Tes Standar Dan Pengajaran Dalam Psikologi Pendidikan

30
TUGAS AKHIR PSIKOLOGI PENDIDIKAN “Tes Standar Dan Pengajaran Dalam Psikologi Pendidikan” Disusun Oleh Nama : Umi Lestari NIM : A1C313025 Dosen : Dr. Drs. Hendra Sofyan, M. Psi. PENDIDIKAN FISIKA

description

psikologi

Transcript of Tes Standar Dan Pengajaran Dalam Psikologi Pendidikan

TUGAS AKHIR PSIKOLOGI PENDIDIKANTes Standar Dan Pengajaran Dalam Psikologi Pendidikan

Disusun OlehNama: Umi LestariNIM : A1C313025Dosen: Dr. Drs. Hendra Sofyan, M. Psi.

PENDIDIKAN FISIKAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS JAMBI2015Tes StandarApa Yang Dimaksud Tes Standar ?Tes dalam dunia pendidikan dipandang sebagai salah satu alat pengukuran. Oleh karena itu, dalam penyusunan tes melibatkan aturan-aturan (seperti petunjuk pelaksanaan dan kriteria penskoran) untuk menetapkan bilangan-bilangan yang menggambarkan kemampuan seseeorang. Dengan demikian, bilangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai pencerminan karakteristik peserta tes.[footnoteRef:2] [2: Kusaeri & Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta : Graha Ilmu. hal. 5]

Tes standar adalah suatu tes dimana semua siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama dari sebagian tes juga merupakan alat ukur berbentuk satu set pertanyaan dikerjakan dengan mengikuti petunjuk yang sama.[footnoteRef:3] [3: Arikunto,S.2003.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta:BumiAksara hal.145]

Tes standar adalah suatu tes yang memenuhi suatu persyaratan validitas, reliabilitas, kepraktisan dan lainnya. Tes standar umunya dibuat oleh suatu tim (guru, ahli psikologi, ahli bidang studi) yang sebelum diteskan, diuji dahulu validitas, reabilitas, kepraktisan dan daya bedanya.[footnoteRef:4] [4: Rusyan,T.1993.Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar.Bandung: Bina Budaya hal.122]

Mengapa Tes Standar Penting Dalam Pendidikan?Tes standar atau tes yang dibakukan digunakan untuk penerimaan atau prosedur seleksi, untuk memilih dan mengidentifikasi kebutuhan khusus dari para murid, dan untuk menyediakan akuntabilitas informasi tentang keampuhan pendidikan pada semua level.Tes standar berbeda dengan tes yang dibuat oleh guru. Soal tes yang dibuat oleh guru cenderung difokuskan pada tujuan instruksional untuk kelas tertentu. Sedangkan tes standar atau tes yang dibakukan mencakup berbagai materi yang lazimnya diajarkan di kebanyakan kelas.[footnoteRef:5] [5: Santrock, John W. 2004.Psikologi Pendidikan edisi kedua. Jakarta : Prenada Media Group]

Kapan Tes Standar Digunakan?Menurut Arikunto, tes standar digunakan saat kita ingin mencapai tujuan di bawah ini,

(1) Mengadakan diagnosis terhadap ketidamampuan siswa (2) Menentukan tempat dalam suatu kelas atau kelompok (3)Memberikan bimbingan kepada siswa dalam pendidikan dan pemilihan jurusan (4) Memilih siswa untuk program-program khusus [footnoteRef:6] [6: Arikunto, Suharsimi. (1988). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Penerbit Bina Jakarta : Aksara.]

Dimana Tes Standar Sebaiknya Digunakan?Di dalam institusi pendidikan, tes standar berarti penting. Karena dengan adanya tes standar dapat diketahui informasi umum dari peserta tes secara nasional.Siapa Yang Sesuai Menggunakan Tes Standar?Siswa yang akan diuji secara nasional, misalnya siswa yang akan ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi.Bagaimana Kriteria Tes Standar Yang Baik?Terkait dengan tes, syarat-syarat tes yang baik menurut Suryabrata pada tahun 2002 adalah : tes itu harus reliable, valid, objektif, diskriminatif, komprehensif, dan mudah digunakan.[footnoteRef:7] [7: Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Hal. 194]

1. Tes itu harus reliableMenurut Azwar pada tahun 1996 Suatu tes adalah reliable bila tes tersebut memiliki keajegan hasil atau konsistensi. Jika suatu tes diberikan kepada sekelompok subjek di satu waktu, dan diberikan kepada subjek yang sama di lain waktu hasilnya sama atau relatif sama, maka dikatakan tes tersebut memiliki reliabilitas tinggi.Untuk mengetahui suatu tes reliabel atau tidak dapat ditempuh dengan cara mencari koefisien reliabilitasnya yang dilambangkan dengan simbol rxx. Koefisien reliabilitas dapat diestimasi dengan berbagai cara, antara lain dengan teknik korelasi, teknik analisis varians skor, dan analisis varians eror.[footnoteRef:8] [8: Ibid, hal. 194]

2. Tes itu harus validMenurut Azwar pada tahun 1996 suatu tes adalah valid jika tes tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Misalnya untuk tes mata pelajaran Pendidikan Agama Islam harus benar-benar dan hanya mengukur hasil belajar siswa dalam pelajaran itu, tidak boleh misalnya kemampuan berbahasa Arab ikut diperhitungkan.Untuk menyelidiki validitas suatu tes, ditempuh dengan mencari koefisien validitas. Koefisien validitas dinyatakan oleh korelasi antara distribusi skor tes yang bersangkutan dengan distribusi skor suatu kriteria. Kriteria ini dapat berupa skor tes lain yang mempunyai fungsi ukur sama dan dapat pula berupa ukuran-ukuran lain yang relevan.[footnoteRef:9] [9: Ibid, hal. 194]

3. Tes itu harus objektifSuatu tes adalah objektif jika tidak ada unsur-unsur subjektivitas individu di dalamnya. Objektivitas suatu tes menyangkut dua hal, yaitu (a) yang berhubungan dengan penskoran tes tersebut, dan (b) yang berhubungan dengan interpretasi skor tersebut.[footnoteRef:10] [10: Ibid, hal. 195]

4. Tes itu harus diskriminatifSuatu tes tersebut dapat diskriminatif jika tes itu disusun sedemikian rupa sehingga dapat melacak (menunjukkan perbedaan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Suatu tes dikatakan mempunyai daya diskriminasi yang tinggi jika dijawab benar oleh semua atau sebagian besar siswa yang berkemampuan tinggi dan tidak dapat dijawab dengan benar oleh semua atau sebagian besar siswa yang berkemampuan kurang.[footnoteRef:11] [11: Ibid, hal. 195]

5. Tes itu harus komprehensifSuatu tes dikatakan komprehensif jika tes tersebut mencakup segala hal yang harus diselidiki sesuai dengan tujuan tes. Misalnya, suatu tes hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, haruslah dapat menguji penguasaan siswa terhadap semua materi pelajaran yang telah diberikan, tidak hanya sebagian saja.[footnoteRef:12] [12: Ibid, hal. 195]

6. Tes itu harus mudah digunakanSuatu tes dikatakan mudah digunakan jika dalam penyelenggaraan maupun penskoran tes tersebut tidak terjadi kesulitan yang berarti. Misalnya, dalam bentuk tes pilihan ganda, petunjuk pengisiannya jelas dan telah tersedia kunci jawabannya.[footnoteRef:13] [13: Ibid, hal. 196]

Bagaimana Mendeskripsikan Skor Tes?Dalam kondisi terpisah atau berdiri sendiri, skor tes seorang siswa tidak dapat memberikan banyak informasi ketika kita memahami skala pengukuran. Untuk menginterpretasikan atau mendeskripsikan kemampuan seorang siswa berdasarkan skor tes yang diperoleh diperlukan suatu acuan. Salah satu acuan yang sering digunakan adalah dengan membandingkan kemampuan siswa lain pada tes yang sama. [footnoteRef:14] [14: Kusaeri & Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Hal. 24]

Sebagai contoh, bila diketahui skor seorang siswa pada suatu tes membaca adalah 79 maka sangat sedikit informasi yang didapat berkaitan dengan kemampuan membaca siswa itu. Untuk menginterpretasikan secara bermakna atau mendeskripsikan skor tes diperlukan pengetahuan tentang acuan penilaian. Misalkan, dalam sebuah kelas terdapat 25 siswa dan skor 79 merupakan skor tertinggi maka dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa yang mendapat skor 79 merupakan yang terbaik di kelas itu dan terletak di atas rata-rata. Demikian pula sebaliknya jika 79 merupakan skor terendah maka kemampuan siswa dengan skor 79 adalah di bawah rata-rata kemampuan siswa di kelas.[footnoteRef:15] [15: Ibid, hal. 196]

Pengajaran Dalam Psikologi Pendidikan

Apa Yang Dimaksud Guru Sebagai Pengajar?Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Unsur manusia lainnya adalah anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam proses interaksi edukatif dengan tugas dan peranan yang berbeda. Guru yang mengajar dan mendidik anak didik yang belajar dengan menerima bahan pelajaran dari guru di kelas. Guru dan anak didik berada dalam koridor kebaikan. Oleh karena itu, walaupun mereka berlainan secara fisik dan mental, tetapi mereka tetap seiring dan setujuan untuk mencapai kebaikan akhlak, kebaikan moral, kebaikan hukum, kebaikan sosial, dan sebagainya.[footnoteRef:16] [16: Bahri, Syaiful. 2010. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Rineka Cipta. Hal. 73]

Semua norma tersebut di atas tidak akan pernah dimiliki oleh anak didik bila guru tidak mentranspromasikannya dengan kegiatan belajar mengajar. Mengajar adalah tugas guru untuk menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik yang belajar. Karenanya Witherington pada tahun 1986 mengatakan bahwa teachers activity is to stimulate learning activity. Teaching is not a routine process. It is original, inventive, creative. Mengajar adalah transfer knowledge kepada anak didik. Mengajar selalu berlangsung dalam suatu kondisi yang disengaja untuk diciptakan untuk mengantarkan anak didik ke arah kemajuan dan kebaikan. [footnoteRef:17] [17: Ibid, hal. 74]

Tetapi perlu diketahui bahwa mengajar tidak sama dengan mendidik. Mengajar hanya sebatas menuangkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik di kelas atau di ruangan tertentu. Sedangkan mendidik adalah suatu usaha yang disengaja untuk membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif-kreatif dan mandiri. Karena itulah mendidik lebih dekat dengan transfer of values. Ruang lingkup kegiatan mendidik lebih luas dari areal kegiatan mengajar. Walaupun begitu, baik mengajar atau mendidik, keduanya adalah tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. [footnoteRef:18] [18: Ibid, hal. 74]

Mengapa Mengajar itu Tugas Penting bagi Guru?Sampai kapanpun anak didik selalu menghajatkan kehadiran untuk mendidik dan mengajarnya. Guru adalah spiritual father bagi anak didik. Kemuliaan guru akan tercermin dalam kebaikan perilaku anak didik. Kebaikan hati anak didik adalah sebagai manifestasi dari kebaikan pengajaran dan pendidikan yang diberikan oleh guru. Sekolah sebagai panti rehabilitasi anak merupakan laboratorium keilmuan bagi guru dalam mengajar dan membelajarkan anak didik dalam perspektif keilmuan. Di tempat ini anak didik belajar bebas terpimpin, aktif, kreatif, dan mandiri di bawah bimbingan dan pengawasan yang mulia dari guru.[footnoteRef:19] [19: Ibid, hal. 74]

Siapa Yang Bisa Dapat Menjadi Guru Sebagai Pengajar? Seseorang dapat dikatakan sebagai guru yang bertugas mengajar harus memperhatikan sikap di bawah ini :1. Anak atau bahan pelajaran Kita di Indonesia memberi perhatian utama kepada perkembangan kognitif, termasuk perkembangan intelektual anak-anak walaupun kita usahakan perkembangan yang harmonis. Perkembangan pribadi anak itu sendiri kurang mendapat perhatian. Tujuan yang ingin kita capai adalah agar anak-anak lulus dalam ujian dan kelak mendapat tempat di perguruan tinggi yang baik. Perkembangan pribadi anak, misalnya dalam bidang sosial, emosional, dan moral kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan perkembangan intelektual.[footnoteRef:20] [20: Nasution, 2013. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Bandung : Bumi Aksara. Hal. 122]

Ada masanya, seperti di Amerika Serikat, bahwa perhatian ditujukan kepada perkembangan anak seluruhnya. Macam-macam test disediakan untuk mengetahui aspek-aspek kepribadian anak. Mengembangkan pribadi anak rasanya lebih mendapat perhatian daripada perkembangan intelektual untuk menguasai disiplin-disiplin akademis. Dalam perlombaan teknologi dan industri diperlukan sarjana-sarjana yang ulung. Timbul kritik terhadap sistem pendidikan seakan-akan aspek intelektual kurang dikembangkan bahkan dikorbankan untuk hal-hal yang non akademis. Pendidikan yang sewaktu itu sangat memperhatikan anak sebagai pribadi yang ingin mengembangkan anak sebagai keseluruhan mendapat serangan dari pihak yang menginginkan agar pendidikan sekolah ditujukan terutama kepada pendidikan intelektual. Perkembangan aspek-aspek pribadi anak lainnya sebaiknya diserahkan saja kepada orang tua dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya seperti agama, perkumpulan-perkumpulan, organisasi-organisasi, dan sebagainya.[footnoteRef:21] [21: Ibid, hal. 122]

Segala sesuatu yang ekstrim akhirnya menemui kesulitan. Oleh sebab itu guru hendaknya jangan melupakan kedua aspek itu, yaitu bahan pelajaran (perkembangan intelektual) dan anak (perkembangan anak sebagai pribadi yang bulat). Anak-anak bukan bejana seperti botol yang serba sama yang harus kita isi dengan minuman atau zat lain, melainkan merupakan makhluk hidup yang dapat bereaksi positif maupun negatif terhadap perangsang-perangsang yang diterimanya. Agar pelajaran berhasil baik tiap anak harus mendapat perhatian dan bantuan. Rintangan-rintangan psikologis seperti gangguan mental hendaknya ditiadakan dan untuk itu guru harus mengenal pribadi setiap anak. Pengajaran tiap bidang studi harus disertai oleh pengenalan atas anak-anak yang menerimanya. Mengenal anak dan mengembangkan pribadinya ke arah sikap yang positif terhadap belajar dapat meningkatkan prestasinya.[footnoteRef:22] [22: Ibid, hal. 123]

Oleh sebab itu guru tidak cukup hanya menguasai bahan pelajaran akan tetapi harus pula mampu melibatkan pribadi anak dalam pelajaran untuk mencapai hasil yang diharapkan.[footnoteRef:23] [23: Ibid, hal. 123]

2. Guru sebagai modelSewaktu memuncaknya aliran progresif di Amerika Serikat antara lain dengan kurikulum yang child-centered, guru-guru sedapat mungkin membiarkan anak berkembang menurut dorongan masing-masing tanpa banyak mencampurinya. Guru menahan diri di latar belakang tanpa banyak pemberi bimbingan, jadi bersikap non-directive atau permissive agar anak itu memperoleh kebebasan berkembang, percaya akan diri sendiri dengan penih inisiatif.[footnoteRef:24] [24: Ibid, hal. 123]

Sikap permissive yang berlebihan itu yang merupaan reaksi atas sikap otoriter dan dominasi guru melupakan bahwa anak-anak memerlukan bimbingan dan pimpinan guru. Pendidikan adalah usaha membimbing anak ke arah kedewasaan sesuai dengan tujuan pendidikan. Ada kalanya guru harus menunjukkan jalan, menyuruh anak, mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan dan bila perlu melarang mereka melakukan sesuatu yang menyimpang atau merugikan.[footnoteRef:25] [25: Ibid, hal. 123]

Guru-guru yang membiarkan anak-anak melakukan apa yang mereka inginkan tidak memberi bimbingan dan juga tidak mengajar mereka. Diduga bahwa anak-anak justru mengalami gangguan mental karena tidak mempunyai pegangan yang tegas dalam hidupnya akibat kebebasan yang berlebihan pada masa kecilnya. Mereka tidak diberikan norma-norma yang menjadi ukuran bagi kelakuan mereka.[footnoteRef:26] [26: Ibid, hal. 123 ]

Fungsi guru yang paling utama adalah memimpin anak-anak, membawa mereka ke arah tujuan yang tegas. Guru itu, disamping orang tua, harus menjadi model atau suri teladan bagi anak. Anak-anak mendapat rasa keamanan dengan adanya model itu dan rela menerima petunjuk maupun teguran bahkan hukuman. Hanya dengan cara demikian anak dapat belajar. Memperturut anak dalam segala keinginannya bukan mendidik.[footnoteRef:27] [27: Ibid, hal. 124]

3. Kesulitan dalam belajarGuru yang bersikap sentimental yang berusaha agar belajar itu menjadi kegiatan yang menggembirakan yang dilakukan tanpa jerih payah. Dalam usaha untuk menghormati pribadi anak, menjauhkannya dari frustasi dan konflik, maka dicarilah usaha agar pelajaran itu menyenangkan dan mudah dilaksanakan. Tentu saja tak ada salahnya bila pelajaran dapat dilakukan dalam suasana gembira, namun ini tidak berarti bahwa anak-anak harus dijauhi kesukaran. Setiap pelajaran mengandung unsur kesukaran. Mungkin makin berharga pelajaran itu, makin banyak kesulitan yang harus dilalui untuk menguasainya. Ini tidak berarti bahwa pelajaran harus dibuat sulit agar ada nilainya. Akan tetapi kesulitan tidak dapat dielakkan untuk mempelajarinya banyak hal. Dalam hidupnya kini dan kelak setiap anak menghadapi kesukaran dan ia harus belajar untuk mengatasi sehingga kelakuannya berubah dan lebih mampu untuk menghadapi kesukaran-kesukaran baru. [footnoteRef:28] [28: Ibid, hal. 124]

Bagaimana Prinsip Mengajar Seorang Guru?Mengajar bukan tugas yang ringan bagi guru. Konsekuensi tanggung jawab guru juga berat. Di kelas, guru akan berhadapan dengan sekelompok anak didik dengan segala persamaan dan perbedaannya. Sikap dan perilaku anak didik bervariasi dengan indikator pendiam, suka bicara, suka mengganggu, aktif belajar, gemar menggambar, gemar menulis, malas, dan sebagainya. Sebagai anak didik mereka masih memerlukan bimbingan dan pembinaan dari guru supaya menjadi anak yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri serta bertanggung jawab atas perbuatannya. [footnoteRef:29] [29: Bahri Djamarah, Syaiful. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Hal. 74]

Karena tugas guru yang berat itu, maka mereka yang berprofesi sebagai guru harus memiliki dan menguasai prinsip-prinsip mengajar dan selalu aktif-kretif menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan begitu tidak ada kesan mengajar asal-asalan. Mengerti atau tidak anak didik, yang penting gugur kewajiban mengajar di kelas.[footnoteRef:30] [30: Ibid, hal. 75]

Diakui sampai saat ini, para ahli berbeda pendapat dalam mengemukakan prinsip-prinsip mengajar. Kalaupun ada persamaan, tetapi hanya sedikit dengan penekanan pada unsur tertentu. Berikut ini akan dikemukakan pendapat Slameto dan R. Ibrahim dalam merumuskan prinsip-prinsip mengajar.Menurut Slameto pada tahun 1991 ada sepuluh prinsip mengajar yang harus dikuasai oleh guru, sebagai berikut:1. Prinsip PerhatianPerhatian anak didik sangat diperlukan dalam menerima bahan pelajaran dari guru. Guru pun akan sia-sia mengajar bila anak didik tidak memperhatikan penjelasan guru. Hanya keributan kalau yang terjadi di sana-sini. Guru menerangkan bahan pelajaran perhatian anak didik ke arah lain. Atau anak didik dengan kegiatan mereka masing-masing.[footnoteRef:31] [31: Ibid, hal. 75]

Hal-hal diatas itu tidak harus terjadi di kelas, guru harus mengambil tindakan untuk menenangkan suasana kelas sehingga terjadi interaksi yang kondusif antara guru dan anak didik. Salah satu usaha untuk memancing perhatian anak didik adalah dengan menggunakan media yang merangsang anak didik untuk berpikir, cara lainnya adalah menghubungkan yang akan dijelaskan itu dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh anak didik- bahan apersepsi. [footnoteRef:32] [32: Ibid, hal. 75]

2. Prinsip AktivitasDalam proses belajar mengajar, aktivitas anak didik yang diharapkan tidak hanya aspek fisik, melainkan juga aspek mental. Anak didik bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas, berdiskusi, menulis, membaca, membuat grafik, dan mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru, merupakan sejumlah aktivitas anak didik yang aktif secara mental maupun fisik. Di sini aktivitas anak didik lebih banyak daripada aktivitas guru. Guru hanya pembimbing, dan sebagai fasilitator dari aktivitas belajar anak didik di kelas. [footnoteRef:33] [33: Ibid, hal. 76]

3. Prinsip ApersepsiApersepsi adalah salah satu prinsip mengajar yang ikut membantu anak didik memproses perolehan belajar. Prinsip ini bukan hanya dapat membantu anak didik untuk melakukan asosiasi, tetapi juga dapat mengadakan reproduksi terhadap pengalaman belajar. Sebab dengan prinsip ini, guru berusaha membantu anak didik dengan cara menghubungkan pelajaran yang sedang diberikan dengan pengetahuan yang telah dipunyai oleh anak didik. Proses pengolahan kesan lebih mudah dan cepat. Pengertian yang didapatkan anak didik pun tidak berkotak-kotak, seolah-olah terpisah satu sama lain. [footnoteRef:34] [34: Ibid, hal. 76]

4. Prinsip Peragaan Dalam menyampaikan bahan pelajaran, terkadang kata-kata atau kalimat guru kurang mampu mewakili sesuatu objek yang diberikan itu. Sehingga mengaburkan pengertian tentang objek yang disampaikan. Apalagi objek yang disampaikan itu tak pernah dikenal oleh anak didik. Kesalahan pengertian cenderung terjadi oleh anak didik. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan tersebut, guru perlu menghadirkan benda-benda yang asli (kalau bisa) atau menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau menggunakan media lainnya seperti radio, tape recorder, televisi, dan sebagainya. Dengan penjelasan yang mendekati realistik ditambah menghadirkan bendanya, maka guru membantu anak didik membentuk pengertian di dalam jiwanya terhadap suatu objek. Dengan cara ini, guru dapat lebih menggairahkan belajar anak didik dalam waktu yang relatif sama. [footnoteRef:35] [35: Ibid, hal. 76]

5. Prinsip RepetasiAdalah suatu anggapan yang keliru bila guru beranggapan bahwa semua anak didik mudah menerima pelajaran yang diberikan di kelas. Sifat bahan pelajaran itu bermacam-macam, sehingga memerlukan strategi yang berbeda dalam penyampaiannya. Sifat bahan pelajaran yang mudah, sedang atau sukar memerlukan tanggapan anak didik dengan tingkat pengertian yang bervariasi. Oleh karena itulah, tingkat penguasaan anak didik bervariasi.Salah satu usaha untuk membantu anak didik agar mudah menerima dan mengerti terhadap bahan pelajaran yang diberikan adalah dengan cara pengulangan (repetisi) terhadap kunci dengan cara diulang-ulang, sehingga membantu anak didik menyerap bahan pelajaran dengan mudah. Pengertian pun semakin lama semakin jelas di dalam otak anak didik. Tahan lama dan tidak mudah terlupakan.[footnoteRef:36] [36: Ibid, hal. 77]

6. Prinsip Korelasi. Setiap mata pelajaran itu sebenarnya hanya berbeda dalam penanaman. Dalam aplikasinya sering kait mengait. Guru yang menjelaskan suatu bahan pelajaran tidak bisa begitu saja mengabaikan penguasaan wawasan mata pelajaran lain dalam penjelasannya itu. Menjelaskan suatu topik dalam ilmu jiwa belajar, misalnya guru pasti memanfaatkan wawasan keilmuannya di bidang psikologi perkembangan, ilmu jiwa pendidikan, dan ilmu pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya serap setiap anak didik terhadap bahan pelajaran yang dijelaskan. Bila prinsip apersepsi bertumpu pada hubungan antara hal dalam ruang lingkup mata pelajaran itu sendiri, sedangkan prinsip korelasi berusaha menghubungkan antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran lain. Tetapi kedua-duanya sama-sama membantu meningkatkan pengertian anak didik terhadap suatu bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. [footnoteRef:37] [37: Ibid, hal. 78]

7. Prinsip KonsentrasiDalam menyampaikan bahan pelajaran, guru harus mengkonsentrasikannya pada pokok bahasan tertentu. Jangan membicarakan pokok bahasan lain, yang tidak ada hubungannya dengan pokok bahasan yang sedang diberikan kepada anak didik. Kekacauan pokok bahasan yang diberikan akan mengaburkan pengertian anak didik terhadap bahan yang diterima. Anak didik bingung memilih ucapan guru, karena tidak fokus pada masalah tertentu. Oleh karena itu, pokok bahasan harus terfokus pada masalah tertentu, sehingga anak didik mudah menyerap bahan pelajaran yang diberikan.[footnoteRef:38] [38: Ibid, hal. 78]

8. Prinsip SosialisasiAnak didik adalah sekelompok makhluk yang dikatakan homo socius, sejenis makhluk yang cenderung untuk hidup dalam kelompok. Kesendirian dalam pengasingan merupakan penderitaan bagi anak. Disaingkan oleh kawan adalah pukulan batin yang menyedihkan bagi anak. Oleh karena itulah, sebagian besar hidup anak dihabiskan dalam kehidupan sosial masyarakat, hidup bersama dalam interaksi sosial. Karena di dalam kelas terdapat sekelompok anak didik dengan strata sosial yang bervariasi maka menurut Oscar A. Oeser pada tahun 1966 bahwa the classroom as a social group. The classroom as a field of social interactions. Di sini anak didik tidak hidup sendirian, hidup bersama-sama dalam interaksi sosial. Kondisi kelas seperti ini harus guru pahami, sehingga tidak memaksakan kehendak agar anak didik dipaksa belajar seorang diri terus menerus. Suatu ketika guru perlu juga mengelompokkan anak didik ke dalam beberapa kelompok belajar, sehingga mereka dapat bekerja sama, saling menolong, bergotong royong dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Belajar dalam kebersamaan dapat meningkatkan gairah belajar anak didik di kelas.[footnoteRef:39] [39: Ibid, hal. 78]

9. Prinsip individualisMeski anak didik hidup dalam sistem sosial, tapi anak didik mempunyai karakteristik tersendiri. Itulah sebabnya setiap anak didik mempunyai perbedaan yang khas seperti perbedaan intelegensi, hobi, bakat dan minat, perilaku, watak, dan gaya belajar. Latar belakang kebudayaan, tingkat sosial ekonomi dan kehidupan rumah tangga orangtua ikut andil melahirkan perbedaan anak didik secara individual.Perbedaan anak didik di atas perlu guru pahami demi kepentingan pengajaran. Paling tidak bagaimana guru merencanakan program pengajaran demi kepentingan perbedaan individual anak didik. Memahami anak didik sebagai individu dengan segala kekurangan dan kelebihannya merupakan tugas guru yang tidak bisa ditawar-tawar dalam kerangka ketuntasan belajar (mastery learnig ) bagi anak didik. Daya serap anak didik yang tidak sama merupakan titik rawan yang hanya dapat dipecahkan dengan pemberian waktu yang bervariasi dalam belajar. Itulah pentingnya penerapan prinsip individualisasi bagi guru.[footnoteRef:40] [40: Ibid, hal. 79]

10. Prinsip EvaluasiEvaluasi merupakan bagian dari kegiatan guru yang tidak bisa diabaikan. Sebab evaluasi dapat memberikan petunjuk sampai dimana keberhasilan kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Dengan evaluasi dapat diketahui keberhasilan produk dan keberhasilan proses. Agar pelaksanaannya tidak bias, guru harus memiliki pengertian yang jelas mengenai evaluasi, tahu apa tujuan evaluasi, kegunaannya untuk apa, dan tidak buta terhadap fungsi evaluasi, bentuk maupun prosedur evaluasi.Evaluasi tidak sekedar dilaksanakan, sehingga pembuatan item soal yang terkesan asal-asalan. Evaluasi diharapkan dapat memberikan data yang akurat, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan memprogramkan kegiatan belajar mengajar lebih baik.Hasil evaluasi dalam bentuk laporan yang tertera dalam buku rapor dapat memberikan motivasi kepada anak didik dalam bekajar. Mempertahankan atau meningkatkan prestasi belajarnya kemungkinan sikap dan perilaku yang muncul dari dalam diri pribadi anak didik. Apa pun efek yang timbul dari dalam diri anak didik, evaluasi tetap harus guru laksanakan dengan terprogram.[footnoteRef:41] [41: Ibid, hal. 79]

Kapan Pengajaran Dilakukan Kepada Siswa? Pengajaran dapat dilakukan kepada siswa, bila siswa telah memiliki kesiapan untuk belajar. Kesiapan belajar adalah kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan belajar itu sendiri. Tanpa kesiapan atau kesediaan ini proses belajar tidak akan terjadi. Pra-kondisi belajar ini terdiri atas : perhatian, motivasi, dan perkembangan kesiapan. [footnoteRef:42] [42: Nasution. 2013. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Bandung : Bumi Aksara. Hal. 179]

PerhatianUntuk mengamati sesuatu diperlukan perhatian. Anak harus melihat gambar atau buku dan bukan melihat keluar jika ia ingin belajar. Kita tentu dapat memikirkan berbagai cara untuk menarik perhatian anak dengan memberikan stimulus yang baru, aneka ragam, atau berintensitas tinggi. Namun lebih penting ialah memupuk attentional set sikap memperhatikan pada anak, sehingga perhatian juga diatur secara intern oleh anak itu, sehingga anak itu dapat memberi perhatiannya, walaupun ada hal-hal lain yang menarik perhatiannya. Untuk itu anak itu harus telah mempelajari sejumlah Ss-R yang dapat mempengaruhi kelakuannya agar terus memberi perhatian kepada pelajaran.[footnoteRef:43] [43: Ibid, hal. 180]

Untuk memupuk perhatian pada anak-anak kecil ada yang menganjurkan digunakan reinforcement berupakan misalnya gula-gula, kemudian dapat diberikan ganjaran simbolis seperti pujian, angka yang baik. Attentional Set dapat pula dipupuk dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memberikan respons dan anak-anak suka melakukannya. Selain itu pelajaran dimulai dengan yang mudah, seperti rangkaian pendek dan kemudian rangkaian yang lebih panjang. Anak-anak juga suka meneliti dan memperluas ruang lingkup pengamatannya atas lingkungannya yang dapat dimanfaatkan dalam membina set perhatiannya. [footnoteRef:44] [44: Ibid, hal. 180]

Motivasi BelajarMotivasi kelakuan manusia merupakan topik yang sangat luas. Banyak macam motivasi dan para ahli meneliti tentang bagaimana asal dan perkembangannya dan menjadi suatu daya dalam mengarahkan kelakuan seseorang. Motivasi diakui sebagai hal yang sangat penting bagi pelajaran di sekolah. Setidaknya anak itu harus mempunyai motivasi untuk belajar di sekolah. Anak-anak kecil tidak semua suka ke sekolah, bahkan anak-anak yang lebih besar pun ada juga sebenarnya kurang menyukai sekolah, sekalipun mereka tidak membenci segala bentuk pelajaran. Sebaliknya diharapkan agar anak-anak mempunyai motivasi untuk belajar agar ia dapat melakukan sesuatu.Ada sejumlah tokoh yang meneliti soal motivasi belajar ini. Hewitt (1986) mengemukakan bahwa attentional set merupakan dasar bagi perkembangan motivasi yakni yang bersifat sosial, artinya anak itu suka bekerja sama dengan anak-anak lain dan dengan guru. Ia mengharapkan penghaargaan dari temannya dan mencegah celaan mereka, dan ingin mendapatkan harga dirinya di kalangan kawan sekelasnya. Selanjutnya anak itu memperoleh motivasi untuk menguasai pelajaran (mastery), termasuk penguasaan keterampilan intelektual. Dengan reinforcement, yakni penghargaaan atas keberhasilannya, motivasi itu dapat dipupuk. Taraf motivasi tertinggi menurut Hewitt ialah motivasi untuk achievement atau keberhasilan yang merupakan syarat agar anak itu didorong oleh kemauannya dan merasa kepuasan dalam mengatasi tugas-tugas yang kian bertambah sulit dan berat. Bila taraf ini tercapai, maka anak itu sanggup untuk belajar sendiri. [footnoteRef:45] [45: Ibid, hal. 181]

Perkembangan KematanganDapat tidaknya seorang anak belajar sesuatu juga ditentukan oleh taraf kematangan dan kesiapannya. Ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh anak pada usia empat tahun yang dapat dilakukan oleh anak berusia delapan tahun, karena badannya belum cukup tinggi atau kuat, atau pekembangan syarafnya belum memungkinkan dia misalnya bercakap dan berjalan seperti halnya pada bayi.[footnoteRef:46] [46: Ibid, hal. 183]

Plaget pada tahun 1952 membedakan beberapa fase dalam aspek kognitif yang disebutnya fase senso-motor, pra-operasional, operasional konkrit, dan operasional formal. Pada suatu saat anak itu dapat berpikir logis bila dihadapkan dengan peristiwa yang konkrit, akan tetapi ia tidak mampu memperlihatkan pemikiran logis bila menghadapi masalah yang mengandung unsur-unsur simbolis.[footnoteRef:47] [47: Ibid, hal. 183]

Dapat juga dikatakan, bahwa perbedaan dalam perkembangan kesiapan anak disebabkan oleh perbedaan dalam ketrampilan intelektual yang telah dipelajari sebelumnya. Dengan demikian perlulah dipenuhi prasyarat untuk melakukan tugas atau memecahkan masalah tertentu. Pada prinsipnya seorang anak kelas empat SD dapat diajarkan berpikir abstrak asal ia menguasai prasyarat-prasyarat untuk itu. Anggapan sekarang ialah bahwa anak-anak dapat mempelajari hal-hal yang dulunya diundurkan sampai usia yang lebih tinggi. Dalam matematika misalnya pada tingkat rendah di SD telah diajarkan pengertian pengertian aljabar dan matematika lainnya yang dahulu baru diberikan kepada murid-murid SMP.[footnoteRef:48] [48: Ibid, hal. 183]

DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi. (1988). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Penerbit Bina Jakarta : Aksara.Bahri Djamarah, Syaiful. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Kusaeri & Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakart : Graha Ilmu. Nasution, 2013. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Bandung : Bumi Aksara. Rusyan,T.1993.Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar.Bandung: Bina Budaya Santrock, John W. 2004.Psikologi Pendidikan edisi kedua. Jakarta : Prenada Media Group