Teknik ajar dan strategi pembelajaran bahasa indonesia sebagai bahasa kedua
-
Upload
andi-sahtiani-jahrir -
Category
Documents
-
view
48 -
download
18
Transcript of Teknik ajar dan strategi pembelajaran bahasa indonesia sebagai bahasa kedua
Bab V Teknik ajar dan Strategi pembelajaran bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua
5.1 Teknik Ajar
TEKNIK PEMBELAJARAN BIPA
Dalam kaitannya dengan teknik pembelajaran BIPA, ada beberapa hal yang dikaji,
yaitu (1) teknik penyampaian materi, (2) teknik menghadapi pelajar, dan (3) teknik
penciptaan suasana belajar. Teknik penyampaian materi dibagi dalam 3 tahap, yakni
teknik membuka pelajaran, teknik menyampaian materi baru, dan teknik menutup
pelajaran.
Ada beberapa teknik yang dilakukan pengajar dalam memulai pelajaran di kelas, di
antaranya adalah (1) memberi salam (greetings), (2) menanyakan keadaan/situasi di
tempat tinggal, (3) menanyakan perasaannya, (4) menanyakan kegiatan yang telah
dilakukannya, (5) menanyakan tentang waktu (tidur, mimpi, bangun, berangkat
sekolah, dsb.), (6) bercerita apa yang telah dilakukan (pengajar), (7) bertanya
dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang telah diberikan hari sebelumnya,
(8) menanyakan sesuatu yang dibawa atau yang ada pada pelajar, (9) merespon
pernyataan/pertanyaan yang sejak awal disampaikan pelajar, (10) menjelaskan hal-
hal apa yang akan dilakukan hari itu atau selanjutnya (periksa Suyitno, 2004: 36).
Teknik-teknik tersebut banyak digunakan pengajar dalam memulai pelajaran di
kelas. Teknik tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana yang akrab dan hangat
sebelum memulai pelajaran. Selain itu, teknik semacam ini dapat dimanfaatkan
untuk melatih pelajar berani berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang dipelajarinya. Dengan demikian, pengajar dapat mengetahui seberapa banyak
kata yang telah dikuasai oleh pelajar, pada masalah apa dia mengalami kesulitan,
hal-hal apa yang perlu diulangi. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari teknik
memulai pelajaran dengan cara seperti ini adalah pengajar dapat memberikan
tambahan kata-kata yang sesuai dengan kebutuhan pelajar saat itu, dan kata-kata
yang demikian inilah yang sebenarnya fungsional bagi pelajar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Richard dan Rodgers (1983) yang menjelaskan bahwa (1) belajar bahasa
terjadi apabila kegiatan itu berlangsung dalam suatu komunikasi yang nyata, (2)
dalam kegiatan komunikasi seperti ini, bahasa nyata-nyata digunakan, dan (3)
penggunaan bahasa yang nyata inilah yang bagi pelajar bermakna atau fungsional.
Teknik yang digunakan oleh pengajar dalam menyajikan materi pada dasarkan
menggunakan teknik celup total. Pengajar berusaha sedapat mungkin tidak
menggunakan bahasa Inggris. Berbagai cara yang digunakan untuk penyajian
materi tersebut diantaranya adalah cara tanya jawab, pelatihan, penugasan,
demonstrasi, pemberian konsultasi baik kelompok maupun individual, tutorial,
penubian (drill), dan koreksi. Cara yang demikian ini dalam penyajian materi baru
dilakukan dalam kegiatan sebagai berikut.
1) Materi yang berupa dialog: (a) pengajar membacakan dialog kemudian pelajar
menirukan (cara ini terutama untuk tingkat pemula, untuk tingkat menengah dan
tingkat lanjut pengajar tidak perlu memberi contoh), (b) pengajar menunjuk beberapa
pelajar untuk membaca teks dialog tersebut, (c) pengajar melatihkan pelafalan kata-
kata secara tepat, (d) pengajar menugasi pelajar secara berpasangan memerankan
apa yang ada dalam teks dialog, (e) pengajar meminta pelajar menutup buku
kemudian merespon pertanyaan/pernyataan pengajar yang diambil dari teks dialog,
(f) pengajar menugasi pelajar melakukan dialog dengan menggunakan kata-kata
bebas sesuai dengan topik yang ada dalam teks dialog yang baru dipelajarinya, (g)
pengajar memberikan kesempatan pada pelajar menanyakan kata-kata sulit yang
ada dalam teks dialog, (h) pengajar meminta pelajar membuat kalimat dengan kata-
kata baru yang ada dalam dialog, dan (i) pengajar menugasi siswa mengerjakan
latihan-latihan baik secara lisan.
2) Materi yang berupa bacaan: (a) pengajar menyampaikan penjelasan awal tentang
isi bacaan (pre-reading), (b) pengajar bertanya-jawab dengan pelajar tentang hal-hal
yang ada dalam bacaan, (c) pengajar menyuruh pelajar membaca bacaan per
paragraf, dan mengecek pemahamannya tentang isinya, (d) pengajar menanyakan
apakah ada kata-kata sulit; dan (e) pengajar menugasi pelajar untuk mengerjakan
latihan-latihan dan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan.
3) Materi yang berupa tatabahasa: materi yang berupa tatabahasa disajikan dalam
bentuk latihan-latihan. Oleh karena itu, pelajar langsung diminta mengerjakan
latihan-latihan tatabahasa. Jika ada kesulitan yang dihadapi oleh pelajar, pengajar
baru menjelaskannya. Penjelasan yang disampaikan oleh pengajar bukan
penjelasan dari segi ilmu bahasa, tapi penjelasan tentang bagaimana seharusnya
kata digunakan dalam berbahasa.
Dalam pelaksanaan teknik celup ini, pengajar berusaha semaksimal mungkin untuk
tidak menggunakan bahasa Inggris kepada pelajar. Demikian juga pelajar,
dianjurkan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jika mereka sekali diberi
kesempatan untuk berbahasa Inggris, maka mereka akan selalu meminta
penjelasan dalam bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan saran Wolff, dkk. (1988)
yang menyarankan bahwa bahwa pengajar BIPA perlu memperhatikan teknik berikut
dalam mengajarkan BIPA, yakni (1) berbicaralah kepada pelajar dengan bahasa
Indonesia, (2) pakailah kata-kata, bentukan-bentukan, kalimat-kalimat dan tata
bahasa yang sudah diketahui pelajar, (3) janganlah memberikan peluang dan
keleluasaan kepada pembelajar untuk berbahasa Inggris, sekalipun mereka belum
bisa menyampaikan maksudnya dengan bahasa Indonesia yang baik, (4)
berbicaralah secara wajar, (5) bila pelajar mengucapkan kalimat yang salah
katakanlah kalimat yang dimaksudkan dengan betul, kemudian suruhlah mereka
mengulanginya, (6) kesalahan yang dilakukan oleh pelajar hendaklah disikapi
sebagai kesalahan bersama, (7) penjelasan tentang kata-kata atau istilah-istilah
hendaknya didasarkan pada aspek sosiosemantis dengan mengefektifkan
penggunaan contoh-contoh, dan (8) apabila pelajar menemui kesulitan dalam
pelatihan (ucapan dan penangkapan) kalimat-kalimat panjang, potong- potonglah
kalimat tersebut dalam satuan-satuan bermakna mulai dari ujung kalimat.
Teknik penyajian materi tidak saja dilakukan di dalam kelas, tapi juga dilakukan di
luar kelas. Teknik yang ditempuh dalam penyajian materi melalui kegiatan di luar
kelas ini di antaranya melalui kegiatan tugas luar (ke bank, ke studio foto, ke pasar),
bertamu, wawancara dengan mahasiswa Indonesia, kunjungan ke tempat-tempat
wisata, melihat benda-benda kerajinan (wayang, keramik, topeng), melihat
pertunjukkan, menyaksikan upacara adat (pernikahan, kemati-an), dan sebagainya.
Cara yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surajaya
(1995) yang mengemukakan bahwa kiat-kiat yang dapat dilakukan dalam
pengajaran BIPA, yakni (1) kiat kuliah, (2) kiat penjelasan dengan contoh benda
budaya, (3) kiat demonstrasi dan partisipasi aktif, (4) kiat peninjauan ke lapangan
atau ekskursi, (5) kiat majalah dinding, (6) kiat tari dan nyanyi, (7) kiat permainan
simulasi, (8) kiat informan penutur asli, (9) kiat video-tape, (10) kiat audio-motor
units, (11) kiat identifi-kasi secara kultural perilaku umum, (12) kiat identifikasi
konotasi kultural, (13) kiat minimalisasi persepsi yang ber-sifat stereotif, dan (14) kiat
memanfaatkan bacaan otentik.
Selain teknik penyajian materi, teknik menghadapi pelajar baik di kelas maupun di
luar kelas perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran BIPA. Hal ini mengingat
bahwa pelajar BIPA adalah bukan pelajar Indonesia, yakni pelajar asing yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan pengajarnya. Beberapa teknik
yang dapat ditempuh dalam menyikapi pelajar BIPA baik di dalam maupun di luar
kelas adalah (1) menunjukkan sikap disiplin terhadap waktu, (2) menunjukkan sikap
tanggung jawab terhadap kerja/tugas, (3) menunjukkan sikap sebagai teman, (4)
menunjukkan sikap yang tahu terhadap masalah bahasa, (5) menunjukkan sikap
sabar dan telaten, (6) menunjukkan sikap terbuka, (7) menunjukkan sikap
bersemangat.
Dalam pembelajaran bahasa di kelas, suasana kelas sangat menentukan
keberhasilan belajar. Suasana kelas perlu diciptakan sekondusif mungkin. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pengajar BIPA dalam menciptakan
suasana kelas agar kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung, yakni (1) dengan
menggunakan humor, (2) mengubah/memberikan materi-materi yang menantang,
(3) memberikan nyanyian, (4) memberikan teka-teki (puzzles), (5) memberikan
kepada pelajar untuk beristirahat sebentar, dan (6) mengajak pelajar pindah ke
tempat lain, misalnya(di luar kelas, di warung kopi, dsb. (periksa Suyitno, 2005).
5.2 Strategi
Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam
komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan:
gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau
pemikiran bahasa, Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam
karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki
rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA)
sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar
jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi
dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap
ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori
bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk
memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa
merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-
anak.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu
yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali
penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata
pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat
(misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah
(seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-
butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa,
bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang
menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam
masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang
memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian
tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada
setiap anak.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara
referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-
anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi
nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa
sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama
secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-
ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama
objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial
efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda.
Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu,
sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul,
bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi,
fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi
imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan,
mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan
pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak
setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan
melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi
personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan
perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan
pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan
daya cipta imajinasi dan gagasan.
Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang
lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang
berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif,
menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling
berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang
berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk
memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua
tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara
mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-
olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa
tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat.
Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia
sekitar 3 tahun.
Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan,
yaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam
pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya
sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama.
Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu,
bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan
bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa
istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional,
bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik.
Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa
pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa
kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang,
yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan
tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa
pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di
lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua
bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara
luas).
Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang
diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan,
oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan,
bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa
asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang
didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan
(khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa)
serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity
(kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan
masuk) ke bahasa.
Istilah prospensity mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan
kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan
hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama
tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama,
maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan
dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf
tertentu.
Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan
komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial
merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika
beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan
bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor
penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi
atau universitas. Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang
mengakibatkan pengaruh negatif.
Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari
integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-
sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan
kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu
berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat
mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam
ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam
jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga
beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif
sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam
atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi
tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.
Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas,
misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik
menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan
dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa
yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada
kegagalan belajar bahasa kedua.
1. model yang pertama adalah model pengajaran BIPA melalui social
budaya.
Pertama, perencanaan awal. Di sini pengajar mengumpulkan data pemelajar
yang bersifat objektif, seperti tingkat kemahiran, usia, latar pendidikan,
pengalaman belajar terdahulu. Data itu digunakan untuk menentukan kebutuhan
objektif pemelajar. Namun, data subjektif juga diperlukan: pilihan rentang waktu
dan intensitas pembelajaran, organisasi belajar yang disukai, tujuan belajar,
metodologi yang disukai, gaya belajar yang disukai. Kedua jenis data ini berguna
untuk mengelompokkan pemelajar. Secara tradisional, pemelajar dikelompokkan
berdasarkan kemampuan yang dikuasainya, namun dalam pembelajaran
berbasis pemelajar, mereka sebaiknya dikelompokkan secara berbeda. Misalnya
berdasarkan kesamaan minat dalam belajar bahasa, pemelajar dapat
dikelompokkan dalam kelas bahasa untuk keperluan teknisi. Namun, berbagai
kemungkinan pengelompokan pemelajar itu sering tidak disadari oleh pengajar,
apalagi ketika kekakuan administrasi mengurangi kemungkinan itu. Data
pemelajar tersebut di atas juga berguna untuk komponen kurikulum yang kedua.
Kedua, yaitu pemilihan dan penahapan isi. Melalui negosiasi dengan
pemelajar akan diperoleh kriteria seleksi yang jelas sehingga tersedia patokan
bagi pemilihan materi ajar (Hall 2002:79 dalam Rahayu) Dengan demikian, tidak
ada jarak antara kehidupan rumah dan kehidupan sekolah, tidak ada jarak antara
orang tua dan pengajar.
Ketiga, negosiasi pengajar dengan pemelajar mengenai metodologi, artinya
pemilihan kegiatan belajar-mengajar. Selama ini pemelajar menyesuaikan diri
dengan kegiatan pembelajaran yang telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan,
padahal belum tentu itu cocok untuk semua.
Keempat, pemantauan selama proses pembelajaran dilakukan oleh pemelajar
dan pengajar. Dengan demikian, pemelajar menyadari komitmennya pada
rencana yang telah disusunnya sendiri. Sementara itu, pengajar sempat
mengikuti langkah demi langkah kelajuan pemelajarnya. Pemantauan bersama
juga berguna untuk menyesuaikan materi ajar dengan motivasi belajar pemelajar.
Dalam tahap pemantauan ini, misalnya, pemelajar bahasa asing dapat
menganalisis rekaman komunikasi mereka dalam bahasa yang mereka pelajari.
Hasilnya berguna untuk menyadarkan mereka, melalui diskusi tentang bahasa
dan penggunaanya, akan pemenuhan kebutuhan yang mereka harapkan.
(Hall 2002: 117) Kelima, asesmen. Dalam pembelajaran tradisional, asesmen
bersinonim dengan pengetesan, pengukuran . Dalam pembelajaran berbasis
pemelajar, asesmen berlangsung sejajar dengan kegiatan pembelajaran dan
dapat terjadi berkali-kali selama tahap perencanaan dan implementasi.
Pertanyaan dalam asesmen adalah siapa yang dinilai?, Bagaimana mereka
dinilai?, Apa yang dinilai?, Kapan asesmen berlangsung dalam proses
implementasi kurikulum?, Apa tujuan asesmen? artinya, apa yang akan terjadi
pada kurikulum setelah diadakan asesmen? Dengan kata lain, asesmen
berbentuk pemantauan takresmi yang dilakukan selama proses belajar-mengajar
oleh pengajar dan pemelajar. Penilaian diri oleh pengajar dan pemelajar sangat
disarankan: pemelajar dibuat terampil menilai bahan ajar, kegiatan pemelajaran,
dan capaian tujuan yang telah mereka tetapkan sendiri. Sementara itu, pengajar
harus berani menilai kinerjanya sehingga asesmen menjadi bagian integral baik
dalam penyusunan kurikulum maupun dalam pengembangan pengajar. Setiap
unsur kurikulum dapat dinilai. Pada tahap perencanaan, teknik dan prosedur
analisis kebutuhan dapat dinilai. Selama implementasi, bahan ajar, kegiatan
pemelajaran, penpengajaran, organisasi pemelajaran pemelajar, kinerja
pengajar, dan keberhasilan pemelajar. Dengan kata lain, kurikulum bukanlah
“harga mati” melainkan patokan umum yang fleksibel, dapat dimodifikasi selama
proses pembelajaran. Terakhir, komponen kurikulum yang keenam adalah
evaluasi yang dilakukan pada akhir suatu pembelajaran untuk mengukur capaian
tujuan pembelajaran. Jika terjadi kegagalan, asesmen yang dilakukan selama
perencanaan ataupun pembelajaran dapat menjelaskan penyebabnya. Jadi, ada
kaitan yang erat antara asesmen dan evaluasi. Model Pembelajaran Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Asing. Dengan demikian, prinsip utama pembelajaran
BIPA yang berbasis pemelajar adalah kerja sama karena tanpa itu, pemelajar
akan berperanan secara pasif, yaitu menerima segala sesuatu yang telah
ditetapkan oleh pengelola Program BIPA dan pengajar. Dalam kerja sama ini
semua menjadi pemilik kepentingan yang bernegosiasi sebelum, selama, dan
sesudah pembelajaran. Sebelum pembelajaran, mereka merancang kurikulum
(analisis kebutuhan, profil pemelajar, tujuan, silabus, bahan ajar, waktu, tempat),
selama pelaksanaan proses belajar-mengajar mereka memantau dan
mengevaluasi kinerja pemelajar dan pengajar, bahan ajar, dan, setelah
menyelesaikan satu paket pembelajaran, mereka mengases seluruh kegiatan
dan menentukan tindak lanjut, misalnya pemantauan kinerja mantan pemelajar
dalam berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, penyelenggaraan kegiatan
penyegaran. Berikut ini diagram yang menggambarkan model itu.
Terakhir tugas pengajar akan berubah, yang semula guru tahu segala menjadi fasilitator kerja sama. Memang kerja akan menjadi semakin berat jika pengajar bersikap otoriter karena harus mempertahankan sekuat tenaga pendapatnya sendiri yang belum tentu diterima oleh pemilik kepentingan yang lain. Sebaliknya, pengajar dapat mengambil kesempatan dalam model pembelajaran itu untuk mawas diri, menemukan berbagai hal baru dan melakukan pembaruan berdasarkan hasil penelitian bersama pemelajar, dan pada akhirnya mengembangkan dirinya. Jadi, jelas pengajar tidak bekerja “sendirian”, tetapi melibatkan pemelajar dan, jika perlu, pengelola untuk mengembangkan program BIPA. Penutup Pembelajaran berbasis pemelajar yang berancangan sosial budaya memang tampak idealis untuk tidak mengatakan ambisius, tetapi melihat manfaatnya yang tela terbukti di tempat lain, meskipun dalam konteks anak-anak dan remaja di sekolah