Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya...

54
Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan. Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh: Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan

Transcript of Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya...

Page 1: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa

perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism),

sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system

kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.

Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program

Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara

literature hal tersebut disebabkan oleh:

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan

makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari

mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam

hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada

struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang

menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi

menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem

sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar

kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur

merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan

antar kelompok dalam masyarakat.

Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan

pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur

adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil

interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses

komunikasi ide dan negosiasi.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua

konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan

kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut

Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan

kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton

Page 2: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status

yang diraih (achieved status).

Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa

memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir.

Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan

kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir,

melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian

suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait.

Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada

ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi

dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu

kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan

pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang

menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun

perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan

kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan

dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya

menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.

Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola

konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti

ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami

sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan

kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda

produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya

organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari

Page 3: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri

modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan

sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat

tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan

atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri

modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya

achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.

Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi

dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini

memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru

dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu

saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.

Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin

ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan

kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena

kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme

interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.

Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang

yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx

yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx,

Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik,

dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah

penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak

selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil

menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang

sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa,

sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh

karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada

sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok

Page 4: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik

terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi

memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini

dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang

dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt,

Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan

Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas

ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan

manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka

marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada

kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada

pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939);

tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk

membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.

Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor

Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis

mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan

timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep

rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta.

Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog

Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya,

sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab

Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.

Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak

sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti

hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya.

Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme

ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen

perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal

Page 5: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan

agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.

Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak

banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya,

namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-

motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.

Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi

menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf

Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun

1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik

tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau

sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka

Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi

Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik

sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di

luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara

lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui

otoritas/kekuasaan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan

kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan

teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok

kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan

komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk

menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga

intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan

fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal

yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam

masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya,

Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi

Page 6: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan

ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi

yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk

kemudian menantang kelas sosial lainnya.

Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman

juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik

merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan

sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah

seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem

formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman

manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia

merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.

Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka

sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada

konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara

keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai

hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan

keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru

dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.

Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis

oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat

itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme

melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan

fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah

berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang

karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya

kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt

atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh

proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi

Page 7: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh

struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang

memiliki kekuasaan politik.

Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa

masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan

kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya;

secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar

seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum

berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang

meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-

masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.

Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori

konfilk sosial, antara lain:

1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner

seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah

KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada

KOMPETISI.

2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada

dalam struktur sosial.

3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang

untuk mencapai revolusi.

4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes)

yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering

terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.

Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser

berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang

Page 8: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur

sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola

interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki

EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat.

Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO.

Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat,

sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat

tersebut.

Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik,

namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial.

Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental,

misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi

dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang

dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk

hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok

disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan

ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian

seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori

konflik, dan interaksionisme symbol.

Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut

diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan

yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan

pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan

peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan

nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan

karena perbedaan system yang berlaku.

Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi

dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori

Page 9: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun

dalam konteks penggunaan praktis!

Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik,

hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif.

Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa

buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah

satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang

sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya

Kapitalisme di Eropa Barat.

Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang

memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan

perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan

penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang

kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan

interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia,

tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya

dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang

kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi

antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.

Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah

pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang

mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama

dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk

agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini

sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan

kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan

hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam

persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan

perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah

Page 10: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil

orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu

lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak

memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang

disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh

untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk

mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.

Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung

secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama

Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk

menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha

dan kerja keras dari individu itu sendiri.

Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala

bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran

Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena

keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan,

melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah,

kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.

Tindakan, Kelas, dan Status Sosial

Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan

sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial.

Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut

dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada

perilaku orang lain.

Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi

pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan

sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai

makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan

Page 11: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan

sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut

menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang

pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami

makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial

tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.

Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain

menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang

terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka.

Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga

dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-

kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau

bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya

keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka

bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya

penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya.

Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status

di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat

bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami

kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang

yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih

tinggi

Simmel dan Konsep Sosiologinya

Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876,

lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of

Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen

tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat

Page 12: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya

menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep

sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi

yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya,

Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh

Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu

dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi

memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-

individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi

sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru

ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel,

sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang

mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling

spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial

dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan

yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk

memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas

data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas

dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini,

struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat

kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial

tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus

membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh

melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan

abstraksi-abstraksinya sendiri.

Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel

Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari

konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar.

Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya

makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial.

Page 13: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut

berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal.

Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-

perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit

(jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat,

yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip

kehidupan metafisis individu maupun kelompok.

Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’

wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan

realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi

murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan

dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah

yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di

dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang

terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat

umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia.

Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat

yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah

(hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi

di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan

dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya

berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai,

menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial,

memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta

sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen

atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji

berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang

menggambarkan konflik dan kontradiksi.

Page 14: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak

dalam dua hal. Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh,

sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih

menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat

pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai

contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu

antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino

(1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah

teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun

tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran

tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme

kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti

evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan

ke dalam

kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk

tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru

beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori

(lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara

konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka

karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh

yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang

bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul

bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori

Antropologi’ sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain.

Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas

tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara

lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami

sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa

Page 15: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan

dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi

yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang

bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara

mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara

setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika

membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl

Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki

lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social

Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung

—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial.

Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau

pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan

perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam

dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai

dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus

postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus

dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano

1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus

(Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis

yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini,

meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya

demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang

lebih penting.

Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam

konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi

masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena

apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak

lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan

difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana

Page 16: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah

dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah

buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian

yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus

pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam

antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada

pemikiranpemikiran

evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran

pemikiran tersebut

Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia

berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam

antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim

dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah

menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama

menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini

Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang

mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam

teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi,

model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi.

Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi

pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah

implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi

kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok

maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai

konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut

paradigma baru antropologi sosial.

Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori

Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-

pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori

Page 17: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan

1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan

contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan

dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol.

Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara

pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan

sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis

struktural, maupun poststrukturalisme.

Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga

hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia

mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan

mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya

ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar

dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih

mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang

kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan,

diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini

masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu.

Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji

antropologi.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-

pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan

yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang

agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan

“Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang

penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-

nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T.

Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.

Page 18: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa

untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak 

ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim

ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan

thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar

(hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.

Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang

digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam

masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian

menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan

pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat

kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh

mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak

menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di

Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya

utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang

tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner

(1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual,

Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari

perkembangan ekonomi dan teknologi.

Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik

(Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.

“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of

totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this

totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various

social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned

Page 19: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”.

(Gouldner, 1973:94)

Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta

pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang

berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat

berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih

mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari

satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat

universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun

sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.

Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat

digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena

melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem

sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.

Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan

menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology”

mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology”

dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan

aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.

Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam

zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya

theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang

waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS.

Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi

Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak

mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi

Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor

Page 20: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

“dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan

mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.

Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950

yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara

berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui

batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi

ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.

Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum

mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan

perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.

REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA

Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan

pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru

merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik

(non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan

ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan

struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan

mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah

menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah

merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.

Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara

sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus

waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi

masyarakat.

Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat,

dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus

nasional baru.

Page 21: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928)

“Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang

sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.

Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R.

Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961

Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya

dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi

sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab

Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik

sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi

Eropa.

Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa

“Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di

Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment

atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof.

Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi

muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada

gerakan-gerakan serupa.

Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang

kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai

terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998.

Dalam  arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana

Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk

menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas,

sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak

zaman penjajahan sekalipun.

Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada.

Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan

Page 22: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah.

Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam

hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi

tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.

Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas

negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab

agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam

dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat

segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan

Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan

mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan

Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.

Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia;

bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social

Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu

Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah

kemasyarakatan secara terpadu

Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi

R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang

dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak

membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara

dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses

globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.

Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di

negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi

budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat

dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme

struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).

Page 23: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama ,

proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa

negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar

dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan

dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah

perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya

ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara

berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi

ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks

global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan

dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di

sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu

kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara

Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari

perspektif model demokrasi Barat.

Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20

tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga

cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada

Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media

diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?

Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga

yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan

tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan

jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian,

tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-

negara maju.

Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan

bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan

reproduksi ketaatan’ ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri

Page 24: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem

sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah

memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media

massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis

oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar

1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan

masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat.

Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan

masyarakat.

Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media

massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita

bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan

cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)

Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan

pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap

majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” (

KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari

konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi

maskulinitas  lewat media massa”.

Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana

sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti

tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya

arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang

cukup berarti terhadap publik.

Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi

media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang

1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun

demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media

Page 25: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis

dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media

(Kellner 1999).

Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori

sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu

komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional.

Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan

menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih

pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-

nilai kultural masyarakat pada umumnya.

Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat

yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan

murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu

dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami

sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri

yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda

dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan

kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).

Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan

menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan

kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud

mendapatkan kebenaran.  Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud

membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.

Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus

mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan

ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau

sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat

media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa

Page 26: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-

faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.

PEMBUATAN INOKULAN

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN MODEL KERANJANG TAKAKURA

Posted: Desember 4, 2010 in KATa (Sanggar Kreasi Anak Tasikmalaya)

Tag:jarmiko, KERANJANG, KOMPOSTING, KREASI ANAK

TASIKMALAYA, PENGOLAHAN SAMPAH, SAMPAH, SAMPAH RUMAH

TANGGA, Sanggar KATa, TAKAKURA

0

Sistem kerja Keranjang Takakura menyangkut dua proses yaitu membuat

inokulan padat (biang bakteri) dan menyiapkan keranjangnya sendiri.

Membuat Inokulan Padat (Biang Bakteri)

Keranjang Takakura adalah salah satu bentuk pengolahan sampah berbasis

masyarakat. Keranjang Takakura merupakan model pengolahan sampah yang

ditemukan seorang warga negara Jepang yang bernama Takakura bersama

Lembaga Pusdakota Universitas Surabaya. Dengan metode ini Pengolahan

sampah dilakukan ditingkat rumah tangga.

Sistem kerja Keranjang Takakura menyangkut dua proses yaitu membuat

inokulan padat (biang bakteri) dan menyiapkan keranjangnya sendiri.

MEMBUAT INOKULAN PADAT (BIANG BAKTERI)

Bahan dan Alat :

1. Sekam

Page 27: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

2. Dedak

3. Air Tebu (mollas)

4. Efektif Mikroorganism (EM-4) beli di toko pertanian atau Trubus

5. Air bersih

6. Cetok

7. Keset atau karung goni

8. Galon aqua kosong

Cara Kerja :

1. Siapkan sekam dan dedak dengan perbandingan 4 : 15 (misalnya 4 kg sekam

dan 15 kg dedak; ini untuk 5 keranjang Takakura). Dicampur sampai merata

2. Siapkan air bersih 5 liter dalam gallon aqua. Tambahan 50 ml Air tebu (mollas)

dan 50 ml EM-4. Diaduk merata kemudian disiram merata ke campuran sekam

dan dedak. Diaduk merata sampai tidak ada gumpalan sekam+dedak.

3. Setelah tercampur merata, bahan tersebut dibentuk gundukan piramid (gunung).

Kemudian tutup bagian atasnya dengan keset atau karung goni. Tempat

penyimpanan bahan tersebut tidak boleh kena air hujan (basah)

4. Setiap hari bahan tersebut harus diaduk merata. Ini dilakukan setiap hari selama

1 minggu. Setelah satu minggu bahan tersebut sudah menjadi inokulan padat

(biang Bakteri) yang siap dipergunakan untuk keranjang takakura

Page 28: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Cara Membuat Keranjang Takakura

Bahan Utama :

1.     Inokulan

2.     Keranjang

Bahan pembuat inokulan :

1.     15 takar sekam

2.     5 takar tanah

3.     5 takar dedak

4.     1 takar pupuk daun

5.     1 takar pupk kandang

6.     ¼ takar gula

7.     Air secukupnya

Campurkan semua bahan tersebut dimulai dari sekam, dedak dan dilanjutkan

dengan tanah, pupuk daun dan pupuk kandang. Di tempat terpisah campurkan

gula dengan air. Kemudian masukan air perlahan kedalam campuran tanah, aduk

hingga rata. Kepal campuran tanah dengan tangan anda, jika campuran

meneteskan air campuran melebihi batas kelembapan dan sebaliknya. Masukan

bahan inokulan kedalam karung plastic. Tutup karung dan simpan didalam tempat

yang teduh dan tertutup, hindari dari cahaya matahari. Setelah seminggu diperam

inokulan siap digunakan.

Siapkan keranjang, masukan kardus kedalam keranjang sesuai ukuran. Letakan

satu set bantal sekam kedalam keranjang kemudian masukan inokulan kedalam

keranjang ¾ bagian, tutup dengan bantal sekam kedua berikutnya tutup keranjang

dengan kain sebelum ditutup dengan plastic. Keranjang takakura siap

digunakan. Gali lubang ditengah media dengan menggunakan sekop, kemudian

masukan sampah organic yang telah dipotong kecil kemudian timbun dengan

media.

Page 30: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

 

PENERAPAN 3R

Penerapan Konsep 3 R

APL Jomblang | Selasa, 16 Agustus 2011 | 0 komentar

Proses pengelolaan sampah di Kelurahan Jomblang, secara garis besar

menggunakan konsep 3R, yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle.

Page 31: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

·        Reduce (pengurangan), merupakan upaya untuk mengurangi jumlah timbulan

sampah.

Jumlah sampah di Kelurahan Jomblang cenderung meningkat seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk. Berikut ini adalah tabel mengenai perubahan

jumlah penduduk yang mempengaruhi volume sampah di kelurahan ini.

Tabel Jumlah Penduduk dan Volume Sampah di Kelurahan Jomblang

Tahun 2003-2007

Keluraha

n

Jumlah Penduduk (jiwa) Volume Sampah (m3/hari)

2003 2004 2005 2006 2007 200

3

200

4

200

5

200

6

200

7

Jomblan

g

80.12

9

80.85

5

81.18

0

81.55

5

82.12

4

212 218 244 249 251

             Sumber : Dinas Kebersihan Kota Semarang, 2007

Kegiatan yang dilakukan untuk pengurangan jumlah sampah di Kelurahan

Jomblang telah dilakukan hampir di setiap rumah tangga dengan bantuan APL,

misalnya adalah dengan membagikan tas (hasil daur ulang dari sampah anorganik)

untuk belanja, sehingga tidak menggunakan tas plastik hitam lagi.

·        Reuse (penggunaan kembali), merupakan upaya untuk menggunakan kembali

sampah secara langsung, tanpa perubahan bentuk, baik untuk fungsi yang sama

ataupun untuk fungsi lain.

Upaya reuse ini belum diterapkan oleh warga dan hanya beberapa orang saja,

misalnya saja oleh Ibu Suryadi yang memanfaatkan kembali botol bekas sirup

yang telah dihias untuk dijadikan sebagai vas ataupun pajangan.

·       Recycle (daur ulang), merupakan upaya untuk memanfaatkan kembali sampah

menjadi benda lain yang bermanfaat, setelah dilakukan proses pengolahan. Proses

recycle inilah yang paling banyak dilakukan di Kelurahan Jomblang.

Page 32: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Proses daur ulang merupakan proses yang paling banyak dilakukan di Kelurahan

Jomblang. Proses ini dibagi menjadi dua macam, yang tergantung dari jenis

sampahnya, yaitu sampah organik dan anorganik.

o   Sampah organik yang berupa sayur-sayuran atau buah-buahan diolah menjadi

pupuk kompos oleh masing-masing rumah tangga. Pengolahan pupuk kompos ini

menggunakan keranjang Takakura, yaitu sebuah kotak yang diisi dengan bakteri

pemakan sampah organik (istilahnya adalah inokulan). Sampai saat ini, keranjang

Takakura yang terdapat di Kelurahan Jomblang sudah mencapai 500 buah (sudah

hampir dimiliki tiap rumah tangga).

Inokulan yang terdapat di keranjang Takakura antara lain bekatul, humus, sekam,

ragi tape, ragi tempe, dan air gula. Sebelum dimasukkan ke dalam keranjang

Takakura, sampah organik dicacah terlebih dulu. Inokulan di dalam keranjang

Takakura mengganggap sisa makanan (limbah organiik) yang dimasukkan sebagai

makanan mereka, sehingga akan menjadi pupuk kompos. Proses pengomposan ini

membutuhkan waktu yang cukup lama karena menunggu hingga satu keranjang

penuh dengan sampah organik. Waktu yang dibutuhkan untuk pengomposan di

tiap rumah tangga adalah ±4 bulan.

Page 33: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

Pada RW XIII, terdapat pembuatan kompos

secara masal, dalam arti satu kelompok membawahi beberapa keranjang

Takakura, jadi proses pengomposan langsung banyak. Pupuk kompos hasil

pengolahan inipun sudah dipasarkan, berbeda dengan RW lain yang belum

memasarkan pupuknya karena masih digunakan untuk program penghijauan di

wilayahnya sendiri.

Selain diolah menjadi pupuk kompos, sampah organik juga dapat diubah menjadi

hiasan, seperti yang terdapat di RW VI. Ibu Paryoto telah memanfaatkan kulit

bawang putih untuk dijadikan sebagai hiasan berbentuk bunga.

 

o   Sampah anorganik, lebih dikelola oleh APL. Sampah plastik sisa bungkus

makanan dan sampah Koran, diolah menjadi barang kerajinan tangan, misalnya

menjadi tas. Barang kerajinan inipun sudah memiliki pelanggan tetap, misalnya

pesanan tas dari Karang Turi untuk acara reuni akbar. Untuk sampah botol atau

kaleng akan dijual kepada para pengepul maupun diangkut oleh para pemulung.

Page 34: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

 

Dengan adanya pengelolaan sampah dengan konsep 3R ini, Kelurahan

Jomblang telah berhasil menurunkan 60% dari total produksi sampah. Hal ini

tentu saja sudah sangat mengurangi jumlah sampah yang diangkut ke TPS.

RAB

No

. Pekerjaan Vol Satuan

Harga satuan

(Rp) Total (Rp)

1 Studi literature        

  - Fotocopy 150 lembar 125 18750

  - Buku penunjang 2 buah 100000 200000

           

  Subtotal       218750

Page 35: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

No

. Pekerjaan Vol Satuan

Harga satuan

(Rp) Total (Rp)

2 Pembuatan laporan dan proposal        

  - Kertas A4 2 rim 32000 64000

  - Tinta printer 2 buah 25000 50000

  - Tuner printer 1 Ls 700000 700000

  - Jilid 10 buah 15000 150000

           

  Subtotal       964000

3 Sampling        

  - Kantong plastic 1 pak 35000 35000

 

- Konsumsi untuk pengambilan

sampling, 5 orang 8 kali 75000 600000

  - Transportasi untuk

pengambilan sampah ke lokasi

sampling, 5 orang

8 kali 75000 600000

         

           

  Subtotal       1235000

4 Peralatan dan bahan habis pakai        

  - Sekam padi 2 Ls 8000 16000

  - Serbuk gergaji 2 Ls 8000 16000

  - Sabut kelapa 2 Ls 8000 16000

  - Pupuk kompos jadi 2 karung 50000 100000

 

- Keranjang Takakura ukuran

sedang 6 buah 125000 750000

  - Jarum jahit 1 sachet 3000 3000

  -Tali raffia 3 gulung 2000 6000

  - Kain jarring 5 m 50000 250000

  - Kain hitam 5 m 50000 250000

  - Gunting 3 buah 5000 15000

  - Pisau 2 buah 10000 20000

Page 36: Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya Sebagai Produk Dari Sebuah Produksi

No

. Pekerjaan Vol Satuan

Harga satuan

(Rp) Total (Rp)

  - Kardus bekas 3 pak 5000 15000

  - Sarung tangan 1 pak 15000 15000

  - Sprayer 1 buah 20000 20000

  - Kertas label 1 pak 5000 5000

  - masker 2 pak 15000 30000

  - Konsumsi, 3 orang 15 hari 75000 1125000

 

- Insentif asisten dan analis

Laboratorium 3 orang 100000 300000

  - tambahan thermometer 2 buah 100000 200000

           

  Subtotal       3152000

5 Analisis        

  Analisis C/N kompos 1 Ls 300000 300000

           

  Subtotal       300000

6 Biaya lain-lain        

  Pengambilan data sekunder 1 Ls 150000 150000

           

  Subtotal       150000

  Total       6019750