tarsius

20
Latar belakang Sulawesi memiliki luas 187.882 km² dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di daerah biogeografi “Wallacea“. Daerah biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau- pulau lain yang berada di antara garis Wallacea di sebelah barat dan garis Lydekker di sebelah timur. Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karenya diduga di masa lampau pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall dalam Shekelle dan Leksono, 2004). Keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang lama memungkinkan terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi (Shekelle dan Leksono, 2004). Selain itu, Sulawesi merupakan pulau yang memiliki keanekaragaman hayati yang beragam, kekayaan ini meliputi keanekaragaman flora dan fauna endemik yang tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Adapun tingkat endemisitas yang tinggi terjadi pada kelompok Mamalia. Dari 127 jenis hewan menyusui yang terdapat di Sulawesi, 61% di

Transcript of tarsius

Page 1: tarsius

Latar belakang

Sulawesi memiliki luas 187.882 km² dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di

daerah biogeografi “Wallacea“. Daerah biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan

pulau-pulau lain yang berada di antara garis Wallacea di sebelah barat dan garis Lydekker di

sebelah timur. Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karenya

diduga di masa lampau pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall dalam

Shekelle dan Leksono, 2004).

Keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang lama memungkinkan terjadinya evolusi pada

berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi

(Shekelle dan Leksono, 2004). Selain itu, Sulawesi merupakan pulau yang memiliki

keanekaragaman hayati yang beragam, kekayaan ini meliputi keanekaragaman flora dan

fauna endemik yang tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Adapun tingkat endemisitas

yang tinggi terjadi pada kelompok Mamalia. Dari 127 jenis hewan menyusui yang terdapat di

Sulawesi, 61% di antaranya bersifat endemik (Whitten et al. 2002 dalam Shekelle dan

Leksono, 2004).

Salah satu spesies endemik yang terdapat di Pulau Sulawesi yaitu tarsius yang setiap

spesiesnya tersebar secara endemik di pulau Sulawesi dari Kepulauan Sangihe di sebelah

utara, hingga Pulau Selayar. Genus ini berasal dari famili Tarsiidae, satu-satunya famili yang

bertahan dari ordo Tarsiiformes. Tarsius dikenal dengan sebutan binatang hantu, yang hidup

nokturnal atau aktif di malam hari, dengan bentuk wajah seperti monyet kecil bermata merah,

besar dan bulat yang digunakan untuk melihat pada malam hari (Dephut 1978).

Page 2: tarsius

Tarsius tergolong dalam satwa yang dilindungi berdasarkan berdasarkan Peraturan

Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. Satwa

ini termasuk Appendiks II dalamConvention on International Trade in Endangered Species

(CITES 2003) dan termasuk vulnerable dalam Red List yang dikeluarkan oleh International

Union for Conservation of Nature (IUCN 2011).

A. Taksonomi

Tarsius adalah suatu genus monotipe dari famili Tarsiidae, primata endemik yang tersebar di

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Filipina (Dephut 1978). Genus ini memiliki beberapa

spesies diantaranya yaituTarsius bancanus yang ditemukan di Sumatera dan Kalimantan,

Tarsius syrichta yang ditemukan di Filipina (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Di Sulawesi

terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T.

pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda

tetapi belum diberi nama (Groves dan Shekelle 2010).

Namun dalam perkembangannya, Groves dan Shekelle (2010) merevisi taksonomi genus

tarsius dan mengklasifikasinya menjadi 3 genus, yaitu Tarsius, Chephalopacus dan Carlito

sehingga hanya spesies yang berada di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian

dari genus Tarsius. Sementara, spesies yang berada di Kalimantan dan Sumatera, yaitu

Tarsius bancanus menjadi bagian dari genus Chephalopacus dan namanya berganti menjadi

Chephalopacus bancanus. Begitu juga dengan Tarsius syrichta yang berada di Filipina

menjadi bagian dari genus Carlito dan berganti nama menjadi Carlito syrichta. Selain itu,

Groves dan Shekelle (2010) juga membatasi penyebaran Tarsius tarsier. Pada awalnya T.

tarsier menyebar dari kepulauan Selayar hingga Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi,

namun setelah revisi tersebut jenis ini hanya tersebar di Kepulauan Selayar. Sedangkan

tarsius yang berada di Semenanjung Barat Daya Sulawesi kini disebut sebagai Tarsius fuscus.

Page 3: tarsius

Perubahan ini didasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah kromosom tiap jenis. Berikut

adalah peta distribusi genus dan spesies Tarsiidae menurut Groves dan Shekelle (2010)

Gambar 1. Peta Distribusi Genus dan Spesies Tarsiidae (Groves dan Shekelle 2010).

Klasifikasi Tarsius fuscus menurut Groves dan Shekelle 2010 adalah sebagai berikut:

Ordo : Primata

Subordo : Haplorrhini

Infraordo : Tarsiiformes

Famili : Tarsiidae (Gray 1852)

Genus : Tarsius (Storr 1780)

Species : Tarsius fuscus, Fischer 1804

B. Morfologi

Page 4: tarsius

Tarsius memiliki rambut tebal dan halus yang menutupi tubuhnya. Warna rambut

bervariasi, tergantung dari jenis, yaitu merah tua, coklat hingga keabu-abuan. Tarsius yang

berasal dari Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya

rambut warna putih di belakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu. Panjang

tubuh 85 - 160 mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius jantan dewasa

sekitar 75 - 165 g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan panjang tangan

bahkan panjang tubuh secara total. Hal ini berkaitan dengan cara bergeraknya, yaitu meloncat

(Supriatna dan Wahyono 2000).

Page 5: tarsius

Niemitz dan Verlag (1984) menyatakan bahwa tarsius memiliki keistimewaan pada

mata karena penglihatan pada malam hari lebih tajam. Organ mata pada tarsius merupakan

organ terbesar dibanding organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180°.

Bagian bawah jari-jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang

memungkinkan tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di tempat

yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat panjang badan dan

kepala untuk memberikan kekuatan melompat karena sebagian besar gerakan tarsius adalah

melompat secara vertikal (Wharton 1974). Berikut perbedaan ukuran badan, warna rambut,

serta panjang dan bentuk ekor tarsius di Sulawesi.

Gambar 2. Perbedaan morfologi jenis-jenis tarsius yang terdapat di Sulawesi (Shekelle et al.

2008).

Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat dua jenis tarsius yang memiliki nama yang

hampir sama yaitu Selayar tarsier dan tarsier. Perbedaan yang dimiliki oleh kedua jenis

tarsius tersebut adalah rambut pada ekor tarsier lebih lebat daripada Selayar tarsier. Setelah

revisi yang dilakukan Groves dan Shekelle (2010), Tarsius tarsier berganti nama menjadi

Tarsius fuscus sedangkan Selayar tarsier menggunakan nama Tarsius tarsier. Perbedaan

Page 6: tarsius

morfologi lainnya dari kedua spesies ini adalah kaki belakang T. fuscuslebih pendek

dibandingkan T. tarsier, warna bulu T. fuscus juga lebih coklat kemerahan dan hanya sedikit

bagian yang berwarna abu-abu, panjang ekor T. tarsier adalah 221% dari panjang seluruh

tubuh dan kepala. Menurut Musser dan Dagosto (1988), panjang ekor T. fuscus adalah 143 -

166% dari panjang seluruh tubuh dan kepala.

Tarsius (Tarsius fuscus) di TN. Babul di kabupaten Maros memiliki sebutan tersendiri

oleh masyarakat setempat (nama lokal berbeda-beda). Tarsius disebut juga Balau Cangke di

Pattunuang, Congali di Mallenreng, dan Pa’cui di Balang Lohe. Menurut Shagir KJ, et al.

(2011), tarsius jantan dewasa yang tertangkap di kawasan hutan Pattunuang memiliki ciri-ciri

antara lain panjang kepala dan badan 120 mm, panjang ekor 270 mm, dan hampir seluruh

tubuhnya ditumbuhi rambut tebal dan halus berwarna coklat dan abu-abu, seperti pada

Gambar 3.

Gambar 3. Tarsius (Tarsius fuscus) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung: jantan

anak di kawasan hutan Mallenreng (Kiri), jantan remaja di kawasan hutan Pattunuang

(Tengah), dan jantan dewasa di kawasan hutan Pattunuang (Kanan) (Shagir KJ, et al. (2011),

Foto: Iqbal Abadi Rasjid).

C. Habitat dan Penyebaran

Page 7: tarsius

Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan

primer dengan hutan sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal

perladangan atau pertanian. Sedangkan pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan

di sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat (Sinaga et al. 2009).

Sedangkan menurut Napier dan Napier (1986), habitat tarsius adalah berbagai tipe hutan

yaitu hutan hujan tropis, semak berduri, hutan bakau dan ladang penduduk. Selain itu, tarsius

juga dapat hidup di hutan primer yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan

perkebunan karet (Niemitz dan Verlag 1984). Sebaran habitat tarsius di TN. Babul di

Kabupaten Maros sangat luas, hutan karst, hutan riparian, hutan dataran rendah, hutan

pegunungan bawah bahkan sampai perkebunan, persawahan dan pemukiman (Shagir KJ et al.

2011).

Pohon tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu pohon

tempat tidur dalam satu wilayah kawanan (Kinnaird 1997). Pohon tidur atau sarang tarsius

lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica,

Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus (Sinaga et al. 2009). Menurut Widyastuti (1993),

kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon

yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis

berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap. Sinaga et al. (2009) menambahkan

bahwa ketinggian pohon tidur atau sarang tarsius adalah antara 0- 20 m di atas permukaan

tanah serta lebih tergantung pada jenis tumbuhan dan kondisi habitatnya.

Menurut Shagir KJ et al. (2011), tarsius di TN. Babul di Kabupaten Maros ditemukan pada

kisaran ketinggian 45 - 626 m dpl dengan kondisi topografi kemiringan lahan datar, berbukit

hingga curam. Kemungkinan Tarsius juga dapat hidup lebih dari ketinggian 626 m dpl atau di

atas kawasan hutan Mallenreng, yaitu Tondong Karambu yang merupakan gugusan

Page 8: tarsius

pegunungan Bulusaraung. Sementara, tarsius di TN. Babul di Kabupaten Pangkep ditemukan

di antara ketinggian 2 - 1.200 mdpl (Chaeril et al. 2011).

Karakteristik sarang tarsius yang teramati di TN. Babul di Kabupaten Maros adalah di

lubang/celah pada tebing karst dan singkapan batu, di dalam rumpun bambu duri (Bambusa

multiflex Raeusch.), dan rimbunan tanaman merambat.  Ketinggian sarang pada tebing karst

berkisar antara 2 - 20 meter (Shagir KJ et al. 2011). Mansyur FI (2012) menambahkan bahwa

tarsius di desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep bersarang di celah tumbuhan Ficus sp. dan di

kelilingi liana, sarang yang berada di celah batu karst yang diselimuti liana, sarang yang

berada di pohon Nira (Arenga Pinnata), dan sarang yang berupa terowongan bawah tanah di

bawah rumpun-rumpun bambu.

D. Populasi

Menurut Shekelle et al. (2008) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi tarsius di

Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri dan baru lima spesies di

antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangirensis, T. pumillus, T.

pelengensis dan T. dianae. Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk

keperluan konservasi. Wirdateti dan Dahrudin (2006) menyatakan bahwa setiap sarang tarsius

terdapat 3-6 individu dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk keluarga.

Dari 12 lokasi pengamatan di TN. Babul di kabupaten Maros diperoleh kepadatan populasi

berkisar antara 0,13 - 66,80 individu/km² dengan kisaran jumlah Individu 2 - 8 per kelompok.

Jalur pengamatan tarsius sepanjang sungai Pattunuang (3.000 m) memiliki kepadatan

populasi tertinggi sebesar 66,80 individu/km² dengan jumlah individu masing-masing

kelompok berkisar antara 2 - 6 individu (Shagir KJ et al. 2011).

Sementara, dari hasil pengamatan tarsius pada 15 lokasi pengamatan di TN. Babul di

Kabupaten Pangkep diperoleh jumlah total 67 kelompok dengan perkiraan jumlah Individu 2

Page 9: tarsius

- 4 per kelompok dan jumlah total individu 190 ekor (Chaeril et al. 2011). Berdasarkan hasil

inventarisasi dengan metodeConcentration count di TN. Babul di desa Tompobulu, kabupaten

Pangkep populasi terbanyak ditemukan berada di hutan sekunder, yaitu sebanyak 31 ekor, 9

ekor di kebun masyarakat dan 4 ekor yang berada pekarangan rumah penduduk. Kepadatan

tarsius di lokasi ini adalah 151 individu/ km² di dalam lokasi hutan sekunder, sedangkan

kepadatan di sekitar perumahan masyarakat lebih rendah, yaitu 36 individu/km² di dalam

kebun masyarakat dan 23 individu/ km² di pekarangan rumah penduduk. Jika digolongkan

berdasarkan struktur umur, individu tarsius yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi

adalah tarsius pada kelas umur dewasa (Mansyur FI, 2012).

Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu

dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Sifat ini

akan mempercepat pemusnahan spesies karena mereka akan sukar beradaptasi dengan

kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial Tarsius spectrum pada

umumnya membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamus) dan hanya sekitar 20% saja

yang bersifat multi male-multi female (beberapa jantan atau betina dalam suatu kelompok)

(Supriatna dan Wahyono 2000).

E. Perilaku

Tarsius mengeluarkan suara yang khas untuk berkomunikasi antar spesies (Niemitz dan

Verlag 1984). Gursky (1999) menambahkan tarsius memiliki komunikasi vocal sebagai siulan

kepada kelompok yang tidak dikenal atau sebagai tanda bila ada gangguan, komunikasi

calling concerts dan family choruses.

Terdapat tujuh nada panggil yang dikeluarkan tarsius, baik sebagai alarm call untuk

memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, teritorial call, fear call,

threat call, nada-nada yang dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan, nada-

Page 10: tarsius

nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan. Beberapa nada

panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi sehingga berada di luar jangkauan atau

tangkapan manusia. Sinaga et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam kondisi normal suara

tarsius dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh dan saling bersahut-sahutan antara satu

kelompok dengan kelompok yang lain atau antar individu dalam satu kelompok.

Menurut Qiptiyah M (2009), perjumpaan tarsius di TN. Babul secara tidak langsung

berdasarkan suara (vokalisasi) adalah pada jam-jam tertentu seperti pada saat keluar sarang

sore hari sekitar jam 18.00 WITA, dan pagi hari sekitar jam 05.00 -  06.30 WITA menjelang

masuk sarang. Tarsius mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama

dilakukan ketika kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika

mereka sedang mencari makan (foraging), memberitahukan keberadaan dari pasangan

masing-masing. Selama pengamatan tarsius lebih mudah dideteksi pada saat pagi hari,

dibandingkan pada saat sore hari.

F. Status Konservasi

Sejak tahun 1931, tarsius sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar

No. 266 tahun 1931, diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan

Pemerintah No.7 Tahun 1999 serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.

301/Kpts-II/1991 yang dikeluarkan tanggal 10 Juni 1991. Tarsius juga termasuk dalam daftar

hewan yang dilarang untuk diperdagangkan dalam daftar Appendix II CITES. Meskipun

demikian International Union for Conservation of Nature (IUCN) masih memasukkan

beberapa species tarsius dalam kategori data deficient (kurang data). Hal ini berarti masih

diperlukan data penelitian untuk melengkapi data tersebut sehingga dapat ditingkatkan

statusnya (Yustian 2006).

Page 11: tarsius

Kategori terbaru IUCN Red List of Threatened Species 2008 telah memasukkan tarsius dalam

kategoriCritically Endangered (kritis) untuk spesies tarsius yang baru diidentifikasi, yaitu T.

tumpara di Pulau Siau. Hal ini disebabkan karena spesies ini berada di suatu pulau yang

memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi

tarsius. Selain itu, pulau tersebut juga memiliki gunung berapi aktif yaitu Gunung

Karengetang yang mengancam keberadaan spesies di alam. Dua spesies lain yang

dikategorikan endangered dan terancam di alam dalam waktu dekat adalah T. pelengensis,

dan T. sangirensis. Adapun spesies yang dikategorikan vulnerable (rentan punah) adalah T.

tarsier dan T. dentatus, sedangkan dua spesies yang masih dalam kategori kurang data

adalah T. pumillus dan T. lariang.

Status T. fuscus sampai saat ini masih tergolong dalam vulnerable dalam Red List yang

dikeluarkan oleh IUCN 2011. Akan tetapi status ini dapat berubah apabila penelitian

mengenai tarsius terus dilakukan dan populasi jenis ini dapat diperkirakan maka tidak

menutup kemungkinan statusnya akan meningkat menjadi Endangered (Gursky 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Chaeril, Suci AH, Nurhidayat M, Langodai RW, Sulkarnaen. 2011. Identifikasi dan

Pemetaan Sebaran Tarsius di SPTN Wilayah I Balocci Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung. Bantimurung : Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

DEPHUT] Departemen Kehutanan. Direktorat PPA. 1978. Pedoman Pengelolaan

Satwa Langka; Mamalia. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.

Groves C, Shekelle M. 2010. The genera and species of tarsiidae. International

Journal of Primatology31(6):1071-1082.

Page 12: tarsius

Gursky S. 2000. Effect of seasonality on the behavior of an insectivorous primate,

Tarsius spectrum. International Journal of Primatology 21 (3): 477-495.

Gursky S. 1999. The Tarsiidae: Taxonomy, Behavior and Conservation Status. Di

dalam: Dolhinow P, Fuentes. Non Human Primates. United States of America: The

John Hopkins University Press.

IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Red List of Threatened

Species. http://www.iucnredlist.org/.[15September2012].

Kinnaird MF. 1997. Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Volume 1.

Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallaceae.

Mansyur FI. 2012. Karakteristik Habitat dan Populasi Tarsius (Tarsius fuscus Fischer

1804) di Resort Balocci Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan.

[Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge: The

MIT Press.

Niemitz C, Verlag FG. 1984. Biology of Tersier. New York: Pustet Reagensburg.

Qiptiyah M, Setiawan H, Rakhman MA, Mursidin, Ansari F. 2009. Teknologi

konservasi biodiversitas fauna langka : Teknologi konservasi insitu tarsius (Tarsius

sp.) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Makassar : Balai Penelitian

Kehutanan Makassar.

Shagir KJ, Rasjid IA, Wibowo P, Fajrin S dan Paisal. 2011. Identifikasi dan Pemetaan

Sebaran Tarsius Pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di

Kabupaten Maros. Bantimurung : Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Shekelle Myron dan Leksono, S. M. 2004. Rencana Konservasi di Pulau Sulawesi

dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota 9(1): 1-10.

Page 13: tarsius

Shekelle M, Groves C, Merker S, Supriatna J. 2008. Tarsius tumpara: A New Tarsier

Species from Siau Island, North Sulawesi. Primate Conservation (23): 55-64.

Sinaga W, Wirdateti, Iskandar E dan Pamungkas J. 2009. Pengamatan habitat pakan

dan sarang Tarsius (Tarsius sp.) wilayah sebaran di Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

Jurnal Primatologi Indonesia 6 (2): 41-47.

Supriatna J., Wahyono EH. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Wharton CH. 1974. Seeking mindanau’s strength creatures national geography.

Journal Mammal. 51(3): 225-230.

Widyastuti Y. 1993. Flora Fauna Maskot Nasional dan Propinsi. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Wirdateti, Dahrudin H. 2006. Pengamatan pakan dan habitat Tarsius spectrum di

Cagar Alam Tangkoko- Batu Angus, Sulawesi Utara. Biodiversitas 2 (9): 152-155.

Yustian I. 2006. Population density and the conservation status of Belitungs tarsier

Tarsius bancanus saltator on Belitung Island, Indonesia. Universitas Sriwijaya.

Sumatera Selatan.