tatalaksana abses
-
Upload
maulanaadjieibrahim -
Category
Documents
-
view
12 -
download
1
description
Transcript of tatalaksana abses
2.9 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan
edema) yang dapat mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur
material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi2,3,4,9
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi
diagnosis yang tepat dan pemilihan antibiotik
didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya
tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari
sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika
terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan
kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline
atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga
dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat
digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah
tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma
penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi
dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin,
cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole.
Monoterapi dengna meropenem yang terbukti baik
melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob,
stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana
alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat
penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan
penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat
ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine. Ketika otitis media,
sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat
digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia
telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis
citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses
local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga,
yang secara umum dikombinasikan dengan terapi
aminoglikosida. Pada pasien
dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang
berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi
amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada
Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime (Claforan) 50-100
mg/KgBBt/Hari
2-3 kali per hari,
IV
Ceftriaxone (Rocephin)
50-100 mg/KgBBt/Hari
2-3 kali per hari,
IV
Metronidazole (Flagyl)
35-50 mg/KgBB/Hari
3 kali per hari,
IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil)
2 grams
setiap 4 jam,
IV
Vancomycin
15 mg/KgBB/Hari
setiap 12 jam,
IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa
penggunaan steroid dapat mempengaruhi penetrasi
antibiotik tertentu dan dapat menghalangi
pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya
dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana
terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan
intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone
setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan
dengan pertimbangan adanya tekanan intrakranial yang
meningkat, papil edema dan gambaran edema yang
luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid
diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan
terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang
dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak
didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah
pada abses otak dipertimbangkan dengan
menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini,
untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti
cerebritis atau dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri
adalah kombinasi antara antimikrobial dan tindakan
bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase
abses melalui kraniotomi merupakan prosedur
pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih
penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided
aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan
pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi
yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak
banyak menguntungkan, seperti: small deep abscess,
multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna diantara penderita yang
mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi
eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan
operasi kraniotomi mengingat proses desak ruang yang
cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh
edema maupun abses itu sendiri, disamping itu
pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya
kapsul dan lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti
pada keadaan abses berkapsul dan secara umum jika
luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang
berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi
antibiotik dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang
digunakan, karena prosedur ini dihubungkan dengan
tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan
teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika
abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di
dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak
di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan
proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses
periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase.
Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme
dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi,
efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi
abses dan posisinya terhadap korteks.Oleh karena itu
kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus
per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang,
ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG
dan neuroimaging). 3
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat
penderita sudah mengalami kejang dengan frekuensi
yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini
ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita
selanjutnya.
2.10 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian.
Adapun komplikasinya adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau
ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang
menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak
2.11 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak
secara signifikan berkurang, dengan perkiraan 5-10%
didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat,
serta manajemen pembedahan merupakan faktor yang
berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan
waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel,
kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka
harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita,
termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus,
abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah
pembelajaran lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada
stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis sehingga
prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan
mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng
dapat menetap pada 50% penderita.3,4
DAFTAR PUSTAKA
1. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of
Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p: 2047-2048.
2. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook
of Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p:1973-1982.
3. Dorlan, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC
4. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of
Neurology. 5th ed. USA:McGraw-Hill Inc, 1993:612-616.
5. Margaret B. Rennels, Celeste L. Woodward, Walker L. Robinson,
Maria T. Gumbinas.1983.Medical Cure of Apparent Brain
Abscesses. Pediatrics 1983;72;220-224.
6. Edwin G. Fischer, James E. McLennan, Yamato Suzuki.
1981. Cerebral Abscess in Children. Am J Dis Child.
1981;135(8):746-749.
7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence,
Symptoms, and Prognosis of Intracerebral
Abscess. American Academy of Pediatrics.
Availablathttp://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at
3 May 2011.
8. Bailey.R, 2011, Anatomy of the Brain, Available
a
thttp://biology.about.com/od/humananatomybiology/a/anatomybrai
n.htm accessed 16 May 2011
9. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.