experience,

social experience dan equilibration. Yang dimaksud dengan pengalaman fisik

(physical experience) adalah tindakan-tindakan fisik yang dilakukan individu

terhadap benda-benda yang ada di lingkungan sekitarnya. Aksi atau tindakan fisik

ini memungkinkan dapat mengembangkan aktivitas dan daya berpikir. Sementara

yang dimaksud dengan pengalaman sosial (social experience) adalah segala

aktivitas dalam hubungannya dengan orang lain.Seseorang dalam pengalaman

sosial bukan hanya dituntut mempertimbangkan atau mendengar pandangan orang

lain, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa ada aturan lain di samping

aturannya sendiri. Yang terakhir, equilibration, adalah proses keseimbangan yang

selalu ada dalam setiap orang, yaitu proses penyesuaian antara pengetahuan yang

sudah ada dengan pengetahuan baru yang ditemukannya.

2. Teori Kognitif dalam Pembelajaran Berpikir

Salah satu faktor yang menyebabkan permasalahan terjadi dalam

pendidikan sejarah adalah bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan

Page 32: tesis berfikir holistik

65

guru/dosen. Mengingat fungsi utama guru adalah mulai dari sebelum masuk kelas,

di dalam kelas hingga keluar kelas, yaitu merancang, melaksanakan dan

mengevaluasi pembelajaran (Gagne, 1975 : 4). Guru merupakan ujung tombak

dari semua konsep, gagasan, kebijakan, tujuan pendidikan nasional, lebih khusus

lagi tujuan pendidikan sejarah. Jika guru dianalogikan dengan sebuah tombak,

maka dia adalah tombak bermata dua. Satu mata harus memiliki ketajaman dalam

penguasaan materi dan hakekat ilmu yang akan diajarkannya, sedangkan satu

mata tajam lainnya adalah karena memiliki kemampuan/ketrampilan dalam

meramu dan menyajikan materi sehingga siswa/mahasiswa dapat belajar dengan

bermakna, serta memberikan kegunaan yang dapat dirasakan dari proses

pembelajaran yang diikutinya. Bayangkan bagaimana tombak ini mencapai

sasarannya, jika salah satu ujung tombaknya tumpul atau bahkan keduanya. Oleh

karena itu guru/dosen tidak hanya mampu menguasai materi/ilmu yang akan

diajarkan, tetapi juga mampu dan trampil dalam mengkondisikan pembelajaran

bagi siswanya.

Seperti apa proses pembelajaran berlangsung dapat menjadi salah satu

faktor ketidaktertarikan siswa terhadap pelajaran. Pelajaran yang dianggap terlalu

sukar, atau terlalu mudah dipahami peserta didik dapat memunculkan rasa bosan

pada mata pelajaran ini. Untuk itu salah satu hal yang perlu diketahui oleh guru

sejak awal sebelum melaksanakan pembelajaran adalah mengenal siapa dan

bagaimana tingkat ketrampilan berpikir peserta didik yang akan belajar di dalam

kelasnya. Dengan kata lain kealpaan guru dalam memahami dan mengkonstruk

Page 33: tesis berfikir holistik

66

pengetahuan serta ketrampilan berpikir peserta didiknya, akan berdampak kepada

hasil belajar yang dicapai.

Pada dasarnya ada banyak teori yang terkait dengan perkembangan

kognitif anak, ketrampilan berpikir anak dalam proses belajar. Salah satu di

antaranya, yaitu Teori Piaget, dikembangkan sesuai dengan nama penemunya

yaitu Jean Piaget (Swiss). Teori ini menyatakan bahwa proses belajar mengajar

terjadi apabila terjadi proses pengolahan data yang aktif di pihak yang belajar.

Pengolahan data yang aktif tersebut merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan

mencari informasi dan dilanjutkan dengan kegiatan penemuan-penemuan.

Dengan kata lain siswa dianggap sebagai subjek belajar yang aktif (Sigel dan

Cocking dalam Hasan, 1996 : 85). Teori ini berpendapat bahwa setiap orang telah

mempunyai kapasitas dasar intelektual (skema) yang berbeda satu sama lain dan

menjadi dasar untuk menerima hal-hal, informasi yang baru. Skema ini ini selalu

berkembang sesuai dengan kematangan bio-psikologis, pengalaman belajarnya,

lingkungan sosialnya. Jadi seseorang baru dapat dikatakan belajar kalau skemanya

berkembang.

Berkaitan dengan perkembangan skema tersebut, Piaget memberikan

adanya istilah asimilasi dan akomodasi. Menurut Ginn (1995 :2) bahwa asimilasi

adalah proses penyesuaian informasi yang akan diterima sehingga menjadi lebih

kepada sesuatu yang dikenal siswa. Caranya adalah dengan mengolah informasi

baru yang akan diterima sedemikian rupa sehingga memiliki kesamaan dengan

apa yang sudah ada dalam skema. Kesamaan- kesamaan tersebut menyebabkan

apa yang akan dipelajari mudah dicerna oleh siswa. Hal ini dapat disamakan

Page 34: tesis berfikir holistik

67

dengan apersepsi. Tahap berikutnya adalah akomodasi, yaitu proses penempatan

informasi ke dalam skema. Skema perlu disesuaikan dengan informasi tersebut.

Perkembangan skema tersebut tidak terlepas dengan kematangan bio-

psykologisnya, karena itu pula Piaget membagi tingkatan perkembangan kognitif,

ketrampilan berpikir menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat sensori motor (0-18

bulan), tingat preoperasional (18 bulan - 6 tahun), tingkat operasi konkret (7 – 12

tahun), tingkat operasi formal (13 tahun ke atas). Ketrampilan berpikir abstrak

baik yang induktif maupun deduktif baru baru bisa dimulai di usia 12 tahun ke

atas (SMP – SMA), sebelumnya di usia SD, siswa masih terbatas pada hal-hal

yang konkret, walaupun telah memilih struktur kognitif relatif stabil. Pada tahap

operasi formal, siswa tidak lagi memerlukan objek konkret dalam memecahkan

suatu masalah. Mereka akan terbiasa dan mampu memberikan gagasan-gagasan

abstrak dan hipotesa tentang beberapa sistem, hal secara bersamaan. Oleh karena

itu hampir sebagian besar siswa yang berada di jenjang sekolah menengah dan

tinggi mampu berpikir abstrak untuk melakukan investigasi kesejarahan (Hasan,

1996 : 86; Woolever and Scooth, 1988:40-41).

Piaget (dalam Cooper, 1992 : 13) mengungkapkan pula bahwa

perkembangan berpikir anak secara bertahap melalui tiga fase. Pada fase pertama,

anak hanya mampu memahami satu perspektif pada satu posisi waktu. Pada fase

kedua, tingkat ketrampilan berpikir anak dibatasi oleh observasi yang bersifat

realistis dan fase ketiga, anak sudah mampu mengembangkan kemungkinan

hipotesis. Secara rinci Piaget (Bybee dan Sund, 1982 : 137) juga memberikan

perbedaan pola berpikir antara tahap konkret dan formal, pada tabel berikut.

Page 35: tesis berfikir holistik

68

Tabel 2.3

Perbedaan Tingkat Pola Pikir pada Tahap Konkrit dan Formal menurut Piaget

Concrete Formal

Students require objects, events, or actions for logical reasoning. (Untuk penalaran logis siswa membutuhkan objek, kejadian ataupun kegiatan)

Students can reason abstractly without reference to concrete objects, event or actions (Siswa dapat berpikir secara abstrak, tidak seperti pada fase konkrit)

Conservations, class inclusion, ordering and reversibility are characteristic reasoning patterns (karaktersitik pola penalaran; pengamatan, keterlibatan kelas, urutan dan keterbalikannya)

Theoritical, prepositional, hypothetical and combinatorial reasoning patterns are characteristic (karakteristik pola penalaran secara teori, preposisi, hipotesis)

Students are unware of inconsistencies and mistakes reasoning (siswa tidak sadar pada ketidak konsistenan dan kesalahan penalaran)

Students are aware of inconsistencies and mistakes due to the use of mental checks and balances-reflective thought (sebaliknya dengan fase konkrit, bahkan dijadikan untuk berpikir reflektif)

Students need clear, sequential directions for long and detaild projects (Siswa membutuhkan kejelasan petunjuk kerja yang berurutan dan rinci)

Students can establish their own plans for long and detailed projects if given aims and goals (siswa dapat membangun sendiri perencanaan kerja kegiatan, jika diberikan tujuannya)

Menurut Bybee dan Sund (1982:33) pemahaman seseorang terhadap dunia

dikembangan melalui adaptasi mental secara terus menerus kepada perubahan

fisik dan lingkungan. Seperti yang ditemukan Piaget bahwa individu membangun

pemahamannya melalui proses interaksi aktif dengan lingkungannya. Manusia

tumbuh berkembang tidak saja secara fisik, biologis, tapi juga dalam pengetahuan

(Marlowe and Page, 1998 : 18). Perkembangan pengetahuan/pemahaman manusia

akan terus terjadi akibat adanya interaksi terus menerus dengan lingkungannya,

seiring juga dengan perkembangan fisik dan biologisnya.

Dengan mengenal tingkatan perkembangan kognitif anak dari Piaget,

maka seorang guru dari setiap disiplin ilmu dapat meramu sedemikian rupa

informasi, materi yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkatannya, secara

Page 36: tesis berfikir holistik

69

asimilatif dan akomodatif. Kemudian dari tingkatan berpikir Bruner (enactive,

iconic dan symbolic) maka para gurupun diminta untuk melihat dan memahami

struktur disiplin ilmu, kemudian melihat siapa audience atau peserta didiknya

sebelum menyusun rencana pembelajaran dan melaksanakannya di kelas.

Sehubungan dengan itu Bruner, mengemukakan bahwa ada tiga masalah yang

perlu diperhatikan dalam belajar, yaitu pentingnya arti struktur pengetahuan,

kesiapan belajar, menekankan perlunya motivasi dalam belajar (Bower, 1981 :

79).

Senada dengan hal tersebut Schug dan Berry (1992 : 52) kembali

mengingatkan anjuran Bruner bahwa dalam upaya untuk memahami suatu

pelajaran maka ditekankan pada “structures of academic disciplines”.

Menurutnya, dalam upaya untuk memahami suatu materi, mata pelajaran, maka

guru harus memegang ide-ide dasar dari struktur ilmu tersebut. Lebih lanjut

dikatakan,”…understanding conceptual structure encourages transfer of learning

which will allow for continual broadening and deepening of knowledge in terms

of basic ideas”.

Bruner juga mengingatkan para pengajar untuk mengenal siswanya

sebagai individu dengan segala kemampuannya yang harus dikembangkan dalam

proses pembelajaran. Siswa bukanlah seperti kendaraan kosong, melainkan dia

adalah sesorang yang memiliki kemampuan untuk berpikir, memaknai, baik

secara mandiri ataupun melalui percakapan dengan yang lain. Singkatnya siswa

dipandang sebagai pebelajar, orang yang belajar.

The child is not merely ignorant or an empty vessel, but somebody able to reason, to make sense, both on her own and through discourse with

Page 37: tesis berfikir holistik

70

others… capable of thinking about her own thinking, and of correcting her ideas and notions through reflection… The child, in a word, is seen as a learner. (Woolard, 2003). Dari tahapan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner

mengembangkannya dengan tiga tahap bentuk merangsang ketrampilan berpikir

anak yang menurutnya diperlukan dalam pengembangan kemampuan kognitif

anak, yaitu enactive, iconic dan symbolic. Jika di tahap enactive, anak

memerlukan “hands-on” material dan pengalaman langsung. Misal membuat

wayang, bangunan/model dari kertas atau benda lain. Selain itu juga bisa dengan

kegiatan fisik, seperti menari, menyanyi, memanjat atau juga bermain drama. Hal

ini sering diberikan pada anak di bawah usia 3 tahun hingga sekolah dasar. Pada

Iconic, diberikan rangsangan berpikir siswa melalui tampilan visual, seperti

gambar, peta, bagan, TV, peragaan dan juga karya wisata. Hal ini sesuai dengan

tahapan siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah. Pada level symbolic, siswa

akan sangat sesuai dirangsang belajar melalui kegiatan membaca buku teks,

literatur, studi kasus, menulis esay, kisah-kisah dan laporan-laporan, mendengar

penjelasan guru, nara sumber juga dari radio/kaset. Pada tahap ini sangat sesuai

dilakukan pada siswa yang berada di tingkat sekolah menengah (Woolever dan

Scooth, 1993: 43).

Dari semua teori yang dikemukakan Bruner, maka dapat disimpulkan

bahwa setiap disiplin ilmu dapat diajarkan pada semua jenjang pendidikan,

dengan catatan para guru/pendidik memahami bahwa setiap individu memiliki

tahapan perkembangan pengetahuan yang berbeda, sesuai dengan pertambahan

usianya, dan setiap jenjang tahapan perkembangan kognitif memiliki

Page 38: tesis berfikir holistik

71

cara/pendekatan yang berbeda dalam memahami pengetahuan, dan bahwa setiap

siswa memiliki ketrampilan berpikir mulai dari anak-anak hingga dewasa dan

perkembangannya secara terus menerus menuju ke tingkat berpikir lebih tinggi

(Spiral curriculum).

Selain itu juga guru harus memahami bahwa proses pemahaman terhadap

materi suatu mata pelajaran, misal sejarah akan dicapai dengan memberikan

struktur ilmu pengetahuan dan attainment concept. Senada dengan apa yang

tertuang dalam teori Bruner itu, Cooper (1992 : 2) juga menyatakan bahwa dalam

proses belajar hendaknya siswa dibawa dalam kondisi pembelajaran yang

memberinya pengalaman nyata dan langsung (concrete and direct experience).

Di dalam Taksonomi Bloom (dalam Sukmadinata, 2004) tentang tujuan

pendidikan atau kognisi, dalam tingkatan ketrampilan seperti Knowledge,

Comprehension, Application, Analysis, Synthesis, and Evaluation.

Tingkatan/hierarki dari aplikasi, analisis, sintesi dan evaluasi dikritisi oleh

ilmuwan lain, karena sulit dibuktikan dan dianggap dalam satu tingkatan. Revisi

dan pengembangan terhadap tahapan taxonomi Bloom oleh Lorin W. Anderson

dan David R. Krathwohl (dalam Sukmadinata, 2004 : 77-78) yaitu mengingat,

memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Sukmadinata (2004: 75) menekankan bahwa,”proses pembelajaran tidak terhenti

pada pengusaan pengetahuan (ingatan) dan pengertian (pehamanan), tetapi

dilanjutkan kepada tahapan yang lebih tinggi, aplikasi, analisis, evaluasi dan

kreativitas”. Pemahaman kesejarahan dan ketrampilan berpikir kesejarahan yang

Page 39: tesis berfikir holistik

72

ingin dicapai dalam penelitian ini, lebih menekankan kepada Comprehension,

Application, Analysis, Synthesis, and Evaluation.

Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan perkembangan kognitifnya, maka

mahasiswa calon guru sejarah, sudah selayaknya diberikan kemampuan

pemahaman maupun ketrampilan yang diperlukan dalam disiplin ilmu sejarah.

Mahasiswa didorong untuk mengembangkan wawasan, pemahaman dan

ketrampilan berpikir kesejarahannya.

3. Pembelajaran Ketrampilan Berpikir di Sekolah

Sehubungan dengan tujuan pengajaran yang dilakukan guru, mereka ingin

peserta didiknya memiliki kematangan berpikir yang dapat digunakan

menghadapi masalah yang kompleks dikehidupannya secara efektip. Sayangnya,

apa yang diinginkan berbeda dengan kenyataan yang ada. Data menunjukkan

bahwa sebagian besar peserta didik yang tamat sekolah, lebih mampu dalam

mengingat dan menghapal fakta, daripada kemampuan menggunakan

fakta/informasi tersebut untuk membuat penilaian terhadapnya, atau juga

terhadap masalah-masalah baru. Hasil pendidikan yang memberikan pengalaman

berpikir masih kurang. Singkatnya, retorika tentang berpikir sudah berkembang,

tetapi aplikasinya dalam pembelajaran di kelas masih jauh tertinggal. Hal ini salah

satunya disebabkan karena pendidik mengajar hanya untuk mempersiapkan siswa

mengerjakan tes, teaching to the test”. Kemampuan guru dilihat dari bagaimana

hasil jawaban siswa terhadap tes hasil belajar yang diukur. Sementara itu hasil

belajar siswa bukanlah diukur berdasarkan ketrampilan berpikirnya, melainkan

Page 40: tesis berfikir holistik

73

berdasarkan kemampuan mengingat kembali apa yang dia ingat dan dia baca. Hal

diuraikan lebih jelas oleh Wasserman,

…teacher’s competence is being assessed by pupil performance on such measures. Teaching for thinking is fine, in theory, and we want it. But in the real world, where pupils’ learning is measured, not by their competence as thinkers, but their ability to recall what has been heard and read” (Wassermann, 1986:xxi-xii). Menurut filosof John Dewey (http ://www. inquiry. Oiuc.

Edu/php/units.php3, 4-2-04) bahwa pendidikan dimulai dengan keingintahuan,

keragu-raguan siswa, menggunakan alur spiral inquiry, yaitu mengajukan

pertanyaan, investigasi solusi, mengkreasi pengetahuan baru dengan

mengumpulkan informasi, mendiskusikan penemuan dan pengalaman dan

merefleksikan pengetahuan yang baru di dapat.

Dengan kata lain, pengetahuan dan kualitas kemampuan guru turut

menentukan keberhasilan proses pembelajaran berpikir pada siswa. Selain itu

masyarakat juga menyetujui kalau berpikir adalah tujuan penting dari suatu

pendidikan dan hendaknya memang sekolah melakukan hal tersebut untuk

memberi kesempatan-kesempatan kepada siswa berpikir.

Terkait dengan bagaimana peran guru dalam mengembangkan ketrampilan

berpikir siswa serta, mewujudkan sekolah dan pengajaran yang efektif, dari

temuan Cohen dalam penelitiannya(1982 : 13-16), diantaranya adalah;

… effective schools emphasize basic academic skills, effective teachers have high expectations for all pupils, effective teachers diagnose learning problems, evaluate pupil progress and give feedback to pupils frequently.

Pendapat ini kembali mempertegas pendapat bahwa guru (dosen) memiliki posisi

yang strategis dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.

Page 41: tesis berfikir holistik

74

Menurut komisi kebijakan pendidikan Amerika, 1961, bahwa tujuan utama

pendidikan adalah mengembangkan kondisi kebebasan berpikir dalam diri setiap

siswa. Menurut komisi ini pula dalam mewujudkan kemampuan berpikir, maka

perlu melalui proses;

• recalling and imagining • classifiying and generalizing • comparing and evaluating • analyzing and synthesizing • deducting and inferring ( Lawson, 1980 : 2) Di samping itu ada lima belas cara yang dianjurkan kepada guru untuk

melakukan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa

untuk berpikir, yaitu: comparing, observing, summarizing, classifiying,

interpreting, criticizing, looking for assumptions, imagining, decision making,

designing project or investigations, coding, all or nothing, value statements,

qualifying words and phrases, attributions.

Dalam kaitannya dengan pengajaran berpikir, La Costa (1985 : 20 - 21)

mengklasifikasikan kegiatan tersebut pada tiga istilah, yaitu, teaching of thinking

(pengajaran berpikir), teaching for thinking (pengajaran untuk berpikir) dan

teaching about thinking (pengajaran tentang berpikir).

Pengajaran berpikir adalah pengajaran yang memfokuskan kegiatan

pembelajaran pada pembentukan, pengembangan ketrampilan berpikir. Sedangkan

pengajaran untuk berpikir adalah pengajaran yang diarahkan kepada penciptaan

situasi kelas yang mendorong pengembangan kognitif. Terakhir, pengajaran

tentang berpikir adalah pengajaran yang kegiatannya diarahkan pada upaya untuk

membantu peserta didik sadar terhadap proses berpikirnya.

Page 42: tesis berfikir holistik

75

Pentingnya pengajaran berpikir diakui juga oleh Tighe dan Schollenberger

(1985:3-6) yang memberikan adanya tiga alasan yang mendasari kepentingan

tersebut, yaitu: pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua,

adanya data dari Education Commision of the State (La Costa, 1985) yang

menunjukan bahwa persentase tingkat kemampuan perpikir tingkat tinggi peserta

didik menurun dari sebelumnya. Ketiga, adanya temuan yang menunjukan bahwa

proses pengajaran di kelas dengan informasi verbal. Hal ini juga dipertegas oleh

Woolever dan Scoot (1993:361) yang menyatakan,”…without instruction in

higher-level thinking skills, pupil will be unable to analyze, interpret, synthesize

and evaluate social studies content for meaningful decision making”.

Setiap manusia sejak lahir adalah sebagai manusia yang berpikir. Orang

tua, pendidik hanya merancang lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang

akan dimiliki siswa yang melatih dan menumbuhkan ketrampilan berpikir kritis.

Berpikir kritis adalah sebagai suatu pandangan hidup yang membuat siswa peduli

pada cara-cara yang memungkinkannya untuk menghadapi masalah (Stopsky dan

Lee, 1994:143-144).

Jika dilihat dari sejarah, pengembangan ketrampilan berpikir kritis ini

dimulai pada 2500 tahun yang lalu, yaitu dari pandangan dan praktik pengajaran

Socrates. Dengan metode bertanya (method of probing questioning).

Dikatakannya bahwa seseorang tidak boleh terikat atas suatu "authority" untuk

mendapatkan suatu pemahaman pengetahuan, sebaliknya dia harus memiliki

kekuatan dan posisi yang tinggi untuk membangun suatu pemahaman dengan

membangun pertanyaan, mencari bukti-bukti, asumsi, alasan-alasan, menganalisis

Page 43: tesis berfikir holistik

76

konsep-konsep dasar. Metode ini dikenal sekarang dengan nama "Socratic

questioning" dan dikenal pula sebagai strategi mengajar berpikir kritis. Metode ini

diikuti oleh Plato dan Aristoteles, yang menekankan bahwa sesuatu sering

sangat berbeda dari apa yang terlihat dan bahwa dengan melatih pikiran kita untuk

melihat apa yang bukan hanya pada gambaran permukaan, tetapi lebih jauh

melihat di dalam, di bawah permukaannya. Dalam sejarah perkembangan berpikir

kritis berikutnya, di abad pertengahan, dengan tokohnya Thomas Aquinas (sumna

theologica). Banyak tokoh besar lain yang menekankan ketrampilan berpikir kritis

ini seperti Francis Bacon, Descartes, Machiavelli, Hobbes dan John Locke, Robert

Boyle, Montesque, Adam Smith, John Dewey (http://www. Criticalthinking.

Org/university/cthistory.html).

Pada tahun 1906, William Graham Sumner menerbitkan karyanya

“Folkways” yang berisi tentang kondisi sekolah yang tidak memberikan

ketrampilan berpikir kritis. Sekolah yang demikian cenderung ortodok,

Dituliskannya” Schools make persons all on one pattern, orthodoxy…”.Oleh

karena itu Sumner menyampaikan perlunya ketrampilan berpikir kritis dalam

hidup dan dalam pendidikan. Pendidikan yang baik, adalah sejauh mana

kemampuannya menghasilkan orang-orang yang mampu berpikir kritis, dalam

kaitannya menjadi warganegara yang baik, sepert di dalam tulisannya,

The critical faculty is a product of education and training. It is a mental habit and power.. ... Education is good just so far as it produces well-developed critical faculty....Education in the critical faculty is the only education of which it can be truly said that it makes good citizens."(http://www.Criticalthinking. Org/ university/ cthistory. Html, 2-2-04).

Page 44: tesis berfikir holistik

77

Dalam sejarah berpikir kritis diawali dengan pertanyaan-pertanyaan

mendasar dari Socrates yang sekarang masih digunakan. Menurutnya, dalam

setiap domain berpikir manusia dan dalam setiap alasan dari setiap domainnya,

yang perlu diperhatikan dalam proses bertanya, antara lain: tujuan, pertanyaan,

sumber informasi dan fakta, metode dan kualitas pengumpulan data, bentuk

penilaian dan penalaran yang digunakan.

Dengan kata lain pertanyaan yang diarahkan pada kemampuan berpikir

menempatkan penalaran (reasoning) sebagai dasar dari berpikir kritis.

Ketrampilan bertanya memang bukan ada dengan sendirinya, melainkan perlu

pengarahan dan pembinaan. Para siswa perlu mendapatkan arahan bagaimana

mengajukan pertanyaan, seperti juga mereka butuh bimbingan dalam

mengembangkan ketrampilan berpikir kritis. Pertanyaan seperti apa yang dapat

menarik dan memotivasi siswa untuk berpikir? Ada empat hal yang penting dalam

mengajukan pertanyaan kepada siswa, yaitu;

1) Pertanyaan harus menarik bagi siswa, dan 2) Pertanyaan tersebut membawa penambahan ketrampilan berpikir, 3) Memiliki langkah-langkah yang masuk akal (dari pengetahuan atau pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya dalam kaitannya untuk kesiapan siswa menjawab dan membuat kesimpulan. 4) Pertanyaan harus dirancang untuk mengajak siswa melihat hal-hal khusus. Dengan menggunakan pikiran mereka sendiri, apakah refleksi gagasannya bagus atau tidak. ( http://www.Iss.Sttthomas.edu/studyguides/pbl.htm, 2/2-04).

Vincent Ryan Ruggiero (dalam http://www.iss.stthomas.edu /studyguides,

28-12-03) mengungkapkan bahwa kemampuan dan keberanian mengajukan

pertanyaan, adalah merupakan salah satu ciri dari seorang pemikir kritis. Di

bawah ini sejumlah karakteristik pemikir kritis, yaitu: mereka jujur terhadap diri

Page 45: tesis berfikir holistik

78

sendiri, mereka melawan manipulasi, mereka mengatasi kebingungan, berani

bertanya, mereka mendasarkan penilaiannya pada bukti, mereka mencari

hubungan antar topik dan bebas secara intelektual.

Moore (1986:12) mengungkapkan ada lima tahapan yang dilakukan dalam

pengajaran berpikir yang membuktikan bahwa adanya kaitan yang erat antara

kemapuan berpikir kreatif dan kritis. Tiga langkah yang pertama, merupakan

ketrampilan berpikir kreatif dan dua yang terakhir adalah ketrampilan berpikir

kritis.

• Mengenal dan mendefinisikan masalah (Recognition and defining of the

problem)

• Mengumpulkan informasi (The gathering of information)

• Menyusun kesimpulan sementara (Forming the tentative conclusions)

• Menguji kesimpulan sementara (The testing of these tentative conclusions)

• Menilai dan membuat keputusan (Evaluation and decision making (or

judment)

Terkait dengan penggunaan konstruktivisme di dalam kelas, maka siswa

tidak akan dapat membangun pengetahuan baru tanpa membuat penilaian

(reasoned judgment), dan dia tidak akan mampu melakukan penilaian tersebut

tanpa mengajukan pertanyaan yang bagus. Sementara di lapangan, siswa

dipersiapkan untuk mendapatkan jawaban yang benar, sehingga mereka

melupakan kebutuhan untuk bertanya dengan pertanyaan yang “benar”. Thomas

Holt (1990:26) menyatakan bahwa mengajukan pertanyaan,”…is part of the

process of learning about history. It is about the questions as well as answer”.

Ketrampilan bertanya ini akan membantu dalam mengembangkan ketrampilan

berpikir kritis

Page 46: tesis berfikir holistik

79

Robert H Ennis (2000) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah

berpikir secara reflektif dan masuk akal yang diarahkan pada suatu keputusan apa

yang akan dipercaya atau dilakukan. Definisi lain tentang berpikir kritis "(It is)

The art of thinking about your thinking while you are thinking in order to make

your thinking better: more clear, more accurate, or more defensible."

(http://www.Criticalthinking.Org/university/cthistory.html, 2-2-04).

Sigel (1984 :19) memberikan batasan berpikir kritis ini sebagai” active

process involving a number of denotabel mental operation such as induction,

deduction, reasoning, sequencing, classification, and the definition of

relationships” Karenanya adalah hal yang wajar dalam pembelajaran

dikembangkan kemampuan siswa untuk bertanya, memberikan alasan, dan

memecahkan masalah.

Sementara itu menurut Stopsky dan Lee (1994:141),” critical thinking

skills are best developed when student work in an environment that is open to a

multitude of possible ways to solve problems …”. Sehingga program sekolah

diarahkan untuk mengajarkan berpikir kritis ini kepada siswa secara bertahap. Hal

ini terkait pula dengan semakin kompleknya isu-isu yang ada dalam kehidupan

sehari-hari di sekitar kita.

Elder,L. dan Paul, R. (1994) mengungkapkan berpikir kritis sangat

dipahami sebagai kemampuan pemikir untuk mengisi, mengolah pikiran mereka.

Mereka mengembangkan kriteria-kriteria, standar-standar untuk menganalisa dan

menerima pikiran mereka dan menggunakan secara rutin kriteria dan standar

tersebut untuk meningkatkan ketrampilan berpikir mereka. Mampu membedakan

Page 47: tesis berfikir holistik

80

antara pernyataan dari sebuah fakta, pendapat dan rujukan adalah salah satu

ketrampilan penting dalam berpikir kritis. RIBUTES OF A CRITIC:

Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi/langkah-langkah dalam

berpikir kritis, adalah:

• Tentukan fakta-fakta dari situasi yang baru atau materi baru tanpa ada

prasangka Tempatkan fakta-fakta dan informasi tersebut dalam sebuah pola

sehingga dapat memahaminya.

• Terima atau tolak nilai-nilai dan kesimpulan berdasarkan pengalaman,

penilaian dan kepercayaanmu (Accept or reject the source values and

conclusions based upon your experience, judgment, and beliefs).

(http:// www. iss. Sttthomas.edu/ studyguides/crthk. htm, 2/2-04)

Di dalam proses belajar mengajar, berpikir kritis cenderung disesuaikan

dengan suatu proses berpikir yang terbuka dari suatu penemuan dan pemahaman

(discovery and understanding), analisis dan aplikasi (analysis and application),

sintesis dan evaluasi (synthesis and evaluation). (http://www.iss.Sttthomas.edu/

studyguides/crtck.htm, 2/2-04)

Mengajar siswa untuk jadi pemikir kritis adalah membuat suatu

lingkungan dimana siswa menjadikan andalan pengetahuan mereka dan

serangkaian pengalamannya, serta berusaha keras untuk memahami bagaimana

data dan informasi dapat digunakan untuk mengembangkan, mengenal,dan atau

mengkritik pola-pola umum pengetahuan. Kemampuan untuk berada dalam pola

belajar seperti ini tidak lepas dari bagaimana intelegensi siswa, yang oleh Howard

Gardner (2000) dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu; object related:

Page 48: tesis berfikir holistik

81

visual/spatial, body motion/kinesthetic, naturalist. Symbol-related:

verbal/linguistic, logical/mathematical, musical. Person-related: interpersonal,

intrapersonal, existential

Untuk mengaplikasikan ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan berpikir

tinggi di dalam kelas, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut;

• Pelajaran baru diperkenalkan dengan apa yang sudah diketahui siswa • Jelasnya rancangan tujuan dan langkah kerja dalam mempelajari materi

baru tersebut. • Konsep dan generalisasi digabungkan dalam proses belajar dan

kerangka kerja untuk pemahaman atas apa yang diajarkan. • Internalisasi pengetahuan adalah sebuah tujuan • Belajar tidak hanya dijabarkan oleh guru, tapi juga oleh siswa dan

materi dari berbagai bentuk media • Inquiry dan pertanyaan sebagai alat pengajaran • Menyajikan pembelajaran dalam suatu proses yang integrasi. • Kejelasan standar, tolok ukur dari evaluasi. (http :// www. iss.

Sttthomas.edu/ studyguides/crtck. htm, 2/2-04) Selain berpikir kritis, siswapun diarahkan untuk mengembangkan ketrampilan

berpikir kreatifnya. Berpikir kreatif adalah pelajaran yang penuh kontraversi dan

mitos (Woolever and Scoot, 1993:293). Ada empat komponen kemampuan dalam

berpikir kreatif ini, yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration dalam

mendapatkan, mengungkapkan gagasan dan tindakan (Torrance, 1996).

Dari uraian tentang ketrampilan berpikir kreatif di atas dapat disimpulkan

bahwa seorang pemikir kreatif memerlukan kemampuan melihat sesuatu dari

kacamata pikiran dan bukan dari kacamata biasa, berpikir secara metafora,

mampu mentransformasikan sesuatu ke sesuatu yang baru atau merubah satu ide

ke yang lainnya, mampu menggunakan satu objek dengan cara yang lain dan

mampu berintuisi.

Page 49: tesis berfikir holistik

82

4. Ketrampilan Berpikir Kesejarahan

Dalam kamus online “Wikipeda” dan “Science daily encyclopedia” (tersedia

dalam http://en.wikipeda.org/wiki/Historical_thinking dan http://www.

sciencedaily.com/encyclopedia/historicalthinking, diakses tanggal 13-1-2003)

dinyatakan bahwa berpikir kesejarahan didefinisikan sebagai seperangkat

ketrampilan berpikir yang menjadikan siswa harus belajar dari sejarah,”…that

students of history should learn as a result of studying history. Historical thinking

skills juga dikenal dengan sebutan historical reasoning skills.

Bruce A. Van Sledright (2003) dari College of Education University of

Maryland memberikan pengertian Historical Thinking, berdasarkan temuan

penelitiannya terhadap persepsi dan kemampuan mahasiswanya dalam

pembelajaran sejarah, yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul, “ On the

Importance of Historical Positionality to Thinking About and Teaching History”,

yaitu; …..historical thinking involves retelling the past essentially as it happened

based on what can be constructed from residue, traces, artifacts and texts dealing

with the past. Senada dengan itu beberapa pakar pendidikan sejarah di Amerika

Utara, memberikan batasan, … historical thinking as the capacity to recall events

that shaped (Van Sledright, 2003)

Apa yang dilakukan siswa dalam upaya untuk mengembangkan

ketrampilan berpikir kesejarahan pada prinsipnya adalah mengajak siswa

melibatkan kegiatan mentalnya dalam menganalisis, mengkritisi sebaran fakta,

informasi, catatan sejarah. Ketrampilan ini juga menuntut siswa mampu

mendengar, membaca narasi sejarah, dan mampu menjelaskan mengapa sesuatu

Page 50: tesis berfikir holistik

83

terjadi. Oleh karena itu kebutuhan akan artefak, dokumen, catatan sejarah sangat

diperlukan dalam membangun ketrampilan berpikir kesejarahan ini. Sebagaimana

dinyatakan oleh The Bradley Commission on History in Schools and the National

Standards for History, Amerika, di dalam Research precise, edition 02-2, fall

2003 (teresedia dalam http://designedinstruction.com/research/ briefed022.html,

diakses tanggal 1-3-2004) dinyatakan bahwa:

Historical thinking involves the exploration and analysis of historical documents, places, artifacts, and other records from the past…this requires that children thoughtfully listen to and read well-written historical narratives that reveal conditions, changes, and consequences, and that explain why things happened as they did. Analysis of the events described and the explanations offered, in tandem and in comparison with historical artifacts, records, and the human figures involved, brings a child's ability to "think historically" full circle.

Senada dengan paparan di atas, batasan ketrampilan berpikir kesejarahan

(historical thinking skills) yang tertuang dalam National Center for History,

Amerika (1994) yaitu,”… enable students to evaluate evidence, develop

comparative and causalanalyses, interpret the historical record, and construc

sound historical arguments and perspectives on which informed decisions in

contemporary life can be base”.

Dari kedua definisi tentang ketrampilan berpikir kesejarahan tersebut, hal

yang sama adalah bahwa dalam ketrampilan berpikir kesejarahan, peranan catatan

sejarah, dokumen, artefak sangat besar dalam mengarahkan siswa untuk

menganalsiis, menilai dan memberikan interpretasinya.

American Historical Association Commissions (dalam Wineburg, 2001:ix)

menyatakan bahwa peranan sejarah sebagai alat untuk mengubah bagaimana kita

berpikir. Pelajaran sejarah memberikan kesempatan kepada siswa untuk

Page 51: tesis berfikir holistik

84

mengembangkan ketrampilan berpikir selain pemahaman materinya. Seperti

disampaikan oleh Robin Coolingwood, …all history is the history of thought”.

Richard, L. Mumpford (1991), dalam artikelnya yang berjudul,”Teaching

History through Analytical and Reflective Thinking Skills” lebih menekankan

perlunya pendekatan dalam proses pembelajaran yang mendorong siswa

melakukan analisis atau berpikir kritis terhadap fakta-fakta sejarah, dibanding

mengarahkan siswa untuk mengingat semua fakta-fakta tersebut. Pendapat ini

juga dikuatkan oleh Peter Stearns (2003) bahwa,”…studying history not only

trains students to place events in historical perspective, it also develops research

skills and sharpens student analytical thinking.

Strategi berpikir kesejarahan atau terkadang disebut “historical habits of

mind” dan “discipline based analysis” oleh Husband (1996) biasanya meliputi

kegiatan analisis, sistesis dan evaluasi. Dalam pembelajaran sejarah, Historical

habits of mind atau discipline based analysis ini dilakukan dengan mencari

Three C’s (comparison, change dan causation), yang tertuang secara implisit

dalam empat terakhir dari lima tipe ketrampilan berpikir kesejarahan dalam

National Standard for History (1994). Secara lebih jelas kelima tipe ketrampilan

berpikir kesejarahan, dapat dilihat dalam tulisan di bawah ini.

Lebih lanjut dipaparkan pula bahwa untuk mendapatkan kecakapan dalam

ketrampilan berpikir kesejarahan, maka siswa harus dikembangkan

kompetensinya di dalam lima jenis ketrampilan berpikir kesejarahan (National

Standard for History,1994), yaitu:

1. Chronological Thinking (Berpikir Kronologis) a. Distinguish between past, present and future

Page 52: tesis berfikir holistik

85

b. Identify in historical narratives the temporal structure of a historical narratives or story

c. Establish temporal order in constructing historical narratives of their own d. Measure and calculate calendar time e. Interpret and presented in time lines f. Reconstruct patterns of historical succession and duration g. Compare alternative models for periodization

Di tahap ketrampilan berpikir kronologis, diharapkan peserta didik dalam

belajar sejarah memiliki kemampuan memahami waktu sejarah dan mampu

membedakan tiga dimensi waktu (lampau,sekarang dan yang akan datang ) dalam

rangka mengidentifikasikan urutan waktu dari suatu peristiwa. Selain itu

kemapuan peserta didik dalam mengukur waktu kalender, menginterpretasi dan

menyususn garis waktu, menjelaskan/membandingkan pola urutan dan waktu

suatu periode, dan pola kesinambungan dan perubahan.

2. Historical Comprehension a. Reconstruct the literal meaning of historical passage b. Identify the central question (s) the historical narrative addresses c. Read historical narratives imaginatively d. Evidence historical perspectives e. Draw upon data in historical maps f. Utilize visual and mathematical data presented in charts, tabels, pie and

bar graphs, flow charts, venn diagrams, and other graphic organizer g. Draw upon visual data, literacy and musical sources

Pada tahap kedua, ini peserta didik diharapkan memiliki kemampuan

membaca, memahami hasil narative sejarah secara imaginasi., mengidentifikasi

elemen-elemen struktur cerita sejarah dan mengembangkan kemampuan

menjelaskan peristiwa masa lalu melalui pengetahuan dan pengalaman yang

dimilikinya.Selain itu juga mampu menggambarkan peristiwa sejarah dalam peta

sejarah, dan bentuk-bentuk tampilan data lain, seperti grafik, tabel dan lainnya.

3. Historical Analysis and Interpretation a. Identify the author or source of historical documents or narratives

Page 53: tesis berfikir holistik

86

b. Compare and contrast deffering sets of ideas, values, personalies, behavior and institutions

c. Differentiate between historical facts and historical interpretations d. Consider multiple perspectives e. Analyze cause and effect relationshi and multiple causation, including the

importance of the individual, the influence of ideas and the role of change f. Challenge atguments of historical inevitability g. Compare competing historical narratives h. Hold interpretations of history as tentative i. Evaluate major debates among historians j. Hypothesize the influence of the past

Di tahap ketiga ini, kemampuan yang diupayakan dimiliki peserta didik

dalam kaitannya mengembangkan ketrampilan berpikir kesejarahannya, yaitu

membandingkan berbagai pengalaman, kepercayaan, motif, tradisi, harapan yang

berbeda dari masyarakat dengan berbagai ragam latarbelakang dan berbagai

variasi waktu dimasa lalu dan sekarang, kemudian menganalisis bagaimana

perbedaan tersebut mempengaruhi tingkah laku masyarakat, memiliki multi

perpepektif dalam melihat pengalaman manusia dalam data sejarah dan dalam

menganalisis kejadian sejarah; dan juga mampu membandingkan dan

mengevaluasi penjelasan-penjelasan sejarah.

4. Historical Research Capabilities a. Formulate historical questions b .Obtain historical data c. Interrogate historical data d Identify the gaps in the available records, marshal contextual knowledge and perspectives of the time and place, and construct a sound historical interpretation

Pada tahap ini , termasuk kemampuan merumuskan pertanyaan-pertanyaan

sejarah dari pertemuan-pertemuan dengan dokumen sejarah, artifak, foto,

mengunjungi situs sejarah, dan penjelasan saksi. Serta kemampuan mencari,

mendapatkan data, serta mendapatkan informasi dari data yang terkumpul. Selain

Page 54: tesis berfikir holistik

87

itu dikembangkan pula kemampuan menemukan kejanggalan atau jarak dari

beberapa catatan sejarah, dari waktu dan konteks dalam suatu artifak, dokumen

dan sumber lain serta membangun interpretasi kesejarahan.

5. Historical Issues-Analysis and Decision Making a. Identify issues and problems in the past b. Marshal evidence and anticedent circumstances and contemporary factors

contributing to problems and alternative courses of action c. Identify relevant historical antecedents d. Evaluate alternative courses of action. e. Formulate a position or course of action on an issue f. Evaluate the implementation of a decision

Di dalam tahap kelima dari ketrampilan berpikir kesejarahan, kemampuan

yang diupayakan muncul adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah

yang dihadapi manusia pada masa lampau, dan kemampuan menganalisis minat

dan pandangan masyarakat dalam situasi itu.serta mampu mengevaluasi apakah

keputusan atau tindakan yang diambil bagus dan mengapa, dan mampu membawa

perpektif sejarah yang berhubungan dengan pengambilan keputusan di masa

sekarang.

Berdasarkan hasil penelitian Lee (dalam Van Sleidrigh , 2003) tentang

berpikir kesejarahan pada anak-anak dan remaja, dia menyimpulkan

bahwa,”…historical thinking required the use of historical imagination”. Untuk

belajar berpikir kesejarahan, maka diperlukan imaginasi terhadap konteks sejarah

dalam kaitannya untuk membuat hal tersebut bisa diterima akal pikirannya. Untuk

pemikir kesejarahan pemula “novice historical thinkers”, Lee menyarankan guru

untuk mengembangkan imaginasi yang kemudian diteruskan pada empati. Dari

rasa yang dimiliki tersebut maka kemudian diarahkan kepada historical

undertanding terhadap bukti, dan peristiwa sejarah.

Page 55: tesis berfikir holistik

88

Ketrampilan berpikir kesejarahan ini juga memerlukan pengetahuan dan

pengalaman sejarah yang dimiliki sebelumnya, dalam kaitannya melakukan

analsis, menginterpretasi, memberikan penilaian, membuat analogi atas suatu

sumber sejarah/ dokumen (Winneburg, 2001 : 150).

Terkait dengan pembelajaran yang memberikan ketrampilan berpikir pada

peserta didik, menurut Stopsky dan Lee (1994:141) para pendidik tahu

kepentingan dari ketrampilan berpikir tahap tinggi/kritis dalam menghadapi

permasalahan dalam bidang kehidupan apapun, tetapi mereka masih kurang

pemahaman terhadap arti/makna dari ketrampilan berpikir kritis itu dan

bagaimana mengajarkannya. Hal tersebut terungkap dari penelitian Sternberg

(1987:196) yang melihat bagaimana esensi program berpikir tahap tinggi/ kritis

yang dilakukan guru. Menurutnya para guru memiliki asumsi yang keliru terhadap

upaya pengembangan berpikir kritis ini, diantaranya;

a. Guru adalah guru (pengajar), dan siswa adalah pebelajar. Seyogyanya

dipahami bahwa orang dewasa sebagaimana orang muda membutuhkan

pertolongan dalam mengembangkan cara efektip berpikir kritis. Guru,

sebagaimana siswa butuh pendidikan yang lebih jauh dan terus menerus dalam

berpikir kritis.

b. Berpikir kritis adalah pekerjaan siswa semata. Guru sering mencari paket-

paket program berpikir kritis yang diperuntukan bagi siswa, sehingga dia

terlepas dari beban untuk terikat pada berpikir kritis ini.

Page 56: tesis berfikir holistik

89

c. Hal yang sangat diperhitungkan adalah jawaban yang benar. Hal ini cenderung

membunuh upaya pengembangan berpikir kritis siswa, karena harus setuju

dengan jawaban yang benar.

Salah satu strategi penting yang dapat digunakan untuk mendorong

ketrampilan berpikir kritis adalah dengan susunan bahasa yang tepat dalam

mengajukan pertanyaan atau menyampaikan informasi. Sebagai contoh;

- Apa yang kau pikirkan tentang revolusi Amerika? (kurang tepat)

+ Bagaimana revolusi Amerika dapat merubah pemerintahan di negara kita?

(tepat)

Pembelajaran berpikir kesejarahan, (historical thinking; historical

reasoning; historical habits of mind; atau discipline based analysis) dapat

dilakukan dengan kerangka operasinya sebagai berikut (tersedia dalam

http://www.studiesfriend.ca/onhist, diakses tanggal 20 Mei 2003.)

1. Menguji bukti sejarah yang terkait dengan isu sejarah yng kontemporer atau yang controversial (Examine evidence relating to a controversial historical or contemporary issue)

2. Mengidentifikasi argumen-argumen dari berbagai sisi ( Identify the arguments advanced by various sides).

3. membedakan antara kejadian dengan pendapat (Differentiate between evidence and opinion).

4. menentukan nilai dan motivasi dari orang-orang yang terlibat (Determine the values and motivations of the people involved).

5. mencoba menentukan kredibilitas sumber informasi melalui pemahaman nilai dan motivasi penulis (Attempt to determine the credibility of source information by understanding the authors' values and motivations).

6. Menulis sebuah narasi sejarah dari suatu isu sejarah ( Write a narrative description (historical account) of the issue)

7. Menulis sebuah esay (Write an essay advocating a course of action).

Page 57: tesis berfikir holistik

90

Dalam kerangka seperti itu, siswa dilibatkan dalam kegiatan bertanya, ber-

inquiry, menginvestigasi dan memberikan interpretasinya terhadap sumber

sejarah. Mereka akan menyadari bahwa penilian sejarah bukan final, masih terus

diperdebatkan. Selain itu menyadari bahwa sejarah adalah rekonstruksi dari

kehidupan manusia.

Selain itu guru hendaknya mendorong siswa untuk mampu, berani

bertanya. Kemampuan siswa bertanya, akan mempengaruhi bagaimana dia dapat

melihat masalah tersebut dengan jelas. Kemudian guru harus ingat bahwa hal

yang paling adalah bagaimana proses siswa menyusun alasan-alasan dalam

memecahkan masalah, bukan pada hasil,solusinya.

Pada saat siswa berinteraksi dgn mengajukan pertanyaan kepada sumber-

sumber sejarah, maka mereka akan mengahadapi pemikiran-pemikiran dan posisi

yang rumit. Mereka akan bertanya kepada teman sekelas, guru dan lainnya.

Seringkali hal ini dihadapi jika pertanyaan yang diajukan terkait dengan isu-isu

baru yang tidak dapat dijawab secara jelas oleh bukti-bukti yang ada. Dalam

kondisi ini siswa berhadapan dengan “the messy world of historical

interpretation”." (Schuerman, 1998 : 10). Hal ini sesuai pula dengan tulisan

Ismaun (2001 :112) yang mengungkapkan bahwa dalam paradigma baru

pendidikan sejarah harus memberikan kesempatan kepada siswa bahwa cerita

sejarah yang ada merupakan hasil karya rekonstruksi para sejarawan, bukanlah

karya yang final.

Page 58: tesis berfikir holistik

91

Mary Ann Davies (2001) memberikan empat strategi dalam menggunakan

pertanyaan untuk membantu siswa menganalisa data, yaitu:

a. Memahami materi (Understand each piece of material). Pertanyaan harus

ditanyakan untuk meyakinkan bahwa materi itu dipahami. Pertanyaan harus

fokus pada pengetahuan dan pemahaman.

b. Menggali keterkaitan antar materi (Explore the inter-relatedness of materials)

Pertanyaan yang menguji keterkaitan antar materi dan menghubungkannya

dengan pengetahuan siswa sebelumnya.

c. Menggali bagaimana materi dapat diekspresikan melalui cara pemahaman lain

(Explore how the material might be expressed through other perceptual

modes) Pertanyaan harus memandu siswa dalam mengekspresikan data

melalui cara persepsi yang berbeda..

d. Menguji hubungan kronologis pada materi yang berbeda (Examine the

relationship of chronology to the various materials). Pertanyaan dapat berupa

sebuah puisi yang ditulis 50 tahun yang lalu.Mengapa dan mengapa tidak?

Tahapan ini terkait dengan berpikir kritis dan berpikir analisis. (http://www.

historycooperative.org/Journals/ht34.4/davies.Html. 1-2-04

Dalam belajar sejarah siswa diarahkan bukan mengingat semua fakta,

melainkan mampu menyusun suatu penalaran kesejarahan (historical reasoning).

Siswa dapat dirancang untuk berpikir kesejarahan. Pada pinsipnya semua siswa

dapat diajar bagaimana belajar mendapatkan kemampuan dasar dari setiap disiplin

ilmu. (http://www.Criticalthinking.Org/university/cthistory.html, diakses 5-2-04).

Page 59: tesis berfikir holistik

92

Mengingat belajar sejarah adalah sebuah pendekatan yang unik untuk membantu

mengorganisasikan belajar dari penglaman-pengalaman dan implikasinya.

(http:// ccs.mit.edu/LH/ overview.Html, 2/2-04)

Sehubungan dengan hal itu, kemampuan yang dapat dikembangkan oleh

siswa dari belajar sejarah antara lain:

a. Kemampuan untuk menilai bukti (The Ability to Assess Evidence). Mempelajari

sejarah memberikan pengalaman yang terkait dengan berbagai bukti, dan

memberikan penilaian. Para siswa bisa menggunakan macam-macam bukti yang

digunakan sejarawan dalam membentuk gambaran masa lampau dengan tepat.

b. Kemampuan untuk menilai interpretasi yang tidak sejalan (The Ability to

Assess Conflicting Interpretations)

Belajar sejarah berarti mendapatkan ketrampilan dalam melakukan seleksi

dari beragam interpretasi.

d. Pengalaman dalam menilai contoh-contoh perubahan di masa lampau

(Experience in Assessing Past Examples of Change).

Pengalaman dalam menilai contoh-contoh perubahan di masa lampau adalah

penting untuk memahami perubahan dalam masyarakat saat ini (Stanton

Burgess Turner,1987).

Tidaklah mudah untuk memahami bagaimana kehidupan manusia di masa

lampau, cara berpikir, berinteraksi, emosi yang melekat pada mereka saat

peristiwa tersebut terjadi. Hal ini mengingat jauhnya jarak mereka yang hidup di

masa lampau dengan kita yang hidup di era sekarang. Upaya yang bisa ditempuh

adalah dengan menempatkan pikiran kita kedalam pikiran mereka di masa

Page 60: tesis berfikir holistik

93

lampau. Robert Darnton (dalam Wineburg, 2001:10) mengungkapkan,’….and if

we want to understand their way of thinking we should set out with the idea of

capturing otherness…”. Ketrampilan berpikir kesejarahan membutuhkan

penyatuan atas dua sisi yang berlawanan, yaitu satu sisi kita telah memiliki pola

pikir yang sudah mantap karena sebuah warisan yang sulit dihapuskan. Kedua,

kalaupun kita mencoba untuk menghapusnya, kita akan mengalami pemahaman

kekinian yang kaku, yang membaca dari kekinian ke masa lampau. Dengan kata

lain cara pikir kita harus mampu mengkaji peristiwa sejarah secara sinkronik dan

diakronik.

5. Hubungan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan dengan Pemahaman Kesejarahan

Di dalam National Standard (1994: 2) bagi pendidikan sejarah di Amerika,

dinyatakan adanya dua standar yang harus dicapai oleh setiap siswa, yaitu

historical understanding (pemahaman sejarah) dan historical thinking skills

(ketrampilan berpikir sejarah). Pada tingkat berapa ketrampilan sejarah yang

dicapai sangat tergantung pula bagaimana tingkatan pemahaman kesejarahan.

Kondisi ini terlihat dalam bagan berikut ini.

Page 61: tesis berfikir holistik

94

Gambar 2.3 Hubungan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan dan Pemahaman Kesejarahan

(diadaptasi dari “Integrating Standars in Historical Understanding and Thinking”, National Standars for World History. 1994. National Center for History in the Schools, University of California, Los Angeles)

Standar pemahaman sejarah (historical understanding) dinyatakan dalam

National Standard for History,yaitu:

what student should know about the history of their nation and the world. These understanding are drawn from the record of human aspirations, striving, accomplishments, and failures in at least five spheres of human activity: the social, scientific/technological, economic,political,and philosophical/ religious/ aesthetic. They also provide students the historical perspectives required to analyze contemporary issues and problems confronting citizens today.

Hal senada juga disampaikan oleh Winneburg (2001:11)

mengungkapkan,”…the goal of historical understanding should be to “see

through the eyes of the people who were there”.

Ketrampilan berpikir kesejarahan sering pula digambarkan secara kontras

dengan sejarah yang berisi nama, tanggal dan tempat. Dikotomi ini sering disalah

interpretasikan, yaitu di antara pemahaman kesejarahan dan berpikir kesejarahan

GBU

BerpikirKesejarahan

(HT)

PemahamanKesejarahan

(HU)

BerpikirKesejarahan

(HT)

PemahamanKesejarahan

(HU)

Kompetensi DasarPencapaian Hasil Belajar

Keterangan :GBU: Gabungan Berfikir Kesejarahan dan Pemahaman Kesejarahan

Page 62: tesis berfikir holistik

95

sebagai satu keunggulan yang lebih dibanding yang lain. Nyatanya bahwa secara

umum pentingnya pengembangan ketrampilan berpikir dapat dilakukan jika

seseorang menggunakan isi/materi sejarah. Sebagian besar pendidik setuju untuk

menggunakan materi sejarah atau fakta-fakta sejarah dan ketrampilan berpikir

kesejarahan menjadikan siswa mampu menginterpretasi, menganalisa, dan

menggunakan informasi dari kejadian-kejadian masa lalu (dalam

http://www.sciencedaily.com/encyclopedia/historical_thinking, diakses tanggal

13-1-2003).

Van Sleidrigh (1996) menegaskan dari temuan penelitiannya bahwa posisi

berpikir kesejarahan (historical thinking) dan hubungannya dengan pemahaman

kesejarahan (historical understanding) yaitu bahwa Historical thinking Acts

challenge understanding. Tindakan membangun berpikir kesejarahan adalah

upaya membantu siswa membangun pemahaman kesejarahannya.

C. Model Pembelajaran Berpikir Kesejarahan

1. Pengertian Model Pembelajaran

Joice dan Weil (2000) menyatakan bahwa model pengajaran

sesungguhnya adalah juga model belajar. Dikarenakan di dalam model pengajaran

untuk menolong peserta didik mendapatkan informasi, gagasan, ketrampilan,

nilai-nilai, cara berpikir dan mengajar siswa bagaimana untuk belajar.

Model pembelajaran adalah juga kerangka konseptual yang

menggambarkan prosedur, langkah-langkah dalam mengorganisasikan,

memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman belajar untuk mencapai

Page 63: tesis berfikir holistik

96

tujuan belajar yang diharapkan, yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi para

pengajar untuk kegiatan aktivitas belajar mengajar.

Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran tidak lepas juga dengan

penggunaan strategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran yang dapat

digunakan dalam kegiatan pembelajaran ada yang berpusat pada pengajar (teacher

centered) dan yang berpusat pada peserta belajar (student centered) (Abdulhak,

2000:43). Pada awal kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa “student

centered”, maka peran pengajar lebih besar dibanding peserta belajar, tetapi

secara perlahan diarahkan kepada peran peserta didik yang lebih besar dan

pengajar berperan sebagai fasilitator. Di dalam hubungan antara peran pengajar

dengan peserta belajar, digambarkan Sudjana (2000:30) seperti di bawah ini.

Tinggi Akhir

Awal

Rendah Tinggi

Gambar 2.4

Hubungan antara Peranan Pengajar dan Peserta Belajar

Di dalam pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa, sangat memberikan

pengaruh positif terhadap kreativitas siswa, konsep diri, sikap terhadap sekolah

dan keingintahuan..

Intensitas peranan pengajar Intensitas peranan peserta

Page 64: tesis berfikir holistik

97

2. Model-Model Pembelajaran Pengembangan Ketrampilan Berpikir

Pada dasarnya pendekatan pembelajaran memiliki penekanan yang berbeda

dalam proses pembelajarannya. Ada yang lebih menekankan pada siswa, yaitu

ketrampilan berpikir, aktivitas, pengalaman siswa, sedangkan yang fokus pada

guru, yaitu fungsi, peran dan aktivitas guru. Selain itu ada juga yang fokus pada

masalah, yaitu masalah personal, sosial, lingkungan, dan yang fokus pada

teknologi, yaitu sistem informasi, media, sumber belajar dll. Walaupun penekanan

komponen dalam pembelajaran tersebut berbeda, tetapi komponen-komponen

tersebut, seperti siswa, guru, materi, tujuan, sarana, lingkungan, pengelolaan

belajar tetap terkait (Sukmadinata, 2004:194). Ada tiga komponen utama dalam

pengajaran berpikir, yaitu tujuan pembelajaran, prosedur pembelajaran, serta

prosedur evaluasi. Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri dan saling

terkait (Nickerson, 1985:329).

Bagaimana prosedur pengajaran yang baik? Menurut Karplus and Arnold,

(1982 : 40), prosedur pengajaran yang baik adalah yang menyediakan aktivitas

belajar dimana setiap siswa mendapatkan tantangan dan keberhasilan sesuai

dengan tingkat berpikirnya. Hal ini dipertegas lagi oleh Piaget (dalam Gedler,

1981:191) bahwa adanya tes baku yang hanya mengukur sejumlah informasi yang

dapat dihapal siswa tidak mencerminkan pengetahuan siswa yang sesungguhnya.

Piaget lebih mengedepankan proses, kebebasan berpikir. Pengetahuan bukanlah

suatu hasil akan tetapi suatu proses. …For Piaget the continuous interaction

between the individual and the environment is knowledge. That is, knowledge is a

process, not a thing. Singkatnya dapat dikatakan bahwa menurut Piaget, hal yang

Page 65: tesis berfikir holistik

98

terpenting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana seseorang itu

memperoleh pengetahuan dan bagaimana mereka menggunakan pengetahuan itu

untuk berperilaku lebih efektip (Bower dan Hilgard, 1986 : 421).

Secara rinci langkah-langkah kegiatan belajar mengajar di dalam kelas

dalam kaitannya untuk mengembangkan ketrampilan berpikir tahap tinggi,yaitu

sebagai berikut.

• Fase pendahuluan Mengulang materi hari sebelumnya, dan tugas pekerjaan rumah membangun jembatan ke materi yang baru dengan advanced organizers

• Presentasi materi Gunakan pertanyaan dengan metode Socrates

• Tugas dan diskusi kelompok kecil • Tahap refleksi atau penerapan materi baru atau • Laporan-laporan • Ringkasan/latihan-latihan/pengembangan/aplikasi/demonstrasi

aktivitas.(tersedia http://www.iss.Sttthomas.edu/studyguides/crtck.htm (diakses tanggal 2-2-04)

Adapun teknik-teknik yang dapat membantu dalam melakukan pembelajaran yang

mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:

• Questioning: Strategi dengan mengajukan pertanyaan –pertanyaan di kelas.

• Problem-based learning: belajar berdasarkan masalah yang sebenarnya atau yang disimulasikan

• Thinking aloud: mendemonstrasikan ketrampilan berpikir melalui masalah, teks-teks/dokumen. Model pembelajaran yang menekankan pada proses pengembangan ide, gagasan, solusi dan lainnya.

• Cooperative conflict resolution • belajar dengan catatan kemajuan/fortofolio • Ilustrasi konsep, dengan contoh-contoh dari pengalaman siswa sendiri

yang berkorelasi dengan konsep dan aplikasinya. Kemudian memberikan umpan balik kepada siswa. (tersedia dalam http://www.iss.Sttthomas.edu/studyguides/crtck.htm, 2/2-04)

Page 66: tesis berfikir holistik

99

Secara komprehensif, pembelajaran yang memenuhi unsur-unsur belajar

mencari-bermakna, pembelajaran yang berdasarkan pengalaman dan konteks

kehidupan mahasiswa serta menempatkan mahasiswa sebagai subjek dalam

pembelajaran, memberikan belajar secara kooperatif, mengarahkan kepada

pengajaran berpikir tingkat tinggi, dan menggunakan konteks lingkungan

kehidupan mahasiswa tercakup juga dalam pendekatan pembelajaran kontekstual

(Contextual Teaching Learning). Dalam pendekatan ini para guru/dosen

mengarahkan peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota

keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003 :1).

Terkait dengan pembelajaran yang mengembangkan ketrampilan berpikir

siswa, Howey (1998) mengungkapkan, “Contextual Teaching and learning (CTL)

emphasizes higher-level thinking, knowledge transfer, collecting, analyzing, and

synthesizing information and data from multiple sources and

viewpoints”.Ungkapan lain yang senada dengan itu, yaitu: Contextual Teaching

and Learning emphasizes higher level thinking, knowledge transfer across

academic disciplines, and collecting, analyzing and synthesizing information and

data from multiple sources and viewpoints. (tersedia dalam :

http://depts.washington.edu/wctl/definingctl.htm).

Page 67: tesis berfikir holistik

100

3. Pendekatan Holistik dalam Pembelajaran Berpikir

Sebelum diuraikan lebih dalam mengenai pendekatan holistik dalam

pembelajaran berpikir, maka disampaikan terlebih dahulu tentang esensi

pendekatan ini secara umum. Penerapan pendekatan holistik tidaklah hanya pada

bidang pendidikan, tetapi juga di bidang lain. Di bidang kesehatan, misalnya,

terdapat salah satu klinik anak di Amerika yang menamakan “The Holistic

Approach for Child Health” Klinik ini mengoptimalkan keterlibatan keluarga

pasien, lingkungan social pasien dan pasien itu sendiri dalam mendiagnosa

penyakit dan proses penyembuhannya. Para medis secara kontinyu dan terbuka

memberikan kesempatan pada pasien untuk tahu dan memilih jenis

terapi/pengobatan yang diinginkan. Di bidang lain, yang menggunakan

pendekatan holistik ini seperti manajemen inovasi, transportasi, ecology dan

bahasa. Secara umum didapat “benang merah” dari pendekatan holistik ini yaitu

upaya mengatasi suatu hal, atau menganalisis sesuatu dengan melibatkan berbagai

elemen/komponen yang ada dan memprioritaskan “objek” untuk menjadi subjek.

Setiap tujuan atau permasalahan yang dicapai/dihadapi, dalam pandangan

pendekatan ini berbalik menjadi dasar pemikiran untuk melihat elemen terkait,

lingkungan sekitar, pendapat yang ada agar tujuan/masalah yang dihadapi menjadi

jelas ketercapaian, dan kebermaknaannya.

Jack Miller (dalam Johnson, 2005), seorang pakar teori dan praktik

pendidikan holistik, menyatakan bahwa pendidikan holistik adalah sebuah filsafat

pendidikan yang terkait erat dengan pandangan transformative. Belajar dimaknai

Page 68: tesis berfikir holistik

101

terjadi jika pengalaman belajar telah melibatkan diri siswa, orang sekitar dan

lingkungan. Fokus pembelajaran adalah untuk menolong siswa melihat sesuatu

secara keseluruhan, tidak bagian per bagian. Penekanan yang sama dalam

pendekatan pendidikan holistik ini adalah juga menolong guru agar dapat melihat

siswanya sebagai keseluruhan sosok manusia, bukan hanya pada hasil skor dan

penampilan akademik. Secara lebih jelas berikut definisi pendidikan holistik yang

disampaikan Jack Miller (dalam Johnson, 2005),

Pendidikan holistik merupakan kegiatan eksplorasi dan membuat keterhubungan, dan menghindari pembagian-pembagian bahasan. Focus pendidikan holistik adalah hubungan antara berpikir linear dan intuisi, antara pikiran dan tubuh, antara beragam ranah pengetahuan, antara individu dan masyarakat, dan hubungan antara individu dengan individu lainnya.

Jika menurut Miller, prinsip saling keterhubungan “interconnectedness” dalam

pendidikan holistik maka menurut Narve (dalam Johnson, 2005), prinsip utama

dalam pendekatan pendidikan holistik yaitu keseluruhan “wholeness”. Lebih jelas

berikut ungkapan Narve.

” the principle of wholeness,which holds that everything in the universe is

interconnected to everything else. Everything that exists is related in a context of interconnectedness and meaning, and any change or event affects everything else. The whole is more than the sum of its parts. This means that the whole is comprised of relational patterns that are not contained in the parts.Therefore, a phenomenon can never be understood in isolation.

Ditambahkan oleh Johnson (2005) dalam bukunya yang berjudul “Making

Connectedness in in Elementary and Middle School Social Studies” bahwa satu

hal yang terpenting dalam prinsip belajar holistik adalah tidak bisa

dipisahkannya antara, mengajar dan pengalaman belajar. Setiap manusia

memiliki kemampuan untuk berpikir reflectif, berimajinasi, intuisi, emosi dan

Page 69: tesis berfikir holistik

102

berkreasi. Hal inilah yang juga menjadi pemikiran pendidikan secara umum, dan

pembelajaran IPS khususnya.

Dalam pendekatan holistik di pendidikan IPS terdapat tiga esensi

keterhubungan dengan dasar bahwa IPS dan kurikulum lain dapat digunakan

untuk memahami keterhubungan pada, pertama, individu itu sendiri,

“ intrapersonal connections” (aktualisasi diri, inteligen, emosi, imajinasi dan

lainnya). Kedua, keterhubungan dengan orang lain, Interpersonal connections

(empati, memahami nilai-nilai kemanusiaan, ketrampilan social dan lainnya).

Ketiga, saling keterhubungan ”Interconnectedness” (melihat dunia sebagai

keseluruhan, memahami adanya saling memiliki keterkaitan dan keterhubungan

pengalaman-pengalaman).

Para pendidik yang berdasarkan holistik mempercayai bahwa manusia

adalah sosok yang kompleks yang memiliki banyak lapisan pengertian.

Sebagaimana dikatakan oleh Johnson (2005),”

We are biological creatures. We are ecological creatures. We have a psychological dimension, an emotional dimension. We live in an ideological environment, a social and cultural environment, and we have a spiritual core. We are very complex creatures because of the interactions of all these different meanings.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka pembelajaran holistik mengiringi

perkembangan keseluruhan siswa, dan cenderung untuk menjadikan siswa

mampu mendekati secara kritis pada konteks budaya, moral, politik dan lainnya

dalam kehidupan siswa.

Page 70: tesis berfikir holistik

103

The Holistik Education Network of Tasmania (tersedia dalam

http://.neat.tas.edu.au/HENT, diakses tanggal 29 Juni 2006) memberikan

beberapa elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran holistik, yaitu

a. pembelajaran memperhatikan pertumbuhan setiap intelektual, emosional, fisik, potensi kreativitas dan spiritual individu.

b. Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan mendorong rasa tanggungjawab personal dan kelompok.

c. Memperhatikan minat/keinginan siswa untuk memahami sesuatu. d. Menjadikan siswa mampu memahami berbagai konteks baik yang

mempengaruhi atau dipengaruhi dalam hidupnya atau yang membentuk dan memberikan makna kehidupan.

e. Lehig mementingkan pengenalan dan pemahaman atas keseluruhan konteks dibandingkan dengan fakta-fakta.

f. Tidak membatasi nilai-nilai spiritual, non sectarian dalam mengkaji sesuatu.

Dari uraian tentang pendekatan holistik dalam pendidikan, pembelajaran

dan lebih khusus dalam pembelajaran IPS, diketahui bahwa pendekatan ini sangat

memperhatikan sosok individu dan keterhubungannya dengan orang lain, dan

lingkungan sekitarnya. Kebebasan berpikir yang didasari oleh pengetahuan dan

pengalaman belajar, ditempatkan sebagai dasar utama dalam mengembangkan

kemampuan berpikirnya.

Ruggerio dalam bukunya Teaching Thinking Across The Curriculum

(1988 : 17-50) memberikan tahapan pembelajaran yang memberi kesempatan

kepada peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kritis dan

kreatif. Pendekatan yang ditawarkan oleh Ruggerio ini disebut dengan

“Pendekatan Holistik dalam Pengajaran Berpikir – The Holistik Approach to the

Teaching of thinking”. Menurut dia, ada dua keuntungan pembelajaran yang dapat

diperoleh, jika model pembelajaran holistik ini dirancang baik, yaitu;

Page 71: tesis berfikir holistik

104

(1) A holistik model embraces both the production and evaluation of ideas and present students with one coherent, sequential approach to productive thinking. (2) A holistik thinking model fits a broader range of thinking situations than does a creative model or a critical model.

Ada lima tahapan dalam pendekatan ini, yaitu terdiri dari Exploration,

Expression, Investigation, Production dan Evaluation/refinement. Pada tahap

eksplorasi, siswa diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memulai

melakukan analisis terhadap masalah/isu. Hal ini dimulai dengan mendorong rasa

ingin tahu dengan mendengarkan, membaca, menuliskan, mengamati, dan juga

dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa masalah ini seperti ini, mengapa dia

berkata begitu dan sebagainya. Selain itu juga dengan ungkapan perasaan kecewa,

atau menyedihkan. Misal peristiwa ini tidak berjalan dengan semestinya, mestinya

begitu, atau ucapan tokoh itu tidak semestinya begitu, seharusnya begini.

Mengapa muncul masalah dan apa akibat masalah tersebut. Kata tanya yang

digunakan dalam tahap ini adalah mengapa (why). Mengapa ini begini, mengapa

tidak begitu.

Di dalam pelaksanaan tahap ini pengajar diminta untuk mampu

menimbulkan rasa ingin tahu dalam upaya memecahkan masalah/isu dengan cara

membaca, mendengar atau mengamati karya, proses sesuatu hal yang terjadi di

dalam kehidupan manusia, termasuk gagasan-gagasan yang ada pada setiap

manusia.

Pada tahap ekspresi, adalah upaya menemukan cara terbaik menyatakan

pemikiran, secara tertulis sejelas dan sebanyak mungkin dengan kalimat

“bagaimana bisa?” dan memilih pemikiran yang telah dihasilkan. Kata Tanya

Page 72: tesis berfikir holistik

105

yang sesuai dengan tahapan ini adalah apakah (what). Apakah esensi dari

isu/masalah ini?

Pada tahap investigasi, adalah mencari, menghimpun informasi yang tepat

untuk memecahkan masalah (sendiri, berpasangan, teman sekelas, guru, ahli atau

buku). Kata Tanya yang digunakan adalah bagaimana (how). Bagaimana sumber-

sumber informasi yang terkait didapat.

Pada tahap produksi ide, adalah menyampaikan hasil pemecahan dengan

cara, memberi respon yang tak lazim, menggunakan asosiasi bebas,

menggunakan analogi, kombinasi yang tak lazim, visualisasi hasil pemecahan,

argumentasi pro-kontra dan membuat skenario yang sesuai. Pertanyaan yang

diajukan dalam tahap ini adalah,” what techniques will you use to generate good

ideas?

Di tahap terkhir, evaluasi/penyempurnaan, adalah memberikan respon

yang tepat terhadap pemecahan masalah. Pertanyaan yang dikembangkan adalah,

what is your central ideas, your fundamental stance.

Secara singkat dalam pembelajaran pendekatan ini dilakukan dengan cara;

pada tahap eksplorasi, peserta didik diarahkan untuk mengidentifikasi masalah,

rasa ingin tahu terhadap masalah. Pada tahap ekspresi, menemukan cara terbaik

menyatakan pemikiran secara tertulis terhadap masalah yang ditentukan. Pada

tahap investigasi, peserta didik diarahkan untuk mencari bukti, informasi

selengkap-lengkapnya dari berbagai sumber untuk memperkuat dan mempertegas

jawaban yang diberikan, secara individu atau kelompok. Pada tahap produk ide,

peserta didik dimotivasi untuk memberikan alternatif jawaban sebagai hasil

Page 73: tesis berfikir holistik

106

pembahasan atas permasalahan, pada tahap ini peserta didik diarahkan untuk

mengembangkan potensinya baik yang bersifat imajinasi ataupun konkrit. Tahap

terakhir, evaluasi dan penyempurnaan, peserta didik diarahkan untuk memilih,

menilai alternatif-alternatif jawaban dan memberikan penyempurnaan terhadap

hasil pilihan tersebut.

Pendekatan holistik ini, dalam setiap tahapan mendorong pebelajar untuk

menggunakan pengetahuan dan pengalaman lampaunya yang kemudian dengan

secara aktif sendiri atau bersama kelompok dipandu oleh guru menemukan dan

membangun pengetahuan, konsep-konsep dari materi yang diajarkan. Dalam

kegiatan ini kesempatan pebelajar untuk mengembangkan ketrampilan

berpikirnya. Model Pengajaran berpikir dengan pendekatan holistik ini, adalah

satu pilihan yang mempertemukan pengajaran berpikir kritis dan kreatif, dengan

tiga kegiatan kegiatan utama berpikir yaitu mengambil keputusan, pemecahan

masalah dan analisis isu (Ruggiero, 1988: 2).

Pendekatan pengajaran berpikir yang dikemukakan oleh Ruggerio ini, juga

berhasil digunakan oleh Dirk Morrison (2003) dalam artikelnya di Canadian

Journal of learning and Technology, yang berjudul “ Using Activity Theory to

Design Constructivist Online Learning environments for Higher Order Thinking:

A Retrospective Analysis”. Dari hasil penelitiannya terhadap pembelajaran

konstruktivis dengan menggunakan komputer, untuk mengembangkan

ketrampilan berpikir tahap tinggi, pendekatan ini sangat sesuai.

Dari hasil penelitian Purwadi (2000) ditemukan bahwa model

pembelajaran berpikir dengan pendekatan holistik yang disusun Ruggeiro (1988)

Page 74: tesis berfikir holistik

107

dapat meningkatkan ketrampilan berpikir mahasiswa. Hasil pengembangan model

tersebut, menambah langkah dalam model tersebut menjadi enam, yaitu orientasi,

sebagai langkah awal.

Berkaitan dengan proses memahami sejarah secara holistik, maka

penggunaan berbagai perspektif dan faktor yang mempengaruhi kehidupan

manusia menjadi bagian yang harus dikaji. Theodore H. Von Laue

(http://courses.Ncsu.edu/clases/hi300000/history.htm, 5-4-04) menyatakan ada

empat hal yang perlu diperhatikan dalam memahami sejarah,yaitu

First, I urge you to see how the past fits into the present and foreseeable future. History makes no sense unless it is integrated into the dynamics of the contemporary world. Secondly, you should appreciate the totality of factors that shape human development, including climate and geography, which are insufficiently emphasized by historians. Thirdly, I hope you will realize how cultural conditioning shapes your individual subconscious. Then, you will have to accept the fact that much of your life is predetermined by global pressures that roll over all linguistic, ethnic, and cultural diversities; building your future is determined by factors beyond your control.

Faktor-Faktor yang ada mempengaruhi kehidupan manusia termasuk juga

pengaruh alam, geografi, budaya dan tekanan tuntutan zaman, globalisasi

merupakan bagian dari materi yang dibicarakan untuk memahami bagaimana

kesinambungan dari peristiwa masa lampau menuju kekinian dan masa depan.

Tahapan-tahapan dalam pendekatan holistik ini, jika dirujukan dengan

esensi dari pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, model pembelajaran

induktif (rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi) dan beberapa

strategi pembelajaran sejarah, seperti yang tertuang dalam sub berikut ini sangat

sesuai, karena memberikan kemampuan mahasiswa berpikir kritis, kreatif,

menggunakan informasi dari dokumen primer sejarah dalam proses

Page 75: tesis berfikir holistik

108

merekonstruksi atau juga memberikan penilaian. Kegiatan ini pun

mengembangkan ketrampilan berpikir divergen, serta multipersfektif.

Dari uraian di atas dapat digambarkan adanya pertalian yang erat antara

konstruktivisme dan pendekatan holistik dalam proses pembelajaran, yaitu:

• kegiatan pembelajaran lebih dikondisikan untuk siswa belajar, bukan

bagi guru untuk mengajar

• kurikulum disusun dan dilaksanakan dengan mengedepankan

pemberdayaan siswa dalam berpikir, mengolah informasi dan

menilainya.

• Penggunaan sumber utama (primary sources), sebagai dasar untuk

membangun sendiri pengetahuan baru, dan cendrung tidak menerima

“barang” pendapat/tafsiran yang sudah disusun guru atau penulis

buku.

• Memberikan kesempatan besar kepada siswa untuk melatih

kemampuan berpikir tahap tinggi.

• Pengembangan materi tidak dilakukan untuk dihapal (fakta-fakta),

melainkan cenderung menyeluruh, multiperfektif dan multidisiplin.

• Kegiatan pembelajaran lebih mengarah pada kegiatan belajar bersama,

agar keragaman pendapat kaya dalam proses membangun pengetahuan

baru.

• Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam berbagai bentuk dan jenis.

Page 76: tesis berfikir holistik

109

4. Model-Model Pembelajaran Sejarah

Tantangan dari mata pelajaran sejarah saat ini dan ke depan, menuntut

guru berperan lebih besar. Soedjatmoko (1976:15) mengingatkan para guru

sejarah agar membuang cara-cara mengajar sejarah yang mengutamakan fakta

sejarah saja. Hal ini dikuatirkan tidak membawa siswa kepada pengembangan

berpikirnya. Sementara itu dengan pengembangan ketrampilan berpikir yang terus

meningkat, siswa akan mampu melihat hal-hal di lingkungan kehidupannya

dengan kritis.

Menurut Garvey dan Krug (1977 : 2) ada lima hal yang dicapai dalam

pembelajaran sejarah yang terkait erat dengan bagaimana proses pembelajaran

dilakukan yang menekankan pada aktivitas siswa, yaitu pertama, “ to acquire

knowledge of historical facts” (untuk mendapatkan pengetahuan tentang fakta-

fakta kesejarahan). Hal yang sangat lama sudah diketahui bahwa setiap orang

dianggap belum mempelajari sejarah jika belum bisa menyebutkan beberapa fakta

sejarah yang ada di dalam sejarah bangsanya. Bentuk pencapaian ini adalah paling

mendasar dalam belajar sejarah. Oleh karena itu para guru sejarah cenderung

kemudian memberikan fakta-fakta sejarah dan menjadi wajib bagi siswa

mengetahui dan menghapalnya. Sehingga para gurupun terjebak dalam anggapan

bahwa tugas pokok guru sejarah adalah memberikan fakta sejarah. Maka seperti

yang sebagian dialami siswa adalah mencatat dan menghapalkan tahun-tahun

peristiwa. Akibat lebih jauh masuk kelas bukan karena ingin mendapatkan uraian

cerita peristiwa sejarah melainkan karena takut diabsen saja. Selebihnya pelajaran

tersebut membosankan dan tidak menantang karena fakta-fakta sejarah tersebut

Page 77: tesis berfikir holistik

110

cukup dihapal saja. Hal inilah yang dikuatirkan oleh para pakar pendidikan

sejarah, bahwa pelajaran sejarah menjadi kering. Diperparah dengan banyaknya

pendapat bahwa siapapun dapat mengajar sejarah (karena hanya memberikan

fakta sejarah).

Merujuk hal tersebut pembaharuan pembelajaran perlu dilakukan.

Keterlibatan murid yang lebih aktif. Berkaitan dengan hal ini Sartono Kartodijo

(1970), pernah mengungkapkan bahwa

apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pedidikan maka harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta maka akan menjadi steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah

Tentu saja dalam belajar sejarah atau menjadi sejarawan, pengetahuan

tentang fakta-fakta sejarah adalah hal yang mutlak. Di dalam belajar-mengajar

sejarah, peran bukti, fakta-fakta sangat penting, dikarenakan kegunaan bukti/fakta

akan menjadikan penelusuran, investigasi masa lampu lebih memungkinkan.

Mengajar siswa dengan menggunakan bukti sejarah dapat mengajak siswa melihat

bagaimana jalannya masa lampau dan kemudian mengajak siswa untuk lebih

peduli dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, di sekitarnya saat ini

dan kemungkinan masa depan (Lee, 1984 : 4-5). Seperti juga yang diungkapkan

oleh Jarolimek dan Parker ( 1993 : 125),”program pembelajaran hendaknya dapat

membangun jembatan psikologi atau keterkaitan dengan masa lampau melalui

serangkaian pengalaman yang direncanakan”. Disarankan oleh mereka untuk

memberikan kesempatan kepada siswa,” opportunity to examine objects of

historical significance, opportunity to talk with older people of the community,

…”. (1993 : 126).

Page 78: tesis berfikir holistik

111

Keutuhan pemahaman sejarah tidak akan bisa dibangun tanpa mengenal

lebih dulu apa saja fakta sejarah yang ada. Kemudian diperluas hingga membantu

siswa menangkap konsep sejarah bahkan ke generalisasi. Dalam proses ini tentu

saja guru sejarah diminta untuk menyiapkan kondisi belajar yang memenuhi

tujuan belajar.

Kedua, to gain an understanding or appreciation of past evens or periods

or people (untuk mendapatkan pemahaman atau penghargaan terhadap kejadian-

kejadian, orang pada masa lampau). Dalam konteks ini, ungkapan “belajar sejarah

akan membuat orang menjadi bijaksana” dan tentu banyak lagi ungkapan para

sejarawan, politisi, pendidik dan bahkan dalam kitab suci Al-Qur’an

menyampaikan pesan kegunaan/kepentingan dari belajar tentang peristiwa

manusia masa lampau, tetapi adalah tidak mudah untuk memahami peristiwa yang

telah lampau tersebut, jika tidak ditumbuhkan ketrampilan berimaginasi,

berempati terhadap peristiwa tersebut. Diharapkan peristiwa masa lampau dapat

dilihat secara utuh, keseluruhan, tetapi bukti dan fakta sejarahnya belum didapat

maka kemampuan anilisis, imajinasi diperlukan. Para siswa sulit mendapatkan

kemampuan tersebut jika pembelajaran di dalam kelasnya hanya menyampaikan

fakta-fakta sejarah saja, melalui convensional method, teacher centered approach.

Model pembelajaran yang ditawarkan oleh Judy Mackinolty,

menggunakan Primary sources (2001 : 135), dan Garvey dan Krug (1977) seperti

picture study, document study, simulation and drama, bisa juga dengan

memberikan pemahaman sejarah melalui kegiatan mendengar “student listen”

oleh Bryan Cowling, “student read” oleh Tom Marshall dan tentu banyak lagi.

Page 79: tesis berfikir holistik

112

Sepanjang pembelajaran tersebut memberikan bekal kepada siswa untuk mampu

melihat masa lampau secara keseluruhan dengan berimajinasi dan ber empati.

Sehingga siswa dapat rangkaian peristiwa dari masa lampau, ke masa sekarang

dan akan datang.

Ketiga, to acquire the ability to evaluate and criticize historical writing

(untuk memiliki kemampuan mengevaluasi dan mengkritisi penulisan sejarah).

Selain penggunaan buku sejarah, metode yang digunakan juga menetukan untuk

menumbuhkan kemampuan siswa mengevaluasi dan mengkritisi penulisan

sejarah. Salah satunya adalah model yang ditawarkan oleh Garvey dan Krug, yaitu

text book study (1977 :54 – 63). Dikatakan oleh Gravey dan Krug bahwa dengan

menggunakan buku teks maka diharapkan siswa akan memiliki; reference skills,

comprehension skills, analytical and critical skills, imaginative skills dan note-

making skills (1977 : 59-60).

Pada siswa di jenjang pendidikan rendah, kegiatan mengevaluasi dan

mengkritisi penulisan sejarah dilakukan secara bersama dan diarahkan oleh guru

melalui tanya jawab atau dengan lembaran pertanyaan. Misal betulkah nama kota

yang ada ditulisan itu, apakah sekarang nama kota tersebut tetap sama? Darimana

penulis memberitahukan bahwa kerajaan tersebut ada di kota X? Apakah tahun

kejadian peristiwa tersebut, kronologis? Mungkinkah seorang raja berkuasa

ratusan tahun? Apa yang dimaksud dengan raja yang sakti mandraguna? Tentu

masih banyak pertanyaan sederhana yang dapat mebantu siswa mengkritisi tulisan

sejarah.

Page 80: tesis berfikir holistik

113

Pada siswa di jenjang pendidikan lebih tinggi tentu dapat dilakukan mulai

dengan menganalisis fakta/peristiwa sejarah dari sumber primer, sekunder hingga

buku teks. Lalu menghubungkannya dengan peristiwa kini dalam kaitan dengan

konsep perubahan dan kesinambungan (change and continuity). Selain itu,

diberikan tugas membandingkan hasil karya tulisan sejarah dari beberapa penulis,

dan diminta siswa untuk melihat sumber penulis, cara penulisan, apakah penulis

lebih berpihak atau netral.

Sebagai contoh, situasi belajar sejarah yang ada di sekolah menengah

Seattle, Amerika. Melalui kajian terhadap kebijakan Amerika pada masa

pemerintahan Abraham Lincoln dengan menggunakan sumber primer, yaitu teks

pidato Abraham Lincoln dan oposannya, dalam upaya untuk memahami peristiwa

sejarah yang dihubungkan dengan peristiwa, isu kekinian, seperti ‘prejudice,

racism, tolerance, fairness and equity’. Para siswa berpikir kuat, untuk

memahami pikiran Abraham Lincoln dan lawan politiknya terkait dengan konsep-

konsep tersebut. Pada saat mencoba memahami teks tersebut dengan konteksnya,

para siswa dengan bimbingan pertanyaan guru melatih ketrampilan berpikir

kesejarahan, seperti interpretasi data, membangun suatu pemahaman dari sebuah

naskah sejarah, menganalisis, mengevaluasi dan memberikan solusi, keputusan

pada suatu tema/konsep yang dibicarakan (Winneburg, 2001: 18-22).

Keempat, to learn the techniques of historical research (untuk belajar

teknik-teknik penelitian sejarah). Mempelajari teknik teknik penelitian sejarah,

seperti mengumpulkan data (a search of sources) atau dikenal dengan heuristic,

menguji, mengkritisi data yang didapat (internal dan eksternal), penulisan dan

Page 81: tesis berfikir holistik

114

interpretasi (historiografhi) (Lucey, 1984 : 19 – 26; Sjamsuddin, 1996 ; Garvey

and Krug, 1977 : 9) tentu tidak bisa dicapai dalam satu kali pelajaran. Seyogyanya

para guru sejarah sudah membawa siswa untuk belajar teknik-teknik penelitian

sejarah sejak di jenjang pendidikan rendah. Tentu saja bagi siswa di jenjang

pendidikan lebih tinggi sudah lebih mudah karena tahapan perkembangan

kognitifnya sudah bisa diajak berpikir analisis, abstrak. Sedangkan bagi

mahasiswa sudah tidak ada keraguan lagi untuk memberikannya pengetahuan

how to be a real historian. Senada dengan hal ini, Hunt, J A Appleby (1994)

menyebutnya dengan “the heroic model of science”, atau disebut juga dengan

“historical inquiry” menurut Hartzler Miller C (2001).

Sebenarnya jika dilihat pada tiga tradisi dalam social studies, yang

dikembangkan oleh NCSS untuk pendidikan dasar dan menengah. Maka pada

tradisi kedua “ social science”, adalah suatu bentuk pembelajaran social studies

yang juga berkeinginan untuk membentuk warganegara yang baik dengan

penguasaan “mode of thinking from social science discipline; that this mode of

thinking is generalizable; and having learned it, he will understand properly,

appreciate deeply, infer carefully, and conclude logically (Barr, Barth, Shermis,

1978 : 23 –24). Di dalam tradisi ini dipercaya seorang warga negara yang baik

ditandai dengan kemampuanya dalam melihat dan mengatasi masalah-masalah

sosial di sekitarnya dengan menggunakan pemahaman prosedur atau cara kerja

ahli-ahli ilmu sosial. Lebih lanjut juga diungkapkan oleh Barr dan kawan-

kawanya dalam buku “The Nature of Social Studies” yaitu,

… if student acquires the habit of mind and the thinking patterns associated with a particular social science discipline, he will become more

Page 82: tesis berfikir holistik

115

discriminating, make better personal as well as social policy decisions, and ultimately understand the structure and the process of our society (1978 : 71).

Di jenjang pendidikan rendah, siswa dapat juga diajarkan sejarah sebagai

disiplin ilmu sosial, dengan kata lain menjadikannya sejarawan kecil.

Cooper (1992 : 59) memberikan uraian pelajaran sejarah pada kelas

rendah, dengan tema “ME (saya)”. Anak mencari jawaban tentang dirinya kepada

orang tuanya, neneknya juga melalui gambar-gambar dirinya sehingga didapatlah

hasil sejarah “ME (saya)” tersebut dengan kronologis yang tepat dan time line

yang baik.

Gravey dan Krug menyarankan model pembelajaran dengan menggunakan

sumber-sumber primer atau juga field- project dapat membelajarkan siswa tentang

teknik-teknik penelitian sejarah. Bagi Jenjang pendidikan lebih tinggi, siswa dapat

diarahkan menjadi sejarawan kecil dengan discovery method, pembelajaran

inquiry terhadap sejarah di lingkungannya. Misal sejarah desa/kotanya, atau

Mesjid besar, tua di kotanya. Sedangkan bagi mahasiswa tentu sudah lebih luas

dan lebih kompleks lagi.

Kelima, to learn how to write history (untuk belajar bagaimana menulis

sejarah). Jika pemahamannya terhadap teknik-teknik penelitian sejarah, maka

tentu kemampuan dalam menulis sejarah ikut serta di dalamnya. Karena tugas

sejarawan belum berakhir, jika belum sampai tahap penulisan sejarah. Membekali

siswa memahami cara penulisan, tentu diiringi dengan menyiapkan siswa untuk

rajin membaca. Jika sering dia membaca karya sejarah, maka tentu memiliki

bahan penulisan yang memadai dan mengenal cara-cara penulisan yang baik. Bagi

Page 83: tesis berfikir holistik

116

siswa latihan menulis sejarah, dapat diawali dengan ketrampilan membuat catatan

“note-making” melalui membuat ringkasan dari suatu bacaan seperti yang

dianjurkan Garvey dan Krug. Tetapi tentu hal ini bukan diartikan seperti kegiatan

catat buku sampai habis, melainkan siswa diarahkan, dilatih membuat catatan

dengan melihat apa inti utama setiap paragraf, lalu menggaris bawahi kalimat

pokok yang menjadi main idea dalam paragraf tersebut. Sehingga dengan

memahami struktur penulisan mulai dari setiap paragraf hingga buku maka siswa

akan dapat membuat satu paragraf dan kemudian lebih banyak. Maka dalam tugas

yang diberikan untuk membuat satu tulisan sejarah tentang desa/kotanya, siswa

telah memahami bagaimana menuliskannya. Bisa juga dengan latihan menuliskan

untuk book riview, book repots, Journal article riviews, Journal article reports

dan the term paper (Gawronski, 1969 :32-33).

Dari hasil penelitiannya, Winneburg ( 2001) mengungkapkan bahwa

perlunya penggunaan dokumen dalam pembelajaran sejarah tidak dapat diragukan

lagi, karena dapat mewujudkan belajar dan berpikir kesejarahan. Penggunaan

dokumen di dalam pembelajaran sejarah memberikan ketrampilan kepada siswa

dalam mengajukan pertanyaan kepada data-data yang ada tersebut. Seseorang

tidak dapat membangun pengetahuan baru tanpa membuat suatu penilaian yang

beralasan, dan penilaian ini tidak bisa dibuat tanpa mengajukan pertanyaan yang

baik. Sayangnya, siswa sering lebih cenderung untuk menyusun jawaban yang

benar yang mengabaikan keperluan untuk bertanya dengan pertanyaan yang

benar. Berkaitan dengan hal tersebut Thomas Holt (1990 : 26) menyatakan "is

Page 84: tesis berfikir holistik

117

part of the process of learning about history. It is about the questions as well as

answers."

Jerry J Watson (1991) menemukan bahwa siswa kelas empat dan lima,

dapat membaca dan mengikuti alur novel kesejarahan yang menceritakan tentang

petualangan anggota keluarga, anak dari kehidupan keluarga yang terpisah dari

suatu periode sejarah. Para siswa tidak mendapat kesulitan mendapatkan

penjelasan tentang bagaimana trauma psikologi dari keluarga yang terpisah, anak

yang terpisah dengan orang tuanya, serta karakter-karakter dari tokoh novel

kesejarahan yang dibacanya tersebut. Sementara itu Levstik (dalam Meyer, 1998)

menyimpulkan dari studi kasus yang dilakukannya, bahwa penggunaan novel

kesejarahan sangat menarik minat siswa belajar sejarah dan memperkaya narasi

kesejarahan mereka, dan mampu melihat bagaimana konflik kehidupan manusia

masa lampau yang diangkat dalam novel kesejarahan tersebut, seperti isu moral

yang dikonfrontasikan dengan dilemma moral saat ini.

Bentuk lain pembelajaran sejarah yang mengajak siswa berpikir analisis,

juga dilakukan oleh Ava L. Mc Call (1999) yaitu mengajak siswa belajar sejarah

tentang bangsa Hmong (Laos), salah satu imigran dari Thailand di Amerika,

melalui seni kain yang disebut paj ntaub (poll dow) yang dibuat oleh para wanita

Hmong. Selain itu, dari pengalaman menjadi guru sejarah, Epstein (1994)

mengungkapkan bahwa penggunaan hasil seni kesejarahan seperti lukisan, puisi,

dapat membantu siswa membangun pemahaman kesejarahan. Siswa diajak untuk

melakukan analisis, interpretasi dalam berbagai makna terhadap hasil seni dan

Page 85: tesis berfikir holistik

118

memberikan gambaran bagaimana pengalaman kesejarahan yang dialami individu

atau kelompok pada masa lalu.

Winneburg (2001) memberikan dua pendekatan yang terkait dengan

penggunaan dokumen, untuk membawa kepada berpikir kesejarahan dan

pemahaman kesejarahan, yaitu The sourcing heuristic dan Corroboration

heuristic. Kedua pendekatan ini memerlukan peran guru yang besar dalam

menyiapkan dokumen dan merancang pembelajaran yang membawa siswa kepada

kerja sejarawan. Para siswa menjadi lebih memahami bagaimana proses

interpretasi terbentuk, dan mengapa terjadi berbeda-beda interpretasi atas suatu

peristiwa. Hasan (2003) juga mengungkapkan bahwa;

….mereka dapat melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalaupun terjadi perbedaamn di antara mereka, maka itu akan memiliki nilai pendidikan yang sangat tinggi. …para sejarawan tidak pernah memiliki suatu pandangan dan tafsiran yang sama terhadap suatu peristiwa sejarah. Hal ini disebabkan pendidikan dan pengajaran sejarah di era sekarang

sudah berbeda dengan sebelumnya, yang lebih menekankan keterlibatan siswa.

Model pembelajaran yang sesuai hal tersebut di antaranya seperti dalam bentuk

the reading of histories dan source-based . Menurut Peter Stern dan Seixas (2000)

dalam kaitan untuk mengetahui, menginterpretasi masa lalu dengan mendalam,

dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu collective memory, disciplinary

dan postmodern approach. Jika kumpulan ingatan masa lalu, dapat digunakan

membangun narasi sejarah, maka dalam pendekatan kedua, dilakukan dengan

mengambil cara seorang ilmuwan social, sejarawan. Sedangkan pendekatan

ketiga, membangun pemahaman kesejarahan dengan mengembangkan keragu-

raguan atas temuan sejarah yang sudah ada. Ketiga pendekatan inipun sangat

Page 86: tesis berfikir holistik

119

memberikan kesempatan kepada siswa melatih dan mengembangkan informasi

yang dipunyai, mencari dan menemukan data dari sumber-sumber yang lain,

melalui kegiatan inquiry, interpretasi dan diskusi maka dibangun pemahaman

kesejarahan baru.

Dari hasil penelitian, Evans (1988 :203) menyimpulkan bahwa

pemahaman sejarah siswa tidak tumbuh dengan sendirinya, peranan guru sejarah

sangat besar di dalamnya. Melaui penelitian pada tiga wilayah di San Fransisco,

Evans, mendapatkan bahwa adanya tiga bentuk pendapat guru terkait dengan

pemilihan /pengembangan tema, pengumpulan data, media,sumber dan pola

pembelajaran yang dilakukan. Pertama, para guru menyatakan bahwa semua yang

dilakukannya dalam pembelajaran sejarah dengan tujuan utama untuk

memecahkan masalah-masalah sosial terkini, yang dihadapi. Kedua, penyampaian

tentang peristiwa-peristiwa mempengaruhi perilaku yang baik. Ketiga, para guru

percaya fungsi utama pendidikan sejarah adalah membantu dalam memahami

kejadian-kejadian dan isu-isu terkini. Evans (dalam Voss, 2002: 163)

menyimpulkan adanya lima gaya mengajar guru sejarah yaitu, sebagai storyteller,

scientific historian, relativist/reformer, cosmic philosopher dan eclectic. Tipe

story teller dan scientific historians adalah tipe guru yang sangat efektip. Namun

memang di lapangan, berbagai kendala yang ada dari setiap elemen pembelajaran.

Ismaun (2001:115) mengungkapkan bahwa metodologi yang sesuai secara

fungsional dan kontekstual menurut karakteristik sejarah, yakni suksesif, regressif

dan tematis. Bagaimanapun bentuk model pembelajaran yang dirancang guru,

pada dasarnya, pendekatan pembelajaran yang baik adalah menjadikan siswa

Page 87: tesis berfikir holistik

120

melakukan kegiatan pembelajaran bukan sebagai objek pembelajaran (Collins

dan George, 1993 ; Sevilla dan Marsh, 1992 : 23).

Allan E. Yarema mengungkapkan bahwa guru sejarah harus diberikan

kebebasan untuk memilih buku teks, sumber materi di kelasnya. Guru sejarah

yang mempunyai misi ke depan dan berusaha membantu siswanya untuk

menyenangi belajar sejarah adalah dengan memberikan kesempatan interaksi

siswa terhadap lingkungannya, melalui berita-berita yang ada di media cetak dan

elektronik setiap hari. Melalui cara ini siswa dapat melihat berbagai peristiwa

yang terjadi di berbagai belahan dunia sekitar mereka dan mencari jawaban atas

masalah terkini tersebut dengan mencari latar belakang sejarah nya. (http ://www.

historycooperative.org/Journals/ht35.3/yarema.Html. diakses pada 1-2-04)

Cara pendekatan yang diungkapkan Yarema tersebut menurut Susan

Shapiro (1991 : 55 ) adalah ibarat “mata pancing” yang menarik siswa untuk

belajar sejarah dan terus mempertahankannya dengan memberikan latihan-latihan

yang meminta partisipasi lebih dari siswa. Voss (2002 : 166) menemukan dari

penelitiannya bahwa,’…what is learned outside the class room, especially via the

media, literature often has a significant impact on classroom learning”.

Penggunaan sumber, dokumen dan metode diskusi yang berdasarkan

berpikir kritis akan menolong siswa untuk menilai berbagai perspektif terhadap

kejadian sejarah. Selain itu hal ini akan merangsang minat siswa terhadap sejarah,

meningkatkan pengetahuan kesejarahannya dan mengembangkan ketrampilan

analisisnya (http:brightmindsUs/series/074/index_html, diakses tanggal2-2-04).

Page 88: tesis berfikir holistik

121

Pada dasarnya, pendekatan pembelajaran yang baik adalah menjadikan

siswa melakukan kegiatan pembelajaran bukan sebagai objek pembelajaran

(Collins dan George, 1993 ; Sevilla dan Marsh, 1992 : 23). Hal itu juga

disampaikan oleh Rick Garlikov (1998) seorang guru sejarah yang berpengalaman

mengungkapkan bahwa, siswa tidak menjadi bosan dan hilang konsentrasi

belajarnya jika mereka secara aktif berpartisipasi dalam proses belajar ( http://

www.garlikov.Com/writing.htm, 29-12-03).

Beberapa model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan

mahasiswa dan sesuai dengan karakteristik, tujuan belajar sejarah dapat dilihat

dari beberapa pendapat berikut ini.

Model pembelajaran kontekstual, membentuk pemahman siswa secara

holistik, komprehensif, bermakna, serta menekankan pada konteks kehidupan dan

lingkungan, dengan berpusat pada aktivitas, pengalaman dan kemandirian peserta

didik dalam pembelajaran (Sukmadinata, 2004 : 196 : Johnson ; tersedia dalam

http://www.Corwinpress.com/book.aspx?pid:7871. diakses pada 20 maret 2003.

Para guru/dosen mengarahkan peserta didik membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003 :1).

Joice & Weil (2000 ) memberikan beberapa model pembelajaran yang

dapat dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu behavior modification , social

interaction, personal source dan information processing. Model behavioral, lebih

menekankan pada perubahan tingkah laku. Model sosial, memfokuskan pada

kemampuan individu berinteraksi sosial, proses demokratisasi dalam masyarakat.

Page 89: tesis berfikir holistik

122

Sedangkan model personal source, mengembangkan individu untuk lebih

memahami dirinya sebagai manusia (emosi dan kepribadian) dan dengan

hubungannya pada lingkungan. Diantara empat rumpun model pembelajaran the

information processing models adalah model pembelajaran yang banyak

berhubungan dengan tujuan pendidikan (kognitif, afektif dan psiko-motor).

Menurut Joyce, Weil (2000) model pemprosesan informasi merupakan

“… the ways in which people handle stimuli from the environment, organize data,

sense problems, generate concepts and solutions to problems, and employ verbal

and non verbal symbols.” Model pemrosesan informasi, mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk peka terhadap peristiwa di lingkungannya,

dengan kemampuan mendapatkan, mengorganisasikan data, hingga memberikan

solusi atas suatu masalah. Model yang terakhir ini lebih menekankan pada fungsi

intelektual. Ditambahkan oleh Joice dan Weil (2000) bahwa medel tersebut

menekankan pada pengembangan ketrampilan proses dan pengetahuan serta

menngembangkan ketrampilan intelektual siswa. Jika dihubungkan dengan

pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan ketrampilan berpikir

peserta didik, maka model yang terkahir ini lebih sesuai.

Berdasarkan materi yang diajarkan, Steel (dalam Widja, 1989 : 32 – 35)

menuangkan adanya beberapa model pembelajaran sejarah yang dapat digunakan,

yaitu Model Garis Besar Kronologis, Model Tematis, Model Garis Perkembangan

Khusus, dan Model Regressif. Ismaun juga (2001:115) memberikan adanya

model pembelajaran sejarahlain, seperti regresif dan tematis. Secara rinci

penjelasan model pembelajaran tersebut, dituangkan dalam bab dua

Page 90: tesis berfikir holistik

123

Model Garis Besar Kronologis adalah mengajarkan suatu perkembangan

atas dasar urutan tahun terjadinya peristiwa sejarah itu, dimulai dari awal

perkembangan sampai kepada perkembangan kontemporer dari perjalanan

peristiwa-peristiwa sejarah itu. Sedangkan Model Tematis menekankan pada

penanaman pemahaman yang mendalam untuk perode-periode tertentu yang

menyangkut tema-tema kehidupan manusia tertentu yang menarik perhatian.

Model ini mengajak siswa melakukan analisis terhadap kecenderungan

masyarakat pada kurun waktu tertentu dalam rangka menarik suatu generalisasi.

Model ini cenderung pada paparan sejarah yang sinkronik. Kebaikan dari model

ini adalah melibatkan siswa dalam pembelajaran lebih besar, misal dengan metode

projek. Selain itu mengembangkan kemampuan siswa berpikir tingkat tinggi dan

topik sejarahpun berdasarkan minat siswa. Sedangkan kekurangannya, jika

pengambilan topik sejarah di luar kurikulum akan membuat materi sejarah dalam

kurikulum tidak tercapai.

Model Garis Perkembangan Khusus, tidak jauh berbeda dengan model

Garis besar Kronologis, sama-sama menekankan urutan perkembangan kronologis

dari suatu peristiwa sejarah. Perbedaannya adalah jika Model Garis Besar

Kronologis fokus pada perkembangan keseluruhan dari berbagai aspek kehidupan

manusia, maka Model Garis Perkembangan Khusus ini berfokus pada aspek-aspek

khusus yang menarik saja dari kehidupan manusia tersebut. Misal tema rumah,

maka akan dilihat pertumbuhannya dari bentuk rumah permulaan, seperti gua-gua

batu, kemudian bentuk rumah sederhana, atap miring dan satu dinding saja,

kemudian dua dinding, lalu bertiang dan seterusnya hingga bangunan rumah

Page 91: tesis berfikir holistik

124

seperti sekarang. Tidak hanya tentang perkembangan bentuk rumah, tetapi juga

pada bahan dan fungsi rumah tersebut. Model ini sangat sesuai dengan pengajaran

sejarah yang integrated ataupun correlated dengan ilmu-ilmu lain. Pemahaman

atas suatu tema menjadi komprehensif. Kelemahannya, materi sejarah yang telah

dikemas dalam kurikulum menjadi sulit diselesaikan sesuai batasan kalender

akademik sekolah.

Model pembelajaran regressif memulai pengajaran memakai titik tolak,

dari situasi zaman sekarang untuk kemudian menelusuri balik ke belakang ke

masa lampau yang merupakan latar belakang dari perkembangan kontemporer

tersebut. Misal, isu toleransi antar umat beragama di Indonesia saat ini, bisa

menelusuri akar-akar dari gejala ini pada perkembangan sejarah sebelumnya,

masa mempertahankan kemerdekaan, perjuangan merebut kemerdekaan,

Penjajahan, Sumpah Pemuda, bahkan bisa hingga ke kerajaan Hindu Budha.

Dari paparan konsep pembelajaran sejarah dan solusi-solusi yang

diberikan para pakar dan praktisi pendidikan sejarah terhadap proses pembelajaran

sejarah bagi pencapaian pemahaman kesejarahan dan pengembangan ketrampilan

berpikir kesejarahan mengarahkan agar banyak memberikan kesempatan kepada

siswa beraktivititas mandiri/kelompok, berpikir tahap tinggi, mendapatkan

pengalaman, kebermaknaan dalam lingkungan kehidupannya. Komponen

pembelajaran yang ditekankan pada kemampuan siswa untuk mampu menggali

pengetahuan/pengalaman yang dimiliki dan digunakan dalam memahami,

mengkaji, menganalisis, merekonstruksi suatu peristiwa sejarah berdasarkan

primary sources, secondary sources yang kemudian digunakan dalam melihat

Page 92: tesis berfikir holistik

125

konteks peristiwa kekinian. Proses pembelajaran seperti ini disebut oleh juga oleh

Breisach (1994) sebagai model student as arcivist. Kondisi pembelajaran ini,

menurut Kolb dalam bukunya “Experential Learning” (1984 : 14),” children

became little scientists, exploring, experimenting and drawing their own

conclusions”.

Pembelajaran yang memberikan pengalaman (kegiatan sejarawan) adalah

pembelajaran yang memberikan kebermaknaan dan mengembangkan ketrampilan

berpikir mahasiswa. Hal ini menurut Ausabel dan Robinson (dalam Sukmadinata,

2004:222) adalah belajar yang berada pada kuadran I, yaitu belajar mencari

(discovery learning) dan belajar bermakna (meaningful learning). Belajar

mencari adalah belajar yang menekankan pada aktivitas berpikir mahasiswa.

Mereka dididorong untuk melakukan proses berpikir. Belajar bermakna adalah

belajar yang menekankan arti atau makna dari bahan dan kegiatan yang diberikan

bagi kepentingan peserta didik (Sukmadinata, 2004:223).

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang

efektif apabila siswa ditempatkan sebagai subjek, tidak hanya dalam rencana

upaya untuk ketercapaian kurikulum juga dalam proses implementasi kurikulum

tersebut di kelas. Singkatnya, siswa terlibat aktif dalam membangun makna atau

pemahaman materi dari suatu topik bahasan. Siswa dapat belajar dengan kondisi

terbaik dan mendapatkan apa yang dipelajarinya ketika mereka tertarik dengan

materi pelajaran tersebut dan konsep-konsep yang diberikan ada pada konteks

kehidupan siswa (ATEEC, 2000; tersedia dalam http://ustudyeducation.Com.

Osu3.html, 2-4-05). Oleh karena itu, sangatlah tepat jika peran guru sangat besar

Page 93: tesis berfikir holistik

126

dalam memfasilitasi lingkungan belajar siswa dalam belajar sejarah. Sebagaimana

juga diucapkan oleh Evans, R.W dalam tulisannya di jurnal “Theory and

Research in Social Education” (1988) yang berjudul “Lesson From History;

Teacher and Student Conceptions of the Meaning of Histroy” , bahwa sekolah,

keluarga, media dan kunjungan pada tempat bersejarah memang sangat

mempengaruhi persepsi kesejarahan siswa, tetapi itu tidak bisa terjadi sendiri,

karena peran guru sejarah sangat besar dalam membentuk persepsi tersebut.

Frederick D. Drake (2002) menyatakan jika kita ingin siswa kita berpikir

kesejarahan , maka kita perlu guru-guru yang dapat mengatur mereka menuju

berpikir kesejarahan dan juga pemahaman kesajarahan.

5. Penggunaan Primary Sources dalam Pembelajaran Sejarah

Di dalam pembelajaran sejarah cenderung didapati kegiatan siswa yang

hanya mendengarkan interpretasi guru terhadap suatu peristiwa sejarah, atau

mendengarkan interpretasi penulis buku teks sejarah, melalui mulut guru/dosen.

Siswa sangat jarang diajak memberikan interpretasinya terhadap suatu peristiwa

sejarah, melalui sumber-sumber primer/dokumen. Hal yang lebih mencemaskan

dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan sejarah, adalah saat guru hanya

menggunakan seluruh waktu belajar dengan kegiatan mencatat dari buku teks

yang hanya dimiliki guru/dosen saja.

Winneburg (2001) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran berpikir

kesejarahan guru menggunakan media primay sources atau juga secondary

sources, baik melalui teks sejarah, dokumen, atau gambar, juga buku teks dengan

Page 94: tesis berfikir holistik

127

dua pendekatan, yakni “sourcing heuristic” dan “corroboration heuristic”. Jika

dalam pendekatan pertama, siswa menganalisis pada satu dokumen saja, maka

pada pendekatan kedua, mereka membandingkan dengan sumber-sumber sejarah

yang lain. Pembelajaran berpikir dengan sumber sejarah ini akan terpenuhi, jika

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis atas masalah

yang ditemukannya, melalui pertanyaan, membandingkan, interpretasi, dan

kemudian menghasilkan suatu ide/jawaban yang dikaitkan dengan pengetahuan

sebelumnya, pengalaman dan isu yang ada dalam kehidupannya.

Di dalam konstruktivisme, pelajaran sejarah lebih ditekankankan kepada

penggunaan sumber-sumber utama (Primary sources) dan dokumen (documents)

sebagai materi mentah sejarah yang menjadi kendaraan bagi siswa untuk

mencapai ketrampilan kesejarahan sebagaimana mereka mengkonstruk,

membangun pemahaman baru. Dikatakan oleh Michael Henry (2002)

bahwa,’…primary sources play a fundamental role in the constructivist

setting…documents, as the raw materials of history, are the vehicle that students

use to practice historical skills as they construct new understandings.

Menurut bentuknya, primary sources dan secondary sources dibagi

menjadi tiga, yaitu text sources, visual sources dan auditory sources. Text

sources,merupakan dokumen yang sudah diterbitkan (artikel, buku dan lainnya)

ataupun yang tidak diterbitkan (catatan, buku harian, surat, memo dan lainnya).

Visual sources, sumber-sumber sejarah yang bersifat visual, seperti gambar,

lukisan, artifak, barang-barang pribadi yang didapat dari pertempuran (ikat

pinggang, dompet, baju, senjata dan lainnya). Auditory sources, adalah sumber

Page 95: tesis berfikir holistik

128

sejarah yang bisa di dengar, misal pidato, lagu, debat, dan bentuk rekaman lainnya

(Learning Leads, 1999).

Beberapa kegunaan sumber sejarah secara lengkap dituliskan oleh Mary

Alexander (1989), yaitu;

….exposes students to important historical concepts. First, students become aware that all written history reflects an author's interpretation of past events. Therefore, as students read a historical account, they can recognize its subjective nature. Second, the students directly touch the lives of people in the past. …they develop important analytical skills….To many students, history is seen as a series of facts, dates, and events usually packaged as a textbook. The use of primary sources can change this view. …they begin to view their textbook as only one historical interpretation and its author as an interpreter of evidence, not as a purveyor of truth. Para siswa membaca data (decode data), mendiskusikan arti data tersebut

(debate their meaning), and membangun interpretasi baru (establish new

interpretations). Singkatnya para siswa dalam kelas sejarah diharapkan siswa

membangun pengertian dan pemahaman baru berdasarkan pengetahuan yang

dimilikinya (Madgic, 1971 : 5).

Terkait dengan penggunaan primary sources, Maypole dan Davies (2001)

menyatakan,’… the use of primary sources encourages students to think critically,

analyze, synthesize and evaluate ideas”. Beberapa pendapat mahasiswa yang

pernah terlibat dalam belajar dengan menggunakan primary sources, yaitu;

….it is amazing how much more I learned from real experience rather than to read it out of a text book…..I felt more interested in the events that occurred because of the real life experience that were told or read….I became more interested in stories told through people’s encounters of history rather than to read about events that occurred….the role of primary sources is critical to either understand the background and details in which the story of the people is given…

Page 96: tesis berfikir holistik

129

Dari ungkapan mahasiswa tersebut, dapat disimpulkan bahwa para

mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dalam memahami sejarah, bukan

dari sekedar membaca buku teks atau mendengarkan cerita guru (dosen),

melainkan dari “dialog” analisis, interpretasi terhadap dokumen sejarah yang

dilakukan sendiri. Seperti diyakinkan oleh bapak metode sejarah kritis, Leopold

van Ronke (dalam Kartodirjo, 1993), bahwa,” sejarah baru dimulai apabila

dokumen dapat dipahami”.

Penggunaan arsip sebagai informasi primer dalam pembelajaran sejarah,

akan membantu siswa memahami sejarah secara lebih konseptual. Pertama, siswa

akan menyadari bahwa kebanyakan tulisan sejarah merefleksikan interpretasi

pengarangnya terhadap suatu peristiwa. Oleh karena itu, saat siswa menyimak

suatu arsip, mereka akan mengenali sifat subjektif dari suatu tulisan sejarah. Hal

ini juga akan mampu merubah pandangan selama ini terhadap sejarah, yaitu

hanya sebagai sebuah pengetahuan bukan ilmu, karena berisi deretan fakta,

tanggal, dan peristiwa yang biasanya dikemas dalam buku pelajaran sejara, serta

menyadari bahwa buku pelajaran yang mereka baca, adalah salah satu

interpretasi sejarah dan pengarangnya merupakan salah satu interpreter dari

bukti-bukti sejarah. Kedua, melalui arsip, siswa secara langsung bersentuhan

dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Dengan demikian, jika

guru/dosen menggunakan arsip sebagai sumber primer, mereka secara tidak

langsung mengembangkan kemampuan analisisnya. Ketiga, siswa akan terlibat

secara aktif, berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, mereka akan berdebat,

berdiskusi dengan guru, teman sekelasnya dalam menginterpretasi suatu arsip

Page 97: tesis berfikir holistik

130

sebagai sumber primer. Mereka akan menantang hasil kesimpulan,

interpretasinya dan mencari sumber-sumber lain untuk mendukung

interpretasinya. Kelas akan menjadi hidup, dimana para siswa dapat menguji dan

melakukan ketrampilan analisisnya (Mary Alexander , 1989; ANRI, 2002; )

Seperti telah dipaparkan dalam sub bab di atas, bahwa dalam ketrampilan

berpikir kritis, diperlukan ketrampilan mengajukan pertanyaan yang bagus.

Dalam proses mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesa terhadap bukti-

bukti sejarah akan membantu mengembangkan sikap kritis untuk memecahkan

masalah-masalah kesejarahan. Jadi jika siswa belajar dengan menggunakan

primary sources dalam membangun pengetahuan baru, maka mereka akan

mengimbangkan ketrampilan berpikir ( Scheurman, 1998 : 10).

Robert B. Bain (dalam Stearns, 2000 : 345) menyatakan bahwa peran

guru dalam memfasilitasi dan melatih ketrampilan berpikir terutama dalam

memilih dan pengajukan pertanyaan terhadap siswa. Dia menyarankan beberapa

daftar pertanyaan yang bisa digunakan untuk memandu siswa bertanya tentang isi

sumber sejarah dalam kaitannya untuk mendorong ketrampilan berpikir

kesejarahannya, misalnya :

• Who made the source, and when was it made? • Who is the intended audience for the source? • What is the story line within the source? • Why was the source produced; what purpose did it serve? • Does other evidence support the source? • Does other evidence contest the source? • Is the source believable? (Was the source in a position to know? Is the

source biased?) • What is the story line that connects all the sources?

Page 98: tesis berfikir holistik

131

Selain itu dari kantor arsip nasional Amerika (US National Archieves &

Record Administration yang berpusat di Washington DC dan Kantor Arsip

Nasional Republik Indonesia memiliki kesamaan panduan/format/lembaran kerja

yang membantu siswa menganalisis sumber sejarah (dokumen, gambar, peta,

film) yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan pilihat jawaban yang mungkin terkait

dengan sumber sejarah yang dianalisisnya. Untuk melihat gambaran secara utuh

lihat lampiran. Seperti juga lembaran kerja yang disarankan oleh Frederick D.

Drake (2001) sebagai panduan untuk sumber sejarah, khususnya gambar dengan

menggabungkan dua pendekatan “sourcing heuristic” dan “corroboration

heuristic.

Di samping itu para siswa juga diarahkan untuk membedakan antara fakta

dan pendapat yang ada dalam suatu sumber sejarah dan mencari kata-kata yang

asing/tidak dimengerti serta membuat analogi terhadap peristiwa yang terjadi di

tempat atau di waktu sekarang. Para siswa dilatih membangun interpretasi

terhadap suatu bukti sejarah dan memberikan respon baik dalam tulisan ataupun

lisan (presentasi) dihadapan teman sekelasnya (Pappas, 1999). Kegiatan

pembelajaran yang demikian diperlukan sekali, agar tidak terjadi verbalisme.

Page 99: tesis berfikir holistik

132