TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

7
1 Sebuah Cerpen: TERORIS Oleh Satrio Arismunandar Ruang konferensi pers, di gedung grup perusahaan Karya Dewata, siang itu penuh dengan jurnalis dari dalam dan luar negeri. Sejumlah jurnalis televise tampak sibuk dengan kamera mereka yang besar. Mereka terlihat sangat antusias. Bisa dimaklumi, karena Ratih Dewanti, Direktur Utama PT. Karya Dewata, yang membawahi sejumlah pasar swalayan dan pusat perbelanjaan besar, akan memberi keterangan pers tentang aksi teror terhadap perusahaannya. Empat hari sebelumnya, sebuah bom meledak di salah satu pusat perbelanjaan besar milik Ratih, sehingga menewaskan dua karyawan dan tiga pengunjung, serta melukai dua belas orang lainnya. Ledakan itu, menurut penyelidikan polisi, diduga kuat adalah bom bunuh diri. Dari keterangan para saksi mata, tersangka pelakunyaadalah Ahmad Mahdi, mantan karyawan PT. Karya Dewata. Diduga, Mahdi mendendam karena beberapa bulan yang lalu, perusahaan tidak memperpanjang masa kontrak kerjanya. Alasan perusahaan waktu itu, Mahdi dianggap tidak berprestasi. Saudara-saudara sekalian! Mohon tenang, karena Ibu Ratih Dewanti telah hadir dan acara akan kita mulai,seru seorang staf Humas perusahaan, yang menjadi pembawa acara. Para jurnalis pun segera duduk di jajaran kursi yang telah disediakan. Ratih memasuki ruang dan langsung duduk di podium depan, di samping pembawa acara. Wajahnya letih dan muram, kontras dengan perawakan tubuhnya yang agak gemuk dan sehat, di usianya yang sudah hampir 50 tahun. Rambut Ratih bermodel potongan pendek. Tampaknya ia termasuk orang tak suka berlama-lama di depan meja rias.

description

Cerpen dengan latar belakang kisah tentang terorisme.

Transcript of TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

Page 1: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

1

Sebuah Cerpen:

TERORIS

Oleh Satrio Arismunandar

Ruang konferensi pers, di gedung grup perusahaan Karya Dewata, siang itu penuh

dengan jurnalis dari dalam dan luar negeri. Sejumlah jurnalis televise tampak sibuk dengan

kamera mereka yang besar. Mereka terlihat sangat antusias. Bisa dimaklumi, karena Ratih

Dewanti, Direktur Utama PT. Karya Dewata, yang membawahi sejumlah pasar swalayan dan

pusat perbelanjaan besar, akan memberi keterangan pers tentang aksi teror terhadap

perusahaannya.

Empat hari sebelumnya, sebuah bom meledak di salah satu pusat perbelanjaan besar

milik Ratih, sehingga menewaskan dua karyawan dan tiga pengunjung, serta melukai dua belas

orang lainnya. Ledakan itu, menurut penyelidikan polisi, diduga kuat adalah bom bunuh diri.

Dari keterangan para saksi mata, tersangka pelakunyaadalah Ahmad Mahdi, mantan

karyawan PT. Karya Dewata. Diduga, Mahdi mendendam karena beberapa bulan yang lalu,

perusahaan tidak memperpanjang masa kontrak kerjanya. Alasan perusahaan waktu itu, Mahdi

dianggap tidak berprestasi.

“Saudara-saudara sekalian! Mohon tenang, karena Ibu Ratih Dewanti telah hadir dan

acara akan kita mulai,” seru seorang staf Humas perusahaan, yang menjadi pembawa acara. Para

jurnalis pun segera duduk di jajaran kursi yang telah disediakan.

Ratih memasuki ruang dan langsung duduk di podium depan, di samping pembawa acara.

Wajahnya letih dan muram, kontras dengan perawakan tubuhnya yang agak gemuk dan sehat, di

usianya yang sudah hampir 50 tahun. Rambut Ratih bermodel potongan pendek. Tampaknya ia

termasuk orang tak suka berlama-lama di depan meja rias.

Page 2: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

2

Ratih memandang ke seputar ruangan sambil tersenyum tipis kepada para jurnalis. Ia

diam sejenak, menunggu redanya kilatan-kilatan cahaya lampu blitz dari jepretan kamera para

jurnalis. Sesudah pengantar singkat dari stafnya, Ratih menyampaikan terimakasih atas

kehadiran para wakil media massa.

“Pertama, atas nama pribadi dan selaku pimpinan PT. Karya Dewata, saya

menyampaikan rasa bela sungkawa yang sebesar-besarnya, atas jatuhnya korban jiwa dan

korban yang luka-luka, dalam serangan bom yang lalu. Kepada keluarga para korban, saya juga

berdoa, semoga mereka diberi ketabahan dan kesabaran menghadapi musibah ini,” ujarnya,

dengan suara tersendat.

“Saya juga telah menginstruksikan kepada staf saya, untuk mengganti seluruh biaya

pengobatan para korban yang luka-luka dan dirawat di rumah sakit. Kepada keluarga korban

yang tewas, kami juga akan memberi santunan ala kadarnya. Kami tahu, santunan ini tidak bisa

menggantikan anggota keluarga mereka yang meninggal, tetapi itulah yang bisa kami lakukan,”

lanjutnya.

Ratih lalu menuturkan kerusakan bangunan akibat ledakan bom dan nilai kerugiannya.

Juga, tentang rencananya untuk menutup sementara pusat perbelanjaan yang dibom tersebut,

sampai semua kerusakan diperbaiki dan ketenangan kerja pulih kembali. “Mungkin ada

pertanyaan dari rekan-rekan wartawan? Mohon menyebutkan nama dan dari media mana.”

Seorang gadis bertubuh tinggi dan berjaket Benetton merah, berdiri. “Saya Retno

Kedathon dari Trans TV. Tersangka pengebom, Ahmad Mahdi, diduga mendendam karena

merasa diperlakukan tak adil, dan kontraknya tak diperpanjang. Bagaimana sebenarnya perilaku

Mahdi, semasa masih bekerja di perusahaan Anda?” tanya gadis itu.

“Karyawan di perusahaan kami berjumlah ratusan. Tentu saya tak bisa mengenal mereka

satu-persatu secara pribadi. Namun, menurut laporan staf kami, kinerja Mahdi memang lamban,

sehingga kontraknya tak diperpanjang. Kami memperlakukan Mahdi dengan adil, dan tak

mengurangi haknya sedikit pun. Tapi dia memang tidak berprestasi. Apa boleh buat. Kami tak

bisa mempertahankannya.”

Page 3: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

3

“Ade Pepe dari Harian Warta Kota,” seorang jurnalis kurus mengangkat tangan. “Di

rumah kontrakan Mahdi, polisi menemukan buku-buku berisi ajaran radikal dan buku

berideologi kiri. Bahkan ditemukan sejumlah print-out dari Internet, tentang cara-cara merakit

bom. Apakah selama bekerja di perusahaan Ibu, Mahdi telah menganut atau menyebarkan

pandangan-pandangan radikal?”

“Hal itu pun, kami tak tahu. Sejauh laporan yang saya terima, Mahdi dikenal pendiam

dan tidak banyak bicara. Namun, sebagai bujangan, ia tidak banyak bergaul dengan rekan-rekan

kerjanya. Mungkin saja, ia telah menganut pandangan-pandangan radikal, namun persisnya kami

tak tahu.”

”Maaf, Bu Ratih,” kali ini seorang gadis lain menyela. Berkacamata minus dan

mengenakan jaket denim lusuh, ia tampak galak. “Saya Yunizar Junaid dari Majalah Gatra.

Beberapa minggu sebelum terjadi pengeboman, Ibu tercatat beberapa kali membuat pernyataan

di media massa, yang memuji dan mendukung pemerintah Amerika dalam perang melawan teror.

Grup perusahaan Ibu kabarnya juga menjalin kerjasama erat dengan perusahaan-perusahaan

Amerika. Apakah tidak mungkin, pengeboman ini berlatarbelakang sikap Ibu, yang oleh

sebagian kalangan dianggap sangat pro-Amerika tersebut?”

Ratih manggut-manggut. Tampaknya ia tidak terkejut dengan pertanyaan itu. “Terus

terang, saya memang mendukung penuh kebijakan perang melawan teror. Tetapi bukan karena

saya pro-Amerika. Lebih tepat jika disebut pro-kemanusiaan. Saya pikir, seluruh manusia

yang masih waras akan mendukung perang melawan teror. Kebetulan saja, Amerika

mempelopori kebijakan tersebut. Tentang bisnis dengan perusahaan Amerika, saya pikir tidak

ada yang salah dengan itu. Bukankah pemerintah kita juga menerima utang dari Amerika?”

***

Empat hari sebelum acara konferensi pers itu, dua pria bercakap-cakap pelan, di dalam

sebuah mobil Kijang berwarna lusuh, yang diparkir di tempat yang tidak mencolok. Pria yang

satu berumur 25 tahunan, dengan warna kulit pucat. Berwajah klimis dengan jenggot tipis, pria

itu tampak gelisah. Pria yang satu lagi berumur 40 tahunan, berkulit kehitaman dan berkumis

Page 4: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

4

agak kasar. Pria ini dengan tenang mengisap rokoknya dalam-dalam. Kontras dengan rekannya,

ia kelihatan amat tenang.

“Ayolah, Mahdi!” kata pria yang lebih tua. “Semua yang akan kita lakukan ini sudah kita

bicarakan panjang-lebar, jauh-jauh hari sebelumnya. Kenapa justru sekarang kamu jadi ragu-

ragu?”

Mahdi menggeleng-gelengkan kepala. “Saya tidak ragu, Bang Rizal. Cuma…”

”Cuma apa? Kita tahu, grup perusahaan Karya Dewata itu telah membuat kerusakan di

mana-mana. Pabriknya mencemarkan lingkungan di sana-sini. Keuntungannya besar, tetapi

karyawannya digaji kecil, bahkan bisa dibilang ditindas. Kamu sendiri diberhentikan begitu

saja dari perusahaan, bukan? Pemiliknya, Ratih, juga sangat pro-Amerika. Lihat saja ucapan-

ucapannya! Dia tak mau tahu atas penderitaan rakyat di Palestina, Irak, dan Afganistan karena

tindakan Amerika. Ratih dan perusahaannya adalah kepanjangan tangan Amerika dan Zionis di

negeri kita. Dia sangat berbahaya!” Rizal memberi penekanan pada tiap kata-katanya.

“Saya tahu, semua yang dikatakan Bang Rizal itu benar. Saya hanya belum yakin, paket

berisi mercon besar ini bisa efektif, untuk menakut-nakuti Ratih agar mengubah kebijakan di

grup perusahaannya.” Mahdi menatap Rizal, seperti minta kepastian.

“Aku yakin itu efektif. Sesuai rencana, kamu sekarang tinggal masuk ke pusat

perbelanjaan itu dengan paket yang sudah kusiapkan. Kutunggu kamu di sini. Setelah

kamu kembali, kita bersama-sama pergi dan menelepon ke pusat perbelanjaan itu. Kita katakan,

ada bom di sana. Jika grup perusahaan Ratih tidak mengubah kebijakannya, kita mengancam

akan serius mengebom cabang-cabang perusahaannya yang lain. Mudah, kan? Cara ini aman

buat kita, juga tak akan ada orang yang terluka. Bagaimana?”

Mahdi tercenung agak lama. Akhirnya, pelan-pelan kepercayaan dirinya bangkit.

“Baiklah, Bang. Saya siap sekarang,” ujarnya, lebih mantap.

Rizal tersenyum, menenangkan. “Nah, itulah yang kuharapkan. Jangan bimbang, Mahdi.

Semua yang kita lakukan ini adalah untuk kepentingan dan kebaikan semua orang. Saat ini, cuma

itulah sumbangan yang bisa kita berikan.”

Page 5: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

5

Rizal memberikan paket, yang sudah dibungkus rapi seperti kado, kepada Mahdi. Mahdi

menerimanya, dan kemudian melangkah ke pusat perbelanjaan. “Tunggu saya, Bang Rizal!”

ucapnya.

“Jangan khawatir. Pasti kutunggu.”

Rizal menunggu sampai Mahdi menghilang dari pandangan. Dari kejauhan, terlihat

Mahdi masuk ke pusat perbelanjaan tersebut. Tanpa ekspresi, Rizal mengeluarkan telepon

genggam dari sakunya. Ia menekan nomor-nomor tertentu, dan sesaat kemudian terdengar

ledakan dahsyat dari dalam pusat perbelanjaan itu.

Bumi terasa bergetar. Asap tebal terlihat mengepul ke luar, dan terjadi kebakaran kecil.

Suara jeritan-jeritan panik sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Paket itu tampaknya bukan

mercon biasa, seperti yang diduga Mahdi. Paket itu jelas adalah bom berkekuatan cukup besar,

yang diledakkan dari jauh lewat sinyal elektromagnetik dari telepon genggam tadi.

Rizal sejenak menatap suasana panik di pusat perbelanjaan itu, sebelum menghidupkan

mesin mobilnya, berbalik arah, dan tanpa tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.

***

Konferensi pers di kantor PT. Karya Dewata telah usai. Ratih berbasa-basi sejenak

dengan sejumlah jurnalis, sebelum mereka pergi. Ratih sempat memberi beberapa instruksi

kepada staf perusahaan, lalu masuk ke mobilnya. Ia perintahkan sopirnya untuk menuju ke

sebuah hotel berbintang. Ini hari yang melelahkan, dan ia ingin makan siang sendirian.

Mobil masuk ke hotel. Ratih menyuruh sopirnya menunggu dan beristirahat. Ia baru saja

melangkah menuju lobi hotel, ketika telepon genggamnya berdering pelan. Ratih mengangkat

teleponnya. “Hallo, apakah cuaca di Jakarta sedang mendung?” terdengar suara pria di saluran

telepon itu.

Sialan! Ratih mengutuk dalam hati. Kenapa setan satu ini menelepon di saat-saat begini?

“Cuaca di Jakarta cerah,” sahutnya. Ini kode di antara mereka, untuk mengatakan bahwa suasana

cukup aman untuk berkomunikasi secara bebas.

Page 6: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

6

“Sialan kau, Firman! Kan sudah kubilang, jangan hubungi aku dulu! Nanti pada saatnya,

aku yang akan menghubungimu,” maki Ratih.

”Tenang, Bu Ratih. Saya hanya sekadar mengecek perkembangan. Saya sekarang di

tempat yang aman. Bu Ratih tak bisa membayangkan, bagaimana lelahnya saya

berperan sekian lama sebagai Rizal. Membujuk Mahdi, agar mau membawa paket bom itu, juga

butuh teknik tersendiri. Soalnya, dia labil dan emosinya naik-turun. Tetapi, semua berakhir

seperti yang direncanakan. Mahdi sudah tewas. Tak ada saksi yang bisa menghubungkan bom itu

dengan saya, apalagi dengan Anda.”

Ratih mendengus. “Huh, aku sudah tahu itu.”

“Ide Bu Ratih, untuk menaruh buku-buku gerakan militan dan print-out teknik merakit

bom di rumah kontrakan Mahdi, benar-benar brilian! Bu Ratih bahkan berhasil menggalang

kondisi, dengan sengaja melontarkan pernyataan-pernyataan pro-Amerika di media massa

beberapa waktu lalu. Sementara ini, hal itu cukup memadai untuk menjelaskan motif dan cara

tindakan bom bunuh diri Mahdi. Pemberitaan media massa pun tampaknya menelan mentah-

mentah umpan kita.”

”Tutup mulutmu! Kau kubayar bukan untuk membuat analisis, tapi sekadar melakukan

tugas yang kuberikan.”

“Saya mengerti, Bu,” terdengar suara Firman tertawa. Nadanya sabar. “Omong-omong,

kapan bisa saya terima transfer uangnya? Saya berharap, tidak perlu menunggu sampai Bu Ratih

menerima bayaran klaim asuransi, atas ledakan bom di pasar swalayan tersebut. Saya tahu,

untuk klaim asuransi yang begitu besar, tentu prosesnya tidak bisa cepat.”

“Aku tak mau terlihat mencolok saat ini. Minggu depan akan kau terima bagianmu!”

“Terimakasih, Bu. Oh, ya. Apakah ada garapan lagi, yang bisa saya lakukan dalam waktu

dekat ini?”

”Brengsek! Tidak sekarang. Ini masih terlalu cepat. Kau akan kukontak lagi nanti.”

Page 7: TERORIS (Cerpen karya Satrio Arismunandar)

7

”Baik, Bu. Selamat siang!” Hubungan telepon pun diputus.

Ratih tercenung sesaat. Ia memasukkan telepon genggamnya ke saku, lalu dengan

perlahan meneruskan langkahnya ke kafe hotel. Ia merasa tak perlu terburu-buru. Masih cukup

waktu untuk menikmati makan siang. ***

Depok, Maret 2004

Catatan:

Cerpen ini saya tulis tahun 2003, lalu dikirim ke Harian Kompas. Tapi lalu dikembalikan. Cerpen

lalu direvisi dan dikirim ke Lomba cerpen Majalah Femina tahun 2004, tapi juga tidak menang.

Akkhirnya Cuma disimpan di blog dan di-share di sini.

Memang cerita ini cuma fiksi. Namun, pola teroris yang diceritakan di sini bukan tak mungkin

bisa terjadi di dunia nyata. Meminjam momen bom Bali II, cerpen ini saya share di milis.

Semoga ada gunanya dan memberi perspektif yang berbeda...

Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI

(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh

Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-

1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif

Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co

(sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus

pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:

E-mail: [email protected]; [email protected]

Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Mobile: 081286299061