TERAPI KOMPLEMENTER
Transcript of TERAPI KOMPLEMENTER
A. TERAPI KOMPLEMENTER
Terapi Komplementer adalah cara Penanggulangan Penyakit yang dilakukan
sebagai pendukung kepada Pengobatan Medis Konvensional atau sebagai Pengobatan
Pilihan lain diluar Pengobatan Medis yang Konvensional.
Terapi Komplementer, pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki fungsi dari
sistem-sistem tubuh, terutama “Sistem Kekebalan dan Pertahanan Tubuh”, agar tubuh
dapat menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit, karena tubuh kita sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan kita mau
mendengarkannya dan memberikan respon dengan asupan nutrisi yang baik dan lengkap
serta perawatan yang tepat.
Menurut WHO (World Health Organization), Pengobatan komplementer adalah
pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari negara yang bersangkutan. Jadi
untuk Indonesia, jamu misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer tetapi
merupakan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah
pengobatan yang sudah dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun –
temurun pada suatu negara. Tapi di Philipina misalnya, jamu Indonesia bisa
dikategorikan sebagai pengobatan komplementer.
Di Indonesia ada 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang telah ditetapkan
oleh Departemen Kesehatan untuk dapat diintegrasikan ke dalam pelayanan
konvensional, yaitu sebagai berikut :
1. Akupunktur medik yang dilakukan oleh dokter umum berdasarkan kompetensinya.
Metode yang berasal dari Cina ini diperkirakan sangat bermanfaat dalam mengatasi
berbagai kondisi kesehatan tertentu dan juga sebagai analgesi (pereda nyeri). Cara
kerjanya adalah dengan mengaktivasi berbagai molekul signal yang berperan sebagai
komunikasi antar sel. Salah satu pelepasan molekul tersebut adalah pelepasan endorphin
yang banyak berperan pada sistem tubuh.
2. Terapi hiperbarik, yaitu suatu metode terapi dimana pasien dimasukkan ke dalam sebuah
ruangan yang memiliki tekanan udara 2 – 3 kali lebih besar daripada tekanan udara
atmosfer normal (1 atmosfer), lalu diberi pernapasan oksigen murni (100%). Selama
terapi, pasien boleh membaca, minum, atau makan untuk menghindari trauma pada
telinga akibat tingginya tekanan udara.
3. Terapi herbal medik, yaitu terapi dengan menggunakan obat bahan alam, baik berupa
herbal terstandar dalam kegiatan pelayanan penelitian maupun berupa fitofarmaka.
Herbal terstandar yaitu herbal yang telah melalui uji preklinik pada cell line atau hewan
coba, baik terhadap keamanan maupun efektivitasnya. Terapi dengan menggunakan
herbal ini akan diatur lebih lanjut oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut :
Dari 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang ada, daya efektivitasnya untuk
mengatasi berbagai jenis gangguan penyakit tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya
karena masing – masing mempunyai teknik serta fungsinya sendiri – sendiri. Terapi
hiperbarik misalnya, umumnya digunakan untuk pasien – pasien dengan gangren supaya
tidak perlu dilakukan pengamputasian bagian tubuh. Terapi herbal, berfungsi dalam
meningkatkan daya tahan tubuh. Sementara, terapi akupunktur berfungsi memperbaiki
keadaan umum, meningkatkan sistem imun tubuh, mengatasi konstipasi atau diare,
meningkatkan nafsu makan serta menghilangkan atau mengurangi efek samping yang
timbul akibat dari pengobatan kanker itu sendiri, seperti mual dan muntah, fatigue
(kelelahan) dan neuropati.
Pada beberapa rumah sakit di Indonesia, pengobatan komplementer ini pun mulai
diterapkan sebagai terapi penunjang atau sebagai terapi pengganti bagi pasien yang
menolak metode pengobatan konvensional. Terapi komplementer ini juga dapat
dilakukan atas permintaan pasien sendiri ataupun atas rujukan para dokter lainnya.
Diharapkan dengan penggabungan pengobatan konvensional dan pengobatan
komplementer ini bisa didapatkan hasil terapi yang lebih baik.
1. ROM (RANGE OF MOTION)
Definisi
Pengertian Adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya
kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
Tujuan
Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan Mencegah kontraktur dan kekakuan
pada sendi.
Jenis ROM
ROM pasif Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan
rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 % ROM aktif Perawat
memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi
secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot
75 % D. Jenis gerakan Fleksi Ekstensi Hiper ekstensi Rotasi Sirkumduksi Supinasi
Pronasi Abduksi Aduksi Oposisi E. Sendi yang digerakan.
ROM Aktif Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri
secara aktif. ROM Pasif Seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang
terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
1. Leher (fleksi/ekstensi, fleksi lateral)
2. Bahu tangan kanan dan kiri ( fkesi/ekstensi, abduksi/adduksi, Rotasi bahu)
3. Siku tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, pronasi/supinasi)
4. Pergelangan tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi)
5. Jari-jari tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi, oposisi)
6. Pinggul dan lutut (fleksi/ekstensi, abduksi/adduksi, rotasi internal/eksternal)
7. Pergelangan kaki (fleksi/ekstensi, Rotasi)
8. Jari kaki (fleksi/ekstensi)
Indikasi
1. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
2. Kelemahan otot
3. Fase rehabilitasi fisik
4. Klien dengan tirah baring lama
Kontra Indikasi
1. Trombus/emboli pada pembuluh darah
2. Kelainan sendi atau tulang
3. Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung)
Atention
1. Monitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vital sebelum dan setelah latihan
2. Tanggap terhadap respon ketidak nyamanan klien
3. Ulangi gerakan sebanyak 3 kali
2. TERAPI HIPERBARIK (HIPERBARIK OKSIGEN TERAPI ( H B O T ))
Awal mulai HBOT
Terapi hiperbarik mungkin baru segelintir orang yang mengenalnya. Di Indonesia,
pemanfaatna HBOT pertama kali oleh Lakesla yang bekerja sama dengan RS
Angkatan Laut Dr. Ramelan, Surabaya, tahun 1960. Hingga saat ini fasilitas tersebut
masih merupakan yang paling besar di Indonesia. Sementara di tempat lain telah
tersedia pula fasilitas terapi oksigen hiperbarik, diantaranya adalah RSAL Dr
Mintohardjo Jakarta, RSAL Halong Ambarawa, RSAL Midiato, RSP Balikpapan,
RSP Cilacap, RSU Makasar, RSU Manado, RSU Sangla Denpasar, dan Diskes
Koarmabar.
Dasar dari terapi hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori
Toricelli yang mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm
adalah 760 mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara yang
terkandung di dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79 % dan Oksigen (O2) 21%.
Dalam pernafasan kita pun demikian. Pada terapi hiperbarik oksigen ruangan yang
disediakan mengandung Oksigen (O2) 100%. Terapi hiperbarik juga berdasarkan teori
fisika dasar dari hukum-hukum Dalton, Boyle, Charles dan Henry.
Sedangkan prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak adanya O2
pada tingkat seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan pada semua organisme.
Oksigen yang berada di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam tubuh melalui cara
pertukaran gas. Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi,
transportasi, utilisasi dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi,
diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu organisme mendapatkan
kondisi yang optimal.
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah terapi medis dimana pasien dalam
suatu ruangan menghisap oksigen tekanan tinggi (100%) atau pada tekanan barometer
tinggi (hyperbaric chamber). Kondisi lingkungan dalam HBOT bertekanan udara
yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA).
Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau di dalam ruang
udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman
maupun pengobatan penyakit klinis. Individu yang mendapat pengobatan HBOT
adalah suatu keadaan individu yang berada di dalam ruangan bertekanan tinggi (> 1
ATA) dan bernafas dengan oksigen 100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut
sebesar 1 atm. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki, tekanan akan naik 1 atm.
Seorang ahli terapi hiperbarik, Laksma Dr. dr. M. Guritno S, SMHS, DEA yang telah
mendalami ilmu oksigen hiperbarik di Perancis selama 5 tahun menjelaskan bahwa
terdapat dua jenis dari terapi hiperbarik, efek mekanik dan fisiologis. Efek fisiologis
dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan
oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam
plasma.
Mekanisme HBOT
HBOT memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel
endotel. Pada sel endotel ini HBOT juga meningkatkan intermediet vaskuler endotel
growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang
memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis
proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses
remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBOT yaitu
untuk wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema
dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar.
Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan
fibroblast sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya
vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi
hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan
tinggi, terjadi peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ menyebabkan TH-1
meningkat yang berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan
meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada luka, HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema..
Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberianO2 100%,
tekanan 2 – 3 Atm . Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion
sickness. Maka akan terjadikerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar
luka. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, rasio
RNA/DNA, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang menyebabkan
neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan
aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga daerah yang
mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan terjadi
peningkatan NO hingga 4 – 5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3
ATA selama 2 jam. Hasilnya pun cukup memuaskan, yaitu penyembuhan jaringan
luka. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dimana
memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi
jaringan di distal.
Indikasi-indikasi lain dilakukannya HBOT adalah untuk mempercepat
penyembuhan penyakit, luka akibat radiasi, cedera kompresi, osteomyelitis,
intoksikasi karbonmonoksida, emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak yang
sudah nekrotik, Skin graft dan flap, luka bakar, abses intrakranial dan anemia.
Prosedur pemberian HBOT yang dilakukan pada tekanan 2-3 ATA-90 dengan O2
intermitten akan mencegah keracunan O2. Menurut Paul Bert, efeksamping
biasanyaakan mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual, kedutan pada otot
muka dan perifer serta kejang. Sedang menurut Lorrain Smith, efek samping
bisamengenai paru-paru yaitu batuk, sesak dan nyeri substernal.
HBOT Meningkatkan Sensitivitas Radioterapi
Penanganan kanker pada umumnya melalui tahapan terapi operasi, radioterapi,
kemoterapi dan hormonal. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, oksigen
hiperbarik dan herbal merupakan salah satu pilihan untuk meningkatkan sensitifitas
efek radioterapi sehingga dapat membantu menekan angka kematian dan
meningkatkan angka harapan hidup. Rumkital Dr. Ramelan Surabaya telah memiliki
Instalasi Radioterapi dan Oksigen yang merupakan bagian dari unggulan fasilitas
kesehatan.
Penelitian hubungan tekanan oksigen dengan radioterapi pada manusia sudah
dimulai sejak tahun 1910 oleh Deche. Sedangkan menurut Guritno, yang pada saat
diwawancarai masih menjabat sebagai direktur RSAL Dr Ramelan Surabaya, HBOT
bermanfaat untuk meningkatkan sensitivitas sel tumor pada radioterapi. Karena pada
kondisi hipoksia sensitifitas sel tumor menurun, sehingga dengan HBOT yang
meningkatkan perfusi. Dengan demikian akan tercipta kondisi hiperoksia yang
menyebabkan sensitifitas sel tumor meningkat. HBOT tentunya juga akan bermanfaat
pada healing injury post radioterapi.
Studi dan telaah dilakukan seorang ahli HBOT muda, dr. Arie Widiyasa Sp.OG,
Kabag KESLA RSAL Ilyas Tarakan, mengenai pengaruh HBOT terhadap kanker
serviks. Kombinasi antara radiasi baik eksternal atau brachiterapi atau keduanya yang
dikombinasikan dengan pemberian HBOT akan meningkatkan radiosensitivitas sel
kanker serviks. Salah satu modalitas yang dapat dikembangkan saat ini adalah terapi
dengan menggunakan oksigen bertekanan tinggi diberikan dengan tekanan 2,0 ATA,
2,4 ATA atau 3 ATA sebanyak 20 – 30 kali dapat dipertimbangkan walau harus tetap
mempertimbangkan untung ruginya tindakan tersebut. HBOT dapat memperbaiki
sensitivitas sel tumor, meningkatkan persentase angka survival rate, tak jelas dapat
mencegah rekurensi atau menurunkan angka kematian. Dengan demikian komplikasi
pemberian radioterapi dosis tinggi dapat dicegah sebelum kerusakan menjadi berat
dan irreversibel.
Manfaat pada Pasien Post Radioterapi
Dewasa ini terapi radiasi dinilai cukup efektif untuk menangani beberapa kasus
kanker yang tidak operable. Namun efek samping radiasi yang bersifat sistemik
agaknya sulit untuk dihindari. Contohnya pada radioterapi pelvis yang akan
menyebabkan rusaknya epitel, parenkim, stroma, vaskuler rektum dan berujung pada
terbentuknya striktur dan fistula. Sayangnya pula terapi yang dilakukan terhadap efek
samping tersebut sering tidak berhasil sehingga akan terjadi kerusakan komplek serta
terbentuknya mediator yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, kemotaksis, demam, rasa sakit dan kerusakan jaringan. American
Society for Therapeutic Radiology and Oncology membuat sistem scoring efek
samping akut dan efek samping lama.
Menurut Dr. dr. Suyanto Sidik Sp.PD, ahli HBOT dari RSAL Dr. Mintohardjo,
radioterapi akan memberikan efek samping seperti rusaknya epitel, parenkim, dan
vaskuler dari tubuh. Manifestasi yang paling sering adalah timbulnya struktur dan
fistel. Pada umumnya setelah 6 bulan akan terjadi hipoksia, hipovaskuler dan
hiposeluler pada jaringan yang terpapar radiasi. Celakanya terapi efek samping ini
seringkali gagal karena kerusakan komplek pada jaringan. Terdapat gangguan
permeabilitas pembuluh darah, kemotaksis yang disertai manifestasi klinis demam
dan nyeri. Terapinya tentu saja adalah dengan meningkatkan aliran darah ke daerah
yang hipovaskuler tersebut. Jadi mekanisme penyembuhan luka untuk post radiasi
adalah meningkatkan vaskularisasi, memperbaiki fungsi epitel, meningkatkan VEGF,
mengatur sintesis dan lisis kolagen. HBOT meningkatkan aktivasi arginin yang
berefek pada kolagen sintesis, dan mensupport kontraksi otot.
Sebagai contoh pengobatan HBOT pada injury radiasi dengan proktitis radiasi
sebagai model. Efek samping dari terapi radiasi pada karsinoma rongga pelvis adalah
proktitis radiasi. Efek samping ini bermanifestasi tergantung dari dosis, fraksinasi,
luas dan teknik radiasi. Adanya riwayat radioterapi pelvis biasanya ditandai dengan
gejala : sakit perut, diare, anorexia, dan mual. Pada pemeriksaan rekto-sigmoidokopi
didapatkan erythema, edema, teleangiektasis, erosi, bahkan ulkus. Pada pemeriksaan
PA diketahui adanya sebukan sel radang diikuti gambaran histologik lamina propia
terhialinisasi, sub mucosa fibrotik, ektasia vaskuler, nekrosis fibrinoid yang
dibandingkan dengan pembuluh darah fibroblas atipik. Gejala yang merupakan
manifestasi dari efek samping akut ini biasanya muncul dengan frekuensi 50 – 70 %.
Sedangkan efek samping lanjutan umumnya bermanfest dengan sakit perut, tenesmus,
dan hematochezia. Gejala efek samping jenis ini biasanya hanya timbul 2,5 – 25 %.
Efek yang lebih berat lagi apabila gejala efek samping tersebut disertai dengan diare
lendir dan darah.
Pada kanker nasofaring yang mendapat radioterapi, HBOT dapat berguna untuk
pencegahan terjadinya mandibular necrosis. Pada kanker leher rahim dan kanker
prostat yang mendapat radioterapi HBOT bisa untuk prevensi radiosistitis. Pasien
Face-off, Lisa, yang sempat menghebohkan dunia bedah plastik sebelum ini, sempat
membuat pusing para dokter yang merawatnya karena kecenderungan nekrosis flap
hasil pemindahan. Atas saran Guritno, Lisa akhirnya diterapi HBOT, dan hasilnya
cukup baik. Kulit yang sebelumnya ditakutkan akan nekrosis menjadi pulih kembali.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=254
http://argitauchiha.blogspot.com/2010/12/terapi-komplementer.html