Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif...
Transcript of Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif...
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
1
MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING LAYANAN KESEHATAN
MELALUI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
BERKARAKTER NILAI-NILAI KEISLAMAN
Oleh:
Aliah B. Purwakania Hasan
Universitas Al Azhar Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengembangan karakter sumber daya manusia yang kuat dan positif merupakan hal yang
penting di dalam keberhasilan pembangunan bangsa. Makalah ini bertujuan untuk membahas
pentingnya pengembangan sumber daya manusia yang memliki karakter berlandaskan nilai-
nilai keislaman di dalam industri layanan kesehatan sebagai keunggulan bersaing yang sulit
ditiru untuk memenangkan pangsa pasar. Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan bahwa
karakter yang berlandaskan nilai keislaman yang ditunjukkannya justru membuatnya dapat
meraih pangsa pasar yang lebih besar daripada kompetitornya di dunia bisnis secara umum.
Di lain pihak, rumah sakit merupakan kontribusi Islam bagi dunia kesehatan. Makalah ini
membahas sumber daya manusia sebagai keunggulan bersaing, karakter profesional
kesehatan yang berlandaskan nilai-nilai keislaman, dan pendidikan profesional kesehatan
sebagai wadah untuk menciptakan profesional kesehatan dengan karakter nilai-nilai
keislaman.
Kata kunci: psikologi kesehatan, psikologi Islam, pendidikan karakter, keunggulan bersaing
Dalam era globalisasi yang penuh persaingan, keunggulan bersaing (competitive
advantage) merupakan konsep yang penting sebagai bagian dari strategi untuk meraih pangsa
pasar yang besar. Keunggulan kompetitif merupakan posisi unik yang dapat dikembangkan
oleh suatu usaha dalam menghadapi para pesaingnya yang memungkinkan suatu usaha,
termasuk dalam jasa layanan kesehatan, dapat unggul secara konsisten. Dalam hal ini,
keunggulan hanya dapat dicapai dengan pengembangan diferensiasi yang jelas dan
favourable dibandingkan kompetitornya. Menurut Coyne (1986), keunggulan bersaing hanya
mempunyai makna jika dirasakan di pasar, yang tercermin dalam diferensiasi atribut produk
atau jasa yang merupakan kriteria kunci dalam pembelian. Barney (1991) menyakatakan
bahwa keunggulan tersebut akan berkelanjutan hanya jika para kompetitor tidak bisa dengan
mudah menirunya. Pada intinya, menurut Coyne (1986) kesenjangan kapabilitas yang
mendasari diferensiasi harus membedakan atau memisahkan perusahaan dari kompetitor, jika
tidak maka keunggulan kompetitif yang berarti tidak akan muncul. Kondisi paling penting
untuk mempertahankan keunggulan adalah bahwa para kompetitor yang ada dan potensial
tidak mampu atau tidak akan mengambil tindakan untuk menutup kesenjangan itu. Bila para
pesaing dapat dan akan menutup kesenjangan ini, keunggulan kompetitif tidak dapat
bertahan.
Pengembangan sumber daya manusia yang handal juga merupakan salah satu strategi
yang dapat diterapkan untuk memperoleh keunggulan bersaing. Porter (1991) pada awalanya
menyatakan bahwa pengembangan sumber daya manusia merupakan faktor pembantu dari
keunggulan bersaing. Namun, pada faktanya sumber daya manusia dapat lebih penting dari
sumber daya alam untuk memajukan suatu negara. Negara kecil seperti Singapura, yang
menempatkan sumber daya manusianya sebagai modal utama pembangunannya, dengan
Human Development Index ke-26 dari 187 negara yang diteliti (UNDP dalam The Jakarta
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
2
Post, 2011), dapat bergerak lebih maju dan makmur dibandingkan Indonesia yang secara
potensial memiliki sumber daya alam yang berlimpah, tetapi hanya menempati urutan Human
Development Index ke-124. Selain itu, menurut Pfeffer (1994), investasi dalam teknologi
hanya memberikan keunggulan kompetitif yang terbatas, karena “Machine don’t make things,
people do”. Dengan demikian, untuk membuat organisasi mempunyai daya kompetitif yang
lebih berkelanjutan (sustainable) dan lebih sulit ditiru, investasi dalam sumber daya manusia
sebagai penggerak utama perekonomian, tidak dapat ditunda lagi. Ancaman nyata terbesar
terhadap stabilitas perekonomian adalah angkatan kerja yang tidak siap (workforce
illeguipped) untuk menghadapi tantangan yang semakin tinggi dalam era global.
Konsep keunggulan bersaing melalui pengembangan sumber daya manusia ini, dapat
diterapkan juga dalam pengembangan pangsa pasar untuk berbagai fasilitas kesehatan, seperti
rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya. Semakin banyak industri pelayanan kesehatan
bermunculan pada saat ini, yang menyebabkan persaingan semakin ketat, sehingga masing-
masing fasilitas layanan kesehatan harus mengembangkan keunggulan dan inovasi baru untuk
dapat beradaptasi mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Pada tahun 1998 saja,
terdapat 589 rumah sakit pemerintah dan 491 rumah sakit swasta di Indonesia. Jumlah ini
meningkat pada tahun 2008 menjadi 667 rumah sakit pemerintah dan 653 rumah sakit swasta.
Tahun 2010 jumlah rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta, meningkat
menjadi 1523 unit dengan 653 unit belum terakreditasi. Tahun 2012 jumlah rumah sakit
menjadi 1668 unit, yang belum terakreditasi sejumlah 870 unit. Hal ini menunjukkan bahwa
industri layanan kesehatan dianggap sebagai memiliki prospek dan peluang bisnis yang
menjanjikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat persaingan di dalam industri
ini.
Rumah sakit dapat dipandang sebagai organisasi layanan jasa yang memiliki
spesifikasi dalam sumber daya manusia, sarana prasarana, dan teknologi kesehatan yang
dipergunakan. Rumah sakit sering dianggap sebagai organisasi yang padat modal, padat
sumber daya manusia, padat ilmu pengetahuan dan teknologi dan padat regulasi. Padat modal
karena membutuhkan dana investasi yang tinggi untuk memenuhi persyaratan
penyelenggaraannnya, padat sumber daya manusia karena terdiri dari berbagai profesi dan
karyawan dengan kuantitas yang tinggi, padat ilmu pengetahuan dan teknologi karena
membutuhkan keahlian yang tinggi yang melibatkan banyak peralatan canggih, pada regulasi
karena banyaknya peraturan pemerintah yang mengikat keberadaan rumah sakit tersebut.
Rumah sakit merupakan industri pemberi layanan jasa, yang bentuk produk yang
dihasilkannya tidak berwujud atau intangible, yang bentuknya didasarkan oleh pemberi jasa.
Pemberi jasa adalah sumber daya manusia yang bekerja di dalam rumah sakit tersebut, yang
merupakan unsur penting dalam memberikan pelayanan kesehatan. Dengan demikian,
sumber daya manusia merupakan bagian diferensiasi dari industri layanan kesehatan, yang
penting untuk diperhitungkan untuk mendapatkan nilai tambah dalam menciptakan
keunggulan kompetitif. Sarana prasarana dan teknologi kesehatan memungkinkan untuk
ditiru atau dimiliki oleh penyedia jasa layanan kesehatan lainnya, tetapi sumber daya manusia
adalah bersifat unik.
Gagasan untuk mendirikan rumah sakit sebagai tempat khusus untuk merawat orang-
orang yang sakit, sebenarnya merupakan gagasan yang muncul pada khalifah Islam periode
awal perkembangan. Prototip rumah sakit modern pertama dibangun di Jundishapur oleh
Khalifah Al-Walid I dari dinasti pemerintahan Ummayah (86-96 H atau 705-715 M), yang
merupakan leprosarium (tempat peristirahatan penderita kusta) untuk tempat karantina
penderita lepra dengan penderitaan penyakit lainnya, yang diselenggarakakn dengan sistem .
Namun, di tempat itu, selain segregasi berdasarkan penyakit, telah dilakukan sistem
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
3
penggajian bagi dokter yang bekerja di sana, bahkan tempat ini dianggap sebagai pusat
pendidikan ilmu kedokteran saat itu.
Pada tahun 750 M, Baghdad mulai mengusahakan untuk membangun rumah sakit
modern pertama di ibukota dinasti Abbasiyah. Khalifah Abu-Gaifar Al-Mansur yang
memerintah saat itu, pada tahun 766 M, menugaskan pimpinan sekolah kedokteran di
Jundishapur, Jurjis Ibn-Bakhtishu', untuk menjadi kepala tim dokter dan mulai membangun
rumah sakit untuk menunjukkan kejayaan dan kebesaran Baghdad. Ketika Harun Al-Rashid
menggantikannya (786-809 A.D.), ia meminta cucu Ibn-Bakhtishu yang juga salah satu
dokter utamanya, Jibrail, untuk meneruskan pembangunan rumah sakit khusus yang disebut
Rumah Sakit Baghdad. Rumah sakit ini berkembang menjadi pusat pengobatan terpenting.
Rumah sakit Islam dapat berkembang dengan tersedianya berbagai sumber daya, baik
finansial maupun sumber daya manusia yang unggul. Perkembangan rumah sakit sebagai
pusat pembelajaran dan pengobatan untuk merawat orang-orang yang sakit merupakan
perkembangan alamiah dari penyelidikan dan penemuan ilmiah. Rumah sakit mulai
berkembang dari filosofi pemikiran, agama, budaya Islam disertai penelitian ilmu alam.
Di Indonesia terdapat rumah sakit tertentu yang menggunakan nama Islam, atau lebih
tepat disebut sebagai “rumah sakit Islam”. Banyak masyarakat yang mengharapkan rumah
sakit ini dapat melaksanakan nilai-nilai keIslaman dalam manajemen dan pelaksanaannya.
Rumah sakit Islam di Indonesia umumnya telah berusaha menanamkan nilai-nilai “Bekerja
sebagai ibadah, ikhsan dalam pelayanan”. Namun, pada kenyataannya rumah sakit yang
berlabel “rumah sakit Islam” ini tidak terlepas dari berbagai masalah. Bulan Oktober 2006,
misalnya 2 dokter di salah satu rumah sakit Islam di Jakarta dilaporkan ke Polda Metro Jaya
dengan surat laporan 3924/K/X/2006, karena orang tua merasa terjadi kesalahan diagnosis
yang mengakibatkan bayinya meninggal. Berbagai kasus dengan tuduhan malpraktik juga
sering terjadi di berbagai rumah sakit Islam, seperti juga di rumah sakit lainnya, walaupun
sering kali tidak terbukti. Selain masalah malpraktik, masalah manajemen juga dapat terjadi
di rumah sakit Islam. Misalnya, salah satu rumah sakit Islam di Gorontalo sempat ditutup
pada pertengahan akhir tahun 2011 selama enam bulan karena adanya aksi mogok dari para
karyawannya.
Hal ini menunjukkan bahwa tantangan untuk mengembangkan rumah sakit Islam
yang benar-benar memiliki karakter unggul yang berlandaskan nilai-nilai keislaman masih
merupakan hal yang cukup berat. Untuk itu, di dalam makalah ini akan dibahas bagaimana
nilai-nilai keislaman dapat dikembangkan dalam industri layanan kesehatan, terutama rumah
sakit Islam, dan layanan kesehatan lainnya secara umum. Pembahasan meliputi
pengembangan sumber daya manusia dengan karakter Islami dapat menjadi keunggulan
kompetitif, karakter berlandaskan nilai-nilai keislaman yang seharusnya dimilliki oleh
profesional kesehatan, dan pendidikan yang diberikan untuk membentuk karakter profesional
kesehatan.
KARAKTER ISLAMI SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF
Hal mendasar yang membedakan perilaku kerja Islami dan tidak adalah segala
perilaku kerja Islami didasarkan kepada akhlak, moral dan etika Islami. Memang, dalam
jangka pendek, landasan ini tidak selalu menjamin keberhasilan, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ali bin Abi Thalib ra: “Kebenaran yang tidak terorganisasi dengan rapi dapat dikalahkan
oleh kebatilan yang diorganisasikan dengan baik”. Penerapan akhlak, moral dan etika Islami
sebagai landasan kerja bagi beberapa orang seringkali dianggap sulit, tidak praktis dan tidak
menguntungkan. Menempuh jalan ini bagaikan menempuh jalan terjal dan berliku. Namun,
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
4
dalam jangka panjang, akan terlihat keunggulan penerapan landasan Islami dalam segala
bidang pekerjaan bagi kepentingan seluruh ummat manusia.
Keberhasilan penerapan akhlak, moral dan etika Islami sebagai landasan kerja
dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang pedagang dan pebisnis
unggul, beliau menjalani usaha dan pekerjaannya berbasis ajaran Islam. Hasilnya, bisnis
perdagangan yang dijalankannnya dengan jujur dan amanah maju pesat dan meraih
keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berlaku curang. Dengan
bertindak transparan terhadap kelebihan dan kekurangan barang dagangannya, beliau justru
meraih kepercayaan pasar dan mendapatkan kesetiaan pelanggan.
Bermodalkan kepercayaan yang telah didapatnya dari hasil kerja yang berlandaskan
moral dan etika Islam ini, Nabi Muhammad SAW berhasil menyebarkan Islam ke berbagai
kalangan. Para pengikutnya belajar untuk menerapkan landasan moral dan etika kerja ini
dalam berbagai bidang pekerjaan. Hasilnya, selama dua abad setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, Islam menguasai lebih dari dua pertiga belahan dunia. Pemerintahan
Islam maju sedemikian pesatnya dan Islam menjadi pusat peradaban dan perdagangan dunia.
Kemajuan peradaban Islam ini diakui oleh ilmuwan Barat. Adam Smith, dalam buku
The Wealth of Nation mencoba membandingkan perbedaan tingkat kemajuan ekonomi
masyarakat terdahulu. Contoh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang terbelakang yang
ditandai dengan mata pencarian sebagai pemburu adalah masyarakat Indian di Amerika
Utara, sementara contoh masyarakat ekonomi maju yang ditandai dengan perdangan adalah
masyarakat Arab yang disebutnya sebagai “Mohamet and his immediate successors” (atau
Muhammad dan pengikut langsungnya). Menurut Adam Smith, pada tahun 744 M, dinar
Islam merupakan mata uang terkuat di dunia dan perdangangan internasional yang dilakukan
oleh pedagang Islam telah jauh mencapai Eropa Utara. Menurut Adam Smith, keberhasilan
ini terletak pada keramahan dan kemurahan hati mereka.
Dengan demikian, terlihat bahwa penerapan akhlak, moral dan etika Islami sebagai
landasan kerja yang diajarkan dan diterapkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW tidak
dapat dianggap sebagai penghambat kemajuan. Landasan ini justru membawa tingkat
keberhasilan yang luar biasa. Keberhasilan ini terbukti secara empiris melalui pengalaman
Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya, bahkan terus berlangsung lama
berabad-abad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Untuk menjadikan karakter yang berbasis nilai-nilai Islami menjadi keunggulan
kompetitif dalam dunia bisnis, terutama industri layanan kesehatan, bukan sesuatu yang
mudah. Dalam banyak praktek bisnis, isu-isu SDM masih cenderung diabaikan. Keunggulan
kompetitif yang biasanya dibahas dalam konteks perencanaan strategik adalah lebih
menekankan keunggulan atribut produk/jasa, teknologi dan kapabilitas manufakturing,
analisis industri dan persaingan pasar, dan kebutuhan pelanggan, serta seringkali meletakkan
isu-isu SDM di latar belakang. Porter (1985),dalam pendekatan Value Chain yang sangat
terkenal bahkan memperlakukan manajemen SDM hanya sebagai suatu kegiatan pendukung.
Peran pengembangan dana manajemen SDM di masa depan akan didasari seberapa
besar SDM dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan keunggulan kompetitif
berkelanjutan. Barney (1991) mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum
suatu sumber daya dapat disebut sebagai sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan:
(1) Merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga (valuable), terutama dalam
kaitannya dengan kemampuan untuk mengekploitasi kesempatan dan/atau menetralisir
ancaman dari lingkungan perusahaan, (2) relatif sulit untuk dikembangkan dan sehingga
menjadi langka di lingkungan kompetitif, (3) sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi, (4) tidak
dapat dengan mudah digantikan oleh pengganti lain secara signifikan. Bila pengembangan
SDM bisa menciptakan keunggulan kompetitif nyata, maka manajemen SDM akan
diintegrasikan secara penuh dalam tahap-tahap baik formulasi maupun implementasi proses
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
5
manajemen strategik. Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah telah mengambil
langkah-langkah awal yang tepat dengan mengambil prioritas pengembangan SDM melalui
peningkatan pengeluaran-pengeluaran untuk investasi dalam human capital. Esensi investasi
dalam SDM adalah pengeluaran-pengeluaran yang ditujukan pada peningkatan kapasitas
produktif manusia. Justifikasi logis pengeluaran-pengeluaran tersebut adalah bahwa tenaga
kerja yang produktif akan meningkatkan produktivitas perusahaan, yang pada gilirannya juga
berarti peningkatan laba perusahaan secara keseluruhan. Investasi SDM terutama ditekankan
pada peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan kerja.
Dalam hal ini, industri layanan kesehatan dapat berusaha untuk memformulasikan
pengembangan sumber daya manusia yang berbasis nilai-nilai keIslaman sebagai keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan. Untuk itu, kondisi yang digambarkan oleh Barney (1991)
harus dapat dipenuhi. Pengembangan SDM yang berbasis karakter nilai-nilai keislaman dapat
menjadi sumber daya organisasional yang sangat berharga dengan adanya kemampuan untuk
membuka kesempatan baru dan menetralisir ancaman dari lingkungan. SDM dengan karakter
yang tangguh , tidak mudah menyerah dan memiliki spiritualitas tinggi, meskipun langka,
sulit ditiru, dan sulit digantikan, haruslah mampu bersaing secara positif di lingkungan
kompetitif. Bila pengembangan SDM berbasis nilai-nilai keIslaman bisa menciptakan
keunggulan kompetitif nyata, maka manajemen SDM berbasis nilai-nilai keIslaman akan
diintegrasikan secara penuh dalam segala tahap-tahap proses manajemen strategik, baik
formulasi maupun implementasi.
ISLAM DAN KARAKTER PROFESIONAL KESEHATAN
Perumusan karakter ideal profesional di bidang kesehatan telah dilakukan sejak lama.
Salah satu upaya yang bersifat internasional dilakukan dalam First International Conference
of Islamic Medicine di Kuwait pada tanggal 12 - 16 Januari 1981 (6 - 10 Rabiul Awal 1401).
Hasil dari konferensi internasional itu menyatakan bahwa seorang dokter yang telah
diwisuda dan disumpah dari universitas Islam harus memelihara karakter kepribadiannya. Ia
harus memiliki karakter sebagai seorang pribadi muslim sesuai yang telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Menurut konferensi itu, karakter dokter muslim yang ideal adalah
sebagai berikut:
Dokter harus berasal dari orang-orang yang beriman kepada Allah, memenuhi
panggilan-Nya, dan menyadari kebesaranNya. Mematuhi semua perintahnya,
meninggalkan larangannya, dan melihat-Nya baik secara sembunyi maupun terang-
terangan.
Dokter harus dikaruniai kebijaksanaan dan kemampuan memberikan peringatan. Ia
harus gembira tidak kecil hati, murah senyum dan tidak bermuka masam, penyayang dan
tidak pembenci, toleran dan tidak menyudutkan. Ia tidak boleh menyerah pada keluhan
atau jatuh pada kekurang pengampunan. Ia harus merupakan alat keadilan Allah,
pemaaf dan bukan penghukum, pelindung dan bukan pengungkap.
Ia harus tenang dan tidak pernah tergesa-gesa, sekalipun ketika memiliki
pembenarannya... Memelihara kata-katanya sekalipun waktu bersenda gurau… lemah
lembut suaranya dan tidak gaduh atau keras, rapi dan teratur dan bukan tidak bercukur
atau tidak terurus… dapat dipercaya dan menimbulkan rasa hormat… bertingkah laku
sopan dalam berhubungan baik dengan orang miskin ataupun kaya, orang kecil ataupun
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
6
besar… mampu mengontrol sepenuhnya… dan tidak pernah merendahkan orang lain,
namun rendah hati dan penyabar.
Dokter harus mengetahui dengan jelas bahwa "kehidupan" adalah milik Allah…
dianugerahkah hanya oleh-Nya… dan "kematian" itu akhir dari kehidupan seseorang
dan merupakan permulaan hidup berikutnya. Kematian adalah kebenaran yang tak dapat
dibantah… dan merupakan akhir dari segalanya kecuali Allah. Dalam profesinya, doker
merupakan penjelas bagi "kehidupan" semata dan mempertahankannya sebisa mungkin
sebaik kemampuannya.
Dokter harus memberikan teladan yang baik dengan memelihara kesehatannya sendiri.
Tidak tepatlah jika perintah dan larangannya tidak diperhatikan terutama oleh dirinya
sendiri. Ia tidak boleh membelakangi pelajaran dan kemajuan bidang kedokteran, karena
ia tidak akan pernah meyakinkan pasien-pasiennya kecuali mereka melihat bukti dari
keyakinannya sendiri. Allah memberikan petunjuk bagi kita di dalam "Quran" dengan
berfirman, "janganlah tanganmu menjerumuskan engkau ke dalam kebinasaaan.1"
Nabi berkata "tubuhmu mempunyai hak atas dirimu2"... dan ajaran yang terkenal
adalah "tak ada aniaya atau penganiayaan dalam Islam3".
Dokter harus penuh kejujuran ketika ia bicara, menulis atau memberikan kesaksian. Ia
tidak boleh didikte oleh keyakinan, ketamakan, persahabatan atau kekuasaan yang
menekannya untuk membuat pernyataan atau kesaksian palsu. Kesaksian merupakan
tanggung jawab yang berat dalam Islam. Nabi pernah bertanya kepada sahabat-
sahabatnya, "maukah engkau aku ceritakan dosa terbesar?" Ketika mereka menjawab ya,
beliau bersabda "menyekutukan Allah, tidak berbakti kepada orang tua…" dan, setelah
hening sejenak ia berulang kali berkata "dan sungguh berbicara bohong dan kesaksian
palsu.
Dokter harus memiliki pengetahuan ambang dari perundang-undangan, peribadatan, dan
pokok-pokok fiqih yang dapat membuatnya memberikan nasehat kepada pasiennya
tentang kesehatan dan kondisi tubuh yang berhubungan dengan ritual peribadatan. Laki-
laki dan perempuan merupakan subyek simptoma, keluhan penyakit atau situasi biologis
seperti kehamilan dan ingin mengetahui aturan agama yang berkaitan dengan shalat,
puasa, naik haji, keluarga berencana dan lain-lain.
Meskipun "keadaan darurat membolehkan larangan", dokter muslim bagaimanapun
harus berusaha menghindari pemberian obat-obatan atau cara-cara terapi termasuk
pembedahan, pengobatan, atau perilaku yang dilarang dalam Islam.
Peran dokter adalah sebagai katalisator yang melaluinya Allah, Sang Maha Pencipta,
bekerja untuk memberikan kehidupan dan kesehatan. Ia semata-mata merupakan alat
Allah dalam mengurangi penyakit manusia. Dengan rancangan demikian dokter harus
bersyukur dan selalu mencari pertolongan Allah. Dia harus rendah hati, jauh dari
kesombongan dan ketakaburan, dan tidak pernah menyombongkan diri dan menunjukkan
tanda-tanda membesarkan diri sendiri melalui perkataan, tulisan atau iklan langung
maupun secara halus.
1 QS Al Baqarah 2: 195 2 HR Bukhari 3 HR Ibnu Majjah
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
7
Dokter harus berusaha keras untuk tetap mengikuti kemajuan dan inovasi ilmu
pengetahuan. Semangat atau kepuasannya, dan pengetahuan atau kebodohannya, secara
langsung mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan pasien-pasiennya. Tanggung
jawab untuk orang lain harus membatasi kebebasannya untuk menghabiskan waktunya.
Sebagaimana orang-orang miskin dan terlantar diakui haknya dalam harta orang yang
mampu, demikian juga pasien memiliki andil dalam waktu yang digunakan dokter untuk
belajar dan mengikuti perkembangan dunia kedokteran. Dokter juga harus mengetahui
bahwa menuntut ilmu memiliki indikasi ganda dalam Islam. Selain aspek terapetik
terapan, memperoleh ilmu pengetahuan sendiri merupakan ibadah, menurut bimbingan
Qur'an, "dan katakanlah: wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu pengetahuan4",
dan "sesungguhnya orang-orang yang mengingat-Nya … adalah orang-orang yang
paling berilmu5"… dan "Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beberapa derajat6"
Kode etik yang dirumuskan dalam konferensi islam internasional di atas mencoba
membahas karakter yang harus dimiliki seorang dokter muslim. Karakter yang terpuji ini
tidak hanya bermanfaat bagi diri dokter muslim itu sendiri, namun juga bermanfaat dalam
memaksimalkan hasil dalam perawatan dan pengobatan pasien. Karakter yang positif ini,
merupakan tradisi dari dokter muslim sejak awal perkembangan kedokteran Islam, yang
harus tetap dibawa dokter muslim dalam praktik kedokteran yang dilakukannya saat ini.
Seorang dokter muslim tidak hanya dituntut untuk melayani pasiennya, namun juga
mengintegrasikan hukum Islam dalam praktik yang dilakukannya. Ia juga harus melayani
kebutuhan peribadatan Islam yang mungkin tidak terlayani orang lain dengan baik.
Namun, untuk mendapatkan keuntungan kompetitif yang jelas, dokter muslim harus
memiliki karakter yang lebih unggul dibandingkan dokter non-muslim. Dari segi teknologi
dan sains, seluruh dokter memiliki kategori yang sama, yang mendorong proses-proses
psikologis yang hampir serupa. Walaupun demikian, dalam praktik kedokterannya, dokter
muslim melihat bahwa dirinya memiliki ikatan dengan profesinya ditambah dengan ikatan
dari ajaran Islam yang menjadi keyakinannya. Pada faktanya, dokter muslim yang berusaha
mengamalkan ajaran Islam dalam keseluruhan hidupnya, diharapkan dapat berperilaku
berbeda dalam berbagai kesempatan dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar
dibandingkan dokter non-muslim.
Seperti yang telah diimplementasikan di berbagai rumah sakit Islam di Indonesia,
seorang dokter muslim harus menginternalisasi nilai “bekerja adalah ibadah dan ikhsan dalam
pelayanan” di dalam dirinya. Allah telah menentukan tujuan dari penciptaan manusia sebagai
bagian dari alam secara keseluruhan. Tujuan utama kehidupan manusia adalah untuk
mendapatkan keridhaan Allah, sebagaimana dalam surat “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahKu (QS Adz Dzariyat 51: 56).” Dengan
demikian, bekerja secara keseluruhan merupakan ibadah terhadap Allah SWT. Dalam
mencapai tujuan ini, para profesional di bidang kesehatan harus dapat bersabar dan bersiap
siaga (murabathah), sesuai dengan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman,
4 QS Thaha 20: 114 5 QS Az Zumar 39: 9 6 QS Al Mujadilah 56: 11
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
8
bersabarlah kamu da kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu beruntung (QS Ali Imran 3: 200).” Al Ghazali (1058-1128)
menggambarkan bahwa kesiapsiagaan dalam bekerja terdiri dari beberapa maqam, meliputi
penetapan syarat (musyarathah), pegawasan (muraqabah), pengauditan (muhasabah),
kesiapan menerima sanksi (mu’aqabah), kesungguhan bekerja (mujahadah) dan bersikap
kritis (mu’atabah). Penetapan syarat dapat dilakukan ketika menyusun tujuan dan rencana
kerja. Dalam hal pengawasan, ummat Islam harus mempercayai bahwa apapun yang mereka
kerjakan, pekerjaan mereka tidak hanya dipantau oleh penyelia kerjanya, namun yang lebih
utama oleh Allah SWT. Setelah itu, dalam bekerja, ummat Islam juga harus dapat melakukan
perhitungan yang benar terhadap pekerjaannya. Melalui perhitungan tersebut, ia harus siap
menerima sanksi akibat dari perilaku kerjanya, termasuk menghukum diri sendiri jika
melakukan kesalahan. Untuk keberhasilan lebih lanjut, ia harus tetap bersungguh-sungguh
dalam pekerjaannya. Ia juga harus bersikap kritis, terutama terhadap dirinya sendiri.
Untuk mencapai tujuan itu, perilaku yang dilakukan oleh profesional di bidang
kesehatan harus sesuai dengan nilai-nilai Islami. Nabi Muhammad SAW memiliki berbagai
sifat yang merupakan kunci dari keberhasilan pekerjaannya. Karakter Nabi Muhammad SAW
ini meliputi shiddiq, fathanah, amanah, dan tablig. Inilah yang merupakan karakter ideal
pekerja Islami.
Shiddiq berarti memiliki kejujuran dan kebenaran. Orang yang memiliki karakter ini
selalu melandasi ucapan, keyakinan, serta perbuatan berdasarkan ajaran Islam. Tidak ada
kontradiksi dan pertentangan yang disengaja antara ucapan dan perbuatan. Dalam pekerjaan,
orang yang memiliki karakter ini selalu berusaha di dalam kebenaran dan menjauhi
kebohongan. Orang dengan karakter ini akan melaksanakan pekerjaannya dan melakukan
bermacam-macam transaksi bisnis dengan jujur dan tidak pernah berdusta ataupun menipu. Ia
berusaha menepati janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan, dan berusaha
untuk memperbaiki diri terus menerus. Selain itu ia juga tahan uji, ikhlas dan memiliki
keseimbangan emosional.
Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala hal
yang menjadi tugas dan kewajiban. Sifat ini akan menumbuhkan kreativitas dan kemampuan
untuk melakukan beragam inovasi yang bermanfaat. Ia selalu berusaha untuk menambah
berbagai ilmu pengetahuan, peraturan dan informasi, baik yang berhubungan dengan dirinya
maupun lingkungannya. Dalam pekerjaan, seseorang dengan sifat ini bekerja menggunakan
kecerdasan dan kemampuan yang dimilikinya. Ia berusaha megumpulkan segala informasi
berkaitan dengan pekerjaan atau pun perusahaan. Ia memiliki visi dan misi kerja yang jelas,
kecerdasan dalam memimpin, memahami produk dan jasa yang ditawarkan, dan mau belajar
secara berkelanjutan. Secara kreatif, ia juga berusaha untuk mencari dan menemukan
peluang-peluang baru dan prospektif. Ia berwawasan masa depan, namun tetap dengan berdiri
di atas kekinian. Sifat fathanah sering dianggap perpaduan antara alim dan hafidz, yang telah
mengantarkan Nabi Yusuf as dan rekan-rekannya berhasil mencegah Mesir dari kehancuran
dan membangun kembali kemakmuran negeri ini. Sifat fathanah ini juga merupakan sifat
utama Nabi Muhammad SAW yang membawanya mendapatkan keberhasilan dalam bisnis
perdagangannya.
Amanah berarti memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan
kewajiban. Orang yang amanah dapat dipercayai. Amanah ditampilkan dalam bentuk
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
9
keikhlasan, keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik)
dalam segalah hal.. Ia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya, bersifat
transparan dan tepat waktu. Ia bersifat adil, memiliki kepercayaan diri dan siap menanggung
resiko pekerjaan yang ditempuhnya. Ia setia dalam melaksanakan janji terhadap
pelanggannya.
Tablig berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Orang dengan sifat ini
mampu berkomunikasi dengan baik. Ia memiliki sifat yang fleksibel dalam berinteraksi
dengan berbagai pihak yang memiliki berbagai karakter. Ia mampu mendeskripsikan tugas
dan mendelegasikan wewenang kepada orang lain. Ia mampu bermain dan bekerja sama
dalam tim kerja. Ia cepat tanggap dalam menerima dan menyelesaikan masalah. Jika menjadi
pemimpin, ia merupakan pemimpin yang mampu melakukan kordinasi, kendali dan
pengawasan tugas dengan baik. Tablig yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif
dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang teguh dan kuat.
Dokter muslim harus menyadari bahwa Allah mengawasi dan memonitor setiap niat
dan perbuatan. Berdasarkan ajaran Islam, dokter tidak dapat memberikan rekomendasi untuk
melakukan hal yang berbahaya bagi pasiennya, sebaliknya dokter tidak dapat mengikuti
tuntutan pasien jika bertetentangan dengan perintah Allah. Aspek humanistik dari profesi
medikal tidak dapat diabaikan. Dokter muslim harus memberikan pertolongan kepada semua
pihak tanpa memandang kemampuan finansial ataupun ras pasien. Ketika berhadapan dengan
perawatan pasien, dokter harus memberikan nasehat yang dibutuhkan, tanpa disikriminasi.
Dengan mempertimbangkan keserasian alamiah jiwa dan tubuh pasien, dokter harus
menjalankan kewajibannya dengan melaksanakan yang benar dan mencegah yang salah.
Dokter muslim harus menyadari bahwa ia tidak sendirian dalam tugasnya. Ia
merupakan bagian dari kelompok profesi kesehatan yang bertugas bersama-sama untuk
mencapai tingkat kesehatan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian, ia
harus membina hubungan baik dengan rekan sejawatnya; baik senior, junior maupun yang
satu tingkat dengannya. Dokter harus menjaga nama baik rekan seprofesinya. Dokter harus
memandang rekan sejawatnya sebagai saudaranya.
Dokter muslim memikul tanggung jawab kemasyarakatan. Seorang dokter muslim
merupakan milik masyarakat Islam yang hidup dalam ikatan kepentingan yang sama dalam
rasa persaudaraan dan solidaritas timbal balik. Implikasinya, dokter muslim merupakan
anggota masyarakat Islam yang berada dalam lembaga yang sama yang penting untuk
keselamatan dan perkembangan hidupnya. Di samping itu, ia harus secara aktif menunjukkan
Islam yang sesungguhnya baik kepada muslim maupun non-muslim. Dokter muslim harus
merupakan orang yang beriman kepada Allah dan melaksanakan ajaran Islam dalam praktik,
baik bersifat pribadi maupun publik. Ia harus memenuhi tata perundang-undangan yang
berlaku dalam masyarakat, khususnya yang mengatur profesinya. Ia tidak boleh menyerah
kepada tuntutan masyarakat atau pasiennya, jika bertentangan dengan ajaran agamanya. Ia
tidak boleh melakukan hal yang berbahaya bagi masyarakat. Dalam memberikan layanan
kepada masyarakat, ia tidak boleh mengabaikan mereka yang membutuhkan, namun
memberikan pelayanan yang dengan memikirkan kondisi tubuh dan kejiwaan pasiennya.
Dokter harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam menjalankan tugasnya di
masyarakat.
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
10
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dokter muslim harus dapat mengatur
keserasian dan keselarasan antara keimanan dan pengobatan. Dengan menerima Allah
sebagai penyembuh, dan dokter hanya merupakan agen atau katalisator, baik dokter dan
pasien sesuai dengan sumpahnya dapat bekerjasama memerangi penyakit dengan kepasrahan
kepada Allah yang mendorong kekuatan untuk lebih dapat menerima situasi yang
dihadapinya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa pengakuan spiritual seperti ini akan
meningkatkan keadaan psikologis pasien dan mempertinggi moralitasnya yang dapat menjadi
kekuatan untuk mengatasi kelemahan fisik dan penyakit. Secara faktual, keimanan
memainkan peranan untuk mendapatkan keajaiban dalam proses pengobatan. Dokter muslim
harus membuat keimanan sebagai tulang punggung dari prosedur pengobatannya secara
keseluruhan.
PENDIDIKAN PROFESIONAL KESEHATAN BERBASIS NILAI KEISLAMAN
Pendidikan kedokteran Islam memiliki karakter yang berbeda dengan pendidikan
kedokteran umum. Pendidikan kedokteran Islam memiliki beban untuk menanamkan nilai-
nilai Islam ke dalam pribadi mahasiswanya. Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, para
pengajar diharapkan dapat menjadi teladan, sementara mahasiswa diajarkan untuk bersikap
kritis dalam menuntut ilmu. Pendidikan kedokteran merupakan bentuk ibadah terhadap
Allah, karenanya semua pihak harus berusahat mendorong terjadinya hal-hal yang bersifat
positif dan mencegah hal-hal yang bersifat negatif. Pendidikan kedokteran Islam juga
mengintegrasikan nilai-nilai keimanan dalam praktik pengobatan. Selain itu, kurikulum
pendidikan kedokteran Islam harus dapat membangkitkan kembali warisan ilmu kedokteran
dan ilmu pengetahuan lain dari era peradaban Islam, serta mempelajari faktor-faktor yang
mendasari kebangkitan dan kemunduran peradaban Islam demi meraih kembali kebangkitan
peradaban Islam.
Dari sisi sejarah, pendidikan ilmu pengobatan dalam dunia Islam telah berlangsung
lama. Secara informal Nabi Muhammad SAW telah mewariskan pengajaran nabi yang
tercatat dalam kumpulan sunnah dan hadist. Ibnu Qayim al Jauziyah dan ulama Islam
kemudian menuliskannya dalam buku Ath Thib an Nabawi. Setelah itu, dunia kedokteran
Islam mengalami pengaruh positif dari pergaulannya dengan suku bangsa dan agama lain.
Pada awal abad ke-4 M, di Jundishapur, suatu kota di Persia bagian barat daya, berkembang
sekolah kedokteran yang merupakan cikal bakal pendidikan kedokteran dunia saat ini, yang
didirikan oleh Raja Sassanid Shapur ke-11. Di Jundishapur, dokter-dokter Arab mempelajari
ilmu kedokteran Yunani di bawah pimpinan ilmuwan Nestorian. Sekolah medik di
Jundishapur, yang berarti kebun yang indah, terus berkembang berabad-abad dengan bantuan
pengungsi intelektual, filsuf Yunani dari Athena dan ilmuwan Nestorian dari Edessa, yang
dikejar oleh kekaisaran Byzantium. Sementara itu Baghdad juga mencoba mendirikan rumah
sakit yang sekaligus menjadi institusi pendidikan. Salah satu yang cukup terkenal adalah
Rumah Sakit Al Adudi di Baghdad, di bawah pimpinan Ar-Razi. Pendidikan kedokteran
Islam mementingkan pelatihan klinik di samping tempat tidur rumah sakit, baik melalui
program magang atau pengajaran formal. Dalam tulisan medik, seperti ensiklopedi Al-
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
11
Majusi, terdapat gambaran bagaimana mendorong mahasiswa magang untuk mendapatkan
pelatihan klinik.
Pada masa itu, pendidikan kedokteran merupakan hal yang serius dan sistematik.
Kuliah pengajaran klinik didasarkan pada sistem magang. Namun, seseorang tidak akan
diberikan kurikulum dasar kedokteran dan praktik klinis magang, tanpa menyelesaikan
pelatihan ilmu dasarnya terlebih dulu. Dengan cara ini, seorang kandidat dokter telah
memiliki pengetahuan yang cukup sebagai dasar pendidikannya. Langkah selanjutnya yang
diberikan pada mahasiswa adalah pelatihan klinik. Selama masa ini, mahasiswa ditugaskan
dalam kelompok kecil di bawah bimbingan dokter terkenal dan intruktur berpengalaman,
untuk keliling ruangan, diskusi, kuliah dan review. Pada awalnya, terapi dan ilmu penyakit
diajarkan. Terdapat penekanan pada pengajaran klinik dan dokter muslim memiliki kontribusi
dari observasi yang cemerlang yang teruji dengan berjalannya waktu. Jika mahasiswa maju
dalam kuliahnya, mereka akan diberi lebih banyak kuliah untuk melakukan diagnosis dan
penilaian. Observasi klinik dan uji fisik sangat ditekankan. Mahasiswa diberi tugas untuk
menanyai pasien dan memberikan diagnosis. Jika gagal, baru profesor akan melakukan
diagnosisnya sendiri. Ketika melakukan uji fisik, mahasiswa diminta menguji dan membuat
laporan enam faktor utama: perilaku pasien, buang air besar, gejala dan lokasi sakit, keringat
dan keadaan tubuh. Setelah pengajaran di dalam ruangan praktikum, mahasiswa ditugaskan
untuk keluar. Setelah melakukan pengujian pada pasien, mereka melapor pada instruktur.
Setelah diskusi, pengobatan diberikan dan resep dibuat. Pasien yang sakit keras harus dirawat
di dalam rumah sakit. Tugas menyimpan rekam medik pasien merupakan tugas masing-
masing mahasiswa. Setelah menyelesaikan kuliah, beberapa mahasiswa akan bekerja di
bawah seorang spesialis terkenal. Beberapa lainnya telah mengambil spesialisasi selama masa
pelatihan klinik. Banyak prosedur pembedahan seperti amputasi, pengangkatan pembuluh
vena dan pendarahan merupakan syarat pengetahuan.
Masing-masing sekolah kedokteran memiliki kurikulum klinik yang berbeda-beda
tergantung kemampuan pengajarnya. Namun, sekolah kedokteran saat itu pada umumnya
membahas pengobatan organ internal. Penekanan diberikan pada kejelasan dan kepadatan
penggambaran penyakit dan pembagian masing-masingnya. Misalnya, Ibn Sina memiliki
kemampuan untuk menggambarkan infeksi tenggorokan yang sebelumnya sering kabur
dibandingkan dengan infeksi akut yang diikuti delirium. Ibn Sina, yang mampu
menggambarkan gejala meningitis dengan jelas dan padat sehingga sulit ditambahkan sampai
1000 tahun kemudian, merupakan spesialis yang memiliki keahlian untuk mengajarkan hal
ini kepada murid-muridnya. Selain itu, pembedahan juga diajarkan dalam kurikulum.
Setelah menyelesaikan pelatihan, lulusan kedokteran belum boleh melakukan praktik
sampai mereka lulus ujian lisensi. Dokter umum berkonsultasi antar mereka juga dengan
spesialis. Sudah ada perkumpulan ilmiah yang dibentuk di rumah sakit (Mayyafariqin) untuk
mendiskusikan kondisi dan penyakit pasien. Sejak waktu itu, ujian lisensi dibutuhkan dan
dilakukan di berbagai tempat. Badan lisensi diatur petugas pemerintah yang disebut muhtasib
atau inspektur umum. Dokter kepala memberikan ujian oral dan praktik, dan jika kandidat
dokter lulus, muhtasib mengangkat sumpah dan memberi lisensi. Baru setelah 1000 tahun
kemudian, lisensi dokter diberlakukan di dunia Barat, terutama di Amerika oleh State
Licensing Board in Medicine. Bagi spesialis, terdapat American Board of Medical
Specialities seperti dalam pengobatan, pembedahan, radiologi, dan lain-lain. Sekolah
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
12
kedokteran Eropa mengikuti pola yang telah disusun sekolah kedokteran Islam dan bahkan
pada awal abad ke-19, mahasiswa Universitas Sorbonne tidak dapat lulus jika tidak
menguasai buku Al Qanun dari Ibnu Sina. Menurut Ar-Razi seorang dokter harus memenuhi
dua persyaratan seleksi untuk lisensi, pertama ia harus menguasai literatur baru dan lama dari
kedokteran, dan kedua ia harus bekerja di rumah sakit sebagai dokter jaga.
Kegemilangan peradaban Islam telah menghasilkan ratusan ahli kedokteran yang
berpengaruh. Ahli kedokteran ini tidak segan-segan menurunkan ilmunya kepada para murid-
muridnya. Sementara Ar-Razi (841-926 M) memberi nasehat bahwa mahasiswa kedokteran
ketika melihat pasien harus dapat melihat ke jauh dalam jiwa mereka untuk mencari gejala
klasik penyakit seperti dalam buku yang mereka pelajari dan membandingkannya dengan apa
yang mereka temukan. Ahli pengobatan besar sepeti Ar- Razi (841-926 M), Ibn Sina (980-
1037 M) dan Ibn Zuhr (1091-1161 M) menjadi direktur rumah sakit dan dekan sekolah
kedokteran pada saat yang sama. Mereka melihat pasien secara langsung dan memberikan
presentasi pada mahasiswa mereka. Laporan klinik dari kasus mereka ditulis dan diajarkan.
Pencatatan dijaga dengan baik.
Mengikuti jejak sejarah ini dan dengan menyelaraskannya dengan kemajuan mutakhir
kedokteran, pada tanggal 12 - 16 Januari 1981 (6 - 10 Rabiul Awal 1401) di Kuwait
diadakan First International Conference of Islamic Medicine membahas pendidikan
kedokteran sebagai suatu hal yang sangat penting. Konferensi ini membuahkan pernyataan
sebagai berikut: “Pendidikan kedokteran, meskipun merupakan keistimewaan, hanyalah
merupakan serambut dalam seluruh mata jalan yang dibuat untuk beriman kepada Allah,
keesaanNya, kemahakuasaanNya, serta bahwa Dia sendirilah Pencipta dan Pemberi
kehidupan, pengetahuan, kematian, di dunia dan di akhirat. Dalam perencanaan untuk
menghasilkan dokter, tujuan dasarnya adalah untuk membuatnya menjadi contoh hidup dari
segala yang dicintai Allah, bebas dari yang dibenci Allah, menyatukan kecintaan kepada
Allah, masyarakat dan ilmu pengetahuan. Pengajar kedokteran harus memberi teladan
kepada mahasiswanya, pelajaran yang cukup, bimbingan yang sehat, pemeliharaan yang
berlanjut di dalam dan di luar kelas, sebelum maupun sesudah lulus.” Dengan demikian,
pendidikan kedokteran pada universitas Islam harus menurunkan karakter yang berbasis nilai-
nilai keislaman.
Salah satu wahana untuk menunjukkan pentingnya karakter yang berbasis nilai
keislaman bagi dokter muslim adalah sumpah dokter yang berbasis nilai keislaman. First
International Conference of Islamic Medicine di Kuwait pada tanggal 12 - 16 Januari 1981 (6
- 10 Rabiul Awal 1401) juga telah menghasilkan sumpah dokter muslim. Pernyataan sumpah
dokter merupakan hal yang sakral bagi mereka yang telah mendapatkan pendidikan
kedokteran. Dengan pernyataan ini, mereka secara resmi menyandang predikat dokter dengan
segala hak dan kewajibannya. Di berbagai universitas Islam di seluruh dunia, sumpah ini
dibacakan beriringan dengan sumpah Hipocrates. Isi sumpah tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya bersumpah dengan nama Allah … Yang Maha Besar. Mengingat Allah dalam
melaksanakan profesi saya. Melindungi jiwa manusia dalam semua tahap dan semua
keadaan, melakukan semampu mungkin untuk menyelamatkan dari kematian, penyakit, rasa
nyeri dan kecemasan. Memelihara kemuliaan manusia, menutupi pribadinya dan menyimpan
rahasianya. Dalam segala hal, menjadi alat dan rahmat Allah memberikan perawatan
kedokteran pada yang dekat dan yang jauh, yang taat dan yang berdosa serta teman maupun
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
13
lawan. Berjuang menggunakan ilmu dan menggunakannya untuk keuntungan dan bukan
aniaya bagi kemanusiaan. Menghormati guru saya, mengajari sejawat saya yang masih
muda dan menjadikan saudara bagi setiap anggota profesi kedokteran yang bersatu dalam
kesucian dan amal. Memelihara kepercayaan saya dalam pribadi dan dalam masyarakat,
menghindari dari segala yang dapat menodai saya di mata Allah, nabi-Nya dan orang yang
seakidah dengan saya. Semoga Allah menjadi saksi atas sumpah ini.” Sumpah ini memiliki
spirit yang berbeda, dengan sumpah kedokteran lainnya. Dengan membaca sumpah ini,
seorang dokter memberikan kesediaannya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam di dalam
praktik kedokterannya. Mereka menyatakan kesanggupannya untuk memikul tanggung
jawab, baik sebagai dokter maupun sebagai khalifah Allah, yang berkewajiban menjaga
keselamatan dunia melalui praktik kedokteran.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pendidikan kedokteran di dunia muslim harus
mengajarkan nilai-nilai Islam dalam rangka menghasilkan profesional di bidang kesehatan
yang berkarakter luhur. Sejarah telah menunjukkan bahwa pendidikan kedokteran muslim
yang berbasis nilai-nilai keislaman telah menghasilkan dokter dengan reputasi yang terkenal,
yang pemikirannya dan pencapaiannya juga diakui dunia internasional, bahkan pemikiran
kepeloporannya tetap relevan beratus-ratus tahun kemudian. Pada abad ini, konferensi
internasional dari kedokteran Islam telah mengukuhkan pentingnya pelaksanaan pendidikan
kedokteran yang mendidik karakter luhur berlandaskan nilai-nilai keislaman. Walaupun
demikian, menghasilkan dokter muslim yang memiliki karakter berbasis nilai keislaman
masih merupakan tantangan serius sampai saat ini.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas terlihat bahwa, walaupun tidak mudah, pendidikan karakter
berlandaskan nilai-nilai keislaman dapat menjadi keunggulan kompetitif di dalam industri
kesehatan. Dunia bisnis, termasuk industri kesehatan, akan menjadi industri yang digerakkan
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-and technology-based
industry),tidak lagi hanya bergantung pada melimpahnya sumber daya alam (resource
intensive industry) dengan upah yang murah. Manusia semakin menjadi aset paling penting
bagi dunia bisnis, termasuk industri kesehatan. Menghadapi kondisi ini, organisasi yang ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya atau pertumbuhannya akan semakin tergantung
pada cara pengelolaan dan pengembangan SDM. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW yang
memberikan teladan dengan menunjukkan karakter luhur yang berbasis nilai keIslaman telah
menunjukkan keberhasilan dengan meraih pangsa pasar dari bisnis yang dikelolanya. Teladan
yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW telah memberi inspirasi banyak ilmuwan Islam
beratus-ratus tahun kemudian untuk menjadi profesional kesehatan dengan reputasi
internasional yang berkarakter luhur.
Belajar dari sejarah, para profesional kesehatan Islam harus merumuskan karakter dan
pendidikan karakter yang berbasis nilai keIslaman yang menjadi rujukan nasional. Upaya itu
telah mulai dilakukan. Pada tanggal 12 - 16 Januari 1981 (6 - 10 Rabiul Awal 1401) di
Kuwait diadakan First International Conference of Islamic Medicine yang menghasilkan
kode etik kedokteran muslim, sumpah dokter muslim dan dasar pelaksanaan pendidikan
kedokteran pada universitas Islam. Tetapi, implementasi dari pertemuan ini sampai sekarang
masih merupakan tantangan yang harus dijawab melalui upaya strategik lebih lanjut.
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
14
DAFTAR PUSTAKA
Abouleish, E. (2000). Contribution of Islam to Medicine. Islamic Medicine Article.
Indianapolis: Indiana University School of Medicine
Barney, J.B. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of
Management. Vol.17 No.1. p. 99-120
Chisti, H.M. (2000). Application of Tibb-I-Nabi to Modern Medical Practice. Islamic
Medicine Article. Indianapolis: Indiana University School of Medicine
Coyne, K.P. (1986). Sustainable Competitive Advantage: What It’s what its’nt. Business
Horizons. Vol 29, January-February, p.54-61
DiMatteo, M.R. & Martin, L.R. (2002). Health Psychology. Boston: Allyn & Bacon
Gaznavi, H. (2000). Islam and Medicine. Islamic Medicine Article. Indianapolis: Indiana
University School of Medicine
Ghazali. (2003). Ringkasan Ihya Ulumiddin. Surabaya: Gitamedia Press.
Ghazali. (2003) Menyembuhkan dengan Pengobatan Nabi. Jilid I dan II. Jakarta: Penerbit
Pustaka Ibadah
Hasan, A.B.P. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo
Jauziyah, I.Q. (2004). Rahasia Hati, Penyakit Hati dan Obatnya. Jakarta. Penerbit Cendekia
Khan, A. (2000). Islamic Philosophy of Medicine. Islamic Medicine Article. Indianapolis:
Indiana University School of Medicine
Kharofa, A. (2000). Islamic View of Well-being of Man. Islamic Medicine Article.
Indianapolis: Indiana University School of Medicine
Maulia, E. (2011). Indonesia ranks 124th in 2011 Human Development Index. Jakarta: The
Jakarta Post
Mu'nis, A. (2002). Pengobatan Cara Nabi. Jakarta: Kalam Mulia.
Pfeffer, J. (1994). Competitive Advantage through People: Unleashing the Power of the Work
Force. Boston: Harvard Business School Press
Porter, M.E. (1998). Competitive Advantage: Creating & Sustaining Superior Performance.
New York: Pree Press
Porter, M.E. (1991). Toward Dynamic Theory of Strategy. Strategic Management Journal.
Vol.12
Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 16-17 Juli 2012
15
Rahim, A. Amine, C., Elkadi, A. (2000). Islamic Code of Medical Professional Ethics.
Islamic Medicine Article. Indianapolis: Indiana University School of Medicine
Razi. (2000). Ruh dan Jiwa. Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam. Surabaya: Risalah
Gusti
Suyuthi, J. (2002). Pengobatan dan Hikmah. Jakarta: Penerbit Cendekia
Taylor, S. E. (2008). Health Psychology. Boston: McGraw Hill Company