Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf
Transcript of Tatalaksana Ikterus Neonatorum.pdf
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 1/22
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000
kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi
“Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas
neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai
kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga
dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental
yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena
biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi
pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2
sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil
(bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi
<37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada
menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis
dalam minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang
akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil
memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi,
penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama
kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun
1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan
mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.1 Di
Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi
cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain
RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%.
B. Permasalahan
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit
dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah; yang
paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin.
Mengingat belum adanya definisi yang universal, maka diperlukan kesepakatan definisi, pendekatan
diagnosis, serta tata laksana yang tepat.
Berbagai teknik diagnostik telah digunakan
untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai
metode paling tepercaya, tetapi memiliki keterbatasan karena bersifat invasif dan juga
keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya.
Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat menyebabkan
kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti transcutaneus bilirubinometry
(TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining) pengukuran bilirubin serum.
Sampai saat ini belum ada keseragaman tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. Kadar
serum bilirubin untuk memulai masing-masing jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar, obat-obatan)
masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi kelambatan
terapi dapat berakibat buruk di masa datang, di lain sisi terapi yang berlebihan berarti menyia-nyiakan
sumber daya yang tidak perlu.
Dengan latar belakang permasalahan di
atas, diperlukan kajian rinci serta rekomendasi
untuk merumuskan batasan, diagnosis, dan tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia.
C. Tujuan
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar
rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan mengenai diagnostik dan tata laksana
ikterus neonatorum di Indonesia.
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
A. Strategi Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan
melalui kepustakaan elektronik: Cochrane Library, Pubmed, New England Journal of Medicine, British
Medical Journal, Paediatrics, Indian Paediatrics, Agency for Health Care Research and Quality.
Disertakan pula hasil kajian dari HTA Malaysia.
Kata kunci yang digunakan:
hyperbilirubinemia, jaundice, neonatal, kernicterus, phenobarbithone, cholestiramine, phototherapy, exchange transfusion, bilirubinometer, transcutaneous bilirubinometer.
B. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai
berdasarkan evidence based medicine, ditentukan
hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi
diklasifikasikan berdasarkan definisi Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan
definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research.
Hierarchy of evidence: Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials. Ib. Minimal satu randomised controlled trials. IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials. IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report IV. Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi : A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb
dan IV.
C. Pengumpulan Data Lokal
Data lokal didapatkan dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Data yang diambil antara lain insidens ikterus neonatorum (kuning yang tampak atau
bilirubin serum total > 5mg/dL), insidens ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan, insidens
hiperbilirubinemia (bilirubin serum total >13 mg/dL)
dan angka kematian terkait hiperbilirubinemia.
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Tata laksana ikterus neonatorum yang dimulai dari
diagnosis dan terapi beserta modalitas yang dipilih untuk berbagai keadaan, alur tata laksana dan
analisis biaya. Untuk memudahkan satuan konsentrasi bilirubin yang digunakan adalah mg/dL.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 3/22
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
IKTERUS NEONATORUM
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya
deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL.2
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.2
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan b. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup
bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam
d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL e. Ikterus menetap pada usia >2 minggu
f. Terdapat faktor risiko
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan
sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya
tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut
atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap
1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama):
tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik:
pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.
Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.3
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap
tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus
yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir
mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan
prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%
dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada
minggu pertama kehidupan.4 RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat
mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL.5
Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5.
Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi
pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian
neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat
dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di
antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait
hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar
12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.6
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr.
Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang
cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar
bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari
ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:2
- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel
darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) penurunan ambilan bilirubin oleh
hepatosit dan konjugasi.
- Sirkulus enterohepatikus meningkat karena
masih berfungsinya enzim glukuronidase di
usus dan belum ada nutrien.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 4/22
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan
(ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:2
- Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,
sferositosis herediter dan pengaruh obat.
- Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
- Polisitemia - Ekstravasasi sel darah merah,
sefalhematom, kontusio, trauma lahir - Ibu diabetes
- Asidosis
- Hipoksia/asfiksia - Sumbatan traktus digestif yang
mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
2. Faktor Risiko3 Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal - Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia,
Native American,Yunani) - Komplikasi kehamilan (DM,
inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
- ASI b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa) c. Faktor Neonatus
- Prematuritas - Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI - Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat
terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan
puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-
lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,
namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga
hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru
lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke
3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL,
kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul
peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.1
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai
prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.
Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi
pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu.
Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar
puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada
munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena
polisitemia relatif, pemendekan masa hidup
eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan
konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.
Gambar 1.3
Sel darah merah
Hemolisis
Biliverdin
Heme Hemoglobin
Karbonmonoksida
Bilirubin
BMG BDG
Karboksi hemoglobin
CO ekspirasi
Sirkulasi entero hepatik
Ekskresi melalui usus dan kandung empedu
BMG: bilirubin monoglucuronide BDG: bilirubin diglucuronide
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 7/22
2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)7
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan.
Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu
dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor
risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif,
minum kuat, tidak ada tata laksana khusus
meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang
tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan
pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun
apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan
skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut: 7 - Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan
yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku
emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih
lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin
adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif
yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah
bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari
cahaya (dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20
mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen
spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya
dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang
dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB)
dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi
pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen.3
Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk
tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah
studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102)
dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di
Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan
usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi
bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB
dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi
yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga
TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan
TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.8
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil
analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin
serum ataupun transkutan secara rutin sebagai
tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya
ensefalopati hiperbilirubin.9
4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar
darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada
konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22
Beberapa metode digunakan untuk mencoba
mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara
ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi
substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.10
Seperti telah diketahui bahwa pada
pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini,
maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.3
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia Kuning terlihat pada:
Tingkat Keparahan
Ikterus
Hari 1 Bagian tubuh manapuna
Berat
Hari 2 Lengan dan Tungkaia
Hari 3 dan seterusnya
Tangan dan Kaki
a Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada
hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat,
cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:2
- Minum ASI dini dan sering - Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL
dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada
minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum7
(WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan
sebagai ikterus berat pada tabel 1. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko
berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia
kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan
darah bayi dan lakukan tes Coombs:
o Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar. o Bila kadar bilirubin serum berada pada atau
di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar o Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO
bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga,
lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan. Tentukan diagnosis banding
2. Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas
faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada
bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun
penyebabnya.7
Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria
untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar . Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar
memungkinkan:
o Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar (tabel 4),
kadar hemoglobin < 13 g/dL
(hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
o Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi
bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit
< 40%). o Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
Persiapkan transfer Segera kirim bayi ke rumah sakit
tersier atau senter dengan fasilitas
transfusi tukar Kirim contoh darah ibu dan bayi
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 7/22
Jelaskan kepada ibu tentang
penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi
apa yang akan diterima bayi. Nasihati ibu:
o Bila penyebab ikterus adalah
inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu
mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan
dengan kehamilan berikutnya. o Bila bayi memiliki defisiensi G6PD,
informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk
mencegah terjadinya hemolisis pada
bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,
kamfer/mothballs, favabeans). Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit <
30%), berikan transfusi darah.
Bila ikterus menetap selama 2 minggu
atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3
minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum
kehamilan 37 minggu), terapi sebagai
ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
Follow up setelah kepulangan, periksa
kadar hemoglobin setiap minggu selama 4
minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi
darah.
Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) 7
Diagnosis ditegakkan apabila ikterus
menetap hingga 2 minggu pada neonatus
cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
Terapi sinar dihentikan, dan lakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab. Bila buang air besar bayi pucat atau urin
berwarna gelap, persiapkan kepindahan
bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut,
bila memungkinkan.
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi
sebagai sifilis kongenital
Indikasi: Tabel 2. Indikasi Terapi sinar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum7
Usia Bayi Cukup Bulan Sehat Dengan Faktor Risikoa
mg/dL µmol/l mg/dL µmol/l
Hari ke-1 Kuning terlihat pada bagian tubuh manapunb
Hari ke-2 15 260 13 220
Hari ke-3 18 310 16 270
Hari ke-4 dan seterusnya
20 340 17 290
a faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan berusia 37 minggu), hemolisis dan sepsis. b Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat parah dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .
Tabel 3. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah11 Berat Badan (gr) Kadar Bilirubin (mg/dL)
< 1000 Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama
1000 – 1500 7 – 9
1500 – 2000 10 – 12
2000 – 2500 13 – 15
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22
TERAPI SINAR
Mekanisme kerja Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi
sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin
mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi
ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari
plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk
terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak
terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer
bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya
dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang
bisa diekskresikan lewat urin.
Terapi sinar konvensional Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-
12 watt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada
jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri
dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.
Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena
dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak
mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada
bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua
tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.
Teknik terapi sinar :
Persiapan Unit Terapi sinar7
Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar
ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.
Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung
fluoresens berfungsi dengan baik. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah
rusak atau berkelip-kelip (flickering): o Catat tanggal penggantian tabung dan
lama penggunaan tabung tersebut.
o Ganti tabung setelah 2000 jam
penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa berfungsi.
Gunakan linen putih pada basinet atau
inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk
memantulkan cahaya sebanyak mungkin
kepada bayi.
Pemberian Terapi sinar7 Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.
(Gambar 3)
o Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang
pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih
kecil dalam inkubator. o Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian
alat dari pabrik. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan
lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan
tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
Gambar 3. Bayi dalam Unit Terapi sinar
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 8/22
Balikkan bayi setiap 3 jam
Pastikan bayi diberi makan:
o Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang
setiap 3 jam: - Selama menyusui, pindahkan bayi dari
unit terapi sinar dan lepaskan
penutup mata - Pemberian suplemen atau mengganti
ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula,
dll) tidak ada gunanya. o Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI
yang telah dipompa (ASI perah),
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel
3) selama bayi masih diterapi sinar . o Bila bayi menerima cairan per IV atau
makanan melalui NGT, jangan pindahkan
bayi dari sinar terapi sinar . Perhatikan: selama menjalani terapi sinar,
konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih
lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
Teruskan terapi dan tes lain yang telah
ditetapkan: o Pindahkan bayi dari unit terapi sinar
hanya untuk melakukan prosedur yang
tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .
o Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami
sianosis sentral (lidah dan bibir biru) Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar
terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih
dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit
terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C - 37,5 0C.
Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam,
kecuali kasus-kasus khusus:
o Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
o Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (tabel 4),
persiapkan kepindahan bayi dan secepat
mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar.
Sertakan contoh darah ibu dan bayi. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa,
hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
Setelah terapi sinar dihentikan:
o Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode
klinis. (tabel 1) o Bila ikterus kembali ditemukan atau
bilirubin serum berada di atas nilai untuk
memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi
langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil
pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk
memulai terapi sinar.
Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi,
bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan
bayi. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri
nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi
bertambah kuning.
Komplikasi Terapi Sinar7 Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat
jarang terjadi dan reversibel.
Tabel 4. Komplikasi terapi sinar Kelainan Mekanisme yang mungkin
terjadi
Bronze baby syndrome
Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin
Bilirubin di kulit cepat menghilang selama terapi sinar. Warna kulit tidak bisa dijadikan acuan untuk
menentukan kadar bilirubin serum selama bayi masih dalam terapi sinar dan dalam 24 jam
setelah penghentian terapi sinar .
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 11/22
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas terapi sinar1:
Intensitas radiasi, kurva spektrum emisi dan luas
tubuh bayi yang terpapar. Intensitas cahaya yang
diperlukan 6-12 nm. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin sampai dosis
saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan paparan pada permukaan kulit secara
maksimum dari 40 W/cm2 per nm cahaya yang
sesuai. Di atas titik saturasi, peningkatan
intensitas tidak memberikan efek tambahan apa-apa.
Efikasi terapi sinar meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di
bawah 100 mol/l. Penurunan sebanyak 50%
dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin
>15 mg/dL menggunakan cahaya biru yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan
spektrum absorpsi bilirubin.
Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi,
berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat
kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang
sangat berat) dengan peningkatan hematokrit.
Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi
sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat,
sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak),
lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum
dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki peralatan
untuk melakukan terapi sinar intensif.
TRANFUSI TUKAR
Transfusi tukar adalah suatu tindakan
pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini
bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati
bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat
tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga
mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.
Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar12
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan
dan Bank Darah adalah penting untuk
persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan
O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap
ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak
ada antibodi anti A dan anti B yang muncul. 5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain,
darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
Teknik Transfusi Tukar
a. SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique
: jarum infus dipasang melalui kateter vena
umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena
umbilikalis dalam jumlah yang sama. c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi
tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar
pertama menggunakan golongan darah O rhesus
positif.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 10/22
Pelaksanaan tranfusi tukar:
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap b. Lampu pemanas dan alat monitor
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
d. Masker, tutup kepala dan gaun steril
e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
f. Set tranfusi 2 buah g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai
berat lahir bayi atau abbocath h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10
mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10
% dan NaCl fisiologis k. Meja tindakan
Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada
hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar
berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel 5.
Tabel 5. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan
Kadar Bilirubin Serum7
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Tabel 6. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi
Berat Badan Lahir Rendah11 Berat Badan (gram)
Kadar Bilirubin (mg/dL)
< 1000 10 – 12
1000 – 1500 12 – 15
1500 – 2000 15 – 18
2000 – 2500 18 – 20
Keterangan: Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi
tukar apabila ada indikasi: a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar
Hb < 11 gr/dL b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam
walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat
dengan terapi sinar
Transfusi tukar harus dihentikan apabila
terjadi: - Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian
heparin - Perforasi pembuluh darah
Komplikasi tranfusi tukar
- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi
berlebih - Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik,
enterokolitis nekrotikan - Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
Perawatan pasca tranfusi tukar
- Lanjutkan dengan terapi sinar
- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar 12: a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko
tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari
orang tua penderita b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum
tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan
menghisapnya c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila
tali pusat telah mengering kompres dengan
NaCl fisiologis
Usia Bayi Cukup Bulan Sehat
Dengan Faktor Risiko
mg/dL mg/dL
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Hari ke-4 dan seterusnya
30 20
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 11/22
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan
infus albumin terutama jika kadar albumin < 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-
bilirubin di dalam darah meningkat sebelum tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus
menurun, kecuali ada kontra indikasi atau
tranfusi tukar harus segera dilakukan e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar
antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin
indirek, albumin, golongan darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan
enzim eritrosit lainnya serta kultur darah
f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah)
Jumlah Darah Donor yang Dipakai Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50
mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150 mL/kgBB dan 200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-
turut adalah sebagai berikut: 45%, 70%, 85-85% dan 90%.
Pemasangan Kateter Vena Umbilikalis/Abbocath
a. Bayi diletakkan dalam posisi terlentang. Fiksasi lengan dan tungkai, dijaga agar tidak banyak
bergerak (diikat longgar)
b. Pasang alat monitor yang dibutuhkan (neonatal monitoring). Suhu bayi dipertahankan pada
suhu optimal atau jika ada meja resusitasi bayi diletakkan di bawah lampu pemanas/sorot
dengan jarak 2 meter
c. Semua tindakan harus dilaksanakan secara aseptik dan antiseptik, personil yang terlibat
langsung harus memakai gaun, sarung tangan, dan masker steril
d. Bersihkan daerah sekitar tali pusat atau tempat lain yang akan dipasang abbocath dengan
cairan antiseptik, tutup dengan kain steril yang
berlubang ditengahnya sehingga tampak tali pusat/ daerah yang akan dipasangkan abbocath
e. Jika dilakukan melalui vena umbilikalis, bersihkan dengan betadine 10%, tali pusat
dipotong kurang lebih 1 cm di atas dasar/kulit
abdomen dengan skalpel/pisau steril f. Jika tali pusat kering, lunakkan dengan kompres
NaCl fisiologis selama ½ - 1 jam g. Vena umbilikalis dicari dan masukkan kateter
vena sesuai ukuran bayi, diisi NaCl fisiologis. Kateter dimasukkan sampai (1) tampak ada
darah mengalir dari tubuh bayi atau (2) pada
posisi aman, yaitu ujung kateter sedikit di atas diafragma dan di dalam vena cava inferior
(ukuran sekitar panjang dari bahu kiri/kanan ke
tali pusat kemudian diukur ke diagram khusus
ukuran kateter tali pusat). Kateter harus diisi cairan untuk mencegah emboli udara
h. Setelah kateter vena umbilikalis terpasang dilakukan fiksasi dengan jahitan melingkari
kulit/tali pusat diameter 1,5 cm dengan benang
sutra steril i. Jika kateter gagal dipasang di vena umbilikalis,
tranfusi dapat dilakukan di vena saphena magna j. Kateter atau abbocath dihubungkan dengan
three way stopcock, bagian depan dengan selang infus donor dan bagian belakang dengan
selang infus pembuangan yang telah
dihubungkan dengan botol kosong di bawah botol tindakan
Pelaksanaan Tranfusi Tukar
a. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20
mL atau tergantung berat badan bayi, jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi
b. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum
bercampur dengan darah donor
c. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan
menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit
d. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama
20 detik, agar beredar dalam sirkulasi e. Hisap dan masukkan darah berulang kali
dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar selesai
f. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan
yang masuk pada lembaran observasi transfusi tukar
g. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap
tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan.
Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium
sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadarnya di atas normal maka kalsium glukonas tidak perlu
diberikan. Pemberian larutan kalsium glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan karena
bila terlalu cepat dapat mengakibatkan
timbulnya bradikardi/ cardiac arest. Beberapa peneliti menganjurkan untuk tidak memberikan
kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-
tanda hipokalsemia h. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus
diawasi dengan neonatal monitoring
i. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi tukar
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 12/22
j. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang,
lakukan jahitan silk purse string atau ikatan kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika
kateter dicabut jahitan yang mengelilingi tali pusat dikencangkan
G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel
saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat
enzim-enzim mitokondria serta mengganggu
sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama
pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.3
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi
bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh
konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi
akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan
serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa
menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak.
Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan
ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan
ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin
total serum pada bayi cukup bulan dengan
hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada
kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat
kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum,
ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi
efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan
ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin
serum yang sebelumnya diperkirakan dapat
menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena
ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan
otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan
perceptual motor disorder.
H. Pencegahan13
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko
seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan
beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua
bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu
untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui
dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat
menurunkan kecenderungan keadaan
hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin
terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan
tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan
tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin
serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus
neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan
golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah
menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila
golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika
darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 13/22
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus
dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya
memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda
vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai
dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian
ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari.
Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku
pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian
wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 16/22
BAB IV HASIL DAN DISKUSI
Dari penelusuran kepustakaan didapatkan sebuah panduan klinis terbaru mengenai tata laksana ikterus neonatorum yang dikeluarkan oleh American
Association of Pediatrics pada tahun 2004. Intisari dari panduan tersebut adalah sebagai berikut.13
Bayi baru lahir
Penilaian Ikterus
setiap 8-12 jam
Nilai TSB >persentil
95 (gambar 5)
Nilai TSB meningkat, melewati garis persentil
Nilai TSB, usia gestasi, dan usia (dalam jam). Lakukan tindakan
apabila telah memenuhi kriteria
Follow up hingga usia 48-120 jam, batas ditentukan usia dan faktor risiko
Tidak
Lakukan pemeriksaan TSB atau TcB
lalu nilai berdasarkan usia (dalam jam)
Jika usia bayi <24 jam, apakah ikterus yang nampak pada penilaian visual atau TcB cukup berat dan memerlukan pemeriksaan
TcB atau TSB?
Apakah bayi dapat
dipulangkan?
Periksa TSB ulang
1. Evaluasi penyebab 2. Lakukan tindakan apabila telah
memenuhi kriteria (gb.6.7) 3. Ulang pemeriksaan TSB tiap 4-24
jam
ya
Bayi dapat dipulangkan dan
follow up di rumah
Apakah pemeriksaan TcB
atau TSB telah dilakukan? Adakah Ikterus?
ya
ya
Tidak
Tidak Follow up
terpercaya
Bayi dapat dipulangkan dengan rencana follow up
Periksa TSB atau TcB jika belum dilakukan.
Buat rencana follow up
Adakah faktor risiko atau
usia bayi <72 jam
Tidak
Tidak
Tidak
ya
ya
ya
ya
Tidak
Tidak
ya
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 17/22
Faktor risiko hiperbilirubinemia
Mayor - Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada zone risiko tinggi
- Ikterus muncul pada 24 jam pertama kehidupan - Inkompatibilitas golongan darah
- Usia gestasi 35-36 minggu
- Riwayat saudara kandung menerima terapi sinar - Hematoma sefal atau memar luas
- ASI eksklusif, terutama jika ASI tidak lancar, dan kehilangan berat badan. - Ras Asia timur
Minor
- Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada zone risiko sedang
- Usia gestasi 37-38 minggu - Ikterus muncul sebelum dipulangkan.
- Saudara kandung mengalami ikterus neonatorum - Makrosomia dengan ibu diabetes
- Usia ibu > 25 tahun
- Bayi laki-laki
Risiko rendah - TSB atau TcB pada zone risiko rendah
- Usia gestasi > 41 minggu - Susu botol eksklusif
- Kulit hitam (ditentukan warna kulit ibu)
- Pulang dari RS setelah 72 jam
Gambar 5. Nomogram
Gambar 5 Nomogram dibuat berdasarkan pemeriksaan 2830 bayi baru lahir usia gestasi 36 minggu atau lebih, dengan berat lahir 2000g atau lebih; atau 35 minggu atau lebih dengan berat lahir 2500g atau lebih, dari pemeriksaan serum bilirubin tiap jam. Bilirubin serum diperiksa sebelum bayi dipulangkan.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 18/22
Gambar 6. Pedoman terapi sinar bagi bayi yang dirawat dengan usia gestasi 35 minggu atau lebih.
Gunakan bilirubin serum total. Tidak perlu memeriksakan bilirubin bebas maupun bilirubin konjugasi. Faktor risiko = penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh tidak stabil, sepsis,
asidosis, albumin < 3.0g/dL. Untuk bayi sehat dengan usia gestasi 35-36 6/7 minggu, tindakan dilakukan apabila nilai bilirubin serum total
melewati zone risiko sedang. Intervensi dapat dilakukan pada nilai bilirubin serum total lebih rendah untuk bayi dengan usia gestasi lebih muda.
Dapat pula dilakukan terapi sinar konvensional di RS maupun terapi sinar di rumah, pada nilai bilirubin serum total 2-3mg/dL (30-35mmol/L) di bawah nilai yang ditentukan. Namun terapi sinar di rumah tidak boleh dilakukan pada bayi dengan faktor risiko.
Catatan: pedoman ini dibuat berdasarkan bukti ilmiah yang terbatas, dan nilai yang dicantumkan merupakan nilai yang paling mendekati. Pedoman ini ditujukan untuk terapi sinar intensif apabila nilai bilirubin serum total melewati garis tindakan bagi tiap kategori. Bayi dimasukkan dalam kelompok risiko tinggi dari potensi efek negatif berdasarkan ikatan
albumin pada bilirubin, sawar darah otak, dan kecenderungan kerusakan sel otak akibat bilirubin. Terapi sinar intensif merupakan penyinaran menggunakan spektrum biru-hijau (panjang gelombang 430-490 nm) sebesar 30 µW/cm2 per nm (dinilai pada kulit bayi tepat di pusat unit terapi sinar ) dan diberikan pada permukaan tubuh bayi sebanyak mungkin. Apabila bilirubin serum tidak turun atau bahkan terus meningkat dengan terapi sinar, maka sangat mungkin terjadi hemolisis. Bayi yang menerima terapi sinar dan mengalami peningkatan bilirubin direk atau bilirubin konjugasi (ikterus kolestasis) sangat mungkin akan mengalami sindroma Bronze-baby.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 19/22
Gambar 7. Pedoman Transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi 35 minggu atau lebih.
Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan adanya rentang yang cukup besar pada kondisi klinis dan
respon terhadap terapi sinar Tindakan transfusi tukar sangat direkomendasikan apabila bayi menunjukkan tanda-tanda bilirubin ensefalopati
akut (hipertoni, opistotonus, retrocoli, demam, tangis melengking) atau apabila serum bilirubin total > 5mg/dL (85 µmol/L)
Faktor risiko – penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, temperatur tidak stabil, sepsis, asidosis.
Periksa albumin serum dan nilai rasio bilirubin / albumin Gunakan bilirubin serum total, tidak perlu membagi bilirubin direk atau bilirubin bebas. Apabila bayi sehat dan usia gestasi 35-37 minggu (risiko sedang) dapat dilakukan dibuat nilai acuan individual
berdasarkan usia gestasi aktual.
Perhatikan bahwa pedoman ini merupakan konsensus anggota komite namun bukti ilmiah yang mendasarinya masih sangat terbatas dan angka yang tercantum adalah nilai yang mendekati. Selama perawatan di RS, transfusi tukar direkomendasikan apabila bilirubin serum total terus meningkat mencapai level yang tercantum meskipun sudah mendapatkan terapi sinar intensif. Untuk bayi yang datang kembali, jika bilirubin serum total berada di atas level transfusi tukar, ulang pemeriksaan bilirubin serum total tiap 2-3 jam dan pertimbangkan tindakan transfusi tukar bila kadarnya tetap tinggi setelah pemberian terapi sinar intensif selama 6 jam. Rasio Bilirubin/Albumin (B/A) berikut dapat digunakan bersama dengan kadar bilirubin serum total untuk menentukan perlu tidaknya tindakan transfusi tukar. Tabel 8. Indikasi transfusi tukar berdasarkan rasio B/A
Kategori Risiko Rasio B/A di mana tindakan transfusi tukar sebaiknya dilakukan
TSB mg/dL / Alb g/dL TSB μmol/L / Alb μmol/L
Bayi > 38 0/7 minggu Bayi 35 0/7 – 36 6/7 mgg sehat atau > 38 0/7 mgg
dengan risiko tinggi atau penyakit hemolitik isoimun atau defisiensi G6PD
Bayi 35 0/7 – 37 6/7 mgg dengan risiko tinggi atau penyakit hemolitik isoimun atau defisiensi G6PD
8.0 7.2
6.8
0.94 0.84
0.80
Apabila nilai TSB mencapai level transfusi tukar, segera kirim contoh darah untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch. Darah yang digunakan untuk transfusi adalah modifikasi darah lengkap (eritrosit dan plasma) yang telah dicocokkan (crossmatched) dengan darah ibu dan sesuai dengan darah bayi.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 20/22
BAB V ANALISIS BIAYA
Analisis biaya untuk penatalaksanaan ikterus neonatorum di rumah sakit saat ini belum dapat dilakukan.
Untuk menyusun suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost, indirect cost dan intangible cost. Data yang diperoleh tim pengkaji saat ini masih terbatas pada direct cost beberapa rumah
sakit.
Komponen direct cost dalam penatalaksanaan Ikterus Neonatorum di rumah sakit, meliputi:
1. Pemeriksaan laboratorium 2. Fototerapi
3. Transfusi tukar 4. Rawat inap
5. Penggunaan inkubator/radiant heater 6. Konsultasi dokter
Tabel 9.
Biaya penatalaksanaan Ikterus Neonatorum di RS Karyadi Semarang, RS Hasan Sadikin Bandung dan RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
NO JENIS KEGIATAN BIAYA SATUAN
RS Karyadi
RS Hasan Sadikin RS Dr. Sardjito
DIRECT COST
1 Pemeriksaan Laboratorium
Bilirubin Total 14.000.00 14.000.00 12.500.00
Bilirubin Direk 15.500.00 14.000.00 12.500.00
2 Fototerapi perhari 70.000.00 80.000.00 111.000.00
per paket (3 hari)
3 Transfusi tukar perkali 1.145.040.00 1.150.000.00 600.000.00
4 Rawat inap
5 Inkubator
Radiant heater
6 Konsultasi dokter
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 21/22
BAB VI REKOMENDASI
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, maka disusun rekomendasi sebagai berikut:
1. Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa, sedangkan
hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL
Rekomendasi C
2. Ikterus neonatorum, pada umumnya fisiologis, kecuali: a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
b. Bilirubin total untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan > 10 mg/dL c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/hari
d. Bilirubin direk > 2 mg/dL
e. Ikterus menetap pada bayi cukup bulan > 1 minggu atau pada bayi kurang bulan > 2 minggu f. Terdapat faktor risiko
Ikterus fisiologis tidak diterapi. Rekomendasi C
3. Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan dengan: a. Serum bilirubin
b. Bila tidak tersedia alat untuk melakukan pemeriksaan serum bilirubin, dapat digunakan cara visual (sesuai panduan WHO), kemudian pasien harus segera dirujuk.
Rekomendasi C
4. Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum:
a. Fototerapi - apabila fasilitas memadai, dilakukan sesuai pedoman dari AAP
- fasilitas tidak memadai, dilakukan sesuai pedoman dari WHO b. Transfusi tukar
- dilakukan sesuai panduan WHO
Rekomendasi C
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 22/22
DAFTAR PUSTAKA
1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia. 3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90. 4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones
2001;41:69-75. 5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta. 6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang. 7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and
Research, World Health Organization, Geneva 2003. 8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full
term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2. 9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants.
Pediatrics 2004;114:917-24.
10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.
12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K) 13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant
35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297-316.
HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum_hlm 23/22
PANEL AHLI Prof.dr. Moeslichan, SpA(K) Divisi Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof.dr. Achmad Surjono, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta Prof.dr. Rulina Suradi, SpA(K) Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Kamillah Budhi Rahardjani, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang dr. Ali Usman, SpA(K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung dr. Rinawati, SpA(K) Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Laurensia Lawintono Ikatan Bidan Indonesia Ina Yuniati Direktorat Binkesmas Departemen Kesehatan Republik Indonesia TIM TEKNIS Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K) Anggota : dr. Santoso Soeroso, SpA(K), MARS dr. Ratna Mardiati, SpKJ dr. Wuwuh Utami N., MKes dr. Monalisa Nasrul dr. Mutiara Arcan dr. Nastiti Rahajeng