Terapi Insulin Intensif Pada Pasien Penyakit Kritis

45
BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN REFAR AT II JULI 2012 TERAPI INSULIN INTENSIF PADA PASIEN PENYAKIT KRITIS Oleh : Dian Wirdiyana Pembimbing : Dr. dr. Syafri K. Arief, Sp.An-KIC-KAKV DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 1

description

anestesi

Transcript of Terapi Insulin Intensif Pada Pasien Penyakit Kritis

BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIFDAN MANAJEMEN NYERIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN REFARAT II JULI 2012

TERAPI INSULIN INTENSIF PADA PASIEN PENYAKIT KRITIS

Oleh :Dian WirdiyanaPembimbing :Dr. dr. Syafri K. Arief, Sp.An-KIC-KAKV

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDINTERAPI INSULIN INTENSIF PADA PASIEN PENYAKIT KRITIS

PENDAHULUAN Hiperglikemia umum terjadi pada pasien penyakit kritis. Faktor-faktor yang berperan termasuk meningkatnya sekresi hormon-hormon counterregulatory (misal: katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, glukagon) yang mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis dan glikogenelisis, juga resistensi insulin yang terjadi akibat peningkatan kadar sitokin. Faktor iatrogenik termasuk obat-obat, seperti katekolamin dan steroid, dan infus cairan yang mengandung dekstrosa. Peningkatan level glukosa darah dapat merusak fungsi imun melalui penurunan adhesi, kemotaksis, fagositosis, dan kemampuan membunuh mikroba oleh netrofil dan juga terjadi glikosilasi imunoglobulin. Konseksuensi klinis stress hiperglikemia pada pasien penyakit kritis bervariasi. Hiperglikemia sementara, meskipun tanpa penegakan diagnosis diabetes, terjadi seringkali pada pasien penyakit kritis yang dirawat di rumah sakit. Hiperglikemia dari sebab apapun dihubungkan dengan prognosis yang buruk yang sebanding dengan peningkatan kadar gula darah. 1,2,3 Terapi insulin intensif (TII) didefenisikan sebagai pemberian insulin intravena secara dosis berulang atau kontinyus yang bertujuan untuk mencapai kontrol gula darah ketat, yang baru-baru ini didefenisikan oleh sebagian besar intensivist yaitu kadar gula darah kurang dari 150 mg/dl. TII telah ditujukan sebagai pilihan terapi hiperglikemia pada pasien penyakit kritis yang diopname.4

RESISTENSI INSULIN DAN HIPERGLIKEMIA PADA PENYAKIT KRITIS Stress hiperglikemia adalah peningkatan level gula darah pada keadaan penyakit akut. Stress hiperglikemia merupakan manifestasi yang umum terjadi pada penyakit kritis. Faktor-faktor yang mempengaruhi tejadinya hiperglikemia pada penyakit kritis termasuk pelepasan dari hormon-hormon stress (misal: epinefrin dan kortisol), penggunaan obat-obat seperti glukokortikoid dan katekolamin endogen, dan pelepasan berbagai macam mediator akibat sepsis atau trauma operasi (Gambar 1), semuanya dapat menghambat pelepasan dan aksi insulin, dengan demikian meningkatkan glukoneogenesis, menghambat sintesis glikogen, dan merusak pengambilan insulin-mediated glucose oleh jaringan. Dekstrosa intravena, biasanya digunakan pada nutrisi parenteral dan pelarut antibiotik, juga menyebabkan hiperglikemia. 2,4,5,6,7 Hiperglikemia dapat menyebabkan kerusakan melalui efek toksik langsung, peningkatan stress oksidatif intraseluler akibat produksi peroksida mitokondria meningkat, perubahan produksi sitokin dan gangguan fagositosis. Peningkatan konsentrasi gula darah dapat merusak fungsi imun melalui penurunan ikatan, kemotaksis, fagositosis, dan daya bunuh mikroba oleh netrofil seperti halnya glikosilasi imunoglobulin. Konsekuensi klinis dari stress hiperglikemia pada pasien kritis bervariasi. Hiperglikemia merupakan pertanda tingkat keparahan suatu penyakit dan berhubungan dengan efek samping yang tidak dinginkan, termasuk peningkatan baik morbiditas dan mortalitas maupun infeksi nosokomial di Intensive Care Unit (ICU). Pada awal periode postoperasi, hiperglikemia adalah prediktor tunggal berkembangnya infeksi luka sternum yang dalam. Pada keadaan iskemik hipoksia akibat trauma pada otak, hiperglikemia meningkatkan produksi asam laktat menyebabkan asidosis intraseluler. Ini, pada gilirannya, akan memperluas kaskade kerusakan sekunder. Pada pasien luka bakar, hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan katabolisme protein dan berkurangnya pengambilan graft kulit.2,3,7

Gambar 1. Sebab dan Akibat Stress Hiperglikemia. Stress hiperglikemia dapat disebabkan oleh pemberian glukosa eksogen dan produksi glukosa endogen dan akibat resistensi insulin atau berkurangnya sekresi insulin akibat disfungsi sel beta. Hiperglikemia mengakibatkan terjadinya potensiasi resistensi insulin. Konsekuensi peningkatan kadar glukosa mungkin dapat bermanifestasi pada tingkat molekular atau seluler, jika bersama-sama dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas jaringan termasuk sepsis, gangguan penyembuhan luka, dan neuromiopati. IV menunjukkan intravena. (Dikutip dari : Kavanagh B.P., McCowen, K.C., Glycemic Control in the ICU, N Engl J Med, 2010;363:2540-6.)

Toksisitas glukosa, dalam artian yang sempit, menjelaskan kondisi klinis di mana kontrol diabetes biasanya kurang, karena hiperglikemia sendiri menurunkan kapasitas sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merangsang resistensi insulin menyebabkan hiperglikemia lebih lanjut. Lingkaran setan ini pada akhirnya menyebabkan ketidakmampuan total sel-sel beta untuk sekresi insulin. Sebaliknya, toksisitas glukosa dalam artian yang lebar menerangkan komplikasi yang bervariasi akbat diabetes. Untuk itu, mekanisme sitotoksik akibat hiperglikemia, empat jalur metabolik yang berperan adalah :1. Jalur polyol2. Jalur hexosamine3. Jalur AGE (Advanced glycosylation end product)-producing4. Jalur DAG (Diacyl glycerol)-producing 8 Penelitian yang sangat penting baru-baru ini menemukan bahwa stress oksidatif secara kuat mempengaruhi mekanisme molekuler penurunan biosintesis dan sekresi insulin, yang menentukan etiologi utama toksisitas glukosa (gambar 2). Gambar 2 menunjukkan mekanisme peningkatan stress oksidatif pada penderita diabetes. Ada 2 jalur yang diketahui, yang dikenal sebagai reaksi glikosilasi dan sistem transfer elektron mitokondrial . Pada reaksi glikosilasi, Shiff base terbentuk dari glukosa dan protein diikuti oleh komponen Amadoric, setelah AGE dan reactive Oxygen Species (ROS) diproduksi sebagai hasil metabolisme, menyebabkan peningkatan stress oksidatif. Gambar 3 memberikan gambaran mengenai mekanisme molekular penurunan sekresi insulin yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif. Ketika ROS meningkat akibat kronik hiperglikemia, dan stress oksidatif meningkat, PDX-1 (pancreatic duodenal homebox-1) activity menurunkan sel-sel beta pankreas dan sebagai hasilnya, menurun aktivitas glukokinase dan biosintesis insulin, yang diikuti oleh penurunan sekresi insulin. MafA adalah sel beta terisolasi, merupakan faktor transkripsi spesifik yang baru, yang mana berfungsi sebagai aktivator poten dari transkripsi gen insulin. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa aktivitas ekspresi atau pengikatan DNA oleh MafA, bersamaan dengan PDX-1, berkurang setelah pemaparan kronik terhadap konsentrasi glukosa yang tinggi.8

Gambar 2. Peningkatan stress oksidatif pada diabetesAkselerasi respon glikosilasi dan sistem transpor elektron intramitokondrial telah ditemukan pada keadaan diabetes, menyebabkan stress oksidatif sebagai respon terhadap akselerasi tersebut. AGE : advanced glycosylation end products; ROS : reactive oxygen species; TCA cycle : tricarboxilic acid cycle ; ATP : adenosine tri-phosphate. (Dikutip dari : Kawahito S., Kitahata H., Kitagawa T., Oshita S., Intensive Insuline Theraphy during Cardiovascular Surgery, J Med Invest, 2010;57:191-204.)

Gambar 3. Mekanisme penurunan sekresi insulin akibat toksisitas glukosa. Aktivitas pengikatan DNA oleh PDX-1 dan penurunan MafA sebagai akibat stress oksidatif akibat hiperglikemia, di mana biosintesa dan sekresi insulin juga menurun. ROS : reactive oxygen species ; PDX-1 : pancreatic duodenal homebox-1. (Dikutip dari : Kawahito, S., Kitahata, H., Kitagawa, T., Oshita, S., 2010, Intensive Insuline Theraphy during Cardiovascular Surgery, J Med Invest, 57:191-204.)

Telah diketahui dengan baik bahwa apapun bentuk penyakitnya, akut ataupun trauma dapat menyebabkan resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan hiperglikemia. Yang populer diketahui sebagai diabetes akibat trauma. Penyakit ataupun trauma dapat meningkatkan produksi glukosa oleh hepar bersamaan dengan berjalannya proses glukoneogenesis meskipun terjadi hiperglikemia dan pencegahan pelepasan insulin. Terdapat resistensi insulin pada hepar dan pada otot skelet, sebagaimana halnya pada jantung, pengambilan gkukosa yang distimulasi oleh insulin mengalami kerusakan. Pengambilan glukosa oleh pasien penyakit kritis, akan tetapi, terjadi peningkatan tapi tempatnya terutama pada jaringan yang tidak tergantung pada insulin untuk pengambilan glukosa seperti sistem saraf dan sel darah merah. Resistensi insulin pada stress dan penyakit kritis dikarakteristikkan dengan peningkatan kadar IGF-binding protein 1 (IGFBP-1) pada sirkulasi. Telah dilakukan observasi bahwa kasus yang paling berat dari respon stress termasuk hiperglikemia dan meningkatnya kadar IGFBP-1 dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan meningkatnya kematian pada pasien. Respon hormon counterregulatory , pelepasan sitokin dan sinyal dari sistem saraf, semuanya berpengaruh terhadap jalur metabolik glukosa, membentuk diabetes akibat trauma. Hormon yang terlibat termasuk katekolamin, kortisol, glukoagon, dan hormon pertumbuhan (GH) (tabel 1). Sitokin proinflamasi mempengaruhi homeostasis glukosa secara tidak langsung, dengan merangsang sekresi hormon counterregulatory dan secara langsung, dengan mengurangi sinyal reseptor insulin. Kenyataannya, baik katekolamin endogen maupun eksogen pada penyakit kritis akan menghambat sekresi insulin dari sel-sel . Katekolamin juga menekan efek anti-insulin. (Gambar 4)7,9Gambar 4. Faktor-faktor penyebab hiperglikemia yang saling mempengaruhi pada penyakit kritis. (Dikutip dari: Sengupta S., Guha A., Rudra A., Maitra G., Kumar P., Roy K., Indian Journal of Anaesthesia, 2008;52 (1):23-27.)

Diabetes akibat trauma dinilai sebagai proses adaptasi akibat respon stress dan sangat penting sebagai pertahanan. Secara keseluruhan pertukaran glukosa dan realisasinya bahwa hiperglikemia meskipun pada keadaan hiperinsulinemia diberikan argumen bahwa terjadi dalam usaha untuk mentolerir peningkatan kadar glikosa darah yang moderate selama penyakit kritis. Jika hiperglikemia pada penyakit kritis disadari memiliki keuntungan dalam merangsang pengambilan glukosa oleh sel pada jaringan yang tidak tergantung insulin, toleransi terhadap hiperglikemia moderate tersebut menguntungkan. Sebagai konsekuensinya, konsentrasi gula darah 160-200 mg/dl (11 mmol/l) direkomendasikan untuk memaksimalkan pengambilan glukosa oleh sel untuk mencegah hiperosmolaritas. Secara umum disadari bahwa hiperglikemia moderate adalah keseimbangan dalam melawan hipoglikemia akibat kerusakan otak. Pada tahun 2001, akan tetapi komunitas perawatan penyakit kritis dipaksa untuk menghadapi dogma ini. Penelitian klinis besar, acak, dan terkontrol, yang dilakukan oleh Greet Van den Berghe dan kawan-kawan, seringkali disebut sebagai metode Leuven memperlihatkan bahwa meskipun hiperglikemia moderate selama penyakit kritis pada pokoknya itu akan meningkatkan hasil.9,10

Tabel 1. Hormon-hormon counterregulatory yang terlibat dalam respon hiperglikemik pada penyakit kritis. (Dikutip dari: Sengupta S., Guha A., Rudra A., Maitra G., Kumar P., Roy K., 2008, Indian Journal of Anaesthesia, 2008; 52 (1):23-27.)

HormonMekanisme

EpinefrineResistensi insulin otot skelet melalui penurunan sinyal postreseptor

GlukagonMeningkatkan glukoneogenesisMeningkatkan glikogenolisis hepatik

Glukokortikoid Resistensi insulin otot skeletMeningkatkan lipolisisMeningkatkan glukoneogenesis

Hormon pertumbuhanResistensi insulin otot skeletMeningkatkan lipolisisMeningkatkan glukoneogenesis

NorepinefrinMeningkatkan lipolisisMeningkatkan glukoneogenesis, hiperglikemia nyata hanya pada konsentrasi tinggi

Tumor necrosis factorResistensi insulin otot skelet via penurunan sinyal postreseptorResistensi insulin hepar

INSULIN DAN EFEK INSULIN Insulin merupakan suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Hormon ini disintesa di dalam retikulum endoplasma kasar sel B pankreas, kemudian ditranspor ke apparatus golgi untuk dipaket dalam bentuk granul-granul, yang bergerak ke membrane sel dan akhirnya kandungan granul dilepaskan dengan cara eksositosis. Insulin kemudian melewati laminal basal sel B dan kapiler dan fenestrata endotel kapiler untuk mencapai aliran darah.11 Insulin disintesa sebagai bagian dari preprohormon besar. Gen insulin terletak pada lengan pendek kromosom 11. Peptida asam amino ke-23 milik preproinsulin dihilangkan ketika memasuki retikulum endoplasma. Sisa molekul kemudian dilipat dan ikatan disulfida dibentuk untuk membuat proinsulin. Segmen peptida (connecting peptide- C peptide) yang menghubungkan rantai A dan B memfasilitasi pelipatan dan kemudian terlepas di dalam granul sebelum sekresi. Normalnya, 90-97 % produk yang dilepas dari sel B merupakan insulin dengan jumlah C peptide yang seimbang, dan sisanya adalah proinsulin. Waktu paruh insulin dalam sirkulasi sekitar 5 menit. Dalam sirkulasi, juga ditemukan zat yang memiliki akivitas mirip insulin yang aktivitasnya tidak dapat ditekan oleh antibodi manusia, yang disebut sebagai nonsuppressible insulin-like activity (NSILA). Tergolong ke dalam NSILA antara lain insulin-like growth factor I dan II (IGF I dan IGF II).11 Aktivitas utama insulin, dapat dikelompokkan menjadi aktivitas cepat, sedang, dan lambat. Dalam waktu beberapa detik, insulin meningkatkan transpor glukosa, asam amino, dan K+ ke dalam sel yang sensitif insulin. Efek jangka sedang terjadi dalam beberapa menit di mana terjadi stimulasi sintesa protein, inhibisi degradasi protein, aktivasi enzim glikolitik, dan glikogen sintase, dan inhibisi enzim fosforilase dan glukoneogenik. Efek jangka lama (dalam beberapa jam) adalah meningkatkan mRNA untuk enzim lipogenik dan enzim lain. Glukosa memasuki sel melalui facilitated diffusion, atau pada usus dan ginjal melalui transpor aktif Na sekunder. Pada jaringan otot, lemak dan beberapa lainnya insulin memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah glucose transporter pada membran sel yang bertanggung jawab untuk facilitated diffusion glukosa. 11 Reseptor insulin ditemukan pada berbagai sel tubuh, termasuk pada sel yang insulin tidak meningkatkan ambilan glukosanya. Reseptor insulin memiliki berat molekul 340.000 merupakan suatu tetramer yang terdiri dari masing-masing 2 subunit glikoprotein dan . Pada sel endotel, reseptor insulin diekspresikan pada permukaan sel sebanyak kira-kira sepersepuluh dari jumlah reseptor IGF-I (40.000 vs 400.000 reseptor persel).12 Setelah berikatan dengan reseptor, insulin mempengaruhi endotel melalui dua jalur signal yang berbeda. Efek utama ambilan glukosa dan vasodilatasi terjadi melalui perangsangan jalur P13-K, sedangkan efek vasokonstriksi dan proliferasi terjadi melalui perangsangan jalur yang tergantung pada mitogen-activated protein kinase (MAPK). 12

Gambar 5. Gambaran umum jalur transduksi sinyal insulin pada endotel (Dikutip dari: Siegelaar S.E., Hickmann M., Hoekstra J.B., Holleman F., dan DeVries J.H., The Effect of Diabetes on Mortality in Critically Ill Patients: A Systematic Revies and Metaanalysis, Critical Care, 2011; 15:205.)

Walaupun insulin merupakan vasodilator lemah dan secara fisiologis tidak begitu penting, namun insulin jelas berperan dalam mempotensiasi endothelium dependent vasodilatation. Hampir semua stimuli yang menghasilkan vasodilatasi terjadi melaui nitric oxida (NO), suatu gas yang aktif secara biologi, terdapat hampir di semua jaringan, yang karena berat molekulnya yang rendah dan sifat lipofiliknya dapat berdifusi dengan mudah menembus membran sel. Pada otot polos dinding pembuluh darah, NO meregulasi kalsium sitoplasma dan menyebabkan relaksasi serabut otot polos dan karena itu menghasilkan vasodilatasi. Efek vasokonstriksi insulin juga terjadi melalui perangsangan sistem saraf simpatik. Pada individu dengan sedikit lemak tubuh, insulin dalam konsentrasi fisiologis meningkatkan kadar katekolamin vena dan aktivitas saraf simpatis. Infus insulin memperkuat rangsangan simpatis secara sentral ke otot rangka.11 Resistensi insulin dicirikan oleh kerusakan pada jalur sinyal yang tergantung pada P13K, sedangkan jalur MAPK tidak terpengaruh. Ini memberi implikasi penting karena resistensi insulin biasanya disertai hiperinsulinemia kompensasi untuk mempertahankan euglikemia. Hiperinsulinemia akan memacu jalur yang tergantung MAPK menyebabkan ketidakseimbangan antara efek insulin melalui jalur P13K dan MAPK. Hal ini mengakibatkan pengingkatan sekresi AT-1, aktivasi pompa kation, dan peningkatan ekspresi VCAM-1 dan molekul adhesi lainnya melalui jalur MAPK. Penurunan sinyal melalui P13K dan peningkatan sinyal melalui jalur MAPK akan menyebabkan penurunan produksi NO dan meningkatkan produksi ET-1 yang merupakan tanda-tanda disfungsi endotel.11 Insulin juga memiliki efek antiinflamasi yang terkait dengan disfungsi endotel dan proses atherosklerosis. Insulin mengurangi ekspresi protein permukaan proinflamasi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), kemokin monocyte chemoactractant preotein-1 (MCP-1), dan faktor transkripsi proinflamatori kunci nuclear factor-kappa B (NF-kB) pada kultur sel endotel aorta manusia, pada konsentrasi fisiologis insulin . Insulin juga ditunjukkan menekan matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) dan faktor pertumbuhan endotel vaskular. Pada pasien dengan infark miokard akut, infus insulin menghasilkan supresi C-reactive protein (CRP) sampai 40 % dalam 24 jam awal infus insulin. Manfaat insulin tersebut hanya muncul bila insulin diberikan secara intravena, tidak secara subkutan. 11 Karena efeknya dalam menurunkan gula darah, insulin yang digunakan dalam terapi insulin intensif memiliki efek perlindungan terhadap luka sekaligus proteksi miokard. Dasar efek perlindungan terhadap luka insulin adalah efek antiinflamasi dan antioksidan. Kenyataannya, telah diyakini bahwa insulin intensif pada trauma dapat menurunkan mortalitas akibat kegagalan organ multipel yang diakibatkan oleh sepsis. Insulin seperti diketahui mampu merangsang pertumbuhan yang konstan dan memiliki efek penyembuhan luka oleh karena hubungannya dekat dengan faktor pertumbuhan dengan efek penutupan pada luka seperti insulin like growth factor (IGF). Juga, insulin mempertahankan keadaan yang konstan dari pembuluh darah melalui nitric oxida (NO) synthase activation, di mana juga mengurangi stress oksidatif dan produksi sitokin. Sebaliknya, terapi glucosa insulin (GI) dan glucosa insulin potassium (GIK) merupakan cerminan dari efek proteksi terhadap miokard oleh insulin.8 Dulu, stress-induced hyperglicemia pada pasien sakit kritis dianggap berguna untuk organ yang sangat tergantung pada glukosa untuk suplai energinya tetapi tidak membutuhkan insulin untuk ambilan glukosanya. Namun beberapa studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hiperglikemia merupakan faktor resiko penting terhadap mortalitas dan morbiditas. Pemberian insulin sangat efektif menurunkan kadar gula darah dan efektif dalam menurunkan mortalitas, tingkat infeksi berat, gagal ginjal akut, transfusi sel darah merah, durasi pemakaian ventilator, lama rawatan, dan infeksi luka sternum yang dalam pada pasien dengan penyakit kritis.11TERAPI INSULIN INTENSIF Insulin adalah agen yang terpilih untuk penatalaksanaan stress hiperglikemia. Insulin memiliki efek anabolik dan antikatabolik dan memegang peranan penting pada metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak. Dosis insulin pada pasien penyakit kritis tidak diketahui dengan pasti. Pasien penyakit kritis dipredisposisikan mengalami penurunan fisiologis yang mempengaruhi absorbsi dan bioavailabilitas ketika diberikan melalui jalur subkutan. Misalnya termasuk berkurangnya aliran darah sekunder akibat syok dan pemberian vasopressor, luasnya jaringan kulit/lunak yang luka/terbakar, dan terdapatnya edema akibat resusitasi cairan. Di ICU , infus intravena merupakan rute terpilih untuk pemberian insulin dan infus insulin intravena secara kontinyus terlihat merupakan metode yang efektif untuk mencapai target glikemik spesifik. Oleh karena waktu paruh insulin yang sangat singkat, pemberian secara intravena membolehkan penyesuaian dosis dengan cepat.2,13 Target optimal glukosa darah untuk pembedahan umum, pasien trauma, dan luka bakar masih belum jelas. Sekarang ini, beberapa studi yang berbeda telah dilakukan yakni membandingkan kelompok intensif (biasanya 80-110 mg/dL) versus kelompok konvensional (biasanya