tbcyfygy

58
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) II.1.1 Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk Dalam laporan tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan

description

ghghvtvy

Transcript of tbcyfygy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru)II.1.1 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendudukDalam laporan tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.

Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidens TB secra global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberculosis di Seluruh Dunia

II.1.2 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang dekat seperti M. bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem pernapasan, sistem genitourinaria, tulang, persendian, bahkan kulit.1II.1.3 EtiologiA. Morfologi dan Struktur BakteriMycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asamalkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.9

B. Biomolekuler

Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.

Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.

Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.9

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) antara lain adalah sebagai berikut :

Berbentuk batang dengan panjang 1 10 mikron, lebar 0,2 0,6 mikron

Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen

Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa

Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop

Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4C sampai minus 70C

Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet

Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit

Dalam dahak pada suhu antara 30 - 37C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu

Kuman dapat bersifat dormant (tidur / tidak berkembang)

II.1.4 Patogenesis

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya9

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

II.1.4.a Cara Penularan TB

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negative tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena kuman yang terkandung dalam contoh uji dari 5.000 kuman/cc dahak, sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.

Pasien TB dengan BTA negative juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negative dengan hasil kultur positif adalah 26%, sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negative dan foto toraks positif adalah 17%.

Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang terinfeksius tersebut.

Pada waktu dahak atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

II.1.4.b Perjalanan Alamiah TB pada Manusia

Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat dalam table berikut :

Gambar 5. Perjalanan Alamiah TB

II.2 Upaya Pengendalian TB

II.2.1 DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an World Health Organization (WHO) dan International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:

1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.

2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

3) Pengobatan yang standar, dengan supervise dan dukungan bagi pasien

4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.

5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

II.2.2 International Standard For Tuberculosis CareInternational Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.

International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar untuk diagnosis , 9 stndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :

1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis

2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari

3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi

4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi

5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.Tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.

6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal daribatuk, bilasan lambung atau induksi sputum.

7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.

8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin, Pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternative untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.

9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan

10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)

11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien

12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.

13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.

14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten danprevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, Rifampisin dan etambutol.

15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.

16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif

17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

II.3 Diagnosis

A. Penemuan Pasien Tuberkulosis

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh, sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

1. Strategi Penemuan

Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

- Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB (pasien HIV).

- Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi

terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.

- Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.

-Kontak erat dengan pasien TB (misalnya: keluarga pasien dengan TB positif). Penemuan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium dan radiologi:

Anamnesis:

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka semua orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala batuk produktif 2 minggu atau lebih yang tidak dapat dijelaskan sebaiknya dievaluasi untuk TB.standar 1 ISTC Pemeriksaan Fisik :Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun, dan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia. Pada tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Pemeriksaan Laboratorium :Tes tuberkulin/PPD yang paling sering digunakan adalah tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purifed Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength). Pada pemeriksaan darah saat tuberkulosis baru mulai (aktif) ditemukan jumlah leukosit sedikit meninggi, limfosit dibawah normal, dan peningkatan laju endap darah. Pada pemeriksaan dahak mikroskopis langsung, berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Dengan mengirimkan 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), bila mungkin diperoleh 2 spesimen dahak untuk pemeriksaan miroskopis ke laboratorium yang terjamin kualitasnya atau diperoleh paling sedikit satu spesimen pagi karena memiliki hasil yang terbaik.standar 2 dan 4 ISTCa. S (Sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.b. P (Pagi): dahak ditampung dirumah pada hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

c.S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan biakan sangat berperan dalam mengidentifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: 1) Pasien TB yang masuk tipe pasien kronis, 2) Pasien TB ekstra paru dan pasien TB anak, dan 3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. - Pemeriksaan radiologi

Rontgen dada merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan evaluasi tuberkulosis. Akan tetapi, tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

3. Bayangan bercak milier.

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

1. Fibrotik

2. Kalsifikasi

3. Schwarte atau penebalan pleura

B. Diagnosis Tuberkulosis pada Orang Dewasa

1. Diagnosis TB paru

Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB. Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spectrum luas (Non OAT dan Non Kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan uji tuberkulin.Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:

Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu), bila mungkin diperoleh 2 spesimen dahak untuk pemeriksaan miroskopis ke laboratorium yang terjamin kualitasnya atau diperoleh paling sedikit satu spesimen pagi karena memiliki hasil yang terbaik.standar 2 dan 4 ISTC Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.2. Diagnosis TB ekstra paru:

Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena. Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa

(tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)

(Dimodifikasi dari: Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)

Catatan :1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat merugikan pasien serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan memberikan pengobatan berdasarkan pada:

a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB.

b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada

Meningitis TB, TB miler, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb.

c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan

persetujuan tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed

cosent).

2.Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan resiko penularan.

C. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud:

1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat

2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat

3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB

4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan.

5. Analisis kohort hasil pengobatan

6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam maupun antar kabupaten/ kota, provinsi, nasional dan global.

Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB.

1. Definisi Pasien TB:

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:

Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif

c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.

e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.

b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi pasien TB

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut :

a. Lokasi anatomi dari penyakit

b. Riwayat pengobatan sebelumnya

c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru:

Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.

Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

Tuberkulosis ekstra paru:

Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.

Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari 28 dosis)

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:

Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir

Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat/ default).

lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

Poli resistan(TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

II.4. Pengobatan Pasien TBII.4.1. Tujuan Pengobatan TB:

a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup

b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB

d. Menurunkan penularan TB

e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

II.4.2. Prinsip Pengobatan TB:

Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.

Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.

Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

Diberikan dalam dosis yang tepat

Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

II.4.3. Tahapan Pengobatan TB:

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud:

Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulanpada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

Tahap lanjutan: Pengobatan Tahap lanjutanmerupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

II.4.4 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a. Pasien baru TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru terdiagnosis bakteriologis

c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 1. Kisaran dosis OAT Lini Pertama bagi Pasien Dewasa

ObatDosis (mg/kgBB/Hari)Dosis yang dianjurkanDosis MaksimumDosis (mg) / BB (kg)

Harian (mg/kgBB/Hari)Intermitten (mg/kgBB/Hari)< 4040-60> 60

R8-121010600300450600

H4-6510300150300450

Z20-30253575010001500

E15-20153075010001500

S15-1815151000Sesuai BB7501000

Catatan:

Pemberian Streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan berat badan 1, tidak nyeri

Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falangAda pembengkakan

Foto toraksNormal/ tidak jelasKesan TB

Jumlah

Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TBAlgoritma Tatalaksana TB Anak

Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)

Evaluasi 2 bulan terapi

II.5.1 Penegakan Diagnosis

a. Diagnosis dengan sistem skoringitegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbats dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.

b.Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13).

c. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberculin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.d.Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak BTA (+) atau uji tuberculin dengan ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai pasien TB Anak.

e.Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada faskes yang tidak tersedia uji tuberculin, maka dapat didiagnosis, diterapidan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

f. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

g.Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.

h. Semua bayi dengan reaksi cepat ( 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasaKeterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid

Bayi dibawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan berat badan ideal (sesuai umur).Tabel berat badan berdasarkan umur dapat dilihat dilampiran

OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus). Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable). Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan. Apabila Oat lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.II.5.4 Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan table berikut:

Keterangan:

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan. Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka pemberian INH dapat dihentikan.

Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah PP-INH selesai diberikan.

II.6 Resisten Ganda (Multi Drug Resistance)II.6.1 DefinisiResistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.

2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.

3.Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

Laporan pertama tentang resistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

4. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik

5. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

6. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan

7. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

8. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

II.6.2 Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)

Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam

2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon

3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Batuk Berdahak 2mg

Pemeriksaan klinis , SPS

( + + + )

( - + + )

( - - + )

Rujuk ke faskes Rujukan Tingkat Lanjut

(- - -)

Foto toraks mendukung TB, pertimbangan dokter

Foto toraks tidak mendukung TB, pertimbangan dokter

Tidak bisa dirujuk

Terapi AB non OAT

Perbaikan

Tidak ada perbaikan

Pmrks, klinis ulang, SPS

BUKAN TB

Hari 7-14

(- - -)

BUKAN TB

Pemeriksaan tes Cepat/Biakan

M.tb

Observasi

Rujuk ke Faskes Rujukan TBMDR

HIV (+)

KOLABORASI KEGIATAN TB HIV

Pengobatan TB sesuai pedoman nasional

TB

M.tb (+) Rif. resistan

TIPK

M.tb (+) Rif. Sensitif

( + + +)

( - + + )

( - + - )

Anak 0 - 14 th

TB ANAK

Infeksi laten TB

Evaluasi, rujuk bila perlu

Lanjutkan terapi

PP INH

HIV neg

Tidak ada perbaikan

Perbaikan

Bukan TB

Pertimbangan dokter (**)

Skor < 6

Skor > 6

Skor = 6

Didapat dari paremeter uji tuberkulin (+) dan kontak; tanpa gejala klinis lain

Didapat dari paremeter uji tuberkulin (+) atau kontak dengan gejala klinis lain

Umur < 5

Umur 5

Suspek TB Anak

Sistem Skoring

PP INH

Observasi

HIV pos

Keterangan :

(*)Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring

(**)Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan skor 5yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin