TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM JANGKAU, SINERGI, DAN …
Transcript of TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM JANGKAU, SINERGI, DAN …
TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM JANGKAU,
SINERGI, DAN GUIDELINE (JARING) TERHADAP
KESEJAHTERAAN
(Studi Pada: Nelayan Sendang Biru, Kabupaten Malang)
JURNAL ILMIAH
Disusun Oleh:
Rivani Vinola Dewi
145020101111030
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM JANGKAU, SINERGI, DAN
GUIDELINE TERHADAP KESEJAHTERAAN
(Studi Pada: Nelayan Sendang Biru, Kabupaten Malang)
Rivani Vinola Dewi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini di latar belakangi adanya permasalahan keterbatasan modal serta akses kredit bagi
nelayan terhadap perbankan. Sehingga pada tahun 2015 saat program kredit Jangkau, Sinergi, dan
Guideline (JARING) baru diluncurkan diharapkan dapat membantu adanya permasalahan tersebut.
Sedangkan di sisi lain sebuah program pasti memiliki kendala yang terjadi di lapangan. Oleh karena
itu, adanya berbagai pandangan mengenai program diharapkan dapat memberikan jawaban terkait
implementasi program terhadap kesejahteraan para nelayan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui implementasi program JARING terhadap kesejahteraan para nelayan di Dusun Sendang
Biru, Kabupaten Malang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan interpretif. Penelitian ini menghasilkan bahwa sektor formal yang dibuat oleh
pemerintah nyatanya belum dapat membantu para nelayan. Akan tetapi faktor informal yaitu
pengambek (sebutan pemberi modal di Sendang Biru) juga tidak dapat membantu karena bunga yang
relatif tinggi. Langkah yang dilakukan untuk dapat membuat masyarakat nelayan menjadi bankable
adalah dengan melakukan penyuluhan dan sosialisasi serta membantu nelayan untuk dapat
memperoleh surat-surat tanah atau kapal yang dapat dipakai sebagai jaminan dalam meminjam
kredit kepada perbankan.
Kata Kunci: Telaah Kritis, Program JARING, Kesejahteraan Nelayan
A. PENDAHULUAN
Pengalaman bangsa Indonesia di masa lalu dalam membangun wilayah pesisir dan lautan
menunjukkan hasil yang kurang optimal dan cenderung menuju kearah yang tidak berkelanjutan.
Hal ini dapat terlihat pada tahun 2014, sektor kelautan dan perikanan hanya menyumbang sekitar
3,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) (OJK, 2015). Masyarakat nelayan seringkali
tersisihkan dari pembangunan sebab prioritas kebijakan pemerintah lebih berfokus kepada sektor
pertanian atau daratan. Hal ini menjadi permasalahan serius yang harus segera diselesaikan melihat
luas laut Indonesia yang merupakan negara maritim yang memiliki potensi yang luar biasa pada
sektor kelautan dan perikanan. Penelitian Mubyarto et. al. (1993) mengatakan bila dibandingkan
dengan komunitas lain, masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan ini dapat digolongkan sebagai
lapisan social yang “termiskin”. Kemudian pendapat lain mengatakan bahwa indeks kemiskinan
(Poverty Headcount Indeks) untuk masyarakat pesisir sebesar 32,14 yang artinya 32,14 persen dari
masyarakat pesisir miskin tergolong sangat miskin. (Data Semeru, 2002 dalam penelitian Rostin)
Gambar 1.1 Diagram Jumlah Keluarga Pra Sejahtera, Sejahtera I, dan Sejahtera II di 6
Kecamatan Kabupaten Malang tahun 2016
Sumber: Kabupaten Malang dalam Angka tahun 2017
05
10152025
Hal tersebut juga dirasakan oleh nelayan di Dusun Sendang Biru, Desa Sumbermanjing
Wetan, Kabupaten Malang. Dimana kemiskinan masih melanda wilayah tersebut. Terbukti dari 6
Kecamatan Sektor Perikanan di Kabupaten Malang, Desa Sumbermanjing Wetan menempati
keluarga pra sejahtera, sejahtera I, dan sejahtera II paling tinggi dibandingkan kecamatan lainnya.
Gambar 1.2 Persentase Jumlah Produksi Ikan pada 6 Kecamatan Sektor Perikanan
Kabupaten Malang tahun 2017
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2018 (Dinas Perikanan Kabupaten Malang)
Akan tetapi nelayan Sendang Biru juga memiliki potensi produksi perikanan tangkap yang
lebih besar dibanding 6 kecamatan sektor perikanan lainnya, Desa Sumbermanjing Wetan, yang
merupakan tempat Dusun Sendang Biru berada menempati jumah terbesar sekitar 5504,165
ton/tahun. Kecamatan Sumbermanjing Wetan juga menyumbangkan kontribusi produksi tangkap
ikan terbesar dengan persentase 79 persen dibandingkan kecamatan lain yang juga memproduksi
tangkap ikan. Dengan produktivitas yang tinggi dan penghasil ikan terbanyak, potensi masyarakat
nelayan Sendang Biru sudah sepantasnya keluar dari rantai kemiskinan yang mengikat.
Pada dasarnya, sudah terdapat beberapa bantuan yang datang ke Sendang Biru, diantaranya
adalah PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yaitu koperasi yang dibangun untuk
permodalan para nelayan, dimana pihak yang mengurus adalah warga itu sendiri. Akan tetapi hal
tersebut masih belum berjalan dengan baik di Dusun Sendang Biru. Terdapat beberapa faktor yang
diantaranya ialah bunga sekitar 2 persen, terdapatnya agunan, dan kurangnya sosialisasi serta
pembinaan sehingga keuangan permodalan tidak dapat berjalan dengan baik.
Hal ini mendorong pemerintah Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan
Kementerian Keuangan membuat sebuah program baru dengan mengajak Otoritas Jasa Keuangan
yang mengajak Perbankan, organisasi formal, untuk dapat membantu permodalan para nelayan di
Indonesia, begitupun di Dusun Sendang Biru Kabupaten Malang. Program tersebut bernama
Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) yang diresmikan di Sendang Biru pada tahun 2015.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
“TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM JANGKAU, SINERGI, DAN GUIDELINE
TERHADAP KESEJAHTERAAN (Studi pada: Nelayan Sendang Biru, Kabupaten Malang)”
B. KAJIAN PUSTAKA
Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi
Winarni dalam Ambar Teguh (2004: 79) mengungkapkan bahwa pemberdayaan meliputi
tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan
terciptanya kemandirian. Berdasarkan pendapat ini, berarti pemberdayaan tidak saja terjadi pada
masyarakat yang tidak memiliki kemampuan, akan tetapi pada masyarakat yang memiliki daya yang
masih terbatas, dapat dikembangkan hingga mencapai kemandirian.
79%
3%
10%3%2%3%
Sumawe A. Gading Tirtoyudo Bantur Gedangan Donomulyo
Pemberdayaan masyarakat merupakan aspek pembangunan, hakikat pembangunan
nasional seperti yang dipaparkan oleh Onny. S. Prijono (1996: 97) pemberdayaan masyarakat
ekonomi adalah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seutuhnya, dengan kata lain
memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan,
menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap
kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan. Pembangunan nasional juga
mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah, untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan ekploitasi atas yang lemah, menurut Sudjana (2001:
256) pentingnya pembangunan masyarakat yang menitikberatkan sektor ekonomi ialah agar
masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui pertumbuhan sektor ini, tanpa
mengabaikan peranan sektor-sektor lainya, dan sekaligus dapat menurunkan tingkat kemiskinan
penduduk. Disimpulkan bahwa konsep dasar pemberdayaan pada dasarnya yaitu upaya suatu
kelompok masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian sehingga masyarakat
dapat mengaplikasikan potensi atau kemampuan yang sudah dimiliki dalam rangka tujuan hidup
yang lebih sejahtera.
Pemberdayaan memiliki tujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dan dapat
memperbaiki segala aspek, dalam arti memiliki potensi agar mampu menyelesaikan masalah-
masalah yang mereka hadapi dan sanggup memenuhi kebutuhanya dengan tidak menggantungkan
hidup mereka pada bantuan pihak luar baik pemerintah maupun non pemerintah.
Tipologi Pembangunan Top-Down vs Bottom-Up Planning
Perencanaan pembangunan dengan pendekatan Top-Down vs Bottom-Up planning akan
menjamin adanya keseimbangan-keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal
dalam perencanaan pembangunan daerah (Kuncoro, 2004). Riyadi dan Bratakusumah (2003)
memaparkan, perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai: Suatu proses perumusan
alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang
akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas
kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (mental dan spiritual) dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih baik”.
Proses perencanaan merupakan suatu prosedur dan tahapan dari perencanaan itu
dilaksanakan. Secara hierarki, prosedur perencanaan itu dilakukan atas dasar prinsip Top-Down
Planning, yaitu proses perencanaan yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi (pemerintah) kemudian
atas dasar keputusan tersebut dibuat suatu perencanaan di tingkat yang lebih rendah (masyarakat).
Prinsip lainnya adalah Bottom-Up Planning yang merupakan perencanaan yang awalnya dilakukan
di tingkat yang paling rendah dan selanjutnya disusun rencana organisasi di atasnya sampai dengan
tingkat pusat atas dasar rencana dari bawah.
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Adanya pemberdayaan yang memperhatikan berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir diharapkan dapat mampu membuat masyarakat
pesisir keluar dari lingkaran kemiskinan. Seperti yang dipaparkan oleh Kusnadi (2006) dimana
pemberdayaan masyarakat pesisir diharapkan dapat memperkuat kapasitas dan otonomi mereka
dalam mengelola potensi sumber daya pesisir, laut, pulau-pulau kecil secara optimal dan
berkelanjutan sebagai jalan untuk menjamin kelangsungan hidup mereka dan generasinya.
Kondisi Rumah Tangga Nelayan
Menurut Kinseng (2014: 92) dalam nelayan terdapat beberapa pola hubungan untuk
menggabarkan relasi yang terjadi diantaranya:
a. hubungan kelas buruh dengan kelas pemilik
Buruh nelayan sangat bergantung kepada kelas pemilik, contohnya dalam sistem bagi hasil
buruh nelayan hanya mendapatkan berapa pun yang nelayan pemilik berikan meskipun
pemilik tersebut tidak transparan dalam menjelaskan berapa jumlah keuntungan yang
sebenarnya pantas ia dapatkan. Scott (dalam Kinseng 2014:95) memaparkan bahwa buruh
nelayan juga tidak akan memprotes karena adanya hubungan patron-client antara kelas
buruh dengan pemilik dimana pemilik bertindak sebagai patron dan buruh nelayan sebagai
klient, ketika buruh nelayan dalam kesulitan dana pihak pemilik bertindak untuk
memberikan bantuan yang berkaitan dengan kegiatan produksi ataupun diluar kegiatan
produksi. Bantuan tersebut biasanya berupa dana kesehatan ketika keluarga buruh nelayan
sakit, biaya untuk kehidupan sehari-hari, pulang kampung, dan sebagainya.
b. hubungan kelas pemilik dan kelas pemodal
Sebagian nelayan memiliki hubungan keterikatan dengan kelas pemodal. Kelas pemodal
memiliki peranan dan modal yang sangat besar pengaruhnya. Hal ini berawal ketika kelas
pemilik atau nelayan tidak memiliki modal untuk membeli mesin serta peralatan untuk
melaut dan memilih untuk meminjam kepada pemilik modal. Bukan hanya meminjamkan
modal terkait produksi nelayan, nelayan yang sudah bergantung juga meminjam untuk
keperluan sehari-harinya yang dimana kita ketahui bahwa musim panen ikan tidak terjadi
setiap saat.
Kesejahteraan
Badan Pusat Statistik (2008) memaparkan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif,
sehingga ukuran kesejahteraan bagi tiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Pada
prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut berupa
kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan
kebutuhan dasar lainnya. Apabila kebutuhan dasar individu atau keluarga sudah dapat terpenuhi,
maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan individu atau keluarga tersebut sudah tercapai.
Kebutuhan dasar sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, apabila kebutuhan dasar dari individu
atau keluarga tersebut belum terpenuhi maka dapat dikatakan bahwa individu atau keluarga tersebut
berada di bawah garis kemiskinan.
C. METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menelaah kritis implementasi program
Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) di Dusun Sendang Biru, Kabupaten Malang, maka
penelitian ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. Penelitian kualititatif dipilih karena
lebih sensitif dalam mendapatkan penjelasan dari informan.
Metode yang sesuai digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan interpretif. Menurut
Newman (1997) pendekatan interpretif merupakan pendekatan yang berupaya untuk mencari
penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan
pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretif merupakan sebuah sistem sosial yang
memaknai perilaku secara detail dengan langsung mengobservasi.
Unit analisis pada penelitian ini berfokus pada implementasi program Jangkau, Sinergi, dan
Guideline (JARING). Berdasarkan unit analisis tersebut maka pihak-pihak yang akan dijadikan
informan dalam penelitian ini adalah:
a. Dinas Perikanan Kabupaten Malang yang mengetahui segala aturan serta kebijakan
program sebagai informan kunci.
b. Perbankan (Bank Rakyat Indonesia unit Sendang Biru) salah satu dari perbankan yang
memberikan pendanaan bagi program kredit Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING).
c. Masyarakat nelayan Sendang Biru, baik yang mengikuti atau tidak mengikuti program
kredit Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) sebagai informasi tambahan untuk
membantu peneliti mendapatkan tambahan informasi terkait program.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan berbagai cara, antara lain
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Untuk menguji kredibiltas data, peneliti memutuskan
untuk menggunakan triangulasi sumber.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi Dinas Perikanan Kabupaten Malang dan Perbankan (BRI) Terkait Implementasi
Program
Dalam kegiatan wawancara, peneliti berhasil mendapatkan penjelasan terkait pertimbangan
yang dipilih oleh informan tentang implementasi program Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING) di lapangan.
Perbedaan Antara Aturan dan Implementasi Program
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2008 Tentang Fasilitas
Penjaminan Kredit Usaha Rakyat Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 73/PERMEN-KP/2016 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Kredit
Usaha Rakyat Sektor Kelautan dan Perikanan, bahwa pada peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah nelayan dapat mengambil kredit kepada bank tanpa agunan karena pemerintah menjadi
perwakilan penjamin dengan syarat pinjaman Kredit Usaha Mikro. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan para nelayan dalam mendapatkan akses untuk modal melaut. Dengan adanya akses
yang mudah untuk melaut, diharapkan nelayan akan dapat keluar dari ketergantungannya kepada
para pengambek sehingga dapat menghasilkan lingkungan ekonomi yang baik serta produktivitas
ekonomi yang maksimal.
Namun pada kenyataannya nelayan justru tidak dapat mengakses kredit yang ada dengan
baik. Hal ini dikarenakan agunan yang ditetapkan untuk nelayan nyatanya tidak dirasakan oleh
masyarakat sekitar dikarenakan perbankan masih tetap mengisyaratkan agunan untuk setiap
pinjaman kredit yang dilakukan oleh nelayan. KUR Mikro sektor kelautan dan perikanan yang
mengharuskan adanya agunan menimbulkan kendala lain bagi masyarakan nelayan dimana
masyarakat yang benar-benar membutuhkan akses permodalan kesulitan mendapatkan kepercayaan
dari pihak perbankan.
Menurut informan kunci, yaitu Bu Inang selaku perwakilan dari Dinas Perikanan
Kabupaten Malang mengatakan bahwa memang tidak ada agunan dalam proses pinjaman KUR
mikro untuk para nelayan, akan tetapi pihak perbankan salah satunya BRI unit Sendang Biru tetap
mengharuskan adanya agunan dikarenakan kantor pusat BRI tetap menerapkan kebijakan
peminjaman dengan agunan sebagai syarat untuk mengakses permodalan.
Persepsi Masyarakat Nelayan Terkait Implementasi Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING)
Persepsi masyarakat nelayan dibagi menjadi tiga bagian diantaranya:
Nelayan Speed (kecil) yang Cenderung Tidak Dijangkau oleh Program Jangkau, Sinergi, dan
Guideline (JARING)
Pengaruh pendidikan dan serta bergantungnya nelayan kepada pengambek menjadi
penyebab nelayan tidak memperoleh informasi dengan baik, mereka menganggap bahwa
keberadaan pengambek sudah cukup untuk dapat memenuhi permodalan mereka, sehingga
informasi asimetris kerap kali diterima oleh masyarakat nelayan kecil. Dari beberapa informan yang
merupakan nelayan speed atau bisa dikatakan nelayan kecil, mereka justru tidak mengetahui adanya
program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING). Padahal faktanya program Jangkau, Sinergi,
dan Guideline (JARING) ini ditujukan untuk nelayan kecil menengah seperti juga yang diungkapkan
oleh Bu Inang selaku Kepala Seksi Pelayanan Usaha Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Malang.
Dalam hal ini, dapat terlihat bahwa pengetahuan masyarakat terkait program Jangkau,
Sinergi, dan Guideline (JARING) masih bisa dikatakan sedikit. Bahwa hanya beberapa persen dari
total keseluruhan masyarakat nelayan yang mengetahui dan mengikuti program Jangkau, Sinergi,
dan Guideline (JARING). Pada saat peluncuran program dan sosialisasi masih banyak juga
masyarakat yang belum diundang untuk mengikuti acara sehingga banyak masyarakat nelayan yang
masih belum memahami program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) secara baik.
Nelayan yang Memperoleh Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) Merasa
Kurang Berdampak VS Merasa Berdampak
Menurut Bapak Ngudi Sugiharto selaku nelayan mandiri Sendang Biru, harga pasar
sepenuhnya tidak dapat mandiri selama masih adanya monopoli pasar disana:
“Sekarang sudah mulai banyak yang berani, sudah ada beberapa. Tapi ya sama jukung
juga.masih tetap kerjasama juga sama pengambek. Yang ikut orang sudah jarang. Tapi
tetap ga bisa lepas dari pengambek. Tapi ya gitu ikan di monopoli semua harga di
monopoli.” (Bapak Ngudi, Nelayan Mandiri Sendang Biru)
Secara keseluruhan nelayan Sendang Biru tetap menggunakan pengambek walau mereka
mampu membeli kapal karena adanya pengaruh harga ikan yang kuat dengan atau tanpa adanya
pengambek:
“Kalo nelayan sendang biru 99% saya jamin pasti pake pengambek semua yang 1% cuma
saya yang ga pake pengambek karna istri saya pedagang. Di Sendang Biru ini banyak
kelemahannya. Kalo kita ga punya pengambek, ikan yang kita tangkep sama dengan kapal-
kapal lain, tengkulak (pengambek) itu ga mau beli. Yang kedua masalah harga. Kita
(nelayan kecil/jukung) ga bisa nentukan harga, kita ngikut aja. Nelayan udah ga bisa apa-
apa. Itu bener-bener kasihan betul. Ga bisa dijual, ga bisa ikut lelang, pasrah harus pake
pengambek. Nelayan besar (semacam sekoci) masih bisa ikut lelang tergantung harga
lelang, kalau jukung (nelayan kecil) ya harus ikut pengambek.” (Bapak Ngudi, Nelayan
Mandiri Sendang Biru)
Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) dirancang untuk membantu nelayan
dalam hal permodalan yang dirasa masih belum berjalan maksimal, karena keadaan nelayan yang
masih belum sepenuhnya dapat dan mampu memberdayakan masyarakat nelayan Sendang Biru
untuk dapat keluar dari kantong-kantong kemiskinan yang selama ini selalu disematkan pada mata
pencaharian nelayan. Sejalan dengan pernyataan Bapak Ngudi Sugiharto yang mengatakan:
“Kalau menurut saya kurang berpengaruh, karna walaupun mereka punya kapal (dari hasil
kredit ataupun uang sendiri) mereka tetap kerjasama dengan pengambek. Karna tetep kalah
sama monopoli harga pasar. Tetap saja walau kita beli kapal sendiri tetep harus ada
pengambek, karna ada permainan harga pasar. Monopoli (harga) ikan di pasaran. Tetep
saja butuh pengambek rantai jahat itu ga tau cara menghilangkannya.”
Pada dasarnya kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (2008) adalah bersifat
subyektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi tiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain.
Pada prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan pendapatan yang diperoleh oleh para nelayan.
Terdapat beberapa narasumber dari para nelayan yang sudah mendapatkan pinjaman merasa bahwa
program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) ini masih belum berdampak nyata pada
perekonomian, yang juga akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat nelayan. Hal ini dapat
terjadi karena mereka menganggap masih adanya campur tangan pihak pedagang atau pengambek
terhadap harga pasar di Sendang Biru.
Seperti yang dikatakan oleh Kuncoro, 2004 bahwa perencanaan pembangunan dengan
pendekatan Top-Down vs Bottom-Up planning akan menjamin adanya keseimbangan-keseimbangan
antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah
yang merupakan bagian dari atas (top) membentuk program dengan memikirkan banyak
pertimbangan dan untuk dapat mensejahterakan masyarakat (down) adanya pemberdayaan Top
Down diharapkan dapat membantu masyarakat nelayan Sendang Biru untuk dapat memberdayakan
dirinya akan tetapi penting juga untuk melihat pendapat atau pandangan masyarakat mengenai
program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) yang sudah 3 tahun berjalan.
Pendapat lain dikatakan juga oleh Bapak Anjasworo selaku Nelayan mandiri di Sendang
Biru. Dalam pemaparannya, Bapak Anjasworo merasa program Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING) sangat berdampak bagi dirinya. Dengan adanya program Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING) Bapak Anjasworo dapat melakukan pinjaman dengan bunga yang rendah sehingga dapat
membantu Bapak Anjasworo membeli 2 kapal slerek (kapal dengan jumlah 1 slerek sebanyak 50
ABK).
“Kalau saya BRI sangat membantulah apalagi dengan program OJK kemaren itu. Wong
kita kena juga cuma 0,4 (bunga).”
Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) dirasa memiliki perspektif yang
berbeda-beda menurut pandangan masyarakat, mereka yang merasa terbantu dapat memberdayakan
dirinya dengan baik, sedangkan yang merasa tidak terbantu masih terus berjuang untuk
memberdayakan dirinya menjadi lebih baik lagi.
“Program KUR ini baguslah kalo menurut saya. Tapi pendapat orang kan macem-macem.
Kalau secara umum saya senang dengan KUR ini.” (Bapak Anjasworo, Nelayan Mandiri
Sendang Biru)
Dengan adanya program ini, walau belum dirasakan banyak orang namun dapat
memberikan dampak yang bagus terhadap masyarakat yang pola pikirnya maju dan mau
berkembang untuk memberdayakan dirinya. Sehingga dalam hal ini pemberdayaan bukan hanya
didorong oleh pemerintah namun masyarakat juga harus memiliki kesadaran untuk mau
berkembang.
Pada dasarnya pemberdayaan dilakukan untuk memandirikan masyarakat agar tidak
bergantung secara terus menerus kepada pemerintah. Hal inilah menjadi kendala besar yang
dihadapi karena tidak mudah mengubah karakter masyarakat. Maka dari itu program pemberdayaan
seperti ini membutuhkan proses yang panjang untuk mencapai tujuannya. Beberapa bantuan telah
diberikan oleh pemerintah yang dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat melalui program
Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Adanya bantuan pinjaman kredit dengan bunga yang rendah
2. Sosialisasi kepada masyarakat nelayan Sendang Biru
Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan OJK memberikan masyarakat pengetahuan
dan juga lahan untuk mereka menyampaikan aspirasi dan pendapat masyarakat mengenai hambatan-
hambatan yang dihadapi selama menjadi nelayan di Sendang Biru.
“Tapi saya rasa kalo BRI apalagi kemaren ada OJK sangat membantu ya. bahkan kami
sempet waktu diundang OJK di balai pertemuan saya juga menyampaikan (pendapat) saya,
saya juga wakil nelayan karna saya paling muda dan saya juga punya 2 unit slerek
memikirkan anggota 100 orang.” (Bapak Anjasworo, Nelayan Mandiri Sendang Biru)
Sejalan dengan program bantuan pemerintah, salah satu nelayan mandiri yang dapat
memberdayakan dirinya, Bapak Anjasworo juga berpendapat hal yang sama terkait bantuan yang
dilakukan pemerintah terhadap masyarakat nelayan Sendang Biru.
“Kalau saya BRI sangat membantulah apalagi dengan program OJK kemaren itu. Kalau
saya rasa, saya dari nol dari anggota. Trus kami juga punya pola pikir untuk maju akhirnya
punya sekoci dari sekoci langsung punya pemikiran untuk beli slerek. Jadi kalo kita
kekurangan ya disini ada BRI. Bahkan untuk pengurus BRI enak-enak kok menurut saya.
Apalagi kalau tunggakan seandainya kita telat orang kan biasanya penyampaiannya tidak
enak, tapi kalau BRI bertanyanya dengan baik “Pak Anjas mohon maaf apakah sudah
membayar” program KUR ini baguslah kalo menurut saya secara umum. Tapi pendapat
orang kan macem-macem.” (Bapak Anjasworo, Nelayan Mandiri Sendang Biru)
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan dapat dicapai melalui penerapan
pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan,
Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto, 1997: 218-219).
Dimana pemungkinan harus terjadi dengan cara membentuk relasi yang bersahabat antara
nelayan dengan perbankan. Penguatan yang artinya memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki oleh nelayan. Perlindungan yaitu melindungi kelompok-kelompok lemah untuk dapat
memberdayakan dirinya dan keluar dari kantong-kantong kemiskinan yang ada di Sendang Biru.
Penyokongan yang berarti adanya bantuan dan dorongan dari pemerintah dan pihak yang berwenang
untuk dapat membantu masyarakat Sendang Biru keluar dari kemiskinan yang ada, serta
pemeliharaan yang berarti memelihara kondisi yang aman dan damai sehingga produktivitas
ekonomi dan distribusi ekonomi dapat berjalan dengan baik di Sendang Biru. Ketika 5P ini telah
dan mampu dijalankan maka pemberdayaan telah terjadi di Sendang Biru.
Terdapat beberapa pandangan atau perspektif dari beberapa orang yang peneliti observasi,
namun secara keseluruhan program ini diterima secara baik dan positif oleh masyarakat nelayan
Sendang Biru. Hal ini terbukti dari pernyataan perwakilan BRI unit Sendang Biru:
“Untuk yang ikut KUR ini sekarang jumlahnya sekitar 3.000an. Kebanyakan nelayan sama
tani. Itu aja. Wilayan sini nelayan, kalo wilayah timur sana tani cengkeh sama kopi.”
(Ahsan, Staff BRI unit Sendang Biru).
Dalam hal ini dapat terlihat jumlah masyarakat yang ikut program KUR Jangkau, Sinergi,
dan Guideline (JARING) sebanyak 3.000 jiwa yang terdaftar di BRI unit Sendang Biru dari total
jumlah nelayan Sendang Biru sebesar 3.251 jiwa.
Pengambek Dijangkau Oleh Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
Ditengah banyaknya masyarakat nelayan Sendang Biru yang tidak mendapatkan bantuan,
pengambek Sendang Biru justru mendapatkan bantuan pinjaman dari bank. Hal ini terjadi karena
pada prinsipnya Bank juga ingin mengejar profit, sehingga misinya tidak sejalan dengan pemerintah
yang ingin mensejahterakan masyarakat nelayan. Bapak Nuril Selaku pengambek menjelaskan
bahwa dulu pihaknya dihubungi oleh pihak perbankan untuk ditawari pinjaman kredit:
“Dulu karyawannya (pihak bank) sendiri yang menawarkan sendiri. Saya ikut dan ambil di
BNI. Pihak BNI yang datang kesini.” (Bapak Nuril Pengambek Sendang Biru)
Salah satu informan, Bapak Jonny selaku pengambek juga mengatakan bahwa dirinya
mengetahui pinjaman dari sosialisasi yang diadakan yang selama ini justru jarang diikuti oleh
masyarakat nelayan keci yang belum paham terkait pinjaman tersebut. Bapak Jonny seperti juga
dengan Bapak Nuril juga mendapatkan program JARING dari pihak bank dan sosialisasi:
“Setiap bank kan ngasih pemberitahuan di bidang pengusaha, setiap tahun kan ada
sosialisasi makanya dari situ saya tahu. Ada produk KUR bantuan pemerintah jadi lebih
ringan daripada swasta gitu.” (Bapak Jonny Pengambek Sendang Biru)
Pihak perwakilan dari BRI juga mengatakan bahwa ada penilaian nasabah untuk menilai
performanya dalam membayar cicilan setiap bulannya. Sehingga setiap nasabah yang membayar
dengan teratur dan tidak jatuh tempo akan mendapatkan penilaian baik dan akan ditawarkan kredit
kembali oleh pihak perbankan.
“Ketika mbak ini sama mbak itu minjem, mbak bayarnya sesuai, nggak macet, tepat waktu,
trus mbak itu 1-3 bulan bayarnya sesuai tapi bulan-bulan berikutnya dia macet. Kira-kira
sampeyan kapok nggak minjemin uang ke dia?”
“Sama juga dengan bank. Kalo sampeyan bayarnya bagus berarti nilai performa mbaknya
juga baik, tentu bank akan menawarkan jasa kredit lagi ke mbak bahkan sebelum kredit
mbak yang sebelumnya habis. Karena dirasa mbak dapat dipercaya dan memegang
tanggung jawab. Tapi kalo mbak yang satunya, yang macet itu, mungkin dia bisa pinjam
tapi nggak langsung jadi, dalam arti prosesnya jauh lebih ribet. Seperti itu mbak.”
Adanya informasi dan pemberitahuan kepada pengambek membuat akses pengambek
menjadi lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman kredit di Bank, sehingga tanpa disadari
dampaknya ialah nelayan akan terus tetap bergantung kepada pengambek dalam hal mencari
pinjaman yang praktis dan mudah walau tanpa disadari rantai tersebut menjadi tidak pernah terputus.
Namun seperti yang kita ketahui, adanya informasi yang diperoleh oleh pengambek
dikarenakan angsuran kredit yang mereka bayar selalu tepat waktu setiap bulannya. Berbeda dengan
nelayan yang memiliki banyak resiko baik kendala internal maupun eksternal dalam melaut,
menjadikan nelayan sulit untuk dapat membayar cicilan tepat waktu di tengah iklim globalisasi yang
membuat cuaca menjadi tidak menentu setiap harinya.
Telaah Kritis Implikasi Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) yang dibuat oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Keuangan yang mengajak Otoritas Jasa Keuangan
mengajak Perbankan untuk bekerjasama merupakan suatu usaha peningkatan pelayanan pemerintah
untuk masyarakat nelayan yang memang sejak dahulu telah menjadi kantong-kantong kemiskinan.
Apalagi di era globalisasi saat ini, sudah saatnya masyarakat nelayan menjadi masyarakat yang
bankable sehingga akan semakin mudahnya nelayan untuk mengakses permodalan bagi usaha
melautnya.
Prosedur Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
Mengenai prosedur Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING), sesuai yang tertulis di bab
dua yakni top down planning merupakan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah agar
masyarakat nelayan dapat keluar dari kemiskinan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bu Inang selaku
Kepala Seksi Pelayanan Usaha Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Malang:
“Program JARING itu merupakan program yang bertujuan untuk memfasilitasi usaha-
usaha perikanan nelayan, terutama titik beratnya nelayan untuk memberikan akses
permodalan.
Biasanya kami mencarikan nelayannya, mencarikan siapa-siapa saja yang membutuhkan
permodalan. Kita kumpulkan kelompok-kelompok, lalu kita undang perbankannya. Kita
juga ikut memilih perbankan yang punya program, walaupun banyak perbankan ikut
program program JARING belum tentu juga mereka punya program yang ramah untuk
nelayan.
untuk KUR kurang dari 20 juta tidak memerlukan jaminan, sedangkan bank tetap meminta
jaminan, disitu yang sampe sekarang masih mbundeli, nggak ada yang mau rugi. DPR pun
sudah menegur, kenapa seperti ini, tetapi perbankan tetap diam. Bantuan yang diberikan
pemerintah hanya subsidi bunganya, sedangkan bank tetap tidak mau rugi, ketika nanti
macet kemana uangnya pergi, bank tidak mau menanggung hal tersebut.”
Dalam pemaparan Bu Inang, prosedur dari program Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING) adalah dengan mengumpulkan nelayan-nelayan yang sekiranya dapat membayar biaya
angsuran kredit serta mencarikan perbankan yang dapat memberikan fasilitas kredit yang ringan
bagi para nelayan.
“Pada dasarnya prosedurnya sudah sesuai, akan tetapi memang belum ada pengawasan di
lapangan yang memantau setiap saat. Kalau terkait kunjungan atau sosialisasi kita tetap
selalu adakan tiap tahun.”
Dari pemaparan yang disampaikan oleh Bu Inang selaku perwakilan dari Dinas Perikanan
Kabupaten Malang, dapat dilihat bahwa prosedur yang ada sudah sesuai akan tetapi belum ada
pengawasan untuk memantau program di lapangan. Sehingga terkadang program juga tidak dapat
tepat sasaran kepada para nelayan kecil sampai nelayan menengah.
Prosedur lainnya yang ditangkap nelayan yang mengikuti program Jangkau, Sinergi, dan
Guideline (JARING) berpendapat:
“Sebenarnya kalau kita sudah mengumpukan syarat-syarat yang diperlukan, gampang kok
cairnya mbak. Ndak ribet. Seng jadi masalah yo kalo kita ndak melengkapi persyaratan
yang diperlukan. Iku seng fatal dan bikin suwi.” (Bu Susi, nelayan speed (kecil) Sendang
Biru)
Dari beberapa wawancara yang peneliti lakukan terdapat beberapa kesimpulan bahwa
prosedur program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) memiliki kemudahan ketika
masyarakat nelayan telah mengumpulkan persyaratan serta membayar angsuran kredit tiap bulannya
secara tepat waktu akan tetapi belum adanya pengawasan program menjadi kekurangan yang
mengakibatkan sering terjadi asimetri informasi dan tidak ketepatannya sasaran program terhadap
para nelayan.
Sasaran Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
Pada hakikatnya, sasaran pemerintah untuk program kredit Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING) ialah masyarakat nelayan kecil dan menengah. Akan tetapi berdasakan informasi yang
peneliti dapatkan di lapangan, masyarakat nelayan kecil masih banyak yang tidak mengetahui
adanya program terbukti dari pernyataan Bapak Sumaji selaku nelayan speed Sendang Biru:
“JARING? JARING apa itu? Nggak ada. Nggak pernah denger. Nggak ada bantuan
apapun. Kita modal sendiri. Kita minjem ke warung-warung (pengambek). Bantuan yang
datang biasanya paling alat-alat pancing aja. Kalau nelayan kecil-kecil kayak gini jarang
ada yang tahu program ini.”
Bapak Sumaji yang juga merupakan nelayan speed dengan perahu kecil yang hanya dapat
menampung 1-2 orang dan bisa dikategorikan nelayan kecil mengaku tidak mengetahui mengenai
program JARING, hal ini juga diperkuat oleh pendapat Bu Inang selaku Kepala Seksi Pelayanan
Usaha Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Malang:
“memang sampai saat ini banyak masyarakat yang belum tahu, tapi kadang mereka
memang yang nggak ingin tahu. Dan dari pihak perbankan sebenarnya sudah cukup baik
SDMnya tapi memang nggak ada pegawai khusus untuk menangani program JARING
ini… bank tetap nggak mau ngambil resiko. Soalnya kan biasanya kebijakan dari atas selalu
ada target, dan ketika ada kredit macet kan itu juga bisa merugikan mereka, apalagi pegawai
perbankan sekarang rata-rata pegawai kontrak, kalo ada kredit macet mereka yang
nanggung pilihan terburuknya mereka bisa dipecat. Jelas yang menanggung resiko besar
itu perbankan. Jadi resiko itu bisa jadi beban pribadi pegawai, jadi sebenarnya pelaku-
pelaku ini juga sulit untuk percaya atau mengambil resiko yang terlalu tinggi untuk nelayan
yang dirasa masih kurang.”
Dalam beberapa aspek sasaran untuk program JARING untuk nelayan speed yaitu nelayan
kecil (berisikan 1-2 orang) belum dapat tercapai dengan baik, akan tetapi untuk nelayan menengah
yaitu nelayan sekoci dengan isi dalam awak kapal mencapai 5 orang, mereka mampu keluar dari
pengambek dan dapat memberdayakan dirinya. Sehingga jika ditelisik lebih jauh program Jangkau,
Sinergi, dan Guideline (JARING) memang masih belum dapat membuat kelompok nelayan kecil
dapat keluar dari kemiskinan.
Upaya Dinas Perikanan Kabupaten Malang dan Perbankan dalam Mengurangi Hambatan
Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
Pada pelaksanaannya, Dinas Perikanan Kabupaten Malang dan Bank Rakyat Indonesia
(BRI) melakukan upaya untuk dapat membuat Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
berjalan dengan baik dan memberikan dampak. Beberapa upaya yang dilakukan adalah sebagai
berikut.
Upaya Dinas Perikanan Kabupaten Malang dalam Mengurangi Hambatan Program Jangkau,
Sinergi, dan Guideline (JARING)
Melihat dari banyaknya hambatan-hambatan yang terjadi selama proses berjalannya
pelaksanaan program JARING di Sendang Biru, upaya yang dilakukan oleh Dinas Perikanan
Kabupaten Malang diantaranya ialah upaya untuk memberikan agunan untuk akses permodalan
dengan cara membantu masyarakat nelayan mengurus hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat
nelayan. Surat ha katas tanah ini nantinya diharapkan dapat menjadi bekal nelayan untuk melakukan
kredit kepada perbankan yang akan membantu permodalan nelayan dalam melaut. Dimana dalam
hal ini Dinas Perikanan Kabupaten Malang berperan dalam menciptakan kondisi yang
memungkinkan bagi para nelayan untuk dapat mengakses modal. Yang dimana dalam
pendekatannya Dinas Perikanan Kabupaten Malang berperan dalam pendekatan pemberdayaan
pemungkinan dalam 5P. (Suharto, 2005:67).
Selain dengan mengupayakan pengurusan sertifikasi hak atas tanah, Dinas Perikanan
Kabupaten Malang juga membantu para nelayan dengan mencarikan program kredit dengan bunga
yang relatif kecil serta persyaratan yang tidak sulit agar masyarakat nelayan dapat merasa terbantu
dengan adanya bantuan permodalan. Bahkan Dinas Perikanan Kabupaten Malang juga membantu
mengupayakan angsuran yang ringan bagi nelayan.
“Biasanya kami yang carikan nelayannya. Siapa-siapa saja yang membutuhkan
permodalan. Baru kita undang perbankan. Kita juga milih perbankan yang ramah.
Walaupun mereka mengikuti program JARING belum tentu mereka memiliki program
yang ramah.” (Bu Inang, Kepala Seksi Pelayanan Usaha Perikanan Dinas Perikanan)
Selain itu, Dinas Perikanan Kabupaten Malang juga membantu mengupayakan agar para
nelayan dapat mengakses kredit dengan menggunakan jaminan surat-surat kapal. Berdasarkan
sumber dari Perwakilan Bank Rakyat Indonesia Unit Sendang Biru, mereka dapat menggunakan
agunan berupa surat-surat kapal untuk dapat memperoleh pinjaman.
Setelahnya, Dinas Perikanan Kabupaten Malang, Otoritas Jasa Keuangan, serta Perbankan
terus melakukan upaya sosialisasi dan pelatihan untuk dapat membentuk masyarakat nelayan yang
bankable.
Upaya Bank Rakyat Indonesia dalam Mengurangi Hambatan Program Jangkau, Sinergi, dan
Guideline (JARING)
Selain Dinas Perikanan Kabupaten Malang, Bank Rakyat Indonesia Unit Sendang Biru juga
ikut serta membantu mengupayakan program ini terus berjalan dan terus diketahui oleh masyarakat
nelayan. Upaya yang dilakukan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan cara memberikan penyuluhan
sosialisasi guna memberikan pemahaman mengenai inklusi keuangan sehingga masyarakat nelayan
dapat mengerti alur kredit dan menjadi masyarakat yang bankable. Dengan bertambahnya
pengetahuan masyarakat, diharapkan perbankan dapat menyentuh masyarakat pesisir khususnya
masyarakat nelayan yang memang selalu menjadi wilayah kantong-kantong kemiskinan.
“Kita biasanya dari kalo ada kunjungan, dari kantor pusat sana juga ngadain sosialisasi dan
ada agen BRILink juga.
Ada juga KUR baru dari pemerintah, yang bunganya hanya 0,4% ini programnya Pak
Jokowi, bunganya rendah juga tapi untuk saat ini sesinya udah abis ya. Dan nggak tahu
juga apakah program ini akan terus ada karena kan kita juga akan pilpres tahun depan.”
(Bapak Ahsan, Perwakilan BRI Unit Sendang Biru)
Jika di selisik lebih jauh, perbankan memiliki peran sebagai penguatan dimana ia
berperan memberikan sosialisasi serta permodalan bagi nelayan agar dapat membuka akses
nelayan dalam memberdayakan dirinya. (Suharto: 1997). Dari beberapa informasi yang
peneliti dapatkan, terdapat beberapa program KUR yang ramah terhadap nelayan dan juga
beberapa upaya yang dilakukan oleh perbankan untuk dapat mendorong masyarakat
nelayan menjadi lebih bankable. Sehingga ke depannya diharapkan perekonomian
masyarakat nelayan Sendang Biru akan lebih maju dan dapat mengubah image
perekonomian nelayan menjadi lebih baik.
Implementasi Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING)
Pada dasarnya konsep dari program JARING yang disediakan oleh sektor formal yaitu
perbankan dengan bunga yang rendah seharusnya dapat memudahkan para nelayan, akan tetapi
karena beberapa faktor program JARING belum dapat berjalan secara maksimal. Faktor yang
dihadapi diantaranya ialah pengetahuan masyarakat nelayan yang masih rendah mengenai
perbankan, nelayan yang mengetahui namun takut untuk mengambil bagian untuk menjadi nasabah
di perbankan sehingga para nelayan lebih memilih untuk meminjam permodalan melalui sektor
informal yaitu para pengambek yang mengambil bunga berkali-kali lipat lebih tinggi dari sektor
formal. Hal ini dapat terjadi dikarenakan masyarakat nelayan yang tidak ingin pusing mengenai
syarat-syarat yang diminta oleh pihak perbankan yang berbeda sekali dengan sistem pengambek
yang bersifat kekeluargaan (dalam arti kapanpun nelayan butuh pinjaman pengambek siap untuk
menyediakan).
Sosialisasi juga dilakukan oleh pihak perbankan maupun Dinas Perikanan Kabupaten
Malang, namun hal itu belum dapat berjalan dengan baik karna partisipasi masyarakat nelayan juga
masih relatif rendah, hal ini juga terjadi karena faktor sumber daya manusia di Sendang Biru yang
merupakan para nelayan juga rendah, sehingga untuk membangun kesadaran terkait pentingnya
perbankan untuk permodalan masyarakat nelayan dirasa kurang.
E. KESIMPULAN
Kesimpulan
Hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya menghasilkan
kesimpulan bahwa dalam implementasi program Program Jangkau, Sinergi, dan Guideline
(JARING) belum berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia di
wilayah pesisir yang masih belum memahami sistem perbankan yang memberikan bunga yang lebih
meringankan untuk para nelayan. Dibawah ini merupakan penjabaran atas implementasi yang belum
berjalan dengan baik, yaitu:
1. Terdapat perbedaan informasi serta kebijakan yang diterima oleh Dinas Perikanan
Kabupaten Malang dengan Perbankan mengenai keberadaan agunan. Dimana pada
kebijakan yang berlaku tidak ada agunan untuk para nelayan dengan pinjaman mikro
(pinjaman sebesar 20-25 juta) akan tetapi pada perbankan Bank Rakyat Indonesia (BRI)
tetap memberikan aturan tentang adanya agunan yang membuat komunikasi antara Dinas
Perikanan Kabupaten Malang dengan Perbankan kurang searah.
2. Nelayan speed atau nelayan kecil dengan muatan 1-2 orang masih banyak yang tidak
mengetahui mengenai program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING).
3. Sasaran yang masih belum tepat dimana pengambek yang adalah masyarakat yang mampu
dan merupakan pemberi modal bagi masyarakat nelayan dengan bunga yang tinggi juga
mengikuti program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING).
4. Sektor formal sampai saat ini, masih belum mampu memberikan permodalan bagi para
nelayan, sedangkan sektor informal yaitu pengambek juga tidak dapat membantu karena
bunga yang ditetapkan sangat tinggi.
5. Dalam implikasinya, program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) ini memberikan
banyak dampak hal positif maupun negatif. Di antaranya:
a. pemberian program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) dapat membantu
mengatasi permodalan yang sering dihadapi nelayan setiap tahunnya. Sehingga
masyarakat nelayan dapat mandiri dan tidak bergantung kepada pengambek para
pengambek yang memberikan bunga yang tinggi.
b. Bantuan program program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) juga membuka
peluang usaha masyarakat nelayan yang nantinya juga akan dapat membuka lapangan
pekerjaan bagi masyarakat Sendang Biru.
c. Sehingga secara garis besar ketika masyarakat dapat memberdayakan dirinya dan
membuka peluang usaha maka kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir akan
meningkat.
Saran
Berdasarkan rumusan masalah dan fakta yang peneliti dapat selama penelitian, maka
peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan pemerintah dapat membuat standar yang lebih jelas terkait pelaksanaan
program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING) agar dapat menjadi tolak ukur sejauh
mana ketercapaian program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (JARING).
2. Perlu adanya perbaikan kebijakan mengenai program JARING yang masih belum berjalan
dengan baik di Sendang Biru, sehingga nelayan tetap bisa mengandalkan sektor formal
(perbankan) dengan bunga rendah tanpa harus bergantung pada sektor informal
(pengambek) yang memang jauh lebih mudah namun dengan bunga yang lebih tinggi.
3. Perlu adanya peningkatan sumber daya finansial yang lebih untuk menunjang keberhasilan
program serta untuk menunjang sarana dan prasarana agar produktivitas usaha perikanan
dapat berjalan dengan optimal dan maksimal.
4. Perlu adanya peningkatan kerjasama antara pemerintah dan pihak perbankan agar
pelaksanaan program dapat berjalan optimal, khususnya dari pihak perbankan yang
memegang resiko paling tinggi.
5. Perlu adanya forum komunikasi atau sosialisasi (Bottom Up) yang jelas dan secara berkala
dilakukan antara masyarakat nelayan Sendang Biru, pemerintah, dan juga perbankan
sehingga dapat membahas kendala yang dialami selama pelaksanaan program Jangkau,
Sinergi, dan Guideline (JARING) berjalan dan untuk memberikan arahan kepada
masyarakat nelayan Sendang Biru yang belum memahami konsep program Jangkau,
Sinergi, dan Guideline (JARING) agar sektor kelautan dan perikanan bisa berkembang di
Sendang Biru.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berbagai pihak yang telah membantu baik orang tua, saudara-saudara bahkan teman-teman sehingga
panduan ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Asosiasi
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya dan Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya yang memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambar Teguh Sulistyani, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
BPS. 2017. Kabupaten Malang dalam Angka. https://bps.go.id/. Diakses pada 5 Maret 2018.
Dinas Perikanan Kabupaten Malang, 2018. Data Produksi dan Nelayan 2013-2016.
Kabupaten Malang dalam Angka tahun 2017. https://www.bps.go.id/. Diakses pada 5 Maret 2018.
Kinseng, Rilus A. 2014. Konflik Nelayan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kuncoro, Mudrajad, Ph. D. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Kusnadi, (2006). Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandug: Humaniora.
Mubyarto, 1993. Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Penertbit Aditya Media.
Newman, W L. 1997. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approache. Boston:
Allyn & Bacon.
Otoritas Jasa Keuangan. 2016. Program JARING OJK Permudah Aktivitas Nelayan Nusantara.
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/Program-Jaring-OJK-
Permudah-Aktivitas-Nelayan-Nusantara.aspx diakses pada 9 Desember 2017.
Prijono, Onny S. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies.
Riyadi dan Bratakusumah, D.S., 2003, Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali
Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rostin. 2012. Pengaruh Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Modal Sosial
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Provinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi
Program Doktor pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.
Sudjana. (2001). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Suharto, Edi 199). Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran,
Bandung:Lembaga Studi Pembangunan-STKS.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.