Tentara Pelajar SKRIPSI

download Tentara Pelajar SKRIPSI

If you can't read please download the document

Transcript of Tentara Pelajar SKRIPSI

PERANAN TENTARA PELAJAR SOLO PADA MARKAS MEDAN TENGGARA (MMTG) DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN RI DI SEMARANG DAN SEKITARNYA TAHUN 1945-1949

SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Universitas Negeri Semarang

Oleh Bahtiar Rifai NIM 3101403010

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing pada : Hari Tanggal : :

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Wasino M.Hum NIP.132813678

Drs. IM. Jimmy De Rossal M.Pd NIP. 131475607

Mengetahui : Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman M.Hum NIP. 131764053.

ii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan Sidang Panitia Ujian Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :Hari Tanggal : Rabu : 29 Agustus 2007

Penguji Skripsi

Drs. NIP.

Anggota I

Anggota II

Prof. Dr. Wasino M.Hum M.Pd NIP.132813678

Drs. IM. Jimmy De Rossal

NIP. 131475607

Mengetahui : Dekan,

Drs. Sunardi, M.M NIP

iii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar karya saya sendiri, Bukan jiplakan dari karya tulis lain baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang,

Agustus 2007

Bahtiar Rifai NIM. 3101403010

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Rahasia kesuksesan adalah dedikasi, kerja keras dan pengabdian terhadap mimpi-mimpi kita(Frank Lioyd Wright)

Skripsi ini kupersembahkan untuk: 1. Bapak dan Ibu tercinta. 2. Calon Istriku, Kakak dan adik yang telah membantuku 3. Prof. Dr. Wasino M.Hum dan Drs. Jimmy De Rossal M.Pd yang dengan sabar membimbing penulisan skripsi ini. 4. Para Veteran yang telah berjuang 5. Teman-teman seperjuangan.

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kekuatan lahir dan batin pada penulis sehingga skripsi dengan judul Peranan Tentara Pelajar Solo Pada Markas Medan Tenggara (MMTG) Dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang dan Sekitarnya Tahun 1945-1949 dapat selesai dengan lancar. Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata, melainkan juga berkat bantuan bebagai pihak, oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Sudjono Sastroatmojo, SH, M.M, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin kuliah dan segala fasilitasnya. 2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian. 3. Drs. Jayusman, M.Hum., Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kemudahan administrasi. 4. Prof. Dr. Wasino M.Hum., Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.vi

5. Drs. IM. Jimmy De Rossal M.Pd., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Kepala Dinas Pembinaan Mental KODAM IV Diponegoro yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 7. Bapak-ibu Veteran Tentara Pelajar sebagai pelaku sejarah. 8. Bapak-Ibu dosen Pendidikan Sejarah yang telah memberikan Ilmu 9. Teman-teman seperjuangan. 10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik materiil maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua.

Semarang, Agustus 2007

Penulis

vii

SARI

Bahtiar Rifai. 2007. Peranan Tentara Pelajar Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG) Dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang Tahun 1945-1949. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. 121 h. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Wasino M.Hum dan Drs IM. Jimmy De Rossal M.Pd. Kata Kunci : Peranan, Tentara Pelajar Kemerdekaan, Markas Medan Tenggara. Solo, Mempertahankan

Bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun Bangsa Indonesia masih harus mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan kembali Bangsa Belanda. Pertempuran banyak terjadi diberbagai daerah ketika Belanda (NICA) datang kembali ke Indonesia. Pertempuran melawan Belanda juga terjadi di Semarang yang kemudian mendorong semangat Pemuda Pelajar Solo yang tergabung dalam Organisasi Tentara Pelajar Solo turut berjuang secara langsung dalam menghadapi kaum penjajah. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah proses pembentukan dan perkembangan organisasi Tentara Pelajar Solo?, (2) Bagaimanakah fungsi Markas Medan Tenggara (MMTG) ? dan (3) Bagaimanakah peranan Tentara Pelajar Solo pada MMTG dalam mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang dan sekitarnya tahun 1945-1949?. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui pembentukan dan perkembangan Tentara Pelajar Solo. (2) Untuk mengetahui fungsi Markas Medan Tenggara (MMTG). (3) Untuk mengetahui Peranan Tentara Pelajar Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang tahun1945-1949. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah yang meliputi langkah-langkah kegiatan Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Historiografi. Melihat kenyataan bahwa banyak sekali para Pemuda Pelajar Solo terjun langsung dalam front pertempuran maka dibentuklah organisasi Tentara Pelajar Solo yang sebagian anggotanya berasal dari Laskar-laskar Pelajar Solo seperti Laskar Kere, Laskar Pandawa, Barisan IPI dan badan kelaskaran lainnya. MMTG sebagai salah satu markas medan yang dipergunakan untuk mengepung Semarang yang diduduki kaum penjajah mampu menjadi benteng yang tangguh dalam menghadapi agresi militer Belanda sekaligus sebagai tempat penyusupan ke Semarang oleh Tentara Pelajar dan TNI. Tentara Pelajar Solo mampu memberi kontribusi yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran Tentara Pelajar Solo pada MMTG diawali dalam pertempuran awal pasca proklamasi di Semarang. Selanjutnya pada Perang Kemerdekaan I Tentara Pelajar Solo menggunakan viii

MMTG sebagai medan untuk menahan laju Agresi Militer Belanda I.Pada Perang Kemerdekaan II wilayah MMTG yang telah diduduki Belanda berfungsi kembali sebagai tempat penyusupan ke Semarang yang dilakukan anggota Tentara Pelajar. Tentara Pelajar Solo juga memiliki peran besar sebagai pasukan Garnisun di Semarang yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta menerima serah terima dari pasukan Belanda menjelang penyerahan kedaulatan RI. Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali hambatan-hambatan yang ditemui. Diantaranya dalam mendapatkan sumber-sumber terutama sumber lisan yang disebabkan banyaknya pelaku sejarah yang telah meninggal dunia.

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. iii PERNYATAAN.................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................... vi SARI...................................................................................................... viii DAFTAR ISI......................................................................................... x DAFTAR SINGKATAN ...................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1 B. Permasalahan .................................................................... 6 C. Penjelasan Konsep ............................................................ 7 D. Tujuan Penelitian .............................................................. 8 E. Manfaat Penelitian ............................................................ 9 F. Ruang Lingkup Penelitian................................................. 9 G. Kajian Pustaka................................................................... 10 H. Metode Penelitian ............................................................. 15 I. Sistematika Skripsi............................................................ 20 BAB II SEMARANG DI SEKITAR REVOLUSI KEMERDEKAAN.................................................................. A. Semarang Pasca Proklamasi............................................. 1. Kedaan Politik.............................................................. 2. Keadaan Ekonomi ........................................................ 3. Keadaan Sosial Budaya................................................ B. Awal Perang Kemerdekaan di Semarang......................... 1. Pertempuran Lima Hari di Semarang........................... 2. Palagan Ambarawa ...................................................... C. Markas Medan Tenggara.................................................. 1. Pembentukan Markas Medan Tenggara ...................... 2. Fungsi Markas Medan Tenggara.................................. 3. Interaksi TP Solo dengan pejuang lainnya di MMTG . BAB III PEMBENTUKAN TENTARA PELAJAR SOLO ................ A. Sejarah Terbentuknya Tentara Pelajar ............................. 43 B. Terbentuknya Organisasi Tentara Pelajar Solo................ C. Perkembangan Tentara Pelajar Solo ................................

22 22 22 24 27 29 29 32 35 35 37 39 43 48 53

x

BAB IV PERANAN TENTARA PELAJAR SOLO PADA MARKAS MEDAN TENGGARA (MMTG) DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN RI DI SEMARANG DAN SEKITARNYA ............................................................................. A. Peranan TP Solo pada MMTG dalam Pertempuran Awal di Semarang................................................................................ B. Peranan TP Solo pada MMTG dalam Perang Kemerdekaan I .............................................................................................. C. Peranan TP Solo pada MMTG dalam Perang Kemerdekaan II ............................................................................................. D. Peranan TP Solo Sebagai Garnisun di Semarang .................. E. Demobilisasi TP Solo............................................................. BAB V PENUTUP.................................................................................... Simpulan ..................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN................................................................................................

57 57 65 73 82 85 89 89 92 94

xi

DAFTAR SINGKATAN

AFNEI AMACAB AMRI APWI BKR CSA GASEMSE GSMS HBS IPI JPO KMB KMK KNI KNIL KOPEX KTN KST LJC MMB MMS MMT MMTG MOBPEL NICA

= Allied Forces for Netherlands East Indies (Angkatan Perang Sekutu Hindia Timur). = Allied Military Administration Civil Affair Branch. = Angakatan Muda Republik Indonesia. = Allied Prisoners and War Internees. = Badan Keamanan Rakyat. = Corps Students Army = = Gabungan Sekolah Menengah Semarang Gabungan Sekolah Menengah Surakarta

= Hogere Burger School (Sekolah Menengah untuk Warga Belanda). = Ikatan Pelajar Indonesia. = Javaanese Pandveiner Organizatie (Organisasi Kepanduan Jawa). = Komisi Meja Bundar = Komandan Militer Kota. = Komite Nasional Indonesia = Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). = Komandan Komando Penyelesaian eks Brigade XVII = Komisi Tiga Negara = Koprs Speciale Troepen (Pasukan Penyerang Istimewa Kerajaan Belanda) = Local Joint Committee = Markas Medan Barat. = Markas Medan Selatan. = Markas Medan Timur. = Markas Medan Tenggara. = Mobilisasi Pelajar = Netherland Indische Civil Administration (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

xii

PPM RAPWI RECOMBA SA STOVIA TGP TKR TNI TP

= Perkumpulan Pandu Melayu = Recovery Allied Prisoners and War Internees. = Regeringsadviseur voor Bestuursaangelegenheden (Komisaris Pemerinah untuk masalah-masalah Pemerintahan). = Sturm Abteilung. = School Ter Opleiding Van Inlandshe Arsten. = Tentara Geni Pelajar. = Tentara Keamanan Rakyat. = Tentara Nasional Indonesia. = Tentara Pelajar

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Lampiran II

Maklumat Mr. Wongsonegoro dan berita proklamasi di Semarang Lambang Tentara Pelajar (TP) dan bagan perkembangannya

Lampiran III Foto pelaku sejarah dan tempat bersejarah di MMTG Lampiran IV Peta Agresi Militer Belanda dan MMTG Lampiran V Surat keterangan ijin penelitian

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemerintah Jepang melalui Kaisar Hirohito menyatakan menyerah secara resmi dan takluk kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 setelah sebelumnya Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima tanggal 5 Agustus dan Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945. Pernyataan Jepang tersebut menandai secara resmi berakhir pula penjajahan Jepang atas Indonesia, namun secara nyata hal ini masih harus diperjuangkan oleh Bangsa Indonesia. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh Soekarno-Hatta dan para pemuda dengan tidak lagi meminta kemerdekaan dari Jepang, tetapi memaksa merebut kemerdekaan atas tanggung jawab sendiri dan atas nama Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (Soedarwo dkk. 2005:6-7). Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan babak baru, karena sejak saat itu Bangsa Indonesia memasuki era baru yaitu mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Kenyataan ini membangkitkan semangat para pemuda untuk mengambil alih kekuasaan yang masih berada ditangan Jepang. Pemimpin-pemimpin Bangsa Indonesia sendiri, sejak zaman penjajahan Belanda sudah berjuang membangkitkan semangat kemerdekaan. Pada masa pendudukan Tentara Jepang walaupun usaha-usaha demikian ditindas dan dirintangi mereka tetap gigih melakukan perjuangan (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. 1977: 244).

1

2

Para pelajar dan mahasiswa khususnya dan para pemuda Indonesia pada umumnya mulai mengatur rencana kerja untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Salah satu tugas yang penting adalah menggerakkan dan mengorganisir para pelajar, sehingga bila sewaktu-waktu dibutuhkan mudah dikumpulkan. Para pelajar sekolah menengah bergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia dan para mahasiswa dalam Serikat Pelajar-Pelajar Indonesia. Semarang dan sekitarnya seperti daerah-daerah lain di Jawa Tengah, pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang juga dipelopori oleh para pemuda. Pengambilalihan kekuasaan tersebut tidak berjalan mulus sesuai keinginan Pemuda bahkan melatarbelakangi terjadinya pertempuran Lima hari di Semarang. Jepang memberi ultimatum kepada pemuda Indonesia untuk menyerahkan senjata yang dirampasnya. Ultimatum tersebut tidak dihiraukan oleh pemuda, maka pada tanggal 14 Agustus 1945 Kido Butai menyerbu dan mengepung kedudukan para pemuda dan membunuh secara membabi buta. Situasi demikian membuat para pemuda dan pelajar dari daerah lain seperti Purwokerto, Pati, Salatiga dan Solo berbondong-bondong berangkat ke Semarang untuk membantu perjuangan (Mukmin 1989:18) Ketika tentara Sekutu yang dikenal sebagai Allied Forces for Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Indonesia untuk menerima penyerahan Indonesia dari tangan Jepang, Panglima pasukan Sekutu untuk Indonesia Letnan Jendral Sir Philip Christison telah menyaksikan berdirinya suatu negara Republik Indonesia yang merdeka. Keadaan tersebut membuat

3

Sir Jendral Philip Christison memberikan pernyataan yang dipandang sebagai pengakuan secara de facto (resmi) terhadap pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945 (Budi Utomo 1995:222). Ternyata kedatangan Sekutu ini diboncengi oleh Netherland Indische Civil Administration (NICA) yang akan menegakkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Keadaan demikian menyadarkan para pemuda khususnya pelajar yang telah banyak mendapatkan dasar kemiliteran pada masa pendudukan Jepang untuk tampil ke depan sebagai pelopor dalam setiap perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tentara Sekutu mendarat di pelabuhan Semarang tanggal 19 Oktober 1945 dipimpin oleh Brigjend Bethell. Pada tanggal 21 Oktober terjadi perundingan antara pimpinan tentara Sekutu dengan Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro. Dalam perundingan itu ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi tentara Sekutu yaitu: Orang-orang Indonesia yang ditahan Jepang harus segera di bebaskan, Tentara Jepang akan dilucuti oleh tentara Sekutu, Tentara sekutu tidak akan mencampuri urusan pemerintahan Indonesia, Keamanan daerah akan dilaksanakan oleh Polisi Indonesia (Syamsuar 1993:20). Ulah NICA yang membuat kekacauan-kekacauan di daerah-daerah yang didatangi Sekutu dengan mempersenjatai para interniran, menyebabkan hasil perundingan tersebut tidak berarti. Dalam pertempuran di Jawa Tengah, Sekutu mendapat perlawanan hebat dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-laskar rakyat. Setelah mengalami kekalahan di Magelang dan

4

Ambarawa, Sekutu mulai meninggalkan Ambarawa dan mundur melalui Bawen dan Ungaran terus menuju ke Semarang. Ketika sampai di Semarang tidak lagi terjadi pertempuran secara besar-besaran tetapi sifatnya hanya patroli-patroli saja. Ketika Sekutu sudah menyelesaikan tugasnya maka Kota Semarang diserahkan kepada Pasukan Belanda. Sejak bulan April 1944 pihak Belanda telah mempersiapkan pendudukan kembali di Indonesia. Pemerintah Belanda dan Inggris menyelenggarakan perundingan di London dan Kandy yang menghasilkan Civil Affair Agreement yang isinya pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda (Moedjanto 1991:96). Keberadaan Belanda di Indonesia tentu merupakan ancaman bagi Kemerdekaan RI yang baru saja berdiri. Selama periode 1945-1949 Pemuda Pelajar Solo rela mengorbankan jiwa dan raganya karena mereka memiliki motivasi yakni membela, mempertahankan dan menegakkan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Mereka sebagian besar melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekejaman tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia. Mereka bahkan rela berjuang dikota lain meninggalkan kotanya demi menjaga tegaknya Kemerdekaan RI. Situasi tersebut telah membawa konsekuensi bagi kelompok-kelompok pemuda dan Pelajar di Solo yang selanjutnya menggabungkan diri dalam laskar-laskar pelajar. Keberhasilan dalam melucuti senjata Jepang di Kota Solo, Mereka lanjutkan dengan menggabungkan diri ke Semarang. Mulailah kelompok-

5

kelompok Pelajar Solo ikut dalam pertempuran menggunakan hasil rampasan senjata-senjata Jepang tersebut. Mereka dan pasukan bantuan dari Yogyakarta dan Solo mencoba untuk masuk ke Kota Semarang melalui Srondol. Sebagian besar mereka memasuki Kota Semarang melalui Mranggen akibat terhambat di Srondol (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. 1977:172). Mranggen berfungsi sangat penting dalam upaya membebaskan Kota Semarang dari kekuatan kolonial yang menguasainya. Pasukan RI kemudian membagi daerah operasinya dalam beberapa sektor untuk mengepung Kota Semarang. Mranggen yang dijadikan salah satu markas dari sektor tenggara menjadi pusat pasukan bantuan dari Solo (Soemarmo 1985:61). Sektor tenggara selanjutnya lebih dikenal sebagai Markas Medan Tenggara (MMTG). Seusai pertempuran lima hari di Semarang dan menjelang pertempuran melawan tentara Inggris di Semarang dari Solo dikirim sejumlah senjata untuk membantu perjuangan para pemuda Semarang (Imran dan

Ariwiadi 1985 :88). Tampak bahwa persatuan dan kesatuan telah cukup kuat antara satu daerah dengan daerah lain. Perasaan senasib dan keinginan untuk hidup merdeka bersama-sama mendasari ikatan tersebut. Perjuangan para pelajar Solo di Semarang berlanjut dalam menghadapi Belanda yang berambisi untuk menguasai Indonesia kembali. Melihat gambaran tersebut nampak terjadi fenomena sejarah yang unik. Para pelajar Solo yang masih remaja dan berusia belasan tahun

6

didorong oleh hati nurani, mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air dari serangan penjajah yang lebih kuat

persenjataannya. Mereka meninggalkan bangku sekolah dan terjun langsung dalam pertempuran diluar kota tempat tinggalnya. Penelitian mengenai peristiwa yang terjadi di Semarang pasca proklamasi sampai pengakuan kedaulatan sudah cukup banyak. Namun mengenai penelitian yang membahas peran Tentara Pelajar yang berasal dari Solo dalam membantu dan bahu-membahu dengan pejuang-pejuang di Semarang dalam mempertahankan kemerdekaan RI masih cukup terbatas. Berdasar uraian diatas maka penulis akan mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi dengan judul Peranan Tentara Pelajar Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam

Mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang dan Sekitarnya Tahun 1945-1949.

B. PERMASALAHAN Memperhatikan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses pembentukan dan perkembangan organisasi Tentara Pelajar Solo? 2. Bagaimanakah fungsi Markas Medan Tenggara (MMTG) ?

7

3. Bagaimanakah Peranan Tentara Pelajar Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam mempertahankan kemerdekaan RI di Semarang dan sekitarnya?

C. PENJELASAN KONSEP 1. Peranan Peranan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:667) merupakan bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tiga (2002:884) dikemukakan bahwa peranan merupakan tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa. Jadi Peranan Tentara Pelajar ialah tindakan atau sumbangsih yang diberikan Tentara Pelajar dalam hal ini berjuang mempertahankan kemerdekaan RI 2. Tentara Pelajar Tentara adalah orang-orang yang berkewajiban untuk berperang sedangkan Pelajar adalah sebutan untuk anak-anak sekolah terutama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1993:931dan 13). Jadi Tentara Pelajar ialah anak-anak sekolah lanjutan yang turut ambil bagian dalam kewajiban berperang. 3. Markas Medan Tenggara Markas adalah tempat kedudukan pimpinan tentara dan berkumpulnya pasukan sedangkan medan adalah daerah pertempuran (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1993:560 daan 569). Jadi Markas Medan Tenggara ialah tempat

8

kedudukan dan berkumpulnya pasukan yang sekaligus menjadi sebuah medan pertempuran yang berada di sebelah tenggara Kota Semarang. 4. Mempertahankan Kemerdekaan. Mempertahankan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:883) merupakan usaha untuk menjaga atau melindungi supaya selamat. Jadi mempertahankan kemerdekaan adalah suatu usaha menjaga atau melindungi kemerdekaan yang telah dicapai supaya terselamatkan. Proklamasi yang dicetuskan 17 Agustus 1945 menuntut rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari penguasa asing Jepang yang kalah dan Belanda yang datang membonceng sekutu. Situasi ini menciptakan kondisi timbulnya gerakan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Konsep yang tersusun ialah Sumbangsih atau tindakan yang diberikan anak-anak sekolah lanjutan yang turut serta kewajiban berperang pada tempat berkumpulnya pasukan yang sekaligus menjadi tempat pertempuran di sebelah tenggara Kota Semarang dalam usaha melindungi kemerdekaan yang telah dicapai supaya terselamatkan.

D. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui proses pembentukan dan perkembangan organisasi Tentara Pelajar Solo. 2. Untuk mengetahui fungsi Markas Medan Tenggara (MMTG)

9

3. Untuk mengetahui perananTentara Pelajar Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang dan sekitarnya.

E. MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Memperkaya sejarah nasional, khususnya sejarah lokal 2. Menyediakan sarana pewarisan semangat juang bela negara kepada para pelajar dan mahasiswa. 3. Menjadi salah satu bahan perbandingan apabila ada penelitian yang sama diwaktu-waktu mendatang.

F. RUANG LINGKUP PENELITIAN Agar dalam pembahasan tidak terjadi kesimpangsiuran dan mudah untuk diuraikan secara jelas dan sistematis, maka perlu adanya pembatasan dalam membahas suatau permasalahan. Oleh karena itu dalam penulisan ini perlu dibatasi ruang lingkup kajiannya. Ruang lingkup ini meliputi: 1. Lingkup Spasial. Lingkup Spasial dalam penelitian ini adalah Semarang dan daerahdaerah yang ada disekitar wilayah Markas Medan Tenggara (MMTG) yaitu Mranggen, Demak, Kedungjati, Purwadadi dan sekitarnya. Dengan demikian penelitian ini termasuk dalam kategori Sejarah lokal. Seperti yang dinyatakan

10

I Gde Widja (1989:11) bahwa Sejarah lokal bisa dikatakan sebagai bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatau lokalitas tertentu. Keterbatasan lingkup itu biasanya dikaitkan dengan unsur wilayah (unsur spasial). 2. Lingkup Temporal Lingkup temporal penelitian ini dibatasi dari kurun waktu tahun 1945 sebagai masa awal mempertahankan kemedekaan RI sampai dengan tahun 1949 sebagai batas akhir revolusi fisik yang ditandai dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda.

G. KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari penulisan ilmiah. Dalam penulisan ini penulis mengkaji beberapa buku dan karya ilmiah yang dikelompokan menjadi beberapa bagian antara lain yang membahas mengenai Tentara Pelajar Solo, Karesidenan Semarang dan Markas Medan Tengara (MMTG). 1. Tentara Pelajar Solo Tentara Pelajar Solo merupakan salah satu bagian dari kesatuan Tentara Pelajar yang turut berperan dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Penulis mengkaji beberapa buku mengenai Tentara Pelajar Solo yang berkaitan erat dengan Tentara Pelajar. Buku yang bejudul Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan karya Amrin Imran dan Ariwiadi (1985) pada bab III membahas mengenai pertumbuhan dan perkembangan Tentara Pelajar

11

Solo. Terbentuknya TP Solo diawali dari laskar-laskar pelajar yang muncul sebagai reaksi dari Proklamasi Kemerdekaan RI. Selama periode revolusi fisik dalam mempertahankan kemerdekaan TP Solo mengalami beberapa perubahan kali struktur dari IPI bagian pertahanan sampai Brigade XVII Detasemen II. Pertempuran-pertempuran di Semarang yang melibatkan TP Solo juga diuraikan dalam buku ini. Keterlibatan TP Solo dalam pertempuran di Semarang didukung oleh buku yang berjudul Triciri Tentara Pelajar karya H.R.Y.K. Mukmin (1989). Pasukan TP khususnya TP Solo tidak pernah absen dalam pertempuran di medan Semarang terutama di Medan Selatan (Srondol) dan Medan Tenggara (Mranggen). Gagalnya medan-medan menangulangi Agresi Militer Belanda I membuat Pasukan RI termasuk TP Solo mundur ke wilayah RI sesuai perjanjian Renville. Perbedaan kedua buku tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan ialah pada buku tersebut hanya membahas perjuangan TP Solo di Semarang sampai pada Agresi Militer Belanda I selanjutnya buku tersebut memfokuskan perjuangan TP Solo di Kota Solo. Sementara upaya kembali merebut Kota Semarang kurang dibahas. Ketika Agresi Militer Belanda II terjadi, TP Solo kembali berusaha merebut Kota Semarang. Buku yang berjudul Perjuangan Tentara Pelajar Kompi IV Detasemen II Brigade XVII karya Soedarwo dkk. (2005) menguraikan perjuangan TP Detasemen II Solo Kompi IV dibawah Kapten Marwoto untuk kembali merebut Kota Semarang. Namun buku ini hanya

12

fokus pada perjuangan yang dilakukan Kompi IV dibawah Kapten Marwoto dengan seksi-seksinya. Terjadinya gencatan senjata dan Konperensi Meja Bundar antara pemimpin Belanda dan RI berakhir dengan penyerahan kedaulatan RI. Selama gencatan senjata tersebut TP Solo juga berperan sebagai pasukan garnisun untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Kota Semarang. Buku Cukilan Sejarah Tentara Pelajar karya S.P. Soenarto (1989) pada bab IV membahas tugas yang diemban oleh TP Solo tersebut. Masing-masing buku yang membahas perjuangan TP Solo pada dasarnya juga membahas mengenai sejarah terbentuknya Tentara Pelajar secara umum. 2. Karesidenan Semarang Semarang sebagai salah satu medan perjuangan Tentara Pelajar Solo merupakan salah satu kota penting. Pada awal abad XIX telah didirikan sistem komunikasi dan transportasi dengan dibukanya surat kabar Semarang Advertieblad pada tahun 1815 yang kemudian berganti De Locomotif tahun 1867 Pembuatan jalan kereta api pertama dibuka oleh Gubernur Jendral Mr. Baron Slot van de Beele pada 16 Juli 1864 dengan stasiunnya yang pertama di Tambak Sari. Setelah jalan kereta api antara daerah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta selesai dikerjakan tahun 1872 kedudukan kota Semarang sebagai kota perdagangan semakin berkembang (Oemar dkk 1978:96). Wiyono dkk. dalam bukunya Sejarah Revolusi Kemerdekaan (19451949) Daerah Jawa Tengah (1986) menyebutkan bahwa pada masa Hindia Belanda Propinsi Jawa Tengah terdiri dari beberapa residentie (karesidenan)

13

diantaranya adalah Residentie Semarang dan pada masa pendudukan Jepang dirubah menjadi Semarang Syuu (karesidenan). Setelah kemerdekaan RI diproklamasikan maka Mr. Wongsonegoro menyatakan berdirinya

Pemerintah Daerah Republik Indonesia di wilayah Semarang Syuu. Berita proklamasi baru tersebar luas dikalangan rakyat Semarang pada tanggal 19 Agustus 1945. Peristiwa lima hari di Semarang dilatar belakangi oleh insiden-insiden antara para pemuda dengan orang Jepang mengenai perebutan senjata. Pertempuran yang berlangsung selama lima hari tersebut berakhir bersamaan dengan datangnya sekutu di Semarang. Kedatangan sekutu memancing timbulnya pertempuran baru antara pasukan RI dengan Sekutu akibat adanya NICA dalam pasukan Sekutu (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang 1977:33). Dalam pertempuran di medan perang Semarang yang menjadi musuh kita adalah Sekutu (Inggris dan Gurkha), Belanda dan Jepang. Semula pasukan sekutu mempunyai tugas sebagaimana yang dikemukakan oleh Moedjanto (1991) adalah: 1. Menerima penyerahan tentara Jepang tanpa syarat, melucuti dan mengembalikan ke tanah airnya. 2. Membebaskan Allied Prisoners and War Internees (APWI), tugas ini disebut Recovery Allied Prisoners and War Internees (RAPWI). 3. Menjaga keamanan dan ketertiban sehingga memungkinkan pemerintah sipil berfungsi kembali. 4. Mencari keterangan tentang dan mengadili para penjahat perang.

14

Selesainya tugas Sekutu tidak membuat meredanya pertempuran di Semarang. Kota Semarang yang dijadikan sebagai pangkalan Sekutu ternyata diserahkan kepada Belanda, yang digunakan sebagai pusat dalam melancarkan agresi militernya kewilayah RI. 3. Markas Medan Tenggara (MMTG) Ketika Sekutu dan Jepang meninggalkan Indonesia, Belanda masih tetap bercokol di Semarang. Markas Pimpinan Pertempuran (MPP) yang berfungsi sebagai koordinator di seluruh sektor pertahanan Jawa Tengah membuat sistem pedoman kerja dengan membentuk empat sektor yang bertujuan untuk mengepung Semarang seperti yang dikemukakan Nasution dalam Noor dan Sigit Wahyudi (1995) antara lain : 1. Markas Medan Timur (MMT) dengan pimpinan komandan sektor di Demak. 2. Markas Medan Tenggara (MMTG) dengan pimpinan sektor di Mranggen. 3. Markas Medan Selatan (MMS) dengan pimpinan sektor di Ungaran. 4. Markas Medan Barat (MMB) dengan pimpinan sektor di Boja. MMTG terletak 15 Kilometer sebelah tenggara dari Kota Semarang. Letak MMTG paling dekat dengan Semarang apabila dibanding dengan markas medan lainnya maka sangat potensial dan merupakan front terdepan untuk menghadapi Jepang, Sekutu maupun Belanda. Sebuah karya skripsi yang cukup mengupas MMTG ialah Perjuangan Rakyat Mranggen Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 oleh Juwarti (2003). Mranggen merupakan daerah perjuangan utama melalui

15

Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I dan II. Karya tersebut lebih banyak mengungkap perjuangan dari kelompok Hisbullah dan Sabilillah sementara perjuangan kesatuan-kesatuan lain seperti Tentara Pelajar Solo kurang diungkap lebih mendalam. Buku Sekitar Perang Kemerdekaan karya A.H Nasution (1977) akan melengkapi mengenai suasana pertempuran yang terjadi di wilayah MMTG.

H. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode Sejarah. Metode Penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode Sejarah, yang dinamakan metode sejarah disini adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975:32). Berdasarkan metode tersebut diharapkan menghasilkan penulisan ilmiah yang obyektif, sistematis dan logis. Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian sebagai bahan penulisan sejarah meliputi Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Historiografi. Penjabaran langkah-langkah tersebut sebagai berikut: 1. Heuristik Heuristik adalah tahap pengumpulan sumber dengan cara

menghimpun jejak masa lampau atau mencari sumber-sumber sejarah. Jejak masa lampau dapat berupa sumber tertulis dan benda-benda peninggalan masa lampau. Menurut klasifikasinya sumber sejarah dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Seringkali kita harus

16

menggunakan karya-karya bukan dari sumber pertama sehingga hal ini sulit dihindari. Tehnik yang digunakan peneliti dalam mencari sumber sejarah sebagai berikut : a. Studi Dokumen Kegiatan tersebut meliputi mencari, menelaah dan menghimpun jejak sejarah yang berupa arsip, dokumen atau salinan dari dokumen. Arsip dan dokumen yang dipilih dalam penulisan dicari dari Museum Mandala Bhakti Semarang. Dari kegiatan ini peneliti mendapatkan arsip dan dokumen berupa arsip Proklamasi Kemerdekaan oleh Mr. Wongsonegoro, Maklumat yang dikeluarkan Mr. Wongsonegoro, Lambang-lambang Tentara Pelajar, Fotofoto Tentara Pelajar Solo, Peta Markas Medan Tenggara (MMTG) dan Peta agresi militer Belanda I dan II. b. Studi Pustaka Merupakan kegiatan untuk mencari dan menelaah buku-buku referensi yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian. Berkenaan dengan studi kepustakaan ini obyek yang dituju untuk mencarai referensi adalah: 1. Perpustakaan Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang. 2. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Semarang. 3. Perpustakaan Wilayah Propinsi Jawa Tengah. 4. Perpustakaan Museum Mandala Bhakti. Dari obyek tersebut peneliti mendapatkan buku-buku dan karya tulis yang memuat informasi mengenai Tentara Pelajar Solo, Keadaan Semarang

17

dimasa Revolusi fisik dan Markas Medan Tenggara (MMTG) selama masa perjuangan. c. Sumber Lisan Wawancara dengan para informan atau pelaku sejarah yang termasuk dalam sumber lisan sangat penting untuk mengumpulkan bahan sejarah yang tidak tertulis. Dalam penelitian ini akan dijumpai keterangan dari beberapa orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Mereka adalah veteran dari peristiwa pertempuran-pertempuran di Semarang terutama veteran Tentara Pelajar Solo disamping dari kesatuan lainnya yang seperjuangan. Usaha mendapatkan nama dan alamat para pelaku sejarah ditempuh dengan menanyakan pada perkumpulan Veteran di Museum Madhala Bhakti. Nama veteran-veteran tersebut antara lain Bapak Masiroen, Bapak Soehendro, Bapak Moh. Sakdan dan Ibu Suwarsih. Dari wawancara yang penulis lakukan diperoleh informasi mengenai perjuangan TP Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG), Situasi dan fungsi MMTG selama masa perjuangan dan peranan TP Solo sebagai garnisun di Semarang.

2. Kritik Sumber. Kritik sumber merupakan tahap pengujian terhadap sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan, apakah sumber itu dapat dipertanggungjawabkan keautentikanya atau tidak dan apakah dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya atau tidak. Kritik sumber terbagi menjadi dua yaitu:

18

a. Kritik Ekstern. Kritik ekstern merupakan penilaian sumber dari aspek fisik dari sumber tersebut. Ada tiga pertanyaan pokok yang dapat diajukan dalam proses kritik ekstern, seperti yang dikemukakan Wasino (2007:51) yaitu: 1. Apakah sumber sejarah itu memang sumber yang kita kehendaki? 2. Apakah sumber itu asli atau turunan ? 3. Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah ? Dalam melakukan kitik ekstern terhadap sumber lisan penulis mengkritisi dengan menanyakan apakah mereka benar veteran TP Solo dan pernah berjuang di MMTG. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka menjawab dari kesatuan mana mereka berasal, nama komandan kesatuannya dan diwilayah MMTG mana mereka berjuang. Dalam mengkritisi sumber arsip dan dokumen penulis mencoba mengecek keasliannya dan ternyata diperoleh beberapa sumber yang masih asli yakni foto-foto TP Solo sedangkan sumber turunan berupa salinan maklumat dan berita proklamasi oleh Residen Semarang Mr. Wongsonegoro, Lambang TP, Peta MMTG dan Peta Agresi Militer Belanda I dan II. Dalam mengkritisi sumber pustaka penulis mencoba mengkritisi dengan melihat buku tersebut pernah direvisi atau belum dan berbentuk buku ataukah kopian. Ternyata peneliti juga menjumpai sumber pustaka yang berupa kopian karena dicetak terbatas jumlah dan belum pernah direvisi.

19

b. Kritik Intern. Kritik Intern secara teoritis dilakukan setelah kritik ekstern selesai. Kritik Intern merupakan kritik terhadap sumber apakah isi dari sumber terebut relevan dengan permasalahan yang ada dan dapat dipercaya kebenarannya. Kritik intern dilakukan dengan cara : (1) penilaian intrinsik dari pada sumber-sumber (2) membandingkan beberapa sumber sejarah dan saling dicek secara silang (Wasino 2007:55). Dalam melakukan kritik intern terhadap sumber lisan penulis melakukan cek silang mengenai informasi yang diperoleh dari masing-masing sumber karena rata-rata telah berusia lanjut. Terhadap sumber pustaka peneliti membandingkan isi karya veteran TP Solo dengan penulis sejarah umumnya. Disamping itu peneiti juga mengecek kebenaran isi buku tersebut dengan menanyakan kepada pelaku sejarah yang mengalami peristiwa saat itu.

3. Interpretasi. Interpretasi merupakan tahap dimana data atau fakta-fakta yang sudah diuji melalui kritik sumber dirangkaikan satu sama lain sehingga menjadi kesatuan yang masuk akal dalam arti mewujudkan sebuah kesesuaian. Usaha menginterprestasikan fakta-fakta dilakukan dengan cara diseleksi, disusun, diberi tekanan dan ditempatkan dalam urutan yang kausal (Gottschalk, 1975:144). Pada tahap ini setelah terkumpul informasi peristiwa sejarah yang dikaji oleh peneliti berbagai fakta yang lepas satu sama lain tersebut

20

kemudian dirangkaikan menjadi kesatuan yang harmonis untuk diberi penafsiran yang logis.

4. Historiografi Historiografi atau penulisan sejarah merupakan langkah akhir dari metode sejarah. Hasil interprestasi atas fakta-fakta sejarah yang telah dilakukan kemudian disajikan menjadi sebuah bentuk tulisan yang kronologis yaitu dari masa pecahnya revolusi kemerdekaan RI di Semarang yang menyebabkan dibentuknya Markas Medan Tenggara (MMTG), pembentukan Tentara Pelajar Solo kemudian peranannya pada Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam mempertahankan kemerdekaan RI di Semarang dan sekitarnya sampai pada akhir masa perjuangan bersenjata dengan dilakukannya demobilisasi Tentara Pelajar Solo.

I. SISTEMATIKA SKRIPSI Peranan para pelajar yang tergabung dalam organisasi Tentara Pelajar Solo sangatlah menonjol dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Semarang. Dalam mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh maka hasil penelitian ini nantinya akan ditulis dalam beberapa bab. Bab I, merupakan pendahuluan yang memuat gambaran secara global dari penelitian ini. Dalam pendahuluan akan diuraikan tentang latar belakang, permasalahan, penegasan istilah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian serta sistematika penelitian.

21

Bab II, berisi mengenai keadaan Semarang ditengah revolusi kemerdekaan. Bab ini akan membahas mengenai Semarang diawal proklamasi mencakup keadaan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Awal perang kemerdekaan di Semarang yang mencakup Pertempuran Lima Hari di Semarang dan Palagan Ambarawa. Markas Medan Tengara (MMTG) mengenai pembentukan dan fungsinya beserta interaksi TP Solo dengan pejuang-pejuang lainnya. Bab III, berisi tentang Pembentukan Tentara Pelajar Solo. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejarah terbentuknya Tentara Pelajar,

Pembentukan Tentara Pelajar Solo dan perkembangannya. Bab IV, berisi tentang Peranan Tentara Pelajar Solo pada Markas Medan Tenggara (MMTG) dalam mempertahankan Kemerdekaan RI di Semarang. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Peranan Tentara Pelajar Solo di MMTG dalam pertempuran-pertempuran awal setelah proklamasi di Semarang dan Perang Kemerdekaan I dan II dalam menghadapi Belanda. Disamping itu akan dibahas mengenai peranan Tentara Pelajar Solo sebagai garnisun di Semarang dan demobilisasi Tentara Pelajar Solo. Bab V, merupakan bab penutup yang berisi simpulan dan saran.

BAB II SEMARANG DI SEKITAR REVOLUSI KEMERDEKAAN

Semarang Disekitar Proklamasi 1. Keadaan Politik Pada pendudukan tentara Jepang pemerintahan daerah yang tertinggi adalah Syuu (karesidenan) dengan kepala pemerintahannya seorang Syucokan (Residen). Seorang syucokan mempunyai kekuasaan legislatif dan eksekutif sehingga pemerintahannya bersifat otokratis (Wiyono dkk. 1986:13). Kekuasaan tersebut membuat seorang syucokan memiliki kedudukan yang sama dengan gubernur pada masa Hindia Belanda. Semua gerakan yang bersifat politik dilarang tetapi hasrat Jepang untuk memanfaatkan tenaga muda Indonesia untuk memperkuat pertahanannya dalam melawan Sekutu, memberi peluang bagi kaum pergerakan Indonesia untuk tampil dalam forum perjuangan (Oemar dkk. 1978:190). Ketika tersiar berita proklamasi kemederkaan Bangsa Indonesia, maka Mr. Wongsonegoro mengucapkan maklumat yang menyatakan bahwa : Berdasar atas pengumuman Panitia Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional Indonesia di Djakarta, maka atas nama rakyat Semarang Syuu diumumkan sebagai tindakan sementara untuk menjaga ketentaraman dan disiplin dalam daerah Semarang Syuu bahwa mulai hari ini tanggal 19-8-2605 djam 13 siang, bertindak Pemerintah Daerah Republik Indonesia (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. 1977:33) Berdasar pernyataan tersebut mulai tanggal 19 Agustus 1945 pukul 13.00 siang hari itu juga di daerah Karesidenan Semarang berdiri Pemerintah Daerah Republik Indonesia.

22

23

Ketika keadaan belum menentu dan tentara Jepang masih berkuasa, para pemuda Semarang berhasil membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) pada tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal 20 Agustus 1945 berdiri pula Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk mulai dari daerah karesidenan sampai Rukun Tetangga (RT). BKR untuk daerah Semarang dipimpin oleh bekas daidanco Sutrisno Sudomo dan Taruno Kusumo serta dibantu Hendropranoto yang menjadi pimpinan pusat untuk daerah Semarang. Selanjutnya juga dibentuk BKR Laut pada tanggal 23 September 1945 dengan Komandan Soemarno (Wiyono 1991: 50). Terbentuknya Komite Nasional Indonesia maka oleh pemerintah RI Mr. Wongsonegoro diangkat menjadi Residen Semarang sedangkan R.P Soeroso sebagai gubernur dan sebagai walikota ialah Mr. Soedjahri serta sebagai kepala polisi Soemarsono (Tio,----:67). Tanggal 13 Oktober 1945 Mr. Wongsonegoro menggantikan R.P. Soeroso yang diangkat sebagai Komisaris Tinggi Daerah Yogyakarta yang berkedudukan di Solo sekaligus merangkap pimpinan KNI Semarang (Oemar dkk. 1978:193). Disamping KNI dan BKR juga dibentuk Fonds Kemerdekaan yaitu lembaga yang bersifat nasional dan bertugas untuk menghimpun dana bagi kepentingan nasional. Pengambilalihan kekuasaan di Karesidenan Semarang diwarnai gejolak antara pemerintah Republik yang baru dengan Jepang yang masih tinggal di Semarang. Jepang yang terikat perjanjian menjaga status quo

24

sampai kedatangan Sekutu melakukan tindakan keras terhadap yang berbau kemerdekaan. Kedatangan Sekutu yang diboncengi NICA semakin memperkeruh suasana. Rakyat Kota Semarang menderita sekali karena pemerintahan sipil RI meninggalkan kota setelah berhasil dikuasai Sekutu. Tanggal 7 Januari 1946 dengan persetujuan Inggris roda pemerintahan RI di Semarang berputar lagi dengan diangkatnya Walikota Ikhsan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Inggris merasa kuat dengan penambahan batalyon Baret Merah kemudian Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL serta instansi Allied Military Administration Civil Affair Branch (AMACAB) maka pada pertengahan Februari 1946 Inggris memerintahkan penghapusan aparat sipil pemerintah RI di Semarang kecuali badan-badan yang bersifat penasehat (Soemarmo 1985:60). Pemerintahan RI di Semarang pada awal revolusi kemerdekaan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Proklamasi yang berlanjut dengan terjadinya pertempuran dengan Jepang dan Sekutu membuat koordinasi pemerintah pusat belum berjalan dengan baik. Setiap daerah mempunyai permasalahan masing-masing dan diselesaikan pula dengan caranya masingmasing tanpa harus menunggu perintah dari pemerintahan pusat. 2. Keadaan Ekonomi. Pendudukan Jepang ternyata lebih menyengsarakan rakyat Indonesia. Semua yang ada dan dimiliki rakyat diarahkan untuk keperluan peperangan tentara Jepang. Kehidupan perekonomian rakyat di Jawa Tengah menjadi

25

semakin merosot. Pelbagai macam pajak dan setoran yang dikenakan kepada rakyat sehingga penghasilan dan pertanian menjadi berkurang. Rakyat yang kebetulan tinggal didaerah yang tanahnya tidak subur dan irigasinya tidak baik banyak mengalami kelaparan dan busung lapar (Wiyono dkk. 1986 :23). Hasil sawah dan ladang harus disetorkan kepada Kumiai (Badan pengelola makanan Jepang) yang meminta hasil panen dengan paksa. Sulitnya beras diperoleh sehingga orang makan bahan-bahan yang tak biasa dimakan orang seperti iles-iles, gogik, pati, gaplek, ketela serta dedaunan sampaisampai bekicot merupakan makanan selingan yang umum dikalangan penduduk. Bahan pakaian merupakan barang yang kian lama kian menjadi langka. Kelambu, gorden, sprei, taplak meja dirubah menjadi kemeja, sayak atau celana. Ketika bahan ini habis orang mulai mengenakan pakaian dari karung goni, bagor, tikar dan akhirnya muncul celana dari karet sheet (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. 1977:61). Pada akhir pendudukan Jepang dan masa awal Republik Indonesia keadaan ekonomi sangat kacau. Menjelang akhir kekuasaan Jepang, alat-alat produksi menjadi rusak karena diubah untuk membuat alat-alat perang. Sementara bekas-bekas politik bumi hangus yang dijalankan Belanda belum pulih. Blokade yang dilakukan Sekutu juga menambah penderitaan karena kehidupan ekonomi semakin bertambah sulit. Barang Industri sukar didapat terutama tekstil, begitu sulitnya kain mori sampai-sampai jenazah bukan dibungkus dengan kafan melainkan dengan bagor (Soemarmo 1991:40-41).

26

Pasca diumumkannya Proklamasi kemerdekaan RI, dalam situasi perang melawan Jepang penduduk banyak yang tidak berani keluar kampung. Pasar menjadi sunyi karena tidak ada pedagang yang membuka usahanya. Banyak penduduk mulai kelaparan dan diberbagai tempat sudah kekurangan bahan pangan. Dalam keadaan yang mencekam kehidupan masyarakat ini Sayuti Melik dan Oei Tiong Djoe berusaha menbuka gudang tempat penyimpanan bahan makanan Jepang di Kota Semarang (Wiyono dkk. 1986:78). Datangnya pasukan Sekutu yang diikuti NICA dan pegawaipegawainya memperkeruh keadaan. Ketika kesulitan perekonomian yang dihadapi Pemerintah RI belum teratasi, pihak sekutu mengumumkan pada tanggal 6 Maret 1946 berlakunya uang NICA diwilayah yang diduduki sekutu termasuk di Semarang. Pemerintah RI baru secara resmi mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada tanggal 1 Oktober 1946 untuk menghadapi tindakan sekutu yang dianggap merongrong ketahanan RI dibidang ekonomi dan keuangan. Disamping itu pemerintah RI juga mengingatkan penduduk bahwa uang NICA tidak sah digunakan sebagai alat pembayaran (Poesponegoro 1993:175). Upaya yang dilakukan pemerintah RI melalui walikota Ikhsan tidak mampu menghalangi diedarkannya uang NICA karena orang-orang NICA memaksa penduduk untuk menggunakan uang tersebut. Para pegawai NICA sering kali menggeledah dan merampas ORI dari tangan penduduk (Nasution 1977:211). Keadaan demikian menimbulkan perang uang antara Pemerintah

27

RI dengan NICA. Banyak pedagang dan penduduk yang dianiaya karena tidak mau menggunakan uang NICA sebagai alat tukar. Perekonomian Karesidenan Semarang di masa awal kemerdekaan menunjukan tingkat kekacauan yang cukup tinggi. Upaya pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang mengakibatkan lumpuhnya roda perekonomian setelah rusaknya sebagian fasilitas perekonomian disamping akibat politik pengurasan demi kepentingan perang Jepang. Hal ini diperparah dengan berlakunya uang NICA yang dipaksakan kepada penduduk. 3. Keadaan Sosial-Budaya Masyarakat Semarang sangat menyukai kesenian dan yang paling melekat adalah Gambang Semarang walaupun sebetulnya bukan kesenian asli Semarang, Menurut cerita berkaitan erat dengan Gambang Kromong dari Batavia (Jakarta). Dikalangan penduduk Semarang dikenal pula kesenian lainnya yaitu wayang orang, di Semarang terdapat beberapa perkumpulan wayang orang dan yang terkenal ialah Sri Wanito (Tio -----:49-50). Masyarakat Semarang juga terdapat acara yang menarik yaitu yang dapat dilihat pada upacara menjelang lebaran ditempat itu selalu ada upacara yang disebut Dug Der suatau kesenian khas Semarang untuk menyambut permulaan puasa dan yang paling terkenal adanya maskot warak ngendog (Tio -----:3647). Masyarakat semarang juga sangat menggemari bioskop, salah satu biskop yang terkenal adalah Bioskop Grand yang sudah berdiri sejak jaman Belanda. Disamping itu di Semarang juga banyak didirikan hotel-hotel megah

28

salah satu diantaranya adalah Hotel Du Pavilliun. Saat berita proklamasi beredar luas di Semarang gedung-gedung tersebut banyak beralih fungsi sebagai tempat berkumpulnya para pemuda untuk menyusun rencana pengambilalihan kekuasaan dari Jepang (Wiyono 1991: 43). Peranan dibidang komunikasi sangat besar terhadap penyiaran berita proklamasi. Berita proklamasi diterima lewat radio tanggal 17 Agustus 1945 melalui seorang markonis kantor berita Domei bernama Sjarif Soelaiman. Salinan berita tersebut selanjutnya diserahkan kepada wakil Residen Mr. Wongsonegoro yang saat itu sedang memimpin rapat agar dapat didengar oleh hadirin saat itu. Pada hari itu juga berita tersebut coba disiarkan radio Semarang Hoso Kyoku yang menyiarkan khotbah shalat Jumat dari Masjid besar alun-alun Semarang. Menjelang disampaikannya khotbah oleh khotib tiba-tiba ada pengumuman proklamasi kemerdekaan. Mengetahui kejadian tersebut pejabat Jepang yang menjadi kepala studio segera bertindak dengan memutus siaran tersebut. Harian Sinar Baru juga memperoleh berita mengenai proklamasi kemerdekaan melalui Gadis Rasjid seorang wartawan wanita harian tersebut. Oleh manajer editornya bernama Hetami diinstruksikan pembuatan bulletin khusus mengenai berita proklamasi. Walaupun kantor harian Sinar Baru sempat digerebek oleh pasukan Jepang, berita proklamasi tersebut berhasil disebarluaskan dan dimuat pada tanggal 18 Agustus 1945 (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang 1977: 22-28).

29

Proklamasi kemerdekaan RI disikapi para pelajar Semarang dengan membentuk Gabungan Sekolah Menengah Semarang (GASEMSE) yaitu organisasi gabungan pelajar-pelajar sekolah menengah di seluruh Karesidenan Semarang yang diketuai Pepi Adiwoso. Organisasi sejenis sebagai wadah koordinasi perjuangan yang kemudian berkembang secara horizontal ke ibukota-ibukota karesidenan yang memiliki sekolah lanjutan pertama dan atas (Soedarwo dkk. 2005:8-9). Sarana hiburan dan komunikasi di Semarang dapat menjadi sarana berkumpulnya masyarakat Semarang yang memungkinkan untuk saling bertukar informasi tentang kemerdekaan, sehingga dapat diambil langkah perjuangan berikutnya sebagai tindak lanjut.

Awal Perang Kemerdekaan di Semarang. 1. Pertempuran Lima Hari di Semarang Proklamasi yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 pada hakikatnya merupakan sebuah komando revolusi. Komando merebut kekuasaan dari tangan tentara pendudukan Jepang, baik kekuasaan pemerintahan, kekuasaan senjata maupun kekuasaan atas alat-alat

perlengkapan negara (Soemarmo 1991:82). Kondisi Karesidenan Semarang khususnya Kota Semarang mulai memanas setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan RI. Keadaan ini disebabkan adanya kenyataan bahwa RI sudah merdeka, tetapi tentara Jepang belum meninggalkan daerah Semarang bahkan masih bebas memegang senjata.

30

Pertempuran ini diawali oleh sikap balatentara Jepang yang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pemuda. Para pemuda yang kecewa dengan keputusan Panglima Tentara 16 selanjutnya menyiapkan diri untuk menunggu komando dari pimpinan pemuda lebih lanjut. Pihak Jepang dari Batalyon Kido dan Yagi sudah memperhitungkan akan terjadinya pertempuran telah dalam keadaan siaga penuh (Soedarwo dkk. 2005:26). Desas-desus yang timbul pada saat itu bahwa resevoir air minum yang terletak di Jalan Wungkal Semarang telah diracuni Jepang. Dokter Kariyadi sebagai kepala laboratorium di Rumah Sakit Purusara hendak mengadakan penelitian terhadap resevoir tersebut, namun dalam perjalanan beliau gugur ditembak oleh Jepang. Keadaan diperburuk oleh perlawanan dari tahanan Jepang yang melarikan diri dan minta bantuan ke markas pasukan Kido di Jatingaleh (Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. 1977:125-127). Kidobutai mulai mengerahkan pasukan-pasukannya dengan bersenjata lengkap pada tanggal 14 Oktober 1945. Mereka menangkap dan membunuh para pemuda yang mereka jumpai. Tindakan pasukan Kidobutai mendapat perlawanan dari rakyat Semarang, namun perlawanan para pemuda dapat dipatahkan. Satu demi satu tempat strategis para pemuda dapat dikuasai oleh Jepang, bahkan Jepang berhasil menawan Mr. Wongsonegoro. Mereka lalu meminta Wongsonegoro supaya para pemuda menyerahkan senjata-senjata yang dirampas dari tangan Jepang tetapi ditolak oleh para pemuda.

31

Pertempuran semakin sengit setelah para pejuang memperoleh bantuan dari luar kota Semarang seperti Pati, Solo, Yogyakarta dan Banyumas. Pelajarpelajar Solo telah terlibat dalam membantu perjuangan rakyat Semarang dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Moektio dan Soempil Basuki. Pasukan Pelajar tersebut berkekuatan sekitar 50 orang dan senjata 35 pucuk untuk membantu perjuangan rakyat Semarang. Keberangkatannya ke Semarang disertai G.P.H Djatikusumo, setelah masuk Kota Semarang mereka langsung terjun dalam pertempuran dan mengambil posisi dekat dengan rel stasiun kereta api Tawang (Imran dan Ariwiadi. 1985:228-229). Usaha tentara Jepang menanggulangi masuknya bantuan pemuda dari luar kota, dengan menutup jalan masuk ke Kota Semarang. Aksi Jepang semakin ganas setelah di Penjara Bulu menyaksikan sekitar 100 orang Jepang telah dibunuh oleh para pemuda. Tindakan brutal Jepang tidak hanya kepada pemuda tetapi juga kepada penduduk sipil. Kampung-kampung disekitar penjara Bulu banyak yang dibakar dan penduduknya dibunuh. Pembantaian juga dilakukan Tentara Jepang di sekitar Lawang Sewu (Tio, -----:74). Selama pertempuran yang berlangsung lima hari tersebut Jepang berhasil menguasai sebagian besar kota Semarang. Banyak jatuh korban dari kedua belah pihak, namun demikian pejuang Semarang yang gugur jumlahnya lebih besar. Keadaan ini disebabkan persenjataan yang dipakai hanya senapan bekas hasil rampasan sedangkan sebagian besar lainnya hanya memakai bambu runcing dan pedang. Menurut catatan tentara Jepang mereka kehilangan kira-kira 150 orang tentara. Penduduk Semarang tidak diketahui

32

dengan jelas jumlahnya karena banyaknya pejuang yang gugur, namun diperkirakan kurang lebih 2000 orang (Tio, -----:75). Tanggal 19 Oktober 1945 mendaratlah pasukan sekutu di Pelabuhan Semarang yang mengangkut pasukan Inggris dan Gurkha dibawah komando Brigjend Bethell. Pertemuan antara wakil pasukan Sekutu, Pemerintah RI dan Pasukan Jepang selanjunya diadakan untuk menghentikan pertempuran (Soedarwo dkk. 2005:31). Kedatangan pasukan Sekutu tersebut mengakhiri pula pertempuran yang berlangsung selama lima hari di Semarang. pertempuran tersebut mengkibatkan banyak penduduk dan pejuang yang mengungsi ke perbatasan Semarang yang lebih aman. 2. Palagan Ambarawa Pertempuran hebat yang terjadi setelah Proklamasi di Karesidenan Semarang adalah pertempuran di Ambarawa yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa yang berlangsung antara 20 Nopember sampai 15 Desember 1945. Latar belakang dari peristiwa ini adalah insiden yang terjadi di Magelang dimana orang-orang NICA mempersenjatai bekas-bekas tawanan Belanda. Insiden ini berhenti setelah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigjend Bethell di Magelang yang dilanjutkan perundingan yang isinya Seperti dikemukakan Poesponegoro dan Notosusanto (1993:116)antara lain: a. Pihak Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya mengurus evakuasi APWI. Jumlah pasukan Sekutu ditentukan terbatas bagi keperluan melaksanakan tugasnya. b. Jalan raya Ambarawa terbuka bagi lalu-lintas Indonesia dan Sekutu.

33

c. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam Badan-badan yang berada dibawah kekuasaanya. Kenyataannya Sekutu mengingkari kesepakan tersebut dengan menambah pasukannya di Magelang yang memicu kembali terjadinya pertempuran. Tanggal 21 Nopember 1945 Magelang dapat direbut kembali oleh Pejuang RI sehingga Tentara Sekutu memusatkan pertahanannya di Ambarawa. Terjadi persengketaan air di Sendang Ngampon sebelah barat Ambarawa antara Sekutu dengan rakyat setempat yang mendapat perlawanan dari Batalyon Sumarto dan Angkatan Muda Ambarawa. Para pejuang RI selanjutnya kembali memusatkan perjuangannya untuk merebut Kota Ambarawa (Wiyono dkk. 1986:80). Kota Ambarawa sangat strategis karena jika Sekutu berhasil menguasainya akan mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah yaitu Solo, Magelang dan Yogyakarta. Kota Ambarawa kemudian dikepung oleh TKR dari Batalyon Handrongi, Batalyon Soeharto, Batalyon Sugeng Tirtosiswoyo dan Batalyon Sardjono. Hubungan antara Ambarawa-Semarang terputus, bagi Sekutu satusatunya jalan untuk mengirim perbekalan ialah melalui udara. Tanggal 26-28 Nopember 1945 Sekutu mengadakan serangan udara besar-besaran sehingga Letkol. Isdiman gugur. Pasukan TKR dan pejuang RI lainnya akhirnya mengepung Kota Ambarawa selama empat hari. serangan umum terhadap Kota Ambarawa diadakan tanggal 12 sampai 15 Desember 1945. Pasukan RI menggunakan strategi yang terkenal sebagai Supit Urang dalam serangan umum tersebut.

34

Pasukan RI berhasil menjepit musuh dari barat dan timur dengan ujungnya bertemu diluar kota Ambarawa (Dewan Harian Nasional Angkatan 45. 1976:206). Sekutu yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pemutusan pertempuran. Laskar-laskar pelajar dari Solo turut pula dalam memberikan bantuannya pertempuran tersebut. Pasukan gabungan laskar-laskar Solo bergerak dari Hotel Kalimatan Salatiga menuju daerah pertempuran Ambarawa yaitu Tuntang, Asinan dan Bawen. Laskarlaskar tersebut adalah Laskar Gajah Mada dan Laskar Alap-alap yang keduanya dipimpin oleh Panji Yaksodewo. Terdapat juga Laskar Kere pimpinan Achmadi, Laskar Satria pimpinan Akiat, Laskar Garuda pimpinan Mustari serta Laskar Pandawa pimpinan Soebroto dan laskar-laskar lainya (Imran dan Ariwiadi. 1985:230). Pasukan pelajar tersebut menyerang markas-markas pasukan Gurkha di Asinan dan Ambarawa. Tanggal 16 Desember 1945 Sekutu telah meninggalkan Ambarawa dengan meninggalkan perbekalan perangnya dengan berpuluh-puluh senjata dan peluru dapat dirampas. Siang harinya seluruh Kota Ambarawa berhasil dikuasai pasukan RI. Pasukan Inggris mundur ke Jatingaleh setelah terjadi pertempuran disertai tembakan canon di desa Langensari. Peristiwa Palagan Ambarawa ini mencatat sejarah bagi pasukan Infantri yang telah meraih kemenangan dalam pertempuran tersebut. Kolonel Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat pada

35

tanggal 17 Desember 1945 karena jasanya yang telah dibuktikan dalam pertempuran Ambarawa ini (Wiyono dkk. 1986:81).

C. Markas Medan Tenggara. 1. Pembentukan Markas Medan Tengara Sejak menderita kekalahan dalam pertempuran di Magelang dan Ambarawa, Sekutu mundur ke Semarang. Selanjutnya mereka melakukan pembersihan terhadap kaum republik di Kota Semarang yang membuat banyak pengungsian keluar kota terutama menuju Mranggen. Gubernur Wongsonegoro yang mengungsi ke Magelang dan Walikota Ikhsan yang ditangkap Sekutu mengakibatkan pemerintahan sipil RI dalam Kota Praja menjadi lumpuh pada pertengahan Februari 1946. Pemerintahan Kota Semarang selanjutnya dipindahkan ke Kedungjati di Mranggen. Tampuk pemerintahan Walikota selanjutnya diambil alih oleh Mayor Sukardi dari TKR yang waktu itu sebagai Komandan Militer Kota (KMK) Semarang (Noor dan Sigit Wahyudi. 1995:143). Pasukan-pasukan dan sektor-sektor selanjutnya dikonsolidir oleh MPP untuk merebut Kota Semarang kembali. Sektor Mranggen diperintahkan untuk pertahanan menggunakan batas air akan tetapi karena daerahnya yang kering sehingga tidak dapat dilaksanakan (Nasution 1971:336). Peranan Mranggen dalam perjuangan di Semarang sudah terjadi sebelum MMTG terbentuk. Pemuda Semarang bernama Sumardi meminta izin Camat Mranggen Iman Wongsodirjo menyediakan pendopo

36

kecamatannya sebagai markas pertempuran untuk menampung para pejuang yang berasal dari daerah Gubug, Purwadadi, Kedungjati, Gundih, Solo dan sebagainya. Permintaan pemuda-pemuda Semarang disetujui, bahkan Ia menyediakan mobilnya untuk digunakan melaksanakan tugas mengerahkan rakyat. Wedana Mranggen dan istrinya juga diminta untuk mengusahakan dapur umum untuk ribuan orang (Panitia Penyusun Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. 1977:153). Tanggal 17 Mei 1946 di Semarang terjadi serah terima komandan pendudukan dari Brigadir Darling (Inggris) kepada Kolonel Van Langen sebagai Komandan Brigade T (KNIL). Sebulan kemudian Soenarto Koesoemodirdjo dari pasukan gabungan Surakarta (Solo) diangkat menjadi Komandan MPP Jawa Tengah. Usaha MPP Jawa Tengah dalam mengepung Kota Semarang dengan membuat sistem pedoman kerja pembagian sektor seperti diungkapkan Nasution dalam Noor dan Wahyudi (1995:37) antara lain: a. Sektor Markas Medan Timur (MMT) dengan pimpinan komandan sektor di Demak, wilayahnya batas pantai utara Jawa ke Selatan hingga Alastuwa. b. Sektor Markas Medan Tenggara (MMTG) dengan pimpinan sektor di Mranggen dengan batas sebelah utara rel Kereta Api Alastuo jurusan Semarang ke Kedungjati hingga selatan di Meteseh.

37

c. Sektor Markas Medan Selatan (MMS) dengan pimpinan sektor di Ungaran, batas wilayah sebelah timur Meteseh dan barat hingga Gunungpati. d. Sektor Markas Medan Barat (MMB) dengan pimpinan sektor di Boja dengan batas wilayah selatan Gunungpati dan utara pantai laut Jawa. Mranggen sebagai pusat Markas Medan Tenggara berstatus sebagai kawedanan yang membawahi 4 kecamatan yaitu Genuk, Mranggen, Karangawen dan Gubug. Desa-desa seperti Penggaron, Pedurungan, Bugen dan Genuk hanya berjarak 3 sampai 6 Kilometer dari markas Belanda di Kabluk maupun pabrik British American Tobacco (BAT). Mranggen, Pedurungan dan Alastuwa merupakan medan yang berat karena tanahnya yang datar dan berawa-rawa sehingga tidak ada tempat berlindung dari serangan udara Belanda. 2. Fungsi Markas Medan Tenggara Mranggen yang berada di sebelah tenggara dan berbatasan dengan Semarang mempunyai penting lainnya ketika meletusnya pertempuran melawan Sekutu dan Belanda seperti diungkapkan Juwarti (2003:43) yaitu: a. Sebagai daerah pertahanan di sektor Medan Tenggara b. Sebagai tempat penampungan para pejuang dari daerah lain (Solo, Boyolali, Purwodadi). c. Merupakan tempat pejuang yang tangguh dan intelektual. d. Sebagai tempat persediaan logistik dan dapur umum bagi pejuang dan penduduk diluar Kota Semarang.

38

e. Sebagai tempat pengungsian penduduk dari Semarang. Mranggen juga terdapat dua Stasiun yaitu Stasiun Brumbung dan Stasiun Kedungjati yang dilewati Kereta Api dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Balapan (Solo). Jalur kereta ini dipakai untuk mengirim logistik dan pasukan dari luar daerah seperti Boyolali, Salatiga, Purwodadi dan Surakarta (Noor dan Sigit Wahyudi. 1995:134-135). Jatuhnya Semarang ketangan Inggris mengakibatkan Stasiun Kedungjati menjadi tempat yang peting. Setiap hari mulai berdatangan berbagai kelompok laskar yang minta supaya mereka dikirim ke front Ambarawa atau Semarang (Mranggen) (Dewan Harian Nasional Angkatan 45. 1976:94). Keluar intruksi bagi Stasiun Tawang dan Gudang bahwa semua lokomotif, kereta dan gerbong supaya ditarik ke Stasiun Kedungjati. Bagi pengungsi yang ingi keluar dari Semarang hendaknya disertakan dalam kereta api tersebut. Dalam mencukupi kebutuhan makanan laskar-laskar yang bertugas diwilayah MMTG maka didirikan dapur umum di Sendangguwo kemudian dipindah ke Pucang Gading dan Rowosari. Desa Sambiroto digunakan sebagai tempat pengintaian terhadap Kota Semarang (Wawancara dengan Moh. Sakdan, 5 Juni 2007). Setelah mendaftarkan anggota yang bertugas di front anggota yang bertugas tersebut diberi kupon (girik) untuk mengambil jatah ransum dengan jatah makan sekali sehari. Makanan tersebut diambil sendiri atau diantar oleh seorang Tobang (Pengantar Makanan) dan sebagian diantar menggunakan lori ke sektor-sektor (Wawancara dengan Masiroen, 25 Mei 2007).

39

Segi persenjataan yang tidak lengkap dan agar tetap dapat menuntut ilmu maka kepergian Pasukan Pelajar ke front digilir setiap dua minggu karena. Front Mranggen dan Genuk sering mendapat pinjaman dari TKR atau Polisi Tentara dengan catatan bahwa senjata tidak boleh dibawa kegaris belakang sesuai dengan ketentuan di front (Soedarwo dkk. 2005:53). Keberadaan MMTG berfungsi secara efektif sampai pada Agresi Militer Belanda I. Sejak Agresi Militer Belanda I Pasukan RI dan Laskarlaskar perjuangan lainnya mundur dan mengkonsolidasi pasukannya di Kedungjati setelah sebelumnya meninggalkan Alastuwa dan Mranggen. Pada perkembangan berikutnya terus mundur ke Gundih, Telawah sampai akhirnya di Solo. Akibat adanya perjanjian Renville maka sebagian besar wilayah MMTG diduduki Belanda. Keberadaan MMTG tidak langsung musnah sebagai medan perjuangan, para pejuang RI terutama pasukan pelajar terus mengadakan perlawanan dan membuat kekacauan diwilayah yang telah diduduki Belanda tersebut. MMTG bahkan digunakan sebagai tempat penyusupan dalam merebut kembali Kota Semarang. 3. Interaksi TP dengan Badan Perjuangan dan Laskar di MMTG Pada wilayah MMTG semula ditempatkan pasukan-pasukan dari Yogyakarta dibawah pimpinan Umar Slamet kemudian digantikan kesatuan TKR dari Solo dibawah Soenarto Koesoemodirdjo bersama komandan kesatuan pemuda oleh Slamet Riyadi, Sarsono, Raksono, Achmadi dan lainlain (Nasution 1977: 138). Hal ini menyebabkan di MMTG terdapat banyak badan perjuangan dan laskar selain TKR sebagai pasukan resmi. Laskar-

40

laskar pelajar umumnya berasal dari Solo antara lain IPI, Laskar Kere, Laskar Satria, Laskar Pandawa, Alap-alap dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan pelajar tersebut kemudian lebih dikenal sebagai TP Solo. Mereka adalah pelajarpelajar sekolah lanjutan yang telah dilatih oleh bekas anggota PETA (Mukmin 1989: 18). Kedatangan mereka ke MMTG umumnya bersama-sama dengan laskar dan badan perjuangan lainnya di Solo yang menggunakan kereta jurusan Semarang-Solo. Status TP Solo yang sebagai pelajar membuat tugas ke front dilakukan secara bergiliran supaya mereka tetap bisa mengikuti pelajaran. Bahkan mereka juga membawa buku pelajaran ke front. Selain tugas bertempur anggota TP Solo juga sering membantu sebagai kurir dan perawat. Usia anggota TP yang masih muda membuatnya sering dianggap sebagai anak atau adik oleh pejuang yang rata-rata lebih tua, sehingga diwaktu-waktu senggang sering diminta membantu sekedar memijit, membelikan rokok atau membantu tugas di markas (Soenarto 1988:15). Hal ini membuat mereka dapat berinteraksi dengan akrab terhadap para pejuang lainnya. Badan kelaskaran paling besar adalah Hisbullah dan Sabilillah yang berasal dari wilayah setempat. Markas Pasukan Hisbullah dan Sabilillah (MPHS) juga terdapat di Mranggen yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memiliki ulama yang mampu mengobarkan semangat jihad. Disamping itu banyak anggota Hisbullah dan Sabilillah yang juga didatangkan dari Solo. AMRI merupakan organisasi yang sudah lama dibentuk sebelum MMTG ada. Mereka umumnya adalah pemuda-pemuda

41

Semarang yang mengundurkan diri ke MMTG. sedangkan laskar-laskar kerakyatan lainnya antara lain Hisbullah dan Sabilillah, BPRI, Pesindo, Barisan Banteng, Narapidana dan lain-lain. Tentara profesional yang diakui pemerintah adalah TKR yang pimpinan dan struktur organisasinya sudah jelas. Anggotanya sebagian besar adalah bekas anggota PETA. Mereka berindak sebagai komandan dari anak buahnya karena pengalamanya dalam pertempuran, sehingga semua pejuang dan laskar harus patuh. Bilamana terdapat konflik atau penghianatan dapat dipantau (Noor dan Sigit Wahyudi. 1995:145). Pemisahan kedudukan antara TKR dengan laskar dan badan perjuangan supaya terhindar dari konflik, sehingga tidak erjadi perebutan daerah kekuasaan dan pertentangan kepentingan. Laskar-laskar tersebut memiliki kedudukan yang sama walaupun membawa ideologi, identitas dan jumlah pasukan yang berbeda. Bahkan laskar-laskar tersebut sering berpatroli bersama. Laskar-laskar tersebut diurus oleh Biro Perjuangan Karesidenan Semarang di Salatiga dibawah letkol A. Rachman dan Mayor Soegijono. Walaupun secara organisasi berdiri sendiri akan tetapi laskar-laskar tersebut tetap tunduk kepada satu pimpinan komando dibawah TKR yang waktu itu dipimpin oleh Mayor Basuno dan untuk menjaga agar tidak diketahui matamata Belanda maka digunakan sandi atau kode yang berganti-ganti (Wawancara dengan Masiroen, 25 Mei 2007). Struktur organisasi MMTG sudah tertata rapi pada periode Juli 1946 sampai Juli 1947 sehingga jalur perintah nampak jelas. Komandan Divisi IV

42

memerintahkan kepada MPP Jawa Tengah di Salatiga selanjutnya diteruskan kesetiap markas medan (Noor dan Sigit Wahyudi. 1995:138-139). Dalam menyampaikan perintah dari MPP kesektor-sektor umumnya menggunakan tenaga kurir. Demikian pula kerjasama antar sektor terjalin yang baik halini ditunjukan dengan koordinasi yang baik antara MMS dan MMTG walaupun MMS jalur perintahnya dari Divisi V.

BAB III PEMBENTUKAN TENTARA PELAJAR SOLO

A. Sejarah Terbentuknya Tentara Pelajar. Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan pemuda dan pelajar. Mereka selalu mempelopori atau tampil kedepan dalam setiap perjuangan bangsanya. Eksistensi pelajar dalam perjuangan Bangsa Indonesia dimulai sejak adanya kebangkitan nasional. Pelajar mempunyai peranan penting dalam menumbuhkan semangat nasionalisme dikalangan Bangsa Indonesia. Lahirnya organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh pelajar School Ter Opleiding Van Inlandshe Arsten (STOVIA) menjadi bukti nasionalisme pelajar saat itu (Imran dan Ariwiadi 1985:6). Pendudukan Balatentara Jepang dirasakan berat dengan penindasan yang sangat keji. Dalih untuk mencapai kemenangan Asia Timur Raya digunakan Jepang untuk melatih pemuda dan pelajar keprajuritan secara paksa. Momentum tersebut dimanfaatkan oleh para pemuka dan pemimpin pergerakan nasional dengan membentuk badan-badan kesatuan organisasi dan kelompok-kelompok pemuda antara lain Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Pembantu Polisi), Heiho (Pembantu Balatentara Jepang), Pembela Tanah Air (PETA) dan sebagainya (Sunarto 1988:10). Organisasi-organisasi pelajar ini semula hanya bersifat sosial, namun setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 cenderung mengikuti kegiatan pertahanan dan keamanan. Kecenderungan tersebut didorong oleh

43

44

faktor situasi pada saat revolusi yang disebabkan oleh hasrat membela dan mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Hal ini semakin tampak pada masa perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang terjadi di Jawa Tengah (Imran dan Ariwiadi 1985:17). Sebagai konsekuensi dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pemuda dan pelajar diseluruh tanah air harus menghadapi tantangan dari pihak-pihak yang menentang diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda pelajar yang saat proklamasi 17 Agustus 1945 rata-rata masih berusia muda dan masih duduk ditingkat Sekolah Lanjutan Pertama (SLP) dan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) sudah menyadari bahwa untuk menghadapi perjuangan tersebut diperlukan kesatuan-kesatuan yang

terorganisasikan dengan pimpinan yang pasti (Mukmin 1989:10). Para pemuda pelajar kemudian membentuk organisasi yang dapat menampung setiap perjuangan pelajar dengan tidak menghapus identitas mereka sebagai pelajar yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, sebutan populer bagi mereka adalah Pelajar Pejuang. (Notosusanto 1978:401). Pada tanggal 25-27 September 1945 pelajar-pelajar dari gabungan sekolah menengah mengadakan konggres pemuda pelajar seluruh Indonesia. Dalam kongres tersebut yaitu tanggal 27 September 1945 dicetuskan berdirinya Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Kehadiran dan keberadaan IPI ditengah-tengah perjuangan memberikan bobot tersendiri. Adanya IPI membuat para pelajar Indonesia mempunyai wadah bagi perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Untuk mengkoordinasi anggota IPI

45

yang ikut dalam pertempuran, maka dibentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP). Pengurus besar IPI pada mulanya berkedudukan di Jakarta kemudian pindah ke Yogyakarta bersama dengan pemerintah RI dan berkantor di Tugu Kulon (Soedarwo dkk. 2005:36-37). Situasi tanah air yang demikian serius terutama akibat adanya ancaman kolonial yang ingin menegakan kekuasaannya kembali, maka IPI memandang perlu untuk membentuk suatu bagian tersendiri yang mengurus soal-soal pertahanan. Bagian tersebut kemudian dinamakan IPI bagian Pertahanan atau IPI Pertahanan (Imran dan Ariwiadi 1985:19). Pada mulanya IPI Pertahanan hanya sebagai pembantu dalam menjaga keamanan daerah akan tetapi karena tuntutan situasi kemudian aktif dalam tugas pertahanan langsung diberbagai front perjuangan. Pada bulan November 1945 IPI mengadakan konggres di Yogyakarta dengan dihadiri oleh utusan-utusan dari seluruh Indonesia. Konggres tersebut menghasilkan kebulatan tekad dari seluruh pemuda pelajar untuk berperan dalam tugas-tugas nasional. Atas persetujuan Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (MB TKR) Yogyakarta maka anggota pasukan pelajar dari IPI Pertahanan dijadikan pasukan khusus yang diberi nama Tentara Pelajar (TP). Markas Pertahanan Pelajar (MPP) selanjutnya membentuk kesatuankesatuan menurut pembagian wilayah teritorial pertahanan. Kesatuan-kesatuan dengan nama Tentara Pelajar (TP) formalnya dibagi menjadi 3 Resimen dan 1 Batalyon yaitu: a. Resimen A untuk daerah wilayah Jawa Timur.

46

b. Resimen B untuk wilayah Jawa Tengah. c. Resimen C untuk wilayah Jawa Barat. d. Batalyon Tentara Genie Pelajar (TGP) (Soenarto 1988:26.) Dalam wadah TP inilah para pelajar ikut berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Walaupun pasukan Pelajar telah diresmikan dengan sebutan Tentara Pelajar dan organisasinya disusun seperti organisasi ketentaraan, status kelaskaran tetap dipertahankan sesuai dengan Sistem Pertahanan Kelaskaran Rakyat. Oleh sebab itu kepangkatan militer belum atau tidak digunakan untuk pelaksanaan urusan-urusan intern organisasinya, melainkan didasarkan pada kekeluargaan dan keakraban (Soedarwo dkk. 2005:42). Satu hal yang menarik dari kesatuan Tentara Pelajar adalah komandannya dipilih oleh para anggotanya sendiri. Kerjasama akan semakin baik dengan sistim ini sehingga tidak ada rasa saling curiga dan semua saling mendukung untuk mempertahankan negara (Nasution 2000:44). Usia anggotanya yang masih muda maka Tentara Pelajar selalu menjadi kebanggaan rakyat. Diusia yang masih muda belia sudah mampu dan berani mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk nusa dan bangsa. Selain itu didalam berjuang tidak pernah mengabaikan serta meninggalkan kepentingan rakyat bahkan sebaliknya selalu menyatu dengan rakyat. Seperti yang dkemukakan George Turnan Mc Kahin dalam Soedarwo dkk. (2005:300) :

47

Tentara

Pelajar

itu

salah

satu

organisasi

elite,

berdisiplin

tinggi,Mereka salah satu unit pasukan yang efektif, serta selalu membantu pemerintah disaat kritis Dalam bertugas ke front dilakukan secara bergiliran. Untuk mereka yang tidak mendapat tugas bergiliran ke front diberi tugas pertahanan rakyat People Defence dan penerangan-penerangan tentang pembelaan negara, penjagaan keamanan, membuat rintangan-rintangan lalulintas, pembuatan lubang-lubang perlindungan, pengumpulan bahan makanan dan lain sebagainya (Soenarto 1988:16). Pembinaan wilayah yang diselenggarakan oleh Tentara Pelajar ternyata membawa dampak positif yang terasa pada waktu perang gerilya. Disitu tampak terasa manunggalnya tentara dan rakyat yang mendalam sebagai perang rakyat semesta. Pada tanggal 28 Oktober 1948 Pemerintah membentuk Markas Komando Djawa (MBKD) sebagai pusat taktis komando militer seluruh

Pulau Jawa. Dalam momentum tersebut TP statusnya berubah sebagai Kesatuan Reserve Umum W yang temasuk didalamnya antara lain: 1. Batalyon 1 KRU W, Batalyon Mayor Mashuri (Jawa Barat). 2. Batalyon 2 KRU W, Batalyon Mayor Achmadi (TP Solo) 3. Batalyon 3 KRU W, Batalyon Mayor Isman (TRIP Jawa Timur). Susunan organisasi KRU W pusat sebagai berikut : Komandan Wakil Komandan Komandan Batalyon Aktif : Letkol Soedarto : Mayor Soewarto : Mayor Isman dan Mayor Achmadi.

48

Komandan Batalyon Reserve

: Kapten Hartono dan Kapten Suyono

Komandan Pasukan Zeni Pelajar : Kapten Hartawan (Soenarto 1988: 28). Organisasi KRU W tersebut hanya berjalan selama dua bulan kemudia diadakan perubahan lagi pada bulan November 1948 melalui penetapan Presiden No.14 menjadi TNI Brigade XVII dengan susunan organisasi pusatnya sebagai berikut : Komandan : Letkol. Soedarto. Wakil Komandan : Mayor Isman. Komandan Detasemen I Komandan Detasemen II Komandan Detasemen III Komandan Detasemen IV Komandan Detasemen V Staf Brigade : Mayor Isman. : Mayor Achmadi : Kapten Hartono : Kapten Solichin : Kapten Hartawan. : Mayor Soewardi, Kapten Hartono dan Kapten Soejono. Batalyon 55 : Mayor Mashuri (Soenarto 1988:29).

B. Terbentuknya Organisasi Tentara Pelajar Solo. Sejarah berdirinya Tentara Pelajar Solo tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Tentara Pelajar (TP) pada umumnya, karena TP Solo merupakan bagian dari Tentara Pelajar. Latar belakang lahirya laskar-laskar pelajar di Solo dimulai sejak zaman pendudukan Jepang. Waktu itu Gakuttotai (Barisan anak-anak sekolah) dan Seinendan (Barisan Pemuda) telah memberi latihan

49

latihan dasar kemiliteran kepada para pelajar meliputi baris-berbaris, cara menggunakan senjata, perang-perangan, menanggulangi kebakaran, tugastugas palang merah dan sebagainya. Organisasi yang ada kaitannya dengan gerakan pelajar pada waktu pendudukan Jepang ialah kepanduan (pramuka) antara lain Javaanese Pandveiner Organizatie (JPO) pada zaman Jepang disebut Yogo Pinardi Utomo. Selain itu juga terdapat Perkumpulan Pandu Melayu (PPM) dibawah pimpinan G.P.H Jatikusumo bersama adiknya Gusti Sukamto dan Sarsono (Imran dan Ariwiadi. 1985:81-82). Waktu itu sekolahsekolah di Surakarta baik negeri maupun swasta tergabung dalam satu organisai yaitu Gabungan Sekolah Menengah Surakarta (GSMS). Sebagian besar para pelajar senior sejak pendudukan Jepang di Solo telah berani berjuang secara diam-diam atau gerakan rahasia. Kelompokkelompok ini tidak mempunyai nama karena tiap-tiap anggotanya hanya

menyebut oraganisasi yang belum berkembang itu sebagai Onze Groep atau Kelompok Kita yang didirikan tahun 1945 (Mukmin 1989:16). Tujuan gerakan rahasia ini untuk mengumpulkan informasi tentang pemerintah Jepang dan Asia Timur Raya untuk kemudian didiskusikan bersama. Rapat-rapat rahasia ini sering diadakan dirumah Maladi yang menjabat sebagai Wakil Kepala Hosyo Kyoku (sekarang RRI Solo). Selain dianggap senior juga menguasai berita-berita dari dalam dan luar negeri. Dalam rapatrapat tersebut biasanya dibahas bagaimana cara mencarai senjata, siapa yang harus mencari senjata, cara mengumpulkan dan membuat senjata tajam tanpa diketahui Jepang.

50

Setelah

Bangsa

Indonesia

berhasil

memproklamasikan

kemerdekaannya, terlebih dengan datangnya tentara Sekutu yang diboncengi oleh pasukan Belanda (NICA) yang ingin menegakkan kekuasaanya kembali, maka dibentuklah sebuah forum untuk mewujudkan perjuangan para pelajar. Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) dibentuk pada bulan Oktober 1945 dengan pusatnya di Yogyakarta denga ketua Tata Mahmud. Sebagai tindak lanjut pembentukan IPI yang berpusat di Yogyakarta maka IPI Solo membentuk bagian pertahanan yang diketuai Mahatma. Peranan IPI bagian pertahanan ini sangat penting karena merekalah yang mengkoordinasi dan mengadakan latihan-latihan bagi para pemuda dan pelajar yang akan diterjunkan digaris depan dan para pelajar inilah yang berperan penting dalam aksi melucuti senjata tentara Jepang (Nasution 2000:43). Pergolakan yang mengancam keselamatan RI telah membangkitkan semangat para pemuda dan pelajar kemudian mereka membentuk laskar pelajar seperti: a. Laskar Garuda : Kelompok pelajar Sekolah Guru Negeri (SGN) yang dipimpin Mustari. b. Laskar Satria : Kelompok campuran pelajar-pelajar tingkat SMP dipimpin Tobiat. c. Laskar Pandawa : Kelompok pelajar tingkat SMP dipimpin Soebroto. d. Laskar Jelata : Kelompok pelajar gabungan tingkat SMP. e. Laskar Alap-alap: Kelompok pelajar STN dan SMP dipimpin Moektio dan Soempil Basoeki.

51

f. Laskar Kere : Kelompok Pelajar SMT yang dipimpin Achmadi g. Barisan IPI: Kelompok Pelajar pimpinan Mahatma. ( Wawancara dengan Masiroen, 25 Mei 2007; Imran dan Ariwiadi. 1985:87). Setelah TP terbentuk pada bulan November 1945 laskar-laskar pelajar tersebut kemudian dikoordinir dalam TP Batalyon 100 Solo. Sampai akhir tahun 1946 Tentara Pelajar yang masuk dalam struktur organisasi Tentara Pelajar Pusat Yogyakarta untuk daerah Jawa tengah tersusun dalam Batalyon 100 Solo dengan komandannya Prakoso, Batalyon 200 Semarang dan Pati dengan komandannya Marwoto, Batalyon 300 Yogyakarta dengan komandannya Martono dan Batalyon 400 Cirebon dengan komandannya Salamun A.T. (Nasution 2000:44) Meskipun TP merupakan suatu perkembangan dari IPI Pertahanan namun pada perkembangannya tidak lagi berafiliasi secara formal pada IPI pertahanan. Kesatuan seperti Laskar Kere dibawah Achmadi, Laskar Jelata dibawah Prakoso dan laskar Garuda dibawah Mustari ketiga pasukan ini terhimpun di Solo terhimpun dan dibawah komando Markas Besar TP Pusat yang berkedudukan di Yogyakarta dan bukan dibawah koordinasi IPI Pertahanan (Soedarwo dkk. 2005:42). Para pelajar yang bersenjata dan tergabung dalam IPI tetapi telah merupakan kesatuan-kesatuan TP diperbolehkan untuk melepaskan diri dari keanggotaan IPI. Artinya TP merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Para pelajar yang bergabung dalam IPI adalah pelajar-pelajar yang bisa bergerak dibidang sosial. IPI bagian sosial ini selanjutnya bergabung

52

dengan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) yang selanjutnya menjadi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Walupun demikian IPI, IPPI, TRIP, TGP dan lain-lain tetap ada hubungan batin karena disadari bahwa pada dasarnya mereka sesama pemuda pelajar. Pada awal tahun 1946 diadakan rapat antara laskar-laskar pelajar Solo dan berhasil membentuk Markas Pertahanan Pelajar (MPP) Solo dengan Sulaiman sebagai ketua dan Prakoso sebagai wakilnya. Semua laskar pelajar yang ada seperti Garuda, satria, Pandawa, Alap-alap dan Kere bergabung dalam Markas Pertahanan Pelajar. Kekuatan pasukan tersebut disusun dikoordinir dalam Batalyon 100 menurut regu, seksi dan kompi yang kekuatanya tidak sama. TP Solo masuk dalam Batalyon 100 yang dipimpin Prakoso dengan Mashuri sebagai kepala stafnya. Batalyon 100 terbagi dalam beberapa kompi antara lain Kompi 110, 120, 130 dan 140. Laskar Kere dibawah Achmadi menjadi inti dari Batalyon 100 (Mukmin 1989: 130). Semula anggota TP Solo sebagian diasramakan karena semakin banyak anggotanya semakin banyak mendapat jatah beras dari pemerintah melalui urusan logistik. Suatu saat pemerintah tidak dapat lagi memberi jatah beras kepada asrama-asrama TP sehingga akibatnya pasukan tersebut terpaksa mencari makan sendiri. Wilayah operasi Batalyon 100 meliputi Klaten, Boyolali dan Salatiga yang dekat dengan MMTG melalui Kedungjati. Sementara Gajah Soeranto dan Abdul Latief diserahi tugas oleh Achmadi untuk mengorganisir TGP di Solo. Gajah Soeranto kemudian berhasil mendirikan bengkel senjata di

53

Tirtomoyo. Selain memperbaiki senjata-senjata yang rusak, bengkel mereka juga membuat trek bom, plamur, mortir kecil dan senjata sten-gun. Senjata tersebut banyak dipakai oleh Tentara Pelajar Solo. Sebelum terbentuk TGP di Solo sudah ada bagian Zeni yang bertugas membuat senjata. Setelah TGP terbentuk bagian Zeni tersebut bergabung dalam TGP (Imran dan Ariwiadi. 1985:94). Dijelaskan oleh Mukmin (1989:19) bahwa wilayah perjuangan TP Solo tidak hanya didaerah Kota Solo saja melainkan juga keluar Kota Solo sampai ke Semarang. Pasukan TP kemudian mengintegrasikan diri dalam kemiliteran dan aktif berperan dalam pertahanan nasional ikut aktif di frontfront depan menghadapi Belanda antara lain di front sekitar Semarang. Pasukan-pasukan pelajar Solo tersebut antara lain Barisan IPI, Pemuda Jelata, Laskar Kere, SA-Troep, Brigade X, Alap-alap, Garuda, Satria dan sebagainya berperan serta aktif di Medan Selatan (Srondol) dan Medan Tenggara (Mranggen). Disamping itu ada pula Laskar Wanita Indonesia (LASWI) yang anggotanya terdiri dari pelajar-pelajar putri yang berperan aktif di medan pertempuran.

C. Perkembangan Tentara Pelajar Solo Seperti halnya perubahan nama organisasi tentara RI yang berkembang dari BKR-TKR-TRI kemudian menjadi TNI, maka terjadi perubahan dalam tubuh tentara pelajar. Berkembang dari embrio kelompok-

54

kelompok pelajar perjuangan menjadi laskar-laskar pelajar akhirnya menjadi batalyon-batalyon tentara pelajar. Penetapan Presiden No.1 tanggal 2 Januari 1948 yang disempurnakan dengan Penetapan Presiden No.4 tanggal 4 Mei 1948 mengenai Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) dalam tubuh angkatan perang yang bertujuan menyehatkan kembali organisasinya agar lebih efisien. Pada penggabungan sesuai Rera tersebut maka pada bulan Oktober kesatuan TP dan TGP Solo dimasukan dalam Batalyon 2 Kesatuan Reserve Umum W (KRU-W) dibawah Mayor Achmadi. Berdasar reorganisasi tersebut maka Mayor Achmadi diangkat sebagai Komandan Batalyon 2 KRU W disamping menjabat sebagai KMK Solo. Kekuatannya terdiri dari Kompi 1 dengan komandan Kapten Prakoso dan Kompi 2 dengan komandan Abdul latief (Imran dan Ariwiadi. 1985:100101). Pada bulan November 1948 KRU W menjadi TNI Brigade XVII yang secara taktis langsung dibawah Markas Besar Tentara (MBT) dengan komandan brigadenya Letkol. Soedarto. Brigade XVII terdiri dari atas

beberapa detasemen antara lain : 1. Detasemen I Jawa Timur pimpinan Mayor Isman. 2. Detasemen II Solo (Surakarta) pimpinan Mayor Achmadi. 3. Detasemen III Yogyakarta pimpinan Kapten Hartono 4. Detasemen IV Jawa Barat pimpinan Solichin G.P 5. Detasemen V TGP pimpinan Kapten Hartawan

55

6. Detasemen Staf Kompi M pimpinan Letnan Utoro (Mukmin 1989:13). TP Solo masuk dalam Detasemen II TNI Brigade XVII sekaligus menjadi bagian pasukan organik TNI. Hal ini sehubungan suasana keamanan dengan terjadinya pemberontakan PKI yang dikenal sebagai Madiun Affair disamping Tentara Belanda yang bersiap-siap untuk menyerang RI. Sesuai keputusan tersebut Tentara Pelajar berganti TNI Brigade XVII Detasemen II, Namun nama Tentara Pelajar sudah begitu melekat sehingga mereka tetap dikenal sebagai TP dengan sebutan akrab Mas Tepe. Kekuatan pasukan TP Solo waktu itu dapat diperkirakan dari jumlah kompi yang ada. Satu kompi TP terdiri dari tiga seksi, satu seksi terdiri dari tiga peleton dan tiap peleton terdiri dari tiga regu. semula hanya terdiri dari tiga kompi selanjutnya mengalami perubahan menjadi empat kompi karena terjadi penggabungan dengan Kompi Marwoto dari Semarang. Penggabungan tersebut karena wilayah Semarang, Pati, Solo masuk wilayah operasi Detasemen II Solo dibawah Mayor Achmadi. Menurut susunan kompinya sebagai berikut: 1. Kompi 1 Kapten Prakoso 2. Kompi 2 Kapten Abdul Latif 3. Kompi 3 Kapten Soehendro 4. Kompi 4 Kapten Marwoto (Imran dan Ariwiadi 1985:101) Kesatuan Pelajar Solo yang berada diluar Brigade XVII antara lain Pasukan Pelajar Sturm Abteilung (SA) yang kemudian menjadi Corps Students Army (CSA) dipimpin Moektio. Pasukan SA, CSA yang ikut memadamkan

56

PKI Madiun berhasil mendapatkan senjata yang banyak sehingga tumbuh menjadi pasukan yang kuat dan lengkap persenjataanya. Dengan demikian di Solo ada dua kelompok pasukan pelajar yaitu laskar-laskar pelajar yang tergabung dalam Brigade XVII d