Tata Ruang Perdesaan.pdf

7
www.bktrn.org 1 TATA RUANG PERDESAAN Pentingnya Kepastian dalam Penataan Kawasan Lindung dan Budidaya Tejo Wahyu Jatmiko 1 1. PENDAHULUAN Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalaian pemanfaatan ruang, yang berasaskan manfaat bersama secara efektif, efisien, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum (UU No.24 Tahun 1992 pasal 2). Dengan demikian penataan ruang adalah upaya sadar untuk mengelola segala sumber daya dengan arif untuk mencapai tujuan bersama. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan kesepakatan antara semua pemangku (stakeholders). Pulau Jawa, dapat dijadikan contoh ekstrim dari pemanfaatan lahan dan ruang yang sangat bertentangan dengan kaidah tata ruang. Kekayaan lahan di perdesaan terdesak sangat kuat dengan adanya kebutuhan lahan demi pembangunan. Pemilikan lahan bergeser dari petani desa ke penduduk kota, dengan dalih untuk perumahan dan industri, demi kesejahteraan. Konversi lahan di Jawa selama ini sudah mencapai mencapai sekitar 1.000.000 Ha, dari areal pertanian menjadi areal industri dan perumahan (Kompas, 24 Nopember 1999). Tekanan alih fungsi lahan ini sangat dirasakan oleh penduduk desa, terutama apabila ada keterpaksaan dalam pelepasan lahan dengan alasan “atas nama pembangunan”. Dari sisi kelestarian lingkungan, tentu saja, perubahan fungsi lahan tersebut akan memberikan gangguan dalam keseimbangan, terlebih lagi apabila efek ikutannya juga diperhitungkan. Sebagai contoh adalah karena faktor keterpaksaan penduduk lokal yang mengalami pemiskinan lahan mulai melakukan ‘perambahan hutan’. Jelas dipandang dari sisi penataan ruang akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dengan perubahan dari lahan beririgasi menjadi perumahan/industri juga terjadi pemborosan akibat hilangnya investasi baik fisik maupun sosial. Untuk itulah perlu adanya perubahan pendekatan dalam penataan ruang perdesaan, yang pada saat ini diperlakukan tidak adil. Pada tulisan ini akan dikaji secara ringkas tentang konsep, peraturan serta permasalahan kawasan lindung dan budidaya di perdesaan. 2. KONSEPSI DAN PERATURAN 2.1. Konsep Konsep tata ruang ini sebenarnya sudah dipunyai oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat. Mereka mempunyai aturan-aturan yang telah disepakati sejak 1 Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia (KONPHALINDO), sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Transcript of Tata Ruang Perdesaan.pdf

  • www.bktrn.org 1

    TATA RUANG PERDESAAN

    Pentingnya Kepastian dalam Penataan Kawasan Lindung dan Budidaya

    Tejo Wahyu Jatmiko1

    1. PENDAHULUAN

    Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalaian pemanfaatan ruang, yang berasaskan manfaat bersama secara efektif, efisien, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum (UU No.24 Tahun 1992 pasal 2). Dengan demikian penataan ruang adalah upaya sadar untuk mengelola segala sumber daya dengan arif untuk mencapai tujuan bersama. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan kesepakatan antara semua pemangku (stakeholders).

    Pulau Jawa, dapat dijadikan contoh ekstrim dari pemanfaatan lahan dan ruang yang sangat bertentangan dengan kaidah tata ruang. Kekayaan lahan di perdesaan terdesak sangat kuat dengan adanya kebutuhan lahan demi pembangunan. Pemilikan lahan bergeser dari petani desa ke penduduk kota, dengan dalih untuk perumahan dan industri, demi kesejahteraan. Konversi lahan di Jawa selama ini sudah mencapai mencapai sekitar 1.000.000 Ha, dari areal pertanian menjadi areal industri dan perumahan (Kompas, 24 Nopember 1999). Tekanan alih fungsi lahan ini sangat dirasakan oleh penduduk desa, terutama apabila ada keterpaksaan dalam pelepasan lahan dengan alasan atas nama pembangunan.

    Dari sisi kelestarian lingkungan, tentu saja, perubahan fungsi lahan tersebut akan memberikan gangguan dalam keseimbangan, terlebih lagi apabila efek ikutannya juga diperhitungkan. Sebagai contoh adalah karena faktor keterpaksaan penduduk lokal yang mengalami pemiskinan lahan mulai melakukan perambahan hutan. Jelas dipandang dari sisi penataan ruang akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dengan perubahan dari lahan beririgasi menjadi perumahan/industri juga terjadi pemborosan akibat hilangnya investasi baik fisik maupun sosial.

    Untuk itulah perlu adanya perubahan pendekatan dalam penataan ruang perdesaan, yang pada saat ini diperlakukan tidak adil. Pada tulisan ini akan dikaji secara ringkas tentang konsep, peraturan serta permasalahan kawasan lindung dan budidaya di perdesaan.

    2. KONSEPSI DAN PERATURAN

    2.1. Konsep

    Konsep tata ruang ini sebenarnya sudah dipunyai oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat. Mereka mempunyai aturan-aturan yang telah disepakati sejak

    1 Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia (KONPHALINDO), sebuah organisasi non

    pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

  • www.bktrn.org 2

    dahulu. Namun dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan makin intensifnya interaksi antar budaya, maka telah terjadi pergeseran dalam konsepsi pemanfaatan ruang. Terlebih lagi dengan adanya revolusi teknologi, yang menyebabkan manusia menuntut lebih nyaman dalam segala hal, yang mengakibatkan semakin terdesaknya konsepsi pemanfaatan ruang tradisionil.

    Masyarakat Kasepuhan dan Badui di Jawa Barat, sebagai contoh, mempunyai pengaturan tata ruang yang unik, yang bila dipandang dari sudut ilmiah sangat bagus. Mereka mempunyai pola pengelolaan, dalam hal ini ruang dan sumber daya alam, serta teknologi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Kusnaka A, 1992). Konsep tata ruang warga Kasepuhan terlihat pada konsep hutan, yakni membagi hutan kedalam tiga mintakat (zona) pemanfaatan:

    - Leuweng kolot/geledegan = hutan tua, yang dicirikan oleh hutan yang lebat yang terjaga baik. Mintakat ini tidak boleh dieksploitasi.

    - Leuweng sampalan/bukaan yakni hutan yang dapat dieksploitasi manusia secara luas sebagai tempat permukiman, ladang, mengambil kayu dan lain-lain. Pada wilayah ini juga dilakukan penjagaan hutan (talun) dengan menanam tanaman keras.

    - Leuweng titipan = hutan keramat, yakni hutan yang dijaga kelestariannya dan hanya boleh dibuka apabila sudah mendapat izin dari sesepuh girang setelah mereka mendapat wangsit.

    Berdasarkan pandangan tata ruang modern, pemanfaatan ruang didasarkan atas prinsip pemanfaatan dan pelestarian sumber daya di suatu daerah. Di Indonesia secara sederhana pemanfaatan ruang juga berdasarkan atas kawasan budidaya, kawasan penyangga dan kawasan lindung. Ternyata pandangan sederhana dari penduduk lokal seperti warga Kasepuhan sama atau paling tidak mendekati kaidah ilmiah modern tentang tata ruang. Jadi sebenarnya konsep penataan ruang Indonesia dapat mengadopsi kearifan lokal yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

    Untuk kawasan perdesaan, konsep penataan ala Kasepuhan ini sangat dekat dan dapat diterapkan karena warga Kasepuhan tinggal di perdesaan. Hanya yang perlu selalu dijaga adalah konsistensi dalam pengaturannya. Aturan-aturan bersama, seperti adat Kasepuhan tersebut, sangat perlu ditegakkan. Belajar dari warga Kasepuhan sangat diperlukan kesepakatan adat bisa menjadi aturan yang mengikat masyarakat.

    2.2. Peraturan

    Dengan disadarinya prinsip keseimbangan dalam pemanfaatan dan pelestarian maka pemerintah telah membuat kebijakan dengan menetapkan kawasan tertentu yang dapat dieksploitasi dan kawasan yang dilindungi. Meskipun untuk kawasan eksploitasi tersebut baik untuk sumber daya hutan, tambang, maupun laut harus memperhatikan aspek daya dukung lingkungan dan rehabilitasinya.

    Untuk kawasan konservasi telah ditetapkan hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan pantai dan sungai serta sekitar waduk, suaka alam, taman nasional, taman hutan

  • www.bktrn.org 3

    raya, taman wisata alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan, rawan bencana alam, serta kawasan bergambut. Luas kawasan tersebut adalah 16,2 juta hektar di darat dan 3,2 juta hektar di laut (Departemen Kehutanan, 1999).

    Untuk melihat sejauh mana kebijakan yang diambil oleh pemerintah, dapat diperhatikan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari Undang-undang Dasar, GBHN dan Undang-undang serta peraturan pemerintah yang lain. Kebijakan tersebut perlu dikaji untuk mendapatkan gambaran lengkap dari pengaturan tata ruang terutama di kawasan perdesaan.

    Undang-Undang Dasar 1945, terutama pasal 33, lebih menekankan aspek pemanfaatan sumber daya alam tanpa ada upaya perlindungan secara eksplisit. Dalam pasal itu disebutkan Bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Meskipun dari pasal ini terlihat keberpihakan pada kesejahteraan rakyat (populis) namun terdapat potensi ketidakteraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam, paling tidak selama ini terjadi penguasaan negara yang bersifat mutlak. Visi dari pasal ini adalah cenderung ke ekonomi sentris, dan inilah yang selama 30 tahun diterjemahkan oleh penguasa negara. Faktor lain yang perlu diterjemahkan lebih arif adalah pada kata dikuasai negara sebenarnya perlu dijelaskan bahwa negara (state) adalah semua potensi bangsa bukan hanya pemerintah (government) seperti yang selama ini terjadi. Sehingga faktor-faktor tranparansi, akuntabilitas dan partisipasi menjadi syarat mutlak pengaturannya. Melihat kelemahan tersebut pasal 33 UUD 1945, diperlukan adanya perubahan sehingga dalam pemanfaatannya lebih ramah lingkungan (environmental friendly).

    Untuk kawasan konservasi dan juga budidaya, peraturan perundang-undangan yang terkait baik langsung maupun tidak langsung, yang berhasil diidentifikasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah organisasi non pemerintah Indonesia (1999), adalah sekitar 157 peraturan. Dari kajian ICEL tersebut terdapat 22 UU, 20 PP, 21 Keppres, 1 Inpres, 71 Kepmen, 1 Peraturan Menteri, 7 SKB, 1 Instruksi menteri, 5 Keputusan Dirjen, 4 Perda. Permasalahan mendasar yang ditemukan adalah ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilah kawasan lindung dan konservasi. Pada beberapa peraturan menggunakan kawasan lindung, sedangkan yang lain menggunakan kawasan konservasi. Perbedaan penggunaan istilah tentu saja dapat memberikan konsekuensi hukum tertentu

    Kajian lain yang dilakukan oleh Ir. Aca Sugandhi (1999) terdapat 5 (lima) peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yakni:

    - Pasal 5 ayat 1, pasal 20 ayat 1 dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945;

    - UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

    - UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;

    - UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan

  • www.bktrn.org 4

    - UU No.1 Tahun 1988 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia.

    Kelima Undang-undang tersebut masih harus ditambahkan dan dikaitkan lagi dengan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999 karena menyangkut tata ruang wilayah, terutama perdesaan.

    3. PERMASALAHAN

    Permasalahan yang timbul dalam penataan ruang, terutama berkaitan dengan hutan lindung adalah ketidakkonsistenan kebijakan yang kemudian terjadi penyimpangan di lapangan. Sebenarnya dari istilah pun telah teridentifikasi perbedaan, yakni pada beberapa peraturan memakai nama kawasan lindung sedangkan yang lain menggunakan kawasan konservasi (ICEL, 1999).

    Dari kajian yang pernah dilakukan seringkali terjadi peraturan perudang-undangan yang kedudukannya lebih rendah bisa menegasikan peraturan di atasnya. Sebagai contoh Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Kehutanan-Pertambangan No. 969.K/08/MPE/1998 dan 492/Kpts-II/1989 bisa mengalahkan Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan SKB tersebut di kawasan hutan lindung dapat dilakukan eksploitasi pertambangan. Alasan yang selalu dikemukakan adalah pentingnya pembangunan ekonomi. Peristiwa ini terulang berkali-kali tanpa dapat dicegah oleh masyarakat. Dalam kaitannya dengan tata ruang, terutama tata ruang perdesaan, jelas sekali bahwa terjadi perubahan mendasar dalam keseimbangan tata ruang. Dengan adanya perubahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya jelas akan mengurangi kemampuan kawasan tersebut melindungi bagian hilirnya.

    Kawasan perdesaan yang mendapat beban untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam, sampai saat ini tidak berdaya dengan terus meningkatnya eksploitasi di daerah perdesaaan oleh para pemodal yang notabene adalah orang kota. Yang lebih mengenaskan lagi mereka mendapatkan dampak negatifnya, disamping mendapat julukan sebagai penyebab bencana di daerah hilir, karena adanya peraturan untuk menjaga kelestarian alam.

    Demikian juga untuk kawasan budidaya hutan, permasalahan yang sampai saat ini belum terpecahkan, adalah dengan adanya investasi melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Rakyat dan Perkebunan. Banyak terjadi desa-desa yang definitif dan dengan demikian mempunyai kedudukan hukum yang pasti masuk dalam kawasan HPH. Dengan masuknya kawasan desa ke dalam areal HPH, maka dapat dipastikan terjadi konflik vertikal maupun horisontal. Penetapan HPH selama ini selalu ditetapkan di pusat melalui peta, dengan pendekatan bahwa ruang itu merupakan hak negara dan dikuasai negara. Negara berhak untuk mendapatkan manfaat dari ruang tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan pernah terjadi, pada awal pembagian ruang untuk HPH ini, Kota Pekanbaru masuk dalam areal HPH tertentu.

    Namun pertimbangan tersebut melupakan hukum ulayat/adat dan lingkungan terutama tentang daya dukungnya. Penduduk asli dan lokal adalah mereka yang secara

  • www.bktrn.org 5

    turun-temurun telah menempati kawasan tersebut dan berinteraksi serta mendapatkan manfaat dari ruang tersebut. Dengan adanya perbedaan pendekatan tersebut seringkali terjadi bentrokan antar perusahaan dan atau pemerintah dengan masyarakat lokal. Secara prinsip lingkungan masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama dalam mengakses sumberdaya alam.

    Masalah lain yang timbul adalah cara pengelolaan HPH yang cenderung merusak lingkungan, meskipun terdapat peraturannya yang cukup pro-lingkungan. Metode yang banyak diterapkan dikenal dengan istilah cuci mangkok (mengambil kayu sampai bersih tanpa sisa).

    Dengan masuknya HPH di kawasan budidaya ini jelas akan mengganggu keseimbangan tata ruang terutama dari segi perlindungan, yang para ahli sepakat sekitar 3% dari ruang harus berupa tutupan hutan. Demikian juga dari segi sosial, sampai saat ini bisa dikatakan pemanfaatan hutan di kawasan budidaya juga menimbulkan keresahan sosial, terutama karena penduduk lokal tidak mendapatkan manfaat secara langsung. Sedangkan dampak negatifnya selalu harus diterima penduduk.

    Kenyataan di atas jelas sangat bertentangan dengan prinsip penataan ruang yang asas utamanya adalah kepentingan bersama secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta adanya keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (UU No.24/1992, Bab II pasal 2).

    4. ISU AKTUAL

    4.1 Kebijakan

    Diperlukan kebijakan yang komprehensif dan berpihak kepada rakyat dan lingkungan. Sangat jelas terlihat selama ini kebijakan yang dibuat tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan serta sangat sektoral. Masih terlihat adanya kebijakan yang saling tumpang tindih dan menegasikan. Adanya dualisme kebijakan, di satu sisi berusaha melindungi ekosistem/tata ruang, sedangkan di sisi lain membuka kawasan yang seharusnya mempunyai fungsi lindung malah dieksploitasi.

    Kelemahan penegakan hukum terhadap para pelanggar tata ruang juga masih sangat kentara. Selama ini peraturan tentang tata ruang masih merupakan dokumen yang berujud kertas tanpa adanya kemampuan untuk mengikat di lapangan.

    Kuatnya ego sektoral juga sangat mempengaruhi kebijakan penataan ruang selama ini. Pertimbangan ekonomis dan dengan dalih demi pembangunan dapat dengan bijaksana mengatur peraturan yang telah ada. Sektor-sektor yang dianggap menghasilkan devisa besar, seperti pertambangan, kehutanan dan industri, akan selalu dalam posisi menang dan dimenangkan oleh pemerintah.

    Kesemuanya itu merupakan masalah mendasar dalam pengaturan tata ruang, yang tentu saja sebenarnya adalah pengaturan dalam penggunaan sumber daya alam kita. Permasalahan ini merupakan tantangan untuk mengadakan kontrak sosial baru yang diujudkan dalam penentuan visi penataan ruang yang jelas, yang disusun dengan menerapkan prinsip-prinsip yang baik meliputi transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

  • www.bktrn.org 6

    4.2 Peran serta masyarakat

    Peran serta masyarakat terutama masyarakat desa, selama paling tidak 30 tahun sangatlah minim. Meskipun dalam UU tentang Penaataan Ruang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat diakui hak dan kewajibannya (pasal 4,5,6 dan 12 UU No.24/1992). Hak peran serta masyarakat ini menyangkut mengetahui dan ikut menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Namun sayangnya, paling tidak selama 7 (tujuh) tahun usia UU ini, dalam prakteknya jangankan peran serta, kebutuhan untuk melihat perencanaan pun dibatasi oleh kata-kata dokumen negara. Untuk dapat melihat desain perencanaan, setiap pemohon dibebani biaya siluman.

    Di sisi lain, terkait dengan peraturan perundang-undangan yang lain, belum diakomodasi dengan baik. Dari berbagai peraturan tersebut terlihat bahwa pemerintah belum memahami esensi dari peran serta masyarakat. Hal itu terlihat pada kalimat maka rakyat diikutsertakan atau pemerintah meningkatkan kesadaran konservasi SDA melalui penyuluhan dan pendidikan (UU No.5 Tahun 1990). Bahkan dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting dan dianggap tidak mengerti tentang kawasan konservasi sehingga diperlukan penyuluhan dan pendidikan. Padahal terus terang, bahwa masyarakat, khususnya masyarakat desa, sangat mengerti tentang penataan ruang dalam upaya mencapai keseimbangan keruangan antara konservasi dan budidaya.

    Selain itu perlu diingat dengan luasnya ruang yang harus diurus oleh negara, maka sangatlah sulit, kalau tidak boleh dibilang mustahil, bahwa semua penataan ruang perdesaan tanpa melibatkan masyarakat. Diakomodasikannya peran serta masyarakat ini merupakan keharusan, terutama dengan makin mengecilnya kemampuan pemerintah dalam hal dana, luasnya wilayah serta terbatasnya institusi dan sumberdaya manusia.

    Untuk mencapai sasaran penataan ruang perdesaan yang baik maka perlu dibangun kesejajaran dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Bagi masyarakat kebutuhan penataan ruang ini merupakan kewajiban karena eratnya kaitan antara kehidupannya, yakni faktor sosial, historis, ekologi dan ekonomi, dengan kelestarian lingkungannya. Juga didukung dengan komitmen dan kepedulian yang tinggi.

    4.3 Konflik horisontal dan vertikal dan kaitannya dengan desentralisasi.

    Dalam pemanfaatan ruang perdesaan banyak sekali telah terjadi konflik, baik horisontal yakni antar masyarakat maupun vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini salah satunya dipicu oleh adanya pemaksaan alih fungsi lahan perdesaan oleh pemerintah dan atau swasta. Dengan dalih pembangunan maka rakyat wajib mematuhi aturan pemerintah tanpa reserve. Pemaksaan inilah yang memaksa rakyat perdesaan harus beralih profesi menjadi bukan petani. Sayangnya alih profesi ini menyangkut adat kebiasaan yang sangat sulit, akibatnya terjadi pemiskinan dan peminggiran peran rakyat perdesaan.

    Pemicu yang lain adalah ketidakadilan dalam akses dan distribusi sumberdaya alam. Bagi rakyat perdesaan kedekatan dengan sumberdaya alam merupakan hal yang sangat mutlak. Selama ini propinsi yang kaya seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya justru menjadi propinsi yang miskin dengan pembangunan daerah yang tertinggal. Sehingga

  • www.bktrn.org 7

    hal ini menyebabkan keresahan penduduk yang mengakibatkan konflik yang berkepanjangan. Konflik ini merupakan konflik pengelolaan ruang perdesaan akibat kebijakan yang sangat sentralistis tanpa melibatkan masyarakat lokal, yang juga mengabaikan dimensi keserasian, keselarasan, keseimbangan dalam segala aspek.

    Pemerintah telah berusaha untuk meredam konflik itu dengan membuka katup otonomi daerah melalui UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Meskipun belum dilaksanakan telah terjadi protes dengan materi dari UU tersebut, baik dalam segi penyusunannya yang sangat tergesa-gesa maupun dari segi prosentasi pembagiannya.

    4.4 Hutang

    Indonesia pada saat ini telah dililit hutang yang demikian besar yakni US $ 139,9 milyar, begitu besarnya sehingga masuk ke dalam lima besar negara pengutang di dunia (Hadi Soesastro, 1998). Kemampuan membayar hutang Indonesia hanyalah bertumpu pada sumberdaya alam, karena gagalnya sektor lain seperti industri yang telah dibangun. Maka sangatlah logis kalau pemerintah akan berupaya keras membayar hutang dengan menguras sumberdaya alam yang dipunyai. Dengan demikian akan terjadi gangguan yang lebih hebat dalam keseimbangan penataan ruang.

    SUMBER BACAAN

    Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Statistik Kehutanan 1999.

    ICEL, Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia, ICEL,1999.

    Ramli, Rizal dan Mubariq Ahmad, Rente Ekonomi Pengusahaan Hutan Indonesia, WALHI, 1993.

    Soesastro, Hadi dan Chatib Basri, Survey of Recent Development dalam Buletin of Indonesian Economics, volume 34 tahun 1998.

    Sugandhy, Aca, Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gramedia 1999.

    , Undang-Undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.