Teori Prisip Produsen

download Teori Prisip Produsen

of 24

Transcript of Teori Prisip Produsen

Teori Prisip Produsen

Teori Prisip Produsen

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam

Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering kali dilakukan oleh seseorang sendiri. Seseorang memproduksi sendiri barang dan jasa yang dikonsumsinya. Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan konsumsi dan keterbatasan sumber daya yang ada ( termasuk kemampuannya ), maka seseorang tidak dapat lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya , tetapi memperoleh dari pihak lain yang mampu menghasilkannya. Karenanya. Kegiatan produksi dan konsumsi kemudian dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda. Untuk memperoleh efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Muncullah spesialisasi dalam produksi. Saat ini hampir tidak ada orang yang mampu mencukupi sendiri kebutuhan konsumsinya.

Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output. Tetapi definidi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi. Meskipun substansinya sama[1]. Berikut ini beberapa pengertian produksi menurut para ekonom muslim kontemporer.

1. Kafh (1992) mendefenesikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagian dunia dan akhirat.

2. Mannan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme (altruism) bagi produsen yang islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsip paretto optimality dan given demand hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.

3. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distibusi produksi secara merata).

4. Ul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasas yang merupakan fadhlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.

5. Siddiqi (1992) mendefenesikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memerhatikan nilai keadilak dan kebajikan/kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak islami.

Dalam definisi-definisi tersebut di atas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Kahf misalnya memberi tekanan pada tercapainya tujuan kegiatan produksi yang harus selaras dengan tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Mannan dalam penolakannya terhadap konsep pareto optimality pada dasarnya juga mempromosikan suatu ide mengenai pentingnya distibusi alokatif yang lebih adil di antara manusia yang dipercayai bisa mengangkat harkat hidup manusia. Kahf dan ul haq mengategorikan kegiatan produksi sebagai wajib kifayah. Pengategorian ini penting untuk menjamin berlangsungnya kegiatan produksi sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan (manusia) di dunia dan akhirat.

Dari berbagai definisi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa kepentingan manusia, yang sejalan dengan moral islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiatan produksi. Produksi adalah proses mencari. Mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia[2]. Oleh karena itu, produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilakan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.

B. Tujuan Produksi Menurut Islam

Sebagaimana telah dikemukakan, kegiatan produksi merupakan respons terhadap kegiatan konsumsi, atau sebaliknya. Produksi adalah kegiatan menciptakan suatu barang atau jasa, sementara konsumsi adalah pemakaian atau pemanfaatan hasil produksi tersebut[3]. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkait satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Apabila keduanya tidak sejalan, maka tentu saja kegiatan ekonomi tidak akan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya, dalam konsumsi kita dilarang untuk memakan atau meminum barang-barang yang haram seperti alkohol, babi, bangkai, binatang yang tidak disembelih atas nama Allah, dan binatang buas.

Seorang konsumen yang berperilaku islami juga tidak boleh melakukan israf atau berlebih-lebihan, tetapi hendaknya konsumsi dilakukan dalam takaran moderat. Perilaku konsumen yang seperti ini tentu akan sulit terwujud apabila kegiatan produksinya tidak sejalan. Misalnya produksi (dan mata rantainya, seperti pemasaran) alkohol yang marak, kemudian produsen memasarkan alkohol tersebut sedemikian rupa (dengan cara menarik) sehingga kemungkinan perilaku konsumen akan terpengaruh. Dalam situasi seperti ini implementasi perilaku konsumsi yang islami sulit direalisasikan. Jadi perilaku produsen harus sepenuhnya sejalan dengan perilaku konsumen.

Tujuan seorang konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa dalam perspektif ekonomi islam adalah mencari mashlahah maksimum dan produsen pun juga harus demikian. Dengan kata lain, tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum bagi konsumen. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk di antaranya :

1. pemenuhan kebutuhan manusia pada tingakatak moderat.

2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya.

3. Menyiapkan persediaan barang atau jasa di masa depan.

4. Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.

Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini menimbulkan setidaknya dua amplikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu merupakan keinginan konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang islami, bukan sekedar memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Karenanya prinsip costumer satisfaction atau given demand hipotesis yang banyak dijadikan pegangan produsen kapitalitas produksi tidak dapat diimplementasikan begitu saja. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar, produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubadziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat. Semakin menipisnya persediaan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu masalah serius dalam pembangunan ekonomi modern saat ini.

C. Motivasi Produsen Dalam Berproduksi

Apakah motivasi yang mengerakkan produsen dalam kegiatan produksi ? Apakah tujuan seorang produsen ketika menghasilkan barang dan jasa bagi konsumen ? Apakah produsen yang islami sekedar mencari keuntungan maksimum sebagaimana dalam pandangan ekonomi konvensional, atau sebaliknya sama sekali tidak mencari keuntungan ? Jawaban dari pertanyaan ini dengan mudah diperoleh dengan memerhatikan tujuan kegiatan produksi dalam ekonomi islam dan tujuan kehidupan seorang muslim di dunia ini.

Anggapan bahwa motivasi utama bagi produsen adalah mencari keuntungan material (uang) secara maksimal dalam ekonomi konvensional sangatlah dominan, meskipun kemungkinan juga masih terdapat motivasi lainnya. Produsen adalah seorang profit seeker sekaligus profit maximizer. Strategi, konsep dan teknik berproduksi semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksumum, baik dalam jangka pendek (short run profit) atau jangka panjang (long run profit). Miltron friedman seorang nobel laureate di bidang ekonomi menunjuk bahwa satu-satunya fungsi dunia usaha (business) adalah untuk melakukan aktivitas yang ditunjukan untuk meningkatkan keuntungan, sepanjang hal ini didasarkan pada aturan main yang ada[4]. Dengan kata lain, mereka hanya perlu berpartisipasi dalam persaingan bebas dan terbuka tanpa adanya kecurangan dan pemalsuan/penipuan. Jadi, produsen hanua diwajibkan patuh pada hukum (rule of the game) saja. Di samping itu, banyak di antara ekonom barat yang merekomendasikan bahwa tugas-tugas sosial, apa pun bentuknya, merupakan kewajiban pemerintah untuk menanganinyam, dunia usaha tidak perlu iku campur dalam hal ini.

Jika tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan meterial dan spiritual untuk menciptakan mashlahah, maka motivasi produsen tentu saja juga mencari mashlahah dimana hal ini juaga sejalan dengan tujuan kehiduapan seorang muslim. Dengan demikian, produsen dalam pandangan ekonomi islam adalah mashlahah maximizer, mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang. Sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam.

1. Keuntungan, Kerja, dan Tawakkal

Keabsahan keuntungan bagi kegiatan produksi dalam ekonomi islamtidak perlu disangsikan lagi. Ajaran Islam bersikap sangat positif dan proaktif terhadap upaya manusia untuk mencari keuntungan, sepanjang cara yang dilakukan tidak melanggar syariat. Upaya mencari keuntungan merupakan konsekuensi dari aktivitas kerja produktif yang dilakukan seseorang, sementarakeuntungan itu sendiri merupakan rizeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Dalam pandangan Islam, kerja bukanlah sekedar aktivitas yang sifat duniawi, tetapi memiliki nilai transendensi. Kerja merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mahluk-Nya. Kerja merupakan salah satu cara yang halalan thayyibah untuk memperoleh harta (maal) dan hak milik (al milk) yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan. Dengan kerja seseorang dapat memperoleh hak milik yang sah sehingga orang lain tidak dapat mengganggunya. Kerja juga merupakan aktivitas yang menjadikan manusia bernilai/berguna dimata Allah dan Rasul-Nya, serta dimata masyarakat. Harga diri manusia dapat dilihat dari apa yang dikerjakannya, demikian pula masyarakat menilai seseorang dari apa yang dikerjakannya. Menurut Ibnu Khaldun, kerja merupakan imlementasi fungsi kekhalifahan manusia yang diwujudkan dalam menghasilkan suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari hasil kerja.

Rasulullah Muhammad Saw, para nabi, dan para sahabat adalah para pekerja keras dan selalu menganjurkan agar manusia berkerja keras. Berikut ini beberapa hadis yang memberikan anjuran untuk berkerja keras :

Tidak ada satu makanan pun yang dimakan seseorang itu lebih baik daripada makanan hasil usaha sndiri. (HR Bukhari)

Barangsiapa di malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tangannya di siang hari maka dia diampuni dosanya (oleh Allah). (HR Thabrani)

Tidak ada seorang laki-laki yang menanamtanaman (bekerja) kecuali Allah mencatat baginya pahala (sebesar) apa yang keluar dari tanaman tersebut. (HR Abu Dawud dan Hakim)

Kebalikan dari kerja keras adalah pengangguran dan sikap bermalas-malasan. Islam sangat membenci pengangguran, peminta-minta dan sikap pasif dalam mencari maal.Allah telah membeikan suatu perumpamaan yang tegas tentang perbedaan antara penganggur dan peminta-minta ini dengan seorang yang bekerja sebagai seorang yang bisu dan tuli dengan orang yang waras. Orang yang bisu dan tuli akan menjadi beban orang yang menanggungnya sehingga dia akan terhina dan relatif sulit untuk berbuat kebaikkan. Sebaliknya, orang yang berkerja akan mendapatkan kekuatan untuk menegakkan kebaikkan dan keadilan sehingga mendapatkan kedudukan yang mulia. Rasulullah Saw menyuruh ummatnya untuk menghindari perbuatan meminta-minta dan menganggap sikap yang paling mulia adalah berusaha dengan bekerja, sebagaimana dalam hadisnya:

Ini (bekerja) adalah lebih baik bagimu daripada meminta-minta yang akan mendatangkan titik hitam diwajahmu pada hari kiamat kelak. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan mulialah dengan menyantuni orang-orang yang kamu asuhSebagian orang juga bersikap sangat pasif dalam bekerja dengan alasan bertawakal (berserah diri) kepada Allah. Mereka tidak bekerja atau hanya bekerja seadanya dengan alasan berserah diri pada pemberian Allah. Kadangkala mereka juga beralasan bahwa karena rizeki telah diatur oleh Allah, maka tidak diperlukan kerja keras, sebab kalau Allah memberi pasti rizeki datang dengan sendirinya. Umar bin Khattab r.a pernah menjumpai suatu kaum yang mengaggur, kemudian beliau bertanya, Apa-apaan kalian ini? mereka menjawab, Kami adalah orang-orang yang bertawakal Umar kemudian menjawab, Kalian bohong! Orang bertawakal adalah orang yang menebar biji-bijian diladang, kemudian berserah diri kepada Allah. Ketakwaan kepada Allah seharusnya diwujudkan dalam kerja keras, sebab Allah tidak menurunkan rizekinya begitu saja dari langit. Keadaan seseorang tidak akan berubah jika manusia itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya sendiri.

2. kegiatan produksi pada masa Rasulullah Muhammad SAW.

Masyarkat islam pada dasarnya adalah masyarakat produktif sebagaimana telah ditunjukkan dalam sejarah industri pada masa Rasulullah. Menurut abul hasan bin masud al khuzai al andalusiy, seorang penulis muslim dari Tilmizan. Andalusia pada abad ke -14, masyarakat Madani adalah masyarakat yang produktif. Dalam bukunya yang berjudul takhrijul dalalah as samiyyah ala ma kana fii ahdi Rasulillah SAW. Minal harafi wasshinaati wal umalat is syariyyah (bukti-bukti autentik tentang usaha industri di zaman Rasulullah SAW.) bahwa pada masa Rasulullah terdapat kurang lebih 178 buah usaha industri dan bisnis barang dan jasa yang menggerakkan perekonomian masyrarakat pada masa itu.

Di antara berbagai industri tersebut, terdapat 12 macam yang menonjol, yaitu :

a. Pembuatan senjata dan segala usaha dari besi.

b. Perusahaan tenun-menenun.

c. Perusahaan kayu dan pembuatan rumah atau bangunan.

d. Perusahaan meriam dari kayu.

e. Perusahaan perhiasan dan kosmetik.

f. Arsitektur perumahan.

g. Perusahan alat timbangan dan jenis lainnya.

h. Pembuatan alat-alat berburu.

i. Perusahaan perkapalan.

j. Pekerjaan kedokteran dan kebidanan.

k. Usaha penerjemahan buku.

l. Usaha kesenian dan kebudayaan lainnya.

Kegiatan produktif adalah ekspresi ketaatan pada perintah Allah. Tujuan dari syariat Islam (maqashid al-syariah) adalah mashlahah al ibad, sedangkan produksi adalah kegiatan menciptakan barang dan jasa bagi kemashlahatan umat. Oleh karena itu, juga tidak mengherankan jika para nabi Allah, sebelum Muhammad SAW. Pada dasarnya adalah pribadi-pribadi yang produktif dalam bidang ekonomi (di samping berdakwah)

D.Formulasi Mashlahah Bagi Produsen

Bagaimana konsep mashlahah diaplikasikan dalam perilaku produsen ? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam bab IV bahwasannya mashlahah terdiri dari dua komponen, yaitu manfaat (fisik dan nonfisik) dan berkah. Dalam konteks produsen atau perusahaan yang menaruh perhatian pada keuntungan profit , maka manfaat ini dapat berupa keuntungan material (maal). Keuntungan ini bisa dipergunakan untuk mashlahah lainnya seperti mashlahah fisik,intelektual,maupun social. Untuk itu rumusan mashlahah yang menjadi perhatian produsen adalah :

Mashlahah = Keuntungan + Berkah

M = + B

Dimana M menunjukkan mashlahah, n adalah keuntungan, dan B adalah berkah. Dalam hal ini berkah didefinisikan sebagaimana dalam bab IV, dimana produsen akan menggunakan proksi yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasikannya, yaitu adanya pahala pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total /total revenue (TR) dengan biaya totalnya /total cost (TC), yaitu :

= TR - TC

Pada dasarnya berkah akan diperoleh apabila produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinya. Penerapan nilai dan prinsip islam ini sering kali menimbulkan biaya ekstra yang relatif besar dibandingkan jika mengabaikannya. Di sisi lain, berkah yang diterima merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen atau berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC), yaitu :

B = BR BC = -BC

Dalam persamaan diatas penerimaan berkah dapat diasumsikan nilaInya nol atau secara indrawi tidak dapat diobservasi karena berkah memang tidak secara langsung selalu berwujud material. Dengan demikian, mashlahah sebagaimana didefinisikan bisa ditulis kembali menjadi :

M = TR TC BC

Dalam persamaan diatas ekspresi berkah,BC,menjadi faktor pengurang. Hal ini masik akal karena berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan harus dicari dan diupayakan kehadirannya sehingga kemungkinan akan timbul beban ekonomi atau bahkan finansial dalam rangka itu. Sebagai contoh, produsen dilarang untuk melakukan ekploitasi terhadap tenaga kerja dan harus menunaikan hak-hak tenaga kerja dengan baik, meskipun kesempatan mengeksploitasi itu terbuka dan tenaga kerja pun sering kali tidak akan menyadarinya. Dengan mengeksploitasi tenaga kerja (misalnya dengan menekan tingkat upahnya) sebenarnya produsen dapat meningkatkan efisiensi biaya tenaga kerja yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya keuntungan. Namun, karena pengusaha muslim berorientasi pada berkah maka hal tersebut tidak akan dilakukan, meskipun konsekuensinya harus mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Contoh yang lain adalah penerapan prinsip dan nilai halalan thayyibah dal produksi, dimana seluruh kegiatan produksi dan input yang digunakannya adalah legal/resmi dan baik. Penggunaan illegal logging dalam industri furnitur memang kemungkinan akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan jika menggunakan illegal logging, sebab biasanya kayu yang berasal dari illegal logging harganya lebih mahal. Untuk mendapatkan berkah,produsen muslim akan rela mengeluarkan biaya yang lebih tinggi guna membeli kayu yang legal.

Produsen seperti ini rela mengeluarkan biaya lebih tinggi dikarenakan yakin bahwa hanya dengan cara tersebut berkah dari langit maupun di muka bumi akan diberika oleh ALLAH. Berkah dari langit akan berupa pahala yang kelak diterimanya diakherat, sementara berkah dibumi dapat berwujud segala hal yang memberikan manfaat dan kebaikan bagi produsen sendiri maupun manusia secara keseluruhan.

Komitmen produsen terhadap hak-hak tenaga kerja, misalnya akan menigkatkan etos , loyalitas, dan produktivitas tenaga kerja terhadap produsen. Akibatnya para tenaga kerja akan bekerja dengan lebih baik sehingga pada akhirnya juga akan menguntungkan produsen itu sendiri. Komitmen seperti ini dipastikan juga akan meningkatkan citra positif produsen dimata masyarakat sehingga kemungkinan juga akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produsen. Pada akhirnya apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Jadi, upaya mencari berkah dalam jangka pendek memang dapat menurunkan keuntungan (karena adanya biaya berkah), tetapi untuk jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan (karena meningkatnya permintaan).

Berkah di bumi juga dapat berwujud kebaikan dan manfaat yang diterima masyarakat secara keseluruhan. Penggunaan illegal logging untuk biaya industri furniture, sebagaimana dicontohkan diatas, akan menimbulkan banyak dampak negatif seperti meluasnya kerusakan hutan. Kerusakan hutan ini kemudian tidak saja menyebabkan adanya krisis sumber daya, tetapi juga menimbulkan berbagai bencana seperti meningkatnya pemanasan global, bencana tanah longsor, banjir, dan punahnya flora dan fauna. Bencana-bencana pada akhirnya juga akan menimbulkan kerugian material yang sangat besar. Jadi meningkatnya keuntungan satu produsen (karena murahnya kayu dari illegal logging) harus dibayar mahal oleh keseluruhan masyarakat. Sebaliknya, jika produsen hanya menggunakan kayu yang halalan toyyiban, maka berbagai bencana diatas dapat dikurangi. Biaya lebih yang harus dikeluarkan oleh satu produsen (karena harus menggunakan bahan kayu legal) tentu tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat secara keseluruhan.

Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) tentu saja akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga yang telah mengakomodasi pengeluaran berkah tersebut,yaitu :

BP = P + BC

Dengan demikian, rumusan mashlahah yang diekspresikan diatas akan berubah menjadi :

M = BTR - TC - BC

Selanjutnya dengan pendekatan kalkulus terhadap persamaan diatas, maka bisa ditemukan pedoman yang bisa digunakan oleh produsen dalam memaksimumkan mashlahah atau optimum mashlahah condition (OMC) yaitu :

BP dQ = dTC + dBC

Jadi optimum mashlahah condition di atas menyatakan bahwasannya mashlahah akan maksimum jika dan hanya jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang diproduksi. Jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) masih lebih besar dari pengeluarannya, dTC + dBC, maka produsen akan mempunyai dorongan (incentive) untuk menambah jumlah produksi lagi. Hanya jika nilai unit terakhir hanya pas untuk membayar kompensasi yang dikeluarkan dalam rangka memproduksi unit tersebut, dTC + dBC , maka tidak aka nada lagi dorongan bagi produsen untuk menambah produksi lagi. Dalam kondisi demikian produsen dikatakan berada pada posisi keseimbangan (equilibrium) atau optimum.

E .Nilai-nilai islam dalam produksi

Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam . dengan kata lain , seluruh kegiatan produksi terkait pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islam , sebagaimana dalam kegiatan konsumsi sejak dari kegiatan mengorganisasi faktor produksi , proses produksi , hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti mayoritas dan aturan teknis yang dibenarkan oleh islam . Metwal (1992) mengatakan . perbedaan dari perusahaan-perusahaan non islami tak hanya pada tujuanya , tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya

Nilai nilai Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi Islam ,yaitu : khilafah , adil dan takaful secara lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi :

1. Berwawasan jangka panjang ,yaitu lerrorientasi kepada tujuan akhirat

2. Menepati janji dan kontrak . baik dalam lingkup internal ataupun eksternal

3. Memenuhi takaran ,ketepatan ,kelugasan , dan kebenaran

4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis

5. Memuliakan prestasi / produktivitas

6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi

7. Menghormati hak milik individu

8. Mengikuti syarat syah & rukun akad transaksi

9. Adil dalam bertransaksi

10. Memiliki wawasan soaial

11. Pembayaran upah tepat pada waktu dan layak

12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam

Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen , tetapi sekaligus mendatangkan berkah . Kombinasi keuntungan dan berkah yang diperoleh oleh produsen merupakan satu maslahah yang akan memberi kontribusi bagi tercapainya falah . Dengan cara ini , maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki , yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.

Kesimpulan

1. Secara teknis produksi adalah mentrasformasi input menjadi output , tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas . kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya , yaitu mengutamakan harkat kemuliaan manusia

2. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang paling berkait satu lainnya . Kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat , menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhanya, menyiapkan persediaan barang jasa di masa depan, serta memenuhi sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.

3. Produsen dalam pandangan ekonomi Islam adalah mashlahah maximilizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang, sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam. Mashlahah bagi produsen terdiri dari dua komponen, yaitu keuntungan dan berkah

4. Optimum mashlahah condition menyatakan bahwasanya mashlahah akan mencapai tingkat maksimum jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang diproduksi.

5. Seluruh kegiatan produksi terkait pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami, sebagaimana juga dalam kegiatan konsumsi, yaitu : khilafah, adil, dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai ini misalnya berwawasan jangka panjang, manepati janji dan kontrak, menghindari hal yang di haramkan, dan lain-lain

Teori Prisip Produsen

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam

Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi sering kali dilakukan oleh seseorang sendiri. Seseorang memproduksi sendiri barang dan jasa yang dikonsumsinya. Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan konsumsi dan keterbatasan sumber daya yang ada ( termasuk kemampuannya ), maka seseorang tidak dapat lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya , tetapi memperoleh dari pihak lain yang mampu menghasilkannya. Karenanya. Kegiatan produksi dan konsumsi kemudian dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda. Untuk memperoleh efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Muncullah spesialisasi dalam produksi. Saat ini hampir tidak ada orang yang mampu mencukupi sendiri kebutuhan konsumsinya.

Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output. Tetapi definidi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi. Meskipun substansinya sama[1]. Berikut ini beberapa pengertian produksi menurut para ekonom muslim kontemporer.

1. Kafh (1992) mendefenesikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagian dunia dan akhirat.

2. Mannan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme (altruism) bagi produsen yang islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsip paretto optimality dan given demand hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.

3. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distibusi produksi secara merata).

4. Ul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasas yang merupakan fadhlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.

5. Siddiqi (1992) mendefenesikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memerhatikan nilai keadilak dan kebajikan/kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak islami.

Dalam definisi-definisi tersebut di atas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Kahf misalnya memberi tekanan pada tercapainya tujuan kegiatan produksi yang harus selaras dengan tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Mannan dalam penolakannya terhadap konsep pareto optimality pada dasarnya juga mempromosikan suatu ide mengenai pentingnya distibusi alokatif yang lebih adil di antara manusia yang dipercayai bisa mengangkat harkat hidup manusia. Kahf dan ul haq mengategorikan kegiatan produksi sebagai wajib kifayah. Pengategorian ini penting untuk menjamin berlangsungnya kegiatan produksi sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan (manusia) di dunia dan akhirat.

Dari berbagai definisi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa kepentingan manusia, yang sejalan dengan moral islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiatan produksi. Produksi adalah proses mencari. Mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia[2]. Oleh karena itu, produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilakan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.

B. Tujuan Produksi Menurut Islam

Sebagaimana telah dikemukakan, kegiatan produksi merupakan respons terhadap kegiatan konsumsi, atau sebaliknya. Produksi adalah kegiatan menciptakan suatu barang atau jasa, sementara konsumsi adalah pemakaian atau pemanfaatan hasil produksi tersebut[3]. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkait satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Apabila keduanya tidak sejalan, maka tentu saja kegiatan ekonomi tidak akan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya, dalam konsumsi kita dilarang untuk memakan atau meminum barang-barang yang haram seperti alkohol, babi, bangkai, binatang yang tidak disembelih atas nama Allah, dan binatang buas.

Seorang konsumen yang berperilaku islami juga tidak boleh melakukan israf atau berlebih-lebihan, tetapi hendaknya konsumsi dilakukan dalam takaran moderat. Perilaku konsumen yang seperti ini tentu akan sulit terwujud apabila kegiatan produksinya tidak sejalan. Misalnya produksi (dan mata rantainya, seperti pemasaran) alkohol yang marak, kemudian produsen memasarkan alkohol tersebut sedemikian rupa (dengan cara menarik) sehingga kemungkinan perilaku konsumen akan terpengaruh. Dalam situasi seperti ini implementasi perilaku konsumsi yang islami sulit direalisasikan. Jadi perilaku produsen harus sepenuhnya sejalan dengan perilaku konsumen.

Tujuan seorang konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa dalam perspektif ekonomi islam adalah mencari mashlahah maksimum dan produsen pun juga harus demikian. Dengan kata lain, tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum bagi konsumen. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk di antaranya :

1. pemenuhan kebutuhan manusia pada tingakatak moderat.

2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya.

3. Menyiapkan persediaan barang atau jasa di masa depan.

4. Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.

Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini menimbulkan setidaknya dua amplikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu merupakan keinginan konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang islami, bukan sekedar memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Karenanya prinsip costumer satisfaction atau given demand hipotesis yang banyak dijadikan pegangan produsen kapitalitas produksi tidak dapat diimplementasikan begitu saja. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar, produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubadziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat. Semakin menipisnya persediaan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu masalah serius dalam pembangunan ekonomi modern saat ini.

C. Motivasi Produsen Dalam Berproduksi

Apakah motivasi yang mengerakkan produsen dalam kegiatan produksi ? Apakah tujuan seorang produsen ketika menghasilkan barang dan jasa bagi konsumen ? Apakah produsen yang islami sekedar mencari keuntungan maksimum sebagaimana dalam pandangan ekonomi konvensional, atau sebaliknya sama sekali tidak mencari keuntungan ? Jawaban dari pertanyaan ini dengan mudah diperoleh dengan memerhatikan tujuan kegiatan produksi dalam ekonomi islam dan tujuan kehidupan seorang muslim di dunia ini.

Anggapan bahwa motivasi utama bagi produsen adalah mencari keuntungan material (uang) secara maksimal dalam ekonomi konvensional sangatlah dominan, meskipun kemungkinan juga masih terdapat motivasi lainnya. Produsen adalah seorang profit seeker sekaligus profit maximizer. Strategi, konsep dan teknik berproduksi semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksumum, baik dalam jangka pendek (short run profit) atau jangka panjang (long run profit). Miltron friedman seorang nobel laureate di bidang ekonomi menunjuk bahwa satu-satunya fungsi dunia usaha (business) adalah untuk melakukan aktivitas yang ditunjukan untuk meningkatkan keuntungan, sepanjang hal ini didasarkan pada aturan main yang ada[4]. Dengan kata lain, mereka hanya perlu berpartisipasi dalam persaingan bebas dan terbuka tanpa adanya kecurangan dan pemalsuan/penipuan. Jadi, produsen hanua diwajibkan patuh pada hukum (rule of the game) saja. Di samping itu, banyak di antara ekonom barat yang merekomendasikan bahwa tugas-tugas sosial, apa pun bentuknya, merupakan kewajiban pemerintah untuk menanganinyam, dunia usaha tidak perlu iku campur dalam hal ini.

Jika tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan meterial dan spiritual untuk menciptakan mashlahah, maka motivasi produsen tentu saja juga mencari mashlahah dimana hal ini juaga sejalan dengan tujuan kehiduapan seorang muslim. Dengan demikian, produsen dalam pandangan ekonomi islam adalah mashlahah maximizer, mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang. Sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam.

1. Keuntungan, Kerja, dan Tawakkal

Keabsahan keuntungan bagi kegiatan produksi dalam ekonomi islamtidak perlu disangsikan lagi. Ajaran Islam bersikap sangat positif dan proaktif terhadap upaya manusia untuk mencari keuntungan, sepanjang cara yang dilakukan tidak melanggar syariat. Upaya mencari keuntungan merupakan konsekuensi dari aktivitas kerja produktif yang dilakukan seseorang, sementarakeuntungan itu sendiri merupakan rizeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Dalam pandangan Islam, kerja bukanlah sekedar aktivitas yang sifat duniawi, tetapi memiliki nilai transendensi. Kerja merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mahluk-Nya. Kerja merupakan salah satu cara yang halalan thayyibah untuk memperoleh harta (maal) dan hak milik (al milk) yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan. Dengan kerja seseorang dapat memperoleh hak milik yang sah sehingga orang lain tidak dapat mengganggunya. Kerja juga merupakan aktivitas yang menjadikan manusia bernilai/berguna dimata Allah dan Rasul-Nya, serta dimata masyarakat. Harga diri manusia dapat dilihat dari apa yang dikerjakannya, demikian pula masyarakat menilai seseorang dari apa yang dikerjakannya. Menurut Ibnu Khaldun, kerja merupakan imlementasi fungsi kekhalifahan manusia yang diwujudkan dalam menghasilkan suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari hasil kerja.

Rasulullah Muhammad Saw, para nabi, dan para sahabat adalah para pekerja keras dan selalu menganjurkan agar manusia berkerja keras. Berikut ini beberapa hadis yang memberikan anjuran untuk berkerja keras :

Tidak ada satu makanan pun yang dimakan seseorang itu lebih baik daripada makanan hasil usaha sndiri. (HR Bukhari)

Barangsiapa di malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tangannya di siang hari maka dia diampuni dosanya (oleh Allah). (HR Thabrani)

Tidak ada seorang laki-laki yang menanamtanaman (bekerja) kecuali Allah mencatat baginya pahala (sebesar) apa yang keluar dari tanaman tersebut. (HR Abu Dawud dan Hakim)

Kebalikan dari kerja keras adalah pengangguran dan sikap bermalas-malasan. Islam sangat membenci pengangguran, peminta-minta dan sikap pasif dalam mencari maal.Allah telah membeikan suatu perumpamaan yang tegas tentang perbedaan antara penganggur dan peminta-minta ini dengan seorang yang bekerja sebagai seorang yang bisu dan tuli dengan orang yang waras. Orang yang bisu dan tuli akan menjadi beban orang yang menanggungnya sehingga dia akan terhina dan relatif sulit untuk berbuat kebaikkan. Sebaliknya, orang yang berkerja akan mendapatkan kekuatan untuk menegakkan kebaikkan dan keadilan sehingga mendapatkan kedudukan yang mulia. Rasulullah Saw menyuruh ummatnya untuk menghindari perbuatan meminta-minta dan menganggap sikap yang paling mulia adalah berusaha dengan bekerja, sebagaimana dalam hadisnya:

Ini (bekerja) adalah lebih baik bagimu daripada meminta-minta yang akan mendatangkan titik hitam diwajahmu pada hari kiamat kelak. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan mulialah dengan menyantuni orang-orang yang kamu asuhSebagian orang juga bersikap sangat pasif dalam bekerja dengan alasan bertawakal (berserah diri) kepada Allah. Mereka tidak bekerja atau hanya bekerja seadanya dengan alasan berserah diri pada pemberian Allah. Kadangkala mereka juga beralasan bahwa karena rizeki telah diatur oleh Allah, maka tidak diperlukan kerja keras, sebab kalau Allah memberi pasti rizeki datang dengan sendirinya. Umar bin Khattab r.a pernah menjumpai suatu kaum yang mengaggur, kemudian beliau bertanya, Apa-apaan kalian ini? mereka menjawab, Kami adalah orang-orang yang bertawakal Umar kemudian menjawab, Kalian bohong! Orang bertawakal adalah orang yang menebar biji-bijian diladang, kemudian berserah diri kepada Allah. Ketakwaan kepada Allah seharusnya diwujudkan dalam kerja keras, sebab Allah tidak menurunkan rizekinya begitu saja dari langit. Keadaan seseorang tidak akan berubah jika manusia itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya sendiri.

2. kegiatan produksi pada masa Rasulullah Muhammad SAW.

Masyarkat islam pada dasarnya adalah masyarakat produktif sebagaimana telah ditunjukkan dalam sejarah industri pada masa Rasulullah. Menurut abul hasan bin masud al khuzai al andalusiy, seorang penulis muslim dari Tilmizan. Andalusia pada abad ke -14, masyarakat Madani adalah masyarakat yang produktif. Dalam bukunya yang berjudul takhrijul dalalah as samiyyah ala ma kana fii ahdi Rasulillah SAW. Minal harafi wasshinaati wal umalat is syariyyah (bukti-bukti autentik tentang usaha industri di zaman Rasulullah SAW.) bahwa pada masa Rasulullah terdapat kurang lebih 178 buah usaha industri dan bisnis barang dan jasa yang menggerakkan perekonomian masyrarakat pada masa itu.

Di antara berbagai industri tersebut, terdapat 12 macam yang menonjol, yaitu :

a. Pembuatan senjata dan segala usaha dari besi.

b. Perusahaan tenun-menenun.

c. Perusahaan kayu dan pembuatan rumah atau bangunan.

d. Perusahaan meriam dari kayu.

e. Perusahaan perhiasan dan kosmetik.

f. Arsitektur perumahan.

g. Perusahan alat timbangan dan jenis lainnya.

h. Pembuatan alat-alat berburu.

i. Perusahaan perkapalan.

j. Pekerjaan kedokteran dan kebidanan.

k. Usaha penerjemahan buku.

l. Usaha kesenian dan kebudayaan lainnya.

Kegiatan produktif adalah ekspresi ketaatan pada perintah Allah. Tujuan dari syariat Islam (maqashid al-syariah) adalah mashlahah al ibad, sedangkan produksi adalah kegiatan menciptakan barang dan jasa bagi kemashlahatan umat. Oleh karena itu, juga tidak mengherankan jika para nabi Allah, sebelum Muhammad SAW. Pada dasarnya adalah pribadi-pribadi yang produktif dalam bidang ekonomi (di samping berdakwah)

D.Formulasi Mashlahah Bagi Produsen

Bagaimana konsep mashlahah diaplikasikan dalam perilaku produsen ? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam bab IV bahwasannya mashlahah terdiri dari dua komponen, yaitu manfaat (fisik dan nonfisik) dan berkah. Dalam konteks produsen atau perusahaan yang menaruh perhatian pada keuntungan profit , maka manfaat ini dapat berupa keuntungan material (maal). Keuntungan ini bisa dipergunakan untuk mashlahah lainnya seperti mashlahah fisik,intelektual,maupun social. Untuk itu rumusan mashlahah yang menjadi perhatian produsen adalah :

Mashlahah = Keuntungan + Berkah

M = + B

Dimana M menunjukkan mashlahah, n adalah keuntungan, dan B adalah berkah. Dalam hal ini berkah didefinisikan sebagaimana dalam bab IV, dimana produsen akan menggunakan proksi yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasikannya, yaitu adanya pahala pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total /total revenue (TR) dengan biaya totalnya /total cost (TC), yaitu :

= TR - TC

Pada dasarnya berkah akan diperoleh apabila produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinya. Penerapan nilai dan prinsip islam ini sering kali menimbulkan biaya ekstra yang relatif besar dibandingkan jika mengabaikannya. Di sisi lain, berkah yang diterima merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen atau berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC), yaitu :

B = BR BC = -BC

Dalam persamaan diatas penerimaan berkah dapat diasumsikan nilaInya nol atau secara indrawi tidak dapat diobservasi karena berkah memang tidak secara langsung selalu berwujud material. Dengan demikian, mashlahah sebagaimana didefinisikan bisa ditulis kembali menjadi :

M = TR TC BC

Dalam persamaan diatas ekspresi berkah,BC,menjadi faktor pengurang. Hal ini masik akal karena berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan harus dicari dan diupayakan kehadirannya sehingga kemungkinan akan timbul beban ekonomi atau bahkan finansial dalam rangka itu. Sebagai contoh, produsen dilarang untuk melakukan ekploitasi terhadap tenaga kerja dan harus menunaikan hak-hak tenaga kerja dengan baik, meskipun kesempatan mengeksploitasi itu terbuka dan tenaga kerja pun sering kali tidak akan menyadarinya. Dengan mengeksploitasi tenaga kerja (misalnya dengan menekan tingkat upahnya) sebenarnya produsen dapat meningkatkan efisiensi biaya tenaga kerja yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya keuntungan. Namun, karena pengusaha muslim berorientasi pada berkah maka hal tersebut tidak akan dilakukan, meskipun konsekuensinya harus mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Contoh yang lain adalah penerapan prinsip dan nilai halalan thayyibah dal produksi, dimana seluruh kegiatan produksi dan input yang digunakannya adalah legal/resmi dan baik. Penggunaan illegal logging dalam industri furnitur memang kemungkinan akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan jika menggunakan illegal logging, sebab biasanya kayu yang berasal dari illegal logging harganya lebih mahal. Untuk mendapatkan berkah,produsen muslim akan rela mengeluarkan biaya yang lebih tinggi guna membeli kayu yang legal.

Produsen seperti ini rela mengeluarkan biaya lebih tinggi dikarenakan yakin bahwa hanya dengan cara tersebut berkah dari langit maupun di muka bumi akan diberika oleh ALLAH. Berkah dari langit akan berupa pahala yang kelak diterimanya diakherat, sementara berkah dibumi dapat berwujud segala hal yang memberikan manfaat dan kebaikan bagi produsen sendiri maupun manusia secara keseluruhan.

Komitmen produsen terhadap hak-hak tenaga kerja, misalnya akan menigkatkan etos , loyalitas, dan produktivitas tenaga kerja terhadap produsen. Akibatnya para tenaga kerja akan bekerja dengan lebih baik sehingga pada akhirnya juga akan menguntungkan produsen itu sendiri. Komitmen seperti ini dipastikan juga akan meningkatkan citra positif produsen dimata masyarakat sehingga kemungkinan juga akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produsen. Pada akhirnya apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Jadi, upaya mencari berkah dalam jangka pendek memang dapat menurunkan keuntungan (karena adanya biaya berkah), tetapi untuk jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan (karena meningkatnya permintaan).

Berkah di bumi juga dapat berwujud kebaikan dan manfaat yang diterima masyarakat secara keseluruhan. Penggunaan illegal logging untuk biaya industri furniture, sebagaimana dicontohkan diatas, akan menimbulkan banyak dampak negatif seperti meluasnya kerusakan hutan. Kerusakan hutan ini kemudian tidak saja menyebabkan adanya krisis sumber daya, tetapi juga menimbulkan berbagai bencana seperti meningkatnya pemanasan global, bencana tanah longsor, banjir, dan punahnya flora dan fauna. Bencana-bencana pada akhirnya juga akan menimbulkan kerugian material yang sangat besar. Jadi meningkatnya keuntungan satu produsen (karena murahnya kayu dari illegal logging) harus dibayar mahal oleh keseluruhan masyarakat. Sebaliknya, jika produsen hanya menggunakan kayu yang halalan toyyiban, maka berbagai bencana diatas dapat dikurangi. Biaya lebih yang harus dikeluarkan oleh satu produsen (karena harus menggunakan bahan kayu legal) tentu tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat secara keseluruhan.

Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) tentu saja akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga yang telah mengakomodasi pengeluaran berkah tersebut,yaitu :

BP = P + BC

Dengan demikian, rumusan mashlahah yang diekspresikan diatas akan berubah menjadi :

M = BTR - TC - BC

Selanjutnya dengan pendekatan kalkulus terhadap persamaan diatas, maka bisa ditemukan pedoman yang bisa digunakan oleh produsen dalam memaksimumkan mashlahah atau optimum mashlahah condition (OMC) yaitu :

BP dQ = dTC + dBC

Jadi optimum mashlahah condition di atas menyatakan bahwasannya mashlahah akan maksimum jika dan hanya jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang diproduksi. Jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) masih lebih besar dari pengeluarannya, dTC + dBC, maka produsen akan mempunyai dorongan (incentive) untuk menambah jumlah produksi lagi. Hanya jika nilai unit terakhir hanya pas untuk membayar kompensasi yang dikeluarkan dalam rangka memproduksi unit tersebut, dTC + dBC , maka tidak aka nada lagi dorongan bagi produsen untuk menambah produksi lagi. Dalam kondisi demikian produsen dikatakan berada pada posisi keseimbangan (equilibrium) atau optimum.

E .Nilai-nilai islam dalam produksi

Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam . dengan kata lain , seluruh kegiatan produksi terkait pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islam , sebagaimana dalam kegiatan konsumsi sejak dari kegiatan mengorganisasi faktor produksi , proses produksi , hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti mayoritas dan aturan teknis yang dibenarkan oleh islam . Metwal (1992) mengatakan . perbedaan dari perusahaan-perusahaan non islami tak hanya pada tujuanya , tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya

Nilai nilai Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi Islam ,yaitu : khilafah , adil dan takaful secara lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi :

1. Berwawasan jangka panjang ,yaitu lerrorientasi kepada tujuan akhirat

2. Menepati janji dan kontrak . baik dalam lingkup internal ataupun eksternal

3. Memenuhi takaran ,ketepatan ,kelugasan , dan kebenaran

4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis

5. Memuliakan prestasi / produktivitas

6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi

7. Menghormati hak milik individu

8. Mengikuti syarat syah & rukun akad transaksi

9. Adil dalam bertransaksi

10. Memiliki wawasan soaial

11. Pembayaran upah tepat pada waktu dan layak

12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam

Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen , tetapi sekaligus mendatangkan berkah . Kombinasi keuntungan dan berkah yang diperoleh oleh produsen merupakan satu maslahah yang akan memberi kontribusi bagi tercapainya falah . Dengan cara ini , maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki , yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.

Kesimpulan

1. Secara teknis produksi adalah mentrasformasi input menjadi output , tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas . kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya , yaitu mengutamakan harkat kemuliaan manusia

2. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang paling berkait satu lainnya . Kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat , menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhanya, menyiapkan persediaan barang jasa di masa depan, serta memenuhi sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.

3. Produsen dalam pandangan ekonomi Islam adalah mashlahah maximilizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang, sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam. Mashlahah bagi produsen terdiri dari dua komponen, yaitu keuntungan dan berkah

4. Optimum mashlahah condition menyatakan bahwasanya mashlahah akan mencapai tingkat maksimum jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang diproduksi.

5. Seluruh kegiatan produksi terkait pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami, sebagaimana juga dalam kegiatan konsumsi, yaitu : khilafah, adil, dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai ini misalnya berwawasan jangka panjang, manepati janji dan kontrak, menghindari hal yang di haramkan, dan lain-lain