Terapi Dispepsia Heri

18
Terapi Dispepsia A. Antasid dalam terapi tukak peptik Dalam pengobatan tukak peptik, antasid memegang peranan penting di samping berbagai caara pengobatan lain. Dengan pemberian antasid, nyeri lambung pasien tukak peptik akan hilang, tetapi tidak berarti pasien dalam taraf penyembuhan, jadi bahaya perforasi tetap ada. Kegagalan pengobatan simtomatik tukak petik dengan antasid disebabkan karena: frekuensi pengobatan yang tidak adekuat, dosis yang diberikan tidak cukup, pemilihan sediaan yang tidak tepat, sekresi asam lambung di waktu tidur tidak terkontrol. Hal-hal berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk penggunaan antasid: 1. penggunaan antasid sistemik jangka panjang sebaiknaydihindarkan 2. bentuk suspensi mula kerjanya lebih cepat daripada bentuk tablet 3. urutan daya netralisasi asam oleh antasid dari yang tinggi ke yang rendah ialah sebagai berikut: kalsium karbonat, magnesium karbonat, magnesium oksida dan

Transcript of Terapi Dispepsia Heri

Terapi Dispepsia

A. Antasid dalam terapi tukak peptik

Dalam pengobatan tukak peptik, antasid memegang peranan penting di samping

berbagai caara pengobatan lain. Dengan pemberian antasid, nyeri lambung pasien

tukak peptik akan hilang, tetapi tidak berarti pasien dalam taraf penyembuhan, jadi

bahaya perforasi tetap ada.

Kegagalan pengobatan simtomatik tukak petik dengan antasid disebabkan karena:

frekuensi pengobatan yang tidak adekuat, dosis yang diberikan tidak cukup,

pemilihan sediaan yang tidak tepat, sekresi asam lambung di waktu tidur tidak

terkontrol.

Hal-hal berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk penggunaan antasid:

1. penggunaan antasid sistemik jangka panjang sebaiknaydihindarkan

2. bentuk suspensi mula kerjanya lebih cepat daripada bentuk tablet

3. urutan daya netralisasi asam oleh antasid dari yang tinggi ke yang rendah ialah

sebagai berikut: kalsium karbonat, magnesium karbonat, magnesium oksida

dan magensium hidroksida, dihidroksi aluminium natrium karbonat atau

dihidroksi aluminium asetat.

4. campuran dua atau lebih antasid tidak lebih baik daripada satu macam sediaan

antasid. Untuk menghilangkan konstipasi atau diare lebih baik digunkan dua

preparat yang terpisah dibanding campuran

5. jangan menilai biaya pengobatan menurut harga satuan, tetapi berdasarkan

biaya sehari untuk mempertahankan netralnya asam lambung.

Antasid

Antasid adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk

menghilangkan nyeri tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang

dikeluarkan lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin.

Antasid dibagi menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan antasid

nonsistemik. Antasid nonsistemik hampir tidak diarbsorpsi dalam usus sehingga

tidak menimbulkan alkalosis metabolik. Contoh : sediaan magnesium,

alumunium, dan kalsiuum.

Antasid sistemik, misalnya natrium bikarbonat, diarbsorpsi dalam usus halus

sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan gangguan ginjal,

dapat terjadi alkalosis metabolik.

Antasid sistemik

1. Natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya

tinggi; reaksi kimianya sebagai berikut :

Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk dalam lambung akan menimbulkan

sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulkan perforasi.

+selain menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan retensi

natrium dan edema.

Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini

digunkan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin dan

pengobatan pruritus.

Natirum bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram

natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan

1-4 gram.

Antasid nonsistemik

2. Alumunium hidroksida (Al(OH)3)

Reaksi yang terjadi di dalam asam lambung adalah :

Daya menetralkan asam lambung lambat, tetapi masa kerjanya lebih panjang.

Antasid ini mengarbsorpsi pepsin dan menginaktivasinya.

Efek samping Al(OH)3 yang utama adalah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan

pemberiaan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan

absorpsi fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat

disertai osteomalasia. Al(OH)3 dapat mengurangi absorpsi bermacam-macam

vitamin dan tetrasiklin.

Aluminium hidroksida digunkan untuk mengobati tukak peptik, nefrolitiasis

fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan.

Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel. Dosis yang

dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk tablet.

3. Kalsium karbonat

Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif, karena mula kerjanya

cepat, maka kerjanya lama dan daya menetralkan asam cukup tinggi.

Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual, muntah, perdarahan

saluran cerna dan disfungsi ginjal dan fenomena acid rebound. Fenomena

tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja

langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel

parietal yang mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya, sekresi asam pada

malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.

Efek serius yang dapat terjadi adalah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik,

alkalosis, azotemia, teruama terjadi pada penggunaan kronik kalsium karbonat

bersama susu dan antasi lain (milk alkali syndrome).

Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 1000 mg. Satu gram

kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2

mg.

4. Magnesium hidroksida (Mg(OH)2)

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini

praktis ttidak larut dan tidak efektif sebelum obat ini bereaksi dengan HCl

membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap

berada dalam lambung dan akan menteralkan HCl yang disekresi belakangan

sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif

dalam hal menetralkan HCl.

Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek

katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diarbsorpsi, tetap berada di

usus dan akan menarik air.

Sediaan susu magnesium berupa suspensi yang berisi 7-8,5% Mg(OH)2. satu

mL susu magnesium dapat menteralkan 2,7mEq asam. Dosis yang dianjurkan

5-30 mL. Bentuk lain ialah tablet susu magnesium berisi 325 mg.

5. Magnesium trisilikat

Magnesiun trisilikat (Mg2Si3O8nH2O), silikon dioksid berupa gel yang

terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7%

silika dari magnesium trisilikatn akan diarsorbsi melalui usus dan diekresi

dalam urin. Dosis tinggi magnesium trisilikat menyebabkan diare. Ditinjau

dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya untuk menimbulkan toksisitas

yang khas, kurang beralasan untuk menggunakan obat ini sebagai antasid.

Magnesium trisilikat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg; dosis yang

dianjurkan 1-4 mg.

Efek samping

Tidak ada antasid yang bebas efek samping, teruama pada penggunaan dosis besar

jangkat panjang.

Sindroma susu alkali

Hanya timbul pada pasien yang memakai antasida sistemik atau kalsium karbonat

dan minum susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya a.l. sakit

kepala, iritabel, lemah, mual dan muntah.

Batu ginjal, osteomalasia, dan osteoporosis

Aluminium hidroksida dan fosfat dapat membentuk senyawa yang sukar larut

dalam susu halus, sehingga mengurangi abrsorpis fosfat dan diikuti dengan

penurunan eksresi fosfat urin. Penurunan absorbsi ini berakibat resorpsi tulang

yang selanjutnya menyebabkan hiperkalsiuria dan meningkatnya absorpsi kalsium

dari usus halus.

Neurotoksisitas

Aluminium yang diarbsorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun dalam otak, dan

didug mendasari sindroma ensefalopati yang terjadi pada pasien gagal ginjal

kronik dan pasien penyakit alzheimer.

Saluran cerna

Penggunaan antasid yang mengandung magnesium dapat menimbulkan diare dan

yang mengandung aluminium menimbulkan obstruksi terutama berbahaya pada

orang ua dengan pendarahan usus.

Asupan natrium

Hampir semua antasid mengandung natrium, sehingga perlu diperhatikan

penggunannya pada pasien yang harus diet rendah natrium, misalnya pada

penyakit kardiovaskuler.

Interaksi dengan obat lain

Antasid dapat mengurangi absorpsi berbagai obat lain, misalnya INH, penisilin,

tetrasiklin, nitrofurantoin, asam nalidiksat, sulfonamid, fenilbutazon, digoksin,

dan klorpromazin.

B. Obat penghambat sekresei asam lambung

A. Penghambat pompa proton (PPI)

Merupakan penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari AH2. obat ini bekerja

di proses terakhir produksi asam lambung, lebih distal dari AMP.

Farmakodinamik

PPI adalah suatu prodrug yang membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya.

Setelah diarbsorpsi dan masuk ke sirkulasi sistemik obat ini akan berdifusi ke sel

parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi di situ

menjadi bentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus

sulfhidril enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan

berada di membran apikal sel parietal. Ikatan ini menyebabkan terjadinya

penghambtan enzim tersebut. Produksi asam lambung terhenti 80-95%, setelah

penghambatan pompa proton tersebut.

Penhambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam

lambung basal atau akibat simulasi. Hambatan ini bersifat ireversibel, produksi asam

baru dapat kembali terjadi setelah 3-4 hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik

Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik

untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak

mengalami aktivasi di lambung sehingga bioavailabilitasnya lebih baik. Tablet yang

pecah di lambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril

mukus dan makanan. Bioavailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50%

karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu sebaiknya diberikan 30 menit sebelum

makan.

Bioavailabilitas tablet yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat

dijelaskan dengan berkurangnya produksi asam lambung setelah obat bekerja. Obat

ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan

CYP3A4.

Indikasi

Indikasi yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini

dapat menekan produksi asam lambung lebih baik daripada AH2 pads dosis yang efek

sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Efek samping

Mual, nyeri perut, konstipasi flatulence dan diare. Keadaan hipergastrinemia lebih

sering terjadi dan lebih berat pada penggunaan PPI. Keadaan hipergastrinemia ini

dapat menyebabkan rebound hipersekresi asam lambung pada penghentian terapi PPI.

Interaksi Obat

PPI dapat mempengaruhi eliminasi beberapa obat yang mempunyai jalur metabolisme

yang sama dengannya antara lain warfarin (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol dan

rabeprazol), diazepam (esomeprazol, omeprazol) dan siklosporin (omeprazol clan

rabeprazol).

Sediaan dan Posologi

Omeprazol tersedia sebagai kapsul 10 mg dan 20 mg, diberikan 1 kali/ hari selama 8

minggu. Esomeprazol tersedia sebagai tablet salut enterik 20 mg dan 40 mg, serfs

sediaan vial 40 mg / 10 mL. Lansoprazol tersedia sebagai kapsul 15 mg dan 30 mg.

Rabeprazol tersedia sebagai tablet 10 mg. Pantoprazol tersedia sebagai tablet 20 mg

dan 40 mg.

B. Misoprostol

Misoprostol, suatu analog metilester prostaglandin El. Obat ini berefek menghambat

sekresi HCI dan bersifat sitoprotektif untuk mencegah tukak saluran cerna yang

diinduksi obat-obat AINS. Obat ini menyembuhkan tukak lambung dan duodenum.

Misoprostol menyembuhkan tukak duodenum yang telah refrakter terhadap AH2.

Efek samping

Ringan antara lain mual, gangguan abdomen, pusing dan sakit kepala; diare timbul

pada 14-40% pasien. Misoprostol sebaiknya tidak diberi pada wanita hamil.

Dosis dan Sediaan

Oral, dewasa 200 mg 4 kali/ hari atau 400 mg 2 kali/hari. Obat ini diindikasikan untuk

profilaksis tukak lambung pada pasien berisiko tinggi (usia lanjut dan pasien yang

pernah menderita tukak lambung atau perdarahan saluran cerna yang memerlukan

AINS).

C. OBAT YANG MENINGKATKAN

PERTAHANAN MUKOSA LAMBUNG

Sukralfat

Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip lem dalam suasana

asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara selektif.

Sukralfat hampir tidak diabsorpsi secara sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar

terhadap HCI dan pepsin ini terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena

suasana asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, pemberian bersama AH2 atau

antasid menurunkan biovailabilitas.

Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk pengobatan tukak lambung dan

tukak duodenum.

Efek samping dan yang tersering adalah konstipasi. Karena sukralfat mengandung

aluminium, penggunaannya pada pasien gagal ginjal harus hati-hati.

Interaksi. Sukralfat dapat mengganggu absorpsi tetrasiklin, warfarin, fenitoin dan

digoksin, sehingga dianjurkan untuk diberikan dengan interval 2 jam. Sukralfat juga

menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin dan norfloksasin, sehingga untuk meng-

hindari kegagalan pengobatan dengan antibiotika ini, jangan diberikan secara

bersamaan.

Dosis. Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1 g, 4 kali sehari dalam

keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan), selama 4-8 minggu. Pemberian

antasid untuk mengurangi nyeri dapat diberikan dengan interval 1 jam setelah

sukralfat. Untuk pencegahan stress ulcer diberikan 1 g, 6 kali sehari sebagai suspensi

oral.

D. Antagonis Reseptor H2 (AH2)Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.

SIMETIDIN DAN RANITIDIN

FARMAKODINAMIK. Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel.

Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga

pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh

fisiologik simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.

Menghambat sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi

vagus, atau gastrin. Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar

pepsin cairan lambung.

FARMAKOKINETIK. Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan

setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi

simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau

segera setelah makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90.

Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.

Biovailabilitas ranitidin secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien pe-

nyakit hati. Masa paruh kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang

pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai

dalam 1-3 jam dan terikat protein plasma hanya 15%. Ratinidin mengalami

metabolisms lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian

oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya

melalui tinja. Antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi

fetus.

INDIKASI. Simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk

mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya.

Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk gangguan refluks lambung-

esofagus (Gastrcesophageal Reflux Disorder = GERD)

Pada pasien Zollinger Ellison syndrome simetidin, ranitidin, dan antagonis

reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung

yang berlebihan.

EFEK SAMPING. lnsidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya

berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2; Efek samping ini

antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual diare, konstipasi, ruam

kulit, pruritus, kehilangalibido dan impoten.

Interaksi obat. Antasi dan metoklopramid mengurangi bioavailibilitas oral simetidin

sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis, akan tetapi

dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasid atau

metoklopramid dan simetidin oral.