TELAAH PUSTAKA Ethical Leadership -...

13
5 TELAAH PUSTAKA Ethical Leadership Konsep ethical leadership dapat dipahami dengan menerapkan prinsip-prinsip etika ke dalam praktek kepemimpinan. Keraf, sebagaimana dikutip oleh Sabir, Iqbal dan Rehman (2012), mendefinisikan etika sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. Dengan demikian, etika sebagai referensi bagi tindakan moral yang benar (atau salah) hendak diterapkan dan dikaji dalam konteks kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan didefinisikan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstrukturkan aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif dalam mencapai tujuan bersama secara efektif (Yulk, 2009). Jadi dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan beretika adalah kepemimpinan yang mengembangkan kemampuan untuk menangani situasi secara etis dan produktif yang didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, sensitivitas dan kritis dalam bertidak yang sesuai nilai-nilai dan norma yang ada. Etika juga dapat membantu pemimpin untuk mengenali diri sendiri melalui karakter dalam bertindak dan berperilaku (Northouse, 2013). Dengan pemahaman ini, Brown, Treviño dan Harrison (2005) mendefinisikan ethical leadership sebagai demonstrasi perilaku normatif yang tepat melalui tindakan dan hubungan interpersonal, dan promosi perilaku tersebut kepada pengikut melalui komunikasi dua arah, penguatan dan pengambilan keputusan (p.120). Konsep tersebut menunjukkan bahwa pemimpin etis sebagai seorang pemimpin yang

Transcript of TELAAH PUSTAKA Ethical Leadership -...

5

TELAAH PUSTAKA

Ethical Leadership

Konsep ethical leadership dapat dipahami dengan menerapkan

prinsip-prinsip etika ke dalam praktek kepemimpinan. Keraf, sebagaimana

dikutip oleh Sabir, Iqbal dan Rehman (2012), mendefinisikan etika sebagai

filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis

persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak

dalam situasi konkret. Dengan demikian, etika sebagai referensi bagi

tindakan moral yang benar (atau salah) hendak diterapkan dan dikaji dalam

konteks kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan didefinisikan sebagai

sebuah proses pengaruh sosial yang sengaja dijalankan oleh seseorang

terhadap orang lain untuk menstrukturkan aktivitas-aktivitas serta

hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi serta

proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif dalam mencapai

tujuan bersama secara efektif (Yulk, 2009). Jadi dapat dijelaskan bahwa

kepemimpinan beretika adalah kepemimpinan yang mengembangkan

kemampuan untuk menangani situasi secara etis dan produktif yang

didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, sensitivitas dan kritis dalam

bertidak yang sesuai nilai-nilai dan norma yang ada. Etika juga dapat

membantu pemimpin untuk mengenali diri sendiri melalui karakter dalam

bertindak dan berperilaku (Northouse, 2013).

Dengan pemahaman ini, Brown, Treviño dan Harrison (2005)

mendefinisikan ethical leadership sebagai demonstrasi perilaku normatif

yang tepat melalui tindakan dan hubungan interpersonal, dan promosi

perilaku tersebut kepada pengikut melalui komunikasi dua arah,

penguatan dan pengambilan keputusan (p.120). Konsep tersebut

menunjukkan bahwa pemimpin etis sebagai seorang pemimpin yang

6

berusaha untuk memperkenalkan tindakan-tindakan yang berdasarkan

nilai-nilai moral dan etika bagi orang lain untuk ditiru atau dicontoh pada

setiap tindakan yang dilakukan. Freeman & Stewart (2006)

menggambarkan ethical leadership sebagai pribadi dengan “nilai-nilai

yang benar” dan “karakter yang kuat”, yang memberikan contoh bagi

orang lain dan melawan cobaan (menahan godaan).

Piccolo et al. (2010) menjelaskan bahwa ethical leadership berperan

membantu memberikan motivasi, meningkatkan produktivitas kerja, perilaku

karyawan dan memberikan kepuasan kerja bagi karyawan itu sendiri. Nilai-

nilai moral yang dipegang pemimpin adalah dasar dalam membentuk

karakter yang kuat untuk membangun kredibilitas pemimpin serta hal

tersebut memberikan pengaruh yang sangat berarti pada pengikutnya. Ethical

leadership memasukan prinsip-prinsip etika dalam keyakinan karyawan

melalui nilai-nilai moral dan membantu karyawan dalam berkomitmen untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi dan dapat menjadi contoh bagi orang lain

serta membentuk karakter pemimpin yang kuat serta nilai-nilai yang tepat

dalam bertindak (Bello, 2012; Khuntia & Suar, 2004).

Penelitian Mayer et al. (2012) dengan menggunakan teori identitas

moral (Aquino & Reed, 2002) dan pembelajaran sosial (Bandura, 1977,

1986) menjelaskan bahwa tiap tindakan yang dihasilkan dapat memberikan

respon-respon pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu

sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui

pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain

yang menjadi model. Dengan demikian, dipahami bahwa ethical leadership

mampu mempengaruhi karyawan atau pengikut apabila pemimpin tersebut

dapat mengimplementasikan nilai-nilai moral sebagai identitas moral dan

mampu memberikan teladan/model bagi pengikut melalui reinforcement

dan observational opportunity. Alasan mendasar dari teori pembelajaran

7

sosial ini adalah orang akan belajar melalui pengalaman langsung dan juga

melalui observasi (Robbins & Judge, 2007). Penelitian Mayer et al. (2012)

tersebut mengukur faktor-faktor dan konsekuensi dari kepemimpinan etis

dengan 10 item Ethical Leadership Scale (ELS) sebagai pengembangan atas

model dari Brown, Treviño dan Harrison (2005). Penelitian Resick et al

(2006) juga mengembangkan 6 atribut utama dari ethical leadership seperti;

karakter dan integritas, ethical awareness, berorientasi pada manusia/sosial,

memotivasi, mendorong dan memberdayakan, dan mengatur tanggung

jawab etis dalam mengukur atau menjelaskan ethical leadership dalam

dukungannya terhadap lintas budaya. Sejalan dengan perkembangan

kajian ethical leadership, O’Connell dan Bligh (2009) mengembangkan

sembilan karakteristik ethical leader dari analisis sintesis penelitian

sebelumnya. Kesembilan karakteristik tersebut adalah a) menggunakan

kacamata etis; b) membuat keputusan etis; c) mempertimbangkan

implikasi jangka panjang; d) mempertimbangkan kesejahteraan pada

saat membuat keputusan dan memperlakukan orang lain secara adil; e)

bertindak secara etis dan menjadi role model dalam berperilaku; f)

mengkomunikasikan pentingnya etika; g) memahami diri sendiri dan

orang lain; h) bertanggung jawab terhadap perilaku etis orang lain, dan

i) menawarkan pelatihan dan memberi dukungan bagi karyawan untuk

bertindak etis di tempat kerja.

Kedua pengukuran tersebut tidak dapat dikombinasikan ke dalam

sebuah instrumen. Karena itu, dalam penelitian ini, peneliti menilai

penelitian Mayer et al. (2012) dengan pendekatan teori identitas moral dan

pembelajaran sosial lebih cocok dan mampu untuk menjelaskan konsep

ethical leadership melalui decision making terhadap budaya organisasi.

Tindakan kepemimpinan etis diekspresikan melalui mendengarkan

bawahan, mendisiplinkan karyawan dengan nilai etika dan moral,

8

berperilaku sesuai etika dan moral, mementingkan kepetingan orang

banyak (orang lain) dan memberikan contoh yang baik bagi bawahan.

Decision Making dan Dimensi Etika

Fenomena pengambilan keputusan dalam hubungannya dengan

kepemimpinan merupakan suatu rangkaian integrated yang tidak dapat

dipisahkan yang melibatkan individu dan organisasi. Keputusan yang

dibuat pemimpin tentunya akan menghasilkan bias atau effect bagi

pengikut/karyawan maupun organisasi itu sendiri. Al-Tawawneh (2012)

mendefinisikan decision (keputusan) sebagai momen dalam proses

berkelanjutan dalam mengevaluasi alternatif yang terkait dengan tujuan,

di mana harapan pembuat keputusan berkaitan dengan suatu tindakan

tertentu dan mendorongnya untuk membuat pilihan. Bertolak dari konsep

keputusan, maka Eisenfuhr (2011) dan Siswanto (2012:171) memberikan

pemahaman mengenai decision making sebagai proses dari serangkaian

aktivitas dalam membuat pilihan dari sejumlah alternatif yang dianggap

paling rasional dalam usaha pemecahan masalah untuk mencapai hasil

yang diinginkan sesuai dengan lingkungan organisasi.

Dalam kaitannya ethical decision making dengan dimensi etika dan

moral, maka dapat digambarkan sebagai suatu masalah/isu moral yang

hadir/tampak melalui suatu tindakan individu, yang bila dilakukan secara

bebas, dapat membahayakan atau menguntungkan orang lain (Jones, 1991,

p. 367). Dengan melibatkan masalah/isu etika dan moral dalam

pengambilan keputusan, maka Jones (1991) dan Rest (1986) membangun

serangkaian model etika dalam pengambilan keputusan sebagai prasyarat

dalam membuat pertimbangan pada suatu keputusan yang etis melalui

kesadaran moral, pertimbangan moral, niat moral, dan tindakan moral.

9

Keputusan etis (ethical decision) didefinisikan sebagai sebuah

keputusan yang baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh

masyarakat luas (Jones, 1991; Trevino, 1987). Menurut Carlson, Kacmar,

dan Wadsworth (2002), pembuatan keputusan etis merupakan proses di

mana individu menggunakan dasar moral untuk menentukan apakah

masalah benar atau salah" (hal. 16-17). Dengan demikian, etika secara

otomatis adalah kekuatan yang digunakan untuk penalaran kognitif moral

dan respon aktif dalam pengambilan keputusan etis (Greene & Haidt,

2002). Selain itu, Kohlberg (1995) menekankan pentingnya perhatian

kepada kesadaran moral untuk memahami bagaimana keputusan etis

diambil dan juga alasan etis mengapa seseorang mengambil keputusan

tertentu (Rest, 1986; Trevino, 1992). Satu hal yang mendasar dari konsep

ini adalah bahwa kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan,

melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk

memahami dan mengerti sesuatu secara rasional, Wisesa (2011).

Hal ini diperkuat dari penelitian Lincoln dan Holmes, (2011) dengan

melibatkan teori intensitas moral untuk menjelaskan peran etika dalam

membuat keputusan etis. Peran intensitas moral dalam pengambilan

keputusan etis melibatkan proses psikologi melalui 4 model/komponen

sebagai keterlibatan nilai moral untuk menghasilan keputusan yang etis,

seperti yang dijelaskan oleh Rest (1994) bahwa; 1) sensitivitas/kesadaran

moral mengacu pada kemampuan moral individu untuk mengakui bahwa

situasi dan masalah moral membutuhkan kesadaran individu yang memiliki

potensi yang dapat merugikan atau menguntungkan orang lain; 2)

pertimbangan moral mengacu bagaimana merumuskan masalah dan solusi

dalam mengevaluasi moral yang mungkin untuk menjustifikasi moral dan

langkah ini memerlukan proses penalaran etika yang mungkin berdampak

konsekuensi; 3) motivasi moral mengacu pada niat untuk memilih

10

keputusan moral atas solusi lain yang mewakili nilai yang berbeda dan

proses pengambilan keputusan etis yang melibatkan komponen

berkomitmen pada nilai moral; dan 4) perilaku moral (action moral),

tindakan/perilaku individu dan langkah ini melibatkan keberanian, tekad,

dan kemampuan untuk menindaklanjuti keputusan moral individu dalam

suatu kondisi atau situasi.

Dalam melengkapi model pengambilan keputusan etis yang

dikembangkan Rest, Jones (1991) juga mengembangangkan 6 model

intensitas moral sebagai unsur terpenting dalam mempengaruhi ethical

decision making, antara lain; besaran konsekuensi (the magnitude of

consequences), konsensus sosial (social consensus), probabilitas efek

(probability of effect), kesegeraan temporal (temporal immediacy),

kedekatan (proximity), dan konsentrasi efek (concentration of effect).

Pengembangan model tersebut memberikan pemahaman tentang

hubungan antara nilai intensitas moral dan langkah-langkah dalam

pengambilan keputusan etis.

Menurut Lincoln dan Holmes (2011), intensitas moral merupakan

aspek yang mampu memprediksi efektifnya seorang pemimpin dalam

pengambilan keputusan yang etis dalam mengembangkan nilai etika dan

moral dalam organisasi. Hal ini dibuktikan melalui 8 indikator pengujian

dari 3 model yang diajukan oleh Rest (kesadaran moral, pertimbangan

moral dan motivasi moral) dan 5 komponen intensistas moral yang

dikembangkan oleh Jones (1991) yaitu (besaran konsekuensi, konsensus

sosial, probilitas efek, kesegaran temporal, konsentrasi efek). Setelah

mempelajari dan memahami konsep mengenai ethical decision making

yang dilandasi etika dan moral dalam membuat keputusan dalam

mencerminkan kepemimpinan etis dalam organisasi, maka dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan konsep yang kembangkan oleh Rest

11

(1994) dan Jones (1991) (Lihat Lincoln dan Holmes, 2011) untuk

mengukur peran ethical leadership melalui konsistensi-konsistensi

pemimpin dalam mengekspresikan keputusan-keputusan etis yang

didasari nilai etika dan moral dalam mempengaruhi pengikut/karyawan.

Hipotesis 1: Ethical leadership berpengaruh positif terhadap ethical

decision making

Keputusan Etis dan Budaya Organisasi

Setelah memahami konsep dan penjelasan-penjelasan peran

etika/norma dalam pengambilan keputusan melalui pendekatan teori

intensitas moral (Rest, 1986), maka dapat dijelaskan bahwa keputusan etis

mampu memprediksi dan mempengaruhi tindakan moral melalui

keputusan organisasi. Berpegang pada statement Jones (1991) dan

Trevino (1987) bahwa keputusan etis merupakan sebuah keputusan yang

baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas,

maka konsistensi-konsistensi keputusan pemimpin yang dibuat

berdasarkan etika dan moral mampu menopang tindakan-tindakan etis

dalam organisasi dan akan membentuk suatu budaya etis.

Budaya etis dalam organisasi merupakan suatu konstruk spesifik

dalam budaya organisasi yang menjelaskan tentang etika dalam

organisasi (Key, 1999) dan menjelaskan tentang bagaimana anggota

organisasi merespon pertentangan etis yang muncul (Treviño,

Butterfield & McCabe, 1995). Budaya etis yang kuat dapat mendorong

perilaku etis dan mendukung pengembangan dan pemeliharaan

kepemimpinan etis dalam organisasi (Brown & Trevino, 2006) dan

budaya etis akan menciptakan, mengembangkan dan memunculkan

kesadaran atas norma-norma dalam lingkungan organisasi (Schminke,

Arnaud dan Kuenzi, 2007). Dengan demikian, nilai-nilai etis tersebut

12

dapat dipercaya dan diterima oleh karyawan, maka akan membetuk suatu

budaya organisasi.

Budaya organisasi merupakan sesuatu fenomena yang kompleks

(Dubkēvičs & Namatēvs, 2012). Budaya organisasi adalah seperangkat

nilai-nilai bersama, keyakinan, dan norma-norma yang mempengaruhi cara

berpikir karyawan, merasa, dan berperilaku di tempat kerja (Schein, 2011).

Lebih lanjut, Rivai dan Mulyadi (2012) menjelaskan budaya organisasi

sebagai kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari dan

membuat keputusan untuk karyawan dan mengarahkan tindakan untuk

mencapai tujuan organisasi. Selain itu, Robbins dan Judge (2013:355)

mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem berbagi arti yang

dilakukan oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dengan

organisasi lain. Sehubungan dengan konsep dan pemikiran tersebut,

Robbins (2009:289, 2008:256) menjelaskan budaya organisasi sebagai

suatu sistem atau nilai makna dominan yang dianut bersama dan didukung

oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap

karyawan dan pelanggan, cara pekerjaan yang dilakukan di tempat itu,

asumsi, dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi

yang membedakan organisasi itu dari lainnya. Selain itu, Robbins (2008)

juga menjelaskan budaya dapat menjalankan sejumlah fungsi didalam

organisasi yaitu: a) budaya berperan sebagai batas-batas; artinya, budaya

menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan

organisasi lainnya, b) kultur memuat rasa identitas anggota organisasi, c),

kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar

daripada kepentingan individu, d) kultur meningkatkan stabilitas sistem

sosial, (hal 262). Berkaitan dengan fungsi budaya organisai, Robbins

(2008:256) mendefinisikan tujuh karakteristik utama yang secara

keseluruhan, merupakan hakikat budaya sebuah organisasi, yaitu: 1) inovasi

13

dan keberanian mengambil risiko (inovation and risk taking), sejauh mana

organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani

mengambil resiko; 2) perhatian terhadap detil (attention to detail),

organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis

dan perhatian kepada rincian; 3) berorientasi kepada hasil (outcome

orientation), manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan

perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil

tersebut; 4) berorientasi kepada manusia (people orientation), sejauh mana

keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang

di dalam organisasi; 5) berorientasi pada tim (team orientation), kegiatan

kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu

untuk mendukung kerjasama; 6) agresivitas (aggressiveness), orang-orang

dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya

organisasi sebaik-baiknya; dan 7) stabilitas (stability), kegiatan organisasi

menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan. Dalam

melengkapi fungsi dan karakteristik budaya organisasi, Frey dan Denison

(2003) mengkonseptualisasikan 4 dimensi budaya dalam mendukung

efektivitas organisasi seperti; keterlibatan, konsistensi, penyesuaian dan dan

misi. Keterlibatan dan konsistensi sebagai mekanisme dalam penyelesaian

masalah internal sedangkan penyesuaian dan misi sebagai sifat adaptif

terhadap masalah ekternal organisasi.

Budaya organisasi akan menjadi kuat dan berperan dalam

membentuk nilai-nilai yang positif baik individual maupun kelompok

apabila didorong, didukung dan dilaksanakan (Kenny & Reedy, 2007).

Memahami fungsi dan pentingnya peranan budaya, maka budaya

organisasi dapat diukur melalui peraturan, jarak dengan batasan,

kepercayaan, profesionalisme dan integritas (lihat Susetyo, Kusmaningtyas

dan Tjahjono, 2014).

14

Hipotesis 2: Ethical decision making berpengaruh positif terhadap

budaya organisasi

Hubungan Ethical Leadership, Ethical Decision Making dan

Budaya Organisasi

Menurut Ponnu and Tennakoon (2009), salah satu tanggung jawab

utama seorang pemimpin adalah menciptakan iklim etis dalam organisasi.

Hal ini didukung oleh pernyataan Goleman (2004) yang menyatakan bahwa

seorang pemimpin mampu membangkitkan komitmen, motivasi, dan

optimisme dalam melaksanakan pekerjaan dan menumbuhkan atmosfir

kerjasama, gairah yang dapat mempengaruhi perilaku bawahan berdasarkan

nilai-nilai yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi. Pemahaman-

pemahaman ini diperkuat oleh Grimes (1978), menyatakan bahwa pemimpin

berperan dalam meningkatkan kemampuan, komitmen, keterampilan,

pemahaman nilai-nilai pada organisasi serta kerjasama tim untuk meraih

prestasi dalam organisasi. Pemahaman ini didukung oleh beberapa penelitian

lain (Tsang, 2007; Xenikou & Simosi, 2006; Lok & Crawford, 2004), bahwa

semakin baik kepemimpinan akan memperkuat budaya organisasi yang

akhirnya berdampak pada peningkatan kinerja karyawan.

Merujuk pada konsep dan dukungan bukti empiris dari penelitian-

penelitian tersebut, maka ethical leadership yang berlandaskan nilai

etika dan moral mampu memberikan kontribusi terhadap pembentukan

nilai-nilai baru dalam organisasi. Ethical leadership dengan

mendemontrasi perilaku normatif dan promosi perilaku melalui

konsistensi-konsistensi keputusan etis, akan memberikan suatu nilai

positif bagi pengikut/karyawan untuk dinilai dan dipertimbangkan,

dimana keputusan dapat membahayakan atau menguntungkan (Jones,

1991, p. 367). Dalam penelitian Walstrom (2006) ethical decision

making dinyatakan sebagai suatu proses mengenai etika informasi dan

15

ethical decision making memiliki dua dampak yang dominan yakni a.

lingkungan sosial seperti nilai-nilai agama, nilai budaya, dan nilai-nilai

sosial; dan b. pemerintahan/lingkungan hokum seperti undang-undang,

badan-badan administrasi, sistem peradilan. Sedangkan Boomer,

Clarence dan Tuttle (1987) menjelaskan ada empat factor lain yang

mempengaruhi ethical decision making antara lain; a) personal

environment (individual attributes including personal goals, motivation,

position, demography), b) private environment (peer group, family, and

their influences), c) professional environment (code of conduct,

professional meetings, licensing), dan d) work environment (corporate

goals, stated policy, corporate culture).

Dengan pertimbangan dampak-dampak ethical desion making ini,

maka melalui ethical leadership dalam konsistensi-konsistensi keputusan

yang didasari nilai etika moral sebagai faktor esensial dalam keterlibatan

pemimpin dalam membangun budaya organisasi. Dengan demikian, maka

dapat disimpulkan bahwa ethical decision making memiliki peranan yang

sangat penting dalam organisasi dan sebagai konstruk multidimensi dalam

menjalankan kegiatan organisasi maupun dukungannya dalam

kelangsungan hidup organisasi, sehingga keputusan-keputusan etis dinilai

memberikan outcomes maupun manfaat bagi nilai personal, maka

keputusan tersebut akan diadopsi dan dijadikan sebagai nilai kolektif.

Hipotesis 3: Ethical decision making memediasi peran ethical

leadership terhadap budaya organisasi

Peran Pemimpin Dalam Pembentukan Budaya Organisasi

Menurut Scein (2004) salah satu fungsi pemimpin adalah untuk

menciptakan dan membangun budaya dan iklim dalam organisasi.

Dengan pandangan ini, Senge (1994) mengidentifikasi tiga peran

kepemimpinan yang penting untuk membangun budaya organisasi bagi

16

pengikut atau karyawan antara lain; pemimpin sebagai desainer,

pemimpin sebagai guru, dan pemimpin sebagai pelayan. Dengan

demikian pemimpin merupakan suatu kekuatan yang sangat efektif di

dalam menciptakan sebuah budaya organisasi. Efektivitas

kepemimpinan dalam menjalankan organisasi dapat dikatakan sebagai

sebuah sistem yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor atau sub-

sub sistem lainnya, seperti lingkungan organisasi (secara internal

maupun eksternal). Peran kepemimpinan di dalam membentuk budaya

organisasi akan lebih jelas apabila menggunakan pendekatan sistem.

Menurut Winardi (2000:24) bahwa dalam rangka memecahkan

problem-problem di mana digunakan pendekatan sistem, maka para

pimpinan harus memandang organisasi yang ada sebagai suatu keseluruhan

yang dinamik, dan mereka harus berupaya mengantisipasi dampak yang

dikehendaki maupun dampak yang tidak dikehendaki dari keputusan yang

dibuat. Winardi juga menambahkan bahwa dalam model-model sistem

biasanya ditekankan pada tiga macam kunci yaitu: masukan (input), proses

dan keluaran (output).

Berdasarkan konsep di atas, maka dapat disimpulkan peran

kepemimpinan terhadap pembentukan budaya organisasi adalah sebagai

berikut: Pertama, apabila budaya organisasi belum terbentuk, pimpinan

memiliki kewajiban moral terhadap organisasi atau perusahaan, karyawan

dan dirinya sendiri untuk ikut membangun budaya organisasi. Kedua,

pimpinan berperan menghidupkan budaya organisasi (perusahaan), menjadi

pimpinan yang efektif. Peran tersebut dijalankan dengan memotivasi

karyawan untuk berprestasi, memberi arah, dan membangun rasa saling

percaya. Ketiga, pimpinan berperan mengembangkan dan mempertahankan

sumberdaya manusia yang terbaik.

17

MODEL PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan hubungan antara variabel yang dikemukan

diatas atau gambaran mengenai model variabel-variabel yang di teliti

serta alur pikir antara variabel independen (X) dan variabel dependent

(Y), maka model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1

Model Penelitian