Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

21
Pendahuluan Hasil tes biokimia hati abnormal pada pasien asimptomatik sering didapatkan pada general check up untuk berbagai kepentingan. 1 Tes biokimia hati yang lazim diskrining adalah SGOT, SGPT, alkali fosfatase dan Gamma GT. Walaupun enzim- enzim tersebut bisa didapatkan di jaringan lain selain hati, namun paling sering meningkat pada penderita penyakit hati dan menandakan suatu injury pada hati. 2 Peningkatan hasil tes biokimia hati didapatkan pada 1-4% orang tanpa gejala. Pola abnormalitas mengarahkan pada kemungkinan-kemungkinan diagnostik dan pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut yang harus dilakukan. 1 Epidemiologi Survei berbasis penduduk yang dilakukan antara 1999-2002 memperkirakan bahwa SGPT abnormal terdapat pada 8,9% responden (dengan peningkatan yang signifikan dibandingkan hasil survei serupa yang diadakan pada dekade sebelumnya) 3 . Kecenderungan ini berkorelasi dengan peningkatan indeks massa tubuh dan lingkar lengan atas yang juga meningkat signifikan. 4,5 Studi berbasis penduduk di AS mengevaluasi akibat peningkatan Gamma GT dan alkali fosfatase pada mortalitas. Peningkatan alkali fosfatase dihubungkan dengan peningkatan mortalitas yang moderat akibat semua penyebab (Hazard ratio 1,5;95% CI, 1,2 - 1,8), penyakit hati, kanker dan diabetes, sementara peningkatan SGPT dihubungkan dengan peningkatan mortalitas yang berhubungan dengan hati (HR 8,2;95% CI, 2,1-31,9).

description

Penyebab meningkatnya transaminase pada penderita tanpa gejala

Transcript of Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

Page 1: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

Pendahuluan

Hasil tes biokimia hati abnormal pada pasien asimptomatik sering didapatkan pada

general check up untuk berbagai kepentingan.1 Tes biokimia hati yang lazim diskrining

adalah SGOT, SGPT, alkali fosfatase dan Gamma GT. Walaupun enzim-enzim tersebut bisa

didapatkan di jaringan lain selain hati, namun paling sering meningkat pada penderita

penyakit hati dan menandakan suatu injury pada hati.2

Peningkatan hasil tes biokimia hati didapatkan pada 1-4% orang tanpa gejala. Pola

abnormalitas mengarahkan pada kemungkinan-kemungkinan diagnostik dan pemeriksaan-

pemeriksaan lebih lanjut yang harus dilakukan.1

Epidemiologi

Survei berbasis penduduk yang dilakukan antara 1999-2002 memperkirakan bahwa

SGPT abnormal terdapat pada 8,9% responden (dengan peningkatan yang signifikan

dibandingkan hasil survei serupa yang diadakan pada dekade sebelumnya)3. Kecenderungan

ini berkorelasi dengan peningkatan indeks massa tubuh dan lingkar lengan atas yang juga

meningkat signifikan.4,5Studi berbasis penduduk di AS mengevaluasi akibat peningkatan

Gamma GT dan alkali fosfatase pada mortalitas. Peningkatan alkali fosfatase dihubungkan

dengan peningkatan mortalitas yang moderat akibat semua penyebab (Hazard ratio 1,5;95%

CI, 1,2 -1,8), penyakit hati, kanker dan diabetes, sementara peningkatan SGPT dihubungkan

dengan peningkatan mortalitas yang berhubungan dengan hati (HR 8,2;95% CI, 2,1-31,9).

Observasi ini seharusnya tidak mengubah pendekatan penderita dengan tes biokimia

abnormal.6

Hasil pemeriksaan aminotransferase dapat mengalami fluktuasi pada individu yang

sama. Suatu studi dengan sampel besar dengan metode cross sectional berbasis populasi,

didapatkan hasil bahwa lebih dari 30 % subyek dengan nilai SGPT abnormal, saat diulang

pemeriksaannya didapatkan hasil yang normal. Sedangkan subyek yang pemeriksaan awal

menunjukkan hasil normal, lebih dari 95% tetap normal pada pemeriksaan kedua.7.

Sensitivitas dan spesifisitas dari nilai aminotransferase untuk menentukan apakah pada

individu terdapat kemungkinan penyakit hati tergantung pada nilai cut off yang dipilih untuk

mendefinisikan hasil pemeriksaan yang abnormal. Nilai cut off ini sebaiknya disesuaikan

dengan jenis kelamin dan indeks massa tubuh.4,5

Fungsi Hati

Page 2: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

Hati memiliki berbagai fungsi, meliputi metabolisme hampir semua zat makanan,

yaitu karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral dan hormon. Karena itu banyak jenis

pemeriksaan yang berkaitan dengan metabolisme hati dan disebut sebagai tes fungsi hati.

Namun ada juga pemeriksaan yang tidak terkait dengan fungsi hati namun sering disebut

sebagai tes fungsi hati, yang lebih tepat menunjukkan proses inflamasi atau kerusakan sel

hati.8,9

Fungsi hati dapat dibedakan dalam fungsi sintesis (glikogenesis, albumin, alfa dan

beta globulin, faktor-faktor koagulasi, fosfolipid, kolesterol, trigliserida, apolipoprotein,

lipoprotein, LCAT, asam empedu), fungsi ekskresi (kolesterol, asam empedu, garam empedu,

bilirubin, obat-obatan), fungsi detoksifikasi (amoniak, bilirubin), fungsi penyimpanan

(vitamin A, D, B12, Fe dan Cu), filtrasi fagositosis (zat toksik dan bakteri oleh sel Kupffer)

dan katabolisme (hormon estrogen, obat-obatan)8,10

Berdasarkan fungsi hati maka dikenal tes fungsi hati untuk masing-masing fungsi

tersebut. Untuk tes fungsi sintesis dikenal kadar albumin serum, elektroforesis protein serum,

aktivitas enzim kolinesterase dan uji masa protrombin dengan respon terhadap vitamin K.

Bila ada gangguan fungsi sintesis sel hati, maka kadar albumin akan menurun, dan lebih jelas

bila lesi luas dan kronis. Pada elektroforesis dapat dilihat fraksi albumin menurun sehingga

rasio A/G menjadi terbalik (dari albumin yang lebih banyak menjadi globulin yang lebih

banyak, juga dapat dilihat apakah terdapat pola hiperglobulinemia poliklonal, aktivitas enzim

kolinesterase menurun, faktor-faktor koagulasi menurun terutama yang melalui jalur

ekstrinsik sehingga masa protrombin akan memanjang, yang tidak dapat menjadi normal

walaupun diberikan vitamin K dengan suntikan.11,12

Untuk uji fungsi ekskresi dikenal kadar bilirubin serum, dibedakan bilirubin total,

bilirubin direk dan bilirubin indirek, bilirubin urine serta produk turunannya seperti

urobilinogen dan urobilin dalam urine, sterkobilinogen dan sterkobilin dalam tinja, serta

kadar asam empedu serum. Bila ada gangguan fungsi ekskresi maka kadar bilirubin total

serum meningkat terutama bilirubin direk, bilirubin urine mungkin positif, sedangkan

urobilinogen dan urobilin serta sterkobilinogen dan sterkobilin mungkin menurun sampai

tidak terdeteksi. Kadar asam empedu meningkat, lebih jelas pada pasca makan

(postprandial)12,13

Untuk fungsi detoksifikasi ada kadar amoniak. Bila ada gangguan fungsi maka kadar

amoniak meningkat karena kegagalan mengubahnya menjadi ureum, kadar yang tinggi

mungkin menyebabkan gangguan kesadaran, yaitu ensefalopati atau koma hepatik12

Page 3: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

Terdapat pula pengukuran aktivitas beberapa enzim. Enzim-enzim ini tidak

menggambarkan fungsi hati namun aktivitasnya dalam darah dapat menunjukkan adanya

kelainan hati tertentu. Meskipun bukan uji fungsi hati yang sebenarnya, pengukuran aktivitas

enzim-enzim tersebut diakui sebagai tes fungsi hati. Aktivitas enzim tersebut yaitu SGOT dan

SGPT, yang meningkat bila ada perubahan permeabilitas atau kerusakan dinding sel hati,

sebagai penanda gangguan integritas sel hati (hepatoseluler). Aktivitas enzim alkali fosfatase

dan gamma GT meningkat pada kolestasis12,14

Beberapa antibodi dan protein dapat menjadi penanda faktor etiologi penyakit hati

tertentu. Contohnya autoantibodi untuk penyakit autoimun, misalnya tes ANA terutama pada

hepatitis autoimun kronis, anti smooth muscle antibody (SMA) pada penyakit autoimun

kronis, sirosis bilier primer dan antimitochondrial antibody (AMA) pada sirosis hati, hepatitis

autoimun kronis dan sirosis biliaris primer12,14

Enzim-enzim Hati

Abnormalitas pada hasil tes biokimia hati sering tidak spesifik, enzim yang terukur

dapat berasal dari jaringan di luar hati seperti isoenzim (contoh alkali fosfatase dari tulang,

ginjal, usus halus, plasenta) atau enzim yang sama dari sumber lain (contohnya SGPT dari

otot). 1

Lokalisasi dalam sel hati yang menunjukkan marker yang termasuk dalam rangkaian

tes biokimia hati ditunjukkan pada gambar berikut1

Gambar 1 menunjukkan asal hepatoseluler dari transaminase, kontras terhadap lokasi alkali

fosfatase dan 5’-nukleotidase yang predominan pada membran kanalikuli. Albumin dan

faktor koagulasi yang mempengaruhi prothrombin time, adalah produk sintesis hati yang

utama dan bilirubin adalah produk ekskresi yang penting. Abnormalitas hasil tes biokimia

hati dapat dikategorikan menjadi

1. Gangguan hepatoseluler dan bilier

2. Gangguan transpor anion organik dan bilirubin

Page 4: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

3. Gangguan fungsi metabolik atau kapasitas sintesis

Transaminase

Transaminase merupakan protein yang terdiri dari amino serta NH2. Transaminase

memindahkan grup amino ke senyawa lain dan hal ini penting dalam metabolisme protein

pada sel. 2 Peningkatan kadar SGOT dan SGPT dalam darah menunjukkan adanya nekrosis

dan cedera pada sel hati. SGPT adalah enzim cytosolic yang ditemukan dalam konsentrasi

tinggi di hati, SGOT terutama terdapat pada mitokondria (80%) sebagai cytosol dari sel hati

(20%), serta pada otot jantung, otot skelet, ginjal, otak, pankreas, paru-paru, leukosit dan

eritrosit. Peningkatan kadar absolut transaminase di darah tidak hanya berkorelasi dengan

luasnya gangguan sel hati serta tidak pula spesifik karena penyebab dari penyakit hati.

Peningkatan enzim yang sangat tinggi (lebih dari 15 kali dari upper normal limit) khas pada

hepatitis virus akut, toksin atau drug-induced liver damage, hepatitis iskemi (shock liver),

ligasi arteri hepatika dan fulminant Wilson’s disease. Peningkatan moderat (5-15 kali)

terdapat pada beberapa bentuk penyakit hati akut dan kronik termasuk hepatitis virus dan

autoimun, hepatitis alkoholik dan gangguan hati yang disebabkan oleh penyakit metabolik

seperti hemokromatosis atau Wilson’s disease. Peningkatan ringan (<5 kali) terdapat pada

penderita dengan non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan non alcoholic steato

hepatitis, hepatitis B atau C kronik, celiac sprue dan penyakit-penyakit lain seperti pada tabel

1.1

Table 1. Causes of Mild Increases in ALT or AST Levels

Hepatic: predominantly ALT

Chronic hepatitis C

Chronic hepatitis B

Acute viral hepatitis (A–E, Epstein–Barr virus, cytomegalovirus)

Steatosis/steatohepatitis

Hemochromatosis

Medications/toxins

Autoimmune hepatitis

_-antitrypsin deficiency

Wilson’s disease

Celiac sprue

Hepatic: predominantly AST

Page 5: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

Alcohol-related liver injury

Steatosis/steatohepatitis

Cirrhosis

Nonhepatic

Hemolysis

Myopathy

Thyroid disease

Strenuous exercise

Macro-AST

Modified and reprinted with permission from the American Gastroenterological Association.

Rasio SGOT SGPT dalam darah dapat menjadi petunjuk yang penting sebagai penyebab

gangguan hati. Rasio SGOT : SGPT lebih dari 2 tipikal pada penderita dengan alcoholic liver

disease, dengan nilai SGPT yang sering normal atau hanya meningkat sedikit.. Pola ini akibat

2 mekanisme, yaitu

1. Terdapatnya defisiensi pyridoxal 5’- phosphate pada penderita dengan ketergantungan

alkohol, dimana kofaktor untuk SGOT dan SGPT dan defisiensi pyridoxal 5’-

phosphate menurunkan aktivitas SGPT lebih luas daripada aktivitas SGOT.

2. Alcohol induced liver injury meningkatkan pelepasan SGOT mitokondria, sehingga

meningkatkan rasio SGOT : SGPT. Sebaliknya pada penderita hepatitis virus kronis

atau NAFLD, SGOT lebih rendah daripada SGPT. Dengan bertambahnya fibrosis,

SGOT pada penderita meningkat relatif terhadap SGPT dan akan menjadi lebih tinggi

dari SGPT saat sirosis telah terjadi. Fenomena ini akibat peningkatan kerusakan

mitokondria pada penyakit hati kronis lanjut dan penurunan klirens hepatik dari

SGOT. Pada kerusakan otot yang akut seperti pada rhabdomyolisis, rasio SGOT :

SGPT lebih dari 3, namun rasio mendekati 1 setelah beberapa hari karena SGOT lebih

cepat menurun. Penderita dengan penyakit otot kronik seperti polimiositis kadar

SGOT dan SGPT hampir sama.1

Alkali Fosfatase

Alkali fosfatase ditemukan pada hati, osteoblas, enterosit intestinal, placental

syncytiotrophoblast, sel epitel ginjal, dan leukosit serta dapat dideteksi di darah, urine,

bilirubin dan limfa. Pada hati 2 bentuk enzim dapat dideteksi, namun peran masing-

masing enzim tersebut belum diketahui. Peningkatan alkali fosfatase di darah setelah

Page 6: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

obstruksi atau gangguan di sistem bilier menyebabkan pelepasan enzim-enzim yang

tadinya disimpan atau gangguan klirens. Sehingga peningkatan kadar alkali fosfatase

di darah mungkin tidak segera dapat dideteksi setelah cedera pada sistem bilier dan

dapat didahului oleh peningkatan kadar transaminase di darah.1

Terjadinya peningkatan alkali fosfatase di darah paling sering berasal dari hati,

namun dapat juga disebabkan oleh penyakit di tulang atau berasal dari plasenta pada

wanita hamil. Dahulu, enzim isoform dari tulang dan hati dibedakan dengan

perbedaan stabilitas terhadap panas. Walaupun alkali fosfatase di tulang tidak dapat

diinaktivasi lengkap oleh panas, 30-50% aktivitas alkali fosfatase hati kembali setelah

pemanasan. Metode untuk membedakan alkali fosfatase hati dan tulang telah

digantikan oleh marker yang lebih spesifik untuk kolestatik seperti 5’-nucleotidase

atau kadar Gamma glutamil transpeptidase yang signifikan menunjukkan alkali

fosfatase berasal dari hati.1

Alkali fosfatase darah yang berasal dari hati paling tinggi didapatkan pada

penderita dengan penyakit hati kolestatik yang akut atau kronik, termasuk primary

billiary cirrhosis atau primary sclerosing cholangitis, cholestatic drug reaction, dan

dihubungkan dengan peningkatan kadar bilirubin darah. Kolestasis intrahepatik dan

ekstrahepatik tidak dapat dibedakan hanya berdasarkan kadar alkali fosfatase di darah.

Peningkatan kadar alkali fosfatase saja di darah dapat ditemukan pada penderita

karsinoma hepatoseluler, limfoma dan penyakit metastasis di hati atau tulang. Sebagai

tambahan terhadap tumor ganas, penyakit infiltratif lainnya seperti sarkoidosis,

tuberkulosis, infeksi jamur, abses hati dan amiloidosis dapat menyebabkan

peningkatan alkali fosfatase saja. Kadar alkali fosfatase rendah pada penyakit

Wilson’s akibat copper menggantikanzinc sebagai kofaktor enzim1

Strategi Pengelolaan

Pada penderita asimptomatik dengan peningkatan kadar tes biokimia hati,

anamnesia dan pemeriksaan fisik yang baik dapat menjadi petunjuk diagnosis dan

hasil-hasil tes biokimia dan serologi memungkinkan diagnosis spesifik pada banyak

kasus.1

Evaluasi Peningkatan Kadar Transaminase

Peningkatan nilai laboratorium seharusnya dikonfirmasi paling tidak satu kali

untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium dan menghindari pemeriksaan-

Page 7: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

pemeriksaan tambahan yang tidak perlu dan memerlukan biaya tinggi. Pemeriksaan

ulang seharusnya dilengkapi dengan tes-tes biokimia hati yang lengkap termasuk

alkali fosfatase, bilirubin total dan direk, albumin, PT dan pemeriksaan darah lengkap.

Pemeriksaan diagnostik lini pertama termasuk pemeriksaan serologi untuk hepatitis

A,B,C serta pemeriksaan kadar besi termasuk kadar TIBC dan feritin plasma untuk

menyingkirkan hemokromatosis karena penyakit ini merupakan penyebab umum dari

peningkatan kadar transaminase. Sedangkan obesitas, hipertrigliseridemia dan

intoleransi glukosa merupakan faktor risiko yang harus didentifikasi.1

Evaluasi Peningkatan Alkali Fosfatase

Alkali fosfatase yang meningkat harus dikonfirmasi apabila transaminase dan

kadar bilirubin normal, karena alkali fosfatase tidak spesifik dari hati. Walaupun 5’-

nukleotidase terdapat pada banyak organ, peningkatan kadar 5’-nukleotidase secara

umum berasal dari hepatobilier karena hanya enzim hati yang dilepaskan ke darah.

Kadar 5’-nukleotidase dapat diukur untuk mengkonfirmasi apakah peningkatan alkali

fosfatase yang terisolasi berasal dari hati atau bukan.1

Walaupun peningkatan kadar 5’-nukleotidase spesifik untuk menegakkan

diagnosis peningkatan alkali fosfatase dari kelainan hepatik, dari sebelumnya sudah

digunakan kadar Gamma glutamil transpeptidase untuk keperluan ini. Kadar Gamma

glutamil transpeptidase meningkat pada banyak bentuk penyakit hepatobilier dan pada

pemakaian alkohol kronis, penyakit pankreas, penyakit jantung, gagal ginjal, diabetes,

PPOK dan penyakit inflamasi kronis lainnya. Pada penyakit hati, peningkatan kadar

Gamma glutamil transpeptidase di darah adalah penanda sensitif penyakit hepatobilier

dan memiliki korelasi dengan kadar alkali fosfatase dalam darah. Peningkatan kadar

Gamma glutamil transpeptidase tidak spesifik untuk penyakit hati dan tidak

dianjurkan untuk skrining diagnosis penyakit hati. Namun karena tidak dihasilkan di

tulang, peningkatan Gamma glutamil transpeptidase bersama dengan alkali fosfatase

menyingkirkan sumber alkali fosfatase dari tulang. Enzim ini dapat diinduksi oleh

alkohol, fenitoin, dan rifampisin dan telah digunakan sebagai penanda penggunaan

alkohol.1

Jika peningkatan alkali fosfatase sudah dikonfirmasi berasal dari kelainan di

hepatobilier, pemeriksaan berikutnya adalah USG right upper quadrant untuk

mencari dilatasi duktus biliaris dan pemeriksaan antibodi antimitokondrial untuk

mencari kemungkinan primary billiary cirrhosis. Jika diagnosis belum dapat

Page 8: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

ditegakkan, magnetic resonance cholangiopancreatography dapat dilakukan untuk

mendeteksi kelainan bilier yang tidak dapat dideteksi dengan USG, terutama primary

sclerosing cholangitis. Jika penyebab peningkatan alkali fosfatase masih belum bisa

ditegakkan, pemeriksaan imaging tambahan seperti endoscopic

retrogradecholangiopancreatography dan pemeriksaan biopsi hati dapat dilakukan.1

Pencitraan Hati

Pencitraan hati (hepatic imaging) merupakan pemeriksaan yang melengkapi

anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan histopatologi. Dengan pencitraan

dapat dilihat lesi fokal di hati, penyakit hati yang luas, dan penyakit bilier. Metode

pencitraan yang berbeda-beda digunakan sesuai presentasi klinik. Pencitraan

diindikasikan untuk mengevaluasi penderita dengan tes biokimia hati yang abnormal

dan penderita dengan kecurigaan massa di hati. Sebagai tambahan, pencitraan dapat

mengkonfirmasi sirosis lanjut dan hipertensi portal. Sirosis sugestif bila ada nodul di

hati, fibrosis hati, hipertrofi lobus kaudatus dan atrofi lobus kanan, disertai

splenomegali, asites, dan adanya pembuluh darah kolateral portosistemik.1

Ultrasonografi

USG noninvasif, mudah didapat, dan relatif murah, serta paling banyak

digunakan sebagai pencitraan awal untuk penyakit hati. USG diindikasikan pada

penderita dengan peningkatan alkali fosfatase atau ikterik untuk mencari lesi fokal di

hati dan kelainan bilier seperti obstruksi duktus biliaris, batu empedu dan inflamasi

pada batu empedu. Sensitivitas USG untuk evaluasi obstruksi bilier adalah 85% dan

spesifisitas 90%, sedikit lebih rendah dari CT scan abdomen (sensitivitas dan

spesifisitas 90%). Sementara gold standar pemeriksaan bilier yaitu endoscopic

retrograde cholangiopancreatography, memiliki sensitivitas 95 % dan spesifisitas

99%. Sedangkan batu di kandung empedu diidentifikasi lebih akurat oleh USG

dibandingkan CT scan. USG juga dapat mendeteksi penyakit parenkim hati, lesi

massa hepatik, dan dengan USG Doppler dapat dideteksi gangguan vaskular pada

hati. USG lebih superior dibanding teknik pencitraan lain dalam mendeteksi kista hati.

Steatosis hati sedang sampai berat dapat dideteksi pada USG sebagai peningkatan

echogenitas, ditandai dengan bright liver dan hepatomegali. Tidak ada satu metode

pencitraan yang dapat membedakan steatosis dari steatohepatitis.1

Page 9: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

CT Scan

CT scan dengan kontras intravena dilakukan untuk lesi massa hati dan

kelainan vaskular pada hati. Teknik helical CT dan multidetector CT unggul dalam

tingginya kecepatan dan resolusi pencitraan. Helical CT memungkinkan pencitraan

fase multipel setelah pemberian kontras intravena, sebagai contoh fase arterial setelah

10-30 detik dan fase vena porta antara 50-70 detik, yang meningkatkan sensitivitas

untuk deteksi tumor hepar dan membedakannya dari metastasis ke hati. Karakteristik

lesi hati pada CT scan pada penderita sirosis hepatis dapat sulit dibedakan karena

tampilan karsinoma hepatoseluler dapat heterogen. CT scan non kontras dilakukan

untuk mengevaluasi penyakit hati yang luas, dimana densitas hati pada scan hati

dibandingkan dengan lien. Pada hemokromatosis didapatkan peningkatan densitas hati

pada CT non kontras karena tingginya konsentrasi Fe pada sel hati. Namun untuk

hemokromatosis CT scan tidak sensitif dan tidak spesifik, karena peningkatan densitas

hati dapat terjadi karena keadaan lain seperti peningkatan logam di hati (Wilson’s

disease), penyakit timbun (glycogen storage disease type 1), obat-obatan (amiodaron,

garam emas), dan toksin (arsenik). 1

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI berguna untuk mendeteksi penyakit parenkim hati fokal, penyakit pada

sistem bilier dan kelainan vaskular. Perkembangan MRI memungkinkan identifikasi

lesi pada hati sampai pada diagnosis definitif yang pada beberapa kasus dapat

menggantikan analisis histopatologi. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography

menggunakan metode pencitraan untuk memvisualisasikan sistem bilier dan duktus

pankreas dan merupakan alternatif non invasif untuk endoscopic retragrade

pancreatography.1

Nilai Transaminase Normal

Pemeriksaan transaminase telah dilakukan dalam praktik klinik lebih dari 50

tahun, dan nilai normalnya tidak berubah. Penelitian yang dilakukan di Italia, Swedia

dan Prancis menunjukkan peningkatan kadar SGPT tidak hanya menunjukkan

kerusakan hepatoseluler namun juga berkorelasi independen dengan jenis kelamin,

indeks massa tubuh, serta metabolisme karbohidrat dan lemak yang abnormal.

Walaupun nilai normal tertinggi SGPT adalah kurang dari 40 U/L pada semua

penderita, penelitian ini menunjukkan bahwa nilai normal pada penderita dengan

Page 10: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

indeks massa tubuh yang normal dan dengan kadar kolesterol, trigliserida, serta

glukosa yang normal seharusnya dibawah 30 U/L pada laki-laki dan di bawah 19 U/L

pada wanita. Konsumsi kafein dapat menurunkan kadar SGPT. Penelitian di Korea

menunjukkan korelasi antara nilai transaminase normal tinggi di darah dan risiko

kematian akibat penyakit hati. Korelasi antara serum transaminase dengan penyakit

hati mungkin linier daripada definisi ambang batas. Nilai normal transaminase darah

disesuaikan dengan jenis kelamin dan indeks massa tubuh, dapat diaplikasikan lebih

luas nantinya. Juga pertanyaan pada kenaikan transaminase berapa investigasi yang

lengkap sudah harus dilakukan.1

Non Alcoholic Fatty Liver Disease

Infiltrasi lemak ke hati dengan atau tanpa inflamasi sering menjadi penyebab

peningkatan transaminase darah yang ringan sampai sedang. NAFLD berkaitan

dengan obesitas, hiperlipidemia, dan diabetes melitus, serta merupakan faktor risiko

yang signifikan untuk terjadinya sirosis. Prevalensi pasti NAFLD sulit diketahui,

karena penyakit ini asimptomatik pada 50-100% penderita, serta tidak ada tes serologi

untuk penyakit ini. Pencitraan hati dengan USG, CT scan atau MRI dapat sugestif

fatty liver namun tidak dapat membedakan fatty liver dari steatohepatitis, yang

kemudian dikaitkan dengan fibrosis pada 40% kasus dan sirosis pada 10% kasus.

Pemeriksaan biopsi hati dlakukan untuk konfirmasi diagnosis. Sebelum dilakukan

biopsi hati, penderita diminta untuk melakukan modifikasi pola hidup seperti

menurunkan berat badan, olahraga teratur, serta kontrol dislipidemia dan diabetes.

Kriteria pasti untuk biopsi hati pada penderita NAFLD belum ada, sebagian ahli

merekomendasikan biopsi hati pada penderita suspek NAFLD jika kadar transaminase

darah telah meningkat selama 6 bulan. Diagnosis histologi diperlukan tidak hanya

untuk konfirmasi diagnosis NAFLD, tapi juga menentukan prognosis berdasarkan ada

atau tidaknya fibrosis.1

Biopsi Hati

Walaupun teknik-teknik pencitraan hati makin berkembang diikuti adanya

fibroscan yang dapat mendeteksi fibrosis hati secara non invasif, namun dalam

beberapa keadaan hal-hal tersebut tidak dapat menggantikan biopsi hati dalam

menentukan penyebab definitif kelainan hati dan luasnya kerusakan hati secara pasti.

Biopsi hati adalah prosedur invasif, dengan risiko komplikasi yang mengancam

Page 11: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

dengan kontroversi mengenai indikasi dan kontraindikasi spesifik dari tindakan

diagnostik ini. Bila abnormalitas tes biokimia hati tidak dapat dijelaskan oleh

modalitas lain, biopsi hati dapat membantu menyingkirkan penyakit hati yang

seriusatau menentukan asal dan beratnya penyakit hati. Setelah disingkirkan penyebab

penyakit hati melalui pemeriksaan biokimia dan serologi, biopsi hati akan mengarah

pada unexpected diagnosis hanya pada 10% penderita dan terapi akan berubah hanya

pada 12% penderita. Pada penderita dengan hepatitis kronis, pemeriksaan biopsi hati

menunjukkan derajat inflamasi, tipe infiltrat inflamasi, luasnya fibrosis dan pada

beberapa kasus adanya antigen virus, dan data ini sangat diperlukan untuk

menentukan diagnosis, prognosis dan pilihan terapi. Biopsi hati juga berguna pada

penderita drug induced liver injury serta dapat menentukan asal massa di hati yang

tidak dapat dijelaskan secara pasti oleh pencitraan saja.1

Belum ada konsensus mengenai pada kenaikan transaminase berapa

seharusnya dilakukan biopsi hati. Kepentingan biopsi hati pada penderita NAFLD

masih kontroversi. Steatosis dapat dideteksi lebih sensitif dengan teknik-teknik

pencitraan, namun luasnya inflamasi dan fibrosis tetap lebih baik dengan biopsi hati.

Sedangkan pada penderita primary billiary cirrhosis dan primary sclerosing

cholangitis, kepentingan biopsi masih dipertanyakan, dan diagnosis masih dapat

ditunjang oleh pemeriksaan serologi serta cholangiography, dan sistem skoring

berdasarkan penemuan laboratorik dan klinis dapat digunakan untuk menentukan

prognosis tanpa pemeriksaan biopsi hati.1

Page 12: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

Gambar 2

Evaluasi peningkatan transaminase darah

(American Gastroenterological Association)

Page 13: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

DAFTAR PUSTAKA

1. Goessling W, Friedman LS. Increased liver chemistry in an asymptomatic patient.

Clinical Gastroentero and Hepatology 2005;3-852-858

2. Pratt D, Kaplan M. Evaluation of abnormal liver enzyme results in asymptomatic

patients. The New England Journal of Medicine. April 27, 2000.

3. Iannou,GN, Boyko, EJ, Lee SP. Prevalence and predictor of elevated serum

aminotransferase activity in the United States in 1999-2002. Am J Gastroenterol

2006; 101 : 76

4. Prati D, Taioli E, Zanella A, Della Torre E, Butelli S, Del Vecchio E, et al. Update

definitions of of healthy ranges for serum alanine aminotransferase levels. Ann Intern

Med 2002 Jul 2;137(1): 1-10

5. Fraser A, Longnecker MP, Lawlor DA. Prevalence of elevated alanine

aminotransferase among US adolescents and associated factors: NHANES 1999-

2004. Gastroenterology. 2007 Dec; 133 (6): 1814-20. Epub 2007 Sep 2.

6. Ruhl Ce, Everhart Je. Elevated serum alanine aminotransferase and gamma

glutamyltransferase and mortality in the United States population. Gastroenterology.

2009 Feb; 136(2): 477-85.e11.Epub 2008 Oct 29.

7. Lazo M, Selvin E, Clark JM. Clinical implication of short-term variability in liver

function test result. Ann Intern Med.2008 Mar 4;148(5):348-52

8. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seef LB. Laboratory medicine

practice guideline. Laboratory guidelines for screening, diagnosis and monitoring

hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry.2000

9. Lee WM. Drug induced hepatotoxicity. N Engl J Med 2003 ; 349:474-85

10. Pincus MR, Tierno P, Dufour DR. Evaluation of liver function. Dalam : McPherson

RA,Pincus MR. Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory methods.

21th ed, Philadelphia : Saunders Elsevier, 2007 p 263-76

11. Dufour DR. Assesment of liver fibrosis, can serum become the sample of choice ?

Clinical Chemistry 2005; 51/10 : 1763-4

12. Sherlock S, Dooley J. Disease of the liver and billiary system. 11th edition. Wiley-

Blackwell, 2008

Page 14: Tes Faal Hati abnormal pada penderita tanpa gejala

13. Dufour DR. Liver disease. Dalam : Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE. Tietz

textbook of clinical chemistry and molecular diagnostic.4th edition. St Louis : Elsevier

Saunders, 2006.

14. Fauci AS, Kasper DL, Longo DS, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL et al.

Harrison’s principles of internal medicine. 17th edition. New York, McGraw-

Hill,2008.