Teknik ajar dan strategi pembelajaran bahasa indonesia sebagai bahasa kedua

21
Bab V Teknik ajar dan Strategi pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua 5.1 Teknik Ajar TEKNIK PEMBELAJARAN BIPA Dalam kaitannya dengan teknik pembelajaran BIPA, ada beberapa hal yang dikaji, yaitu (1) teknik penyampaian materi, (2) teknik menghadapi pelajar, dan (3) teknik penciptaan suasana belajar. Teknik penyampaian materi dibagi dalam 3 tahap, yakni teknik membuka pelajaran, teknik menyampaian materi baru, dan teknik menutup pelajaran. Ada beberapa teknik yang dilakukan pengajar dalam memulai pelajaran di kelas, di antaranya adalah (1) memberi salam (greetings), (2) menanyakan keadaan/situasi di tempat tinggal, (3) menanyakan perasaannya, (4) menanyakan kegiatan yang telah dilakukannya, (5) menanyakan tentang waktu (tidur, mimpi, bangun, berangkat sekolah, dsb.), (6) bercerita apa yang telah dilakukan (pengajar), (7) bertanya dengan menggunakan kata- kata atau kalimat yang telah diberikan hari sebelumnya, (8) menanyakan sesuatu yang dibawa atau yang ada pada pelajar, (9) merespon pernyataan/pertanyaan yang sejak awal disampaikan

Transcript of Teknik ajar dan strategi pembelajaran bahasa indonesia sebagai bahasa kedua

Bab V Teknik ajar dan Strategi pembelajaran bahasa Indonesia

sebagai bahasa kedua

5.1 Teknik Ajar

TEKNIK PEMBELAJARAN BIPA

Dalam kaitannya dengan teknik pembelajaran BIPA, ada beberapa hal yang dikaji,

yaitu (1) teknik penyampaian materi, (2) teknik menghadapi pelajar, dan (3) teknik

penciptaan suasana belajar. Teknik penyampaian materi dibagi dalam 3 tahap, yakni

teknik membuka pelajaran, teknik menyampaian materi baru, dan teknik menutup

pelajaran.

Ada beberapa teknik yang dilakukan pengajar dalam memulai pelajaran di kelas, di

antaranya adalah (1) memberi salam (greetings), (2) menanyakan keadaan/situasi di

tempat tinggal, (3) menanyakan perasaannya, (4) menanyakan kegiatan yang telah

dilakukannya, (5) menanyakan tentang waktu (tidur, mimpi, bangun, berangkat

sekolah, dsb.), (6) bercerita apa yang telah dilakukan (pengajar), (7) bertanya

dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang telah diberikan hari sebelumnya,

(8) menanyakan sesuatu yang dibawa atau yang ada pada pelajar, (9) merespon

pernyataan/pertanyaan yang sejak awal disampaikan pelajar, (10) menjelaskan hal-

hal apa yang akan dilakukan hari itu atau selanjutnya (periksa Suyitno, 2004: 36).

Teknik-teknik tersebut banyak digunakan pengajar dalam memulai pelajaran di

kelas. Teknik tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana yang akrab dan hangat

sebelum memulai pelajaran. Selain itu, teknik semacam ini dapat dimanfaatkan

untuk melatih pelajar berani berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia

yang dipelajarinya. Dengan demikian, pengajar dapat mengetahui seberapa banyak

kata yang telah dikuasai oleh pelajar, pada masalah apa dia mengalami kesulitan,

hal-hal apa yang perlu diulangi. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari teknik

memulai pelajaran dengan cara seperti ini adalah pengajar dapat memberikan

tambahan kata-kata yang sesuai dengan kebutuhan pelajar saat itu, dan kata-kata

yang demikian inilah yang sebenarnya fungsional bagi pelajar. Hal ini sesuai dengan

pendapat Richard dan Rodgers (1983) yang menjelaskan bahwa (1) belajar bahasa

terjadi apabila kegiatan itu berlangsung dalam suatu komunikasi yang nyata, (2)

dalam kegiatan komunikasi seperti ini, bahasa nyata-nyata digunakan, dan (3)

penggunaan bahasa yang nyata inilah yang bagi pelajar bermakna atau fungsional.

Teknik yang digunakan oleh pengajar dalam menyajikan materi pada dasarkan

menggunakan teknik celup total. Pengajar berusaha sedapat mungkin tidak

menggunakan bahasa Inggris. Berbagai cara yang digunakan untuk penyajian

materi tersebut diantaranya adalah cara tanya jawab, pelatihan, penugasan,

demonstrasi, pemberian konsultasi baik kelompok maupun individual, tutorial,

penubian (drill), dan koreksi. Cara yang demikian ini dalam penyajian materi baru

dilakukan dalam kegiatan sebagai berikut.

1) Materi yang berupa dialog: (a) pengajar membacakan dialog kemudian pelajar

menirukan (cara ini terutama untuk tingkat pemula, untuk tingkat menengah dan

tingkat lanjut pengajar tidak perlu memberi contoh), (b) pengajar menunjuk beberapa

pelajar untuk membaca teks dialog tersebut, (c) pengajar melatihkan pelafalan kata-

kata secara tepat, (d) pengajar menugasi pelajar secara berpasangan memerankan

apa yang ada dalam teks dialog, (e) pengajar meminta pelajar menutup buku

kemudian merespon pertanyaan/pernyataan pengajar yang diambil dari teks dialog,

(f) pengajar menugasi pelajar melakukan dialog dengan menggunakan kata-kata

bebas sesuai dengan topik yang ada dalam teks dialog yang baru dipelajarinya, (g)

pengajar memberikan kesempatan pada pelajar menanyakan kata-kata sulit yang

ada dalam teks dialog, (h) pengajar meminta pelajar membuat kalimat dengan kata-

kata baru yang ada dalam dialog, dan (i) pengajar menugasi siswa mengerjakan

latihan-latihan baik secara lisan.

2) Materi yang berupa bacaan: (a) pengajar menyampaikan penjelasan awal tentang

isi bacaan (pre-reading), (b) pengajar bertanya-jawab dengan pelajar tentang hal-hal

yang ada dalam bacaan, (c) pengajar menyuruh pelajar membaca bacaan per

paragraf, dan mengecek pemahamannya tentang isinya, (d) pengajar menanyakan

apakah ada kata-kata sulit; dan (e) pengajar menugasi pelajar untuk mengerjakan

latihan-latihan dan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan.

3) Materi yang berupa tatabahasa: materi yang berupa tatabahasa disajikan dalam

bentuk latihan-latihan. Oleh karena itu, pelajar langsung diminta mengerjakan

latihan-latihan tatabahasa. Jika ada kesulitan yang dihadapi oleh pelajar, pengajar

baru menjelaskannya. Penjelasan yang disampaikan oleh pengajar bukan

penjelasan dari segi ilmu bahasa, tapi penjelasan tentang bagaimana seharusnya

kata digunakan dalam berbahasa.

Dalam pelaksanaan teknik celup ini, pengajar berusaha semaksimal mungkin untuk

tidak menggunakan bahasa Inggris kepada pelajar. Demikian juga pelajar,

dianjurkan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jika mereka sekali diberi

kesempatan untuk berbahasa Inggris, maka mereka akan selalu meminta

penjelasan dalam bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan saran Wolff, dkk. (1988)

yang menyarankan bahwa bahwa pengajar BIPA perlu memperhatikan teknik berikut

dalam mengajarkan BIPA, yakni (1) berbicaralah kepada pelajar dengan bahasa

Indonesia, (2) pakailah kata-kata, bentukan-bentukan, kalimat-kalimat dan tata

bahasa yang sudah diketahui pelajar, (3) janganlah memberikan peluang dan

keleluasaan kepada pembelajar untuk berbahasa Inggris, sekalipun mereka belum

bisa menyampaikan maksudnya dengan bahasa Indonesia yang baik, (4)

berbicaralah secara wajar, (5) bila pelajar mengucapkan kalimat yang salah

katakanlah kalimat yang dimaksudkan dengan betul, kemudian suruhlah mereka

mengulanginya, (6) kesalahan yang dilakukan oleh pelajar hendaklah disikapi

sebagai kesalahan bersama, (7) penjelasan tentang kata-kata atau istilah-istilah

hendaknya didasarkan pada aspek sosiosemantis dengan mengefektifkan

penggunaan contoh-contoh, dan (8) apabila pelajar menemui kesulitan dalam

pelatihan (ucapan dan penangkapan) kalimat-kalimat panjang, potong- potonglah

kalimat tersebut dalam satuan-satuan bermakna mulai dari ujung kalimat.

Teknik penyajian materi tidak saja dilakukan di dalam kelas, tapi juga dilakukan di

luar kelas. Teknik yang ditempuh dalam penyajian materi melalui kegiatan di luar

kelas ini di antaranya melalui kegiatan tugas luar (ke bank, ke studio foto, ke pasar),

bertamu, wawancara dengan mahasiswa Indonesia, kunjungan ke tempat-tempat

wisata, melihat benda-benda kerajinan (wayang, keramik, topeng), melihat

pertunjukkan, menyaksikan upacara adat (pernikahan, kemati-an), dan sebagainya.

Cara yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surajaya

(1995) yang mengemukakan bahwa kiat-kiat yang dapat dilakukan dalam

pengajaran BIPA, yakni (1) kiat kuliah, (2) kiat penjelasan dengan contoh benda

budaya, (3) kiat demonstrasi dan partisipasi aktif, (4) kiat peninjauan ke lapangan

atau ekskursi, (5) kiat majalah dinding, (6) kiat tari dan nyanyi, (7) kiat permainan

simulasi, (8) kiat informan penutur asli, (9) kiat video-tape, (10) kiat audio-motor

units, (11) kiat identifi-kasi secara kultural perilaku umum, (12) kiat identifikasi

konotasi kultural, (13) kiat minimalisasi persepsi yang ber-sifat stereotif, dan (14) kiat

memanfaatkan bacaan otentik.

Selain teknik penyajian materi, teknik menghadapi pelajar baik di kelas maupun di

luar kelas perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran BIPA. Hal ini mengingat

bahwa pelajar BIPA adalah bukan pelajar Indonesia, yakni pelajar asing yang

memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan pengajarnya. Beberapa teknik

yang dapat ditempuh dalam menyikapi pelajar BIPA baik di dalam maupun di luar

kelas adalah (1) menunjukkan sikap disiplin terhadap waktu, (2) menunjukkan sikap

tanggung jawab terhadap kerja/tugas, (3) menunjukkan sikap sebagai teman, (4)

menunjukkan sikap yang tahu terhadap masalah bahasa, (5) menunjukkan sikap

sabar dan telaten, (6) menunjukkan sikap terbuka, (7) menunjukkan sikap

bersemangat.

Dalam pembelajaran bahasa di kelas, suasana kelas sangat menentukan

keberhasilan belajar. Suasana kelas perlu diciptakan sekondusif mungkin. Ada

beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pengajar BIPA dalam menciptakan

suasana kelas agar kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung, yakni (1) dengan

menggunakan humor, (2) mengubah/memberikan materi-materi yang menantang,

(3) memberikan nyanyian, (4) memberikan teka-teki (puzzles), (5) memberikan

kepada pelajar untuk beristirahat sebentar, dan (6) mengajak pelajar pindah ke

tempat lain, misalnya(di luar kelas, di warung kopi, dsb. (periksa Suyitno, 2005).

5.2 Strategi

Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua

Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam

komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan:

gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau

pemikiran bahasa, Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam

karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki

rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA)

sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar

jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi

dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap

ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori

bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk

memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa

merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-

anak.

Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu

yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali

penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata

pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat

(misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah

(seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-

butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa,

bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang

menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam

masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang

memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian

tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada

setiap anak.

Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara

referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-

anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi

nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa

sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama

secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-

ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama

objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial

efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda.

Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu,

sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul,

bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi,

fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi

imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan,

mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan

pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak

setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan

melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi

personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan

perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan

pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan

daya cipta imajinasi dan gagasan.

Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang

lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang

berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif,

menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling

berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang

berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.

Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk

memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua

tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara

mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-

olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa

tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat.

Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia

sekitar 3 tahun.

Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa

Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan,

yaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam

pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya

sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama.

Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu,

bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan

bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa

istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional,

bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik.

Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa

pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa

kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang,

yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan

tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa

pertama dan pemerolehan bahasa kedua.

Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di

lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua

bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara

luas).

Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang

diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan,

oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan,

bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa

asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang

didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan

(khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa)

serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.

Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity

(kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan

masuk) ke bahasa.

Istilah prospensity mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan

kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan

hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama

tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama,

maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan

dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat

dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf

tertentu.

Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan

komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial

merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika

beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan

bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor

penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi

atau universitas. Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang

mengakibatkan pengaruh negatif.

Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari

integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-

sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan

kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu

berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat

mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam

ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam

jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga

beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif

sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam

atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi

tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.

Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas,

misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik

menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan

dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa

yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada

kegagalan belajar bahasa kedua.

1. model yang pertama adalah model pengajaran BIPA melalui social

budaya.

Pertama, perencanaan awal. Di sini pengajar mengumpulkan data pemelajar

yang bersifat objektif, seperti tingkat kemahiran, usia, latar pendidikan,

pengalaman belajar terdahulu. Data itu digunakan untuk menentukan kebutuhan

objektif pemelajar. Namun, data subjektif juga diperlukan: pilihan rentang waktu

dan intensitas pembelajaran, organisasi belajar yang disukai, tujuan belajar,

metodologi yang disukai, gaya belajar yang disukai. Kedua jenis data ini berguna

untuk mengelompokkan pemelajar. Secara tradisional, pemelajar dikelompokkan

berdasarkan kemampuan yang dikuasainya, namun dalam pembelajaran

berbasis pemelajar, mereka sebaiknya dikelompokkan secara berbeda. Misalnya

berdasarkan kesamaan minat dalam belajar bahasa, pemelajar dapat

dikelompokkan dalam kelas bahasa untuk keperluan teknisi. Namun, berbagai

kemungkinan pengelompokan pemelajar itu sering tidak disadari oleh pengajar,

apalagi ketika kekakuan administrasi mengurangi kemungkinan itu. Data

pemelajar tersebut di atas juga berguna untuk komponen kurikulum yang kedua.

Kedua, yaitu pemilihan dan penahapan isi. Melalui negosiasi dengan

pemelajar akan diperoleh kriteria seleksi yang jelas sehingga tersedia patokan

bagi pemilihan materi ajar (Hall 2002:79 dalam Rahayu) Dengan demikian, tidak

ada jarak antara kehidupan rumah dan kehidupan sekolah, tidak ada jarak antara

orang tua dan pengajar.

Ketiga, negosiasi pengajar dengan pemelajar mengenai metodologi, artinya

pemilihan kegiatan belajar-mengajar. Selama ini pemelajar menyesuaikan diri

dengan kegiatan pembelajaran yang telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan,

padahal belum tentu itu cocok untuk semua.

Keempat, pemantauan selama proses pembelajaran dilakukan oleh pemelajar

dan pengajar. Dengan demikian, pemelajar menyadari komitmennya pada

rencana yang telah disusunnya sendiri. Sementara itu, pengajar sempat

mengikuti langkah demi langkah kelajuan pemelajarnya. Pemantauan bersama

juga berguna untuk menyesuaikan materi ajar dengan motivasi belajar pemelajar.

Dalam tahap pemantauan ini, misalnya, pemelajar bahasa asing dapat

menganalisis rekaman komunikasi mereka dalam bahasa yang mereka pelajari.

Hasilnya berguna untuk menyadarkan mereka, melalui diskusi tentang bahasa

dan penggunaanya, akan pemenuhan kebutuhan yang mereka harapkan.

(Hall 2002: 117) Kelima, asesmen. Dalam pembelajaran tradisional, asesmen

bersinonim dengan pengetesan, pengukuran . Dalam pembelajaran berbasis

pemelajar, asesmen berlangsung sejajar dengan kegiatan pembelajaran dan

dapat terjadi berkali-kali selama tahap perencanaan dan implementasi.

Pertanyaan dalam asesmen adalah siapa yang dinilai?, Bagaimana mereka

dinilai?, Apa yang dinilai?, Kapan asesmen berlangsung dalam proses

implementasi kurikulum?, Apa tujuan asesmen? artinya, apa yang akan terjadi

pada kurikulum setelah diadakan asesmen? Dengan kata lain, asesmen

berbentuk pemantauan takresmi yang dilakukan selama proses belajar-mengajar

oleh pengajar dan pemelajar. Penilaian diri oleh pengajar dan pemelajar sangat

disarankan: pemelajar dibuat terampil menilai bahan ajar, kegiatan pemelajaran,

dan capaian tujuan yang telah mereka tetapkan sendiri. Sementara itu, pengajar

harus berani menilai kinerjanya sehingga asesmen menjadi bagian integral baik

dalam penyusunan kurikulum maupun dalam pengembangan pengajar. Setiap

unsur kurikulum dapat dinilai. Pada tahap perencanaan, teknik dan prosedur

analisis kebutuhan dapat dinilai. Selama implementasi, bahan ajar, kegiatan

pemelajaran, penpengajaran, organisasi pemelajaran pemelajar, kinerja

pengajar, dan keberhasilan pemelajar. Dengan kata lain, kurikulum bukanlah

“harga mati” melainkan patokan umum yang fleksibel, dapat dimodifikasi selama

proses pembelajaran. Terakhir, komponen kurikulum yang keenam adalah

evaluasi yang dilakukan pada akhir suatu pembelajaran untuk mengukur capaian

tujuan pembelajaran. Jika terjadi kegagalan, asesmen yang dilakukan selama

perencanaan ataupun pembelajaran dapat menjelaskan penyebabnya. Jadi, ada

kaitan yang erat antara asesmen dan evaluasi. Model Pembelajaran Bahasa

Indonesia sebagai Bahasa Asing. Dengan demikian, prinsip utama pembelajaran

BIPA yang berbasis pemelajar adalah kerja sama karena tanpa itu, pemelajar

akan berperanan secara pasif, yaitu menerima segala sesuatu yang telah

ditetapkan oleh pengelola Program BIPA dan pengajar. Dalam kerja sama ini

semua menjadi pemilik kepentingan yang bernegosiasi sebelum, selama, dan

sesudah pembelajaran. Sebelum pembelajaran, mereka merancang kurikulum

(analisis kebutuhan, profil pemelajar, tujuan, silabus, bahan ajar, waktu, tempat),

selama pelaksanaan proses belajar-mengajar mereka memantau dan

mengevaluasi kinerja pemelajar dan pengajar, bahan ajar, dan, setelah

menyelesaikan satu paket pembelajaran, mereka mengases seluruh kegiatan

dan menentukan tindak lanjut, misalnya pemantauan kinerja mantan pemelajar

dalam berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, penyelenggaraan kegiatan

penyegaran. Berikut ini diagram yang menggambarkan model itu.

Terakhir tugas pengajar akan berubah, yang semula guru tahu segala menjadi fasilitator kerja sama. Memang kerja akan menjadi semakin berat jika pengajar bersikap otoriter karena harus mempertahankan sekuat tenaga pendapatnya sendiri yang belum tentu diterima oleh pemilik kepentingan yang lain. Sebaliknya, pengajar dapat mengambil kesempatan dalam model pembelajaran itu untuk mawas diri, menemukan berbagai hal baru dan melakukan pembaruan berdasarkan hasil penelitian bersama pemelajar, dan pada akhirnya mengembangkan dirinya. Jadi, jelas pengajar tidak bekerja “sendirian”, tetapi melibatkan pemelajar dan, jika perlu, pengelola untuk mengembangkan program BIPA. Penutup Pembelajaran berbasis pemelajar yang berancangan sosial budaya memang tampak idealis untuk tidak mengatakan ambisius, tetapi melihat manfaatnya yang tela terbukti di tempat lain, meskipun dalam konteks anak-anak dan remaja di sekolah