TATA RUANG PERTANAHAN - trp.or.id · pengintegrasian dokumen tata ruang dan rencana pembangunan....

4
TATA RUANG PERTANAHAN MEDIA INFORMASI BIDANG TATA RUANG DAN PERTANAHAN REDAKSI: | Penanggung Jawab : Direktur Tata Ruang dan Pertanahan | | Tim Redaksi : Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan | Editor : Astri Yulianti, Santi Yulianti, Gina Puspitasari | Desain Tata Letak : Indra Ade Saputra dan Astri Yulianti | Kementerian Agraria: Solusi Konflik Agraria LP2B DALAM PENATAAN RUANG halaman 3 SOSIALISASI RENSTRA KEDEPUTIAN REGIONAL halaman 4 RESENSI BUKU: TANAH UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT halaman 4 EDISI 9/ OKTOBER 2014 Wacana kemunculan Kementerian Agraria yang diusulkan oleh Kabinet Jokowi-JK menjadi pembicaraan hangat pada bulan ini. Kementerian Agraria diharapkan dapat menyelesaikan berbagai sengketa tanah yang selama ini terjadi di Indonesia. Kepala BPN, Hendarman Supandji menyebutkan bahwa selama empat tahun, sengketa tanah ada 5.254 kasus (2011). Di antaranya 3.191 kasus (2012), 1.793 kasus (2013), dan 54 kasus (2014). Kasus yang diselesaikan, termasuk sisa kasus sebelumnya, 4.302 (2011), 4.291 (2012), 2.771 (2013), dan 10 (2014). Tahun ini, sisa 1.971 sengketa belum selesai. Terkait dengan konflik agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai pemerintah tidak serius mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia karena masih mengabaikan hak konstitusi masyarakat adat. Salah satu buktinya adalah belum ada undang- undang yang mengatur secara utuh masyarakat adat. Hal itu berdampak pada klaim secara sepihak oleh pemerintah dan perusahaan terhadap hutan milik masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik. Pada saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat sedang mengupayakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan menjadi undang-undang. RUU itu menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang telah berlaku puluhan tahun. Salah satu langkah maju dalam RUU Pertanahan adalah pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam RUU Pertanahan juga mengatur bahwa tanah dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk fungsi sosial dan ekologis. RUU Pertanahan juga memastikan keberadaan pengadilan pertanahan di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi. Indonesia dan Singapura akhirnya menyepakati batas wilayah laut pada segmen sepanjang 5,1 mil laut atau 9,4 kilometer. Wilayah perairan itu di perbatasan Batam, Kepulauan Riau, dan Bandar Udara Changi. Sejauh ini Indonesia telah menetapkan enam titik pangkal di barat hingga timur pulau Batam. Dari sisi Singapura, titik pangkal itu di Sultan Shoul hingga timur Singapura atau barat Changi. Titik-titik ini jelas tak terpengaruh perluasan Singapura karena reklamasi. Selain perjanjian perbatasan dengan Singapura, tercapai pula kesepakatan batas wilayah laut dengan Filipina, Mei 2014. Kesepakatan batas wilayah maritim dengan Filipina di utara Indonesia lebih dari 6.000 kilometer. Pada bulan ini, Rancangan Undang- Undang (RUU) Kelautan disahkan. RUU Kelautan akan menyinergikan 21 undang- undang terkait kelautan serta menjadi dasar koordinasi bagi 17 kementerian dan lembaga dalam pengelolaan kelautan. RUU Kelautan dinilai menguatkan peran negara dalam mengelola kelautan. Namun, masih terbuka celah penyimpangan terkait anggaran dan pemanfaatan sektor kelautan. Salah satu pasal yang dipertentangkan adalah Pasal 47 yang menegaskan mekanisme perizinan atau izin lokasi dalam persyaratan pemanfaatan laut. Ketentuan itu dirasa terlalu teknis untuk dibahas dalam RUU Kelautan yang sifatnya koordinatif. Pada 16 September 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP Gambut merupakan satu dari belasan PP yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. [AY] NEWSLETTER KILAS BALIK: DINAMIKA ISU TATA RUANG DAN PERTANAHAN RAPAT KERJA REGIONAL II BKPRN DI SURABAYA .... HAL 2 Ilustrasi Konflik Agraria

Transcript of TATA RUANG PERTANAHAN - trp.or.id · pengintegrasian dokumen tata ruang dan rencana pembangunan....

TATA RUANG PERTANAHANMEDIA INFORMASI BIDANG TATA RUANG DAN PERTANAHAN

REDAKSI:| Penanggung Jawab : Direktur Tata Ruang dan Pertanahan |

| Tim Redaksi : Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan | Editor : Astri Yulianti, Santi Yulianti, Gina Puspitasari | Desain Tata Letak : Indra Ade Saputra dan Astri Yulianti |

Kementerian Agraria: Solusi Konflik Agraria

LP2B DALAM PENATAAN RUANGhalaman 3

SOSIALISASI RENSTRA KEDEPUTIAN REGIONALhalaman 4

RESENSI BUKU: TANAH UNTUK KESEJAHTERAAN

RAKYAThalaman 4

EDISI 9/ OKTOBER 2014

Wacana kemunculan Kementerian Agraria yang diusulkan oleh Kabinet Jokowi-JK menjadi pembicaraan hangat pada bulan ini. Kementerian Agraria diharapkan dapat menyelesaikan berbagai sengketa tanah yang selama ini terjadi di Indonesia. Kepala BPN, Hendarman Supandji menyebutkan bahwa selama empat tahun, sengketa tanah ada 5.254 kasus (2011). Di antaranya 3.191 kasus (2012), 1.793 kasus (2013), dan 54 kasus (2014). Kasus yang diselesaikan, termasuk sisa kasus sebelumnya, 4.302 (2011), 4.291 (2012), 2.771 (2013), dan 10 (2014). Tahun ini, sisa 1.971 sengketa belum selesai.

Terkait dengan konflik agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai pemerintah tidak serius mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia karena masih mengabaikan hak konstitusi masyarakat adat. Salah satu buktinya adalah belum ada undang- undang yang

mengatur secara utuh masyarakat adat. Hal itu berdampak pada klaim secara sepihak oleh pemerintah dan perusahaan terhadap hutan milik masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik.

Pada saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat sedang mengupayakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan menjadi undang-undang. RUU itu menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang telah berlaku puluhan tahun. Salah satu langkah maju dalam RUU Pertanahan adalah pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam RUU Pertanahan juga mengatur bahwa tanah dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk fungsi sosial dan ekologis. RUU Pertanahan juga memastikan keberadaan pengadilan pertanahan di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi.

Indonesia dan Singapura akhirnya menyepakati batas wilayah laut pada segmen sepanjang 5,1 mil laut atau 9,4 kilometer. Wilayah perairan itu di perbatasan Batam, Kepulauan Riau, dan Bandar Udara Changi. Sejauh ini Indonesia telah menetapkan enam titik pangkal di barat hingga timur pulau Batam. Dari sisi Singapura, titik pangkal itu di Sultan Shoul hingga timur Singapura atau barat Changi. Titik-titik ini jelas tak terpengaruh perluasan Singapura karena reklamasi.

Selain perjanjian perbatasan dengan Singapura, tercapai pula kesepakatan batas wilayah laut dengan Filipina, Mei 2014. Kesepakatan batas wilayah maritim dengan Filipina di utara Indonesia lebih dari 6.000 kilometer.

Pada bulan ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan disahkan. RUU Kelautan akan menyinergikan 21 undang-undang terkait kelautan serta menjadi dasar koordinasi bagi 17 kementerian dan lembaga dalam pengelolaan kelautan. RUU Kelautan dinilai menguatkan peran negara dalam mengelola kelautan. Namun, masih terbuka celah penyimpangan terkait anggaran dan pemanfaatan sektor kelautan. Salah satu pasal yang dipertentangkan adalah Pasal 47 yang menegaskan mekanisme perizinan atau izin lokasi dalam persyaratan pemanfaatan laut. Ketentuan itu dirasa terlalu teknis untuk dibahas dalam RUU Kelautan yang sifatnya koordinatif.

Pada 16 September 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP Gambut merupakan satu dari belasan PP yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. [AY]

NEWSLETTER

KILAS BALIK: DINAMIKA ISU TATA RUANG DAN PERTANAHAN

RAPAT KERJA REGIONAL II BKPRN DI SURABAYA .... HAL 2

Ilustrasi Konflik Agraria

Penyediaan tanah menjadi faktor penting dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dengan kemunculan konflik lahan yang menghambat penyediaan tanah, membuat ide pembentukan Bank Tanah mencuat ke permukaan. Hal itulah yang kemudian dibahas dalam Focus Group Discussion Urban Land Policy, yang diadakan oleh Direktorat Perumahan dan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas, di Hotel

Ambhara, Jakarta (8/7).

FGD Urban Land Policy dilaksanakan dalam rangka penyusunan Roadmap Housing Policy Reform sebagai masukan bagi penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Perumahan dan Permukiman. Pada FGD ini turut hadir pula Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Perumahan Rakyat, HUD, dan Perumnas.

Direktur Perumahan dan Permukiman, Ir. Nugroho Tri Utomo, MRP, mengungkapkan bahwa FGD ini dilaksanakan untuk menyepakati teknik penyediaan tanah yang paling efektif dan menyepakati model dan tahapan pembentukan bank tanah.

Pembentukan bank tanah dimaksudkan untuk memperkuat UU No. 2 Tahun 2013 tentang Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan adanya bank tanah dapat mempercepat proses akuisisi lahan oleh pemerintah, khususnya bagi tanah-tanah terlantar serta penyediaan tanah bagi

Yogyakarta, (9-10/9), Borobudur menjadi outstanding universal value berdasarkan Convention Corcerning The Protection of World and Natural Heritage (UNESCO, 1972). Hal tersebut mengemuka pada acara sosialisasi Perpres No. 48/2014 Tentang KSN Borobudur dan Peraturan Presiden No. 70/2014 Tentang Taman Nasional Gunung Merapi. Pada Bulan Juni, kedua Peraturan Presiden tersebut telah ditandatangani oleh Presiden. Ini menjadi awal dari proses pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Tata Ruang Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum ini dihadiri oleh perwakilan Kementerian/Lembaga dari anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), Pemerintah Daerah, LSM di Provinsi DI. Yoyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Kementerian PU menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk membuka ruang komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat; membangun kesamaan pemahaman dan menjalin

kerjasama dengan telah disahkannya Perpres tersebut; serta memberikan motivasi untuk perwujudan ruang.

Pada kegiatan ini dihadirkan pula enam narasumber yang berasal dari beberapa lembaga terkait, antara lain Diah Harian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kaori, Head of Culture Unit UNESCO Office, Jakarta; Medi Herlianto, Direktur Kesiapsiagaan; Dr. Ir. Budi Situmorang, MURP, Direktur Tarunas – Kemen PU; Dr. Ir. Surono, Kepala Badan Geologi; dan Dadang Rizki Ratman, Plt. Dirjen Pengembangan Kawasan Destinasi Pariwisata, Kementerian Parekraf.

Borobudur dipilih sebagai warisan dunia karena memiliki nilai keagungan universal, yang memiliki empat kriteria utama, antara lain: mempresentasikan adhikarya dari kegeniusan dan kreatifitas manusia; memamerkan pertukaran nilai-nilai kemanusiaan yang penting; mengandung keunikan atas suatu tradisi; dan secara nyata berasosiasi dengan peristiwa/tradisi yang hidup. Untuk melindungi Candi Borobudur, selain rencana induk yang berpayung hukum, diperlukan rencana pengelolaan untuk melihat efektifitas pelaksanaan di lapangan. Salah satu hal yang dilakukan setiap tahun adalah monitoring pemeriksaan status

konservasi dari properti warisan dunia yang terancam oleh komite. Pada pertemuan tersebut, disampaikan pula bahwa terdapat beberapa masalah yang dilaporkan dalam laporan kondisi konservasi, antara lain mengenai: sistem/rencana manajemen; perumahan; SDM; keterlibatan masyarakat dan penerima manfaat. Selain itu, kerangka hukum dan kelembagaan, serta kendali akan kegiatan komersial menjadi permasalahan lain yang dibahas terkait dengan kondisi Candi Borobudur.

Rencana Tata Ruang KSN Borobudur menjawab tentang perlunya upaya pengendalian terhadap menurunnya kualitas bangunan dan memenuhi standar yang ditentukan oleh dunia. Sementara itu, Rencana Tata Ruang TN Gunung Merapi menjawab isu kebencanaan yang selama ini sering terlupakan. Dengan keberadaan RTR tersebut, diharapkan baik oleh pemerintah dan masyarakat bersama-sama dapat menciptakan hidup harmonis dengan bencana alam. RTR TN Gunung Merapi menegaskan adanya sistem evakuasi bencana yang terintegrasi dengan sistem permukiman, yang mencakup struktur ruang, sistem evakuasi sementara, akhir, dan jalur evakuasi. [GP]

Kawasan Strategis Nasional:Sosialisasi Perpres KSN Borobudur dan Taman Nasional Gunung Merapi

Rapat Kerja Regional II BKPRN:

Legalitas peraturan perundang-undangan dan penguatan peran PPNS dalam pengendalian pemanfaatan ruang di daerah merupakan urgensi dalam pengendalian penataan ruang. Berbagai Perda RTRW yang telah disusun tidak akan terlaksana dengan sempurna jika pengendaliannya tidak konsisten. Salah satu yang perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas PPNS dan Satpol Pamong Praja dalam melakukan kegiatan penegakan Perda.

Hal itu dikemukakan pada sidang komisi di Rapat Kerja Regional Wilayah II BKPRN, di Surabaya, (4/9), yang diikuti oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. Adapun, peserta yang turut hadir dalam kegiatan tersebut berasal dari pemerintah daerah di wilayah II

BKPRN, yakni Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara untuk Rapat Kerja Regional Wilayah I BKPRN, yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Bali, telah diselenggarakan di Bandung, (23/6). Isu lain yang mengemuka adalah pengintegrasian dokumen tata ruang dan rencana pembangunan. Substansi kebijakan tersebut telah dimuat dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan PP 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Dalam prosesnya, dirasa perlu untuk menyusun Pedoman tentang Pengintegrasian RTRW ke dalam RPJMD yang ditetapkan melalui Kepmendagri atau Kepmen Bappenas. Pedoman tersebut juga perlu dilengkapi dengan kerangka waktu.

Terkait dengan penyelesaian konflik Penataan Ruang, forum dalam sidang

komisi mengusulkan beberapa hal sebagai berikut: (i) perijinan terkait pemanfaatan ruang diluar kawasan hutan diusulkan untuk diintegrasikan ke dalam mekanisme Perijinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah; (ii) perlu penyempurnaan administrasi dan pemutakhiran pemetaan pertanahan. Perlu disusun Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) tentang Pedoman Pengelolaan Hutan Adat Permukiman dan Hak Pihak Ketiga yang berada dalam Kawasan Hutan; dan Pedoman Penyelesaian Konflik; (iii) penguatan hubungan BKPRN dan BKPRD dalam rangka penyelesaian konflik; (iv) perlu disusun mekanisme pembahasan BKPRN untuk rancangan peraturan perundang sektoral terkait Bidang Tata Ruang; dan (v) harmonisasi peraturan perundang-undangan Bidang Tata Ruang. [CR]

POTRET KEGIATAN:

Ir. Rinella Tambunan selaku Perencana Madya di Sekretariat BKPRN, bersama staf menghadiri kegiatan Raker Regional II BKPRN di Surabaya (4/9). Sumber: Dokumentasi TRP.

Penyelarasan Kebijakan Penataan Ruang Nasional dan Daerah

2

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Penataan Ruang

Lahan pertanian pangan perlu mendapatkan prioritas utama seiring dengan meningkatnya laju konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian. Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Undang-Undang ini kemudian digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional serta sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Untuk mendukung berjalannya Undang-Undang tersebut, maka dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan; Peraturan Pemerintah 12/2012 tentang Insentif PLP2B; dan Peraturan Menteri Pertanian 07/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan P2B.

Tujuan LP2BMenurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 3, tujuan dari perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah: (1) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (2) menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (3) mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan; (4) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; (5) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; (6)meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; (7) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; (8) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (9) mewujudkan revitalisasi pertanian.

Penetapan LP2BPenetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi: (a) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan berada pada kawasan peruntukan pertanian terutama pada kawasan perdesaan; (b) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B); dan (c) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B).

LP2B dalam Penataan RuangPada pasal 19 dijelaskan bahwa penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan perdesaan dan dasar pengaturan zonasi, sedangkan LP2B dan LCP2B merupakan bagian dari penetapan dalam bentuk rencana rinci tata ruang yang juga menjadi dasar pengaturan zonasi. Hal tersebut dijelaskan pada pasal 20 dan 21.

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) nasional dimuat dalam RTRW nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, KP2B propinsi dimuat dalam RTRW propinsi yang ditetapkan dengan Perda Propinsi dan KP2B kabupaten/kota dimuat dalam RTRW kabupaten/kota yang ditetapkan dengan Perda kabupaten/kota. Bagi kabupaten/ kota yang belum menetapkan KP2B, LP2B & LCP2B disesuaikan paling lama 2 tahun sejak UU ini diundangkan. Pada saat UU ini berlaku sedangkan RTRW Kabupaten/ Kota sudah ditetapkan, maka penetapan KP2B, LP2B, & LCP2B dilakukan oleh Bupati/Walikota sampai diadakan perubahan atas Perda RTRW Kabupaten/Kota.

Alih Fungsi LP2BPada prinsipnya LP2B dilarang dialihfungsikan, kecuali untuk kepentingan umum atau terjadi akibat bencana alam. Kriteria untuk kepentingan umum adalah untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam serta pembangkit dan jaringan listrik. Untuk alih fungsi lahan tersebut perlu dilakukan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik dan penyediaan lahan pengganti LP2B. Jika alih fungsi lahan akibat bencana alam tidak diperlukan persyaratan, namun penyediaan lahan pengganti maksimal 24 bulan setelah alih fungsi terjadi.

Sumber: UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan LP2B

WAWASAN

LINK TERKAITDirektorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas Portal Tata Ruang dan PertanahanSekretariat BKPRN

Potret Kegiatan TRPRapat Kerja Regional II BKPRNSosialisasi Perpres KSN Borobudur dan Taman Nasional Gunung MerapiSosialisasi Renstra Kedeputian

Ilustrasi Lahan Pertanian Pangan

3

The Awesome and Advanced Indonesia

Tanah Untuk Kesejahteraan RakyatDalam perkembangan perekonomian dan pembangunan di Indonesia, permasalahan terkait dengan tanah merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari. Pengaturan terkait dengan tanah secara umum diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dijelaskan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur pemilikan, peruntukan, pengalihan, dan pendaftaran tanah serta

bangunan di atasnya. Namun demikian, berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanahan sulit diketahui oleh publik dan tidak tersosialisasikan dengan baik.Buku ini berisi mengenai tiga tulisan yang disampaikan dalam berbagai forum ilmiah, yakni: (i) Pengelolaan Tanah Negara dan Penyederhanaan Perangkat Penguasaan Tanah; (ii) Aspek Hukum “Kompensasi” terhadap Tanah, Bangunan, Tanaman dan/atau Benda-benda Lain yang Terkait dengan Tanah (“Properti”) yang Berada di Ruang Bebas; dan (iii) Peraturan Perundang-undangan terkait Tanah Terlantar. Ketiga tulisan tersebut diharapkan mampu mengingatkan kembali bahwa proses penerbitan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan harus disertai

dengan keterbukaan. Hal ini dikarenakan perundang-undangan akan mengikat publik dan sudah selayaknya apabila publik dapat memperoleh informasi tentang rancangan suatu peraturan perundang-undangan sehingga dapat berperan aktif dalam penyusunannya. Pada buku ini, dijelaskan pula bahwa hak ulayat memerlukan pengaturan secara komprehensif dalam undang-undang sehingga meminimalisir konflik tanah adat. Hingga saat ini pengaturan tentang hak ulayat masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang belum tentu dilandasi dengan persepsi yang sama. Kondisi ini harus segera diakhiri karena tingkat potensi konflik yang sangat tinggi. [AY]

Judul Buku: Tanah untuk Kesejahteraan RakyatPenyusun: Prof. Dr. Maria S.W.Penerbit : Fakultas Hukum UGMJumlah halaman: 231

DIREKTORAT TATA RUANG DAN PERTANAHAN,BAPPENASJalan Taman Suropati No. 2AGedung Madiun Lt. 3

T : 021 392 7412F : 021 392 6601E : [email protected]: www.trp.or.idPortal : www.tataruangpertanahan.com

Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi kami:

RESENSI BUKU:

Jakarta, (8/9), setiap instansi pemerintah harus memiliki budaya kinerja yang mencakup di dalamnya memiliki dan melaksanakan sistem manajemen kinerja. Sistem manajemen kinerja ini dapat dijadikan masukan untuk perumusan dan perbaikan renstra Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah yang telah disusun. Hal tersebut dijelaskan pada Rapat

Kerja I Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah yang diselenggarakan di Ancol, Jakarta. Secara umum, siklus penyusunan Rencana Strategis (Renstra) tersebut melalui tahap sebagai berikut: perencanaan, implementasi, evaluasi, dan revisi.

Melalui rapat kerja tersebut, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan selaku koordinator penyusun Renstra, mensosialisasikan proses dan hasil perubahan Renstra 2010 – 2014 Kedeputian Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, serta meminta masukan dari seluruh unit kerja Eselon II di Kedeputian Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah atas sasaran, indikator, dan proses yang harus dilakukan ke depan.

Turut hadir pula Inspektur Utama, Dr. Slamet; Direktur Kelembagaan, Asti; Staf Ahli Bidang Tata Ruang, Dr. Arifin Rudiyanto, dan Biro Renortala Kementerian PPN/Bappenas, Puspa yang memberikan tanggapan terhadap hasil

penyusunan renstra tersebut.

Pada kegiatan yang dipimpin oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Dr. Imron Bulkin, membahas dua agenda utama, yakni: sosialisasi hasil revisi renstra 2010 – 2014, dan pembahasan rancangan Buku III RPJMN 2015 – 2019.

Di masa transisi pada Tahun 2014, renstra yang telah disusun diperlukan sebagai gambaran untuk penyusunan Renstra 2015 – 2019. Pada muatan di dalamnya, kegiatan Pangripta Nusantara menjadi salah satu alat untuk penyelarasan RKPD dengan RKP, yang merupakan salah satu indikator kesesuaian RKP dengan RKPD pada Tahun 2014. Pada Renstra 2010 – 2014, Kedeputian Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah disarankan untuk menyesuaikan visi misinya dengan visi misi Kementerian PPN/Bappenas; serta memasukkan mitigasi dan pengurangan risiko bencana sebagai salah satu muatannya. [GP]

Rencana Strategis 2010 - 2014Sosialisasi Renstra Kedeputian Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Imron Bulkin (kiri) selaku Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah didampingi oleh Direktur Tata Ruang Pertanahan (kanan) dan Direktur Kawasan Khusus Daerah Tertinggal (tengah). Sumber: Dokumentasi TRP

4