Tari Gandrung

7
http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi Gandrung Banyuwangi Penari Gandrung (foto diambil tahun 1910-1930) Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal dari Banyuwangi. Daftar isi [sembunyikan] 1 Asal istilah 2 Pertunjukan Gandrung Banyuwangi 3 Sejarah 4 Tata Busana Penari o 4.1 Bagian Tubuh o 4.2 Bagian Kepala o 4.3 Bagian Bawah o 4.4 Lain-lain 5 Musik Pengiring 6 Tahapan-Tahapan Pertunjukan

description

univ

Transcript of Tari Gandrung

  • http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi

    Gandrung Banyuwangi

    Penari Gandrung (foto diambil tahun 1910-1930)

    Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal dari Banyuwangi.

    Daftar isi

    [sembunyikan]

    1 Asal istilah

    2 Pertunjukan Gandrung Banyuwangi

    3 Sejarah

    4 Tata Busana Penari

    o 4.1 Bagian Tubuh

    o 4.2 Bagian Kepala

    o 4.3 Bagian Bawah

    o 4.4 Lain-lain

    5 Musik Pengiring

    6 Tahapan-Tahapan Pertunjukan

  • o 6.1 Jejer

    o 6.2 Maju

    o 6.3 Seblang subuh

    7 Perkembangan terakhir

    8 Referensi

    9 Lihat pula

    Asal istilah[sunting | sunting sumber]

    Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi

    Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.[butuh rujukan]

    Pertunjukan Gandrung Banyuwangi[sunting | sunting sumber]

    Penari Gandrung bersama gamelannya (foto diambil tahun 1910-1930)

    Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis

    panen.[1]. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa

    Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan

    melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan

    iringan musik (gamelan).[butuh rujukan]Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan

    musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali.[butuh rujukan] Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan

    antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"[2]

    Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang

    terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika

    Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota

    Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

    Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan

    dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut

    kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh

    (sekitar pukul 04.00).

    Sejarah[sunting | sunting sumber]

  • Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan Tirtagondo (Tirta arum)

    untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit

    yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang

    diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.

    Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya antara lain menulis sebagai berikut:

    Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan

    terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam

    sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab Gandrung Lelaki).

    Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara

    turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik

    perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-

    tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab.

    Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan

    Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari

    kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh

    Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang

    tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang

    sisanya yang tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan

    terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri

    dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu) dan

    selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan

    lain sebagainya.

    Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras

    atau hasil bumi lainnya dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut,

    merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat

    memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di

    pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-hutan dengan segala penderitaannya walau

    peperang telah usai.

    Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan tersebut,

    disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis beberapa kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh

    gempuran Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7 Nopember

    1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman

    mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh

    mengobarkan amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga dikatakan bahwa

    orang-orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka

    yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka.

    Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya

    menetap dihutan-hutan seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap

    keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya[3].

  • Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan yang setiap saat acap kali

    mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup

    bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan

    keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk

    memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang

    kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang

    baru dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad

    (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini ialah

    menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali

    bumi Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni (yaitu yang

    dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).

    Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang

    waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi

    menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga

    kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti Kadhung sira waras, sun dhadekaken

    Seblang, kadhung sing yo sing (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).

    Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan

    ditarikannya gandrung oleh wanita.

    Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti

    perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang

    ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap

    dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk

    transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap

    pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

    Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan,

    mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.[4]

    Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan

    menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus

    berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya

    boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai

    banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya

    sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak

    akhir abad ke-20.

    Tata Busana Penari[sunting | sunting sumber]

    Penari Gandrung di Lombok, 1922.

    Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada

    pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.

    Bagian Tubuh[sunting | sunting sumber]

  • Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen

    kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada,

    sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-

    ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-

    masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta

    diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

    Bagian Kepala[sunting | sunting sumber]

    Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang

    disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima]

    yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung.

    Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti

    sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok

    hingga menjadi yang sekarang ini.

    Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang

    penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya.

    Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

    Bagian Bawah[sunting | sunting sumber]

    Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang

    paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corakgajah oling, corak tumbuh-

    tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun

    1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung

    selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

    Lain-lain[sunting | sunting sumber]

    Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun

    kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam

    pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

    Musik Pengiring[sunting | sunting sumber]

    Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu

    buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasangkethuk. Di samping

    itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi

    semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung.

    Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.

    Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan

    diiringi electone.

    Tahapan-Tahapan Pertunjukan[sunting | sunting sumber]

    Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:

  • jejer

    maju atau ngibing

    seblang subuh

    Jejer[sunting | sunting sumber]

    Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan

    beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

    Maju[sunting | sunting sumber]

    Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada

    tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya

    para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang

    gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang

    menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.

    Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk

    memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repn (nyanyian yang

    tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan

    ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk,

    sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

    Seblang subuh[sunting | sunting sumber]

    Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai

    melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan

    penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan

    menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih

    seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih

    terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan

    (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh

    kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

    Perkembangan terakhir[sunting | sunting sumber]

    Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang

    dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan

    mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian

    Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari

    pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat

    terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain

    seperti dangdut dan campursari.

    Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung,

    dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis

  • komunitas Using yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain,

    Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Using.[5]

    Di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau citra negatif di tengah masyarakat luas.

    Beberapa kelompok sosial tertentu, terutama kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah

    perempuan yang berprofesi amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tersudut,

    terpinggirkan dan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari[6].

    Sejak Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul

    pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. PemerintahKabupaten Banyuwangi juga

    memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta ,

    Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat[7].

    Referensi[sunting | sunting sumber]

    1. ^ http://www.banyuwangikab.go.id/kesenian-daerah/kesenian-gandrung.html

    2. ^ Novi Anoegrajekti. "Penari Gandrung: Kontrol Agama, Masyarakat dan Kekuatan Pasar" dalam

    Merayakan Keberagaman, Jurnal Perempuan, Vol.54 tahun 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,

    hal.51

    3. ^ (Balambangan Indisch Gids II th. 1923 h. 1060)

    4. ^ Antara lain, J.Scholte, Gandroeng van Banjoewangie, 1927; Paul A.Wolbers, Maintaining Using Identity,

    1992, hal.89; "The Seblang and its music..." dalam "Performance in Java and Bali, 1993, hal.36; Fatrah

    Abal, "Seblang Lukento", makalah tidak diterbitkan, 2001; dan Hasnan Singodimayan, dkk., "Gandrung

    Banyuwangi", Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan, 2003.

    5. ^ Lihat Singodimayan, dkk. Opcit., hal.60

    6. ^ Richard Schechner. 1985. Between Theatre and Anthropology. Phyladelphia: University of Pennsylvania

    Press, hal.125-126

    7. ^ http://www.budpar.go.id/page.php?ic=543&id=151