Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

16
1 Tauhid dan Ilmu: Relasi dan Implikasi Anton Ismunanto* Tidak mungkin ada peradaban di dunia tanpa keyakinan dasar (basic belief) 1 . Sebaliknya, setiap peradaban di muka bumi ini pasti memiliki keyakinan dasarnya masing- masing. Berbagai keyakinan dasar yang dimiliki satu peradaban tersebut kemudian berakumulasi menjadi pandangan dunia (worldview) 2 . Sedangkan worldview inilah yang menjadi cara setiap orang memahami kehidupan, serta menjadi asas bagi setiap kegiatannya 3 . Berbagai persoalan dan kegiatan yang difahami dan didasarkan pada prisma pandangan hidup tersebut mencakup masalah apapun, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Termasuk di dalamnya adalah pandangan dan kegiatan yang bersifat keilmuan, meliputi pemahaman akan makna ilmu, penentuan objek-objek kajiannya, serta pemilihan cara mencapai ilmu tersebut. Islam yang merupakan sebuah peradaban memiliki basic belief-nya yang khas, disebut dengan tauhîd 4 . Tauhid adalah keyakinan mengenai Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang tidak beroknum dan bersekutu 5 , yang merupakan sumber segala suatu dan karenanya paling layak dan berhak untuk diagungkan. Keyakinan demikian berkembang menjadi prisma pandangan hidup tauhîdî yang melihat kehidupan dalam prinsip-prinsip kesatuan. Dari pandangan hidup tauhidi ini, konsep ilmu yang secara alamiah tumbuh dan matang dalam Islam dicirikan dengan keterhubungan dengan Tuhan, memperhatikan aspek materi-ruh dan dunia-akhirat, serta menerima adanya satu nilai yang final bersandar pada wahyu. Masalahnya, ketika hari ini peradaban Islam berada dalam posisi terhegemoni peradaban Barat, ilmu yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam didominasi oleh ilmu yang dikembangkan oleh peradaban Barat tersebut 6 . Padahal, Barat memiliki keyakinan dasar yang menafikan Tuhan (ateis) 7 yang kemudian mengkristal menjadi pandangan hidup sekular (secular worldview) dengan ciri meniadakan unsur-unsur keanggunan pada alam semesta (disenchantment of nature), menidaksakralan politik (desacralization of politics), serta menafikan finalitas nilai (deconcecration of values) 8 . Hal tersebut bukanlah persoalan sederhana karena pada gilirannya pandangan hidup dari anak- anak peradaban Islam yang keyakinannya tauhid menjadi tersekularkan. Sehingga dalam konsep keilmuan dan sistem berfikirnya, iman tidak berhubungan dengan ilmu, alam semesta 1 Pendapat tersebut diajukan oleh Sayyid Qutb dan Muhammad Abduh. Silahkan lihat penjelasan Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 10-11. 2 Lihat definisi Thomas Wall yang mengatakan bahwa worldview adalah, “an integrated system of basic beliefs..” dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, h. 12. 3 Lihat pernyataan Ninian Smart dan Alparslan Acikgenc dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, h. 12- 13. 4 Lihat pada bagian ‘Muqaddimah’ dari karya Imam Subakir Ahmad, al-Tauhîd fî al-Islâm, (Ponorogo: DUP, 2008), 1-4; juga Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), 16. 5 Lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyah, 2005), 1016. 6 Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 133. 7 Lihat pernyataan Alain Finkielkraut, ”what they called god was no longer the supreme being, but cullective reason..” dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 9. 8 Silahkan lihat penjelasan yang cukup panjang lebar dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 196-200.

description

Islam, Agama, Pendidikan

Transcript of Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

Page 1: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

1

Tauhid dan Ilmu: Relasi dan Implikasi

Anton Ismunanto*

Tidak mungkin ada peradaban di dunia tanpa keyakinan dasar (basic belief)1.

Sebaliknya, setiap peradaban di muka bumi ini pasti memiliki keyakinan dasarnya masing-

masing. Berbagai keyakinan dasar yang dimiliki satu peradaban tersebut kemudian

berakumulasi menjadi pandangan dunia (worldview)2. Sedangkan worldview inilah yang

menjadi cara setiap orang memahami kehidupan, serta menjadi asas bagi setiap kegiatannya3.

Berbagai persoalan dan kegiatan yang difahami dan didasarkan pada prisma pandangan hidup

tersebut mencakup masalah apapun, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.

Termasuk di dalamnya adalah pandangan dan kegiatan yang bersifat keilmuan, meliputi

pemahaman akan makna ilmu, penentuan objek-objek kajiannya, serta pemilihan cara

mencapai ilmu tersebut.

Islam yang merupakan sebuah peradaban memiliki basic belief-nya yang khas,

disebut dengan tauhîd4. Tauhid adalah keyakinan mengenai Allah sebagai satu-satunya

Tuhan yang tidak beroknum dan bersekutu5, yang merupakan sumber segala suatu dan

karenanya paling layak dan berhak untuk diagungkan. Keyakinan demikian berkembang

menjadi prisma pandangan hidup tauhîdî yang melihat kehidupan dalam prinsip-prinsip

kesatuan. Dari pandangan hidup tauhidi ini, konsep ilmu yang secara alamiah tumbuh dan

matang dalam Islam dicirikan dengan keterhubungan dengan Tuhan, memperhatikan aspek

materi-ruh dan dunia-akhirat, serta menerima adanya satu nilai yang final bersandar pada

wahyu.

Masalahnya, ketika hari ini peradaban Islam berada dalam posisi terhegemoni

peradaban Barat, ilmu yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam didominasi

oleh ilmu yang dikembangkan oleh peradaban Barat tersebut6. Padahal, Barat memiliki

keyakinan dasar yang menafikan Tuhan (ateis)7 yang kemudian mengkristal menjadi

pandangan hidup sekular (secular worldview) dengan ciri meniadakan unsur-unsur

keanggunan pada alam semesta (disenchantment of nature), menidaksakralan politik

(desacralization of politics), serta menafikan finalitas nilai (deconcecration of values)8. Hal

tersebut bukanlah persoalan sederhana karena pada gilirannya pandangan hidup dari anak-

anak peradaban Islam yang keyakinannya tauhid menjadi tersekularkan. Sehingga dalam

konsep keilmuan dan sistem berfikirnya, iman tidak berhubungan dengan ilmu, alam semesta

1 Pendapat tersebut diajukan oleh Sayyid Qutb dan Muhammad Abduh. Silahkan lihat penjelasan Hamid Fahmy

Zarkasyi, Peradaban Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 10-11. 2 Lihat definisi Thomas Wall yang mengatakan bahwa worldview adalah, “an integrated system of basic

beliefs..” dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, h. 12. 3 Lihat pernyataan Ninian Smart dan Alparslan Acikgenc dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, h. 12-

13. 4 Lihat pada bagian ‘Muqaddimah’ dari karya Imam Subakir Ahmad, al-Tauhîd fî al-Islâm, (Ponorogo: DUP,

2008), 1-4; juga Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), 16. 5 Lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyah, 2005),

1016. 6 Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekularism, (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1993), h. 133. 7 Lihat pernyataan Alain Finkielkraut, ”what they called god was no longer the supreme being, but cullective

reason..” dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 9. 8 Silahkan lihat penjelasan yang cukup panjang lebar dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk

Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 196-200.

Page 2: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

2

sepenuhnya material, menolak keberadaan alam metafisik, menyandarkan kebenaran pada

alam empiris dan rasio, mempertentangkan sifat subyektif-obyektif ataupun rasionalisme-

empirisme pada ilmu, dan sebagainya. Maka bukan hal yang mengagetkan jika muncul

pernyataan-pernyataan seperti: “Tuhan kan mutlak, manusia yang relatif tidak mungkin bisa

mencapainya”, “jika mengkaji persoalan demikian, lepaskan dulu imannya”, “yang tidak

rasional dan tidak ada bukti fisiknya tidak bisa dinyatakan benar”, dan sebagainya.

Berangkat dari hal itu, tulisan ini akan menunjukkan mengenai relasi dan implikasi

tauhid terhadap ilmu dari tiga segi. Pertama, bahwa tauhid sebagai keyakinan dasar dalam

Islam bukanlah keyakinan an sich. Lebih dari itu, tauhid sebagai asas iman berkaitan erat

dengan ilmu, sehingga pada titik tertentu, iman adalah ilmu itu sendiri. Kedua, hal itu

berimplikasi terhadap kebermacaman objek yang bisa dikaji sebagai ilmu. Ketiga, selanjutnya

mengenai proses mengilmui (mengetahui) menurut pandangan tauhid.

Iman dan Ilmu

Seseorang memasuki gerbang tauhid dengan mengucapkan „lâ ilâh illa Allâh’.

Kalimat lâ ilâh illa Allâh disebut juga dengan kalimat syahadat (syahâdah). Syahadat atau

sering diartikan sebagai „persaksian‟ memiliki makna „mengungkapkan dan mengabarkan

apa yang ada di dalam hati‟. Penggunaan kata syahadat atau persaksian menunjukkan makna

„melihat dengan mata‟9. Kata tersebut digunakan bukan tanpa alasan yang kuat, yaitu, meski

manusia di dunia tidak bisa melihat Allah, akan tetapi di alam ruh dia telah melihat Allah dan

bersaksi atas ketuhanan-Nya10

, dan nantinya ia akan melihat Allah lagi di akhirat ketika

mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Allah. Kondisi ini berkaitan erat dengan ikrar

lain seorang muslim yang dikenal sebagai kalimat ‘tarjî’`, inna lillâh wa inna ilihi râji’ûn

(sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).

Karena manusia di dunia tidak bisa melihat Allah dengan matanya, maka syahadat

dan persaksiannya tersebut bisa menjadi sah jika memenuhi tujuh syarat11

. Pertama, al-‘ilm,

yaitu orang mengetahui dan mengilmui makna dari apa yang dipersaksikannya. Kedua, al-

yaqîn, yaitu orang tidak memiliki keraguan sedikitpun dengan apa yang diketahui dan

dipersaksikannya. Ketiga, al-qabûl, yaitu orang menerima dengan hati dan lisannya,

konsekuensi dari persaksiannya tersebut. Keempat, al-inqiyâd, yaitu tunduk patuh terhadap

apa yang terkandung dalam persaksian tersebut. Kelima, al-shidq atau seseorang

mengungkapkan persaksiannya dengan kejujuran, bukan karena suatu kepentingan, serta

bukan kebohongan atau kepura-puraan. Keenam, al-ikhlâsh, yaitu memurnikan niat dan

orientasi segala perbuatan baik demi Allah, serta menjernihkannya dari syirik. Ketujuh, al-

mahabbah, yaitu mencintai kalimat tersebut beserta tuntutan dan kandungannya. Jika gugur

salah satu saja dari ketujuh syarat tersebut, maka gugur atau batal-lah syahadat dan tauhid

seseorang.

Syarat pertama dari tujuh syarat yang disebutkan di atas adalah ilmu. Hal itu

menunjukkan bahwa ilmu adalah syarat yang paling asasi sebelum syarat yang lainnya.

Secara sederhana, bisa disimpulkan bahwa relasi tauhid sebagai inti iman dalam Islam

dengan ilmu sangat mendasar. Bahkan pemahaman atas kedudukan ilmu terhadap tauhid bisa

9 Silakan lihat Muhammad al-Shâlih al-‘Utsaimîn, Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithiyah, jil. 1 (Arab Saudi: Dâr Ibn al-

Jauzî, 2001), 43. 10

Silakan lihat QS al-A’râf [7]:172, mengenai perjanjian azali manusia dengan Allah. 11

Ini merupakan pembahasan yang sangat penting dalam kaitannya dengan akidah Islam. ini juga memiliki ikatan erat dengan pembahasan mengenai loyalitas dan anti-loyalitas seorang muslim. Silakan lihat Muhammad Sa’îd al-Qahthanî, al-Walâ` wa al-Barâ` fî al-Islâm, (Riyadh: Dâr al-Thayibah, 2003), 28-39.

Page 3: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

3

digeser: bahwa tauhid seseorang tidak sah, atau tidak mungkin ada, tanpa adanya ilmu.

Sebagai misal, seseorang tidak akan merasakan kasih sayang Allah jika tidak memiliki ilmu

mengenai sifat Allah yang Maha Penyayang. Begitupun dia tidak akan merasakan takut

kepada Allah jika tidak mengilmui bahwa Allah Maha Membalas perbuatan (buruk) hamba.

„Abdurrahman al-Sa‟dî dalam tafsirnya mengatakan, “Iman tidak mungkin ada tanpa adanya

ilmu, karena ilmu adalah cabang dari iman, dan iman tidak mungkin sempurna tanpa adanya

ilmu.”12

Pernyataan al-Sa‟dî tersebut bukan hanya ungkapan pribadinya, akan tetapi

merefleksikan pendapat umum di kalangan ulama Islam sepanjang sejarah, sejak dulu hingga

kini.

Relasi tauhid sebagai sistem keyakinan seorang muslim dengan ilmu tidak lepas dari

hakikat dasar ilmu dalam diri manusia. Dalam tradisi keilmuan Islam, telah dikenal bahwa

ilmu bukan sekedar informasi dan fakta13

. Lebih jauh, ilmu berkaitan erat dengan keyakinan

(al-yaqîn) dan kepastian (certainty)14

. Sedangkan letak keyakinan tentulah pada bagian dalam

diri manusia yang disebut dengan hati (qalb). Selain itu, seperti diketahui, ilmu merupakan

hasil kerja akal manusia. Akan tetapi akal menurut al-Qur`an bukanlah sekedar rasio. Lebih

dari itu, akal berkaitan dengan intuisi atau hati manusia (al-qalb)15

, sebagaimana disebutkan

dalam Al-Qur`an bahwa kerja berfikir (ta’aqqul) dan memahami (tafahhum) terjadi dalam

qalb tersebut. Konsekuensinya, produk keilmuan apapun yang dihasilkan akal, akan ada

hubungan saling pengaruh dengan struktur keyakinan dalam hatinya. Mengilmui sesuatu

berkonsekuensi mengimani hal tersebut. Kedua argumen barusan menguatkan kesimpulan

bahwa tauhid yang terletak dalam hati seseorang, berkaitan erat dengan ilmu yang

dimiliknya.

Syahadat tauhid yang diucapkan seseorang selanjutnya berimplikasi terhadap

penegasan bahwa ilmu bisa dicapai manusia, dan manusia bisa mengilmuinya, seperti

dinyatakan oleh al-Faruqi16

. Seperti diketahui, syahadat tauhid yang merupakan gerbang

masuk kepada Islam adalah persaksian mengenai Tuhan sebagai Realitas dan Kebenaran

tertinggi (al-Haqq)17

, dengan sifat-Nya paling esensial, yaitu Yang Tunggal (al-Ahad)18

.

12

Beliau mengatakan: به إال يتم ال عنه فرع ألنه بالعلم إال اإليمان يكون ال

Silakan lihat ‘Abdurrahmân al-Sa’dî, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân,(Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2002), h. 934.

13 Meskipun ilmu dibangun di atas informasi dan fakta, akan tetapi ilmu tidak sebatas informasi dan fakta

tersebut. Apa yang terjadi hari ini sejatinya bukanlah ledakan ilmu, melainkan ledakan informasi. Penjelasan lebih lanjut silakan lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan, (Singapura: Pustaka Nasional, 2007), h. 34.

14 Menurut Syamsuddin Arif, Plato memahami ilmu sebagai keyakinan terhadap kebenaran. Sedangkan

menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, al-Qur`an sendiri sangat menekankan relasi ilmu dengan kebenaran dan keyakinan (al-haqq dan al-yaqîn). Lebih lanjut silahkan merujuk ke Syamsuddin Arif, Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: GIP, 2013), h. 77; juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 67; juga Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî`s Concept of Causality, (Malaysia: IIUM Press, 2010), h. 174 – 179.

15 QS al-Hajj [22]:46 aslinya berbunyi :

ي ع قلونباق لوبلم Sedangkan QS al-A’râf [7]: 179 berbunyi:

قهونبا ي ف لم ق لوبلا16

Silahkan lihat penjelasan al-Faruqi dalam Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, h. 44. 17

Silahkan lihat misalnya dalam QS al-Hajj [22]:62. Ayat tersebut berbunyi,

عونمندونوىوال باطلوأنااللا مايد وأنا ق لكبأنااللاوىوال ال كبيذ وىوال علي

Page 4: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

4

Secara logis, tentunya sebuah persaksian bisa dinyatakan absah jika saksi memiliki ilmu atas

apa yang dipersaksikannya. Jika ilmu sebagai syarat absen dari persaksian, maka pernyataan

saksi tersebut menjadi tidak bermakna, meski diulang hingga ribuan kali. Namun argumen

nalar (aqlî) tersebut rupanya tidak berdiri sendiri, melainkan dibarengi dengan argumen

tekstual (naqlî). Dalam al-Qur`an, terdapat perintah Tuhan bagi manusia untuk mengilmui

bahwasanya tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia19

. Sebagaimana umumnya,

bahwa sebuah perintah memberikan makna kewajiban. Dengan demikian ayat tersebut

menunjukkan bahwa mengilmui ketunggalan Allah bersifat wajib bagi manusia.

Ayat yang berisi perintah Tuhan untuk mengilmui diri-Nya tersebut adalah QS

Muhammad [47]:19 sebagai berikut:

والله ي علم مت قلبكم ومث واكم فاعلم أنه ل إله إل الله واست غفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan

mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan

perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.

Dalam ayat tersebut paling tidak terdapat tiga bagian. Yang pertama adalah Tuhan sebagai

pemberi perintah. Sebagai pemberi perintah Ia adalah Eksistensi Absolut (al-Wâjib al-

Wujûd)20

, Realitas sekaligus Kebenaran Mutlak21

(al-Haqq), Yang Maha Memiliki ilmu (al-

‘Alîm)22

, Yang Maha Kuasa (al-Qadîr)23

, serta Yang Mengajari manusia (al-Mu’allim)24

.

Yang kedua adalah manusia. Manusia adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan.

Sebagai ciptaan, maka realitasnya bersifat nisbi (al-mumkin al-wujûd) jika dibandingkan

Tuhan sebagai Realitas Absolut. Oleh karena itu pula, ia diliputi berbagai keterbatasan dan

kebergantungan kepada Tuhan. Sedangkan yang ketiga adalah perintah untuk mengilmui

salah satu sifat esensial Tuhan, yaitu ketunggalan. Adapun yang disebut ilmu adalah

mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dengan penuh kemantapan25

. Jadi, hubungan Tuhan

18

Sifat Tuhan ini disebutkan dalam surat yang paling tinggi nilainya dalam masalah tauhid, yaitu surat al-Ikhlâsh. Bunyi ayat tersebut adalah:

قل ىواللاوأحدAdapun ayat selanjutnya, yaitu ayat 2 hingga ayat 4, seluruhya menegaskan mengenai ketunggalan Allah. Lebih jelas silahkan lihat al-Ikhlâsh [112]:1.

19 Silahkan lihat QS Muhammad [47]:19 yang berbunyi,

اللاو فاع لم أناولإلوإلا20

Istilah al-Wâjib al-Wujûd (Yang Keberadaannya bersifat senantiasa aktual) biasa dipakai oleh filosof Islam maupun ahli kalam untuk menyifati status ontologis Tuhan. Diperbandingkan dengan alam semesta atau makhluk, termasuk di dalamnya manusia, yang disebut al-mumkin al-wujûd (yang keberadaannya bersifat potensial), sebagai zat yang sangat bergantung pada Tuhan. Untuk lebih jelas silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 32-33.

21 Istilah ini dipakai oleh Nasr untuk menerjemahkan kata al-Haqq. Silahkan lihat Seyyed Hossein Nasr, The

Garden of Truth, (New York: Harper One, 2007), h. 30. Bandingkan dengan terjemahannya, Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2010), h. 45.

22 Disebutkan bahwa Tuhan Maha mengetahui segala sesuatu, seperti dalam QS al-Hadîd [57]:3 yang berbunyi,

ءعليم وىوبكلشي 23

Disebutkan bahwa Tuhan Maha berkuasa atas segala suatu, seperti dalam QS Hûd [11]: 4 yang berbunyi,

ءقدير كلشي وىوعلى24

Dalam al-Qur`an, Tuhan disebutkan mengajarkan banyak hal kepada manusia, baik itu mengajarkan nama-nama (al-asmâ`) dalam QS al-Baqarah [2]:31, mengajarkan al-Qur`an dan bayân dalam QS al-Rahmân [55]:2&4, ataupun mengajari manusia mengenai persoalan secara umum dengan perantaraan al-qalamseperti disebutkan dalam QS al-‘Alaq [96]:4-5.

25 Aslinya adalah:

Page 5: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

5

sebagai Pemberi perintah manusia untuk mengilmui Diri-Nya, sekaligus sebagai objek ilmu

tersebut, dengan manusia sebagai penerima perintah, telah disebutkan dalam al-Qur`an.

Ketiga bagian tersebut menguatkan keyakinan dan asumsi dasar keilmuan mengenai

persoalan bahwa kebenaran bisa diketahui, serta manusia bisa mencapainya. Argumentasinya

sebagai berikut: Dimulai dari fakta bahwa Tuhan memberikan perintah-Nya. Sebagai suatu

perintah, tidak mungkin jika berada di luar kemampuan manusia, sebagaimana Tuhan sendiri

katakan dalam al-Qur`an26

. Jika demikian, maka perintah untuk mencapai ilmu mengenai

Tuhan, secara khusus mengenai ketunggalan-Nya (wahdâniyyah), adalah sesuatu yang

mungkin (posible). Meskipun Tuhan sebagai Realitas Absolut dan Kebenaran Puncak,

sedangkan manusia adalah makluk nisbi yang serba terbatas. Hal itu tidak lepas dari kuasa

Tuhan untuk membuat skenario demikian; yaitu untuk membuat diri-Nya diketahui, dan Ia

suka untuk dikenal27

, termasuk untuk membuat manusia yang nisbi tersebut mampu untuk

mencapai-Nya. Karena jika Allah tidak mampu untuk menjadikan diri-Nya diketahui,

ataupun membuat manusia ciptaan-Nya mampu untuk mengetahui diri-Nya, maka sama

dengan menganggap Tuhan tidak Maha Kuasa. Itu berarti pula bahwa perintah tersebut tidak

bermakna sama sekali karena menyangkut sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.

Ketika Tuhan sebagai Kebenaran dan Realitas Absolut saja bisa diilmui atau diketahui, maka

hal lainnya, yaitu berbagai ciptaan-Nya, yang memiliki tingkatan eksistensi yang lebih

rendah, seperti akan dijelaskan kemudian, tentunya pula lebih mampu untuk diketahui.

Menurut Islam, manusia bisa mengilmui Tuhan dalam banyak cara. Cara ini jangan

dibaca sebagai keberagaman saja, namun juga kebertingkatan validitas. Dimulai dengan cara

yang paling dangkal, yaitu mengindera. Dengan inderanya, manusia bisa mengilmui jejak,

simbol, tanda dan ayat Tuhan yang terhampar di alam semesta28

. Selain inderanya, manusia

bisa „mengikat‟ hubungan organis antara alam semesta sebagai ayat dengan Tuhan sebagai

pencipta dengan akalnya29

. Ungkapan dalam al-Qur`an mengenai berfikir (nadlara30

dan

tafakkara31

) tidak hanya berkaitan dengan mengilmui alam semesta sebagai objek, namun

إدراكالشيءعلىماىوعليوإدراكاجازماSilahkan lihat Muhammad al-Shâlih al-‘Utsaimîn, Syarh al-Ushûl al-Tsalâtsah, h. 18. Bandingkan juga dengan pengertian al-Baqillânî yang dikutip dalam Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 1.

26 Silahkan lihat QS al-Baqarah [2]: 286 yang berbunyi,

عها وس ساإلا ليكلفاللاون ف 27

Merujuk kepada perkataan kaum sufi, yang seringkali dinyatakan sebagai hadis:

كنزاخمفيا فأحببتأنأعرففخلقتاخللقلكيأعرفكنت Lebih lengkap silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 71; lihat juga SMN al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 113.

28 Silahkan lihat QS al-Najm [53]:18 yang berbunyi,

آياتربوال كب رى من رأى لقد 29

Hal ini berangkat dari makna alamiah kata akal yang dalam bahasa arab adalah ‘aql. Akal berasal dari kata kerja ‘aqala-ya’qilu yang berarti mengikat. Makna kata mengikat ini sangat luas, termasuk mengikat objek ilmu dengan Penciptanya. Silahkan lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, h. 616-617.

30 Silakan lihat QS al-Thâriq [86]:5. Ayat tersebut berbunyi,

نسانمما خلقف ل ينظرال Juga QS ‘Abasa [80]: 24. Ayat tersebut berbunyi,

طعامو نسانإل ف ل ينظرال Juga QS al-Ghâsyiyah [88]: 17-20.

كي فخلقت بل كي فرفعت أفلينظرونإلال كي فنصبت وإلالساماء بال كي فسطحت و وإلال ر ض إلال 31

Silahkan lihat misalnya QS al-Nahl [16]: 11 yang berbunyi,

Page 6: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

6

lebih dari itu, menghubungkannya dengan Tuhan. Manusia juga bisa mengilmui Tuhan secara

lebih terang dengan berita yang sampai kepadanya dari wahyu, baik al-Qur`an maupun

sunnah. Melalui keduanya, orang akan mengetahui nama diri Tuhan32

beserta sifat dan

perbuatan-Nya secara seksama. Berita dari orang yang pernah mengalami perjumpaan dengan

Tuhan secara intuitif, lalu terverifikasi secara layak dan disebut al-khabar al-shâdiq33

pun

bisa menjadi sumber ilmu. Lebih jauh lagi, manusia bisa mengenal Tuhan secara langsung

tanpa perantara dengan intuisi (al-qalb), dalam satu pengalaman spiritual yang melampaui

nalar dan inderanya34

. Seluruh ilmu yang didapatkan manusia tersebut pada akhirnya

menambah kadar iman dan menguatkannya.

Dengan taraf tauhid yang dibangun di atas ilmu demikian, tauhid kemudian menjelma

dalam sebuah prisma pandangan dunia (worldview) yang berguna untuk menafsirkan

berbagai fenomena35

. Pada prisma yang disebut pandangan dunia ini pula lah berbagai

keyakinan yang tertanam dalam diri awam maupun ilmuwan muslim bekerja mempengaruhi

kerja keilmuannya36

. Hal itu karena indera, akal, hingga intuisinya bekerja dalam dominasi

tauhid. Imbasnya, jika seorang ateis yang meyakini bahwa Tuhan telah absen dari proses

kerja alam semesta melakukan kerja keilmuan, bangunan teori yang disusunnya tidak akan

mengandung pandangan metafisis tentang penciptaan, sehingga dalam kesimpulannya

kemudian, akan semakin menguatkan keyakinan dasarnya bahwa Tuhan tidak ada.

Sebaliknya, seorang yang bertauhid membangun teori yang melibatkan unsur Tuhan dalam

penjelasan-penjelasannya, sehingga kesimpulan-kesimpulan dari kerja keilmuannya akan

berakhir pada Tuhan pula. Karena alasan-alasan itulah, maka kemudian ilmu bersifat tidak

netral nilai.

Objek Ilmu

Objek ilmu dalam Islam berkaitan dengan seluruh realitas, baik yang mutlak maupun

yang nisbi. Yang disebut Realitas Mutlak tentunya adalah Tuhan. Hal karena Tuhan lah al-

Wâjib al-Wujûd37

, yaitu Realitas yang paling nyata (merujuk kepada salah satu sifat Tuhan,

al-Haqq38

), Zat yang eksistensinya selalu aktual, serta sumber dari seluru realitas selain Diri-

Nya39

. Tuhan adalah Zat yang satu dan tidak berbilang (al-Ahad). Ia memiliki keseluruhan

kesempurnaan sehingga menjadi yang paling layak untuk menjadi sumber segala tumpuan

(al-Shamad). Ia tidak memerlukan regenerasi yang menyebabkan keterbagian dan rusaknya

كلالثامرات ع نابومن لكليةلقو مي ت فكارون ينبتلكمبوالزار عوالزاي تونوالناخيلوال إنافذ juga yang semisalnya seperti dalam QS al-Jâtsiyah [45]:13, QS al-Rûm [30]:21.

32 Silahkan merujuk ke QS Thâhâ [20]: 14. Bunyi ayat tersebut,

ري نوأقمالصالةلذك أنافاع بد إنانأنااللاولإلوإلا33

Silahkan lihat penjelasan ringkas Adi Setia, Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Ringkas, dalam Islamia, volume 1 nomor 6, (Jakarta: Insists, 2005), h. 53.

34 Silahkan lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî`s Concept of Causality, h. 165.

35 Silahkan lihat penjelasan dalam buku Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, h. 43.

36 Menurut Thomas Wall, keyakinan adalah bahasa lain dari pandangan hidup (worldview) yang mengisi benak

seseorang. Pandangan hidup inilah yang menurut Alparslan Acikgenc menjadi asas bagi setiap kegiatan manusia, termasuk aktivitas ilmiah. Lebih jelas silakan lihat penjelasan mengenai worlview oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), 9-17.

37 Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 32.

38 Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, h. 30.

39 Silahkan lihat William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, (Inggris: One World, 2007), h. 30;

bandingkan dengan terjemahannya, William Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, terj. Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan, 2010), h. 39.

Page 7: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

7

ketunggalan Diri-Nya (lam yalid), serta tidak berasal dari sesuatu yang lain, yang

menunjukkan bahwa Diri-Nya bermula dari ketiadaan (lam yûlad). Lebih dari itu, tidak ada

satu-pun yang menyamai Tuhan baik dalam sedikit maupun keseluruhan aspek dari Diri-Nya.

Itulah yang ditunjukkan oleh QS al-Ikhlâsh sebagai surat teragung dalam al-Qur`an40

.

Sedangkan yang disebut realitas nisbi adalah segala realitas (al-haqîqah) selain-Nya,

yang berasal dari-Nya, serta akan kembali kepada-Nya41

. Dengan pengertian tersebut, apa

yang dipandang sebaga realitas sangatlah luas, dan lebih dari itu, dalam satu kesatuan yang

saling berkaitan42

. Hal ini berarti pula bahwa realitas empiris hanyalah bagian dari realitas

nisbi yang berikatan dan bergantung kepada Realitas Mutlak. Kenyataan tersebut

berimplikasi terhadap pandangan Islam yang tidak mengenal pembedaan antara realitas sakral

dengan profan, antara yang material dan spiritual, serta antara dunia (al-dunyâ) dengan

akhirat (al-âkhirat), melainkan semuanya itu masuk dalam penamaan haqîqah43

. Baik yang

fisik maupun non-fisik atau metafisik (‘âlam al-mulk wa al-syahâdah dan ‘âlam al-ghaib44

),

semua memiliki status ontologis yang sama, karena semuanya sama-sama berasal dari Tuhan

sebagai al-Haqq45

. Perbedaan yang terjadi dalam realitas, dimana sebagiannya mampu

ditangkap oleh indera, sedangkan lainnya hanya bisa dipikirkan secara rasional, serta ada pula

yang hanya bisa dicapai secara intuitif karena sifatnya yang suprarasional, maka itu hanyalah

disebabkan oleh perbedaan tingkatan-tingkatan dalam eksistensi saja46

. Satu hal yang pasti,

semua realitas yang beragam itu sama-sama dianggap riil (real) dan nyata.

Menyangkut realitas yang dialami manusia dengan segala keragaman tingkat

eksistensi (disebut dengan marâtib al-wujûd/degrees of existence) yang ada, al-Attas

membaginya sebagai berikut47

: Pertama, realitas objektif (haqîqî) yang ada di dunia luar diri

manusia. Kedua, realitas inderawi (hissî) sebagai hal-hal yang dialami dan dipersepsi

manusia secara inderawi, termasuk di dalamnya adalah mimpi dan ilusi. Ketiga, realitas

imajinasi (khayâlî) sebagai objek-objek yang tersimpan dalam benak manusia hasil persepsi,

ketika objek aslinya absen. Keempat, realitas intelektual (‘aqlî), yaitu konsep-konsep abstrak

dalam benak manusia. Kelima, realitas analogis (syibhî) yang tidak ada sama sekali dalam

realitas-realitas sebelumnya, melainkan sekedar menyerupai, sebagai hasil dari kemampuan

diskursif dan kogitatif (berpikir) dari jiwa. Keenam, realitas suprarasional atau transendental,

yaitu yang dialami oleh para nabi, wali, maupun orang-orang yang mendalam ilmunya.

Keragaman realitas tersebut berkonsekuensi terhadap objek ilmu yang bermacam-macam.

Hasilnya adalah jenis ilmu yang demikian banyak, terbentang dari fisika, matematika, hingga

40

Silahkan lihat QS al-Ikhlâsh [112]:1-3, berikut tafsirnya yang cukup baik dari M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, juz. 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 714-724.

41 Silahkan lihat ulasan menarik dari William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. 30.

42 Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, (Bandung: Arasy&UIN Jakarta Press, 2005), h. 35.

43 Silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 1.

44 Dinar Dewi Kania, Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif

Barat dan Islam, Jakarta, GIP, 2013, h. 88. 45

Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 35-38. 46

Dalam filsafat Islam, hal itu dikenal sebagai tingkatan-tingkatan dalam eksistensi (tasykîk al-wujûd). Teori tersebut dirumuskan oleh filosof Syiah, Mulla Shadra. Silahkan lihat penjelasannya dalam Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 35-43; atau lebih dalam lagi dalam Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2010), h. 45-49; atau dengan istilah marâtib al-wujûd (the degrees of exsistence) oleh SMN al-Attas, The Degrees of Existence, dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 267-319.

47 Silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 124-125; atau penjelasannya dalam

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 150.

Page 8: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

8

metafisika48

. Semuanya itu sebagai respon jiwa dengan indera internal dan eksternalnya,

terhadap keragaman eksistensi yang bisa dicapainya.

Seluruh realitas selain Tuhan yang disebutkan di atas disebut dengan khalq yang

berarti makhlûq (makhluk)49

, sehingga Tuhan disebut sebagai Khâliq atau Pencipta makhluk.

Dalam tafsir al-Taisîr dijelaskan bahwa kata khalq digunakan sebagai persamaan (murâdif)

dari kata ‘âlamûn (alam semesta)50

. Yang menarik, menurut tafsir Adhwâ` al-Bayân terhadap

ayat ke-dua surat al-Fâtihah, kata âlam (alam) sebagai bentuk tunggal dari âlamûn, secara

semantik memiliki hubungan erat dengan kata „alâmah (tanda)51

. Kata ‘alâmah tersebut juga

berarti ma’lam (tanda jalan) serta âyat (ayat). Artinya seluruh realitas di alam semesta ini

sesungguhnya adalah seperti tanda jalan (plang jalan atau rambu jalan) yang tidak menunjuk

pada dirinya sendiri, melainkan kepada hal lainnya, dan dalam hal ini adalah Tuhan. Karena

berfungsi menunjukkan manusia pada objek lain, dalam hal ini adalah Tuhan, maka alam di

saat yang sama adalah objek ilmu. Namun, tidak sekedar objek ilmu semata, alam adalah

objek yang berfungsi menjadi tanda yang mengantarkan manusia pada kesadaran akan Tuhan.

Terhadap realitas (haqîqah) yang beragam tersebut, manusia tidak bisa menilainya

sebagai kebenaran, semata-mata karena adanya, melainkan harus merujukkan kepada Tuhan

sebagai sumber tunggal kebenaran (al-Haqq)52

. Adapun yang disebut „kebenaran‟ dalam hal

ini adalah apa saja yang dinyatakan benar oleh Tuhan, yang sampai kepada manusia melalui

kitab suci-Nya (al-Qur`an) serta pernyataan utusannya (Muhammad dengan sunnahnya). Dan

kebenaran tersebut bisa dicapai dan diketahui manusia seperti telah disinggung53

. Sehingga

apa saja yang riil, atau mengada dalam alam empiris, tidak serta merta dinyatakan benar. Jika

hal tersebut ditolak oleh kebenaran agama, maka serta merta dinyatakan sebagai salah (al-

bâthil sebagai lawan al-haqq). Hal tersebut berbeda sama sekali dengan pandangan hidup

Barat. Hanya semata-mata sesuatu ada, atau bahkan banyak tersebar, maka kemudian

dinyatakan sebagai benar. Hal tersebut terjadi baik dalam persoalan agama, sosial, budaya,

politik, termasuk di dalamnya menyangkut pengkajian ilmu. Jadi dalam Islam, segala yang

berasal dari Tuhan, dinilai berdasar ketentuan Tuhan, haqîqah merujuk kepada al-hâqq.

Dari penjelasan mengenai realitas di atas, termasuk keseluruhan realitas selain Tuhan

yang menunjuk kepada Tuhan, beserta kebenaran yang digunakan untuk menilai realitas

tersebut, maka objek ilmu yang bisa dicapai manusia paling tidak bisa dibagi sebagai berikut:

Pertama, Tuhan. Karena semua objek ilmu di alam semesta di saat yang sama adalah

simbol yang menunjukkan kepada Tuhan, maka objek pertama dari ilmu adalah Tuhan itu

sendiri. Seperti telah disinggung, Tuhanlah realitas mutlak dan yang paling nyata (al-Haqq),

sedangkan seluruh realitas selain-Nya bergantung pada-Nya (al-Shamad). Sehingga manusia

muslim yang bertauhid, ketika melihat ke setiap sudut semesta, akan mendapati „Tuhan‟ di

sana. Ketika bersyahadat, manusia dipersyaratkan mengilmui Tuhan, dalam hal ini salah satu

48

Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 36-38. 49

Silahkan lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, h. 252. 50

Silahkan lihat ‘Abdurrahmân al-Sa’dî, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, h. 27. 51

Silahkan lihat Muhammad al-Amîn al-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Îdhâh al-Qur`ân, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1995), h. 5.

52 Silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 1-2.

53 Termasuk ayat yang menguatkan hal tersebut adalah ayat al-Qur`an sendiri, yaitu QS al-Baqarah [2]:137 dan

Alu Imrân [3]:60,

منرابكفل ق ينال كنمنال مم Hal tersebut bahwa ‘kebenaran’ tersebut telah disampaikan kepada manusia, dalam hal ini melalui Nabi dan

Utusan Tuhan. Dengan demikian tidak ada alasan untuk ragu mengenainya.

Page 9: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

9

sifat esensial-Nya. Tuhan menciptakan manusia agar Dirinya diketahui54

. Lebih dari itu, ilmu

tentang Tuhan adalah ilmu tertinggi55

yang dilimpahkan kepada manusia, sekaligus sumber

kebahagiaan hakiki56

yang bisa diraihnya di dunia.

Kedua, alam tak kasat mata (al-‘âlam al-ghaib) 57

. Objek tak kasat mata (al-ghaib)

merupakan tema-tema keimanan yang berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan dari tauhid.

Pembahasan mengenai hal tersebut tentulah bukan hal irrasional, melainkan supra-rasional,

yaitu melampaui nalar manusia. Oleh karenanya, ilmu mengenai hal ini didapatkan melalui

berita (al-khabar al-shâdiq) yang bersumber pada otoritas Tuhan dan Nabi Muhammad (al-

Qur`an dan sunnah). Contoh objek ilmu yang masuk ke dalam alam tak kasat mata ini adalah

persoalan alam persaksian sebelum ditiupkannya ruh, mengenai perjalanan manusia setelah

kematian, perjumpaan dengan Tuhan di hari perhitungan, hingga muara nasib manusia berupa

surga-neraka, dan sebagainya. Bagi nalar manusia modern-sekular, hal tersebut tampak aneh

dan tidak penting. Tetapi bagi nalar manusia muslim yang bertauhid, mengilmui hal-hal

tersebut sangat esensial. Bahkan menjadi kompas maknawi untuk menjalani kehidupan yang

semakin hari semakin absurd digerus modernitas dan sekularisasi ini. Namun, seperti akan

dibahas kemudian, pengetahuan manusia mengenai alam tak kasat mata ini tidak didapatkan

melalui proses rasional ataupun empiris. Lebih dari itu, pengetahuan yang bisa dicapai

manusia mengenainya pun hanyalah sedikit58

.

Ketiga, alam semesta besar (‘âlam al-kabîr/macrocosm)59

. Sementara objek kedua

adalah alam tak kasat mata (al-ghaib), maka objek alam semesta ini masuk ke dalam objek

kasat mata (‘âlam al-mulk wa al-syahâdah) 60

. Dalam hal ini manusia masuk ke dalam objek

selanjutnya. Objek kasat mata di alam semesta sangat beragam dan bermacam, termasuk di

dalamnya adalah objek mikroskopis yang tak kasat mata karena kecilnya seperti sel, maupun

objek teleskopik yang tak kasat mata karena jauhya seperti planet lain di luar angkasa. Ilmu

yang mengkaji objek-objek fisik tersebut tentu saja adalah fisika, yang kemudian berkembang

menjadi berbagai disiplin yang lebih detil seperti kosmologi, kimia, biologi, dan sebagainya

sebagai percabangan atau turunan dari ilmu-ilmu tersebut. Termasuk ke dalam bagian ini

adalah objek rasional matematis, yang kemudian menjadi bahasan matematika. Karena

54

Merujuk kepada perkataan kaum sufi, yang seringkali dinyatakan sebagai hadis:

كنزاخمفيافأحببتأنأعرففخلقتاخللقلكيأعرف كنتLebih lengkap silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 71; lihat juga SMN al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 113.

55 Lihat SMN al-Attas, Islam and Secularism, h. 146.

56 Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî’s Concept of Causality, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), h. 153.

57 Lihat penjelasan yang sangat menarik mengenai pandangan Islam mengenai kosmos dalam Mohd Zaidi

Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, (Jakarta: Insists, 2008), h. 15.

58 Seperti persoalan ruh sebagai salah satu objek ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia secara luas,

begitupun objek ghaib yang lain. Silahkan lihat QS al-Isrâ` [17]: 85,

قليل يتممنال عل مإلا وماأو59

Penyebutan tersebut untuk memudahkan pembahasan terkait objek-objek ilmu kealaman selain manusia. Seperti diketahui, dalam filsafat Islam, alam semesta dibagi menjadi semesta besar (macrocosm/makrokosmos), yaitu selain manusia, dan semesta kecil (microcosm/mikrokosmos) untuk menyebut manusia. Silahkan lihat Mohd Zaidi Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, (Jakarta: Insists, 2008), h. 16-17.

60 Lihat penjelasan yang sangat menarik mengenai pandangan Islam mengenai kosmos dalam Mohd Zaidi

Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, h. 15.

Page 10: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

10

penunjukannya kepada Tuhan, dalam al-Qur`an objek-objek tersebut disebut sebagai tanda-

tanda Tuhan di ufuk semesta (âyât fi al-âfâq)61

.

Keempat, alam semesta kecil (‘âlam al-shaghîr/microcosm)62

. Maksud dari semesta

kecil ini tidak lain adalah manusia. Manusia disebut semesta kecil bukan tanpa sebab,

melainkan karena kerumitan struktur dalam dirinya. Seperti diketahui, manusia memiliki

susunan fisik yang sangat komplek dan mengagumkan. Lebih dari itu, manusia memiliki

susunan non-fisik kejiwaan yang meskipun ilmu psikologi telah berkembang pesat, tetap

menyisakan misteri yang kaya. Jangan lupa pula, manusia memiliki unsur imateriil (ghaib)

yang disebut ruh, berasal dari Tuhan63

, dan tidak akan pernah bisa dikuak misterinya sampai

kapanpun64

. Karena keagungan dan fungsi penunjukkannya kepada Tuhan yang demikian

besar, objek bernama manusia beserta struktur dan rahasianya tersebut dalam al-Qur`an

disebut dengan tanda-tanda Tuhan pada diri (âyât fî al-anfus)65

.

Kelima, al-Qur`an. Seperti telah disinggung, Tuhan adalah „Kebenaran Sejati‟ (al-

Haqq) yang dengan kebenaran-Nya manusia menilai seluruh realitas. Adapun kebenaran

Tuhan tersebut sampai kepada manusia melalui lisan para utusan-Nya berupa kitab suci.

Sedangkan kitab suci yang hingga detik ini terbukti otentisitasnya hanyalah al-Qur`an. Maka

al-Qur`an lah standar kebenaran untuk menilai realitas. Hal itu berarti pula bahwa al-Qur`an

adalah objek ilmu yang absah. Jika semesta disebut dengan „tanda-tanda ciptaan‟ (al-âyât al-

kauniyah) maka al-Qur`an adalah „tanda-tanda perkataan‟ (al-âyât al-qauliyah). Keduanya

adalah kitab; semesta adalah kitab yang diciptakan, sedangkan al-Qur`an adalah kitab yang

diturunkan66

. Karena sama-sama kitab dan ayat Tuhan, maka terdapat koherensi dan

korespondensi antara ayat-ayat semesta dengan al-Qur`an. Namun lebih penting dari itu, al-

Qur`an mengandung pedoman bertauhid dalam hidup manusia; baik yang menyangkut

keyakinan („aqîdah), impelementasi tauhid dalam pranata hukum personal-kemasyarakatan

(syarî’ah), refleksi tauhid dalam etika kehidupan (akhlâq), sejarah orang-orang yang tunduk

maupun membangkang terhadap tauhid, hingga janji balasan bagi orang-orang yang tunduk

dan membangkang tersebut di dunia maupun di akhirat.

Keenam, Sunnah (al-sunnah). Sunnah secara bahasa memang sekedar berarti adat,

perjalanan dan tatacara. Namun jika dinisbatkan kepada Nabi Muhammad maka berarti

sebagai perkataan, perbuatan, persetujuan, serta sifat perilaku (al-khuluqiyyah) utusan Tuhan

tersebut67

. Karena al-Qur`an turun melalui Muhammad, maka seluruh pengajaran

Muhammad dan aspek hidupnya yang telah disebutkan tadi adalah wahyu68

, serta tafsir dan

61

Silahkan lihat QS Fushshilat [41]:53. 62

Silahkan lihat Mohd Zaidi Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, h. 16-17.

63 Silahkan lihat QS al-Hijr [15]:29 yang berbunyi,

تفيومنروحي فإذاسواي توون فخ Dan yang semakna pada QS Shâd [38]: 72.

64 Silahkan lihat QS al-Isrâ` [17]: 85 yang berbunyi,

قليل يتممنال عل مإلا وماأو65

Silahkan lihat QS Fushshilat [41]:53. 66

Silahkan lihat Mohd Zaidi Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, h. 19.

67 Aslinya adalah:

قولووفعلووقريرهوصفاواخللقيةSilahkan lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 25.

68 Silahkan lihat QS al-Najm [53]: 3-4 yang berbunyi,

وى إن وماينطقعنال ييوحىىوإلا وح

Page 11: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

11

penjelasan terbaik atas al-Qur`an69

. Lebih dari itu, sunnah juga memaparkan persoalan akidah

dan menetapkan hukum secara independen terpisah dari al-Qur`an70

. Maka tidak berlebihan

jika dikenal di kalangan ulama bahwa sunnah adalah belahan tak terpisahkan dari al-Qur`an

(syaqîq al-Qur`ân). Karena kedudukannya yang demikian, maka Muhammad dan

pengajarannya (sunnah) adalah objek pengetahuan yang absah pula71

.

Pembahasan mengenai objek ilmu dalam Islam yang meliputi keseluruhan realitas

tersebut, jika diamati akan membentuk pola yang unik. Pertama dan paling utama, objek

pembahasan ilmu adalah Tuhan, sebagai Realitas Mutlak, sekaligus objek iman paling

esensial, sekaligus hakikat Tauhid. Objek selanjutnya adalah realitas nisbi yang berasal dari

Tuhan. Baik alam semesta besar, maupun manusia sebagai semesta kecil, hingga al-Qur`an

(dan hadis tentunya), ketika mengkaji ketiganya, pada hakikatnya adalah pengkajian terhadap

kitab Tuhan dan pembacaan terhadap ayat-ayat-Nya. Hal tersebut bermakna bahwa

pengkajian terhadap realitas nisbi adalah penguatan dan pengayaan terhadap pengilmuan

akan Tuhan sebagai Realitas Mutlak. Jika dimisalkan, itu tidak ubahnya pola melingkar, dari

dan menuju Tuhan. sebagaimana ucapan mulia, inna lillâh wa inna ilihi râji’ûn

(sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).

Proses, Saluran, dan Metode Perolehan Ilmu

Sebelum masuk dalam bahasan mengenai proses, saluran serta metode perolehan

ilmu, perlu disadari bahwa salah satu makna tauhid adalah „mengumpulkan beberapa hal

menjadi satu atau mengintegrasikannya (to integrate)72

. Berangkat dari situ, ditambah

kesadaran akan keadaan ontologis dari realitas yang bersifat unipolar dan uniaksial, maka

ulama dan cendekiawan Islam menjadikan tauhid sebagai asas integrasi73

. Prinsip integrasi

tersebut kemudian dicirikan dengan adanya kesatuan dan harmoni (unity and harmony)74

serta menolak segala bentuk dikotomi75

, kontradiksi dan paradoks76

. Secara alamiah prinsip

integrasi (tauhîdî) tersebut telah diterjemahkan para ulama dan cendekiawan Islam masa

lampau dalam kerja keilmuan mereka. Namun kemerosotan tradisi intelektual Islam, diiringi

dengan dominasi tradisi intelektual Barat dengan pandangan hidupnya yang dikotomik77

,

memancing kaum cendekiawan Islam kontemporer untuk merumuskan kembali gagasan

tersebut. Aplikasi integrasi tersebut bisa dilihat pada penjelasan mengenai proses, saluran dan

metode perolehan ilmu yang dipakai dalam Islam berikut:

juga perkataan Imam al-Syâfi’î yang dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam, terj.

Munir, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 52. 69

Lihat SMN al-Attas, Islam and Secularism, h. 145. Lebih jelas lagi silahkan lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 41-46.

70 Silahkan lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 51.

71 Silahkan lihat SMN al-Attas, Islam and Secularism, h. 145; juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep

Pengetahuan Dalam Islam, h. 50-59. 72

Silakan lihat, Rohi Baalbaki, al-Mawrid, (Beirut, Dar El-Ilm Lilmalayin, 1995), 388 & 1225. 73

Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 33; juga Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung: Mizan, 2011), h. 51; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 3.

74 Silahkan lihat William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. 13.

75 Silahkan lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 295.

76 Silakan lihat Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, h. 45.

77 Prof. Al-Attas menjelaskan bahwa salah satu perbedaan mendasar antara pandangan hidup (worldview)

Islam dengan Barat terletak pada ketiadaan dikotominya. Silahkan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 1.

Page 12: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

12

Mengenai proses perolehan ilmu, Islam mengakui peran Tuhan maupun manusia

secara bersamaan. Tuhan adalah sumber ilmu yang hakiki78

, sehingga tidak ada ilmu yang

dicapai manusia tanpa proses „pengajaran‟ Tuhan79

. Namun di saat yang sama, manusia

terlibat secara aktif dalam mencapai ilmu tersebut. Tuhan telah menciptakan manusia dengan

jiwa yang kreatif, yaitu dengan kemampuan persepsi, imajinasi, serta intelijensinya yang

saling berpartisipasi ketika menginterpretasi dunia inderawi80

. Maka ungkapan Prof. Al-Attas

mengenai ilmu sangatlah sesuai dengan gambaran di atas, „sampainya jiwa kepada makna

dan juga tibanya makna kepada jiwa secara bersamaan‟81

. „Sampainya jiwa kepada makna‟

menunjukkan kerja kreatif jiwa manusia, sedangkan „tibanya makna kepada jiwa‟, merujuk

kepada al-Qur`an82

yang menyebutkan bahwa Tuhan mengajarkan banyak hal kepada

manusia, menunjukkan peran Tuhan dalam proses tersebut. Pengertian tersebut berbeda

dengan anggapaan umum yang menilai ilmu sebagai hasil jerih payah manusia semata tanpa

melibatkan Tuhan sebagai sumber dari segala ilmu.

Mengenai jiwa kreatif manusia, Tuhan telah merancangnya sedemikian rupa,

dilengkapi dengan perangkat indera yang sesuai. Meski kapasitas setiap individu berbeda-

beda83

, secara umum manusia memiliki lima indera luaran (eksternal) maupun lima indera

dalaman (internal)84

. Indera luaran seperti jamak diketahui terdiri dari perasa (lidah), peraba

(kulit), pembau (hidung), penglihatan (mata) dan pendengar (telinga). Sedangkan yang

disebut indera dalaman (internal), seperti akan dijelaskan di bawah, berfungsi untuk

merasakan secara internal berbagai citraan inderawi dan maknanya, memadukan dan

memilah citraan dan makna tersebut, menyusun gagasan, menyimpan konsep-konsep dari

gagasan tersebut, serta melakukan olah pemikiran terhadapnya85

.

Alur proses bagaimana manusia mengilmui sesuatu kurang lebih sebagai berikut:

Ketika manusia berinteraksi dengan realitas luaran (external realities), maka86

,

- yang pertama-tama dilakukan adalah mempersepsi objek dengan indera-indera. Hasil

dari persepsi tersebut kemudian dipilih dan dipilah untuk kemudian diabstraksi oleh

indera internal pertama yang disebut „indera bersama‟ (al-hiss al-musytarak/communis

sensus/common sense).

78

Silahkan lihat penjelasan yang menarik dalam bab ‘Unity of Truth and Unity of Knowledge’ dalam ‘Abdul Hamîd Abû Sulaimân (ed), Islamization of Knowledge, (Herndon: IIIT, 1995), h. 39-41.

79 Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan perantaraan qalam, apa yang tidak

diketahuinya, baik berupa nama-nama (asmâ`), al-Qur`an, penjelasan (bayân), dan sebagainya. Lihat QS al-‘Alaq [96]:4; QS al-‘Alaq [96]:5; QS al-Baqarah [2]:31; QS al-Rahmân [55]:2; QS al- Rahmân [55]:4.

80 Silahkan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 3.

81 Al-Attas menggunakan kata wushûl untuk jiwa serta hushûl untuk makna. Lihat Syed Muhammad Naquib al-

Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Malaysia: Penerbit USIM, 2007), h. 39. 82

Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan perantaraan qalam, apa yang tidak diketahuinya, baik berupa nama-nama (asmâ`), al-Qur`an, penjelasan (bayân), dan sebagainya. Lihat QS al-‘Alaq [96]:4; QS al-‘Alaq [96]:5; QS al-Baqarah [2]:31; QS al-Rahmân [55]:2; QS al- Rahmân [55]:4.

83 Penting untu dicatat bahwa dalam kreativitas yang diberikan kepada jiwa manusia, namun setiap individu

memiliki kapasitas yang berbeda-beda. Silahkan lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî’s Concept of Causality, h. 168.

84 Silahkan lihat Wan Mohd Noe Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan SMN al-Attas, h. 297. Juga Ismail

Fajri al-Attas, Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Diwan, 2006), h. 138-140. 85

Silahkan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 149. 86

Diringkas dari penjelasan SMN al-Attas, Wan Mohd Nor Wan Daud dan Ismail Fajri al-Attas. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 148-154; juga Wan Mohd Noe Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan SMN al-Attas, h. 297-298; juga Ismail Fajri al-Attas, Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, h. 138-141.

Page 13: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

13

- Karena „indera bersama‟ tidak bisa menyimpan hasil abstraksi, maka indera internal

kedua yang disebut fakultas representasi (al-khayâliyyah) lah yang menyimpannya, tanpa

melakukan penilaian apapun. Apa yang disimpan dalam fakultas ini masih berupa

„forma‟ atau image. Ketika objek material yang diindera telah lenyap dari hadapan, maka

manusia masih bisa menginderanya secara khayal atau imajinatif.

- Penilaian terhadap hasil abstraksi dilakukan oleh indera internal ketiga yang disebut

dengan fakultas estimasi (al-wahmiyyah). Akan tetapi, penilaian yang dilakukan oleh

fakultas ini bersifat dangkal dan instingtif, berupa opini singkat, keputusan sekilas, serta

tidak mengandung analisis yang mencukupi. Jika tidak dikontrol oleh akal, maka akan

menjadi muara berbagai kesalahan manusia.

- Indera internal keempat yang bekerja dalam diri manusia adalah fakultas retentif-

rekolektif (al-hâfidzah wa al-dzâkirah). Fakultas ini bekerja menyimpan makna, dan

bukan forma seperti halnya fakultas estimasi, serta mengingat kembali ketika

dibutuhkan.

- Indera internal kelima yang bekerja dalam diri manusia adalah fakultas imajinasi (al-

mutakhayyilahi). Fakultas ini memiliki dua fungsi; yaitu fungsi imajinasi inderawi (al-

mutakhayyil) yang berkaitan dengan produk tehnis dan artistik manusia, serta funsi

imajinasi rasional (al-mufakkirah) yang berkaitan dengan semua kegiatan intelektual.

- Berbagai forma dan makna yang disimpan oleh fakultas representasi dan retentif serta

diproses oleh imajinasi rasional tidak serta merta menjadi intelijibel atau makna

universal hingga „aql (akal) turut serta untuk memisahkannya dari berbagai aksiden

seperti unsur, ruang dan posisi.

Semua yang diolah oleh indera internal manusia dan berkaitan dengan jiwa kreatif tersebut

akan menciptakan berbagai realitas mental yang seperti disinggung di muka, meliputi realitas

inderawi, intelektual dan analogis (hissî, ‘aqlî, syibhî). Semuanya ketika menjadi makna,

maka akan disebut ilmu, yang kemudian bermuara ke dalam hati (qalb) dan mempengaruhi

jiwa manusia.

Perlu menjadi catatan, semua proses tersebut di atas, tidaklah berjalan begitu saja tanpa

intervensi pandangan hidup seseorang. Sistem worldview sebagai kristalisasi keyakinan dasar

dan ilmu seseorang yang terletak dalam hati (qalb) sebelumnya, akan berpengaruh terhadap

kerja indera internal yang sedang berlangsung, mulai dari „indera bersama‟, representasi,

estimasi, retentif-rekolektif, imajinasi, hingga akal (dalam ber-ta’aqqul). Seluruh maklumat,

baik berupa forma dan makna, akan disaring oleh sistem pandangan hidup seseorang,

ditentukan mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan struktur worldview dalam diri

seseorang, baru kemudian akan tersimpan ke dalam hati (qalb). Dengan demikian, akan

terdapat perbedaan yang mencolok antara seseorang yang sistem pandangan hidupnya

berakar kuat kepada tauhid, dengan orang yang pandangan hidupnya sekular.

Mengenai saluran ilmu, dalam Islam, dikenal tiga saluran: Pertama, al-hawâs al-

salîmah87

alias indera, sebagaimana saluran yang mendasari kaum empirisis. Kedua, al-qalb,

yang memiliki dua saluran, yaitu al-‘aql88

dan intuisi89

. Al-‘aql atau akal tidak sekedar rasio,

karena ia adalah entitas spiritual yang menyistematisir dan menafsirkan fakta empiris

sehingga terfahami90

. Sedangkan intuisi mampu mengantarkan seseorang pada ilmu tanpa

membutuhkan preposisi, dan proses tercapainya ilmu ke dalam intuisi disebut dengan al-

87

Abû Hafs ‘Umar Al-Nasafî, al-‘Aqîdah, h. 1. 88

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 159. 89

Ibid, h. 160. 90

Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Adian Husaini, Pengantar Editor, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: GIP, 2013), h. xviii.

Page 14: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

14

ilhâm. Ketiga, al-khabar al-shâdiq91

atau al-‘ilm al-naqlî92

(berita yang benar/ilmu nukilan)

yang merupakan ilmu yang ditransmisikan, dinukilkan, kemudian diterima karena

dianggap/dinyatakan benar. Saluran ilmu jenis ketiga ini merupakan ilmu yang menjadi ciri

khas Islam, tapi secara tidak sadar, secara universal terjadi dimanapun dan dalam banyak

bidang ilmu.

Dalam Islam, saluran ilmu jenis ketiga ini membentuk sebuah tradisi ilmu yang kukuh

dan merupakan agama itu sendiri, serta terbagi dalam dua jenis. Pertama, al-khabar al-

mutawâtir yang merupakan berita yang dinukil oleh orang banyak dan tidak mungkin mereka

bersepakat untuk berdusta93

. Setelah melalui penyaringan yang ketat, berita ini „dipastikan‟

kebenarannya. Contoh berita jenis ini adalah al-Qur`an94

yang dipastikan berasal dari Allah

dan melalui lisan Rasulullah sampai kepada kita setelah proses kodifikasi. Selain itu adalah

hadis Rasulullah yang berjenis mutawâtir, akan tetapi jumlahnya sedikit95

. Kedua, al-khabar

al-âhâd, yaitu berita yang tidak memenuhi syarat untuk disebut al-khabar al-mutawâtir96

.

Setelah melalui penyaringan yang ketat pula, berita ini „diduga kuat‟ kebenarannya. Sebagian

besar hadis Rasulullah adalah jenis ini. Namun model ini tidak digunakan terbatas pada hadis,

bahkan hampir semua ulûm al-dîn. Jadi, tradisi penukilan berita yang benar merupakan

saluran ilmu yang mengakar dalam peradaban Islam.

Meski tradisi tersebut mengakar dalam peradaban Islam, rupanya digunakan juga

dalam ilmu lain (termasuk pengetahuan intelektual/al-‘ilm al-‘aqlî97

) dalam tradisi di luar

Islam, tapi tanpa mengakui keabsahannya sebagai sumber ilmu. Sebagai contoh adalah dalam

pengajaran bahasa, hukum dan sejarah, bahkan dalam sebagian kasus matematika, serta

mengenai pengetahuan akan pengalaman pencerahan bagi penganut Budha yang belum

mengalaminya sendiri98

. Ilmu dalam disiplin-disiplin tersebut akan diterima tanpa perlu

mempertanyakan. Contoh paling ekstrim penerimaan al-khabar al-shâdiq adalah seorang

profesor filsafat yang langsung percaya segala pemberitahuan pramugari dan pilot yang tidak

dikenalnya, mengenai penerbangan yang dilakukan, tanpa melakukan pengujian empiris99

.

Kasus demikian banyak terjadi di sekitar kita, bahkan oleh orang yang paling rasionalis

maupun empirisis sekalipun. Artinya modus atau sumber ilmu yang disebut al-khabar al-

shâdiq secara alamiah diterima keabsahannya oleh manusia.

Mengenai metode perolehan ilmu, Al-Attas secara khusus menyebut metode integratif

tersebut sebagai metode tauhid (tawhîd method of knowledge)100

. Perlu menjadi catatan

bahwa Islam tidak pernah mengalami problem kesejarahan ekstrim seperti terjadi pada

peradaban Barat. Barat yang berpandangan dualisme101

terhadap kehidupan, mengalami

91

Ibid, h. 159. 92

William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. viii. 93

Teks aslinya, الكذب على تواطؤهم يتصور ال قوم ألسنة على الثابت الخبر

Lihat Abû Hafs ‘Umar Al-Nasafî, al-‘Aqîdah, h. 1. 94

M.M. al-A’zamî, The History of the Qur`ânic Text, terj. Sohirin Solihin, dkk., Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: GIP, 2005), h. 91.

95 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, (Malaysia: Darul Syakir,

2011 ), h. 138. 96

Teks aslinya, المتواطر شروط يجمع لم ما . Lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 139.

97 William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. vii.

98 Ibid, h. vii.

99 Silahkan lihat Adian Husaini, Pengantar Editor, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan

Islam, h. xvii. 100

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 3. 101

Silahkan lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, h. 11.

Page 15: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

15

proses kesejarahan yang dialektik102

dimana setiap zaman selalu berubah. Corak setiap zaman

dicirikan dengan dominasi sistem berpikir materialisme ataupun idealisme, didukung

pendekatan metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, dan

sebagainya103

. Dampak sederhana dari pertentangan akibat pandangan dualisme tersebut

adalah pembedaan ekstrim atas rasionalisme terhadap empirisisme, subjektif-objektif, serta

deduktif-induktif104

. Adapun hal seperti itu tidak pernah terjadi dalam peradaban Islam.

Dengan metode tauhidi, metode rasional dan empiris dalam ilmu pengetahuan tidak

dipertentangkan, melainkan digunakan secara bersama-sama dan saling melengkapi.

Faktanya, tidak semua hal bisa diindera, dan karenanya, pendekatan rasional harus

dikedepankan. Lebih dari itu, dalam Islam dikenal pendekatan intuitif sebagai metode

keilmuan105

. Metode ini digunakan sebagai jawaban atas persoalan yang bersifat supra-

rasional, yaitu di atas kemampuan nalar manusia (bukan di luar nalar). Begitu pula terhadap

metode berfikir deduktif-induktif. Keduanya bisa digunakan untuk dua kasus yang berbeda.

Generalisasi yang cukup penting dalam mengkaji satu persoalan penelitian, bisa dicapai

dengan metode induktif. Sebaliknya, penggunaan kaidah-kaidah apapun dalam kajian

keilmuan, bersandar pada metode berfikir deduktif.

Islam menolak pembedaan ekstrim subjektif-objektif. Nyatanya pengalaman inderawi

pun sering bersifat subjektif106

begitu pula pengalaman non-inderawi mengandung

objektivitas107

. Dalam Islam, ilmu yang benar mengenai hubungan kosmos dan jiwa

mengantarkan orang pada kesadaran bahwa „subjek‟ di dalam dan „objek‟ di luar secara

esensial sama108

. Selain itu, ilmu akan kesatuan eksistensi dengan tingkatan-tingkatannya

(marâtib/degrees) menjadikan orang faham bahwa subjek dan objek merupakan aspek dari

realitas yang sama109

dan karenanya saling melengkapi110

. Al-attas memberikan

perumpamaan mengenai seorang arsitek perancang rumah yang tidak akan mengetahui

sebuah rumah yang baik dan nyaman hanya dari ukuran, model, bahan dasar, serta rancangan

(objektif), melainkan dia juga harus meninggalinya sementara waktu (subjektif)111

. Adalah

sebuah kesalahan yang menganggap bahwa metode objektif lebih baik dari metode subjektif.

Objektivisme sains nyatanya mengantarkan saintis pada subjektivismenya sendiri112

yang

oleh Appleyard113

dianggap mengalienasikannya dari objek. Jadi metode tauhid Islam

menghendaki sebuah keutuhan dalam ilmu.

Proses, saluran serta metode perolehan ilmu yang telah disebutkan di atas sangat

dipengaruhi oleh keyakinan tauhid dengan pandangan hidup tauhidinya. Bagaimana posisi

Tuhan yang sangat sentral sebagai sumber ilmu sekaligus pengajar manusia, berbeda dengan

102

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 4. 103

Ibid, h. 5. 104

Silahkan lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 294. 105

Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 137. 106

Ibid, h. 117. 107

Ibid, h. 118. 108

William Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul, h. 136. 109

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 296. 110

Dalam SMN al-Attas, Prolegomena, h. 3, catatan kaki no. 2. 111

Dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 296. 112

William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. 137. 113

Dalam William Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, h. 187. Appleyard mengatakan: “ Sains memerangkap kita semua dalam alasan-alasan pribadi kita sendiri. Ia memisahkan kita dari dunia

kita, mengunci kita dalam menara-menara kecil kesadaran kita. Di luar adalah pemandangan asing, entah berupa khayalan ataupun sia-sia, di dalam itulah yang membuat kita yakin - obrolan berkelanjutan yang gelisah dari kesadaran kita sendiri. Jiwa-jiwa kita dikeluarkan dari tubuh-tubuh kita.”

Page 16: Tauhid Dan Ilmu - Anton Ismunanto

16

keyakinan kaum yang tidak mempercayai Tuhan. Begitupun ketika pandangan alam tauhidi

seseorang berdampak terhadap kerja indera internal ketika memproses maklumat hingga

berakhir menjadi ilmu. Lalu dalam pengabsahan saluran-saluran ilmu baik indera, akal,

intuisi, serta „berita yang benar‟, termasuk metode tauhidi yang tidak membedakan antara

empirisisme-rasionalisme, subjektif-objektif, juga deduksi-induksi, melainkan memadukan

setiap metode tersebut hingga mendapatkan ilmu yang utuh. Itulah relasi tauhid dengan

proses seseorang mengilmui sesuatu.

Penutup

Dari pembahasan yang telah dilakukan, tampak hubungan integratif (tauhîdî) antara

satu bagian dengan bagian lainnya. Seseorang memasuki gerbang tauhid mempersyaratkan

ilmu. Sedangkan ilmu, kaitannya dengan Tuhan, beserta sifat alamiahnya, berkaitan erat

dengan iman. Pada batas tertentu, berilmu berarti beriman, begitu pula sebaliknya. Karena

dalam Islam, epistemologinya berdimensi teologi. Tauhid tersebut, kemudian berimplikasi

pada keyakinan bahwa ilmu yang benar bisa dicapai manusia. Lebih dari itu, tauhid sebagai

keyakinan dasar yang dikuatkan oleh indera, akal dan intuisi, membentuk pandangan dunia

yang dengannya seorang muslim memandang dan memahami kehidupan.

Tauhid kemudian berimplikasi kepada objek ilmu yang dianggap absah oleh Islam.

Objek ilmu dalam Islam sejatinya berkaitan dengan realitas secara keseluruhan, baik mutlak

maupu nisbi. Ilmu mengenai Realitas Mutlak, tidak lain adalah tauhid itu sendiri. Sedangkan

ilmu mengenai alam, yaitu seluruh realitas selain Tuhan, termasuk di dalamnya al-Qur`an,

pada akhirnya merupakan upaya untuk membaca dan memahami tanda, ayat, dan simbol

Tuhan yang berserakan dalam kehidupan. Objek yang holistik berkonsekuensi pada integrasi

dalam saluran ilmu. Saluran yang dianggap absah, berkaitan dengan objeknya, meliputi

indera, akal dan intuisi, serta „berita yang benar‟. Integrasi saluran, kemudian juga bermakna

sebagai integrasi metode ilmu.

Jika disimpulkan, pada akhirnya, berilmu menurut Islam, adalah mengilmui Tuhan,

lalu mengimaninya, kemudian mengembangkan ilmu-ilmu lain yang sejatinya mengilmui

tanda-tanda Tuhan, sehingga iman semakin lama semakin kuat dan mantap. Tidak ubahnya

kalimat tarji’, inna lillah wa inna ilaihi râji’ûn.

Wallahu a’lam wa huwa al-musta’ân...