TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan...

149
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 ISSN : 2252-911X Asdep Budaya Dan Eka Iptek Depu Bidang Kelembagaan Iptek

Transcript of TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan...

Page 1: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIAVol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X

Asdep Budaya Dan Etika IptekDeputi Bidang Kelembagaan Iptek

Page 2: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya
Page 3: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

iii

TEKNOVASI INDONESIAVol I, No.1, Mei 2012

ISSN : 2252 – 911X

PembinaMenteri Riset dan Teknologi

PengarahDeputi Bidang Kelembagaan Iptek

Pimpinan RedaksiVemmie Diana Koswara

Staff RedaksiYety Suyeti, Suyatno, Tati H. Manurung,

Rosmaniar Dini

Reviewer/Editor Benyamin Lakitan (Ristek)Carunia M. Firdausy (LIPI)

Husni Y. Rosadi (BPPT)Siti Herlinda (DRN)

Syaikhu Usman (SMERU)Wahyudi Sutopo (UNS)

Sekretariat Octa Nugroho, Sigit Setiawan &

Tiara Elgifienda

PenerbitAsdep Budaya dan Etika Iptek

Deputi Kelembagaan IptekKementerian Riset dan Teknologi

Alamat RedaksiAsdep Budaya Dan Etika Iptek

Gedung II BPPT Lt.8JL. M.H Thamrin 8 Jakarta Pusat 10340

Telp: 021-3169286, 021-3169276Fax : 021–3102014

Page 4: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

iv

SALAM REDAKSI

Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya SINas. Kesetimbangan aliran informasi dan komunikasi yang bersesuaian diantara para aktor inovasi teknologi, baik dari sisi pengembang maupun dari sisi pengguna teknologi di dalam SINas secara berkesinambungan perlu terus dibangun dan dikembangkan dengan berbagai upaya.

Pembenahan SINas masih diperlukan di semua aspek, termasuk pada aspek kelembagaan, diantaranya yaitu meliputi isu tentang: pentingnya arah dan strategi pengembangan kelembagaan dalam rangka mewujudkan SINas; penguatan jaringan penyedia dan pengguna iptek; memantapkan peran legislasi dalam pengaturan internal kelembagaan serta menumbuhkan budaya dan etika dalam rangka mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya SINas yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Salah satu upaya dan komitmen Kementerian Riset dan Teknologi untuk mendorong terwujudnya SINas yang efektif, produktif dan berkelanjutan, adalah dengan menyebar luaskan informasi terkait SINas. Untuk itu dilakukan penyusunan buku “Teknovasi Indonesia” yang berisi hasil kajian/studi tentang inovasi ditinjau dari berbagai aspek.

Diharapkan informasi yang terkandung dalam buku ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam upaya memformulasikan ataupun melaksanakan kebijakan penguatan SINas.

“Teknovasi Indonesia” akan terbit secara berkala dua kali dalam satu tahun. Redaksi menerima kontribusi artikel baik dilingkungan Kementerian Riset dan Teknologi, LPNK Ristek, maupun Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.

Masukan dan saran akan sangat bermanfaat bagi kami sebagai penyempurnaan untuk edisi selanjutnya.

Redaksi

Page 5: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

v

DAFTAR ISI

Salam Redaksi ............................................................................................................... iDaftar Isi ....................................................................................................................... ii

Dimensi Non Teknologi Sistem InovasiBenyamin Lakitan, Carunia M. Firdausy, Syaikhu Usman, Sonny Yuliar, Hasanuddin, Vemmie D. Koswara ...................................................................................................... 1

Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang Publik untuk Penguatan Industri Penghasil Barang Modal Nasional Fajar Suprapto, Sadono Sriharjo, Anita Febriyanti........................................................ 39

Pemetaan Legislasi Iptek Dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi, Dan Difusi Teknologi Pada Sistem Inovasi Nasional Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta Ekasari ....................... 69

Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih TeknologiAnwar Darwadi, Wisnu S. Soenarso, Harry Jusron, Pancara Sutanto ........................... 99

Page 6: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya
Page 7: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 1

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

1  

  Dimensi Non‐teknologi Sistem Inovasi Benyamin Lakitan a,b, Carunia M. Firdausy c, Syaikhu Usman d, Sonny Yuliar e, Hasanuddin 

f,Vemmie D. Koswara a a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta 

b Universitas Sriwijaya, Palembang c Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta 

d Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta e Institut Teknologi Bandung, Bandung 

f Universitas Andalas, Padang 

Abstract 

It  is  no  possible  to  establish  a  productive  and  sustainable  innovation  system  based  and focused only on  research and  technology development activities.    It must compehensively consider all other influencing factors such as economic, social, regulation, public policy, and political aspects.   These  factors may directly affect  research and  technology development processes or they significantly constibute in shaping up innovation system.  Slow progress in establishing innovation system in Indonesia has been associated mainly  with inappropriate reseach  and  technology  development  policies  that  ecourage  supply‐push  strategy  and ignore non‐techological dimensions of the innovation system.  Therefore, a mindset change among  innovation  actors  is  required  for  ensuring  new  strategies  could  be  effectively formulated and successfully  implemented.   There are  three  fundamental changes needed: (1) future technology development should be based and focused on real needs or problems (demand‐driven);  (2) economic, social,  regulation, public policy, and political views should be  integratedly considered  in establishing  innovation system; and (3) Indonesia  innovation system should be directed toward satifying domestic market demand and designed based on domestic resources. 

 

Abstrak 

Upaya  mewujudkan  sistem  inovasi  yang  produktif  dan  berkelanjutan  tidak  mungkin dilakukan  dengan  hanya  terfokus  pada  riset  dan  pengembangan  teknologi,  tetapi  perlu secara  komprehensif mempertimbangkan  berbagai  dimensi  lain  yang  ikut menentukan, termasuk dimensi  ekonomi,  sosial,  regulasi dan  kebijakan publik,  serta politik.   Berbagai dimensi  ini  dapat  menjadi  faktor  pemengaruh  langsung  dalam  proses  pengembangan teknologi  dan  dapat  pula merupakan  unsur  pembentuk  ekosistem  inovasi.    Kelambanan dalam mewujudkan sistem inovasi di Indonesia disinyalir karena selama ini pengembangan teknologi nasional lebih berorientasi supply‐push dan sering mengabaikan berbagai dimensi non‐teknologi.  Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan mindset agar strategi baru dapat diformulasikan dan diimplementasikan  secara efektif.   Ada  tiga perubahan mindset  yang dibutuhkan,  yakni:  (1)  pengembangan  teknologi  perlu  lebih  berorientasi  pada  realita kebutuhan  dan  persoalan  (demand‐driven);  (2)  dimensi  ekonomi,  sosial,  regulasi  dan 

Dimensi Non-teknologi Sistem Inovasi Benyamin Lakitan a,b, Carunia M. Firdausy c, Syaikhu Usman d, Sonny Yuliar e,

Hasanuddin f, Vemmie D. Koswara a

a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakartab Universitas Sriwijaya, Palembang

c Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakartad Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta

e Institut Teknologi Bandung, Bandungf Universitas Andalas, Padang

Page 8: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

2 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

2  

kebijakan publik,  serta dinamika politik perlu diintegrasikan dalam  skenario membangun sistem  inovasi;  (3)  sistem  inovasi  Indonesia  perlu  lebih  berorientasi  pada  pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan berbasis pada potensi sumberdaya dalam negeri agar lebih inklusif dan mandiri. 

 

Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, transformasi sosial, riset dan pengembangan, teknologi, demand‐driven 

 

 

1. Pendahuluan 

Inovasi  merupakan  kata  yang  sangat populer dan digunakan di berbagai bidang dan/atau  profesi.    Keragaman  pengguna kata  ini  cenderung  memberikan  makna atau definisi yang berbeda tentang inovasi.  Mulai dari sebagai ungkapan ‘ringan’ untuk sesuatu  yang dianggap berbeda dari  yang sebelumnya  diketahui  atau  dilakukan, sesuatu  yang  mencerminkan  kreativitas, atau  kadang  juga  dianggap  sebagai sinonim  dari  invensi.    Keragaman pengertian  inovasi  yang  beredar  dalam masyarakat  dapat  menyebabkan kebingungan.   

Dapat saja dua atau  lebih  individu sepakat untuk  menghargai  sesuatu  yang  inovatif, tetapi dalam benak masing‐masing terpikir hal  yang  berbeda.    Ketidaksamaan pemahaman  ini  tidak hanya  terjadi dalam masyarakat  luas  dengan  latarbelakang yang majemuk,  tetapi  juga  terjadi  antara individu  dalam  komunitas akademik/ilmiah.    Masing‐masing  pakar inovasi juga membuat definisi dengan cara pengekspresian  yang  berbeda  walaupun esensi pokoknya sama, sehingga dapat saja ditafsirkan  secara  berbeda  oleh  individu yang  sedang  mencoba  memahami  atau mendalami teori inovasi. 

OECD (2005) menggunakan definisi inovasi sebagai  ‘the  implementation  of  a  new  or significantly  improved  product  (good  or service),  or  process,  a  new  marketing method, or a new organisational method in business practices, workplace organisation or  external  relations’.    Definisi  inovasi  ini diposisikan  sebagai  definisi  inovasi  dalam arti  luas,  karena mencakup  implementasi dari  produk  (barang  atau  jasa),  proses, metoda  pemasaran,  atau  metoda organisasi baru atau yang  telah diperbaiki secara  signifikan,  dalam  praktek  bisnis, organisasi  tempat  kerja,  atau  hubungan eksternal.    Dengan  demikian,  dalam  arti luas, memang  inovasi  tak hanya berkaitan dengan teknologi semata. 

Untuk  kajian  ini,  inovasi  yang  dibahas dibatasi  hanya  pada  inovasi  teknologi, difokuskan  pada  proses  atau  produk barang  atau  jasa  yang  secara  signifikan telah  disempurnakan  atau  sama  sekali berbeda  dari  produk  barang  atau  jasa serupa yang  telah ada.   Sebagai pembeda dengan  invensi, maka produk barang atau jasa  tersebut  harus  dapat  memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. 

Penegasan  World  Bank  (2010)  yang menyatakan  bahwa  ‘what  is  not disseminated or used  is not an  innovation’ 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

3  

juga  diadopsi  dalam  kajian  ini,  sehingga deskripsi  inovasi  yang  digunakan  adalah selain  baru  atau  secara  signifikan  telah disempurnakan,  juga  produk  barang  atau jasa  tersebut  juga  merupakan  hasil  dari aplikasi teknologi. 

Produk  teknologi  hanya  dapat  disebut sebagai  inovasi  jika dan hanya  jika produk tersebut  digunakan.  Pengguna  produk inovasi  tersebut  secara  garis  besar  di bedakan  atas  tiga  kelompok utama,  yakni industri,  masyarakat,  dan pemerintah.Dengan  demikian,  maka keberhasilan  membangun  sistem  inovasi tidak  hanya  ditentukan  oleh  teknologinya semata,  tetapi  juga  akan  ditentukan berbagai  faktor  yang  berkaitan  dengan (calon)  penggunanya,  serta  ekosistem dimana  para  pengguna  tersebut  berada.  Oleh  sebab  itu,  sangat  penting  untuk memahami  berbagai  faktor  non‐teknologi yang  akan  ikut menentukan  keberhasilan dalam membangun sistem inovasi. 

 

2. Dimensi Ekonomi 

Keberhasilan  negara‐negara  maju  dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita penduduknya telah mendorong  negara‐negara  berkembang  untuk  mencari  tahu  faktor  dominan penyebab  keberhasilan  tersebut.  Pada pertengahan  revolusi  industri,  faktor dominan yang menyebabkan negara maju berhasil  mensejahterakan  penduduknya yakni disebabkan oleh faktor modal (K) dan tenaga  kerja  (L)  (Smith,  xxxx).  Temuan  ini kemudian  menjadi  model  utama  strategi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dalam  meningkatkan  kesejahteraan penduduknya selama bertahun‐tahun.  

Namun  baru  sejak  Solow  (1957) menemukan  bahwa  selain  faktor  kapital dan  tenaga  kerja,  total  produktivitas  dari kedua  faktor  tersebut  atau  yang  secara tekhnis  dikenal  sebagai  Total  Factor Productivity  (TFP)  memiliki  kontribusi paling  penting  dalam  meningkatkan pertumbuhan  ekonomi.    Penelitian  Solow (1957)  sendiri  mengungkapkan  bahwa pertumbuhan ekonomi di Amerika  Serikat pada awal paruh  kedua abad 20 ditopang oleh  tingginya  kontribusi  TFP.  Kontribusi TFP  yang  besar  tersebut  terhadap pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dan tidak  pernah  tergantikan  sampai  saat  ini, seperti  halnya  di  negara‐negara  maju  di Eropa  dan  beberapa  negara  maju  Asia terutama  Jepang, Cina dan Korea Selatan.  Akibat  temuan  itu,  pendulum  strategi pertumbuhan  ekonomi  yang  dianut  oleh berbagai  negara  maju  berpindah  dari model Smith ke model Solow sampai kini.  

Tentu saja tinggi rendahnya TFP dari modal dan  tenaga  kerja  tidak  datang  dengan sendirinya.    Menurut  Romer  (1990),  hal tersebut  dipengaruhi  dari  hasil‐hasil penelitian dan pengembangan  (litbang) di satu  pihak  dan    kualitas  sumberdaya manusia  (SDM)  di  lain  pihak.    Besarnya peran penelitian dan pengembangan serta kualitas  SDM  yang  relatif  tinggi  tersebut merupakan  buah  dari  kebijakan  investasi yang  padu  dalam  bidang  sains,  teknologi, inovasi dan human  capital yang dilakukan negara‐negara maju tersebut.   

 

2.1. Pelajaran dari Asia Timur. 

Inovasi  bagi  negara  berkembang  nyaris tidak  berasal  dari  hasil  penelitian  dan pengembangan.    Kontribusi  inovasi  dari hasil  penelitian  dan  pengembangan    di 

Page 9: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 3

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

2  

kebijakan publik,  serta dinamika politik perlu diintegrasikan dalam  skenario membangun sistem  inovasi;  (3)  sistem  inovasi  Indonesia  perlu  lebih  berorientasi  pada  pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan berbasis pada potensi sumberdaya dalam negeri agar lebih inklusif dan mandiri. 

 

Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, transformasi sosial, riset dan pengembangan, teknologi, demand‐driven 

 

 

1. Pendahuluan 

Inovasi  merupakan  kata  yang  sangat populer dan digunakan di berbagai bidang dan/atau  profesi.    Keragaman  pengguna kata  ini  cenderung  memberikan  makna atau definisi yang berbeda tentang inovasi.  Mulai dari sebagai ungkapan ‘ringan’ untuk sesuatu  yang dianggap berbeda dari  yang sebelumnya  diketahui  atau  dilakukan, sesuatu  yang  mencerminkan  kreativitas, atau  kadang  juga  dianggap  sebagai sinonim  dari  invensi.    Keragaman pengertian  inovasi  yang  beredar  dalam masyarakat  dapat  menyebabkan kebingungan.   

Dapat saja dua atau  lebih  individu sepakat untuk  menghargai  sesuatu  yang  inovatif, tetapi dalam benak masing‐masing terpikir hal  yang  berbeda.    Ketidaksamaan pemahaman  ini  tidak hanya  terjadi dalam masyarakat  luas  dengan  latarbelakang yang majemuk,  tetapi  juga  terjadi  antara individu  dalam  komunitas akademik/ilmiah.    Masing‐masing  pakar inovasi juga membuat definisi dengan cara pengekspresian  yang  berbeda  walaupun esensi pokoknya sama, sehingga dapat saja ditafsirkan  secara  berbeda  oleh  individu yang  sedang  mencoba  memahami  atau mendalami teori inovasi. 

OECD (2005) menggunakan definisi inovasi sebagai  ‘the  implementation  of  a  new  or significantly  improved  product  (good  or service),  or  process,  a  new  marketing method, or a new organisational method in business practices, workplace organisation or  external  relations’.    Definisi  inovasi  ini diposisikan  sebagai  definisi  inovasi  dalam arti  luas,  karena mencakup  implementasi dari  produk  (barang  atau  jasa),  proses, metoda  pemasaran,  atau  metoda organisasi baru atau yang  telah diperbaiki secara  signifikan,  dalam  praktek  bisnis, organisasi  tempat  kerja,  atau  hubungan eksternal.    Dengan  demikian,  dalam  arti luas, memang  inovasi  tak hanya berkaitan dengan teknologi semata. 

Untuk  kajian  ini,  inovasi  yang  dibahas dibatasi  hanya  pada  inovasi  teknologi, difokuskan  pada  proses  atau  produk barang  atau  jasa  yang  secara  signifikan telah  disempurnakan  atau  sama  sekali berbeda  dari  produk  barang  atau  jasa serupa yang  telah ada.   Sebagai pembeda dengan  invensi, maka produk barang atau jasa  tersebut  harus  dapat  memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. 

Penegasan  World  Bank  (2010)  yang menyatakan  bahwa  ‘what  is  not disseminated or used  is not an  innovation’ 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

3  

juga  diadopsi  dalam  kajian  ini,  sehingga deskripsi  inovasi  yang  digunakan  adalah selain  baru  atau  secara  signifikan  telah disempurnakan,  juga  produk  barang  atau jasa  tersebut  juga  merupakan  hasil  dari aplikasi teknologi. 

Produk  teknologi  hanya  dapat  disebut sebagai  inovasi  jika dan hanya  jika produk tersebut  digunakan.  Pengguna  produk inovasi  tersebut  secara  garis  besar  di bedakan  atas  tiga  kelompok utama,  yakni industri,  masyarakat,  dan pemerintah.Dengan  demikian,  maka keberhasilan  membangun  sistem  inovasi tidak  hanya  ditentukan  oleh  teknologinya semata,  tetapi  juga  akan  ditentukan berbagai  faktor  yang  berkaitan  dengan (calon)  penggunanya,  serta  ekosistem dimana  para  pengguna  tersebut  berada.  Oleh  sebab  itu,  sangat  penting  untuk memahami  berbagai  faktor  non‐teknologi yang  akan  ikut menentukan  keberhasilan dalam membangun sistem inovasi. 

 

2. Dimensi Ekonomi 

Keberhasilan  negara‐negara  maju  dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita penduduknya telah mendorong  negara‐negara  berkembang  untuk  mencari  tahu  faktor  dominan penyebab  keberhasilan  tersebut.  Pada pertengahan  revolusi  industri,  faktor dominan yang menyebabkan negara maju berhasil  mensejahterakan  penduduknya yakni disebabkan oleh faktor modal (K) dan tenaga  kerja  (L)  (Smith,  xxxx).  Temuan  ini kemudian  menjadi  model  utama  strategi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dalam  meningkatkan  kesejahteraan penduduknya selama bertahun‐tahun.  

Namun  baru  sejak  Solow  (1957) menemukan  bahwa  selain  faktor  kapital dan  tenaga  kerja,  total  produktivitas  dari kedua  faktor  tersebut  atau  yang  secara tekhnis  dikenal  sebagai  Total  Factor Productivity  (TFP)  memiliki  kontribusi paling  penting  dalam  meningkatkan pertumbuhan  ekonomi.    Penelitian  Solow (1957)  sendiri  mengungkapkan  bahwa pertumbuhan ekonomi di Amerika  Serikat pada awal paruh  kedua abad 20 ditopang oleh  tingginya  kontribusi  TFP.  Kontribusi TFP  yang  besar  tersebut  terhadap pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dan tidak  pernah  tergantikan  sampai  saat  ini, seperti  halnya  di  negara‐negara  maju  di Eropa  dan  beberapa  negara  maju  Asia terutama  Jepang, Cina dan Korea Selatan.  Akibat  temuan  itu,  pendulum  strategi pertumbuhan  ekonomi  yang  dianut  oleh berbagai  negara  maju  berpindah  dari model Smith ke model Solow sampai kini.  

Tentu saja tinggi rendahnya TFP dari modal dan  tenaga  kerja  tidak  datang  dengan sendirinya.    Menurut  Romer  (1990),  hal tersebut  dipengaruhi  dari  hasil‐hasil penelitian dan pengembangan  (litbang) di satu  pihak  dan    kualitas  sumberdaya manusia  (SDM)  di  lain  pihak.    Besarnya peran penelitian dan pengembangan serta kualitas  SDM  yang  relatif  tinggi  tersebut merupakan  buah  dari  kebijakan  investasi yang  padu  dalam  bidang  sains,  teknologi, inovasi dan human  capital yang dilakukan negara‐negara maju tersebut.   

 

2.1. Pelajaran dari Asia Timur. 

Inovasi  bagi  negara  berkembang  nyaris tidak  berasal  dari  hasil  penelitian  dan pengembangan.    Kontribusi  inovasi  dari hasil  penelitian  dan  pengembangan    di 

Page 10: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

4 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

4  

negara  berkembang  diperkirakan  hanya mencapai 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya  bersumber  dari  negara  maju (Brahmbhatt  dan  Hu,  2007).    Di  antara negara  di  Asia  Timur  yang  inovasinya bersumber  dari  hasil  litbangadalah  Korea Selatan,  Singapore  dan  Cina.      Bahkan ketiga  negara  ini  telah  memiliki  institusi litbangdan  jumlah  paten  sekelas  negara maju. Hal ini antara lain karena dana untuk pengembangan  litbangdi  ketiga negara  ini telah menyamai negara maju yang berkisar antara  1,5  sampai  2  persen  dari  total Pendapatan  Nasional  Bruto  (PDB).    Oleh karena itu, tidak aneh jika ketiga negara ini mampu mencapai  pertumbuhan  ekonomi tinggi  dan  penduduk  yang  lebih  sejahtera dibandingkan  negara  berkembang  Asia Timur lainnya.   

Sebagai contoh, peningkatan inovasi Korea Selatan  yang  sangat  pesat  dalam  kurun waktu  tiga  dekade  (1960‐an  sampai dengan  1980‐an)  yang  kemudian menempatkan  Korea  Selatan  sebagai bangsa  yang  berdaya  saing  tinggi,  lebih banyak  ditentukan  oleh  pembentukan berbagai  institusi pengembang pendidikan dan  pelayanan  ilmu  pengetahuan  dan teknologi yang mendukung sektor  industri dalam melakukan  pembelajaran  teknologi melalui alih teknologi asing.  

Korea Selatan yang baru pada awal  tahun 1990‐an  bertumpu  pada  kegiatan  litbang untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi  yang  mendukung  kemampuan inovasi,  perkembangannya  sangat menakjubkan, meskipun  tetap  tidak dapat melepaskan  diri  dari  ketergantungan kepada  teknologi  luar,  terutama  dari Amerika dan Jepang.  

Demikian  pula  dengan  pengalaman  China dalam  peningkatan  kemampuan 

inovasinya.    Cina  juga menunjukkan  pola yang  serupa  dimana  peningkatan kemampuan  inovasi  diperoleh  melalui pembelajaran  teknologi  pada  awalnya, dilanjutkan  dengan  peningkatan  aktivitas litbang  yang  mendukung  kemampuan inovasi.    Pentingnya  litbangdalam menghasilkan  inovasi  dan  pembelajaran didukung  oleh  pemikiran  Cohen  and Levinthal  (1989) seperti disebutkan di atas bahwa  :  R&D  itself  has  two  faces: Innovation and learning. 

Sebaliknya,  bagi  negara  berkembang  di Asia  Timur  yang  belum  memiliki kemampuan  membangun  inovasi melaluilitbang,  sumber  inovasinya terutama  berasal  dari  proses  adopsi  dan adaptasidari  produk,  proses  dan  metoda yang  ada.    Ini  artinya  semua  inovasi  di negara  berkembang  merupakan  produk baru  di  negara  itu  sendiri,  tetapi  tidak merupakan  produk  baru  pada  tingkat global.   Adapun  sumber dari produk baru tersebut  yakni  dari  perusahaan  maupun industri negara‐negara maju.  

Eaton  dan  Kortum  (1996) memperkirakan sekitar  80  persen  dari  inovasi  yang dihasilkan negara berkembang berasal dari teknologi  negara‐negara  dalam  kelompok OECD,  diluar  Jepang  dan  Amerika.  Oleh karena  itu,  terobosan  inovasi  di  negara berkembang  sangat  tergantung  dari perkembangan  teknologi  negara  maju.  Bottazi  dan  Peri  (2005)  memperkirakan bahwa  setiap  kenaikan  satu  persen litbangdi  Amerika  menghasilkan  0.35 persen kenaikan paten bagi negara‐negara anggota OECD.   Adapun akses masuk dari inovasi  teknologi  negara  maju  ke  negara berkembang  tersebut    tergantung  antara lain  dari  perdagangan,  investasi  dan bentuk  kerjasama  ekonomi  lain baik  yang 

Page 11: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 5

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

4  

negara  berkembang  diperkirakan  hanya mencapai 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya  bersumber  dari  negara  maju (Brahmbhatt  dan  Hu,  2007).    Di  antara negara  di  Asia  Timur  yang  inovasinya bersumber  dari  hasil  litbangadalah  Korea Selatan,  Singapore  dan  Cina.      Bahkan ketiga  negara  ini  telah  memiliki  institusi litbangdan  jumlah  paten  sekelas  negara maju. Hal ini antara lain karena dana untuk pengembangan  litbangdi  ketiga negara  ini telah menyamai negara maju yang berkisar antara  1,5  sampai  2  persen  dari  total Pendapatan  Nasional  Bruto  (PDB).    Oleh karena itu, tidak aneh jika ketiga negara ini mampu mencapai  pertumbuhan  ekonomi tinggi  dan  penduduk  yang  lebih  sejahtera dibandingkan  negara  berkembang  Asia Timur lainnya.   

Sebagai contoh, peningkatan inovasi Korea Selatan  yang  sangat  pesat  dalam  kurun waktu  tiga  dekade  (1960‐an  sampai dengan  1980‐an)  yang  kemudian menempatkan  Korea  Selatan  sebagai bangsa  yang  berdaya  saing  tinggi,  lebih banyak  ditentukan  oleh  pembentukan berbagai  institusi pengembang pendidikan dan  pelayanan  ilmu  pengetahuan  dan teknologi yang mendukung sektor  industri dalam melakukan  pembelajaran  teknologi melalui alih teknologi asing.  

Korea Selatan yang baru pada awal  tahun 1990‐an  bertumpu  pada  kegiatan  litbang untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi  yang  mendukung  kemampuan inovasi,  perkembangannya  sangat menakjubkan, meskipun  tetap  tidak dapat melepaskan  diri  dari  ketergantungan kepada  teknologi  luar,  terutama  dari Amerika dan Jepang.  

Demikian  pula  dengan  pengalaman  China dalam  peningkatan  kemampuan 

inovasinya.    Cina  juga menunjukkan  pola yang  serupa  dimana  peningkatan kemampuan  inovasi  diperoleh  melalui pembelajaran  teknologi  pada  awalnya, dilanjutkan  dengan  peningkatan  aktivitas litbang  yang  mendukung  kemampuan inovasi.    Pentingnya  litbangdalam menghasilkan  inovasi  dan  pembelajaran didukung  oleh  pemikiran  Cohen  and Levinthal  (1989) seperti disebutkan di atas bahwa  :  R&D  itself  has  two  faces: Innovation and learning. 

Sebaliknya,  bagi  negara  berkembang  di Asia  Timur  yang  belum  memiliki kemampuan  membangun  inovasi melaluilitbang,  sumber  inovasinya terutama  berasal  dari  proses  adopsi  dan adaptasidari  produk,  proses  dan  metoda yang  ada.    Ini  artinya  semua  inovasi  di negara  berkembang  merupakan  produk baru  di  negara  itu  sendiri,  tetapi  tidak merupakan  produk  baru  pada  tingkat global.   Adapun  sumber dari produk baru tersebut  yakni  dari  perusahaan  maupun industri negara‐negara maju.  

Eaton  dan  Kortum  (1996) memperkirakan sekitar  80  persen  dari  inovasi  yang dihasilkan negara berkembang berasal dari teknologi  negara‐negara  dalam  kelompok OECD,  diluar  Jepang  dan  Amerika.  Oleh karena  itu,  terobosan  inovasi  di  negara berkembang  sangat  tergantung  dari perkembangan  teknologi  negara  maju.  Bottazi  dan  Peri  (2005)  memperkirakan bahwa  setiap  kenaikan  satu  persen litbangdi  Amerika  menghasilkan  0.35 persen kenaikan paten bagi negara‐negara anggota OECD.   Adapun akses masuk dari inovasi  teknologi  negara  maju  ke  negara berkembang  tersebut    tergantung  antara lain  dari  perdagangan,  investasi  dan bentuk  kerjasama  ekonomi  lain baik  yang 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

5  

dilakukan  oleh  perusahaan  swasta, lembaga  litbang  publik,  perguruan  tinggi, maupun  lembaga  litbang  lainnya (Brahmbhatt dan Hu, 2007). 

Penelitian  World  Bank  (2005)dalam Brahmbhatt  dan  Hu(2007).  menemukan bahwa  bagi  negara‐negara  yang  tingkat kemajuan  litbangnya  relatif  lemah,  maka upaya  yang  dilakukan  dalam membangun inovasi  di  negara  tersebut  adalah  dengan cara  memperkenalkan  produk  baru  atau dengan melakukan perbaikan produk yang ada  maupun  dengan  cara  menghasilkan produk  baru  dari  produk  lama  yang dihasilkan  sebelumnya.    Diperkirakan perusahaan  swasta  atau  industri  yang melakukan  cara  ini  mencapai  40  persen baik  di  negara  negara  berkembang  Asia Timur  maupun  negara  berkembang lainnya.  

Perusahaan  swasta di negara berkembang Asia  Timur  khususnya  (Cambodia, Indonesia,  Malaysia,  Philipina,  Thailand dan  Vietnam)  dominan  dalam melakukan perbaikan  produk  dari  produk  yang  ada.  Hal  ini  sebagai  akibat  ketergantungan ekspornya  di  satu  pihak  dan  kebutuhan untuk  merespon  perubahan  yang  cepat dari  spesifikasi  produk  yang  diminta  oleh pembeli.    Selain  itu,  perusahaan‐perusahaan  ini  juga cenderung melakukan outsourcinguntuk  beberapa  bagian  dari kegiatan  operasi  usahanya  untuk mengurangi  biaya  produksi  agar  menjadi lebih  kompetitif.    Perusahan  dalam kelompok  ini  diidentifikasi  berasal  dari Cambodia  dan  Thailand,  sedangkan perusahaan  di  Indonesia  dan  Malaysia relatif  lebih  sedikit  yang  melakukan  cara inovasi seperti ini. 

Ayyagari  et.al.  (2006)  mendapatkan beberapa  korelasi  dari  perusahaan  dalam kelompok  ini  di  negara‐negara berkembang. Pertama, inovasi dengan cara menghasilkan  produk  baru  dari  produk yang  telah ada maupun metoda  inovasi di atas  cenderung  dominan  baik  pada perusahan yang baru berkembang maupun perusahaan  besar.  Kedua,  perusahaan yang berada di negara dengan pendapatan per  kapita  yang  relatif  rendah  umumnya melakukan  cara  inovasi  seperti  ini, sedangkan  perusahaan  yang  berada  di negara  dengan  pendapatan  per  kapita yang  relatif  tinggi  cenderung  melakukan inovasi  dari  hasil  litbangnya.    Ketiga, tingkat  inovasi  perusahaan  memiliki korelasi  kuat  dengan  jenis  dan  besar sumber  pendanaan  eskternal  perusahaan.  Keempat,  tingkat  inovasi memiliki korelasi yang  positif  dengan  tingkat  persaingan yang dihadapi perusahaan. 

Adapun cara perusahaan di negara dengan pendapatan  rendah  dan  sedang  di  Asia Timur  khususnya  dalam  menyerap pengetahuan  atau  teknologi  yang  berasal dari  luar  negeri  umumnya  didominasi dengan cara memasukan teknologi melalui impor  mesin  atau  peralatan  baru.  Sedangkan  cara  dominan  kedua  yakni dengan  melakukan  kerjasama  dengan perusahaan    dari  negara  maju  maupun dengan  cara  memperkerjakan  para  ahli yang  berasal  dari  negara  maju  tersebut.  Detail  persentase  dari  perusahaan  di negara  Asia  Timur  dengan  pendapatan rendah  dan  sedang    berdasarkan  cara inovasi yang dilakukan disajikan pada  

 

 

Page 12: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

6 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

6  

 

Tabel 1.  Cara inovasi yang dilakukan beberapa negara asia timur dengan pendapatan sedang dan rendah (persentase) 

Cara Inovasi yang dilakukan 

Cambodia  Indonesia  Malaysia  Philipina  Thailand  Rata‐rata 

Tercakup dalam paket pengadaan 

42.1  48.7  49.9  43.0  33.1  43.4 

Bekerjasama dengan rekanan 

11.9  15.1  8.6  9.7  17.2  12.5 

Mempekerjakan tenaga ahli 

14.5  17.9  11.4  14.2  3.0  12.2 

Dikembangkan sendiri 

16.1  4.7  7.2  8.3  19.4  11.1 

Ditransfer dari perusahaan induk 

6.0  2.7  11.0  4.3  11.8  7.2 

Dikembangkan bersama pemasok 

1.6  7.0  5.2  5.0  7.2  5.2 

Lainnya  7.8  3.9  6.7  15.5  8.2  8.4 

Sumber: Bank Dunia (2005) Investment Climate Surveys dalam  Brahmbhatt and Hu (2007). 

 

Selain metoda membangun inovasi di atas, terdapat  empat  cara  lain  yang  dilakukan dalam membangun  inovasi yang dilakukan di  negara  Asia  Timur.    Empat  cara dimaksud adalah memanfaatkan  teknologi impor,  pembelajaran  dari  eksporproduk, lisensi,  dan  pemanfaatan  investasi langsung  asing  (Foreign  DirectInvestment, FDI).   Cara memanfaatkan teknologi  impor dilakukan  antara  lain  dengan  reverse engineering  dari  teknologi  impor.  Sedangkan  metoda  inovasi  yang bersumber  dari  pembelajaran  ekspor dilakukan  antara  lain  dengan  melakukan kerjasama  dengan  konsumen  di  negara‐negara  maju  khususnya  dalam  ekspor peralatan mesin dan transportasi.  

Dalam  sistem  OEM  (Original  Equipment Manufacturing),  perusahaan  pemasok yang  berasal  dari  negara  berkembang melakukan  produksi  sesuai  dengan spesifikasi  rancangan  yang  diminta pembeli  dari  luar  negeri.    Produk  yang dihasilkan  ini  kemudian  dieskpor  dengan menggunakan  merek  sendiri  melalui saluran  distribusi    international.    Korea Selatan dan Taiwan merupakan dua negara di  Asia  Timur  yang  banyak  melakukan inovasi  seperti  ini.  Di  Korea  selatan, misalnya,  sebanyak  70‐80  persen  dari produk  ekspor  elektronik melakukan  cara inovasi  seperti  ini.    Sedangkan  di  Taiwan persentase  produk  ekspor  dengan  cara inovasi  seperti  ini  diperkirakan  lebih  dari 40 persen.  Cara inovasi seperti ini semakin 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

7  

gencar  juga  diikuti  oleh  perusahan manufaktur Cina  belakangan  ini (Hobday, 1995). 

Pengembangan  inovasi  dengan memanfaatkan masuknya investasi asing di negara    Asia  Timur  juga  tidak  kalah pentingnya.    Singapura,  misalnya, membuka penanaman modal  asing  (PMA) dimaksudkan  untuk  mempercepat pembangunan teknologi di negaranya.  Hal yang  sama  juga  dilakukan  Cina  dengan penekanan  melalui  cara  usaha  patungan (joint  ventures).    Begitu  pula  dengan negara Asia Timur lainnya seperti Malaysia, Philipina,  Indonesia dan Thailand.   Namun khusus  untuk  keempat  negara  ini,  tingkat inovasi  yang  dilakukan  lebih  rendah  dan nyaris  seluruhnya  berasal  dari  teknologi luar  negeri  tanpa  sentuhan  teknologi domestik (Firdausy, 2010).  

Dari  uraian  singkat  tentang  pengalaman dan pelajaran di atas  jelas bahwa negara‐negara  berkembang  dengan  pendapatan per  kapita  rendah  dan  sedang  di  Asia Timur belum banyak menghasilkan  inovasi yang  bersumber  dari  litbangdomestik.  Oleh  karena  itu,  masuk  akal  jika  tingkat pertumbuhan ekonomi di negara ini sangat rentan  terhadap  krisis  ekonomi  yang  terjadi  di  dalam  negeri,  apalagi  terhadap krisis global. 

 

2.2.  Potret  Inovasi  dan  Daya  Saing   Indonesia 

Potret  umum  kemampuan  inovasi  di Indonesia  masih  tergantung  pada  proses adopsi  dan  adaptasi  teknologi  dari  luar sehingga  inovasi  yang  dihasilkan  menjadi bersifat  baru  hanya  di  pasar  domestik, tetapi  tidak  di  lingkungan  pasar  global.  Akibatnya,  tidak mengherankan  jika  daya 

saing  produk  teknologi  nasional  belum menggembirakan di tingkat global. 

Berdasarkan  kajian  yang  dilakukan World Economic Forum  (2010), posisi daya  saing produk  teknologi  pada  lingkungan  global (Global  Competitiveness  Index‐GCI)pada2010‐2011  menunjukkan  bahwa Indonesia menempati peringkat ke‐44 dari 139  negara.    Peringkat  ini  jauh  lebih  baik dibandingkan posisi daya saing pada tahun 2009‐2010  yang  berada  di  peringkat  54 dari 133 negara (Tabel 2). Terlebih lagi jika peringkat  daya  saing  periode  2010‐2011 tersebut  dibandingkan  dengan  peringkat daya  saing  yang  dicatat  pada  periode 2005‐2006.  Pada  periode  2005‐2006 peringkat  daya  saing  Indonesia  berada pada posisi 74 dari 117 negara.   Di antara negara‐negara  ASEAN,  peringkat  daya saing Indonesia hanya lebih baik dibanding Filipina  dan  Vietnam,  tetapi  masih  tetap tertinggal jauh dibelakang negara Thailand, Malaysia, dan Singapura. 

Namun  jika  perhitungan  peringkat  daya saing global  tersebut dilihat dari  tiga pilar yang  lebih  spesifik  yakni  kebutuhan dasar (basic  requirements),  pemacu  efisiensi (efficiency  enhancers)  dan  inovasi (innovation  and  sophistication),  maka khusus  untuk  pilar  inovasi,  peringkat Indonesia  relatif  jauh  lebih  baik dibandingkan  negara  Thailand,  Vietnam dan Philipina.   Peringkat    Indonesia untuk inovasi  pada  tahun  2009  berada  pada posisi 47, sedangkan Thailand di peringkat 54,  Vietnam  di  posisi  57  dan  Philipina  di posisi  76  dari  134  negara  yang  disurvei. Peringkat inovasi Indonesia terus membaik sejak    tahun  2007  dari  ke‐54  (dari  131 negara) menjadi urutan ke‐36 pada  tahun 2010 (World Economic Forum, 2010). 

Page 13: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 7

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

7  

gencar  juga  diikuti  oleh  perusahan manufaktur Cina  belakangan  ini (Hobday, 1995). 

Pengembangan  inovasi  dengan memanfaatkan masuknya investasi asing di negara    Asia  Timur  juga  tidak  kalah pentingnya.    Singapura,  misalnya, membuka penanaman modal  asing  (PMA) dimaksudkan  untuk  mempercepat pembangunan teknologi di negaranya.  Hal yang  sama  juga  dilakukan  Cina  dengan penekanan  melalui  cara  usaha  patungan (joint  ventures).    Begitu  pula  dengan negara Asia Timur lainnya seperti Malaysia, Philipina,  Indonesia dan Thailand.   Namun khusus  untuk  keempat  negara  ini,  tingkat inovasi  yang  dilakukan  lebih  rendah  dan nyaris  seluruhnya  berasal  dari  teknologi luar  negeri  tanpa  sentuhan  teknologi domestik (Firdausy, 2010).  

Dari  uraian  singkat  tentang  pengalaman dan pelajaran di atas  jelas bahwa negara‐negara  berkembang  dengan  pendapatan per  kapita  rendah  dan  sedang  di  Asia Timur belum banyak menghasilkan  inovasi yang  bersumber  dari  litbangdomestik.  Oleh  karena  itu,  masuk  akal  jika  tingkat pertumbuhan ekonomi di negara ini sangat rentan  terhadap  krisis  ekonomi  yang  terjadi  di  dalam  negeri,  apalagi  terhadap krisis global. 

 

2.2.  Potret  Inovasi  dan  Daya  Saing   Indonesia 

Potret  umum  kemampuan  inovasi  di Indonesia  masih  tergantung  pada  proses adopsi  dan  adaptasi  teknologi  dari  luar sehingga  inovasi  yang  dihasilkan  menjadi bersifat  baru  hanya  di  pasar  domestik, tetapi  tidak  di  lingkungan  pasar  global.  Akibatnya,  tidak mengherankan  jika  daya 

saing  produk  teknologi  nasional  belum menggembirakan di tingkat global. 

Berdasarkan  kajian  yang  dilakukan World Economic Forum  (2010), posisi daya  saing produk  teknologi  pada  lingkungan  global (Global  Competitiveness  Index‐GCI)pada2010‐2011  menunjukkan  bahwa Indonesia menempati peringkat ke‐44 dari 139  negara.    Peringkat  ini  jauh  lebih  baik dibandingkan posisi daya saing pada tahun 2009‐2010  yang  berada  di  peringkat  54 dari 133 negara (Tabel 2). Terlebih lagi jika peringkat  daya  saing  periode  2010‐2011 tersebut  dibandingkan  dengan  peringkat daya  saing  yang  dicatat  pada  periode 2005‐2006.  Pada  periode  2005‐2006 peringkat  daya  saing  Indonesia  berada pada posisi 74 dari 117 negara.   Di antara negara‐negara  ASEAN,  peringkat  daya saing Indonesia hanya lebih baik dibanding Filipina  dan  Vietnam,  tetapi  masih  tetap tertinggal jauh dibelakang negara Thailand, Malaysia, dan Singapura. 

Namun  jika  perhitungan  peringkat  daya saing global  tersebut dilihat dari  tiga pilar yang  lebih  spesifik  yakni  kebutuhan dasar (basic  requirements),  pemacu  efisiensi (efficiency  enhancers)  dan  inovasi (innovation  and  sophistication),  maka khusus  untuk  pilar  inovasi,  peringkat Indonesia  relatif  jauh  lebih  baik dibandingkan  negara  Thailand,  Vietnam dan Philipina.   Peringkat    Indonesia untuk inovasi  pada  tahun  2009  berada  pada posisi 47, sedangkan Thailand di peringkat 54,  Vietnam  di  posisi  57  dan  Philipina  di posisi  76  dari  134  negara  yang  disurvei. Peringkat inovasi Indonesia terus membaik sejak    tahun  2007  dari  ke‐54  (dari  131 negara) menjadi urutan ke‐36 pada  tahun 2010 (World Economic Forum, 2010). 

Page 14: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

8 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

8  

Kondisi  tersebut  memperlihatkan  bahwa kemampuan  inovasi nasional secara relatif menunjukkan  perbaikan.    Namun demikian,  capaian  ini  masih  perlu  terus ditingkatkan  serta  diimbangi  dengan peningkatan  kapasitas  adopsi  para pengguna  teknologi  dalam  negeri,  agar dapat memberikan  sumbangan nyata bagi pembentukan  keunggulan  posisi (positional advantage) Indonesia di tengah dinamika  perdagangan  global  saat  ini.  

Apalagi  pada  tahun  2015,  Indonesia bersama  dengan  9  negara  di  ASEAN lainnya  akan  membentuk  Masyarakat Ekonomi  ASEAN  (ASEAN  Economic Community), sehingga persaingan di pasar domestik  akan  semakin  terpengaruh dengan  membanjirnya  produk‐produk substitusi  dari  ASEAN  dan  negara  lainnya dengan  basis  teknologi  yang  lebih kompetitif.  

 

Tabel  2. PeringkatDaya Saing Indonesia 2009–2010 dan2008–2009 

Negara GCI 2009 ‐10 

GCI 2008 ‐ 09  Negara 

GCI 2009 ‐10  GCI 2008 ‐ 09 

Ranking  Skor  Ranking  Ranking  Skor  Ranking 

Switzerland 1  5.60  2 

Korea, Rep. 

19  5.00  13 

United States 

2  5.59  1 Malaysia 

24  4.87  21 

Singapore  3  5.55  5  Israel  27  4.80  23 

Sweden  4  5.51  4  China  29  4.74  30 

Denmark  5  5.46  3  Brunei  32  4.64  39 

Finland  6  5.43  6  Thailand  36  4.56  34 

Germany  7  5.37  7  Kuwait  39  4.53  35 

Japan 8  5.37  9 

Puerto Rico 

42  4.48  41 

Canada 9  5.33  10 

South Africa 

45  4.34  45 

Netherlands   10  5.32  8  India  49  4.30  50 

Taiwan, China 

12  5.20  17 Indonesia 

54  4.26  55 

Sumber : dicuplik dari WEF (2010) 

 

Page 15: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 9

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

9  

2.3.    Isu‐Isu  Penting  dalam Membangun Inovasi.   

Inovasi  atau  TFP  memegang  peranan utama  dalam  pertumbuhan  ekonomi, selain  peranan  modal  dan  SDM.Untuk mendorong  kemampuan  inovasi  nasional tersebut,  maka  beberapa  isu  berikut  ini perlu mendapat perhatian. 

Pertama,  isu  yang  menyangkut  pilihan inovasi.    Dalam  konteks  nasional, penekanan inovasi untuk memperbaiki TFP tidak  dapat  difokuskan  hanya  untuk memperoleh  atau  menghasilkan  produk, proses,  dan  metoda  baru  pada  tingkat global,  melainkan  juga  dalam  pengertian yang  lebih  sempit  pada  tingkat perusahaan,  masyarakat  atau  konteks tertentu.    Hal  ini  disebabkan  karena kemampuan  inovasi  atau  daya  saing teknologi  nasional  masih  relatif  rendah sehingga upaya menghasilkan inovasi pada tingkat  global  relatif  belum  perlu  untuk diprioritaskan.    Inovasi  yang  perlu dikembangkan di  Indonesia adalah  inovasi yang  dihasilkan  dengan    lebih memanfaatkan    produk,  proses  dan metoda  yang  berbeda  dengan  pengetahuan  dan  teknologi  yang  ada  dan dapat  dimiliki,  tetapi  berbasis  pada sumberdaya nasional dan/atau lokal.  

Dari  hasil  evaluasi  komponen  dalam menetapkan  indeks  daya  saing  global tahun  2009‐2010,  tercatat  tiga  indikator  yang  relatif  sangat  buruk,  yakni  berada pada peringkat di atas 80 dari 134 negara yang disurvei.  Ketiga pilar dimaksud terdiri dari  infrastruktur  (peringkat  86), pendidikan  dan  kesehatan  (peringkat  87) dan  kesiapan  teknologi  (technology readiness)  yang  berada  pada  posisi  88.  Sebagai  bandingan,  untuk  pilar  kesiapan 

teknologi  ini,  Malaysia  telah  jauh meninggalkan  Indonesia,  yakni  berada  di peringkat  37,  dan  bahkan  Indonesia  saat ini  berada  di  bawah  Vietnam  (peringkat 73).    Oleh  karena  itu  perhatian  untuk memperbaiki  ketiga  indikator  di  atas diperlukan  agar  kemampuan  inovasi  dan posisi daya saing nasional meningkat. 

Kedua,  isu  yang  menyangkut  cara membangun  kemitraan  inovasi  secara institusional  antara  kalangan  akademisi dan  pemerintah  dengan  pihak  industri.  Kondisi  kemitraan  inovasi  semacam  ini  di Indonesia  belum  terbangun  dengan  baik.  Diduga  saat  ini  industri  di  Indonesia cenderung  lebih mengandalkan hubungan individual  dibanding  hubungan institusional.   Fakta  ini didukung oleh hasil survei  inovasi  industri  manufaktur  di Indonesia  yang  dilakukan  oleh  LIPI  (2009) yang menunjukkan  bahwa  sebagian  besar kegiatan  inovasi  tersebut  dilakukan  oleh pihak  perusahaan,  dan  anggaran  litbang sebagian besar bersumber dari perusahaan itu sendiri (94.9%).   

Dengan  kegiatan  dan  proporsi  anggaran demikian, maka  perusahaan  tampak  lebih memilih menggunakan  tenaga  profesional lepas  dari  komunitas  akademisi  untuk melakukan  kegiatan  inovasi  di perusahaannya.  Meskipun demikian, tetap masih  ada  beberapa  kelompok  industri yang  melakukan  kegiatan  litbang  dengan memberikan  dana  litbang  secara institusional  kepada  institusi  akademik.  Indikasi  ini  ditunjukkan  oleh  rata‐rata anggaran  litbang  perusahaan  yang dialokasikan  untuk  pihak  lain  (anggaran ekstramural) yang rata‐rata kurang dari 25 % (LIPI, 2009).  

Ketiga,  isu  yang  berkaitan  dengan rendahnya  kualitas  pendidikan  atau 

Page 16: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

10 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

10  

terbatasnya jumlahSDM di lembaga litbang swasta atau  industri dibandingkan dengan kualitas  dan  ketersediaan  SDM  di lembagalitbang publik.  Tingkat pendidikan SDM  di  litbang  publik  jauh  lebih  baik daripada tingkat pendidikan SDM di litbang perusahaan  swasta  (Tabel  3).  Tercatat lebih  dari  34  persen  peneliti  di  lembaga litbang  publik  berpendidikan  minimum magister  (strata  2),  sementara  hanya  3,7 persen  peneliti  di  litbang  perusahaan swasta  yang  berpendidikan  minimum magister.  

 

Tabel 3.  Perbandingan kualifikasi pendidikan SDM di lembaga litbang publik dan swasta 

Jenjang Pendidikan 

Komposisi SDM (%) 

Litbang Publik 

Litbang Swasta 

S3  8,62  0,24 

S2  25.65  3,43 

S1  36,55  54,21 

Diploma  29,17  42,12 

   Sumber: LIPI (2010) 

Sementara  itu,  investasi  SDM  di  litbang perusahaan/swasta  relatif  kecil  sehingga salah  satu  strategi  yang  berpotensi  untuk dilakukan  adalah  difusi  ilmu  pengetahuan antara  lembaga  litbang publik dan swasta.  Kondisi  tersebut  seharusnya  mendorong terjadinya  mobilitas  SDM  antara  dua sektor  tersebut  untuk  mendukung  difusi ilmu  pengetahuan.    Namun  fakta  di lapangan menunjukkan bahwa hal tersebut sulit terjadi. 

Dengan  kondisi  SDMlitbang  perusahaan yang  terbatas, maka  tiga  implikasi berikut 

ini  telah  terjadi:  (1)  industri  yang dikembangkan  bukanlah  industri  yang membutuhkan  inovasi  dengan  dukungan litbang yang handal; (2) kegiatan litbang di perusahaan  dilakukan  dengan memanfaatkan  tenaga‐tenaga  akademisi secara  personal,  dan  hanya  25% perusahaan  swasta  manufaktur  yang melakukan  hubungan  secara  institusional dengan  universitas  dan  lembaga  litbang publik;  dan  (3)  perusahaan  lebih memanfaatkan  litbang di  luar negeri  atau perusahaan prinsipalnya untuk melakukan kegiatan  litbang.    Fenomena  ini  dikenal sebagai  open  innovation,  dimana  inovasi yang  dihasilkan  tidak  saja  mengandalkan kemampuan  inovasi  dari  dalam perusahaan  tetapi  juga  dari  luar perusahaan.   Dalam era globalisasi saat  ini dengan dukungan  teknologi  informasi dan komunikasi,  kecenderungan  open innovation akan semakin menguat.  

Keempat,  isu yang menyangkut rendahnya kemampuan  inovasi  industri dalam negeri.  Selama  10  tahun  terakhir  tercatat kemampuan  inovasi  industri dalam negeri  belum  menunjukkan  peningkatan  yang signifikan.   Dari hasil    survei LIPI  (2009) di industri  manufaktur  tercatat  bahwa intensitas teknologi di  industri manufaktur didominasi oleh  industri teknologi rendah, yakni lebih dari 50 persen dari total luaran yang  dihasilkan  industri manufaktur  (LIPI, 2009).    Kondisi  ini  menunjukkan  betapa rendahnya  anggaran  litbang  yang dikeluarkan  pihak  industri,  sementara upaya  untuk  membentuk  kondisi kemitraan  inovasi  antara  lembaga  litbang publik  dan  litbang  industri  juga  belum optimal. 

Negara‐negara  yang  perekonomiannya maju  umumnya  ditandai  dengan 

Page 17: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 11

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

11  

kemampuan  inovasi  dan  alokasi pembiayaan  litbang  industri  yang  tinggi.  Sebagai  contoh,  secara  nasional  alokasi dana untuk membiayai kegiatan  litbang di Jepang  mencapai  sekitar  3,3%  GDP‐nya, dimana  kurang  dari  0,8%  saja  yang bersumber  dari  dana  pemerintah, selebihnya  (lebih  dari  2,5%)  dibiayai  oleh industri.    Israel  sebagai  negara  dengan alokasi  dana  litbang  tertinggi  (sekitar 4,25%  dari GDP),  juga  hanya  sekitar  0,6% yang  bersumber  dari  dana  pemerintah.  Fenomena yang sama juga terjadi di semua negara anggota OECD (OECD, 2011).   

Kelima,  isu  yang  menyangkut  masalah sinergi  antara  kegiatan  penelitian  dengan kebutuhan  industri  pengguna.  Interaksi yang efektif dua arah antara pihak peneliti dan  industri  merupakan  modal  utama terbentuknya  sinergi dalam meningkatkan difusi  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi.  Merujuk  pada  konsep  SINas,  dimana interaksi  antar  elemen‐elemen  inovasi menjadi  fokus utama, maka  interaksi yang efektif  tersebut  berperan  penting  dalam penguatan SINas di Indonesia. 

Upaya  rintisan  untuk  meningkatkan interaksi  dan  koordinasi  tersebut  telah diinisiasi, antara  lain melaluiOpen Method of Research Coordination  (OMRC) di DRN, Portal Telusur Iptek (POTENSI) di BPPT, dan Garba  Rujukan  Digital  (Garuda)  di  DIKTI. Walaupun  demikian,  upaya  –  upaya tersebut  masih  relatif  baru  dimulai sehingga  perlu  sosialisasi  intensifagar dapat lebih berkembang dan bermanfaat. 

Keenam,  isu  terkait  dengan  penguatan SINas.  Dalam hal ini agar penguatan SINas terwujud  dibutuhkan  penguatan  serta integrasi  kebijakan‐kebijakan  terkait dengan  kegiatan  penelitian  di  Indonesia, baik  langsung  maupun  tidak  langsung.  

Salah  satu  caranya  yakni  dengan menetapkan kebijakan kuota pemanfaatan riset dalam negeri.  Hal ini bertujuan untuk secara halus  ‘memaksa’  industri pengguna untuk  berinteraksi  dengan  peneliti  yang terkait  dengan  pengembangan  produk melalui  kegiatan  litbang.  Kebijakan  kuota tersebut  juga  diharapkan  mampu membuat  peneliti  bersemangat  untuk melakukan  riset  yang  aplikatif  dan bermanfaat  bagi  pengguna.  Dengan demikian,  diharapkan  akan  terwujud kondisi  kebergantungan  antara  pengguna dengan peneliti. 

Isu  yang  juga  harus  menjadi  perhatian yakni  berkaitan  dengan  kebijakan‐kebijakan  pendukung  kegiatan  litbang.  Penyusun  regulasi  atau  kebijakan seringkali mengabaikan aspek sosial. Salah satunya  adalah  dalam  rumusan  kebijakan pendidikan.  Pentingnya  perhatian terhadap  kebijakan  pendidikan  ini mempengaruhi  iklim  kegiatan pembelajaran dan penelitian di  Indonesia.  Tak hanya di tingkat universitas, kebijakan pendidikan ini harus diperbaiki dari tingkat pendidikan  dasar,  untuk  menumbuhkan budaya  inovasi  dan  pembelajaran  yang lebih  baik,  terutama  dalam  hal peningkatan difusi ilmu pengetahuan serta penguatan kapasitas adopsi inovasi. 

 

3. Dimensi Sosial.   

Pengembangan  teknologi  perlu  dirancang seimbang  antara  mendukung pertumbuhan  ekonomi  dan  menyiapkan proses  transformasi  sosial,  sehingga keduanya  dapatberjalan  secara  paralel.  Kegiatan  litbang  dapat  dikategorikan sukses jika mampu menghasilkan teknologi yang  secara  nyata  dan  signifikan 

Page 18: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

12 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

12  

memberikan  kontribusi  terhadap pertumbuhan  ekonomi  nasional  dan sekaligus  juga berdampak positif  terhadap kesejahteraan  sosial masyarakat  (Gambar 1). 

Selanjutnya,  jika  teknologi yang dihasilkan mampu  mendorong  pertumbuhan ekonomi  tetapi  tidak  secara  paralel mendorong laju proses transformasi sosial, maka  pertumbuhan  ekonomi  tersebut dapat  menjadi  bumerang,  karena  akan meningkatkan  ketergantungan masyarakat.    Contoh  yang  mudah  dilihat adalah  keberhasilan  pengembangan teknologi  pertanian  yang  mampu meningkatkan  produksi  pangan  nasional, tetapi  tidak  secara  nyata  meningkatkan kesejehteraan  petani  sebagaimana diindikasikan dari tidak meningkatnya Nilai Tukar Petani, maka akibatnya petani terus tergantung pada subsidi pemerintah untuk mendapatkan  sarana  produksi  dengan harga terjangkau agar usaha tani tanaman pangan tidak merugi. 

 

Pertum

buha

n Ekon

omi  Tinggi 

Ketergantungan  Sukses 

Rend

ah 

Gagal  ? 

 

Rendah  Tinggi 

       Transformasi Sosial 

 

Gambar 1.  Kuadran teknologi berdasarkankontribusinya terhadap 

pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial (Usman, 2011) 

Ketergantungan  ini  telah  menjadi perangkap yang  sulit untuk keluar, karena jika  sarana  produksi  tidak  disubsidi maka usahatani  tanaman  pangan  akan  merugi.  Jika  rugi  maka  tidak  ada  petani  yang termotivasi  untuk  melakukan  kegiatan usahatani  tanaman  pangan  atau  tetap melaksanakannya  tetapi  hanya  untuk tujuan  memenuhi  kebutuhan  sendiri (subsisten),  sehingga  secara  makro  akan meruntuhkan  ketahanan pangan nasional.  Jika  opsi  lain  yang  dipilih  agar  usahatani tanaman  pangan  menguntungkan,  yakni dengan  menaikkan  harga  komoditas tanaman  pangan,  maka  jelas  akan menambah  beban  para  konsumen  dan sangat  potensial  untuk  mengganggu stabilitas  nasional.    Ongkos  politik  yang harus  ditanggung  oleh  pemerintah mungkin akan sangat mahal.  

Secara  teoritis,  teknologi  dapat mendorong  transformasi  sosial,  misalnya jenis  teknologi  yang  dibutuhkan  untuk meningkatkan  kualitas  layanan  publik  di sektor  pemerintahan,  pendidikan, kesehatan,  dan  keagamaan.    Teknologi informasi  dan  komunikasi  dapat  sangat bermanfaat  dalam  mendorong transparansi  dan  akuntabilitas  instansi pemerintah,  selain  untuk  mendukung peningkatan  kualitas  pendidikan  dalam rangka  meningkatkan  kecerdasan intelektual  dan  spiritual;  serta  berbagai teknologi  kesehatan  yang  dapat meningkatkan  produktivitas  tenaga  kerja.  Namun  proses  transformasi  sosial  yang didorong oleh teknologi ini secara de facto sangat  tidak  mungkin  untuk  diisolir  dari kemungkinan  dampak  tidak  langsungnya terhadap pembangunan ekonomi. 

 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

13  

Pada  akhirnya  tentu  selalu  ada kemungkinan  bahwa  teknologi  yang dikembangkan  tidak mampu berkontribusi terhadap  upaya  memacu  pertumbuhan ekonomi  maupun  mendorong  proses transformasi  sosial,  bahkan  bukan  tidak mungkin  bahwa  suatu  teknologi  dapat berdampak  negatif  secara  ekonomi  dan sosial.    Teknologi  yang  masuk  kelompok (tidak  berdampak  atau malah  berdampak negatif)  ini  layak  dikategorikan  sebagai teknologi yang gagal.  Kejadian ini mungkin terjadi  jika  proses  perencanaan  riset  dan pengembangan  teknologi  tersebut  tidak berbasis pada  realita  kebutuhan dan/atau persoalan  yang  dihadapi masyarakat  atau negara. 

 

3.1.  Introduksi teknologi perlu dibarengi dengan transformasi sosial.   

Pada  era  perdagangan  yang  semakin terbuka  serta  didukung  kemajuan teknologi  informasi  dan  komunikasi  yang sedemikian  pesat  sehingga  upaya mengakses informasi telah menjadi mudah dan  murah,  maka  introduksi  teknologi hanya  akan  berpeluang  untuk  diadopsi oleh para pengguna jika teknologi tersebut handal secara teknis dan kompetitif secara ekonomi.    Namun  demikian,  kalaupun kedua  dimensi  keunggulan  teknologi  ini (teknis dan ekonomis)  telah dimiliki,  tetap saja  tidak  menjamin  secara  otomatis bahwa  teknologi  tersebut akan digunakan oleh  industri,  masyarakat,  maupun pemerintah. 

Cukup banyak contoh  introduksi  teknologi ke masyarakat  yang  gagal  akibat  kealfaan dalam  mempertimbangkan  dimensi sosiokultural  dan/atau  kapasitas  ekonomi masyarakat  penerimanya.    Kealfaan  ini 

sering  terjadi  akibat:  (1)  introduksi teknologi  tidak  memperhatikan  kapasitas adopsi masyarakat sebagai calon pengguna potensialnya;  (2)  kapasitas  adopsi pengguna hanya dilihat dari dimensi teknis semata,  dengan  mengabaikan pertimbangan  ekonomi  dan  sosiokultural; (3)  semua dimensi kapasitas adopsi sudah diperhatikan tetapi teknologi yang ditawar tidak  mempunyai  prospek  untuk memberikan  keuntungan  tambahan  bagi penggunanya,  baik  berupa  keuntungan finansial  maupun  dalam  bentuk ‘kemudahan  dan  kenyamanan’  dalam melaksanakan kegiatan ekonomi atau non‐ekonomi. 

Uraian  tentang  kendala  adopsi  teknologi ini  memberikan  ilustrasi  bahwa  setiap teknologi  yang  akan  dikembangkan  tidak boleh hanya fokus pada dimensi teknisnya semata,  tetapi  perlu  selalu mengintegrasikan  dimensi  ekonomi  dan sosiokultural  para  pihak  yang diproyeksikan menjadi penggunanya, serta juga  proses  pengembangan  teknologi tersebut tidak boleh diisolir dari ekosistem dimana  ia  dikembangkan  dan diproyeksikan akan digunakan. 

Lakitan  (2010)  mengingatkan  bahwa sebuah  sistem  inovasi  hanya  dapat diwujudkan  jika:  (1)  informasi  kebutuhan dan  persoalan  yang  dihadapi  oleh  para pengguna  teknologi  dapat  diterima  dan dipahami dengan  tepat dan  komprehensif oleh  para  pengembang  teknologi;  dan  (2) teknologi  yang  dikembangkan  sesuai dengan  kebutuhan  dan/atau  untuk  solusi persoalan  yang  dihadapi,  serta  sepadan dengan  kapasitas  adopsi  para  pengguna teknologi.   

Prasayarat  yang  pertama  membutuhkan kepercayaan  dari  pihak  pengguna  untuk 

Page 19: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 13

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

12  

memberikan  kontribusi  terhadap pertumbuhan  ekonomi  nasional  dan sekaligus  juga berdampak positif  terhadap kesejahteraan  sosial masyarakat  (Gambar 1). 

Selanjutnya,  jika  teknologi yang dihasilkan mampu  mendorong  pertumbuhan ekonomi  tetapi  tidak  secara  paralel mendorong laju proses transformasi sosial, maka  pertumbuhan  ekonomi  tersebut dapat  menjadi  bumerang,  karena  akan meningkatkan  ketergantungan masyarakat.    Contoh  yang  mudah  dilihat adalah  keberhasilan  pengembangan teknologi  pertanian  yang  mampu meningkatkan  produksi  pangan  nasional, tetapi  tidak  secara  nyata  meningkatkan kesejehteraan  petani  sebagaimana diindikasikan dari tidak meningkatnya Nilai Tukar Petani, maka akibatnya petani terus tergantung pada subsidi pemerintah untuk mendapatkan  sarana  produksi  dengan harga terjangkau agar usaha tani tanaman pangan tidak merugi. 

 

Pertum

buha

n Ekon

omi  Tinggi 

Ketergantungan  Sukses 

Rend

ah 

Gagal  ? 

 

Rendah  Tinggi 

       Transformasi Sosial 

 

Gambar 1.  Kuadran teknologi berdasarkankontribusinya terhadap 

pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial (Usman, 2011) 

Ketergantungan  ini  telah  menjadi perangkap yang  sulit untuk keluar, karena jika  sarana  produksi  tidak  disubsidi maka usahatani  tanaman  pangan  akan  merugi.  Jika  rugi  maka  tidak  ada  petani  yang termotivasi  untuk  melakukan  kegiatan usahatani  tanaman  pangan  atau  tetap melaksanakannya  tetapi  hanya  untuk tujuan  memenuhi  kebutuhan  sendiri (subsisten),  sehingga  secara  makro  akan meruntuhkan  ketahanan pangan nasional.  Jika  opsi  lain  yang  dipilih  agar  usahatani tanaman  pangan  menguntungkan,  yakni dengan  menaikkan  harga  komoditas tanaman  pangan,  maka  jelas  akan menambah  beban  para  konsumen  dan sangat  potensial  untuk  mengganggu stabilitas  nasional.    Ongkos  politik  yang harus  ditanggung  oleh  pemerintah mungkin akan sangat mahal.  

Secara  teoritis,  teknologi  dapat mendorong  transformasi  sosial,  misalnya jenis  teknologi  yang  dibutuhkan  untuk meningkatkan  kualitas  layanan  publik  di sektor  pemerintahan,  pendidikan, kesehatan,  dan  keagamaan.    Teknologi informasi  dan  komunikasi  dapat  sangat bermanfaat  dalam  mendorong transparansi  dan  akuntabilitas  instansi pemerintah,  selain  untuk  mendukung peningkatan  kualitas  pendidikan  dalam rangka  meningkatkan  kecerdasan intelektual  dan  spiritual;  serta  berbagai teknologi  kesehatan  yang  dapat meningkatkan  produktivitas  tenaga  kerja.  Namun  proses  transformasi  sosial  yang didorong oleh teknologi ini secara de facto sangat  tidak  mungkin  untuk  diisolir  dari kemungkinan  dampak  tidak  langsungnya terhadap pembangunan ekonomi. 

 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

13  

Pada  akhirnya  tentu  selalu  ada kemungkinan  bahwa  teknologi  yang dikembangkan  tidak mampu berkontribusi terhadap  upaya  memacu  pertumbuhan ekonomi  maupun  mendorong  proses transformasi  sosial,  bahkan  bukan  tidak mungkin  bahwa  suatu  teknologi  dapat berdampak  negatif  secara  ekonomi  dan sosial.    Teknologi  yang  masuk  kelompok (tidak  berdampak  atau malah  berdampak negatif)  ini  layak  dikategorikan  sebagai teknologi yang gagal.  Kejadian ini mungkin terjadi  jika  proses  perencanaan  riset  dan pengembangan  teknologi  tersebut  tidak berbasis pada  realita  kebutuhan dan/atau persoalan  yang  dihadapi masyarakat  atau negara. 

 

3.1.  Introduksi teknologi perlu dibarengi dengan transformasi sosial.   

Pada  era  perdagangan  yang  semakin terbuka  serta  didukung  kemajuan teknologi  informasi  dan  komunikasi  yang sedemikian  pesat  sehingga  upaya mengakses informasi telah menjadi mudah dan  murah,  maka  introduksi  teknologi hanya  akan  berpeluang  untuk  diadopsi oleh para pengguna jika teknologi tersebut handal secara teknis dan kompetitif secara ekonomi.    Namun  demikian,  kalaupun kedua  dimensi  keunggulan  teknologi  ini (teknis dan ekonomis)  telah dimiliki,  tetap saja  tidak  menjamin  secara  otomatis bahwa  teknologi  tersebut akan digunakan oleh  industri,  masyarakat,  maupun pemerintah. 

Cukup banyak contoh  introduksi  teknologi ke masyarakat  yang  gagal  akibat  kealfaan dalam  mempertimbangkan  dimensi sosiokultural  dan/atau  kapasitas  ekonomi masyarakat  penerimanya.    Kealfaan  ini 

sering  terjadi  akibat:  (1)  introduksi teknologi  tidak  memperhatikan  kapasitas adopsi masyarakat sebagai calon pengguna potensialnya;  (2)  kapasitas  adopsi pengguna hanya dilihat dari dimensi teknis semata,  dengan  mengabaikan pertimbangan  ekonomi  dan  sosiokultural; (3)  semua dimensi kapasitas adopsi sudah diperhatikan tetapi teknologi yang ditawar tidak  mempunyai  prospek  untuk memberikan  keuntungan  tambahan  bagi penggunanya,  baik  berupa  keuntungan finansial  maupun  dalam  bentuk ‘kemudahan  dan  kenyamanan’  dalam melaksanakan kegiatan ekonomi atau non‐ekonomi. 

Uraian  tentang  kendala  adopsi  teknologi ini  memberikan  ilustrasi  bahwa  setiap teknologi  yang  akan  dikembangkan  tidak boleh hanya fokus pada dimensi teknisnya semata,  tetapi  perlu  selalu mengintegrasikan  dimensi  ekonomi  dan sosiokultural  para  pihak  yang diproyeksikan menjadi penggunanya, serta juga  proses  pengembangan  teknologi tersebut tidak boleh diisolir dari ekosistem dimana  ia  dikembangkan  dan diproyeksikan akan digunakan. 

Lakitan  (2010)  mengingatkan  bahwa sebuah  sistem  inovasi  hanya  dapat diwujudkan  jika:  (1)  informasi  kebutuhan dan  persoalan  yang  dihadapi  oleh  para pengguna  teknologi  dapat  diterima  dan dipahami dengan  tepat dan  komprehensif oleh  para  pengembang  teknologi;  dan  (2) teknologi  yang  dikembangkan  sesuai dengan  kebutuhan  dan/atau  untuk  solusi persoalan  yang  dihadapi,  serta  sepadan dengan  kapasitas  adopsi  para  pengguna teknologi.   

Prasayarat  yang  pertama  membutuhkan kepercayaan  dari  pihak  pengguna  untuk 

Page 20: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

14 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

14  

berbagi  informasi  dengan  pihak pengembang teknologi, dipadukan dengan sensitivitas dan kesungguhan pengembang teknologi  untuk  memahami  kebutuhan dan/atau  persoalan  para  pengguna teknologi; sedangkan prasyarat yang kedua dimulai  dengan  pengembangan  paket teknologi  yang  relevan  terhadap kebutuhan  dan  sesuai  dengan  kapasitas adopsi pada pengguna potensialnya.   

Dengan  demikian,  jika  mengacu  pada amanah  konstitusi  (Pasal  31  ayat  (5) Undang‐Undang  Dasar  1945)  yang  secara tegas  menyatakan  bahwa  pembangunan iptek adalah untuk memajukan peradaban dan  menyejahterakan  umat  manusia, maka menjadi  jelas bahwa pengembangan teknologi hanya dapat disebut  sukses  jika sistem  inovasi  juga  dapat  diwujudkan sehingga membuka peluang bagi teknologi untuk  secara  langsung  berkontribusi terhadap  perekonomian  nasional  dan kesejahteraan rakyat. 

Dalam  konteks  saat  ini,  langkah  utama yang perlu dilakukan adalah mensejajarkan posisi  teknologi  dengan  kapasitas  sosial‐ekonomi  masyarakat  Indonesia,  baru setelah  itu  menata  agar  laju perkembangan  teknologi  agar  seiring sejalan  dengan  laju  proses  transformasi sosial.  Ketimpangan antara keduanya akan berdampak  pada  rendahnya  efektivitas dan  efisiensi  pengelolaan  sumberdaya (alam,  manusia,  dan  pembiayaan)  dalam proses  pengembangan  teknologi  dan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 

 

 

 

3.2. Ketergantungan masyarakat akibat lambannya transformasi sosial.    

Jika teknologi hanya mampu berkontribusi terhadap  pertumbuhan  ekonomi  tetapi tidak  diimbangi  dengan  transformasi sosial,  maka  dapat  berdampak  pada meningkatnya ketergantungan masyarakat pada  sumber  pengembang  teknologi tersebut  untuk  aplikasi  selanjutnya (Usman,  2011).    Jika  introduksi  teknologi tersebut  difasilitasi  oleh  atau  ada  bentuk campur  tangan  lainnya  dari  pemerintah, maka  tumpuan  masyarakat  untuk keberlanjutan  implementasi  teknologi tersebut  akan  bergantung  pada  peran pemerintah.    Secara  kumulatif,  kondisi yang  seperti  ini  dapat  menyebabkan akumulasi  beban  pemerintah  yang semakin lama akan semakin berat. 

Introduksi  teknologi  budidaya  tanaman pangan  dalam  bentuk  penyediaan  bibit unggul dan sarana produksi pendukungnya (terutama pupuk  anorganik dan pestisida) yang  selama  ini  dilakukan  pemerintah untuk  memacu  peningkatan  produksi pangan  nasional  telah  berdampak  pada sulitnya  pemerintah  mengurangi  beban subsidi  pertanian  sampai  saat  ini.  Walaupun  tentunya  ada  berbagai pertimbangan politis dan ekonomi  lainnya yang mengakibatkan  sulitnya mengurangi beban subsidi ini. 

Pengembangan  teknologi  dan  penyiapan SDM  berjalan  bergandengan  dan  saling pengaruh secara timbal balik.  Kemampuan bangsa  dalam  menguasai  dan mengembangkan  teknologi  sangat tergantung pada kualitas sumberdaya yang dimiliki.    Sebagai  salah  satu  indikator penaksir  kualitas  SDM  yang  umumnya digunakan  adalah  jenjang  pendidikan formal  rata‐rata  dari  penduduk  suatu 

Page 21: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 15

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

15  

negara dan/atau persentase populasi yang menyelesaikan  jenjang  pendidikan  tinggi.  Asumsi  dasarnya  adalah mutu  pendidikan tinggi  dipelihara  standarnya  dan  tidak dikorbankan  untuk  kepentingan  lain  yang bersifat non‐akademik. 

Selain  relevansinya  dengan  kebutuhan nyata,  implementasi teknologi  juga mutlak membutuhkan  SDM  yang  cakap.    Negara perlu  menyiapkan  tenaga  kerja  yang berpengetahuan cukup dan terampil untuk melaksanakan  pekerjaan.    Sertifikasi profesi dapat menjadi tool untuk menakar kualitas  tenaga  kerja,  baik  dari  kadar pengetahuan  maupun  keterampilannya, dengan  asumsi  bahwa  sertifikat  profesi benar mencerminkan  kapasitas  kerja para pemegangnya.   

Transformasi budaya yang dimaksud dalam konteks  padanan  dari  perkembangan teknologi  adalah  sebagaimana  yang diilustrasikan di atas melalui hubungan dan ketergantungan  timbal‐balik  antara keduanya,  serta nilai dan norma yang ada di  dalamnya.    Memahami  bahwa  untuk membangun  sistem  inovasi  dibutuhkan baik  pengembang  teknologi  yang  kreatif dan  handal  maupun  para  pengguna teknologi  dengan  kapasitas  adopsi  yang sebanding,  maka  isu  transformasi  sosial harusnya  tidak  luput  dari  formulasi skenario  besar  upaya  peningkatan kontribusi  teknologi  terhadap pembangunan  ekonomi,  jika  keberhasilan yang  diharapkan  selain  menjadi  lebih mungkin  dicapai  (achievable)  tetapi  juga dapat dipelihara secara berkesinambungan (sustainable). 

Proses  transformasi  sosial  hampir  tidak mungkin untuk dipisahkan dari kebutuhan untuk  perubahan  mindset  dari  semua pihak  terkait  (para  stakeholders).    Ada 

indikasi  bahwa  batuan  pemerintah  dalam bentuk  dukungan  pembiayaan  atau pinjaman  modal  usaha  sering  dianggap oleh  komunitas  penerima  sebagai  donasi, sehingga  dianggap  tidak  perlu  dikelola secara  sungguh‐sungguh  dan dipertanggung‐jawabkan,  akibatnya  hanya sedikit  yang  menunjukkan  keberhasilan.  Sebaliknya,  ada  juga  indikasi  bahwa kegiatan  pemerintah  yang  ‘diproyekkan’ (Usman,  2011)  sehingga  misinya  dalam membangun  bangsa  atau menyejahterakan  rakyat  tergerus  oleh kepentingan  personal  dari  pihak‐pihak yang  terkait.    Persoalan  integritas  dan moral juga merupakan isu sosial yang perlu ditransformasi ke arah yang lebih positif. 

Pemahaman  tentang  pentingnya  dimensi sosial  untuk  ikut  diperhatikan  dalam membangun  sistem  inovasi  nasional diperlihatkan  oleh  Pemerintah  Jepang.  Dalam  konsepsi  sistem  inovasi  Jepang, terlihat  jelas  bahwa  karakter  bangsa, tradisi,  budaya,  dan  lingkungan  sosial menjadi  fondasi  paling  dasar  dari bangunan konsepsi sistem inovasi nasional (MEXT,  2002),  baru  kemudian  dimensi politik  dan  ekonomi  yang  menjadi landasan  untuk  berbagai  kebijakan pemerintah untuk mendukung  ‘panggung’ inovasi (Gambar 2). 

 

3.3. Menumbuhkan  teknologi  yang mengakar pada budaya sendiri.   

Hasanuddin  (2011)  mengingatkan  bahwa transformasi  budaya  adalah  tumbuh, berkembang,  dan  maju  secara  dialektik pada  batang  dan  akar  kultural  sendiri, bukan  perubahan  yang  tercabut dari  akar kultural  itu.   Namun  demikian,  pada  saat ini,  masyarakat  telah  terlanjur 

Page 22: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

16 ISSN : 2252-911X 

terkontamdimiliki tesaat berstidak mam

Gamba

 

Pengembhendaknysumberdasumberdawilayah  nuntuk mepotensi subudaya, sendiri  dketerlibatseluruh  ltidak  bolteknologi budaya  bnilai‐nilai bangsa In

IndonesiaKreativitaproses be

Keb

minasi,  mengelah ketinggaamaan nilai mpu mereka r

ar 2.  Karakte

angan  teknya  tetap  beraya sendiri,  taya  alam  yannusantara,  (2engelola secaumberdaya atradisi,  dandalam  rangtan  dan  uplapisan  masyeh  mengganperlu  diin

bangsa  dan luhur  yang mdonesia. 

a  adalah  bas  kadang  lerpikir yang s

bijakan Riset,

ganggap  nilalan zaman, dkemajuan  ituraih.  Jika siny

er bangsa, traInovasi N

ologi  di  Inrbasis  pada ermasuk:  (1) ng  dimiliki  di 2)  SDM  yangra arif dan plam tersebut,n  karakter ka  memakspaya  pembeyarakat.    Tentikan  tradisintegrasikan diserasikanmembentuk 

angsa  yang ahir  tanpa sistematis ata

 Teknologi, d

16

ai  yang an pada u  sendiri yalemen 

adisi, budayaNasional Jepa

ndonesia potensi potensi seluruh 

g  dididik produktif , dan (3) bangsa 

simalkan erdayaan eknologi i,  tetapi dengan dengan karakter 

kreatif.  melalui 

au dapat 

dan Inovasi 1(

yang dikemuini  benar  daini,  maka  kisosial yang s

, dan lingkunang (MEXT, 2

juga  dikatatersebut  kadsecara  sistemenggiring menganggap(misalnya dengan  proberbasis  logteknologi). terlahir dengdan  sekaligukarena setiakanan dan ot

Teknologi mpengetahuanmemenuhi manusia sejadengan kenysederhanany

(2012): 1‐26 

ukakan oleh Han  tersebar ita  sedang  mangat serius. 

ngan sebagai 002) 

akan  bahwadang  tidak  mematis.    Koke  arah 

p bahwa prodkarya  seni)oduk  dari ika keilmuan   Manusia gan  kebutuhaus mampu mp individu tertak kiri. 

emang terlahn  dan  lebihkebutuhan  jatinya tidak pyamanan fisikya adalah pad

Hasanuddin (2meluas  di  nemengalami  tr

fondasi Siste

a  proses  kmampu  dijelaondisi  ini  s

persepsi duk proses k)  berseberakerja  siste(misalnya prpada  dasa

an akan  teknengapresiasi rlahir dengan

hir dari rahim  didorong  ujasmaniah,  tpernah puas hk semata.   Coda saat seseo

2011) egara agedi 

 

em 

reatif askan sering yang reatif angan matis roduk arnya nologi seni, 

n otak 

m ilmu untuk tetapi hanya ontoh orang 

Page 23: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 17

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

17  

memutuskan  untuk  membeli  telepon seluler, maka  pertimbangan  yang muncul dalam benak individu tersebut tidak hanya untuk  mendapatkan  alat  untuk berkomunikasi  semata,  tetapi  juga  ingin punya alat yang  terlihat  indah dari desain bentuk, tekstur permukaan, dan warnanya.  Selain  itu,  juga  diharapkan  tombol  pada telepon  seluler  tersebut  lebih  ergonomis (mudah  dan  nyaman  digunakan)  dan harganya  juga  terjangkau.   Kesimpulannya adalah  keputusan  untuk membeli  produk teknologi  merupakan  suatu  proses  yang kompleks,  tidak  lagi  hanya  sekedar  untuk mendapatkan  kehandalan  teknologinya semata.    Dalam  konteks  ini,  maka terminologi inovasi menjadi lebih relevan. 

Inovasi  tidak  berakhir  saat  dihasilkannya suatu produk  teknologi,  tetapi baru dapat dikategorikan  sebagai  produk  inovasi  jika produk teknologi tersebut telah digunakan oleh  konsumen.    Oleh  sebab  itu,  agar dapat  disebut  sebagai  produk  inovasi, maka  setiap  produk  teknologi  harus diperkaya  dengan  muatan  non‐teknologi yang  membentuk  preferensi  konsumen, yang  dapat mencakup  nilai  estetika,  sifat ergonomis,  sesuai  perilaku  dan  ragam kebutuhan pengguna, serta daya beli. 

Bangsa  Indonesia  memiliki  budaya  yang majemuk  dengan  ragam  yang  terbentuk dari kombinasi etnis dan wilayah geografis.  Keragaman  budaya  ini menjadi  tantangan tersendiri  dalam mengembangkan  produk teknologi  agar  dapat  diterima  pasar domestik.    Dengan  demikian,  walaupun suatu  produk  tersebut  memiliki  fungsi teknologis  yang  sama,  namun  untuk meningkatkan  kesesuaiannya  dengan preferensi  konsumen  maka  produk teknologi  ini  perlu  disesuaikan  muatan 

non‐teknologinya  dengan  selera masyarakat. 

Untuk mempertahankan  tradisi  Indonesia dalam  produk  teknologi  nasional,  maka Hasanuddin  (2011)  menyarankan  perlu dilakukan  sintesis  nilai  dan  kebijakan politik yang tepat, mecakup: (1) Revitalisasi nilai tradisi etnik, (2) Akomodasi nilai Iptek, (3)  Integrasi  nilai  tradisi  etnik  dan  nilai Iptek,  dan  (4)  Kebijakan  politik pengembangan Iptek.   

Upaya  strategis  yang  penting  adalah mengintegrasikan  nilai‐nilai  tradisi  etnik dengan  fungsi  teknologis  dalam  setiap kegiatan  pengembangan  teknologi  di Indonesia yang didukung dengan kebijakan politik yang tepat dan diikuti dengan upaya pengawalan pada  tahap  implementasinya.  Catatan  penting  yang  perlu  mendapat perhatian dalam konteks  ini adalah bahwa nilai‐nilai  tradisi  sesungguhnya  tidak bersifat  statis,  tidak  dapat  dipertahankan selamanya pada posisi statis, dan mungkin tidak perlu dipertahankan statis.   Hal yang penting  adalah  menjaga  agar  perubahan nilai  tradisi  dan  budaya  tersebut  berjalan seiring  dan  harmonis  dengan  kemajuan teknologi  dan  perkembangan  peradaban bangsa dan dunia. 

Sebuah  pertanyaan  yang  tersisa  adalah apakah mungkin pengembangan  teknologi tidak  secara  nyata  atau  rendah kontribusinya  terhadap  pertumbuhan ekonomi  tetapi  secara  signifikan mendorong  proses  transformasi  sosial? Secara teoritis, kemungkinan ini dapat saja terjadi  jika  teknologi  yang  dikembangkan tersebut  tidak  terkait  dengan  kegiatan ekonomi,  misalnya  teknologi  untuk membantu  peningkatan  kualitas  layanan sosial  keagamaan  atau  kemasyarakatan, namun  realitanya  akan  sangat  sulit 

Page 24: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

18 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

18  

mengidentifikasi  teknologi  yang  secara khusus  (fullydedicated)  hanya  digunakan pada  kegiatan  non‐ekonomi  ini.    Hampir selalu  teknologi  tersebut  bisa  juga digunakan  untuk  kegiatan  ekonomi,  atau teknologi  tersebut  punya  varian  yang dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi, atau  secara  langsung  memang  tidak mendukung  kegiatan  ekonomi  tetapi dampak  sekundernya  secara  nyata berdampak pada kinerja perekonomian. 

Sebagai  contoh,  teknologi  informasi  dan komunikasi  dapat  membantu meningkatkan  efektivitas  dan  perluasan jangkauan  kegiatan  dakwah  atau  siar agama  dimana  kegiatan  ini  tidak  terkait secara  langsung  dengan  ekonomi,  tetapi teknologi yang sama dapat pula digunakan untuk  kepentingan  ekonomi.    Contoh untuk dampak sekunder terhadap ekonomi adalah  teknologi  pendukung  sektor pendidikan  (atau  pembangunan  kualitas SDM  pada  umumnya).    Teknologi  ini mungkin secara  langsung tidak berdampak pada  ekonomi  tetapi  dapat  memacu proses  transformasi budaya,  tetapi  secara tidak  langsung  peningkatan  kualitas  SDM tersebut  akan  juga  meningkatkan produktivitas  tenaga  kerja,  sehingga  pada gilirannya  juga  akan  ikut  mendorong pertumbuhan ekonomi. 

 

3.4.  Budaya Kerja Aktor Inovasi Indonesia 

Orientasi  kerja  akademisi,  peneliti, perekayasa,  dan  profesi  lain  yang  terkait dengan  pengembangan  teknologi  saat  ini masih  belum  sepenuhnya  untuk menghasilkan  ilmu pengetahuan dan/atau teknologi  yang  bermanfaat  nyata  bagi masyarakat atau para pengguna  teknologi lainnya; mayoritas masih berorientasi pada 

upaya mendapatkan pengakuan akademis, misalnya  dalam  bentuk  perolehan  angka kredit  yang  dijadikan  indikator  kinerja sebagai  bahan  pertimbangan  dalam promosi jabatan fungsional. 

Faktor  pendorong  para  pengembang teknologi  untuk  mempublikasikan  hasil risetnya  ataupun  mendaftarkan  paten, lebih  termotivasi  oleh  perolehan  angka kredit  yang  terkait  dengan  publikasi  atau paten  tersebut,  sangat  jarang  yang didorong oleh keinginan agar hasil risetnya diketahui oleh komunitas akademik dalam bidang  ilmu  yang  sama  dan/atau  para (calon)  pengguna  potensialnya.  Kecenderungan  alasan  tersebut  tercermin dari pilihan media cetak dimana hasil riset dipublikasikan, yang umumnya merupakan jurnal  ilmiah  dengan  sistem  seleksi  yang longgar  dan  distribusi  terbatas.    Publikasi peneliti dan  akademisi  Indonesia di  jurnal internasional  yang  selektif  (peer‐reviewed atau refereedscientific journal) sampai saat ini  masih  sangat  terbatas,  jauih  lebih sedikit  dibandingan  peneliti  di  Singapura, Malaysia, dan Thailand. 

Peneliti dan akademisi  Indonesia  terkesan tidak  ‘terganggu’  dengan  rendahnya jumlah publikasi tersebut.  Reputasi kurang positif  secara akademik  ini,  ternyata  tidak juga dikompensasi dengan unjuk kinerja di sisi  yang  lain, misalnya  hasil  riset  berupa teknologi  yang memberikan  kemanfaatan langsung  bagi  masyarakat.    Sejauh  ini orientasi kerja para pengembang teknologi Indonesia  terkesan masih  senjang dengan realita  kebutuhan  masyarakat,  industri, maupun  pemerintah  sebagai  tiga kelompok  utama  pengguna  teknologi, sehingga  sangat  sedikit  hasil  riset  dan teknologi  yang  telah  berhasil dikembangkan,  kemudian  diadopsi 

Page 25: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 19

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

18  

mengidentifikasi  teknologi  yang  secara khusus  (fullydedicated)  hanya  digunakan pada  kegiatan  non‐ekonomi  ini.    Hampir selalu  teknologi  tersebut  bisa  juga digunakan  untuk  kegiatan  ekonomi,  atau teknologi  tersebut  punya  varian  yang dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi, atau  secara  langsung  memang  tidak mendukung  kegiatan  ekonomi  tetapi dampak  sekundernya  secara  nyata berdampak pada kinerja perekonomian. 

Sebagai  contoh,  teknologi  informasi  dan komunikasi  dapat  membantu meningkatkan  efektivitas  dan  perluasan jangkauan  kegiatan  dakwah  atau  siar agama  dimana  kegiatan  ini  tidak  terkait secara  langsung  dengan  ekonomi,  tetapi teknologi yang sama dapat pula digunakan untuk  kepentingan  ekonomi.    Contoh untuk dampak sekunder terhadap ekonomi adalah  teknologi  pendukung  sektor pendidikan  (atau  pembangunan  kualitas SDM  pada  umumnya).    Teknologi  ini mungkin secara  langsung tidak berdampak pada  ekonomi  tetapi  dapat  memacu proses  transformasi budaya,  tetapi  secara tidak  langsung  peningkatan  kualitas  SDM tersebut  akan  juga  meningkatkan produktivitas  tenaga  kerja,  sehingga  pada gilirannya  juga  akan  ikut  mendorong pertumbuhan ekonomi. 

 

3.4.  Budaya Kerja Aktor Inovasi Indonesia 

Orientasi  kerja  akademisi,  peneliti, perekayasa,  dan  profesi  lain  yang  terkait dengan  pengembangan  teknologi  saat  ini masih  belum  sepenuhnya  untuk menghasilkan  ilmu pengetahuan dan/atau teknologi  yang  bermanfaat  nyata  bagi masyarakat atau para pengguna  teknologi lainnya; mayoritas masih berorientasi pada 

upaya mendapatkan pengakuan akademis, misalnya  dalam  bentuk  perolehan  angka kredit  yang  dijadikan  indikator  kinerja sebagai  bahan  pertimbangan  dalam promosi jabatan fungsional. 

Faktor  pendorong  para  pengembang teknologi  untuk  mempublikasikan  hasil risetnya  ataupun  mendaftarkan  paten, lebih  termotivasi  oleh  perolehan  angka kredit  yang  terkait  dengan  publikasi  atau paten  tersebut,  sangat  jarang  yang didorong oleh keinginan agar hasil risetnya diketahui oleh komunitas akademik dalam bidang  ilmu  yang  sama  dan/atau  para (calon)  pengguna  potensialnya.  Kecenderungan  alasan  tersebut  tercermin dari pilihan media cetak dimana hasil riset dipublikasikan, yang umumnya merupakan jurnal  ilmiah  dengan  sistem  seleksi  yang longgar  dan  distribusi  terbatas.    Publikasi peneliti dan  akademisi  Indonesia di  jurnal internasional  yang  selektif  (peer‐reviewed atau refereedscientific journal) sampai saat ini  masih  sangat  terbatas,  jauih  lebih sedikit  dibandingan  peneliti  di  Singapura, Malaysia, dan Thailand. 

Peneliti dan akademisi  Indonesia  terkesan tidak  ‘terganggu’  dengan  rendahnya jumlah publikasi tersebut.  Reputasi kurang positif  secara akademik  ini,  ternyata  tidak juga dikompensasi dengan unjuk kinerja di sisi  yang  lain, misalnya  hasil  riset  berupa teknologi  yang memberikan  kemanfaatan langsung  bagi  masyarakat.    Sejauh  ini orientasi kerja para pengembang teknologi Indonesia  terkesan masih  senjang dengan realita  kebutuhan  masyarakat,  industri, maupun  pemerintah  sebagai  tiga kelompok  utama  pengguna  teknologi, sehingga  sangat  sedikit  hasil  riset  dan teknologi  yang  telah  berhasil dikembangkan,  kemudian  diadopsi 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

19  

pengguna.    Sebagai  akibatnya  kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih belum kentara. 

Lembaga bisnis dan industri pada dasarnya tentu  berorientasi  pada  keuntungan ekonomi.    Namun  demikian,  dalam konteks mewujudkan sistem  inovasi, maka karakteristik yang  ingin ditonjolkan adalah terkait dengan  jenis usaha dan kebutuhan teknologinya,  perspektif  komunitas  ini terhadap  kelayakan  teknologi  nasional untuk  digunakan  dalam  kegiatan  usaha, dan  kapasitas  adopsi  teknologi  dari lembaga bisnis dan industri tersebut. 

Jenis  industri  yang  paling  membutuhkan teknologi  umumnya  adalah  kelompok industri  manufaktur,  terutama  untuk produk‐produk  yang  sangat  kompetitif persaingannya  di  pasar  global,  misalnya produk  barang  dan  jasa  di  bidang komunikasi  dan  informasi.    Industri  dan bisnis di Indonesia lebih dominan di sektor perdagangan  dan  eksploitasi  sumberdaya alam  sehingga  kebutuhan  teknologinya relatif  rendah.    Untuk  pemenuhan teknologi  tersebut,  para  pelaku  dunia usaha  dan  industri  umumnya  lebih memilih  teknologi  yang  telah  dikenal handal yang umumnya berasal dari negara asing.    Dalam  dunia  bisnis,  pertimbangan finansial  hampir  selalu  sangat  dominan, sedangkan  sikap  nasionalisme  dalam konteks  pemilihan  teknologi  yang  akan digunakan  hampir  selalu  bukan  menjadi dasar pertimbangan utama. 

Para  birokrat  di  pemerintahan  sangat diharapkan  dapat  menjadi  fasilitator dan/atau  intermediator  dalam membangun  sistem  inovasi,  serta  juga dapat  membuat  kebijakan  dan  regulasi yang  dibutuhkan  dalam  menciptakan ekosistem  yang  kondusif  untuk  tumbuh‐

kembang  sistem  inovasi,  baik  secara nasional  maupun  daerah.    Namun  pada saat  ini,  budaya  kerja  birokrasi  sering dianggap  kurang  mendorong  percepatan adopsi  teknologi  nasional  untuk  menjadi motor  penggerak  pembangunan  berbagai sektor,  termasuk  kelambanan  dalam proses  pelayanan  dan  kualitas  pelayanan yang kurang memuaskan. 

Ketersediaan  fasilitas  komunikasi  dan informasi  yang  semakin  membaik  di pemerintahan,  tidak  serta  merta meningkatkan  kualitas  layanan  publik.  Upaya  mengurangi  interaksi  langsung antara  birokrat  sebagai  pelayan  publik dengan masyarakat pengguna jasa layanan pemerintah  melalui  aplikasi  teknologi informasi  dan  komunikasi  ternyata  belum efektif,  sehingga  penyalahgunaan wewenang masih kerap terjadi yang dapat berdampak  pada mahalnya  biaya  layanan publik yang harus ditanggung masyarakat.  

  3.5. Etika Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.   

Isu etika semakin menarik perhatian dalam pembangunan  ilmu  pengetahuan  dan teknologi.    Sebagai  contoh,  UNESCO membentuk komisi khusus yang menelaah unsur  etika  dalam  pembangunan  iptek, yakni World  Commission  on  the  Ethics  of Scientific  Knowledge  and  Technology (COMEST).    Persoalan  etika  banyak mendapat  perhatian  baik  dalam pembangunan  iptek  secara  umum; maupun  secara  spesifik,  terutama  terkait pembangunan  iptek  di  bidang bioteknologi,  antisipasi  perubahan  iklim, dan nanoteknologi. 

Tugas  COMEST  adalah  (1)  Memberikan masukan  untuk  program UNESCO    terkait dengan  etika  ilmu  pengetahuan  dan 

Page 26: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

20 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

20  

teknologi;  (2)  Sebagai  forum  intelektual untuk pertukaran  ide dan pengalaman; (3) Mendeteksi sedini mungkin perkembangan situasi  yang    dapat  membahayakan;  (4) Melaksanakan  peran  penasehat  bagi pembuat  kebijakan;  dan  (5)  Mendorong dialog  antara  komunitas  akademik, pembuat  kebijakan,  dan  masyarakat umum. 

Alvares‐Laso (2011)1 mengingatkan bahwa pembangunan  iptek  berpotensi  untuk mendorong  transformasi  masyarakat, meningkatkan  kualitas  hidup,  dan menyejahterakan  umat  manusia  melalui berbagai cara, jika kemajuan iptek tersebut berada  dalam  kerangka  etika;  sebaliknya pembangunan  iptek  juga  dapat mengancam  stabilitas  masyarakat, memperburuk  kondisi  kehidupan,  dan menhancurkan  kehidupan  umat, misalnya polusi,  perubahan  iklim,  kesenjangan teknologi,  penggunaan  bahan  beracun, dan  tentu  saja  kerusakan  akibat  mesin perang.  Oleh sebab itu, tantangan saat ini adalah  menjadikan  etika  iptek  sebagai prioritas strategi.  

Sebagai contoh, persoalan perubahan iklim tak mungkin bisa diatasi dengan tepat dan memadai  jika  dimensi  etika  tidak diperhatikan,  tidak  dipahami,  dan  tidak disertakan  dalam  keputusan  untuk menyikapinya.  Lebih jauh,  tantangan saat ini  adalah  bukan  hanya  sekedar menjadikan  isu  perubahan  iklim  sebagai isu etika,  tetapi bagaimana memposisikan etika sebagai inti dan unsur esensial  dalam setiap kebijakan tentang perubahan iklim. 

                                                            1  Alvares‐Laso, P.  2011.  Welcome Address at 

the  Seventh Ordinary  Session  of  COMEST.  Doha, 9‐12 October 2011 

Walaupun disadari pula bahwa  tidak akan ada  ‘exhaustively accurate examination of possible outcomes’ dan tidak akan ada juga formula kebijakan yang dapat menetapkan pilihan yang ‘incontestable’.  Pertimbangan etika sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan  yang  ‘prudent,  knowledge‐driven, and  reflexive’.   Upaya menyisipkan etika  dalam  kebijakan  praktis  dapat  dilakukan  antara  lain  melalui  pendidikan dan kegiatan peningkatan awareness. 

Pompidou  (2011)2  mengingatkan  bahwa tekanan  (komersial,  kompetitif, kelembagaan,  keamanan)  dan  bias sistemik  dapat  menghasilkan  ilmu pengetahuan  yang  tak‐etis;  serta  dapat menjauhkan  visi  ilmu  pengetahuan  dari sifat netralitasnya (tak‐berpihak), kekuatan integritasnya,  dan  orientasinya  untuk menyejahterakan  umat  manusia  secara keseluruhan. 

Beberapa kecenderungan yang terjadi saat ini  dapat  menggerus  etika  keilmuan.  Intergritas  dan  netralitas merupakan  citra kelembagaan  ilmiah,  nilai  luhur  ini  akan berkemungkinan  luntur  jika  perubahan kelembagaan  tidak  diimbangi  dengan upaya menjunjung  tinggi  etika;  dorongan komersialisasi akan menghambat distribusi kemanfaatan  ilmu  dan  mendorong ilmuwan  untuk  berprilaku  non‐etis;  dan meningkatnya  kemungkinan  kesengajaan melakukan riset untuk tujuan destruktif. 

Isu pokok yang perlu mendapat perhatian serius  saat  ini  adalah  memperjuangkan agar    pengembangan  iptek  tidak mengabaikan  pertimbangan  etika 

                                                            2  Introductory statement at General 

Discussion of Work Plan and Objective at the Seventh Ordinary Session of COMEST.  Doha, 9‐12 October 2011 

Page 27: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 21

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

20  

teknologi;  (2)  Sebagai  forum  intelektual untuk pertukaran  ide dan pengalaman; (3) Mendeteksi sedini mungkin perkembangan situasi  yang    dapat  membahayakan;  (4) Melaksanakan  peran  penasehat  bagi pembuat  kebijakan;  dan  (5)  Mendorong dialog  antara  komunitas  akademik, pembuat  kebijakan,  dan  masyarakat umum. 

Alvares‐Laso (2011)1 mengingatkan bahwa pembangunan  iptek  berpotensi  untuk mendorong  transformasi  masyarakat, meningkatkan  kualitas  hidup,  dan menyejahterakan  umat  manusia  melalui berbagai cara, jika kemajuan iptek tersebut berada  dalam  kerangka  etika;  sebaliknya pembangunan  iptek  juga  dapat mengancam  stabilitas  masyarakat, memperburuk  kondisi  kehidupan,  dan menhancurkan  kehidupan  umat, misalnya polusi,  perubahan  iklim,  kesenjangan teknologi,  penggunaan  bahan  beracun, dan  tentu  saja  kerusakan  akibat  mesin perang.  Oleh sebab itu, tantangan saat ini adalah  menjadikan  etika  iptek  sebagai prioritas strategi.  

Sebagai contoh, persoalan perubahan iklim tak mungkin bisa diatasi dengan tepat dan memadai  jika  dimensi  etika  tidak diperhatikan,  tidak  dipahami,  dan  tidak disertakan  dalam  keputusan  untuk menyikapinya.  Lebih jauh,  tantangan saat ini  adalah  bukan  hanya  sekedar menjadikan  isu  perubahan  iklim  sebagai isu etika,  tetapi bagaimana memposisikan etika sebagai inti dan unsur esensial  dalam setiap kebijakan tentang perubahan iklim. 

                                                            1  Alvares‐Laso, P.  2011.  Welcome Address at 

the  Seventh Ordinary  Session  of  COMEST.  Doha, 9‐12 October 2011 

Walaupun disadari pula bahwa  tidak akan ada  ‘exhaustively accurate examination of possible outcomes’ dan tidak akan ada juga formula kebijakan yang dapat menetapkan pilihan yang ‘incontestable’.  Pertimbangan etika sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan  yang  ‘prudent,  knowledge‐driven, and  reflexive’.   Upaya menyisipkan etika  dalam  kebijakan  praktis  dapat  dilakukan  antara  lain  melalui  pendidikan dan kegiatan peningkatan awareness. 

Pompidou  (2011)2  mengingatkan  bahwa tekanan  (komersial,  kompetitif, kelembagaan,  keamanan)  dan  bias sistemik  dapat  menghasilkan  ilmu pengetahuan  yang  tak‐etis;  serta  dapat menjauhkan  visi  ilmu  pengetahuan  dari sifat netralitasnya (tak‐berpihak), kekuatan integritasnya,  dan  orientasinya  untuk menyejahterakan  umat  manusia  secara keseluruhan. 

Beberapa kecenderungan yang terjadi saat ini  dapat  menggerus  etika  keilmuan.  Intergritas  dan  netralitas merupakan  citra kelembagaan  ilmiah,  nilai  luhur  ini  akan berkemungkinan  luntur  jika  perubahan kelembagaan  tidak  diimbangi  dengan upaya menjunjung  tinggi  etika;  dorongan komersialisasi akan menghambat distribusi kemanfaatan  ilmu  dan  mendorong ilmuwan  untuk  berprilaku  non‐etis;  dan meningkatnya  kemungkinan  kesengajaan melakukan riset untuk tujuan destruktif. 

Isu pokok yang perlu mendapat perhatian serius  saat  ini  adalah  memperjuangkan agar    pengembangan  iptek  tidak mengabaikan  pertimbangan  etika 

                                                            2  Introductory statement at General 

Discussion of Work Plan and Objective at the Seventh Ordinary Session of COMEST.  Doha, 9‐12 October 2011 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

21  

keilmuan,  yakni  perlu  dikawal  agar memberikan  dampak  positif  yang maksimal  bagi  umat  manusia  dengan tanpa  diskriminasi,  serta  menjaga  agar  tidak  berdampak  negatif  bagi  umat manusia. 

 

4.  Dimensi Regulasi dan Kebijakan 

Aspek  yang  paling  fundamental  tetapi sering dilupakan dalam pembangunan ilmu pengetahuan  dan  teknologi  adalah amanah  Undang‐Undang  Dasar  1945, dimana pada Pasal 31 ayat  (5) dinyatakan bahwa:  “Pemerintah  memajukan  ilmu pengetahuan  dan  teknologi  dengan menjunjung  tinggi  nilai‐nilai  agama  dan persatuan  bangsa  untuk  memajukan peradaban  serta  kesejahteraan  umat manusia”. 

Amanah  konstitusi  ini  tegas  menyatakan bahwa  pembangunan  iptek  wajib:  (1) menjunjung  tinggi  nilai‐nilai  agama sehingga  tidak  boleh  ada  teknologi  yang dikembangkan  yang bertentangan dengan keyakinan  dan  ajaran  agama;  (2) memelihara dan memperkokoh persatuan bangsa,  serta  memelihara  keutuhan Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia (NKRI);  serta  ditujukan  untuk  (3) memajukan  peradaban  bangsa,  sehingga dapat  dihormati  dan  dihargai  dalam pergaulan  global;  dan  (4)  meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara umum dan rakyat Indonesia pada khususnya. 

Dua butir amanah yang pertama  (1 dan 2) merupakan  ‘warning’  agar  pembangunan iptek tetap berada dalam koridor dan tidak bertentangan  dengan  ajaran  agama  yang diakui di  Indonesia dan harus pula  selaras dengan  upaya  untuk  memperkokoh persatuan  bangsa  dan  keutuhan  NKRI; 

sedangkan dua butir amanah yang terakhir (3  dan  4)  merupakan  petunjuk  arah  dan tujuan  dari  pembangunan  iptek,  yakni untuk memajukan  peradaban  bangsa  dan menyejahterakan rakyat Indonesia. 

Perjalanan sejarah banyak bangsa di dunia ini  menunjukkan  bahwa  peningkatan kesejahteraan  dan  kemajuan  peradaban umumnya  berinteraksi  secara  positif.  Masyarakat  yang  sejahtera  cenderung mampu  mendorong  kemajuan peradabannya;  sebaliknya  masyarakat yang miskin  cenderung  tidak  berkembang peradabannya.    Oleh  sebab  itu,  untuk mencapai  dua  tujuan  yang  diamanahkan Undang‐Undang  Dasar  1945,  maka pembangunan  iptek  perlu  diarahkan  agar dapat  secara  langsung  maupun  tidak langsung  berkontribusi  nyata  terhadap pembangunan ekonomi. 

Kondisi  saat  ini  mengindikasikan  bahwa kegiatan  riset  dan  pengembangan  di Indonesia,  baik  di  perguruan  tinggi maupun  di  lembaga  litbang  pemerintah, belum  secara  signifikan  berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional maupun daerah.  Kegiatan riset di lembaga litbang  industri  telah  berorientasi  pada kepentingan  ekonomi,  namun  demikian tetap  masih  terbatas  kontribusinya terhadap  perekonomian  nasional,  karena kebanyakan  industri  di  Indonesia menggunakan teknologi asing, baik karena industri  tersebut  merupakan  anak perusahaan  asing  atau  multinational company  (MNC)  yang  melakukan pengembangan  teknologinya  di  luar Indonesia  maupun  karena  industri  di Indonesia  belum  tumbuhnya kepercayaannya  terhadap  kehandalan teknologi  dalam  negeri  atau  karena teknologi  dalam  negeri  secara  ekonomi 

Page 28: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

22 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

22  

kurang  kompetitif  dibandingkan  dengan teknologi  serupa  yang  tersedia  di  pasar global. 

 

4.1.  Keberpihakan  pada  Teknologi Nasional.   

Secara  faktual, memang  sudah  terbit  dan diberlakukan  beberapa  peraturan perundang‐undangan yang ditujukan untuk mendorong  pengembangan  dan/atau sebagai  bentuk  keberpihakan  pemerintah terhadap  teknologi  nasional,  termasuk memberikan  insentif keringanan pajak bagi badan  usaha  yang memberikan  dukungan finansial  untuk  kegiatan  penelitian  dan pengembangan teknologi, pembebasan bea masuk  dan  cukai  untuk  impor  barang/alat yang  akan  digunakan  dalam  kegiatan penelitian  dan  pengembangan,  serta dorongan  untuk  memaksimalkan penggunaan  produksi  dalam  negeri  dalam rangka  peningkatan  aplikasi  teknologi nasional pada industri dalam negeri 

Namun  demikian,  upaya  mendorong pengembangan  iptek  dan  pemanfaatan produksi  dalam  negeri  ini  ternyata  belum optimal,  karena  umumnya  badan  usaha belum  termotivasi  untuk  memanfaatkan regulasi  tersebut.    Insentif  yang  diberikan pemerintah tersebut terkesan belum cukup atraktif dari perpektif ekonomi. 

Upaya  pemerintah  mendorong  kegiatan riset  dan  pengembangan  untuk menghasilkan  teknologi  nasional  dalam rangka  mewujudkan  kemandirian  bangsa telah  dilakukan,  antara  lain  dengan memberikan insentif bagi dunia usaha yang mengalokasikan  sebagian  dananya  untuk kegiatan  riset  dan  pengembangan.    Ada dua  peraturan  pemerintah  yang  telah diterbitkan sebagai insentif bagi para pihak 

yang  memberikan  dukungan  pembiayaan kegiatan  riset,  yakni:  (1)  Peraturan Pemerintah  Republik  Indonesia  Nomor  35 Tahun  2007  (PP35/2007)  tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha  untuk  Peningkatan  Kemampuan Perekayasaan,  Inovasi,  dan  Difusi Teknologi;  dan  (2)  Peraturan  Pemerintah Republik  IndonesiaNomor  93  Tahun  2010 (PP93/2010)tentangSumbangan Penanggulangan  Bencana  Nasional, SumbanganPenelitian  dan  Pengembangan, Sumbangan  Fasilitas Pendidikan,Sumbangan  Pembinaan Olahraga,  dan  Biaya PembangunanInfrastruktur  Sosial  yang Dapat Dikurangkandari Penghasilan Bruto. 

Pasal 6 PP35/2007 mengatur bahwa Badan Usaha  yang  mengalokasikan  sebagian pendapatan  untuk  peningkatan kemampuan  perekayasaan,  inovasi,  dan difusi  teknologi  dapat  diberikan  insentif (ayat 1), dalam bentuk  insentif perpajakan, kepabeanan,  dan/atau  bantuan  teknis penelitian  dan  pengembangan  (ayat  2).  Namun  demikian,  PP35/2007  ini  belum dapat  diimplementasikan  karena  terganjal pada  aturan  dalam  peraturan  pemerintah ini sendiri, yang menyatakan bahwa “besar dan  jenis  insentif  perpajakan  dan kepabeanan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (2)  dapat  diberikan  sepanjang  diatur dalam  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan  di  bidang  perpajakan  dan kepabeanan”  (ayat  3).    Pengaturan sebagaimana  dimaksud,  karena  bersifat teknis  (tentang  besar  dan  jenis  insentif) maka  diharapkan  dapat  ditetapkan  dalam bentuk  Peraturan  Menteri  Keuangan (PMK).    Namun  sampai  sekarang  PMK dimaksud belum terbit.  Persoalan ini telah diidentifikasi  sebagai  salah  satu  kendala yang  perlu  debottlenecking  oleh  Komite 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

23  

Percepatan  dan  Perluasan  Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). 

PP93/2010  mengatur  antara  lain  bahwa sumbangan  dalam  rangka  penelitian  dan pengembangan  yang  dilakukan  oleh lembaga  penelitiandan  pengembangan  di wilayah  RepublikIndonesia  dapat dikurangkan  sampaijumlah  tertentu  dari penghasilan  bruto  dalam rangkapenghitungan  penghasilan  kena pajak  bagi  wajib  pajak  (Pasal  1  butir  b).  Besarnya  nilai  sumbangan  yang  dapat dikurangkan  dari  penghasilan  bruto sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5%  (lima  persen)  dari  penghasilan  neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya (Pasal 3).   

Pelaksanaan teknis dari PP93/2010 ini telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor  76/Pmk.03/2011  tentangTata  Cara Pencatatan  dan  Pelaporan  Sumbangan Penanggulangan  Bencana  Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan  Fasilitas  Pendidikan, Sumbangan  Pembinaan  Olahraga,  dan Biaya  Pembangunan  Infrastruktur  Sosial yang  Dapat  Dikurangkan  dari  Penghasilan Bruto.    Namun  demikian,  karena  PMK  ini masih baru diberlakukan (sejak Tahun Pajak 2010), maka  pemberian  insentif  ini masih perlu  waktu  untuk  mengetahui  apakah akan cukup menarik bagi dunia usaha. 

Bentuk insentif lainnya adalah pembebasan bea  masuk  dan  cukai  atas  impor  barang untuk  keperluan  penelitian  dan pengembangan  ilmu  pengetahuan  (Pasal 25  ayat  (1)  butir  g  Undang‐Undang Republik  Indonesia Nomor 10  Tahun  1995 tentang  Kepabeanan  (UU  10/1995).  UU10/1995  ini  telah  diubah  dengan  UU 17/2006,  namun  substansi  terkait pembebasan  bea  masuk  dan  cukai  untuk 

barang  keperluan  penelitan  dan pengembangan  tidak  mengalami perubahan.    Selanjutnya,  ketentuan tentang pembebasan bea masuk dan cukai ini  (sebagaimana  diamanahkan  pada  Pasal 25 ayat (3)) telah diatur lebih lanjut melalui Keputusan  Menteri  Keuangan  Republik Indonesia  Nomor  :  143/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Cukai atas  Impor  Barang  untuk  Keperluan Penelitian  dan  Pengembangan  Ilmu Pengetahuan (KMK 143/1997). 

KMK  143/1997 mempertegas  bahwa  yang dimaksud  dengan  barang  untuk  keperluan penelitian  dan  pengembangan  ilmu pengetahuan  adalah  barang  yang  benar‐benar  digunakan  untuk  memajukan  ilmu pengetahuan  termasuk  untuk penyelenggaraan penelitian dengan  tujuan untuk  mempertinggi  tingkat  ilmu pengetahuan  yang  ada  (Pasal  1).  Perguruan tinggi,  lembaga dan badan yang dapat  diberikan  pembebasan  bea  masuk dan  cukai  ditetapkan  oleh  Menteri Keuangan (Pasal 3). 

Daftar lembaga dan badan yang ditetapkan berhak  untuk  mengajukan  pembebasan bea  masuk  dan  cukai  telah  diperbarui dengan  Keputusan  Menteri  Keuangan Republik  Indonesia  Nomor 373/KMK.04/2004  tentang Perubahan atas Keputusan  Menteri  Keuangan  Nomor 143/KMK.05/1997  tentang  Pembebasan Bea  Masuk  dan  Cukai  atas  Barang  untuk Keperluan  Penelitian  dan  Pengembangan Ilmu Pengetahuan (KMK 373/2004).  Semua Lembaga  Pemerintah  Non‐Kementerian (LPNK)  yang  menyelenggarakan  kegiatan penelitian  dan  pengembangan  di  bawah koordinasi  Kementerian  Riset  dan Teknologi serta unit kerja struktural terkait 

Page 29: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 23

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

22  

kurang  kompetitif  dibandingkan  dengan teknologi  serupa  yang  tersedia  di  pasar global. 

 

4.1.  Keberpihakan  pada  Teknologi Nasional.   

Secara  faktual, memang  sudah  terbit  dan diberlakukan  beberapa  peraturan perundang‐undangan yang ditujukan untuk mendorong  pengembangan  dan/atau sebagai  bentuk  keberpihakan  pemerintah terhadap  teknologi  nasional,  termasuk memberikan  insentif keringanan pajak bagi badan  usaha  yang memberikan  dukungan finansial  untuk  kegiatan  penelitian  dan pengembangan teknologi, pembebasan bea masuk  dan  cukai  untuk  impor  barang/alat yang  akan  digunakan  dalam  kegiatan penelitian  dan  pengembangan,  serta dorongan  untuk  memaksimalkan penggunaan  produksi  dalam  negeri  dalam rangka  peningkatan  aplikasi  teknologi nasional pada industri dalam negeri 

Namun  demikian,  upaya  mendorong pengembangan  iptek  dan  pemanfaatan produksi  dalam  negeri  ini  ternyata  belum optimal,  karena  umumnya  badan  usaha belum  termotivasi  untuk  memanfaatkan regulasi  tersebut.    Insentif  yang  diberikan pemerintah tersebut terkesan belum cukup atraktif dari perpektif ekonomi. 

Upaya  pemerintah  mendorong  kegiatan riset  dan  pengembangan  untuk menghasilkan  teknologi  nasional  dalam rangka  mewujudkan  kemandirian  bangsa telah  dilakukan,  antara  lain  dengan memberikan insentif bagi dunia usaha yang mengalokasikan  sebagian  dananya  untuk kegiatan  riset  dan  pengembangan.    Ada dua  peraturan  pemerintah  yang  telah diterbitkan sebagai insentif bagi para pihak 

yang  memberikan  dukungan  pembiayaan kegiatan  riset,  yakni:  (1)  Peraturan Pemerintah  Republik  Indonesia  Nomor  35 Tahun  2007  (PP35/2007)  tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha  untuk  Peningkatan  Kemampuan Perekayasaan,  Inovasi,  dan  Difusi Teknologi;  dan  (2)  Peraturan  Pemerintah Republik  IndonesiaNomor  93  Tahun  2010 (PP93/2010)tentangSumbangan Penanggulangan  Bencana  Nasional, SumbanganPenelitian  dan  Pengembangan, Sumbangan  Fasilitas Pendidikan,Sumbangan  Pembinaan Olahraga,  dan  Biaya PembangunanInfrastruktur  Sosial  yang Dapat Dikurangkandari Penghasilan Bruto. 

Pasal 6 PP35/2007 mengatur bahwa Badan Usaha  yang  mengalokasikan  sebagian pendapatan  untuk  peningkatan kemampuan  perekayasaan,  inovasi,  dan difusi  teknologi  dapat  diberikan  insentif (ayat 1), dalam bentuk  insentif perpajakan, kepabeanan,  dan/atau  bantuan  teknis penelitian  dan  pengembangan  (ayat  2).  Namun  demikian,  PP35/2007  ini  belum dapat  diimplementasikan  karena  terganjal pada  aturan  dalam  peraturan  pemerintah ini sendiri, yang menyatakan bahwa “besar dan  jenis  insentif  perpajakan  dan kepabeanan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (2)  dapat  diberikan  sepanjang  diatur dalam  ketentuan  Peraturan  Perundang‐undangan  di  bidang  perpajakan  dan kepabeanan”  (ayat  3).    Pengaturan sebagaimana  dimaksud,  karena  bersifat teknis  (tentang  besar  dan  jenis  insentif) maka  diharapkan  dapat  ditetapkan  dalam bentuk  Peraturan  Menteri  Keuangan (PMK).    Namun  sampai  sekarang  PMK dimaksud belum terbit.  Persoalan ini telah diidentifikasi  sebagai  salah  satu  kendala yang  perlu  debottlenecking  oleh  Komite 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

23  

Percepatan  dan  Perluasan  Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). 

PP93/2010  mengatur  antara  lain  bahwa sumbangan  dalam  rangka  penelitian  dan pengembangan  yang  dilakukan  oleh lembaga  penelitiandan  pengembangan  di wilayah  RepublikIndonesia  dapat dikurangkan  sampaijumlah  tertentu  dari penghasilan  bruto  dalam rangkapenghitungan  penghasilan  kena pajak  bagi  wajib  pajak  (Pasal  1  butir  b).  Besarnya  nilai  sumbangan  yang  dapat dikurangkan  dari  penghasilan  bruto sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5%  (lima  persen)  dari  penghasilan  neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya (Pasal 3).   

Pelaksanaan teknis dari PP93/2010 ini telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor  76/Pmk.03/2011  tentangTata  Cara Pencatatan  dan  Pelaporan  Sumbangan Penanggulangan  Bencana  Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan  Fasilitas  Pendidikan, Sumbangan  Pembinaan  Olahraga,  dan Biaya  Pembangunan  Infrastruktur  Sosial yang  Dapat  Dikurangkan  dari  Penghasilan Bruto.    Namun  demikian,  karena  PMK  ini masih baru diberlakukan (sejak Tahun Pajak 2010), maka  pemberian  insentif  ini masih perlu  waktu  untuk  mengetahui  apakah akan cukup menarik bagi dunia usaha. 

Bentuk insentif lainnya adalah pembebasan bea  masuk  dan  cukai  atas  impor  barang untuk  keperluan  penelitian  dan pengembangan  ilmu  pengetahuan  (Pasal 25  ayat  (1)  butir  g  Undang‐Undang Republik  Indonesia Nomor 10  Tahun  1995 tentang  Kepabeanan  (UU  10/1995).  UU10/1995  ini  telah  diubah  dengan  UU 17/2006,  namun  substansi  terkait pembebasan  bea  masuk  dan  cukai  untuk 

barang  keperluan  penelitan  dan pengembangan  tidak  mengalami perubahan.    Selanjutnya,  ketentuan tentang pembebasan bea masuk dan cukai ini  (sebagaimana  diamanahkan  pada  Pasal 25 ayat (3)) telah diatur lebih lanjut melalui Keputusan  Menteri  Keuangan  Republik Indonesia  Nomor  :  143/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Cukai atas  Impor  Barang  untuk  Keperluan Penelitian  dan  Pengembangan  Ilmu Pengetahuan (KMK 143/1997). 

KMK  143/1997 mempertegas  bahwa  yang dimaksud  dengan  barang  untuk  keperluan penelitian  dan  pengembangan  ilmu pengetahuan  adalah  barang  yang  benar‐benar  digunakan  untuk  memajukan  ilmu pengetahuan  termasuk  untuk penyelenggaraan penelitian dengan  tujuan untuk  mempertinggi  tingkat  ilmu pengetahuan  yang  ada  (Pasal  1).  Perguruan tinggi,  lembaga dan badan yang dapat  diberikan  pembebasan  bea  masuk dan  cukai  ditetapkan  oleh  Menteri Keuangan (Pasal 3). 

Daftar lembaga dan badan yang ditetapkan berhak  untuk  mengajukan  pembebasan bea  masuk  dan  cukai  telah  diperbarui dengan  Keputusan  Menteri  Keuangan Republik  Indonesia  Nomor 373/KMK.04/2004  tentang Perubahan atas Keputusan  Menteri  Keuangan  Nomor 143/KMK.05/1997  tentang  Pembebasan Bea  Masuk  dan  Cukai  atas  Barang  untuk Keperluan  Penelitian  dan  Pengembangan Ilmu Pengetahuan (KMK 373/2004).  Semua Lembaga  Pemerintah  Non‐Kementerian (LPNK)  yang  menyelenggarakan  kegiatan penelitian  dan  pengembangan  di  bawah koordinasi  Kementerian  Riset  dan Teknologi serta unit kerja struktural terkait 

Page 30: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

24 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

24  

litbang  di  kementerian  teknis  telah masuk dalam daftar lampiran KMK 373/2004. 

Usaha dan keberpihakan pemerintah untuk mendorong  penggunaan  teknologi  atau produk  teknologi  dalam  negeri  telah dilakukan,  misalnya  sebagaimana  yang tercantum  dalam  Peraturan  Menteri Perindustrian  Republik  Indonesia  Nomor  : 11/M‐Ind/Per/3/2006  tentang  Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri.  Pasal 2 ayat  (1) Permen  ini mengatur agar “Setiap  pengadaan  barang/jasa  oleh Departemen,  Lembaga  Non  Departemen, Pemerintah  Daerah  Provinsi, Kabupaten/Kota,  Badan  Hukum  Milik Negara  (BHMN),  Kontraktor  Kontrak  Kerja Sama  (KKKS),  Badan  Usaha  Milik  Negara (BUMN),  Badan  Usaha  Milik  Daerah (BUMD)  dan  anak  perusahaannya  yang dibiayai  dengan  dana  dalam  negeri  atau dilakukan  dengan  pola  kerjasama  antara pemerintah  dengan  badan  usaha,  wajib memaksimalkan  penggunaan  produksi dalam negeri”.   

Selanjutnya  pada  ayat  (2)  Pasal  2 diterangkan  bahwa  “Kewajiban memaksimalkan  penggunaan  produksi dalam negeri  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  menjadi  wajib  menggunakan produksi  dalam  negeri  apabila  didalam negeri  sudah  terdapat  perusahaan  yang memiliki  barang/jasa  dengan  penjumlahan TKDN  dan  Nilai  BMP  mencapai  minimal 40%  (empat  puluh  persen)”.    Tingkat Komponen  Dalam  Negeri  (TKDN)  adalah besarnya  komponen  dalam  negeri  pada barang, jasa dan gabungan barang dan jasa; sedangkan  manfaat  perusahaan  terhadap perekonomian  nasional  yang  dinyatakan dengan  Nilai  Bobot  Manfaat  Perusahaan (Nilai  BMP)  adalah  nilai  penghargaan kepada  perusahaan  karena  berinvestasi  di 

Indonesia,  memberdayakan  Usaha  Kecil termasuk Koperasi Kecil melalui kemitraan, memelihara  kesehatan,  keselamatan  kerja dan  lingkungan  (OHSAS 18000/ISO 14000), memberdayakan  lingkungan  (community development),  serta  memberikan  fasilitas pelayanan purna jual.  

Kebijakan  pemerintah  yang  bersifat  ‘pro‐teknologi  nasional’  ini  akan  efektif  jika lembaga  pengembang  teknologi  di  dalam negeri  (perguruan  tinggi  dan  lembaga litbang  pemerintah)  memperbaiki kemampuan  penguasaan  teknologi  yang relevan  dan  meningkatkan  sensitivitasnya terhadap  realita  persoalan  dan  kebutuhan industri  dalam  negeri.    Oleh  sebab  itu, maka pengembangan  teknologi perlu  lebih berorientasi  pada  realita  kebutuhan (demand‐driven).    Jika  pra‐syarat  ini  tidak dipenuhi, maka kebijakan  yang  sudah pro‐teknologi dalam negeri  tersebut akan  sulit diimplementasikan secara memuaskan. 

Walaupun  sudah  ada  beberapa  produk regulasi yang  ‘favorable’ untuk mendorong pengembangan  teknologi  nasional,  namun pada kenyataannya belum terlihat dampak signifikan  dari  berbagai  regulasi  tersebut.  Gairah  dan  motivasi  para  aktor  inovasi dalam negeri untuk meningkatkan investasi dan  intensitas  kegiatan  litbang  belum secara kentara terdeteksi. 

 

4.2. Kebijakan untuk Meningkatkan Peran Teknologi Nasional.   

Pemahaman  tentang  pentingnya  peran teknologi  dalam  memajukan perekonomian  dirasakan  sudah meluas  di kalangan  para  pembuat  kebijakan  publik.  Semangat  untuk  mendorong  peran teknologi  untuk  berkontribusi  terhadap pembangunan ekonomi juga sudah tampak 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

25  

dalam  beberapa  kebijakan  nasional, misalnya  dalam  Peraturan  Presiden  RI Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan  dan  Perluasan  Pembangunan Ekonomi  Indonesia  (MP3EI)  2011‐2015.  Salah  satu  strategi  utama  MP3EI  adalah penguatan  kemampuan  SDM  dan  Iptek Nasional,  selain  pengembangan  potensi ekonomi  melalui  koridor  ekonomi  dan penguatan konektivitas nasional. 

MP3EI  merupakan  arahan  strategis pembangunan  ekonomi  untuk  periode 2011  sampai  2025  dalam  rangka pelaksanaan  Rencana  Pembangunan Jangka  Panjang  Nasional  (RPJPN)  2005  – 2025  dan  melengkapi  dokumen perencanaan  (Pasal  1  ayat  2  Perpres 32/2011).    Selanjutnya  pada  Pasal  2 disebutkan  bahwa  MP3EI  berfungsi sebagai:  (a)  acuan  bagi  menteri  dan pimpinan  lembaga  pemerintah  non‐kementerian  (LPNK)  untuk  menetapkan kebijakan  sektoral  dalam  rangka pelaksanaan  percepatan  dan  perluasan pembangunan  ekonomi  Indonesia  di bidang  tugas  masing‐masing,  yang dituangkan  dalam  dokumen  rencana strategis  masing‐masing kementerian/lembaga  pemerintah nonkementerian  sebagai  bagian  dari dokumen perencanaan pembangunan; dan (b)  acuan  untuk  penyusunan  kebijakan percepatan  dan  perluasan  pembangunan ekonomi  Indonesia  pada  tingkat  provinsi dan  kabupaten/kota  terkait.      Selanjutnya juga diharapkan menjadi acuan bagi badan usaha  dalam  menanamkan  modal  di Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan peraturan perundang‐undangan (Pasal 3). 

Untuk koordinasi pelaksanaan MP3EI telah dibentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan  Ekonomi  Indonesia  (KP3EI) 

2011‐2025  (Pasal  4  ayat 1)  yang dipimpin langsung  oleh  Presiden  (Pasal  5  ayat  1), serta untuk membantu pelaksanaan  tugas KP3EI  telah pula dibentuk Tim Kerja.   Tim Kerja bidang  SDM dan  Iptek diketuai oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional. 

Arahan  strategis  Presiden  yang  dikemas dalam  bentuk  MP3EI  ini  perlu diterjemahkan  oleh  masing‐masing kementerian  dan  LPNK  menjadi  rencana kerja  yang  lebih  teknis  dan  operasional dalam  lingkup  tugas  pokok  dan  fungsinya masing‐masing.    Dalam  konteks  ini, Kementerian  Riset  dan  Teknologi  telah sejak awal menetapkan program utamanya untuk  melakukan  penguatan  Sistem Inovasi  Nasional  (SINas),  dengan mendorong agar pengembangan teknologi lebih  berorientasi  pada  realita  kebutuhan (demand‐driven)  dan  persoalan  teknologi yang  dihadapi  oleh  para  pengguna potensialnya.    Selanjutnya,  Kementerian Riset  dan  Teknologi  telah  pula menetapkanKepmenristek  No. 246/M/Kp/IX/2011tentang  Arah Penguatan  SINas  untuk  Meningkatkan Kontribusi  Iptek  terhadap  Pembangunan Nasional. 

 

4.3.  Persoalan Bukan pada Konsepsi, tapi pada Tahap Implementasinya.   

Skenario  besar  pengembangan  teknologi nasional  saat  ini  adalah  menggunakan kerangka SINas yang berbasis pada potensi sumberdaya  nasional  (termasuk  potensi spesifik  daerah)  dan  diarahkan  untuk memenuhi  permintaan  pasar  domestik.  Pilihan  orientasi  pengembangan  teknologi ini  selaras  dengan  arahan  Presiden  untuk menyelenggarakan  pembangunan  yang bersifat  inklusif  dengan mengikutsertakan 

Page 31: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 25

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

24  

litbang  di  kementerian  teknis  telah masuk dalam daftar lampiran KMK 373/2004. 

Usaha dan keberpihakan pemerintah untuk mendorong  penggunaan  teknologi  atau produk  teknologi  dalam  negeri  telah dilakukan,  misalnya  sebagaimana  yang tercantum  dalam  Peraturan  Menteri Perindustrian  Republik  Indonesia  Nomor  : 11/M‐Ind/Per/3/2006  tentang  Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri.  Pasal 2 ayat  (1) Permen  ini mengatur agar “Setiap  pengadaan  barang/jasa  oleh Departemen,  Lembaga  Non  Departemen, Pemerintah  Daerah  Provinsi, Kabupaten/Kota,  Badan  Hukum  Milik Negara  (BHMN),  Kontraktor  Kontrak  Kerja Sama  (KKKS),  Badan  Usaha  Milik  Negara (BUMN),  Badan  Usaha  Milik  Daerah (BUMD)  dan  anak  perusahaannya  yang dibiayai  dengan  dana  dalam  negeri  atau dilakukan  dengan  pola  kerjasama  antara pemerintah  dengan  badan  usaha,  wajib memaksimalkan  penggunaan  produksi dalam negeri”.   

Selanjutnya  pada  ayat  (2)  Pasal  2 diterangkan  bahwa  “Kewajiban memaksimalkan  penggunaan  produksi dalam negeri  sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  menjadi  wajib  menggunakan produksi  dalam  negeri  apabila  didalam negeri  sudah  terdapat  perusahaan  yang memiliki  barang/jasa  dengan  penjumlahan TKDN  dan  Nilai  BMP  mencapai  minimal 40%  (empat  puluh  persen)”.    Tingkat Komponen  Dalam  Negeri  (TKDN)  adalah besarnya  komponen  dalam  negeri  pada barang, jasa dan gabungan barang dan jasa; sedangkan  manfaat  perusahaan  terhadap perekonomian  nasional  yang  dinyatakan dengan  Nilai  Bobot  Manfaat  Perusahaan (Nilai  BMP)  adalah  nilai  penghargaan kepada  perusahaan  karena  berinvestasi  di 

Indonesia,  memberdayakan  Usaha  Kecil termasuk Koperasi Kecil melalui kemitraan, memelihara  kesehatan,  keselamatan  kerja dan  lingkungan  (OHSAS 18000/ISO 14000), memberdayakan  lingkungan  (community development),  serta  memberikan  fasilitas pelayanan purna jual.  

Kebijakan  pemerintah  yang  bersifat  ‘pro‐teknologi  nasional’  ini  akan  efektif  jika lembaga  pengembang  teknologi  di  dalam negeri  (perguruan  tinggi  dan  lembaga litbang  pemerintah)  memperbaiki kemampuan  penguasaan  teknologi  yang relevan  dan  meningkatkan  sensitivitasnya terhadap  realita  persoalan  dan  kebutuhan industri  dalam  negeri.    Oleh  sebab  itu, maka pengembangan  teknologi perlu  lebih berorientasi  pada  realita  kebutuhan (demand‐driven).    Jika  pra‐syarat  ini  tidak dipenuhi, maka kebijakan  yang  sudah pro‐teknologi dalam negeri  tersebut akan  sulit diimplementasikan secara memuaskan. 

Walaupun  sudah  ada  beberapa  produk regulasi yang  ‘favorable’ untuk mendorong pengembangan  teknologi  nasional,  namun pada kenyataannya belum terlihat dampak signifikan  dari  berbagai  regulasi  tersebut.  Gairah  dan  motivasi  para  aktor  inovasi dalam negeri untuk meningkatkan investasi dan  intensitas  kegiatan  litbang  belum secara kentara terdeteksi. 

 

4.2. Kebijakan untuk Meningkatkan Peran Teknologi Nasional.   

Pemahaman  tentang  pentingnya  peran teknologi  dalam  memajukan perekonomian  dirasakan  sudah meluas  di kalangan  para  pembuat  kebijakan  publik.  Semangat  untuk  mendorong  peran teknologi  untuk  berkontribusi  terhadap pembangunan ekonomi juga sudah tampak 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

25  

dalam  beberapa  kebijakan  nasional, misalnya  dalam  Peraturan  Presiden  RI Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan  dan  Perluasan  Pembangunan Ekonomi  Indonesia  (MP3EI)  2011‐2015.  Salah  satu  strategi  utama  MP3EI  adalah penguatan  kemampuan  SDM  dan  Iptek Nasional,  selain  pengembangan  potensi ekonomi  melalui  koridor  ekonomi  dan penguatan konektivitas nasional. 

MP3EI  merupakan  arahan  strategis pembangunan  ekonomi  untuk  periode 2011  sampai  2025  dalam  rangka pelaksanaan  Rencana  Pembangunan Jangka  Panjang  Nasional  (RPJPN)  2005  – 2025  dan  melengkapi  dokumen perencanaan  (Pasal  1  ayat  2  Perpres 32/2011).    Selanjutnya  pada  Pasal  2 disebutkan  bahwa  MP3EI  berfungsi sebagai:  (a)  acuan  bagi  menteri  dan pimpinan  lembaga  pemerintah  non‐kementerian  (LPNK)  untuk  menetapkan kebijakan  sektoral  dalam  rangka pelaksanaan  percepatan  dan  perluasan pembangunan  ekonomi  Indonesia  di bidang  tugas  masing‐masing,  yang dituangkan  dalam  dokumen  rencana strategis  masing‐masing kementerian/lembaga  pemerintah nonkementerian  sebagai  bagian  dari dokumen perencanaan pembangunan; dan (b)  acuan  untuk  penyusunan  kebijakan percepatan  dan  perluasan  pembangunan ekonomi  Indonesia  pada  tingkat  provinsi dan  kabupaten/kota  terkait.      Selanjutnya juga diharapkan menjadi acuan bagi badan usaha  dalam  menanamkan  modal  di Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan peraturan perundang‐undangan (Pasal 3). 

Untuk koordinasi pelaksanaan MP3EI telah dibentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan  Ekonomi  Indonesia  (KP3EI) 

2011‐2025  (Pasal  4  ayat 1)  yang dipimpin langsung  oleh  Presiden  (Pasal  5  ayat  1), serta untuk membantu pelaksanaan  tugas KP3EI  telah pula dibentuk Tim Kerja.   Tim Kerja bidang  SDM dan  Iptek diketuai oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional. 

Arahan  strategis  Presiden  yang  dikemas dalam  bentuk  MP3EI  ini  perlu diterjemahkan  oleh  masing‐masing kementerian  dan  LPNK  menjadi  rencana kerja  yang  lebih  teknis  dan  operasional dalam  lingkup  tugas  pokok  dan  fungsinya masing‐masing.    Dalam  konteks  ini, Kementerian  Riset  dan  Teknologi  telah sejak awal menetapkan program utamanya untuk  melakukan  penguatan  Sistem Inovasi  Nasional  (SINas),  dengan mendorong agar pengembangan teknologi lebih  berorientasi  pada  realita  kebutuhan (demand‐driven)  dan  persoalan  teknologi yang  dihadapi  oleh  para  pengguna potensialnya.    Selanjutnya,  Kementerian Riset  dan  Teknologi  telah  pula menetapkanKepmenristek  No. 246/M/Kp/IX/2011tentang  Arah Penguatan  SINas  untuk  Meningkatkan Kontribusi  Iptek  terhadap  Pembangunan Nasional. 

 

4.3.  Persoalan Bukan pada Konsepsi, tapi pada Tahap Implementasinya.   

Skenario  besar  pengembangan  teknologi nasional  saat  ini  adalah  menggunakan kerangka SINas yang berbasis pada potensi sumberdaya  nasional  (termasuk  potensi spesifik  daerah)  dan  diarahkan  untuk memenuhi  permintaan  pasar  domestik.  Pilihan  orientasi  pengembangan  teknologi ini  selaras  dengan  arahan  Presiden  untuk menyelenggarakan  pembangunan  yang bersifat  inklusif  dengan mengikutsertakan 

Page 32: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

26 ISSN : 2252-911X

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

26  

sebanyak  mungkin  stakeholders  dalam negeri,  sehingga  memperbesar kesempatan  kerja  (pro‐jobs)  dan mendorong  distribusi  pendapatan  yang lebih merata. 

Pilihan  skenario  pengembangan  teknologi yang  lebih  berorientasi  ‘inward’  ini  tentu tidak  bersifat  permanen,  tetapi  sangat tepat untuk fase awal dari skenario  jangka panjang  pengembangan  teknologi  untuk menuju  kemandirian,  inklusif,  dan berkelanjutan.    Selanjutnya,  pilihan teknologi  yang  dikembangkan  perlu disesuaikan  dengan  realita  tingkat penguasaan  teknologi  saat  ini  (cerminan kualitas  SDM),  potensi  sumberdaya  alam yang  potensial  untuk  dikelola,  dan kebutuhan  konsumen  dalam  negeri.  Memahami  heterogenitas  kebutuhan masyarakat  Indonesia  saat  ini,  sebagai akibat  kesenjangan  status  sosial  ekonomi dalam  masyarakat,  maka  spektrum teknologi  yang  dibutuhkan  dapat mencakup  teknologi  yang  sangat sederhana  (misalnya  teknologi  yang dibutuhkan  petani  untuk  budidaya tanaman  pangan)  sampai  teknologi  maju (misalnya  teknologi  informasi  dan komunikasi  yang  dibutuhkan  masyarakat perkotaan  dengan  status  sosial  ekonomi menengah‐atas). 

Walaupun  rentang  teknologi  yang dibutuhkan  tersebut  sangat  lebar,  namun secara  objektif  (mengutamakan  asas inklusivitas,  mandiri,  dan  berkelanjutan), maka  teknologi  yang  perlu  diutamakan adalah  teknologi  yang  dibutuhkan  oleh sekitar 41 persen angkatan kerja Indonesia di  sektor  pertanian3.    Teknologi  yang 

                                                            3  Lebih  dari  42,4  juta  dari  111,2  juta  orang 

tenaga  kerja  Indonesia  melaksanakan 

dibutuhkan  umumnya  merupakan teknologi  sederhana,  tetapi  perlu  tetap handal secara teknis dan affordable secara ekonomi.   Komoditas pertanian diproduksi secara  masif  tetapi  secara  umum mempunyai  nilai  ekonomi  yang  rendah, sehingga  sangat  tepat  jika  juga dikembangkan  teknologi  untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian tersebut,  terutama  teknologi  yang dibutuhkan untuk pengolahan pascapanen untuk memproduksi produk olahan dengan volume  yang  lebih  kecil  tapi  mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. 

Konsepsi  pengembangan  teknologi  dalam kerangka  penguatan  SINas  dan  rencana besar  pembangunan  ekonomi  Indonesia (MP3EI)  merupakan  dua  konsepsi  yang padu  satu  sama  lain,  keduanya  berbasis pada  potensi  sumberdaya  nasional dan/atau  potensi  masing‐masing  koridor ekonomi,  serta  ditujukan  untuk mendorong  pertumbuhan  ekonomi  yang pada  akhirnya  diharapkan  dapat meningkatkan  kesejahteraan  rakyat sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi.  Walaupun mungkin tidak sempurna, tetapi dua konsepsi  ini sudah sangat tepat untuk menjadi  acuan  dalam  pengembangan teknologi Indonesia. 

Persoalan  berikutnya  adalah  apakah konsepsi  ini  dapat  diimplementasikan secara  konsisten  oleh  semua  aktor  yang terkait,  baik  secara  substansial  maupun selama  perjalanan  waktu  menuju  2025 sebagaimana  yang    ditargetkan.  Boardman  (2009)  mengingatkan  bahwa tantangan  manajerial  yang  paling                                                                                 

pekerjaan  utamanya  di  sektor  pertanian, perikanan,  dan  kehutanan  (BPS: Perkembangan  Beberapa  Indikator  Utama Sosial‐Ekonomi Indonesia, Agustus 2011) 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

27  

fundamental  adalah  menggiring  agar prilaku  tiap  individu sejalan dengan upaya pencapaian tujuan dan sasaran bersama.   

 

4.5.  Transformasi Institusional.   

Idealnya  interaksi  dan  komunikasi  antara pihak  pengembang  dan  pengguna teknologi dapat terjalin secara intensif dan produktif,  sehingga  aliran  informasi kebutuhan  dan  persoalan  yang membutuhkan  solusi  teknologi  dapat mengalir  dari  para  pengguna  ke  pihak pengembang  teknologi.    Jika  aliran informasi  ini  tidak  terjadi maka  akan  sulit diharapkan  bahwa  teknologi  yang dikembangkan  relevan  dengan  kebutuhan dan  sesuai  dengan  kapasitas  adopsi  para pengguna  teknologi.    Yuliar  (2011) meyakini bahwa  transformasi kultural dan kelembagaan  diperlukan  untuk memungkinkan  perluasan  interaksi‐interaksi (Gambar 3). 

Kementerian  Riset  dan  Teknologi  telah pula  mencanangkan  untuk  melakukan revitalisasi  kawasan  Puspiptek  Serpong menjadi  Indonesian  Science  and Technology  Park  (I‐STP).    Pada  saat  ini, kawasan  puspiptek  mengakomodasi berbagai  laboratorium  riset  sebagai wahana  pengembangan  teknologi,  tetapi 

belum  terintegrasi  dengan  lembaga‐lembaga pengguna  teknologi.   Oleh sebab itu,  dalam  skenario  untuk menjadikannya sebagai  I‐STP,  maka  direncanakan  untuk menghadirkan  industri  berbasis  teknologi dan  lembaga  intermediasi  di  kawasan  ini. Dengan  kedekatan  secara  fisik  ini diharapkan  akan  memicu  dan  memacu interaksi  dan  komunikasi  antara  lembaga pengembang dan pengguna teknologi yang difasilitasi  oleh  lembaga  intermediasi (Gambar 4). 

Transfromasi  kultural  dan  kelembagaan tidak  dapat  dipungkiri  harus  diubah, termasuk budaya kerja di dalam  lembaga‐lembaga  litbang dan perguruan tinggi agar lebih  sensitif  terhadap  realita  di  luar ‘menara  gading’.    Setiap  kegiatan  riset tetap dan wajib menjunjung tinggi kaedah akademik, tetapi substansi riset yang garap perlu  ditingkatkan  relevansinya  dengan realita  kebutuhan  para  pengguna,  serta disesuaikan dengan kapasitas adopsi calon pengguna  potensial  yang  menjadi sasarannya.    Jika  niat  untuk  mengubah budaya kerja ini sudah tumbuh, maka akan tumbuh  pula  kebutuhan  untuk  menjalin komunikasi  dan  berinteraksi  dengan  lebih intensif antara pihak pengembang dengan pengguna teknologi.   

 

 

 

 

Page 33: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 27

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

26  

sebanyak  mungkin  stakeholders  dalam negeri,  sehingga  memperbesar kesempatan  kerja  (pro‐jobs)  dan mendorong  distribusi  pendapatan  yang lebih merata. 

Pilihan  skenario  pengembangan  teknologi yang  lebih  berorientasi  ‘inward’  ini  tentu tidak  bersifat  permanen,  tetapi  sangat tepat untuk fase awal dari skenario  jangka panjang  pengembangan  teknologi  untuk menuju  kemandirian,  inklusif,  dan berkelanjutan.    Selanjutnya,  pilihan teknologi  yang  dikembangkan  perlu disesuaikan  dengan  realita  tingkat penguasaan  teknologi  saat  ini  (cerminan kualitas  SDM),  potensi  sumberdaya  alam yang  potensial  untuk  dikelola,  dan kebutuhan  konsumen  dalam  negeri.  Memahami  heterogenitas  kebutuhan masyarakat  Indonesia  saat  ini,  sebagai akibat  kesenjangan  status  sosial  ekonomi dalam  masyarakat,  maka  spektrum teknologi  yang  dibutuhkan  dapat mencakup  teknologi  yang  sangat sederhana  (misalnya  teknologi  yang dibutuhkan  petani  untuk  budidaya tanaman  pangan)  sampai  teknologi  maju (misalnya  teknologi  informasi  dan komunikasi  yang  dibutuhkan  masyarakat perkotaan  dengan  status  sosial  ekonomi menengah‐atas). 

Walaupun  rentang  teknologi  yang dibutuhkan  tersebut  sangat  lebar,  namun secara  objektif  (mengutamakan  asas inklusivitas,  mandiri,  dan  berkelanjutan), maka  teknologi  yang  perlu  diutamakan adalah  teknologi  yang  dibutuhkan  oleh sekitar 41 persen angkatan kerja Indonesia di  sektor  pertanian3.    Teknologi  yang 

                                                            3  Lebih  dari  42,4  juta  dari  111,2  juta  orang 

tenaga  kerja  Indonesia  melaksanakan 

dibutuhkan  umumnya  merupakan teknologi  sederhana,  tetapi  perlu  tetap handal secara teknis dan affordable secara ekonomi.   Komoditas pertanian diproduksi secara  masif  tetapi  secara  umum mempunyai  nilai  ekonomi  yang  rendah, sehingga  sangat  tepat  jika  juga dikembangkan  teknologi  untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian tersebut,  terutama  teknologi  yang dibutuhkan untuk pengolahan pascapanen untuk memproduksi produk olahan dengan volume  yang  lebih  kecil  tapi  mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. 

Konsepsi  pengembangan  teknologi  dalam kerangka  penguatan  SINas  dan  rencana besar  pembangunan  ekonomi  Indonesia (MP3EI)  merupakan  dua  konsepsi  yang padu  satu  sama  lain,  keduanya  berbasis pada  potensi  sumberdaya  nasional dan/atau  potensi  masing‐masing  koridor ekonomi,  serta  ditujukan  untuk mendorong  pertumbuhan  ekonomi  yang pada  akhirnya  diharapkan  dapat meningkatkan  kesejahteraan  rakyat sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi.  Walaupun mungkin tidak sempurna, tetapi dua konsepsi  ini sudah sangat tepat untuk menjadi  acuan  dalam  pengembangan teknologi Indonesia. 

Persoalan  berikutnya  adalah  apakah konsepsi  ini  dapat  diimplementasikan secara  konsisten  oleh  semua  aktor  yang terkait,  baik  secara  substansial  maupun selama  perjalanan  waktu  menuju  2025 sebagaimana  yang    ditargetkan.  Boardman  (2009)  mengingatkan  bahwa tantangan  manajerial  yang  paling                                                                                 

pekerjaan  utamanya  di  sektor  pertanian, perikanan,  dan  kehutanan  (BPS: Perkembangan  Beberapa  Indikator  Utama Sosial‐Ekonomi Indonesia, Agustus 2011) 

Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 

27  

fundamental  adalah  menggiring  agar prilaku  tiap  individu sejalan dengan upaya pencapaian tujuan dan sasaran bersama.   

 

4.5.  Transformasi Institusional.   

Idealnya  interaksi  dan  komunikasi  antara pihak  pengembang  dan  pengguna teknologi dapat terjalin secara intensif dan produktif,  sehingga  aliran  informasi kebutuhan  dan  persoalan  yang membutuhkan  solusi  teknologi  dapat mengalir  dari  para  pengguna  ke  pihak pengembang  teknologi.    Jika  aliran informasi  ini  tidak  terjadi maka  akan  sulit diharapkan  bahwa  teknologi  yang dikembangkan  relevan  dengan  kebutuhan dan  sesuai  dengan  kapasitas  adopsi  para pengguna  teknologi.    Yuliar  (2011) meyakini bahwa  transformasi kultural dan kelembagaan  diperlukan  untuk memungkinkan  perluasan  interaksi‐interaksi (Gambar 3). 

Kementerian  Riset  dan  Teknologi  telah pula  mencanangkan  untuk  melakukan revitalisasi  kawasan  Puspiptek  Serpong menjadi  Indonesian  Science  and Technology  Park  (I‐STP).    Pada  saat  ini, kawasan  puspiptek  mengakomodasi berbagai  laboratorium  riset  sebagai wahana  pengembangan  teknologi,  tetapi 

belum  terintegrasi  dengan  lembaga‐lembaga pengguna  teknologi.   Oleh sebab itu,  dalam  skenario  untuk menjadikannya sebagai  I‐STP,  maka  direncanakan  untuk menghadirkan  industri  berbasis  teknologi dan  lembaga  intermediasi  di  kawasan  ini. Dengan  kedekatan  secara  fisik  ini diharapkan  akan  memicu  dan  memacu interaksi  dan  komunikasi  antara  lembaga pengembang dan pengguna teknologi yang difasilitasi  oleh  lembaga  intermediasi (Gambar 4). 

Transfromasi  kultural  dan  kelembagaan tidak  dapat  dipungkiri  harus  diubah, termasuk budaya kerja di dalam  lembaga‐lembaga  litbang dan perguruan tinggi agar lebih  sensitif  terhadap  realita  di  luar ‘menara  gading’.    Setiap  kegiatan  riset tetap dan wajib menjunjung tinggi kaedah akademik, tetapi substansi riset yang garap perlu  ditingkatkan  relevansinya  dengan realita  kebutuhan  para  pengguna,  serta disesuaikan dengan kapasitas adopsi calon pengguna  potensial  yang  menjadi sasarannya.    Jika  niat  untuk  mengubah budaya kerja ini sudah tumbuh, maka akan tumbuh  pula  kebutuhan  untuk  menjalin komunikasi  dan  berinteraksi  dengan  lebih intensif antara pihak pengembang dengan pengguna teknologi.   

 

 

 

 

Page 34: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

28 ISSN : 2252-911X

Gambar 3. Memperluas interaksi dari hanya antar-pelaku litbang menjadi interaksi antara para pelaku litbang dengan pelaku non-litbang (Yuliar, 2011)

Gambar 4. Transformasi Puspiptek menjadi I-STP (Kementerian Ristek, 2011)

Page 35: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 29

Perubahan kultural lainnya yang dibutuhkan di kalangan akademisi adalah mengurangi kebanggaan yang berlebihan terhadap keberhasilan menguasai teknologi maju yang sering tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat pengguna dan/atau konsumen produk teknologi tersebut; sebaliknya menumbuhkan kebanggan baru jika berhasil mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan diadopsi oleh pengguna untuk proses produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Sekali lagi perlu diingat bahwa sesuai dengan amanah konstitusi, maka tujuan pembangunan iptek adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Untuk substansi yang sama, Yuliar (2011) menghimbau agar kajian-kajian inovasi, khususnya di Indonesia, perlu lebih berbasiskan evidence, dan para peneliti perlu menjadi bagian yang sistemik dari pertumbuh-kembangan sistem inovasi. Kajian dimaksud bisa dalam bentuk participatory research dan action research.

Yuliar (2011) mengingatkan bahwa transformasi kelembagaan formal adalah penting, tetapi perlu disertai dengan transformasi budaya. Sesungguhnya transformasi institusional yang bersifat formal dan ditetapkan dalam bentuk produk hukum yang mengikat tidak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan jika tidak dibarengi dengan transformasi budaya kerja komunitas dalam lembaga yang bersangkutan. Namun demikian harus pula diakui bahwa transformasi institusional yang dirancang dengan tepat dapat memicu terjadinya dan memacu proses perubahan budaya kerja, walaupun tidak ada jaminan bahwa upaya ini akan berhasil.

Perubahan budaya kerja membutuhkan banyak energi, mungkin pula membutuhkan pemicu ganda pada berbagai dimensi, karena budaya kerja merupakan suatu sistem yang kompleks yang terbentuk dari resultan berbagai faktor. Perubahan budaya kerja juga tidak dapat terjadi secara instan, karena terkait dengan upaya mengubah mindset individu-individu dalam komunitas yang menjadi sasaran. Terhadap upaya pembaruan budaya kerja, hampir selalu akan ada resistensi baik yang bersifat individual maupun secara kolektif, baik ditunjukkan secara konfrontatif atau frontal maupun penolakan secara halus atau terselubung.

Budaya kerja pada setiap komunitas, etnis, suku, maupun bangsa, di satu sisi selalu mengandung nilai-nilai yang positif dan progresif, tetapi dari sisi lain akan ada yang bersifat menghambat atau negatif (resistensi) terhadap upaya perubahan. Konsepsi pengembangan SINas di Jepang (MEXT, 2002) mengantisipasi hal ini, yakni dengan cara memasukkan unsur budaya sebagai landasannya, sehingga keserasian antara aktivitas dan produk SINas dengan budaya masyarakat dapat dioptimalkan.

5. Dimensi Politik

Pada saat ini mungkin hampir semua kebijakan pemerintah mengalami distorsi akibat adanya kepentingan politik. Walaupun intervensi politik tak selalu negatif, namun kecenderungan saat ini lebih banyak mengarah pada ketidak-efektifan dalam implementasi kebijakan (intervensi politik cenderung menyebabkan bias sasaran kebijakan ke kelompok tertentu secara diskriminatif

Page 36: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

30 ISSN : 2252-911X

dan menjauh dari kepentingan masyarakat umum yang seharusnya menjadi sasaran setiap kebijakan publik); dan ketidak-efisienan dalam pengelolaan sumberdaya, karena cenderung membutuhkan extracost dalam proses mencapai kesepakatan para pihak terkait dalam penetapan kebijakan dan implementasinya.

Kementerian Riset dan Teknologi telah menetapkan kebijakan terkait arah penguatan SINas untuk meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional (Kepmenristek No. 246/M/Kp/IX/2011) yang lebih mengarahkan agar pengembangan teknologi disesuaikan dengan realita kebutuhan (demand-driven) dan/atau persoalan yang membutuhkan solusi teknologi dari para pihak pengguna teknologi, baik pemerintah, industri, maupun masyarakat.

Secara global, kecenderungan untuk mengubah orientasi pengembangan iptek dari dominan bersifat supply-push atau berbasis kesimbangan supply-demand, menjadi lebih bersifat demand-driven pada dekade terakhir ini sedang bergulir. Fenomena ini didasarkan pada realita bahwa saat ini walaupun kemajuan teknologi berkembang pesat, tetapi SINas pada negara-negara tersebut masih terkendala, karena hanya sedikit teknologi yang berhasil dikembangkan yang diadopsi dalam proses produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi belum signifikan, sebagaimana diindikasikan dari nilai Total Factor Productivity (TFP) yang masih rendah. Cervantes (2011) menyebut fenomena ini sebagai ‘innovation paradox’.

Pada tahun 2006, dipublikasikan laporan dari Independent Expert Group on LITBANG and Innovation yang ditunjuk Uni Eropah (EU) untuk memberikan pandangan, masukan, dan rekomendasi tentang upaya akselerasi implementasi inisiatif EU dalam meningkatkan kinerja riset dan inovasi. Kelompok pakar ini hanya terdiri dari 4 orang dan diketuai oleh Esko Aho, mantan perdana menteri Finlandia. Oleh sebab itu, laporan ini lebih populer dikenal sebagai ‘AHO Report 2006’ dari pada judul laporannya, yakni ‘Creating an Innovative Europe’.

Pada dasarnya AHO Report 2006 menyajikan strategi untuk menjadikan negara-negara Eropah menjadi lebih inovatif, antara lain melalui kombinasi antara menyiapkan pasar bagi produk barang dan jasa inovatif, pengelolaan sumberdaya yang lebih terfokus, pembaharuan struktur finansial, serta peningkatan mobilitas SDM, uang, dan organisasi.1 Dengan demikian, untuk menjadikan Eropah lebih inovatif dibutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif, tidak terbatas hanya pada kebijakan litbangdan inovasi. Untuk merealisasikan sasaran ini dibutuhkan upaya dan komitmen yang sangat serius dari para pemimpin politik, bisnis, dan sosial.

1 Far greater mobility is needed at three levels: human resources need a step change in mobility across boundaries; financial mobility requires an effective venture capital sector and new financial instruments for the knowledge-based economy; mobility in organization and knowledge means cutting across established structures to allow new linkages ... (Aho Report 2006).

Page 37: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 31

Wyckoff (2011) juga menyatakan bahwa tantangan dalam meningkatkan inovasi akan mencakup upaya di luar iptek, termasuk peningkatan sektor pendidikan (relevansi dan mutu), peningkatan intensitas kolaborasi, dan peningkatan kapasitas ‘soft innovation’ (marketing, distribution services, and intangibles).

Peningkatan kontribusi inovasi telah ditetapkan sebagai salah satu pilar strategi pembangunan OECD (Sanz-Menendez, 2011). Kontribusi inovasi hanya menjadi kenyataan jika hasil-hasil kegiatan riset (terutama teknologi) diadopsi dan diaplikasikan dalam proses produksi barang dan jasa. Untuk memperbesar peluang agar teknologi diadopsi oleh para pengguna, maka teknologi tersebut harus handal secara teknis dan sesuai dengan kapasitas adopsi (teknis, finansial, atau sosio kultural) para pengguna potensialnya (industri, masyarakat, atau pemerintah).

Bloch (2011) menyatakan bahwa: “Supply-push innovation only works in defence technology, and may be energy, but make no sense for other sectors”. Pernyataan ini merupakan penegasan bahwa pendekatan supply-push(sebagaimana yang dianut mayoritas pelaku dan pembuat kebijakan inovasi di Indonesia) sesungguhnya hanya mungkin berhasil untuk teknologi hankam, karena lembaga pengembang teknologi dan pengguna teknologinya adalah sama, yakni pemerintah. Realitanya, walaupun lembaga pengembang teknologi hankam dan pengguna teknologinya adalah sama-sama unsur pemerintah, namun ternyata aliran teknologi dalam sistem inovasi hankam juga tidak selalu mengalir lancar. Preferensi pengguna teknologi hankam kadang lebih tertarik untuk

membeli produk teknologi hankam asing, dibandingkan mendukung pengembangan kemampuan penguasaan teknologi hankam nasional, sehingga upaya mewujudkan kemandirian teknologi hankam dirasakan masih terkendala.

Shin (2011) menambahkan bahwa kebijakan pemerintah yang dibutuhkan adalah menyerasikan antara kebijakan industri dengan kebijakan iptek. Korea di era 1990-an mendorong pengembangan industri berbasis pengetahuan (knowledge-based industries) dalam rangka meningkatkan kebutuhan industri terhadap teknologi, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya meningkatkan kapasitas lembaga pengembang teknologi untuk memasok teknologi yang dibutuhkan industri (era 2000). Tahun 2007, Korea menggabung Kementerian Pendidikan (MoE) dengan Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MoST), menjadi Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi (MEST).

Memahami substansi yang terkandung dalam berbagai sumber referensi di atas, maka untuk mewujudkan SINas yang efektif dan produktif, maka Indonesia perlu merumuskan kebijakan riset dan teknologi yang berorientasi pada realita kebutuhan (demand-driven) dan persoalan yang membutuhkan solusi teknologi, sehingga lebih memperbesar peluang bagi teknologi yang dihasilkan untuk diadopsi oleh para pengguna potensial, termasuk industri, pemerintah, dan masyarakat yang berkiprah dalam kegiatan produksi barang dan/atau jasa. Selanjutnya peningkatan aplikasi teknologi nasional dalam proses produksi akan secara langsung meningkatkan kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan

Page 38: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

32 ISSN : 2252-911X

ekonomi, sebagaimana yang diharapkan dalam MP3EI.

Pengembangan teknologi nasional juga perlu mengutamakan potensi sumberdaya dalam negeri, termasuk sumberdaya alam, SDM, infrastruktur penunjang, dan kemampuan pembiayaan nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap asing dan memperkokoh kemandirian bangsa. Selain itu, pasar domestik Indonesia yang besar harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian maka produk barang dan jasa yang menjadi target utama dalam aplikasi teknologi adalah barang dan jasa yang dibutuhkan di dalam negeri. Pilihan teknologi prioritas perlu disesuaikan dengan potensi sumberdaya nasional dan permintaan pasar domestik. Indonesia pada saat ini tidak perlu terlalu bersemangat untuk ‘go internasional’.

Kebijakan iptek yang berorientasi kebutuhan pengguna, berbasis potensi dalam negeri, dan untuk memenuhi permintaan pasar domestik ini perlu mendapat dukungan politik. Dukungan politik yang utama adalah dalam mewujudkan keserasiannya dengan kebijakan pendidikan tinggi (yang menyediakan SDM sebagai aktor-aktor inovasi), kebijakan industri (yang mendorong pemanfaatan teknologi dan produk barang/jasa hasil aplikasi teknologi nasional), kebijakan perdagangan (yang membatasi ekspor bahan baku dan mendorong ekspor dalam bentuk produk jadi, sehingga secara langsung meningkatkan kebutuhan teknologi di dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk ekspor).

Dukungan politik berikutnya yang dibutuhkan adalah sinergi kebijakan

lintas-sektor dalam rangka mewujudkan ekosistem SINas yang kondusif, termasuk kebijakan perpajakan, ekonomi makro, infrastruktur, ketenagakerjaan, kesejahteraan rakyat, pertahanan dan keamanan, serta sektor-sektor lain yang relevan untuk masing-masing jenis teknologi. Politik memang kadang tidak rasional, tetapi patutlah berharap agar deviasi dari rasionalitas tersebut agar lebih memihak pada upaya membangun kemandirian teknologi nasional, demi kemajuan peradaban bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 ayat (5): “Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

6. Analisis dan Sintesis

Mewujudkan sistem inovasi yang efektif dan produktif ternyata harus mempertimbangkan berbagai dimensi. Terlalu naif jika sistem inovasi tersebut direduksi hanya sebagai kegiatan riset dan pengembangan teknologi, walaupun memang riset dan pengembangan teknologi merupakan bagian yang sangat penting dari sistem inovasi. Kegagalan dalam mewujudkan sistem inovasi di beberapa negara sering disebabkan oleh pereduksian cakupan sistem inovasi, dengan memfokuskan pada upaya meningkatkan kemampuan pengembangan dan penguasaan teknologi, dengan asumsi bahwa jika teknologi dikuasai maka dengan sendirinya dapat menjamin keberhasilan

Page 39: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 33

mewujudkan sistem inovasi nasionalnya.

Sistem inovasi terbukti tidak bisa disederhanakan. Sistem inovasi merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks. Walaupun demikian, sistem yang kompleks ini dapat dibedah menjadi bagian inti dari sistem tersebut dan komponen ekosistem yang mempengaruhinya. Bagian inti dari sistem inovasi melibatkan secara langsung interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi yang dapat dimediasi atau fasilitasi oleh aktor ketiga, yakni pemerintah yang sekaligus juga dapat membuat regulasi untuk mengatur agar interaksi antara pengembang-pengguna teknologi tersebut dapat bersifat mutualistik, atau menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Lakitan (2010) menegaskan bahwa sistem inovasi hanya dapat terwujud jika dua aliran terjadi secara berkesinambungan, yakni aliran informasi kebutuhan atau persoalan teknologi yang dihadapi para pengguna teknologi dapat diterima, dipahami, dan dijadikan pertimbangan pokok oleh para pengembang teknologi dalam melaksanakan riset dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan; selanjutnya, terjadi juga aliran pasokan teknologi yang relevan secara berkesinambungan dari pengembang ke pengguna teknologi. Untuk aliran yang kedua ini dapat terjadi, maka teknologi yang dihasilkan harus relevan dan handal secara teknis dan juga sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna teknologi yang menjadi sasarannya.

Selama ini di Indonesia, kedua aliran ini masih tersendat. Komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi masih belum intensif.

Kalaupun kadang terkesan telah ada interaksi tersebut, tetapi pada hakikinya umumnya hanya bersifat seremonial yang dikemas dalam bentuk penandatanganan Memorandum of Understanding atau dokumen sejenisnya. Latar belakang interaksi ini lebih sering hanya karena kedua belah pihak ingin membangun citra bersama. Pengembang teknologi ingin menunjukkan (terutama kepada publik) bahwa apa yang dilakukan telah mendapat perhatian dari pihak dunia usaha atau pengguna potensial lainnya; sebaliknya pihak dunia usaha melakukannya lebih sering dalam rangka membangun citra bahwa perusahaannya menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan, penelitian, dan pengembangan teknologi. Faktanya, hanya sedikit sekali teknologi nasional yang digunakan oleh industri dalam proses produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen di Indonesia.

Kendala dalam mewujudkan sistem inovasi yang efektif dan produktif di Indonesia adalah pendekatan yang digunakan dalam pengembangan teknologi, yakni sangat dominan berorientasi supply-push. Mengembangkan teknologi terlebih dahulu sesuai dengan kepakaran dan keinginan para peneliti/akademisi, baru kemudian berharap hasil pengembangan teknologi tersebut (berupa prototipe, model, atau bentuk lainnya) diminati oleh para pengguna. Upaya untuk ‘menawarkannya’ pada dunia usaha juga umumnya minimal, karena dianggap bukan lagi tugas dan kewajiban dari para peneliti/akademisi. Walaupun untuk mengisi peran ini kemudian dihadirkan lembaga intermediasi, namun upaya ini tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Contoh aktualnya adalah beberapa Business Technology

Page 40: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

34 ISSN : 2252-911X

Center (BTC) yang dulu pernah dibentuk, sekarang sudah tidak difungsikan lagi.

Uraian di atas menjadi fondasi dari keyakinan bahwa perlu re-orientasi dalam membangun sistem inovasi. Proses re-orientasi ini hanya akan berhasil jika terjadi perubahan mindset di kalangan aktor inovasi, terutama pihak pengembang teknologi.

Perubahan mindset ke arah demand-driven menuntut para pengembang teknologi untuk tidak lagi mengembangkan teknologi hanya berdasarkan kepakaran yang dimiliki dan keinginan yang didorong oleh hasrat akademik semata. Kegiatan pengembangan teknologi baru dilakukan jika telah dipahami kebutuhan atau persoalan teknologi yang dihadapi oleh para pengguna teknologi. Pengguna teknologi berdasarkan karakteristiknya dapat dipilah menjadi 3 kelompok utama, yakni dunia usaha atau industri, pemerintah, dan masyarakat.

Kebutuhan teknologi dari dunia usaha atau industri umumnya mempunyai corak yang kental dengan pertimbangan ekonomi, walaupun ada juga pertimbangan terkait kehandalan teknis dari teknologi yang dibutuhkan, namun kehandalan ini juga pada dasarnya tak lepas dari perspektif ekonomi, terutama dikaitkan dengan mutu produk yang akan dihasilkan, konsistensi produksi sehingga pasokan ke pasar lebih terjamin, dan masa produktif dari aplikasi teknologi yang akan diadopsi. Teknologi yang ditawarkan ke dunia usaha atau industri harus juga kompetitif dari aspek kehandalan teknis dan harga (terkait investasi yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan), karena umumnya jenis teknologi serupa juga ditawarkan oleh berbagai pihak kompetitor.

Kebutuhan teknologi pemerintah cenderung bersifat spesifik, misalnya teknologi pertahanan untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah; teknologi keamanan untuk mewujudkan rasa aman bagi rakyat dan lingkungan yang kondusif bagi berbagai kegiatan produktif di dalam negeri; dan teknologi untuk mendukung upaya peningkatan kualitas layanan publik, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Dimensi politik akan sangat mempengaruhi kebutuhan dan pilihan teknologi yang potensial untuk diadopsi oleh pemerintah.

Sebagai pengguna teknologi, masyarakat negara berkembang seperti Indonesia umumnya membutuhkan teknologi yang terjangkau secara ekonomi, mudah diaplikasikan secara teknis, dan tidak terlalu senjang secara sosio-kultural. Ketiga dimensi pertimbangan ini secara kumulatif akan menjadi ukuran dari kapasitas adopsi teknologi masyarakat. Walaupun demikian, rentang kebutuhan teknologi masyarakat di negara manapun akan mempunyai spektrum yang sangat lebar sebagai akibat kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara lapisan masyarakat kaya dan miskin.

Karakteristik masing-masing kelompok pengguna teknologi yang diuraikan di atas memberikan penegasan bahwa kebutuhan teknologi akan sangat beragam dan tidak hanya murni karena pertimbangan teknis, tetapi juga secara nyata dipengaruhi oleh berbagai dimensi lainnya, termasuk dimensi ekonomi, sosio-kultural, regulasi dan kebijakan publik, serta politik. Dengan demikian, pengembangan teknologi yang sesuai kebutuhan tidak boleh hanya mempertimbangkan dimensi teknisnya semata, tetapi perlu juga

Page 41: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 35

mempertimbangkan dimensi ekonomi, sosio-kultural, regulasi, dan politik.

Interaksi antara pengembang-pengguna bersifat dinamis, terutama dipicu oleh dinamika sisi kebutuhan teknologi yang tidak mungkin dapat diisolasi dari dinamika perkembangan teknologi dan perekonomian global. Untuk mengurangi dampak dinamika global dan mempertimbangkan ukuran pasar domestik Indonesia yang besar, maka sistem inovasi Indonesia perlu lebih berorientasi pada penguatan teknologi nasional untuk pemenuhan kebutuhan pasar domestik, serta berbasis pada potensi dalam negeri.

Sudah sepatutnya, sebelum merambah pasar global maka permintaan pasar domestik perlu dipenuhi terlebih dahulu dengan produk teknologi nasional dalam rangka membangun kemandirian bangsa. Indonesia tidak perlu meniru strategi yang diusung oleh negara maju dengan pasar domestik yang kecil (misalnya negara-negara Skandinavia) untuk lebih berorientasi global. Buat negara dengan pasar domestik yang kecil, maka ‘go global’ adalah opsi yang tepat untuk kesinambungan pengembangan teknologinya, jika tidak maka cost recovery dari kegiatan pengembangan teknologi akan selalu defisit.

Arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pembangunan ekonomi yang lebih mengutamakan pasar domestik mempunyai dasar argumen yang kuat dan perlu didukung dengan Sistem Inovasi Nasional yang berkesesuaian.

Dibutuhkan kebijakan publik dan regulasi yang tepat untuk mewujudkan sistem inovasi Indonesia yang berorientasi dan

berbasis internal tersebut. Rasa bangga atas kemampuan nasional perlu dipupuk dalam sanubari setiap rakyat Indonesia, dimana upaya ini akan menjadi lebih mudah jika teknologi Indonesia terbukti handal dalam memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, serta secara nyata berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.

Kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan mencakup untuk: (1) Meningkatkan intensitas dan kualitas interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi, misalnya regulasi terkait pemberian insentif bagi dunia usaha atau pengguna teknologi lainnya yang berkontribusi terhadap pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi; dan (2) Mewujudkan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh-kembang sistem inovasi, termasuk kebijakan dan regulasi tentang makro ekonomi, keuangan dan perpajakan, pendidikan, ketenagakerjaan, infrastruktur pendukung, dan tentunya juga kebijakan dan regulasi yang langsung terkait pembangunan iptek.

Beberapa kebijakan dan regulasi yang saat ini telah diterbitkan dan diberlakukanternyata belum efektif. Kemungkinan besar karena paket insentif yang ditawarkan kepada para pengguna (terutama dunia usaha) yang diharapkan ikut berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi masih dianggap kurang menarik. Hal ini mungkin disebabkan karena pihak dunia usaha melihat bahwa insentif yang diperoleh sangat tidak sebanding dengan besaran kontribusi yang dikeluarkan. Pihak pemerintah yang mengeluarkan regulasi juga terkesan lebih melihat pemberian insentif tersebut sebagai

Page 42: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

36 ISSN : 2252-911X

kehilangan sumber pendapatan negara dan belum melihat dari perspektif jangka panjang bahwa kemajuan teknologi akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan negara.

Pemerintah selain berfungsi sebagai regulator, melalui kebijakan dan regulasi yang efektif, aplikatif, dan komprehensif, juga perlu meningkatkan perannya sebagai fasilitator dengan menyediakan fasilitas pengembangan teknologi, eksibisi produk teknologi, dan lembaga intermediasi untuk mendorong aliran informasi kebutuhan teknologi dari pengguna ke pengembang, serta sebaliknya aliran paket teknologi yang relevan dari pengembang ke (calon) pengguna potensialnya. Untuk melaksanakan fungsi fasilitasi ini, pemerintah tidak perlu membentuk lembaga baru, tetapi hanya perlu penataan ulang lembaga-lembaga struktural maupun non-struktural yang sudah ada dan/atau merevitalisasi lembaga-lembaga yang terkait.

7. Rekomendasi

Berdasarkan telaah yang dilakukan, maka dapat dirumuskan butir-butir rekomendasi sebagai berikut:

Pertama, Dalam rangka mewujudkan sistem inovasi yang efektif dan produktif, maka kegiatan pengembangan teknologi harus lebih berorientasi pada realita kebutuhan (demand-driven) dan/atau untuk menyediakan solusi bagi persoalan teknologi yang dihadapi oleh para

pengguna; serta disesuaikan dengan kapasitas adopsi dari masing-masing pengguna potensialnya.

Kedua, Diskripsi kebutuhan teknologi perlu mencakup semua dimensi yang relevan, termasuk dimensi teknis, ekonomi, sosio-kultural, regulasi, dan politik; karena jika dilakukan secara parsial akan mengurangi peluang bagi teknologi yang dikembangkan tersebut untuk diadopsi oleh pengguna. Hal ini untuk mempertegas pentingnya memahami dimensi non-teknologi dari sistem inovasi.

Ketiga, Untuk mewujudkan kemandirian bangsa dan mempertimbangkan kapasitas pasar domestik yang besar, maka sistem inovasi Indonesia perlu mendahulukan upaya pemenuhan permintaan/kebutuhan pasar domestik dan berbasis pada potensi sumberdaya dalam negeri. Pasar domestik Indonesia yang besar merupakan daya tarik utama untuk investasi bagi negara asing, sehingga sangat tidak tepat jika sistem inovasi nasional tidak diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pasar domestik.

Keempat, Perlu disiapkan regulasi dan kebijakan publik yang aplikatif, efektif, dan komprehensif untuk mengawal dan memacu tumbuh-kembang sistem inovasi nasional. Regulasi dan kebijakan tersebut perlu cukup menarik bagi para pihak yang potensial untuk berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi dan pemerintah perlu lebih melihat dari perspektif jangka panjang prospek kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Page 43: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 37

Daftar Pustaka

Ayyagari, M., A. Demiurgic-Kunt and V. Maksimovic, 2006. Firm Innovation in Emerging Markets: Role of Government and Finance, the World Bank, Washington D.C.

Bloch, D. 2011. Procurement for Innovation in the United States. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011

Boardman, P.C. 2009. Government centrality to university–industry interactions: University research centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:1505–1516

Bottazi, L. and G. Peri, 2005. The International Dynamics of R&D and Innovation in the Short Run and the long run, NBER Working Paper 11524.

Brahmbhatt, M. and A. Hu. 2007. Ideas and Innovation in East Asia. World Bank Policy Research Working Paper No. 4403

Cervantes, M. 2011. Demand-side Policies for Innovation: insights from the latest OECD Work. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011

Cohen, W.M dan D.A. Levinthal, 1989. Innovation and Learning:the two faces of R&D. Economic Journal 99:569-596.

Eaton, J. and S. Kortum, 1996. Trade in Ideas: patenting and productivity in the OECD, Journal of International Economics 40:251-278.

Firdausy, CM., 2010. The development of Foreign Direct Investment and Its Impact on Firm’s Productivity, Employment and Export in Indonesia, Edward Elgar.

Hasanuddin. 2011. Transformasi Budaya Masyarakat Indonesia Menuju Bangsa Inovasi: peluang, kendala, dan strategi. Lembaga Penelitian Universitas Andalas, Limau Manis, Padang, 19 Mei 2011

Hobday, M., 1995. Innovation in East Asia: the Challenge to Japan., London, Edward Elgar.

Kementerian Ristek. 2011. Inovasi untuk Kesejahteraan Rakyat: Arah penguatan SINas untuk meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional. Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.

Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Pascasarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010

LIPI. 2009. Survei Litbang Industri Manufaktur. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

LIPI. 2010. Indikator Iptek Indonesia 2009. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

MEXT. 2002. Annual Report on the Promotion of Science and Technology.Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, Tokyo.

Page 44: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

38 ISSN : 2252-911X

OECD. 2005. Oslo Manual. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data, 3rd Edition. OECD, Paris.

OECD. 2011. Science, Technology, dan Industry Scoreboard: Innovation and growth in knowledge economies. OECD, Paris.

Sanz-Menendez, L. 2011. Demand-side Policies on Innovation: new trends and policy issues. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011

Shin, T. 2011. Korea’s Strategy for Development of STI Capacity in a Historical Perspective. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011

Solow, R.M. 1957. Technical change and the aggregate production function. Review of Economics and Statistics 39 (3): 312–320

Usman, S. 2011. Trasformasi Sosial: Sebuah Tinjauan Sistem Inovasi Nasional dari Perspektif Non-teknologi. Presentasi di Kementerian Riset dan Teknologi, 15 Juni 2011

World Bank, 2010. Innovation Policy : A Guide for Developing Countries. Washington D.C.

World Economic Forum. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011, WEF, Geneva.

Wyckoff, A. 2011. The OECD Science, Technology, and Industry Scoreboard 2011. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011

Yuliar, S. 2011. Isu-Isu Sosial dan Etikal yang Relevan dengan Sistem Inovasi. Bahan presentasi pada Workshop tentang “Transformasi Budaya : Sebuah Tinjauan Sistem Inovasi (Nasional) dari Perspektif Non-teknologi”. Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta, 15 Juni 2011

Page 45: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 39

Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang Publik untuk Penguatan Industri Penghasil Barang

Modal Nasional

Fajar Supraptoa, Sadono Sriharjob, Anita Febriyanti a a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta

b Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta

Abstract

Strengthening national capital goods-producing industries is a strategic action for establishing approriate policy on R&D institutions to support the national innovation system (NIS). A survey on governance of public R&D institutions was conducted in order to comprehend present performance of the institutions. Collected data will be used as base for formulating policy on R&D institutional development. In 2011, the survey were covered only public R&D institutions, consisted of ministrial R&D agencies, non-ministrial R&D institutes, and provincial offices responsible for R&D activities. Data collected from the survey were validated. Feedbacks from 250 institutions were analyzed for data associated with R&D budget, human resources, facilities, and outputs; however, after validation, only feedbacks from 204 institutions were analyzed for their subjective perceptions on related current issues. Balance Score Card (BSC) was used as instrument in formulating policy recommendation on improving governance quality of R&D institutions. Results of the survey indicated that: (1) based on finance and economic perspective, product relevance and financial capacity of public R&D institutions were sub-optimal, but outsourcing capacity of the institutions were satisfactory; (2) based on costumer and stakeholder perspective, R&D outputs, dissemination services, and long-term relationships with costumers and/or stakeholders were considered low; (3) based on learning and innovation perspective, R&D competencies and working environment were not optimal, but supporting infrastructures were adequate; and (4) based on internal business process perspective, operational effectivity and efficiency for supporting activities are satisfactory at non-ministrial but not at ministrial R&D institutions, however, they were not satisfactory for both public R&D institutions in implementation of regulations and public policies.

Abstrak

Penguatan industri penghasil barang modal nasional merupakan salah satu langkah strategis dalam kebijakan pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Dalam rangka memahami kondisi lembaga litbang Indonesia pada saat ini, dilaksanakan Survei Tatakelola Lembaga litbang yang ditujukan untuk menghimpun data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan lembaga litbang tersebut. Untuk tahun 2011, survei dilakukan terhadap lembaga litbang pemerintah, yang terdiri dari Lembaga Penelitian Kementerian (LPK), Lembaga Pemerintah Non

Page 46: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

40 ISSN : 2252-911X

Kementerian (LPNK), dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani bidang litbang (Bappeda/Balitbangda). Setelah dilakukan validasi, ditetapkan 250 lembaga litbang yang datanya diproses untuk komponen objektif kondisi belanja litbang, SDM, sarana prasarana dan keluaran; dan 204 lembaga litbang untuk komponen subjektif tentang persepsi lembaga tentang kondisi realita saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan lembaga litbang yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola adalah Metode Balance Score Card (BSC). Hasil analisis data survei menunjukkan bahwa: (1) berdasarkan perspektif keuangan dan ekonomi, terindikasi bahwa relevansi produk dan peningkatan kapasitas litbang pemerintah masih belum optimal, tetapi kapasitas outsourcing terindikasi sudah berjalan; (2) berdasarkan perspektif pelanggan dan pemangku kepentingan, terindikasi bahwa kesesuaian paket produk litbang, layanan diseminasi produk, dan hubungan jangka panjang dengan pelanggan dan pemangku kepentingan tergolong masih rendah; (3) berdasarkan perspektif pembelajaran dan inovasi terindikasi bahwa peningkatan kompetensi dan lingkungan kerja masih belum optimal, tetapi kondisi infrastruktur pendukung dianggap sudah memadai; dan (4) berdasarkan perspektif proses bisnis internal terindikasi bahwa efektivitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang pada lemlitbang LPK masih belum memadai, tetapi sudah cukup memadai untuk lemlitbang LPNK, sedangkan untuk pelaksanaan regulasi dan kebijakan baik lemlitbang LPK maupun LPNK dipersepsikan masih rendah.

Kata kunci: pengembangan kelembagaan, barang modal, industri, SINas

1. Pendahuluan

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai peran penting bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Peran iptek ini bisa diwujudkan, jika iptek yang dikuasai dan dikembangkan dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan nyata yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat.

Fakta yang terjadi di berbagai negara di dunia telah membuktikan bahwa iptek memegang peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional masing-masing negara. Di Indonesia, konstitusi dasar negara yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 ayat (5) telah mengamanatkan pemajuan iptek bagi

peningkatan kesejahteraan rakyat. Secara eksplisit dalam pasal tersebut diamanatkan kepada pemerintah memajukan memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pernyataan tersebut memperlihatkan kesadaran akan pentingnya pembentukan kemampuan iptek sebagai salah satu sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, peran stategis iptek ini juga dapat dicermati pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang menjadikan iptek sebagai instrumen utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 pun menyatakan visi pembangunan

Page 47: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 41

nasional, yaitu menuju Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Pencapaian visi tersebut dilakukan dengan menetapkan 8 (delapan) misi pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Upaya ini dilakukan antara lain dengan memperkuat perekonomian yang berorientasi dan berdaya saing global, transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumberdaya alam menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif. Di sinilah diperlukan adanya Sistem Inovasi Nasional (SINas) dalam peningkatan produktivitas nasional.

Demikian pula, Master Plan Perluasan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang pada pertengahan Tahun 2011 ditetapkan Pemerintah, telah menjadikan pengembangan kemampuan SDM dan Iptek sebagai salah satu dari tiga pilar penyangga MP3EI. Salah satu aktor penting dalam pengembangan iptek adalah lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), baik di kementerian maupun non kementerian. Oleh karena itu, lembaga litbang yang selama ini telah lama berdiri di Indonesia perlu mendapat dukungan untuk merevitalisasi tatakelola lembaganya agar dapat berkontribusi nyata bagi kemajuan iptek dan pertumbuhan ekonomi nasional. Peningkatan kualitas lemlitbang sebagai lembaga pengembang teknologi dengan merevitalisasi tatakelolanya merupakan salah satu isu publik yang mendesak dalam mendukung tercapainya perkuatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang berkelanjutan. Setiap negara mempunyai SINas dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Pendekatan SINas menekankan pada aliran teknologi

dan informasi di antara manusia, lembaga, dan institusi yang terlibat sebagai kunci dalam proses inovasi. Esensi pokok dari upaya mewujudkan SINas ini adalah menjamin agar aliran teknologi dan aliran informasi dari lembaga pengguna ke pengembang teknologi ataupun sebaliknya dapat berjalan lancar.

Prasyarat agar hal ini dapat terjadi adalah pihak pengembang teknologi harus memahami betul kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi, serta memiliki kapasitas yang cukup untuk mengembangkan teknologi sebagai solusinya. Sedangkan para pengguna teknologi bersedia mengungkapkan secara jelas dan utuh tentang persoalan dan kebutuhan teknologinya, serta mempunyai keyakinan akan kehandalan teknologi domestik (Lakitan, 2009; 2011).

Kebijakan penguatan SINas dengan mendorong terjadinya proses inovasi yang berkesinambungan perlu dilakukan dengan berangkat pada isu strategis yang terjadi di lapangan. Tentu saja isu strategis yang dihadapi oleh masing-masing negara dalam penguatan SINas bersifat unik karena kondisi yang berbeda-beda.

Khususnya di Indonesia, terdapat tiga isu strategis bagi penguatan SINas yang telah diidentifikasi, yakni: (1) terjadinya distorsi kompetensi SDM antar stakeholders SINas; (2) pembentukan jejaring kerja (networking) iptek antar unsur-unsur kelembagaan iptek yang belum kondusif; dan (3) pengembangan kelembagaan iptek yang masih belum optimal dalam memberikan dukungan pada industrialisasi. Secara garis besar, ketiga isu strategis penguatan SINas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Page 48: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

42 ISSN : 2252-911X

Pertama, distorsi kompetensi SDM antar stakeholders SINas, yakni antara lembaga penyedia teknologi yang berkiprah dalam penelitian, pengembangan, rekayasa, dan operasional (RDEO-research, design, engineering, operation), lembaga pengguna teknologi yang mentransformasikan teknologi menjadi produk (barang dan jasa), lembaga pendidikan sebagai penyedia SDM dan teknologi, maupun lembaga pendanaan menjadi isu publik dalam pembangunan iptek menuju knowledge based economy.

Kedua, pembentukan jejaring kerja (networking) iptek yang kondusif antar unsur-unsur kelembagaan iptek, yakni kecenderungan industri nasional untuk melakukan inovasi proses dan inovasi produk masih dominan mengandalkan lisensi impor sehingga kemampuan litbang industri menjadi tidak berkembang. Hal ini menyebabkan partisipasi swasta dalam pengembangan, penguasaan, serta pemanfaatan iptek menjadi relatif kecil sehingga pembiayaan untuk tujuan pembangunan iptek masih menjadi beban dari dana publik. Sumber pembiayaan belanja litbang Indonesia sebagian besar (>70%) masih berasal dari anggaran pemerintah dan pelaksana litbang pun hampir seluruhnya merupakan institusi pemerintah.

Dari kondisi ini dapat dimengerti bahwa aktivitas litbang di Indonesia masih didominasi oleh sektor pemerintah, akibatnya belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan perekonomian nasional. Ini berbeda dengan negara-negara maju pada umumnya, dimana belanja litbang sebagian besar bersumber dari dunia usaha dan industri dengan pelaksana litbang juga banyak dari dunia usaha.

Untuk meningkatkan kontribusi swasta dalam pelaksanaan penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan iptek tersebut maka perlu ditingkatkan kemitraan berbasis sinergi program (sinergi fungsional) dengan melakukan penjajaran antara kebutuhan industri dengan kegiatan litbang yang dilakukan oleh lembaga penghasil teknologi.

Dalam jangka panjang, kemitraan berbasis sinergi program yang dilakukan tersebut dipastikan akan mendorong pertumbuhan ekspor industri nasional berbasis teknologi secara signifikan sehingga terjadi peningkatan nilai ekonomi yang didapatkan dari sumber daya alam yang ada; dan

Ketiga, pengembangan kelembagaan iptek yang masih belum optimal dalam memberikan dukungan pada industrialisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah (added value) sebagai sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian nasional. Disamping itu, pengembangan kelembagaan iptek yang dilakukan masih belum selaras dengan arah pengembangan industri nasional sehingga belum optimal dalam mendorong pengembangan industri yang berbasis pada peningkatan kemampuan adopsi teknologi.

Pengembangan kelembagaan iptek yang terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang dimaksudkan untuk mengatasi kendala yang terkait dengan belum optimalnya pengelolaan dan penyelenggaraan terhadap pembentukan SDM, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Pengembangan kelembagaan iptek diharapkan mampu mewujudkan iklim kondusif pada jejaring kerja antar stakeholders SINas, baik pemerintah,

Page 49: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 43

perguruan tinggi, industri, maupun masyarakat. Pengembangan sumber daya iptek yang terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek perlu dilakukan sebagai faktor krusial untuk mendukung berjalannya proses inovasi dalam SINas.

Semua permasalahan dalam penguatan SINas tersebut telah berkembang menjadi isu publik karena pembangunan iptek nasional belum optimal dalam memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing industri nasional, kemandirian bangsa, serta kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar.

Beberapa isu strategis tersebut memerlukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan publik yang tepat. Salah satu kebijakan publik yang perlu dilakukan adalah pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung peningkatan tatakelola kualitas lembaga litbang nasional.

Tata kelola merupakan terjemahan dari governance dalam bahasa Inggris. Kata governance sendiri dalam bahasa Inggris sering digunakan dalam banyak makna. Di bidang manajemen, sering mendengar istilah corporate governance. Di sektor pemerintah, istilah good governance merupakan istilah yang tidak asing lagi. Sementara dalam kajian ekonomi inovasi juga dikenal istilah network governance. Governance dalam bahasa Inggris dapat ditelusuri mulai dari bahasa Yunani kybernan, gubernare dalam bahasa latin dan governor dalam bahasa Perancis lama. Kybernan berarti mengemudikan atau mengarahkan (steer), menuntun (guide) atau mengelola (govern). Jika melihat akar

kata dalam bahasa Inggris, maka padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah tatakelola. Dalam tatakelola terkandung pengertian proses mengarahkan, menuntun dan mengelola.

Neo dan Chen (2007) menggunakan konsep governance dengan pengertian sebagai proses interaksi atau hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi program dan kebijakan publik. Secara luas, kepemerintahan mencakup aturan (rules), institusi dan jejaring yang menentukan bagaimana sebuah organisasi atau sebuah negara menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, kepemerintahan adalah cara (manner) pemerintah menjalankan otoritas dan pengaruh yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan jangka panjang dari masyarakat bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan.

Pengertian governance seperti digunakan oleh Neo dan Chen (2007) bersifat makro. Ia merupakan aturan yang mengatur kerja bersama antar berbagai actor yang memiliki kepentingan bersama untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati. Dengan inti pengertian yang sama, corporate governance adalah aturan yang mengatur bagaimana perusahaan atau organisasi dikelola. Hal ini menyangkut tata kelola dalam sebuah organisasi. Dengan demikian, tata kelola dapat dimaknai sebagai aturan yang mengatur berbagai actor atau organisasi pada skala makro. Tetapi juga dapat dimaknai sebagai aturan tata kelola dalam sebuah organisasi. Dalam kajian ini, pengertian yang terakhir yang menjadi perhatian, yakni bagaimana lemlitbang sebagai sebuah

Page 50: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

44 ISSN : 2252-911X

organisasi dikelola. Tata kelola dalam organisasi sepadan pengertiannya dengan manajemen organisasi.

2. Survei Tatakelola Lemlitbang

Dalam rangka implementasi kebijakan publik untuk memberikan solusi atas isu publik tersebut, maka diperlukan data faktual kondisi terkini lemlitbang yang ada sehingga kebijakan publik yang diimplementasikan dapat memberikan solusi yang komprehensif. Untuk mendukung perumusan kebijakan yang komprehensif tersebut perlu dilakukan kegiatan pemetaan berupa survai terhadap lemlitbang nasional yang ada, baik di lingkungan kementerian maupun non kementerian. Dalam konteks kebijakan peningkatan kualitas lemlitbang nasional, maka kegiatan survai tersebut perlu difokuskan pada pelaksanaan tatakelola yang dilakukan oleh lemlitbang.

2.1. Tujuan Survei

Melalui pelaksanaan Survei Tatakelola Lemlitbang diharapkan akan dihasilkan berbagai data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan kualitas lemlitbang mencakup: (1) peningkatan kemampuan lemlitbang sehingga lemlitbang mampu mengembangkan dan memanfaatkan aset (tangible/intangible assets) secara optimal; (2) peningkatan pelaksanaan tupoksi sehingga lemlitbang mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi; (3) peningkatan diseminasi (komersial/non komersial) produk hasil lemlitbang sehingga mampu mendukung

peningkatan sensitivitas lemlitbang dalam merespon kebutuhan teknologi dan keterbukaan/keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi; serta (4) peningkatan kontribusi lemlitbang untuk perkuatan SINas sehingga produk lemlitbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kemanfaatan atau keuntungan lembaga pengguna teknologi secara optimal.

Peningkatan kualitas lembaga-lembaga litbang yang ada merupakan kebutuhan mutlak dan mendesak. Untuk mengetahui kondisi terkini lembaga-lembaga litbang yang ada perlu dilakukan kegiatan pemetaan terhadap lembaga/intitusi yang ada. Melalui pelaksanaan survei tata kelola lembaga litbang diharapkan akan dihasilkan berbagai rekomendasi yang mencakup pengembangan program/kegiatan lembaga litbang, pengembangan sumber daya litbang (SDM, infrastruktur, dana), pengembangan proses bisnis utama dalam mekanisme pelaksanaan tupoksi lembaga litbang dengan berbagai Standard Operating Procedure (SOP) pendukung, serta pengembangan kebijakan/regulasi nasonal sehingga berbagai proses bisnis utama yang dilakukan dapat terintegrasi sesuai dengan business functions dan business area dari SINas.

2.2. Metode Survei

Survei dilakukan dengan menyebarkan 377 kuisioner kepada unit kerja pemerintah yang terdiri dari Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Lembaga Penelitian Kementerian (LPK) dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani bidang litbang (Bappeda/Balitbangda). Kuisioner terdiri dari dua bagian yakni: Bagian A, terdiri

Page 51: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 45

dari pertanyaan yang berkaitan dengan belanja litbang, SDM, sarana prasarana dan keluaran; dan Bagian B, terdiri dari serangkaian pernyataan Perspektif dimana responden diminta untuk memberikan persepsinya tentang pernyataan dalam kuesioner.

Dari 377 unit kerja yang disurvei, sebanyak 289 yang teridentifikasi melakukan kegiatan litbang. Selanjutnya dari 289 lembaga litbang terpilih, yang mengembalikan kuisioner sebanyak 272 lembaga. Setelah dilakukan validasi, hanya 250 lembaga litbang yang datanya dapat diproses untuk kuesioner Bagian A, dan 204 lembaga litbang untuk kuesioner Bagian B.

Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional adalah Metode Balance Score Card (BSC). Pemilihan pendekatan BSC karena BSC dipandang sebagai analisa dan alat untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja lemlitbang. BSC dianggap mampu menerjemahkan visi, misi dan strategi ke dalam tindakan nyata di lapangan (Gambar 1).

Untuk perspektif pelanggan dengan tema strategis vitalitas lingkungan mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) meningkatkan keselamatan pribadi; (2) memperbaiki transportasi; (3) meningkatkan kualitas lingkungan; (4) meningkatkan kesamaan dan peluang dan (5) menyediakan pilihan pekerjaan baru dan menarik. Dari berbagai sasaran

stategis tersebut ditetapkan indikator kinerja terkait dengan kualitas praktik pemerintahan yang telah dicapai mencakup: (1) tingkat kejahatan; (2) penggunaan transportasi alternatif; (3) memperbaiki persepsi kualitas hidup; (4) tingkat pekerjaan di segmen industri target; dan (5) persentase (%) penilaian jasa dari warga yang termasuk baik atau sangat baik.

Untuk perspektif finansial dengan tema strategis ekonomi, efisiensi, dan integritas fiskal mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) mengamankan mitra jasa atau pendanaan; (2) peningkatan dasar pajak; dan (3) memelihara tingkat peminjaman. Dari berbagai sasaran stategis tersebut ditetapkan indikator kinerja terkait dengan kualitas praktik pemerintahan yang telah dicapai mencakup: (1) jumlah dan macam mitra pendanaan baru; (2) pendapatan pajak; (3) tingkat peminjaman; dan (4) pengeluaran perkapita.

Untuk perspektif proses bisnis internal dengan tema strategis kapasitas jasa superior mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) interaksi dengan pelanggan yang lebih ringkas; (2) mempromosikan pemecahan masalah berbasis komunitas; dan (3) meningkatkan produktifitas.

Dari berbagai sasaran stategis tersebut ditetapkan indikator kinerja terkait dengan kualitas praktik pemerintahan yang telah dicapai mencakup: (1) waktu siklus interaksi dengan pelanggan; (2) jumlah dan macam solusi berbasis komunitas; dan (3) GNP perkapita regional.

Page 52: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

46 ISSN : 2252-911X

Gambar 1. Advokasi Kebijakan Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang Nasional Berbasis Metode Balance Score Card (BSC)

Untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan tema strategis tenaga kerja yang termotivasi dan siap mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) iklim pekerjaan yang positif; (2) kesenjangan ketrampilan yang rapat; dan (3) manajemen informasi yang lebih meningkat.

Aplikasi Metode BSC dalam advokasi kebijakan publik memerlukan adaptasi sesuai dengan lingkup kebijakan yang akan dilakukan. Perspektif dalam Metode BSC perlu diterjemahkan sesuai dengan konteks kebijakan publik yang akan diimplementasikan. Definisi dari masing-masing perspektif dan sasaran strategis yang lebih bersifat fokus diperlukan untuk memberikan persamaan persepsi dari segenap stakeholders. Hal ini memudahkan bagi pihak terkait untuk mendukung tercapainya target dari masing-masing indikator kinerja yang telah ditetapkan pada

keseluruhan sasaran strategis. Hal ini dapat dimengerti karena advokasi kebijakan publik akan melibatkan aktor-aktor dari berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pihak terkait lainnya.

Lebih lanjut, persamaan persepsi juga sangat penting karena implementasi Metode BSC akan memberikan informasi yang cukup komprehensif bagi penentu kebijakan karena informasi yang disampaikan mencakup keseluruhan indikator kinerja yang akan ditingkatkan. Dalam konteks kebijakan pengembangan kelembagaan iptek, terutama terkait dengan peningkatan tatakelola lemlitbang nasional, maka ukuran kinerja eksisting dari tatakelola lemlitbang nasional dapat dilihat secara komprehensif. Indikator-indikator dari masing-masing tujuan yang akan dicapai pada setiap perspektif ditunjukkan dengan ukuran-ukuran yang jelas sehingga kebijakan yang akan diimplementasikan dapat memberikan

Page 53: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 47

solusi terhadap permasalahan publik yang terjadi. Dalam konteks advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas tatakelola lembaga litbang nasional, maka redefinisi terhadap keempat perspektif Metode BSC dapat disimak pada Tabel 1.

3. Tatakelola Lembaga Litbang Pemerintah yang Efektif

Lembaga litbang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa lembaga litbang memegang peran penting dalam SINas. Meskipun demikian, banyak lembaga litbang yang gagal berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh dua alasan, yakni alasan kegagalan stratejik dan operasional.

Kegagalan stratejik berawal dari kesalahpahaman tentang proses inovasi, tentang apa peran lembaga litbang dalam sistem inovasi. Banyak negara, terutama negara berkembang, mendapatkan kenyataan yang mengecewakan ketika litbang yang dibangun dengan merujuk pada model litbang di negara maju, tidak dapat memacu daya inovasi dari perekonomian dari negara-negara tersebut (Bell dan Pavitt, 1993).

Lembaga litbang yang berhasil di negara maju seringkali merupakan lembaga litbang yang melakukan riset yang berorientasi aplikasi. Hal ini disebabkan pengguna hasil litbang di negara maju memiliki infrastruktur teknologi yang baik, kebutuhan teknologi di negara maju pada umumnya mengandung elemen riset yang dapat dipenuhi oleh lembaga litbang. Selain itu di negara maju, riset cenderung memiliki status yang lebih

tinggi daripada aktivitas lainnya, sehingga ada kecenderungan untuk melakukan riset dalam tingkat yang lebih daripada yang diperlukan.

Kegagalan operasional dari lembaga litbang berawal dari kegagalan dalam mengelola lembaga litbang sebagaimana layaknya mengelola sebuah bisnis. Pengelola lembaga litbang seringkali tidak memiliki disiplin pasar. Lembaga litbang lebih sering dikelola sebagaimana layaknya riset di perguruan tinggi. Tentu saja, menurut definisi, lembaga litbang bukanlah sebuah bisnis. Namun demikian, dunia bisnis telah cukup lama mengembangkan dan berhasil menerapkan konsep dan instrumen untuk menangani isu seperti memahami dan segmentasi kebutuhan pengguna, memahami dan mengontrol biaya, bagaimana mengejar keuntungan, dan lain sebagainya. Semua konsep dan instrumen ini dapat dan bahkan perlu diterapkan dalam pengelolaan lembaga litbang. Sebagian besar elemen yang terdapat dalam lembaga litbang yang berkinerja baik tidak banyak berbeda dengan elemen yang terdapat dalam perusahaan yang terkelola dengan baik.

Oleh sebab itu, suatu lembaga litbang seharusnya mengetahui kebutuhan pasar atau pengguna teknologi. Lembaga litbang harus mampu mengidentifikasi keinginan atau kebutuhan kliennya saat ini dan kebutuhan klien di masa mendatang. Lembaga litbang perlu memahami ke mana pasar bergerak dan menyesuaikan diri sesuai dengan arah pasar; selanjutnya lembaga litbang harus berinteraksi intensif dengan kliennya, staf lembaga litbang harus berinteraksi secara reguler dengan industri untuk mengetahui kebutuhan industri dan memahami cara berkomunikasi dengan staf industri; dan yang tidak kalah

Page 54: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

48 ISSN : 2252-911X

pentingnya adalah memiliki dan menjaga secara konsisten systems for confidentiality, agar terbangun rasa saling percaya antara lembaga litbang dengan industri sebagai mitra utamanya.

Hal lain yang harus dimiliki lembaga litbang adalah mempunyai pemimpin yang memiliki wawasan kewirausahaan dan memahami kemampuan dan keterbatasan-nya, serta menyesuaikan kualitas dan jenis skill stafnya dengan kebutuhan pasar. Kualitas staf lembaga litbang seharusnya

melebihi level keahlian kliennya; untuk itu perlu membuat sistem insentif yang tepat – khususnya kriteria untuk kemajuan jenjang karir stafnya (promosi, tingkat otonomi staf, tanggung jawab yang jelas, dan kompensasi yang menarik). Semua ini diperlukan untuk mendorong stafnya agar mau bekerja mencapai tujuan organisasi, dan juga untuk menjamin bahwa semua staf mau bekerjasama dalam tim secara baik; dan memiliki mekanisme yang baik untuk melahirkan ide baru dan merekrut tenaga baru.

Tabel 1. Redefinisi Perspektif Metode BSC Dalam Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek

Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 48-70

55

Tabel 1. Redefinisi Perspektif Metode BSC Dalam Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek

Perspektif Definisi Sasaran Strategis

Perspektif Keuangan & Ekonomi

Bagaimana strategi peningkatan kontribusi lembaga litbang untuk perkuatan SIN diformulasikan sehingga produk lembaga litbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan benefit/profit lembaga pengguna teknologi secara optimal?

1) Peningkatan kapasitas diseminasi

2) Peningkatan kapasitas outsourcing

3) Peningkatan nilai dari customers dan stakeholders

4) Peningkatan kapasitas R&D

Perspektif Customers & Stakeholders

Bagaimana strategi diseminasi (komersial/non komersial) produk hasil lembaga litbang diformulasikan sehingga mampu mendukung peningkatan sensitivitas lembaga litbang dalam merespon kebutuhan teknologi & keterbukaan dan keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi?

1) Peningkatan kesesuaian pengemasan produk lembaga litbang

2) Perbaikan layanan diseminasi produk lembaga litbang

3) Peningkatan realisasi hubungan jangka panjang dengan customers & stakeholders

Perspektif Proses Bisnis Internal

Bagaimana strategi pelaksanaan tupoksi lembaga litbang diformulasikan sehingga lembaga litbang mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi?

1) Peningkatan relevansi pada operasional kegiatan inti dalam realisasi produk

2) Peningkatan nilai customers

3) Peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang

4) Peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi / kebijakan

Perspektif Pembelajaran & Inovasi/ Pertumbuhan

Bagaimana Strategi Peningkatan Kemampuan Lembaga Litbang diformulasikan sehingga lembaga litbang mampu mengembangkan dan memanfaatkan aset (tangible/intangible assets) guna mendukung 3 perspektif lainnya?

1) Peningkatan kompetensi stratejik – teknis & non teknis

2) Peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat

3) Peningkatan lingkungan kerja kondusif

4. Tafsir Pengukuran Tata Kelola Lemlitbang 4.1. Perspektif Ekonomi dan Keuangan

Perspektif ekonomi dan keuangan merupakan pespektif yang menekankan bagaimana strategi peningkatan kontribusi lembaga litbang untuk penguatan SINas diformulasikan sehingga produk lembaga litbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan benefit atau profit lembaga pengguna teknologi secara optimal. Kondisi

eksisting dilihat dari kinerja dari sasaran strategis perspektif ini sebagaimana telah disampaikan pada Tabel 1. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni:

Pertama, jumlah kontrak lisensi. Kontrak lisensi merupakan informasi pemanfaatan produk litbang dalam proses produksi oleh lembaga pengguna teknologi yang bersifat komersial. Jumlah kontrak

Page 55: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 49

4. Tafsir Pengukuran Tata Kelola Lemlitbang 4.1. Perspektif Ekonomi dan Keuangan

Perspektif ekonomi dan keuangan merupakan pespektif yang menekankan bagaimana strategi peningkatan kontribusi lembaga litbang untuk penguatan SINas diformulasikan sehingga produk lembaga litbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan benefit atau profit lembaga pengguna teknologi secara optimal. Kondisi eksisting dilihat dari kinerja dari sasaran strategis perspektif ini sebagaimana telah disampaikan pada Tabel 1. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni:

Pertama, jumlah kontrak lisensi. Kontrak lisensi merupakan informasi pemanfaatan produk litbang dalam proses produksi oleh lembaga pengguna teknologi yang bersifat komersial. Jumlah kontrak lisensi merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena akan menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi;

Kedua, jumlah spin-off. Jumlah produk lemlitbang yang menjadi sebuah entity busines baru merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena pemanfaatan produk lemlitbang sudah dilakukan pada sistem produksi dari entity business baru tersebut untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi dan berdaya saing bagi kelangsungan roda bisnisnya. Jumlah perusahaan teknopreneur baru yang memanfaatkan produk lemlitbang merupakan salah satu indikator kinerja yang dapat secara langsung diukur kontribusinya terhadap peningkatan perekonomian nasional;

Ketiga, jumlah kerjasama pemanfaatan produk litbang. Produk lemlitbang yang terdiseminasi (komersial maupun non komersial) ke lembaga pengguna teknologi merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna dalam proses produksi yang dilakukannya. Diseminasi produk teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan produk dan/atau integrasi produk lemlitbang dalam sistem produksi lembaga pengguna teknologi.;

Keempat, jumlah produk lemlitbang yang dimasukkan dalam inkubasi teknologi dan bisnis melalui inkubator. Produk lemlitbang yang masuk ke tahapan ini juga merupakan indikator penting dalam pelaksanaan tatakelola lemlitbang karena mampu menghasilkan produk teknologi yang diarahkan untuk pemanfaatan lebih lanjut di industri atau untuk menghasilkan perusahaan teknopreneur baru.;

Kelima, jumlah integrasi produk lemlitbang dalam sistem produksi pada lembaga pengguna teknologi. Produk lemlitbang yang terdiseminasi (komersial maupun non komersial) ke lembaga pengguna teknologi merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna dalam proses produksi yang dilakukannya. Diseminasi produk teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan produk dan/atau integrasi produk lemlitbang dalam sistem produksi lembaga pengguna teknologi;

Keenam, jumlah publikasi produk hasil kegiatan litbang. Publikasi yang dihasilkan

Page 56: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

50 ISSN : 2252-911X

lemlitbang baik pada jurnal nasional maupun internasional merupakan ukuran kinerja dari Perspektif Keuangan dan Ekonomi untuk tujuan peningkatan kapasitas diseminasi. Dengan publikasi terhadap produk litbang yang dilakukan maka lembaga pengguna teknologi serta pemangku kepentingan terkait lainnya mendapatkan informasi secara langsung terhadap produk lemlitbang sehingga dapat menjadi masukan untuk pemanfaatan produk lemlitbang lebih lanjut;

Ketujuh, jumlah kerjasama litbang dengan lemlitbang lain, baik dari dalam atau luar negeri. Jumlah kerjasama yang terjadi merupakan indikator kinerja dari peningkatan kapasitas outsourcing dari lemlitbang nasional, dimana semakin besar jumlah kerjasama yang dilakukan menunjukkan kinerja yang lebih baik;

Kedelapan, jumlah peneliti asing yang terlibat dalam kegiatan litbang pada lemlitbang nasional. Jumlah peneliti asing yang terlibat dalam kegiatan litbang merupakan indikator kinerja dari peningkatan kapasitas outsourcing dari lemlitbang nasional, dimana semakin besar jumlah peneliti asing yang terlibat menunjukkan kinerja yang lebih baik;

Kesembilan, penjabaran visi dan misi ke dalam tatakelola dan tatalaksana lemlitbang. Lembaga litbang pemerintah sebagai lembaga publik diamanati oleh regulasi untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam tatakelola lembaga. Kesesuaian pelaksanaan tatakelola dengan keseluruhan tatalaksana di dalamnya dengan tupoksi lembaga merupakan indikator kinerja dari lembaga publik;

Kesepuluh, implementasi tatakelola dan tatalaksana dengan menghasilkan produk yang berorientasi pada kepuasan

customers dan stakeholders dengan layanan prima. Peningkatan nilai dari customers dan stakeholders lemlitbang merupakan salah satu tujuan penting dari Perspektif Keuangan dan Ekonomi karena akan secara langsung berpengaruh terhadap posisi tawar eksistensi lemlitbang sebagai lembaga publik. Beberapa indikator yang menunjukkan kinerja dari salah satu tujuan dari perspektif ini adalah: (1) penjabaran visi dan misi ke dalam tatakelola dan tatalaksana lemlitbang; dan (2) implementasi tatakelola dan tatalaksana dengan menghasilkan produk yang berorientasi pada kepuasan customers dan stakeholders dengan layanan prima.

Kesebelas, dukungan kebijakan dari Kemenristek untuk pengembangan kelembagaan. Merupakan salah satu kinerja yang perlu diukur untuk melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang pemerintah;

Keduabelas, keselarasan antara kondisi dan arah pengembangan program yang dilakukan oleh lemlitbang dengan kebijakan yang tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 2002. Merupakan salah satu kinerja yang perlu diukur untuk melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang pemerintah; dan

Ketigabelas, keselarasan antara peta jalan program litbang dengan program nasional yang ditetapkan pemerintah. Merupakan salah satu kinerja yang perlu diukur untuk melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang pemerintah.

4.2. Perspektif Customers & Stakeholders

Perspektif customers dan stakeholders lebih difokuskan pada bagaimana strategi diseminasi (komersial atau non komersial) produk hasil lemlitbang diformulasikan

Page 57: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 51

sehingga mampu mendukung peningkatan sensitivitas lemlitbang dalam merespon kebutuhan teknologi serta keterbukaan dan keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi.

Kondisi eksisting dilihat dari kinerja yang ditunjukkan oleh beberapa sasaran strategis, yakni: (1) peningkatan kesesuaian pengemasan produk lembaga litbang, (2) perbaikan layanan diseminasi produk lembaga litbang, dan (3) peningkatan realisasi hubungan jangka panjang dengan customers & stakeholders.

Peningkatan kesesuaian produk lemlitbang merupakan tatalaksana yang sangat penting bagi keberhasilan diseminasi produk yang dihasilkan lemlitbang. Pengemasan produk litbang merupakan tatalaksana dengan luaran berupa produk lemlitbang yang siap didesiminasikan sesuai dengan kapasitas adopsi dari lembaga pengguna teknologi yang menjadi target market.

Perbaikan layanan diseminasi memerlukan data-data yang sangat erat kaitannya dengan kinerja perbaikan layanan diseminasi produk lemlitbang berupa data implementasi Sistem Manajemen Mutu pada lemlitbang nasional mencakup (1) penerapan SOP pelaksanaan tupoksi lemlitbang; (2) penerapan standar layanan minimum; serta (3) pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada pelaksanaan dan pasca pelaksanaan program kegiatan sehingga dapat dilakukan perbaikan berkelanjutan.

Peningkatan realisasi hubungan jangka panjang dengan customers dan stakeholders merupakan kinerja yang menjadi salah satu tujuan dari Pespektif Customers dan Stakeholders. Kinerja dari tujuan dari perspektif ini sangat dipengaruhi oleh penerapan kebijakan lemlitbang yang

berorientasi pada kepuasan pelanggan. Penerapan kebijakan ini dapat diindikasikan dengan implementasi Sistem Manajemen Mutu, peningkatan kompetensi SDM, peningkatan sarana dan prasarana litbang, serta perbaikan berkelanjutan terhadap pelaksanaan program kegiatan yang dilakukan.

Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni: (a) sejauhmana Sistem Manajemen Mutu diimplementasikan sehingga lemlitbang mampu menghasilkan produk yang berorientasi pada kepuasan pelanggan; (b) penerapan SOP pelaksanaan tupoksi lemlitbang; (c) penerapan standar layanan minimum; (d) pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada pelaksanaan dan pasca pelaksanaan program kegiatan sehingga dapat dilakukan perbaikan berkelanjutan; dan (e) penerapan kebijakan lemlitbang yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.

4.3. Perspektif Proses Bisnis Internal

Perspektif ini difokuskan pada bagaimana strategi pelaksanaan tupoksi lemlitbang diformulasikan sehingga lemlitbang mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi.

Kondisi eksisting dilihat dari kinerja yang ditunjukkan oleh beberapa sasaran strategis, yakni: (a) peningkatan relevansi pada operasional kegiatan inti dalam realisasi produk; (b) peningkatan nilai customers; (c) peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang; serta (d) peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi/kebijakan.

Page 58: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

52 ISSN : 2252-911X

Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni:

Pertama, prosentase pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna teknologi yang menjadi segmen pasar yang ditargetkan. Pemanfaatan produk yang dihasilkan oleh tatalaksana pada lemlitbang merupakan ukuran yang penting bagi kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal karena produk yang dihasilkan lemlitbang sesuai dengan kebutuhan dari lembaga pengguna teknologi. Ukuran kinerja dari perspektif ini dapat dilihat prosentase pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna teknologi yang menjadi segmen pasar yang ditargetkan. Peningkatan persentase produk lemlitbang yang terdiseminasi merupakan indikasi terjadinya peningkatan kinerja dari perspektif ini untuk tujuan peningkatan relevansi antara lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi dengan lembaga pengguna teknologi;

Kedua, prosentase pengembangan produk di lemlitbang yang dilakukan berdasarkan riset market sesuai dengan tupoksi yang diberikan kepada masing-masing lemlitbang. Peningkatan nilai customer dalam pelaksanaan tatalaksana inti merupakan ukuran yang penting bagi kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal karena kegiatan realisasi produk diarahkan sesuai dengan value yang diinginkan oleh lembaga pengguna teknologi yang menjadi segmen market yang ditargetkan. Peningkatan nilai customer tersebut dapat dicapai bilamana pelaksanaan tatalaksana inti dari lemlitbang dilakukan berdasarkan riset market pada lembaga pengguna teknologi yang menjadi target market dari produk yang akan dikembangkan. Pengembangan produk lemlitbang

yang dilakukan berdasarkan identifikasi kebutuhan market (market demand) atau keinginan market (market want) maka akan menghasilkan produk yang sesuai dengan value yang diinginkan customer terkait;

Ketiga, hambatan dalam memperoleh dana litbang dari hasil kerjasama. Merupakan salah satu ukuran kinerja lemlitbang nasional dari Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang dapat diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan sumber daya keuangan yang dilakukan;

Keempat, kesesuaian sumber daya keuangan dengan perencanaan dan target. Merupakan salah satu ukuran kinerja lemlitbang nasional dari Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang dapat diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan sumber daya keuangan yang dilakukan;

Kelima, kesesuaian distribusi alokasi anggaran dengan program kegiatan yang direncanakan. Merupakan salah satu ukuran kinerja lemlitbang nasional dari Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang dapat diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan sumber daya keuangan yang dilakukan.; dan

Keenam, sejauhmana tatakelola yang ada di lemlitbang dapat mengakomodir kebutuhan stakeholders (pemerintah) untuk peningkatan layanan publik terutama yang berkaitan dengan isu-isu nasional di bidang kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan kelestarian lingkungan hidup. Salah satu tujuan dari

Page 59: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 53

Perspektif Proses Bisnis Internal adalah peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi dan kebijakan. Ukuran kinerja dari tujuan dari perspektif ini dapat dilihat dari sejauhmana tatakelola yang ada di lemlitbang dapat mengakomodir kebutuhan stakeholders (pemerintah) untuk peningkatan layanan publik terutama yang berkaitan dengan isu-isu nasional di bidang kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan kelestarian lingkungan hidup. Tatalaksana inti dan penunjang dalam tatakelola lemlitbang harus mampu merespon kebutuhan ini yang biasanya bersifat top down policy untuk menghasilkan produk sesuai dengan isu yang terjadi.

4.4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Strategi peningkatan kemampuan lemlitbang diformulasikan sehingga lemlitbang mampu mengembangkan dan memanfaatkan aset (tangible dan intangible assets) guna mendukung 3 perspektif lainnya merupakan tujuan dari perspektif ini. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan perspektif dari Metode BSC yang merupakan instumen untuk melihat keberlanjutan lemlitbang dalam menjalankan tupoksi dalam jangka panjang dengan melihat kebutuhan sumber daya pada saat ini serta proyeksi kebutuhan ke depan.

Tujuan dari perspektif ini difokuskan pada peningkatan kompetensi sumber daya serta ketersediaan sarana prasarana pendukung dengan lingkungan kerja yang kondusif sehingga keseluruhan pelaksanaan tatakelola lemlitbang dapat ditingkatkan secara berkesinambungan untuk mendukung proses inovasi pada SINas. Kinerja perspektif ini akan secara

langsung terkait dengan kinerja dari perspektif lainnya sehingga ukuran-ukuran dari kinerja perlu dilakukan secara optimal.

Perspektif ini mempunyai tiga sasaran strategis yakni: (1) peningkatan kompetensi stratejik–teknis & non teknis; (2) peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat; serta (3) peningkatan lingkungan kerja kondusif. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni:

Pertama, dukungan kebijakan untuk peningkatan kompetensi SDM di lemlitbang. Peningkatan kompetensi stratejik baik teknis maupun non teknis dimaksudkan agar SDM lemlitbang mampu melaksanakan tupoksi secara optimal;

Kedua, dukungan kebijakan untuk peningkatan infrastruktur litbang. Peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat dimaksudkan agar lemlitbang mampu melaksanakan tupoksi dalam program kegiatan yang dilakukan secara optimal;

Ketiga, implementasi SOP yang mengindikasikan penerapan Sistem Manajemen Mutu pada lemlitbang, terutama terkait lingkungan kerja yang kondusif. Ukuran peningkatan lingkungan kerja yang kondusif merupakan salah satu indikator kinerja dari Perspektif Pembelajaran Dan Pertumbuhan yang perlu dipetakan kondisi eksistingnya. Lingkungan kerja secara fisik (physical environment) yang kondusif tempat para pegawai/peneliti/perekayasa bekerja mempengaruhi motivasi bekerja, kepuasan, pengembangan dan kinerja mereka, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi mutu produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh lemlitbang.

Page 60: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

54 ISSN : 2252-911X

5. Hasil Survei Tatakelola Lemlitbang Pemerintah

Berdasarkan hasil survai terhadap lembaga litbang pemerintah yang dilakukan pada Tahun 2011 untuk mengeksplorasi data dan informasi terkait dengan berbagai indikator di atas, maka didapatkan kondisi terkini kualitas tatakelola lembaga litbang pemerintah ditinjau dari empat perspektif Metode BSC. Secara garis besar, kondisi terkini kualitas tatakelola lemlitbang nasional berdasarkan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan yang akan dicapai pada keempat perspektif Metode BSC adalah sebagaimana berikut:

5.1. Perspektif Keuangan dan Ekonomi:

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja dari perspektif keuangan dan ekonomi untuk tujuan peningkatan kapasitas diseminasi masih relatif rendah yakni secara agregat nasional sekitar 28% atau masih dibawah 30% sebagai ambang batas isu publik yang dapat menjadi prioritas pemerintah dalam menentukan kebijakan.

Jumlah publikasi nasional secara agregat 4190 buah atau rata-rata 1396 per tahun (Gambar 2), serta jumlah publikasi internasional secara agregat 447 buah (atau 149 per tahun).

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja perspektif keuangan dan ekonomi untuk tujuan peningkatan kapasitas outsourcing dengan kerjasama litbang nasional sejumlah 1375 kerjasama, internasional sejumlah 307 kerjasama, serta 115 peneliti asing mengindikasikan kondisi peningkatan kapasitas outsourcing yang sudah berjalan.

5.2. Perspektif Customers dan Stakeholders:

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Customers dan Stakeholder untuk tujuan peningkatan jumlah kontrak lisensi masih relatif rendah yakni secara agregat nasional masih dibawah 15 kontrak. Jumlah kontrak lisensi terbanyak dilakukan oleh Kementerian Pertanian, sedangkan kementerian dan lembaga non-kementerian lainnya masih sangat terbatas (Gambar 3). Fakta ini mengindikasikan bahwa pada tataran legal dan komersial masih sedikit sekali hasil kegiatan lemlitbang pemerintah yang diminati oleh dunia usaha.

Gambar 2. Publikasi nasional lemlitbang Tahun 2008-2010

Page 61: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 55

Gambar 3. Jumlah Kontrak Lisensi Untuk Peningkatan Kapasitas Diseminasi

5.3. Perspektif Proses Bisnis Internal

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan relevansi ini masih belum cukup baik yakni produk yang didiseminasikan secara agregat nasional sejumlah 167 produk dari 259 produk litbang yang dihasilkan atau 64% mengindikasikan bahwa pemanfaatan produk lemlitbang nasional masih belum optimal (Gambar 4).

Gambar 4. Produk Litbang Yang Dimanfaatkan

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan nilai customers ini masih belum cukup baik ditinjau dari peningkatan relevansi yang secara agregat nasional masih sekitar 64% dimana kondisi ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan produk lemlitbang nasional masih belum optimal. Untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang pada lemlitbang LPK masih relatif rendah yakni secara agregat nasional dibawah 20%, sedangkan lemlitbangLPNK sudah cukup memadai yakni secara agregat diatas 30 persen. Untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi/kebijakan menunjukkan kinerja yang masih sangat rendah yakni dibawah 15% secara agregat nasional.

5.4. Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan untuk tujuan peningkatan kompetensi stratejik –teknis & non teknis masih cukup rendah yakni secara agregat masih dibawah 30 persen. Sedangkan untuk tujuan peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat sudah relatif cukup baik yakni diatas 30 persen. Selanjutnya untuk tujuan peningkatan lingkungan kerja kondusif relatif rendah yakni secara agregat nasional dibawah 15 persen.

Berangkat dari kondisi eksisting tatakelola lemlitbang nasional, menunjukkan kinerja yang belum optimal sehingga diperlukan kebijakan publik terkait dengan peningkatan

Page 62: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

56 ISSN : 2252-911X

kualitas tatakelola lemlitbang nasional agar mampu memberikan kontribusi pada berlangsungnya proses inovasi secara berkesinambungan.

Rangkuman indikator kinerja dari empat perspektif BSC atau indikasi kualitas tatakelola lemlitbang pemerintah selama periode 2008-2010 disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta kualitas eksisting tatakelola lemlitbang nasional

Kondisi eksisting tatakelola lemlitbang nasional secara agregat ditinjau dari ukuran-ukuran kinerja dari empat perspektif Metode BSC berdasarkan pada hasil Survai Litbang di Sektor Pemerintah Tahun 2011 merupakan masukan yang penting dalam perumusan kebijakan pengembangan kelembagaan yang akan dilakukan. Kondisi eksisting dengan didukung data dan informasi yang dihasilkan dari survei litbang di sektor pemerintah merupakan tonggak bagi pengembangan kelembagaan iptek yang

akan dilakukan, terutama terkait dengan peningkatan kinerja dari pelaksanaan tatakelola lemlitbang nasional.

Kondisi eksisting tatakelola dengan ukuran-ukuran kinerja yang jelas merupakan indikator yang penting bagi pemangku kebijakan agar dapat melihat permasalahan faktual secara tepat sehingga perumusan kebijakan yang dilakukan dapat menyentuh pada akar permasalahan yang menjadi kendala dalam peningkatan kinerja tata kelola lemlitbang nasional.

Page 63: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 57

Advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan terutama terkait pada tahapan perumusan rekomendasi kebijakan, dilakukan berdasarkan kondisi eksisting kualitas tatakelola lemlitbang nasional hasil analisa ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada perspektif Metode BSC. Kondisi eksisting tersebut memberikan gambaran secara holistik dari kondisi kualitas tatakelola lemlitbang nasional pada saat ini. Kondisi tersebut merupakan suatu dashboard (panel instrumentasi) yang memetakan kondisi tatakelola lemlitbang nasional dalam suatu kerangka hubungan sebab akibat yang terefleksi pada empat perspektif Metode BSC.

Berdasarkan kendala yang teridentifikasi selanjutnya dicarikan enabler factors yang memungkinkan kendala tersebut dapat diatasi serta aksi yang perlu dilakukan dalam implementasi advokasi kebijakan yang dilakukan. Perumusan kebijakan peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional dilakukan berdasarkan pada enabler factors yang teridentifikasi serta aksi menggunakan enabler factors tersebut.

Peta kualitas lemlitbang nasional memudahkan penentu kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang akan dilakukan berdasarkan data faktual yang dihadapi di lapangan. Peta kualitas tatakelola lemlitbang yang sudah tersegmentasi dalam empat perspektif Metode BSC dengan tujuan masing-masing yang ingin dicapai serta ukuran-ukuran kinerja dari masing-masing tujuan tersebut akan membantu pembuat kebijakan untuk mengkomunikasikan dengan berbagai pihak terkait.

Disamping itu, dengan informasi yang sudah fokus maka pemanfaatan

sumberdaya pendukung implementasi advokasi kebijakan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai karena kondisi eksisting pada peta kualitas tatakelola lemlitbang nasional memberikan informasi permasalahan yang dihadapi secara terfokus. Dengan demikian, penetapan target per milestone yang ingin dicapai dalam perumusan rekomendasi kebijakan yang dilakukan dapat ditetapkan berdasarkan prinsip SMART-C, yaitu: (1) bersifat specifik, dimana target dari kebijakan yang ditetapkan terfokus pada peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif; (2) terukur, dimana target yang ditetapkan dapat diukur dengan jelas, memiliki satuan pengukuran, dan jelas pula cara pengukurannya; (3) mampu dicapai, dimana peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan sebagai target dapat dicapai pada pelaksanaan advokasi kebijakan yang dilakukan; (4) relevan, dimana peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan sesuai dengan visi dan misi, serta tujuan dari kebijakan pengembangan kelembagaan yang dilakukan; (5) terikat waktu, dimana peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan memiliki batas waktu pencapaian yakni per milestone yang telah ditetapkan; serta (6) perbaikan secara kontinyu, dimana pelaksanaan kebijakan untuk mendukung peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan dievaluasi pencapaiannya pada setiap check point yang ditetapkan sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan berkelanjutan.

Page 64: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

58 ISSN : 2252-911X

Berdasarkan pada hasil peta kualitas lemlitbang nasional tersebut selanjutnya dilakukan perumusan kebijakan pengembangan kelembagaan iptek guna meningkatkan kualitas kinerja tatakelola secara berkesinambungan.

Beberapa kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang dirumuskan, antara lain:

Pertama, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan untuk Meningkatkan Kapasitas Diseminasi Produk Litbang dan Adopsi Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan kontribusi lemlitbang pada perkuatan SINas yang dilakukan dengan mendorong terjadinya proses inovasi melalui pemanfaatan produk litbang oleh lembaga pengguna teknologi (pemerintah, industri, dan masyarakat).

Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya pemberdayaan Sentra HKI untuk komersialisasi produk litbang; (b) memastikan terjadinya penataan tatakelola kelembagaan secara terfokus; (c) memastikan terjadinya peningkatan kapasitas adopsi lembaga intermediasi; (d) memastikan terjadinya pengembangan kebijakan pendorong komersialisasi dan spin-off; (e) memastikan terjadinya peningkatan kemampuan peneliti /perekayasa dalam penulisan karya tulis ilmiah dan ilmiah populer; (f) memastikan terjadinya peningkatan kompetensi lemlitbang dalam kajian pasar produk litbang yang ber-HKI; (g) memastikan terjadinya fasilitasi insentif fiskal bagi komersialisasi produk lemlitbang dan spin-off; (h) membentuk sentra-sentra iptek yang fokus pada pengembangan

komoditas unggulan daerah dengan model pendekatan kluster industri; (i) memastikan terjadinya fasilitasi operasional kegiatan konsorsium yang terbentuk; (j) memastikan terjadinya fasilitasi insentif bagi litbang yang berorientasi pada pengembangan industri hilir; (k) memastikan terjadinya penerapan standardisasi sistem manajemen mutu di lemlitbang; (l) memastikan berjalannya sistem penghargaan secara nasional atas kinerja implementasi sistem manajemen mutu di lemlitbang; (m) memastikan penetapan topik riset yang mendapatkan insentif secara ‘block grant’ untuk isu publik terkait; (n) memastikan terjadinya penyelarasan antara kondisi dan arah pengembangan program yang dilakukan oleh lemlitbang dengan kebijakan yang tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 2002; (o) memastikan terjadinya penyelarasan antara peta jalan program litbang yang dilakukan oleh lemlitbang dengan program nasional yang ditetapkan pemerintah; dan (p) memastikan terjadinya penyelarasan antara program litbang di lemlitbang untuk mendukung tujuan dari MP3EI (Master Plan Peluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

Kedua, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan untuk mendukung Tatalaksana Lemlitbang dalam Sinkronisasi Program Kegiatan Litbang Lintas Sektor yang Berorientasi pada Kebutuhan Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan sensitivitas lembaga litbang dalam merespon kebutuhan teknologi, keterbukaan dan keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi.

Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya

Page 65: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 59

penataan tatalaksana lemlitbang nasional; (b) memastikan terjadinya pengukuran kinerja atas implementasi tatalaksana lemlitbang nasional; (c) memastikan terjadinya pengembangan sistem penghargaan bagi pencapaian kinerja implementasi tatalaksana lemlitbang nasional; (d) memastikan terjadinya penerapan standar pengembangan produk litbang pada penataan tatalaksana lemlitbang; (e) memastikan terjadinya penataan tatalaksana lemlitbang nasional yang berorientasi pada kepuasan customers & stakeholders; (f) memastikan terjadinya sinkronisasi program kegiatan litbang lintas sektor; dan (g) memastikan terjadinya peningkatan koordinasi dalam pelaksanaan litbang antara lemlitbang nasional.

Ketiga, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan untuk Mendukung Peningkatan Relevansi Pengembangan Produk Lemlitbang Nasional Terhadap Kebutuhan dan Kapasitas Adopsi Teknologi Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan relevansi antara produk yang dihasilkan oleh lemlitbang terhadap kebutuhan serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi.

Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya peningkatan relevansi pengembangan produk di lemlitbang nasional dengan kebutuhan dan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna teknologi yang menajdi target market; (b) memastikan terjadinya peningkatan nilai customer dalam pelaksanaan pengembangan produk yang dilakukan di lemlitbang; (c) memastikan terjadinya fasilitasi pengembangan database informasi kebutuhan lembaga

pengguna teknologi yang terjamin validitas, akurasi dan kemutakhirannya; (d) memastikan terjadinya implementasi Sistem Manajemen Mutu di lemlitbang; (e) memastikan terjadinya fasilitasi peningkatan kompetensi SDM serta sarana dan prasarana litbang untuk mendukung terwujudnya perbaikan berkelanjutan terhadap pelaksanaan program kegiatan di lemlitbang; (f) memastikan terjadinya penataan tatalaksana inti dan pendukung di lemlitbang dalam pelaksanaan program kegiatan litbang; (g) memastikan terjadinya penyelarasan antara peta jalan program litbang yang dilakukan oleh lemlitbang dengan program nasional yang ditetapkan pemerintah; dan (h) memastikan terjadinya penyelarasan antara program litbang di lemlitbang untuk mendukung tujuan dari MP3EI (Master Plan Peluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

Keempat, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan Mendukung Peningkatan Kemampuan Lembaga Litbang dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Asset (tangible/intangible assets) untuk Mendukung Kapasitas Diseminasi dan Relevansi Pengembangan Produk Litbang sesuai dengan Kapasitas Adopsi Teknologi Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan kemampuan lemlitbang dalam pemanfaatan dan pengembangan asset (tangible/intangible assets) untuk mendukung peningkatan kapasitas diseminasi produk litbang sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna teknologi; penataan tatalaksana yang berorientasi pada kebutuhan lembaga pengguna teknologi; serta peningkatan relevansi pengembangan produk litbang

Page 66: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

60 ISSN : 2252-911X

sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna teknologi.

Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya peningkatan alokasi pembiayaan APBN/D untuk peningkatan kompetensi teknis dan non teknis dari peneliti; (b) memastikan terjadinya pemberian prioritas kepada peneliti dari luar Jawa untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dalam peningkatan kompetensi; (c) memastikan terjadinya pemberian prioritas kepada peneliti wanita untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dalam peningkatan kompetensi; (d) memastikan terjadinya penerapan prosedur standar dalam pemanfaatan dan pemeliharaan fasilitas litbang; (e) memastikan terjadinya pengembangan program pemanfaatan fasilitas litbang untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi dari lembaga pengguna teknologi; dan (f) memastikan terwujudnya lingkungan kerja yang kondusif di lemlitbang dengan penerapan prosedur standar sehingga pegawai/peneliti/perekayasa merasa puas dan nyaman pada tempat kerjanya.

Lebih lanjut, agar advokasi berbagai kebijakan yang dirumuskan di atas dapat dilakukan secara efektif dan efisien maka perlu diformulasikan strategi implementasi kebijakan berbasis pada Metode BSC. Strategi implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah-1, Penetapan visi, misi, dan tujuan dari advokasi Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek yang difokuskan pada Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang

Nasional sebagai langkah awal sebelum peta stratejik ditetapkan;

Langkah-2, Penetapan skala prioritas (bobot) dari 4 Perspektif Metode BSC beserta tujuan dari masing-masing perspektif yang ingin dicapai beserta ukuran kinerjanya sehingga Peta Stratejik Metode BSC mampu mencerminkan kepentingan segenap stakeholders kebijakan pengembangan kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan instansi terkait serta pengalokasian sumberdaya nasional secara efektif dan efisien dalam pelaksanaan advokasi kebijakan yang dilakukan.

Pelaksanaan tahapan ini akan menghasilkan prioritas terhadap rekomendasi kebijakan yang telah dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan beserta rencana aksinya. Disamping itu, penyempurnaan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada perspektif Metode BSC juga dilakukan pada tahapan ini dengan memperhatikan dinamika perubahan lingkungan yang terjadi baik internal lembaga berupa kebijakan Kemenristek dan Restra Program Kegiatan Kemenristek, maupun eksternal lembaga berupa program prioritas nasional seperti program kegiatan pada Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI);

Langkah-3, Penyusunan Peta Stratejik Metode BSC berdasarkan hasil dari tahapan ke-1 dan ke-2 sehingga didapatkan peta stratejik yang komprehensif dengan keterwakilan kepentingan dari segenap stakeholders kebijakan pengembangan kelembagaan Iptek yang berorientasi pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional.

Page 67: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 61

Langkah-4, pengembangan software untuk pengukuran kualitas tatakelola lemlitbang nasional secara elektronik untuk mendukung implementasi e-Government di lemlitbang (untuk pengukuran kinerja lembaga secara operasional) serta Kemenristek (untuk mendukung perumusan kebijakan) dalam rangka reformasi birokrasi. Implementasi software Metode BSC di tingkat lembaga litbang merupakan realisasi terhadap implementasi e-Government untuk mendukung terwujudnya tatakelola yang baik sehingga mampu meningkatkan

kontribusi pada penguatan SINas yang dilakukan. Implementasi software dalam pengukuran kinerja lemlitbang nasional juga sangat prospektif berkontribusi pada advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas tatakelola lembaga litbang yang lebih operasional karena berdasarkan pada masukan data yang mutakhir dan simultan. Pengembangan software yang dilakukan perlu memperhatikan user requirements dari lemlitbang terkait maupun lingkungan internal Kemenristek.

Gambar 6. Penyelarasan Peta Stratejik Metode BSC di Level Kemenristek dan Lemlitbang Nasional

Langkah-5, pelaksanaan sosialisasi implementasi software kepada seluruh lemlitbang nasional beserta benefit yang didapatkan dalam konteks pengembangan e-Government serta peningkatan kontribusi

produk litbang yang dihasilkan dalam proses inovasi yang berkesinambungan dalam rangka penguatan SINas;

Langkah-6, pelaksanaan implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan

Page 68: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

62 ISSN : 2252-911X

iptek secara berkesinambungan pada periode transisi untuk menghantarkan tercapainya visi, misi, dan tujuan dari advokasi kebijakan yang dilakukan. Agar advokasi kebijakan yang dilakukan dapat senantiasa diperbaiki secara berkesinambungan (continously improved) maka perlu ditetapkan milestones untuk check points peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang yang dicapai lemlitbang nasional pada keempat perspektif Metode BSC.

Perbaikan terhadap sistem dalam implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek ini dapat dilakukan pada setiap tahapan, yakni tahapan ke-1 hingga tahapan ke-5 tersebut di atas, disesuaikan dengan kebutuhan stakeholders.

Beberapa dinamika perubahan lingkungan internal dan eksternal yang memerlukan penyelarasan dari peta statejik baik di level Kemenristek maupun di level lemlitbang nasional adalah sebagai berikut: (a) Peta Stratejik di level Kemenristek, mencakup Kebijakan Kemenristek, Renstra Program Kegiatan Kemenristek, Program Prioritas Nasional, serta dukungan kelembagaan, sumberdaya, jaringan, relevansi & produktifitas, pendayagunaan iptek; (b) Peta Stratejik di level lemlitbang nasional, mencakup kepentingan dari stakeholders dan lembaga pengguna teknologi (kebutuhan produk litbang), rencana bisnis atau renstra program kegiatan lembaga, serta dukungan sumberdaya dan infrastruktur lembaga.

6. Penyelarasan Arah Pengembangan Kelembagaan Iptek

Dengan memperhatikan strategi implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang

nasional serta dinamika perubahan lingkungan internal dan eksternal yang terjadi, baik di level makro maupun mikro, maka perlu dilakukan penyelarasan arah dalam advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang akan dilakukan.

Penyelarasan kebijakan dilakukan dengan penajaman pada penetapan visi, misi, dan tujuan dari advokasi Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek yang difokuskan pada Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang Nasional sebagai langkah awal sebelum peta stratejik dari Metode BSC ditetapkan.

Penyelarasan dalam perumusan kebijakan yang yang dilakukan tersebut perlu berangkat dari permasalahan publik yang berpotensi menjadi isu publik bila tidak dilakukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan publik.

Salah satu isu publik yang diidentifikasi dalam survai terhadap kualitas tatakelola lembaga litbang pemerintah adalah relatif rendahnya relevansi antara lembaga pengembang teknologi dengan lembaga pengguna teknologi terutama pelaku industri.

Kondisi ini terjadi akibat terjadinya komunikasi yang tidak intensif antara kedua lembaga tersebut. Komunikasi yang intensif antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi perlu difasilitasi secara berkesinambungan guna mendukung terjadinya aliran informasi dan paket teknologi yang krusial bagi berlangsungnya proses inovasi baik pada Sistem Inovasi Nasional (SINas) maupun Sistem Inovasi Daerah (SIDa).

Iklim kondusif yang memungkinkan terjalinnya komunikasi dua arah antar lembaga tersebut perlu dibangun sehingga

Page 69: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 63

kebutuhan teknologi dari Lembaga Pengguna Teknologi menjadi masukan bagi Lembaga Pengembang Teknologi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) yang dilakukan.

Pendekatan kegiatan litbang yang berorientasi pada kebutuhan pasar (market driven) berpotensi mendukung peningkatan pemanfaatan teknologi hasil litbang ke dalam proses produksi di Lembaga Pengguna Teknologi. Peningkatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi memerlukan peran aktif dari stakeholders sehingga dapat didorong terjadinya pergeseran paradigma dari pendekatan technology push yang selama ini lebih dominan dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan litbang menjadi technology pull atau market driven agar teknologi yang dihasilkan dapat didiseminasikan secara optimal untuk mendukung berlangsungnya proses inovasi yang berkesinambungan.

Beberapa negara juga memilih untuk mengatur secara terpisah sistem aplikasi riset yang pararel dengan riset dasar-berorientasi universitas (akademisi) dan riset yang berorientasi pada sosial dan industri (Boekholt, 2010).

Dalam perumusan Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek untuk mendukung peningkatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi perlu memetakan peran dari segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga kontribusi yang diharapkan dalam perumusan konsep kebijakan dapat dilakukan secara optimal.

Disamping itu, identifikasi kendala yang dihadapi oleh masing-masing pemangku

kepentingan merupakan data faktual yang sangat penting agar konsep kebijakan yang dihasilkan mampu menghasilkan solusi terhadap isu publik terkait dengan peningkatan relevansi secara berkesinambungan. Kendala yang dihadapi dalam penguatan relevansi agar teknologi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan ke dalam proses produksi lebih lanjut guna menghasilkan barang modal atau barang konsumsi merupakan permasalahan yang kompleks dengan spektrum luas.

Kondisi ini memerlukan prioritas baik terhadap isu publik yang terjadi, faktor pemungkin (enabler’s factors) yang perlu diperhatikan lebih lanjut guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi, serta aktor yang terlibat di dalamnya agar dapat dicarikan alternatif konsep kebijakan yang dapat diimplementasikan lebih lanjut sebagai solusi yang tepat.

Berkaitan dengan prioritas yang perlu ditetapkan, maka penyelarasan arah dalam perumusan konsep Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek ini dibatasi pada industri penghasil barang modal nasional dimana advokasi kebijakan dalam jangka panjang diharapkan mampu menghasilkan industri barang modal nasional yang mampu mendukung kemandirian teknologi dari industri nasional serta peningkatan nilai tambah produk ekspor non migas nasional.

Justifikasi penetapan prioritas tersebut didasarkan pada fakta bahwa impor barang modal, bahan baku, serta bahan penolong bagi kelangsungan roda bisnis industri nasional terus mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Sebagai data awal, impor barang modal selama tahun 2010 mencapai 26,9 miliar dolar AS atau naik 31,6 persen dari kurun yang sama tahun

Page 70: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

64 ISSN : 2252-911X

sebelumnya. Selama Januari-Agustus 2011 impor barang modal juga naik 14,8 persen dari periode yang sama tahun 2010 menjadi 20 miliar dolar AS.

Bila dicermati lebih lanjut, pertumbuhan industri barang modal nasional berkecenderungan mengalami pertumbuhan negatif yang sangat riskan bagi upaya-upaya kemandirian teknologi nasional. Demikian juga halnya dengan impor bahan baku dan bahan penolong industri yang juga cenderung terus mengalami peningkatan.

Kondisi ini semakin dilematis karena sebagaian besar bahan baku industri yang diimpor tersebut merupakan hasil olahan bahan baku yang didatangkan dari Indonesia. Fakta ini menginformasikan bahwa pengembangan industri penghasil barang modal secara nasional masih belum mampu mengimbangi kebutuhan industri nasional akan barang modal untuk pelaksanaan proses produksi yang dilakukan.

Kondisi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai data awal bahwa kualitas relevansi masih belum optimal, dibuktikan dengan produk teknologi yang dihasilkan oleh Lembaga Pengembang Teknologi belum mampu berkontribusi secara optimal bagi pengembangan industri penghasil barang modal, baik industri penghasil barang modal eksisting maupun yang akan dikembangkan dalam rangka kemandirian teknologi nasional.

Disamping itu, nilai tambah (added value) berbagai sumberdaya alam belum dapat dinikmati secara optimal oleh bangsa Indonesia dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dilakukan. Kondisi ini dibuktikan dengan rendahnya nilai tambah produk ekspor nonmigas

Indonesia karena proses derivasi produk yang bernilai ekonomi tinggi tidak dilakukan di dalam negeri akibat mandegnya hilirisasi industri nasional atau pendalaman struktur industri (industry deepening). Peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri perlu dukungan industri penghasil barang modal yang relevan sehingga manfaat ekonomi sumberdaya alam dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia secara optimal.

Guna mendukung perumusan konsep kebijakan yang tepat dalam peningkatan relevansi Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi diperlukan berbagai analisis, baik dalam lingkup global maupun nasional yang mencakup Analisa Lingkungan Global, Analisa Lingkungan Nasional (Makro Ekonomi Indonesia), Analisa PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi), Analisa Pemangku Kepentingan, Analisis Persaingan Pasar (Porter’s 5 Factors), serta Analisis Internal Lembaga, baik Lembaga Pengembang Teknologi maupun Lembaga Pengguna Teknologi (Industri Penghasil Barang Modal Prioritas).

Hasil analisa tersebut merupakan Kondisi Eksisting Peta Kualitas Relevansi sebagai dasar bagi perumusan konsep Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek lebih lanjut yang terfokus pada pengembangan Industri Penghasil Barang Modal yang diprioritaskan. Hasil analisis yang dilakukan merupakan data yang sangat penting bagaimana konsep kebijakan peningkatan relevansi seharusnya dilakukan agar dapat diimplementasikan dalam advokasi kebijakan lebih lanjut secara berkesinambungan.

Selanjutnya, dalam perumusan konsep kebijakan yang dilakukan juga diperlukan masukan hasil analisa lingkungan global

Page 71: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 65

mencakup berbagai regulasi internasional yang telah menjadi konvensi dalam implementasi sistem perdagangan bebas WTO. Hal ini dapat dipahami karena Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi regulasi dalam sistem perdagangan bebas tersebut. Dalam implementasi sistem perdagangan bebas tersebut tidak dimungkinkan kembali pemerintah memberikan proteksi bagi industri nasional dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif. Salah satu strategi untuk memberikan proteksi bagi membanjirnya produk impor ke pasar nasional adalah implementasi standar nasional.

Bilamana mencermati perkembangan global yang terjadi, maka implementasi standar nasional ini merupakan salah satu instrumen yang menjadi perhatian berbagai negara, baik negara maju maupun berkembang. Disamping itu, masukan hasil analisis dalam lingkup nasional yang diklasifikasikan atas level makro dan mikro. Pada tataran makro, terdapat tiga faktor yang perlu dielaborasi lebih lanjut, yaitu: kondisi ekonomi makro, kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan, dan kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan teknologi bagi pengembangan industri penghasil barang modal nasional.

Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, terdapat dua faktor yang perlu diperhatikan yakni: (a) efisiensi proses produksi pada tingkat operasionalisasi industri penghasil barang modal, dan (b) iklim persaingan dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat yang mampu mendukung pengembangan industri penghasil barang modal nasional.

Akhirnya penyelarasan pengembangan kelembagaan Iptek yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri penghasil barang modal nasional perlu memperhatikan beberapa hal (Gambar 7) sebagai berikut:

Pertama, industri penghasil barang modal yang perlu diprioritaskan untuk mendukung kemandirian teknologi industri nasional eksisting serta pendalaman struktur industri yang strategis dilakukan sebagai sumber-sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian nasional;

Kedua, pengembangan kelembagaan yang perlu dilakukan untuk mendukung penguatan relevansi teknologi yang dihasilkan oleh Lembaga Penghasil Teknologi dalam mendukung pengembangan industri penghasil barang modal;

Ketiga, pemetaan untuk identifikasi kendala dan faktor pemungkin (enabler factors) yang krusial bagi berhasilnya advokasi kebijakan penguatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan industri penghasil barang modal yang diprioritaskan;

Keempat, terobosan/inovasi kelembagaan (dalam konteks penyegaran dan pengembangan regulasi nasional, penguatan koordinasi lintas sektor, serta sinergi fungsional pelaksanaan tupoksi antar lembaga/instansi) untuk mendukung keberhasilan advokasi kebijakan yang akan dilakukan dalam penguatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan industri penghasil barang modal yang diprioritaskan; serta

Kelima, aksi awal yang perlu dilakukan dalam rangka advokasi kebijakan penguatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan industri penghasil barang modal yang diprioritaskan.

Page 72: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

66 ISSN : 2252-911X

Gambar 7. Arah Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Iptek Untuk Penguatan Industri Penghasil Barang Modal Nasional

Diharapkan pelaksanaan penyelarasan arah pengembangan kelembagaan iptek yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri penghasil barang modal nasional perlu memperhatikan berbagai hal tersebut, mampu meningkatkan kualitas tatakelola lembaga pengembang teknologi, serta meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam proses inovasi di lembaga pengguna teknologi, terutama pelaku industri nasional untuk tujuan inovasi produk dan proses produksi maupun peningkatan nilai tambah produk.

Akhirnya, pemanfaatan berbagai data dan informasi dari kelima hal di atas merupakan masukan yang sangat penting dalam penyelarasan arah perumusan kebijakan pengembangan kelembagaan iptek untuk mendorong pertumbuhan industri penghasil barang modal nasional dengan peningkatan relevansi antara lemlitbang sebagai lembaga pengembang teknologi dengan industri penghasil barang modal tertentu sebagai lembaga pengguna teknologi.

Page 73: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 67

Daftar Pustaka

Bell, M., Pavitt, K. 1993. Technological accumulation and industrial growth: Contrasts between developed and developing countries. Industrial and Corporate Change 2:157-209.

Boekholt, P. 2010. The evolution of innovation paradigms and their influence on research, technological development and innovation policy instruments. In Smits et al. (eds): The Theory and Practice of Innovation Policy. Edward Elgar Publishing, Cheltenham, UK.

Kaplan, R. S. and Norton, D. P. 1992. The Balanced Scorecard: Measures that drive ferformance, Harvard Business Review 69 (1): 71-79.

Kaplan, R.S., Norton, D.P. 1996. Alignment: Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies. Harvard Business School Pess, Boston.

Lakitan, B. 2009. Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistim Inovasi Nasional: Pendidikan, Riset, Industri dan Konsumen. Jurnal Dinamika Masyarakat 8:1501-1515

Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistim Inovasi Nasional. Keynote Speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang. Pasca Sarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010.

Mani, S. 2002 Government Innovation and Technology Policy: An international comparative analysis. The United Nations University, Tokyo.

Neo, B.S., Chen, G. 2007. Dynamic Governance, Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore

OECD. 1997. National Innovation System. Organization for Economic Co-operation and Development, Paris

Smits, R.E., Kuhlmann, S., Shafira, P. 2010. The Theory and Practice of Innovation Policy. Edward Elgard Publishing, Cheltenham, UK.

Suprapto, F. 2011. Peta Kemampuan Litbang dan Kemampuan Disseminasi Lembaga Litbang Pemerintah, hasil survei Penelitian dan Pengembangan disektor Pemerintah. Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.

Page 74: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya
Page 75: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 69

Pemetaan Legislasi Iptek dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi pada

Sistem Inovasi Nasional

Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta EkasariKementerian Riset dan Teknologi, Jakarta

Abstract

Capacities in conducting research, technology development and diffusion of its products are essensial in establishing or strengthening National Innovation System (NIS). For implementation of these capacities, synchronized policies and regulations in related development sectors are required, including regulations on tax and finance, science and technology, human resource, education, infrastructure, and macro economy. All policies and regulations have to be comprehensively and integratively synchronized in order to create a conducive ecosystem for NIS. Efforts in identifying, mapping, and analyzing all of related policies and regulations are needed for formulating a new, simpler, and implementable policy and/or regulation to increase productivity of NIS.

Abstrak

Kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi di badan usaha menjadi syarat utama dalam upaya penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Namun demikian, upaya ini memerlukan sinkronisasi kebijakan dan legislasi di berbagai sektor secara lebih baik. Berbagai kebijakan dan legislasi di bidang keuangan/perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, maupun di bidang ekonomi pada umumnya merupakan enam pilar kebijakan yang dapat memperkuat SINas.

Upaya untuk mengidentifikasikan serta melakukan analisis terhadap berbagai kebijakan dan legislasi yang tersebar di berbagai peran dan sektor pemerintahan tersebut perlu dilakukan. Untuk itu, “Pemetaan Legislasi Iptek dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi pada SINas” merupakan upaya dari pengembangan legislasi iptek untuk mendapatkan rekomendasi kebijakan yang komprehensif. Adanya rekomendasi kebijakan legislasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan kemampuan riset, serta perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi sebagai upaya penguatan SINas.

Page 76: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

70 ISSN : 2252-911X

1. Pendahuluan

Pemetaan legislasi dalam kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi merupakan upaya koherensi kebijakan dan penggalangan kompetisi dan kerjasama untuk membangkitkan industri hasil inovasi.Peningkatan pengelolaan dan interaksi antar elemen pendukungnya, seperti lembaga pengembang teknologi, seperti lembaga penelitian dan pengembangan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), kementerian, daerah serta perguruan tinggi, maupun melakukan interaksi ke luar dengan dunia usaha dan industri sebagai pengguna atau pengembang teknologi.

Upaya tersebut semestinyadapat dilakukan sehingga inovasi dapat mewujud dalam penyediaan barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Upaya untuk mewujudkan inovasi secara bersistem inilah yang dapat disebut dengan penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Pada dasarnyapenguatan SINas dilakukan untuk tujuan peningkatankemampuan daya saing nasional, yaitu dengan melakukan transformasi bertahapdari perekonomian yang berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian kreatif yang berkeunggulan kompetitif.

Melalui penguatan SINas, berbagai aktor yang terlibat dalam kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek diharapkan berkolaborasi dalam satu jaringan, sehingga inovasi iptek yang dihasilkan dapat diterapkan dalam aktivitas keseharian dan bernilai guna bagi masyarakat.

Namun sebagaimana diketahui kegiatan sinergi atau kolaborasi, baik antar aktor, maupun kelembagaan pelaku litbang,hingga

saat ini belumlah optimal dan masih jauh dari harapan kita semua. Hasil penelitian yang tidak aplikatif, keengganan badan usaha untuk berinovasi, iklim usaha yang tidak kondusif, ketidakmampuan produk invensi dalam negeri berkompetisi dengan produk serupa yang berasal dari impor, orientasi jangka pendek,maupunkuatnya isu sektoralisme adalah merupakan kendala yang pada umumnya seringkali menjadi faktor penghambatbagi upaya penguatan SINas, termasuk upaya mendorong peningkatan kemampuan kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi badan usaha atau industri nasional.

Lembaga litbang atau perguruan tinggi, termasuk lembaga-lembaga penelitian yang berada di daerah,pada umumnya masih dianggap belumbanyak memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kemampuan daya saing nasional. Kekayaan intelektual dan hasil litbang yang dihasilkan lembaga litbang atau perguruan tinggi selama ini seakan-akan belum berperan dalam upaya peningkatan keunggulan dan martabat bangsa. Komersialisasi, maupun alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang, baik dalam bentuk lisensi, kerjasama, pelayanan jasa iptek dan publikasi, juga masih belum dirasakan hasilnya secara nyata dalam masyarakat. Pada sisi lain, badan usaha dan organisasi bisnis masih belum merasa yakin sepenuhnya apakah produk litbang yang dihasilkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dapat diaplikasikan untuk meningkat-kan produktivitas.

Dalam kaitan tersebut, UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, jauh hari sudah mengingatkan, lembaga litbang

Page 77: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 71

memiliki tanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang iptek serta menggali potensi pendayagunaannya, sedangkan badan usaha dan industri bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi atau lembaga litbang, ataupun kerjasama antara pengembang dan pengguna teknologi.

Memang sudah banyak argumen yang dipakai untuk menjelaskan tentang mengapa interaksi dan komunikasi antara sesama lembaga-lembaga pemerintahpun masih terkendala.Paling tidak terdapat 2 (dua) argumen mendasar untuk menjawab kendala intraksi dan komunikasi tersebut. Pertama, bisa dilihat dari sisi koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor, yang sering hanya diterjemahkan sebagai pelaksanaan rapat koordinasi semata, dan dengan mengadakan rapat tersebut, dianggap bahwa kewajiban koordinasi dan sinkronisasi telah tertunaikan.Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan seharusnya berbuah peningkatan efektivitas pencapaian sasaran kegiatan, efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya (anggaran, tenaga, sarana, prasarana), dan terbangunnya semangat kebersamaan, tumbuhnya sikap profesionalisme, serta semakin kokohnya jiwa nasionalisme.

Kendala yang kedua, sinkronisasi belum optimal dari berbagai bidang secara lintas sektor, terutama yang terkait erat dengan kebijakan penguatan SINas. Bidang ini mencakupkeuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, maupun pada bidang ekonomi pada umumnya.

Mungkin saja karena sinkronisasi kebijakan atau legislasi lintas sektor tersebut masih

lemah sehingga koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor juga menjadi turut melemah. Tetapi mungkin saja hal itu terjadi sebaliknya, karena koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor belum optimal sehingga mengakibatkan sinkronisasi kebijakan atau legislasi lintas sektor tadi turut menjadi melemah. Namun apapun terlebih dahulu yang menjadi kendalanya, tentu upaya kolaborasi maupun kerjasama dalam kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi di antara kelembagaan iptek harus terus dikembangkan secara lebih intensif lagi di masa-masa mendatang.

Berkaitan dengan hal ini, RPJMN 2010 -2014 menegaskan bahwa kunci keberhasilan implementasi penguatan SINas suatu negara adalah koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antarsektor dan lintas sektor, intertemporal (antarwaktu); dan nasional-daerah (interteritorial), daerah-daerah, dan internasional. Dalam perspektif hubungan nasional-daerah, koherensi kebijakan inovasi dalam penguatan SINas di Indonesia perlu dibangun melalui kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework) yang sejalan, dengan sasaran dan milestones terukur, serta komitmen sumberdaya yang memadai baik pada tataran pembangunan nasional maupun daerah sebagai platform bersama.1

Dari sisi legislasi meskipun sejauh ini berbagai penguatan SINas sudah dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan. Namun hal tersebut dinilai belum cukup, karena peraturan perundang-undangan tersebut pada kenyataannya belum dapat diterapkan. Karena, misalnya secara

1 Peraturan Peresiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014.

Page 78: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

72 ISSN : 2252-911X

substansial banyak peraturan-peraturan yang belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis yang terkait.Sebagai contoh, dalam upaya untuk meningkatkan peran aktif kelembagaan bisnis dalam rangka penguatan SINas dalam lingkup kebijakan bidang iptek telah dirintis legislasi yang cenderung mengatur di dua sisi, sisi demand side maupun linkage area.Kebijakan untuk mendorong penerapan teknologi badan usaha dengan memberikan fasilitas/insentif fiskal dan non fiskal bantuan teknis, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Dalam Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Namun ketentuan ini belum dapat diimplementasi-kan secara kongkrit karena secara substansi belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan.

Demikian juga halnya misalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang, yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang kepada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat. Namun pengaturan yang berhubungan dengan royalty maupun benefit sharingdi sektor atau di bidang lain belum tersedia.

Tersebarnya kebijakan dan legislasi ke berbagai sektor pemerintahan memerlukan adanya identifikasi dan analisis kebijakan, terutama untuk mengetahui seberapa

banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi dalam upaya penguatan SINas. Selain itu, perlu dilakukan pengelompokan peraturan perundang-undangan, baik yang mempengaruhi aktivitas pengembang (supply side), atau yangmempengaruhi pihak pengguna dalam memutuskan penerapan iptek (demand side), maupun yang mempengaruhi mekanisme alih dan interaksi antara pengembang dan pengguna (linkage area).

Dengan melihat kenyataan di atas, sinkronisasi dan harmonisasi legislasi menjadi agenda yang sangat penting untuk diprioritaskan sehingga upaya mendorong dunia usaha untuk berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan adopsi teknologi dapat diaktualisasikan.Untuk itu, pemetaanlegislasi dapat dilakukan dalam lingkup lintas sektor yang terkait erat dengan penguatan SINas seperti bidang keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, dan ekonomi.Keenam bidang tersebut merupakan enam pilar yang dianggap sangat terkait dan mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, dan secara umum dapat dikatakan sebagai enam pilar dalam SINas.

Permasalahan

Kunci keberhasilan implementasi penguatan SINas di suatu negara adalah koherensi kebijakan inovasi dalam kerangka kebijakan penguatan SINas.Namun kenyataannya, tersebarnya kebijakan inovasi di berbagai sektor peran dan bidang pemerintahan menjadikan upaya pemetaan, sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan legislasi menjadi krusial. Upaya ini seharusnya menjadi agenda penting dalam upaya mendorong dunia usaha untuk berperan

Page 79: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 73

aktif dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Dan selanjutnya adopsi teknologi, perekayasaan, inovasi ataupun difusi teknologi dapat diaktualisasikan secara nyata dalam masyarakat.

2. Penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas)

Sistem InovasiNasional (SINas), sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik,lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalamsuatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangkapanjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikankegiatan untuk menghasilkan, mendayaguna-kan, merekayasainovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan sertamen-diseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaatnyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.

Definisi SINas dalam perpres tersebut sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Freeman, sebagaimana dirujuk oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Menurut Freeman, national innovation system adalah jaringan antara institusi publik dan swasta yang aktivitas dan interaksinya memprakarsai, mendatangkan, memodifikasi, dan menyebarkan atau menerapkan teknologi-teknologi baru.2

Keberadaan SINas yang demikian itu sesungguhnya hendak menghubungkan institusi atau pihak yang mengembangkan iptek dengan institusi atau pihak yang

2 National Innovation Systems, OECD, 2007, hal. 10.

menggunakan iptek. Oleh karena kegiatan pengembangan iptek dalam praktiknya banyak dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian, sementara penggunaan iptek dalam proses rekayasa suatu produk dikerjakan oleh industri, maka yang seringkali terjadi kemudian kegiatan iptek di antara pihak pengembang dan pengguna iptek tersebut menjadi tidak berkelanjutan. Ini artinya aktivitas pengembangan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian cenderung berhenti pada laporan-laporan hasil penelitian, dan kalaupun masih ada tahapan berikutnya biasanya berhenti pada penerbitan dalam jurnal-jurnal ilmiah, sedangkan kegiatan produksi di dunia industri lebih banyak masih mempertahankan teknologi-teknologi mapan yang sudah dikenal sebelumnya dengan sedikit yang mau mempertimbangkan dan mengadopsi temuan-temuan dari kalangan perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

Hambatan dalam keberlanjutan kegiatan iptek di antara lembaga pengembang dan pengguna itulah yang dicoba di atasi melalui penguatan SINas. Jika semula pengembangan dan penggunaan iptek hanya melibatkan lembaga pengembang dan lembaga pengguna, maka melalui SINas diupayakan adanya keterlibatan pengguna iptek secara lebih aktif. Keterlibatan pemerintah bukan dimaksudkan sebagai keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan pengembangan iptek atau penggunaan iptek, meskipun hal ini seringkali tidak dapat dihindari, tetapi yang lebih penting adalah keterlibatan dalam bentuk penciptaan iklim yang kondusif bagi keberlanjutan kegiatan iptek serta fasilitasi keberjumpaan pihak pengembang dan pengguna iptek. Iklim

Page 80: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

74 ISSN : 2252-911X

yang kondusif bagi kegiatan iptek antara lain berwujud dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mendukung penemuan-penemuan iptek, pengembangan industri, dan pemanfaatan hasil-hasil penemuan iptek oleh dunia industri.

Selain itu, SINas dalam keberlanjutan kegiatan iptek juga didorong oleh kebutuhan agar penelitian dan pengembangan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau industri. Sebaliknya pula, informasi-informasi terkait dengan kebutuhan-kebutuhan pihak pengguna (industri atau masyarakat), diharapkan dengan SINas menjadi tersampaikan kepada pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Dengan diterimanya kebutuhan teknologi yang diperlukan industri oleh pihak pengembang, dan pada saat bersamaan hasil pengembangan iptek oleh pihak pengembang juga bersesuaian dengan kebutuhan pihak pengguna, maka terjadilah di sana suatu kesinambungan dalam kegiatan iptek, dari tahapan penelitian hingga penggunaannya.

Model SINas yang merupakan jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, dan masyarakat atau industri tersebut tergambarkan sebagai berikut:

Gambar Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)

Dari gambar tersebut tampak bahwa adanya keberlanjutan dari kegiatan iptek yang diharapkan dari SINas. Bermula dari informasi akan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh pengguna, dilakukanlah penelitian dan pengembangan oleh pengembang (perguruan tinggi, lembaga penelitian). Selanjutnya temuan-temuan yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan tersebut, karena memiliki relevansi dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak pengguna. Sementara pihak pemerintah sendiri, dalam hal SINas ini akanmeberikan dukungandalam kebutuhan regulasi dan fasilitasi.

Bagi Indonesia, pentingnya SINas untuk menjembatani sisi supply dan demand teknologi. SINas di sini akan menjadi suatu jaringan rantai pemasok teknologi yang mengaitkan antara institusi publik pemasok teknologi dan sektor swasta pengguna teknologi, sehingga manfaat nyata dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan iptek dapat dirasakan masyarakat.3

3. Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi

Sebelum dibahas masalah perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, terlebih dahulu diuraikan tentang teknologi itu sendiri. Adanya penjelasan definisi teknologi yang lebih awal akan memudahkan pemahaman tentang perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi.

3 http://www.bppt.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=397:sistem-inovasi-nasional-untuk-menjawab-tantangan-pasar-global&catid=46:umum, diakses 10 Juli 2011.

Page 81: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 75

Dari segi istilahnya, teknologi berasal dari kata Yunani techne, yang artinya ketrampilan atau seni. Dari kata ini antara lain diturunkan kata-kata teknik dan teknologi. Teknik adalah cara, metoda, atau kemampuan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan keteram-pilan dalam bidang-bidang tertentu. Teknologi memiliki beberapa arti, antara lain, (1) penerapan ilmu pengetahuan untuk tujuan-tujuan praktis; (2) cabang ilmu pengetahuan mengenai penerapan tersebut; dan (3) kumpulan semua cara dari sesuatu kelompok sosial dalam memenuhi obyek-obyek material dari kebudayaannya.4

Definisi lainnya tentang teknologi, yang diberikan oleh Amir Pamuntjak, ialah pengetahuan tentang pemakaian alat-alat dalam proses pembuatan barang-barang.5 Wiratmo Sukito menyebut teknologi sebagai teknik, atau suatu daya-upaya sistematis, yang menggunakan penemuan-penemuan ilmiah.6

Dari sejarah evolusinya, apa yang dikatakan sebagai teknologi sebenarnya dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakatnya sesuai perkembangan teknologi itu sendiri. M Sahari Besari mencatat, pada mulanya terminologi teknologi dipakai untuk menyatakan alat bantu (means)

4 H.Tb. Bachtiar Rifai, Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 219.

5 Amir Pamuntjak, “Dasar Pokok Alih Teknologi”, dalam Amir Pamuntjak, dkk., Sistem Paten: Pedoman Praktik dan Alih Teknologi (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm.

6 Wiratmo Sukito, “Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi”, Pengantar dalam Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1984), hlm. xvii.

manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Pada tahap ini teknologi merupakan benda-benda yang konkrit (hardware), baik itu berkaitan dengan perkakas maupun peralatan. Pemahaman teknologi yang demikian kemudian berubah pada masa-masa berikutnya, bahwa teknologi, selain berbentuk benda-benda yang konkrit, juga dipahami meliputi metode, proses, dan sistem, semisal cara bercocok tanam, proses produksi, dan sistem pemerintahan. Jadi di sini, bentuk teknologi itu juga mencakup hal-hal yang sifatnya abstrak (software dan brainware). Atas dasar inilah Besari kemudian mendefinisikan teknologi sebagai ilmu pengetahuan dan seni yang ditransformasikan ke dalam produk, proses, jasa, dan struktur organisasi yang pada dasarnya merupakan seperangkat instrumen ekspansi kekuasaan manusia sehingga dapat menjadi sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas.7

Dari berbagai uraian definisi teknologi di atas bisa disimpulkan bahwa teknologi itu terkait dengan teknik dan ilmu pengetahuan ataupun penemuan-penemuan ilmiah; dan untuk menggambarkan tingkat keterkaitan yang tinggi, Sukito bahkan menyebutnya sebagai teknik yang menggunakan penemuan ilmiah. Meski demikian, pada mulanya sebenarnya tidaklah terjadi hubungan di antara teknik dan penemuan ilmiah. Hanya saja, bila tidak terjadi hubungan, maka penemuan-penemuan ilmiah tidak akan mempunyai nilai-nilai praktis. Adalah pendekatan industrial yang kemudian saling mendekatkan keduanya,

7 M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi (Jakarta: Salemba Teknika, 2008), hlm. 146-148.

Page 82: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

76 ISSN : 2252-911X

sehingga lambat-laun nilai-nilai praktis amat mempengaruhi kegiatan ilmiah. Karena kuatnya keterpengaruhan nilai-nilai praktis dalam kegiatan ilmiah inilah sehingga teknologi juga didefinisikan sebagai penggunaan industrial dari ilmu (industrial application of science).8

Keterkaitan penemuan ilmiah dan teknik, sehingga mempunyai nilai-nilai praktis, terbaca dengan jelas dari definisi teknologi yang diberikan Besari di atas. Disebutnya bahwa teknogi itu merupakan sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas. Hal ini berarti proses inovasi teknologi itu dikatakan tercapai dan berhasil apabila telah diproduksi atau diterapkan. Oleh karenanya, pengembangan suatu teknologi mesti diorientasikan pada keterterapannya.

Istilah perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, pada dasarnya merupakan istilah yang menggambarkan penerapan dari teknologi atau hasil-hasil penemuan di masyarakat. Sekalipun demikian, masing-masing dari ketiga istilah tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda terkait pemanfaatan teknologi. UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan perekayasaan adalah kegiatan penerapan iptek dalam bentuk desain danrancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkanketerpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya dan estetika; inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru

8 Wiratmo Sukito, Loc. It.

untukmenerapkan iptek yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi; dan difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif olehpenemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.9

Dengan demikian, kesemua istilah perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi itu dimaksudkan sebagai kegiatan memanfaatkan atau menggunakan hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pemanfaatan dan penggunaan hasil-hasil penemuan teknologi tersebut bisa berupa desain dan rancang bangun, pengembangan penerapannya dalam suatu produk dan proses, maupun penerapannya dalam kegiatan produksi.

4. Hasil Penelitian Tidak Aplikatif

Tidak aplikatifnya penelitian yang dihasilkan oleh perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian merupakan masalah yang sekarang ini sedang dihadapi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan iptek di dalam negeri. Kondisi semacam ini sebenarnya tidak menjadi persoalan apabila penelitian tersebut termasuk sebagai penelitian dasar. Dalam penelitian dasar, keterterapan hasil memang bukan yang diutamakan, melainkan penjelasan secara ilmiah terhadap prinsip, alasan, dan mekanisme yang mendasari fenomena atau fakta yang diteliti. Penelitian dasar berguna dalam mendukung penelitian lanjutan dan juga pengembangan ilmu pengetahuan.

9 Pasal 1 butir ke 8, 9 dan 10 UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek.

Page 83: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 77

Faktor keterterapan hasil suatu penelitian akan menimbulkan persoalan manakala penelitian yang dilakukan merupakan penelitian terapan. Sebagai penelitian lanjutan, penelitian terapan sudah barang tentu menghendaki adanya invensi baru yang dihasilkan, dan faktor keterterapan hasilnya dengan demikian menjadi suatu keharusan. Oleh karenanya, jelas akan bermasalah apabila dalam penelitian yang sifatnya terapan itu ternyata hasilnya juga tidak bisa atau siap untuk diterapkan.

Banyak faktor yang sebenarnya memengaruhi kenapa sebagian besar hasil penelitian tidak bisa atau siap untuk diterapkan. Pertama, pelaksanaan kegiatan penelitian masih didorong oleh alasan menggugurkan kewajiban sebagai tenaga pendidik, peneliti, atau perekayasa. Sebagaimana contoh, setiap pendidik di perguruan tinggi terikat kepada Tridharma, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Oleh itu penelitian yang dilakukan juga banyak yang asal dikerjakan. Hasil akhir yang diinginkan adalah digunakannya hasil tersebut untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat saja.

Kedua, penelitian dilakukan dengan tidak memerhatikan kebutuhan pihak pengguna (industri). Sebagai dampaknya, hasil dari penelitian yang dilakukan tidak sesuai kebutuhan di pihak pengguna, sekalipun penelitian tersebut sebenarnya menghasilkan invensi yang baru. Kemampuan untuk mengomunikasikan invensi yang dihasilkan seringkali perlu lebih diperhatikan lagi.

Ketiga, invensi yang dihasilkan sering belum dipatenkan, padahal untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari penyalahgunaan pihak lain, pihak industri memerlukan

invensi yang dilindungi secara hukum, yaitu invensi yang telah dipatenkan. Sedikitnya jumlah paten peneliti (inventor) dalam negeri menunjukkan belum siapnya hasil penelitian atau invensi yang dihasilkan untuk diterapkan atau diproduksi secara massal. Menurut data di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dari 1993-Juni 2006 hanya 212 invensi yang terdaftar di Ditjen HKI yang berasal dari inventor dalam negeri, dan 18.331 invensi berasal dari luar negeri. Secara persentase, berarti invensi dari dalam negeri hanya 1,14 persen, dan dari luar negeri sebesar 98,8 persen.10

Gambar statistik paten 1993-2006 (http://www.dgip.go.id, 2007)

Statistik pendaftaran paten memang tidak menggambarkan jumlah besaran invensi. Sebab, dijumpai juga invensi yang sebenarnya digunakan dalam kegiatan industri tetapi oleh penemunya tidak dipatenkan. Namun demikian, invensi yang telah mendapatkan paten

10 Data ini diambil dari http://www.dgip.go.id pada tahun 2007, dan sengaja ditampilkan kembali di sini dikarenakan data yang sekarang tersedia di laman yang sama tidak memisahkan paten yang diajukan dan diperoleh oleh inventor domestik dengan inventor asing.

Page 84: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

78 ISSN : 2252-911X

setidaknya menunjukkan kesiapan invensi tersebut untuk dipakai oleh pihak lain. Terhadap invensi yang dipatenkan itu, hanya inventornya yang dibolehkan untuk menggunakan invensi tersebut secara komersial. Pihak lain hanya dibolehkan menggunakan invensi tersebut apabila penggunaannya tidak untuk kepentingan komersial, semisal penggunaan dalam penelitian. Atas dasar ini, badan usaha atau industri tentu akan memertimbangkan jaminan perlindungan hukum terhadap invensi tersebut sebelum menggunakannya dalam kegiatan produksi.

Dalam beberapa kasus dijumpai situasi yang bertolak dari pernyataan di atas, adakalanya suatu invensi dialihkan lebih dulu kepada penggunanya baru kemudian oleh penggunanya dipatenkan. Hal ini berarti permohonan paten diajukan bukan oleh peneliti atau pengembangnya, melainkan oleh penggunanya. Meski demikian, tetap saja pengguna (badan usaha dan industri) memerlukan jaminan hukum terhadap invensi yang akan dipakainya.

5. Keengganan Badan Usaha untuk Berinovasi

Permasalahan dalam penggunaan invensi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat disebabkan pula faktor keengganan badan usaha. Kurangnya minat dunia usaha maupun industri untuk berinovasi atau menggunakan teknologi atau invensi terbarukan merupakan permasalahan yang termasuk dikeluhkan Menteri Negara Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata dalam kaitannya dengan proses inovasi di Indonesia. Merujuk pada survei Biro Riset Ekonomi

Bank Indonesia 2010, ternyata hanya 2 persen saja dari 29.469 industri besar dan sedang yang intensif berinovasi, sedangkan 20 persen memiliki tingkat inovasi sedang dan 78 persen lagi tingkat inovasinya rendah.11 Oleh karena minimnya tingkat inovasi di dunia usaha ini, maka hasil-hasil teknologi dari pihak pengembang teknologi banyak yang tidak terpakai.

Keengganan berinovasi tersebut antara lain disebabkan karena sudah merasa puas dan nyamannya badan usaha dan industri dengan teknologi yang digunakannya. Sebagai implikasinya, selama teknologi yang ada tersebut masih belum sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, maka penggunaan teknologi yang lebih baru dianggap tabu oleh sebagian kalangan di badan usaha.

Selain itu penggunaan teknologi yang baru, yang mesti dimulai dengan keberanian mencoba, dianggap belum tentu memberikan keuntungan yang lebih baik dari penggunaan teknologi yang lama. Ini berarti masih ada keraguan dari pihak pengguna mengenai prospek keuntungan yang bakal diperoleh dari penggunaan teknologi yang baru tersebut. Oleh karena tidak mau menanggung resiko yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi yang baru itu sehingga kalangan badan usaha dan industri menjadi enggan untuk berinovasi dengan mencoba invensi yang dihasilkan.

6. Komunikasi Tersumbat

Dua permasalahan yang dihadapi, yaitu belum aplikatifnya hasil penelitian dan

11 Kompas, 30 September 2011, “Inovasi di Dunia Usaha Masih Minim”.

Page 85: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 79

keengganan badan usaha untuk berinovasi menunjukkan teknologi yang dihasilkan dari kegiatan penelitian seringkali tidak diketahui oleh pihak pengguna di badan usaha dan industri, atau kalaupun diketahui ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Pada sisi lain, informasi berkenaan dengan kebutuhan teknologi tidak tersampaikan kepada pihak pengembang, di perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Dengan demikian, pengembang dan pengguna berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam bahasa Rama Prihandana, Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia, “saya sudah asyik dengan dunia saya, dan dalam dunia saya, anda tidak dibutuhkan”.12 Informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh pengguna dan apa yang dihasilkan oleh pengembang, dengan begitu tersumbat. Akibatnya sudah bisa diduga, bahwa apa yang dihasilkan oleh pihak pengembang akan menjadi sulit untuk diterima pihak pengguna.

Permasalahan demikian mudah ditemui, karena memang masih jarang hasil-hasil penelitian yang diupayakan untuk diterapkan. Sebagian besar dari hasil penelitian, kalaupun masih dianggap perlu untuk ditindaklanjuti, kebanyakan berhenti pada penerbitan di jurnal ilmiah, dan sebagian lagi ada yang mengupayakan pendaftaran paten. Meski sangat membantu dalam memublikasikan temuan-temuan dalam penelitian, penerbitan dalam jurnal ilmiah sejauh ini tidak banyak membantu

12 Wawancara Kusmayanto Kadiman dengan Rama Prihandana, “Industri, Bukan Pabrik”, dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008), hal. 27.

dalam mengomunikasikannya dengan dunia usaha dan industri. Pengguna atau pembaca jurnal-jurnal ilmiah sejauh ini terbatas pada kalangan akademis. Begitu juga penyebaran jurnal ilmiah sendiri, sebagian besar masih terbatas pada lingkup perguruan tinggi bersangkutan, dan kalaupun menyebar keluar biasanya hanya di perpustakaan-perpustakaan.

Upaya untuk mengembangkan komunikasi dapat dilakukan oleh pihak perguruan tinggi dan lembaga litbang, maupun juga pihak dunia usaha dan industri, atau juga lembaga yang terpisah dari keduanya, semisal pemerintah dan lembaga intermediasi, seperti Sentra HKI.

Keberadaan sentra-sentra HKI pada perguruan-perguruan tinggi tentu sangat membantu dalam upaya mengomunikasikan hasil-hasil penelitian yang ada di perguruan tinggi bersangkutan kepada dunia usaha dan industri. Namun demikian, karena tidak semua perguruan tinggi memiliki sentra HKI, maka upaya yang dilakukan itu belum banyak menampakkan hasilnya. Oleh karenanya, pemberian hibah bagi pendirian dan pengembangan (bagi yang sudah memiliki) sentra HKI perlu terus dilakukan.

Selain itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mempertemukan pihak pengembang dan pengguna industri juga perlu diintensifkan lagi. Sejauh ini sudah dilakukan upaya semisal penyelenggaraan pameran industri, pameran produk-produk daerah, pameran batik, dan sebagainya. Sebagian dari kegiatan tersebut juga dilakukan oleh pihak-pihak swasta, terutama asosiasi industri. Pada umumnya, kegiatan-kegiatan bertemakan pameran tersebut diselenggarakan di daerah-daerah sentra

Page 86: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

80 ISSN : 2252-911X

pengembangan industri. Akibatnya, di daerah-daerah yang tingkat perkembangan industrinya rendah cenderung jarang diadakan pameran-pameran industri. Padahal, dalam pemerintahan berdasarkan otonomi daerah sekarang ini dikehendaki adanya upaya peningkatan pengembangan potensi di tiap-tiap daerah. Oleh karenanya, kegiatan-kegiatan berupa mempertemukan pengembang dan pengguna semacam pameran, yang ditujukan untuk meningkat-kan pengolahan dan pengembangan potensi daerah, perlu diselenggarakan secara menyebar dan bergantian di semua daerah.

7. Kebijakan Legislasi Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi

Kebijakan keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, dan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan upaya mendorong perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Keenam bidang kebijakan tersebut merupakan enam pilar dalam upaya penguatan SINas.

a) Keuangan dan Perpajakan

Kebijakan keuangan umumnya dimaknai sebagai kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Bidang keuangan yang berkaitan dengan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi lebih berupa fasilitas dan insentif dari pemerintah yang dapat dinilai dengan uang. Karena sifatnya fasilitas dan insentif, maka ia berhubungan dengan kemauan (will) pemerintah dalam mendukung kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Dari fasilitas dan insentif yang disediakan itu,

paling tidak bisa diketahui bagaimana iktikad dan keberpihakan pemerintah dalam mendorong tumbuhnya inovasi teknologi.

Dari sisi pengembang dan pengguna teknologi, berbagai fasilitas dan insentif di bidang keuangan yang disediakan pemerintah menjadi daya dorong eksternal untuk melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi. Sebagai daya dorong eksternal, berbagai fasilitas dan insentif yang ada jelas ikut memengaruhi keputusan pengembang dan pengguna teknologi untuk lebih terlibat dalam kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi.

Sejauh ini berbagai fasilitas dan insentif yang bernilai uang sudah disediakan pemerintah untuk meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi, seperti insentif pembebasan bea masuk atas impor barang yang diperuntukkan bagi keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan insentif pembebasan bea masuk ini, yang dimungkinkan melalui UU Kepabeanan, peneliti di dalam negeri tentu memperoleh keringanan dan kemudahan dalam mendapatkan barang-barang kebutuhan penelitian dan pengembangan yang harus didatangkan dari luar negeri.

Selain itu, insentif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan iptek juga diberikan dalam bentuk pengecualian objek pajak. Pengenaan pajak terhadap sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan ataulembaga nirlaba yang bergerak dalam bidangpendidikan dan/atau bidang penelitian danpengembangan, yang telah terdaftar pada instansiyang membidanginya, yang ditanamkan

Page 87: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 81

kembalidalam bentuk sarana dan prasarana kegiatanpendidikan dan/atau penelitian danpengembangan. Pengecualian ini dimungkinkan melalui UU No. 36 Tahun 2008, dan implementasinya diperjelas dengan PP No. 93 Tahun 2010.

Insentif juga diberikan kepada pengusaha yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha dan daerah-daerah tertentu, yaitu dalam bentuk pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal. Ketentuan yang demikian tertuang dalam PP No. 1 Tahun 2007. Ketentuan serupa, yang diatur dalam PP No. 20 Tahun 2000, juga menyediakan fasilitas perpajakan khusus kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Adanya insentif dan fasilitas semacam ini jelas menjadi perangsang bagi dunia usaha dan industri untuk mengembangkan usahanya pada bidang-bidang usaha dan daerah-daerah atau kawasan tertentu.

Dari uraian tersebut, fasilitas dan insentif disediakan bagi pengembang dan pengguna teknologi untuk terlibat dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi. Namun demikian, yang masih terabaikan dari sisi insentif itu, ialah tidak dikecualikannya dana penelitian yang diperoleh peneliti dari obyek yang terkena pajak penghasilan. Padahal, besaran dari pengenaan pajak itu jika dikumpulkan pun tidaklah seberapa, dikarenakan alokasi anggaran riset di Indonesia yang tersebar dalam berbagai kementerian memang tidak besar. Oleh karena itu, ke depannya, untuk mendukung aktivitas riset, dana riset yang didapatkan peneliti perlu dikecualikan untuk dikenakan pajak.

Persoalan lainnya terkait dengan fasilitas dan insentif riset, pengembangan, dan penerapan iptek, ialah tersebarnya ketentuan fasilitas dan insentif tersebut dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bagi pihak pengembang maupun pengguna teknologi, keberadaan ketentuan yang demikian itu tentu akan merepotkan dalam memahaminya secara utuh. Agar penggunaannya itu menjadi mudah, maka perlu dibuatkan semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) teknis, sehingga segala fasilitas dan insentif apa saja yang bisa didapatkan dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi, menjadi mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat.

Barangkali karena ketiadaan juklak itu sehingga petugas pelaksana sampai kebingungan dalam melayani kegiatan yang berkenaan dengan penelitian, pengem-bangan dan penerapan teknologi. Tertahannya lima mobil irit bahan bakar milik Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut 10 November Surabaya (ITS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, sampai 2,5 bulan, jelas menunjukkan bermasalahnya pelayanan masuk dan keluar barang-barang yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan iptek. Padahal, mobil-mobil tersebut diikutkan dalam kejuaraan Shell Eco-Marathon di Malaysia. Dua mobil super irit yang diikutkan UGM bahkan mendapatkan penghargaan inovasi teknik terbaik satu dan tiga, sedangkan dua mobil dari ITB masing-masing mendapatkan peringkat kedua di kelas Urban Concept dan communication award. Akibat tertahannya mobil tersebut, pihak UGM harus menyiapkan dana sebesar Rp. 120

Page 88: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

82 ISSN : 2252-911X

juta untuk membayar bea sewa kontainer selama 2,5 bulan.13

Fakta demikian menunjukkan, masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi tidak melulu pada soal regulasi yang mengaturnya. Kesiapan aparat dan birokrasi dalam memahami dan melaksanakan perangkat regulasi yang ada, justru sangat menentukan terlaksana dan tidaknya apa yang menjadi keinginan pembuat regulasi.

Selain itu, terkait dengan dukungan pendanaan oleh pemerintah bagi kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, pemerintah tampaknya perlu memberi perhatian yang lebih terhadap riset-riset dasar. Hal ini disebabkan pada riset dasar itu tidak ada prospek nilai ekonomi yang secara langsung diterima, kecuali hanya kepuasan secara akademik. Karena tidak langsung memberikan nilai tambah ekonomi, maka riset dasar menjadi kurang menarik perhatian bagi dunia usaha dan industri untuk ikut mendanainya. Sedangkan pada riset terapan, dikarenakan lebih tertuju pada manfaat-manfaat praktisnya, maka hasilnya pun jauh lebih bernilai secara ekonomis dibanding riset dasar; dan karenanya dunia usaha dan industri relatif lebih mau terlibat, antara lain dengan menyumbangkan dananya. Oleh karena itulah, dukungan pemerintah terhadap riset dasar mesti lebih diprioritaskan. Sekalipun tidak menyumbangkan nilai ekonomi secara langsung, tetapi dalam jangka panjang hasil-hasil riset dasar akan sangat berguna, termasuk dalam memandu riset terapan.

13 Http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2011/10/15/brk,20111015-61505,id.html, diakses 15 Oktober 2011.

b) Iptek

Dalam bidang iptek, upaya optimalisasi regulasi yang ada terus dilakukan dan dikembangkan untuk mendukung kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Melalui UU No. 18 Tahun 2002 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, ditentukan peran dan tanggung jawab tiap-tiap unsur kelembagaan iptek. Dari perguruan tinggi dan lembaga litbang, badan usaha dan industri, pemerintah, sampai lembaga penunjang, kesemuanya sudah diarahkan peran dan tanggung jawab yang diembannya. Bahkan, agar kesemua unsur kelembagaan tersebut menghasilkan kinerja yang maksimal, ditekankan pula pentingnya suatu jaringan hubungan interaktif, dan diarahkan pula pola hubungan dalam jaringan tersebut.

Namun demikian, karena kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi itu sangat bergantung pada kemauan dan kesanggupan pihak-pihak yang terlibat, maka keberadaan legislasi tentu sekedar mengarahkan saja. Terkecuali pada kegiatan yang, setidaknya sebagiannya, didanai oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, atau juga diberikan fasilitas dan insentif tertentu,14 maka pemerintah tidak bisa memaksakan

14 Sebagai contoh, inventor yang telah diberikan paten, oleh pemerintah dilindungi hak-hak eksklusifnya dalam menggunakan invensinya itu. Di sini, karena inventor mendapatkan fasilitas dan insentif dari pemerintah, yaitu berupa jaminan perlindungan dalam penggunaan penemuannya, maka pemerintah punya kuasa untuk memaksa inventor untuk melaksanakan penemuannya itu di Indonesia.

Page 89: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 83

pihak yang terlibat dalam kegiatan iptek untuk mengembangkan atau menerapkan teknologi tertentu. Oleh karena itu, sekalipun UU sudah memberikan arahan dan batasan mengenai peran dan tanggung jawab tiap-tiap unsur kelembagaan dan jaringan yang menghubungkan kesemua unsur tersebut, realisasi dari arahan petunjuk itu akan bergantung pada kemauan dan kesanggupan masing-masing pihak atau unsur kelembagaan.

Meski begitu, ada beberapa materi muatan dalam perundang-undangan di bidang iptek yang sebenarnya dapat ditingkatkan lagi keberdayaannya sehingga berpengaruh lebih maksimal bagi peningkatan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi. Di antara materi muatan UU No. 18 Tahun 2002, ialah yang berkenaan dengan pembentukan Sentra HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Sebagai unit kerja yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI jelas mempunyai kedudukan dan peran strategis dalam upaya melindungi dan mengelola pemanfaatan kekayaan intelektual yang ada di suatu perguruan tinggi dan lembaga litbang. Dalam upaya melindungi kekayaan intelektual yang ada di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat membantu peneliti di perguruan tinggi dan lembaga litbang bersangkutan untuk mendapatkan hak-hak kekayaan intelektualnya (HKI). Bagi kebanyakan peneliti, upaya mendapatkan HKI terlalu merepotkan. Selain itu, dalam menjalankan fungsi pengelolaan perlindungan ini, Sentra HKI juga akan menjadi bank data sekiranya ada klaim-klaim dari pihak lain terhadap kekayaan intelektual yang dikelolanya.

Sedangkan sebagai unit kerja yang mengelola pemanfaatan teknologi yang ada di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat menjembatani penggunaan teknologi tersebut oleh dunia usaha dan industri. Selain memperkenalkan teknologi yang ada itu kepada dunia usaha dan industri, Sentra HKI dalam menjalankan fungsi pengelolaan pemanfaatan ini juga bisa memberikan panduan mengenai pemanfaatan yang dapat dilakukan, dan mengelola hak-hak (HKI) peneliti dan perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam alih teknologi kepada dunia usaha dan industri.

Oleh karena itu, untuk mendukung perlindungan dan penerapan teknologi, perlu diupayakan perbaikan berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan Sentra HKI.

Di luar aspek regulasi, pemberdayaan Sentra HKI dalam pengelolaan kekayaan intelektual di perguruan tinggi dan lembaga litbang perlu diupayakan dalam bentuk dukungan pendanaan oleh pemerintah. Hibah atau insentif pembentukan Sentra HKI, dan berbagai stimulan yang sifatnya penguatan kelembagaan Sentra HKI, perlu dilakukan secara terus menerus. Hal ini menjadi perlu dilakukan karena strategisnya fungsi Sentra HKI dalam mendukung penerapan teknologi, termasuk melalui alih teknologi, sehingga keberdayaannya perlu terus ditingkatkan.

Materi muatan lainnya yang perlu diberdayakan lagi adalah berkenaan dengan pembiayaan dalam kegiatan pemanfaatan teknologi. Pasal 27 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2002 menegaskan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar

Page 90: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

84 ISSN : 2252-911X

jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akeselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek”. Meski ketentuan ini memberikan ruang bagi penyediaan pendanaan riset, namun ketentuan ini dapat pula dipandang sebagai keraguan pembentuk UU dalam mengatur alokasi anggaran penelitian. Ini artinya, berapapun anggaran yang dialokasikan pemerintah, asalkan ada, dianggap sebagai anggaran yang cukup memadai itu.

Barangkali karena materi muatan yang demikian itu sehingga alokasi anggaran penelitian dan pengembangan iptek masih sangat kecil. Sebagaimana diungkapkan Ketua Komite Inovasi Nasional, Zuhal, dana riset di Indonesia termasuk yang terkecil di dunia. Sejauh ini, porsi dana riset Indonesia hanya 0,1 persen dari Gross Domestic Product (GDP), dengan besaran 10 triliun rupiah, atau 0,8 persen dari APBN. Dana yang ada itupun tersebar dalam berbagai kementerian.15

c) Ekonomi

Dalam bidang ekonomi yang secara umum merupakan aktivitas manusia atau badan usaha yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Beberapa instrumen kebijakan sudah dibuat untuk mendukung perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, seperti kebijakan penanaman modal, perindustrian, paten, UMKM, dan persaingan usaha yang sehat. Kewajiban perusahaan penanaman modal asing untuk menyelenggarakan pelatihan dan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia merupakan

15 Media Indonesia, 15 Juli 2011, “Kasihan, Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia”.

contoh kebijakan penanaman modal yang dimaksudkan terjadinya alih teknologi.

Dalam kaitannya denga paten, ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan paten perlu dibenahi lagi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU Paten, “pemegang paten wajib melaksanakan patennya di Indonesia”. Ini berarti, semua invensi yang didaftarkan hak patennya di Indonesia wajib untuk diproduksi atau diterapkan dalam kegiatan industri di Indonesia. Hal ini jelas merupakan ketentuan yang strategis, sebab dapat mendorong terjadinya alih teknologi ke dalam negeri sekaligus juga mendukung perkembangan industri di dalam negeri. Dari telaah perimbangan antara hak dan kewajiban, ketentuan yang demikian merupakan bentuk perimbangan atas kuatnya hak-hak individual yang dimiliki oleh pemegang hak paten.

Ketentuan tentang pelaksanaan paten sebenarnya sudah ada sejak UU Paten pertama (UU No. 6 Tahun 1989), dan tetap dipertahankan dalam UU Paten berikut-berikutnya (UU No. 13 Tahun 1997 dan UU No. 14 Tahun 2001). Yang berbeda antara UU Paten yang pertama dengan UU Paten yang berikutnya, ialah dalam hal adanya pengecualian dari kewajiban melaksanakan invensi tersebut. Pada UU Paten pertama, yaitu UU Tahun 1989, disebutkan bahwa setiap paten harus dilaksanakan. Namun dalam UU Paten Tahun 1997, ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan paten ini diberikan pengecualian, yaitu dalam hal pelaksanaannya secara ekonomi hanya layak dibuat dengan skala regional. Ini artinya, dengan alasan skala produksi yang masih regional, pemegang paten dapat tidak melaksanakan patennya di Indonesia. Dalam UU Paten Tahun 2001, ketentuan serupa tetap dipertahankan, bahwa

Page 91: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 85

pelaksanaan paten dapat dikecualikan untuk pembuatan produk atau penggunaan proses yang hanya layak dilakukan secara regional. Untuk mendapatkan pengecualian ini, di dalam UU Paten Tahun 1997 dan 2001 disebutkan harus melalui permohonan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang.16

Berkaitan dengan adanya pengecualian itu, seharusnya ditetapkan batasan jangka waktunya. Sebab, jika pengecualian tersebut berlangsung terus menerus dengan tanpa batasan waktu, maka dapat berakibat pada tidak tercapainya tujuan dibentuknya UU Paten, yaitu terjadinya alih teknologi (bila penemuannya berasal dari luar negeri) dan berkembangnya industri di dalam negeri.17

Selain itu, karena kewajiban melaksanakan paten di Indonesia ini merupakan bagian

16 Menurut Penjelasan Ketentuan Angka 9 UU Paten Tahun 1997 tentang Perubahan Pasal 18 UU Paten Tahun 1989 dan Penjelasan Pasal 17 UU Paten Tahun 2001, ketentuan ini untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan paten, sebab tidak semua jenis invensi yang diberi paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan, seperti industri di bidang farmasi dan elektronik. Apabila yang dimintakan pengecualian dari kewajiban melaksanakan paten tersebut terkait dengan obat atau farmasi, maka instansi yang berwenang adalah Departemen Kesehatan, sedangkan bila terkait bidang elektronik maka instansi tersebut adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

17 M. Zulfa Aulia, “Politik Hukum dalam Pembentukan UU Paten”, Tesis S2 pada Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009, hal. 182-184.

dari upaya mengimbangi hak individual yang diberikan oleh negara, maka seharusnya juga bila dalam UU Paten dibuatkan sistem atau lembaga yang dapat mengawasi pelaksanaan paten tersebut. Selama ini, sistem yang agaknya berfungsi untuk melakukan hal itu adalah pembayaran biaya tahunan (annual fee) dalam pemeliharaan paten. Melalui pembayaran biaya tahunan, sedikit banyak akan diketahui paten yang diterapkan dan tidak dalam kegiatan industri. Logikanya, suatu paten yang tidak diterapkan dalam industri tentu tidak akan dibayarkan biaya tahunannya, karena hanya akan menghabiskan biaya saja bila biaya tahunan itu justru tetap dibayarkan. Namun hal ini dapat menjadi tidak logis, karena tidak dihindari pula suatu kenyataan bahwa orang akan tetap mendaftarkan biaya tahunan meski tidak memproduksinya di Indonesia, lebih-lebih karena oleh UU Paten yang berlaku sekarang pihak yang bersangkutan diberikan hak eksklusif untuk mengimpornya. Sebagai pemilik monopoli dalam menyelenggarakan pengadaan produk di Indonesia, maka tentu bukan suatu hal yang memberatkan pemegang paten bila sekedar tetap membayar biaya tahunan.

Oleh karena itu, agar pelaksanaan paten di Indonesia benar-benar terealisasi, dan maksud dibentuknya UU Paten yaitu untuk mengembangkan industri dalam negeri juga dapat terwujud, sebaiknyalah di UU Paten yang dibentuk ke depannya diadakan suatu lembaga ataupun sistem yang berfungsi mengawasi pelaksanaan paten tersebut.

Untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya industri di dalam negeri, maka kegiatan mengimpor sebaiknya

Page 92: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

86 ISSN : 2252-911X

tidak dimasukkan sebagai hak eksklusif, dan kalau tetap harus dimasukkan sebagai hak eksklusif sebaiknya diberikan batasan mengenai impor yang dapat dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan baru pengecualian impor tertentu sebagai hak eksklusif, yaitu impor produk farmasi. Ini artinya, importasi dapat dilakukan oleh siapa saja. Beberapa alasan yang setidaknya dapat digunakan untuk mendukung usulan ini adalah, pertama, importasi merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, agar supaya berbagai produk yang diimpor tersebut tidak dijual di dalam negeri dengan harga yang tinggi, maka sebaiknyalah jika tidak dilakukan secara monopoli oleh pemegang hak patennya saja. Kedua, importasi suatu produk yang diberi paten sebenarnya pada mulanya (UU Paten Tahun 1989) tidaklah dimasukkan sebagai hak eksklusif. Alasan yang dipakai saat itu adalah, bahwa unsur yang terpenting dalam sistem paten terletak pada aspek perlindungan hukum terhadap pemanfaatan hak tersebut di Indonesia, sehingga wajar bila persoalannya dipisahkan dari masalah impor, yang seperti juga ekspor, merupakan masalah tata niaga.18 Selain itu pemisahan ini juga diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan paten dan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kepentingan, serta kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.19

Ketiga, apabila UU Paten ditelaah secara keseluruhan, maka importasi suatu produk sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebab,

18 Lihat Penjelasan Pasal 20 UU Paten Tahun 1989.

19 Lihat Penjelasan Pasal 21 UU Paten Tahun 1989.

suatu invensi yang diberikan paten di Indonesia wajib untuk dilaksanakan pula di Indonesia, dan apabila tidak dilaksana-kan dalam waktu tiga tahun maka paten yang diberikan dianggap batal demi hukum. Dengan demikian, impor suatu produk yang diberi paten jelas tidak diperlukan lagi, karena produk tersebut pasti akan diproduksi di Indonesia. Keharusan produksi di dalam negeri ini pula yang sebenarnya menjadi tujuan dari pembentukan UU Paten, yaitu untuk meningkatkan dan mengembangkan industri nasional. Digolongkannya kegiatan mengimpor sebagai hak eksklusif dalam paten, justru bisa menyebabkan pelaksanaan paten di dalam negeri tidak berjalan baik; dan kalaupun tetap terlaksana, maka patut diduga akan ada pelaksanaan paten yang sekedar menggugurkan kewajiban UU saja, sementara penyediaannya secara massal tetap didatangkan dari luar negeri.20

Masalah dalam kegiatan ekonomi (produksi dan distribusi) dalam kaitannya dengan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, ialah semakin meningkatnya produk impor yang membanjiri pasaran dalam negeri.21 Peningkatan produk impor ini juga tidak lepas dari perdagangan bebas

20 M. Zulfa Aulia, Op. Cit., hal. 179-181.21 Studi Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset

Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia yang tertuang dalam Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014 menunjukkan laju pertumbuhan impor cenderung lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor. Pada tahun 2005 rata-rata pertumbuhan tahunan impor 18,11 persen, lebih besar dari ekspor, 16,86 persen. Pada tahun 2007 ekspor tumbuh 8,04 persen dan impor 8,90 persen. Begitu juga pada tahun 2008, ekspor tumbuh 15,24 persen dan impor 15,47 persen.

Page 93: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 87

yang diikuti oleh Indonesia, sehingga upaya menghambat, atau paling tidak menekan, masuknya produk asing ke dalam negeri, yang biasanya dilakukan melalui pengenaan tarif atau pembatasan kuota, sudah tidak dapat dilakukan lagi, karena bertentangan dengan isi perjanjian perdagangan. Begitu juga pembatasan pelabuhan yang dibolehkan dalam melakukan kegiatan impor, tampaknya juga tidak bisa menekan masuknya produk impor.

Adanya peningkatan impor tersebut pada satu sisi sebenarnya bisa menjadi momentum bagi industri dalam negeri untuk memperbaiki daya saingnya sehingga dapat lebih kompetitif. Namun demikian, pada sisi lain, dengan kondisi infrastruktur yang jauh dari ideal, terutama pada jalur transportasi dan listrik, jelas menjadi sulit bagi industri dalam negeri untuk bersaing secara kompetitif. Biaya yang diperlukan untuk memenuhi infratsruktur transportasi dan listrik itu menjadi berlipat-lipat dari biaya yang seharusnya. Kondisi ini pada perkembangnnya jelas menyulitkan industri dalam negeri untuk bersaing dengan industri dari luar negeri, yang pada umumnya memiliki keunggulan di dua bidang itu, di samping keunggulan dalam bidang sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu diupayakan pembatasan impor, sembari di dalam negeri sendiri dilakukan perbaikan struktur dan infrastruktur industri. Upaya dalam membatasi impor tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan dengan pembatasan kuota atau pengenaan tarif yang tinggi, sebab sudah tidak dibenarkan lagi dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), di mana Indonesia merupakan bagian dari pesertanya sehingga terikat untuk memberlakukannya. Salah satu upaya

yang dapat dibenarkan oleh GATT, ialah melalui tindakan pengamanan (safeguard measures).

Apa yang disebut dengan tindakan pengamanan adalah “tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.22 Dalam tindakan pengamanan industri di dalam negeri itu, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menaikkan tarif masuk ataupun membatasi kuota impor. Hal ini berarti tarif bea masuk dan restriksi kuantitatif (kuota) masih tetap dibenarkan untuk dikenakan, tetapi hanya sebatas sebagai pelaksanaan tindakan pengamanan.

Sejauh ini upaya melindungi industri dalam negeri melalui safeguard sudah dilakukan. Hanya saja safeguard yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia masih sedikit sekali, yaitu terhadap keramik (ceramic tableware), dextrose monohydrate, dan paku. Padahal, dengan membludaknya produk impor sekarang ini, termasuk pada buah-buahan yang akhir-akhir ini sangat meresahkan karena menyebar luas hingga pasar tradisional, dan pada saat yang bersamaan industri dalam negeri berkembang lamban (sebagian pihak menyebut telah terjadi gejala deindustrialisasi), maka patut

22 Pasal 1 butir ke-1 Keppres No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor.

Page 94: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

88 ISSN : 2252-911X

diduga kalau industri dalam negeri sedang mengalami kerugian akibat lonjakan produk impor. Oleh karena itulah, perbaikan dalam pengenaan safeguard perlu dilakukan oleh pemerintah.

Masalah lainnya lagi yang berkenaan dengan upaya meningkatkan kegiatan perkeyasaan, inovasi dan difusi teknologi, ialah distribusi investasi yang sekarang berlangsung. Benar bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif termasuk yang tinggi. Demikian pula dengan investasi secara nasional, juga menunjukkan pencapaian yang tinggi. Namun demikian, yang menjadi permasalahan sekarang adalah tidak meratanya penyebaran investasi itu. Dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010), investasi yang berlangsung di Indonesia ternyata 91,23 persen berlokasi di Pulau Jawa, 6,79 persen di Sumatera, sisanya menyebar ke daerah lain. Selain itu, investasi tersebut kebanyakan berada pada sektor sekunder, yaitu 78,15 persen, sedangkan tersier 13,21 persen, dan primer 8,61 persen. Hal ini berarti investasi yang berlangsung kebanyakan ada pada sektor perdagangan, dan tidak pada kegiatan industri (pengolahan) atau jasa.23

Berdasarkan fakta demikian, pemerintah perlu mengupayakan penyebaran investasi ke seluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi investasi di daerah atau kawasan tertentu, justru akan semakin memperlebar kemajuan pembangunan antar daerah. Instrumen kebijakan sebaiknya diarahkan pada penyebaran investasi ini. Perangkat regulasi yang berkenaan dengan investasi harus diarahkan pada penyebaran investasi ke berbagai wilayah, sehingga

23 Ahmad Erani Yustika, “Jebakan Investasi”, Kompas (6 Juli 2010).

perkembangan pembangunan juga tidak terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja.

d) Ketenagakerjaan

Dalam upaya meningkatkan kegiatan yang berkenaan dengan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, diperlukan strategi kebijakan ketenagakerjaan yang tepat. Hal ini dikarenakan dalam tahap implementasinya nanti tenaga kerja juga yang menentukan bagaimana kegiatan perekayasaan, inovasi, atau difusi teknologi dikerjakan. Dalam menyiapkan strategi kebijakan ketenagakerjaan yang tepat itu, tidaklah cukup upaya dilakukan sebatas mendorong pertumbuhan investasi baru sehingga memberikan kesempatan kerja. Lebih dari itu, diperlukan dorongan besar untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki etos membangun ketrampilan, kerja keras dalam lingkup pribadi, komunitas, dan ikatan sosial.24

Berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang ada sudah mendukung kegiatan perekayasa-an, inovasi dan difusi teknologi. Sebagai contoh, adanya instrumen kebijakan yang ditujukan bagi pemberian tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi penelitian dan perekayasaan, yaitu melalui PP No. 31 Tahun 2007. Selain itu juga ada PP No. 30 Tahun 2007, yang merupakan instrumen kebijakan bagi tunjangan jabatan fungsional peneliti.

Meski demikian, upaya lainnya di bidang ketenagakerjaan yang diarahkan untuk mendukung penelitian, pengembangan,

24 Erman Suparno, National Manpower Strategy (Strategi Ketenagakerjaan Nasional: Sebuah Upaya Meraih Keunggulan Kompetitif Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 319.

Page 95: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 89

dan penerapan teknologi, perlu terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan peran konsultan rekayasa. Sebagaimana diketahui, dalam pembangunan di Indonesia, terutama semenjak orde baru, banyak digunakan dana utang (loan) dari luar negeri. Kebanyakan utang tersebut datang ke Indonesia dalam bentuk rencana dan rancangan yang sudah jadi, termasuk dalam metode pelaksanaannya dan keterlibatan tenaga ahli (expert) asing. Dari perspektif inovasi, proses desain dan rekayasa beserta nilai tambah yang berasal dari luar negeri, atas biaya bangsa Indonesia, tentu tidak memberikan nilai tambah dan transfer teknologi bagi bangsa Indonesia.25

Oleh karena itulah, perlu dibuatkan aturan yang mengharuskan desain dan rekayasa proyek-proyek yang didanai dari utang luar negeri berlangsung di dalam negeri, dengan jumlah tenaga ahli yang terbatas, dan harus dilakukan dengan kerja sama (join operation) bersama konsultan dalam negeri.26 Adanya aturan semacam ini dimaksudkan agar kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi itu dilakukan di dalam negeri, sehingga nilai tambah yang dihasilkan pun dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia. Aturan yang demikian juga dimaksudkan untuk lebih memberdayakan ahli-ahli (konsultan) dari Indonesia sendiri untuk lebih terampil dalam kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, dan semakin terlibat dalam pembangunan nasional.

Selain itu, dalam suatu perusahaan patungan antara mitra lokal dan mitra asing, mesti dibuat sistem yang mendorong

25 M. Sahari Besari, Op. Cit., hal. 250-251.26 Ibid.

mitra lokal mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam penguasaan kecakapan teknologi.27Sebab, usaha teknologi lokal oleh mitra lokal pada suatu perusahaan patungan, sebagaimana ditunjukkan dalam studi Thee Kian Wie, ternyata lebih terhambat dibanding pada perusahaan nasional. Sebab, dalam suatu perusahaan patungan, minat alih teknologi oleh mitra asing terbatas pada kerekayasaan produksi, yaitu pengoperasian pabrik yang sudah ada secara mulus. Sepanjang pabrik dapat dioperasikan secara mulus dan menghasilkan laba yang cukup memadai, maka penguasaan keahlian teknologi lokal oleh para mitra lokal mendapat prioritas yang rendah. Sedangkan pada perusahaan nasional, upaya penguasaan keahlian teknologi tidak hanya pada perekayasaan produksi, tetapi juga pelaksanaan proyek pemantapan kecakapan produksi.28

Oleh karena itu, agar supaya tenaga kerja dalam negeri mendapatkan keahlian teknologi, maka dalam suatu perusahaan

27 Kemampuan teknologis adalah kemampuan untuk memanfaatkan suatu teknologi secara efektif dan meliputi kemampuan untuk memilih teknologi yang tepat guna untuk menghasilkan sesuatu barang dan untuk menjalankan proses produksi secara efisien. Selain itu, kemampuan teknologi juga meliputi kemampuan mengadakan perubahan-perubahan dalam barang-barang yang dihasilkan, dalam proses-proses produksi dan dalam pengaturan-pengaturan organisasi dan prosedur di pabrik-pabrik yang diperlukan untuk mencapai dan memeprtahankan daya saing internasional di suatu industri. Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia; Beberapa Kajian (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1996), hal. 228.

28 Ibid, hal. 241-242.

Page 96: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

90 ISSN : 2252-911X

patungan harus diupayakan menyeleng-garakan pendidikan dan pelatihan penguasaan teknologi yang ditujukan bagi mitra dan tenaga kerja lokal.29 Dengan upaya ini, penguasaan teknologi dalam perusahaan patungan itu tidak semata dikuasai oleh tenaga kerja asing, tetapi juga tertular dan tersebar kepada tenaga kerja domestik. Upaya ini pada masa sekarang perlu mendapat perhatian lebih karena relokasi perusahaan asing, dengan alasan efisiensi produksi dan pemasaran, terus berlangsung.

e) Infrastuktur

Dalam upaya meningkatkan kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, infrastruktur jelas berperan sangat penting. Adanya infrastruktur yang baik dapat mendorong aktivitas rekayasa, inovasi dan difusi teknologi menjadi berkembang. Sebaliknya pula, infrastruktur yang tidak baik turut menghambat upaya penerapan

29 Upaya ini, yang disebut juga Thee Kian Wie sebagai upaya memahami, mengasimilasi dan menguasai teknologi, perlu dilakukan dalam konteks proses inovasi di dalam negeri, dikarenakan Indonesia, seperti juga negara-negara berkembang lainnya, adalah pengimpor teknologi dari negara-negara maju. Oleh karenanya, upaya yang diperlukan di sini adalah perlunya mengembangkan kemampuan untuk menggunakan teknologi secara efektif dan efisien. Kemampuan atau penguasaan teknologi ini tidak bisa dicapai secara otomatis, tapi harus dengan upaya teknologi, yaitu investasi dari seluruh sumber daya perusahaan yang terfokus dan berkelanjutan. Lihat wawancara Kusmayanto Kadiman dengan Thee Kian Wie, “Nalar Ekonomi vs Nalar Teknologi, dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008), hal. 128.

teknologi. Hal ini dikarenakan dukungan infrastruktur itu akan sangat memengaruhi biaya produksi dan biaya pengangkutan. Apabila infrastruktur tidak baik, maka biaya produksi menjadi membengkak dan biaya transportasi pun meningkat. Hal ini berdampak pada daya beli masyarakat yang menjadi sangat rendah. Kondisi ini kemudian diperparah dengan keharusan produk tersebut bersaing dengan produk serupa (like product) yang berasal dari luar negeri. Karena keunggulan infrastruktur, dan tentu saja bidang-bidang lainnya, sehingga produk impor malah menjadi lebih laku di pasaran domestik, sementara produk dari dalam negeri tidak mampu bersaing.

Kondisi infrastuktur itu, baik yang berkaitan dengan transportasi maupun listrik, menunjukkan perbedaan sangat tajam kalau diperbandingkan antar daerah. Di Jawa kondisinya relatif lebih bagus, sementara di luar Jawa pada umumnya yang relatif bagus hanya di perkotaan saja. Padahal, untuk menunjang keberhasilan produksi suatu teknologi, dibutuhkan infrastruktur yang baik dari hulu hingga hilir-nya. Ada saja di antara yang hulu dan hilir itu yang tidak baik, akan berakibat pada bertambahnya biaya produksi dan pengangkutan.

Oleh karena itu, perbaikan dalam infrastruktur menjadi sangat mendesak dilakukan sekarang ini. Terlebih lagi perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia sudah mulai berlaku, semisal yang melibatkan wilayah ASEAN dan Cina. Dalam perdagangan bebas ini, berbagai produk domestik harus bersaing dengan produk impor, yang relatif sudah tidak mendapatkan halangan lagi untuk memasuki pasaran dalam negeri, kecuali

Page 97: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 91

tarif yang sebenarnya sudah semakin menurun. Kalau infrastruktur tidak diperbaiki, industri dalam negeri jelas memikul beban yang sangat berat untuk bisa bersaing dengan produk impor. Kalau sudah tidak bisa bersaing, ancaman gulung tikar menjadi sangat terbuka.

Berbagai regulasi yang ada sebenarnya sudah diarahkan untuk mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Kegiatan penelitian berkenaan dengan riset dan rancang bangun kendaraan bermotor, perkereta-apian, penerbangan, dan perkapal-an, misalnya, jelas sangat mendukung bagi berkembangnya aktivitas pengembangan teknologi transportasi. Begitu juga dengan tuntutan untuk menggunakan komponen lokal yang sebanyak-banyaknya dalam industri moda transportasi, juga menunjukkan agar industri transportasi menjadi semakin berkembang.

Persoalan utama dalam infrastruktur ini adalah pada keseriusan pemerintah dalam membenahi dan membangun jalur-jalur transportasi yang semakin terintegrasi antarwilayah. Sudah jamak diketahui, pembangunan jalur transportasi darat sejauh ini banyak yang asal dikerjakan, sehingga ketahanannya hanya bertahan sebentar. Jembatan timbang yang seperti tidak berfungsi semakin memperparah kualitas jalan yang memang sudah tidak bagus. Sebagai akibatnya, tahun berganti kejadian serupa tetap berulang. Jalan dibangun lagi dan segera setelah itu mengalami kerusakan.

Dengan demikian, daripada soal regulasinya, persoalan dalam infrastruktur sebenarnya lebih terletak pada kesungguhan pemerintah (baik pusat maupun daerah)

dalam membenahinya. Ketiadaan kemauan pemerintah yang sungguh-sungguh, akan menjadikan persoalan infrastruktur selalu menjadi persoalan, tidak saja dalam upaya rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, melainkan dalam proses pembangunan secara keseluruhan.

Infrastuktur lainnya yang sangat memengaruhi kegiatan penelitian, pengem-bangan dan penerapan teknologi, ialah berkenaan dengan fasilitas penelitian dan pengembangan iptek. Penyediaan fasilitas penelitian dan pengembangan iptek yang lebih memadai, karenanya perlu diupayakan. Terhadap pusat-pusat penelitian yang dipunyai pemerintah, yang memiliki kelengkapan fasilitas, sebaiknya harus diperluas lagi penggunaannya oleh masyarakat. Keberadaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), misalnya, mesti diperluas penggunaannya. Meski sudah ada Peraturan Menteri Riset dan Teknologi yang mengatur penggunaan penggunaan Puspiptek, yaitu Permenristek No. 02/M/PER/IV/2010, masih banyak yang belum mengetahui keberadaan Puspiptek. Oleh karenanya, sosialisasi, semisal dalam bentuk pameran, yang dimaksudkan untuk mengenalkan Puspitek perlu dilakukan, terutama di perguruan-perguruan tinggi dan komunitas-komunitas peneliti dan pencinta ilmu pengetahuan. Pengenalan berbagai produk iptek yang dikelola Puspitek dalam acara berlabelkan “Ranking 1” di salah satu stasiun televisi swasta nasional, bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya mengenalkan Puspitek kepada masyarakat luas.

Adanya keterbukaan dalam aksesibilitas pusat-pusat penelitian yang memiliki fasilitas yang memadai itu tentu bisa

Page 98: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

92 ISSN : 2252-911X

menjadi solusi dalam menjawab keterbatasan fasilitas pendukung di sebagian besar lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Dalam hal ini, peneliti-peneliti yang tersebar dalam berbagai perguruan tinggi dan lembaga litbang, dapat memanfaatkan fasilitas penelitian yang ada di pusat-pusat penelitian yang memadai itu.

f) Pendidikan

Anies Baswedan menggambarkan peran penting pendidikan itu sebagai “eskalator sosial ekonomi dan sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat masa depan”.30 Maju dan tidaknya suatu masyarakat dan bangsa, secara sosial maupun ekonomi, sangat ditentukan oleh pendidikan yang dikembangkan di masyarakat dan bangsa itu.

Peranan pendidikan yang demikian itu sangat terlihat sekali dalam jenjang pendidikan tinggi. Dalam pendidikan tinggi, perguruan tinggi punya kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, selain juga kewajiban dalam bidang pengajaran. Ketiganya, yang merupakan bidang yang harus diselenggarakan setiap perguruan tinggi, dikenal sebagai tridarma perguruan tinggi. Hanya saja memang, dari ketiga bidang tersebut, bidang pengajaran masih menjadi yang paling menonjol dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Sampai-sampai dikenali perguruan tinggi itu sebagai universitas pengajaran (teaching university). Agaknya belum terlalu lama di Indonesia orientasi kegiatan di perguruan tinggi diarahkan pada bidang penelitian. Istilah

30 Kompas ekstra, 25 April 2011, edisi pendidikan.

universitas riset (research university), yang sekarang ini banyak digunakan oleh perguruan tinggi di Indonesia, belum terlalu lama digunakan oleh perguruan tinggi Indonesia sebagai identitasnya. Adanya perubahan sebutan ini, setidaknya menunjukkan perubahan orientasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dari yang sebelumnya lebih terkonsetrasi pada pengajaran, kemudian diarahkan untuk mengembangkan aktivitas riset. Meskipun juga harus dikatakan bahwa belum banyak sebenarnya perguruan tinggi yang berani menggunakan universitas riset sebagai identitasnya, disebabkan kegiatan penelitian iptek sendiri belum banyak dilakukan.

Sekarang ini kritik terhadap kegiatan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi banyak disampaikan. Aktivitas perguruan tinggi yang lebih banyak pada bidang pengajaran, ditengarai telah menjadikan perguruan tinggi kurang respon terhadap persoalan kemasyarakatan. Oleh Saratri Wilonoyudho dikatakan, perguruan tinggi di Indonesia sedang mengalami krisis ide besar.31 Salah satu bukti terjadinya krisis ide besar ini adalah, perguruan tinggi sampai tertipu oleh proyek blue energy yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan energi di masa mendatang.

Pada masa sekarang, peluang bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek sebenarnya sangat terbuka. Beralihnya pengelolaan sebagian penelitian dan pengembangan iptek dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (DP2M) kepada perguruan

31 Saratri Wilonoyudho, “Perguruan Tinggi Krisis Ide Besar”, Jawa Pos, 30 Juni 2008.

Page 99: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 93

tinggi dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), merupakan peluang yang besar bagi perguruan tinggi dalam meningkatkan perannya sebagai pengembang iptek. Namun demikian, tradisi meneliti yang tidak merata antar perguruan tinggi, ditambah lagi dengan banyak fasilitas penelitian yang tidak memadai, membuat desentralisasi pengelolaan penelitian dan pengembangan iptek bisa menjadi tidak efektif. Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam mengatasi kesenjangan dalam meneliti ini adalah dengan menugaskan peneliti-peneliti unggul di perguruan tinggi ‘berperingkat internasional’ untuk “membina” penelitian yang dikembangkan oleh perguruan tinggi yang tradisi penelitiannya belum berkembang baik. Adanya pembinaan dari pihak eksternal ini penting sekali untuk melihat secara lebih obyektif kegiatan penelitian yang berlangsung di suatu perguruan tinggi, sehingga diketahui kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi.

Selain itu, penyelenggaraan magang bagi dosen-dosen di perguruan-perguruan tinggi yang tidak memiliki rekam penelitian yang bagus di perguruan tinggi yang rekam penelitiannya bagus, juga perlu dilakukan. Upaya semacam ini setidaknya bisa menjembatani kesenjangan kualitas antar perguruan tinggi dalam menghasilkan penelitian yang berkualitas. Pengalaman yang diperoleh selama menjalani magang tentu menjadi pengalaman berharga ketika dosen yang bersangkutan kembali ke perguruan tinggi asalnya. Adanya program magang, sekaligus juga bisa menyegarkan (refreshing) kinerja dosen yang kebanyakan terjebak dalam suasana rutinitas pekerjaan di lingkungannya.

Kritik yang juga sering disampaikan adalah tidak siapnya lulusan tersebut dalam pekerjaan praktis. Hal ini diperparah dengan jumlah pengangguran yang tinggi, yang sebagian besarnya merupakan lulusan pendidikan tinggi. Kombinasi lulusan yang tidak siap bekerja dan jumlah lulusan yang menganggur ini menunjukkan adanya masalah serius yang sedang dihadapi perguruan tinggi sekarang ini. Padahal, sebagai pendidikan profesional (professional education), pendidikan tinggi strata satu mengemban tugas dalam menyiapkan lulusan yang siap bekerja.32

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mendukung penyiapan lulusan yang siap bekerja, ialah dengan menugaskan peserta didik untuk magang di tempat kerja. Sejauh ini, magang dalam masa studi hanya dikenali dalam jurusan teknik. Sedangkan pada jurusan lainnya, magang dianggap tidak lumrah. Meskipun ada, sangat sedikit fakultas hukum, misalnya, yang menugaskan mahasiswanya untuk magang di lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan lain sebagainya. Padahal, adanya magang, sekalipun misalnya hanya dua minggu, bisa mengenalkan peserta didik pada dunia pekerjaan.

Oleh karena itulah, perangkat regulasi sebaiknya disiapkan untuk mendukung model-model kegiatan yang dapat meningkatkan kompetensi perguruan

32 Tugas yang diemban perguruan tinggi semacam ini tidak berlaku dalam pendidikan srata dua dan tiga. Pada pendidikan tinggi strata dua dan tiga, perguruan tinggi bertugas memberikan pendidikan keilmuan (scientific education) ketimbang pendidikan profesional, sekalipun dalam pendidikan keilmuan itu pasti berperan juga dalam mendukung profesionalitas suatu profesi.

Page 100: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

94 ISSN : 2252-911X

tinggi dan dosen dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, sekaligus juga model-model kegiatan yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik pada dunia pekerjaan.

8. Penutup

Dari pembahasan di atas, pemetaan legislasi iptek dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam upaya penguatan SINasmenggaris bawahi beberapa hal, serta kebijakan regulasi yang diperlukan.

a. Permasalahan dan kendala yang dihadapi lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam upaya komersialisasi kekayaan intelektual dan hasil kegiatan litbang ke sektor industri dan dunia usaha, antara lain adalah, hasil penelitian yang dihasilkan banyak yang tidak siap diterapkan, keengganan badan usaha dan industri untuk berinovasi, dan tersumbatnya komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi sehingga berbagai hail litbang maupun produk invensi dalam negeri sulit bersaing dengan produk serupa yang berasal dari impor.

b. Berbagai produk legislatif yang diarahkan untuk meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek dapat dikelompokkan dalam bidang keuangan/perpajakan, iptek, ekonomi, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan pendidikan. Dalam bidang keuangan, kebijakan yang dibuat adalah dalam bentuk pemberian fasilitas dan insentif kepada pengembang dan pengguna teknologi untuk lebih terlibat dalam

kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi. Pada bidang iptek, kebijakan dibuat dalam bentuk penegasan peran dan tanggungjawab tiap-tiap unsur kelembagaan iptek, serta penciptaan suatu jaringan hubungan interaktif. Pada bidang ekonomi, kebijakan dibuat untuk meningkatkan kegiatan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Termasuk dalam bidang ekonomi ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam penemuan teknologi. Pada bidang ketenagakerjaan, kebijakan yang dibuat ditujukan pada pemberian tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi penelitian dan perekayasaan, serta juga jabatan fungsional peneliti. Pada bidang infrastruktur, kebijakan yang dibuat diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi transportasi, semisal riset dan rancang bangun kendaraan bermotor, perkeretaapian, penerbangan, dan perkapalan. Selain itu, di bidang infrastruktur ini kebijakan juga ditujukan untuk mendorong perkembangan industri transportasi, semisal penggunaan komponen lokal yang sebanyak-banyaknya. Di bidang pendidikan, kebijakan yang dibuat ditujukan untuk menegaskan tugas dan tanggung jawab perguruan tinggi dalam penelitian dan pengembangan iptek.

c. Perbaikan dalam regulasi perlu terus dilakukan untuk mendukung kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi. Pada bidang keuangan, upaya regulasi yang masih harus dilakukan adalah insentif pengecualian dana penelitian yang

Page 101: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 95

diperoleh peneliti sebagai bagian dari obyek penghasilan yang dikenakan pajak. Pada bidang iptek, upaya regulasi yang perlu disiapkan ialah yang berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan Sentra HKI, serta penegasan alokasi pendanaan penelitian oleh pemerintah. Di bidang ekonomi, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah penetapan batasan jangka waktu dalam pengecualian penerapan paten dikarenakan skala produksi yang masih terbatas; penghapusan, atau paling tidak pembatasan, hak eksklusif inventor dalam melakukan impor; optimalisasi penggunaan tindakan pengamanan (safeguard) dalam mengamankan industri dalam negeri dari lonjakan impor; dan distribusi investasi yang menyebar ke berbagai daerah dan wilayah di Indonesia. Pada bidang ketenagakerjaan, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah penegasan pengerjaan desain dan rekayasa di dalam negeri terhadap proyek-proyek yang didanai pemerintah; serta penegasan penyelenggaraan kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan penguasaan kecakapan teknologi oleh mitra dan tenaga kerja lokal dalam setiap perusahaan patungan yang melibatkan pihak luar negeri. Di bidang

infrastruktur, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah percepatan pembangunan infrastruktur, baik itu jalan, listrik, maupun fasilitas penelitian. Di bidang pendidikan, upaya regulasi perlu dilakukan pada pembinaan pengelolaan penelitian di perguruan tinggi oleh peneliti-peneliti handal dan teruji; magang bagi dosen, terutama dosen muda, di perguruan tinggi yang memiliki tradisi penelitian yang bagus; dan magang bagi peserta didik di dunia kerja.

Oleh karena itu berbagai upaya mendorong perkembangan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi perlu dilakukan secara berkesinambungan.

Selain itu, pembentukan semacam kebijakan-kebijakan pendukung termasuk juga petunjuk pelaksanaaan teknis, yang memuat berbagai kebijakan dalam penelitian, pengembangan dan penerapan iptek, juga perlu diupayakan. Kebijakan yang lebih operasional ini dapat menjadi instrumen pelaksanaan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek yang tersebar ke dalam berbagai perundang-undangan. Hal ini akan memudahkan pemahaman berbagai regulasi yang ada itu, semacam petunjuk pelaksana teknis, perlu diadakan.

Page 102: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

96 ISSN : 2252-911X

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Amir Pamuntjak, “Dasar Pokok Alih Teknologi”, dalam Amir Pamuntjak, dkk., Sistem Paten: Pedoman Praktik dan Alih Teknologi (Jakarta: Djambatan, 1994).

Bismar Nasution, “Reformasi Hukum dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi”, makalah Diskusi Pembangunan Hukum dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Fakultas Hukum USU Medan, 25 September 1999.

Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014.

B.J. Habibie, “Penerapan Teknologi Canggih di Negara Berkembang: Kasus Indonesia”, dalam Deliar Noer & Iskandar Alisjahbana, Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta: Dian Rakyat, 1988).

Erman Suparno, National Manpower Strategy (Strategi Ketenagakerjaan Nasional: Sebuah Upaya Meraih Keunggulan Kompetitif Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).

H.Tb. Bachtiar Rifai, Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Gramedia, 1986).

Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008).

Maria Farida Idrati S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007).

M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi (Jakarta: Salemba Teknika, 2008).

M. Zulfa Aulia, “Politik Hukum dalam Pembentukan UU Paten”, Tesis S2 pada Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009.

National Innovation Systems, OECD, 2007, hal. 10.

Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia; Beberapa Kajian (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1996).

Wiratmo Sukito, “Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi”, Pengantar dalam Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1984).

Surat kabar

Ahmad Erani Yustika, “Jebakan Investasi”, Kompas (6 Juli 2010)

Kompas, 30 September 2011, “Inovasi di Dunia Usaha Masih Minim”.

Media Indonesia, 15 Juli 2011, “Kasihan, Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia”.

Saratri Wilonoyudho, “Perguruan Tinggi Krisis Ide Besar”, Jawa Pos, 30 Juni 2008.

Website

H t t p : / / w w w . b p p t . g o . i d / i n d e x .php?option=com_content&view=article&id=397:sistem-inovasi-nasional-untuk-menjawab-tantangan-pasar-global&catid=46:umum, diakses 10 Juli 2011.

Http://www.dgip.go.id, diakses pada tahun 2007 dan September 2011.

Page 103: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 97

H tt p : / / w w w.te m p o i nte r a k t i f. co m /hg/layanan_publ ik/2011/10/15/brk,20111015361505,id.html, diakses 15 Oktober 2011.

Publikasi Kegiatan

www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 25 April 2011 di Kementerian Ristek.

www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 24 Mei 2011 di Kalimantan Tengah.

www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 31 Mei 2011 di LPPM USU Medan.

www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 24 Juli 2011 di FH Unair Surabaya.

Page 104: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya
Page 105: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 99

Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih Teknologi

Anwar Darwadi, Wisnu S. Soenarso, Harry Jusron, Pancara Susanto Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta

Abstract

PUSPIPTEK has not played a significant role as establisment of National Innovation System in Indonesia. Despite its well established R&D capacity, PUSPIPTEK has not been successful in transfering developed technologies to industries or other users. Consequently, financial support from industry is insignificant and PUSPIPTEK is still heavily dependent on government’s funding. However, at present, government is not placing its priority on science and technology sector. In long run, R&D capacity of PUSPIPTEK may become stagnant or may even be deteriorated. For stimulating role of PUSPIPTEK in technology transfer, Ministry of Research and Technology need to formulate regulations and public policies associated with establishment of Technology Transfer Center (TTC) as front office in accelerating diffusion of technology and intensifying collaboration with technology users and supporting institutions. Functions of the TTC include developing a design center, prototype development, and productivity center. Moreover, it also allocates budget for early stages of technology transfer, as well as for seed capital and start-up capital for a venture companies.

Abstrak

PUSPIPTEK saat ini belum berfungsi sebagai sub-sistem penting dalam sistem inovasi nasional. Walaupun PUSPIPTEK memiliki keunggulan kompetensi iptek, bila hal ini tidak dimanfaatkan sektor industri untuk mengembangkan usaha mereka, maka kontribusi pembiayaan dari sektor swasta akan terbatas dan PUSPIPTEK akan sangat tergantung pada anggaran pemerintah yang saat ini belum memposisikan pembangunan iptek sebagai prioritas. Akibatnya, perkembangan keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK dalam pengembangan teknologi akan stagnan atau bahkan terdeteroriasi. Untuk menstimulasi alih teknologi dari PUSPIPTEK, Kementerian Ristek perlu memformulasikan regulasi dan kebijakan untuk mendukung pembentukan Pusat Alih Teknologi yang berfungsi sebagai front-office untuk mendorong difusi teknologi dan menjalin kolabolasi dengan lembaga pengguna teknologi dan instansi penunjang lainnya. Fungsi ini mencakup pegembangan pusat desain, pengembangan prototipe, dan pusat produktivitas, serta untuk pembiayaan tahap awal kegiatan alih teknologi, seed capital dan start-up capital bagi perusahaan modal ventura.

Kata kunci: sistem inovasi, techno-park, pusat alih teknologi, modal ventura

Page 106: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

100 ISSN : 2252-911X

1. Pendahuluan

Ketidakcermatan Indonesia dalam berbagai perjanjian dan kesepakatan baik di tingkat ASEAN, APEC, dan global telah berakibat kurangnya keleluasaan pemerintah dalam menerapkan berbagai bentuk hambatan tarif atau hambatan teknis perdagangan, sehingga pelaku bisnis di Indonesia akan berhadapan dengan persaingan bebas, baik di pasar domestik, regional, maupun global.

Persaingan bebas tersebut sangat dipengaruhi oleh penguasaan sistem ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge base economy) yang menggarisbawahi pentingnya kemampuan inovasi sebagai faktor utama daya saing ekonomi.

Untuk dapat memperoleh keuntungan dari persaingan tersebut, Indonesia harus membentuk sistem ekonomi yang efisien dan persaingan pasar yang sehat. Pemerintah dan semua elemen bangsa harus memiliki komitmen dan konsistensi dalam membangun ekonomi yang inovatif dan responsif untuk menghadapi berbagai bentuk persaingan dan dinamika permintaan pasar.

Upaya mewujudkan ekosistem yang kondusif dan penerapan berbagai inisiatif untuk menstimulasi perkembangan sistem inovasi nasional harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Saat ini sangat dibutuhkan berbagai kebijakan pemerintah yang dapat menstimulasi perkembangan kemampuan inovasi di sektor bisnis, juga dapat mendorong efektivitas sektor penelitian dan pendidikan dalam mengembangkan potensi iptek serta memasok iptek ke dunia bisnis, baik melalui penyediaan tenaga kerja iptek, informasi ilmiah, maupun

penyediaan jasa iptek. Pembentukan kapasitas inovasi di masa datang tergantung pada perkembangan dan kualitas penelitian di perguruan tinggi dan lembaga litbang saat ini.

Pada tahun 1976 Menteri Riset Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah memprakasai pembangunan PUSPIPTEK Serpong dengan tujuan memindahkan pusat litbang milik LIPI, BATAN, BIG (sebelumnya bernama Bakosurtanal), dan LAPAN ke suatu kawasan. Hal ini dimaksudkan agar pusat-pusat tersebut, dengan berbagai kegiatan mereka, dapat membentuk kemampuan riset iptek untuk mendukung pembangunan nasional. Kemudian, dengan tujuan mendukung percepatan industrialisasi di Indonesia, Menteri Negara Ristek Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie memperluas arah pengembangan PUSPIPTEK menjadi techno-park dengan memasukkan kawasan industri teknologi tinggi dan kawasan pendidikan tinggi sebagai elemen baru dalam keseluruhan kawasan PUSPIPTEK.

Pada tahap awal proses transformasi industri ini, PUSPIPTEK lebih berperan sebagai unsur pendukung inovasi, namun pada tahap lanjut proses transformasi ini, PUSPIPTEK harus berperan dalam posisi sentral karena perkembangan industrialisasi pada tahap-tahap tersebut harus dilandaskan pada kemampuan inovasi yang sangat memerlukan dukungan penelitian dan penguasaan iptek yang kuat.

Pelaksanaan pengembangan PUSPIPTEK diawali dengan pembangunan kawasan laboratorium; sedangkan pengembangan kawasan industri dan kawasan pendidikan tinggi sampai saat ini belum sepenuhnya sesuai harapan.

Page 107: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 101

Menteri B.J. Habibie pernah memberikan pengarahan agar Kawasan Techno Park – Bumi Serpong Damai dan perguruan tinggi Institut Teknologi Indonesia yang dibangun didekat kawasan laboratorium PUSPIPTEK diintegrasikan ke dalam pengembangan PUSPIPTEK, namun hingga saat ini perkembangan PUSPIPTEK dan kedua sentra tersebut tidak terkait satu sama lain.

Pada saat ini di kawasan tersebut telah berdiri 35 pusat litbang yang telah menelan investasi pemerintah sebesar ± 500 juta US dolar. Komposisi SDM yang bekerja di PUSPIPTEK adalah berpendidikan S3 sebanyak 109 orang, berpendidikan S2 sebanyak 400 orang, dan berpendidikan S1 dan D3 sebanyak 2000 orang.

Walaupun belum semua rencana pengembangan PUSPIPTEK dapat terlaksana secara lengkap, jika ditinjau dari jumlah pusat iptek dan SDM yang dimiliki seharusnya saat ini PUSPIPTEK telah dapat berfungsi sebagai sub-sistem yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional sesuai dengan visi kedua menteri yang memprakasai pembangunan kawasan ini. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini, keunggulan Puspiptek tidak dimanfaatkan pelaku bisnis untuk mengembangkan usaha mereka. Pengambil keputusan di sektor bisnis belum memandang PUSPIPTEK sebagai aset nasional yang dapat mendukung perkembangan dan daya saing usaha, sehingga pendapatan PUSPIPTEK dari sektor swasta menjadi sangat terbatas dan PUSPIPTEK menjadi sangat tergantung pada anggaran pemerintah.

Ditinjau dari investasi di Kota Tangerang Selatan (lokasi PUSPIPTEK), tidak ada indikasi yang kuat bahwa PUSPIPTEK merupakan aset yang menstimulasi perkembangan industri padat teknologi di wilayah ini.

Sementara itu, para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah tampaknya juga tidak lagi menempatkan PUSPIPTEK sebagai elemen penunjang pertumbuhan ekonomi nasional yang strategis, karena kontribusi nyata PUSPIPTEK bagi pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, tidak signifikan, akibatnya pembiayaan PUSPIPTEK juga bukan merupakan prioritas anggaran pemerintah.

Keadaan ini mengakibatkan sumber pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan iptek dan reinvestasi sarana litbang di PUSPIPTEK menjadi terbatas, sehingga dengan berjalannya waktu, diperkirakan perkembangan sumber keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK akan mengalami stagnasi atau bahkan menurun.

2. Alih Teknologi

Berbagai studi ekonomi menunjukkan bahwa inovasi adalah faktor pertumbuhan ekonomi yang sangat penting. Bahkan para ekonom dunia pada saat ini percaya bahwa lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi negara-negara maju berakar pada kemampuan inovasi. Seperti halnya yang telah terjadi dengan inovasi teknologi very large scale integrated circuit (VLSI), teknologi laser, komputer, internet, atau teknik recombinant DNA cloning atau gene-splicing, suatu inovasi yang telah berhasil diterima pasar dan membuka horizon bagi perkembangan berbagai inovasi lain, sehingga secara keseluruhan tidak hanya membentuk nilai tambah ekonomi dan membentuk lapangan kerja yang besar, tetapi juga meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

Kontribusi nyata ini meningkatkan apresiasi terhadap peran dan kemampuan

Page 108: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

102 ISSN : 2252-911X

penelitian perguruan tinggi dan lembaga-lembaga litbang, karena kemampuan ini akan membangun landasan yang kokoh bagi perkembangan kapasitas inovasi, baik melalui penyediaan tenaga peneliti, pasokan informasi ilmiah, maupun melalui alih teknologi dan penyediaan berbagai jasa teknologi.

Alih teknologi dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai pengalihan hasil penelitian ke pelaku bisnis untuk ditransformasikan menjadi teknologi atau produk yang memiliki nilai komersial. Peralihan ini merupakan faktor yang sangat penting, karena melalui mekanisme ini terbentuk interaksi antara dunia penelitian dengan dunia bisnis yang seringkali akan menghasilkan terobosan inovasi yang penting.

Saat ini berbagai negara telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk menstimulasi perkembangan mekanisme alih teknologi. Sebagai contoh, Amerika Serikat pada tahun 1980 mengadopsi Bayh-Dole Act yang tidak hanya memperbolehkan perguruan tinggi melisensikan hasil litbang yang dibiayai pemerintah kepada perusahaan dan menikmati perolehan finansial yang dihasilkan, tetapi juga memungkinkan pemberian lisensi secara eksklusif kepada perusahaan tertentu.

Dampak dari kebijakan ini sangat signifikan. Sebelum tahun 1980, jumlah paten baru yang didaftarkan dan diterima perguruan tinggi hanya berkisar antara 250 – 350 pertahun, setelah kebijakan ini diterbitkan terjadi peningkatan yang cukup tajam, pada tahun 2001 didapatkan 3200 paten. Tidak itu saja, pendapatan perguruan tinggi juga meningkat secara substansial. Survei dari Association of University Technology Managers (AUTM) menunjukkan bahwa jumlah lisensi yang diberikan perguruan

tinggi kepada perusahaan meningkat lebih dari 20% dari tahun 2001 sampai 2003. Pada tahun 2003, pendapatan bersih yang diterima perguruan tinggi dari alih teknologi mencapai lebih dari US $ 1,3 miliar, meningkat dari sekitar US $ 1 miliar pada tahun 2001 (APAX Partners, 2005).

Mengapa hal tersebut terjadi? Pertama, bagi perguruan tinggi adanya undang-undang itu memberikan kepastian hukum dan menghilangkan berbagai bentuk kerumitan birokrasi, sehingga mereka tidak hanya termotivasi untuk melakukan alih teknologi, tetapi juga bersedia menyediakan sumberdaya untuk mempatenkan dan menggali potensi hasil penelitian mereka agar dapat dikomersialkan.

Bagi perusahaan, respon perguruan tinggi tersebut memungkinkan mereka memanfaatkan hasil penelitian yang telah dievaluasi prospeknya dan dipatenkan perguruan tinggi. Kemungkinan mereka mendapatkan hak ekslusif meningkatkan kepastian untuk mengkomersialkan hasil penelitian perguruan tinggi walaupun untuk itu diperlukan investasi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cukup lama, karena dengan demikian tidak ada pihak-pihak lain yang dapat memanfaatkan hasil penelitian yang mereka adopsi.

Negara-negara maju lain dan bahkan sejumlah negara-negara berkembang juga menerapkan berbagai kebijakan untuk menstimulasi alih teknologi hasil penelitian. Pada tahun 2004, Pemerintah Jerman menetapkan High Tech Master Plan dimana elemen-elemennya mencakup program untuk mendorong kerja sama antara usaha kecil menengah (UKM) dengan lembaga-lembaga penelitian publik, dan mempromosikan university spin-off untuk membentuk perusahaan-perusahaan baru yang inovatif.

Page 109: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 103

Tahun 2003 pemerintah Perancis juga menerbitkan Plan for Innovation yang bertujuan menstimulasi keterkaitan antara lembaga litbang publik dengan perusahaan, diantaranya dengan pemberian tax credit bagi investor yang menyediakan seed capital bagi komersialisasi hasil penelitian.

Namun demikian fakta juga menunjukkan bahwa alih teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang ke dunia usaha merupakan permasalahan yang kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor seperti kondisi pasar dan sistem persaingan di pasar domestik, kualitas tenaga iptek dan pembiayaan litbang di sektor bisnis, sistem permodalan khususnya permodalan ventura, intensitas dan kualitas litbang di sektor penelitian, dan efektivitas sistem perlindungan kekayaan intelektual, yang semua ini tentu dipengaruhi kebijakan pemerintah.

Oleh karena itu, usaha untuk mendorong alih teknologi hasil penelitian tidak dapat hanya dilandaskan pada satu kebijakan. Banyak permasalahan lain sebagaimana dibahas berikut harus diatasi secara sistemik dan konsisten.

2.1. Komersialisasi

Hasil Penelitian Alih teknologi hanya akan terjadi bila pemilik maupun pengguna teknologi dapat bersepakat, dimana kedua belah pihak juga telah mengetahui akan mendapat nilai yang jauh lebih besar dari pada risiko yang harus mereka tanggung. Seperti halnya dengan transaksi lain, alih teknologi juga mengandung nilai dan risiko bagi pihak-pihak yang terlibat.

Bagi banyak pelaku bisnis, baik sebagai produsen maupun investor, investasi untuk mengkomersialisasikan hasil litbang mengandung ketidakpastian dan

risiko finansial yang tinggi. Beberapa permasalahan sebagai berikut seringkali mengakibatkan pelaku bisnis ragu-ragu melakukan investasi.

Pertama, pengembangan hasil penelitian menjadi teknologi atau produk baru yang memiliki prospek komersial, memerlukan waktu panjang dan biaya besar. Apakah secara komersial layak dilaksanakan? Kedua, jika layak dikembangkan menjadi teknologi atau produk baru, apakah layak dipasarkan? Ketiga, untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan pangsa pasar, secepat apa kinerja produk tersebut dapat ditingkatkan dan apakah biaya produksinya dapat diturunkan? Keempat, berapa besar investasi yang ditanamkan untuk mengkomersialisasikan hasil litbang tersebut agar dapat memberi keuntungan bagi perusahaan? Kelima, apabila teknologi/produk baru tersebut berhasil memperoleh respon pasar yang baik, sejauhmana kemungkinan dan secepat apa produk tersebut dapat ditiru pihak-pihak pesaing?

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hasil penelitian pada umumnya tidak dapat secara langsung diterapkan dalam kegiatan komersial. Pertama, perusahaan harus memahami bahwa teknologi/produk baru yang dihasilkan mempunyai keunggulan tertentu sehingga memiliki prospek untuk dikomersialkan. Kedua, perusahaan harus yakin bahwa biaya dan waktu digunakan sesuai dengan nilai komersial yang akan didapat. Ketiga, perusahaan harus yakin bahwa teknologi/produk yang dihasilkan dapat diterima dan akan mendapat respon yang baik dari pasar, sehingga perusahaan harus melakukan litbang pasar untuk mengetahui prospek komersial dari teknologi/produk baru hasil dari penelitian. Keempat, perusahaan juga harus yakin

Page 110: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

104 ISSN : 2252-911X

bahwa teknologi/produk tersebut dapat di produksi secara efisien dan bekerja secara reliabel dalam skala komersial.

Dengan demikian, walaupun hasil penelitian yang ditawarkan lembaga litbang sudah dalam bentuk prototipe, perusahaan yang ingin mengadopsinya seringkali harus membuat prototipe sendiri untuk memenuhi semua aspek yang terkait dengan pelaksanaan produksi maupun pemasaran teknologi/produk itu; memperhatikan spesifikasi produk yang akan diproduksi agar sesuai dengan permintaan dan persaingan pasar; jaminan kontinuitas pasokan semua bahan baku yang diperlukan; perhitungan yang sangat cermat dalam investasi yang diperlukan untuk membangun fasilitas produksi serta efisiensi dan reliabilitas produksi, karena hal ini akan mempengaruhi biaya produk.

Semua aktivitas ini memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar, ini adalah

risiko bisnis. Dalam memutuskan adopsi hasil penelitian, perusahaan akan memperhatikan prospek komersial dan tingkat risiko yang terkait dengan keputusan itu.

Diawal komersialisasi, nilai komersial dari suatu hasil penelitian masih rendah dan akan meningkat secara perlahan sejalan dengan pembuktian prospek komersialnya. Ketika pembuatan prototipe produksi berhasil dan persiapan proses produksi berjalan dengan baik, nilai teknologi tersebut akan meningkat secara eksponensial. Pada tahap komersial, nilai komersial akan terus meningkat bila pasar memberikan respon yang positif dan permintaan pasar akan terus meningkat. Keadaan ini akan menurunkan tingkat risiko, sejalan dengan kepastian prospek komersial teknologi tersebut (Gambar 1). Ilustrasi ini menunjukkan, bahwa nilai komersial dapat mengimbangi tingkat risiko, bila pengembangan prototipe berhasil dengan baik.

Gambar 1. Nilai VS Risiko Komersialisasi Teknologi (diadopsi dari APAX Partners, 2005)

Page 111: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 105

2.2. Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang

Untuk mendorong minat pelaku bisnis, perguruan tinggi dan lembaga litbang seringkali memerlukan sumberdaya pembiayaan dan manusia yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap, Gambar 2 menunjukkan tahapan komersialisasi hasil penelitian.

2.2.1. Articulate Commercial Prospect

Merupakan tahap kegiatan untuk mengkomunikasikan prospek komersial, tujuannya untuk memobilisasi dukungan pembiayaan dan dukungan keahlian yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tahap selanjutnya.

Walaupun telah dipublikasikan, banyak perusahaan dan investor yang tidak memahami dan mengapresiasi manfaat hasil penelitian, sehingga komersialisasi hasil penelitian diawali dengan pengartikulasian prospek komersial hasil

penelitian, untuk ditransformasikan ke dalam teknologi/produk komersial. Kegiatan ini difokuskan pada pembuktian dalam skala laboratorium, bahwa hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teknologi/ produk baru yang memiliki prospek pasar. Pada tahap ini sukar diharapkan partisipasi pembiayaan dari pelaku bisnis, baik produsen maupun investor. Apabila perguruan tinggi atau lembaga litbang tidak menyediakan sumber pembiayaan mereka sendiri, akan sulit untuk mengkomunikasikan prospek komersial hasil litbang.

2.2.2. Validate Techno-Economic Feasibility

Tujuan tahap ini adalah menganalisis kelayakan teknis dan menggali berbagai aspek komersial yang terkait dengan komersialisasi hasil penelitian. Kegiatan, difokuskan pada pendefinisian kinerja dan spesifikasi teknis dari teknologi/

Gambar 2. Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang

Page 112: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

106 ISSN : 2252-911X

produk yang akan dikembangkan, validasi kemampuan pencapaian kinerja dan pendalaman berbagai aspek komersial yang terkait serta pengembangan rencana bisnis. Tahap ini pada umumnya memerlukan pembiayaan yang cukup besar serta keterlibatan tenaga ahli dengan disiplin yang berbeda-beda. Dalam tahap ini, perguruan tinggi atau lembaga litbang dapat berharap akan adanya pelaku bisnis yang terlibat dan menyediakan pembiayaan yang diperlukan, karena berbagai faktor komersial sudah dipertimbangkan.

Namun dalam kenyataannya sangat sedikit produsen yang bersedia mengambil risiko untuk menginvestasikan dana mereka bagi keperluan pembiayaan tahap ini, karena kinerja teknis dan potensi pasar masih sangat sukar dipastikan.

Sementara itu, pemerintah juga memiliki posisi yang sukar untuk membiayainya karena intervensi langsung pemerintah pada tahap ini berpotensi mendistorsi persaingan. Untuk mengisi kesenjangan ini diperlukan perusahaan permodalan ventura. Namun kenyataan kembali menunjukkan bahwa tidak banyak perusahaan permodalan ventura yang tertarik karena ketidakpastian tentang: (i) waktu yang diperlukan untuk mengembangkan suatu hasil penelitian kedalam produk komersial dan (ii) besarnya capital gain yang mungkin diperoleh, banyak literatur yang menyatakan tahap ini sebagai Valley of Death yang mengakibatkan proses komersialisasi hasil penelitian mengalami kegagalan. Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai negara mengembangkan skema pembiayaan dan berbagai insentif agar perusahaan permodalan ventura lebih berani membiayai kegiatan tahap ini.

2.2.3. Develop Product Prototype

Pada tahap ini dikembangkan prototipe produk yang akan diproduksi secara komersial dengan memperhatikan berbagai konteks komersial. Tujuan tahap in adalah mendapatkan kepastian bahwa produk baru yang akan diintroduksikan ke pasar dapat diproduksi secara ekonomis dan dapat diterima pasar. Fokus kegiatan mencakup penetapan spesifikasi dan pengembangan prototipe produk komersial, mengkaji kelayakan produksi ditinjau dari faktor biaya dan standar kualitas, serta pendalaman berbagai aspek pemasaran untuk mendapatkan kepastian bahwa pasar akan menerima produk tersebut.

Mengingat keterkaitan antara prototipe produk yang dikembangkan dengan kegiatan komersial sudah sangat erat, dapat diharapkan sudah ada perusahaan atau investor yang bersedia membiayai kegiatan ini. Namun untuk hasil penelitian bersifat fundamental dimana produk yang dihasilkan sama sekali baru, banyak produsen dan investor yang menganggap ketidakpastian dan risiko pada tahap ini masih tinggi.

2.2.4. Market Entry

Tujuan dari kegiatan ini adalah mempenetrasi dan membentuk posisi pasar, serta memvalidasi sejauh mana produk itu diterima pasar. Fokus kegiatan termasuk penyiapan sarana produksi, pengembangan strategi pemasaran, pembentukan rantai pasok serta jaringan distribusi dan penjualan. Jika diperlukan, pada tahap ini berbagai perbaikan kinerja produk dan strategi pemasaran dilakukan sesuai dengan umpan balik yang diperoleh dari pasar.

Page 113: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 107

Melalui pelaksanaan tahap ini, berbagai faktor kelayakan produk, penerimaan pasar dan berbagai aspek komersial lainnya telah semakin jelas, sehingga banyak perusahaan yang bersedia mengambil risiko untuk membiayai kegiatan tahap ini, walaupun untuk mempersiapkan fasilitas produksi dan inbound & oubound logistic diperlukan investasi yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan pada tahap-tahap sebelumnya.

Dari uraian di atas dapat disimpul :

Pertama, untuk melaksanakan alih teknologi, perguruan tinggi atau lembaga litbang harus memiliki dana untuk mengartikulasikan prospek hasil penelitian mereka, bahkan untuk mengkaji kelayakan tekno-ekonomi.

Kedua, perguruan tinggi atau lembaga litbang, harus memiliki sumber daya manusia dari berbagai disiplin dan mampu menggalang kerja sama antar mereka untuk menggali prospek teknologi dan ekonomi hasil penelitian agar dapat didifusikan kepada pengguna.

Ketiga, memenuhi keperluan di atas, perguruan tinggi atau lembaga litbang harus memiliki kebijakan dan prosedur dalam menentukan kelayakan hasil penelitian yang akan ditawarkan dan dibiayai untuk keperluan alih teknologi, serta menentukan sumberdaya yang perlu dialokasikan.

Perguruan tinggi atau lembaga litbang, juga harus dapat memanfaatkan pendapatan alih teknologi, untuk membiayai kegiatan penelitian lain, untuk membiayai kegiatan yang diperlukan untuk mendukung alih teknologi termasuk memobilisasi berbagai tenaga ahli yang diperlukan, atau untuk berbagai keperluan lain. Dipihak lain

untuk memotivasi para peneliti, mereka yang terkait dengan hasil penelitian yang berhasil dialih-teknologikan perlu pula mendapatkan sebagian dari hasil pendapatan alih teknologi. Oleh karena itu dalam kebijakan alih teknologi harus secara jelas diatur bagi hasil pendapatan alih teknologi.

2.3. Mekanisme Alih Teknologi

Jenis perusahaan yang berminat dan mekanisme formal alih teknologi yang dipilih, sangat dipengaruhi karakteristik hasil litbang yang ditawarkan lembaga litbang.

2.3.1. Teknologi yang Bersifat Perbaikan Berjenjang

Bila hasil penelitian yang ditawarkan akan menghasilkan perbaikan berjenjang terhadap teknologi yang telah dipergunakan secara komersial, banyak perusahaan yang telah menggunakan teknologi tersebut akan tertarik mengadopsinya, karena mereka memiliki pemahaman yang cukup untuk menilai prospek pemanfaatan hasil penelitian tersebut untuk meningkatkan kinerja atau membuat generasi baru dari produk yang telah dipasarkan. Di samping itu, mereka telah menguasai berbagai teknologi serta memiliki sarana produksi dan jaringan pemasaran yang terkait dengan produk baru yang akan dikembangkan, sehingga tingkat risiko yang dihadapi tidak terlalu tinggi.

Mekanisme yang sering digunakan adalah lisensi, dengan mekanisme ini perusahaan mendapatkan hak untuk memanfaatkan suatu hasil litbang dengan imbalan tertentu, baik dalam bentuk transfer fee atau royalty, atau keduanya. Lisensi dapat bersifat eksklusif atau non-ekslusif. Eksklusif, bila lembaga penelitian memberi

Page 114: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

108 ISSN : 2252-911X

hak eksklusif kepada perusahaan tertentu untuk memanfaatkan suatu hasil penelitian, sehingga lembaga tidak dapat memberikan hasil penelitian kepada pihak lain. Hak eksklusif dapat dibatasi berdasarkan kelompok produk, segmen pasar, atau wilayah pasar tertentu. Lisensi bersifat non-eksklusif, memberi peluang kepada lembaga penelitian secara bebas memberikan hasil penelitian kepada siapa saja. Pada umumnya perusahaan menginginkan hak eksklusif, bila investasi untuk menggali nilai komersial hasil penelitian itu cukup besar. Sebaliknya, ikatan lisensi yang bersifat non-eksklusif bila hasil penelitian diperlukan untuk mengembangkan berbagai penemuan lain yang memiliki prospek komersial yang menjanjikan.

2.3.2. Hasil Litbang yang Bersifat Fundamental

Banyak perusahaan yang ragu-ragu mengadopsi hasil penelitian apabila hasil penelitian tersebut bersifat fundamental dimana teknologi/produk dihasilkan sama sekali baru, karena mereka tidak memiliki gambaran dan referensi tentang prospek komersial hasil penelitian tersebut. Di negara-negara maju alih teknologi hasil penelitian yang semacam ini banyak terkait dengan perusahaan baru (start-up company) yang khusus dibentuk untuk menggali dan memanfaatkan potensi komersial dari teknologi tersebut.

Oleh karena hasil penelitian yang bersifat fundamental masih memerlukan berbagai pengembangan untuk menghasilkan prototipe yang andal serta dapat diproduksi secara ekonomis dalam skala komersial, keterlibatan peneliti pengembang teknologi tersebut merupakan faktor keberhasilan yang sangat penting. Bahkan banyak dari

perusahaan tersebut dibentuk peneliti yang turut mengembangkan teknologi tersebut sehingga mekanisme ini sering disebut sebagai spin-off atau spin-out.

Imbalan bagi perguruan tinggi atau lembaga litbang sering berbentuk ekuitas perusahaan itu. Apabila bisnis yang dibangun perusahaan itu berhasil, nilai saham perusahaan dapat meningkat sangat tinggi sehingga lembaga litbang yang terkait akan memperoleh capital gain yang besar pada saat saham yang dimilikinya dilepas ke pasar.

Hambatan utama dari mekanisme ini adalah permodalan. Faktor pendukung keberhasilan modalitas alih teknologi ini adalah: (i) perusahaan yang terkait memiliki keyakinan atas keberhasilan komersial dari hasil litbang yang dipergunakan walaupun prospek pasarnya sangat tidak pasti; (ii) perusahaan tersebut sangat fokus dan memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan teknis yang dihadapi dan melaksanakan pengembangan lebih lanjut.

Lisensi dan spin-off merupakan mekanisme alih teknologi yang bersifat formal, dimana perguruan tinggi dan lembaga litbang memberi perusahaan tertentu hak untuk memanfaatkan dan mengkomersialisasikan hasil penelitian mereka.

Di samping kedua mekanisme tentu masih ada bentuk-bentuk alih teknologi yang lebih informal, seperti pemanfaatan hasil penelitian yang telah dipublikasikan perusahaan atau kerja sama antara perguruan tinggi atau lembaga penelitian dengan perusahaan untuk mengembangkan hasil penelitian lebih lanjut. Untuk keperluan ini, banyak negara yang mengembangkan berbagai bentuk insentif dan program untuk

Page 115: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 109

mempromosikan pengembangan konsorsia litbang, yaitu suatu badan hukum (baik bersifat laba atau nirlaba) yang dibentuk bersama-sama sejumlah perguruan tinggi, lembaga litbang dan perusahaan untuk mendorong pengembangan lebih lanjut hasil-hasil penelitian. Kegiatan litbang pada organisasi ini pada umumnya disponsori perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota serta pemerintah. Bagi perusahaan, keikutsertaan mereka akan memberi akses dan prioritas untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkan konsorsia.

2.3.3. Pelayanan Teknologi

Perguruan tinggi maupun lembaga litbang, pada umumnya juga menyediakan berbagai bentuk pelayanan teknologi, seperti jasa enjiniring, jasa pengujian, peningkatan kinerja proses atau sistem manajemen produksi. Bahkan banyak perguruan tinggi di negara maju yang menyediakan sebagian lahan mereka untuk mengembangkan kawasan inkubasi dimana perusahaan-perusahaan pemula dapat memanfaatkan jasa teknologi yang disediakan serta para ahli dan sarana yang dimiliki perguruan tinggi untuk mengembangkan usaha mereka.

Adanya pelayanan teknologi tersebut sangat membantu perkembangan mekanisme spin-off. Seperti telah dibahas, pada umumnya perusahaan spin-off memiliki keterbatasan modal sehingga adanya jasa teknologi tersebut dapat mengurangi kebutuhan investasi peralatan laboratorium, komputasi, dan pengujian untuk mengembangkan prototipe produk yang akan mereka komersialkan. Perusahaan spin-off juga dapat memanfaatkan para ahli di berbagai bidang enjiniring, produksi dan manajemen yang dimiliki perguruan tinggi.

2.4. Kapasitas Absorbsi Perusahaan

Dalam mengembangkan diri, setiap perusahaan menghadapi berbagai tantangan (Gambar 3). Pada umumnya pelaku bisnis memahami bahwa hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga litbang perlu dimanfaatkan untuk mengatasi tantangan tersebut. Namun untuk memanfaatkan hasil penelitian, mereka harus memiliki kemampuan mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan komersialisasi hasil penelitian itu.

Gambar 3. Tantangan Perkembangan Pelaku Bisnis (Diadopsi dari EISDISR,

2001).

Kemampuan perusahaan mengkomersial-kan hasil penelitian, sangat dipengaruhi sejumlah faktor (Gambar 4).

Pertama, perusahaan harus memiliki informasi tentang berbagai perkembangan teknologi yang terkait dengan arena bisnisnya, serta sejauh mana perkembangan tersebut akan mempengaruhi permintaan dan persaingan pasar. Hanya dengan informasi tersebut, mereka dapat menganalisis prospek komersial hasil penelitian.

Page 116: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

110 ISSN : 2252-911X

Gambar 4. Kapasitas Inovasi Perusahaan (KRT, 2008)

Kedua, perusahaan harus memiliki kompetensi litbang, enjinering, logistik, produksi, dan pemasaran untuk memastikan keberhasilan komersialisasi hasil penelitian, mulai dari menguji keandalan teknologi yang dikembangkan dari hasil penelitian, membuat prototipe produk yang akan diproduksi, serta mempersiapkan produksi dan pemasaran produk tersebut.

Ketiga, kondisi endowments yang mereka miliki, seperti sumber dana, brand image dan loyalitas pelanggan, serta efisiensi dan efektivitas jaringan pemasok dan distribusi, juga merupakan faktor penting untuk memastikan keberhasilan inovasi yang mereka kembangkan.

Keempat, kondisi lingkungan internal perusahaan, seperti strategi, struktur pengambilan keputusan, sistem manajemen, sistem informasi, dan faktor manusia yang mempengaruhi interaksi

ketiga faktor di atas, juga merupakan faktor yang krusial, karena melalui interaksi, kelayakan produk yang akan dihasilkan, produksi dan pasokan bahan baku, serta pemasaran dan distribusi dapat dikaji secara menyeluruh.

Seiring peningkatan kualitas dan interaksi faktor-faktor tersebut, meningkat pula kemampuan perusahaan mengendalikan risiko inovasi, tanpa kemampuan ini, investasi komersialisasi hasil litbang yang dilakukan memiliki kemungkinan kegagalan cukup besar sehingga risiko yang dihadapi akan tinggi pula.

3. Perspektif Kebijakan Pemerintah

Pelaku bisnis Indonesia harus memperkuat diri untuk menghadapi persaingan bebas, di pasar domestik, regional, maupun global. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kemampuan inovasi dan kemampuan

Page 117: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 111

menghasilkan produk teknologi tinggi. Hal ini digarisbawahi Dr. William F. Miller dari Stanford University yang menyatakan bahwa apabila pada paradigma globalisasi yang lama perusahaan memperkuat basis ekspor mereka dengan cara melakukan investasi di negara-negara yang menyediakan faktor produksi yang murah, pada paradigma globalisasi baru yang mulai berkembang pada periode 1980-90 sasaran investasi mereka bergeser ke negara-negara yang menyediakan lingkungan yang subur bagi kegiatan inovasi karena dengan demikian mereka dapat mengakses tenaga ahli dan spesialis serta kapasitas litbang yang berkualitas tinggi, dapat memanfaatkan alih teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang publik, dapat berpartisipasi dalam jaringan inovasi, dan dapat mendayagunakan infrastruktur perkembangan teknologi tinggi.

Studi UNIDO (November 2000) – “Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness”, mejabarkan bahwa daya saing industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan sejak pertengahan dekade 1990 sebelum krisis moneter 1997 terjadi. Keadaan itu tergambar oleh terjadinya penurunan drastis tingkat pertumbuhan ekspor dari 30% pertahun pada awal dekade itu menjadi hanya sekitar 7%. Empat produk ekspor utama yaitu plywood, textile, garments, dan footware mengalami stagnasi.

Dengan demikian sebelum krisis, industri manufaktur telah menunjukkan ketidakmampuan menghadapi perubahan persaingan yang terjadi karena adanya globalisasi dan liberalisasi produk manufakturing.

Sejumlah kondisi penyebab melemahnya daya saing industri manufaktur Indonesia, adalah :

Pertama, munculnya negara kompetitor baru yang menawarkan biaya produksi yang lebih murah, sehingga menurunkan harga internasional bagi produk ekspor utama Indonesia.

Kedua, ketidakmampuan produsen Indonesia mereduksi biaya produksi untuk mengimbangi pesaingnya (China dan negara-negara lain) karena tingginya tingkat ketergantungan pada impor input produksi.

Ketiga, basis ekspor Indonesia sangat tergantung pada jenis produk yang sempit dan sasaran pasar ekspor yang sangat terbatas.

Keempat, industri barang modal di Indonesia tidak berkembang, sehingga kebutuhan peralatan dan permesinan produk tergantung pada impor (berbeda dengan China dan India).

Kelima, tidak terjadinya pendalaman teknologi (technology deepening) dalam kegiatan produksi. Berbeda dengan banyak negara-negara lain yang setara, di Indonesia kontribusi output industri teknologi rendah (paper, printing, textiles, garments, food, beverages, tobacco, wood products & furniture) mengalami kenaikan, sedangkan industri teknologi menengah (rubber & plastic products, simple fabricated metal products, petroleum refinery & products, non-metalic mineral products) dan industri teknologi tinggi (office & computing equipments, drugs, consumer electronics & communication equipments, motor vehicles & other transport equipment, machinery, chemicals) mengalami penurunan.

Page 118: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

112 ISSN : 2252-911X

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan tiga kegagalan utama, yaitu (a) kegagalan mengembangkan rantai pasok, (b) kegagalan mendiversifikasi basis kegiatan manufaktur, dan (c) kegagalan pelaksanaan pendalaman teknologi.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi kegagalan tersebut adalah sebagai berikut: (a) tidak adanya jaringan productivity centers & technical institutes yang dapat secara efektif menyediakan dukungan bagi perusahaan manufakturing untuk memperbaiki proses produksi serta meningkatkan sofistikasi produk; (b)lemahnya minat perusahaan besar dan PMA untuk membina perkembangan rantai pasok; (c) lemahnya kemampuan litbang dan enjiniring perusahaan untuk mengadopsi kemajuan teknologi; dan (d) tidak adanya visi strategis tentang kemana Indonesia akan memposisikan dirinya dalam melaksanakan industrialisasi.

Keadaan tersebut semakin memburuk pada saat Indonesia mengalami krisis 1997. Krisis moneter yang diikuti gejolak sosial dan perubahan politik menimbulkan ketidakpastian lingkungan usaha, sehingga: (a) banyak perusahaan industri manufaktur yang mengalami krisis keuangan karena harus menghadapi beban hutang yang berat; (b) terjadi relokasi sebagian investasi asing ke negara-negara lain; dan (c) aliran foreign direct investment (FDI) menurun secara tajam.

Sebagai bagian dari program restrukturisasi ekonomi yang dikembangkan bersama IMF, Indonesia harus membuka pasar domestik seluas-luasnya. Dalam kondisi industri manufaktur yang sangat lemah pada saat itu, banjir impor mulai dari textile dan footware sampai ke sepeda motor, mobil, dan produk-produk elektronik konsumer

tidak dapat dibendung. Persaingan yang sangat keras dan ketidaksiapan perusahaan industri manufaktur dalam negeri mengakibatkan terjadinya proses deindustrialisasi.

Pada saat ini Indonesia telah berhasil mengatasi berbagai dampak krisis 1997 dan bahkan telah memiliki daya tahan menghadapi krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini. Namun apakah gambaran yang diuraikan studi UNIDO itu telah berubah?

Indikator iptek 2009 yang diterbitkan LIPI menunjukkan bahwa perkembangan industri manufaktur di Indonesia, baik ditinjau dari output, nilai tambah, dan produktivitasnya masih sangat didominasi industri manufaktur yang menghasilkan produk teknologi rendah. Dari buku Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia 2010, menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 hingga 2009, jumlah paten yang terdaftar di Kantor Paten Amerika Serikat yang berasal dari Indonesia, telah tertinggal dengan cepat dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Hal ini mengindikasikan bahwa faktor inovasi dalam perkembangan bisnis di Indonesia telah tertinggal dari negara-negara tetangga. Keadaan ini juga dapat dilihat dari perilaku produsen di Indonesia yang masih saja mengharapkan berbagai bentuk proteksi pemerintah dalam menghadapi persaingan dari negara-negara lain agar daya saing mereka di pasar domestik dapat bertahan.

Dalam kondisi yang demikian, seharusnya pemerintah memberikan perhatian dan prioritas yang tinggi pada usaha untuk mengatasi permasalahan yang menghambat kemajuan alih teknologi.

Page 119: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 113

Intervensi pemerintah harus dilaksanakan secara holistik, saling mendukung, dan dengan tahapan yang terencana agar dapat diperoleh dampak yang maksimal dengan dampak negatif seminimal mungkin.

Untuk merencanakan intervensi yang tepat, pemerintah harus memahami sisi pengguna yaitu perusahaan, sisi penyedia yaitu perguruan tinggi dan lembaga litbang, serta fungsi pendukung yang mempengaruhi. Intervensi yang dipergunakan untuk mengkoreksi permasalahan pada umumnya merupakan kombinasi dari sejumlah instrumen baik yang bersifat eksplisit yang memang diarahkan untuk mengatasi berbagai permasalahan alih teknologi dan implisit yang sebenarnya tidak diarahkan untuk mengatasi permasalahan alih teknologi, akan tetapi dampaknya mempengaruhi perkembangan alih teknologi.

3.1. Dunia Usaha - Sisi Pengguna

Perkembangan alih teknologi tentu juga tergantung pada kemampuan dan sudut pandang pihak penerima, yaitu pelaku bisnis. Keputusan suatu perusahaan untuk melakukan inovasi sangat ditentukan oleh strategi, kompetensi inti, dan sistem operasi perusahaan tersebut (Gambar 5).

Tentunya, ketiga hal tersebut sangat dipengaruhi perspektif perusahaan tersebut terhadap persaingan dan peluang pasar serta pengaruh teknologi bagi daya saing dan posisi pasar mereka. Apabila dari prespektif pasar, persaingan hanya dapat dimenangkan jika mereka memiliki keunggulan teknologi, inovasi merupakan faktor penting dalam strategi perusahaan.

Demikian pula, apabila dari prespektif kemajuan teknologi, siklus hidup produk yang mereka pasarkan tidak dapat lagi

dipertahankan dalam waktu yang cukup lama, inovasi untuk mengembangkan produk generasi baru merupakan faktor strategi yang penting. Mekanisme pertama (pull) biasanya menghasilkan inovasi yang bersifat berjenjang, sedangkan pada mekanisme kedua (push) dihasilkan perubahan yang drastis.

Dengan kompetensi inti yang dimiliki, mereka akan mengidentifikasi, memilih, mengadopsi, melindungi, dan mendayagunakan teknologi untuk mengembangkan inovasi yang diperlukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor operasional, termasuk produksi, distribusi, dan jasa purna jual.

Ulasan di atas menunjukkan bahwa kapasitas absorbsi perusahaan dalam memanfaatkan hasil penelitian merupakan interaksi berbagai fungsi bisnis yang ada dalam perusahaan. Melalui interaksi tersebut ditentukan prospek dan kelayakan tekno-ekonomi serta berbagai bentuk risiko yang terkait dengan pemanfaatan hasil penelitian ke dalam kegiatan komersial.

Berdasarkan hasil pertemuan dengan sejumlah pengusaha produsen untuk memahami pandangan mereka terhadap kegiatan dan hasil penelitian yang dilaksanakan lembaga litbang pemerintah, para pengusaha pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak mengalokasikan anggaran litbang secara memadai karena menganggap investasi litbang memiliki risiko dan ketidakpastian yang cukup tinggi, karena sarana dan biaya litbang yang mahal, juga karena jumlah tenaga peneliti yang berkualitas terbatas, serta lemahnya dukungan regulasi dan insentif pemerintah (Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2009).

Page 120: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

114 ISSN : 2252-911X

Gambar 5. Model Inovasi (Phaal et al., 2001)

Dalam mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan dukungan lembaga penelitian, namun para pengusaha juga menyatakan bahwa dukungan lembaga litbang tidak dapat diandalkan, hal ini dikarenakan:

Pertama, banyak hasil penelitian yang tidak prospektif secara komersial, karena tidak memperhatikan kebutuhan pasar, teknologi out-of-date atau re-invent the wheel, tidak mempertimbangkan faktor ekonomi, dan tidak memperhatikan standardisasi; dan

Kedua, jasa lembaga litbang tidak profesional, karena (i) lembaga litbang tidak memiliki kebijakan dan prosedur yang rinci dan transparan, sehingga legalitas dan tanggung jawab kerja sama dengan lembaga litbang tidak jelas, (ii) lembaga litbang mengabaikan permasalahan HKI, dan (iii) waktu dan biaya pelaksanaan

kegiatan tidak dapat diandalkan karena manajemen lembaga litbang tidak menerapkan sistem pengendalian dan monitoring yang memadai sehingga keandalan pelaksanaan kegiatan sangat tergantung pada individual peneliti.

Pandangan para pengusaha tersebut setidak-tidaknya mengindikasikan bahwa banyak perusahaan di Indonesia, tidak melakukan investasi litbang secara memadai, sehingga kompetensi inti mereka di bidang teknologi tidak akan berkembang dengan baik. Mereka lebih melandaskan perkembangan diri mereka pada biaya produksi yang rendah serta kekuatan pemasaran dan distribusi. Akar masalah dari keadaan itu adalah persepsi mereka terhadap tingkat risiko investasi litbang.

Selain itu, komersialisasi hasil penelitian

Page 121: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 115

harus ditinjau dari perspektif sebagai berikut: (i) pada tingkat kompetensi yang dimiliki saat ini akan sukar bagi perusahaan menilai prospek dan mengatasi berbagai permasalahan komersialisasi hasil penelitian, dan (ii) apabila keadaan itu tidak diimbangi kepercayaan yang kuat terhadap lembaga litbang, praktis komersialisasi hasil penelitian akan mengalami stagnasi. Dalam keadaan demikian tentu berakibat tarikan kebutuhan alih teknologi menjadi sangat lemah.

3.2. Lembaga Litbang - Sisi Penyedia

Sesuai dengan pandangan Menteri Sumitro Djojohadikusumo, pemerintah berharap, lembaga litbang dapat menyediakan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan perkembangan dan pembangunan, khususnya bidang ekonomi. Perlu diingat bahwa kegiatan penelitian di lembaga-lembaga penelitian, hanya akan menimbulkan dampak ekonomi bila hasilnya digunakan perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka.

Berdasarkan forum diskusi antar para peneliti dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan universitas yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi (Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2009), para peneliti berpandangan bahwa sesuai dengan misi lembaga, orientasi kegiatan mereka lebih pada tujuan ilmiah, penelitian cukup pada skala laboratorium, bila menghasilkan prototipe, hanya untuk pembuktian kebenaran hipotesa ilmiah.

Ukuran utama kinerja para peneliti adalah publikasi ilmiah, sehingga banyak hasil penelitian tidak dapat dipatenkan karena sudah dipublikasikan. Peneliti umumnya tidak terlalu peduli prospek

komersial dalam kegiatan mereka, karena beranggapan bahwa hal itu merupakan tugas pelaku bisnis. Para peneliti juga mempermasalahkan bahwa pada saat ini tidak banyak perusahaan yang memiliki kemampuan inovasi, sehingga banyak perusahaan hanya menggunakan teknologi siap pakai.

Anggaran pemerintah yang sangat terbatas dan kaku, mengakibatkan hasil penelitian tidak dapat dikembangkan lebih lanjut dan tidak dapat memenuhi permintaaan perusahaan secara responsif. Berbagai kondisi ini, mengakibatkan peneliti sukar memenuhi ekspektasi para pengusaha. Para peneliti berharap adanya fungsi intermediasi untuk menjembatani kesenjangan ekspektasi tersebut.

Namun karena fungsi tersebut tidak ada, para peneliti beranggapan, perusahaan tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan kerja sama dengan mereka. Demikian pula kurangnya pemihakan pemerintah kepada produk yang menggunakan hasil litbang. Inilah sebagian dari penyebab tidak berkembangnya interaksi antara lembaga litbang dan perusahaan.

Walaupun argumentasi dunia usaha dan lembaga litbang berbeda, namun kedua belah pihak mengakui adanya kesenjangan ekspektasi yang mengakibatkan kerja sama antar mereka tidak berkembang. Kondisi ini tidak dapat begitu saja berubah karena akar masalahnya adalah silang perspektif:

Pertama, para peneliti beranggapan produk mereka adalah “pembuktian ilmiah dalam skala laboratorium”, sedangkan para pengusaha menilai hasil penelitian peneliti “tidak prospektif secara komersial”.

Page 122: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

116 ISSN : 2252-911X

Kedua, para peneliti menganggap “publikasi ilmiah sangat penting karena merupakan ukuran kinerja utama mereka”, sedangkan para pengusaha menilai hal ini “menutup peluang untuk memiliki HKI secara ekslusif”.

Ketiga, para peneliti beranggapan, perusahaan hanya menginginkan “teknologi siap pakai yang tidak mudah mereka penuhi secara responsif karena hambatan pembiayaan”, sedangkan para pengusaha yang mengukur prospek komersial hasil penelitian dengan time to market dan time to profitability, menilai keadaan tersebut sebagai “profesionalisme jasa lembaga litbang yang lemah”.

Apabila silang perspektif tersebut diletakkan pada kerangka tahapan komersialisasi hasil litbang sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dimana para pelaku bisnis hanya mau memberikan komitmen pada “tahap pengembangan prototipe produk”, yaitu setelah kelayakan teknis dan ekonomis dapat dibuktikan, tampaknya interaksi antara lembaga litbang dan perusahaan akan sulit diharapkan terjadi.

Permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah akar masalah dari perspektif para peneliti tersebut, yaitu persepsi mereka tentang misi lembaga. Walaupun memang lembaga-lembaga tersebut dikelompokkan sebagai lembaga litbang, perlu dipertanyakan mengapa pemerintah perlu mengembangkan lembaga-lembaga itu. Apakah urusan penelitian tidak dapat diserahkan pada perguruan tinggi? Mungkin saja pada saat lembaga-lembaga itu dibentuk, kebanyakan perguruan

tinggi belum melakukan penelitian secara komprehensif. Namun pada saat ini telah banyak perguruan tinggi yang memiliki kemampuan penelitian yang setara bahkan lebih baik daripada lembaga-lembaga tersebut.

Dalam keadaan yang demikian sebaiknya lembaga-lembaga litbang pemerintah mengkaji ulang posisi keberadaan mereka. Seperti perguruan tinggi, lembaga litbang pemerintah adalah sebagai elemen murni masyarakat ilmiah sehingga tugas utama mereka adalah memberikan kontribusi kemajuan iptek? Apakah bukan sebagai pemasok teknologi bagi pelaku bisnis agar daya saing dan nilai tambah Indonesia dapat diperkuat, dan dengan demikian titik berat tugas mereka adalah menggali manfaat kemajuan iptek untuk dikembangkan menjadi pasokan teknologi yang dapat dipergunakan pelaku bisnis.

Kalau pandangan Menteri Sumitro Djojohadikusumo dan Menteri B.J. habibie dipahami secara mendalam, tampaknya mereka menginginkan opsi yang terakhir yaitu sebagai pemasok teknologi bagi kegiatan ekonomi.

Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan sejumlah pimpinan lembaga litbang pemerintah, dapat dirasakan bahwa mereka sebenarnya juga berpandangan yang sama. Jika demikian sebenarnya lembaga-lembaga tersebut harus berfungsi sebagai “intermediasi” yang menjebatani dunia ilmiah dengan dunia komersial. Mengapa para peneliti yang turut dalam diskusi menyatakan fungsi tersebut tidak ada? Dan mengapa pula lembaga litbang tidak mengembangkan kebijakan dan prosedur jasa dan alih

Page 123: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 117

teknologi yang jelas dan transparan untuk mengurangi ketidakpastian yang dihadapi perusahaan yang akan mengkomersialkan hasil penelitian mereka?

Sesungguhnya, saat ini lembaga litbang berkepentingan meningkatkan alih teknologi hasil penelitian mereka. Seperti

diilustrasikan pada Gambar 6, hampir semua lembaga litbang merasakan alokasi anggaran pemerintah untuk alih teknologi tidak memadai, juga tidak mendapatkan prioritas, akibatnya lembaga litbang tidak dapat mempersiapkan tahapan alih teknologi secara baik.

Gambar 6. Faktor Alih Teknologi bagi Lembaga Litbang (KRT, 2009)

Dalam keadaan dimana perusahaan tidak memiliki kompetensi dan sumberdaya teknologi yang kuat, dapat dipastikan perusahaan tidak akan tertarik dengan hasil litbang sehingga tidak banyak dari hasil kegiatan lembaga litbang dikomersialkan. Dengan demikian pembiayaan kegiatan lembaga litbang menjadi sangat tergantung pada pembiayaan pemerintah. Sementara itu, pemerintah tidak akan memberikan prioritas anggaran bagi kegiatan lembaga

litbang karena tidak memberikan dampak ekonomi yang memadai atau setidaknya terukur.

Dalam keadaan yang demikian, lembaga litbang dapat terjerat dalam keadaan sebagai berikut: (i) anggaran lembaga litbang akan semakin terbatas dan kinerja lembaga litbang akan secara bertahap menurun, sehingga semakin tidak menarik pelaku bisnis; (ii) lembaga litbang semakin

Page 124: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

118 ISSN : 2252-911X

tidak terekspos pada permasalahan bisnis sehingga semakin tidak memprioritaskan alih teknologi.

3.3. Perusahaan Spin-off

Perusahaan spin-off dalam tulisan ini adalah perusahaan baru yang dibentuk oleh atau melibatkan pelaku litbang untuk komersialisasi hasil litbang. Di negara maju, perusahaan ini mendapatkan perhatian pemerintah karena perusahaan tersebut berkembang menjadi perusahaan dengan pendapatan jutaan bahkan miliar dollar dalam waktu yang relatif singkat. Ambil saja contoh Google yang berdiri pada tahun 1998 oleh Larry Page dan Sergey Brin, keduanya adalah mahasiswa doktoral dari Stanford University, dalam waktu 10 tahun telah menjadi perusahaan dengan pendapatan sebesar $ 21,7 miliar dengan jumlah pegawai lebih dari 19.000 orang. Demikian pula Cisco yang didirikan tahun 1984 oleh suami istri Len Bosack dan Sandra Lener, keduanya juga dari Stanford University, pada tahun 2008 pendapatan mereka mencapai $ 39,5 miliar dengan pegawai lebih dari 66.000. Dapat dilihat bahwa keberhasilan perusahaan jenis ini tidak hanya memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan namun juga menyediakan lapangan kerja yang besar, khususnya bagi teknolog dan spesialis.

Walaupun berbentuk perusahaan, akar pertumbuhan perusahaan spin-off berada di lingkungan perguruan tinggi dan lembaga litbang. Perusahaan spin-off pada umumnya didirikan karena peneliti dan lembaga yang memiliki hasil penelitian yakin bahwa hasil penelitian itu dapat memiliki potensi komersial yang sangat tinggi, namun tidak ada produsen yang tertarik untuk mengadopsinya.

Keberhasilan perusahaan spin-off memerlukan prasyarat sebagai berikut:

Pertama, hasil penelitian yang akan dikomersialkan harus berpotensi dikembangkan menjadi teknologi atau produk yang memiliki nilai pasar yang tinggi. Karenanya kekayaan intelektual tersebut merupakan satu-satunya aset perusahaan yang berharga, harus diproteksi agar perusahaan lain tidak dapat menggunakan khususnya bila keberhasilan komersialnya terbukti.

Kedua, keikutsertaan peneliti utama dalam perusahaan ini, untuk mengembangkan hasil penelitian lebih lanjut, juga karena diperlukan keahlian dan komitmen yang kuat.

Ketiga, permodalan tidak hanya diperlukan untuk menggali dan validasi kelayakan tekno-ekonomi hasil penelitian, namun juga untuk mempersiapkan dan melaksanakan produksi, pemasaran, distribusi, dan penjualan.

Keempat, keberadaan tim manajemen yang memiliki kualifikasi baik karena kesediaan investor menyediakan permodalan tidak semata-mata dilandaskan pada prospek komersial hasil penelitian yang akan dikapitalisasi, namun juga pada kemampuan perusahaan mengelola manajemen perusahaan, finansial, pemasaran, dan penjualan.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa peran lembaga dimana penelitian dilakukan sangat penting, tanpa dukungan kebijakan lembaga tersebut tidak mungkin bagi para peneliti memanfaatkan hasil penelitian mereka dan terlibat secara langsung dalam pembentukan dan pengembangan perusahaan spin-off.

Page 125: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 119

Untuk mendapatkan dukungan investor, perusahaan harus menggali dan memvalidasi kelayakan tekno-ekonomi hasil penelitian yang akan dikomersialkan. Perlu pula dipertimbangkan bahwa kekuatan perusahaan pada kompetensi teknologi, sedangkan kemampuan manajemen bisnis, pemasaran dan distribusi sangat terbatas. Oleh karena itu, tanpa adanya dukungan pembiayaan dan keahlian sangat sukar bagi perusahaan ini memperoleh dukungan investor.

Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan spin-off sangat penting bagi perkembangan ekonomi di Indonesia, sehingga layak mendapatkan perhatian, karena: (a) kelompok perusahaan ini membentuk wira usaha baru yang inovatif; (b) keberhasilan perusahaan ini kebanyakan dilandaskan pada terobosan inovasi yang mendapatkan sambutan pasar secara luas karena menawarkan nilai-guna yang tinggi; (c) semakin banyak perusahaan semacam ini akan memperbesar lapangan kerja bagi para teknolog dan tenaga kerja spesialis untuk mengembangkan karier di bidang mereka, sementara itu pada saat ini mereka kurang mendapatkan penghargaan sehingga banyak yang berpindah profesi; dan (d) perkembangan perusahaan ini juga akan meningkatkan tarikan pasar bagi hasil litbang. Apabila, perusahaan jenis ini dapat tumbuh dan berkembang secara baik, dapat dipastikan transformasi menuju masyarakat berbasis pengetahuan akan lebih cepat tercapai.

3.4. Fungsi Pendukung

Permasalahan hubungan antara penyedia dan pengguna hasil penelitian juga sangat dipengaruhi berbagai bentuk fungsi pendukung yang dalam konteks tulisan

ini dimaksudkan sebagai kegiatan dan fungsi pihak-pihak yang bukan penyedia dan pengguna dalam suatu transaksi alih teknologi, namun usaha mereka sangat mempengaruhi keberhasilan transaksi tersebut. Di bawah ini akan dibahas beberapa fungsi pendukung yang sangat penting, walaupun disamping itu masih banyak lagi fungsi pendukung yang cukup penting.

3.4.1. Modal Ventura

Definisi modal ventura bermacam-macam, namun sesuai dengan konteks tulisan ini dapat dipergunakan definisi Investopedia yang mendefinisikan modal ventura sebagai dana yang disediakan para investor bagi perusahaan baru atau perusahaan kecil yang menjanjikan prospek pertumbuhan yang tinggi. Permodalan ini merupakan sumber dana yang sangat penting bagi perusahaan baru yang tidak memiliki akses ke perbankan karena tidak memiliki aset yang dapat digunakan sebagai kolateral.

Dana yang disediakan biasanya berbentuk ekuitas, bukan pinjaman, walaupun sering pula dikombinasikan dengan pinjaman yang dapat dikonversi menjadi ekuitas (convertible loan) atau bentuk-bentuk pinjaman lain. Pengembalian dana yang ditanamkan diperoleh dengan menjual saham yang dimiliki, baik melalui mekanisme IPO, akuisisi, atau lainnya.

Permodalan ini terkait dengan risiko yang tinggi dan ekspektasi keuntungan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan investasi lain. Oleh karena itu, perusahaan modal ventura hanya akan tertarik apabila perusahaan yang dimodali memiliki prospek untuk tumbuh secara cepat dalam waktu 5–7 tahun, sehingga nilai saham perusahaan tersebut mengalami

Page 126: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

120 ISSN : 2252-911X

peningkatan yang besar pada saat dilepaskan.

Untuk mengamankan investasinya, di samping penyediaan modal perusahaan, modal ventura sering pula menyediakan tenaga ahli atau bahkan menempatkan wakilnya dalam manajemen perusahaan yang dimodalinya. Walaupun demikian, tingkat kegagalan investasi perusahaan modal ventura pada umumnya sangat tinggi. Namun bagi investasi yang berhasil dapat diperoleh keuntungan yang sangat tinggi sehingga tidak hanya dapat menutupi kerugian dari investasi yang gagal bahkan dapat melipatgandakan uang penyandang dananya antara 300% sampai 1000%.

Permodalan yang disediakan perusahaan modal ventura dapat mencakup sejumlah tahapan investasi sebagai berikut:

(a) Seed Capital yang jumlahnya tidak terlalu besar untuk mengembangkan prototipe komersial, membiayai riset pasar, dan membiayai pengembangan sistem manajemen perusahaan;

(b) Start-up Capital yaitu dana investasi untuk mempersiapkan produksi dan mengintroduksikan produk ke pasar, serta mengembangkan strategi dan pemasaran untuk memperluas penetrasi pasar;

(c) Early stage capital yaitu investasi yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi serta memperbaiki produktivitas dan efisiensi perusahaan agar break-even point dapat dicapai;

(d) Expansion Capital yaitu investasi yang diperlukan perusahaan yang telah mapan untuk memperluas pasarnya; dan

(e) Late Stage Capital yaitu investasi yang diperlukan perusahaan yang sudah memiliki posisi pasar yang kuat untuk melaksanakan restrukturisasi agar nilai perusahaan mereka meningkat, khususnya bagi keperluan IPO.

Permodalan tersebut, khususnya seed capital dan start-up capital memiliki peran yang sangat penting bagi perusahaan spin-off yang pada tahap tersebut tidak memiliki akses perbankan, baik karena tidak memiliki aset yang dapat dijadikan kolateral atau dianggap berisiko tinggi. Namun perlu dipertimbangkan kemungkinan hambatan bahwa perusahaan modal ventura sangat selektif, tidak hanya dalam memilih perusahaan yang akan dimodali namun juga dalam memilih sektor industri yang akan dimasuki. Pada umumnya mereka akan lebih tertarik pada sektor industri yang mengalami pertumbuhan yang tinggi. Dengan demikian tidak semua bisnis perusahaan spin-off memiliki kesesuaian dengan target investasi perusahaan modal ventura.

Selain itu, walaupun seed capital atau start-up capital yang biasanya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan investasi pada tahap-tahap lain, keberhasilan investasi tersebut sangat tidak pasti. Oleh karena itu, biasanya perusahaan modal ventura sangat berhati-hati untuk masuk area ini, walaupun modal pada tahap tersebut sangat diperlukan perusahaan spin-off.

Di Indonesia jumlah perusahaan modal ventura masih sangat terbatas, biasanya perusahaan ini belum menganggap komersialisasi hasil litbang sebagai target investasi. Perusahaan modal ventura besar pada umumnya mentargetkan investasi

Page 127: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 121

mereka untuk keperluan expansion capital dan late stage capital. Sedangkan perusahaan modal ventura yang dibentuk untuk membiayai perkembangan UKM pada umumnya lebih menyukai perusahaan yang memiliki pasar yang pasti, walaupun tingkat keuntungannya terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada saat ini masih sangat sukar bagi perusahaan spin-off mendapatkan akses permodalan.

3.4.2. Pusat Desain dan Pengembangan Prototipe

Di berbagai negara maju, pemerintah pada umumnya menyediakan pendanaan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan pusat desain dan pengembangan prototipe. Fungsi pusat ini adalah menyediakan jasa desain enjinering serta pengembangan dan pengujian prototipe yang memenuhi standar industri.

Pusat ini harus memiliki ahli desain dan rekayasa yang mendalami standar yang umum diterapkan di bidang industri yang dilayaninya dan memahami berbagai faktor produksi termasuk ketersediaan bahan baku, aliran proses produksi, dan biaya produksi yang harus dipertimbangkan dalam desain produk.

Disamping itu, harus pula memiliki kebijakan dan menerapkan perlindungan kerahasiaan informasi yang diberikan pelanggannya karena pengguna jasa pusat ini harus membuka ide inovasinya dan bahkan berbagai detail yang diperlukan untuk pelaksanaan desain produk.

Walaupun tujuan utamanya membantu perusahaan-perusahaan kecil menengah mengembangkan berbagai inovasi, karena pusat tersebut memiliki fasilitas dan tenaga ahli rekayasa yang baik, tidak jarang

dari mereka yang memiliki pelanggan perusahaan-perusahaan besar.

Keberadaan pusat desain dan pengembangan prototipe tidak hanya dapat meringankan investasi dan biaya harus dikeluarkan perusahaan dalam mengembangkan inovasi, namun juga dapat mempercepat penyelesaian pengembangan produk sehingga dapat menyingkat time to market entry.

Bagi perusahaan kecil, khususnya perusahaan spin-off, pusat ini merupakan faktor yang penting, karena perusahaan tidak perlu mengembangkan sendiri sarana desain, rekayasa dan pengujian yang investasinya cukup besar untuk merancang dan mengembangkan produk yang akan dipasarkan.

3.4.3. Pusat Produktivitas

Pusat ini berfungsi membantu industri kecil merancang proses produksi dan mengembangkan sistem manajemen produksi yang baik, atau mencarikan solusi bagi berbagai permasalahan produksi. Jasa pusat ini antara lain adalah sebagai berikut: Industrial Engineering, Operations Scheduling and Control, Quality System, Supply Chain Management.

Jasa pusat ini dapat dimanfaatkan semua perusahaan produsen, besar atau kecil. Bagi perusahaan spin-off jasa pusat ini sangat berguna pada saat perusahaan mempersiapkan produksi (tahap market entry) serta pada tahap-tahap selanjutnya pada saat perusahaan meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas, dan efisiensi perusahaan. Seperti halnya dengan pusat desain dan pengembangan prototipe, pada saat ini pengembangan pusat ini juga tidak mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia.

Page 128: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

122 ISSN : 2252-911X

3.5. Instrumen Intervensi

Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa alih teknologi hasil penelitian yang sebagian besar dibiayai pemerintah tidak mungkin berkembang dengan baik, karena sisi pengguna dan sisi penyedia serta fungsi pendukung yang diperlukan untuk memfasilitasi hubungan antara sisi pengguna dan sisi penyedia, tidak cukup siap mendorong alih teknologi. Pemerintah harus mengintervensi keadaan tersebut agar anggaran litbang pemerintah dapat secara efektif meningkatkan PDB dan memperkuat daya saing ekonomi nasional, bahkan mendorong transformasi kegiatan bisnis di Indonesia agar lebih berorientasi pada pengembangan kemampuan inovasi. Beberapa instrumen kebijakan sangat diperlukan untuk mengintervensi keadaan tersebut.

3.5.1. Legalitas Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Milik Pemerintah

Oleh karena hampir semua kegiatan penelitian yang dilakukan pusat-pusat litbang pemerintah di biayai melalui anggaran pemerintah, hasil penelitian pusat-pusat tersebut pada dasarnya merupakan aset pemerintah. Oleh karena itu legalitas pemanfaatan aset pemerintah itu perlu diatur.

Saat ini telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilikan dan alih teknologi hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah, yaitu: (a) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; dan (b) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan

oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan.

UU-18/2002 Pasal 16 menjabarkan prinsip pengaturan alih teknologi sebagai berikut:

Pertama, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan;

Kedua, apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut; dan

Ketiga, perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri.

UU-18/2002 menyatakan bahwa pelaksanaan Pasal 16 tersebut harus diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah. PP-20/2005 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 16 UU-18/2002 antara lain mencakup sejumlah ketentuan sebagai berikut:

Pertama, hasil litbang perguruan tinggi dan lembaga litbang yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah/pemerintah daerah merupakan kekayaan intelektual milik pemerintah/ pemerintah daerah [Pasal 5 (1)];

Page 129: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 123

Kedua, hasil litbang perguruan tinggi dan lembaga litbang yang dibiayai sebagian oleh pemerintah/pemerintah daerah dan sebagian oleh pihak lain merupakan kekayaan intelektual milik pemerintah/pemerintah daerah dan pihak lain yang bersangkutan secara bersama, yang diatur melalui perjanjian antara perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan pihak-pihak yang membiayai sebagian kegiatan litbang tersebut [Pasal 5 (2) & (3)];

Ketiga, pemilikan kekayaan intelektual di atas tidak menghilangkan hak bagi pelaksana kegiatan penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga litbang untuk memperoleh pengakuan dan imbalan atas kekayaan intelektual tersebut [Pasal 7];

Keempat, pengelolaan kekayaan intelektual milik pemerintah/pemerintah daerah dilimpahkan kepada perguruan tinggi dan lembaga litbang, termasuk pengupayaan untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kekayaan intelektual tersebut [Pasal 10 dan Pasal 11 (1)];

Kelima, alih teknologi kekayaan intelektual dapat dilakukan secara komersial atau non-komersial melalui mekanisme [Pasal 14 dan Pasal 20] lisensi, kerjasama, pelayanan jasa iptek atau publikasi;

Keenam, alih teknologi secara non-komersial diarahkan untuk [Pasal 15]: (a) mendorong penguasaan dan pemanfaatan iptek yang diperlukan oleh masyarakat, daerah, dan Negara; (b) mendorong terciptanya temuan-temuan iptek yang berguna bagi masyarakat, daerah, dan Negara; serta (c) mendorong badan usaha kecil dan menengah;

Ketujuh, penerima alih teknologi kekayaan intelektual milik pemerintah/pemerintah

daerah diutamakan bagi mereka yang bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kekayaan intelektual tersebut untuk kepentingan masyarakat dan negara [Pasal 13]; dan

Kedelapan, dalam hal kekayaan intelektual tersebut dimiliki bersama antara pihak pemerintah atau pemerintah daerah dengan pihak lain, maka masing-masing pihak memiliki hak untuk [Pasal 9 (1) & (2)]: (a) mendapatkan pemilikan kekayaan intelektual tersebut sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati; (b) mendapatkan prioritas memperoleh lisensi atau menggunakannya untuk kepentingan litbang: (c) mendapatkan imbalan atas kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati; dan (d) memperoleh royalti atau imbalan sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati apabila kekayaan intelektual tersebut dimanfaatkan salah satu pihak untuk keperluan komersial.

Kesembilan, walaupun pembiayaan alih teknologi pada dasarnya dibebankan dan menjadi tanggung jawab pihak penerima kekayaan intelektual yang dimaksud, pemerintah serta pihak-pihak lain dapat pula membiayai atau ikut serta membiayai alih teknologi [Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37];

Kesepuluh, perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan alih teknologi untuk mengembangkan diri [Pasal 38 dan Pasal 39]: (a) meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan; (b) memberikan insentif untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan invensi (c) memperkuat

Page 130: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

124 ISSN : 2252-911X

kemampuan pengelolaan dan alih teknologi; (d) melakukan investasi untuk memperkuat sumber daya iptek; (e) meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan alih teknologi dan pelayanan jasa iptek; dan (f) memperluas jaringan kerja sama dengan lemabag-lembaga lain yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Kesebelas, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang [Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19].

Seperti halnya dengan Bayh-Dole Act, UU-18/2002 dan PP-20/2005 memberikan mandat dan mendorong perguruan tinggi dan pusat litbang untuk menyelenggarakan alih teknologi. Produk hukum ini tidak mengatur apakah lisensi yang dimaksud dapat diberikan secara eksklusif, demikian pula dengan pemilikan ekuitas sebagai imbalan alih teknologi melalui mekanisme spin-off, namun pengaturan yang termuat sudah cukup dan lengkap untuk dijadikan landasan bagi pusat-pusat tersebut untuk mengembangkan kebijakan dan fungsi pengelolaan alih teknologi, termasuk pembentukan unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi.

Kedua produk peraturan perundang-undangan di atas merupakan instrumen yang bersifat ekspilist, sehingga dapat secara langsung mempengaruhi perkembangan alih teknologi. Namun kedua produk peraturan perundang-undangan tersebut belum dapat dilaksanakan secara efektif

karena pada Pasal 39 sampai Pasal 47 diatur berbagai hal yang terkait dengan tanggung jawab dan pemanfaaatan pendapatan alih teknologi, yang pelaksanaannya harus ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan, dan sampai saat ini pengaturan tersebut belum diterbitkan.

3.5.2. Anggaran Iptek

Kebijakan ini juga merupakan instrumen kebijakan yang bersifat eksplisit sehingga akan secara langsung mempengaruhi perkembangan iptek di Indonesia. Walaupun di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Pembangunan Jangka Mengah pemerintah memberikan garis besar tentang tujuan, lingkup, dan struktur anggaran iptek, dalam kenyataannya pelaksanaan panduan tersebut tidak effektif.

Pertama, panduan tersebut tidak dijabarkan lebih lanjut ke dalam strategi pembiayaan kegiatan iptek yang secara komprehensif menjabarkan berbagai fungsi perkembangan iptek dan keterkaitan antar fungsi-fungsi itu, mengidentifikasi permasalahan yang menghambat perkembangan fungsi-fungsi tersebut dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, serta prioritas pembiayaan pemerintah untuk mengatasi permasalahan dan mengkoreksi faktor-faktor tersebut.

Kedua, mekanisme penyusunan anggaran dapat dikatakan bersifat bottom-up sehingga dengan adanya kelemahan di atas, pemanfaatan anggaran iptek menjadi cenderung “spread thin”, sporadis tanpa pola tertentu, karenanya tidak menghasilkan daya dorong yang cukup kuat untuk mempengaruhi perkembangan sektor ekonomi.

Page 131: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 125

Dalam menyusun strategi pembiayaan kegiatan iptek tersebut, perlu dipertimbangkan sejumlah inisiatif yang sangat mempengaruhi perkembangan iptek, khususnya alih teknologi :

Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian dasar di perguruan tinggi yang merupakan fondasi perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. perguruan tinggi harus mampu menyiapkan tenaga kerja dengan latar belakang iptek dan memiliki kemampuan litbang yang baik, menghasilkan berbagai publikasi ilmiah yang bermutu, dan harus mampu berfungsi sebagai simpul dalam jaringan peneliti internasional untuk mengikuti dan mengakses kemajuan ilmu pengetahuan diberbagai negara.

Pengalaman di negara-negara maju, menunjukkan bahwa banyak penelitian dasar di perguruan tinggi dapat dikembangkan menjadi berbagai inovasi yang menghasilkan terobosan pasar dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan ekonomi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kualitas penelitian dasar di perguruan tinggi, tidak hanya untuk membiayai kegiatan mereka, namun juga untuk meningkatkan kualitas sarana penelitian yang dibutuhkan.

Sebaiknya pengalokasian anggaran dilakukan melalui mekanisme kompetisi dengan proses seleksi yang ketat. Walaupun demikian, mekanime pengusulannya harus bersifat bottom-up, agar tidak membatasi kebebasan akademis yang merupakan pilar penting bagi perkembangan perguruan tinggi.

Hal ini tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek, namun perlu diterapkan secara sungguh-sungguh karena: (a) kualitas tenaga kerja yang dihasilkan secara bertahap namun pasti akan mempengaruhi orientasi dan kemajuan semua bidang pembangunan, khususnya iptek; dan (b) kualitas kemampuan dan hasil penelitian lembaga ini tidak hanya memungkinkan lembaga ini meningkatkan kerjasama ilmiah dengan institusi ilmiah internasional, namun dapat pula menjadi daya tarik bagi perusahaan internasional untuk melakukan investasi litbang di Indonesia.

Kedua, memposisikan lembaga litbang pemerintah sebagai pemasok teknologi agar kualitas dan daya saing kegiatan ekonomi di Indonesia dapat ditingkatkan. Alokasi anggaran bagi lembaga ini perlu distrukturkan sedemikian rupa agar terjadi keseimbangan yang baik antara pembiayaan penelitian dan pembiayaan alih teknologi, termasuk untuk pembentukan unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual (Pusat Alih Teknologi) sebagaimana dimaksud dalam PP-20/2005.

Kinerja mereka sebaiknya tidak hanya diukur berdasarkan publikasi ilmiah dan paten yang dihasilkan, namun juga berdasarkan keberhasilan melaksanakan alih teknologi hasil penelitian mereka ke sektor ekonomi. Lembaga tersebut juga harus dipacu untuk memperbesar pendapatan alih teknologi agar keterbatasan anggaran pemerintah tidak menjadi bottle-neck perkembangannya.

Ketiga, menstimulasi kerjasama litbang antara perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan perusahaan. Kerjasama ini

Page 132: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

126 ISSN : 2252-911X

sangat diperlukan untuk menumbuhkan kemampuan inovasi, karena: (a) kerja sama itu akan mengekspos perguruan tinggi dan lembaga litbang terhadap permasalahan yang dihadapi perusahaan, dan dilain pihak (b) kerjasama tersebut dapat mempengaruhi pandangan perusahaan terhadap nilai hasil kegiatan penelitian.

Pada saat ini, perusahaan kurang berminat membiayai kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang, sementara itu dengan keterbatasan anggaran sukar diharapkan lembaga litbang bersedia mengalokasikan sebagian anggaran mereka untuk membiayai kerjasama itu.

Ketersediaan anggaran pemerintah yang khusus dialokasikan untuk membiayai kerjasama penelitian antara lembaga litbang dengan perusahaan sangat diperlukan untuk mengatasi hambatan tersebut. Seperti halnya dengan anggaran untuk penelitian dasar di perguruan tinggi, pengalokasian anggaran ini sebaiknya dilakukan secara kompetitif dengan menitik beratkan dampak tekno-ekonomi yang dihasilkan.

Keempat, untuk mengatasi stagnasi alih teknologi, pemerintah perlu menyediakan anggaran untuk membiayai pelaksanaan tahapan alih teknologi. Pada kondisi sekarang, pembiayaan tersebut setidak-tidaknya perlu mencakup tahap-tahap “articulate commercial prospect, validate techno-economic feasibility, dan develop prototype”. Dua tahapan pertama masih perlu dibiayai sepenuhnya pemerintah.

Untuk menjamin efektivitas anggaran ini, pengalokasiannya harus diterapkan secara kompetitif dengan menitik beratkan dampak tekno-ekonomi. Sedangkan

untuk pembiayaan tahap pengembangan prototipe dapat diterapkan mekanisme dana pendamping dan dapat dikaitkan dengan pembiayaan kerjasama antara perguruan tinggi, lembaga litbang, dan perusahaan. Sedangkan untuk keperluan pembentukan perusahaan spin-off pembiayaan dapat disalurkan melalui perusahaan modal ventura.

Kelima, investasi pengembangan pusat desain dan pengembangan prototipe dan pusat sangat diperlukan, sehingga pantas mendapatkan tingkat prioritas yang tinggi. Sebenarnya berbagai pusat di PUSPIPTEK telah memiliki sebagian dari fasilitas dan tenaga ahli yang diperlukan.

Dengan dorongan pembiayaan pemerintah, PUSPIPTEK dapat membangun kedua pusat tersebut. Pengalokasian anggaran ini juga perlu diterapkan secara kompetitif dengan memperhatikan kesiapan lembaga pengusul mempersiapkan pusat-pusat tersebut. Usulan yang didukung lebih dari satu lembaga perlu diutamakan agar terjadi sinergi antar lembaga-lembaga tersebut.

Keenam, mendorong perusahaan modal ventura membiayai alih teknologi. Sesungguhnya peran perusahaan modal ventura sebagai fungsi pendukung pembentukan dan pengembangan perusahaan spin-off sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif agar mereka mulai melihat alih teknologi sebagai objek investasi yang prospektif.

Dalam hal ini pemerintah dapat menyediakan pendanaan yang dapat dipergunakan perusahaan modal ventura sebagai seed capital.

Page 133: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 127

3.5.3. Instrumen Perpajakan

Seperti juga telah dibahas, alih teknologi juga dipengaruhi kemampuan inovasi perusahaan karena yang mentransformasikan hasil penelitian menjadi inovasi (teknologi atau produk memiliki nilai komersial) adalah perusahaan dan tanpa kemampuan ini akan sulit bagi perusahaan mentransformasikan hasil penelitian.

Oleh karena itu, banyak negara yang menerapkan berbagai instrumen kebijakan untuk mendorong perusahaan melakukan litbang. Penerapan insentif perpajakan telah terbukti sangat efektif di berbagai negara apabila insentif tersebut cukup signifikan dan tidak memerlukan berbagai birokrasi yang rumit.

Pemerintah Australia, Kanada, Singapura dan Malaysia, tidak hanya memberikan insentif perpajakan yang menarik, namun juga mengkomunikasikan insentif tersebut secara ekstensif. Karena instrumen ini juga secara langsung diarahkan untuk menstimulasi investasi litbang, maka dapat dikelompokkan sebagai instrumen eksplisit.

Australia membedakan perusahaan dalam tiga kelompok, yaitu perusahaan besar nasional, perusahaan kecil menengah, dan perusahaan asing dengan menerapkan tax deduction (pengurangan terhadap pendapatan kena pajak) yang berbeda-beda. Kanada membedakan dalam 2 kelompok yaitu perusahaan besar dan asing serta perusahaan kecil menengah. Insentif perpajakan yang diterapkan adalah tax credit (pengurangan terhadap pajak yang harus dibayarkan) baik yang bersifat refundable atau non-refundable. Singapura menerapkan tax deduction bagi

dua kelompok, yaitu perusahaan besar dan kecil tanpa membedakan kepemilikan. Perbedaannya, bagi perusahaan besar pengurangan tersebut dihitung berdasarkan biaya litbang yang dikeluarkan sedangkan bagi perusahaan kecil menengah terhadap pendapatan kena pajak.

Singapura juga memberikan insentif yang menarik bagi perusahaan start-up yang merugi untuk periode 3 tahun sejak didirikan. Sedangkan Malaysia menerapkan tax deduction yang agresif, khususnya bagi perusahaan yang mendapatkan status pionir karena mengkomersialisasikan hasil penelitian yang dibiayai pemerintah.

Dari contoh-contoh tersebut dapat dilihat, baik negara berkembang maupun negara maju, memberikan insentif perpajakan yang sangat menarik bagi perusahaan nasional, juga perusahaan asing agar mereka mau melakukan litbang. Ilustrasi besarnya subsidi yang diterima perusahaan melalui insentif perpajakan untuk setiap dolar biaya R&D yang dikeluarkan dapat dilihat di Gambar 7.

Gambar 7. Tax Subsidy per $1 of R&D (OECD, 2007).

Page 134: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

128 ISSN : 2252-911X

Negara-negara tersebut menerapkan insentif perpajakan tidak hanya untuk menstimulasi perusahaan melakukan litbang agar kemampuan inovasi dan daya saingnya meningkat sehingga akan memperkuat pertumbuhan ekonomi, namun juga untuk memastikan transformasi menuju knowledge base society agar berjalan efektif.

Pemerintah perlu mempelajari kemungkinan mengembangkan insentif perpajakan yang cukup agresif apabila Indonesia tidak ingin tertinggal semakin jauh.

3.6. Faktor Pasar

Pasar merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan kemampuan inovasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi alih teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang. Sejumlah faktor pasar yang hampir pasti akan menghambat inovasi, antara lain:

Pertama, Gresham’s law – Apabila pembeli tidak memperoleh informasi untuk membandingkan nilai dan harga suatu produk, produk yang memiliki superioritas teknologi tidak mampu menyaingi produk yang memiliki harga lebih murah walaupun berkualitas rendah;

Kedua, barrier to entry – Apabila hambatan untuk memasuki pasar besar misalnya struktur pasar bersifat oligopoli karena dikuasai sejumlah perusahaan besar, akan sangat sukar bagi perusahaan spin-off mempenetrasi pasar. Dengan demikian inovasi sangat tergantung pada perusahaan-perusahaan yang telah berada di pasar. Apabila mereka tidak melakukan inovasi, perkembangan inovasi pasti terhambat.

Ketiga, switching costs – Faktor ini terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk berpindah dari suatu teknologi ke teknologi lain. Biaya ini dapat berbentuk penggantian peralatan, investasi sistem dan sarana produksi, atau pembentukan keahlian yang diperlukan untuk memproduksi teknologi baru.

Keputusan perusahaan untuk mengadopsi suatu hasil litbang sangat dipengaruhi oleh perimbangan antara ekspektasi keuntungan yang mungkin diperoleh dengan switching costs yang harus dikeluarkan. Apabila untuk menerapkan hasil penelitian tersebut perusahaan harus mengeluarkan switching costs yang besar sedangkan ekspektasi keuntungan yang mungkin diperoleh tidak terlalu signifikan, dapat dipastikan mereka tidak akan tertarik pada hasil penelitian itu.

Keempat, network externality – Faktor ini terkait dengan keadaan dimana pengguna suatu teknologi memperoleh manfaat lebih apabila teknologi tersebut dipergunakan secara luas. Fenomena ini juga akan mempengaruhi keputusan pengguna teknologi untuk berpindah ke teknologi lain. Fenomena ini menjelaskan mengapa posisi pasar PC-Windows yang telah dipergunakan secara luas sukar digoyahkan teknologi lain yang lebih superior.

Kelima, market focus – Suatu inovasi yang berhasil memperoleh respon pasar yang signifikan pada umumnya akan mendorong berbagai inovasi lain, baik yang merupakan penyempurnaan atau perluasan aplikasi untuk berbagai keperluan. Apabila perkembangan inovasi tersebut sangat beragam dan tidak membentuk fokus pasar yang baik, skala ekonomi yang cukup besar sukar terbentuk dan tingkat harga teknologi tersebut sukar ditekan sehingga

Page 135: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 129

perkembangan pasar inovasi tersebut menjadi lambat.

Memang dalam mengembangkan kebijakan pasar, pemerintah harus sangat berhati-hati agar tidak mendistorsi persaingan atau faktor-faktor pasar lain yang justru merugikan perkembangan ekonomi secara menyeluruh.

Namun tentunya banyak instrumen kebijakan yang cukup aman diterapkan pada saat ini seperti beberapa contoh di bawah ini:

Apabila struktur pasar memang secara natural bersifat oligopoli karena untuk bertahan perusahaan harus memiliki skala ekonomi yang besar seperti halnya di industri telekomunikasi atau penerbangan, pemerintah perlu mendorong agar perusahaan perusahaan tersebut mengembangkan kemampuan inovasi - misalnya dengan menyediakan insentif perpajakan yang menarik bagi pembiayaan penelitian dan pengembangan. Dengan demikian perkembangan industri semacam ini akan semakin sehat dan kebutuhan perusahaan-perusahaan di dalamnya terhadap hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga litbang juga akan meningkat pula.

Walaupun jarang mendapatkan perhatian para penyusun kebijakan iptek, standardisasi mempengaruhi perkembangan inovasi dan difusi teknologi. Standardisasi adalah suatu proses dimana pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda dan bahkan bersaing satu dan lainnya, menyepakati persyaratan teknis suatu produk atau teknologi yang terkait dengan kepentingan mereka. Seperti telah dibahas, difusi suatu inovasi

dipengaruhi switching costs dan network externality. Apabila kedua fenomena pasar ini berinteraksi, pasar akan terkunci (lock-in) pada teknologi/produk tertentu. Standardisasi, baik pada tingkat nasional maupun internasional dapat mengurangi permasalahan ini.

Permasalahan yang paling umum terjadi dan menghambat penetrasi pasar suatu inovasi, khususnya yang dilakukan perusahaan spin-off, karena mereka belum memiliki jaringan pemasaran yang kuat. Apabila pasar atau segmen pasar yang cukup besar menghargai nilai suatu inovasi dan bersedia membayar walaupun harganya relatif mahal, potensi keberhasilan inovasi akan lebih besar.

Sebagai contoh, berbagai inovasi pada pesawat telefon selular dapat dengan cepat mempenetrasi pasar Indonesia, karena ada segmen yang cukup besar yang bersedia membayar harga tinggi untuk fitur inovatif yang ditawarkan produsen Nokia, Samsung, atau Blackberry. Dan karena struktur pasarnya mendekati kompetisi yang sempurna, kesempatan itu dapat dimanfaatkan Nexian suatu perusahaan papan bawah untuk menjadi follower yang sukses.

Dalam hal ini sebenarnya pemerintah dapat membantu perusahaan spin-off mengintroduksi produk mereka karena pemerintah memiliki segmen pasar yang besar. Setelah masyarakat memahami nilai dari produk tersebut, perusahaan dapat melakukan penetrasi segmen pasar yang lain. Namun instrumen ini perlu diterapkan secara hati-hati agar tidak merugikan pemerintah dan mendistorsi persaingan pasar.

Page 136: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

130 ISSN : 2252-911X

4. Alih Teknologi di PUSPIPTEK

Permasalahan alih teknologi pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK terkait dengan: (a) kesiapan PUSPIPTEK dan (b) minat dan kesiapan pelaku bisnis melaksanakan alih teknologi. Karena tantangan utamanya adalah meningkatkan dampak ekonomi pembiayaan litbang pemerintah, maka yang harus dibuktikan bukan berapa banyak uang yang dapat diterima pusat-pusat PUSPIPTEK dari transaksi alih teknologi, melainkan berapa banyak dan berapa besar kegiatan ekonomi yang dapat dibentuk. Dengan demikian, pengertian kesiapan PUSPIPTEK harus diartikan kemampuan menarik minat dan memberikan dukungan bagi pelaku bisnis apapun tingkat kemampuan mereka saat ini, dan berapapun kecilnya kemungkinan berhasil. Selanjutnya akan di bahas berbagai faktor penting yang terkait dengan permasalahan tersebut.

4.1. Kebijakan Alih Teknologi PUSPIPTEK

Alih teknologi di PUSPIPTEK melibatkan kepentingan pusat-pusat yang memiliki hasil penelitian, perusahaan yang memanfaatkan hasil litbang, perusahaan produsen atau spin-off, serta investor yang menyediakan permodalan alih teknologi. Oleh karena itu, harus ada kebijakan pemerintah yang dapat menjembatani kepentingan-kepentingan ini.

Kebijakan yang diperlukan adalah yang terkait dengan keperluan pusat-pusat dan para peneliti mempersiapkan alih teknologi. Aspek ini antara lain mencakup: (a) legalitas alih teknologi; (b) pendanaan khususnya untuk mengkapitalisasi pelaksanaan tahap-tahap awal proses alih teknologi; (c) mobilisasi tenaga ahli yang diperlukan untuk mengevaluasi nilai komersial hasil

penelitian mereka; dan (d) pengurusan paten hasil penelitian atau teknologi yang dikembangkan dari hasil penelitian.

Di pihak lain, kebijakan dan fungsi tersebut terkait pembentukan hubungan bisnis dengan perusahaan yang diharapkan mau mengadopsi hasil penelitian, atau yang mungkin memodali perusahaan spin-off. Aspek ini antara lain mencakup: (a) legalitas dan akuntabilitas transaksi alih teknologi; (b) dukungan dan insentif untuk mempersiapkan komersialisasi hasil penelitian; (c) dan khusus bagi perusahaan spin-off, permodalan untuk pengembangan usaha.

4.1.1. Legalitas Alih Teknologi

Baik bagi lembaga litbang dan pelaku bisnis, legalitas alih teknologi hasil penelitian yang dibiayai pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU-18/2002 dan PP-20/2005, sangat penting agar pemanfaatan aset pemerintah tersebut tidak menimbulkan permasalahan hukum. Legalitas tersebut juga merupakan faktor yang sangat penting bagi kepastian investasi pelaku bisnis.

Namun sebagaimana telah dibahas, UU-18/2002 dan PP-20/2005 hanya dapat diterapkan secara efektif apabila Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan tentang perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan alih teknologi yang merupakan tangung jawab lembaga litbang. Pengaturan pelaksanaan itu perlu pula mempertimbangkan bahwa proses alih teknologi harus dilaksanakan dalam sejumlah tahapan yang mengandung ketidakpastian keberhasilan yang tinggi.

Pelaksanaannya memerlukan proses pembentukkan saling kepercayaan antar pihak-pihak terlibat yang tidak mudah

Page 137: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 131

dan memerlukan interaksi yang ekstensif. Prosedur pelaksanaan yang terlalu kaku, apalagi mempersyaratkan proses formal yang tidak sesuai dengan tahapan alih teknologi, akan sangat menghambat pelaksanaan alih teknologi.

Permasalahan lain yang terkait dengan legalitas alih teknologi adalah keterlibatan peneliti dalam perusahaan spin-off. Perkembangan perusahaan spin-off sangat diperlukan bagi ekonomi nasional karena di samping dapat meningkatkan daya guna hasil penelitian, perusahaan itu akan memperkuat kelompok perusahaan dan wirausaha yang inovatif.

Kemungkinan perusahaan spin-off mengalami kegagalan pada umumnya besar sehingga tidak banyak peneliti yang bersedia mempertaruhkan karier mereka untuk mencoba menjadi entrepreneur. Oleh karena itu, diperlukan peraturan kepegawaian pemerintah yang memungkinkan mereka mendapatkan cuti panjang untuk mengembangkan perusahaan spin-off tanpa takut kehilangan status kepegawaian.

Sebenarnya, peraturan kepegawaian pemerintah telah memiliki aturan cuti diluar tanggungan negara yang dapat dipergunakan sebagai dasar. Namun agar sesuai dengan keperluan alih teknologi sejumlah pengaturan yang dapat mengurangi risiko peneliti tersebut sangat diperlukan, seperti halnya dengan kepastian status kepegawaian, masa kerja, kenaikan pangkat reguler, serta pendapatan pada masa cuti tersebut.

4.1.2. Kelembagaan Alih Teknologi

Untuk memfasilitasi alih teknologi perlu dikembangkan instrumen kelembagaan

sebagai berikut: (a) Pusat Alih Teknologi yaitu unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual sebagaimana dipersyaratkan PP-20/2005; (b) Pusat Desain dan Pengembangan Prototipe; dan (c) Pusat Produktivitas sebagaimana telah dibahas terdahulu.

4.1.2.1. Pusat Alih Teknologi

Interaksi antara penyedia, pengguna, dan investor yang melibatkan berbagai bidang keahlian memerlukan koordinasi yang baik. Keberadaan unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas memfasilitasi alih teknologi sangat diperlukan. Tanpa unit kerja tersebut, pelaksanaan tahapan alih teknologi tidak akan terorganisir secara rapih, dan seringkali menyebabkan pihak-pihak yang terkait mengalami frustasi.

Perlu diingat bahwa pusat-pusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK memiliki induk organisasi yang berbeda-beda. Sesuai dengan UU-18/2002 dan PP-20/2005 yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola, melaksanakan, dan memanfaatkan pendapatan alih teknologi, adalah lembaga pelaksana penelitian, yang dalam konteks ini adalah induk organisasi pusat-pusat litbang tersebut. Dengan demikian pilihannya adalah apakah unit kerja tersebut dibentuk di lingkungan PUSPIPTEK atau di lingkungan induk organisasi masing-masing.

Pilihan tersebut perlu dikembalikan pada tujuan pembentukan PUSPIPTEK sesuai dengan visi dari para pemarkasanya. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memprakasai pembangunan PUSPIPTEK dengan tujuan agar pusat-pusat litbang yang ada di lingkungan beberapa lembaga pemerintah

Page 138: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

132 ISSN : 2252-911X

non kementerian dapat dipindahkan ke suatu kawasan, sehingga pusat-pusat tersebut dengan kelangsungan identitasnya masing-masing dapat secara bersama-sama dan bersinergi membentuk kemampuan penelitian, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk mendukung pelaksanaan Program Pembangunan Nasional.

Tujuan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie memasukkan industri teknologi tinggi dan pendidikan tinggi sebagai elemen dalam keseluruhan kawasan PUSPIPTEK adalah agar terbentuk interaksi dan kerja sama antara unsur-unsur sistem inovasi nasional, sehingga sebagai suatu kesatuan sistem dapat berkembang secara pesat melalui sejumlah tahapan transformasi.

Keberadaan unit kerja alih teknologi dapat merupakan salah satu bentuk ikatan yang memperkuat interaksi dan sinergi yang dimaksud para pemarkasa PUSPIPTEK. Apabila kebijakan dan unit kerja yang dimaksud dibentuk lembaga induk masing-masing dari pusat-pusat tersebut, akan terbentuk silo-silo sehingga keberadaan pusat-pusat tersebut dalam suatu kawasan tidak akan meningkatkan interaksi dan sinergi antar mereka.

Dengan pertimbangan tersebut, unit kerja alih teknologi harus dibentuk di lingkungan PUSPIPTEK. Oleh karena itu, salah satu pokok kebijakan yang dimaksud adalah pembentukan Pusat Alih Teknologi dengan tugas pokok memfasilitasi dan mendukung alih teknologi hasil penelitian pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK. Namun, pilihan ini hanya akan berjalan secara efektif apabila mendapatkan dukungan dari setiap organisasi induk dari pusat-pusat tersebut.

Pusat ini harus mampu memberikan nilai tambah yang cukup signifikan bagi pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK dan organisasi induknya. Peran Kementerian Riset dan Teknologi untuk menggalang dukungan dan mengkoordinasikan pelaksanaannya juga sangat diperlukan.

Agar Pusat ini dapat memberikan nilai tambah yang signifikan, beberapa fungsi di bawah harus mampu dilaksanakan (a) membangun kerja sama dengan organisasi induk dari pusat-pusat penelitian di PUSPIPTEK untuk memastikan legalitas proses alih teknologi yang dilaksanakan sesuai dengan UU-18/2002 dan PP-20/2005; (b) meneliti pasar teknologi dan mengevaluasi prospek hasil penelitian untuk dipatenkan dan dikomersialkan; (c) mengembangkan dan memelihara hubungan dengan pelaku bisnis, baik produsen maupun investor; (d) memfasilitasi pelaksanaan tahapan alih teknologi, termasuk aplikasi paten hasil penelitian yang potensial serta penyediaan pembiayaan dan tenaga profesional yang diperlukan; (e) mengkomunikasikan dan mempromosikan prospek komersial hasil litbang serta melakukan valuasi untuk memperkirakan nilai hasil litbang tersebut; (f) memfasilitasi negosiasi dan transaksi antara organisasi induk pusat-pusat PUSPIPTEK dengan perusahaan produsen, spin-off, dan investor; (g) mengkoordinasikan dukungan jasa teknologi yang diperlukan untuk mengembangkan prototipe dan mempersiapkan produksi; (h) memfasilitasi pengelolaan perjanjian alih teknologi, termasuk pemantauan pelaksanaan alih teknologi dan pendapatan lisensi; dan (i) memfasilitasi pemenuhan semua ketentuan yang

Page 139: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 133

ditetapkan dalam UU-18/2002 dan PP-20/2005.

Untuk membiayai semua fungsi di atas diperlukan dukungan pembiayaan pemerintah. Di samping itu, pusat ini perlu mendapatkan bagian dari pendapatan alih teknologi yang diperoleh pusat-pusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK dan organisasi induk mereka, baik dalam bentuk prosentasi hasil lisensi atau dalam bentuk success fee. Untuk berhasil, Pusat Alih Teknologi perlu mengembangkan strategi untuk memfokuskan pengembangan organisasi tersebut agar tidak tersebar kesegala arah.

Uraian elemen strategi yang perlu dikembangkan adalah arena, vehicles, differentiators, dan stages (Gambar 8). Langkah pertama adalah penentuan arena yang menggambarkan fokus alih teknologi yang akan ditangani. Mengingat kondisi pasar pada setiap industri berbeda-

beda, pada tahap awal sebaiknya arena yang akan ditangani tidak terlalu luas sehingga pembentukkan kompetensi dapat difokuskan dan keterbatasan dana serta sumber daya lain dapat dimanfaatkan seefektif mungkin. Sektor industri yang dipilih sebaiknya relatif terbuka untuk penetrasi inovasi dan memiliki pasar yang cukup besar sehingga dampak ekonomi yang terbentuk cukup signifikan. Sektor industri yang struktur pasarnya monopolistik tidak mudah dipenetrasi karena pasar inovasi hanya terbatas pada beberapa perusahaan dan prospek perusahaan spin-off sangat kecil atau bahkan tidak ada. Sebaliknya, apabila struktur pasar bersifat persaingan sempurna, juga tidak terlalu prospektif karena skala ekonomi pelaku pasar pada kondisi pasar yang demikian pada umumnya kecil, sehingga kurang mampu membiayai dan menangani komersialisasi hasil litbang.

Gambar 8. Strategi Pusat Alih Teknologi (Hambrick dan Frederickson, 2001)

Page 140: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

134 ISSN : 2252-911X

Demikian pula, kompetensi pusat litbang di PUSPIPTEK untuk menghasilkan teknologi yang unggul harus merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan target industri. Gambar 9 menunjukkan salah satu metoda untuk menganalisis arena alih teknologi. Bila prospek pasar menjanjikan dan PUSPIPTEK memiliki keunggulan yang kuat, sebaiknya sektor industri tersebut dipilih sebagai arena yang akan dikapitalisasi Pusat Alih Teknologi. Apabila PUSPIPTEK memiliki kompetensi yang unggul sedangkan prospek pasarnya tidak baik, perlu dicarikan aplikasi pada sektor industri lain yang memiliki pasar yang lebih prospektif. Demikian pula, apabila prospek pasar baik, sedangkan kompetensi PUSPIPTEK tidak terlalu kuat, prospek tersebut perlu dikomunikasikan kepada pusat litbang terkait untuk memperbaiki kualitas litbang mereka. Sedangkan apabila prospek pasar tidak baik dan PUSPIPTEK tidak memiliki kompetensi yang kuat, sebaiknya sektor industri tersebut tidak dipilih. Pada tahap awal sebaiknya fokus alih teknologi diutamakan bagi hasil penelitian yang relatif siap dikomersialkan dan memiliki keunggulan yang prospektif.

Setelah arena ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan pendekatan untuk mengembangkan kemampuan alih teknologi. Memang pada akhirnya kemampuan internal untuk menyelenggarakan alih teknologi harus dibangun, namun perlu diingat bahwa kompetensi yang diperlukan adalah menjembatani perspektif penelitian dan bisnis.

Gambar 9. Analsis Arena Alih Teknologi

Untuk mengembangkan kompetensi yang memenuhi kebutuhan perspektif bisnis, akan terlalu lama apabila hanya mengandalkan tenaga ahli internal, oleh karena itu dalam strategi Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK, harus ditentukan wahana agar organisasi dapat sesegera mungkin memfasilitasi alih teknologi secara profesional, apakah dengan merekrut tenaga ahli eksternal yang telah berpengalaman menangani investasi di sektor swasta, atau mengembangkan aliansi dengan perusahaan konsultan yang telah dikenal di dunia bisnis.

Elemen differentiators tidak kalah pentingnya, karena pusat alih teknologi harus membentuk citra yang berbeda dari organisasi pemerintah lain yang pada perspektif pelaku bisnis memiliki sistem birokrasi yang rumit - berliku-liku, dan bahkan dirasakan sebagai ketidakpastian apabila terkait dengan investasi. Citra yang harus dibentuk adalah suatu organisasi profesional yang memahami perspektif

Page 141: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 135

bisnis serta dapat diandalkan dan akuntabel. Hanya dengan demikian, pusat ini dapat mengembangkan jaringan kerjasama dengan produsen dan perusahaan modal ventura.

Elemen lain yang juga sangat penting adalah menentukan berbagai inisiatif yang saling berkaitan untuk mengembangkan diri sebagai fasilitator alih teknologi, serta tahapan pengembangannya. Penetapan inisiatif dan tahapan tersebut tentu sangat dipengaruhi pilihan arena dan wahana sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun pada dasarnya ada sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk menjembatani dunia penelitian dan dunia bisnis:

Pertama, membakukan kerja sama dengan organisasi induk pusat-pusat PUSPIPTEK, termasuk menyepakati berbagai rambu-rambu yang terkait dengan pemanfaatan dan alih teknologi hasil penelitian organisasi tersebut serta pendapatan alih teknologi yang dihasilkan;

Kedua, mengembangkan kriteria dan prosedur serta membentuk komite untuk menentukan hasil penelitian yang akan dikapitalisasi komersialisasinya;

Ketiga, memfasilitasi pelaksanaan tahap pertama dan kedua alih teknologi serta mempersiapkan informasi untuk mengkomunikasikan prospek tekno-ekonomi hasil penelitian kepada produsen atau investor;

Keempat, membentuk jaringan dan forum komunkasi dengan para pelaku bisnis; dan

Kelima, mengembangkan model bisnis dan model operasi transaksi alih teknologi, termasuk mendapatkan dukungan jasa

teknologi untuk mempersiapkan prototipe dan sistem produksi. Pada akhirnya semua elemen strategi tersebut harus dituangkan kedalam rencana bisnis dan model finansial yang solid. Walaupun motif utama pusat ini seharusnya bukanlah uang melainkan lebih pada dampak ekonomi kegiatan litbang, namun untuk melaksanakan semua kegiatan pada setiap tahapan alih teknologi pusat ini harus memiliki anggaran yang cukup, baik dari pemerintah maupun dari pendapatan alih teknologi.

4.1.2.2. Pusat Desain dan Pengembangan Prototipe dan Pusat Produktivitas

Sebenarnya PUSPIPTEK memiliki sebagian besar sarana dan tenaga ahli untuk mengembangkan kedua pusat ini. Namun sarana dan tenaga ahli tersebut tersebar di sejumlah pusat dan PUSPIPTEK tidak memiliki fungsi atau organisasi yang diperlukan untuk merajut sumber daya tersebut menjadi jasa desain dan pengembangan prototipe produk dan jasa produktivitas sistem produksi. Untuk keperluan tersebut di PUSPIPTEK perlu dikembangkan front-office sumber daya tersebut, agar dapat diintegrasikan untuk membentuk jasa tersebut.

Fungsi front-office yang dimaksud, mencakup sejumlah fungsi sebagai berikut: (a) Prototype Design untuk menterjemahkan ide dan karakteristik produk yang diajukan perusahaan pengadopsi hasil litbang ke dalam desain produk dengan mempertimbangkan input dari fungsi di bawahnya; (b) Production Assessment untuk menterjemahkan desain produk ke dalam berbagai faktor produksi seperti aliran proses, efisiensi, dan biaya produksi. Fungsi ini juga memberikan umpan balik kepada fungsi di atas agar diperoleh desain

Page 142: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

136 ISSN : 2252-911X

yang dapat diproduksi dengan kualitas dan biaya sebaik mungkin; (c) Prototype Development untuk merealisir desain di atas menjadi prototipe produk. Fungsi ini juga akan memvalidasi berbagai aspek yang terkait dengan produk dan proses produksi, serta memberi umpan balik kepada kedua fungsi di atas; dan (d) Performance Testing untuk menguji karakteristik prototipe itu untuk memastikan kesesuaiannya dengan karakteristik yang diajukan perusahaan (Gambar 10).

Gambar 10. Fungsi Front Office

Oleh karena pelaksanaan fungsi di atas menggunakan sarana dan tenaga ahli yang dimiliki pusat-pusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK, front-office harus memiliki payung kerja-sama dengan pusat-pusat tersebut untuk memastikan komitmen manajemen pusat-pusat itu mendapatkan alokasi sumber daya dan mengkoordinasikan semua kegiatan yang diperlukan.

4.2. Pembiayaan Alih Teknologi

Sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu, pembiayaan alih teknologi merupakan faktor yang krusial baik yang terkait dengan pelaksanaan tahap-tahap awal alih teknologi maupun dengan permodalan bagi perusahaan spin-off.

4.2.1. Pembiayaan tahap awal proses alih teknologi

Pada umumnya para pelaku bisnis tidak tertarik membiayai tahap-tahap awal proses alih teknologi dimana prospek suatu hasil litbang dikomersialisasikan masih harus di artikulasikan dan divalidasi. Setelah mereka yakin tentang prospek komersial dari suatu hasil litbang, mereka mungkin tertarik terlibat dan membiayai tahap pengembangan protipe dan tahap pemasaran produk yang dihasilkan kepasar.

Pembiayaan tahapan awal proses alih teknologi perlu disediakan Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK, baik yang diperoleh melalui anggaran pemerintah maupun pendapatan alih teknologi. Kemungkinan untuk mendapatkan pembiayaan pemerintah cukup besar, karena hingga saat ini pemerintah tidak membatasi pengajuan anggaran untuk keperluan ini, terlebih bila pemanfaatan anggaran tersebut sepenuhnya dilaksanakan sebagai kegiatan internal organisasi pemerintah. Dengan demikian permasalahannya terletak pada kebijakan prioritas anggaran PUSPIPTEK yang merupakan bagian anggaran Kementerian Riset dan Teknologi serta perjanjian antara Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK dengan organisasi induk pusat-pusat litbang yang ada di PUSPIPTEK.

Page 143: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 137

4.2.2. Pembiayaan tahap lanjut proses alih teknologi

Bila potensi tekno-ekonomi telah tervalidasi dan prospek komersial dari suatu hasil litbang telah cukup meyakinkan, partisipasi dari pelaku bisnis untuk membiayai kegiatan tahap-tahap selanjutnya dapat diharapkan. Kesediaan mereka tidak hanya dipengaruhi kualitas dan kelengkapan informasi yang dapat disediakan Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK, namun sejauhmana mereka merasa nyaman untuk berbisnis dengan pusat ini.

Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK harus memiliki staf profesional dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk memahami dan berkomunikasi dengan pelaku bisnis. Oleh karena “time to market” dan “time to profitability” merupakan faktor penting bagi pelaku bisnis, pusat ini juga harus mampu menjembatani liku-liku birokrasi di lingkungan organisasi pemerintah yang seringkali mengakibatkan suatu urusan menjadi berkepanjangan dan menjadi sukar dipastikan.

4.2.3. Permodalan bagi perusahaan spin-off

Permodalan bagi perusahaan spin-off merupakan permasalahan yang sangat menghambat keberhasilan, karena mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan kolateral sebagai syarat mendapatkan pinjaman dari perbankan, dengan demikian mereka tergantung pada permodalan yang disediakan perusahaan modal ventura atau investor lain.

Gambar 11 memberikan ilustrasi perkembangan perusahaan spin-off. Perusahaan ini memerlukan seed capital

yang jumlahnya tidak terlalu besar untuk mengembangkan prototipe komersial, membiayai riset pasar, dan membiayai pengembangan sistem manajemen perusahaan. Bila prospek pasar cukup baik, diperlukam start-up capital untuk mempersiapkan produksi dan mengintroduksikan produk ke pasar, serta mengembangkan strategi dan pemasaran untuk memperluas penetrasi pasar.

Gambar 11. Perkembangan Perusahaan spin-off (Murphy dan Edwards, 2003)

Bila pasar menunjukkan respon yang baik, diperlukan modal tambahan (early stage capital) untuk meningkatkan kapasitas produksi, memperbaiki produktivitas dan efisiensi produksi, dan memperluas pasar agar break-even point dapat segera dicapai. Untuk perusahaan modal ventura atau investor lain, keuntungan dari investasi yang ditanamkan biasanya diperoleh dari capital gain pada saat perusahaan tersebut melepaskan sahamnya (exit), baik melalui mekanisme IPO atau akuisisi.

Oleh karena itu, mereka juga menyediakan expansion capital untuk memperluas pasar perusahaan itu, dan late stage capital

Page 144: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

138 ISSN : 2252-911X

yaitu investasi yang diperlukan perusahaan yang sudah memiliki posisi pasar yang kuat untuk melaksanakan restrukturisasi agar nilai perusahaan mereka meningkat dan siap ditawarkan ke pasar modal baik melalui mekanisme IPO atau akuisisi.

Gambar 11, juga menunjukkan tiga ukuran waktu, yaitu (i) time to market yaitu waktu yang diperlukan mulai dari seed capital diberikan sampai produk yang dikembangkan diluncurkan ke pasar, (ii) time to profitability yaitu waktu antara seed capital diberikan sampai perusahaan mulai memperoleh keuntungan usaha, dan (iii) time to exit yaitu tenggang waktu yang diperlukan sampai perusahaan itu siap melaksanakan IPO. Di samping peningkatan nilai perusahaan, ketiga ukuran ini sangat penting bagi perusahaan modal ventura dan investor.

Walaupun saat ini di Indonesia telah ada sejumlah perusahaan kapital ventura, perusahaan-perusahaan tersebut belum menganggap komersialisasi hasil litbang sebagai investasi yang prospektif dan memiliki kelayakan bisnis. Oleh karena itu, disamping perlu mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai tahap-tahap awal proses alih teknologi, pemerintah juga perlu mengembangkan berbagai bentuk insentif bagi perusahaan kapital ventura agar mereka menjadi lebih tertarik melakukan investasi pada perusahaan spin-off. Salah satu bentuk insentif adalah menyediakan pendanaan seed capital dan start-up capital, walaupun nilai investasi pada tahap ini lebih jika kecil dibandingkan dengan kebutuhan permodalan untuk tahap-tahap berikutnya, namun mengandung ketidakpastian tinggi yang oleh investor dianggap sebagai faktor risiko yang tidak

kecil. Agar insentif dari pemerintah ini dapat bergulir, dana pemerintah itu dapat diberikan dalam bentuk pinjaman dengan tingkat bunga yang serendah mungkin.

Walaupun investasi yang disediakan untuk early stage, expansion, dan late stage capital jauh lebih besar, kepastian bisnis dari perusahaan yang dimodali telah cukup jelas sehingga risiko yang terkandung dapat lebih diperhitungkan (calculated risks). Bahkan pada tahap-tahap ini perusahaan modal ventura dapat mengkombinasikan modal yang mereka miliki dengan pinjaman bank agar biaya modal yang ditanamkan lebih murah.

5. Kesimpulan

Walaupun belum semua rencana pengembangan PUSPIPTEK dapat terlaksana secara lengkap, jika ditinjau dari jumlah pusat iptek dan SDM yang dimiliki seharusnya saat ini PUSPIPTEK telah dapat berfungsi sebagai sub-sistem yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional sesuai dengan visi kedua menteri yang memprakasai pembangunan kawasan ini. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini, keunggulan Puspiptek tidak dimanfaatkan pelaku bisnis untuk mengembangkan usaha mereka. Pengambil keputusan di sektor bisnis belum memandang PUSPIPTEK sebagai aset nasional yang dapat mendukung perkembangan dan daya saing usaha, sehingga pendapatan PUSPIPTEK dari sektor swasta menjadi sangat terbatas dan PUSPIPTEK menjadi sangat tergantung pada anggaran pemerintah.

Ditinjau dari investasi di Kota Tanggerang Selatan (lokasi PUSPIPTEK), tidak ada indikasi yang kuat bahwa PUSPIPTEK

Page 145: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 139

merupakan aset yang menstimulasi perkembangan industri padat teknologi di wilayah ini. Sementara itu, para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah tampaknya juga tidak lagi menempatkan PUSPIPTEK sebagai elemen penunjang pertumbuhan ekonomi nasional yang strategis, karena kontribusi nyata PUSPIPTEK bagi pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, tidak signifikan, akibatnya pembiayaan PUSPIPTEK juga bukan merupakan prioritas anggaran pemerintah. Keadaan ini mengakibatkan sumber pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan iptek dan reinvestasi sarana litbang di PUSPIPTEK menjadi terbatas, sehingga dengan berjalannya waktu, diperkirakan perkembangan sumber keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK akan mengalami stagnasi atau bahkan menurun.

Untuk mengatasi keadaan tersebut Kementerian Riset dan Teknologi perlu melakukan langkah-langkah untuk mengintervensi keadaan tersebut. Di samping meningkatkan pelayanan teknologi sebagaimana telah dilaksanakan berbagai pusat teknologi di PUSPIPTEK, kemampuan alih teknologi perlu mendapatkan prioritas karena mekanisme dapat menjadi daya dorong untuk meningkatkan kemampuan inovasi dan daya saing perekonomian nasional. Dalam merancang intervensi tersebut, perlu diperhatikan sejumlah faktor sebagai berikut:

Pertama, alih teknologi adalah suatu transaksi yang hanya akan terjadi bila para pelaku transaksi, baik pemilik maupun pengguna teknologi, dapat mencapai kesepakatan. Seperti halnya dengan transaksi lain, alih teknologi mengandung nilai dan risiko bagi pihak-pihak yang

terlibat. Kesepakatan tersebut tentunya hanya terjadi bila pihak-pihak yang melakukan transaksi beranggapan bahwa melalui transaksi tersebut mereka dapat memperoleh nilai yang jauh lebih besar dari risiko yang harus mereka tanggung.

Kedua, bagi banyak pelaku bisnis, apakah mereka produsen maupun investor, investasi untuk mengkomersialisasikan hasil litbang mengandung ketidakpastian dan risiko finansial yang tinggi.

Ketiga, alih teknologi perlu dilaksanakan melalui sejumlah tahapan, mulai dari mengartikulasikan prospek komersial dari hasil litbang yang akan ditawarkan pada pelaku bisnis, memvalidasi kelayakan tekno-ekonomi dari teknologi atau produk yang akan dikembangkan dari hasil litbang tersebut, dan pengembangan prototipe teknologi/produk itu dengan memperhatikan faktor pasar dan produksi. Melalui tahapan-tahapan tersebut ketidakpastian dan tingkat risiko pelaku bisnis yang akan mengadopsi atau investor yang akan membiayai komersialisasi hasil litbang itu semakin dapat dikurangi.

Keempat, pada tahap awal, pada umumnya pelaku bisnis belum berminat membiayai, karena ketidakpastian keberhasilan komersialisasi hasil litbang masih sangat tinggi, sehingga PUSPIPTEK perlu memiliki anggaran untuk membiayainya. Pada tahap mana pelaku bisnis bersedia menginvestasikan dana mereka untuk komersialisasi hasil litbang, sangat tergantung pada kapasitas absorbsi perusahaan memanfaatkan hasil penelitian yang merupakan interaksi berbagai fungsi bisnis yang ada dalam perusahaan.

Kelima, pihak investor yang dapat diharapkan membiayai komersialisasi hasil

Page 146: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

140 ISSN : 2252-911X

litbang pada umumnya adalah perusahaan modal ventura yang memiliki pemahaman tentang prospek komersial dari hasil penelitian serta dapat memperhitungkan investasi yang diperlukan untuk melaksanakan tahap-tahap tersebut di atas, serta risiko yang dihadapi.

Saat ini, banyak perusahaan di Indonesia tidak memiliki kapasitas absorbsi yang kuat, sehingga belum memasukkan alih teknologi hasil penelitian dalam strategi bisnis mereka, serta masih beranggapan bahwa lembaga litbang kurang profesional. Demikian pula perusahaan modal ventura yang ada, pada umumnya belum menganggap investasi alih teknologi merupakan prospek bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan berbagai instrumen kebijakan untuk menstimulasi alih teknologi hasil penelitian. Instrumen kebijakan tersebut harus secara holistik mencakup sisi penyedia dan pengguna hasil penelitian, serta berbagai fungsi pendukung. Instrumen yang dimaksud dapat berbentuk:

Pertama, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan legalitas pemanfaatan hasil litbang yang merupakan kekayaan intelektual milik pemerintah dan yang mengatur partisipasi para peneliti di lembaga litbang dan perguruan tinggi pemerintah dalam pembentukan perusahaan spin-off. Untuk keperluan ini Kementerian Riset dan Teknologi mengusahakan agar Surat Keputusan Menteri Keuangan yang terkait dengan PP-20/2005 dapat segera diterbitkan.

Kedua, kebijakan anggaran iptek untuk: (i) meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian dasar di perguruan tinggi,

(ii) memposisikan lembaga litbang pemerintah sebagai rantai pasok teknologi, (iii) menstimulasi kerja sama antara lembaga litbang dan perguruan tinggi dengan pelaku bisnis, (iv) mengatasi hambatan alih teknologi karena faktor pembiayaan, (v) pengembangan pusat desain dan pengembangan prototipe serta pusat produktivitas, dan (vi) mendorong perusahaan modal ventura untuk membiayai investasi alih teknologi.

Ketiga, instrumen perpajakan untuk menstimulasi perusahaan mengembangkan kemampuan litbang dan meningkatkan investasi mereka bagi kegiatan litbang dan inovasi.

Di samping itu, pemerintah perlu mendorong lembaga-lembaga litbang, khususnya yang merupakan induk organisasi pusat-pusat iptek di lingkungan PUSPIPTEK untuk :

Pertama, meninjau kembali posisi mereka sebagai unsur yang diharapkan dapat mempercepat transformasi sektor bisnis agar dapat melandaskan daya saing pada kemampuan inovasi.

Kedua, mengembangkan kebijakan alih teknologi, termasuk (i) pembentukan pusat alih teknologi serta memfasilitasi dan mendorong pusat ini mengembangkan berbagai kemampuan untuk berinteraksi dan membentuk kepercayaan pelaku bisnis, baik produsen, investor, maupun perusahaan konsultan yang dapat memfasilitasi alih teknologi; (ii) menetapkan kebijakan pemanfaatan pendapatan alih teknologi agar dapat menstimulasi perkembangan pusat alih teknologi, memotivasi peneliti, serta mendorong kegiatan dan peningkatan sarana penelitian di lingkungannya; (iii) mengalokasikan

Page 147: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 141

anggaran untuk pelaksanaan tahap-tahap awal proses alih teknologi; membangun komunikasi dua arah dengan produsen dan perusahaan modal ventura; dan (iv) memfasilitasi pembentukan perusahaan spin-off, termasuk partisipasi para peneliti lembaga itu dalam perusahaan tersebut.

Khusus untuk menstimulasi alih teknologi dari PUSPIPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi perlu mengembangkan kebijakan khusus, yaitu:

Pertama, membentuk Pusat Alih Teknologi dan menggalang dukungan dari lembaga-lembaga induk dari pusat-pusat iptek yang ada di PUSPIPTEK.

Kedua, membentuk fungsi front-office agar kemampuan yang ada di PUSPIPTEK dapat dikoordinasikan untuk mengembangkan pusat desain dan pengembangan prototipe serta pusat produktivitas.

Ketiga, menyediakan anggaran, baik yang dialokasikan bagi Pusat Alih Teknologi untuk membiayai tahap awal alih teknologi, maupun untuk seed capital dan start-up capital bagi perusahaan modal ventura.

Page 148: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

142 ISSN : 2252-911X

Daftar Pustaka

Allott, S., 2006. From science to growth: What exactly is the mechanism by which scientific research turns into economic growth. Lecture delivered at Hughes Hall, Cambridge, 6th March 2006. Downloadable via http://www.trinamo.com/news/articles.htm.

Asisten Deputi Bidang Perkembangan Sipteknas. 2008. Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2008. Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta

Asisten Deputi Bidang Perkembangan Sipteknas. 2009. Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2009. Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta

Association of Universities and Colleges of Canada. 2001. Commercialization of University Research. Viewed 31 August 2008, <http://www.aucc.ca / _ p d f /e n g l i s h / re p o r t s / 2 0 0 1 /commerc_05_25_e.pdf>.

Aubert, J.E., 2004. Promoting Innovation In Developing Countries: A Conceptual Framework. World Bank, July 2004

AusIndustry and Australian Taxation Office. 2010. Guide to the R&D Tax Concession, Part A - Introduction, Version 4.3

AusIndustry and Australian Taxation Office. 2008. Guide to the R&D Tax Concession, Part B –Research and Development Activities, Version 4.2, July 2008

Council on Governmental Relations. 1999. The Bayh-Dole Act: A Guide to the Law and Implementing Regulations. <http://www.ucop.edu/ott/bayh.html>

Dhanani, S., 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness. Vol. II Main Report, UNDP/UNIDO Project No. NC/INS/99/004, United Nations Industrial Development Organization, Jakarta, November

Foreign Affairs and International Trade Canada. 2010. Invest in Canada - Do Your Research in Canada: It Pays Off. Viewed 29 June 2010. <http://investincanada.gc.ca/eng/publications/rd-tax-credit-fact-sheet.aspx>

Hambrick, D. C., Fredrickson J. W., 2005. Are you sure you have a strategy?. Academy of Management Executive 19:55–62

Hulbert, J. M., Capon, N. and Piercy. N. F., 2009. Total integrated marketing: breaking the bounds of the function. New York: Free Press

Kitagawa, F and Wigren, C., 2010. From Basic Research to Innovation: Entrepreneurial Intermediaries for Research Commercialization at Swedish “Strong Research Environments‟, Paper no. 2010/02, Centre for Innovation, Research and Competence in the Learning Economy (CIRCLE), Lund University-Sweden

Minshall, T. H. W., W. Wicksteed, C. Druilhe, A. Kells, M. Lynskey and J. Siraliova, 2005. The role of spin-outs within

Page 149: TEKNOVASI INDONESIA - Benyamin Lakitan · Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ISSN : 2252-911X 143

university research commercialisation activities: Case studies from 10 UK universities. Proceedings of the 2005 Annual High Tech Small Firms Conference, University of Manchester Business School. Pages: 185-201

Murphy, L. M. & Edwards, P. L., 2003. Bridging the Valley of Death—Transitioning from Public to Private Sector Financin., Golden CO: National Renewable Energy Laboratory

Phaal, R and Farrukh, CJP and Probert, DR., 2004. A framework for supporting the management of technological knowledge. International Journal of Technology Management 27:1-15.

Stine, Deborah D., 2009. Science and Technology Policy,aking: A Primer. Washington, Congressional Research Service, 38 p. (CRS-RL34454)

Tornatzky, L.G., 2000. Building State Economies by Promoting University-Industry Technology Transfer. National Governors Association: Washington D.C.

The Economist Intelligence Unit. 2005. Understanding Technology Transfer. APAX Partners, London

The Economist Intelligence Unit. 2002. Double Helix: Entrepreneurship and Private Equity. APAX Partners, London

Warda, J., 2007. Generosity of Tax Incentives, presentation at the TIP Workshop on R&D Tax Treatment in OECD Countries: Comparisons and Evaluations, Paris, 10 December 2007.