tesis 2014 pasca hasil
description
Transcript of tesis 2014 pasca hasil
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah sakit sebagai organisasi sosial yang bertanggung jawab
terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat dituntut untuk selalu
memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan bagi setiap pengguna
yang memanfaatkannya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang medis dewasa ini digunakan sepenuhnya sebagai usaha untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan, baik di unit-unit rumah sakit maupun
masyarakat luas. Oleh sebab itu rumah sakit melakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan kualitas pelayanannya terutama di bidang pelayanan
keperawatan (Sitorus, 2006).
Perawat merupakan tenaga profesional yang perannya tidak dapat
dikesampingkan dari semua bentuk pelayanan rumah sakit. Peran ini
disebabkan karena tugas perawat mengharuskan kontak paling lama
dengan pasien. Perawat rumah sakit didominasi sebagian oleh tenaga
kerja wanita, keterlibatan wanita akan membawa dampak terhadap
peranan mereka dalam kehidupan keluarganya. Dengan sistem pelayanan
24 jam yang terbagi dalam tiga shif (pagi, siang,malam) jika tidak
diimbangi dengan pembagian kerja yang proporsional dengan kehidupan
rumah tangga mereka dapat menimbulkan stres kerja yang akan
1
2
mempengaruhi kinerja mereka dan berdampak pada mutu pelayanan
yang diberikan (Rice, 2002).
Namun menjalani dua peran sekaligus, sebagai seorang pekerja
sekaligus sebagai ibu rumah tangga, tidaklah mudah. Perawat wanita
yang telah menikah dan punya anak memiliki peran dan tanggung jawab
yang lebih berat daripada perawat wanita yang masih lajang. Peran ganda
pun dialami oleh perawat wanita tersebut karena selain berperan di dalam
keluarga, perawat wanita tersebut juga berperan di dalam karirnya. Konflik
keluarga-pekerjaan mengacu pada suatu konflik antar peran dimana
tuntutan umum, waktu, dan ketegangan yang diciptakan oleh pekerjaan
(Babakus,2008). Konflik antara pekerjaan dan keluarga dapat berasal
dalam domain pekerjaan yang dapat mengganggu keluarga atau keluarga
dapat mengganggu tanggung jawab pekerjaan (Foley & Yu, 2005).
Perawat wanita yang tidak dapat membagi atau menyeimbangkan
waktu untuk urusan keluarga dan bekerja dapat menimbulkan konflik yaitu
konflik keluarga dan konflik pekerjaan, atau sering disebut sebagai konflik
peran ganda wanita antara keluarga dan pekerjaan. Di satu sisi wanita
dituntut untuk bertanggung jawab dalam mengurus dan membina keluarga
secara baik, namun disisi lain, sebagai seorang tenaga profesional yang
baik mereka dituntut pula untuk bekerja sesuai dengan peraturan rumah
sakit dengan menunjukkan performan kerja yang baik.
Fenomena perawat wanita yang sering terjadi adalah seringkali
tidak diimbangi dengan pembagian kerja yang setara dengan perannya
2
3
sebagai ibu rumah tangga. Hal ini terkait dengan pemahaman yang dianut
dalam masyarakat tentang pembagian kerja antara laki-laki dan wanita
dalam kehidupan rumah tangga. Secara tradisional laki-laki dianggap
sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah
dan wanita bertanggungjawab dalam mengurus rumah tangga,
manajemen rumah tangga dan mengurus anak. Ketika perawat wanita
melakukan peran dan tanggungjawabnya sebagai staf yang harus
mengikuti peraturan di rumah sakit dengan mengikuti shif pagi, sore dan
malam, sementara disisi lain keluarga menuntut untuk tetap secara penuh
melakukan perannya dalam rumah tangga. Perawat sebagai tenaga
profesional diminta untuk berkomitmen terhadap pekerjaan mereka
sementara pada waktu bersamaan secara normatif mereka juga harus
memberikan prioritas pada peran keluarga mereka (Cox, & Griffiths,
2000).
Beban ganda yang dipikul perawat wanita dapat memberikan
dampak yang kurang baik pada kehidupan kerjanya dan kehidupan rumah
tangganya. Jadwal dan tuntutan kerja pada perawat dapat menyulitkan
perawat wanita dalam mengerjakan tugas-tugas keluarga atau sebaliknya,
tuntutan keluarga yang berlebihan bisa menyulitkan pemenuhan
kebutuhan tuntutan kerja (Gutek,dkk 1991) dalam Herlina & Ninik (2008).
Kondisi ini dapat menimbulkan konflik pada pekerjaan-keluarga pada
dirinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cinnamon dan Rich (2002),
menunjukkan ibu yang bekerja ternyata lebih sering mengalami konflik
3
4
dan permasalahan serta lebih menekankan pentingnya permasalahan
keluarga dibandingkan pekerjaan, ketika keluarga sebagai domain yang
paling penting bagi kebanyakan wanita.
Konflik peran ganda ini merupakan beban bagi perawat wanita
dapat berdampak negatif pada meningkatnya stres kerja, sehingga
berpengaruh pada beban kerja dari perawat tersebut yang akhirnya dapat
menimbulkan burnout. Burnout adalah suatu sindrom kelelahan
emosional, fisik dan mental, berhubungan dengan rendahnya perasaan
harga diri, disebabkan penderitaan stres yang intens dan berkepanjangan.
Pekerja yang mengalami burnout menjadi berkurang energi dan
ketertarikannya terhadap pekerjaan. Mereka mengalami kelelahan
emosional, apatis, depresi, mudah tersinggung, dan merasa bosan.
Mereka menemukan kesalahan pada berbagai aspek, yakni lingkungan
kerja mereka, hubungan dengan rekan kerja, dan bereaksi secara negatif
terhadap saran yang ditujukan kepada mereka (Schultz & Schultz, 2002)
Perawat yang mengalami tingkat konflik pekerjaan-keluarga dan
keluarga-pekerjaan terhadap stress tinggi dapat mengalami penurunan
kinerja karena akan lebih dikuasai oleh pekerjaannya yang mengakibatkan
perawat tidak bisa memenuhi tanggung jawab keluarganya, karena
mengurangi kualitas kehidupan keluarganya tetapi stress mempunyai
dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif stress pada tingkat
rendah sampai pada tingkat moderat bersifat fungsional dalam arti
berperan sebagai pendorong peningkatan kinerja pegawai, sedangkan
4
5
pada tingkat negatif stress pada tingkat yang tinggi adalah penurunan
pada kinerja karyawan yang drastis (Robbins, 2002).
Perawat yang mengalami stres akan selalu diliputi perasaan
cemas, tegang, mudah tersinggung dan frustrasi serta adanya keluhan
psikosomatis. Hal tersebut terjadi karena terkurasnya energi untuk
menghadapi stres yang dialami terus menerus dalam pekerjaannya
sebagai perawat, akan mempengaruhi kinerja dari perawat tersebut dan
jika kondisi seperti ini tidak dapat diatasi akan menimbulkan burnout .
Graytoft., & Anderson (2004) berpendapat bahwa stress yang tinggi baik
fisik maupun perilaku adalah hasil jangka pendek dari job stress yang
dapat berpengaruh pada kinerja karyawan yang rendah.
Rice (2002) mengatakan bahwa stress ditempat kerja juga
berhubungan positif dengan kinerja karyawan. Stress dapat menciptakan
keunggulan kompetitif bagi perusahaan dengan manajemen yang baik.
Stress juga memberikan dampak positif yang lain seperti dengan adanya
batasan waktu perusahaan dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Stress
mempunyai dampak positif atau negatif. Dampak positif stress pada
tingkat rendah sampai pada tingkat moderat bersifat fungsional dalam arti
berperan sebagai pendorong peningkatan kinerja pegawai sedangkan
pada dampak negatif stress pada tingkat yang tinggi adalah penurunan
pada kinerja karyawan yang drastis.
Maslach dalam Anrilia (2004) mengungkapakan burnout
berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi. Dampak pada
5
6
individu terlibat adanya gangguan fisik seperti sulit tidur, rentan terhadap
penyakit, munculnya gangguan psikosomatis maupun gangguan
psikologis yang meliputi penilaian yang buruk terhadap diri sendiri yang
dapat mengarahkan pada terjadinya depresi. Dampak burnout yang
dialami individu terhadap orang lain dirasakan oleh penerima pelayanan
dan keluarga. Selanjutnya dampak burnout bagi organisasi adalah
meningkatnya frekuensi tidak masuk kerja, berhenti dari pekerjaan atau
job turnover, sehingga berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi
kerja dalam organisasi (Cherniss, dalam Anrilia, 2004).
Penyebab timbulnya burnout menurut Abraham & Shanley, (1997)
dalam Erlina (2010) adalah semua faktor yang dapat menyebabkan stres,
yang terjadi secara terus menerus dalam waktu yang panjang. Sehingga
dapat dikatakan beban kerja merupakan salah satu sumber yang
menyebabkan burnout yang termasuk dalam faktor lingkungan kerja.
Sedangkan lima sumber stres kerja perawat secara umum adalah beban
kerja berlebih, kesulitan berhubungan dengan staf lain, kesulitan merawat
pasien kritis, berurusan dengan pengobatan dan perawatan pasien dan
kegagalan merawat.
Hal yang menarik dalam fenomena burnout adalah bahwa burnout
merupakan sindrom dalam dunia kerja yang justru mengenai orang yang
berprestasi dam berdedikasi dalam pekerjanya. Hal ini juga diungkap oleh
Kreitner dan Knicki (2006) yaitu bahwa burnout dapat terjadi pada orang-
orang yang berprestasi tinggi. Gibson, dkk (2006) bahwa burnout pada
6
7
perawat terjadi sebagai akibat dari stres yang berlarut-larut dan beban
kerja. Tugas dan tanggung jawab sebagai perawat jiwa memang cukup
berat dan melelahkan, di sisi lain perawat juga sering menghadapi
masalah lain di tempat kerja.
Fluktuasi beban kerja merupakan bentuk lain dari pembangkit
burnout. Pada jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan dan saat-
saat lain bebannya bisa berlebihan. Situasi tersebut dapat kita jumpai
pada tenaga kerja yang bekerja pada rumah sakit khususnya perawat.
Keadaan yang tidak tepat tersebut dapat menimbulkan kecemasan,
ketidakpuasan kerja dan kecenderungan meninggalkan kerja (Munandar,
2006). Kusmiati (dalam Haryani, 2008) menyebutkan kondisi pasien yang
selalu berubah, jumlah rata-rata jam perawatan yang dibutuhkan untuk
memberikan pelayanan langsung pada pasien serta dokumentasi asuhan
keperawatan mempengaruhi beban kerja perawat
Menurut Lee dan Asforth (1996) dalam Pangastiti (2011) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi burnout yaitu: konflik peran ganda,
stres kerja, beban kerja dan kurangnya dukungan sosial. Seseorang
terkadang tidak dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh tekanan
yang mereka alami. Mereka tidak dapat mengambil tindakan harus
"menghadapi atau menghindar" (fight or flight) untuk mengurangi tekanan
tersebut. Akibatnya ketegangan yang dialami dapat mengganggu kondisi
emosional, proses berpikir dan kondisi fisik individu yang mengalami
tekanan.
7
8
Fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya juga dialami oleh
perawat wanita yang berkerja di RS Haji Makassar dimana saat ini
mayoritas (85 %) tenaga perawatnya adalah perawat wanita dan sebagian
besar sudah berkeluarga. Fenomena yang peneliti temukan dari hasil
wawancara dengan kepala seksi keperawatan RS Haji Makassar,
diketahui pada tahun 2012 dari 7 perawat yang pindah ke tugas ke
puskesmas dan poliklinik 2 diantaranya karena alasan beban kerja yang
terlalu tinggi, 3 orang karena alasan kesulitan membagi waktu mengurus
rumah tangga, 2 orang karena ikut suami yang ditugaskan ke daerah lain.
Hasil wawancara dengan 10 orang perawat wanita yang dilakukan secara
acak didapatkan informasi bahwa kebanyakan mengeluh merasakan lelah
karena beban kerja yang terlalu berat, mengeluh sering sakit kepala dan
mudah marah, kesulitan mengatur jadual dinas dengan urusan rumah
tangga, sebagian memikirkan untuk pindah kepoliklinik atau ke
puskesmas dan sebagian mengatakan masih menggunakan waktu dinas
melakukan tugas-tugas dirumah yang belum tuntas.
Hal ini diperkuat dari data absensi perawat pada tahun 2010 dari 35
perawat yang absen karena sakit sebanyak 21 atau 60 % adalah perawat
wanita yang sudah menikah, kemudian pada tahun 2011 meningkat
menjadi 41 orang dan 28 (68%) adalah perawat wanita yang sudah
menikah dan pada tahun 2012 dari 43 yang sakit sebanyak 32 atau 74 %
adalah perawat wanita yang sudah menikah.
8
9
Perawat yang mengalami burnout akan cenderung bersikap sinis
terhadaporang lain dan pasien, merasa lelah sepanjang waktu, merasa
tidak mampu melakukan pekerjaan dengan benar dan mulai enggan
bekerja. Pada kondisi yang sudah parah akan muncul keinginan untuk
beralih ke profesi lain. Padahal profesi perawat yang dinamis dan
menuntut keterlibatan kerja yang mendalam. Jika perawat mengalami
burnout, tentu saja akan menghambat kinerja perawat dan menjadi tidak
selaras dengan visi dan misi rumah sakit dalam meningkatkan kualitas
pelayanan keperawatan. Lebih dari itu akan merusak citra profesi perawat
itu sendiri.
Dari uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul : hubungan konflik peran ganda,stress kerja, beban kerja
dengan burnout perawat wanita di RS Haji Makassar”
B. Rumusan Masalah
Profesi perawat wanita yang telah menikah disamping
menjalankan perannya sesuai standar praktik keperawatan dan peraturan
rumah sakit disisi lain juga dituntun untuk secara normal menjalankan
perannya dalam kehidupan rumah tangga. Konflik peran ganda ini secara
potensial dapat menimbulkan stress kerja dan berdampak secara
langsung pada burnout. Tuntutan peran ganda dapat berdampak pada
peningkatan beban kerja sehingga potensial menimbulkan stress, dimana
akibat dari stress yang berkepanjangan dan terus-menerus akan
9
10
menimbulkan adanya “burn out” seperti mudah emosi, kelelahan secara
fisik dan sebagianya. Jika tidak mampu melakukan penyesuaian dengan
baik antara tuntutan tugas profesinya dengan perannya sebagai ibu rumah
tangga dapat menganggu produktifitas kinerjanya .
Berdasarkan latar belakang diatas maka pertanyaan dalam
penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan karakteristik perawat dengan burnout perawat
wanita di rumah sakit Haji Makassar tahun 2013?
2. Apakah ada hubungan konflik peran ganda dengan stress kerja
perawat wanita di rumah sakit Haji Makassar tahun 2013?
3. Apakah ada hubungan beban kerja dengan stress kerja perawat
wanita di rumah sakit Haji Makassar tahun 2013?
4. Apakah konflik peran ganda berhubungan dengan burnout perawat
wanita di rumah sakit Haji Makassar tahun 2013?
5. Apakah stres kerja berhubungan dengan burnout perawat wanita di
rumah sakit Haji Makassar tahun 2013?
6. Apakah beban kerja berhubungan dengan burnout perawat wanita di
rumah sakit Haji Makassar tahun 2013?
7. Variabel apakah yang paling dominan dengan terjadinya stress kerja
perawat wanita di RS Haji Makassar
8. Variabel apakah yang paling dominan dengan terjadinya burnout
perawat wanita di rumah Haji Makassar tahun 2013 ?
10
11
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum penelitian
Untuk diketahuinya hubungan konflik peran ganda,stress kerja,
beban kerja deng\an burnout perawat wanita di RS Haji Makassar.
2. Tujuan khusus penelitian
a. Diketahuinya hubungan karakteristik wanita dengan burnout perawat
wanita di RS Haji Makassar;
b. Diketahuinya hubungan konflik peran ganda dengan stress kerja
perawat wanita di rumah sakit Haji Makassar;
c. Diketahuinya hubungan beban kerja dengan stress kerja perawat
wanita di rumah sakit Haji Makassar;
d. Diketahuinya hubungan konflik peran ganda dengan burnout perawat
wanita di RS Haji Makassar
e. Diketahuinya hubungan stres kerja dengan burnout perawat wanita di
RS Haji Makassar
f. Diketahuinya hubungan beban kerja dengan burnout perawat wanita
di RS Haji Makassar
g. Diketahuinya variabel yang paling dominan dengan terjadinya stress
kerja perawat wanita di RS Haji Makassar
h. Diketahuinya variabel yang paling dominan dengan terjadinya burnout
perawat wanita di RS Haji Makassar.
11
12
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dapat diambil dari hasil penelitian ini
adalah :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan
yang berkaitan dengan hubungan konflik peran ganda terhadap stres
kerja, beban kerja perawat wanita dan kejadian burnout dan sebagai
bahan referensi dalam bidang manajemen keperawatan khususnya bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan masukan bagi rumah sakit yang berupa informasi-
informasi kepada pihak manajemen khususnya bidang keperawatan
dalam mengelola dampak negatif dari terjadinya konflik peran ganda ,
stres kerja dan bebab kerja yang dapat menyebabkan burnout perawat
khususnya perawat wanita di rumah sakit.
12
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Burnout
1. Pengertian Burnout
Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert
Freundenberger pada tahun 1973. Freundenberger memberi ilustrasi
sindrom burnout seperti gedung yang terbakar habis. Suatu gedung yang
pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas didalamnya,
setelah terbakar gedung yang tampak hanya kerangka luarnya saja.
Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa orang yang terkena burnout dari
luar tampak utuh tetapi didalamnya kosong penuh masalah (Aryasari,
2008).
Freudenberger (dalam Farber, 1991) menyatakan bahwa burnout
adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang
bekerja terlalu intens, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu
banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan
mereka sebagai hal kedua. Hal ini menyebabkan individu tersebut
merasakan adanya tekanan-tekanan untuk memberi sumbangan lebih
banyak kepada organisasinya. Burnout merupakan kelelahan yang
disebabkan karena individu bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak
berdaya, merasa tidak ada harapan, kesedihan yang mendalam, merasa
malu, menghasilkan perasaan lelah dan tidak nyaman, yang pada
gilirannya meningkatkan rasa kesal. Apabila hal itu terjadi pada jangka
13
14
panjang maka individu tersebut akan mengalami kelelahan karena telah
berusaha memberikan sesuatu secara maksimal namun memperoleh
apresiasi yang minimal (Pines dan Aronson, 1989).
Burnout adalah keadaan stres yang dialami individu dalam jangka
waktu yang lama dan dengan intensitas yang cukup tinggi, ditandai
dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahya
penghargaan terhadap diri sendiri yang mengakibatkan individu merasa
terpisah dari lingkungannya dan menyebabkan perubahan sikap dan
perilaku. Burnout biasanya terjadi bukan karena satu atau dua kejadian
yang traumatis tetapi karena akumulasi bertahap dari tekanan kerja yang
berat (Santrock, 1995). Dalam konsep ini individu menganggap suatu
pekerjaan sebagai stresor atau sumber stres
Setiap definisi burnout diatas merefleksikan keunikan sehingga
tampil beragam namun batasan yang dikemukan para tokoh tersebut
pada dasarnya sama, yaitu burnout terjadi pada tingkat individu dan
merupakan pengalaman yang bersifat psikologis karena melibatkan
perasaan, sikap, motif, harapan dan dipandang individu sebagai
pengalaman negatif yang mengacu pada situasi yang menimbulkan stres
dan ketidaknyaman. Burnout banyak dialami seseorang merasa lelah dan
jenuh secara mental atau fisik karena tuntutan pekerjaan yang meningkat.
2. Penyebab Burnout
Penelitian yang telah banyak dilakukan menyatakan bahwa
penyebab timbulnya burnout behubungan dengan sebab-sebab yang luas.
14
15
Burnout berasal dari stres kerja yang berkepanjangan, sehingga faktor-
faktor yang mempengaruhi burnout dapat dikenali melalui penyebab stres
kerja. Menurut Farhati dan Rosyid (dalam Aryasari 2008), faktor eksternal
yang mempengaruhi burnout adalah:
a. Tuntutan pekerjaan yang tinggi
b. Miskinnya pekerjaan dari hal-hal yang menarik dan menantang
c. Pekerjaan yang tidak variatif
d. Pekerjaan yang tidak memiliki identitas yang jelas
e. Pekerjaan yang tidak memberikan informasi tentang baik tidaknya
usaha-usaha yang dilakukan
Secara lebih rinci, Maslach dan Leiter (dalam Gunarsa, 2004)
mengungkapkan bahwa sumber atau penyebab terjadinya burnout dapat
ditelusuri ke dalam enam macam bentuk ketidaksesuaian orang dan
pekerjaannya, yaitu:
a. Kelebihan beban kerja. Dalam perspektif organisasi beban kerja berarti
produkitvitas, sedangkan dalam perspektif individu beban kerja berarti
waktu dan tenaga yang terbatas. Ketatnya kompetisi mengharuskan
manajemen melakukan efisiensi kerja. Setiap orang dituntut untuk
melakukan banyak hal dengan waktu dan biaya yang terbatas.
Akibatnya setiap pekerja mendapat beban yang seringkali melebihi
kapasitas kemampuannya. Mereka harus melakukan berbagai macam
tugas dan tugas-tugas tersebut semakin kompleks dengan semakin
banyak tuntutan kualitas dan kuantitas akibat persaingan.
15
16
b. Kurangnya kontrol. Banyaknya tugas yang harus dilakukan membuat
seseorang sulit menentukan prioritas, karena seringkali banyak tugas
yang harus menjadi prioritas karena tingkat kepentingan sama
tingginya atau sama tingkat urgensinya. Ketika seseorang tidak dapat
melakukan kontrol terhadap beberapa aspek penting dalam pekerjaan
maka semakin kecil peluang untuk dapat mengidentifikasikan ataupun
mengantisipasi masalah-masalah yang akan timbul. Akibatnya orang
menjadi lebih mudah mengalami exhaution dan cynicism.
c. Sistem imbalan yang tidak memadai atau tidak sesuai. Maslach dan
Leiter (1997) menemukan bahwa salah satu kontributor yang berperan
besar terhadap munculnya burnout adalah tidak adanya sistem
imbalan intrinsik seperti “dapat melakukan tugas-tugas yang
menyenangkan”; membangun keahlian; “memperoleh penghargaan
dari mitra kerja”. Kurangnya keseimbangan antara sistem imbalan
yang bersifat ekstrinsik (gaji dan tunjangan) dan sistem imbalan
intrinsik akan melemahkan semangat untuk menyukai pekerjaan dan
akhirnya membuat seseorang merasa terbelenggu dengan hal-hal
yang rutin yang mengakibatkan turunnya komitmen dan motivasi kerja.
Hal ini menandakan burnout mulai menggejala.
d. Terganggunya sistem komunitas dalam pekerjaan. Persaingan yang
ketat dan waktu kerja yang padat menyebabkan pekerja terpisah dari
pekerja lainnya. Iklim kerja perusahaan yang bersifat kompetitif,
individual dan mengutamakan prestasi dapat menimbulkan perasaan
16
17
tidak nyaman karena hubungan sosial menjadi pragmental dan
keterpisahan dari lingkungan sosial sebenarnya menimbulkan suatu
perasaan tidak aman bagi seseorang yang pada akhirnya mudah
memicu konflik. Penyelesaian konflik acapkali menguras banyak energi
dan mudah menggiring seseorang pada burnout.
e. Hilangnya keadilan. Lingkungan kerja dipandang bersikap adil jika
memiliki tiga hal yaitu: kepercayaan, keterbukaan dan rasa hormat.
Ketiga aspek ini penting untuk menjaga keterlibatan seseorang
terhadap pekerjaannya. Ketidakhadiran aspek-aspek tersebut secara
langsung akan akan menimbulkan burnout. Kondisi yang dapat
menimbulkan sistem manajemen yang tidak adil yaitu adanya sikap
tidak terbuka yang timbul akibat tekanan kompetisi yang tinggi,
penerapan aturan yang tidak konsisten dan komunikasi yang tidak
lancar antar berbagai divisi atau antara pimpinan dan pelaksana.
Ketika pekerja merasakan ketidakadilan akan timbul berbagai reaksi
dan sebagian orang dapat bereaksi dengan cara manarik diri dan
mengurangi keterlibatannya dalam pekerjaannya.
f. Konflik nilai. Sistem nilai akan mempengaruhi interaksi seseorang
dengan pekerjaannya. Paradigma kesuksesan organisasi saat ini
adalah kepuasan pelanggan. Konsekuensinya organisasi harus
menerapkan nilai-nilai baru yang tercakup dalam kriteria kepuasan
pelanggan seperti ketepatan waktu, keramahan, perlakuan secara
pribadi. Namun banyak perusahaan yang menerapkan nilai-nilai
17
18
tersebut secara langsung tanpa proses sosialisasi dan internalisasi
yang memadai, padahal tidak semua karyawan sudah memiliki nilai-
nilai tersebut. Akibatnya muncul konflik dan pertentangan yang
mengakibatkan proses exhaustion karena mereka merasa harus
menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan organisasi.
Menurut Lee dan Ashforth (1996), ada beberapa faktor eksternal
yang menyebabkan burnout, yaitu:
a. Ambiguitas, yaitu keadaan dimana karyawan tidak tahu apa yang
harus dilakukan, menjadi bingung, dan menjadi tidak yakin karena
kurangnya pemahaman atas hak-hak dan kewajiban yang dimiliki
karyawan yang melakukan pekerjaan.
b. Konflik peran, yaitu suatu perangkat harapan atau lebih berlawanan
dengan lainnya sehingga dapat menjadi penekanan yang penting bagi
sebagian orang.
c. Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan bersifat menetap
dalam jangka waktu yang lama, maka kan menyebabkan burnout
karena kondisi tubuhnya tidak mampu membangun kembali
kemampuannya untuk menghadapi pemicu stres.
d. Beban kerja, apabila seorang karyawan menanggung banyak
pekerjaandalam waktu relatif singkat, maka dapat membuat karyawan
tertekan dan akan menyebabkan burnout.
18
19
3. Dimensi Burnout
Maslach (1993) mengemukakan bahwa burnout adalah sindrom
psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yang meliputi:
a. Emotional exhausting
Emotional exhausting atau kelelahan emosional merupakan inti dari
sindrom burnout yang ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber
emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati dan perhatian, yang
pada akhirnya memunculkan perasaan tidak mampu lagi memberikan
pelayanan pada orang lain. Cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi
sindrom ini adalah mengurangi keterlibatan secara emosional dengan
penerima pelayanan.
b. Depersonalization
Depersonalization atau depersonalisasi merupakan sikap kurang
menghargai atau kurang memiliki pandangan yang positif terhadap orang
lain yang ditandai dengan menjauhnya individu dari lingkungan sosial,
apatis, tidak peduli terhadap lingkungan atau orang-orang di sekitarnya.
Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti memandang rendah
dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap klien, kasar dan tidak
manusiawi dalam hubungan dengan klien, serta mengabaikan kebutuhan
dan tuntutan klien. Sindrom ini merupakan akibat lebih lanjut dari adanya
upaya penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan orang
lain.
19
20
c. Low personal accomplishment
Low personal accomplishment atau rendahnya penghargaan
terhadap diri sendiri ditandai dengan kecenderungan memberi evaluasi
negatif terhadap diri sendiri, terutama berkaitan dengan pekerjaan.
Pekerja merasa dirinya tidak kompeten, tidak efektif dan tidak kuat, kurang
puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan
kegagalan dalam bekerja. Evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini
berkembang dari adanya tindakan depersonalisasi terhadap penerima
pelayanan. Pandangan maupun sikap negatif terhadap klien lama-
kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi pelayanan.
Menurut Greenberg dan Baron (1997) menyebutkan beberapa
karakteristik burnout:
a. Physical exhaustion, karyawan merasa energinya menurun dan sangat
lelah,dan mengalami gangguan fisik seperti sakit kepala, kurang tidur,
dan perubahan kebiasaan makan.
b. Emotional exhaustion, karyawan merasa depresi, tidak tertolong, dan
merasa terjebak dalam pekerjaan.
c. Mental exhaustion, karyawan menjadi sinis dengan orang lain,
berperilaku negatif, dan cenderung tidak respek terhadap diri sendiri,
pekerjaan, organisasi, dan bahkan hidupnya secara keseluruhan.
d. Low personal accomplishment, karyawan merasa tidak mendapat
pencapaian yang besar dimasa lalu, dan menganggap bahwa ia tidak
akan sukses di masa depan.
20
21
Menurut Pines & Aronson (1989) ciri-ciri umum burnout, yaitu:
a. Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung,
tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susah tidur, rasa letih
yang kronis.
b. Kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung,
sinisme, suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, tidak
berdaya.
c. Kelelahan mental dicirikan seperti acuh tak acuh pada lingkungan,
sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa
dengan jalan hidup, merasa tidak berharga.
4. Faktor-faktor penyebab Burnout
Menurut Cherniss, (1987) dalam Nurjayadi, (2004)Ada tiga
kelompok yang dapat dikaitkan dengan burnout, yaitu faktor situasional
atau karakteristik pekerjaan, faktor organisasional dan faktor individual
atau kepribadian
a. Faktor situasional atau karakteristik pekerjaan
Tuntutan peran, ambiguitas peran, konflik peran dan peran yang
berlebihan menurut Burke dan Richardsen (dalam Cooper dkk, 2001)
memiliki hubungan yang positif dengan burnout terutama pada kelelahan
emosi dan depersonalisasi. Ambiguitas peran terjadi ketika pemain peran
kekurangan informasi yang dibutuhkan dalam performansi peran.
Cherniss (1987) menjelaskan bahwa peran yang berlebihan ikut memberi
kontribusi dengan bertambahnya stres dan burnout, karena itu akan
21
22
berpengaruh kuat pada coping. Kahn (dalam Cherniss, 1987)
mengemukakan bahwa adanya konflik peran merupakan faktor yang
potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena
adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan. Menurut Cooper,
dkk (2001) konflik peran dalam faktanya menjadi sangat penting dalam
membangun kelelahan emosi.
Sebuah penelitian di India yang dilakukan oleh Sharma (2007) juga
mengungkapkan peran konflik, ambiguitas peran, peran yang berlebihan,
ketidakberdayaan dalam menghadapi pekerjaan, dapat menimbulkan
perilaku apatis, tidak perduli, kelelahan fisik dan emosional yang
merupakan komponen dalam burnout.
b. Faktor organisasional
Jika faktor situasional lebih banyak menyoroti hal-hal yang terkait
dengan pelaksanaan tugas oleh pekerja, yang fokusnya adalah individu,
maka faktor organisasional memiliki konteks yang lebih luas untuk
memahami terjadinya burnout. Konteks ini menyangkut perlakuan
organisasi, proses atau mekanisme pekerjaan, hirarki posisi dan nilai-nilai
organisasi. Faktor-faktor seperti gaya kepemimpinan, iklim organisasi,
kekuatan struktur (Cherniss, 1987) dapat mempengaruhi tingkat burnout
pada karyawannya. Eastburg, dkk (dalam Cooper, 2001) menjelaskan
bahwa minimnya dukungan dari supervisor dan teman sebaya memberi
kontribusi bertambahnya kelelahan emosi pada karyawan.
22
23
c. Faktor Individu
1) Sosiodemografis
a) Jenis Kelamin
Maslach dan Jackson (1981) menemukan bahwa pria yang
menderita burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan
wanita yang menderita burnout cenderung mengalami kelelahan
emosional. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan
orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional.
Sedangkan Cooper, dkk (2001) menemukan bahwa wanita menunjukkan
tingkat burnout lebih tinggi daripada pria namun sangat tergantung dari
sampel penelitiannya.
b) Usia
Maslach dan Jackson (1981) maupun Schaufeli dan Buunk (dalam
Cooper dkk, 2001) menemukan pekerja yang berusia lebih muda lebih
tinggi mengalami burnout daripada pekerja yang berusia tua. Namun tidak
ada batasan umur dalam krtiteria pekerja yang berusia muda maupun
pekerja dalam usia tua. Sindrom burnout di Amerika banyak dialami oleh
mereka yang berada pada usia produktif (30 - 40 tahun) dengan
pengalaman kerja yang relatif sedikit. Seiring dengan pertambahan usia
pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh
sehingga memilki pandangan yang lebih realistis (Sutjipto, 2001).
23
24
c) Tingkat pendidikan
Menurut Maslach dan Jackson (1981) menyebutkan bahwa tingkat
pendidikan juga turut berperan dalam sindrom burnout. Hal ini didasari
oleh kenyataan bahwa stres yang terkait dengan masalah perkerjaan
seringkali dialami oleh pekerja dengan pendidikan yang rendah.
d) Status perkawinan
Maslach (dalam Nurjayadi, 2004) melaporkan bahwa individu yang
belum menikah (khususnya laki-laki) dilaporkan lebih rentan terhadap
sindrom burnout dibandingkan dengan individu yang sudah menikah.
Namun perlu penjelasan lebih lanjut untuk status perkawinan. Mereka
yang sudah menikah bisa saja memiliki resiko untuk mengalami burnout
jika perkawinannya kurang harmonis atau mempunyai pasangan yang
tidak dapat memberikan dukungan sosial (Nurjayadi, 2004). Maslach
(dalam Sutjipto, 2001) juga mengemukakan bahwa, apabila dibandingkan
antara seseorang yang memilki anak dan tidak memilki anak, maka
seseorang yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang
lebih rendah. Alasannya adalah: (1) seseorang yang telah berkeluarga
pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara
psikologis, (2) keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat
mempersiapkan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi
dan konflik emosional, (3) kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga
dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam
24
25
pekerjaan, dan (4) seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan
yang lebih realistis
2) Kepribadian
Schaufelli dan Buunk (1996) mengemukakan bahwa faktor-faktor
kepribadian yang terkait dengan burnout antara lain adalah: kurangnya
ketangguhan (lack of hardiness), lokus kontrol yang berorientasi eksternal,
perilaku tipe A, kurangnya kontrol diri, dan harga diri yang rendah. Rotter
(dalam Cherniss, 1987) menjelaskan bahwa individu dengan locus of
control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang
dialami disebabkan oleh kekuatan dari luar diri. Mereka meyakini bahwa
dirinya tidak berdaya terhadap situasi sehingga mudah menyerah dan bila
berlanjut mereka bersikap apatis pada pekerjaan. Friedman dan
Rosenman (dalam Cherniss, 1987) menyebutkan bahwa individu yang
memiliki perilaku tipe A cenderung menunjukkan kerja keras, kompetitif
dan gaya hidup yang penuh tekanan waktu. Individu dengan perilaku tipe
A lebih memungkinkan untuk mengalami burnout daripada individu lainnya
(Robbins, 1996)
Selain itu juga diidentifikasi bahwa strategi penyelesaian masalah
yang bersifat menghindar, ataupun defensif mempunyai korelasi positif
dengan burnout. Sementara strategi yang berorientasi pada kontrol
tenyata berkorelasi negatif dengan burnout. Konsep diri yang rendah
menurut Maslach (dalam Sutjipto, 2001) juga rentan terhadap burnout.
25
26
Individu dengan konsep diri rendah mempunyai karakteristik tidak percaya
diri dan memilki penghargaan diri yang rendah.
5. Dampak Burnout
Konsekuensi-konsekuensi dari burnout sangat serius bagi staf,
para klien, dan lembaga-lembaga yang lebih besar di mana mereka saling
berinteraksi. Burnout memiliki dampak pada penderitanya, diantaranya
yaitu seperti yang dikemukakan oleh Maslach & Jackson (1981), bahwa
burnout dapat menimbulkan kemerosotan kualitas ketelitian atau tugas
yang diberikan oleh staff. Hal ini nampaknya menjadi faktor dalam
turnover pekerjaan, ketidakhadiran, dan moral yang rendah. Selanjutnya,
burnout nampaknya dikorelasikan dengan berbagai indeks yang
dilaporkan sendiri dari distres personal, termasuk kelelahan fisik,
insomnia, meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obatan, dan
masalah-masalah pernikahan dan keluarga.
Beberapa akibat burnout bagi individu dan organisasi antara lain:
a. Individu
Menurut Jackson (dalam Jewell dan Siegal, 1998) akibat burnout
bagi individu adalah memburuknya kualitas hubungan rumah tangga,
masalah kesehatan dan hubungan yang buruk dengan rekan sekerja.
Kemudian Rostiana (dikutip Gunarsa, 2004) menjelaskan beberapa
akibat burnout bagi individu yang disebut dengan manifestasi burnout
diantaranya adalah meningkatnya penggunaan kopi dan alkohol,
munculnya problem dalam hubungan seksual, masalah kesehatan secara
26
27
fisik seperti sakit kepala, mual, nyeri otot, kehilangan selera makan,
napas yang pendek dan gangguan tidur.
b. Organisasi
Akibat burnout bagi organisasi menurut Fritz dan Sonnetag (2006)
adalah performasi kerja yang menurun, merendahnya keterlibatan kerja
dan pada keadaan yang paling parah individu tersebut akan menarik diri
dari pekerjaannya (turnover), pindah kerja atau bahkan sampai berhenti
kerja. Orang-orang yang menderita burnout boleh jadi mencari peran
administratif di mana mereka dapat berlindung pada pekerjaan di antara
tumpukan surat-surat dan dokumen (Rosyid, 1996). Selain itu menurut
Maslach dan Jackson (1981) burnout dapat menimbulkan kemerosotan
kualitas ketelitian terhadap tugas yang diberikan oleh staf. Hal senada
dijelaskan oleh Rostiana (dalam Gunarsa, 2004) dalam suatu studi yang
bersifat cross sectional memperlihatkan bahwa burnout terkait dengan
kelambanan dalam menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian,
dan kelalaian kerja.
6. Burnout pada perawat
Hasil penelitian Erlina (2010) kejadian burnout pada perawat yang
memiliki tingkat burnout dengan kategori tinggi sebanyak 20,37%, dan
perawat yang memiliki tingkat burnout dengan kategori sedang sebanyak
51,85%. Sedangkan perawat yang memiliki tingkat burnout dengan
kategori rendah sebanyak 27,78%.
27
28
Adali dan Priami (2002) pada 223 dari lima rumah sakit yang ada di
Athena, Yunani dengan keseluruhan sampel yang diambil bekerja pada
Unit Gawat Darurat (UGD), Unit Perawatan Intensif (ICU) dan Ruang
Penyakit Dalam. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tingkat burnout
pada tiga unit tersebut berada pada level sedang. Dan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Riatiningsih (2007) juga menyebutkan bahwa tingkat
burnout pada perawat Instalasi Rawat Inap I Rumah Sakit Umum Dr.
Saiful Anwar Malang yang mencapai tingkat tinggi berjumlah 13 perawat,
50 perawat memiliki tingkat burnout sedang, dan 10 perawat memiliki
tingkat burnout rendah. Kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa
secara umum tingkat burnout yang dialami oleh para perawat berada
pada tingkat sedang.
B. Konsep Konflik Peran Ganda
1. Pengertian konflik
Menurut bahasa, konflik dapat diartikan perbedaan, pertentangan
dan perselisihan. Konflik merupakan masalah serius dalam setiap
organisasi. Menurur Rivai (2001) konflik merupakan suasan batin yang
berisi kegelisahan karena pertentangan dua motif atau lebih, yang
mendorong seseorang berbuat dua motif atau kegiatan yang saling
bertentangan pada waktu bersamaan. Sedangkan menurut Doglass dan
Bevis dalam Ali (2010) menyatakan bahwa konflik adalah perjuangan
28
29
diantara kekuatan-kekuatan independen, yang bisa terjadi dalam individu
(interpersonal) atau di dalam kelompok (konflik inter group). Konflik
sebenarnya menjadi fungsional dan dapat pula menjadi disfungsional.
Konflik semata-mata bisa memperbaiki dan memperburuk prestasi
individu maupun organisasi tergantung dari pengelolaan konflik tersebut.
Konflik dianggap sebagai konsekuensi perpasive, normal, dan tak
terhindarkan dari kehidupan sosial dan organisasi (Coser, 1956;
Rollof,1987 dalam Stocker,2007:27). Konflik yang terjadi seringkali sulit
untuk dihindari, namun tidak semua konflik yang terjadi memiliki
konsekuensi negatif, bahkan konflik bisa meningkatkan kinerja para
pegawai.
2. Pengertian konflik peran ganda
Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan konflik
peran ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari
dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang. Di pekerjaan,
seorang wanita yang profesional diharapkan untuk agresif, kompetitif, dan
dapat menjalankan komitmennya pada pekerjaan. Di rumah, wanita sering
kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi dan menjaga suaminya.
Netemeyer et al. (dalam Hennessy, 2005) mendefinisikan konflik peran
ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggung jawab yang
berhubungan dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu dan
ketegangan dalam keluarga. Hennessy (2005) selanjutnya mendefisikan
29
30
konflik peran ganda ketika konflik yang terjadi sebagai hasil dari kewajiban
pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga.
Jadi dari beberapa pengertian di atas konflik peran ganda adalah
salah satu bentuk konflik antar peran yang diakibatkan pekerjaan dan
keluarga saling tidak cocok satu sama lain, kewajiban pekerjaan yang
mengganggu kehidupan rumah tangga, permintaan, waktu dan
ketegangan dalam keluarga yang disebabkan harapan dari dua peran
yang berbeda.
3. Dimensi-dimensi konflik peran ganda
Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran
ganda itu bersifat bi-directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari:
a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung
jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap
keluarga.
b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung
jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap
pekerjaan.
Penelitian terdahulu (Agustina, 2008; Namasivayam & Zhao, 2006;
Passewark & Viator, 2006; Riley, 2006) dalam Reny (2011) membagi
konflik kerja-keluarga menjadi 2 (dua) dimensi yaitu:
a. Work Interfering With The Family (WIF)
Menurut Kossek dan Ozeki dalam Reny (2011), WIF merupakan
konflik yang muncul ketika peran pekerjaaan mengganggu peran
30
31
seseorang dalam keluarga. Contoh WIF adalah ketika seorang wanita
karir yang juga seorang ibu, merasa pekerjaannya sebagai perawat
menghalanginya untuk dapat menghabiskan waktu dengan anak-anaknya
seperti membantu membimbing anaknya saat mengerjakan pekerjaan
rumah.
Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik pekerjaan
keluarga sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan
dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal.
Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan
peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan
orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya atau
sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga
dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan
dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu
seperti pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline
sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga. Tuntutan
keluarga di tentukan oleh sebagian besar keluarga, komposisi keluarga
dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketegantungan terhadap
anggota yang lain (Yang, et al, 2000).
Frone, et al. (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga
sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia
harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan
31
32
keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan
menunggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan
mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian
dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai
waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti
sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan
urusan keluarga sehingga menunggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-
keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan
dengan tanggung jawabnya ditempat kerja, seperti masuk kerja tepat
waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga
tuntutan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk
meluangkan waktu untuk pekerjaannya atau kegiatan yang berkenaan
dengan kariernya.
Sependapat dengan Frone et al (1992) mengemukaan bahwa konflik
pekerjaan-keluarga terjadi karena karyawan berusaha untuk
menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari
keluarga maupun yang berasal dari pekerjaannya. Gutek et al, (1991)
menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai dua
komponen, yaitu urusan keluarga mencampuri pekerjaan, konflik
pekerjaan-keluarga dapat timbul dikarenakan urusan pekerjaan
mencampuri urusan keluarga. Seperti banyaknya waktu yang dicurahkan
untuk menjalankan pekerjaan menghalangi seseorang untuk menjalankan
kewajibannya di rumah atau urusan keluarga, mencampuri urusan
32
33
pekerjaan (seperti merawat anak yang sakit akan menghalangi seseorang
untuk datang ke tempat kerja).
Beberapa peneliti menemukan bahwa wanita cenderung
menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga
wanita dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan-keluarga,
sebaliknya pria cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk
menangani urusan pekerjaan daripada wanita sehingga wanita dilaporkan
lebih banyak mengalami konflik pekerjaan-keluarga dari pada pria.
Menurut Triaryati (2003), tuntutan pekerjaan berhubungan dengan
tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti
pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline. Menurut
Boles, et al. (2001) bahwa indikator-indikator konflik pekerjaan-keluarga
adalah: tekanan kerja, banyaknya tuntutan tugas, kurangnya
kebersamaan keluarga, sibuk dengan pekerjaan dan konflik komitmen dan
tanggung jawab terhadap keluarga.
b. Family Interfering With The Work (FIW)
Menurut Kossek dan Ozeki dalam dalam Reny (2011), FIW
merupakan konflik yang muncul ketika peran seseorang dalam keluarga
mengganggu peran pekerjaan. Contoh FIW adalah ketika seorang wanita
karir yang merasa pekerjaannya terganggu karena harus mengantar
anaknya pergi sekolah.
Keluarga dapat dilihat dalam arti kata sempit, sebagai keluarga inti
yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk
33
34
berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (Ayah), istri (Ibu)
dan anak-anak mereka (Munandar, 1985). Keluarga adalah kesatuan dari
sejumlah orang yang saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka
menjalankan peranan sosial mereka sebagai suami, istri, dan anak-anak,
saudara laki-laki dan saudara wanita. Peran ini ditentukan oleh
masyarakat, tetapi peranan dalam tiap keluarga diperkuat oleh perasaan-
perasaan. Perasaan-perasaan tersebut sebagai berkembangnya
berdasarkan tradisi dan sebagian berdasarkan pengalaman dari masing-
masing anggota keluarga.
Hasil penelitian Pohan (2007) menemukan konflik peran ganda pada
perawat wanita di Rumah Sakit Umum Padangsidempuan tergolong
rendah sebanyak sebanyak 42 orang (31.58%), dan tidak ada (0%) orang
yang mengalami konflik peran yang tinggi, artinya perawat tersebut telah
mampu menyeimbangkan perannya dalam pekerjaan dan rumah tangga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cinnamon dan Rich (2002),
menunjukkan ibu yang bekerja ternyata lebih sering mengalami konflik
dan permasalahan serta lebih menekankan pentingnya permasalahan
keluarga dibandingkan pekerjaan, ketika keluarga sebagai domain yang
paling penting bagi kebanyakan wanita.
Menurut Frone el al. indikator-indikator konflik keluarga-pekerjaan
adalah:
34
35
1) Tekanan sebagai orang tua
Tekanan sebagai orang tua merupakan beban kerja sebagai orang
tua didalam keluarga. Beban yang ditanggung bisa berupa beban
pekerjaan rumah tangga karena anak tidak dapat membantu dan
kenakalan anak.
2) Tekanan perkawinan
Tekanan perkawinan merupakan beban sebagai istri didalam
keluarga. Beban yang ditanggung bisa berupa pekerjaan rumah tangga
karena suami tidak dapat atau tidak bisa membantu, tidak adanya
dukungan suami dan sikap suami yang mengambil keputusan tidak secara
bersamasama.
3) Kurangnya keterlibatan sebagai istri
Kurangnya keterlibatan sebagai istri mengukur tingkat seseorang
dalam memihak secara psikologis pada perannya sebagai pasangan
(istri). Keterlibatan sebagai istri bisa berupa kesediaan sebagai istri untuk
menemani suami dan sewaktu dibutuhkan suami.
4) Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua
Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua mengukur tingkat
seseorang dalam memihak perannya sebagai orang tua. Keterlibatan
sebagai orang tua untuk menemani anak dan sewaktu dibutuhkan anak.
5) Campur tangan pekerjaan
Campur tangan pekerjaan menilai derajat dimana pekerjaan
seseorang mencampuri kehidupan keluarganya. Campur tangan
35
36
pekerjaan bisa berupa persoalan-persoalan pekerjaan yang mengganggu
hubungan di dalam keluarga yang tersita.
Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) multidimensi
dari konflik peran ganda muncul dari masing-masing direction dimana
antara keduanya baik itu work-family conflict maupun family-work conflict
masing-masing memiliki tiga dimensi yaitu: time-based conflict, strain-
based conflict, behavior-based conflict. Greenhaus dan Beutell (dalam
Hennessy, 2005) mendefinisikan tiga dimensi dari konflik peran ganda,
yaitu:
a. Time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk
memenuhi peran lainnya artinya pada saat yang bersamaan seorang
yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua
atau lebih peran sekaligus.
b. Strain-based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu
peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya
yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan
merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan
nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Ketegangan peran ini bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat,
kecemasan, cepat marah dan sakit kepala.
c. Behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan
dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku
36
37
peran lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita yang merupakan
manajer eksekutif dari suatu perusahaan mungkin diharapkan untuk
agresif dan objektif terhadap pekerjaan, tetapi keluarganya mempunyai
pengharapan lain terhadapnya. Dia berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan ketika berada di kantor dan ketika berinteraksi di rumah
dengan keluarganya dia juga harus berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan juga.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda
Stoner et al. (1990) menyatakan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi konflik peran ganda, yaitu:
a. Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk
bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga.
b. Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka
semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga
maka semakin sedikit konflik.
c. Kepuasan kerja, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang
dirasakan semakin sedikit.
d. Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja
memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya
e. Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin
saja mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.
37
38
5. Konsekuensi dari konflik peran ganda
Konflik ibu bekerja, seringkali mengarah pada simptom klinis seperti
depresi, perasaan stres, bersalah, agresi, iri, dan malu (Hammen et al.
dalam Simon, 2002). Perasaan depresi ditemukan lebih bersifat kronis
dan berulang pada wanita dibanding pria, dengan waktu yang dihabiskan
wanita mengalami depresi rata-rata 21 % seumur hidup (Simon, 2002).
Beberapa peneliti menemukan bahwa ada hubungan antara konflik peran
ganda dengan psychological distress dan burnout. Sebagai contoh,
Schwartzberg dan Dytell (dalam Hennessy, 2005) mengatakan ada
pengaruh pekerjaan dan stres keluarga terhadap kesejateraan psikologis
dan burnout. Selanjutnya penelitian mengarah pada perbedaan gender
dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita menunjukkan level
distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan peran ganda.
C. Konsep Beban Kerja
1. Defenisi
Menurut Haryanto (dalam Kurnia, 2010) beban kerja adalah jumlah
kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok
orang selama periode waktu tertentu dalam keadaan normal. Sedangkan
menurut Kepmenpan no. 75/2004, beban kerja adalah sejumlah target
pekerjaan atau target hasil yang harus dicapai satu satuan waktu tertentu.
Dan menurut Permendagri No.12/2008, beban kerja adalah besaran
38
39
pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan
merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu.
Penjelasan Peraturan Pemerintah RI Nomor 97 tahun 2000 pasal 4
ayat (2) huruf c tantang Formasi Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa
beban kerja adalah frekuensi rata-rata masing-masing jenis pekerjaan
dalam jangka waktu tertentu, dimana dalam memperkirakan beban kerja
dari organisasi dapat dilakukan berdasarkan perhitungan atau
pengalaman
Beban kerja adalah keadaan dimana pekerja dihadapkan pada tugas
yang harus diselesaiakan dalam batas waktu tertentu. Beban kerja
berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres.
Beban kerja secara kuantitatif timbul akibat tugas-tugas terlalu banyak
atau sedikit, sedangkan secara kualitatif jika pekerja merasa tidak mampu
untuk melakukan tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan atau
potensi dari tenaga kerja. Beban kerja secara kuantitatif dan kualitatif
dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam kerja
yang sangat banyak, hal ini merupakan sumber tambahan stres.
Everly & Girdano (dalam munandar, 2001), menambahkan kategori
lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif
dan kualitatif. Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus
melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres
pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah
kondisi kerja, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat
39
40
mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat tertentu hal ini merupakan
motivasi dan menghasilkan prestasi, namun bila desakan waktu
menyebabkan banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan
seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban
berlebih kuantitatif.
Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana,
dimana banyak terjadi pengulangan akan timbul rasa bosan, rasa
monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari
terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan
berkurangnya perhatian. Hal ini secara potensial membahayakan jika
tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Beban
berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi
majemuk. Kemajemukan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja
dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika
kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang
lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan
pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destrutif. Pada titik tersebut
kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan
menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan
reaksi-reaksi emosional dan fisik.
40
41
Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan
gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari
beban berlebih kualitatif. Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan
keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan
keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan
potensialnya. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan
akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja.
Tenaga kerja akan merasa bahwa ia "tidak maju-maju" dan merasa tidak
berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Sutherlan &
Cooper dalam Munandar, 2001).
Dari penjelasan sebelumnya maka dapat disimpulkan, beban kerja
adalah tuntutan pekerjaan atau hasil yang harus dicapai oleh seseorang
atau sekelompok orang atau suatu jabatan selama periode waktu tertentu
dalam keadaan normal.
2. Dimensi beban kerja
Mintorogo dan Sudarmayanti (dalam Woon, 2008) menyatakan
bahwa hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai efisiensi dalam
menyelesaikan beban kerja adalah penggunaan pekerja, biaya, bahan,
fasilitas, waktu, dan ruangan secara tepat sesuai dengan rencana.
a. Beban kerja secara berlebihan (overload)
Dikatakan overload jika kondisi ini mencerminkan jumlah output
yang dihasilkan pegawai lebih besar dari target jumlah output yang
41
42
dihasilkan oleh pegawai lainnya berdasarkan standar waktu kerja yang
telah ditetapkan dan waktu normal penyelesaiannya (Haryono, 2005).
Menurut Schultz & Schultz (1998), terdapat dua jenis beban kerja
yang berlebihan, yaitu:
b. Quantitative overload (beban kerja berlebihan secara kuantitatif)
Beban berlebihan secara fisikal ataupun mental, yaitu harus
melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres
pekerja. Keharusan mengerjakan terlalu banyak tugas atau menyediakan
waktu yang tidak cukup untuk menyelesaikan tugas merupakan beban
yang terlalu berat bersifat kuantitatif (Schultz, 1998).
Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif adalah desakan
waktu (Munandar, 2006). Waktu dalam masyarakat bekerja menjadi hal
terpenting hal ini terbukti bahwa ada beberapa tugas/pekerjaan yang
harus dapat terselesaikan dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Keharusan mengerjakan terlalu banyak tugas atau menyediakan waktu
yang tidak cukup untuk menyelesaikan tugas merupakan beban yang
terlalu berat bersifat kuantitatif.
c. Qualitative overload (beban kerja berlebihan secara kualitatif)
Kemajuan teknologi informasi menuntut setiap individu untuk terus
berpikir kreatif sehingga menimbulkan kesulitan dalam menghadapi
pekerjaan (kemajemukan pekerjaan), kemajemukan pekerjaan ini yang
mengakibatkan adanya beban berlebihan kualitatif. Makin tinggi
kemajemukan pekerjaan makin tinggi stresnya. Kemajemukan pekerjaan
42
43
yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah
berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya
memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi dari
pada yang dimiliki (Munandar, 2006).
Beban kerja yang berlebihan (overload) adalah suatu kondisi yang
terjadi bila lingkungan memberi tuntutan melebihi kemampuan individu.
Dalam dunia industri, beban kerja yang berlebihan terjadi apabila suatu
pekerjaan menuntut kecepatan kerja, hasil kerja dan konsentrasi yang
berlebihan dari karyawan. Riggio (2000) menurutnya, beban kerja
dipercaya sebagai salah satu sumber yang paling besar menyebabkan
stres kerja.
Menurut Schabracq M.J. (1996) terlalu banyak tuntutan kerja,
terlalu kompleks dan sulitnya tugas, terlalu banyak variasi dan otonomi
dalam tugas dapat membawa baik tunggal maupun kombinasi dari
semuanya, keadaan task overload yang pada gilirannya menghasilkan
efek negatif ketika seseorang berusaha untuk menyelesaikan target
tersebut dengan keras. Ketika hal itu mengarah pada kesulitan dan
ketidakmungkinan pekerjaannya, maka akan membangkitkan stres yang
serius dan bahkan mengarah pada “kerusakan” performan dalam
menyelesaikan tugas.
d. Beban kerja dibawah rata-rata (underload)
Selain beban kerja yang berlebih, juga terdapat beban kerja yang
minimum. Dalam hal ini yang diistilahkan dengan work underload, yaitu
43
44
suatu pekerjaan yang terlalu sederhana atau tidak mampu mengisi waktu
kerja seseorang atau tidak mampu menantang kemampuan seseorang
(Schultz & Schultz, 1998). Menurut Schabracq (1996), pengertian
underload juga dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Quantitative underload (beban kerja dengan intensitas sedikit)
Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif yaitu apabila tugas kerja yang
tidak mampu menyediakan aktivitas yang mencukupi atau diharapkan,
dengan kata lain sedikitnya tugas yang harus dilakukan dapat
menimbulkan kebosanan sehingga menghasilkan berkurangnya
perhatian.
2) Qualitative underload (beban kerja yang sedikit kesulitannya)
Yaitu tugas kerja yang tidak menarik kemampuan dan motivasi
seseorang. Mempunyai sedikit hal untuk dikerjakan dapat menjadi
sumber stres yang terjadi ketika pekerja merasa pekerjaannnya tidak lagi
menggunakan pengetahuan, ketrampilan atau kemampuan yang
dimilikinya, atau ketika pekerjaan menjadi membosankan dan monoton
(Riggio, 2002).
Menurut Schabracq (1996), bahwa terlalu rendah tuntutan kerja,
terlalu mudah dan sederhananya tugas, terlalu kecil kemungkinan
otonomi, terlalu sedikit variasi dan terlalu pendek sirkulasi kerja dapat
mempengaruhi kemampuan dan kemauan untuk menyelesaikan tugas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, dimensi dari persepsi
beban kerja secara kuantitatif yaitu terlalu banyak tugas dan desakan
44
45
waktu. Sedangkan kemajemukan pekerjaan dan tuntutan pekerjaan
merupakan dimensi dari persepsi beban kerja secara kualitatif.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Beban Kerja (Kamalia,
2006).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi beban kerja :
a. Time pressure (tekanan waktu)
Dalam studi tentang overload, fokus utamanya adalah pada
pengalaman seseorang terhadap tekanan waktu (time pressure) dalam
melakukan pekerjaan. Pengalaman akan tekanan waktu diperoleh dari
aspek kerja yang obyektif, seperti jumlah problem dalam kerja. Banyak
pekerjaan yang melibatkan fluktuasi workload secara sistematik dan
mengarah ke peningkatan tuntutan kerja pada pegawai untuk waktu yang
pasti disetiap hari, minggu, bulan, atau bahkan tahun. Namun secara
umum hal ini berhubungan dengan job related deadline, seperti diakhir
tugas proyek. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa level time
pressure yang tinggi berhubungan dengan buruknya kesejahteraan (well
being) seseorang.
b. Work schedule atau working hours
Banyak pekerja yang tidak bahagia tentang jumlah yang mereka
habiskan untuk pekerjaan mereka, terutama jika pekerjaan mereka
sekarang waktunya sangat panjang. Jumlah waktu untuk melakukan kerja
berkontribusi terhadap pengalaman akan tuntutan kerja yang merupakan
salah satu faktor penyebab stres di lingkungan kerja. Studi pada pekerja
45
46
full time melaporkan waktu kerja yang panjang berhubungan dengan
distres psikis. Hal ini berhubungan penyesuaian waktu antara keluarga
dan pekerjaan terutama jika pasangan suami istri sama-sama bekerja.
Jadwal standar kerja adalah 8 jam sehari selama seminggu. Untuk kajian
ini terdapat 3 tahap tipe jadwal:
1) Night shift. Waktu shift malam hari dapat mempengaruhi perubahan
siklus tubuh (circadian rhythms) secara fisik, termasuk perubahan
temperatur tubuh, perubahan level hormon pada tekanan darah, dan
mengganggu siklus alami tubuh yang butuh istirahat (natural rythms of
sleep), dimana hal ini dapat berpengaruh pada kesehatan.
2) Long shift. Shift kerja full time biasanya 8 jam perhari, namun ada
kalanya pekerja menbutuhkan lebih daripada standart waktu kerja
yang ditentukan, waktu lembur atau memang pekerjaan yang
beroperasi siang malam, seperti supir bis atau truk. Walaupun
terkadang banyak pegawai yang lebih memilih lembur untuk
mendapatkan upah tambahan, namun hal ini justru berdampak buruk
terhadap kesehatan berkaitan dengan lamanya shift kerja.
3) Flexible work schedule. Jadwal kerja yang telah tersusun adalah
pedoman bagi hampir semua organisasi, namun beberapa
perusahaan mencoba jadwal kerja yang flexible, disini berarti pekerja
memilih sendiri berapa jam perhari mereka akan bekerja. Oleh karena
pekerja dapat mengurus sendiri personal bussines-nya dalam waktu
46
47
yang mereka tetapkan sendiri sehingga dapat meningkatkan
performance kerja dan kepuasan.
4) Role ambiguity dan role conflict. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan role ambiguity diantaranya adalah meningkatkan
kompleksitas dari tugas dan tekhnologi, perubahan organisasi yang
cepat, serta posisi dalam organisasi. Sementara yang tidak konsisten
bertentangan atau tidak cocok dengan individu, jika mereka diminta
mengerjakan tugas diluar domain kerja professional mereka (Farber,
1983). Role ambiguity dan role conflict tersebut dapat mempengaruhi
persepsi seseorang terhadap beban kerjanya. Apakah sebagai hal
yang mengancam atau malah menentang.
5) Hearing overload / load noise. Kebisingan biasanya terjadi pada
pekerjaan yang melibatkan peralatan kerja seperti mesin-mesin,
seperti di lapangan udara, pabrik atau pertambangan. Kondisi tersebut
dapat mempengaruhi pekerjaan dalam hal kesehatannya dan
performancenya. Pekerja yang mempersepsikan kondisi kerjanya
sangat bising dapat mempengaruhi efektivitas kerjanya dalam
menyelesaikan tugas, dimana dapat mengganggu konsentrasi dan
otomatis mengganggu pencapaian tugas, sehingga dapat dipastikan
semakin memperberat beban kerjanya.
6) Information overload. Banyak informasi yang masuk dan harus diserap
pekerja dalam waktu yang bersamaan dapat menyebabkan beban
kerja semakin berat. Kemajuan teknologi dan penggunaan fasilitas
47
48
kerja yang serba canggih membutuhkan adaptasi tersendiri dari
pekerja. Semakin kompleks informasi yang diterima dimana masing-
masing menurut konsekuensinya yang berbeda dapat mempengaruhi
proses pembelajaran pekerja dan efek lanjutnya bagi kesehatan jika
tidak tertangani dengan baik.
7) Temperature extrime / heat overload. Sama halnya dengan kebisingan,
faktor kondisi kerja yang beresiko, seperti tingginya temperatur dalam
ruangan juga berdampak pada kesehatan, hal ini utamanya jika
kondisi tersebut berlangsung lama dan tidak ada peralatan
pengamannya, seperti pakaian yang dapat memelihara temperatur
badan supaya tetap normal.
8) Repetive action. Banyaknya pekerjaan yang membutuhkan aksi tubuh
secara berulang, seperti pekerja yang menggunakan computer dan
menghabiskan sebagian besar waktunya mengetik, atau pekerja
assembly line yang harus mengoperasikan mesin dengan prosedur
yang sama setiap waktu. Aksi yang repetitive ini dapat mengarah ke
repetitive strain injuries, menyebabkan bagian tubuh menjadi rusak
secara permanen.
9) Aspek ergonomic dalam lay out tempat kerja. Untuk menjaga agar
pekerjaan tetap berada dalam wilayah kerja yang normal, maka tidak
cukup dengan mengoptimasi lay out tempat kerja. Namun lay out
tersebut harus menghasilkan posisi anatomi yang baik dan layak.
Pekerja yang setiap harinya harus mondar-mandir dalam melakukan
48
49
kerjanya. Melakukan kerja dengan posisi tubuh yang tidak seimbang
(terlalu banyak berdiri) atau peralatan kerja yang tidak sesuai (terlalu
tinggi atau terlalu rendah) dan sebagainya dapat mempengaruhi
anggota tubuh, seperti otot menegang, kecapekan dan sebagainya.
Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap beban tugas yang harus diselesaikan.
4. Dampak Persepsi Beban Kerja
Persepsi beban kerja dapat menimbulkan dampak terhadap
karyawan: (Winaya, 1989)
a. Kualitas kerja menurun
Beban kerja yang terlalu berat tidak dapat diimbangi dengan
kemampuan tenaga kerja. Kelebihan beban kerja akan mengakibatkan
menurunnya kualitas kerja karena kelelahan fisik dan turunnya
konsentrasi, pengawasan diri dan akurasi kerja, sehingga hasil kerja
tidak sesuai dengan standar.
b. Keluhan pelanggan
Keluhan pelanggan timbul karena hasil kerja yaitu pelayanan yang
diterimanya tidak sesuai dengan yang diharapkan atau tidak sesuai
dengan standar.
c. Kenaikan tingkat absensi
Beban kerja yang berlebihan dapat pula menyebabkan tenaga kerja
menjadi terlalu lelah atau sakit. Hal ini akan berakibat buruk bagi
49
50
kesejahteraan karyawan dan tingkat absensi yang terlalu tinggi sehingga
akan mengganggu kelancaran operasional.
D. Konsep Stres Kerja
1. Defenisi Stres Kerja
Stres berhubungan dengan dengan situasi lingkungan yang
dipersepsikan sebagai suatu tekanan yang melampaui kemampuan dan
keadaan diri seseorang untuk mengatasinya (McGrath, dalam
Chandraiah, dkk, 2003). Penghayatan stres ditentukan oleh penafsiran
tentang tuntutan apa yang dihadapi dan oleh analisis dari sumber-sumber
yang dimiliki untuk mampu menghadapi tuntutan (Munandar, 2001).
Stres adalah tekanan yang terlalu besar bagi individu (Towner, 2002)
Terjadinya stress di tempat kerja hampir tidak dapat dihindari dalam
banyak jenis pekerjaan. Menurut Hawari (2001), yang dimaksud dengan
stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. National Safety Council (2004) di Amerika
Serikat, mendefenisikan stres adalah sebagai ketidakmampuan mengatasi
ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual
manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik
manusia tersebut. Stres itu sangat bersifat personal, setiap orang memiliki
tingkatan toleransi tertentu pada tekanan di setiap waktunya, yaitu
kemampuan kita untuk mengatasi atau tidak mengatasinya. Stres menurut
Robbin (2001) adalah suatu kondisi dinamis dimana individu dihadapkan
50
51
pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh
tetapi tidak dapat dipastikan.
Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang
disebut stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam
Cooper, 2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan
dinamis dimana stressor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon
singkat, dampak kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan.
Cooper (1998) mengemukakan bahwa stres kerja adalah
ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, di mana
tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai
perubahan lingkungan atau keadaan. Menurut Handoko (2000) Stres kerja
merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berpikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat
mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Selye
(dalam Beehr, 1995) menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan
sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu
berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi stres kerja adalah interaksi
antara kondisi kerja dengan sifat-sifat karyawan yang bekerja yang
merubah fungsi normal secara fisik, psikologis maupun perilaku yang
berasal dari tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan karyawan atau
kondisi lingkungan yang menimbulkan stres yang dapat menyebabkan
51
52
pengaruh negatif bagi karyawan maupun organisasi tempat dia bekerja
yang membutuhkan solusi baik itu dari personal maupun perusahaan.
2. Penyebab Stres Kerja
Menurut Ivancevich dan Matteson (1980), penyebab stress yang
diakibatkan oleh peran seseorang dalam menjalani suatu profesi tertentu.
Peran yang dimaksud adalah sebagai perawat ditempat kerja seperti:
kelebihan beban kerja, tanggung jawab atas orang lain, perkembangan
karier, kurangnya kohesi kelompok, dukungan kelompok yang tidak
memadai, struktur dan iklim organisasi, wilayah dalam organisasi,
karakteristik tugas, pengaruh kepemimpinan.
Menurut National Safety Council (2004), penyebab stres kerja
dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu :
a. Penyebab Organisasional yang terdiri dari :
1) Otonomi yaitu kemandirian perawat dalam menjalankan tugasnya serta
tidak membutuhkan pengawasan yang ketat dari atasannya.
2) Relokasi pekerjaan (mutasi) yaitu perpindahan tempat kerja seseorang
dari satu bagian/unit ke bagian/unit yang lain.
3) Karier yaitu jabatan yang diduduki seseorang dalam pekerjaannya.
4) Beban kerja yaitu pekerjaan yang diterima atau diemban seseorang
yang di dukung dengan tanggung jawab dari pekerjaan tersebut.
5) Interaksi dengan pasien yaitu kontak langsung antara pasien dengan
perawat dalam asuhan keperawatan yang dilaksanakan oleh seorang
perawat.
52
53
b. Penyebab Individual yang terdiri dari :
1) Keluarga yaitu dukungan yang berasal dari suami/isteri dan anak-anak
serta sanak saudara dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
2) Kejenuhan yaitu adanya kebosanan dengan pekerjaan yang selalu
sama sepanjang tahun dan sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu
sering atau banyak.
3) Konflik dengan rekan kerja yaitu ketidak sesuaian antara dua atau
lebih anggota atau kelompok di tempat kerja.
4) Kepribadian. Menurut Andrew Goliszek (2005), dalam buku
manajemen stres terdapat tiga tipe kepribadian yaitu kepribadian tipe
A, tipe B dan tipe AB. Kepribadian tipe AB merupakan kebanyakan
orang yang memiliki sebagian tipe A dan sebagian tipe B. Sebagian
karena mengetahui cara berelaksasi serta tidak terlalu agresif dan
kompetitif.
5) Umur. DeFleur et al. (1981) menyatakan salah satu konsekuensi
penting dari komposisi umur menurut Popenoe (1977) adalah
berhubungan dengan produktivitas, kemampuan untuk memproduksi
barang dan jasa, sehingga pekerja industri yang terlalu muda atau
terlalu tua secara ekonomi tidak produktif sehingga berpotensi
menimbulkan stres. Secara kejiwaan pekerja yang lebih tua akan
memiliki kematangan, ketenangan dan ketekunan dalam bekerja
sehingga umur dapat dijadikan prediktor kinerja yang kuat.
53
54
6) Pendidikan dan masa kerja. Van Dyne & Ang (1998) menemukan
bahwa masa kerja dan pendidikan mencerminkan bahwa selain
dipandang memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang operasi
organisasi, serta mempunyai komitmen dan loyalitas yang lebih kuat
sehingga diduga akan mempunyai sifat altruistik dan kerelaan yang
lebih tinggi dibandingkan yang lebih muda. Pekerja senior juga dinilai
lebih berpengalaman dalam menangani problema yang terjadi di
lapangan (Sims & Keenan, 1998) dan merupakan prediktor yang kuat
terhadap komitmen dan kepuasan kerja (Steers & Porter, 1981; Neil &
Snizek, 1998) sehingga secara langsung atau tidak akan berpengaruh
terhadap kinerja.
7) Jumlah anak. Terdapat bukti bahwa secara fisik dan emosional pria
atau wanita yang menikah lebih baik dibandingkan dengan yang tidak
menikah; lebih rendah tingkat sakit kejiwaan, lebih baik tingkat
kesehatannya dan mempunyai hidup yang lebih lama (Popenoe,
1977), sehingga patut diduga bahwa sifat toleran yang dimilikinya akan
meningkat pula. Jumlah anak penting untuk diperhatikan karena
peningkatan variabel tersebut yang melampaui titik optimal akan
mempengaruhi kesejahteraan psikologi dan juga ekonomi karyawan
sehingga pada akhirnya mempengaruhi pula perilakunya dalam
bekerja (Aryee et al., 1998).
54
55
c. Penyebab Lingkungan.
Menurut Grainger (1999), petugas kesehatan dalam menjalankan
tugasnya menghadapi banyak sekali stressor diantaranya : 1) menghadapi
pasien yang : menderita, sekarat, lumpuh, kematian pasien, 2) harus
selalu bersikap baik kepada orang yang mungkin tidak disukai, 3)
berbicara dengan kerabat pasien, bertatatap muka langsung dengan
orang lain, 4) waktu kerja yang lama dan kerja shift, 5) melakukan
tindakan yang bersifat traumatis, 6) kemajuan teknologi, 7) pertanggung
jawaban terhadap manusia, 8) akibat yang sangat besar dari keputusan
yang salah, 9) risiko penularan penyakit akibat pekerjaan, 10)
pengharapan dan tuntutan masyarakat, 11) risiko kekerasan fisik, 12)
pengembangan karir yang tidak dapat diramalkan.
Luthan (2006) menjelaskan bahwa stress tidak secara otomatis
buruk bagi karyawan perseorangan atau kinerja organisasi mereka. Dalam
kenyataannya, secara umum diketahui bahwa tingkat stress yang rendah
dapat meningkatkan kinerja dan peningkatan aktivitas, perubahan dan
kinerja yang baik. Antesenden stress sering disebut juga dengan stress
yang mempengaruhi karyawan penyebabnya berasal dari luar dan dalam
organisasi, dari kelompok yang dipengaruhi karyawan dan dari karyawan
itu sendiri.
3. Gelaja Stres Kerja
Beehr dan Newman (dalam Rice, 1992) telah memeriksa sejumlah
penelitian tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam tiga tipe dari
55
56
hasil negatif individu terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala
psikologis, dan gejala perilaku.
a. Gejala fisik dari stres kerja yang termasuk dalam gejala-gejala fisik
yaitu :
1) Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah
2) Meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin
3) Timbulnya gangguan perut
4) Kelelahan fisik
5) Kematian
6) Timbulnya penyakit kardiovaskuler
7) Ketegangan otot
8) Keringat berlebihan
9) Gangguan kulit
10) Sakit kepala
11) Kanker
12) Gangguan tidur
Salah satu masalah yang membuat hubungan antara pekerjaan-
stres-kesehatan adalah beberapa wanita yang bekerja membawa masalah
kesehatan fisiknya ke pekerjaan. Hal ini bisa berhubungan dengan
perilaku yang berisiko tinggi pada lingkungan sosial. Kondisi tempat kerja
bisa memperberat masalah kesehatan, walaupun hal ini membuat lebih
nyata tetapi pekerjaanlah yang berindikasi besar pada masalah
kesehatan.
56
57
b. Gejala psikologis dari stres kerja yang termasuk dalam gejala-
gejala psikologis yaitu :
1) Ketegangan, kecemasan, kebingungan, dan mudah tersinggung
2) Perasaan frustasi, marah, dan kesal
3) Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif
4) Perasaan tertekan
5) Kemampuan berkounikasi efektif menjadi kurang
6) Menarik diri dan depresi
7) Persaan terisolir dan terasing
8) Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja
9) Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual
10)Menurunnya harga diri
Kemungkinan besar prediksi efek stres kerja adalah ketidakpuasan
pekerjaan. Ketika hal ini muncul, seseorang merasa kurang termotivasi
untuk bekerja, tidak bekerja dengan baik, atau tidak melanjutkan
pekerjaan. Gejala-gejala ini muncul pada tahapan yang berbeda di dalam
perjalanan dari pekerjaan tersebut dan bervariasi antara satu orang
dengan yang lainnya.
c. Gejala perilaku dari stres kerja yang termasuk dalam gejala-gejala
perilaku yaitu:
1) Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan
2) Kinerja dan produktivitas menurun
3) Meningkatnya penggunaan alcohol dan obat-obat terlarang
57
58
4) Melakukan sabotase pada pekerjaan
5) Makan berlebihan sebagai pelarian yang bisa mengakibatkan obesitas
6) Mengurangi makan sebagai perilaku menarik diri dan berkombinasi
dengan depresi.
7) Kehilangan selera makan dan menurunnya berat badan secara tiba-
tiba
8) Meningkatnya perilaku yang berisiko tinggi
9) Agresif, brutal, dan mencuri
10) Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman
11) Kecenderungan melakukan bunuh diri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa gejala stres kerja merupakan
gejala yang kompleks, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, maupun
perilaku. Namun demikian gejala tersebut tidak muncul bersamaan
waktunya pada seseorang, kemunculannya bersifat kumulatif, yang
sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama, hanya saja tidak
terdeteksi jika tidak menunjukkan perilaku tertentu.
4. Stres Kerja Perawat Wanita
Perawat sebagai sumber daya manusia yang bekerja di rumah sakit,
dalam melaksanakan pekerjaannya dihadapkan pada kondisi-kondisi
(karakteristik organisasi) yang dapat menimbulkan stres kerja. Menurut
Cox (1996), ciri-ciri situasi kerja perawat yang penuh dengan stres, antara
lain :
58
59
a. Bekerja dengan kebutuhan-kebutuhan yang menimbulkan ancaman :
pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang tidak sesuai untuk
mengatasi masalah keperawatan,
b. Pekerjaan tidak sesuai dengan kebutuhan,
c. Situasi dimana perawat memiliki sedikit kontrol terhadap pekerjaan
berlebih
d. Situasi dimana perawat menerima sedikit dukungan dalam pekerjaan
dan diluar pekerjaan.
Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa stressor kerja pada
perawat sangat bervariasi, antara lain penelitian Ilmi (2005) pada perawat
di ruang rawat inap RSU Ulin Banjarmasin menemukan bahwa perawat
mengalami stres kerja tergolong tinggi yaitu 47 %, stres kerja stresor
kerja pada perawat sesuai urutannya adalah beban kerja berlebih sebesar
82%, pemberian upah yang tidak adil 58%, kondisi kerja 52%, tidak
diikutkan dalam pengambilan keputusan 45%. Penelitian yang dilakukan
Gustian (2010) di RSU Pasaman Barat menemukan 67.8 % perawat
mengalami stres kerja. Demikian hanya hasil penelitian Jamal (1992) dan
juga Ree dan Cooper (dalam Almasitoh, 2011) yang menyatakan bahwa
perawat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibanding dengan anggota
medis lainnya.
Menurut Rini (2002), sejak jaman dahulu hingga kini, persoalan yang
dihadapi oleh kaum wanita yang bekerja di luar rumah sepertinya tidak
jauh berbeda. Berbagai hambatan dan kesulitan yang mereka alami dari
59
60
masa ke masa, berasal dari sumber-sumber bagi wanita yang bekerja
dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Faktor internal
Yang dimaksud dengan faktor internal adalah persoalan yang timbul
dalam diri pribadi wanita yang bekerja tersebut. Ada di antara para wanita
yang bekerja tersebut lebih senang jika dirinya benar-benar hanya
menjadi ibu rumah tangga, yang sehari-harinya di rumah dan mengatur
rumah tangga. Namun, keadaan “menuntut”nya untuk bekerja, untuk
menyokong keuangan keluarga. Kondisi tersebut mudah menimbulkan
stres karena bekerja bukanlah timbul dari keinginan diri namun seakan
tidak punya pilihan lain demi membantu ekonomi rumah tangga. Biasanya,
para wanita yang bekerja mengalami masalah yang demikian, cenderung
merasa sangat lelah (terutama secara psikis), karena seharian
“memaksakan diri” untuk bertahan di tempat kerja.
b. Faktor eksternal
1) Dukungan suami
Dukungan suami dapat diterjemahkan sebagia sikap penuh
pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif, ikut
membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus
anak-anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap
karir atau pekerjaan istrinya. Di Indonesia, iklim patrilinial yang sangat
kuat, turut menjadi faktor yang membebani peran wanita yang bekerja,
karena masih terdapat pemahaman bahwa pria tidak boleh mengerjakan
60
61
pekerjaan wanita, apalagi ikut mengurus masalah rumah tangga. Masalah
rumah tangga adalah kewajiban sepenuhnya seorang istri. Masalah yang
kemudian timbul akibat bekerjanya istri, sepenuhnya merupakan
kesalahan dari istri dan untuk itu ia harus bertanggung jawab
menyelesaikannya sendiri. Keadaan itu akan menjadi sumber tekanan
yang berat bagi istri, sehingga ia pun akan sulit merasakan kepuasan
dalam bekerja. Kurangnya dukungan suami, membuat peran wanita yang
bekerja di rumah pun tidak optimal karena terlalu banyak yang masih
dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja.
Akibatnya, timbul rasa bersalah karena merasa diri bukan wanita yang
bekerja dan istri yang baik.
2) Kehadiran anak
Masalah pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh wanita
yang bekerja yang mempunyai anak kecil/balita. Semakin kecil usia anak,
maka semakin besar tingkat stres yang dirasakan. Rasa bersalah karena
meninggalkan anak untuk seharian bekerja, merupakan persoalan yang
sering dipendam oleh para wanita yang bekerja. Apalagi jika pengasuh
yang ada tidak dapat dipercaya, sementara tidak ada famili lain yang
dapat membantu.
3) Masalah pekerjaan
Pekerjaan bisa menjadi sumber ketegangan dari stres yang besar
bagi para wanita bekerja. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, bos yang
tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di
61
62
tempat kerja, rekan-rekan yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang
sangat panjang, ataupun ketidaknyamanan psikologis yang dialami akibat
dari masalah sosial politis di tempat kerja. Situasi demikian akan membuat
wanita yang bekerja menjadi sangat lelah, sementara kehadirannya masih
sangat dinantikan oleh keluarga di rumah. Kelelahan psikis dan fisik itulah
yang sering membuat mereka sensitif dan emosional, baik terhadap anak-
anak maupun terhadap suami. Keadaan ini biasanya makin intens, jika
situasi di rumah tidak mendukung suami dalam keadaan rileks, santai dan
hangat merupakan kegiatan penting yang tidak bisa diabaikan, untuk
membina, mempertahankan dan menjaga kedekatan relasi serta
keterbukaan komunikasi satu dengan yang lain.
5. Pengaruh Konflik Peran Ganda terhadap, beban kerja,stress Kerja dan
burnout
Berdasarkan teori yang relevan mendukung beberapa prediksi yang
menyatakan bahwa konflik peran ganda mengarah pada stress kerja.
Teori peran menjelaskan bahwa konflik peran individu terjadi ketika
pengharapan dalam hal kinerja salah satu peran menimbulkan kesulitan
dalam peran lain (Judge et al 1994). Konflik pekerjaan-keluarga
cenderung mengarah pada stress kerja karena ketika urusan pekerjaan
mencampuri kehidupan keluarga, tekanan sering kali terjadi pada individu
untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan
menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga. Sama halnya dengan
konflik keluarga-pekerjaan dapat mengarah pada stress kerja dikarenakan
62
63
banyaknya waktu yang dibutuhkan dalam menangani urusan pekerjaan
dan ini merupakan sumber potensial terjadinya stress kerja (Judge et al,
1994).
Kuntari (2000) menguji perbedaan jender khususnya berkaitan
dengan karir. Hasilnya tidak terdapat perbedaan jender dalam hal
pengalaman organisasi, evaluasi kinerja dan hasil karir pada auditor pria
dan wanita. Beberapa penelitian diatas menunjukkan tidak selalu wanita
yang bekerja mendapat peluang dan tempat yang seimbang dengan pria,
walaupun kemungkinan ia bekerja secara profesional.
Banyak bukti yang menjelaskan bahwa tekanan antara peran
keluarga dan pekerjaan dapat mengarah pada penurunan fisik dan
psikologis perawat wanita/karyawan (Thomas & Ganster, 1995). Tekanan
untuk mengembangkan dua peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya
stress. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan salah satu bentuk konflik
antar peran dimana tekanan dari pekerjaan mengganggu pelaksanaan
peran keluarga. Thomas & Ganster menyatakan bahwa 38% pria dan 43%
wanita yang sudah menikah dan memiliki pekerjaan serta anak dilaporkan
mengalami konflik pekerjaan-keluarga dan keluarga-pekerjaan terhadap
stess kerja dan hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa tekanan
untuk menyeimbangkan stress kerja tetapi juga ketidakpuasan kerja,
depressi, kemangkiran dan penyakit jantung.
Menurut Abraham & Shanley (1997) lima sumber stres kerja
perawat secara umum adalah beban kerja berlebih, kesulitan
63
64
berhubungan dengan staf lain, kesulitan merawat pasien kritis, berurusan
dengan pengobatan dan perawatan pasien dan kegagalan merawat.
Penelitian yang dilakukan oleh Bahrul (2003) memperkuat pendapat di
atas bahwa dalam penelitiannya memaparkan bahwa stresor pada
karyawan cukup bervariasi, berdasarkan urutannya lima stresor terbesar
adalah: 1) beban kerja berlebih sebesar 82,2%; 2) pemberian upah yang
tidak adil 57,9%; 3) kondisi kerja 52,3% ; 4) beban kerja kurang 48,6%; 5)
tidak diikutkan dalam pengambilan keputusan 44,9%.
Penyebab terjadinya burnout pada perawat antara lain (Suyanto,
2008): 1) peran dan fungsi kurang jelas, 2) merasa terisolasi, 3) beban
kerja berlebihan, dan 4) terlalu lama pada suatu bagian. Bekerja pada
satu unit perawatan akan menyebabkan kejenuhan (burnout) sehingga
perubahan tugas dan tanggung jawab perlu dilakukan. Misalnya dari
perawat pelaksana menjadi ketua tim.
Fluktuasi beban kerja merupakan bentuk lain dari pembangkit stres
kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan dan saat-saat
lain bebannya bisa berlebihan. Situasi tersebut dapat kita jumpai pada
tenaga kerja yang bekerja pada rumah sakit khususnya perawat.
Keadaan yang tidak tepat tersebut dapat menimbulkan kecemasan,
ketidakpuasan kerja dan kecenderungan meninggalkan kerja (Munandar,
2006). Menurut Kusmiati (dalam Haryani, 2008) yang mempengaruhi
beban kerja perawat adalah kondisi pasien yang selalu berubah, jumlah
rata-rata jam perawatan yang di butuhkan untuk memberikan pelayanan
64
Burnout :Physical exhaustion
Emotional exhaustionDepersonalisasi
Low personal accomplishment
Konflik keluarga-pekerjaan (peran
ganda)
Stres kerja
Beban Kinerja
Work interfering with the family(WIF)Family Interfering With The Work (FIW)
Faktor organisasiFaktor lingkunganFaktor individu
Quantitative overloadQualitative overload
65
langsung pada pasien serta dokumentasi asuhan keperawatan. Semakin
bertambah beban kerja yang ditanggung oleh perawat maka akan
semakin besar risiko perawat yang bekerja di tempat tersebut untuk
terkena stres kerja yang kemungkinan dapat menimbulkan burnout.
E. Kerangka teoritis
Berdasarkan tinjauan teoritis diatas maka dapat digambarkan
kerangka teori konflik peran ganda, stress kerja, beban kerja dengan
burnout kinerja perawat wanita.
Gambar 3.1 Model Analisis Penelitian (Sumber : literatur yang diolah)
65
66
BAB III
KERANGKA KONSEP DEFENISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS
B. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan sebelumnya maka
hubungan antara variabel konflik peran ganda, stress kerja, beban kerja
hubungannya dengan burnout perawat wanita di rumah sakit, sebagai
berikut:
V.Independen V.Dependen
V.Confounding
Gambar 3.1 Hubungan antara variabel konflik ganda,stress kerja, beban kerja dengan Burnout perawat wanita di RS Haji Makassar (Sumber: dikembangkan untuk tesis ini)
66
Burnout
UmurPendidikanMasa kerja
Konflik peran ganda
Stres Kerja
Beban Kerja
67
C. Variabel penelitian
Variabel penelitian adalah obyek yang akan diselidiki (Sutrisno Hadi,
2000). Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Adapun
variabel-variabel itu adalah:
1. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah burnout (Y).
2. Variabel confounding dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan,
masa kerja.
3. Variabel independen adalah konflik peran ganda, stres kerja dan
beban kerja (X).
D. Defenisi Opersional
Untuk mengetahui pengertian yang jelas tentang variable-variabel
dalam penelitian ini, maka dapat dirumuskan batasan operasional tiap-tiap
variabel sebagai berikut :
Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur
KonflikPeran ganda
adalah ketidakcocokan antara harapan yang berkaitan dengan suatu peran yang dialami perawat wanita yakni sebagai ibu rumah tangga dan sebagai perawat dimana dalam kondisi yang demikian, kedua peran tersebut akan menimbulkan konflik sehingga salah satu peran tidak dapat dijalankan dengan baik. Indikator :- Work interfering with the
family(WIF)
Kuesioner Dari 12 kuesioner yang menggunakan skala likert bobot terendah adalah 1 dan tertinggi adalah 4, sehingga 1 x 12 = 12 ditambah 4 x 12 = 48, hasilnya dijumlahkan lalu di bagi dua, sehingga kriteria objektif dari penelitian ini adalah:
Ordinal
67
68
- Family Interfering With The Work (FIW)
- Mengalami konflik peran ganda (skor ≥ 30)
- Tidak mengalami konflik peran ganda (skor< 30)
Stress kerja Suatu keadaan yang menyebabkan seorang perawat tertekan dan tidak nyaman yang dapat mempengaruhi dirinya secara fisik,psikologis dan sosial yang disebabkan kerja. Indikator :- Faktor Individu,- Faktor Organisasi - Faktor Lingkungan
Kuesioner Dari 15 kuesioner yang menggunakan skala likert bobot terendah adalah 1 dan tertinggi adalah 4, sehingga 1 x 15 = 15 ditambah 4 x 15 = 60, hasilnya dijumlahkan lalu di bagi dua, sehingga kriteria objektif dari penelitian ini adalah:- Mengalami
stress kerja (skor ≥ 38)
- Tidak Mengalami Stress kerja (skor< 38)
Ordinal
Beban kerja
adalah keadaan dimana perawat dihadapkan pada tugas dan pekerjaan yang harus dilakukan perawat baik secara kuantitatif yaitu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan maupun secara kualitatif yaitu tingkat kesulitan atau kerumitan kerja.Indikator :- Kuantitatif- Kualitatif
Kuesioner Dari 22 kuesioner yang menggunakan skala likert bobot terendah adalah 1 dan tertinggi adalah 4, sehingga 1 x 22 = 22 ditambah 4 x 22 = 88, hasilnya dijumlahkan lalu di bagi dua, sehingga kriteria objektif dari penelitian ini adalah:
Ordinal
68
69
- Beban kerja berat (skor ≥ 55)
- Beban kerja optimal (skor< 55)
Burnout suatu sindrom psikologis yang meliputi kelelahan fisik, kelelahan emosional dan kelelahan mental yang menyebabkan perubahan sikap dan perilaku, penurunan pencapaian prestasi diri dan depersonalisasi, dengan indikator :- Physical exhaustion,- Emotional exhaution - Depersonalization- low or reduced personal
accomplishment
Kuesioner Dari 41 kuesioner yang menggunakan skala likert bobot terendah adalah 1 dan tertinggi adalah 4, sehingga 1 x 41 = 41 ditambah 4 x 41 = 164, hasilnya dijumlahkan lalu di bagi dua, sehingga kriteria objektif dari penelitian ini adalah:- Burnout (skor ≥
103)- Tidak burnout
(skor< 103)
Ordinal
Usia Umur hidup perawat pelaksana dalam tahun sejak lahir sampai saat menjadi responden
Kuesioner Nilai median:-Muda < 31
tahun- Tua ≥ 31
tahun
Ordinal
Pendidikan Jenis jenjang pendidikan formal yang telah dicapai berdasarkan ijazah terakhir responden
Kuesioner - Diploma III keperawatan- S1
keperawatan
Ordinal
Masa kerja Masa kerja (dalam tahun) sebagai perawat terhitung sejak pertama kali bekerja di Rumah Sakit Haji Makassar
Kuesioner Nilai median:- Baru = < 5
tahun- Lama ≥ 5
tahun
Ordinal
69
70
E. Hypotesis
Hipotesis kerja yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Terdapat hubungan konflik peran ganda dengan stress kerja perawat
wanita di RS Haji Makassar
2. Terdapat hubungan beban kerja dengan stress kerja perawat wanita di
RS Haji Makassar
3. Terdapat hubungan konflik peran ganda dengan burnout perawat
wanita di RS Haji Makassar
4. Terdapat hubungan beban kerja dengan burnout perawat wanita di RS
Haji Makassar
5. Terdapat hubungan stres kerja dengan burnout perawat wanita di RS
Haji Makassar
6. Terdapat faktor yang paling dominan berhubungan dengan terjadinya
stress kerja perawat wanita di RS Haji Makassar
7. Terdapat faktor yang paling dominan berhubungan dengan terjadinya
burnout perawat wanita di RS Haji Makassar
70
71
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui korelasi antara faktor risiko dengan faktor
efek, dengan pendekatan cross sectional yaitu untuk mempelajari
dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat
(Notoatmodjo, 2010).
B. Waktu Dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RS Haji Makassar pada tanggal 21 Juni
s/d 10 Juli 2013.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sugiyono (2001) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi target adalah tenaga perawat
wanita di Rumah Sakit Haji Makassar yang sudah berkeluarga dan
mempunyai anak berjumlah 99 orang.
71
72
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah karaktersistik yang dimiliki
oleh populasi (Sugiyono,2008).
Besar sampel dihitung dengan menggunakan sample minimal size.
Besarnya sampel dihitung menurut rumus Slovin (Umar, 2003):
Keterangan :n = ukuran sampelN = ukuran populasie = presisi yang diinginkan untuk diambil 5 %
Besar sampel :
Berdasarkan rumus perhitungan tersebut maka jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah 80 responden.
Pemilihan sampel dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama
dengan proportionate stratified random sampling yaitu teknik pengambilan
sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara
proporsional berdasarkan ruangan dimana perawat pelaksana berada.
72
n= N
1+Ne2
n=991 ,23
=80n=991+99(0 .05 )2
73
Tabel 4.1 Perhitungan besar sampel
Ruang rawat inap Besar sub populasi/bangsal
Besar Sampel ni = NiNn
Sayang Dhuafa : Perawatan kelas III interna
18 18/99x80 = 15
Arrahman : Perawatan kelas III bedah
20 20/99x80 = 16
Arrahim Perawatan kelas III anak
15 15/99x80 = 12
Alafajar (Vip+ kelas I) 13 13/99x80 = 11Alkausar (Vip+ kelas II) 12 12/99x80 = 10Perinatologi 7 7/99x80 = 6Azzahrah (nifas) 9 9/99x80 = 7Assalam (ICU) 5 5/99x80 = 4Jumlah 99 80
Keterangan :ni : Jumlah sampel tiap kelas n : jumlah sampel seluruhnyaNi : jumlah populasi tiap kelasN : jumlah populasi seluruhnya
Tahap kedua pengambilan sampel dengan menggunakan teknik
simple random sampling yaitu pengambilan sampel dari populasi yang
dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam
populasi (Sugiyono,2008). Tahap kedua pemilihan sampel dilakukan
dengan cara undian terhadap beberapa sampel yang telah memenuhi
kriteria inklusi.
Sampel penelitian pada penelitian ini adalah total sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi .
Krietria inklusi sampel :
73
74
a. Perawat wanita yang telah menikah. Hal ini dikarenakan perawat
wanita yang bekerja dan telah menikah akan mempunyai dua peranan
yang bertolak belakang yaitu peran sebagai ibu rumah tangga dan
peran sebagai perawat.
b. Perawat di ruang rawat inap. Alasannya adalah bahwa wanita yang
berkerja diruang rawat inap akan beketja full-time sehigga lebih ingin
mempersingkatkan jam kerjanya untuk mengurangi ketegangan akibat
konflik peran pekerjaan dan keluarga dibandingkan dengan perawat
wanita yang tidak bekerja full-time (di ruang poliklinik)
c. Telah bekerja minimal selama satu tahun. Alasannya karena
pengalaman sangat menentukan bagaimana stres kerja dan beban
kerja timbul pada karyawan.
d. Memiliki anak minimal satu orang. Alasannya adalah bahwa perawat
wanita akan merasa bersalah karena meninggalkan anak untuk
seharian bekerja, merupakan persoalan yang sering dipendam oleh
para wanita yang bekerja.
Kriteria ekslusi :
e. Perawat wanita yang bercerai pada saat penelitian
f. Perawat wanita yang telah menikah dan mempunyai anak yang sakit
pada saat penelitian
g. Perawat wanita yang telah menikah dan belum mempunyai anak
h. Tidak bersedia menjadi reponden.
D. Instrumen Penelitian
74
75
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
kuesioner yang memuat variabel-variabel konflik peran ganda yang terdiri
dari konflik pekerjaan-keluarga dan keluarga-pekerjaan pengaruhnya
terhadap stress kerja, beban kerja dan burnout perawat wanita di rumah
sakit dengan menggunakan skala yang terbentuk skala likert dengan
beberapa pilihan, yaitu dengan cara menyebarkan skala yang berisi daftar
pernyataan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga
subjek penelitian dapat mengisi dengan mudah. Menurut Sugiyono (2008),
kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis kepada
responden untuk menjawabnya.
1. Kuesioner A ( skala konflik peran ganda perawat wanita)
Kuesioner ini berisikan item yang bertujuan untuk mengukur konflik
peran ganda wanita menikah yang bekerja. Kuesioner yang peneliti
gunakan adalah kuesioner baku yang telah digunakan pada beberapa
penelitian sebelumnya dan sudah dilakukan uji validitas serta reliabilitas.
Pengukuran untuk konstruk konflik kerja-keluarga menggunakan
kuesioner baku milik Netemeyer et al. dalam Reny (2011). Kuesioner
konflik kerja-keluarga yang digunakan memiliki 12 (dua belas) butir
pernyataan, yang terdiri atas dua dimensi konflik kerja-keluarga yaitu WIF
(no 1-6) dan FIW (no : 7-12) yang masing-masing terdiri atas 6 (enam)
butir dengan rentang pilihan tanggapan dari pernyataan mendukung
adalah 4 untuk jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk jawaban sesuai (S), 2
75
76
untuk jawaban tidak sesuai (TS), 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai
(STS).
2. Kuesioner B (Stres Kerja)
Skala ini berisikan item yang bertujuan untuk mengukur stres kerja
subjek penelitian. Kuesioner yang peneliti gunakan adalah kuesioner baku
milik Almasitoh (2011) yang telah digunakan pada beberapa penelitian
sebelumnya dan sudah dilakukan uji validitas serta reliabilitas. Kuesioner
identifikasi stres kerja yang dibuat peneliti berdasarkan tinjauan pustaka
terdiri dari 15 pernyataan, yaitu pernyataan 1 s/d 5 merupakan pernyataan
stressor individu, pernyataan 6 s/d 10 merupakan pernyataan stressor
lingkungan kerja dan pernyataan 11 s/d 15 merupakan pernyataan stresor
organisasi. Kuesioner dibuat dengan menggunakan skala likert.
Pemberian skor adalah 4 untuk jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk
jawaban sesuai (S), 2 untuk jawaban tidak sesuai (TS), 1 untuk jawaban
sangat tidak sesuai (STS).
3. Kuesioner D ( Beban perawat)
Skala ini berisikan item yang bertujuan untuk mengukur beban
subjek penelitian sebanyak 22 aitem pertanyaan Kuesioner yang peneliti
gunakan adalah kuesioner baku milik Erlina (2010) yang telah digunakan
pada beberapa penelitian sebelumnya dan sudah dilakukan uji validitas
serta reliabilitas. Skala ini terdiri dari 2 aspek yaitu beban kerja berlebih
kuantitatif dan beban kerja berlebih kualitatif. Dari aspek beban kerja
berlebih kuantitatif diperoleh dua indikator yaitu terlalu banyak tugas dan
76
77
desakan waktu, sedangkan beban kerja berlebih kualitatif meliputi
kemajemukan pekerjaan dan standart kerja yang tinggi.
Skala beban kerja terdiri atas aitem - aitem yang terbagi atas aitem
favorable dan unfavorable. Skala persepsi beban kerja disusun dengan
menggunakan pengembangan dari metode Likert. Dengan empat kategori
respon tersebut juga dimodifikasi menjadi Selalu (SL), Sering (SR), Jarang
(JR), dan Tidak Pernah (TP). Kategori respon menggunakan empat
kategori dengan pilihan jawaban Selalu (SL), Sering (SR), Jarang (JR),
dan Tidak Pernah (TP) dipilih dengan pertimbangan kategori ini mengukur
frekuensi dari persepsi terhadap beban kerja itu sendiri.
4. Kuesioner D ( Burnout)
Skala ini berisikan 14 item pertanyaan yang bertujuan untuk
mengukur kejadian burnout subjek penelitian. Kuesioner yang peneliti
gunakan adalah kuesioner baku milik Erlina (2010) yang telah digunakan
pada beberapa penelitian sebelumnya dan sudah dilakukan uji validitas
serta reliabilitas.Skala ini disajikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan
mendukung dan tidak mendukung. Pemberian skor untuk pernyataan
mendukung adalah 4 untuk jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk jawaban
sesuai (S), 2 untuk jawaban tidak sesuai (TS), 1 untuk jawaban sangat
tidak sesuai (STS). Sedangkan pemberian skor untuk pernyataan tidak
mendukung aalah 1 untuk jawaban sangat sesuai (SS), 2 untuk jawaban
sesuai (S), 3 untuk jawaban tidak sesuai (TS), 4 untuk jawaban sangat
tidak sesuai (STS).
77
78
E. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan kuesioner. Data terdiri dari 2 yaitu, data
primer yang diambil langsung dari responden yang meliputi data dari diri
tentang responden (Usia, lama bekerja, jumlah anak, pendidikan terakhir
dan besarnya penghasilan) melalui kuesioner yang dijawab oleh
responden, dimana dalam kuesioner yang berisi pertanyaan yang
menggali aspek yang berkaitan dengan pengaruh konflik peran ganda,
stress kerja, beban kerja terhadap burnout perawat wanita di rumah
sakit.
Data sekunder adalah data yang diambil dari data yang sudah terjadi
dibagian sumber daya manusia Rumah Sakit Haji Makassar yang berupa
dokumen keperawatan disetiap ruang perawatan, literatur-literatur, jurnal-
jurnal penelitian terdahulu, majalah maupun data dokumen rumah sakit
yang diperlukan dalam penelitian ini. Pengumpulan data pada penelitian
ini dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut:
1. Peneliti mengajukan ijin penelitian pada kesbangpol kota pemerintah
Provinsi Sulsel selanjutnya pengajuan ijin ke Direktur Rumah Haji
Makassar untuk mengadakan penelitian.
78
79
2. Memberikan penjelasan singkat tentang rencana kegiatan penelitian
dan tujuan penelitian kepada responden yang setuju berpartisipasi
dalam penelitian ini.
3. Responden diberi kuesioner untuk diisi sesuai dengan petunjuk yang
telah diberikan dalam format pernyataan kuesioner.
4. Kepada responden diarahkan supaya semua pernyataan yang ada
diisi dan apabila telah selesai agar dikembalikan kepada peneliti.
5. Peneliti mengambil kembali kuesioner untuk kemudian dilakukan
langkah pengelolaan dan analisis data.
F. Pengolahan Dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Editing
Memeriksa kelengkapan jawaban masing-masing pernyataan, dan
melihat sejauh mana konsistensi jawaban masing-masing pemyataan.
Didalam proses editing tidak dilakukan penggantian penggantian jawaban,
atau angka-angka, atau pernyataan-pernyataan dengan maksud data
tersebut konsisten, cocok dengan tujuan penelitian.
b. Coding
79
80
Yaitu Memberikan tanda kode tertentu terhadap jawaban. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan pada waktu melakukan pengolahan
data.
c. Tabulasi Data
Langkah ini untuk menyajikan data dalam bentuk tabel yang
berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki dan sesuai tujuan penelitian.
d. Entry
Penilaian data dengan memberikan skor untuk pernyataan-
pernyataan yang menyangkut variabel bebas dan terikat. Selanjutnya data
dianalisa secara deskriptif maupun analitik.
2. Analisa data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program
komputer. Analisa data disesuaikan dengan skala pengukuran variabel
dan tujuan penelitian.
a. Chi Square
Menganalisis hubungan masing-masing variabel bebas dan terikat. Uji
statistik yang digunakan adalah Chi Square. Chi- Square Statistik Model
yang diuji dipandang baik atau memuaskan bila nilai Chi- Squarenya
rendah. Semakin kecil nilai χ2 semakin baik model itu dan diterima
berdasarkan probabilitas dengan cut off value sebesar p> 0,05 (Hair et all,
1995 dalam Ferdinand, 2006).
Untuk mengetahui kebermaknaan dari hasil pengujian tersebut dilihat
dari p value kemudian dibandingkan dengan nilai α=5% atau 0,05.
80
81
b. Uji multivariate
Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
besaran pengaruh pada masing-masing variabel bebas (lebih dari dua
variabel) secara bersamaan terhadap variabel terikat serta mencari
manakah variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap variabel
terikat. Untuk melihat pengaruh bersama-sama dimensi mutu pelayanan
keperawatan terhadap tingkat kepuasan pasien, digunakan analisis
Logistik Regression dengan pertimbangan variabel dependen berupa
variabel kategorik. Disini akan diuji apakah probabilitas terjadinya variabel
terikat dapat diprediksi dengan variabel bebasnya sehingga munculnya
skor koefisien regresi yang menginterpretasikan besaran faktor yang
berpengaruh secara signifikan (Ghozali, 2006)
G. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip etik
meliputi:
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human
dignity).
Penelitian harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Subjek memiliki hak asasi dan kebebasan untuk
menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy). Tidak boleh
ada paksaan atau penekanan tertentu agar subjek bersedia ikut dalam
penelitian. Subjek dalam penelitian juga berhak mendapatkan informasi
yang terbuka dan lengkap tentang pelaksanaan penelitian meliputi tujuan
81
82
dan manfaat penelitian, prosedur penelitian, resiko penelitian, keuntungan
yang mungkin didapat dan kerahasiaan informasi.
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan
mempertimbangkannya dengan baik, subjek kemudian menentukan
apakah akan ikut serta atau menolak sebagai subjek penelitian. Prinsip ini
tertuang dalam informed consent yaitu persetujuan untuk berpartisipasi
sebagai subjek penelitian setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap
dan terbuka dari peneliti tentang keseluruhan pelaksanaan penelitian.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek (respect for privacy and
confidentiality).
Peneliti perlu merahasiakan berbagai informasi yang menyangkut
privasi subjek yang tidak ingin identitas dan segala informasi tentang
dirinya diketahui oleh orang lain. Prinsip ini dapat diterapkan dengan cara
meniadakan identitas seperti nama dan alamat subjek kemudian diganti
dengan kode tertentu.
3. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice
inclusiveness).
Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa
penelitian dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati dan dilakukan
secara profesional. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna
bahwa penelitian memberikan keuntungan dan beban secara merata
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan subjek.
82
83
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harm and benefits).
Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus
mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi subjek
penelitian dan populasi dimana hasil penelitian akan diterapkan
(beneficience). Kemudian meminimalisir resiko/dampak yang merugikan
bagi subjek penelitian (nonmaleficience). Prinsip ini yang harus
diperhatikan oleh peneliti ketika mengajukan usulan penelitian untuk
mendapatkan persetujuan etik dari komite etik penelitian. Peneliti harus
mempertimbangkan rasio antara manfaat dan kerugian/resiko dari
penelitian.
83
84
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanan pada tanggal 7 Juni s/d 10 Juli 2013 di RS Haji
Makassar. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional study dengan jumlah sampel sebanyak 80 orang.
1. Analisa Univariat
Analisa univariat dimaksudkan untuk menggambarkan secara
menyeluruh dari komponen variabel bebas yaitu konflik peran ganda, stres
kerja dan beban kerja dan variabel terikat yaitu burnout pada perawat
wanita di RS Haji Makassar serta variabel karakteristik responden.
a. Karakteristik Responden
Gambaran karakteristik perawat pelaksana berdasarkan
pendidikan,umur dan masa kerja disajikan pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan,Umur dan Masa Kerja Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Variabel Jumlah ProsentasePendidikan :
84
85
- Diploma III keperawatan- S1 Kep/Ners
6713
83.816.2
Total 80 100Umur :- ≤ 31 tahun- > 31 tahun
1961
23.876.2
Total 80 100Masa Kerja :- ≤ 5 tahun- > 5 tahun
1268
15.085.0
Total 80 100
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa mayoritas berpendidikan
Diploma III Keperawatan (83.8 %), mayoritas responden berumur > 31
tahun yaitu 76.5 %, dan mayoritas dengan masa kerja > 5 tahun yaitu
85%.
b. Konflik Peran Ganda Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Hasil pengumpulan data berikutnya adalah variabel konflik peran
ganda Perawat Wanita diruang rawat inap RS Haji Makassar disajikan
pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Konflik Peran Ganda Perawat Wanita diruang rawat inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Konflik Peran Ganda n %
Tidak Mengalami 37 46.25Mengalami 43 53.75
Total 80 100
Pada tabel 5.2 diketahui sebagian besar perawat wanita yang tidak
mengalami konflik peran ganda sebanyak 60 % dibandingkan dengan
yang mengalami konflik peran ganda hanya 40 %.
85
86
c. Stres kerja perawat wanita di rumah sakit di RS Haji Makassar
Gambaran variabel stres kerja perawat wanita diruang rawat inap RS
Haji Makassar disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Stres Kerja Perawat Wanita diruang rawat inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Stress Kerja n %
Tidak Mengalami 38 47.5Mengalami 42 52.5
Total 80 100
Hasil penelitian pada tabel 5.3 diperolah data bahwa proporsi perawat
wanita yang mengalami stres kerja lebih banyak yaitu 52.5 %
dibandingkan yang tidak mengalami stres kerja (47.5 %).
d. Beban kerja perawat wanita di rumah sakit di RS Haji Makassar
Gambaran variabel beban kerja perawat wanita diruang rawat inap RS
Haji Makassar disajikan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Beban Kerja Perawat Wanita diruang rawat inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Beban Kerja n %
Optimal 38 47.5Lebih 42 52.5
Total 80 100
86
87
Hasil penelitian pada tabel 5.4 diperolah data bahwa proporsi perawat
wanita dengan beban kerja optimal lebih banyak yaitu 52.5 %
dibandingkan dengan beban kerja berat (47.5 %).
e. Burnout perawat wanita di rumah sakit di RS Haji Makassar
Gambaran variabel Burnout perawat wanita diruang rawat inap RS
Haji Makassar disajikan pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Burnout Perawat Wanita diruang rawat inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Burn Out n %
Tidak Mengalami 40 50Mengalami 40 50
Total 80 100
Hasil penelitian pada tabel 5.5 diperolah data bahwa proporsi perawat
wanita yang mengalami burnout sama proporsinya dengan perawat wanita
yang tidak mengalami burnout masing-masing 50 %.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat pada panelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara konflik peran ganda, stres kerja dan beban kerja sebagai
variabel independent dengan burnout perawat wanita sebagai variabel
dependent, serta variabel karakteristik perawat wanita yang terdiri dari
87
88
pendidikan, umur dan masa kerja dengan burnout. Semua variabel yang
diuji baik variabel independent dan dependent maupun variabel
counfounding merupakan variabel kategorik sehingga uji statistik yang
digunakan adalah uji chi square.
a. Hubungan karakteristik perawat pelaksana dengan Burnout
perawat wanita di rumah sakit di RS Haji Makassar
Tabel 5.6 Analisis Hubungan Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan,Umur dan Masa Kerja Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
KarakteristikBurnout Total P
ValueTidak Yan %N % N %
Pendidikan :Akper 34 50.7 33 49.3 67 100 0.763S1 Keperawatan 6 46.2 7 53.8 13 100Umur :- ≤ 31 tahun 8 42.1 11 57.9 19 100 0.433- > 31 tahun 32 52.5 29 47.5 61 100Masa kerja- ≤ 5 tahun 3 25.0 9 75.0 12 100 0.062- > 5 tahun 37 54.4 31 45.6 68 100
Hasil analisis hubungan pada tabel 5.6 menunjukkan perawat wanita
dengan pendidikan S1 Keperawatan lebih yang mengalami burnout yaitu
53.8 % dibandingkan dengan perawat wanita dengan pendidikan Akper
yaitu 49.3 % , perbedaan ini tidak bermakna secara statistik dengan nilai p
0.763 artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan burnout
parawat wanita di RS Haji Makassar.
88
89
Analisis umur perawat wanita yang berumur ≤ 31 tahun lebih banyak
mengalami burnout yaitu 57.9% dibandingkan yang berusia > 31 tahun
yaitu 47.5 %, perbedaan ini tidak bermakna secara statistik dengan nilai p
0.433 artinya tidak ada hubungan antara umur dengan burnout parawat
wanita di RS Haji Makassar.
Hasil analisis masa kerja menunjukkan perawat wanita yang bekerja ≤
5 tahun lebih banyak mengalami burnout yaitu 75 % dibandingkan yang
sudah bekerja > 5 tahun yaitu 45.6 %, perbedaan ini tidak bermakna
secara statistik dengan nilai p 0.062 artinya tidak ada hubungan antara
masa kerja dengan burnout parawat wanita di RS Haji Makassar.
b. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Beban Kerja Dengan
Stres Kerja Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Tabel 5.7 Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Beban Kerja Dengan Stres Kerja Perawat Wanita di ruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Variabel
Stress Kerja
p OR (CI)Tidak
MengalamiMengalami
Total
n % n % n %Konflik Peran Ganda 10.267
(3.659 - 28.809)
Tidak Mengalami 28 35 9 11.25 37 46.250.000*
Mengalami 10 12.5 33 41.25 43 53.75Beban Kerja
Optimal 23 28.75 15 18.75 38 47.50.026*
2.760 (1.115 - 6.832)
Lebih 15 18.75 27 33.75 42 52.5Total 38 47.5 42 52.5 80 100
Tabel 5.7 menunjukkan perawat wanita mengalami konflik peran
ganda lebih banyak yang mengalami stress kerja yaitu 41,25 %
89
90
dibandingkan yang tidak mengalami konflik peran ganda hanya 11.25 %,
perbedaan ini bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.000 yang
berarti ada hubungan konflik peran ganda dengan stress kerja perawat
wanita di RSU Haji Makassar. Hasil analisis didapatkan nilai OR : 10 yang
berarti bahwa perawat wanita yang mengalami konflik peran ganda lebih
berpeluang mengalami stress kerja 10 kali dibandingkan dengan perawat
wanita yang tidak mengalami konflik peran ganda.
Perawat wanita yang mengalami beban kerja lebih menunjukkan lebih
banyak yang mengalami stress kerja yaitu 33.75 % dibandingkan dengan
beban kerja optimal hanya 18. 75 %, perbedaan ini bermakna secara
statistik dengan nilai p : 0.026 yang berarti ada hubungan beban kerja
dengan stress kerja perawat wanita di RSU Haji Makassar. Hasil analisis
didapatkan nilai OR : 3 yang berarti bahwa perawat wanita yang
mengalami beban kerja berlebihanlebih berpeluang mengalami stress
kerja 3 kali dibandingkan dengan perawat wanita dengan beban kerja
optimal.
c. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda Dengan Burnout Perawat
Wanita di RS Haji Makassar
Tabel 5.8 Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda Dengan Burnout Perawat Wanita di ruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Konflik Peran Ganda
Burn Out
p OR (CI)Tidak
MengalamiMengalami
Total
n % n % n %
Tidak 27 33.75 10 12.5 37 46.25 0.000 6.231
90
91
Mengalami(2.351 - 16.513)
Mengalami 13 16.25 30 37.5 43 53.75Total 40 50 40 50 80 100
Tabel 5.8 menunjukkan perawat wanita mengalami konflik peran
ganda lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 37,5 % dibandingkan
yang tidak mengalami konflik peran ganda hanya 12.5 %, perbedaan ini
bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.000 yang berarti ada
hubungan konflik peran ganda dengan burnout pada perawat wanita di
RSU Haji Makassar. Hasil analisis didapatkan nilai OR : 6 yang berarti
bahwa perawat wanita yang mengalami konflik peran ganda lebih
berpeluang mengalami burnout 6 kali dibandingkan dengan perawat
wanita yang tidak mengalami konflik peran ganda.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan jenis konflik peran ganda
dengan kejadian burnout pada perawat wanita dijelaskan pada table 5.9.
Tabel 5.9 Analisis Hubungan Jenis Konflik Peran Ganda Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Konflik Peran Ganda
Burn Out
pOR (CI)
Tidak Mengalami
MengalamiTotal
n % n % n %Work Interfering With The Family
Tidak Mengalami 6 7.5 2 2.5 8 100.263**
Mengalami 34 42.5 38 47.5 72 90Family Interfering With The Work
Tidak Mengalami 30 37.5 1518.7
5 45 56.250.001*
5.000 (1.914
- 13.061)
Mengalami 10 12.5 2531.2
5 35 43.75Total 40 50 40 50 80 100
91
92
Tabel 5.9 menunjukkan perawat wanita mengalami work interfering
with the family atau pekerjaaan mengganggu peran seseorang dalam
keluarga lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 38 % dibandingkan
yang tidak mengalami work interfering with the family hanya 2.5 %,
perbedaan ini tidak bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.263 yang
berarti tidak ada hubungan work interfering with the family dengan burnout
pada perawat wanita di RSU Haji Makassar.
Sedangkan perawat wanita yang mengalami family interfering with the
work atau peran seseorang dalam keluarga mengganggu peran pekerjaan
lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 31.25 % dibandingkan yang
tidak mengalami family interfering with the work hanya 18.75 %.
perbedaan ini bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.001 yang
berarti ada hubungan family interfering with the work dengan burnout
pada perawat wanita di RSU Haji Makassar. Hasil analisis didapatkan nilai
OR : 5 yang berarti bahwa perawat wanita yang mengalami family
interfering with the work lebih berpeluang mengalami burnout 5 kali
dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak mengalami family
interfering with the work .
d. Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita
di RS Haji Makassar
Tabel 5.10 Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Beban Kerja Burn Out p OR (CI)
92
93
Tidak Mengalami
MengalamiTotal
n % n % n %Optimal 28 35 10 12.5 38 47.5
0.0007.000
(2.615 - 18.738)
Lebih 12 15 30 37.5 42 52.5Total 40 50 40 50 80 100
Tabel 5.10 menunjukkan perawat wanita mengalami dengan beban
kerja lebih proporsi yang mengalami burnout lebih besar yaitu 37,5 %
dibandingkan dengan beban kerja optimal hanya 12.5 %, perbedaan ini
bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.000 yang berarti ada
hubungan beban kerja dengan burnout pada perawat wanita di RSU Haji
Makassar. Hasil analisis didapatkan nilai OR : 7 yang berarti bahwa
perawat wanita yang mengalami beban kerja lebih akan berpeluang
mengalami burnout 7 kali dibandingkan dengan perawat wanita dengan
beban kerja optimal.
Selanjutnya untuk mengetahui jenis beban kerja dengan ejadian
burnout disajikan pada tabel 5.11.
Tabel 5.11 Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Beban Kerja
Burn Out
pOR (CI)
Tidak Mengalami
MengalamiTotal
N % n % n %Qualitative Overload
Optimal 40 50 37 46.25 77 96.25 0.241**Lebih 0 0 3 3.75 3 3.75Quantitative Overload
Optimal 29 36.25 14 17.5 43 53.75 0.001*4.986 (1.892 Lebih 11 13.75 25 31.25 37 46.25
93
94
- Total
40 50 40 50 80 100
Tabel 5.11 menunjukkan perawat wanita mengalami beban kerja
optimal secara kualitatif lebih banyak yang mengalami burnout yaitu
46.25 % dibandingkan dengan beban kerja kualitatif berlebihan hanya
3.75 %, perbedaan ini tidak bermakna secara statistik dengan nilai p :
0.241 yang berarti tidak ada beban kerja kualitatif dengan burnout perawat
wanita di RSU Haji Makassar.
Perawat wanita yang mengalami beban kerja berlebih secara
kuantitatif lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 31.25 %
dibandingkan dengan beban kerja optimal secara kuantitatif hanya 17.5%,
perbedaan ini bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.001 yang
berarti ada hubungan beban kerja kuantitatif dengan burnout perawat
wanita di RSU Haji Makassar. Hasil analisis didapatkan nilai OR : 5 yang
berarti bahwa perawat wanita yang mengalami beban kerja kuantitatif
berpeluang mengalami burnout 5 kali dibandingkan dengan perawat
wanita dengan beban kerja kuantitatif optimal.
e. Analisis Hubungan Stres Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di
RS Haji Makassar
Tabel 5.12 Analisis Hubungan Stres Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Stress Kerja Burn Out p OR (CI)Tidak
MengalamiMengalami Total
94
95
n % n % n %Tidak Mengalami 30 37.5 8 10 38 47.5
0.00012.00
(4.180 - 34.454)
Mengalami 10 12.5 32 40 42 52.5Total 40 50 40 50 80 100
Tabel 5.12 menunjukkan perawat wanita yang mengalami stress kerja
lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 40 % dibandingkan dengan
yang tidak mengalami stress kerja hanya 10 %, perbedaan ini bermakna
secara statistik dengan nilai p : 0.000 yang berarti ada hubungan stress
kerja dengan burnout pada perawat wanita di RSU Haji Makassar. Hasil
analisis didapatkan nilai OR : 12 yang berarti bahwa perawat wanita yang
mengalami stress kerja akan berpeluang mengalami burnout 12 kali
dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak mengalami stress kerja.
Untuk mengetahui penyebab stress kerja yang berhubungan dengan
kejadian burnout pada perawat wanita di RSU Haji Makassar disajikan
pada tabel 5.13.
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Penyebab Stres Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Diruang Rawat Inap RS Haji Makassar Tahun 2013 (n=80)
Stress Kerja
Burn Out
pOR (CI)
Tidak Mengalami
MengalamiTotal
n % n % n %Faktor Individu 9.081
(3.287 -
25.085)
Tidak Mengalami 29 36.25 9 11.25 38 47.5
0.000*
Mengalami 11 13.75 31 38.75 42 52.5 Faktor Organisasi
2.810 (1.129
- 6.991)
Tidak Mengalami 23 28.75 13 16.25 36 45
0.025*
Mengalami 17 21.25 27 33.75 44 55
Faktor
95
96
LingkunganTidak Mengalami 23 28.75 13 16.25 36 45
0.025*
2.810 (1.129
- 6.991)
Mengalami 17 21.25 27 33.75 44 55Total 40 50 40 50 80 100
Tabel 5.13 menunjukkan perawat wanita yang mengalami stress kerja
dari faktor individu lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 38.75 %
sedangkan yang tidak mengalami stress kerja hanya 11.25 %, perbedaan
ini bermakna secara statistik dengan nilai p : 0.000 yang berarti ada
stress kerja dari factor individu dengan burnout perawat wanita di RSU
Haji Makassar dan stress kerja dari factor individu memberi peluang 9 kali
perawat wanita mengalami burnout (OR : 9).
Hasil analisi stress kerja dari factor organisasi menunjukkan perawat
wanita yang mengalami stress kerja lebih banyak yang mengalami
burnout yaitu 33.75 % dibandingkan yang tidak mengalami stress kerja
hanya 16.25%, perbedaan ini bermakna secara statistik dengan nilai p :
0.025 yang berarti ada hubungan stress kerja dari factor organisasi
dengan burnout perawat wanita di RSU Haji Makassar. Hasil analisis
didapatkan nilai OR : 3 yang berarti stress kerja dari factor organisasi
memberi peluang 3 kali perawat wanita mengalami burnout.
Hasil analisi stress kerja dari factor lingkungan menunjukkan perawat
wanita yang mengalami stress kerja lebih banyak yang mengalami
burnout yaitu 33.75 % dibandingkan yang tidak mengalami stress kerja
hanya 16.25%, perbedaan ini bermakna secara statistik dengan nilai p :
0.025 yang berarti ada hubungan stress kerja dari factor organisasi
96
97
dengan burnout perawat wanita di RSU Haji Makassar. Hasil analisis
didapatkan nilai OR : 3 yang berarti stress kerja dari factor lingkungan
memberi peluang 3 kali perawat wanita mengalami burnout.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui variabel independen
yang paling berhubungan dengan variabel dependen. Uji analisis yang
digunakan adalah analisis regresi logistik karena semua variabel adalah
variabel kategorik. Tahapan dalam pemodelan analisis Logistik
Regression sebagai berikut :
a. Menentukan variabel bebas yang mempunyai nilai p<0,05 dalam uji
hubungan dengan variabel terikat yaitu dengan metode chi square
b. Variabel bebas yang masuk kriteria no.1 di atas, dimasukkan ke dalam
model logistik regresi bivariat dengan p≤0,25
c. Di dalam penentuan model yang cocok dengan melihat nilai dari wald
statistik untuk masing-masing variabel bebas. Namun untuk variabel
bebas yang tidak cocok (p>0,05) tetapi mempunyai arti teoritis penting
tidak dikeluarkan untuk dilakukan analisis
d. Pada proses langkah no.2 dan no.3 dibuat kriteria jelas dari masing-
masing variabel bebas pada penelitian ini adalah dalam bentuk skala
ordinal
e. Penentuan variabel yang paling dominan dilakukan dengan melalui
nilai Odd Ratio (OR), variabel yang mempunyai nilai OR tertinggi,
97
98
maka disebut sebagai variabel yang paling dominan berhubungan
dengan kinerja perawat (Hastono, 2007).
Pemodelan dilakukan untuk semua kandidat yang mempunyai nilai
nilai p < 0.05, artinya setelah melalui perhitungan statistik bila ditemukan
variabel kandidat yang memiliki nilai p > 0.05, maka dikeluarkan dari
model. Hasil analisis model hubungan antara sub variabel dengan
menggunakan analisis regresi logistik sebagai berikut :
a. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Beban Kerja Dengan Stress
Kerja Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Tabel 5.14 Hasil Analisis Pemodelan Regresi Logistik Hubungan Konflik Peran Ganda, Beban Kerja Dengan Stress Kerja Perawat Wanita di RS Haji Makassar,Tahun 2013 (n=80)
Variabel B SE P OR
Konflik peran ganda 2.231 0.534 0.000 9.313
Beban kerja 0.749 0.533 0.160 2.114
Berdasarkan hasil analisis multivariate pada tabel 5.14 menunjukkan
bahwa variabel yang paling berhubungan secara bermakna dengan stress
kerja perawat wanita di RS Haji Makassar adalah variabel konflik peran
ganda dengan nilai OR : 9.313 dengan taraf signifikan p : 0.000. Hal ini
berarti perawat wanita yang mengalami konflik peran ganda berpeluang 9
kali mengalami stress kerja.
b. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Stres Kerja, Beban Kerja
Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Tabel 5.15 Hasil Analisis Pemodelan Regresi Logistik Hubungan Konflik Peran Ganda, Stres Kerja, Beban Kerja Dengan
98
99
Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar,Tahun 2013 (n=80)
Variabel B SE P OR
Konflik peran ganda 0.924 0.64 0.149 2.518
Beban kerja 1.921 0.612 0.002 6.827
Stres kerja 2.107 0.649 0.001 8.202
Berdasarkan hasil analisis multivariate pada tabel 5.15 menunjukkan
bahwa variabel yang paling berhubungan secara bermakna dengan
burnout perawat wanita di RS Haji Makassar adalah variabel stress kerja
dengan nilai OR : 8.202 dengan taraf signifikan p : 0.000. Hal ini berarti
perawat wanita yang mengalami stress kerja berpeluang 8 kali mengalami
burnout .
c. Hubungan Family Interfering With The Work, Faktor Individu, Faktor
Organisasi, Faktor Lingkungan Dari Stres Kerja, Qualitative Overload,
Quantitative Overload Dari Beban Kerja Dengan Burnout Perawat
Wanita di RS Haji Makassar
Tabel 5.16 Hasil Analisis Pemodelan Regresi Logistik Hubungan Family Interfering With The Work, Faktor Individu, Faktor Organisasi, Faktor Lingkungan Dari Stres Kerja, Qualitative Overload, Quantitative Overload Dari Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar,Tahun 2013 (n=80)
Variabel B SE P OR
Family Interfering With The Work 1.107 0.622 0.075 3.026Faktor Individu 1.884 0.642 0.003 6.581Faktor Organisasi 0.774 0.708 0.274 2.168Faktor Lingkungan 0.080 0.746 0.914 1.108Qualitative Overload 20.887 2.108 0.999 1.178 Quantitative Overload 1.317 0.619 0.033 3.732
99
100
Berdasarkan hasil analisis multivariate pada tabel 5.16 menunjukkan
bahwa sub variabel konflik peran ganda, stress kerja dan beban yang
paling berhubungan secara bermakna dengan burnout perawat wanita di
RS Haji Makassar adalah variabel sub variabel stress kerja yaitu factor
individu dengan nilai OR : 6.581 dengan taraf signifikan p : 0.003. Hal ini
berarti perawat wanita yang mengalami stress kerja dari faktor individu
berpeluang 8 kali mengalami burnout .
B. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian meliputi interpretasi dan hasil diskusi
dengan membandingkan dengan kajian literature, hasil-hasil penelitian
terdahulu serta implikasi penelitian untuk pelayanan dan penelitian.
1. Hubungan karakteristik perawat pelaksana dengan Burnout perawat
wanita di rumah sakit di RS Haji Makassar
Hasil analisis menemukan tidak ada hubungan antara pendidikan
dengan burnout parawat wanita di RS Haji Makassar (p 0.763). Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Maslach dan Jackson (1981)
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut berperan dalam sindrom
burnout. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa stres yang terkait dengan
masalah perkerjaan seringkali dialami oleh pekerja dengan pendidikan
yang rendah. Penjelasan yang diberikan adalah karena proporsi
pendidikan S1 Keperawatan/Ners lebih sedikit dibandingkan dengan
responden yang berpendidikan Diploma III Keperawatan.
100
101
Hasil analisi bivariat menemukan tidak ada hubungan antara umur
dengan burnout perawat wanita di RS Haji Makassar (p 0.433). Hasil
penelitian ini sejalan dengan pendapat Maslach dan Jackson (1981)
maupun Schaufeli dan Buunk (dalam Cooper dkk, 2001) menemukan
pekerja yang berusia lebih muda lebih tinggi mengalami burnout daripada
pekerja yang berusia tua. Namun tidak ada batasan umur dalam krtiteria
pekerja yang berusia muda maupun pekerja dalam usia tua. Sindrom
burnout di Amerika banyak dialami oleh mereka yang berada pada usia
produktif (30 - 40 tahun) dengan pengalaman kerja yang relatif sedikit.
Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih
matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memilki pandangan yang lebih
realistis (Sutjipto, 2001).
Hasil analisis masa kerja menunjukkan tidak ada hubungan antara
masa kerja dengan burnout parawat wanita di RS Haji Makassar (p
0.062). Lama kerja dihubungan dengan pengalaman menekuni pekerjaan
tertentu. Lama kerja menentukan seseorang dalam menjalankan tugas,
semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan semakin cepat
menyelesaikan tugasnya, sehingga lama kerja akan memberikan
pengalaman perawat mengasah keterampilannya. Menurut Robbin (2001)
lama kerja menentukan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Pekerja
senior juga dinilai lebih berpengalaman dalam menangani problema yang
terjadi di lapangan. Hal ini mencerminkan bahwa perawat senior selain
dipandang memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang operasi
101
102
organisasi, serta mempunyai komitmen dan loyalitas yang lebih kuat
sehingga diduga akan mempunyai sifat altruistik dan kerelaan yang lebih
tinggi dibandingkan yang lebih muda.
Pekerja senior juga dinilai lebih berpengalaman dalam menangani
problema yang terjadi di lapangan. Bagi seorang perawat pengalaman
klinis yang telah dilalui merupakan proses belajar empiris dalam
meningkatkan keterampilannya sehingga berdampak pada kemampuan
melakukan penyesuaian terhadap tugas-tugas yang harus dilakukan.
2. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Beban Kerja Dengan Stres
Kerja Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Hasil analisis menemukan ada hubungan konflik peran ganda dengan
stress kerja perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.000). Hasil
analisis didapatkan nilai OR : 10 yang berarti bahwa perawat wanita yang
mengalami konflik peran ganda lebih berpeluang mengalami stress kerja
10 kali dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak mengalami konflik
peran ganda.
Hasil penelitian relevan dengan teori yang mendukung beberapa
prediksi yang menyatakan bahwa konflik peran ganda mengarah pada
stress kerja. Teori peran menjelaskan bahwa konflik peran individu terjadi
ketika pengharapan dalam hal kinerja salah satu peran menimbulkan
kesulitan dalam peran lain. Konflik pekerjaan-keluarga cenderung
mengarah pada stress kerja karena ketika urusan pekerjaan mencampuri
kehidupan keluarga, tekanan sering kali terjadi pada individu untuk
102
103
mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan
lebih banyak waktu untuk keluarga. Sama halnya dengan konflik keluarga-
pekerjaan dapat mengarah pada stress kerja dikarenakan banyaknya
waktu yang dibutuhkan dalam menangani urusan pekerjaan dan ini
merupakan sumber potensial terjadinya stress kerja. Konflik peran ganda
yang berkepanjangan akan menguras energi psikis dan fisik individu
sehingga terjadi penurunan kemampuan melakukan sejumlah tugas-tugas
yang harus diselesaikan dalam menjalankan profesinya sehingga
menyebabkan rentan terhadap stress.
Perawat wanita akan berusaha mengatasi permasalahan yang timbul
akibat keluarga maupun pekerjaan pemicu terjadinya konflik pekerjaan
keluarga dan stress kerja pada akhirnya. Penelitian Cinamon ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Chew (2002) menjelaskan bahwa
para guru yang mengajar di SMP Kaoshiung bahwa merawat anak
merupakan faktor pemicu tertinggi terjadinya konflik pekerjaan keluarga
dan adanya campur tangan keluarga dalam urusan pekerjaan merupakan
faktor utama dari stress kerja.
Konflik dalam keluarga tidak akan terjadi, bilamana adanya
keseimbangan antara peran dalam keluarga dengan pekerjaan.
Seorang perawat wanita yang telah berkeluarga memiliki peran
ganda, selain berperan sebagai istri dan ibu, ia juga berperan sebagai
pencari nafkah. Peran ganda ini sangat riskan dengan konflik, sebab
pada umumnya wanita cenderung memprioritaskan keluarganya (suami
103
104
dan anak) ketimbang pekerjaan. Hal ini dapat menghambat proses
pelaksanaan pencapaian kinerjanya. Konflik peran ganda yang mereka
alami merupakan faktor pemicu stres kerja Hal tersebut sesuai hasil
penelitian Cinnamon dan Rich (2002) menunjukkan wanita yang bekerja
ternyata lebih sering mengalami konflik dan permasalahan serta lebih
menekankan pentingnya permasalahan keluarga dibanding pekerjaan,
ketika keluarga sebagai domain yang paling penting bagi kebanyakan
wanita. Permasalahan ini dapat mempengaruhi pekerjaan dan dapat
menjadi gangguan bagi mereka, sehingga menyebabkan penurunan
kinerja.
Hasil penelitian menemukan sebanyak 12. 5 % perawat wanita yang
mengalami konflik peran ganda tetapi tidak mengalami stress kerja. Hal ini
dimungkinkan oleh adanya dukungan sosial dari tempat kerja dapat
memberikan kontribusi, terutama pada produktivitas kinerjanya. Dukungan
sosial rekan kerja dapat berhubungan secara langsung integrasi
seseorang pada lingkungan sosial di tempat kerjanya. Rekan kerja
yang mendukung menciptakan situasi tolong menolong, bersahabat, dan
bekerja sama akan menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan
sehingga mengurangi resiko terjadinya stress kerja. Hubungan
interpersonal antara atasan dengan bawahan dan rekan kerja dalam
pekerjaan merupakan faktor penting untuk mencapai kepuasan kerja.
Adanya dukungan sosial dalam hal ini kepala ruangan dan rekan kerja
pada tiap unit kerja diyakini dapat menghambat terjadinya stress kerja
104
105
pada perawat. Oleh karena itu perlu untuk menjalin komunikasi yang baik
antara atasan dengan bawahan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman
yang pada akhirnya memicu stress. Hal ini sesuai dengan penelitian
French (dalam Almasitho, 2011) menemukan bahwa dukungan sosial
dapat mencegah terjadinya psychological distress di lingkungan kerja.
Demikian halnya Menurut Cassel dan Cob (dalam Almasitho, 2011)
mengemukakan dukungan yang dirasakan secara lebih konsisten
mampu meningkatkan kesehatan psikis dan melindungi psikis dalam
kondisi stres.
Demikian halnya ditemukan sebanyak 11.25 % perawat wanita tidak
mengalami konflik peran ganda tetapi mengalami stress kerja. Penjelasan
penelitian setiap perawat di manapun ia berada dalam suatu pekerjaan di
rumah sakit, dapat berperan sebagai sumber stres bagi perawat yang lain.
Persepsi seseorang terhadap stimulus lingkungan dapat mempengaruhi
reaksinya terhadap stimulus tersebut. Salah satu stimulus lingkungan
dalam dunia kerja adalah tuntutan pekerjaan sehari-hari yang dianggap
sebagai suatu beban. Beban kerja akan dipandang sebagai suatu yang
bermakna setelah melalui proses penilaian secara kognitif. Beban kerja
diyakini sebagai salah satu penyebab stres kerja, namun persepsi
seseorang terhadap lingkungannya adalah berbeda-beda walaupun
stimulusnya sama sehingga dalam hal ini terdapat kemungkinan orang
mempersepsikan beban kerjanya secara berbeda tergantung karakteristik
personel.
105
106
Hasil penelitian juga menemukan ada hubungan beban kerja dengan
stress kerja perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.026). Hasil
analisis didapatkan nilai OR : 3 yang berarti bahwa perawat wanita yang
mengalami beban kerja berlebihanlebih berpeluang mengalami stress
kerja 3 kali dibandingkan dengan perawat wanita dengan beban kerja
optimal.
Beban kerja adalah keadaan dimana perawat dihadapkan pada tugas
dan pekerjaan yang harus dilakukan perawat baik secara kuantitatif yaitu
banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan maupun secara kualitatif yaitu
tingkat kesulitan atau kerumitan kerja. Hasil penelitian ini menjelaskan
bahwa semakin tinggi beban kerja makin tinggi stress kerja yang dialami.
Pada titik tertentu jika beban kerja berlebihan tidak lagi produktif, tetapi
menjadi destrutif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita
untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif.
Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Bila
stress telah mencapai titik optimal yang dicerminkan dalam penurunan
kemampuan menyelesaikan kerja harian perawat, maka cenderung tidak
menghasilkan perbaikan prestasi kerja. Beban kerja yang bisa
menyebabkan terjadinya stres kerja diantaranya adalah sistem pemberian
tugas, kesulitan dari tugas, ketercukupan waktu untuk penyelesaian, ada
tidaknya instruktur kerja, maupun tingkat kelelahan karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaan
106
107
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mahwidhi (2010) tentang
pengaruh beban kerja terhadap stres kerja pada perawat di RSU Dr.
Soeroto Ngawi didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh beban kerja
fisik (subyektif) dan beban kerja mental (subyektif) terhadap stres kerja
dengan nilai probabilitas masing-masing sebesar 0,000 dan 0,043. Hal
ini juga didukung oleh penelitian (Suciari, 2006 dalam Lilis dian
Prihatini) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja
dengan stress kerja perawat. Demikian halnya dengan penelitian
Rodrigues (2010) bahwa ada hubungan antara beban kerja dan tingkat
stres perawat , semakin tinggi beban kerja maka semakin tinggi juga
tingkat stres perawat. Menurut Roy (1991) bahwa faktor beban kerja
termasuk di dalam stimulus fokal dimana secara langsung berhadapan
dengan seseorang dan responnya segera. Perawat yang merasa beban
kerjanya tinggi akan langsung berespon untuk beradaptasi dengan kondisi
yang ada.
Stres dipandang sebagai suatu situasi atau peristiwa yang
menimbulkan tuntutan untuk bereaksi, untuk kemampuan individu
dianggap tidak mencukupi sebagai sumber kebutuhannya.
ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan kemampuan individu
yang menyebabkan respon dalam bentuk fisiologis dan atau perilaku,
serta pengalaman yang tidakseimbang yang semua itu dipengaruhi oleh
karakteristik individual. Pendekatan interaksional/transaksional,
107
108
menyatakan bahwa stres akan terjadi bila ada tuntutan dari lingkungan
terhadap diri individu yang melebihi kemampuan penyesuaiannya.
Fluktuasi beban kerja merupakan bentuk lain dari pembangkit stres
kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan dan saat-saat
lain bebannya bisa berlebihan. Kondisi pasien yang selalu berubah,
jumlah rata-rata jam perawatan yang di butuhkan untuk memberikan
pelayanan langsung pada pasien serta dokumentasi asuhan keperawatan
mempengaruhi beban kerja perawat. Keadaan yang tidak tepat tersebut
dapat menimbulkan stress kerja.
Pada penelitian ini juga ditemukan perawat dengan beban kerja
optimal tetapi mengalami stress kerja sebanyak 18.75 %. Kondisi ini dapat
dijelaskan bahwa stress kerja merupakan gejala yang terjadi di dalam
proses interaksi antara faktor-faktor lingkungan dengan individu, stresor
menimbulkan berbagai macam respon atau tanggapan yang berbeda-
beda. Cara individu berespon terhadap stresor dapat juga menjadi
penyebab munculnya stres, atau bahkan memperberat stres yang sudah
ada. Beberapa orang lebih mampu mengatasi stres dapat menyesuaikan
perilakunya dengan stresor. Mampu tidaknya individu menyesuaikan diri
dengan stres juga tergantung dari persepsi mengenai rangsangan yang
mengancam. Interaksi antara lingkungan dan individu ini menimbulkan
dinamika psikologis yang unik. Ada proses internal individu yang
mempengaruhi persepsi terhadap stresor. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang menyatakan bahwa satu hal terpenting dalam menghadapi
108
109
stresor ialah faktor persepsi atau interpretasi individu yang bersangkutan
(Riggio, 1996). Beban kerja individu yang optimal akan dapat tercapai
apabila ada keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampuan
individu untuk memenuhi tuntutan tersebut.
3. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda Dengan Burnout Perawat
Wanita di RS Haji Makassar
Hasil penelitian menemukan ada hubungan konflik peran ganda
dengan burnout pada perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.000).
Hasil analisis didapatkan nilai OR : 6 yang berarti bahwa perawat wanita
yang mengalami konflik peran ganda lebih berpeluang mengalami burnout
6 kali dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak mengalami konflik
peran ganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran ganda yang diemban
oleh perawat wanita ini sangat riskan dengan terjadinya burnout. Perawat
merupakan pekerja kesehatan yang paling lama bersentuhan dengan
pasien. Perawat wanita yang sudah berkeluarga disatu sisi dituntut untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan standar opersional dan standar
asuhan agar dapat memberikan standar pelayanan minimal yang
diharapkan, mereka juga diperhadapkan pada keluhan keluarga pasien
dan tugas-tugas lainnya. Disisi lainnya sebagai ibu rumah tangga dituntun
untuk menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya. Situasi ini menuntut
109
110
perawat untuk bekerja ektra sehingga dapat menyebabkan kelelahan fisik
dan mental. Jika sumber-sumber penyesuaian untuk menyeimbangkan
kedua peran tersebut lebih kecil dari pada tuntutan pekerjaan yang harus
dijalankan akan menyebabkan terjadinya burnout.
Pernyataan tersebut didukung oleh Carnizer (2004) dalam Emilia
(2009) bahwa wanita lebih rentan mengalami konflik peran ketika
mencoba menyeimbangkan peran majemuk karena model mental yang
telah diinternalisasi berupa keyakinan budaya, agama dan nilai yang
terkait dengan gender sehingga wanita cenderung mendahulukan
pekerjaan keluarga. Kegagalan dalam menyeimbangkan peran sekaligus
akan menguras habis energ psisik dan mental (physical and psyhological
exhaustion). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
Karatepe (2010), yang menemukan beban kerja merupakan prediktor
terjadinya konflik peran ganda dan peran ganda berpengaruh signifikan
terhadap kejadian burnout.
Konflik pekerjaan keluarga pada perawat wanita cenderung
mengarah pada burnout ketika urusan pekerjaan mencampuri kehidupan
keluarga, tekanan seringkali terjadi pada individu untuk mengurangi waktu
yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan lebih banyak waktu
untuk keluarga. Sama halnya dengan konflik keluarga pekerjaan dapat
mengarah pada burnout dikarenakan banyaknya waktu untuk berkumpul
bersama keluarga menyebabkan kurangnya waktu yang dibutuhkan dalam
menangani urusan pekerjaan. Perawat wanita yang mengalami tingkat
110
111
konflik pekerjaan keluarga yang tinggi akan mempunyai tingkat depresi
yang tinggi sehingga mengarah pada stress kerja, tingkat kemangkiran
kerja meningkat dan produktivitas menjadi berkurang.
Konflik dapat timbul sebagai akumulasi dari berbagai masalah yang
ada, baik dalam pekerjaan maupun di dalam keluarga. Tuntutan hidup
yang semakin banyak serta tuntutan profesionalisme dalam pekerjaan
dapat menimbulkan konflik dalam diri seseorang konflik-konflik tersebut
akan menghambat proses pelaksanaan suatu pekerjaan. Apalagi pada
wanita yang bekerja, karena konflik yang dihadapi dapat menyebabkan
seseorang tidak dapat berfungsi secara normal dan menjadi tidak
seimbang. Jumlah anak, jumlah waktu yang keluarga, jumlah waktu yang
dihabiskan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan serta tidak
adanya dukungan dari pasangan dan keluarga merupakan pemicu
terjadinya konflik pekerjaan-keluarga. Beberapa peneliti menemukan
bahwa ada hubungan antara konflik peran ganda dengan psychological
distress dan burnout. Schwartzberg dan Dytell (dalam Tamaela, 2011)
mengatakan ada pengaruh pekerjaan dan stres keluarga terhadap
kesejateraan psikologis dan burnout. Selanjutnya penelitian mengarah
pada perbedaan gender dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita
menunjukkan level distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan
peran ganda.
Dalam penelitian ini ditemuka perawat wanita yang tidak mengalami
burnout sebesar 12.5 %. Penjelasan penelitian bahwa kejadian burnout
111
112
dapat disebabkan oleh berbagai factor diantaranya faktor situasional atau
karakteristik pekerjaan, faktor organisasional dan faktor individual atau
kepribadian.
Hasil penelitian mengidentifikasi bahwa konflik work interfering with
the family (WIF) atau pekerjaaan mengganggu peran seseorang dalam
keluarga tidak berhubungan signifikan dengan burnout pada perawat
wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.263), sedangkan konflik family
interfering with the work atau peran seseorang dalam keluarga
mengganggu peran pekerjaan berhubungan signifikas dengan dengan
burnout pada perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.001). Dimana
perawat wanita yang mengalami family interfering with the work (FIW)
lebih berpeluang mengalami burnout 5 kali dibandingkan dengan perawat
wanita yang tidak mengalami family interfering with the work. Temuan ini
senada dengan hasil penelitian Berk menemukan bahwa wanita
cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga
sehinggawanita dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan
keluarga khususnya family interference with work.
Penelitian menyimpulkan bahwa peran perawat wanita dalam
keluarga mengganggu peran pekerjaan berhubungan signifikas dengan
dengan burnout, sedangkan pekerjaaan mengganggu peran seseorang
dalam keluarga tidak berhubungan signifikan dengan burnout. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Netemeyer et al. dalam
112
113
Agustina, 2008; Thomas & Ganster dalam Agustina, 2008) yang
menemukan adanya pengaruh FIW terhadap kepuasan kerja.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dalam
menjalankan setiap peran dari perawat wanita memegang peranan
penting. Perawat menghabiskan waktunya 7-8 jam selama 24 jam untuk
melakukan aktivitas perawatan tentu akan sangat melelahkan. Setelah
menghabiskan waktu kerja sampai dirumah harus melanjutkan perannya
sebagai ibu rumah tangga dengan sebaik-baiknya, akibatnya waktu
istirahat lebih sedikit sehingga rutinitas kegiatan seperti ini akan menguras
energi fisik maupun mental yang pada akhirnya jika kapasitas koping
yang dimilki melewati ambang batas akan menyebabkan terjadinya
burnout.
Pemenuhan tuntutan pemenuhan peran dalam keluarga dipengaruhi
oleh kamampuannya dalam memenuhi tuntutan pekerjaan yang
berlebihan dan waktu seperti pekerjaan yang harus diselesaikan
secepatnya sementara tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu
yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga. Semakin
besar kompoisisi dan jumlah anggota keluarga semakin besar pula waktu
yang dibutuhan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ketidakmampuan mengelola waktu dalam menyelesaikan kedua peran
akan menganggu penyelesaian tugas dan perannya sebagai seorang
perawat.
113
114
4. Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di
RS Haji Makassar
.Hasil penelitian menemukan ada hubungan yang signifikan antara
beban kerja dengan burnout pada perawat wanita di RSU Haji Makassar
(p : 0.000), dimana perawat wanita yang mengalami beban kerja lebih
akan berpeluang mengalami burnout 7 kali dibandingkan dengan perawat
wanita dengan beban kerja optimal.
Beban kerja yang berlebihan secara signifikan berhubungan dengan
kejadian burnout pada perawat wanita. Ketika seorang perawat
mempersepsikan beban kerjanya secara overload, maka perawat tersebut
akan rentan terhadap stres, karena stres merupakan persepsi mengenai
ketidakseimbangan antara sumber-sumber individu dan tuntutan yang
ditujukan pada perawat yang bersangkutan. Kemudian perawat akan
mengalami ketegangan (strain) yaitu memberikan respon emosional
sesaat terhadap ketidakseimbangan. Setelah itu perawat akan melakukan
coping terhadap stresnya, dan bila perawat mengalami kegagalan dalam
coping maka perawat tersebut akan mengalami burnout. Banyaknya
tuntutan dan tekanan kerja yang berlebih ditambah dengan minimnya
sumber individu untuk dapat memenuhi semua tuntutan akan
menyebabkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan yang dialami oleh
perawat tersebut menghasilkan stress emosional yang kronis, yang
berujung pada munculnya burnout.
114
115
Individu dengan persepsi beban kerja yang rendah akan mengetahui
seberapa jauh kemampuan diri mereka dan bagaimana mengoptimalkan
potensinya untuk mencapai harapan sehingga stres yang ada pada
pekerjaan membantunya mengarahkan sumber-sumber yang ada pada
dirinya untuk memenuhi tuntutan pekerjaan. Individu – individu tersebut
menganggap tekanan atau kesulitan sebagai tantangan sehingga mereka
akan semakin meningkatkan performance kerja mereka. Sedangkan pada
orang dengan persepsi beban kerja tinggi, stresor pada pekerjaan akan
dianggap sebagai hambatan yang menyulitkan. Akibatnya mereka akan
merasa terbebani dengan pekerjaan mereka sehingga rentan bagi
munculnya burnout. Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (1995)
dalam Tamaela (2011) bahwa burnout biasanya terjadi bukan karena satu
atau dua kejadian yang traumatis tetapi karena akumulasi bertahap dari
tekanan kerja yang berat.
Meskipun demikan dalam penelitian ini ditemukan perawat wanita
dengan beban kerja optimal jugan mengalami burnout demikian
sebaliknya ditemukan perawat wamita yang mengalami beban kerja
berlebihan tetapi tidak mengalami burnout dengan proporsi yang hampir
sama. Penjelasan penelitian adalah persepsi seseorang terhadap
lingkungannya adalah berbeda-beda walaupun stimulusnya sama
sehingga dalam hal ini terdapat kemungkinan orang mempersepsikan
beban kerjanya secara berbeda tergantung karakteristik personelnya.
115
116
Begitu juga dengan perawat, persepsi seorang perawat terhadap beban
kerjanya dapat mempengaruhi reaksinya terhadap beban kerja tersebut.
Selanjutnya penelitian mengidentifikasi perawat wanita mengalami
beban kerja optimal secara kualitatif lebih banyak yang mengalami
burnout yaitu 46.25 % dibandingkan dengan beban kerja kualitatif
berlebihan hanya 3.75 %, dan penelitian menyimpulkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara beban kerja kualitatif dengan burnout
perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.241). Sedangkan perawat
wanita yang mengalami beban kerja berlebih secara kuantitatif lebih
banyak yang mengalami burnout yaitu 31.25 % dibandingkan dengan
beban kerja optimal secara kuantitatif hanya 17.5%, dan disimpulkan ada
ada hubungan beban kerja kuantitatif dengan burnout perawat wanita di
RSU Haji Makassar (p : 0.001). Dimana perawat wanita yang mengalami
beban kerja kuantitatif berpeluang mengalami burnout 5 kali dibandingkan
dengan perawat wanita dengan beban kerja kuantitatif optimal.
Beban kerja secara kualitatif berkaitan dengan kemajemukan
pekerjaan yang harus dilakukan. Meskipun tidak berhubungan secara
signifikan akan tetapi fenomena yang menarik adalah perawat wanita
mengalami beban kerja optimal secara kualitatif lebih banyak yang
mengalami burnout dibandingkan perawat dengan beban kerja kualitatif
berlebihan. Secara teori beban kerja optimal merupakan kondisi
kesimbangan antara potensi yang dimiliki dengan tugas-tugas yang harus
diselesaikan. Sehingga terjadinya burnout bersumber dari stressor lain
116
117
misalnya stressor personal diluar dari pekerjaan itu sendiri maupun factor
organisasi yang kurang kondusif. Beban kerja kualitatif merupakan
pekerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada
pekerjaan otak. Kemajemukan yang harus dilakukan seorang perawat
dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika
kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang
lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan
pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destrutif. Pada titik tersebut
kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan
menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan
reaksireaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa
kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut
merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif.
Sementara itu hasil pengujian menunjukkan bahwa kelebihan beban
kerja secara kuantitatif berpengaruh signifikan terhadap tingkat burnout,
artinya bahwa semakin tinggi tingkat kelebihan beban kerja akan
menyebabkan burnout juga akan tinggi. Selaras dengan hasil penelitian
Shaw dan Weekly, (1985), Zagladi (2004) menemukan bahwa beban
kerja kuantitatif.yang berlebihan berpengaruh positif terhadap burnout.
Hasil penelitian ini mendukung hasil kajian empiris terbaru oleh Henkens
dan Leenders, (2010) dan Izquierdo (2010) dalam Tamaela (2011)yang
menyatakan bahwa seluruh dimensi burnout dipengaruhi oleh tingginya
beban kerja tanpa mmandang jenis beban kerja. Unsur yang menimbulkan
117
118
beban berlebih kuantitatif ialah kondisi kerja, yaitu setiap tugas diharapkan
dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat
tertentu hal ini merupakan motivasi dan menghasilkan prestasi, namun
bila desakan waktu menyebabkan banyak kesalahan atau menyebabkan
kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan
adanya beban berlebih kuantitatif. Pada akhirnya, hasil ini mampu
menjelaskan bahwa tingginya beban kerja secara kuantitatif akan
menimbulkan ketegangan-ketegangan emosional. Ketika seorang
perawat mempersepsikan beban kerjanya secara overload, maka perawat
tersebut akan rentan terhadap stres, karena stres merupakan persepsi
mengenai ketidakseimbangan antara sumber-sumber individu dan
tuntutan yang ditujukan pada perawat yang bersangkutan. Kemudian
perawat akan mengalami ketegangan (strain) yaitu memberikan respon
emosional sesaat terhadap ketidakseimbangan. Setelah itu perawat akan
melakukan coping terhadap stresnya, dan bila perawat mengalami
kegagalan dalam coping maka perawat tersebut akan mengalami burnout.
5. Analisis Hubungan Stres Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS
Haji Makassar
Hasil penelitian menemukan ada hubungan stress kerja dengan
burnout pada perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.000) dan
perawat wanita yang mengalami stress kerja akan berpeluang mengalami
burnout 12 kali dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak
mengalami stress kerja.
118
119
Penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara stress kerja
dengan burnout pada perawat wanita di RS Haji Makassar. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purbandini (2012)
yang menemukan hubungan positif dan signifikan antara variabel stres
kerja dengan variabel burnout pada perawat RSUD Kota Bekasi. Hal
ini diperkuat oleh pernyataan Leatz dan Stolar (Andarika, 2004) apabila
keadaan stres terjadi dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas
yang cukup tinggi, ditandai dengan kelelahan fisik, kelelahan
emosional, dan kelelahan mental, maka akan mengakibatkan perawat
mengalami gejala burnout.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya seorang perawat dituntut
untuk memiliki keahlian, pengetahuan, dan konsentrasi yang tinggi.
Selain itu pula seorang perawat selalu dihadapkan pada tuntutan
idealisme profesi dan sering menghadapi berbagai macam persoalan
baik dari pasien maupun teman sekerja, pola kerja yang monoton dan
rutin ditambah lagi dengan beban tugas sebagai ibu rumah tangga. Jika
perawat wanita tidak mampu berdapatasi dengan stressor-stresor tersebut
menyebabkan mengalami stress kerja yang jika berlangsung lama dan
intensitasnya cukup tinggi dapat menyebabkan kelelahan secara fisik,
mental dan emosional sehingga berkembangan menjadi burnout.
Selanjutnya penelitian mengidentifikasi hubungan faktor stress
kerjadengan kejadian burnout yang menemukan semua faktor stress
kerja berkorelasi dengan burnout pada perawat wanita. Hal ini
119
120
menunjukkan bahwa keterlibatan factor-faktor stress kerja akan
meningkatkan kecendrungan terjadinya burnout sebagaimana analisis
yang menunjukkan ada hubungan stress kerja dengan burnout pada
perawat wanita di RSU Haji Makassar. Faktor stress yang member
konstribusi lebih besar terhadap terjadinya burnout adalah factor individu
(OR: 9).
Tabel 5.13 menunjukkan perawat wanita yang mengalami stress kerja
dari faktor individu lebih banyak yang mengalami burnout yaitu 38.75 %
sedangkan yang tidak mengalami stress kerja hanya 11.25 %, perbedaan
ini bermakna secara statistik dengan nilai yang berarti ada stress kerja
dari factor individu dengan burnout perawat wanita di RSU Haji Makassar
(p : 0.000)dan stress kerja dari faktor individu memberi peluang 9 kali
perawat wanita mengalami burnout (OR : 9). Faktor individu yaitu semua
hal yang terdapat dalam kehidupan pribadi individu diluar
pekerjaan,seperti masalah keuangan dan ekonomi, masalah pribadi yang
terjadi diluar jam kerja termasuk kepribadian. Akibatnya konsistensi kerja
terganggu,kinerja kurang memuaskan dan individu tidak dapat memenuhi
tuntutan pekerjaan. Peristiwa yang terjadi di dalam dan diluar tempat
kerja dapat memicu terjadinya stress kerja. Stress kerja yang dialami
merupakan hubungan yang timbal balik antara sesuatu yang terjadi dalam
diri individu dan diluar individu. Hal ini berarti bahwa terjadinya stress
kerja lebih menekankan pada kemampuan individu untuk melakukan
penyesauaian terhadap lingkungan kerja dan pekerjaan itu sendiri. Jika
120
121
tidak mampu melakukan penyesuaian dengan baik akan mengalami
stress kerja sementara ia tetap melakukan pekerjaannya akan
meningkatkan resiko mengalami burnout.
6. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Beban Kerja Dengan Stress
Kerja Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Berdasarkan hasil analisis multivariate ditemukan variabel yang paling
berhubungan secara bermakna dengan stress kerja perawat wanita di RS
Haji Makassar adalah variabel konflik peran ganda (OR : 9 p : 0.000)
yang berarti perawat wanita yang mengalami konflik peran ganda
berpeluang 9 kali mengalami stress kerja.
Konflik peran antara pekerjaan dan keluarga secara signifikan
berhubungan dengan stress kerja perawat wanit. Hal ini disebabkan
perawat tidak dapat melakukan dua hal dalam waktu bersamaan. Ketika
perawat harus menyelesaikan pekerjaannya maka waktu yang
seharusnya dihabiskan untuk keluarga akan berkurang, demikian pula
sebaliknya, ketika perawat menghabiskan lebih banyak waktu bersamaan
keluarga maka waktu penyelesaian pekerjaan akan berkurang dan
pekerjaan tidak dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Hal ini merupakan sumber potensial stress kerja pada perawat. Ketika
konflik pekerjaan berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, maka
perawat pekerja biasanya membawa masalah pekerjaan serta stress yang
diakibatkan oleh pekerjaan ke rumah dan hal ini akan mempengaruhi
kehidupan dalam keluarga. Demikian hal ketika perawat yang memiliki
121
122
masalah dalam keluarganya akan berdampak pada pekerjaan serta
kinerja yang dihasilkan oleh perawat tersebut.
7. Analisis Hubungan Konflik Peran Ganda, Stres Kerja, Beban Kerja
Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar
Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa variabel yang paling
berhubungan secara bermakna dengan burnout perawat wanita di RS Haji
Makassar adalah variabel stress kerja (OR : 8, p : 0.000). Dimana
perawat mengalami stress kerja berpeluang 8 kali mengalami burnout .
Perawat yang mengalami stres akan selalu diliputi perasaan cemas,
tegang, mudah tersinggung dan frustrasi serta adanya keluhan
psikosomatis. Hal tersebut terjadi karena terkurasnya energi untuk
menghadapi stres yang dialami terus menerus dalam pekerjaannya
sehingga dengan mudah berkembang menjadi burnout. Hasil penelitian
ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
penyebab timbulnya burnout berasal dari stres kerja yang
berkepanjangan, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi burnoutdapat
dikenali melalui penyebab stres kerja.
Perawat yang mengalami burnout akan mengalami perubahan fisik
maupun psikis yang mengakibatkan hasil kerja tidak optimal, sering
absent dalam kerjanya, mengalami gangguan pada kesehatannya, emosi
yang tinggi, kerja yang lambat dan semangat kerja menjadi turun. Simtom-
simtom tersebut menimbulkan burnout, dan burnout yang berlarut-larut
akan merugikan diri sendiri maupun organisasi . Jadi dapat disimpulkan
122
123
bahwa burnoutpada perawat adalah suatu fenomena yang dialami individu
dalam kondisi internal negatif yang disertai dengan kelelahan fisik,
kelelahan emosional, kelelahan mental, dan menurunnya penghargaan
terhadap diri sendiri, akibat dari stress kerja yang berkepanjangan.
Kondisi internal negatif pada perawat dapat memiliki derajat stress yang
cukup tinggi, dan dapat beresiko menimbulkan burnout. Hal ini disebabkan
oleh tugas dan pekerjaan perawat yang kompleks dan menjenuhkan
dalam pekerjaannya.
8. Hubungan Family Interfering With The Work, Faktor Individu, Faktor
Organisasi, Faktor Lingkungan Dari Stres Kerja, Qualitative Overload,
Quantitative Overload Dari Beban Kerja Dengan Burnout Perawat
Wanita di RS Haji Makassar
Berdasarkan hasil analisis multivariate menemukan bahwa sub
variabel konflik peran ganda, stress kerja dan beban yang paling
berhubungan secara bermakna dengan burnout perawat wanita di RS Haji
Makassar adalah variabel sub variabel stress kerja yaitu faktor individu
(OR : 6, p : 0.003).
Hasil penelitian ini memperkuat analisis sebelumnya yang
menemukan bahwa stress kerja merupakan variabel yang paling
berhubungan dengann burnout. Penelitian ini menjelaskan bahwa stress
kerja yang bersumber dari individu perawat wanita memberi dampak
terbesar terhadap kejadian burnout. Hal ini sangat logis karena stress itu
sendiri bersifat personal. Stres merujuk pada kondisi internal individu
123
124
untuk menyesuaikan diri secara baik terhadap perasaan yang
mengancam. Hal ini sangat tergantung dari kemampuan individu
melakukan penyesuaian terhadap berbagai stressor yang di alami. Dalam
kaitan pekerjaan, stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
transaksi antara individu dengan lingkungan kerja sehingga menimbulkan
persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber
daya sistem biologis, psikologis dan sosial.
Berbagi stressor yang dialami oleh perawat seperti beban kerja,
konflik peran ganda, kondisi lingkungan kerja dan pekerjaan itu sendiri jika
stress di manajemen dengan baik akan menciptakan keseimbangan
antara tuntutan pekerjaan dengan individu, tetapi jika penyesuaian tidak
efektif akan menyebabkan stress kerja. Sehingga perawat wanita yang
mengalami stress kerja berkepanjangan dengan intensitas yang cukup
besar akan menyebabkan burnout.
C. Keterbatan Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan.
Pertama penggunaan metode cross-sectional study memiliki kendala
kurangnya inferensi kausalitas, selain itu data longitudinal dapat
menimbulkan biasnya estimasi parameter sehingga hasilnya kurang baik.
Kedua, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode angket (self evaluative) sehingga subjektifitas dapat
mempengaruhi responden pada saat menjawab pernyataan penelitian.
Sehingga untuk mengontrol kecendrungan subjektifitas peneliti menunggu
124
125
sampai responden menjawab keseluruhan kuesioner dan menjelaskan
setiap atem pertanyaan sehingga responden dapat memahami dengan
baik sebelum memberikan pendapat.
Ketiga, penelitian ini tidak melakukan pengujian interaksi antara
variabel independen (konflik kerja, beban kerja dan stres kerja) yang
memungkinkan adanya hubungan bersama-sama dan atau saling
memediasi antara variabel independen dengan variabel dependen
(burnout), sehingga untuk penelitian selanjutnya di sarankan untuk
melakukan uji interaksi antara variabel independen hubungannya dengan
variabel dependen.
Keempat, pengukuran variabel independen dilakukan secara
kelompok, tidak melakukan pengujian sub variabel dari masing-masing
sub variabel sehingga hasil penelitian tidak secara spesifik mampu
mengidentifikasi hubungan masing-masing sub veriabel independen
dengan viriabel dependen sehingga di sarankan penelitian lanjutan untuk
melakukan pengujian sub variabel independen.
D. Implikasi penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat berimplikasi pada :
a. Pelayanan keperawatan
Hasil penelitian telah membuktikan secara empiris bahwa konflik
peran ganda, stres kerja dan beban kerja berhubungan dengan burnout
pada perawat wanita, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi pimpinan rumah sakit khususnya bidang keperawatan dengan
125
126
menerapkan manajemen konflik, managemen stres dan penyesuaian
beban kerja perawat yang lebih optimal.
b. Pendidikan Keperawatan
Penelitian memberikan implikasi pada institusi pendidikan
keperawatan pentingnya mempersiapkan calon perawat dalam penguasan
kompetensi pada tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotor sehingga
setelah bekerja dalam memiliki kemampuan penyesuaian yang adaptif
terhadap berbagai permasalahan dalam tatanan praktik.
c. Penelitian
Penelitian ini memberi implikasi sebagai rujukan untuk pengembangan
lebih luas tentang kejadian burnout pada perawat wanita, terutama
dengan mengesplorasi baik secara metodologi maupun pengembangan
variabel-variabel yang mampu menghasilkan formulasi lebih utuh dalam
mengontrol kejadian burnout.
126
127
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Variabel karakteristik pendidikan, umur dan masa kerja tidak
berhubungan dengan burnout perawat wanita di ruang rawat inap RS
Haji Makassar.
2. Ada hubungan yang signifikan konflik peran ganda dengan stress kerja
perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.000), perawat wanita yang
mengalami konflik peran ganda lebih berpeluang mengalami stress
kerja 10 kali dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak
mengalami konflik peran ganda.
3. Ada hubungan yang signifikan beban kerja dengan stress kerja
perawat wanita di RSU Haji Makassar (p : 0.026), perawat wanita yang
mengalami beban kerja berlebihanlebih berpeluang mengalami stress
kerja 3 kali dibandingkan dengan perawat wanita dengan beban kerja
optimal.
127
128
4. Ada hubungan yang signifikan antara konflik peran ganda dengan
burnout perawat wanita di ruang rawat inap RS Haji Makassar,
perawat wanita yang mengalami konflik peran ganda lebih berpeluang
mengalami burnout 6 kali dibandingkan dengan perawat wanita yang
tidak mengalami konflik peran ganda.
5. Ada hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan burnout
perawat wanita di ruang rawat inap RS Haji Makassar, perawat wanita
yang mengalami stres kerja lebih berpeluang mengalami burnout 12
kali dibandingkan dengan perawat wanita yang tidak mengalami stres
kerja.
6. Ada hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan burnout
perawat wanita di ruang rawat inap RS Haji Makassar, perawat wanita
yang mengalami beban kerja berat lebih berpeluang mengalami
burnout 7 kali dibandingkan dengan perawat wanita dengan beban
kerja optimal.
7. Stres kerja adalah variabel yang paling berhubungan secara signifikan
dengan burnout perawat wanita di ruang rawat inap RS Haji Makassar.
B. Saran
Berikuti ini saran-saran penelitian diperuntukkan kepada :
1. Rumah Sakit
RS Haji Makassar penting meminimalkan terjadinya bournut akibat
konflik peran ganda, stres kerja dan beban kerja maka diharapkan :
128
129
d. Menerapkan rotasi kerja secara periodik agar tidak timbul kebosanan
bila berada di ruang rawat inap dengan kondisi yang kurang
menyenangkan dan beban kerja yang tinggi
e. Menyusun perencanaan kegiatan pelatihan dan pendidikan untuk
meningkatkan kompetensi perawat.
f. Mengoptimalkan penerapan sistem penugasan asuhan keperawatan
yang tepat di setiap ruangan rawat inap khususnya pengklasifikasian
pasien.
g. Bidang keperawatan penting menyusun pemetaan kompetensi,
keahlian dan peminatan setiap perawat sebagai dasar dalam
penempatan unit kerja/ ruangan.
h. Kepala ruangan diharapkan melakukan deteksi dini terjadinya stres
kerja, konflik peran ganda dan melakukan pembinaan khusus kepada
perawat yang terindikasi mengalami konflik peran ganda, stres kerja
melalui pendekatan konseling dan manajemen konflik.
2. Perawat
Sebagai seorang wanita yang ingin menjalankan karir tetap menjaga
keseimbangan peran ganda antara pekerjaan dan rumah tangga maka
diharapkan :
a. Menyusun rencana kegiatan harian sehingga meningkatkan efisisensi
dan efektivitas kinerja serta penghematan energi yang tidak diperlukan
yang dapat meningkatkan beban kerja dan menimbulkan stres kerja.
129
130
b. Selalu berupaya meningkatkan pengetahuan dan pengembangan
keahlian yang berhubungan dengan tindakan keperawatan di ruangan.
c. Melakukan relaksasi dengan berolah raga dan memanfaatkan waktu
istirahat dengan benar.
d. Jika mengalami permasalahan baik berhubungan dengan pekerjaan
maupun rumah tangga untuk melibatkan sumber support sosial yang
tepat.
3. Peneliti selanjutnya
Melakukan penelitian lanjut dengan perbaikan dan pengembangan
instrument dan desain penelitian lain atau dengan metode penelitian
kualitatif sehingga mampu mengekplorasi lebih dalam tentang burnout
pada perawat.
130
131
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, L. (2008). Pengaruh Work-Family Conflict Terhadap Job Satisfaction Dan Turnover Intention Pada Profesi Akuntan Publik: Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik Di DKI Jakarta Dan Bandung. Jurnal Ilmiah Akuntansi, 7 (2), 100-116.
Ali, Zaidin (2010), Dasar-Dasar Kepemimpinan Dalam Keperawatan., CV Trans Info Media, Jakarta
Andrika (2004), Burnout Pada Perawat Puteri Rs Elizabeth Semarang Ditinjau Dari Dukungan Sosialjurnal PSHYCE Vol 1 No 1 H. 1-8
Aryasri, Alief Widyo. 2008. “Analisis Pengaruh Burnout Terhadap Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan dan Service Quality” 125 (Studi pada Bank Mandiri Kota Semarang). Tesis Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Boles, et al. (2001)., JS, Babin BJ. On the front lines: Stress, conflict, and the customer service provider. J Bus Res.1996;37:41–50.
Chen CC, Choi J, Zou Y., 2000)., Sources of work-family conflict: A Sino-U.S. comparison of the effects of work and family demands. Acad Manage J;43:113–23
131
132
Cinnamon, R. G., & Rich, Y. (2002). Gender differences in the importance of work and family roles: Implications for work-family conflict. SexRoles: A Journal of Research, 47, 531-541.
Cox, T., & Griffiths, A., (2000). Work Related Stress in Nursing: Controlling the Risk to Health, International Labour Office Geneva., pada tanggal 8 Agustus 2012 http//:Indomedia.com
Davis dan Newstrom (2001), Organization Behavior.,http://www. getcollegecredit.com/images/uploads/documents/Organizational_Behavior.pdf, 8 Agustus 2012
Emilia (2009) Pengaruh Motivasi Berprestasi Terhadap Kinerja Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa Dir S Daerah Sumatera Utara, Medan Majalah Kedokteran Nusantara Volume 42 No 1 Maret 2009
Erlina (2010)., Hubungan Antara Persepsi Beban Kerja Dengan Burnout Pada Perawat Di Rumah Sakit Daerah Dr. Haryoto Lumajang. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. http://arc.unm.ac.id/files/(1247-H-2010)-pdf, diakses, 11 september 2012).
Eshelman. E. R.& McKey. M., (1995), Panduan Relaksasi dan Reduksi Stress, Edisi 3., Bandung: EGC.
Ferdinand, Augusty, (2006), “Metode Penelitian Manajemen”, Edisi 2, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro
Foley, S & Yu, N.H. (2005). The Effects of Work Stressors, Perceived Organizational Support And Gender on Work-Family Conflict In Hongkong. Asia Facific Journal of Management. Vol 22. Page 237-256
Frone, Rusell & Cooper (1992)., . Antecedents and outcomes of work–family conflict: Testing a model of the work-family interface. J Appl Psychol. 1992;77:65–78. [PubMed]
Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1996), Organisasi: Perilaku - Struktur - Proses, (Jilid I,Edisi ke delapan), Adiarni, N (Alih Bahasa), Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Gitosudarmo dan Suditta, (2000), Perilaku Keorganisasian Edisi Pertama., Yogyakarta., BPFE
Grainger, C. (1999). Stres Survival Guide: Mengatasi Stres Bagi Para Dokter, Jakarta: Penerbit Hipokrates.
132
133
Graytoft., & Anderson. (2004). Stress Among Hospital Nursing Staff ; Its Causes and Effects in Social Science and Medicine pada tanggal 8 Agustus 2012http://www.search. Yahoo.com.
Greenhaus dan Beutell (1985)., Beutell NJ. Sources conflict between work and family roles. Acad Manage Rev.;10:76–88
Handoko (2001)., Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi 2., Yogyakarta., BPFE
Herlina & Ninik (2008), Peran Dukungan Organisasi dan Dukungan Suami Dalam memoderasi Pengaruh Tuntutan Waktu Peran Kerja terhadap Konplik Peran Ganda. Jurnal Manejemen Bisnis, Vol XVI No1 Januari 2008.
Ilyas Y, 2000, Perencanaan SDM Rumah Sakit, FKM Universitas Indonesia, Jakarta
Ilyas, Y. (2001). Kinerja: Teori Penilaian dan Penelitian. Depok: Badan Penerbit FKM UI.
Ircham Machfoedz (2009), Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran. Penerbit Fitramaya, Yogyakarta.
Judge, T.A; Locke, E.A; Durham, C.C; dan Kluger A.N (1998),“Dispotitional Effects on Job and Life Satisfaction: The Role of Core Evaluations.” Journal of Applied Psychology, Vol. 83 (1), p. 17-34.
Karatepe, Osman M, Work Family Conflict And Bournout In Frotline Job Direct And Moderating Effect Http://Www.Fags.Org/Feriodical/201010/22178813431.Html#Ixzzlhckgttsp Di Download,
Kuntari, Y. (2000). “Pengalaman Organisasi, Evaluasi Terhadap Kinerja dan Hasil Karir pada KAP: Pengujian Pengaruh Gender.” Tesis, UGM Pasca-Sarjana. http://arc.ugm.ac.id/files/(1724-H-2004)-pdf, diakses, 11 september 2012).
Luthan (2006), “Organizational Behavior”, McGraw-Hill, Inc.
Mangkunegara (2005)., Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT Refika
National Safety Council, (2004). Manajemen Stres. Dikutip pada tanggal 9 Agustus 2012, dari http://www.ahrq.gov/qual/nurseshdbk/docs/ jenningsb WEWCN.pdf
133
134
Pangastiti (2011)., Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Burnout Pada Perawat Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa, eprints.undip.ac.id/29408
Purbandini. D (2012 ) Hubungan Antara Efikasi Diri (Self Efficacy) Dan Stres Kerja Dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) Pada Perawat Igd Dan Icu Rsud Kota Bekasi, Jurnal Soul, Vol .5, No 2, September 2012
Renny Rantika dan Sunjoyo, (2011)., Pengaruh Konflik Kerja-Keluarga Terhadap Komitmen Organisasional Yang Dimediasi Oleh Kepuasan Kerja Pada Profesi Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta.,Jurnal Manajemen Teori Dan Terapan.,Tahun 4, no. 2, Agustus 2011
Riatiningsih, L. (2007). Perbedaan Burnout Pada Perawat Berkepribadian Introvert dan Ekstrovert di Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar Malang. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. http://arc.unm.ac.id/files/(1454-H-2007)-pdf, diakses, 11 september 2012).
Rice (2002). Work stress among nurses in Ontario. Dikutip tanggal 9 Agustus 2012, dari http://www.industrialrelationscentre.com/dps-work-stress-among-nurses-in- ontario.pdf
Rini, J. F. dkk. (2002). Wanita bekerja. dalam Http://www.psikologi.com/ keluarga. (on-line 03/10/2012)
Rivai, Mulyadi, (2001)., Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi 2 Cetakan-8 PT Rajagrafindo Persada.
Robbins (2002)., Perilaku Organisasi. Edisi kedelapan. Jakarta: PT Prenhalindo.
Sharma, R. (2007). Indian Model of Executive Burnout. Pentagon Press: Journal of Organizational Behavior. Vol. 32. No. 2. 23-38
Sitorus. R. (2006) Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) di Rumah Sakit . Penataan Struktur dan Proses Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat. Panduan Implementasi. EGC. Jakarta
Sugiyono.( 2008). Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Kesebelas. Bandung : CV. Alfabeta.
Tamaela. E.Y (2011) Konsekuensi Konflik Peran, Kelebihan Beban Kerja Dan Motivasi Intrinsikterhadap Burnoutpada Dosen Yang Merangkap Jabatan Struktural, Aset, September 2011, Hal. 111-122. ISSN 1693-928X. Vol. 13 No. 2
134
135
Thomas & Ganster, (1995)., Impact of family-supportive work variables on work-family conflict and strain: A control perspective. J Appl Psychol.;80:6–15
Ummu Hany Almasitoh (2011), Stres Kerja Ditinjau dari Konflik Peran Gandadan Dukungan Sosial pada Perawat, Jurnal Psikologi Islam (JPI) Vol. 8 No . 1 Tahun 2011. Nitropdf.com/profesional
Yavas, U & Babakus, E. (2008). Attitudinal And Behavioral Consequences of Work-Family Conflict And Family-Work Conflict: Does Gender Matter? International Journal of Service Industry Management. Vol 19. N0.1. Page 7 -31
Yesi Gutian (2010), Hubungan Stres Kerja Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Dalam Melaksanakan Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU Pasaman Barat. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Widya Mandala, 1 (1), 20-44.
Zagladi, A. L. 2004. Pengaruh Kelelahan Emosional Terhadap Kepuasan Kerja Dan Kinerja Dalam Pencapaian Komitmen Organisasional Dosen Perguruan Tinggi Swasta. Disertasi, Program Doktor Manajemen, Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
135
136
Lampiran 1
LEMBAR INFORMED CONCERN
Kepada Yth. Perawat IRNA
RSU HAJI MAKASSAR
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Saya adalah mahasiswa Program Magister Manajemen Keperawatan, Program Studi Megister Ilmu Keperawatan FK Unhas Makassar yang melakukan penelitian dengan judul : Hubungan Konflik Peran Ganda,Stress Kerja, Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Tahun 2013.
Untuk keperluan itu saya mohon bapak/ibu agar bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, dan bersedia memberi jawaban pada setiap pernyataan di kuesioner dengan jujur apa adanya, serta menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan.
136
137
Peneliti menjamin kerahasiaan identitas dan informasi yang bapak/ibu berikan, hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan.
Demikianlah keterangan persetujuan ini dibuat, semoga dapat digunakan seperlunya.
Terimakasih atas partisipasi bapak/ibu dalam penelitian ini.
Makassar……….. 2013
Tanda Tangan : ……...……..
No. Responden : …….………
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
Hubungan Konflik Peran Ganda,Stress Kerja, Beban Kerja Dengan Burnout Perawat Wanita di RS Haji Makassar Tahun 2013
Petunjuk umum pengisian 1. Keusioner terdiri dari 5 paket :
i. Paket A : berisi data demografi responden
j. Peket B : berisi kuesioner konflik peran ganda
k. Paket C : berisi kuesioner stres kerja
l. Paket D : berisi kuesioner kinerja
m. Paket E : berisi kuesioner burnout
2. Ibu diharapkan membaca dengan seksama setiap etem pertanyaan sehingga dapat memberikan jawaban sesuai dengan kondisi yang sebenar-benarnya.
3. Dari setiap item pertanyaan yang ada, ibu tinggal memilih satu jawaban yang paling sesuai dengan kondisi yang dimaksud.
137
138
4. Jawaban yang dipilih dengan memberi tanda silang (X) pada kolom angka 1,2,3 atau 4.
5. Untuk kesemurnaan partsisipasi ibu dalam penelitian ini dimohon untuk mengisi semua pertanyaan dalam kuesioner ini
6. Bila ada yang kurang dimengerti dapat ditanyakan pada peneliti.
Kuesiuoner A : Kuesioner Data Demografi
1. Umur : ………..
2. Pendidikan : 1. D III keperawatan 3. S1 Keperawatan 3. Masa bekerja : ………….
Kuesioner B
Skala ini berisi beberapa pernyataan. Anda diharapkan memilih salah satu dari empat (4) alternative jawaban. Berilah tanda silang (X) pada kolom jawaban atas pernyataan yang sesuai dengan kondisi Anda dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :SL : Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang setiap hari selalu Anda alamiSR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang hampir setiap hari atau seringkali Anda alamiJR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang jarang Anda alamiTP: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang tidak pernah Anda alami
Konplik Peran Ganda
No Pernyataan Pilihan
SL SR JR TP
138
139
1. Berbagai tuntutan pekerjaan saya sebagai perawat mengganggu kehidupan pribadi saya (Rumah, keluarga atau waktu senggang saya).
2. Berbagai tuntutan waktu dari pekerjaan saya sebagai perawat membuat sulit untuk hadir dalam rumah, keluarga atau berbagai tanggung jawab pribadi
3. Hal-hal yang ingin saya lakukan di rumah tidak dapat saya lakukan karena berbagai tuntutan pekerjaan saya sebagai perawat
4. Pekerjaan saya sebagai perawat membuat stres yang menyulitkan saya untuk memenuhi berbagai kewajiban pribadi maupun keluarga
5. Karena kewajiban yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai perawat, saya harus membuat berbagai perubahan terhadap rencana-rencana saya tentang waktu pribadi maupun berbagai aktivitas keluarga
6. Berbagai atas pekerjaan saya sebagai perawat membuat untuk sulit bersantai saat di rumah dan bersama teman-teman
7. Berbagai tuntutan keluarga atau pasangan saya mengganggu berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan saya sebagai perawat
8. Saya harus mengesampingkan berbagai hal yang sedang saya kerjakan di RS ini karena berbagai tuntutan waktu saya di rumah
9. Saya mengalami masalah dalam menyelesaikan berbagai hal di RS ini karena berbagai tuntutan dari keluarga atau pasangan saya
10 Kehidupan rumah tangga saya mengganggu berbagai tanggung jawab saya di RS ini seperti menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, menyelesaikan tugas-tugas harian dan kerja lembur sebagai perawat
11 Stres yang berkaitan dengan keluarga mengganggu kemampuan saya untuk melakukan berbagai kewajiban yang berkaitan dengan pekerjaan saya sebagai perawat
12. Keluarga dan teman-teman saya menyita waktu yang saya akan gunakan untuk bekerja
139
140
Kuesioner B Stres Kerja
Skala ini berisi beberapa pernyataan. Anda diharapkan memilih salah satu dari empat (4) alternative jawaban. Berilah tanda silang (X) pada kolom jawaban atas pernyataan yang sesuai dengan kondisi Anda dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :SL : Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang setiap hari selalu Anda alamiSR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang hampir setiap hari atau seringkali Anda alamiJR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang jarang Anda alamiTP: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang tidak pernah Anda alamiN0 Pernyataan SL SR JR TP
1 Saya selalu mengalami sakit kepala ketika bekerja di Rumah Sakit
2 Saya merasa ada gangguan tidur setelah pulang bekerja dari Rumah Sakit
140
141
3 Saya mudah lupa dan sulit konsentrasi setelah bekerja di Rumah Sakit
4 Saya merasa letih, otot kaku (kaku leher) saat/ setelah bekerja di Rumah Sakit
5 Saya merasa tegang,gemetar, dan keringat dingin saat menghadapi pasien masuk dalam kondisi kritis
6 Saya merasa tertekan dengan ketatnya peraturan yang harus dipatuhi
7 Saya sering marah dan mengomel pada saat bekerja
8 Saya merasa mudah tersinggung pada saat bekerja di Rumah Sakit
9 Saya merasa frustasi bila bertugas pada jadwal shiff malam
10 Saya merasa jenuh dan malas masuk kerja
11 Saya sering mengalami ketegangan dalam berinteraksi dengan teman sejawat
12 Saya kesal menghadapi pasien/keluarga pasien yang cerewet
13 Saya merasa pimpinan kurang memperhatikan kesejahteraan saya
14 Saya merasa pimpinan terlalu sering mengintervensi pekerjaan saya
15 Saya merasa kesal dengan teman yang tidak menyelesaikan pekerjaan dan melimpahkannya kepada saya
Kuesioner D Beban Kerja
Skala ini berisi beberapa pernyataan. Anda diharapkan memilih salah satu dari empat (4) alternative jawaban. Berilah tanda silang (X) pada kolom jawaban atas pernyataan yang sesuai dengan kondisi Anda dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :SL : Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang setiap hari selalu Anda alamiSR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang hampir setiap hari atau seringkali Anda alamiJR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang jarang Anda alamiTP: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang tidak pernah Anda alami
No. Pernyataan SL SR JR TP1. Saya merasa pengetahuan dan ketrampilan yang
saya miliki tidak mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan
2. Saya memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
141
142
cukup tentang pekerjaan ini 3. Saya merasa beban kerja perawat terlalu berat 4. Saya dapat menyelesaikan tugas yang diberikan
tepat pada waktunya 5. Saya puas dengan pengetahuan saya yang
berkaitan dengan pekerjaan 6. Saat banyak pekerjaan, saya sering melakukan
kesalahan dalam merawat pasien 7. Saya merasa cemas apabila menghadapi pekerjaan
yang belum pernah saya ketahui sebelumnya 8. Banyaknya pasien membuat saya tidak dapat
bersikap adil kepada pasien 9. Saya merasa kemampuan dan pengetahuan saya
dalam bekerja kurang memadai 10. Saya akan meminta bantuan kepada rekan kerja
saat ada pekerjaan yang tidak bisa saya kerjakan sendiri
11. Saya merasa jumlah tenaga perawat yang ada di tiap unit tidak perlu ditambah
12. Saya tetap terhindar dari rasa lelah walaupun banyak pasien yang harus dirawat
13. Ketidakseimbangan jumlah tenaga perawat dengan pasien tidak menjadi masalah bagi saya
14. Saya dihadapkan pada pembuatan keputusan yang sulit dalam merawat pasien
15. Kurangnya tenaga perawat yang ada tidak menjadi masalah buat saya
16. Mobilitas pasien yang keluar masuk dan penambahan pasien di saat jam kerja saya cukup tinggi
17. Saya merasa bingung saat menangani pasien 18. Saya dapat memberikan perhatian kepada pasien
meskipun jumlah pasien banyak 19. Jumlah pasien yang banyak dapat mengurangi
perhatian yang saya berikan kepada pasien 20. Pada saat pasien banyak saya terburu-buru dalam
merawat pasien 21. Saya merasa pekerjaan seorang perawat bukanlah
suatu beban kerja yang berat 22. Saya bersikap ceroboh pada saat bekerja
142
143
Kuesioner E Burnout :
Skala ini berisi beberapa pernyataan. Anda diharapkan memilih salah satu dari empat (4) alternative jawaban. Berilah tanda silang (X) pada kolom jawaban atas pernyataan yang sesuai dengan kondisi Anda dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :SL : Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang setiap hari selalu Anda alamiSR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang hampir setiap hari atau seringkali Anda alamiJR: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang jarang Anda alamiTP: Apabila Anda merasa pernyataan tersebut merupakan pengalaman
nyata yang tidak pernah Anda alami
No. Pernyataan SL SR JR TP1. Saya berusaha tersenyum dan bersikap ramah pada
semua orang yang membutuhkan pelayanan2. Saya tahu pasti apa yang sedang saya kerjakan dan
tujuannya
143
144
3. Saya sulit tidur nyenyak mengingat tugas dan target kerja di tempat kerja
4. Saya lebih suka menyebut kamar pasien daripada menyebutkan nama pribadinya
5. Saya malas menuju tempat kerja6. Saya memberikan partipasi terbaik bagi
perkembangan rumah sakit7. Saya memiliki tanggung jawab untuk dapat melayani
pasien dengan sebaik-baiknya8. Mengingat nama pasien merupakan hal yang
menyenangkan bagi saya9. Saya merasa memiliki kualitas baik dalam pekerjaan
ini10. Saya merasa sangat bersemangat untuk memulai
pekerjaan11. Tuntutan-tuntutan dalam pekerjaan ini berat untuk
dapat saya penuhi12. Saya dapat mengendalikan kemarahan ketika
menghadapi situasi yang penuh konflik13. Saya merasa sangat lelah dan lesu terutama
sepulang dari kerja14. Saya frustasi ketika orang lain butuh pertolongan
sedangkan tenaga kurang15. Saya merasa kuat saat menghadapi pasien yang
butuh perawatan ekstra16. Saya dapat menikmati pekerjaan yang sedang saya
kerjakan17. Besarnya tuntutan pekerjaan membuat saya
pantang menyerah18. Kepala saya terasa sakit mengingat banyaknya
tugas yang harus diselesaikan19. Muncul keringat dingin dan gemetar saat saya
sedang bekerja20. Beratnya tuntutan dalam pekerjaan tidak membuat
saya pusing untuk memikirkannya21. Meskipun banyak pekerjaan yang harus dilakukan,
saya tidak merasa terlalu capek22. Sepulang dari kerja saya merasa tetap fit untuk
melakukan aktivitas yang lain23. Saya merasa tegang saat bekerja24. Rasa marah saya keluar tanpa sebab di tempat
kerja saya25. Pekerjaan ini saya rasakan sebagai beban berat26. Saya merasa terjebak dalam pekerjaan ini27. Saya tidak mudah frustasi meskipun banyak
persoalan yang terjadi di tempat kerja28. Meskipun kondisi penuh tekanan,saya dapat
bersikap tenang29. Saya sangat memahami kemampuan rekan-rekan
144
145
sekerja30. Saya bekerja dengan orang-orang yang kurang
memiliki rasa tanggung jawab31. Saya merasa tidak berhasil dalam memberikan
pelayanan yang optimal bagi pasien32. Saya berhasil menyelesaikan pekerjaan saya
dengan tepat33. Saya merasa gagal menjalankan profesi ini sesuai
kode etik keperawatan34. Saya merasa puas terhadap prestasi yang saya raih
dalam pekerjaan ini35. Saya sanggup menyelesaikan dengan baik setiap
tugas yang dipercayakan kepada saya36. Saya mampu melayani pasien dengan sebaik-
baiknya37. Saya merasa tidak mampu lagi memenuhi tuntutan
dalam profesi ini38. Saya berpikir bahwa prestasi saya ditempat kerja
buruk39. Saya merasa belum pernah melakukan sesuatu
yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain40. Saya merasa menjadi orang yang memiliki kualitas
buruk dalam kemajuan organisasi41. Saya merasa kompeten dalam bidang ini
Terima Kasih Atas Partsipasi Rekan Sejawat
145
146
146