TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU...
Transcript of TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU...
i
TEORI LOCUS DELICTI
PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Syari’ah
Dalam Ilmu Jinayah Siyasah
Oleh :
MALIK KHABIBURROHMAN NIM. 052211180
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
ABSTRAK
Dalam hukum pidana dikenal beberapa asas yang menjadi dasar bagi pembentukan serta penerapan hukum. Asas-asas ini merupakan asas yang telah diakui oleh hukum Internasional sebagai dasar bagi suatu negara untuk menerapkan hukum yang berlaku di negra tersebut. Akan tetapi dalam penerapannya, asas-asas ini dapat saling bertautan dalam masalah kejahatan yang melibatkan dua atau lebih negara.
Islam sendiri meskipun pada dataran ideal ajaran-ajarannya bersifat universal, akan tetapi pada dataran praktis lebih bersifat regional. Berdasarkan hal ini hukum-hukum Islam mengenai pidana khususnya hanya dapat diterapkan dalam wilayah-wilayah kekuasaan dar as-salam. Dalam penerapan hukum, suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejhatan yang terjadi di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara Asing) yang mengancam keamanan negara maupun warganya di luar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). Adapun dalam hukum pidana Islam ketentuan mengenai batas-batas berlakunya ketentuan pidana salah satunya dapat dilihat dalam teori imam madzhab Hanafi menekankan aspek tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum pidana Islam. Teori Imam Abu Hanifah tidak jauh berbeda dengan hukum pidana Indonesia artinya sama-sama menekankan pada unsur tempat (wilayah teritorial), akan tetapi hukum pidana Indonesia lebih lengkap dalam menerapkan pidana yang lebih dikenal sebagai asas hukum yaitu; asas teritorial, asas personal aktif, personal pasif dan asas universal. Dapat kita ketahui dalam KUHP pasal 2-9.
Dalam hukum Internasional setiap negara dianggap memiliki wewenang untuk melaksanakan ketentuan hukum terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah negara tersebut. Adapun pemberlakuan hukum terhadap warga negara yang berad di luar wilayah negara tersebut sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab sebagai warga negara.
Asas-asas yang menjadi dasar diberlakukannya ketentuan pidana menurut tempat (locu delicti); asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif dan asas universal maupun teori Imam Abu Hanifah, dalam penerapannya memilki persamaan dan perbedaan serta titik taut yang dapat dipertemukan. Dalam hal penerapan hukum tehadap kejahatan yang berlaku di wilayah negara (dar as-salam dan dar al-harb), setiap negara memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana terhadap setiap kejahatan yang terjadi di batas-batas wilayah negara tersebut tanpa melihat kewarganegaraan pelaku. Dalam hukum Internasional hal ini dapt dibenarkan dikarenakan negara yang menjadi tempat dilakukannya suatu kejahatan dianggap sebagai negara yang paling memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya. Dengan demikian hukum pidana negara yang menjadi tempat (locus delicti) dilakukannya kejahatan berlaku bagi seorang warga dar as-salam yang melakukan kejahatan di wilayah dar al-harb atau seorang warga dar al-harb yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam.
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi dalam referensi yang penulis jadikan bahan
rujukan.
Semarang, 31, Mei, 2010
Deklarator,
Malik Khabiburrohman NIM. 052211180
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
a.n. Sdr. Malik Khabiburrohman
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama
ini saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : Malik Khabiburrohman
Nim : 052211180
Judul : TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF
IMAM ABU HANIFAH
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 31, Mei, 2010
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Muhyiddin, M. Ag. Drs. Moh Solek, M.A NIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19660318 199303 1 004
v
PENGESAHAN PENGUJI
Nama : MALIK KHABIBURROHMAN
NIM : 052211180
Jurusan : JINAYAH SIYASAH
Judul :TEORI LOCUS DELECTI PERSPEKTIF
IMAM ABU HSNIFAH
Telah memunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo
Semarang dinyatakan lulus pada tanggal:
28 Juni 2010
Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir Program sarjana Strata satu (1) guna
memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Syari'ah.
Semarang, 22 Juni 2010
Mengetahui
Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. Miftah AF, M. Ag. Drs. Moh. Solek, M.A. NIP. 19530515 198403 1 001 NIP. 19660318 199303 1 004 Penguji I Penguji II Drs. H. A. Fatah Idris, M. S.I. H. Ade Yusuf Mujadid, M. Ag. NIP. 19520805 198303 1 002 NIP. 19670119 199803 1 002 Pembimbing I Pembimbing II Drs. H. Muhyidin, M.Ag Drs. Moh. Solek,M.A NIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19660318 199303 1 004
vi
MOTTO
ا��� ��ور�� ����
“Hukum itu berputar bersama illatnya ”.
vii
PERSEMBAHAN
Salah satu karya sederhana menggapai cita, takkan berarti tanpa kehadiran
mereka, penulis persembahkan karya ini sebagai salah satu wujud mengangkat derajat
kedua orangtua dan keluarga:
1. ”Kedua pahlawanku paling sabar” dan sumber inspirasi ”(bapak Asnawi, BA dan
Ibu Hanik Siti Musyarofah, BA)” pemilik samudera kasih sayang yang tak pernah
surut sehingga tetap tegar dalam menyongsong masa depan yang gemilang, yang
selalu mendoakan dan tiada henti mendidik dan selalu berjuang untuk kehidupan
keluarga, Insya’Alloh Tuhan SWT membalas keduanya dengan derajat yang lebih
tinggi, Amin...
2. Saudara ku, keluarga “TELETUBBIS”: mas Fuad, Risma, dan Riza yang selalu
memberi motivasi belajar.
3. “Hana Mufida”, My Inspirasi yang selalu mendukung setiap waktu, memotivasi
dan fasilitas selama pembuatan skripsi, terima kasih atas kesabaran, perhatian,
kesetiaan dan pengabdiannya.
4. “Mas. Syiarudin”, terimakasih atas didikan dan perhatiannya selama di Semarang.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat, taufiq dan hidayah-Nya yang telah
diberikan kepada makhluk-makluk Nya. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi.
Sholawat serta Salam kehadirat Nabi Agung Muhammad Saw, keluarganya, sahabat-
sahabatnya, semoga kita mendapatkan syafaatnya baik di dunia maupun di akhirat nanti,
dan semoga kita betul-betul diakui sebagai umat beliau, Amien.
Selanjutnya, penulis juga memanjatkan syukur kepada Allah SWT sehingga
untukmelengkapi tugas penulis sebagai mahasiswa dengan menyusun skripsi denganjudul
”TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH” dapat diselesaikan
meskipun masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan.
Penulis sangat menyadari bahwa selain dukungan dan bantuan dari orang tua
dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik
materi maupun spiritual (do’a). Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo Semarang
2. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan staf Jinayah Siyasah IAIN Walisongo
Semarang
3. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag, dan bapak Drs. Moh.Solek, MA selaku
pembimbing yang telah membantu dan membimbing serta memberi pengarahan
penulis sehingga skripsi ini selesai.
4. Bapak M. Saifullah, M.Ag, selaku wali studi selama ini.
5. Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah, dan staf karyawan yang telah
membekali ilmu kepada penulis.
6. Kawan-kawan organisasi politik ”GERINDRA” dan LSM ”JOGLO”, terimakasih
atas kerjasama dan motivasinya.
7. Teman-teman kost AL-FIRDAUS II: Ridho’, Ahnaf, , Anam, Arip, Anshori,
Baidhowi, Jawaher, Sarif, Uly, Amron dan Faesol yang selalu memberi
ix
semangat, selalu mendukung, dan senantiasa berbagi rasa dalam suka maupun
duka.
8. Sahabat-sahabat se nasib dan se perjuangan, semua anak Jinayah Siyasah
khususnya kelas JS B angkatan 2005 yang selalu SEMANGAT…!!!
9. Keluarga besar “KMT” cabang Walisongo Semarang yang telah memberikan
banyak pengalaman berharga.
10. Sahabat-sahabat PPL - KKL, terima kasih atas kerjasamanya.
11. Kawan-kawan KKN Pahlawan di desa Curug 1000, terima kasih atas
kebersamaan nya. Kapan kita ngajar WB lagi?
12. Om Sowam n Bang Thobroni yang selalu memberikan informasi
13. UKM WSC (Walisongo Sport Club), Ayo… tembus Liga Super,.!!!
14. Semua pihak yang berpengaruh dalam pembuatan skripsi ini, terima kasih.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan, motivasi
dan do’a yang telah diberikan kepada penulis.
Semua bantuan dan dukungan yang telah mereka berikan dengan tulus ikhlas
semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan penulis, untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca sangat diharapkan, demi kemajuan penulis.
Selanjutnya bagi para pembaca skripsi ini, semoga skripsi ini dapat memberikan
sedikit manfaat meskipun dalam penulisan masih perlu ditindaklanjuti untuk
kesempurnaannya. Untuk itu sangat kami harapkan bagi pembaca atas saran serta kritik
yang membangun untuk menambah wawasan keilmuan dalam bidang ilmu sosial, ilmu
hukum dan ilmu politik.
Semarang,
Penulis, 31, Mei, 2010
Malik Khabiburrohman NIM. 052211180
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… ….… i ABSTRAK ………………………………………………………… .…………… ii DEKLARASI ………………………………………………………… ..……...... iii NOTA PEMBIMBING ……………………………………………… .……....... iv PENGESAHAN …………………………………………………………..…….. v MOTTO ……………………………………………… ..……………………...… vi PERSEMBAHAN …………………………………………………………….… vii KATA PENGANTAR ……………………………………………………… ...... viii DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ..… x BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………….……………….…….. 1 B. Rumusan Masalah ……………………….…………….…… 7 C. Tujuan dan Kegunaan ……………….…………..…………. 7 D. Telaah Pustaka …….…………………………….…………. 8 E. Metode Penelitian ……………………………….….………. 12 F. Sistematika Penulisan Skripsi ………………………..……... 15
BAB II : KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LOCUS DELICTI) PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Pengertian Locus Delicti …………...…...………......…….… 17 B. Teori Locus Delicti ...............................................…...…….. 18
1. Teori Personal …………………………………………. 18 2. Teori Alat (instrument) ………………………………... 19 3. Teori Akibat …………………………………………… 19
C. Penerapan Teori Locus Delicti (Asas Berlakunya undang-undang pidana menurut hukum pidana positif) …... 20 1. Asas Teritorial ……………………………………..….. 20 2. Asas Kewarganegaraan (Nasional Aktif) ……………... 29 3. Asas Kewarganegaraan (Nasional Pasif) ……………… 34 4. Asas Universal ………………………………………… 36
BAB III : TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH A. Biografi Singkat … ..………………...…………..…….…… 41 B. Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah ……..……...……..…... 45 C. Teori Locus Delicti .…………………………………….….. 54
xi
BAB IV : ANALISIS TEORI DAN PENERAPAN LOCUS DELICTI (KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT) PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH A. Teori Locus Delicti ............................................................. 63 B. Penerapan Teori Locus Delicti ............................................ 71
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………….…. 82 B. Saran ………………………………………………….…… 83 C. Penutup ……………………………………………….…… 84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran
dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain
sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syari’ah) Islam.1
Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat kini
tidak dapat terelakkan dan sudah dapat dirasakan hampir di semua negara,
terutama di negara berkembang seperti Indonesia pada umumnya. Pengaruh
ini ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif. Pengaruh
positif yang dapat dirasakan di antaranya adalah adanya peningkatan
hubungan masyarakat Internasional yang pesat di bidang perekonomian pada
umumnya dan bidang perdagangan pada khususnya. Pengaruh yang
berdampak negatif antara lain meningkatnya lalu lintas tindak pidana lintas
teritorial antara satu negara dengan negara lainnya. Perkembangan tindak
pidana ini selain telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan
kepentingan kesejahteraan, keamanan dan ketertiban suatu negara, juga telah
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
2
menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik antara negara-negara yang
terlibat dalam jaringan tindak pidana yang ber dimensi Internasional.2
Salah satu dampak tindak pidana Internasional yang dapat
menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik (karena dominan nya faktor
politik dalam penyelesaian kasus pidana yang melibatkan lebih dari satu
negara) antara satu negara dengan negara lainnya adalah masalah yuridiksi3
kriminal.
Dalam KUHP Indonesia secara tersirat disebutkan beberapa asas yang
menjadi landasan bagi pembentukan serta pemberlakuan hukum pidana atas
suatu peristiwa pidana menurut tempat yaitu asas teritorial, asas personalitas
berdasarkan kewarganegaraan aktif, asas personalitas berdasarkan
kewarganegaraan pasif dan yang terakhir adalah asas universal.4 Asas-asas ini
merupakan dasar yang di atasnya dapat dilaksanakan yuridiksi suatu negara.
2 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar
Maju, 1995, hlm 1. 3 Pengertian yuridiksi atau wewenang harus dibedakan dengan pengertian berlakunya
undang-undang. Yuridiksi berkaitan dengan kedaulatan suatu negara untuk menangkap, menahan dan mengadili setiap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial negara yang bersangkutan. Penjelasan khusus mengenai yuridiksi ini berkaitan dengan locus delicti. Doktrin mengenai penentuan locus delicti atau tempat tindak pidana adalah mengenai penetapan kompetensi relatif dari suatu pengadilan dan untuk menentukan berlakunya undang-undang. Penentuan kompetensi pengadilan telah diatur di dalam Bab X Pasal 84-88 KUHAP. Sedangkan pengertian berlakunya undang-undang pidana berkaitan erat dengan jangkauan efektivitas berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara. Hal ini telah diatur dalam Pasal 1 (menurut waktu) dan Pasal 2-9 (menurut tempat). Meskipun berkaitan, kedua pengertian ini mempunyai pengaturan yang berbeda dan perbedaan ini tergantung dilihat dari sudut sistem hukum yang berlaku, yaitu sistem Civil Law atau sistem Common Law. Sistem Civil Law menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama, sedangkan Common Law menempatkan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama. Lihat Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1996, hlm. 84-86.
4 Asas-asas ini ditulis secara tersirat dalam Pasal 2-9 KUHP. Meskipun demikian dalam pasal-pasal tersebut dapat ditemukan aturan tentang pemberlakuan undang-undang pidana Indonesia dilihat dari segi tempat. Lihat Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hkum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, cet-27, 2008, hlm. 3-5.
3
Asas-asas tersebut juga dianut oleh sebagian besar hukum pidana
negara lain di dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas-asas
tersebut merupakan asas-asas hukum pidana Internasional yang berlaku
umum.5 Penerapan asas-asas tersebut oleh negara-negara dalam rangka
menerapkan hukum pidana nasional nya masing-masing dalam beberapa
masalah dapat menimbulkan pertautan yuridiksi, di antaranya adalah terhadap
tindak pidana yang melibatkan dua negara atau lebih. Begitu juga dengan
hukum pidana Indonesia dalam kasus pidana yang memiliki dimensi
Internasional (transnasional).6
Asas teritorial terdapat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana”. Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau
kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk
mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya.
Salah satu wujud dari yuridiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta
memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap tindak pidana yang
terjadi dalam wilayah negara tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi warga
5 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama Widya,
2003, hlm. 11. 6 Bisa jadi satu kasus kejahatan melibatkan beberapa negara seperti tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang warga Indonesia di wilayah teritorial Malaysia. Kasus seperti ini akan melahirkan pertautan yuridiksi dalam menentukan hukum pidana negara mana (Indonesia atau Malaysia) yang berlaku terhadap kasus pidana tersebut. Hal ini bisa terjadi karena Malaysia dapat memberlakukan hukum pidana nya terhadap pelaku atas dasar asas teritorial karena perbuatan tersebut terjadi di wilayah teritorial Malaysia sedangkan Indonesia bisa memberlakukan hukum pidana nasional berdasarkan asas nasional aktif. Lihat Ibid., hlm. 17-21.
4
negaranya sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.7
Ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara.
Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan orang-
orang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada
lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.8
Dalam hukum pidana Islam sendiri meskipun secara teoritis ajaran
Islam untuk seluruh dunia (universal), peraturan-peraturannya tidak saja
mengikat kaum muslimin yang hidup di bawah kekuasaan negara Islam
melainkan juga mereka yang berada di luar kedaulatan negara Islam,9 Berbeda
dengan syari’at nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal dan temporal,
syari’at Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW bersifat Internasional
dan kekal hingga akhir zaman. Dengan kata lain syari’at Islam bersifat
universal melintasi batas-batas ruang dan waktu. Hal ini ditegaskan dalam
Firman Allah SWT dalam surat As-Saba’ ayat 28:
�� و����ا ����ا ����س آ���� إ �� أر���ك و��� �$�#!ن � ا ���س أآ�� و
)٢٨(
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q.S. As-Saba’: 28).10
Akan tetapi pada dataran praktis tidaklah demikian. Amin Widodo
berpendapat bahwa meskipun pada asasnya hukum Islam itu berlaku universal
7 I Wayan Parthiana, 0p.cit., hlm. 12-13. 8 Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi,
Semarang: IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 120. 9 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad‘iy,
Juz. I, Beirut: Muasasah ar- Risalah. 1994, hlm. 275. 10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, Semarang : Toha Putra, 2006, hlm.688.
5
akan tetapi dilihat dari segi ‘amaliyyah-nya adalah bercorak iqlimiyyah,
artinya hukum Islam hanya dapat diterapkan dalam lingkungan yuridiksi dar
as-salam.11 Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa hukum Islam
mempunyai batasan mengenai kekuasaan berlakunya ketentuan pidana dilihat
dari segi tempat. Tidak di segala tempat (wilayah atau negara) hukum Islam
dapat diterapkan, bahkan dalam negara yang hukum-hukumnya dibangun
berlandaskan syariat Islam sekalipun terkait dengan siapa yang menjadi
pelaku dan di mana perbuatan tersebut dilakukan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah
(tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang
masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah
maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.12 Di luar dar as-salam hukum
Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku kecuali untuk
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq adamiy).
Pendapat yang popular yang selalu menjadi rujukan dan sandaran hujjah ialah
pengertian Dar kufr yang disebut oleh al-Kasani dari Mazhab Hanafi dalam
Kitabnya Bada'I'alsana'I', juz 7, Al-Kasani menyebut pendapat Abu Yusuf dan
Muhammad al-Syaibani (murid Abu Hanifah): Maksudnya: Sesungguhnya
kenyataan yang kami sebut dar al-Islam dan dar kufr ialah menyandarkan
keadaan negara kepada Islam dan kepada kufur. Sebenarnya disandarkan
11 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994, hlm. 17. 12 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar. Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash
Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 8.
6
negara kepada Islam atau kepada kufur adalah kerana zahir (menonjolnya)
Islam atau menonjolnya kufur di dalamnya.13
Teori Abu Hanifah menitikberatkan pada tempat sebagai unsur utama
untuk menentukan berlaku tidaknya ketentuan hukum Islam. Pada dasarnya,
berlakunya hukum pidana itu berkaitan erat dengan kondisi suatu masyarakat
yang mengenal struktur kekuasaan. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya
pemberian hukuman kepada setiap pelaku kejahatan yang bersifat publik
terdapat dalam setiap masyarakat. Salah satu dari ajaran Islam adalah
memperhatikan dan menghormati hak hidup manusia, baik Muslim maupun
non-Muslim. Islam menyamakan kedudukan kaum muslimin dengan kaum
śimmi, yaitu orang kafir yang berlindung di bawah kekuasaan Negara Islam,
dalam kehidupan sosial dan politik. Sedangkan dalam bidang akidah tidak
boleh ada persamaan sama sekali, juga tidak boleh kompromi. Dalam hal ini
Islam telah menarik garis nyata antara kaum Muslimin dan orang-orang
kafir.14
Terkait dengan bahasan di atas yang kemudian menjadi persoalan
adalah apakah teori Imam Abu Hanifah Indonesia merupakan salah satu
bagian dari negara Islam (dar as-salam)? Atau dar al-harby?, bagaimana
rumusan (aplikasi) asas yang membatasi berlakunya ketentuan pidana (teori
Imam Abu Hanifah)? Artinya, bagaimana bila seorang penduduk Indonesia
atau penduduk negara yang memakai hukum pidana positif melakukan suatu
13Al-Kasani, Badaa’I’alsana’I’ fi tartibi asy-syara’i, juz 7Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1997, hlm. 130-131. 14 Hasmi, A., Dimana Letak Negara Islam, cet.I. ( Surabaya : P.T. Bina Ilmu, 1984 ), hlm.
222. Lihat juga ENSIKLOPEDI Islam, Dewan Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).V: 236.
7
tindak pidana di negara yang menerapkan aturan pidana Islam (dar as-salam)
atau sebaliknya, bagaimana jika seorang muslim atau seorang penduduk dar
as-salam melakukan tindak pidana di Indonesia atau negara yang landasan
hukumnya berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana positif. Ketentuan
hukum pidana manakah yang berlaku dalam kasus tersebut?
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah ini dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul
“TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABUHANIFAH” untuk
mendapatkan kajian yang lebih mendalam mengenai permasalahan di atas.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari pemikiran di atas, maka skripsi ini mencari pokok
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana aplikasi ketentuan pidana menurut tempat (teori locus delicti)
perspektif Imam Abu Hanifah?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai dalam skripsi ini
adalah:
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui ketentuan pidana menurut tempat (teori locus
delicti) perspektif Imam Abu Hanifah.
8
b. Untuk mengetahui aplikasi ketentuan pidana menurut tempat (teori
locus delicti) perspektif Imam Abu Hanifah.
2. Kegunaan
a. Sebagai pengembangan keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum
di Indonesia, terutama dalam masalah hukum pidana khusus nya
Jinayah Siyasah
b. Mengetahui teori yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam
masalah locus delicti.
c. Sebagai bahan acuan bagi yang akan melanjutkan penelitian
tentang asas-asas berlakunya ketentuan pidana dalam hukum Islam
dan hukum pidana positif.
d. Sebagai salah satu kontribusi pemikiran penyusun dalam bidang
hukum di Indonesia, terutama dalam masalah pidana.
D. Telaah Pustaka
Dalam menulis skripsi ini, penulis melakukan telah pustaka secara
fokus membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan judul skripsi.
Di dalam skripsi saudara Khoirudin Zuhri (2100093) Fakultas Syari’ah
Jurusan Jinayah Siyasah (2004/2005) IAIN Semarang dengan judul
“Kewarganegaraan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam”. Dalam
pembahasan skripsinya mengenai kafir zimmiy di wilayah Negara Islam
(kaitannya dengan locus delicti), bahwa dalam pemberlakuan hukum pidana
terjadi persamaan antara seorang muslim dengan zimmiy. Sebagaimana warga
9
negara non muslim terikat pula oleh hukum pidana yang sama tanpa adanya
pembedaan kecuali dalam jarimah yang terkait dengan minum-minuman
keras.
Di dalam skripsi saudara Suhardi (2199135) Fakultas Syari’ah Jurusan
Jinayah Siyasah (2004/2005) IAIN Semarang dengan judul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Pasal 134 dalam KUHP Tentang Tindak Pidana Penghinaan
Terhadap Presiden atau Wakil Presiden”. Dalam pembahasan skripsinya
dijelaskan secara global terhadap unsur-unsur delik penghinaan. Seseorang
dapat dikatakan telah melanggar hukum dalam suatu tindak pidana, maka
perbuatan tersebut harus dapat dirumuskan. Adapun syarat untuk
memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia)
yang memenuhi rumusan delik. Rumusan delik dalam hukum pidana penting
sebelum menjatuhkan pidana karena merupakan konsekuensi dari asas
legalitas. Salah satu rumusan delik tersebut ialah jelas ruang berlakunya delik
tersebut, dalam artian bahwa tempat kejadian perkara pidana tersebut (locus
delicti)
Dalam makalah nya Romli menulis tentang Pengaruh Konvensi
Internasional Terhadap Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Nasional.
Ia mempertanyakan sejauh manakah asas-asas berlakunya hukum pidana
nasional dapat dipertahankan seutuhnya dan merupakan “hak eksklusif” dari
setiap negara.15 Menurutnya perkembangan kejahatan memasuki abad 21 tidak
15 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tanggal 5, Desember, 2009, pukul 22.00 WIB.Romli
Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional terhadap Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Nasional.”Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
10
lagi sebatas wilayah teritorial suatu negara melainkan sudah melampaui batas
satu atau lebih.
Menurut T. M. Hasbi Ash Shhidieqy dalam bukunya Hukum Antar
Golongan, pada dasarnya syari’at Islam hanya diberlakukan terhadap mereka
yang melakukan kejahatan di darul Islam, serta kejahatan yang dilakukan di
darul harbi.16Namun para fuqaha berbeda pendapat dalam menerapkan
prinsip ini. Akibat perbedaan pendapat ini, muncul tiga aliran (paham) tentang
penerapan hukum terhadap kejahatan berdasarkan tempat kejadian perkara
(locus delicti).
I Wayan Parthiana dalam bukunya yang merupakan kumpulan
makalah serta artikelnya yang pernah dipublikasikan, menulis tentang suatu
pertautan antara yuridiksi negara dan asas-asas hukum pidana nasional dalam
suatu peristiwa pidana yang ber dimensi internasional. Ia membahas maksud,
tujuan serta substansi dari asas-asas hukum pidana yang diakui oleh
kebanyakan negara-negara di dunia ditinjau dari segi hukum internasional dan
hukum pidana nasional. Ia mencoba menjawab persoalan tentang pertautan
asas-asas hukum pada tindak pidana yang melibatkan dua negara atau lebih
(lintas teritorial).17 Selain itu, ia juga membahas masalah penerapan yuridiksi
universal melalui mekanisme ekstradisi atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada kesimpulannya ia menulis bahwa meskipun terhadap kejahatan
kemanusiaan dapat diberlakukan yuridiksi universal dari hukum pidana, akan
Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 26-27 April 2004,
16 T.M. Hasbi Ash Shhidieqy, op. cit., hlm. 8. 17 I Wayan Parthiana,op.cit.., hlm. 1-22.
11
tetapi dalam kenyataannya bukanlah hal yang mudah untuk mengadili serta
memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana terhadap kemanusiaan. Hal
ini, menurutnya dikarenakan adanya kendala dalam proses peradilan yang
terletak pada faktor kedaulatan negara dari segi ada atau tidaknya kemauan
politik, baik untuk mengadili sendiri pelaku, mengekstradisikannya kepada
negara lain yang meminta atau menyerahkan proses peradilan kepada badan
peradilan pidana Internasional.18
Amin Widodo dalam bukunya yang berjudul Fiqh Siyasah dalam
Hubungan Internasional menulis pendapat para imam mazhab mengenai
berlakunya hukum pidana dari segi tempat. Dalam bukunya dipaparkan teori
para imam mazhab yang pada prinsipnya hukuman terhadap pelaku tindak
kejahatan yang dilakukan di dar al-harb tidak wajib dilakukan. Begitu juga
sebaliknya, setiap kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di
dalam maupun di luar negeri tetap berhak mendapat hukuman. Larinya pelaku
kejahatan ke dar as-salam atau ke dar al-harb tidak dapat menggugurkan
hukuman yang telah ditetapkan.19
Sejauh penulis ketahui, belum ada skripsi yang membahas tentang
teori Locus Delicti (analisis perbandingan hukum pidana positif dengan Imam
Abu Hanifah). Meskipun demikian, buku-buku yang membahas hukum pidana
(hukum pidana Islam dan hukum pidana positif) dapat ditemukan membahas
mengenai hal ini. Akan tetapi buku-buku tersebut bahasanya tidak terlalu
mendalam dan dibahas secara terpisah, artinya dalam hukum pidana Islam
18 Ibid., hlm. 38. 19 L. Amin Widodo, op. cit., hlm. 28.
12
sendiri dan hukum pidana positif sendiri dengan tidak membandingkan antara
keduanya.
E. Metode Penelitian
Skripsi ini dimaksudkan penulis untuk mengetahui tentang asas
berlakunya ketentuan pidana menurut tempat kejadian perkara (teori locus
delicti) dalam perspektif hukum pidana positif dan teori Imam Abu Hanifah.
Ada beberapa bagian dalam metode penelitian ini, antara lain jenis dan data
penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian dan teknik analisis data.
1. Jenis dan Data Penelitian
Ditinjau dari segi metodologi, penelitian ini merupakan library
research (penelitian pustaka) yaitu penelitian yang berdasarkan data-data
kepustakaan (melalui buku, surat kabar, majalah, jurnal, internet dan lain-
lain).20
Adapun jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah:
a) Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang
dicari. Adapun sumber data ini diperoleh dari buku karangan Alau al-
Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’I as-Sana’I fi Tartib asy-
Syara’I, Juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, Imam Kamaluddin bin Al-
20 Marzuki, MetodologiRiset, BPFE UII, Jogjakarta, 1995, hlm. 7.
13
Ghamam, Syarah Fathul Qadir Ala’Hidayah Syarah Bidayatul
Mubtadi, Juz IV, Bairut: Darrul Kitab Alamiyah dan pasal 2 sampai 9
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
b) Data Sekunder
Bahan-bahan ini terdiri dari buku-buku, internet, dan kitab-
kitab lainnya yang di dalamnya terdapat masalah yang berkaitan
dengan masalah tersebut di atas misalnya; Abd al-Qadir ‘Audah ‘, at-
Tasyri al-Jana’I al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy,
Baeirut: Muasasah ar-Risalah, 1994.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik, yaitu menjelaskan
tentang asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat serta
penerapannya asas-asas tersebut secara sistematis serta memberikan
penelitian secara cermat dan tepat terhadap objek kajian tersebut.
Selanjutnya konsep tentang asas-asas berlakunya ketentuan pidana dari
segi tempat (locus delicti) dibandingkan supaya dapat diketahui dari segi
persamaan dan perbedaan dalam hukum pidana positif dengan teori Imam
Abu Hanifah.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif-yuridis yakni menginventarisasi norma-norma hukum yang ada,
baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum positif, yang berkaitan
dengan asas berlakunya hukum pidana dari segi tempat (locus delicti).
14
4. Teknik Analisis Data
Akumulasi data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan
metode sebagai berikut :
a. Induktif, yaitu dengan mengurai data yang bersifat khusus dan menarik
kesimpulan yang bersifat umum. Metode ini digunakan dalam
menjelaskan pendapat-pendapat dari Imam Abu Hanifah dengan pasal
2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai locus
delicti dan menarik kesimpulan dari pendapat-pendapatnya terebut.
b. Komparatif, yaitu menganalisis data yang berbeda dengan jalan
membandingkan untuk diketahui mana yang lebih benar atau untuk
mencapai kemungkinan mengkompromikan, shingga dapat diketahui
kelebihan dan kelamahan dari teori tersebut.
15
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, adapun sistematika pembahasan
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan skripsi, Telaah pustaka, metode
penelitian skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
(LOCUS DELICTI) DALAM HUKUM DI INDONESIA
Bab ini membahas locus delicti dalam hukum pidana positif,
pengertian locus delicti, Teori locus delicti, dan penerapan locus
delicti di Indonesia.
BAB III TEORI IMAM ABU HANIFAH TENTANG LOCUS
DELICTI
Bab ini membahas mengenai biografi singkat, metode istinbat
hukum yang digunakan Imam Abu Hanifah dan teori locus delicti
yang digunakan Imam Abu Hanifah.
16
BAB IV ANALISIS TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM
ABU HANIFAH
Bab ini merupakan analisis terhadap teori locus delicti dan aplikasi
asas-asas berlakunya hukum pidana dari segi tempat (locus delicti)
perspektif Imam Abu hanifah.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan penutup.
17
BAB II
KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
(LOCUS DELICTI) PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian locus delicti
Pembentukan undang-undang dapat menetapkan ruang berlakunya
undang-undang yang dibuatnya. Pembentukan undang-undang pusat dapat
menetapkan berlakunya undang-undang pidana terhadap tindak-tindak pidana
yang terjadi dalam atau di luar wilayah Negara sedang pembentuk-pembentuk
undang-undang di daerah hanya terbatas pada daerahnya masing-masing,
wilayah suatu negara itu hanya pengertian dalam hukum tata negara.1
locus delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana atau lokasi
tempat kejadian perkara atas suatu tindak pidana terjadi, dalam istilah hukum
Internasional locus delicti adalah sebuah istilah yang berarti kewenangan
yurisdiksi atau wilayah kewenangan peradilan.2 Sedangkan dalam KUHAP
Republik Indonesia dalam pasal pasal 84 menjelaskan locus delicti sebagai
berikut:
Pasal (1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Pasal (2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila
1 Sudarto, hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudaarto d/a Fakultas Hukum UNDIP,
1990, hlm. 32 2 http://daemien-ocehankosong.blogspot.com/2009/07/polisi-dan-locus-delicti.html/19-04-
10-19.30.
18
tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. (UU no 8 /1981 tentang KUHAP)
B. Teori locus delicti
Pembahasan mengenai locus delicti diperlukan karena hal ini
berhubungan dengan Pasal 2-9 KUHP yaitu menentukan apakah hukum
pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana atau tidak. Selain itu, locus
delicti juga akan menentukan pengadilan mana yang memiliki wewenang
terhadap kasus tersebut dan ini berhubungan dengan kompetensi relatif.3
Mengenai locus delicti, ada beberapa teori untuk menentukan di mana
tempat terjadinya perbuatan pidana yaitu teori mengenai tempat di mana
perbuatan dilakukan secara personal, kedua adalah teori tentang instrument
dan yang terakhir adalah teori tentang akibat.4
1. Teori tentang di mana perbuatan dilakukan secara personal
Yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam teori ini
adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman dilakukan.
Menurut teori ini, jika seorang pelaku menikam korbannya di
Jakarta, setelah terjadi penikaman tersebut si korban pulang ke Bogor dan
di sana ia mati, maka meskipun akibatnya (matinya korban) terjadi di
Bogor, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya perbuatan adalah
Jakarta.
3 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Putra, 2000, hlm. 78. 4 Mengenai teori-teori tentang locus delicti lihat misalnya Satochid Kartanegara, Hukum
Pidana (t.tp. Balai Lektur Mahasisiwa, t.th), hlm. 154-158.
19
2. Teori tentang alat atau instrument yang digunakan
Yang dianggap sebagai tempat kejahatan dilakukan dalam teori ini
adalah tempat di mana alat atau instrument yang digunakan untuk
melakukan kejahatan menimbulkan akibat.
Jika seorang pelaku mengirimkan makanan beracun dari Jakarta ke
Bandung untuk seseorang, kemudian orang tersebut (korban) memakan
makanan beracun tersebut dan ia mati maka, yang dianggap sebagai
tempat terjadinya kejahatan adalah Bandung. Hal ini dikarenakan alat yang
digunakan untuk melakukan kejahatan (makanan beracun) menimbulkan
akibat, yaitu matinya korban.
3. Teori tentang akibat.
Menurut teori ini yang dianggap sebagai tempat dilakukannya
tindak pidana adalah tempat di mana suatu kejahatan menimbulkan akibat
perbuatan. Dengan demikian, yang dianggap sebagai tempat terjadinya
perbuatan dalam contoh pada point (a) adalah Bogor dikarenakan di
tempat tersebut akibat dari perbuatan (penikaman) terjadi, yaitu matinya
korban.
20
C. Penerapan teori locus delicti (asas berlakunya undang-undang pidana
menurut tempat dalam hukum pidana positif)
Mengenai kekuasaan berlakunya undang-undang pidana dapat dilihat
dari dua sisi, yang bersifat negatif dan yang bersifat positif.5 Yang bersifat
negatif berlakunya undang-undang menurut waktu, hal ini tercantum dalam
Pasal 1 KUHP6 sedangkan dari segi positif, berlakunya undang-undang dilihat
dari segi tempat. Hal ini diatur dalam Pasal 2 sampai 9 KUHP yang memuat 4
asas yaitu, asas teritorial, asas nasional aktif, asas nasional pasif dan asas
universal.
1. Asas Teritorial
Asas teritorial terdapat dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi:
“ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana”.
Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau
kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk
mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya.
Salah satu wujud dari yuridiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta
memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap tindak pidana yang
terjadi dalam wilayah negara tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi warga
5 Lihat misalnya C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka 1989, hlm. 276. 6 Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas
kekuatan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan iru terjadi”. Dalam Pasal ini terkandung asas legalitas yang berhubungan dengan waktu dilakukannya
perbuatan (kejahatan). Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang.
21
negaranya sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.7
Ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara.
Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan orang-
orang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada
lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.8
Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa
berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah
(bumi),9 ia merupakan asas yang tertua dari asas-asas berlakunya hukum
pidana menurut tempat. Asas teritorial merupakan asas yang fundamental.
Hal ini berarti, sekalipun telah diterapkan batas-batas berlakunya hukum
pidana Indonesia, dalam keadaan tertentu serta untuk subyek hukum tertentu,
dapat diterapkan perluasan-perluasan terhadap asas teritorial.10
Romli, dengan mengutip Bert Swart dan Andre Klip menulis bahwa
asas teritorial telah diperluas tidak lagi semata-mata ditujukan terhadap
tempat di mana pelaku melakukan kejahatan, melainkan juga tempat di mana
akibat dari kejahatan itu dilakukan atau di mana korban berada.11Selain
wilayah tanah, asas teritorial juga mencakup seluruh wilayah udara dan
wilayah perairan atau laut Indonesia. Wilayah udara Indonesia terhitung dari
7 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yarma Widya,
2003. hlm. 12-13. 8 Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi,
Semarang: IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 120. 9 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162. 10 Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana
Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105. 11 Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional terhadap Perkembvangan Asas-
asas Hukum Pidana Nasional.” Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 26-27 April 2004, hlm. 6.
22
tanah ditarik ke atas setinggi yang ditentukan menurut perjanjian antar negara.
Meskipun demikian, bukan berarti seorang pelaku harus berada di salah satu
wilayah tanah, udara atau perairan suatu negara ketika melakukan kejahatan.
Hal ini berhubungan dengan bahasan mengenai locus delicti, karena bisa jadi
pelaku dapat melakukan kejahatan di suatu negara meskipun ia berada di
negara lain.
Wilayah perairan Indonesia meliputi seluruh perairan yang terletak di
sebelah dalam garis dasar serta laut wilayah (teritorial sea) di sekelilingnya
selebar 12 mil laut, diukur mulai garis dasar ke arah luar. Wilayah ini
ditambah lagi seluas 200 mil diukur dari garis dasar yang disebut Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Seperti halnya terhadap wilayah daratan, Indonesia
memiliki kedaulatan penuh (soveregnty) di seluruh wilayah perairan yang
diikuti pula oleh yuridiksi kriminal.12
Yang menjadi sasaran yuridiksi kriminal di wilayah lautan adalah
delik-delik yang terjadi di laut yang pada pokoknya diatur dalam ordonansi-
ordonansi dan juga diatur dalam pasal KUHP. Sasaran ini selain delik yang
sifatnya kejahatan, juga meliputi pelanggaran. Delik ini merupakan sasaran
utama yang ditegaskan dalam Ordonansi Laut Wilayah dan Lingkungan
Maritim 1939.13
Berlakunya undang-undang Indonesia terhadap tindak pidana yang
terjadi dalam pesawat Indonesia tercantum dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab
12 Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan hukum Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125.
13 Ibid., hlm. 115
23
Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan
terhadap Sarana-prasarana Penerbangan.
Dalam Pasal I Undang-undang tersebut disebutkan:
“Mengubah dan menambah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia sehingga berbunyi sebagai berikut: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Pasal 3 KUHP memperluas ruang lingkup berlakunya undang-undang
pidana, yaitu mengenai berlakunya ketentuan hukum pidana bagi setiap tindak
pidana yang terjadi di dalam perahu serta pesawat terbang Indonesia meskipun
keberadaan perahu serta pesawat tersebut berada di luar wilayah teritorial
Indonesia.14 Dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 KUHP
ini, maka setiap perahu dan kapal terbang Indonesia dianggap atau merupakan
perpanjangan dari wilayah teritorial Indonesia dan karenanya setiap tindak
pidana yang terjadi di dalamnya tunduk pada ketentuan perundang-undangan
pidana Indonesia tanpa mempermasalahkan kewarganegaraan pelaku.
Yang dimaksud kapal-kapal Indonesia adalah sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 95 KUHP yang berbunyi:
“Kapal Indonesia berarti kendaraan air yang menurut peraturan-peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di daerah Republik Indonesia, harus mempunyai surat laut atau pas kapal atau surat-surat izin sebagai pengganti sementara kendaraan air atau pas itu”.15
14 C. S. T. Kansil, op.cit., hlm. 278. 15 Pasal 95 KUHP. Tentang pemberian surat laut dan pas kapal diatur oleh Ordonansi Surat
Laut dan Kapal dalam L.N. tahun 1935. ketetapan surat laut dan pas kapal dalam L.N. tahun 1934 No. 78, diubah dalam L.N. 1937 No. 629. jo. L.N. 1935. No. 565. Lih. R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 112-113.
24
Yang dimaksud pesawat udara Indonesia, ketentuannya tercantum
dalam Pasal 95 a ayat (1) dan (2).16 Pasal ini berbunyi:
(1) Yang dimaksud dengan “pesawat udara Indonesia” adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia;
(2) Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang di sewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Meskipun demikian, tidak semua perahu maupun kapal dianggap
sebagai perpanjangan wilayah suatu negara, hanya kapal perang dan kapal
dagang yang berada di lautan terbuka yang dianggap sebagai wilayah
negara.17 Ketentuan ini juga berlaku bagi kapal-kapal dagang Indonesia yang
berada di pelabuhan asing. KUHP Indonesia tidak saja berlaku bagi awak
serta penumpang, melainkan juga berlaku bagi setiap orang yang ada dalam
kapal tersebut.18
Pasal 3 KUHP diperluas lagi dengan Pasal 8. Pasal ini menentukan
bahwa nahkoda atau penumpang kapal laut atau perahu Indonesia yang
melakukan kejahatan sumpah atau keterangan palsu dan kejahatan pelayaran
di luar wilayah Indonesia, dapat dituntut menurut ketentuan pidana Republik
Indonesia.
Pasal 8 KUHP berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku di luar Indonesia berlaku di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas kendaraan air, melakukan salah satu perbuatan yang
16 Pasal ini merupakan perubahan dan penambahan pasal dalam KUHP bertalian dengan
perluasan ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan yang tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976 Pasal II ke-1.
17 J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, alih bahasa Tim Penerjemah Bina Aksara (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 145.
18 E. Utrecht, Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 241.
25
dapat di pidana yang tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga yang tersebut dalam peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam “Ordonantie Kapal 1927.” Dalam KUHP Indonesia tidak diatur mengenai ketentuan kejahatan
penerbangan yang dilakukan di dalam maupun di luar pesawat udara
Indonesia. Namun demikian usaha ke arah sana sudah dilakukan oleh
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan sudah dicantumkan nya ketentuan
mengenai hal ini dalam Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-
undang Hukum Pidana.
Dalam Rancangan Undang-undang tersebut disebutkan:
(1) Ketentuan dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara Indonesia yang di luar wilayah Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana penerbangan sebagai mana di maksud dalam Bab XXXI Buku kedua.19
Pasal ini merupakan perluasan berlakunya ketentuan pidana, yaitu
mengenai berlakunya undang-undang pidana Indonesia bagi pelaku kejahatan
penerbangan di dalam maupun di luar pesawat udara Indonesia yang sedang
melakukan penerbangan di wilayah negara asing.
Sedangkan asas eksteritorial tercantum dalam Pasal 9 KUHP yang
berbunyi:
“Berlakunya Pasal 2 sampai 5, Pasal 7 dan 8 Pasal dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum Internasional.”
Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan yang senantiasa ada bahwa
berlakunya Pasal 2-5, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP akan bertentangan dengan
19 Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor….Tahun….Tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 11 ayat (1).
26
hukum antar negara, karena ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-
pasal tersebut berhubungan juga dengan negara asing.
Selain itu perlu diketahui bahwa hukum antar negara merupakan
kumpulan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antar negara di dunia.
Hubungan ini biasanya diselenggarakan dengan saling menempatkan
perwakilan dalam bentuk kedutaan atau konsul di negara-negara
bersangkutan.20 Utrecht dengan tegas mengatakan bahwa ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 KUHP tidak diperlukan lagi saat ini.
Hal ini disebabkan negara kita telah mengakui adanya primat hukum antar
negara. Menurutnya ketentuan tersebut dibuat ketika kedaulatan negara
absolut masih diterima.21
Menurut hukum Internasional, yang tidak terikat oleh KUHP Indonesia
adalah para duta besar negara serta para utusan negara asing yang secara
resmi diterima oleh kepala negara. Selain itu mereka yang tidak tunduk pada
KUHP Indonesia adalah para pegawai dalam kedutaan yang berfungsi di
bidang diplomatik, para konselir (konsultan) dan sekretaris meskipun mereka
tidak berseragam (tidak dalam keadaan dinas).
Berdasarkan asas eksteritorial, para diplomat dianggap tidak berada di
negara penerima melainkan di negara pengirim meskipun pada kenyataannya
ia berada di wilayah negara penerima. Selain itu mereka tidak dapat dikuasai
oleh hukum dan peraturan negara penerima. Seorang diplomat menurut asas
ini, hanya dikuasai oleh hukum negara pengirim begitu juga gedung atau
20 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981. hlm. 11. 21 E. Utrecht, op. cit., hlm. 249.
27
tempat kediaman mereka di negara penerima dianggap sebagai bagian atau
perpanjangan dari wilayah negara pengirim.22 Bammelen berpendapat bahwa
ketentuan tentang mereka yang diberi hak immunitas atau kekebalan hukum
tercantum dalam perjanjian Wina tanggal 18 April 1961.23
Alat-alat kekuasaan negara penerima tidak dapat menangkap,
menuntut maupun mengadili mereka dalam masalah kriminal. Meskipun
demikian mereka harus tetap menghormati serta menghargai hukum di negara
setempat.24 Mengenai para konsul asing, mereka diberi hak immunitas hukum
bukan berdasarkan Pasal 9 KUHP melainkan atas dasar perjanjian yang
disepakati antar negara. Hal ini dikarenakan para konsul bukan merupakan
wakil diplomatik melainkan hanya merupakan wakil perdagangan. Meskipun
demikian mereka diberi keistimewaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7a
U.U. Pengawasan Orang Asing dan U.U. Dar No. 9 tahun 1953 (L. N. 1953
No. 64). Pasal-pasal ini menentukan bahwa undang-undang tersebut tidak
berlaku bagi para pejabat diplomatik dan konselir asing.25
Orang-orang yang memiliki hak immunitas meliputi:
a) Kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia secara resmi. Selain itu
sanak saudara kepala negara yang bersangkutan, kecuali mereka yang
melakukan perjalanan yang berdiri sendiri. Meskipun demikian para sanak
saudara kepala negara diperdebatkan hak immunitasnya. Van Hammel
22 Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm.
14. 23 A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 167. 24 Edy Suryono, op.cit., hlm. 46. 25 A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 165-166.
28
secara tegas mengatakan bahwa mereka tidak memiliki hak immunitas.
Jonkers sebaliknya mengakui adanya hak tersebut bagi mereka.
b) Duta negara asing yang ditempatkan di Indonesia dengan persetujuan
kedua negara yang bersangkutan. Hak immunitas juga berlaku bagi para
sanak saudara yang tinggal bersama duta tersebut. Adapun para pegawai di
kedutaan tersebut dianggap sebagai orang asing yang menempati
kedutaan, oleh karenanya mereka tidak memiliki hak immunitas.
Meskipun demikian, jika para duta negara asing melakukan perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan negara yang mereka tempati, mereka
tetap berhak mendapatkan sanksi seperti pengusiran, protes maupun
permintaan penarikan ke negara asalnya.
c) Kapal negara asing yang berlabuh dengan persetujuan pemerintah.
Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan immunitas kepada kapal perang
dan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial, yaitu diatur
dalam Pasal 95 untuk kapal-kapal perang dan Pasal 96 untuk kapal-kapal
pemerintah non-komersial. Ketentuan ini berhubungan dengan keberadaan
kapal-kapal tersebut di laut lepas. Selama kapal-kapal ini berada di laut
lepas, ia memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain selain negara
benderanya.
d) Pasukan negara asing yang masuk ke suatu negara dengan seizin negara
yang didatangi. Bila mereka masuk tanpa izin, mereka dapat diusir dengan
cara kekerasan.
29
Mengenai tentara pendudukan, mereka tidak tunduk pada hukum
negara yang diduduki, karena tunduk pada hukum negara yang diduduki
dianggap bertentangan dengan hubungan kekuasaan yang ada, tetapi ia akan
diadili menurut hukum negaranya sendiri dan diadili oleh pengadilan militer
yang mengikuti mereka. Dalam hal ini perbuatan tidak dinilai dengan hukum
pidana umum melainkan hukum perang.
2. Asas Kewarganegaraan (Nasional Aktif)
Dalam hukum Internasional, suatu negara memiliki yuridiksi yang
disebut yuridiksi personal berdasarkan kewarganegaraan (nasionalitas)
aktif atas warga negaranya yang berada di luar wilayah negara tersebut
yang melakukan suatu kejahatan (tertentu). Yuridiksi ini didasarkan pada
adanya hubungan antara negara pada satu pihak dengan warga negaranya
yang berada di luar wilayah negaranya pada pihak lain. Hubungan tersebut
termanifestasikan dalam hak, kekuasaan serta kewenangan negara untuk
memberlakukan hukum nasional terhadap warganya yang berada di luar
wilayah teritoir. Sebaliknya warga negara memiliki hak serta memikul
tanggung jawab dalam hubungan dengan negaranya selama ia berada di
luar wilayah negaranya sendiri. Ini sesuai dengan adagium hukum yang
tidak sepenuhnya berlaku, bahwa setiap orang membawa hukum
negaranya kemanapun ia pergi dan di manapun ia berada.26
Romli menulis bahwa dalam konteks kedaulatan negara yang
berkaitan dengan kewarganegaraan pelaku kejahatan transnasional atau
26 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 14.
30
Internasional, asas nasionalitas merupakan landasan hukum bagi suatu
negara untuk melaksanakan penyelidikan, penuntutan serta peradilan atas
warga negaranya yang melakukan kejahatan terlepas di mana locus delicti
itu terjadi.27
Asas kewarganegaraan aktif atau asas personalitas ini terdapat
dalam Pasal 5 KUHP yang berbunyi:
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan di luar wilayah Indonesia: Ke-1. Salah satu kejahatan yang terdapat dalam Bab I dan II Buku
Kedua dan dalam Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
Ke-2. Sesuatu perbuatan yang oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia dipandang sebagai kejahatan dan dapat di pidana menurut perundang-undangan negara tempat perbuatan itu dilakukan.
Mengingat bahwa tempat dilakukannya tindak pidana berada di
luar wilayah Indonesia maka kejahatan yang tunduk pada asas ini bersifat
umum, dalam artian bahwa di samping dapat mengancam kedaulatan
negara Indonesia, kejahatan yang dilakukan harus dianggap sebagai
kejahatan oleh negara tempat tindak pidana dilakukan.
Asas personalitas diperluas lagi dengan adanya ayat (2) Pasal 5
KUHP yang berbunyi:
(2) Kejahatan yang tersebut pada No. 2 itu dapat juga dituntut jika terdakwa baru menjadi warga negara Republik Indonesia sesudah melakukan perbuatan itu.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum pidana Indonesia juga
berlaku bagi tiap orang yang berkebangsaan Indonesia meskipun ia berada
27 Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 5-6.
31
di luar Indonesia melakukan salah satu atau beberapa delik tertentu yang
dianggap mengancam negara Indonesia. Delik-delik ini dianggap sangat
berbahaya sehingga perlu untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku
dimana saja ia berada.
Bentuk kejahatan dalam asas personalitas, meliputi:
a. Kejahatan yang berupa pelanggaran terhadap keamanan negara yang
tercantum dalam Bab I buku Kedua KUHP, yaitu Pasal 104 -129.
b. Kejahatan yang melanggar martabat kepala negara serta wakil
presiden, ketentuan ini tercantum dalam Pasal 131-139 Bab II Buku
Kedua KUHP.
c. Kejahatan penghasutan yang tercantum dalam Pasal 160 KUHP.
d. Menyebarluaskan tulisan yang bertujuan untuk menghasut yang
tercantum Pasal 161 KUHP.
e. Dengan sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap
untuk memenuhi kewajiban militer yang tercantum dalam Pasal 240
KUHP.
f. Melakukan perampokan (pembajakan) di laut yang tercantum dalam
Pasal 450 dan 451 KUHP.
Delik-delik ini dicantumkan secara tidak tegas dalam Pasal 5 ayat 1
Sub1 karena dalam pasal ini terdapat perbuatan yang dapat mengancam
kepentingan-kepentingan yang khusus bagi negara Indonesia, di pihak
lain perbuatan-perbuatan ini tidak dikenai hukuman menurut UU negara di
mana perbuatan tersebut terjadi dan pelaku berada.
32
Kejahatan yang dianggap oleh KUHP Indonesia dan juga oleh
negara tempat terjadinya kejahatan sebagai delik atau kejahatan yang harus
dikenai sanksi hukum.28
Untuk kejahatan semacam ini diperlukan adanya dua syarat:
1. Perbuatan tersebut harus diakui sebagai kejahatan oleh KUHP.
2. Kejahatan tersebut dikenai hukuman - diakui sebagai kejahatan oleh
negara yang menjadi tempat terjadinya perbuatan.29
KUHP Indonesia hanya menentukan syarat bahwa delik yang
bersangkutan merupakan kejahatan. Apabila kejahatan ini tidak dihukum
oleh hukum pidana negara asing maka peraturan undang-undang hukum
pidana Indonesia tidak berlaku karena tidak terpenuhinya syarat yang
kedua. Ketentuan ini sesuai dengan asas internasionalitas bahwa suatu
negara tidak dapat menyerahkan warga negaranya kepada pemerintahan
negara asing.
Asas personalitas aktif ini dibatasi oleh Pasal 6 KUHP yang
berbunyi:
“Berlakunya Pasal 5, ayat (1) ke-2 itu dibatasi dengan tidak dibolehkan untuk menjatuhkan pidana mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan pidana itu menurut perundang-undangan di tempat perbuatan itu dilakukan.”
Dari pasal ini dapat dipahami bahwa hukuman mati hanya dapat
dijatuhkan apabila perbuatan itu di wilayah Republik Indonesia maupun di
negara lain di mana perbuatan itu dilakukan, diancam dengan hukuman
28 Pengkhususan kejahatan serta dianggap nya perbuatan yang dilakukan sebagai kejahatan
di negara asing guna menghindarkan pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut terhadap satu tindak pidana. Lihat misalnya Satochid Kartanegara, op.cit., hlm. 196.
29 E. Utrecht, op.cit., hlm. 144.
33
mati. Pembatasan ini tidak meliputi pada kejahatan-kejahatan yang
tersebut dalam sub 1 ayat 1 Pasal 5; jadi menurut sub 1 ayat 1 Pasal 5 ini
hukuman mati dapat dijatuhkan.30
Ketentuan mengenai asas personal aktif dalam KUHP diperluas
dengan berlakunya undang-undang pidana Indonesia bagi pegawai negeri
Indonesia yang sedang berada di luar negeri melakukan kejahatan jabatan.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 7 KUHP yang berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi pegawai negeri Indonesia yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia salah satu kejahatan yang disebut dalam Bab XXVIII Buku Kedua.” Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah
kejahatan yang dilakukan dalam jabatan para pegawai negeri Republik
Indonesia. Kejahatan tersebut tertuang dalam Pasal 413 – 437 Bab XXVIII
Buku Kedua KUHP mengenai kejahatan jabatan. Dengan adanya pasal ini,
maka hukum pidana Indonesia berlaku bagi pegawai negeri di luar wilayah
Indonesia.
Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan pegawai negeri adalah
pelanggaran yang dapat mengganggu kepentingan negara serta masyarakat
Indonesia yang dapat merusak atau menurunkan wibawa pemerintahan
Indonesia.31
30 R. Sugandhi, op.cit., hlm. 10. 31 A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 160.
34
3. Asas Kewarganegaraan (Nasional Pasif)
Dalam hukum Internasional, suatu negara memiliki yuridiksi atas
orang yang bukan warga negaranya yang melakukan tindak kejahatan yang
dianggap dapat merugikan negara tersebut atau warganya sendiri yang
dilakukan di luar wilayahnya. Yuridiksi ini berdasarkan asas
kewarganegaraan pasif. Berdasarkan asas ini perundang-undangan pidana
Indonesia berlaku terhadap siapapun juga yang berada di luar wilayah
teritoirial Indonesia melakukan kejahatan tertentu.
Adanya yuridiksi ini sebagai upaya perlindungan terhadap negara
maupun warganya dari tindakan atau perbuatan kejahatan yang dilakukan
oleh orang asing di luar wilayah negara tersebut. Oleh karenanya, yuridiksi
ini disebut juga sebagai yuridiksi personal berdasarkan perlindungan32
yang oleh Hazewinkel Suringa asas ini disebut sebagai asas untuk
melindungi kepentingan umum yang besar dan tidak ditujukan bagi
kepentingan individual.33 Dasar pembenar asas ini adalah bahwa setiap
negara berhak melindungi warganya di luar negeri. Apabila negara
teritorial di mana tindak kejahatan dilakukan tidak menghukum orang
yang menyebabkan kerugian tersebut maka negara asal korban
berwenang34 untuk memberlakukan hukum pidana nya apabila orang
tersebut berada di wilayahnya.35
32 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 14. 33 A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 157. 34 Mengenai wewenang untuk menghukum pelaku pada dasarnya diserahkan kepada negara
tempat dilakukannya perbuatan. Bila seorang warga negara asing melakukan penipuan terhadap seorang warga Indonesia maka negara asing dipercaya untuk menuntut maupun memidana warganya yang melakukan kejahatan sebagaimana negara Indonesia akan melindungi hak
35
Asas nasional pasif dirumuskan dalam Pasal 4 ayat 1 sampai ayat 3
dan Pasal 8 KUHP. Pasal 4 KUHP berbunyi:
“Ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia:
Ke-1 Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108, 110, 111 bis pada ke-1, 127 dan 131;36
Ke-2 Suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia;
Ke-3 Pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung Pemerintah Indonesia, daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon, surat-surat utang sero (keterangan Dividend) atau surat-surat bunga uang yang masuk surat-surat itu, serta surat-surat keterangan pengganti surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti itu seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.”
Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara
asing yang melakukan kejahatan seperti yang tersebut dalam pasal-pasal
ini dapat dikenakan ketentuan-ketentuan pidana Indonesia meskipun
mereka melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia. Pasal ini
menggunakan istilah “setiap orang” yang berarti bahwa orang tersebut bisa
saja berkebangsaan atau berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraan negara asing, bahkan tidak berkebangsaan sekalipun.
Pasal ini meninggalkan asas teritorial dan menerima asas universal. Sub 1
menjaga kepentingan negara, sedangkan sub 2 dan sub 3 menjaga
kepentingan keuangan negara.
individual orang asing yang menjadi korban penipuan oleh warga Indonesia di Indonesia. Lihat ibid.
35 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 303.
36 Kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 4 Ke-1ini merupakan kejahatan terhadap keamanan negara (Buku Kedua Bab I KUHP) serta kejahatan terhadap martabat Presiden atau Wakil Presiden (Buku Kedua Bab II KUHP).
36
Pasal 8 KUHP berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas kendaraan air, melakukan salah satu perbuatan yang tersebut dalam bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga yang tersebut dalam peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam “Ordonantie Kapal 1927”.37 Pasal ini menentukan bahwa nakhoda atau penumpang kapal laut
atau perahu Indonesia yang melakukan peristiwa pidana di luar wilayah
Republik Indonesia, dapat dituntut menurut ketentuan hukum pidana
Republik Indonesia.38 Adapun kejahatan yang dimaksud dalam Bab XXIX
Buku Kedua adalah kejahatan dalam pelayaran, sedangkan yang dimaksud
dalam Bab IX Buku Ketiga adalah pelanggaran-pelanggaran dalam
pelayaran.
4. Asas Universal
Asas universal mengandung pengertian bahwa, suatu negara
memiliki yuridiksi atas pelaku suatu kejahatan, di mana dan kapanpun
kejahatan itu dilakukan, siapapun pelaku maupun korbannya. Prinsip ini
melihat pada suatu tata hukum Internasional yang melibatkan semua
negara di dunia. Oleh karenanya jika ada suatu kejahatan yang dapat
merugikan kepentingan Internasional, maka setiap negara berhak untuk
mengadili pelaku tanpa melihat status kewarganegaraan.39
37 R. Sugandhi, op.cit., hlm. 10-11. 38 Ibid.,. 39 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco,
1989), hlm. 53.
37
Kejahatan yang pelaku nya ditundukkan pada asas universal ini
merupakan kejahatan yang digolongkan sebagai musuh umat manusia
(hostis human generis) semisal kejahatan narkotika, terorisme,
pembajakan pesawat udara, genocide, kejahatan perang dan lain-lain.
Penegasan yuridiksi universal ini terdapat di dalam konvensi tentang
kejahatan Internasional atau kejahatan yang mempunyai dimensi
Internasional. Konvensi mewajibkan kepada negara-negara peserta
konvensi yang di wilayahnya di temukan pelaku kejahatan atau pelaku
tindak melawan hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil, jika
negara tersebut tidak bermaksud untuk meng ekstradisikan pelaku nya,
agar menyerahkan kasus tersebut kepada badan yang berwenang untuk
dilakukan penuntutan, tanpa terkecuali, baik kejahatan tersebut dilakukan
di wilayah negara bersangkutan maupun di luar wilayah negara tersebut.
Ditinjau dari segi hukum pidana, khususnya hukum pidana
Indonesia, yuridiiksi universal inilah yang dipandang sama dengan asas
universal hukum pidana. Tegas nya hukum pidana suatu negara berlaku
bagi siapapun, di manapun dan kapanpun suatu peristiwa pidana terjadi.40
Dengan demikian, tampak pula bahwa kaidah hukum pidana
berdasarkan asas universal ini tidak tunduk pada asas daluwarsa. Hal ini
dikarenakan kejahatan yang tunduk pada yuridiksi atau asas universal,
40 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 16.
38
tergolong peristiwa pidana atau kejahatan yang merupakan musuh umat
manusia.41
Asas universal dalam perkembangan hukum Internasional
memiliki peranan yang sangat strategis sebagai bentuk solidaritas
sekaligus sebagai pertanggungjawaban masyarakat Internasional terhadap
kejahatan Internasional. Meskipun demikian masih banyak negara yang
meragukan penerapan asas ini jika tidak dilandaskan pada standar tertentu,
yaitu kekhawatiran terhadap “intervensi” terhadap kedaulatan suatu
negara.42
Keberatan banyak negara dalam menerapkan asas universal ini
juga disebabkan kehendak negara-negara tersebut untuk menyerahkan
sepenuhnya wewenang menuntut dan mengadili kepada negara yang
memiliki yuridiksi yang kuat atas kejahatan Internasional. Oleh karena itu,
sebagai jalan keluar yang ditawarkan dalam hukum Internasional dikenal
resentation principle yang berarti bahwa, penerapan yuridiksi
ekstrateritorial suatu negara atas kejahatan internasional adalah untuk
kepentingan pihak ketiga yang secara langsung mempunyai kepentingan
atas kejahatan dimaksud.43
Berdasarkan hal ini pula Romli berpendapat bahwa sekalipun
dalam praktik hukum Internasional asas universal dipandang lebih efektif
dalam menuntut dan mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat kejam
serta bertentangan dengan kemanusiaan, pada saat yang sama
41 Ibid., 42 Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 6-7. 43 Ibid., hlm. 7.
39
pemberlakuan asas teritorial dan asas nasionalitas (kewarganegaraan)
tetap relevan untuk diberlakukan.44
Asas universal bertujuan untuk melindungi kepentingan dunia.
Penerapan asas ini diatur dalam Pasal 4 sub ke-2 dan ke-4 KUHP yang
berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia.”
Ke-2. suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
Ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. (UU. No. 4/1976).
Dalam sub ke-2 Pasal 4 KUHP – berdasarkan Conventie Genewa
tahun 1929 - ditetapkan bahwa siapa saja yang memalsukan atau
memasukan uang dan uang kertas dari negara manapun juga dapat dituntut
menurut pidana Indonesia. Pasal 4 sub ke-4 KUHP sesuai dengan jiwa
Declaration of Paris 1856. berdasarkan deklarasi tersebut, maka hukum
antar negara modern melarang perampokan di laut tanpa melihat siapa
pelaku dan yang menjadi korban.45
Kejahatan pembajakan udara yang tunduk pada asas universal ini
diatur dalam U.U. No. 4 tahun 1976 (L.N. No. 26 tahun 1976).46 Undang-
44 Ibid., hlm. 11. 45 A. Zainal Abidin Farid, op.cit., 160-161. 46 Selain sebagai penambahan pasal dalam KUHP yang bertalian dengan perluasan
berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, undang-undang ini juga sebagai penambah Bab
40
undang ini hanya menyebutkan dua jenis kejahatan yaitu kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan.
Dalam undang-undang ini tidak disebutkan secara tegas adanya
penggolongan tindak pidana penerbangan.
Berkaitan dengan hal ini, dalam KUHP Indonesia ditambahkan
satu bab baru setelah Bab XXIX dengan Bab XXIX A. tentang Kejahatan
Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana dan Prasarana Penerbangan
yang terdiri dari Pasal 479 huruf a dan Pasal 479 huruf r dengan ketentuan
sanksi yang berbeda-beda dalam tiap pasal. Kejahatan penerbangan
merupakan suatu perbuatan yang dapat mengancam keselamatan baik jiwa
maupun harta manusia, juga merupakan tindakan yang sangat mengganggu
serta menghambat pengembangan lalu lintas udara Internasional maupun
nasional serta menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
keamanan penerbangan sipil menjadi berkurang.47
Demikianlah keempat asas mengenai ruang berlakunya aturan-
aturan hukum pidana Indonesia. Selanjutnya dalam KUHP terdapat
pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal 2-5-7 dan 8, yakni
sebagai mana tersebut. Dalam pasal 9.
baru setelah Bab XXIX KUHP dengan XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan.
47 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 55.
41
BAB III
TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
A. Biografi Singkat
An Nu’man bin tsabit yang terkenal dengan sebutan Al-Imamul-A’zham
(Imam Besar karena kemahiran dan keluasan ilmunya). Dilahirkan di kuffah pada
tahun 80 H, beliau keturunan Persia. Beliau adalah seorang pedagang yang terkenal
dengan kejujuran kemudian pindah untuk berkonsentrasi talabul ilmi, abu hanifah
memiliki kecendrungan dalam masalah fiqih Silsilah Guru imam Abu Hanifah pada
metode fiqih syaikh Hammad bin Abi Sulaiman di irak beliau adalah murid dari
Ibrahim bin Yazid An Nakho’i kemudian beliau adalah murid Alqomah bin Qais An
Nakho’i kemudian beliau adalah murid dari Abdullah ibnu Masud Guru fiqih imam
Abu Hanifah selain syaikh Hammad bin Abi Sulaiman yaitu antara lain: Zaid bin Ali,
Zaenal Abidin, Ja’far Ashidiq Abdullah bin Hasan Beliau juga belajar ilmu fiqih
kepada ulama ulama fiqih di makkah pada massa musim musim haji dan beliau
pernah tinggal di mekkah selama 6 tahun semenjak 130 H. Kuffah terkenal dengan
ahlu ra’i dan mencapai puncaknya pada masa imam Abu Hanifah sehingga beliau di
juluki dengan imamul qiyasiyyin dan pembesar ahlu fiqih logika di zaman nya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang
faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang
alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat
imam yang memiliki madzhab. Para ulama berselisih pendapat tentang tempat
kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hanifah bahwa
42
Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Ada pula yang
mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya
lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan
bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas
Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia
pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala
mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut
rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk
berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar atau hadits dan juga melakukan
rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai
kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar
atau sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya. Beliau sempat bertemu dengan
Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar
dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh
besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin
Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin
Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqih nya, Abu Ja’far Al-
Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi.
Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada
orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka
tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas
43
saya tidak mempunyai jawaban nya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah
dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersama nya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di
Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu
Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan
tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya di cambuk
10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskan nya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya
diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam
Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari
Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-
Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh
binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual
minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq,
Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin
Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali
bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr,
Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad
bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah,
Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi,
Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajib nya
mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi
sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya
44
pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya
itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajib nya mengambil hadits dan
meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits.
Wafatnya Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa
pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil
kehadapan nya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak
permintaan raja tersebut karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan
dari sulthan (raja) maka dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara dan wafat
dalam penjara. Dan beliau wafat di Bagdad pada bulan Rajab pada tahun 150 H
dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang
meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.(diambil dari majalah Fatawa).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi mulai tumbuh di
Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian timur. Dan sekarang
ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan
Libanon.Mazhab ini juga dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan,
Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
Kitab karya Imam Abu Hanifah yang disusun oleh para murid-muridnya ada
dua macam:1
1. Zahirur-riwayah (kitab yang masalah-masalahnya pokok atau terang), yaitu; Al-
Mabsut, Al-Jami’ul-Kabir, Al-Jami’us-Saghir, As-Siyarul Kabir dan Az-Ziyadat.
Semua kitab ini disusun dalam kitab Al-Kafi, oleh Abul Fadal Al-Marwazi
terkenal dengan nama Al-Hakimusy Syahid (344 H), kemudian disyarahi oleh
Imam Muhammad bin Ahmad As-Sarkhasi dalam kitab Al-Mabsut terdiri 30 jilid.
1 Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, alih bahasa A. Sudjono, Bandung: Alma’arif,
hlm. 44.
45
2. Masailun-na wadir (kitab yang masalahnya jarang ada), yang diriwayatkan dari
Imam Muhammad ialah kitab Amali Muhammad fil-fiqh atau al-Kisaniyat yang
diriwayatkan oleh Syu”aib Al-Kisani dalam kitab Ar-Raqiyyat.
Murid-murid yang memperkuat dan mempertahankan mazhab antara lain;
Hilalur-Ra’y (245 H), Ahmad bin Mahir yang terkenal dengan nama Al-Hasaf (261
H) pengarang kitab Al-Hail,Al-Waqf, abu Ja’far At-Tahawi (321 H) Al-Jami’ul-
Kabir Fisy-Syurut, Abul-Hasan Al-Khurki (340 H), Abu Abdillah Al-Jurjani (398 H)
dalam kitab Khizanatul-Akmal, Sarkasi dalam kitab Al-Mabsut, Abu Bakar Al-
Kasani (587 H) dalam kitab Badai’us-sa-na’i fi tartibisy-syara’i, dan kitab fathul-
qadir karangan Kamalludin bin Al-Ghamam dan ulama-ulama lainnya.2
B. Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah
Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut
oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Menurut aspek teologis,
mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab
Syi’ah. Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan
keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu,
namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab
fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid
(orang yang melakukan ijtihad) yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari
dalil-dalil syari’ah yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl)
yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga
2 Ibid., hlm. 45.
46
menjadi satu kesatuan yang utuh.3 Dengan demikian, kendatipun mazhab itu
manifestasi nya berupa hukum-hukum syari’ah (fiqih), harus dipahami bahwa
mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqih yang menjadi metode
penggalian (Tharîqah al-Istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut.
Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqih dan ushul fiqih
menurut Imam Syafi’i.
Sejarah Lahirnya Mazhab Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan
Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age”. Pada masa itu Umat
Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban
maupun kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Fenomena ini kemudian melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar
yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan
fiqih Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh
tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan
meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama
fiqih sampai sekarang.
Memasuki abad kedua Hijriyah inilah yang menjadi era kelahiran mazhab-
mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga
dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan
istinbat (penetapan) hukum. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing
3http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=235:mazhab&ca
tid=96:ensiklopedi-islam 21/april/2010/pukul 15.30 WIB.
47
menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi
pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya
bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi, baik dalam memahami nash
al-Qur’an dan al-Hadist maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawaban
nya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam
mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia tanpa
disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya.
Dengan semakin mengakar dan melembaga nya doktrin pemikiran hukum dimana
antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul
sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing
pengikut mazhab dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut
penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha
melakukan istinbat (penetapan) hukum.4 Penciptaan pola kerja dan kerangka
metodologi inilah yang dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqih.
Metode imam Abu Hanifah di dalam proses mengajar:5
1. Menyampaikan permasalahan kepada muridnya, menanyakan pendapat masing
masing kepada mereka dan mendiskusikan, maka apabila sepakat Pada kepada
suatu pendapat maka langsung ditulis oleh salah seorang murid beliau, begitu juga
4 Ibid 5 http://aslamsalam.wordpress.com/2010/02/12/biografi-imam-abu-hanifah/
48
ketika masih ada perselisihan beliau dengan murid muridnya maka tetap di tulis
disertai menyebutkan letak perbedaannya dengan metode ini mazhab imam Abu
Hanifah mulai tumbuh.
2. Mazhab imam Abu Hanifah terkenal dengan metode musyawarah, bertukar
pendapat, pikiran dan diskusi, berbeda dengan metode imam Malik di mana
beliau hanya menyampaikan beberapa permasalahan dan hukum hukumnya
kepada murid muridnya, akan tetapi beliau tidak mengikuti metodenya imam Abu
Haniffah yaitu tanpa mendiskusikan nya dan bertukar pendapat dengan murid
muridnya. demikianlah kemudian mazhab imam Abu Hanifah berkembang
dengan metode tersebut.
Diantara pokok pokok istinbat yang pernah beliau sampaikan secara langsung
adalah, berpegang kepada alquran ketika ditemukan hukum hukumnya, jika tidak
ditemukan di dalam alquran maka pada sunnah jika tidak ditemukan pada sunnah
maka berpegang pada pendapat sahabat, kemudian apabila ijtihad itu dari jalur
Ibrahim An Nakho’i, Assyabi, Ibnu Sirin, A’to, dan Said ibnu Musyaib (pembesar
mujtahidin di kalanagan tabiin), maka saya (Abu Hanifah) ber ijtihad sebagaimana
ijtihad mereka. 6 Dari kutipan perkataan beliau di atas menunjukkan bahwa Abu
Hanifah berpegang kepada alquran kemudian sunnah dan perkataan para sahabat jika
tidak ditemukan baru setelahnya beliau ber ijtihad.
Dengan demikian sumber hukum menurut Imam Abu Hanifah adalah:
1. Al-Qur’an
Al-qur’an adalah perkataan Allah yang di turun kan oleh Ruhul Amin ke
dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafal bahasa Arab
6 Sobhi Mahasimi, Op., citi., hlm. 42.
49
berikut artinya. Supaya menjadi hujah bagi Rasulullah SAW bahwa Dia adalah
sebagai utusan Allah SWT.7 Menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang
mendapat petunjuk dengan petunjuk Allah. Dengan membaca Al-Qur’an itulah
maka orang menghamparkan diri kepada Allah dan menyembah-Nya.
Hukum yang terdapat dalam al-Qur’an diuraikan secara global, sedangkan
Sunnah berfungsi menjelaskan secara rinci itu tunduk kepadanya, karena pada
dasarnya penjelasan Sunnah berasal dari al-Qur’an juga, sebagai mana Firman
Allah AWT :
�� ��� ا�����ل �� أع ا����
Artinya: Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. (QS. An-Nisa: 80).8
2. Sunnah
Sunnah dalam arti syar’i adalah apa yang bersumber dari Rasul. Perkataan,
atau perbuatan, atau ketetapan. Dengan demikian Sunnah dilihat dari segi materi
dan esensinya terbagi menjadi tiga macam:9
a. Sunnah Qauliyah (ucapan)
��ؤ��� وا���وا ��ؤ�����ا ��
Artinya: Berpuasa lah karena melihat tanggal(satu Ramadhan) dan ber bukalah (lebaran) karena melihat tanggal (satu syawal).
b. Sunnah Fi’liyah (perbuatan)
���ا آ! رأ��!� � ا���
Artinya: Lakukan lah shalat persis sebagaimana kalian melihat Ku mengerjakan shalat.
7 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.17.
8 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1989. Hlm. 132. 9 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus,cet ke 10, 2007, hlm. 149-150.
50
c. Sunnah Taqririyah (ketetapan)
Sunnah taqririyah ialah semisal Nabi melihat suatu perbuatan atau
mendengar satu ucapan, lalu Nabi mengakui atau membenarkan nya.
3. Qaulu Sahabat
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang
langsung menerima risalah nya dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari
beliau sendiri.10 Oleh karena itu jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat
mereka dapat dijadikan hujah sesudah dalil-dalil nash.
Firman Allah SWT:
وا�&�(��ن ا1�و���ن �� ا�!32��� وا1� 0ر وا��/�� ا.�-,�ه* ()'&ن
ر:� ا���� 389* ور:�ا 89� وأ9 � 3�* �82ت .6�ي .4�3 ا1� 3ر
�� C١٠٠F �>3 أ( ا ذ�@ ا�?�ز ا�,=>*;�
Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 100).11
Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para
sahabat. Sebagai konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita di
diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena fatwa-fatwa
mereka dapat dijadikan hujah.
Sabda Rasulullah SAW:
G) 4وا� G) 4� H ن ا� ا G��H ن ا�
10 Ibid.. hlm. 328. 11 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 297.
51
Artinya: Saya adalah kepercayaan (orang-orang yang dipercaya) sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan para umatku.12
Kepercayaan umat kepada para sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa
sahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan para sahabat kepada Nabi
berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
�<� IJ,) ا�/ ى G �L ا���و ن�<;
Artinya: Sebaik-baik generasi, adalah generasi ku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut.13
Jika pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang
hidup sesudah mereka juga menetapkan hukum berdasarkan qiyas yang berada
dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah
pendapat para sahabat.
4. Ijtihad (masuk di dalamnya Qiyas dan Istihsan)
a. Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nash nya dalam al-
Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash atau menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan illat hukumnya.14 Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya al-Qur’an dan
Hadist, kadang juga bersifat implist-analogik terkandung dalam nash
tersebut.15 Jadi hukum Islam ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash,
yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-Qur’an dan Hadist,
ada kalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan
nash, yang demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.
12 M. Abu Zahrah, op.cit. 329. 13 Ibid.. hlm. 330. 14 Syekh Abdul wahab Khalaf, op.cit., hlm. 58. 15 M. Abu Zahrah, op.cit., hlm. 336.
52
Firman Allah SWT:
أم P,6 ا��/�� �8�Oا و9!��ا ا��04�ت آ�!?& �� �� ا1�رض أم
P,6 C٢٨F ا�!���>� آ�?�6ر
Artinya: Patut kah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?. (QS. Shaad: 28).16
b. Istihsan adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Imam Abu al-
Hasan al-Karkhi menggunakan definisi ihthsan adalah penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan
hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan
yang lebih kuat yang menghendaki yang lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpangan itu.17 Pada dasarnya Imam Abu Hanifah masih
tetap menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang tepat. Maka jika
pemakaian dalil pada situasi tertentu kurang pas, maka ia beralih kepada dalil
ihtihan.
5. Beliau juga menggunakan Ijma’ dan Al-Arfu atau adat sebagai sumber hukum
a. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly). Para
ulama sepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujah) untuk
menetapkan hukum syara’, tapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan
siapakah ulama mujtahidin yang berhak menetapkan ijma’.18
16 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 736. 17 M. Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401. 18 Ibid.. hlm. 308.
53
b. Al-Arfu adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang. Berupa
perkataan, perbuatan, atau meninggalkan.19 Ini merupakan salah satu sumber
hukum yang diambil oleh mazhab Abu Hanifah yang berada di luar lingkup
nash. ‘Urf (tradisi) adalah bentuk muamalah (hubungan kepentingan) yang
telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah
masyarakat. Dan ini tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqh yang
diambil dari intisari Sabda Nabi Muhammad SAW:
�راT ا �!&�!�ن '&8 ��3 89 اS ا�� '&�
Artinya: Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik.20
Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya menunjukkan bahwa setiap
perkara yang telah mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang
sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik
dihadapan Allah.
Oleh karena itu, ulama’ mazhab Hanafi mengatakan bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf yang sohih (benar), bukan yang fasid (rusak /
cacat), sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.
�9 �U P<� ) I) V ف�,�) I) Vا
Artinya: Dictum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.
X8� ) I) J� ف آ �,� ) I) Jا�
Artinya: apa yang ditetapkan berdasarkan ’urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash.21
19 Syekh Abdul Wahab Khalaf, op.cit., hlm. 104. 20 M. abu Zahrah, op.cit., hlm.417. 21 Ibid..
54
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu
Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak
secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik
secara lisan maupun tulisan.22 Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu
Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak
dikunjungi oleh berbagai ulama di zaman nya. Mazhab Hanafi dikenal banyak
menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak
ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan
menggunakan kaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan
dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu
hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan
Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan,
ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi
SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan
hukum Islam dari kedua sumber tersebut.23
C. Teori Locus Delicti
Telah diketahui bahwa pada dasarnya syariat Islam bersifat universal
(‘alamiyyah), sedangkan dari segi pengamalan lebih bersifat regional (iqlimiyyah)
tergantung kewilayahan. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah apakah
syariat Islam berlaku bagi seluruh penduduk dar as-salam atau hanya berlaku bagi
sebagian penduduknya saja. Kemudian apabila syariat Islam berlaku bagi tindak
22 Sobhi Mahmassani, op.cit., 43-47. 23 http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-112.html
55
pidana atau jarimah yang terjadi di wilayah kekuasaan Islam, apakah syariat Islam
juga berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-
harb.24 Syariat Islam juga berlaku bagi tiap penduduk dar as-salam yang berada di
bawah kekuasaan pemerintahan Islam tanpa membedakan agama. Bagi orang yang
menetap (berkebangsaan) di dar as-salam mempunyai keharusan melaksanakan
syariat di wilayah dar as-salam saja melainkan di luar wilayah kekuasaan Islam juga.
Dengan sifatnya yang ‘alamiyyah, aturan pidana Islam berlaku di setiap
pelosok negeri. Bila tidak memungkinkan untuk menegakkan syariat di luar dar as-
salam, maka cukup untuk menerapkannya bagi tindak pidana yang terjadi di wilayah
dar as-salam. Karena aturan syariat berlaku bagi siapa saja (muslim maupun zimmiy)
yang melakukan tindak pidana di wilayah kekuasaan Islam. Begitu juga bagi jarimah
yang di lakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb.25 Karena merupakan suatu
kemungkinan untuk menetapkan hukum terhadap jarimah yang di lakukan oleh
seseorang yang berkebangsaan dar as-salam, meskipun tidak memungkinkan untuk
menegakkan syariat (memberi hukuman bagi pelaku) di dar al-harb.
Mengenai batas wilayah yang dapat diberlakukan pidana Islam di dalamnya,
Abu Hanifah berpendapat bahwa syariat Islam berlaku hanya bagi tindak Pidana
(jarimah) yang terjadi dalam wilayah kekuasaan dar as-salam. Ketentuan ini berlaku
bagi seluruh penduduk dar as-salam, muslim maupun zimmiy. Pendapat seperti ini
dapat kita lihat dalam ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-tasyri’ al-Jana’I al-Islamiy
Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, di bawah ini:
24 TM Hasbi Ash Shiddieqy, Huum Antar Golongan (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 3. 25 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 107.
56
�Z? G و ��ى أن ا�]��,G�9 Y-�. Z ا��6أم ا�>8و� '-3 أ(� ' ود ا� و�Z ا^�[�>Z، ا� ' G� P;ن دادارا^�[م، أى �` G� a`.�.
�>، dن ا�!&�* �>L �� c آن ��.`-3 �&�! أوذ اءآ I ا�Z!��6، و�� ��G أن ��:L �&?8� G � e>�ه، وdن ا�/ �ن e>� ا�]��,Z، و�6�Hز �
26.(�-��� �9 ا�/�Z ا� أم ا���f دأ� م ا��fم أ'`م ا^�[
Adapun terhadap seorang musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa
hukum Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku baginya apabila
kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan yang masuk dalam haq Allah
(berzina, minum khomer, mencuri, merampok dan bugah)27 atau yang menjadi hak
jama’ah. Meskipun demikian ia tetap dihukum apabila tindak kejahatannya
merupakan kejahatan terhadap individu atau haq al-‘abd (qishas, ta’zir, kodhaf,
ghosob dan tabdid).28
�Z �� دارا^��[م ?Z >و� '-3 أ(� '88Lh� Z�L>* إ�� ��أ�Z!��2 a`.إذا ار Z,��[م ا��9>� أ'` Y-�.]� G&!. أى ،Sا �' c!.
c!. Z!��2 a`.إذا ار Z,��[ا� Gj��!) aL,� !.وإ ،Z9!6�� �' �9!8 أن �� ��>*'Lاد، و��k�� &� دارا^�[م G� Z�Lh� Z�Lإ! G
��1�29.ا�!&
26 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-tasyri’ al-Jana’I al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, Juz I,
Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994, hlm.280. 27 Apa yang telah disyariatkan oleh Allah tidak terlepas dari kemaslahatan individu (seorang
mukallaf), maupun kemaslahatan orang banyak (jama’ah). Kemaslahatan individu merupakan kemaslahatan jama’ah, begitu juga kemaslahatan jama’ah tidak terlepas dari kemaslahatan individu. Tuntutan syariat yang membawa kemaslahatan serta manfaat dari ditetapkannya kepada kepentingan individu merupakan hak individu dan kewajiban yang menyebabkan kemaslahatan jama’ah adalah hak jama’ah. Dalam kajian ushul fiqh para ulama membagi hukum taklifiy menjadi empat bagian, yang murni menjadi hak Allah, yang terbagi lagi menjadi tiga bagian, masalah ‘ubudiyyah, masalah zakat serta pajak bagi tanah, dan masalah ‘uqubah selain hadd dan qisas. Kedua adalah hukum taklifiy yang mencakup hak Allah (jama’ah) serta hak individu akan tetapi hak Allah (jama’ah) lebih kuat dibanding hak individu. Ketiga, hukum taklifiy yang mencakup hak Allah dan hak Individu, akan tetapi hak individu lebih kuat dibanding hak Allah atau hak jama’ah dan yang keempat adalah hukum taklifiy yang pelaksanaan serta kemaslahatannya murni menjadi hak individu yang terkait dengan masalah harta seperti halnya penentuan harga dalam jual beli, hak syuf‘ah dan sebagainya. Lihat misalnya ‘Ali Hasballah, Usul at-Tasyri’ al-Islamiy (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), hlm. 293-297.
28 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiqy, op.cit., hlm. 8. 29 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, loc.cit.,
57
Hal ini dikarenakan seorang musta’min masuk ke dar as-salam bukan untuk
menetap selamanya, melainkan karena adanya suatu kepentingan, seperti berdagang
dan lain sebagainya. Permohonan perlindungan yang diminta tidak menjadikan ia
terikat oleh hukum Islam dalam masalah jarimah. Meskipun demikian ia tetap terikat
oleh apa yang telah ia sepakati dan menjadi tujuannya memasuki dar as-salam, yaitu
segala aturan yang mengharuskan ia berbuat adil dalam bermu’amalah.
Asas dari semua ini adalah wilayah atau kekuasaan, yaitu adanya kekuasaan
atau kedaulatan terhadap tempat, dalam hal ini tidak ada kekuasaan terhadap seorang
musta’min karena keberadaannya dalam dar as-salam dapat diketahui sampai batas
tertentu (sementara waktu).30
Abu Hanifah membagi tauliyyah (wewenang atau kekuasaan) pada dua
bagian yaitu, tauliyyah ‘ammah (kekuasaan yang bersifat umum) dan tauliyyah
khasah (kekuasaan yang bersifat khusus).31
Kekuasaan Umum atau menyeluruh adalah kekuasaan seseorang sultan, raja
maupun orang yang dipercaya untuk memegang tampuk kepemimpinan terhadap
suatu wilayah yang luas atau suatu negara. Kekuasaan ini mempunyai wewenang
untuk menegakkan hadd meskipun dalam hal yang tidak ditetapkan dalam nash al-
Qur’an maupun al-Hadits. Ketika kekuasaan ini diberikan bagi seseorang, maka
menjadi keharusan baginya untuk menjaga kemaslahatan umat Islam yang salah satu
caranya dengan menegakkan hadd.
Adapun kekuasaan khos adalah kekuasaan yang berwenang terhadap
masalah-masalah yang khusus seperti menarik pajak bagi pemilik tanah kharijiyyah.
30 Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy,al-‘Arabiy,t.th., Dar
al-Fikr, hlm 344. 31 Alau al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’I as-Sana’I fi Tartib asy-Syara’I, Juz VII,
Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hlm. 86.
58
Kekuasaan ini tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan hadd, kecuali pada
hal-hal yang telah ditetapkan.
Terhadap jarimah yang dilakukan oleh seorang muslim atau zimmiy di luar
wilayah dar as-salam, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum Islam tidak dapat
diterapkan karena permasalahannya bukan pada terikatnya seorang muslim maupun
zimmiy oleh hukum Islam, melainkan pada kemampuan penguasa untuk menegakkan
hadd.32 Bukan merupakan suatu keharusan bagi penguasa untuk menegakkan hukum
kecuali berdasarkan kemungkinan atau kemampuan untuk menegakkan nya.33 Bila
yang menjadi dasar bagi penerapan hukum adalah adanya suatu kekuasaan terhadap
satu wilayah maka jelas bagi penguasa dar as-salam tidak memungkinkan untuk
menerapkan segala peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ dalam masalah pidana
di wilayah yang berada di bawah kedaulatan dar al-harb. Hal ini dikarenakan dar al-
harb bukan merupakan daerah atau wilayah yang berada dalam kekuasaan Islam.
Pendapat tersebut di atas seperti yang ditulis Kamalludin bin Al-Ghamam
dalam kitab syarah Fathul Qadir, bahwa ”penguasa tidak mampu melaksanakan
hukum had terhadap orang yang melakukan kejahatan di Darrul Harbi, pada waktu
kejahatan itu dilakukan, apa bila penguasa tidak punya kemampuan, maka hukum itu
tidak wajib dilaksanakan (hukum batal dengan sendirinya)”.34
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadilan dalam
menghukumi suatu perkara harus mempunyai wewenang atau kekuasaan terhadap
32 Hadd merupakan hukuman yang telah ditetapkan (al-Muqaddarah) dalam nas yang menjadi hak
Allah. Maksudnya ditetapkan (muqaddarah) adalah bahwa hukuman hadd telah dibatasi, maka tidak ada hukuman hadd yang lebih berat atau tinggi dan juga tidak ada hukuman hadd yang lebih ringan dari batas yang tekah di tetapkan oleh Syari’. Adapun yang dimaksud dengan yang menjadi hak Allah adalah tidak adanya hak untuk menggugurkan hukuman bagi seseorang maupun bagi jama’ah. Lihat misalnya ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit., hlm. 78
33 Ibid., hlm. 281. 34 Imam Kamaluddin bin Al-Ghamam, Syarah Fathul Qadir Ala’Hidayah Syarah Bidayatul
Mubtadi, Juz IV, Bairut: Darrul Kitab Alamiyah, hlm. 152-153.
59
tempat terjadinya suatu tindak jarimah. Dalam hal ini pengadilan Islam tidak punya
wewenang terhadap wilayah kekuasaan dar al-harb apabila di tempat tersebut terjadi
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan dar as-salam, muslim
maupun zimmiy. Tidak ada hukuman bagi seorang muslim maupun zimmiy yang
melakukan suatu jarimah yang mengharuskan diberlakukannya hadd, sebagaimana
tidak adanya qisas,35 apabila yang menjadi tempat terjadinya jarimah adalah dar al-
harb.
Ini berlainan dengan jarimah yang mengharuskan adanya diyat bila yang
menjadi korban adalah seorang yang dilindungi jiwa, raga dan hartanya. Ketentuan
ini didasarkan pada dua hal. Pertama ditetapkannya wewenang pengadilan Islam
terhadap pelaku. Kedua adalah karena dilindungi nya darah seorang muslim dan
zimmiy. Bila seorang muslim atau zimmiy membunuh seorang muslim lainnya di
dar al-harb, maka tidak mungkin untuk melakukan qisas pada saat terjadinya
perbuatan. Hal ini dikarenakan keberadaan pelaku di dar al-harb tidak memungkinkan
untuk melaksanakan qisas, maka yang kemudian dapat ditetapkan adalah diyat atau
denda. Hal ini mungkin untuk dilakukan karena yang diambil dalam diyat adalah
harta pelaku yang saat itu berada di dar as-salam.36
Ketentuan lainnya adalah mengenai seorang muslim yang melakukan suatu
jarimah di wilayah kedaulatan dar as-salam kemudian melarikan diri ke dar al-harb.
Mengenai hal ini Abu Hanifah berpandangan bahwa ketentuan-ketentuan syariat
Islam tetap berlaku bagi pelaku. Ketentuan ini tidak berbeda dengan peraturan yang
35 Tindak pidana yang mengharuskan adanya qisas (balasan) sebagai ‘uqubah atau hukuman bagi
pelanggar maupun pelaku jarimah. Qisas merupakan hukuman yang bentuknya diserahkan kepada masing-masing individu untuk melaksanakannya (haq li al-afrad). Dalam artian bahwa korban dapat saja menggagalkan hukuman - yang menjadi haknya untuk melaksanakan ataupun menggagalkan - bila ia memaafkan ataupun mengampuni pelaku jarimah tersebut. Lihat ibid.,hlm. 78-80.
36 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 350.
60
ditetapkan bagi seorang musta’min yang berbuat jarimah di dar as-salam kemudian
melarikan diri atau kembali ke dar al-harb. Kembalinya ia ke dar al-harb tidak
menjadikan hukuman yang harus diterimanya menjadi gugur.37 Hal tersebut berlaku
pula bagi terhadap seorang musta’min yang pulang dari tempat asalnya (Darrul
Harbi). Hukuman terhadapnya tidak gugur dan hukuman terhadap kejahatannya tetap
dapat dikenakan.38
Mengenai tindak kejahatan yang di lakukan oleh tentara-tentara Islam yang
berada dalam markas meskipun letaknya berada dalam daerah kekuasaan dar al-harb
tetap dikenai ketentuan-ketentuan hukum Islam. Hal ini dikarenakan daerah yang
diduduki tentara Islam termasuk wilayah kekuasaan Islam.39 Oleh karenanya setiap
tindak pidana yang terjadi di tempat tersebut dihukumi seperti dalam dar as-salam.
Seorang imam atau pemimpin dianggap mampu untuk menegakkan hukum di
markas-markas tentara Islam karena adanya kekuatan, senjata serta berkumpulnya
mereka dalam satu tempat. Oleh karenanya markas-markas tentara Islam, ketika
dalam keadaan perang dihukumi seperti dar as-salam meskipun letaknya berjauhan
dengan wilayah yang menjadi kedaulatan dar as-salam.40
Abu Hanifah berpendapat bahwa aturan-aturan hadd tidak berlaku bagi
seorang zimmiy kecuali dalam masalah qazaf41. Pelanggaran mereka dalam bentuk
perbuatan zina, meminum khamr serta mencuri tidak dikenakan aturan yang
37 ‘Abd al- Qadir ‘Audah, op.cit., hlm. 282. 38 Alau al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, op.,cit., hlm. 131. 39 L. Amin Widodo, Fiqh siyasah dalam hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994. hlm. 19. 40 ‘Alau al-Din Abi Bakr ibn Mas’ud al-Kasaniy al-Hanafiy, op.cit., hlm. 195. 41 Yaitu menuduh seeorang telah berbuat zina dengan disertai adanya empat orang saksi yang
menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri perbuatan tersebut dan dilakukan terhadap orang yang tidak halal baginya. Qazaf merupakan salah satu perbuatan jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh Syari’ yang tidak ada peluang untuk mengurangi, menambah, ataupun mengganti hukuman tersebut. Lihat misalnya Mahmud Fuad Jad Allah, Ahkam al-Hudud fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah (Mesir: Matabi’ al-Misriyyah al-‘Ammah, 1983), hlm. 51-52.
61
mewajibkan ditegakkannya hadd. Ketentuan ini seperti yang ditetapkan oleh Malik.
Kecuali asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa seorang zimmiy tetap dihukum karena
pelanggaran yang ia lakukan dalam bentuk apapun.42 Menurut asy-Syafi’i, ketentuan
diyat juga berlaku bagi pelaku pembunuhan terhadap ahl az-zimmah, seperti halnya
yang berlaku terhadap pelaku pembunuhan terhadap seorang muslim.
Para tentara Islam yang melakukan jarimah sewaktu dalam keadaan perang
atau melakukan pelanggaran di medan perang tidak terkena ketentuan ‘uqubah.
Hukuman akan ditetapkan se kembalinya ia dari medan perang. Abu Hanifah
membedakan kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di
medan perang dalam dua keadaan.43 Pertama, apabila yang terbunuh adalah
penduduk dar al-harb yang telah masuk Islam serta belum pindah ke dar as-salam dan
pelaku pembunuhan nya adalah seorang penduduk dar as-salam, muslim atau zimmiy
maka untuk kasus ini tidak ada qisas maupun diyat bagi pelaku. Kedua, bila yang
terbunuh adalah seorang muslim atau zimmiy sebagai penduduk dar as-salam dan
pembunuh nya adalah seorang musta’min yang masuk ke dar al-harb, maka tidak ada
qisas karena tidak adanya wewenang.
Teori Abu Hanifah tentang lingkungan berlakunya syariat Islam terutama
mengenai orang-orang musta’min mempunyai pengaruh yang buruk bagi negeri-
negeri Islam, karena pendapat tersebut dijadikan dasar untuk pemberian hak istimewa
kepada orang-orang asing (musta’min).
Akibat tersebut masih terasa sampai sekarang. Pemberian hak istimewa
tersebut cukup mendorong mereka untuk memasuki negara-negara Islam dengan
42 Abi Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Muhalla, jilid VIII (Beirut: Dar al-
Fikr, t.th.), hlm. 158. 43 ‘Alau al-Din Abi Bakr ibn Mas’ud al-Kasaniy al-Hanafiy, op.cit., hlm. 131.
62
mendapat jaminan keselamatan. Setelah kaum muslimin lemah banyak hak-hak
mereka yang dilanggar. Keadaan seperti ini menyiapkan jalan kemenangan bagi
orang-orang asing.
Selain itu, tidak dituntut nya orang-orang muslim yang berbuat pidana di dar
al-harb, akan mempersubur jarimah, terutama jarimah yang bertalian dengan akhlak,
bahkan juga jarimah yang ditujukan kepada keamanan, kedudukan serta kewibawaan
dar as-salam.
Dalam penerapan ketentuan-ketentuan pidana, syariat tidak membedakan
antara pribadi, jama’ah, ras, antara hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat. Tidak
ada yang diistimewakan dalam pemberlakuan hukum. Ketentuan syariat berlaku bagi
para pemimpin negara (dar as-salam) yang melakukan pelanggaran hukum. Begitu
juga terhadap para pemimpin negara luar (ajnabiyyah) yang sedang berada di dar as-
salam. Ketentuan ini berlaku bagi para anggota perwakilan asing yang bertugas di dar
as-salam, pejabat negara dan sanak saudara serta orang-orang yang menyertai
mereka.
Mengenai para pemimpin dar al-harb yang berada di dar as-salam, Abu
Hanifah berpendapat bahwa terhadap mereka tidak memungkinkan untuk
menerapkan syariat jika yang dilakukan adalah jarimah yang menyangkut hak
jama’ah. Hal ini dikarenakan mereka dianggap sebagai musta’min dan tidak ada
hukuman bagi mereka kecuali terhadap jarimah yang menyangkut hak individu.
Selain itu, seorang kepala negara dianggap sebagai pelaksana hukuman oleh
karenanya, tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukuman atas dirinya sendiri.44
44 L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 48.
63
BAB IV
ANALISIS TEORI DAN PENERAPAN LOCUS DELICTI
(KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT)
PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
A. Teori Locus Delicti
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan, dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana. Hukum pidana yang berupaya
cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan
memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan dimana mereka yang
akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali
keputusan dari pemerintah, sementara hukum Internasional mengatur
persoalan antar berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filosof Aristoteles menyatakan
bahwa “sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan
dengan peraturan tirani yang merajalela”.1 Jadi sampai di mana hukum pidana
dapat melekat (berlaku) pada seseorang dapat dilihat pada Pasal 2 sampai 9
dalam KUHP. Pasal-pasal ini memberi ketentuan mengenai batas-batas
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
64
berlakunya perundang-undangan pidana Indonesia. Dalam Pasal 2 KUHP
dapat di temukan adanya satu asas yang menjadi dasar bagi berlakunya
undang-undang pidana dilihat dari segi tempat, yaitu asas teritorial.
Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa
berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah
(bumi), ia merupakan asas yang paling tua. Yang menjadi ukuran asas ini
adalah peristiwa pidana (delik, perbuatan pidana, tindak pidana) yang terjadi
dalam batas wilayah Indonesia dan bukan ukuran bahwa pelaku harus berada
dalam batas wilayah Indonesia.2
Pasal 2 KUHP diperluas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang
Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia bertalian dengan
perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan
penerbangan dan kejahatan sarana prasarana penerbangan. Undang-undang ini
merupakan tambahan bagi Pasal 3 KUHP yang merupakan perluasan Pasal 2
KUHP sehingga berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat Indonesia.”3
Ketentuan mengenai asas teritorial ini dapat dijelaskan dengan teori
mengenai kewenangan setiap negara berdaulat untuk menjaga ketenteraman di
wilayahnya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
2 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 162. 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan dan
Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-prasarana Penerbangan.
65
memberlakukan ketentuan hukum yang berlaku di dalamnya. Di samping itu
ada pandangan yang mengatakan bahwa negara yang menjadi tempat
dilakukannya suatu kejahatan adalah negara yang paling berhak untuk
memberlakukan hukum terhadap pelaku.4 Asas teritorial menitik beratkan
pada terjadinya tindakan pidana dalam suatu negara.5 Dalam artian bahwa
segala bentuk tindak pidana yang terjadi dalam negara tersebut tidak bisa lepas
dari peraturan pidana yang telah diundang kan kecuali bagi orang-orang asing
yang mendapat hak eksteritorial yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
Orang-orang asing yang mendapat hak eksteritorial, mereka tidak
dapat diganggu gugat sehingga ketentuan pidana nasional tidak berlaku bagi
mereka dan mereka hanya tunduk pada undang-undang pidana negaranya
sendiri. Dengan adanya hak eksteritorial bukan berarti mereka dapat bertindak
di luar ketentuan hukum. Bagi mereka senantiasa dapat dimajukan pengaduan
kepada pemerintahannya. Pengaduan ini dapat disertai dengan tuntutan untuk
menarik mereka ke negaranya untuk diadili berdasarkan hukum pidana di
negaranya, hanya saja hal ini harus senantiasa dilakukan melalui jalur
diplomatik.6
Selain itu, hukum-hukum Islam ditegakan atas dasar persamaan antar
manusia tanpa membedakan ras dan golongan. Hal ini sesuai dengan ruh Islam
yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Namun demikian tidak dapat
dipungkiri, pada kenyataannya tidak semua wilayah atau negara menggunakan
4 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja,
Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 277. 5 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineika Cipta, 2000, hlm. 38. 6 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 6-7.
66
syariat Islam sebagai landasan hukum meskipun sesungguhnya di suatu
wilayah atau negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan
demikian hukum Islam dalam arti formalnya hanya dapat berlaku pada
wilayah-wilayah yang bersifat regional.
Sanksi hukum pidana dalam Islam, dilihat dari segi tempat terbagi
pada dua macam, yaitu: pertama yang telah ditetapkan dalam nas-nas syara’
(al-Qur’an, al-sunnah yang berkaitan dengan ‘uqubah, hudud maupun qisas).
Ketentuan ini berlaku umum (universal) untuk semua negara Islam. Kedua
adalah ‘uqubah yang tidak ditetapkan secara pasti oleh Syari’, mengenai
ketentuannya diserahkan kepada pemerintah untuk mengadakan sekaligus
menjalankan ketentuan tersebut. Ketentuan ini tidak harus sama antara satu
daerah dengan daerah lain. Oleh karenanya tidak menjadi soal ketika satu
hukuman berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya selama hal ini
dapat menanggulangi kejahatan atau kerusakan yang terjadi.7
Pada dasarnya suatu negara memiliki wewenang untuk menerapkan
undang-undang pidana terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di wilayah
teritorial, baik pelakunya sebagai warga negara tersebut maupun bukan. Hal
ini dikarenakan setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban
hukum yang terjadi di wilayahnya. Selain itu setiap negara yang berdaulat
mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan kedaulatan di wilayah
negara lain. Pembagian negara atau sistem pemerintahan kepada dar as-salam
dan dar al-harb bukan berarti hanya ada dua sistem pemerintahan dalam Islam.
7 Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr al-
‘Arabi. Ttp, hlm. 338-340.
67
Pembagian ini lebih dimaksudkan pada pembagian wilayah sebagai wilayah
yang aman dar as-salam bagi umat Islam dan yang kedua sebagai wilayah
permusuhan (perang) dar al-harb bagi kaum muslimin. Selain itu, pembagian
negara dimaksudkan untuk menentukan hukum yang berlaku di kedua bentuk
negara tersebut.
Negara-negara Islam, meskipun berbeda dalam sistem pemerintahan
dianggap sebagai satu negara (dar) dikarenakan negara-negara Islam, dalam
masalah penerapan hukum mempunyai asas yang sama, yaitu berlandaskan
syariat Islam. Dari segi ini, negara-negara Islam mempunyai satu kesatuan
hukum dan oleh karenanya tiap dar as-salam dianggap sebagai wakil bagi dar
as-salam yang lain dalam penerapan hukum pidana.
Pandangan ini tidak berbeda terhadap dar al-harb, seluruh negara yang
tidak menerapkan ketentuan syariat Islam dianggap sebagai dar al-harb,
meskipun negara-negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang
berbeda. Berdasarkan hal ini pula dapat disimpulkan bahwa dalam masalah
penerapan hukum dapat di tentukan oleh batas-batas wilayah negara serta
sistem hukum yang berlaku di dalamnya dan juga berdasarkan
kewarganegaraan pelaku.
Dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa kaidah mengenai
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masalah pidana. Kaidah-kaidah ini
merupakan pedoman dalam pelaksanaan maupun pengguguran hukuman.
68
Selain itu, kaidah-kaidah ini juga sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mengetahui hak milik serta batasan-batasannya.
Kaidah-kaidah ini di antaranya adalah:
إ� �� ���.�� و� �� ��� �
Ketentuan mengenai termasuk atau tidaknya suatu perbuatan dalam jarimah
haruslah menurut nas (al-Qur’an dan Hadits). Berdasarkan hal ini, kejahatan-
kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan pidana Islam telah diatur oleh nas
yang merupakan rukun Syari’ dalam pidana Islam. Adapun ketentuan
mengenai nas adalah bahwa nas tersebut harus berlaku tidak dimansukh
ketika dilakukannya perbuatan. Yang kedua adalah bahwa nas tersebut harus
berlaku dapat menjangkau di tempat terjadinya perbuatan. Ketentuan
selanjutnya adalah bahwa nas harus berlaku bagi pelaku atau nas tersebut
merupakan peraturan yang mengikat baginya.
Kaidah yang kedua adalah:
� م �� ا�����ء ���� ون أ�� م � ���$% ا���$�$# "! دار ا
ا�&'�
Dari kaidah ini dapat dijelaskan bahwa seluruh umat muslim di dar as-salam
memiliki hak serta kewajiban yang sama meskipun mereka berasal dari
wilayah yang berbeda. Persamaan dalam hukum, juga mencakup setiap orang
non-muslim yang berada di dar as-salam dikarenakan mereka ketika berada di
69
dar as-salam, juga memiliki hak serta kewajiban sebagaimana penduduk
muslim.
Kaidah ketiga berbunyi:
� م �$( �)را.8� � ا�/.- �� ,+*� م "! دار ا
Tidak mengetahui hukum islam tidak menjadikan uzur.
Kaidah keempat berbunyi:
وا��! 4; �! , �$( ,ي آ� ن +2 ا�'�7 �# ا�/ ا56 ا��! �4'21 �23 ا�01
ا56 ا�3;ود�
Bahwa para pemimpin dan siapa saja di dar as-salam tidak mempunyai hak
untuk memaafkan suatu kejahatan hudud. Tidak adanya hak untuk memaafkan
atau menggugurkan hukuman juga berlaku terhadap korban dan orang yang
menjadi wali korban.
Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah
(tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang
masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah
maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.9 Di luar dar as-salam hukum
Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku kecuali untuk
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq adamiy).
Abu Hanifah menitikberatkan pada tempat sebagai unsur utama untuk
menentukan berlaku tidaknya ketentuan hukum Islam.
8 Samsul Ma’arif, Terjemah Matan Taqrib Ringkas dan Jelas, cet-II, Magelang: Toko
Kitab Salamun Tegalrejo, 2009, hlm.203. 9 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-
Wad‘iy, Juz. I, Beirut: Muasasah ar- Risalah. 1994, hlm. 280.
70
Abu Yusuf salah seorang tokoh fiqih dalam mazhab Hanafi
berpendapat bahwa hukum Islam berlaku atas semua tindak pidana yang
terjadi di daerah hukum dar as-salam, baik ia bermukim (penduduk) seperti
seorang muslim atau zimmiy, ataupun bermukim untuk sementara seperti
seorang musta’min. Ia berasumsi bahwa seorang muslim diharuskan menuruti
dan melaksanakan syariat Islam karena ke-Islamanya dan seorang zimmiy
dikarenakan akad zimmah-nya yang menjamin keamanan yang tetap baginya
di dar as-salam. Adapun bagi seorang musta’min, ia harus melaksanakan
hukum-hukum Islam dan menaatinya mengingat ‘aqd al-amn (yaitu akad
jaminan keamanan) yang waktunya terbatas sesuai dengan perjanjian yang
telah memberikan kepadanya hak untuk menetap dalam jangka waktu tertentu
di dar as-salam.10
Selanjutnya Imam asy-Syafi’I, Imam Maliki, dan Imam Ahmad
(jumhur) berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala
kejahatan yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk
dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelaku nya adalah seorang muslim,
zimmiy maupun musta’min. Ini berarti bahwa aturan-aturan pidana tidak
terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.11 Jadi setiap
muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dilarang atau
meninggalkan hal-hal yang diperintahkan atau diwajibkan di manapun ia
berada.
10 Ibid., hlm. 285. 11 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit. hlm. 287.
71
B. Penerapan Teori Locus Delicti
Dalam masalah penerapan hukum, selain berdasarkan
kewarganegaraan12 dengan ke-Islaman maupun berdasarkan akad zimmah
Abu Hanifah mensyaratkan adanya kedaulatan terhadap tempat. Bila seorang
harbiy masuk Islam di negaranya dan belum pindah atau berhijrah ke dar as-
salam maka, hukum pidana Islam tidak dapat menjangkau atau tidak berlaku
bagi kejahatan yang ia lakukan di negaranya (dar al-harb). Hal ini dikarenakan
ketika ia melakukan kejahatan, ia berada di wilayah yang di dalamnya tidak
ada kedaulatan negara Islam yang mengakibatkan tidak adanya kemampuan
bagi penguasa dar as-salam untuk memberlakukan serta memberi hukuman
kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Aspek tempat
inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam penerapan hukum pidana
Islam dalam teori Abu Hanifah mengenai ruang lingkup berlakunya hukum
pidana.
Berdasarkan hal ini pula jika seorang penduduk dar as-salam
melakukan suatu kejahatan dalam pandangan hukum Islam di dar al-harb
maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana
Islam melainkan dihukumi berdasarkan hukum pidana yang berlaku di dar al-
harb. Negara tersebut (dar al-harb) dapat memberlakukan hukum pidana yang
berlaku berdasarkan asas teritorial yang dianut oleh negara tersebut dan jika
menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu kejahatan. Keberadaannya
12 Yusuf Qardhawi menulis bahwa nasionalisme tidak terletak pada batas wilayah geografis melainkan pada aqidah. Dari pendapatnya ini dapat difahami bahwa meskipun umat Islam berada di wilayah yang berbeda, akan tetapi mereka dianggap satu dalam masalah nasionalisme, yaitu nasionalisme yang berdasarkan akidah Islam, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali Makhtum Assalamy (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hlm. 97.
72
penduduk dar as-salam di dar al-harb meniadakan kewajiban bagi penguasa
untuk memberi hukuman terhadapnya. Begitu juga sekembalinya ia ke dar as-
salam, kejahatan yang ia lakukan di dar al-harb tidak mengharuskan ia
mendapat hukuman di karenakan ketika ia melakukan kejahatan tersebut
ketentuan pidana Islam (nas) tidak menjangkau apa yang ia lakukan.
Berkaitan dengan penerapan teori Abu Hanifah terhadap seorang
muslim yang menjadi penduduk dar al-harb, hijrahnya seorang harbiy yang
telah masuk Islam dari dar al-harb ke dar as-salam dijadikan syarat
kewarganegaraan dar as-salam menurut Abu Hanifah. Selama ia belum pindah
ke dar as-salam maka hukum pidana Islam belum berlaku bagi pelanggaran-
pelanggaran yang ia lakukan di dar al-harb.13 Hukum pidana yang mengikat
baginya adalah hukum pidana yang berlaku di negara tersebut.
Negara Islam, meskipun bukan negara nasionalis,14 namun tetap
membatasi kewarganegaraan hanya bagi mereka yang menetap di wilayah dar
as-salam dan orang-orang yang telah ber hijrah ke dalamnya. Firman Allah
dalam al-Qur’an:
إن< ا�<)�# E���ا وه�� وا و��ه;وا C���ا�.5 وأ7B�.5 "! �?$- ا�1<0 وا�<)�#
وا أوH'� IJ�.5 أو�$�ء �'G وا�<)�# E���ا و5� �.�� وا �� KBووا وE
وآ5 "! ا�;M�# �*5 �# و����.L #� 5!ء +K���وا وإن ا ��.� N>�
13 Mengenai kewarganegaraan dalam Islam lihat misalnya Teungku Muhammad Hasbi
ash Shiddieqie, Hukum antar Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001,hlm. 43-45.
14 Syaukat Hussain menyebutnya sebagai negara ideologis. Masyarakat dalam negara ini diklasifikasikan pada dua kelompok yaitu muslim (yang percaya pada ideologi negara) dan warga non-muslim (yang tidak percaya pada ideologi negara), Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 75.
73
$K� �1ن�4' ���م �$�*5 و�$�.5 �$��ق وا�1<0 �Q N1� �>إ� K>1$*5 ا��'"
R٧٢U Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfall: 72).15
Pada ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai kepala
negara Islam, dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap orang-
orang muslim yang bukan warga negara dari negara Islam.16
Ketentuan mengenai boleh nya setiap dar as-salam untuk menerapkan
hukum Islam terhadap seorang penduduk dar as-salam di dar as-salam yang
lain, berlaku selama pelanggaran yang dilakukan belum diadili oleh salah satu
dar as-salam yang menjadi asal pelaku, dar as-salam yang menjadi tempat
dilakukannya perbuatan maupun dar as-salam yang menjadi tempat pelarian
bagi pelaku. Begitu juga bila pelanggaran yang dilakukan telah dijatuhi bukan
berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, pelanggaran tersebut harus kembali
diadili dengan ketentuan syariat Islam di dar as-salam yang bermaksud untuk
mengadili.
15 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 273. 16 Syaukat Hussain Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N
Jakarta: Gema Insani Press, 1996., hlm. 21.
74
Mengenai para musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa ketentuan
pidana Islam tidak berlaku kecuali terhadap pelanggaran yang berkaitan
dengan hak-hak individu selain hudud dan qisas. Oleh karenanya, seorang
musta’min yang melakukan suatu kejahatan yang berkaitan dengan hak-hak
jama’ah atau hak Allah di dar as-salam tidak dapat dikenai hukuman
berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Hal ini dikarenakan keberadaan
seorang musta’min di dar as-salam adalah dalam rangka bermu’amalah seperti
berdagang atau lainnya. Pendapat seperti inilah yang digunakan Imam Abu
Hanifah menggunakan salah satu metode istinbat hukum sesuai dengan ayat
al-Qur’an surat Al-Anfaall ayat 72.
Dalam hukum pidana positif, penerapan hukum pidana suatu negara
terhadap kejahatan yang terjadi di dalam batas-batas wilayah negara
didasarkan atas asas teritorial. Tidak ada ketentuan tentang kejahatan seperti
apa yang tunduk pada asas teritorial suatu negara. Dalam KUHP Indonesia
hanya disebut ketentuan umum bahwa undang-undang pidana Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah
Indonesia.17 Penerapan hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini
berlaku umum, dalam artian bahwa setiap kejahatan yang terjadi di wilayah
teritorial Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana nasional.
Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu kejahatan di
wilayah yuridiksi Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
17 Pasal 2 KUHP.
75
Asas teritorial dilandasi oleh bermacam prinsip yang di antaranya
adalah bahwa kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara harus diatasi oleh
negara dimana kejahatan itu terjadi. Pertimbangan lainnya adalah bahwa
negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan adalah negara yang di
anggap memiliki kepentingan paling kuat, memiliki fasilitas paling baik serta
memiliki perangkat paling kuat untuk menerapkan hukum pidana nya terhadap
kejahatan yang dilakukan baik oleh warga negaranya maupun oleh orang-
orang asing yang berada di wilayahnya.18
Selain memiliki hak serta kekuasaan terhadap kejahatan yang terjadi di
wilayah teritorial, suatu negara dalam pandangan hukum Internasional juga
memiliki hak-hak istimewa bagi duta-duta diplomatik nya di negara lain.19
Hak istimewa ini dapat dinikmati berupa hak immunitas atau kekebalan
hukum terhadap yuridiksi sebuah negara.
Hal ini mengakibatkan adanya pengecualian bagi mereka yang
memiliki hak tersebut dalam penerapan hukum pidana suatu negara. Dengan
kata lain, mereka yang mendapat hak immunitas, meskipun mereka melakukan
suatu kejahatan di wilayah teritorial Indonesia, hukum pidana Indonesia tidak
dapat di terapkan terhadap mereka.20
18 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 277. 19 Hak-hak lainnya yang melekat bagi sebuah negara merdeka di antaranya adalah
kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan dalam negeri, kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang-orang asing dan juga sebuah negara dianggap memiliki yuridiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi/dilakukan di wilayah teritorial negara tersebut. Lihat Ibid., hlm. 133.
20 Pengecualian bagi berlakunya hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
76
Dengan adanya pengecualian ini maka dapat disimpulkan bahwa
meskipun setiap negara berdaulat memiliki hak untuk memberlakukan hukum
pidana nasional nya terhadap pelaku kejahatan di wilayahnya, dengan adanya
pengecualian bagi mereka yang mendapat hak immunitas, penerapan hukum
pidana berdasarkan asas teritorial tidak berlaku secara mutlak. Dalam
penerapannya, asas ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku
menurut hukum internasional.
Wilayah yang termasuk teritorial, selain wilayah tanah adalah wilayah
perairan dan udara. Ini merupakan perluasan bagi berlakunya hukum pidana
dari segi tempat. Dengan adanya perluasan ini maka, kejahatan yang terjadi di
dalam kendaraan air dan juga pesawat Indonesia tunduk pada perundang-
undangan pidana Indonesia.21 Dalam penerapannya, tidak semua kapal atau
perahu dianggap sebagai perpanjangan dari wilayah teritorial. Hanya kapal
yang berada di lautan terbuka yang di dalamnya dapat ditegakkan kedaulatan
teritorial. Berdasarkan hal ini, setiap kejahatan yang dilakukan di atas kapal
berbendera Indonesia, tunduk pada ketentuan hukum pidana Indonesia.
Berdasarkan hal ini setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang
penduduk dar as-salam di Indonesia atau di negara yang menerapkan hukum
pidana positif serta mengakui adanya asas teritorial baik dilakukan di wilayah
tanah, perairan maupun udara dan juga dalam perahu dan pesawat udara
Indonesia maka terhadap kejahatan tersebut dapat diberlakukan hukum pidana
yang berlaku di Indonesia atau negara yang menerapkan hukum pidana positif.
21 Pasal 3 KUHP sebagai perluasan bagi berlakunya perundang-undangan hukum pidana
Indonesia sebagai mana tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976.
77
Adapun ketentuan hukum pidana Islam dalam hal ini tidak dapat diberlakukan
dikarenakan keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam.
Berdasarkan hal ini pula negara tempat dilakukannya perbuatan dar al-harb
dapat memberlakukan hukum yang berlaku berdasarkan asas teritorial. Hal ini
apabila perbuatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam tersebut
dianggap sebagai kejahatan dalam hukum pidana positif.
Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam
hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai
dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan.
Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya
ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik
pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan
bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap
pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di
dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat
menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana
Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di
dar as-salam. Sedangkan perbedaan Teori Imam Abu Hanifah dengan asas
teritorial dalam hukum positif perbedaan mengenai warga negara di luar
negeri, dimana menurut hukum positif dikenakan hukuman, sedangkan
menurut Abu Hanifah tidak dikenakan hukuman.
Selain itu, tidak diberlakukannya hukum pidana bagi kejahatan yang
dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb, melainkan diberikannya
78
wewenang kepada penguasa dar al-harb untuk melaksanakan hukuman kepada
pelaku berdasarkan asas teritorial yang berlaku merupakan ketentuan yang
timbul akibat dari disyaratkan kedaulatan (kekuasaan) terhadap tempat dalam
penerapan hukum pidana.
Mengenai para kepala negara dan para konsul yang berada atau sedang
berkunjung di dar as-salam, seperti halnya seorang musta’min yang bebas dari
ketentuan pidana terkecuali terhadap pelanggaran yang menyangkut hak
individu. Pendapatnya ini seperti di berlakukannya hak immunitas bagi para
kepala negara asing dan para konsul dalam teori hukum pidana positif, hanya
saja dalam hukum positif ketentuan mengenai tidak berlakunya hukum pidana
nasional terhadap mereka berlaku secara mutlak, dalam artian bahwa hukum
pidana nasioanal tidak berlaku bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun.
Adapun hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku di
negara mereka. Hak penuntutan serta pengadilan diserahkan kepada negara
tersebut.
Mengenai para konsul negara asing di dar as-salam, hukum yang
berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku bagi seorang musta’min.
dengan demikian, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang
menyangkut hak individu. Ini merupakan perbedaan antara pendapat Abu
Hanifah dengan hukum pidana positif mengenai para konsul negara asing.
Berdasarkan teori Abu Hanifah, suatu negara Islam dapat
memberlakukan hukum pidana Islam dalam kapal maupun perahu milik
berbendera negara tersebut. Seperti halnya markas-markas tentara muslim di
79
medan perang yang dianggap sebagai wilayah kedaulatan dar as-salam, begitu
juga terhadap kapal (perahu) milik suatu dar as-salam.. Berdasarkan pendapat
Abu Hanifah yang menekankan adanya kekuasaan terhadap tempat maka
kapal tersebut dapat dianggap sebagai perluasan bagi wilayah dar as-salam
dan oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku terhadap kejahatan yang
terjadi di dalamnya baik pelakunya sebagai warga dar as-salam maupun warga
dari negara yang menerapkan hukum pidana positif seperti halnya Indonesia.
Asas-asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat dalam
penerapannya didasarkan pada kewenangan negara terhadap tempat serta
adanya kewenangan terhadap pelaku (kewarganegaraan). Dalam hukum
pidana positif, penerapan asas teritorial mencakup seluruh kejahatan yang
dilakukan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah negara. Ketentuan ini
berlaku bagi warga negara maupun warga negara asing yang melakukan
kejahatan di wilayah negara tersebut. Dalam penerapannya, keberadaan
seseorang di wilayah negara telah dianggap cukup untuk memberlakukan
hukum pidana nasional tanpa harus berdomisili di negara tersebut. Dalam
hukum pidana Islam, teori Abu Hanifah yang menekankan adanya
kewenangan terhadap tempat dalam penerapan hukum, dapat diterapkan
terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di batas-batas wilayah dar as-salam
oleh penduduk dar as-salam, yaitu muslim dari dar as-salam manapun ia
berasal maupun sebagai penduduk dar al-harb yang belum menetap (berhijrah)
di dar as-salam dan zimmiy (orang-orang yang menetap) tidak pada para
pendatang atau musta’min kecuali pada kejahatan-kejahatan yang
80
berhubungan dengan kemaslahatan jama’ah. Dalam asas teritorial hukum
pidana positif dan teori Abu Hanifah terdapat pengecualian dalam penerapan
hukum meskipun mereka melakukan kejahatan di wilayah teritorial. Adapun
asas kewarganegaraan dalam hukum positif penerapannya terhadap warga
negara yang melakukan kejahatan di luar wilayah teritoir (luar negeri) dengan
kejahatan-kejahatan tertentu. Adapun teori Abu Yusuf penerapannya tidak
jauh berbeda dengan penerapan teori Abu Hanifah hanya saja jangkauannya
lebih luas, yaitu tidak terbatas pada mereka yang menetap di dar as-salam.
Dengan ketentuan seperti ini, terhadap seorang muslim yang bukan berasal
dari dar as-salam berdasarkan ke-Islamannya yang berada di dar as-salam
dapat dikenai ketentuan pidana Islam jika ia melakukan suatu kejahatan.
Ketentuan ini berlaku juga bagi mereka para pendatang di dar as-salam tanpa
terkecuali. Adapun asas universal dalam penerapannya oleh negara-negara
mencakup seluruh kejahatan yang telah disepakati berdasarkan konvensi
Internasional. Berdasarkan hal ini tiap negara yang di dalamnya terdapat
pelaku kejahatan yang menyangkut kepentingan Internasional dapat
memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap pelaku tanpa melihat
aspek kewarganegaraan. Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana
Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam.
Titik temu antara asas-asas hukum pidana positif dengan teori para
Imam Madzhad mengenai ketentuan berlakunya hukum pidana dilihat dari
segi tempat adalah pada aspek tempat dilakukannya kejahatan. Berdasarkan
hal ini setiap kejahatan (pelanggaran) yang terjadi di wilayah teritorial dar as-
81
salam maupun negara yang menerapkan hukum pidana positif tunduk terhadap
hukum yang berlaku di negara tersebut. Adapun kewarganegaraan pelaku
dalam hal ini tidak dapat dipermasalahkan. Hal ini berkaitan dengan sistem
hukum yang berbeda antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.
Suatu perbuatan yang dianggap sebagai suatu kejahatan dalam hukum pidana
positif tidak selalu dianggap kejahatan dalam hukum pidana Islam. Oleh
karenanya penerapan hukum terhadap kejahatan yang melibatkan dua negara
dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif hanya dapat
dilihat dari satu sistem hukum pidana, yaitu hukum negara yang memandang
perbuatan tersebut sebagai kejahatan dan di mana perbuatan tersebut
dilakukan oleh pelaku. Adapun kejahatan yang diakui oleh kedua sistem
hukum tersebut maka lembaga ekstradisi atau penyerahan pelaku kejahatan
dapat ditempuh untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada negara yang
mempunyai wewenang terhadap pelaku. Dengan demikian hukum yang
berlaku di dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif
yang berbeda dalam sistem pemerintahan akan senantiasa berjalan dan pelaku
kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan.
63
BAB IV
ANALISIS TEORI DAN PENERAPAN LOCUS DELICTI
(KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT)
PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
A. Teori Locus Delicti
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan, dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana. Hukum pidana yang berupaya
cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan
memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan dimana mereka yang
akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali
keputusan dari pemerintah, sementara hukum Internasional mengatur
persoalan antar berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filosof Aristoteles menyatakan
bahwa “sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan
dengan peraturan tirani yang merajalela”.1 Jadi sampai di mana hukum pidana
dapat melekat (berlaku) pada seseorang dapat dilihat pada Pasal 2 sampai 9
dalam KUHP. Pasal-pasal ini memberi ketentuan mengenai batas-batas
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
64
berlakunya perundang-undangan pidana Indonesia. Dalam Pasal 2 KUHP
dapat di temukan adanya satu asas yang menjadi dasar bagi berlakunya
undang-undang pidana dilihat dari segi tempat, yaitu asas teritorial.
Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa
berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah
(bumi), ia merupakan asas yang paling tua. Yang menjadi ukuran asas ini
adalah peristiwa pidana (delik, perbuatan pidana, tindak pidana) yang terjadi
dalam batas wilayah Indonesia dan bukan ukuran bahwa pelaku harus berada
dalam batas wilayah Indonesia.2
Pasal 2 KUHP diperluas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang
Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia bertalian dengan
perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan
penerbangan dan kejahatan sarana prasarana penerbangan. Undang-undang ini
merupakan tambahan bagi Pasal 3 KUHP yang merupakan perluasan Pasal 2
KUHP sehingga berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat Indonesia.”3
Ketentuan mengenai asas teritorial ini dapat dijelaskan dengan teori
mengenai kewenangan setiap negara berdaulat untuk menjaga ketenteraman di
wilayahnya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
2 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 162. 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan dan
Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-prasarana Penerbangan.
65
memberlakukan ketentuan hukum yang berlaku di dalamnya. Di samping itu
ada pandangan yang mengatakan bahwa negara yang menjadi tempat
dilakukannya suatu kejahatan adalah negara yang paling berhak untuk
memberlakukan hukum terhadap pelaku.4 Asas teritorial menitik beratkan
pada terjadinya tindakan pidana dalam suatu negara.5 Dalam artian bahwa
segala bentuk tindak pidana yang terjadi dalam negara tersebut tidak bisa lepas
dari peraturan pidana yang telah diundang kan kecuali bagi orang-orang asing
yang mendapat hak eksteritorial yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
Orang-orang asing yang mendapat hak eksteritorial, mereka tidak
dapat diganggu gugat sehingga ketentuan pidana nasional tidak berlaku bagi
mereka dan mereka hanya tunduk pada undang-undang pidana negaranya
sendiri. Dengan adanya hak eksteritorial bukan berarti mereka dapat bertindak
di luar ketentuan hukum. Bagi mereka senantiasa dapat dimajukan pengaduan
kepada pemerintahannya. Pengaduan ini dapat disertai dengan tuntutan untuk
menarik mereka ke negaranya untuk diadili berdasarkan hukum pidana di
negaranya, hanya saja hal ini harus senantiasa dilakukan melalui jalur
diplomatik.6
Selain itu, hukum-hukum Islam ditegakan atas dasar persamaan antar
manusia tanpa membedakan ras dan golongan. Hal ini sesuai dengan ruh Islam
yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Namun demikian tidak dapat
dipungkiri, pada kenyataannya tidak semua wilayah atau negara menggunakan
4 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja,
Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 277. 5 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineika Cipta, 2000, hlm. 38. 6 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 6-7.
66
syariat Islam sebagai landasan hukum meskipun sesungguhnya di suatu
wilayah atau negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan
demikian hukum Islam dalam arti formalnya hanya dapat berlaku pada
wilayah-wilayah yang bersifat regional.
Sanksi hukum pidana dalam Islam, dilihat dari segi tempat terbagi
pada dua macam, yaitu: pertama yang telah ditetapkan dalam nas-nas syara’
(al-Qur’an, al-sunnah yang berkaitan dengan ‘uqubah, hudud maupun qisas).
Ketentuan ini berlaku umum (universal) untuk semua negara Islam. Kedua
adalah ‘uqubah yang tidak ditetapkan secara pasti oleh Syari’, mengenai
ketentuannya diserahkan kepada pemerintah untuk mengadakan sekaligus
menjalankan ketentuan tersebut. Ketentuan ini tidak harus sama antara satu
daerah dengan daerah lain. Oleh karenanya tidak menjadi soal ketika satu
hukuman berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya selama hal ini
dapat menanggulangi kejahatan atau kerusakan yang terjadi.7
Pada dasarnya suatu negara memiliki wewenang untuk menerapkan
undang-undang pidana terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di wilayah
teritorial, baik pelakunya sebagai warga negara tersebut maupun bukan. Hal
ini dikarenakan setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban
hukum yang terjadi di wilayahnya. Selain itu setiap negara yang berdaulat
mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan kedaulatan di wilayah
negara lain. Pembagian negara atau sistem pemerintahan kepada dar as-salam
dan dar al-harb bukan berarti hanya ada dua sistem pemerintahan dalam Islam.
7 Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr al-
‘Arabi. Ttp, hlm. 338-340.
67
Pembagian ini lebih dimaksudkan pada pembagian wilayah sebagai wilayah
yang aman dar as-salam bagi umat Islam dan yang kedua sebagai wilayah
permusuhan (perang) dar al-harb bagi kaum muslimin. Selain itu, pembagian
negara dimaksudkan untuk menentukan hukum yang berlaku di kedua bentuk
negara tersebut.
Negara-negara Islam, meskipun berbeda dalam sistem pemerintahan
dianggap sebagai satu negara (dar) dikarenakan negara-negara Islam, dalam
masalah penerapan hukum mempunyai asas yang sama, yaitu berlandaskan
syariat Islam. Dari segi ini, negara-negara Islam mempunyai satu kesatuan
hukum dan oleh karenanya tiap dar as-salam dianggap sebagai wakil bagi dar
as-salam yang lain dalam penerapan hukum pidana.
Pandangan ini tidak berbeda terhadap dar al-harb, seluruh negara yang
tidak menerapkan ketentuan syariat Islam dianggap sebagai dar al-harb,
meskipun negara-negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang
berbeda. Berdasarkan hal ini pula dapat disimpulkan bahwa dalam masalah
penerapan hukum dapat di tentukan oleh batas-batas wilayah negara serta
sistem hukum yang berlaku di dalamnya dan juga berdasarkan
kewarganegaraan pelaku.
Dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa kaidah mengenai
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masalah pidana. Kaidah-kaidah ini
merupakan pedoman dalam pelaksanaan maupun pengguguran hukuman.
68
Selain itu, kaidah-kaidah ini juga sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mengetahui hak milik serta batasan-batasannya.
Kaidah-kaidah ini di antaranya adalah:
إ� �� ���.�� و� �� ��� �
Ketentuan mengenai termasuk atau tidaknya suatu perbuatan dalam jarimah
haruslah menurut nas (al-Qur’an dan Hadits). Berdasarkan hal ini, kejahatan-
kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan pidana Islam telah diatur oleh nas
yang merupakan rukun Syari’ dalam pidana Islam. Adapun ketentuan
mengenai nas adalah bahwa nas tersebut harus berlaku tidak dimansukh
ketika dilakukannya perbuatan. Yang kedua adalah bahwa nas tersebut harus
berlaku dapat menjangkau di tempat terjadinya perbuatan. Ketentuan
selanjutnya adalah bahwa nas harus berlaku bagi pelaku atau nas tersebut
merupakan peraturan yang mengikat baginya.
Kaidah yang kedua adalah:
� م �� ا�����ء ���� ون أ�� م � ���$% ا���$�$# "! دار ا
ا�&'�
Dari kaidah ini dapat dijelaskan bahwa seluruh umat muslim di dar as-salam
memiliki hak serta kewajiban yang sama meskipun mereka berasal dari
wilayah yang berbeda. Persamaan dalam hukum, juga mencakup setiap orang
non-muslim yang berada di dar as-salam dikarenakan mereka ketika berada di
69
dar as-salam, juga memiliki hak serta kewajiban sebagaimana penduduk
muslim.
Kaidah ketiga berbunyi:
� م �$( �)را.8� � ا�/.- �� ,+*� م "! دار ا
Tidak mengetahui hukum islam tidak menjadikan uzur.
Kaidah keempat berbunyi:
وا��! 4; �! , �$( ,ي آ� ن +2 ا�'�7 �# ا�/ ا56 ا��! �4'21 �23 ا�01
ا56 ا�3;ود�
Bahwa para pemimpin dan siapa saja di dar as-salam tidak mempunyai hak
untuk memaafkan suatu kejahatan hudud. Tidak adanya hak untuk memaafkan
atau menggugurkan hukuman juga berlaku terhadap korban dan orang yang
menjadi wali korban.
Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah
(tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang
masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah
maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.9 Di luar dar as-salam hukum
Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku kecuali untuk
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq adamiy).
Abu Hanifah menitikberatkan pada tempat sebagai unsur utama untuk
menentukan berlaku tidaknya ketentuan hukum Islam.
8 Samsul Ma’arif, Terjemah Matan Taqrib Ringkas dan Jelas, cet-II, Magelang: Toko
Kitab Salamun Tegalrejo, 2009, hlm.203. 9 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-
Wad‘iy, Juz. I, Beirut: Muasasah ar- Risalah. 1994, hlm. 280.
70
Abu Yusuf salah seorang tokoh fiqih dalam mazhab Hanafi
berpendapat bahwa hukum Islam berlaku atas semua tindak pidana yang
terjadi di daerah hukum dar as-salam, baik ia bermukim (penduduk) seperti
seorang muslim atau zimmiy, ataupun bermukim untuk sementara seperti
seorang musta’min. Ia berasumsi bahwa seorang muslim diharuskan menuruti
dan melaksanakan syariat Islam karena ke-Islamanya dan seorang zimmiy
dikarenakan akad zimmah-nya yang menjamin keamanan yang tetap baginya
di dar as-salam. Adapun bagi seorang musta’min, ia harus melaksanakan
hukum-hukum Islam dan menaatinya mengingat ‘aqd al-amn (yaitu akad
jaminan keamanan) yang waktunya terbatas sesuai dengan perjanjian yang
telah memberikan kepadanya hak untuk menetap dalam jangka waktu tertentu
di dar as-salam.10
Selanjutnya Imam asy-Syafi’I, Imam Maliki, dan Imam Ahmad
(jumhur) berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala
kejahatan yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk
dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelaku nya adalah seorang muslim,
zimmiy maupun musta’min. Ini berarti bahwa aturan-aturan pidana tidak
terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.11 Jadi setiap
muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dilarang atau
meninggalkan hal-hal yang diperintahkan atau diwajibkan di manapun ia
berada.
10 Ibid., hlm. 285. 11 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit. hlm. 287.
71
B. Penerapan Teori Locus Delicti
Dalam masalah penerapan hukum, selain berdasarkan
kewarganegaraan12 dengan ke-Islaman maupun berdasarkan akad zimmah
Abu Hanifah mensyaratkan adanya kedaulatan terhadap tempat. Bila seorang
harbiy masuk Islam di negaranya dan belum pindah atau berhijrah ke dar as-
salam maka, hukum pidana Islam tidak dapat menjangkau atau tidak berlaku
bagi kejahatan yang ia lakukan di negaranya (dar al-harb). Hal ini dikarenakan
ketika ia melakukan kejahatan, ia berada di wilayah yang di dalamnya tidak
ada kedaulatan negara Islam yang mengakibatkan tidak adanya kemampuan
bagi penguasa dar as-salam untuk memberlakukan serta memberi hukuman
kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Aspek tempat
inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam penerapan hukum pidana
Islam dalam teori Abu Hanifah mengenai ruang lingkup berlakunya hukum
pidana.
Berdasarkan hal ini pula jika seorang penduduk dar as-salam
melakukan suatu kejahatan dalam pandangan hukum Islam di dar al-harb
maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana
Islam melainkan dihukumi berdasarkan hukum pidana yang berlaku di dar al-
harb. Negara tersebut (dar al-harb) dapat memberlakukan hukum pidana yang
berlaku berdasarkan asas teritorial yang dianut oleh negara tersebut dan jika
menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu kejahatan. Keberadaannya
12 Yusuf Qardhawi menulis bahwa nasionalisme tidak terletak pada batas wilayah geografis melainkan pada aqidah. Dari pendapatnya ini dapat difahami bahwa meskipun umat Islam berada di wilayah yang berbeda, akan tetapi mereka dianggap satu dalam masalah nasionalisme, yaitu nasionalisme yang berdasarkan akidah Islam, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali Makhtum Assalamy (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hlm. 97.
72
penduduk dar as-salam di dar al-harb meniadakan kewajiban bagi penguasa
untuk memberi hukuman terhadapnya. Begitu juga sekembalinya ia ke dar as-
salam, kejahatan yang ia lakukan di dar al-harb tidak mengharuskan ia
mendapat hukuman di karenakan ketika ia melakukan kejahatan tersebut
ketentuan pidana Islam (nas) tidak menjangkau apa yang ia lakukan.
Berkaitan dengan penerapan teori Abu Hanifah terhadap seorang
muslim yang menjadi penduduk dar al-harb, hijrahnya seorang harbiy yang
telah masuk Islam dari dar al-harb ke dar as-salam dijadikan syarat
kewarganegaraan dar as-salam menurut Abu Hanifah. Selama ia belum pindah
ke dar as-salam maka hukum pidana Islam belum berlaku bagi pelanggaran-
pelanggaran yang ia lakukan di dar al-harb.13 Hukum pidana yang mengikat
baginya adalah hukum pidana yang berlaku di negara tersebut.
Negara Islam, meskipun bukan negara nasionalis,14 namun tetap
membatasi kewarganegaraan hanya bagi mereka yang menetap di wilayah dar
as-salam dan orang-orang yang telah ber hijrah ke dalamnya. Firman Allah
dalam al-Qur’an:
إن< ا�<)�# E���ا وه�� وا و��ه;وا C���ا�.5 وأ7B�.5 "! �?$- ا�1<0 وا�<)�#
وا أوH'� IJ�.5 أو�$�ء �'G وا�<)�# E���ا و5� �.�� وا �� KBووا وE
وآ5 "! ا�;M�# �*5 �# و����.L #� 5!ء +K���وا وإن ا ��.� N>�
13 Mengenai kewarganegaraan dalam Islam lihat misalnya Teungku Muhammad Hasbi
ash Shiddieqie, Hukum antar Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001,hlm. 43-45.
14 Syaukat Hussain menyebutnya sebagai negara ideologis. Masyarakat dalam negara ini diklasifikasikan pada dua kelompok yaitu muslim (yang percaya pada ideologi negara) dan warga non-muslim (yang tidak percaya pada ideologi negara), Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 75.
73
$K� �1ن�4' ���م �$�*5 و�$�.5 �$��ق وا�1<0 �Q N1� �>إ� K>1$*5 ا��'"
R٧٢U Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfall: 72).15
Pada ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai kepala
negara Islam, dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap orang-
orang muslim yang bukan warga negara dari negara Islam.16
Ketentuan mengenai boleh nya setiap dar as-salam untuk menerapkan
hukum Islam terhadap seorang penduduk dar as-salam di dar as-salam yang
lain, berlaku selama pelanggaran yang dilakukan belum diadili oleh salah satu
dar as-salam yang menjadi asal pelaku, dar as-salam yang menjadi tempat
dilakukannya perbuatan maupun dar as-salam yang menjadi tempat pelarian
bagi pelaku. Begitu juga bila pelanggaran yang dilakukan telah dijatuhi bukan
berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, pelanggaran tersebut harus kembali
diadili dengan ketentuan syariat Islam di dar as-salam yang bermaksud untuk
mengadili.
15 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 273. 16 Syaukat Hussain Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N
Jakarta: Gema Insani Press, 1996., hlm. 21.
74
Mengenai para musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa ketentuan
pidana Islam tidak berlaku kecuali terhadap pelanggaran yang berkaitan
dengan hak-hak individu selain hudud dan qisas. Oleh karenanya, seorang
musta’min yang melakukan suatu kejahatan yang berkaitan dengan hak-hak
jama’ah atau hak Allah di dar as-salam tidak dapat dikenai hukuman
berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Hal ini dikarenakan keberadaan
seorang musta’min di dar as-salam adalah dalam rangka bermu’amalah seperti
berdagang atau lainnya. Pendapat seperti inilah yang digunakan Imam Abu
Hanifah menggunakan salah satu metode istinbat hukum sesuai dengan ayat
al-Qur’an surat Al-Anfaall ayat 72.
Dalam hukum pidana positif, penerapan hukum pidana suatu negara
terhadap kejahatan yang terjadi di dalam batas-batas wilayah negara
didasarkan atas asas teritorial. Tidak ada ketentuan tentang kejahatan seperti
apa yang tunduk pada asas teritorial suatu negara. Dalam KUHP Indonesia
hanya disebut ketentuan umum bahwa undang-undang pidana Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah
Indonesia.17 Penerapan hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini
berlaku umum, dalam artian bahwa setiap kejahatan yang terjadi di wilayah
teritorial Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana nasional.
Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu kejahatan di
wilayah yuridiksi Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
17 Pasal 2 KUHP.
75
Asas teritorial dilandasi oleh bermacam prinsip yang di antaranya
adalah bahwa kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara harus diatasi oleh
negara dimana kejahatan itu terjadi. Pertimbangan lainnya adalah bahwa
negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan adalah negara yang di
anggap memiliki kepentingan paling kuat, memiliki fasilitas paling baik serta
memiliki perangkat paling kuat untuk menerapkan hukum pidana nya terhadap
kejahatan yang dilakukan baik oleh warga negaranya maupun oleh orang-
orang asing yang berada di wilayahnya.18
Selain memiliki hak serta kekuasaan terhadap kejahatan yang terjadi di
wilayah teritorial, suatu negara dalam pandangan hukum Internasional juga
memiliki hak-hak istimewa bagi duta-duta diplomatik nya di negara lain.19
Hak istimewa ini dapat dinikmati berupa hak immunitas atau kekebalan
hukum terhadap yuridiksi sebuah negara.
Hal ini mengakibatkan adanya pengecualian bagi mereka yang
memiliki hak tersebut dalam penerapan hukum pidana suatu negara. Dengan
kata lain, mereka yang mendapat hak immunitas, meskipun mereka melakukan
suatu kejahatan di wilayah teritorial Indonesia, hukum pidana Indonesia tidak
dapat di terapkan terhadap mereka.20
18 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 277. 19 Hak-hak lainnya yang melekat bagi sebuah negara merdeka di antaranya adalah
kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan dalam negeri, kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang-orang asing dan juga sebuah negara dianggap memiliki yuridiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi/dilakukan di wilayah teritorial negara tersebut. Lihat Ibid., hlm. 133.
20 Pengecualian bagi berlakunya hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
76
Dengan adanya pengecualian ini maka dapat disimpulkan bahwa
meskipun setiap negara berdaulat memiliki hak untuk memberlakukan hukum
pidana nasional nya terhadap pelaku kejahatan di wilayahnya, dengan adanya
pengecualian bagi mereka yang mendapat hak immunitas, penerapan hukum
pidana berdasarkan asas teritorial tidak berlaku secara mutlak. Dalam
penerapannya, asas ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku
menurut hukum internasional.
Wilayah yang termasuk teritorial, selain wilayah tanah adalah wilayah
perairan dan udara. Ini merupakan perluasan bagi berlakunya hukum pidana
dari segi tempat. Dengan adanya perluasan ini maka, kejahatan yang terjadi di
dalam kendaraan air dan juga pesawat Indonesia tunduk pada perundang-
undangan pidana Indonesia.21 Dalam penerapannya, tidak semua kapal atau
perahu dianggap sebagai perpanjangan dari wilayah teritorial. Hanya kapal
yang berada di lautan terbuka yang di dalamnya dapat ditegakkan kedaulatan
teritorial. Berdasarkan hal ini, setiap kejahatan yang dilakukan di atas kapal
berbendera Indonesia, tunduk pada ketentuan hukum pidana Indonesia.
Berdasarkan hal ini setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang
penduduk dar as-salam di Indonesia atau di negara yang menerapkan hukum
pidana positif serta mengakui adanya asas teritorial baik dilakukan di wilayah
tanah, perairan maupun udara dan juga dalam perahu dan pesawat udara
Indonesia maka terhadap kejahatan tersebut dapat diberlakukan hukum pidana
yang berlaku di Indonesia atau negara yang menerapkan hukum pidana positif.
21 Pasal 3 KUHP sebagai perluasan bagi berlakunya perundang-undangan hukum pidana
Indonesia sebagai mana tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976.
77
Adapun ketentuan hukum pidana Islam dalam hal ini tidak dapat diberlakukan
dikarenakan keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam.
Berdasarkan hal ini pula negara tempat dilakukannya perbuatan dar al-harb
dapat memberlakukan hukum yang berlaku berdasarkan asas teritorial. Hal ini
apabila perbuatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam tersebut
dianggap sebagai kejahatan dalam hukum pidana positif.
Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam
hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai
dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan.
Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya
ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik
pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan
bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap
pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di
dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat
menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana
Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di
dar as-salam. Sedangkan perbedaan Teori Imam Abu Hanifah dengan asas
teritorial dalam hukum positif perbedaan mengenai warga negara di luar
negeri, dimana menurut hukum positif dikenakan hukuman, sedangkan
menurut Abu Hanifah tidak dikenakan hukuman.
Selain itu, tidak diberlakukannya hukum pidana bagi kejahatan yang
dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb, melainkan diberikannya
78
wewenang kepada penguasa dar al-harb untuk melaksanakan hukuman kepada
pelaku berdasarkan asas teritorial yang berlaku merupakan ketentuan yang
timbul akibat dari disyaratkan kedaulatan (kekuasaan) terhadap tempat dalam
penerapan hukum pidana.
Mengenai para kepala negara dan para konsul yang berada atau sedang
berkunjung di dar as-salam, seperti halnya seorang musta’min yang bebas dari
ketentuan pidana terkecuali terhadap pelanggaran yang menyangkut hak
individu. Pendapatnya ini seperti di berlakukannya hak immunitas bagi para
kepala negara asing dan para konsul dalam teori hukum pidana positif, hanya
saja dalam hukum positif ketentuan mengenai tidak berlakunya hukum pidana
nasional terhadap mereka berlaku secara mutlak, dalam artian bahwa hukum
pidana nasioanal tidak berlaku bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun.
Adapun hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku di
negara mereka. Hak penuntutan serta pengadilan diserahkan kepada negara
tersebut.
Mengenai para konsul negara asing di dar as-salam, hukum yang
berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku bagi seorang musta’min.
dengan demikian, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang
menyangkut hak individu. Ini merupakan perbedaan antara pendapat Abu
Hanifah dengan hukum pidana positif mengenai para konsul negara asing.
Berdasarkan teori Abu Hanifah, suatu negara Islam dapat
memberlakukan hukum pidana Islam dalam kapal maupun perahu milik
berbendera negara tersebut. Seperti halnya markas-markas tentara muslim di
79
medan perang yang dianggap sebagai wilayah kedaulatan dar as-salam, begitu
juga terhadap kapal (perahu) milik suatu dar as-salam.. Berdasarkan pendapat
Abu Hanifah yang menekankan adanya kekuasaan terhadap tempat maka
kapal tersebut dapat dianggap sebagai perluasan bagi wilayah dar as-salam
dan oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku terhadap kejahatan yang
terjadi di dalamnya baik pelakunya sebagai warga dar as-salam maupun warga
dari negara yang menerapkan hukum pidana positif seperti halnya Indonesia.
Asas-asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat dalam
penerapannya didasarkan pada kewenangan negara terhadap tempat serta
adanya kewenangan terhadap pelaku (kewarganegaraan). Dalam hukum
pidana positif, penerapan asas teritorial mencakup seluruh kejahatan yang
dilakukan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah negara. Ketentuan ini
berlaku bagi warga negara maupun warga negara asing yang melakukan
kejahatan di wilayah negara tersebut. Dalam penerapannya, keberadaan
seseorang di wilayah negara telah dianggap cukup untuk memberlakukan
hukum pidana nasional tanpa harus berdomisili di negara tersebut. Dalam
hukum pidana Islam, teori Abu Hanifah yang menekankan adanya
kewenangan terhadap tempat dalam penerapan hukum, dapat diterapkan
terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di batas-batas wilayah dar as-salam
oleh penduduk dar as-salam, yaitu muslim dari dar as-salam manapun ia
berasal maupun sebagai penduduk dar al-harb yang belum menetap (berhijrah)
di dar as-salam dan zimmiy (orang-orang yang menetap) tidak pada para
pendatang atau musta’min kecuali pada kejahatan-kejahatan yang
80
berhubungan dengan kemaslahatan jama’ah. Dalam asas teritorial hukum
pidana positif dan teori Abu Hanifah terdapat pengecualian dalam penerapan
hukum meskipun mereka melakukan kejahatan di wilayah teritorial. Adapun
asas kewarganegaraan dalam hukum positif penerapannya terhadap warga
negara yang melakukan kejahatan di luar wilayah teritoir (luar negeri) dengan
kejahatan-kejahatan tertentu. Adapun teori Abu Yusuf penerapannya tidak
jauh berbeda dengan penerapan teori Abu Hanifah hanya saja jangkauannya
lebih luas, yaitu tidak terbatas pada mereka yang menetap di dar as-salam.
Dengan ketentuan seperti ini, terhadap seorang muslim yang bukan berasal
dari dar as-salam berdasarkan ke-Islamannya yang berada di dar as-salam
dapat dikenai ketentuan pidana Islam jika ia melakukan suatu kejahatan.
Ketentuan ini berlaku juga bagi mereka para pendatang di dar as-salam tanpa
terkecuali. Adapun asas universal dalam penerapannya oleh negara-negara
mencakup seluruh kejahatan yang telah disepakati berdasarkan konvensi
Internasional. Berdasarkan hal ini tiap negara yang di dalamnya terdapat
pelaku kejahatan yang menyangkut kepentingan Internasional dapat
memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap pelaku tanpa melihat
aspek kewarganegaraan. Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana
Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam.
Titik temu antara asas-asas hukum pidana positif dengan teori para
Imam Madzhad mengenai ketentuan berlakunya hukum pidana dilihat dari
segi tempat adalah pada aspek tempat dilakukannya kejahatan. Berdasarkan
hal ini setiap kejahatan (pelanggaran) yang terjadi di wilayah teritorial dar as-
81
salam maupun negara yang menerapkan hukum pidana positif tunduk terhadap
hukum yang berlaku di negara tersebut. Adapun kewarganegaraan pelaku
dalam hal ini tidak dapat dipermasalahkan. Hal ini berkaitan dengan sistem
hukum yang berbeda antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.
Suatu perbuatan yang dianggap sebagai suatu kejahatan dalam hukum pidana
positif tidak selalu dianggap kejahatan dalam hukum pidana Islam. Oleh
karenanya penerapan hukum terhadap kejahatan yang melibatkan dua negara
dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif hanya dapat
dilihat dari satu sistem hukum pidana, yaitu hukum negara yang memandang
perbuatan tersebut sebagai kejahatan dan di mana perbuatan tersebut
dilakukan oleh pelaku. Adapun kejahatan yang diakui oleh kedua sistem
hukum tersebut maka lembaga ekstradisi atau penyerahan pelaku kejahatan
dapat ditempuh untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada negara yang
mempunyai wewenang terhadap pelaku. Dengan demikian hukum yang
berlaku di dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif
yang berbeda dalam sistem pemerintahan akan senantiasa berjalan dan pelaku
kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai asas-asas berlakunya ketentuan hukum pidana
dari segi tempat (locus delicti) maka pada bab ini penulis dapat menuangkan hasil
penelitian ini dalam beberapa point kesimpulan:
1. Berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat dalam penerapannya didasarkan
pada kewenangan negara terhadap tempat serta adanya kewenangan terhadap
pelaku (kewarganegaraan). Dalam hukum pidana positif, penerapan asas teritorial
mencakup seluruh kejahatan yang dilakukan atau terjadi di dalam batas-batas
wilayah negara. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara maupun warga negara
asing yang melakukan kejahatan di wilayah negara tersebut. Dalam
penerapannya, keberadaan seseorang di wilayah negara telah dianggap cukup
untuk memberlakukan hukum pidana nasional tanpa harus berdomisili di negara
tersebut. Dalam hukum pidana Islam, teori Abu Hanifah yang menekankan
adanya kewenangan terhadap tempat dalam penerapan hukum, dapat diterapkan
terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di batas-batas wilayah dar as-salam oleh
penduduk dar as-salam, yaitu muslim dari dar as-salam manapun ia berasal
maupun sebagai penduduk dar al-harb yang belum menetap (berhijrah) di dar as-
salam dan zimmiy (orang-orang yang menetap) tidak pada para pendatang atau
musta’min kecuali pada kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan
83
kemaslahatan jama’ah. Dalam asas teritorial hukum pidana positif dan teori Abu
Hanifah terdapat pengecualian dalam penerapan hukum meskipun mereka
melakukan kejahatan di wilayah teritorial.
2. Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum pidana
positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai dasar bagi
pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam
pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya ketentuan jarimah
terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya seorang
muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk
memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di
wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di dalam batas-batas wilayah
negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat menjangkau serta berlaku
terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku bagi kejahatan
yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam. Sedangkan
perbedaan Teori Imam Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum positif
perbedaan mengenai warga negara di luar negeri, dimana menurut hukum positif
dikenakan hukuman, sedangkan menurut Abu Hanifah tidak dikenakan hukuman.
3. Teori Abu Hanifah tentang lingkungan berlakunya syariat Islam terutama
mengenai orang-orang musta’min mempunyai pengaruh yang buruk bagi negeri-
negeri Islam, karena pendapat tersebut dijadikan dasar untuk pemberian hak
istimewa kepada orang-orang asing (musta’min). Akibat tersebut masih terasa
sampai sekarang. Pemberian hak istimewa tersebut cukup mendorong mereka
untuk memasuki negara-negara Islam dengan mendapat jaminan keselamatan.
84
Setelah kaum muslimin lemah banyak hak-hak mereka yang dilanggar. Keadaan
seperti ini menyiapkan jalan kemenangan bagi orang-orang asing. Selain itu, tidak
dituntutnya orang-orang muslim yang berbuat pidana di dar al-harb, akan
mempersubur jarimah, terutama jarimah yang bertalian dengan akhlak, bahkan
juga jarimah yang ditujukan kepada keamanan, kedudukan serta kewibawaan dar
as-salam.
B. Saran
Dalam masalah penerapan hukum pidana, dalam hukum pidana Islam maupun
hukum pidana positif sangat berkaitan dengan adanya kewenangan terhadap tempat,
oleh karenanya antara dār as-salām maupun negara yang menerapkan hukum pidana
positif diperlukan adanya perjanjian untuk saling menyerahkan para pelaku kejahatan
karena dengan cara seperti inilah para pelaku kejahatan tidak dapat melarikan diri dari
hukum yang berlaku terhadap dirinya.
Dalam masalah yang berkaitan dengan asas-asas yang menjadi landasan
diberlakukannya hukum pidana dari segi tempat, kiranya diperlukan adanya kajian
lebih lanjut dalam masalah ini. Hal ini dikarenakan kejahatan akan terus berkembang
sebagaimana berkembangnya teknologi yang pada akhirnya akan melahirkan
kejahatan-kejahatan baru yang tidak mengenal batas-batas wilayah geografis suatu
negara.
85
C. Penutup
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan
skripsi, dengan disertai do’a semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari, meskipun penulisan skripsi ini sudah diusahakan
sepenuhnya bahwa skripsi ini kurang dari sempurna, maka dari itu segala kritik,
koreksi dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat diharapkan
demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berdo’a semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
86
A. Pembagian Negara dalam Islam
Berbeda dengan syari’at Nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal dan
temporal, syari’at Islam yang di bawah oleh Nabi Muhammad SAW bersifat
internasional dan kekal hingga akhir zaman.1 Dengan kata lain syari’at islam bersifat
universal melintasi batas-batas ruang dan waktu. Syari’at Islam adalah syari’at
Internasional, bukan untuk golongan atau bangsa saja bukan pula untuk suatu benua
tertentu.2 Oleh karena itu syari’at Islam ditunjukkan kepada orang-orang muslim
maupun bukan muslim, kepada penduduk Islam atau non Islam. Akan tetapi karena
tidak semua orang percaya kepada syari’at Islam, tidak mungkin dipaksakan.
Sedangkan syari’at Islam hanya dapat diterapkan di negeri-ngeri yang berada di
tangan kaum muslimin. Dengan demikian berlakunya syari’at Islam berhubungan erat
dengan kekuasaan dan kekuatan kaum kaum muslimin. Dalam artian bahwa semakin
luas daerah yang dikuasai, semakin luas pula daerah berlakunya syari’at itu, dan
sebaliknya. Dari aspek ilmiah syari’at Islam tetap bersifat universal, dan bersifat
nasional jika di lihat dari aspek pemberlakuannya.3 Pada dataran ideal, syariat Islam
1 http://generasimujahid.multiply.com/journal/item/4/makalahQ/ 21/11/09/21.30 WIB. 2 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 106. 3 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash- Shiddieqy
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 3.
87
dengan sifatnya yang universal dapat meliputi seluruh alam tanpa batas, tidak terbatas
pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Firman
Allah SWT:
������� ��١٠٧و�� أر����ك إ��� ر��
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam (QS. Al- anbiya’: 107).4
Akan tetapi pada kenyataannya syariat Islam hanya berlaku pada bangsa-
bangsa atau negara yang di dalamnya tegak kekuasaan Islam. Dengan demikian
berlakunya hukum Islam sangat terkait dengan kekuasaan yang ada dan berkembang
di suatu negara. Berdasarkan kenyataan ini, jumhur Ulama membagi negara yang
merupakan alat kekuasaan dalam menerapkan hukum islam kepada dua bagian, yaitu
dar-Islam dan dar-Harb.
Berkaitan dengan penerapan hukum, para fuqoha membagi negara menjadi
dua, dar as-salam dan dar al-harb.
1111.... Dar asDar asDar asDar as----salamsalamsalamsalam
Dar as-salam merupakan suatu negeri yang seluruh penduduknya muslim
dan mereka dapat menegakkan hukum Islam di dalamnya, juga masuk kategori
ini tiap tempat atau wilayah yang seluruh atau sebagian besar penduduknya
adalah muslim. Begitu juga negara yang diperintah atau berada di bawah
kekuasaan orang muslim sekalipun mayoritas penduduknya adalah non-muslim
4 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, Semarang : Toha Putra, 2006, hlm. 508.
88
sepanjang orang-orang muslim di dalamnya dapat menegakan hukum Islam serta
tidak ada tentangan dari penduduk non-muslim.5
Sehubungan dengan permasalahan di atas, penduduk dalam dar as-salam
dapat dibedakan menjadi tiga golongan.
a. Muslim, yaitu semua orang Islam yang tinggal dalam dar as-salam, baik
sebagai warga tetap maupun sebagai orang asing yang datang ke negara
tersebut. Terhadap mereka berlaku seluruh aturan hukum yang telah di
tetapkan oleh Syari’ karena ke-Islamannya.
b. śimmiy, yaitu penduduk selain muslim yang terhadap mereka dapat
diberlakukan hukum Islam. Mereka adalah penduduk yang menetap dalam dar
as-salam. Tidak menjadi soal apakah mereka beragama Nasrani maupun
Yahudi. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka sah tinggal dalam dar as-
salam meskipun beragama Majusi bahkan tidak beragama sekalipun, kecuali
orang-orang musyrik dan orang-orang yang murtad.
Mereka disebut ahl az-zimmah dikarenakan adanya akad yang terjadi
antara mereka dengan penguasa muslim. Adapun dasar dibolehkan nya akad
zimmah terdapat dalam firman Allah:
أ4� �� ا2��-آ�� ا�+�1رك 0/.-, �+�* ()�' آ��م ا���� #"� أ!� � وإن
��٦�/��� ذ9� !/7�8" 56م �� (�5�ن
Artinya: Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
5 Khadijah Abu Utlah, al-Islam wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi as-Silmi wa al-Harb (Mesir, Dar al-
Ma‘arif: 1119), hlm. 123.
89
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui. (QS. At-Taubah: 6)6
Dengan akad tersebut mereka dapat hidup dalam perlindungan orang-
oramg muslim dengan disertai membayar jizyah. Dasar kewajiban membayar
jizyah tertera dalam firman Allah SWT:
��� B�6�5ا ا��A(� �� (@5��ن !����� و�� !�5��م ا�?<- و�� (=->5�ن �� �-�م ا�
ور5��� و�� (4(5�ن د(� ا�=F> �� ا��A(� أو5Bا اE�+�ب �+�* (5Cا
L� (4 وه" H�I-ون )M1��٢٩ا�
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-
orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk. (QS. At-Taubah: 29)7
Hukum yang berlaku bagi seorang zimmiy sama seperti hukum yang
berlaku bagi seorang muslim, kecuali pada hal-hal yang ditentukan lain
terhadap mereka. Mereka tidak diperintah untuk beribadah sebagaimana
seorang muslim. Lebih sempit lagi, mereka hanya diwajibkan untuk
6 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 278. 7 Ibid., hlm. 282.
90
melakukan hal-hal yang menjadi hak Allah atau hak jama’ah, tidak pada hak
yang menjadi milik individu.8
Dengan akad zimmah-nya, seorang non-muslim yang ingin menetap
dalam dar as-salam mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana seorang
muslim. Hak-hak mereka di antaranya adalah:
1. Hak perlindungan. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap segala
macam pelanggaran (serangan) yang berasal dari luar negeri maupun
terhadap segala macam kedzaliman yang berasal dari dalam negeri
sehingga mereka benar-benar dapat menikmati rasa aman dan tenteram di
dar as-salam.
2. Hak perlindungan dari kedzaliman orang Islam.
3. Hak kebebasan dalam berakidah serta bersyariat menurut agama mereka.
4. Hak berperkara di pengadilan dalam masalah perkawinan, talaq dan
sebagainya.
5. Dalam persaksian, tidak diterima kesaksian seorang kafir atas seorang
muslim. Sedangkan dalam masalah warits, Islam telah menjadikan
perbedaan agama sebagai salah satu hal yang dapat menghalangsi
seseorang untuk mendapat warisan.
6. Bagi seorang zimmiy boleh menempati tempat yang ia kehendaki di
wilayah dar as-salam.
7. Mereka juga diperbolehkan berperilaku (melakukan suatu hal) dengan
sesama mereka meskipun hal tersebut dilarang dalam Islam.
8 Abi al-Fadl Jalal ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti Asybah wa an-Nazair fi Qawa’id wa al-
Furu’ Fiqh asy-Syafi‘iy (Beirut: Muassasah al-Kutub as-Saqofiy, t.th.), hlm. 322-323.
91
8. Mereka juga berhak mendapat perlakuan yang baik dari penduduk muslim
dalam pergaulan.9
Adapun kewajiban mereka dalam bernegara, sama seperti kewajiban
seorang muslim. Selain kewajiban untk membayar jizyah, mereka juga
dituntut untuk merasa ikhlas, tidak memata-matai serta tidak membongkar
rahasia dar as-salam kepada pihak musuh.
c. Musta’min, yaitu seorang harbiy yang masuk ke dalam dar as-salam dengan
izin atau atas dasar perlindungan yang khusus atau perjanjian yang menjadi
perlindungan bagi jiwa, raga serta harta selama berada di dar as-salam.
Perlindungan yang diterima oleh seorang musta’min bersifat temporal
(muaqqat) atau dibatasi oleh waktu. Berbeda dengan seorang zimmiy yang
dapat menetap dalam dar as-salam selama-lamanya, bila telah berakhir masa
yang telah ditentukan maka seorang musta’min harus kembali ke negara
asalnya.
Diberlakukannya syariat Islam terhadap seorang musta’min
dikarenakan permohonan perlindungan yang dimintanya dan hukumnya
seperti seorang zimmiy. Tidak ada perbedaan antara seorang zimmiy dengan
seorang musta’min kecuali pada lamanya mereka berdua dapat tinggal dalam
wilayah kekuasaan dar as-salam.
Seorang musta’min, selama ia berada di dar as-salam terikat oleh
hukum Islam dalam masalah pengelolaan harta. Dengan demikian ia boleh
9 Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai hak-hak ahl az-zimmah lihat Yusuf Qardhawi,
Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam, alih bahasa Muhammad Al-Baqir (Bandung: Penerbit Karisma, 1994), hlm. 21-69.
92
melakukan akad jual beli dengan berdasarkan hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam mengenai jual beli. Keterikatan seorang musta’min dengan hukum
mu’amalah Islam telah menjadikan riba tidak boleh dilakukan. Hal ini
disebabkan Islam telah mengharamkan riba meskipun bagi seorang
musta’min, riba merupakan hal yang diperbolehkan.10
Mengenai hubungan seorang musta’min dengan ‘uqubah, ia berhak
mendapatkan hukuman bila melakukan pelanggaran terhadap hak hamba. Bila
ia melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim maka ia dihukum
dengan hukuman yang sama seperti hukuman bagi seorang muslim. Begitu
juga bila ia melakukan pelanggaran terhadap hak seorang zimmiy atau
sesama musta’min seperti dirinya.11
As-Sayyid Sabiq berpendapat bahwa pelanggaran yang ia lakukan dan
merupakan pelanggaran terhadap hak Allah seperti berbuat zina, berhak
mendapat hukuman seperti halnya seorang muslim yang berbuat zina. Hal ini
dikarenakan zina merupakan tindak pidana yang dapat merusak masyarakat
muslim.12
2. Dar alDar alDar alDar al----harbharbharbharb
Dar al-harb mencakup seluruh negara selain dar as-alam yang di dalamnya
tidak ada kemungkinan untuk menegakan syariat Islam. Batasan ini juga berlaku
bagi tiap negara yang di antara penduduknya beragama Islam atau bahkan
10 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jld. III ( Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 97-98. 11 Muhammad Rifat ‘Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam
(Kairo: al-Matba’ah al-Sa’adah, 1973), hlm. 94-95. 12 As-Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 98.
93
mayoritas penduduknya adalah muslim, selama mereka tidak mampu untuk
menegakan syariat Islam sebagai landasan hukum yang berlaku di negara
tersebut.
Para ulama tidak bersilang pendapat mengenai dar al-harb yang menjadi dar
as-salam dengan berlakunya hukum Islam di negara tersebut. Perbedaan pendapat
terjadi dalam masalah bagaimana dar as-salam menjadi dar al-harb. Para fuqoha
berselisih mengenai batasan-batasan apa yang menjadikan wilayah kedaulatan dar
as-salam menjadi dar al-harb.13
Abu Hanifah memberi batasan bahwa suatu negara (dar as-salam) di sebut
sebagai dar al-harb apabila hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain
hukum Islam atau hukum yang bertentangan dengan hukum Islam.14 Dengan kata
lain pergantian hukum yang berlaku dalam dar as-salam yang sebelum adanya
pergantian hukum dikarenakan suatu sebab seperti perang adalah menerapkan
hukum Islam, dapat merubah negara tersebut menjadi dar al-harb.
Bahwa negara tersebut juga berbatasan dengan dar as-salam, dengan begitu
padang pasir yang membatasi suatu wilayah dari dar as-salam bukan termasuk ke
dalam dar al-harb selama orang-orang Islam yang berada di dar as-salam dapat
menegakkan syariat Islam di wilayah padang pasir tersebut. Begitu juga lautan
yang mengelilingi dar as-salam bukan termasuk daerah kekuasaan Islam selama
di atas lautan tersebut terhalang untuk menegakan syariat Islam,15 dan hilangnya
rasa aman dari penduduk muslim, zimmiy serta musta’min seperti sedia kala di
13 ‘Alau ad-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i, juz VII
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 130. 14 Ibid. 15 Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy (Dar al-Fikr al-
‘Arabiy, t.th.), hlm 370.
94
negara tesebut. Hal ini seperti peralihan kekuasaan akibat perang atau lain hal.
Negara ini tidak termasuk pada dar al-harb selama penguasa baru tersebut tidak
mengganggu keamanan seperti sedia kala. Begitu juga sebaliknya apabila
penguasa tersebut memerangi penduduk muslim maka negara tersebut masuk
dalam dar al-harb meskipun mereka memberi rasa aman baru bagi penduduk
muslim.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah beserta sebagian Fuqoha mengenai
dar as-salam dan dar al-harb yang dapat disimpulkan bahwa suatu negara dapat
disebut sebagai dar as-salam apabila hukum yang berlaku di dalamnya adalah
hukum Islam atau keberadaan kaum muslimin dan seluruh penduduk yang ada
dalam kekuasaan pemerintahan Islam dalam keadaan aman.
Abu Yusuf melihat aspek hukum ketika membedakan antara dar as-salam
dan dar al-harb. Apabila negara tersebut menegakan hukum Islam maka negara
tersebut masuk dalam dar as-salam, apabila yang diberlakukan adalah hukum
selain Islam, negara tersebut masuk dalam dar al-harb. Abu Yusuf berhujjah
bahwa pada dasarnya penamaan negara beserta hukumnya diambil dari hakikat
makna ke-Islaman dan ke-Kafiran.16 Akan tetapi yang menjadi maksud Abu
Hanifah bukanlah ke-Islaman maupun ke-Kafiran ketika menyebut suatu negara
sebagai dar as-salam atau dar al-harb. Ia menyebut suatu negara sebagai dar Islam
atau dar al-harb dengan melihat ada atau tidaknya rasa aman bagi penduduk
negeri tersebut. dengan adanya rasa aman maka hukum Islam dapat ditegakkan
bagi penduduk di negara Islam tersebut.
16 Ibid., hlm. 371.
95
Bila rasa aman yang telah diberikan Islam hilang dari kehidupan kaum
muslimin maupun zimmiy, maka negara tersebut telah menjadi dar al-harb.
Begitu juga sebaliknya, jika rasa aman yang semula itu ada dan masih dapat
dirasakan oleh penduduk muslim dan zimmiy, negara tersebut tetap menjadi dar
as-salam.17
Para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bila kaum muslimin menjadi
kaum minoritas dalam suatu negara, hal ini tidak menjadikan negara tersebut
menjadi dar al-harb. Oleh karena itu mereka membagi dar as-salam menjadi tiga
macam.
Pertama, dar as-salam yang di dalamnya tinggal umat Islam. Kedua, dar as-
salam yang terbuka - orang pertama yang menguasai - untuk orang luar (selain
muslim) untuk tinggal di dalamnya. Orang luar yang tinggal di dalamnya
mempunyai keharusan untuk membayar jizyah. Ketiga adalah dar as-salam yang
di dalamnya tinggal orang-orang muslim akan tetapi kalah dalam hal jumlah oleh
penduduk non-muslim.18
Penduduk dar al-harb dibagi menjadi dua golongan, yaitu harbiy dan
muslim. Harbiy adalah seluruh penduduk dar al-harb yang tidak beragama Islam.
Mereka tidak dilindungi oleh syara’, dalam artian mereka boleh diperangi selama
tidak terikat oleh perjanjian dengan dar as-salam, sedangkan muslim adalah orang
Islam yang tinggal dalam dar al-harb sebagai penduduk tetap serta belum pindah
atau hijrah ke dar as-salam.
17 ‘Alau ad-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, op.cit., hlm. 131. 18 Muhammad Rifat ‘Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam
(Kairo: al-Matba’ah al-Sa’adah, 1973), hlm. 101-102.
96
Menurut Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad, bahwa seorang muslim yang
tinggal (menjadi penduduk tetap maupun sementara) di dar al-harb mempunyai
hak serta kewajiban yang sama seperti layaknya seorang muslim yang tinggal di
dar as-salam dan ia dilindungi jiwa, raga serta harta oleh syara’ karena ke-
Islamannya.19
Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka (orang Islam yang tinggal di dar
al-harb) tidak mendapat jaminan terhadap jiwa dan harta hanya karena ke-
Islaman mereka. ‘ismah (jaminan keselamatan) tidak diperoleh hanya karena ke-
Islaman semata-mata, tetapi karena terjaminnya negara Islam dan kekuatannya
yang diperoleh dari persatuan kaum muslimin. Orang-orang muslim yang berada
di dar al-harb tidak memiliki kekuatan serta pertahanan seperti yang dimiliki oleh
orang-orang muslim yang berada di dar as-salam oleh karenanya mereka tidak
memiliki hak perlindungan.20 Seperti seorang harbiy yang tidak terlindungi jiwa
dan raganya ketika memasuki dar as-salam tanpa izin dari penguasa negeri,
begitu juga seorang muslim yang masuk dar al-harb tanpa izin atau permohonan
perlindungan.
1. Abu Yusuf
Abu Yusuf merupakan seorang pemuka dari madzhab Hanafi, ia
berpendapat bahwa syariat Islam berlaku bagi tiap orang yang bermukim di dar
as-salam, baik sebagai seorang muslim maupun zimmiy. Tinggal dalam waktu
19 ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai’ al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-wad’iy, Juz
I, Beirut: Muasasah ar-Risalah. 1994, hlm. 278. 20 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 109.
97
yang lama maupun untuk sementara waktu.21 Seorang muslim terikat oleh hukum
Islam karena ke-Islamannya dan seorang zimmiy terikat dengan aturan hukum
Islam karena akad zimmah yang memberinya hak perlindungan dari pihak
penguasa Islam terhadap jiwa, raga dan hartanya. Adapun seorang musta’min, ia
terikat oleh hukum Islam karena akad atau karena perizinan yang ia peroleh untuk
memasuki dar as-salam untuk sementara waktu. Dengan permohonan untuk
memasuki dar as-salam yang ia minta, seorang musta’min mempunyai kewajiban
yang sama seperti seorang zimmiy. Oleh karenanya ia mendapat hukuman bila
melakukan suatu pelanggaran yang ia lakukan sewaktu tinggal di dar as-salam.
Semua pelanggaran yang dilakukan oleh seorang musta’min dapat dikenai
hukuman. Ia akan terkena sanksi hukum bila melakukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap hak yang menjadi hak Allah yang berhubungan dengan hak serta
kemaslahatan umum serta pelanggaran terhadap kemaslahatan individu.
Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan Abu Yusuf terletak pada
permasalahan berlakunya syariat Islam bagi seorang musta’min dalam tiap
keadaan.
Menurut Abu Yusuf, seorang musta’min berhak di hukum atas tiap
pelanggaran yang dilakukan sedangkan Abu Hanifah hanya membatasi pada
kejahatan yang menyangkut hak-hak perorangan yang dianggap sebagai kejahatan
yang dapat diberi hukuman. 22
21 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 14-15. 22 Ibid.
98
Abu Hanifah dan Abu Yusuf sependapat mengenai tidak dapat
diterapkannya syariat Islam terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb,
meskipun perbuatan tersebut dilakukan oleh penduduk dar as-salam.23
Abu Yusuf berselisih dalam dua hal dengan Abu Hanifah, yaitu dalam
masalah:
a. Mengenai lepasnya ketentuan pidana bagi seorang muslim maupun zimmiy
bila yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran jarimah adalah dar al-harb.
Berbeda dengan Abu Hanifah yang tidak mengharamkan, Abu Yusuf
berpendapat bahwa seorang muslim maupun zimmiy tetap tidak boleh
melakukan akad riba ketika berada di dar al-harb dengan seorang harbiy
maupun seorang muslim yang tinggal di dar al-harb sebagai seorang
musta’min, meskipun akad riba diperbolehkan di dar al-harb. Riba merupakan
hal yang dilarang secara pasti dalam Islam dan ketentuan ini berlaku bagi
seorang muslim maupun zimmiy di manapun mereka berada.24
b. Mengenai tahanan muslim yang dibunuh oleh seorang Islam atau zimmiy di
dar al-harb.
Menurut Abu Hanifah pembunuhan terhadap seorang muslim di dar al-harb
yang dilakukan oleh seorang muslim maupun zimmiy tidak terlepas dari tiga
keadaan. Pertama adalah bahwa orang tersebut berada di dar al-harb sebagai
seorang musta’min. Kedua adalah bahwa ia telah berada di dar al-harb
dikarenakan orang-orang kafir telah menjadikan ia sebagai tahanan. Yang
terakhir, dia telah masuk Islam akan tetapi belum pindah ke dar as-salam.
23 Ibid. 24 Ibid., hlm. 16
99
Tiap keadaan mengakibatkan hukum yang berbeda pula. Dalam keadaan
pertama Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus tersebut tidak
mengharuskan adanya qisas. Meskipun demikian, diyat yang diambil dari harta
pembunuh tetap berlaku. 25
Terhadap keadaan yang kedua Abu Hanifah memandang tidak adanya
qisas maupun diyat bagi pelaku dalam kasus pembunuhan tersebut. Karena
menurutnya seorang tahanan tidak memiliki hak perlindungan terhadap jiwa dan
harta.
Adapun keadaan ketiga, yaitu bahwa orang yang terbunuh telah masuk
Islam akan tetapi belum pindah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa
untuk kasus pembunuhan terhadap seorang muslim sebagai penduduk dar al-harb
tetapi belum pindah ke dar as-salam, tidak ada hukuman bagi pelaku pembunuhan
tersebut, qisas maupun diyat.26
Abu Yusuf berpendapat bahwa diyat tetap berlaku bagi pelaku
pembunuhan tersebut meskipun untuk melaksanakan qisas tidak mungkin. Bagi
Abu Yusuf, tertahan nya seseorang tidak menjadikan ia kehilangan hak ‘ismah.27
Ditetapkannya diyat sebagai hukuman bagi pelaku merupakan hukuman
pengganti bagi hukuman qisas yang tidak mungkin untuk dilaksanakan di dar al-
harb.
2. Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal.
25 Muhammad Rifat Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam
(Kairo: Matba’ah as-Sa’adah, 1973), hlm. 103-104. 26 Ibid., hlm. 104. 27 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit., hlm. 286.
100
Menurut pendapat ini, syariat Islam berlaku bagi tiap jarimah yang terjadi
di wilayah kedaulatan Islam. Asy-Syafi’i, Malik dan Imam Ahmad tidak
membedakan pelaku nya baik ia seorang muslim, zimmiy maupun musta’min.28
Alasan yang mereka kemukakan bahwa seorang muslim terikat oleh
ketentuan hukum Islam karena ke-Islamannya. Bagi seorang zimmiy terikat oleh
hukum Islam karena akad zimmah yang ia sepakat i dengan penguasa Islam
sebagai imbangan terhadap jaminan terhadap keselamatan jiwa, raga dan harta
yang ia peroleh.29
Adapun bagi seorang musta’min karena perjanjian damai (akad yang
membolehkan ia tinggal di dar as-salam selama waktu tertentu) yang berisiskan
jaminan keamanan terhadap jiwa, raga dan hartanya selama ia tinggal di dar as-
salam. Perjanjian ini mengharuskan ia mengikuti atau terikat dengan ketentan-
ketentuan hukum Islam sebagaimana seorang zimmiy.30
Menurut asy-Syafi’i, bila seorang musta’min melakukan suatu
pelanggaran yang menjadi hak Allah di dar as-salam, maka ia boleh dimaafkan
atau tidak diberi hukuman dan bila yang dilakukan adalah pelanggaran yang
menyangkut masalah individu atah hak adamiy, maka ia berhak dihukum
(ditegakkan hadd atas pelanggaran yang dilakukan).31
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad juga berpendapat bahwa syariat Islam
berlaku bagi pelanggaran pidana oleh seorang muslim maupun zimmiy di dar al-
harb. Lain halnya dengan seorang musta’min, ia tidak mendapat hukuman untuk
28 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 16. 29 L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 25. 30 Ibid., hlm. 25-26 31 Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i, al-Umm, juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),
hlm. 378.
101
kasus seperti ini, karena keterikatannya dengan hukum Islam hanya selama ia
berada di dar as-salam.32
Penerapan hukum Islam bagi seorang muslim dan zimmiy di luar wilayah
kedaulatan dar as-salam dikarenakan hukum Islam berada di pundak mereka di
manapun mereka berada. Tidak ada perbedaan antara jarimah yang dilakukan di
dar as-salam maupun di dar al-harb, selama Islam melarang perbuatan tersebut,
tidak ada tempat yang membolehkan seorang muslim maupun zimmiy untuk
melakukan hal tersebut.33 Tidak ada perbedaan antara dar as-salam dan dar al-
harb dalam masalah yang telah ditetapkan oleh Allah dalam masalah hudud.34
Allah berfirman:
وا�)��رق وا�)��ر6 C6�05ا أ(4(M. ��7اء !�� آ)�E8 �P�� �� ا���� وا����
"�E� M)ML�٣٨�
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)35
Dalam jarimah Zina Allah berfirman:
32 A. Hanafi, op.cit., hlm. 177. 33 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 17. 34 Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘I, op.cit., hlm. 374. 35 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 165.
102
.�4ة و�� A>/Bآ" !7�� رأ0 ا��Mا8�V� ��7�� 4�وا �W4وا آ��0. X8ا�Mوا�
YZ�[ ��7!اAL 472��وا5��م ا�?<- و ���5��ن !��@B "+�إن آ ���د(� ا� X0
��٢�� ا��@����
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)36
Hal ini berlaku juga untuk perbuatan yang menurut hukum yang berlaku di
dar al-harb dianggap bukan suatu pelanggaran, sedangkan dalam hukum Islam
merupakan tindak pelanggaran hukum.37 Seorang zimmiy yang melakukan
kejahatan yang di dalam agamanya diharamkan seperti membunuh, zina, mencuri
dan juga qazaf, maka ia berhak untuk dihukum sebagaimana seorang muslim
yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Berbeda halnya jika
perbuatan tersebut tidak dilarang dalam agamanya seperti meminum khamr, maka
hal tersebut boleh dilakukan.38 Hal ini berdasarkan hadits riwayat ibn Umar
36 Ibid., hlm.543. 37 A. Hanafi, op.cit., hlm. 177. 38 Abu Muhammad Muwaffiq ad-Din ‘Abdullah ibn Quddamah al-Maqdisy, al-Kafi fi Fiqh al-
Imam al-Mujabbal Ahmad bin Hanbal, juz IV (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1988), hlm. 360.
103
8M" ر." 0* ا��و� ���L ]ا *�I ]أن ر�5ل ا -�L �!ا �L ��)57د) �
ر.a وإ�-أة زB/0 ��8_ ا��57د إ�* ر�5ل ا[ I�* ا[ L��� و��"
��7!39
Dalam hadits lain disebutkan:
�L ,ح ��7 �6/0د�cأو *�L أd8 رXc ا[ �L� أن (57د(� W+6 .�ر(
ا 40ر�5ل ا[ I�* ا[ L��� و��" !�
Bagi seorang zimmiy, bila melakukan suatu kejahatan setelah ia keluar
dari dar as-salam dengan tidak ada maksud untuk kembali ke negara tersebut
maka hukum Islam tidak berlaku terhadap pelanggaran yang ia lakukan.
Kepindahan seorang zimmiy dari dar as-salam ke dar al-harb merubah status
kependudukannya dari seorang zimmiy menjadi kafir harbiy. Bila ia kembali ke
dar as-salam maka statusnya kembali menjadi seorang musta’min.41
Markas-markas tentara Islam di medan perang di anggap sebagai wilayah
kekuasaan Islam. Oleh karenanya tiap pelanggaran yang terjadi di tempat tersebut
berhak untuk mendapat hukuman. Bagi asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad tidak
menjadi persoalan tempat di mana suatu tindak pidana terjadi. Selama perbuatan
itu di anggap suatu tindak kejahatan maka hukum Islam berlaku atas perbuatan
tersebut.42
39 Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Al-Jami’ as-Sahih, juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 122. 40 Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sunan al-Nasa’i, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1930), hlm. 22.
41 L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 27. 42 A. Hanafi, op.cit., hlm. 118.
104
4. Berlakunya Ketentuan Syariat terhadap Korps Diplomatik
Asing
Dalam penerapan ketentuan-ketentuan pidana, syariat tidak membedakan
antara pribadi, jama’ah, ras, antara hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat.
Tidak ada yang diistimewakan dalam pemberlakuan hukum.
Ketentuan syariat berlaku bagi para pemimpin negara (dar as-salam) yang
melakukan pelanggaran hukum. Begitu juga terhadap para pemimpin negara luar
(ajnabiyyah) yang sedang berada di dar as-salam. Ketentuan ini berlaku bagi para
anggota perwakilan asing yang bertugas di dar as-salam, pejabat negara dan sanak
saudara serta orang-orang yang menyertai mereka.
Mengenai para pemimpin dar al-harb yang berada di dar as-salam, Abu
Hanifah berpendapat bahwa terhadap mereka tidak memungkinkan untuk
menerapkan syariat jika yang dilakukan adalah jarimah yang menyangkut hak
jama’ah. Hal ini dikarenakan mereka dianggap sebagai musta’min dan tidak ada
hukuman bagi mereka kecuali terhadap jarimah yang menyangkut hak individu.
Selain itu, seorang kepala negara dianggap sebagai pelaksana hukuman oleh
karenanya, tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukuman atas dirinya
sendiri.43
Abu Yusuf seperti jumhur berpendapat bahwa terhadap mereka tetap dapat
diberlakukan ketentuan syara’.44 Menurut pendapat ini mereka tetap dapat dijatuhi
hukuman seperti halnya seorang musta’min yang melakukan suatu pelanggaran.45
43 L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 48. 44 ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, op.cit., hlm. 323-324.
105
Mengadili kepala negara serta para anggota perwakilan negara asing yang
melakukan suatu kejahatan tidak dianggap sebagai hal yang dapat menyudutkan
posisi syariat, selama hal ini dilakukan secara adil.46
B. Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas)
Penerapan teori Imam Abu Yusuf mengenai ruang lingkup berlakunya
ketentuan hukum pidana Islam, selain ketentuan-ketentuan di atas – pendapat Abu
Hanifah47 – maka, terhadap orang-orang asing – musta’min - yang berada di dar as-
salam, harus dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam jika mereka melakukan
salah satu pelanggaran pidana di dar as-salam mana saja ia berada. Begitu juga bila ia
telah dihukumi tidak berdasarkan ketentuan pidana Islam maka ia harus kembali
diadili dengan ketentuan pidana Islam.
Hal ini berdasarkan pendapatnya mengenai para musta’min yang berkunjung
ke dar as-salam, yaitu bahwa bagi mereka berlaku ketentuan pidana Islam seperti
halnya seorang zimmiy. Menurut pendapatnya bahwa bagi seorang musta’min
berlaku ketentuan hukum Islam dalam segala kejahatan, bukan hanya dalam masalah
kejahatan yang menyangkut hak individu.
45 L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 48. 46 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 58. 47 Sisi persamaan antara pendapat Abu Hanifah dengan Abu Yusuf adalah mengenai tidak
berlakunya Hukum pidana Islam terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya muslim, zimmiy maupun musta’min.
106
Perbedaan pendapat antara keduanya hanya berkisar pada penerapan hukum
riba yang dilakukan oleh seorang muslim dan maupun dengan penduduk dar al-harb
yang tidak berhijrah ke dar as-salam. Meskipun akad riba tidak diharamkan di dar al-
harb, akan tetapi bagi seorang muslim, akad tersebut merupakan akad yang
diharamkan maka, perbuatan ini tidak boleh dilakukan meskipun di dar al-harb.
Perbedaan yang kedua adalah mengeni seorang muslim atau zimmiy yang
melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim yang berada di dar al-harb – belum
hijrah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan
tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan qisas dan juga diyat, sedangkan Abu Yusuf
berpendapat bahwa terhadap pelaku tetap dapat diterapkan hukuman berupa diyat.
Berdasarkan ketentuan ini maka terhadap kejahatan yang dilakukan oleh
seorang warga Indonesia di dar as-salam maka tunduk terhadap hukum pidana Islam.
Hal ini disebabkan terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah dar as-salam
berlaku hukum pidana Islam tanpa melihat kewarganegraan pelaku, baik ia sebagai
warga dar as-salam maupun warga dar- al-harb. Dalam hal ini negara Indonesia
memberikan wewenang kepada dar as-salam untuk mengadili serta menuntut pelaku
meskipun ia merupakan warga Indonesia.
Penerapan hukum pidana, dalam konteks kedaulatan negara yang berkaitan
dengan kewarganegaran pelaku, maka asas nasionalitas (kewarganegaraan)
merupakan landasan hukum bagi suatu negara untuk menerapkan hukum pidana
terhadap warganya terlepas di mana locus delicti itu berada.
Berbeda dengan penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial,
penerapan hukum pidana berdasarkan asas kewarganegaraan dalam hukum pidana
107
positif, tergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum.
Penerapan hukum pidana terhadap individu dapat dibenarkan bila orang tersebut
berada dalam kekuasaan negara (sebagai warga negara).48 Berdasarkan ketentuan ini,
kewarganegaraan pelakulah yang menjadi ukuran untuk dapat tidaknya hukum pidana
suatu negara diberlakukan terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana di
suatu negara selain wilayah teritorial negara kebangsaan. Kewarganegaraan
merupakan satu-satunya hubungan antara individu dengan negara yang menjamin
bahwa terhadapnya dapat diberikan hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
Penerapan hukum pidana terhadap warga negara dalam praktek hukum
internasional, pada dasarnya diterapkan berdasarkan asas kewarganegaran
(nasionalitas) aktif dan asas kewarganegaraan (nasional pasif).
Berdasarkan asas kewarganegaran aktif, negara dapat menerapkan aturan
perundang-undangan pidana terhadap warganegaranya. Dengan diakuinya asas ini
sebagai salah satu pedoman dalam pelaksanaan/penerapan hukum pidana maka, setiap
warganegara terikat oleh perturan pidana negaranya di manapun ia berada.
Mengenai penerapannya, dalam KUHP Indonesia ditentukan mengenai
berlakunya ketentuan pidana Indonesia terhadap warganegara Indonesia yang
melakukan kejahatan-kejahatan tertentu di luar wilayah Republik Indonesia.49
Kejahatan yang tunduk pada asas nasionalitas aktif adalah berupa pelanggaran
terhadap negara,50 pelanggaran tehadap martabat Presiden dan Wakil Presiden,51
48 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional…., hlm. 302-303. 49 Pasal 5 KUHP 50 Pasal 104-129 KUHP 51 Pasal 131-139 KUHP
108
penghasutan,52 menyebarluaskan tulisan dengan tujuan untuk menghasut,53 dengan
sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap untuk memenuhi
kewajiban militer54 dan kejahatan perampokan (pembajakan) di laut.55
Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang tunduk terhadap ketentuan
perundang-undangan pidana Indonesia meskipun pelaku – yang merupakan warga
negara Indonesia - berada di luar wilayah kedaulatan Indonesia. Berdasarkan hal ini
pula setiap kejahatan – tertentu – yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar
as-salam maka hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan kepada pelaku dengan
meminta kepada penguasa dar as-salam untuk menyerahkan pelaku kepada penguasa
Indonesia untuk dihukumi berdasarkan ketentuan hukum pidana Indonesia.
Untuk menghindari pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain – di mana
pelaku berada – maka kejahatan-kejahatan tersebut juga harus dianggap sebagai
kejahatan di negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan hingga dalam
penyelesaian terhadap salah satu pelanggaran ini dapat ditempuh jalur ekstradisi.56
Hukum pidana merupakan sistem aturan yang mengatur semua tindakan yang
tidak boleh dilakukan oleh warga negara. Pelarangan tersebut dikarenakan perbuatan-
perbuatan tertentu dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, kepentingan
masyarakat umum dan kepentingan pemerintahan dan negara.57
52 Pasal 160 KUHP 53 Pasal 161 KUHP 54 Pasal 240 KUHP 55 Pasal 450-451 KUHP 56 Salah satu kewajiban negara berdaulat adalah untuk tidak melakukan tindakan pelaksanaan
kedaulatan di wilayah negara lain, salah satu cara untuk mengatasi pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial suatu negara adalah dengan melalui lembaga ekstradisi karena hal ini sebelumnya telah disepakati oleh kedua negara.
57 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 40.
109
Adapun asas kewarganegaraan pasif, prinsip ini membenarkan sebuah negara
untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan oleh
siapapun juga, baik ia warga Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan
kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Dasar yang merupakan pembenar asas nasional pasif adalah bahwa negara
berhak melindungi warga negaranya yang berada di luar wilayah teritorial negara
tersebut. Berdasarkan hal ini pula, jika negara teritorial yang menjadi tempat
dilakukannya kejahatan tidak melakukan atau tidak menerapkan hukum pidananya
terhadap pelaku maka, negara yang merupakan negara kebangsaan korban, dianggap
memiliki wewenang terhadap kejahatan tersebut untuk memberlakukan hukum
pidananya.58 Adanya asas ini juga sebagai upaya untuk melindungi negara dari
ancaman yang datang/dilakukan di luar wilayah negara tersebut oleh orang-orang
asing.59
Dalam prakteknya, asas nasional pasif ini diberlakukan terhadap kejahatan-
kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara yang berupa penyerangan dengan
maksud menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden,60 makar atau perbuatan
untuk merusak kedaulatan negara61 dan dengan maksud meruntuhkan pemerintahan
negara,62 kejahatan mata uang,63 kejahatan pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat
utang yang ditanggung pemerintah Indonesia, pemalsuan talon, surat utang sero atau
58 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional…., hlm. 303. 59 Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1)-(3) dan Pasal 8 KUHP. 60 Pasal 104 KUHP 61 Pasal 106 KUHP 62 Pasal 107-108, Pasal 110 dan Pasal 111 KUHP 63 Pasal 4 ke-2. KUHP
110
menggunakan surat palsu,64 kejahatan pelayaran65, kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana /prasarana penerbangan.66
Kejahatan-kejahatan yang tersebut di atas merupakan kejahatan yang dapat
menimbulkan ancaman terhadap integritas bangsa selain kerugian dalam bidang
ekonomi. Oleh karenanya asas ini di sebut juga sebagai asas perlindungan.
Hal ini dapat diterima karena melihat besarnya akibat yang dapat ditimbulkan
oleh kejahatan-kejahtan tersebut. Selain itu, apabila hukum pidana nasional tidak
diterapkan terhadap pelaku, maka dia dapat meloloskan diri dari jeratan hukum
dikarenakan di negara tempat kejahatan tersebut dilakukan, perbuatan tersebut tidak
dianggap sebagai kejahatan. Dengan demikian lembaga ekstradisi sebagai jembatan
untuk menghadapkan para pelaku kejahatan lintas teritorial ke muka hukum tidak
dapat dilaksanakan.
Persamaan antara asas nasionalitas dalam hukum pidana positif dengan teori
Abu Yusuf adalah bahwa setiap orang yang bermukim (berkebangsaan) di suatu
negara maka ia harus tunduk pada ketentuan hukum negara tersebut. Hal ini dapat
dijelaskan dengan adanya hak serta kewajiban bagi warga suatu negara terhadap
negaranya.
Kejahatan yang tunduk terhadap hukum pidana berdasarkan asas
kewarganegaraan, penerapannya dalam hukum pidana positif hanya jika pelaku –
tanpa melihat kewarganegaraan - melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang dapat
mengancam warga maupun negara di luar wilayah teritoir Indonesia, sedangkan
dalam teori Abu Yusuf, penerapannya terhadap setiap orang yang bermukim di dar
64 Pasal 4 ke-3. KUHP 65 Pasal 438, 444 sampai Pasal 446 KUHP 66 Pasal 479 KUHP huruf j, l, m, n dan o.
111
as-salam dan melakukan kejahatan di wilayah tersebut. Adapun kejahatan yang
dilakukan di luar dar as-salam, hukum pidana Islam tidak berlaku meskipun pelaku
berkebangsaan dar as-salam., dalam artian bahwa hukum pidana Islam tidak dapat
diterapkan terhadap pelaku karena keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar
as-salam.
Dengan demikian setiap warga Indonesia yang melakukan suatu kejahatan
tertentu di dar as-salam dapat dipidana berdasarkan ketentuan hukum pidana yang
berlaku di Indonesia dengan memohon agar pelaku dikembalikan ke Indonesia.
Adapun terhadap warga dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan di Indonesia,
menurut teori Abu Yusuf maka upaya untuk mengadili serta menghukumi pelaku
diserahkan kepada penguasa yang berwenang di Indonesia. Meskipun demikian
dalam mengadili dan memberi hukuman para pelaku kejahatan yang berasal dari dar
as-salam di dar as-salam meskipun kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb –
Indonesia – dianggap lebih baik.
C. Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas
Bila teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal akan diterapkan maka,
setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam akan dikenai
hukuman di manapun kejahatan itu dilakukan. Begitu juga terhadap kejahatan yang
dilakukan di dar al-harb, baik pelanggran tersebut merupakan jarimah hudud, qisas-
diyat maupun kejahatan yang dihukum dengan hukuman ta’zir.
Terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam oleh penduduk dar al-
harb, harus di adili berdasarkan ketentuan pidana Islam di dar as-salam. Hal ini
112
berdasarkan kewajiban negara Islam untuk menegakan hukum terhadap warganya
yang melakukan kejahatan.
Upaya untuk menegakkan hukum dalam kasus seperti ini – kejahatan yang
dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb – dapat ditempuh dengan cara
ekstradisi (taslim al-mujrimin). Yaitu permohonan kepada negara yang menjadi
tempat dilakukannya kejahatan untuk menyerahkan pelaku ke penguasa dar as-salam..
Dalam konteks kejahatan yang melibatkan dua negara – dar as-salam dan dar
al-harb – atau lebih, jika seorang warga dar as-salam melakukan suatu kejahatan di
Indonesia atau negara yang menerapkan sistem hukum pidana positif maka para
penguasa dar as-salam dapat meminta pelaku kepada pemerintah Indonesia untuk
mengembalikan warganya untuk diadili di dar as-salam berdasarkan ketentuan hukum
pidana Islam.
Dalam pandangan syariat, semua orang Islam mempunyai kedudukan yang
sama meskipun berbeda dalam ras dan golongan. Mereka memiliki hak dan
kewajiban serta tanggung jawab yang sama. Syariat Islam meletakan persamaan di
luar batas-batas kemampuan akal manusia, oleh karenanya tidak ada yang dianggap
istimewa antara pribadi dengan golongan, hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat
sampai antara seorang muslim dengan orang non-muslim, mereka semua mempunyai
kedudukan yang sama.67
Terhadap penduduk zimmiy, dalam masalah penerapan hukum pidana sama
halnya seperti seorang muslim. Mereka terikat dalam masalah pidana secara utuh.
67 Sa’id Hawwa, al-Islam…., hlm. 573.
113
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Nabi SAW telah melaksanakan hukuman
rajam terhadap orang Yahudi yang berbuat zina.
زنيا وإمرأة رجال يهوديني الزنا ىف رجم وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول أن عمر ابن عن
68ما وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول إىل اليهود فأتت
Dalam masalah kejahatan terhadap nyawa, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa
Nabi SAW memberi hukuman terhadap seorang Yahudi yang telah melakukan
pembunuhan.
�L d8أ Xcا[ ر ��L 57د(� أن) W+6 69 !�7 و��" L��� ا[ I�* ا[ ر�5ل �6/0د, ��7 أو�cح L�* .�ر(
Hal ini yang membedakan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif.
Dalam hukum pidana positif, terdapat atau ada pengecualian dalam penerapan
perundang-undangn pidana, mereka adalah orang-orang yang mendapat hak
immunitas sedangkan dalam Islam Islam hal itu tidak ada.
Terhadap kepala negara asing yang berada di dar as-salam yang melakukan suatu
kejahatan tetap dapat diberlakukan ketentuan pidana Islam. Begitu juga terhadap
perwakilan diplomatik Islam, terhadap mereka berlaku ketentuan syariat Islam
mengenai kejahatan apabila mereka melakukannya.
68 Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Al-
Jami’ as-Sahih, juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 122. 69 Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sunan an-Nasa’i, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr,
1930), hlm. 22.
114
Kendala yang dihadapi dalam penerapan teori Imam Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin
Hanbal adalah dalam masalah penerapan hukum pidana ta’zir, karena setiap dar as-
salam dapat bebeda dalam bentuk dan penerapannya. Hal ini dikarenakan pidana
ta’zir tidak ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an maupun hadits, oleh karenanya,
dalam masalah ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada penguasa yang berwenang untuk
menentukan bentuk serta pelaksanaannya.
Mengenai jarimah ta’zir terdapat tiga kemungkinan untuk penerapannya:
1. Bila semua dar as-salam melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut
dapat diadili di semua dar as-salam.
2. Bila dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya tidak melarang perbuatan
yang dilakukan sedangkan di dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya
perbuatan, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran, maka pelaku tidak boleh
diadili karena perbuatan tersebut baginya tidak dilarang.
3. Bila di dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya suatu perbuatan dilarang
sedangkan di dar as-salam berada karena melarikan diri umpamanya, hal tersebut
tidak dilarang maka pelaku tidak boleh dihukum di dar as-salam di mana ia
berada karena pebuatan yang dilakukan, tidak dilarang di negara tersebut.
Para pendatang di dar as-salam (musta’min) juga berlaku ketentuan hukum pidana
Islam sebagaimana diberlakukannya ketentuan tersebut terhadap seorang muslim dan
zimmiy. Mereka berhak atas hukuman bila melakukan suatu kejahatan di negara
tersebut.
Ketentuan terhadap musta’min, hanya berlaku ketika mereka berada di dar as-
salam. Bila kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb setelah keluar dari dar as-
115
salam maka, terhadap kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan pidana
Islam. Dengan keluarnya ia dari dar as-salam, statusnya sebagai musta’min menjadi
hilang.
Di samping permohonan ekstradisi untuk mengembalikan seorang pelaku
kejahatan di dar al-harb untuk diadili dan di hukumi sesuai dengan ketentuan syariat,
akan tetapi para pejabat berwenang di Indonesia dapat memberlakukan hukum pidana
nasional berdasarkan asas teritorial terhadap pelaku. Hal ini disebabkan kejahatan
yang terjadi di suatu wilayah negara tunduk terhadap ketentuan hukum lokal karena
negara tersebut yang memiliki kepentingan serta dianggap sebagai negara yang paling
mampu untuk melaksanakan penuntutan serta memberi hukuman kepada pelaku.
Dalam hukum pidana positif, penerapan asas universal dapat diberlakukan terhadap
kejahatan yang dianggap sebagai musuh umat manusia. Dengan diakuinya asas ini
sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan pidana maka, dalam hukum pidana
terdapat beberapa kejahatan yang terhadap pelakunya dapat di berlakukan hukum
pidana negara di mana pelaku berada.
Berdasarkan asas ini pula setiap negara yang di dalamnya ada pelaku
kejahatan yang dapat merugikan kepentingan seluruh negara di dunia maka, negara
tersebut dapat memberlakukan hukum pidana nasionalnya tanpa memandang
kewarganegaraan pelaku.
Hal ini tentu saja jika negara tersebut menggagap bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku adalah merupakan kejahatan dan pada umumnya setiap negara
mengaggap bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal adalah sebuah
kejahatan. Berdasarkan hal ini, jelas bahwa tujuan dari adanya asas universal sebagai
116
landasan bagi pemberlakuan hukum pidana adalah untuk menjamin bahwa tidak ada
negara yang tidak menghukum kejahatan tersebut (tidak ada yang menganggap bahwa
perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan yang tunduk terhadap
yuridiksi universal merupakan kejahatan yang tidak mengenal batas-batas negara
maupun kewarganegaraan pelaku.
Meskipun asas universal dinggap memiliki peranan yang sangat strategis
dalam menanggulangi kejahatan lintas teritorial, akan tetapi dalam penerapannya
masih banyak negara yang meragukan. Dalam penerapan asas ini oleh suatu negara
dikhawatirkan akan melanggar kedaulatan negara lain.70
Hal ini dapat dibenarkan karena setiap negara memiliki kepentingan terhadap
kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Bagi negara yang merupakan asal
pelaku, dapat menuntut pelaku berdasarkan asas kewarganegaraan, bagi negara
tempat pelaku berada dapat mendasarkan tuntutan dengan asas teritorial di samping
pihak atau negara-negara lain yang memiliki kepentingan. Oleh karenanya menjadi
penting untuk mempertimbangkan penerapan asas teritorial suatu negara terhadap
kejahatan lintas teritorial yang terjadi di wilayahnya dan mengesampingkan asas
universal.
Dalam hukum pidana Islam hal ini dapat teratasi dengan adanya pandangan
bahwa setiap negara Islam dianggap sebagai wakil bagi negara Islam lainnya untuk
menghukum pelaku kejahatan berdasarkan ketentuan pidana Islam. Berdasarkan
pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan hukum Islam, dalam
masalah kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan secara jelas – bentuk dan
70 Romli Atmassasita, Pengaruh Konvesi Internasional…., hlm. 7.
117
hukumannya (hudud, qisas) – dalam al-Qur’an maupun Hadits, keberadaan pelaku di
luar wilayah negara – Islam – asal pelaku tidak menjadi persoalan dalam penyelesaian
hukum. Di samping itu, hal ini tidak akan menimbulkan pertentangan atau
kompetensi antar dar as-salam untuk memberi hukuman kepada pelaku. Selama
pelaku dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, hal tersebut telah
dianggap cukup dalam mengatasi kejahatan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masalah kejahatan pidana Islam, disyaratkan adanya nas yang
melarang serta menghukum suatu perbuatan jika hal tersebut dilakukan. Dalam
penerapannya, nas tersebut haruslah berlaku atau dapat menjangkau tempat di mana
perbuatan/kejahatan dilakukan. Selain berlaku terhadap tempat, nas tersebut haruslah
berlaku bagi pelaku.
Hal ini terkait dengan pandangan bahwa syariat Islam berlaku secara
universal, meskipun demikian dalam penerapannya syariat Islam hanya berlaku di
negara-negara yang berada di bawah kekuasaan orang-orang muslim tidak di negara
selain negara Islam (iqlimiyyah). Mengenai batasan umum dalam penerapan pidana,
bahwa ketentuan pidana Islam berlaku bagi setiap kejahatan yang dilakukan di dar as-
salam, tanpa memandang kewarganegaran pelaku dan juga terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb.71
Ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kejahatan
dalam Islam. Upaya ini, meskipun tidak atau belum dapat mewujudkan penerapan
ketentuan syariat secara menyeluruh – di setiap negeri, Islam maupun bukan – akan
tetapi dengan diberlakukannya hukum pidana Islam bagi para pelaku kejahatan dari
71 Sa’id Hawwa, al-Islam…., hlm. 584.
118
dar as-salam di dar al-harb, sedikitnya akan dapat menanggulangi kejahatan dalam
dunia Islam yang akibat-akibatnya akan dirasakan juga oleh penduduk negeri-negeri
asing (dar al-harb).
Penerapan teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal oleh negara Islam
akan memberi dampak yang baik bagi kelangsungan umat Islam sendiri di dunia
internasional. Dengan dihukumnya para pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-
salam karena melakukan kejahatan di dar al-harb akan memberi citra yang positif
bagi umat Islam dalam masalah penegakkan hukum. Selain itu, dengan penerapan
yang seperti ini pula hukum Islam akan tetap utuh dalam kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan hukum pidana positif, suatu kejahatan yang melibatkan dua
negara atau lebih hanya akan dapat dihukum apabila kejahatan tersebut telah
disepakati oleh negara-negara yang bersangkutan sebagai suatu kejahatan oleh hukum
pidana nasional negara-negara tersebut.
Begitu juga dalam penerapan asas universal sebagaimana telah disinggung di
atas bahwa, hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah dikarenakan setiap negara
merasa berhak terhadap kejahatan tersebut yang pada akhirnya harus ada kedaulatan
negara terabaikan atau terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial suatu
negara. Berdasarkan hal ini pula menjadi penting untuk memberlakukan asas teritorial
bagi negara yang di dalamnya terdapat pelaku kejahatan yang memiliki dimensi
internasional. Dalam artian bahwa penerapan asas teritorial dapat lebih diutamakan
serta mengesampingkan asas universal. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan
yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam dapt ditundukkan pada hukum yang
119
berlaku di Indonesia meskipun antara dar as-slam dan Indonesia dar al-harb
memiliki sistem hkum yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
120
B. Masalah Ekstradisi dalam Hukum Islam
a. Penyerahan pelaku kejahatan antar dar as-salam
Dalam teori fiqh siyasah Islam, setiap negara dar as-salam dipandang
sebagai wakil yang mutlak bagi dar as-salam lainnya untuk menegakan hukum
Islam. Negeri-negeri Islam dapat saling menyerahkan para pelanggar hukum
(pelaku jarimah) yang kemudian lari ke dar as-salam lainnya. Ketentuan ini
berlaku bagi seorang muslim, zimmiy maupun musta’min dan berlaku selama
pelaku belum diadili di pengadilan Islam di negara ia berasal.72
Bila kasus yang ia perbuat sudah diadili di pengadilan negara di mana
pelaku berada, maka tidak boleh menyerahkannya untuk diadili kembali. Hal ini
dikarenakan satu tindak kejahatan tidak boleh diadili dua kali.73
Penyerahan pelaku juga tidak dianggap perlu bila negara-peminta akan
mengadili pelaku tidak dengan ketentuan syariat Islam, sedangkan negara yang
72 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994), hlm. 31. 73 Ibid., hlm. 33.
121
diminta tempat pelaku berdomosili akan mengadilinya berdasarkan ketentuan
syariat.
Ketentuan ini dapat berlaku bagi pelaku jarimah hudud dan qisas- diyat.
Bila perbuatan pelaku merupakan jarimah at-ta’zir maka negara termohon atau
negara yang diminta untuk menyerahkan pelaku dianggap lebih baik jika negara
tersebut tidak keberatan untuk melakukan penyerahan pelaku ke negara-peminta.
Hal ini dikarenakan hukuman ta’zir dapat berbeda dari satu negara dengan negara
yang lainnya.74
Menghadapkan seorang pelaku kejahatan ke muka pengadilan di mana
perbuatan itu terjadi dipandang lebih baik daripada menyerahkannya ke
pengadilan di negara lain yang bukan merupakan tempat terjadinya perbuatan.
Pemeriksaan terhadap pelaku di tempat terjadinya perbuatan dipandang lebih baik
serta lebih dapat menjamin keadilan dikarenakan di tempat terjadinya perbuatan
akan lebih mudah untuk mengemukakan bukti serta saksi-saksi. Dengan adanya
dua hal ini (bukti dan saksi) akan mempermudah pengadilan dalam mencari
keterangan-keterangan yang diperlukan. 75
Selain itu, pelaksanaan hukuman di tempat terjadinya pebuatan akan lebih
terasa pengaruhnya bagi masyarakat. Hal ini berhubungan dengan fungsi
dijatuhkannya hukuman. Hukuman dijatuhkan selain sebagai pembalasan bagi
74 Lihat misalnya Muhammad Salim al-Awwa, fi Usul an-Nizam al-Jinai al-Islamiy (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1983), hlm. 267 75 ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Jana’i al-Islamiy….,hlm. 297.
122
para pelaku jarimah, juga merupakan tindakan preventif agar masyarakat tidak
berbuat yang sama seperti yang diperbuat pelaku kejahatan.76
Berbeda halnya jika penjatuhan hukuman dilakukan di negara yang bukan
tempat terjadinya kejahatan. Meskipun ada kemungkinan untuk memberi
pelajaran bagi pelaku, akan tetapi akibat yang muncul dari pemberian hukuman
tidak akan dirasakan oleh masyarakat di mana pelaku berasal.77
Berdasarkan hal ini, penyelesaian hukuman bagi pelaku oleh pengadilan di
mana perbuatan itu terjadi dianggap lebih baik dari pada mengadilinya di tempat
yang bukan merupakan tempat terjadinya kejahatan. Hal ini dianggap lebih baik
meskipun sebenarnya tidak ada halangan bagi negara yang menjadi pelarian untuk
menegakkan hukum bagi pelaku karena tidak adanya perbedaan aturan maupun
undang-undang antara negara-peminta dengan negara yang diminta.78
Penyerahan pelaku kejahatan oleh negara yang menjadi tempat pelaku
berdomisili kepada negara pelarian pelaku di anggap sebagai hal yang
menyulitkan bagi pelaku. Ia tidak dapat membela diri karena keberadaannya di
lingkungan asing yang berbeda kebangsaan dan bahasa.79
Hal ini berlaku juga untuk pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-
salam jika melarikan diri ke dar al-harb. Abu Zahrah berpendapat bahwa jika
antara dar as-salam dengan dar al-harb telah ada perjanjian sebelumnya maka
76 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 124-125. 77 ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy….,hlm. 298. 78 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 32. 79 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 298.
123
permohonan ekstradisi harus dilakukan, jika tidak maka hal ini tidak dapat
dilakukan kecuali bila ada hukum kebiasaan yang berlaku.80
b. Penyerahan pelaku kejahatan ke dar al-harb
Islam tidak membenarkan bagi penguasa dar as-salam untuk menyerahkan
warga negaranya, baik ia muslim maupun zimmiy untuk diadili di dar al-harb
karena telah melakukan tindak kejahatan di negara tersebut (dar al-harb).81
Selain itu Islam tidak membolehkan penguasa dar as-salam untuk
menyerahkan seorang muslim yang berstatus sebagai warga negara dar al-harb
sekalipun penguasa negara tersebut memintanya karena suatu tindak kejahatan
yang telah ia lakukan. Penyerahan tidak boleh terjadi selama tidak ada perjanjian
antara penguasa dar as-salam dengan penguasa dar al-harb yang sesuai dengan
ketentuan hukum Internasional mengenai penyerahan warga negara masing-
masing. Jika perjanjian telah terjadi antara kedua negara tersebut maka
penyerahan harus dilakukan terkecuali adanya syarat-syarat yang dianggap batal
dan menyalahi perjanjian.82
Islam tidak membenarkan penyerahan wanita-wanita muslimah yang
berhijrah ke dar as-salam. Wanita muslim dalam keadan bagaimanapun tidak
boleh diserahkan ke dar al-harb meskipun ia berstatus sebagai warga negara
tersebut. Ketetapan ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi:
80 Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah…., hlm. 379. 81 ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Jana’i aI-Islamiy…., hlm. 299. 82 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 34.
124
íÃíøåÇÇáøÐíä ÃãäæÇ ÅÐÇ ÌÇÁ ßã ÇáãÄãäÇÊ
ãåÇÌÑÇÊ ÝÇãÊÍäæåäø Çááå ÃÚáã ÈÅíãÇäåäø ÝÅä
ÚáãÊãæåäø ãÄãäÇÊ ÝáÇ ÊÑÌÚæåäø Åáì ÇáßÝøÇÑ
áÇåäø Íáø áåã æáÇ åã íÍáøæä áåäø æÃÊæåã
ãøÇÃäÝÞæÇ æáÇ ÌäÇÍ Úáíßã Ãä ÊäßÍæåäø ÇÐÇ
ÃÊíÊãæåäø ÃÌæÑåäø æáÇ ÊãÓßæÇ ÈÚÕã
ÇáßæÇÝÑ æÇÓÃáæÇ ãÇ ÃäÝÞÊã æáíÓÃáæÇ ãÇ
ÃäÝÞæÇ ÐÇáßã Íßã Çááå íÍßã Èíäßã æÇááå Úáíã
Íßíã83
Para ulama berbeda pendapat mengenai penyerahan laki-laki muslim
setelah adanya perjanjian. Imam Ahmad dan beberapa Fuqoha madzhab Maliki
berpendapat bahwa penyerahan tersebut harus dipenuhi. Abu Hanifah
berpendapat bahwa penyerahan tersebut tidak boleh terjadi, sebab seorang muslim
tidak boleh dikuasai oleh orang-orang non-muslim.84
Para fuqoha madzhab Syafi’i memisahkan antara mereka yang mempunyai
keluarga di dar al-harb yang dapat melindunginya dengan orang yang tidak
83 Al-Mumtahanah (60): 10. 84 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 34.
125
mempunyai pelindung di negara tersebut. Bila orang yang diminta mempunyai
keluarga, maka ia boleh diserahkan, bila tidak, maka ia tidak boleh diserahkan ke
tangan penguasa dar al-harb.
Masuknya orang-orang Islam yang berstatus sebagai penduduk negara dar
al-harb ke dar as-salam tidak dipandang sebagai penyimpangan terhadap kaidah
umum penerapan hukum Islam. Orang tersebut dianggap sebagai penduduk dan
warga negara dar as-salam yang ia datangi. Oleh karena itu, ketika penguasa dar
as-salam tidak menyerahkan kepada penguasa dar al-harb, sebenarnya ia tidak
menyerahkan orang yang menjadi warga negaranya sendiri.
Tindakan ini merupakan tuntutan syariat yang tidak membolehkan
penguasa dar as-salam untuk menyerahkan warga negaranya ke dar al-harb. Bila
yang memohon adalah dar as-salam yang lain maka tidak ada halangan untuk
menyerahkan orang tersebut.85
Mengenai penyerahan seorang musta’min ke dar al-harb di karenakan
tindak kejahatan yang di lakukannya, boleh dilakukan bila antara penguasa dar as-
salam dengan dar al-harb telah ada perjanjian sebelumnya.86
Meskipun demikian, tidak diperbolehkan untuk menyerahkan orang
tersebut (musta’min) ke dar al-harb lainnya (yang bukan negara asal pelaku) yang
bisa jadi merasa dirugikan oleh tindakan orang tersebut. Hal ini berlawanan
dengan perjanjian keamanan yang telah diberikan kepadanya.
85 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 127. 86 L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah…., hlm. 35.
126
Kaidah hukum Islam yang menghendaki agar penguasa dar as-salam tidak
menyerahkan warga negaranya ke negara lain untuk menyelesaikan masalah
kejahatan, sesuai dengan ketentuan hukum internasional sekarang.87
87 Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU PRIMER
‘Audah, ‘Abd al-Qadir, at-Tasyri’ al-Janai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-
Wad‘iy, 2 juz, Beirut: Muassasah al-risalah,1994.
Imam Kamaluddin bin Al-Ghamam, Syarah Fathul Qadir Ala’Hidayah Syarah
Bidayatul Mubtadi, Juz IV, Bairut: Darrul Kitab Alamiyah,
Kasaniy, ‘Alau ad-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-, Bada’i as-Sana‘i fi Tartib asy-
Syara‘i, 7 juz, Beirut: Dar al-ilmiyyah, 1997.
Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hkum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, cet-27,
2008.
B. AL-QUR’AN
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, Semarang : Toha Putra, 2006.
C. KELOMPOK FIQH DAN USHUL FIQH
Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-fiqh al-Islam, al-Jarimah, 2 juz, Beirut:
Dar al-Fikr al-‘Arabiy, tth.
Abu Utlah, Khadijah, al-Islam wa al-‘Alaqah ad-Dauliyyah fi as-Silmi wa al-Harb,
Mesir: Dar al-Ma’arif, 1119.
Hanafi, A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Hasballah, ‘Ali, Usul at-Tasyri’ al-Islamiy, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964.
Hazm, Abi Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn, al-Muhalla, 8 jilid, Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.
Hussain, Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Jad Allah, Mahmud Fu‘ad, Ahkam al-Hudud fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Mesir:
Matabi’ al-Misriyyah al-‘Ammah, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: Rineka
Cipta.
Widodo, L. Amin, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994.
Zahrah, M. Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus.
D. KELOMPOK BUKU LAIN
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Hukum Antar. Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash
Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung:
Mandar Maju, 1995.
________, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1996
________, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana
Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997
ENSIKLOPEDI Islam, Dewan Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika 1995.
Harahap, Mustafa Djuang, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan
dengan Hukum Internasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
Hasmi, A., Dimana Letak Negara Islam, cet.I. Surabaya : P.T. Bina Ilmu, 1984.
http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=235:
mazhab&catid=96:ensiklopedi-islam 21/april/2010/pukul 15.30 WIB.
http://aslamsalam.wordpress.com/2010/02/12/biografi-imam-abu-hanifah/
http://daemien-ocehankosong.blogspot.com/2009/07/polisi-dan-locus-delicti.html/19-
04-10-19.30.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tanggal 5, Desember, 2009, pukul 22.00 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-112.html
Jonkers, J. E., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, alih bahasa Tim
Penerjemah Bina Aksara, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Kansil, C. S. T , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka 1989.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, t.tp: Balai Lektur Mahasisiwa, t.th.
Ma’arif, Samsul, Terjemah Matan Taqrib Ringkas dan Jelas, cet-II, Magelang: Toko
Kitab Salamun Tegalrejo, 2009.
Mahmassani, Sobhi, Filsafat Hukum dalam Islam, alih bahasa A. Sudjono, Bandung:
Alma’arif.
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Putra, 2000.
Marzuki, MetodologiRiset, BPFE UII, Jogjakarta, 1995.
Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama
Widya, 2000.
Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Eresco,
1989.
Qardhawi, Yusuf, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali
Makhtum Assalamy Jakarta: Gema Insani Press, 1993.
Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana
Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Sudarto, hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudaarto d/a Fakultas Hukum UNDIP,
1990.
Sugandhi, R., KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981
Suryono, Edy, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Mandar Maju, 1992.
Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1994.
Wallace, Rebbeca M.M., Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi,
Semarang: IKIP Semarang Press, 1993.