Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

85
Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : Malam Pertama Dan Adab Bersenggama Selasa, 24 Juli 2007 00:53:04 WIB TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 4. Malam Pertama Dan Adab Bersenggama Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut: Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ÅöÐóÇ ÊóÒóæøóÌó ÃóÍóÏõßõãú ÇãúÑóÃóÉð Ãóæö ÇÔúÊóÑóì ÎóÇÏöãðÇ ÝóáúíóÃúÎõÐú ÈöäóÇÕöíóÊöåóÇ (æóáúíõÓóãöø Çááåó ÚóÒøó æóÌóáøó) æóáúíóÏúÚõ áóåõ ÈöÇáúÈóÑóßóÉö¡ æóáúíóÞõáú: Çóááøóåõãøó Åöäöøí ÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÎóíúÑöåóÇ æóÎóíúÑö ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö¡ æóÃóÚõæúÐõ Èößó ãöäú ÔóÑöøåóÇ æóÔóÑöø ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö. “Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1] Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Transcript of Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Page 1: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Selasa, 24 Juli 2007 00:53:04 WIB

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

4. Malam Pertama Dan Adab BersenggamaSaat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÊóÒóæøóÌó ÃóÍóÏõßõãú ÇãúÑóÃóÉð Ãóæö ÇÔúÊóÑóì ÎóÇÏöãðÇ ÝóáúíóÃúÎõÐú ÈöäóÇÕöíóÊöåóÇ (æóáúíõÓóãöø Çááåó ÚóÒøó æóÌóáøó) æóáúíóÏúÚõ áóåõ ÈöÇáúÈóÑóßóÉö¡ æóáúíóÞõáú: Çóááøóåõãøó Åöäöøí ÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÎóíúÑöåóÇ æóÎóíúÑö ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö¡ æóÃóÚõæúÐõ Èößó ãöäú ÔóÑöøåóÇ æóÔóÑöø ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö.

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua

Page 2: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áöí Ýöí Ãóåúáöíú¡ æóÈóÇÑößú áóåõãú Ýöíøó¡ Çóááøóåõãøó ÇÑúÒõÞúäöí ãöäúåõãú¡ æóÇÑúÒõÞúåõãú ãöäöøí¡ Çóááøóåõãøó ÇÌúãóÚú ÈóíúäóäóÇ ãóÇ ÌóãóÚúÊó Åöáóì ÎóíúÑò¡ æóÝóÑöøÞú ÈóíúäóäóÇ ÅöÐóÇ ÝóÑøóÞúÊó Åöáóì ÎóíúÑò.

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

ÈöÓúãö Çááåö¡ Çóááøóåõãøó ÌóäöøÈúäóÇ ÇáÔøóíúØóÇäó æóÌóäöøÈö ÇáÔøóíúØóÇäó ãóÇ ÑóÒóÞúÊóäóÇ.

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]

Page 3: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóÞúÈöáú æóÃóÏúÈöÑú¡ æóÇÊøóÞö ÇáÏøõÈõÑó æóÇáúÍóíúÖóÉó.

"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

... ãõÞúÈöáóÉñ ãõÏúÈöÑóÉñ ÅöÐóÇ ßóÇäóÊú Ýöí ÇáúÝóÑúÌö.

"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÃóÊóì ÃóÍóÏõßõãú Ãóåúáóåõ Ëõãøó ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÚõæúÏó ÝóáúíóÊóæóÖøóÃú.

Page 4: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

åóÐóÇ ÃóÒúßóì æóÃóØúíóÈõ æóÃóØúåóÑõ.

"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

Åöäøó ÇáúãóÑúÃóÉó ÊõÞúÈöáõ Ýöíú ÕõæúÑóÉö ÔóíúØóÇäò æóÊõÏúÈöÑõ Ýöíú ÕõæúÑóÉö ÔóíúØóÇäò ÝóÅöÐóÇ ÃóÈúÕóÑó ÃóÍóÏõßõãõ ÇãúÑóÃóÉð ÝóáúíóÃúÊö Ãóåúáóåõ¡ ÝóÅöäøó Ðóáößó íóÑõÏøõ ãóÇ Ýöíú äóÝúÓöåö.

"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Page 5: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

íóÇ Úóáöíøõ¡ áÇó ÊõÊúÈöÚö ÇáäøóÙúÑóÉó ÇáäøóÙúÑóÉó ÝóÅöäøó áóßó ÇúáÃõæúáóì æóáóíúÓóÊú áóßó ÇúáÂÎöÑóÉõ.

"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ãóäú ÃóÊóì ÍóÇÆöÖðÇ Ãóæö ÇãúÑóÃóÉð Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ Ãóæú ßóÇåöäðÇ: ÝóÞóÏú ßóÝóÑó ÈöãóÇ ÃõäúÒöáó Úóáóì ãõÍóãøóÏò.

"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ãóáúÚõæúäñ ãóäú ÃóÊóì ÇãúÑóÃóÊóåõ Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ.

"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

íóÊóÕóÏøóÞó ÈöÏöíúäóÇÑò Ãóæú äöÕúÝö ÏöíúäóÇÑò.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

Page 6: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

ÇöÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò ÅöáÇøó ÇáäöøßóÇÍ.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ßóÇäó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó ÌõäõÈñ ÊóæóÖøóÃó æõÖõæúÁóåõ áöáÕøóáÇóÉö æóÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÃúßõáó Ãóæú íóÔúÑóÈó æóåõæó ÌõäõÈñ ÛóÓóáó íóÏóíúåö Ëõãøó íóÃúßõáõ æóíóÔúÑóÈõ.

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó ÌõäõÈñ ÛóÓóáó ÝóÑúÌóåõ æóÊóæóÖøóÃó áöáÕøóáÇóÉö.

"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.

Page 7: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Åöäøó ãöäú ÃóÔóÑöø ÇáäøóÇÓö ÚöäúÏó Çááåö ãóäúÒöáóÉð íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö ÇáÑøóÌõáõ íõÝúÖöì Åöáóì ÇãúÑóÃóÊöåö æóÊõÝúÖöì Åöáóíúåö Ëõãøó íóäúÔõÑõ ÓöÑøóåóÇ.

"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.

Page 8: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).

Page 9: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

ata Cara Pernikahan Dalam Islam : Khitbah (Peminangan)

Sabtu, 21 Juli 2007 14:27:42 WIB

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN)

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

äóåóì ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó Ãóäú íóÈöíúÚó ÈóÚúÖõßõãú Úóáóì ÈóíúÚö ÈóÚúÖò¡ æóáÇó íóÎúØõÈó ÇáÑøóÌõáõ Úóáóì ÎöØúÈóÉö ÃóÎöíúåö¡ ÍóÊøóì íóÊúÑõßó ÇáúÎóÇØöÈõ ÞóÈúáóåõ Ãóæú íóÃúÐóäó áóåõ ÇáúÎóÇØöÈõ.

Page 10: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÎóØóÈó ÃóÍóÏõßõãõ ÇáúãóÑúÃóÉó¡ ÝóÅöäö ÇÓúÊóØóÇÚó Ãóäú íóäúÙõÑó ãöäúåóÇ Åöáóì ãóÇ íóÏúÚõæúåõ Åöáóì äößóÇÍöåóÇ¡ ÝóáúíóÝúÚóáú.

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

ÃõäúÙõÑú ÅöáóíúåóÇ¡ ÝóÅöäøóåõ ÃóÍúÑóì Ãóäú íõÄúÏóãó ÈóíúäóßõãóÇ.

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk MeminangApabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka

Page 11: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ÅöÐóÇ ÌóÇÁóßõãú ãóäú ÊóÑúÖóæúäó Ïöíúäóåõ æóÎõáõÞóåõ ÝóÇäúßöÍõæúåõ¡ ÅöáÇøó ÊóÝúÚóáõæúÇ Êóßõäú ÝöÊúäóÉñ Ýöí ÇúáÃóÑúÖö æóÝóÓóÇÏñ ßóÈöíúÑñ.

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]

Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih. 

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” [6]

Shalat IstikharahApabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang

Page 12: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur'an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:

Çóááøóåõãøó Åöäöøí ÃóÓúÊóÎöíúÑõßó ÈöÚöáúãößó æóÃóÓúÊóÞúÏöÑõßó ÈöÞõÏúÑóÊößó æóÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÝóÖúáößó ÇáúÚóÙöíúãö ÝóÅöäøóßó ÊóÞúÏöÑõ æóáÇó ÃóÞúÏöÑõ æóÊóÚúáóãõ æóáÇó ÃóÚúáóãõ æóÃóäúÊó ÚóáÇøóãõ ÇáúÛõíõæúÈö. Çóááøóåõãøó Åöäú ßõäúÊó ÊóÚúáóãõ Ãóäøó åóÐóÇ ÇúáÃóãúÑó (æóíõÓóãöøì ÍóÇÌóÊóåõ) ÎóíúÑñ áöíú Ýöíú Ïöíúäöíú æóãóÚóÇÔöíú æóÚóÇÞöÈóÉö ÃóãúÑöíú (Ãóæú ÞóÇáó: ÚóÇÌöáöåö æóÂÌöáöåö) ÝóÇÞúÏõÑúåõ áöíú æóíóÓöøÑúåõ áöíú Ëõãøó ÈóÇÑößú áöíú Ýöíúåö¡ æóÅöäú ßõäúÊó ÊóÚúáóãõ Ãóäøó åóÐóÇ ÇúáÃóãúÑó ÔóÑøñ áöíú Ýöíú Ïöíúäöíú æóãóÚóÇÔöíú æóÚóÇÞöÈóÉö ÃóãúÑöíú (Ãóæú ÞóÇáó: Ýöíú ÚóÇÌöáöåö æóÂÌöáöåö) ÝóÇÕúÑöÝúåõ Úóäöøí æóÇÕúÑöÝúäöíú Úóäúåõ æóÇÞúÏõÑú áöíó ÇáúÎóíúÑó ÍóíúËõ ßóÇäó Ëõãøó ÃóÑúÖöäöíú Èöåö.

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘...di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab

Page 13: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” [11]

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).”

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam.3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq

Page 14: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa' (III/218-222).

Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : Aqad Nikah

Minggu, 22 Juli 2007 01:34:32 WIB

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : AQAD NIKAH

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

2. Aqad NikahDalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai2. Izin dari wali3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)4. Mahar5. Ijab Qabul

• WaliYang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Page 15: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóíøõãóÇ ÇãúÑóÃóÉò äóßóÍóÊú ÈöÛóíúÑö ÅöÐúäö æóáöíöøåóÇ ÝóäößóÇÍõåóÇ ÈóÇØöáñ¡ ÝóäößóÇÍõåóÇ ÈóÇØöáñ¡ ÝóäößóÇÍõåóÇ ÈóÇØöáñ¡ ÝóÅöäú ÏóÎóáó ÈöåóÇ ÝóáóåóÇ ÇáúãóåúÑõ ÈöãóÇ ÇÓúÊóÍóáøó ãöäú ÝóÑúÌöåóÇ¡ ÝóÅöäö ÇÔúÊóÌóÑõæúÇ ÝóÇáÓøõáúØóÇäõ æóáöíøõ ãóäú áÇó æóáöíøó áóåõ.

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

áÇó äößóÇÍó ÅöáÇøó Èöæóáöíòø.

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

áÇó äößóÇÍó ÅöáÇøó Èöæóáöíòø æóÔóÇåöÏóì ÚóÏúáò.

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak

Page 16: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

ÒóæøóÌúÊõ ÃõÎúÊðÇ áöíú ãöäú ÑóÌõáò ÝóØóáøóÞóåóÇ ÍóÊøóì ÅöÐóÇ ÇäúÞóÖóÊú ÚöÏøóÊõåóÇ ÌóÇÁó íóÎúØõÈõåóÇ¡ ÝóÞõáúÊõ áóåõ: ÒóæøóÌúÊõßó æóÝóÑóÔúÊõßó æóÃóßúÑóãúÊõßó ÝóØóáøóÞúÊóåóÇ Ëõãøó ÌöÆúÊó ÊóÎúØõÈõåóÇ¿ áÇó¡ æóÇááåö áÇó ÊóÚõæúÏõ Åöáóíúßó ÃóÈóÏðÇ! æóßóÇäó ÑóÌõáÇð áÇó ÈóÃúÓó Èöåö æóßóÇäóÊö ÇáúãóÑúÃóÉõ ÊõÑöíúÏõ Ãóäú ÊóÑúÌöÚó Åöáóíúåö. ÝóÃóäúÒóáó Çááåõ åóÐöåö ÇúáÂíóÉö ÝóÞõáúÊõ: ÇúáÂäó ÃóÝúÚóáõ íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö. ÞóÇáó: ÝóÒóæøóÌóåóÇ ÅöíøóÇåõ.

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits

Page 17: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya...” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

áÇó äößóÇÍó ÅöáÇøó Èöæóáöíòø.

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.” 

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum PernikahanApabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka

Page 18: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

áÇó ÊõäúßóÍõ ÇúáÃóíöøãõ ÍóÊøóì ÊõÓúÊóÃúãóÑó æóáÇó ÊõäúßóÍõ ÇáúÈößúÑõ ÍóÊøóì ÊõÓúÊóÃúÐóäó. ÞóÇáõæúÇ: íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö¡ æóßóíúÝó ÅöÐúäõåóÇ¿ ÞóÇáó: Ãóäú ÊóÓúßõÊó.

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). [12]

• Mahar“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

Åöäøó ãöäú íõãúäö ÇáúãóÑúÃóÉö ÊóíúÓöíúÑõ ÎöØúÈóÊöåóÇ

Page 19: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

æóÊóíúÓöíúÑõ ÕóÏóÇÞöåóÇ æóÊóíúÓöíúÑõ ÑóÍöãöåóÇ.

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÎóíúÑõ ÇáäöøßóÇÍö ÃóíúÓóÑõåõ.

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah NikahMenurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

Åöäøó ÇáúÍóãúÏó öááåö¡ äóÍúãóÏõåõ æóäóÓúÊóÚöíúäõåõ æóäóÓúÊóÛúÝöÑõåõ¡ æóäóÚõæúÐõ ÈöÇááåö ãöäú ÔõÑõæúÑö ÃóäúÝõÓöäóÇ æóãöäú ÓóíöøÆóÇÊö ÃóÚúãóÇáöäóÇ¡ ãóäú íóåúÏöåö Çááåõ ÝóáÇó ãõÖöáøó áóåõ¡ æóãóäú íõÖúáöáú ÝóáÇó åóÇÏöíó áóåõ¡ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ æóÍúÏóåõ áÇó ÔóÑöíúßó áóåõ¡ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäøó ãõÍóãøóÏðÇ ÚóÈúÏõåõ æóÑóÓõæúáõåõ. 

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

Page 20: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

"Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.[2]. Fat-hul Baari (IX/187).[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.

Page 21: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[7]. Fat-hul Baari (IX/187).[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.[9]. l-Muhalla (IX/451).[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid. [11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih. Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi

Page 22: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H. 

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “... Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du....” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “...Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari, no. 924)4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ßõáøõ ÎõØúÈóÉò áóíúÓó ÝöíúåóÇ ÊóÔóåøõÏñ Ýóåöíó ßóÇáúíóÏö ÇáúÌóÐúãóÇÁö.

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah...” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya.... Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-hamba Allah, sebagian kepada se-bagian

Page 23: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

yang lainnya...” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “...Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang...” (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)

Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : Walimah

Senin, 23 Juli 2007 01:06:55 WIB

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : WALIMAH

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

3. WalimahWalimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin. 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...Ãóæúáöãú æóáóæú ÈöÔóÇÉò.

Page 24: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÔóÑøõ ÇáØøóÚóÇãö ØóÚóÇãõ ÇáúæóáöíúãóÉö¡ íõÏúÚóì ÅöáóíúåóÇ ÇúáÃóÛúäöíóÇÁõ æíõÊúÑóßõ ÇáúãóÓóÇßöíúäõ¡ Ýóãóäú áóãú íóÃúÊö ÇáÏøóÚúæóÉó ÝóÞóÏú ÚóÕóì Çááåó æóÑóÓõæúáóåõ.

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

áÇó ÊõÕóÇÍöÈú ÅöáÇøó ãõÄúãöäðÇ æóáÇó íóÃúßõáú ØóÚóÇãóßó ÅöáÇøó ÊóÞöíøñ.

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÏõÚöíó ÃóÍóÏõßõãú Åöáóì ÇáúæóáöíúãóÉö ÝóáúíóÃúÊöåóÇ.

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

Page 25: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ÅöÐóÇ ÏõÚöíó ÃóÍóÏõßõãú Åöáóì ØóÚóÇãò ÝóáúíõÌöÈú¡ ÝóÅöäú ßóÇäó ãõÝúØöÑðÇ ÝóáúíóØúÚóãú¡ æóÅöäú ßóÇäó ÕóÇÆöãðÇ ÝóáúíõÕóáöø. íóÚúäöì ÇóáÏøõÚóÇÁó.

“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan. 

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

Çóááøóåõãøó ÇÛúÝöÑú áóåõãú¡ æóÇÑúÍóãúåõãú¡ æóÈóÇöÑößú áóåõãú ÝöíúãóÇ ÑóÒóÞúÊóåõãú.

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]

Page 26: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áóåõãú ÝöíúãóÇ ÑóÒóÞúÊóåõãú¡ æóÇÛúÝöÑú áóåõã¡ú æóÇÑúÍóãúåõãú.

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

Çóááøóåõãøó ÃóØúÚöãú ãóäú ÃóØúÚóãóäöí¡ æóÇÓúÞö ãóäú ÓóÞóÇäöí.

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

ÃóÝúØóÑó ÚöäúÏóßõãõ ÇáÕøóÇÆöãõæúäó¡ æóÃóßóáó ØóÚóÇãóßõãõ ÇúáÃóÈúÑóÇÑõ¡ æóÕóáøóÊú Úóáóíúßõãõ ÇáúãóáÇóÆößóÉõ.

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

ÈóÇÑóßó Çááåõ áóßó æóÈóÇÑóßó Úóáóíúßó æóÌóãóÚó ÈóíúäóßõãóÇ Ýöí ÎóíúÑò.

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Page 27: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ÝóÕúáõ ãóÇ Èóíúäó ÇáúÍóáÇóáö æóÇáúÍóÑóÇãö ÇáÏøõÝøõ æóÇáÕøóæúÊõ Ýöí ÇáäöøßóÇÍö.

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar. 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

íóÇ ÚóÇÆöÔóÉõ¡ ãóÇ ßóÇäó ãóÚóßõãú áóåúæñ¿ ÝóÅöäøó ÇúáÃóäúÕóÇÑó íõÚúÌöÈõåõãõ Çááøóåúæõ.

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

ÃóÊóíúäóÇßõÜãú ÃóÊóÜíúäóÇßõÜãú ÝóÍóÜíøõæúäóÇ äõÍóíöøíúßõÜãúáóæú áÇó ÇáÐøóåóÈõ ÇúáÃóÍúÜãóÑõ ãóÇ ÍóáøóÊú ÈöæóÇÏöíúßõÜãúáóæú áÇó ÇáúÍöäúØóÉõ ÇáÓøóãúÜÑóÇÁõ ãóÇ ÓóãöäóÊú ÚóÐóÇÑöíúßõãú

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalianHormatilah kami, maka kami hormati kalianSeandainya bukan karena emas merahNiscaya kampung kalian tidaklah mempesonaSeandainya bukan gandum berwarna coklatNiscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóÚúáöäõæÇ ÇáäöøßóÇÍó.

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor -

Page 28: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa'i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul Baari IX/247).[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus Salam, th. 1423 H.

Page 29: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.

Anjuran Untuk Menikah : Sebagian Ucapan Para Sahabat Dan Tabi'in Yang Menganjurkan Untuk Menikah

Minggu, 13 April 2008 14:34:51 WIB

ANJURAN UNTUK MENIKAH

OlehAbu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

[10]. Berikut Ini Sebagian Ucapan Para Sahabat Dan Tabi'in Yang Menganjurkan Untuk Menikah.

a). Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah menikah?" Aku menjawab: "Belum." Dia mengatakan: "Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya." [20]

b). ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: "Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari lagi, niscaya aku ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak berpisah dariku." [21]

Page 30: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

c). Imam Ahmad ditanya: "Apakah seseorang diberi pahala bila mendatangi isterinya, sedangkan dia tidak memiliki syahwat?" Ia menjawab: "Ya, demi Allah, karena ia menginginkan anak. Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: 'Ini adalah wanita muda.' Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?" [22]

d). Maisarah berkata, Thawus berkata kepadaku: "Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: 'Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak dosa.'" [23]

e). Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: "Bujangan itu seperti pohon di tanah gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian." [24]

Sungguh indah ucapan seorang penya’ir:

Renungkan ucapan orang yang mempunyai nasihat dan kasih sayangBersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu

Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murniDan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan

Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu

Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekalMaka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir 

[11]. Menikah Dapat Membantu Menahan Pandangan Dan Mengalihkan (Mengarahkan) Hati Untuk Mentaati Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab: “Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan beberapa perkara:

Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya). Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita, maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang dimiliki isterinya.’” [25]

Page 31: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.

Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a dengan ucapannya: 

"Wahai Rabb Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Rabb Yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu dan mentaati Rasul-Mu."

Sebab, selama dia terus berdo’a dan bertadharru’ kepada Allah, maka Dia memalingkan hatinya dari keburukan, sebagaimana firman-Nya:

“... Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.’” [Yusuf: 24]

Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan berkumpul dengan orang yang biasa berkumpul dengannya; di mana dia tidak mendengar beritanya dan tidak melihat dengan matanya; karena berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang diingat, maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.

Oleh karenanya, hendalah dia melakukan perkara-perkara ini dan memperhatikan perkara yang dapat memperbaharui keadaannya. Wallaahu a’lam.” [26]

Syaikhul Islam ditanya tentang seseorang yang membujang sedangkan dirinya ingin menikah, namun dia khawatir terbebani oleh wanita apa yang tidak disanggupinya. Padahal ia berjanji kepada Allah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada seseorang untuk kebutuhan dirinya, dan ia banyak mengamati perkawinan; apakah dia berdosa karena tidak menikah ataukah tidak?

Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan syahwatnya." [27]

Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk berhubungan badan. 

Page 32: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Hadits ini hanyalah perintah yang ditujukan kepada orang yang mampu melakukan hubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk menikah agar berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.

Bagi siapa yang tidak mempunyai harta; apakah dianjurkan untuk meminjam lalu menikah? Mengenai hal ini diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan selainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 33]

Adapun 'laki-laki yang shalih' adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya. [28]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]__________Footnotes[20]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 2049).[21]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (IV/128), ‘Abdurrazzaq (no. 10382, VI/ 170).[22]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/31).[23]. ‘Abdurrazzaq (no. 10384, VI/170), Siyar A’laamin Nubalaa' (V/47-48). Amirul Mukminin Radhiyallahu 'anhu hanyalah ingin membangkitkan semangat bawahannya itu supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawaid belum menikah, padahal usianya semakin tua. Lihat Fat-hul Baari (IX/91), al-Ihyaa' (II/23), al-Muhalla (IX/44).[24]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 10386, VI/171).[25]. HR. Muslim (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128).[26]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/5-6).[27]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.[28]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/6).

Page 33: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Anjuran Untuk Menikah : Menikah Dapat Mengembalikan Semangat Kepemudaan

Sabtu, 12 April 2008 07:59:58 WIB

ANJURAN UNTUK MENIKAH

OlehAbu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

[6]. Menikah Dapat Mengembalikan Semangat "Kepemudaan".

Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.

Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan hal itu kepada kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Alqamah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Aku bersama ‘Abdullah (bin Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat kepadamu.’ Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah engkau alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’ Ketika aku menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan demikian, maka sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di

Page 34: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah; karena puasa dapat mengendalikan syahwatnya.’” [9]

[7]. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menganjurkan Suami Isteri Agar Melakukan Aktivitas Seksual Guna Memperolah Keturunan, Dan Menikah Dengan Gadis.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu, ia mengatakan: "Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: 'Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.' Seorang sahabatnya berkata kepadanya: 'Insya Allah.' Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.'" [10]

Dalam riwayat Muslim (disebutkan): "Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! 'Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.'" [11]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah , ia mengatakan: "Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata untaku berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadaku lalu menegur: 'Jabir!' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bertanya: 'Ada apa denganmu?' Aku menjawab: 'Untaku berjalan lambat dan kelelahan sehingga aku tertinggal.' Lalu beliau turun untuk mengikatnya dengan tali, kemudian bersabda: 'Naiklah!' Aku pun naik. Sungguh aku ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: 'Apakah engkau sudah menikah?' Aku menjawab: 'Sudah.' Beliau bertanya: 'Gadis atau janda?' Aku menjawab: 'Janda.' Beliau bersabda: 'Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan ia pun bermain-main dengan-mu?' Aku menjawab: 'Sesungguhnya aku mempunyai saudara-saudara perempuan, maka aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa mengumpulkan mereka, menyisir mereka, dan membimbing mereka.' Beliau bersabda: 'Engkau akan datang; jika engkau datang, maka demikian, demikian.' [12] Beliau bertanya: 'Apakah engkau akan menjual untamu?' Aku menjawab: 'Ya.' Lalu beliau membelinya dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah n sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari. Ketika kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu masjid. Beliau bertanya: 'Apakah sekarang engkau telah tiba?' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bersabda: 'Tinggalkan

Page 35: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

untamu lalu masuklah ke masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.' Kemudian aku masuk, lalu melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal agar membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: 'Panggillah Jabir kepadaku.' Aku mengatakan: 'Sekarang unta dikembalikan kepadaku, padahal tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.' Beliau bersabda: 'Ambillah untamu, dan harganya untukmu.'" [13]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda

"Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit." [14]

[8]. Anak Dapat Memasukkan Bapak Dan Ibunya Ke Dalam Surga.

Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

"Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: 'Masuklah ke dalam Surga.' Mereka menjawab: 'Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk (terlebih dahulu).' Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka: 'Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke dalam Surga.' Mereka mengatakan: 'Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?' Allah berfirman: 'Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian.'" [15]

Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi "pendeta" serta tidak menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui ajaran-ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:

[9]. Tidak Menikah Karena Memanfaatkan Seluruh Waktunya Untuk Beribadah Adalah Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama "kependetaan" dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada

Page 36: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik, ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan: "Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?" Salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam selamanya." Orang kedua mengatakan: "Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka." Orang ketiga mengatakan: "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: "Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.'" [16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu ‘anhu atas apa yang dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda' Radhiyallahu ‘anhuma yang telah beristeri, agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu Ummud Darda’ Radhiyallahu ‘anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah terjadi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda'. Ketika Salman mengunjungi Abud Darda', dia melihat Ummud Darda' mubtadzilah (memakai baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus). [17] Dia bertanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia menjawab: "Saudaramu, Abud Darda', tidak membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’).”

Kemudian Abud Darda' datang lalu Salman dibuatkan makanan. "Makanlah, karena aku sedang berpuasa," kata Abud Darda'. Ia menjawab: "Aku tidak akan makan hingga engkau makan." Abud Darda' pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda' pergi untuk mengerjakan shalat. 

Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ketika pada akhir malam, Salman berkata: "Bangunlah sekarang." Lantas

Page 37: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

keduanya melakukan shalat bersama.

Kemudian Salman berkata kepadanya: "Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berikanlah haknya kepada masing-masing pemiliknya." 

Kemudian Abud Darda' datang kepada Nabi n untuk men-ceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: "Salman benar." [18]

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, aku diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam hari?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu.'" [19]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]__________Footnotes[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5065) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1400) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2045) kitab an-Nikaah. Pensyarah kitab ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/28-29) berkata: "Wahai Abu ‘Abdirrahman -kunyah Ibnu Mas’ud-, akan kembali kepadamu apa yang pernah engkau alami, akan kembali kepadamu apa yang telah berlalu dari semangatmu dan kekuatan muda-mu. Sebab, itu dapat membangkitkan kekuatan badan."[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3424), kitab Ahaadiitsul Anbiyaa'.[11]. HR. Muslim (no. 1659), kitab al-Aimaan wan-Nudzuur.[12]. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-kais al-kais dengan jima'. Sebagian lainnya menafsirkannya dengan memperoleh anak dan keturunan. Sebagian lain lagi menafsirkannya sebagai anjuran untuk berjima'.[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5079) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Aimaan, Ibnu Majah (no. 1860) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13710).[14]. HR. Ibnu Majah (no. 1861) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdur-rahman bin Salim, yang dinilai oleh al-Bukhari bahwa haditsnya tidak shahih.[15]. HR. Ahmad (no. 16523), dan para perawinya tsiqat kecuali Abul Mughirah, ia adalah shaduq.[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401)

Page 38: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122).[17]. Peristiwa ini sebelum turunnya ayat hijab, wallaahu a’lam.[18]. HR. Al-Bukhari (no. 1968) kitab ash-Shiyaam, at-Tirmidzi (no. 2413).[19]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Muslim (no. 1159).

Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah

Jumat, 11 April 2008 03:13:14 WIB

ANJURAN UNTUK MENIKAH

OlehAbu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk menikah.

Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissalam

“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a.” [Ali ‘Imran: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

"Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’: 89]

Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan ke-turunan…” [Ar-Ra’d: 38]

Page 39: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 32]

Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallan bersabda.

"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa." [1]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya (kemaluannya)." [2]

Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah atau berpuasa.

Saudaraku yang budiman! Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan disampaikan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.

"Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani." [3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.

Page 40: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang menunjukkan hal itu.

[1]. Nikah Adalah Sunnah Para Rasul.

Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." [4]

[2]. Siapa Yang Mampu Di Antara Kalian Untuk Menikah, Maka Menikahlah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan: "Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'" [5]

[3]. Orang Yang Menikah Dengan Niat Menjaga Kesucian Dirinya, Maka Allah Pasti Menolongnya.

Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah." [6]

[4]. Menikahi Wanita Yang Berbelas Kasih Dan Subur (Banyak Anak) Adalah Kebanggaan Bagimu Pada Hari Kiamat.

Page 41: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain.’” [7]

[5]. Persetubuhan Salah Seorang Dari Kalian Adalah Shadaqah.

Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka."

Beliau bersabda: "Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma'ruf adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah." 

Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?" 

Beliau bersabda: "Bagaimana pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala." [8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah

Page 42: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]__________Footnotes[1]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 625).[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 2411) dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” al-Hakim (IV/357) dan ia mengatakan: “Sanadnya shahih” dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 150).[3]. HR. Al-Baihaqi (VII/78) dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah dengan hadits-hadits pendukungnya (no. 1782).[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih.”[5]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.Pensyarah kitab Tuhfatul Ahwadzi berkata: “Al-baa-u asalnya dalam bahasa Arab, berarti jima’ yang diambil dari kata al-mabaa-ah yang berarti tempat tinggal. Mampu dalam hadits ini memiliki dua makna, mampu berjima’ dan mampu memikul beban nikah.” Demikianlah maksud dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, hal. 12 dari kitab Tuhfatul Ahwadzi. Kemudian para ulama berkata: “Adapun orang yang tidak mampu berjima’, maka ia tidaklah butuh berpuasa. Jika demikian, maka makna kedua lebih shahih.”[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykaah (no. 3089), Shahiih an-Nasa-i (no. 3017), dan Shahiihul Jaami’ (no. 3050).[7]. HR. Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, dan para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali Mustaslim bin Sa’id, ia adalah shaduq, an-Nasa-i (no. 3227), kitab an-Nikaah, dan para perawinya terpercaya selain ‘Abdurrahman bin Khalid, ia adalah shaduq.[8]. HR. Muslim (no. 1006). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah,’ dimutlakkan atas jima. Ini sebagai dalil bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’ menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak isteri dan mempergaulinya dengan baik sebagaimana Allah memerintahkan kepadanya, atau diniatkan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau memelihara dirinya.” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika manusia mati, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendo’akan-nya.” (HR. Muslim).

Page 43: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Diharamkan Menggauli Isteri Yang Sedang Haid, Kapan Dibolehkan Mencampuri Isteri Setelah Bersih?

Minggu, 10 Juni 2007 13:43:40 WIB

DIHARAMKAN MENGGAULI ISTERI YANG SEDANG HAIDH

OlehAbu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

[a]. Diharamkan mencampuri isteri yang sedang haidh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu men-jauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [ Al-Baqarah : 222]

[b]. Adapun berdasarkan haditsMuslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya kaum Yahudi, jika salah seorang isteri mereka sedang haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Kemudian para Sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah menurunkan ayat.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [Al-Baqarah: 222], hingga akhir ayat.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ÇÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò¡ ÅöáÇøó ÇáäøößóÇÍó.

"Lakukanlah segala sesuatu terhadapnya kecuali menyetubuhinya."

Ketika hal itu sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka mengatakan, "Orang ini tidak ingin membiarkan sedikit pun dari perkara kita kecuali menyelisihi kita dalam perkara tersebut." Lalu datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr seraya mengatakan: "Wahai Rasulullah, kaum Yahudi mengatakan demikian dan demikian; apakah kita tidak sekalian saja mencampuri mereka (saat sedang haidh). Mendengar hal itu wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah, sehingga

Page 44: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

kami menyangka bahwa beliau telah marah terhadap keduanya. Ketika kami keluar, mereka berdua telah disambut hadiah susu yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengikuti di belakang mereka dan memberi mereka minum, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau tidak marah terhadap mereka. [1]

[c]. Suami boleh mencumbuinya saat sedang haidh selain kemaluannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Syaddad, ia mengatakan: “Aku mendengar Maimunah Radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mencumbui seseorang dari isterinya, maka beliau memerintahkannya agar memakai kain [2] ketika sedang haidh"[3]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Boleh menikmati apa yang berada di atas kain dan apa yang ada di bawahnya. Hanya saja wanita harus mengikatkan kain sarung, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha agar mengikatkan kain sarung lalu beliau menggumulinya pada saat ia sedang haidh. Beliau memerintahkan untuk mengikatkan kain sarung agar apa yang tidak sukainya tidak terlihat darinya, yaitu bekas darah. Jika suami berkeinginan untuk menikmatinya, misalnya di sekitar paha, maka tidak mengapa.

Jika ditanyakan: ‘Bagaimana anda menjawab sabda Nabi , Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, ‘Apa yang dihalalkan bagi laki-laki terhadap isterinya saat sedang haidh?’ Beliau menjawab

ãóÇ ÝóæúÞó ÇúáÅöÒóÇÑö.

"Apa yang berada di atas kain sarung."[4]

Ini menunjukkan bahwa apa yang dinikmati hanyalah yang di atas kain sarung saja.

Jawaban atas hal ini ialah sebagai berikut:(1). Ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhi.(2). Ini kemungkinan berlaku bagi orang yang tidak dapat menahan dirinya; karena sendainya dia dapat menikmati sekitar kedua pahanya, misalnya, maka dia tidak tahan lalu menyetubuhi kemaluannya, baik karena kurangnya (pengetahuan) agamanya atau karena syahwatnya yang kuat.(3). Ini diberlakukan menurut keadaan yang berbeda-beda. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ÇöÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò ÅöáÇøó ÇáäøößóÇÍó.

Page 45: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

"Lakukanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh."[5]

Ini berlaku bagi orang yang mampu menguasai dirinya. Sedangkan sabda beliau/

ÝóãóÇ ÝóæúÞó ÇúáÅöÒóÇÑö.

"Apa yang berada di atas kain." [6]

Ini untuk orang yang dikhawatirkan dirinya akan terjerumus ke dalam larangan. Dan dianjurkan bagi wanita untuk mandi janabah. Jika seseorang mencumbui isterinya pada selain kemaluannya, maka ia tidak wajib mandi kecuali jika keluar sperma.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Sebagian ulama yang ahli mengenai al-Qur’an berkata mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:ÝóÇÚúÊóÒöáõæÇ ÇáäøöÓóÇÁó Ýöí ÇáúãóÍöíúÖ 'Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.' Yakni pada tempat keluarnya haidh."

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam komentarnya atas Sunan Abi Dawud: "Ayat ini mengandung arti menjauhi semua badan wanita, tetapi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan supaya menjauhi apa yang di bawah kain sarung dan membolehkan apa yang di atasnya."

KAFFARAT (DENDA) ORANG YANG MENCAMPURI ISTERI YANG SEDANG HAIDH.Ash-habus Sunan meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mencampuri isterinya saat sedang haidh, maka beliau menjawab.

íóÊóÕóÏøóÞó ÈöÏöíúäóÇÑò ÃóæúäöÕúÝö ÏöíúäóÇÑò.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar."[8]

Abu Dawud berkata: “Aku mendengar Ahmad di tanya tentang seseorang yang mendatangi isterinya saat sedang haidh. Ia menjawab: ‘Betapa bagusnya hadits ‘Abdul Hamid mengenai hal itu.’ Aku bertanya: 'Apakah engkau sependapat?' Ia menjawab: 'Ya, sesungguhnya itu hanyalah kaffarat (denda).' Aku bertanya: 'Satu dinar atau setengah dinar?' Ia menjawab: 'Sesukanya."[9]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata:

Page 46: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

"Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi wanita yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya."[10]

KAPAN DIBOLEHKAN MENCAMPURINYA SETELAH BERSIH?Jika wanita telah bersih dari haidhnya dan darah telah berhenti darinya, maka suami boleh mencampurinya setelah ia mencuci tempat keluarnya darah (kemaluan) dari darah tersebut saja, atau berwudhu’ atau mandi. Mana saja yang wanita melakukannya, maka suami boleh menggaulinya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

"Artinya : ... Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]. [11]

Adapun pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, maka dia mengatakan: “Jika ditanyakan: ‘Apakah boleh menyetubuhinya?’”

Jawabannya: Tidak boleh. Dalil atas hal ini ialah firman Allah Subhanahu wa ta’ala

"Artinya : ... Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu... " [Al-Baqarah : 222]

Apabila ditanyakan: “Jika seorang wanita menanggung janabah, (apakah) ia boleh dicampuri sebelum mandi. Demikian pula wanita ini (yang telah bersih dari haidhnya tetapi belum mandi)?

Jawaban: Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Tetapi kita katakan bahwa yang dimaksud dengan bersuci di sini ialah bersuci dari hadats, dan ini tidak terjadi kecuali dengan mandi. Dalil atas hal itu ialah firman AllahSubhanahu wa Ta’ala

"Artinya :... Dan jika kamu junub, maka mandilah... " [Al-Maa-idah: 6]

Dan firman Allah.

"Artinya : ... Tetapi Dia hendak membersihkanmu... " [Al-Maa-idah: 6] [12]

Tetapi kita semua harus tahu bahwa suci itu mempunyai banyak arti, di antaranya.

Page 47: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[a]. Mencuci kemaluan dengan air; berdasarkan turunnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : .. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [ At-Taubah: 108]

Diriwayatkan secara shahih, bahwa ketika ayat ini turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Quba': “Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’aala telah menyanjung kalian dengan baik mengenai bersuci dan mengenai masjid kalian ini. Lalu bagaimanakah cara bersuci yang biasa kalian lakukan?”

Mereka menjawab, "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatu. Hanya saja kami mempunyai tetangga Yahudi, dan mereka biasa mencuci dubur mereka dari kotoran, maka kami pun mencuci sebagaimana mereka melakukannya." Beliau bersabda: "Itulah yang dimaksud. Oleh karena itu, tetaplah melakukannya." [13]

[b]. Kata tathahhur (bersuci) dipakai dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mencuci haidh. Lalu beliau pun mengajarinya bagaimana ia bersuci, beliau bersabda: "Ambillah sepotong kain yang telah diberi minyak kesturi secukupnya lalu bersucilah dengannya." Ia bertanya: "Bagaimana aku bersuci?" Beliau menjawab: "Bersucilah dengannya!" Ia bertanya: "Bagaimana?" Beliau menjawab: "Subhaanallaah, bersucilah!" Lalu aku (‘Aisyah) menariknya kepadaku, dan mengatakan kepadanya, "Usapkanlah pada bekas darah."[14]

Jika hal itu sudah diketahui, maka sudah diketahui pula bahwa bersuci itu mencakup lebih dari satu makna. Di antara maknanya ialah mandi, beristinja dengan air dan mengelap bekas darah. Semua itu adalah bersuci (thahaarah).

Ibnu Hazm berkata: "Wudhu’ adalah bersuci, tanpa ada perbedaan pendapat, mencuci kemaluan dengan air juga bersuci, dan mencuci semua tubuh adalah bersuci. Dengan cara apa pun wanita -yang mendapati dirinya telah bersih dari haidhnya- bersuci, maka halal bagi suami -karena bersuci tersebut- untuk mencampurinya, wabillaahit taufiiq."[15]

Tetapi yang lebih hati-hati adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yaitu dengan mandinya isteri terlebih dahulu sebelum suaminya mencampurinya, wallaahu a’lam.

Page 48: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]__________Foote Note[1]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 2977) kitab Tafsiir al-Qur-aan, an-Nasa'i (no. 288) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 258) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 644) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 11945), ad-Darimi (no. 1053) kitab ath-Thahaarah.[2]. Menurut penulis ‘Aunul Ma’buud (6/148): “Yang dimaksud dengan hal itu, bahwa wanita mengikatkan kain yang dapat menutupi pusarnya dan apa yang di bawahnya hingga lututnya dan apa yang di bawahnya…, hadits ini menjadi argumen (dari) kalangan (orang-orang) yang berpendapat haramnya bersentuhan pada kulit yang di bawah kain.”[3]. HR. Al-Bukhari (no. 303) kitab al-Haidh, Muslim (no. 294) kitab al-Haidh, an-Nasa'i (no. 287) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 267) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 26279), ad-Darimi (no. 1046) kitab ath-Thahaarah.[4]. HR. Abu Dawud (no. 212) kitab ath-Thahaarah dari Hizam bin Hukaim, dari pamannya, at-Tirmidzi (no. 133) kitab ath-Thahaarah, dan ia menilainya sebagai hadits hasan gharib, dan dalam Nailul Authaar (I/277), dalam hadits tersebut terdapat dua perawi yang shaduq dan yang lainnya tsiqat.[5]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh dari Anas.[6]. Lihat takhrij sebelumnya.[7]. Asy-Syarhul Mumti' 'alaa Zaadil Mustaqni', Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (I/416-417).[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 135) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 640) dan lihat al-Misykaah (no. 553), Shahiih Abi Dawud (no. 256) dan al-Irwaa' (no. 197).[9]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 123): "Abu Dawud mengatakannya dalam al-Masaa-il (hal. 26)."[10]. Aadaabuz Zifaaf (hal. 122).[11]. Ini adalah pendapat Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 125-127), dan ini juga pendapat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (X/81).[12]. Asy-Syarhul Mumti' 'alaa Zaadil Mustaqni' (I/418-419).[13]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 128): "Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi.[14]. HR. Al-Bukhari (no. 314) kitab al-Haidh, Muslim (no. 332) kitab al-Haidh, an-Nasa'i (no. 251) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 314) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 642) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 25024), ad-Darimi (no. 773) kitab ath-

Page 49: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Thahaarah.[15]. Dinukil dari Aadaabuz Zifaaf (hal. 128).

Pernikahan Yang Dilarang Dalam Syari’at Islam

Minggu, 20 Mei 2007 00:48:00 WIB

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARI'AT ISLAM

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.

[1]. Nikah SyigharDefinisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

æóÇáÔöøÛóÇÑõ Ãóäú íóÞõæúáó ÇáÑøóÌõáõ áöáÑøóÌõáö: ÒóæöøÌúäöí ÇÈúäóÊóßó æóÃõÒóæöøÌõßó ÇÈúäóÊöí Ãóæú ÒóæöøÌúäöí ÃõÎúÊóßó æóÃõÒóæöøÌõßó ÃõÎúÊöí.

“Artinya : Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu” [1] 

Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

áÇó ÔöÛóÇÑó Ýöí ÇúáÅöÓúáÇóãö.

“Artinya : Tidak ada nikah syighar dalam Islam” [2] 

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak [3]. 

[2]. Nikah Tahlil

Page 50: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.

Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

áóÚóäó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇáúãõÍóáöøáó æóÇáúãõÍóáøóáó áóåõ.

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu [5] [ ]

[3]. Nikah Mut’ahNikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.

Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!

Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata.

ÃóãóÑóäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÈöÇáúãõÊúÚóÉö ÚóÇãó ÇáúÝóÊúÍö Íöíúäó ÏóÎóáúäóÇ ãóßøóÉó¡ Ëõãøó áóãú äóÎúÑõÌú ãöäúåóÇ ÍóÊøóì äóåóÇäóÇ ÚóäúåóÇ.

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah)” [7] 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ! Åöäöøí ÞóÏú ßõäúÊõ ÃóÐöäúÊõ áóßõãú Ýöí ÇúáÇöÓúÊöãúÊóÇÚö ãöäó ÇáäöøÓóÇÁö¡ æóÅöäøó Çááåó ÞóÏú ÍóÑøóãó Ðóáößó Åöáóì íóæúãö ÇáúÞöíóÇãóÉö.

“Artinya : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah

Page 51: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat” [8] 

[4]. Nikah dalam masa ‘iddah.Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya” [Al-Baqarah : 235]

[5]. Nikah dengan wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani [9]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]

[6]. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan.Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]

[7]. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi di-sebabkan sepersusuan, berdasarkan ayat di atas.

[8]. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak

Page 52: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ayahnya maupun dari pihak ibunya.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

áÇó íõÌúãóÚõ Èóíúäó ÇáúãóÑúÃóÉö æóÚóãøóÊöåóÇ æóáÇó Èóíúäó ÇáúãóÑúÃóÉö æóÎóÇáóÊöåóÇ.

“Artinya : Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanita dengan bibinya (dari pihak ibu)”[10] 

[9]. Nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga.Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

áÇó¡ ÍóÊøóì ÊóÐõæúÞöì ÚõÓóíúáóÊóåõ æóíóÐõæúÞöì ÚõÓóíúáóÊóßö. 

“Artinya : Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”[11] 

[10]. Nikah pada saat melaksanakan ibadah ihram.Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:

ÇóáúãõÍúÑöãõ áÇó íóäúßöÍõ æóáÇó íóÎúØõÈõ.

Page 53: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

“Artinya : Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”[12] 

[11]. Nikah dengan wanita yang masih bersuami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]

[12]. Nikah dengan wanita pezina/pelacur.Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”[13] 

[13]. Nikah dengan lebih dari empat wanita.Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),

Page 54: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,

ÃóãúÓößú ÃóÑúÈóÚðÇ æóÝóÇÑöÞú ÓóÇÆöÑóåõäøó.“Artinya : Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”[14] 

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ÇÎúÊóÑú ãöäúåõäøó ÃóÑúÈóÚðÇ.

“Artinya : Pilihlah empat orang dari mereka”[15] 

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1415 (60)) dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/165), al-Baihaqi (VII/200), Ibnu Hibban (no. 4142) dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 7501).[3]. Lihat al-Wajiiz (hal. 296-297) dan al-Mausuu’ah Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 53-56)[4]. Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah masa ‘iddahnya selesai.[5]. Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2076), at-Tirmidzi (no. 1119), Ibnu Majah (no. 1935), dari Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 1501), lihat juga

Page 55: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

al-Wajiiz (hal. 297-298) dan al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 49-52).[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (22)).[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (21)), dari Shahabat Sabrah al-Juhani radhiyallaahu ‘anhu. Lihat al-Wajiiz (hal. 298) dan Mausuu’ah al-Fiqhiyyah (hal. 47-49).[9]. Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) diboleh-kan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maa-idah ayat 5.[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5108), Muslim (no. 1408), at-Tirmidzi (no. 1126), an-Nasa-i (VI/96), Abu Dawud (no. 2065), Ahmad (II/401, 423, 432, 465), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5317), Muslim (no. 1433), at-Tirmidzi (no. 1118), an-Nasa-i (VI/94) dan Ibnu Majah (no. 1932).[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i (V/192), dari Shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu.[13]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30).[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44).[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2241), Ibnu Majah (no. 1952), dan al-Baihaqi (VII/183). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1885).

Pernikahan Adalah Fitrah Bagi Manusia

Sabtu, 19 Mei 2007 10:44:52 WIB

PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga

Page 56: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

manusia tetap berjalan di atas fitrahnya.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla.

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum (30): 30]

A. Definisi Nikah ( ÇóáäöøßóÇÍõ )An-Nikaah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm (menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau persetubuhan.

Adapun menurut syari’at, Ibnu Qudamah rahima-hullaah berkata, “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketika kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian selagi tidak ada satu pun dalil yang memalingkan darinya.” [1]

Al-Qadhi rahimahullaah mengatakan, “Yang paling sesuai dengan prinsip kami bahwa pernikahan pada hakikatnya berkenaan dengan akad dan persetubuhan sekaligus. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [An-Nisaa' (4): 22] [2]

B. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.

Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Page 57: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ãóäú ÊóÒóæøóÌó ÝóÞóÏö ÇÓúÊóßúãóáó äöÕúÝó ÇúáÅöíúãóÇäö¡ ÝóáúíóÊøóÞö Çááåó Ýöí ÇáäöøÕúÝö ÇáúÈóÇÞöì.

‘Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia bertaqwa ke-pada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi." [3]

Dalam lafazh yang lain disebutkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ãóäú ÑóÒóÞóåõ Çááåõ ÇãúÑóÃóÉð ÕóÇáöÍóÉð ÝóÞóÏú ÃóÚóÇäóåõ Çááåõ Úóáóì ÔóØúÑö Ïöíúäöåö¡ ÝóáúíóÊøóÞö Çááåó Ýöí ÇáÔøóØúÑö ÇáËøóÇäöì.

"Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (isteri) yang shalihah, maka sungguh Allah telah membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” [4]

C. Islam Tidak Menyukai Hidup MembujangRasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintah-kan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras.” 

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ÊóÒóæøóÌõæÇ ÇáúæóÏõæúÏó ÇáúæóáõæúÏó¡ ÝóÅöäöøí ãõßóÇËöÑñ Èößõãõ ÇúáÃóäúÈöíóÇÁó íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö. 

"“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya ummatku di hadapan para Nabi pada hari Kiamat.” [5]

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat radhiyallaahu ‘anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadahan beliau. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat yang lain berkata: “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya... dst” Ketika hal itu didengar oleh Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda.

Page 58: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ÃóäúÊõãõ ÇáøóÐöíúäó ÞõáúÊõãú ßóÐóÇ æóßóÐóÇ¿ ÃóãóÇ æóÇááåö Åöäöøí óáÃóÎúÔóÇßõãú öááåö æóÃóÊúÞóÇßõãú áóåõ¡ æóáóßöäöøí ÃóÕõæúãõ æóÃõÝúØöÑõ æóÃõÕóáöøì æóÃóÑúÞõÏõ æóÃóÊóÒóæøóÌõ ÇáäöøÓóÇÁó¡ Ýóãóäú ÑóÛöÈó Úóäú ÓõäøóÊöí ÝóáóíúÓó ãöäöøí.

"Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyu-kai Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.” [6]

Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

ÇóáäöøßóÇÍõ ãöäú ÓõäøóÊöí Ýóãóäú áóãú íóÚúãóáú ÈöÓõäøóÊöí ÝóáóíúÓó ãöäöøí¡ æóÊóÒóæøóÌõæúÇ¡ ÝóÅöäöøí ãõßóÇËöÑñ Èößõãõ ÇúáÃõãóãó¡ æóãóäú ßóÇäó ÐóÇ Øóæúáò ÝóáúíóäúßöÍú¡ æóãóäú áóãú íóÌöÏú ÝóÚóáóíúåö ÈöÇáÕöøíóÇãö ÝóÅöäøó ÇáÕøóæúãó áóåõ æöÌóÇÁñ.

"Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh ummat. Barang-siapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” [7]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

ÊóÒóæøóÌõæúÇ¡ ÝóÅöäöøí ãõßóÇËöÑñ Èößõãõ ÇúáÃõãóãó íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö¡ æóáÇó ÊóßõæúäõæúÇ ßóÑóåúÈóÇäöíøóÉö ÇáäøóÕóÇÑóì.

"Menikahlah, karena sungguh aku akan membang-gakan jumlah kalian kepada ummat-ummat lainnya pada hari Kiamat. Dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani.” [8]

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Sesungguhnya, hidup mem-bujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak memiliki makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya

Page 59: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Diri-diri mereka selalu berada dalam pergolakan melawan fitrahnya. Kendati pun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lambat laun akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau wanita, mereka sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat biologis maupun spiritual. Bisa jadi mereka bergelimang dengan harta, namun mereka miskin dari karunia Allah ‘Azza wa Jalla.

Islam menolak sistem kerahiban (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan, sikap itu berarti melawan Sunnah dan kodrat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang yang jahil (bodoh). Karena, seluruh rizki telah diatur oleh Allah Ta’ala sejak manusia berada di alam rahim.

Manusia tidak akan mampu menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah ‘Azza wa Jalla, misalnya ia mengatakan: “Jika saya hidup sendiri gaji saya cukup, akan tetapi kalau nanti punya isteri gaji saya tidak akan cukup!”

Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk menikah, dan seandainya mereka fakir niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan membantu dengan memberi rizki kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang menikah, dalam firman-Nya:

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [An-Nuur (24): 32]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah ‘Azza wa Jalla tersebut melalui sabda beliau.

ËóáÇóËóÉñ ÍóÞøñ Úóáóì Çááåö Úóæúäõåõãú: ÇóáúãõÌóÇåöÏõ Ýöíú

Page 60: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

ÓóÈöíúáö Çááåö¡ æóÇáúãõßóÇÊóÈõ ÇáøóÐöí íõÑöíúÏõ ÇúáÃóÏóÇÁó¡ æóÇáäøóÇßöÍõ ÇáøóÐöí íõÑöíúÏõ ÇáúÚóÝóÇÝó.

"Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehor-matannya.” [9]

Para Salafush Shalih sangat menganjurkan untuk menikah dan mereka benci membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah. Aku ingin pada malam-malam yang tersisa bersama seorang isteri yang tidak berpisah dariku.” [10]

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Beliau kembali berkata, ‘Nikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang banyak isterinya.’” [11]

Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau kejahatan (banyak-nya dosa)."[12]

Thawus juga berkata, “Tidak sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.” [13]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/1130).[2]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/113). Lihat ‘Isyratun Nisaa' minal Aliif ilal Yaa (hal. 12) dan al-Jaami' liahkaamin Nisaa' (III/7).[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7643, 8789). Syaikh al-Albani rahimahullaah menghasankan hadits ini, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 625).[4]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 976) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/161) dan dishahihkan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (II/404, no. 1916)

Page 61: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

[5]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/158, 245), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 4017, Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dan Mawaariduzh Zham’aan (no. 1228), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 5095), Sa’id bin Manshur dalam Sunannya (no. 490) dan al-Baihaqi (VII/81-82) dan adh-Dhiyaa' dalam al-Ahaadiits al-Mukhtarah (no. 1888, 1889, 1890), dari Sha-habat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini ada syawahid (penguat)nya dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (VI/65-66), al-Baihaqi (VII/81), al-Hakim (II/ 162) dan dishahihkan olehnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1784).[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.[7]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1846) dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2383)[8]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/78) dari Shahabat Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini memiliki beberapa syawahid (penguat). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1782).[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251, 437), an-Nasa'i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no. 2518), Ibnul Jarud (no. 979), Ibnu Hibban (no. 4030, at-Ta’liiqatul Hisaan no. 4029) dan al-Hakim (II/160, 161), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”[10]. Lihat Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10382), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16144) dan Majma’uz Zawaa'id (IV/251). [11]. Sanadnya shahih: Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 5069) dan al-Hakim (II/160).[12]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10384), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/6, no. 16142), Siyar A’lamin Nubala (V/48).[13]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16143) dan Siyar A’lamin Nubala’ (V/47).

Al-Azl, Mengeluarkan Mani Di Luar Vagina

Kamis, 4 Januari 2007 00:26:02 WIB

AL-‘AZL

OlehAbu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Page 62: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

Mengenai masalah ‘Azl ada dua pendapat masyhur dari para ulama, yaitu:

[a]. Azl Itu Dibolehkan.Ia boleh mengeluarkan air maninya di luar (kemaluan) isterinya.

Arti ‘azl ialah mencabut setelah memasukkan (kemaluannya) untuk mengeluarkan mani di luar vagina. [1]

Mengenai hal ini terdapat sejumlah hadits, di antaranya:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir, ia menuturkan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" [2]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari juga dari Jabir, ia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Qur'an (masih) turun." [3]

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: "Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu mengatakan: ‘Aku mempunyai sahaya wanita, dan aku biasa melakukan ‘azl darinya, sedangkan aku menginginkan sesuatu seperti yang diinginkan laki-laki. Kaum Yahudi mengklaim bahwa ‘azl adalah penguburan kecil terhadap bayi hidup-hidup.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Artinya : Kaum Yahudi berdusta. Seandainya Allah berkehendak untuk menciptakannya, maka tidak mampu menolaknya.’” [4]

Keempat, hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, "Aku mempunyai sahaya wanita, dia pelayan kami dan yang menyirami pohon kurma kami. Aku biasa menggaulinya, dan aku tidak suka jika dia hamil." Maka, beliau menjawab: "Ber-’azllah darinya, jika engkau suka. Sebab, akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." Orang ini pun melakukannya. Beberapa waktu kemudian, dia datang kepada beliau seraya mengatakan: "Sahaya wanitaku telah hamil." Beliau mengatakan: "Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya." [5]

Kelima, Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia mengatakan: "Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai

Page 63: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

(terdengar) kepada Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang kami." [6]

[b]. Yang Terbaik Adalah Tidak Melakukannya. [7]Benar, dalam hadits-hadits yang terdahulu terkesan bahwa ‘azl dibolehkan, tetapi di sana terdapat hadits-hadits lainnya yang menunjukkan bahwa tidak ber’azl adalah lebih baik, di antaranya:

Pertama, menyelisihi perintah beliau yang tegas agar memperbanyak anak dan keturunan, sebagaimana dalam sabdanya.

"Artinya : Nikahilah wanita yang belas kasih dan subur (banyak anak), sebab aku akan membangga-banggakan jumlah kalian pada umat-umat lainnya."[8]

Kedua, jika sekiranya wanita tidak mengizinkan hal itu, maka hal ini memberikan kerugian padanya, yaitu tidak mendapatkan kenikmatan pada saat bersenggama.

Ketiga, jika dia ber’azl karena takut mengandung, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sllam menyerupakan hal itu sebagai ÇóáúæóÃúÏõ ÇáúÎóÝöíøõ (penguburan tesembunyi terhadap bayi). [9] Al-Baihaqi mengatakan: “Larangan ini bersifat tanzih (makruh).” [10]

Tidak ada kontradiksi antara hadits ini dengan hadits Abu Sa’id terdahulu. Al-Hafizh telah mengkompromikan kedua hadits tersebut dalam al-Fat'h dengan pernyataannya: “Para ulama telah mengkompromikan antara pendustaan terhadap kaum Yahudi dalam pernyataan mereka: ‘Penguburan kecil bayi hidup-hidup’ dengan penetapan adanya ‘Penguburan tersembunyi terhadap bayi’ dalam hadits Judzamah. Yaitu, bahwa pernyataan mereka: ‘Penguburan kecil bayi hidup-hidup’ mengandung arti bahwa itu adalah penguburan bayi hidup-hidup secara nyata, tetapi itu kecil bila dibandingkan dengan mengubur bayi setelah dilahirkan dalam keadaan hidup. Ini tidak bertentangan dengan sabda beliau: 

"Artinya ; Sesungguhnya ‘azl adalah penguburan bayi secara tersembunyi."

Sebab, hadits ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak dalam hukum zhahir pada asalnya. Oleh karenanya tidak berlaku ketetapan hukum atasnya, tetapi hanya dinilai sebagai penguburan hidup-hidup dari aspek kesamaan keduanya dalam hal memutuskan kelahiran. [11]

Keempat, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: "Kami mendapatkan tawanan wanita, lalu kami

Page 64: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

melakukan ‘azl, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjawab

"Artinya : Apakah kalian benar-benar melakukannya? -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Tidak ada satu jiwa pun yang ada hingga hari Kiamat melainkan dia tetap ada." [12]

Mengenai syarah hadits ini, al-Hafizh berkata dalam al-Fath: “Riwayat Mujahid berikut ini dalam kitab at-Tauhiid disampaikan secara mu’allaq, tetapi disambungkan oleh Muslim dan selainnya, tentang disebutkannya ‘azl kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: ‘Mengapa salah seorang dari kalian melakukan demikian?’ Beliau tidak menyatakan: ‘Jangan lakukan demikian.’ Ini mengisyaratkan bahwa beliau tidak melarang secara tegas kepada mereka, tetapi hanya mengisyaratkan bahwa yang terbaik adalah tidak melakukannya. Karena ‘azl dilakukan hanyalah karena khawatir memperoleh anak, padahal perbuatan ini tidak ada gunanya. Karena jika Allah telah menciptakan anak, maka ‘azl tidak dapat menghalangi-nya. Adakalanya ‘air’ lebih dulu masuk dan tidak disadari oleh orang yang melakukan ‘azl, sehingga terbentuklah segumpal darah lalu menjadi janin. [13]

Demikianlah, dan tiga madzhab bersepakat bahwa suami tidak boleh melakukan ‘azl terhadap isterinya (yang merdeka, bukan hamba sahaya) kecuali dengan seizinnya. Sedangkan terhadap hamba sahaya boleh melakukan ‘azl terhadapnya tanpa seizinnya. [14]

Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih, bahwa dia mengatakan: "Wanita merdeka diminta izinnya untuk melakukan ‘azl dan hamba sahaya tidak diminta izinnya." [15]

Syaikh al-Albani mengomentari hadits-hadits dan pendapat-pendapat tersebut: “Menurut saya, isyarat ini hanyalah dengan memperhatikan ‘azl yang dikenal pada waktu itu. Adapun pada masa sekarang telah ditemukan sejumlah sarana yang dengannya seorang pria dapat mencegah air mani masuk ke dalam rahim isterinya secara pasti. Jadi, ketika itu hadits ini dan yang semakna dengannya tidak mensinyalirnya, bahkan yang mensinyalirnya adalah apa yang disebutkan dalam dua perkara terdahulu -yaitu hadits tentang penguburan tersembunyi dan menyelisihi perintah agar memperbanyak keturunan-. Oleh karena itu, camkanlah!

Yang pasti, hal yang makruh menurut saya, -bila tidak diiringi kedua perkara tadi atau salah satunya- adalah hal lain, yakni yang merupakan tujuan kaum kafir dalam melakukan ‘azl. Misalnya, takut miskin karena banyak anak, atau berat untuk memberi nafkah dan

Page 65: Tata Cara Pernikahan Dalam Islam

mendidik mereka. Dalam keadaan demikian, maka yang makruh terangkat menjadi haram, karena niat orang yang melakukan ‘azl bertemu dengan kaum kafir yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin dan fakir. Lain halnya bila wanita (isteri) sedang sakit... [16]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]_________Foote Note[1]. Fathul Baari (IX/305).[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5207) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5209) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah.[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1136), Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 11110), dengan sanad yang shahih.[5]. HR. Muslim (no. 1439) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 89), kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 13936)[6]. Telah ditakhrij sebelumnya.[7]. Ini pendapat al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (IX/306).[8]. HR. An-Nasa-i (no. 3227) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1846) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 12202), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1811).[9]. HR. Muslim (no. 1442) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2011) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26496).[10]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/309).[11]. Fat-hul Baari (IX/309).[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5210) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1438) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1926) kitab an-Nikaah.[13]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/307).[14]. Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/308).[15]. Ibid.[16]. Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 136).