Teladan “Kiai Sepuh” Masyarakat Sekarang Kekurangan Kiai · dan tugas apa yang harus...

3
8 MPA 307 / April 2012 “Kiai Sepuh” adalah figur yang teramat mempesona. Tak saja kedalaman ilmu keagamaan yang menyatu dengan pribadinya. Tapi juga sikap kebersahajaan hidup, kemandirian, keakraban yang memikat, serta tingkat riligiusitasnya yang membikin hati takjub. Dan satu lagi, dirinya selalu siap bekerja keras dan berani menanggung derita kehidupan. Dari sanalah kharisma kedirian- nya tumbuh dan disegani masyarakat luas. Satunya kata dan perbuatan, membuat umat tak berani berpaling dari kebijakan yang digariskannya. Maka wajar, jika sosok “Kiai Sepuh” senantiasa tampil sebagai pemersatu. Sebab dirinya memiliki kesanggupan untuk berdiri di tengah perbedaan- perbedaan. Dengan sifat kehangatan- nya yang karib, dirinya merangkul masyarakat- nya agar senantiasa hi- dup rukun tenteram, gu- yub dan damai, serta hi- dup bergotong royong demi indahnya kebersa- maan. Ciri “Kiai Sepuh” lain- nya yang tak pernah di- tanggalkan, adalah men- jadi motivator masyara- katnya untuk senantiasa meningkatkan kehidupan beragama. Tentu saja de- ngan tetap menjunjung nilai-nilai yang ada di ma- syarakat, mempertahan- kan budaya kearifan lokal, dan juga menanamkam keyakinan pada umatnya; bahwa hidup akan menja- di kuat jika seseorang se- lalu bersandar pada Dzat yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Ah, begitu mempesonanya figur ideal yang semacam itu. Namun sa- yang, satu demi satu dari mereka telah berguguran. Padahal keberlangsung- an zaman yang kian semerawut, ma- sih sangat membutuhkan sentuhan nasihat dan hikmah-hikmah kepri- badiannya. Tapi apa boleh dikata, tak- dir punya kewenangannya sendiri. Setiap mauusia pasti bersua jua de- ngan yang namanya kematian. “Se- bab kematian adalah sunnatullah yang berlaku bagi semua makhluk yang berjiwa. Termasuk para Nabi dan ulama’,” tukas KH. Ubaidillah Faqih. Baginya, semestinya perisiwa kematian itu lumrah adanya dan biasa. Namun tak demikian jika yang me- ninggal adalah sosok “Kiai Sepuh”, figur ulama’. Sebagaimana hal itu te- lah dinukil oleh sabda Rasul, wafat- nya seorang ulama’ itu akan diikuti dengan sirnanya ilmu yang dimiliki- nya. Sebab Allah SWT tak mengambil ilmu itu dengan langsung mencera- butnya, melainkan dengan mematikan para ulama’nya. “Maka dengan ke- pergian ulama’, sesungguhnya ada- lah sebuah kehilangan besar. Tak ha- nya sosok orangnya, tapi juga ilmu, keteladanan, kearifan, hikmah dan la- in sebainya,” tuturnya dengan sedih. Namun demikian, pengasuh Pondok Langitan Tuban ini mema- hami, bahwa kepergian “Kiai Sepuh” hanyalah perpisahan yang besifat jasmaniah semata. Sebab ruh tarbi- yah, keilmuan dan keteladanan yang beliau berikan selama ini, akan senan- tiasa menyertai yang ditinggalkan- nya secara ruhaniah. Seperti halnya ungkapan seorang penyair: “Orang ‘alim akan senantiasa hidup kekal se- telah kematiannya. Sementara tulang- belulangnya hancur berserakan di bawah tanah.” Sebagai pewaris para Nabi, tu- gas besar ulama’ adalah mewariskan keilmuan kepada generasi penerus- nya. Dan adalah tugas generasi pene- rusnya untuk berupaya menjaga, me- lestarikan dan mengembangkan wa- risan keilmuan tersebut. Tentu saja itu bukanlah tugas yang ringan. Na- mun inilah satu-satunya cara untuk melanjutkan perjuangan para ulama’, para “Kiai Sepuh”. Di antaranya adalah dengan ca- ra meneladaninya, mengambil inti sari dari kearifan dan kebijakan para “Kiai Sepuh”. Lalu nilai-nilai itu diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman yang dihadapinya. Karena zaman ke- kinian tak seperti yang di- alami oleh para pendahulu, maka dituntut kearifan ter- tentu untuk menerjemah- kan kearifan dan kebijakan para “Kiai Sepuh”. Bagaimanapun juga, lanjut Kiai Ubaidillah, se- bagai generasi pelanjut ha- rus siap mempertahankan kebesaran nama para pen- dahulunya. Bahkan harus berupaya untuk dapat meng- gapai kemuliaan, keagung- an dan kebesaran melebihi apa yang telah digapai me- reka. “Maka pesantren pun harus terus melakukan ka- derisasi keulama’an secara terus menerus dan berkesi- nambungan,” tegasnya. Tapi meninggalnya seorang ulama’ dan “Kiai Sepuh”, akan selalu diiringi dengan munculnya figur pengganti. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, ada- kah sang pengganti akan memiliki ka- pasitas setara dengan para pendahu- lunya? “Ya tentu saja beda,” tukas KH. M. Anwar Manshur singkat. “Dalam Hadis telah disebutkan, bah- wa sebaik-baik umat adalah para sa- habat, para tabiin, lalu tabiinat-tabiin, Teladan “Kiai Sepuh” Masyarakat Sekarang Kekurangan Kiai KH. M. Anwar Manshur

Transcript of Teladan “Kiai Sepuh” Masyarakat Sekarang Kekurangan Kiai · dan tugas apa yang harus...

8 MPA 307 / April 2012

“Kiai Sepuh” adalah figuryang teramat mempesona. Tak sajakedalaman ilmu keagamaan yangmenyatu dengan pribadinya. Tapijuga sikap kebersahajaan hidup,

kemandirian, keakraban yangmemikat, serta tingkat

riligiusitasnya yang membikinhati takjub. Dan satu lagi, dirinya

selalu siap bekerja keras danberani menanggung derita

kehidupan.

Dari sanalah kharisma kedirian-nya tumbuh dan disegani masyarakatluas. Satunya kata dan perbuatan,membuat umat tak berani berpalingdari kebijakan yang digariskannya.Maka wajar, jika sosok “Kiai Sepuh”senantiasa tampil sebagai pemersatu.Sebab dirinya memiliki kesanggupanuntuk berdiri di tengah perbedaan-perbedaan. Dengan sifat kehangatan-nya yang karib, dirinyamerangkul masyarakat-nya agar senantiasa hi-dup rukun tenteram, gu-yub dan damai, serta hi-dup bergotong royongdemi indahnya kebersa-maan.

Ciri “Kiai Sepuh” lain-nya yang tak pernah di-tanggalkan, adalah men-jadi motivator masyara-katnya untuk senantiasameningkatkan kehidupanberagama. Tentu saja de-ngan tetap menjunjungnilai-nilai yang ada di ma-syarakat, mempertahan-kan budaya kearifan lokal,dan juga menanamkamkeyakinan pada umatnya;bahwa hidup akan menja-di kuat jika seseorang se-lalu bersandar pada Dzat yang MahaRahman dan Maha Rahim.

Ah, begitu mempesonanya figurideal yang semacam itu. Namun sa-yang, satu demi satu dari mereka telahberguguran. Padahal keberlangsung-an zaman yang kian semerawut, ma-sih sangat membutuhkan sentuhannasihat dan hikmah-hikmah kepri-badiannya. Tapi apa boleh dikata, tak-

dir punya kewenangannya sendiri.Setiap mauusia pasti bersua jua de-ngan yang namanya kematian. “Se-bab kematian adalah sunnatullahyang berlaku bagi semua makhlukyang berjiwa. Termasuk para Nabidan ulama’,” tukas KH. UbaidillahFaqih.

Baginya, semestinya perisiwakematian itu lumrah adanya dan biasa.Namun tak demikian jika yang me-ninggal adalah sosok “Kiai Sepuh”,

figur ulama’. Sebagaimana hal itu te-lah dinukil oleh sabda Rasul, wafat-nya seorang ulama’ itu akan diikutidengan sirnanya ilmu yang dimiliki-nya. Sebab Allah SWT tak mengambililmu itu dengan langsung mencera-butnya, melainkan dengan mematikanpara ulama’nya. “Maka dengan ke-pergian ulama’, sesungguhnya ada-lah sebuah kehilangan besar. Tak ha-nya sosok orangnya, tapi juga ilmu,

keteladanan, kearifan, hikmah dan la-in sebainya,” tuturnya dengan sedih.

Namun demikian, pengasuhPondok Langitan Tuban ini mema-hami, bahwa kepergian “Kiai Sepuh”hanyalah perpisahan yang besifatjasmaniah semata. Sebab ruh tarbi-yah, keilmuan dan keteladanan yangbeliau berikan selama ini, akan senan-tiasa menyertai yang ditinggalkan-

nya secara ruhaniah. Seperti halnyaungkapan seorang penyair: “Orang‘alim akan senantiasa hidup kekal se-telah kematiannya. Sementara tulang-belulangnya hancur berserakan dibawah tanah.”

Sebagai pewaris para Nabi, tu-gas besar ulama’ adalah mewariskankeilmuan kepada generasi penerus-nya. Dan adalah tugas generasi pene-rusnya untuk berupaya menjaga, me-lestarikan dan mengembangkan wa-

risan keilmuan tersebut. Tentu sajaitu bukanlah tugas yang ringan. Na-mun inilah satu-satunya cara untukmelanjutkan perjuangan para ulama’,para “Kiai Sepuh”.

Di antaranya adalah dengan ca-ra meneladaninya, mengambil inti saridari kearifan dan kebijakan para “KiaiSepuh”. Lalu nilai-nilai itu diterapkansesuai dengan perkembangan zamanyang dihadapinya. Karena zaman ke-

kinian tak seperti yang di-alami oleh para pendahulu,maka dituntut kearifan ter-tentu untuk menerjemah-kan kearifan dan kebijakanpara “Kiai Sepuh”.

Bagaimanapun juga,lanjut Kiai Ubaidillah, se-bagai generasi pelanjut ha-rus siap mempertahankankebesaran nama para pen-dahulunya. Bahkan harusberupaya untuk dapat meng-gapai kemuliaan, keagung-an dan kebesaran melebihiapa yang telah digapai me-reka. “Maka pesantren punharus terus melakukan ka-derisasi keulama’an secaraterus menerus dan berkesi-nambungan,” tegasnya.

Tapi meninggalnyaseorang ulama’ dan “Kiai

Sepuh”, akan selalu diiringi denganmunculnya figur pengganti. Hanyasaja, yang menjadi pertanyaan, ada-kah sang pengganti akan memiliki ka-pasitas setara dengan para pendahu-lunya? “Ya tentu saja beda,” tukasKH. M. Anwar Manshur singkat.“Dalam Hadis telah disebutkan, bah-wa sebaik-baik umat adalah para sa-habat, para tabiin, lalu tabiinat-tabiin,

Teladan “Kiai Sepuh”Masyarakat Sekarang Kekurangan Kiai

KH. M. Anwar Manshur

9MPA 307 / April 2012

dan seterusnya,” tambahnya mem-berikan dasar alasan.

Sebab keberadaan Kiai “tempodoeloe” dan Kiai sekarang, tutur pe-ngasuh PP. Hidayatul Mubtadiat Lir-boyo Kediri ini, tak bisa disamakan.Yang membedakannya, terletak padasikap kerendahan hati dan keikhlas-annya dalam berjuang. “Para Kiai du-lu tidak ada yang mempedulikan ma-salah materi. Tapi coba lihat Kiai za-man sekarang, kan tidak begitu,” ka-tanya membandingkan.

Zaman kekinian sangatlah jauhrentangnya dengan “tempo doeloe”.Adakah arus perkembangan zamanyang menyebabkan benteng keikh-lasan pun tergerus? Tetapi apapunkeberadaan zamannya, standar ketu-lusan hati itu tetap sama dan tak per-nah mengalami pergeseran. Ukurankeikhlasan hanya satu; semata ber-landaskan niat lillahi ta’ala. Sehinggaapapun sepak terjang seseorang, ha-ruslah tetap diniatkan sebagai jalanibadah. “Keikhlasan inilah yang me-mancarkan kharisma seorang Kiai,”ujar Wakil Syuriah PWNU Jatim inimenyimpulkan.

Dengan keikhlasannya para“Kiai Sepuh” mampu menerangi re-lung hati umat. Mereka ibarat pelitadalam kegelapan. Dengan kepergianmereka menuju Rabbnya, umat puntelah kehilangan pelitanya. Sebabkepada merekalah segala urusan ke-hidupan dan keberagamaan masya-rakat ditambatkan. “Dengan kepergi-an ulama’ sepuh, berarti sedikit demisedikit pemahaman keagamaan telahkian berkurang,” urai Kiai yang karibdipanggil Mbah War ini.

Maka tak mengherankan jikakian waktu banyak orang menyepele-kan urusan agama. Tak sedikit pulada’i yang tak berpengetahuan tum-buh dan berkembang. Mereka ba-nyak memberikan fatwa, tapi tak ber-sandarkan pada ilmu itu sendiri. “Ula-ma’ kalau sudah meninggal, tak bisadikejar lagi,” ucap lelaki kelahiranJombang 1 Maret 1940 ini dengan na-da lirih.

Oleh karenanya, sangatlah pen-ting untuk meneladani perjuangandan perilaku “Kiai Sepuh”. Betapahampir saban hari dirinya selalu me-laksanakan shalat malam, mulai seper-tiga malam terakhir hingga Shubuh.“Rasanya sangat jarang Kiai seka-rang yang mampu. Lha wong bangunsubuh saja kadang-kadang telat,” sin-dirnya dengan tawa lirih.

Berkurangnya kharisma Kiaisaat ini, juga terletak pada kontinui-tas ibadahnya. Padahal dari ibadah-ibadah yang dilakukan akan terpan-caar hikmah-hikmah. Dan tanpa hik-mah, tak mungkin seorang Kiai mam-pu mengatasi problematika masyara-katnya. Dengan silang-sengkarutnyakehidupan berbangsa dan bernegarasaat ini, kiranya cukup bagi sosokKiai untuk melakukan introspeksi.“Ibarat seorang anak dan orang tua.Jika anaknya salah, maka orangtua-nya yang patut dipersalahkan,” ujar-nya.

Kehadiran sosok Kiai, seharus-nya bisa tampil sebagai pengayomumat. Dirinya dituntut berperan aktifdalam memberikan nasihat kepadapara pemegang negara dan umaro’.“Tapi ingat, jangan sekali-kali se-orang Kiai mendekati umaro’ diluarkonteks amar ma’ruf nahi mungkar,”tukasnya mengingatkan. “Jika itusampai terjadi, inilah sejelek-jeleknyaKiai’,” tandas ayah 8 anak ini menam-bahkan.

Menengarai keberadaan Kiai ke-kinian yang miris semacam itu, mem-buat pondok pesantren an-NajiyahSurabaya ingin tetap mempertahan-kan model salaf dengan kekhasan-nya sendiri. Sebab menurut KH. MasMoch. Yusuf Bin KH. Mas MuhajirBin Mas Mansur, pondok salaf mem-punyai kelebihan tersendiri.

Sebuah penelitian pernah dila-kukan di Sidoresmo. Di daerah ini ter-dapat 5 masjid dan 31 mushalla. Ter-bukti, yang mampu menghidupkanrumah ibadah di sana adalah merekayang tergolong kaum salaf. Merekasanggup membuka pintu masjid danmushalla sejak pukul 02.30 Wib hing-ga larut malam kembali. Sedangkandi daerah Semolo yang lingkungan-nya lebih modern, di sana terdapat 7pondok modern. Tapi cuma segelintirorang yang mampu menghidupkanrumah ibadah di sana.

Menurut salah satu pengasuhpondok An-Najiyah Sidoresmo ini,kelebihan dari pondok modern mere-ka berhasil membentuk alumninya se-bagai orator. Kebanyakan merekasukses di bidang itu. Sementara alum-ni pondok salaf lebih mementingkandakwah untuk diri sendiri dan keluar-ga. Ketika keluarganya berhasil, im-basnya akan ke tetangga dan lebihmeluas lagi ke lingkungan masyara-kat. “Itulah sebabnya, keberadaanpondok salaf lebih mudah didukung

oleh masyarakat setempat,” simpul-nya.

Dari enam ribu lebih.pondokpesantren yang ada di Jawa Timur,lebih banyak salafnya ketimbangyang modern. Meski demikian, ba-nyak yang mendirikan pendidikanformal di lingkungan pondok. Namuntetap saja ciri kesalafannya masih te-tap melekat. “Jadi inti ajaran di pon-dok salaf itu, jika baik akan kembalipada dirinya sendiri dan jika jelek jugaakan menimpa dirinya sendiri,” tuturpria kelahiran Surabaya 12 Septem-ber 1962 ini menjelaskan.

Nilai-nilai semacam itulah yangmendorong para alumninya untukmandiri. Mereka lebih peduli meng-urus diri dan keluarganya, ketimbangmengurusi masalah-masalah besaryang tak jelas manfaatnya. Denganbegitu mereka lebih sibuk membuatladang usaha untuk menafkahi ke-luarganya. “Menurut sebuah Hadits,sesungguhnya orang yang pedulidengan keluarganya akan dijauhkandari api neraka,” tukasnya memberi-kan dasar.

Ketika mereka mengurusi mas-jid, juga tak peduli dengan jabatandan tugas apa yang harus diemban-nya. Kalau microfon sudah ada yangpegang, mereka pegang sapu untukmembersihkan selokan. Sebab bagimereka, nilai ibadah dan pahalanyasama. Semua tergantung pada sisi ke-ikhlasan seseorang. Orang yang pe-duli dengan ibadah semacam ini, akandijauhkan dari azab dan petaka.

Dengan usaha yang dilakukan-nya, anak-anak mereka juga tak sam-pai terlantar. Dan itu menceganya daritindak kriminalitas dan pencurian.Dengan begitu mereka akan terhindardari larangan Allah dan dapat menja-lankan perintahNya. Di sisi lain, de-ngan kontinuitas ibadah masyarakatakan memiliki lingkungan yang aman.Ini termasuk perjuangan membangunlingkungan negara yang tenteram dandamai.

Apakah hal tersebut akan men-dorong alumni pesantren agar bisamenjadi seperti “Kiai Sepuh”? Alum-nus Ma’had Liddakwah Wal IrsyadDamascus Syiria tahun 1986 ini me-nepis analisis semacam itu. Sebabmenurutnya, tumbuhnya Kiai itu bu-kanlah dari pesantren melainkan darimasyarakat sendiri. “Jadi.. belajar dipesantren itu nggak harus jadi Kiai.Tapi prinsipnya harus jadi seorangkhalifah,” terangnya.

10 MPA 307 / April 2012

Dengan prinsip kekhalifahaninilah, mereka bisa memimpin diri,keluarga dan masyarakatnya. Kalaumasyarakat menganggap dirinyabaik, ucapannya sesuai dengan yangdilakukan, dan masyarakat mau mene-rimanya dengan senang hati, lalumasyarakat memanggilnya Kiai, makajadilah dia seorang Kiai. “Jadi yangmenciptakan Kiai itu adalah masyara-kat dan bukan pesantren,” kilahnya.

Selama dirinya tetap konsekuendengan perilakunya, maka masyara-kat akan tetap mengakuinya sebagaiKiai. Tetapi kalau dia dipanggil Kiaiterus berambisi, tentu langsung hi-lang pula kekiaiannya. Sebab se-orang Kiai itu harus siap memimpindan juga harus siap dipimpin. De-ngan begitu dia akan diterima olehmasyarakatnya dengan sukarela dansenang hati. “Sekarang ini masyara-kat kekurangann Kiai. Sebab alum-nus IAIN sendiri jarang sekali yangmau mendaftarkan dirinya sebagaipengabdi masyarakat,” kritik penulisbuku Manasik Haji Nasional ini ber-nada serius.

Kekurangan Kiai, ba-rangkali juga dirasakan olehMuhammadiyah. Sebab be-lakangan ini, tak banyak sosokKiai yang tampil menjadi pe-ngurus inti organisasi keaga-maan yang cukup besar ini.Padahal di awal-awal kepe-ngurusannya, Muhammadi-yah justru banyak dipimpinoleh figur Kiai.

Pada generasi awal, bisadisebut nama Kiai AhmadDahlan sebagai pendiri danKiai Mas Mansur yang getolmengembangkannya. Sebe-lum kepengurusan Muhamm-adiyah dipegang oleh kaumintelektual, masih terngiangnama Kiai Azhar Basyir danKiai AR Fachruddin. Lalu adakah inimerupakan pertanda bahwa kini Mu-hammadiyah kurang mementingkanfigur Kiai?

Prof. Dr. H. Achmad Jainuri, MAmenampik anggapan tersebut. SebabMuhammdiyah masih sangat respekdan tetap mengapresiasi terhadapfigur Kiai. Sebab mereka dinilai punyakompetensi keilmuan yang cukup,yang berfungsi sebagai panutan ma-syarakat terutama dalam hal bimbi-ngan agama. “Sosok Kiai adalahcontoh yang baik dalam berperilaku

sosial. Kiai dengan kompetensi keil-muannya tersebut bisa ditransmisi-kan, diberikan kepada masyarakat,”tegasnya. “Di sisi lain, Kiai juga ha-rus memiliki fungsi sosial yang ting-gi,” katanya menambahkan.

Hanya saja, lanjut KoordinatorBidang Pendidikan dan KebudayaanPWM Jatim ini, jika ada yang ber-anggapan bahwa Muhammadiyahlahir dari tangan Kiai, sesungguhnyaitu tidaklah mutlak. Sebab Kiai Ah-mad Dahlan lebih menonjol sebagaikelas menengah pedagang Muslim.Beliau juga Imam Masjid atau Kiaiyang memiliki pemikiran luas diluarprototipe pemikiran Kiai yang adasaat itu. “Kiai saat itu kan identik de-ngan elite agama dalam waktu khususyang faham tentang ilmu-ilmu agama.Sedangkan dalam persoalan-perso-alan publik amat kurang,” tuturnyamengurai.

Jika Ahmad Dahlan dikatakanKiai, karena memang dirinya memilikikelebihan itu. Dalam mempersep-sikan Islam dan kemudian dipahami,lantas dirumuskan sebagai Islam

yang berkemajuan. Istilah tersebutkemudian dipopulerkan oleh Presi-den Soekarno. “Yang disebut kelasmenengah itu kan tak hanya peda-gang saja, tetapi juga para amternal,pegawai,” terangnya.

Para pegawai inilah yang kemu-dian merepresentasikan sebuah ko-munitas yang memiliki mobilitas ting-gi secara horisontal. Mereka terbiasadengan pandangan baru, terbiasaberbicara dan bersosialisasi denganorang di kampungnya, sehinggamuncul sikap terbuka, adaptif, mene-

rima pendapat orang lain. Itu semuadimiliki oleh pegawai maupun pe-dagang. Dari situlah muncul ide-idedan watak ditemukan di kalangankelas menengah terdidik. “Inilah yangdisebut mobilitas vertikal berdasarkarakteristik intelektualitas mereka,”paparnya. “Dalam pertumbuhan se-lanjutnya, itu semua kemudian me-warnai Muhammadiyah,” jelasnya.

Mengenai anggapan kurangnyaperhatian Muhammadiyah terhadaplembaga pesantren? Rektor UnmuhSidoarjo ini tak menampiknya. Itusemata karena selama ini belummemiliki cukup orang yang mampumengurusi dan menekuni pengem-bangan pesantren. Dan itu cukuppenting. “Tapi bukan berarti Muham-madiyah diam saja. Di beberapa daer-ah tengah diupayakan dalam rangkamemenuhi adanya kekurangan ter-sebut,” ungkapnya.

Kini Muhammadiyah jugatengah merintis Pesantren Model diJawa Timur. Sedangkan mengenailembaga pendidikan umum, memangitu untuk memfasilitasi kecende-

rungan kebutuhan masya-rakat. Harapannya, agar anaktak hanya pandai pada ilmupengetahuan saja. Merekajuga harus memiliki pema-haman, pengetahuan etika,moral dan agama; yang diha-rapkan kelak akan dapat me-warnai kehidupan mereka.“Itu sebabnya Muhammadi-yah ingin menciptakan in-telektual ulama’ dan ulama’intelektual,” tandasnya.

Lantas benarkah sinya-lemen KH. Mas Moch. YusufBin KH. Mas Muhajir, bahwamasyarakat tengah keku-rangann Kiai? Yang pasti,kini Ketua PP Muhammadi-yah dan PBNU dipimpin oleh

seorang profesor-doktor. Kiranya,keduanya masih lebih merepresenta-sikan sosok intelektualnya ketim-bang kekentalan figur kekiaiannya.Lalu untuk ke depan nanti, adakahmasyarakat masih tetap cenderungmembutuhkan sosok intelektual ke-timbang figur Kiai? Biarlah waktu dansejarah yang kelak akan membukti-kannya.

Laporan:Mey.s, Ahmad Suprianto, Feri

Aria Santi (Surabaya), Mochtar(Tuban).

Prof. Dr. H. Achmad Jainuri, MA