tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

55
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Pembicaraan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang bebas tak dapat dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum menyusul abad pencerahan di dunia Barat 1 . Model negara hukum, sebagaimana yang dianut Indonesia dan ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengharuskan adanya 3 kekuasaan yang berbeda, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai dengan teori Trias Politica yang dikenalkan oleh Montesqieu. Memang dalam pembagian kekuasaan di Indonesia walaupun berdasarkan pada pembagian trias politica oleh Montesqieu, tetapi tidak sepenuhnya dilaksanakan pemisahan kekuasaan, tetapi didasarkan pada distribusi kekuasaan atau pembagian fungsi, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. 2 Hal tersebut diperkuat oleh Ridwan HR dengan nama “Legislasi yang Tidak Mandiri, bahwa kewenangan atau kekuasaan legislasi dibuat bersama-sama dengan pihak lain. 3 Legislatif yang secara luas dikenal sebagai pembuat undang- 1 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 88 2 HAW, Widjaya, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 69 3 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 138

description

hukum, konstitusi, mahkamah konstitusi, tata negara, politik, tugas, kuliah, akademik

Transcript of tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

Page 1: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Kasus

Pembicaraan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang bebas tak dapat

dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif

lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum menyusul

abad pencerahan di dunia Barat1. Model negara hukum, sebagaimana yang dianut

Indonesia dan ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengharuskan

adanya 3 kekuasaan yang berbeda, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan

legislatif, dan kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai dengan teori Trias

Politica yang dikenalkan oleh Montesqieu.

Memang dalam pembagian kekuasaan di Indonesia walaupun berdasarkan

pada pembagian trias politica oleh Montesqieu, tetapi tidak sepenuhnya

dilaksanakan pemisahan kekuasaan, tetapi didasarkan pada distribusi kekuasaan

atau pembagian fungsi, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan

yudikatif.2 Hal tersebut diperkuat oleh Ridwan HR dengan nama “Legislasi yang

Tidak Mandiri, bahwa kewenangan atau kekuasaan legislasi dibuat bersama-sama

dengan pihak lain.3 Legislatif yang secara luas dikenal sebagai pembuat undang-

1 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,

Rajawali Pers, hlm. 88 2 HAW, Widjaya, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers,

hlm. 69 3 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers,

hlm. 138

Page 2: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

2

undang ternyata bersama-sama dengan eksekutif dalam membuat undang-undang.

Tentu pemikiran tersebut dilandasi dengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5

ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 19, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Masa reformasi yang menghasilkan perubahan atas Undang-Undang Dasar

19454 dalam 4 tahap, melahirkan sebuah lembaga baru pada susunan yudikatif

yang sejajar dengan Mahkamah Agung, yakni Mahkamah Konstitusi. Adapun

hasilnya terdapat 5 kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam UUD

1945 yakni sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Pada tanggal 16 Agustus 2003, sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi

yang mengucapkan sumpah jabatan. Kesembilan orang hakim Mahkamah

Konstitusi tersebut adalah Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap anggota, H.

M. Laica Marzuki sebagai Wakil Ketua merangkap anggota, H. A. S. Natabaya,

H. A. Mukhtie Fadjar, H. Achmad Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna,

4 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen atau perubahan

Page 3: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

3

Maruarar Siahaan, dan Soedarsono. Dilanjutkan dengan pelimpahan perkara dari

Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003, yang

menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu

cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Alasan yang membuat penulis tertarik untuk mengambil studi kasus atas

putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Putusan Perkara

Nomor 108/PUU-XI/2013 pada tanggal 20 Maret 2014 adalah pada amar putusan

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Permohonan

Pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan

Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) UUD

19455 tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan

selebihnya.

Adapun Petitum pemohon dalam perkara a quo adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara 4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3);

2. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara 4924) tidak mempunyai kedudukan hukum yang mengikat;

3. Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem Presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka maksud frasa dalam norma Pasal

5 Selanjutnya, dalam kutipan atau teks yang diambil dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

108/PUU-XI/2013, penyebutan nama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan nama UUD atau UUD 1945. Kesemuanya sama, bermakna Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 4: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

4

22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yakni pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;

4. Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum Dewan Perwakila Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

5. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ketentuan-ketentuan atau materi-materi dari Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang

dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dalam perkara ini adalah sebagai berikut:

Pasal 3 ayat (5) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal 9 Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 14 ayat (2) Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR.

Pasal 112 Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Ketentuan-ketentuan atau materi-materi dari Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah sebagai berikut:

Page 5: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

5

Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Pasal 6A ayat (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Pasal 22E ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 22E ayat (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Pada bagian Konklusi putusan Mahkamah Konstitusi perkara a quo,

Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang untuk mengadili permohonan

Pemohon dalam Petitum angka 1 dan angka 2, namun menyatakan tidak

berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam Petitum angka 3 dan

angka 4 sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sehingga pada amar

putusannya, Majelis Hakim memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak

dan tidak dapat diterima, dengan dasar pertimbanga-pertimbangan yang berasal

dari dinamika politik bangsa Indonesia yang sedang terjadi.

Page 6: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

6

B. Kasus Posisi

Yang dimaksud Pemohon dalam Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 108/PUU-IX/2008 tanggal 20 Maret 2014 ini adalah Yusril Ihza

Mahendra, selaku calon presiden dari Partai Bulan Bintang untuk pemilihan calon

presiden dan wakil presiden tahun pemilu 2014, yang merasa hak

konstitusionalnya dibatasi/dirugikan dengan adanya beberapa ketentuan dari

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan

Wakil Presiden yang dianggap bertentangan dengan norma-norma yang diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun argumen konstitusional pemohon mengenai permohonan a quo

dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahwa amandemen UUD 1945 telah melakukan perubahan fundamental tentang tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dari yang sebelumnya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” sebagaimana diatur dalam norma Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Syarat untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden juga berubah dari norma konstitusi yang lama, yang hanya menyebutkan “orang Indonesia asli” menjadi “seorang warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,” dan seterusnya sebagaimana bunyi norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sementara tatacara pencalonan dan pemilihan yang sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPR, setelah amandemen, diatur lebih rinci di dalam norma undang-undang dasar yang selanjutnya diatur dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 6 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945;

2. Bahwa norma Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Frasa pertama dalam umusan norma pasal 6A ayat (2) ini bagi Pemohon adalah terang dan jelas bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Kapankah sebuah partai politik dapat disebut sebagai “peserta pemilihan umum”? Pertanyaan ini hanya dapat dipahami konteksnya dengan merujuk kepada norma-norma dan praktik

Page 7: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

7

penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sejumlah paling sedikt 50 orang warganegara Indonesia dapat mendirikan partai politik dengan cara menuangkan keinginannya tersebut dalam Akta Notaris;

3. Bahwa selanjutnya, partai politik itu akan sah berdiri setelah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Namun, meskipun sebuah partai politik telah berdiri, partai itu tidaklah otomatis dapat menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta Pemilihan Umum, ketentuan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001, partai politik yang ingin menjadi peserta Pemilihan Umum wajib mendaftarkan diri KPU. KPU selanjutnya akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual di lapangan untuk memastikan apakah partai tersebut memenuhi syarat untuk menjadi peserta Pemilihan Umum sebagaimana diatur oleh undang-undang. Setelah melalui tahapan itu, barulah KPU memutuskan mana partai politik yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilihan Umum;

4. Bahwa dengan pemahaman seperti dalam angka 2 di atas, maka jelaslah norma Pasal 6A ayat (2) dalam frasa yang mengatakan bahwa “partai politik peserta pemilihan umum” adalah partai yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta pemilihan umum untuk tahun tertentu –mengingat Pemilihan Umum sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 diadakan setiap lima tahun sekali, misalnya Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014. Hanya partai politik seperti itulah yang berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam tahun tertentu setiap lima tahun sekali, sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945;

5. Bahwa selain frasa yang telah diuraikan dalam angka 2 dan 3 di atas, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 memuat frasa lain yang mengatakan bahwa partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah dilakukan “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pemilihan Umum manakah yang dimaksudkan oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 ini? Pemohon berpendapat, satu-satunya penafsiran yang benar atas frasa ini adalah, bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum itu adalah pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena hanya pemilihan umum inilah yang pesertanya adalah partai politik seperti dirumuskan dalam norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, bukan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang

Page 8: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

8

tentunya diikuti oleh perorangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

6. Berdasarkan uraian dalam angka 1 sampai angka 5 di atas, maka jelaslah kiranya bahwa norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” adalah seluruhnya bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang akan dirinci lebih lanjut dalam uraian-uraian di bawah ini;

7. Frasa “pasangan calon (Presiden dan Wakil Presiden) diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah jelas dan tegas bertentangan dengan bunyi norma “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Norma Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini terang-terangan memanipulasi kata “pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Kalau perolehan kursi masing-masing partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR telah diumumkan dan telah diketahui, maka partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai dilaksanakan. Demikian pula frasa “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah memanipulasi maksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena yang dimaksud dengan istilah “sebelum

Page 9: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

9

pelaksanaan pemilihan umum” adalah pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik sebagaimana dimaksud norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945;

8. Bahwa konkordans dengan argumentasi dalam angka 6 di atas, maka norma Pasal 14 ayat (2) UU Pemilihan Presiden yang normanya berbunyi: “Masa pendaftaran (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR” adalah juga bertentangan dengan frasa partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalau partai politik atau gabungan partai politik baru diperkenankan mendaftarkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, maka pada saat itu partai politik atau gabungan partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai. Kalau hasil pemilihan umum sudah ditetapkan, maka partai politik tersebut bukan lagi partai politik peserta pemilihan umum. Partai politik tersebut lebih tepat untuk disebut partai politik “mantan” peserta pemilihan umum yang sudah selesai dilaksanakan;

9. Bahwa proses pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah diuraikan di atas, semuanya terkait dengan sistem pemerintahan menurut UUD 1945. Dengan merujuk pada norma Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” dan norma Pasal 7C yang menyatakan “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, maka Pemohon dapat menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial dan bukan sistem pemerintahan parlementer. Meskipun terdapat banyak varian dari kedua sistem ini, namun secara garis besar dapat dikatakan sistem pemerintahan yang ada di dunia ini, di luar sistem monarki absolute, adalah sistem presidensial dan parlementer;

10. Bahwa dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan presidensial, UUD 1945 tidak memberikan pengaturan yang khusus tentang jadual pemilihan umum untuk mengisi lembaga-lembaga negara yang memerlukan pemilihan umum untuk mengisinya sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Norma pasal ini menyebutkan bahwa ada empat jenis pemilihan umum, yakni (1) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (2) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; (3) pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan (4) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tidak ada istilah pemilihan umum yang digunakan oleh UUD 1945 selain untuk mengisi jabatan

Page 10: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

10

keempat lembaga negara tersebut. Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara pemilihan umum eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) di satu pihak dengan pemilihan umum legislatif (DPR, DPRD dan DPD)?

11. Bahwa UUD 1945 ternyata tidak memberikan pengaturan eksplisit tentang urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara keempat lembaga negara sebagaimana diuraikan dalam angka 9 dan 10 di atas, yang dapat disederhanakan menjadi pemilihan umum eksekutif dan pemilihan umum legislatif. Namun, kalau kita melakukan perbandingan konstitusi dan perbandingan sistem pemerintahan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem parlementer, maka pemilihan yang lebih dulu diselenggarakan adalah memilih anggota-anggota parlemen. Selesai pemilihan umum parlemen, maka akan diketahui partai manakah atau koalisi partai manakah yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen. Partai atau koalisi partai itulah yang akan mengajukan calon Perdana Menteri kepada kepala negara. Ini terjadi pada semua sistem parlementer, termasuk sistem parlementer yang pernah dipraktikkan di negara kita di bawah UUD Sementara 1950 pasca Pemilihan Umum 1955;

12. Bahwa sebaliknya, dalam sistem pemerintahan presidensial di negara-negara yang menganutnya, maka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah lebih dulu diselenggarakan, baru kemudian memilih badan-badan perwakilan. Ini terjadi di Amerika Serikat, Perancis, Mesir, Iran dan negara-negara Amerika Latin. Hanya Republik Philipina yang menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota Congress dan Senat dilakukan serentak pada hari yang sama;

13. Meskipun UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur manakah pemilihan umum yang diselenggarakan lebih dahulu, badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) ataukah badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), namun kalau dibaca dengan seksama norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Jadi, tidak akan ada dua kali atau tiga kali atau lebih pemilihan umum dalam lima tahun, kecuali hanya satu kali saja. Sedangkan ayat (2) Pasal 22E itu menyatakan dalam satu nafas “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”. Secara sistematik kedua ayat dalam Pasal 22E itu menunjukkan bahwa pemilihan umum hanya diadakan satu kali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.

14. Bahwa dengan demikian, sesuai uraian pada item 13 di atas, tidak terdapat alasan konstitusional apapun untuk menyelenggarakan dua kali pemilihan umum dalam lima tahun, yakni pertama pemilihan DPR,DPRD dan DPD, dan kedua disusul dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tafsir

Page 11: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

11

yang paling mungkin untuk memahami maksud Pasal 22E ayat (1) dan (2) adalah maksud pasal ini, penyelenggaraan pemilihan umum DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serempak satu kali saja dalam lima tahun. Penafsiran seperti ini sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945, dan saat ini satu-satunya negara yang melaksanakannya hanyalah Republik Philipina. Melaksanakan pemilihan badan-badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) lebih dulu baru kemudian memilih badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) adalah bertentangan dengan sistem presidensial sebagaimana diatur dalam norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945;

15. Bahwa norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” seluruhnya adalah bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) dan 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan (4) UUD 1945;

16. Bahwa perumusan norma “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidaklah sungguh-sungguh dimaksudkan untuk melaksanakan atau menegakkan norma-norma konstitusi, sebagaimana layaknya sebuah negara hukum yang berlandaskan UUD 1945. Rumusan norma-norma tersebut hanya untuk mewujudkan keinginan dari kekuatan yang dominan pengaruhnya di Dewan Perwakilan

Page 12: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

12

Rakyat serta Presiden yang memegang jabatan saat itu ketika undang-undang tersebut dibuat, untuk menghalang-halangi munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden dari kekuatan saingannya dengan cara yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, yang sesungguhnya dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

17. Bahwa dalam Pemilihan Umum 2014 yang akan datang, partai politik peserta pemilihan umum yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdiri atas 12 partai politik yang bertarung di tingkat nasional, dan tiga partai lokal yang hanya bertarung dalam pemilihan umum di Aceh. Dengan kenyataan ini, maka kekhawatiran calon Presiden dan Wakil Presiden akan terlalu banyak, sehingga harus dibatasi dengan “presidential threshold” 20 persen atau 25 persen suara sah nasional, menjadi kehilangan relevansinya. Seandainya semua partai politik peserta Pemilihan Umum 2014 masing-masing mengajukan satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, maka paling banyak calon yang akan bertarung adalah dua belas calon. Dibanding jumlah pasangan calon dalam pemilihan umum kepala daerah, menurut hemat Pemohon, jumlah itu masih dapat diterima. Pemilihan Walikota Makassar tahun 2013 diikuti oleh 10 pasangan calon. Pemilihan Bupati Kabupaten Deli Serdang tahun 2013 diikuti oleh 11 pasangan calon. Jadi, kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diikuti oleh dua belas pasangan calon, hal itu menurut hemat Pemohon, adalah berada dalam batas-batas yang wajar. Penafsiran konstitusi haruslah dinamis. Penafsiran atas teks-teks konstitusi haruslah mempertimbangkan ratio legis (asbabul wurud) dirumuskannya sebuah norma. Begitu pula putusan Mahkamah Konstitusi, yang dimasa lalu menafsirkan adanya “presidential threshlod” tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 bukanlah sebuah tafsir absolute atas konstitusi. Kaidah fiqh sebagaimana dirumuskan Imam Asy-Syatibi mengatakan bahwa “pembentukan norma hukum tergantung kepada sebab-sebab (‘illat) yang melahirkannya. Jika ‘illat berubah, maka norma, atau setidaknya penafsiran terhadap norma harus pula berubah”. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah kejumudan belaka;

18. Bahwa Mahkamah Konstitusi, yang berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam berbagai pertimbangan hukum putusannya ternyata telah menyebut dirinya sebagai “the sole interpretator of the constitution” atau “penafsir tunggal konstitusi”. Terkait dengan permohonan ini, maka Pemohon memohon sudilah kiranya Mahkamah menafsirkan apakah sesungguhnya maksud teks norma dalam Pasal 6A ayat (1), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diatur oleh norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 13: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

13

Dengan argumen konstitusional tersebut di atas, pemohon mengajukan

petitum yang isinya adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN Tahun 2008 Nomor 176, TLN 4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN Tahun 2008 Nomot 176, TLN 4924) tidak mempunyai kedudukan hukum yang mengikat;

3. Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem Presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka maksud frasa dalam norma Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yakni pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;

4. Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum DPR, dan DPRD.

Terhadap petitum yang dimohonkan pemohon tersebut di atas, Mahkamah

Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut:

1. Bahwa permohonan dengan petitum demikian merupakan penafsiran konstitusi yang tidak terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang. Penafsiran konstitusi dalam hal ini adalah penafsiran UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah haruslah penafsiran dalam kerangka kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

Page 14: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

14

tentang pemilihan umum” dan “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.

2. Mahkamah adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Oleh karena itu, penafsiran terhadap UUD 1945 dengan demikian adalah penafsiran dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan untuk menyelesaikan kasus konstitusional yaitu penafsiran konstitusionalitas pasal atau norma Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Selain itu, penafsiran yang dimohonkan Pemohon dapat dikategorikan sebagai permohonan untuk mengeluarkan fatwa kepada Mahkamah melalui penafsiran terhadap pasal UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas petitum permohonan angka 3 dan angka 4, menurut Mahkamah, tidak menjadi kewenangan Mahkamah.

Terhadap argumen-argumen konstitusional yang disebutkan pemohon di

atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa yang didalilkan pemohon yang

menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7C UUD 1945 bersama-sama dengan

ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menunjukkan digunakannya sistem

pemerintahan presidensial di Indonesia, sehingga melaksanakan Pemilu Anggota

Lembaga Perwakilan lebih dahulu kemudian memilih badan eksekutif (Pilpres)

adalah bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian Majelis Hakim menggunakan

pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Page 15: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

15

14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014, terkhusus pada paragraf [3.17]6

yang menyatakan:

Menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara dan lambang pemersatu bangsa. Presiden tidak hanya ditentukan oleh mayoritas suara pemilih, akan tetapi juga syarat dukungan minimal sekurang-kurangnya lima puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dapat langsung diambil sumpahnya sebagai Presiden. Presiden mengangkat dan memberhetikan menteri-menteri negara. Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden hanya dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya dengan alasan-alasan tertentu yang secara limitative ditentukan dalam UUD 1945, yaitu apabila terbukti menurut putusan pengadilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan sistem pemerintahan yang demikian, UUD 1945 menempatkan Presiden dalam posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selain karena alasan dan proses secara limitatif telah ditentukan dalam UUD 1945. Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances). Menurut UUD 1945, dalam hal tertentu kebijakan Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan duta dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR. Pada sisi lain, DPR dalam menjalankan kekuasaan membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama-sama serta disetujui bersama dengan Presiden. Mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden mengajukan rancangan

6 Kode penulisan tersebut merupakan kode penomoran versi Mahkamah Konstitusi dalam

putusannya.

Page 16: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

16

APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat persetujuan DPR dan apabila rancangan APBN tidak mendapatkan persetujuan DPR, Presiden menjalankan APBN tahun sebelumnya. Berdasarkan sistem pemerintahan yang demikian, posisi Presiden secara umum tidak tergantung pada ada atau tidak adanya dukungan DPR sebagaimana lazimnya yang berlaku dalam sistem pemerintahan parlementer. Hanya untuk tindakan dan beberapa kebijakan tertentu saja tindakan Presiden harus dengan pertimbangan atau persetujuan DPR. Walaupun dukungan DPR sangat penting untuk efektivitas jalannya pemerintahan yang dilakukan Presiden tetapi dukungan tersebut tidaklah mutlak.

Menurut UUD 1945, seluruh anggota DPR dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang pesertanya diikuti oleh partai politik, sehingga anggota DPR pasti anggota partai politk. Oleh karena konfigurasi kekuatan DPR, berkaitan dengan konfigurasi kekuatan partai politik yang memiliki anggota di DPR, maka posisi partai politik yang memiliki kursi di DPR dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah penting dan dapat mempengaruhi ekfektivitas pelaksanaan kebijakan pemerintahan oleh Presiden. Dari ketentuan UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi, sistem pemerintahan Indonesia menempatkan partai politik dalam posisi penting dan strategis, yaitu Presiden memerlukan dukungan partai politik yang memiliki anggota di DPR untuk efektivitas penyelenggaraan pemerintahannya dan pada sisi lain menempatkan rakyat dalam posisi yang menentukan karena siapa yang menjadi Presiden sangat tergantung pada pilihan rakyat. Hak eksklusif partai politik dalam pencalonan Presiden sangat terkait dengan hubungan antara DPR dan Presiden dan rancang bangun sistem pemerintahan yang diuraikan di atas, karena anggota DPR seluruhnya berasal dari partai politik, akan tetapi hak eksklusif partai politik ini diimbangi oleh hak rakyat dalam menentukan siapa yang terpilih menjadi Presiden dan legitimasi rakyat kepada seorang Presiden. Dengan demikian, idealnya menurut desain UUD 1945, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden sangat berkaitan dengan dua dukungan, yaitu dukungan rakyat pada satu sisi dan dukungan partai politik pada sisi lain. Hal yang sangat mungkin terjadi adalah pada satu sisi Presiden mengalami kekurangan (deficit) dukungan partai politik yang memiliki anggota DPR, tetapi pada sisi lain mendapat banyak dukungan dan legitimasi kuat dari rakyat. Dalam hal kondisi yang demikian, terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu pertama, sepanjang tidak ada pelanggaran yang ditentukan oleh UUD 1945 oleh Presiden yang dapat digunakan sebagai alasan pemakzulan, Presiden tetap dapat menjalankan pemerintahan tanpa dapat dijatuhkan oleh DPR walaupun tidak dapat melaksanakan pemerintahannya secara efektif. Kemungkinan kedua, adalah DPR akan mengikuti kemauan Presiden, karena jika tidak, partai-partai politik akan kehilangan dukungan rakyat dalam pemilihan umum. Berdasarkan kerangka sistem yang demikian, menurut Mahkamah,

Page 17: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

17

mekanisme pemilihan Presiden dalam desain UUD 1945 harus dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945.

Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2014 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan sistem presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal demikian akan lebih memungkinkan bagi penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis sehingga dalam jangka panjang akan lebih menjamin penyederhanaan partai politik. Dalam kerangka itulah ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai.

Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Pengusungan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD

Page 18: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

18

1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, serta Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi

memberikan pertimbangan lebih lanjut yang menjelaskan bahwa:

Sesungguhnya substansi dalil Pemohon yang merujuk Pasal 7C UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusional benar bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara serentak telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, meskipun dalam pertimbangan tersebut Mahkamah tidak secara eksplisit menyebut Pasal 7C UUD 1945. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon. Adapun mengenai makna Pasal 7C UUD 1945 bila dikaitkan dengan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, menurut Mahkamah, salah satu letak keseimbangan kedudukan antara Presiden dan DPR adalah bahwa DPR tidak dapat dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden. Sebaliknya, DPR hanya dapat mengusulkan pemberhentian Presiden kepada MPR hanya dengan alasan apabila Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, masing-masing DPR dan Presiden berkedudukan sangat kuat sebagai representasi rakyat yang berdaulat dan karenanya masing-masing tidak dapat menjatuhkan dan membubarkan satu sama lain. Sehingga, berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Setelah menyatakan dalil pemohon mengenai Pasal 7C UUD 1945 tidak

beralasan menurut hukum sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Mahkamah

Konstitusi memberikan pertimbangan mengenai Pasal 22E ayat (3) UUD 1945

sebagai berikut:

1. Menimbang Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”,

Page 19: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

19

dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, menurut Pemohon, pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diikuti oleh partai politik sebagai pesertanya sehingga tidak mungkin pencalonan itu sebelum pemilihan umum Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), karena dalam dua pemilihan umum tersebut, pesertanya bukan partai politik, melainkan perorangan, baik perorangan calon anggota DPD maupun perorangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.

2. Dalil Pemohon yang mempergunakan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusional untuk Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayt (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU 42/2008 bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan sebelum pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD secara substansial telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, meskipun Mahkamah tidak secara eksplisit menyebutkan pasal a quo. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis, berlaku terhadap dalil pemohon tersebut. Adapun substansi pasal a quo, menurut Mahkamah, yang menyatakan tentang peserta untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014 yang memberikan pertimbangan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah Konstitusi pun kembali menambahkan pertimbangan

sebagaimana yang dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 sebagai berikut:

1. Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila

Page 20: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

20

Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.

2. Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentan pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif.

3. Langkah membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas atau bertentangan dengan UUD 1945 suatu Undang-Undang pernah dilakukan Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006. Menurut putusan Mahkamah tersebut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut; dan juga dalam Putusan Nomor 026/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2006 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan.

4. Merujuk pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan akibat hukum hanya dapat dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan putusan a quo sedemikian rupa sampai telah terlaksananya Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014. Selanjutnya, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus mendasarkan pada putusan Mahkamah a quo dan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi

Page 21: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

21

warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan.

5. Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, namun menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.

Kemudian mengenai uji terhadap ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor

2008, Makhkamah Konstitusi mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 dan 51-52-59/PUU-VI/2008

tanggal 18 Februari 2009, yang dianggap telah menyebutkan dengan jelas bahwa

ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan

terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-

undang, sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Dan pada

bagian Konsklusi, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa:

1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam petitum angka 1 dan angka 2;

2. Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam petitum angka 3 dan angka 4;

3. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

4. Dalil pemohon untuk selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum

Sehingga pada amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa

permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan

dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat

diterima, dan menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Page 22: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

22

C. Permasalahan Hukum

Adapun penulisan Studi Kasus atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

108/PUU-XI/2013 tanggal 26 Maret 2014 yang dimaksudkan penulis adalah

untuk mengkaji permasalahan atas putusan Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima dan ditolak untuk

selain dan selebihnya, dengan memuat pertimbangan-pertimbangan yang berasal

dari dinamika politik bangsa Indonesia. Sehingga timbul permasalahan dalam

sebuah pertanyaan yaitu:

Apa yang menjadi dasar pertimbangan para Hakim Mahkamah Konstitusi dalam

memutus perkara dalam Putusan Nomor 108/PUU-XI/2013 tanggal 26 Maret

2014?

D. Penelusuran Bahan Hukum

Untuk kajian lebih lanjut mengenai permasalahan hukum dalam penulisan

ini, penulis memulai dengan sejarah singkat hingga akibat hukum daripada

putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa

Mahkamah Konstitusi memiliki empat fungsi sebagaimana yang diungkapkan

oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama kali, Jimly Asshiddiqie,

yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), pengawal

demokrasi (the guardian of democracy), pelindung hak asasi manusia dan hak

konstitusional warga negara (the protector of human rights and the citizens’

Page 23: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

23

constitutional rights), dan penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of

the constitution)7.

1. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi

Pembicaraan mengenai pembentukan lembaga atau badan tersendiri yang

berwenang dalam melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

sudah dibahas oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI), dengan nama Mahkamah Agung, yakni oleh

Muhammad Yamin. Namun saat itu ditolak oleh Soepomo dengan alasan

bahwa Indonesia kala itu masih belum mempunyai pengalaman dalam hal

pengujian undang-undang, dan harus ada lembaga tersendiri dan khusus

(constitutioneel hof) yang mengurusi konsistensi peraturan perundang-

undangan dalam pelaksanaan konstitusi8.

Ide pembentukan sebuah lembaga atau badan yang khusus untuk menguji

peraturan perundang-undang dengan konstitusi (judicial review) berawal dari

langkah yang dilakukan oleh Chief Justice (Ketua Mahkamah Agung

Amerika Serikat) John Marshall pada tahun 1803. Kala itu John Marshall

membatalkan Judiciary Act 1978 karena isinya bertentangan dengan

Konstitusi Amerika Serikat, meskipun di dalam Konstitusi Amerika Serikat

tidak tercantum ketentuan tentang judicial review.9

7 Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitusional Review dan Gagasan Pembentukan

Mahkamah Konstitusi”, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/) diakses pada tanggal 14 April 2014

8 Mahfud MD, Op.Cit, Membangun Politik… hlm. 128 9 Ibid, hlm. 125-127

Page 24: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

24

Sebelum terobosan yang dilakukan oleh John Marshall itu, memang

sudah ada kebiasaan hakim tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang yang

dianggap tidak adil, tetapi John Marshall adalah orang pertama yang (bukan

hanya tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang melainkan) membatalkan

Undang-Undang melalui pengujian. John Marshall mengemukakan 3 alasan

atas rechtsvinding atau penemuan hukum tentang pengujian yudisial itu:10

a) hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi harus melakukan uji materi.

b) konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar the supreme law itu tidak dilangkahi isinya.

c) hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review harus dipenuhi.

d) selain ketiga alasan itu melalui disertasi tahun 1993 saya menambahkan satu alasan lagi tentang perlunya judicial review itu yakni karena hukum adalah produk politik. Karena hukum adalah produk politik, maka harus ada mekanisme pengjian agar isi maupun prosedur pembuatannya benar secara hukum dan bukan hanya menjadi alat justifikasi atas kehendak pemegang kekuasaan politik.

Selain itu, Hans Kelsen menjelaskan bahwa mengenai fungsi legislatif

dari pengadilan, bahwa pengadilan membatalkan hukum yang tidak

konstitusional jika pengadilan itu kompeten untuk membatalkan suatu

peraturan atas dasar bahwa peraturan itu ternyata bertentangan dengan hukum

(undang-undang), atau–seperti kadang-kadang terjadi–bahwa peraturan itu

tampak “tidak masuk akal”. Jika pengadilan membatalkan suatu peraturan

karena peraturan itu tampak tidak masuk akal, maka fungsi legislatif dari

pengadilan adalah sangat jelas. Selanjutnya pengadilan menjalankan fungsi

legislatif ketika keputusan-keputusannya di dalam kasus konkrit menjadi

10 Mahfud MD, “MK dan Politik Perundang-Undangan di Indonesia”, 2009, (http://www. mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_4.pdf), diakses terakhir pada tanggal 1 April 2014

Page 25: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

25

suatu yurisprudensi (pedoman) bagi keputusan tentang kasus-kasus yang

sama. Pengadilan dengan kompetensi ini melahirkan suatu norma umum

melalui keputusan-keputusan yang setaraf dengan undang-undang yang

dilahirkan oleh yang disebut organ legislatif.11

Tidak hanya pada tahun 1945 saja ide untuk membentuk sebuah badan

independen yang khusus melakukan pengujian terhadap Undang-Undang.

Pada tahun 1950 saat diberlakukannya konstitusi Republik Indonesia Serikat,

desakan untuk mengadakan badan atau lembaga untuk menguji Undang-

Undang masih digulirkan, pun hingga pada tahun 1965 ketika Soekarno turun

takhta sebagai Presiden.

Hingga akhirnya pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 di tahun 2001, Mahkamah Konstitusi dimuat

dalam Konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

bersidang saat itu menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk

selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi didasari pada kebutuhan check and

balances antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di mana legislatif sebagai

pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, fungsi legislasi, fungsi

pengawasan, fungsi anggaran, dan impeachment terhadap Presiden dan/atau

Wakil Presiden. Eksekutif sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan,

11 Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, Bee Media Nusantara, hlm. 332-333

Page 26: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

26

sebagai pemimpin negara, mengajukan rancangan undang-undang, pelaksana

undang-undang, dan hubungan ke luar. Sedangkan Yudikatif berperan

sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, di mana terdapat 2 Mahkamah yang

berdiri sejajar yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah

Agung memiliki wewenang dalam hal menguji peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-Undang (yang dibuat oleh legislatif maupun

eksekutif) terhadap Undang-Undang. Dan Mahkamah Konstitusi memiliki

wewenang dalam hal menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagaimana yang diungkapkan Mahfud bahwa kehadiran Mahkamah

Konstitusi merupakan respons yang baik dari upaya amandemen UUD 1945

terhadap tuntutan check and balances antara legislatif dan yudikatif.12

Sehingga terjadi perimbangan antara ketiga lembaga atau kekuasaan tersebut,

dan dapat memutus dominasi atas satu atau dua kekuasaan. Dan tidak terus

menerus dikuasai oleh kekuasaan eksekutif yang selalu didominasi oleh

militer pada masa kejayaan Orde Baru.13

Dari penjelasan sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa yudikatif

atau kekuasaan kehakiman tidak hanya melaksanakan (mengadili) peraturan

perundang-undangan produk eksekutif dan legislatif, tetapi juga melakukan

kontrol terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dianggap

12 Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 75 13 Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat,

dan Prospek Pemberantasan, Jakarta, Gramedia, hlm. 505-506

Page 27: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

27

bertentangan dengan konstitusi yang pucuknya berada pada Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun bukan berarti

Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan mengenai Undang-

Undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa adanya permohonan atas itu. Jika hal

tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi telah

mencampuri urusan yang sesungguhnya bukan menjadi kewenangannya.

Fungsi kontrol atau check and balances atas produk Undang-Undang

sebagaimana yang diurai dalam konstitusi Indonesia adalah sebatas menguji

Undang-Undang yang diajukan atau dimohonkan oleh pemohon yang bukan

dari Mahkamah Konstitusi.

Kendati kekuasaan kehakiman memiliki wewenang dalam menggali

keadilan yang belum atau tidak termuat dalam peraturan perundang-

undangan, bukan berarti Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan

ultra petita. Karena ketika putusan ultra petita dikeluarkan oleh Mahkamah

Konstitusi, maka akan terbangun persepsi bahwa Mahkamah Konstitusi

memutus perkara yang diinginkan. Selanjutnya terjadi konsepsi hakim

menjadi hakim atas dirinya sendiri atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

menjadi pemohon dalam perkara yang diperiksanya. Dan hal itu tentunya

bertentangan dengan asas hukum yang harus dipegang teguh oleh para hakim

yaitu nemo judex idoneus in propia causa.

Page 28: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

28

2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Ada lima model permohonan yang menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7B dan Pasal 24C Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaannya

merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final.

a) Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Permohonan model ini yang sesungguhnya menjadi pokok

bahasan utama yang mendesak segera dibentuknya Mahkamah

Konstitusi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.

Pemohon yang berhak mengajukan permohonan pengujian materi

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Konstitusi adalah perorangan warga negara Indonesia

atau kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan

masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan hukum publik

atau badan hukum privat, atau lembaga negara.

Dari keempat unsur yang telah disebut di atas bukan

merupakan sebuah kesatuan, melainkan cukup salah satu unsur saja

yang harus dipenuhi, maka pemohon tersebut akan memiliki legal

Page 29: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

29

standing dalam mengajukan permohonan. Dan dilengkapi dengan

adanya hak konstitusional pemohon yang telah diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang dirasa telah merugikan pemohon.

Permohonan yang diajukan dalam pengujian undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 ini ada 2 macam, yaitu pengujian formil Undang-Undang dan

pengujian materiil Undang-Undang. Permohonan pengujian formil

Undang-Undang jika Undang-Undang yang akan diuji dianggap

tidak memenuhi syarat pembentukkannya sebagaimana yang telah

diatur peraturan perundang-undangan, tentunya yang menjadi tolok

ukur adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Dan permohonan pengujian materiil Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang dimaksud adalah jika ada 1 atau beberapa atau

keseluruhan isi atau pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan

dianggap oleh pemohon telah bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Dalam permohonan model ini, yang dapat menjadi pemohon

atau termohon adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden,

Badan Pemeriksa Keuangan, Pemerintahan Daerah, atau lembaga

Page 30: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

30

lain yang kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kecuali

Mahkamah Agung. Pemohon yang mengajukan permohonan model

ini harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan

yang dipersengkatan. Sebagai contoh, kewenangan konstitusional-

nya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan

oleh lembaga negara yang lain.

c) Pembubaran Partai Politik

Partai politik yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi

untuk dibubarkan apabila ideologi, asas, tujuan, program, atau

kegiatan partai politik dianggap bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohonnya adalah Pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung

dan/atau Menteri yang ditugasi Presiden untuk itu. Yang jadi

termohon adalah partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai

politik yang dimohonkan untuk dibubarkan.

d) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Pada awal beroperasinya Mahkamah Konstitusi, ada 3 rezim

pemilihan umum dianut oleh Mahkamah Konstitusi dalam

mengadili, yaitu pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden,

pemilihan umum legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan

pemilihan umum kepala daerah. Hingga akhirnya pada tanggal 19

Page 31: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

31

Mei 2014, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengabulkan

permohonan mengenai pengujian terhadap Pasal 236C Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dianggap

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Yang pada pokoknya adalah Mahkamah

Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili

perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sebagaimana

yang diatur dan ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun pada bagian lain amar

putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan masih berwenang

mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama

belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.

Maka, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XI/2013 tanggal 19 Mei 2014 tersebut, rezim pemilihan

umum yang ideal adalah pemilihan umum Presiden dan Wakil

Presiden, dan pemilihan umum legislatif (Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah). Penanganan sengketa hasil pemilihan umum kepala

daerah tetap diberlakukan sampai dengan pembuat undang-undang

Page 32: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

32

mengundangkan undang-undang yang mengatur mengenai lembaga

mana yang berwenang dalam mengadili sengketa hasil pemilihan

umum kepala daerah, agar tidak terjadi kekosongan hukum. Karena

masih akan ada pemilihan umum kepala daerah, yang mana

hasilnya berpotensi terjadi sengketa. Dan pembentukan undang-

undang mengenai hal tersebut tidak bisa segera dibuat dalam waktu

cepat akibat dari pelaksanaan pemilihan umum legislatif yang baru

selesai dilaksanakan 40 hari sebelum adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut, yang artinya legislatif

masih dalam masa transisi.

Oleh karena belum ada undang-undang yang dibuat khusus

untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

97/PUU-XI/2013 tersebut di atas dan Mahkamah Konstitusi masih

berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum kepala

daerah untuk menghindari kekosongan hukum akibat putusannya,

maka tidak ada salahnya untuk tetap menjelaskan sedikit tentang

permohonan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.

Obyek perselisihan pemilihan umum kepala daerah adalah hasil

penghitungan suara yang telah ditetapkan, yang oleh pemohon

dianggap mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat

mengikuti pemilihan putaran kedua, atau mempengaruhi

terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala

daerah. Yang dimaksud pemohon dalam sengketa ini adalah

Page 33: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

33

pasangan calon, dan sebagai termohon adalah Komisi Pemilihan

Umum provinsi atau Komisi Independen Pemilihan provinsi, atau

Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota atau Komisi Independen

Pemilihan kabupaten/kota.

Untuk sengketa hasil pemilihan umum legislatif (Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah), yang menjadi termohon adalah Komisi

Pemilihan Umum. Dan yang menjadi pemohon adalah sebagai

berikut:

1) partai politik peserta pemilu;

2) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah

memperoleh persetujuan secara tertulis dan pengajuan

permohonannya dilakukan oleh partai politik peserta

pemilihan umum yang bersangkutan;

3) partai politik lokal peserta pemilihan umum untuk

pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh;

4) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di

Aceh yang telah memperoleh persetujuan secara tertulis

dan pengajuan permohonannya dilakukan oleh partai

Page 34: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

34

politik lokal peserta pemilihan umum yang

bersangkutan; dan

5) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah

peserta pemilihan umum.

Obyek dalam sengketa hasil pemilihan umum ini adalah

penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum secara nasional

yang dianggap mempengaruhi perolehan kursi pemohon,

terpilihnya pemohon, atau terpenuhinya ambang batas perolehan

suara pemohon. Khusus mengenai terpenuhinya ambang batas

perolehan suara pemohon, pemohon yang dimaksud adalah partai

politik peserta pemilihan umum secara nasional.

Dan untuk obyek dalam sengketa hasil pemilihan umum

Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan hasil pemilihan

umum Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional

oleh Komisi Pemilihan Umum yang menurut pemohon dianggap

mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk pada

pemilihan putaran kedua, atau mempengaruhi terpilihnya pasangan

calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan yang menjadi

pemohon adalah pasangan calon, dan yang menjadi termohon

adalah Komisi Pemilihan Umum.

Page 35: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

35

e) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan

Pelanggaran yang Dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden

Pada perkara pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (atau

lazimnya disebut dengan impeachment), pemohonnya hanya DPR

saja, dan termohonnya tentu hanya Presiden dan/atau Wakil

Presiden. Pemohon wajib menguraikan secara jelas mengenai

dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan

tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Jika permohonan sudah dicatat dalam Buku Registrasi

Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menyampaikan

kepada Presiden paling lambat 7 hari setelah itu.

Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri

pada saat proses pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi menghentikan

pemeriksaan dan menyatakan permohonan pemohon telah gugur.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perkara pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden ini wajib diputus paling lambat 90 hari

Page 36: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

36

sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara

Konstitusi. Dalam perkara ini, Mahkamah Konstitusi menggunakan

kode “PDPR” dalam putusannya.

Keunikan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi tersebut tak

bisa dihindari. Misalnya, catatan mengenai kompetensi dua lembaga

kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) seperti yang

pernah dikritisi Mahfud MD dalam bukunya14 bahwa idealnya Mahkamah

Konstitusi itu diberikan wewenang untuk menangani “konflik peraturan

perundang-undangan”, mulai dari yang tinggi sampai yang paling rendah.

Dan Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk menangani “konflik

antarorang dan/atau badan hukum dan/atau lembaga”. Khusus pada konflik

peraturan perundang-undangan itu harus diberikan batasan tegas agar tidak

tumpang tindih dengan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, karena

pastinya akan ada tarik ulur perihal keputusan-keputusan yang dikeluarkan

oleh para pejabat negara. Ide idealitas Mahfud MD tersebut tentu sejalan

dengan empat fungsi yang dijabarkan oleh Jimly Asshiddiqie pada bagian

sebelumnya di atas.

3. Syarat Hakim Mahkamah Konstitusi

Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 9

orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden, yang terdiri atas 3 orang

14 Mahfud MD, Op.Cit. Membangun Politik…, hlm 134

Page 37: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

37

yang diajukan oleh pemerintah, 3 orang yang diajukan oleh legislatif, dan 3

orang yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan kedudukannya,

terdiri atas 1 orang ketua yang merangkap sebagai anggota, 1 orang wakil

ketua yang merangkap sebagai anggota, dan 7 orang anggota.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai

konstitusi dan ketatanegaraan. Selain itu, hakim Mahkamah Konstitusi harus

memenuhi syarat:

a) warga negara Indonesia;

b) berijazah doktor dan magister15 dengan dasar sarjana yang berlatar

belakang pendidikan tinggi hukum;

c) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d) berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat

pengangkatan;

e) mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan

kewibawaan;

f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan;

15 Frasa “dan magister” tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011

Page 38: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

38

g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;

h) mempunyai pengalaman bekerja di bidang hukum paling sedikit 15

tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara16.

4. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Pada Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki dua macam sidang, yaitu

Sidang Yudisial dan Sidang Non-Yudisial. Sidang Yudisial terdiri atas Sidang

Panel dan Sidang Pleno. Sidang Non-Yudisial merupakan sidang yang

diselenggarakan dalam rangka pengucapan sumpah Ketua dan/atau Wakil

Ketua Mahkamah Konstitusi.

Sidang Panel, yang merupakan bagian dari Sidang Yudisial,

dilaksanakan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi

permohonan, dan dapat juga untuk memeriksa pokok permohonan. Pada

Sidang Panel ini, minimal 3 orang hakim harus hadir. Sedangkan Sidang

Pleno, yang merupakan bagian kedua dari Sidang Yudisial, dilaksanakan

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Seluruh hakim

Mahkamah Konstitusi harus hadir dalam Sidang Pleno ini, yakni 9 orang

hakim. Kecuali dalam keadaan luar biasa (keadaan di mana hakim berada

pada keadaan di luar kebiasaan/idealitas dari seorang hakim), hakim yang

hadir bisa dengan 7 orang saja.

16 Frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara tersebut telah dinyatakan bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011

Page 39: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

39

Selain sidang-sidang yang sudah disebutkan di atas, Mahkamah

Konstitusi memiliki 2 model rapat, yaitu Rapat Yudisial dan Rapat Non-

Yudisial. Rapat Yudisial terdiri atas Rapat Panel Hakim dan Rapat

Permusyawaratan Hakim. Rapat Panel Hakim diselenggarakan untuk

menyusun laporan dan rekomendasi Panel Hakim mengenai pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan persidangan, yang dihadiri minimal 3 orang

hakim. Sedangkan Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk

membahas atau memusyawarahkan perkara dan mengambil putusan. Pola

kehadiran hakim yang digunakan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim ini

sama dengan pola yang digunakan oleh pola kehadiran hakim pada Sidang

Pleno.

Penyelenggaraan Rapat Non-Yudisial dimaksudkan untuk membahas

atau memusyawarahkan dan mengambil keputusan non-perkara. Pola

kehadiran hakim pun sama dengan pola yang digunakan pada Sidang Pleno

dan Rapat Permusyawaratan Hakim di atas. Dengan kata lain, Rapat Non-

Yudisial ini diselenggarakan hanya untuk membahas hal-hal internal

Mahkamah Konstitusi sendiri.

Pemohon yang mengajukan permohonan harus menyerahkan berkas

tertulis sebanyak 12 rangkap mengenai uraian permohonan secara jelas yang

ditandatangani oleh pemohon atau kuasa hukumnya, dan harus disertai alat

bukti yang mendukung permohonan yang dimohonkan. Setelah permohonan

dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah akan

memberikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden paling lambat 7

Page 40: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

40

hari, dan menetapkan hari sidang pertama paling lambat 14 hari kemudian.

Pihak terkait dalam permohonan harus sudah menerima pemberitahuan paling

lama 5 hari kerja. Pemohon dapat menarik kembali permohonan yang

dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi paling lama ketika permohonan sudah

dalam pemeriksaan, dan penarikan permohonan mengakibatkan permohonan

tidak dapat diajukan kembali.

Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan sidang

Mahkamah Konstitusi yang sudah diterima paling lambat 3 hari sebelum hari

persidangan. Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah

dipanggil, Mahkamah Konstitusi dapat menghadirkan saksi secara paksa

dengan bantuan pihak kepolisian.

Pemeriksaan persidangan Mahkamah Konstitusi terdiri atas

pemeriksaan pokok permohonan, pemeriksaan alat bukti tertulis,

mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan

keterangan saksi, mendengarkan pendapat ahli, mendengarkan keterangan

pihak terkait, pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan

dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan

petunjuk. Dan pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang

diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat

optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.

Selain hal-hal tersebut di atas, dalam hukum acara Mahkamah

Konstitusi dikenal penggunaan alat atau sistem elektronik. Pendaftaran

permohonan dapat dilakukan melalui sistem online, atau mendaftarkan

Page 41: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

41

langsung ke situs resmi Mahkamah Konstitusi (www.mahkamahkonstitusi.

go.id). Begitu juga dengan dokumen-dokumen pendukung permohonan dapat

diajukan dengan mengirim surat elektronik (e-mail) ke alamat resmi milik

Mahkamah Konstitusi.

Kemudian dalam persidangannya, Mahkamah Konstitusi juga

menggunakan pemeriksaan jarak jauh (video conference). Penggunaannya

harus menghasilkan gambar secara langsung atau seketika dan suara yang

jelas (real time), atau serupa dengan gaya konvensional (berkomunikasi

secara langsung, berhadap-hadapan). Namun beban yang timbul akibat

pelaksanaan video conference tersebut ditanggung oleh pemohon, sedangkan

penggunaan fasilitas yang tersedia di Mahkamah Konstitusi tidak dikenakan

biaya.

Penggunaan perangkat eletronik tersebut dimaksudkan agar dapat

mewujudkan sistem peradilan yang modern, cepat, dan sederhana menerima

perkara. Mengingat juga bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan satu-

satunya peradilan yang berwenang mengadili perkara pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang

dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, pembubaran partai politik,

sengketa hasil pemilihan umum, dan sengketa konstitusional lembaga negara,

yang pemohonnya bisa saja dari seluruh pelosok wilayah Indonesia.

Page 42: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

42

5. Pertimbangan Yang Digunakan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perkara

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus perkara

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sesuai dengan minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim, disertai dengan

pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Penetapan putusan

Mahkamah Konstitusi menggunakan metode Rapat Permusyawaratan Hakim

yang diselenggarakan untuk mencapai kemufakatan putusan perkara, dan jika

menemukan jalan buntu (dead lock) majelis hakim menggunakan cara

pemungutan suara terbanyak para hakim. Dan putusan Mahkamah Konstitusi

memperoleh kekuatan hukum tetap (final atau erga omnes, dan self executing)

sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.

Dalam membuat pertimbangan atas putusannya, Mahkamah Konstitusi

berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia sebagai pemegang posisi tertinggi dalam hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia, agar putusannya menimbulkan rasa adil.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi dapat merujuk pada teori-teori yang

berhubungan dengan perkara yang diperiksa, dan risalah-risalah sidang

Majelis Permusyawaratan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang

membahas khusus untuk itu.

Selain hal-hal tersebut di atas yang bersifat normatif atau merujuk pada

hal-hal yang diatur khusus untuk itu, Mahkamah Konstitusi dapat juga

menggunakan putusan pengadilan (yurisprudensi), kebiasaan-kebiasaan yang

Page 43: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

43

hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, serta kebiasaan

masyarakat internasional (international customary law atau jus cogens).

Dalam pengadilan Indonesia, yurisprudensi atau jus cogens tidak berlaku

secara imperatif. Dan dalam kenyataannya yurisprudensi tidak banyak

ditemukan17. Selanjutnya dipertegas oleh Jimly bahwa dalam sistem hukum

Indonesia, dipersyaratkan bahwa putusan pengadilan itu (i) harus sudah

merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs), (ii)

dinilai baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak

bersangkutan, (iii) putusan yang harus sudah berulang beberapa kali atau

dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat terpisah, (iv) norma

yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam peraturan tertulis

yang berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas, dan (v) putusan itu dinilai

telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim

eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung

atau Mahkamah Konstitusi untuk menjadi yurisprudensi yang bersifat tetap.

Untuk diakui sebagai yurisprudensi yang bersifat tetap, putusan pengadilan

harus memenuhi kelima persyaratan tersebut secara kumulatif. Namun

demikian, sekali putusan pengadilan itu benar-benar dianggap sebagai

yurisprudensi, maka bagi para hakim di pengadilan, statusnya dianggap

17 Luhut M. P. Pangaribuan, 2008, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan

oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali); Edisi Revisi Maret 2008, Jakarta, Djambatan, hlm. 19

Page 44: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

44

sebagai salah satu sumber hukum yang mengikat seperti halnya undang-

undang.18

6. Akibat Hukum Yang Timbul Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pengujian Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat secara umum sejak putusannya

dibacakan terbuka di depan umum pada sidang putusan Mahkamah

Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan di tingkat

pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mengikat

secara umum yang dimaksud adalah tidak hanya berimplikasi terhadap

pemohon dan/atau termohon saja, melainkan juga berimplikasi terhadap

seluruh warga negara.

Karena Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan

yudikatif atau kekuasaan kehakiman, maka hakim dan putusan Mahkamah

Konstitusi haruslah merdeka dari intervensi pihak mana pun, sehingga

putusannya mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Selain itu,

telah dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum tentang Mahkamah Konstitusi

bahwa “Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang

berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka

menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai

dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi”.

18 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: Jilid I, Jakarta,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Page 45: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

45

Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan Undang-Undang secara

keseluruhan, melainkan menyatakan bahwa materi atau pasal yang

dimohonkan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Mahkamah

Konstitusi tidak dapat memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk

mengganti ataupun mengubah Undang-Undang yang telah diundangkan yang

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya diatur

dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “Putusan Mahkamah

Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara

dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan

diucapkan”.

Putusan hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara

umum baik terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai

penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Akibatnya semua organ penegak

hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak menerapkan lagi hukum yang

telah dibatalkan tersebut. Putusan yang bersifat final dan memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka

untuk umum menyebabkan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian

undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut membawa implikasi atau

akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu

Page 46: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

46

bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat seluruh

warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara.19

7. Judicial Review

Judicial Review merupakan salah satu kewenangan Mahkamah

Konstitusi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi Indonesia

melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada

masa sebelum amandemen atau perubahan atas Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wewenang Judicial Review terletak

pada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara saat

itu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI Nomor

III/MPR/2000 bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat”.

Judicial Review yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi

dapat disebut sebagai pelaksana fungsi kontrol antar 3 pemegang kekuasaan

negara yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan

yudikatif. Di mana dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahwa eksekutif

bersama-sama dengan legislatif membuat Undang-Undang. Sebagaimana

yang dikemukakan oleh Saldi Isra dalam penjelasannya mengenai judicial

review, bahwa dalam terminologi konstitusionalisme, secara simpel judicial

19 Maruarar Siahaan, “Check And Balances dan Judicial: Review dalam Legislasi di Indonesia”, 2012, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/), diakses pada tanggal 17 Mei 2014

Page 47: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

47

review dapat diterjemahkan sebagai konsep yang memiliki kaitan erat pada

konstitusi sebagai perangkat nilai serta aturan tertinggi dan dalam penjagaan

perangkat nilai tertinggi.20

Tidak dapat disangkal bahwa undang-undang yang dibuat oleh kedua

kekuasaan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan politik pada saat itu.

Sedangkan mereka adalah representasi rakyat yang masuk ke dalam partai

politik, dan partai politik mempunyai misi dan ideologi tertentu sesuai dengan

kebutuhan partai politik itu sendiri21. Itu berarti produk yang dihasilkan

belum tentu sejalan dengan teori dan asas hukum legislasi pada umumnya

yang masih dipegang teguh oleh para akademisi.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di Indonesia,

menurut A. Hamid S. Attamini, bahwa asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang patut, khususnya ranah keindonesiaan, terdiri atas:

Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasar Hukum dan Asas

Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi; dan asas-asas lainnya.22 Dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, di samping menganut asas-asas

pembentukan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke

wetgeving), juga harus berlandaskan pula pada asas-asas hukum umum, yang

terdiri atas hukum umum negara berdasar atas hukum (rechtstaat), asas

20 Saldi Isra, 2010, Disertasi: Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 293 21 Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 348 22Bagir Manan, 2009, Yuliandari dalam buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 24

Page 48: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

48

hukum umum pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, asas hukum

negara berdasarkan kedaulatan rakyat.23

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum itu sendiri merupakan produk

politik yang dihasilkan oleh pembuat hukum, yaitu legislatif dan eksekutif,

yang berpotensi menyimpang dari norma-norma yang diatur dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Idealnya, hukum lah

yang mengatur politik sebagaimana konsep supremasi hukum tersebut di atas.

Namun harus disadari bahwa politik lah yang membuat hukum yang di

dalamnya mengatur bagaimana politik itu dijalankan, atau lebih luasnya

kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur.

Sebagaimana hasil telaah atas studi dalam bukunya, Mahfud MD

menyebutkan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa

dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya

konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum

tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka

karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsive/populistik.

Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke arah yang otoriter, maka

produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.24

Kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah sebuah upaya memperkuat

mekanisme check and balances antar lembaga negara sehingga tidak terjadi

penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan negara sebagaimana

23 Loc.Cit 24 Mahfud MD, Op.Cit, Politik Hukum…, hlm 363

Page 49: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

49

dikemukakan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power

corrupt absolutely”. Oleh karena itu sebagai pelaksanaan fungsi check and

balances, jika undang-undang produk legislatif ternyata terbukti melanggar

konstitusi dapat dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.25

Dalam hal ini, kontrol dalam bentuk judicial review tersebut dapat menjadi

sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga

legislatif sehingga tidak merugikan masyarakat.26

8. Konvensi Ketatanegaraan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi memiliki definisi

“permufakatan” atau “kesepakatan”, terutama mengenai adat, tradisi, dan lain

sebagainya. Atau dengan ringkasnya, penulis menyimpulkan bahwa konvensi

merupakan sebuah kebiasaan yang terjadi tanpa didasari oleh sebuah

ketentuan tertulis yang sifatnya mengikat, dan para pihak yang mengikuti

kebiasaan tersebut secara tidak langsung atau tanpa ikrar menyepakati hal

yang menjadi kebiasaan itu, kesepakatan itu hanya sebatas tersirat karena

ditandai dengan tiadanya bantahan atau protes terhadap kebiasaan itu.

AV Dicey, seorang sarjana Inggris yang mula-mula mempergunakan

istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan bahwa

25 Irfan Nur Rahman, Politik Hukum Pengaturan Right to Vote and Right to be Candidate

dalam Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 2, Juni 2013, hlm. 313

26 Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hlm. 679

Page 50: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

50

Hukum Tata Negara (Constitutional Law) yang terdiri atas dua bagian,

yaitu27:

a) Hukum Konstitusi (The Law of the Constitution) yang terdiri dari: 1) Undang-Undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law). 2) Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim

(Judge-made maxims) dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional).

b) Konvensi-konvensi Ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Konvensi merupakan bagian dari konstitusi, yang berlaku dan dihormat

dalam kehidupan ketatanegaraan. Konvensi sebagai pelengkap dari aturan-

aturan tertulis, yang umumnya berlaku di negara-negara modern saat ini,

khususnya negara-negara yang berasaskan demokrasi. Konvensi atau

kebiasaan ketatanegaraan ini merupakan hukum tak tertulis yang secara tidak

langsung terpelihara dalam praktik ketatanegaraan. Sebagai contoh konvensi

ketatanegaraan adalah Presiden yang menyampaikan pidato kenegaraan di

penghujung jabatannya.

Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak

boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh

27 AV Divey, 1999, dalam Dahlan Thaib (et.al): Teori dan Hukum Konstitusi (Edisi Ketiga,

2011), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 121

Page 51: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

51

kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia.28

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam studi kasus terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 tanggal 26 Maret 2014 adalah

dengan menguraikan lebih dahulu mengenai pertimbangan-pertimbangan dan

amar putusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian dilanjutkan dengan menjabarkan

secara urut mengenai sejarah dibentuknya Mahkamah Konstitusi, wewenang yang

dimiliki Mahkamah Konstitusi, syarat-syarat yang harus dimiliki hakim

Mahkamah Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi, pertimbangan hukum

yang digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam membuat

putusan, akibat hukum yang timbul setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi

perihal pengujian undang-undang, judicial review, dan konvensi ketatanegaraan.

Adapun pemaparan mengenai hal-hal tersebut yang diurutkan di atas

merupakan satu kesatuan yang harus diketahui agar pembaca dapat

membayangkan secara jelas mengenai Mahkamah Konstitusi beserta segala yang

melekat padanya. Perihal konvensi ketatanegaraan yang disertakan dalam

pemaparan di atas karena salah satu instrumen yang digunakan oleh Mahkamah

Konstitusi dalam memutus permohonan yang diajukan padanya berasal dari

konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan, khususnya di Indonesia.

28 Dahlan Thaib (et.al), Ibid, hlm. 125

Page 52: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

52

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman

Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai

Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara

dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman

Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara

dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.

Page 53: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

53

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman

Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan

Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Persidangan

Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum

Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur

Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 tentang Tata Tertib Persidangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-IX/2014 tanggal 20 Maret 2014.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tanggal 19 Mei 2014.

Buku

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum

Konstitusi (Edisi Ketiga, 2011), Jakarta, Rajawali Pers.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: Jilid I, Jakarta,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia.

Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, Bee Media

Nusantara.

Luhut Pangaribuan, MP, 2008, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di

Pengadilan oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori

Page 54: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

54

Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali), Edisi Revisi Maret 2008, Jakarta,

Djambatan.

Mahfud MD, Moh. 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

Jakarta, Rajawali Pers.

———————, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers.

———————, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers.

Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali

Pers.

Saldi Isra, 2010, Disertasi: Pergeseran Fugsi Legislasi (Menguatnya Model

Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta,

Rajawali Pers.

Widjaya, HAW, 2005, Penyelenggaraan Otonom di Indonesia, Jakarta, Rajawali

Pers.

Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab,

Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta, Gramedia.

Yuliandari, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta,

Rajawali Pers.

Jurnal

Irfan Nur Rahman, “Politik Hukum Pengaturan Right to Vote and Right to be

Candidate dalam Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”,

Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 2, Juni 2013.

Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model

dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-

Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Mahkamah Konstitusi,

Volume 10 Nomor 4, Desember 2013.

Page 55: tentang Mahkamah Konstitusi dan Judicial Review

55

Rujukan Elektronik

Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan

Mahkamah Konstitusi, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/

sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/), diakses pada

tanggal 14 April 2014.

Mahfud MD, Moh. “MK dan Politik Perundang-Undangan di Indonesia”, 2009,

(http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_4.pdf), diakses pada

tanggal 1 April 2014.

Maruarar Siahaan, “Check And Balances dan Judicial: Review dalam Legislasi di

Indonesia”, 2012, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-

and-balances-dan-judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/), diakses

pada tanggal 17 Mei 2014.