Terapi Nutrisi Pada Pasien Bedah Anak
-
Upload
faqi-nurdiansyah -
Category
Documents
-
view
193 -
download
7
Transcript of Terapi Nutrisi Pada Pasien Bedah Anak
TERAPI NUTRISI PADA ANAK
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan nutrisi individu bervariasi sesuai dengan perbedaan genetik dan
metabolik. Namun, untuk bayi dan anak, tujuan dasar adalah pertumbuhan yang
memuaskan dan mencegah keadaan defisiensi. Nutrisi yang baik membantu mencegah
penyakit akut dan kronis dan mengembangkan kemampuan fisik dan mental; nutrisi
juga harus memberikan cadangan untuk stres.1
Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang terapi nutrisi, prevalensi gizi buruk
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, khususnya mereka yang memiliki klinis yang
berkepanjangan, sebagian besar tetap tidak berubah selama dua dekade terakhir.
Penyediaan terapi gizi yang optimal memerlukan penilaian yang hati-hati pada
kebutuhan energi dan pemberian unsur makro dan mikro melalui rute makan yang
paling cocok. Standar persamaan tersedia untuk memperkirakan kebutuhan energi telah
terbukti dapat diandalkan dalam populasi. Di samping itu, anak-anak dengan penyakit
kritis ditandai dengan katabolisme protein pada jaringan dan sering kekurangan terapi
gizi yang memadai. Akhirnya, rejimen gizi individual harus disesuaikan untuk setiap
anak dan ditinjau secara teratur selama perjalanan penyakit. Sebuah pemahaman dalam
kejadian metabolik yang menyertai penyakit dan pembedahan pada anak adalah
langkah pertama dalam melaksanakan terapi nutrisi yang tepat.2
II. RESPON METABOLIK TERHADAP STRES
Respon metabolik terhadap penyakit akibat stres seperti trauma, operasi, atau
peradangan telah dijelaskan dengan baik. Cuthbertson adalah penyidik pertama yang
menyadari peran utama bahwa katabolisme protein seluruh tubuh bermain pada respon
sistemik tehadap cedera. Berdasarkan hasil kerjanya, respon stres metabolik secara
konseptual dibagi menjadi dua tahap. Pada tahap awal singkat ini ditandai dengan
penurunan aktivitas enzimatik, penurunan konsumsi oksigen, curah jantung rendah, dan
suhu inti yang mungkin di bawah normal. Hal ini diikuti oleh fase aliran
hipermetabolik, ditandai dengan meningkatnya curah jantung, konsumsi oksigen, dan
produksi glukosa. Selama fase ini, mobilisasi lemak dan protein dimanifestasikan oleh
peningkatan ekskresi nitrogen pada urin dan kehilangan berat badan. Fase katabolik
dimediasi oleh lonjakan sitokin dan karakteristik respon endokrin terhadap trauma atau
operasi yang menghasilkan suatu peningkatan ketersediaan substrat yang penting untuk
penyembuhan dan meningkatkan produksi glukosa.2,3,4,5
Neonatus dan anak-anak memiliki respon terhadap penyakit metabolik yang
serupa dengan orang dewasa secara kualitatif, meskipun memiliki perbedaan signifikan
dalam hal kuantitatif. Respon metabolik terhadap stress menguntungkan dalam jangka
pendek, namun konsekuensi dari katabolisme berkelanjutan sangat penting karena anak
memiliki jaringan dan gizi substansial yang terbatas untuk pertumbuhan. Dengan
demikian, institusi yang tepat dalam terapi nutrisi merupakan prioritas pada neonatus
dan anak-anak yang sakit. Tujuan gizi dalam pengaturan ini adalah untuk menambah
keuntungan jangka panjang dari respon metabolik pediatrik terhadap cedera sementara
itu meminimalisasi konsekuensi jangka panjang. Secara umum, respon metabolik
terhadap stres ditandai dengan peningkatan dari degradasi protein pada jaringan otot
dan peningkatan dari pergerakan asam amino bebas melalui sirkulasi (Gbr. 1). Asam
amino ini berfungsi untuk menghambat sintesis cepat dari protein yang bertindak
sebagai mediator dalam respon inflamasi dan komponen struktural untuk perbaikan
jaringan. Asam amino yang tersisa disalurkan melalui hati di mana kerangka karbonnya
dimanfaatkan untuk membuat glukosa melalui proses glukoneogenesis. Pemberian diet
protein tambahan dapat memperlambat laju kehilangan protein tetapi tidak bisa
menghilangkan secara keseluruhan ketidakseimbangan protein yang terkait dengan
cedera.2
Pemecahan karbohidrat dan lemak juga meningkat selama respon metabolik
dari anak. Secara keseluruhan, kebutuhan energi dari anak yang sakit kritis atau cedera
diatur oleh keparahan dan persistensi dari penyakit atau cedera yang mendasari.
Penilaian akurat dari kebutuhan energi pada seorang pasien memungkinkan suplemen
1
kalori yang optimal dan menghindari efek buruk dari underfeeding dan overfeeding.
Anak-anak dengan penyakit yang kritis menunjukkan sebuah tampilan hormon dan
sitokin yang khas ditandai dengan meningkatnya level serum insulin, hormon katabolik
(glukagon, kortisol,katekolamin), dan sitokin spesifik yang diketahui berperan dalam
proses inflamasi.2
III. KOMPOSISI DAN CADANGAN NUTRISI PADA TUBUH
Komposisi tubuh anak berbeda dengan orang dewasa dalam beberapa hal yang
secara signifikan mempengaruhi persyaratan gizi.. Cadangan karbohidrat terbatas pada
semua kelompok usia dan hanya memberikan pasokan glukosa jangka pendek saat
digunakan. Walaupun demikian, neonatus memiliki kebutuhan yang tinggi terhadap
glukosa dan memiliki tingkat pergantian glukosa yang tinggi bila dibandingkan dengan
orang dewasa. Ini dianggap terkait dengan peningkatan rasio massa otak-tubuh dari
neonatus karena glukosa merupakan sumber energi utama untuk sistem saraf pusat.
Cadangan glikogen bahkan lebih terbatas pada masa postpartum dini, khususnya pada
bayi premature. Puasa jangka pendek dapat membuat bayi yang baru lahir menjadi
hipoglikemia. Jadi, ketika bayi dibebani dengan penyakit atau cedera, maka mereka
2
Gambar 1. Gambaran reaksi metabolik yang dihubungkan dengan respon stress pada anak terhadap penyakit yang berat dan cedera2
dengan cepat memecahkan cadangan protein untuk menghasilkan glukosa melalui
proses glukoneogenesis. Cadangan lemak yang rendah pada neonatus, berangsur-
angsur akan meningkat sesuai dengan usia. Bayi prematur memiliki proporsi cadangan
lemak terendah karena Sebagian besar asam lemak tak jenuh ganda menumpuk di
trimester ketiga. Hal ini membuat lemak menjadi kurang berguna sebagai sumber
bahan bakar pada anak-anak.1,2
Perbedaan paling dramatis antara pasien dewasa dan anak-anak adalah dalam
jumlah relatif protein yang disimpan. Cadangan protein pada orang dewasa hampir dua
kali lipat dari bayi. Jadi, bayi tidak boleh kehilangan jumlah protein yang signifikan
selama sakit yang lama atau cedera. Sebuah fitur penting dari respon metabolik
terhadap stres, tidak seperti dalam kelaparan, adalah bahwa ketentuan diet glukosa
tidak menghentikan glukoneogenesis. Akibatnya, katabolisme dari protein otot untuk
menghasilkan glukosa tidak berlanjut. Neonatus dan anak-anak juga membutuhkan
kebutuhan dasar energi jauh lebih tinggi. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pengeluaran energi istirahat untuk neonatus adalah dua sampai tiga kali dari orang
dewasa berdasarkan standar berat badan. Sangat jelas, kebutuhan anak untuk tumbuh
dan berkembang merupakan komponen besar dari peningkatan kebutuhan energi.
Selain itu, luas permukaan tubuh yang relatif besar dari anak kecil dapat meningkatkan
kehilangan panas dan selanjutnya memberikan kontribusi dalam peningkatan
pengeluaran energi.2
Sebagai ilustrasi, ketentuan protein yang direkomendasikan untuk neonatus
hampir tiga kali lipat dari orang dewasa. Pada bayi prematur, sebuah penjatahan protein
minimal 2,8g/ kg/hari diperlukan untuk mempertahankan pertumbuhan di dalam rahim.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan cadangan gizi yang terbatas dari terapi awal
nutrisi untuk bayi pada saat cedera traumatis dan penyakit kritis untuk menghindari
konsekuensi gizi yang tak diinginkan.2
IV. EVALUASI NUTRISI
3
Evaluasi nutrisi dilakukan secara terintegrasi dengan melakukan anamnesis
nutrisi, pemeriksaan fisis, pengukuran antropometrik, dan pemeriksaan laboratorium.
Secara umum, anamnesis nutrisi sangat membantu dalam membuat rencana pemberian
nutrisi nantinya yang akan disesuaikan dengan keadaan penyakit pasien. Selain itu,
anamnesis juga penting dalam mengidentifikasi mekanisme yang membuat pasien
berisiko mengalami defisiensi nutrisi maupun permasalahan malnutrisi sehingga dapat
diantisipasi.6
Pemeriksaan fisik berkaitan dengan nutrisi penting dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya defisiensi maupun kelebihan zat gizi tertentu seperti vitamin,
mineral, protein, dan energi.6
Pengukuran antropometrik dilakukan untuk menilai status gizi pasien.
Antropometri sangat sering digunakan karena merupakan metode yang tidak
mengeluarkan banyak biaya,, dan mudah diaplikasikan pada semua pasien, terutama
pada pasien anak. Selain itu, penggunaan antropometri sangant bermanfaat karena
konstan dan tidak berubah dengan cepat. Terdapat berbagai macam cara untuk menilai
status gizi, dan di antaranya yang paling sering adalah dengan menghitung indeks
massa tubuh (IMT), yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m2).
Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel berikut.6,7
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT 6
IMT Status Gizi< 18,5 kg/m2 Underweight (kurang)18,5 – 22,9 kg/m2 Normal23 – 24,9 kg/m2 Overweight (lebih)25 – 29,9 kg/m2 Obese I> 30 kg/m2 Obese II
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan informasi status gizi yang
dibutuhkan. Beberapa pemeriksaan yang penting dilakukan khususnya untuk pasien
bedah saraf terkait status nutrisi antara lain serum albumin, serum prealbumin, serum
transferin atau TIBC (total iron binding capacity) yang dapat menilai protein viseral
dalam tubuh, dan nitrogen urea urin (UUN) 24 jam yang dapat menilai tingkat
4
katabolisme protein, serta BUN (blood urea nitrogen) yang digunakan untuk menilai
intake protein.6,7
V. KEBUTUHAN NUTRISI
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengukur kebutuhan cairan dan
nutrisi pada pasien anak. Tetapi tidak semuanya selalu mendapatkan hasil yang sangat
akurat. Pada anak yang sakit memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dibandingkan
dengan anak yang sehat. Kebutuhan kalori, air, asam amino, elektrolit, mineral,
vitamin, dan trace elemen pada bayi dan anak terdapat pada tabel 2 dan 3.4,7,8
Tabel 2. Kebutuhan perhari pada anak dengan nutrisi parenteral (per kg BB).7
< 10 kg 11 to 20 kg >21 kg
Air
Kalori
Asam Amino*
130 mL
100 kal
2.5 g
90-100 mL
90 kal
2.0 g
70-90 mL
80 kal
1.5 g
*gagal ginjal – 0.5 g; gagal hati – 0.5 g; luka bakar – 3.5 g; prematur – 3.5
to 4.0 g tergantung dari umur gestasi
,Tabel 3. Kebutuhan elektrolit, trace elemen, dan vitamin perhari
(perkg BB) 7
Sodium Potassium Magnesium Calcium Phosphorous Zinc Copper Iron Vitamin A Vitamin C Vitamin D Vitamin E Vitamin B1 (thiamine) Vitamin B2 (riboflavine) Vitamin B3 (niacine) Vitamin B5 (pantothenic acid) Vitamin B6 (pyridoxine)
3-5 mEq3-5 mEq0.3-0.5 mEq2-4 mEq (preterm, 4-6 mEq)1-2 mEq150-200 mg (preterm 400-600 mg)10-20 mg1 mg233 units6 mg66 units0.66 units0.055 mg0.07 mg0.9 mg0.3 mg
5
Biotine (vitamin B7) Folic acid (vitamin B9) Vitamin B12 (cyanocobalamine)
0.05 mg30 mg8 mg0.04 mg
Kebutuhan Kalori
Perhitungan kebutuhan kalori dapat memakai kalorimetri baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pemakaian kalorimetri secara langsung sangat kompleks dan
mahal, karenanya sangat jarang dilakukan di klinik. Pada kalorimetri tidak langsung
diperhitungkan produksi panas yang dihasilkan oleh pemakaian O2 serta pengeluaran
CO2.1,4,7,8
Perhitungan kebutuhan kalori pada anak yang mengalami operasi atau dalam
keadaan stress sebaiknya tidak memakai RDA, karena sering terlalu tinggi. Sebaiknya
memakai standar Basal Energy Expenditure (BEE), yang dapat dihitung melalui rumus
BMR atau dengan daftar table BEE.
Perhitungan kebutuhan energi dapat pula memakai rumus Harris-Benedict 4,7,8
- BMR = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB – 6,8 x umur) (anak laki-laki)
- BMR = 655 + (9,6 x BB) + (1,7 x TB – 4,7 x umur) (anak perempuan)
BMR = Basal Metabolic Rate TB = Tinggi BadanUmur dalam tahun BB = Berat Badan
BEE = BMR + 10%
Dalam persamaan tersebut, berat badan yang digunakan adalah berat badan
aktual, bukan berat badan ideal. Hal ini bertujuan untuk mencegah komplikasi
pemberian nutrisi yang berlebihan. Akibat dari overfeeding tersebut antara lain
refeeding syndrome, azotemia, dehidrasi hipertonik, asidosis metabolik, hiperkapnia,
hiperglikemia, hiperlipidemia, dan steatosis hepatik.9
Setelah mengetahui BEE, maka kebutuhan kalori aktual ditetapkan dengan mengalikan
BBE dengan nilai suatu faktor stress (Tabel 4).4,7
Tabel 4. Kebutuhan kalori dengan faktor stressor
6
Faktor Kebutuhan kalori (kcal/hari)Bedah minor BEE x 1,1Infeksi, bedah mayor BEE x 1,2Fraktur BEE x 1,35Luka bakar >20%, fraktur multiple BEE x 1,5Sepsis, MSOF, ARDS BEE x 1,6 – 1,8
Kebutuhan Protein
Asam amino adalah zat penyokong utama yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan perbaikan jaringan. Sebagian besar (98%) ditemukan dalam protein yang ada, dan
sisanya berada pada kelompok asam amino bebas. Protein terus terdegradasi menjadi
asam amino dan sintesis kembali melalui proses pergantian protein. Namun, proses
pergantian protein memerlukan energi untuk mendegradasi dan mensintesis protein.
Pada awalnya, bayi diketahui memiliki tingkat pergantian protein yang lebih tinggi dari
orang dewasa. Bayi baru lahir yang sehat memiliki kadar omset protein 6 sampai 12 g /
kg / hari dibandingkan dengan 3,5 g / kg / hari pada orang dewasa. Bahkan tingkatan
lebih besar dari omset protein telah diukur pada bayi prematur dan bayi berat lahir
rendah. 1,2
Pada pasien dengan stress metabolik, seperti anak dengan luka bakar yang parah
atau kegagalan kardiorespirasi yang memerlukan ECMO, omset protein dua kali lipat
bila dibandingkan dengan yang di orang normal. Kehilangan protein dapat dilihat pada
peningkatan kadar nitrogen yang diekskresikan dari urin selama sakit kritis. Sebagai
contoh, bayi dengan sepsis menunjukkan peningkatan dari penurunan kadar nitrogen
dalam urin yang dihubungkan dengan derajat sakitnya. Secara klinis, kehilangan
protein yang besar dapat dilihat dari mengecilnya otot rangka, penurunan berat badan,
penyembuhan luka yang lambat , dan kekebalan tubuh yang menurun. Sebagai
tambahan, protein dalam prioritasnya untuk memperbaiki jaringan, penyembuhan luka
dan inflamasi, tubuh tampaknya membutuhkan peningkatan kebutuhan produksi
glukosa pada saat terjadi stress metabolik. Tingkat glukoneogenesis yang cepat selama
sakit dan cedera terlihat pada anak dan orang dewasa, dan proses ini tampaknya
ditekankan pada bayi dengan berat badan yang rendah. Peningkatan produksi glukosa
7
selama sakit diperlukan, karena glukosa merupakan sumber energi yang serbaguna
untuk jaringan yang sedang dalam respon inflamasi.2
Asam amino yang spesifik diangkut dari otot ke hati untuk memfasilitasi
produksi glukosa hati. Tahap awal dari katabolisme asam amino melibatkan
pemindahan kelompok amino yang beracun (NH3). Melalui transaminasi, gugus amino
dipindahkan ke α-ketoglutarate, sehingga menghasilkan glutamat. Penambahan gugus
amino yang lain mengkonversi glutamat menjadi glutamin, yang kemudian diangkut ke
hati. Di sini, amino dikeluarkan dari glutamin dan didetoksifikasi menjadi urea melalui
siklus urea. Kerangka karbon asam amino kemudian bisa masuk ke jalur
glukoneogenesis atau dalam otot rangka, gugus amino dapat ditransfer ke piruvat,
sehingga membentuk asam amino alanin. Ketika alanine ini diangkut ke hati dan
didetoksifikasi, piruvat dibentuk kembali dan dapat dikonversi menjadi glukosa melalui
glukoneogenesis. Pengangkutan alanin dan piruvat antara jaringan otot perifer dan hati
disebut sebagai siklus glukosa-alanine. Oleh karena itu sistem transportasi yang
melibatkan asam amino glutamin dan alanin menyediakan karbon pada proses
glukoneogenesis yang sementara mendetoksifikasi amonia pada siklus urea di hati.2
Peningkatan katabolisme protein otot berhasil pada adaptasi jangka pendek
selama sakit kritis tetapi terbatas dan pada akhirnya berbahaya bagi pasien anak-anak
dengan cadangan protein yang berkurang dan kebutuhan protein tinggi. Tanpa
menghilangkan faktor stress, kerusakan progresif dari diafragma, jantung, dan otot
rangka dapat mengakibatkan gagal pernapasan, aritmia yang fatal, dan kehilangan masa
tubuh. Selain itu, keseimbangan protein yang buruk bila berkepanjangan mungkin
memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada
normalnya, bayi yang tidak dalam keadaan stres memerlukan keseimbangan protein
sekitar 2 g/kg/hari. Sebaliknya, pada sakit kritis, bayi prematur yang membutuhkan
ventilasi mekanis memiliki keseimbangan protein sekitar -1 g/kg/hari. Bayi kritis yang
memerlukan ECMO memiliki tingkat yang sangat tinggi dalam kehilangan protein,
dengan total keseimbangan protein -2,3 g / kg / hari. Telah terbukti bahwa tingkat
katabolisme protein berhubungan dengan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas
pada pasien bedah.2
8
Untungnya, suplemen asam amino cenderung untuk meningkatan retensi
nitrogen dan memperbaiki keseimbangan protein pada pasien yang sakit kritis.
Mekanisme ditunjukkan melalui peningkatan sintesis protein sementara tingkat
degradasi protein yang tetap konstan. Oleh karena itu, penyediaan diet protein yang
cukup untuk mengoptimalkan sintesis protein, memfasilitasi penyembuhan luka dan
proses inflamasi, dan menjaga massa otot rangka adalah satu-satunya hal yang paling
penting dalam intervensi gizi pada anak yang sakit kritis. Jumlah protein yang
dibutuhkan untuk meningkatkan kebutuhan protein pada anak-anak yang dirawat di
rumah sakit lebih besar daripada anak-anak yang sehat. Kasus yang ekstrim pada stres
fisiologis, termasuk anak dengan luas luka bakar atau bayi dengan ECMO, mungkin
memerlukan tambahan suplemen protein untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Perlu
dicatat bahwa toksisitas dari protein yang berlebihan sudah pernah dilaporkan,
khususnya pada anak dengan gangguan ginjal dan fungsi hati. Pemberian protein pada
tingkat yang lebih besar dari 3 g / kg /hari jarang diindikasikan dan sering terkait
dengan azotemia. Pada bayi prematur, efek yang mungkin bermanfaat dari jatah protein
3,0 menjadi 3,5 g / kg / hari sedang aktif diselidiki dalam upaya untuk meniru tingkat
pertumbuhan intrauterine. Studi ketentuan penggunaan protein 6 g / kg / hari pada
anak-anak menunjukkan morbiditas yang signifikan, termasuk azotemia, pireksia,
strabismus, dan IQ yang rendah.1,2
Selain jumlah yang cukup dari diet protein, kualitas protein juga harus
difokuskan pada terapi gizi. Yang diketahui bahwa bayi memiliki kebutuhan asam
amino esensial yang meningkat per kilogramnya jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Secara khusus, bayi memiliki jalur biosintetik yang immature yang mungkin
untuk sementara dapat mengubah kemampuan mereka untuk mensintesis asam amino
spesifik. Salah satu contohnya adalah asam amino histidin, yang telah terbukti menjadi
asam amino esensial yang kondisional pada bayi sampai usia 6 bulan. Data terakhir
menunjukkan bahwa kapasitas sistein, taurin, dan prolin mungkin juga terbatas pada
bayi premature. Hal yang juga telah diperhatikan yaitu pada penggunaan arginin
sebagai "immunonutrient" untuk meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh pada
pasien yang sakit kritis. Meskipun tidak dapat dipungkiri studi terdahulu menunjukkan
9
bahwa suplemen arginin dapat mengurangi risiko komplikasi infeksi, keamanan dan
kemanjuran pada populasi anak-anak.2
Penyediaan yang terbatas dari asam amino sistein mungkin memiliki relevansi
klinis pada anak yang sakit kritis. Sistein adalah substrat yang diperlukan dalam
produksi glutathione, antioksidan utama tubuh. Pada anak yang sakit kritis, omset
sistein meningkat signifikan. Pada saat yang sama, tingkat sintesis glutathione
mengalami penurunan sebesar 60%. Dengan cara ini, sistein dapat menjadi asam amino
kondisional esensial pada anak yang sakit.1,2
Glutamin merupakan asam amino yang telah dipelajari secara ekstensif baik
pada pasien anak-anak dan dewasa di ICU. Glutamin merupakan sumber asam amino
yang penting untuk glukoneogenesis, produksi energi pada pencernaan, dan
detoksifikasi amonia. Pada orang sehat, glutamin adalah asam amino nonesensial,
meskipun telah dihipotesiskan bahwa glutamin dapat menjadi esensial pada pasien
kritis. Karena sulit untuk menjaga glutamin larut dalam larutan, formulasi TPN standar
tidak memasukkan glutamin dalam campuran asam amino. Meskipun data sebelumnya
dari suplementasi glutamin dalam pengaturan klinis sangat menggembirakan, banyak
masalah dari studi metodologi telah tercatat. Yang diharapkan kedepannya, diperlukan
percobaan secara acak untuk menentukan kegunaan yang sepenuhnya baik pada orang
dewasa dan anak-anak. 2,7
Kebutuhan Karbohidrat
Produksi dan ketersediaan glukosa merupakan prioritas dalam respon
metabolisme terhadap stres pada anak. Glukosa merupakan sumber energi utama bagi
eritrosit, otak, dan ginjal serta digunakan secara luas dalam respon inflamasi. dan orang
dewasa yang cedera dan sepsis menunjukkan tiga kali lipat peningkatan omzet glukosa,
oksidasi glukosa, dan glukoneogenesis. Peningkatan ini menjadi perhatian khusus pada
neonatus yang memiliki omset glukosa yang tinggi. Selain itu, cadangan glikogen
hanya memberikan pasokan endogen terbatas dari glukosa pada orang dewasa dan
cadangan yang lebih kecil pada neonatus. Dengan demikian, neonatus yang sakit kritis
memiliki kebutuhan glukosa yang lebih besar dan cadangan glukosa yang berkurang.2
10
Dahulu, rejimen terapi nutrisi untuk pasien kritis menggunakan sejumlah besar
glukosa dalam upaya untuk mengurangi produksi glukosa endogen. Sayangnya,
kelebihan glukosa meningkatkan produksi CO2, menimbulkan fatty liver, dan
menghasilkan tidak adanya pengurangan pergantian glukosa endogen. Oleh karena itu,
kelebihan karbohidrat dapat meningkatkan beban ventilasi pada pasien sakit yang
kritis. Pasien dewasa di ICU makan dengan TPN tinggi glukosa menunjukkan 30%
peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan 57% pada produksi CO2, dan elevasi 71%
ventilasi per menit. Pada bayi sakit kritis, konversi kelebihan glukosa menjadi lemak
juga telah berkorelasi dengan peningkatan produksi CO2 dan frekuensi pernafasan
yang lebih tinggi. Selain itu, penyediaan karbohidrat yang berlebihan dapat berperan
dalam pembentukan TPN yang terkait dengan cedera hati kolestasis. Akhirnya,
beberapa data pada neonatus yang sakit kritis menunjukkan bahwa kelebihan
karbohidrat bertolak belakang dengan peningkatan pemecahan protein di jaringan.1,2
Administrasi dari diet kalori yang tinggi (beban glukosa) pada fase awal
penyakit kritis dapat memperburuk hiperglikemia, peningkatan CO2 dengan
meningkatkan beban pada sistem pernafasan, meningkatkan hiperlipidemia yang
dihasilkan dari lipogenesis yang meningkat, dan hasil dari keadaan hiperosmolar.
Laporan terakhir menghubungkan hiperglikemia dengan peningkatan mortalitas dan
membuat peran insulin yang membantu kontrol glikemik ketat dalam meningkatkan
hasil pada dewasa yang sakit kritis. Penurunan 43% yang luar biasa pada mortalitas
dilaporkan pada pasien pasca bedah jantung pada seorang pasien dewasa di ICU
dengan menerapkan kontrol glikemik yang ketat (Kadar glukosa darah arteri di bawah
110 mg / dL) menggunakan insulin intravena pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan pasien dalam kelompok kontrol (glukosa darah rata-rata tingkat 150-160 mg /
dL). 2
Kebutuhan Lemak
Seiring dengan metabolisme karbohidrat dan protein, omset lemak umumnya
meningkat pada pasien anak yang sakit kritis, operasi besar, dan trauma. Selama fase
pasang surut awal, tingkat trigliserid awalnya dapat meningkat yang ditunjukkan pada
11
laju metabolisme lemak yang menurun. Selama ini, pasien dewasa sakit yang kritis
menunjukkan peningkatan pemecahan lemak dua sampai empat kali lipat . Baru-baru
ini, anak yang sakit kritis dengan ventilasi mekanik telah meningkatkan oksidasi asam
lemak. Metabolisme lemak meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat keparahan
penyakit. Proses dari omset lipid melibatkan konversi asam lemak bebas dan gliserol ke
dalam, dan hidrolitik pembelahan dari, trigliserida. 30-40% dari asam lemak bebas
yang teroksidasi untuk energi. Nilai RQ dapat menurun selama sakit, mencerminkan
peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Hal ini menunjukkan bahwa
asam lemak adalah sumber energi utama pada pasein anak yang mengalami stress
metabolik. Selain kaya pasokan energi dari substrat lemak, gugus gliserol yang berasal
dari trigliserida dapat dikonversi menjadi piruvat dan digunakan untuk memproduksi
glukosa. Seperti terlihat pada perubahan katabolik lain yang terkait dengan penyakit
dan trauma, penyediaan diet glukosa tidak mengurangi omset asam lemak pada saat
sakit. Peningkatan kebutuhan pada penggunaan lemak pada pasien dengan penyakit
yang kritis ditambah dengan cadangan lemak yang terbatas pada bayi membuat risiko
stres metabolik yang tinggi untuk peningkatan defisiensi asam lemak esensial.1,2,4
Bayi prematur telah ditunjukkan untuk mengembangkan bukti biokimia dari
kekurangan asam lemak esensial 2 hari setelah inisiasi regimen gizi lemak bebas. Pada
manusia, asam lemah tak jenuh linoleat dan asam linolenat dianggap asam lemak yang
penting karena tubuh tidak dapat memproduksi mereka melalui desaturasi asam lemak
lainnya. Asam linoleat digunakan oleh tubuh untuk mensintesis asam arakidonat,
sebuah perantara penting dalam sintesis prostaglandin. Golongan prostaglandin
termasuk leukotrien dan tromboksan, semua yang berfungsi sebagai mediator dalam
proses permeabilitas vaskular, reaktivitas otot polos, dan agregasi trombosit. Jika
seseorang kekurangan asam linoleat, pembentukan asam arakidonat (tetraene, dengan
empat ikatan ganda) tidak dapat terbentuk dan asam eicosatrienoic (A triene, dengan
tiga ikatan ganda) terakumulasi pada tempatnya. Secara klinis, profil asam lemak dapat
diketahui melalui serum manusia. Triene-to-tetraene yang rasionya lebih besar dari 0,4
merupakan karakteristik biokimia dari kekurangan asam lemak esensial, meskipun nilai
ini agak variabel dan tergantung pada uji laboratorium spesifik yang digunakan. Tanda-
12
tanda kekurangan asam lemak yaitu dermatitis, alopecia, trombositopenia, peningkatan
kerentanan terhadap infeksi, dan secara keseluruhan kegagalan untuk berkembang.
Untuk menghindari kekurangan asam lemak esensial pada neonatus, pemberian asam
linoleat dan linolenat direkomendasikan dengan konsentrasi masing-masing 4,5% dan
0,5% dari kalori total. Selain itu, beberapa bukti menunjukkan bahwa asam lemak
rantai panjang dokosaheksaenoat acid (DHA), turunan dari asam linolenat, mungkin
juga kekurangan pada bayi prematur dan bayi yang diberi susu formula. Saat ini, uji
klinis secara aktif mencari dalam menentukan apakah suplementasi dari asam lemak
tak jenuh ganda rantai panjang akan memberikan manfaat klinis pada populasi.2
Solusi lipid parenteral juga membatasi kebutuhan penyediaan glukosa yang
berlebihan. emulsi lemak ini memberikan kuantitas energi yang lebih tinggi per
gramnya daripada glukosa (9 kkal / g vs 4 kkal /g). Hal ini mengurangi tingkat produksi
CO2, nilai RQ, dan kejadian steatosis hati. Beberapa risiko harus dipertimbangkan
ketika memulai pemberian lemak intravena pada pasien. Ini termasuk
hipertrigliseridemia, peningkatan risiko infeksi, dan penurunan kapasitas difusi oksigen
-alveolar. Sebagian besar institusi, Oleh karena itu, memulai ketentuan lemak pada
anak-anak pada 0,5-1,0 g / kg / hari dan meningkat 2 sampai 4 g / kg /hari. Selama
waktu ini, kadar trigliserida dimonitor erat. Pemberian lemak umumnya dibatasi 30%
sampai 40% dari asupan kalori total dari anak yang sakit dalam upaya untuk
menghindarkan disfungsi kekebalan tubuh, meskipun praktik ini belum divalidasi
dalam percobaan formal.2
Dalam pengaturan puasa atau diabetes mellitus yang tidak terkontrol,
percepatan produksi glukosa menghabiskan hepatosit yang dibutuhkan sebagai
perantara dalam siklus asam sitrat. Ketika ini terjadi, asetil-koenzim A (CoA) yang
dihasilkan dari pemecahan asam lemak tidak bisa masuk ke siklus asam sitrat.
Sebaliknya, ia membentuk badan keton acetoacetate dan β-hidroksibutirat. Badan-
badan keton yang dirilis oleh hati untuk jaringan extrahepatic, khususnya otot, rangka
dan otak, dimana mereka dapat digunakan untuk memproduksi energi seperti halnya
glukosa. Selama sakit, bagaimanapun, pembentukan keton relatif dihambat secara
sekunder untuk meningkatkan level serum insulin. Oleh karena itu, pada pasien bedah,
13
badan keton tidak signifikan menggantikan kebutuhan glukosa dan tidak memainkan
peran penting dalam pengelolaan metabolisme dari respon stress metabolik.2
Selain berperan dalam terapi gizi, asam lemak sangat berpengaruh pada proses
inflamasi dan kekebalan tubuh dengan mengubah mediator lemak dan protein inflamasi
dan tanda-tanda koagulasi protein. Setelah dikonsumsi, asam lemak omega-6 dan
omega-3 dimetabolisme oleh serangkaian enzim desaturase dan elongase yang
mengubah mereka menjadi-membran terkait asam lemak arakhidonat,
asameicosapentaenoic (EPA), dan docosahexaenoic (DHA). Pergantian komponen
intralipid TPN (kaya asam lemak omega-6 proinflamasi) dengan minyak ikan (sumber
asam lemak omega-3) dapat mengurangi beberapa efek toksik jangka panjang nutrisi
parenteral pada hati. Efek yang menguntungkan dari asam lemak omega-3 telah
dibuktikan pada hewan dan manusia. Asam lemak omega-3 memiliki efek anti-
inflamasi, dengan menurunkan produksi sitokin yang telah ditunjukkan pada beberapa
percobaan. Baru-baru ini, omega-3 yang tersedia secara komersial untuk asam lemak
parenteral telah digunakan pada anak-anak dan membuahkan hasil.2
Kebutuhan Vitamin, Mineral, dan Trace Element
Vitamin dan trace element berperan dalam metabolisme, penyembuhan luka,
dan sistem imun. Vitamin merupakan zat gizi yang esensial dalam makanan sebab
hampir semua vitamin tidak dapat disintesis sendiri dari dalam tubuh. Vitamin terbagi
atas dua yaitu vitamin yang larut lemak (vitamin A, D, E, dan K) dan vitamin yang
larut air (B, C, asam folat).10,11
Vitamin yang larut lemak terutama berfungsi dalam penyembuhan luka dan
sistem imun, sementara vitamin yang larut air terutama B12 berperan dalam
pembentukan dan transfer energi serta metabolisme asam amino dan asam nukleat.
Trace element yang penting antara lain zat besi, zink, copper, chromium, mangan,
selenium, dan iodine. Sementara mineral yang penting antara lain kalsium, fosfor, dan
magnesium.10,11
14
VI. JALUR PEMBERIAN NUTRISI
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan cara pemberian
nutrisi pada anak yang sakit. Disamping pertimbangan medic dengan berbagai
resikonya perlu pula dipertimbangkan aspek ekonominya.4,12,13
Ada dua jalur cara pemberian intervensif nutrisi:
1. Enteral dengan memakai pipa yang berdasarkan tempat masuknya dapat berupa
Orogastrik, Nasogastrik-nasoduodenal, & Gastrotomi, duodenostomi,jejunostomi
2. Parenteral
Nutrisi Enteral
Selama gastrointestinal masih berfungsi dengan baik, nutrisi enteral tetap
merupakan pilihan utama dibandingkan dengan parenteral. Keuntungan pemberian
nutrisi enteral dibandingkan parenteral : 4,12,13,14
- Merupakan alur fisiologis
15
Gambar 2. Algoritme cara pemilihan pemberian nutrisi intervensif 10
- Memberikan efek tropik pada GI, yang mencegah terjadinya atrofi usus serta
mencegah terjadinya translokasi mikroba
- Mencegah komplikasi metabolic dan infeksi
- Dapat menjaga fungsi hepar
- Mempermudah pengaturan kebutuhan cairan dan elektrlolit
- Dapat memberikan nutrisi secara lengkap dan lebih murah
Dengan cara ini fungsi serta mukosa usus tetap dapat dipertahankan, serta dapat
mencegah translokasi dari bakteri intramural.4
Pemberian nutrisi enteral dengan kecepatan tetap (Constant Rate Enteral
Nutrition/CREN) dapat menyebabkan pengosongan lambung secara tetap. Kecepatan
yang diberikan sebaiknya tidak melebihi 3kcal/menit. Kecepatan yang berlebihan dapat
menyebabkan muntah. Jenis pipa yang dipakai pada pemberian enteral yaitu
Polyvinylchloride (PVC), Silicone, dan Polyurethane.4
Nutrisi yang dapat diberikan secara enteral bisa berupa susu formula (PASI),
formula yang memang khusus untuk nutrisi enteral, nutrisi suplemen. Dalam
mempertimbangkan pemakainya harus diperhatikan : kandungan energinya,
osmolalitas, serta bahan-bahan yang dapat menimbulkan intoleransi. Pemilihan rute
nutrisi enteral tergantung dari kondisi penderita, serta rencana lamanya pemberian
nutrisi enteral. Dapat diberikan secara:4,12,13,14
Nasogastric (NG) atau orogastric (OG), pada umumnya untuk pemberian jangka
pendek (kurang dari 3 bulan)
Gastrostomy (melalui pembedahan atau Percutaneus Endoscopic Gastrostomy)
Transpyloric, terutama baik pada penderita trauma kepala, atau mereka dengan
muntah yang dikhawatirkan akan terjadi aspirasi
Selanjutnya perlu pula ditetapkan apakah nutrisi enteral akan diberikan secara kontinyu
(continous feeding) ataukah intermitten (intermittent tube feeding).4
Tabel 5. Pedoman pemberian Continous Tube Feeding 4
Berat badan sesuai Umur
Tetesan Awal Penambahan Tetesan/hari
Kecepatan yang harus dicapai
2,0 – 15 kg 2 – 15 cc/jam 2 – 15 cc/jam 15 – 55 cc/jam
16
(1cc/kg/jam) 1cc/kg16 – 30 kg 8 – 25 cc/jam
(0,5-1cc/kg/jam)8 – 16 cc/jam(0,5 cc/kg)
45 – 90 cc/jam
30 – 50 kg 15 – 25 cc/jam(0,5 cc/kg/jam)
15 – 25 cc/jam(0,5 cc/kg)
70 – 130 cc/jam
>50 kg 25 cc/jam 25 cc/jam 90 – 150 cc/jam
Tabel 6. Pedoman pemberian Intermitten Tube Feeding 4
Berat badan sesuai Umur
Tetesan Awal Penambahan Tetesan/hari
Kecepatan yang harus dicapai
2,0 – 15 kg 5 – 30 cc/ 3-4 jam 5 – 30 cc/ 6-8 jam 50 – 200 / 4 jam12 – 30 kg 20 – 60 cc/ 4 jam 20 – 60 cc/6-8 jam 150 – 350 cc/ 4jam>30 kg 30 - 60 cc/ 4 jam 30 – 60 cc/6-8 jam 240 – 400 cc/ 4jam
Singkatnya, nutrisi enteral harus dimulai pada anak sejak awal dirawat di rumah
sakit dengan gerak peristaltik yang tetap. Nutrisi enteral postpyloric dapat diberikan
pada anak-anak yang memiliki risiko tinggi terjadinya aspirasi atau ada kontraindikasi
atau gagal dalam pemberian melalui lambung. Pemberian nutrisi enteral untuk
memenuhi kebutuhan gizi pada anak-anak yang sakit kritis dengan sistem
gastrointestinal yang fungsional dan memiliki keuntungan dari biaya rendah,
pengelolaan, keselamatan, dan pemeliharaan hati dan fungsi gastrointestinal lainnya.
Pemberian nutrisi enteral secara dini pada pasien kritis membantu untuk mencapai
keseimbangan protein dan energi serta mengembalikan keseimbangan nitrogen selama
fase akut. Hal ini memelihara usus dan memicu pelepasan faktor dan hormon
pertumbuhan yang menjaga fungsi dan keutuhan usus. 2,14
Nutrisi Parenteral
Total Parenteral Nutrition (TPN) melewati usus dan menyediakan administrasi
intravena dari makronutrien dan mikronutrien untuk memenuhi kebutuhan gizi. TPN
ditujukan pada anak-anak yang tidak mampu mentolerir makanan enteral untuk jangka
waktu lama. Nutrisi parenteral mungkin bisa menjadi tambahan dan bisa juga sebagai
17
pengganti dari nutrisi enteral. Meskipun luas dalam aplikasinya, TPN dikaitkan dengan
komplikasi mekanik, infeksi, dan metabolik dan oleh karena itu hanya boleh digunakan
pada pasien yang dipilih secara hati-hati. Dalam pengaturan fungsi pencernaan, TPN
tidak diindikasikan jika nutrisi enteral sendiri sudah dapat mempertahankan gizi. 2,3,15
Keputusan untuk memulai TPN didasarkan pada diantisipasi dari puasa yang
panjang, yang mendasari status gizi individu, dan pemeriksaan yang hati-hati dari
risiko yang terkait dengan penggunaan TPN sehubungan dengan konsekuensi dari
asupan gizi yang buruk. Jika masa dimana akan ada minimal atau tidak ada nutrisi
enteral lebih dari 5 hari, penggunaan TPN mungkin bermanfaat. Pada anak-anak
dengan kekurangan gizi, prematur, atau kondisi terkait dengan hipermetabolisme, TPN
dapat dimulai lebih awal. Faktor penghambat utama bagi penyediaan terapi nutrisi
dalam bentuk TPN yaitu ketersediaan dari pusat aksesnya. Administrasi TPN
memerlukan kateter vena sentral yang ujungnya ditempatkan pada persimpangan dari
vena cava superior dan atrium kanan. Jika digunakan pada garis tengah ekstremitas
bawah, ujung kateter harus diposisikan pada persimpangan dari vena cava inferior dan
atrium kanan. Diameter pembuluh darah yang besar darah dan laju aliran darah yang
maksimal di tempat tersebut memungkinkan untuk administrasi yang aman dari TPN
hipertonik. Untuk menghindari komplikasi yang terkait dengan malposisi ujung kateter
vena sentral, praktek di lembaga kami mendokumentasikan lokasi pusat ujung kateter
vena dan tempat masuknya sebelum digunakan. Perangkat pemasangan TPN dimana
kateter vena sentral tidak terletak secara ideal pada tempatnya membutuhkan
pengenceran (maksimum 900 mOsm / L dekstrosa dengan 10% dan 2% asam amino)
untuk menghindari resiko flebitis dan sklerosis. Osmolaritas larutan TPN dapat
dihitung dengan menggunakan kalkulator on-line yang tersedia atau persamaan
sederhana seperti {(dekstrosa [g / L] × 5) + (protein [g / L] × 10) + (lipid [g / L] × 1,5)
+ [(mEq / L Na+ + K+ + Ca2+ + Mg2 +) × 5]}. 2,3,15
Status cairan dan elektrolit akan memandu prosedur awal TPN. Hidrasi, ukuran,
usia pasien, dan penyakit yang mendasari akan menentukan jumlah cairan yang akan
diberikan. Kebutuhan cairan kelompok usia anak-anak secara rutin diestimasi
berdasarkan pada metode Holliday-Segar (Tabel 2-4). TPN tidak harus secara rutin
18
digunakan untuk mengganti kerugian yang sedang berlangsung. Perpindahan cairan,
insensible water loss yang meningkat, drainase dari sekresi tubuh, dan gagal ginjal
dapat mempersulit manajemen elektrolit pada pasien ini. Nutrisi parenteral harus diatur
per hari setelah meninjau dasar elektrolit (Na+, K+, Cl-, HCO3-, Ca2+) dan gula darah
untuk memungkinkan penyesuaian pada komposisi makronutrien dan mikronutrien.
Pada pasien sakit dengan kehilangan cairan gastrointestinal (lambung, pankreas, usus
halus, atau empedu) yang signifikan, pengukuran elektrolit yang actual dari cairan yang
didrain sangat dianjurkan. Namun, perubahan mendesak dari serum elektrolit
seharusnya tidak dikelola oleh perubahan laju cairan atau komposisi TPN karena ini
merupakan metode yang tidak tepat untuk mengobati kelainan elektrolit yang serius.
Selain itu, tingkat fosfat dan magnesium juga penting untuk diperhatikan.
Hypophosphatemia dapat menyebabkan anemia hemolitik, disfungsi otot pernafasan,
dan gagal jantung. Penurunan signifikan dalam serum fosfat juga dapat dilihat dengan
sindrom re-feeding. Sebaliknya, gagal ginjal dapat menyebabkan retensi fosfat dan
kalium dan jatah gizi harus dikurangi sesuai aturan. Kekurangan magnesium dapat
menyebabkan aritmia jantung yang fatal pada anak-anak dan orang dewasa. Kelainan
fisiologi asam-basa juga dapat mempengaruhi rejimen gizi pada anak yang dirawat di
rumah sakit. Jika alkalosis metabolik berkembang dari diuresis aktif atau penghisapan
lambung, pemberian klorida harus digunakan untuk mengoreksi alkalosis tersebut.
Parahnya, alkalemia yang tidak terobati dapat menghambat pernapasan pasien,
perpindahan kalium intraselluler, penurunan konsentrasi kalsium terionisasi dengan
meningkatkan afinitas albumin untuk kalsium, dan refraktori aritmia jantung. Asidosis
metabolik sering terlihat pasda anak yang sakit kritis dapat berhubungan dengan
hipotensi, iskemia, atau gagal ginjal. Dalam hal ini, penyediaan asetat dan klorida
dalam rejimen nutrisi parenteral mungkin bermanfaat.2
Tiga makronutrien utama dalam TPN adalah karbohidrat, lemak, dan protein.
Lemak dan dekstrosa adalah sumber utama energi pada TPN, sedangkan protein
digunakan untuk pertambahan massa tubuh. Protein diberikan dalam bentuk kristal
asam amino mulai dari 0,5 g / kg / hari pada bayi prematur dan 1 g / kg / hari pada yang
lain. Asupan protein sehari-hari secara bertahap meningkat 1 g / kg / hari sampai tujuan
19
asupan tercapai. Dekstrosa menyediakan sumber energi utama di TPN dan dimulai
pada tingkat 5 mg / kg / menit dengan menggunakan kadar 5% sampai 10%. Laju infus
glukosa dalam miligram per kilogram per menit dapat dihitung dengan bantuan
persamaan: [(% Dekstrosa) × (1 dL/100 mL) × (1000 mg / 1 g) (laju per jam dalam
mL / jam) × (1 jam/60menit) × (1/BB dalam kg]. Laju infus yang lebih dari 12 mg / kg
/ menit jarang diperlukan. Selain itu, overfeeding dengan karbohidrat dikaitkan dengan
lipogenesis (RQ> 1.0), steatosis hati, hiperglikemia, dan diuresis osmotik. Tiga sampai
5 persen dari kebutuhan energi harus dipenuhi menggunakan lemak intravena, yang
biasanya dimulai pada tingkat 1 g / kg / hari dan meningkat secara bertahap untuk
mencapai maksimumnya yaitu 3 g / kg / hari, atau 50% dari total asupan energi. Lemak
intravena penting untuk mencegah kekurangan asam lemak dan merupakan sumber
energi terkonsentrasi dan isotonik. Tingkat trigliserida harus dipantau, dan kadar lemak
intravena harus diturunkan ketika ditemukan hipertrigliseridemia. Seperti dijelaskan
sebelumnya, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa pembatasan lemak 1 g / kg / hari
dapat diindikasikan pada pasien dengan kegagalan pencernaan terkait nutrisi parenteral
cholestasis atau pada pasien yang rentan (yakni, neonatus) yang cenderung
membutuhkan program TPN berkepanjangan.2,15
VII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien yang mendapatkan dukungan
nutrisi secara enteral dan parenteral antara lain sebagai berikut.
Nutrisi enteral11
- Teknis: pneumonia aspirasi, formula yang terkontaminasi bakteri, esofagitis.
- Fungsional: mual, muntah, distensi abdomen, konstipasi, atau diare.
- Metabolik: dehidrasi atau overhidrasi, defisiensi EFA, defisiensi vit K, gangguan
keseimbangan elektrolit, koma hiperosmolar nonketotik.
Nutrisi parenteral11
- Teknis: emboli udara, laserasi pembuluh darah, cedera pleksus brachialis,
malposisi kateter.
20
- Infeksi yang berasal dari kateter, dapat berpotensi menyebabkan sepsis.
Metabolik: azotemia, overload cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, koma
hiperosmolar nonketotik.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Barness LA and Curran JS. Nutrisi dalam Buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku EGC. 1999. hal. 178 – 211.
2. Holcomb III George W, and Murphy J. Patrick. Nutritional Support of The Pediatric Patient. In : Ashcraft’s Pediatric Surgery 5th Edition. Philadelphia : Saunders, Elsevier Inc. 2010. p.19 – 31.
3. Labeda I. Nutritional Support in Surgical Patient. Sub Bagian Bedah Digestif RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo/FK Unhas Makassar. 2009
4. Hidajat B, Irawan R, H Nurul. Nutrisi Pada Kasus Bedah Anak. Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Soetomo – Surabaya 2006.
5. Azis AL. Support Nutrisi pada Anak Sakit Berat. Divisi Pediatri Gawat Darurat Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR / RS Dr Sutomo – Surabaya. 2006
6. Heimburger DC. Nutritional Assessment. In: Heimburger DC and Ard JD (eds). Handbook of Clinical Nutrition 4th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2006. p.242–61.
7. Falcao MC and Tannuri U. Nutrition for The Pediatric Surgical Patient: Approach in the Peri-operative Period. Sao Paulo : Rev Hosp. Clín. Fac. Med. S. Paulo. 2002.P 299 – 308.
8. Raju CU, Choudhary SS, Harja MM. Nutritional Support In The Critically Ill Child. Mumbai : MJAFI. 2005. p. 45-50.
9. Heimburger DC. Nutritional Support: General Approach and Complications. In: Heimburger DC and Ard JD (eds). Handbook of Clinical Nutrition 4th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2006. p.262–81.
10. Briony T and Bishop J. Dietetic Management of Acute Trauma. In: Manual of Dietetic Practice 4th Edition. Singapore: Blackwell Publishing Ltd. 2007. p.791-9, 805-11.
11. Herrmann VM. Surgical Metabolism & Nutrition. In: Way LW and Doherty GM (eds). Current Surgical Diagnosis & Treatment, 11th Ed. New York: Lange Medical Books. 2003.
12. Heimburger DC. Enteral and Parenteral Nutrition. In: Heimburger DC and Ard JD (eds). Handbook of Clinical Nutrition 4th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2006. p.310–42.
13. Wiryana M. Nutrisi pada Penderita Sakit Kritis. J Peny Dalam. Vol.8 No.2; 2007. p.176-86.
14. Darwis, Darlan. Nutrisi Enteral Pada Anak Sakit Berat. [serial online]. 2011. February. [cited_2011 February] p.12 Available from: http://www.Portalkalbe/filescdk/files/04_NutrisiEnternalPadaAnakSakitBerat.pdf.(update on February 3th 2010)
15. Lissauer T and Fanaroff AA. At a Glance Neonatologi. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2009. hal. 52 – 53, 76 – 77.
22