Teokratisme

39
Teokratisme Teokratisme didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang- orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada Tuhan. Pada abad pertengahan di Eropa, pemikiran dan pandangan ini mencapai masa kejayaannya. Pada masa itu, agama Kristen mendomi-nasi segala aspek kehidupan di Eropa. Negara teokratis dianggap sangat sesuai dengan pandangan agama. Menurut paham ini, kehidupan negara didasarkan pada moralisme yang berorientasi kepada agama. Setiap kebijaksanaan, keputusan politik dan penyelengga-raan pemerintahan negara ditentu-kan berdasarkan ketentuan-keten-tuan yang berlaku dalam agama. Para gerejawan sebagai pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan setiap kebijaksana-an negara. Para raja dan pemimpin negara hanya meru-pakan pelaksana pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari gereja. Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang mengesahkan peng-gantinya. Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana kekuasaan di dunia, yang dalam prakteknya diserahkan kepada raja atau para pemimpin dunia. Di Timur Tengah, meskipun ideo-logi yang berkembang lebih merupa-kan campuran antara Islam, Nasio-nalisme (Chaumiyyah), Sosialisme (Isytirakiyya) dan netralisme (Muhayadah), Ideologi Islam tetap merupakan ideologi yang terkuat, yang melandasi kehidupan berbang-sa dan bernegara. Arab Saudi merupakan salah satu contoh negara Arab konsevatif yang berdasar pada ideologi Islam secara relatif murni. Iran di bawah Ayatollah Khoemeni- pun membawa Iran kepada ideologi teokratis. Di samping itu, gerakan-gerakan Islam fundamentalis di beberapa negara, juga merupakan fenomena politis yang mengarah pada teokratisme.

description

bfd

Transcript of Teokratisme

TeokratismeTeokratisme didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada Tuhan.Pada abad pertengahan di Eropa, pemikiran dan pandangan ini mencapai masa kejayaannya. Pada masa itu, agama Kristen mendomi-nasi segala aspek kehidupan di Eropa. Negara teokratis dianggap sangat sesuai dengan pandangan agama. Menurut paham ini, kehidupan negara didasarkan pada moralisme yang berorientasi kepada agama. Setiap kebijaksanaan, keputusan politik dan penyelengga-raan pemerintahan negara ditentu-kan berdasarkan ketentuan-keten-tuan yang berlaku dalam agama.Para gerejawan sebagai pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan setiap kebijaksana-an negara. Para raja dan pemimpin negara hanya meru-pakan pelaksana pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari gereja. Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang mengesahkan peng-gantinya. Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana kekuasaan di dunia, yang dalam prakteknya diserahkan kepada raja atau para pemimpin dunia.Di Timur Tengah, meskipun ideo-logi yang berkembang lebih merupa-kan campuran antara Islam, Nasio-nalisme (Chaumiyyah), Sosialisme (Isytirakiyya) dan netralisme (Muhayadah), Ideologi Islam tetap merupakan ideologi yang terkuat, yang melandasi kehidupan berbang-sa dan bernegara. Arab Saudi merupakan salah satu contoh negara Arab konsevatif yang berdasar pada ideologi Islam secara relatif murni. Iran di bawah Ayatollah Khoemeni-pun membawa Iran kepada ideologi teokratis. Di samping itu, gerakan-gerakan Islam fundamentalis di beberapa negara, juga merupakan fenomena politis yang mengarah pada teokratisme.Di Asia Selatan, kemunculan ideologi teokratis yang dibarengi dengan gerakan modernisasi yang cenderung bersifat sekuler. Pakistan ketika dipimpin Presiden Zia Ul Haq, merupakan suatu contoh yang me-nonjol. Namun demikian, teokratis-me di luar Eropa yang pada umum-nya didominasi Islam, masih meno-lerir perkembangan ideologi-ideologi lainnya meskipun tidak secara formal.

Pada abad pertengahan di Eropa, pemikiran dan pandangan Teokrasi mencapai masa kejayaannya. Pada masa itu, agama Kristen mendominasi segala aspek kehidupan di Eropa. Negara teokratis dianggap sangat sesuai dengan pandangan agama. Menurut paham ini, kehidupan negara didasarkan pada moralisme yang berorientasi kepada agama. Setiap kebijaksanaan, keputusan politik dan penyelenggaraan pemerintahan negara ditentu-kan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam agama. Sehingga Agustinus (354-430) menguraikan bahwa terdapat istilah yang dinamakan civitas dei atau negara Tuhan yang mana merupakan kerajaan tuhan yang langgeng.

Para gerejawan sebagai pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan setiap kebijaksanaan negara. Para raja dan pemimpin negara hanya merupakan pelaksana pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari gereja. Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang mengesahkan peng-gantinya. Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana kekuasaan di dunia, yang dalam prakteknya diserahkan kepada raja atau para pemimpin dunia.Meskipun begitu, terdapat klaim yang menyatakan suatu tindakan kebencian terhadap teokrasi, karena sistem tersebut memang sistem yang berdiri di atas legitimasi yang palsu. Klaim kesucian dan kebenaran oleh para pendeta gereja hanya berdasarkan dogma, dan sangat bertentangan dengan logika dan rasional. Nyatanya tidak ada hubungan dan komunikasi antara golongan ini dengan Tuhan. Oleh itu, klaim bahwa golongan clergy ini mempunyai kedua-dua kuasa temporal (politik) dan ecclesiastical (kuasa kerohanian) adalah tidak berasas sama sekali. Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh adanya civitas terrena yang merasuki gereja ketika itu.

2. Empirisme Teokrasi pada Abad ke-21 di dunia Timur Tengah

Di Timur Tengah, meskipun ideologi yang berkembang lebih merupakan campuran antara Islam, Nasio-nalisme (Chaumiyyah), Sosialisme (Isytirakiyya) dan netralisme (Muhayadah), Ideologi Islam tetap merupakan ideologi yang terkuat, yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Arab Saudi merupakan salah satu contoh negara Arab konsevatif yang berdasar pada ideologi Islam secara relatif murni. Iran di bawah Ayatollah Khoemeni-pun membawa Iran kepada ideologi teokratis. Di samping itu, gerakan-gerakan Islam fundamentalis di beberapa negara, juga merupakan fenomena politis yang mengarah pada teokratisme.Di Asia Selatan, kemunculan ideologi teokratis yang dibarengi dengan gerakan modernisasi yang cenderung bersifat sekuler. Pakistan ketika dipimpin Presiden Zia Ul Haq, merupakan suatu contoh yang me-nonjol. Namun demikian, teokratisme di luar Eropa yang pada umumnya didominasi Islam, masih menolerir perkembangan ideologi-ideologi lainnya meskipun tidak secara formal.Perdebatan di antara Islamis dan sekularis tentang politik Islam sentiasa bergulir di Mesir, Pakistan dan berbagai Negara Islam lainnya. Di antara tuduhan yang diungkapkan terhadap pendukung politik Islam adalah bahwa system politik Islam adalah sistem teokrasi yang despotic dan authoritarian. Asghar Ali Engineer, seorang lagi pemikir Islam Liberal, menuduh gerakan Jama’at-e-Islami yang dipimpin oleh Mawdudi berusaha mendirikan Negara teokrasi seperti yang telah didirikan di Iran. Ungkapan tersebut bukanlah tanpa landasan dikarenakan teokrasi merupakan suatu sistem yang dilandasi oleh lex natural yang mana kemurnian penerapan hukumnya dilandasi atas kekuasaan tuhan semata yang tidak dicampuri atas nafsu manusia.

Teokratisme didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk oleh kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Kekuasaan para raja dan pemimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Teokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana Tuhan atau dewa yang diakui negara sebagai penguasa tertinggi sipil, atau dalam arti lebih luas, sebuah bentuk pemerintahan dalam sebuah negara yang diatur oleh segera ilahi atau bimbingan oleh pejabat yang dianggap divinely sebagai petunjuk. Dalam bahasa Yunani, "teokrasi" berarti sebuah aturan [kra'tos] oleh Allah [the.os']. Sebagai orang yang beriman, teokrasi adalah bentuk pemerintahan yang ilahi daya manusia duniawi governs sebuah negara, baik dalam pribadi inkarnasi atau, lebih sering, melalui lembaga perwakilan agama (yakni, sebuah gereja), menggantikan atau mendominasi sipil pemerintah. Teokratis pemerintah memerankan theonomic undang-undang. Teokrasi dibedakan ke dalam bentuk, sebagai berikut:1. pemerintahan sekuler yang memiliki agama negara, atau hanya dipengaruhi oleh konsep teologi atau moral, dan 2. monarchies diadakan "Dengan karunia Allah". Ungkapan demikian tertuang pula dalam teks Proklamasi Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1945.Teokrasi monistik, di mana administrasi hirarki pemerintah identik dengan administrasi hirarki dari agama, atau mungkin ada dua 'senjata', namun dengan administrasi negara hirarki subordinat kepada agama hirarki. Teokratis tendencies telah ditemukan di berbagai tradisi agama termasuk Judaisme, Islam, Konfusianisme, Hindu, dan di antara agama Kristen: Katolik, kekolotan Timur, Protestan, dan Mormonism. Riwayat contoh Kristen theocracies adalah Rum (AD 330-1453) dan Carolingian Empire (AD 800-888).

Kata “teokrasi” berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos)

artinya “tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah”. Teokrasi artinya “pemerintahan oleh

tuhan”.

Teokratisme didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas

dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara, karena negara diciptakan dan dibentuk atas

kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpinnyapun adalah orang-orang yang ditunjuk dan

dikehendaki Tuhan. Olek karena itu, kekuasaan para raja dan pemimpin negara adalah suci.

Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap

kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya bertanggung

jawab kepada Tuhan.

Pada abad pertengahan di Eropa, pemikiran dan pandangan ini mencapai masa

kejayaannya. Pada masa itu, agama Kristen mendominasi segala aspek kehidupan di Eropa.

Negara teokratis dianggap sangat sesuai dengan pandangan agama. Menurut paham ini,

kehidupan negara didasarkan pada moralisme yang berorientasi kepada agama. Setiap

kebijaksanaan, keputusan politik dan penyelenggaraan pemerintahan negara ditentukan

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam agama.

Para gerejawan sebagai pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam

menentukan setiap kebijaksanaan negara. Para raja dan pemimpin negara hanya merupakan

pelaksana pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari gereja.

Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang mengesahkan penggantinya.

Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana kekuasaan di dunia, yang dalam prakteknya

diserahkan kepada raja atau para pemimpin dunia.

Seiring dengan perkembangan bentuk pemerintahan ini, rakyat merasa bahwa tidak

seharusnya para gerejawan yang memimpin dunia, karena pada hakikatnya pemuka agama

tetaplah pemuka agama yang harus mengajarkan nilai-nilai agama kepada masyarakat,

sedangkan seharusnya yang memerintah adalah penguasa atau raja, yaitu pihak yang memang

diembankan untuk memegang tampuk pemerintahan.

Di Asia Selatan, kemunculan ideologi teokratis yang dibarengi dengan gerakan

modernisasi yang cenderung bersifat sekuler. Pakistan ketika dipimpin Presiden Zia Ul Haq,

merupakan suatu contoh yang menonjol. Namun demikian, teokratisme di luar Eropa yang

pada umumnya didominasi Islam, masih menolerir perkembangan ideologi-ideologi lainnya

meskipun tidak secara formal.

Perubahan Bentuk Pemerintahan Teokrasi ke Autokrasi

Autokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang

oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara literal

berarti “berkuasa sendiri” atau “penguasa tunggal”. Autokrasi pada hakikatnya merupakan

suatu sistem dimana seorang raja atau kaisar merupakan penguasa tunggal yang kadang-

kadang dianggap sebagai utusan Tuhan yang tidak boleh dilanggar. Dalam sistem ini

kekuasaan itu mutlak yaitu tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun dan seorang pemimpin

itu tidak pernah salah. Salah satu contoh pemerintahan yang Autokrasi ini dapat kita lihat

pada pemerintahan di Rusia pada abad 18-19. Pada masa itu Rusia dipimpin oleh Tsar

(kaisar) yang punya kekuasaan penuh dan tidak ada prinsip check and balance antara

pemimpin dan parlemen karena parlemen harus tunduk pada Tsar.

Perkembangan sistem Autokrasi ini lama-kelamaan ditentang oleh berbagai pihak

karena sistem ini jauh dari kata keadilan dan berpeluang munculnya Otoriterisme dan diktator

yang ditandai dengan Infrastruktur dan fasilitas dikendalikan oleh satu orang, aturan datang

dari satu orang, kekuasaan seolah-olah hanya milik raja, tidak boleh menentang raja,

kekuasaan tidak terbatas dsb. Oleh karena itu maka muncullah sistem Aristokrasi atau bentuk

pemerintahan yang dipegang oleh kaum yang paling baik yaitu kaum bangsawan. Pihak-

pihak ini memilih sistem Aristokrasi karena sistem Aristokrasi ini memiliki beberapa

keunggulan antara lain:

1)      Bentuk Pemerintahan Alami

Dikatakan sebagai bentuk pemerintahan alami, karena aristokrasi menekankan kualitas

daripada kuantitas. Masyarakat pada umumnya lemah akan wawasan politik, dari sebab ini

menimbulkan ketidak mampuan mereka menggunakan kekuatan politik dengan efisien.

Mereka selalu mengekang agar pemerintahan berada ditangan orang bijak, berpengalaman

dan bertanggung jawab terhadap tugas.

2)      Bentuk Pemerintahan yang Moderat

Menurut Montesquieu, Aristokrasi tidak akan bisa bertahan, jika diantara keputusan

kelompok tidak searah atau moderasi. Moderasi ini mendiktekan semua kebutuhan untuk

keselamatan; mereka juga harus mengingat akan subjek rakyat jelata, yang merupakan jumlah

dan sumber fisikal tertinggi. namun, jika mereka tidak searah, maka kemungkinan besar

pemberontakan akan timbul dengan sendirinya. Oleh karena itu pemerintahan aristokrasi

jarang mengambil langkah terburu-buru. Aristokrasi selalu berhati- hati dalam hal bertindak,

bahkan menjauhi kezaliman dan Mobokrasi.

3)      Bentuk Pemerintahan Konservatif

Aristokrasi selalu kolot dari segi pandangan. Kebutuhan mereka selalu didiktekan

untuk keselamatan, dengan merujuk kepada institusi yang lama. Dari segi inilah mereka

berlawanan dengan perubahan revolusinari, dan tidak mau meninggalkan kebiasaan yang

lama. Mereka respek terhadap tradisi dan mencari jalan untuk memeliharanya. Sebuah

elemen dari konservatisme sangat penting untuk kebaikan masyarakat dan Negaranya.

Revolusi besar-besaran hanya merubah dan membuang seluruh perlengkapan pabrik sosial.

4)      Menghasilkan Perkembangan

Ahli sejarah membuktikan secara logis dan jelas akan aristokrat. Dalam sejarah setiap

bangsa memiliki masa keemasan pada saat ariktokrasi menjadi sistem pemerintahan. Sejarah

melahirkan fakta-fakta sebagai saksi prestasi dalam segi keilmuan, seni dan sastra, dimana

lahir pada masa aristokrasi. Henry Maine mengatakan, perkembangan manusia disebabkan

dengan bangkit dan terpuruknya aristokrasi, dengan formasi satu aristokrasi dengan yang

lainnya, hingga rangkaian satu aristokrasi dengan yang lainnya.

5)      Berdasarkan Kualitas

Aristokrasi menekankan kualitas, hal ini berlawanan dengan istilah jumlah dan

kuantitas. Banyak ilmuwan membela pemerintahan monarki dan aristokrasi dengan

berpendapat bahwa sistem yang diberikan kepada komunitas merupakan putusan kelompok,

dimana menjadi ahli waris dari para leluhur, lalu meneruskan kepemimpinan sebagai

pengganti, dan melayani tradisi publik, pengalaman, pengetahuan dan urusan administratif,

bahkan dipercayai untuk memimpin komunitas dengan kejujuran dan ketaatan.

Pada negara Teokrasi, identik dengan pemusatan kekuasaan pada tokoh tokoh spiritual yang sekaligus sebagai Kepala Negara. Dalam Negara Teokrasi, Kepala Negara yang sekaligus tokoh spiritual, biasanya dianggap sebagai keturunan Dewa, manusia setengah Tuhan, dan manusia pilihan Tuhan, bahkan juga dianggap sebagai reinkarnasi dari orang suci. Negara Teokrasi ini populer pada abad pertengahan dan sebelumnya. Salah satu contoh Negara Teokrasi pada masa sebelum masehi adalah Negara Mesir Kuno. Mesir Kuno, dipimpin oleh kepala negara yang diberi gelar Fir’aun. Dalam hal ini, Fir’aun dianggap jelmaan Dewa oleh rakyatnya. Sehingga apa yang diucapkan Fir’aun diakui sebagai hukum oleh rakyat.

Negara Teokrasi Katolik

Setelah kepergian Nabi Isa, kaum Kristen terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kaum Yudeo Christian (Kristen yang menyerupai Yahudi), kelompok Kristen ini banyak tersebar di Jazirah Arab. Pengikut dari kelompok ini terutama dari kalangan kaum Israel. Kelompok yang ke dua adalah Kristen Trinitas, kelompok yang ke dua ini dipelopori

oleh Paulus. Pada saat itu memang sedang terjadi pertentangan antara kedua kelompok Kristen ini. Pada awalnya Paulus dan pengikutnya mendapat kekalahan.

Namun, kelompok Paulus ini mendapatkan kemenangan justeru setelah meninggalnya Paulus, sebab pada saat itu Kaisar Romawi yang bernama Konstantin, memeluk agama Kristen. Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit untuk melindungi kaum Kristen pengikut Paulus, serta menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi negara Romawi. Negara Romawi yang tadinya menganut agama Pagan, berubah menjadi Negara Teokrasi Katolik dengan sistem Keuskupannya. Artinya, adanya kombinasi pemusatan kekuasaan pada Raja kemudian Gereja. Disinilah dimulai era yang disebut abad pertengahan (abad ke 5 s/d 16). Pada era ini, Negara Teokrasi Katolik cukup populer di Eropa dan sebagian Rusia.

Namun, negara Teokrasi ini banyak mendapat kritikan dari para Filosof, di antara mereka ada yang menghendaki pemisahan Gereja dari pemerintahan (cikal bakal Sekularisme) bahkan ada yang menolak agama sama sekali (cikal bakal Komunisme). Kemudian satu per satu negara Eropa berubah, yang tadinya Negara Teokrasi Katolik menjadi negara Sekuler.

Pada saat ini, cuma ada satu Negara Teokrasi Katolik, yakni Vatikan. Tentunya dengan kondisi yang jauh berbada dengan negara Teokrasi pada masa lalu, karena pengaruh Sekularisme di Vatikan. Pada saat ini memang Vatikan ada usaha untuk membina hubungan dengan umat Islam. Ini sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Maurice Bucaille;

“Usaha-usaha untuk pendekatan antara Vatican dan Islam telah diikuti dengan bermacam-macam manifestasi dan pertemuan yang konkrit. Tetapi hal-hal tersebut hanya diketahui oleh jumlah yang sangat sedikit di Barat walaupun mass media seperti pers, radio dan televisi tidak kurang.

Surat-surat kabar menyiarkan tentang kunjungan Kardinal Pignedoli, Ketua Departemen urusan bukan Kristen kepada Baginda (almarhum) raja Faisal dari Saudi Arabia, pada tanggal 24 April 1974. Harian Le Monde (Dunia) tanggal 25 April 1974 hanya memuat berita itu dalam beberapa baris. Tetapi berita tersebut adalah penting karena Kardinal Pignedoli menyampaikan kepada Sri Baginda pesan dari Paus Paulus VI yang berisi: rasa hormat Paus Paulus VI, yang diiringi dengan keyakinan yang mendalam tentang kesatuan Dunia Islam dan Dunia Kristen yang kedua-duanya menyembah Tuhan yang Satu.

Enam bulan kemudian pada bulan Oktober 1974, Paus Paulus VI secara resmi menerima ulama-ulama Saudi Arabia di Vatican. Pada waktu itu juga diadakan diskusi antara pihak Islam dan pihak Kristen mengenai: Hak-hak manusia dalam Islam. Surat kabar Vatican L’observatore Romano yang terbit pada tanggal 26 Oktober 1974 memuat berita diskusi tersebut pada halaman pertama. Berita-berita tersebut mengambil tempat yang lebih besar daripada berita tentang penutupan sidang Synode uskup-uskup di Roma.

Ulama-ulama Arabia kemudian mengunjungi Majelis Ekumeni Gereja di Geneva dan diterima oleh Monsigneur Elchenger, uskup Strasburg yang kemudian meminta kepada mereka untuk sembahyang lohor di Kathedral. Hal tersebut saya sajikan karena luar biasa dan karena artinya yang besar. Tetapi meskipun begitu sedikit sekali orang yang saya tanya dapat mengerti kejadian-kejadian tersebut.

Sikap keterbukaan terhadap Islam yang diperlihatkan oleh Paus Paulus VI yang pernah berkata, dijiwai dengan kepercayaan penah tentang kesatuan Dunia Islam dan Kristen yang

rnenyembah Tuhan Yang Satu, akan membuka halaman baru dalam hubungan kedua agama. Mengingat sikap Kepala Gereja Katolik terhadap umat Islam adalah perlu sekali, karena banyak orang Kristen terpelajar masih berfikir seperti yang dilukiskan oleh Dokamen Orientasi untuk Dialog antara umat Kristen dan umat Islam dan tetap menolak menyelidiki ajaran-ajaran Islam. Dan karena sikap tersebut mereka tetap tidak memahami realitas dan tetap berpegangan kepada idea yang sangat salah mengenai Wahyu Islam.”[Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science]

Negara Teokrasi Yahudi

Negara Israel yang dirancang Oleh Theodore Herzl pada tahun 1891 adalah sebuah negara Theokrasi (sesudah Vatikan dan Republik Islam Iran), yang terkait erat dengan ajaran Talmud tentang “Tanah Israel” (Erzt Israel). Negara Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memiliki perbatasan yang’ je1as, atau dengan kata lain, tidak memi1iki perbatasan sarna sekali, baik da1am gagasan maupun dalam konstitusinya. Luas wilayah Negara Israel yang dibentuk tidak pernah ditentukan.

Konsepsi tentang wi1ayah dan batas-batas negara Israel didasarkan pada Kitab Taurat. Berdasarkan Taurat, wilayah negara Israel luasnya “dari sungai Nil sampai ke sungai Eufrat dan Tigris” (Genesis Revisi ke-15, ayat 18), tanah-air menurut ajaran agama Yahudi ada1ah ”Tanah Suci” (Kitab Zakaria 2 : 12), tanah itu adalah “Tanah Tuhan, karena Tuhan tinggal disana” (Kitab Yusya 9 : 3), tanah itu adalah “Tanah yang Dijanjikan oleh Tuhan kepada Ibrahim” (Kitab Tatsniah II : 12), dan menurut Taurat lagi, tanah itu adalah “Tanah pilihan untuk, diwariskan kepada Ummat Pilihan”. Taurat tidak dengan jelas, menetapkan tentang batas-batas wilayah ‘Erzt Israel’. Lagipula Deklarasi Balfour hanya menyebut “Tanah Air bagi Bangsa Yahudi” di Palestina tanpa menetapkan batas-batasnya.

Negara yahudi adalah negara yang dicita citakan oleh Theodore Herzl. Menurut dia, orang Yahudi harus punya sebuah negara. Theodore Herzl banyak menuangkan pemikiran pemikirannya tentang negara Yahudi.

“Di Bazel saya mendirikan negara Yahudi…Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam limapuluh tahun, orang niscaya akan menyaksikannya”(Theodore Herzl)

Theodore Herzl yang memikirkan bahwa, untuk membentuk negara Yahudi dibutuhkan lobi keuangan yang kuat. Dengan menguasai keuangan suatu negara maka dapat mempengaruhi negara negara Barat untuk mendukung berdirinya negara Yahudi.

Theodore Herzl tidak hanya menyatakan bahwa kaum Yahudi harus membentuk suatu bangsa, tetapi dalam mengubungkan tindakan dari bangsa Yahudi ini kepada dunia, Herzl menulis,

“Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu kelas proletariat revolusioner, pamanggul ide dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipasikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat”.

Pada abad 19 terjadi migrasi besar besaran kaum Yahudi Eropa ke Negara Khilafah Islam. Migrasi besar besaran ini disebabkan karena di Eropa pada waktu itu ada sentimen anti Yahudi. Disamping itu, migrasi ini memang sudah direncanakan oleh para pemikir pemikir

Yahudi, dengan harapan bahwa kelak kaum Yahudi dapat mendirikan negara di wilayah Negara Khilafah Islam. Sebenarnya sejak tahun 1882 Khalifah Abdul Hamid II telah mengeluarkan sebuah dekrit yang isinya, meski Khalifah sepenuhnya siap untuk mengizinkan orang Yahudi beremigrasi ke wilayah kekuasaannya, dengan syarat mereka menjadi kawula Negara Khilafah Islam tetapi baginda tidak akan mengizinkan mereka meneap di Palestina. Alasan pembatasan ini karena, “diduga Emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan membuahkan sebuah negara Yahudi”

Cita cita mendirikan negara Yahudi ini di dukung oleh negara negara Eropa, karena Eropa mempunyai kepentingan politik untuk membuat konspirasi dalam rangka menghancurkan Negara Khilafah Islam. Karena dengan hancurnya Negara Khilafah Islam, akan membuat Eropa lebih leluasa menjajah negari negeri Muslim. Buku Moses Hess ‘Roma und Jerusalem’ (1862) mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh-tokoh kolonialis Barat karenan beberpa pertimbangan, :

1. Adanya konfrontasi antara Eropa dengan Negara Khilafah Islam di Timur Tengah2. Bangsa-bangsa Eropa membutuhkan suatu ‘bastion’ (bentang/pertahanan-red.) politik

yang kuat di Timur Tengah dan ketika kebutuhan itu muncul orang Yahudi menawarkan diri secara sukarela menjadi proxi (wakil-red.) negara-negara Eropa.

3. Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa itu sesuai dengan aspirasi kaum Yahudi untuk kembali ke Plaestina.

4. Gerakan Zionisme akan berfungsi membantu memecahkan “masalah Yahudi” di Eropa

Pada akhir abad 19 memang Negara Khilafah Islam berada dalam keadaan lemah. Lemahnya Negara Khilafah Islam ini lebih disebabkan karena faktor internal, yakni pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa penguasa negeri Muslim yang memisahkan diri (disintegrasi) dari kekuasaan Negara Khilafah Islam. Pada 3 Maret 1924, Negara Khilafah Islam dibubarkan oleh agen Inggris, Mustafa Kemal Attaturk. Dengan demikian kaum Yahudi lebih leluasa untuk mendirikan negara Israel. Pendirian negara Israel berhasil dilakukan pada 1948. Pada tanggal 14 Mei 1948 jam 16:00, David Ben-Gurion, pemimpin Yahudi, bediri di bawah potret Theodore Herzl – pendiri gerakan Zionist – mengumumkan berdirinya negara Israel;

“Marilah kita semua mengakui bahwa kami kaum Yahudi adalah satu bangsa dari mana setiap orang Yahudi apa pun negara, tempat asalnya, atau keyakinannya, perlu menjadi warga dari kebangsaan kami”.(Louis D.Brandeis, Hakim Agung pada Mahkamah Agung A.S.)

Hingga saat ini Israel masih berusaha melakukan perluasan wilayah, karena batas wilayah negara Teokrasi ini tidak jelas. Ketika ditanya tentang batas-batas negara Israel, Chaim Wcizmann, presiden pertama negara Israel, menegaskan,

“Luas negara Israel tidak ditentukan. Luasnya akan disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah penduduknya”.

Perdana menteri Israel Golda Meir bahkan dengan congkak menyatakan, luas negara Israel adalah

“sejauh yang dapat dicapai oleh militer Israel”.

Negara Teokrasi Hindu

Pada akhir abad 12, terjadi perang antara kerajaan Singosari melawan Kediri. Kediri yang di pimpin oleh Jayakatwang berhasil mengalahkan Singosari. Saat itu Raja Singosari adalah Sri Kertanegara. Kertanegara punya anak laki laki bernama Raden Wijaya. Pada saat invasi Kediri, Sri Kertanegara memerintahkan Raden Wijaya untuk mempertahankan ibukota Singosarai di bagian utara. Mengetahui Singosari kalah, kemudian Raden Wijaya mengungsi ke desa Kudadu. Kemudian Raden Wijaya bersama sisa pasukannya menyeberangi laut Madura.

Sampai di Madura, Raden Wijaya disambut baik oleh Arya Wiraraja, penguasa Madura. Kemudian Raden Wijaya kembali ke Jawa. Di jawa, Raden Wijaya disambut baik oleh jayakatwang dan diberi daerah kekuasaan di desa terik. Di desa inilah, raden wijaya mendirikan desa majapahit. Junus satrio menuliskan;

“Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.”

Pada 1293, Jawa kedatangan pasukan Tartar. Pasukan Tartar ini ingin membalas penghinaan yang dilakukan oleh Kerajaan Singosari pada 1289. Raden Wijaya yang masih menyimpan pemusuhan terhadap Jayakatwang, menyambut baik tentara Tartar dan menawarkan bantuan untuk mengalahkan pasukannya Jayakatwang. Pasukan Tartar bersama pasukannya Raden Wijaya menyerang Daha dan menewaskan 5000 prajurit yang setia pada Jayakatwang. Akhirnya Jayakatwang menyerah dan ditawan oleh pasukan Tartar.

Setalah bersama sama mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya berniat mengusir pasukan Tartar dari Jawa. Raden Wijaya beralasan ingin pulang ke Majapahit untuk mengambilkan upeti untuk diberikan kepada Kubhilai Khan (Raja Tartar). Panglima Tartar mengizinkan, asal Raden Wijaya dikawal oleh dua perwira Tartar beserta beberapa prajurit. Namun, ditengah perjalanan, Raden Wijaya berhasil membunuh kedua perwira tersebut beserta prajurit prajuritnya. Dari Majapahit, Raden Wijaya membawa pasukan dan melakukan penyerangan terhadap tentara Tartar yang menewaskan 3000 tentara Tartar. Pasukan Tartar yang tersisa hengkang dari Jawa.

Raden Wijaya wafat pada 1309, anaknya Raden Wijaya yang bernama Jayanagara menggantikan ayahnya memimpin Majapahit. Pada saat kepemimpinan Jayanagara terjadi pemberontakan Kuti, kemudian pemberontakan itu berhasil diredam oleh Gajah Mada. Setelah Jayanagara wafat karena dibunuh pada 1328, kepemimpinan Majapahit dipegang oleh adik perempuan Jayanagara yang bernama Jayawisnuwardhani. Kemudian Jayawisnuwardhani mengundurkan diri dan digantikan anaknya yang bernama Hayam Wuruk pada 1350. Junus Satrio menuliskan;

“Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.”

Pada 1364 Gajah Mada meninggal dunia, terjadi kekosongan jabatan Mahapatih selama 3 tahun. Kemudian jabatan Mahapatih dipagang oleh Gajah Enggon. Hayam Wuruk meninggal pada 1389. Kepemimpinan Majapahit dipegang oleh menantunya yang bernama Wikramawardhana. Wikramawardhana memerintah Majapahit selama 12 tahun kemudian mengundurkan diri. Kemudian yang naik tahta adalah puterinya yang bernama Suhita. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhumi, anak selir Hayam Wuruk. Bhre Wirabhumi melakukan pemberontakan untuk merebut tehtanya Suhita, namun pemberontakan ini berhasil digagalkan, bahkan Bhre Wirabumi berhasil dibunuh oleh Raden Gajah.

Kematian Bhre Wirabhumi mengakibatkan pertikaian berkepanjangan antar dua keluarga. Pada 1477 Suhita wafat. Tahta Majapahit dipegang oleh adiknya yang bernama Dyah Kertawijaya. Kemudian diganti oleh Bhre Pamoto. Pada 1453-1456, terjadi kekosongan tahta Majapahit akibat dari pertikaian keluarga. Situasi ini sedikit mereda ketika Dyah Suryawikrama Girisawardana naik tahta. Namun tak lama Dyah Suryawikrama Girisawardana memegang kendali, perang saudara kembali berkecamuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya.Selanjutnya Junus Satrio menulis;

“Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.”

Negara Teokrasi Budha

Menurut Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim. Kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar asia tenggara. Dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300mil di Barat.

Pada tahun 680, kerajaan Melayu ditaklukkan Sriwijaya. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Jayanasa. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi militer Sriwijaya ke Melayu dan Jawa, menjadikan Sriwijaya menguasai dua pusat perdagangan strategis. Namun, Sriwijaya merasa terusik ketika pada abad ke 7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochima mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal itu, Raja Dharmasetu melakukan invasi kebeberapa wilayah Indochina. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja. Namun, dominasi ini berakhir ketika Raja Khmer Jayawarman II, memutuskan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya.

Kepemimpinan Dharmasetu digantikan oleh Samaratungga. Raja Samaratungga memfokuskan untuk memperkuat dominasi Sriwijaya di daerah Jawa. Pada masa raja Samaratungga, di Jawa dibangun Candi Borobudur yang pembangunannya selesai pada tahun 825. Pada abad 12 luas kerajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Filipina, Sri Langka, Semenanjung Melayu, dan Maluku.

Dalam bidang keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Budha Vajhrayana. Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I Ching melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.

Raja raja sriwijaya yang pernah memerintah

Jayanasa (prasasti Kedukan Bukit, 683 dan prasasti Talang Tuo, 684) Indravarman (sumber Tiongkok, 704-716, 724) Rudra vikraman atau Lieou-t’eng-wei-kong (sumber Tiongkok, 728) Dharmasetu (prasasti Ligor, 775) Sangramadhananjaya or Vishnu (teks Arab, 790)

Samaratunga (792) Maharaja (sumber Arab, 851) Balaputra (prasasti Nalanda, 860) Sri Uda Haridana atau Cri Udayadityavarman (sumber Tiongkok, 960) Sri Wuja or Cri Udayadityan (sumber Tiongkok, 962) Hia-Tche (sumber Tiongkok,

980) Culamani varmadevan (sumber Tiongkok, 988, 1003; prasasti Tanjore atau prasasti

Leiden, 1044) Maravijaya tungan or Maraviyayatungavarman (sumber Tiongkok, 1008; prasasti

Leiden, 1044) Sumatrabhumi (sumber Tiongkok, 1017) Sri Sangrama vijayatungan atau Cri Sangarama vijayatungavarman (prasasti Chola,

1025) Sri Deva (sumber Tiongkok, 1028) Dharmaviran Sri Maharaja (sumber Tiongkok, 1156)Trailorajan (sumber Tiongkok, 1178) Maulibhusana Varmadevan (perunggu Buddha Chaiya, 1183)

Negara Khilafah Islam

Negara Khilafah Islam bukan negara Teokrasi, sebab Khalifah (kepala negara) diakui sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Sumber hukum Negara Khilafah bukan dari Khalifah, namun bersumber dari Qur’an dan Sunnah.

Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum hukum Islam secara menyeluruh serta menyampaikan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem sistem yang diterapkan didunia Islam saat ini, karena sistem Khilafah mempunyai keunikan yang menjadi ciri khasnya.

Khalifah adalah kepala negara bagi kaum Muslimin. Dia bukan seorang diktator, karena pemilihan seorang Khalifah melalui kontrak politik yang khas yaitu bai’at. Tanpa adanya bai’at dari umat, seseorang tidak sah menjabat sebagai Khalifah. Ini berbeda dengan para raja dan diktator yang menguasai negeri negeri Muslim saat ini. Yang mana diktator ini merebut kekuasaan dengan paksa serta merampas sebagian kekayaan umat.

Khalifah wajib bertindak adil sesuai dengan Syari’at Islam. Undang undang yang dilegalisasi Khalifah harus bersumbar dari Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ Pada Sahabat. Pembuatan undang undang harus digali dengan metode yang terperinci yakni ijtihad. Jika Khalifah melakukan kezaliman terhadap umat, maka Khalifah dapat di adukan kepada Mahkamah Mazhalim. Mehkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment terhadap Khalifah serta menurunkannya dari jabatan khalifah serta menggantinya.

Beberapa orang menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah olah Khalifah adalah pemimpin spiritual, ini tidak benar. Dalam hal ini Khalifah bukan orang suci, juga bukan manusia pilihan Tuhan. Jabatan Khalifah adalah jabatan eksekutif. Khalifah sebagai manusia biasa tetap berpotensi melakukan kesalahan, oleh karana itu dalam Negara Khilafah Islam ada sarana check and balance yang menjaga agar Khalifah tetap akuntabel.

Khalifah bukan dipilih Allah, tapi dipilih oleh kaum muslimin melalui kontrak bai’at. Bentuk Negara Khilafah Islam bukan Teokrasi, karena kepemimpinan Khalifah tidak terbatas pada masalah moral spiritual. Masalah ekonomi, kesejahteraan, pangan, keamanan adalah masalah masalah yang harus diperhatikan Khalifah. Sistem Khilafah Islam ini telah terbukti selama berabad abad dalam memberikan kesejahteraan yang maksimal kepada rakyat.

Negara Khilafah Islam bukan tipe negara yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Khilafah memang punya karakter ekspansionis, namun perluasan wilayah ini bukan untuk tujuan penjajahan. Penakhlukan negeri negeri adalah bagian dari kebijakan plitik luar negerinya untuk menyampaikan risalah Islam.

Sistem Khilafah bukan sistem Republik. Sistem Republik sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Delam teori sistem Republik (Demokrasi), rakyat yang boleh membuat undang undang. Ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Sistem Khilafah, yang berhak membuat undang undang hanya Allah. Umat, bahkan Khalifah, tidak boleh melegalisasi undang undang yang bersumber dari pendapatnya sendiri.

Khilafah, harus melindungi kaum minoritas. Bagi kaum Non-Muslim yang berada dalam naungan Negara Khilafah Islam, mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk Islam.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(TQS Al Baqarah 256)

Khalifah wajib melindungi kaum Non-Muslim. Jiwa, harta, dan kehormatan kaum Non-Muslim harus dilindungi Khalifah.Nabi Muhammad bersabda;

“Siapa saja yang membunuh seorang mu‘âhad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Daulah Islam) tanpa alasan yang benar, dia tidak akan pernah mencium bau surga, padahal sesungguhnya harumnya surga itu sudah tercium dari jarak 500 tahun.”(HR Ahmad)

Negara Khilafah Islam, memberikan kedudukan yang mulia bagi wanita. Dalam Islam, wanita diberi hak untuk memiliki kekayaan, pernikahan, perceraian, dan memegang jabatan di masyarakat. Islam mewajibkan pakaian yang khas bagi wanita Muslimah, yakni Khimar dan Jilbab.

Tegaknya Khilafah akan mengakhiri kolonialisme Barat yang kini masih diterapkan di Dunia Islam selama berpuluh tahun. Khilafah akan mengambil alih seluruh sumberdaya alam di Dunia Islam dan dikelola untuk mensejahterakan pemiliknya (umat). Khilafah akan memuliakan manusia manusia yang berada dalam naungannya.

TEOKRASI merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Yunani, theokratia, artinya “pemerintahan TUHAN.” Istilah ini ditemukan dalam tulisan Yosefus, seorang sejarahwan Yahudi yang hidup pada sekitar tahun 37-100 M. Dalam tulisannya berjudul Melawan Apion, Yosefus mengatakan bahwa Musa telah membentuk pemerintahan Yahudi menjadi apa yang lebih tepat disebut sebagai “teokrasi.”

Secara harafiah, istilah teokrasi berasal dari kata theos (TUHAN) dan kratein (memerintah). Ketika istilah ini digunakan oleh Yosefus, ia membandingkannya dengan sistim pemerintahan yang digunakan oleh orang-orang Yunani pada waktu itu, yaitu monarki, aristokrasi dan anarki.

Sistim monarki adalah sistim pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang, berasal dari kata monarkhes dalam Bahasa Yunani, artinya “pemerintahan oleh yang satu.” Sistim aristokrasi adalah sistim pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang terbaik (aristokrat). Istilah ini berasal dari kata aristokratia dalam Bahasa Yunani, artinya “pemerintahan oleh yang terbaik.” Sedangkan, sistim anarki adalah sistim yang tidak memiliki pemerintah, berasal dari kata anarkhia dalam Bahasa Yunani, artinya “tanpa pemerintah.”

Ketika membahas sistim pemerintahan Yahudi, Yosefus tidak menemukan kecocokan antara sistim yang diturunkan oleh Musa dengan salah satu dari ketiga sistim Yunani tersebut. Karena itulah, Yosefus merumuskan sistim keempat yang disebutnya teokrasi itu. Menurut Yosefus, teokrasi adalah sistim pemerintahan dimana kekuasaan TUHAN dan hukum-NYA (Taurat) berada di atas segala-galanya. Sistim itu, menurutnya, tetap dipertahankan oleh orang-orang Israel meskipun mereka terpecah ke dalam dua kerajaan, Utara (Israel) dan Selatan (Yehuda), pasca pemerintahan Salomo.

Dalam perkembangannya, sistim teokrasi cenderung mengarah ke arah politik praktis. Jauh dari apa yang semula dirumuskan oleh Yosefus. Teokrasi yang berkembang di kemudian hari semakin menjurus ke treskeiokrasi (pemerintahan oleh agama) atau hierokrasi (pemerintahan oleh imam), karena yang dipersoalkan adalah siapa yang berkuasa mewakili TUHAN. Inilah yang membuat para ahli politik modern cenderung “mengutuk” bentuk-bentuk teokrasi karena dianggap melegalkan bentuk-bentuk kekuasaan atas nama TUHAN.

Para ahli modern membandingkan model teokrasi Yosefus dengan apa yang ada dalam masyarakat-masyarakat primitif, seperti pernah diterapkan dalam masyarakat Mesir Kuno, Tibet bahkan dalam masyarakat Indian Amerika, dimana sistim masyarakat dikendalikan oleh para “putra langit” atau “putra dewa”, yang kemudian disejajarkan dengan istilah ben Elohim (Anak atau Putra TUHAN) yang disandang oleh Raja Daud dan keturunannya, hingga oleh Yesus sendiri.

Teokrasi kemudian dianggap sebagai sistim yang gagal ketika disamakan dengan penerapan syariat Islam di Timur Tengah, seperti Taliban di Afghanistan, al-Shabab di Somalia atau sistim kerajaan Arab Saudi. Menurut para kritikus kontemporer, teokrasi semacam itu adalah bentuk teokrasi yang membungkam hak-hak sipil dan bahkan mengebiri hak-hak asasi manusia (HAM). Pada akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa teokrasi sangat bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Akibatnya, stigma negatif terhadap teokrasi pun terus tertanam hingga kini.

Kesimpulan ini didasarkan pada pandangan bahwa teokrasi adalah sistim pemerintahan yang mengedepankan siapa yang berkuasa. Padahal, dalam rumusan Yosefus, sistim teokrasi

merupakan sistim penggembalaan umat Israel, sebagai bangsa pilihan TUHAN. Yosefus tidak berbicara tentang siapa yang berkuasa sebagai wakil TUHAN, tetapi bagaimana menjalankan amanat TUHAN dalam kehidupan umat. Artinya, klaim bahwa teokrasi adalah sistim yang gagal adalah klaim yang didasarkan pada sudut pandang teokrasi yang melenceng dari teokrasi yang sesungguhnya digambarkan dalam perjalanan sejarah bangsa Israel dalam Alkitab.

Alkitab menggambarkan perkembangan sejarah Israel, dimana bangsa itu ternyata banyak mengadopsi sistim pemerintahan yang beragam, mulai dari zaman Musa, para hakim, raja-raja hingga sistim raja wilayah pada zaman Herodes. Alkitab menggambarkan sikap terbuka para TUHAN terhadap sistim pemerintahan baru di setiap perjalanan sejarah umat-NYA, misalnya ketika Musa menerima saran dalam hal pembagian kekuasaan militer atau teguran TUHAN kepada Samuel untuk mengakomodasi tuntutan umat dalam penerapan sistim kerajaan.

Yang menjadi persoalan adalah, jika sistim pemerintahan umat TUHAN cenderung dinamis dalam Alkitab, lalu apa yang menjadi ciri khas atau karakteristik dari teokrasi itu sendiri?

TEOKRASI PERJANJIAN LAMA

Untuk memahami karakteristik teokrasi dalam Alkitab, maka sangatlah penting melihat bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintahan yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin Israel dalam Perjanjian Lama, mulai dari zaman Musa hingga zaman nabi-nabi pasca pembuangan di Babel.

Teokrasi Musa

Yang dimaksud dengan teokrasi Musa adalah penerapan teokrasi pada periode pembebasan, pengembaraan dan penaklukan. Dimulai dari pembebasan dari perbudakaan di Mesir, dilanjutkan dengan pengembaraan di padang gurun dan berpuncak pada penaklukan Kanaan di masa Yosua. Meskipun Musa tidak ikut serta dalam penaklukan Kanaan, tetapi warna kepemimpinan Musa diwariskan kepada Yosua.

Dalam sejarah bangsa Israel, Musa memiliki peranan sangat penting dalam membentuk sistim bangsa itu. Pada zaman Musalah hukum-hukum diperkenalkan secara sistematis yang dimulai dengan Dasa Titah (Keluaran 20:1-17). Dasa Titah ini menjadi fondasi bagi hukum-hukum yang berlaku bagi bangsa itu.

Sebelum Musa menjadi pemimpin atas Israel, bangsa itu telah dipimpin oleh orang-orang yang dituakan, yakni para ziqne Yisrael (tua-tua Israel). Tidak ada hukum yang tidak dikonsultasikan dengan tua-tua Israel ini.

Ketika Musa diutus oleh TUHAN untuk membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir, ia diutus kepada tua-tua Israel (Keluaran 3:16). Musa diperintahkan oleh TUHAN untuk meyakinkan mereka bahwa dia benar-benar diutus TUHAN untuk menyampaikan pesan pembebasan (Keluaran 3:18).

Tetapi, karena Musa tidak fasih berbicara, maka TUHAN menunjuk Harun, kakak Musa, untuk membantunya (Keluaran 4:14). Harun menjadi juru bicara atau nabi bagi Musa

(Keluaran 7:1) ketika berhadapan dengan tua-tua Israel (Keluaran 4:30) termasuk ketika berbicara kepada Firaun, Raja Mesir (Keluaran 5:1).

Dalam perkembangan selanjutnya, Harun ditahbiskan sebagai Imam Besar pertama, sementara anak-anaknya menjadi imam-imam pembantu. Ia dan anak-anaknya diurapi dengan minyak urapan dan dibuatkan pakaian khusus sebagai pertanda kesucian jabatannya (Keluaran 28, 29). Selanjutnya, jabatan imam dipegang secara turun-temurun oleh keturunan Harun.

Di samping Harun, terdapat juga Miryam, kakak Harun dan Musa. Miryam disebut nabiah (Keluaran 15:20) yang memimpin nyanyian kemenangan menyeberangi Laut Teberau. Peranan Miryam dalam Alkitab memang tidak banyak disebutkan dibanding peranan Harun, tetapi dengan gelar “nabiah” yang disandangnya menunjukkan bahwa Miryam termasuk pemimpin yang dihormati di Israel. Hal ini semakin jelas dalam Mikha 6:4, dimana Miryam disejajarkan dengan Musa dan Harun sebagai utusan TUHAN bagi Israel. Hanya saja, peranan Miryam kurang dominan dibanding kedua adiknya itu.

Meskipun peran kepemimpinan lebih dominan dipegang oleh Musa dan Harun, tetapi peran tua-tua Israel tidak serta merta dihapus. Peran mereka sangatlah penting sebagai perantara antara Musa dan Harun dengan seluruh umat Israel. Umumnya pesan-pesan TUHAN untuk umat itu disampaikan melalui perantaraan tua-tua Israel oleh Musa dan Harun.

Dalam Keluaran 24, tua-tua Israel ikut ambil bagian dalam upacara perjanjian di gunung TUHAN. Ini mengukuhkan betapa pentingnya peranan mereka dalam menopang kepemimpinan Musa dan Harun.

Selain tua-tua Israel, terdapat juga kepala kaum, yang disebut rashim, terdiri atas sare alfim (kepala 1000 orang), sare me’oth (kepala 100 orang), sare hammishshim (kepala 50 orang) dan sare ’asaroth (kepala 10 orang). Fungsi mereka adalah fungsi yudisial, yaitu mengadili (shafat) perkara-perkara umat yang lebih kecil, sementara perkara-perkara besar akan ditangani langsung oleh Musa (Keluaran 18:25, 26). Para kepala ini dibentuk berdasarkan saran dari Yitro, mertua Musa (Keluaran 18:13-17). Selanjutnya mereka disebut “hakim-hakim” (softim) (Bilangan 25:5; Ulangan 16, 17).

Pada awalnya, para hakim dipilih langsung oleh Musa dari antara umat Israel (Keluaran 18:25), tetapi ketika ketetapan tentang mereka ditetapkan Musa, Musa mempersilakan umatnya memilih langsung hakim-hakim bagi mereka (Ulangan 16:18). Dalam penyelesaian perkara, ada kalanya para hakim dibantu oleh para imam (Ulangan 17:9). Keputusan mereka bersifat mutlak dan tidak boleh ditentang oleh umat (Ulangan 17:12). Karena itu, mereka pun dituntut untuk menghakimi dengan adil (Keluaran 16:19, 20).

Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa kepemimpinan pada zaman Musa adalah kepemimpinan yang bersifat kolektif, dimana Musa menjadi pemegang komandonya. Musa menerima visi dari TUHAN, tetapi visi itu tidak disampaikannya langsung kepada umat, melainkan melalui perantaraan Harun. Oleh keduanya, amanat-amanat ilahi diteruskan kepada tua-tua Israel untuk dilanjutkan kepada seluruh umat. Kepemimpinan Musa dan Harun juga ditopang oleh para hakim untuk menangani perkara-perkara hukum.

Sebagai pemimpin yang utama, Musa bukanlah pemimpin yang sempurna. Ia adalah manusia biasa yang juga jatuh ke dalam dosa, tetapi sebagai pemimpin pilihan TUHAN, kekuasaan

Musa tidak dapat diganggu gugat. Dalam Bilangan 12, Harun dan Miryam mengolok-olok Musa karena pernikahannya dengan perempuan Kush. Tetapi, motivasi Harun dan Miryam sesungguhnya bukanlah masalah moralitas Musa, melainkan kecemburuan mereka akan kedudukan Musa (Bilangan 12:2). Itulah sebabnya, TUHAN murka atas Harun dan Miryam (Bilangan 12:9).

Harun juga bukan pemimpin yang sempurna. Selain melakukan perlawanan bersama-sama dengan Miryam terhadap Musa, Harun juga terlibat dalam penyembahan berhala bersama-sama dengan seluruh bangsa Israel ketika Musa sedang menghadap TUHAN (Keluaran 32). Ia luluh menghadapi suara umat yang memintanya untuk membuatkan ilah lain.

Meski demikian, otoritas Musa dan Harun tetaplah dijaga oleh TUHAN. Dalam pemberontakan lain yang datang dari wakil-wakil umat yang dipimpin oleh Korah, TUHAN memperlihatkan otoritas Musa dan Harun (Bilangan 16). Saat itu, Korah dan para pemberontak menuduh Musa dan Harun adalah orang-orang yang meninggikan diri di atas umat TUHAN (Bilangan 16:3). Tujuan Korah dan para pemberontak adalah ingin mendapatkan jabatan imam (Bilangan 16:10). Akhir dari pemberontakan Korah ini adalah hukuman yang dijatuhkan TUHAN atas Korah dan para pemberontak.

Dapat disimpulkan bahwa pada masa Musa, kepemimpinan yang bersifat kolektif itu memiliki sharing power (pembagian kekuasaan) antara Musa, Harun dan para imam, tua-tua Israel serta para hakim. Musa menjadi pemimpin tertinggi yang diutus TUHAN, tetapi Musa memiliki keterbatasan, sehingga ia membutuhkan Harun sebagai juru bicaranya dan para imam yang menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan. Sementara, untuk menopang kepemimpinan keduanya, peran tua-tua Israel dan para hakim tidak mungkin diabaikan.

Di sini terlihat dua model kepemimpinan yang saling menopang, bahu membahu, mengantarkan Israel keluar dari perbudakan, yaitu: pertama, kepemimpinan dari atas, diwakili oleh Musa dan Harun, yaitu pemimpin-pemimpin yang memimpin karena pilihan TUHAN; dan kedua, kepemimpinan dari bawah, diwakili oleh tua-tua Israel dan para hakim, yaitu pemimpin-pemimpin yang memimpin karena pilihan umat. Kedua model kepemimpinan ini sama-sama dipakai TUHAN untuk menjalankan rencana agung-NYA, membawa Israel keluar dari perbudakan di Mesir.

Yang tak kalah penting untuk disoroti dalam model kepemimpinan ini adalah sistim suksesi kepemimpinan yang terjadi. Ada tiga model suksesi yang muncul pada masa Musa: Pertama, suksesi kepemimpinan Musa. Tongkat kepemimpinan Musa diwariskan berdasarkan pengabdian, kaderisasi dan tentu saja “pilihan TUHAN.”

Selama Musa menjadi pemimpin utama, ia tidak saja membimbing dan mengarahkan umat, tetapi juga menyiapkan seorang kader penggantinya. Seorang yang dipilihnya sejak masih muda, yaitu Yosua (Bilangan 11:28). Yosua adalah kader pilihan TUHAN, bakat dan loyalitasnya sudah menonjol sejak Musa memerintah. Tetapi, bakat dan loyalitas tentulah bukan modal utama bagi seorang kader. Ia perlu juga dilengkapi dengan latihan dan kesempatan. Karena itu, Musa mengutus Yosua menjadi bagian dalam tim pengintai (Bilangan 14:6), bahkan menempatkan Yosua dalam barisan penyerang (Keluaran 17:10).

Yosua menggantikan kepemimpinan Musa dengan warna kepemimpinan yang sama. Ia sangat mendominasi dalam kepemimpinan, tetapi bukan berarti dia sendirian. Ia dibantu oleh para imam, keturunan Harun, dan terutama oleh Imam Eleazar, putra Harun (Yosua 14:1;

17:4; dst). Selain itu, Yosua juga dibantu oleh tua-tua Israel yang menopang kepemimpinannya (Yosua 8:10).

Kedua, suksesi kepemimpinan Harun dan para imam. Tongkat kepemimpinan Harun juga diwariskan melalui pengkaderan dan loyalitas, tetapi sifatnya adalah turun-temurun kepada anak-anaknya dan kemudian keturunan-keturunannya. Hanya keturunan Harunlah yang berhak menjadi imam, sementara keturunan-keturunan Lewi lainnya menjadi pembantu para imam.

Ketiga, suksesi kepemimpinan tua-tua Israel dan para hakim. Tongkat kepemimpinan tua-tua Israel ditentukan berdasarkan wibawa dan pengaruh mereka atas umat. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari masing-masing suku dan diakui secara de facto maupun de jure oleh kaumnya. Sementara para hakim dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam mengadili. Demikianlah sistim teokrasi dipelihara pada zaman Musa hingga zaman Yosua.

Teokrasi Para Hakim

Salah satu hal yang membedakan Yosua dengan Musa adalah tidak adanya kader khusus yang disiapkan Yosua untuk menggantikan dirinya. Sebagai orang yang terlatih berperang, Yosua cenderung lebih aktif terlibat dalam peperangan dibandingkan Musa. Yosua banyak memimpin langsung pertempuran melawan orang-orang Kanaan. Ia juga kerap melibatkan langsung para imam dan tua-tua Israel dalam penaklukan Kanaan.

Ketika Yosua wafat, orang-orang Israel telah menetap di Tanah Kanaan dan tersebar ke seluruh wilayah Kanaan menurut tanah yang sudah dibagikan Yosua. Artinya, situasi yang dihadapi oleh generasi Yosua dan generasi setelahnya adalah situasi yang jauh berbeda dengan situasi yang dihadapi Musa. Pada zaman Musa, bangsa Israel adalah bangsa pengembara yang sedang menuju ke Tanah Perjanjian. Di zaman Yosua, bangsa itu mulai menjadi bangsa penetap yang mendiami tanahnya masing-masing (Yosua 24:28; Hakim-hakim 2:6).

Setelah Yosua wafat, orang-orang Israel mulai hidup berdasarkan suku-sukunya (Hakim-hakim 1:1, 2). Dalam waktu-waktu tertentu mereka saling membantu menghadapi orang-orang Kanaan (Hakim-hakim 1:3), tetapi mereka tidak dipimpin oleh satu tokoh lagi seperti Musa dan Yosua. Masing-masing suku hidup di bawah pimpinan tua-tuanya (Yosua 24:31; Hakim-hakim 2:7). Peranan para imam berkurang, terutama setelah wafatnya Eleazar (Yosua 24:33).

Setelah tua-tua Israel seangkatan Yosua wafat, suku-suku Israel dipimpin oleh tua-tua dari angkatan yang baru (Hakim-hakim 2:10), tetapi karena peranan imam yang semakin berkurang, bangsa itu mengalami kemerosotan dari segi keagamaan. Mereka pun mulai terlibat dalam bentuk-bentuk peribadatan Kanaan (Hakim-hakim 2:11-13).

Kemerosotan keberagamaan juga lebih dominan disebabkan karena tidak adanya kepemimpinan yang bersifat tetap dan menyatukan antar suku, sehingga setiap orang bertindak menurut pandangannya sendiri (Hakim-hakim 21:24, 25). Keadaan ini berlangsung cukup lama, sekitar 125 tahun antara 1150-1025 SM. Pada masa inilah Israel kehilangan bentuk konfederasinya dan mengalami krisis yang sangat parah. Mereka berkali-kali mendapatkan serangan dari suku-suku Kanaan yang tinggal di sekitar mereka. Serangan-serangan itu pun dilihat sebagai bentuk hukuman TUHAN atas dosa yang dilakukan oleh

bangsa itu (Hakim-hakim 2:14), sehingga setiap kali mereka maju berperang, mereka selalu mengalami kekalahan pahit (Hakim-hakim 2:15).

Namun, karena TUHAN Maha Pengasih, maka setiap kali bangsa itu mengalami kekalahan, TUHAN membangkitkan seorang pemimpin di tengah-tengah mereka. Pemimpin-pemimpin ini disebut shoftim (bentuk jamak dari kata shofet), dalam terjemahan LAI diterjemahkan “hakim-hakim.”

Hakim-hakim adalah jabatan yang ditetapkan Musa, sebagaimana pembahasan sebelumnya. Mereka menjadi kepala kaum yang dipilih oleh orang-orang Israel sendiri dari antara suku dan kaum mereka. Tetapi, setelah Yosua wafat, fungsi para hakim ini menjadi lebih luas, tak lagi sekedar menyelesaikan sengketa hukum, tetapi juga menjadi pemimpin militer. Umumnya mereka aktif ketika terjadi perang dan lebih cenderung bersifat lokal atau kesukuan ketimbang menjadi pemimpin atas seluruh Israel.

Ada banyak hakim di antara suku-suku Israel, sebagaimana ketetapan Musa, tetapi TUHAN memilih dan mengutus salah satu dari mereka dalam memimpin bangsa Israel melawan serangan-serangan Kanaan.

Kitab Hakim-hakim dan Samuel menyebutkan sejumlah nama hakim yang muncul memimpin bangsa Israel, seperti Otniel, Ehud, Samgar, Debora, Gideon, Tola, Yair, Yefta, Ibzan, Elon, Abdon, Simson, Eli dan Samuel, serta Yoel dan Abia (dua putra Samuel). Model kepemimpinan mereka adalah kepemimpinan yang bersifat spontan, yang muncul sebagai penyelesai masalah yang dihadapi Israel. Sementara, modal kepemimpinan mereka adalah kharisma dan keberanian, yang menjadikan mereka sebagai pahlawan yang memimpin.

Mereka kerap harus berjuang sendiri pada awalnya dan menghadapi penolakan-penolakan dari suku-suku Israel. Alhasil, meskipun mereka dikatakan sebagai orang-orang pilihan dan utusan TUHAN, tetapi mereka harus membuktikan diri mereka supaya mendapatkan legitimasi kepemimpinan.

Tua-tua Israel tetap memegang peranan penting pada masa para hakim. Dukungan mereka terhadap seorang hakim menentukan dukungan dari seluruh umat. Sementara, peranan para imam tidak banyak. Mereka hanya fokus pada persoalan keagamaan, tetapi wibawa mereka kurang dihargai, sehingga umat dengan mudah terpengaruh dengan agama-agama asing di sekitar mereka.

Para hakim sendiri memimpin sepanjang masa hidup mereka (Hakim-hakim 3:11; 4:1; dst), tetapi kekuasaan mereka terbatas, kecuali pada masa Gideon dan Samuel. Gideon adalah hakim yang sangat sukses, sehingga orang-orang Israel bermaksud memberi dia kuasa yang lebih untuk memerintah mereka, bahkan kekuasaan itu dijanjikan akan turun-temurun (Hakim-hakim 8:22), tetapi hal itu ditolak oleh Gideon (Hakim-hakim 8:23).

Sementara, Samuel adalah seorang hakim yang sangat berkharisma, apalagi dia adalah seorang nabi (1Samuel 3:20) dan imam pengganti Lewi (1Samuel 13:13). Pada masa kepemimpinan Samuel, Israel mulai kembali ke bentuk konfederasi yang stabil, sehingga Samuel berusaha untuk mempertahankan kesatuan itu dengan mewariskan jabatan hakimnya kepada anak-anaknya (1Samuel 8:1).

Model suksesi para hakim tetaplah mengikuti apa yang ditetapkan Musa. Mereka dipilih oleh suku dan kaum mereka sebagai hakim untuk membantu menyelesaikan perkara-perkara hukum. Dalam hal fungsi kepemimpinan yang lebih tinggi, seperti pada zaman Musa dan Yosua, para hakim ini tidak memiliki ketetapan resmi, sehingga kepemimpinan mereka hanyalah bersifat menjawab kebutuhan semata. Ketika mereka wafat, orang-orang Israel tidak segera mengangkat pengganti.

Teokrasi Monarki

Monarki Israel muncul sebagai dampak dari keadaan darurat militer ketika terjadi serangan dari orang-orang Filistin, yang merupakan bagian dari upaya unjuk kekuatan militer mereka. Dalam teologi Hakim-hakim, keberadaan raja hanyalah bersifat memenuhi kebutuhan karena peliknya situasi (Hakim-hakim 17:6; 18:1; 19:1 dan 21:25). Meskipun ini mengindikasikan bahwa monarki adalah sistim yang diharapkan mampu mengatasi kemerosotan umat pada waktu itu.

Pada zaman Samuel, gagasan monarki tidak muncul di masa kepemimpinannya, baik dari dirinya maupun dari bangsa Israel. Uniknya, ketika Samuel menjadi tua, ia justru menurunkan jabatan hakim kepada anak-anaknya, Yoel dan Abia (1Samuel 8:1). Ini adalah bentuk yang tidak lazim di kalangan para hakim untuk menurunkan jabatan kepada anaknya.

Ketika anak-anak Samuel tidak mampu menjadi pemimpin teladan, karena sikap mereka yang mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan (1Samuel 8:3), maka muncul gagasan dari umat Israel untuk segera mengangkat raja untuk “memerintah” Israel (1Samuel 8:5).

Menurut Walter C. Kaiser, permintaan raja oleh bangsa Israel kepada Samuel dinilai sebagai upaya mendahului “waktu TUHAN.” Ketika Samuel sudah tua dan anak-anaknya memiliki moral yang buruk (1Samuel 8:1-3), maka orang-orang Israel mulai kuatir dengan kesatuan mereka. Mereka pun segera menuntut Samuel untuk melantik raja bagi mereka. Mereka tidak yakin jika terus dipimpin oleh Samuel yang sudah tua atau oleh anak-anaknya yang korup. Tetapi, sikap bangsa Israel itu dipandang sebagai bentuk penolakan terhadap pemerintahan TUHAN (1Samuel 8:7; 10:19).

Di sini kita membaca ketegasan pembelaan terhadap orang-orang “yang diurapi” TUHAN. Perlawanan dan penolakan terhadap  Samuel adalah bentuk perlawanan dan penolakan terhadap TUHAN. Hanya TUHAN yang memiliki otoritas untuk mengangkat ataupun menggantikan “wakil-NYA.”

Permohonan bangsa itu pun mendapatkan perlawanan dari Samuel maupun dari TUHAN. Namun, sikap Samuel di sini bukanlah menentang konsep raja, melainkan menolak motif bangsa itu untuk memiliki raja. Motif bangsa itu adalah supaya mereka “sama seperti bangsa-bangsa lain yang memiliki raja” (1Samuel 8:5, 20). Bangsa itu ingin mengadopsi mentah-mentah sistim monarki yang digunakan bangsa-bangsa lain. Ini berarti mereka tidak bisa secara kreatif membentuk sistim pemerintahan yang khas.

Meski tidak direstui Samuel, TUHAN tetap mengangkat raja atas bangsa itu dengan tujuan untuk “menyelamatkan” umat-NYA (1Samuel 9:16). Saul pun diurapi TUHAN sebagai mashiakh (Mesias) (1Samuel 12:3). TUHAN menyertai kepemimpinannya, ia mengalahkan

bangsa-bangsa yang melawan Israel (1Samuel 14:47), membasmi para pemanggil arwah dan peramal (1Samuel 28:9), serta menghormati hukum Lewi (1Samuel 14:34).

Menurut Patrick Fairbairn, diangkatnya Saul menjadi raja semata-mata karena TUHAN ingin memberikan raja kepada Israel sesuai dengan syarat-syarat duniawi mereka. Sebab, dia adalah raja yang diminta, bukan raja yang dijanjikan TUHAN. Memang dia adalah raja yang “dipilih” dan “diurapi” TUHAN (1Samuel 9:16; 10:1, 24; 12:13), tetapi TUHAN membiarkan pilihan itu jatuh pertama-tama kepada seorang yang melambangkan kegagahan dan hikmat duniawi dari bangsa itu.

Hans-Jochen Boecker menjelaskan bahwa 1Samuel 8 dan 12 bukanlah suatu narasi penolakan terhadap kerajaan, melainkan merupakan penegasan tema kitab Samuel bahwa konsep kerajaan haruslah diterima sebagai suatu lembaga yang dari TUHAN, dan lembaga itu haruslah bersyarat, yaitu melambangkan pemerintahan TUHAN itu sendiri. Kerajaan tidak bisa berjalan menurut kehendak manusia, tetapi harus menurut rancangan TUHAN.

Sebenarnya TUHAN akan mengokohkan kerajaan Saul untuk selama-lamanya, tetapi karena Saul telah menolak firman TUHAN, maka akhirnya Saul ditolak (1Samuel 13:13 band. 15:11,23,26), dan setelah Saul ditolak, TUHAN mencari “seorang yang berkenan di hati-NYA” (1Samuel 13:14).

Sebagai pengganti Saul, TUHAN memilih Daud putra Isai, seorang keturunan Yehuda. Daud pun diurapi oleh Samuel. Pengurapan Samuel menandai berkuasanya Roh TUHAN atas Daud (1Samuel 16:13). Sementara, Roh TUHAN yang ada pada Saul telah mundur dan digantikan oleh “roh jahat”, yang juga dari TUHAN.

Dalam ibadah Yahudi, minyak urapan merupakan simbol dari Roh TUHAN. Demikian juga dalam pengurapan raja, minyak merupakan simbol bahwa Roh TUHAN berkuasa atas sang raja. Di sini kita melihat adanya konsep karunia memerintah yang berasal dari Roh TUHAN. Jadi, ketika Saul tidak mendengarkan Firman TUHAN, maka ia telah kehilangan karunia memerintah. Ia lebih tunduk pada perhitungan pikirannya, ketimbang mengikuti kehendak TUHAN.

Setelah diurapi oleh Samuel, Daud kemudian diurapi oleh orang-orang Yehuda menjadi raja atas mereka (2Samuel 2:4), lalu akhirnya diurapi oleh tua-tua Israel menjadi raja atas seluruh Israel (2Samuel 5:3).

Daud disebut mashiakh sebanyak 10 kali, sama seperti Saul. Mashiakh kemudian menjadi gelar eksklusif yang diberikan kepada raja yang diurapi. Meskipun, gelar ini pernah juga digunakan kepada para leluhur Israel (Mazmur 105:15) dan kepada Raja Koresh (Yesaya 45:1 band. 1Raja-raja 19:15).

Sejak dikenakan kepada Daud, gelar mashiakh menjadi agung, karena berbicara tentang “raja yang dijanjikan,” yaitu raja yang berasal dari keturunan Daud, yang akan datang untuk menyempurnakan kerajaan TUHAN. Dialah yang akan mengokohkan tahta Daud untuk selama-lamanya, dan inilah yang kemudian menjadi pusat penantian umat Perjanjian Lama, dari generasi ke generasi.

Dari pembahasan di atas, kita menemukan satu garis penting yang menghubungkan banyak narasi dalam Perjanjian Lama, yaitu konsep “perjanjian kekal” (band. 2Samuel 23:5; Mazmur

89:4,5). Setidaknya, kita menemukan konsep ini kepada Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Musa, dan sekarang kepada Daud.

Masing-masing perjanjian memiliki karakteristiknya. Kepada Nuh, dijanjikan mengenai pemeliharaan TUHAN atas ciptaan-NYA. IA tidak akan mendatangkan lagi bencana yang mengakibatkan kehancuran semua manusia.

Kepada Abraham dijanjikan suatu keturunan dan bangsa yang besar. Janji ini dipertahankan kepada Ishak dan Yakub. Kepada Musa, TUHAN menjanjikan tanah atau negeri, dimana orang-orang Israel akan hidup dan menggenapi apa yang sudah dijanjikan kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Kini, kepada Daud, dijanjikan mengenai pemerintahan yang kekal.

Kunci pemerintahan kekal Daud dapat ditelusuri dari: 2Samuel 7 (lihat juga 1Tawarikh 17) dan Mazmur 89. Ada tiga kunci penting di sini: Pertama, Konsep Bayith. Kata bayith memiliki arti yang luas dalam Perjanjian Lama. Dalam hubungannya dengan Daud, ada dua hal penting yang berkaitan dengan bayith, yaitu “keturunan” (2Samuel 7:11) dan “Bait Suci” (2Samuel 7:13).

Dalam masyarakat Timur Dekat kuno, pendirian “kuil” atau “bait suci” (bayith) erat kaitannya dengan pembentukan sebuah kerajaan. Namun, di sini Daud harus menunggu “keturunan” (bayith)-nya, sebab dia tidak diizinkan mendirikan “Bait Suci.”

Jadi, untuk mendirikan “Bait Suci,” Daud pertama-tama harus membangun “keturunan” (bayith). Pemerintahan kekal Daud akan menjadi nyata bukan melalui bangunan “Bait Suci” tetapi justru melalui “keturunan”-nya.

Inilah perbedaannya kerajaan yang didirikan manusia dengan kerajaan yang dibangun oleh TUHAN. Kuncinya ada pada ay. 16 “keluarga (bayith) dan kerajaan-mu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-KU, tahtamu akan kokoh untuk selama-lamanya.”

Kedua, Konsep Mamlakha atau “kerajaan.” Janji tentang “kerajaan” (mamlakha) Israel sudah ada sejak dalam Taurat (band. Keluaran 19:6; Bilangan 24:7), dimana Israel akan dipimpin oleh “raja-raja” (Kejadian 17:6, 16; 35:11 band. 36:31) dan akan memiliki “kekuasaan” (Bilangan 24:19).

Janji itu telah digenapi, dimana TUHAN memberikan kerajaan itu kepada Daud dan keluarganya (2Samuel 7:23, 24, 26, 27). Namun, bukan berarti bahwa kekuasaan atau pemerintahan TUHAN telah berakhir. Justru, melalui tahta Daudlah, pemerintahan TUHAN ditegakkan. Karena itu, tahta Daud disebut “tahta pemerintahan TUHAN” (1Tawarikh 28:5), itulah “kerajaan TUHAN” (2Tawarikh 13:8), dimana rajanya disebut “raja untuk TUHAN” (2Tawarikh 9:8).

Ketiga, Konsep Ben-Elohim (Anak TUHAN atau Putra TUHAN). Dalam 2Sam. 7:14 kita menemukan suatu pernyataan yang khas: ani ehye-lō le’av wehu’ yihye-li leven (AKU akan menjadi BAPA-nya, dan ia akan menjadi Anak-KU).

Dalam tradisi-tradisi Timur Dekat kuno, para raja memang disebut “anak dewa” (band. di Mesir disebut “putra Ra”). Mereka dianggap sebagai jelmaan dewa. Tetapi, tidak begitu dengan sebutan ben-Elohim kepada Daud dan keturunannya. Sebutan ini lebih untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya TUHAN-lah yang memerintah atas Israel.

Model monarki Israel pun memang jelas berbeda dengan model monarki bangsa-bangsa di sekitar mereka. Sebab, meskipun seorang raja diberi wewenang kekuasaan yang tertinggi, tetapi TUHAN menempatkan pengawas sekaligus penasihat bagi sang raja. Merekalah yang disebut “nabi.”

Jabatan nabi memang sudah ada sejak zaman Musa, bahkan Musa sendiri adalah seorang nabi (Ulangan 34:10). Tetapi, peranan kenabian tidak sedominan peranan nabi pada zaman Samuel. Bahkan secara tradisi, Samuel dianggap sebagai yang pertama di antara para nabi (Kisah Para Rasul 3:24), sebab pada zaman Samuellah fungsi nabi itu benar-benar tegas sebagai “tangan TUHAN” untuk menegur raja dan umat Israel.

Dalam sejarah monarki Israel, nabi-nabi memiliki peranan penting dalam mengarahkan kebijakan raja. Mereka memiliki kuasa untuk menegur bahkan mengganti seorang raja, seperti dalam kasus Saul (1Samuel 15:23). Bahkan, ketika ketetapan bahwa keturunan Daud adalah pewaris tahta raja, seorang nabi dapat menolak keturunan Daud (2Samuel 12:14).

Pada zaman monarki, peranan imam tidak digantikan. Wewenang mereka sakral, sehingga seorang raja tidak bisa mengambil alih tugas mereka. Kasus yang dicatat dalam Alkitab misalnya yang dilakukan oleh Saul. Karena Samuel, yang adalah imam, terlambat datang, maka Saul mengambil alih tugas keimamatan Samuel hanya karena tuntutan umat dan kekuatiran (1Samuel 13:8-12). Tindakan Saul itu dikecam Samuel, sehingga kerajaan Saul yang seharusnya kokoh selama-lamanya, akhirnya dicabut (1Samuel 13:13, 14).

Peranan tua-tua Israel juga sangat penting. Untuk menjadi seorang raja, dibutuhkan restu dan urapan dari tua-tua Israel (2Samuel 5:3). Keputusan raja juga biasanya harus mendapat dukungan dari tua-tua Israel (2Samuel 17:4), bahkan mereka sering berperan sebagai penasihat bagi raja (1Raja-raja 12:6). Mengabaikan nasihat tua-tua Israel dianggap mengabaikan suara rakyat, sebab mereka adalah wakil rakyat (1Raja-raja 12:13-15). Kehadiran mereka sangatlah penting dalam berbagai upacara kerajaan maupun keagamaan (1Raja-raja 8:3).

Selain tua-tua Israel, para hakim juga tetap menjalankan tugas sebagaimana ketetapan Musa. Hanya saja, pada zaman raja-raja, para hakim diangkat langsung oleh raja dan tunduk para perintah raja (1Tawarikh 26:29; 2Tawarikh 1:2; 19:5).

Dengan demikian, pada zaman monarki pun, kekuasaan dibagi berdasarkan fungsi. Nabi menjalankan fungsi pengawasan, raja menjalankan fungsi pemerintahan, para imam menjalankan fungsi keagamaan, para hakim menjalankan fungsi penegakan hukum dan tua-tua Israel menjalankan fungsi perwakilan rakyat.

Meskipun sistim monarki menjadi sistim terakhir dalam Perjanjian Lama, tetapi sistim ini pun pada akhirnya gagal dan membawa Israel pada masa pembuangan di Babel. Pada masa pembuangan, peranan utama diambil alih oleh para nabi, yang lebih dominan menjalankan fungsi sebagai pengkhotbah.

Dari perjalanan sejarah umat Israel dapatlah ditarik pesan penting dalam teokrasi TUHAN, yaitu: Pertama, TUHAN-lah yang memerintah. Ia memilih, mengangkat dan mengutus orang-orang sebagai wakil untuk menjalankan pemerintahan yang saling mengontrol, bukan memberikan suatu kuasa mutlak kepada satu kedudukan tertentu.

Kedua, TUHAN menghendaki suatu bentuk pemerintahan yang sesuai dengan kehendak-NYA, bukan sekedar meniru bentuk-bentuk yang ada di sekitar Israel. TUHAN menegur Israel ketika mereka ingin memiliki raja hanya karena motivasi ingin sama seperti bangsa-bangsa lain.

Ketiga, tidak ada satu sistim mutlak untuk diterapkan. TUHAN berkarya melalui beragam sistim dalam sejarah, tetapi yang terutama dari setiap sistim itu adalah pembagian kekuasaan dan wewenang yang jelas, dimana tidak ada yang satu mencuri wewenang yang lain.

Keempat, setiap pemimpin dipilih untuk memimpin umat kepada keselamatan dan ketundukan kepada TUHAN. Para pemimpin digambarkan sebagai gembala yang menggembalakan kawanan domba TUHAN, sedangkan umat digambarkan sebagai domba-domba yang dituntun dan diberi makan oleh sang gembala. Karena itu, para pemimpin yang tamak, yang memperlakukan umat sebagai sapi perahan, disingkirkan TUHAN dari tengah-tengah bangsa itu. Demikian juga mereka yang haus akan kekuasaan.

Selengkapnya di: http://www.perisai.net/ensiklopedi/12_teokrasi/#ixzz2ArUIlc8F © PERISAI.net

\

A. Teokrasi

a. Pengertian Teokrasi

Teokrasi berasal dari bahasa Yunani theo yang berarti tuhan dan cratein yang berarti pemerintahan. Secara sederhana, teokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh tuhan.. Secara epistemologi, teokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh seseorang dengan mengatasnamakan tuhan. Dalam teokrasi, kedaulatan tertinggi bersifat mutlak dan suci karena kedaulatan tertinggi berada di tangan tuhan dan pemimpinnya mengklaim dirinya “mendapatkan kekuasaan dari tuhan”. Teokrasi muncul pertama kali di daratan eropa pada abad pertengahan (medieval age) yang dipelopori oleh seorang kaisar romawi bernama Augustinus. Pada akhir abad ke enam, gereja romawi mulai mengorganisasikan institusi kepausannya di bawah komando paus Gregory I yang dikenal sebagai “the Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan (papacy’s power).

b. Kelemahan Sistem TeokrasiDalam satu sisi, teokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang sangat baik, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan tuhan. Tuhan, sebagai zat yang maha tinggi tidak mungkin berbuat suatu kesalah layajnya manusia. Namun di sisi lain, pemerintah kerap melakukan legitimasi atas kebijakannya yang menyengsarakan rakyat banyak dengan mengatasnamakan tuhan. Hal ini terjadi di daratan eropa pada abad pertengahan, di mana gereja mengatasnamakan tuhan tuhan dalam mempertahankan “ideologi ketuhanan” mereka yang banyak merugikan orang banyak. Mereka menganggap orang yang tidak sepaham dengan “ideology ketuhanan” mereka sebagai kaum heretics (kafir). Mereka melakukan penyiksaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan besar-besaran pada orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Dari sinilah lahir istilah Inquisisi yang menggambarkan kejahatan dan kekejaman gereja secara jelas.

Teori asal Teokrasi

Teori teokrasi ini mengatakan bahwa memang sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa suatu negara itu timbul/muncul. Artinya, suatu negara dapat muncul hanya oleh adanya kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Tanpa adanya kehendak Tuhan, negara tidak akan terbentuk.

Teokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang berdasarkan agama/ ketuhanan. Teokrasi erat kaitannya dengan prinsip ketuhanan yang dijadikan suatu sumber atau pedoman bagi pemerintahan suatu negara. Dalam pemerintahan teokrasi juga hukum yang digunakan dalam pemerintahan di negara yang bersangkutan adalah hukum agama. Jika dalam pemerintahan Islam, maka hukum yang digunakan adalah hukum Islam. Konsep teokrasi dalam Islam sering juga disamakan dengan kekhalifahan. Namun, mengingat kekhalifahan dalam Islam sudah tidak ada, bukan berarti negara teokrasi Islam sudah idak ada pula. Negara-negara yang menerapkan hukum Islam dalam konstitusi perundang-undangannya pun bisa disebut negara teokrasi Islam. Di dalam negara teokrasi Islam, penerapan hukum Islam ditegakkan dengan benar sehingga siapapun yang melanggar akan dihukum sesuai dengan pelanggaran yang dlakukannya.

Sudah jelas negara-negara teokrasi menganggap bahwa Tuhan itu ada. Negara-negara yang menganut teokrasi bisa dikatakan sebagian besar masyarakatnya bersifat religius. Ini berbeda dengan negara-negara sekuler dimana banyak warga negaranya yang atheis dan kalaupun beragama tidak terlalu taat dalam melakukan ibadah.