teknologi ramah lingkungan
-
Upload
dilayurianti -
Category
Documents
-
view
108 -
download
2
description
Transcript of teknologi ramah lingkungan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi saat ini tidak
bisa dihindari dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan
kehidupan manusia. Bertambahnya jumlah penduduk yang mengiringinya dan
tidak di ikuti dengan perkembangan sumber daya manusia yang baik dalam
pengelolaan dan pemakaian berbagai teknologi yang ada menyebabkan
terjadinya pelanggaran-pelanggaran di berbagai aspek. Salah satunya aspek
lingkungan hidup yang juga terkena dampak perkembangan ini. Industrialisasi,
perubahan gaya hidup dan semakin kuatnya pengaruh globalisasi lainnya
menyebabkan pencemaran lingkungan udara, tanah, air dan lingkungan pada
umumnya tidak dapat dihindari. Oleh karena itu muncullah berbagai teknologi
ramah lingkungan yang selain memudahkan pekerjaan manusia juga dapat
memperbaiki dan mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
terjadi dewasa ini. Makalah ini akan membahas berberapa teknoilogi di bidang
lingkoungan hidup yang dapat menjadi solusi bagi pencemran dan kerusakan
lingkungan yang telah terjadi saat ini.
1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja
teknologi ramah lingkungan terbaru beserta prinsip kerjanya.
1.3 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUANBerisikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan penulisan, serta
dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASANBerisikan tentang berbagai macam teknologi ramah lingkungan
beserta prinsip kerjanya.
BAB III PENUTUPBerisikan kesimpulan dan saran-saran tentang teknologi ramah
lingkungan yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung sebagai Filter Emisi pada Knalpot Motor
1) Tongkol Jagung
Gambar 2. Limbah tongkol jagung
Limbah tongkol jagung dapat dibuat menjadi briket arang dan arang aktif. Arang
aktif yang dihasilkan limbah tongkol jagung dapat digunakan sebagai absorben
pada penyaringan minyak goreng bekas. Hal ini terbukti dapat menurunkan FFA,
angka peroksida, dan angka penyabunan (Isa, 2012). Munawaroh (2012) telah
melaporkan bahwa tongkol jagung dapat dimanfaatkan sebagai adsorben
rhodamin B dan metanil yellow yang diaktivasi menggunakan H2SO4.
Kandungan serat kasar (hemiselulosa, selulosa dan lignin) pada tongkol jagung
tergolong tinggi, yakni 38%, 41% dan 6%.kandungan serat kasar yang tinggi ini
mengindikasikan bahwasanya kandungan karbon dalam tongkol jagung ini cukup
tinggi, sehingga dengan tingginya kandungan karbon dalam tongkol jagung
tersebut maka tongkol jagung sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai
adsorben. salah satu cara yang dilakukan adalah dengan cara menjadikan
tongkol jagung tersebut menjadi arang, dengan pemanasan pada suhu 300
derajat Celcius.
5
2) Arang Aktif
Gambar 3. Arang aktif
Arang aktif merupakan suatu padatan yang mengandung 85-95% karbon,
dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan
pada suhu tinggi maupun diaktifasi dengan bahan-bahan kimia (aktifator). Arang
aktif merupakan senyawa karbon amorf yang sebagian besar terdiri atas karbon
bebas serta memiliki permukaan dalam (internal suface) yang mempunyai luas
permukaan antara 300-3500 m2/gram dan hal ini berhubungan dengan struktur
pori internal yang menyebabkan arang aktif mempunyai daya serap (absorben)
yang baik (Anonimous, 2005).Daya serap (absorpsi) arang aktif umumnya
bergantung pada jumlah senyawaan karbon bebas yang berkisar 85 –
95%.Arang aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu,
daya serap arang aktif sangat besar yaitu 25-1000% terhadap berat arang aktif
(Sembiring dan Sinaga, 2003).Tongkol jagung adalah salah satu bahan baku
yang kualitasnya cukup baik dijadikan karbon aktif.
Arang aktif dapat dibagi atas 2 tipe, yaitu arang aktif tipe pemucat dan sebagai
penyerap uap. Arang aktif sebagai pemucat umunya berbentuk bubuk (powder)
yang sangat halus diameter pori mencapai 1000 Å. Dalam fase cair digunakan
untuk menghilangkan zat-zat pengganggu yang menyebabkan warna dan bau
yang tidak diinginkan serta membebaskan pelarut dari zat-zat peng-ganggu.
Arang aktif sebagai penyerap uap umumnya dalam bentuk butiran (granular)
atau pelat yang sangat keras dan diameter pori berkisar 10-200Å. Pada
dasarnya arang aktif dapat dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan,
tumbuh-tumbuhan, limbah atau mineral yang mengandung karbon antara lain 6
tulang, kayu, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas
tebu, serbuk gergaji dan batubara (Sembiring dan Sinaga, 2003).
Prinsip pembuatan arang aktif adalah proses karbonasi, yaitu proses
pembentukan tongkol jagung menjadi arang (karbon), kemudian diaktifasi
dengan bahan-bahan kimia seperti NaOH, ZnCl2, asam-asam anorganik
misalnya asam sulfat dan asan fosfat, garam-garam karbonat, klorida, sulfat,
fosfat. Proses aktifasi ini bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara
memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan
sehingga arang mengalami perubahan sifat baik fisika maupun kimia sehingga
permukaan-nya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Isa,
2007).
3) Adsorpsi
Adsorpsi merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap ke dalam
struktur suatu media seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media
tersebut, proses ini di jumpai terutama dalam media karbon aktif (Ketaren dalam
Dalimunthe 2009). Tongkol jagung adalah salah satu bahan baku yang
kualitasnya cukup baik dijadikan karbon aktif.
Ada dua jenis mekanisme penyerapan (Adsorpsi) yang diketahui, yaitu Adsorpsi
fisik (fhisisorpsi) dan adsorpsi kimia (khemisorpsi). Dalam adsorpsi fisik
kekuatan ikatan antara molekul yang diadsorpsi dan permukaan sangat lemah,
atau tipe Van der Waals. Energi yang berasosiasi dengan ikatan tersebut relatif
lemah. Sebaliknya dalam adsorpsi kimia ikatan sangat berperan dan merupakan
resultan dari suatu transfer atau suatu penempatan elektron dalam reaksi antara
adsorbat dan adsorben . Kekuatan ikatan dalam khemisorpsi menjadi lebih
penting dibandingkan pada phisisorpsi. Keadaan molekul dari adsorbat akan
berbeda dari keadaan awalnya. Atom permukaan mempunyai suatu karakter
elektronik tidak jenuh dengan kehadiran beberapa kekosongan (valensi bebas).
Pembentukan lapisan sempurna dari molekul yang diadsorpsi secara kimia
memungkinkan menjenuhkan secara sempurna pada daerah kekosongan
(Widjayanti, 2011).
Adsorpsi dapat disosiatif ataupun molekuler, adsorpsi dikatakan asosiatif
bilamolekul yang diadsopsi terurai menjadi molekul lain yang lebih kecil.
Sebaliknyadikatakan adsropsi molekuler bila molekul yang diadsorpsi tidak
mengalamidisosiasi.
Daya adsorpsi merupakan ukuran kemampuan suatu adsorben menarik sejumlah
adsorbat. Proses adsorpsi tergantung pada luas spesifik padatan atau
luaspermukaan adsorben, konsentrasi keseimbangan zat terlarut atau tekanan
adsorpsigas, temperatur pada saat proses berlangsung dan sifat adsorbat atau
adsorben itusendiri. Makin besar luas permukaannya, maka daya adsorpsinya
akan makin kuat.Sifat adsorpsi pada permukaan zat padat sangat selektif artinya
pada campuran zathanya satu komponen yang diadsorpsi oleh zat padat tertentu
(Widjayanti, 2011).
Temperatur pada proses adsorpsi tidak hanya akan mempengaruhi
dayaadsorpsi, tetapi juga hasil adsorpsi. Sebagai contoh yang dilakukan oleh
Endang Laksono dalam Widjayanti (2011) telah mengalirkan gas oksigen pada
permukaan logam nikel yang berorientasi pada suhu 650K dan 300K, ternyata
untuk tekanan gas yangsama hasil yang didapat adalah berbeda. Pada suhu
650K diperoleh lapisan tipisNiOsedangkan pada 300K diperoleh NiO yang
distabilkan oleh gugus hidroksil.
Pada beberapa proses adsorpsi waktu kontak antara adsorbat dan adsorben
berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Endang Widjajanti dan Heru Pratomo
dalam Widjayanti (2011) telah meneliti adanya peningkatan daya adsorpsi
bentonit terhadap besi seiringdengan peningkatan waktu kontak.
Daya adsorpsi suatu adsorben dapat diukur menggunakan berbagai alat,mulai
dari yang paling sederhana hingga yang canggih seperti teknik spektroskopi.
Pada instrumen sederhana pengukuran dilakukan dengan
membandingkankonsentrasi adsorbat sebelum dan sesudah adsorpsi. Tentu saja
dengan asumsi tertentu. Sedangkan dengan instrumen spektroskopi yang diteliti
adalah adsorbennya yaitu dengan menganalisis komposisi adsorbennya. Saat ini
spektroskopi yang banyak digunakan adalah spektroskopi photoelektron sinar-X,
atau spektroskopi inframerah refleksi- adsorpsi.
4) Tahapan Pembuatan
Berikut adalah tahap-tahap pembuatan filter emisi dari knalpot motor dari limbah
tongkol jagung melalui proses pengarangan:
1. Pembuatan karbon dari limbah tongkol jagung
200 gram limbah tongkol jagung yang sudah bersih dan kering dipanaskan dalam
furnace pada suhu 300 oC selama 2 jam sampai terbentuk karbon.
2. Aktivasi karbon menggunakan larutan ZnCl2
Karbondirendam dalam larutan ZnCl2 selama 1 hari.Konsentrasi larutan ZnCl2
adalah sebesar 10% (b/v). Karbon kemudian disaring dan dicuci sampai bersih
dengan akuades hingga pH hasil cucian netral (pH=7). Karbon aktif kemudian
dimasukkan kedalam cawan porselin dan dipanaskan dalam muffle furnace pada
suhu 400 oC selama 2 jam (Rusdianto, dkk 2012).
3. PembuatanPengganti Asbes Knalpot Motor dari Karbon Aktif
Karbon aktif 100 gram dicampurkan dengan amilum bubuk 15 gram kemudian
ditambahkan100mL akuades dan diaduk hingga tercampur rata. Campuran ini
kemudian dibuat seperti bentuk asbes pada knalpot motor menggunakan alat
pressing technology. Asbes karbon aktif yang telah jadi kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 80oC selama 2 jam.
Gambar 4. Desain asbes dari arang aktif
Konsep Filter emisi pada knalpot motor tersebut merupakan sebuah inovasi baru
dengan beberapa keunggulan, diantaranya menggunakan limbah tongkol jagung
sebagai bahan yang ramah lingkungan dan sangat mudah untuk didapatkan,
hemat biaya, dan mempunyai peluang bisnis yang sangat baik bagi masyarakat.
Keunggulan yang dimiliki konsep ini juga memberikan manfaat di berbagai
kalangan, seperti pemerintah, masyarakat, remaja dan sebagainya. Dengan
adanya inovasi filter emisi pada knalpot ini, maka angka pencemaran udara
akibat polutan dari emisi kendaraan bermotor mampu ditekan. Karena, apabila
angka pencemaran udara terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
kendaraan bermotor, maka jumlah gangguan kesehatan yang dialami
masyarakat akan pula meningkat. Jika tidak diatasi dengan cepat, maka bukan
jumlah gangguan kesehatan masyarakat saja yang meningkat, melainkan bisa
saja angka kematian masyarakat akibat menghirup gas beracun juga ikut
meningkat .Selain itu, inovasi tersebut juga mampu mengurangi jumlah limbah
tongkol jagung dan mengoptimalkan penggunaan dari tongkol jagung itu sendiri.
Sehingga sekali ditekankan bahwa inovasi filter emisi pada knalpot motor
menggunakan limbah tongkol jagung melalui proses pengarangan memiliki
manfaat dan keunggulan apabila mampu diaplikasikan pada knalpot motor.
2.2 Pemerintah Republik Indonesia dan Global Forest Watch Bekerjasama Luncurkan Sistem Mutakhir untuk Mitigasi Kebakaran Hutan, Lahan dan Kabut Asap
JAKARTA (23 Juli 2014) – Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) Indonesia
dan the World Resources Institute (WRI) hari ini meluncurkan Global Forest
Watch Fires (GFW-Fires), sebuah platform online untuk memonitor dan
merespon kebakaran hutan dan lahan di Asia Tenggara. GFW-Fires
diperkenalkan sebagai bagian dari Karhutla (kebakaran hutan dan lahan)
Monitoring System (KMS). Sistem ini mampu mengetengahkan citra satelit
dengan resolusi tinggi dari DigitalGlobe (penyedia citra satelit terkemuka),
mengeluarkan peringatan dari NASA dalam waktu yang mendekati aktual,
menyebarkan peringatan melalui sistem SMS, menampilkan peta konsesi dan
penggunaan lahan, dan masih banyak lagi. GFW-Fires merupakan hasil
kolaborasi antara BP REDD+, Badan Penanggulangan Bencana Nasional
(BNPB), WRI, DigitalGlobe, Google, Esri dan lain-lain.
GFW-Fires platform memuat data yang demikian kaya dan dilengkapi perangkat
yang memungkinkan pihak pemerintah, dunia usaha dan masyarakat umum
Indonesia memonitor serta memerangi kebakaran hutan dan lahan serta kabut
asap secara lebih efektif. Keunggulan sistem ini meliputi:
Kemampuan mengeluarkan peringatan dalam waktu yang hampir aktual
dari NASA dan NOAA, yang dipetakan secara online dan segera
didistribusikan kepada pejabat lokal, unit pemadam kebakaran, kepala
desa dan pihak-pihak lainnya melalui sistem peringatan SMS.
Laporan arah angin dalam waktu yang aktual, serta tampilan data tentang
kualitas udara, membantu menunjukkan area yang berisiko terpapar
kabut asap.
Menghasilkan citra satelit dengan resolusi sangat tinggi dari DigitalGlobe,
dimana satelit mampu mengirimkan citra kebakaran hutan terkini dengan
resolusi sedetil 50 X 50 cm. Data ini membantu menentukan lokasi tepat
terjadinya kebakaran dan menangkap sinyal akan siapa yang kiranya
bertanggung jawab atas kejadian tersebut. DigitalGlobe juga akan
mengunggah citra tersebut ke dalam platform Tomnod milik mereka demi
mendorong kampanye bagi urun daya (crowdsourcing) dari berbagai
pihak untuk dapat segera mengindentifikasi area yang terbakar.
Dukungan komputasi yang sangat besar dari Google Earth Engine dalam
penyediaan analisis-analisis penting lainnya, seperti misalnya peta rinci
mengenai bekas kebakaran.
Penyediaan peta konsesi lahan kelapa sawit, kayu, perusahaan pengolah
serat kayu, peta area-area yang dilindungi, lahan-lahan yang dijangkau
WRI, BP REDD+, Kementerian Kehutanan dan sebagainya.
Ditampilkannya diskusi tentang kebakaran dan kabut asap di media sosial
dengan mencantumkan keterangan geografis lokasi percakapan, yang
juga memungkinkan pembicaraan tentang kebakaran dan kabut asap di
Twitter dapat termonitor.
GFW-Fires sendiri dirancang di atas platform dan melalui analisis yang dibangun
oleh Global Forest Watch, sebuah sistem monitoring dan peringatan online yang
dinamis, yang mampu memberdayakan berbagai pihak – dimana pun – untuk
mengelola hutan dengan lebih baik.
“Merancang dan mengoperasikan sebuah sistem monitoring yang canggih
adalah salah satu pendekatan BP REDD+ dalam menangani kebakaran hutan
dan lahan, di samping upaya peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam
penanganan kebakaran hutan dan lahan, serta melalui penerapan audit ketaatan
di area-area konsesi dimana titik api umumnya ditemukan,” jelas Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo.
Monitoring, pengembangan kapasitas dan penegakan hukum merupakan
sebagian dari sejumlah pendekatan yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam
menyiasati kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Pemerintah melakukan
investasi dalam penanganan kebakaran dan pengelolaan hutan sebagai strategi
menuju masyarakat rendah karbon, dan akhirnya untuk dapat mencapai target
yang telah ditetapkan Indonesia yaitu 26 persen penurunan emisi gas rumah
kaca pada tahun 2020, atau penurunan sebesar 41 persen jika didukung oleh
komunitas internasional.
“Belajar dari pengalaman BNPB dalam mengerahkan sumber daya nasional
melalui kerjasama dengan berbagai Badan Pemerintah terkait dan TNI/POLRI
untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau selama 2 tahun
terakhir ini, kami menyambut baik dan mendukung segala terobosan untuk
meningkatkan upaya pencegahan dibandingkan dengan kerja keras
memadamkan api – dengan penerapan sistem GFW-Fires ini sebagai bagian dari
sistem kontrol kabut asap nasional,” ujar Deputi Kepala BNPB Bidang Pencegahan dan Kesiapan, Dody Ruswandi,
“Kebakaran hutan dan lahan terus menerus menjadi sumber ancaman bagi
kesejahteraan masyarakat, dan masyarakat menuntut adanya aksi untuk
merespon hal ini. GFW-Fires memadukan teknologi tingkat tinggi dengan
kapabilitas Pemerintah Republik Indonesia dan kapabilitas para teknisi ahli dari
berbagai belahan dunia,” tegas Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Ketua Dewan WRI Indonesia, Dr. Dino Patti Djalal. “Di media sosial dan
dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia terus meminta informasi
yang lebih komprehensif tentang dimana saja kebakaran hutan dan lahan terjadi
– dan bagaimana Pemerintah merespon hal ini. Melalui kerjasama ini, kini kita
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memiliki platform informasi
untuk dapat bertindak lebih efektif di lapangan.”
“GFW-Fires dikombinasikan dengan berbagai aspek yang terdapat dalam KMS
milik Pemerintah Republik Indonesia, untuk memungkinkan respon terhadap
kebakaran dengan lebih cepat, dan dengan akuntabilitas yang lebih tinggi
dimana kejahatan pembakaran ilegal mungkin terjadi,” tutur Direktur Program Kehutanan Global WRI, Dr. Nigel Sizer. “Sistem ini memadukan data baru,
teknologi terkini dan kemitraan yang inovatif bagi penyediaan informasi yang
tepat, dalam format yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk membantu mereka
menyelesaikan masalah yang sangat serius dan telah lama mengganggu ini.”
Kebakaran di Indonesia dipicu oleh sejumlah masalah yang kompleks. Api
seringkali digunakan untuk membuka lahan bagi pertanian, namun kadangkala
digunakan oleh perusahaan dan komunitas masyarakat dalam konflik perebutan
lahan. Apa pun latar belakang penyebabnya, api menghasilkan kabut asap
beracun dengan dampak negatif yang sangat buruk bagi lingkungan, ekonomi
dan kesehatan manusia.
Pada Juni 2013, api dari kebakaran hutan dan lahan menebarkan kabut asap di
Indonesia, Singapore, Malaysia dan Thailand, memaksa ditutupnya kegiatan
sekolah dan bandar udara. Pada Maret 2014, lebih dari 51.000 orang di
Indonesia menderita penyakit saluran pernapasan akut akibat kebakaran hutan
dan lahan, dan menyebabkan kerugian yang diestimasikan senilai Rp. 20 trilyun
(atau setara dengan US $ 1,7 milyar). Studi WRI sebelumnya mengindikasikan
bahwa lebih dari setengah dari kasus kebakaran di Pulau Sumatera dalam
beberapa bulan belakangan ini terjadi di Provinsi Riau, terkonsentrasi di sejumlah
kabupaten dan kecamatannya. Kebakaran umumnya terjadi di lahan gambut,
memicu dihasilkannya kabut asap yang jauh lebih buruk, dimana banyak kasus
ditemukan dalam batas-batas konsesi perusahaan kelapa sawit, pengolahan
bubuk kayu dan penebangan pohon.
“Perkembangan ini merepresentasikan momen dimana kebakaran di kawasan
Asia Tenggara kini dapat dimonitor dari angkasa dalam waktu mendekati aktual
dengan menggunakan satelit yang memiliki resolusi tinggi,” ujar President and CEO DigitalGlobe, Jeffrey Tarr. “Sebagai bagian dari program kami yaitu
‘Seeing a Better World™’, gambar-gambar hasil monitoring tersebut akan
tersedia melalui GFW-Fires dan platform crowdsourcing (urun daya) Tomnod, ini
adalah langkah besar dalam memahami masalah, sehingga kita dapat
menyelesaikannya dengan lebih baik.”
“Melalui teknologi baru ini, kini kita dapat menyaksikan kemajuan yang begitu
besar dari kemampuan melakukan monitoring terhadap bencana dan perubahan
lingkungan di waktu yang hampir aktual,” imbuh Manajer Teknik, Google Earth Outreach and Earth Engine, Rebecca Moore. “Kini kita dapat menggunakan
satelit dan komputasi awan untuk dapat memetakan secara cepat dimana api
berkobar dan apa dampak yang dihasilkannya. Pendekatan baru ini ditempuh
untuk mendobrak masalah lama yang tak kunjung usai.”
2.3 Pemanfaatan Sampah Sebagai Sumber Alternatif Energi Pembangkit Listrik
Sampah tidak hanya bisa dimanfaatkan sebagai kompos untuk pupuk organik,
tapi juga bisa diolah menjadi energi bio arang, biomass dan energi untuk listrik.
Lebih jauh sampah dapat dijadikan barang-barang aksesoris, barang fungsional
dan sebagai bahan bangunan. Pengolahan sampah menjadi energi listrik sudah
lazim di banyak negara, tetapi di Indonesia fasilitas gas dari TPA masih relatif
baru. Pada saat ini proyek untuk menghasilkan energi listrik dari sampah sedang
dibangun di Bali. Investor Inggris, Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI),
akan mendirikan instalasi pengelolaan sampah terpadu sebagai penghasil listrik
untuk Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Proyek ini akan mengolah
sampah sebanyak 500 ton per hari dan menhasilkan listrik 5–8 megawatt.
Teknologi yang digunakan adalah teknologi landfill. Prosesnya, menjadikan
biogas yang didapat dari sampah melalui gas engine dikonservasikan menjadi
energi listrik. Mula-mula seluruh sampah ditimbun dengan tanah, lalu lewat pipa
yang dipasang di dalamnya, gas methan ditangkap dan digunakan untuk
mengeringkan sampah. Dengan demikian tumpukan sampah itu akan mengering.
Cairan yang keluar selama proses itu ditampung dan dikelola dalam instalasi
khusus atau water treatment supaya tidak menimbulkan pencemaran. Untuk
sampah yang baru, prosesnya dipilah dulu. Sampah basah seperti kayu, daun,
kertas dicacah dulu, kemudian dimasukkan dalam digester (pengering) yang
nantinya menghasilkan biogas dan kompos. Teknologi ini disebut Anaerobic
Digestion. Sedangkan sampah kering semacam plastik akan diolah dengan
teknologi pirolisis dan gassfication, yakni dengan pemanasan tinggi tanpa
oksigen yang menhasilkan gas dan digunakan untuk menggerakkan turbin.
Pemprov DKI juga berencana menerapkan system waste to energy (WTE), yang
akan dibangun di empat lokasi; Marunda, Pulo Gebang, Ragunan dan Duri
Kosambi. Dengan ini diharapkan sampah di Bantar Gebang bisa berkurang dari
6.250 ton per hari menjadi 1000 ton. Selain itu, sampah ternyata juga bisa dibuat
bahan bangunan, seperti bata seukuran bata merah, batako, paving block, tegel,
teraso dan genteng.
2.4 Biogas Dari Kotoran Sapi
Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan oleh proses
fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup
dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa
diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik
(padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak cocok
untuk sistem biogas sederhana. Di daerah yang banyak industri pemrosesan
makaan antara lain tahu, tempe, ikan, pindang atau brem bisa menyatukan
saluran limbahnya ke dalam sistem biogas, sehingga limbah industri tersebut
tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Hal ini memungkinkan karena limbah
industri tersebut diatas berasal dari bahan organik yang homogen.
Bahan bakar biogas tidak menghasilkan asap merupakan suatu pengganti yang
unggul untuk menggantikan bahan bakar minyak atau gas alam. Gas ini
dihasilkan dalam proses yang disebut pencernaan anaerob, merupakan gas
campuran metan (CH4) , karbondioksida (CO2), dan sejumlah kecil nitrogen,
amonia, sulfur dioksida, hidrogen sulfida, dan hidrogen. Secara alami, gas ini
terbentuk pada limbah pembuangan air, tumpukan sampah, dasar danau atau
rawa. Mamalia termasuk manusia menghasilkan biogas dalam sistem
pencernaannya, bakteri dalam sistem pencernaan menghasilkan biogas untuk
proses mencerna selulosa. Biomassa yang mengandung kadar air yang tinggi
seperti kotoran hewan dan limbah pengolahan pangan cocok digunakan untuk
bahan baku pembuatan biogas.
Limbah peternakan merupakan salah satu sumber bahan yang dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas, sementara perkembangan atau
pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi lingkungan karena
menumpuknya limbah peternakan. Polutan yang dihasilkan dari dekomposisi
kotoran ternak yaitu BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemichal
Oxygen Demand), bakteri patogen, polusi air, debu, dan polusi bau. Di banyak
negara berkembang kotoran ternak, limbah pertanian, dan kayu bakar digunakan
sebagai bahan bakar. Hal inilah yang menjadi perhatian karena emisi metan dan
karbondioksida yang menyebabkan efek rumah kaca dan mempengaruhi
perubahan iklim global.
Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerob juga memberikan
beberapa keuntungan yaitu menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile
solid, nitrogen nitrat, dan nitrogen organik. Bakteri caliform dan patogen lainnya,
telur insek, parasit, bau juga dihilangkan atau menurun. Di daerah pedesaan
yang tidak terjangkau listrik, penggunaan biogas memungkinkan untuk belajar
dan melakukan kegiatan komunitas di malam hari. Kesetaraan biogas dengan
sumber energi lain dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Kesetaraan biogas dengan beberapa sumber energi lain
1 m3 Biogas
0.46 Kg LPG
0.62 liter Minyak tanah
3.5 Kg Kayu bakar
Sumber : Departemen Petanian (2009) [1]
Beberapa alasan lain mengapa biogas dapat dimanfaatkan sebagai energi
alternatif dan semakin mendapat perhatian yaitu :
(a) harga bahan bakar yang terus meningkat,
(b) dalam rangka usaha untuk memperoleh bahan bakar lain yang dapat
diperbarui,
(c) dapat diproduksi dalam skala kecil di tempat yang tidak terjangkau listrik
atau energi lainnya,
(d) dapat diproduksi dalam kontruksi yang sederhana.
a. Proses Pencernaan Anaerob
Proses pencernaan anaerob, yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu
proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri
asidogenik pada kondisi tanpa udara[2]. Bakteri ini secara alami terdapat dalam
limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan
sampah organik rumah tangga. Proses anaerob dapat berlangsung di bawah
kondisi lingkungan yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada
kondisi yang terbatas.
Tabel 2.1 Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan anaerob
Parameter Nilai
Temperatur
Mesofilik
Termofilik
35o C
54o C
pH 7-8
Alkalinitas 2500 mg/L Minimum
Waktu retensi 10-30 hari
Laju terjenuhkan 0.15-0.35 kg.VS/m3/hari
Hasil biogas 4.5-11 m3/kg.VS
Kandungan metana 60-70 %
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:
(a)Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut
dan pencernaan bahan organik kompleks menjadi sederhana, perubahan
bentuk strukutur polimer menjadi monomer;
(b)Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula
sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan
makanan bakteri asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini
yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas
karbondioksida, hidrogen dan amonia;
(c)Metanogenik, pada tahp ini terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri
pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu untuk mereduksi sulfat
dan komponen sulfur lainnya menjadi hidrogen sulfida.
Untuk lebih jelasnya proses pembentukan biogas dapat dilihat pada diagram alir
di bawah ini :
Selulosa
Glukosa
Asam Lemak dan Alkohol
Metana + CO2
1. Hidrolisis (C6H10O5)n + nH2O n(C6H12O6) Selulosa Glukosa
2. Pengasaman (C6H12O6)n + nH2O CH3CHOHCOOH Glukosa Asam Laktat CH3CH2CH2COOH + CO2 + H2 Asam Butirat CH3CH2OH + CO2 Etanol4H2 + CO2 2H2O + CH4
CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + CH4CH3COOH + CO2 CO2 + CH4CH3CH2CH2COOH + 2H2 + CO2 CH3COOH + CH4 Metan
3. Metanogenik
Gambar 2.1 Diagram alur proses fermentasi anaerobik
Bakteri yang berperan dalam proses pencernaan anaerobik yaitu bakteri hidrolitik
yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri fementatif
yang mengubah gula dan asam amino menjadi asam organik, bakteri asidogenik
merubah asam organik menjadi hidrogen, karbondioksida dan asam asetat, dan
bakteri metanogenik yang menghasilkan gas metan dari asam asetat, hidrogen,
dan karbondioksida. Bakteri metanogenik akan menghasilkan biogas yang bagus
(kandungan gas metan tinggi) pada suhu 25o-30o C. Di dalam digester biogas
terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan yaitu bakteri asidogenik dan
bakteri metanogenik. Kedua bakteri ini harus dipertahankan jumlahnya
seimbang. Bakteri-bakteri inilah yang merubah bahan organik menjadi gas metan
dan gas lainnya dalam siklus hidupnya.
Kandungan gas metan dalam biogas yang dihasilkan tergantung pada jenis
bahan baku yang dipakai. Sebagai contoh komposisi biogas dapat dilihat pada
tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kompisisi gas (%) dalam biogas yang berasal dari kotoran ternak dan
sisa pertanian
Jenis Gas Kotoran SapiCampuran Kotoran Sapi dan Sampah Pertanian
Metana (CH4) 65.7 55-70
Karbondioksida (CO2) 27.0 27-45
Nitrogen (N2) 2.3 0.5-3.0
Karbonmonoksida (CO) 0.0 0.1
Oksigen (O2) 0.1 6.0
Propan (C3H8) 0.7 -
Hidrogen Sulfida (H2S) Tidak Terukur Sedikit sekali
Nilai Kalor (kkal/m3) 6513 4800-6700
Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri
asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7)
yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi
keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar pH 6,8 sampai
8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah.
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen
sesuai dengan kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan kondisi
lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali
lebih cepat dibanding nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen
dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N), rasio optimum untuk digester
anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi
dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon akibatnya gas
yang dihasilnya menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan
dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH 4) yang dapat
meningkatkan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan menunjukkan pengaruh
negatif pada populasi bakteri metanogen. Kotoran ternak sapi mempunyai rasio
C/N sekitar 24. Hijauan seperti jerami atau serbuk gergaji mengandung
persentase karbon yang jauh lebih tinggi, dan bahan dapat dicampur untuk
mendapatkan rasio C/N yang diinginkan. Rasio C/N beberapa bahan yang umum
digunakan sebagai bahan baku biogas disajikan pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Rasio karbon dan nitrogen (C/N) dari beberapa bahan baku
Bahan Rasio C/N
Kotoran bebek 8
Kotoran manusia 8
Kotoran ayam 10
Kotoran kambing 12
Kotoran babi 18
Kotoran domba 19
Kotoran sapi/kerbau 24
Slurry kotoran sapi mengadung 1,8 - 2,4% nitrogen, 1,0 - 1,2% fosfor (P205), 0,6
- 0,8% potassium (K 20), dan 50 - 75% bahan organik. Kandungan solid yang
paling baik untuk proses anaerobik yaitu sekitar 8%. Untuk limbah kotoran sapi
segar dibutuhkan pengenceran 1 : 1 dengan air. Teknologi pencernaan anaerob
bila digunakan dalam sistem perencanaan yang matang, tidak hanya mencegah
polusi tetapi juga menyediakan energi berkelanjutan, pupuk dan rekoveri nutrien
tanah. Untuk itu proses ini dapat mengubah limbah dari suatu masalah menjadi
suatu yang menguntungkan.
Tabel 2.4 Potensi produksi gas dari berbagai jenis kotoran hewan
Jenis Kotoran Produksi Gas per Kg (m3)
Sapi/Kerbau 0.023-0.040
Babi 0.040-0.059
Unggas 0.065-0.116
Manusia 0.020-0.028
b. Teknologi Digester
Saat ini berbagai bahan dan jenis peralatan biogas telah banyak dikembangkan
sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan
pengelolaan kotoran ternak. Secara umum terdapat dua teknologi yang
digunakan untuk memperoleh biogas. Pertama, proses yang sangat umum yaitu
fermentasi kotoran ternak menggunakan digester yang didesain khusus dalam
kondisi anaerob. Kedua, teknologi yang baru dikembangkan yaitu dengan
menangkap langsung gas metan dari lokasi tumpukan sampah tanpa harus
membuat digester khusus. Peralatan dan proses pengolahan dan pemanfaatan
biogas ditampilkan pada gambar berikut.
Gambar 2.2 Peralatan dan proses pengolahan dan pemanfaatan biogas
Sumber : Departemen Pertanian (2009)
Beberapa keuntungan kenapa digester anaerobik lebih banyak digunakan antara
lain :
1. Keuntungan pengolahan limbah(a) Digester anaerobik merupakan proses pengolahan limbah yang alami
(b) Membutuhkan lahan yang lebih kecil dibandingkan dengan proses
kompos aerobik ataupun penumpukan sampah
(c) Memperkecil volume atau berat limbah yang dibuang
(d) Memperkecil rembesan polutan
2. Keuntungan energi(a) Proses produksi energi bersih
(b) Memperoleh bahan bakar berkualitas tinggi dan dapat diperbaharui
(c) Biogas dapat dipergunakan untuk berbagai penggunaan
3. Keuntungan lingkungan:(a) Menurunkan emisi gas metan dan karbondioksida secara signifikan
(b) Menghilangkan bau
(c) Menghasilkan kompos yang bersih dan pupuk yang kaya nutrisi
(d) Memaksimalkan proses daur ulang
(e) Menghilangkan bakteri coliform sampai 99% sehingga memperkecil
kontaminasi sumber air
4. Keuntungan ekonomi:
Lebih ekonomis dibandingkan dengan proses lainnya ditinjau dari siklus ulang
proses. Bagian utama dari proses produksi biogas yaitu tangki tertutup yang
disebut digester. Desain digester bermacam-macam sesuai dengan jenis bahan
baku yang digunakan, temperatur yang dipakai dan bahan konstruksi. Digester
dapat terbuat dari cor beton, baja, bata atau plastik dan bentuknya dapat berupa
seperti silo, bak, kolam dan dapat diletakkan di bawah tanah. Sedangkan untuk
ukurannya bervariasi dari 4-35 m3. Biogas dengan ukuran terkecil dapat
dioperasikan dengan kotoran ternak 3 ekor sapi, 7 ekor babi atau 500 ekor
unggas.
Gambar 2.3 Beberapa macam digesterSumber : Departemen Pertanian (2009)[1]
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau
digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator
listrik, patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dll.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesuksesan Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak
Untuk memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas, diperlukan beberapa syarat
yang terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya
manusia. Bila faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan kotoran ternak
menjadi biogas sebagai penyediaan energi dipedesaan dapat berjalan dengan
optimal.
Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi optimasi pemanfaatan
kotoran ternak menjadi biogas yaitu : (Dede Sulaeman, 2009)
1. Ketersediaan ternak
Jenis, jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi
pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan
kotoran ternak.Kotoran ternak yang dapat diproses menjadi biogas berasal dari
ternak ruminansia dan non ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan babi;
serta unggas.
Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya. Untuk
menjalankan biogas skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran
ternak dari 3 ekor sapi, atau 7 ekor babi, atau 500 ekor ayam.
2. Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan
kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga
terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi
atau 7 ekor babi atau 500 ekor ayam. Bila ternak yang dimiliki lebih dari jumlah
tersebut, maka dapat dipilihkan biogas dengan kapasitas yang lebih besar
(berbahan fiber atau semen) atau beberapa biogas skala rumah tangga.
3. Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal.
Kotoran ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara
dikandangkan dibandingkan dengan cara digembalakan.
4. Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang luasannya
bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk
membangun biogas skala terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7m x 2m).
Sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).
5. Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari
peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi
optimal bila pengisian kotoran ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta
dilakukan perawatan peralatannya.
Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas
disebabkan karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit
tersebut; kedua, peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan
pengisian kotoran karena memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.
6. Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat cair
kotoran ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan
kotoran, dan pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke dalam raktor.
Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi
padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 3. Pada peternakan sapi perah
komposisi padat cair kotoran ternak biasanya telah sesuai, namun pada
peternakan sapi potong perlu penambahan air agar komposisinya menjadi
sesuai.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari atau setiap 2
hari sekali tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan sarana penunjang
yang dimiliki. Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan secara manual dengan
cara diangkut atau melalui saluran.
7. Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan
menghasilkan gas yang dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian,
kebutuhan peternak akan energi dari sumber biogas harus menjadi salah satu
faktor yang utama. Hal ini mengingat, bila energi lain berupa listrik, minyak tanah
atau kayu bakar mudah, murah dan tersedia dengan cukup di lingkungan
peternak, maka energi yang bersumber dari biogas tidak menarik untuk
dimanfaatkan. Bila energi dari sumber lain tersedia, peternak dapat diarahkan
untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos atau kompos cacing
(kascing).
8. Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak,
menyalakan petromak, menjalankan generator listrik, mesin penghangat
telur/ungas dll. Selain itu air panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk
proses sanitasi sapi perah.
Pemanfaatan energi ini dapat optimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor
biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan
dijangkau instalasi penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi
biogas dilakukan di rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.
9. Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi
pupuk cair atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya relatif sederhana yaitu
untuk pupuk cair dilakukan fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar
unsur haranya dapat lebih baik, sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil
samping biogas perlu dikurangi kandungan airnya dengan cara diendapkan,
disaring atau dijemur. Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri
atau dijual kepada kelompok tani setempat dan menjadi sumber tambahan
pandapatan bagi peternak.
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air/drainase,
air dan peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah operasional dan
perawatan instalasi biogas. Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan
kotoran ternak dari kandang ke reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu
diangkut secara manual. Air digunakan untuk membersihkan kandang ternak dan
juga digunakan untuk membuat komposisi padat cair kotoran ternak yang sesuai.
Sedangkan peralatan kerja digunakan untuk mempermudah/meringankan
pekerjaan/perawatan instalasi biogas.
Selain sepuluh faktor di atas, kemauan peternak/pelaku untuk, menjalankan
instalasi biogas dan merawatnya serta memanfaatkan energi biogas menjadi
modal utama dalam pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas. Tanpa adanya
kemauan peternak untuk secara aktif mengoptimalkan biogas, maka faktor-faktor
lain tidak akan cukum membantu dalam optimalisasi pemanfaatan biogas.
d. Membangun Instalasi Biogas
Bangunan utama dari instalasi biogas adalah Digester yang berfungsi untuk
menampung gas metan hasil perombakan bahan bahan organik oleh bakteri.
Jenis digester yang paling banyak digunakan adalah model continuous feeding
dimana pengisian bahan organiknya dilakukan secara kontinu setiap hari. Besar
kecilnya digester tergantung pada kotoran ternak yamg dihasilkan dan
banyaknya biogas yang diinginkan. Lahan yang diperlukan sekitar 16 m2. Untuk
membuat digester diperlukan bahan bangunan seperti pasir, semen, batu kali,
batu koral, bata merah, besi konstruksi, cat dan pipa prolon.
Gambar 3.1 Tipe digester yang digunakanSumber : Departemen Pertanian (2009)[1]
Gambar 3.2 Unit pengolahan biogas
Lokasi yang akan dibangun sebaiknya dekat dengan kandang sehingga kotoran
ternak dapat langsung disalurkan kedalam digester. Disamping digester harus
dibangun juga penampung sludge (lumpur) dimana slugde tersebut nantinya
dapat dipisahkan dan dijadikan pupuk organik padat dan pupuk organik cair.
Setelah pengerjaan digester selesai maka mulai dilakukan proses pembuatan
biogas dengan langkah langkah sebagai berikut:
1. Mencampur kotoran ternak dengan air sampai terbentuk lumpur dengan
perbandingan 1:1 pada bak penampung sementara. Bentuk lumpur akan
mempermudah pemasukan kedalam digester
2. Mengalirkan lumpur kedalam digester melalui lubang pemasukan. Pada
pengisian pertama kran gas yang ada diatas digester dibuka agar
pemasukan lebih mudah dan udara yang ada didalam digester terdesak
keluar. Pada pengisian pertama ini dibutuhkan lumpur kotoran sapi dalam
jumlah yang banyak sampai digester penuh.
3. Melakukan penambahan starter (banyak dijual dipasaran) sebanyak 1 liter
dan isi rumen segar dari rumah potong hewan (RPH) sebanyak 5 karung
untuk kapasitas digester 3,5 - 5,0 m2. Setelah digester penuh, kran gas
ditutup supaya terjadi proses fermentasi.
4. Membuang gas yang pertama dihasilkan pada hari ke-1 sampai ke-8
karena yang terbentuk adalah gas CO2. Sedangkan pada hari ke-10
sampai hari ke-14 baru terbentuk gas metan (CH4) dan CO2 mulai
menurun. Pada komposisi CH4 54% dan CO2 27% maka biogas akan
menyala.
5. Pada hari ke-14 gas yang terbentuk dapat digunakan untuk menyalakan
api pada kompor gas atau kebutuhan lainnya. Mulai hari ke-14 ini kita
sudah bisa menghasilkan energi biogas yang selalu terbarukan. Biogas
ini tidak berbau seperti bau kotoran sapi. Selanjutnya, digester terus diisi
lumpur kotoran ternak secara kontinu sehingga dihasilkan biogas yang
optimal.
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah:
1. Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung sebagai Filter Emisi pada Knalpot Motor
merupakan salah satu teknologi yang dapat dijadikan solusi dalam pengurangan
limbah tongkol jagung dan emisi CO pada kendaraan bermotor yang
membahayakan lingkungan.
2. Aplikasi Global Forest Watch Fires (GFW-Fires) merupakan sebuah teknologi
yang memuat data yang demikian kaya dan dilengkapi perangkat yang
memungkinkan pihak pemerintah, dunia usaha dan masyarakat umum Indonesia
memonitor serta memerangi kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap secara
lebih efektif
3. Pemanfaatan Sampah Sebagai Sumber Alternatif Energi Pembangkit Listrik
mengolah sampah sebanyak 500 ton per hari dan menhasilkan listrik 5–8
megawatt untuk memenuhi kebutuhan listrik di sejumlah daerah di Indonesia
dengan memanfaatkan TPA dengan teknologi landfill.
4. Biogas Dari Kotoran Sapi merupakan salah satu teknologi terkini yang mulai
banyak ditrapkan di Indonesia yang memanfaatkan limbah peternakan dan
kotoran manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Yaumi, Nur. 2014. Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung (Zea Mays) Sebagai Filter Emisi Pada Knalpot Motor. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
http://www.globalforestwatch.org/howto/analyze-forest-change diakses pada
tanggal 21 Februari 2016.
http://www.alpensteel.com/article/123-110-energi-sampah--pltsa/2583--teknologi-
tepat-guna-dari-sampah diakses pada tanggal 21 Februari 2016.