Terpuruk lapis

26
sarasehan_syakrani_2013 Paradoks dan Lapis-lapis Keterpurukan Bangsa 1 Syakrani 2 Kita mempunyai gedung yang semakin tinggi, tapi kesabaran yang semakin rendah; jalan yang semakin lebar, tapi sudut pandang yang semakin sempit; semakin banyak membelanjakan, tapi semakin sedikit yang dimiliki; semakin banyak membeli, tapi semakin sedikit yang dinikmati; punya rumah yang semakin besar, tapi kehidupan rumah tangga semakin terpencil; makin banyak tersedia kesenangan, tapi makin sedikit waktu untuk menikmatinya; makin banyak pengetahuan, tapi makin sedikit kebijaksanaan; makin banyak para ahli, tapi justru makin banyak pula masalah; makin banyak obat, tapi justru makin sedikit ketenangan; kita memiliki semakin banyak barang dan kepemilikan, tapi makin berkurang nilainya; kita makin banyak bicara, tapi makin sedikit mencinta dan makin banyak membenci; kita belajar untuk mencari nafkah hidup, tapi gagal menemukan kehidupan; kita telah menambah makin banyak tahun dalam kehidupan, tapi gagal untuk merasakan kehidupan dalam tahun tahun yang dijalani; kita telah sampai ke bulan dan kembali ke bumi, tapi punya masalah untuk pergi ke depan rumah menemui tetangga; punya penghasilan yang lebih tinggi, tapi moralitas yang semakin rendah; kita belajar membersihkan udara kita, tapi makin mengotorkan jiwa kita; kita belajar memisahkan atom atom, tapi tak bisa memisahkan prasangka-prasangka buruk kita; kita memiliki kuantitas yang melimpah ruah, tapi kualias yang semakin langka; ini saat di mana orang makin tinggi posturnya, tetapi semakin pendek karakternya; profit yang membumbung tinggi, tapi hubungan yang semakin dangkal; ini adalah masa kedamaian dunia, tapi perang dalam keluarga; makin banyak hiburan, tapi semakin sedikit rasa kebahagiaan; makin banyak makanan, tapi makin berkurang nutrisinya; ini saatnya dimana keluarga mempunyai penghasilan ganda, tapi perceraian di mana-mana; makin banyak rumah yang indah, tapi makin banyak rumah tangga yang pecah ... Paradoks Masa Kini, Anonim Bukan lautan hanya kolam susu; kail dan jala cukup menghidupimu; tiada badai tiada topan kau temui; ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga; tongkat kayu dan batu jadi tanaman Bukan Kolam Susu, Koes Plus Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang tak bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak pun kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya Yudi Latif, 2013 Earth provides enough to satisfy every man's need, but not every man's greed (bumi seisinya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tapi tidak untuk keserakahannya) Mahatma Ghandi 1 Makalah disajikan pada Sarasehan Nasional Refleksi Awal Tahun tentang “State the Art” Mutakhir Ilmu Administrasi Publik dalam Konteks Masalah Kebangsaan Kontemporer, yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP), Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan pada 26 Januari 2013. 2 Dosen FISIP, Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP), dan Program Studi Magister Sains Administrasi Pembangunan (MSAP), Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan.

Transcript of Terpuruk lapis

Page 1: Terpuruk lapis

sarasehan_syakrani_2013

 

Paradoks dan Lapis-lapis Keterpurukan Bangsa1

Syakrani2

Kita mempunyai gedung yang semakin tinggi, tapi kesabaran yang semakin rendah; jalan yang semakin lebar, tapi sudut pandang yang semakin sempit; semakin banyak membelanjakan, tapi semakin sedikit yang dimiliki; semakin banyak membeli, tapi semakin sedikit yang dinikmati; punya rumah yang semakin besar, tapi kehidupan rumah tangga semakin terpencil; makin banyak tersedia kesenangan, tapi makin sedikit waktu untuk menikmatinya; makin banyak pengetahuan, tapi makin sedikit kebijaksanaan; makin banyak para ahli, tapi justru makin banyak pula masalah; makin banyak obat, tapi justru makin sedikit ketenangan; kita memiliki semakin banyak barang dan kepemilikan, tapi makin berkurang nilainya; kita makin banyak bicara, tapi makin sedikit mencinta dan makin banyak membenci; kita belajar untuk mencari nafkah hidup, tapi gagal menemukan kehidupan; kita telah menambah makin banyak tahun dalam kehidupan, tapi gagal untuk merasakan kehidupan dalam tahun tahun yang dijalani; kita telah sampai ke bulan dan kembali ke bumi, tapi punya masalah untuk pergi ke depan rumah menemui tetangga; punya penghasilan yang lebih tinggi, tapi moralitas yang semakin rendah; kita belajar membersihkan udara kita, tapi makin mengotorkan jiwa kita; kita belajar memisahkan atom atom, tapi tak bisa memisahkan prasangka-prasangka buruk kita; kita memiliki kuantitas yang melimpah ruah, tapi kualias yang semakin langka; ini saat di mana orang makin tinggi posturnya, tetapi semakin pendek karakternya; profit yang membumbung tinggi, tapi hubungan yang semakin dangkal; ini adalah masa kedamaian dunia, tapi perang dalam keluarga; makin banyak hiburan, tapi semakin sedikit rasa kebahagiaan; makin banyak makanan, tapi makin berkurang nutrisinya; ini saatnya dimana keluarga mempunyai penghasilan ganda, tapi perceraian di mana-mana; makin banyak rumah yang indah, tapi makin banyak rumah tangga yang pecah ...

§ Paradoks Masa Kini, Anonim

Bukan lautan hanya kolam susu; kail dan jala cukup menghidupimu; tiada badai tiada topan kau temui; ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga; tongkat kayu dan batu jadi tanaman

§ Bukan Kolam Susu, Koes Plus

Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang tak bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak pun kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya

§ Yudi Latif, 2013

Earth provides enough to satisfy every man's need, but not every man's greed (bumi seisinya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tapi tidak untuk keserakahannya)

§ Mahatma Ghandi

                                                                                                               1 Makalah disajikan pada Sarasehan Nasional Refleksi Awal Tahun tentang “State the Art”

Mutakhir Ilmu Administrasi Publik dalam Konteks Masalah Kebangsaan Kontemporer, yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP), Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan pada 26 Januari 2013.

2Dosen FISIP, Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP), dan Program Studi Magister Sains Administrasi Pembangunan (MSAP), Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan.

Page 2: Terpuruk lapis

P a g e | 2

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Tetapi terpuruk …

ndonesia dalam paradoks. Kabar ini sebenarnya bukanlah isu baru. Sekurang-kurangnya, 2 – 3 tahun terakhir, isu ini semakin sering dilontarkan. Misalnya,

pada Maret 2011, Prasetyantoko mengemukakan empat paradoks Perekonomian Indonesia, yakni paradoks pertumbuhan ekonomi, daya saing, sektor usaha, dan paradoks likuiditas. 3 Setahun kemudian, Leo Batubara (2012) mengungkapkan empat contoh paradoks lain, yang bersumber dari kelalaian pemimpin bangsa ini mengimplementasikan dengan konsekuen Pancasila.4

“Sentilan-sentilun” Sayidiman Suryohadiprojo tentang Paradoks Indonesia mengirim pesan sedang terjadinya pendalaman paradoks-paradoks tersebut, yang menyembul pada fenomena perbedaan mencolok antara pujian luar negeri tentang sukses Indonesia dalam berbagai hal dan kecaman dalam negeri mengenai kelemahan-kelemahan dan kegagalan Indonesia.5 Dalam beberapa hal, pandangan Suryohadiprojo ada benarnya, tetapi sebenarnya secara empirik ada banyak juga catatan tentang kegagalan bangsa ini di aras global. Dan bila dua kegagalan pada dua aras digabung, maka sebenarnya bukan Paradoks Indonesia yang terjadi, tetapi Keterpurukan Indonesia. Celakanya, keterpurukan ini bisa kita temukan berlapis-lapis membentuk lapis-lapis keterpurukan bangsa.

Pancasila, pancasial ...

Deskripsi tentang lapis-lapis keterpurukan bangsa ini bisa kita mulai dari yang paling mendasar, yang menyangkut pengeroposan sistemik fondasi kebangsaan pembentuk bangsa dan negara kita: Pancasila. Kita mulai misalnya dari kelalaian bangsa ini, para pemimpin bangsa ini untuk menghidupi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan berkarya.

Sejarah tentang bagaimana Pancasila disepakati oleh orang-orang terbaik kita beberapa tahun silam untuk dijadikan fondasi kenegaraan dan kebangsaan bercerita tentang visi bersama, impian bersama, cita-cita bersama untuk membentuk sebuah Negara Paripurna yang dilandasi oleh dasar-dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang harus mampu menyelinap masuk ke asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang menjadi pengikat Persatuan Indonesia dan semangat ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, untuk mewujudkan cita-cita Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

                                                                                                               3Harian Kompas (03/03/2011). 4 Harian Kompas (03/01/2013). 5 Harian Kompas (24/11/2012).

I

Page 3: Terpuruk lapis

P a g e | 3

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Kini, di usia bangsa ini yang ke-68, di saat sumberdaya alam kita kian menipis, di kala utang luar negeri bangsa ini makin menumpuk, bukan gambaran tentang Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sedang kita saksikan, tetapi sebaliknya; Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar) Rakyat Indonesia. Bila kelak anak-cucu kita bertanya, mengapa justeru keamburadulan sosial yang terjadi, bisakah kita menjelaskan kepada mereka bahwa ia terjadi lantaran:

1. Kita tidak lagi menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar berbangsa dan bernegara yang utama; justeru kita sedang me-“nuhan”-kan diri pada asas Keuangan Yang Maha Kuasa.

2. Kita tidak lagi menjadikan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sebagai landasan utama dalam mengurus bangsa dan negara; justeru kita sedang menggantinya dengan asas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab.

3. Kita tidak lagi berkomitmen tulus pada sila Persatuan Indonesia untuk merawat ke-Indonesia-an yang paripurna; justeru dengan asas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab kita melakukan Pengkhianatan Indonesia.

4. Orang-orang yang kita beri amanat untuk mengurus bangsa dan negara ini, para elite politik, para elite pemerintahan, para penentu kebijakan publik, secara sendiri-sendiri dan kolektif, melupakan sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Mereka menerapkan asas baru: Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Sindikat Kuasa dan Keculasan Permusyawaratan/Perwakilan.

5. Dan, sumber-sumber penyebab Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar) Rakyat Indonesia bila ditelusuri dari empat habitus tak terpuji di atas.

Jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan itu perlu kita kemukakan sebagai bagian dari tanggung jawab moral kita kepada anak-cucu kita. Sebab, mereka akan mengatakan kepada kita: bumi Indonesia ini bukanlah miliki kita, orang tuanya, tetapi hanyalah pinjaman dari mereka untuk kita.

Implikasinya bagi kita adalah adanya tanggung jawab historis untuk meruwujudkan keadilan sosial lintas-generasi, ada tanggung jawab moral mewujudkan kemakmuran lintas-generasi, ada akuntabilitas politik untuk mewujudkan kemaslahatan lintas-generasi yang akan dituntut oleh anak-cucu kita kepada kita sebagai peminjam bumi Indonesia.

Pancasila dirumuskan dan disepakati sebagai fondasi berbangsa dan bernegara bukan untuk kebutuhan sesaat, hanya untuk menyambut kemerdekaan RI, tetapi sebagai penjamin utama keadilan sosial lintas-generasi, kemakmuran lintas-generasi, kemaslahatan dan kemartabatan bangsa lintas-generasi. Dengan kata lain,

Page 4: Terpuruk lapis

P a g e | 4

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Pancasila sejatinya dapat membimbing terwujudnya Negara Paripurna, yang dapat mencegah sejak diri terjadinya sial-sial kebangsaan, Pancasial, seperti dikemukakan di atas.

Malu menjadi orang Indonesia ...

Kemanusiaan manusia akan kian mudah melorot ke tingkat yang lebih rendah, bahkan serendah binatang, ketika perutnya semakin kenyang dan tubuhnya dibalut pakaian mewah

§ Mencius dalam Jusuf Susanto (2006)

Pancasila adalah moralitas publik bangsa kita, yang seharusnya melandasi seluruh habitus berbangsa dan bernegara, yang darinya lalu tumbuh kebanggaan-kebanggaan ber-Indonesia, bukan rasa malu dan rendah diri. Tetapi, mengapa kemudian muncul perasaan malu menjadi orang Indonesia?

Banyak orang terkejut dan takjub ketika mendengar puisi Taufik Ismail dibacakan. Mereka yang terkejut bertanya-tanya, haruskah kita malu menjadi (orang) Indonesia? Sedangkan yang takjub menyimak kata demi kata dalam puisi itu sembari mengingat-ingat satu demi satu kejadian dan habitus bernegara dan berbangsa yang tak terpuji dalam keseharian hidup kita, entah dari tayangan media massa, entah dari yang mereka baca, dan entah dari yang mereka dengar.

Tapi kedua belah pihak mungkin akan bersepakat tentang satu hal. Kalaulah kita harus malu menjadi (bangsa) Indonesia, biar kita sajalah yang malu. Kita tidak boleh mewariskan ke-malu-an itu pada anak-cucu kita.

Itulah yang secara tersirat mungkin ingin disampaikan oleh Taufik Ismail dalam puisinya, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Berikut penggalannya.

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu; Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan; Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu; Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari; Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

§ Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia, Taufik Ismail

Pesan puitis tersirat itu ingin menggugah kesadaran kolektif kita bahwa dalam banyak catatan yang bisa dipercaya, bangsa kita berada di depan pintu ke-malu-an.

Page 5: Terpuruk lapis

P a g e | 5

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Taufik Ismail memulainya dengan konsep selingkuh birokrasi, sekongkol antara pebisnis dan birokrasi, serta komisi pembelian, pembelian apa saja. Selingkuh, sekongkol, dan komisi pembelian berbicara tentang satu hal: korupsi.

Mari kita mulai deskripsi tentang korupsi ini dari yang bersifat sangat institusional sampai dengan ke yang kultural.

Negara kita sejak merdeka menganut sistem politik dan pemerintahan yang modern. Salah satu ciri utamanya adalah diterapkannya sistem trias-politica. Secara teoretik, pengembangan dan penerapan sistem ini – apakah dengan separation of power atau division of power -- dimaksudkan untuk mencegah terjadinya power abuse melalui mekanisme check-balances, terutama antar tiga institusi negara yang utama, yakni lembaga executive, legislative, dan lembaga judicative. Catatan-catatan para pemikir sistem politik dan pemerintahan modern ini menerangkan, tercegahnya power abuse melalui mekanisme check-balances dan mekanisme lainnya akan menjadi salah satu penentu terciptanya keunggulan sistem/ mekanisme politik dan pemerintahan, yang darinya dapat diharapkan hadir formulasi dan implementasi kebijakan publik yang sehat secara politis, manajerial, serta administratif, dan sehat secara sosial.

Tetapi, keunggulan-keunggulan itu masih sangat jauh dari harapan. Lebih dari setengah abad menjadi negara merdeka, kita tak pernah tahu apakah perjalanan menerapkan sistem politik dan pemerintahan modern itu telah dan sedang menapaki tangga-tangga naik ke sistem dan praktik politik/pemerintahan (baca: berdemokrasi) yang semakin beradab. Yang terjadi justeru sebaliknya, yakni proses mutasi genetika trias-politica menjadi trias-corruptica.

Senyap-senyap kita mulai mendengar istilah-istilah lain untuk menyebut lembaga-lembaga utama itu, yakni executhief untuk executive, legislathief legislative), dan judicathief untuk judicative. Istilah alternatif ini menggambarkan terjadinya institutional decay pada tiga lembaga utama tersebut.

Secara harfiah, kata thief berarti pencurian milik orang lain dengan senyap-senyap, tanpa paksaan dan kekerasan. Kalau makna harfiah ini kita rujuk, maka mutasi genetika institusional menggambarkan terjadinya penyimpangan fungsi-fungsi kelembagaan dari tiga lembaga utama negara.

Alih-alih mengurus negara untuk kesejahteraan rakyat, elite-elite politik dan pemerintahan di tiga lembaga tersebut meng-thief milik negara dan/atau milik rakyat untuk kepentingan sendiri baik dengan culas maupun sistemik. Priyono menegaskan, kemerosotan moral bangsa terjadi, karena semua institusi yang menyangga republik ini telah kehilangan alasan adanya (raison d’être).

Page 6: Terpuruk lapis

P a g e | 6

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Kementerian Dalam Negeri menyimpan catatan (dugaan) korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya lebih dari 42 anggota DPR terseret kasus korupsi. Sejak 2004 sampai 2012 tercatat sekurang-kurangnya sebanyak 710 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Selama periode 2004 - 2012, Kemendagri memberi izin pemeriksaan terhadap 2.976 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia; sebanyak 2.545 izin pemeriksaan untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota dan 431 anggota DPRD tingkat Provinsi, yang sebagiannya menyangkut dugaan tindak pidana korupsi.

Kasus korupsi di lembaga legislatif – legislathief – tidak berdiri sendiri. Pertukaran kepentingan dengan lembaga eksekutif demi sebuah kebijakan politik dan kebijakan publik, terutama dalam penyusunan APBN atau APBD, telah lama dijadikan ajang pemburuan rente (rent seeking) baik untuk memperkaya diri sendiri maupun untuk “setoran” ke partai politik. Sekurang-kurangnya ada 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur, wali kota, dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya sudah divonis bersalah. Pertukaran ini kemudian membentuk sebuah wadah selingkuh nista, yakni selingkuh nista execu- legislathief

Selingkuh nista ini sesungguhnya dapat dengan mudah diatasi seandainya lembaga penegak hukum, pelindung keadilan, perawat hukum (judicative) berfungsi sesuai dengan kultur hukum yang sehat, habitus hukum yang beradab dalam basis moral/etika asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tetapi kita sering menyaksikan sendiri begitu banyak kelucuan dan parodi dalam penegakan hukum. Pada 2009, Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim. Kemudian, pada 2010, sebanyak 107 hakim mendapat teguran hingga diberhentikan.

Di institusi kejaksaan setali tiga uang; kalau pada 2009 ada 181 orang yang dikenai sanksi, maka pada 2010 malah meningkat 60% menjadi 288 orang. Dari 288 orang yang dikenai sanksi tersebut, 192 orang di antaranya adalah jaksa. Kondisi institusi kepolisian tidak jauh berbeda. Selama 2010, misalnya, sebanyak 294 polisi dipecat dari dinas Polri, yang terdiri atas 18 perwira, 272 bintara, dan empat tamtama. 6 Lembaga hukum yang seharusnya menjadi penjamin kepastian hukum justeru menjadi “pasar-tungging” transaksi keputusan hukum. Memang, di lembaga ini tidak terlalu banyak kita dengar terjadi pencurian milik negara/rakyat: korupsi (sebagaimana yang kita pahami sekarang ini). Tetapi, apakah transaksi

                                                                                                               6Harian Kompas: Terkikisnya Moral Bangsa (01/05/2012).

Page 7: Terpuruk lapis

P a g e | 7

 

sarasehan_syakrani_2013

 

keputusan hukum di “pasar-tungging” itu tidak bisa disebut korupsi?

Kata korupsi berasal dari kata corruptio (Latin). Dalam bukunya De Generatione et Corruptione, Aristotles mengemukakan, kata ini berarti perubahan secara sengaja yang bersifat penurunan (Binawan, 2006). Korupsi menyangkut setiap perubahan-disengaja – apa pun, tentang apa pun, dilakukan oleh siapa pun, dan pada bidang apa pun -- yang reduksionis-distortif. Merugikan! Perubahan itu menyebabkan penyempitan makna, pengaburan makna, dan penyimpangan esensi. Jadi, tindakan korupsi adalah setiap tindakan individu, sendiri-sendiri atau kolektif, yang dengan sengaja mengubah, mendistorsi, mengaburkan makna, dan mereduksi makna, untuk kepentingan sendiri yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, ketika kita mendefiniskan korupsi sebatas sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh pejabat publik untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya, maka sebenarnya kita telah mengorupsi makna kata korupsi, karena kita telah mengubah dengan sengaja esensi maknawi kata itu dengan menyempitkan cakupan maknanya, sehingga apa pun perubahan-disengaja yang merugikan dan penyimpangan-disengaja distortif fungsi-fungsi tidak dapat dicakup oleh arti korupsi seperti yang kita pahami sekarang ini. Penggunaan dengan sengaja milik publik – jenis milik publik apa pun, seperti mobil pejabat publik, rumah dinas beserta seluruh fasilitasnya7 – untuk hal-hal, urusan-urusan, dan kepentingan pribadi (non-publik), berdasarkan pada konsep korupsi Aristotles, sebenarnya termasuk tindakan korupsi.8

Jadi, korupsi tidak selalu dan sekadar menyangkut penyalahgunaan kekuasaan publik oleh pejabat publik (ranah publik), yang hanya berpaut sangkut dengan uang, tetapi dengan juga aspek-aspek lain pada seluruh dimensi kemanusiaan pada ranah private. Binawan (2006) mengatakan, korupsi bisa terjadi ketika manusia, setiap individu, setiap kita dengan sengaja melakukan distorsi dan dominasi dalam dan terhadap diri kita sendiri, yang menjauhkan kita dari hakikat kehadirannya di muka bumi. Inilah arti paling primordial dari konsep korupsi – korupsi-diri -- yang darinya lalu meluas ke dan sekaligus menyempit ke ranah publik. Seruan Binawan, Ignas Kleden, dkk. untuk menyusur kembali makna filosofis korupsi bertujuan agar kita memiliki pamahaman yang lebih tepat dan kesadaran kolektif yang lebih holistik tentang korupsi. Yang terjadi sekarang di negeri kita bukan sekadar tindak pidana korupsi, tetapi korupsi kemanusiaan.

                                                                                                               7 Berapa banyak kerugian negara/rakyat bila penggunaan mobil dan rumah dinas untuk

kepentingan sendiri (private) dihitung sebagai tindakan korupsi? 8 Cerita kebiasaan luhur Umar bin Abdul Aziz mematikan nyala lilin di rumahnya ketika

kedatangan tamu yang tidak berkaitan dengan kekhalifaannya merupakan praksis paling representatif untuk definisi purna tindakan anti korupsi.

Page 8: Terpuruk lapis

P a g e | 8

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Tertangkap-basahnya beberapa orang penegak hukum melakukan tindakan pemerasan, penyogokan, dan pengubahan amar putusan bukan sekadar tindak pidana korupsi (penyalah-gunaan wewenang), tetapi sekaligus korupsi kemanusiaan. Mengubah dengan sengaja fungsi-fungsi institusional lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif dari pengawal vitalitas negara dan bangsa menjadi ajang selingkuh nista dan “pasar-tungging” transaksi kebijakan publik dan putusan hukum adalah korupsi kemanusiaan.

Adi-tuna ...

Mestinya, kita dapat menghindari kebenaran “tesis” kutukan sumberdaya alam, seandainya kita mampu tidak “beriang-ria” dengan selingkuh- selingkuh nista dan korupsi kemanusiaan. Kita punya modal historis dan sumberdaya untuk mewujudkan keunggulan-keunggulan daya saing. Ke mana dan bagaimana modal-modal itu kita habiskan adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan terlontar dari anak-cucu kita yang perlu kita persiapkan jawabannya.

Mungkinkah kita mulai penjelasan kita dari asas baru berbangsa dan bernegara kita: Keuangan Yang Maha Kuasa. Kalau Ya, maka menarik membaca uraian Yulianto (2006) tentang kapitalisme. Dia menjelaskan bagaimana paradigma pasar (baca: kapitalisme) merasuk pelan tapi pasti ke hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Paradigma dan paham ini dengan sistemik memasuki satu demi satu aspek kehidupan, termasuk memasuki cara berpikir kita yang dengan gradual mulai dan semakin menjadikan uang atau untung-rugi ekonomi sebagai tolok ukur utama transaksi sosial dan politik. Ranah kehidupan yang paling kasat mata didominasi oleh paradigma ini adalah ekonomi.

Roxborough (1979) mengemukakan, awalnya kapitalisme sebagai pengganti kolonialisme 9 secara ekonomi bertujuan untuk memperluas pasar di negara berkembang bagi pemasaran hasil-hasil industri negara maju yang tidak terserap oleh pasar domestik,10 tetapi kemudian berubah menjadi bentuk dominasi lain yang diformat untuk menjamin pasokan bahan baku (sumberdaya alam) industrialisasi negara-negara baru.

                                                                                                               9Selain secara politik sudah tidak mungkin, kapitalisme secara ekonomi dinilai sebagai bentuk

dominasi negara maju terhadap negara terbelakang yang terlalu mahal (periksa Ankie M. M. Hoogvelt, 1985).

10Konsep pembangunan sebagai rekayasa sosial dapat ditelusuri dari hubungan dagang ini, yang kemudian berlanjut pada pemberian bantuan asing untuk meningkatkan daya beli penduduk di negara berkembang. Teori modernisasi menjadi instrumen pembenar teoretik pemberian bantuan asing (pembangunan).

Page 9: Terpuruk lapis

P a g e | 9

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Korten dalam bukunya When Corporations Rule the World (1998) mengemukakan, dengan berbagai instrumen perdagangan bebas – globalisasi – negara maju bukan hanya mendapat jaminan pasokan bahan baku dari negara berkembang, tetapi justeru dengan mudah, tanpa hambatan politik dan ekonomi, dapat menguasainya.

Catatan Harian Kompas mengemukakan, sumberdaya mineral dan pertambangan di negeri ini sebesar 80% sudah didominasi oleh penguasaan korporasi asing, terutama Amerika Serikat. Dua perusahaan AS yang saat ini menguasai sumberdaya ini adalah PT Freeport Indonesia dan PT Newmont.

Bendera asing juga mendominasi sumberdaya energi. Menurut Marwan Barubara, Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), AS tidak hanya mengambil alih sumberdaya ini dari tangan penjajah Belanda, tetapi juga dari tangan bangsa Indonesia sendiri. Blok Cepu yang pernah diberikan kepada Tommy Soeharto di era Orde Baru dijual kepada ExxonMobil. ExxonMobil kemudian menentukan sendiri produksinya. Penguasaan AS dan negara asing lainnya sekarang ini bisa mencapai 70 – 80%. Sisanya Pertamina dan perusahaan dalam negeri. 11

Yang menarik untuk dicermati dari kasus ini adalah ”terhapusnya” peran (baca: kedaulatan) negara pada sektor-sektor ekonomi strategis tersebut. Menurut Kurtubi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing memberikan ruang seluas-luasnya bagi perusahaan asing untuk mengusai sumberdaya (sektor) energi dan tambang. Bahkan, kepemilikannya bisa 100% asing. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan mengatur ketentuan mengenai kontrak karya (KK), terutama antara pemerintah dan investor. Kedua belah pihak disebut para pihak. Akibatnya, pemerintah tidak dapat begitu saja mengubah perjanjian, semisal dalam besaran royalti, tanpa persetujuan pihak investor. Salah satu contonhya adalah perubahan besaran royalti dari tambang emas PT Freeport McMoran. Dalam KK disepakati, Pemerintah Indonesia menerima royalti sebesar 1%. Bertahun-tahun, sejak 1967, negara kita menikmati royalti yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai jualnya.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2003 pemerintah bermaksud untuk memperbesar royalti dari 1% menjadi 3,75% dari harga jual. Tetapi, pemerintah tidak berdaya menghadapi penolakan PT FI terhadap perubahan tersebut, karena dalam KK disepakati bahwa semua perubahan pasal perjanjian harus melalui kesepakatan para pihak.

                                                                                                               11Harian Kompas (02/11/2012).

Page 10: Terpuruk lapis

P a g e | 10

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Terhapusnya kedaulatan negara tidak terbatas hanya di sektor-sektor strategis tersebut, tetapi juga di meja makan; tepatnya di sektor pangan. Imperialisme pangan sudah mengancam kedaulatan dan ketahanan pangan kita. Penguasaan total dua sumberdaya (sektor) strategis tersebut sesuai dengan mantra negara maju untuk menjajah negara berkembang dengan sempurna: control oil and you control nations; control food and you control the people. Data berikut menggambarkan gurita cengkeraman imperialisme.

Impor pangan nasional saat ini mencapai 70%. Total impor pangan pada 2011 sebanyak Rp 125 triliun; 2 juta ton beras per tahun diimpor dari Vietnam, Thailand, China, India, dan Pakistan. Jagung dibeli dari India, Argentina, dan AS. Kedelai impor 70% dari AS, Malaysia, Brasil & Thailand. Terigu diimpor 100% dari Australia. Daging sapi diimpor 30% dari Australia. Impor gula mencapai 30%, gandum 5 juta ton per tahun. Susu sebanyak 90% diimpor dari Selandia Baru. Garam kita beli 50% dari Australia, India, Singapura, Selandia Baru, dan Jerman. Ikan asin pun impor kita impor, padahal 40 jenis ikan impor ternyata ada di perairan kita. Bahan baku mi instan impor 100%.

Kopi pun kita impor; hingga April 2012 impor kopi sudah mencapai 38.799 ton. Sayuran dan produk hortikultura, seperti wortel, kol, cabe, bawang putih, tomat, dan bawang merah pun kita impor. Sementara buah-buahan didominasi buah-buahan dari China.

Kartel korporasi-korporasi seperti Monsanto, Syngenta, Dupont, Bayer, mencengkeram benih dan agrokimia. ADM, Louis Dreyfus, Cargill, Bunge menguasai distribusi perdagangan dan pengolahan bahan mentah. Pengolahan pangan & minuman ada di tangan Nestle, Kraft, Unilever, dan PepsiCo. Adapun di sektor ritel bertengger Walmart, Carrefour, Metro, dan Tesco. Produk teh Sari Wangi dan kecap Bango kini 100% sudah milik Unilever (Inggris). Kecap, sirup, saus ABC 65% sahamnya dipegang oleh HJ Heinz (AS). Ades 100% milik Coca-Cola (AS). Produk susu, makanan bayi SGM, 82% sahamnya milik Numico (Belgia). Rokok Dji Sam Soe, 100% dikuasai Philip Morris (AS). Lalu, 74% saham Aqua dikuasai oleh Danone (Perancis).

Jadi, kita sekarang dikepung oleh imperialisme pangan. Sama dengan di sektor energi dan pertambangan, di sektor ini pemerintah/negara tidak mampu melakukan apa-apa, bahkan “sengaja” membiarkan petani tak berdaya menghadapi tiga medan pasar: (a) pasar untuk input pertanian, (b) pasar untuk produksi pertanian, (c) pasar barang-barang industri. Kita lebih setia kepada kapitalisme, dan negara kita menjadi negara adi-tuna dalam menghadapinya.

Page 11: Terpuruk lapis

P a g e | 11

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Yang memenjara ...

Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah.

§ Margaret Mead

Sekolah adalah kapitalisme yang licik.

§ Paulo Freire dan Miguel Escobar, 1988

... apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka.

§ Y. B. Mangunwijaya

Sekurang-kurangnya ada dua isu hangat akhir-akhir ini mengenai dunia pendidikan kita, yakni isu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang “divonis” inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Kurikulum 2013 yang dinilai kurang sosialisasi. Kalau kita buka catatan-catatan lembaga survei internasional, kita juga menemukan fakta lain yang sebenarnya tidak kalah menariknya bila dijadikan dasar refleksi kritis terhadap dunia pendidikan kita.

Sebagai contoh, laporan Trends in International Math and Sciences Survey (TIMSS) menyebutkan, nilai anak-anak Indonesia di bidang Sains dan Matematika mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir ini. Peringkatnya di dunia jauh tertinggal dibandingan dengan beberapa negara ASEAN. Megawangi (2012) mengemukakan, sistem pendidikan kita hanya cukup berhasil mengembangkan kemampuan berpikir tingkat rendah (antara lain menghafal), tetapi gagal meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan membentuk soft intelligence (SI). Berdasarkan publikasi TIMSS, dia mengemukakan siswa Indonesia yang memiliki kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking skills/HOTS) hanya 1%. HOTS berkaitan dengan kecerdasan mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah nonrutin, mengambil kesimpulan berdasarkan data. Sementara itu, siswa Taiwan, Korea, dan Singapura yang memiliki HOTS mencapai rata- rata di atas 40%. Sebaliknya, 78% siswa Indonesia memiliki kemampuan berpikir rendah dan di bawah minimal atau lower order thinking skills (LOTS)12. Untuk kategori ini, siswa Taiwan, Korea, Singapura, Hongkong, dan Jepang di bawah 15%.

                                                                                                               12 LOTS akan membuat siswa tidak berpikir analitis, tanpa inisiatif, dan mudah ikut

arus/diprovokasi.

Page 12: Terpuruk lapis

P a g e | 12

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Pembubaran RSBI oleh MK disambut dengan beragam sikap; ada yang mendukung dan ada yang menyayangkan. Kota Surabaya dan Gorontalo akan tetap mempertahankan aspek-aspek positif warisan model RSBI, khususnya yang menyangkut peningkatan mutu. Tetapi, ada satu aspek mendasar lain dari pembubaran RSBI yang perlu kita jadikan bahan refleksi kritis untuk menyehatkan kembali dunia pendidikan kita, yakni praktik komodifikasi, kapitalisasi, liberalisasi, dan MacDonaldisasi.

Di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi (S1), mungkin kecenderungan komodifikasi, kapitalisasi, dan liberalisasi lebih kuat. Dorongan kuat orangtua agar anaknya mendapat sekolah (pendidikan) yang bermutu, meskipun sering rancu ukuran dan indikatornya, kerap menjadi pemicu penting diabaikannya prinsip-prinsip pendidikan, baik dari aspek proses kependidikan maupun dari sisi tahapan-tahapan tumbuh-kembang anak.

Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, beban psikologis anak semakin berat baik karena tuntutan pemenuhan target kurikulum guru kelas maupun karena keinginan kuat orangtua untuk melihat keunggulan intelektualitas anak. Pengajaran di sekolah menjadi tidak menyenangkan dan lingkungan belajar di rumah menekan. Kemudian, lingkungan luas (masyarakat) tidak terlalu kondusif untuk proses tumbuh-kembang anak yang sehat. Fadjar (2001) mengemukakan, anak-anak kita kini cenderung stress di tiga tempat: di rumah, sekolah, dan di lingkungannya.13 Indikasi ketertekanan anak-anak yang paling gampang diamati adalah ekspresi kebebasan setelah lulus sekolah, yang secara simbolik mengirim pesan bahwa sekolah adalah penjara baginya.

Di tingkat pendidikan tinggi (S1 – S3), praktik MacDonaldisasi berpadu dengan komodifikasi, kapitalisasi, dan liberalisasi pendidikan. Pendidikan tinggi masuk ke arena industri dengan prinsip “nyepat-saji.” Selain menyebabkan sepinya peminat ilmu-ilmu dasar, MacDonaldisasi telah menyebabkan involusi akademik, pendangkalan pemahaman filsafat ilmu, serta pengembangan sumberdaya manusia semu.

Pendidikan yang sejatinya dimaksudkan untuk mewujudkan seluruh potensi manusia untuk kemulyaan-kemulyaan kebudayaan (education beraral dari kata educere, yang berarti to lead out: mengeluarkan, menarik keluar, mengaktualisasikan sesuatu), tetapi dalam praktiknya ia justeru disederhakan menjadi sebuah instrumen menata status sosial, rutinitas bersekolah, dan mengejar keuntungan-keuntungan jangka pendek.

                                                                                                               13Harian Kompas, “Hilangkan Formalitas-Birokratis dalam Penyetaraan Guru SD” (06/11/2001).

Page 13: Terpuruk lapis

P a g e | 13

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Yang tak menjadi surga ...

Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, jumlah pengguna narkotika dan obat-obat terlarang lainnya pada 2012 mencapai sekitar 5 juta orang. Ada kecenderungan terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Badan ini menjelaskan, pada 2005, angka prevalensinya mencapai 1,75%, pada 2008 sebesar 1,99%, dan pada 2011 mencapai 2,2%. Pada 2015, angka prevalensinya bisa menjadi 2,8% atau pengguna narkoba mencapai 5,8 sampai 6 juta orang.

Yang mengkhawatirkan dari data tersebut adalah penggunanya menurut kelompok usia, yang disinyalir berada pada kelompok usia 20 – 34 tahun. Hasil survei BNN menyebutkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7% dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang.

Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Pada 2008 angkanya mencapai 1.726 (lebih dari empat kasus per hari). Pada 2009 meningkat hingga 1.998. Pada 2011, angkanya mencapai 2.386 kasus; meningkat 98% dari tahun lalu dengan jumlah pengaduan sebanyak 1.234.

Jumlah tersebut tidak termasuk kasus tindak kekerasan terhadap anak, di rumah dan oleh orangtua dan/atau anggota keluarga lain, yang tidak terungkap, yang under-statistic. Data itu hanya melaporkan kasus-kasus yang bisa dilaporkan, yang jumlahnya mungkin akan sangat jauh lebih banyak yang terlaporkan.

Komisi ini juga mengemukakan, kasus tawuran di Indonesia semakin meningkat dan karena itu sudah memperihatinkan. Hasil evaluasi mengungkapkan, sebanyak 87,6% anak sekolah mengalami kekerasan di sekolah, baik oleh guru, sesama teman di sekolah, kakak kelas, teman sekelas, maupun adik kelas. Di kawasan Jabodetabek, jumlah tawuran pada 2012 sudah mencapai 103 kasus dengan jumlah korban meninggal 17 anak. Angka tersebut naik dari angka pada tahun sebelumnya yang sebesar 96 kasus, dengan jumlah yang meninggal sebanyak 12 anak.

Di media massa, kita menyaksikan bersama kabar dari AS tentang penembakan seorang murid yang menewaskan beberapa orang. Kasus ini selalu berulang. Di Indonesia, model kekerasan seperti ini belum terjadi, tetapi kasus pembunuhan anak oleh orangtua atau sebaliknya sudah sering kita dengar.

Penjelasan yang diberikan beragam. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap anak oleh orangtua sendiri (termasuk kasus penelantaran atau pembuangan anak-

Page 14: Terpuruk lapis

P a g e | 14

 

sarasehan_syakrani_2013

 

anak karena hasil hubungan “gelap”), sering dikaitkan dengan himpitan ekonomi. Di negara maju, seperti di AS, kasus tersebut dikaitkan dengan kelainan/gangguan kejiwaan, pemilikan senjata api yang sangat bebas, dan childhood-bonding-psychological deprivation.

Terlapas dari ragam penjelasan tersebut, kekerasan terhadap dan oleh anak-anak, serta penggunaan narkoba oleh anak-anak dan remaja di negeri ini adalah puncak-puncak gunung es dari dasar gunung es yang sangat besar. Dasar gunung es itu adalah defisit neraca karakter pada anak-anak dan remaja. Pangkahila (2004) mengamati, moralitas bangsa kita kini sedang sakit, sekurang-kurangya bila dilihat dari 10 indikator berikut ini:

1. Mudah melakukan kecurangan. 2. Menganggap diri paling benar dan hebat. 3. Bersikap dan bertindak tidak rasional. 4. Emosional dan mudah menggunakan kekerasan. 5. Cenderung bertindak seenaknya dan melanggar aturan. 6. Cenderung hidup dalam kelompok dengan wawasan sempit. 7. Berpendirian tidak konsisten. 8. Mengalami konflik identitas. 9. Bersikap dan bertindak munafik. 10. Ingin mendapatkan hasil tanpa kerja keras. 14

Thomas Lickona (2009) mengemukakan 10 indikator untuk mengamati terjadinya defisit neraca karakter anak-anak dan remaja, yakni:

1. Meningkatnya tindak kekerasan di kalangan anak-anak dan remaja. 2. Maraknya penggunaan kata-kata yang tidak santun. 3. Pengaruh kuat yang negatif dari peer group terhadap dorongan tindak

kekerasan. 4. Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas 5. Makin kaburnya batasan moral baik-buruk. 6. Menurunnya etos kerja. 7. Makin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. 8. Makin rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. 9. Makin menyebarnya ketidakjujuran. 10. Meningkanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.

KPAI pernah menuding guru sebagai penyebab utama merosotnya karakter atau moral anak-anak dan remaja di negeri ini. Pandangan ini mengandaikan sekolah dan di sekolahlah anak-anak kita membangun karakternya.

                                                                                                               14Harian Kompas (05/04/2004).

Page 15: Terpuruk lapis

P a g e | 15

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Banyak teori dan riset mutakhir tentang tumbuh-kembang anak (periksa misalnya Tillman dan Hsu. 2004; Rich, 1997; Erikson, 1984; Nolte 1982; Bronfenbrenner, 1979) mengemukakan, guru di (dan) sekolah bukanlah tempat yang utama, tetapi hanya menjalankan fungsi-fungsi pendukung -- co-parenting -- dalam tumbuh-kembang anak, termasuk perkembangan karakternya. Karena itu, orangtua tidak boleh merasa tugasnya mendidik anak sudah selesai, karena telah mencarikan anak sekolah yang bermutu dan melengkapi kebutuhannya.

Anak-anak kita adalah tanggung jawab kita yang utama. Rumah (keluarga) menjadi tempat yang paling utama dalam pengembangan karakter anak-anak, sedangkan orangtua menjalankan fungsi parenting. Orangtua adalah buku besar bagi anak-anaknya, sedangkan anak-anak adalah cermin besar bagi orangtuanya. Bagaimana anak dibesarkan dan dididik oleh orangtua di rumah menentukan akan menjadi siapa anaknya. They are where they live.

Lasch (1977) mengemukakan, keluarga menjadi satu-satunya lembaga yang bisa menjadi surga di tengah kehidupan yang makin tak bernurani; a heaven in the heartless world. Bennett (1993) mengemukakan,

Family is the original and most effective Department of Health, Education, and Welfare. If it fails to teach honesty, courage, desire for excellence, and a host of basic skills, it is exceedingly difficult for any other agency to make up for its failures.

Menurut Rich (1997) dan Popov et al. (1997), keluarga merupakan wahana yang paling utama pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (mega skills) dan kebajikan-kabajikan moral (virtues). Kegagalan keluarga mengembangkan keterampilan unggul ini tidak dapat diatasi oleh institusi sosial lain, termasuk oleh sekolah.

Konsep parenting (parent-ing) atau keayahbundaan mencakup peran-peran strategis bagi tumbuh-kembang anak, seperti peran asah (mengasah kecerdasan fisik, motorik, dan intelektual), peran asuh (menjamin status gizi dan kesehatan anak), dan peran asih (mendidik kelembutan emosional dan spiritual). Semua peran tersebut adalah peran orangtua, bukan orang/pihak lain, karena Tuhan mengamanatkan anak-anak itu kepada orangtua, bukan kepada yang lain. Nolte (1982)15 mengemukakan, anak-anak pertama dan terutama mengalami pembiasaan

                                                                                                               15Teori Nolte kemudian dikenal sebagai Dorothy Law Nolte: jika anak biasa hidup jujur, kelak ia

akan terbiasa memilih kebenaran; jika anak biasa hidup diperlakukan adil, kelak ia akan terbiasa dengan keadilan; jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki; jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.

Page 16: Terpuruk lapis

P a g e | 16

 

sarasehan_syakrani_2013

 

sikap dan tindakan (social learning) mulya dan nista (bad and good habits) di rumah. Bronfenbrenner (1979) menegaskan, pembiasaan sikap dan tindakan mulya yang sempurna di rumah oleh orangtua akan menjadi fondasi yang sangat kuat, yang membuat anak kuat menghadapi terpaan pengaruh negatif apa pun baik dari lingkungan luar terdekat dan maupun yang terjauh. Tudingan bahwa guru (sekolah), faktor-faktor lain di luar keluarga, dan selain orangtua adalah penyebab utama merosotnya moral (karakter) anak-anak dan remaja bukanlah tudingan yang tepat. Kebiasaan untuk tidak mengaitkan merosotnya moral (karakter) pada anak-anak dan remaja dengan keluarga (dan orangtua) bersumber, antara lain, dari kebiasaan kita: semut di seberang lautan jelas kelihatan, tetapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Belum melembaganya norma bahwa membentuk keluarga dan menjadi orangtua tidak perlu dipelajari adalah penyebab utama yang lain.

Para ahli sepakat, membesarkan dan mendidik anak membutuhkan cinta dan kasih sayang tak bersyarat. Hanya orangtualah yang memiliki cinta dan kasih sayang jenis itu. Tetapi, cinta dan kasih sayang saja tidak memadai; orangtua juga harus memiliki keterampilan keayahbundaan (parenting skills). Etzioni (1993) mengemukakan, tugas dan fungsi orangtua sangat berat. Karena itu, masyarakat (pemerintah, warga lain, sekolah, dan organisasi-organisasi di luar entitas sosial keluarga) wajib membantu orangtua agar mampu menjalankan peran-perannya dengan baik (healthy parenting). Bila tidak, dampak negatif dari keayah-bundaan yang tak sehat (unhealthy parenting) bukan hanya ditanggung oleh orangtua dan keluarganya sendiri, tetapi oleh masyarakat. Defisit karakter pada anak-anak dan remaja bisa jadi bukan hanya disebabkan oleh rendahnya parenting skills orangtua, tetapi juga oleh rendahnya dukungan masyarakat (termasuk guru dan sekolah) bagi orangtua dan keluarga-keluarga untuk mampu menjalankan peran utama dalam pengembangan dan pendidikan karakter anak-anak. Dalam perspektif Islam, keluarga adalah pondok-pondok pesantren (sekolah dan pendidikan) yang pertama dan utama, sebelum anak-anak dipesantrenkan ke pondok-pondok pesantren di luar rumah. Family is the first and prime education department of our children.

Neraca modal sosial ...

Merosotnya moralitas pada anak-anak dan remaja terkait dengan defisit karakter, yang menyebabkan terjadinya the lost generation. 16 Dalam konteks hubungan sosial, kita mengenal istilah defisit neraca modal sosial (social capital).

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

16The lost generation, generasi hilang, adalah anak-anak dan remaja (sebuah generasi) yang kehilangan kesempatan untuk mengoptimalkan seluruh potensi tumbuh-kembangnya baik karena status gizi dan kesehatannya rendah maupun karena tak berkarakter.

Page 17: Terpuruk lapis

P a g e | 17

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Di Amerika Serikat, Putnam (2000) melakukan rangkaian riset mengenai hal ini. Temuannya sangat menarik untuk dijadikan refleksi kritis untuk pendalaman di Indonesia. Dia mencatat:

“… we have become increasingly disconnected from family, friends, neighbors, and our democratic structures -- and how we may reconnect. Our stock of social capital - the very fabric of our connections with each other, has plummeted, impoverishing our lives and communities.”

Putnam menunjukkan beberapa bukti berikut ini:

1. Joining and participating in one group cuts in half your odds of dying next year. 2. Every ten minutes of commuting reduces all forms of social capital by 10%. 3. Watching commercial entertainment TV is the only leisure activity where doing

more of it is associated with lower social capital. 4. Attending Club Meetings 58% drop. 5. Family dinners 43% drop. 6. Having friends over 35% drops.

Risetnya di Itali menunjukkan, modal sosial menentukan perbedaan tumbuhnya civic tradition di negara ini, yang kemudian menjadi pembeda bekerjakanya demokrasi di Italia bagian selatan dan utara (Putnam, Leonardi, dan Nonetti, 1993; periksa juga Couto dan Guthrie, 1999).

Dalam ruang lingkup terbatas, Syakrani (2009; 2012) mencatat, modal sosial di beberapa komunitas di Provinsi Kalimantan Selatan mengalami penggerusan dengan indikasi-indikasi awal sebagai berikut:

1. Tingkat keberfungsian lembaga-lembaga sosial, yang mencakup lembaga sosial keagamaan, lembaga sosial ekonomi, lembaga sosial ormas, dan lembaga sosial semi-pemerintah berada di bawah angka 40%. Peran yang mereka lakukan sebagian besar (17,50%) bersifat serimonial dan sangat sedikit yang bersifat pemberdayaan.

2. Kohesi sosial dalam 2 – 3 tahun terakhir merosot hingga angka ± 51,25%. 3. Kepercayaan antar-warga juga menurun tajam dalam 2 – 3 tahun terakhir,

dengan indikasi-indikasi sebagai berikut: 3.1. Indeks ketetanggaan dinilai oleh sebanyak 55% tidak mengalami

peningkatan, dan bahkan sebanyak 43% warga lainnya menilai mengalami penurunan.

3.2. Indeks rasa-aman mengalami defisit sebesar 7,5%. 3.3. Indeks tolong-menolong mengalami kecenderungan yang mirip;

berubah dari 50,94% menjadi 44,69%. 3.4. Indeks kegotong-royongan mengalami defisit; sebanyak 40% warga

menilai, semangat kegotong-royongan di komunitas kajian menurun.

Page 18: Terpuruk lapis

P a g e | 18

 

sarasehan_syakrani_2013

 

3.5. Hal yang sama juga dialami oleh indeks kebersamaan, yang mengalami defisit; sebanyak 55,4% warga menilai semangat kebersamaan antar-warga lebih jelek dibandingkan dengan 2 – 3 tahun yang lalu.

3.6. Indeks kepedulian sosial, menurut 66% warga, selama 2 – 3 tahun tidak mengalami peningkatan. Justeru sebanyak 13% warga menilai telah mengalami penurunan.

Indikator-indikator lain dari modal sosial, pada skala nasional, dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Survei LSI 2012 mencatat terjadinya peningkatan intoleransi selama tujuh terakhir.

Ketidaknyamanan setiap warga untuk bertetangga dengan warga lain yang berbeda latar belakang sosial selama kurun waktu 2005 – 2012 meningkat antara 7% - 16% dengan rincian sebagai berikut (Tabel 1):

Gangguan dan tergerusnya modal sosial bukan hanya terjadi pada relasi antar-warga (termasuk konflik horisontal yang semakin sulit ditangani oleh pemerintah), tetapi juga pada ketidakpercayaan warga/penduduk kepada negara, pemerintah, dan DPR, yang dalam beberapa kali survei selalu ditemukan mengalami kenaikan. Merawat dan memulihkan neraca modal sosial tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan demokrasi itu sendiri dan reformasi birokrasi.

Tabel 1. Hasil Survei Tingkat Intoleransi Warga terhadap Beberapa Latar Belakang Sosial Tentangga (%; LSI, 2012)

Latar Belakang Sosial Periode Survei

Peningkatan 2005 2012

Beda agama 8,2 15,1 6,9 Ahmadiyah 38,1 46,75 7,5 Syiah 26,7 41,8 15,1 Homoseks 64,7 80,6 15,9 Modal sosial, terutama salah satu aspeknya – trust – menentukan laju dan tingkat efisiensi pembangunan. Trust yang tinggi akan membuat transaksi sosial ekonomi menjadi lebih murah dan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih pendek.

Kebahagiaan dalam keamburadulan sosial ...

Ada banyak hal yang patut kita syukuri dari yang masih tersisa dalam kehidupan kita sekarang ini. Selain ikatan psiko-kultural yang masih kuat yang masih mampu menyatukan ke-Indonesia-an kita, sebagai bangsa kita masih dinilai sebagai bangsa dengan penduduk yang cukup bahagia. Jajak pendapat Gallup 2012 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-19 dari 148 negara dalam hal kebahagiaan. Orang

Page 19: Terpuruk lapis

P a g e | 19

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Indonesia dinilai lebih bahagia daripada orang Selandia Baru (urutan ke-21), AS (ke-33), Jepang (ke-59), dan orang Singapore (ke-46).

Mungkin dengan modal kebahagiaan inilah kita dianugerahi kecerdasan emosi dan kelembutan jiwa (perasaan dan sikap positif) untuk bertahan menjalani himpitan hidup sehari-hari yang semakin menantang. Dalam suasana kebatinan seperti inilah kita masih mampu bersabar atas pertanyaan-pertanyaan kritis tentang di manakah kita berada dalam peta kemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa lain.

Tiga edisi Global Hunger Index (GHI 2010, 2011, 2012) berturut-turut menempatkan tingkat keparahan (severity) kelaparan penduduk Indonesia pada kategori serius. Tiga indikator pembentuk GHI selama ini memang mengalami perbaikan, tetapi belum cukup untuk mengeluarkan bangsa kita dari kondisi tersebut. Oleh karena itu, bangsa/negara kita masuk kelompok negara yang direkomendasikan oleh Badan Pangan Dunia (FAO) untuk mendapat bantuan pangan dari lembaga pangan dunia.

Kita hampir tak percaya mendengar berita ini, karena gambaran tentang Indonesia “bukan lautan, tapi kolam susu; tongkat kayu dan batu jadi tanaman” belum hilang dalam ingatan kita. Betapa kayanya negeri ini.

Lalu mengapa fenomena kelaparan itu masih suka singgah di negeri ini. Adakah ini kutukan sumberdaya alam? Ataukah ia sekadar dampak dari ketidak-becusan pengelolaan negara (bad governance)?

Merunut sebab-sebab kelaparan dan kemiskinan di negeri ini akan menuai kontroversi, tetapi fakta tentang mayoritas petani yang tak berlahan cukup, dampak negatif kerusakan lingkungan hidup terhadap produktivitas pertanian, kegirangan impor pangan demi rente-rente ekonomi para elite politik/pemerintahan di atas keterhimpinan kaum alit (marjinal) adalah bukti-bukti yang tidak terbantahkan. Keseluruhan fakta ini terangkul dalam sebuah fenomena krisis lingkungan hidup dan kemanusiaan, human and ecological crisis. Dan krisis ini, dalam perspektif Capra, bersumber pada satu sesat pikir (false paradigm), yakni kapitalisme yang masih dianggap fungsional untuk mengatur kehidupan manusia. Mantranya sangat menggiurkan: janji kemakmuran di masa mendatang melalui mekanisme kompetisi dan pasar bebas saat ini, dengan kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan hari ini.

Menurut John Madeley (2000), bangsa yang mengalami kelaparan, padahal kaya sumberdaya alam, adalah negara yang terjebak dalam hungry for trade dan hungry for import. Ujung dari penerapan strategi ini adalah: keberpihakan

Page 20: Terpuruk lapis

P a g e | 20

 

sarasehan_syakrani_2013

 

negara/pemerintah kepada kapitalisme. Hungry for trade ditandai oleh penjualan produk tambang (misalnya minyak) mentah, dan mengimpor minyak “masak.” Sedangkan hungry for import ditandai “pembiaran” potensi pertanian terbengkalai dan lebih suka impor. Di dua sendi kehidupan ini, kedaulatan kita sudah “tergadai.” Dari Sabang sampai Merauke, tambang sudah dikuasai asing. Sektor pertanian (pangan) mulai mengikutinya, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita akan menyaksikan imperialisme pangan di meja makan.

Himpitan kehidupan lain adalah kesenjangan sosial yang terus naik. Pada 2012, kesenjangan sosial sudah melampaui ambang batas psikologis ketahanan bangsa. Tingkat kesenjangan sosial di negeri yang berasas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik mencatat, indeks gini terakhir di negeri ini sudah mencapai 0,41.17 Ivanovich (2012) mengemukakan, salah satu pemicu pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara adalah kegagalan pemerintah dari negara ini mempersempit kesenjangan sosial.

Melalui analisisnya tentang empat paradoks Perekonomian Indonesia, Prasetyantoko mengemukakan, prestasi bangsa ini mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat 6%-an hampir tidak ada hubungannya dengan perbaikan kesejahteraan rakyat dan penurunan kesejangan sosial. Pertumbuhan ekonomi di negeri ini belum didasarkan dan digerakkan oleh sektor-sektor ekonomi yang langsung dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan penduduk.

Tampaknya modal kebahagiaan tersebut juga berkontribusi pada tumbuhnya sikap positif bangsa ini merespon penilaian banyak kalangan tentang peringkat korupsi negara kita, peringkat prestasi pembangunan manusia di negeri ini, peringkat daya saing bangsa ini, dan derajat daya juang bangsa ini yang belum menggemberikan dibandingkan dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Semua indikator yang tampaknya masih jauh dari jangkauan kita untuk meraihnya menggambarkan kondisi obyektif bangsa ini: daya saing, daya saring, daya sanding, dan daya juang yang belum mengoptimal.

Peringkat korupsi menyangkut daya saring bangsa yang harus terus diusahakan perbaikannya di mana pun. Ada sedikit kabar ini mengenai hal ini. Meskipun catatan lembaga survei korupsi global, Transparency International (TI), mengungkapkan, Indeks Persepsi Korupsi negara Indonesia pada 2012 berada pada peringkat ke-118 dengan skore 32 dari skore tertinggi 100, sejajar dengan

                                                                                                               17Indeks gini sebesar ini menggambarkan 41% pendapatan nasional dinikmati oleh hanya 1%

penduduk.

Page 21: Terpuruk lapis

P a g e | 21

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Madagaskar, Ekuador, Republik Dominika, tetapi di bawah Timor Leste dan Negeria, serta lebih jauh lagi di bawah Filipina (ke-105), Thailand (ke-88), Malaysia (ke-54), dan Singapore (ke-5).

Survei Perilaku Antikorupsi BPS dan Bappenas 2012 mengungkapkan, indeks perilaku antikorupsi di negeri ini sebesar 3,55 dari skala 5. Angka ini, menurut hasil survei itu, menunjukkan masyarakat lebih antikorupsi. Implikasinya, praktik/habitus korupsi di negara kita tidak memiliki akar yang kuat, sehingga akan lebih mudah diberantas. Tetapi, kabar gembira ini bisa menyesatkan bila tidak dikaitkan dengan temuan-temuan survei tersebut, seperti sikap isteri terhadap penghasilan tambahan suami, penggunaan milik publik untuk kepentingan pribadi, pemberian uang dari calon kepala daerah, memberi antara barang kepada tokoh agama, dan transfer kekayaan ke atas. Survei itu mencatat (Jousairi Hasbullah, 2013):

1. Sebanyak 31% penduduk Indonesia memandang sang istri tidak perlu mempertanyakan asal-usul uang yang diberikan suami.

2. Sekitar 27% penduduk menganggap kendaraan dinas identik dengan kendaraan pribadi yang dapat digunakan untuk keperluan keluarga.

3. Sekitar 20% penduduk mengharapkan uang pemberian dari para calon kepala daerah di pilkada.

4. Memberikan antaran barang dan uang kepada tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh formal sebagai penghormatan saat menjelang hari raya atau hajatan/kenduri sebagai hal biasa.

5. Lebih dari 60% penduduk menganggap biasa transfer aliran kekayaan dari lapisan masyarakat bawah ke lapisan di atasnya.

6. Sebanyak 47% penduduk menganggap wajar bila seseorang yang bekerja di pemerintahan atau swasta memasukkan kerabatnya bekerja tanpa harus melalui proses seleksi.

7. Sekitar 32-45% penduduk masih memandang wajar memberi uang lebih dalam pengurusan SIM dan STNK, memberi uang damai kepada polisi agar tidak ditilang, dan memberi uang kepada guru saat kenaikan kelas.

Inilah tembok-tembok kuat pemberantasan korupsi dan pemulihan derajad daya saring bangsa ini. Praktik korupsi telah menyusup ke alam pikiran kebanyakan manusia Indonesia, yang membentuk batu-batuan pembangunan korupsi kemanusiaan.

Prestasi pembangunan manusia kita juga belum menggemberikan, United Nation Development Programme (UNDP) 2011 mencatat, IPM Indonesia berada di urutan ke-124 bi bawah Afrika Selatan dan satu tingkat lebih baik daripada Vanuatu (ke-125). Data yang menarik dalam laporan tersebut adalah rata-rata lama sekolah

Page 22: Terpuruk lapis

P a g e | 22

 

sarasehan_syakrani_2013

 

penduduk Indonesia yang hanya 5,8 tahun. Dibulatkan ke atas, berarti negeri ini dikelola dan digerakkan oleh penduduk yang rata-rata berpendidikan SD.18

Data rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia akan lebih menarik bila dikaitkan dengan data lain yang masih relevan. Selain TIMSS, ada lembaga lain yang mensurvei prestasi pendidikan beberapa negara. Salah satu di antaranya adalah The Learning Curve. Laporannya pada 2012 mengungkapkan, indeks kecerdasan kognitif dan capaian pendidikan (global index of cognitive skills and education attainment) negara kita berada pada urutan ke-1 dari bawah dari 40 negara yang disurvei dengan z-score sebesar -2,03. Dalam bidang ini, Singapore menduduki peringkat ke-5 dan Thailand ke-37.

Data ini sekaligus menunjukkan, bangsa kita beberapa tahun ke depan belum bisa disandingkan dengan beberapa lain, se-ASEAN sekali pun. Lembaga ini merekomendasikan, praksis pendidikan ini tidak boleh difokuskan pada pemenuhan saat ini (education for the present) seperti yang sangat ditekankan oleh paradigma Education for All (EFA), tetapi untuk masa depan (education for the future) seperti dianjurkan oleh paradigma Education for the Future (EFF).

Derajad daya saing rendah, derajad daya sanding yang belum optimal dilengkapi dengan derajad daya saing bangsa yang belum menjanjikan. Forum Ekonomi Dunia (World Economics Forum) 2012 menempatkan derajad daya saing Indonesia pada peringkat ke-50. Tetangga-tetangga kita menempati peringkat ke-2 (Singapore), ke-25 (Malaysia), ke-28 (Brunei), dan ke-38 (Thailand).

Pertanyaan yang muncul setelah memeriksa derajad daya saring, daya sanding, dan derajat daya saing yang belum menggembarikan adalah, adakah ini semua disebabkan oleh gagalnya negara ini menangani masalah-masalah social-politik, mengelola SDA, mengelola sumberdaya manusia, institusi-institusi negara, dan gagalnya negara menghidupi janji-janji dan prinsip-prinsip kebangsaan yang paripurna? Negara gagal – failed state.

Konsep negara gagal (failed state) 19 menyangkut ketidakmampuan pemerintah sebuah negara menyediakan pelayanan publik untuk rakyat, mengelola potensi konflik, menciptakan keadilan, menegakkan hukum dan HAM, mengurangi kemiskinan, dan mempertahankan kedaulatan negara, yang menyebabkan

                                                                                                               18 BPS (2012) mencatat, tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia sebagian besar (48,2%)

berpendidikan SD. Hanya 2,4% dan 4,8% berpendidikan diploma dan sarjana. 19 Yayasan ini mengelompokkan skor negara gagal ke dalam empat kategori utama, yaitu: Alert,

Warning, Stable, dan Sustainable. Indeks Negara gagal merentang dari 20 sampai dengan 120. Makin tinggi, makin gagal

Page 23: Terpuruk lapis

P a g e | 23

 

sarasehan_syakrani_2013

 

kerawanan sosial politik di negara tersebut. Yayasan untuk Perdamaian (The Fund for Peace) merumuskan dua indikator utama untuk menilai tingkat ketidakmampuan tersebut, yaitu:

1. Indikator sosial ekonomi, yang mencakup: 1.1. Ketidakmamuan menghadapi tekanan demografis. 1.2. Ketidakmampuan menghadapi tekanan arus pengungsi. 1.3. Ketidakmampuan mengatasi disparitas atau ketimpangan

pembangunan ekonomi. 1.4. Ketidakmampuan menangani tekanan dan kekerasan pada kelompok

penduduk tertentu. 1.5. Ketidakmampuan menghadapi penurunan ekonomi dan kemiskinan. 1.6. Ketidakmampuan menghadapi perpindahan penduduk dan migrasi otak.

2. Indikator politik dan militer, yang terdiri atas: 2.1. Ketidakmampuan meningkatkan legitimasi pemerintahan. 2.2. Ketidakmampuan menyediakan pelayanan publik bermutu. 2.3. Ketidakmampuan menegakkan HAM dan hukum. 2.4. Ketidakmampuan menyediakan aparatus keamanan. 2.5. Ketidakmampuan mengatasi faksionalisasi elite. 2.6. Ketidakmampuan menghadapi intervensi eksternal.

Laporannya pada 2012 menempatkan negara Indonesia di peringkat ke-62, sejajar dengan Gambia.

Semua aspek pada dua indikator failed state memperoleh skor terparah sebesar 7,4 (tekanan demografis) dan terbaik 6,0 (kemiskinan dan penurunan ekonomi). Skor rata-ratanya 80,6 dengan kategori very high warning. Yayasan ini juga menghitung tingkat kapasitas negara (state capacity) pemerintah dari sebuah negara dalam menangani 12 tekanan di atas dengan beberapa indikator, yaitu:

1. Kepemimpinan (LDR) 2. Kemampuan angkatan bersenjata (MIL). 3. Kemampuan polisi (POL). 4. Kemampuan lembaga penegak hukum (JUD). 5. Kemampuan lembaga-lembaga pemerintah (CVS). 6. Kemampuan masyarakat sipil (SOC). 7. Kebebasan media massa (MED).

Dalam laporannya, yayasan tersebut menilai negara Indonesia memiliki kapasitas moderate dengan variasi moderate untul LDR, MIL, POL, JUD, CVS, good untuk

Page 24: Terpuruk lapis

P a g e | 24

 

sarasehan_syakrani_2013

 

SOC, dan weak untuk MED. Kapasitas negara perlu ditingkatkan agar negara kita keluar dari zone very high warning.

Kembali ke negara paripurna …

Bangsa Indonesia, menurut hasil riset panjang Oppenhiemer (1999), pernah mendiami sebuah dataran tempat bersemainya cikal-bakal peradaban di muka bumi. Menurut dia, konsentrasi manusia prasejarah dalam lingkungan geografis, klimatologis, dan kekayaan alam Nusantara – khususnya Dataran Sunda yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Asia Tenggara – menjadi pelopor cikal bakal peradaban di muka bumi (periksa Latif, 2011).

Mestinya tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk terpuruk, untuk tidak maju. Oppenhiemer menyebut perpindahan pusat peradaban dari Dataran Sunda ke tempat-tempat lain sebagai The Drowned Continent of Southeast Asia untuk menggambarkan hilangnya pilar-pilar cikal bakal peradaban yang pernah tumbuh subur di dataran itu.

Siradjuddin (2009) pernah menulis buku Sindrom Negara Gagal. Yudi Latif (2011) menulis Negara Paripurna. Jarak dua tahun antara ”Siradjuddin” dan ”Latif” ibarat jarak antara adzan dan iqamah; sebentar! Tetapi di situlah terletak kehidupan dan terbentang ikhtiar hidup manusia Indonesia dalam menghidupi komitmen kebangsaannya. Di situlah terbentang titik-titik kehidupan yang membentangkan kepada kita begitu banyak pilihan.

Di situlah bersemayam bergitu banyak gagasan, kebijakan, kearifan berbangsa dan bernegara, pengetahuan, memori-memori kolektif tentang masa lalu, impian-impian dan aspirasi-aspirasi masa depan Indonesia Jaya. Persoalannya adalah, apakah pilihan-pilihan kita di antara bentangan-bentangan waktu itu adalah pilihan-pilihan dalam semangat Pancasila atau Pancasial?

Terlalu sempit ruang di sini untuk mengurai rincian-padat pilihan-pilihan tersebut. Tetapi ada satu hal yang sangat strategis.

Tampaknya kita perlu mengarus-tengahkan lagi istilah The Lost Indonesia sebagai penegasan historis dari peristiwa The Drowned Continent of Southeast Asia, kemudian kita mewacanakan kembali lebih serius Reinventing Indonesia. Dalam konteks gagasan akbar, orisinil, ide genius the founding fathers pada hari-hari menjelang kemerdekaan RI, tampaknya para elite politik, para petinggi pemerintahan harus memutar kembali detik-demi-detik historis perumusan Pancasila sebagai landasan negeri impian: Negara Paripurna.

Page 25: Terpuruk lapis

P a g e | 25

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Ajakan ini tidak boleh dianggap remeh-temeh. Bagi mereka yang percaya pada kekuataan kearifan mulya yang tersimpan lama dalam memori kolektif bangsa, tetapi diabaikan karena rasa-karsa-cipta kita tersudut oleh paham Keuangan Yang Maha Kuasa, knowing the best dan loving the best akan menjadi kekuatan change the story, membalik dan mengembalikan Pancasial ke Pancasila melalui dekonstruksi habitus nista berbangsa dan bernegara, dekonstruksi sesat-sesat pikir berke-Indonesia-an, serta rekonstruksi semangat, nilai-nilai dan komitmen-komitmen historis berkebangsaan tentang dan terhadap konsepsi Negara Paripurna.

Page 26: Terpuruk lapis

P a g e | 26

 

sarasehan_syakrani_2013

 

Daftar Rujukan

Bennett, W.J. 1993. The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories. Simon & Schuster, New York.

Berns, R.M. 1997. Child, Family, School, Community: Socialization and Support. 4th Edition. Harcourt Brace College Publishers, Philadelphia.

Binawan, A. A. (ed). 2006. Korupsi Kemanusiaan: Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat. Kompas, Jakarta.

Bronfenbrenner, U. 1979. The Ecology of Human Development. Harvard University Press Cambridge.

Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The Free Press, New York.

Josephson, M.S, V.J. Peter, dan T. Dowd. 2001. Parenting to Build Character in Your Teen. Boys Town Press, Nebraska.

Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia, Jakarta.

Lasch, C. 1977. Haven in the Heartless World. Basic Books, New York. Leach, P. 1995. Children First: What Society Must Do – and Is Not Doing – for

Children Today. Vintage Book, New York. Madeley, J. 2000. Hungry for Trade: How the Poor Pay for Free Trade. Zed Books,

London. Nolte, D.L. dan R. Harris. 2003. Menjadi Orangtua Yang Menginsoirasikan Nilai-

Nilai. Terjemahan. Interaksara, Jakarta. Oppenheimer, S. 1999. Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia.

Phoenix, London. Popov, L.K., D. Popov dan J. Kavelin. 1997. The Family Virtues Guide: Simple Ways

to Bring Out the Best in Our Children and Ourselves. A Plume Book, New York.

Putnam, R. D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Society. Simon and Schuster Paperbacks, New York.

Rich, D. 1997. MegaSkills: Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin Company, Boston.

Siradjuddin, E. 1999. Memerangi Sindrom Negara Gagal. Kata Hasta Pustaka, Jakarta.

Tillman, D. dan D. Hsu. 2004. Pendidikan Nilai untuk Anak Usia 3 – 7 Tahun. Terjemahan. Grasindo, Jakarta.