Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

22
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 1/22 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis). Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. 1 Di Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%. B. Permasalahan Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah; yang paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin. Mengingat belum adanya definisi yang universal, maka diperlukan kesepakatan definisi, pendekatan diagnosis, serta tata laksana yang tepat. Berbagai teknik diagnostik telah digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki keterbatasan karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya. Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non- invasif lain seperti transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining) pengukuran bilirubin serum. Sampai saat ini belum ada keseragaman tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. Kadar serum bilirubin untuk memulai masing-masing jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar, obat-obatan) masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi kelambatan terapi dapat berakibat buruk di masa datang, di lain sisi terapi yang berlebihan berarti menyia-nyiakan sumber daya yang tidak perlu. Dengan latar belakang permasalahan di atas, diperlukan kajian rinci serta rekomendasi untuk merumuskan batasan, diagnosis, dan tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. C. Tujuan Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan mengenai diagnostik dan tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia.

Transcript of Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

Page 1: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 1/22

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000

kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi

“Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas

neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup.

Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai

kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan

komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga

dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental

yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena

biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi

pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2

sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit

pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil

(bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi

<37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada

menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis

dalam minggu pertama kehidupannya. Pada

kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan

pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang

akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil

memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi,

penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).

Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama

kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun

1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan

mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.1 Di

Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi

cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain

RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%.

B. Permasalahan

Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit

dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5

mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah; yang

paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin.

Mengingat belum adanya definisi yang universal, maka diperlukan kesepakatan definisi, pendekatan

diagnosis, serta tata laksana yang tepat.

Berbagai teknik diagnostik telah digunakan

untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai

metode paling tepercaya, tetapi memiliki keterbatasan karena bersifat invasif dan juga

keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya.

Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat menyebabkan

kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti transcutaneus bilirubinometry

(TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining) pengukuran bilirubin serum.

Sampai saat ini belum ada keseragaman tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. Kadar

serum bilirubin untuk memulai masing-masing jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar, obat-obatan)

masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi kelambatan

terapi dapat berakibat buruk di masa datang, di lain sisi terapi yang berlebihan berarti menyia-nyiakan

sumber daya yang tidak perlu.

Dengan latar belakang permasalahan di

atas, diperlukan kajian rinci serta rekomendasi

untuk merumuskan batasan, diagnosis, dan tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia.

C. Tujuan

Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar

rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan mengenai diagnostik dan tata laksana

ikterus neonatorum di Indonesia.

Page 2: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

BAB II

METODOLOGI PENILAIAN

A. Strategi Penelusuran Kepustakaan

Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan

melalui kepustakaan elektronik: Cochrane Library, Pubmed, New England Journal of Medicine, British

Medical Journal, Paediatrics, Indian Paediatrics, Agency for Health Care Research and Quality.

Disertakan pula hasil kajian dari HTA Malaysia.

Kata kunci yang digunakan:

hyperbilirubinemia, jaundice, neonatal, kernicterus, phenobarbithone, cholestiramine, phototherapy, exchange transfusion, bilirubinometer, transcutaneous bilirubinometer.

B. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai

berdasarkan evidence based medicine, ditentukan

hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi

diklasifikasikan berdasarkan definisi Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan

definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research.

Hierarchy of evidence: Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials. Ib. Minimal satu randomised controlled trials. IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials. IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report IV. Konsensus dan pendapat ahli

Derajat rekomendasi : A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.

B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.

C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb

dan IV.

C. Pengumpulan Data Lokal

Data lokal didapatkan dari beberapa rumah sakit

pendidikan. Data yang diambil antara lain insidens ikterus neonatorum (kuning yang tampak atau

bilirubin serum total > 5mg/dL), insidens ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan, insidens

hiperbilirubinemia (bilirubin serum total >13 mg/dL)

dan angka kematian terkait hiperbilirubinemia.

D. Ruang Lingkup Pembahasan

Tata laksana ikterus neonatorum yang dimulai dari

diagnosis dan terapi beserta modalitas yang dipilih untuk berbagai keadaan, alur tata laksana dan

analisis biaya. Untuk memudahkan satuan konsentrasi bilirubin yang digunakan adalah mg/dL.

Page 3: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 3/22

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

IKTERUS NEONATORUM

A. Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya

deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu

bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5

mg/dL.2

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.2

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan b. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup

bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan

>10 mg/dL c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam

d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL e. Ikterus menetap pada usia >2 minggu

f. Terdapat faktor risiko

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan

sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya

tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut

atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap

1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama):

tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik:

pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.

Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.3

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap

tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus

yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir

mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus

neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di

Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan

prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%

dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada

minggu pertama kehidupan.4 RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat

mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL.5

Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5.

Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi

pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan

hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian

neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat

dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada

tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di

antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait

hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar

12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.6

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr.

Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang

cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar

bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari

ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:2

- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel

darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.

- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,

UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) penurunan ambilan bilirubin oleh

hepatosit dan konjugasi.

- Sirkulus enterohepatikus meningkat karena

masih berfungsinya enzim glukuronidase di

usus dan belum ada nutrien.

Page 4: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 4/22

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan

(ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:2

- Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,

sferositosis herediter dan pengaruh obat.

- Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

- Polisitemia - Ekstravasasi sel darah merah,

sefalhematom, kontusio, trauma lahir - Ibu diabetes

- Asidosis

- Hipoksia/asfiksia - Sumbatan traktus digestif yang

mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik

2. Faktor Risiko3 Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal - Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia,

Native American,Yunani) - Komplikasi kehamilan (DM,

inkompatibilitas ABO dan Rh)

- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

- ASI b. Faktor Perinatal

- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

- Infeksi (bakteri, virus, protozoa) c. Faktor Neonatus

- Prematuritas - Faktor genetik

- Polisitemia

- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

- Rendahnya asupan ASI - Hipoglikemia

- Hipoalbuminemia

D. Patofisiologi

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat

terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan

puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-

lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,

namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga

hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru

lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke

3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL,

kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul

peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.1

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai

prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.

Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi

pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu.

Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar

puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada

munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena

polisitemia relatif, pemendekan masa hidup

eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan

konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

Gambar 1.3

Sel darah merah

Hemolisis

Biliverdin

Heme Hemoglobin

Karbonmonoksida

Bilirubin

BMG BDG

Karboksi hemoglobin

CO ekspirasi

Sirkulasi entero hepatik

Ekskresi melalui usus dan kandung empedu

BMG: bilirubin monoglucuronide BDG: bilirubin diglucuronide

Page 5: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 7/22

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)7

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan.

Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu

dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor

risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif,

minum kuat, tidak ada tata laksana khusus

meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

E. Penegakan Diagnosis

1. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang

tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan

pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan

metode visual tidak direkomendasikan, namun

apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan

skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai

berikut: 7 - Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan

yang cukup (di siang hari dengan cahaya

matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan

dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan

jaringan subkutan.

- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak

kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku

emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih

lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin

adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif

yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah

bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari

cahaya (dengan aluminium foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20

mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

3. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen

spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya

dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang

dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB)

dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi

pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen.3

Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk

tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah

studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102)

dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di

Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan

usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi

bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB

dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi

yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga

TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan

TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.8

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil

analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin

serum ataupun transkutan secara rutin sebagai

tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya

ensefalopati hiperbilirubin.9

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar

darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada

konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

Page 6: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22

Beberapa metode digunakan untuk mencoba

mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara

ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi

substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan

bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.10

Seperti telah diketahui bahwa pada

pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini,

maka pengukuran konsentrasi CO yang

dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.3

Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus

Usia Kuning terlihat pada:

Tingkat Keparahan

Ikterus

Hari 1 Bagian tubuh manapuna

Berat

Hari 2 Lengan dan Tungkaia

Hari 3 dan seterusnya

Tangan dan Kaki

a Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada

hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .

F. Tata laksana

1. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat,

cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.

Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:2

- Minum ASI dini dan sering - Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol

lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL

dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada

minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan

membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum7

(WHO)

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan

sebagai ikterus berat pada tabel 1. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko

berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia

kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan

darah bayi dan lakukan tes Coombs:

o Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi

sinar. o Bila kadar bilirubin serum berada pada atau

di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,

lakukan terapi sinar o Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO

bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga,

lakukan uji saring G6PD bila

memungkinkan. Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia

Hemolitik

Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas

faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada

bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun

penyebabnya.7

Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria

untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan

terapi sinar . Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar

memungkinkan:

o Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar (tabel 4),

kadar hemoglobin < 13 g/dL

(hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.

o Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk

dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi

bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit

< 40%). o Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

Persiapkan transfer Segera kirim bayi ke rumah sakit

tersier atau senter dengan fasilitas

transfusi tukar Kirim contoh darah ibu dan bayi

Page 7: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 7/22

Jelaskan kepada ibu tentang

penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi

apa yang akan diterima bayi. Nasihati ibu:

o Bila penyebab ikterus adalah

inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu

mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan

dengan kehamilan berikutnya. o Bila bayi memiliki defisiensi G6PD,

informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk

mencegah terjadinya hemolisis pada

bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,

kamfer/mothballs, favabeans). Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit <

30%), berikan transfusi darah.

Bila ikterus menetap selama 2 minggu

atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3

minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum

kehamilan 37 minggu), terapi sebagai

ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).

Follow up setelah kepulangan, periksa

kadar hemoglobin setiap minggu selama 4

minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi

darah.

Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) 7

Diagnosis ditegakkan apabila ikterus

menetap hingga 2 minggu pada neonatus

cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.

Terapi sinar dihentikan, dan lakukan

pemeriksaan penunjang untuk mencari

penyebab. Bila buang air besar bayi pucat atau urin

berwarna gelap, persiapkan kepindahan

bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut,

bila memungkinkan.

Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi

sebagai sifilis kongenital

Indikasi: Tabel 2. Indikasi Terapi sinar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum7

Usia Bayi Cukup Bulan Sehat Dengan Faktor Risikoa

mg/dL µmol/l mg/dL µmol/l

Hari ke-1 Kuning terlihat pada bagian tubuh manapunb

Hari ke-2 15 260 13 220

Hari ke-3 18 310 16 270

Hari ke-4 dan seterusnya

20 340 17 290

a faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan berusia 37 minggu), hemolisis dan sepsis. b Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat parah dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .

Tabel 3. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah11 Berat Badan (gr) Kadar Bilirubin (mg/dL)

< 1000 Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama

1000 – 1500 7 – 9

1500 – 2000 10 – 12

2000 – 2500 13 – 15

Page 8: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22

TERAPI SINAR

Mekanisme kerja Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi

sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi

bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin

mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi

ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari

plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk

terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak

terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer

bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya

dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang

bisa diekskresikan lewat urin.

Terapi sinar konvensional Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.

Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-

12 watt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada

jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri

dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.

Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena

dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak

mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada

bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua

tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.

Teknik terapi sinar :

Persiapan Unit Terapi sinar7

Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar

ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.

Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung

fluoresens berfungsi dengan baik. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah

rusak atau berkelip-kelip (flickering): o Catat tanggal penggantian tabung dan

lama penggunaan tabung tersebut.

o Ganti tabung setelah 2000 jam

penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa berfungsi.

Gunakan linen putih pada basinet atau

inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk

memantulkan cahaya sebanyak mungkin

kepada bayi.

Pemberian Terapi sinar7 Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.

(Gambar 3)

o Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang

pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih

kecil dalam inkubator. o Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian

alat dari pabrik. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan

lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan

tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.

Gambar 3. Bayi dalam Unit Terapi sinar

Page 9: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22

Balikkan bayi setiap 3 jam

Pastikan bayi diberi makan:

o Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang

setiap 3 jam: - Selama menyusui, pindahkan bayi dari

unit terapi sinar dan lepaskan

penutup mata - Pemberian suplemen atau mengganti

ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula,

dll) tidak ada gunanya. o Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI

yang telah dipompa (ASI perah),

tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel

3) selama bayi masih diterapi sinar . o Bila bayi menerima cairan per IV atau

makanan melalui NGT, jangan pindahkan

bayi dari sinar terapi sinar . Perhatikan: selama menjalani terapi sinar,

konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih

lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.

Teruskan terapi dan tes lain yang telah

ditetapkan: o Pindahkan bayi dari unit terapi sinar

hanya untuk melakukan prosedur yang

tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .

o Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk

mengetahui apakah bayi mengalami

sianosis sentral (lidah dan bibir biru) Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar

terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih

dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit

terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C - 37,5 0C.

Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam,

kecuali kasus-kasus khusus:

o Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL

o Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (tabel 4),

persiapkan kepindahan bayi dan secepat

mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar.

Sertakan contoh darah ibu dan bayi. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa,

hentikan terapi sinar setelah 3 hari.

Setelah terapi sinar dihentikan:

o Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila

memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode

klinis. (tabel 1) o Bila ikterus kembali ditemukan atau

bilirubin serum berada di atas nilai untuk

memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi

langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil

pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk

memulai terapi sinar.

Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi,

bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan

bayi. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri

nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi

bertambah kuning.

Komplikasi Terapi Sinar7 Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat

jarang terjadi dan reversibel.

Tabel 4. Komplikasi terapi sinar Kelainan Mekanisme yang mungkin

terjadi

Bronze baby syndrome

Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin

Diare Bilirubin indirek menghambat laktase

Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit

Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%) karena menyerap energi foton

Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin

Bilirubin di kulit cepat menghilang selama terapi sinar. Warna kulit tidak bisa dijadikan acuan untuk

menentukan kadar bilirubin serum selama bayi masih dalam terapi sinar dan dalam 24 jam

setelah penghentian terapi sinar .

Page 10: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 11/22

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas terapi sinar1:

Intensitas radiasi, kurva spektrum emisi dan luas

tubuh bayi yang terpapar. Intensitas cahaya yang

diperlukan 6-12 nm. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin sampai dosis

saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan paparan pada permukaan kulit secara

maksimum dari 40 W/cm2 per nm cahaya yang

sesuai. Di atas titik saturasi, peningkatan

intensitas tidak memberikan efek tambahan apa-apa.

Efikasi terapi sinar meningkat dengan

meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di

bawah 100 mol/l. Penurunan sebanyak 50%

dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin

>15 mg/dL menggunakan cahaya biru yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan

spektrum absorpsi bilirubin.

Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi,

berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat

kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang

sangat berat) dengan peningkatan hematokrit.

Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.

Faktor yang mengurangi efikasi terapi

sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat,

sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak),

lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum

dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki peralatan

untuk melakukan terapi sinar intensif.

TRANFUSI TUKAR

Transfusi tukar adalah suatu tindakan

pengambilan sejumlah kecil darah yang

dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan

berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini

bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati

bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan

isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat

tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga

mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar12

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan

dan Bank Darah adalah penting untuk

persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan

O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap

ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama

dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer

rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya

menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak

ada antibodi anti A dan anti B yang muncul. 5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain,

darah donor tidak boleh berisi antigen

tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap

plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160

mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar

a. SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique

: jarum infus dipasang melalui kateter vena

umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

b. ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri

umbilikalis dan dimasukkan melalui vena

umbilikalis dalam jumlah yang sama. c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi

tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar

pertama menggunakan golongan darah O rhesus

positif.

Page 11: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 10/22

Pelaksanaan tranfusi tukar:

1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,

pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.

2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan

pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga

sterilitasnya.

3. Persiapan Alat.

a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap b. Lampu pemanas dan alat monitor

c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril

d. Masker, tutup kepala dan gaun steril

e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah

f. Set tranfusi 2 buah g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai

berat lahir bayi atau abbocath h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10

mL, 20 mL, masing-masing 2 buah

i. Selang pembuangan j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10

% dan NaCl fisiologis k. Meja tindakan

Indikasi

Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada

hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar

berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel 5.

Tabel 5. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan

Kadar Bilirubin Serum7

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.

Tabel 6. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi

Berat Badan Lahir Rendah11 Berat Badan (gram)

Kadar Bilirubin (mg/dL)

< 1000 10 – 12

1000 – 1500 12 – 15

1500 – 2000 15 – 18

2000 – 2500 18 – 20

Keterangan: Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi

tukar apabila ada indikasi: a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar

Hb < 11 gr/dL b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam

walaupun sedang mendapatkan terapi sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat

dengan terapi sinar

Transfusi tukar harus dihentikan apabila

terjadi: - Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

- Gangguan pembekuan karena pemakaian

heparin - Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar

- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi

berlebih - Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik,

enterokolitis nekrotikan - Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar

- Lanjutkan dengan terapi sinar

- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar 12: a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko

tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari

orang tua penderita b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum

tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan

menghisapnya c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila

tali pusat telah mengering kompres dengan

NaCl fisiologis

Usia Bayi Cukup Bulan Sehat

Dengan Faktor Risiko

mg/dL mg/dL

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan seterusnya

30 20

Page 12: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 11/22

d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan

infus albumin terutama jika kadar albumin < 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-

bilirubin di dalam darah meningkat sebelum tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus

menurun, kecuali ada kontra indikasi atau

tranfusi tukar harus segera dilakukan e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar

antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin

indirek, albumin, golongan darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan

enzim eritrosit lainnya serta kultur darah

f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar

g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah)

Jumlah Darah Donor yang Dipakai Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50

mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150 mL/kgBB dan 200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-

turut adalah sebagai berikut: 45%, 70%, 85-85% dan 90%.

Pemasangan Kateter Vena Umbilikalis/Abbocath

a. Bayi diletakkan dalam posisi terlentang. Fiksasi lengan dan tungkai, dijaga agar tidak banyak

bergerak (diikat longgar)

b. Pasang alat monitor yang dibutuhkan (neonatal monitoring). Suhu bayi dipertahankan pada

suhu optimal atau jika ada meja resusitasi bayi diletakkan di bawah lampu pemanas/sorot

dengan jarak 2 meter

c. Semua tindakan harus dilaksanakan secara aseptik dan antiseptik, personil yang terlibat

langsung harus memakai gaun, sarung tangan, dan masker steril

d. Bersihkan daerah sekitar tali pusat atau tempat lain yang akan dipasang abbocath dengan

cairan antiseptik, tutup dengan kain steril yang

berlubang ditengahnya sehingga tampak tali pusat/ daerah yang akan dipasangkan abbocath

e. Jika dilakukan melalui vena umbilikalis, bersihkan dengan betadine 10%, tali pusat

dipotong kurang lebih 1 cm di atas dasar/kulit

abdomen dengan skalpel/pisau steril f. Jika tali pusat kering, lunakkan dengan kompres

NaCl fisiologis selama ½ - 1 jam g. Vena umbilikalis dicari dan masukkan kateter

vena sesuai ukuran bayi, diisi NaCl fisiologis. Kateter dimasukkan sampai (1) tampak ada

darah mengalir dari tubuh bayi atau (2) pada

posisi aman, yaitu ujung kateter sedikit di atas diafragma dan di dalam vena cava inferior

(ukuran sekitar panjang dari bahu kiri/kanan ke

tali pusat kemudian diukur ke diagram khusus

ukuran kateter tali pusat). Kateter harus diisi cairan untuk mencegah emboli udara

h. Setelah kateter vena umbilikalis terpasang dilakukan fiksasi dengan jahitan melingkari

kulit/tali pusat diameter 1,5 cm dengan benang

sutra steril i. Jika kateter gagal dipasang di vena umbilikalis,

tranfusi dapat dilakukan di vena saphena magna j. Kateter atau abbocath dihubungkan dengan

three way stopcock, bagian depan dengan selang infus donor dan bagian belakang dengan

selang infus pembuangan yang telah

dihubungkan dengan botol kosong di bawah botol tindakan

Pelaksanaan Tranfusi Tukar

a. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20

mL atau tergantung berat badan bayi, jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi

b. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum

bercampur dengan darah donor

c. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan

menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit

d. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama

20 detik, agar beredar dalam sirkulasi e. Hisap dan masukkan darah berulang kali

dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar selesai

f. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan

yang masuk pada lembaran observasi transfusi tukar

g. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap

tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan.

Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium

sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadarnya di atas normal maka kalsium glukonas tidak perlu

diberikan. Pemberian larutan kalsium glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan karena

bila terlalu cepat dapat mengakibatkan

timbulnya bradikardi/ cardiac arest. Beberapa peneliti menganjurkan untuk tidak memberikan

kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-

tanda hipokalsemia h. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus

diawasi dengan neonatal monitoring

i. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi tukar

Page 13: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 12/22

j. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang,

lakukan jahitan silk purse string atau ikatan kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika

kateter dicabut jahitan yang mengelilingi tali pusat dikencangkan

G. Efek Hiperbilirubinemia

Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel

saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat

enzim-enzim mitokondria serta mengganggu

sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama

pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.3

Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi

bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh

konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.

Ensefalopati bilirubin

Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan

komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi

akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan

serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa

menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak.

Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan

ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan

ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin

total serum pada bayi cukup bulan dengan

hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada

kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.

Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat

kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum,

ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi

efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan

ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin

serum yang sebelumnya diperkirakan dapat

menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena

ensefalopati bilirubin.

Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan

otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan

perceptual motor disorder.

H. Pencegahan13

Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko

seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan

beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:

1. Primer AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua

bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu

untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.

Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui

dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat

menurunkan kecenderungan keadaan

hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin

terjadinya proses menyusui yang baik.

AAP juga melarang pemberian cairan

tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan

tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin

serum.

2. Sekunder

Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus

neonatorum.

Pemeriksaan Golongan Darah

Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan

golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah

menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila

golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika

darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

Page 14: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 13/22

Penilaian Klinis

Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus

dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya

memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.

Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda

vital lain.

Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai

dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian

ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari.

Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku

pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian

wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

Page 15: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 16/22

BAB IV HASIL DAN DISKUSI

Dari penelusuran kepustakaan didapatkan sebuah panduan klinis terbaru mengenai tata laksana ikterus neonatorum yang dikeluarkan oleh American

Association of Pediatrics pada tahun 2004. Intisari dari panduan tersebut adalah sebagai berikut.13

Bayi baru lahir

Penilaian Ikterus

setiap 8-12 jam

Nilai TSB >persentil

95 (gambar 5)

Nilai TSB meningkat, melewati garis persentil

Nilai TSB, usia gestasi, dan usia (dalam jam). Lakukan tindakan

apabila telah memenuhi kriteria

Follow up hingga usia 48-120 jam, batas ditentukan usia dan faktor risiko

Tidak

Lakukan pemeriksaan TSB atau TcB

lalu nilai berdasarkan usia (dalam jam)

Jika usia bayi <24 jam, apakah ikterus yang nampak pada penilaian visual atau TcB cukup berat dan memerlukan pemeriksaan

TcB atau TSB?

Apakah bayi dapat

dipulangkan?

Periksa TSB ulang

1. Evaluasi penyebab 2. Lakukan tindakan apabila telah

memenuhi kriteria (gb.6.7) 3. Ulang pemeriksaan TSB tiap 4-24

jam

ya

Bayi dapat dipulangkan dan

follow up di rumah

Apakah pemeriksaan TcB

atau TSB telah dilakukan? Adakah Ikterus?

ya

ya

Tidak

Tidak Follow up

terpercaya

Bayi dapat dipulangkan dengan rencana follow up

Periksa TSB atau TcB jika belum dilakukan.

Buat rencana follow up

Adakah faktor risiko atau

usia bayi <72 jam

Tidak

Tidak

Tidak

ya

ya

ya

ya

Tidak

Tidak

ya

Page 16: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 17/22

Faktor risiko hiperbilirubinemia

Mayor - Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada zone risiko tinggi

- Ikterus muncul pada 24 jam pertama kehidupan - Inkompatibilitas golongan darah

- Usia gestasi 35-36 minggu

- Riwayat saudara kandung menerima terapi sinar - Hematoma sefal atau memar luas

- ASI eksklusif, terutama jika ASI tidak lancar, dan kehilangan berat badan. - Ras Asia timur

Minor

- Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada zone risiko sedang

- Usia gestasi 37-38 minggu - Ikterus muncul sebelum dipulangkan.

- Saudara kandung mengalami ikterus neonatorum - Makrosomia dengan ibu diabetes

- Usia ibu > 25 tahun

- Bayi laki-laki

Risiko rendah - TSB atau TcB pada zone risiko rendah

- Usia gestasi > 41 minggu - Susu botol eksklusif

- Kulit hitam (ditentukan warna kulit ibu)

- Pulang dari RS setelah 72 jam

Gambar 5. Nomogram

Gambar 5 Nomogram dibuat berdasarkan pemeriksaan 2830 bayi baru lahir usia gestasi 36 minggu atau lebih, dengan berat lahir 2000g atau lebih; atau 35 minggu atau lebih dengan berat lahir 2500g atau lebih, dari pemeriksaan serum bilirubin tiap jam. Bilirubin serum diperiksa sebelum bayi dipulangkan.

Page 17: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 18/22

Gambar 6. Pedoman terapi sinar bagi bayi yang dirawat dengan usia gestasi 35 minggu atau lebih.

Gunakan bilirubin serum total. Tidak perlu memeriksakan bilirubin bebas maupun bilirubin konjugasi. Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh tidak stabil, sepsis,

asidosis, albumin < 3.0g/dL. Untuk bayi sehat dengan usia gestasi 35-36 6/7 minggu, tindakan dilakukan apabila nilai bilirubin serum total

melewati zone risiko sedang. Intervensi dapat dilakukan pada nilai bilirubin serum total lebih rendah untuk bayi dengan usia gestasi lebih muda.

Dapat pula dilakukan terapi sinar konvensional di RS maupun terapi sinar di rumah, pada nilai bilirubin serum total 2-3mg/dL (30-35mmol/L) di bawah nilai yang ditentukan. Namun terapi sinar di rumah tidak boleh dilakukan pada bayi dengan faktor risiko.

Catatan: pedoman ini dibuat berdasarkan bukti ilmiah yang terbatas, dan nilai yang dicantumkan merupakan nilai yang paling mendekati. Pedoman ini ditujukan untuk terapi sinar intensif apabila nilai bilirubin serum total melewati garis tindakan bagi tiap kategori. Bayi dimasukkan dalam kelompok risiko tinggi dari potensi efek negatif berdasarkan ikatan

albumin pada bilirubin, sawar darah otak, dan kecenderungan kerusakan sel otak akibat bilirubin. Terapi sinar intensif merupakan penyinaran menggunakan spektrum biru-hijau (panjang gelombang 430-490 nm) sebesar 30 µW/cm2 per nm (dinilai pada kulit bayi tepat di pusat unit terapi sinar ) dan diberikan pada permukaan tubuh bayi sebanyak mungkin. Apabila bilirubin serum tidak turun atau bahkan terus meningkat dengan terapi sinar, maka sangat mungkin terjadi hemolisis. Bayi yang menerima terapi sinar dan mengalami peningkatan bilirubin direk atau bilirubin konjugasi (ikterus kolestasis) sangat mungkin akan mengalami sindroma Bronze-baby.

Page 18: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 19/22

Gambar 7. Pedoman Transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi 35 minggu atau lebih.

Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan adanya rentang yang cukup besar pada kondisi klinis dan

respon terhadap terapi sinar Tindakan transfusi tukar sangat direkomendasikan apabila bayi menunjukkan tanda-tanda bilirubin ensefalopati

akut (hipertoni, opistotonus, retrocoli, demam, tangis melengking) atau apabila serum bilirubin total > 5mg/dL (85 µmol/L)

Faktor risiko – penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, temperatur tidak stabil, sepsis, asidosis.

Periksa albumin serum dan nilai rasio bilirubin / albumin Gunakan bilirubin serum total, tidak perlu membagi bilirubin direk atau bilirubin bebas. Apabila bayi sehat dan usia gestasi 35-37 minggu (risiko sedang) dapat dilakukan dibuat nilai acuan individual

berdasarkan usia gestasi aktual.

Perhatikan bahwa pedoman ini merupakan konsensus anggota komite namun bukti ilmiah yang mendasarinya masih sangat terbatas dan angka yang tercantum adalah nilai yang mendekati. Selama perawatan di RS, transfusi tukar direkomendasikan apabila bilirubin serum total terus meningkat mencapai level yang tercantum meskipun sudah mendapatkan terapi sinar intensif. Untuk bayi yang datang kembali, jika bilirubin serum total berada di atas level transfusi tukar, ulang pemeriksaan bilirubin serum total tiap 2-3 jam dan pertimbangkan tindakan transfusi tukar bila kadarnya tetap tinggi setelah pemberian terapi sinar intensif selama 6 jam. Rasio Bilirubin/Albumin (B/A) berikut dapat digunakan bersama dengan kadar bilirubin serum total untuk menentukan perlu tidaknya tindakan transfusi tukar. Tabel 8. Indikasi transfusi tukar berdasarkan rasio B/A

Kategori Risiko Rasio B/A di mana tindakan transfusi tukar sebaiknya dilakukan

TSB mg/dL / Alb g/dL TSB μmol/L / Alb μmol/L

Bayi > 38 0/7 minggu Bayi 35 0/7 – 36 6/7 mgg sehat atau > 38 0/7 mgg

dengan risiko tinggi atau penyakit hemolitik isoimun atau defisiensi G6PD

Bayi 35 0/7 – 37 6/7 mgg dengan risiko tinggi atau penyakit hemolitik isoimun atau defisiensi G6PD

8.0 7.2

6.8

0.94 0.84

0.80

Apabila nilai TSB mencapai level transfusi tukar, segera kirim contoh darah untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch. Darah yang digunakan untuk transfusi adalah modifikasi darah lengkap (eritrosit dan plasma) yang telah dicocokkan (crossmatched) dengan darah ibu dan sesuai dengan darah bayi.

Page 19: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 20/22

BAB V ANALISIS BIAYA

Analisis biaya untuk penatalaksanaan ikterus neonatorum di rumah sakit saat ini belum dapat dilakukan.

Untuk menyusun suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost, indirect cost dan intangible cost. Data yang diperoleh tim pengkaji saat ini masih terbatas pada direct cost beberapa rumah

sakit.

Komponen direct cost dalam penatalaksanaan Ikterus Neonatorum di rumah sakit, meliputi:

1. Pemeriksaan laboratorium 2. Fototerapi

3. Transfusi tukar 4. Rawat inap

5. Penggunaan inkubator/radiant heater 6. Konsultasi dokter

Tabel 9.

Biaya penatalaksanaan Ikterus Neonatorum di RS Karyadi Semarang, RS Hasan Sadikin Bandung dan RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

NO JENIS KEGIATAN BIAYA SATUAN

RS Karyadi

RS Hasan Sadikin RS Dr. Sardjito

DIRECT COST

1 Pemeriksaan Laboratorium

Bilirubin Total 14.000.00 14.000.00 12.500.00

Bilirubin Direk 15.500.00 14.000.00 12.500.00

2 Fototerapi perhari 70.000.00 80.000.00 111.000.00

per paket (3 hari)

3 Transfusi tukar perkali 1.145.040.00 1.150.000.00 600.000.00

4 Rawat inap

5 Inkubator

Radiant heater

6 Konsultasi dokter

Page 20: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 21/22

BAB VI REKOMENDASI

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, maka disusun rekomendasi sebagai berikut:

1. Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa, sedangkan

hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL

Rekomendasi C

2. Ikterus neonatorum, pada umumnya fisiologis, kecuali: a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan

b. Bilirubin total untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan > 10 mg/dL c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/hari

d. Bilirubin direk > 2 mg/dL

e. Ikterus menetap pada bayi cukup bulan > 1 minggu atau pada bayi kurang bulan > 2 minggu f. Terdapat faktor risiko

Ikterus fisiologis tidak diterapi. Rekomendasi C

3. Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan dengan: a. Serum bilirubin

b. Bila tidak tersedia alat untuk melakukan pemeriksaan serum bilirubin, dapat digunakan cara visual (sesuai panduan WHO), kemudian pasien harus segera dirujuk.

Rekomendasi C

4. Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum:

a. Fototerapi - apabila fasilitas memadai, dilakukan sesuai pedoman dari AAP

- fasilitas tidak memadai, dilakukan sesuai pedoman dari WHO b. Transfusi tukar

- dilakukan sesuai panduan WHO

Rekomendasi C

Page 21: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 22/22

DAFTAR PUSTAKA

1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.

2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia. 3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90. 4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones

2001;41:69-75. 5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta. 6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang. 7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and

Research, World Health Organization, Geneva 2003. 8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full

term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2. 9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants.

Pediatrics 2004;114:917-24.

10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.

11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.

12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K) 13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant

35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297-316.

Page 22: Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf

HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 23/22

PANEL AHLI Prof.dr. Moeslichan, SpA(K) Divisi Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof.dr. Achmad Surjono, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta Prof.dr. Rulina Suradi, SpA(K) Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Kamillah Budhi Rahardjani, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang dr. Ali Usman, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung dr. Rinawati, SpA(K) Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Laurensia Lawintono Ikatan Bidan Indonesia Ina Yuniati Direktorat Binkesmas Departemen Kesehatan Republik Indonesia TIM TEKNIS Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K) Anggota : dr. Santoso Soeroso, SpA(K), MARS dr. Ratna Mardiati, SpKJ dr. Wuwuh Utami N., MKes dr. Monalisa Nasrul dr. Mutiara Arcan dr. Nastiti Rahajeng