Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya...
-
Upload
sita-arsus -
Category
Documents
-
view
1.085 -
download
0
Transcript of Teori Perubahan Social Dan Budaya Karl Marx Yang Merumuskan Bahwa Perubahan Social Dan Budaya...
Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa
perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism),
sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system
kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program
Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara
literature hal tersebut disebabkan oleh:
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan
makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari
mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam
hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada
struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang
menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi
menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem
sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar
kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur
merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan
antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan
pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur
adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil
interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses
komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua
konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan
kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut
Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan
kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton
adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status
yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa
memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir.
Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan
kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir,
melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian
suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait.
Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada
ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi
dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu
kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan
pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun
perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan
kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan
dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya
menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.
Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola
konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami
sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan
kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda
produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya
organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari
yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri
modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan
sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat
tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan
atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri
modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya
achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi
dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini
memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru
dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu
saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin
ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan
kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena
kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme
interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang
yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx
yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx,
Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik,
dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah
penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak
selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil
menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa,
sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh
karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada
sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok
orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik
terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi
memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini
dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang
dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt,
Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan
Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas
ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan
manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka
marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada
kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada
pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939);
tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk
membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor
Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis
mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan
timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep
rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta.
Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog
Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya,
sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab
Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak
sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti
hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya.
Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme
ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen
perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal
di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan
agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak
banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya,
namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-
motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.
Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi
menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf
Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun
1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik
tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau
sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka
Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi
Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik
sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di
luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara
lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui
otoritas/kekuasaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan
kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan
teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok
kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan
komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk
menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga
intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan
fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal
yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam
masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya,
Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi
struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan
ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi
yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk
kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman
juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik
merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan
sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah
seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem
formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman
manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia
merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka
sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada
konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara
keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai
hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan
keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru
dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis
oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat
itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme
melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan
fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah
berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang
karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya
kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt
atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh
proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi
paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh
struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang
memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa
masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan
kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya;
secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar
seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum
berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang
meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-
masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori
konfilk sosial, antara lain:
1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner
seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah
KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada
KOMPETISI.
2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada
dalam struktur sosial.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang
untuk mencapai revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes)
yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering
terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser
berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang
berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur
sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola
interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki
EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat.
Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO.
Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat,
sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat
tersebut.
Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik,
namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial.
Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental,
misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi
dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang
dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk
hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok
disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan
ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian
seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori
konflik, dan interaksionisme symbol.
Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut
diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan
yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan
pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan
peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan
nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan
karena perbedaan system yang berlaku.
Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi
dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori
sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun
dalam konteks penggunaan praktis!
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik,
hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif.
Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa
buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah
satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang
sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya
Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang
memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan
perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan
penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang
kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan
interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia,
tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya
dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang
kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi
antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah
pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang
mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama
dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk
agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini
sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan
kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan
hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam
persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan
perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah
menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil
orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu
lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak
memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang
disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh
untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk
mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung
secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama
Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk
menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha
dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala
bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran
Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena
keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan,
melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah,
kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.
Tindakan, Kelas, dan Status Sosial
Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan
sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial.
Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada
perilaku orang lain.
Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan
sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai
makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan
penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan
sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut
menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang
pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami
makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial
tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.
Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain
menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang
terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka.
Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga
dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-
kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau
bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya
keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka
bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya
penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya.
Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status
di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat
bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami
kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang
yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih
tinggi
Simmel dan Konsep Sosiologinya
Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876,
lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of
Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen
tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat
mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya
menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep
sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi
yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya,
Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh
Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu
dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi
memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-
individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi
sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru
ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel,
sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang
mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling
spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial
dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan
yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk
memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas
data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas
dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini,
struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat
kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial
tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus
membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh
melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan
abstraksi-abstraksinya sendiri.
Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel
Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari
konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar.
Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya
makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial.
Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut
berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal.
Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-
perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit
(jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat,
yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip
kehidupan metafisis individu maupun kelompok.
Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’
wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan
realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi
murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan
dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah
yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di
dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang
terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat
umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia.
Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat
yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah
(hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi
di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan
dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya
berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai,
menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial,
memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta
sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen
atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji
berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang
menggambarkan konflik dan kontradiksi.
Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak
dalam dua hal. Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh,
sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih
menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat
pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai
contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu
antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino
(1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah
teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun
tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran
tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme
kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti
evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.
Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan
ke dalam
kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk
tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru
beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori
(lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara
konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka
karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh
yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang
bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul
bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori
Antropologi’ sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain.
Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas
tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara
lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami
sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa
sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan
dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi
yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang
bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara
mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara
setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika
membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl
Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki
lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social
Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung
—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial.
Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau
pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan
perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam
dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai
dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus
postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus
dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano
1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus
(Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis
yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini,
meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya
demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang
lebih penting.
Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam
konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena
apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak
lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan
difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana
seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah
dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah
buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian
yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus
pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam
antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada
pemikiranpemikiran
evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran
pemikiran tersebut
Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia
berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam
antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim
dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah
menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama
menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini
Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang
mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam
teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi,
model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi.
Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi
pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah
implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi
kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok
maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai
konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut
paradigma baru antropologi sosial.
Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori
Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-
pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori
antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan
1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan
contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan
dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol.
Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara
pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan
sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis
struktural, maupun poststrukturalisme.
Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga
hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia
mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan
mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya
ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar
dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih
mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang
kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan,
diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini
masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu.
Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji
antropologi.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-
pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan
yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang
agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan
“Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang
penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-
nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T.
Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa
untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak
ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim
ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan
thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar
(hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang
digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam
masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian
menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan
pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat
kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh
mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak
menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di
Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya
utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang
tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner
(1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual,
Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari
perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik
(Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of
totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this
totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various
social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned
with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”.
(Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta
pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang
berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat
berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih
mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari
satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat
universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun
sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat
digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena
melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem
sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan
menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology”
mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology”
dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan
aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam
zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya
theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang
waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS.
Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi
Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak
mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi
Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor
“dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan
mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950
yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara
berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui
batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi
ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum
mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan
perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan
pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru
merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik
(non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan
struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan
mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah
menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah
merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara
sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus
waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi
masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat,
dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus
nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928)
“Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang
sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R.
Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya
dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi
sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab
Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik
sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi
Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa
“Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di
Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment
atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof.
Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi
muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada
gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang
kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai
terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998.
Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana
Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk
menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas,
sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak
zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada.
Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan
yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah.
Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam
hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi
tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas
negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab
agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam
dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat
segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan
Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan
mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan
Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia;
bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social
Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu
Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah
kemasyarakatan secara terpadu
Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang
dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak
membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara
dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses
globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di
negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi
budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat
dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme
struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama ,
proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa
negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar
dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan
dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah
perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya
ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara
berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi
ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks
global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan
dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di
sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu
kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara
Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari
perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20
tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga
cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada
Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media
diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga
yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan
tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan
jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian,
tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-
negara maju.
Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan
bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan
reproduksi ketaatan’ ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri
sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem
sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah
memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media
massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis
oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar
1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan
masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat.
Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan
masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media
massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita
bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan
cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan
pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap
majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” (
KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari
konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi
maskulinitas lewat media massa”.
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana
sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti
tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya
arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang
cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi
media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang
1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun
demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media
massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis
dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media
(Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori
sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu
komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional.
Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan
menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih
pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-
nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat
yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan
murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu
dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami
sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri
yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda
dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan
kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan
menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan
kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud
mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud
membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus
mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan
ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau
sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat
media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa
parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-
faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
PEMBUATAN INOKULAN
PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN MODEL KERANJANG TAKAKURA
Posted: Desember 4, 2010 in KATa (Sanggar Kreasi Anak Tasikmalaya)
Tag:jarmiko, KERANJANG, KOMPOSTING, KREASI ANAK
TASIKMALAYA, PENGOLAHAN SAMPAH, SAMPAH, SAMPAH RUMAH
TANGGA, Sanggar KATa, TAKAKURA
0
Sistem kerja Keranjang Takakura menyangkut dua proses yaitu membuat
inokulan padat (biang bakteri) dan menyiapkan keranjangnya sendiri.
Membuat Inokulan Padat (Biang Bakteri)
Keranjang Takakura adalah salah satu bentuk pengolahan sampah berbasis
masyarakat. Keranjang Takakura merupakan model pengolahan sampah yang
ditemukan seorang warga negara Jepang yang bernama Takakura bersama
Lembaga Pusdakota Universitas Surabaya. Dengan metode ini Pengolahan
sampah dilakukan ditingkat rumah tangga.
Sistem kerja Keranjang Takakura menyangkut dua proses yaitu membuat
inokulan padat (biang bakteri) dan menyiapkan keranjangnya sendiri.
MEMBUAT INOKULAN PADAT (BIANG BAKTERI)
Bahan dan Alat :
1. Sekam
2. Dedak
3. Air Tebu (mollas)
4. Efektif Mikroorganism (EM-4) beli di toko pertanian atau Trubus
5. Air bersih
6. Cetok
7. Keset atau karung goni
8. Galon aqua kosong
Cara Kerja :
1. Siapkan sekam dan dedak dengan perbandingan 4 : 15 (misalnya 4 kg sekam
dan 15 kg dedak; ini untuk 5 keranjang Takakura). Dicampur sampai merata
2. Siapkan air bersih 5 liter dalam gallon aqua. Tambahan 50 ml Air tebu (mollas)
dan 50 ml EM-4. Diaduk merata kemudian disiram merata ke campuran sekam
dan dedak. Diaduk merata sampai tidak ada gumpalan sekam+dedak.
3. Setelah tercampur merata, bahan tersebut dibentuk gundukan piramid (gunung).
Kemudian tutup bagian atasnya dengan keset atau karung goni. Tempat
penyimpanan bahan tersebut tidak boleh kena air hujan (basah)
4. Setiap hari bahan tersebut harus diaduk merata. Ini dilakukan setiap hari selama
1 minggu. Setelah satu minggu bahan tersebut sudah menjadi inokulan padat
(biang Bakteri) yang siap dipergunakan untuk keranjang takakura
Cara Membuat Keranjang Takakura
Bahan Utama :
1. Inokulan
2. Keranjang
Bahan pembuat inokulan :
1. 15 takar sekam
2. 5 takar tanah
3. 5 takar dedak
4. 1 takar pupuk daun
5. 1 takar pupk kandang
6. ¼ takar gula
7. Air secukupnya
Campurkan semua bahan tersebut dimulai dari sekam, dedak dan dilanjutkan
dengan tanah, pupuk daun dan pupuk kandang. Di tempat terpisah campurkan
gula dengan air. Kemudian masukan air perlahan kedalam campuran tanah, aduk
hingga rata. Kepal campuran tanah dengan tangan anda, jika campuran
meneteskan air campuran melebihi batas kelembapan dan sebaliknya. Masukan
bahan inokulan kedalam karung plastic. Tutup karung dan simpan didalam tempat
yang teduh dan tertutup, hindari dari cahaya matahari. Setelah seminggu diperam
inokulan siap digunakan.
Siapkan keranjang, masukan kardus kedalam keranjang sesuai ukuran. Letakan
satu set bantal sekam kedalam keranjang kemudian masukan inokulan kedalam
keranjang ¾ bagian, tutup dengan bantal sekam kedua berikutnya tutup keranjang
dengan kain sebelum ditutup dengan plastic. Keranjang takakura siap
digunakan. Gali lubang ditengah media dengan menggunakan sekop, kemudian
masukan sampah organic yang telah dipotong kecil kemudian timbun dengan
media.
PENERAPAN 3R
Penerapan Konsep 3 R
APL Jomblang | Selasa, 16 Agustus 2011 | 0 komentar
Proses pengelolaan sampah di Kelurahan Jomblang, secara garis besar
menggunakan konsep 3R, yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle.
· Reduce (pengurangan), merupakan upaya untuk mengurangi jumlah timbulan
sampah.
Jumlah sampah di Kelurahan Jomblang cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Berikut ini adalah tabel mengenai perubahan
jumlah penduduk yang mempengaruhi volume sampah di kelurahan ini.
Tabel Jumlah Penduduk dan Volume Sampah di Kelurahan Jomblang
Tahun 2003-2007
Keluraha
n
Jumlah Penduduk (jiwa) Volume Sampah (m3/hari)
2003 2004 2005 2006 2007 200
3
200
4
200
5
200
6
200
7
Jomblan
g
80.12
9
80.85
5
81.18
0
81.55
5
82.12
4
212 218 244 249 251
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Semarang, 2007
Kegiatan yang dilakukan untuk pengurangan jumlah sampah di Kelurahan
Jomblang telah dilakukan hampir di setiap rumah tangga dengan bantuan APL,
misalnya adalah dengan membagikan tas (hasil daur ulang dari sampah anorganik)
untuk belanja, sehingga tidak menggunakan tas plastik hitam lagi.
· Reuse (penggunaan kembali), merupakan upaya untuk menggunakan kembali
sampah secara langsung, tanpa perubahan bentuk, baik untuk fungsi yang sama
ataupun untuk fungsi lain.
Upaya reuse ini belum diterapkan oleh warga dan hanya beberapa orang saja,
misalnya saja oleh Ibu Suryadi yang memanfaatkan kembali botol bekas sirup
yang telah dihias untuk dijadikan sebagai vas ataupun pajangan.
· Recycle (daur ulang), merupakan upaya untuk memanfaatkan kembali sampah
menjadi benda lain yang bermanfaat, setelah dilakukan proses pengolahan. Proses
recycle inilah yang paling banyak dilakukan di Kelurahan Jomblang.
Proses daur ulang merupakan proses yang paling banyak dilakukan di Kelurahan
Jomblang. Proses ini dibagi menjadi dua macam, yang tergantung dari jenis
sampahnya, yaitu sampah organik dan anorganik.
o Sampah organik yang berupa sayur-sayuran atau buah-buahan diolah menjadi
pupuk kompos oleh masing-masing rumah tangga. Pengolahan pupuk kompos ini
menggunakan keranjang Takakura, yaitu sebuah kotak yang diisi dengan bakteri
pemakan sampah organik (istilahnya adalah inokulan). Sampai saat ini, keranjang
Takakura yang terdapat di Kelurahan Jomblang sudah mencapai 500 buah (sudah
hampir dimiliki tiap rumah tangga).
Inokulan yang terdapat di keranjang Takakura antara lain bekatul, humus, sekam,
ragi tape, ragi tempe, dan air gula. Sebelum dimasukkan ke dalam keranjang
Takakura, sampah organik dicacah terlebih dulu. Inokulan di dalam keranjang
Takakura mengganggap sisa makanan (limbah organiik) yang dimasukkan sebagai
makanan mereka, sehingga akan menjadi pupuk kompos. Proses pengomposan ini
membutuhkan waktu yang cukup lama karena menunggu hingga satu keranjang
penuh dengan sampah organik. Waktu yang dibutuhkan untuk pengomposan di
tiap rumah tangga adalah ±4 bulan.
Pada RW XIII, terdapat pembuatan kompos
secara masal, dalam arti satu kelompok membawahi beberapa keranjang
Takakura, jadi proses pengomposan langsung banyak. Pupuk kompos hasil
pengolahan inipun sudah dipasarkan, berbeda dengan RW lain yang belum
memasarkan pupuknya karena masih digunakan untuk program penghijauan di
wilayahnya sendiri.
Selain diolah menjadi pupuk kompos, sampah organik juga dapat diubah menjadi
hiasan, seperti yang terdapat di RW VI. Ibu Paryoto telah memanfaatkan kulit
bawang putih untuk dijadikan sebagai hiasan berbentuk bunga.
o Sampah anorganik, lebih dikelola oleh APL. Sampah plastik sisa bungkus
makanan dan sampah Koran, diolah menjadi barang kerajinan tangan, misalnya
menjadi tas. Barang kerajinan inipun sudah memiliki pelanggan tetap, misalnya
pesanan tas dari Karang Turi untuk acara reuni akbar. Untuk sampah botol atau
kaleng akan dijual kepada para pengepul maupun diangkut oleh para pemulung.
Dengan adanya pengelolaan sampah dengan konsep 3R ini, Kelurahan
Jomblang telah berhasil menurunkan 60% dari total produksi sampah. Hal ini
tentu saja sudah sangat mengurangi jumlah sampah yang diangkut ke TPS.
RAB
No
. Pekerjaan Vol Satuan
Harga satuan
(Rp) Total (Rp)
1 Studi literature
- Fotocopy 150 lembar 125 18750
- Buku penunjang 2 buah 100000 200000
Subtotal 218750
No
. Pekerjaan Vol Satuan
Harga satuan
(Rp) Total (Rp)
2 Pembuatan laporan dan proposal
- Kertas A4 2 rim 32000 64000
- Tinta printer 2 buah 25000 50000
- Tuner printer 1 Ls 700000 700000
- Jilid 10 buah 15000 150000
Subtotal 964000
3 Sampling
- Kantong plastic 1 pak 35000 35000
- Konsumsi untuk pengambilan
sampling, 5 orang 8 kali 75000 600000
- Transportasi untuk
pengambilan sampah ke lokasi
sampling, 5 orang
8 kali 75000 600000
Subtotal 1235000
4 Peralatan dan bahan habis pakai
- Sekam padi 2 Ls 8000 16000
- Serbuk gergaji 2 Ls 8000 16000
- Sabut kelapa 2 Ls 8000 16000
- Pupuk kompos jadi 2 karung 50000 100000
- Keranjang Takakura ukuran
sedang 6 buah 125000 750000
- Jarum jahit 1 sachet 3000 3000
-Tali raffia 3 gulung 2000 6000
- Kain jarring 5 m 50000 250000
- Kain hitam 5 m 50000 250000
- Gunting 3 buah 5000 15000
- Pisau 2 buah 10000 20000
No
. Pekerjaan Vol Satuan
Harga satuan
(Rp) Total (Rp)
- Kardus bekas 3 pak 5000 15000
- Sarung tangan 1 pak 15000 15000
- Sprayer 1 buah 20000 20000
- Kertas label 1 pak 5000 5000
- masker 2 pak 15000 30000
- Konsumsi, 3 orang 15 hari 75000 1125000
- Insentif asisten dan analis
Laboratorium 3 orang 100000 300000
- tambahan thermometer 2 buah 100000 200000
Subtotal 3152000
5 Analisis
Analisis C/N kompos 1 Ls 300000 300000
Subtotal 300000
6 Biaya lain-lain
Pengambilan data sekunder 1 Ls 150000 150000
Subtotal 150000
Total 6019750